Anda di halaman 1dari 15

PRO DAN KONTRA PENDIDIKAN INDONESIA

Tugas Proyek Kewarganegaraan

disusun sebagai salah satu Syarat selesainya tugas PKN di SMKN 6 Bandung
Tahun Pelajaran 2019/2020

oleh :
Mochamad Akmal Ramdhan
NIS : 117180886

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA BARAT


DINAS PENDIDIKAN
CABANG DINAS PENDIDIKAN WILAYAH VII
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI 6 BANDUNG
BANDUNG
2O2O
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan Tugas Proyek
Kewarganegaraan ini dengan judul “Pro dan Kontra Pendidikan Indonesia”. Tugas
ini ditulis untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk menempuh Ujian
Sekolah/Ujian Nasional (US/UN) di SMKN 6 Bandung.

Dalam penyusunan tugas ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa


penulisan tugas ini masih jauh dari sempurna, masih banyak kekurangan karena
keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki, penulis merasa
bahwa hal tersebut menjadi motivasi dan dorongan untuk dapat melangkah lebih
baik dalam menimba ilmu pengetahuan kedepan. Semoga amal ibadah, dorongan
dan doa yang telah diberikan kepada penulis dengan tulus dan ikhlas mendapat
rahmat dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, Aamiin. Akhirnya penulis
berharap semoga tugas ini dapat bermanfaat untuk penulis sendiri pada khususnya
dan umumnya bagi para pembaca baik dari kalangan akademik maupun yang
membutuhkan.

Bandung, 10 Februari 2020

Mochamad Akmal Ramdhan


NIS : 117180886
BAGIAN 1

Pendidikan adalah proses pembelajaran yang merupakan kebutuhan primer


yang harus dipenuhi, dengan adanya pendidikan makan suatu negara akan bisa
maju dan meningkat secara pesat karena pendidikan itu tonggak kemajuan suatu
bangsa. Maka dari itu suatu bangsa dikatakan maju ketika pendidiknya tertata
dengan baik dan melahirkan bibit-bibit yang cerdas supaya bisa mengembangan
bangsa dan negranya sendiri.
Apabila suatu negara memiliki sistem pendidikan yang masih cacat atau
masih memiliki banyak permasalahan, maka harus segera diselesaikan
permasalahannya agar tidak berkepanjangan dan tidak menimbulkan kekacauan
akibat dari masalah pendidikan yang tak kunjung selesai.

A. Permasalahan Pendidikan Indonesia

1. Mahalnya biaya pendidikan

Mahalnya biaya pendidikan adalah masalah pertama yang dihadapi orang-


orang yang berada di bawah garis kemiskinan dan sering kali anak-anak yang
berada dibawah garis kemiskinan sekolahnya akan diterbengkalaikan, karena dari
pihak orang tua sudah tak menyanggupi biaya sekolah dan lebih mementingkan
kebutuhan untuk hidupnya sehari-hari. Maka dari itu masalah ekonomi juga
menjadi faktor utama dalam permasalahan pendidikan di Indonesia.

2. Fasilitas pendidikan yang kurang memadai

Fasilitas pendidikn yang kurang memadai juga sebuah permasalahan


pendidikan di Indonesia. Banyak sekolah-sekolah yang bangunannya hampir
roboh, sudah tak layak dipakai untuk proses pembelajaran, tidak memiliki fasilitas
seperti kursi, meja belajar, buku, perlengkapan teknologi dan alat-alat penunjang
lainnya yang mengakibatkan kurang optimlnnya pendidikan di Indonesia.
3. Memiliki guru yang tidak terlatih

Guru merupakan faktor yang penting dalam proses pendidikan, karena guru
adalah seorang pengajar dalam mengajarkan ilmu pengetahuannya supaya anak-
anak bisa mendapatkan ilmu pengetahuan yang telah diajarkan gurunya. Tugas
utama seorang guru ialah mendidik, mengajar, membimbing, melatih dan menilai
dan mengevaluasi anak didiknya.
Apabila guru yang mengajar tidak terlatih makan proses belajar mengajar
akan terhambat, karena guru yang mengajar tidak terlatih atau kurang profesional
dalam hal belajar mengajar, dan apabila tidak seger diatasi maka akan
mengakibatkan anak-anak merasa kurang mendapatkan ilmu pengetahuan dari
gurunya. Sedangkan tujuan awal adanya pendidikan itu untuk menambah ilmu
pengetahuan agar suatu saat nanti anak-anak penerus generasi bangsa bisa
memajuakn bangsa dan negaranya.

4. Kurangnya bahan belajar

Faktor selanjutnya yang perlu ada untuk proses pembelajaran yaitu bahan
belajar atau buku yang memadai. Hal yang masih menjadi masalah adalah
banyaknya siswa yang tidak memiliki buku pelajaran untuk mengikuti
pembelajaran dikelas.
Agar pembelajaran di dalam kelas bisa optimal siswa membutuhkan buku
pelajran, latihan, dan berbagai fasilitas yang menunjang aktivitas belajar yang
lebih baik. Bukan hanya siswa, seorang guru juga butuh bahan untuk mengajar di
kelas, guru wajib berbagi pengetahuan kepada siswanya agar siswa dapat
mendapatkan pengetahuan dari seorang guru yang telah mengajarnya.
Agar dapat mengatasi permasalahan di atas seharusnya pemeritah
menyediakan buku pelajaran geratis yang dapat digunakan oleh siswa dan guru.
Memperbaiki sarana perpustakaan untuk menunjang proses pembelajaran.
Masalah pendidikan seperti ini merupakan kendala yang banyak terjadi di banyak
negara dan masih terus diperbaiki sampai sekarang ini.
B. Luasnya Penyebaran Masalah Pendidikan Indonesia

Penyebaran masalah pendidikan di Indonesia tersebar luas ke seluruh


penjuru bangsa, justru malah dengan permasalahan yang lebih banyak dan lebih
beragam. Hal ini tentunya mesti menjadi perhatian pemerintah terutama mentri
pendidikan yang seharusnya lebih bisa memperhatikan dan meninjau bagaimana
kondisi pendidikan di Indonesia, terlebih khususnya di daerah terpencil yang jauh
dari kelayakan fasilitas, Infrastruktur, dan tenaga pengajar yang sudah tersedia di
perkotaan seperti saat ini.

(Sumber: Facebook)
C. Peran Pemerintah

Tentu permasalahan ini harus menjadi tanggung jawab pemerintah, oleh


karena itu peran pemerintah sangatlah dibutuhkan dalam menangani permasalahan
pendidikan di Indonesia ini, sebab pemerintahlah yang bisa mengubah dan
mengatur kebijakan agar dapat mengatasi serta menangani segala permsalahan
pendidikan ini, pemerintah harusnya dapat lebih jeli dan dapat memonitor seluruh
daaerah indonesia agar dapat mengetahui segala permasalahan pendidikannya
secara lebih mendalam dan detail, dengan harapan segera terciptanya pendidikan
indonesia yang lebih baik .

(Sumber: Tribunnews)

D. Kebijakan Tentang Pendidikan di Indonesia

Sebenarnya Indonesia sudah memiliki kebijakan-kebijakan yang terbilang


sudah cukup bagus dan tertata, namun kelemahannya adalah dalam proses
pelaksaannya. Banyak kasus yang sudah tercatat sebagai bukti nyata dari kurang
nya bentuk pengimplementasian kebijakan pendidikan, ini membuktikan bahwa
SDM para pemegang dan penjalan Indonesia yang masih cukup terbilang buruk
karena belum dapat dipercaya dalam mengemban tugas melayani masyarakat
dalam bidang pendidikan.
Melihat fenomena kebijakan pendidikan yang di jalan kan oleh
pemerintahan saat ini masih belum bisa di bilang ideal, baik secara konsep
maupun implementasinya di masyarakat. Program-program yang di lakukan oleh
pemerintah masih bersifat sektoral dan reaksional. Bersifat sektoral yang di
maksud adalah tidak semua daerah dan wilayah di negara ini menjalankan apa
yang telah di putuskan oleh pemerintah pusat dapat dan bisa di jalankan oleh
pemerintah daerah sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Karena
faktanya dilapangan, masih banyak kebijakan tersebut enggan bahkan tidak di
jalan kan. Hal ini di karenakan dalam mengambil kebijakan pemerintah tidak
melihat karakteristik permasalahan yang ada di setiap daerah. Disamping kendala
geografis dan sosio kultural yang ada di masyarakat. Persoalan kedua adalah, sifat
program yang di ambil atau di jalan kan saat ini adalah program/kebijakan yang
bersifat reaksional. Karena hampir semua program hanya di maksudkan untuk
mengatasi permasalahan yang bersifat sementara dan berskala kecil. Selain itu
kebijakan yang di terapkan atau di laksanakan bertujuan untuk meredam
permasalahan yang timbul akibat dari penyimpangan kebijakan-kebijakan yang
ada sebelumnya.
Disamping hal tersebut di atas, kebijakan yang ada sekarang juga masih
sangat kental dengan praktek-praktek politis dari pemerintahan yang ada dan
pendidikan hanya di jadikan semacam proyek dan alat untuk mendongkrak
popularitas pemerintahan yang sekarang sedang berkuasa.

E. JPPI (Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia)

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat tujuh masalah


pendidikan yang harus segera diselesaikan pemerintah untuk mewujudkan
Nawacita bidang pendidikan.

Pertama, nasib program wajib belajar (wajar) 12 tahun ini masih di


persimpangan jalan. Alasannya, program itu belum memiliki payung hukum.
Perbincangan soal realisasi wajar 12 tahun ini mengemuka sejak awal
pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga 2015.
Namun, sepanjang 2016-2017, tidak ada lagi perbincangan dan langkah
untuk mewujudkan hal itu. Menurutnya, mandegnya wajar 12 tahun akibat tidak
adanya payung hukum yang dapat mendorong untuk mewujudkannya.
Ubaid beranggapan, seharusnya, UU Sisdiknas harus diamandemen
khususnya pasal terkait wajar sembilan tahun diubah menjadi 12 tahun. Atau, bisa
juga didorong melalui Instruksi Presiden dan Peraturan Daerah tentang
pelaksanaan wajar 12 tahun di provinsi.
Kedua, angka putus sekolah dari SMP ke jenjang SMA mengalami
kenaikan. Hal ini dipicu maraknya pungutan liar di jenjang MA/SMK/SMA.
Banyak kabupaten/kota yang dulu sudah menggratiskan SMA/SMK, tapi kini
mereka resah karena banyak provinsi yang membolehkan sekolah untuk menarik
iuran dan SPP untuk menutupi kekurangan anggaran untuk pendidikan.
Menurutnya, alih wewenang pengelolaan jenjang sekolah menengah ini
tidak menjawab kebutuhan wajar 12 tahun. Namun, hanya peralihan wewenang
yang justru menimbulkan masalah baru.

Ketiga, pendidikan agama di sekolah mendesak untuk dievaluasi dan


dibenahi, baik metode pembelajarannya maupun gurunya. Berdasarkan penelitian
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta (Desember 2016), terdapat
78 perden guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di sekolah, setuju jika pemerintah
berdasyarkan syariat Islam dan 77 persen guru PAI mendukung organisasi-
organisasi yang memperjuangkan syariat Islam.
Ubaid menilai hal itu merupakan cara pandang yang berbahaya bagi
keutuhan NKRI. Jika dibiarkan, benih-benih intoleran dan sikap keagamaan yang
radikal akan tumbuh subur di sekolah.

Keempat, masih lemahnya pengakuan negara atas pendidikan pesantren dan


madrasah (diniyah). Model pendidikan ini berperan sejak dahulu, jauh sebelum
Indonesia merdeka.
Namun, kini perannya termarginalkan karena tidak sejalan dengan
kurikulum nasional. Maka, tidak heran, jika belakangan ini kekerasan atas nama
agama, SARA, dan benih-benih radikalisme tumbuh subur. Sebab, pendidikan
agama di sekolah tidaklah cukup memadahi.
Pendidikan agama tidak bisa dilakukan secara instan di sekolah. Jadi,
sekolah perlu bersinergi dengan lembaga pesantren dan madrasah diniyah untuk
memberikan pemahaman agama yang komprehensif (tafaqquh fiddin), yang
bervisi rahmatan lil alamin. Untuk itu, RUU madrasah dan pesantren harus masuk
Prolegnas 2017.
Kelima, pendistribusian Kartu Indonesia Pintar (KIP) harus tepat sasaran
dan tepat waktu. Bersekolah bagi kaum marginal masih jadi impian. Marginal di
sini terutama dialami oleh warga miskin dan anak-anak yang berkebutuhan
khusus.
Angka putus sekolah didominasi oleh kedua kelompok tersebut. Program
BOS, BSM, dan KIP perlu dievaluasi karena nyatanya masih banyak anak miskin
yang susah masuk sekolah. Pendistribusian yang lambat, alokasi yang tidak
akurat, dan juga penyelewengan dana turut menyelimuti implementasi program
tersebut.
Khusus untuk kelompok difabel, mereka terkendala susahnya menemukan
sekolah inklusi. Akhirnya, mereka harus bersekolah dengan teman yang senasib,
dan semakin menjadikannya tereksklusi dari realitas sosial.

Keenam, kekerasan dan pungutan liar di sekolah masih merajalela. Potret


buram pendidikan di Indonesia masih diwarnai oleh kasus kekerasan di sekolah
dan pengaduan pungli. Modus kekerasan ini sudah sangat rumit untuk diurai,
karena para pelakunya dari berbagai arah.
Komponen utama sekolah, yakni, wali murid, guru, dan siswa, satu sama
lain berperan ganda. Artinya, masing-masing dapat berperan sebagai pelaku, dapat
pula jadi korban. Penerapan sekolah ramah anak menjadi penting untuk
direvitalisasi. Di sisi lain, fakta pungutan liar di seakan tidak dapat dikendalikan,
terutama terjadi di sekolah negeri yang harusnya bebas pungutan dan juga terjadi
di jenjang sekolah menengah.

Ketujuh, ketidak-sesuaian antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Saat


ini ada lebih dari tujuh juta angkatan kerja yang belum mempunyai pekerjaan.
Sementara di saat yang sama, dunia usaha mengalami kesulitan untuk merekrut
tenaga kerja terampil yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan dan siap
pakai.
Ini menunjukkan bahwa ada gap antara dunia industri dengan ketersedian
tenaga terampil di Indonesia. Ini penting, sebab di era MEA, serbuan tenaga kerja
asing akan meminggirkan dan mempensiundinikan tenaga kerja Indonesia. Untuk
itu, perbaikan dan penyempurnaan kurikulum di sekolah juga harus mampu
menjawab masalah ini.
F. Lembaga Pemerintah yang Bertanggung Jawab dalam masalah
pendidikan Indonesia

Sebagaimana telah tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 (1)


yang menyebutkan bahwa: "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan".
Hak memperoleh pendidikan ini diperjelas dengan pasal 31 (2) yang bunyinya:
"Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya". Pada ayat (3) dituangkan pernyataan yang berbunyi: "Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang". Dari uraian
tadi dapat disimpulkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh
pendidikan yang layak terutama pendidikan dasar.
Dalam permasalahan tentang pendidikan tentunya semua kalangan
masyarakat harus bisa ikut serta membantu serta mendukung dengan hal apapun,
namun hal itu belum lah cukup, tentu permasalahan ini harus juga menjadi
tanggung jawab pemerintah, khususnya bagi Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan, sebab pemerintahlah yang bisa mengubah dan mengatur kebijakan
agar dapat mengatasi serta menangani segala permasalahan pendidikan ini,
pemerintah harusnya dapat lebih jeli dan dapat memonitor seluruh daaerah
indonesia agar dapat mengetahui segala permasalahan pendidikannya secara lebih
mendalam dan detail, dengan harapan segera terciptanya pendidikan indonesia
yang lebih baik .
BAGIAN II

A. Kebijakan Alternatif Bagi Pendidikan Indonesia

1. Pendidikan Dasar

Usulan kebijakan pada pendidikan dasar dengan merujuk pada


permasalahannya, maka program pendidikan dasar perlu dikaji ulang terutama
berkaitan dengan struktur program, substansi program, esensi program, serta
kriteria keberhasilannya. Pembangunan pendidikan dasar melalui pengadaan
USB, RKB, sarana belajar, buku teks pelajaran, serta pengadaan sarana/prasarana
fisik lainnya, perlu dikaji ulang, karena, menurut PP No. 38/2007, sebagian besar
program ini merupakan urusan kabupaten/kota. Pemerintah pusat bertugas
melahirkan kebijakan, menetapkan standar, mengembangkan kapasitas,
menetapkan subsidi, insentif dan disintensif atas dasar keberhasilan sekolah, serta
pengendalian mutu pendidikan secara nasional. Peranan pemerintah berubah
sejalan dengan kebijakan otonomi, Kemendiknas seyogyanya tidak mengurus
pemenuhan tenaga, sarana-prasarana, dan biaya operasi pendidikan, kecuali
menetapkan standar-standarnya. Kebijakan Kemendiknas sebaiknya lebih banyak
berurusan dengan:
(1) muatan substansi pendidikan dasar, yaitu visi, misi, tujuan, arah, dan
orientasi program;
(2) standar kompetensi peserta didik;
(3) standar kompetensi guru;
(4) organisasi kurikulum dan struktur program pendidikan;
(5) pengendalian dan penjaminan mutu secara nasional. Standar-standar
pendidikan dasar melalui networking dan bechmarking secara
internasional sebaiknya perlu untuk dikaji ulang, setidaktidaknya di
lingkungan ASEAN. Kemendiknas sebaiknya menghindari urusan
yang bersifat fisik, sehingga dapat mencurahkan perhatian untuk
mengurus esensi dan substansi pendidikan dasar yang selama ini
cenderung agak terabaikan.
2. Pendidikan di SMA

Permasalahan yang cukup mendasar dalam pendidikan di SMA sebagai


pendidikan pra-akademik adalah kurikulum, pembelajaran, dan manajemen
sekolah yang kurang kondusif untuk belajar secara optimal karena proses belajar
siswa yang rendah kualitasnya (rote learning). Proses ini terbukti tidak mampu
menumbuhkan kreativitas siswa, karena pembelajaran lebih “menjejali” siswa
dengan sejumlah besar pengetahuan teori dan hafalan dengan beban materi mata
yang padat. Perlu dilakukan perubahan mendasar dalam menumbuhkan budaya
belajar (learning culture) melalui penciptaan proses yang nyaman, menyenangkan,
dan menarik sehingga peseta didik dapat belajar optimal. Pendidikan di SMA
sebagai pendidikan pra-akademik untuk mengikuti jenjang strata pendidikan
tinggi, memiliki kemiripan dengan pendidikan dasar yang juga sebagai fondasi
untuk pendidikan lebih lanjut. Kedua jenis pendidikan ini sama yaitu pendidikan
umum yang relevansinya tidak tepat jika diukur berdasarkan kebutuhan lapangan
kerja. Oleh karena itu empat program pendidikan dasar tersebut di atas yang
bersifat generik juga dapat diterapkan melalui pendidikan di SMA, Empat
program pendidikan di atas, perlu juga diterapkan di SMA, namun bobot program
pendidikan menengah harus lebih menekankan pada Program 9 Pendidikan
Kemampuan Belajar (learning tools), dan Program Substansi Belajar (learning
content).

3. Pendidikan Kejuruan (SMK, Kursus, dsb.)

Pemerintah bertugas melayani penyelenggaraan semua jenis pendidikan


kejuruan yang untuk menghasilkan lulusan yang produktif baik yang ingin bekerja
maupun yang ingin menjadi pengusaha produktif dan mandiri. Pendidikan
kejuruan adalah pendidikan untuk sebagian besar penduduk karena sasarannya 10
adalah semua angkatan kerja yang berjumlah di atas 110 juta ditambah calon
angkatan kerja yang masih bersekolah. Belajar dari pengalaman Korea ,
produktivitas pekerja Korea Selatan tidak ditingkatkan melalui SMK atau
Politeknik yang sasarannya hanya sebagian kecil angkatan kerja. Pendidikan
sepanjang hayat (life-long education) bagi Korea jauh lebih penting karena
sasarannya bukan hanya anak usia sekolah , tetapi juga seluruh angkatan kerja ,
pekerja, atau pengusaha yang ingin meningkatkan produktivitasnya. Masyarakat
dilayani melalui PNF kecakapan hidup (life skills), pelatihan kerja, berbagai
kursus keterampilan, pendidikan kewirausahaan termasuk bagi penduduk miskin,
serta pengakuan terhadap hasil belajar sebelumnya (recognition of prior learning)
serta bentuk pendidikan berkelanjutan lainnya. Kebijakan perluasan SMK perlu
ditinjau kembali, karena program tersebut baru melayani 0,4% dari calon
angkatan kerja muda dengan biaya investasi yang cukup mahal, ditambah
kenyataan bahwa lulusannya memiliki angka pengangguran tertinggi . Tujuan
pokok pendidikan kejuruan adalah menghasilkan pelaku ekonomi produktif;
pekerja yang kreatif, dan pengusaha mandiri . Pendidikan kejuruan tidak boleh
terpisahkan dari program-program perekonomian nasional, serta dunia usaha dan
industri sebagai ”penerima kerja”. Dunia usaha dan industri setiap saat
membutuhkan pekerja terampil, ahli, dan profesional dalam perspektif sebagai
pelaku ekonomi. Keberhasilan pendidikan kejuruan bukan diukur dari perspektif
provider seperti ujian nasional atau ijazah, tetapi diukur dari perspektif users,
seperti: daya-serap lapangan kerja, tingkat produktivitas, peningkatan karier, dan
penghasilan lulusan. Penyelenggaraan pendidikan kejuruan, Kemdiknas perlu
berkoordinasi secara sistemik dengan para pemegang kebijakan dan program
perekonomian nasional, serta dengan dunia usaha dan dunia industri. Supply
tenaga yang cakap dan terampil tidak mungkin dipenuhi seluruhnya oleh SMK
dan politeknik, karena program studi yang ditawarkan jauh lebih sedikit
ketimbang jenis keterampilan dan kecakapan yang dibutuhkan oleh lapangan
BAGIAN III

A. Kebijakan yang Diyakini akan dapat Mengatasi Masalah Pendidikan


Indonesia

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kebijakan yang pemerintah buat


sebelumnya memang harus dibenahi dan dikaji kembali, oleh karena itu tentu saja
kebijakan alternatif lah yang akan dapat lebih mudah mengatasi permasalahan
pendidikan ini karena didasarkan pada pengalaman dan kejadian yang terjadi
langsung dari lapangan (dunia pendidikan) tempo hari.

B. Keuntungan dan Kerugian

1. Keuntungan :
a. Program pendidikan akan lebih terarah dan objektif
b. Kesenjangan pendidikan akan berkurang
c. Sistem pembelajaran akan terbaharui dan lebih fresh
d. Tumbuh semangat baru dan rasa ingin tahu dari siswa
e. Siswa akan mendapatkan ilmu dengan cara yang lebih rileks dan
diharapkan dapat lebih banyak menangkap point dari pembelajaran
f. Pendidikan Indonesia akan berangsur lebih baik
g. Tumbuh nya jiwa-jiwa yang lebih unggul dari sebelumnya.

2. Kerugian :
a. Siswa harus kembali lagi beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan
sistem pembelajaran yang baru
b. Keterlambatannya fasilitas-fasilitas yang harus ditambahkan untuk
menunjang program pembelajaran yang baru.

C. Lembaga Pemerintah yang Bertanggung Jawab Atas Kebijakan Usulan

Lembaga yang bertanggung jawab atas kebijakan usulan ini tentunya


tetaplah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dengan lebih mengkaji
kembali keuntungan dan kerugiannya agar dapat terciptanya kebijakan yang
sesempurna mungkin.
BAGIAN IV

A. Dukungan dari masyarakat

Dalam hal ini masyarakat juga perlu mendukung dan membantu perubahan
kebijakan ini, agar pemerintah tidak kunjung lalai dan lupa untuk
melaksanakannya, sebab suara masyarakat umum sangatlah berpengaruh
mengingat tugas pemerintah yang harus melayani rakyat dengan sungguh-
sungguh dan mengambil segala sesuatu tindakan itu atas dasar hanya untuk
kepentingan dan kemakmuran rakyat.

B. Tokoh dan Lembaga yang Berpengaruh

1. Orang Tua, Sebagai wali dari siswa yang tentunya mengetahui keluh
kesah yang dirasakan oleh siswa selama melaksanakan program
pembelajaran.

2. Sekolah, Sebagai tempat pelaksaan pembelajaran yang harus lebih peka


ketika mendapati adanya keganjilan dan ketidak sesuaian kebijakan yang
berasal dari pemerintah

3. Aktivis, Sebagai ujung tombak dan penyuara dari segala kumpulan suara
masyarakat agar dapat terdengar oleh para petinggi negara

4. Organisasi, Sebagai perumus dan penghimpun ususlan-usulan tentang


kritk dan saran yang nantinya akan diterbitkan pada pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai