Anda di halaman 1dari 6

PENDIDIKAN DI MASA PANDEMI COVID 19 SEBAGAI

TANTANGAN KEHIDUPAN BARU *


================================================
Prof. Dr. Nyoman Dantes
=========================================================

Era global yang bercirikan competitiveness tak dapat dipungkiri merupakan tantangan
yang sangat berat bagi pendidikan Indonesia. Tingginya persaingan dunia memaksa kita
harus mendorong peningkatan daya saing bangsa, dan untuk itu diperlukan pendidikan yang
memberi pengetahuan dan pengalaman belajar bagi setiap orang secara bermakna.

Hingga kini, pembelajaran di sekolah pada umumnya di Indonesia disinyalir masih


didominasi oleh penyampaian materi secara tatap muka satu arah (lecturing). Tipikal untuk
ini adalah kegiatan siswa mendengarkan ceramah dan membuat catatan. Pola proses
pembelajaran seperti itu, dimana guru aktif sementara siswa pasif dianggap efektivitasnya
sangat rendah. Hal ini terjadi karena selama ini materi pembelajaran pada umumnya tidak
mengikuti taksonomi dimensi pengetahuan yang akan dicapai dan dimensi proses kognitif,
serta cara penyampaiannya (Ditjen Dikti, 2005). Meskipun usaha kearah pelibatan siswa
secara lebih aktif telah banyak dilakukan oleh guru dengan mengkombinasi lecturing dengan
tanya-jawab dan diskusi, namun sifatnya trial and error, dan lebih berdasarkan pengalaman
semata-mata, sehingga luaran pembelajaran tidak dapat diases dengan baik. Padahal, agar
pembelajaran dapat bermakna maka harus dengan perencanaan yang sistematis, baik dari segi
materi, strategi PBM, dan model asesmennya.

Belum terselesaikan secara mapan antisipasi pendidikan di Indonesia terhadap


tuntutan global, semua Negara di dunia (termasuk Indonesia), diterpa lagi dengan pandemi
Covid 19 yang merupakan musibah yang memilukan bagi seluruh penduduk bumi. Seluruh
segmen kehidupan manusia di bumi terganggu, termasuk pendidikan yang merupakan
jantung pembentukan kualitas kemanusiaan itu sendiri. Dengan adanya pandemik Covid
19 itu berbagai solusi diambil oleh berbagai Negara termasuk penutupan sekolah dan
perguruan tinggi. Hal itu diambil (salah satu) untuk bisa mengurangi kontak langsung
orang-orang secara masif demi untuk menyelamatkan kehidupan. Khusus terkait dengan
pendidikan dan
*Sebagian tulisan ini (critical essay) telah dimuat pada antology Dies Natalis Undiksha ke 28

pembelajaran formal, ternyata penutupan lembaga pendidikan tersebut berdampak secara


empirik dan psikologis pada banyak keluarga di Indonesia baik di kota maupun di desa.
Banyak keluarga yang kurang familier dengan pendidikan formal (persekolahan) dilakukan
di rumah, dan hal tersebut merupakan kejutan besar khususnya bagi produktivitas orang tua
yang biasanya sibuk dengan pekerjaannya di luar rumah. Demikian juga secara psikologis
pada peserta didik yang terbiasa belajar bertatap muka langsung dengan guru/dosen
mereka, berubah pelaksanaan pengajarannya berlangsung dengan cara online. Proses ini
berjalan pada skala yang belum pernah terukur dan teruji sebab belum pernah terjadi
sebelumnya. Lebih-lebih di desa- desa terpencil yang berpenduduk usia sekolah sangat
padat menjadi serba kebingungan, sebab infrastruktur informasi teknologi sangat terbatas.
Penilaian proses dan hasil pembelajaran pun dilakukan secara online dan banyak trial
and error dengan sistem yang tidak ada kepastian. Bila situasi ini berjalan cukup panjang dari
segi waktu, akan berdampak lebih parah ditinjau dari aspek keadilan dan ketidaksetaraan
kualitas pendidikan antar kelompok masyarakat maupun antardaerah di Indonesia. Secara
kehidupan sosial (ini berarti) elemen pendidikan kita juga terpapar virus Covid 19, dan ini
merupakan sebagai tantangan kehidupan baru dalam dunia pendidikan kita, dan bagaimana
kita mencari solusinya?

Sebagai suatu kebijakan public, Coroline Hodges (1979) menyatakan bahwa, proses
pembelajaran di sekolah merupakan alat kebijakan publik terbaik sebagai upaya
peningkatan pengetahuan dan skill. Banyak siswa menganggap sekolah adalah kegiatan
yang sangat menyenangkan, mereka bisa berinteraksi satu sama lain. Sekolah dapat
meningkatkan keterampilan sosial dan kesadaran kelas sosial siswa. Sekolah secara
keseluruhan adalah media interaksi antar siswa dan guru untuk meningkatkan kemampuan
inteligensi, skill dan rasa kasih sayang diantara mereka. Tetapi sekarang kegiatan tersebut
berhenti dengan tiba-tiba karena gangguan Covid-19. Dalam keadaan normal saja, banyak
ketimpangan yang terjadi antardaerah. Sejauh mana dampaknya bagi proses belajar di
sekolah? (Baharin, 2020).

Terkait dengan itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di bawah kepemimpinan


Menteri Nadiem Makarim (2020), mendengungkan semangat peningkatan produktivitas
bagi siswa untuk mengangkat peluang kerja ketika menjadi lulusan sebuah sekolah. Di
Perguruan Tinggi pun diadakan kebijakan Merdeka Belajar - Kampus Merdeka (MBKM)
untuk memberi peluang pada mahasiswa mendapatkan kompetensi tambahan untuk bisa
mengantisipasi peluang kerja yang akan datang yang secara pasti belum diketahui (hanya
bisa diramalkan) dalam bidang karir apa yang dibutuhkan. Dalam situasi pandemic covid
19 ini menyebabkan situasi dalam keadaan darurat (yang belum bisa diramalkan kepastian
berakhirnya) sekolah dan perguruan tinggi perlu memaksakan diri menggunakan media
daring (sebagai teknologi pembelajaran), walaupun kita ketahui bahwa banyak varians
masalah yang menjadi hambatan terhadap efektivitas pembelajaran dengan daring tersebut.
Seperti dapat dilihat dengan jelas, keterbatasan kemampuan guru dalam menggunakan
teknologi informasi merupakan hambatan yang serius dalam pelaksanaan pembelajaran
daring, belum lagi dengan keterbatasan ekonominya untuk dapat memanfaatkan teknologi
tersebut. Begitu juga kondisi yang sama terjadi pada peserta didik. Permasalahan lain yang
juga menghadang yaitu; jaringan internet yang benar-benar masih belum merata di pelosok
negeri. Tidak semua lembaga pendidikan baik Sekolah dasar maupun sekolah menengah
sampai perguruan tinggi dapat menikmati internet secara optimal. Jika ada pun jaringan
internet kondisinya masih belum mampu mengkover media daring. Biaya pun menjadi
hambatan serius. Ketika mereka menggunakan kuota internet untuk memenuhi kebutuhan
media daring, maka jelas mereka tidak sanggup membayarnya. Ada dilema dalam
pemanfaatan media daring, ketika Menteri Pendidikan memberikan semangat produktivitas
harus melaju, namun disisi lain kecakapan dan kemampuan finansial guru dan siswa belum
melaju ke arah yang sama. Belakangan ini Kemendikbud memberikan bantuan kuota pada
siswa/mahasiswa, guru dan dosen, dan hal itupun tidak bisa menuntaskan masalah hambatan
jaringan itu. Kebermaknaan belajar sebagai suatu hal yang vital yang harus terjadi dalam
proses pembelajaran hampir-hampir tidak dapat dimunculkan secara ideal, dan capaian
pembelajaran yang ditargetkan untuk mencapai keterampilan 4 C menjadi sangat sulit
diwujudkan.

Isu-isu terkait dengan kebermaknaan belajar (dalam bidang pembelajaran)


merupakan suatu proses interaksi peserta didik (siswa) dengan pendidik (guru) dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar (juga) mengalami perubahan secara fundamental.
Interaksi antara siswa/mahasiswa dengan guru/dosen dan sumber belajar serta lingkungan
belajar lainnya seperti materi, media, narasumber lain, dan seterusnya, yang memiliki sifat-
sifat konstruktivis untuk mencapai kebermaknaan belajar, dimana pada gilirannya harus
terbentuk kompetensi yang terkait dengan sikap, pengetahuan dan keterampilan harus
didesain dengan baik. Sikap merupakan produk nurtutant effect yang harus kokoh dapat
mendasari produk pengetahuan dan keterampilan yang merupakan instructional effect. Bila
hal tersebut tidak optimal dapat terjadi maka kebermaknaan outcome dari output
pendidikan akan tertampilkan secara tidak sempurna. Perancangan standar isi pembelajaran
tidak bisa hanya didasarkan pada pencapaian konten saja, tapi harus didasarkan pada
pencapaian kecerdasan hati (afeksi). Maka dari itu, rancangan suatu proses pembelajaran
yang bermakna harus berbasis afeksi yang optimal sehingga memberi peluang terjadinya
komunikasi dan kolaboratif secara maksimal. Dengan terjadinya kolaboratif dalam proses
pembelajaran, (itu berarti) bahwa capaian pembelajaran lulusan diraih melalui proses
pembelajaran bersama, yang melibatkan interaksi antar individu pembelajar untuk
menghasilkan kapitalisasi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Oleh karena itu semua
steakholders harus ikut bersungguh-sungguh memberi kontribusi yang positif pada proses
pembelajaran di masa pandemic Covid 19 ini, untuk bisa tercapainya pembelajaran
bermakna pada peserta didik yang akan bisa membantu pembentukan generasi unggul
Indonesia.

Peran pemerintah sebagai salah satu steakholders, dalam masa pandemi ini sangat
menentukan, seperti alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh Instruksi Presiden
Nomor 4 tahun 2020 tentang refocussing kegiatan, relokasi anggaran, serta pengadaan
barang dan jasa dalam rangka percepatan penanganan Covid-19 harus segera dilaksanakan
dengan baik. Orang tua sebagai pendidik utama di rumah tangga harus menjalankan
fungsinya. Meskipun demikian tetap saja bantuan guru di sekolah perlu hadir door to door
untuk semua peserta didik. Situasi ini harus disadari dan dapat membuka cakrawala dan
tanggungjwab orang tua bahwa pendidikan anaknya harus dikembalikan pada effort orang
tua dalam mendidik mental, sikap dan pengetahuan anak- anaknya. Pembelajaran daring
harus dapat berjalan seefektif mungkin, guru harus sadar dengan perannya yang telah
berubah, lakukan kunjungan rumah (home visit) ke peserta didik, tidak justru membebani
murid dengan tugas-tugas yang diantarkan dalam belajar di rumah. Guru tidak pada posisi
hanya sebagai pentransfer ilmu, tetapi tetap saja mengutamakan prinsip bahwa pendidikan
itu adalah proses pemanusiaan manusia. Jadi pendidikan berfungsi sebagai
transformasi budaya, sehingga dia mampu mentransformasi cipta, rasa, karsa dan
karya dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Bila disimak kajian di atas, dapat ditengarai bahwa pencapaian kompetensi yang terkait
dengan sikap (religious maupun sosial) yang merupakan pengaruh pengiring (nurturant
effect) wajib dicapai sebagai hilir dari perumusan kompetensi. Pencapaian nurturant effect
yang dalam perwujudannya sebagai produk: keyakinan pada Yang Maha Kuasa, perilaku
jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan
keluarga, teman, dan guru serta lain sebagainya, diprogram melalui seting proses
pembelajaran sekaligus dalam rangka pencapaian kompetensi pengetahuan dan keterampilan
sebagai perwujudan kompetensi pengetahuan dan keterampilan yang merupakan
instructional effect. Pengembangan ranah pengetahuan, dan keterampilan harus berbasis
pada pengembangan sikap (afeksi) yang dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan. Ketiga
ranah kompetensi tersebut memiliki lintasan perolehan (proses psikologis) yang berbeda.
Sikap diperoleh melalui aktivitas “menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan
mengamalkan.” Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas “mengingat, memahami,
menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, mencipta. Keterampilan diperoleh melalui
aktivitas“ mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta”. Karaktersitik
kompetensi beserta perbedaan lintasan perolehan turut serta mempengaruhi karakteristik
pendekatan yang digunakan dalam proses pembelajaran, yaitu pendekatan ilmiah
(scientific). Untuk memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), perlu diterapkan pembelajaran
berbasis penyingkapan/ penelitian (discovery/inquiry learning) dan pemecahan masalah
(project based learning) dalam rangka mendorong kemampuan peserta didik untuk
menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok. Dalam kolaboratif
kelompok itulah seorang individu akan menjadi (to be) dan rekonstruksi psikologis akan
terjadi. Jadi sekolah harus bisa menjadi school to be (sekolah membelajarkan peserta didik
mencari tau dan menjadi tau melaksanakan) bukan hanya school to know (sekolah
membelajarkan peserta didik hanya tau dan menjadi tau). Hal tersebut di atas harus
diusahakan secara maksimal dapat tertampilkan dalam pembelajaran daring. Disinilah
dibutuhkan kepiawaian guru maupun dosen dalam mengimplementasikan kompetensi
professional dan pedagogiknya secara mengorkestra, sehingga tercapainya tujuan
pembelajaran secara maksimal (Dantes, 2017), dan semua ini merupakan tantangan
pelaksanaan pembelajaran dan pendidikan dalam kehidupan baru mengantisipasi Covid 19.
Guru, orang tua, dan masyarakat harus menberikan peluang terjadinya kolaboratif yang
optimal dalam pembelajaran peserta didik, karena dengan itu akan muncul pembentukan
nurturant effect yang optimal, dan ini akan menjadi dasar yang kokoh dan bermaknanya
instructional effect yang dimiliki oleh peserta didik, yang pada gilirannya berpengaruh pada
kesuksesannya dalam karir dan kehidupannya. Terkait dengan hal tersebut, perlu disitir suatu
penelitian yang dilakukan oleh Thomas J. Stanley, yang memetakan 100 faktor yang
berpengaruh terhadap tingkat kesuksesan seseorang berdasarkan servey pada 733 orang
millioner di Amerika. Dari servey tersebut yang menduduki 10 peringkat teratas adalah
aspek-aspek (yang pembentukannya karena nurturant effect) yaitu: kejujuran, disiplin,
mudah bergaul, dukungan pasangan hidup, kerja keras, kecintaan pada karir/pekerjaannya,
kualitas kepemimpinan, kepribadian kompetitif, hidup yang teratur, dan kemampuan menjual
ide.
Paparan di atas (yang mampu dikemukakan) merupakan tantangan pelaksanaan
pembelajaran dan pendidikan dalam kehidupan baru mengantisipasi Covid 19. Guru, orang
tua, dan masyarakat harus dapat berkolaborasi untuk memberikan hal yang terbaik pada
peserta didik dalam rangka mengantarkan generasi milinial tersebut untuk mencapai
kesuksesan mereka mengarungi kehidupan dimasa depan yang sangat sulit diprediksi dengan
adanya kemajuan teknologi yang luar biasa.
=============================================
Selamat Berdiskusi Teman-teman Guru Yang Terhormat,
Semoga Teman-teman dapat menjadi Guru di hati Murid

Anda mungkin juga menyukai