Anda di halaman 1dari 21

Pendidikan merupakan sektor yang sangat menentukan kualitas suatu bangsa.

Kegagalan pendidikan
berimplikasi pada gagalnya suatu bangsa. Keberhasilan pendidikan juga secara otomatis membawa
keberhasilan sebuah bangsa.

Saat ini, dunia pendidikan nasional Indonesia berada dalam situasi “kritis” baik dilihat dari sudut
internal kepentingan pembangunan bangsa, maupun secara eksternal dalam kaitan dengan
kompetisi antar bangsa. Fakta menunjukkan bahwa, kualitas pendidikan nasional masih rendah dan
jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain. Berbagai kritikan tajam yang berasal dari
berbagai sudut pandang terus ditujukan kepada dunia pendidikan nasional dengan berbagai alasan
dan kepentingan.

Begitu banyak dan kompleks permasalahan di dalam pendididikan Indonesia. Kurikulum yang
berganti-ganti rupanya belum mampu menciptakan pendidikan Indonesia yang berkualitas. Berawal
dari permasalahan kompleks pendidikan, muncul banyak tantangan masa depan pendidikan di
Indonesia.

Di dalam makalah ini akan dibahas tantangan masa depan pendidikan di Indonesia
dan  beberapa solusi penting pengembangan sekolah menjawab tantangan pendidikan.

B.  Rumusan Masalah

1.      Bagaimana tantangan masa depan pendidikan di Indonesia?

2.      Bagaimana solusi menghadapi tantangan masa depan pendidikan di Indonesia?

C.  Tujuan

1.      Untuk memahami tantangan masa depan pendidikan di Indonesia.

2.      Untuk memahami solusi tantangan masa depan pendidikan di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

A.  Tantangan Masa Depan Pendidikan di Indonesia

Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidangpendidikan akan menyadari bahwa


dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini
disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam
kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia.
Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikanyang ada.

Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”.


Dikatakan demikian, karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah atau tidak
seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang
berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin
hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang
sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan,
seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya.

Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down(dari atas ke bawah) atau kalau


menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin)
adalah pendidikangaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta
didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi
mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang
diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe
deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer ke dalam otak murid dan bila sewaktu-waktu
diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang
disampaikan guru.

Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini


hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya.
Manusia sebagai objek (wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak
belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya
(seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman
ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di
Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang
sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan
politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat, melainkan justru hendak mengajak kita semua
untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita
menjadikan lembagapendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang
sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu
menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini,
makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.

Berawal dari permasalahan kompleks pendidikan, muncul banyak tantangan masa depan pendidikan
di Indonesia, antara lain:

1.        Kualitas Pendidikan

Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Hal ini dibuktikan antara lain
dengan data di Asia kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara. Posisi
Indonesia berada di bawah Vietnam.

Kualitas pendidikan di Indonesia dipengaruhi oleh rendahnya daya saing. Data yang dilaporkan The
World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya
menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei dunia. Berdasarkan survei dari lembaga yang
sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53
negara di dunia.

Abdul Malik Fadjar (2001) menyatakan bahwa “sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk
di kawasan Asia”. Indonesia mengalami ketertinggalan dalam mutu pendidikan. Baik pendidikan
formal maupun informal. Hasil itu diperoleh setelah kita membandingkan dengan negara lain.
Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia
untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya
manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.

Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu :


a.         Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan
Nasional, Dinas Pendidikandaerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan. Dalam hal ini,
interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu
terjaga dengan baik.

b.        Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya. Masyarakat merupakan ikon pendidikan
dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.

2.        Kualitas Kurikulum

Kurikulum pendidikan di Indonesia juga menjadi masalah yang harus diperbaiki. Pasalnya kurikulum
di Indonesia hampir setiap tahun mengalami perombakan dan belum adanya standar kurikulum yang
digunakan. Tahun 2013 yang akan datang, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan
melakukan perubahan kurikulum pendidikan nasional untukmenyeimbangkan aspek akademik dan
karakter. Kurikulum pendidikan nasional yang baru akan selesai digodok pada Februari 2013 itu
rencananya segera diterapkan setelah melewati uji publik beberapa bulan sebelumnya.

Mengingat sering adanya perubahan kurikulum pendidikan, akan membuat proses belajar mengajar
terganggu. Karena fokus pembelajaran yang dilakukan oleh guru akan berganti mengikuti adanya
kurikulum yang baru. Terlebih jika inti kurikulum yang digunakan berbeda dengan kurikulum lama
sehingga mengakibatkan penyesuaian proses pembelajaran yang cukup lama.

3.        Guru

Hingga saat ini, masih banyak masalah dan kendala yang berkaitan dengan guru. Berbagai upaya
pembaharuan pendidikan telah banyak dilakukan antara lain melalui perbaikan sarana, peraturan,
kurikulum, dan sebagainya. Beberapa masalah dan kendala yang berkaitan dengan kondisi guru
antara lain sebagai berikut:

a.        Aspek Kualitas

Dari aspek kualitas, sebagian besar guru-guru dewasa ini masih belum memiliki pendidikan
minimalyang dituntut. Data menunjukkan bahwa dari 2.783.321 orang guru yang terdiri atas
1.528.472 orang guru PNS dan sisanya (1.254.849 orang) non-PNS. Dari sisi kualifikasi pendidikan,
hingga saat ini dari 2,92 juta guru baru sekitar 51% yang berpendidikan S-1 atau lebih sedangkan
sisanya belum berpendidikan S-1. Begitu juga dari persyaratan sertifikasi, hanya 2,06 juta guru atau
sekitar 70,5% guru yang memenuhi syarat sertifikasi sedangkan 861.670 guru lainnya belum
memenuhi syarat sertifikasi.

Masih banyak guru yang belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang
mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa lebih
dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya lebih dari 50 persen guru SD,
SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi kelayakan mengajar. Dengan kondisi
dan situasi seperti itu, diharapkan pendidikan yang berlangsung di sekolah harus secara seimbang
dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti kepada anak didik.
“Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan kecerdasan anak didik, namun
mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para siswanya”.

Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, tetapi


pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi. Sebagai cermin kualitas, tenaga
pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya

b.        Kuantitas
Dari aspek kuantitas, jumlah guru yang ada masih dirasakan belum cukup untuk menghadapi
pertambahan siswa serta tuntutan pembangunan sekarang. Kekurangan guru di berbagai jenis dan
jenjang khususnya di sekolah dasar, merupakan masalah besar terutama di daerah pedesaan dan
daerah terpencil.

c.         Aspek Distribusi

Dari aspek penyebarannya/distribusi, masih terdapat ketidak seimbangan penyebaran guru


antarsekolah dan antardaerah. Kekurangan guru untuk sekolah di perkotaan, desa, dan daerah
terpencil masing-masing adalah 21%, 37%, dan 66%. Sedangkan secara keseluruhan, Indonesia
kekurangan guru sebanyak 34%, sementara di banyak daerah terjadi kelebihan guru. Belum lagi pada
tahun 2010-2015 ada sekitar 300.000 guru di semua jenjang pendidikan yang akan pensiun sehingga
harus segera dicari pengganti untuk menjamin kelancaran proses belajar.

4.        Relevansi Pendidikan

Relevansi pendidikan merupakan kesesuaian antara pendidikan dengan perkembangan di


masyarakat. Banyak jurusan atau program keahlian yang tidak relevan dengan dunia kerja yang
membutuhkan, dan yang lebih memprihatinkan adalah tidak relevannya kualitas pendidikan dengan
persyaratan lapangan kerja.

Indikasi untuk melihat ketidakrelevansian antara pendidikan dan dunia kerja ini sebenarnya dapat
diketahui dengan mudah oleh orang awam. Yaitu, dengan melihatbanyaknya angka pengangguran
intelektual saat ini. Apakah kita bisa sepenuhnya mengkambinghitamkan dunia kerja yang jumlahnya
tidak sebanding dengan angkatan kerja yang terus naik tiap tahun? Dalam kenyataannya, banyak
pula lowongan atau posisi dalam perusahaan yang tidak terisi karena tidak ada lulusan / out put
pendidikan yang bisa mengisinya. Kriteria dan persyaratan yang diminta tidak ada yang bisa
dipenuhi. Akibatnya untuk memperoleh tenaga kerja yang dibutuhkan itu, perusahaan tidak jarang
harus sampai melakukan ‘pembajakan’ tenaga kerja (hijacking of man power).

5.        Elitisme

Elitisme adalah kecenderungan penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah yang menguntungkan


kelompok minoritas yang justru mampu ditinjau secara ekonomi (kaum elite).

Misalnya: 

a.         Kepincangan pemberian subsidi.

b.        Mahalnya pendidikan yang mengakibatkan hanya bisa dienyam oleh orang yang kaya.

6.        Pemerataan Pendidikan

Pemerataan pendidikan telah mendapat perhatian sejak lama terutama di negara-negara


berkembang. Hal ini tidak terlepas dari makin tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan merupakan
peran penting dalam pembangunan bangsa.

Pemerataan pendidikan mencakup dua aspek penting yaitu persamaan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan dan keadilan dalam memperoleh pendidikan yang sama dalam masyarakat.
Akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua penduduk usia sekolah telah memperoleh
kesempatan pendidikan, sementara itu akses terhadap pendidikan telah adil jika antar kelompok
bisa menikmati pendidikan secara sama.
Biaya pendidikan yang mahal membuat siswa putus sekolah atau tidak melanjutkan. Kemiskinan
menjadi sebuah tantangan di hampir semua negara tak terkecuali di Indonesia. Kemiskinan terjadi
biasanya akibat dari berbagai faktor yang sudah tersistematis. Faktor faktor tersebut dapat
dijabarkan dengan mudah melalui lingkaran setan kemiskinan. Seharusnya orang orang miskin ini
dapat mengakses pendidikan agar mereka dapat meningkatkan kualitas hidup mereka. Namun
sayang ternyata sekolah yang ada belum dapat memberikan akses terhadap orang miskin dengan
berbagai alasan yang ada.

Kemiskinan merupakan permasalahan yang kompleks dan membutuhkan solusi yang inovatif dan
berkelanjutan. Salah satu cara untuk menuntaskan kemiskinan ialah dengan cara memutus salah
satu rantai didalam lingkaran setan kemiskinan. Pendidikan tepat guna yang menyenangkan untuk
semua dapat menjadi salah satu alternatif solusi yang dapat meningkatkan kualitas hidup adik adik
kita yang kurang beruntung.

B.  Solusi menghadapi tantangan masa depan pendidikan di Indonesia

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menghadapi tantangan pendidikan ialah
dengan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia yaitu usaha peningkatan mutu dengan
perubahan kurikulum dan proyek peningkatan lain: Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah (MPMBS), Proyek Perpustakaan, Proyek Bantuan Meningkatkan Manajemen Mutu (BOMM),
Proyek Bantuan lmbal Swadaya (BIS), Proyek Pengadaan Buku Paket, Proyek Peningkatan Mutu
Guru, Dana Bantuan Langsung (DBL), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus
Murid. Selain itu juga memberikan penghargaan kepada insan pendidikan, meningkatkan
profesionlisme guru dan pendidik, sebisa mungkin kurangi dan berantas korupsi karena sangat
merugikan negara.

Dalam konteks pembangunan sektor pendidikan, pendidik merupakan pemegang peran yang amat
sentral. Guru adalah jantungnya pendidikan. Tanpa denyut dan peran aktif guru, kebijakan
pembaruan pendidikan secanggih apa pun tetap akan sia-sia. Sebagus apa pun dan semodern apa
pun sebuah kurikulum dan perencanaan strategis pendidikan dirancang, jika tanpa guru yang
berkualitas, tidak akan membuahkan hasil optimal. Artinya, pendidikan yang baik dan unggul tetap
akan tergantung pada kondisi mutu guru. Beberapa upaya untuk meningkatkan mutu guru adalah
sebagai berikut:

1.        Sertifikasi guru

Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru. Hingga saat ini sertifikasi bagi
guru dalam jabatan dilaksanakan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang
terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan pelaksanaan sertifikasi dilakukan dalam
bentuk portofolio sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007.

Sertifikasi guru dalam jabatan merupakan kebijakan pemerintah untuk memenuhi standar guru yang
dipersyaratkan, yaitu memiliki kualitas akademik minimal S-1/D-IV yang relevan dan memiliki
kompetensi sebagai agen pembelajaran (agent of learning) dan key person in the classroom (Davies
dan Ellison, 1992). Sertifikasi guru merupakan upaya peningkatan mutu guru yang disertai
peningkatan kesejahteraan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan
pendidikan di tanah air secara berkesinambungan. Bentuk kesejahteraan guru adalah tunjangan
profesi yang besarnya satu kali gaji dan diberikan apabila seorang guru telah memperoleh sertifikat
pendidik.
Sertifikasi guru memiliki tujuan yang sangat mulia, yaitu untuk memberikan kesejahteraan yang lebih
baik kepada guru, dan sekaligus untuk meningkatkan kualitas guru. Namun demikian, dalam
pelaksanaan sertifikasi guru perlu adanya pengawasan. Jika tidak dikhawatirkan akan terjadi praktik-
praktik yang tidak seharusnya dilakukan seperti KKN yang dilakukan antara institusi yang diberi
kewenangan untuk melakukan uji sertifikasi dengan para guru yang berkeinginan sekali untuk lulus
dan mendapat sertifikat pendidik. Oleh karena itu, baik pemerintah, masyarakat, dan organisasi
profesi pendidik terutama PGRI serta organisasi sejenis harus saling bersinergi dan bekerja keras
untuk mengawasi dan memantau pelaksanaan sertifikasi sehingga benar-benar dapat dilaksanakan
sesuai dengan harapan. Jika diperlukan, bisa dibentuk lembaga pemantau dan pengawas
independen  pelaksanaan sertifikasi guru.

Hal tersebut sesuai dengan hasil Kajian Implementasi Sertifikasi Melalui Penilaian Portofolio dan
PLPG (2008), yang menyatakan bahwa secara umum, kompetensi guru yang lulus sertifikasi melalui
penilaian portofolio tidak banyak mengalami peningkatan, dan bahkan ada kecenderungan
menurun. Sebagian guru yang telah lulus sertifikasi melalui penilaian portofolio seringkali tidak
masuk dan mengajar dengan semaunya saja karena merasa sudah punya sertifikat dan telah
mendapat tunjangan profesi. Sebaliknya, kompetensi guru yang lulus melalui PLPG pada umumnya
meningkat, meskipun belum signifikan. Hal ini terjadi karena metode, pendekatan, dan karakteristik
sertifikasi melalui penilaian portofolio dan PLPG sangat berbeda. Penilaian portofolio menekankan
pada dokumen sedangkan PLPG menekankan pada proses pembelajaran. Di samping itu, kurangnya
pemahaman pihak-pihak yang terlibat dalam penetapan kuota dan penetapan peserta sertifikasi
guru pada tingkat Kabupaten/Kota tentang aturan yang digunakan sebagai dasar penetapan kuota
dan peserta juga menjadikan permasalahan tersendiri dalam pelaksanaan sertifikasi.

2.        Continuous Professional Development (CPD)

Upaya lain yang dilakukan dalam rangka peningkatan mutu dan profesionalisme guru  juga telah
dilakukan oleh pemerintah. Peningkatan profesionalisme dilakukan melalui pendidikan, pelatihan-
pelatihan singkat maupun berkesinambungan, dengan pembiayaan dari pemerintah, yang dikenal
dengan Continuous Professional Development (CPD). Beberapa upaya yang dilakukan dengan
pendekatan CPD ini adalah dengan memberdayakan unsur-unsur sebagai berikut.

a.        KKG (Kelompok Kerja Guru) dan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran)

KKG merupakan kelompok atau forum musyawarah kerja guru di tingkat pendidikan dasar,
sedangkan MGMP yaitu forum musyawarah kerja guru di tingkat pendidikan menengah, yang
tercatat dan diakui keberadaannya oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendidikan.

Kaitannya dengan kualifikasi dan sertifikasi guru maka KKG/MGMP dapat menjadi tempat para guru
untuk saling membantu dalam meningkatkan kemampuannya guna mencapai kualifikasi standar
guru yang disyaratkan (S1/D4) dan sertifikasi profesi sebagai guru. Dalam KKG/MGMP para guru
dapat saling belajar dan saling memberikan semangat untuk maju bersama meningkatkan kualifikasi
dan profesionalitasnya secara terus menerus.

b.        KKKS (Kelompok Kerja Kepala Sekolah) dan MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah)

Kepala sekolah dapat beperan positif terhadap perkembangan para guru,  yaitu para kepala sekolah
mampu meningkatkan potensi guru-guru sekaligus memberikan ruang gerak dan kebebasan untuk
maju bagi para guru guna meningkatkan komitmen tanggung jawab tugasnya.

Para guru perlu mendapatkan dorongan kuat dari para kepala sekolah untuk berani keluar dari dunia
rutinitas hariannya masuk kedalam dunia dinamis yang merupakan syarat dari sutau perkembangan
profesionalisme para guru itu sendiri dalam rangka meningkatkan kompetensi untuk mendukung
tugas luhurnya sebagai guru yang profesional.

Sebaliknya kepala sekolah dapat menjadi penghambat perkembangan para guru, jika para guru tidak
mendapat dukungan untuk secara dinamis mengembangkan potensinya dengan berinteraksi dengan
jaringan guru-guru dari satuan pendidikan lainnya dan lembaga-lembaga lainnya. Dengan interaksi
keluar yang terarah maka para guru akan mendapatkan berbagai best practices dari jaringannya
sehingga individualnya akan terbangkitkan untuk maju bersama rekan guru lainnya.

c.         LPMP dan P4TK

Dalam upaya menumbuhkembangkan KKG dan MGMP, perlu mendapatkan pasokan informasi,
material dan juga finansial secara sistematis sampai mereka menjadi grup-grup dinamis yang dapat
mengembangkan dan membiayai kelompoknya sendiri. Lembaga yang dapat memberikan masukan
diantaranya Lembaga Penjaminan Mutu Pendidik (LPMP) dan Pusat Pengembangan dan
Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK). Fungsi LPMP dan P4TK terkait dengan
pengembangan profesionalisme guru berkelanjutan adalah antara lain:

1)        LPMP dan P4TK dapat berperan dalam mengembangkan profesionalisme guru melalui
berbagai kegaiatan dengan bekerjasama dengan KKG/MGMP.

2)        LPMP dan P4TK dapat membuat jaringan kerja dinamis dengan seluruh KKG/MGMP di
daerahnya masing-masing.

3)        Pembuatan jaringan dapat dimulai dengan pendataan profil dan pemetaan KKG/MGMP,
membuat perencanaan pengembangan jaringan kerja yang menghubungakan antara KKG/MGMP
dan LPMP dan P4TK.

4)        Selanjutnya LPMP/P4TK dapat mendorong paravocal point (wakil aktif) tiap-tiap KKG/MGMP


untuk selalu saling berinteraksi melalui berbagai media baik Email, SMS, telepon, pertemuan
langsung dan lain-lain. Semakin intensif  interaksi antar mereka semakin cepat perkembangan
KKG/MGMP dan juga perkembangan LPTK dan P4TK.

d.        Perguruan Tinggi (PT/LPTK)

Lembaga Perguruan Tinggi baik LPTK maupun Perguruan Tinggi umum lainnya mempunyai peranan
signifikan dalam peningkatan profesionalisme guru:

1)             Perguruan Tinggi dapat menyumbangkan andilnya dalam menjalin kerjasama dan


akses networkingdengan para guru atau KKG/MGMP.

2)             Perguruan Tinggi dapat menjadi acuan kemajuan dalam bidang Ilmu pengetahuan dan
teknologi yang diperlukan para guru dalam mengaktualisasikan pengetahuannya.

3)             Perguruan Tinggi dapat melakukan kegiatan-kegiatan di satuan-satuan pendidikan guna


ikut mengaktifkan guru-guru dan menjalin hubungan kerjasama pengembangan pedidikan. Dengan
semakin banyak persinggungan antara para guru dalam KKG/MGMP maka semangat peningkatan
kualifikasi guru akan semakin meningkat.

4)             Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari Perguruan Tinggi dapat diarahkan guna ikut membina satuan-
satuan pendidikan beserta tenaga gurunya, sehingga secara reguler mendapatkan suntikan motivasi,
tenaga dan informasi dari mahasiswa dan dosen-dosen perguruan tinggi.
5)             Perguruan tinggi dapat melakukan networking ke satuan-satuan pendidikan dan
KKG/MGMP atau sebaliknya guna saling memahami permasalahan yang ada dan selanjutnya mejalin
kerjasama.

e.         Assosiasi profesi

Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru berkelanjutan, peranan assosiasi profesi guru
yang ada sangat signifikan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara sebagai berikut.

1)        LPMP/P4TK dan KKG/MGMP dapat menjalin kerjasama dengan assosiasi guna lebih
mengembangkan sayap kerjanya untuk meningkatkan mutu guru.

2)        Assosiasi dapat bekerjasama dalam menggerakkan dinamika guru dengan berbagai macam
kegaiatan yang mengarah pada pemberdayaan individu dan kelompok guru. Bagi assosiasi hal ini
sangat penting karena asosiasi akan semakin mendapat legitimasi luas sebagai organisisi yang benar-
benar memperjuangkan kemajuan guru.

3)        Asosiasi dapat mengembangkan hubungan kerja LPMP/P4TK, KKG/MGMP dan guru secara
networking, dimana  ”saling tergantung” diubah menjadi  ”saling mendukung”, dari ”saling berebut” 
menjadi ”saling berbagi” dan dari ”saling berusaha merugikan” menjadi ”saling berusaha
menguntungkan”, dari “saling menyembunyikan informasi” menjadi “saling sharing informasi”, dan
sebagainya.

GELOMBANG arus globalisasi saat in itelah menerjang dan menembus batas-


batas dalam kehidupa kita. Hal ini dipengaruhi terutama oleh semakin
pesatnya perkembangan revolusi teknologi informasi dan komunikasi.
Revolusi ini berkembang pesat dengan didukung oleh cara berpikir
masyarakat dunia yang semakin terbuka. Masyarakat dunia saat ini sudah
dipenuhi dengan persaingan terbuka dalam berbagai bidang. Terjadinya
hubungan tanpa batas antar masyarakat dunia merupakan salah satu ciri
dari era revolusi teknologi.
Masyarakat dunia saat ini berfikir bahwa pemenuhan sendi-sendi kehidupan
tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu. Baik dalam bidang ekonomi, sosial,
seni, budaya, politik, olahraga, dan pendidikan. Dengan pemikiran seperti itu
maka mau tidak mau masyarakat dunia harus membuka cakrawala berpikir
dan bertindak agar dapat menerima dan diterima dalam pergaulan dan
interaksi global.
Demikian halnya yang terjadi pada dunia pendidikan kita yang terus mulai
berbenah diri. Pada tahun 2011, secara kualitas 88,8 persen sekolah di
Indonesia, mulai dari SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar
pelayanan minimal. Berdasarkan data yang ada, 40,31 persen dari 201.557
sekolah di Indonesia berada di bawah standar pelayanan minimal.
Sedangkan hanya 10,15 persen yang memenuhi standar nasional
pendidikan. Sekolah yang dianggap mampu bersaing dengan mutu
pendidikan negara-negara lain hanya 0,65 persen, yaitu sekolah yang saat
itu disebut sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Iinternasional (RSBI).

Tantangan Pendidikan Masa Depan


Saat ini, pendidikan dalam negeri sedang bergerak menunjukkan grafik
peningkatan ke arah tuntutan global. Pendidikan yang ada terbawa pada cara
berpikir masyarakat global. Memasuki era pasar bebas saat ini, dunia
pendidikan kita dihadapkan pada ketatnya persaingan jasa pendidikan serta
pemenuhan sumber daya manusia unggul. Maka yang terjadi adalah banyak
sekolah-sekolah dalam negeri, baik swasta maupun negeri, yang secara
cepat berubah menjadi sekolah dengan peningkatan standar dalam berbagai
label.
Dengan adanya pelabelan, sekolah berharap akan mengangkat derajat
sekolah tersebut di mata masyarakat. Ada yang hanya sekadar namanya
internasional tapi kualitas lokal. Bahkan banyak yang memaksakan diri untuk
menjadi sekolah bertaraf internasional. Ada juga yang memang
menggunakan kurikulum internasional sampai pada kerjasama dengan
sekolah luar negeri dalam bentuk sister school. Pemerintah sendiri sebagai
upaya peningkatan kualitas sekolah memberikan perhatian pada sekolah
jenjang SMA/SMK dengan predikat sekolah rujukan.
Pada satu sisi pelabelan sekolah menjadi pemicu bagi guru agar selalu
meningkatkan kapasitas diri untuk memberikan pelayanan yang baik kepada
anak didik. Namun pada sisi yang lain, sekolahpada dasarnya hanya
dipandang sebagai penjual jasa pendidikan yang melihat anak didik sebagai
konsumen jasa pendidikan.
Dengan telah dibukanya kran perdagangan bebas telah membuka mata kita
bahwa dunia pendidikan memberikan peran penting dalam peningkatan
kualitas sumber daya manusia. Perdaganganbebas ASEAN-TIONGKOK
(ASEAN-CHINA Fee Trade Agreement/ACFTA) diberlakukan mulai 1 Januari
2010 itu sudah ditandatangani pada 29 November 2004. Disusul kemudian
akhir tahun lalu Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic
Community (AEC) sudah diberlakukan. Ini artinya telah terjadi free flow atau
aliran yang bebas keluar masuk ke Indonesia menyangkut berbagai bidang.
Mulai dari investasi permodalan, barang, sampai pada aliran sumber daya
manusia. Dan ini menjadi tugas dunia pendidikan untuk menyiapkan sumber
daya manusia unggul agar mampu bersaing dengan sumber daya dari negara
lain.
Hasil survey Kelly Services, Konsultan Sumber Daya Manusia yang berbasis
di Amerika Serikat menyebutkan paling tidak ada lima sektor industri di
Indonesia yang membutuhkan banyak tenaga kerja dalam lima tahun
kedepan. Lima sektor industri itu meliputi produk konsumen, otomotif,
energi, keuangan, dan industri berteknologi tinggi. Kebutuhan tenaga
terampil di setiap sektor industri tersebut antara 10 persen sampai 12 persen
setiap tahun. Sayangnya beberapa perusahaan besar mengeluhkan kesulitan
memperoleh tenaga terampil sesuai kebutuhan di sektor industri tersebut.

Guru Berkamampuan Global


Dengan tantangan menyiapkan sumber daya unggul maka ini berbanding
lurus dengan kebutuhan guru yang profesional disekolah.Karena ciri dari
globalisasi adalah persaingan yang semakin kompetitif. Tidak menutup
kemungkinan banyak guru asing yang nantinya akan masuk ke sekolah
dalam negeri untuk berkolaborasi dalam proses pembelajaran. Dan ini harus
diimbangi dengan kemampuan dari masing-masing guru agar bisa bersaing
dalam kancah persaingan global yang semakin kompetitif.
Persaingan yang terjadi akan memberikan dampak secara alami terhadap
pilihan jasa yang dinginkan oleh sekolah semakin beragam. Sekolah memiliki
standar yang tinggi untuk mencapai tujuan dalam proses pembelajaran.
Sedangkan orang tua sendiri ingin anaknya dididik oleh guru yang
berkualitas. Kebijakan luar negeri dan persaingan yang terjadi menuntut
guru harus berkemampuan global. Maka, mau tidak mau mulai saat ini kita
harus mulai berpikir untuk memiliki kemampuan global. Membuka cakrawala
pengetahuan kita agar mampu menangkap sinyal perubahan yang terjadi.
Guru berkemampuan global tidak hanya dan harus mampu berbahasa asing,
namun guru harus terus belajar dengan terus membenahi cara mengelola
kelas ketika proses pembelajaran, harus lebih kreatif dan inovatif, memiliki
administrasi yang baik dan memiliki keinginan untuk berkembang. Guru
harus selalu meningkatkan kompetensi dengan selalu mengupgrade
pengetahuan kita melalui seminar, workshop, lokakarya, pelatihan dan
kegiatan ilmiah lainnya.
Guru harus menjadi insan pembelajar untuk dijadikan telaga ilmu oleh anak
didiknya. Selain menyampaikan pengetahuan kepada murid, guru juga harus
memiliki kemauan belajar secara terus menerus. Agar apa yang disampaikan
sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh murid. Dengan menjadi insan
pembelajar guru dapat memberi inspirasi kepada murid-muridnya.
Dalam era saatini, kita tidak bisa hanya berpangku tangan. Tetapi harus aktif
berusaha untuk dapat memperkuat daya saing. Kemampuan menghadapi
persaingan global adalah ditentukan oleh kualitas manusia. Tanpa itu semua
kita hanya akan menjadi penonton di negeri sendiri. Selain kualitas guru
sebagai penentu keberhasilan dalam proses pendidikan, sekolah harus
dikembalikan pada fungsinya. Sekolah harus berfungsi sebagai eskalator
sosial ekonomi. Yaitu sebuah instrumen rekayasa struktural masyarakat di
masadepan.

Dalam kehidupan bernegara, kualitas sebuah bangsa akan ditentukan oleh kualitas
sumber daya manusianya. Semakin tinggi kualitas sumber daya manusia suatu
bangsa, maka akan semakin tinggi pula kualitas bangsa yang bersangkutan.
Disamping secara langsung maupun tidak langsung akan berimplikasi positif
terhadap kelangsungan hidup bangsa tersebut dalam percaturan antar bangsa di
dunia. Dengan demikian, pelaksanaan program pendidikan dalam rangka
peningkatan mutu sumber daya manusia menjadi tuntutan yang tidak bisa di tawar-
tawar.
Seiring dengan dimasukinya era globalisasi di abad 21, pendidikan semakin urgen
dalam rangka menghadapi tuntutan zaman yang penuh persaingan di semua aspek
bidang kehidupan. Sekarang ini hampir tidak ada celah bagi bangsa yang kualitas
sumber saya manusianya rendah untuk dapat maju dan berkembang. Sebaliknya
justru bangsa tersebut secara perlahan tapi pasti akan tenggelam dari peta
percaturan dunia, seberapapun besarnya jumlah penduduk dan luas yang
dimilikinya.
Menghadapi kenyataan di atas, sekaligus sebagai respon terhadap lamban dan
kurang dinamisnya pendidikan di Indonesia, maka upaya peningkatan kualitas dan
relevansi pendidikan nasional dimasa harus dijadikan agenda utama disamping
perbaikan manajemen dan pemerataan pendidikan.

Pendidikan yang Ber-nilai


Tanpa mengurangi arti hasil-hasil pendidikan yang telah dicapai selama ini dan
juga program yang telah, sedang dan terus dilaksanakan, pendidikan nasional
Indonesia ke depan, harus menggunakan konsep kebermaknaan dalam setiap
kegiatan pembelajarannya, atau dalam istilah singkatnya pendidikan yang ber-nilai.
Artinya, pendidikan jangan lagi difungsikan sebagai formalitas kegiatan
pemerintah yang menghabiskan dana trilyunan rupiah, tetapi betul-betul harus
mampu memberikan value (nilai) bagi peserta didik sehingga mereka mampu
hidup secara dinamis di masyarakat, mampu beradaptasi, dan terbebas dari rasa
ketergantungan terhadap orang lain karena ilmu yang diperoleh mampu menopang
perjuangannya untuk mencapai penghidupan yang layak.
Untuk dapat memberikan nilai yang lebih pada pendidikan kita, secara teknis
upaya pembelajaran yang ofensif dan pro aktif (offensive learning) menjadi
tuntutan mutlak. Prinsipnya, proses pembelajaran tidak dikendalikan oleh guru,
tetapi dikendalikan oleh peserta didik/pembelajar. Apa yang harus diajarkan,
bilamana diajarkan, dan bagaimana harus diajarkan semuanya ditentukan oleh
pembelajar. Pola pikir yang mendasarinya adalah pendidikan baik formal maupun
non formal tidak lagi terpisah dengan dunis bisnis, perdagangan dan politik yang
notabene merupakan realita kehidupan sehari-hari.
Dengan konsep pembelajaran yang ber-nilai, kompetensi yang berbasis kecakapan
hidup (life skill) menjadi tujuan pembelajaran yang terpenting. Siswa diharapkan
tidak hanya mampu mempelajari ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi
sebatas teori, tetapi betul-betul menjadi keterampilan hidup yang dapat dijadikan
bekal untuk hidup secara bermakna bagi semua peserta didik. Jadi paradigma
pendidikan masa depan harus diubah dari sekolah untuk mendapatkan ijazah atau
keterangan lulus, menjadi sekolah untuk mendapatkan ilmu sebagai bekal hidup.
Dengan demikian, di masa-masa mendatang tidak akan terdengar lagi lulusan
sekolah yang menganggur karena tidak mendapatkan pekerjaan, sebab mereka
akan mampu menciptakan lapangan kerja sendiri, bahkan untuk orang lain.
Sekolah di masa depan ibaratnya seperti orang “magang”. Jadi ilmu pengetahuan
dan keterampilan yang diperoleh di sekolah langsung bisa dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Hanya saja, agar dapat memberikan pendidikan yang ber-nilai bagi peserta didik
dibutuhkan paling tidak 3 konmponen yang berkualitas dan saling menunjang,
yaitu guru, kurikulum dan sarana prasarana belajar.
Harus diakui, guru adalah komponen terpenting dalam upaya pencapaian
pendidikan yang ber-nilai. Karena siapapun pasti sependapat bahwa guru
merupakan unsur utama dalam keseluruhan proses pendidikan, khususnya di
tingkat institusional dan instruksional. Tanpa guru, pendidikan hanya akan menjadi
slogan muluk karena segala bentuk kebijakan dan program pada akhirnya akan
ditentukan oleh kinerja guru. Oleh karena itu, supaya pendidikan menjadi ber-nilai,
maka guru yang bertanggung jawab terhadap berhasil tidaknya pendidikan
haruslah guru yang betul-betul profesional dan memiliki nilai plus. Profesional
ditandai dengan keahlian, tanggung jawab dan rasa kesejawatan yang tinggi serta
didukung oleh etika profesi yang kuat. Sedangkan nilai plus ditandai dengan
wawasan pengetahuan dan atau pengalaman yang luas dalam bidang bisnis,
perdagangan dan menyiasati hidup. Tanpa guru yang profesional dan memiliki
nilai plus, proses pembelajaran di sekolah tidak akan berjalan optimal dan hanya
akan berhenti sebatas teori. Akibatnya tujuan pendidikan agar ber-nilai bagi peserta
didik tidak akan pernah tercapai.
Kurikulum, juga merupakan komponen yang tidak kalah pentingnya untuk
mencapai pendidikan yang ber-nilai. Karena kurikulum tidak saja menentukan arah
dan tujuan pendidikan yang ingin dicapai, tetapi secara teknis kurikulum juga
menjadi acuan pelaksanaan program pembelajaran di sekolah. Program
pembelajaran yang dimaksud adalah Program Tahunan, Program Semester,
maupun program yang digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan
pembelajaran yang dikenal dengan nama Satuan Pembelajaran dan Rencana
Pembelajaran. Kurikulum yang mendukung pendidikan yang ber-nilai adalah
kurikulum yang memberikan akses seluas-luasnya pada peserta didik untuk
mengembangkan kecakapan hidup sesuai potensinya. Untuk itu setiap poin
kegiatan pembelajaran yang tercantum dalam kurikulum secara jelas dan tegas
hendaknya mencantumkan kemampuan riil yang dimiliki peserta didik yang dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara sarana prasarana pendidikan merupakan komponen penunjang yang
tidak dapat diabaikan dalam pencapaian pendidikan yang ber-nilai. Kuantitas dan
kualitas sarana prasarana pendidikan, akan sangat menentukan keberhasilan
program pembelajaran di sekolah. Hal ini bisa dipahami karena sarana prasarana
pendidikan merupakan pendukung langsung terselenggaranya kegiatan
pembelajaran. Termasuk dalam sarana prasarana pendidikan ini adalah alat
pembelajaran (buku dan alat tulis), alat peraga, media pendidikan, gedung,
meubeler (meja, kursi, dll), jalan menuju sekolah, asrama, dan sebagainya.

Tantangan
Pendidikan yang ber-nilai di masa depan adalah konsep pendidikan yang diyakini
dapat mengatasi berbagai persoalan yang berkaitan dengan kesulitan mencari kerja
pasca sekolah atau berkaitan dengan kompleksnya permasalahan pendidikan
selama ini. Namun untuk menjadikan pendidikan lebih bernilai bagi peserta didik,
kita dihadapkan pada sejumlah tantangan dan permasalahan sebagai berikut :
Pertama, rendahnya kualitas guru. Kebanyakan guru di negeri kita belum memiliki
profesionalisme yang memadai karena berbagai keterbatasan yang dimiliki.
Diantaranya, tingkat penguasaan ilmu yang lemah karena tingkat pendidikan yang
kurang memadai atau tidak sesuai dengan mata pelajaran yang diampu, tingkat
kesejahteraan guru yang rendah karena gaji yang minim sehingga dalam mengajar
tidak bisa konsentrasi, serta budaya membaca dan menulis guru yang cenderung
buruk sehingga menumbuhkan mentalitas guru apa adanya, tidak kreatif, inovatif
dan produktif.
Kedua, terbatasnya sarana prasarana belajar. Jangankan layak, sarana prasarana
berlajar untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan saja disamping tidak
mencukupi, kualitasnyapun cenderung buruk serta ketinggalan saja. Lihat saja,
kondisi sekolah dan peralatan yang dimiliki untuk mendukung proses pembelajaran
terutanma di desa-desa, sungguh-sungguh memprihatinkan. Data Balitbang
Depdiknas (2004) menyebutkan tidak kurang dari 55 persen dari ruang kelas
sekolah di Indonesia baik SD, SMP, SMA, MA dan SMK mengalami kerusakan
ringan hingga berat. Belum lagi kurangnya buku bacaan, terbatasnya media belajar
dan alat peraga hingga minimnya kualitas sarana pendukung belajar lainnya.
Ketiga, belum dapat dilaksanakannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
yang berlaku efektif sejak bulan Juli 2004 secara efektif dan efisien, karena
berbagai keterbatasan sumber daya guru dan berbagai sarana pendukung lainnya.
Sementara KBK yang sering diidentikkan dengan Kurikulum 2004 sebenarnya
merupakan perangkat yang dapat dijadikan sebagai “embrio” dari pendidikan yang
ber-nilai.
Guna mengatasi ketiga tantangan dan permasalahan tersebut, tiada upaya lain yang
lebih efektif untuk mengantisipasinya kecuali dengan cara peningkatan kualitas
guru dengan cara lebih banyak memberikan bimbingan, pelatihan dan orientasi
dalam rangka peningkatan profesionalisme kerja serta dengan meningkatkan
kesejahteraannya. Disamping itu, tidak kalah pentingnya adalah penyediaan sarana
prasarana belajar yang mencukupi dari sisi jumlah dan berkualitas dari sisi mutu.
Bila kedua hal tersebut dapat dipenuhi, upaya lainnya yang perlu segera dilakukan
adalah membenahi manajemen sekolah, meningkatkan kinerja staf sekolah dan
meningkatkan peran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang telah dibentuk
sehingga pendidikan yang bernilai dapat lebih cepat terwujud.
Sekarang tinggal bagaimana pemerintah bersikap dan menindaklanjuti tantangan
dan permasalahan ini dengan meningkatkan anggaran di bidang pendidikan.
Karena betapapu, upaya pemecahan yang diajukan di muka tidak akan terlepas dari
sisi anggaran yang dipastikan membengkak. Keberanian pemerintah dalam hal ini
penting mengingat keterpurukan dunia pendidikan asional kita kunci utamanya
adalah sisi anggaran yang sangat kecil, terlebih bila dibandingkan dengan negara-
negara maju seperti Jepang, Amerika, Inggris dan negara-negara Eropa lainnya.
Namun demikian tetap harus ada catatan, peningkatan anggaran pendidikan harus
diiringi dengan kontrol yang kuat dari pihak-pighak terkait agar dalam
penggunaannya dapat berjalan efektif dan efisien serta tidak dikorupsi oleh oknum-
oknum yang tidak bertanggung jawab

.Kesenjangan Kemajuan IPTEK, Prestasi Pendidikan dan HDI

Ketertinggalan sekolah tidak hanya terkait dengan ilmu pengetahuan yang diajarkan di
sekolah-sekolah namun juga terkait dengan ketertinggalan akses infromasi seputar
perkembangan saintek (sains dan teknologi). Ketertinggalan akses ini secara fundamental
disebabkan oleh dua hal, pertama penguasaan operasional guru terhadap perangkat
teknologi informasi, kedua karena belum semua sekolah mampu memenuhi ketersediaan
perangkat teknologi informasi yang mampu memberikan akses informasi global yang
memadai, semisal jaringan internet. Hal ini pun disebabkan oleh faktor fundamental lainnya
yaitu kualitas SDM dan ketersediaan finansial.

Faktor pertama terkait dengan kesenjangan kemajuan teknologi dengan dunia pendidikan
pada akhirnya kemudian melahirkan persoalan yang kedua yaitu ketertinggalan prestasi
pendidikan.
Ketertinggalan kita terjadi pada aspek-aspek yang fundamental. Skill membaca tidak
diragukan lagi sebagai skill yang sangat penting, dari data terlihat  bahwa budaya baca kita
begitu rendah. Budaya baca terkait dengan kemauan 'memaksa diri' untuk membeli buku
dan kemauan meluangkan waktu untuk membacanya. Jika dicermati dari fakta keseharian
yang mudah kita temui, kita lebih mudah menginvestasikan kemampuan finansial dan waktu
senggang kita kita untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan pengembangan diri dan
ilmu pengetahuan, lebih cenderung pada pemenuhan 'nafsu jalan-jalan' dan tuntutan trend
life style. Kemampuan matematika pun setali tiga uang, padahal kemampuan matematika
sangatlah penting karena kemampuan berhitung sangat menunjang disiplin ilmu manapun.
Kemampuan matematika juga akan berpengaruh terhadap logika dan sistematika berpikir
seseorang, demikian dikatakan banyak pakar pendidikan. Begitupun  kemampuan problem
solving, hal ini terkait juga dengan kemampuan riset, karena riset di dalamnya mencakup
kemampuan pemecahan masalah (problem solving). Kemampuan riset yang dimiliki oleh
siswa akan sangat berpengaruh pada upaya melahirkan penemuan-penemuan baru yang
datang dari dunia pendidikan.

Ketertinggalan dalam dunia pendidikan akhirnya juga berkorelasi dengan peringkat human
development index (HDI) SDM Indonesia, karena pendidikan sebagai salah satu perangkat
sistemik yang ‘bertugas mengolah’ sumber daya manusia Indonesia sehingga berdaya saing
global. Maka, tidaklah heran jika akhirnya kita ‘diganjar’ dengan peringkat HDI yang masih
membutuhkan upaya kerja keras dan cerdas.

2.Pendidikan Global

Hal ini terkait dengan penerapan metode pembelajaran (dapat juga dikatakan sistem
pendidikan) yang secara global saat ini diadopsi oleh negara-negara maju atau negara-
negara yang peringkat HDI-nya masih di atas Indonesia, namun penerapannya belum terjadi
di Indonesia. Isu global pendidikan juga terkait dengan wacana integrasi ilmu pengetahuan.
Disiplin ilmu agama, IPA, matematika, IPS, sastra dan disiplin ilmu lainnya tidak akan lagi
berdiri sendiri, terpisah secara sporadis, namun akan akan menjadi suatu kesatuan ilmu
yang melahirkan produk ilmu pengetahuan yang merupakan hasil integrasi dari berbagai
disiplin ilmu.

Tuntutan dunia global yang harus dijawab oleh dunia pendidikan:

a.Tuntutan kemampuan profesional


b.Harga ekonomis

c.Tuntutan tinggi terhadap kualitas produk

d.Banyaknya pemain/pesaing (kompetitor)

e.Pasar Global

f.Daya saing tinggi

Paradigma yang secara teoritik dan praktik sudah dilakukan di sekolah-sekolah yang dinilai
mampu menjawab tantangan global yaitu:

a.Sistem pendidikan yang saat ini lebih memprioritaskan kemampuan kognitif hafalan,
sepatutnya diarahkan penguasaan pengetahuan dan kompetensi bidang studi.

b.Sistem pendidikan yang saat ini lebih mengarahkan keterampilan mekanistik, sepatutnya
diarahkan ke arah pembekalan life skill, pola pikir kreatif dan inovatif.

c.Sistem pendidikan yang saat ini kurang memperhatikan nilai, sepatutnya diarahkan ke arah
pembentukan sikap mulia terhadap diri sendiri, orang lain, lingkungan, bermoral dan
beretos kerja.

d.Sistem pendidikan yang saat ini kurang memperhatikan metode pembelajaran interaktif,
sepatutnya diarahkan bagaimana membentuk hubungan yang interaktif, dialogis dan
terbuka dalam proses belajar (dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai etika secara
proporsional, red). Konsep student center pada tataran praktisnya belum terealisasi
sebagaimana diharapkan.

Pendidikan Perspektif Global atau disebut juga pendidikan Global artinya pendidikan yang
membekali wawasan global untuk membekali siswa memasuki era globalisasi sehingga siswa
mampu bertindak lokal dengan dilandasi wawasan global. Pendidikan yang memanfaatkan
keunggulan lokal dan global dalam aspek ekonomi, seni budaya, SDM, bahasa, teknologi
informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain ke dalam kurikulum sekolah yang akhirnya
bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik yang dapat dimanfaatkan untuk
persaingan global. Pendidikan Global dirasa perlu di sebabkan kemajuan komunikasi &
transportasi yang dirasakan dunia semakin sempit, batas negara menjadi buram, proses
universalisasi melanda berbagai aspek kehidupan.

Tujuan Pendidikan Global

a.Mengembangkan pengertian keberadaan mereka membentuk masyarakat.

b.Memberi pengertian mereka yang merupakan anggota masyarakat manusia.

c.Menyadarkan mereka adalah penghuni planet bumi, dan kehidupannya tergantung pada
planet bumi tersebut.

d.Mereka adalah partisipan atau pelaku aktif dalam masyarakat global.

e.Mendidik siswa agar mampu hidup secara bijaksana dan bertanggung jawab, sebagai
individu, umat manusia, penghuni planet bumi, dan sebagai anggota masyarakat global.

Pendidikan Global menekankan pada:

a.Kesadaran terhadap perspektif global.

b.Memahami sistim-sistim global.

c.Sejarah globalisasi.

d.Saling pengertian terhadap budaya bangsa lain.

3.Contoh Pendidikan Global


Para siswa di Bangladesh bertukar wawancara dalam video dengan siswa di Georgia. Siswa
SMA di Illinois belajar bahasa Jepang, Latin, Perancis, dan Jerman dengan menggunakan
diskusi online bersama para siswa dari negara-negara lain.

Siswa-siswi dari seluruh dunia mengadakan penelitian mengenai spesies binatang yang
hampir punah dari daerah masing-masing, dan berbagi informasi tersebut dengan
menerbitkannya di situs web bersama. Terhubung secara global melalui kemajuan teknologi
Internet, termasuk perangkat Web 2.0, dapat menjadi suatu kenyataan bagi siswa di dalam
kelas manapun.

Selagi komunitas lokal mencerminkan keragaman dunia, para siswa perlu dipersiapkan
untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan individu-individu dari negara dan budaya
lain yang berbeda. Mengintegrasikan pendidikan global ke dalam pelajaran, memberikan
kesempatan bagi para siswa untuk terhubung dengan teman-teman dari negara-negara lain
tanpa perbatasan geografis, mengembangkan pengetahuan serta kesadaran tentang dunia,
dan menumbuhkan minat dan keingintahuan mengenai apa yang mereka pelajari.

4.Tantangan Masa Depan Pendidikan di Indonesia

a.Pendidik yang berkarakter kuat dan cerdas

Pendidik yang kuat dan cerdas bukan semata – mata pendidik yang secara fisik memiliki
badan atau tubuh yang kuat dan pandai. Lebih dari itu, yang dimaksud dengan berkarakter
kuat adalah di samping fisik yang kuat, pendidik harus memiliki kepribadian yang utuh,
matang, dewasa, berwibawa, berbudi pekerti luhur, bermoral baik, penuh tanggung jawab
dan memiliki jiwa keteladanan, dan memiliki keteguhan atau ketetapan hati untuk berjuang
membangun dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia seutuhnya melalui tugas-
tugas yang diembannya dan tidak mudah terpengaruh pada upaya-upaya atau kondisi yang
dapat mengakibatkan mereka ke luar (out of track) dari “jalan dan perjuangan yang benar”.
Sedangkan pendidik yang cerdas berarti memiliki kemampuan untuk melakukan terobosan
dan pemikiran yang mampu menyelesaikan masalah dan melakukan pengembangan-
pengembangan yang menuju tercapainya tujuan pendidikan membangun manusia
seutuhnya baik dari segi intelektual maupun moral.

b.Peran guru dalam pembelajaran


Guru memiliki peran yang sangat vital dan fundamental dalam membimbing, mengarahkan,
dan mendidik siswa dalam proses pembelajaran (Davies dan Ellison, 1992). Karena peran
mereka yang sangat penting itu, keberadaan guru bahkan tak tergantikan oleh siapapun
atau apapun sekalipun dengan teknologi canggih. Alat dan media pendidikan, sarana
prasarana, multimedia dan teknologi hanyalah media atau alat yang hanya digunakan
sebagai teachers’ companion (sahabat – mitra guru).

Guru  memiliki peran yang amat penting, terutama sebagai agent of change melalui proses
pembelajaran. Oleh karena itu, dengan adanya sertifikasi diharapkan guru agar dapat lebih
berperan secara aktif, efektif dan profesional. Hal tersebut tentu saja tidak dapat dilakukan,
ketika guru tidak memiliki beberapa persyaratan, antara lain keterampilan mengajar
(teaching skills), berpengetahuan (knowledgeable), memiliki sikap profesional (good
professional attitude), memilih, menciptakan dan menggunakan media (utilizing learning
media), memilih metode mengajar yang sesuai, memanfaatkan teknologi (utilizing
technology), mengembangakan dynamic curriculum, dan bisa memberikan contoh dan
teladan yang baik (good practices)(Hartoyo dan Baedhowi, 2005).

c.Upaya peningkatan mutu guru

Dalam konteks pembangunan sektor pendidikan, pendidik merupakan pemegang peran


yang amat sentral. Guru adalah jantungnya pendidikan. Tanpa denyut dan peran aktif guru,
kebijakan pembaruan pendidikan secanggih apa pun tetap akan sia-sia. Sebagus apa pun
dan semodern apa pun sebuah kurikulum dan perencanaan strategis pendidikan dirancang,
jika tanpa guru yang berkualitas, tidak akan membuahkan hasil optimal. Artinya, pendidikan
yang baik dan unggul tetap akan tergantung pada kondisi mutu guru. Beberapa upaya untuk
meningkatkan mutu guru yaitu sertifikasi guru, peningkatan mutu dan profesionalisme guru,
adanya asosiasi profesi, dan upaya-upaya lain seperti peberian beasiswa, pemberian
penghargaan, dan peningkatan kesejahteraan.

Tantangan pendidikan di era global


Kemajuan teknologi komunikasi menyebabkan tidak adanya jarak dan batasan antara satu
orang dengan orang lain, kelompok satu dengan kelompok lain, serta antara negara satu
dengan negara lain. Komunikasi  antar-negara berlangsung sangat cepat dan mudah. Begitu
juga perkembangan informasi lintas dunia dapat dengan mudah diakses melalui teknologi
informasi  seperti melalui internet. Perpindahan uang dan investasi modal oleh pengusaha
asing dapat diakukan dalam hitungan detik.
Kondisi kemajuan teknologi informasi dan industri di atas yang berlangsung dengan amat
cepat dan ketat di era globalisasi menuntut setiap negara untuk berbenah diri dalam
menghadapi persaingan tersebut. Bangsa yang yang mampu membenahi dirinya dengan
meningkatkan sumber daya manusianya, kemungkinan besar akan mampu bersaing dalam
kompetisi sehat tersebut.
Di sinilah pendidikan diharuskan menampilkan dirinya, apakah ia mampu mendidik dan
menghasilkan para siswa yang berdaya saing tinggi (qualified) atau justru mandul dalam
menghadapi gempuran berbagai kemajuan dinamika globalisasi tersebut.
Dengan demikian, era globalisasi adalah tantangan besar bagi dunia pendidikan. Dalam
konteks ini, Khaerudin Kurniawan (1999), memerinci berbagai tantangan pendidikan
menghadapi era global.
Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah, yaitu bagaimana meningkatkan
produktivitas kerja nasional serta pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai upaya
untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan berkelanjutan (continuing development ).
Kedua, tantangan untuk melakukan riset secara komprehensif terhadap terjadinya era
reformasi dan transformasi struktur masyarakat, dari masyarakat tradisional-agraris ke
masyarakat modern-industrial dan informasi-komunikasi, serta bagaimana implikasinya bagi
peningkatan dan pengembangan kualitas kehidupan SDM.
Ketiga,  tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat, yaitu meningkatkan daya
saing bangsa dalam menghasilkan karya-karya kreatif yang berkualitas sebagai hasil
pemikiran, penemuan dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Keempat, tantangan terhadap munculnya invasi dan kolonialisme baru di bidang Iptek,
yang menggantikan invasi dan kolonialisme di bidang politik dan ekonomi.
Semua tantangan tersebut menuntut adanya SDM yang berkualitas dan berdaya saing di
bidang-bidang tersebut secara komprehensif dan komparatif yang berwawasan keunggulan,
keahlian profesional, berpandangan jauh ke depan (visioner), rasa percaya diri dan harga diri
yang tinggi serta memiliki keterampilan yang memadai sesuai kebutuhan dan daya tawar
pasar.
Kemampuan-kemampuan itu harus dapat diwujudkan dalam proses pendidikan Islam
yang berkualitas, sehingga dapat menghasilkan lulusan yang berwawasan luas, unggul dan
profesional, yang akhirnya dapat menjadi teladan yang dicita-citakan untuk kepentingan
masyarakat, bangsa dan negara.
Pertanyaan selanjutnya, apakah yang harus dilakukan oleh dunia pendidikan Islam?
Untuk menjawabnya, agaknya kita perlu menengok kerangka pendidikan Islam dalam
konteks kenasionalan. Sehingga kita bisa menyiapkan strategi yang tepat menghadapi sebuah
tantangan sekaligus peluang tersebut.
Secara kuantitas, perkembangan jumlah peserta didik pendidikan formal Indonesia mulai
dari tingkat TK hingga jenjang perguruan tinggi (PT) mengalami kemajuan yang cukup
signifikan. Namun secara kualitas masih tertinggal jauh ketimbang negara-negara lain, baik
negara-negara maju, maupun negara-negara anggota ASEAN sekalipun.
Institusi pendidikan Islam dituntut mampu menjamin kualitas lulusannya sesuai dengan
standar kompetensi global paling tidak mampu mempersiapkan anak didiknya terjun bersaing
dengan para tenaga kerja asing sehingga bisa mengantisipasi membludaknya pengangguran
terdidik. Di sini harus diakui, lembaga-lembaga pendidikan Islam ternyata belum siap 
menghadapi era pasar bebas. Masih banyak yang harus dibenahi;  apakah sistemnya ataukah
orang yang terlibat di dalam sistem tersebut.

C.  Solusi menghadapi tantangan di era global


1.             Orientasi pendidikan tidak hanya berupa teori-teori, namun harus dibarengi dengan praktik.
Praktek pembelajaran harus lebih diperbanyak. Sehingga siswa akan mudah mengembangkan
keterampilannya.
2.             Dalam proses belajar mengajar, guru harus benar-benar mau mengembangkan pendidikan
yang berbasis siswa sehingga akan terbentuk karakter kemandirian sebagai karakter yang
dituntut dalam era global.
3.             Guru harus benar-benar menguasai materi pelajaran dan ilmu mendidik. Hal ini bisa
dilakukan dengan studi lanjut sesuai dengan spesialisasi, pelatihan, work shop, maupun studi
banding ke institusi-institusi yang sudah maju.
4.             Perlunya pembinaan dan pelatihan tentang peningkatan motivasi belajar terhadap siswa.
Harus ditanamkan pola pembelajaran yang berorientasi proses bukan hasil, sehingga siswa
akan terbiasa untuk belajar maksimal dengan mementingkan pada substansi bukan formalitas.
Profesi guru harus dihargai dengan maksimal.
5.             Mengembangkan budaya baca bagi kalangan anak usia sekolah maupun masyarakat
umumnya. Pemerintah harus konsisten dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Contoh yang
paling nyata adalah alokasi APBN untuk pendidikan seharusnya benar-benar 20 %.
6.             Perlunya dukungan dan paartisipasi komprehensif dari semua pihak yang memiliki
kepentingan dengan pendidikan. Perlu adanya kerjasama antar pengelola lembaga
pendidikan, pemerintah, perusahaan dan masyarakat. Jika ditinjau dari skup KSB, maka
dibutuhkan kerjasama antara pengelola lembaga pendidikan (TK, SD, SMP, SMA, mapun
perguruan tinggi), pemerintah (Bupati KSB sebagai pemegang kebijakan tertinggi di KSB),
perusahaan (PT. NNT sebagai salah satu perusahaan raksasa yang hidup dan  berperan
sebagai penguras kekayaan alam KSB), dan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai