Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

TEORI BELAJAR HUMANISTIK

Dosen Pengampu : Abdul Azis, S.Psi., M.Psi


(Disusu untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan )

Disusun oleh
Ade Mutifahrunnisa (2201418133)
Annisa Febiyani ( 3201418033)
Kartika (5201418016)
Eka Dewi Sulistiyani (6102418006)
KATA PENGANTAR

Semoga berkah dan keselamatan tercurah kepada kita semua. Puji syukur ke hadirat
Allah SWT, yang dengan berkat, rahmat, dan karunia-Nya, telah memberikan kemudahan dan
kelancaran dari persiapan, proses pembuatan makalah tentang Teori Belajar Humanistik.
Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan.
Kami juga sangat berterima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam pembuatan
makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat bukanlah karya yang sempurna
karena memiliki banyak kekurangan baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisan.
Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini.

Semarang, 2 September 2019


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penugasan

Konsep teori belajar Humanistik yaitu proses memanusiakan manusia, dimana


seorang individu diharapkan dapat mengaktualisasikan diri artinya manusia dapat
menggali kemampuannya sendiri untuk diterapkan dalam lingkungan. Proses belajar
Humanistik memusatkan perhatian kepada diri peserta didik sehingga menitikberatkan
kepada kebebasan individu. Teori Humanistik menekankan kognitif dan afektif
memengaruhi proses. Kognitif adalah aspek penguasaan ilmu pengetahuan sedangkan
afektif adalah aspek sikap yang keduanya perlu dikembangkan dalam membangun
individu. Belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya
sendiri.

Hal yang penting lagi pada proses pembelajaran Humanisme harus adanya motivasi
yang diberikan agar peserta didik dapat terus menjalani pembelajaran dengan baik.
Motivasi dapat berasal dari dalam yaitu berasal dari diri sendiri, maupun dari guru
sebagai fasilitator.

Untuk menjadi seorang pendidik diperlukan suatu tujuan dimana para pendidik dapat
membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing
individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu
dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana akar perkembangan pendekatan humanistic?


2. Bagaimana pandangan humanistic dalam belajar?
3. Apa saja prinsip – prinsip pendekatan humanistic?

C. Tujuan

1. Mahasiswa mampu menjelaskan akar perkembangan pendekatan humanistic


2. Mahasiswa mampu menjelaskan pandangan humanistic dalam belajar
3. Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip-prinsip pendekatan humanistik
BAB II
PEMBAHASAN
A. Akar Gerakan Humanistik

Gerakan belajar dan pendidikan humanistik dimulai pada tahun 1960-an di Amerika Serikat
yang diawali dari munculnya gerakan mahasiswa yang tidak menyukai proses dan hasil
pendidikan di negara tersebut.  Gerakan yang disampaikan itu merupakan respon atas
ketidakpuasan pelajar terhadap adanya kompetisi, tekanan, kehidupan yang selalu diawasi, serta
ketidaksesuaian antara apa yang mereka pelajari dengan apa yang mereka amati di sekolah dan di
lingkungannya. Gerakan tersebut memunculkan tokoh-tokoh seperti Neill, John Holt, Jonathan
Kozol, dan Paul Goodman. Tokoh-tokoh tersebut adalah pelopor dalam gerakan ini. Gerakan ini
memunculkan nama-nama gerakan pendidikan baru dengan berbagai sebutan seperti romantisme,
sistem pendidikan alternatif, serta pendidikan humanistik.

Pendidikan humanistik mengutamakan pada hasil pendidikan yang bersifat efektif, belajar
tentang cara-cara belajar (learning how to learn), dan meningkatkan kreativitas dan semua
potensi peserta didik. Teori belajar ini sangat bertentangan dengan sistem pendidikan di sekolah
yang selalu diarahkan oleh pendidik (direct intruction). Pendidikan yang diarahkan oleh pendidik
itu pada biasanya mengutamakan pada peningkatan pengetahuan dan ketrampilan peserta didik.
Sementara itu, pendekatan humanistik kurang menekankan pengetahuan dan ketrampilan, namun
lebih menekankan pada hasil belajar yang bersifat personal. Belajar dianggap berhasil jika si
pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Peserta didik dalam proses belajarnya
harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari
sudut pandang pengamatnya.(Uno, 2006: 13).
Para pendidik humanistik merupakan penerus dari gagasan John Dewey. John Dewey adalah
seorang tokoh yang merupakan pelopor gerakan pendidikan progresif. Pendidikan ini tidak jauh
berbeda pada pendidikan humanistik. Pada tahun 1900-an John Dewey melalui gagasannya
melawan pendidikan yang tidak relevan dengan masyarakat industri, melawan pendapat orang-
orang yang selalu berpegang teguh pada waktu, menolak gagasan psikologi modern, penggunaan
latihan (drill) sebagai metode pembelajaran, serta beberapa aspek pendidikan yang tidak
memiliki nilai manfaat dan bersifat dekoratif.

Para tokoh aliran humanistik sependapat dengan apa yang digagas oleh John Dewey ini
dikarenakan mereka percaya bahwa masyarakat kontemporer akan menjadi masyarakat yang
tidak peka terhadap lingkungan. Oleh karena itu, pendidikan yang menyajikan bahan pelajar
spesifik dan diorganisir secara ketat (dekorasi), penggunaan metode belajar yang sistematis,
termasuk memotivasi peserta didik, pengelolaan kelas, dan asesmen kemajuan belajar peserta
didik yang dilakukan oleh pendidik (direct-intructions) sebagaimana yang telah dialami pada
waktu itu akan mampu meningkatkn pengetahuan dan ketrampilan, namun tidak akan mampu
menumbuhkembangkan kepekaan siswa (offective education), belajar tentang cara-cara belajar,
dan meningkatkan kreativitas dan potensi anak.

Begitu pula dengan hasil belajar dalam pandangan humanistik yang mengatakan bahwa hasil
belajar yang didapat berupa kemampuan peserta didik dalam bertanggung jawab dalam
menentukan apa yang mereka pelajari sehingga mereka mampu mengarahkan diri sendiri (self-
directing) dan mandiri (independent). Selain itu, pendidikan humanistik memandang pentingnya
penekanan pendidikan di bidang kreativitas, minat terhadap seni, dan hasrat ingin tahu. Oleh
karena itu, pendekatan humanistik kurang menekankan pada kurikulum standart, perencanaan
pembelajaran, ujian, sertifikasi pendidikan, dan kewajiban hadir di sekolah.
Dalam praktik pembalajaran, pendekatan humanistik mengkombinasikan metode
pembelajaran individual dan kelompok kecil. Namun pendekatan humanistik mempersyaratkan
perubahan status pendidik dari individu yang lebih mengetahui dan trampil akan segala sesuatu
menjadi individu yang memiliki status yang setara dengan peserta didik.

Pilihan materi pembalajaran yang hendak digunakan dalam proses pembelajaran merupakan
hak peserta didik, dan bukan menjadi hak pendidik yang akan disampaikan kepada peserta didik,
atau perancang kurikulum. Pembelajaran merupakan wahana bagi peserta didik untuk melakukan
aktualisasi diri sehingga peserta didik harus membangun kecenderungan tersebut dan
mengorganisir kelas agar peserta didik melakukan kontak dengan peristiwa-peristiwa yang
bermakna. Apabila kelas itu terbangun seperti harapan tersebut, makna peserta didik akan
memiliki keinginan untuk belajar, ingin tumbuh, berupaya menemukan sesuatu yang bermanfaat
bagi dirinya sendiri, memiliki harapan untuk menguasainya, dan ingin untuk menciptakan
sesuatu.

Praktik pendekatan humanistik, selalu memelihara kebebasan peserta didik untuk tumbuh
dan melindungi peserta didik dari tekanan keluarga dan masyarakat. Demikian pula pada hasil
belajar yang didapat mengacu pada perkembangan emosional karena pendekatan ini memandang
bahwa perkembangan emosional jauh lebih penting dari pada perkembangan akademik.

Penggunaan metode humanistik ini mendorong peserta didik untuk keratif dan beraktualisasi
diri (self-actialized person). Kreativitas beraktualisasi diri yang dilakukan oleh siswa ini tidak
memerlukan bakat dan kemampuan tertentu melainkan telah melekat pada si anak. Dibutukan
lingkungan yang mendukung pula untuk membantu dalam proses aktualisasi diri yang dilakukan
oleh peserta didik, seperti lingkungan yang menyenangkan dan tidak menakutkan, serta sangat
kondusif untuk siswa. Lingkungan tersebut akan menghasilkan peserta didik yang diibaratkan
peserta yang telah memperoleh psikoterapi yang baik.
Rogers dan Daymond ( Gage dan Berliner, 1994) menyatakan bahwa prosedur terapeutik
dapat menghasilkan seseorang yang mampu memandang diri sendiri, perasaan diri sendiri dan
orang lain secara penuh, sehingga seorang individu mampu mengarahkan diri sendiri, percaya
diri, matang, bersifat realistik dalam mencapai tujuan, dan bersifat fleksibel.

Sementara itu, dari uraian di atas mengacu pada pengertian atau definisi dari teori belajar
humanistik. Teori belajar humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang
mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia serta peserta didik mampu mengembangkan
potensi dirinya. Memanusiakan manusia di sini diartikan bahwa sebagai manusia yang memiliki
hak, tanggung jawab, harkat, dan martabatnya wajib dijunjung tinggi dan diakui oleh
manusianya sendiri dan manusia lainnya. Sedangkan dalam teori belajar humanistik ini
menempatkan bahwa pembelajaran yang dikonsentrasikan pada kebutuhan masing-masing
individu  sehingga peserta didik akan mampu mengembangkan potensinya serta menjadi apa
yang dia inginkan.

B. Pandangan Abraham Maslow

Dalam pendekatan humanistik, Maslow yang merupakan seorang tokoh psikologi


memberikan kontribusi melalui teori-teorinya, yakni: motivasi, aktualisasi diri, dan pengalaman
puncak yang memiliki dampak terhadap kegiaan belajar.

Teori motivasi manusia yang dikontribusikan oleh Maslow berdasarkan pada hierarki
kebutuhan.Kebutuhan-kebutuhan tersebut diawali dari tingkat paling rendah ke tingkat yang
paling tinggi. Kebutuhan tingkat yang paling rendah adalah kebutuhan fisik (physiological
needs), seperti rasa lapar dan haus. Kebutuhan kedua adalah kebutuhan akan rasa aman (safety
needs), seperti perlindungan. Kebutuhan ketiga adalah kebutuhan, yakni kebutuhan menjadi
milik dan dicintai (sense of belongingness and love)  seperti pengakuan oleh orang lain baik
autentik maupun tidak atas kepemilikan suatu hal. Kebutuhan keempat adalah adalah kebutuhan
penghargaan (esteem needs), yakni merasa bermanfaat dan hidupnya berharga, dan kebutuhan
yang kelima adalah adalah kebutuhan aktualisasi diri (self-actualized needs).
  Kebutuhan aktualisasi diri itu termanifestasi di dalam keinginan untuk memenuhi sendiri
(self-fulfillment) serta menjadi diri sendiri sesuai dengan potensi yang dimiliki. Pandangan yang
menarik tentang penelitian Maslow adalah bahwa aktualisasi diri hanya bisa dilakukan oleh
orang yang telah dewasa.

Kemudian mengacu pada pengalaman puncak yang memiliki dampak terhadap kegiatan
belajar, Maslow menekankan bahwa pengalaman yang secara kontinyu diperoleh akan
memberikan makna bahwa pengalaman-pengalaman itu dapat digunakan sebagai sumber daya
dalam kegiatan belajar. Oleh karena itu, konsep dari peserta didik adalah individu yang mandiri
adalah individu yang memiliki banyak  pengalaman, yang selanjutnya melalui pengalaman itu
peserta didik dapat tebantu dalam proses pengarahan diri (self-direction) atau aktualisasi diri
(self-actualization).

Sementara itu, individu yang beraktualisasi diri, menampilkan karaktristik sebagai berikut:

a. Berorientasi secara realistic


b. Menerima diri sendiri, orang lain, dan dunia alamiah sebagaimana adanya
c. Bersifat spontan dalam berpikir, beremosi, dan berperilaku.
d. Terpusat dalam masalah (problem centered) dan bukan terpusat pada diri sendiri (self-
centered).
e. Memiliki kebutuhan privasi dan berupaya memperolehnya, jika memiliki kesempatan,
serta memerlukan waktu berkonsentrasi untuk memperoleh sesuatu yang menarik bagi
dirinya.
f. Bersifat otonomi, independen, dan mampu memertahankan kebenaran ketika menghadapi
perlawanan.
g. Kadang-kadang memiliki pengalaman mistik yang tidak berkaitan dengan pengalaman
keagamaan.
h. Merasa sama dengan manusia secara keseluruhan berkenaan bukan saja dengan keluarga,
melainkan juga kesejahteraan dunia secara keseluruhan.
i. Memiliki hubungan dekat dan secara emosional dengan orang-orang yang dicintai.
j. Memiliki strukur karakter demokratis berkenaan dengan penilaian individu dan mampu
bersahabat bukan didasarkan pada ras, status, dan agama.
k. Memiliki etika yang berkembang terus.
l. Memiliki selera humor tinggi.
m.  Memiliki selera kreativitas tinggi.
n. Menolak keseragaman budaya.

