Anda di halaman 1dari 4

Beberapa tahun lalu kami masih ingat bagaimana keberjalanan kurikulum 2013.

Kami
melihat proses belajar mengajar nyaris tidak ada bedanya dengan kurikulum KTSP sebelumnya.
Kami ingat bagaimana guru kami mengajar matematika yang sesungguhnya sangat fundamental
namun hanya diajarkan caranya berhitung bukan belajar mengenai metode beripikir matematis.
Pada dasarnya kurikulum 2013 menekankan pendidikan holistik. Pendidikan holistik merupakan
filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat
menemukan identitias, makna, dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat,
lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Kami saat ini sadar bahwa kurikulum 2013
implementasinya masih cukup jauh dengan harapan, tujuan kurikulum 2013 sebenarnya sangat
mulia untuk membangun karakter sekaligus membentuk pikiran peserta didik untuk dapat
berpikir dari berbagai arah.

Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)


telah melakukan berbagai program untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Penyelenggaraan
kurikulum merupakan program yang sangat penting sebagai penunjang sistem pendidikan di
Indonesia. Saat ini sistem pendidikan Indonesia menjadikan Kurikulum 2013 sebagai pedoman
dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran. Meskipun kurikulum sudah direvisi, rupanya
tetap menjadi polemik dalam penyelenggaraannya. Ini terjadi karena beberapa persoalan
fundamental yang ada di dalam Kurikulum 2013 tidak dibereskan. Struktur Kurikulum 2013
sangatlah rumit, sehingga guru tidak lagi memperhatikan logika konsep dari kurikulum tersebut..
Kebiasaan ini menyebabkan implementasi Kurikulum 2013 yang kontekstual belum terjadi.
Kurikulum yang dinamis dan sederhana tetapi berdaya guna tentu menjadi harapan seluruh
pemangku kepentingan pendidikan.

Program lainnya yang diselenggarakan guna menunjang pendidikan nasional adalah


Komunitas penggerak dan Guru penggerak. Komunitas penggerak merupakan program
Kemendikbud yang lebih merangkul masyarakat untuk lebih aktif dalam dunia pendidikan.
Bersama dengan kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan, komunitas merupakan bagian
penting dari tercapainya pendidikan yang unggul. Komunitas di Indonesia biasanya terdiri dari
orang tua, tokoh masyarakat dan adat, organisasi, cendekiawan, relawan, dan pemangku
kepentingan lainnya. Untuk mewujudkan pendidikan terbaik bagi seluruh siswa Indonesia,
semua pemangku kepentingan bersama Kemendikbud perlu berkomitmen untuk bergotong
royong menciptakan inovasi-inovasi pembelajaran. Inovasi-inovasi ini haruslah relevan dan
berdampak baik untuk mencapai tujuan utama kita semua, yaitu peningkatan kualitas pendidikan
di Indonesia.

Untuk program Guru Penggerak, pemerintah mengharapkan adanya sosok guru yang
menjadi panutan bagi guru lainnya, agar kualitas guru dalam mendidik muridnya dapat mencapai
tujuan pendidikan nasional. Guru Penggerak adalah pemimpin pembelajaran yang menerapkan
merdeka belajar dan menggerakkan seluruh ekosistem pendidikan untuk mewujudkan
pendidikan yang berpusat pada murid. Guru Penggerak menggerakkan komunitas belajar bagi
guru di sekolah dan di wilayahnya serta mengembangkan program kepemimpinan murid untuk
mewujudkan Profil Pelajar Pancasila. Untuk menjadi Guru Penggerak, Guru harus mengikuti
proses seleksi dan pendidikan Guru Penggerak selama 9 bulan. Selama proses pendidikan, calon
Guru Penggerak akan didukung oleh Instruktur, Fasilitator, dan Pendamping yang profesional.

Dari program pemerintah yang dipaparkan diatas, belum mampu menjadi solusi
membaiknya implementasi Kurikulum 2013. Kami menyadari bahwa pemerintah atau pemangku
pendidikan yang kurang siap dan tidak konsisten merupakan masalah pendidikan di Indonesia.
Hal ini dilihat dari berbagai macam kebijakan pendidikan terutama kurikulum yang terus
menerus berganti. Perlu digarisbawahi bahwa perubahan kurikulum memang sepatutnya
dilakukan dengan menyesuaikan dengan perubahan zaman. Namun hal ini kurang diimbangi
dengan pelatihan kepada guru mengenai pemahaman Kurikulum 2013. Pemerintah terlalu fokus
pada perubahan kurikulum yang dipandang sebagai aspek penting dalam kemajuan pendidikan
tanpa memperhatikan tenaga pendidik yang justru lebih substansial. Menurut Ronald Brandt
dalam Educational Leadership dalam Supriadi mengungkapkan bahwa perubahan kurikulum
tanpa penguasaan guru terhadap kurikulum, bahan ajar, metode dan startegi pembelajaran tidak
akan mencapai peningkatan mutu pendidikan yang maksimal.1 Hal ini menyebabkan
penyelenggaraan pembelajaran oleh para guru hanya mengikuti urutan-urutan yang tertera pada
buku tanpa mengembangkan materi sesuai dengan situasi dan kondisi peserta didik. 2 Secara tidak
langsung guru kehilangan perannya sebagai aktor utama dalam proses belajar mengajar di
sekolah.

