Disusun oleh
Rana ( 20190104014)
2022
1. Siswa kelas 5 SD belum bisa baca tulis
Sejak tahun 2012 sistem pendidikan kelas jauh SDK 064 Watubala dibuka dan dibina
oleh Yayasan Cerdas Anak Bangsa (YCAB). Namun, belakangan yayasan itu lepas
tangan dan nasib pendidikan anak-anak diabaikan begitu saja.
Penelusuran media ini, puluhan anak usia sekolah di wilayah itu tak dapat lagi
mengenyam pendidikan layaknya anak-anak lainnya. Nasib mereka terlunta-lunta.
Jangankan dapat belajar di ruang kelas yang nyaman, mendapat bimbingan guru
sekali dalam satu minggu pun sulit.
Akibatnya, kemampuan para siswa sangat jauh di bawah standar kompetensi yang
harus mereka miliki. Bahkan belum bisa membaca dan menulis, padahal sudah kelas
5. Para siswa kelas 4 lebih parah, belum mengenal huruf.
Media ini kembali mencoba menelusuri peran YCAB kepada beberapa komunitas
‘Relawan Mengajar’ yang sering datang ke Wairbukan sejak 2016-2021 untuk
memberikan bantuan, dan ditemukan jawaban serupa bahwa kegiatan belajar hampir
tidak ada.
Seharusnya guru (YCAB) datang 3-4 kali seminggu, namun hal itu tidak terjadi. Di
sisi lain berdasarkan informasi yang dihimpun media ini, kegiatan mengajar tak
berjalan baik di sana.
Isu tak sedap tentang dugaan penyalahgunaan dana BOS pun kian merebak, sejalan
dengan kondisi peserta didik yang semakin tertinggal.
Hal itu terus berlangsung hingga masa pandemi Covid-19 tiba. Selama masa pandemi
anak-anak total tidak mendapatkan pendidikan apapun.
2. Kabupaten Sikka hingga saat ini belum memiliki grand desain pendidikan untuk
Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Dikatakan, fisik, sarana dan prasarana pendidikan memang menjadi salah satu elemen
penting di dalam pendidikan, tetapi bukan satu satunya. Masih ada hal penting lainnya
yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan.
“Ketika berbicara tentang pendidikan, maka fokus berpikir hanyalah soal struktur,
sarana dan prasarana. Memang itu penting. Tetapi kita belum miliki sebuah konsep
atau gagasan besar tentang bagaimana memajukan pendidikan dasar di Kabupaten
Sikka,” jelasnya.
“Konsep Merdeka Belajar ini adalah bagaimana pendidikan itu dijalankan dalam
suasana bahagia dengan mengusung tingkat kesetaraan antara siswa dan guru. Ini
salah satu contoh,” jelasnya.
Menurutnya, saat ini dunia pendidikan dasar dihadapkan pada salah satu tantangan
terbesar yakni penggunaan android di kalangan pelajar SD dan SMP yang tidak
terkontrol.
“Coba lihat anak anak SD dan SMP di Kabupaten Sikka saat ini, sudah diperbudak
oleh android hingga cenderung melupakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai
pelajar. Selepas sekolah anak anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan
bermain android, lupa waktu belajar,” jelasnya.
Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Sikka ini tak menampik bahwa
pendidikan bukan hanya tanggung jawab pihak sekolah saja, tetapi tanggung jawab
pemerintah dan orang tua. Hanya saja, kondisi itu bergeser selepas jam normal
sekolah.
“Nah pada titik ini pemerintah harus hadir melakukan intervensi. Tanggung jawab
pemerintah tidak hanya sebatas pada jam belajar di sekolah, tetapi pemerintah juga
perlu memiliki konsep bagaimana pendidikan di luar jam sekolah,” ujarnya.
Dapat disimpulkan bahwa, saat ini dunia pendidikan dasar dihadapkan pada salah
satu tantangan terbesar yakni penggunaan android yang tidak terkontrol. Sehingga
perlu adanya Grand Desain untuk hal ini, sebagaimana yang diusul oleh Anggota
Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Sikka bahwa harus adanya intervensi RT
atau orang tua terhadap pendidikan anak sebagai perpanjang tangan dari
pemerintah, sehingga bukan hanya tanggung jawab pihak sekolah saja, tetapi
tanggung jawab pemerintah dan orang tua juga.
Memang ada banyak faktor hal ini terjadi. Dari banyak alasan, salah satunya masalah
minat dari guru itu sendiri. lebih banyak guru yang memilih lokasi yang mudah
diakses dari segi transformasi dan akses untuk mendapatkan kebutuhan pokok mudah
didapatkan.
Sedangkan daerah terpencil, lagi-lagi tidak dilirik sama sekali. Mungkin ada saja guru
yang terpanggil hati untuk bertugas di daerah pelosok yang minim akses, sayangnya
hanya 1:10 saja. Jumlahnya pun sangat kecil sekali. Sehingga wajar saja jika terjadi
kesenjagan tenaga guru terampil di pelosok dan di kota.
Sehingga terdapat pula kesenjangan kualitas lulusan peserta didik. Tidak heran jika
regenerasi yang tinggal di pelosok, nyari tidak terekspose atau muncul ke permukaan.
Itu sebabnya, ini menjadi PR bagi pemerintah dalam upaya pemerataan tenaga
pendidik terampil di pelosok, agar terjadi pemerataan.