Anda di halaman 1dari 12

ISU KRITIS PENDIDIKAN DI INDONESIA

Oleh:
Dr. Sukardi Weda, S.S., M.Hum., M.Pd., M.Si.
Dosen UNM & Komisioner KPID Sulsel

Gema reformasi dikumandangkan oleh para mahasiswa dan pemuda di Indonesia


tepatnya tahun 1998 yang sempat menelan korban jiwa dan tidak sedikit harta benda yang
melayang akibat chaos yang terjadi di sejumlah daerah. Teriakan pembaruan tersebut dilakukan
oleh mahasiswa, pemuda, dan elemen bangsa lainnya karena mereka menganggap bahwa
penguasa tidak lagi konsisten memperjuangkan amanat rakyat.
Namun setelah 12 tahun teriakan reformasi menggelora, Indonesia kini masih memiliki
sejumlah persoalan kebangsaan dan kemasyarakatan yang tidak mudah untuk diselesaikan, baik
untuk tingkat regional maupun nasional. Salah satu persoalan yang hingga kini masih mendera
bangsa Indonesia adalah isu seputar kebijakan pendidikan. Pendidikan di Indonesia tidak mampu
menghasilkan alumni yang siap kerja, para lulusan tidak memiliki kualitas yang dapat
diandalkan, para tamatan SMU/SMK dan Perguruan Tinggi tidak memiliki kecerdasaan dan
kemampuan kewirausahaan (enterpreneurship), dan para Perguruan Tinggi gagal merubah
perilaku para mahasiswa. Lulusan SMU/SMK dan Perguruan Tinggi tidak siap memenuhi
kebutuhan masyarakat dan dunia kerja.
Di beberapa tempat, Ujian Nasional (UN) masih menyisakan banyak persoalan dari tahun
ke tahun, akibat makin menurunnya tingkat kelulusan dan kualitas lulusan (siswa), dan terjadinya
banyak penyimpangan oleh kepala sekolah, guru dan siwa dalam UN. Dengan demikian, para
lulusan LPTK tersebut yang tidak siap menjadi warga negara yang bertanggungjawab dan
produktif, akhirnya hanya jadi beban masyarakat (Arcaro, 2006). Selanjutnya Arcaro
mengatakan bahwa para siswa itu adalah produk sistem pendidikan yang tidak terfokus pada
mutu, yang akhirnya hanya memberatkan anggaran kesejahteraan sosial, dan pada akhirnya
mereka menjadi warga negara yang merasa terasing dari masyarakatnya.
Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia merupakan akumulasi dari sejumlah faktor,
antara lain: guru yang tidak berkualitas, fasilitas pendidikan yang kurang mendukung,
perpustakaan dan laboratorium yang tidak dilengkapi dengan peralatan yang memadai,
kepemimpinan kepala sekolah yang tidak efektif, dan rendahnya minat/motivasi siswa untuk
belajar. Pendidikan yang rendah tersebut berimplikasi pada rendahnya kualitas Sumber Daya
Manuasia (SDM) Indonesia. SDM yang rendah juga berbanding lurus dengan kemiskinan dan
ketidakmakmuran penduduk, yang berujung pada kesengsaraan dan penderitaan rakyat.
Pendidikan yang tidak bermutu hanya menghasilkan manusia yang cerdas dari sisi olah
pikir (kognitif), tapi tidak cerdas untuk sisi sosial, emosional, dan spiritualnya (alias perilakunya
menyimpang), sehingga yang terjadi adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Mereka
hanya memikirkan dan memperkaya diri dan kelompoknya, dan meninggalkan kaum papa yang
mengharapkan uluran tangan mereka. Pendidikan yang tidak berkualitas hanya menghasilkan
manusia-manusia pintar yang hanya pintar membodohi sesamanya, dan cerdas merampok
bangsa dan negaranya.
Isu Kritis Mutu Pendidikan di Indonesia
Seperti disebutkan di atas bahwa dewasa ini muncul berbagai isu kritis perihal mutu
(layanan) pendidikan di Indonesia. Isu-isu kritis tersebut berada pada tataran mikro, mezo dan
makro. Secara Mikro, ada sejumlah isu/persoalan kritis yang muncul di sekolah dalam kaitannya
dengan mutu (layanan) pendidikan. Isu-isu tersebut diataranya adalah kualitas, kompetensi dan
komitmen guru (tenaga pengajar) yang masih rendah, terbatasnya alat bantu belajar (learning
aids) di kelas dan laboratorium, minimnya buku pelajaran dan referensi di perpustakaan, dan
rendahnya tingkat kesejahteraan guru. Hal ini diperkuat oleh BPS, BAPPENAS, dan UNDP
dalam Weda (2007) bahwa dewasa ini banyak sekolah yang tidak dilengkapi dengan peralatan,
dan buku pelajaran yang memadai, bahkan di sekolah dasar tercatat sekitar setengah guru SD
yang tergolong tidak berkualitas.
Secara mezo, kemampuan kepala sekolah dalam mengelolah sekolah masih rendah. Hal ini
sejalan dengan pendapat Sagala (2006: 176) bahwa kepala sekolah belum responsif terhadap
tuntutan dinamika perubahan yang terjadi, banyak aktifitas sekolah berlangsung by the way
bukan by design dengan ciri perencanaan yang memprihatikan. Ukuran keberhasilan sekolah
tidak terlepas dari profesionalisme dan kepemimpinan (leadership) kepala sekolah untuk
mengelolah sekolah. Ia juga diharapkan dapat menjalin kerjasama, komunikasi dan kordinasi
yang baik dengan seluruh stakeholder sekolah, mulai dari stakeholder internal (guru, tenaga
administrasi) hingga stakeholder pendidikan yang sifatnya eksternal seperti pemerintah (Dinas
Pendidikan), para donor (penyandang dana), komite sekolah, siswa dan orang tua siswa. Dengan
demikian, maka akan tercipta sistem manajemen struktural pendidikan dasar yang baik.
Secara makro. Peran pemerintah melalui kebijakannya di bidang pendidikan sangat
menentukan keberhasilan pencapaian mutu layanan pendidikan di sekolah. Jumlah
dana/anggaran yang dialokasikan kepada pendidikan melalui program Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) masih menuai berbagai persoalan. Demikian halnya program pendidikan gratis di
sejumlah daerah (sebagai contoh program pendidikan gratis di Sulawesi Selatan) dinilai oleh
banyak kalangan tidak dapat menghasilkan pendidikan yang bermutu. Guru mengeluh, kualitas
pendidikan terancam, demikian judul tulisan yang dimuat di salah satu halaman harian Fajar
bertajuk Menggugat Pendidikan Gratis (Fajar, 13 Oktober 2008). Permasalahan tersebut adalah
akibat minimnya dana BOS dan terbatasnya dana dari program pendidikan gratis dari Pemerintah
Propinsi dan Daerah, dan keterlambatan penyaluran dana tersebut. Masalah kritis ini berdampak
pada kegiatan kesiswaan di sekolah, dan antusiasme guru untuk mengajar mengalami penurunan
karena mereka juga tidak memperoleh tambahan penghasilan yang memadai. Yang pasti,
setelah program pendidikan gratis ini berjalan, sebulannya kami kehilangan pendapatan hingga
Rp. 500 ribu, keluh salah seorang guru (Fajar, 13 Oktober 2008). Dengan minimnya anggaran
pendidikan tersebut, maka seyogyanya pemerintah terus berupaya untuk merealisasikan anggaran
pendidikan minimal 20% sehingga mutu layanan pendidikan dapat terwujud, sebagaimana
diamanatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Peran Pemerintah dan Civil Society
Untuk mengatasi isu kritis perihal mutu (layanan) pendidikan, maka pihak-pihak terkait
antara lain pemerintah, Civil Society, dan seluruh stakeholder di bidang pendidikan perlu
bersinergi untuk mencari langkah-langkah strategis pencapaian mutu layanan pendidikan seperti
diamanatkan oleh Pasal 31 Amandemen UUD 1945, Pasal 28 Konvensi Hak Anak (KHA), dan
Pasal 12 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang sekaligus menjadi arah dan dasar
kebijakan pendidikan nasional.
Langkah-langkah yang perlu diambil pada skala mikro adalah peningkatan kualitas tenaga
kependidikan, dan peningkatan sarana-prasarana pendukung pembelajaran di sekolah. Pada skala
mezo, perlunya penerapan manajemen pendidikan di sekolah berdasarkan prinsip manajemen
berbasis sekolah (MBS) yakni dengan peran serta kepala sekolah, komite sekolah, dan
masyarakat dalam bingkai otonomi pendidikan.
Untuk tingkat makro, pemerintah selaku pembuat kebijakan di bidang pendidikan harus
memposisikan pendidikan tidak kalah pentingnya dengan bidang-bidang yang lain seperti
ekonomi, politik dan lain-lain. Hal ini cukup beralasan karena secara sosiologis, pendidikan
merupakan salah satu pranata sosial dan merupakan pilar untuk terciptanya masyarakat madani
yang demokratis dan beradab. Dengan demikian, untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu,
maka isu-isu tentang anggaran pendidikan melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
yang dinilai masih jauh dari harapan, segera ditingkatkan jumlahnya, sehingga sekolah dapat
melaksanakan kegiatan-kegiatan kesiswaan (KBM) dengan baik.
Strategi Mengimplementasikan Peran: Sebuah Agenda Aksi
Strategi yang dapat dilakukan oleh para stakeholder pendidikan, baik guru/dosen, praktisi
pendidikan, komite sekolah, dewan pendidikan hingga masyarakat/dunia usaha melalui program
tanggung jawab sosial (CSR) untuk berperan serta dalam peningkatan mutu pendidikan di
Indonesia adalah sebagai berikut: i) Menjadi tenaga advokasi dan pendamping dalam dunia
pendidikan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan, khususnya tentang mutu
pendidikan yang dari hari kehari menampakkan hasil yang kurang menggembirakan, ii) Menjadi
mitra pemerintah untuk mencari jalan keluar terhadap persoalan-persoalan pendidikan, baik pada
tingkat lokal, regional, maupun nasional, iii) Bersama-sama dengan stakeholder pendidikan
lainnya (kepala sekolah, guru, orang tua murid/siswa, anggota komite sekolah, dan masyarakat
lainnya) untuk memikirkan solusi alternatif terhadap isu-isu kritis dalam pendidikan, iv)
Melakukan kajian-kajian atau telaah kritis, dan hasil kajian atau telaah tersebut disampaikan
kepada pengambil kebijakan (pemerintah dan pemerintah daerah), v) Menyelenggarakan
pendidikan non formal, pelatihan, workshop, roundatable discussion, seminar, dan kegiatan-
kegiatan lainnya yang dapat meningkatkan kompetensi baik kepada guru maupun siswa, vi)
Bekerjasama dengan lembaga lain yang memiliki perhatian, kepedulian, dan minat yang sama
untuk senantiasa memikirkan pendidikan yang bermutu, dan mencari jalan keluar terhadap
persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa dalam hal mutu pendidikan yang rendah, vii)
Memberikan dukungan kepada pemerintah terhadap gerakan-gerakan peningkatan kualitas
peserta didik dan masyarakat, seperti Gerakan Membaca, sumbangan buku-buku bekas
berkualitas, dan lain-lain, dan viii) Mengambil inisiatif dan memelopori segenap pembaruan dan
implementasi kebijakan pendidikan kearah yang lebih baik.

