Anda di halaman 1dari 3

Tugas Artikel Ketimpangan Sosial

Judul : Ketimpangan Pendidikan Si Kaya dan Si Miskin Saat Pandemi, Orangtua di Ladang
Tak Bisa Dampingi Anaknya Belajar
Link Artikel : https://regional.kompas.com/read/2021/10/26/075000578/ketimpangan-
pendidikan-si-kaya-dan-si-miskin-saat-pandemi-orangtua-di?page=all#page2
Nama : Citra Restu Baaqy (06)
Sinta Nur Puspa Anggraini (27)
Kelas : XII IPA 5

Tren stagnasi kemampuan akademik dasar (learning loss) terjadi akut pada anak-anak dari
kelas ekonomi rendah dan yang tinggal di pedesaan selama pandemi, menurut sejumlah riset.
Meski begitu, kondisi ini diyakini tidak menimpa sebagian besar anak keluarga kelas
menengah atas di perkotaan. Jika tidak segera diatasi, para pakar khawatir ketimpangan
pendidikan selama pandemi bakal melebarkan jurang antara si kaya dan si miskin pada masa
depan. Namun mengapa pembelajaran tatap muka di sekolah tidak dianggap solusi atas
persoalan ini?
Ratusan kilometer dari Padang, Sumatera Barat, selama pandemi Covid-19, puluhan anak
usia sekolah di Nagari Sisawah Kabupaten Sinjunjung, mendaki bukit dan masuk ke hutan
untuk mencari sinyal. Mereka harus mencari sinyal internet sebelum akhirnya bisa mencari
ilmu. Dua modal utama wajib dimiliki seluruh murid di seluruh dunia saat proses belajar di
sekolah berpindah ke rumah: gawai dan internet. Namun bagi anak-anak di kawasan
pedalaman seperti Sisawah, dua benda tadi adalah kemewahan yang belum tentu mereka
punyai. "Di setiap jorong [dusun] ada tempat-tempat tertentu yang terlewati jaringan internet,
biasanya di atas bukit atau di dalam rimba. Anak-anak pergi ke sana dari pagi buta, sore baru
pulang," kata Felia Siska, akademisi di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI
Sumatera Barat.
Felia merupakan warga Nagari Sisawah. Dia lahir dan tumbuh dewasa di wilayah itu. Dia
mulai merantau saat masuk ke bangku sekolah menengah atas. Hingga saat ini sekolah
dengan jenjang tertinggi di desa itu adalah SMP. Baru-baru ini Felia meriset proses belajar
daring para murid sekolah di Sisawah. Dia menyimpulkan, kualitas pendidikan selama
pandemi di desa itu rendah dan timpang dengan kualitas di kawasan yang ditunjang
infrastruktur memadai. Anak-anak yang mencari sinyal internet untuk belajar tadi adalah
mereka yang merantau tapi pulang karena sekolah ditutup.
Sedangkan para siswa di Sisawah tidak menjalani belajar daring. Felia berkata, satu kali
dalam seminggu mereka diminta datang ke sekolah untuk mengambil dan menyerahkan
tugas. Pada hari lainnya, anak-anak itu dianjurkan belajar mandiri. Namun Felia menyebut
penyebab situasi itu bukan hanya ketiadaan gawai dan internet. Faktor orang tua dan wali
murid juga memicu buruknya situasi belajar di sana. "Bagi orang tua di pedesaan seperti
Sisawah, urusan belajar itu tanggung jawab sekolah karena orang tua harus mencari uang.
Menurut mereka itulah gunanya anak-anak disekolahkan," ujar Felia. "Ada orang tua yang
tidak tamat sekolah, bagaimana mereka bisa mengajari anak di rumah. Ada orang tua muda
yang tamat SMA, mungkin bisa. Tapi lebih banyak yang tidak tamat SD." "Mereka bersedia
menyekolahkan anaknya saja itu sudah luar biasa karena pemikiran sebagian orang tua, mau
sekolah, uang tidak ada. Kalaupun sekolah, nanti ujung-ujungnya menoreh karet," kata Felia.
Nagari Sisawah terletak di tepi kawasan hutan yang dikenal dengan nama Rimba Lisun. Jarak
dari setiap dusun menuju pusat nagari terbentang sekitar tujuh kilometer. Satu-satunya jalan
dari Sisawah menuju ibu kota kabupaten di Muaro Sijunjung baru diaspal tahun 2020.
Bentang alam Sisawah yang terdiri hamparan sawah, perbukitan dan gua memicu
Kementerian Pariwisata mendorong nagari ini menjadi destinasi turisme. Namun sebagian
besar penduduknya masih bergantung pada hasil ladang dan karet. Merujuk data kantor
Walinagari Sisawah tahun 2020, hanya terdapat 23 anak yang bersekolah di desa itu.
Sementara 88 anak lainnya bersekolah di luar Sisawah. "Saya termasuk generasi pertama
yang merantau untuk sekolah. Kalau kami tidak lanjutkan sekolah, orang tua senang. Anak
laki-laki bisa bantu orang tua di ladang, yang perempuan menikah," kata Felia. Kesenjangan
kualitas pendidikan selama pandemi tidak identik pada situasi di Sisawah saja, tapi di seluruh
penjuru Indonesia, kata Ulfah Alifia, peneliti di lembaga pemikir Smeru Research Institute.
Bukan hanya faktor internet dan orang tua, riset Smeru terhadap proses 'belajar dari rumah'
menyoroti bagaimana guru juga berperan dalam stagnasi kemampuan akademik murid selama
pandemi. Ulfah berkata, hanya guru di perkotaan yang cenderung memanfaatkan aplikasi
gawai untuk memperlancar pembelajaran. Namun di banyak pedesaan, ketiadaan internet dan
minimnya penguasaan teknologi membuat proses belajar berhenti. "Kebanyakan guru hanya
memberikan tugas tanpa penjelasan. Anak seolah-olah diminta belajar sendiri dengan
pendampingan orang tua," kata Ulfah. "Kalau tingkat pendidikan orang tua tinggi, dia bisa
mendampingi anak. Tapi jika pendidikan orang tua rendah, mereka tidak mampu. Mereka
hanya petani, bagaimana bisa mengajarkan anak di rumah. "Jenis pekerjaan orang tua juga
menentukan apakah mereka bisa hadir pada aktivitas belajar anak," tuturnya. Ulfah berkata,
orang tua yang tak memiliki privilese untuk bekerja dari rumah, terutama mereka yang
berkerah biru seperti buruh, kurir, dan asisten rumah tangga, cenderung tak dapat mengisi
kekosongan yang ditinggal guru.

Tanggapan :
Saya merasa cukup prihatin melihat realita dimana banyak tempat di dunia termasuk di
Indonesia sendiri akses terhadap pendidikan tinggi belum merata ke seluruh daerah dan
kalangan.  Pada anak-anak dengan ekonomi kelas rendah, terjadi stagnasi atau penurunan
kemampuan akademik dasar. Terutama pada masa pandemi dimana terjadi pembatasan sosial
dan  saat standar pembelajaran beralih ke e-learning dimana diperlukan gadget dan koneksi
internet dan hal tersebut masih sangat sulit diakses bagi masyarakat di beberapa daerah
terpencil di Indonesia dan masyarakat ekonomi kelas rendah. Apabila dibandingkan dengan
anak-anak dengan golongan ekonomi kelas menengah ke atas dan perkotaan, akan terjadi
perbedaan yang amat signifikan yang merupakan indikator ketimpangan itu sendiri, padahal
situasi seakan memaksa semua orang untuk beradaptasi dengan cepat. Persebaran tenaga
pendidikan yang memiliki kapabilitas cukup juga masih terpusat pada beberapa daerah saja. 

Ketimpangan ini sangat berdampak kepada kalangan kecil bagi keberlangsungan hidup
mereka. Mereka yang semestinya mendapatkan jaminan oleh negara atas setaranya
kemudahan akses kepada pendidikan demi pembentukan karakter dan pola pikir demi
keberlangsungan kehidupan mereka situasi ini. Penurunan kemampuan akademik dasar
diikuti dengan banyak dampak negatif, seperti turunnya tingkat ekonomi dan kesejahteraan
rakyat. Turunnya tingkat ekonomi dan kurangnya akses terhadap pendidikan menimbulkan
pola pikir instan dalam masyarakat yang  cenderung mendongkrak angka kriminalitas. Hal itu
pula yang akan membuat mereka terjebak dalam kemiskinan struktural yang tak kunjung usai
apabila permasalahan pemerataan pendidikan tidak dibenahi. 

Sebagai bagian dari hak asasi, pemerintah sudah sepatutnya memenuhi hak setiap individu
untuk menempuh dan mendapatkan akses ke pendidikan tanpa terkecuali. Ketidakmerataan
akses terhadap pendidikan di Indonesia serta problematika dalam sistem pendidikan harus
segera dibenahi demi kesejahteraan setiap individu dalam masyarakat dan tercapainya
kesejahteraan sosial. Banyaknya masalah dalam pemerataan pendidikan dan sistem
pendidikan tidak boleh menyurutkan optimisme akan masa depan pendidikan yang lebih baik.
Evaluasi terhadap sistem pendidikan, peran dari pemerintah dan regulasinya, kerjasama
tenaga pendidikan serta masyarakat harus terjadi secara sinkron agar tercapainya pendidikan
yang baik, berkelanjutan dan merata bagi semua pihak demi menghadapi tantangan di masa
kini dan masa depan.

Anda mungkin juga menyukai