EKONOMI
(PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE
MENURUT ASAS DUE PROCCES OF LAW
DALAM KASUS TINDAK PIDANA RINGAN DI
INDONESIA)
Abstrak
Lahirnya gagasan tentang konsep Restorative Justice dalam
tindak pidana ringan sebagai bentuk penyelesaian alternatif yang
dilakukan melalui diskresi (kebijaksanaan) dan alternatif ini
merupakan upaya pengalihan dari proses peradilan pidana keluar
proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Tujuannya
untuk membentuk kepastian hukum dengan cara-cara humanis
yang dilakukan oleh institusi khususnya Kejaksaan RI
diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dan
dunia terhadap negara, pemerintah serta sistem penegakan
hukum di Indonesia. Dalam penelitian ini adalah terkait
Bagaimanakah Penerapan Restorative Justice Dalam
Penegakkan Tindak Pidana Ringan di Indonesia untuk mencapai
Kepastian Hukum yang humanis untuk terwujudnya pemulihan
ekonomi bagi Negara Republik Indonesia. Metode penelitian
yang penulis gunakan adalah Yuridis Normatif. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan, diperoleh jawaban bahwa dengan
adanya Restorative Justice maka akan terciptanya Kepastian
Hukum yang Humanis untuk terwujudnya pemulihan ekonomi
berdasarkan asas Due Process Of Law.
Kata Kunci : Kepastian Hukum, Restorative Justice, Due
Process Of Law
1
A. Pendahuluan
Kedilan restoratif bukanlah suatu yang asing dan
baru, karena keadilan ini telah dikenal dalam hukum
tradisional yang hidup dalam masyarakat. Dalam wacana
tradisional, keadilan restoratif pada dasarnya merupakan
model pendekatan dalam sistem peradilan pidana yang
dominan pada masyarakat adat diberbagai belahan dunia yang
hingga kini masih berjalan. Keadilan ini menjadi suatu yang
baru karena dalam kenyataannya justru masyarakat modern
kembali mempertanyakan bagaimana sistem peradilan pidana
tradisional dapat digunakan kembali dalam menangani tindak
pidana yang sangat berkembang pada masa sekarang.
1
Bambang Waluyo, Penyelesaian Perkara Pidana : Penerapan Keadilan Restorative dan
Transformatif, Cet 1, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2020), hlm. 72
2
Jika dihubungkan bahwa dalam hal aparat penegak
hukum baik Polisi, Jaksa atau Hakim sebagai struktur hukum
dihadapkan suatu permasalahan kelemahan atau ketidak
lengkapan suatu substansi hukum, pada hakikatnya di sinilah
makna sesungguhnya dari fungsi aparat penegak hukum. Para
aparat penegak hukum secara bersama-sama diharapkan
mampu memberikan ruh dengan mengembalikan pada dasar
filosofis dan tujuan dibentuknya suatu subtansi hukum, atau
bahkan melakukan inovasi dan terobosan hukum yang
berorienatasi pada nilai-nilai yang terkandung dalam
masyarakat.2
2
Sri Mulyani, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan
Menurut Undang-Undang Dalam Perspektif Restoratif Justice, Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-
LIPI/04/2016, Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan
HAM RI, hlm. 342
3
hukum.3
3
Bambang Waluyo, Masalah Tindak Pidana dan Upaya Penegakan Hukum, Cetakan Pertama,
(Jakarta: Sumber Ilmu Mulya, 2006), hlm. 62
4
Ibid, hlm. 61-62
4
B. Metode Penelitian
5
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Edisi 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
hlm.13.
6
H.Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.105-106
5
C. Pembahasan
7
Eddy. O. S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga, 2012), hlm. 30
6
Hak untuk memperoleh bantuan hukum; hak kehadiran
terdakwa di muka pengadilan; peradilan yang bebas, dan
dilakukan dengan cepat dan sederhana: peradilan yang
terbuka untuk umum; pelanggaran atas hak-hak warganegara
(penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan)
harus dilakukan berdasarkan undang-undang dan dilakukan
dengan surat perintah (tertulis); hak Tersangka untuk
diberitahu tentang persyaratan dan pendakwaan terhadapnya;
kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan
putusannya.
Berdasarkan kesepuluh asas tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa KUHAP menganut prinsip “Due Process
Of Law” dimana proses hukum yang fair bagi tersangka
yaitu hak seorang Tersangka dan terdakwa untuk didengar
tentang pandangannya tentang bagaimana peristiwa
kejahatan itu terjadi, dalam pemeriksaan terhadapnya dia
berhak didampingi oleh penasihat hukum, diapun berhak
mengajukan pembelaan dan penuntut umum harus
membuktikan kesalahnnya dimuka pengadilan yang bebas
dan dengan hakim yang tidak berpihak.
Dengan adanya prinsip “Due Process Of Law” maka
harus di dukung dengan adanya Kepastian Hukum.
Kepastian Hukum pada dasarnya dalam kehidupan
bermasyarakat selalu adanya aturan yang baik itu tertulis
ataupun tidak tertulis dalam hal ini berwujud kebiasaan.
Kepastian merupakan suatu perihal keadaan yang pasti,
ketentuan atau ketetapan. Dalam hal ini hukum secara hakiki
harus pasti dan adil. Dalam hal umum aturan tertulis
diwujudkan dalam bentuk undang-undang. Undang-undang
tersebut tersebut berisikan aturan-aturan yang bersifat umum
menjadi pedoman bagi setiap individu dalam menjalankan
tingkah laku dalam berkehidupan di masyarakat, baik dalam
7
hubungan sesama individu maupun dengan hubungan
sesama masyarakat pada umumnya. Kemudian aturan-aturan
tersebut menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani
atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan
dan pelaksanaan tersebut akan menimbulkan suatu kepastian
hukum.8
Dengan adanya kepastian hukum tersebut maka akan
lahir suatu konsep yaitu Restorative Justice. Restorative
Justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan restorasi,
merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era
tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana.
Berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem
peradilan pidana konvensional, pendekatan ini
menitikberatkan adanya partisipasi langsung dari pelaku,
korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara
pidana. Liebmann secara sederhana mengartikan restorative
justice sebagai suatu sistem hukum yang “bertujuan untuk
mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku dan
masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah
pelanggaran atau tindakan kejahatan lebih lanjut.”
Liebmann juga memberikan rumusan prinsip dasar
restorative justice sebagai berikut: 9
a. Memprioritaskan dukungan dan penyembuhan korban.
b. Pelaku pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang
mereka lakukan.
c. Dialog antara korban dengan pelaku untuk mencapai
pemahaman.
d. Ada upaya untuk meletakkan secara benar kerugian
yang ditimbulkan.
8
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Revisi, Cetakan ke-2, (Jakarta:
Kencana, 2008), hlm. 158
9
Marian Liebmann, Restorative Justice, How it Work, (London and Philadelphia: Jessica
Kingsley Publishers, 2007), hlm. 25.
8
e. Pelaku pelanggar harus sadar tentang bagaimana cara
menghindari kejahatan di masa depan.
f. Masyarakat turut membantu dalam mengintegrasikan
dua belah pihak, baik korban maupun pelaku.
Sehingga MA telah mengeluarkan Peraturan MA
(PERMA) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian
Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam
KUHP, yang melarang penahanan terhadap pelaku kasus
pencurian ringan dengan nilai dibawah Rp. 2.500.000.
Kemudian dalam kasus yang terjadi pendekatan Restorative
Justice ini telah diatur dalam Keputusan Badan Peradilan
Umum Nomor 1691/DJU/SK.00/12/2020 tentang Penerapan
Restorative Justice dan Peraturan Kejaksaan Republik
Indonesia, Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian
Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
9
Oleh karena itu kepastian hukum ini sudah diterapkan
khususnya dalam Peraturan Jaksa Agung No. 15 Tahun
2020 tersebut adanya Tata Cara Perdamaian yaitu :
Perdamaian antara korban dan tersangka dilakukan dengan
menerapkan berikut :
• Penuntut Umum Akan memanggil korban
untuk melakukan proses perdamaian. Jika
diperlukan, perdamaian dapat melibatkan
keluarga korban/tersangka atau pihak lain.
Pemanggilan
Korban (Pasal 8 {1-2}).
• Jika perdamaian diterima oleh baik korban
dan juga tersangka, maka proses perdamaian
akan dilakukan. (Pasal 8 {4}).
10
Kejaksaan ada Restorative Justice. Restorative Justice
ini juga merupakan kepastian hukum, karena perkara
itu tetap diselesaikan walaupun tidak melalui
persidangan.
11
penegaknya berwatak buruk maka hasilnya akan buruk
pula (A. Hamzah, 1958). Menegaskan hal ini, telah di
tetapkan salah satu misi bangsa Indonesia adalah
“Perwujudan aparatur Negara yang berfungsi melayani
masyarakat, professional, berdayaguna, produktif,
transparan, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme
(GBHN 1999-2004)”. Misi demikian tentu tetap relavan,
dan tergantung kita dalam menerapkannya.12
Dengan demikian perlu adanya peningkatan
koordinasi antara Pemerintah, Aparat Penegak Hukum,
dan peran dari masyarakat yang nantinya diharapkan
dapat memberikan kepastian hukum yang berkeadilan
sekaligus mendorong percepatan pengambilan putusan
hukum bagi dunia usaha. Sehingga akan mempercepat
proses pemulihan ekonomi nasional. Khususnya dalam
pemulihan ekonomi dalam penerapan Restorative
Justice itu dari segi Korban dan Tersangka. Karena
mereka tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk
menyelesaikan masalah mereka secara tidak langsung
dapat memulihkan ekonomi mereka yang berdampak
pada pemulihan ekonomi Nasional bagi Negera
Republik Indonesia.
D. Penutup
Kesimpulan
Penerapan asas due process of law merupakan
seperangkat prosedur yang mewajibkan hukum memiliki
standar beracara yang berlaku bagi negara yang
menjunjung tinggi hukum. Due process menitik
beratkan pada prosedur dan perlindungan terhadap
individu, disetiap proses dalam due process menguji dua
hal, yaitu: (a) apakah penutut umum telah
12
Ibid, hlm. 63
12
menghilangkan hak-hak yang dimiliki Tersangka dengan
prosedur yang tidak diatur didalam perundang-undangan,
(b) jika sudah sesuai dengan prosedur, apakah penerapan
prosedur sudah sesuai dengan due process. Dengan
adanya prinsip “Due Process Of Law” maka harus di
dukung dengan adanya Kepastian Hukum. Kepastian
Hukum pada dasarnya dalam kehidupan bermasyarakat
selalu adanya aturan yang baik itu tertulis ataupun tidak
tertulis dalam hal ini berwujud kebiasaan. Dengan
adanya kepastian hukum tersebut maka akan lahir suatu
konsep yaitu Restorative Justice. Restorative Justice atau
sering diterjemahkan sebagai keadilan restorasi,
pendekatan ini menitikberatkan adanya partisipasi
langsung dari pelaku, korban dan masyarakat dalam
proses penyelesaian perkara pidana. Liebmann secara
sederhana mengartikan restorative justice sebagai suatu
sistem hukum yang “bertujuan untuk mengembalikan
kesejahteraan korban, pelaku dan masyarakat yang rusak
oleh kejahatan, dan untuk mencegah pelanggaran atau
tindakan kejahatan lebih lanjut.” Sehingga adanya
Peraturan MA (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah
Denda Dalam KUHP. Dengan demikian Khususnya
kepastian hukum ini terkait Restorative Justice
melahirkan suatu Peraturan yaitu Peraturan Kejaksaan
(PERJA) No. 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian
Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Oleh karena itu perlu adanya peningkatan
koordinasi antara Pemerintah, Aparat Penegak Hukum,
dan peran dari masyarakat yang nantinya diharapkan
dapat memberikan kepastian hukum yang berkeadilan
sekaligus mendorong percepatan pengambilan putusan
13
hukum bagi dunia usaha. Sehingga akan mempercepat
proses pemulihan ekonomi nasional.
Saran
14
Daftar Pustaka
Peraturan Perundang-Undangan
Buku:
Ali, H.Zainuddin. 2009, Metode Penelitian Hukum,
Jakarta, Sinar Grafika.
Marian Liebmann, Marian. 2007, Restorative Justice,
How it Work, London and Philadelphia: Jessica
Kingsley Publishers.
Mahmud Marzuki, Peter. 2008, Pengantar Ilmu Hukum,
Edisi Revisi, Cetakan ke-2, Jakarta, Kencana.
O. S. Hiariej, Eddy. 2012, Teori dan Hukum
Pembuktian, Jakarta, Erlangga.
Waluyo, Bambang. 2006, Masalah Tindak Pidana dan
Upaya Penegakan Hukum, Cetakan Pertama,
Jakarta, Sumber Ilmu Mulya.
------------------------. 2008, Penelitian Hukum Dalam
Praktek, Edisi 1, Jakarta, Sinar Grafika.
------------------------. 2020, Penyelesaian Perkara
Pidana : Penerapan Keadilan Restorative dan
Transformatif, Cet 1, Jakarta, Sinar Grafika Offset.
Karya Ilmiah:
Mulyani, Sri. Jurnal Penelitian Hukum De Jure,
Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan
Menurut Undang-Undang Dalam Perspektif
Restoratif Justice, Akreditasi LIPI:
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016, Peneliti Badan
Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Kementerian Hukum dan HAM RI.
15
16