Anda di halaman 1dari 9

11/7/2020 Pertemuan 6- Esensi Manusia dari Berbagai Perspektif

Pertemuan 6- Esensi Manusia dari Berbagai Perspektif

Situs: Online Learning Universitas Negeri Jakarta Dicetak Oleh: Vivi Fathiyaturrahmah
Kursus: Landasan Pendidikan (Neti Karnati PG PAUD) Tanggal: Sabtu, 7 November 2020, 23:53
Buku: Pertemuan 6- Esensi Manusia dari Berbagai Perspektif

onlinelearning.unj.ac.id/mod/book/tool/print/index.php?id=37783 1/9
11/7/2020 Pertemuan 6- Esensi Manusia dari Berbagai Perspektif

Keterangan

Materi kali ini memiliki sub pokok bahasan sebagai berikut

1.      Esensi manusia dari berbagai perspektif.

2.     Dimensi-dimensi manusia.

Setelah mempelajari materi, mahasiswa diharapkan mampu:

menganalisis keterkaitan manusia dengan pendidikan dalam konteks pendidikan sebagai suatu ilmu.

INDIKATOR

Di akhir pertemuan, mahasiswa akan dapat:

1.      Menjelaskan esensi manusia dari perspektif: eksistensi, psikonalitik, humanistik, behavioristik, dan pancasila.

2.      Menguraikan dimensi-dimensi esensi manusia sebagai makhluk: filosofis, individual, sosial, susila dan beragama.

onlinelearning.unj.ac.id/mod/book/tool/print/index.php?id=37783 2/9
11/7/2020 Pertemuan 6- Esensi Manusia dari Berbagai Perspektif

Daftar Isi

1. Esensi Manusia dari Berbagai Perspektif

2. Dimensi- Dimensi Manusia

onlinelearning.unj.ac.id/mod/book/tool/print/index.php?id=37783 3/9
11/7/2020 Pertemuan 6- Esensi Manusia dari Berbagai Perspektif

1. Esensi Manusia dari Berbagai Perspektif

Pada pertemuan keenam dan ketujuh kita akan membahas tentang keterkaitan manusia dengan pendidikan. Manusia disebut sebagai animal
educandum, hewan yang memerlukan pendidikan. Tanpa pendidikan manusia tidak mungkin menjadi manusia atau mewujudkan
kemanusiaanya. Manusia juga merupakan animal educabili, berarti ia mempunyai potensi untuk dididik atau dikembangkan. Apabila manusia
itu dilahirkan sudah sempurna maka manusia tidak lagi memerlukan pendidikan. Manusiapun disebut sebagai animal educator yang berarti ia
mampu menjalankan tugas sebagai seorang pendidik (Husamah, et al, 2015).

Proses pendidikan merupakan proses dua arah antara pendidik dan peserta didik. Seorang pendidik tidak akan dapat menjalankan tugasnya
dengan baik apabila ia tidak mengetahui peserta didiknya. Oleh karena itu, pembahasan mengenai manusia sebagai pendidik dan peserta
didik menjadi sangat penting dalam proses pendidikan.

Pada pertemuan keenam ini kita akan membahas terlebih dahulu tentang esensi manusia ditinjau dari berbagai perspektif beserta dimensi-
dimensi esensi manusia itu sendiri untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai hakikat manusia. Berbicara mengenai esensi
manusia berarti kita membahas tentang sifat hakikat atau hal yang pokok dari manusia, yaitu ciri-ciri karakteristik yang secara prinsipil (bukan
hanya gradual) membedakan manusia dengan hewan. Dalam pertemuan ini, esensi manusia akan dipelajari melalui berbagai perspektif atau
sudut pandang, antara lain eksistensi, psikoanalitik, humanistik, behavioristik dan Pancasila. Setelah membahas mengenai esensi manusia,
maka pembahasan akan diperdalam lagi dengan mengkaji dimensi-dimensi esensi manusia. Ada lima dimensi yang akan dibahas yaitu
manusia sebagai makhluk filosofis, individul, sosial, susila dan beragama.

Marilah kita masuk pada pembahasan yang pertama mengenai esensi manusia dari berbagai perspektif, antara lain eksistensialis,
psikoanalitik, humanistik, behavioristik, dan Pancasila.

Esensi Manusia dari Perspektif Eksistensialis

Manusia bereksistensi di dunia, artinya manusia secara aktif “mengadakan” dirinya, tetapi bukan dalam arti menciptakan dirinya
sebagaimana Tuhan menciptakan manusia, melainkan manusia harus bertanggungjawab atas keberadaan dirinya, ia bertanggung jawab
menjadi apa dan menjadi siapa nantinya. Bereksistensi berarti merencanakan, berbuat, dan menjadi sehingga setiap saat manusia dapat
menjadi lebih atau kurang dari keadaannya. Dalam kalimat lain dapat dinyatakan bahwa manusia bersifat terbuka, manusia adalah makhluk
yang belum selesai “mengadakan” dirinya (Sumantri, 2016). Artinya, manusia harus bereksistensi, sanggup keluar dari dirinya melampaui
keterbatasan biologis dan lingkungan fisiknya, berusaha untuk tidak terpaku oleh segala keterbatasan yang dimilikinya. Manusia harus
bergerak aktif dan dinamis untuk menciptakan masa depannya.

