Anda di halaman 1dari 6

Salah satu cita-cita luhur bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan

UUD 1945 adalah “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Setiap individu memiliki hak
serta kewajiban dalam bidang pendidikan. Pada zaman ini pendidikan merupakan hal
dasar yang harus didapatkan oleh setiap individu, untuk dapat menjaga
keberlangsungan hidup sesuai dengan hakikat manusia. Tetapi kondisi pendidikan
sekarang di Indonesia masih jauh dari hal tersebut, pendidikan masih belum bisa
dirasakan sepenuhnya oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dalam upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa, faktor eksternal individu menjadi hal yang sangat
penting untuk membentuk individu dalam hal penyikapan terhadap dirinya. Salah
satunya adalah fasilitas yang diberikan oleh pemerintah yaitu kurikulum.

Penyelenggaraan kurikulum merupakan program yang sangat penting sebagai


penunjang sistem tercapainya tujuan pendidikan di Indonesia. Tujuh puluh tiga tahun
sudah berjalan penerapan kurikulum di Indonesia. Saat ini sistem pendidikan
Indonesia menjadikan Kurikulum 2013 sebagai pedoman dalam penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran. Kami masih ingat bagaimana keberlangsungan kurikulum
2013. Proses belajar mengajar nyaris tidak ada perbedaannya dengan kurikulum
sebelumnya KTSP. Meskipun kurikulum sudah direvisi, namun tetap saja menjadi
polemik dalam penyelenggaraannya. Matematika merupakan salah satu mata
pelajaran yang sesungguhnya sangat fundamental namun hanya diajarkan cara
berhitung tanpa pemahaman konsep dasar dan metode berpikir matematis. Tidak
hanya matematika, konsep pendidikan diatas juga diterapkan pada mata pelajaran
lainnya.

Pada Dasarnya kurikulum 2013 menekankan pendidikan holistik. Pendidikan


holistik merupakan filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada
dasarnya seorang individu dapat menemukan identitias, makna, dan tujuan hidup
melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual.
Tidak dapat dipungkiri, struktur Kurikulum 2013 sangatlah rumit sehingga guru tidak
lagi memperhatikan logika konsep dari kurikulum tersebut. Kebiasaan ini
menyebabkan implementasi Kurikulum 2013 yang kontekstual belum terjadi. Tujuan
kurikulum 2013 sebenarnya sangat mulia untuk membangun karakter sekaligus
membentuk pikiran peserta didik untuk dapat berpikir dari berbagai arah, sangat sulit
untuk tercapai.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah


menyelenggarakan berbagai program guna menunjang pendidikan nasional
diantaranya Komunitas penggerak dan Guru penggerak. Komunitas penggerak
merupakan program Kemendikbud yang merangkul masyarakat untuk lebih aktif
dalam dunia pendidikan. Bersama dengan kepala sekolah, guru, dan tenaga
kependidikan, komunitas merupakan bagian penting dari tercapainya pendidikan yang
unggul. Komunitas di Indonesia biasanya terdiri dari orang tua, tokoh masyarakat dan
adat, organisasi, cendekiawan, relawan, dan pemangku kepentingan lainnya. Guru
Penggerak adalah pemimpin pembelajaran yang menerapkan merdeka belajar dan
menggerakkan seluruh ekosistem pendidikan untuk mewujudkan pendidikan yang
berpusat pada murid.1 Untuk program Guru Penggerak, pemerintah mengharapkan
adanya sosok guru yang menjadi panutan bagi guru lainnya, agar kualitas guru dalam
mendidik muridnya dapat mencapai tujuan pendidikan nasional.

Dari program pemerintah yang dipaparkan diatas, belum mampu menjadi


solusi membaiknya implementasi Kurikulum 2013. Kami menyadari bahwa
pemangku pendidikan yang kurang siap dan tidak konsisten merupakan masalah
pendidikan di Indonesia. Hal ini dilihat dari berbagai macam kebijakan pendidikan
terutama kurikulum yang terus menerus berganti. Kurikulum seharusnya lebih
bersifat dinamis agar dapat menyesuaikan zaman. Pemerintah terlalu fokus pada
perubahan kurikulum tanpa memperhatikan tenaga pendidik yang justru sifatnya lebih
substansial. Menurut Ronald Brandt dalam Educational Leadership dalam Supriadi
mengungkapkan bahwa perubahan kurikulum tanpa penguasaan guru terhadap
kurikulum, bahan ajar, metode dan startegi pembelajaran tidak akan mencapai
peningkatan mutu pendidikan yang maksimal.2 Hal ini menyebabkan

