Anda di halaman 1dari 60

PROPOSAL THESIS

PENGARUH FULL DAY SCHOOL TERHADAP MOTIVASI


BELAJAR SISWA SMA NEGERI 1 PLEMAHAN DENGAN
EMOTIONAL INTELLIGENCE SEBAGAI VARIABEL
MODERATOR

Oleh:
Oky Urtya Dani
NIM 091614253029

PROGRAM STUDI MAGISTER


PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Terdapat beberapa upaya untuk menunjang keberhasilan di bidang pendidikan, seperti


infrastruktur, fasilitas pembelajaran dan tenaga pengajar profesional, serta yang paling
menjadi fokus adalah kurikulum pendidikan. Pendidikan merupakan sebuah interaksi yang
terdiri dari beberapa indikator yaitu peserta didik, guru, metode pembelajaran, kurikulum,
sarana dan prasarana serta aspek lingkungan yang terkait untuk mencapai kompetensi
pembelajaran. Campbell (1979) menyatakan bahwa, sistem merupakan himpunan komponen
atau bagian yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.

Sesuai dengan data yang ada sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah
mengalami beberapa perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994,
2004, dan 2006 (Taqwim Islami, Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia,
http://taqwimislamy.com/index.php/en/57-kurikulum/297-sejarah-perkembangan-kurikulum-
diindonesia). Pemerintah melakukan perubahan kurikulum tersebut guna meningkatkan
kualitas pendidikan.

Kurikulum resmi pemerintah yang berlaku sekarang adalah Kurikulum 2013 atau
biasa disebut K-13 (Kemendikbud, 2017). Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Kemdikbud, Hamid Muhammad pada saat menyampaikan sambutan pada kegiatan
Bimbingan Teknis (Bimtek) Tim Pengembang Kurikulum 2013 Sekolah Dasar Tingkat
Provinsi tanggal 14 Maret 2017 di Hotel Allium Tangerang mengatakan bahwa ada 3 (tiga)
hal penting yang menjadi agenda atau fokus dalam implementasi K-13, yaitu; (1) penguatan
pendidikan karakter, (2) penguatan literasi, dan (3) pembelajaran abad 21 (Kompasiana,
2017).

Menurut Kevin Carmody dan Zane Berge (2005:3), “education can be defined as an
activity undertaken or initatied to effect changes in knowledge, skill, and attitudes of
individuals, groups or communities”. Artinya bahwa pendidikan itu dapat didefinisikan
sebagai kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh perubahan dalam pengetahuan,
kemampuan, dan sikap dari individu, kelompok atau komunitas.
Syah (2003:133) menyatakan bahwa pendekatan belajar (approach to learning),
strategi belajar, dan metode belajar adalah faktor-faktor yang menentukan tingkat efisiensi
kegiatan belajar dan prestasi belajar siswa. Semua kegiatan belajar yang dilakukan baik di
dalam ruangan kelas maupun di luar kelas disebut kurikulum (Darwyn Syah, 2007).
Kurikulum sebagai pedoman dalam setiap kegiatan belajar mengajar mengandung arti bahwa
kegiatan belajar tidak hanya berlangsung dalam ruangan kelas, akan tetapi juga bisa
berlangsung di luar ruangan kelas.

Seperti yang diungkapkan Dick, Carey and Carey (2009: 2) , “A system is technically
a set of interrelated parts, all a which work together toward a defined goal”. (Sebuah sistem
merupakan cara berhubungan dari masing- masing bagian, bekerja secara bersama-sama
dalam mencapai tujuan). Reigeluth (1999: 144) menyebutkan bahwa learning is knowledge
contruction, is based on the idea that learning occurs when a learner actively constructs a
knowledge representation in working memory. (Belajar merupakan proses pembentukan ilmu
pengetahuan, prinsip ini didasari pada sebuah pemikiran bahwa belajar terjadi ketika seorang
pembelajar secara aktif melakukan pembentukan/ membangun ilmu pengetahuan baru pada
memori). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sekolah memerlukan sistem
pembelajaran yang tepat untuk mencapai hasil yang maksimal. Oleh karena itu perlu adanya
perencanaan yang matang agar semua dapat berjalan dengan lancar.

Pada situasi global seperti saat ini, sekolah tidak harus selalu mengikuti kurikulum,
namun dapat bersifat implisit dan nonformal. Artinya, sekolah tetap menjalankan kurikulum
yang sesuai dengan pemerintah, akan tetapi dapat mengadaptasi suatu sistem (Moulton,
1997). Dalam hal ini sistem yang dimaksud adalah full day school. (Miller, 2005:1)
menyatakan bahwa, full day school adalah sebuah sistem pembelajaran dimana siswa datang
ke sekolah sejak pagi hingga sore untuk belajar dan bersosialisasi.

Pendidikan non-formal dapat disebut sebagai jembatan untuk mensosialisasikan serta


membekali pentingnya menyikapi adanya fenomena social capital. Proses pendekatan
pendidikan menjadi lebih mudah melalui pendekatan-pendekatan fleksibel pada sekolah non-
formal (Moulton, 1997). Diharapkan dengan kolaborasi antara kurikulum pemerintah dengan
full day school mampu untuk mengakomodasi ekspektasi mutu pendidikan yang mampu
bersaing di masa depan. Menurut Basuki dalam (Syukur, 2008:5), sistem pembelajaran full
day school selain pengembangan kreatifitas juga terdapat 3 ranah belajar yaitu kognitif,
akektif, dan psikomotorik. Dengan kata lain konsep dasar dari full day school ini adalah
integrated curriculum dan integrated activity.

Gambar 1.1 : full day school sebagai integrated curriculum dan integrated activity

Inovasi full day schhol bertujuan agar terciptanya kualitas sumber daya manusia,
disisi lain juga untuk mengkondisikan anak agar memiliki perilaku yang baik serta sebagai
pengayaaan atau pendalaman konsep-konsep materi pembelajaran (Buharudin, 2008).
Aktivitas belajar yang ditawarkan adalah melalui perbandingan target dengan hasil
pembelajaran jangka panjang (Shrestha et al,. 2008).

Salah satu sekolah yang menerapkan inovasi dengan memadukan kurikulum 2013
dengan “mengadopsi” sistem full day school adalah SMA Negeri 1 Plemahan. Sekolah yang
mendapatkan SK Izin Operasional pada tanggal 29 Januari 1998 tersebut berada di
Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri. Sistem full day school sudah diterapkan sejak
Mendikbud mengeluarkan keputusan mengenai kebijakan full day school. Peraturan Menteri
(Permen) Nomor 23 Tahun 2017 pasal 2 yang berbunyi “Hari Sekolah dilaksanakan 8 jam
dalam 1 hari atau 40 jam selama 5 hari dalam 1 minggu” (Kemendikbud, 2017). Program full
day schooll dimulai dari pukul 07.00 WIB sampai pukul 15.30 WIB dalam sehari. Hari
efektif belajar adalah Senin-Jumat, sedangkan Sabtu diliburkan akan tetapi diisi dengan
kegiatan ekstrakurikuler, antara lain adalah English Club dan Art and Creativity.
Ekstrakurikuler adalah kegiatan yang diselenggarakan untuk memenuhi tuntutan penguasaan
bahan kajian dan pelajaran dengan alokasi waktu yang diatur secara tersendiri berdasarkan
kebutuhan (Depdiknas, 2003: 16)

Menurut Elicker dan Marthur (dalam Priyono, 2009:1), anak yang sekolah full day
memiliki kesiapan belajar yang lebih tinggi daripada anak-anak yang sekolah setengah hari,
sehingga secara tidak langsung hal ini akan berpengaruh pada prestasi anak. Dampak-dampak
positif full day school menjadi target yang harus dicapai dengan orintasipada peningkatan
mutu pendidikan. Carnes & Albrecht (2007) dalam penelitiannya, terdapat enam kompetensi
sosial anak yang berkembang setelah mengikuti full day schoo.l Kemampuan tersebut antara
lain menunggu giliran saat bermain dalam sebuah kelompok, menemukan teman dekat
sesama dan lawan jenis, mengekspresikan rasa marah melalui bahasa yang tidak agresif lebih
baik daripada aksi fisik, serta mampu mengambil keputusan terbaik untuk diri sendiri.

Pada tahun 2017, hasil Ujian Nasional (UN) SMA/MA dan SMK 2017 yang
mendapat nilai rata-rata 55 ke bawah sekitar 35 persen dari jumlah total peserta UN. Jumlah
peserta UN SMA/MA dan SMK sebanyak 225.552 siswa dan yang memperoleh nilai di
bawah 55 sebanyak 38.745 siswa. Sedangkan jumlah peserta UN SMK sebanyak 195.563 dan
yang memperoleh nilai di bawah rata-rata sebanyak 55.955 siswa (Dindik Jatim, 2017).

Nilai ujian nasional (UN) untuk tingkat SMA/SMK/MA di Jawa Timur pada tahun
2018 turun cukup signifikan jika dibandingkan dengan UN pada tahun sebelumnya. Sebagai
catatan, pada tahun sebelumnya persentase siswa dengan nilai dibawah 55 berada di angka
55,41 persen. Sedangkan pada tahun ini, persentase siswa dengan nilai di bawah 55 mencapai
78,88 persen. Pada tingkat SMK, dari total peserta UN sebanyak 220.958 siswa, terdapat
174.283 siswa yang mendapatkan nilai dibawah 55. Angka ini naikcukup naik signifikan jika
dibandingkan dengan UN pada tahun sebelumnya dengan total siswa dengan nilai dibawah
55 sebanyak 110.316 siswa (Dindik Jatim, 2018).

Pada tingkat SMA, dari 172.105 siswa peserta UN, Dinas Pendidikan mencatat
terdapat 146.183 siswa dengan nilai dibawah 55. Pada tahun 2018 terdapat peningkatan dari
UN sebelumnya dimana persentase siswa dengan nilai dibawah 55 mencapai 85,13 persen,
sedangkan tahun ini meningkat menjadi 85,30 persen (Dindik Jatim, 2018). Jika dilihat dari
peningkatan persentase tersebut, hal ini mengindikasikan terdapat “kesalahan” dalam proses
kegiatan belajar mengajar (KBM). Dalam dunia pendidikan terdapat beberapa unsur yang
tergabung menjadi suatu sistem yang diimplementasikan dalam setiap kegiatan belajar
mengajar, salah satu contohnya adalah hubungan antara kurikulum,guru,dan siswa. Guru
memiliki peranan yang strategis dan penting dalam menentukan kualitas pembelajaran yang
akan dilaksanakannya (Sanjaya, 2008:198).

Depdikbud dalam Suryosubroto (2009: 47) menjelaskan bahwa pembelajaran dapat


dikatakan berhasil apabila telah memenuhi kriteria ketuntasan klasikal sebesar ≥ 75% dari
jumlah siswa. Hasil UN yang tidak mencapai standard yang ditetapkan disebabkan antara lain
adalah nilai siswa masih di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan
sekolah dan guru yaitu dengan nilai ketuntasan 70.

Gambar 1.2 : Nilai Rata – Rata Siswa Kelas XI Periode Semester Genap 2017/2018

Jumlah Nilai Di Bawah Niali Di Atas KKM


Kelas Nilai Rata-Rata
Siswa KKM (Persentase) (Persentase)
XI IPS 1 36 72,45 2 siswa (4,76%) 34 siswa (95,42%)
XI IPS 2 36 66,08 25 siswa (63,41%) 11 siswa (36,595)
XI IPS 3 36 65,62 23 siswa (60,42%) 13 siswa (30,58%)
XI MIPA 1 35 72,32 2 siswa(4,76%) 34 siswa (95,42%)
XI MIPA 2 36 68,66 23 siswa (61,45%) 13 siswa (38,55%)
XI MIPA 3 35 69.08 24 siswa (64, 40%) 11 siswa (35,60%)
XI MIPA 4 35 71,45 3 siswa (5,50%) 32 siswa (95,50%)
XI MIPA 5 35 66,68 27 siswa (88,21%) 8 siswa (11,79%)
XI MPA 1 36 70,56 10 siswa (12,52%) 34 siswa (87,48%)
Sumber : Daftar Nilai Mata Pelajaran Kelas XI SMA Negeri 1 Plemahan

Pada awal pelaksanaannya, program ini kurang mendapat respon positif dari siswa.
Hal ini ditandai dengan kurangnya tingkat kehadiran dalam kegiatan ekstrakurikuler.
Puslitbang Sindo dalam Sindonews.com (2016) memaparkan beberapa alasan ditolaknya
sistem full day school. Alasan ini berdasarkan jejak pendapat terhadap 400 orang responden.
Hasilnya adalah petama, full day school dianggap memberikan dampak negatif terhadap
anak-anak yaitu membebani anak secara fisik dan psikologis. Pada jam 07.30-09.30 dan jam
10.00- 12.00 adalah waktu untuk belajar formal mencakup semua mata pelajaran yang
diwajibkan belajar di sekolah seperti biasanya sesuai dengan kurikulum nasional.
Jika 1 jam pelajaran di SMA adalah 40 menit, maka dalam 1 hari anak menempuh 6
jam pelajaran formal, yang berarti 30 jam pelajaran dalam 1 minggu. Sebanyak 88%
responden menyatakan penambahan jam masuk sekolah hingga sore hari dapat berpengaruh
terhadap dua hal. Pertama dari aspek fisik dan yang kedua aspek psikologis.

Sebuah rencana dan strategi baru dapat diterapkan dengan baik jika strategi tersebut
selaras dengan kondisi lingkungan yang ada, baik lingkungan internal maupun eksternal
(David, 2011). Setiap kebijakan pendidikan diambil sebagai bentuk evaluasi berdasarkan
pada fakta pendidikan yang sedang berjalan. Menurut Baharudin (2008), pelaksanaan sekolah
full day di Indonesia pada hakekatnya hanya menambah waktu dan memperbanyak materi
pembelajaran di sekolah. Fitzpatrick et. al (2004: 5) menjelaskan, “Evaluation as the
identification, clarification, and application of defensible criteria to determine an evaluation
object’s value (worth or merit) in relation to those criteria”. Evaluasi adalah kegiatan untuk
menentukan suatu nilai objek (berharga atau pantas diterima) dengan melakukan identifikasi,
klarifikasi, dan aplikasi dari kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.

Evaluasi jika dilihat dari cakupannya terdiri dari dua yaitu, evaluasi makro dan
evaluasi mikro (Mardapi, 2012: 28). Evaluasi makro berorientasi pada program pendidikan,
sedangkan evaluasi mikro berfokus pada evaluasi program pembelajaran yang terjadi di
dalam kelas dimana penanggung jawabnya adalah guru. Salah satu peran guru yang paling
penting adalah untuk dapat memotivasi siswa untuk antusias selama kegiatan belajar
mengajar. Menurut Dick, Carey and Carey (2009: 2), “The instruction process has focused
upon the interactive component of the process, namely, the time instructors and learneds
comes together whit the hope that learning will occur.” (Proses pembelajaran terfokus pada
proses interaksi antara komponen- komponen pembelajar, memberikan pemaknaan secara
bersama-sama antara guru dan siswa dengan harapan akan dapat mencapai hasil yang
optimal).

Salah satu kemampuan afektif yang penting adalah motivasi karena motivasi belajar
memiliki peran penting dalam perubahan konsep siswa, berpikir kritis, strategi belajar dan
prestasi belajar (Tuan, Chin, & Shieh, 2005). Menurut Ahmadi, et al (2004) prestasi belajar
yang dicapai seseorang merupakan hasil interaksi berbagai faktor yang mempengaruhinya
baik dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar diri (faktor eksternal) individu.

Perubahan serta inovasi mutlak diperlukan. Akan tetapi, hal ini juga dapat
berpengaruh pada efisiensi serta efektifitas. Menurut Weiss (1972: 4), “The purpose of
evaluation is to measure the effect of program against the goals it set out accomplish as a
means of contributing to sequent decision making about the program and improving future
programming”. Evaluasi diorientasikan untuk mengukur dampak dari suatu
program/kebijakan jika dibandingkan dengan tujuan dari program/kebijakan tersebut.
Kurikulum pendidikan yang berubah –ubah akan dapat mempengaruhi kemampuan siswa
dalam beradaptasi. Di negara maju seperti Jepang, riset menunjukkan angka kematian siswa
tertinggi di dunia yaitu 18.000 siswa bunuh diri pada tahun 1972-2013. Angka kematian
hingga mencapai 60% lebih tinggi daripada rata-rata global (WHO, 2014). Arman (2016)
menyatakan bahwa sebuah riset pada tahun 2005 menunjukkan bahwa bullying serta beban
pelajaran membuat depresi di sekolah.

Motivasi berasal dari kata “motif” yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang
terdapat dalam diri individu, yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat
(Uno, 2009: 3). Motif tidak dapat diamati secara langsung, tetapi dapat diinterpretasikan
dalam tingkah lakunya berupa rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga munculnya
suatu tingkah laku tertentu. Menurut Uno (2009: 3) motivasi merupakan dorongan yang
terdapat dalam diri seseorang untuk berusaha mengadakan perubahan tingkah laku yang lebih
baik dalam memenuhi kebutuhannya. Motif manusia merupakan dorongan, hasrat, keingianan
dan tenaga penggerak lainnya, yang berasal dari dalam dirinya,untuk melakukan sesuatu
menurut (Alex Sobour, 2003: 265).

Dalam setiap proses pembelajaran, tentunya siswa memiliki motivasi belajar yang
berbeda-beda, maka guru harus dapat menganalisa serta mengarahkan siswa untuk selalu
belajar agar dapat mencapai target yang diiinginkan. Motivasi merupakan proses
memperhitungkan intensitas, arah, dan ketekunan seseorang dalam mencapai sebuah tujuan
(Robbins, 2001). Motivasi mempunyai peran yang sangat krusial dalam proses pembelajaran.
motivasi adalah sesuatu yang menyebabkan anda berjalan, membuat anda tetap berjalan, dan
menentukan ke mana anda berusaha berjalan (Slavin, 2009:105).

Menurut Sardiman (2001:73), “Motivasi belajar adalah merupakan faktor psikis yang
bersifat non-intelektual”. Motivasi dalam dunia pendidikan salah satunya dapat digambarkan
sebagai motivasi belajar. Motivasi belajar merupakan faktor psikologis yang berperan dalam
hal menumbuhkan semangat belajar pada suatu individu. Menurut Clayton Alderfer dalam
Hamdhu (2011), “motivasi belajar adalah kecenderungan siswa dalam melakukan segala
kegiatan belajar yang didorong oleh hasrat untuk mencapai prestasi atau hasil belajar sebaik
mungkin. Motivasi belajar dapat muncul karena faktor intrinsik dan ekstrinsik (Mubeen&
Reid, 2006). Faktor intrinsik merupakan faktor-faktor dari diri mahasiswa itu sendiri.

Motivasi belajar dapat muncul karena faktor intrinsik dan ekstrinsik (Mubeen dan
Reid, 2006). Salah satu upaya untuk menumbuhkan motivasi intrinsik adalah suasana serta
kondisi belajar yang kondusif. Faktor intrinsik merupakan faktor-faktor yang muncul dari
setiap peserta didik itu sendiri. Deci dan Ryan melihat motivasi intrinsik sebagai
kecenderungan individu untuk menghubungkan ketertarikan individu terhadap perkembangan
dan penggunaan kemampuan individu (Mubeen dan Reid, 2006).

Pujian, penghargaan, dan kesan baik dapat menjadi motivasi ekstrinsik yang
diperlukan dalam pembelajaran (Mubeen & Reid, 2006). Faktor ekstrinsik merupakan faktor-
faktor yang berasal dari luar peserta didik yang mempengaruhi motivasi belajar. Herter dan
Jackson (dalam Mubeen dan Reid, 2006) menyatakan bahwa, motivasi ekstrinsik tidak hanya
digunakan dalam pembelajaran di kelas melainkan juga di masyarakat dalam bentuk hadiah,
penghargaan masyarakat, dan honor. Kedua jenis motivasi dapat digambarkan sebagai
berikut:

Gambar 1.2 Tipe Motivasi (Mubeen dan Reid, 2016)

Sejalan dengan penelitian sebelumnya, Winarni (2014) berpendapat bahwa terdapat


dua faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa, yaitu faktor internal (dalam) dan faktor
eksternal (luar). Motivasi intrinsik yang terkandung setiap kali orang berperilaku untuk
kepuasan yang melekat dalam perilaku itu sendiri (Sansone, Harackiewicz, 2000:16). Sejalan
dengan masa selama proses belajar, motivasi intrinsik pada siswa umumnya menurun mulai
dari tahun-tahun pertama sekolah dasar hingga sekolah menengah. Hal ini mendasari sekolah
untuk menerapkan berbagai insentif ekstrinsik (extrinsic incentive), yaitu imbalan untuk
pembelajaran yang tidak melekat dalam bahan yang sedang dipelajari (Slavin, 2009:130).
Imbalan ekstrinsik dapat berkisar dari pujian, nilai, penghargaan, hingga hadiah atau imbalan
lain.

Selain dipengaruhi oleh motivasi belajar, hasil belajar juga dapat dipengaruhi oleh
kecerdasan siswa dalam proses belajar. Kecerdasan yang dimiliki oleh siswa dapat dibedakan
menjadi tiga golongan yaitu, kecerdasan inetelektual, kecerdasan emosioanal dan kecerdasan
spiritual. Sumadiredja (2014:22) menjelaskan bahwa, “Menurut laporan The National Center
for Clinical Infan Program, elemen paling kritis bagi keberhasilan siswa belajar di sekolah
adalah memahami bagaimana caranya. Indikator utamanya antara lain adalah kepercayaan
diri, kepenasaran, tujuan, mengendalikan diri, keterhubungan,kapasitas untuk berkomunikasi,
dan kemampuan bekerja sama, ini semua merupakan aspek kecerdasan emosional.

Setiap individu memiliki salah satu faktor internal dari dalam diri, yaitu kecerdasan
emosional (emotional intelligence). Goelman (2003 : 45) mendefinisikan bahwa,
“Kecerdasan emosional (emotional intelligence) adalah kemampuan seperti kemampuan
untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan
hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban
stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa”.

Menurut Santrock (2012) siswa kelas XI masih tergolong dalam kategori remaja.
Umur rata-rata remaja berkisar antara 13-18 tahun. Banyak perubahan yang terjadi pada masa
remaja antara lain perubahan emosi, perubahan fisik, dan perubahan seksualitas. Menurut
Slameto (2003:54), keberhasilan siswa dalam belajar dapat dipengaruhi oleh faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri sendiri, sedangkan faktor
eksternal berasal dari luar diri siswa. Faktor yang berasal dari luar meliputi faktor-faktor yang
berhubungan dengan lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat serta lingkungan keluarga.

Menurut Goleman (1995), ketika otak menerima ancaman atau tekanan, kapasitas
saraf untuk berfikir rasional mengecil, sehingga kapasitas otak “dibajak secara emosional”.
Fenomena itu muncul pada saat kondisi emosi marah, sedih, ketakutan, dan suasana emosi
lain yang membuat kita tertekan dan terancam. Selanjutnya, Goleman menyatakan bahwa
dalam tahap tersebut kapasitas otak beroperasi hanya pada tingkat bertahan hidup. Ketika kita
belajar dalam kondisi demikian, maka kemampuan motivasi belajar menjadi kurang
maksimal karena adanya hambatan emosi.
Jam belajar yang relatif lebih lama dalam sistem full day school terkadang membuat
siswa merasa bosan dan tidak antusias dalam mengikuti pembelajaran, fasilitas belajar yang
mendukung kegiatan belajar peserta didik akan menyebabkan proses belajar mengajar
menyenangkan dan memperoleh hasil belajar yang diharapkan. Campbell (2002) dalam
Tadkiroatun (2011:93) menjelaskankan bahwa, kecerdasan emosional (emotional
intelligence) merupakan kecerdasan dunia batin, kecerdasan yang bersumber pada
pemahaman diri sendiri secara menyeluruh guna menghadapi, merencanakan dan
memecahkan berbagai persoalan. Kecerdasan emosional (emotional intelligence) dalam diri
siswa meliputi kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan
hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan untuk bekerja sama.

Selama ini, banyak teori serta pendapat menyatakan bahwa sukses dalam belajar dan
mendapatkan hasil yang optimal diperlukan Intellectual Quotient (IQ) yang tinggi. Hal ini
karena IQ merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada
gilirannya akan menghasilkan hasil belajar yang optimal. Kenyataannya, dalam proses
pembelajaran di sekolah sering ditemukan siswa yang tidak dapat memperoleh hasil belajar
yang setara dengan kemampuan intelektualnya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan
intelektual tinggi tetapi memperoleh hasil belajar yang relatif rendah, namun ada siswa yang
walaupun kemampuan intelektualnya relatif rendah, dapat meraih hasil belajar yang relatif
tinggi. Itu sebabnya taraf intelektual bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan
keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Goleman (2003:44)
menyatakan bahwa kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan,
sedangkan 80 % di pengaruhi oleh faktor lain. Adapun faktor lain ini salah satunya adalah
kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ).

Menurut Clark (dalam Hidayati et al., 2017) penyebab munculnya full day school
adalah “The growing number of all day programs is the result of a number of factors,
including the greater numbers of singleparent and dual income families in the workforce who
need all day programming for their young children, as well as the belief some that all day
programs better prepare children for school”. Artinya, program full day school muncul
antara lain adalah kurangnya peran serta pengawasan orang tua terhadap anak (khususnya
ayah-ibu pekerja) terhadap perkembangan anak. Perkembangan psikososial remaja dapat
dicirikan sebagai tugas perkembangan yang ditekankan pada pengembangan otonomi,
pembentukan identitas, dan orientasi masa depan (Sanders, 2008). Hal ini mendorong adanya
program baru dari sekolah untuk mengantisipasi fenomena tersebut.
Sebagai perbandingan, sekolah reguler merupakan sekolah umum, tidak memuat
program tambahan secara khusus didalamnya. Sekolah reguler menggunakan kurikulum
nasional yang ditetapkan oleh departemen pendidikan nasional. Pada sekolah reguler terjadi
proses sosialisasi yang lebih luas karena siswa dapat berkumpul dengan teman di sekolah dan
dapat menjalin hubungan dengan masyarakat di luar lingkungan sekolah (Masruroh, 2014).
Secara umum pembelajaran berlangsung dari pagi hingga siang hari, yaitu pukul 07.00-12.30
WIB (Wirawan & Juanita, 2016). Dengan demikian anak memiliki waktu untuk berinteraksi
dengan keluarga dan lingkungan rumah. Dalam hal ini orangtua juga akan memiliki waktu
lebih banyak untuk berinteraksi dengan anak-anak (Drzal, Grining & Carren'o, 2008).

Dakam penelitian yang dilakukan oleh Dien, Karini dan Agustin (2015) dengan judul
“Perbedaan Kecerdasan Emosi Siswa Sekolah Dasar Ditinjau dari Model Pembelajaran
Sekolah Reguler, Sekolah Alam, dan Homeschooling”, menunjukkan bahwa hasil uji
menggunakan One Way Anova menunjukkan p-value 0,035 yang berarti terdapat perbedaan
kecerdasan emosi ditinjau dari model pembelajaran. Hasil uji Post Hoc Tukey menunjukkan
perbedaan kecerdasan emosional siswa yang signifikan terdapat pada model pembelajaran
sekolah reguler dan homeschooling dengan p-value 0,027. Kecerdasan emosional akan
berkembang seiring pengalaman emosional seseorang. Pengalaman yang dialami individu
tidak lepas dari konteks interaksi sosial sebagai stimulus dalam kehidupan sosial.
Berdasarkan penelitian tersebut, dapat dikatakan bahwa emotionall intelligence dapat
memoderasi hubungan negatif antara full day school dengan motivasi belajar.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang, maka rumusan masalah pada


penelitian ini sebagai berikut :

1. Apakah terdapat pengaruh antara Full Day School terhadap motivasi


belajar ?
2. Apakah terdapat pengaruh antara Full Day School terhadap motivasi
belajar dengan Emotional Intelligence sebagai variabel intervening ?

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah
untuk :
1. Menguji pengaruh Full Day School terhadap motivasi belajar.
2. Menguji pengaruh Full Day School terhadap motivasi belajar dengan
Emotional Intelligence sebagai variabel intervening.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian teori di
bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia terkait Full Day School, motivasi
belajar serta Emotional Intelligence.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai Full Day
School, motivasi belajar dan peran Emotional Intelligence sebagai faktor yang
mengintervensi hubungan antara kedua variabel tersebut. Selain itu, penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan referensi maupun sebagai tambahan informasi bagi pihak-pihak terkait,
khususnya yang terkait dengan praktik pengembangan sumber daya manusia
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Motivasi Belajar

2.1.1 Definisi Motivasi

Motivasi adalah suatu perubahan energi di dalam seorang individu yang ditandai
dengan timbulnya reaksi dan kemauan untuk mencapai tujuan. Menurut Santrock (2007),
motivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama. Motivasi merupakan
suatu wujud dari kemauan seseorang yang membuat orang melakukan sesuatu,
mempertahankan sikap tersebut,serta membantu mereka untuk menyelesaikan tugas dan
mencapai target tersebut. Motivasi digunakan untuk menjelaskan keinginan berperilaku, arah
perilaku (pilihan), intensitas perilaku (usaha, berkelanjutan), dan penyelesaian atau prestasi
yang sesungguhnya (Pintrich, 2003).

Setiap individu mempunyai tekad dan kemampuan yang berbeda-beda. Hal ini
menjadi indikator yang nantinya akan berdampak pada individu dalm mencapai sebuah
tujuan. Menurut Slavin yang dikutip oleh Catharina Tri Anni, et al. (2006: 156), motivasi
merupakan proses internal yang mengaktifkan, memandu, dan memelihara perilaku seseorang
secara terus-menerus. Motivasi berasal dari bahasa latin yaitu motivum, yang artinya alasan
sesuatu terjadi, alasan tentang sesuatu hal itu bergerak atau berpindah. Kata motivum
diartikan dalam bahasa Inggris yaitu motivation (Djiwandono, 2006). Pada dasarnya motivasi
itu terjadi karena adanya keinginan untuk memenuhi faktor-faktor yang belum terpenuhi
(Schiffman, 2007).

Mempunyai tujuan yang disertai dengan kemampuan yang memadai tidak akan
berpengaruh signifikan apabila tidak mempunyai tekad untuk mewujudkannya. Tekad dalam
hal ini dapat diartikan sebagai motivasi. Motivasi merupakan sesuatu yang membuat individu
bergerak, memunculkan tingkah laku untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan
yang diharapkan (Sobur, 2003). Karena dalam hal ini motivasi merupakan penyebab
munculnya sinergi antara tujuan serta kemampuan yang dimiliki individu perilaku manusia
untuk bekerja secara optimal dalam mencapai tujuan. Motivasi adalah suatu proses yang
menentukan tingkah kegiatan, intensitas, konsistensi,serta arah umum dari tingkah laku
manusia (Slameto, 2010:120).
Motivasi belajar menjadi salah satu faktor yang turut menentukan keefektifan dalam
proses pembelajaran. Peserta didik yang mempunyai kemampuan akademik yang baik tidak
akan dapat mengaplikasikannya secara optimal jika tidak disertai dengan motivasi belajar
yang kuat. Peserta didik akan belajar dengan sungguh-sungguh jika memiliki motivasi belajar
yang tinggi.

Motivasi belajar merupakan kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk


pemenuhan diri, dan kebutuhan untuk mandiri (McCown, Driscoll, & Ropp, 1997). Setiap
individu memiliki indikator-indikator yang berbeda dalam merefleksikan motivasi. Dalam
hal motivasi belajar, dapat dilihat dari keinginannya untuk berprestasi atau ingin
mengaktualisasikan dirinya serta ingin mandiri. Selanjutya McCown, et al. (1997)
mengatakan bahwa pada konsep motivasi belajar adalah suatu disposisi siswa yang ditandai
dengan 3 ciri yang terdiri dari (1) adanya keinginan dan inisiatif sendiri untuk belajar, (2)
adanya keterlibatan dengan sungguh-sungguh mengerjakan tugas yang diberikan, dan (3)
adanya komitmen untuk terus belajar.

Menurut teori belajar Maslow dalam “Natural unfoldmen/self actualization” dalam


Muhaimin (1996), menjelaskan bahwa, belajar itu berpusat pada kehendak, kesadaran dan
aktifitas peserta didik serta minat yang cukup darinya. Penjelasan tersebut mempunyai arti
bahwa semua proses pembelajaran hingga mencapai hasil belajar akan sangat dipengaruhi
oleh kemauan/kehendak dari seseorang. Tinggi rendahnya motivasi akan berpengaruh pada
sikap seseorang untuk bagaimana menghadapi setiap tantangan yang muncul demi mencapai
target yang maksimal (hasil belajar). Kesimpulannya adalah awal mula belajar berawal dari
motivasi yang timbul pada suatu individu.

Menurut Hanafiah (2010: 26), motivasi merupakan kekuatan (power motivation),


daya pendorong (driving force) atau alat pembangunan kesediaan dan keinginan yang kuat
dalam diri peserta didik untuk belajar secara aktif, kreatif, efektif, inovatif dan menyenangkan
dalam rangka perubahan perilaku, baik dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Tujuan
utama dalam kegiatan pendidikan adalah mendapatkan hasil akhir dari kegiatan itu sendiri,
yaitu prestasi belajar. Winkel (2005: 160), menyebutkan motivasi belajar adalah keseluruhan
daya penggerak psikis didalam siswa yang menimbulkan kegiatan belajar itu demi mencapai
suatu tujuan.

Proses pembelajaran merupakan suatu wujud sinergi antara beberapa komponen,


misalnya antara pengajar dan peserta didik, serta pihak penyelenggara pendidikan (sekolah).
Sekolah harus mampu memenuhi unsur-unsur yang dibutuhkan untuk dapat meningkatkan
motivasi belajar peserta didik. Menurut Uno (2007:3), unsur yang mendukung disini yaitu (1)
adanya hasrat dan keinginan berhasil. (2) adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar. (3)
adanya harapan dan cita-cita masa depan. (4) adanya penghargaan dalam belajar. (5) adanya
kegiatan yang menarik dalam belajar. (6) adanya lngkungan belajar yang kondusif, sehingga
memungkinkan seseorang siswa dapat belajar dengan baik.

2.1.2 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar

Motivasi belajar berhubungan dengan tekad atau kemauan yang dimiliki oleh seorang
peserta didik. Setiap individu mempunyai motivasi masing-masing mengapa ingin mencapai
suatu tujuan tertentu. Apabila tujuan tersebut dapat terpenuhi, maka akan menimbulkan
kepuasaan. Dalam suatu kegiatan pendidikan, setiap pserta didik akan berusaha untuk
mencapai target yang ditentukan dengan hasil yang sebaik-baiknya, yaitu berupa prestasi
belajar. Hal yang membedakan adalah bagaimana setiap individu dapat membangkitkan
motivasi masing-masing demi mencapai tujuan yang ditetapkan, khususnya dalam dunia
pendidikan. Setiap peserta didik mempunyai motivasi yang berbeda-beda dalam menghadapi
tuntutan serta tekanan yang datang. Menurut Santrock (2007), motivasi sendiri mempunyai
dua aspek, yaitu :

1. Motivasi Ekstrinsik, yaitu melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain
(cara untuk mencapai tujuan). Motivasi ekstrinsik sering dipengaruhi oleh insentif
eksternal seperti imbalan dan hukuman. Misalnya, murid belajar keras dalam
menghadapi ujian untuk mendapatkan nilai yang baik. Terdapat dua kegunaan dari
hadiah, yaitu sebagai insentif agar mau mengerjakan tugas, dimana tujuannya adalah
mengontrol perilaku siswa, dan mengandung informasi tentang penguasaan keahlian.
2. Motivasi Intrinsik, yaitu motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu
sendiri (tujuan itu sendiri). Misalnya, murid belajar menghadapi ujian karena dia
senang pada mata pelajaran yang diujikan itu. Murid termotivasi untuk belajar saat
mereka diberi pilihan, senang menghadapi tantangan yang sesuai dengan kemampuan
mereka, dan mendapat imbalan yang mengandung nilai informasional tetapi bukan
dipakai untuk kontrol, misalnya guru memberikan pujian kepada siswa. Terdapat dua
jenis motivasi intrinsik, yaitu:
 Motivasi Intrinsik berdasarkan determinasi diri dan pilihan personal. Dalam
pandangan ini, murid ingin percaya bahwa mereka melakukan sesuatu karena
kemauan sendiri, bukan karena kesuksesan atau imbalan eksternal. Minat
intrinsik siswa akan meningkat jika mereka mempunyai pilihan dan peluang
untuk mengambil tanggung jawab personal atas pembelajaran mereka.
 Motivasi Intrinsik berdasarkan pengalaman optimal. Pengalaman optimal
kebanyakan terjadi ketika orang merasa mampu dan berkonsentrasi penuh saat
melakukan suatu aktivitas serta terlibat dalam tantangan yang mereka anggap
tidak terlalu sulit tetapi juga tidak terlalu mudah.

Motivasi belajar juga dipengaruhi oleh persepsi kemampuan diri, upaya, nilai tugas,
keyakinan terhadap kemampuan, kegelisahan saat tes, cara belajar, orientasi tugas dan
strategi pembelajaran (Brophy, 1998: Garcia, 1995; Garcia & Pintrich, 1995; Nolen &
Haladyna, 1989; Pintrich & Schunk, 1996 dalam Cavas, 2011). Reid (2006) mengemukakan
beberapa variabel yang yang mempengaruhi motivasi belajar, yaitu 1) sikap; 2) persepsi
terhadap tujuan; 3) persepsi terhadap kebutuhan; dan 4) persepsi akan nilai, seperti yang
disajikan pada gambar 2 berikut :

Gambar 2.1 : Variabel yang mempengaruhi motivasi belajar (Reid, 2006)

Keller (1983) yang menyusun hal-hal yang mempengaruhi motivasi belajar agar tetap
terpelihara, antara lain (dalam Siregar, Eveline, & Hartini, 2011) :

a) Attention (Perhatian), proses belajar memerlukan komitmen yang kuat dari peserta
didik. Adanya rasa ingin tahu dan minat memicu motivasi belajar dalam diri siswa.
b) Relevance (Relevansi), korelasi antara materi yang diberikan dengan realita yang ada
pada kehidupan sehari-hari mempengaruhi motivasi belajar siswa. Jika materi yang
diajarkan terdapat relevansi (hubungan) dengan kondisi siswa atau cita-cita, tentunya
akan menambah motivasi belajar.
c) Confidence (Kepercayaan Diri), siswa dengan percaya diri yang tinggi akan mampu
mengantisipasi setiap kesulitan selama proses belajar. Kepercayaan diri yang tinggi
mempunyai pengaruh signifikan pada minat atau motivasi belajar.
d) Satisfaction (Kepuasan), keberhasilan dalam mencapai prestasi secara optimal akan
menghasilkan kepuasan. Kepuasan tersebut secara tidak langsung akan memotivasi
siswa untuk terus belajar guna memperoleh pencapaian yang lebih baik lagi.

Seperti yang disebutkan pada uraian sebelumnya, yaitu nilai atau reward yang
didapatkan apabila mencapai target yang telah ditetapkan. Potensi kemampuan yang dimiliki
oleh peserta didik diarahkan kepada perolehan hal-hal yang diinginkannya dari pihak lain,
dalam hal ini adalah pengajar.

Menurut Slameto (2010: 26), motivasi belajar dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu :

1. Dorongan kognitif, yaitu kebutuhan untuk mengetahuhi, mengerti, dan memecahkan


masalah. Dorongan ini timbul di dalam proses interaksi antara siswa dengan tugas/
masalah.
2. Harga diri, yaitu ada siswa tertentu yang tekun belajar dan melaksanakan tugas-tugas
bukan terutama untuk memperoleh pengetahuan atau kecakapan, tetapi untuk
memperoleh status dan harga diri.
3. Kebutuhan berafiliasi, yaitu kebutuhan untuk menguasai bahan pelajaran/ belajar
dengan niat guna mendapatkan pembenaran dari orang lain/ teman-teman. Kebutuhan
ini sukar dipisahkan dengan harga diri.

Menurut Sardiman (2010: 83), motivasi yang ada pada diri setiap manusia itu
memiliki delapan ciri-ciri dintaranya sebagai berikut, a) tekun menghadapi tugas (dapat
bekerja terus menerus dalam waktu yang lama, tidak pernah berhenti sebelum selesai, b) ulet
menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa). Tidak memerlukan dorongan dari luar untuk
berprestasi sebaik mungkin (tidak cepat puas dengan prestasi yang telah dicapainya), c)
menunjukan minat terhadap bermacam-macam masalah “untuk orang dewasa (misalnya
masalah pembangungan agama, politik, ekonomi, keadilan, pemberantasan korupsi,
penentangan terhadap setiap tindak kriminal, amoral, dan sebagainya), d) lebih senang
bekerja mandiri, e) cepat bosan terhadap tugas-tugas yang rutin (hal-hal yang bersifat
mekanisme, berulang-ulang begitu saja, sehingga kurang kreatif, f) dapat mempertahankan
pendapatnya (kalau sudah yakin akan sesuatu), g) tidak mudah melepaskan hal yang diyakini
itu, h) senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal.

2.1.3 Aspek – Aspek dalam Motivasi Belajar

Motivasi dapat menjadi masalah krusial dalam pendidikan. Hal ini terkait dengan
motivasi bagi peserta didik yang dapat mengembangkan kreatifitas dan inisiatif, dapat
mengarahkan ketekunan dalam melakukan kegiatan belajar. Menurut Yohanie (2015: 48),
motivasi merupakan kekuatan yang dapat mendorong seseorang melakukan kegiatan untuk
mencapai tujuan. Tinggi rendahnya motivasi belajar siswa seringkali dikaitkan dengan
keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai hasil belajar. Motivasi belajar yang baik,
memiliki aspek-aspek (Chernis dan Goleman, 2001), sebagai berikut :

1. Dorongan Mencapai Sesuatu

Salah satu faktor utama munculnya motivasi adalah dimana suatu individu terdorong
keinginan atau hasrat untuk mencapai standart atau kriteria yang telah ditetapkan
demi memperoleh kepuasan. Dalam hal ini tentunya adalah prestasi belajar (raport).
Motivasi belajar memiliki peranan dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang dan
semangat untuk belajar (Sardiman, 2016).

2. Komitmen

Siswa yang mempunyai kesadaran bahwa sebagai seorang siswa, tugasnya adalah
untuk belajar. Kesadaran untuk mengesampingkan hal-hal lain yang dapat
mempengaruhi kontinuitas dalam proses belajar, baik dalam tugas individu maupun
kelompok. Siswa yang memiliki motivasi yang tinggi, belajarnya lebih baik
dibandingkan dengan para siswa yang memiliki motivasi belajar rendah, siswa yan
memiliki motivasi tinggi akan tekun dalam belajar dan terus belajar secara kontinu
tanpa mengenal putus asa serta dapat mengesampingkan hal-hal yang dapat
mengganggu kegiatan belajar (Hawley Yusu, 2003: 14).

3. Inisiatif

Inisiatif merupakan salah satu proses dalam motivasi. Siswa harus mempunyai
kesiapan untuk mengambil tindakan atau sikap untuk melakukan sesuatu atas peluang
atau kesempatan yang ada. Siswa yang memiliki inisiatif tentunya memiliki
pemahaman bahwa tugas-tugas yang diberikan adalah salah satu proses untuk
mencapai target (prestasi) tanpa menunggu dorongan dari pihak lain (orang tua, guru).
Siswa yang memiliki inisiatif, merupakan siswa yang sudah memiliki pemikiran dan
pemahaman sendiri untuk melakukan sesuatu berdasarkan kesempatan yang ada.
Motivasi merupakan kekuatan atau daya dorong yang menggerakkan sekaligus
mengarahkan kehendak dan perilaku seseorang dan segala kekuatannya untuk
mencapai tujuan yang diinginkan, yang muncul dari keinginan memenuhi
kebutuhannya (Anthonius, 2002: 264).

4. Optimis

Kesadaran diri untuk menerima kegagalan serta tidak menyerah untuk terus mencoba
adalah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa. Nilai yang
kurang memuaskan serta kesulitan untuk memahami materi yang disampaikan justru
memupuk hasrat untuk terus meningkatkan kualitas dalam proses belajar. Siswa yang
memiliki sikap-sikap tersebut akan memicu dirinya sendiri untuk dapat mencapai
target yang lebih baik secara terus menerus. Menurut Clayton Alderfer (dalam Hamdu
& Agustina, 2011), motivasi belajar adalah kecenderungan siswa dalam melakukan
kegiatan belajar yang didorong oleh hasrat untuk mencapai prestasi atau hasil belajar
sebaik mungkin.

Siswa yang memiliki motivasi belajar akan benar-benar memperhatikan materi yang
disampaikan. Memiliki sikap untuk memanfaatkan setiap peluang yang ada untuk
mendapatkan prestasi belajar semaksimal mungkin. Selain itu, siswa tersebut juga memiliki
kontinuitas yang baik dalam proses belajar, mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, serta
selalu memiliki kemauan untuk mencari strategi-strategi jitu demi mengakomodasi hasrat
belajar tersebut. Brophy (2004) menjelaskan bahwa, motivasi belajar lebih mengutamakan
respon kognitif, yaitu kecenderungan siswa untuk mencapai aktivitas akademis yang
bermakna dan bermanfaat serta mencoba untuk mendapatkan keuntungan dari aktivitas
tersebut.

2.1.4 Unsur-Unsur Dalam Meningkatkan Motivasi Belajar

Motivasi dapat berupa suatu kekuatan baik dari luar maupun dalam yang
menggerakan manusia untuk bersikap dengan cara tertentu, hal ini memperlihatkan bahwa
motivasi muncul karena adanya suatu kebutuhan. Apabila kebutuhan tersebut dapat
terpenuhi, maka akan menimbulkan suatu kepuasan. Motivasi merupakan keadaan internal
seseorang yang mendorong orang tersebut untuk melakukan sesuatu (Ismail, 2007: 181).
Motivasi belajar merupakan salah satu aspek psikis yang membantu dan mendorong
seseorang untuk mencapai tujuannya. Menurut Brophy (2004), terdapat lima faktor yang
dapat mempengaruhi motivasi belajar siswa, yaitu, a) harapan, b) instruksi langsung, c)
umpan balik (feedback) yang tepat, d) penguatan dan hadiah, serta e) hukuman.

Sebagai pendukung kelima faktor di atas, Sardiman (2000) menyatakan bahwa bentuk
dan cara yang dapat digunakan untuk menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar adalah:

 Pemberian Angka, hal ini disebabkan karena banyak siswa belajar dengan tujuan
utama yaitu untuk mencapai angka/nilai yang baik.
 Persaingan/Kompetisi, hal ini merupakan cara yang umum digunakan untuk
menyesuaikan mutu/standar yang akan diterapkan.
 Ego-involvement, yaitu menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar merasakan
pentingnya tugas dan menerimanya sebagai tantangan sehingga bekerja keras dengan
mempertaruhkan harga diri.
 Memberi Ulangan, hal ini disebabkan karena para siswa akan menjadi giat belajar
kalau mengetahui akan ada ulangan.
 Memberitahukan Hasil, hal ini akan mendorong siswa untuk lebih giat belajar
terutama kalau terjadi kemajuan.
 Pujian, tentunya hal ini adalah sebuah bentuk “reward” atas pencapaian yang
didapatkan. Terlepas dari hasil yang didapatkan, hal ini mempunyai pengaruh
langsung terhadap tingkat kepuasan.
 Hukuman, sebagai sebuah “reinforcement” yang efisien apabila diberikan secara tepat
dan bijak.
 Hasrat untuk belajar, adanya hasrat untuk belajar, berati ada unsur kesengajaan, ada
maksud untuk belajar. Motivasi yang muncul secara natural akan berpotensi
menghasilkan pencapaian yang lebih baik.
 Minat, motivasi erat hubungannya dengan minat. Motivasi muncul karena ada
kebutuhan, begitupun sebaliknya dengan minat.
 Tujuan yang diakui, dengan memahami tujuan yang harus dicapai, akan menimbulkan
gairah untuk terus belajar.
Mengacu pada uraian di atas, pendapat serupa juga dikemukakan oleh Schwartz (2003 dalam
Mubeen & Reid, 2006). Terdapat beberapa cara untuk mendorong tumbuhnya motivasi
belajar seperti yang digambarkan pada diagram berikut:

Seseorang cenderung melakukan sesuatu berdasarkan pada apa hasil yang akan diraih
jika berhasil melakukannya. Dalam dunia akademik, penghargaan yang diberikan atas sebuah
pencapaian adalah salah satu solusi untuk menumbuhkan hasrat untuk belajar pada siswa.
Motivasi untuk terlibat adalah langkah awal untuk mengembangkan ke-mampuan akademik
(Irvin, Meltzer and Dukes, 2007: 5).