Isu Kritis dalam Pendidikan: Kondisi Anti Karakter-Cerdas dalam Kehidupan


Cuplikan buku : Model Pendidikan Karakter-Cerdas, Karangan Prof. Dr. Prayitno, M.A & Dr.
Afriva Khaidir, Mpd, terbitan UNP Press 2011

Salah satu isu yang beredar dalam dunia pendidikan sekarang ini adalah isu pembinaan
karakter manusianya. Sebab semuanya sudah digiling oleh kemajuan teknologi komputerisasi,
semua pelayanan memang sudah sangat praktis dan efisiennya yang menyebabkan renggangnya
hubungan antar manusia dan pembinaan karakternya. Dalam kondisi ini komunikasi antar
manusia tidak penting lagi. Dari segi pembinaan karakter sekolah hanya sekedar tempat mencari
ijazah yang dapat diperjualbelikan. Komunikasi dalam institusi juga tidak kurang amburadulnya.

Misalnya ketua jurusan karena sudah bergelar Doktor akan bertindak ibarat seorang raja
sipatokah (minang) atau raja rahwana (Jawa) yang tidak lagi bersifat demokratis dan
menghargai seniornya (sebagai orang timur harus menghargai yang lebih tua). Kebanyakan
orang kalau sudah duduk di atas, tidak peduli tentang pembinaan karakter, sebab yang
dipikirkannya adalah keuntungan dirinya sendiri atau kelompok kecilnya. Guru dan dosen
hidupnya berkelompok-kelompok dan saling cakar satu sama lain. Ada kelompok yang
menganggap dirinya masuk kelompok yang sangat mengerti pendidikan dan pengajaran dan
kurang mementingkan penguasaan ilmu, dan ada kelompok yang menganggap dirinya menguasai
ilmu. Kedua kelompok ini kadang -kadang juga berakhir apatis. Sebab, buat apa, karena semua
bahan ajar sudah diatur tentang apa yang mesti diajarkan. Dapat dibayangkan bagaimana murid
atau mahasiswa yang dibina di tempatnya. Ini adalah beberapa contoh dimana dunia pendidikan
hanya sekedar tempat berkumpul untuk menjual dan membeli ijazah. Kampus sudah menjadi
ajang politik, dimana orang mudah memberikan penghargaan atau ijazah tanpa usaha yang benar
dan lazim. Kemudian pribadi-pribadi telah kehilangan karakternya, sebab pembinaan ke arah
pembinaan karakter itu tidak ada, baik oleh rektor kepada fakultas-fakultas, oleh kepala sekolah
atau ketua jurusan kepada staf pengajar. Oleh guru dan dosen kepada mahasiswa dan siswa. Isu-
isu seperti ini menjadi santer dewasa ini, dimana isu pendidikan karakter menjadi penting.
Apakah pendidikan karakter itu? Bagaimanakah pembinaan karakter oleh pemerintah? Hal yang
sama pentingnya adalah mengetahui apa yang menjadi anti karakter dalam kehidupan? Apa yang
di uraikan di atas akan dirinci lagi pada artikel ini.Tulisan ini adalah khusus untuk
mengungkapkan kondisi anti karakter dalam kehidupan manusia. Buku ini jumlahnya hampir
400 halaman, sayangnya buku ini hanya menekankan karakter dari segi kependidikan, bukan dari
fakta yang ada dimasyarakat. Untuk itu lihat pendapat gubernur Sumbar tentang karakter orang
padang (budaya), dan lihat pula pendapat tentang membangun karakter budaya bangsa klik
bagian ini), dan baca juga sanggahan kepada istilah kecerdasan terhadap penulis buku ini.