1
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. “Sekolah Penggerak”. Diakses pada 20 Juli 2020. Melalui
https://sekolah.penggerak.kemdikbud.go.id/
2
Supriadi, Dedi. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Cet. 1; Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
penyelenggaraan pembelajaran oleh para guru hanya mengikuti urutan-urutan yang
tertera pada buku tanpa mengembangkan materi sesuai dengan situasi dan kondisi
peserta didik.3

Pemerintah tidak mengimbangi antara perubahan kurikulum dengan pelatihan


guru, sedangkan guru hanya mengikuti urutan panduan kebijakan pendidikan dan
masih berkutat pada metode pengajaran tradisional namun memiliki standar yang
tinggi. Seiring berjalannya waktu, hal ini menyebabkan sekolah kehilangan
esensinya. Sekolah sebagai rumah pendidikan dimaknai hanya sebatas rumah
pembelajaran. Tujuan sekolah untuk membentuk siswa yang mampu berpikir kritis,
kemampuan pemecahan masalah, dan mampu mengembangkan potensi menjadi tidak
relevan. Pola pikir siswa berubah menjadi berorientasi pada kelulusan dengan nilai
yang cukup tinggi tanpa memperhatikan proses belajar.

Literasi rendah menjadi salah satu dampak dari mispersepsi pemahaman


diatas karena tidak sesuai dengan tujuan sekolah. Perlu diingat, literasi bukan sekedar
keterampilan membaca, menulis, dan berhitung. Namun literasi disini merupakan
kemampuan mengolah, memahami, dan megembangkan informasi dengan pemikiran
kritis untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.4 Kurangnya
kebiasaan membaca, rendahnya daya beli buku, minimnya jumlah perpustakaan yang
memadai dan kurangnya buku yang beredar selalu menjadi pelaku utama rendahnya
literasi di Indonesia.

Secara umum, permasalahan diatas sangat dirasakan bagi siswa di daerah


yang notabene akses pendidikannya cukup baik. Daerah yang notabene akses
pendidikannya kurang, disamping memiliki masalahnya tersendiri dapat dipastikan
juga memiliki masalah tersebut. Tentu hal ini membuat sekolah sangat kehilangan
esensinya pada daerah-daerah yang akses pendidikannya minim. Hal ini juga

3
Mahmud, Hilal. “Guru di Tengah Perubahan Kurikulum”. Jurnal Pendidikan Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Al-Khwarizmi 1, no. 2 (2013): 111-124.
4
Kharizmi, Muhammad. “Kesulitan Siswa Sekolah Dasar Dalam Meningkatkan Kemampuan Literasi”.
Jurnal Pendidikan Dasar 2, No.2 (2015): 11-21.
berimbas pada kurangnya literasi pada daerah-daerah tersebut. Tidak heran, jika
Indonesia masih terdapat 62 kabupaten yang berlabel sebagai daerah tertinggal.5

Pemerintah sebagai pemangku kebijakan tidak dapat sendiri dalam


menyelesaikan masalah tersebut. Masyarakat harus berpartisipasi dalam pembenahan
pendidikan tersebut. Disisi lain Non-Government Organization (NGO) pendidikan
mulai bermunculan sebagai penggerak untuk peningkatan mutu pendidikan. Menurut
data kemendagri, terdapat 431.465 organisasi masyarakat yang termasuk NGO
pendidikan didalamnya.6 Secara jumlah keberadaan NGO masih kurang dan daerah
dengan mutu pendidikan rendah masih banyak yang belum terjamah oleh NGO.
Kemunculan NGO sangat diperlukan, tetapi itu juga harus diimbangi dengan
persebaran NGO yang tepat dengan tujuan pemerataan.

Pemerintah dan tenaga pendidik menjadi masalah utama dibidang pendidikan


serta diikuti persebaran NGO kurang merata. Selain itu, peningkatan mutu pendidikan
tidak bisa dilakukan secara instan, butuh waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan
hasil yang terbaik. NGO sebagai instrumen penting yang dapat membantu pemerintah
dalam mengatasi masalahnya. Namun kebermanfaatan NGO kurang dirasakan, selain
karena kurang merata, NGO cenderung bergerak secara independen. Dari generalisasi
masalah tersebut, kami mencoba membuat sebuah solusi dengan menyinergikan
kedua masalah tersebut dengan membuat suatu NGO yang bernama “Dust Attack”.
Dust Attack merupakan NGO yang fokus pada bidang pendidikan. Tujuan Dust
Attack yaitu meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia melalui pemerataan
pendidikan melalui pelatihan guru dan learning by project. Dust Attack memiliki tiga
program utama yaitu; (1) Perpustakaan data daerah; (2) Pemetaan NGO; (3) Learning
by project; dan (4) Better Teacher Training.

