Anda di halaman 1dari 28

"TINDAK PIDANA PENIPUAN SECARA ONLINE DENGAN MODUS

KERJA PARUH WAKTU”

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh :

MAHENDRA NURRAZAQ

NBI : 1312000173

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA

2023
"Tindak Pidana Penipuan Secara Online Dengan Modus Kerja Paruh Waktu”

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

Mahendra Nurrazaq

NBI : 1312000173

Dosen Pembimbing

Dr. Erny Herlin Sety, S.H., M.Hum.

NPP/NIP : 20310170749

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA

2023

ii
iii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
1. Latar Belakang..................................................................................................................1
2. Rumusan Masalah............................................................................................................4
3. Tujuan Penelitian..............................................................................................................4
4. Manfaat Penelitian............................................................................................................4
4.1 Manfaat Teoritis...........................................................................................................4
4.2 Manfaat Praktis.............................................................................................................5
5. Tinjauan Pustaka..............................................................................................................5
5.1 Definisi dan Karakteristik Penipuan Online.................................................................5
5.2 Modus Operandi Penipuan Online...............................................................................9
5.3 Motivasi Pelaku Penipuan Online..............................................................................11
5.4 Dampak Penipuan Online...........................................................................................12
5.5 Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum.............................................................14
6. Metode Penelitian...........................................................................................................20
6.1 Jenis Penelitian..........................................................................................................20
6.2 Metode Pendekatan...................................................................................................20
6.3 Sumber Bahan Hukum..............................................................................................21
6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.........................................................................22
6.5 Teknik Analisa Bahan Hukum..................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................24
1

TINDAK PIDANA PENIPUAN SECARA ONLINE DENGAN MODUS

KERJA PARUH WAKTU

1. Latar Belakang

Dengan pesatnya perkembangan teknologi dan semakin meluasnya akses internet,


aktivitas ekonomi dan transaksi keuangan semakin beralih ke ranah online. Hal ini
membuka peluang bagi pelaku kejahatan untuk menggunakan platform digital sebagai
medium untuk melakukan penipuan. Di banyak negara, kasus penipuan online terus
meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas online. Penipuan online tidak hanya
melibatkan kehilangan uang, tetapi juga dapat merusak reputasi, menciptakan
kecemasan, dan menyebabkan kerugian yang signifikan bagi individu dan perusahaan.

Pada umumnya, perbuatan penipuan adalah kejahatan konvensional yang


dilakukan di dunia nyata. Namun, karena perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi, maka, modus operandi kejahatan penipuan beralih menggunakan
pemanfaatan teknologi tersebut, dan dampaknya juga ada pada dunia nyata seperti
adanya pihak atau korban yang dirugikan baik orang perorangan maupun organisasi
atau instansi. Dari sudut penegakan hukum atas penipuan melalui internet, masih
dihadapkan pada perbedaan pendapat, yakni ada yang berpendapat bahwa kejahatan ini
termasuk dalam wilayah kejahatan dunia maya (cybercrime) dan sebagian lagi
menyebutkan bahwa kejahatan tersebut adalah kejahatan konvensional yang ada
aturannya didalam KUHPidana (Kakunsi, O. (2012).

Perkembangan pesat internet saat ini berdampak besar, tetapi juga membawa
masalah serius, yaitu kejahatan dunia maya. Di era modern yang dipenuhi teknologi
digital dan internet, penipuan online menjadi masalah serius. Semakin banyaknya
penggunaan teknologi ini, pelaku kejahatan dunia maya sangat mudah masuk ke dunia
maya untuk mendapatkan keuntungan. Adapun masyarakat yang kurangnya teliti dan
kesadaran masyarakat tentang penipuan online menjadi tren saat ini, hal ini
memungkinkan para pelaku kejahatan siber merampas keuntungan yang mereka incar
hal ini sebagai fenomena yang relatif baru hanya sedikit lembaga penegak hukum yang
memiliki kemampuan untuk mengungkapnya secara efektif (Susan W Brenner, 2010).
2

Dengan semakin mudahnya untuk mengakses penggunaan perangkat teknologi,


maka juga semakin mudah untuk memperoleh informasi. Bahkan, kita sebagai
masyarakat juga telah mencapai titik di mana kita tengah menghadapi "kebanjiran"
informasi, yang berpotensi mengakibatkan tumpang tindih informasi, miskomunikasi
bahkan diinformasi. Hal ini belum termasuk dengan terus berkembangnya inovasi
dalam teknologi informasi yang semakin canggih yang memudahkan dapat terkoneksi
antar individu dengan yang lainya serta membuat pencapaian tujuan individu semakin
terfasilitasi. Adanya internet segala kebutuhan manusia dipermudah oleh dengan media
digital, dan hal ini semakin ditingkatkan dengan konsep Kecerdasan Buatan (Artificial
Intelligence), yang membenarkan ungkapan bahwa kita berada dalam zaman Internet of
Things (IoT) (Yuilista,2021).

Literasi digital merupakan kunci dan kombinasi dari segi kemampuan membaca
dan menulis sebagai pemanfaatan teknologi komunikasi yang canggih untu
keberlangsungan hidup manusia (Sahiruddin, 2021) dan untuk membantu masyarakat
aktif dalam menggunakan smartphone dan meningkatkan kesadaran mengenai cara
menghindari ancaman yang sering terjadi di kalangan masyarakat, khususnya penipuan
online yang sedang marak saat ini, penting untuk memahami bahwa kejahatan dunia
maya atau cyber crime merupakan ancaman serius bagi negara dan masyarakat di era
digital saat ini. Kegiatan ilegal ini memanfaatkan kemajuan teknologi telekomunikasi
untuk mencari keuntungan atau merugikan pihak lain. (Maskun, 2013). Kesadaran
masyarakat terhadap kasus penipuan online masih perlu ditingkatkan, terutama terkait
risiko dan taktik yang digunakan oleh para penjahat atau scammer online salah satu
taktik yang sedang trend saat ini yang diliput Tempo.co bicara fakta menjelaskan dari
kasus penipuan online ini adalah salah satu strategi yang digunakan dalam penipuan ini
diawali tawaran pekerjaan paruh waktu via aplikasi pesan dengan nomor yang tidak
dikenal seperti WhatsApp saat menanyakan darimana mendapatkan data pribadi kita,
kata mereka dapat dari database calon korban dari portal-portal pekerjaan via online
yang ada (Azzani, I. K., Purwantoro, S. A., & Almubaroq, H. Z. (2023).

Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hokum siber atau
hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk
istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.
Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi
hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain juga
3

digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum


dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir
mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem
komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global (internet) dengan memanfaatkan
teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang
dapat dilihat secara virtual.

Di Indonesia, saat ini sudah terdapat UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008


tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang membahas tentang dokumen dan
tanda tangan elektronik, sertifikasi nelektronik dan sistem elektronik, transaksi
elektronik, nama domain, perlindungan hak pribadi, perbuatan yang dilarang,
penyelesaian sengketa, peran pemerintah dan peran masyarakat, penyidikan dan
ketentuan pidana.

Salah satu ciri khas dari tindak pidana penipuan online adalah modus operandi
yang fleksibel dan dapat dilakukan secara paruh waktu. Pelaku sering menggunakan
waktu luang mereka untuk melakukan penipuan, baik sebagai pekerjaan sampingan
atau sebagai cara untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Banyak orang yang
kurang waspada terhadap risiko penipuan online dan sering kali menjadi korban karena
kurangnya pengetahuan tentang cara-cara penipuan yang umum digunakan di dunia
digital.Penegakan hukum terhadap tindak pidana penipuan online sering kali sulit
karena sifatnya yang lintas batas dan kompleks. Diperlukan kerja sama lintas negara
dan upaya yang kuat dari pihak berwenang untuk mengatasi tantangan ini.

Berdasarkan berbagai uraian di atas, pada era teknologi yang canggih saat ini baik
dari segi kalangan anak-anak, tua maupun remaja dengan adanya media online yang
ada sekarang banyak sekali memngalami penyimpangan dalam penggunaan media
online dalam suatu pekerjaan salah satunya termasuk kerja paruh waktu, dimana kita
ketahui. Pekerjaan paruh waktu tersebut apabila dilakukan dengan menggunakan online
tanpa perantara yang jelas atau disebut dengan kejahatan illegal, banyak sekali
penipuan – penipuan yang terjadi pada saat ini. Oleh karena itu hal-hal tersebut, maka
dari itu penulis bermaksud akan mengkaji lebih dalam penelitian yang akan dibahas
pada Tugas Akhir ini dengan judul “TINDAK PIDANA PENIPUAN SECARA
ONLINE DENGAN MODUS KERJA PARUH WAKTU”
4

2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka timbul pertanyaan yang
dapat dirumuskan, sebagai berikut:

1. Bagaimana sanksi pertanggungjawaban pidana pelaku penipuan secara online


dengan modus kerja paruh waktu ?

3. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah tersebut maka kita dapat mengetahui sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui sanksi pertanggungjawaban pidana pelaku penipuan secara


online dengan modus kerja paruh waktu.

4. Manfaat Penelitian

Penelitian tentang "Tindak Pidana Penipuan Secara Online dengan Modus Kerja Paruh
Waktu" memiliki manfaat teoritis dan praktis yang signifikan:

4.1 Manfaat Teoritis

 Kontribusi terhadap Pemahaman Teoritis


Penelitian ini dapat memperkaya literatur akademik dengan memperkenalkan
konsep baru dan pemahaman yang lebih dalam tentang tindak pidana penipuan
online dengan modus kerja paruh waktu. Ini dapat membantu dalam
pengembangan teori-teori kriminologi dan hukum pidana yang relevan.

 Pembuktian atau Pengujian Teori


Penelitian ini dapat membantu menguji validitas teori-teori yang ada dalam
konteks penipuan online, membuka ruang bagi pengembangan dan pembaruan
teori yang sesuai dengan perkembangan fenomena kejahatan digital.

 Penelitian Lanjutan
Temuan dari penelitian ini dapat menjadi dasar untuk penelitian lanjutan yang
mendalam, baik dalam hal memahami motif dan psikologi pelaku kejahatan
maupun dalam mengidentifikasi strategi pencegahan yang lebih efektif.
5

4.2 Manfaat Praktis

 Peningkatan Kesadaran Masyarakat


Penelitian ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang risiko
penipuan online dengan modus kerja paruh waktu. Ini dapat membantu individu
dan organisasi untuk mengambil tindakan pencegahan yang lebih baik dan
mengurangi risiko menjadi korban penipuan.

 Pengembangan Kebijakan dan Praktik Hukum


Temuan penelitian dapat memberikan masukan berharga bagi pembuat
kebijakan dalam pengembangan regulasi hukum yang lebih baik dan strategi
penegakan hukum yang lebih efektif terkait dengan penipuan online. Hal ini dapat
membantu dalam melindungi konsumen dan memperkuat keamanan online.

 Perlindungan Korban
Penelitian ini dapat membantu dalam pengembangan layanan dukungan dan
bantuan bagi korban penipuan online. Ini termasuk memberikan akses ke sumber
daya hukum, dukungan psikologis, dan bantuan pemulihan untuk individu yang
telah menjadi korban.

 Peningkatan Efisiensi Penegakan Hukum


Dengan memahami karakteristik dan strategi pelaku kejahatan, penegak
hukum dapat meningkatkan efisiensi dalam mendeteksi, menyelidiki, dan
menindak tindak pidana penipuan online. Hal ini dapat membantu dalam
menekan angka kejahatan dan meningkatkan keamanan online secara
keseluruhan.

5. Tinjauan Pustaka

5.1 Definisi dan Karakteristik Penipuan Online

Berdasarkan Kaspersky Lab di 26 negara, Indonesia merupakan salah satu


negara dengan korban penipuan online terbesar di dunia. Tercatat sebanyak 26
persen konsumen di Indonesia pernah menjadi korban penipuan secara online.
6

Penipuan secara online adalah suatu bentuk kejahatan dengan menggunakan


teknologi informasi dalam melakukan perbuatannya. Selalu ada korban yang
dirugikan dalam setiap kasus penipuan, sehingga kasus penipuan online telah diatur
di dalam KUHP dan UU ITE.

Pengertian tindak pidana penipuan adalah dengan melihat dari segi hukum
sampai saat ini belum ada, kecuali yang dirumuskan dalam KUHP. 35 Rumusan
penipuan dalam KUHP bukanlah suatu defenisi melainkan hanyalah untuk
menetapkan unsur-unsur suatu perbuatan sehingga dapat dikatakan sebagai penipuan
dan pelakunya dapat dipidana. Penipuan menurut Pasal 378 KUHP yang dirumuskan
sebagai berikut :

“ Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau


orang lain atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama
palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian
kebohongan, membujuk orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu
kepadanya, atau supaya memberi utang atau menghapuskan piutang,
diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat
tahun.”

