Anda di halaman 1dari 14

PERSPEKTIF PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

Eddy Rifai*

Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung


Gedung Meneng, Bandar Lampung, Lampung, 35145

Abstract
This study examines the perspectives of corporate criminal responsibility as perpetrators of corruption.
The research method used normative juridical approach and empirical jurisdiction. The results showed
that the regulation of corporate criminal responsibility in criminal corruption has been regulated in the
legislation of corruption but are rarely applied in practice. The reluctance of the Public Prosecutor filed
a corporate offender to court, because the punishment to be imposed on the corporation only in the form
of criminal penalties that have less than the deterrent effect of the death penalty or imprisonment and
hardships refutation against the corporation as part elements of the law rather than to prove the guilt of a
person accused acquitted result.
Keywords: criminal liability, corporate, corruption.

Intisari
Penelitian mengkaji tentang perspektif pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku tindak pi-
dana korupsi. Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengaturan pidana tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
tindak pidana korupsi telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi tetapi
jarang diterapkan dalam praktik. Keengganan Jaksa Penuntut Umum mengajukan pelaku korporasi ke
pengadilan, karena pemidanaan yang akan dikenakan kepada korporasi hanya berupa pidana denda yang
kurang mempunyai efek penjera daripada pidana mati atau penjara dan kesulitan pembuktian “kesalahan”
korporasi sebagai bagian unsur melawan hukum daripada membuktikan kesalahan orang perorang yang
berakibat terdakwa dibebaskan.
Kata Kunci: pertanggungjawaban pidana, korporasi, tindak pidana korupsi.

Pokok Muatan
A. Latar Belakang Masalah.................................................................................................................. 85
B. Metode Penelitian........................................................................................................................... 87
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan................................................................................................... 88
1. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi................................................. 88
2. Faktor Penghambat Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi................. 90
3. Perspektif Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi..... 93
C. Kesimpulan........................................................................................................................................ 96

*
Alamat korespondensi: eddyrifai@ymail.com
Rifai, Perspektif Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi 85
A. Latar Belakang Masalah children in criminal activities.6 Khususnya men-
Korupsi di Indonesia terjadi secara sis- genai masalah korupsi, Kongres ke-8 menyatakan
tematik dan meluas sehingga tidak hanya merugi- sangat perlunya hal ini diperhatikan mengingat
kan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar “corrupt activities of public official”: a. can de-
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara stroy the potential effectiveness of all types of
luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilaku- governmental programmes (dapat menghancur-
kan dengan cara luar biasa.1 Korupsi-korupsi kan efektivitas potensial dari semua jenis program
yang dilakukan secara sistematik dapat dilihat pemerintah); b. hinder development (dapat meng-
dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia ganggu/menghambat pembangunan); c. victim-
(BLBI),2 Bank Century,3 dan Proyek Hambalang4 ize individuals and groups (menimbulkan korban
yang melibatkan pihak perencana/penganggaran bagi individual maupun kelompok).7
keuangan/pengawas (DPR) dan pelaksana proyek Kongres dalam kaitannya dengan hal di
(pemerintah). Korupsi dikatakan meluas karena atas, menghimbau kepada negara-negara anggota
terjadi pada hampir setiap institusi pemerintah PBB untuk menetapkan strategi anti-korupsi se-
(kementerian dan pemerintah daerah), DPR dan bagai prioritas utama di dalam perencanaan pem-
DPRD serta lembaga yudikatif (kepolisian, kejak- bangunan sosial dan ekonomi (di dalam dokumen
saan dan pengadilan) sehingga telah membuat ko- A/CONF. 144/L.13 disebutkan “The designation
rupsi sebagai suatu budaya (corruption was away of anti-corruption strategies as high priorities
of life).5 in economic and social development plans”),
Perhatian dunia internasional terhadap ko- serta mengambil tindakan terhadap perusahaan-
rupsi terdapat dalam Kongres PBB ke-8 tahun perusahaan yang terlibat dalam tindak pidana
1990 di Havana Cuba yang menyoroti dimensi korupsi.8 Dokumen Kongres PBB ke-9 tahun
kejahatan seperti: (1) masalah urban crime; (2) 1995 menyatakan: Korporasi asosiasi kriminal
crime against the nature and the environmen- atau individu mungkin terlibat dalam “penyuapan
tal; (3) corruption keterkaitannya dengan eco- para pejabat” untuk berbagai alasan yang tidak
nomic crime, organized crime, illicit trafficking semuanya bernilai ekonomis. Tetapi, dalam ban-
in narcotic, drugs and psychotropic substances, yak kasus, masih saja terdapat penyuapan untuk
termasuk juga masalah money laundering; (4) mencapai keuntungan ekonomis. Tujuannya ialah
crime against movable cultural property (cultural membujuk para pejabat untuk memberikan ber-
heritage); (5) computer related crime; (6) terro- bagai bentuk perlakuan khusus/istimewa (pref-
rism; (7) domestic violence; (8) instrumental use erential treatment) antara lain: (a) memberikan

1
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150).
2
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan pinjaman BI terhadap bank-bank yang mengalami krisis likuiditas akibat
krisis moneter di Indonesia tahun 1998. BI telah menyalurkan dana sebesar Rp 147 triliun kepada 48 bank. Dari hasil audit BPK telah terjadi
penyimpangan sebesar Rp 138 triliun.
3
KPK telah menetapkan 2 (dua) orang Deputi Gubernur non-aktif BI, yaitu BM dan SF sebagai tersangka kasus penyimpangan dana talangan
(bail out) BI kepada Bank Century.
4
KPK telah menetapkan beberapa tersangka dalam kasus Proyek Hambalang, dari kalangan pengusaha, anggota DPR, dan pemerintah, serta 1
orang menteri aktif, yaitu AM yang kemudian mengundurkan diri dari jabatannya selaku Menpora.
5
Penelitian Richard Hooley di Filipina yang menggambarkan korupsi terjadi pada setiap intansi pemerintah selama rejim Marcos berkuasa
telah membudaya (corruption was away of life). Lihat Baharuddin Lopa, 2001, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Penerbit Buku
KOMPAS, Jakarta, hlm. 77. Lihat juga Apolinario D. Bruselas, “Corruption: The Philippine Experience” dalam UNAFEI, 1998, Resource
Material Series No. 52, Tokyo, hlm. 101.
6
Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 18.
7
Ibid., hlm. 19.
8
Terdapat tiga strategi pemberantasan korupsi yang disarankan, yaitu: (1) adanya political will pemerintah; (2) penyempurnaan penegakan
hukum pidana; dan (3) pressure masyarakat.
86 MIMBAR HUKUM Volume 26, Nomor 1, Februari 2014, Halaman 84-97

kontrak (awarding a contract); (b) mempercepat dan holding company;17 (3) penjatuhan pidana
atau memperlancar izin (expediting a license); (c) tambahan yang lebih luas, di samping pembayaran
membuat perkecualian-perkecualian atau menu- uang pengganti, juga perampasan barang bergerak
tup mata terhadap pelanggaran peraturan (making yang berwujud atau yang tidak berwujud;
exceptions to regulatory standards or turning a penutupan seluruh atau sebagian perusahaan;
blind eye to violations of those standards).9 dan pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak
Keterlibatan perusahaan-perusahaan (kor- tertentu atau sebagian keuntungan tertentu yang
porasi) dalam tindak pidana korupsi bukan rahasia telah atau dapat diberikan pemerintah.18
umum lagi. Beberapa kasus yang sedang dalam Menurut Muladi dan Dwidja Priyatno19
proses peradilan pidana adalah kasus pengusaha pembenaran pertanggungjawaban korporasi seba-
besar SHM,10 Simulator SIM Mabes POLRI,11 gai pelaku tindak pidana dapat didasarkan hal-hal
IM2 Indosat12 dan beberapa kasus yang pelakun- sebagai berikut: (1) atas dasar falsafah integralis-
ya telah dijatuhi pidana seperti kasus Nazarudin13 tik, yakni segala sesuatu yang diukur atas dasar
dan Sisminbakum.14 keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 kepentingan individu dan kepentingan sosial; (2)
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor atas dasar kekeluargaan dalam Pasal 33 Undang-
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Undang Dasar 1945; (3) untuk memberantas ano-
Pidana Korupsi (UU No. 31/1999) menentukan mie of success (sukses tanpa aturan); (4) untuk
selain orang, korporasi merupakan subyek hukum/ perlindungan konsumen; dan (5) untuk kemajuan
pelaku tindak pidana15 Tetapi dalam praktiknya, teknologi. Terhadap pelaku-pelaku korporasi se-
penerapan pertanggungjawaban pidana terhadap yogyanya penegakan hukum pidana mengguna-
korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi kan pertanggungjawaban korporasi sebagaimana
jarang dilakukan oleh aparat penegak hukum. ditentukan dalam Pasal 20 UU No. 31 Tahun
Padahal dengan mempertanggungjawabkan 1999. Tetapi ketentuan ini tidak pernah digunakan
korporasi akan didapat manfaat: (1) rapat JPU untuk mengajukan pelaku korporasi dalam
menimbulkan efek jera terhadap korporasi untuk tindak pidana korupsi ke pengadilan. Perkara tin-
tidak terlibat dalam tindak pidana korupsi; (2) dak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Kelas
penegakan hukum pidana akan lebih berkeadilan IA Tanjungkarang No. 22/PID.TPK/2011/PNTK20
karena menjangkau pelaku-pelaku lainnya yang a.n. Terdakwa Sugiarto Wiharjo alias Alay meru-
turut bertanggungjawab dalam korporasi seperti pakan perkara dengan pelaku korporasi. Terdak-
komisaris, direktur, pegawai, pihak terafiliasi16 wa selaku Komisaris Utama PT BPR Tripanca

9
Ibid, hlm. 20.
10
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyidangkan pengusaha SHM yang diduga melakukan tindak pidana korupsi suap kepada Bupati
Buol Amran Batalipu.
11
KPK menahan Irjen (Pol.) DS seorang Jenderal Polri aktif sebagai tersangka kasus Simulator SIM Mabes Polri.
12
Penyidik di Kejaksaan Agung melimpahkan berkas perkara tersangka/terdakwa IA dan barang bukti kasus penyalahgunaan frekuensi 2,1
Ghz/3 G PT. Indosat Mega Media (IM2) kepada Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan
13
Terdakwa M. Nazarudin divonis penjara 4 tahun 10 bulan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta.
14
Kasus Sisminbakum melibatkan pejabat-pejabat di Depkumham RI dan PT. SRD.
15
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum.
16
Pihak terafiliasi adalah pihak yang turut bertanggungjawab dalam korporasi perbankan. Lihat Pasal 40 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
17
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur tentang pertanggungjawaban pemegang saham (Pasal 3).
18
Eddy Rifai, 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PPS Magister Hukum Unila, Bandar Lampung, hlm. 62.
19
Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 10.
20
Perkara telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Lihat Eddy Rifai, A. Zazili, dan A. Irzal F., 2012, Laporan Eksaminasi Pu-
tusan Perkara No. 22/PID.TPK/2011/PNTK a.n. Terdakwa Sugiharto Wiharjo Alias Alay Kerjasama FH Unila-KPK, Fakultas Hukum Unila,
Bandar Lampung, hlm. 2.
Rifai, Perspektif Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi 87
Setiadana bersama-sama dengan saksi St (selaku pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tin-
Bupati Lampung Timur) antara tahun 2005 s.d. dak pidana korupsi?; Kedua, apakah faktor peng-
2008 melakukan atau turut serta melakukan be- hambat pertanggungjawaban pidana korporasi
berapa perbuatan tindak pidana korupsi meski- dalam tindak pidana korupsi?; Ketiga, bagaimana
pun masing-masing merupakan kejahatan atau perspektif pertanggungjawaban pidana korporasi
pelanggaran yang ada hubungannya sedemikian dalam tindak pidana korupsi?
rupa sehingga harus dipandang sebagai perbua-
B. Metode Penelitian
tan berlanjut dengan cara Terdakwa menemui
Tipe penelitian yang digunakan adalah
saksi St menawarkan untuk menyimpan sebagian
bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian yang
dana Kas Daerah Kab. Lampung Timur dalam
berusaha untuk menggambarkan dan mengurai-
bentuk tabungan di PT BPR Tripanca Setiadana
kan tentang persoalan yang berkaitan dengan
yang disetujui oleh saksi. Terdakwa menawar-
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi
kan bunga yang lebih tinggi yaitu antara 7,5%-
yang melakukan tindak pidana korupsi, faktor
8,5% untuk Pemkab Lampung Timur dan bunga
penghambat pertanggungjawaban pidana korpo-
tambahan 0,45%-0,50% untuk saksi. Perbuatan
rasi yang melakukan tindak pidana korupsi dan
Terdakwa telah merugikan keuangan negara c.q.
perspektif pertanggungjawaban pidana terhadap
Keuangan Daerah Pemkab Lampung Timur sebe-
korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi.
sar Rp119.448.199.800.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
Dalam proses terjadinya tindak pidana ko-
yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan
rupsi sebagaimana keterangan saksi-saksi dan ter-
yuridis normatif yaitu pendekatan yang didasar-
dakwa di pengadilan melibatkan pengurus-pen-
kan pada peraturan perundang-undangan, teori-
gurus PT BPR Tripanca Setiadana lainnya seperti
teori dan konsep-konsep yang berhubungan den-
direktur utama, direktur, dan staf/pegawai. Tetapi
gan penulisan penelitian, sedangkan pendekatan
dalam perkara ini hanya terdakwa (Komisaris
yuridis empiris yang dilakukan dengan mengada-
Utama) yang dijadikan terdakwa, sedangkan pen-
kan penelitian lapangan, yaitu dengan melihat
gurus lainnya tidak baik dalam bertanggungjawab
fakta-fakta yang ada dalam praktik dan mengenai
sebagai pengurus korporasi maupun secara pero-
pelaksanaannya.
rangan dengan menggunakan Pasal 55 KUHP.
Dalam kaitan dengan penelitian normatif,
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa terdakwa
pendekatan yang digunakan adalah: (a) pendeka-
dengan Dakwaan Primair: Melanggar Pasal 2 ayat
tan perundang-undangan (statute approach), yaitu
(1) jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang
suatu pendekatan yang dilakukan terhadap berba-
Pemberantasan Korupsi yang dirubah dan ditam-
gai aturan hukum yang berkaitan dengan tindak
bah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55
pidana perikanan seperti Undang-Undang Nomor
ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Un-
Dakwaan Subsidair: Melanggar Pasal 3 jo. Pasal
dang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberan-
18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberan-
tasan Tindak Pidana Korupsi; Undang-Undang
tasan Korupsi yang dirubah dan ditambah den-
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
gan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1)
Undang Hukum Acara Pidana; Undang-Undang
ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dakwaan
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Ke-
Lebih Subsidair: Melanggar Pasal 5 ayat (1) jo.
hakiman; Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pember-
tentang Perseroan Terbatas dan beberapa peratu-
antasan Korupsi yang dirubah dan ditambah den-
ran pelaksanaan yang berhubungan dengan objek
gan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1)
penelitian; (b) pendekatan konsep (conceptual ap-
ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Masalah
proach) digunakan untuk memahami konsep-kon-
dalam penelitian ini adalah: Pertama, bagaimana
88 MIMBAR HUKUM Volume 26, Nomor 1, Februari 2014, Halaman 84-97

sep tentang: pertanggungjawaban pidana, korporasi di persidangan yaitu Prof. Dr. Yusril Ihza Mahen-
dan tindak pidana korupsi. Dengan adanya konsep dra, SH, MA (Guru Besar FH UI) dan Prof. Dr. Sri
yang jelas maka diharapkan penormaan dalam atu- Redjeki Hartono, SH (Guru Besar FH Undip) men-
ran hukum tidak lagi terjadi pemahaman yang ka- yatakan pertanggungjawaban pidana tidak dapat
bur dan ambigu. dipertanggungjawabkan kepada terdakwa secara
Dalam penelitian ini, populasi terdiri dari orang-perorang, melainkan merupakan pertang-
hakim pengadilan negeri, jaksa kejaksaan negeri, gungjawaban korporasi, karena perbuatan terdakwa
pengacara/penasehat hukum, dan teoritis/akad- dilakukan dalam kapasitasnya sebagai Komisaris
emisi. Untuk menentukan sampel dari populasi Utama PT. BPR Tripanca Setiadana. Perbuatan itu
di atas digunakan metode proportional purposive tidak akan terjadi, tanpa ada perbuatan pengurus
sampling yang berarti bahwa dalam menentukan bank lainnya seperti Direktur Utama, Direktur dan
sampel disesuaikan dengan tujuan yang hendak staf/pegawai.
dicapai dan proporsi masing-masing sampel yang Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terh-
dianggap telah mewakili populasi terhadap masalah adap terdakwa berbentuk subsidiaritas. Oleh karena
yang hendak diteliti/dibahas. Sesuai dengan metode itu, Majelis Hakim mempertimbangkan dakwaan
penentuan sampel dari populasi yang akan diteliti primair terlebih dulu. Dakwaan primair melanggar
sebagaimana tersebut di atas maka sampel dalam Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999
membahas penelitian ini adalah: 1 orang hakim tentang Pemberantasan Korupsi yang dirubah dan
Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang; 1 orang ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal
jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung; 1 orang 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP,
pengacara/penasehat hukum; dan 1 orang teoritis/ dengan unsur-unsur sebagai berikut: (1) setiap
akademisi. Untuk menganalisis data yang telah ter- orang; (2) secara melawan hukum; (3) melakukan
kumpul penulis menggunakan analisis kualitatif. perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
Analisis kualitatif dilakukan untuk melukiskan atau suatu korporasi; (4) dapat merugikan keuangan
kenyataan-kenyataan yang ada berdasarkan hasil negara atau perekonomian negara; (5) dilakukan
penelitian yang berbentuk penjelasan-penjelasan, secara bersama-sama; (6) melakukan beberapa per-
dari analisis tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan buatan masing-masing merupakan kejahatan atau
secara induktif, yaitu cara berpikir dalam mengam- pelanggaran yang ada hubungannya sedemikian
bil suatu kesimpulan terhadap permasalahan yang rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu per-
membahas secara umum yang didasarkan atas fak- buatan berlanjut.
ta-fakta yang bersifat khusus. Dalam pertimbangan hakim tentang unsur
“setiap orang” menyatakan bahwa dalam Pasal 21
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan UU No. 31 Tahun 1999 tidak ditentukan adanya
1. Pertanggungjawaban Korporasi dalam suatu syarat yang menyertai kata setiap orang terse-
Tindak Pidana Korupsi but. Oleh karenanya sesuai dengan pengertian yang
Perkara pada Pengadilan Negeri Kelas IA diberikan dalam Pasal 1 angka 3 di atas, maka su-
Tanjungkarang No. 22/PID.TPK/2011/PNTK de- byek pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud
ngan terdakwa Sugiharto Wiharjo alias Alay terda- dalam Pasal 2 ini dapat berupa “orang-perorangan”
pat 2 persoalan yang terkait dengan pertanggung- dan/atau “korporasi”, sedangkan pengertian “kor-
jawaban pidana korporasi, yaitu mengenai unsur porasi” itu sendiri adalah kumpulan orang dan
(1) setiap orang dan (2) bersama-sama melakukan atau kekayaan yang berorganisasi, baik merupakan
tindak pidana. Pengacara/Penasehat Hukum terdak- badan hukum maupun bukan badan hukum. Bahwa
wa baik dalam eksepsi/keberatan dan pledoi/pemb- kata “setiap orang” ini sepadan dengan kata “ba-
elaan dengan didukung saksi ahli yang dihadirkan rang siapa” (hij) yang biasa tercantum dalam suatu
Rifai, Perspektif Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi 89
perumusan delik, yakni suatu istilah yang bukan dengan saksi St (mantan Bupati Lampung Timur),
merupakan unsur tindak pidana, melainkan meru- dimana terdakwa mengadakan pertemuan dengan
pakan unsur pasal, yang menunjuk kepada siapa saksi dan menawarkan bunga yang lebih tinggi
saja secara perorangan atau suatu badan hukum se- serta fasilitas bunga tambahan kepada saksi untuk
bagai pendukung hak dan kewajiban yang melaku- menempatkan Dana Kas Daerah Kab. Lampung
kan atau telah didakwa melakukan suatu perbuatan Timur ke PT BPR Tripanca Setiadana. Kemudian
yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. saksi membuat SK Bupati dan memerintahkan staf
“Setiap orang” ini melekat pada setiap unsur tindak Bagian Keuangan Pemkab Lampung Timur untuk
pidana, oleh karenanya ia akan terpenuhi dan ter- menempatkan sebagian Dana Kas Daerah Kab.
bukti apabila semua unsur tindak pidana dalam de- Lampung Timur ke PT BPR Tripanca Setiadana, di-
lik tersebut terbukti dan pelakunya dapat dimintai mana proses penempatan dana dilakukan oleh staf/
pertanggungjawaban pidana. Menimbang bahwa pegawai PT BPR Tripanca Setiadana.
di depan persidangan, JPU telah menghadapkan Menurut Sopian Sitepu21 pertimbangan
seorang laki-laki yang bernama Sugiharto Wiharjo hakim tidak mempertimbangkan keterangan saksi
alias Alay dengan segala identitasnya sebagaimana ahli dari Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH, MA
tertera dalam dakwaan JPU dan bersesuaian dengan dan Prof. Dr. Sri Redjeki Hartono, SH yang antara
hasil pemeriksaan di persidangan, Majelis Hakim lain menyatakan bahwa tindak pidana ini meru-
berkeyakinan bahwa unsur “setiap orang” telah ter- pakan tindak pidana dalam lingkup tindak pidana
penuhi. perbankan; surat audit penghitungan kerugian
Pertimbangan hakim dalam unsur tindak pi- keuangan negara oleh BPKP telah dinyatakan ca-
dana dilakukan bersama-sama (Pasal 55 ayat (1) cat hukum dan tidak berkekuatan hukum mengi-
ke-1 KUHP) menyatakan delik penyertaan diatur kat oleh pengadilan, maka seharusnya tidak dapat
dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Berdasarkan pasal- diajukan sebagai alat bukti di pengadilan; terhadap
pasal tersebut penyertaan dibagi: (a) Pembuat/da- adanya kesalahan perusahaan maka yang bertang-
der (Pasal 55) yang terdiri dari: (1) pelaku (pleger); gungjawab adalah korporasi perusahaan tersebut.
(2) yang menyuruh lakukan (doenpleger); (3) yang Oleh karena itu, responden menyatakan pertim-
turut serta (medepleger); (4) penganjur (uitlokker); bangan hakim bahwa terdakwa “selaku pribadi”
(b) Pembantu/medeplichtige (Pasal 56) yang terdiri yang saat itu menjabat Komisaris Utama PT BPR
dari pembantu pada saat kejahatan dilakukan dan Tripanca Setiadana adalah tidak logis. Perbuatan
pembantu sebelum kejahatan dilakukan. Menim- terdakwa menghubungi saksi St untuk menem-
bang bahwa pengertian “turut melakukan” menurut patkan dana Kas Daerah Pemkab Lampung Timur
Simon adalah orang lain yang “turut serta” melaku- adalah dalam kapasitasnya selaku Komisaris Uta-
kan kejahatan itu dapat dianggap sebagai pelaku, ma PT BPR Tripanca Setiadana, karena setelah
maka dengan demikian dapat terjadi medepleger saksi menyetujui dan memindahkan dana, semua
atau turut serta melakukan tindak pidana. Mede- proses dilakukan oleh pengurus korporasi PT BPR
daderschap itu menunjukkan tentang adanya kerja Tripanca Setiadana dengan pembukuan yang sah/
sama secara fisik untuk melakukan suatu perbuatan, legal. Apabila perbuatan dilakukan oleh terdakwa
kerja sama fisik itu haruslah didasarkan pada kesa- “selaku pribadi” maka penempatan dana itu akan
daran bahwa mereka itu bekerjasama. dibukukan pada rekening pribadi terdakwa bukan
Bahwa adanya kerja sama yang erat antara pada pembukuan perusahaan.
terdakwa selaku pribadi yang saat itu menjabat Menurut Heru Wijatmiko22, responden jaksa
Komisaris Utama PT BPR Tripanca Setiadana pada Kejaksaan Tinggi Lampung, keengganan JPU

21
Sopian Sitepu, SH, MH adalah Pengacara/Advokat pada Kantor Pengacara Sopian Sitepu and Partners di Bandar Lampung, wawancara dilaku-
kan tanggal 20 Oktober 2012.
22
Heru Wijatmiko, SH, MH adalah jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung, wawancara dilakukan tanggal tanggal 12 November 2012.
90 MIMBAR HUKUM Volume 26, Nomor 1, Februari 2014, Halaman 84-97

untuk mendakwa terdakwa selaku orang-perorang dalam suatu tindak pidana mensyaratkan adanya
dan bukan korporasi dalam tindak pidana korupsi; kesalahan (mens rea) selain adanya perbuatan (ac-
Pertama, karena pemidanaan yang akan dijatuhkan tus reus). Tetapi pada saat sekarang baik pada ne-
pengadilan terhadap korporasi tidak boleh berupa gara-negara Eropa Kontinental maupun Anglo-Sax-
pidana mati atau pidana penjara, padahal pidana ini on, doktrin ini telah banyak ditinggalkan, dengan
dengan sanksinya yang tajam diharapkan mempun- antara lain tidak dimasukkannya unsur kesalahan
yai efek jera terhadap pelaku dan memuaskan rasa dalam pasal tentang pertanggungjawaban korporasi
keadilan masyarakat yang menginginkan pelaku sehingga korporasi dapat dipertanggungjawabkan
dipenjara. Kedua, dalam pembuktian untuk mem- secara pidana.
buktikan “kesalahan” korporasi dalam kaitan unsur Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan
“melawan hukum”, JPU kesulitan mendapatkan bahwa pengaturan pidana tentang pertanggung-
teori-teori/doktrin dan dasar hukum tentang “ke- jawaban pidana korporasi dalam tindak pidana
salahan” korporasi yang ternyata banyak perten- korupsi telah diatur dalam peraturan perundang-
tangan pendapat di antara ahli hukum pidana. Ber- undangan tindak pidana korupsi tetapi jarang di-
beda dengan teori-teori/doktrin dan dasar hukum terapkan dalam praktik. Keengganan Jaksa Penun-
tentang “kesalahan” orang-perorang yang pada um- tut Umum mengajukan pelaku korporasi ke pen-
umnya para ahli pidana sepakat bahwa hanya orang gadilan, karena pemidanaan yang akan dikenakan
yang dapat memiliki unsur “kesalahan”. Kekeliruan kepada korporasi hanya berupa pidana denda yang
JPU membuktikan perbuatan sebagai kesalahan in- kurang mempunyai efek penjera daripada pidana
dividu (natuurlijke persoon) dalam tindak pidana mati atau penjara terhadap pelaku orang perorangan
korporasi akan berakibat terdakwa diputus bebas dan kesulitan pembuktian “kesalahan” korporasi
(vrijspraak) oleh pengadilan. sebagai bagian unsur melawan hukum daripada
Menurut Maroni23 pertanggungjawaban pi- membuktikan kesalahan orang perorang. Para ahli
dana dalam kasus Sugiharto Wiharjo alias Alay pidana masih berbeda pendapat, sebagian menya-
adalah pertanggungjawaban korporasi dan bukan takan bahwa yang mempunyai kesalahan hanya
pertanggungjawaban orang-perorang. Hal itu ka- orang (manusia), sedangkan sebagian lain menya-
rena perbuatan terdakwa bersama-sama dengan takan bahwa korporasi juga dapat mempunyai ke-
saksi St (mantan Bupati Lampung Timur) dalam salahan. Apabila JPU salah dalam membuktikan
kapasitasnya selaku Komisaris Utama PT BPR Tri- kesalahan pelaku dalam tindak pidana korporasi se-
panca Setiadana dan bukan selaku pribadi. Menurut bagai kesalahan individu (natuurlijke presoon) da-
responden, memang perumusan dapat dipidananya pat berakibat terdakwa diputus bebas (vrijspraak)
suatu korporasi sejak lama telah menimbulkan pen- oleh pengadilan.
dapat pro dan kontra di kalangan para ahli hukum
2. Faktor Penghambat Pertanggungjawaban
pidana. Dalam hukum pidana terdapat doktrin yang
Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi
berkembang, yaitu doktrin “universitas delinguere
Munculnya persoalan pertanggungjawaban
non potest” yaitu korporasi tidak mungkin me-
korporasi dalam hukum pidana, karena selama ini
lakukan tindak pidana. Doktrin ini dipengaruhi pe-
pertanggungjawaban pelaku tindak pidana dalam
mikiran bahwa keberadaan korporasi dalam hukum
KUH Pidana hanya kepada orang. Menurut Bis-
pidana hanya fiksi hukum, sehingga tidak mempu-
mar Nasution,24 tindak pidana (crime) dapat dii-
nyai nilai moral yang disyaratkan untuk dapat diper-
dentifikasikan dengan timbulnya kerugian (harm),
salahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal
yang kemudian melahirkan pertanggungjawaban

23
Dr. Maroni, SH, MH adalah pengajar Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila, wawancara dilakukan tanggal 5 Desember 2012.
24
Bismar Nasution, 4 Maret 2011, “Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya”, http://www.bismar.wordpress.com, diakses 26 Desem-
ber 2012.
Rifai, Perspektif Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi 91
pidana (criminal liability). Hal yang kemudian diatur secara tersendiri.
menimbulkan perdebatan adalah bagaimana per- d. Perumusan sanksinya juga harus jelas
dan konsisten sehingga dapat diterap-
tanggungjawaban korporasi (corporate liability)
kan terhadap korporasi.
mengingat bahwa dalam KUHPidana yang diang- e. Apabila untuk yang akan datang,
gap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang korporasi menjadi subjek tindak pi-
perseorangan dalam konotasi biologis yang alami dana secara umum, dan diatur dalam
(naturlijkee person). Jika seandainya kegiatan atau KUHP, maka perlu adanya pengatu-
aktivitas yang dilakukan untuk dan atas nama suatu ran pemidanaan yang berlaku secara
korporasi terbukti mengakibatkan kerugian dan umum untuk korporasi.
harus diberikan sanksi, siapa yang akan pertang- Konsekuensi logis tentang kedudukan kor-
gungjawaban? Apakah pribadi korporasi itu sendiri porasi sebagai badan hukum, membawa pengaruh
atau para pengurusnya? terhadap tindak pidana yang dapat dilakukan kor-
Formulasi pertanggungjawaban korporasi porasi terdapat beberapa pengecualian. Sehubun-
dalam tindak pidana korupsi memang tidak mudah gan dengan hal tersebut Barda Nawawi Arief26
diterapkan, karena dengan dijadikannya korporasi menyatakan, walaupun pada asasnya korporasi
(badan hukum) sebagai subyek tindak pidana, maka dapat dipertanggungjawabkan sama dengan orang
sistem pidana dan pemidanaannya juga seharusnya pribadi, namun ada beberapa pengecualian, yaitu:
berorientasi pada korporasi. Ini berarti perlu ada re- (a) dalam perkara-perkara yang menurut kodratnya
formulasi pengaturan pidana:25 tidak dapat dilakukan oleh korporasi misalnya biga-
a. Kapan korporasi melakukan tindak pi- mi, perkosaan, sumpah palsu dan (b) dalam perkara
dana dan kapan dipertanggungjawab- yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan
kan. Karena kebijakan selama ini ada tidak mungkin dikenakan kepada korporasi misal
yang merumuskan dan ada yang tidak
pidana penjara atau pidana mati.
merumuskan dalam aturan perundang-
undangan. Dalam hukum pidana Indonesia, rumusan
b. Siapa yang dapat dipertanggung- tentang korporasi pada awal mulanya terdapat
jawabkan juga ada yang merumuskan pada Pasal 59 KUH Pidana: “Dalam hal-hal di-
dan ada yang tidak. Untuk yang akan
mana karena pelanggaran ditentukan pidana ter-
datang maka kebijakan legislasi ten-
tang siapa yang dapat dipertanggung- hadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus
jawabkan dalam korporasi harus dia- atau komisaris-komisaris, maka pengurus, ang-
tur dengan tegas. gota badan pengurus atau komisaris yang ternyata
c. Jenis sanksi, harus dirumuskan kem- tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak
bali secara jelas dan terinci baik
dipidana”. Pasal ini, sekalipun merumuskan adanya
menyangkut jenis pidananya baik itu
berupa pidana pokok, pidana tam- pelanggaran pidana yang dilakukan korporasi, teta-
bahan dan tindakan tata tertib serta pi pasal ini juga membatasi pertanggungjawaban
jenis-jenis sanksi dari pidana tersebut. pidana terhadap pengurus korporasi yang bersalah.
Termasuk pilihan model pemidanaan Hal ini karena KUH Pidana hanya menganut per-
yaitu apakah pidana yang diberlaku-
tanggungjawaban orang perorang saja.
kan untuk korporasi diatur berbeda
dengan jenis sanksi untuk subyek tin- Dalam perkembangan kemudian timbul ke-
dak pidana berupa “manusia” ataukah sulitan dalam praktik, sebab di dalam pelbagai
akan dilakukan pemisahan, artinya tindak pidana khusus timbul perkembangan yang
pemidanaan khusus untuk korporasi pada dasarnya menganggap bahwa tindak pidana

25
Dwidja Priyatno, “Reorientasi dan Reformulasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Kebijakan Kriminal dan Kebijakan
Pidana”, http://www.wordpress.com, diakses 26 Desember 2012.
26
Barda Nawawi Arief, 1990, Perbandingan Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 37.
92 MIMBAR HUKUM Volume 26, Nomor 1, Februari 2014, Halaman 84-97

juga dapat dilakukan oleh korporasi, mengingat dalam praktik penerapannya di pengadilan sangat
kualitas keadaan yang hanya dimiliki oleh badan jarang korporasi diajukan sebagai pelaku tindak pi-
hukum atau korporasi tersebut. Akhirnya berdasar- dana.
kan Pasal 91 KUHP Belanda, atau Pasal 103 KUHP Di Belanda ditetapkan bahwa badan hukum
Indonesia, diperbolehkan peraturan di luar KUHP dalam hukum pidana dapat melakukan tindak pi-
untuk menyimpang dari Ketentuan Umum Buku dana, oleh karena itu dapat dituntut dan dijatuhi hu-
I KUHP. Berdasarkan ketentuan itu maka lahirlah kuman, tetapi melalui tiga tahap tentang diakuinya
berbagai peraturan perundang-undangan di luar badan hukum sebagai subyek hukum pidana:28
KUHP yang mengatur korporasi sebagai subjek hu- a. Pertama, tahap ini ditandai dengan
kum pidana yang dapat melakukan tindak pidana usaha-usaha agar sifat tindak pidana
dan dapat dipertanggungjawabkan. Fenomena ini yang dilakukan badan hukum dibatasi
ditandai dengan lahirnya Wet Economische De- pada perorangan (naturlijk persoon),
sehingga apabila suatu tindak pidana
lichten (WED), tahun 1950 di Belanda, yang dalam terjadi dalam suatu lingkungan badan
Pasal 15 ayat (1) mengatur bahwa dalam tindak pi- hukum maka suatu tindak pidana di-
dana ekonomi, korporasi dapat melakukan tindak anggap dilakukan oleh pengurus badan
pidana dan dapat dipidana. Ketentuan ini kemudian hukum tersebut. Dalam tahap ini ber-
laku asas “universitas delinguere non
ditiru oleh Indonesia melalui Undang-Undang No-
potest” yaitu badan hukum tidak da-
mor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penun- pat melakukan suatu tindak pidana.
tutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.27 Pertanggungjawaban disini hanya
Pasal 5 ayat (1) UU No. 7/Drt/1955 me- berkaitan dengan kewajiban memeli-
nentukan: “Jika suatu tindak pidana ekonomi di- hara yang dilakukan oleh pengurus.
b. Kedua, tahap ini bahwa suatu tidak
lakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum,
pidana dapat dilakukan oleh badan
suatu perseroan suatu perserikatan orang yang hukum, tetapi tanggungjawab telah
lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dibebankan kepada pengurus badan
dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata hukum tersebut. Perumusan khusus
tertib dijatuhkan baik terhadap badan hukum, per- untuk badan hukum tersebut yakni
apabila suatu tindak pidana dilakukan
seroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap
oleh atau karena suatu badan hukum,
mereka yang memberi perintah melakukan tindak tuntutan pidana dan hukuman pidana
pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai harus dijatuhkan pada pengurus. Jadi
pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu atau dalam hal ini orang bersikap bahwa
seolah-olah badan hukum dapat mel-
terhadap kedua-duanya”. Pengaturan dalam UU
akukan tindak pidana tetap secara riel
No. 7/Drt/1955 menjadi cikal bakal pertanggung- yang melakukan perbuatan adalah ma-
jawaban pidana korporasi dalam melakukan tindak nusia sebagai wakil-wakilnya.
pidana, yang kemudian diikuti beberapa peraturan c. Ketiga, tahap ini merupakan permu-
perundang-undangan lain sampai dengan sekarang laan adanya tanggung jawab langsung
badan hukum, secara kumulatif badan
seperti UU Lingkungan Hidup, UU Perlindungan
hukum dapat dipertanggungjawab-
Konsumen, UU Perikanan, UU Narkotika, UU kan menurut hukum pidana di samp-
Pencucian Uang, UU Monopoli, UU Korupsi dan ing mereka sebagai pemberi perintah
lain-lain. Tetapi, sekalipun banyak undang-undang mereka yang sebagai pemberi perintah
mengatur tentang pertanggungjawaban korporasi, atau pemberi pimpinan yang nyata
telah berperan pada tindak pidana

27
Muladi, 1999, Penerapan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Bahan Kuliah Kejahatan Korporasi, Universitas Dipo-
negoro, Semarang, hlm. 2.
28
Hamzah Hatrik, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 107.
Rifai, Perspektif Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi 93
itu. Hal ini terjadi pertama kali untuk rasi apabila tindak pidana dilakukan oleh orang-
“ondering strafrecht” yaitu keputusan orang berdasarkan hubungan kerja atau hubungan
pengendalian harga dari tahu 1941,
lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut
kemudian dalam “Wet op de Econo-
mische Delicten” (Undang-Undang baik sendiri maupun bersama-sama; (c) dalam hal
Tindak Pidana Ekonomi Tahun 1950). tuntutan pidana, korporasi diwakili oleh pengurus
atau orang lain; dan (d) pidana berupa denda. Kele-
Pengaturan korporasi sebagai pelaku tindak
mahan dari pengaturan pidana korporasi sebagai
pidana korupsi di Indonesia diatur dalam Pasal 20
pelaku tindak pidana dan pertanggungjawaban pi-
UU No. 31 Tahun 1999 sebagai berikut:
dana dalam tindak pidana korupsi adalah: (a) tidak
(1) Dalam hal tindak pidana korupsi di- mengatur tentang bagaimana dan kapan korporasi
lakukan oleh atau atas nama suatu kor-
melakukan tindak pidana; (b) tidak ada spesifikasi
porasi, maka tuntutan dan penjatuhan
pidana dapat dilakukan terhadap kor- yang tegas dan detail tentang pertanggungjawa-
porasi dan pengurusnya. ban pidana korporasi, apakah pertanggungjawaban
(2) Tindak pidana korupsi dilakukan oleh pidana terhadap korporasi atau terhadap pengu-
korporasi apabila tindak pidana terse-
rusnya; (c) penuntutan terhadap korporasi dapat di-
but dilakukan oleh orang-orang baik
berdasarkan hubungan kerja maupun wakili orang lain; dan (d) jenis sanksi hanya berupa
berdasarkan hubungan lain, bertindak pidana denda yang berkualifikasi sama terhadap
dalam lingkungan korporasi tersebut sanksi terhadap orang perorangan (manusia).
baik sendiri maupun bersama-sama. Faktor penghambat dari pertanggungjawa-
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan
ban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi
terhadap suatu korporasi, maka korpo-
rasi tersebut diwakili oleh pengurus. adalah kelemahan peraturan perundang-undangan
(4) Pengurus yang mewakili korporasi se- tindak pidana korupsi yang tidak menentukan
bagaimana dimaksud dalam ayat (3) bagaimana dan kapan korporasi melakukan tindak
dapat diwakili oleh orang lain. pidana korupsi; tidak ada spesifikasi yang tegas dan
(5) Hakim dapat memerintahkan supaya
detail tentang pertanggungjawaban pidana korpo-
pengurus korporasi menghadap sendi-
ri di pengadilan dan dapat pula me- rasi, apakah pertanggungjawaban pidana terhadap
merintahkan supaya pengurus tersebut korporasi atau terhadap pengurusnya; dan jenis
dibawa ke sidang pengadilan. sanksi hanya berupa pidana denda yang berkuali-
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan fikasi sama terhadap sanksi terhadap orang pero-
terhadap korporasi, maka panggilan
untuk menghadap dan penyerahan su- rangan (manusia).
rat panggilan tersebut disampaikan ke- 3. Perspektif Pertanggungjawaban Pidana
pada pengurus di tempat tinggal pen-
Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi
gurus atau tempat pengurus berkantor.
(7) Pidana pokok yang dapat dijatuh- Pada negara-negara Eropa Kontinental, se-
kan terhadap korporasi hanya pidana perti di Belanda29 pengaturan pertanggungjawaban
denda dengan ketentuan maksimum korporasi terdapat dalam Ketentuan Umum KUHP,
pidana ditambah 1/3 (sepertiga). sehingga tidak perlu diatur secara tersebar di luar
Berdasarkan ketentuan di atas dapat diarti- KUHP (WvS Belanda), sebab dengan lahirnya Un-
kan bahwa aturan pidana tentang korporasi sebagai dang-Undang tanggal 23 Juni 1976 Stb. 377, yang
pelaku tindak pidana korupsi adalah: (a) tindak pi- disahkan tanggal 1 September 1976, muncul peru-
dana korupsi yang dilakukan oleh korporasi, pen- musan baru Pasal 51 WvS Belanda yang merumus-
jatuhan pidana terhadap korporasi dan pengurusnya; kan:
(b) tindak pidana korporasi yang dilakukan korpo- (1) Tindak pidana dapat dilakukan oleh
manusia alamiah dan badan hukum.

29
Muladi, Op. cit. hlm. 3.
94 MIMBAR HUKUM Volume 26, Nomor 1, Februari 2014, Halaman 84-97

(2) Apabila suatu tindak pidana dilaku- Schunemann, masih harus dipenuhi beberapa syarat
kan oleh badan hukum, dapat dilaku- tertentu. Syarat-syarat yang terpenting adalah seba-
kan tuntutan pidana dan jika dianggap
gai berikut: (a) pidana harus punya daya kerja pre-
perlu dapat dijatuhkan pidana dan tin-
dakan-tindakan yang tercantum dalam ventif; (b) kepentingan daya kerja preventif harus
undang-undang terhadap: badan hu- lebih besar dibanding kepentingan integritas finan-
kum atau terhadap yang “memerintah” sial dari perusahaan; dan (c) tidak mungkin untuk
melakukan tindakan yang dilarang itu; menghukum subyek hukum manusia karena dalam
atau terhadap mereka yang bertin-
kenyataan tindak pidana dilakukan dalam suatu ika-
dak sebagai “pemimpin” melakukan
tindakan yang dilarang itu; terhadap tan perusahaan.
“badan hukum” dan “yang memerin- Pada negara-negara Anglo Saxon menggu-
tahkan melakukan perbuatan” di atas nakan doktrin pertanggungjawaban pidana lang-
bersama-sama. sung (direct liability doctrine) atau teori identifi-
(3) Bagi pemakai ayat selebihnya disama-
kasi (identification theory) perbuatan/kesalahan
kan dengan badan hukum: perseroan
tanpa badan hukum, perserikatan, dan “pejabat” senior (senior officer) diidentifikasikan
yayasan. sebagai perbuatan/kesalahan korporasi. Disebut
juga teori/doktrin “alter ego” atau teori organ dalam
Dengan lahirnya undang-undang ini maka
arti sempit (Inggris) hanya perbuatan pejabat senior
semua ketentuan peraturan perundang-undangan
(otak korporasi) yang dapat dipertanggungjawab-
pidana khusus yang tersebar di luar KUHP Belanda
kan kepada korporasi. Dalam arti luas (Amerika
yang mengatur tentang pertanggungjawaban pidana
Serikat) tidak hanya pejabat senior/direktur, tetapi
korporasi dicabut karena dipandang tidak perlu lagi,
juga agen di bawahnya. Ada beberapa pendapat
sebab dengan diaturnya pertanggungjawaban kor-
untuk mengidentifikasikan “senior officer”. Pada
porasi dalam Pasal 51 KUHP Belanda, maka seba-
umumnya pejabat senior adalah orang yang men-
gai Ketentuan umum berdasarkan Pasal 91 KUHP
gendalikan perusahaan, baik sendiri maupun bersa-
Belanda (Pasal 103 KUHP Indonesia), ketentuan
ma-sama pada umumnya pada pengendali perusa-
ini berlaku untuk semua peraturan di luar kodifikasi
haan adalah direktur dan manager.
sepanjang tidak disimpangi. Di Jerman berkem-
Doktrin pertanggungjawaban korporasi
bang suatu teori, untuk memidana badan hukum
dalam suatu tindak pidana yang mendasarkan pada
tanpa mensyaratkan kesalahan, yang berasal dari
teori identifikasi:31
Schunemann.30 Menurutnya, badan hukum tidak a. Hakim Ried dalam perkara Tesco Su-
mungkin dinyatakan bersalah. Namun pemidanaan permarkets (1972) menyatakan bahwa
terhadap badan hukum dapat dilakukan. Menurut untuk tujuan hukum, para pejabat
pandangannya Schuldgrundsatz dapat digantikan senior biasanya terdiri dari “Dewan
Direktur, Direktur Pelaksana, dan
oleh prinsip legitimasi lainnya yaitu apa yang di-
pejabat-pejabat tinggi lainnya yang
namakan Rechtsguternotstand. Rechtsguternot- melaksanakan fungsi manajemen dan
stand mempunyai pengertian “yaitu bilamana ada berbicara serta berbuat untuk perusa-
kemungkinan objek-objek hukum penting tertentu haan”. Konsep pejabat senior tidak
terancam dan perlindungannya hanya dapat diberi- mencakup semua pegawai perusahaan
yang bekerja atau melaksanakan pe-
kan dengan cara menjatuhkan pidana pada badan tunjuk pejabat tinggi perusahaan.
hukum”. b. Lord Morris mengemukakan bahwa
Jika penjatuhan pidana hendak didasarkan pejabat senior adalah orang yang tang-
pada suatu Rechtsguternotstand, maka menurut gungjawabnya/melambangkan pelak-
sana dari “the directing mind and will

30
Dikutip dari Dwidja Priyatno, Loc. cit.
31
Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, RajaGrafindo, Jakarta, hlm. 170.
Rifai, Perspektif Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi 95
of the company”. ent superior”; (catatan: arti dari
c.
Viscount Dilhorne menyatakan bahwa “adagium/maxim” ini ialah: “a
pejabat senior adalah seorang yang master is liable in certain cases
dalam kenyataannya mengendalikan for the wrongful acts of his serv-
jalannya perusahaan (atau ia merupa- ant, and a principal for those of
kan bagian dari para pengendali) dan his agents”).
ia tidak bertanggungjawab pada orang 2) didasarkan pada “employment
lain dalam perusahaan itu. principle”, bahwa majikan
d. Hakim Nimmo J. (hakim ke-3 dalam (“employer”) adalah penang-
perkara Universal Telecasters) dimana gungjawab utama dari perbua-
manajer penjualan dapat diidentifi- tan para buruh/karyawan; jadi
kasikan sebagai perusahaan, yaitu “the servant’s act is the master’s
sebagai Senior Officer. Walaupun act in law”.
orang itu (Manajer Penjualan) tidak 3) Juga bisa didasarkan “the dele-
memiliki kekuasaan manajemen yang gation principle”. Jadi “a guilty
umum, tetapi ia memiliki kebijaksan- mind” dari buruh/karyawan
aan manajerial (managerial discre- dapat dihubungkan ke majikan
tion) yang relevan dengan bidang ope- apabila ada pendelegasian ke-
rasi perusahaan yang menyebabkan wenangan dan kewajiban yang
timbulnya delik. Dengan kata lain, relevan (harus ada “a relevan
dalam pandangannya pejabat peru- delegation of powers and du-
sahaan dapat menjadi senior officer ties”) menurut undang-undang.
dalam bidang yang relevan walaupun b. Doktrin pertanggungjawaban yang
tidak untuk semua tujuan. ketat menurut undang-undang (“strict
e. Supreme Court Queensland memu- liability”). Pertanggungjawaban kor-
tuskan bahwa manajer perusahaan porasi dapat juga semata-mata ber-
menjual motor (motor dealer) dapat dasarkan undang-undang, terlepas
dipandang sebagai senior cation dan dari doktrin “identification” dan dok-
doktrin vicarious liability, yaitu dalam trin “vicarious liability”, yaitu dalam
hal korporasi melanggar atau tidak hal korporasi melanggar atau tidak
memenuhi kewajiban/situasi tertentu memenuhi kewajiban/kondisi/situ-
yang ditentukan oleh undang-undang. asi tertentu yang ditentukan oleh un-
Pelanggaran/kondisi/situasi tertentu dang-undang. Pelanggaran kewajiban/
oleh korporasi ini dikenal dengan is- kondisi/situasi tertentu oleh korporasi
tilah companies offences, situational ini dikenal dengan istilah “compa-
offence, atau strict liability offences. nies offence”, “situational offence”,
Misal undang-undang menetapkan se- atau “strict liability offences”. Misal
bagai suatu delik bagi: Korporasi yang undang-undang menetapkan sebagai
menjalankan usahanya tanpa izin, kor- suatu delik bagi korporasi yang men-
porasi pemegang izin yang melanggar jalankan usahanya tanpa izin;
syarat-syarat (kondisi/situasi) yang 1) Korporasi pemegang izin yang
ditentukan dalam izin itu, korporasi melanggar syarat-syarat (kondi-
yang mengoperasikan kendaraan yang si/situasi) yang ditentukan
tidak diasuransikan di jalan umum. dalam izin itu;
2) Korporasi yang mengoperasi-
Pada negara-negara Anglo-Saxon juga
kan kendaraan yang tidak dias-
menggunakan doktrin-doktrin pertanggungjawaban
uransikan di jalan umum.
pidana korporasi:32
Perspektif pertanggungjawaban pidana kor-
a. Doktrin Pertanggungjawaban Peng-
ganti (vicarious liability): porasi dalam tindak pidana korupsi adalah dengan
1) Bertolak dari doktrin “respond- merumuskan tindak pidana korporasi, pertang-

32
Dwidja Priyatno, Loc. cit.
96 MIMBAR HUKUM Volume 26, Nomor 1, Februari 2014, Halaman 84-97

gungjawaban pidana korporasi dan jenis sanksi dapat mempunyai kesalahan. Kekeliruan JPU
pidana korporasi dalam Ketentuan Umum KUHP, dalam membuktikan kesalahan korporasi sebagai
sehingga dapat digunakan untuk semua peraturan kesalahan individu akan berakibat terdakwa di-
perundang-undangan di luar KUHP (termasuk tin- vonis bebas oleh pengadilan.
dak pidana korupsi). Pengaturan pidana pertang- Faktor penghambat dari pertanggungjawa-
gungjawaban korporasi juga dapat dibuat secara ban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi
khusus dalam peraturan perundang-undangan tin- adalah kelemahan peraturan perundang-undangan
dak pidana korupsi. Formulasi pidana dan penega- tindak pidana korupsi yang tidak menentukan
kan hukum pertanggungjawaban pidana korporasi bagaimana dan kapan korporasi melakukan tin-
dalam tindak pidana korupsi dapat menggunakan dak pidana korupsi; tidak ada spesifikasi yang
pada teori-teori/doktrin yang berkembang seperti tegas dan detail tentang pertanggungjawaban
teori/doktrin identifikasi, teori/doktrin vicarious pidana korporasi, apakah pertanggungjawaban
liability (pertanggungjawaban pengganti) atau pidana terhadap korporasi atau terhadap pen-
teori/doktrin strict liability (pertanggungjawaban gurusnya; dan jenis sanksi hanya berupa pidana
ketat). denda yang berkualifikasi sama terhadap sanksi
terhadap orang perorangan (manusia). Perspektif
D. Kesimpulan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tin-
Pengaturan pidana tentang pertanggung- dak pidana korupsi adalah dengan merumuskan
jawaban pidana korporasi dalam tindak pidana tindak pidana korporasi, pertanggungjawaban pi-
korupsi telah diatur dalam peraturan perundang- dana korporasi dan jenis sanksi pidana korporasi
undangan tindak pidana korupsi tetapi jarang dalam Ketentuan Umum KUHP, sehingga dapat
diterapkan dalam praktik. Keengganan Jaksa Pe- digunakan untuk semua peraturan perundang-
nuntut Umum (JPU) mengajukan pelaku korpo- undangan di luar KUHP (termasuk tindak pidana
rasi ke pengadilan, karena pemidanaan yang akan korupsi). Pengaturan pidana pertanggungjawaban
dikenakan kepada korporasi hanya berupa pidana korporasi juga dapat dibuat secara khusus dalam
denda yang kurang mempunyai efek penjera dari- peraturan perundang-undangan tindak pidana ko-
pada pidana mati atau penjara terhadap pelaku rupsi. Formulasi pidana dan penegakan hukum
orang perorangan dan kesulitan pembuktian “kes- pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tin-
alahan” korporasi sebagai bagian unsur melawan dak pidana korupsi dapat menggunakan teori-te-
hukum daripada membuktikan kesalahan orang ori/doktrin yang berkembang seperti teori/doktrin
perorang. Para ahli pidana masih berbeda penda- identifikasi, teori/doktrin vicarious liability (per-
pat, sebagian menyatakan bahwa yang mempun- tanggungjawaban pengganti) atau teori/doktrin
yai kesalahan hanya orang (manusia), sedangkan strict liability (pertanggungjawaban ketat).
sebagian lain menyatakan bahwa korporasi juga

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia


Arief, Barda Nawawi, 1990, Perbandingan Hukum (Strict Liability dan Vicarious Liability),
Pidana, Rajawali Pers, Jakarta. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
_________________, 1996, Bunga Rampai Kebi- Lopa, Baharuddin, 2001, Kejahatan Korupsi dan
jakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. Penegakan Hukum, Penerbit Buku KOM-
__________________, 2003, Kapita Selekta Hu- PAS, Jakarta.
kum Pidana, Raja Grafindo, Jakarta. Muladi, 1999, Penerapan Pertanggungjawaban
Hatrik, Hamzah, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Bahan
Rifai, Perspektif Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi 97
Kuliah Kejahatan Korporasi, Fakultas Hu- sember 2012.
kum Universitas Diponegoro, Semarang. Priyatno, Dwidja, “Reorientasi dan Reformulasi
Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggung- Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korpo-
jawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, rasi dalam Kebijakan Kriminal dan Kebija-
Kencana Prenada Media Group, Jakarta. kan Pidana”, http://www.wordpress.com, di-
Rifai, Eddy, 2002, Pemberantasan Tindak Pi- akses 26 Desember 2012.
dana Korupsi, PPS Magister Hukum Unila,
D. Peraturan Perundang-Undangan
Bandar Lampung.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Peru-
Rifai, Eddy, A. Zazili, dan A. Irzal F., 2012, Lapo-
bahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
ran Eksaminasi Putusan Perkara No. 22/
1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara
PID.TPK/2011/PNTK a.n. Terdakwa Sugi-
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182).
harto Wiharjo Alias Alay Kerjasama FH
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak
Unila-KPK. Fakultas Hukum Universitas
Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik
Lampung, Bandar Lampung.
Indonesia Tahun 1999 Nomor 140).
B. Artikel dalam Antologi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pe-
Bruselas, Apolinario D. “Corruption: The Philip- rubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
pine Experience” dalam UNAFEI, 1998, Re- 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
source Material Series No. 52, Tokyo. Korupsi (Tambahan Lembaran Negara Re-
publik Indonesia Nomor 4150).
C. Sumber Internet
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Per-
Nasution, Bismar, 4 Maret 2011, “Kejahatan Kor-
seroan Terbatas (Lembaran Negara Republik
porasi dan Pertanggungjawabannya”, http://
Indonesia Tahun 2007 Nomor 106).
www.bismar.wordpress.com, diakses 26 De-

Anda mungkin juga menyukai