Proses pendidikan hendaknya mampu memberikan pengalaman puncak agar terjadi


pengalaman dan pemahaman. Moslow menyampaikan bahwa pandangan manusia sebagai
peserta didik adalah manusia yang beraktualisasi diri (self-actualizing learning) sehingga tujuan
pendidikan adalah aktualisasi diri dan membantu individu menjadi individu yang terbaik sesuai
dengan apa yang diinginkannya.

C. Pandangan Karl Rogers

Rogers menyampaikan ada tiga unsur pokok pada diri seorang individu, yaitu: (1) organisme
yang berarti bahwa individu atau orang secara penuh mengarahkan diri sendiri; (2) medan
fenomena yakni bahwa pada diri individu terdapat totalitas pengalaman; (3) diri sendiri, bagian
dari medan yang terdeferensiasi. Diri sendiri memiliki karakteristik tertentu dan mencakup upaya
memperoleh konsistensi dan perubahan sebagai hasil dari kematangan belajar. Rogers kemudian
menyatakan bahwa dalam diri individu terdapat diri sendiri yang ideal dan diri sendiri yang nyata
yang kemudian suatu ketika terjadi sebuah kesenjangan (terdeferensiasi). Kesenjangan antara
keduanya itu dapat menstimulus belajar dan potensi perilaku yang memunculkan tekanan tidak
sehat.
Jika pendidikan itu sempurna seperti yang diharapkan khusunya dalam upaya
meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan individu, maka akan menghasilkan si pembelajar
yang mengalami semua perasaannya dan tidak cemas akan perasaannya, maksutnya adalah
bahwa si pembelajar selalu terbuka dengan berbagai informasi di berbagai sumber, dia terlibat
dalam proses menjadi dirinya sendiri serta menemukan diri sendiri sebagai makhluk sosial, dan
dia mengakui keberadaannya untuk belajar sepanjang hayat.

Manusia merupakan organisme yang secara penuh dan melalui pengalaman-pengalaman


yang diperoleh sesuai dengan kemaunya maka manusia memiliki fungsi secara penuh. Berfungsi
secara penuh di sini menandakan bahwa manusia memiliki fungsi penuh untuk mengarahkan
dirinya sendiri dan lingkungannya, mau dan harus peka terhadap dirinya sendiri serta
lingkungannya sehingga berperan dalam problem solving terhadap segala masalah yang
dihadapinya melalui pikirannya yang kreatif dan terus terbuka (berkembang) melalui
pengalaman yang diperoleh dari hasil belajar itu.

Rogers menyatakan bahwa dengan adanya belajar yang berorientasi pada aktualisasi diri
secara penuh mendukung adanya perubahan tentang belajar yang terkesan hanya hafalan dan
tidak bermanfaat menjadi belajar yang eksperiental, bermakna, dan signifikan. Selanjutnya
beliau menggambarkan bagaimana belajar yang dapat dikatakan sebagai belajar yang
eksperiental agar mendukung dalam penciptaan seorang individu yang berfungsi secara penuh:

a. Keterlibatan personal

Belajar eksperiental menunjukkan adanya keterlibatan personal yang ditandai adanya


keikutsertaan ranah-ranah belajar, yakni ranah kognitif dan ranah afektif yang mana harus
terlibat dalam peristiwa belajar dan tidak ada pembeda antarkeduanya, dimana dalam pendidikan
pada umunya bertentangan dengan hal ini yakni yang terkesan mengutamakan pada ranah
kognitif.
b. Prakarsa diri

Belajar eksperiental adalah belajar yang menemukan kebutuhan yang ada dalam diri
sendiri serta mau secara mandiri mengatasi bagaimana agar kebutuhan-kebutuhan yang timbul
dalam diri sendiri tersebut dapat terpenuhi.

c. Pervasif

Hasil belajar dalam belajar eksperiental memberikan dampak terhadap perilaku, sikap,
dan kepribadian peserta didik.

d. Evaluasi diri

Masing-masing peserta didik mampu mengevaluasi secara personal terhadap hasil belajar
yang dia tempuh, yakni pengukuran bagaimana pengalaman-pengalaman yang diperolehnya
mampu dan tidaknya dalam memenuhi kebutuhannya serta perubahan perilaku yang dialaminya.

e. Esensi adalah makna

Pembelajaran eksperiental menandakan adanya keterpaduan secara total antara makna


belajar dengan pengalaman-pengamalan yang didapat melalui belajar tersebut.

Belajar yang diprakarsai oleh peserta didik sendiri akan relevan dengan kebutuhan yang
dimiliki oleh peserta didik. Rogers menganggap bahwa apabila peserta didik memiliki
kemandirian dan tanggung jawab sendiri, mereka akan mampu berpartisipasi di dalam
menskontruksikan kegiatan belajarnya sendiri.

Kelompok merupakan mekanisme yang dikembangkan oleh Rogers dalam membantu


pertumbuhan dan perkembangan individu.  Kelompok dapat memberikan suasana yang
menyadarkan individu akan kehidupannya. Melalui kelompok, individu atau anggota-anggotanya
akan terdorong untuk mengungkapkan pengalamannya dan mendorong untuk bersikap kreatif,
menilai, dan aktualisasi diri.
Hal ini terjadi karena kelompok bisa menjadi format belajar penukaran informasi,
pemecahan masalah, dan perkembangan personal melalui komunikasi, berdiskusi, dan lain
sebagainya sehingga dalam kelompok seorang individu dapat memperlancar dalam
mematangkan emosi dan psikologisnya. Meskipun sebenarnya dalam proses aktualisasi diri dan
proses pemecahan masalah, individu lebih terlibat secara mendalam dibandingkan dengan
kelompok. Kelompok merupakan kekuatan untuk memanusiakan kembali hubungan manusia dan
membantu kehidupannya secara penuh.

D. Prinsip – prinsip Teori Humanistik

Pendidikan dengan pendekatan humanistik didasari oleh beberapa asumsi. Asumsi tersebut
diturunkan sebagai hal-hal yang mendasari pada prinsip-prinsip dalam teori belajar ini. Asumsi-
asumsi tersebut yakni; pertama bahwa peserta didik mempelajari apa yang mereka butuhkan dan
ingin diketahui; kedua belajar tentang cara-cara belajar adalah lebih penting dibandingkan
dengan memperoleh pengetahuan aktual; ketiga evaluasi yang dilakukan oleh peserta didik
sendiri adalah sangat bermanfaat dari pekerjaannya; keempat bahwa perasaan sama pentingnya
dengan fakta sedangkan belajar merasakan sama pentingnya dengan belajar cara-cara berpikir;
kelima bahwa belajar akan terjadi apabila peserta didik tidak merasakan adanya ancaman.
Selanjutnya setelah dijelaskan asumsi-asumsi belajar di atas, asumsi-asumsi tersebut akan
mengkontruksikan prinsip-prinsip belajar. Prinsip-prinsip belajar dalam pendekatan humanistik
adalah sebagai berikut:

1. Swa Arah (Self-Direction)


Prinsip ini mengatakan bahwa peserta didik hendaklah diberikan kesempatan
untuk memutuskan bahan belajar yang ingin dipelajari yakni bahan belajar yang mampu
memenuhi kebutuhan, keinginan, hasrat ingin tahu, dan fantasi si peserta didik. Peserta
didik juga diberikan kesempatan untuk meng-handle belajarnya sendiri, memilih apa
yang ingin mereka pelajari, serta mengarahkan kapan dan bagaimana peserta didik itu
akan mempelajarinya sehingga peserta didik mampu memotivasi diri akan belajarnya
dan menjadi penerima informasi yang bersifat aktif.

Oleh karena itu, pendekatan humanistik ini menganggap bahwa pembelajaran


dengan motivasi tinggi akan muncul apabila mereka diberikan wewenang untuk
memilih beberapa pilihan bahan belajar yang akan mereka pelajari. Selanjutnya tugas-
tugas fasilitator atau pendidik dalam prinsip ini adalah:
a. Mendorong peserta didik untuk memenuhi kompetensi baru
b. Membantu memperjelas aspirasinya guna meningkatkan kompetensinya.
c. Membantu mendiagnosis kesenjangan antara aspirasi dengan kinerjanya
sekarang.
d. Membantu mengidentifikasi masalah-masalah kehidupan yang mereka alami.
e. Melibatkan peserta didik dalam proses merumuskan tujuan belajar dengan
mempertimbangkan kebutuhan peserta didik yang telah didiagnosis

2. Belajar tentang Cara-cara belajar (Learning How to Learn)


Dalam belajar, hendaknya peserta didik secara kontinyu menumbuhkan
keinginannya untuk belajar serta mengetahui bagaimana cara-cara belajar yang tepat.
Hal ini menyatakan bahwa pengetahuan yang didapat dari orang lain dinilai kurang
berharga. Pengetahuan yang didapat harus didasarkan pada keinginannya sendiri dan
secara mandiri mengetahui cara-cara bagaimana memperoleh ilmu pengetahuan itu serta
berusaha sendiri dalam usaha memperoleh pengetahuan itu melalui cara-cara yang telah
ia ketahui. Bagi anak-anak, apa yang dipelajari tidak akan mengubah kenyataan itu
berbeda selama anak-anak berkeinginan untuk mempelajarinya.
Para pendidik humanistik memiliki keyakinan bahwa tujuan akhir pendidikan
adalah mengubah batas-batas yang menjadi pendorong indivu untuk mendidik sendiri.
Keinginan belajar merupakan kondisi motivasional yang diharapkan oleh peserta didik.
Sementara itu, tugas seorang pendidik adalah membantu peserta didik dalam hal
mengetahui bagaimana cara-cara belajar yang tepat.

Peserta didik yang mampu mengetahui bagaimana cara-cara belajar yang tepat
sesuai bidang-bidang pengetahuan memiliki harapan dalam memadukan belajar baru
dengan belajar yang menantang mengenai perkembangan yang ada sehingga jika suatu
saat peserta didik mengalami perubahan situasi pembelajaran baru, peserta didik
langsung dapat menyesuaikan diri. Sementara itu, tugas fasilitator atau pendidik dalam
pinsip ini adalah:
a. Memotivasi peserta didik mempelajari tugas-tugas belajar yang telah dirancang
sebelumnya
b. Membantu merancang pengalaman belajar, memilih bahan belajar, dan metode
belajar, serta melibatkan peserta didik dalam hal pembuatan keputusan.

3. Evaluasi Diri (Self-Evaluation)


Evaluasi diri merupakan prasyarat bagi perkembangan kemandirian peserta didik.
Peserta didik tidak hanya dituntut menentukan pilihan tentang bahan yang diinginkan
untuk ia pelajari, mengetahui bagaimana cara-cara belajar yang tepat untuk dirinya,
namun juga melakukan evaluasi terhadap peristiwa belajar yang dialaminya.
Evaluasi yang dilakukan oleh sekolah dengan adanya kenaikan kelas dan
kelulusan dipandang sebagai suatu hal yang mengganggu proses pembelajaran peserta
didik, karena adanya anggapan bahwa yang mengalami belajar adalah peserta didik
maka yang memperoleh hasil belajar juga peserta didik sehingga yang mengevaluasi
pun juga dilakukan oleh peserta didik. Demikian pula dengan hal yang berkaitan dengan
instrumen evaluasi yang diadakan seperti tes yang lebih bersifat objektif atau pilihan
ganda yang hanya membutuhkan satu jawaban yang benar.
Selanjutnya pendekatan humanistik ini juga bertentangan dengan perbandingan
dan grading (rangking) yang dipandang menakutkan oleh peserta didik.  Peserta didik
yang sering dikoreksi atau memperoleh grading dari pendidik tidak akan mampu
merespon masalah dengan baik karena mereka mengetahui konsekuensi negatif yang
akan dihadapinya.

Konsekuensi negatif yang dihadapinya misalnya peserta didik malu dan rendah
diri apabila ia mendapatkan nilai buruk sehingga akan berdampak pada proses merespon
masalahnya dengan perasaan tidak percaya diri bahwa ia akan mampu memahami
informasi yang ada dan lain sebagainya. Selain itu, dalam pemberian grading dapat
memprakarsai proses balejar anak yang akan terorientasi oleh nilai dan grading yang
baik bukan orientasi belajar lain yang  mereka butuhkan yang mana jauh lebih penting
dibandingkan kebutuhan akan nilai sehingga belajar kurang memberikan kepuasan
personal peserta didik.
Untuk merealisasikan prinsip evaluasi diri itu, pendidik dan peserta didik itu
hendaknya bertemu secara reguler untuk melaksakan perencanaan belajar dan kontrak
kegiatan belajar. Dalam pertemuan itu, mereka bersama-sama merumuskan kriteria
untuk digunakan dalam evaluasi, dan peserta didik pemberian kesempatan bagi peserta
didik untuk berevaluasi diri. Sementara itu, tugas fasilitator atau pendidik dalam
mengupayakan prinsip evaluasi diri yang ada pada diri siswa adalah sebagai berikut:
a. Melibatkan peserta didik dalam mengembangkan kriteria kinerja, dan metode
dalam pengukuran kemajuan tujuan belajarnya.
b. Membantu mengembangkan dan menerapkan prosedur evaluasi kemajuan
belajar.
c. Membantu berupa memberikan bimbingan terhadap hasil evaluasi yang
dilakukan oleh peserta didik.
4. Pentingnya Perasaan (Important of Feelings)
Teori belajar dengan pendekatan humanistik tidak membeda-bedakan domain
kognitif dan domain afektif. Kedua domain tersebut sama pentingnya bagi
perkembangan peserta didik. Padahal, dalam praktik pendidikan biasanya pembelajaran
lebih menitikberatkan pada domain kognitif. Hal tersebut sangat bertentangan dengan
teori belajar ini. Karena keduanya sama pentingnya, maka domain ini tidak boleh
dipisahkan.

Dilihat dari sudut pandang humanistik, belajar merupakan kegiatan memperoleh


informasi atau pengalaman baru, dan peserta didik menemukan makna akan informasi
atau pengalaman baru tersebut secara personal. Peserta didik yang dinilai gagal bukan
dikarenakan masalah kekurangan dalam hal menemukan informasi atau pengalaman
tersebut, melainkan dikarenakan kurangnya kesempatan dari sekolah untuk
mengembangkan makna secara personal dan perasaan mengenai objek, peristiwa, atau
pengetahuan yang diperolehnya karena dalam menghadapi informasi atau pengalaman
tersebut siswa tidak hanya sekadar mengerti informasi atau pengalaman tersebut
melainkan juga harus dipahami secara mendalam dan dirasakan agar dapat mengena
hingga ranah kognitif dan afektif si peserta didik tersebut.
Untuk merealisasikan pembelajaran yang mengena pada perkembangan domain
kognitif dan domain afektif sekaligus, para pakar humanistik telah mengembangkan
metode pembelajaran pertemuan kelas untuk membahas masalah, nilai-nilai, dan
perasaan interpersonal. Secara spesifik, pendidik direkomendasikan agar dalam
pelaksanaan pembelajaran hendaknya menekankan nilai-nilai kerjasama, saling
menghormati, menjunjung kejujuran baik pada waktu membuat contoh dan pada waktu
mendiskusikan, serta memperkuat nilai-nilai yang dipelajari oleh peserta didik. Tugas
fasilitator dalam mengembangkan perasaan positif peserta didik dalam pembelajaran
adalah sebagai berikut:
a. Membantu peserta didik menggunakan pengalamannya sendiri sebagai sumber
belajar dengan menggunakan teknik seperti diskusi, permainan peran, studi
kasus, dan sejenisnya.
b. Menyampaikan isi pembelajaran berdasarkan sumber-sumber belajar yang sesuai
dengan tingkat pengalaman peserta didik.
c. Membantu menerapkan hasil belajar ke dalam dunia nyata (transfer of learning).
Hal ini akan membuat belajar lebih bermakna dan terpadu.

5. Bebas dari Ancaman (Freedom of Threat)


Suasana yang bebas dari ancaman membuat belajar lebih mudah, lebih bermakna,
dan lebih diperkuat. Sementara itu, suasana belajar yang diwarnai dengan adanya
ancaman bagi peserta didik membuat peserta didik merasa gagal dalam belajar sebelum
dia melaksanakan kegiatan belajar hingga pada akhirnya memunculkan banyak masalah
pada diri peserta didik seperti tidak terserapnya informasi dan pengalaman yang hendak
dipelajari dan ketidakbisaan dalam menyesuaikan lingkungan di sekitar peserta didik.
Suasana belajar yang terkesan adanya ancaman seperti adanya gangguan fisik dari
seorang pendidik kepada peserta didik; misal dipukul jika tidak bisa mengerjakan soal,
peserta didik yang mengalamai gangguan fisik tertentu yang kemudian disuruh
melakukan suatu hal yang mungkin tidak bisa akibat gangguan yang dimilikinya,
disuruh maju di depan kelas untuk mengerjakan matematika padahal dirinya tidak bisa,
dan ancaman lain yang pada intinya disebabkan peranan pendidik yang terlalu ditaktor
(menguasai) kegiatan pembelajaran. Padahal, pendekatan humanistik memberikan
kebebasan bagi peserta didik untuk memilih bahan pembelajaran yang diinginkan
peserta didik termasuk cara-cara belajarnya dan evaluasi terhadap hasil belajarnya.
Sementara itu, kegiatan belajar yang dipandang sebagai kegiatan belajar yang
membebaskan peserta didik dari ancaman adalah pembelajaran yang bersifat demokratis
secara bertanggung jawab. Berkaitan dengan hal itu, tugas fasilitator atau pendidik
dalam mewujudkan prinsip belajar ini adalah sebagai berikut:
a. Menciptakan kondisi fisik yang menyenangkan, seperti sarana dan prasarana
yang kondusif untuk terciptanya interaksi yang harmonis baik peserta didik
dengan peserta didik maupun peserta didik dengan pendidik.
b. Memandang bahwa setiap peserta didik merupakan pribadi yang bermanfaat, dan
menghormati perasaan dan gagasan-gagasannya.
c. Membangun hubungan saling membantu antarpeserta didik dengan
mengembangkan kegiatan-kegiatan yang bersifat kooperatif dan mencegah
adanya persaingan dan saling memberikan penilaian.

Pada intinya teori belajar humanistik menitikberatkan bahwa belajar untuk


kepentingan secara personal sehingga kegiatan belajar ditinjau dari masing-masing
pembelajar. Pada dasarnya, individu yang satu dengan individu yang lain memiliki
perbedaan dari segi karakteristiknya sehingga kebutuhan yang dimilikinya berkaitan
dengan belajar pun juga tidak sama.

Belajar ditujukan agar peserta didik beraktualisasi diri menjadi apa yang diinginkan
oleh peserta didik sehingga peserta didik mampu membaur dengan lingkungannya
melalui jalan pikirannya yang kreatif, terbuka terhadap segala hal, dan
mempertimbangkan apa yang dia butuhkan. Pendidik memberikan keluasan pada
peserta didik untuk memilih bahan belajar yang diinginkannya karena dengan memilih
bahan belajar yang diinginkan mendorong peserta didik mampu secara mudah dalam
memaknai informasi atau pengalaman yang diperolehnya melalui kegiatan belajar
tersebut.

Selanjutnya peserta didik diberi keluasan untuk mengetahui cara-cara belajar yang
tepat. Karena peserta didik yang menjadi aktor lakon dalam proses belajar, maka ia
diberikan keluasan juga untuk mengevaluasi hasil belajar yang diperoleh. Oleh karena
itu, dalam pendekatan humanistik menilai bahwa belajar merupakan proses
memanusiakan manusia dalam hal ini peserta didik sehingga potensinya dapat
berkembang.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Pendidikan humanistik mengutamakan pada hasil pendidikan yang bersifat efektif, belajar
tentang cara-cara belajar (learning how to learn), dan meningkatkan kreativitas dan semua
potensi peserta didik. Teori belajar ini sangat bertentangan dengan sistem pendidikan di sekolah
yang selalu diarahkan oleh pendidik (direct intruction).

Teori belajar humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang mengedepankan
bagaimana memanusiakan manusia serta peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya.

Prinsip-prinsip belajar dalam pendekatan humanistik adalah Swa Arah (Self-Direction),


Belajar tentang Cara-cara belajar (Learning How to Learn), Evaluasi Diri (Self-Evaluation),
Pentingnya Perasaan (Important of Feelings), dan Bebas dari Ancaman (Freedom of Threat).

Anda mungkin juga menyukai