Penipuan secara online pada prinisipnya sama dengan penipuan konvensional.


Hal yang membedakan hanyalah pada sarana perbuatannya yakni menggunakan
Sistem Elektronik (komputer, internet, perangkat telekomunikasi). Kebijakan
kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang
semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana.

Untuk kasus penipuan online, KUHP mengalami kesulitan karena tidak ada
ketentuan khusus mengenai perbuatan tersebut. Jadi dalam KUHP harus melihat
unsur-unsur kasus ini terlebih dahulu, seperti terjadinya wanprestasi, menggunakan
media elektronik internet dalam transaksi, menyebabkan kerugian salah satu pihak,
barang yang diperdagangkan tidak sesuai dengan apa yang dikatakan para pihak.

Maka dari unsur-unsur ini baru disimpulkan bahwa Pasal 378 KUHP tentang
Penipuan dapat digunakan namun 36 belum cukup efektif dalam menanggulangi
tindak pidana tersebut. Sehingga dalam pemidanaannya biasanya diberlakukan pasal
berlapis. Sehingga secara hukum, penipuan secara online dapat diperlakukan sama
7

sebagaimana delik konvensional yang diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum


Pidana (KUHP).

Penipuan online juga dijerat oleh Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang ITE yang
berbunyi, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong
dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik” dengan ancaman pidana enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1
Miliar (Pasal 45 ayat (2) UU ITE).

Tujuan rumusan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang ITE tersebut adalah untuk
memberikan perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingan konsumen. Perbedaan
prinsipnya dengan delik penipuan pada KUHP adalah unsur menguntungkan diri
sendiri dalam Pasal 378 KUHP tidak tercantum lagi dalam Pasal 28 ayat (1)
Undang-Undang ITE, dengan konsekuensi hukum bahwa diuntungkan atau tidaknya
pelaku penipuan, tidak menghapus unsur pidana atas perbuatan tersebut dengan
ketentuan perbuatan tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi orang lain.

Penipuan online dapat pula dijerat dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun


1999 tentang Perlindungan Konsumen karena dalam Pasal 4 yang menyatakan
bahwa sebagai berikut :

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi


barang dan/atau jasa;
b. hak untukmemilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
8

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila


barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya
Berkenaan dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana penipuan
berbasis jual beli online maka titik fokus perlindungan konsumen yaitu pada
pasal 4 poin c dan h yang menyatakan bahwa konsumen berhak untuk
memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta berhak untuk mendapatkan kompensasi,
38 ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Sementara di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjual
online), sesuai Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah:

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;


b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/ atau garansi atas
barang yang dibuat dan/ atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
9

Dari beberapa ketentuan sebelumnya dapat dipahami bahwa konsumen dapat


dilindungi hak-haknya terkait proses jual beli secara online. Jika barang atau jasa
yang diterima konsumen tidak sesuai dengan informasi yang diterima maka
konsumen dapat meminta kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian kepada si
penjual dan penjual juga berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian. Apabila pelaku usaha melanggar larangan
memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan
dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut, maka pelaku usaha dapat dipidana berdasarkan Pasal 62 ayat (1) Undang-
Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa “Pelaku usaha yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 Ayat
(2), Pasal 15, Pasal 17 Ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, Ayat (2) dan Pasal
18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling
banyak Rp 2 miliar” (Tony, 2019).

Selanjutnya sebagai turunan dari Undang-Undang ITE, Pasal 49 ayat (1)


Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan
Transaksi Elektronik (PP PSTE) juga memberikan perlindungan terhadap konsumen
dengan menegaskan bahwa pelaku usaha yang menawarkan 40 produk melalui
sistem elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan
dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan (Tony, 2019). Lebih
lanjut ditegaskan lagi bahwa pelaku usaha wajib memberikan kejelasan informasi
tentang penawaran kontrak atau iklan. Jika barang yang diterima tidak sesuai dengan
yang diperjanjikan Pasal 49 Ayat (3) PP PSTE juga mengatur khusus tentang hal
tersebut, yang menyatakan bahwa “pelaku usaha wajib memberikan batas waktu
kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai
dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi” ( Rahmad, N. (2019).

5.2 Modus Operandi Penipuan Online

Banyak cara yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan untuk mendapatkan
korbannya dengan mudah. Dalam kasus penipuan onlien, para pelaku biasanya
menggunakan modus operandi menjual barang fiktif kepada pembeli setelah
dibayarkan maka pelaku menghapus jejaknya di dunia maya. Pengertian modus
10

operandi dalam lingkup kejahatan yaitu operasi cara atau teknik yang berciri khusus
dari seorang penjahat dalam melakukan perbuatan jahatnya. Modus operandi berasal
dari bahasa Latin, artinya prosedur atau cara bergerak atau berbuat sesuatu.

Perhatian orang lebih terarah pada kemungkinan timbulnya bahaya 25 dimasa


depan daripada kejahatan yang telah lewat. Dalam pandangan hukum sendiri
penjahat atau pelaku kejahatan adalah seseorang yang dianggap telah melanggar
kaidah-kaidah hukum dan perlu dijatuhi hukuman. Namun perlu diketahui pula
tentang ukuran-ukuran yang menentukan apakah seseorang dapat diperlakukan
sebagai penjahat atau tidak. Memerangi tindak pidana kejahatan online telah
menjadi tujuan utama bagi agen-agen penegak hokum dan intelijen baik nasional
maupun internasional tak terkecuali para praktisi bisnis, pelanggan sampai ke end-
user. Kebutuhan masyarakat pengguna internet terhadap rasa aman dan terlindungi
merupakan salah satu hak asasi yang harus diperoleh atau dinikmati setiap orang.

Pemerintah dalam kondisi berkontribusi dalam memberikan rasa aman dalam


transaksi online. Melalui Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo),
pemerintah mengatur setiap pelaku usaha yang bergerak di sektor e-commerce agar
melakoni sertifikasi. Poin utama dar sertifikasi ini adalah mengatur mengenai data
center perusahaan ecommerce yang harus berlokasi di Indonesia.

Perusahaan e-commerce juga harus menggunakan domain asli Indonesia yaitu


(dot)id. Kebijakan tersebut diklaim agar memudahkan penelusuran, ketika terjadi
kejahatan cyber atau penipuan dalam transaksi internet. Aturan ini digunakan untuk
mencegah dalam perdagangan secara online, sehingga masyarakat semakin percaya
dengan industri e-commerce. (Artanti, U. D. (2020).

Metode penipuan yang lain adalah menggunakan metode pembobolan email


yang digunakan perusahaan yang sedang berhubungan bisnis dengan perusahaan
asing. Email perusahaan lokal diretas (hack), kemudian pelaku menggunakannya
untuk mendapatkan uang dari perusahaan asing yang sedang bekerjasama dengan
perusahaan lokal tersebut menggunakan rangkaian kata-kata bohong dan tipu
muslihat. Email perusahaan yang diretas tersebut digunakan pelaku untuk
membelokkan transaksi yang seharusnya dibayarkan ke rekening perusahaan lokal
ke rekening peretas (hacker). Perusahaan asing baru sadar adanya penipuan setelah
mereka berkomunikasi langsung dengan perusahaan lokal rekanan mereka.
11

Kasus-kasus yang terungkap beberapa di antaranya diketahui bahwa pelaku


kejahatan siber biasanya terlebih dulu memantau aktivitas email perusahaan yang
diincar. Mereka baru beraksi setelah mengetahui perusahaan itu sedang mengadakan
kerjasama bisnis dengan perusahaan asing. Perusahaan lokal biasanya terlebih dulu
mengadakan pertemuan dengan perusahaan asing dalam menjalin komunikasi bisnis.
Setelah ada kesepakatan, komunikasi dilanjutkan lewat email. Saat itulah, pelaku
mulai membajak email perusahaan. Kemudian mereka menagih pembayaran lewat
rekening lain dengan alasan rekening perusahaan sedang bermasalah dan
sebagainya. Pertengahan tahun 2014, Polda Jatim berhasil mengungkap kasus
kejahatan siber yang melibatkan dua peretas asal Indonesia dan Nigeria yang
berhasil membobol email sebuah perusahaan di Surabaya. Mereka membelokkan
pembayaran yang nilainya mencapai Rp 1,5 miliar dari perusahaan di Jepang ke
perusahaan tersebut.

Modus penipuan yang menggunakan sarana telepon ada yang berdiri sendiri
dan ada yang merupakan kelanjutan dari modus penipuan menggunakan sarana
website. Namun umumnya keduanya menggunakan nama atau martabat palsu. Salah
satu contoh penipuan menggunakan sarana telepon adalah pelaku mengaku sebagai
keluarga dan meminta pertolongan karena kecelakaan atau tertangkap polisi agar
mentransfer sejumlah uang. Contoh yang merupakan kelanjutan dari modus
penipuan menggunakan sarana website adalah pelaku atau rekannya menelepon
mengaku sebagai petugas bea cukai kemudian mengatakan bahwa barang yang
dikirim sedang disita oleh bea cukai dan harus ditebus jika ingin dikirimkan. Ada
juga yang menggunakan cara meminta pembeli sebagai korban untuk pergi ke ATM
(Automated Teller Machine) dan akan dibimbing di sana untuk melakukan transaksi,
namun berujung pada korban mentransferkan sejumlah uang ke rekening yang
dikehendaki pelaku (Hendrik S, A. (2019).

5.3 Motivasi Pelaku Penipuan Online

Permasalahan hukum yang sering kali di hadapi pada tindak pidana penipuan
online adalah ketika terkait penyampaian informasi, komunikasi, dan atau transaksi
elektronik, yakni pada hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan
hokum yang dilaksanakan melalui system elektronik.Pasal penipuan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) masih belum dapat
12

mengakomodir hal tersebut, dikarenakan biasanya pelaku penipuan melalui media


online ini juga menggunakan sarana email untuk berhubungan dengan korbannya,
dalam hal ini apakah email sudah dapat dijadikan suatu alat bukti yang sah dan
dapat dipersamakan dengan surat kertas layaknya kejahatan penipuankonvensional
di dalam dunia nyata.

Salah satu motif utama pelaku penipuan online adalah untuk mendapatkan
keuntungan finansial secara cepat dan mudah. Mereka menggunakan berbagai
metode, seperti phishing, skimming, atau penipuan investasi palsu, untuk mencuri
uang atau informasi keuangan dari korban. Beberapa pelaku penipuan online
mungkin terdorong oleh kepuasan ego atau dorongan untuk merasa superior.
Mereka mungkin merasa bahwa mereka lebih pintar atau lebih cerdik daripada
korban mereka karena berhasil menjalankan skema penipuan yang kompleks.

Pelaku penipuan online yang mengalami ketidakpuasan ekonomi atau sosial


mungkin melihat penipuan sebagai cara untuk meningkatkan status sosial atau
keuangan mereka secara tidak sah. Bagi beberapa individu, penipuan online dapat
dianggap sebagai "bisnis" yang menguntungkan. Mereka melihatnya sebagai
peluang untuk menghasilkan uang dengan cepat dan dengan risiko relatif rendah
(paling tidak dari perspektif pelaku). Sebagian pelaku penipuan online mungkin
tidak sepenuhnya menyadari atau tidak peduli dengan konsekuensi dari tindakan
mereka. Mereka mungkin tidak memikirkan dampak negatif yang ditimbulkan
pada korban atau masyarakat luas.

Beberapa pelaku penipuan online mungkin terpengaruh oleh keingintahuan


teknis atau keahlian dalam bidang teknologi informasi. Mereka mungkin
menggunakan pengetahuan dan keterampilan teknis mereka untuk menjalankan
skema penipuan. Faktor lingkungan dan sosial, seperti tekanan teman sebaya atau
kebiasaan di lingkungan tertentu, juga dapat mempengaruhi seseorang untuk
terlibat dalam penipuan online.

Sementara syarat dalam pembebanan pertanggungjawaban pidana pada pelaku


tindak pidana penipuan online adalah terpenuhinya segala unsur tindak pidana dan
tujuan dari perbuatan tersebut dapat dibuktikan bahwa memang sengaja dilakukan
13

dengan keadaan sadar akan dicelanya perbuatan tersebut oleh undang-undang


(Rahmanto, T. Y., Kav, J. H. R. S., & Kuningan, J. S. (2019).

5.2 Dampak Penipuan Online

Penipuan online seringkali mengakibatkan kerugian finansial yang signifikan


bagi korban. Para penipu sering menggunakan berbagai trik untuk mencuri
informasi keuangan, seperti nomor kartu kredit, informasi akun bank, dan kata
sandi. Korban bisa kehilangan uang secara langsung atau menjadi korban
pencurian identitas.Penipuan online juga dapat mengakibatkan pencurian data
pribadi korban. Informasi pribadi seperti nama, alamat, tanggal lahir, dan nomor
identifikasi dapat digunakan untuk kegiatan ilegal lainnya, seperti pencurian
identitas atau penipuan lainnya.

Korban penipuan online sering mengalami tekanan emosional dan stres akibat
kehilangan uang atau data pribadi, serta rasa malu atau marah karena menjadi
korban penipuan. Bagi bisnis, menjadi korban penipuan online dapat merusak
reputasi perusahaan mereka. Jika pelanggan atau klien kehilangan kepercayaan
pada bisnis tersebut, hal itu dapat berdampak negatif pada kinerja dan
keberlanjutan bisnis. Penipuan online juga memiliki dampak sosial yang luas,
karena dapat merusak kepercayaan antarindividu dan mengurangi kepercayaan
masyarakat pada platform online. Ini juga dapat menciptakan ketidakamanan dan
kekhawatiran di antara pengguna internet.

Penipuan online dapat membuka pintu bagi serangan keamanan yang lebih
serius, termasuk serangan malware, phishing, dan ransomware yang dapat
mengakibatkan kerugian yang lebih besar lagi bagi korban. Mengatasi konsekuensi
penipuan online bisa memakan banyak waktu dan upaya, baik bagi individu
maupun bisnis. Proses mengidentifikasi, melaporkan, dan memulihkan kerugian
dapat mengganggu produktivitas dan menyebabkan gangguan baik dalam
kehidupan sehari-hari.

Internet membawa perekonomian dunia memasuki babak baru yang lebih


populer dengan istilah digital economics atau ekonomi digital. Aktivas di dalam
internet dapat menjangkau seluruh belahan bumi dengan melampui batas-batas
negara. Sesuatu yang dalam dunia nyata jauh dari hadapan, dalam dunia maya
dapat dihadirkan seolah-olah dunia itu dekat. Sebagai suatu catatan awal, seseorang
14

dapat memahami bahwa penjual dan pembeli adalah konsumen dari


penyelenggaraan suatu sistem elektronik yang telah dikembangkan oleh suatu
pihak tertentu (developer) atau diselenggarakan oleh suatu pihak tertentu
(provider).

Jadi sebagai suatu kajian awal, maka sepatutnya tanggung jawab dan si
pengembang dan atau si penyelenggara sistem elektronik tersebut adalah bersifat
mutlak (strict liability), yakni sepanjang sistem yang ada telah dapat diyakini
berjalan sebagaimana semestinya, maka risiko baru dapat dikatakan beralih secara
fair kepada para penggunanya (Puspitasari, I. (2018).

Selain mempunyai dampak positif yang besar, pemanfaatan internet juga


mempunyai dampak negatifnya bagi kehidupan masyarakat, salah satunya adalah
timbulnya kejahatan. Dampak negatif dapat timbul apabila terjadi kesalahan yang
ditimbulkan oleh peralatan komputer yang akan mengakibatkan kerugian besar
bagi pemakai (user) atau pihak-pihak yang berkepentingan. kesalahan yang di
sengaja mengarah kepada penyalahgunaan computer.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan tekonologi dan pengetahuan bisa


membuat kemajuan mengenai kejahatan juga berkembang. Pelaku kejahatan
apapun tidak mengenal tempat atau dengan cara apapun selama bisa dijadikan
tempat melakukan kejahatan. Di dalam dunia Internet, potensi pelaku kejahatan
melakukan kejahatan sangatlah besar dan sangat sulit untuk ditangkap karena
antara orang yang ada didalam dunia maya ini sebagian besar fiktif atau identitas
orang per orang tidak nyata. Kejahatan yang terjadi di dalam Internet dikenal
dengan istilah Cyber Crime (kejahatan dalam dunia maya) (Prasetyo, R. D. (2021).

Permasalahan hukum yang sering kali di hadapi pada tindak pidana penipuan
online adalah ketika terkait penyampaian informasi, komunikasi, dan atau transaksi
elektronik, yakni pada hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan
hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik. Pasal penipuan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) masih belum dapat
mengakomodir hal tersebut, dikarenakan biasanya pelaku penipuan melalui media
online ini juga menggunakan sarana email untuk berhubungan dengan korbannya,
dalam hal ini apakah email sudah dapat dijadikan suatu alat bukti yang sah dan
15

dapat dipersamakan dengan surat kertas layaknya kejahatan penipuan konvensional


di dalam dunia nyata (Afita, C. O. Y., Simarmata, R., & Sitorus, J. (2022).

5.5 Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum

5.5.1 Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Penipuan Bisnis


Online

Berbagai pihak, baik pemerintah, kepolisian, maupun pihak


penyedia/pengelola situs jual beli online berusaha melakukan berbagai upaya
pencegahan dan penanggulangan tindak penipuan yang dapat terjadi dalam situs
jual beli online. Dalam bidang regulasi, Indonesia telah memiliki pengaturan yang
komprehensif dengan adanya UU ITE, PK, dan Perdagangan, dan Peraturan
Pemerintah No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaran Sistem Dan Transaksi
Keuangan.

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi


dan Transaksi Eletronik bahwa 78 Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintah yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.

Berbagai pihak, baik pemerintah, kepolisian, maupun pihak


penyedia/pengelola situs jual beli online berusaha melakukan berbagai upaya
pencegahan dan penanggulangan tindak penipuan yang dapat terjadi dalam situs
jual beli online. Dalam bidang regulasi, Indonesia telah memiliki pengaturan yang
komprehensif dengan adanya UU ITE, PK, dan Perdagangan, dan Peraturan
Pemerintah No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaran Sistem Dan Transaksi
Keuangan.

Secara infrastruktur, telah dibentuk suatu badan yang mengawasi lalu lintas
data yaitu Id-SIRTII/CC (Indonesia Security Incident Response Team on Internet
and Infrastructure/ Coordination Center) yang memiliki tugas pokok untuk
melakukan sosialisasi dengan pihak terkait tentang IT security (keamanan IT),
16

melakukan pemantauan, 79 pendeteksian, dan peringatan dini terhadap ancaman


jaringan dari dalam dan luar negeri. (Meilarati, 2017).

Pihak kepolisian memiliki Subdit Cyber Crime (Mabes Polri, berada di Subdit
V) yang khusus yang menangani tindak pidana yang terkait dengan cyber crime,
tindak pidana infromasi dan transaksi elektronik. Tugas pokok dan fungsi (tupoksi)
Satuan Cyber Crime berdasarkan Keputusan Kapolri No. Pol.: KEP/54/X/2002
tanggal 17 Oktober 2002 tugasnya adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana khusus, terutama kegiatan penyidikan yang berhubungan dengan
teknologi informasi, telekomunikasi, serta transaksi elektronik.

Bareskrim Polri juga membentuk Satgas e-commerce yang dikepalai


Kasubdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim sebagai tempat penerimaan
aduan dari pengguna e-commerce yang merasa dirugikan dan kedepannya akan
meluncurkan sebuah apilkasi yang akan menjadi wadah laporan masyarakat yang
merasa ditipu atau tertipu oleh pelaku usaha/penjual dalam e-commerce. Pihak
pengelola/penyedia situs jual online juga telah mengusahakan dan menerapkan
berbagai kebijakan guna mencegah dan menanggulangi penipuan dalam situs jual
beli online, diantaranya dengan memberlakukan COD (Cash on Delivery) sebagai
salah satu metode pembayarannya untuk menghindari barang yang tidak sampai
atau seller yang fiktif.

Kebijakan autentikasi dan verifikasi produk seller dan akun konsumen dalam
beberapa situs jual beli online yang terpercaya juga telah dilakukan. Hal ini
diterapkan untuk menghindari adanya pelaku usaha dan konsumen fiktif yang
dapat merugikan. Kebijakan pengembalian dan refund serta pembayaran yang
dipusatkan pada satu bank account resmi juga telah diterapkan untuk
meminimalisir tindak pidana penipuan dalam situs jual beli online. Beberapa situs
jual beli online yang sudah menerapkan ini adalah Zalora, Berrybenka, Shopee,
Lazada, dan Tokopedia. Penerapan transaksi melalui rekening bersama yang
merupakan perantara atau pihak ketiga yang membantu keamanan dan kenyamanan
transaksi online sehingga pembeli tidak perlu ragu untuk bertransaksi atau barang
yang sampai tidak sesuai dengan yang diharapkan dan penjual dapat membangun
reputasi dan juga terhindar dari kecurigaankecurigaan yang berlebihan. Menurut
Brigpol Muh.
17

Risal pihak Kepolisian telah menelusuri pencegahan Penipuan Bisnis Online


dengan cara berkoordinasi kepada bagian cyber crime polda tentang 81 indentitas
dan informasi elektronik (no hp) atau melalui pihak tertentu misalnya bagian bank
untuk mengetahui kevalitan data penggunaan penyetoran dana. Kendala yang
dialami pihak Kepolisian dalam Pencegahan Penipuan Bisnis Online apabila akun
penipuan online tersebut berada di luar wilayah hukum Polres Sinjai (Si korban di
Kab. Sinjai) sehingga memerlukan kordinasi yang lebih jauh. Dan solusinya
melaporkan ke tingkat lebih tinggi yaitu Cyber Polda sampai Mabes Polri dengan
mengirimkan jumlah akun penipuan serta korban penipuan.

Pihak Kepolisian menelusuri akun Penipuan Bisnis Online dan bagaimana


cara membuktikan bahwa yang bersangkutan adalah pemilik akun tersebut dengan
menggunakan System Cyber Crime, Polres Sinjai berkordinasi dengan Polda
sedangkan cara untuk membuktikanya itu sangat di rahasiakan karena dapat
menjadi bahan pengalihan system (pertimbangan cara penggunaan aplikasi) bagi
penipu bisnis Online Sartika ( Sartika A. (2021).

5.5.2 Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Penipuan Bisnis Online

Sebagaimana penanganan perbuatan yang diduga merupakan tindak pidana,


hukum acara pidana mengatur mengenai proses penanganan atau penegakan
terhadap cybercrime atau dalam hal ini khususnya penipuan dengan menggunakan
sarana media social berbasis onloine, dimulai dari penyelidikan sampai dengan
putusan pengadilan. Berdasarkan ketentutan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 yang telah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, dalam penegakan hukum tindak pidana
penipuan yang berhubungan dengan ITE dan jaringan online, terdapat perbedaan
dalam hukum acara tersebut perihal penggunaan pasal serta dalam tahapan-tahapan
penegakan hukum (Rahmanto, T. Y., Kav, J. H. R. S., & Kuningan, J. S. (2019).

a. Penerimaan Laporan
Menanggulangi atau upaya pencegahan kejahatan/pelanggaran, bahwa
kejahatan/pelanggaran terdiri dari pre-emtif,preventif dan represif. Kepolisian
mengemban fungsi Represif yang dalam Proses penegakan hukum tindak pidana
penipuan berbasis online dapat dilakukan melalui tahap penerimaan pelaporan,
18

tahap penyelidikan dan tahap penyidikan. Penerimaan Laporan Polisi (LP) tentang
tindak pidana penipuan berbasis online.

Bilamana ada masyarakat yang menjadi korban tindak pidana penipuan


berbasis online melapor atau mengadu ke SPKT Polda Setempat, petugas SPKT
Polda berkordinasi dengan penyelidik atau penyidik pembantu Dit Reskrimsus
Polda untuk melakukan introgasi kepada pelapor atau pengadu apakah memenuhi
bukti permulaan yang cukup yaitu terpenuhinya unsur Pasal 184 KUHAP. Atas
pertimbangan penyidik atau penyidik pembantu apabila cukup bukti
memerintahkan kepada petugas SPKT untuk membuatkan laporan polisi (LP), dan
apabila sifatnya masih kabur, maka petugas SPKT perintah penyidik atau penyidik
pembantu Dit Reskrimsus Polda membuatkan laporan pengaduan masyarakat
(Dumas).

b. Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur di dalam
undang-undang. Tindakan penyelidikan untuk menentukan apakah sebuah
peristiwa merupakan sebuah peristiwa pidana merupakan sebuah kewajiban bagi
pejabat yang berwenang ketika menerima sebuah laporan dari masyarakat
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 102 Ayat (1) KUHAP, yaitu : Penyidik
yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu
peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan
tindakan penyelidikan yang diperlukan.

Di dalam melakukan proses penyelidikan terhadap tindak pidana penipuan


berbasis online pihak kepolisian melakukan kerjasama dengan Polres, Polsek, agar
mempermudah mendapatkan informasi-informasi yang dapat mendukung untuk
menangkap pelaku kasus penipuan berbasis online.

Proses penyelidikan ini bertujuan untuk menentukan dapat tidaknya


penanganan selanjutnya yaitu tahap penyidikan. Penyelidikan tindak kejahatan
cybercrime di Direktorat Reskrimsus Polda juga menggunakan sarana prasarana IT
dikarenakan kejahatan cybercrime adalah kejahatan yang memanfaatkan kemajuan
19

teknologi itu sendiri dalam melakukan kejahatan.

Dalam menyelidiki kebenaran adanya tindak pidana khususnya penipuan


berbasis online, penyelidik Direktorat Reskrimsus lebih dahulu melakukan
penyelidikan melalui internet dengan cara menelusuri website-website, media
sosial, yang terkait dengan situs penipuan berbasis online, mengecek lokasi pelaku
yang diduga melakukan tindak pidana penipuan berbasis online yang sering disebut
dengan istilah CP (Check Position) dengan bantuan sarana prasarana dalam
penanganan tindak pidana penipuan berbasis online. Kepolisian dituntut untuk
mencari, mengamati, melacak, serta menganalisis mengenai apakah tindak pidana
tersebut benar-benar ada dan termasuk dalam ruang
lingkup tindak pidana cybercrime khususnya penipuan berbasis online.

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan


menemukan suatuperistiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini (Pasal 1 angka 5 KUHP). Dalam hal ini penyelidikan tindak pidana
penipuan online di Polda dilakukan oleh Polisi Penyidik Ditreskrimsus Polda.
Setelah dikeluarkan surat perintah penyelidikan dan surat perintah tugas, polisi
penyidik segera melakukan penyelidikan tindak pidana penipuan berbasis online.

c. Penyidikan
Penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 KUHP). Dalam
hal ini penyidikan tindak pidana penipuan online di Polda dilakukan oleh Polisi
Penyidik Ditreskrimsus Polda. Setelah dikeluarkan surat perintah penyidikan dan
surat perintah tugas, polisi penyidik segera melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana penipuan berbasis online.
i. Penyidikan kasus-kasus yang berhubungan dengan transaksi elektronik
seperti carding, money laundering, pasar modal, pajak, perbankan, dan lain-
lain;
ii. Penyidikan kasus-kasus yang berhubungan dengan teknologi komunikasi
dan informasi meliputi penyadapan telepon, penipuan melalui telepon
genggam;
20

iii. Penyidikan kejahatan yang menggunakan fasilitas internet seperti cyber


gambling, cyber terrorism, cyber fraud, cyber sex, cyber narcotism, cyber
smuggling, cyber attacks on critical infrastructure, cyber blackmail, cyber
threatening, pencurian data, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik,
dan lain-lain;
iv. Penyidikan cybercrime: masuk ke system secara ilegal, Ddos attack,
hacking, tracking, phreaking, membuat dan menyebarkan yang bersifat
merusak, malicouscode all viruses, worm, rabbits, trojan, dan lain-lain;
v. Penyidikan kasus-kasus yang berhubungan dengan Hak Atas Kekayaan
Intelektual (HAKI), pirated software, rekaman suara, merubah tampilan
website, dan lain-lain (Wibawa, I. G., Nurcana, I. D, & Yadnya, P. A
(2022).

6. Metode Penelitian

6.1 Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif (normative legal research). Penelitian hukum normatif yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan penelitian pendekatan dan bahan-bahan yang
digunakan harsu dapat dikemukakan dengan aturan hokum kemudian dianalisis
(Marzuki & Sh, 2006).

Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki dalam buku “Penelitian Hukum”


menegaskan bahwa penelitian hukum normatif adalah socio-legal research atau
penelitian sosio-legal bukan penelitian hukum. berlandaskan keilmuan hukum
dengan segala kekhasan melahirkan penelitian hukum yang khas pula yang
kemudian dikenal sebagai penelitian hukum normative melalui proses untuk
menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin
hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.

6.2 Metode Pendekatan


21

Untuk memberikan hasil penelitian yang tepat dan sesuai maka dibutuhkan
suatu metode pendekatan sebagai sumber informasi untuk memecahkan suatu isu
hukum. Penelitian ini menggunakan 2 metode pendekatan, yaitu sebagai berikut :

a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statue Approach)

Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan


menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis,
pendekatan undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk
mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang
dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dan Undang-
Undang Dasar atau antara regulasi dan undang- undang. Hasil dari telaah
tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi.
Bagi penelitian untuk kegiatan akademis, peneliti perlu mencari ratio legis dan
dasar ontologis lahirnya undang-undang tersebut.
Dengan mempelajari ratio legis dan dasar ontologis suatu undang-
undang, peneliti sebenarnya mampu menangkap kandungan filosofi yang ada
di belakang undang-undang, itu. Memahami kandungan filosofi yang ada di
belakang undang-undang itu, peneliti tersebut akan dapat menyimpulkan ada
tidaknya benturan filosofis antara undang-undang dengan isu yang dihadapi.

b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Dalam menggunakan pendekatan konseptual, peneliti perlu merujuk


prinsip-prinsip hukum. Prinsip-prinsip ini dapat diketemukan dalam
pandangan- pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum. Meskipun
tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat juga diketemukan di dalam
undang-undang. Hanya saja dalam mengidentifikasi prinsip tersebut, peneliti
terlebih dahulu memahami konsep tersebut melalui pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin yang ada, dengan mempelajari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang
melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas
hukum yang relevan dengan isu yang diteliti (Marzuki & Sh, 2021)..
22

6.3 Sumber Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
sebagai berikut :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum primer yang berupa perundang-
undangan, yang memiliki otoritas tertinggi adalah Undang-Undang Dasar
karena semua peraturan di bawahnya baik isi maupun jiwanya tidak boleh
bertentangan UUD tersebut. Bahan hukum primer selanjutnya adalah undang-
undang. Undang-undang merupakan kesepakatan antara pemerintah dan rakyat,
sehingga mempunyai kekuatan mengikat un- tuk penyelenggaraan kehidupan
bernegara. Sejalan dengan undang-undang, untuk tingkat daerah adalah
peraturan daerah yang juga mempunyai daya otoritas yang tinggi untuk tingkat
daerahnya karena dibuat oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Bahan hukum primer yang otoritasnya di bawah undang-undang adalah
peraturan pemerintah, peraturan presiden, atau peraturan suatu badan, lembaga,
atau komisi sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 8 (1) Undang-Undang No.
12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Adapum
untuk tingkat dae- rah, keputusan kepala daerah mempunyai otoritas yang lebih
rendah dibandingkan Perda. Bahan hukum primer di samping itu perundang-
undangan yang memiliki otoritas adalah putusan pengadilan. Putusan
pengadilan merupakan konkretisasi dari perundang-undangan. Putusan
pengadilan inilah sebenarnya yang merupakan law in action.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang bersifat membantu atau
menunjang bahan hukum primer dalam penelitian yang akan memperkuat
penjelasan di dalamnya. Bahan hukum sekunder berasal dari studi kepustakaan
berupa buku-buku hukum, skripsi, tesis, disertasi, dan jurnal-jurnal hukum.
Adapun terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-
prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang
mempunyai kualifikasi tinggi. Di dalam memilih buku teks ini, sekali lagi perlu
dikemukakan bahwa mengingat Indone- sia bekas jajahan Belanda sangat
dianjurkan kalau buku teks digunakan adalah buku teks yang ditulis oleh penulis
23

dari Eropa kontinental dan buku-buku teks yang ditulis oleh penulis Anglo-
Amerika. Di samping buku teks, bahan hukum sekunder dapat berupa tulisan-
tulisan tentang hukum baik dalam bentuk buku ataupun jurnal-jurnal. Tulisan-
tulisan hukum tersebut berisi tentang perkembangan atau isu-isu yang aktual
mengenai hukum bidang tertentu. Bahkan dianjurkan kepada peneliti dalam
mempersiapkan penelitiannya lebih dahulu merujuk kepada bahan sekunder
berupa tulisan- tulisan hukum baik dalam bentuk buku maupun artikel jurnal.
Dengan terlebih dahulu merujuk kepada bahan-bahan tersebut, peneliti dapat
mengetahui perkembangan terbaru dari sasaran yang akan diteliti. Perlu
dikemukakan di sini bahwa bahan-bahan hukum sekunder yang berupa buku-
buku hukum ini pun juga harus relevan dengan topik penelitian.

6.2 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dengan menggunakan pendekatan komparatif dalam penelitian normatife


peneliti harus mengumpulkan ketentuan perundang undangan ataupun peraturan
putusan-putusan pengadilan negara lain yang hendak dipecahkan. Dalam hal ini
disarankan untuk melakukan perbandingan dengan negara-negara yang
mempunyai sistem hukum yang sama, misalnya Belanda atau Jepang atau negara
Eropa dan Amerika Latin. Akan tetapi hal itu bergantung dengan isu hukum yang
diajukan. Apabila memang isu hukum yang diajukan bersifat universal, misalnya
tentang hak kekayaan intelektual, dapat saja dilakukan perbandingan dengan
negara dengan sistem hukum yang berbeda. Hanya saja kuncinya, bahwa harus
ada reasoning mengapa harus membandingkan dengan negara tersebut.

Untuk baiknya suatu karya ilmiah seharusnya didukung oleh bahan-bahan


hukum, demikian juga dengan penulisan Proposal ini penulis berusaha untuk
memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan Proposal ini setidak-
tidaknya dapat lebih dekat kepada golongan karya ilmiah yang baik. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalan penelitian ini adalah Studi Dokumen
Yaitu bahan-bahan kepustakaan dan dokumen dokumen yang berkaitan dengan
permasalahan yang dikemukakan, hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran
yang lebih lengkap.

6.3 Teknik Analisa Bahan Hukum


24

Analisa bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan teknik analisa


normatif. Metode untuk jenis penelitian hukum normatif berupa metode
preskriptif yaitu metode analisa yang memberikan penilaian (justifikasi) tentang
obyek yang diteliti apakah benar atau salah atau apa yang seharusnya menurut
hukum. Tahapan analisis normatif tersebut adalah penulis melakukan sistematif,
deskriprif, analisis, dan memberikan argumentasi hukum yang bersifat pemikiran.
Tujuannya adalah agar diperoleh jawaban terhadap isu hukum yang diajukan dan
dapat memberikan pemikiran.
Analisanya isu hukum ditetapkan, peneliti melakukan penelusuran untuk
mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu yang dihadapi. Apabila di
dalam penelitian tersebut peneliti sudah menyebutkan pendekatan perundang-
undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).,
yang harus dilakukan oleh peneliti adalah mencari peraturan perundang-undangan
mengenai atau yang berkaitan dengan isu tersebut. Perundang-undangan dalam
hal ini me- liputi baik yang berupa legislation maupun regulation bahkan juga
delegated legislation dan delegated regulation.

DAFTAR PUSTAKA

.Azzani, I. K., Purwantoro, S. A., & Almubaroq, H. Z. (2023). Urgensi


Peningkatan Kesadaran Masyarakat Tentang Kasus Penipuan Online
Berkedok Kerja Paruh Waktu Sebagai Ancaman Negara. NUSANTARA:
Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 10(7), 3556-3568

Artanti, U. D. (2020). Modus Operandi Dan Problematika Penegakan Hukum


Tindak Pidana Penipuan Online (Doctoral dissertation, Skripsi, Universitas
Muhammadiyah Magelang).

Hendrik S, A. (2019). Modus Operandi dan Problematika Penanggulangan Tindak


Pidana Penipuan Daring. Mimbar Hukum, 31(1), 59-74.

Kakunsi, O. (2012). Penipuan Penawaran Pekerjaan Melalui E-Mail. Lex


Crimen, 1(2).

Prasetyo, R. D. (2021). Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana


Penipuan Online Dalam Hukum Pidana Positif Di Indonesia (Doctoral
25

dissertation, Brawijaya University).

Marzuki P,M & Sh (2006). Buku Metode Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta,
2006, Hal 1-157, Peter Mahmud Marzuki (Peter Mahmud I), Penelitian
Hukum: Edisi. Revisi.

Marzuki P,M & Sh (2021). Buku Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2021, Hal 1-
270, Peter Mahmud Marzuki (Peter Mahmud I), Penelitian Hukum: Edisi.
Revisi

Rahmanto, T. Y., Kav, J. H. R. S., & Kuningan, J. S. (2019). Penegakan Hukum


Terhadap Tindak Pidana Penipuan Berbasis Transaksi Elektronik. Jurnal
Penelitian Hukum De Jure, 19(1), 31.

Rahmad, N. (2019). Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Penipuan Secara


Online. Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, 3(2), 103-117.

Sartika, A. (2021). Tinjauan Yuridis Penegakan Hukum Pidana Terhadap


Penipuan Bisnis Online (Doctoral Dissertation, INSTITUT AGAMA ISLAM
MUHAMMADIYAH SINJAI).

Wibawa, I. G. K. A., Nurcana, I. D. N. G., & Yadnya, P. A. K. (2022). Penanganan


Tindak Pidana Penipuan Berbasis Online Oleh Kepolisian Berdasarkan
Undang-Undang Kepolisian, Kuhp Dan Undang-Undang Informasi Dan
Transaksi Elektronik. Majalah Ilmiah Universitas Tabanan, 19(2), 163-168.

Anda mungkin juga menyukai