2.2 Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional)

2.2.1 Definisi Kecerdasan

Dalam pemahaman di masyarakat, kecerdasan identik dikaitkan sebagai kemampuan


secara intelektual yang ditandai dengan kemampuan akademis yang tinggi. Kecerdasan sering
disebut dengan istilah inteligensi. Inteligensi berasal dari kata Latin intelligence yang berarti
menghubungkan atau menyatukan satu sama lain (Ahmadi, 2009:89). Menurut Wechsler
dalam Uno (2008:59) mendifinisikan kecerdasan sebagai totalitas kemampuan seseorang
untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungan
dengan efektif. Menurut Robert S. Feldman (2012: 344), intelegensi adalah sebuah kapasitas
untuk memahami dunia, berpikir rasional, dan menggunakan akal dalam menghadapi
tantangan. Setiap individu mempunyai tingkat inteligensi yang berbeda- beda. Hal ini dapat
terlihat dengan bagaimana seseorang merespon tekanan atau masalah yang dihadapi.

Baharuddin dan Wahyuni (2008:146) mengemukakan bahwa kecerdasan adalah


kemampuan yang dibawa sejak sejak lahir, yang kemampuan seseorang untuk memecahkan
persoalan yang nyata dan dalam situasi yang bermacam-macam. Pendapat serupa juga
dikemukakan oleh Gardner (2007: 11) bahwa, kecerdasan adalah kemampuan untuk
menyelesaikan masalah atau menciptakan sesuatu yang bernilai dalam suatu budaya.
Armstrong (2013:6), mendefinisikan kecerdasan sebagai berikut: (a) kemampuan untuk
memecahkan suatu masalah; (b) kemampuan untuk menciptakan masalah baru untuk
dipecahkan; serta (c) kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan suatu
pelayanan yang berharga dalam suatu kebudayaan masyarakat.

Menurut M. Alisuf Sabri (2006: 112), kecerdasan merupakan suatu kemampuan


umum individu yang menunjukkan kualitas kecepatan, ketepatan dan kebehasilannya dalam
bertindak berbuat atau memecahkan masalah yang dihadapi. Seperti disebutkan sebelumnya,
tingkat kecerdasan dapat ditinjau dari beberapa aspek, di antaranya kemampuan, kecepatan,
serta ketepatan yang dimiliki seseorang melalui perbuatan dan tindakan dalam memecahkan
suatu masalah serta kemampuan seseorang untuk menciptakan sesuatu yang solutif dan
sustainable. Thobroni dan Mustofa (2005: 49) menyatakan bahwa kecerdasan merupakan
kemampuan untuk menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak ,
memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar.

2.2.2 Definisi Emosi

Emosi berasal dari kata kerja bahasa latin yaitu movere yang berarti menggerakan
atau bergerak, ditambah dengan awalan e sehingga memberi arti kecenderungan untuk
bertindak (Goleman, 2016). Hal serupa juga dikemukakan oleh Efendi (2005) yang
mendefinisikan emosi sebagai suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan
biologis dan psikologis, serta suatu rangkaian kecenderungan untuk bertindak. Terdapat
delapan jenis emosi yang dapat dialami oleh setiap orang, seperti yang dikemukakan oleh
Goleman (2016) yaitu amarah, rasa sedih, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan
juga malu.

Daniel Goleman (1995:411) dalam Rini Hildayani menyatakan bahwa, emosi merujuk
pada suatu perasaan atau pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis serta
serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Menurut Crow and Crow (dalam Sunarto 2002:
149) emosional adalah sebagai berikut “An Emotion, is an affective experience that
accompanies generalized inner adjustment and mental and physiological stirredup states in
the individual, and that shows it self in his overt behavior” (emosional, adalah pengalaman
afektif yang menyertai penyesuaian batin umum, keadaan mental dan fisiologis yang
dijadikan satu dalam individu dan itu ditunjukkan sendiri dalam perilaku sehari-harinya).

Menurut Kaplan dalam (Djaali, 2008:37) emosi adalah keadaan perasaan yang
kompleks mengandung komponen kejiwaan, badan dan perilaku yang berkaitan dengan affect
dan mood. Affect merupakan ekspresi sebagai tampak oleh orang lain dan dapat bervariasi
sebagai respons terhadap perubahan emosi, sedangkan mood adalah suatu perasaan yang
meluas, meresap dan terus menerus yang secara subjektif dialami dan dikatakan oleh individu
dan juga dilihat oleh orang lain.

Menurut Crow and Crow (dalam Sunarto, 2002: 149), “An Emotion, is an affective
experience that accompanies generalized inner adjustment and mental and physiological
stirredup states in the individual, and that shows it self in his overt behavior” (emosional
adalah pengalaman afektif yang menyertai penyesuaian batin umum, keadaan mental dan
fisiologis yang dijadikan satu dalam individu dan itu ditunjukkan sendiri dalam perilaku
sehari-harinya). Reuven Bar-On dalam Uno (2008:69) menjelaskan bahwa kecerdasan
emosional adalah serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan nonkognitif yang
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan
lingkungan.

Kecerdasan emosional dapat memotivasi siswa dalam belajar. Shapori dalam Uno
(2008:67) mengemukakan kecerdasan emosional anak dapat dilihat pada keuletan,
optimisme, motivasi diri, dan antusiasme. Siswa dapat mengembangkan potensi dan
keterampilan yang dimilikinya. J.P Du Preez dalam (Anthony Dio Martin, 2003: 91) emosi
adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu. Setiap individu cenderung mempunyai
sifat dan emosi biasanya terkait erat dengan aktivitas kognitif (berpikir) manusia sebagai hasil
persepsi terhadap situasi.

Dari beberapa pendapat peneliti di atas, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah ciri
khas yang terdapat pada setiap individu yang menggambarkan tentang kondisi psikologis
individu. Emosi dapat dikenali dan dinilai oleh orang lain, salah satunya adalah dengan
mengamati bagaimana tindakan yang dilakukan oleh suatu individu untuk mengekspresikan
apa yang ada di dalam pikiran mereka berdasarkan pada fenomena yang mereka jumpai.
Contoh yang paling mudah untuk mengenali emosi salah satunya dengan mengamati kegiatan
sehari-hari. Emosi sering direfleksikan dengan bagaimana kepekaan diri, kemampuan
menjalin hubungan, serta memahami serta memberikan respon atas apa yang diterima dari
orang lain.

2.3 Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence)

Lawrence E. Shapiro (1997:5) mengemukakan bahwa istilah Emotional Intelligence


(kecerdasan emosional) pertama kali dikemukakan oleh dua ahli psikologi yakni, Peter
Salovey dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk memaparkan kualitas-
kualitas emosional yang berperan penting bagi keberhasilan suatu individu. Salovey dan
Mayer (dalam Casmini, 2012:20) mendefinisikan Emotional Intelligence sebagai “himpunan
bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi
baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan
informasi ini untuk mengembangkan pikiran dan tindakan”. Definisi tersebut mempunyai arti
bahwa dalam setiap individu terdapat aspek kecerdasan selain kecerdasan akademik yang
mempunyai peran yang sama untuk menentukan faktor keberhasilan seseorang. Winanti
(2007), menjelaskan bahwa kecerdasan emosional berkaitan dengan pengarahan tindakan
seseorang dalam kehidupan pribadi maupun sosial.

Setiap individu mempunyai kemampuan yang tidak sama dalam mengelola


kecerdasan emosional. Goleman (2003:512), dalam bukunya yang berjudul “Kecerdasan
Emosional untuk Mencapai Puncak Prestasi” mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan
memotivasi diri sendiri, dan kemampaun mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan
dalam hubungan dengan orang lain. Doug Lennick mengatakan bahwa yang diperlukan untuk
sukses dimulai dengan keterampilan intelektual, tetapi juga memerlukan kecakapan emosi
untuk memanfaatkan potensi bakat mereka secara penuh (Goleman, 2007: 36). Pendapat
serupa juga dinyatakan oleh Amstrong (dalam Tadkiroatun : 2011) bahwa, Emotional
Intelligence dapat didefinisikan sebagai kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak
berdasarkan pemahaman tersebut.

Howard Gardner (dalam Adi W., 2002) mendefinisikan kecerdasan sebagai: (1)
kemampuan untuk memecahkan suatu masalah; (2) kemampuan untuk menciptakan masalah
baru untuk dipecahkan; (3) kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan suatu
pelayanan yang berharga dalam suatu kebudayaan masyarakat. Kemudian Howard Gadner
menyatakan ada delapan jenis kecerdasan pada diri manusia, yaitu: kecerdasan linguistik,
kecerdasan logika-matematika, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal,
kecerdasan musikal, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan kinestetik, dan kecerdasan
naturalis.

Menurut Cooper dan Swaf (dalam Efendi, 2005: 172) pada buku Executive EQ
mendefinisikan kecerdasan emosional sebagaimana berikut. “Emotional Intelligence is the
ability to sense, understand, and effectively apply the power and acumen of emotions as a
source of human energy, information, connection, and influence” (kecerdasan emosional
adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara afektif mengaplikasikan kekuatan
serta kecerdasan emosi sebagai sebuah sumber energi manusia, informasi, hubungan dan
pengaruh).

Berdasarkan beberapa pendapat peneliti di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan


emosional (Emotional Intelligence) adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol,
mengolah, serta mengaplikasikan informasi yang diperoleh tersebut untuk mengembangkan
potensi yang ada dalam individu tersebut agar terus berkembang. Hal ini tidak hanya berlaku
untuk individu tersebut, namun juga bagaimana individu tersebut ketika berinteraksi dengan
orang lain. Salah satu contohnya adalah dalam hal menyelesaikan suatu masalah yang
melibatkan beberapa pihak, maka dituntut suatu solusi/tindakan yang akan berdampak tidak
hanya satu pihak tertentu, namun semuanya.

2.2.2 Komponen - Komponen Kecerdasan Emosional

Secara harfiah, kecerdasan digambarkan sebagai suatu hal yang menggambarkan


kepandaian, kecapakapan maupun kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Kecerdasan dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk mengolah suatu informasi
menjadi suatu pengetahuan kemudian mengaplikasikannya dalam memecahkan suatu
masalah. Alfred Binnet (dalam Susanto, 2016: 15) membagi kecerdasan (intellegence) ke
dalam tiga aspek kemampuan, yaitu: direction, adaptation, dan criticism. (1) direction,
artinya kemampuan untuk memusatkan kepada suatu masalah yang dipecahkan, (2)
adaptation, artinya kemampuan untuk mengadakan adaptasi terhadap suatu masalah yang
dihadapinya secara fleksibel di dalam menghadapi masalah, (3) criticism, artinya kemampuan
untuk mengadakan kritik, baik terhadap masalah yang dihadapi maupun terhadap dirinya
sendiri.

Pendapat lain dikemukakan oleh Salovey (dalam Goleman, 1999:513) yang


menyebutkan beberapa pondasi dasar kecerdasan emosi antara lain:
1. Knowing your emotions, Kemampuan seseorang untuk “mengenal diri sendiri”
merupakan inti dari kecerdasan emosional, yaitu kesadaran untuk mengontrol diri
sendiri. Seseorang yang mengenali emosi dirinya akan peka terhadap suasana hati,
ia akan memiliki kejernihan pikiran sehingga seseorang itu akan mendiri dan
yakin batas-batas yang mereka bangun, kesehatan jiwanya bagus dan cenderung
berfikir positif tentang kehidupan (Goleman, 2003:65).
2. Managing your own emotions, Ketika seseorang telah mampu untuk “mengenali
diri sendiri”, secara tidaklangsung akan mampu untuk mengambil sikap
bagaimana mengontrol emosi dalam diri mereka. Ketepatan dalam menentukan
respon emosional terhadap suatu hal akan berdampak pada kecakapan dalam
menengani suatu masalah. Kemampuan mengelola emosi berdampak positif
terhadap pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda
kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, serta mampu memulihkan kembali
tekanan emosi (Najati, 2002:166).
3. Motivating yourself, motivasi merupakan faktor penggerak dalam diri seseorang
yang membuat individu mengambil suatu tindakan. Motivasi merupakan salah
satu faktor krusial yang erat hubungannya dengan keberhasilan. Kemampuan
untuk mengontrol emosi dalam diri sendiri adalah faktor yang sangat penting
untuk mencapai tujuan dalam menentukan prioritas pada target mana yang ingin
dicapai.tingkat keberhasilan seseorang seringkali dipengaruhi oleh tingkat
kemampuan seseorang dalam mengelola motivasi terhadap diri sendiri.
4. Recognizing and understanding other people’s emotions (Emphaty), keberhasilan
tentunya membutuhkan kontribusi dan kerjasama dari orang lain. Seseorang yang
memiliki empati cenderung peka terhadap fenomena sosial yang tersembunyi dan
mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki oleh orang lain.
Empati menekankan pentingnya mengindra perasaan dan persepektif orang lain
sebagai dasar untuk membangun hubungan interpersonal yang sehat. Menurut
Mustaqim (2001:156) ciri-ciri empati adalah sebagai berikut:
 Ikut merasakan, kepekaan untuk mengetahui perasaan orang lain
 Dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin kita mengetahui emosi diri
sendiri maka semakin terampil kita membaca emosi orang lain
 Peka terhadap bahasa isyarat, karena emosi lebih penting sering diungkapkan
melalui bahasa isyarat
 Mengambil pesan yaitu kemampuan dalam menyimpulkan informasi yang
diperoleh
5. Managing relationships, ie., managing the emotions of others, seseorang yang
telah mampu mengeloal emosi terlihat ketika terjadi interkasi dengan orang lain.
Emosi yang dikelola dengan baik secara tidak langsung akan berpengaruh pada
kualitas hubungan antara seseorang dengan orang lain. Seringkali tinggi
rendahnya kecerdasan emosional seseorang dapat dinilai dari hal di atas. Menurut
Claude Stainer (dalam Agustian, 2004:100), ada beberapa upaya untuk
meningkatkan kualitas dalam berinteraksi yaitu, 1) membuka hati, 2) menjelajahi
dataran emosi, dan 3) mengambil tanggung jawab.

Alfred Binnet (dalam Susanto, 2016: 15) membagi kecerdasan (intellegence) ke


dalam tiga aspek kemampuan, yaitu: direction, adaptation, dan criticism. (1) direction,
artinya kemampuan untuk memusatkan kepada suatu masalah yang dipecahkan, (2)
adaptation, artinya kemampuan untuk mengadakan adaptasi terhadap suatu masalah yang
dihadapinya secara fleksibel di dalam menghadapi masalah, (3) criticism, artinya kemampuan
untuk mengadakan kritik, baik terhadap masalah yang dihadapi maupun terhadap dirinya
sendiri.

Kecerdasan Emosional (EI) bersinergi dengan Keterampilan Kognitif (IQ). Tanpa


kecerdasan emosional (Emotional Intelligence), seseorang tidak akan biasa menggunakan
potensi yang terdapat dalam dirinya secara maksimum, khususnya kemampuan kognitif.
Sering dijumpai seseorang dengan kemampuan kognitif yang sangat baik, ternyata tidak
mampu mendapatkan target yang diharapkan. Salah satunya adalah ketidakmampuan dalam
mengelola serta menganalisa tekanan yang datang dengan tepat karena kurangnya kecerdasan
emosional. Doug Lennick menjelaskan bahwa yang diperlukan untuk sukses dimulai dengan
keterampilan intelektual, tetapi juga memerlukan kecakapan emosi untuk memanfaatkan
potensi bakat mereka secara penuh (Goleman, 2007:36).

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Menurut pendapat yang dijelaskan beberapa ahli, terdapat dua faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosinal seseorang yaitu, faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal berasal dari setiap individu itu sendiri. Faktor lain yang mempengaruhi
kecerdasan emosional adalah faktor eksternal yaitu yang datang dari diri luar individu. Sejak
kecil seseorang mempelajari keterampilan sosial dasar maupun emosional dari orang tua dan
kaum kerabat, tetangga, teman bermain, lingkungan pembelajaran di sekolah dan dari
dukungan sosial lainnya (Goleman, 2003:57). Kemampuan dalam mengontrol serta
menentukan emosi akan sangat berpengaruh dalam kemampuan suatu individu bagaimana
merespon fenomena yang ada di sekitarnya, baik positif maupun negatif. Hal ini tentunya
akan berdampak pada perkembangan individu tersebut. Goleman (2003:59) menjelaskan
bahwa, mengerjakan keterampilan emosi sangat penting untuk mempersiapkan belajar dan
hidup (Goleman, 2003:59).

Menurut Goleman (dalam Zubaedi, 2013: 48) kecerdasan emosional dipengaruhi oleh
tiga faktor, yaitu :

1. Faktor Otak. Bagian otak manusia yang disebut sistem limbik merupakan pusat
emosional. Amigdala menjadi bagian penting dalam mengatur kehidupan yang
berkaitan dengan masalah-masalah emosional. Pemisahan amigdala dari bagian-
bagian otak lainnya akan menyebabkan seseorang tidak mampu dalam menangkap
makna emosional dari suatu peristiwa. Faktor otak ini dapat menjadi faktor internal
kecerdasan emosional.
2. Faktor Pola Asuh Orang Tua. Terdapat tiga bentuk pola asuh orang tua terhadap
anaknya, yaitu otoriter, permisif, dan otoritatif. Orang tua memegang peranan penting
terhadap perkembangan kecerdasan emosional anak. Goleman berpendapat
lingkungan keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak untuk mempelajari
emosional. Faktor ini dapat menjadi faktor eksternal kecerdasan emosional.
3. Faktor Lingkungan Sekolah, sekolah adalah sebuah manajemen yang terdiri dari
beberapa perangkat yang mempunyaiperanan masing-masing. Sebagai contoh, setiap
guru mempunyai metode pengajaran serta gaya kepemimpinan masing-masing yang
tentunya berdampak pada perkembangan peserta didik. Faktor ini ini adalah salah satu
dari faktor eksternal yang mempengaruhi kecerdasan emosional.

Kecerdasan emosional merupakan kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan


orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan
baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain (Daniel Goleman,
2003:512). Huggins-Cooper (2013: 57) menyebut kecerdasan interpersonal sebagai
kecerdasan sosial, dengan memiliki kecerdasan sosial membantu kita untuk memahami
perasaan, motivasi, dan intense orang lain.
Kecerdasan emosional dan kecerdasan akademik menyangkut kemampuan serta
karakteristik yang berbeda tetapi saling melengkapi. Kecerdasan akademik lebih dikenal yaitu
kemampuan – kemampuan kognitif murni yang diukur dengan Intelligence Quotient (IQ).

Menurut Daniel Goleman, (2009:45), kecerdasan emosional merupakan kemampuan


seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi,
mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati
dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan
berdoa. Emotional Intelligence (kecerdasan emosional) mempunyai fungsi sebagai
“pendamping” IQ, sebagai pengendali tekanan yang datang yang tidak dapat hanya dengan
mengandalkan kecerdasan akademik (IQ) yang baik.

Dalam proses pembelajaran di sekolah, banyak orang berpendapat bahwa untuk


meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki Intelligence Quotient
(IQ) yang tinggi, Karena intelegensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan
dalam belajar sehingga menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Menurut Binet dalam
Winkel (1997:529) hakikat intelegensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan
mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai
tujuan itu, dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif. Kecerdasan emosional
yang dimiliki siswa dapat mengendalikan siswa menjadi lebih baik dan dapat mengontrol
emosi.

2.2.4 Aspek – Aspek Kecerdasan Emsosional (Emotional Intelligence)

Kecerdasan emosional menjadi salah satu atribut yang memiliki peranan krusial
dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan emosional berperan dalam kemampuan
mengendalikan emosi serta beradaptasi dengan lingkungan. Kecerdasan emosional
(Emotional Intelligence) sangat berkaitan dengan dimensi-dimensi psikologis seperti
perhatian, minat, konsentrasi, sikap, motivasi, dan kondisi psikologis yang perlu dikenali dan
dikelola secara baik. Stephen Neale dkk (2008:27) membagi kecerdasan emosional menjadi 2
aspek yaitu kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan interpersonal.

Aspek intrapersonal terdiri dari :

1. Self Regard/penghargaan terhadap diri sendiri, yaini seberapa besar seseorang


menghargai dirinya sebagai individu.
2. Self Awareness/kesadaran terhadap diri sendiri, yaini sebuah intuisi atau perasaan
dalam memahami diri sendiri.
3. Self Management/manajemen diri, merupakan pengendalian diri yang meliputi
pengendalian emosi, kepribadian kuat, tujuan/cita-cita, fleksibilitas, hubungan
antarpribadi dan konsisten/dapat dipercaya.

Sementara aspek interpersonal terdiri dari :

1. Regard For Others/menghargai orang lain, yakni seberapa besar seseorang


menghargai orang lain dari. apa yang mereka perbuat.
2. Awareness of Other/kesadaran terhadap orang lain, yakni bagaimana sesorang
menunjukan empati atau kepedulian terhadap orang lain serta mendengarkan atau
memahami perasaan orang lain.
3. Relationship Management/manajemen hubungan, yaitu meliputi kepercayaan, cara
pandang seimbang, ekpresi dan kontrol emosi, kemampuan menangani masalah, serta
ketergantungan terhadap orang lain.

Secara umum, kecerdasan emosional dapat diamati dari perilaku seseorang. Orang yang
memiliki kecerdasan emsoional yang baik cenderung mampu untuk “mengorganisir” emosi.
Mempunyai intuisi yang baik untuk menempatkan emosi dalam waktu dan tempat secara
tepat. Mampu berbaur dengan baik dalam beragam model lingkungan, senantiasa antusias
berhubungan dengan orang lain, serta mampu menghargai orang lain.

Setiap individu dapat meningkatkan kecerdasan emosional masing-masing. Untuk


mencapai hal tersebut, selain komitmen dari dalam diri sendiri juga membutuhkan partisipasi
dari orang lain dan lingkungan. Terdapat beberapa dimensi dalam kecerdasan emosional yang
dapat dieksplorasi untuk meningkatkan kecerdasan emosional. Menurut Safaria (2005: 24-
25), terdapat tiga dimensi kecerdasan emosional, yaitu :

1. Kepekaan Sosial (Social Sensivity), kemampuan seseorang dalam mengamati


perubahan reaksi pada orang lain, dimana perubahan tersebut ditunjukan secara verbal
ataupun non verbal. Seseorang yang mempunyai sensivitas yang tinggi akan cepat dan
mudah menyadari perubahan reaksi dari orang lain, baik reaksi positif dan negatif.
 Sikap Empati, mempunyai dua komponen kognitif dan satu komponen afektif.
Dua komponen kognitif itu adalah pertama, kemampuan individu
mengidentifikasi dan melabelkan perasaan orang lain. Kedua, kemampuan
individu dalam mengasumsikan perspektif orang lain. Satu komponen afektif
adalah kemampuan dalam meresponsifkan emosi.
 Prososial, istilah yang digunakan oleh para ahli sebagai psikologi sebuah
tindakan moral yang harus dilakukan secara kultural seperti berbagi,
membantu seseorang yang membutuhkan, bekerja sama dengan orang lain,
dan mengungkapkan simpati.
2. Pemahaman Sosial (Social Insight), kemampuan seseorang dalam mencari solusi
suatu masalah yang efektif dalam interaksi sosial, sehingga masalah tersebut tidak lagi
menjadi penghambat dalam relasi sosial yang telah dibangun seseorang. Unsur-unsur
pokok dalam social insight adalah kesadaran diri, kesadaran diri yang baik akan
mampu memahami diri anak baik keadaan internal seperti emosi dan eksternal seperti
cara berpakaian dan cara berbicara.
 Berkembangnya Kesadaran Diri, Safaria (2005: 46) mendefinisikan kesadaran diri
sebagai kecenderungan individu untuk dapat menyadari dan memperhatikan aspek
diri internal maupun aspek diri eksternalnya. Aspek diri internal (privat) berkaitan
dengan kemampuan individu dalam menyadari kemampuan internalnya seperti
pikiran, perasaan, emosi-emosi, pengalaman, dan tindakan-tindakan yang diambil.
Sedangkan aspek diri eksternal (publik) adalah kemampuan individu untuk
menyadari penampilan, pola interaksi dengan lingkungan sosial, dan menyadari
situasi yang terjadi di sekeliling individu.
 Pemahaman Situasi Sosial dan Etika Sosial, Etika adalah suatu kaidah sosial yang
mengatur mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan.
Safaria (2005: 65-67) menjelaskan untuk sukses dalam membina dan
mempertahankan sebuah hubungan, individu perlu memahami norma-norma
sosial yang berlaku. Dalam bersosialisasi individu harus memahami kaidah moral.
Ada perbuatan yang harus dilakukan dan ada pula perbuatan yang tidak boleh
dilakukan.
 Pemecahan masalah secara efektif, Semakin tinggi kemampuan seseorang dalam
memecahkan masalah, maka akan semakin positif hasil yang akan didapatkan dari
penyelesaian konflik antar pribadi tersebut. Safaria (2005: 67) menjelaskan setiap
individu membutuhkan keterampilan dalam memecahkan masalah secara efektif,
apalagi jika masalah tersebut berkaitan dengan konflik interpersonal.
3. Komunikasi Sosial (Social Communication), kemampuan individu untuk berasimilasi
dalam suatu proses komunikasi (komunikasi nonverbal, verbal, maupun komunikasi
melalui penampilan fisik) dalam menjalin hubungan antar satu dengan lainnya.
 Kemampuan berkomunikasi dengan santun, Safaria (2005: 132) menjelaskan
komunikasi dapat didefinisikan sebagai sebuah proses penyampaian informasi,
pengertian dan pemahaman antara pengirim dan penerima. Kesimpulannya,
setiap informasi yang disampaikan melalui perantara sinyal, lambang, atau
kode mengandung arti untuk mencapai kesamaan serta pemahaman antara satu
sama lain.
 Kemampuan mendengarkan efektif, Safaria (2005: 165) menyatakan bahwa
mendengarkan adalah proses aktif menerima rangsangan (stimulus) telinga
(aural) dalam bentuk gelombang gelombang suara.

2.4 Full Day School

2.4.1 Pengertian Full Day School

Full Day School secara etimologi berasal dari Bahasa Inggris, yaitu terdiri dari kata
full berarti penuh dan day artinya hari (John M. Echols, Hassan S, 2003). Dari pengertian
keduanya, full day school adalah sekolah atau kegiatan belajar yang dilakukan sehari penuh.
Sukur Basuki dalam (Baharudin, 2010: 221) menyatakan bahwa dalam Full Day School,
sebagian waktunya digunakan untuk program pelajaran yang suasananya informal,
menyenangkan bagi siswa, dan membutuhkan kreativitas serta inovasi dari pendidik.
Sismanto (2007) dalam artikel “Menakar Kapitalisasi Full Day School”, mengungkapkan
bahwa Full Day School merupakan sekolah sepanjang hari dengan proses pembelajaran yang
dimulai dari pukul 06.45-15.00 WIB dengan durasi istirahat setiap 2 jam mata pelajaran.

Miller (2005:1) menyatakan, full day school adalah sebuah program dimana siswa
datang ke sekolah sejak pagi hingga sore untuk belajar dan bersosialisasi. Jadi, siswa selama
sehari penuh berada dalam sekolah dan melakukan segala aktivitas pembelajaran di sekolah.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Wiwik Sulistyaningsih (2008: 59) bahwa, sekolah
bertipe full day ini berlangsung hampir sehari penuh lamanya, yakni dari pukul 08.00 pagi
hingga 15.00 sore.

Full Day School dapat diartikan dengan sekolah sepanjang hari atau proses belajar
mengajar yang dilakukan mulai pukul 06.45-15.00 dengan waktu istirahat setiap dua jam
sekali. Belajar efektif bagi anak itu hanya 3-4 jam sehari (dalam suasana formal) dan 7-8 jam
sehari (dalam suasana informal) (Salim, 2009). Sekolah dapat mengatur jadwal pelajaran
dengan leluasa, disesuaikan dengan bobot mata pelajaran dan ditambah dengan pendalaman
materi. Pengaturan jadwal mata pelajaran dan pendalaman merupakan hal yang diutamakan
dalam Full Day School (Baharudin, 2010: 221).

Hilalah (2009: 22) menjelaskan bahwa, full day school merupakan suatu proses
pembelajaran yang dilaksanakan sehari penuh yang menerapkan dasar integrated curriculum
dan integrated activity yang berarti hampir seluruh aktivitas anak berada di sekolah, mulai
dari belajar, makan, bermain, dan ibadah di kemas dalam dunia pendidikan. Full day school
mengandung arti sistem pendidikan yang menerapkan pembelajaran atau kegiatan belajar
mengajar sehari penuh dengan memadukan sistem pengajaran yang intensif yakni dengan
menambah jam pelajaran untuk mendalam materi pelajaran serta pengembangan diri dan
kreativitas (Nurhidayati, 2017).

Berdasarkan pada pendapat para peneliti diatas, maka dapat disimpulkan bahwa full
day school adalah sebuah inovasi sistem pendidikan yang menerapkan pembelajaran
sepanjang hari sejak pagi hingga sore dimana seluruh aktivitasnya dilakukan di sekolah,
dengan porsi kegiatan yang lebih menarik dan variatif. Kegiatan proses pembelajaran tidak
hanya proses tatap muka seperti umumnya kelas reguler, akan tetapi ditambah dengan
memberikan kegiatan belajar yang aktif dan menyenangkan bagi siswa. Full day scholl
menekankan pada pengembangan serta pendalaman materi pembelajaran, serta
menumbuhkan kreatifitas siswa.

2.4.2 Tujuan Full Day School

Setiap lembaga pendidikan yang ingin mencapai kesuksesan, haruslah menetapkan


tujuan yang akan dicapai. Menurut Arikunto (1993), secara umum lembaga pendidikan
mempunyai tujuan telah dirumuskan dalam berbagai tingkat tujuan, diantaranya yaitu :

1) Tujuan Pendidikan Nasional yaitu tujuan yang hendak dicapai melalui upaya
pendidikan secara menyeluruh. Tujuan pendidikan ini merupakan tujuan umum yang
telah ditentukan oleh pemerintah dan tertera di dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara.
2) Tujuan Institusional yaitu tujuan yang dirumuskan dan hendak dicapai oleh suatu
lembaga pendidikan. Tujuan institusional ini sudah bersifat khusus sesuai dengan apa
yang dihasilkan oleh lembaga tersebut.

3) Tujuan Kurikuler adalah tujuan pendidikan yang akan dicapai melalui bidang studi
tertentu. Dengan kata lain, tujuan kurikuler adalah tujuan untuk tiap-tiap bidang studi.
Dan tujuan kurikuler ini lebih mengarah pada pembentukan pribadi siswa. Di dalam
rumusan tujan kurikuler dapat diketahui bahwa aspek-aspek pribadi yang akan dibina
dan dikembangkan melalui pendidikan bidang studi yang bersangkutan, kepribadian
yang dibina dan dikembangkan tersebut selalu meliputi aspek, yaitu pengetahuan,
ketrampilan dan sikap.