Dalam rangka pembangunan bangsa dan negara sejak awal kemerdekaan dikenal dan
dikumandangkan dua slogan tetapi satu, yaitu nation and character building yang maknanya
pembangunan bangsa dan pembangunan watak (karakter) bangsa dengan Pancasila sebagai
falsafah bangsa dan dasar negara. Karakter Pancasilais diidealkan menjadi basis bagi
pembangunan bangsa dan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Setelah perjalanan pembangunan bangsa dan negara berusia lebih dari enam dekade, gelora
nation and character building agaknya semakin meredup. Pancasila yang digelorakan sejak
dimulainya revolusi kemerdekaan, mengalami kemunduran dalam makna keluhuran nilai-
nilainya bagi kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bahkan dalam unit-unit kehidupan yang
lebih kecil. Acuan nilai-nilai luhur Pancasila digantikan oleh nilai-nilai konformitas kekuasaan
yang dipaksakan. Suasana eforia berkat berhasilnya gerakan reformasi (tahun 1998) berlangsung
dalam hampir di setiap bidang kehidupan, terutama kehidupan politik yang diiringi kebebasan
penyiaran oleh media massa yang semakin langsung dan terbuka. Eforia kebebasan politik dan
penyiaran berdasarkan demokrasi yang seluas-luasnya itu, mengimbas ke mana-mana, melebar
melewati batas-batas bidang politik dan penyiaran itu sendiri. Imbasan ini dirasakan tidak
menyejahterakan rakyat, bahkan suasana kehidupan cenderung semakin meresahkan dan
mengkhawatirkan. Karakter Pancasilais kehilangan roh sejatinya. Arus teknologi-informasi
global yang semakin terbuka, vulgar tanpa batas dan tak terkendali menunjang secara signifikan
atas suasana yang meresahkan dan mengkhawatirkan itu.
Amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
berlandaskan nilai-nilai luhur Pancasila yang sepenuhnya bersesuaian dengan harkat dan
martabat manusia dengan lima-i sebagai intisarinya mengalami degradasi. Kenyataan dan gejala-
gejala praktik kehidupan yang berciri antikarakter-cerdas semakin merajalela.

A. Isu-isu Kehidupan Kemasyarakatan dan Kebangsaaan


Berbagai kesenjangan dan ketidaknyamanan mewarnai kehidupan kemasyarakatan dan
kebangsaan kita dewasa ini. Peristiwa atau suasana yang sesungguhnya tidak dikehendaki terjadi
itu justru disiarkan secara intens, oleh media massa, sehingga beritanya menyebar ke mana-mana
dan diserap serta dimaknai secara amat beragam oleh segenap lapisan warga masyarakat di tanah
air.

1. Bidang Ekonomi

Kesenjangan antara kaya dan miskin masih tetap menjadi kenyataan atau bahkan semakin
melebar. Pengangguran masih tinggi dan belum berkecenderungan menurun, dibayang-bayangi
banjir produk luar negeri. Karakter konsumerisme dan lebih menyukai produk luar negeri warga
masyarakat semakin terasa. Rendahnya produktivitas warga masyarakat diiringi oleh rendahnya
penciptaan lapangan kerja baru dan minimnya kewirausahawan. Motivasi menjadi pegawai
negeri mendominasi para pencari kerja pada semua lini dan kesempatan. Upaya berpacu dalam
mengais rezeki berkembang menjadi praktik korupsi, perampokan, pencurian dalam berbagai
bentuk dan intensitasnya mewarnai hampir segenap lapisan masyarakat.

2. Hubungan Sosial Kemasyarakatan


Kerukunan dan kedamaian, kegotong-royongan, dan musyawarah untuk mufakat, menjadi jauh
dan tidak dirasakan lagi dalam kehidupan karena dibisingkan oleh kegaduhan demonstrasi,
kericuhan dalam penetapan lahan usaha, suasana pertandingan olah raga, penuntutan hak yang
tercederai. Kericuhan dalam keluarga dan hubungan kekerabatan dan perselisihan antarkelompok
mewarnai dinamika kehidupan warga masyarakat. Perbuatan kekerasan, asosial, ademokratis dan
amoral, korupsi, konsumsi dan pengedaran narkoba, menambah senjangnya kehidupan dasar
yang sejahtera dan bahagia.

3. Dunia Hukum
Hukum di negara kita yang sesungguhnyalah dinyatakan sebagai negara hukum, masih dirasakan
senjang pelaksanaannya. Penegakan hukum (law enforcement) dirasakan lemah, dan berbagai
bidang, mulai dari jalan raya, di pasar, di perumahan, sampai di gedung-gedung pengadilan.
Hukum bahkan dapat dibeli oleh pihak-pihak yang mampu membelinya, yang semuanya itu
merupakan wujud perilaku antikarakter-cerdas. Pungutan liar dan suap serta perilaku tidak legal
lainnya merupakan praktik melanggar hukum yang anti karakter-cerdas.

4. Globalisasi dan Dunia Maya


Kenyataan yang mengarah ke globalisasi dan berkembangnya tanpa batas dunia maya membawa
dampak luar biasa. Siapa saja dapat memperoleh informasi tentang apa saja, kapan saja, dan dari
manapun juga. Informasi yang diperoleh itu boleh jadi belum layak dikonsumsi dan akan
menimbulkan kesenjangan pada pribadi yang bersangkutan yang akan mengakibatkan perilaku
anti karakter-cerdas. Seiring dengan aspek positif yang dapat diperoleh melalui pergerakan
gobalisasi dan peran dunia maya, pengaruh terhadap perilaku negatif pun semakin menggejala.
Perang melalui dunia maya, ketidakadilan dan tindak kriminal pun dapat terjadi dengan
menggunakan perangkat dunia maya.

B. Isu-isu Pendidikan
1. Pembelajaran
Inti pendidikan adalah belajar dan pembelajaran. Dengan demikian, tiada pendidikan tanpa
kegiatan belajar dan proses pembelajaran. Kegiatan belajar dan proses pembelajaran tidak lain
adalah untuk membangun karakter-cerdas yang akan diterapkan dalam kehidupan, namun
kenyataannya berbeda.
Pembelajaran dewasa ini lebih mengutamakan prestasi sesaat yang ukuran keberhasilannya
diletakkan pada keunggulan individu atas standar relatif tertentu. Dalam hal ini visi pembelajaran
belum mampu mengarahkan bahwa praktik pembelajaran yang direncanakan dengan tujuan-
tujuan yang akan dicapainya merupakan upaya untuk membangun masa depan kehidupan per
individu secara utuh, kehidupan masyarakat luas, dan kehidupan bangsa yang lebih cemerlang.
Pembelajaran yang berciri diaplikasikannya high-touch dan high-tech belum terwujudkan.
Sebaliknya pendekatan yang menekankan pada pendekatan behavioristik,
mengakibatkan terfragmentasikannya ranah kognitif dari ranah afektif dan konatif, padahal
ketiga ranah itu merupakan satu kesatuan yang perlu dikembangkan dalam diri individu.
Akibatnya, pembelajaran hanya menghasilkan pengetahuan belaka, tanpa dapat diubah menjadi
perilaku, atau kebiasaan, apalagi menjadi karakter. Demikian juga halnya dengan strategi
pembelajaran. Pergeseran antara konsep belajar-mengajar menjadi pembelajaran, konsep
berpusat pada guru kepada berpusat pada murid, penggunaan berbagai model-model
pembelajaran, menjadi persoalan lain lagi yang membuat tidak jelasnya proses pembelajaran
yang mendidik dan membelajarkan. Bukan hanya karakter bangsa yang tidak mampu menjadi
dampak pengiring suatu pembelajaran, karakter individu sebagai individu yang mandiri pun tidak
jelas pembinaannya. Hal inni tampak pada kebingungan strategi pembelajaran.
Permasalahan dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari terasa dari ketidaksejukan iklim sekolah
dan proses pembelajaran sampai dengan kecurangan dalam pengerjaan tugas, ulangan dan ujian
(termasuk ujian nasional).

1. Peserta didik tidak betah dan kurang bersemangat berada dan belajar di lingkungan
satuan pendidikan (sekolah/madrasah, dll). Iklim satuan pendidikan dipenuhi oleh
suasana 5H (harus, hafal, hampa, hardik, dan hukuman). Iklim 5H ini seiring dengan
kondisi 5D (datang, duduk, diam, dengar, dan tidak peduli) yang setiap hari berlangsung.
2. Belajar dirasakan sebagai beban yang sulit dan menyulitkan ketimbang sebagai kegiatan
yang bermanfaat dan menyenangkan.
3. Praktik MKM (memuliakan kemanusiaan manusia) sering dicederai dengan berbagai
kekerasan dan penghukuman, baik melalui kekerasan fisik, kekerasan verbal dan
perlakuan, maupun skorsing, sampai pengeluaran siswa dari sekolah. Hal ini mengarah
kepada terjadinya kecelakaan pendidikan.
4. Suasana pembelajaran cenderung menegakkan disiplin dan kurang memberikan
pengarahan, penguatan, dan keteladanan. Kekerasan diberlakukan atas nama penegakan
disiplin.
5. Adanya diskriminasi tentang nilai, kedudukan, dan pentingnya bidang studi tertentu,
seperti bidang MIPA diposisikan paling penting dibanding IPS, Bahasa, Kejuruan,
Keterampilan, Olahraga dan juga Agama. Kesetaraan semua bidang atau mata pelajaran
yang sama pentingnya bagi pembinaan kemampuan dan kedirian peserta didik
didegradasikan.
6. Personil pendidik membuat dan menjaga jarak, sehingga keakraban yang menyejukkan
kurang terbina. Suasana ini tidak mendorong terjadinya kegiatan belajar dan proses
pembelajaran yang menyenangkan, aktif, kreatif, inovatif, dan produktif.
7. Terjadi pembiaran terhadap kelemahan belajar peserta didik dan juga ketidakpedulian
terhadap peserta didik yang berpotensi. Dalam hal ini kegiatan pengajaran perbaikan dan
pengayaan tidak menjadi perhatian pendidik. Sekolah mendegradasikan diri atas fungsi
utamanya mencerdaskan peserta didik, dengan membiarkan (atau bahkan
mengkondisikan) peserta didik menyontek. Praktik ini sesungguhnyalah merupakan
kecelakaan pendidikan yang secara langsung menghancurkan sendi-sendi karakter-
cerdas yang memandirikan, kerja keras, disiplin, dan jujur.
8. Sekolah seperti katak di bawah tempurung yang mengakibatkan terisolasi dari
kondisi kehidupan di masyarakat sekitarnya. Di samping itu,, sekolah membiarkan para
peserta didik dicekam oleh kondisi lingkungan (yang kondisinya negatif) tanpa
berusaha memperbaiki yang salah, meluruskan yang menyimpang, dan meninggikan
yang rendah, menjernihkan yang keruh. Sekolah tidak melakukan purifikasi kondisi
peserta didik yang dipengaruhi oleh unsur-unsur yang menyimpang dan tidak mampu
menyumbang untuk kebaikan perkembangan warga masyarakat.

