Anda di halaman 1dari 6

Ketidakmerataan akses Pendidikan

Ini bukan cerita baru lagi: para siswa, orangtua, dan guru jungkir balik mengikuti proses
belajar jarak jauh via daring selama pandemi COVID-19. Di daerah-daerah terluar dari pusat
kekuasaan, bahkan sekalipun di dekat pusat wisata terkenal di Indonesia, para murid harus
mencari cara yang tak masuk akal demi mendapatkan sinyal internet. Di tempat lain, ada
keluarga-keluarga yang tak punya ponsel sama sekali; ada juga yang bergantian memakai
satu ponsel milik orangtuanya. Dan, sekalipun mudah mendapatkan akses internet dan punya
ponsel, banyak keluarga yang kerepotan membeli kuota, di saat ekonomi keluarga tergulung
pagebluk. Kondisi-kondisi ini, selama enam bulan terakhir sejak Menteri Pendidikan Nadiem
Makarim menerapkan belajar dari rumah pada akhir Maret lalu, menunjukkan ketimpangan
pendidikan di negara kepulauan Indonesia.
Anda bisa mendengarkan cerita Imam Aji Subagyo, guru usia 30 tahun, yang mengajar di
sebuah sekolah dasar di Kepulauan Riau. Nama sekolahnya SD Negeri 004 Mantang. Sekolah
induknya di Pulau Siolong, sementara tiga sekolah cabangnya di Pulau Sirai, Pulau Telang
Kecil, dan Pulau Telang Besar. Keempatnya berada di Kabupaten Bintan, daerah andalan
pariwisata, yang dihubungkan lautan. Menjadi kepala sekolah di SD tersebut, ujar Imam, bak
memimpin empat sekolah berbeda karena di tiap pulau punya kelas satu sampai kelas enam.
Tinggal di Pulau Siolong, Imam harus naik perahu selama 30 menit menuju Pulau Sirai; 1
jam menuju Pulau Telang Kecil; dan 1,5 jam menuju Pulau Telang Besar. Di tiga pulau ini,
jangankan sinyal internet, sinyal telepon pun bapuk. Warga harus pergi ke pelabuhan jika
ingin menikmati sinyal “agak lumayan,” kata Imam. “Hanya sekolah di Pulau Siolong yang
punya sinyal memadai. Itu pun hanya provider IM3,” ceritanya kepada saya via telepon pada
awal September lalu. Akhirnya, ia terpaksa menggelar proses belajar tatap muka terbatas di
tiga pulau tersebut—yang sebenarnya agak mengkhawatirkan mengingat Kabupaten Bintan
pernah menjadi zona merah Covid-19.
Banyak siswa berasal dari keluarga miskin, yang membuat mereka tak punya ponsel, cerita
Imam. Kabupaten Bintan, menurut Badan Pusat Statistik tahun 2019, memiliki 10 ribu
penduduk miskin atau 6 persen dari total penduduk. Di Pulau Siolong, ada juga SMP Negeri
25 Satu Atap Selat Limau. Kebanyakan siswanya dari keluarga mampu, yang kebanyakan
tinggal di Pulau Siolong dan Pulau Sirai. “Enggak semua anak di Pulau Telang Kecil dan
Telang Besar bisa sekolah di SMP itu,” kata Imam. Artinya, ancaman putus sekolah besar
sekali. Keluhan serupa datang dari Ramayana, guru usia 27 tahun untuk SMP Negeri 4 Satap
Pulau Komodo. Mengajar Seni Budaya Dasar, ia kesulitan menerapkan belajar daring. Sinyal
internet amburadul. Tak semua siswa punya gawai. Kampung Komodo di Manggarai Barat,
Nusa Tenggara Timur, hanya dialiri provider Telkomel. Total ada 10 rukun tetangga: jaringan
internet acak-adut; sekalipun sinyal bagus, banyak siswa tak punya ponsel. Rama berkata di
tempatnya, “kalau mau telepon atau internet, saya mesti ke dermaga. Repot!” Itu kebalikan
dari citra Pulau Komodo, yang digembar-gemborkan oleh pemerintah Joko Widodo sebagai
ikon wisata nasional dan dunia, yang menyumbang miliaran rupiah bagi pendapatan provinsi
dan nasional setiap tahun. Ada 49,23 ribu penduduk miskin di Manggarai Barat atau 18% dari
total penduduk, menurut BPS tahun 2019. “Setidaknya pemerintah sediakanlah wifi untuk
setiap sekolah di Pulau Komodo atau mungkin di titik-titik tertentu sediakan wifi gratis,”
saran Rama, getun. Rama berkata hanya sekitar 25 siswa dari 100-an siswa di sekolahnya
yang bisa mengikuti belajar jarak jauh karena mereka memiliki gawai. “Ada juga siswa
punya ponsel, tapi enggak ada pulsa paket,” keluhnya. Akhirnya, sekolah dia terpaksa
memutuskan menjalankan belajar seperti biasa tapi bergantian.
