Anda di halaman 1dari 22

BAB II

PEMBAHASAN

PENDIDIKAN DAN NASIONALISME

Di bab ini kita membahas tentang Tantangan Pendidikan Nasional, Pemahaman


Multikultural,Multukulturalisme, serta pendidikan Toleransi sebagai wahana Rekonsiliasi Sosial

A. Tantangan Pendidikan Nasional

Tujuan Negara yang diuraikan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 (UUD
1945) adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Berkaitan dengan tujuan Negara ini, maka
Negara bertanggung jawab atas setiap warganya untuk mendapatkan pendidikan memadai (Pasal
31). Dalam proses pendidikan, individu dipersiapkan untuk memiliki sumber daya manusia yang
siap mengabdi bagi bangsa dan negara. Oleh karena itu pemerintah bertanggung jawab dalam
mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan mampu untuk bersaing
menghadapi tantangan global yang semakin besar. Perkembangan zaman dari tahun ke tahun
selalu memunculkan masalah-masalah baru yang menjadi tantangan bagi dunia pendidikan ke
depan, sehingga menuntut pemikiran yang baik untuk mengatasi dan menimalisir setiap
persoalan yang muncul di dalam masyarakat.

Pendidikan mendapat perhatian pemerintah yang cukup besar, karena salah satu indikator
kemajuan suatu bangsa adalah kualitas pendidikan yang baik. Namun masalah pendidikan akan
selalu ada dan dapat tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang menuntut perubahan
secara terus menerus. Masalah tersebut dapat berupa: kualitas pendidikan masih rendah,
kompetensi pendidik yang kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan
Undang Undang pendidikan masih belum baik. Namun kadang-kadang kondisi lapangan tidaklah
semudah diatas kertas, seperti kata Charles Dicknes “ ini adalah masa paling baik dan seklaigus
paling buruk”

Dengan uraian di atas , dapat diperoleh hasil dan pembahasan mengenai masalah dan
tantangan Pendidikan Nasional, serta memberikan solusi dalam menghadapi masalah pendidikan
berdasarkan penelitian dan studi pustaka yang peneliti telah lakukan

1. Masalah Pemerataan Pendidikan

Masalah pemerataan pendidikan adalah persoalan bagaimana sistem pendidikan dapat


menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh peserta didik untuk memperoleh
pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi sarana bagi pembangunan sumber daya manusia
dalam menunjang pembangunan nasional. Masalah pemerataan memperoleh pendidikan
dipandang penting sebab jika peserta didik memperoleh kesempatan belajar pada tingkat SD
sampai SMA, maka peserta didik memiliki bekal dasar untuk dapat mengikuti perkembangan
kemajauan zaman melalui berbagai media massa dan sumber belajar yang tersedia. Dengan
demikian peserta didik tidak menjadi terbelakang (penghambat pembangunan), tetapi menjadi
pionir dalam pendidikan. Oleh karena itu, dengan melihat tujuan yang terkandung di dalam
upaya pemerataan pendidikan tersebut yaitu menyiapkan masyarakat untuk dapat berpatisipasi
dalam pembangunan, maka setelah upaya pemerataan pendidikan terpenuhi, mulai diperhatikan
juga upaya pemerataan kualitas pendidikan.

Pemerintah berupaya untuk melakukan pemerataan pendidikan secara terus menerus dari
tahun ke tahun, bahkan munculnya amandemen IV UUD 1945 (pasal 31 ayat 1 dan 2),
menegaskan tentang hak setiap warga Negara untuk memperoleh pendidikan khususnya
pendidikan dasar, maka sektor pendidikan menjadi tanggungjawab Pemerintah untuk
memperbaiki dan meningkatkan ketersediaan lembaga pendidikan yang berkualitas di berbagai
daerah. Menurut Nurhuda (2022), permasalahan pemerataan terjadi karena koordinasi antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tidak terkoordinir dengan baik, dan hal ini terjadi
sampai daerah-daerah terpelosok. Hal ini menyebabkan terputusnya komunikasi antara
pemerintah pusat dengan daerah, kurang berdayanya suatu lembaga pendidikan untuk melakukan
proses pendidikan dan kontrol pendidikan yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah tidak
menjangkau daerah-daerah terpencil.

Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya pemerataan pendidikan

a. Pembangunan lembaga pendidikan masih lebih banyak diarahkan ke wilayah perkotaan

b. Kondisi perekonomian masyarakat di pedesaan yang rendah, sehingga kurangnya


dukungan/ partisipasi masyarakat dalam mengambil bagian dalam pembangunan lembaga
pendidikan

c. Sarana dan prasarana di pedesaan yang sangat terbatas

d. Akses teknologi yang sangat kurang di daerah pedesaan dibandingkan perkotaan.

Upaya Pemerintah untuk meningkatkan tingkat pendidikan peserta didik, dapat dilihat
sejak tahun 1984, dengan pemerataan pendidikan formal Sekolah Dasar, dilanjutkan dengan
Wajib Belajar Sembilan Tahun pada tahun 1994, kemudian saat ini ditambah menjadi 12 tahun,
sedangkan bantuan pemerintah berupa beasiswa, yakni Gerakan Orang Tua Asuh dan Bantuan
Operasional Sekolah (BOS).

Ada beberapa cara yang dilakukan untuk mengatasi masalah ketidakmerataan pendidikan.

a. Membangun gedung atau ruang belajar untuk siswa di setiap daerah yang memadai dan
nyaman.
b. Melakukan kerjasama dengan warga untuk merawat dan menjaga fasilitas sekolah yang
telah diberikan.

c. Mengirimkan guru-guru professional ke berbagai daerah yang terpencil;

d. Program edukasi pendidikan dengan cara langsung mandatangi masyarakat

e. Lebih mendekatkan sarana pendidikan di tengah-tengah masyarakat.

2. Masalah Kualitas Pendidikan

Kualitas pendidikan di Indonesia pada tahun 2018-2022 menunjukkan angka berada pada
kategori rendah bila dibandingkan dengan negara lain di dunia. Hasil survey mengenai sistem
pendidikan menengah di dunia yang dikeluarkan oleh PISA (Programme for International
Student Assesment) pada tahun 2019 lalu, Indonesia menempati posisi yang rendah yakni urutan
ke-74 dari 79 negara atau berada di posisi ke-6 terendah. Sedangkan data yang dilaporkan oleh
The World Economic Forum Swedia tahun 2018, Indonesia memiiki daya saing yang rendah,
yaitu menduduki urutan 37 dari 57 negara yang disurvei dunia.

Ada dua factor utama yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu:

a. Faktor Internal, meliputi jajaran dunia pendidikan seperti Departemen Pendidikan


Nasional, Kebijakan Dinas Pendidikan Daerah dan Sekolah. Dalam klonteks ini pengaruh
dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait (pemerintah) sangatlah dibutuhkan agar
pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.

b. Faktor Eksternal, meliputi dimensi ekonomi, sosial, politik, budaya, dan global. Dimensi
global meliputi permasalahan globalisasi yamg muncul seiring dengan perkembangan
teknologi, permasalahan perubahan sosial, perkembangan teknologi.

Hal-hal yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan yang ada di Indonesia:

a. Kurangnya kompetensi para pendidik dalam menggali potensi peserta didik. Para
pendidik kurang memberi perhatian tentang apa yang menjadi kebutuhan utama dari
peserta didik, minat serta bakat peserta didik dalam belajar. Pendidik cenderung
memaksakan gaya atau cara belajar mereka kepada peserta didik, dimana pendidik
seharusnya memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan utama dari peserta didik dan
tidak memaksakan metode belajar yang membuat peserta didik kurang nyaman dalam
belajar. Proses pendidikan yang baik adalah memberikan kesempatan pada anak untuk
lebih aktif, kreatif dan inovatif

b. Masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Keadaaan ini tergambar dari
minimnya sarana belajar, guru masih banyak yang belum sejahtera, rendahnya prestasi
siswa, pendidikan yang tidak merata dan mahalnya biaya pendidikan
c. Kurikulum yang cenderung bersifat sentralistik sehingga membuat potret pendidikan
semakin suram. Kurikulum umumnya dibuat pada daerah tertentu yang karakteristik
lokasi dan peserta didik berbeda, sehingga cenderung menjadi kebutuhan pemerintah saja
tanpa memperhatikan kebutuhan pada peserta didik dimasa depan. Meskipun saat ini
Pemerintah telah mulai menerapkan kurikulum merdeka pada beberapa sekolah
penggerak, tetapi hasilnya akan dievaluasi pada tahun 2024.

Kualitas pendidikan tidak boleh hanya berdasarkan nilai hasil ujian karena jika demikian
kualitas pendidikan tersebut bersifat semu. Artinya kualitas pendidikan lebih terletak pada
masalah proses belajar bukan pada hasil akhir ujian. Proses belajar harus ditunjang oleh
komponen pendidikan lainnya yakni tenaga kependidikan yang memiliki kompetensi, metode
belajar yang sesuai dengan karakteristik belajar siswa, sarana dan prasarana belajar peserta didik.

Ada beberapa cara yang dilakukan untuk mengatasi Masalah Kualitas Pendidikan:

a. meningkatkan kualitas guru yang memiliki 4 kompetensi dasar yaitu kompetensi


kepribadian, kompetensi pedagogic, kompetensi professional dan kompetensi social
(Undang Undang no 14 tahun 2005).

b. Meningkatkan sarana dan prasarana yang ada wilayah Republik Indonesia. Ketersediaan
sarana internet yang memadai sampai kepelosot daerah terpencil menjadi kebutuhan
mutlak di jaman teknologi dan informasi saat ini.

c. Penerapan kurikulum yang tepat sesuai dengan karakteristik peserta didik. Di Indonesia
sering sekali terjadi pergantian kurikulum, seiring dengan pergantian pemerintahan. Hal
ini menyebabkan guru dan siswa mengalami kesulitan dalam menyesuaikan setiap
perubahan baru dari kurikulum tersebut. Perkembangan teknologi membuat proses
pendidikan juga harus berubah, seiring dengan perubahan kurikulum, namun sering tidak
disadari bahwa setiap daerah memiliki karakteristik peserta didik serta kebutuhan yang
berbeda pula. Penerapan kurikulum merdeka bagi sekolahsekolah penggerak di tahun ini,
sangat baik karena berbasis proyek dan proses pembelajaran, namun dalam penerapan di
sekolah khusus bagi sekolah yang memiliki keterbatasan dalam penyediaan sarana dan
prasarana akan mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran.

3. Masalah efisiensi pendidikan

Masalah efisiensi pendidikan mempersoalkan bagaimana suatu sistem pendidikan


mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan. Artinya efisiensi
pendidikan menggunakan biaya dan tenaga yang lebih kecil untuk memperoleh hasil pendidikan
yang lebih besar. Jadi, sistem pendidikan yang efisien menggunakan tenaga dan dana kecil, dapat
menghasilkan sejumlah besar kualitas pendidikan, sehingga keterhubungan antara pengelolaan
pendidikan harus tampak diantara semua unsur pengelola, baik sekolah, lingkungan masyarakat,
orang tua, siswa dan kebutuhan lapangan kerja pada masa yang akan datang.
Secara umum sistem pendidikan di Indonesia saat ini masih kurang efisien. Hal ini
tampak dari masih banyak peserta didik yang belum dapat menikmati pelayanan pendidikan
dengan baik, dengan mahalnya biaya pendidikan di beberapa sekolah unggulan, keterbatasan
sarana dan prasarana pendidikan di daerah terpencil.

Adapun masalah efisiensi pendidikan yang perlu mendapat perhatian yaitu:

a. Penggunaan tenaga kependidikan yang sesuai dengan fungsinya

b. Ketersediaan sarana dan prasarana dan pendidikan yang digunakan

c. Proses pennyelenggaraaan pendidikan yang baik, dengan kurikulum yang disesuaikan


dengan karakteristik peserta didik

d. Pemanfaatan tenaga kerja yang sesuai dengan rasio, seperti rasio guru harus seimbang
dengan rasio peserta didik.

Efisiensi Pendidikan memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan baik, mudah, dan
menyenangkan, untuk mencapai tujuan pembelajaran sesuai dengan yang diharapkan

4. Masalah Relevansi Pendidikan

Timbulnya masalah relevensi pendidikan disebabkan oleh ketidaksesuaian sistem


pendidikan dengan arah pembangunan nasional baik dalam jangka pendek, jangka menengah
maupun dalam jangka panjang. Pendidikan merupakan faktor penunjang bagi pembangunan
ketahanan nasional, olehnya itu perlu keterpaduan di dalam perencanaan dan pelaksanaan
pendidikan dengan pembangunan nasional tersebut. Contohnya lembaga pendidikan harus
merencanakan program berdasarkan kebutuhan nyata dalam gerak pembangunan nasional,
dengan memperhatikan ciri-ciri ketenagaan yang diperlukan sesuai dengan keadaan lingkungan,
kondisi peserta didik dan kebutuhan daerah tersebut pada masa yang akan datang.

Saat ini gambaran umum yang nampak dari relevansi pendidikan yang ada di Indonesia yaitu:

a. Status lembaga dan kualitas pendidikan sangat berbeda antara lembaga pendidikan

b. Output dari sistem pendidikan tidak siap pakai

c. Tidak adanya data yang akurat tentang kebutuhan dunia kerja pada masa yang akan
datang dengan output yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan.

Ada beberapa cara yang dilakukan untuk mengatasi Masalah Relevansi Pendidikan

a. Penyediaan pemerataan kesempatan belajar bagi peserta didik, artinya semua warga
negara yang membutuhkan pendidikan, baik yang ada di perkotaan maupun dipedesaan
dapat menikmati fasilitas yang sama dan memadai, sesuai kebutuhan peserta didik.
b. Berlangsungnya proses pendidikan yang berkualitas dengan sasaran pencapaian tujuan
pendidikan yang telah dirumuskan dalam pembukaan UUD1945.

c. Sumber daya manusia yang dihasilkan dari proses pendidikan relevan dengan kebutuhan
pasar, sehingga penyerapan tenaga kerja setelah peserta didik menyelesaikan proses
pendidikan menjadi tinggi

5. Tantangan Pendidikan Nasional

 Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)

Pendidikan yang berkualitas di suatu negara akan menghasilkan perkembangan IPTEK


yang cepat dari negara tersebut, sehingga proses pendidikan yang baik menjadi kunci
keberhasilan sebuah negara, sehingga menjadi negara yang maju dibandingkan negara lainnya.
Terdapat hubungan yang erat antara pendidikan dan perkembangan IPTEK, dimana ilmu
pengetahuan merupakan hasil eksplorasi secara sistem dan terorganisasi mengenai alam semesta
yang diperoleh secara sistematis, sedangkan teknologi merupakan hasil terapan dari ilmu
pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.

Pengaruh langsung dalam sistem pendidikan berupa inovasi dan pembaruan dengan
model dan variasi teknologi yang beraneka ragam. Perkembangan teknologi ini berupaya untuk
mengatasi kekurangan guru dan kekurangan sarana sekolah sehingga efisiensi dan relevansi
pendidikan dapat tercapai secara maksimal. Oleh karena itu perkembangan teknologi memberi
manfaat yang besar dalam proses pendidikan, namun juga memberi tantangan bagi bangsa
Indonesia dengan jumlah penduduk yang cukup besar. Secara kuantitatif pendidikan di Indonesia
telah mengalami kemajuan. Indikator ini terlihat dari pencapaiannya kemampuan baca tulis
masyarakat yang mencapai 67,24% (Afifah, 2017). Hal ini disebabkan oleh program pemerataan
pendidikan, terutama melalui Sekolah Dasar Inpres yang dibangun oleh masa Orde Baru. Namun
demikian, kemajuan secara kuantitatif tidak diikuti oleh kemajuan kualitas pendidikan dimana
Indonesia hanya berada pada peringkat ke 55 pada tahun 2020 dan peringkat ke 54 tahun 2021
secara global. Lulusan sekolah tingkat atas atau sekolah menengah kejuruan dan perguruan
tinggi, masih sulit untuk memperoleh pekerjaan di sektor formal karena belum tercukupinya
keahlian mereka.

 Laju Pertumbuhan Penduduk

Pertambahan jumlah penduduk yang cepat dan tidak dikuti dengan penambahan sarana/
prasarana pendidikan memberi tantangan tersendiri dalam pendidikan nasional. Jumlah
penduduk yang besar, disatu sisi menjadi kekuatan bagi sebuah bangsa dalam pembangunan,
namun juga memberi beban pembangunan secara nasional, dimana Negara bertanggungjawab
dalam memberikan pelayanan pendidikan yang layak dan memadai bagi setiap warga negaranya.
Kepadatan jumlah penduduk terdapat di kota-kota besar, sedangkan di daerah-daerah pedalaman
dan terpencil sebaran penduduknya tidak merata. Sebaran inipun menimbulkan kesulitan pada
terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan. Contohnya Pemerataan pembangunan gedung
Sekolah Dasar di daerah terpencil dalam memenuhi kebutuhan akan pendidikan. Jika rasio
pembangunan tidak seimbang antara guru dengan siswa tidak seimbang maka efisiensi anggaran
tidak maksimal. Demikian juga dengan kualitas pendidikan, harus didukung dengan sarana dan
prasarana sekolah serta kompetensi dari tenaga pengajar.

 Letak Geografis Wilayah Indonesia

Letak geografis wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan tersebar sepanjang
nusantara yang luas, menyebabkan sulitnya beberapa wilayah dijangkau. Bagi wilayah yang
letak georgrafisnya cukup terpencil dari ibu kota, berakibat pada keterbatasan sarana dan
prasarana pendidikan. Letak geografis suatu daerah, mempengaruhi kepadatan sebuah
masyarakat khususnya di daerah terpencil. Faktor kekurangan masyarakat secara ekonomipun
menjadi kendala untuk menggunakan teknologi yang sedang berkembang saat ini. Jadi
permasalahannya adalah bagaimana meningkatkan ekonomi masyarakat dan menyiapkan sarana/
prasarana pendidikan yang murah serta mudah dijangkau bagi masyarakat di daerah terpelosok.
Sehingga sistem pendidikan yang layak dapat dinikmati dan dirasakan masyarakat di daerah
terpelosok sekalipun, dengan demikian pemerataan pembangunan dari segi pendidikan dapat
berlangsung dengan baik.

Demikian halnya dengan kebudayaan, pada masyarakat Indonesia secara umum,


sebenarnya tidak ada kebiasaan atau kebudayaan yang secara penuh bersifat statis dan tidak
mengalami perubahan. Semua kebudayaan yang ada mengalami perkembangan dan perubahan.
Perubahan kebudayaan dapat terjadi karena berbagai faktor baik secara internal maupun
eksternal seperti hal baru dari luar maupun dari dalam lingkungan masyarakat sendiri.
Kebudayaan baru itu dapat bersifat material contohnya penemuan peralatan-peralatan pertanian
yang lebih modern, alat rumah tangga, sarana transportasi, teknologi dan sistem komunikasi.
Kebudayaan yang bersifat non material dapat berupa paham atau konsep baru tentang hakikat
keluarga berencana, kebiasaan menabung, disiplin terhadap waktu, perubahan cara berpikir dan
mengambil tindakan dan lain-lain.

Khaerudin Kurniawan (1999), mendeskripsikan berbagai tantangan pendidikan dalam


menghadapi arus globalisasi, antara lain:

a. Tantangan untuk meningkatkan nilai tambah, yaitu bagaimana meningkatkan


produktivitas kerja nasional serta pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai upaya
untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan berkelanjutan (continuing
development).

b. Tantangan untuk melakukan riset secara komprehensif terhadap terjadinya era reformasi
dan transformasi struktur masyarakat, dari masyarakat tradisional-agraris ke masyarakat
modern-industrial dan informasi- 2 komunikasi, serta bagaimana implikasinya bagi
peningkatan dan pengembangan kualitas kehidupan SDM.
c. Tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat, yaitu meningkatkan daya saing
bangsa dalam menghasilkan karya-karya kreatif yang berkualitas sebagai hasil pemikiran,
penemuan dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

d. Tantangan terhadap munculnya invasi dan kolonialisme baru di bidang IPTEK, yang
menggantikan invasi dan kolonialisme di bidang politik dan ekonomi.

B. Pemahaman Multikultural

Istilah multicultural akhir-akhir ini mulai diperbincangkan di berbagai kalangan


berkenaan dengan merebaknya konflik etnis di negara ini. Multikultural yang dimiliki Indonesia
dianggap faktor utama terjadinya konflik. Konflik berbau sara yaitu suku, agama, ras, dan
antargolongan yang terjadi di Aceh, Ambon, Papua, Kupang, Maluku dan berbagai daerah
lainnya adalah realitas yang dapat mengancam integrasi bangsa di satu sisi dan membutuhkan
solusi konkret dalam penyelesaiannya di sisi lain. Multikultural adalah berbagai macam status
social budaya meliputi latar belakang suku, agama, ras, tempat dll. Menurut Komarudin Hidayat
(2004) menyatakan bahwa istilah Multikultural tidak hanya merujuk pada kenyataan sosial
antropologis adanya pluralitas kelompok etnis,bahasa,dan agama yang berkembang di Indonesia
tetapi juga mengasumsikan sebuah sikap demokratis dan egaliter umtuk bis menerima
keragaman budaya.

Membangun suatu masyarakat demokrasi yang multikultural tentunya meminta sistem


pendidikan nasional yang dapat membangun masyarakat yang demikian. Artinya sistem
pendidikan nasional harus mengacu dan menerapkan proses untuk mewujudkan tujuan tersebut.

Adapun paradigma pendidikan multikultural yang ditawarkan Zamroni (2011) adalah sebagai
berikut:

a. Pendidikan Multikultural adalah jantung untuk menciptakan kesetaraan pendidikan bagi


seluruh warga masyarkat.

b. Pendidikan multikultural bukan sekedar perubahan kurikulum atau perubahan metode


pembelajaran.

c. Pendidikan multikultural mentransformasi kesadaran yang memberikan arah kemana


transformasi praktik pendidikan harus menuju.

d. Pengalaman menunjukan bahwa upaya mempersempit kesenjangan pendidikan salah arah


yang justru menciptakan ketimpangan semakin membesar.

e. Pendidikan multikultural bertujuan untuk berbuat sesuatu, yaitu membangun jembatan


yaitu antara kurikulum dan karakter guru,pedagogi,iklim kelas dan kultur sekolah guna
membangun visi sekolah yang menjungjung kesejahteraan.
Menurut James A Banks(2002:14), Pendidikan multikultural adalah cara memandang
realistis dan cara berpikir, dan bukan hanya konten tentang beragam kelompok etnis,ras,dan
budaya. Sedangkan menurut Muhaemin el Ma’hady berpendapat bahwa secara sederhana
pendidikan multikultural dapat didefenisikan sevagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan
dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu bahkan
dunia secara keseluruhan.

Menurut Yudi Hartono (2003; 420) pada prinsipnya, pendidikan multikultural adalah
pendidikan yang menghargai perbedaan. Sehingga nantinya perbedaan tersebut tidak menjadi
sumber konflik dan perpecahan. Sikap saling toleransi inilah yang nantinya akan menjadikan
keberagaman yang dinamis, kekayaan budaya yang menjadi jati diri bangsa yang patut untuk
dilestarikan. Pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus,
dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural
(Musa Asy’arie: 2004:15

Pada dasarnya, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan.


Istilah pendidikan multikultural dapat digunakan, baik pada tingkat diskriptif dan normatif yang
menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat
multikultural. Lebih jauh juga mencakup tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan
dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat. Pendidikan multikultural juga untuk
membantu semua siswa memperoleh pengetahuan, sikap dan kerampilan yang diperoleh dalam
menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokratik-pluralistik, serta
diperlukan untuk berinteraksi, negoisasi dan komunikasi dengan warga kelompok lain agar
tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.

 Prinsip-Prinsip Pendidikan Multikultural

Ada tiga prinsip pendidikan multikultural yang dikemukakan oleh Tilaar (2004:12), antara lain
sebagai berikut:

a. Pendidikan multikultural didasar pada pedagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy).

b. Pendidikan multikultural ditujukan kepada terwujudnya manusia Indonesia yang cerdas


dan mengembangkan pribadi-pribadi Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan
dengan sebaikbaiknya.

c. Prinsip globalisasi tidak perlu ditakuti bangsa ini terhadap arah serta nilai- nilai baik
buruk yang dibawanya

 Karakteristik Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural merupakan proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau
sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia upaya pengajaran, pelatihan, proses,
perbuatan dan cara-cara mendidikyang menghargai pluralitas dan heterogenitas secara
humanistik. Ada tiga tantangan besar dalam melaksanakan pendidikan multikultural di
Indonesia, yaitu:

a. Agama, suku bangsa dan tradisi

Agama secara actual merupakan ikatan yang terpenting dalam kehidupan orang
Indonesia sebagai suatu bangsa.hal ini akan dapat menjadi perusak apabila digunakan
sebagai senjata politik atau fasilitas individu-individu atau kelompokekonomi.

b. Kepercayaan

Kepercayaan merupakan unsur yang terpenting dalam hidup bermasyarakat. Munculnya


kecurigaan/ketakutan atau ketidakpercayaan terhadap yang lain dapat juga timbul ketika
tidak ada komunikasi di dalam masyarakat plural.

c. Toleransi

Toleransi merupakan bentuk tertinggi ketika kita mencapai keyakinanyang


dapatberubah.Toleransi juga merupakan suatu pendekatan dalam perubahan pandangan,
wawasan dan akal pikiran.

 Faktor Penyebab Terjadinya Multikultural

 Faktor geografis, faktor ini sangat mempengaruhi apa dan bagaimana kebiasaan sua tu
masyarakat. Maka dalam suatu daerah yang memiliki kondisi geografis yang berbeda
maka akan terdapat perbedaan dalam masyarakat (multikultural).

 Pengaruh budaya asing, mengapa budaya asing menjadi penyebab


terjadinyamultikultural, karena masyarakat yang sudah mengetahui budayabudaya asing
kemungkinan akan terpengaruh mind set mereka dan menjadkan perbedaan antara budaya
asing dan budaya negaranya sendiri.

 Kondisi iklim yang berbeda, maksudnya hampir sama dengan perbedaan letak geografis
suatu daerah.

 Pendekatan Pendidikan Multikultural

 Pengajaran yang diberikan kepada mereka yang berbeda secara kultural dilakukan dengan
penitikberatan agar dikalangan mereka terjadi perubahan kultural

 Memperhatikan pentingnya hubungan manusia dengan mengarahkan atau mendorong


siswa memiliki perasaan positif, mengembangkan konsep diri,mengembangkan toleransi
dan mau menerima orang lain.

 Menciptakan arena belajar dalam satu kelompok budaya.


 Pendidikan multikultural dilakukan sebagai upaya mendorong persamaan struktur sosial
dan pluralism cultural dengan pemerataan kekuasaan antar kelompok.

 Pendidikan multikultural sekaligus sebagai upaya rekontruksi sosial agar terjadi


persamaan struktur sosial dan pluralisme kultural dengan tujuan menyiapkan agar setiap
warga negara aktif mengusahakan persamaan struktur sosial.

 Pentingnya Pendidikan Multikultural di Indonesia

 Sarana alternatif pemecahan konflik

Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diakui dapat menjadi


solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya di
masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam unsur sosial dan budaya. Dengan kata
laun, pendidikan multikultural dapat menjadi sarana alternatif pemecahan konflik sosial-budaya.
Saat ini pendidikan multikultural mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu menyiapkan
bangsa Indonesia untuk mengahadapi arus budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa
sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya.

Pada kenyataannya pendidikan multikultural belum digunakan dalam proporsi yang


benar. Model-model pembelajaran mengenai kebangsaan memang sudah ada. Namun, hal itu
masih kurang untuk dapat mengahargai perbedaan masing-masing suku, budaya maupun etnis.
Penyelenggaraan pendidikan multikultural dapat dikatakann berhasil apabila terbentuk pada diri
setiap peserta didik sikap saling toleransi, tidak bermusuhan, dan tidak berkonflik yang
disebabkan oleh perbedaan budaya, suku, bahasa, dan lain sebagainya.

 Agar peserta didik tidak meninggalkan akar budaya

Pertemuan antar budaya di era globalisasi ini bisa menjadi ‘ancaman’ serius bagi peserta
didik. Untuk menyikapi realitas tersebut, peserta didik tersebut hendaknya diberikan
pengetahuan yang beragam. Sehingga peserta didik tersebut memiliki kemampuan global,
termasuk kebudayaan. Tantangan dalam dunia pendidikan kita, saat ini sangat berat dan
kompleks. Maka, upaya untuk mengantisipasinya harus dengan serius dan disertai solusi konkret.
Jika tidak ditanggapi dengan serius terutama dalam bidang pendidikan yang bertanggung jawab
atas kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) maka, peserta didik tersebut akan kehilangan arah
dan melupakan asal budayanya sendiri. Sehingga dengan pendidikan multikultural itulah,
diharapkan mampu membangun Indonesia yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia saat
ini. Karena keanekaragaman budaya dan ras yang ada di Indonesia itu merupakan sebuah
kekayaan yang harus kita jaga dan lestarikan.

 Sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional

Pengembangan kurikulum yang berdasarkan pendidikan multikultural dapat dilakukan


berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut.
a. Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku secara serentak seperti sekarang menjadi
filosofi pendidikan yang sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan
dan unit pendidikan.

b. Harus merubah teori tentang konten (curriculum content) yang mengartikannya sebagai
aspek substantif yang berisi fakta, teori, generalisasi, menuju pengertian yang mencakup
nilai moral, prosedur, proses, dan keterampilan (skills) yang harus dimiliki generasi
muda.

c. Teori belajar yang digunakan harus memperhatikan unsur keragaman sosial, budaya,
ekonomi, dan politik.

d. Proses belajar yang dikembangkan harus berdasarkan cara belajar berkelompok dan
bersaing secara kelompok dalam situasi yang positif. Dengan cara tersebut, perbedaan
antarindividu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok dan siswa terbiasa
untuk hidup dengan keberanekaragaman budaya.

e. Evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian
peserta didik sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan

 Menuju masyarakat Indonesia yang Multikultural

Corak masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika bukan hanya merupakan
keanekaragaman suku bangsa saja melainkan juga menyangkut tentang keanekaragaman budaya
yang ada dalam masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Eksistensi keberanekaragaman
tersebut dapat terlihat dari terwujudnya sikap saling menghargai, menghormati, dan toleransi
antar kebudayaan satu sama lain. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara
lain adalah demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam
perbedaan yang sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa, keyakinan
keagamaan, ungkapan- ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya
komuniti, dan kosnep-konsep lain yang relevan.

C. Multikulturalisme

1. . Pengertian Multikulturalisme

Multikulturalisme adalah berhubungan dengan kebudayaan dan kemungkinan konsepnya


dibatasi dengan muatan nilai atau memiliki kepentingan tertentu. Secara etimologis,
multikultural berasal dari kata multi, yang artinya banyak/beragam dan kultural, yang berartikan
budaya. Keragaman budaya, itulah arti dari multikultural. Keragaman budaya mengindikasikan
bahwa terdapat berbagai macam budaya yang memiliki ciri khas tersendiri, yang saling berbeda
dan dapat dibedakan satu sama lain. Paham atau ideologi mengenai multikultural disebut dengan
multikulturalisme. “Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian
dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan
terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat.

Multikulturalisme secara sederhana dapat dikatakan pengakuan atas pluralisme budaya.


Pluralisme budaya bukanlah suatu yang “given” tetapi merupakan suatu proses internalisasi
nilai-nilai di dalam suatu komunitas. Tidak mengherankan apabila tokoh politik demokrasi dan
pendidikan demokrasi, John Dewey, telah melahirkan karya besarnya mengenai hubungan antara
demokrasi dan pendidikan (Tilaar, 2004: 1790). Dalam pandangan Dewey dikaitkan antara
proses demokrasi dan proses pendidikan. Demokrasi bukan hanya masalah procedural
ataubentuk pemerintahan tetapi merupakan suatu way of life. Sebagai way of life dari suatu
komunitas, maka hal tersebut tidak mungkin dicapai tanpa proses pendidikan. Proses pendidikan
itu sendiri haruslah merupakan suatu proses demokrasi. Inilah jalan pikiran John Dewey dalam
memelihara dan mengembangkan suatu masyarakat demokrasi.

Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat
manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan
pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan
serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini
harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang
multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam
memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara
lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam
perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan
keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti,
dan konsep-konsep lainnya yang relevan.
Multikulturalisme berkaitan erat pula dengan epistemologi. Berbeda dengan epistimologi
filsafat yang memberi arti kepada asal-usul ilmu pengetahuan. Demikian pula epistimologi di
dalam sosiologi yang melihat perkembangan ilmu pengetahuan di dalam kaitannya dengan
kehidupan sosial. Multikulturalisme dalam epistimologi sosial mempunyai makna yang lain.
Dalam epistimologi sosial, tidak ada kebenaran mutlak. Hal itu berarti ilmu pengetahuan selalu
mengandung arti nilai. Di dalam suatu masyarakat, yang benar adalah yang baik bagi masyarakat
itu (Tilaar, 2004: 83).
Jenis Multikulturalisme
Berbagai macam pengertian dan kecenderungan perkembangan konsep serta praktik
multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli, membuat seorang tokoh bernama Parekh
(1997:183-185) membedakan lima macam multikulturalisme (Azra, 2007, meringkas uraian
Parekh):
Multikulturali, mengacu pada masyarakat di mana berbagai kelompok kultural
menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama
lain.
Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang
membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas.
Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan
yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk
mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum
minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara
Eropa.
Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kutural
utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan
kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok-
pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang
sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha
menciptakan suatu masyarakat di mana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural di mana kelompok-
kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom; tetapi
lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif
distingtif mereka.
Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali
untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya
tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan
sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.
 Unsur Multikulturalisme

Terdapat beberapa unsur multikulturalisme, khususnya di Indonesia. Berikut adalah unsur –


unsur multikulturalisme yang ada di Indonesia :

1. Suku Bangsa; suku bangsa di Indonesia sangatlah beragam, mulai dari Sabang sampai
Merauke.
2. Ras; ras di Indonesia muncul karena adanya pengelompokan besar manusia yang
memiliki ciri biologis, seperti warna rambut, warna kulit, ukuran tubuh, dan lain
sebagainya.
3. Agama dan Keyakinan; agama dan keyakinan di Indonesia cukup beraneka ragam,
mulai dari agama islam, kristen, katolik, hindu, budha, hingga kong hu cu.
4. Ideologi; ideologi memiliki pengaruh yang kuat terhadap tingkah laku.
5. Politik; politik merupakan usaha untuk menegakkan ketertiban sosial.
6. Tata Krama; tata krama merupakan segala tindakan, perilaku, adat istiadat, sopan
santun, tegur sapa, ucap dan cakap sesuai dengan kaidah maupun norma tertentu.
7. Kesenjangan Sosial; adanya penggolongan manusia berdasarkan kasta.
8. Kesenjangan Ekonomi; adanya penghasilan yang berbeda antar manusia.

 Ciri Multikulturalisme

Ciri – ciri dari masyarakat multikulturalisme adalah sebagai berikut ini :

1. Mengalami segmentasi dalam kelompok – kelompok dengan sub kebudayaan yang


berbeda.
2. Mempunyai struktur sosial yang terbagi menjadi lembaga – lembaga nonkomplementer.
3. Rendahnya konsensus diantara anggota kelembagaan.
4. Relatif sering terjadi konflik maupun perdebatan.
5. Integrasi cenderung terjadi karena paksaan.
6. Adanya dominasi politik terhadap kelompok lain.

2. Multikulturalisme di Indonesia
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang
sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah
mayarakat multikultural. Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan
terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan
kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.
Dari sinilah muncul istilah multikulturalisme. Banyak definisi mengenai
multikulturalisme, diantaranya multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia -yang
kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan- yang menekankan tentang
penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam
kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme dapat juga dipahammi sebagai pandangan dunia yang kemudian
diwujudkan dalam “politics of recognition” (Azyumardi Azra, 2007). Lawrence Blum
mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan dan
penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis
orang lain. Berbagai pengertian mengenai multikulturalisme tersebut dapat ddisimpulkan bahwa
inti dari multikulturalisme adalah mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap suatu
kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain.
Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari
kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi
geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana setiap pulau tersebut dihuni oleh
sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah
sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada
keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam. Dalam konsep
multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan
bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi
bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang
menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.

3. Multikulturalisme dan peran Bhineka Tunggal Ika


Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan
masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional
yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat
berbagai hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat, hal ini
terjadi karena kebanyakan masyarakat Indonesia belum memahami apa itu konsep
multikulturalisme dan tiap sukunya memiliki identitas diri yang sangat kuat. Hal ini
menyebabkan tiap suku saling mempertahankan budayanya sendiri dan membentuk perisai bagi
suku lain sehingga kurang terbentuknya ikatan sosial antar suku yang satu dengan suku yang
lain. Sebagai contoh, orang Aceh yang tinggal di pulau Jawa kemudian menjadi pengusaha
sukses akan cenderung memilih dan menerima pegawai yang merupakan orang Aceh walaupun
ketrampilannya kurang (jauh di bawah) orang Jawa yang juga melamar pekerjaan di perusahaan
tersebut.
Fenomena tersebut terjadi karena sesama masyarakat Aceh memiliki ikatan/ hubungan
emosional yang sangat kuat serta kecenderungan untuk mempertahankan identitas yang tinggi.
Hal seperti inilah yang membuat masyarakat Indonesia mudah dipecah belah, mudah diadu
domba, mudah di rusak, karena pada diri setiap masyarakat Indonesia belum memiliki rasa
identitas yang kuat sebagai masyarakat indonesia, belum memiliki kedekatan/ikatan emosional
dengan sesama masyarakat indonesia. Mereka hanya memiliki identitas yang kuat dan ikatan
emosional antar sesama suku mereka (misal antar orang Jawa dengan orang Jawa), bukan antar
suku Jawa dengan suku lainnya. Dari fenomena ini terlihat bahwa dari berbagai macam suku
yang ada di Indonesia, ternyata beberapa masyarakat dari tiap sukunya belum dapat memahami,
menerima, dan menghargai suku lainnya yang berbeda darinya. Padahal mereka berada dalam
satu nama, satu wilayah, satu bangsa, satu bahasa, yaitu Indonesia.
Dari penjelasan diatas maka dapat saya simpulkan bahwa memahami multikulturalisme
itu sangatlah penting. Selain kita dapat memahami, menerima dan menghargai keragaman
budaya yang ada, kita juga dapat memperkuat ikatan emosional antar suku dari budaya yang
berbeda. Dengan menerima adanya keragaman budaya, kita tidak lagi memandang perbedaan
budaya menjadi sesuatu yang ‘berbeda’ melainkan menjadikan perbedaan tersebut sebagai
keragaman untuk memperkaya budaya.

4. Ketika Multikulturalisme Menjadi Sebuah Masalah


Konflik sosial dalam masyarakat merupakan proses interaksi yang alamiyah. Karena
masyarakat tidak selamanya bebas konflik. Hanya saja, persoalannya menjadi lain jika konflik
sosial yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif, tetapi
berubah menjadi destruktif bahkan anarkis.
Perkembangan terakhir menunjukkan pada kita, sejumlah konflik sosial dalam
masyarakat telah berubah menjadi destruktif bahkan cenderung anarkhis. Kasus Ambon, Poso,
Maluku, GAM di Aceh, dan berbagai kasus yang menyulut kepada konflik yang lebih besar dan
berbahaya. Konflik sosial berbau SARA (agama) ini tidak dianggap remeh dan harus segera
diatasi secara memadai dan proporsional agar tidak menciptakan disintergrasi nasional. Banyak
hal yang patut direnungkan dan dicermati dengan fenomena konflik sosial tersebut. Apakah
fenomena konflik sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat insidental dengan motif tertentu
dan kepentingan sesaat, ataukah justru merpakn budaya dalam masyarakat yang bersifat laten.
Realitas empiris ini juga menunjukkan kepada kita bahwa masih ada problem yang mendasar
yang belum terselesaikan.
Perkembangan terakhir menunjukkan pada kita, sejumlah konflik sosial dalam
masyarakat telah berubah menjadi destruktif bahkan cenderung anarkhis. Kasus Ambon, Poso,
Maluku, GAM di Aceh, dan berbagai kasus yang menyulut kepada konflik yang lebih besar dan
berbahaya. Konflik sosial berbau SARA (agama) ini tidak dianggap remeh dan harus segera
diatasi secara memadai dan proporsional agar tidak menciptakan disintergrasi nasional. Banyak
hal yang patut direnungkan dan dicermati dengan fenomena konflik sosial tersebut. Apakah
fenomena konflik sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat insidental dengan motif tertentu
dan kepentingan sesaat, ataukah justru merpakn budaya dalam masyarakat yang bersifat laten.
Realitas empiris ini juga menunjukkan kepada kita bahwa masih ada problem yang mendasar
yang belum terselesaikan.
Dalam hal yang pertama, perkembangan ekonomi pasar membuat beberapa kelompok
masyarakat tertentu, khususnya dari etnik tertentu yang memiliki tradisi dagang, naik
peringkatnya menjadi kelompok masyarakat yang menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat
setempat yang mandeg perkembangannya. Dalam hal kedua, kelompok masyarakat etnis dan
agama tertentu, yang semula berada di luar mainstream, yaitu berada di pinggiran, mulai
menembus masuk ke tengah mainstream. Hal ini dapat menimbulkan gesekan primordialistik,
apalagi bila ditunggangi kepentingan politik dan ekonomi tertentu seperti terjadi di Ambon,
Poso, Aceh dan lainnya.

5. Upaya Bersama di Dalam Menyikapi Sebuah Multikulturalisme


Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma hubungan dialogal atau
pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu
problem disintegrasi bangsa. Paradigma hubungan timbal balik dalam masyarakat multikultural
mensyaratkan tiga kompetensi normatif, yaitu kompetensi kebudayaan, kemasyarakatan dan
kepribadian.
Kompetensi kebudayaan adalah kumpulan pengetahuan yang memungkinkan mereka
yang terlibat dalam tindakan komunikatif membuat interpretasi-interpretasi yang dapat
mengkondisikan tercapainya konsesus mengenai sesuatu. Kompetensi kemasyarakatan
merupakan tatanan-tatanan syah yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan
komunikatif membentuk solidaritas sejati. Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang
memungkinkan seorang subjek dapat berbicara dan bertindak dan karenanya mampu
berpartisipasi dalam proses pemahaman timbal balik sesuai konteks tertentu dan mampu
memelihara jati dirinya sendiri dalam berbagai perubahan interaksi
Jika tindakan komunikatif terlaksana dalam sebuah komunitas masyarakat multikultural,
hubungan diagonal ini akan menghasilkan beberapa hal penting, misalnya:
a) Reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalamkonsepsi politik yang baru, tetap ada
kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan yang memadai untuk kebutuhan konsesus
praktis dalam praktek kehidupan sehari-hari.
b) Integrasi sosial yang menjamin bahwa koordinasi tindakan politis tetap terpelihara melalui
sarana-sarana hubungan antar pribadi dan antar komponen politik yang diatur secara resmi
(legitemed) tanpa menghilangkan identitas masing-masing unsur kebudayaan.
c) Sosialisasi yang menjamin bahwa konsepsi polotik yang disepakati harus mampu memberi
ruang tindak bagi generasi mendatang dan penyelarasan konteks kehidupan individu dan
kehidupan kolektif tetap terjaga.
Dapat dikatakan bahwa secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk
mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinnekaan.
Demokratis dan berkeadilan sosial, belum sepenuhnya tercapai. Konsekwensinya ialah
keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif;
memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralistik; tatanan sosial politik yang demokratis dan
struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan.
Dengan demikian kita melihat bahwa semboyan ‘Satu bangsa, satu tanah air dan satu
bahasa dan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ masih jauh dari kenyataan sejarah. Ia masih merupakan
mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa
yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang kesemuanya itu akan
menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi kemajemukkan itu
menjadi suatu yang tangguh. Sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa dapat
dihindari.

D.Pendidikan Toleransi Sebagai Wahana Rekonsiliasi Sosial


1. Pendidikan Toleransi
Jika Selama oder baru yang menonjol adalah bentuk-bentuk keseragaman, maka melalui
pendidikan toleransi peserta didik diajak untuk menghayati suasana kebhinekaan, sehingga
suasana inklusif dan komunikatif akan terasa satu sama lain. Pendidikan dimulai di keluarga atas
(infant) yang belum mandiri, kemudian diperluas di lingkungan tetangga atau komunitas sekitar
(milieu), lembaga prasekolah, persekolahan formal dan lain-lain tempat anak-anak mulai dari
kelompok kecil sampai rombongan relatif besar (lingkup makro) dengan pendidikan dimulai dari
guru rombongan/kelas yang mendidik secara mikro dan menjadi pengganti orang tua (Sukardjo
dan Komarudin, 2013:9).
Toleransi adalah suatu sikap yang tidak menyimpang dari aturan seseorang untuk bisa
menghargai atau menghormati setiap tindakan yang orang lain lakukan 4 dengan tidak adanya
diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh
mayoritas dalam suatu masyarakat. Sikap toleransi dapat dikembangkan karena manusia adalah
makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain sehingga kerukunan hidup dapat
diciptakan. Dalam masyarakat berdasarkan Pancasila terutama Sila Pertama, bertaqwa kepada
Tuhan menurut agama dan kepercayaan masing-masing adalah mutlak. Semua agama
menghargai manusia maka dari itu semua umat beragama wajib saling menghargai.
Dengan demikian, peran dan fungsi pendidikan toleransi adalah mengarahkan atau
mendorong peserta didik memiliki perasaan positif, mengembangkan konsep diri,
megembangkan toleransi dan mau menerima orang lain. Selain itu, berupaya menciptakan arena
belajar dalam satu kelompok budaya tidak hanya di lingkup sekolah tetapi juga di rumah dan
lingkungan sosial. Sehingga tercapailah tujuan sebagai manusia Indonesia yang demokratis.

2. Elemen-Elemen dalam Rekonsiliasi


Sebagai suatu representasi dari ruang sosial, rekonsiliasi tidak hanya mempertemukan
pihak yang saling benci, namun ia juga menurut Lederach (1999 : 29) adalah suatu tempat yang
didalamnya kebenaran (truth), sifat welas asih manusia (mercy), keadilan (justice), dan damai
(peace) dapat bertemu dan bersatu secara bersama.
Sebuah rekonsiliasi yang sejati setidaknya akan tercapai jika mengandung syarat-syarat
akan
(1) kebenaran yang didalamnya terdapat pengakuan, transparansi, pengungkapan, dan klarifikasi
atas suatu kebenaran;
(2) adanya sifat welas asih yang mana didalamnya terdapat penerimaan, pengampunan,
dukungan, keharusan, dan penyembuhan;
(3) perdamaian dimana didalamnya terdapat unsur harmoni, kesatuan, kesejahteraan, keamanan,
dan penghargaan, dan yang terakhir adalah adanya syarat
(4) keadilan yang mana didalamnya terdapat unsur kesetaraan, pemulihan hubungan atas dasar
hak-hak yang dimiliki seseorang, memulihkan segala sesuatunya sesuai dengan hak-hak dan
kewajibannya, dan adanya restitusi atau pengembalian hak-hak masing-masing individu.
Dalam hal ini rekonsiliasi mencakup 2 elemen penting, yaitu rekonsiliasi sebagai sebuah
fokus dan rekonsiliasi sebagai sebuah locus.
 Rekonsiliasi sebagai sebuah fokus
Sebagai sebuah fokus, rekonsiliasi dapat dipandang sebagai suatu perspektif yang
dibangun dan diarahkan dalam memperbaiki/memulihkan aspek relasional yang ada
dalam suatu konflik. Selain itu sebagai sebuah fokus, rekonsiliasi dapat dipahami juga
sebagai suatu paradox yang mencoba mempertemukan kontradiksi yang ada, semisal
bagaimana mempertemukan sisi-sisi yang negatif dari dampak yang ditimbulkan oleh
konflik (benci, amarah, dendam, dll) dengan sisi-sisi positif dari sebuah pengharapan
masa depan atas semua pelajaran yang diterima dari sebuah konflik yang terjadi (harapan
baru, semangat akan perubahan, dll).
 Rekonsiliasi sebagai sebuah locus
Sebagai sebuah locus, kita dapat menyebut rekonsiliasi sebagai suatu gejala sosial, yang
mana ia merepresentasikan suatu ruang, ruang atau tempat atas bertemunya pihak-pihak
yang berkonflik. Rekonsiliasi haruslah dapat proaktif dalam menciptakan peluangpeluang
yang kreatif dan inovatif, dimana para pihak yang berkonflik dapat memfokuskan
bagaimana membangun hubungan relasional mereka agar dapat lebih baik dan
berkesinambungan. Dan tentunya bagaimana dapat membagi pandangan, perasaan dan
pengalaman antar mereka, dengan tujuan menciptakan suatu pemikiran baru atas
interpretasi hubungan mereka dulu yang penuh dengan kekerasan dan sisi negatif menjadi
hubungan yang lebih konstruktif (Lederach, 1999).

Anda mungkin juga menyukai