Anda di halaman 1dari 102

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA

MAKAR PEOPLE POWER DALAM PEMILU 2019

Nama : Fajar Prasetyo Abadi


NIM : 1610611238

FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM


UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
MAKAR PEOPLE POWER DALAM PEMILU 2019

SKRIPSI

FAJAR PRASETYO ABADI


1610611238

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA


FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI HUKUM
PROGRAM SARJANA S1 ILMU HUKUM
2020
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
MAKAR PEOPLE POWER DALAM PEMILU 2019

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum

FAJAR PRASETYO ABADI


1610611238

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA


FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI HUKUM
PROGRAM SARJANA S1 ILMU HUKUM
2020

i
ii
iii
iv
v
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
MAKAR PEOPLE POWER DALAM PEMILU 2019

Fajar Prasetyo Abadi

ABSTRAK

Tindak Pidana Makar merupakan suatu delik atau tindak pidana yang terdapat di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menurut arti harfiah adalah
penyerangan atau serangan. Istilah aanslag terdapat dalam KUHP yakni pasal-
pasal 87, 104, 105, 106, 107, 130, 139a, 139b, 140. (Pasal 105 dan 130 dianggap
tidak berlaku berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946). Pengertian Makar secara
eksplisit diatur dalam Pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Makar suatu perbuatan dianggap ada, apabila niat si pembuat kejahatan sudah
ternayata dengan dimulainya melakukan perbuatan itu menurut Pasal 53”.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah terkait adanya pihak yang menyerukan
aksi untuk melakukan Gerakan People Power terhadap hasil Pemilu 2019 yang
dapat dikatakan sebagai Tindak Pidana Makar yang disebabkan karena adanya
kecurangan dalam Pemilu 2019. Ditambah sedikit dengan adanya hoaks dan
menghasut untuk mengajak masyarakat melakukan Gerakan People Power
melalui penyebaran yang tidak tentu benar adanya atau berlebihan. Metode
penelitian yang penulis gunakan adalah Yuridis Normatif, ditambah dengan
wawancara pihak terkait. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh
jawaban bahwa dalam menyerukan untuk melakukan Gerakan People Power
dalam Pemilu 2019 yang berupa Inskontitusional dapat melanggar ketentuan Pasal
di Undang-Undang terkait serta dalam KUHP, serta dapat mengetahui bagaimana
pengaturan dari Tindak Pidana Makar tersebut.

Kata Kunci : Makar, People Power, Pemilu 2019

vi
JURIDICAL REVIEW OF THE PERPETRATORS OF THE CRIME OF
TREASON PEOPLE POWER IN THE 2019 ELECTION

Fajar prasetyo Abadi

ABSTRACT

Crimes Makar is a crime or a crime contained in the Criminal Code which,


according to the literal meaning is an attack or attack. The term aanslag is
contained in the Criminal Code, articles 87, 104, 105, 106, 107, 130, 139a, 139b,
140. (Articles 105 and 130 are considered not applicable under Law No. 1 of
1946). The definition of Makar is explicitly regulated in Article 87 of the Criminal
Code (KUHP). "The treason of an act is deemed to exist, if the intention of the
criminal creator is established by commencing the act according to Article 53".
The problem in this research is related to the party calling for action to carry out
the People Power Movement against the results of the 2019 Election which can be
said to be a Criminal Offense caused by cheating in the 2019 Election. A little
added with the existence of hoaks and incitement to invite the public to carry out
the People Power Movement through spread that is not necessarily true or
excessive. The research method that I use is Normative Juridical, coupled with
related party interviews. Based on the research conducted, the answer was
obtained that in calling for a People Power Movement in the 2019 Election which
was in the form of Constitutionalism, it could violate the provisions of the Articles
in the relevant Laws as well as in the Criminal Code, and be able to find out how
the regulation of the Criminal Act of Makar.

Keywords : Makar, People Pewer, 2019 Election

vii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2019 ini, dengan judul “Tinjauan Yuridis
Terhadap Pelaku Tindak Pidana Makar People Power Dalam Pemilu 2019”

Terima kasih penulis ucapkan kepada :


1. Orang Tua saya yaitu Bapak. Subakdi dan Ibu. Tatik Setyowati yang telah
memberikan doa, membimbing saya untuk menjadi anak yang baik, sholeh
dan menjadi anak yang sukses yang mampu berguna bagi bangsa.
2. Ibu Dr. Erna Hernawati, Ak, CPMA, CA. selaku Rektor Universitas
Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.
3. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.
4. Dr. Alfitra, S.H., M.H. selaku dosen Pembimbing Skripsi yang selalu
membimbing serta memberikan masukan-masukan maupun arahan untuk
menyelesaikan skripsi ini hingga terselesaikannya skripsi ini.
5. Prof. Dr. Bambang Waluyo, SH, MH dan Mulyadi, SH, MH selaku penguji
yang telah menguji penulis pada Sidang Skripsi ini.
6. POLDA METRO JAYA yang telah meberikan sumber informasi melalui
wawancara yang penulis lakukan untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jakarta, yang telah memberikan ilmu kepada penulis.
8. Weny Putri Amelia sebagai penyemangat dalam penyusunan skripsi ini karna
disaat penulis lelah dan mengeluh dialah yang mau mendengarkan keluh
kesah penulis terbaik banget:)
9. Farhan Taufiqul Hafidz (sifu), Runarianu Rachmat (kangkung), Tohpati Bimo
Brahmantyo (emon), Prasetyo Aji yang sudah saling menyemangati dan
berjuang bareng untuk menyelesaikan Skripsi ini.
10. Achmad Rifqi Adityo, Bima Qonittiawan Putra, Dion Sihombing, Hadi
Alhadar, Risyad Naraprastya alias Bang Kuy, Derie Septian dan teman teman
Lokal E 2016 lainnya yang sudah menjadi teman belajar, nongkrong, futsal

viii
bareng sejak semester 1 serta terima kasih sudah berbagi cerita, pengalaman,
dan kenangan-kenangan terindah selama menjalani kuliah di Fakultas Hukum
UPN Jakarta sukses terus ya kalian kedepannya.
11. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jakarta khususnya angkatan 2016 yang saling support, solid, dan
berjuang bareng dan bareng-bareng merasakan capeknya angkatan kita yang
penuh dengan cobaan serta lika-liku untuk bisa lulus dari Fakultas Hukum
yang sangat kita cintai ini.
12. Terakhir, terima kasih untuk si badak (nmax) yang selau setia dan kuat dijalan
menemani penulis setiap harinya dalam melakukan penyusunan skripsi ke
berbagai tempat.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
penyempurnaannya. Akhir kata penulis mendoakan semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan khususnya bagi sivitas akademika
Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.

Jakarta, 26 Januari 2019

Fajar Prasetyo Abadi

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
PERNYATAAN PERSETUJUAN SKRIPSI............................................... ii
PENGESAHAN SKRIPSI.............................................................................. iii
PERNYATAAN ORISINALITAS................................................................ iv
PERSETUJUAN PUBLIKASI...................................................................... v
ABSTRAK....................................................................................................... vi
ABSTRACT..................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR.................................................................................... viii
DAFTAR ISI................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1

I.1. Latar Belakang........................................................................ 1


I.2. Perumusan Masalah................................................................ 5
I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................... 6
I.4. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual............................. 7
I.5. Metode Penelitian................................................................... 12
I.6. Sistematika Penulisan............................................................. 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA MAKAR


II.1. Pengertian Tindak Pidana....................................................... 17
II.2. Pengertian Tindak Pidana Makar............................................ 27
II.3. Pengertian People Power........................................................ 32

BAB III KASUS PELAKU TINDAK PIDANA MAKAR PEOPLE POWER


DALAM PEMILU 2019 ................................................................ 36
III.1. Hasil Wawancara dan Kasus Posisi........................................ 36
III.2. Pasal Yang Dikenakan............................................................ 38

x
BAB IV HASIL PENULISAN TENTANG PELAKU TINDAK PIDANA
MAKAR PEOPLE POWER DALAM PEMILU 2019............. 41
IV.1. Pengaturan Ketentuan Tindak Pidana Makar Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana ......................................... 41
a. Pengaturan Tindak Pidana Makar ................................. 41
b. Unsur-Unsur Dalam Pasal Tentang Makar ................... 42
c. Pasal-Pasal Lain Yang Berhubungan Dengan Tindak Pidana
Makar ............................................................................ 51
IV.2. Tinjauan Yuridis Terhadap Gerakan People Power Dalam
Pemilu2019............................................................................ 55
a. Kejadian Serta Fenomena Kasus Gerakan People Power
dalam Pemilu 2019 ....................................................... 55
b. Pasal 53 KUHP Tentang Percobaan ............................. 56
c. Pembahasan Kasus ....................................................... 61

BAB V PENUTUP......................................................................................... 71
V.1. Kesimpulan........................................................................ 71
V.2. Saran................................................................................... 72

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 73


RIWAYAT HIDUP
BERITA ACARA SIDANG SKRIPSI
REVISI HASIL SIDANG KOMPREHENSIF/SKRIPSI
KARTU MONITORING BIMBINGAN SKRIPSI
DAFTAR LAMPIRAN

xi
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah


Dengan berjalannya kemajuan zaman yang hingga sekarang
semakin maju dan modern, maka akan semakin banyak permasalahan yang
akan timbul dalam suatu Negara. Bukan hanya dalam bentuk tindakan
yang nyata, tetapi melaui tindakan yang tak nyata pun dapat menjadi suatu
permasalahan baik itu menyangkut masyarakat umum yang
berkepentingan dan bagi pemerintah. Hal tersebut dikarenakan didasari
oleh semakin berkembangnya pola pikir setiap individu manusia, dari hal
tersebut sudah dapat dipastikan dapat menimbulkan pola pikir yang
memiliki suatu dampak sifat positif dan negatif bagi kehidupan sosial di
lingkungan masyarakat. Dari kedua dampak tersebut tidak mungkin untuk
bisa dihindari, pada hakikatnya dalam hal ini setiap individu memiliki
hasrat untuk memenuhi segala apa yang diinginkan dan melaksanakan apa
yang dikehendaki oleh dirinya. Sehingga pada akhirnya hasrat tersebut,
setiap individu akan lupa terhadap batas-batas kewajaran yang dapat
ditoleransi pada kehidupan sosial dan tidak bertentangan terhadap hal-hal
apa saja yang diatur oleh Pemerintah melalui Undang-Undang. Dalam hal
teserbut diakibatkan oleh terlaksananya serta proses dari kemajuan zaman
maupun perubahan cara berifikir bagi setiap individu pada zaman yang
semakin lama semakin maju seperti pada saat ini. Negara Indonesia adalah
Negara yang menganut demokrasi yang tunduk pada pada Hukum.
Indonesia sebagai negara demokrasi yang tunduk pada hukum, maka
hukum itu harus ditegakkan untuk mencapai suatu landasan hukum itu
sendiri. Dalam hal ini, hendaknya hukum itu harus senantiasa di tegakkan,
ditaati, serta dihormati tanpa harus ada pengecualian. Dengan tujuan agar
dapat menjadikan negara yang memiliki rasa aman, tertib, sehingga dapat

1
2

menjadikan suatu ketertiban maupun sejahtera bagi Masyarakat Republik


Indonesia. 1

Dalam buku Pengantar Hukum Indonesia menurut R. Abdoel


Djamali, “Hukum tidak otonom atau tidak mandiri, berarti hukum itu tidak
terlepas dari pengaruh timbal balik dari keseluruhan aspek yang ada di
dalam masyarakat. sebagai patokan, hukum dapat menciptakan ketertiban
dan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi kenyataannya
masih banyak masyarakat melanggar hukum”.2

Indonesia memliki sebuah Undang-Undang yang mengatur tentang


Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia yaitu KUHP. Di dalam
pengaturan tersebut banyak sekali perbuatan-perbuatan yang tergolong
sebagai Tindak Pidana. Salah satu yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana tersebut adalah perbuatan Tindak Pidana Makar.
Walaupun sudah diatur di dalam KUHP tersebut tetapi masih ada sebagian
kecil masyarakat yang tidak mengetahui makna ataupun tindakan-tindakan
seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan Tindak Pidana
Makar. Kata dari Makar itu sendiri terdapat di dalam KUHP.3

Dalam Pasal 104 KUHP menyatakan “Makar dengan maksud untuk


membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan
Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling
lama dua puluh tahun”.

Dalam Pasal 106 KUHP menyatakan “Makar dengan maksud supaya


seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau
memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh
tahun”.

1
Raka Prayoga Putra Pratama, Peran Kepolisian Dalam Tindak Pidana Makar,
Universitas Lampung, Lampung, 2018, hlm. 1
2
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan ke-21,
Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 25.
3
Indonesia, I, Undang–Undang Nomor 1 tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum
Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
3

Dalam Pasal 107 KUHP Ayat (1) menyatakan “Makar dengan maksud
untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun”

Dalam Pasal 107 KUHP Ayat (2) menyatakan “Para pemimpin dan para
pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh
tahun”.

Dalam Pasal 87 KUHP menyatakan “Dikatakan ada makar untuk


melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari
adanya permulaan permulaan pelaksanaan seperti dimaksud dalam pasal
53”

Dari beberapa pasal tersebut telah di jelaskan bahwa Makar


merupakan suatu perbuatan Tindak Pidana dengan maksud untuk
Membunuh, Atau Merampas Kemerdekaan, Atau Meniadakan
kemampuan Presiden atau Wakil Presiden, Tindak Pidana Makar dengan
maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan
musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, Tindak Pidana
Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah. Didalam pasal
87 KUHP juga mejelaskan bahwa dapat dikatakan ada makar apabila niat
untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan sesuai yang dimaksud
dalam pasal 53.

Dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP menyatakan “mencoba melakukan


kejahatan dipidana, jika niat itu telah ternyata dari adanya permulaan
pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri.”
Terkait dengan ini dengan berlangsungnya Pemilihan Umum yang
diselenggarakan tahun 2019 di Indonesia menyebabkan negara Indonesia
memiliki kualitas demokrasi yang rendah yaitu peringkat 68 dari 167
negara, masih kalah dengan Timor Leste yang menduduki peringkat 48. 4
Demokrasi merupakan sebuah pandangan hidup yang mengutamakan
kebersamaan. Secara garis besar demokrasi yang ada di Indonesia, ditandai
dengan dilaksanakannya Pemilihan Umum yang bersifat bebas dan adil

4
Dikutip dari Data The Economist Intelligence (EIU), diakses pada tanggal 30
September 2019 pukul 09.00 WIB
4

serta saling menghormati dan menghargai kebebasan sipil, namun sejauh


ini masih memiliki kelemahan dalam sistem pemerintahan yang signifikan,
budaya politik yang masih belum terlalu sehat, dan rendahnya masyakarat
dalam tingkat mengikuti politik di Indonesia. Dalam hal ini setelah
terselenggaranya Pemilihan Umum 2019 adanya suatu permasalahan yaitu
situasi yang mencekam yang berpotensi mengarahkan ke dalam keributan
maupun kerusuhan yang nantinya akan terjadi. Ketidakakuran atau
ketidaksenangan karena adanya suatu pendukung diantara para elit politik
yang ada dibelakang mereka yang tidak terima terhadap hasil dari
Pemilihan Umum 2019 karena adanya hal-hal tertentu menyebabkan
kondisi yang tidak puas semakin memanas. Dengan hal ini mereka yang
tidak puas terhadap hasil dari Pemilihan Umum 2019 membuat suatu
Gerakan dalam arti mengumpulkan suatu massa atau yang biasa disebut
People Power yang sangat banyak yang nantinya akan menentang dan
membuat suatu protes terhadap Pemerintah yang sedang berjalan tersebut
maupun kepada pihak yang menyelenggarakan Pemilihan Umum 2019.
Dalam mengumpulkan massa tersebut menganggap serta dikaitkan bahwa
itu merupakan sebuah Tindak Pidana Makar yang dapat menggulingkan
serta memberhentikan jalannya pemerintahan yang pada saat itu masih
aktif dalam menjalankan pemerintahannya. Dengan adanya Gerakan
People Power tersebut itu juga termasuk ke dalam Penyebaran informasi
berita kebencian terhadap sesama invidu serta kelompok yang
mengakibatkan rasa permusuhan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 28
ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang
berbunyi sebagai berikut :5

Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang ITE Menyatakan “Setiap orang dengan


sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA)”
Dengan adanya kasus tersebut yang nantinya dapat mengakibatkan
timbulnya berbagai perspektif atas apa yang menjadi tolak ukur dalam
5
Indonesia, II, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan
Transakasi Elektronik
5

suatu perbuatan ataupun percobaan yang terkait dalam tindak pidana


makar. Karena pada kenyataannya, dalam Tindak Pidana Makar tersebut
adalah suatu Tindak Pidana yang tergolong ke dalam Tindak Pidana luar
biasa yang sangat berkaitan dengan keutuhan Negara, Persatuan Bangsa,
dan Pemberlakuan atau efektivitas pemerintahan yang berada di dalam
suatu Negara khususnya Negara Republik Indonesia. Serta demi untuk
terwujudnya Cita-Cita Bangsa Negara Kesatuan Repulik Indonesia yang
berlandaskan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945.

Dengan penjelasan yang telah dijelaskan diatas maka dengan ini


penulis sangat tertarik untuk melakukan kajian maupun penelitian secara
mendalam terkait tindak pidana makar dalam bentuk skripsi dengan
mengangkat judul yaitu “Tinjauan Yuridis Tehadap Pelaku Tindak
Pidana Makar People Power Dalam Pemilu 2019”

I.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan dari hasil uraian diatas, maka penulis akan membahas
rumusan masalah yang akan diteliti adalah :
1. Bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Makar dalam Sistem Hukum
Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)?
2. Apakah People Power Dalam Pemilu 2019 dapat dikategorikan
sebagai sutau Gerakan Tindak Pidana Makar?

I.3 Ruang Lingkup Penelitian


Ruang Lingkup Penelitian ini untuk mendapatkan suatu informasi
atau gambaran yang jelas dan menyeluruh dari penulisan Skripsi ini, agar
tidak menyimpang dari permasalahan yang akan diangkat, maka untuk itu
penulis memberikan batasan ruang lingkup penulisan yaitu hanya
mengenai apa saja faktor penyebab terjadinya gerakan people power
dalam pemilu 2019 dan apakah gerakan people power tersebut dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana makar atau tidak.

I.4 Tujuan dan Manfaat Penulisan


6

a) Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan skripsi ini yaitu sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. Berdasarkan Rumusan Masalah
yang telah di tulis oleh Penulis, dengan ini penulisan Skripsi ini bertujuan
untuk :
1. Untuk mengetahui Pengaturan Tindak Pidana Makar dalam sistem
Hukum Pidana.
2. Untuk mengetahui Gerakan People Power dalam Pemilu 2019
dapat dikategorikan dalam Tindak Pidana Makar atau Tidak.
b) Manfaat Penulisan
Di harapkan dari hasil penulisan ini nantinya dapat memberikan manfaat
bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam memperluas
pengetahuan dan dapat menambah refrensi mengenai hal – hal yang
berkaitan Tindak Pidana Makar khsususnya terhadap Pelaku Tindak
Pidana Makar People Power dalam Pemilu 2019 dapat di kategorikan
sebagai Makar atau Tidak.
1) Secara Teoritis
Manfaat yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu agar
mengembangkan pola pikir yang dapat dikembangkan oleh penulis
berdasarkan pada pengatahuan serta ilmu yang telah penulis miliki
guna memperoleh informasi, fakta, atau data secara objektif
melalui metetologi ilmiah untuk dapat memecahkan suatu
permasalahan dalam dalam ranah hukum pidana terkait dengan
Tinjuan Yuridis Terhadap Pelaku Tindak Pidana Makar People
Power dalam Pemilu 2019. Serta untuk menambah Wawasan dan
Ilmu Pengatahuan dalam Hukum Pidana, Khususnya terkait dengan
Tindak Pidana Makar.
2) Secara Praktis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk
sumbangan pemikiran khususnya pada hukum pidana dan
penegakkan hukum pidana, serta dapat menjadi sumber informasi
7

bagi masyarakat dan para pihak yang ingin mengetahui serta


memahami informasi dari penulisan ini tentang tindak pidana
tersebut yang pada khususnya terkait dengan tindak pidana makar
di Indonesia.

I.5 Kerangka Teori dan Konseptual


a) Kerangka Teori
Kerangka Teori merupakan sebuah aturan-aturan yang
dapat dilakukan secara abstrak dari suatu pemikiran yang berguna
untuk melakukan suatu pendekatan terhadap suatu masalah-
masalah maupun permasalahan sedang diteliti yang dapat
dianggap menjadi relavan oleh penulis.6 Dalam hal ini setiap
penelitian yang dilakukan akan ada kerangka teoritis yang akan
menjadikan target dan acuan yang bertujuan untuk
mengidentifikasikan terhadap permasalahan yang diteliti oleh
penulis.7
1) Teori Kepastian Hukum
Kepastian Hukum pada dasarnya dalam kehidupan
bermasyarakat selalu adanya aturan yang baik itu tertulis ataupun
tidak tertulis dalam hal ini berwujud kebiasaan. Kepastian
merupakan suatu perihal keadaan yang pasti, ketentuan atau
ketetapan. Dalam hal ini hukum secara hakiki harus pasti dan adil.
Dalam hal umum aturan tertulis diwujudkan dalam bentuk undang-
undang. Undang-undang tersebut tersebut berisikan aturan-aturan
yang bersifat umum menjadi pedoman bagi setiap individu dalam
menjalankan tingkah laku dalam berkehidupan di masyarakat, baik
dalam hubungan sesama individu maupun dengan hubungan
sesama masyarakat pada umumnya. Kemudian aturan-aturan
tersebut menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau

6
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Cetakan
Pertama, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 125
7
Ibid., hlm.124
8

melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan dan


pelaksanaan tersebut akan menimbulkan suatu kepastian hukum.8
2) Teori Perlindungan Hukum
Dengan adanya Teori Perlindungan Hukum, ada beberapa
ahli yang mengemukakan teori ini, yaitu Satjipto Raharjo, Phillipus
M Hanjon, Fitzgerald, dan Lily Rasyidi.
Satjipto Raharjo mengemukakan bahwa dalam perlindugan
hukum merupakan dapat diberikannya pembantuan atau
penyuluhan kepada HAM yang merugikan masyarakat serta
perlindungan tersebut dapat dinikmati oleh orang-orang sehingga
hak-hak tersebut dapat mempunyai kekuatan hukum yang tetap.9
Sedangkan Phillipus Hanjon mengemukakan bahwa
Perlindungan Hukum yaitu untuk masyarakat ataupun rakyat
dijadikan terhadap tindakan-tindakan penegak hukum maupun
pemerintah yang memiliki sifat Preventif dan Represif.
Perlindungan Hukum yang preventif yang tujuan yang bertujuan
untuk mencegah agar tidak terjadinya sengketa, yang mengarahkan
ke tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan
keputusan berdasarkan diskresi dan perlindungan yang resprensif
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, termasuk
penanganannya di lembaga peradilan.10
Selanjutnya menurut Fitzgerald teori Perlindungan Hukum
bahwahukum bertujuan mengintegrasikan serta mengkoordinasikan
berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam lalulintas
kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat
dilakukan dengan membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.
Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan
manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk
menentukan kepentingan manusia yang perlu diaur dan dilindungi.

8
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Revisi, Cetakan ke-2,
Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 158
9
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Cetakan ke-8, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000, hlm. 69
10
Ibid, hlm. 54
9

Perlindungan Hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan


hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan
hukum yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat
tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota anggota
masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang
dianggap mewakili kepentingan masyarakat.11
Yang terakhir menurut Lily Rasyidi bahwa hukum dapat
difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak
sekedar adaptif serta fleksibel, melainkan juga predektif dan
antipatif.12
Bahwa dari uraian yang telah dijelaskan oleh para ahli
tersebut memberikan penjelasan bahwa Perlindungan Hukum
adalah suatu gambaran dari suatu berkerjanya fungsi hukum untuk
mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan,
dan kepastian hukum. Perlindungan Hukum merupakan suatu
perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan
aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif maupun kedalam
bentuk yang bersifat represif, baik yang secara tertulis maupun
yang tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.
3) Teori Penegakkan Hukum
Teori Penegakkan Hukum secara umum merupakan suatu
tindakan untuk menerapkan suatu perangkat sarana hukum tertentu
untuk memaksakan sanksi hukum untuk menjamin adanya
pentaatan terhadap ketentuan yang sudah ditetapkan tersebut.
Menurut Soerjono Soekanto, menjelaskan bahwa
Penegakkan Hukum merupakan kegiatan menyerasikan hubungan
nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah mantap dan sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir. Untuk
menciptakan, memlihara, dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup. Lebih lanjut dapat dikatakannya keberhasilan

11
Ibid, hlm. 53
12
Lily Rasyidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Cetakan ke-8, Remaja
Rusdakarya, Bandung, 1993, hlm. 118
10

suatu Penegakkan Hukum mungkin dipengaruhi oleh beberapa


faktor yang mempunyai arti yang netral, sehingga dampak negatif
atau positifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-
faktor ini mempunyai yang saling berkaitan dengan eratnya,
merupakan suatu esensi serta tolak ukur dari efektivitas
Penegakkan Hukum. Faktor-Faktor tersebut adalah :13
a. Hukum (Undang-Undang)
b. Penegak Hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
c. Sarana atau fasilitas yang mendukung Penegakkan Hukum.
d. Masyarakat, yaitu dimana hukum tersebut diterapkan.
e. Faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta, dan rasa
yang didasarkan pada karya manusia di dalam pergaulan
hidup.
b. Kerangka Konseptual
Kerangka Konseptual adalah pedoman yang lebih konkrit dari teori,
yang berisikan definisi operasional yang menjadi pegangan dalam
proses penelitian yang merupakan kumpulan dalam arti yang
berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Dalam hal ini
kerangka konseptual yang penulis akan gunakan dalam penulisan
Skripsi ini, yaitu :
1) Tinjauan
Tinjauan merupakan suatu kegiatan untuk meringkas secara lebih
detail dengan data besar atau kecil yang belum berisikan suatu data
yang valid sehingga dikelompokkan atau dipisahkan oleh
komponen dengan bagian yang relavan sehingga dikaitkan dengan
data yang telah di kumpulkan agar dapat dijawabnya masalah yang
akan diteliti. Dalam hal ini tinjauan adalah suati analisis untuk
mendapatkan data serta fakta yang jelas yang telah dikumpulkan

13
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum,
Cetakan Pertama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983, hlm. 5
11

sehingga data yang diperoleh dapat diartikan dengan jelas atau


memiliki makna.14

2) Yuridis
Dalam kamus bahasa hukum, Arti “yuridis” adalah dari hukum
danatau dari segi perspektif hukum.15
3) Tinjauan Yuridis
Tinjauan Yuridis adalah suatu aktivitas yang dilaksanakan oleh
penelit yang bertujuani agar menemukan serta mengidentifikasi
dan mencari solusi dari setiap permasalahan-permaslahan dari
suatu kasus yang kemudian dipelajari lebih detail dan
mengkaitkannya dengan aturan hukum yang telah ditetapkan
maupun suatu norma yang dapat diberlakukan untuk pemecahan
suatu Kasus atau masalah.16
4) Tindak Pidana
Istilah dalam Tindak Pidana dalam bahasa latin disebut dengan
delictum atau delicta yaitu delik, dalam Bahasa Inggris tindak
pidana dikenal dengan istilah law, yang artinya suatu perbuatan
yang pelakunya dapat dikenakan hukuman. Kemudian dalam
Bahasa Belanda tindakp pidana dikenal dengan istilah, strafbaarfeit
yang diartikan sutau kejahatan yang dilakukan yang nantinya akan
mendapatkan hukuman yang berlalu dan telah ditetapkan.17
5) Makar
Makar menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
merupakan suatu akal busuk; tipu muslihat; perbuatan dengan

14
Surayin, Analisis Kamus Umum Bahasa Indonesia, Yrama Widya, Bandung,
2002, hlm. 10
15
M. Marwan dan Jimmy P, “Kamus Hukum : Dictionary Of Law Complete
Edition”, Reality Publisher, Surabaya, 2009, hlm. 651
16
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Cetakan Pertama,
Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm. 83-88
17
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Edisi Pertama, Cetakan
Pertama, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2002, hlm. 87
12

maksud hendak menyerang orang; perbuatan menjatuhkan


pemerinthan yang sah.18
6) People Power
Secara umum, people power adalah penggulingan kekuasaan
presiden secara paksa melalui aksi demonstrasi rakyat. sama
artinya dengan kekuatan masyarakat. Mereka berusaha
melakukan perlawanan dan bentuk protes terhadap bentuk
kezaliman dan kesewenangan para penguasa. Pascapemilu di
Indonesia, istilah ini mulai ramai diperbincangkan. Banyak
rakyat Indonesia yang ingin memberontak terhadap berbagai
kebijakan penguasa. 19

I.5 Metode Penelitian


a) Jenis Penelitian
Penelitian yaitu suatu proses pengumpulan dan analisis data
yang dilakukan secara sistematis, untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu..20
Metode Penelitian yaitu cara melakukan sesuatu dengan
menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan
dengan cara mencari, memcatan, merumuskan, dan menganalisis
sampai menyusun laporan.21 Istilah Metodelogi merupakan kata
metode yang artinya jalan, dengan demikian, menurut kebiasaan
metode yang dirumuskan dengan kemungkinan suatu tipe yang
digunakan dalam penelitian dan penilaian.22
Dalam melakukan penulisan ini, penulis akan
menggunakan Yuridis Normatif merupakan penelitian yang

18
Dikutip dari: https://kbbi.web.id/makar, diakses pada 30 September 2019 pukul
08.37 WIB
19
Dikutip dari: https://www.wartaekonomi.co.id/read225169/apa-itu-people-
power.html, dikakses pada 30 September 2019 pukul 08.42 WIB
20
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, Cetakan ke-8,
Rosda Karya, Bandung, 2005, hlm.5
21
Cholid Narbuko dan Abdu Achmadi, Metodelogi Penelitian, Cetakan ke-13, PT
Bumi Aksara, Jakarta, 2003, hlm. 1
22
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,
Jakarta 2012, hlm. 5
13

dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang


tertulis atau bahan-bahan hukum lain.23 Sebagai penelitian
kepustakaan ataupun studi dokumen yang bersifat sekunder yang
ada diperpustakaan. Ataupun dapat dikatakan lain yaitu termasuk
dalam data sekunder meliputi buku-buku, buku-buku harian, surat-
surat pribadi dan dokumen-dokumen resmi dari pemerintah.24 Yang
bersifat pribadi misalnya surat-surat, sejarah kehidupan seseorang,
buku-buku harian dan lain-lain. Setelah data yang dibutuhkan
terkumpul kemudian menuju pada identifikasi masalah yang pada
akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah. 25 Yang kemudian
akan didukung oleh wawancara oleh pihak terkait.

b) Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang penulis gunakan untuk menulis
penelitian ini adalah Pendeketan Yuridis Normatif yang didukung
dengan Wawancara oleh pihak terkait. Pendekatan Yuridis Normatif
yaitu studi kepustakaan (library research) dengan cara membaca,
mengutip, dan menganalisis teori-teori hukum sesuai dengan
permasalah yang sedang ditelitinya. Yang kemudian didukung dengan
melakukan wawancara oleh pihak terkait yaitu upaya untuk
memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian
berdasarkan realitas yang ada atau terjadi dan dikaji secara hukum.
c) Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan
sumber data primer dan sumber data sekunder.
1) Data Primer
Dalam hal ini menurut Soerjono Soekanto, Data Primer
yaitu data yang diperoleh secara langsung dan lapangan penelitian
dengan cara melakukan wawancara maupun mengambil data dari

23
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Edisi 1, Sinar Grafika,
Jakarta, 2008, hlm.13
24
Ibid, hlm. 14
25
Ibid, hlm. 16
14

Instansi/Tempat yang terkait sesuai dengan permasalahannya yang


fungsinya untuk memperoleh data yang diperlukan.

2) Data Sekunder
Dalam hal ini data sekunder dilakukan dengan penelitian
kepustakaan, yang terdiri dari :
a) Bahan Hukum Primer
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo. Undang-Undang
73 Tahun 1958 Tentang Berlakunya Peraturan Hukum
Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana atau Kita Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).
4. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan
Atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan
Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
5. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Organisasi
Kemasyarakatan.
6. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang
Kemerdekaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum
7. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
b) Bahan Hukum Sekunder
Dalam hal ini bahan hukum sekunder yaitu bahan yang
memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer
seperti literatur-literatur ilmu hukum, makalah-makalah, jurnal
hukum, hasil penelitian, dan tulisan hukum lainnya yang
berhubungan dengan permasalahan yang diteliti sebagai
pedoman bagi penulis untuk mendukung dalam menyusun
penulisan.
15

c) Bahan Hukum Tarsier


Dalam hal ini bahan hukum tarsier yaitu bahan hukum
yang bersumber dari kamus-kamus untuk mendukung bahan
hukum dari primer dan sekunder melalui sumber dari bahan-
bahan yang didapat melalui internet.

d) Teknik Analisis Data


Pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan
analisa kualitatif, adalah data yang diperoleh nantinya melalui
penelitian kepustakaan yang disusun secara sistematis yang
kemudian di analisa secara kualitatif dengan tujuan untuk
mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas maupun didukung
dengan penelitian lapangan yaitu mengumpulkan data-data yang
diteliti.

I.6 Sistematika Penulisan


Pada dasarnya Skripsi ini dibagi dalam beberapa bab yang
tersusun secara sistematis. Dengan ini penulis akan menguraikan
sistematika dalam penulisan Skripsi ini adala sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikan Latar Belakang,
Rumusan Permasalahan, Ruang Lingkup Penulisan, Tujuan
dan Manfaat Penulisan, Kerangka Teori dan Konseptual,
Metode Penlitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA


MAKAR

Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang tinjauan


pengertian-pengertian dari istilah sebagai latar belakang
pembuktian permasalahan dalam membahas hasil penelitian
16

yang berisikan antara lain Tindak Pidana, People Power,


dan Makar.

BAB III KASUS PELAKU TINDAK PIDANA MAKAR


PEOPLE POWER DALAM PEMILU 2019

Dalam bab ini berisikan analisis tentang kasus yang terjadi


di masyarakat baik yang sedang terjadi yang masih dalam
proses penangangan oleh aparat penagak hukum atau yang
telah diputus oleh pengadilan terkait pelaku tindak pidana
makar people power yang diperoleh dari hasil penelitian
melalui penedekatan yuridis normatif yaitu dengan melalui
pendekatan literatur dan undang-undang khususnya dalam
KUHP dan didukung dengan wawancara melalui respoden
yang relavan sesuai terhadap masalah yang ditulis untuk
mengerjakan skripsi, dan memberikan gambaran atau fakta
dari kasus yang didapat dari hasil wawancara ke dalam ini.

BAB IV HASIL PENULISAN TENTANG PELAKU TINDAK


MAKAR PEOPLE POWER DALAM PEMILU 2019

Dalam bab ini berisikan tentang pembahasan serta


pemecahan masalah dari kasus yang telah dijelaskan pada
bab 3 serta untuk menjawab pertanyaan dari perumusan
masalah dalam penulisan skripsi ini yang terdapat pada bab
1.

BAB V PENUTUP

Dalam bab ini berisi simpulan dimana merupakan akhir dari


penulisan skripsi ini dan pembahasan yang telah dilakukan
serta berisi saran penulis yang berkaitan dengan
permasalahan dalam mengerjakan skripsi yang telah
diselesaikan.
17

BAB II

TINJUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA MAKAR

II. 1 Tinjauan Umum Terkait Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana


Menurut Jonkers membagi definisi tindak pidana menjadi definisi
singkat dan definisi luas. Jonkers menyatakan: “De korte definitie luidt:
een strafbaar feit is een fei, dat door de wet is strafhaar gesteld. Een
langere _okum_ beteekenisvollere deinitie is: een strafbaar feit is een
feit met opzet of schuld in verband staande onrechtmatig
(wederrechtelijke) gedraging began door een toerekenisvatbaar
person”. 26 (Definisi singkat: perbuatan pidana adalah sutau perbuatan
yang menurut undang-undang dapat dijatuhi pidana. Definisi luas:
perbuatan pidana adalah suatu perbuatan dengan sengaja yang dilakukan
dengan melawan _okum oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan).
Moeljatno memberikan definisi tentang tindak pidana yaitu suatu arti
tindak pidana yang pada dasarnya adalah arti yang berasal dari kata
Strafbaarfeit yang merupakan arti dari bahasa belanda. Arti Strafbaarfeit

26
Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana E, Cetakan ke-5, Cahaya
Atma Pusaka, Yogyakarta, 2016, hlm. 123
18

selanjutnya diartikan ke dalam bahasa Indonesia yaitu tindak pidana,


perbuatan pidana, dan delict. Kata tersebut merupakan kata yang sering
digunakan oleh para ahli maupun sarjana-sarjana yang telah lulus pendidikan
Indonesia.27
Menurut Tongat, penggunaan berbagai istilah tersebut pada
hakikatnya tidak menjadi persoalan, sepanjang penggunaannya disesuaikan
dengan konteksnya dan diahami maknanya, karena itu dalam tulisannya
berbagai istilah tersebut di gunakan secara bergantian, sampai termasuk
kedalam konteks yang lain juga digunakan arti perbuatan kejahatan dengan
tujuan agar ditunjukkan maksud yang sama.28
Mengenai definisi tindak pidana dapat dilihat pendapat pakar-pakar
antara lain menurut VOS, delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum
oleh undang-undang. Sedangkan menurut Van Hamel, delik adalah suatu
serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain. Menurut Silmons,
delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan
sengaja ataupun tidak sengaja oleh seorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-Undang telah
dinyatakan sebagai suatu perbuatan/tindakan yang dapat dihukum. Dengan
demikian pengertian sederhana dari tindak pidana adalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.29

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana


Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka harus terlebih dahulu
dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-
pebuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Rumusan-rumusan
tersebut menentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat
khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari pebuatan
lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat
perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau
27
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana,
Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hlm. 36
28
Ibid, hlm. 37
29
Ibid
19

dilanggar. Secara sederhana Simons menuliskan beberapa unsur-unsur


sebagai berikut :30
Unsur Pidana
1) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat
atau membiarkan)
2) Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)

Unsur Pidana

1) Melawan Hukum (onrechtmatig)


2) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)

Unsur Pidana
1) Oleh orang yang mamu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar
person)

Untuk lebih jelasnya, Simons menyebutkan adanya unsur objektif dan


unsur subjektif dari tindak pidana (strafbaar feit). Unsur Objektif antara lain:
perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu, mungkin ada
keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 sifat
openbaar atau “di muka umum”. Sedangkan Unsur Subjektif: orang yang
mampu bertanggung jawab, adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan
harus dilakukan dengan kesalahan, kesalahan ini dapat berhubungan dengan
akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan.31
Sementara menurut Moeljatno, unsur-unsur perbuatan pidana:
perbuatan (manusia), yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat
formal) dan bersifat melawan hukum (syarat materil). Sedangkan unsur-unsur
tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari : (1) kelakuan dan akibat, dan
(2) hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi
menjadi : a) unsur subjektif atau pribadi, yaitu mengenai diri orang yang
melakukan perbuatan, misalnya unsur pegawai negeri yang diperlukan dalam
delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP

30
Ibid, hlm. 39
31
Ibid, hlm. 39-40
20

jo. Pasal 1 ayat (1) sub c undang-undang No. 3 Tahun 1971 atau Pasal 11
undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001
tentang pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau yang menerima hadiah
bukan pegawai negeri maka tidak mungkin diterapkan pasal tersebut. b) unsur
objektif atau non pribadi, yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat,
misalnya Pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum (supaya
melakukan perbuatan pidana atau melakukan kekerasan terhadap penguasa
umum). Apabila penghasutan tidak dilakukan dimuka umum maka tidak
mungkin diterapkan pasal ini.32
Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang menentukan,
memperingan, atau memperberat pidana yang dijatuhkan.
1) Unsur keadaan yang menentukan misalnya dalam Pasal 164, 165,
531 KUHP.
Pasal 164 KUHP: Barangsiapa mengetahui permufakatan jahat
untuk melakukan kejahatan tersebut Pasal 104, 106, 107, 108, 113,
115, 124, 187, dan 187 bis, dan pada saat kejahatan masih bisa
dicegah dengan sengaja tidak memberitahukannya kepada pejabat
kehakiman atau kepolisian atau kepada yang terancam, diancam,
apabila kejahatan jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling
lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah.

Kewajiban untuk melapor kepada yang berwenang, apabila


mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan. Orang yang tidak
melapor baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana, jika
kejahatan tadi kemudian betul-betul terjadi. Tentang hal kemudian
terjadi kejahatan itu adalah merupakan unsur tambahan.
Keharusan memberi pertolongan pada orang yang sedang
menghadapi bahaya maut jika tidak memberi pertolongan, orang
tadi baru melakukan perbuatan pidana, kalau orang yang dalam
keadaan bahaya tadi kemudian lalu meninggal dunia. Syarat

32
Ibid, hlm. 40
21

tambahan tersebut tidak dipandang sebagai unsur delik (perbuatan


pidana) tetapi sebagai syarat penuntutan.33
2) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
Misalnya penganiayaan biasa Pasal 351 ayat (1) KUHP diancam
dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan. Apabila
penganiyaan tersebut menimbulkan luka berat; ancaman pidana
diperberat menjadi 5 tahun (Pasal 351 ayat 2 KUHP), dan jika
mengakibatkan mati ancaman pidana menjadi 7 tahun (Pasal 351
ayat 3 KUHP). Luka berat dan mati adalah merupakan keadaan
tambahan yang memberatkan pidana.

3) Unsur melawan hukum


Dalam perumusan delik unsur ini tidak selalu dinyatakan sebagai
unsur tertulis. Adakalanya unsur ini tidak dirumuskan secara
tertulis rumusal pasal, sebab sifat melawan hukum atau sifat
pantang dilakukan perbuatan sudah jelas dari istilah atau rmusan
kata yang disebut. Misalnya Pasal 285 KUHP:
“Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh diluar perkawinan”.

Tanpa ditambahkan kata melawan hukum setiap orang


mengerti bahwa memaksa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan adalah pantang dilakukan atau sudah mengandung sifat
melawan hukum. Apabila dicantumkan maka jaksa harus
mencantumkan dalam dakwaannya dan oleh karenanya harus
dibuktikan. Apabila tidak dicantumkan maka apabila perbuatan
yang didakwakan dapat dibuktikan maka secara diam-diam unsur
itu dianggap ada.
Unsur melawan hukum yang dinyatakan sebagai unsur
tertulis misalnya Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian

33
Ibid, hlm. 41
22

yaitu pengambilan barang orang lain dengan maksud untuk


memilikinya secara melawan hukum.34

c. Jenis-Jenis Tindak Pidana


1) Kejahatan dan Pelanggaran
Pembagian perbuatan pidana atas kejahatan dan pelanggaran ini disebut
oleh undang-undang. KUHP buku ke II memuat delik-delik yang disebut
pelanggaran tetapi kriteria apakah ang digunakan untuk membedakan
kedua jenis delik itu? Namun KUHP tidak menjelaskannya. Ia hanya
memasukkan dalam kelompok kedua pelanggaran. Disisi lain ada 2 (dua)
penjelasan atau pendapat yang mencoba untuk mencari atau menemukan
perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran. Penjelasan ke satu
mengemukakan untuk mencari ke 2 (dua) jenis delik tersebut ada
beberapa perbedaaan yang memiliki sifat kualitatif, dengan adanya tolak
ukur ini didapatkan 2 jenis delik, antara lain sebagai berikut:35
a) Rechdelicten adalah suatu kegiatan ataupun perbuatan yang
bertabrakan terhadap keadilan-keadilan, selepas apakah kegiatan
atau perbuatan itu dijerat pidana dalam suatu UU atau tidak, jadi
yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan
dengan keadilan misal: pembunuhan, pencurian. Delik-delik
semacam ini disebut “kejahatan”.
b) Wetsdelicten ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari
sebagai tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai
delik, jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan
pidana. Misal: memarkir mobil di sebelah kanan jalan. Delik-delik
semacam ini disebut “pelanggaran”.
Meskipun demikian perbedaan secara kualitatif ini tidak dapat
diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik
karena tercantum dalam KUHP, jadi sebenarnya tidak segera
dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Sebaliknya
ada “pelanggaran”, yang benar-benar dirasakan bertentangan
34
Ibid, hlm. 42
35
Ibid, hlm. 44
23

dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu


tidak memuaskan maka dicari ukuran lain.36
Pendapat kedua mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada
perbedaan yang bersifat kuantitatif. Penirian ini hanya meletakkan
kriteria pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, adalah
“pelanggaran” itu lebih ringan daripada “kejahatan”.

2) Delik Formal dan Delik Materiel


a) Pertama Delik formal merupakan delik yang isinya ditujukan
kepada perbuatan yang dilarang. Delik itu dapat dikatakan ada
apabila telah selesai dilakukannya perbuatan.37
Contoh: Penghasutan yang terdapat didalam 160 kitab undang-
undang hukum pidana, kemudian Pasal 156 KUHP tentang
ditempat umum menyatakan rasa kebencian, kemudian Pasal 209,
210 KUHP tentang penyuapan, kemudian Pasal 242 KUHP tentang
sumpah palsu, kemudian pasal Pasal 263 KUHP tentang
pemalsuan surat, dan yang terakhir Pasal 362 KUHP tentang
pencurian.”
b) Kedua Delik materiel merupakan delik yang isinya ditujukan
terhadap suatu akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini
dapat dikatakan selesai apabila suatu perbuatan yang tidak
dikehendaki itu telah dilaksanakan atau terjadi. Misalnya belum
terjadi itu dapat dikatakan hanya percobaan saja.
Contoh: Yang terdapat di dalam Pasal 187 KUHP tentang
pembakaran, kemudian Pasal 378 KUHP tentang penipuan,
kemudian Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.38

3) Delik Commisionis, delik ommisionis, dan delik commisionis per


ommisionen commissa.

36
Ibid, hlm. 45
37
Ibid
38
Ibid, hlm. 46
24

a) Delik commisionis: delik yang berupa pelanggaran terhadap


larangan, adalah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian,
penggelapan, dan penipuan.
b) Delik ommisionis: delik yang berupa pelanggaran terhadap
perintah, adalah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan/yang
diharuskan, misal: Tidak menghadap sebagai saksi di muka
pengadilan (Pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang
memerlukan pertolongan (Pasal 531 KUHP).
c) Delik commisionis per ommisionen commissa: delik yang berupa
pelanggaran larangan (dus delik commisionis), akan tetapi dapat
dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal: seorang ibu yang
membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (Pasal 338, 340
KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan
kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (Pasal 194
KUHP).39
4) Delik dolus dan delik culpa
a) Delik dolus: delik yang memuat unsur kesengajaan, misal: Pasal 187,
197, 245, 263, 310, 338 KUHP”
b) Delik culpa: delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur
misal: Pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan Pasal 359, 360
KUHP.40
5) Delik tunggal dan delik berangkai
a) Delik tunggal: delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu
kali.
b) Delik berangkai: delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan
beberapa kali perbuatan, misal: Pasal 481 (penadahan sebagai
kebiasaan) KUHP.41
6) Delik yang berlangsung terus dan delik selesai

39
Ibid
40
Ibid
41
Ibid
25

a) Delik yang berlangsung terus: delik yang mempunyai ciri bahwa


keadaan terlarang itu berlangsung terus, misal: merampas
kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP).
b) Delik selesai adalah delik tiada lebih dari suatu perbuatan yang
mencakup melakukan atau melalaikan atau menimbulkan akibat
tertentu seperti menghasut, membunuh, dan membakar.42
7) Delik aduan dan delik laporan
Delik aduan: delik yang penuntutanya hanya dilakukan apabila ada
pengaduan dari pihak yang terkena (gelaedeerde partij) misal:
penghinaan (Pasal 310 dst. Jo. Pasal 319 KUHP) perzinaan (Pasal 284
KUHP), chantage (pemerasan dengan ancaman pencemaran, Pasal 335
ayat 1 sub 2 jo. Ayat 2 KUHP). Delik aduan dibedakan menurut sifatnya,
sebagaai:
a) Delik aduan yang absolut, misalnya: Pasal 284, 310, 332 KUHP.
Delik-delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan
pengaduan.
b) Delik aduan yang relatif, misalnya: pasal 367 KUHP, disebut relatif
karena dalam delik-delik ini ada hubungan istimewa antara si
pembuat dan orang yang terkena.43
Catatan: perlu dibedakan antara aduan, gugatan, dan laporan. Gigatan
dipakai dalam acara perdata, misal: A menggugat B di muka pengadilan,
karena B tidak membayar utangnya kepada A. Laporan hanya
pemberitahuan belaka tentang adanya suatu tindak pidana kepada polisi
atau jaksa.”
8) Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya/peringannya.
Delik yang ada pemberatannya, misal: penganiayaan yang menyebabkan
luka berat atau matinya orang (Pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian
pada waktu malam hari dan sebagainya (Pasal 363 KUHP). Ada delik
yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan
tertentu, misal: pembunuhan terhadap anak-anak (Pasal 341 KUHP).

42
Ibid, hlm. 47
43
Ibid
26

Delik ini disebut geprivelegeerd delict. Delik sederhana, misal:


penganiayaan (Pasal 351 KUHP), pencurian (Pasal 362 KUHP).44
9) Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan bukan
delik ekonomi.
Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam Pasal 1
Undang-Udang Darurat No. 7 Tahun 1955, Undang-Undang Darurat
tentang Tindak Pidana Ekonomi.45

d. Subjek dari Tindak Pidana


Sebagaimana diraikan terdahulu, bahwa unsur pertama tindak pidana
itu adalah perbuatan orang, pada dasarnya yang dapat melakukan tindak
pidana itu manusia. Ini dapat disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai
berikut:46
Ke-1, Rumusan delik dalam undang-undang lazim dimulai dengan
kata-kata: “barangsiapa yang ......”. Kata “barangsiapa” ini tidak dapat
diartikan lain daripada “orang”.
Ke-2, dalam Pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis pidana yang dapat
dikenakan kepada tindak pidana. Pada dasarnya jenis-jenis pidana disebut
hanya bisa dikenakan kepada manusia.
Ke-3, dalam pemerikasaan perkara dan juga sifat dari hukum pidana
yang dilihat ada atau tidaknya kesalahan pada terdakwa, memberi petunjuk
bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu adalah manusia.
Ke-4, kesalahan yang pada dasarnya terdapat didalam setiap individu
itu berupa kealpaan dan kesengajaan itu adalah suatu sikap yang terdapat
dalam batin individu atau manusia..
Tapi disisi lain jika dilihat perkembangannya, subyek terhadap suatu
tindak pidana ini bukan hanya untuk manusia saja atau individu saja tetapi

44
Ibid
45
Ibid, hlm. 48
46
Ibid, hlm. 50
27

badan hukum (korporasi) yang telah diakui itu dapat digolongkan sebagai
tindak pidana. Badan hukum (korporasi) terdapat di buku I Pasal 120
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 1987/1988, diberi
pengertian sebagai berikut: “Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari
orang atau kekayaan baik merupakan badan hukum ataupun bukan”
Dari sini dapat diketahui bahwa definisi korporasi dari segi hukum
lebih umum ketimbang pengertiannya dari segi hukum perdata. Kalau dalam
hukum perdata, korporasi adalah badan hukum (legal person) maka korporasi
menurut hukum pidana meliputi baik badan hukum maupun bukan badan
hukum. Bukan hanya perseroan terbatas, koperasi, yayasan yang merupakan
badan hukum, firma, dan persekutuan juga digolongkan sebagai korporasi.
Dengan demikian, sudah sejak 1987 korporasi di dalam pemikiran
para ahli hukum pidana, tidak hanya diartikan badan hukum seperti
pengertian korporasi dalam hukum perdata, tetapi juga yang bukan badan
hukum. Dalam ini Pasal 166 Rancangan Undang-Undang KUHP tahun 2004
memberikan definisi badan hukum (korporasi) sebagai berikut: “korporasi
adalah kumpulan teroganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum”.
Definisi ini sehubungan dengan ketentuan pasal sebelumnya, yaitu
pasa 165 RUU KUHP 2004, yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan
“setiap orang” adalah “termasuk korporasi”.
Isitilah “korporasi” selaku subjek atau pelaku tindak pidana di
Indonesia secara resmi baru muncul atau dipakai dalam beberapa undang-
undang tindak pidana khusus yang belakangan dibuat, misalnya dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang selanjutnya
disebut UU 5/1997, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidanan Korupsi sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah menjadi Undang-
undang Nomor 25 Tahun 2003. Undang-undang tentang Psikotropika,
28

misalnya menentukan “korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang


dan/atau kekayaan, baik, merupakan badan hukum maupun bukan”.47

II. 2 Tinjauan Umum terkait Kejahatan Makar


a. Pengertian Makar
Makar berasal dar kata aanslag (belanda), yang menurut arti harfiah
adalah penyerangan atau serangan. Istilah aanslag terdapat dalam KUHP
yakni pasal-pasal 87, 104, 105, 106, 107, 130, 139a, 139b, 140. (Pasal 105
dan 130 dianggap tidak berlaku berdasarkan UU (Drt) No. 1 Tahun 1946).
Makar yang dimuat dalam pasal 139a, 139b, dan 140 tidak masuk dalam
bab mengenai kejahatan terhadap keamanan negara, melainkan masuk
dalam kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara
sahabat dan wakilnya. Akan dibicarakan lebih jauh dalam bab ini, adalah
makar yang masuk kejahatan terhadap kepentingan hukum atas keamanan
dan keselamatan negara Republik Indonesia.48
Dengan hal ini hukum pidana aanslag telah banyak digunakan serta
diartikan dengan kata makar, dimana dalam Undang-Undang memberikan
suatu definisi rumusan yaitu “suatu keadaan bilamana makar itu telah
terjadi”, yaitu dalam pasal 87 yang rumusan aslinya: yakni “Aanslag tot een
feit bestaat, zoodra het voornemen des daders zich door een begin van
uitvoering, in-den zin van art. 53, heeft geopenbaard”, yang artinya
“Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk
itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan seperti yang
dimaksudkan dalam pasal 53”49
Nyatalah bahwa sebenarnya makar itu sendiri adalah suatu
pengertian khusus yang berhubungan erat dengan syarat-syarat (dua syarat
saja) dari 3 syarat yang ada dalam hal untuk dapat dipidananya suatu
percobaan melakukan kejahatan (poeging tot misdrijf is strafbaar)
sebagaimana dimuat dalam Pasal 53 KUHP.

47
Ibid, hlm. 51
48
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan & Keselamatan Negara, Edisi
1, Cetakan ke-1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 7
49
Ibid
29

Pasal 53 (1) merumuskan yakni; “Mencoba melakukan kejahatan


dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan
pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri”

Dalam Pasal 53 ayat (1) Kitab Undang-Undangg Hukum Acara


Pidana ada terdapat tiga syarat dimana seseorang dapat dipidana melakukan
kejahatan percobaan (poeging tot misdrijf), sebagai berikut:
1. Terdapat Adanya suatu niat (voornemen);
2. Terdapat Adanya permulaan pelaksanaan (begin van
uitvoering);
3. Perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai, oleh karena
terhalang oleh sebab-sebab yang timbul kemudian.

Membentuk rumusan pasal 53 (1) dilatarbelakangi pada prinsip


pemidanaan bahwa penjatuhan pidana hanyalah pada tindak pidana yang
selesai. Dalam hal perkecualiannya, artinya bagi kejahatan yang belum
selesai untuk juga dapat dipidana, maka harus ditetapkan tersendiri secara
khusus, dan untuk maksud inilah dibentuknya ketentuan pasal 53 (1) yang
harus memenuhi tiga syarat tersebut.

Jadi maksud yang sebenarnya dari pasal 53 (1) itu agar pembuat
(dader) yang belum selesai mewujudkan kejahatan juga dapat dipidana,
yakni dengan ketentuan bahwa pidana yang dapat dijatuhkan kepada si
pembuat yang tidak selesai itu setinggi-tingginya ialah pidana yang
ditetapkan pada kejahatan itu dikurangi sepertiganya. Menagapa harus
dikurangi sepertiga? Karena menurut pembentuk UU percobaan kejahatan
itu belum berupa penyerangan/pelanggaran terhadap kepentingan hukum
yang dilindungi, akan tetapi telah membahayakan terhadap kepentingan
yang dilindungi undang-undang. Nyatalah pula bahwa pertanggungan jawab
pidana bagi pelaku percobaan itu lebih ringan daripada pertanggungan
jawab pidana kejahatan selesai.50

b. Latar Belakang Tindak Pidana Makar

50
Ibid, hlm. 8-9
30

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai tindak pidana makar,


terlebih dahulu akan dibahas mengenai latar belakang dari munculnya pasal
mengenai tindak pidana makar ini.
Tindak pidana makar diatur dalam bukum II, Bab I Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana tentang kejahatan-kejahatan terhadap keamanan
negara.51
I Tindak Pidana Makar Sebagai Tindak Pidana Yang Mengganggu
Kedudukan Negara Yang Merdeka dan Berdaulat.
Pengaturan dalam buku II Bab 1 KUHP ini memuat tindak
pidana yang bersifat mengganggu kedudukan negara yang masing-
masing merdeka dan berdaulat.52 Perbuatan yang dimaksudkan dalam
Buku II Bab 1 KUHP ini bisa disinonimkan dengan “pengkhianatan”
atau “treason”.53
Dalam pengkhianatan dapat dilihat penyesuaiannya dengan
Pasal 4 bagian 1e Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
menjelaskan bahwa ketentuan hukum pidana yang berlaku di
Indonesia yaitu Pasal 104, 106, 107, 108, 110, 111 bis, 127, dan 131
berlaku bagi setiap orang baik orang tersebut warga negara indonesia
maupun warga negara asing termasuk jika dilakukan di luar
indonesia.54
Semua pasal-pasal yang disebutkan kecuali pasal 131 termasuk
dalam Buku II Bab 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia. Untuk Pengkhianatan Ekstern diatur dalam pasal 4 ke-1
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku bagi warga
negara indonesia yang melakukan tindak pidana luar negeri dan
melanggar pasal-pasal 121, 124, dan 126.55
Bab I buku II KUHP memuat tentang kejahatan terhadap
keamanan negara sebagai terjemahan dari KUHP yang asli tentang
51
M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP, Gramedia,
Jakarta, 1986, hlm. 209
52
Ibid, hlm. 209
53
Ibid, hlm. 110
54
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-
komentarnya lengkap Pasal demi Pasal, Cet ke 9, Politeia, Bogor, 1986, hlm. 32
55
Ibid, hlm. 32
31

misdrijven tegen de veilighid van den staat. Menerjemahkan dengan


kejahatan tentang keamanan negara memberikan konotasi terhadap
suatu keadaan dimana negara tidak aman.56 Pengaturan-pengaturan
Kejahatan terhadap keamanan negara dalam Bab I buku II KUHP ini
dimaksudkan untuk melindungi serangan individu maupun kelompok
yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksakan
kehendak mereka terhadap negara atau kelompok warga.57 Jadi dapat
disimpulkan bahwa kejahatan yang terdapat dalam Buku II bab I
KUHP ini menyangkut kepentingan masyarakat dan negara, sehingga
dapat dikatakan kejahatan tersebut mengancam kehidupan masyarakat
dan negara.
Jan Remmelink menyebut delik-delik yang mengancam
kehidupan bermasyarakat sebagai delik persiapan. Dalam
pemadanannya dengan KUHP Belanda Pasal 92 Sr tentang serangan
terhadap ratu dibandingkan dengan Pasal 104 KUHP Indonesia
tentang makar dengan maksud membunuh Presiden, Ramelink
menyatakan bahwa Pasal 92 Sr dan Pasal 104 KUHP adalah suatu
delik Persiapan.58
Dalam penjelasannya mengenai delik persiapan, Remmelink
mengatakan bahwa delik persiapan adalah salah satu bentk kuasa
khusus dari delik yang menmbulkan bahaya, bahaya yang
dimaksudkan disini dimengerti sebagai kemungkinan nyata timbulnya
kerusakan terhadap benda hukum atau kepentingan hukum yang
dilindungi oleh hukum. Berkaitan dengan tidak pidana yang
dimaksudkan antara lain adalah Tindak Pidana Makar yang terdapat
dalam Pasal 104 KUHP. Perumusan tindakan-tindakan persiapan jelas
menarik batas perumusan tindak pidana jauh ke depan.59

56
Loebby Loqman, “Analisa Hukum Dan Perundang-Undangan Kejahatan
Terhadap Keamanan Negara di Indonesia”, Disertasi Doktor Universitas Indonesia,
Depok, 1990, hlm. 100
57
Ibid, hlm. 103
58
Jan Remmelink, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari
KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Cetakan 1, Jakarta, Gramedia,
2003, hlm. 300
59
Ibid, hlm. 64-65
32

II Pembatasan Tindak Pidana Makar


Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
Pembatasan Tindak Pidana Makar dirumuskan dalam Pasal 87 KUHP.
Kata-kata makar sebagai tindakan Terlarang dalam KUHP dapat
ditemukan pada pasal 104, 106, 107, 139a, 139b, dan 140. Semula
sebelum tahun 1920 perumusan pengertian makar ialah jika suatu
percobaan yang dapat dipidana sudah ada untuk melakukan suatu
tindakan yang telah diniat itu. Maksud dibuatnya istilah ini adalah
untuk mencegah aksi-aksi revolusioner seperti tindakan-tindakan yang
akan mengganggu keamanan negara, penggulingan pemerintahan
yang sah, dan lain sebagainya, dari sejak awal-mulanya yang
dikehendaki adalah agar suatu tindakan yang sebenarnya belum
merupakan suatu “percobaan yang dapat dipidana” (atau dapat
dipersoalkan apakah tindakan itu merupakan suatu percobaan yang
dapat dipidana atau tidak, sudah harus dapat dipidana. Karena itu
sejak tahun 1920, dirubahlah redaksi tersebut menjadi seperti yang
sekarang berlaku.60

c. Macam-Macam Kejahatan Makar


Kejahatan yang masuk dalam kategori makar yang mengancam
kepentingan hukum atas keamanan dan keselamatan negara RI sebagaimana
dibuat dalam Bab I Buku II KUHP, terdiri dari 3 bentuk, yaitu:
1. Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keamanan
Kepala Negara atau Wakilnya (104);
2. Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keutuhan
Wilayah Negara (106);
3. Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi tegaknya
Pemerintahan Negara (107).61

II. 3 Tinjauan Umum People Power


60
S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Cetakan III, Alumni Ahaem-Petahaem, Jakarta, 1989, hml. 489-490
61
Adami Chazawi, op.cit, hlm. 11
33

a. Pengertian People Power

Istilah People Power kembali terdengar sangat kencang


tepatnya pada saat Pemilihan Umum (Pemilu) pada tanggal 17 April
2019 pada waktu itu. Karena banyak sebagian masyarakat yang pro
dan kontra terhadap istilah tersebut. Dengan adanya istilah tersebut
ada yang mengaitkan bahwa People Power merupakan suatu tindakan
yang dapat menghancurkan atau mengrongrong keadulatan seperti
Makar, namun ada pula yang menyatakan bahwa gerakan People
Power tersebut merupakan hal yang wajar dalam negara berdemokrasi
yang telah diatur dalam Perundang-Undangan. Istilah People Power
belum ada definsi yang jelas mengenai pengertiannya hanya saja
sudah ada dapat diartikan didalam Kamus Bahasa Indonesia yang
berarti Kekuatan Rakyat. Kekuatan Rakyat (Bahasa Inggris : People
Power) merupakan sebuah istilah yang digunakan dalam politik yang
berartikan kekuatan gerak populis dari gerakan sosial manapun yang
mendesak otoritas dari opini akar rumput dan kekuatan kehendak,
biadanya terdapat dalam penentangan terhadap suatu kelompok yang
terorganisir secara konvensional dan/atau pasukan politik. Dalam hal
ini “kekuatan rakyat” dapat diwujudkan dalam sebagai protes skala
kecil atau rendah serta atau untuk perubahan wilayah; atau secara
lebih luas lagi tindakan revolusioner yang melibatkan demonstrasi
jalan raya nasional, mogok kerja, dan mogok massal dengan tujuan
menggulingkan pemerintahan atau sistem politik yang sedang berdiri
atau sedang berjalan.62

b. Sejarah Adanya People Power


Dalam hal ini Gerakan Kekuatan Rakyat atau yang biasa
disebut People Power tersebut kemungkinan dapat terlaksana apabila
rakyat dirasa adanya hal-hal yang mempengaruhi kehidupan rakyat
yang dimana seharusnya dapat dipenuhi oleh pemerintah atau pun
negara kepada rakyat tidak dipenuhi atau diabaikan dengan begitu

62
Dikutip dari Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Kekuatan Rakyat, diakses pada
tanggal 25 November 2019, Pukul 12.20 WIB
34

saja. Kemudian faktor yang paling penting adalah rasa adil dan
sejahtera bagi rakyat. Selanjutnya menurut Eduardo T. Gonzales karya
tulisnya yang berisi“People Power In The Philippines: Between
Democratic Passions and The Rule Of Law” yaitu :
“If it is considered important for society, it should be seen as
consiting of two distinct elements: (1) the value of freedom:
that is important enough to be guaranteed for those who
“matter” in a good society; and (2) the equality of freedom:
that everyone matters, and thus freedom should be guaranteed,
on a shared basis, for all”.63

Arti kekuatan rakyat (People Power) ini sudah ada sejak


gerakan ini dilakukan oleh rakyat Philipina yang pada saat itu
berlangsung pada tahun 1986 yaitu bernamakan Revolusi EDSA.64
Kemudian gerakan kekuatan rakyat ini nyatanya sudah ada jauh
sebelum gerakan rakyat yang dimana Revolusi EDSA tersebut.
Dahulu Kekuatan Rakyat atau People Power disebut dengan arti yang
terdapat dalam konsep-konsep “Popular Pastisipation”,
“Empowerment of People”, dan “Community Organizing and
Mobilization”.65
Selanjutnya gerakan Kekuatan Rakyat ini atau People Power
memiliki suatu ciri yang dapat mempengaruhi “orang biasa” atau
berasal dari elite politik maupun dari bawah yang bukan merupakan
pelaku politik serta mengadakan atau menginginkan sebuah tuntutan
untuk tujuan perubahan yang baru. Dalam hal ini suatu gerakan
People Power ini merupakan suatu gerakan yang memiliki suatu
makna dimana kekuatan yang sangat amat besar dan membahayakan

63
Eduardo T. Gonzales, People Power In The Philippines: Between Democratic
Passions and The Rule Of Law, Volume 39 Numbers I-2, Asian Studies Journal, hlm.156
64
EDSA singkatan dari Epifanio de los Santos Avenue, sebuah jalan di Metro
Manila yang merupakan tempat aksi demonstrasi berlangsung. Hal yang menarik adalah
meskipun gerakan People Power disebut sebagai revolusi besar di Filipina, namun
berlangsung damai. Demonstrasi massal dengan jutaan orang ini berlangsung selama
empat hari di Metro Manila dengan tujuan untuk mengakhiri rezim otoriter Presiden
Ferdinand Marcos dan pengangkatan Corazon Aquino sebagai presiden.
65
Manis Thess Q. Pena, People Power in A Regine of Constitutionalism and The
Rule of Law, Vol. 76 No. 1, Philippine Law Journal. hlm. 19
35

sehingga mampu untuk meruntuhkan suatu pemimpin atau rezim yang


sedang berjalan atau berdiri di suatu negara.66
Gerakan Kekuatan Rakyat (People Power) ini adalah sebuah
gerakan yang terdiri dari kelompok individu yang terstruktur dan
teroganisir, dimana mereka menuntut agar kesejahteraan dan keadilan
masyarakat dapat dengan cara mengumpukan individu atau kelompok
dengan membentuk massa yang sangat banyak.

Selanjutnya individu serta kelompok tersebut yang berkumpul


dan membentuk suatu massa yang terdiri dari berbagai macam latar
belakang serta berbagai ideologi yang beda untuk bersatu demi
terpenuhinya serta tercapainya suatu tujuan dimana telah disusun,
dikonsep, serta direncanakan oleh rakyat dalam gerakan yang
dinamakan People Power.67

66
Putri Rezki Manan, Pengaruh People Power Dalam Suksesi Kepemimpinan di
Mesir, Universitas Hasanudin, Makasar, 2017, hlm. 12
67
Ibid, hlm. 12-13
36

BAB III

KASUS PELAKU TINDAK PIDANA MAKAR PEOPLE POWER


DALAM PEMILU 2019

III. 1 Posisi Kasus Yang Terjadi

Hasil wawancara dengan Penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya


Subdit Kamneg (Kemanan Negara) Bripka. Teguh, ditemukan fakta-fakta
sebagai berikut antara lain yaitu :

Pandangan terhadap People Power dalam Pemilu 2019, sebagai berikut :

Peran dari pihak kepolisian dalam berlangsungnya pesta demokrasi


dalam Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilaksanakan pada tanggal 17 April
2019 pada waktu itu menurutnya sangat Netral. Polisi selaku aparat penegak
hukum sangat Obyekif dalam mendukung Pasangan Capres dan Wapres
serta Caleg lainnya, menurutnya calon yang menang maupun yang kalah
tidak penting baginya karena Kepolisian hanya menjalankan tugasnya demi
untuk menjaga dan terciptanya kedamaian negara Republik Indonesia yang
37

sedang melaksanakan Pemilihan Umum 2019. Namun pada kenyataannya


terdapat oknum yang dirasa dalam Pemilu 2019 kemarin adanya suatu
kecurangan yang tidak benar dalam pelaksanaan Pemilu 2019 sehingga
munculnya isu-isu yang membawa masyarakat untuk bergerak menyuarakan
atas rasa kekecewaannya dibalik itu semua mereka telah mengumpulkan
bukti-bukti bahwa adanya suatu kecurangan kepada Bawaslu, disini
Bawaslu sebagai pengaman serta pengawal Pemilu 2019 jika terjadi
kecurangan-kecurangan maka Bawaslu akan bertindak. Akan tetapi bukti-
bukti yang dilaporkan oleh pihak yang merasa dirugikan terhadap
kecurangan Pemilu 2019 kemarin ditolak oleh pihak Bawaslu karena tidak
terpenuhi dan tidak adanya bukti yang kuat. Karena menurut mereka adanya
suatu kecurangan yang Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) oknum
tersebut kemudian ingin mngumpulkan suatu massa yang nantinya ingin
menggerakan untuk melancarkan aksinya atas rasa kekecewaannya dan
amarahnya yang sudah meningkat. Pelaku teresebut kemudian melakukan
Pidato kepada massa untuk meberikan penyampaian atas adanya kecurangan
dalam pemilu 2019 dan untuk mengajak melakukan aksi yang dinamakan
People Power. Pelaku yang menyerukan Pidato tersebut langsung kami
amankan karena adanya laporan dari pihak yang melapor kepada pihak
kepolisian atas dugaan Makar tersebut. Menurut Bripka. Teguh dalam
Pemilu 2019 kemarin masyarakat terlalu gampang dibodohi terhadap isu-isu
yang tidak benar adanya dan gampang untuk terprovokasi. Bripka. Teguh
pun menyampaikan seperti ini “orang yang sudah berpendidikan S1, S2,
maupun yang sudah berpendidikan tinggi saja masih gampang untuk
terhasut bagaimana dengan orang yang berpendidikan rendah yang tidak
tahu tentang apa apa ataupun yang berkaitan tentang hukum”. Dengan
adanya kasus tersebut pihak kepolisian sudah memantau cukup lama
terhadap kasus tersebut dan sampai saat ini polisi tetap terus menangani
prosesnya serta terus dipantau agar tidak adanya isu-isu yang membuat
masyarakat menjadi ikut terprovokasi. Hal tersebutlah yang dapat dikatakan
sebagai gerakan People Power yang terjadi pada saat Pemilu 2019 waktu
38

itu. Karena kepolisian hanya ingin terciptanya suasana yang kondusif dan
terjaganya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.68

Namun adanya Pidato yang membuat masyarakat menjadi terprovokasi


yaitu menyerukan ajakan Gerakan People Power yang dilakukan oleh
Pelaku pada tanggal 17/04/2019, tersebut yang membuatnya terjerat kasus
Makar yaitu, sebagai berikut :

“Dalam posisi saya sekarang Penasehat Hukum dari persaudaraan alumni


212. Dalam konteks analisis, kalah 2014 itu Prabowo dikalahkan dengan 8
juta suara itu sebenarnya sudah teratasi ketika 2016, sampai 2018. Ada
alumni 212 bisa mengumpulkan 13 juta orang di Monas. Artinya, 8 juta
tidak ada apa-apanya. Yang kedua kita semua menjadi saksi. Setiap
Prabowo datang ke daerah atau Prabowo kampanye tidak ada yang sepi.
Betul?

Tapi kita bisa tunjukkan ketika Jokowi datang ke tempat kampanye masih
banyak yang sepi. Maka itu anomali. Tidak mungkin kesepian dari dateng
konteks dia datang untuk kampanye itu, menjadi menang. Tidak mungkin.
Anomali, dimana?

Oleh karena itu. Saudara. Jika temuan-temuan kecurangan ini semakin


terang benderang. Dan kemarin saya ke Malaysia juga sudah jelas, terang
benderang. Sebelum pemilu malah sudah dicoblos. Itu bukan curang lagi,
perbuatan haram konteks pemilu.

Maka, jika terus semua kecurangan ini diakumulasi, saya dengar tadi, Insya
Allah sekitar jam 7, 8, akan diumumkan resmi apakah betul ada kecurangan
serius. Maka analisis yang telah sudah dilakukan pemimpin kita juga bapak
Prof. Dr. Amien Rais, Kekutan People Power itu sudah mesti dilakukan.
Setuju? Berani? Kalau People Power itu terjadi, kita tidak perlu lagi
mengikuti konteks tahapan-tahapan, karena ini udah kedaulatan rakyat.
Bahkan mungkin ini cara dari Allah untuk mempercepat Prabowo dilantik.
Tidak harus menunggu 20 Oktober. Inilah kekuatan People Power, Insya
68
Wawancara dengan Bripka Teguh, Penyidik Subdit Kamneg Ditreskrimum Polda
Metro Jaya, 21 November 2019
39

Allah. Tapi kita berharap, tetep Persatuan Indonesia harus diaga. Tidak
boleh kita pecah antar bangsa. Ini yang bikin berengsek elite-elite saja.
Terima kasih Assalamualaikum Warahmatullahhi Wabarakatuh.”

III. 2 Pasal yang dikenakan oleh Pihak Kepolisian Ditreskrimum Polda


Metro Jaya

Dalam posisi kasus serta pidato tersebut merupakan bukti mengenai


pelaku tindak pidana Makar yang kini pelaku tersebut disangkakan sebagai
tersangka dalam kasus Makar oleh ditreskrimum PMD. Pelaku telah
ditetapkan tersangka oleh pihak kepolisian Ditreskrimum Polda Metro
Jaya tepatnya pada 13 Mei 2019 pada pukul sepuluh (10.00 WIB).
Kemudian Pelaku di panggil untuk diperiksa atas dugaan Makar, dalam
surat panggilan tersebut, pihak kepolisian menyebutkan dan menetapkan
pelaku ditetapkan tersangka khususnya dugaan kasus kejahatan keamanan
dan keselamatan negara dan atau menyiarkan sesuatu kabar yang dapat
menimbulkan kerusuhan hingga membuat setiap individu atau kelomok
menjadi terprovokasi dikalangan masyarakat Indonesia sebagaimana telah
diatur di Pasal :69

Didalam Pasal 107 KUHP, Berbunyi :

1) Makar (aanslag) yang dilakukan dengan niat menggulingkan


pemerintahan, dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun.”
2) “Pemimpin dan pengatur makar yang dimaksudkan dalam ayat
pertama, dihukum penjara seumur hidup atau penjara sementara
selama-lamanya dua puluh tahun.70

Didalam Pasal 110 ayat (1), Berbunyi :71

Permufakatan akan melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan


dalam pasal 104, 106, 107 dan 108 dihukum sama dengan kejahatan itu.

Didalam Pasal 110 ayat (2), Berbunyi :72


69
Ibid
70
Indonesia, I, Op.cit, Pasal 107
71
R.Soesilo, Op.cit, hlm. 110-111
72
Ibid
40

1e. Mecoba membujuk orang lain supaya ia melakukan menyuruh atau


turut melakukan kejahatan itu atau memberi bantuan atau kesempatan,
ikhtiar atau keterangan untuk kejahatan itu.”
2e. Berikhtiar akan mendapat atau akan memberikan bagi orang lain
kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
3e. Sedia barang yang diketahuinya, bahwa barang itu guna melakukan itu.
4e. Menyiapkan atau mempunyai rencana untuk melakukan kejahatan itu,
yang akan diberitahukan kepada orang lain.
5e. Berikhtiar mencegah, menghalangi, atau menggagalkan sesuatu daya
upaya pemerintah untuk mencegah atau menekankan orang melakukan
kejahatan itu.
Didalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1946, Berbunyi :73
1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemeberitahuan bohong,
dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum
dengan hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun.
2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan
pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat,
sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan
itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggitingginya tiga
tahun.
Didalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Berbunyi :74

“Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang
berlebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-
tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah
dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman
penjara setinggi-tingginya dua tahun.”

73
Indonesia, I, Op.cit
74
Ibid
41

BAB IV

HASIL PENULISAN TENTANG PELAKU TINDAK MAKAR PEOPLE


POWER DALAM PEMILU 2019

IV. I Pengaturan Ketentuan Tindak Pidana Makar Dalam Kitab Undang-


Undang Hukum Pidana

a. Pengaturan Tindak Pidana Makar


Makar kepada negara serta bentuk pemerintahan negara
merupakan tindak pidana yang sangat berbahaya yang nantinya dapat
membahayakan suatau negara atau dapat merugikan masyarakat yang
berada didalam suatu negara.75 Keamanan yang harus dijaga maupun
dapat diberikan perlindungan untuk hal ini adalah keamanan negara
yaitu :76
1. Perlindungan/pengamanan kepala negara

75
Djoko Prakoso. Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, Cetakan 1, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1986. hlm. 33-34
76
Koesparmorno Irsan, Hukum Pidana 3, Cetakan 1, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1997. hlm. 258
42

2. Perlindungan/pengamanan wilayah negara


3. Perlindungan/pengamanan bentuk pemerintahan negara

KUHP Indonesia tidak mengadakan suatu Onderscheiding dan


pemisahan antara keamanan di dalam negara atau kejahatan keamanan
negara yang dilakukan di luar negara. Hal ini hanya dikenal dalam
code penal (KUHP Prancis), sedangkan Wetboek Van Strafrecht
(KUHP Belanda) yang merupakan refleksi dari KUHP kita, tidak
mencantumkan pemisahan ini. Walaupun KUHP kita tidak
mengadakan pemisahan antara kedua corak keamanan tersebut, namun
hal ini dapat dibicarakan dalam sistem hukum.77 Adapun pembagian
tersebut sebagai berikut :

a) Kejahatan terhadap keamanan negara di dalam negara, yang


meliputi delik makar terhadap Presiden dan terhadap Wakil
Presiden, Makar menggulingkan pemerintah yang sah, dan
pemufakatan untuk melakukan makar. Semua ini diatur dalam
Bab I Pasal 104, 106, 107, dan Pasal 110 KUHP yang mengatur
tentang pemufakatan jahat untuk melakukan makar, dan Bab II
Pasal 139a, Pasal 139b, dan Pasal 140.
b) Kejahatan terhadap keamanan negara yang dilakukan di luar
negara yang masih dibedakan lagi menjadi 2 jenis, yaitu:78
1) Diplomatische Landesveraat (Kejahatan terhadap
keamanan negara yang dilakukan di luar negara yang
berhubungan dengan masalah diplomatik), yaitu Pasal 111
dan 112 KUHP.
2) Militerische Landesveraat (Kejahatan terhadap keamanan
negara yang dilakukan di luar negara dan berhubungan
dengan masalah militer), yaitu Pasal 113 ayat (1), 122
bagian kedua, 123, 124, 126, dan 127 KUHP.

77
Oemar Seno Adjie, Seminar Perkembangan Delik-Delik Khsusus Dalam
Masyarakat Yang Mengalami Modernisasi, hlm. 44-47
78
Ibid, hlm. 44-47
43

Pasal-pasal yang masuk dalam Diplomatische Landesveraat


terlihat mengatur masalah tentang kejahatan yang sangat erat
kaitannya dengan hubungan diplomatik antar negara, seperti
menghasut negara lain untuk berperang dengan indonesia atau
mengumumkan rahasia negara Indonesia pada negara asing.

b. Unsur-Unsur Dalam Pasal Tentang Makar


a) Pasal 104 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Isi dari Pasal 104 KUHP :
“Makar dengan maksud untuk menghilangkan jiwa Presiden atau Wakil
Presiden, atau dengan maksud merampas kemerdekaan mereka atau
menjadikan mereka tidak mampu memerintah, diancam dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun”
Pasal 104 sebagai pasal pertama dari Bab I Buku II KUHP memuat tindak
pidana berupa makar yang dilakukan dengan tujuan akan menghilangkan
nyawa atau kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden Republik
Indonesia, atau dengan tujuan akan menjadikan mereka tidak dapat
menjalankan pemerintah sebagaimana mestinya (tot regeren ongeschkit
maken). Hukumannya adalah hukuman penjara selama-lamanya dua puluh
tahun. Hukuman itu oleh penetapan presiden No. 5 Tahun 1959 dinaikkan
menjadi hukuman mati atau penjara seumur hidup atau selama dua puluh
tahun dan minimum satu tahun penjara jika si pelaku mengetahui atau
patut harus mengira bahwa tindak pidana ini akan menghalang-halangi
terlaksananya program pemerintah saat itu, yaitu :
1) Memperlengkapi sandang-pangan rakyat dalam waktu sesingkat-
singkatnya.
2) Menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara
3) Melanjutkan perjuangan menentang imprerialisme ekonomi dan
politik (Irian Barat).

Adapun unsur-unsur dalam Pasal 104 KUHP ini adalah :

1) Makar :
44

Aanslag, onslaught, serangan, yang diartikan dalam Pasal 87


KUHP yang menagatakan bahwa makar untuk suatu perbuatan sudah
ada apabila kehendak si pelaku sudah nampak berupa permulaan
pelaksanaan dalam arti yang dimaksudkan dalam Pasal 53 KUHP
tentang percobaan. Aanslag biasanya dilakukan dengan perbuatan
kekerasan. Apabila pelaku baru melakukan perbuatan persiapan
(vorbereidings-handeling) saja ia belum dapat dihukum. Supaya bisa
dihukum, ia harus sudah mulai melakukan perbuatan pelaksanaan
(uitvoeringshandeling). Untuk makar/aanslag ini tidak perlu diadakan
perencanaan lebih dahulu, sudah cukup apabila unsur sengaja sudah
ada.79
Lamintang mengatakan yang dimaksud dengan makar
berdasarkan tata bahasa belanda adalah serangan (aanslag) atau
serangan dengan maksud tidak baik, dan bahwa menurut ketentuan
Pasal 87 KUHP orang baru dapat berbicara tentang terjadinya suatu
aanslag jika maksud pelaku untuk melakukan suatu tindak pidana itu
telah terwujud dalam suatu permulaan pelaksaan dari tindak pidana
itu. Kata aanslag menurut lamintang, jangan selalu harus diartikan
sebagai suatu tindak kekerasan, karena yang dimaksudkan dengan
kata-kata tersebut sebenarnya ialah segala tindakan yang dilakukan
untuk merugikan kepentingan-kepentingan hukum tertentu dari kepala
negara dan wakil kepala negara, yakni kepentingan akan nyawa dan
tubuh, termasuk juga kedalamnya adalah kepentingan-kepentingan
hukum mereka atas kebebasan untuk bergerak dan untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka selaku kepala negara
menurut undang-undang dasar.80
Langemayer, simons, Van Bemmelen, dan Van Hattum
memiliki pandangan yang sama mengenai “makar”, yaitu bahwa
untuk suatu makar terjadi tidak cukup jika tindakan pelaku baru
merupakan suatu tindakan persiapan melainkan harus sudah terwujud

79
R. Soesilo, Op.cit, hlm. 108
80
Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Terhadap Kepentingan
Hukum Negara, Cetakan I, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 7-8
45

dalam suatu permulaan dari tindakan pelaksanaan. Langemeyer


menambahkan bahwa orang dapat mengetahui bahwa makar yang
ditujukan terhadap hal-hal yang diatur dalam Pasal 104 ini tetap dapat
dituntut, jika maksud untuk menghilangkan nyawa, merampas
kemerdekaan, membuat tidak mampu memerintah kepala negara atau
wakilnya ternyata gagal.81
2) Dengan Maksud
Pelaku harus mempunyai niat, kehendak atau tujuan. Tujuan
tersebut tidak perlu terlaksana dan maksudnya meliputi
menghilangkan jiwa Presiden atau Wakil Presiden, merampas
kemerdekaan Presiden dan Wakil Presiden, dan menjadikan Presiden
atau Wakil Presiden tidak mampu menjalankan pemerintahan.82
Lamintang memasukkan unsur dengan maksud sebagai unsur
subjektif. Kata dengan maksud atau met het oogmerk dalam
hubungannya dengan tindak pidana makar ini diartikan sebagai
maksud pribadi dari si pelaku, karena sesuai dengan penjelasan
pembentuk undang-undang dalam MvT, semua unsur yang terletak
dibelakang oogmerk itu juga diliputi oleh unsur oogmerk ini,
mengingat oogmerk ini adalah unsur subjektif, unsur ini bisa juga
dikatakan sebagai maksud subjektif atau maksud pribadi dari si
pelaku.83
Menurut Sianturi kata-kata “dengan maskud” di Pasal ini
selain daripada tujuannya yang tidak mesti harus menjadi kenyataan,
juga merupakan kehendak dari pelaku, artinya pelaku harus
mengetahui bahwa yang menjadi sasarannya itu adalah
Presiden/Wakilnya atau setidaknya mengetahui Presiden dan Wapres
dapat terkena akibatnya.84
3) Menghilangkan Nyawa

81
Ibid, hlm. 9
82
H.A.K Moch Anwar (Dading), Hukum Pidana Bagan Khusus, Alumni,
Jakarta, 1980, hlm. 217
83
Lamintang, Op.cit, hlm. 23
84
S.R Sianturi, Tindak Pidana di KUHP berikut Uraiannya, Cetakan III, Alumni
AHM-PTHM, Jakarta, 1983
46

Diartikan sama dengan pembunuhan85, sama seperti yang


terdapat dalam Pasal 338 tentang pembunuhan biasa, percobaan
pembunuhan, dan Pasal 340 tentang Pembunuhan yang
direncanakan.86
4) Merampas Kemerdekaan
Tidak harus di sekap atau diikat atau dikurung dikamar yang
sempit tetapi misalnya dengan cara menculik, menyuruh korban tetap
berada di dalam rumah besar atau istana, bungalow, atau ruangan lain
yang cukup luas untuk hidup atau bergerak dengan leluasa akan tetapi
dengan dijaga sehingga kemerdekaannya terbatas.87 Sama seperti
dalam pasa 333 KUHP yaitu tindak pidana perampasan
kemerdekaan.88
Simons mengatakan bahwa “kemerdekaan” yang dimaksud
adalah merupakan kemerdekaan untuk meninggalkan tempat dimana
seseorang berada dan pergi ke tempat yang mereka mau. Perampasan
kemerdekaan dilakukan dengan cara mengurung seseorang, bisa juga
dengan mengikat dan sebagainya. “Perampasan Kemerdekaan” dapat
dipandang sebagai perbuatan yang menyebabkan orang lain tersebut
kehilangan kemerdekaan untuk bergerak atau tidak. Hoge Road juga
memberikan pendapat yang sama dengan Simmons, jadi bisa
dikatakan makar untuk merampas kemerdekaan presiden itu
sebenarnya adalah makar yang dilakukan dengan maksud untuk
merampas kebebasan bergerak dari Presiden dan Wapres.89
5) Menjadikan Tidak Mampu Menjalankan Pemerintahan
Dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, misalnya
kekerasan (pukulan), memberikan obat atau bahan yang merugikan
kesehatan secara fisik maupun mental, sehingga menjadi lumpuh,

85
Soesilo, Op.cit, hlm. 108
86
Dading, Op.cit, hlm.217
87
Soesilo, Op.cit, hlm. 108
88
Prakoso, Op.cit, hlm. 37
89
Lamintang, Op.cit, hlm. 31
47

tidak berdaya, tidak dapat berpikir dan sebagainya. Hal ini tidak
ditentukan secara limitatif dalam perumusan hukumnya.90
Noyon-Langenmeyer mengatakan bahwa cara-cara yang
disebutkan pembentuk undang-undang mengingatkan orang pada
keharusan tentang adanya suatu ketidakmampuan secara fisik dan
ketidakmampuan secara psikis. Ketidakmampuan memerintah itu
harus selalu diartikan sebagai suatu ketidakmampuan yang disebabkan
oleh keadaan sakit.91
Sianturi mengatakan bahwa “untuk menjadikan mereka tidak
mampu memerintah adalah rumusan yang luas, ini berarti tindakan
apapun yang dilakukan selain dari perampasan nyawa dan
kemerdekaan yang pada hakekatnya menjadikan presiden tidak
mampu memerintah dicakup dalam pasal ini. Menghipnotis, membius
meracun, membuat tak sadar Presiden termasuk dalam pengertian
membuat presiden tak mampu memerintah, dengan kata lain
menjadikan Presiden tak bisa dapat menjalankan tugasnya untuk
memerintah baik secara fisik maupun psikis.92
6) Presiden dan Wakil Presiden
Disini Objeknya adalah kepala negara baik Presiden maupun
Wakil Presiden, pelaku harus mengetahui dan memiliki kesengajaan
bahwa perbuatannya yang dilakukan ditujukan pada Presiden dan
Wakil Presiden. Apabila pelaku tidak mengetahui bahwa korbannya
tersebut adalah Presiden atau Wakil Presiden, pelaku tidak dikenakan
Pasal 104 KUHP tetapi hanya diancam dengan pasal-pasal
pembunuhan (338, 339, dst,....).93
b) Pasal 105 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Isi Dari Pasal 105 KUHP :
“Dihapus dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946
Pasal VIII, butir 13.”94

90
Ibid, hlm. 37
91
Ibid, hlm. 35
92
Sianturi, Op.cit, hlm. 9
93
Sianturi, Op.cit, hlm. 7
94
Indonesia, I, Op.cit
48

c) Pasal 106 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


Isi Dari Pasal 106 KUHP :
“Makar dengan maksud supaya wilayah negara seluruhnya atau
sebagian jatuh ke tangan musuh, atau dengan maksud untuk
memisahkan sebagian wilayah negara dari yang lain, diancam dengan
pidana penjara seumur hidup atau dengan pidana penjara selama
waktu tertentu, paling lama 20 tahun”.

Dalam pasal Pasal 106 KUHP mengancam hukuman pidana


maksimum dua puluh tahun penjara dengan kemungkinan hukuman
mati, ini berisi mengenai makar yang dilakukan dengan tujuan untuk
menaklukan wilayah negara seluruhnya atau sebagian dibawah
penguasaan asing atau dengan tujuan untuk memisahkan bagian dari
wilayah negara.95
Unsur-unsur dari Pasal 106 KUHP yaitu :
1) Makar : Lihat penjelasan Pasal 104 KUHP
2) Dengan Maksud hendak :
- Menaklukan daerah negara seluruhnya atau sebagian ke bawah
pemerintahan asing.
- Memisahkan sebagian dari wilayah negara.96
3) Menaklukan Daerah Negara Seluruhnya atau Sebagian ke Bawah
Pemerintahan Asing
Unsur ini berhubungan dengan integristas wilayah negara
Republik Indonesia yang dibahayakan. Unsur ini juga berarti
menyerahkan seluruh atau sebagian besar wilayah negara ke dalam
pemerintahan asing. Negara dijadikan negara jajahan atau dibawah
kedaulatan negara lain, sehingga negara kehilangan kemerdekaannya
sedangkan sebagian wilayah dibawah negara pemerintahan asing berarti
negara kehilangan kedaulatannya sama sekali.97
Pasal ini ada padanannya dalam New.WvS, yaitu artikel 93,
dengan pidana penjara sama dengan Pasal 106 KUHP, seumur hidup atau
maksimum dua puluh tahun. Dalam hal ini, yang akan dilindungi ialah

95
Ibid, Pasal 105 KUHP
96
Moch. Anwar, Op.cit, hlm. 42
97
Ibid, hlm. 218
49

keutuhan wilayah negara. Tidak ada kualifikasi (nama) delik ini. Akan
tetapi dapat disebut “makar dilakukan dengan maksud seluruh atau
sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan
wilayah negara.98
Oleh karena ancaman pidana penjara seumur hidup, maka dapat
dilakukan penahanan terhadap pembuat. Kesengajaan dapat berupa
sengaja bersayarat (dolus eventualis). Kata “maksud” disini harus
diartikan luas, meliputi semua bentuk kesengajaan (Hoge Raad, 27 Mei
1929, NJ.1929, 1269). Percobaan (makar) perbuatan persiapan berlaku
juga untuk pasal ini.99
d) Pasal 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Isi Dari Pasal 107 KUHP :

(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan


pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(2) Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat (1), diancam
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling
lama dua puluh tahun.

Dengan pengertian makar (aanslag), sudah dikemukakan di awal


sama dengan pengertian percobaan, tetapi unsur ketiga percobaan ditiadakan,
artinya walaupun pembuat dengan sukarela menghentikan pelaksanaan
perbuatannya, tetap dipidana.100
Rumusan pasal ini harus dikaitkan dengan Pasal 88 bis, yang
mengatakan: dengan penggulingan pemerintah dimaksud meniadakan atau
mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan menurut Undang-Undang
Dasar. Kesengajaan ialah semua bentuk sengaja, termasuk sengaja bersyarat,
atau Dolus Eventualis karena makar dan tindakan permulaan telah dilakukan.
Jadi, pelaksanaan niat sudah dimulai.101
Unsur-Unsur Dari Pasal 107 KUHP yaitu :
98
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu di Dalam KUHP, Cetakan Pertama, Edisi
ke dua, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 218
99
Ibid
100
Ibid, hlm. 219
101
Ibid
50

1) Makar : lihat penjelasan Pasal 104 KUHP


2) Dengan Maksud : lihat penjelasan Pasal 104 KUHP
3) Menggulingkan Pemerintahan : menggulingkan pemerintahan ditafsirkan
dalam Pasal 88 bis
Dalam pasal 88 bis ini dapat diraikan unsur-unsurnya yaitu :102
1) Merusak susunan pemerintahan : meniadakan susunan pemerintahan
yang lama dan diganti dengan yang baru misalnya republik menjadi
kerajaan yang absolut atau kerajaan yang konstitusional.
2) Mengganti susunan pemerintahan : bisa dikatakan dengan istilah lain
yaitu “mengubah” (veranderen), artinya tidak mengadakan susunan
pokok pemerintahan yang lama, akan tetapi hanya mengubah saja.
3) Cara meniadakan dan mengubah susunan pemerintahan harus
memenuhi syarat “tidak sah”. Bila pemerintahan diubah dengan cara
yang sah (menurut ketentuan yang diberlakukan dalam undang-udang)
maka peniadaan dan perubahannya tidak dilarang.
Wirjono memberikan pendapatnya bahwa dalam Pasal 88 bis
disebutkan tidak hanya bentuk pemerintahan menurut undang-undang dasar
yang diubah, tetapi juga peraturan menggantikan naik tahta kerajaan dan
bentuk pemerintahan di Indonesia menurut Undang-Undang.103
Lamintang berpendapat jika ketentuan pidana yang diatur dalam pasal
107 KUHP dihubungkan dengan penafsiran otentik dari pembentuk Undang-
Undang tentang unsur dalam Pasal 88 bis diatas maka akan dapat diketahui
bahwa yang dilarang dalam Pasal 107 ayat (1) KUHP sebenarnya ialah
perbuatan makar yang dilakukan dengan maksud untuk menyebabkan :104
1) Dihancurkan atau diubahnya bentuk pemerintahan menurut Undang-
Undang Dasar dengan cara yang tidak sah menurut Undang-Undang.
2) Dirusakkannya atau dirubahnya tata cara penggantian takhta (tata cara
penggantian kepala negara) menurut Undang-Undang Dasar dengan cara
yang tidak sah menurut Undang-Undang.
3) Dirusaknya atau diubahnya tata cara dalam bentk pemerintah Indonesia
menurut Undang-Undang dasar dengan cara yang tidak sah menurut
Undang-Undang.

102
Soesilo, Op.cit, hlm. 109
103
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Cetakan
5, Refika, Bandung, 2002, hlm. 198
104
Lamintang, Op.cit, hlm. 50-51
51

Sianturi memberikan pendapatnya tentang unsur meniadakan dan


mengubah yang digunakan dalam perumusan ini, masing-masing mempunyai
pengertian yang berbeda, dimana meniadakan mempunyai pengertian yang
lebih tinggi kualitasnya dibanding dengan istilah merubah. Meniadakan
berarti menghapuskan atau mengjungkirbalikan suatu bentuk pemerintah
yang berdasarkan UUD 1945 yang sama sekali bertentangan dengan cara-cara
yang ditentukan dalam UUD 1945 baik organisasinya maupun hak, kewajiban
dan kewenangannya. Sedangkan yang dimaksud dalam unsur merubah
dengan yang tidak sah ialah bahwa pada dasarnya organisasi kenegaraan itu
masih tetap mengikuti atau berdasarkan UUD 1945 hanya caranya yang tidak
sesuai dengan perundangan yang berdasarkan UUD 1945.105
Dalam Perkembangannya, didalam Peraturan Perundang-Undangan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terkait dengan kejahatan Makar
mengalami penambahan Pasal pada tahun 1999. Dalam penambahan pasal itu
telah diundang-undangkan pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999
Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan
dengan Kejahatan Terhadap Kemanan dan Keselamatan negara. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 setelah Pasal 107 KUHP disisipkan
Pasal 107a-f yang berbunyi :106
Pasal 107a KUHP, Berbunyi :
“Barangsiapa secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan,
dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisme, Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.”

Pasal 107b KUHP, Berbunyi :


“Barangsiapa secaa melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan,
dan atau melalui media apapun, menyatakan keinginan untuk meniadakan
atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya
kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugia
harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)
tahun.

Pasal 107c KUHP, Berbunyi :


105
Sianturi, Tindak Pidana...., Op.cit, hlm. 19
106
Penyusun Badan Diklat Kejaksan RI, Modul Delik Tertentu Dalam KUHP,
Diklat Kejaksaan RI, 2017, hlm 28-29
52

“Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan, lisan,


tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan
ajaran Komunisme, Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya
kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian
harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun.”

Pasal 107d KUHP, Berbunyi :


“Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan, lisan,
tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan
ajaran Komunisme, Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau
mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun.”

Pasal 107e KUHP, Berbunyi :


Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun :
a. Barangsiapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut
diduga menganut ajaran Komunisme, Marxisme-Leninisme dalam segala
bentuk perwujudannya; atau
b. Barangsiapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberi bantuan
kepada organisasi, baik didalam maupun diluar negeri, yang diketahuinya
berdasarkan ajara Komunisme-Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk
dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau
menggulingkan pemerintahan yang sah”

Pasal 107 f KUHP, Berbunyi :


Dipidana karena sabotase dengan pidana penjara seumur hidup atau paling
lama 20 (dua puluh) tahun:
a. Barangsiapa yang secara melawan hukum membuat tidak dapat dipakai,
menghancurkan memusnahkan instalasi negara atau militer, atau
b. Barangsiapa yang secara melawan hukum menghalangi atau
menggalkan pengadaan atau distribusi bahan pokok yang menguasai
hajat hidup orang banyak sesuai dengan kebijakan Pemerintah.”

c. Pasal-Pasal Lain Yang Berhubungan Dengan Tindak Pidana Makar


Selanjutnya Selain tindak pidana yang terdapat kata makar di
dalamnya akan dibahas juga pasal-pasal lain yang erat kaitannya dengan
pasal-pasal makar tersebut, pasal-pasal yang ada kaitannya yaitu :
1. Pasal 4 sub. I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Isi dari Pasal 4 sub. I KUHP yaitu :
53

“Aturan Pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap


orang yang diluar Indonesia melakukan : Ke-1 salah satu kejahatan
tersebut pasal-pasal: 104, 106, 107, 108, 110, 111 pada bis ke-1, 127 dan
131”
Dalam Pasal 4 ini mengatur mengenai asas keberlakuan hukum pidana
yaitu bahwa setiap orang, baik warga negara Indonesia, maupun warga
negara asing yang berbuat kejahatan sebagaimana tersebut dalam pasal ini,
meskipun diluar wilayah negara indonesia dapat dikenakan ketentuan-
ketentuan pidana Indonesia. Pasal 4 sub I ini menganut asas keberlakuan
hukum pidana yang disebut asas nasionalitas pasif atau asas
perlindungan.107
Dalam asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku
terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, terutama
perbuatan-perbuatan yang menyangkut kepentingan negara yang dilakukan
di luar kekuasaan negara tersebut. Disini yang dilindungi bukanlah
kepentingan Individual tetapi kepentingan Nasional atau kepentingan
Umum yang lebih luas.108
2. Pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Isi dari Pasal 108 KUHP yaitu :109
(1). Barangsiapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun:
Ke-1. Orang yang melawan Pemerintah Indonesia dengan senjata;
Ke-2. Orang yang dengan maksud melawa Pemerintah Indonesia
menyerbu bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan
yang melawan Pemerintah dengan senjata.
(2). Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling
lama dua puluh tahun.”

107
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetkatan ke-2, Edisi Revisi, Rineka
Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 69
108
Ibid, hlm. 70
109
R. Soesilo, Op.cit
54

Delik ini adalah delik berkualifikasi “pemberontakan”. Delik ini


dilakukan oleh pemberontakan DI/TII, RMS, PRRI/Permesta dan GAM.
Ditegaskan, bahwa delik ini delik sengaja. Ditandai dengan kata “dengan maksud”
(met het oogemerk). Ayat (1) butir 2, mengenai orang yang menyerbu atau
menggabungkan diri pada gerombolan bersenjata yang melawan Pemerintah.110
Pada ayat (2) dipidana lebih berat bagi para pemimpin dan para pengatur
pemberontakan, yaitu pidana penjara seumur hidup atau maksimum dua puluh
tahun.111
Bagian inti delik (delictsbestanddelen):
Ayat (1) ke 1 :
1) Bersalah karena pemberontakan
2) Melawan pemerintah Indonesia dengan senjata
Ayat (1) ke 2 :
1) Dengan maksud
2) Melawan pemerintah Indonesia
3) Menyerbu bersama-sama atau.
4) Menggabungkan diri dengan gerombolan yang melawan pemerintah
dengan senjata.
Namun menurut Lamintang, yang dimaksudkan dengan perbuatan
memberontak menurut KUHP itu adalah perbuatan yang:112
a) Mengangkat senjata atau melakukan perlawanan bersenjata terhadap
kekuasaan yang ada di Indonesia atau
b) Kesengajaan untuk bersama atau bergabung dengan gerombolan yang
mengangkat senjata atau yang melakukan perlawanan bersenjata terhadap
kekuasaan yang ada di Indonesia untuk melakukan perlawanan terhadap
kekuasaan tersebut.
Dalam hal ini pemberontakan tersebut dianggap ada, apabila perlawanan
atau serangan dengan senjata tersebut dilakukan oleh orang banyak dalam
hubungan organisasi, apabila hanya dilakukan oleh satu atau dua orang saja yang
tidak dalam hubungan organisasi terhadap pegawai pemegang kekuasaan

110
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu..., Op.cit, hlm. 226
111
Ibid
112
Lamintang, Op.cit, hlm. 74
55

pemerintah itu tidak masuk dalam pemberontakan, akan tetapi adalah perlawanan
yang diancam hukuman menurut Pasal 212 yaitu kejahatan yang dilakukan
terhadap Pegawai Negeri. Perlawanan harus ditujukan pada kekuasaan pemerintah
yang sah, misalnya ditujukan kepada para pejabat militer, pejabat pemerintah
daerah, pejabat polisi, atau para pemegang kekuasaan pemerintah di tempat.
Untuk dapat dihukum menurut pasal ini tidak perlu harus ada maksud untuk
mengganti atau merubah pemerintah yang lama dengan yang lain. Dengan maksud
untuk melawan saja, misalnya oleh karena merasa tidak puas dengan keadaan
waktu itu sudah cukup.113

3. Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


Isi dari Pasal 110 KUHP yaitu :114

(1). Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut Pasal 104, 106,
107, dan 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal
tersebut.

(2). Pidana yang sama diterapkan terhadap orang-orang yang dengan maksud
berdasarkan Pasal 104, 106, 107, dan 108, mempersiapkan atau
memperlancar kejahatan:
1. Berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan, menyuruh
melakukan atau turut serta melakukan agar memberi bantuan pada
waktu melakukan atau memberi kesempatan, sarana atau keterangan
untuk melakukan kejahatan;
2. Berusaha memperoleh kesempatan, sarana atau keterangan untuk
melakukan kejahatan bagi diri sendiri atau orang lain.
3. Memiliki persediaan barang-barang yang diketahuinya berguna
untuk melakukan kejahatan;
4. Mempersiapkan atau memiliki rencana untuk melaksanakan
kejahatan yang bertujuan untuk diberitahukan kepada orang lain.

113
Ibid, hlm. 110
114
Soesilo, Op.cit
56

5. Berusaha mencegah, merintangi atau menggagalkan tindakan yang


diadakan oleh pemerintah untuk mencegah atau menindas
pelaksanaan kejahatan.

Pasal ini tidak memuat rumusan delik sendiri, tetapi menyebut


permufakatan jahat dipidana sama dengan yang tersebut dalam Pasal 104, 106,
dan 108 KUHP. Jadi, yang dipidana sama ialah tindakan persiapan. Akan tetapi,
ada perbedaan antara permufakatan jahat dan perbuatan persiapan, yaitu dalam hal
permufakatan jahat (samenspanning), selalu dilakukan dua orang atau lebih,
sedangkan perbuatan persiapan dapat dilakukan oleh satu orang. Kegiatan
permufakatan jahat bisa berupa omongan saja.115
Bentuk menyuruh orang lain, turut serta dan pembantuan diatur tersendiri,
dengan pidana yang sama dengan delik pokok. Pidana dapat dilipat dua kali jika
perbuatan menyuruh orang dan seterusnya sungguh terjadi. Tentu pidana mati dan
penjara seumur hidup tidak dapat dilipat dua kali.116
Pasal 110 ini tidak merumuskan delik sendiri hanya menyebut
permufakatan jahat, berusaha menggerakkan, orang lain untuk melakukan,
menyuruh melakukan atau turut serta melakukan agar memberi bantuan pada
waktu melakukan atau memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk
melakukan kejahatan bagi diri sendiri atau orang lain; memiliki persedian barang-
barang yang diketahuinya berguna untuk melakukan kejahatan; mempersiapkan
atau memiliki rencana untuk melaksanakan kejahatan yang bertujuan untuk
diberitahukan kepada orang lain; berusaha mencegah, merintangi, atau
menggagalkan tindakan yang diadakan oleh pemerintah untuk mencegah atau
menindas pelaksanaan kejahatan (104, 106, 107, dan 108). Jadi, perbuatan
persiapan seperti permufakatan jahat diancam pidana yang sama dengan delik
selesai. Begitu pula penyertaan, pembantuan dan merintangi usaha menindas
pemberontakan.117

IV. 2 Tinjauan Yuridis Terhadap Gerakan People Power Dalam Pemilu


2019

115
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu..., Op.cit, hlm. 228
116
Ibid
117
Ibid
57

a. Kejadian atau Fenomena Kasus Gerakan People Power dalam


Pemilu 2019
Dalam skripsinya ini penulis akan menyampaikan analisisnya
terhadap gerakan People Power dalam Pemilu 2019 apakah dapat
dikatakan sebagai Tindak Pidana Makar atau tidak. Antara lain
sebagai berikut :
Tahun 2019 ini Indonesia memasuki tahun pesta demokrasi
dalam memilih calon Presiden dan Wakil Presiden serta Anggota
Legislatif. Dalam Pemilihan umum serentak pada tanggal 17 April
2019, eksistensi dalam berpolitik terus naik atau meningkat, khusunya
dalam Penetapan Hasil Pemilu pada tanggal 22 Mei 2019. Namun
banyak yang mengira bahwa disebagian pihak masyarakat terdapat
banyak kecurangan dalam penyelenggaran Pemilu tersebut, tetapi
disamping itu harus diakui bahwa secara umum Pemilu dapat berjalan
dengan aman, baik, tertib, maupun damai. Namun dibalik itu semua
setelah terselenggaranya Pemilu ada yang beranggapan bahwa Pemilu
itu curang, celakanya semua itu dilakukan oleh para elite menengah ke
atas yang haus akan kekuasaan. Seperti Pemilu itu curang dan tidak
benar, ada yang menyebutkan bahwa kecurangan itu “Tersektruktur,
Sistematis, dan Masif”, sampai ada ajakan untuk menyerukan
melakukan Gerakan People Power termasuk untuk melakukan
revolusi. Hal-hal tersebutlah yang dapat menjadikan keonaran
dikalangan masyarakat.118
b. Pembahasan Terhadap Pasal 53 KUHP Tentang Percobaan
Dalam Kasus yang terjadi Gerakan People Power dalam
Pemilu 2019 merupakan kejahatan yang dapat membahayakan
Keamanan Negara jika hal tersebut dilakukan. Namun disini penulis
akan mejelaskan mengenai Percobaan terlebih dahulu :

a) Pembahasan Mengenai Percobaan Dalam KUHP


Ketentuan Pasal 53 KUHP ayat (1) adalah :119
118
Wawancara dengan Bripka. Teguh, Op.cit
119
Indonesia I, Op.cit
58

1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah nyata
dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan
itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan
dikurangi sepertiga.
3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

Disini Hazewinkel-Suriga berpendapat bahwa percobaan itu bukanlah


peristiwa pidana yang berdiri sendiri, tetapi suatu bentuk gejala dimana kunci
terpentingnya hilang. Lalu beliau berpendapat bahwa percobaan terhadap
kejahatan dapat dipandang sebagai suatu peristiwa pidana yang dikecualikan
dimana dapat berbentuk sebagai percobaan lagi. Percobaan terhadap percobaan
sangat tidak relavan.120
Disisi lain Van Hattum berpendapat bahwa anasir percobaan yang
terdapat dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP adalah sebagai berikut :121
1) Ada maksud dari pembuat
2) Sudah nyata dalam memulai pelaksanaan maksud
3) Karena suatu sebab diluar kehendak pembuat, maka maksud pembuat tidak
dapat diselesaikan.
E. Ultrech menggambarkan anasir-anasir percobaan sebagai berikut:122
1) Suatu maksud pembuat, yang
2) Sudah ternyata dalam suatu memulai melaksanakan
3) Karena suatu sebab diluar kehendak pembuat maka apa yang dimaksud oleh
pembuat tak dapat diselesaikan
Menurut sianturi ketentuan tersebut tidak memberikan batasan atau
definisi tentang percobaan, yang ditentukan adalah syarat-syarat yang harus

120
Rusli Effendi dan Poppy Andi Lolo, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Ke-
4, LEPPEN-UMI, Jakarta, 1989, hlm. 131
121
Ibid, hlm. 132
122
E. Utrecht, Hukum Pidana I, Cetakan, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1994,
hlm. 395
59

dipenuhi, supaya pelaku percobaan didalam Pasal 53 dapat dipidana, syarat-


syarat itu yaitu :123
1) Isi atau warna kejiwaan penindak.
2) Kelakuan atau tindakan penindak.
3) Hasil dari isi kejiwaan dan tindakan tersebut.
Hasil dari isi kejiwaan dan tindakan tersebut dirumuskan sebagai berikut :124
1) Ada niat/kehendak/maksud petindak untuk melakuan kejahatan.
2) Ada permulaan pelaksanaan.
3) Pelaksanan tindakan itu tidak selesai hanyalah karena keadaan diluar
kehendak penindak.
Martiman mengatakan bahwa Pasal 53 KUHP menentukan syarat-syarat
percobaan melakukan kejahatan ada 3 yaitu :
1) Adanya niat.
2) Niat harus telah terwujud dengan suatu permulaan perbuatan.
3) Pelaksanaan perbuatan, yang telah dimulai itu tidak selesai disebabkan
beberapa masalah dan masalah mana tidak tergantung pada si pelaku.125
b) Pendapat dan Teori Mengenai Niat Dalam Percobaan
Dalam niat/kehendak/maksud merupakan satu syarat percobaan
untuk melakukan kejahatan. Beberapa sarjana seperti Hazewinkel-Suringa,
Jonkers, dan Pompe menafsirkan bahwa niat/maksud dipersamakan dengan
dolus (kesengajaan) dalam segala bentuknya.126
Sedangkan Moeljatno membedakan niat dengan kesengajaan sebagai
berikut :127
- Niat jangan disamakan dengan kesengajaan, tetapi niat potensial bisa
berubah menjadi kesengajaan apabila ditunaikan menjadi pebuatan yang
dituju. Dalam hal semua perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah
dilakukan tetapi akibat yang yang dilarang tidak timbul (percobaan
selesai), maka niat 100% menjadi kesengajaan, sama dengan delik
selesai.

123
Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Cetakan 3,
Alumni Ahaem-Petehaem, 1989, hlm. 316-317
124
Ibid, hlm. 316-317
125
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana
Indonesia, Cetakan 1, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hlm. 37
126
Utrecht, Op.cit, hlm. 395
127
Moeljatno, Delik-Delik Percobaan, Delik-Delik Penyertaan, Cetakan 11, Bina
Aksara, Jakarta, 1985, hlm. 17-18
60

- Tetapi sebelum semua ditunaikan menjadi kejahatan, maka niat masih


ada dan merupakan sikap batin yang memberi arah pada perbuatan.
- Oleh karena tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan kesengajaan,
maka essensi dari niat jangan diambil dari essensi kesengajaan apabila
kejahatan timbul. Untuk ini diperlukan pembuktian tersendiri bahwa
essensi yang tertentu sudah ada sejak niat belum ditunaikan menjadi
kejahatan.

c) Pendapat, Teori, dan Yurisprudensi mengenai Permulaan Pelaksanaan Dalam


Percobaan
Niat seseorang tak dapat diketehui oleh siapapun, jika niat tersebut
tak diucapkan, dengan kata lain niat seseorang akan diketahui oleh orang lain
apabila orang yang mempunyai niat itu mengutarakan niatnya. Disamping itu
niat seseorang dapat dilihat dari perbuatan-perbuatan yang merupakan
permulaan pelaksanaan niat seseorang, suatu hal yang tak mungkin apabila
seseorang akan mengutarakan niatanya akan melakukan kejahatan. Oleh
sebab itu dalam percobaan niat seseorang untuk melakukan kejahatan
dihubungkan dengan permulaan pelaksanaan.128
Dalam “Permulaan Pelaksanaan Tindakan” merupakan salah satu
syarat dari percobaan. Dalam ilmu hukum pidana dibedakan antara
“Perbuatan Persiapan” dan “Perbuatan Pelaksanaan”. Hanya “Perbuatan
Pelaksanaan” yang dapat dipidana sebagai suatu percobaan.129
Dalam Memori Penjelasan (M.v.T) memberikan penjelasan mengenai
percobaan dari teori ini, yaitu :130
1) Pelaksanaan Tindakan Dari Kejahatan (ajaran percobaan ojektif)
Percobaan merupakan pelaksanaan tindakan dari kejahatan yang telah
dimulai tetapi tidak selesai.
2) Pelaksanaan Tindakan Dari Niat (ajaran percobaan subjektif)
Ini dirumuskan percobaan adalah suatu permulaan pelaksanaan tindakan
dari niat yang dinyatakan untuk melakukan suatu kejahatan tertentu.

128
Loqman Lebby, Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana,
Cetakan ke 1, Universitas Tarumanegara, hlm. 18
129
Utrecht, Op.cit, hlm. 395
130
Ibid, hlm. 318
61

Dalam penjelasan tersebut masih belum dapat memecahkan masalah


karena masih belum menerangan batasan yang jelas mengenai “perbuatan
pelaksanaan” dan “perbuatan persiapan”131
Dalam hal ini untuk menemukan batas antara “perbuatan persiapan”
dan “perbuatan pelaksanaan” harus terlebih dahulu dijelaskan mengenai
“teori subjektif” dan “teori objektif” antara lain sebagai berikut :
1. Teori Subjektif
Teori ini merupakan berdasarkan pada niat seseorang. Dalam hal
ini apabila suatu perbuatan sudah merupakan pelaksanaan dari niatnya,
maka perbuatan tersebut sudah dianggap sebagai permulaan
pelaksanaan.132

2. Teori Objektif
Pada teori ini pada dasarnya dititikberatkan pada tujuan yang
dikehendaki pelaku. Teori didasarkan pada tafsiran sistematik. Teori ini
disebut teori objektif karena mencari sandaran pada objek dari tindak
pidana tersebut, yaitu perbuatan. Dapat dipidananya percobaan menurut
teori objektif ini karena dilihat dari sifat perbuatan yang dianggap
sebagai suatu perbuatan yang dianggap sebagai permulaan pelaksanaan
tersebut. dimana menurut sifatnya, perbuatan yang merupakan permulaan
pelaksanaan itu dianggap membahayakan kepentingan hukum.133
Kemudian dasar untuk menjatuhkan pidana dalam teori objektif tersebut
adalah sifat berbahayanya pada perbuatan yang telah dilakukan. Jadi titik
tolaknya adalah perbuatan pelaku yang merupakan perwujudan dari
kejahatan yang dikehendaki, dan hal ini sudah dianggap sebagai hal yang
berbahaya.134
Jadi, E. Utrecht menyimpulkan bahwa untuk menarik batas yang
tepat antara “perbuatan persiapan” dan “perbuatan pelaksanaan”, dalam ilmu
hukum pidana tergantung dari teori yang dianut. Mereka yang menganut teori
131
Ibid, hlm. 318
132
Loqman, Percobaan, Op.cit, hlm. 319
133
Ibid, hlm. 21
134
Ibid
62

percobaan subjektif hanya dapat menarik batas untuk setiap perkara


percobaan satu persatu. Jadi, penganut teori ini tidak dapat menentukan batas
yang “tetap dan umum” untuk suatu tipe perkara percobaan tertentu.
Sedangkan mereka yang menganut teori percobaan objektif umumnya dapat
menentukan sutau batas yang “tetap dan umum” untuk suatu tipe perkara
percobaan tertentu.135
Selanjutnya prof. Moeljatno berpandangan bahwa permulaan
pelaksanaan delik yang diniatkan harus mempunyai 3 syarat, yaitu :136
1) Objektif, merupakan perbuatan yang telah dilakukan terdakwa teah
menedekati delik yang diniatkan, dengan kata lain harus mengandung
potensi untuk mewujudkan delik tersebut;
2) Subjektif, yaitu dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi
bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa diarahkan ke delik yang
tertentu tersebut;
3) Perbuatan yang teah dilakukan oleh terdakwa adalah Perbuatan Yang
Melawan Hukum, karena ini merupakan syarat mutlak bagi setiap delik.
c. Pembahasan Mengenai Pelaku Tindak Pidana Makar Kasus Gerakan
People Power Pemilu 2019
Istilah People Power ini kembali terdengar sangat kencang tepatnya
pada saat Pemilihan Umum (Pemilu) pada tanggal 17 April 2019 pada waktu
itu. Karena banyak sebagian masyarakat yang pro dan kontra terhadap istilah
tersebut. Dengan adanya istilah tersebut ada yang mengaitkan bahwa People
Power merupakan suatu tindakan yang dapat menghancurkan atau
mengrongrong keadulatan seperti Makar. Dibalik itu semua bahwa Pemilu
2019 berlangsung dengan aman dan damai, namun dipihak lain ada yang
beranggapan bahwa Pemilu curang dan lain sebagainya. Seperti yang
dijelaskan dalam Bab III pada skripsi ini yaitu adanya suatu kasus yang
terjadi hingga menimbulkan kerasahan maupun dapat terjadinya gerakan
People Power yang mengakibatkan kerusuhan atau keonaran yang dapat
dikatakan sebagai Tindak Pidana Makar karena adanya seseorang yang
menyerukan aksinya melalui pidato untuk mengajak masyarakat melakukan
135
Utrech, Op.cit, hlm. 401
136
Moeljatno, Op.cit, hlm. 17-18
63

People Power tersebut. Karena Negara Indonesia merupakan Negara


Demokrasi dimana masyarakatnya bebas untuk menyampaikan pendapat di
muka umum sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Ketentuan tersebut
telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998
Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Sesuai
dengan Pasal 2 UU No. 9 Tahun 1998 yg berisi :
Pasal 2 UU No. 9 Tahun 1998 :137
1) Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas
menyampaikan pendapat sebagai pewujudan hak dan tanggungjawab
berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
2) Penyampaian pendapat dimuka umum dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang ini.
Disamping itu dalam menyampaikan pendapat dimuka umum, harus
berlandaskan hukum sesuai dengan Pasal 3 UU No. 9 Tahun 1998, yaitu :
Pasal 3 UU No. 9 Tahun 1998 :138
a) Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban;
b) Asas musyawarah dan mufakat;
c) Asas kepastian hukum dan keadilan;
d) Asas profesionalitas;
Dalam ketentuan Pasal tersebut diketahui bahwa setiap orang yang ingin
melakukan Penyampaian Pendapat harus berlandaskan pada aturan Undang-
Undang yang telah ditetapkan dan harus sesuai dengan Hukum.
Kemudian yang menjadi pertanyaan apakah gerakan People Power dalam
Pemilu 2019 itu merupakan kejahatan Makar? Penulis akan menjawabnya,
bahwa Makar yang terdapat didalam Pasal 87 KUHP dika dikaitkan dengan
Pasal 53 KUHP yang memberikan penjelasan tentang Percobaan. Yang berisi :
Pasal 87 KUHP :
“Dikatakan ada Makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu
telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan seperti dimaksud dalam Pasal
53.”

137
Indonesia, III, Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan
Pendapat Di Muka Umum
138
Indonesia, III, Op.cit
64

Dalam pernyataan tersebut bahwa percobaan untuk melakukan kejahatan


dapat diancam hukuman jika maksud si pembuat sudah nyata dengan dimulainya
perbuatan itu dan perbuatan itu tidak jadi sampai selesai hanyalah ada hal-hal
yang tidak tergantung dari kehendaknya sendiri”. Dengan adanya ketentuan
tersebut adanya perbedaan antara Makar dengan Percobaan adalah di dalam
percobaan ada klausul tidak selesainya perbuatan perbuatan yang diniati karena
diluar kehendak sendiriya, kalau makar tidak adanya klausul tersebut. Pelaku
yang menyerukan aksi Gerakan People Power tersebut melalui penyampaian
pendapat dimuka umum dengan cara pidato khususnya yang terjadi dalam
Pemilu 2019 yang lalu dapat dikenakan sanksi karena menyebarkan berita yang
belum tentu kebenarannya serta mengajak masyarakat untuk melakukan pidana.
Pelaku dijerat dengan dugaan Makar, Penghasutan serta Hoaks atau berita yang
belum tentu kebenarannya atau dapat diartikan berlebihan. Pasal 107 KUHP dan/
Pasal 110 KUHP Jo Pasal 87 KUHP dan/atau Pasal 14 ayat (1) dan/atau Pasal 15
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.
Disini penulis akan menjelaskan lagi Pasal yang dapat dikenakan oleh
Pelaku tersebut yaitu sebagai berikut :
Pasal 107 KUHP, Berbunyi :
(1). Makar yang dilakukan dengan maksud untuk menggulingkan Pemerintah
diancam dengan pidana paling lama lima belas tahun .
(2). Pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat (1) diancam dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu
paling lama dua puluh tahun.139

Pasal 110 ayat (1) KUHP, Berbunyi :

Permufakatan akan melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam


pasal 104, 106, 107 dan 108 dihukum sama dengan kejahatan itu.

Pasal 110 ayat (2) KUHP, Berbunyi :

1e. Mecoba membujuk orang lain supaya ia melakukan menyuruh atau turut
melakukan kejahatan itu atau memberi bantuan atau kesempatan, ikhtiar atau
keterangan untuk kejahatan itu.
139
Indonesia, I, Op.cit, Pasal 107
65

2e. Berikhtiar akan mendapat atau akan memberikan bagi orang lain
kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

3e. Sedia barang yang diketahuinya, bahwa barang itu guna melakukan itu.

4e. Menyiapkan atau mempunyai rencana untuk melakukan kejahatan itu, yang
akan diberitahukan kepada orang lain.

5e. Berikhtiar mencegah, menghalangi, atau menggagalkan sesuatu daya upaya


pemerintah untuk mencegah atau menekankan orang melakukan kejahatan itu.

Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946,


Berbunyi :140
(1). Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemeberitahuan bohong,
dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum
dengan hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun.
(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan
pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat,
sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan
itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggitingginya tiga
tahun.
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Berbunyi :

“Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan
atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat
menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran
dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua
tahun.”
Jika dihubungkan dengan kasus tersebut, pelaku yang menyerukan serta
mengajak untuk melakukan gerakan People Power sampai ajakan untuk revolusi
atau dengan cara yang Inskontutisonal141 yang berujung pada perlawanan kepada
Pemerintah yang secara harafiah sudah memenuhi unsur delik makar yang
terdapat dalam Pasal 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebagaimana
yang sudah dijelaskan kata aanslag itu yang berarti makna tindakan awal dari
suatu perbuatan, apalagi adanya seruan untuk melakukan Gerakan People Power

140
Indonesia, I, Op.cit
141
Tidak berdasarkan konstitusi atau undang-undang dasar; bertentangan dengan
(melanggar) undang-undang dasar
66

sampai revolusi yang dilakukan secara inkonstitusional termasuk sudah


memenuhi unsur Pasal. Ditambah dalam pidatonya terdapat kalimat :
“Kekutan People Power itu sudah mesti dilakukan. Setuju? Berani? Kalau
People Power itu terjadi, kita tidak perlu lagi mengikuti konteks tahapan-
tahapan, karena ini udah kedaulatan rakyat. Bahkan mungkin ini cara dari Allah
untuk mempercepat Prabowo dilantik.”
Dalam kalimat tersebut sudah adanya niat untuk tidak mengikuti tahapan-
tahapan Pemilu yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang dengan melakukan
Gerakan People Power. Hal tersebut yang dapat menjadikan Gerakan People
Power untuk dapat dikatakan sebagai Tindak Pidana Makar.
Namun selanjutnya penulis akan memasukan delik Penghasutan dan
menjelaskannya karena pasal ini menjelaskan tentang berita atau kabar yang
belum tentu kebenarannya sehingga dapat terjadinya keonaran di masyarakat.
Delik penghasutan ini terdapat dalam Pasal 160 dan Pasal 161 KUHP yang
berjudul pada bab “Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum” yang berbunyi :
Pasal 160 KUHP :
“Barang siapa dimuka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya
melakukan delik, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak
menuruti baik ketentuan Undang-Undang maupun pemerintah jabatan yang
diberikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang, diancam dengan pidana
penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah”

Delik ini adalah delik formil, artinya dengan ucapan, pembuat dapat
dipidana, tidak perlu benar-benar terjadi apa yang dia hasutkan. Sama dengan
delik penghinaan.142
a) Subjek (normadressaat) : barangsiapa
b) Bagian inti delik (delictsbesntaddelen) :
1) Dimuka umum
2) Dengan lisan atau tulisan menghasut :
- Melakukan tindak pidana;
- Melakukan kekerasan terhadap penguasa umum, atau
- Tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah
jabatan yang diberikan berdasarkan undang-undang.
142
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu..., Op.cit, hlm. 252
67

Semua bagian inti antara kata penghubung “atau” adalah alternatif,


artinya salah satu saja dibuktikan untuk dapatnya pembuat dipidana.143
Pasal 161 KUHP :
“Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan dimuka umum
tulisan yang menghasut supaya melakukan tindak pidana, menentang penguasa
umum dengan kekerasan, atau menentang sesuatu hal yang lain seperti tersebut
dalam pasal diatas, dengan maksud supaya isi yang menghasut diketahui atau
lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”

Delik ini mirip sekali dengan yang tercantum dalam Pasal 160 KUHP, keduanya
adalah delik penghasutan, keduanya delik formil, dan merupakan delik sengaja,
ditandai dengan kata “menghasut”.144
a) Subjek (normadressaat) : barangsiapa
b) Bagian inti delik (delictsbestanddelen) :

Menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan

1) Di muka umum
2) Tulisan yang menghasut supaya:
3) Melakukan tindak pidana, atau
4) Menentang penguasa umum dengan kekerasan, atau
5) Tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan
yang diberikan berdasarkan undang-undang.
6) Dengan maksud supaya isi yang menghasut diketahui atau lebih
diketahui oleh umum.
Semua bagian inti delik antara kata penghubung “atau” adalah alternatif,
salah satu saja dibuktikan untuk dapatnya pembuat dipidana. Oleh karena
ancaman pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah. Delik ini tidak ada kualifikasi (nama), tetapi dapat
disebut “menghasut dengan tulisan atau gambaran supaya melakukan delik,
dengan kekerasan kepada penguasa umum, tidak menuruti baik ketentuan
undang-undang maupun perintah jabatan berdasarkan undang-undang, dengan
maksud supaya isi yang menghasut diketahui atau lebih diketahui oleh umum”.

143
Ibid, hlm. 252
144
Ibid, hlm. 253
68

Perbedaan dengan rumusan Pasal 160 yang dapat dilakukan dengan lisan, di sini
dengan tulisan atau gambaran supaya melakukan delik, jadi ada bukti surat atau
gambaran.145
Kemudian yang menjadi pertanyaan apakah gerakan People Power
dalam Pemilu 2019 itu merupakan kejahatan Makar? Indonesia merupakan
negara Demokrasi dimana setiap individu ataupun kelompok bebas untuk
menyampaikan pendapat di muka umum hal ini telah diatur dalam UU No. 9
Tahun 1998 khususnya Pasal 2. Namun harus berlandaskan dengan Kepastian
Hukum dan Keadilan sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UU No. 9 Tahun 1998
Tentang Kemerdekaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Dalam hal ini
adanya pelaku yang menyerukan aksi Gerakan People Power yang dilakukan
dengan cara berpidato/orasi di tempat umum merupakan ajakan untuk mengajak
masyarakat ikut dalam aksi People Power.

Pelaku yang menyerukan Gerakan People Power melalui Pidatonya


yang disampaikan ditempat umum di jerat Pasal oleh Pihak Kepolisian
Ditreskrimum Polda Metro Jaya yaitu Pasal 107 KUHP dan/atau 110 KUHP Jo
Pasal 87 KUHP dan/atau Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) dan/ Pasal 15 UU.
Nomor 1 Tahun 1946.

Pelaku yang menyerukan Gerakan People Power dalam Pemilu 2019


dapat dikenakan Pasal 107 KUHP karena telah mengajak untuk melakukan
gerakan People Power, terlebih untuk mengajak Revolusi atau dengan cara-cara
Inskonstitusional (melanggar Konstitusi dan aturan Undang-Undang yang telah
ditetapkan) yang akan timbulnya perlawanan terhadap pemeritahan yang sah.

Pelaku juga dapat dikenakan Pasal 160 dan Pasal 161 KUHP tentang
penghasutan terkait dengan Pidato yang dilakukan. Karena pada intinya,
penghasutan merupakan suatu bagian tindakan baik lisan maupun secara tertulis,
termasuk untuk menyiarkan didepan umum yang mengajak orang untuk berbuat
kejahatan pidana. Jika penghasutan tersebut dapat menimbulkan kegaduhan serta
adanya berita yang bohong atau yang berlebihan seperti “pemilu itu curang”,
“kecurangan itu secara Terstruktur, Sistematis, daan Masif”,. Maka dapat dijerat

145
Ibid, hlm. 253
69

dengan Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan/atau Pasal 15 Undang-Undang No. 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam hal ini Pasal mana yang akan
digunakan dan ditentukan, tentunya disesuaikan dengan substansi Kejahatan
tersebut. Disini Jika isi dari Hoaks tersebut yang berisi untuk propaganda yang
dapat membuat keonaran dikalangan masyarakat hingga menjadi anarkis, maka
Pasal yang digunakan yaitu Pasal 107 tentang Makar atau Setidak tidaknya Pasal
160 atau Pasal 161 KUHP tentang Penghasutan.

Dalam ketentuan diatas penulis dapat menganalisa bahwa penghasutan


digolongkan sebagai suatu delik yang dapat mengakibatkan keadaan yang sangat
bahaya. Kemudian ajakan People Power termasuk juga revolusi, yang
disebarkan melalui lisan maupun melalui media sosial sudah lebih dari cukup
untuk membuktikan suatu adanya hasutan jika cara-cara tersebut dilakukan
secara inskonstitusional.

Menurut pendapat Penulis bahwa kasus yang menjerat pelaku tersebut itu
belum dan dapat dapat dikatakan suatu Tindakan Makar karena itu baru Persiapan
saja belum Permulaan Pelaksanaan tetapi sudah ada niat untuk melakukan
kejahatan itu. Seperti yang terdapat dalam Pasal 87, perbuatan-perbuatan
persiapan tidak masuk dalam pengertian makar, yang masuk dalam pengertian ini
hanyalah perbuatan-perbuatan pelaksanaan. Karena pada kasus tersebut belum
terlaksananya suatu pelaksanaan hanya saja persiapan dan dalam persiapan
tersebut sudah langsung di adukan oleh pihak pelapor. Maksudnya bahwa
kejahatan itu sudah mulai dilakukan. Artinya orang harus sudah mulai dengan
melakukan perbuatan pelaksanaan pada kejahatan itu, kalau belum dimulai atau
orang baru melakukan perbuatan persiapan saja untuk mulai berbuat, kejahatan itu
tidak dapat dihukum.146 Namun disisi lain berdasarkan Pasal 53 di Juncto kan
dengan Pasal 87 KUHP, terdapat dua unsur yang penting yang termasuk kedalam
kejahatan Tindak Pidana Makar. Yaitu adanya niat dan permulaan perlaksanaan,
dapat diukur secara Subyektif dan Obyektif. Niat secara subyektif, dapat diketahui
jika secara nyata diutarakan oleh yang bersangkutan. Kemudian secara Obyektif,
niat tersebut diketahui atau dapat dilihat oleh orang lain dengan adanya perbuatan
yang merupakan pelaksanaan terhadap niat dan nyata-nyata ditujukan untuk
146
R. Soesilo, Op.cit, hlm. 69
70

melakukan perbuatan yang diniati. Sementara secara Subyektif, dikatakan ada


permulaan pelaksanaan jika niat tidak boleh diragukan menuju delik yang
dimaksud. Kalau Secara Obyektif, dapat dikatakan adanya permulaan pelaksanaan
apabila apa yang telah dilakukan harus mendekatkan kepada delik atau harus
mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut. Akan tetapi, untuk
membuktikan adanya makar, maka baik niat maupun permulaan pelaksanaan
harus diukur secara obyektif. Di sini, niat secara obyektif sudah tidak diragukan
lagi merujuk pada delik yang dituju.147
Misalnya kejahatan pembunuhan dengan memakai pisau belati.
Dimanakah letak batas persiapan atau pelaksanaannya? Jika orang telah berniat
akan membunuh, ia telah mengambil pisau belati dari rumahnya dan dengan
pisau itu berjalan menuju rumah orang yang akan dibunuh, sampai dimuka
rumah ketahuan dan ditangkap polisi. Sudahkan ia mulai melakukan perbuatan
pelaksanaan pada pembunuhan? Belum, itu persiapan saja. Ia baru dapat
dikatakan telah memulai dengan perbuatan pelaksanaan, bila ia telah menyerang
dengan belati itu pada orang yang akan dibunuhnya.148
Dari contoh diatas sama halnya terhadap pelaku tindak pidana makar
People Power yang menyerukan aksi Gerakan People Power melalui pidatonya
yang disampaikan didepan umum. Karena belum tercapainya suatu pelaksanaan
hanya persiapan saja. Ketentuan yang tepat dimanakah letak batas antara
perbuatan persiapan dan perbuatan pelaksanaan dari peristiwa pidana itu susah
untuk dikatakan dengan begitu saja. Sampai saat ini polisi terus memeriksa
pelaku karena kewenangan sepenuhnya hanya ada di aparat penegak hukum.
Jadi pasal mana yang akan dipakai dan diterapkan, tentunya harus disesuaikan
dengan substansi kejahatan yang diperbuat. Jika perbuatannya Inskontitusional
maka Pasal 107 KUHP dapat diterapkan.

147
Penyusun Badan Diklat Kejaksan RI, Op.cit, hlm.46
148
R.Soesilo, Op.cit, hlm. 70
71

BAB V
PENUTUP

V.I Kesimpulan
1. Pengaturan Tindak Pidana Makar pada dasarnya berasal dari kata
aanslag (belanda), yang menurut arti harfiah adalah penyerangan atau
serangan. Istilah aanslag terdapat dalam KUHP yakni pasal-pasal 87,
104, 105, 106, 107, 130, 139a, 139b, 140. (Pasal 105 dan 130
dianggap tidak berlaku berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946). Makar
yang dimuat dalam pasal 139a, 139b, dan 140 tidak masuk dalam bab
mengenai kejahatan terhadap keamanan negara, melainkan masuk
dalam kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara
sahabat dan wakilnya. Pasal-pasal lain yang berhubungan dengan
Tindak Pidana Makar yaitu , Pasal 4 ayat (1), Pasal 108, dan Pasal 110
KUHP.
2. People Power dapat dikategorikan sebagai Tindak Pidana Makar
namun istilah People Power ini kembali terdengar sangat kencang
tepatnya pada saat Pemilihan Umum (Pemilu) pada tanggal 17 April
2019 pada waktu itu. Kemudian unsur utamanya adalah kesejahteraan
dan keadilan bagi masyarakatnya. Pelaku yang menyerukan Gerakan
72

People Power melalui Pidatonya yang disampaikan ditempat umum di


jerat Pasal oleh Pihak Kepolisian Ditreskrimum Polda Metro Jaya
yaitu Pasal 107 KUHP dan/atau 110 KUHP Jo Pasal 87 KUHP
dan/atau Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) dan/ Pasal 15 UU. Nomor 1
Tahun 1946. Pelaku juga dapat dikenakan Pasal 160 dan Pasal 161
KUHP tentang penghasutan terkait dengan Pidato yang dilakukan.
Pelaku yang menyerukan Gerakan People Power dalam Pemilu 2019
dapat dikenakan Pasal 107 KUHP karena telah mengajak untuk
melakukan gerakan People Power, terlebih untuk mengajak Revolusi
atau dengan cara-cara Inskonstitusional (melanggar Konstitusi dan
aturan Undang-Undang yang telah ditetapkan) yang akan timbulnya
perlawanan terhadap pemeritahan yang sah.

V. II Saran
Dalam hal ini makar merupakan Kejahatan yang sangat berbahaya dan
luar biasa bagi Keamanan dan Keselamatan Negara khususnya dalam
Pemilu 2019 apalagi adannya ajakan untuk menyerukan serta
menggerakan aksi People Power dalam Pemilu 2019 yang nantinya akan
berujung pada gerakan yang Inskonstitusional. Saran dari penulis terhadap
kasus yang terjadi :
1. Agar pihak Kepolisian serta aparat penegak hukum lainnya terus
memantau serta memproses terhadap semua oknum-oknum yang
diduga akan melakukan kejahatan pidana dengan Pasal-Pasal yang
sesuai dengan substansi Kejahatan yang dilakukannya serta khususnya
agar mengurangi dampak yang terjadi dimasyarakat akibat adanya isu-
isu yang belum tentu benar adanya.
2. Polisi harus lebih tegas menangani oknum-oknum yang terjadi pada
kasus tersebut dan agar penulis berharap agar pelaku tersebut dapat
dikenakan hukum atau Pasal yang sesuai dengan substansi
kejahatannya yang telah diperbuat karena itu sangat membahayakan
negara maupun keamanan masyarakat serta dapat memancing
berbagai macam hal kejahatan yang kemungkinan dapat terjadi pada
73

saat Pemilu sampai penetepan hasil Pemilu 2019 hingga Pemilihan


Umum di Periode berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Anwar, H.A.K Moch (Dading). 1980, Hukum Pidana Bagan Khusus,


Alumni, Jakarta
Bassar, M Sudrajat. 1986, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP,
Gramedia, Jakarta
Chazawi, Adami. 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Edisi Pertama,
Cetakan Pertama, PT. Raja Grafindo, Jakarta
----------- Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, Edisi
1, Cetakan 1, PT. Raja Grafindo, Jakarta
Djamali, R Abdoel. 2005, Pengantar Hukum Indonesia, Edisi revisi,
Cetakan ke-21, Raja Grapindo Persada, Jakarta
Effendi, Rusli dan Poppy Andi Lolo. 1989, Asas-Asas Hukum Pidana,
Cetakan Ke-4, LEPPEN-UMI, Jakarta
Gunadi, Ismu dan Jonaedi Efendi. 2014, Cepat & Mudah Memahami
Hukum Pidana, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Kencana
Prenadamedia Group, Jakarta
74

Hamzah, Andi. 2015, Delik-Delik Tertentu di Dalam KUHP, Cetakan


Pertama, Edisi ke dua, Sinar Grafika, Jakarta

---------- 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetkatan ke-2, Edisi Revisi,


Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 69
Hiariej, O.S Eddy. 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana E, Cetakan ke-5,
Cahaya Atma Pusaka, Yogyakarta

Irsan, Koesparmorno, 1997. Hukum Pidana 3, Cetakan 1, Ghalia


Indonesia, Jakarta
Lamintang, 2010. Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Terhadap
Kepentingan Hukum Negara, Cetakan I, Sinar Grafika, Jakarta
Loqman, Loebby. 1990, “Analisa Hukum Dan Perundang-Undangan
Kejahatan Terhadap Keamanan Negara di Indonesia”, Disertasi
Doktor Universitas Indonesia, Depok
---------- Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana, Cetakan
ke 1, Universitas Tarumanegara
Marwan, M dan Jimmy P. 2009, “Kamus Hukum : Dictionary Of Law
Complete Edition”, Reality Publisher, Surabaya
Marzuki, Peter Mahmud. 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Revisi,
Cetakan ke-2, Kencana, Jakarta
Moeljatno, 1985, Delik-Delik Percobaan, Delik-Delik Penyertaan,
Cetakan 11, Bina Aksara, Jakarta
Narbuko, Cholid. 2003, Metodelogi Penelitian, Cetakan ke-13, PT Bumi
Aksara, Jakarta
Nasution, Bahder Johan. 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Cetakan
Pertama, Mandar Maju, Bandung
Prakoso, Djoko. 1986, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, Cetakan 1,
Ghalia Indonesia, Jakarta
Prodjodikoro, Wirjono. 2002, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di
Indonesia, Cetakan 5, Refika, Bandung
Prodjohamidjojo, Martiman. 1997, Memahami Dasar-Dasar Hukum
Pidana Indonesia, Cetakan 1, Pradnya Paramita, Jakarta
75

Remmelink, Jan. 2003, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal


Terpenting Dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP
Indonesia, Cetakan 1, Jakarta, Gramedia
Rasyidi, Lily. 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Cetakan ke-8, Remaja
Rusdakarya, Bandung
Raharjo, Satjipto. 2000, Ilmu Hukum, Cetakan ke-8, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung
Sianturi, S.R. 1989, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Cetakan III, Alumni Ahaem-Petahaem, Jakarta
----------- 1983, Tindak Pidana di KUHP berikut Uraiannya, Cetakan III,
Alumni AHM-PTHM, Jakarta
Soekanto, Soerjono. 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Edisi Pertama,
Cetakan Pertama, Universitas Indonesia, Jakarta
----------- 1983, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum,
Jakarta
Soesilo, R. 1986, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta
komentar-komentarnya lengkap Pasal demi Pasal, Cet ke 9,
Politeia, Bogor
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005, Metode Penelitian Pendidikan,
Cetakan ke-8, Rosda Karya, Bandung
Surayin, 2002, Analisis Kamus Umum Bahasa Indonesia, Yrama Widya,
Bandung
Utrecht, E. 1994, Hukum Pidana I, Cetakan, Pustaka Tinta Mas, Surabaya
Waluyo, Bambang. 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Edisi
Pertama, Sinar Grafika, Jakarta

Peraturan Perundang – Undangan :

Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia 1945

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 73


Tahun 1958 Tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
76

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang


Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan
Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Penyampaian
Pendapat di Muka Umum
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Organisasi
Kemasyarakatan.

Jurnal dan Skripsi :


Gonzales, T Eduardo, People Power In The Philippines: Between
Democratic Passions and The Rule Of Law, Volume 39 Numbers
I-2, Asian Studies Journal
Manan, Putri Rezki. 2017, Pengaruh People Power Dalam Suksesi
Kepemimpinan di Mesir, Universitas Hasanudin, Makasar
Pena, Manis Thess Q., People Power in A Regine of Constitutionalism and
The Rule of Law, Vol. 76 No. 1, Philippine Law Journal.
Prayoga Putra Pratama, Raka. 2018, Peran Kepolisian Dalam Tindak
Pidana Makar, Universitas Lampung, Lampung, 2018

Sumber Internet :

Dikutip dari Data The Economist Intelligence (EIU), diakses pada tanggal
30 September 2019

Dikutip dari: https://kbbi.web.id/makar, diakses pada 30 September 2019

Dikutip dari: https://www.wartaekonomi.co.id/read225169/apa-itu-


people-power.html, dikakses pada 30 September 2019
77
RIWAYAT HIDUP

Nama : Fajar Prasetyo Abadi


NIM : 1610611238
Tempat/Tgl. Lahir : Jakarta/ 01 April 1998
Jenis Kelamin : Laki-laki/Perempuan*)
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jalan Pangkalan Jati II No. 59 RT 001/006 Kelurahan
Pangkalan Jati, Cinere, Depok, Jawa Barat 16513
No. Telpon : 085719079974
Gmail : fajarabadi397@gmail.com
Nama Orang Tua
a. Ayah : Subakdi
b. Ibu : Tatik Setyowati

PENDIDIKAN FORMAL
1. SD : SDN Pondok Labu 07 Pagi (Lulus Th. 2010)
2. SMP : SMPN 96 Jakarta Selatan (Lulus Th. 2013)
3. SMA : SMAN 66 Jakarta Selatan (Lulus Th. 2016)

PRESTASI
Akademik
1. JUARA II KOMPETISI PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA
(PKM) DIESNATALIS FH UPNVJ TAHUN 2017
2. JUARA II KOMPETISI PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA
(PKM) DIESNATALIS FH UPNVJ TAHUN 2018
3. JUARA II ”INTERNAL MOOT COURT COMPETITION PIALA MR
SOEPOMO IV” FAKULTAS HUKUM UPNVJ TAHUN 2017
4. FINALIS “INTERNAL MOOT COURT COMPETITION PIALA MR
SOEPOMO V” FAKULTAS HUKUM UPNVJ TAHUN 2019
Non-akademik
1. JUARA I LOMBA FUTSAL LIGA ANGKATAN 2016 FAKULTAS
HUKUM
2. JUARA I LOMBA FUTSAL DALAM RANGKA DIESNATALIS
FAKULTAS HUKUM TAHUN 2017
3. JUARA II LOMBA FUTSAL DALAM RANGKA DIESNATALIS
FAKULTAS HUKUM TAHUN 2018
4. JUARA I LOMBA VOLLY DALAM RANGKA PASPORT FAKULTAS
HUKUM TAHUN 2019
5. JUARA III LOMBA FUTSAL DALAM RANGKA PASPORT
FAKULTAS HUKUM TAHUN 2019
*)Coret yg tidak perlu

Anda mungkin juga menyukai