Anda di halaman 1dari 9

Restoratif justice

Konklusi filosofi politik hukum pidana pemberantasan korupsi mulai generasi pertama menganut
filsafat Kantianisme dengan mengutamakan pendekatan retributive. Pandangan retributive menentukan
pemidanaan sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas tanggung jawab moralnya
masing-masing. George P. Fletcher mengatakan Bahwa , Kant tidak membenarkan penjatuhan pidana
yang lebih ringan hanya karena pelaku bersedia bekerja sama dengan negara melalui berbagai cara.
Selain itu, Herbert L. Packer juga menyatakan Bahwa, “The retributive view rest on the idea that is right
for the wicked to be punished: because man is responsible for his actions, he ought to receives his just
desert. Kemudian Sue Titus Reid menyebutkan pula bahwa, “The retribution basis assumes that
offenders will be assessed the punishment they deserve in light of the crimes they have committed. It is
also asuumed that appropriate punishments will deter thode criminals from engaging in further criminal
acts and also deter orther from committing crimes.

Dari prespektif teoritis, normative, dan praktik pendekatan keadilan restorative (restorative
justice approach) dalam pemberantasan tindak pidana korupsi disikapi berbeda. Artidjo Alkotsar
menyatakan dari standar umum restorative justice terhadap kejahatan korupsi tidak mungkin dilakukan
mediasi penal karena korban kejahatan korupsi menyebar dalam kehidupan rakyat banyak yang hak
social ekonominya dirampas oleh koruptor. Marwan Effendy berpendapat restorative justice dapat
digunakan dalam tindak pidana korupsi tidak seperti restorative justice pada tindak pidana umu yang
harus melibatkan para pihak korban, pelaku dan masyarakat, terkait masalah korupsi bertitik berat
kepada pengembalian kerugian negara. Lebih detail Marwan Effendy menandaskan bahwa :

”apabila dicermati lebih jauh, proses pendekatan in rem dalam penanganan korupsi sejalan
dengan Restoratif Justice yang saat ini sedang berkembang di negara-negara Amerika Utara dan di
Eropa. Dalam Bahasa Prancis disebut dengan justice reparatrice, tater-ofterausgleich dalam Bahasa
Jerman, atau Herstelrecht dalam Bahasa Belanda, yang bermakna suatu pendekatan keadilan yang
berfokus pada kepentingan korban, pelaku dan masyarakat (termasuk negara) dari pada tujuan keadilan
untuk memuaskan asas hukum yang bersifat abstrak, namun untuk memuaskan kebutuhan kebutuhan
masyarakat yang hanya ingin memastikan dikenakannya suatu penghukuman (restorative justice is an
approach to justice that focuses on the needs of victims and offenders, instead of the need to satisfy the
abstract principles of law or the need of the community to exact punishment).

Implisit konteks di atas menyatakan keadilan restorative hanya dilakukan untuk pendekatan in
rem saja dan bukan pendekatan in personam. Pendekatan in rem merupakan suatu proses atau tindakan
yang dilakukan terhadap benda (asset) dan bukan untuk orang pribadi (in personam). Tegasnya,
pendekatan restorative hanya dimungkinkan dalam rangka pengembalian asset negara, dan bukan
digunakan untuk menghukum pribadi (person) seorang individu.

Konklusi dasar dimensi ini ternyata perspektif pendekatan keadilan restorative terhadap
pemberantasan tindak pidana korupsi disikapi berbeda dan mustahil dilaksanakan karena sifatnya hanya
untuk korban nyata atau sekelompok masyarakat dan tidak dapt diberlakukan negara sebagai korban
atau kepentingan pembangunan nasional. Akan tetapi, Budi Suharyanto eksplisit menyebutkan
pendapat yang tidak sependapat dengan pendekatan restorative justice dalam tindak pidana korupsi
dapat dibenarkan jika restorative justice diartikan sebagai peradilan restorative yang berorientasi pada
bentuk penyelesaian dengan keterlibatan para pihak, korban, pelaku, dan masyarakat. Namun jika
mengacu pada arti lain pendekatan restorative justice sebagai sebuah konsep pemidanaan yang tidak
sebatas pada ketentuan hukum pidana atau sekurang-kurangnya tidak sepenuhnya mengikuti acara
peradilan pidana, maka pendekatan restorative justice tidak masalah digunakan untuk menjadi solusi
optimalisasi pengambilan kerugian negara. Penerapan restorative justice perlu diakomodasi untuk
mengevaluasi kelemahan dari pendekatan retributive justice yang notabene tidak menghendaki
penyelesaian di luar penggunaan sanksi hukum pidana secara alternative. Apalagi mengingat perspektif
ius constituendum yang senyatanya segaris dan sebangun dengan pendekatan restorative justice.

Sejatinya, Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor:
B-1113/F/Fd.1/05/2010 tentang Prioritas dan Pencapaian dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana
Korupsi disebutkan agar dalam penegakan hukum mengedepankan rasa keadilan masyarakat, khususnya
bagi masyarakat yang dengan kesadarannya telah mengembalikan keuangan negara (restorative justice).
Terutama terkait tindak pidana korupsi yang nilai kerugian keuangan negara relative kecil perlu
dipertimbangkan untuk ditindaklanjuti, kecuali yang bersifat still going on (tindak pidana korupsi yang
dilakukan untuk terus-menerus atau berkelanjutan). Akan tetapi, Surat Edaran ini menimbulkan polemik
berkepanjangan karena dianggap kontradiktif dengan ketentuan Pasal 4 UU Tipikor yang menyebutkan
pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidananya
pelaku pidana.

Hakikat pendekatan keadilan restorative (restorative justice approach) senyatanya berbeda


dengan dimensi peradilan restorative. Eriyantouw Wahid menyebutkan bahwa dewasa ini, di beberapa
negara maju, keadilan restorative (restorative justice) bukan sekedar wacana para akademisi dan
praktisi hukum pidana dan kriminologi. Di Amerika Utara, Australia, dan sebagian Eropa, keadilan
restorative sudah diterapkan pada semua tahap proses peradilan pidana yang konvensional, yaitu tahap
penyidikan dan penuntutan, tahap ajudikasi dan tahap eksekusi pemenjaraan. Oleh karena itu, keadilan
restorative adalah sebuah konsep pemikiran yang merespons pengembangan sistem peradilan pidana
dengan menitik beratkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasakan tersisihkan
dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.

Dalam praktik peradilan Amerika Serikat dan China sudah mempertimbangkan penerapan cara-
cara efektif dan efisien dalam menangani perkara tindak pidana korupsi. Polarisasi pemikiran Budi
Suharyanto menyebutkan bahwa sudah sepatutnya pemerintah Indonesia mulai melakukan evaluasi
khusus terhadap ketentuan Pasal 4 UU Tipikor dengan cara mengharmonisasikan prinsip-prinsip yang
ada pada KAK 2003/UNCAC 2003 sehingga restorative justice dapat diterapkan. Salah satu tujuan utama
pemberantasan korupsi adalah pengembalian kerugian keuangan negara dan menyelamatkan aset
negara, Sehingga asset-aset tersebut selanjutnya dapat digunakan modal oleh pemerintah untuk
meningkatka pembangunan nasional berkontribusi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bagi
Indonesia, pendekatan restorative justice dalam perkara pidana sudah diakomodasi dalam hal sistem
peradilan pidana anak. Akan tetapi, untuk perkara korupsi tidak dapat digunakan pendekatan
restorative justice karena korbannya massif (rakyat) dan berbentuk kepentingan negara. Selain itu,
ketentuan Pasal 4 UU Tipikor juga tidak memungkinkan dilakukan restorative justice karena
pengembalian kerugian akibat tindak pidana ditegaskan tidak dapat menghapus dipidananya pelaku.
Buku : Model Ideal Pengembalian Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi. Hal 57-59p

MODEL IDEAL PENGEMBALIAN ASET PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

Rekonstruksi Regulasi Terkait Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan


Pembuatan Regulasi Undang-Undang Pengembalian Aset Pelaku Tindak Pidana
Korupsi.

Dikaji dari makna leksikal dan garamatikal kata rekonstruksi mempunyai pengertian
pengembalian seperti semula atau penyusunan (penggambaran) kembali. Bryan A. Garner
menyebutkan bahwa, “reconstruction is the act or process of rebuilding, recreating, or reorganizing
something”, sehingga rekonstruksi di sini dimaknai sebagai proses membangun kembali atau
menciptakan kembali atau melakukan pengorganisasian kembali atas sesuatu. Andi Hamzah
berpendapat bahwa rekonstruksi berasal dari kata reconctrucction yang diberi pengertian
penyusunan kembali atau menata ulang dan dapat pula diberi pengertian penyusunan kembali atau
menata ulang dan dapat pula diberi pengertian reorganisasi. Abu Husain bin Faris bin Zakaria
menyatakan makna rekonstruksi dapat di pahami dengan pembaruan atau reaktualisasi. Aspek dan
dimensi ini memiliki tiga kandungan makna, yaitu :

a. Merekonstruksi atau memperbarui dengan hal yang sudah pernah ada sebelumnya
(menghidupkan kembali).
b. Merekonstruksi atau memperbarui sesuatu yang sudah kedaluwarsa (tambal sulam)
c. Merekonstruksi atau memperbarui dengan bentuk yang baru sama sekali/kreasi-inovatif.

Model ideal rekonstruksi regulasi terkait keberadaan UU Tipikor berarti memperbaharui


pengaturan yang sudah ada sebelumnya sehingga menjadi harmonis dengan KAK 2003/UNCAC
2003. Kemudian membuat regulasi berarti adanya regulasi baru dalam wujud UU Pengembalian
Aset yang belum pernah ada dan dibuat sebelumnya dalam kebijakan legilasi Indonesia.

Memperbarui pengaturan UU Tipikor dengan KAK 2003/UNCAC 2003 serta regulasi baru UU
Pengembalian Aset hendaknya harus sesuai landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Landasan Filosofis
berarti peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang
meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunya
landasan filosofis, apabila rumusan atau norma-normanya mendapatkan kebenaran, dikaji secara
filosofis. Jadi, mempunyai alasan yang dapat dibenarkan apabila dipikirkan secara mendalam, khususnya
filsafat terhadap pandangan hidup suatu bangsa yang berisi nilai-nilai moral dan etika dari bangsa
tersebut. Secara universal harus didasarkan pada peradaban, cita-cita kemanusiaan dalam pergaulan
hidup masyarakat. Sesuai pula dengan cita-cita kebenaran, cita-cita keadilan dan cita-cita kesusilaan.

Landasan sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk memenuhi kebutuhan


masyarakat dalam berbagai aspek. Suatu perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan
sosiologis (sociologische grondslag, sociologische gelding), apabila ketentuan-ketentuan sesuai dengan
keyakinan umum atau kesadaran masyarakat. Hal ini penting agar peraturan perundang-undangan yang
dibuat ditaati oleh masyarakat dan tidak menjadi huruf-huruf mati belaka. Atas dasar pertimbangan
sosiologis diharapkan suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat akan diterima masyarakat
secara wajar sehingga memiliki daya berlaku efektif dan tidak begitu banyak memerlukan pengakuan
(anmaker nungstheorie) ditegaskan bahwa kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan dari
masyarakat tempat hukum itu berlaku. Tegasnya bahwa dimensi sosiologis mencerminkan produk
hukum yang ditetapkan telah sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat.

Landasan yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi


permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah
ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Dalam konteks tindak pidana korupsi terdapat norma yang telah diratifikasi akan tetapi
belum diatur di dalam hukym positif (ius constitutum/ius operatum) yaitu UU Tipikor sehingga norma
tersebut untuk berlaku harus dibuat dalam bentuk harmonisasi kebijakan legislasi. Selain itu pula perlu
dibuatkan regulasi baru tentang UU Pengembalian Aset. Apabila dijabarkan pengembalian asset pelaku
tindakan pidana korupsi penting dikembalikan kepada negara karena sudah semestinya negara,
masyarakat atau pihak ketiga sebagai korban untuk mengambil asetnya dan merupakan sebuah
kewajiban yuridis pula pelaku tindak pidana korupsi untuk mengembalikan apa yang bukan merupakan
hak pelaku tindak pidana korupsi sehingga negara, masyarakat atau pihak ketiga tidak mengalami
kerugian. Hal ini identic dengan doktrin crime does not pay yaitu bahwa seseorang pelanggar hukum
tidak boleh mendapatkan keuntungan dari tindakan melanggar hukum yang dilakukannya, sehingga
setiap keuntungan atau asset yang diperoleh dari pelanggaran hukum dapat dijadikan objek perampasan
aset.

Gagasan mengenal pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi tidak semata-mata untuk
memiskinkan para koruptor sehingga mereka menderita, tetapi pengembalian asset hasil korupsi juga
bertujuan sebagai tindakan preventif atau pencegahan terhadap perbuatan tindak pidana korupsi.
Dampak preventif pertama, terjadi pada tidak adanya asset-aset yang dikuasai para pelaku kejahatan
sehingga para pelaku kehilangan sumber daya untuk melakukan kejahatan-kejahatan lainnya. Kedua,
dengan menyerang langsung ke motif kejahatan para pelaku, maka tidak lagi ada peluang atau harapan
untuk menikmati asset-aset hasil kejahatan itu ditiadakan, setidak-tidaknya dapat diperkecil.
Pengembalian asset itu menghilangkan tujuan tujuang yang merupakan motif kejahatan dilakukan oleh
pelaku kejahatan. Ketiadaan peluan mencapai tujuan itu dapat menghilangkan tujuan yang mendorong
orang melakukan kejahatan. Ketiga, dengan pengembalian asset itu pesan yang kuat dapat diberikan
kepada masyarakat luas bahwa tidak ada tempat yang aman di dunia ini bagi para pelaku kejahatan
untuk menyembunyikan hasil kejahatannya, sekaligus memberikan pesan yang kuat pula bahwa tidak
ada seorang pun yang dapat menikmati asset-aset hasil kejahatan sebagaimana doktrin “crime does not
pay”. Hal-hal ini akan mampu memperlemah keinginan warga masyarakat, khususnya para pelaku
potensial, untuk melakukan kejahatan.
Buku : Model Ideal Pengembalian Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi. Hal 199-201

Romli Atmasasmita lebih lanjut berasumsi masalah hukum dari dua ketentuan ini adalah,
bagaimana secara teknis hukum dalam pembuktian membedakan antara penyalahgunakan pengaruh
dan tidak menjalankan tugas dan kewajibannya. Sekalipun ketentuan tersebut bersifat mandatory
(“shall consider”), akan tetapi harus dicermati dan dikaji secara teliti merumuskan unsur-unsur tindak
pidananya.

Kemudian, diperlukan pula harmonisasi dalam norma legislasi UU Tipikor. Misalnya, ketentuan
Pasal 4 UU Tipikor dari status hukum juga telah menimbulkan “kekhawatiran” dan bahkan dari sudut
nalar “common sence” tidak dapat diterima (not accepted). Romli Atmasasmita menyatakan bahwa,
“Dari sudut filosofis hukum, ketentuan tersebut merupakan bentuk ketidakadilan dan ketidakmanfaatan
baik bagi pelaku maupun negara. Hal ini terjadi karena alih-alih uang negara dapat secara maksimal
diselamatkan, uang negara telah dilarikan dan ditempatkan dinegara lain (buron) sehingga negara tidak
dapat memaksimalkan tujuan pembentukan UU a quo semula yaitu menyelamatkan secara maksimal
pengembalian negara. Selain dari aspek status hukum penyelenggara negara juga dari sudut aspek
harmonisasi peraturan perundang-undangan, UU a quo sekalipun telah berupaya untuk memisahkan
secara tegas, ketentuan yang mengandung aspek hukum (pidana) administrative dan ketentuan yang
mengandung aspek hukum pidana khusus, tidak berpengaruh dalam praktik penerapan hukum.
Ketentuan Pasal 14 UU Tipikor 1999/2001, yang menyatakan bahwa (secara a contrario), “jika dalam
ketentuan perundang-undangan lain tidak dinyatakan secara tegas bahwa pelanggaran atas ketentuan
tersebut merupakan tindak pidana korupsi, maka ketentuan sanksi di dalam perundangan lain yang
diberlakukan adalah ketentuan sanksi dalam UU tersebut, bukan ketentuan sanksi dalam UU Tipikor”.
“Penerapan hukum atas ketentuan ini dalam praktik tidak efektif sama sekali karena minimnya
sosialisasi kepada aparatur hukum atau mungkin ketentuan tersebut telah diketahui dan dipahami akan
tetapi diabaikan dengan pertimbangan praktis, antara lain ketentuan tersebut tidak memberi
“keuntungan”, baik bagi aparatur hukum termasuk penasihat hukum maupun pelakunya atau pihak lain
yang “diuntungkan” dengan penetapan tersangka terhadap pihak lainnya.

Pembuatan regulasi baru berupa UU Pengembalian Aset perlu dilakukan dan direalisas. Pada
dasarnya, kebijakan pengembalian asset sebenarnya juga merupakan upaya preventif atau pencegahan
tindak pidana korupsi. Pengembalian asset dipandang sebagai upaya preventif tindak pidana korupsi
karena pertama, terjadi pada adanya asset-aset yang dikuasai para pelaku kejahatan sehingga para
pelaku kehilangan sumber daya untuk melakukan kejahatan-kejahatan lainnya. Kedua, dengan
menyerang langsung ke motif kejahatan pada pelaku korupsi, maka tidak ada lagi peluang untuk
menikmati hasil dari tindakan pidana itu ditiadakan, setidaknya diminimalisasi. Pengembalian asset itu
menghilangkan tujuan yang merupakan motif tindak pidana. Ketiadaan peluang mencapai tujuan itu
menghilangkan motif yang mendorong orang melakukan kejahatan. Ketiga, dengan mengembalikan
asset ini pesan yang kuat dapat diberikan kepada masyarakat luas bahwa tidak ada tempat yang aman di
dunia bagi pelaku tindak pidana untuk menyembunyikan hasil tindak pidananya, sekaligus memberi
pesan yang kuat bahwa tidak ada seorangpun yang dapat menikmati asset hasil tindak pidana
sebagaimana doktrin “crime does’t pay”. Hal-hal ini menurunkan keinginan masyarakat, khususnya para
pelaku potensial untuk melakukan kejahatan.

Urgensi kehadiran UU Pengembalian Aset penting eksistensinya. Agustinus Pohan, dkk. Dalam
konteks Indonesia menyebutkan ada 6 (enam) hal yang menjadi dasar urgensitas pengaturan
pengembalian asset. Pertama, indeks persepsi korupsi di Indonesia cukup mencengangkan dalam
beberapa tahun terakhir ini dan hanya bisa disamai oleh Meksiko. Sudah barang tentu uang yang di
korup sebagian besar tidak berputar di Indonesia tetapi dilarikan ke luar negeri.

Kedua, Indonesia telah meratifikasi UNCAC dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 yang
mana asset recovery merupakan salah satu prinsip dasar dari konvensi tersebut. Konsekuensi lebih
lanjut Indonesia harus segera menghasilkan sejumlah undang-undang termasuk Undang-Undang
Pengembalian Aset untuk disesuaikan dengan konvensi tersebut.

Ketiga, Indonesia telah mengatur mutual legal assistance dengan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2006 yang mana salah satu prinsip dasarnya adalah asas resiprokal. Jika Indonesia menginginkan
asetnya yang telah dicuri dan dibawa keluar negeri dikembalikan, maka Indonesia pun harus mempunyai
pengaturan yang jelas mengenai pengembalian asset yang juga menjamin pengembalian asset dari
negara lain yang disimpan di Indonesia.

Keempat, Indonesia berperan aktif dalam stole asset recovery (StAR) initiative yang mana
dibutuhkan kerja sama internasional, baik bilateral, maupun multilateral dalam rangka pengembalian
asset tersebut. Keberadaan undang-undang pengembalian asset berdasarkan sejumlah instrument
hukum internasional Maupin hukum nasional yang ada merupaka suatu keniscayaan yang harus segera
dibentuk sebagai bagian dari pada Undang-Undang antikorupsi.

Kelima, banyak kejahatan yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini
menimbulkan kerugian yang besar bagi keuangan negara termasuk kejahatan-kejahatan yang
menghasilkan asset yang cukup besar. Kejahatan-kejahatan yang asetnya menjadi ruang lingkup
pengembalian asset adalah korupsi, pencucian uang, terorisme, perdagangan orang, penyelundupan
senjata, narkotika, psikotropika, baik kekayaan intelektual, kepabeanan dan cukai, kehutanan serta
perikanan.
Keenam, pengembalian asset merupakan salah satu “missing link” dalam upaya pemberantasan
korupsi di Indonesia. Rumusan dan Implementasi yang efektif tentang pengembalian asset hasil korupsi
memiliki makna ganda bagi pemberantasan kejahatan korupsi di Indonesia. Pertama, implementasi yang
efektif atas ketentuan tentang pengembalian tersebut akan membantu negara dalam upaya
menanggulangi dampak buruk dari kejahatan korupsi. Kedua, adanya legislasi yang memuat klausula
tentang pengembalian asset hasil kejahatan korupsi merupakan pesan jelas bagi para pelaku korupsi
bahwa tidak ada lagi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil kejahatan korupsi (no safe
haven), baik harta kekayaan Indonesia yang dilarikan ke luar negeri maupun harta kekayaan luar negeri
yang ada di Indonesia.

Marfuatul Latifah menyebutkan pentingnya keberadaan Undang-Undang tentang Pengembalian


Aset dapat dilihat dari faktor posisi Indonesia selaku negara peratifikasi UNCAC, faktor
perkembangan jenis tindak pidana yang tersedia belum memadai. Dari faktor posisi Indonesia
selaku negara peratifikasi UNCAC, sehingga pemerintah Indonesia harus menyesuaikan
ketentuan perundang-undangan yang ada dengan ketentuan-ketentuan dalam konvensi karena
hal tersebut merupakan konsekuensi ratifikasi. Dari sisi faktor perkembangan jenis tindak pidana
yang menimbulkan kerugian secara ekonomi mencerminkan kebutuhan Indonesia terhadap
pembentukan undang-undang perampasan asset. Kemajuan teknologi menciptakan kemudahan
bagi para pelaku untuk menjalankan tindak pidana dan menyembunyikan hasil tindak pidana
tersebut dengan metode yang lebih mudah. Hal ini kemudian harus diatasi dengan adanya
ketentuan hukum yang sesuai dengan keadaan saat ini dan masa yang akan datang sehingga
upaya pemberantasan asset dapat mencapai hasil yang maksimal. Dari faktor mekanisme yang
tersedia belum memadai, pembentukan undang-undang perampasan asset diharapkan akan
menggunakan mekanisme yang terdapat dalam UNCAC sehingga perampasan asset di Indonesia
akan berjalan dengan efektif.

Romli Atmasasmita menyebutkan 6 (enam) urgensi yang sangat penting dan mendesak
kehadiran RUU Perampasan Aset (PA). Pertama, pengalaman pahit dalam hal pengembalian
kerugian negara selama 30 (Tiga Puluh) tahun lebih tidak memberikan kontribusi signifikan
terhadap kas negara. Kedua, keadaan APBN yang masih sangat terbatas untuk membiayai
kegiatan Operasional penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi menimbulkan
hambatan sehingga gerak langkah penegakan hukum tidak maksimal. Ketiga, gerakan
pemberantasan korupsi internasional yang dipelopori Bank Dunia dan UNODC, “StAR Initiative”
dengan mengacu kepada Konvensi PBB Anti Korupsi (KAK PBB) juga telah mengisyaratkan agar
masalah pengembalian asset hasil kehatan terutama untuk tujuan peningakatn kesejahteraan
masyarakat khususnya mengatasi kemiskinan global, Merupakan prioritas utama yang tidak
boleh diabaikan.

Keempat, perangkat hukum yang berlaku di Indonesia saat ini belum mampu secara
maksimal mengatur dan menampung kegiatan-kegiatan dalam rangka pengembalian asset hasil
korupsi dan kejahatan di bidang keuangan dan perbankan pada umumnya. Ketentuan
perundang-undangan KUHAP dan UU Pemasyarakatan yang mengatur tentang Rumah
Penyimpanan Benda Sitaan (Rupbasan) tidak khusus ditujukan kecuali untuk mengatur
pemulihan asset/pengembalian asset hasil kejahatan kecuali untuk penyimpanan benda-benda
sitaan Negara akibat putusan pengadilan melalui proses penuntutan pidana. Adapun RUU PA
justru akan mengatur juga asset-aset hasil kejahatan baik yang dirampas sementara maupun
yang disiti setelah memperoleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, atau asset yang berhasil dikembalikan melalui gugatan keperdataan yang dilakukan oleh
pihak pemerintah. Selain itu, RUU PA diharapkan dapat mengatur pengelolaan asset hasil
kejahatan seefesien dan seefektif mungkin baik unruk kepentingan pelaksanaan operasional
penegakan hukum maupun untuk mengisi kas negara. Bahkan merujuk kepada KAK
2003/UNCAC 2003, kepentingan pihak ketiga yang beritikad baik dan dirugikan karena tindak
pidana korupsi, dapat mengajukan tuntutan ganti rugi/klaim atas sebagian dari asset yang telah
disita dan ditampung dalam lembaga pengelola asset berdasarkan RUU PA. untuk tujuan ini
memang diperlukan lembaga khusus dan tersendiri untuk mengelola asset hasil kejahatan
termasuk korupsi, bersifat independen, dikelola secara transparan dan bertanggung jawab serta
professional. Ketentuan tentang Rupbasan yang berada dalam lingkup UU Pemasyarakatan
masih jauh dari memadai untuk tujuan sebagaimana disampaikan diatas; apalagi kepercayaan
akan kredibilitas pemasyarakatan dalam mengelola tugas pokoknya masih jauh dari harapan
masyarakat luas.

Kelima, RUU Perampasan Aset sangat relevan dengan maksud dan tujuan pengembalian
asset hasil kejahatan. Bahkan RUU PA harus diperluas lingkup dan objek pengaturannya,
termasuk asset-aset kejahatan yang dapat dikembalikan tidak saja melalui tuntutan pidana,
melainkan juga asset yang dapat dikembalikan melalui gugatan perdata yang dilakukan oleh
pemerintah atas asset seorang tersangka/terdakwa yang ditempatkan di negara lain.

Keenam, pengalaman pengembalian asset hasil korupsi dalam kasus marcos (Filipina),
Sani Abacha (Nigeria), dan Fujimori (Peru) telah terbukti bahwa, proses pengembalian asset
tersebut tidak semudah apa yang telah dituliskan di dalam KAK 2003/UNCAC 2003. Bahkan
dalam beberapa hal proses pengembalian asset tersebut tidak serta berjalan mulus karena
masih ada beberapa persyaratan khusus (conditional recovery) yang diminta oleh negara yang
diminta (requested state) dan harus dipenuhi oleh negara peminta (requesting state), antaralain,
negara peminta harus dapat membuktikan bahwa asset-aset yang disimpan dinegara yang
diminta adalah benar asset hasil kejahatan dan dimiliki oleh tersangka/terdakwa untuk mana
asetnya dituntut untuk dikembalikan ke negara peminta; negara peminta harus membuktikan
bahwa proses pradilan terhadap tersangka/terdakwa untuk mana asetnya hendak ditarik
kembali ke negara asalnya telah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip umum internasional
mengenai “fair trial” dan “due process of law”. Masih banyak persyaratan-persyaratan lainnya
uang dituntut oleh negara yang diminta, antara lain, dalam kasus Filipina, harta kekayaan
mantan Presiden Marcos, tidak langsung dikembalikan ke Filipina melainkan harus ditempatkan
di suatu “escrow account” bank di Swiss. Pencarian dan Pengembalian harta dimaksud hanya
atas perintah Pengadilan Filipina yang benar fair dan independen. Untuk kasus Nigeria,
pengembalian harta kekayaan Sani Abacha harus disertai jaminan bahwa, penggunaan harta
kekayaan dimaksud untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat Nigeria bahkan
sebagian digunakan untuk membayar utang-utang luar negeri negara yang bersangkutan.

Pada asasnya, konklusi dasar perlu dikemukakan dalam konteks ini bahwa memang
diperlukan kehadiran UU Pengembalian Aset Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan yang ada, baik
dalam KUHP, KUHAP, dan UU Tipikor relative kurang memadai dan belum dapat dijadikan
landasan agar pengembalian asset menjadi efektif.

Buku : Model Ideal Pengembalian Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi. Hal 202-209

Anda mungkin juga menyukai