1
Supriadi, Dedi. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Cet. 1; Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
2
Mahmud, Hilal. “Guru di Tengah Perubahan Kurikulum”. Jurnal Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Al-Khwarizmi 1, no. 2 (2013): 111-124.
Dari pemaparan diatas, sumber masalah terbesar pada pendidikan di Indonesia yaitu
ketidaksiapan SDM baik itu pemerintah maupun guru dalam peningkatan mutu pendidikan.
Pemerintah tidak mengimbangi antara perubahan kurikulum dengan pelatihan guru, sedangkan
guru hanya mengikuti urutan-urutan panduan kebijakan pendidikan dan masih berkutat pada
metode pengajaran tradisional namun memiliki capaian nilai yang cukup tinggi. Seiring
berjalannya waktu, hal ini menyebabkan sekolah kehilangan esensinya. Sekolah sebagai rumah
pendidikan dimaknai hanya sebatas rumah pembelajaran. Tujuan sekolah untuk membentuk
siswa yang mampu berpikir kritis, kemampuan pemecahan masalah, dan mampu
mengembangkan potensi menjadi tidak relevan. Pola pikir siswa berubah menjadi berorientasi
pada kelulusan dengan nilai yang cukup tinggi tanpa memperhatikan proses belajar.

Literasi yang kurang menjadi salah satu dampak dari mispersepsi pemahaman diatas
karena tidak sesuai dengan tujuan sekolah. Perlu diingat, literasi bukan sekedar keterampilan
membaca, menulis, dan berhitung. Namun literasi disini lebih kepada kemampuan mengolah,
memahami, dan megembangkan informasi dengan pemikiran kritis untuk menyelesaikan
masalah dalam kehidupan sehari-hari.3 Menurut data statistik dari UNESCO, dari total 61
negara, Indonesia berada di peringkat 60 dengan tingkat literasi rendah. Kurangnya
kebiasaan membaca, rendahnya daya beli buku, minimnya jumlah perpustakaan yang memadai
dan kurangnya buku yang beredar selalu menjadi pelaku utama rendahnya literasi di Indonesia.
Padahal yang terpenting yaitu menyadarkan kebermanfaatan literasi yang dapat menjawab
pemenuhan kebutuhan manusia.

Pemerintah sebagai pemangku kebijakan tidak dapat sendiri dalam menyelesaikan


masalah beserta dampak yang ditimbulkan. Masyarakat harus berpartisipasi dalam pembenahan
pendidikan tersebut. Disisi lain Non-Government Organization (NGO) pendidikan mulai
bermunculan sebagai penggerak untuk peningkatan mutu pendidikan. Menurut data kemendagri,
terdapat 431.465 organisasi masyarakat yang termasuk NGO pendidikan didalamnya. 4 Namun
secara jumlah, keberadaan NGO dirasa masih kurang. Disamping itu, NGO pendidikan
persebarannya kurang merata sehingga suatu daerah memiliki jumlah NGO cukup banyak

3
Kharizmi, Muhammad. “Kesulitan Siswa Sekolah Dasar Dalam Meningkatkan Kemampuan Literasi”. Jurnal
Pendidikan Dasar 2, No.2 (2015): 11-21.
4
Nugraheny, Dian Erika. “Kemendagri Catat Jumlah Orman Meningkat, Capai 431.465 Organisasi”. Diakses pada 19
Juli 2020. Melalui https://nasional.kompas.com/read/2019/11/25/11151051/kemendagri-catat-jumlah-ormas-
meningkat-capai-431465-organisasi?page=all
dibandingkan daerah lain yang dirasa lebih membutuhkan peningkatan mutu pendidikan.
Kemunculan NGO sangat diperlukan, tetapi itu juga harus diimbangi dengan persebaran NGO
yang tepat dengan tujuan pemerataan.

SDM menjadi masalah utama dibidang pendidikan serta diikuti persebaran NGO kurang
merata. Selain itu, peningkatan mutu pendidikan tidak bisa dilakukan secara instan, butuh waktu
bertahun-tahun untuk mendapatkan hasil yang terbaik. NGO sebagai instrumen penting yang
dapat membantu pemerintah dalam mengatasi masalahnya. Hanya saja kebermanfaatan NGO
kurang dirasakan, selain karena kurang merata, NGO cenderung bergerak secara independen.
Dari generalisasi masalah tersebut, kami mencoba membuat sebuah solusi dengan
menyinergikan kedua masalah tersebut dengan membuat suatu NGO yang bernama “Dust
Attack”. Dust Attack merupakan NGO yang fokus pada bidang pendidikan. Tujuan Dust Attack
yaitu meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia melalui pemerataan pendidikan dan learning
by project. Dust Attack memiliki tiga program utama yaitu; (1) Perpurstakaan data daerah; (2)
Pemetaan NGO; dan (3) Learning by project.

Anda mungkin juga menyukai