4) Tujuan Instruksional adalah tujuan yang akan dicapai melalui kegiatan pengajaran.
Tujuan instruksional ini dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan instruksional umum dan
tujuan instruksional ini dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan instruksional umum dan
tujuan instruksional khusus. Tujuan instruksional umum adalah tujuan yang akan
dicapai melalui pokok-pokok bahasan, sedangakan tujuan instruksional khusus yaitu
tujuan yang akan dicapai oleh guru dalam pertemuannya dengan siswa di kelas.

Konsep dasar dari sistem pendidikan full day school adalah integrated curriculum dan
integrated activity dengan tujuan meningkatkan tidak hanya kemampuan kognitif, akan tetapi
juga aspek kecerdasan lainnya, misalnya kreatifitas. Kurikulum yang digunakan merupakan
perpaduan antara kurikulum yang ditetapkan pemerintah dan metode pembelajaran yang
diadaptasi untuk mengakomodasi sitem pendidikan full day school. Hal ini berarti bahwa
dengan mengimplementasikan sistem full day school melalui penambahan durasi belajar serta
metode pembelajaran yang lebih variatif akan lebih meningkatkan kualitas hasil belajar.
Menurut Elicker dan Marthur (dalam Priyono, 2009:1) anak yang sekolah full day memiliki
kesiapan belajar yang lebih tinggi daripada anak-anak yang sekolah setengah hari, sehingga
secara tidak langsung hal ini akan berpengaruh pada prestasi anak.

Dionisios Loukeris et al (2009: 162) menyatakan bahwa holoimero school atau full
day school juga dapat dikatakan sebagai full day school memiliki tujuan pelaksanaan
pendidikan. “The basic targets of the operation of the holoimero school are as follows:

 The reinforcement of knowledge and skills that students are taught in the morning
syllabus (study, additional teaching interventions in Language and Mathematics,
consolidating teaching, individualised programmes by the schoolteachers of the
afternoon classes)
 The enrichment of the morning syllabus with more subjects of particular cultural and
social importance (English Language, Sports, Music, Dance, Theatrical Studies, Arts,
New technologies in Education), according to the students’ needs and interests,
taught by specialised teachers.

Dionisios Loukeris dkk (2009: 162) mengungkapkan bahwa tujuan pelaksanaan


pendidikan holoimero school (full day school) adalah untuk menguatkan pengetahuan dan
keterampilan siswa (belajar, intervensi mengajar tambahan bahasa dan matematika, mengajar
konsolidasi, program individual oleh guru sekolah dari kelas sore).

Dalam sebuah sistem terdapat bagian-bagian yang saling bersinergi serta bekerja
bersama-sama dalam mencapai tujuan yang ditentukan. Dick, Carey and Carey (2009: 2)
menyatakan, “A system is technically a set of interrelated parts, all a which work together
toward a defined goal”. (Sebuah sistem merupakan cara berhubungan dari masing- masing
bagian, bekerja secara bersama-sama dalam mencapai tujuan). Reigeluth (1999: 144)
menjelaskan bahwa, “learning is knowledge contruction, is based on the idea that learning
occurs when a learner actively constructs a knowledge representation in working memory”.
(Belajar merupakan proses pembentukan ilmu pengetahuan, prinsip ini didasari pada sebuah
pemikiran bahwa belajar terjadi ketika seorang pembelajar secara aktif melakukan
pembentukan/ membangun ilmu pengetahuan baru pada memori).

Menurut Dick, Carey and Carey (2009: 2), “The instruction process has focused upon
the interactive component of the process, namely, the time instructors and learneds comes
together whit the hope that learning will occur.” (Proses pembelajaran terfokus pada proses
interaksi antara komponen- komponen pembelajar, memberikan pemaknaan secara bersama-
sama antara guru dan siswa dengan harapan akan dapat mencapai hasil yang optimal).
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sekolah memerlukan sistem
pembelajaran yang tepat dan efektif. Adaptasi kurikulum pemerintah dengan sistem full day
school merupakan salah satu upaya untuk mencapai hasil yang optimal dari proses
pembelajaran tersebut.

Secara umum, tujuan sistem pembelajaran full day school adalah untuk memberikan
dasar yang kuat dalam mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan/Intelegence Quotient
(IQ), Emosional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ) melalui berbagai metode yang
variatif dan inovatif. Kurikulum full day school didesain untuk mengembangkan kreatifitas
yang mencakup integritas dan kondisi tiga ranah (ranah kognitif, afektif dan psikomotorik)
(Arikunto, 1993).

2.5. Hubungan antara Full Day School dengan Motivasi Belajar

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan primer dalam hidup. Setelah keluarga,
sekolah sebagai lembaga pendidikan formal diharapkan memiliki kualitas yang diharapakan
serta mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Berawal dari kebutuhan dan
mobilitas masyarakat yang tinggi muncullah konsep pendidikan baru yang dinamakan full
day school (Sukur Basuki, 2007). Baharudin (2009: 224) menyatakan bahwa sekolah yang
bersistem full day school tidak hanya berbasis sekolah formal, namun juga informal. Sistem
pengajaran yang diterapkan sangat menyenangkan (tidak kaku dan monoton). Menurut Salim
dalam (Nurhidayati, 2017) sistem full day school adalah sebuah sistem pembelajaran yang
dilakukan dalam kegiatan belajar mengajar yang dilakukan sehari penuh dengan memadukan
sistem pembelajaran secara intensif dengan memberikan tambahan waktu khusus untuk
pendalaman selama lima hari dan sabtu diisi dengan relaksasi atau kreativitas.

Di sisi lain, secara logika, durasi belajar yang lama akan dapat mengakomodasi tujuan
pengembangan serta pendalaman materi, akan tetapi hal ini secara tidak langsung akan
berpengaruh pada minat belajar seseorang. Dengan penambahan durasi belajar, peserta didik
akan memerlukan tambahan tenaga, maka akan berdampak pada aspek psikologis peserta
didik. Menurut Hamiyah dan Jauhar (2014:102), motivasi belajar merupakan kekuatan mental
yang mendorong terjadinya proses belajar, lemahnya motivasi atau tiadanya motivasi belajar
akan melemahkan kegiatan belajar. Respon berbeda akan muncul, misalnya pro kontra akan
penerapan kebijakan full day school, kemudian berpotensi mempengaruhi motivasi belajar.

Sistem full day school menerapkan beberapa kegiatan tambahan yang berbeda
dibandingkan sekolah reguler. memerlukan tenaga ekstra yang akan berpengaruh pada
motivasi belajar siswa. Menurut (Dalyono, 2015), seseorang yang belajar dengan motivasi
kuat, akan melaksanakan semua kegiatan belajarnya dengan sungguh-sungguh, penuh gairah
atau semangat. Sebaliknya, belajar dengan motivasi yang lemah, akan malas bahkan tidak
mau mengerjakan tugas-tugas yang berhubungan dengan pelajaran.

Sistem full day school seringkali menimbulkan rasa bosan pada siswa. Sistem
pembelajaran dengan pola full day school membutuhkan kesiapan baik fisik, psikologis,
maupun intelektual yang bagus (Hasan, 2006: 115). Durasi waktu belajar yang lebih lama
serta porsi kegiatan yang lebih cenderung menyebabkan kejenuhan pada siswa. Hal ini
memberikan dampak yang berbeda bagi peserta didik. Bagi yang sudah siap secara psikis dan
psikologis, akan merespon sistem ini dengan antusias, sebaliknya hal ini akan berdampak
negatif bagi peserta didik yang belum siap. Peserta didik akan kurang termotivasi, merasa
terbebani serta memerlukan adaptasi lagi dengan sistem kurikulum yang baru. Peserta didik
akan kesulitan untuk mengontrol tenaga dan pikiran mereka selama proses pembelajaran.
Motivasi belajar membuat siswa lebih efisien mengatur waktu dan efektif dalam belajar
(Cobb dalam (Agus Akhmadi, 2012).

Biggs dan Tefler dalam Setyowati (2007) mengemukakan, motivasi belajar pada
siswa dapat menjadi lemah, lemahnya motivasi atau tiadanya motivasi belajar akan
melemahkan kegiatan, sehingga prestasi belajar akan menjadi rendah. Menurut Mc. Donald
(dalam Sardiman, 2014) motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai
dengan munculnya “feeling” dan didahuli dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.

2.6. Hubungan Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional) dengan Full Day


School

Setiap individu memiliki kemampuan untuk mengontrol emosi, kemudian


memberikan respon atau tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kecerdasan yang dimiliki.
Kemampuan tersebut sering disebut dengan inteligensi. Menurut Robert S. Feldman (2012:
344), intelegensi adalah sebuah kapasitas untuk memahami dunia, berpikir rasional, dan
menggunakan akal dalam menghadapi tantangan. Sistem full day school menuntut peserta
didik untuk memiliki kondisi psikis dan psikologis yang baik dan terkoordinasi dengan tepat.
Menurut Elicker dan Marthur (dalam Priyono, 2009:1) anak yang sekolah full day memiliki
kesiapan belajar yang lebih tinggi daripada anak-anak yang sekolah setengah hari, sehingga
secara tidak langsung hal ini akan berpengaruh pada prestasi anak.

Dalam proses pembelajaran, pemahaman umum menganggap Intellectual Quotient


(IQ) sebagai faktor utama dalam mencapai prestasi yang baik. Faktanya, seringkali dijumpai
fenomena dimana peserta didik yang tidak dapat memperoleh hasil belajar yang setara
dengan kemampuan intelektualnya. Di sisi lain terdapat peserta didik yang walaupun
kemampuan intelektualnya relatif rendah, dapat meraih hasil belajar yang relatif tinggi.
Goleman (2003 : 45) mendefinisikan Kecerdasan emosional (emotional intelligence) sebagai
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan
dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga
agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, serta berempati dan berdoa.
Goleman (2003:44) menyatakan bahwa kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20%
bagi kesuksesan, sedangkan 80 % di pengaruhi oleh faktor lain. Adapun faktor lain ini salah
satunya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Intelligence (EI).

Penelitian yang dilakukan Roy, et al (2013) mengenai Emotional Intelligence


Academic Achievement Motivation Among Adolescents: A Relationship Study. Dalam
penelitian tersebut menemukan bahwa terdapat pengaruh positif antara kecerdasan emosional
(emotional intelligence) dan motivasi belajar. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa
siswa dengan motivasi rendah, menengah dan tinggi mempunyai kecerdasan emosional yang
berbeda. Sehingga pada penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat
motivasi belajar maka berbanding lurus dengan tingkat kecerdasan emosional. Hasil
penelitian yang serupa juga ditemukan oleh Nasir dan Masrur (2010) dalam penelitiannya
yang berjudul An Exploration of Emotional Intelligence of the Students of IIUI in Relation to
Gender, Age and Academic Achievement. Penelitian ini meneliti tentang hubungan
kecerdasan emosional (emotional intelligence) dengan gender, umur dan prestasi belajar.
Penelitian ini membuktkan bahwa terdapat pengaruh signifikan antara kecerdasan emosional
dan prestasi belajar.

2.7. Hubungan Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional) dengan Motivasi


Belajar

Emotional Intelligence (EI) menjadi faktor utama selain IQ dalam mencapai prestasi
belajar. Dalam setiap proses pembelajaran, belajar tidak hanya menyangkut peserta didik
dengan buku saja, tetapi juga melibatkan hubungan antara peserta didik dengan yang lain,
serta hubungan antara peserta didik dengan guru. Menurut Salovey dan Mayer dalam
Khodijah (2014), kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali emosi diri
sendiri, mengelola, dan mengungkapkan emosi diri sendiri dengan tepat, memotivasi diri,
mengenali orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain.

Emotional Intelligence (kecerdasan emosional) mempengaruhi kesiapan seseorang


untuk berpikir dan bertindak dengan suatu cara tertentu. Penelitian dilakukan oleh Roy et al
(2013) menemukan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan antara kecerdasan
emosional (emotional intelligence) dan prestasi belajar, sehingga prestasi belajar tidak hanya
tergantung pada kecerdasan intelektual (IQ) saja, namun indikator prestasi belajar juga
dipengaruhi oleh kecerdasan emosional (emotional intelligence). Hal ini berlaku pada
kesiapan peserta didik dalam beradaptasi dengan sistem pendidikan yang baru. Emosi dapat
berakhir ketika perhatian seseorang dialihkan pada masalah yang berbeda, akan tetapi emosi
dapat berlangsung ketika terjadi perubahan masalah yang signifikan (Brewer & Hewstone,
2004). Motivasi belajar tidak hanya menjadi pendorong untuk mencapai prestasi yang baik,
akan tetapi di dalam motivasi belajar juga terkandung pemahaman dan perkembangan dalam
belajar (Santrock, 2010). Menurut Heward (1996), karakteristik motivasi belajar yang baik di
antaranya adalah keinginan belajar, menyelidiki, serta mencari lebih banyak informasi.

Peserta didik akan lebih termotivasi dalam belajar apabila mereka menemukan
“ketertarikan”. Motivasi belajar yang dimiliki oleh siswa dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor baik secara ekstrinsik dan intrinsik (McCown, 1997). Motivasi ekstrinsik adalah hal
atau keadaan yang datang dari luar individu, sehingga dapat meningkatkan motivasi intrinsik
yang dapat mendorong individu untuk belajar. Salah satunya adalah interkasi yang baik antar
peserta didik dan dengan pengajar. Menurut Lynn (2002), kecerdasan emosional merupakan
dimensi dari kecerdasan yang bertanggung jawab dalam mengatur diri sendiri dan hubungan
dengan orang lain. Kecerdasan emosional merujuk pada kemampuan untuk mengenali emosi
diri sendiri dan orang lain, memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi diri
sendiri dengan baik dan dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 2016) Motivasi
intrinsik adalah hal atau keadaan yang datang dari dalam individu yang dapat mendorong
individu tersebut untuk melakukan kegiatan belajar, salah satunya adalah aspek emosi
(McCown, 1997).

2.8 Penelitian Terdahulu

Penelitian ini menggunakan penelitian terdahulu sebagai salah satu acuan dan
pembanding. Terdapat beberapa penelitian yang sejenis yang dapat digunakan sebagai
referensi serta memperkaya teori. Penulis tidak menemukan penelitian yang serupa, akan
tetapi menemukan penelitian dengan tema yang sejenis sesuai dengan variabel yang diteliti.

Penelitian yang dilakukan oleh Qonitah Nuraini (2018) berjudul “Pengaruh


Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence) dan Efikasi Diri Terhadap Stres Akademik
Siswa Full Day School SMPIT Insan Permata, Malang”. Penelitian ini membahas pengaruh
efikasi diri serta kecerdasan emosional (emotional intelligence) terhadap stress akademik
pada siswa full day school di sekolah tersebut. Penelitian menggunakan metode pendekatan
kuantitatif. Penelitian melibatkan siswa kelas VII SMPIT Insan Permata Malang sebanyak 46
siswa, menggunakan instrumen skala efikasi diri dari General Self-Efficay Scale (GSE) oleh
Schwarzer, R & Jerusalem, M (1995), untuk skala kecerdasan emosional menggunakan alat
ukur Schutte Self-Report Emotional Intelligence Test (SSEIT) oleh Salovey and Mayer
(1990), dan skala stres akademik yang diadaptasi dari Perceived Stress Scale yang kemudian
menjadi Classic Scale sejak tahun 1983.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat stres akademik siswa SMPIT Insan
Permata Malang 69,6% berada dikategori sedang, 10,9% berada dikategori tinggi dan 19,6%
berada di kategori rendah. Pada tingkat efikasi diri 63% berada dikategori sedang, 17,4%
berada dikategori tinggi, dan 19,6% berada dikategori rendah. Pada tingkat kecerdasan
emosional 69,6% berada dikategori sedang, 19,6% berada dikategori tinggi dan 10,9% berada
dikategori rendah. Hasil hipotesis penelitian adalah pengaruh efikasi diri terhadap stres
akademik diperoleh nilai signifikansi 0,467 (p > 0,05) dan R square = 0,012. Pengaruh
kecerdasan emosional terhadap stres akademik diperoleh nilai signifikansi 0,034 (p > 0,05)
dan R square = 0, 098. Pengaruh efikasi diri dan kecerdasan emosional terhadap stres
akademik diperoleh nilai signifikansi 0,088 (p > 0,05) dan R square = 0,107. Maka dapat
disimpulkan bahwa efikasi diri dan kecerdasan emosional tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap stres akademik siswa full day school SMPIT Insan Permata Malang.

Penelitian yang dilakukan oleh Farhana Wan Yunus, Sharifah Muzlia Syed Mustafa,
Norsidah Nordin, dan Melissa Malik (2014) dari Faculty of Education, Universiti Teknologi
MARA, Malaysia berjudul “Comparative Study of Part-Time and Full-Time Students,
Emotional Intelligence, Psychological Well-Being and Life Satisfactions in the Era of New
Technology”. Penelitian ini membahas tentang perbandingan antara murid dengan sistem
pembelajaran “part-time” dengan murid “full-time”. Variebel yang diteliti adalah emotional
intelligence, kepuasan hidup, dan kondisi psikologis. Penelitian ini melibatkan sebanyak 67
murid sebagai subjek penelitian. Faktor yang melatarbelakangi penelitian ini adalah keluhan
murid terhadap sistem pembelajaran. Mereka merasakan tekanan dan stres dalam memenuhi
tugas, performa yang buruk selama proses pembelajaran, serta kesulitan mencapai target
standart pembelajaran. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara siswa sistem “part-time” dengan “full-time” dari segi emotional intelligence. Namun
tidak terdapat perbedaan signifikan dari segi kondisi psikologis dan kepuasan hidup.

Penelitian yang dilakukan oleh Karuna Gupta dan Dshavinder Singh (2016) berjudul
“Emotional Intelligence in Relation to Academic Achievement of Secondary Students”.
Penelitian ini melibatkan siswa di Sekolah Menengah (Pria = 80, Wanita = 80). Variabel yang
diteliti adalah Emotional Intelligence dan Prestasi Belajar. Alat instrumen yang digunakan
adalah skala emotional intelligence oleh Dhar, Hyde dan Pethe (2002), untuk menilai
kecerdasan emosional. Prestasi belajar menggunakan raport semester seblumnya sebagai
acuan. Fenomena yang ditemukan antara lain adalah gender tidak mempunyai pengaruh
signifikan terhadap emotional intelligence pada siswa. Terdapat hubungan positif yang
signifikan antara emotional intelligence dan prestasi belajar pada siswa sekolah menengah.
Kesimpulan lain dari penelitian ini adalah pengembangan kurikulum harus berintegrasi
dengan faktor emotional intelligence.
BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual menjelaskan secara teoritis tentang bagaimana hubungan teori-


teori di dalam variabel-variabel penelitian yang ingin diteliti, yaitu variabel bebas dan
variabel terikat. Berikut model konseptual dengan penjelasan yang berhubungan dengan
setiap variabel.

Intellegence (Alfred Kemampuan merasakan, memahami, Faktor yang mempengaruhi motivasi


Binnet (dalam dan secara afektif mengaplikasikan belajar (Santrock, 2007)
Susanto, 2016: 15) kekuatan serta kecerdasan emosi sebagai
sebuah sumber energi manusia,
informasi, hubungan dan pengaruh
(Cooper dan Swaf (dalam Efendi, 2005: Motivasi motivasi internal untuk melakukan sesuatu
172) Intrinsik demi sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri).

Motivasi melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu


Full Day School merupakan suatu Ekstrinsik yang lain (cara untuk mencapai tujuan)
proses pembelajaran yang dilaksanakan
sehari penuh yang menerapkan dasar
integrated curriculum dan integrated
activity (Hilalah, 2009: 22)

Full Day School (X) Motivasi Belajar (Y)


(McCown, et al, 1997)
(Miller, 2005:1)

Emotional Intelligence (Z)


(Goleman, 2003:512) Prestasi Belajar

Gambar 3.1
Kerangka Konseptual

Menurut Usmara (2006), motivasi adalah suatu kumpulan kekuatan tenaga yang
berasal baik dari dalam maupun luar individu yang memulai sikap dan menetapkan bentuk,
arah, serta intensitasnya. Hal ini mengandung arti bahwa motivasi adalah dorongan yang
berasal dari dalam maupun luar seorang individu untuk mengambil suatu keputusan dalam
memenuhi suatu target yang ingin dicapai. Menurut McClelland (Usmara, 2006)
menyebutkan bahwa dalam motivasi terdapat tiga kebutuhan pada manusia antara lain,
Kebutuhan Berprestasi (Need For Achievement), Kebutuhan Berafiliasi (Need For Afiliation)
dan Kebutuhan Kekuasaan (Need For Power).

Motivasi dapat berupa suatu kekuatan baik dari luar maupun dalam yang
menggerakan manusia untuk bersikap dengan cara tertentu, hal ini memperlihatkan bahwa
motivasi muncul karena adanya suatu kebutuhan. Apabila kebutuhan tersebut dapat
terpenuhi, maka akan menimbulkan suatu kepuasan. Motivasi belajar mendorong seseorang
untuk mencapai prestasi belajar sebaik mungkin. Clayton Alderfer (dalam Hamdu &
Agustina, 2011) menjelaskan bahwa motivasi belajar adalah kecenderungan siswa dalam
melakukan kegiatan belajar yang didorong oleh hasrat untuk mencapai prestasi atau hasil
belajar sebaik mungkin. Dorongan yang muncul untuk mendapatkan hasil atau prestasi
belajar adalah faktor yang melatarbelakangi suatu individu untuk melakukan suatu kegiatan
belajar mengajar. Sedangkan menurut Hodgetts dan Luthans (dalam Usmara, 2006)
mengemukakan bahwa motivasi sebagai proses psikologis melalui keinginan yang belum
terpuaskan, yang diarahkan ke pencapaian tujuan/insentif.

Salah satu faktor yang dapat meningkatkan motivasi belajar adalah kurikulum
pendidikan yang dapat merangsang serta mengakomodasi kebutuhan peserta didik. Menurut
Nurhidayati (2017), Full Day School mengandung arti sistem pendidikan yang menerapkan
pembelajaran atau kegiatan belajar mengajar sehari penuh dengan memadukan sistem
pengajaran yang intensif yakni dengan menambah jam pelajaran untuk mendalami materi
pelajaran serta pengembangan diri dan kreativitas (Nurhidayati, 2017). Diharapkan dengan
menambah durasi belajar, maka akan dapat mengoptimalkan kegiatan belajar mengajar
sehingga mencapai prestasi belajar sebaik mungkin. Full Day School merupakan sebuah
sistem pembelajaran yang dilakukan dalam waktu sehari penuh, yaitu dilaksanakan dari pukul
06.45-15.00. Program ini menerapkan sistem pembelajaran secara intensif yaitu dengan
memberikan waktu khusus selama lima hari untuk pendalaman materi dan satu hari untuk
kegiatan ekstrakulikuler (Sururi, 2012).

Di sisi lain, sistem ini juga terdapat kelemahan, yaitu durasi pembelajaran yang relatif
lama terkadang membuat peserta didik merasa bosan dan kurang antusias dalam mengikuti
pembelajaran. Faktor lainnya adalah sistem pendidikan ini membutuhkan waktu bagi peserta
didik untuk beradaptasi. Setiap peserta didik memiliki pola pembelajaran yang berbeda-beda
dalam memotivasi diri sendiri dalam melakukan kegiatan belajar mengajar. Penelitian
Mappeasse (2009) menjelaskan bahwa, untuk dapat belajar mata pelajaran dengan baik harus
mempunyai motivasi yang tinggi, baik motivasi intrinsik maupun ekstrinsik, sehingga dapat
memperkecil potensi kurang optimalnya penyerapan materioleh siswa.

Menurut (Dalyono, 2015), seseorang yang belajar dengan motivasi kuat, akan
melaksanakan semua kegiatan belajarnya dengan sungguh-sungguh, penuh gairah atau
semangat. Sebaliknya, belajar dengan motivasi yang lemah, akan malas bahkan tidak mau
mengerjakan tugas-tugas yang berhubungan dengan pelajaran.

Salah satu hal yang berpengaruh dalam motivasi belajar adalah Emotional Intelligence
(Kecerdasan Emosional). Kecerdasan emosional atau Emotional Intelligence adalah
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan
dorongan hati, dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga
agar beban tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan berdoa (Goleman, 2005).

Dalam Goleman (2005) seorang ahli psikologi “Gardner” berpendapat ada dua macam
kerangka kerja kecerdasan emosional yaitu kecakapan pribadi dan kecakapan. Adapun kelima
ciri kecerdasan emosional seseorang menurut Goleman (2005) yakni: kesadaran diri,
pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial.

Masa remaja adalah masa pertumbuhan. Di Indonesia, rata-rata umur siswa pada
Sekolah Menengah Atas (SMA) umumnya berusia 14-18 tahun. Pada usia tersebut setiap
individu mengalami perkembangan/masa peralihan yang meliputi aspek biologis, kognitif,
dan sosioemosi. Aspek kognitif dan aspek sosioemosi merupakan perubahan yang terjadi
secara psikologis. Santrock (2010) mengatakan bahwa aspek biologis mencakup perubahan
secara fisik, aspek kognitif mencakup perkembangan pikiran, intelegensi, dan bahasa, aspek
sosioemosi meliputi perkembangan dalam hubungan dengan orang lain, emosi, kepribadian,
dan kehidupan sosial.

Penelitian ini berfokus pada pengaruh Full Day School terhadap motivasi belajar
peserta didik yang berdampak pada antusiasme serta prestasi belajar yang dicapai dengan
Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional) sebagai variabel moderator. Kunci dalam
mengukur motivasi adalah dengan melihat perilaku-perilaku yang menunjukkan motivasi
tinggi dan motivasi rendah (Mubeen & Reid, 2006). Penelitian-penelitian di bidang
pendidikan sains menunjukkan bahwa motivasi belajar berpengaruh positif terhadap prestasi
mahasiswa (Cetin-dindar & Geban, 2006). Bhatia menyatakan dalam upaya pencapaian
tujuan pembelajaran, motivasi belajar merupakan sebuah aspek yang menentukan (Mubeen &
Reid, 2006).

Full Day School sebagai variabel bebas diasumsikan mempunyai pengaruh terhadap
motivasi belajar sebagai variabel terikat. Emotional Intelligence sebagai variabel moderator,
yaitu variabel yang secara teoritis diasumsikan mempunyai peran memeperkuat atau
memperlemah pengaruh Full Day School terhadap motivasi belajar. Variabel moderator
mengemuka sebagai sebuah fungsi variabel independen yang berlaku dalam situasi apapun,
serta membantu mengonsepkan dan menjelaskan pengaruh variabel independen terhadap
variabel dependen (Sekaran, 2011). Berdasarkan pada asumsi-asumsi tersebut, maka fokus
analisis dagambarkan sebagai berikut :

Full Day School (X) Motivasi Belajar (Y)

Emotional
Intelligence (Z)

Gambar 3.2
Analisis Penelitian

3.2 Hipotesis Peneltitian

Hipotesis menurut Hewston (2006:720) adalah hubungan yang dapat dijelaskan


melalui hubungan antar fenomena. Berdasarkan pada analisis penelitian serta mengacu pada
penelitian terdahulu, maka dapat disimpulkan hipotesis penelitian, yaitu :

H1 : Terdapat pengaruh full day school terhadap motivasi belajar


H2 : Terdapat pengaruh full day school terhadap motivasi belajar dengan emotional
intelligence sebagai variabel moderator
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Tipe Penelitian

Penelitian dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori dasar: kuantitatif, kualitatif


dan penelitian metode campuran (Creswell, 2008; Cohen et al., 2007; Gliner et al., 2009;
Kothari, 2010). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kuantitatif.
Menurut Smith et al (1979), penelitian kuantitatif menggunakan prinsip tradisional, positivis,
eksperimental, atau metode empiris untuk menanyakan masalah yang diidentifikasi.
Kuantitatif didasarkan pada pengujian teori, diukur dengan angka, dan dianalisis
menggunakan teknik statistik terutama menekankan objektivitas dan reproduktifitas (Smith et
al., 1979). Sementara itu, Kerlinger & Lee (2000) menjelaskan bahwa penelitian kuantitatif
bersifat deduktif, dan yang dilakukan peneliti kesimpulan berdasarkan pengamatan langsung
dengan tujuan utama untuk menggambarkan penyebab dan efek.

Penelitian ini menggunakan metode survei untuk teknik pengumpulan data dan
menggunakan instrumen penelitian kuesioner. Metode survei melibatkan pengumpulan dari
sampel elemen yang diambil dari populasi melalui kuesioner dengan tujuan untuk
mengetahui atau menemukan hubungan sebab-akibat antar variabel yang diteliti (Indrawan &
Yaniawati, 2014).

4.2 Identifikasi Variabel Penelitian

In order to carry out any sort of measurement, we need to think about variables; that
is, characteristics that vary from one person to person, text to text, or object to object. Simply
put, variables are features or qualities that change (Mack & Gass, 2005). Penelitian ini
melibatkan tiga variabel yaitu :

a) Variabel Independen (X), adalah variabel yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.
Variabel yang menentukan efek pada variabel dependen (X) (Mack & Gass, 2005).
Variabel independen atau bebas (X) dalam penelitian ini adalah full day school.
b) Variabel Dependen (Y), adalah variabel yang dilihat atau diukur berdsarakan pada
efek yang dihasilkan oleh variabel independen (X) (Mack & Gass, 2005). Variabel
dependen atau terikat (Y) dalam penelitian ini adalah motivasi belajar.
c) Variabel Moderator (Z) adalah variabel yang mungkin atau mempengaruhi hasil dari
sebuah interaksi antara variabel independen (X) dengan variabel dependen (Y) atau
variabel yang lain (Mack & Gass, 2005). Variabel moderator dalam penelitian ini
adalah emotional intelligence.

4.3 Definisi Operasional Variabel Penelitian

a. Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional)

Goleman (2007: 512), mengemukakan kecerdasan emosional adalah


kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga
keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran diri,
pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial.

b. Motivasi Belajar

Motivasi belajar merupakan kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk


pemenuhan diri, dan kebutuhan untuk mandiri (McCown, Driscoll, & Ropp, 1997).
Setiap individu memiliki indikator-indikator yang berbeda dalam merefleksikan
motivasi. Dalam hal motivasi belajar, dapat dilihat dari keinginannya untuk
berprestasi atau ingin mengaktualisasikan dirinya serta ingin mandiri.

c. Full Day School

Miller (2005:1) menyatakan, full day school adalah sebuah program dimana
siswa datang ke sekolah sejak pagi hingga sore untuk belajar dan bersosialisasi.
Selama sehari penuh siswa berada di sekolah dan melakukan segala aktivitas
pembelajaran di sekolah.

4.4 Populasi dan Sampel Penelitian

4.4.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah semua anggota dari setiap kelas seperti orang, peristiwa, atau objek
yang didefinisikan dengan baik (Ary et al, 2010, 148). Populasi merupakan keseluruhan
subjek yang memiliki kualitas dan karakteristik tertentu.

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMAN 1 Plemahan. Alasan
pemilihan subjek tersebut karena siswa kelas XI SMAN 1 Plemahan memenuhi syarat
penelitian, yaitu mempunyai pengalaman full day school minimal selama 1 tahun. Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X1 SMAN 1 Plemahan sebanyak 210 siswa.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMAN 1 Plemahan
sebanyak 148 siswa. Pemilihan subjek untuk menjadi sampel dalam penelitian ini
menggunakan teknik purposive sampling. Ciri-ciri subjek yang dijadikan sample dalam
penelitian ini adalah siswa yang menempuh pendidikan di SMAN 1 Plemahan dan siswa
kelas XI SMAN 1 Plemahan yang sudah memiliki rapor serta mempunyai pengalaman full
day school minimal 1 tahun.

4.4.2 Teknik Pengambilan Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang memiliki kualitas dan karakteristik tertentu.
Menurut Ary et. al., (2010: 148) sampel adalah sebagian dari suatu populasi. Pengambilan
sampel adalah proses memilih sejumlah individu untuk studi sedemikian rupa sehingga
individu tersebut mewakili kelompok besar dari mana mereka dipilih (LR Gay, p: 123).
Dalam memilih sampel, sampel harus mewakili populasi. Setelah peneliti mengidentifikasi
populasi, langkah selanjutnya adalah memilih sampel.

Penelitian ini menggunakan teknik probability sampling dimana seluruh anggota


populasi memiliki peluang yang sama untuk dijadikan sampel (Juliandi dkk, 2014). Berkaitan
dengan penentuan besaran sampel, penelitian ini mengacu pada formulasi Krejcie dan
Morgan dengan rumus sebagai berikut:

 2 .N.P(1  P)
n
(N  1).d 2   2 .P(1  P)

Keterangan:

n = besar sampel yang diinginkan

2 = nilai Chi Squares (3,841)


N = jumlah populasi

P = proporsi populasi (0,5)

d = derajat ketelitian yang diterima dalam proporsi (5%)


Krejcie and Morgan (1970) menyederhanakan penentuan besaran sampel dengan
sebuah tabel yang memastikan penentuan sampel yang baik. Tabel 4.2 memberikan
generalisasi untuk penentuan besaran sampel. Berdasarkan tabel Krejcie dan Morgan dengan
P = 0.5, d = 5%, tingkat kepercayaan sebesar 95% dan jumlah populasi 90 orang maka
jumlah besaran sampel untuk penelitian ini adalah 73 orang.

Tabel 4.2. Daftar Perkiraan Besaran Sampel Menurut Krejcie dan Morgan

Jenis probability sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah stratified
random sampling yang digunakan apabila dalam suatu populasi memiliki beberapa kelompok
yang karakteristiknya berbeda seperti jenjang pendidikan atau jabatan (Juliandi dkk, 2014).
Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan sampel kelompok seperti:
p
n   s


Keterangan :

n = Sampel Kelompok P = Populasi Keseluruhan

p = Populasi Kelompok s = Sampel yang telah ditentukan

4.5. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode kuantitaif dan emnggunakan survei dengan


menyebarkan kuisioner kepada responden untuk mengumpulkan data. Berikut adalah
instrumen penelitian untuk mengukur masing – masing variabel dalam penelitian ini.

4.5.1. Alat Ukur Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional)

Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional) diukur dengan menggunakan skala


Schutte Self-Report Emotional Intelligence Test (SSEIT) oleh Salovey and Mayer (1990)
yang telah dimodifikasi oleh peneliti. Skala ini terdiri dari 24 item dengan beberapa aspek
yaitu aspek kesadaran diri (emotions), pengaturan diri (managing emotions), motivasi diri
(self-motivacy), mengenali emosi orang lain (emphaty) dan ketrampilan sosial (relationship to
other).

Instrumen Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence) dalam penelitian ini diukur


menggunakan skala Schutte Self-Report Emotional Intelligence Test (SSEIT) yang
dikembangkan oleh Salovey and Mayer (1990) yang terdiri dari 5 dimensi. Alat ukur ini
menggunakan skala Likert dari 1 = sangat tidak setuju hingga 5 = sangat setuju.

Tabel 4.3. Blue Print skala pengukuran Emotional Intelligence

Variabel No Item Angket Jumlah


Aspek
Positif Negatif Item
Kecerdasan Kesadaran Diri
Emosional 1,2,3,6 4,5 6
(Emotional (Emotions)

Intelligence) Pengaturan Diri 7,8 9 3


(Managing Emotions)

Motivasi Diri
10,12,13 11,14 5
(Self-Motivate)

Mengenali Emosi
Orang Lain
15,16,17 18,19 5
(Emphaty)

Ketrampilan Sosial

(Relationship to 20,21,23 22,24 5


Other)

4.5.2. Alat Ukur Motivasi Belajar

Tujuan dari dibuatnya instrumen ini untuk mengetahui motivasi belajar siswa dalam
penelitian “Pengaruh Full Day School Terhadap Motivasi Belajar Dengan Emotional
Intelligence sebagai Variabel Moderator”. Motivasi belajar yang dipandang sebagai dorongan
mental yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku belajar motivasi dapat dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu: (1) Motivasi intrinsik yang didefinisikan sebagai motivasi yang
muncul dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu. (2) Motivasi ekstrinsik yang
didefinisikan sebagai motivasi yang muncul karena adanya rangsangan dari luar. Frith
(2006) menyatakan bahwa motivasi intrinsik dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu: (1)
Curiosity (keingintahuan), (2) Self-Efficacy (Kepercayan diri akan keberhasilan), (3) Attitude
(sikap), (4) Need (kebutuhan), dan (5) Competency (Persaingan).

Skala ini terdiri dari 34 item, positif dan negatif. Skala pengukuran yang digunakan
adalah 5 skala pengukuran dari 1 = sangat tidak setuju hingga 5 = sangat setuju. 34 item
pertanyaan tersebut dibagi menjadi 23 item yang berkaitan dengan dimensi motivasi intrinsik
motivasi belajar seperti, “Pada awal pembelajaran, ada sesuatu hal yang menarik bagi Saya”.
Sedangkan 11 item berkaitan dengan dimensi motivasi ekstrinsik motivasi belajar seperti,
“Nilai yang saya dapatkan membuat saya berusaha belajar lebih rajin lagi”.
Tabel 4.4. Blue Print skala pengukuran Motivasi Belajar

No Jenis Motivasi No Item Angket Jumlah


1 Motivasi Intrinsik Positif Negatif Item
Keingintahuan
2, 6, 14, 20, 21 5
(Curiosity)

Kepercayaan diri akan


keberhasilan
13, 25, 29 3 4
(Self-Efficacy)

Sikap
1, 4, 19, 32 31 5
(Attitude)

Kebutuhan
5,10, 24, 30, 33 5
(Need)

Persaingan
11, 16, 17, 27 4
(Competency)

2 Motivasi Ekstrinsik 7, 8, 9, 15, 18, 23, 28 12, 22, 26, 34 11


Jumlah 28 6 34

4.5.3. Alat Ukur Full Day School

Model evaluasi yang paling tepat untuk mengevaluasi suatu program, misalnya
program peningkatan mutu pendidikan disarankan menggunakan model CIPP yang di
kembangkan oleh Stufflebeam & Shinkfield, (Mardapi, 2012: 27). Model evaluasi ini
dikembangkan oleh Stufflebeam dan Shinkfield terdiri dari empat bagian penilaian,
diantaranya: context, input, process, dan product. Dalam pemaparannya Stufflebeam dan
Shinkfield (1985: 156) menjelaskan bahwa “This basic framework of the CIPP was complete
(context evaluation to help develop goal, input evaluation to help shape proposal, process
evaluation to guide implementation, and product evaluation to serve recycling decisions)”.
Fernandes (1984: 7) menambahkan bahwa model CIPP memiliki empat penilaian, yaitu:
Contex, Input, Process, Dan Product, diantaranya:

Evaluasi konteks (Context Evaluation): mencakup informasi untuk menentukan


tujuan, mendefinisikan lingkungan yang relevan, mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan
yang belum tercapai. Evaluasi input (Input Evaluation): menyediakan data, informasi dan
pertimbangan tentang bagaimana cara mencapai tujuan, yang meliputi penilaian staf,
anggaran, strategi pendidikan, dan administrasi.

Evaluasi proses (Process Evaluation): terjadi selama implementasi aktivitas


pendidikan. Evaluasi ini berkenaan dengan implementasi program, seperti fungsi manajemen,
efisisiensi administratif dan proses belajar mengajar. Evaluasi produk (product evaluation):
penilaian yang dilakukan untuk pengukuran keberhasilan program dalam pencapaian tujuan
yang telah ditetapkan. Hasil evaluasi ini sangat berguna dalam menentukan apakah program
akan diteruskan, diperbaiki atau dihentikan.

Variabel No Item Angket Jumlah


Aspek
Positif Negatif Item
Perkembangan Ilmu
Pengetahuan 1,2,3,6 4,5 6

Pendidikan
Kepribadian 7,8 9 3
Full Day
School Ekstrakurikuler 10,12,13 11,14 5

Sarana dan Prasarana


Sekolah 15,16,17 18,19 5

Kecerdasan
Emosional 20,21,23 22,24 5
4.6. Validitas dan Reliabilitas

Penelitian kuantitatif identik dengan istilah pengukuran. Pengukuran yang dimaksud


adalah melalui uji validitas dan reliabilitas melalui instrumen penelitian. Dalam penelitian ini,
untuk mengumpulkan data, peneliti menggunakan instrumen. Instrumen penelitian ini adalah
tes. Brown (2000: 384) menyatakan "tes adalah metode untuk mengukur kemampuan atau
pengetahuan orang dalam domain tertentu". Data yang benar atau tidak tergantung pada
instrumen metode pengumpulan yang diuji. Instrumen yang baik harus memenuhi dua
persyaratan penting yaitu validitas dan reliabilitas.

Validitas instrumen adalah tolok ukur apa yang akan diukur. Menurut Brown (2000:
387), validitas adalah sebagai tolok ukur untuk mengetahui sejauh mana tes aktual terhadap
objek yang diukur. Suatu instrumen disebut valid jika instrumen tersebut mampu mengukur
apa yang akan diukur. Menurut Isnawati (2015: 27) ada empat jenis validasi: validitas konten,
validitas terkait kriteria, validitas wajah, dan validitas konstruk.

Ketentuan yang diterapkan adalah bahwa sebuah item kuesioner dinyatakan valid jika
nilai r memiliki tingkat signifikan kurang dari 5% (Silalahi, 2012).

Reliabilitias adalah konsistensi. Instrumen penelitian memiliki reliabilitas yang tinggi


jika dapat menghasilkan hasil yang konsisten. Brown (2000: 386) menyatakan “tes yang
reliabel adalah konsisten”. Menurut Singarimbun dalam Tanzeh (2009: 55) reliabilitas adalah
indeks yang menunjukkan sejauh mana alat ukur yang digunakan untuk mengukur dua kali
fenomena yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif konsisten, maka mereka
disebut reliabel. Dengan kata lain, reliabilitas menunjukkan ukuran konsistensi dalam
mengukur fenomena yang sama.

Uji reliabilitas digunakan untuk mengukur konsistensi responden dalam menjawab


kuesioner. Uji reliabilitas akan dilakukan dengan menggunakan uji statistik cronbach’s alpha
() dengan ketentuan bahwa variabel yang diteliti dinyatakan reliabel apabila nilai
cronbach’s alpha ( ) adalah di atas 0,6 (Gumilar, 2007).
4.7. Teknik Analisis Data

4.7.1 Uji Asumsi

a) Uji Normalitas
Menurut Sujianto (2009: 77) uji normalitas adalah tes untuk mengukur apakah
data kita memiliki distribusi normal. Hipotesis untuk menguji normalitas adalah:
a) H0: Data dalam distribusi normal
b) Ha: Data tidak dalam distribusi normal.
Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah variabel bebas dengan variabel
terikat mempunyai distribusi normal atau tidak. Uji normalitas dinyatakan normal
apabila nilai signifikan lebih besar dari 0,05. Sebaliknya jika nilai signifikansi lebih
kecil dari 0,05 maka data tersebut tidak normal (Hamdi & Bahruddin, 2014). Uji yang
dilakukan untuk melihat normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov.
b) Uji Multikolinieritas
Uji multikolinieritas dilakukan untuk menguji apakah model regresi ditemukan
korelasi antara variabel independen atau tidak. Ghozali (2014: 105) menjelaskan hal
itu setiap variabel harus memiliki skor VIF tertentu agar data dianggap bebas
multikolinieritas, kondisinya adalah sebagai berikut:
a) Jika skor VIF <10, maka data bebas dari multikolinieritas
b) Jika skor VIF ≥ 10, maka data tidak bebas dari multikolinieritas
c) Uji Heterokedastisitas
Heterokedastisitas adalah situasi di mana terdapat kecenderungan keberadaan
pengelompokan pada tingkat variasi variabel antara kelompok data berbeda
(Malhotra, 2010: 514). Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk mengetahui apakah ada
perbedaan varian dari residual observasi ke observasi lainnya dalam sebuah regresi
model. Model yang baik harus memiliki heterokedastisitas atau tanpa
heteroskedastisitas (Ghozali, 2014: 139). Regresi dikatakan terbebas dari
heterokedastisitas dan memenuhi persyaratan uji asumsi jika diagram panccar residual
tidak membentuk suatu pola tertentu.

4.7.2 Analisis Regresi Linier Berganda

Analisis regresi secara konseptual merupakan metode sederhana untuk memeriksa


hubungan antara variabel (Chatterjee & Hadi, 1986). Model regresi linear yang terdiri dari
satu variabel dependen dan satu variabel independen disebut dengan regresi linear sederhana,
sedangkan model regresi linear yang terdiri dari beberapa variabel independen dan satu
variabel dependen merupakan model regresi linear berganda (Faraway, 2002).

Uji Interaksi (Moderated Regression Analysis) yaitu aplikasi dari regresi linear
berganda dimana dalam persamaannya mengandung unsur interaksi (perkalian dua/lebih
variabel independen). Berikut persamaan yang digunakan dalam Moderated Regression
Analysis :

Y = α + β1X + e (i)

Y = α + β1X + β2Z + e (ii)

Y = α + β1X + β2Z + β3XZ + e (iii)

Keterangan:

Y = Motivasi Belajar

α = konstanta

β1,2,3 = koefisien regresi

X = Full Day School

Z = Emotional Intelligence

X.Z = bentuk interaksi antara Full Day School dan Emotional Intelligence

e = faktor eror

4.7.3 Uji Hipotesis

4.7.3.1 Koefisien secara simultan (Uji F)

Uji F merupakan pengujian dalam statistik yang digunakan untuk menguji besarnya pengaruh
semua variabel dependen secara berganda terhadap variabel independen. Adapun langkah-
langkah dalam uji F ini adalah sebagai berikut:

 Membuat hipotesis, yaitu:

H0 : Full Day School berpengaruh terhadap motivasi belajar dengan


Emotional Intelligence sebagai variabel moderator.
H1 : Full Day School tidak berpengaruh terhadap motivasi belajar
dengan Emotional Intelligence sebagai variabel moderator.

Menetapkan besarnya nilai α (level of significance) yaitu 0,05. Untuk menguji hipothesis
yang diajukan diterima atau ditolak dengan menggunakan uji t maka kriterianya adalah
sebagai berikut:

 Apabila t hitung < t tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak pada signifikansi α = 0.05
 Apabila t hitung > t tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima pada signifikansi α = 0.05

4.7.3.2 Koefisien secara parsial (Uji t statistic)

Uji t (test significance individual parameter) digunakan untuk menguji pengaruh variabel
bebas terhadap variabel terikat secara parsial. Adapun langkah-langkah dalam uji t ini adalah
sebagai berikut:

 Membuat hipotesis, yaitu:

H0: b1 = 0 berarti full day school tidak berpengaruh terhadap motivasi belajar

H1 : b1 ≠ 0 berarti full day school berpengaruh terhadap motivasi belajar

H0 : b2 = 0 berarti emotional intelligence tidak berpengaruh terhadap

motivasi belajar

H1 : b2 ≠ 0 berarti emotional intelligence berpengaruh terhadap motivasi

belajar

nilai α (level of significance) yaitu 0,05.

Untuk menguji hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak dengan menggunakan uji t maka
kriterianya adalah sebagai berikut:

 Apabila t hitung < t tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak pada signifikansi α = 0.05
 Apabila t hitung > t tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima pada signifikansi α = 0.05
4.7.3.3 Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi digunakan untuk menunjukkan besarnya sumbangan variabel X


terhadap variabel Y. Nilai R2 atau r² berada di antara 0 dan 1 yang mempunyai arti yaitu bila
R2 atau r² = 1, artinya menunjukkan variabel bebas mampu menjelaskan variable terikat
100% dan pendekatan model yang digunakan adalah tepat. Bila R2 atau r² = 0, artinya
menunjukkan bahwa variabel bebas tidak mampu menjelaskan variabel terikat. Semakin
tinggi nilai R2 atau r² dan atau semakin mendekati 1, maka semakin baik model yang
digunakan (Siagian & Sugiarto,2005).

Anda mungkin juga menyukai