2. Pengelolaan Pendidikan
Manajemen pendidikan dilakukan supaya pendidikan dapat berlangsung sebagai usaha yang
sungguh-sungguh guna terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran dengan tujuan agar
mereka berkarakter-cerdas. Melalui upaya pendidikan/pembelajaran yang memfasilitasi
pembangunan karakter-cerdas peserta didik dijamin melalui kekuatan elemen dasar organisasi
pendidikan itu sendiri, yaitu dengan menetapkan Pancasila yang mengarahkan fungsi
manajemen, perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan kepengawasan jalannya
menajemen itu sendiri. Penampilan perilaku pemimpin dan tenaga kependidikan diwarnai oleh
transformasi nilai-nilai Pancasila. Mengacu pada hal-hal tersebut, bagaimana kondisi manajemen
pendidikan sekarang ini?
Kendala dan permasalahan manajemen pendidikan dapat diidentifikasikan sebagai berikut.

1. Manajemen pendidikan tidak menyalurkan nilai pedagogis, melainkan mencerminkan


proses bisnis. Pelayanan birokrasi manejemen pendidikan yang kurang mendidik.
Kebijakan dan praktik layanan kurang atau bahkan tidak mengalirkan energi dan
kebijakan pendidikan yang medidik/membelajarkan. Alur fungsi organisasi lebih
mencerminkan suasana transaksional bisnis daripada transformasional yang
membangun/mendidik.
2. Adanya mismatched, seperti guru bidang studi A ditugasi mengajarkan mata pelajaran B;
guru bidang studi tertentu ditugasi untuk melaksanakan layanan konseling, atau
sebaliknya. Kondisi ini dapat mengakibatkan rendahnya mutu pembelajaran, bahkan
terjadinya malapraktik yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan pendidikan.
3. Kontroversi antara kekurangan tenaga pendidik (guru dan/atau konselor) dalam bidang
tertentu, dan kelebihan guru pada bidang yang lain masih banyak terjadi. Hal ini
menimbulkan penugasan rangkap yang mismatched di satu sisi dan suasana kekurangan
jam pembelajaran di sisi lain, yang mengakibatkan kekisruhan dalam tugas
kepengawasan.
4. Adanya kecenderungan kuat untuk menghasilkan lulusan sebanyak mungkin, dengan
segala cara. Kualitas pendidikan dikalahkan oleh kuantitas tamantannya. Hasilnya adalah
nyontek dalam ujian. Hal ini sama sekali kontra terhadap tugas utama dan mulia pendidik
dan manajemen pendidikannya, yaitu membina peserta didik yang benar-benar
berkarakter-cerdas. (hal ini salah pemerintah juga , misalnya di Perguruan Tinggi bagi
jurusan yang meluluskan sedikit, akreditasi jurusan diturunnkan peringkatnya)
5. Sekolah tidak memperoleh manfaat yang memadai dari Komite Sekolah. Dalam hal ini,
manajemen pendidikan belum mengupayakan hubungan timbal balik dengan masyarakat
dalam suasana yang saling menguntungkan.

3. Pendidikan Formal, Nonformal dan Informal


Isu-isu umum yang dapat diidentifikasi antara lain adalah sebagai berikut.
a. Pendidikan Formal
Dalam semua penjenjangan satuan pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi,
pembangunan karakter dilakukan oleh tindak pembelajaran yang melakukan transfer
ofknowledge. Proses pembelajaran yang sesungguhnya tidak hanya terkait dengan pengubahan
tingkah laku, apa lagi proses pembiasaan atau kondisioning (Novak & Tyler, 1986) justru
dikerdilkan oleh praktik menghafal. Lebih jauh, penerapan pendekatan interdisipliner yang
mengamanatkan agar permasalahan pendidikan dilihat secara lebih luas, mencakup aspek-aspek
internasional, nasional, regional, dan lokal (Hunt, 1975) dikerdilkan oleh penegakan disiplin
yang dipaksakan.
Pembelajaran yang mengarah kepada pembangunan karakter bangsa juga terkendala. Penguasaan
siswa terhadap dasar negara, lambang negara sebagai simbol kebangsaan, baru sebatas
pengetahuan, sementara itu penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari tampak
semakin kabur dan semakin jauh dari harapan. Sebaliknya nilai-nilai global dan dunia maya
merasuki kehidupan para siswa tanpa filter yang memadai, dan pendidikan formal tidak
memberikan kepedulian untuk mencegah dan meminimalkan pengaruh negatifnya.
b. Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal saat ini tengah mengalami penyempitan makna; mengalami proses
dehumanisasi (Fauzi, 2009). Lebih khusus, Sumpeno (2009) menyatakan pendidikan nonformal
belum membangun karakter bangsa. Pembentukan pribadi cerdas secara individual orang-
perorang mungkin sedikit banyak dijangkau oleh pendidikan nonformal. Namun, tujuan
pendidikan nonformal yang juga mengarah kepada pembangunan karakter-cerdas dan terampil
peserta didik dalam kehidupan bersama, bermasyarakat, dan berkebangsaan belum banyak
mendapat perhatian.
Fungsi pendidikan nonformal sebagai penyeimbang (complement), penambah (suplement), dan
pengganti (substitusi) dari pendidikan formal kedudukannya disetarakan dengan pendidikan
formal. Dengan demikian, seperti halnya pendidikan formal, pendidikan nonformal juga
berfungsi untuk membangun karakter (character building) peserta didik. Dalam hal ini
pendidikan nonformal memerlukan perencanaan yang matang dalam isi programnya, prasarana
dan sarananya, sumber belajarnya serta aktivitas pendidik dan peserta didiknya, yang satu sama
lain tidak dapat dipisahkan (Hamijoyo, 1973; Combs, 1985; Sujana,1994). Sebagaimana juga
pendidikan formal, pendidikan nonformal bukanlah lembaga yang sekedar mentransfer
pengetahuan saja, tetapi juga membentuk karakter peserta didik agar menjadi warga
masyarakat/negara yang punya sopan-santun dalam tataran etika dan estetika serta berperilaku
dalam hidup dan kehidupan secara ideal. Kenyataan banyak menunjukkan bahwa pendidikan
nonformal belum berhasil memberikan sumbangan berarti dalam meningkatkan kecerdasan dan
keterampilan peserta didik, dan juga telah gagal dalam membentuk karakter dan watak pribadi
anak bangsa.
c. Pendidikan Informal
Tidak dapat dipungkiri, bahwa pendidikan informal merupakan sarana esensial untuk
pembangunan karakter anak-anak dan generasi muda bangsa. Pendidikan informal ini perlu
melibatkan semua elemen, baik rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat
luas. Rumah tangga dan keluarga sebagai satuan pendidikan informal sekaligus sebagai satuan
pembentukan karakter harus diberdayakan. Satu hal sangat menonjol, sebagaimana
diketengahkan oleh Coombs (1985) bahwa suasana pendidikan dalam keluarga adalah school of
love, menjadi satuan pendidikan untuk pengembangan cinta sejati dan kasih sayang. Dengan
demikian, pembentukan karakter melalui pendidikan informal selain mencakup pembelajaran
pengetahuan, tetapi lebih dari itu, perlu terfokus pada moral, niliai-nilai etika, estetika,
budi pekerti yang luhur dan sejenisnya, yang semuanya itu tergabung dalam nilai-nilai karakter-
cerdas.
Kenyataannya, pendidikan dalam keluarga terkendala oleh kemampuan keluarga itu sendiri
berkenaan dengan teknik-operasional pendidikan, pengalaman pribadi dalam hubungan
pendidikan, serta kondisi orang tua yang kurang kesempatan bergaul dengan anak-anak karena
kesibukan bekerja. Kondisi ini diperkuat lagi dengan rangsangan dari teknologi informasi yang
semakin gencar. Keluarga kedodoran dalam pengawasan terhadap anak-anak yang secara
bertubi-tubi mendapat serangan dari gencarnya informasi yang seringkali kian dan sangat
menantang itu.
Memperhatikan paparan singkat di atas, isu-isu karakter-cerdas berkenaan dengan pendidikan
formal, nonformal, dan informal dapat diidentifikasikan dan ditekankan pada hal-hal berikut.
1. Pembelajaran pada wilayah pendidikan formal lebih mengarah kepada pengembangan ranah
kognitif, bahkan lebih disempitkan menjadi hafalan. Kondisi seperti ini jauh dari pengembangan
potensi peserta didik secara optimal; termasuk di dalamnya belum terjangkaunya pengembangan
karakter-cerdas.
2. Meskipun sudah disetarakan dengan satuan pendidikan formal tingkat pendidikan dasar dan
menengah, namun masih dikesankan bahwa pendidikan nonformal masih sempit dan lebih
rendah dibanding pendidikan formal.
3. Pendidikan informal belum efektif sebagai school of love karena terkendala oleh berbagai hal.
Kualitas pendidik pada pendidikan formal dan juga nonformal yang kurang atau tidak
berkarakter-cerdas, lebih mendorong rendahnya nilai-nilai dan perilaku karakter-cerdas dalam
keluarga. Kesempatan pengasuhan sehat (healthy parenting) terhadap anak-anak dalam keluarga
tidak terselenggara secara memadai, sehingga kondisi karakter-cerdas generasi muda cenderung
mengalami penyimpangan.
C. Isu-isu Kelembagaan
Kinerja birokrasi dan pelayanan kepada masyarakat banyak diwarnai perilaku yang kurang
berkarakter-cerdas. Dewasa ini dalam lembaga pemerintah dan swasta di tanah air hampir tidak
populer lagi Pancasila sebagai karakter bangsa. Pancasila tidak lagi menjadi acuan penampilan
perilaku sumberdaya manusia.
Padahal, kinerja kelembagaan pada dasarnya adalah juga pendidikan, sehingga suasana kinerja
kelembagaan harus mampu membangun karakter individual sekaligus karakter kebangsaan.
Hampir seluruh aktivitas kelembagaan ditentukan oleh kuasa uang, dan bentuk lain yang
merusak citra kehidupan lembaga yang bersuasana pendidikan. Sesunggunyalah, uang adalah
alat yang sangat berguna, tetapi uang adalah penguasa yang buruk. Isu-isu kelembagaan
menyangkut kinerja birokrasi dan pelayanan kepada masyarakat, dan juga tentang proses
pengangkatannya maupun pelaksanaan kinerja para personilnya seringkali diwarnai oleh
perilaku yang kurang berkarakter-cerdas. Gambarannya sebagai berikut.
Jabatan dan Pengangkatan
Kolusi dan nepotisme menjadi isu yang menonjol, di samping isu suap, yang berakibat langsung
pada terjadinya mismatched dan the wrong persons on the wrong places. Di samping
menampilkan praktik-praktik ketidakadilan, akibat lebih jauh dari mismatchedtersebut adalah
inefisiensi serta rendahnya efektifitas dan produktivitas.
Pelayanan kepada Masyarakat
Birokrasi yang berbelit-belit dan rendahnya pelayanan para petugas pemerintahan mencerminkan
kurang sehatnya aparat birokrasi. Kelambanan seperti itu disertai pula apa yang sering disebut
pungli (pungutan liar) dan biaya siluman.
Modal untuk Meraih Jabatan
Untuk jabatan yang cukup tinggi, terlebih-lebih jabatan yang melalui pemilihan, diisukan adanya
praktik money polytics. Hal ini dapat mengakibatkan sikap loyalitas membabi-buta atau loyalitas
palsu pada diri para pemilih, dan sikap untuk sekuat tenaga dengan segala macam cara
mengembalikan modal bagi pemenang pemilihan. Di samping itu,, pada pihak yang kalah
boleh jadi timbul depresi dan suasana muram yang cukup mendalam dengan segenap akibatnya.
D. Tantangan Kemanusiaan (baca juga Senang Galus)
Kondisi berbagai komponen kehidupan sebagaimana dipaparkan di atas semakin lama semakin
terjebak kepada hal-hal yang pragmatis materialistik, padahal semuanya itu merupakan sarana
pokok atau setidak-tidaknnya berperan sebagai penunjang upaya pendidikan untuk mampu
membangun nilai-nilai karakter-cerdas. Praktik kegiatan ekonomi, politik dan sosial
kemasyarakatan serta budaya kelembagaan mestinya mampu membangun sikap dan sifat-sifat
yang terkandung dalam nilai-nilai karakter-cerdas dengan fokus iman dan takwa, kejujuran,
kecerdasan, ketangguhan, dan kepedulian, serta wujud pengamalan Pancasila. Penyimpangan
atau carut-marut dalam nilai-nilai karakter-cerdas dalam lima fokus itu merupakan tantangan
amat serius bagi kebebasan, keamanan dan kenyamanan, kesejahteraan dan kebahagiaan
kehidupan kemanusiaan.
1. Anti Kepemimpinan
Posisi kepemimpinan atau kekhalifahan di muka bumi menuntut kemampuan atau kompetensi
lima-me sebagaimana diuraikan pada terdahulu (BabII) yaitu memahami, menguasai,
memanfaatkan, memelihara/ mengembangkan dan melestarikan. Dalam kondisi anti-karakter-
cerdas tuntutan lima-me itu tercederai, sehingga berkembang perilaku anti
kepemimpinan/kekhalifahan yang anti karakter-cerdas, yaitu lima-pe berikut.