Selain itu, terkait dengan keberadaannya, manusia pada dasarnya mempunyai kemampuan untuk menyadari diri. Berkat kemampuan
menyadari diri ini, manusia menyadari bahwa dirinya (Aku) memiliki ciri yang khas atau karakteristik diri, sehingga ia dapat membedakan
antara dirinya (Aku) dan lingkungan sekitar (non Aku). Bukan hanya kemampuan membedakan, manusia juga mempunyai kemampuan untuk
menjaga jarak dengan lingkungannya (ke luar), baik yang berupa pribadi maupun benda-benda di sekitarnya dan membuat jarak pada
dirinya sendiri (ke dalam). Pada saat demikian manusia dapat berperan ganda, baik sebagai subyek sekaligus sebagai obyek. Menjaga jarak
dengan lingkungan berarti manusia memandang dirinya sebagai subyek dan menjadikan lingkungan sebagai obyek, selanjutnya manusia
memanipulasi ke dalam lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam pelaksanaan pendidikan, kemampuan ini perlu terus
dikembangkan agar manusia dapat mendidik dirinya sendiri ke arah yang lebih baik.  Menjaga jarak ke dalam memberi status kepada
lingkungannya sebagai subyek yang berhadapan dengan manusia sebagai obyek yang isinya adalah pengabdian, pengorbanan dan
tenggang rasa. Pengambilan jarak dengan lingkungan, memungkinkan manusia mengembangkan aspek sosialnya sedangkan pengambilan
jarak terhadap diri sendiri, memungkinkan manusia mengembangkan aspek individualnya (Tim Dosen MKDK UNJ, 2013).

Eksistensi manusia juga terkait dengan masa lalu sekaligus masa depannya. Dalam hal ini, manusia mempunyai kemampuan untuk
menerobos ruang dan waktu. Artinya manusia tidak terikat pada ruang atau tempat saat ini, tetapi ia dapat menembus ke masa depan
ataupun masa lampau. Kemampuan menerobos dan menempatkan diri (kemampuan bereksistensi) ini juga membedakan antara manusia
dan hewan, karena keberadaan hewan hanya pasif (tunduk pada hukum alam), sedangkan keberadaan manusia secara aktif, artinya
manusia dapat mengubah lingkungan sesuai dengan yang dikembangkan dalam pendidikan, agar ia dapat belajar dari pengalaman masa
lalu dan melihat prospek masa depan sedini mungkin. Karena kemampuan bereksistensi inilah, maka dalam dirinya terdapat unsur kebebasan
(Tim Dosen MKDK UNJ, 2013). Menurut Semiawan, et al (2010), manusia dianugerahi kesadaran melampaui seekor hewan, untuk
mengatisipasikan masa depan yang terletak jauh dari kondisi dan situasi hari ini, yaitu potensi kreatif yang sejak lahir dimilikinya. Hal yang
mungkin dapat terjadi pada dirinya dan dapat diraihnya sesuai kemampuan yang ada padanya untuk diteropong dan dijelajahinya,
merupakan anugerah alam dan anugerah Yang Maha Esa, yang disebut foresight, yang adalah a gift of nature and a gift of God. Kemampuan
bereksistensi ini perlu dikembangkan melalui pendidikan dengan cara mengajarkan kepada peserta didik untuk belajar dari pengalaman,
belajar mengantisipasi suatu keadaan dan peristiwa, belajar melihat prospek masa depan serta berlatih mengembangkan daya imajinasi dan
kreativitasnya.

Manusia juga mempunyai kemampuan untuk menilai yang baik dan yang buruk. Manusia dikatakan mempunyai kata hati yang tajam apabila
dia mampu membuat keputusan tentang yang baik dan yang buruk bagi diri sendiri dan orang lain. Kemampuan untuk membuat keputusan
ini kadang-kadang sulit bagi manusia karena kadang-kadang ia dihadapkan pada sejumlah pilihan untuk memilih antara yang baik dan yang
kurang baik atau antara yang buruk dan yang lebih buruk. Kesulitan itu terjadi karena ia dihadapkan dengan kriteria serta kemampuan analisis
yang perlu didukung oleh kecerdasan akal budi. Pendidikan dapat dilakukan dengan upaya mengubah kata hati yang tumpul menjadi kata
hati yang tajam dengan melatih kecerdasan akal dan kepekaan emosional (intellectual and emotional intelligence). Ketajaman hati ini perlu
diikuti dengan perbuatan. Orang yang perbuatannya sesuai dengan kata hati yang tajam dinamakan orang yang bermoral, demikian pula
sebaliknya orang yang perbuatannya tidak sesuai dengan kata hati yang tajam disebut orang yang tidak bermoral. Oleh karena itu pendidikan
moral bagi peserta didik sangat penting baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat (Tim Dosen MKDK UNJ, 2013).

Dalam bereksistensi, manusia mempunyai kemampuan untuk bertanggung jawab baik pada diri sendiri, orang lain, maupun pada Tuhan.
Tanggung jawab berarti adanya keberanian untuk menanggung resiko apapun yang diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan. Orang
yang tidak berani menanggung resiko berarti orang itu tidak bertanggungjawab. Manusia juga menyadari akan adanya hak dan kewajiban.
onlinelearning.unj.ac.id/mod/book/tool/print/index.php?id=37783 4/9
11/7/2020 Pertemuan 6- Esensi Manusia dari Berbagai Perspektif

Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Tidak ada hak tanpa
kewajiban, artinya dalam diri manusia di samping dia mempunyai hak, dia juga mempunyai kewajiban. Dalam kehidupan sehari-hari, hak
merupakan sesuatu yang menyenangkan sedangkan kewajiban dianggap sebagai beban. Namun sebenarnya menurut Drijarkara, kewajiban
itu merupakaan keniscayaan. Artinya selama seseorang menyebut dirinya manusia, maka ia akan dengan ikhlas melaksanakan kewajiban
yang menjadi tanggungjawabnya sebagai sesuatu yang luhur. Seorang guru yang melaksankaan kewajiban sebaik-baiknya adalah
perbuatan yang luhur. Apabila manusia mengelak dari kewajiban, berarti dia mengingkari kemanusiaannya sebagai makhluk sosial (Tim
Dosen MKDK UNJ, 2013).

Esensi manusia dari perspektif Psikoanalitik

Pandangan Psikoanalitik terdiri dari pandangan psikoanalitik tradisional dan pandangan neoanalitik. Menurut pandangan psikoanalitik
tradisional (Hansen, Stefic, Wanner, 1977) manusia pada dasarnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat
instingtif. Tingkah laku seseorang ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikologis yang sudah ada pada diri seseorang, tidak ditentukan oleh
nasibnya tetapi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan insting biologisnya.

Tokoh psikoanalitik tradisional Sigmund Freud berpandangan bahwa hakikat manusia sebenarnya bisa ditinjau dari struktur jiwa yang dimiliki
yang terdiri dari tiga hal, yaitu das Es, das Ich dan das Uber Ich. Das Es bagian dasar (the Id) yang sama sekali terisolasi dari dunia luar, hanya
mementingkan masalah kesenangan dan kepuasan (lust principle) yang merupakan sumber nafsu kehidupan, yakni hasrat-hasrat biologis
(libido-seksualis) dan bersifat a-sadar, a-moral, a-sosial dan egoistis. Das Ich (aku=ego), sifatnya lebih baik daripada das Es, das Ich dapat
mengerti dunia a-sadar, a-sosial dan a-moral, lebih realistis tapi belum ethis. Yang ketiga das Uber Ich (superego), ini adalah bagian jiwa yang
paling tinggi dan paling sadar norma dan paling luhur, bagian ini sering dinamakan budi nurani (consciencia), superego atau das Uber Ich ini
selalu menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, dan religious (Husamah, et al., 2015).

Kepribadian manusia berpusat pada interaksi antara id, ego dan super ego. Fungsi id adalah mendorong manusia untuk memuaskan
kebutuhannya setiap saat. Tetapi id tidak dapat leluasa menjalankan fungsinya karena menghadapi lingkungan yang tidak dapat diterobos
begitu saja. Banyak pertimbangan yang harus diperhatikan yang tidak dapat dilanggar begitu saja. Disinilah fungsi ego untuk menjembatani id
dengan realitas dunia luar bekerja. Ego mengatur dan mengarahkan id dalam memuaskan instingnya dengan selalu mempertimbangkan
lingkungan. Super ego tumbuh karena adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya yang terdiri dari aturan, nilai, moral, adat
istiadat, tradisi dan sebagainya. Dalam hal ini, super ego berfungsi untuk mengawasi tingkah laku seseorang agar selalu sesuai aturan, nilai,
moral, ada istiadat yang telah terinternalisasi pada diri seseorang. Dengan demikian, super ego memiliki fungsi kontrol dari dalam diri individu.

Dari pandangan tradisional tersebut, berkembanglah paham baru yang disebut neoanalitik. Paham ini berpendapat bahwa manusia tidak
seperti binatang yang digerakkan oleh tenaga dalam (innate energy) saja. Menurut paham neoanalitik, manusia pada dasarnya memiliki
kemampuan untuk menanggapi berbagai jenis perangsang dan perwujudan diri ini hanya sebagian saja yang dapat dianggap sebagai hasil
dari innate energy. Pada masa bayi, manusia memang hanya mengandalkan insting untuk memenuhi kebutuhan, misalnya rasa lapar. Namun
tingkah laku instingtif tersebut makin dewasa makin berkurang dan akhirnya sebagian besar tingkah laku tersebut didasarkan pada
rangsangan dari lingkungannya.

Para tokoh neoanalisis pada dasarnya masih meyakini adanya id, ego dan super ego, namun lebih menekankan ego sebagai pusat
kepribadian manusia. Ego tidak dipandang sebagai fungsi pengarah perwujudan id saja, melainkan sebagai fungsi pokok yang bersifat
rasional dan tanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial individu.

Esensi manusia dari perspektif Humanistik

Pusat perhatian teori humanistik adalah pada makna kehidupan, hal ini dalam psikologi humanistik disebut sebagai homo ludens, yaitu
manusia yang mengerti makna kehidupan. Setiap manusia hidup dalam dunia pengalaman yang bersifat pribadi (unik) dan kehidupannya
berpusat pada dirinya. Perilaku manusia berpusat pada konsep diri, yaitu pandangan atau persepsi manusia terhadap dirinya, yang bisa
berubah-ubah dan fleksibel sesuai dengan pengalamannya dengan orang lain.

Perspektif humanistik menolak pandangan Freud bahwa manusia pada dasarnya tidak rasional, tidak tersosialisasikan, dan tidak memiliki
kontrol terhadap “nasib” dirinya sendiri. Carl Rogers berpendapat bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki dorongan untuk mengarahkan
dirinya ke tujuan yang positif, manusia itu rasional, oleh karena itu dalam berbagai hal ia dapat menentukan nasibnya sendiri. Ini berarti bahwa
manusia memiliki kemampuan untuk mengarahkan, mengatur dan mengontrol dirinya sendiri apabila diberikan kesempatan untuk
berkembang. Dunia manusia adalah dunia kemungkinan (a process of becoming), dan ini berjalan terus menerus tidak pernah selesai. Jadi
manusia itu sendirilah yang menggerakkan dirinya ke arah mana yang diinginkan. Manusia selalu aktif dalam upaya mencapai aktualisasi diri
melalui hubungan dan dialog dengan lingkungan sekitarnya (Husamah, et al., 2015).

Berdasarkan pandangan Humanistik menurut Adler, manusia tidak semata-mata digerakkan oleh dorongan untuk memuaskan dirinya sendiri,
namun digerakkan oleh rasa tanggung jawab sosial serta oleh kebutuhan untuk mencapai segala sesuatu. Tingkah laku individu ditentukan
oleh lingkungan, pembawaan, dan individu itu sendiri (Husamah, et al., 2015). Adler juga menyatakan bahwa individu melibatkan dirinya dalam
usaha untuk mewujudkan diri sendiri, dalam membantu orang lain, dan dalam membuat dunia ini menjadi lebih baik untuk ditempati.

Dalam pandangan Maslow, manusia memiliki lima jenjang kebutuhan dasar yang disusun secara bertingkat dengan menentukan kebutuhan
mana yang lebih tinggi dibandingkan kebutuhan lainnya. Lima jenjang kebutuhan dasar ini biasa dikenal dengan hierarki kebutuhan dasar
Maslow. Kebutuhan pada teori Maslow disusun dari yang paling dasar atau mendesak. Kemudian dilanjutkan dengan kebutuhan dasar lainnya
dan seterusnya. Hierarki kebutuhan dasar Maslow adalah sebagai berikut.

1.      Kebutuhan fisiologis (survival fisiologis). Kebutuhan ini dapat dicontohkan seperti kebutuhan akan makanan, minuman, tempat tinggal,
tidur, oksigen. Kebutuhan fisiologis ini merupakan kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi. Manusia akan mengabaikan atau menekan dulu
kebutuhan lainnya, sebelum kebutuhan fisiologis terpenuhi. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang dapat terpuaskan sepenuhnya
atau minimal bisa diatasi. Misalnya orang yang baru saja terpenuhi kebutuhan makannya, maka dorongan untuk makan akan menghilang
karena telah merasa kenyang. Namun, kebutuhan fisiologis ini dapat berulang. Dalam contoh yang telah disebutkan sebelumnya, kebutuhan
makan akan muncul kembali setelah beberapa saat dan orang akan kembali mencari makanan.

onlinelearning.unj.ac.id/mod/book/tool/print/index.php?id=37783 5/9
11/7/2020 Pertemuan 6- Esensi Manusia dari Berbagai Perspektif

2.      Kebutuhan akan rasa aman (security needs). Kebutuhan ini dapat berupa kebutuhan akan stabilitas, perlindungan dan terbebas dari
berbagai ancaman (bencana, bahaya, pembunuhan, perang, dll). Berbeda dengan kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman tidak
dapat dipenuhi secara penuh. Misalnya orang tidak dapat sepenuhnya dilindungi dari ancaman bencana atau ancaman lainnya.

3.      Kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang (belonging and love needs). Kebutuhan ini meliputi kebutuhan diterima pada komunitas
sosialnya. Bentuk dari kebutuhan ini antara lain adalah kebutuhan bersahabat, kebutuhan untuk memiliki pasangan dan keturunan, kebutuhan
untuk memberi dan menerima cinta.

4.      Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs). Kebutuhan ini meliputi kebutuhan untuk menghargai orang lain, kebutuhan akan
apresiasi dan pengakuan dari orang lain atas prestasinya.

5.      Kebutuhan aktualiasi diri (self actualization needs). Kebutuhan terakhir manusia akan kebutuhan untuk menunjukkan dirinya pada orang
lain. Pada tahap ini seseorang akan terus menerus mengembangkan potensi yang dimilikinya.  

Esensi manusia dari perspektif Behavioristik

Berbeda dengan psikoanalitik yang memfokuskan manusia hanya pada totalitas kepribadiannya (hanya pada tingkah laku yang tidak
nampak), behavioristik memfokuskan perhatiannya pada perilaku yang nampak, yakni perilaku yang dapat diukur, diramalkan dan
digambarkan. Menurut teori behavioristik, manusia disebut sebagai homo mechanicus, artinya manusia mesin. Mesin adalah benda yang
bekerja tanpa ada motif di belakangnya, mesin berjalan bukan karena adanya dorongan alam bawah sadar tertentu, melainkan semata-
mata karena lingkungan sistemnya. Misalnya mobil dapat berjalan apabila unsur-unsur lingkungannya lengkap dan berfungsi dengan baik.

Tingkah laku mesin dapat diukur, diramalkan dan digambarkan. Demikian juga dengan manusia, menurut pandangan behavioristik. Selain
insting, seluruh tingkah lakunya merupakan hasil belajar. Belajar merupakan perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan.
Behavioristik tidak mempersoalkan apakah manusia itu baik atau buruk, rasional atau emosional, melainkan hanya ingin mengetahui
bagaimana perilaku manusia dikendalikan oleh lingkungan. Dalam pandangan behavioristik, manusia adalah makhluk yang sangat elastis,
yang perilakunya sangat dipengaruhi oleh pengalamannya. Manusia munurut teori ini dapat dibentuk dengan menciptakan lingkungan yang
relevan. Seorang anak dapat dibentuk menjadi apa saja, asalkan ia dibentuk dalam lingkungan yang relevan.

Menurut kaum behavioris (Hansen, dkk, 1977) manusia sepenuhnya adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor
yang datang dari luar. Tingkah laku manusia dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungannya, melalui hukum-hukum belajar.
Lingkungan adalah penentu tunggal dari tingkah laku manusia, sehingga manusia dianggap pasif. Dengan demikian kepribadian individu
dapat dikembalikan semata-mata kepada hubungan antara individu dengan lingkungannya, hubungan itu diatur oleh hukum-hukum belajar,
seperti teori pembiasaan (conditioning) dan peniruan. Manusia pada saat dilahirkan ke dunia adalah netral, tidak membawa ciri-ciri yang
pada dasarnya baik atau buruk. Perkembangan kepribadian individu semata-mata dipengaruhi oleh lingkungan. Pandangan behavioristik
sering dikritik sebagai pandangan yang merendahkan derajat manusia (dehumanisasi) karena pandangan ini mengingkari adanya ciri-ciri
yang amat penting yang ada pada manusia dan tidak ada pada binatang seperti kemampuan memilih, menetapkan tujuan, mencipta, dan
sebagainya, yang kesemuanya itu merupakan aktivitas manusia dalam upaya mencapai aktualisasi diri (Tim Dosen MKDK UNJ, 2013).

Dalam menanggapi kiritik ini, Skinner (1976) mengatakan bahwa kemampuan-kemampuan itu sebenarnya terwujud sebagai tingkah laku juga
yang berkembangnya tidak berbeda dari tingkah laku lainnya. Justru tingkah laku inilah yang dapat didekati dan dianalisis secara ilmiah dan
pendekatan behavioristik adalah pendekatan ilmiah. Semua ciri yang dimiliki manusia harus dapat dapat didekati dan dianalisis secara ilmiah.

Esensi manusia dari perspektif Pancasila

Filsafat Pancasila merupakan hasil pemikiran bangsa Indonesia yang diyakini sebagai norma dan nilai hidup bangsa Indonesia. Sebagai
pandangan hidup, Pancasila menjadi dasar bagi seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia agar tercapai kehidupan yang religius, adil,
rukun, aman, damai dan sejahtera. Konsep filsafat pendidikan Pancasila Notonagaro mendasarkan pada landasan ontologis hakikat manusia
yang monopluralis. Monopluralis maksudnya makhluk yang memiliki banyak unsur kodrat (plural), tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh
(mono). Jadi, manusia terdiri dari banyak unsur kodrat yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Ciri-ciri kodrat manusia yang monopluralis
adalah:

a.         Susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga

Manusia terdiri dari unsur jiwa dan raga. Keduanya tidak dapat berfungsi sendiri-sendiri, melainkan saling membutuhkan. Raga adalah unsur
yang kelihatan dan bersifat materi. Segala yang ada pada diri manusia yang dapat dilihat baik secara langsung, seperti kepala, mata, telinga,
hidung, tangan, badan dan kaki; maupun yang dapat dilihat dengan bantuan alat teknologi, seperti jantung, ginjal, otak, paru dan organ-organ
lainnya.

Jiwa terdiri dari akal atau cipta untuk tujuan kebenaran, rasa untuk tujuan keindahan jiwa, serta karsa untuk tujuan kebaikan jiwa. Berbeda dari
raga yang dapat dilihat, jiwa tidak dapat dilihat. Jiwa hanya dapat dikenali melalui gejala-gejala yang teraktualisasikan melalui raga. Namun
jiwa memiliki peran yang sangat penting untuk menggerakkan raga manusia. Oleh karena itu, jiwa dan raga manusia tidak dapat dipisahkan. 

b.        Sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial

Menyadari keberadaan dirinya sendiri merupakan perwujudan individualitas manusia. Sebagai individu, manusia adalah satu kesatuan yang
tak dapat dibagi, memiliki perbedaan dengan manusia lainnya sehingga bersifat unik dan merupakan subjek yang otonom. Selain memiliki
kesadaran diri, manusia juga memiliki kesadaran sosial. Dengan hidup bersama manusia lainnya, ia akan mengukuhkan eksistensinya

c.         Kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk Tuhan

Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna yang telah diciptakan oleh Tuhan karena hanya manusia yang dikaruniai akal. Dengan
kesempurnaannya inilah manusia harus mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi. Dalam eksistensinya
sebagai khalifah di muka bumi, maka manusia harus mampu mewujudkan kemakmuran, mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan hidup,
serta mampu bekerjasama menegakkan kebenaran di muka bumi ini.

onlinelearning.unj.ac.id/mod/book/tool/print/index.php?id=37783 6/9
11/7/2020 Pertemuan 6- Esensi Manusia dari Berbagai Perspektif

Pancasila memandang hakikat manusia seutuhnya, sebagai kesatuan jiwa dan raga, sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk
sosial dan sebagai makhluk pribadi dan makhluk Tuhan. Kehidupan manusia Indonesia seutuhnya berlandaskan pandangan Pancasila dapat
menjamin adanya keselerasan, keserasian dan keseimbangan.  Apabila disesuaikan dengan struktur sosial masyarakat yang ber-Bhinneka
Tunggal Ika, maka kebersamaan dan kekeluargaan dalam hubungan manusia dengan ruang lingkupnya akan dapat terwujud.

Setelah membahas tentang esensi manusia dari berbagai perspektif, maka pembahasan selanjutnya adalah tentang dimensi-dimensi esensi
manusia yang akan dibagi ke dalam lima dimensi, yaitu dimensi manusia sebagai makhluk filosofis, dimensi manusia sebagai makhluk
individual, dimensi manusia sebagai makhuk sosial, dimensi manusia sebagai makhluk susila, dan dimensi manusia sebagai makhluk
beragama.

onlinelearning.unj.ac.id/mod/book/tool/print/index.php?id=37783 7/9
11/7/2020 Pertemuan 6- Esensi Manusia dari Berbagai Perspektif

2. Dimensi- Dimensi Manusia

Dimensi Esensi manusia sebagai makhluk filosofis

Dalam kehidupan sehari-hari kita seringkali menjumpai anak yang senang mempertanyakan tentang asal usul dan keberadaan segala
sesuatu yang ditemuinya atau dialaminya. Mungkin juga terjadi pada diri kita yang mempertanyakan tentang diri sendiri, maupun alam
semesta. Hal ini merupakan peristiwa yang alami karena manusia merupakan makhluk filosofis. Lalu apa sesungguhnya yang dimaksud
dengan manusia sebagai makhluk filosofis?  

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian filosofi adalah pengetahuan atau penyelidikan dengan menggunakan akal
budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab adanya sesuatu, asal adanya sesuatu, dan hukumnya. Filosofi mempelajari hakikat segala
sesuatu dengan logika, akal dan rasa.

Manusia menurut Socrates adalah makhluk yang selalu ingin tahu tentang segala sesuatu. Kewajiban setiap orang untuk mengetahui dirinya
sendiri lebih dahulu jika ingin mengetahui hal-hal di luar dirinya. Manusia ternyata tidak cukup hanya mengkaji tentang alam sekitarnya, ia
juga  berpikir tentang Tuhan dan berbagai aspek yang berhubungan dengan kehidupan. Manusia akhirnya juga berpikir segala sesuatu
tentang dirinya, yaitu siapa, bagaimana, dimana dan untuk apa manusia itu diciptakan (Khobir, 1997). Manusia adalah makhluk yang pandai
bertanya, bahkan ia mempertanyakan dirinya sendiri, keberadaannya, dan dunia seluruhnya (van der Weij, 1991) (Husamah, et al, 2015).

Manusia sebagai makhluk filosofis berarti manusia tidak pernah berhenti berpikir, mampu berilmu pengetahuan melalui pemikiran berulang-
ulang, mendasar, komprehensif tentang sesuatu yang sudah diketahui/belum. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa hal ini
dikarenakan manusia telah dikaruniai dengan akal rasional yang membedakannya dengan hewan.

Dimensi Esensi manusia sebagai makhluk individual

Setiap individu lahir dengan dikaruniai potensi yang berbeda dengan individu lain. Bahkan bayi kembar yang memiliki bentuk fisik yang
samapun, tetap memiliki karakter yang berbeda, kemampuan intelektual yang berbeda, potensi yang berbeda. Hal inilah yang menjadi
karakteristik individual manusia yang membedakannya dengan manusia yang lain. 

Manusia bukan hanya sekedar badannya, bukan pula hanya rohnya. Manusia merupakan satu kesatuan yang tak dapat dibagi antara aspek
badani dan rohaninya. Sebagai individu, manusia memiliki perbedaan dengan makhluk yang lainnya sehingga bersifat unik dan merupakan
subyek yang otonom. Setiap manusia mampu menempati posisi, berhadapan, menghadapi, memasuki, memikirkan, bebas mengambil sikap,
dan bebas mengambil tindakan atas tanggung jawabnya sendiri. Oleh karena itu manusia adalah subyek dan tidak boleh dipandang sebagai
obyek (Sumantri, 2016). Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa manusia merupakan pribadi/individu yang adalah satu kesatuan yang
tidak dapat dibagi, memiliki perbedaan dengan yang lainnya sehingga bersifat unik, dan merupakan subyek yang otonom.

Dikatakan oleh Langeveld, bahwa setiap individu itu unik, artinya setiap individu memiliki kehendak, perasaan, cita-cita, semangat dan daya
tahan yang berbeda. Langeveld juga mengatakan tiap individu mempunyai dorongan untuk mandiri, meskipun di sisi lain pada diri anak
terdapat rasa tidak berdaya sehingga ia memerlukan bimbingan dari orang lain. Untuk dapat menolong dirinya sendiri, anak (individu) perlu
mendapatkan pengalaman di dalam pengembangan konsep, prinsip, inisiatif, kreativitas, tanggungjawab dan keterampilannya. Dengan kata
lain perwujudan manusia sebagai makhluk individu memerlukan berbagai macam pengalaman melalui pendidikan, agar segala potensi yang
ada dapat tumbuh kembang menjadi kenyataan. Pola pendidikan demokratis dipandang cocok untuk mendorong bertumbuh dan
berkembangnya potensi individu tersebut (Tim Dosen MKDK UNJ, 2013).

Dimensi Esensi manusia sebagai makhluk sosial

Sekalipun manusia merupakan makhluk individu, tetapi ia tidak dapat hidup sendiri tanpa manusia lain. Manusia tidak seperti hewan yang
beberapa saat setelah dilahirkan ke dunia ataupun setelah menetas mampu bertahan hidup sendiri. Misalnya, penyu. Induk penyu mengubur
telur-telurnya di dalam pasir dan setelah menetas, anak-anak penyu yang kecil berlarian ke laut untuk melangsungkan hidupnya. Berbeda
dengan manusia yang pada saat dilahirkan, mereka lemah tak berdaya dan tak akan mampu bertahan hidup tanpa bantuan orang lain. Oleh
karena itu, manusia merupakan makhluk sosial yang hidupnya memiliki keterpautan dengan sesamanya.

Dalam hidup bersama dengan sesamanya (bermasyarakat), setiap individu menempati kedudukan (status) tertentu, mempunyai dunia dan
tujuan hidupnya masing-masing, namun demikian sekaligus ia pun mempunyai dunia bersama dan tujuan hidup bersama dengan
sesamanya. Melalui hidup dengan sesamanyalah manusia akan dapat mengukuhkan eksistensinya. Sehubungan dengan ini Aristoteles
menyebut manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk bermasyarakat (Ernst Casserer, 1987 dalam Suyitno, 2008).

Manusia sejak lahir dikaruniai potensi sosialitas, artinya setiap individu mempunyai kemungkinan untuk dapat bergaul, yang di dalamnya ada
kesediaan untuk memberi dan menerima. Manusia tidak dapat mencapai apa yang diinginkannya secara seorang diri. Menurut Immanuel
Kant, manusia hanya menjadi manusia jika berada di antara manusia. Hidup bersama dan berada di antara orang lain, akan memungkinkan
seseorang dapat mengembangkan kemanusiaannya. Kehadiran manusia lain di hadapannya bukan saja penting untuk mencapai tujuan
hidupnya, tetapi juga merupakan sarana untuk pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya, melalui pendidikan dapat dikembangkan
keseimbangan antara aspek individual dan aspek sosial manusia, artinya individualitas manusia dapat dikembangkan dengan belajar dari
orang lain, mengidentifikasikan sifat-sifat yang dikagumi dari orang lain untuk dimilikinya serta menolak sifat-sifat yang tidak cocok baginya
(Husamah, et al, 2015).

Menurut Martin Buber, dalam diri manusia terdapat dua jenis relasi yang mendasar. Relasi aku-objek (I-it) serta relasi aku-engkau (I-thou).
Relasi aku-objek (I-it) berarti manusia dapat mempergunakan serta menguasai objek dengan sesuka hatinya. Relasi aku-engkau (I-thou)
berarti manusia menghargai sesamanya dengan segala keunikannya. Sesama dipandang sebagai anugerah yang akan semakin
menyempurnakan setiap person yang terlibat dalam relasi tersebut (Husamah, et al, 2015).

Dimensi Esensi manusia sebagai makhluk susila 

onlinelearning.unj.ac.id/mod/book/tool/print/index.php?id=37783 8/9
11/7/2020 Pertemuan 6- Esensi Manusia dari Berbagai Perspektif

Manusia dilahirkan bukan hanya dikaruniai potensi individualitas dan sosialitas, melainkan juga potensi moralitas atau kesusilaan. Manusia
memiliki dimensi moralitas karena manusia memiliki kata hati yang dapat membedakan baik dan jahat. Memang dalam kenyataannya hanya
manusialah yang dapat menghayati norma-norma dan nilai-nilai dalam kehidupan. Manusia dapat menetapkan tingkah laku mana yang
baik dan bersifat susila serta tingkah laku mana yang tidak baik dan tidak bersifat susila (Husamah, et al, 2015).

Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) dimensi kesusilaan atau moralitas artinya bahwa dalam diri manusia ada kemampuan untuk berbuat
kebaikan seperti bersikap jujur dan bersikap/berlaku adil. Manusia susila adalah manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati, dan
melaksanakan nilai-nilai tersebut (Husamah, et al, 2015).

Setiap masyarakat mempunyai norma dan nilai. Melalui pendidikan diusahakan agar individu menjadi manusia pendukung norma kaidah dan
nilai-nilai susila yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan menjadi milik pribadi yang tercermin dalam tingkah laku sehari-hari. Penghayatan
dan perwujudan norma, nilai, dan kaidah-kaidah sosial sangat penting dalam rangka menciptakan ketertiban dan stabilitas kehidupan
masyarakat. Penghayatan atas norma dan nilai tersebut hanya mungkin dilakukan oleh individu dalam hubungannya dengan kehadirannya
bersama orang lain (Tim Dosen MKDK UNJ, 2013).

Dimensi Esensi manusia sebagai makhluk beragama

Pada hakikatnya manusia adalah makhluk beragama (religius). Manusia memiliki kecenderungan untuk mengakui, menyadari, dan meyakini
akan adanya zat yang memiliki kekuatan supranatural di luar dirinya atau adanya yang Maha (Maha Esa, Maha Kuasa, dan Maha Besar).
Manusia memiliki kebutuhan beragama karena manusia adalah makhluk yang lemah, sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia
memerlukan agama demi untuk keselamatan hidupnya. Oleh karena itu, agama menjadi sandaran vertikal manusia. Untuk itu ia dituntut untuk
dapat menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dengan sebaik-baiknya melalui pendidikan (Husamah, et al, 2015).

Di sisi lain, Tuhan telah menurunkan wahyu melalui utusan-utusanNya, dan telah menggelar tanda-tanda di alam semesta untuk dipikirkan
oleh manusia agar manusia beriman dan bertakwa kepadaNya. Manusia hidup beragama karena agama menyangkut masalah-masalah
yang bersifat mutlak maka pelaksanaan keberagamaan akan tampak dalam kehidupan sesuai agama yang dianut masing-masing individu.
Hal ini baik berkenaan dengan sistem keyakinanya, sistem peribadatan maupun pelaksanaan tata kaidah yang mengatur hubungan manusia
dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia serta hubungan manusia dengan alam.

Dalam rangka mengembangkan kehidupan manusia sebagai makhluk beragama, pendidikan agama sangat penting untuk diberikan kepada
anak sejak dini. Dalam hal ini, selain peran orang tua yang utama, lembaga pendidikan formal juga turut berperan untuk memberikan
pendidikan agama kepada anak. Oleh karena itu, kurikulum mulai Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi di negara kita telah mencakup
pendidikan agama.

onlinelearning.unj.ac.id/mod/book/tool/print/index.php?id=37783 9/9

Anda mungkin juga menyukai