Disusun oleh
Ade Mutifahrunnisa (2201418133)
Annisa Febiyani ( 3201418033)
Kartika (5201418016)
Eka Dewi Sulistiyani (6102418006)
KATA PENGANTAR
Semoga berkah dan keselamatan tercurah kepada kita semua. Puji syukur ke hadirat
Allah SWT, yang dengan berkat, rahmat, dan karunia-Nya, telah memberikan kemudahan dan
kelancaran dari persiapan, proses pembuatan makalah tentang Teori Belajar Humanistik.
Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan.
Kami juga sangat berterima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam pembuatan
makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat bukanlah karya yang sempurna
karena memiliki banyak kekurangan baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisan.
Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini.
Hal yang penting lagi pada proses pembelajaran Humanisme harus adanya motivasi
yang diberikan agar peserta didik dapat terus menjalani pembelajaran dengan baik.
Motivasi dapat berasal dari dalam yaitu berasal dari diri sendiri, maupun dari guru
sebagai fasilitator.
Untuk menjadi seorang pendidik diperlukan suatu tujuan dimana para pendidik dapat
membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing
individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu
dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Gerakan belajar dan pendidikan humanistik dimulai pada tahun 1960-an di Amerika Serikat
yang diawali dari munculnya gerakan mahasiswa yang tidak menyukai proses dan hasil
pendidikan di negara tersebut. Gerakan yang disampaikan itu merupakan respon atas
ketidakpuasan pelajar terhadap adanya kompetisi, tekanan, kehidupan yang selalu diawasi, serta
ketidaksesuaian antara apa yang mereka pelajari dengan apa yang mereka amati di sekolah dan di
lingkungannya. Gerakan tersebut memunculkan tokoh-tokoh seperti Neill, John Holt, Jonathan
Kozol, dan Paul Goodman. Tokoh-tokoh tersebut adalah pelopor dalam gerakan ini. Gerakan ini
memunculkan nama-nama gerakan pendidikan baru dengan berbagai sebutan seperti romantisme,
sistem pendidikan alternatif, serta pendidikan humanistik.
Pendidikan humanistik mengutamakan pada hasil pendidikan yang bersifat efektif, belajar
tentang cara-cara belajar (learning how to learn), dan meningkatkan kreativitas dan semua
potensi peserta didik. Teori belajar ini sangat bertentangan dengan sistem pendidikan di sekolah
yang selalu diarahkan oleh pendidik (direct intruction). Pendidikan yang diarahkan oleh pendidik
itu pada biasanya mengutamakan pada peningkatan pengetahuan dan ketrampilan peserta didik.
Sementara itu, pendekatan humanistik kurang menekankan pengetahuan dan ketrampilan, namun
lebih menekankan pada hasil belajar yang bersifat personal. Belajar dianggap berhasil jika si
pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Peserta didik dalam proses belajarnya
harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari
sudut pandang pengamatnya.(Uno, 2006: 13).
Para pendidik humanistik merupakan penerus dari gagasan John Dewey. John Dewey adalah
seorang tokoh yang merupakan pelopor gerakan pendidikan progresif. Pendidikan ini tidak jauh
berbeda pada pendidikan humanistik. Pada tahun 1900-an John Dewey melalui gagasannya
melawan pendidikan yang tidak relevan dengan masyarakat industri, melawan pendapat orang-
orang yang selalu berpegang teguh pada waktu, menolak gagasan psikologi modern, penggunaan
latihan (drill) sebagai metode pembelajaran, serta beberapa aspek pendidikan yang tidak
memiliki nilai manfaat dan bersifat dekoratif.
Para tokoh aliran humanistik sependapat dengan apa yang digagas oleh John Dewey ini
dikarenakan mereka percaya bahwa masyarakat kontemporer akan menjadi masyarakat yang
tidak peka terhadap lingkungan. Oleh karena itu, pendidikan yang menyajikan bahan pelajar
spesifik dan diorganisir secara ketat (dekorasi), penggunaan metode belajar yang sistematis,
termasuk memotivasi peserta didik, pengelolaan kelas, dan asesmen kemajuan belajar peserta
didik yang dilakukan oleh pendidik (direct-intructions) sebagaimana yang telah dialami pada
waktu itu akan mampu meningkatkn pengetahuan dan ketrampilan, namun tidak akan mampu
menumbuhkembangkan kepekaan siswa (offective education), belajar tentang cara-cara belajar,
dan meningkatkan kreativitas dan potensi anak.
Begitu pula dengan hasil belajar dalam pandangan humanistik yang mengatakan bahwa hasil
belajar yang didapat berupa kemampuan peserta didik dalam bertanggung jawab dalam
menentukan apa yang mereka pelajari sehingga mereka mampu mengarahkan diri sendiri (self-
directing) dan mandiri (independent). Selain itu, pendidikan humanistik memandang pentingnya
penekanan pendidikan di bidang kreativitas, minat terhadap seni, dan hasrat ingin tahu. Oleh
karena itu, pendekatan humanistik kurang menekankan pada kurikulum standart, perencanaan
pembelajaran, ujian, sertifikasi pendidikan, dan kewajiban hadir di sekolah.
Dalam praktik pembalajaran, pendekatan humanistik mengkombinasikan metode
pembelajaran individual dan kelompok kecil. Namun pendekatan humanistik mempersyaratkan
perubahan status pendidik dari individu yang lebih mengetahui dan trampil akan segala sesuatu
menjadi individu yang memiliki status yang setara dengan peserta didik.
Pilihan materi pembalajaran yang hendak digunakan dalam proses pembelajaran merupakan
hak peserta didik, dan bukan menjadi hak pendidik yang akan disampaikan kepada peserta didik,
atau perancang kurikulum. Pembelajaran merupakan wahana bagi peserta didik untuk melakukan
aktualisasi diri sehingga peserta didik harus membangun kecenderungan tersebut dan
mengorganisir kelas agar peserta didik melakukan kontak dengan peristiwa-peristiwa yang
bermakna. Apabila kelas itu terbangun seperti harapan tersebut, makna peserta didik akan
memiliki keinginan untuk belajar, ingin tumbuh, berupaya menemukan sesuatu yang bermanfaat
bagi dirinya sendiri, memiliki harapan untuk menguasainya, dan ingin untuk menciptakan
sesuatu.
Praktik pendekatan humanistik, selalu memelihara kebebasan peserta didik untuk tumbuh
dan melindungi peserta didik dari tekanan keluarga dan masyarakat. Demikian pula pada hasil
belajar yang didapat mengacu pada perkembangan emosional karena pendekatan ini memandang
bahwa perkembangan emosional jauh lebih penting dari pada perkembangan akademik.
Penggunaan metode humanistik ini mendorong peserta didik untuk keratif dan beraktualisasi
diri (self-actialized person). Kreativitas beraktualisasi diri yang dilakukan oleh siswa ini tidak
memerlukan bakat dan kemampuan tertentu melainkan telah melekat pada si anak. Dibutukan
lingkungan yang mendukung pula untuk membantu dalam proses aktualisasi diri yang dilakukan
oleh peserta didik, seperti lingkungan yang menyenangkan dan tidak menakutkan, serta sangat
kondusif untuk siswa. Lingkungan tersebut akan menghasilkan peserta didik yang diibaratkan
peserta yang telah memperoleh psikoterapi yang baik.
Rogers dan Daymond ( Gage dan Berliner, 1994) menyatakan bahwa prosedur terapeutik
dapat menghasilkan seseorang yang mampu memandang diri sendiri, perasaan diri sendiri dan
orang lain secara penuh, sehingga seorang individu mampu mengarahkan diri sendiri, percaya
diri, matang, bersifat realistik dalam mencapai tujuan, dan bersifat fleksibel.
Sementara itu, dari uraian di atas mengacu pada pengertian atau definisi dari teori belajar
humanistik. Teori belajar humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang
mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia serta peserta didik mampu mengembangkan
potensi dirinya. Memanusiakan manusia di sini diartikan bahwa sebagai manusia yang memiliki
hak, tanggung jawab, harkat, dan martabatnya wajib dijunjung tinggi dan diakui oleh
manusianya sendiri dan manusia lainnya. Sedangkan dalam teori belajar humanistik ini
menempatkan bahwa pembelajaran yang dikonsentrasikan pada kebutuhan masing-masing
individu sehingga peserta didik akan mampu mengembangkan potensinya serta menjadi apa
yang dia inginkan.
Teori motivasi manusia yang dikontribusikan oleh Maslow berdasarkan pada hierarki
kebutuhan.Kebutuhan-kebutuhan tersebut diawali dari tingkat paling rendah ke tingkat yang
paling tinggi. Kebutuhan tingkat yang paling rendah adalah kebutuhan fisik (physiological
needs), seperti rasa lapar dan haus. Kebutuhan kedua adalah kebutuhan akan rasa aman (safety
needs), seperti perlindungan. Kebutuhan ketiga adalah kebutuhan, yakni kebutuhan menjadi
milik dan dicintai (sense of belongingness and love) seperti pengakuan oleh orang lain baik
autentik maupun tidak atas kepemilikan suatu hal. Kebutuhan keempat adalah adalah kebutuhan
penghargaan (esteem needs), yakni merasa bermanfaat dan hidupnya berharga, dan kebutuhan
yang kelima adalah adalah kebutuhan aktualisasi diri (self-actualized needs).
Kebutuhan aktualisasi diri itu termanifestasi di dalam keinginan untuk memenuhi sendiri
(self-fulfillment) serta menjadi diri sendiri sesuai dengan potensi yang dimiliki. Pandangan yang
menarik tentang penelitian Maslow adalah bahwa aktualisasi diri hanya bisa dilakukan oleh
orang yang telah dewasa.
Kemudian mengacu pada pengalaman puncak yang memiliki dampak terhadap kegiatan
belajar, Maslow menekankan bahwa pengalaman yang secara kontinyu diperoleh akan
memberikan makna bahwa pengalaman-pengalaman itu dapat digunakan sebagai sumber daya
dalam kegiatan belajar. Oleh karena itu, konsep dari peserta didik adalah individu yang mandiri
adalah individu yang memiliki banyak pengalaman, yang selanjutnya melalui pengalaman itu
peserta didik dapat tebantu dalam proses pengarahan diri (self-direction) atau aktualisasi diri
(self-actualization).
Sementara itu, individu yang beraktualisasi diri, menampilkan karaktristik sebagai berikut:
Rogers menyampaikan ada tiga unsur pokok pada diri seorang individu, yaitu: (1) organisme
yang berarti bahwa individu atau orang secara penuh mengarahkan diri sendiri; (2) medan
fenomena yakni bahwa pada diri individu terdapat totalitas pengalaman; (3) diri sendiri, bagian
dari medan yang terdeferensiasi. Diri sendiri memiliki karakteristik tertentu dan mencakup upaya
memperoleh konsistensi dan perubahan sebagai hasil dari kematangan belajar. Rogers kemudian
menyatakan bahwa dalam diri individu terdapat diri sendiri yang ideal dan diri sendiri yang nyata
yang kemudian suatu ketika terjadi sebuah kesenjangan (terdeferensiasi). Kesenjangan antara
keduanya itu dapat menstimulus belajar dan potensi perilaku yang memunculkan tekanan tidak
sehat.
Jika pendidikan itu sempurna seperti yang diharapkan khusunya dalam upaya
meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan individu, maka akan menghasilkan si pembelajar
yang mengalami semua perasaannya dan tidak cemas akan perasaannya, maksutnya adalah
bahwa si pembelajar selalu terbuka dengan berbagai informasi di berbagai sumber, dia terlibat
dalam proses menjadi dirinya sendiri serta menemukan diri sendiri sebagai makhluk sosial, dan
dia mengakui keberadaannya untuk belajar sepanjang hayat.
Rogers menyatakan bahwa dengan adanya belajar yang berorientasi pada aktualisasi diri
secara penuh mendukung adanya perubahan tentang belajar yang terkesan hanya hafalan dan
tidak bermanfaat menjadi belajar yang eksperiental, bermakna, dan signifikan. Selanjutnya
beliau menggambarkan bagaimana belajar yang dapat dikatakan sebagai belajar yang
eksperiental agar mendukung dalam penciptaan seorang individu yang berfungsi secara penuh:
a. Keterlibatan personal
Belajar eksperiental adalah belajar yang menemukan kebutuhan yang ada dalam diri
sendiri serta mau secara mandiri mengatasi bagaimana agar kebutuhan-kebutuhan yang timbul
dalam diri sendiri tersebut dapat terpenuhi.
c. Pervasif
Hasil belajar dalam belajar eksperiental memberikan dampak terhadap perilaku, sikap,
dan kepribadian peserta didik.
d. Evaluasi diri
Masing-masing peserta didik mampu mengevaluasi secara personal terhadap hasil belajar
yang dia tempuh, yakni pengukuran bagaimana pengalaman-pengalaman yang diperolehnya
mampu dan tidaknya dalam memenuhi kebutuhannya serta perubahan perilaku yang dialaminya.
Belajar yang diprakarsai oleh peserta didik sendiri akan relevan dengan kebutuhan yang
dimiliki oleh peserta didik. Rogers menganggap bahwa apabila peserta didik memiliki
kemandirian dan tanggung jawab sendiri, mereka akan mampu berpartisipasi di dalam
menskontruksikan kegiatan belajarnya sendiri.
Pendidikan dengan pendekatan humanistik didasari oleh beberapa asumsi. Asumsi tersebut
diturunkan sebagai hal-hal yang mendasari pada prinsip-prinsip dalam teori belajar ini. Asumsi-
asumsi tersebut yakni; pertama bahwa peserta didik mempelajari apa yang mereka butuhkan dan
ingin diketahui; kedua belajar tentang cara-cara belajar adalah lebih penting dibandingkan
dengan memperoleh pengetahuan aktual; ketiga evaluasi yang dilakukan oleh peserta didik
sendiri adalah sangat bermanfaat dari pekerjaannya; keempat bahwa perasaan sama pentingnya
dengan fakta sedangkan belajar merasakan sama pentingnya dengan belajar cara-cara berpikir;
kelima bahwa belajar akan terjadi apabila peserta didik tidak merasakan adanya ancaman.