5
Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia. “Ini
Daerah Tertinggal Menurut Perpres”. Diakses pada 21 Juli 2020. Melalui
https://www.kemendesa.go.id/berita/view/detil/3261/ini-daerah-tertinggal-menurut-perpres
6
Nugraheny, Dian Erika. “Kemendagri Catat Jumlah Orman Meningkat, Capai 431.465 Organisasi”.
Diakses pada 19 Juli 2020. Melalui
https://nasional.kompas.com/read/2019/11/25/11151051/kemendagri-catat-jumlah-ormas-
meningkat-capai-431465-organisasi?page=all
Pertama perpustakaan data daerah, dimana Dust Attack dalam manajemen
organisasinya memiliki tim riset yang terbagi menjadi dua bidang yaitu riset daerah
dan riset NGO dan perusahaan di Indonesia. Bidang riset daerah akan fokus
melakukan riset mengenai latar belakang, situasi dan kondisi, kebudayaan dan
kebiasaan, permasalahan, sekolah, komunitas, serta potensi yang ada pada daerah-
daerah di Indonesia. Selain itu bidang riset daerah akan mencari aktivis atau tokoh
dari daerah untuk keperluan relasi dari Dust Attack. Bidang riset NGO dan
perusahaan akan fokus melakukan riset mengenai latar belakang, visi dan misi,
daerah serta tujuan NGO pendidikan yang ada di Indonesia serta visi dan misi, tujuan,
serta CSR perusahaan yang ada di Indonesia. Jadi perpustakaan data daerah ini
berfungsi untuk menghimpun data-data yang sekiranya diperlukan baik oleh
pemerintah maupun NGO nantinya. Mengingat database mengenai hal tersebut
belum dalam bentuk yang terpusat.

Kedua pemetaan NGO. Dust attack dapat difilosofikan sebagai katalis dalam
konteks mempercepat proses peningkatan kemampuan guru melalui kolaborasi
sekolah dengan program NGO yang tepat sasaran sebagai impuls untuk menggerakan
roda peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. NGO yang berafiliasi dengan kami
akan mendapatkan previlage berupa bantuan fundraising melalui perusahaan yang
telah memiliki hubungan kontrak dengan dust attack. Pemetaan kami lakukan dengan
database hasil riset kondisi geografis dan sosial.

Ketiga Learning by Project. Kami merekomendasikan penanaman suatu nilai


yang akan ditanamkan oleh pemangku pendidikan dengan Learning by project.
Penanaman nilai ini akan menjadikan peserta didik memiliki rasa tanggung jawab.
Menumbuhkan kebutuhan terlebih dahulu agar nantinya peserta didik dapat
melanjutkan ke tahap selanjutnya sesuai nilai yang akan ditanamkan. Untuk
memperbaiki masalah literasi diperlukan adanya kebutuhan membaca terlebih dahulu.
Kebutuhan tersebut dapat menjadi pemicu agar peserta didik dapat terbentuk sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional. Melalui program ini
Keempat Better Teacher Training yaitu pelatihan terhadap tenaga pendidik,
mengingat permasalahan tenaga pendidik yang penulis sampaikan diatas merupakan
masalah yang krusial. Pelatihan guru akan fokus kepada keempat kompetensi guru
yaitu kompetensi pedagogi, kepribadian, sosial, dan profesional. Fokus lain dari
pelatihan guru yang akan dilaksanakan yaitu pembekalan guru mengenai potensi
daerah dan sistem pembelajaran Learning by project yang kami bawa. Penelitian
serupa juga pernah dilakukan oleh Lindawati (2013), bahwa pelaksanaan
pembelajaran fisika menggunakan project based learning dapat meningkatkan
kreativitas siswa.7

7
Lindawati. 2013. Penerapan Model Pembelajaran Project Based Learning untuk Meningkatkan
Kreativitas Siswa MAN 1 Kebumen. Radiasi Volume 3 No.1 (42-45)

Anda mungkin juga menyukai