Seseorang yang anti karakter-cerdas tidak dapat disebut sebagai pemimpin atau khalifah di muka
bumi, sebab kerjanya hanya akan merusak dan menyebabkan kehidupan manusia (yang berada di
bawah kekuasaan) akan merana, menderita dari sepak terjang orang yang menyatakan sebagai
pemimpin/khalifah di muka bumi itu.
2. Energi Liar
Merajalelanya kondisi anti karakter-cerdas mengarah kepada degradasi kualitas kehidupan
manusia dan bertentangan dengan paradigma MKM (Memuliakan Kemanusiaan Manusia) yang
dilandasi oleh HMM dan Pancasila terintegrasi dalam nilai-nilai karakter-cerdas. Berkenaan
dengan peserta didik sebagai generasi muda, sebagai anak-anak bangsa penerus kehidupan
kebangsaan, kondisi anti karakter-cerdas merupakan hambatan yang sungguh-sungguh
menganggu pengembangan pribadi mereka seutuhnya, sebagai pribadi yang memuliakan dan
dimuliakan kemanusiaannya. Pengaruh-pengaruh nurtural yang berasal dari kondisi antikarakter-
cerdas yang berkembang di lingkungan kehidupan mereka akan menjadi energi liar yang bisa
berkecamuk dan berdinamika negatif pada diri peserta didik. Energi liar itu akan mendorong
peserta didik berperilaku menyimpang dan menghambat aktivasi energi pembelajaran yang
sesungguhnya perlu dikembangkan melalui upaya pendidikan dalam arti yang luas.
Dalam masyarakat yang marak dengan perilaku anti karakter-cerdas, peserta didik berada dalam
kondisi rawan terhadap energi liar akibat perilaku dan suasana antikarakter-cerdas itu. Mereka
tidak menghayati, apalagi mengamalkan nilai-nilai karakter-cerdas, baik yang yang termaktub di
dalam lima fokus karakter-cerdas maupun di dalam nilai-nilai luhur Pancasila. Permasalahannya
ialah bagaimana meredam, mengendalikan dan maniadakan pengaruh lebih jauh lagi energi liar
itu terhadap pengembangan diri peserta didik.Upaya pendidikan/pembelajaran bagaimana yang
tepat dan efektif, perlu dilakukan untuk mengembangkan potensi peserta didik dalam arahnya
yang andal sambil sekaligus menangani energi liar yang dimaksudkan itu. Upaya pendidikan
karakter-cerdas diharapkan dapat memenuhi tuntutan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai