Anda di halaman 1dari 77

PENGATURAN KERAHASIAAN IDENTITAS ANAK KORBAN KASUS

KEKERASAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK DALAM SISTEM

PERADILAN ANAK DI INDONESIA

PENULISAN HUKUM

Oleh:

ARIF WICAKSONO SANTOSO

201610110311219

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS HUKUM

2023
PENGATURAN KERAHASIAAN IDENTITAS ANAK KORBAN KASUS
KEKERASAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK DALAM SISTEM
PERADILAN ANAK DI INDONESIA

SKRIPSI

Disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
kesarjanaan dalam bidang Ilmu Hukum

Oleh:
ARIF WICAKSONO SANTOSO

201610110311219

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS HUKUM

2023

ii
iii
SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :

Nama : Arif Wicaksono Santoso

NIM : 201610110311219

Program Studi : Ilmu Hukum

Fakultas : Hukum

Dengan ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa :

1. Tugas Akhir Penulisan Hukum dengan judul “Pengaturan Kerahasiaan


Identitas Anak Korban Kasus Kekerasan melalui Media Elektronik dalam
Sistem Peradilan Anak di Indonesia” adalah hasil karya saya, dan dalam
naskah Tugas Akhir Penulisan Hukum ini tidak terdapat karya ilmiah
yang pernah diajukan orang lain untuk memperoleh gelar akademik di
suatu perguruan tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, baik sebagian ataupun
keseluruhan, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan
disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
2. Apabila ternyata di dalam Tugas Akhir Penulisan Hukum ini dapat
dibuktikan terdapat unsur-unsur PLAGIASI, saya bersedia Tugas Akhir
Penulisan Hukum ini DIGUGURKAN dan GELAR AKADEMIK YANG
TELAH SAYA PEROLEH DIBATALKAN, serta diproses sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
3. Tugas Akhir Penulisan Hukum ini dapat dijadikan sumber pustaka yang
merupakan HAK BEBAS ROYALTY NON EKSKLUSIF.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dipergunakan


sebagaimana mestinya.

Malang, 15 Juli 2023


Yang menyatakan,

Arif Wicaksono Santoso

iv
ABSTRAKSI

Nama : Arif Wicaksono Santoso


NIM : 201610110311219
Judul : Pengaturan Kerahasiaan Identitas Anak Korban Kasus
Kekerasan melalui Media Elektronik dalam Sistem Peradilan
Anak di Indonesia
Pembimbing : Ratri Novita Erdianti, S.H., M.H.
Said Noor Prasetyo, S.H., M.H.

Identitas anak korban sebagai Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) kasus
kekerasan perlu dilindungi dari berbagai media dan pemberitaan. Oleh karena itu,
pengungkapan identitas ABH kasus kekerasan melalui media elektronik
merupakan sebuah pelanggaran, yaitu pada Pasal 19 ayat (1) UU SPPA. Pers
merupakan media informasi, pendidikan, dan hiburan, namun juga perlu
menimbang fungsinya sebagai kontrol sosial, sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) UU
Pers. Pasal 6 poin b dan Kode Etik Jurnalistik menyebutkan bahwa Pers
berkewajiban untuk menegakkan HAM. Pasal 7 ayat (2) UU Pers, para wartawan
bekerja sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik. Pasal 32 ayat (3) UU ITE, setiap
orang dilarang untuk memberikan akses informasi elektronik yang bersifat rahasia
menjadi informasi publik dengan keutuhan data yang tidak semestinya, atas dasar
merugikan orang lain (Pasal 36 UU ITE). Bentuk perlindungan hukum
pelanggaran publikasi identitas ABH melalui media elektronik dalam sistem
peradilan pidana anak yaitu pada Pasal 64 ayat (2) angka 7 UU Perlindungan
Anak dan Pasal 3 poin 9 UU SPPA bahwa ABH mendapatkan perlindungan
khusus dengan cara tidak dipublikasikan identitasnya melalui media massa untuk
menghindari labelisasi. Dalam Pasal 5 poin a dan i UU Perlindungan Saksi dan
Korban, ABH dilindungi haknya dan mendapatkan perlindungan khusus untuk
memperoleh perlindungan keamanan pribadi dan keluarga dan anak juga perlu
dirahasiakan identitasnya.

Kata Kunci: Identitas anak, Pers, dan SPPA

v
ABSTRACT

Name : Arif Wicaksono Santoso


NIM : 201610110311219
Title : Regulation of Confidentiality of Identity of Child Victims of
Violence through Electronic Media in the Indonesian Juvenile
Justice System
Advisors : Ratri Novita Erdianti, S.H., M.H.
Said Noor Prasetyo, S.H., M.H.

The identity of child victims in cases of violence needs to be protected from


various media and news. Therefore, disclosing the identity of the child cases of
violence through electronic media is a violation, namely Article 19 paragraph (1)
of the Juvenile Criminal Justice System Law. The press is a medium of
information, education and entertainment, but also needs to consider its function
as social control, in accordance with Article 3 paragraph (1) of the Press Law.
Article 6 point b and the Journalistic Code of Ethics states that the Press is obliged
to uphold human rights. Article 7 paragraph (2) of the Press Law states that
journalists work in accordance with the Journalistic Code of Ethics. Article 32
paragraph (3) of the Electronic Information and Transaction Law, every person is
prohibited from providing access to electronic information that is confidential to
public information with improper data integrity, on the basis of harming others
(Article 36 of the Electronic Information and Transaction Law). The form of legal
protection for violations of the child identities publication through electronic
media in the Juvenile Criminal Justice System is in Article 64 paragraph (2)
number 7 of the Child Protection Law and Article 3 point 9 of the Juvenile
Criminal Justice System Law that the child receives special protection by not
publishing their identities through the mass media to avoid labelling. In Article 5
points a and i of the Witness and Victim Protection Law, the child are protected
by their rights and receive special protection to obtain protection of personal and
family security and children also need to keep their identity confidential.

Key terms: Child identity, Press, and SPPA

vi
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

Rahmat dan Hidayah-Nya,sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang

berjudul “Pengaturan Kerahasiaan Identitas Anak Korban Kasus Kekerasan

melalui Media Elektronik dalam Sistem Peradilan Anak di Indonesia” sebagai

salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana pada program studi Ilmu Hukum

Universitas Muhammadiyah Malang. Shalawat dan salam semoga selalu

tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabat.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan yang penulis lakukan

dalam penulisan tugas akhir ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan

saran yang membangun untuk menyempurnakan tugas akhir ini. Semoga tulisan

yang dibuat oleh penulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Dalam penyusunan tugas akhir ini, tentunya tidak terlepas dari bantuan

berbagai pihak, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pada

kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih atas berbagai macam bantuan,

bimbingan, dan segala partisipasi yang telah diberikan dalam pembuatan tugas

akhir ini kepada:

Malang, 15 Juli 2023

Arif Wicaksono Santoso

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PENGUJI..................................................iii


SURAT PERNYATAAN....................................................................................iv
ABSTRAKSI.......................................................................................................v
ABSTRACT.........................................................................................................vi
KATA PENGANTAR.........................................................................................vii
DAFTAR ISI........................................................................................................viii
DAFTAR SINGKATAN.....................................................................................x
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................16
C. Tujuan Penelitian.....................................................................................16
D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian...........................................................17
1. Manfaat Penelitian.............................................................................17
2. Kegunaan Penelitian..........................................................................18
E. Metode Penelitian.....................................................................................19
1. Metode Pendekatan Penelitian...........................................................20
2. Jenis dan Sumber Bahan Hukum.......................................................21
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.................................................24
4. Teknik Analisis Bahan Hukum..........................................................25
F. Sistematika Penulisan...............................................................................25
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
A. Anak sebagai Korban Tindak Pidana.......................................................28
1. Definisi Anak.....................................................................................28
2. Tinjauan Anak Korban......................................................................31
3. Hukum terhadap Anak sebagai Korban Tindak Pidana.....................33
4. Hak-hak Anak sebagai Korban Tindak Pidana dalam Sistem PPA...36
B. Perlindungan Hukum bagi Anak..............................................................41
1. Definisi Perlindungan Hukum...........................................................41
2. Bentuk-bentuk Perlindundungan Hukum..........................................43
3. Perlindungan Hukum bagi Anak.......................................................43

viii
BAB III: HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Kerahasiaan Identitas Anak Korban Kasus Kekerasan.........49
B. Perlindungan Hukum Pengungkapan Identitas Anak Korban.................56
BAB IV: PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................................63
B. Saran.........................................................................................................64
DAFTAR..............................................................................................................65

ix
DAFTAR SINGKATAN

UU : Undang-Undang

ABH : Anak Berhadapan/Berkonflik dengan Konflik

ITE : Informasi dan Transaksi Elektronik

SPPA : Sistem Peradilan Pidana Anak

KEJ : Kode Etik Jurnalistik

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam dunia yang semakin modern seperti sekarang ini, teknologi

informasi berkembang menjadi semakin canggih dan kompleks.

Perkembangan tersebut salah satunya dapat dilihat melalui adanya berbagai

kemunculan media baru seperti internet. Sebelumnya, media hanya berkutat

pada media massa (koran, majalah, tabloid) dan media elektronik (televisi,

radio, telepon). Namun, sekarang ini media baru muncul dengan adanya

perkembangan media teknologi dan komunikasi berupa media internet,

termasuk media sosial.

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (selanjutnya: UU ITE), menyebutkan bahwa segala hal

yang menyangkut data elektronik yang dijalankan sebagai perbuatan hukum

dilakukan dengan menggunakan teknologi, jaringan, dan media elektronik,

disebut sebagai transaksi elektronik1. Dengan demikian, komputer dan segala

teknologinya sama halnya dengan media baru internet dan media sosial

sebagai satu kesatuan media elektronik.

Berkembangnya media informasi internet dan media sosial berjalan seiring

dengan berkembangnya teknologi yang semakin canggih. Pasal 1 ayat (3) UU

ITE menyebutkan bahwa teknologi informasi diartikan sebagai strategi untuk

1
Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

1
mengelola semua informasi dan menyampaikan semua jenis komunikasi 2.

Pengumpulan, penyimpanan, pemrosesan, pembuatan, dan pendistribusian

semua jenis informasi dari dan ke industri dan masyarakat dapat dilakukan

dengan cepat dalam perkembangannya, tidak seperti di masa lalu3.

Dalam implementasinya di dalam kehidupan bermasyarakat,

perkembangan teknologi memiliki dampak positif dan negatif. Teknologi

informasi telah memberikan berbagai kemudahan dan manfaat bagi

masyarakat, seperti kemudahan dalam mengakses informasi dan

berkomunikasi. Selain itu, berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan

sosial, ekonomi, politik, budaya, transformasi industri saat ini, dan

sebagainya, hingga gaya hidup masyarakat juga semakin kontemporer dan

berkembang. Hal ini ditandai dengan pergeseran gaya hidup masyarakat yang

menyesuaikan diri dengan kemajuan modernisasi dengan mengubah

mentalitas mereka4. Masyarakat mengalami gejala perubahan yang tidak dapat

dielakkan lagi atas dampak perkembangan teknologi tersebut.

Di sisi lain, kemajuan teknologi juga memiliki berbagai dampak negatif

yang tidak dapat dihindari oleh masyarakat menjadi penyalahgunaan internet

dan media sosial5. Hal tersebut sebagian besar disebabkan oleh masalah

internal masyarakat yang dikombinasikan dengan peningkatan teknis

perkembangan teknologi dan informasi tersebut6. Akhirnya, munculnya


2
Pasal 1 ayat (3), Ibid.
3
Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran & Teknologi Informasi, PT Refika Aditama,
Bandung, 2013, hlm. 1.
4
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Republik Indonesia, 2022, Definisi modernisasi, diakses melalui
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/modernisasi, pada 14 Maret 2023.
5
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Op.cit., hlm. 59.
6
Suharyo, Penelitian Hukum Tentang Penerapan Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Terhadap
Kasus kasus Cyber Crime, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, Jakarta,
hlm. 1.

2
kelompok-kelompok kepentingan yang menyalahgunakan teknologi informasi

untuk kepentingan mereka sendiri tidak memperhatikan akibatnya bagi pihak

lain. Berbagai kejahatan tersebut seringkali terjadi pada kehidupan masyarakat

di negara berkembang seperti Indonesia yang rentan memiliki sistem dan pola

kehidupan masyarakat yang belum stabil. Perubahan pola hidup sosial dalam

masyarakat juga berpengaruh pada tindak kejahatan secara linier 7.

Perkembangan teknologi informasi dapat memicu seseorang untuk melakukan

tindak kejahatan dalam dunia nyata. Akibatnya, tingkat kriminalitas berpotensi

untuk meningkat dan semakin tidak dapat dikendalikan. Dalam situasi

tersebut, fasilitas kriminal yang berbeda dan beragam tidak diragukan lagi

dapat merugikan berbagai pihak dalam masyarakat dan negara.

Pengenalan jenis kejahatan dalam perkembangan teknologi informasi telah

menimbulkan masalah baru dalam hukum pidana, khususnya di bidang

pertanggungjawaban pidana. Selama ini pertanggungjawaban pidana di

Indonesia didasarkan pada konsep kesalahan. Hal tersebut mengindikasikan

bahwa untuk dapat memidana pelaku tindak pidana, harus dapat dibuktikan

adanya unsur kesalahan pada diri pelaku tindak pidana. Hal tersebut dapat

dimengerti karena tidak adil untuk menghukum seseorang yang tidak

melakukan kesalahan. Kesalahan tersebut bisa jadi disengaja atau tidak

disengaja. Namun, kemajuan teknologi telah berdampak pada peningkatan

angka kejahatan yang dapat memunculkan aspek baru dalam kejahatan dalam

hukum pidana. Apabila menggunakan konsep kesalahan, menunjukkan unsur

kesalahan mungkin akan sulit dilakukan, terutama pada kejahatan-kejahatan

berdimensi baru dalam perkembangan teknologi informasi. Akibatnya, pelaku


7
Ibid., hlm. 21.

3
kejahatan terkadang dibebaskan atau tidak dapat ditindaklanjuti, semata-mata

karena aparat penegak hukum tidak dapat menunjukkan unsur kesalahan.

Menghadapi isu-isu tersebut, muncullah gagasan reformasi

pertanggungjawaban pidana. Pembaharuan yang dimaksud yaitu adanya

pengakuan pengecualian atau penyimpangan dari konsep kesalahan.

Pengecualian tersebut diartikan sebagai sebuah perubahan dari konsep

kesalahan menjadi prinsip ketiadaankesalahan yang muncul dalam berbagai

bentuk atau model sistem pertanggungjawaban pidana. Contohnya yaitu

seperti pertanggungjawaban pidana absolut, pertanggungjawaban pidana

substitusi, dan pertanggungjawaban pidana korporasi, seiring dengan

berkembangnya sistem tersebut.

Korelasi antara perkembangan teknologi informasi dan tindak kejahatan

memunculkan pandangan dari segi kontrol sosial. Artinya, lingkungan sosial

dapat memengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan kejahatan. Tindak

pidana kejahatan memicu berbagai runtutan permasalahan lainnya berkenaan

dengan perkembangan teknologi informasi. Salah satu contoh kasus tindak

kejahatan dalam dunia teknologi yaitu maraknya pengungkapan identitas anak

korban kasus kekerasan melalui media elektronik berupa internet dan media

sosial sebagai pelanggaran hak anak.

Apabila dilihat melalui data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia

(KPAI), kasus pelanggaran hak anak mengalami penurunan pada tahun 2021

dibandingkan tahun 2020, yaitu sejumlah 566 kasus. 8 Penurunan angka

tersebut terlihat dari data pelaporan pelanggaran hak anak sejumlah 6.519

8
Databoks, “KPAI: Kasus Pelanggaran Hak Anak Menurun Pada 2021,” Katadata.co.id, 27 Januari 2022,
tersedia pada https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/01/27/kpai-kasus-pelanggaran-hak-anak-
menurun-pada-2021, diakses pada tanggal 28 Juni 2023.

4
kasus di tahun 2020 dan menurun menjadi 5.953 kasus di tahun 2021.9 Dengan

turunnya angka pelaporan tersebut, dapat dijelaskan adanya perbaikan

indikator perlindungan anak di Indonesia. Namun demikian, pencapaian

tersebut tidak dapat menjadi acuan utama keberhasilan pengurangan

pelanggaran hak anak dengan melihat masih banyak kasus tersebut seperti

halnya yang terjadi pada DO (nama disamarkan) pada tahun 2023.

Kasus anak korban DO merupakan kasus kekerasan anak di bawah umur

yang beredar melalui berbagai pemberitaan melalui media elektronik. DO,

anak dari Pengurus Pusat GP Ansor berinisial JL. DO berstatus anak di bawah

umur, mengalami kekerasan oleh MDS (nama disamarkan), anak dari RAT,

pejabat Direktorat Jenderal Pajak. MDS melakukan bentuk kekerasan fisik,

yang nantinya sudah dipastikan akan memberikan dampak fisik dan psikis

kepada. DO berstatus anak di bawah umur, mengalami penganiayaan dan

pengeroyokan sesaat setelah ia menerima pesan teks dari mantan kekasihnya

yang berinisial AG. Dari sekian banyaknya pemberitaan melalui media

elektronik, berikut merupakan salah satu sumber media yang memberitakan

adanya kronologi kejadian tersebut:

David saat itu sedang bermain di rumah salah satu temannya berinisial
R, di Perumahan Green Permata, Kelurahan Ulujami, Kecamatan
Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Mantan pacar David saat itu mengirim
pesan singkat yang pada intinya memberi tahu niatan dia untuk
mengembalikan kartu pelajar. David pun lantas mengirim titik lokasi
rumah teman yang sedang dia kunjungi saat itu. Tak lama setelah lokasi
dikirim, mobil Jeep Rubicon warna hitam yang dikemudikan Mario
berhenti di depan rumah teman David tersebut. David lantas menghampiri
mobil tersebut yang ternyata di dalamnya ditumpangi oleh empat orang.

9
Admin KPAI, “Catatan Pelanggaran Hak Anak Tahun 2021 dan Proyeksi Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Anak Tahun 2023,” Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 24 Januari 2022, tersedia
pada https://www.kpai.go.id/publikasi/catatan-pelanggaran-hak-anak-tahun-2021-dan-proyeksi-pengawasan-
penyelenggaraan-perlindungan-anak-tahun-2022, diakses pada tanggal 28 Juni 2023.

5
Dua dari empat orang tersebut lalu keluar dari mobil dan membawa David
ke sebuah gang sepi. Di sanalah David dikeroyok hingga babak belur.
Kepolisian mengonfirmasi bahwa penganiayaan ini bermula setelah A,
yang juga teman dari Mario, mengadu jika dirinya mendapat perlakuan
kurang baik. Dari situlah Mario lantas mendatangi David yang sedang
berada di rumah temannya berinisial R di Pesanggrahan. "Kemudian
setelah MDS bertemu D, langsung meminta klarifikasi perihal perbuatan
tidak baik tersebut dan terjadi perdebatan yang berujung tindakan
penganiayaan terhadap saudara D," kata Kapolres Metro Jakarta Selatan
Kombes Ade Ary Syam Indradi dalam keterangannya, Rabu (22/2). Orang
tua R pun mendengar keributan yang terjadi di depan rumahnya. Mereka
juga melihat David dalam posisi tergeletak di dekat Mario. Setelahnya,
orang tua R langsung membawa David ke RS Medika Permata Hijau
dengan dibantu oleh sekuriti komplek untuk mendapat penanganan medis.
"Selanjutnya pelaku diamankan oleh sekuriti komplek dan petugas dari
Polsek Pesanggrahan. Selanjutnya pelaku dibawa ke Polsek
Pesanggrahan," ucap Ade Ary. Ade Ary menyebut saat ini Mario telah
ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Ia dijerat Pasal 351 KUHP
tentang penganiayaan. "Tersangka MDS telah ditahan. Korban masih
belum dapat dimintai keterangan karena masih dirawat di RS," ujarnya.
Ketua Umum GP Ansor DKI Jakarta M Ainul Yaqin memastikan tim
Lembaga Bantuan Hukum GP Ansor turun mengawal kasus dugaan
penganiayaan ini. "Tim LBH GP Ansor sejak awal sudah mengawal kasus
ini sampai tuntas," kata Yaqin kepada CNNIndonesia.com, Rabu (22/2).
GP Ansor DKI menyatakan akibat perbuatan Mario itu David mengalami
luka serius di area wajah sebelah kanan, kepala, robek pada bibir. David
pun saat ini masih dalam kondisi tak sadarkan diri alias koma di ruang
ICU, Rumah Sakit Permata Hijau akibat luka yang dialaminya.10

Berdasarkan pemberitaan media tersebut, diketahui bahwa identitas korban

disebutkan baik dalam bentuk inisial dan secara langsung tanpa menggunakan

inisial. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya: UU SPPA) menyebutkan bahwa

segala bentuk identitas anak (pelaku pidana), anak sebagai korban, dan anak

sebagai saksi tindak pidana, wajib dirahasiakan dalam segala pemberitaan baik

media cetak maupun elektronik11. Pasal 1 angka 2 UU SPPA menyebutkan

Anak yang Berhadapan dengan Hukum (selanjutnya: ABH), merupakan anak

10
CNN Indonesia, Februari 2023, pada https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230222111816-12-
916308/kronologi-david-anak-gp-ansor-dihajar-pengemudi-rubicon-sampai-koma.
11
Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

6
yang berkonflik dengan hukum baik sebagai korban maupun saksi tindak

pidana.12

Pada Pasal 3 UU SPPA, telah diatur mengenai hak anak yang diperoleh

selama proses peradilan pidana sebagai ABH baik berhadapan maupun

berkonflik dengan hukum. Dalam UU tersebut, setidaknya terdapat 16 hak

anak selama proses peradilan pidana anak yang salah satunya yaitu hak

perlindungan identitas anak.13 ABH dan/atau anak yang berhadapan dengan

hukum, memiliki berbagai hak untuk tidak dipublikasikan identitasnya.

Berkaitan dengan aturan kerahasiaan identitas ABH tersebut, terdapat pasal

yang secara spesifik memuat aturan tersebut yaitu Pasal 19 UU SPPA dan

Pasal 64 ayat (2) angka 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak (selanjutnya: UU Perlindungan Anak).

Pada Pasal 19 ayat (1) UU SPPA disebutkan mengenai kategori anak yang

harus dirahasiakan identitasnya untuk publikasi yaitu anak yang berkonflik

dengan hukum, anak saksi, dan anak korban.14 Pada Pasal 19 ayat (2) UU

SPPA, identitas anak pada Pasal 19 ayat (1) tersebut mencakup nama, wajah,

alamat, nama orang tua dari ABH dan/atau anak yang berhadapan dengan

hukum dan hal lain yang menyebabkan jati diri ABH dan/anak yang

berhadapan dengan hukum terbongkar.15 Hal tersebut juga diatur dalam Pasal

64 ayat (2) angka 7 UU Perlindungan Anak bahwa ABH mendapatkan

perlindungan khusus dengan cara tidak dipublikasikan identitasnya melalui

media massa untuk menghindari labelisasi.16

12
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
13
UU SPPA, Pasal 3.
14
UU SPPA, Pasal 19 ayat (1).
15
UU SPPA, Pasal 19 ayat (2).
16
UU Perlindungan Anak, Pasal 64 ayat (2) angka 7.

7
Pasal 64 ayat (3) poin 2 UU Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa

identitas anak korban dalam kasus kekerasan harus dijaga kerahasiaannya dari

media massa. Tujuan utamanya yaitu agar anak korban tidak mendapatkan

labelisasi dari masyarakat umum17. Identitas anak korban dalam kasus

kekerasan harus dijaga kerahasiannya untuk melindungi hak dan kepentingan

anak korban dan untuk mencegah dampak buruk di kemudian hari terhadap

anak tersebut.

Problematika pengungkapan identitas anak korban kasus kekerasan

melalui media internet merupakan sebuah isu yang kompleks dan sensitif.

Pasalnya, identitas anak korban perlu dirahasiakan dalam kondisi apapun

untuk menjaga privasi anak. Privasi setiap anak perlu dihormati dan

dilindungi, sebagaimana telah diatur dalam berbagai peraturan. Di mata

hukum, anak memiliki berbagai macam hak, baik hak anak maupun hak

sebagai manusia atau Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam UU Perlindungan

Anak, disebutkan bahwa berbagai macam hak anak dari segala aspek

kehidupan yang wajib dijamin, dilindungi, hingga dipenuhi oleh seluruh

lapisan masyarakat, tidak hanya orang tua, melainkan keluarga, masyarakat,

pemerintah, dan negara.18 Salah satu hak anak yang menjadi kewajiban dan

tanggung jawab pemerintah dan masyarakat yaitu hak dan perlindungan

khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum.19

Lebih lanjut lagi, berdasarkan Kementerian PPPA, terdapat pengecualian

bagi kerahasiaan identitas anak yang dapat dipublikasi pada media elektronik

yaitu inisial nama. Publikasi inisial nama dapat dilakukan oleh media massa
17
Pasal 64 ayat (3) poin 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
18
Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
19
Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

8
tanpa gambar seperti yang tertera pada Pasal 61 ayat (2) UU SPPA.20 Hal

tersebut dilakukan yaitu untuk membedakan satu anak dan anak lainnya,

sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan keambiguan subjek anak yang

dimaksud dalam suatu perkara pidana.

Peraturan kerahasiaan terhadap identitas anak juga diatur dalam UU SPPA

yaitu pada Pasal 97, bahwa pelanggaran terhadap kerahasiaan identitas anak

yang dipublikasi dapat dikenakan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan

denda maksimal Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).21 Apabila

merujuk pada ketentuan sanksi tersebut, pelanggaran hak anak dengan

disebarkannya identitas anak yang berkonflik dengan hukum melanggar Pasal

19 Ayat (1) UU SPPA, sehingga dapat dijatuhi pidana pada ketentuan Pasal 97

UU SPPA tersebut.

Identitas DO tidak dirahasiakan dan dengan adanya hal tersebut maka

terdapat tindakan menyalahi/melanggar hak khusus anak pada UU SPPA.

Badan peradilan seharusnya wajib merujuk pada UU SPPA terhadap DO

sebagai ABH yang masih berumur kurang dari 18 tahun. Tindakan publikasi

identitas DO tersebut menimbulkan isu hukum terkait pelanggaran hak anak

terhadap pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak. Anak perlu

dilindungi haknya dan mendapatkan perlindungan khusus, sesuai dengan

berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam UU SPPA, telah

dijelaskan bahwa identitas anak pada sistem peradilan pidana anak dilarang

20
UU SPPA, Pasal 61 ayat (2).
21
UU SPPA, Pasal 97.

9
untuk dipublikasi22. Dalam hal ini, setiap anak berhak untuk mendapatkan

perlindungan khusus anak yang berasaskan non-diskriminasi.

Dalam UU Perlindungan Anak, bentuk upaya perlindungan anak dilakukan

dengan cara menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya sesuai dengan

harkat dan martabat kemanusiaan. Hal tersebut ditujukan agar setiap anak

dapat “hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”23 Hal tersebut

juga dikuatkan dengan adanya pengaturan hukum terhadap hak anak dalam

konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(selanjutnya: UUD 1945) yaitu pada Pasal 28B ayat (2) bahwa hak anak harus

dilindungi dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi agar anak dapat

terus hidup, tumbuh, dan berkembang.24 Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 juga

menyebutkan bahwa setiap orang berhak bebas atas perlakuan diskriminatif

dalam bentuk dan dasar apapun dan berhak untuk mendapatkan perlindungan

atas tindakan diskriminatif25.

Melalui peraturan tersebut, diketahui bahwa setiap anak memiliki haknya

sebagai manusia untuk hidup, tidak disiksa, dan berkembang tanpa adanya

diskriminasi yang mengusik kehidupannya. Hak Asasi Manusia (HAM)

merupakan berbagai hak yang melakat pada seorang individu yang perlu

dihormamti dan dilindungi demi harkat dan martabat manusia. Pelanggaran

HAM kemudian diartikan sebagai tiap-tiap perbuatan membatasi dan/atau

merampas hak asasi manusia yang dijamin dalam bentuk hukum dalam sebuah

22
Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU Nomor 11 Tahun 2012, LN Tahun 2012 No.
153 TLN No. 5332, selanjutnya disebut UU SPPA, Pasal 3.
23
Pasal 1 poin 2, Ibid.
24
Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
25
Pasal 28I, ayat (2), Ibid.

10
negara, termasuk di Indonesia yang mengakui dan menjunjung tinggi HAM

tiap-tiap warga negaranya.

Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia (selanjutnya: UU HAM) juga menyebutkan bahwa setiap orang

dihargai dan tidak didiskriminasi26. Setiap individu juga memiliki hak untuk

hidup tanpa disiksa27, bebas dari bentuk penyiksaan28, dan “setiap anak

memiliki hak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan” 29. Negara, terutama

pemerintah, memiliki tanggung jawab penuh terhadap perlindungan,

pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia 30. Hal tersebut perlu

dijalankan dikarenakan hal-hal tersebut telah menjadi tanggung jawab

pemerintah terhadap hak asasi manusia tiap-tiap individu dalam sebuah

negara31. Pemerintah memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam

menghormati, melindungi, menegakkan, memajukan hak asasi manusia dalam

peraturan hukum yang berlaku di Indonesia sesuai dengan Pasal 71 dan Pasal

72 UU HAM32.

Lebih lanjut lagi, dalam konvensi internasional The United Nations

Cinvention on the Rights of the Child (UNCRC), hak anak disebutkan dalam

berbagai pemenuhan hak anak. UNCRC secara umum menjelaskan terkait

pemenuhan hak anak baik dalam hak-hal sipil, politik, ekonomi, sosial, dan

kultural. Setiap anak pada umumnya berhak untuk bermain 33, berhak untuk

26
Pasal 3 ayat (3), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
27
Pasal 4, Ibid.
28
Pasal 33, Ibid.
29
Pasal 66, Ibid.
30
Pasal 28I ayat (3), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
31
Pasal 8, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
32
Pasal 71 dan 72 UU HAM.
33
Pasal 31, Ibid.

11
menyampaikan pendapatnya34, berhak untuk terbebas dari bentuk kekerasan 35,

berhak untuk mengenyam edukasi/pendidikan36, dan anak juga berhak untuk

hidup tanpa adanya bentuk diskriminasi37, dan lain sebagainya.

Berbagai aturan hak anak tersebut di atas, mengindikasikan bahwa anak

juga memiliki hak yang perlu diperjuangkan, sama halnya manusia dan orang

dewasa pada umumnya, baik dalam kehidupan bermasyarakat hingga ketika

Anak menjadi ABH dalam peradilan pidana. Selain diatur dalam UU SPPA,

dan peraturan hukum lainnya di atas, kasus DO tersebut dikaitkan dengan

bagaimana media elektronik dijadikan sebagai media penyampaian berita

tersebut dan bagaimana peran Pers sebagai pihak yang memberitakan hal

tersebut.

Perlindungan ABH sebenarnya tidak secara eksplisit diatur dalam UU ITE,

namun demikian beberapa pasal menyebutkan kegiatan transaksi elektronik

yang melibatkan DO sebagai ABH. Pasal 32 ayat (3) UU ITE menyebutkan

bahwa setiap orang dilarang untuk memberikan akses informasi elektronik

yang bersifat rahasia menjadi informasi publik dengan keutuhan data yang

tidak semestinya38. Selain itu, pada Pasal 36 UU ITE juga menyebutkan bahwa

tindakan pada Pasal 32 ayat (3) UU ITE dilarang karena dapat merugikan

orang lain39. Dengan mengetahui hal tersebut, setiap orang yang melanggar

hal-hal tersebut dapat dinyatakan bersalah dalam pemberitaan terhadap

identitas DO sebagai ABH.

34
Pasal 13, Ibid.
35
Pasal 19, Ibid.
36
Pasal 28, Ibid.
37
Pasal 2, UNCRC.
38
Pasal 32 ayat (3) UU ITE.
39
Pasal 36 UU ITE.

12
Perlindungan ABH juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun

1999 tentang Pers (selanjutnya: UU Pers), meskipun tidak disebutkan secara

detail. UU Pers memberikan perlindungan terhadap subjek dan objek

pemberitaan termasuk pelaku tindak pidana dan ABH. Pada Pasal 6 poin b UU

Pers dan Kode Etik Jurnalistik (selanjutnya: KEJ) disebutkan bahwa Pers

berkewajiban untuk menegakkan HAM40. Pada Pasal 7 ayat (2) UU Pers, para

wartawan bekerja sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik41. KEJ menjelaskan

berbagai etika bagi wartawan dalam membawakan berita, sehingga wartawan

dapat selalu bertanggung jawab secara sosial terhadap tugas profesi wartawan

dengan berlandaskan bahwa Pers merupakan media informasi, pendidikan,

dan hiburan, namun juga perlu menimbang fungsinya sebagai kontrol sosial 42.

KEJ berlandaskan pada kepentingan publik sehingga kebebasan yang

diberikan pada pers tersebut tidak melanggar HAM warga negara dan

mencelakai kepentingan publik.

Selain KEJ, Dewan Pers juga membuat aturan yang mengatur kerahasiaan

identitas ABH yaitu dalam Peraturan Dewan Pers Nomor

1/Peraturan-DP/II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah

Anak (selanjutnya: Pedoman Pemberitaan Ramah Anak). Dalam pedoman

tersebut, wartawan berperan serta dalam melindungi harkat dan martabat anak

dengan menjaga segala bentuk pemberitaan negatif terhadap anak.43

Dewan Pers membentuk Pedoman Pemberitaan Ramah Anak yaitu untuk

menciptakan pemberitaan ramah anak yang menyesuaikan aturan mengenai

40
Pasal 6 poin b UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
41
Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
42
Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
43
Peraturan Dewan Pers Nomor: 1/Paeraturan-DP/II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak.

13
hak anak pada Pasal 4, 5, 6, 7, dan 15 UU Pers, Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2002 tentang Penyiaran (selanjutnya: UU Penyiaran), Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah

dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perlindungan Anak (UU

Perlindungan Anak), Pasal 19 dan Pasal 97 UU SPPA, Keputusan Presiden

Republik Indonesia Nomor 14/M Tahun 2016 tentang Keanggotaan Dewan

Pers periode Tahun 2016-2019, dan Peraturan Dewan Pers Nomor:

6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers

Nomor: 03/SK-DP/III/2006 tenatang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan

Dewan Pers.

Dalam Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, perlindungan kerahasiaan

identitas ABH terdapat pada poin 4 bahwa wartawan hanya mengambil visual

(gambar atau video) ABH tanpa mempublikasikan visual dan audio identitas

ABH atau hal-hal yang berhubungan dengan identitas anak.44

Penyebaran identitas ABH merupakan pelanggaran hak anak dalam

mendapatkan perlindungan khusus dan hak anak yang diatur dalam Pasal 19

ayat (1) UU SPPA, Pasal 63 ayat (2) poin 7 UU Perlindungan Anak, Pasal 6

KEJ, dan poin 4 Pedoman Pemberitaan Ramah Anak. Sanksi yang diberikan

terhadap pelanggaran tersebut dapat ditemukan pada Pasal 97 UU SPPA

apabila merujuk pada pelanggaran Pasal 19 Ayat (1) UU SPPA. Dalam ranah

Pers, pelanggaran terhadap Pasal 6 KEJ dapat diberi sanksi apabila terdapat

pelanggaran yang diputuskan oleh organisasi wartawan/Dewan Pers45.

44
Poin 1 dan Poin 4 Peraturan Dewan Pers Nomor: 1/Peraturan-DP/II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan
Ramah Anak.
45
Kode Etik Jurnalistik, hlm. 297.

14
Sedangkan, penyelesaian pelanggaran terhadap poin 4 Pedoman Pemberitaan

Ramah Anak dilaksanakan oleh Dewan Pers dengan tetap merujuk UU Pers.46

Kasus pengungkapan identitas anak korban DO dilakukan oleh pers

melalui media elektronik merupakan pelanggaran terhadap peraturan yang

telah diuraikan sbeelumnya. Pengaturan kerahasiaan identitas ABH telah ada

beserta dengan sanksi dalam perundang-undangan di Indonesia. Namun,

masyarakat Indonesia, terutama wartawan belum banyak yang memahami

peraturan tersebut sehingga penyebaran identitas DO sebagai ABH dilakukan

oleh Pers dapat terjadi. Pasalnya, para wartawan telah memiliki pedoman

pemberitaan melalui KEJ yang secara jelas mengatur larangan publikasi

identitas anak yaitu pada Pasal 6 KEJ.

Fakta tersebut menjadi teguran bagi wartawan dan pers Indonesia yang

seharusnya menaati KEJ sebagaimana pada Pasal 7 ayat (2) UU Pers

dimaksudkan. Dengan melihat kejadian tersebut, pemberitaan di media berita

dan media sosial menjadi tidak ramah anak. Berbagai pemberitaan

menghakimi DO dalam kasusnya tanpa mempertimbangkan perahasiaan

identitas DO sebagai ABH yang justru perlu dilindungi identitasnya.

Terungkapnya kasus tersebut memberikan dampak buruk kepada DO sebagai

ABH dan menimbulkan adanya perundungan dunia maya, labelisasi,

penghakiman kepada DO, dan dampak negatif lainnya bagi DO. Selain itu,

dengan kejadian tersebut, akan ada kemungkinan proses persidangan menjadi

lebih terfokuskan dibandingkan urgensi kepentingan hak-hak anak/ABH

dalam peradilan pidana.

46
Kode Etik Jurnalistik, hlm. 280.

15
Kasus pengungkapan identitas anak korban dalam kasus kekerasan melalui

media elektronik kemudian menjadi sebuah topik yang menarik perhatian

penulis. Secara lebih rinci, penulis tertarik untuk mengetahui, menganalisis,

dan mengkaji lebih mendalam bagaimana perlindungan identitas anak korban

kasus kekerasan melalui media elektronik dalam sistem peradilan anak ke

dalam judul skripsi ini, yaitu “Pengaturan Kerahasiaan Identitas Anak

Korban Kasus Kekerasan melalui Media Elektronik dalam Sistem

Peradilan Anak di Indonesia”

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penulis merumuskan

beberapa masalah dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan kerahasiaan identitas anak korban kasus

kekerasan melalui media elektronik dalam sistem peradilan pidana

anak di Indonesia?

2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap pengungkapan

identitas anak korban kasus kekerasan melalui media elektronik dalam

sistem peradilan pidana anak di Indonesia?

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka terdapat dua tujuan penelitian

dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

16
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan kerahasiaan identitas

anak korban melalui media elektronik dalam sistem peradilan pidana

anak di Indonesia.

2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap

pengungkapan identitas anak korban kasus kekerasan melalui media

elektronik dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia.

D. MANFAAT DAN KEGUNAAN PENELITIAN

Manfaat dan kegunaan penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

Melalui hasil penelitian ini, diharapkan penulisan ini dapat

memberikan manfaat akademis bagi para pembaca umum dengan

memberikan wawasan terkait konsekuensi yuridis, urgensi, dan

bentuk perlindungan hukum terhadap identitas anak korban dalam

sistem peradilan pidana anak bagaimana pengaturan kerahasiaan

identitas anak korban kasus kekerasan melalui media elektronik

dan bentuk perlindungan hukumnya dalam sistem peradilan pidana

anak di Indonesia. Selain itu, diharapkan penulisan ini dapat

dijadikan sebagai referensi kajian pustaka yang berguna untuk

penelitian dan pengembangan terhadap ilmu hukum, khususnya

perihal sistem peradilan anak. Sehingga, penulisan dalam

penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat bagi akademisi

maupun pembaca umum pada masa yang akan datang.

17
b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian dalam penulisan hukum ini diharapkan dapat

dijadikan sebagai informasi bagi masyarakat umum, khususnya

mengenai bagaimana pengaturan kerahasiaan identitas anak korban

kasus kekerasan melalui media elektronik dan bentuk perlindungan

hukumnya dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia.

Nantinya diharapkan pula dapat bermanfaat bagi aparat pemerintah

dan pembuat undang-undang untuk mengkaji terhadap adanya

bentuk kejahatan terbarukan dalam kaitannya dengan urgensi

perlindungan identitas anak korban kasus kekerasan melalui media

elektronik dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia.

2. Kegunaan Penelitian

a. Bagi Penulis

Penelitian ini berguna bagi penulis sebagai wawasan baru maupun

wawasan tambahan terkait bagaimana pengaturan kerahasiaan identitas

anak korban kasus kekerasan melalui media elektronik dan bentuk

perlindungan hukumnya dalam sistem peradilan pidana anak di

Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga berguna sebagai syarat untuk

Penulisan Tugas Akhir dalam menyelesaikan Strata-1 di Fakultas

Hukum Universitas Muhammadiyah Malang dengan gelar Sarjana

Hukum.

b. Bagi Penegak Hukum

18
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan kepada

penegak hukum dalam menegakkan hukum peradilan pidana anak

yang berhubungan dengan pengaturan kerahasiaan identitas anak

korban kasus kekerasan melalui media elektronik dan bentuk

perlindungan hukumnya dalam sistem peradilan pidana anak di

Indonesia.

c. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan kepada

masyarakat umum baik sebagai informasi umum hingga secara spesifik

dalam bagaimana pengaturan kerahasiaan identitas anak korban kasus

kekerasan melalui media elektronik dan bentuk perlindungan

hukumnya dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia.

E. METODE PENELITIAN

Metode penelitian dapat diartikan sebagai sebuah tata laksana pemikiran

untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu baik ketika mencari hingga menyusun

ke dalam bentuk pelaporan. Di sisi lain, penulisan hukum diartikan sebagai

kegiatan ilmiah untuk mempelajari gejala hukum yang ada, untuk dianalisis

lebih dalam47. Berikut merupakan berbagai metode-metode dalam

melaksanakan penelitian hingga penulisan hukum ini:

47
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek (Jakarta, 2002) hlm. 6.

19
1. Metode Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif dengan

menganalisis atau mengkaji undang-undang. Pokok kajian dalam jenis

penelitian normatif yaitu hukum yang terkonsep dalam suatu norma

atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu,

penelitian hukum normatif difokuskan pada analisis terhadap hukum

positif, asas-asas, doktrin, penemuan hukum, sistematika hukum,

perbandingan atau sejarah hukum48.

Sebagai tambahan, jenis penelitian yuridis normatif meneliti

hukum dengan cara melihat dan menganalisis berbagai sumber data

hukum sebagai data primer/utama. Dalam pengumpulan data-data

dalam penelitian hukum yuridis normatif, penulis tidak mencari ke

lapangan secara langsung, namun pada hal-hal normatif pada bentuk

peraturan hukum. Dengan melihat sifat penelitian hukum yuridis

normatif, hasil data nantinya akan dianalisis secara deskriptif dalam

bentuk kata dengan menarik kesimpulan berdasarkan fakta yang terjadi

pada data yang ada. Penulis menerapkan sifat penelitian hukum yuridis

normatif dan pengolahan data deskriptif kualititatif dalam

menganalisis berbagai bentuk peraturan hukum yang membahas

pengaturan kerahasiaan identitas anak korban kasus kekerasan melalui

media elektronik dan bentuk perlindungan hukumnya dalam sistem

peradilan pidana anak di Indonesia.

Dalam sebuah penelitian hukum, terdapat beberapa pendekatan,

melalui pilihan pendekatan tersebut, penulis dapat mendapatkan


48
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 52.

20
informasi dari berbagai aspek mengenai persoalan yang sedang

dibahas untuk mendapatkan jawabannya49.

Pendekatan masalah dalam penulisan hukum ini didasarkan pada

pendekatan terhadap masalah yang telah dirumuskan sebelumnya.

Penulis memilih untuk menggunakan pendekatan hukum melalui

peraturan perundang-undangan (conceptual approach) untuk meninjau

sebuah peraturan undang-undang lebih dalam yang berkenaan dengan

rumusan permasahalan dalam penulisan hukum ini secara konseptual.

2. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Seperti yang telah disebutkan pada pendekatan penelitian

sebelumnya, penulis memilih untuk menggunakan pendekatan yuridis

normatif. Oleh karena itu, bahan-bahan hukum yang didapatkan yaitu

melalui berbagai kegiatan dokumentasi. Artinya, penulis

mengumpulkan data penelitian melalui studi dokumen, literatur,

hingga dokumentasi terhadap pustaka. Berbagai bentuk data tersebut

yaitu namun tidak terbatas pada undang-undang, sumber hukum, buku,

jurnal hukum, kajian pustaka yang berkaitan, karangan ilmiah, dan lain

sebagainya. Beberapa data dan sumber hukum tersebut diperoleh dan

dimaksudkan sebagai sumber bahan hukum primer, hingga sumber

data sekunder dan tersier. Secara lebih rinci, berikut merupakan

penjelasan singkat mengenai jenis dan sumber bahan hukum dalam

penelitian ini:

a. Bahan Hukum Primer


49
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 29.

21
Bahan hukum primer dalam penulisan hukum ini

didasarkan pada pemerolehan penulis terhadap data-data

berupa peraturan perundang-undangan, sebagai hasil dari jenis

penelitian hukum normatif. Dalam penulisan hukum ini,

beberapa data primer berbentuk hukum perundang-undangan,

meliputi:

1) UUD 1945

2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitap

Undang-Undang Hukum Pidana

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak

4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak

5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Anak

6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban

7) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban

8) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia

22
9) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang

Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik

10) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

11) Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2019

tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder ialah bahan/data hukum untuk

memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer,

yaitu telaah terhadap undang-undang. Bahan hukum sekunder

dalam penulisan hukum ini digunakan dalam mendukung

penulisan hukum oleh penulis terkait isu hukum yang diangkat,

meliputi: buku literatur, laporan atas penelitian hukum, jurnal

hukum, makalah, artikel, penjelasan atas unndang-undang,

pendapat para ahli.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan-bahan hukum tersier dalam penulisan hukum ini

digunakan sebagai pendukung sumber primer maupun

sekunder. Beberapa bahan dan data hukum tersier tersebut

diantaranya yaitu KBBI, kamus hukum, ensiklopedia, dan lain

sebagainya yang bukan undang-undang maupun bahan

sekunder di atas.

23
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Secara garis besar, sumber bahan hukum dalam penelitian ini

didapatkan melalui berbagai kegiatan dokumentasi. Artinya, penulis

mengumpulkan data penelitian melalui studi dokumen, literatur,

hingga dokumentasi terhadap pustaka. Berbagai bentuk data tersebut

yaitu namun tidak terbatas pada undang-undang, sumber hukum, buku,

jurnal hukum, kajian pustaka yang berkaitan, karangan ilmiah, dan lain

sebagainya.

Mengenai bahan hukum primer, teknik penelusuran yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara melakukan

penulusuran studi kepustakaan (library research) mengenai bentuk

peraturan hukum yang membahas pengaturan kerahasiaan identitas

anak korban kasus kekerasan melalui media elektronik dan bentuk

perlindungan hukumnya dalam sistem peradilan pidana anak di

Indonesia.

Teknik penulusuran bahan hukum dilakukan dengan cara

mempelajari dan mencatat data dari bahan pustaka yang telah

dikumpulkan. Selanjutnya, hasil yang dikumpulkan dilakukan analisis

dan diambil kesimpulannya sesuai dengan pokok permasalahan dalam

penulisan hukum ini.

24
4. Teknik Analisis Bahan Hukum

Metode analisis bahan hukum dalam penulisan hukum ini yaitu

berdasarkan pada teknik analisis data deskriptif secara kualitatif dalam

menganalisis bahan/data hukum yang ada menjadi hasil penelitian.

Penulis menganalisis bahan hukum tersebut dengan mendeskripsikan

bahan hukum baik bahan hukum berbentuk primer, sekunder, maupun

tersier dan nantinya dianalisis lebih detail50.

Lebih dalam lagi, data yang nantinya telah terkumpul, dianalisis

oleh penulis secara deksriptif. Artinya, penulis mendeskripsikan

berbagai sumber data hukum sebagai kajian hasil analisis dalam

penelitian ini. Setelah itu, penulis melakukan penarikan sebuah

kesimpulan dalam menjawab berbagai permasalahan dalam penulisan

hukum ini, dengan mengkorelasikan dengan hasil studi kepustakaan.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam penulisan ini, terdapat empat bab untuk mempermudah penulisan

dan pemahaman penelitian ini. Pembagian tersebut yaitu sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Pada Bab 1, sebagai bab pendahuluan, penulis mengkaji latar yang

membelakangi adanya berbagai rumusan masalah dalam penulisan hukum ini.

Penulis juga menjabarkan tujuan, manfaat, metodologi, hingga bagaimana

sistematika penulisan hukum dijabarkan.

Dalam penulisan beberapa latar yang membelakangi penulisan hukum ini,

penulis merangkai berbagai konstruksi ide dan gagasan sebagai tema yang
50
Sugiyono, Metode penelitian pendidikan: Pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta,
2009, hlm. 8.

25
diuraikan secara umum ke khusus, hal-hal yang melatarbelakangi perlunya

penelitian terhadap tema tersebut, penulisan fakta atau kebijakan umum dan

merangsur ke permasalahan konkrit dalam perumusan tema penelitian.

Dalam hal ini, penulis menguraikan adanya modernisasi dan kemajuan

teknologi informasi (TI) beserta dengan dampak positif dan negatifnya,

kegagalan menyikapi hal tersebut, pelanggaran hukum pidana pengungkapan

identitas anak kobran melalui media cetak maupun elektronik, peraturan

perundang-undangan di Indonesia mengenai sistem peradilan anak, hingga

perumusan judul dan masalah penelitian dengan adanya kesenjangan peraturan

dan pelaksanaan perpu.

Penulis merumuskan tujuan dan manfaat penelitian yang telah disesuaikan

dengan adanya hal-hal yang bersinggungan dengan manfaat penelitian

penulisan hukum ini secara teoritis dan praktis (bagi masyarakat, pemerintah,

dan peneliti selanjutnya).

Penulis merumuskan metode penelitian yang digunakan, berawal dari

pendekatan penelitian sebagai penulisan hukum yuridis normatif dengan data

sekunder untuk mendapatkan hasil penelitian secara kualitatif deskriptif

hingga sistematika dan pertangunggjawaban penulisan hukum.

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

Pada Bab 2, yaitu berupa kajian berbagai kepustakaan yang membahas

tentang konsekuensi yuridis, urgensi, dan bentuk perlindungan hukum

terhadap identitas anak korban dalam sistem peradilan pidana anak baik

tinjauan teori/doktrin/konsep/kaidah hukum yang relevan. Teori-teori tersebut

26
diperoleh melalui data sekunder misalnya buku teks, jurnal, penelitian

terdahulu, perpu, dan lain sebagainya.

BAB III: HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada Bab 3, dibahas hal-hal yang berkenaan dengan konsekuensi yuridis,

urgensi, dan bentuk perlindungan hukum terhadap identitas anak korban

dalam sistem peradilan pidana anak. Pada bab ini, dimuat berbagai informasi

mengenai data-data penelitian dan proses analisis data dalam menjawab

permasalahan penelitian ini. Seluruh permasalahan yang ada dalam penulisan

hukum ini dikaji satu persatu sesuai dengan rumusan masalah yang ingin

dijawab, secara tuntas dan objektif.

BAB IV: PENUTUP

Dalam Bab 4 sebagai penutup penulisan hukum, penulis memberikan

sebuah kesimpulan hasil penelitian dengan menjawab berbagai permasalahan

sebelumnya hingga memberikan beberapa saran melalui hasil penulisan

hukum ini.

27
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anak Sebagai Korban Tindak Pidana

1. Definisi Anak

Anak merupakan seorang individu yang masih tergolong kecil51 dan

tidak dapat dipisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan sebuah

bangsa dan negara. Menurut UU Perlindungan Anak, anak diartikan

sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang

masih di dalam kandungan ibunya52. Dalam konteks sosial, anak

dilahirkan dari sebuah keluarga sebagai pembawa dan pelengkap

kebahagiaan bagi orang tuanya. Sebagai anak, orang tua memiliki

kewajiban dan tanggung jawab terhadap tumbuh kembangnya tiap anak

mereka. Hal tersebut dikarenakan anak masih belum dewasa/matang

secara fisik maupun mental53.

Anak menjadi tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita

perjuangan bangsa, berperan dalam eksistensi dan keberlangsungan

bangsa dan negara di masa depan nantinya 54. Oleh karena itu, anak perlu

dilindungi dalam kehidupan sosial, berbangsa, dan bernegara secara

optimal untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya dalam tumbuh dan

berkembang secara fisik, mental, dan sosial; untuk mewujudkan

51
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, 2022, Definisi anak, diakses melalui https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/anak,
pada 1 April 2023.
52
Pasal 1 ayat (1), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
53
Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, CV. Mandar Maju, Bandung. 2009. hlm. 3.
54
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, 2013, hlm. 8.

28
kesejahteraannya55. Berikut merupakan definisi dan pengertian anak

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu sebagai

berikut:

a. Konvensi Hak Anak, menyebutkan bahwa anak merupakan semua

orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali ditentukan dalam

sebuah negara dengan hukum negara tersebut56.

b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, menyebutkan bahwa anak merupakan setiap manusia

yang berusia di bawah 18 tahun, belum menikah, termasuk anak

yang masih dalam kandungan ibunya, apabila hal tersebut

merupakan demi kepentingannya57.

c. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, menyebutkan bahwa anak merupakan seseorang yang

belum berusia 18 tahun, termasuk apabila masih di dalam

kandungan ibunya58.

d. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Anak, menyebtukan bahwa anak merupakan seseorang yang

berkonflik dengan hukum yang telah berusia 12 tahun, namun

belum berusia 18 tahun, dan diduga melakukan tindak pidana59.

55
BAB I, Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
56
Konvensi Hak Anak, UNICEF, Pasal 1.
57
Pasal 1 ayat (5), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
58
Pasal 1 ayat (1), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
59
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

29
e. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menyebutkan bahwa

orang yang belum dewasa dikategorikan apabila belum genap 16

tahun, diartikan sebagai anak60.

f. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyebutkan bahwa anak

(yang belum dewasa) merupakan seseorang yang belum mencapai

umur 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya. Apabila terjadi

perceraian sebelum umur 21 tahun, maka seseorang tersebut

dikategorikan sebagai anak (yang belum dewasa)61.

Beberapa pakar juga memberikan definisi berbeda mengenai usia

anak. Anak dapat dikategorikan bukan sebagai anak atau telah dewasa

dengan rentang usia 16 tahun atau 18 tahun atau sesuai dengan peraturan

hukum sebuah masyarakat62. Anak juga masih tergolong sebagai anak

apabila masih berproses untuk bertumbuh dan berkembang hingga proses

tersebut selesai. Artinya, seorang anak memiliki batas 18 tahun untuk anak

perempuan dan 21 tahun untuk laki-laki63. Di sisi lain, R. A. Kosnan

mengartikan anak sebagai seorang individu yang masih muda dalam

jiwanya dan peka serta mudah dipengaruhi terhadap rangsangan

lingkungan64.

60
Pasal 45, KUHP.
61
Pasal 330, KUHPerdata.
62
Bisma Siregar, Keadilan Hukum dalam Berbagai aspek Hukum Nasional, (Jakarta : Rajawali, 1986), hlm.
105.
63
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Cetakan Kedua, (Bandung, P.T.Refika Aditama,
2010), hlm. 32.
64
R.A. Koesnan, Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia, (Bandung:Sumur, 2005), hlm. 113.

30
2. Tinjauan Anak Korban

Pengertian korban tercantum dalam Pasal 1 angka 3 UU Perlindungan

Saksi dan Korban bahwa korban merupakan sebuah istilah yang merujuk

kepada seseorang yang mengalami penderitaan baik secara fisik, mental,

dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana 65.

Tindak pidana merupakan perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana

dan/atau tindakan hukum lainnya oleh peraturan perundang-undangan 66.

Suatu tindakan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila perbuatan

tersebut bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang

hidup dalam masyarakat67. Tindak pidana dapat dilakukan dengan sengaja

oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atau dinilai sebagai

orang yang cakap bertindak68.

Pada Pasal 1 angka 4 anak yang menjadi korban tindak pidana

merupakan anak korban yang belum berusia 18 tahun. Anak korban

mengalami penderitaan secara fisik, mental, maupun kerugian ekonomi

yang disebabkan oleh tindak pidana. Dalam praktiknya, korban dalam

tindak pidana tidak diperhatikan hak-haknya sebagai kobran, namun

praktik penyelenggaraan hukum biasanya lebih condong dalam

melindungi hak-hak tersangka69.

Sebagai korban, individu maupun kelompok individu mengalami

kerugian baik kerugian berupa fisik, mental, emosional, ekonomi, maupun

gangguan substansial terhadap hak fundamental lainnya. Bentuk kerugian

65
Pasal 1 angka 3, UU Perlindungan Saksi dan Korban.
66
Pasal 12 ayat (1), UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
67
Pasal 13 ayat (2), Ibid.
68
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 284.
69
Suparman Marzuki, Pelecehan Seksual, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1995, hlm, 197.

31
tersebut berbentuk perbuatan pelanggaran hukum pidana, termasuk

pelanggaran kekuasaan yang dilakukan oleh orang lain baik individu,

masyarakat, maupun negara70. Selain pada UU Perlindungan Saksi dan

Korban dan KUHP, korban juga dapat dikaji melalui Pasal 1 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

dalam Rumah Tangga. Dalam UU tersebut, diketahui bahwa korban

merupakan seseorang yang mengalami kekerasan maupun ancaman

kekerasan dalam ruang lingkup rumah tangga71.

Menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004

tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, korban diartikan sebagai

seseorang/kelompok orang yang mengalami penderitaan fisik,

mental/emosional, ekonomi, maupun pengabaian, pengurangan, atau

perampasan hak-hak dasar, sebagai pelanggaran HAM berat. Dalam ayat

tersebut disebutkan bahwa ahli waris juga termasuk ke dalam kategori

korban.

Dalam perkembangannya, korban tidak hanya terjadi pada

perseorangan, melainkan dalam ruang lingkup yang lebih luas, seperti

korban institusi, korban lingkungan hidup, dan korban masyarakat hingga

bangsa dan negara. Apabila korban perseorangan dialami oleh suatu

individu, korban institusi dialami oleh sebuah institusi baik diakibatkan

oleh kebijakan pemerintah, kebijakan swasta, maupun bencana alam.

Selanjutnya, korban lingkungan hidup dialami oleh makhluk hidup seperti

tumbuhan, hewa, manusia, masyarakat, dan seluruh makhluk hidup yang

70
Abdussalam. 2010. Victimologi. Jakarta: PTIK, hlm. 5.
71
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga.

32
bertumpu pada suatu lingkungan alam. Kerugian jenis lingkungan hidup

dapat dilihat dengan adanya bencana alam dan bencana alam yang

diakibatkan manusia, hingga adanya kebijakan pemerintah yang tidak

dilaksanakan dengan baik, sehingga menimbulkan kerugian dan

membentuk korban lingkungan hidup. Terakhir, korban masyarakat,

bangsa, dan negara, merupakan jenis korban yang dialami oleh

masyarakat yang mendapatkan diskriminasi, baik dari aspek ekonomi,

sosial, budaya, dan lain sebagainya72.

3. Hukum terhadap Anak sebagai Korban Tindak Pidana

Anak perlu mendapatkan perlindungan dengan tujuan utama bahwa

anak dijamin atas terpenuhinya hak-hak anak sebagai manusia untuk

dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi sesuai harkat dan

martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, anak perlu dilindungi agar hak-

hak tersebut dapat dipenuhi, sehingga anak dapat berkembang menjadi

insan yang sejahtera dan menjadi harapan negara dan bangsa. Selain itu,

dengan adanya perlindungan anak, anak juga perlu dilindungi dari segala

hal yang berhubungan dengan kejahatan, kekerasan, diskriminasi, dan

bentuk kejahatan pada anak lainnya73.

Anak memiliki hak yang sama dengan orang dewasa yang memiliki

harkat dan martabat, hak untuk memiliki kebebasan dan merdeka sesuai

dengan hak asasinya. Perlindungan terhadap perlu dilaksanakan karena

anak belum memiliki kemampuan yang cukup dalam melindungi dirinya

72
Abdussalam, Op.cit., hlm. 6.
73
Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini, Op.cit., hlm. 1.

33
sendiri. Selain itu, anak juga masih memiliki tingkat ketergantungan yang

tinggi terhadap orang dewasa. Artinya, apabila bukan orang dewasa yang

melindungi, anak-anak tidak memiliki subjek yang dapat membimbingnya

dalam menjalankan hak asasinya74.

Berbagai perlindungan terhadap anak dilakukan apabila anak

mengalami berbagai perlakuan tidak semestinya seperti adanya

diskriminasi, eksploitasi ekonomi dan seksual, penelantaran, kekejaman,

kekerasan, penganiayaan, perlakuan tidak adil, dan perbuatan perlakuan

salah75. Dalam konteks tersebut, anak telah menjadi seorang korban

dikarenakan adanya aspek penderitaan baik secara fisik, mental, dan/atau

kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana 76. Anak

perlu dilindungi sebagai Anak Korban terhadap pemenuhan hak-haknya

dan terhadap adanya bentuk diskriminatif terhadap anak. Anak korban

maupun anak saksi berhak atas segala hal perlindungan dan hak-haknya

yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan77.

Selain dalam Pasal 89 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 90

menyebutkan bahwa anak korban dan anak saksi berhak untuk

mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan sosial (baik di dalam maupun

di luar lembaga), jaminan keselamatan (fisik, mental, dan sosial), dan

kemudahan dalam mendapatkan segala informasi perkembangan

perkaranya78. Dalam lingkup pidana, anak korban juga perlu dilindungi.

74
Ibid., hlm. 2.
75
Ibid.
76
Pasal 1 angka 3, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
77
Pasal 89 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
78
Pasal 90, Ibid.

34
Oleh karena itu, perlindungan saksi dan korban perlu dilaksanakan dengan

berbagai asas dasar, yaitu sebagai berikut79:

a. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia.


b. Rasa aman.
c. Keadilan.
d. Tidak diskriminatif.
e. Kepastian hukum.

Dalam melindungi saksi dan korban, anak dalam lingkup peradilan

pidana memiliki berbagai macam hak yang telah diatur dalam Pasal 5 UU

Perlindungan Saksi dan Korban80, yaitu sebagai berikut:

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan


harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan
kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
i. dirahasiakan identitasnya;
j. mendapat identitas baru;
k. mendapat tempat kediaman sementara;
l. mendapat tempat kediaman baru;
m. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan;
n. mendapat nasihat hukum;
o. memperoleh bantuan biaya sementara sampai batas Perlindungan
berakhir; dan/atau
p. mendapat pendampingan.

4. Hak-hak Anak sebagai Korban Tindak Pidana dalam Sistem PPA

Anak dalam kehidupan sosial memiliki peranan penting dengan

mengingat bahwa anak merupakan harapan bangsa. Dengan adanya

79
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
80
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

35
berbagai peraturan perundang-undangan terkait anak, dapat dilihat bahwa

status anak memiliki perhatian khusus terutama apabila berkaitan dengan

tindak pidana anak. Anak dalam konteks tindak pidana perlu dilindungi

hak-haknya baik sebagai pelaku tindak pidana, saksi, maupun korban.

Sebagai Anak Korban, anak merupakan objek hukum yang

mendapatkan perlakuan tidak adil dan diskriminatif. Perlindungan anak

korban kemudian menjadi sebuah hal yang penting untuk melindungi

harkat dan martabat anak dan memulihkan kondisi fisik, psikis, dan sosial

anak yang diakibatkan oleh pihak lain. Dengan begitu, pemerintah turut

serta dalam melindungi anak secara hukum melalui berbagai perlindungan

hukum berbentuk peraturan perundang-undangan, yaitu sebagai berikut:

a. Hak Anak sebagai Korban menurut Undang-Undang

Perlindungan Anak

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak, anak perlu dilindungi oleh negara

dalam menjamin kesejahteraan anak dan hak anak sebagai hak

asasi manusia. Dalam Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa anak

perlu dilindungi untuk menjamin dan melindungi hak anak

sesuai harkat dan martabatnya dan anak perlu dilindungi dari

berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi81. Dalam hal ini,

anak dilindungi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara,

pemerintah, dan pemerintah daerah82. Sebagai korban, anak

81
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
82
Pasal 59 ayat (1), Ibid.

36
dilindungi secara khusus dalam beberapa situasi dan kondisi,

yaitu sebagai berikut83:

1. Anak dalam situasi darurat;


2. Anak yang berhadapan dengan hukum;
3. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
4. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual;
5. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
6. Anak yang menjadi korban pornografi;
7. Anak dengan HIV/AIDS;
8. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau
perdagangan;
9. Anak korban Kekerasan fisik dan/atau psikis;
10. Anak korban kejahatan seksual;
11. Anak korban jaringan terorisme;
12. Anak Penyandang Disabilitas;
13. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran;
14. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan
15. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan
terkait dengan kondisi Orang Tuanya.

b. Hak Anak sebagai Korban menurut Undang-Undang Sistem

Peradilan Anak

Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak, anak dibagi menjadi tiga

kategori. Kategori pertama yaitu Anak yang Berkonflik dengan

Hukum, telah berusia 12 tahun namun belum berusia 18 tahun,

yang diduga melakukan tindak pidana. Kategori kedua, Anak

yang Menjadi Korban Tindak Pidana (Anak Korban), belum

berusia 18 tahun, mengalami penderitaan secara fisik, mental,

dan/atau kerugian ekonomi akibat tindak pidana. Kategori

terakhir, Anak yang Menjadi Saksi (Anak Saksi), belum

berusia 18 tahun, yang dapat memberikan keterangan dalam


83
Pasal 59 ayat (2), Ibid.

37
proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan, dalam sidang

pengadilan, terhadap suatu perkaara pidana yang didengar,

dilihat, dan/atau dialami sendiri84.

Dalam UU SPPA tersebut tidak menjelaskan secara rinci

tentang bagaimana hak-hak Anak Korban dalam sistem

peradilan pidana anak. Namun, dapat dilihat dalam Pasal 3 UU

SPPA bahwa anak memiliki hak apabila berhadapan dengan

hukum. Anak dalam proses peradilan pidana berhak85:

1. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan


kebutuhan sesuai dengan umurnya;
2. dipisahkan dari orang dewasa;
3. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara
efektif;
4. melakukan kegiatan rekreasional;
5. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan
lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan
derajat dan martabatnya;
6. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
7. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai
upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
8. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang
objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang
tertutup untuk umum;
9. tidak dipublikasikan identitasnya;
10. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang
yang dipercaya oleh Anak;
11. memperoleh advokasi sosial;
12. memperoleh kehidupan pribadi;
13. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
14. memperoleh pendidikan;
15. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
16. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

c. Hak Anak sebagai Korban menurut Undang-Undang Hak

Asasi Manusia

84
Pasal 1 angka 3-5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
85
Pasal 3, Ibid.

38
Hak anak juga diartikan sebagai bagian dari anak sebagai

manusia. Oleh karena itu, anak sebagai korban juga memiliki

hak-haknya sebagai implementasi hak asasi manusianya.

Dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia, dijelaskan bahwa setiap

anak meiliki hak perlindungan oleh orang tua, keluarga,

masyarakat, dan negara86. Pasal 52 ayat (2) UU HAM juga

menyebutkan bahwa hak anak merupakan hak asasi manusia

yang dilindungi oleh hukum sejak anak dalam kandungan 87.

Dalam UU HAM, anak merupakan salah satu bagian dari

masyarakat yang memiliki hak untuk memperoleh kemudahan

dan perlakuan khusus88.

Dalam konteks sebagai korban, UU HAM tidak

menyebutkan secara langsung hak yang dimiliki anak sebagai

korban. Namun, setiap anak berhak untuk mendapatkan segala

perlindungan hukum apabila anak mendapatkan kekerasan

baik fisik/mental maupun perlakuan buruk89. Pada Pasal 63 UU

HAM juga disebutkan bahwa anak memiliki hak untuk tidak

dilibatkan dalam kondisi yang mengandung unsur kekerasan90.

d. Hak Anak sebagai Korban menurut Undang-Undang

Perlindungan Saksi dan Korban

86
Pasal 52 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
87
Pasal 52 ayat (2), Ibid.
88
Pasal 41 ayat (2), Ibid.
89
Pasal 58 ayat (1), Ibid.
90
Pasal 63, Ibid.

39
Anak Korban mengalami penderitaan secara fisik, mental,

dan/atau kerugian ekonomi akibat tindak pidana. Pada Pasal 5

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa seorang

saksi dan korban memiliki berbagai hak, yaitu sebagai

berikut91:

1. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi,


keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari
Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan,
sedang, atau telah diberikannya;
2. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan
bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
3. memberikan keterangan tanpa tekanan;
4. mendapat penerjemah;
5. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
6. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
7. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
8. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
9. dirahasiakan identitasnya;
10. mendapat identitas baru;
11. mendapatkan tempat kediaman baru;
12. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai
dengan kebutuhan;
13. mendapat nasihat hukum; dan/atau
14. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai
batas waktu perlindungan berakhir; dan/atau
15. mendapat pendampingan.

Pada Pasal 6 UU tersebut juga disebutkan apabila korban mengalami

tindakan pelanggaran HAM berat atau korban tindak pidana

penyiksaan, dan korban penghaniayaan berat, maka selain hak-hak

yang disebutkan pada Pasal 5 di atas, korban juga memiliki hak untuk

mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial dan

91
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

40
psikologis92, yang diberikan sejak tahap penyelidikan hingga usai

sesuai UU tersebut93.

B. Perlindungan Hukum bagi Anak

1. Definisi Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum ialah upaya pemerintah dalam melindungi segala

entitas kehidupan bernegara dan berbangsa melalui bentuk peraturan yang

ada dan berlaku. Perlindungan hukum terdiri dari definisi ‘perlindungan’

dan ‘hukum’. Perlindungan diartikan sebagai tempat untuk berlindung

atau hal-hal perbuatan dan sebagainya untuk melindungi suatu hal 94.

Sedangkan, hukum diartikan sebagai sebuah peraturan oleh pemerintah

yang secara resmi dianggap mengikat; undang-undang; peraturan; kaidah;

ketentuan; untuk mengatur segala hal dalam pergaulan hidup

masyarakat95. Dengan begitu, dapat diartikan bahwa perlindungan hukum

merupakan sebuah bentuk upaya pemerintah dalam melindungi segenap

masyarakat demi kesejahteraan umum melalui bentuk hukum yang diatur

sedemikian rupa untuk pemenuhan hak asasi manusia.

Perlindungan hukum menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban (UU Perlindungan Saksi dan Korban)

menyebutkan bahwa perlindungan ialah segala upaya pemenuhan hak dan

92
Pasal 6, Ibid.
93
Pasal 8 ayat (1), Ibid.
94
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Republik Indonesia, 2022, Definisi perlindungan, diakses melalui
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/perlindungan, pada 2 April 2023.
95
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Republik Indonesia, 2022, Definisi perlindungan, diakses melalui https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/hukum,
pada 2 April 2023.

41
pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau

korban96. Dalam ketentuan tersebut, perlindungan diberikan oleh LPSK

(Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) atau lembaga lainnya

disesuaikan dengan ketentuan UU Perlindungan Saksi dan Korban.

Perlindungan merupakan bentuk pelayanan ayng dilaksanakan secara

wajib oleh aparat penegak hukum/keamanan untuk memberikan rasa

aman baik secara fisik maupun mental, kepada korban dan saksi. Bentuk

perlindungan diberikan dari segala bentuk gangguan seperti ancaman,

gangguan, teror, dan kekerasan, yang diberikan pada tahap penyelidikan,

penyidikan, penuntutan, dan/atau ketika pemeriksaan dalam sidang

pengadilan97.

Perlindungan hukum juga daapat diartikan sebagai hal-hal upaya

dalam memenuhi hak dan memberikan bantuan rasa aman kepada saksi

maupun korban. Perlindungan hukum korban kejahatan dapat ditempuh

dengan cara pemberian resitusi, kompensasi, pelayanan media, bantuan

hukum, dan lain sebagainya98. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan

pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan sebagai

pemenuhan hak-hak yang diberikan oleh hukum itu sendiri 99. Di

Indonesia, landasan Pancasila dijadikan sebagai ideologi dan falsafah

negara dalam merumuskan prinsip perlindungan hukum. Prinsip tersebut

yaitu prinsip pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dan harkat

dan martabat manusia terhadap batasan dan kewajiban masyarakat


96
Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
97
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
98
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1984, hlm. 133.
99
Soetjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum Di Indonsia, Alumni, , Bandung, 1983, hlm. 121.

42
maupun pemerintah terhadap pengakuan dan perlindungan hukum itu

sendiri100.

2. Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum

Bentuk perlindungan hukum di Indonesia dapat dilihat dengan adanya

bentuk peraturan hukum seperti undang-undang, kebijakan, dan bentuk

peraturan lainnya. Melalui bentuk hukum tersebut, segala hal dan aspek

kehidupan bermasyarakat dilindungi pada tiap-tiap individu, kelompok

individu, hingga skala negara dan lain sebagainya. Setiap seseorang dapat

mendapatkan perlindungan hukum baik dari hukum perdata, pidana, dan

subhukum lainnya.

Secara pengertian perlindungan hukum sebelumnya bahwa

pemerintahh berperan aktif dalam melindungi segenap masyarakat

melalui kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan begitu, dapat diartikan bahwa produk hukum merupakan upaya

pemerintah dalam ranah perlindungan hukum, meskipun dalam praktiknya

hukum ditegakkan dengan berbagai macam indikator keberhasilan. Oleh

karena itu, perlindungan hukum perlu memenuhi berbagai unsur

keberhasilannya sebelum menuju kepada keberhasilan penegakan hukum

dalam sebuah negara. Unsur-unsur perlindungan hukum terdiri dari

empat, yaitu sebagai berikut101:

a. Adanya bentuk perlindungan pemerintah kepada masyarakat.

b. Adanya jaminan kepastian hukum.

100
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Huge, hal 72-73.
101
Dinni Harina Simanjuntak, Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Franchise Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997, 2011, Skripsi, USU Press, Medan.

43
c. Adanya keterkaitan dengan hak-hak warga negara.

d. Adanya sanksi hukum bagi pihak yang melakukan pelanggaran.

Sarana perlindungan hukum dapat diperoleh masyarakat melalui dua

macam, yaitu sarana perlindungan hukum preventif dan represif.

Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya

sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam

pengambilan keputusan berdasarkan diskresi. Oleh karena itu, subjek

hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau

pendapatnya terlebih dahulu. Di satu sisi, perlindungan represif bertujuan

untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di

lembaga peradilan102.

102
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, 1989, Surabaya, hlm. 20.

44
3. Perlindungan Hukum bagi Anak

Perlindungan hukum terhadap anak diartikan sebagai upaya

perlindungan hukum yang dikhususkan terhadap anak. Perlindungan

hukum terhadap anak melihat bahwa anak perlu mendapatkan hak dan

kewajibannya103. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), menyebutkan definisi

perlindungan anak sebagai berikut:

Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-


haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi104.

Selain itu, pada Pasal 1 ayat (12) UU Perlindungan Anak juga

menyebutkan bahwa anak memiliki hak sebagai bagian dari hak manusia

untuk dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh berbagai pihak baik orang

tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah 105.

Pasal 52 ayat (2) UU HAM menyebutkan hak anak merupakan hak asasi

manusia yang melekat pada diri anak untuk kepentingannya yang diakui

dan dilindungi oleh hukum, bahkan sejak anak masih dalam kandungan

ibunya106.

Bentuk perlindungan hukum terhadap anak dapat dilihat melalui

upaya pemerintah dalam membuat berbagai kebijakan/peraturan hukum

yang mengatur terhadap anak, yaitu sebagai berikut:

103
Santy Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 6.
104
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
105
Pasal 1 ayat (12), Ibid.
106
Pasal 52 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

45
a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak.

b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia.

c. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak.

d. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Anak.

e. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban.

Sedangkan, dalam KUHP anak diberikan berbagai perlindungan

hukum dengan cara menjaga kesopanan anak, larangan bersetubuh dengan

anak, dan larang berbuat cabul dengan anak 107. Anak dilindungi oleh

hukum dengan adanya UU Perlindungan Anak dengan berbagai hak-hak

anak yang dimiliki dari segala aspek kehidupan. Dengan seluruh hak yang

melekat, seluruh lapisan masyarakat bertanggung jawab dalam

penyelenggaraan perlindungan anak. Salah satu upaya pemerintah dalam

upayanya melaksanakan kewajiban perlindungan anak ayitu dibentuknya

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Organisasi KPAI dibentuk atas dasar Pasal 76 UU Perlindungan anak

yang memiliki tugas utama untuk meningkatkan efektivitas pengawasan

penyelenggaraan pemenuhan hak anak secara umum. KPAI bertugas


107
Darwan Prints, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 99-100.

46
dalam melakukan pengawasan pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan

hak anak, memberikan masukan perumusan kebijakan, mengumpulkan

data dan informasi, menelaah pengaduan masyarakat, mediasi sengketa

pelanggaran hak anak, kerja sama dengan masyakarat, dan melaporkan

dugaan pelanggaran UU Perlindungan Anak108. Selain KPAI, anak perlu

dilindungi baik oleh pemerintah, masyarakat, dan keluarga, yaitu sebagai

berikut109:

a. Negara dan pemerintah bertanggung jawab terhadap perlindungan

anak, antara lain:

1. Melaksanakan regulasi untuk memenuhi hak-hak anak.

2. Memberikan fasilitas terhadap pemenuhan hak-hak anak.

3. Memberikan dan melaksanakan berbagai kebijakan dan

program terhadap pemenuhan hak-hak anak.

b. Masyarakat sesuai UU Perlindungan anak, bertanggung jawab

terhadap perlindungan anak, antara lain:

1. Memberikan informasi baik melalui sosialisasi maupun

edukasi mengenai hak anak dan/atau berdasarkan peraturan

perundang-undangan.

2. Memberikan masukan terhadap perumusan kebijakan

perlindungan anak.

3. Melaporkan kepada pihak berwewenang apabila terjadi

pelanggaran hak anak.

108
Pasal 76 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
109
Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini, Layanan Perlindungan dan Kesejahteraan, hlm. 3.

47
4. Berperan aktif dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial

bagi anak.

5. Melakukan pemantauan, pengawasan, dan ikut bertanggung

jawab dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

6. Adanya pembentukan sarana dalam menjalankan tanggung

jawab perlindungan anak baik melalui lembaga mandiri,

lembaga kesejahteraan sosial, organisasi kemasyarakatan,

lembaga pendidikan, media massa, dan lain sebagainya.

c. Keluarga bertanggung jawab terhadap perlindungan anak, antara

lain dalam memberikan pemenuhan terhadap hak-hak anak

melalui:

1. Pendidikan dan pengasuhan.

2. Kesehatan.

3. Kesejahteraan.

4. Pemanfaatan waktu luang anak.

5. Kegiatan budaya.

6. Pencegahan eksploitasi terhadap anak.

48
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Kerahasiaan Identitas Anak Korban Kasus Kekerasan

Hukum secara harfiah diartikan sebagai peraturan yang secara resmi

mengikat dan dibentuk oleh penguasa atau pemerintah. Hukum tersebut

dituangkan dalam peraturan seperti undang-undang sebagai

kaidah/ketentuan untuk mengatur kehidupan sosial dalam masyarakat. Di

sisi lain, hukum juga dapat diartikan sebagai sebuah keputusan atau

pertimbangan oleh hakim dalam sebuah pengadilan vonis 110. Hukum dalam

Ilmu Hukum kemudian diartikan sebagai konsep yuridis yang bersifat

legal baik dalam lingkup teori maupun praktik kehidupan sosial dalam

masyarakat. Hukum memiliki berbagai konsep yang mendasari agar dapat

mudah ditata, dipahami, dan digunakan secara rasional. Konsep-konsep

yang mendasari hukum antara lain Subjek Hukum, Peristiwa Hukum,

Perbuatan Hukum, dan Akibat Hukum111. Dalam kaitannya terhadap

hukum kerahasiaan dan pengungkapan identitas anak melalui media

elektronik, beberapa konsep hukum tersebut digunakan dalam memahami

gejala sosial dan hukum atas hal yang terjadi.

Topik kerahasiaan dan pengungkapan identitas anak korban kekerasan

melalui media elektronik menjadi topik yang sensitif dan rumit. Alasannya

yaitu karena identitas korban anak harus dirahasiakan dalam situasi apa

110
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, 2022, Definisi hukum, diakses melalui
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/hukum, pada 10 April 2023.
111
Yati Nurhayati, (2020), Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Nusa Media, hlm, 22.

49
pun demi melindungi privasi anak. Privasi setiap anak harus dihormati dan

dijaga, sebagaimana diuraikan dalam perjanjian hukum internasional

seperti Konvensi Hak Anak maupun Undang-Undang Perlindungan Anak,

UU SPPA, hingga mencakup UU Pers, UU ITE, dan lain sebagainya. Isu

hukum pengungkapan identitas anak korban kekerasan terhadap peraturan

kerahasiaan identitas anak, melanggar hak privasi anak dan dapat

membahayakan anak.

Pengaturan kerahasiaan identitas anak korban kasus kekerasan telah

diatur melalui berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Identitas anak perlu dirahasiakan sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) UU

SPPA yaitu bahwa segala bentuk identitas anak baik sebagai pelaku tindak

pidana, anak sebagai korban, dan anak sebagai saksi tindak pidana, wajib

dirahasiakan dalam segala pemberitaan baik media cetak maupun

elektronik112. Dalam UU SPPA, telah dijelaskan bahwa identitas anak pada

sistem peradilan pidana anak dilarang untuk dipublikasi113.

Dalam pemberitaan kasus kekerasan yang dialami oleh DO, pihak pers

atau siapapun yang ada di belakang pemberitaan tersebut telah melanggar

pengaturan kerahasiaan identitas DO sebagai ABH dan anak korban.

Untuk lebih jelasnya, berikut merupakan kronologi awal kejadian kasus

tersebut yang dikutip melalui media pemberitaan:

David saat itu sedang bermain di rumah salah satu temannya


berinisial R, di Perumahan Green Permata, Kelurahan Ulujami,
Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Mantan pacar David saat itu
mengirim pesan singkat yang pada intinya memberi tahu niatan dia
untuk mengembalikan kartu pelajar. David pun lantas mengirim titik

112
Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
113
Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU Nomor 11 Tahun 2012, LN Tahun 2012 No.
153 TLN No. 5332, selanjutnya disebut UU SPPA, Pasal 3.

50
lokasi rumah teman yang sedang dia kunjungi saat itu. Tak lama setelah
lokasi dikirim, mobil Jeep Rubicon warna hitam yang dikemudikan
Mario berhenti di depan rumah teman David tersebut. David lantas
menghampiri mobil tersebut yang ternyata di dalamnya ditumpangi
oleh empat orang. Dua dari empat orang tersebut lalu keluar dari mobil
dan membawa David ke sebuah gang sepi. Di sanalah David dikeroyok
hingga babak belur.114

Dalam pemberitaan di atas, dapat terlihat bahwa nama David tertulis

secara jelas tanpa adanya nama samaran, inisial, atau hal lainnya. Hal

tersebut tidak diperbolehkan atas dasar bahwa anak (di bawah umur) perlu

dilindungi untuk tidak disebutkan namanya dalam media pemberitaan.

Anak dalam hal ini merupakan anak yang berhadapan/berkonflik dengan

hukum/ABH115. Menurut UU Perlindungan Anak, anak diartikan sebagai

seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih di

dalam kandungan ibunya116. Sedangkan, Pasal 1 ayat (3) UU SPPA

menyebutkan bahwa anak merupakan seseorang yang berkonflik dengan

hukum yang telah berusia 12 tahun, namun belum berusia 18 tahun, dan

diduga melakukan tindak pidana117.

Lebih lanjut lagi, Pasal 19 ayat (1) UU SPPA menyebutkan mengenai

kategori anak yang harus dirahasiakan identitasnya untuk publikasi yaitu

anak yang berkonflik dengan hukum, anak saksi, dan anak korban.118 Pada

Pasal 19 ayat (2) UU SPPA, identitas anak pada Pasal 19 ayat (1) tersebut

mencakup nama, wajah, alamat, nama orang tua dari ABH dan/atau anak

yang berhadapan dengan hukum dan hal lain yang menyebabkan jati diri

114
CNN Indonesia, Februari 2023, pada https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230222111816-12-
916308/kronologi-david-anak-gp-ansor-dihajar-pengemudi-rubicon-sampai-koma.
115
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
116
Pasal 1 ayat (1), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
117
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
118
UU SPPA, Pasal 19 ayat (1).

51
ABH dan/anak yang berhadapan dengan hukum terbongkar.119 Dengan

mengetahui berbagai aturan hukum tersebut, telah jelas bahwa identitas

ABH dan/atau anak korban kekerasan tidak diperkenankan untuk

disebutkan.

Pasal 64 ayat (3) poin 2 UU Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa

identitas anak korban dalam kasus kekerasan harus dijaga kerahasiaannya

dari media massa. Tujuan utamanya yaitu agar anak korban tidak

mendapatkan labelisasi dari masyarakat umum120. Identitas anak korban

dalam kasus kekerasan harus dijaga kerahasiannya untuk melindungi hak

dan kepentingan anak korban dan untuk mencegah dampak buruk di

kemudian hari terhadap anak tersebut.

Lebih lanjut lagi, berdasarkan Kementerian PPPA, terdapat

pengecualian bagi kerahasiaan identitas anak yang dapat dipublikasi pada

media elektronik yaitu inisial nama. Publikasi inisial nama dapat dilakukan

oleh media massa tanpa gambar seperti yang tertera pada Pasal 61 ayat (2)

UU SPPA.121 Hal tersebut dilakukan yaitu untuk membedakan satu anak

dan anak lainnya, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan keambiguan

subjek anak yang dimaksud dalam suatu perkara pidana. Dalam hal

tersebut, media pemberitaan tidak menggunakan inisial nama. Di sisi lain,

pihak kepolisian telah menggunakan inisial nama untuk anak korban DO,

meskipun juga menggunakan inisial nama untuk pelaku Mario Dandi yang

telah berumur di atas kategori anak. Berikut merupakan kelanjutan

pemberitaan kasus tersebut:


119
UU SPPA, Pasal 19 ayat (2).
120
Pasal 64 ayat (3) poin 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
121
UU SPPA, Pasal 61 ayat (2).

52
Kepolisian mengonfirmasi bahwa penganiayaan ini bermula setelah
A, yang juga teman dari Mario, mengadu jika dirinya mendapat
perlakuan kurang baik. Dari situlah Mario lantas mendatangi David
yang sedang berada di rumah temannya berinisial R di Pesanggrahan.
"Kemudian setelah MDS bertemu D, langsung meminta klarifikasi
perihal perbuatan tidak baik tersebut dan terjadi perdebatan yang
berujung tindakan penganiayaan terhadap saudara D," kata Kapolres
Metro Jakarta Selatan Kombes Ade Ary Syam Indradi dalam
keterangannya, Rabu (22/2).
Orang tua R pun mendengar keributan yang terjadi di depan
rumahnya. Mereka juga melihat David dalam posisi tergeletak di dekat
Mario. Setelahnya, orang tua R langsung membawa David ke RS
Medika Permata Hijau dengan dibantu oleh sekuriti komplek untuk
mendapat penanganan medis. “Selanjutnya pelaku diamankan oleh
sekuriti komplek dan petugas dari Polsek Pesanggrahan. Selanjutnya
pelaku dibawa ke Polsek Pesanggrahan," ucap Ade Ary.
Ade Ary menyebut saat ini Mario telah ditetapkan sebagai tersangka
dan ditahan. Ia dijerat Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.
"Tersangka MDS telah ditahan. Korban masih belum dapat dimintai
keterangan karena masih dirawat di RS," ujarnya. Ketua Umum GP
Ansor DKI Jakarta M Ainul Yaqin memastikan tim Lembaga Bantuan
Hukum GP Ansor turun mengawal kasus dugaan penganiayaan ini.
"Tim LBH GP Ansor sejak awal sudah mengawal kasus ini sampai
tuntas," kata Yaqin kepada CNNIndonesia.com, Rabu (22/2). GP Ansor
DKI menyatakan akibat perbuatan Mario itu David mengalami luka
serius di area wajah sebelah kanan, kepala, robek pada bibir. David pun
saat ini masih dalam kondisi tak sadarkan diri alias koma di ruang ICU,
Rumah Sakit Permata Hijau akibat luka yang dialaminya.122

Peraturan kerahasiaan terhadap identitas anak juga diatur dalam UU

SPPA yaitu pada Pasal 97, bahwa pelanggaran terhadap kerahasiaan

identitas anak yang dipublikasi dapat dikenakan pidana penjara maksimal

5 (lima) tahun dan denda maksimal Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta

rupiah).123 Apabila merujuk pada ketentuan sanksi tersebut, pelanggaran

hak anak dengan disebarkannya identitas anak yang berkonflik dengan

hukum melanggar Pasal 19 Ayat (1) UU SPPA, sehingga dapat dijatuhi

pidana pada ketentuan Pasal 97 UU SPPA tersebut.

122
CNN Indonesia, Ibid.
123
UU SPPA, Pasal 97.

53
Berbagai aturan hak anak tersebut di atas, mengindikasikan bahwa anak

juga memiliki hak yang perlu diperjuangkan, sama halnya manusia dan

orang dewasa pada umumnya, baik dalam kehidupan bermasyarakat

hingga ketika Anak menjadi ABH dalam peradilan pidana. Selain diatur

dalam UU SPPA, dan peraturan hukum lainnya di atas, pengaturan

kerahasiaan identitas anak korban kasus kekerasan dapat dikaji melalui

peraturan perundang-undangan terkait media elektronik dan Pers.

Pasal 32 ayat (3) UU ITE menyebutkan bahwa setiap orang dilarang

untuk memberikan akses informasi elektronik yang bersifat rahasia

menjadi informasi publik dengan keutuhan data yang tidak semestinya 124.

Selain itu, pada Pasal 36 UU ITE juga menyebutkan bahwa tindakan pada

Pasal 32 ayat (3) UU ITE dilarang karena dapat merugikan orang lain125.

Pada Pasal 6 poin b UU Pers dan KEJ disebutkan bahwa Pers

berkewajiban untuk menegakkan HAM126. Pada Pasal 7 ayat (2) UU Pers,

para wartawan bekerja sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik 127. KEJ

menjelaskan berbagai etika bagi wartawan dalam membawakan berita,

sehingga wartawan dapat selalu bertanggung jawab secara sosial terhadap

tugas profesi wartawan dengan berlandaskan bahwa Pers merupakan

media informasi, pendidikan, dan hiburan, namun juga perlu menimbang

fungsinya sebagai kontrol sosial128. KEJ berlandaskan pada kepentingan

publik sehingga kebebasan yang diberikan pada pers tersebut tidak

melanggar HAM warga negara dan mencelakai kepentingan publik.

124
Pasal 32 ayat (3) UU ITE.
125
Pasal 36 UU ITE.
126
Pasal 6 poin b UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
127
Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
128
Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

54
Selain KEJ, Dewan Pers juga membuat aturan yang mengatur

kerahasiaan identitas ABH yaitu dalam Peraturan Dewan Pers Nomor

1/Peraturan-DP/II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah

Anak (selanjutnya: Pedoman Pemberitaan Ramah Anak).

Dewan Pers membentuk Pedoman Pemberitaan Ramah Anak yaitu

untuk menciptakan pemberitaan ramah anak yang menyesuaikan aturan

mengenai hak anak pada Pasal 4, 5, 6, 7, dan 15 UU Pers, Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (selanjutnya: UU Penyiaran),

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), Pasal 19 dan Pasal 97 UU

SPPA, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 14/M Tahun 2016

tentang Keanggotaan Dewan Pers periode Tahun 2016-2019, dan

Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang

Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006

tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers.

Dalam Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, perlindungan kerahasiaan

identitas ABH terdapat pada poin 4 bahwa wartawan hanya mengambil

visual (gambar atau video) ABH tanpa mempublikasikan visual dan audio

identitas ABH atau hal-hal yang berhubungan dengan identitas anak.129

129
Poin 1 dan Poin 4 Peraturan Dewan Pers Nomor: 1/Peraturan-DP/II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan
Ramah Anak.

55
B. Perlindungan Hukum Pengungkapan Identitas Anak Korban Kasus

Kekerasan

Perlindungan hukum ialah upaya pemerintah dalam melindungi segala

entitas kehidupan bernegara dan berbangsa, demi kesejahteraan umum

melalui bentuk hukum yang ada dan berlaku dan telah diatur sedemikian

rupa untuk pemenuhan hak asasi manusia. Perlindungan hukum menurut

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

(selanjutnya: UU Perlindungan Saksi dan Korban) yaitu segala upaya

pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman

kepada saksi dan/atau korban130. Dalam ketentuan tersebut, perlindungan

diberikan oleh LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) atau

lembaga lainnya disesuaikan dengan ketentuan UU Perlindungan Saksi

dan Korban.

Perlindungan hukum terhadap anak diartikan sebagai upaya

perlindungan hukum yang dikhususkan bagi anak, dengan melihat bahwa

anak perlu mendapatkan hak dan kewajibannya131. Pasal 1 ayat (2) UU

Perlindungan Anak menyebutkan definisi perlindungan anak sebagai

segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya

agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi132.

130
Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
131
Santy Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 6.
132
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

56
Pasal 1 ayat (12) UU Perlindungan Anak juga menyebutkan bahwa

anak memiliki hak sebagai bagian dari hak manusia untuk dijamin,

dilindungi, dan dipenuhi oleh berbagai pihak baik orang tua, keluarga,

masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah 133. Pasal 52 ayat

(2) UU HAM menyebutkan hak anak merupakan hak asasi manusia yang

melekat pada diri anak untuk kepentingannya yang diakui dan dilindungi

oleh hukum, bahkan sejak anak masih dalam kandungan ibunya134.

Perlindungan hukum pengungkapan identitas anak korban kasus

kekerasan dalam SPPA disebutkan dalam Pasal 90 UU SPPA bahwa anak

korban berhak untuk mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan sosial

(baik di dalam maupun di luar lembaga), jaminan keselamatan (fisik,

mental, dan sosial), dan kemudahan dalam mendapatkan segala informasi

perkembangan perkaranya135. Dalam konteks perlindungan anak, anak

harus dihargai atas harkat dan martabat sebagai manusia, terpenuhinya

rasa aman, keadilan, tindakan non-diskriminatif, dan perlu adanya

kepastian hukum136.

Berdasarkan Pasal 5 UU Perlindungan Saksi dan Korban, setidaknya

terdapat 16 hak anak untuk dilindungi dalam SPPA. Dalam konteks

perlindungan hukum pengungkapan identitas anak korban kasus

kekerasan, Pasal 5 UU Perlindungan Saksi dan Korban poin (a)

menyebutkan bahwa anak berhak untuk memperoleh perlindungan

133
Pasal 1 ayat (12), Ibid.
134
Pasal 52 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
135
Pasal 90, Ibid.
136
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

57
keamanan pribadi dan keluarga. Pasal 5 Perlindungan Saksi dan Korban

poin (i) juga menyebutkan bahwa anak perlu dirahasiakan identitasnya.

Dalam Pasal 59 ayat (2) UU Perlindungan Anak, setidaknya terdapat

15 situasi dan kondisi anak perlu dilindungi oleh hukum. Terkait hukum

pengungkapan identitas anak korban kasus kekerasan, Pasal 59 ayat (2)

UU Perlindungan Anak poin (2) menyebutkan bahwa anak perlu

dilindungi haknya atas dasar anak tersebut merupakan ABH. Pasal 59 ayat

(2) UU Perlindungan Anak poin (9) menyebutkan bahwa anak perlu

mendapatkan hak perlindungan khusus atas dasar anak menjadi korban

kasus kekerasan fisik dan/atau psikis137.

Pasal 3 UU SPPA juga menyatakan bahwa anak dalam proses

peradilan pidana anak perlu mendapatkan hak perlindungan hukum.

Setidaknya terdapat 16 hak yang diatur dan dalam konteks perlindungan

hukum pengungkapan identitas anak korban kasus kekerasan, anak berhak

untuk tidak dipublikasikan identitasnya, yaitu pada Pasal 3 UU SPPA

poin (9)138.

Pasal 1 ayat (2) UU ITE menyebutkan bahwa segala hal yang

menyangkut data elektronik yang dijalankan sebagai perbuatan hukum

dilakukan dengan menggunakan teknologi, jaringan, dan media

elektronik, disebut sebagai transaksi elektronik139. Dengan demikian,

komputer dan segala teknologinya sama halnya dengan media baru

internet dan media sosial sebagai satu kesatuan media elektronik.

137
Pasal 59 ayat (2), Ibid.
138
Pasal 3, Ibid.
139
Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

58
Pengungkapan identitas anak korban melalui media elektronik

memiliki objek hukum yaitu anak korban yang identitasnya telah

diungkapkan ke dalam media elektronik. Sedangkan, subjek hukum dalam

konteks tersebut ialah siapa saja yang mengungkapkan identitas melalui

media elektronik, baik masyarakat umum ataupun wartawan media Pers.

Subjek hukum ialah segala sesuatu yang memiliki hak dan kewajiban

menurut aturan hukum140. Subjek hukum terbagi menjadi manusia sebagai

individu (natuurlijk person) dan badan hukum (rechts person) maupun

orang yang diciptakan secara fiksi oleh hukum (persona ficta)141.

Kemudian, peristiwa hukum dalam konteks tersebut ialah

peristiwa/kejadian pengungkapan identitas anak korban melalui media

elektronik. Meskipun tidak semua peristiwa dapat dikatakan sebagai

peristiwa hukum, konteks tersebut menjadi sebuah peristiwa hukum

dikarenakan telah adanya aturan hukum yang mengatur hal-hal mengenai

perahasiaan identitas anak korban. Peristiwa hukum menjadi sah untuk

disebutkan apabila sebuah peristiwa dalam masyarakat telah memiliki

aturan hukum yang memberikan akibat hukum terhadap suatu

peristiwa/kejadian142. Sedangkan perbuatan hukum diartikan sebagai

segala perbuatan yang akibatnya telah diatur dalam sebuah hukum 143.

Pengungkapan identitas anak korban melalui media elektronik kemudian

memiliki perbuatan hukum baik dilakukan/diakibatkan oleh seorang

individu maupun badan hukum.

140
Satjipto Rahardjo, (2014), Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hlm. 53.
141
Yati Nurhayati, Op.cit., hlm. 24.
142
Ibid., hlm. 45.
143
Ibid., hlm. 48.

59
Sebagai akibatnya, subjek hukum, peristiwa hukum, dan perbuatan

hukum dalam konteks pengungkapan identitas anak korban melalui media

elektronik memiliki akibat hukum. Akibat hukum merupakan segala hal

berupa akibat (atas penyebab yang mendahuluinya) yang timbul karena

perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum kepada objek hukum

atau hal lainnya. Akibat hukum terjadi dikarenakan kejadian/peristiwa

tertentu yang telah diatur oleh hukum144.

UU ITE tidak memberikan bentuk perlindungan hukum secara

eksplisit terhadap pengungkapan identitas anak korban kasus kekerasan

melalui media elektronik. Namun, dalam Pasal 32 ayat (3) UU ITE

menyebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk memberikan akses

informasi elektronik yang bersifat rahasia menjadi informasi publik

dengan keutuhan data yang tidak semestinya145. Dalam hal tersebut, Pasal

49 ayat (3) UU ITE menyebutkan bahwa setiap pelanggaran pada Pasal 32

ayat (3) dapat dipidana paling lama 9 (sembilan tahun) dan/atau denda

paling banyak yaitu Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).146

Selain itu, Pasal 36 UU ITE juga menyebutkan bahwa tindakan pada

Pasal 32 ayat (3) UU ITE dilarang karena dapat merugikan orang lain 147.

Dengan mengetahui hal tersebut, setiap orang yang melanggar hal-hal

tersebut dapat dinyatakan bersalah dalam pemberitaan terhadap identitas

anak dan dapat dipidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun

144
Ibid., hlm. 50.
145
Pasal 32 ayat (3) UU ITE.
146
Pasal 49 ayat (3) UU ITE.
147
Pasal 36 UU ITE.

60
dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar

rupiah), sesuai dengan Pasal 51 ayat (2) UU ITE.148

Dalam UU Pers, bentuk perlindungan hukum terhadap pengungkapan

identitas anak korban kasus kekerasan melalui media elektronik juga tidak

tertuliskan secara eksplisit. Pada Pasal 6 poin b UU Pers dan KEJ

disebutkan bahwa Pers berkewajiban untuk menegakkan HAM 149. Dalam

UU Pers dan KEJ tersebut, hanya dijelaskan bahwa Pers harus

menjunjung tinggi HAM. Hal tersebut didasarkan pada Pasal 7 ayat (2)

UU Pers, bahwa para wartawan bekerja sesuai dengan Kode Etik

Jurnalistik150. KEJ menjelaskan berbagai etika bagi wartawan dalam

membawakan berita, sehingga wartawan dapat selalu bertanggung jawab

secara sosial terhadap tugas profesi wartawan dengan berlandaskan bahwa

Pers merupakan media informasi, pendidikan, dan hiburan, namun juga

perlu menimbang fungsinya sebagai kontrol sosial151.

Selain KEJ, Dewan Pers juga membuat aturan yang mengatur

kerahasiaan identitas ABH yaitu dalam Pedoman Pemberitaan Ramah

Anak. Dalam pedoman tersebut, wartawan berperan serta dalam

melindungi harkat dan martabat anak dengan menjaga segala bentuk

pemberitaan negatif terhadap anak. 152 Dalam Pedoman Pemberitaan

Ramah Anak, perlindungan kerahasiaan identitas ABH terdapat pada poin

4 bahwa wartawan hanya mengambil visual (gambar atau video) ABH

tanpa mempublikasikan visual dan audio identitas ABH atau hal-hal yang
148
Pasal 51 ayat (2) UU ITE.
149
Pasal 6 poin b UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
150
Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
151
Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
152
Peraturan Dewan Pers Nomor: 1/Paeraturan-DP/II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah
Anak.

61
berhubungan dengan identitas anak.153 Dalam ranah Pers, pelanggaran

terhadap Pasal 6 poin b UU Pers dan KEJ dapat diberi sanksi apabila

terdapat pelanggaran dan hanya dapat diputuskan oleh organisasi

wartawan/Dewan Pers154. Sedangkan, penyelesaian pelanggaran terhadap

poin 4 Pedoman Pemberitaan Ramah Anak dilaksanakan oleh Dewan Pers

dengan tetap merujuk UU Pers.155

Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa apabila terjadi pelanggaran

terhadap publikasi identitas anak dalam pemberitaan media melalui media

elektronik, Pers dikenakan sanksi oleh Dewan Pers, merujuk pada UU

Pers. Sedangkan, dalam UU Pers tidak ada aturan hukum terkait sanksi

pelanggaran hak dan perlindungan khusus anak.

153
Poin 1 dan Poin 4 Peraturan Dewan Pers Nomor: 1/Peraturan-DP/II/2019 tentang Pedoman
Pemberitaan Ramah Anak.
154
Kode Etik Jurnalistik, hlm. 297.
155
Kode Etik Jurnalistik, hlm. 280.

62
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Publikasi identitas ABH melalui media elektronik merupakan pelanggaran


hak dan perlindungan khusus anak terhadap Pasal 19 ayat (1) UU SPPA.
Pengaturan kerahasiaan identitas anak telah diatur dalam Pasal 19 ayat (1)
yaitu bahwa anak yang harus dirahasiakan identitasnya untuk publikasi yaitu
anak yang berkonflik dengan hukum, anak saksi, dan anak korban. Publikasi
identitas ABH tidak diperbolehkan mencakup nama, wajah, alamat, nama
orang tua dari ABH dan hal lain yang menyebabkan jati diri ABH terbongkar,
yaitu pada Pasal 19 ayat (2) UU SPPA. Anak hanya boleh disebutkan dalam
bentuk inisial sesuai dengan Pasal 61 ayat (2) UU SPPA.
Dalam ranah media elektronik, Pasal Pasal 32 ayat 3 melarang setiap
orang untuk memberikan akses informasi elektronik yang bersifat rahasia
menjadi informasi publik dengan keutuhan data yang tidak semestinya. Pada
Pasal 36 UU ITE juga disebutkan bahwa tindakan pada Pasal 32 ayat (3) UU
ITE dilarang atas dasar merugikan orang lain. Dalam UU Pers juga disebutkan
dalam Pasal 6 poin b dan Kode Etik Jurnalistik bahwa Pers berkewajiban
untuk menegakkan HAM. Pada Pasal 7 ayat (2) UU Pers, para wartawan
bekerja sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik. Pada Pasal 3 ayat (1) UU Pers
juga disebutkan bahwa Pers merupakan media informasi, pendidikan, dan
hiburan, namun juga perlu menimbang fungsinya sebagai kontrol sosial.
Bentuk perlindungan hukum pelanggaran publikasi identitas ABH melalui
media elektronik dalam sistem peradilan pidana anak yaitu pada Pasal 64 ayat
(2) angka 7 UU Perlindungan Anak bahwa ABH mendapatkan perlindungan
khusus dengan cara tidak dipublikasikan identitasnya melalui media massa
untuk menghindari labelisasi. Hal tersebut juga diatur dalam UU Perlindungan
Anak Pasal 59 ayat (2) poin 2 dan 9 yang menyatakan bahwa anak berstatus
ABH dan anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis dilindungi secara
khusus oleh Undang-Undang. Sama halnya dengan Pasal 3 poin 9 UU SPPA

63
yaitu bahwa anak berhak untuk tidak dipublikasikan identitasnya. Dalam Pasal
5 poin a dan i UU Perlindungan Saksi dan Korban, ABH dilindungi haknya
dan mendapatkan perlindungan khusus untuk memperoleh perlindungan
keamanan pribadi dan keluarga dan anak juga perlu dirahasiakan identitasnya.
Pada Pasal 97 UU SPPA disebutkan bahwa pelanggaran terhadap kerahasiaan
identitas anak yang dipublikasi dapat dikenakan pidana penjara maksimal 5
(lima) tahun dan denda maksimal Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dalam ranah media elektronik, Pasal 49 ayat (3) UU ITE memberikan
perlindungan hukum berupa sanksi yaitu bahwa setiap orang yang melanggar
Pasal 32 ayat (3) dapat diberikan sanksi pidana paling lama 9 (sembilan tahun)
dan/atau denda paling banyak yaitu Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Sedangkan, Pasal 51 ayat (2) UU ITE memberikan perlindungan hukum
berupa sanksi yaitu bahwa setiap orang yang melanggar Pasal 36 UU ITE
dapat dipidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Dalam ranah Pers,
pelanggaran terhadap Pasal 6 poin b UU Pers, KEJ, Pasal 7 ayat (2) UU Pers,
dan poin 4 Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, dapat diberi sanksi apabila
terdapat pelanggaran diputuskan oleh organisasi wartawan/Dewan Pers sesuai
dengan KEJ dan UU Pers.

B. Saran

Hak privasi anak penting untuk dipahami dan dihormati dengan cara tidak
mengungkap identitas anak korban kekerasan untuk memberikan perlindungan
dan keamanan bagi anak dan keluarganya. Adanya pengungkapan identitas
anak korban dalam kasus kekerasan secara signifikan akan berdampak negatif
pada anak dan keluarga anak tersebut. Dalam konteks yang sama, pihak pers
tidak menjalankan peranan mereka untuk menegakkan Hak Asasi Manusia dan
memperjuangkan keadilan. Pihak pers terutama wartawan perlu merahasiakan
identitas anak dalam memberikan informasi tentang anak. Hal tersebut
dikhususkan terhadap anak yang diduga, disangka dan didakwa melakukan
pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.

64
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2004, hlm. 52.
Abdussalam. 2010. Victimologi. Jakarta: PTIK.
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek (Jakarta, 2002).
Bisma Siregar, Keadilan Hukum dalam Berbagai aspek Hukum Nasional, (Jakarta
: Rajawali, 1986).
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989.
Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran & Teknologi
Informasi, PT Refika Aditama, Bandung, 2013.
Darwan Prints, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, 2013.
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Cetakan Kedua, (Bandung,
P.T.Refika Aditama, 2010).
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2008.
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu,
1989, Surabaya.
R.A. Koesnan, Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia,
(Bandung:Sumur, 2005).
Santy Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988.
Satjipto Rahardjo, (2014), Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitia Hukum, UI Press, Jakarta, 1984.
Soetjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum Di Indonsia, Alumni, , Bandung, 1983.
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Huge.
Sugiyono, Metode penelitian pendidikan: Pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan
R&D, Bandung: Alfabeta, 2009.
Suharyo, Penelitian Hukum Tentang Penerapan Bantuan Timbal Balik Dalam
Masalah Pidana Terhadap Kasus kasus Cyber Crime, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, Jakarta.

65
Suparman Marzuki, Pelecehan Seksual, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1995.
Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, CV. Mandar Maju, Bandung. 2009.
Yati Nurhayati, (2020), Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Nusa Media.

SKRIPSI/TESIS
Dinni Harina Simanjuntak, Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum Bagi
Franchise Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997, 2011,
Skripsi, USU Press, Medan.

WEBSITE
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, 2022, Definisi
modernisasi, diakses melalui
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/modernisasi, pada 14 Maret 2023.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, 2022, Definisi
anak, diakses melalui https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/anak, pada 1
April 2023.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, 2022, Definisi
perlindungan, diakses melalui
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/perlindungan, pada 2 April 2023.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, 2022, Definisi
perlindungan, diakses melalui https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/hukum,
pada 2 April 2023.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, 2022, Definisi
hukum, diakses melalui https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/hukum, pada 10
April 2023.

66
CNN Indonesia, Februari 2023, pada
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230222111816-12-916308/kro
nologi-david-anak-gp-ansor-dihajar-pengemudi-rubicon-sampai-koma.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini, Layanan Perlindungan dan
Kesejahteraan.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini.
Konvensi Hak Anak, UNICEF.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitap Undang-Undang Hukum Pidana.
Kitap Undang-Undang Hukum Perdata.
Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2019 tentang Pedoman
Pemberitaan Ramah Anak.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang Berat.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

67

Anda mungkin juga menyukai