Kemudian datang pengakuan dari Tri Ari Santi, relawan informal SD Inpres Samenage. Ari,
36 tahun, berasal dari Jawa, yang datang ke Papua demi apa yang disebutnya “belajar”
bersama anak-anak Papua. Samenage, sebuah distrik di Yahukimo, berada di pegunungan
tengah Papua; kawasan dengan medan berat yang bisa dijangkau 15 menit dengan pesawat
kecil Pilatus berbiaya Rp10 juta dari Wamena, atau berjalan kaki selama 2-3 hari dari
Wamena. Setelahnya, Ari harus berjalan kaki selama dua jam untuk tiba di SD Inpres
Samenage. Wamena adalah ibu kota Jayawijaya, pusat bisnis di lembah pegunungan tengah
Papua. Warga Papua dari sembilan kampung di Distrik Samenage hanya menggunakan
bahasa daerah lewat dialek Nayak dan Nare, ujar Ari. SD Inpres Samenage berinduk di
Kampung Pona, dua sekolah cabang lainnya di Kampung Samenage dan Kampung Ibelak. Di
sekolah itu, ada kepala sekolah, dua guru honorer lulusan SMA, dan tiga relawan pengajar.
Total ada 53 siswa dari lima kampung. Ari berkata jangankan sinyal telepon dan internet,
listrik pun tidak ada. “Distrik dapat bantuan solar cell untuk penerangan pada akhir tahun
2018,” kata Ari via telepon pada awal September lalu saat berada di Jayapura. Tak cuma
ketimpangan akses internet untuk belajar daring, untuk informasi Covid-19 saja serba telat.
Saat pemerintahan Jokowi mengumumkan kasus corona, awal Maret lalu, “Kami belajar
seperti biasa. Masyarakat ke hutan untuk panen kelapa hutan seperti biasa, kebetulan sedang
musim. Kami tahu penyakit ini dari radio saja,” kata Ari.
Hasil riset dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, yang dirilis pada 21 Agustus lalu, menjelaskan
ketimpangan nyata di dunia pendidikan Indonesia selama musim pandemi Covid-19. Hampir
69 juta siswa kehilangan akses pendidikan dan pembelajaran saat pagebluk. Namun, di sisi
lain, banyak kelompok siswa dari keluarga mapan lebih mudah belajar jarak jauh. Ini
implikasi dari ketimpangan, tulis riset itu. Riset itu mendapati hanya 40% orang Indonesia
memiliki akses internet. Ia makin membuka tabir ketimpangan infrastruktur komunikasi,
khususnya di luar Pulau Jawa. Bahkan sekalipun di Jakarta, ketimpangan akses belajar jarak
jauh selama pandemi ini kentara. Khoirin Dava, siswa kelas 1 di SD Negeri 03 Ancol, Jakarta
Utara, sempat tak bisa mengikuti belajar daring karena keluarganya tak punya ponsel. Pada
Juli lalu, saat semester pertama, Dava melapor ke guru bahwa ia belum bisa mengikuti
sekolah daring. Guru maklum dan menganjurkan Dava meminjam ponsel dari tetangga.
“Bahkan informasi ambil buku ke sekolah saja Dava telat dapat kabar,” kata Siti Masyitoh,
ibunda Dava, kepada saya. Ibu, bapak, Dava dan adiknya tinggal di sebuah rumah kontrakan
ukuran 3x3 meter persegi seharga Rp600 ribu per bulan di Kampung Bandan, pinggiran utara
Jakarta. Mereka terancam diusir karena sudah tiga bulan menunggak. Ayah Dava, buruh
bangunan harian, sudah menganggur sejak awal April. Alat kerja ayahnya, seperti bor, martil,
hingga pemotong keramik, sudah dijual demi keluarga itu menyambung hidup selama
pandemi. “Sedangkan saya hanya bisa ngamen sehari-hari di Kota Tua untuk makan sehari-
hari,” kata Siti. Pada medio Agustus lalu, Dava mendapatkan bantuan donasi ponsel gratis
serta pulsa dan paket internet dari gerakan para wartawan yang tergabung dalam Wartawan
Lintas Media. Dava tinggal menggunakannya saja. Alhasil, Dava sudah bisa belajar daring.
“Tinggal seragam enggak punya karena enggak ada uang. Belajar online teman-temannya
pada pake seragam semua, hanya Dava yang tidak,” kata Siti.
Inisiatif Publik Menerabas Krisis Pendidikan
Dari kesehatan hingga pekerjaan, semakin terlihat beragam masalah publik di Indonesia. Dan
persis ketika masalah ini meluas dan sistematis pada awal corona, ketika pemerintahan
Jokowi pada awalnya meremehkan virus ini dan hingga pada akhirnya gelagapan
menghadapinya, inisiatif publik saling membantu warga muncul lewat penggalangan dana
dan donasi. Dalam krisis pendidikan juga demikian. Gerakan Wartawan Lintas Media adalah
salah satu inisiatif warga bantu warga. Gerakan ini menggalang donasi ponsel bekas. Ia juga
menggalang dana via KitaBisa.com, yang nantinya dipakai membeli ponsel pintar dan
dibagikan ke para siswa. Tsarina Maharani, salah satu penggeraknya, berkata inisiatif ini
bermula dari salah satu teman bercerita ada pemulung datang ke rumah dan menanyakan
apakah ada ponsel bekas atau tidak. Anak si pemulung butuh ponsel untuk belajar daring.
“Dari situ, akhirnya kami mikir … dengan kondisi ini, anak-anak siswa yang enggak punya
ponsel itu banyak di luar sana,” kata Rani. Hingga akhir Agustus, gerakan ini telah
mengumpulkan 160-an ponsel bekas, meski tak semuanya bisa digunakan, serta dana lebih
dari Rp500 juta. Setidaknya sudah 270 siswa mengajukan permintaan ponsel bekas ke tim
relawan, yang prosesnya diverifikasi oleh tim demi donasi tepat sasaran. Sudah ada 92 siswa
menerima ponsel bekas pada gelombang pertama dan kedua. Berikutnya, dalam gelombang
ketiga, 75 siswa dalam tahap pengiriman. Para siswa juga mendapatkan paket internet selama
tiga bulan terturut-turut. Di Yogyakarta, muncul gerakan BisaBelajar. Sejak 30 April,
gerakan ini menggalang dana untuk disalurkan sebagai subsidi paket internet gratis ke para
pelajar "kurang mampu." Gamma Haezy, salah satu penggerak BisaBelajar, mengisahkan
semula gerakan itu dikerjakan dua orang. Saat awal pandemi, publik dibetot perhatiannya
berdonasi alat pelindung diri, tapi donasi pendidikan nyaris belum terlihat. “Pendidikan
cukup penting dan terdampak karena enggak bisa maksimal,” kata Haezy. Haezy bercerita
timnya rutin berkomunikasi dengan asosiasi, serikat, dan forum-forum guru di Yogyakarta,
sehingga gerakan itu bisa mendapatkan target siswa yang dinilai layak menerima donasi.
Mereka sudah memberikan donasi paket internet ke 170 siswa. Saat ini, dalam gelombang
kedua yang masih berjalan, tim BisaBelajar telah mengumpulkan donasi Rp19,5 juta.
Pada 11 Agustus, setelah enam bulan sekolah menggelar proses belajar daring, Menteri
Keuangan Sri Mulyani berkata dalam satu seminar bahwa pemerintah tengah membahas
untuk memecahkan krisis pendidikan selama COVID-19. “Bagaimana kita bisa membantu
mereka [yang] tidak bisa sekolah, tidak bisa mengakses melalui pembelajaran secara digital
… entah masalah teknologi, masalah tidak memiliki handphone, atau tidak bisa membayar
pulsa,” ujarnya. Pada 27 Agustus, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim akhirnya merilis
kebijakan bantuan kuota internet kepada para siswa se-Indonesia, dalam Surat Keputusan
Dirjen Pendidikan Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah. Gamma Haezy
menilai surat keputusan itu “telat sekali” setelah sekian lama pemerintah “baru sadar murid-
murid butuh kuota.” “Menteri Nadiem enggak pernah memberikan statement bahwa sekolah
harus ini, sekolah harus itu, sekolah harus memberikan bantuan ini-itu. Dia selalu
membiarkan sekolah menentukan, terserah murid, terserah guru, terserah sekolah,” kata
Haezy. Rani menilai kebijakan pemberian kuota internet tidak menyelesaikan akar
permasalahan. “Pemerintah ngasih kuota, internet gratis, tapi kalau misalnya enggak ada
ponsel dan akses jaringan internet di daerah itu, bagaimana?” katanya.
Teknologi menjadi pendukung utama atau syarat penting proses belajar jarak jauh. Namun,
sayangnya teknologi tidaklah inklusif. Teknologi belum dapat dinikmati oleh semua pelajar
dan pengajar di Bali. Walau Bali termasuk 5 besar provinsi dengan Indeks Pembangunan
Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK) tertinggi di tahun 2018, namun jika dilihat di
kedalaman, ketimpangan masih dijumpai. Berdasarkan hasil Susenas Maret 2019, walaupun
tinggal di perkotaan Bali, baru sekitar sepertiga (34,97 persen) penduduk Bali berumur 5-24
tahun menggunakan komputer. Di perdesaan ternyata jauh lebih rendah, belum mencapai
seperempat penduduk umur 5-24 tahum (24,11 persen). Penggunaan internet juga belum
merata antara siswa di perkotaan dan perdesaan. Siswa umur 5-24 tahun yang menggunakan
internet di perkotaan Bali telah mencapai 68,49 persen, sedangkan di perdesaan baru
mencapai 54,83 persen. Bagi pelajar yang tinggal di wilayah perkotaan, akses internet
mungkin tidak terlalu menjadi kendala karena infrastruktur pendukungnya sudah tersedia dan
umumnya siswa di perkotaan sudah terbiasa menggunakan berbagai perangkat berteknologi,
seperti telepon genggam, komputer dan laptop.

Kesenjangan teknologi juga terkait dengan generation gap. Pelajar yang sebagian besar
merupakan generasi Z (generasi yang lahir di sekitar era 1990-an sampai akhir 2010-an) dan
para guru yang berumur jauh lebih tua dari mereka, menjadikan gap teknologi ini nyata.
Generasi Z adalah generasi yang hadir dan tumbuh dalam jaman dengan perkembangan
teknologi yang sangat pesat, sehingga tidak mengherankan mereka sangat cepat belajar
teknologi. Ketika terjadi transisi ke proses pembelajaran jarak jauh secara daring, generasi ini
pun dengan mudah beradaptasi. Namun, dalam pembelajaran daring, kedua pihak yang
terlibat di dalamnya idealnya memiliki literasi teknologi yang tidak jauh berbeda. Jika tenaga
pendidik yang bertugas untuk membimbing mereka ini gagap teknologi, maka dapat
dibayangkan bagaimana sulitnya mentransfer ilmu ke para murid dalam situasi belajar jarak
jauh ini.

Isu ketidakmampuan mengikuti PJJ karena tidak mampu membeli pulsa dan paket internet
pun menyeruak di tengah-tengah pelaksanaan PJJ. Beberapa kali kita mendengar, anak-anak
sampai harus menunda menyetor tugas karena ketiadaan paket internet, tidak bisa ikut
WhatsApp Group kelas karena paket internet yang jarang terisi, dan sebagainya. Bagi pelajar
yang berasal dari keluarga tidak mampu, untuk makan saja masih berjuang, kini ditambah
lagi untuk memenuhi kebutuhan pulsa atau paket internet. Susenas Maret 2019 kembali
memperlihatkan bagaimana internet belum dinikmati secara merata oleh masyarakat Bali.
Kelompok masyarakat kaya cenderung memiliki akses yang lebih besar. Pada kelompok 10
persen penduduk berpendapatan terendah (bisa dikatakan termiskin), baru 25,25 persen yang
menggunakan internet. Berbeda jauh dengan kelompok 10 persen berpendapatan tertinggi.
Pada kelompok penduduk terkaya ini, internet telah digunakan oleh 84,68 persen penduduk.
Lebarnya kesenjangan ini, patut menjadi pertimbangan dalam memutuskan metode
pembelajaran yang akan digunakan dalam tahun ajaran baru nanti. Kesenjangan yang
ditunjukan oleh data tersebut bukan berarti bahwa proses pembelajaran daring tidak bisa
dilakukan. Namun, perlu ada diversifikasi metode pembelajaran agar kesenjangan pendidikan
tidak semakin melebar.

Sebenarnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tidak tinggal diam


dengan pro kontra yang muncul di masyarakat. Kemendikbud telah meluncurkan program
belajar di rumah bekerja sama dengan TVRI. Jangkauan TVRI yang luas dan tidak
memerlukan biaya mahal sepertinya menjadi salah satu pertimbangannya. Di Bali sendiri,
memang jangkauan TVRI sudah meluas, masyarakat Bali Utara yang sebelumnya
mengalami kesulitan, sejak akhir tahun 2018 sudah dapat menikmati siaran TVRI. Langkah
lain yang diambil oleh Kemendikbud adalah memberikan fleksibilitas penggunaan dana BOS
(Biaya Operasional Sekolah) di tengah pandemi Covid-19 melalui Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 19 Tahun 2020. Dalam salah satu pasal
disebutkan bahwa dana BOS dapat digunakan untuk pembelian pulsa, paket data, dan/atau
pendidikan daring berbayar bagi pendidik dalam rangka pelaksanaan pembelajaran dari
rumah. Namun di lapangan, belum semua sekolah dapat menerapkan hal ini. Keterbatasan
besaran BOS untuk alokasi penyediaan infrastrutur Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau
bahkan tidak bisa dilakukan karena dana BOS sudah digunakan untuk keperluan lain pun
menjadi salah satu alasannya.
Pandemi Covid-19 memang telah merubah pola dan kebiasaan dalam dunia pendidikan.
Perubahan dalam bentuk pembelajaran jarak jauh memang masih akan menjadi pilihan utama
di tengah kesenjangan yang ada. Namun diversifikasi PJJ yang tidak bergantung pada internet
tetap diperlukan agar merdeka belajar dapat dicapai oleh semua siswa. Diharapkan
kesenjangan yang ada, tidak semakin memperlebar capaian pendidikan antar pelajar dan antar
wilayah di Bali dan Indonesia pada umumnya.* 

Anda mungkin juga menyukai