Selanjutnya setelah dijelaskan asumsi-asumsi belajar di atas, asumsi-asumsi tersebut akan
mengkontruksikan prinsip-prinsip belajar. Prinsip-prinsip belajar dalam pendekatan humanistik
adalah sebagai berikut:
Peserta didik yang mampu mengetahui bagaimana cara-cara belajar yang tepat
sesuai bidang-bidang pengetahuan memiliki harapan dalam memadukan belajar baru
dengan belajar yang menantang mengenai perkembangan yang ada sehingga jika suatu
saat peserta didik mengalami perubahan situasi pembelajaran baru, peserta didik
langsung dapat menyesuaikan diri. Sementara itu, tugas fasilitator atau pendidik dalam
pinsip ini adalah:
a. Memotivasi peserta didik mempelajari tugas-tugas belajar yang telah dirancang
sebelumnya
b. Membantu merancang pengalaman belajar, memilih bahan belajar, dan metode
belajar, serta melibatkan peserta didik dalam hal pembuatan keputusan.
Konsekuensi negatif yang dihadapinya misalnya peserta didik malu dan rendah
diri apabila ia mendapatkan nilai buruk sehingga akan berdampak pada proses merespon
masalahnya dengan perasaan tidak percaya diri bahwa ia akan mampu memahami
informasi yang ada dan lain sebagainya. Selain itu, dalam pemberian grading dapat
memprakarsai proses balejar anak yang akan terorientasi oleh nilai dan grading yang
baik bukan orientasi belajar lain yang mereka butuhkan yang mana jauh lebih penting
dibandingkan kebutuhan akan nilai sehingga belajar kurang memberikan kepuasan
personal peserta didik.
Untuk merealisasikan prinsip evaluasi diri itu, pendidik dan peserta didik itu
hendaknya bertemu secara reguler untuk melaksakan perencanaan belajar dan kontrak
kegiatan belajar. Dalam pertemuan itu, mereka bersama-sama merumuskan kriteria
untuk digunakan dalam evaluasi, dan peserta didik pemberian kesempatan bagi peserta
didik untuk berevaluasi diri. Sementara itu, tugas fasilitator atau pendidik dalam
mengupayakan prinsip evaluasi diri yang ada pada diri siswa adalah sebagai berikut:
a. Melibatkan peserta didik dalam mengembangkan kriteria kinerja, dan metode
dalam pengukuran kemajuan tujuan belajarnya.
b. Membantu mengembangkan dan menerapkan prosedur evaluasi kemajuan
belajar.
c. Membantu berupa memberikan bimbingan terhadap hasil evaluasi yang
dilakukan oleh peserta didik.
4. Pentingnya Perasaan (Important of Feelings)
Teori belajar dengan pendekatan humanistik tidak membeda-bedakan domain
kognitif dan domain afektif. Kedua domain tersebut sama pentingnya bagi
perkembangan peserta didik. Padahal, dalam praktik pendidikan biasanya pembelajaran
lebih menitikberatkan pada domain kognitif. Hal tersebut sangat bertentangan dengan
teori belajar ini. Karena keduanya sama pentingnya, maka domain ini tidak boleh
dipisahkan.
Belajar ditujukan agar peserta didik beraktualisasi diri menjadi apa yang diinginkan
oleh peserta didik sehingga peserta didik mampu membaur dengan lingkungannya
melalui jalan pikirannya yang kreatif, terbuka terhadap segala hal, dan
mempertimbangkan apa yang dia butuhkan. Pendidik memberikan keluasan pada
peserta didik untuk memilih bahan belajar yang diinginkannya karena dengan memilih
bahan belajar yang diinginkan mendorong peserta didik mampu secara mudah dalam
memaknai informasi atau pengalaman yang diperolehnya melalui kegiatan belajar
tersebut.
Selanjutnya peserta didik diberi keluasan untuk mengetahui cara-cara belajar yang
tepat. Karena peserta didik yang menjadi aktor lakon dalam proses belajar, maka ia
diberikan keluasan juga untuk mengevaluasi hasil belajar yang diperoleh. Oleh karena
itu, dalam pendekatan humanistik menilai bahwa belajar merupakan proses
memanusiakan manusia dalam hal ini peserta didik sehingga potensinya dapat
berkembang.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendidikan humanistik mengutamakan pada hasil pendidikan yang bersifat efektif, belajar
tentang cara-cara belajar (learning how to learn), dan meningkatkan kreativitas dan semua
potensi peserta didik. Teori belajar ini sangat bertentangan dengan sistem pendidikan di sekolah
yang selalu diarahkan oleh pendidik (direct intruction).
Teori belajar humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang mengedepankan
bagaimana memanusiakan manusia serta peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya.