Anda di halaman 1dari 52

USULAN PROPOSAL TESIS

Kriminalisasi Terhadap Perbuatan Prostitusi Cyber

Dalam Pembaharuan Hukum Indonesia

I Komang Mahardika Wijaya

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2023
`USULAN PENELITIAN`

Kriminalisasi Terhadap Perbuatan Prostitusi Cyber

Dalam Pembaharuan Hukum Indonesia

I Komang Mahardika Wijaya

NIM. 2280511018

`PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM`

`FAKULTAS HUKUM`

`UNIVERSITAS UDAYANA`

`DENPASAR`

2023
ii
`USULAN PENELITIAN`

Kriminalisasi Terhadap Perbuatan Prostitusi Cyber

Dalam Pembaharuan Hukum Indonesia

`Usulan Penelitian Tesis diajukan untuk memperoleh Gelar Magister`

`Hukum (M.H.) pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum`

`Fakultas Hukum`

`Universitas Udayana`

I Komang Mahardika Wijaya

NIM. 2280511018

`PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM`

`FAKULTAS HUKUM`

`UNIVERSITAS UDAYANA`

`DENPASAR`

`2023`
iii
`Lembar Persetujuan`Pembimbing

USULAN PENELITIAN TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL

Bulan .... Tahun ........

Pembimbing I

Dr. Ida Bagus Surya Dharmajaya, S.H.,M.H.

NIP. 196206051988031020

Pembimbing II

Dr. Diah Ratna Sari Hariyanto, S.H.,M.H

NIP. 1988017202022032005

iv
Usulan Penelitian Tesis Ini Telah

Diuji dan Dinilai Oleh Panitia

Penguji pada

Fakultas Hukum

Universitas Udayana Pada

Tanggal .............

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No.: ....

Tanggal ............

Panitia Penguji Usulan Penelitian Tesis adalah :

Ketua : Prof. Dr.

Sekretaris : Prof. Dr.

Anggota :

1. Prof. Dr. .............

2. Prof. Dr. .............

3. Prof. Dr. .............

v
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN


HALAMAN SAMPUL
DALAM………………………………………………...ii
HALAMAN PRASYARAT GELAR MAGISTER ILMU HUKUM………...iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………….iv
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA PENGUJI TESIS……………………...v
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………………1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………….19
1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………..19
1.3.1 Tujuan
Umum…………………………………………..19
1.3.2 Tujuan
Khusus………………………………………….19
1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………………20
1.4.1 Manfaat
Teoritis………………………………………...20
1.4.2 Manfaat Praktis…………………………………………
20
1.5 Orisinilitas Penelitian………………………………………………21
1.6 Kerangka Teoritik dan Konseptual ………………………………23
1.6.1 Kerangka Berpikir…………………………………….36
1.7 Metodelogi Penelitian……………………………………………..37
1.7.1 Jenis
Pendekatan………………………………………..37
1.7.2 Sumber Bahan Hukum…………………………………
39

vi
1.7.3 Teknik Pengumpulan Bahan
Hukum………………….41
1.7.4 Teknik Analisis Bahan
Hukum………………………...41
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………...43

vii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pesatnya pertumbuhan teknologi informasi dan komunikasi dengan

penggunaan internet mempunyai dampak positif dan negatif. Dampak positif dari

internet antara lain adalah mempermudah kemampuan berkomunikasi,

kemampuan bertukar data, dan kemampuan mencari informasi, serta kemudahan

berdagang dan berbisnis dalam dunia maya.1 Dampak negatif dari media internet

diantaranya dapat mengarah pada berkembangnya kejahatan dalam dunia maya

atau Cyber space melalui internet itu sendiri.2 Kejahatan-kejahatan ini termasuk

penipuan, carding dan perjudian, serta kecanduan internet seperti pornografi,

prostitusi dunia maya dan penggunaan komputer untuk tujuan seksual atau segala

bentuk kenikmatan seksual (Cybersex).3

Dunia`Cyber atau Cyber`space sering dikenal dengan istilah dunia maya

atau ruang imajiner, Cyber space`tersebut`menjadi titik permulaan`akselerasi

distribusi’’informasi dan komunikasi menjadi tanpa sekat``(borderless)`yang

berdampak pada munculnya kejahatan yang tidak mengenal adanya batas teritorial

suatu negara.4` Dalam dunia baru ini, aktivitas manusia tidak hanya terbatas pada
1
Danuri, M., 2019. Perkembangan dan transformasi teknologi digital. Jurnal Ilmiah
Infokam , 15 (2).
2
Marufah, N., Rahmat, HK dan Widana, IDKK, 2020. Degradasi Moral Sebagai Dampak
Kejahatan Siber pada Generasi Millenial di Indonesia. NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan
Sosial , 7 (1), h.191.
3
Arief, Barda Nawawi, 2011. Pornografi, Pornoaksi dan Cybersex- Cyberporn. Pustaka
Magister. Semarang. h. 78.
4
Haryadi, D., 2007. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan
Cyberporn Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia (Disertasi doktoral, program
Pascasarjana Universitas Diponegoro).
1
2

aktivitas fisik, tetapi juga aktivitas non-fisik yang dilakukan secara virtual.

Kegiatan Cyber`adalah kegiatanSvirtual, tetapi berdampak sangat nyata meskipun

melalui alat elektronik, dengan subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula

sebagai telah melakukan perbuatan hukum secara`nyata.5

Sebuah teori mengatakan bahwa "kejahatan adalah produk dari masyarakat

itu sendiri", yang berarti bahwa kejahatan adalah "produk" masyarakat itu sendiri,

bukan masyarakat itu sendiri yang melakukan kejahatan. 6 Kejahatan yang lahir

sebagai dampak negatifFdaripada berkembangnya media`internet dewasa inilah

yang kemudian dikenal dengan istilah`Cyber crime. Menurut Barda Nawawi

Arief, pengertian Cybercrime dapat dipersamakan dengan kejahatan mayantara

yang terjadi dalam realitas dunia maya atau Cyber Space.7`Merujuk pada

kerangka`Draft Convention on Cyber Crime dari Dewan Eropa pada tahun 2000

mendefinisikan bahwa Cyber crime adalah "crime related to technology.

computers and the internet."` Cybercrime adalah kejahatan yang berkaitan dengan

teknologi, komputer, dan internet, menurut definisi bebas. Menurut Laporan

Dokumen Kongres PBB ke-10 di Wina tanggal 19 Juli 2000, kejahatan cyber

terbagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:

a. Cybercrime`in narrow sense (computer crime): any illegal behavior


directed by means of electronic operations that targets the security of
computer system and the data processed by`them.
b. Cybercrime!in boarder sense (computer-related crime) any illegal
behavior commited by means of, or in relation to, a computer system

5
Mewengkang, IB, 2021. Kajian Yuridis Cyber Crime Penanggulangan Dan Penegakan
Hukumnya. Lex Crimen , 10 (5).
6
Saputra, LH, 2015. Peran Polri Dalam Memberantas Tindak Pidana Pornografi Di Dunia
Maya Dihubungkan Dengan UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Studi Kasus Di Wilayah Jawa Barat).
7
Nurudin. 2014. Pengantar KomunikasiMassa. Raja Grafindo Persada. Jakarta. h. 9.
3

network, including such crimes as illegal possession,,offering or


distributing information by means of computer system on network.8
Terjemahan bebas :
a. Cybercrime dalam arti sempit, mengacu pada setiap kegiatan kriminal
yang dilakukan melalui penggunaan perangkat elektronik yang
berusaha untuk membahayakan keamanan sistem komputer atau data
yang tersimpan di dalamnya.
b. Cybercrime dalam arti luas, adalah setiap kegiatan kriminal yang
dilakukan oleh, atau sehubungan dengan, jaringan komputer, termasuk
namun tidak terbatas pada, kepemilikan, penawaran, atau distribusi
informasi yang melanggar hukum melalui sistem komputer di jaringan.

Perkembangan Cyber crime atau kejahatan mayantara sebagai bentuk baru

daripada kejahatan Cyber space telah menjalar secara global sebagai a dark

shadow atau bayangan gelap kemajuan teknologi informasi dan komunikasi,

dikarenakan memungkinkan terjadinya eksploitasi dalam bentuk-bentuk baru,

kesempatan untuk melakukan aktivitas kejahatan, dan bahkan kejahatan dalam

bentuk-bentuk baru.9 Salah satu masalah Cyber crime yang sangat meresahkan

dan mendapat perhatian dari berbagai pihak adalah masalah Cyber crime di

bidang prostitusi, yang sekarang telah beralih menjadi prostitusi Cyber.10

Prostitusi`atau juga bisa disebut pelacuran berasal dari bahasa Latin yaitu

pro-situare yang`secara umum dapat diartikan menawarkan tubuh untuk

kesenangan orang lain dengan imbalan uang, dalam`bahasa Inggris prostitusi

disebut prostitution yang artinya tidak jauh beda`dengan bahasa latin yaitu

pelacuran, persundalan atau`ketunasusilaan. Pelacuran`dalam kamus Bahasa

Indonesia dijelaskan berasal`dari kata lacur yang berarti malang, celaka,`sial,

gagal, atau buruk laku.`Pelacur adalah perempuan yang melacur, sundal, wanita

8
Ayofe, AN dan Oluwaseyifunmitan, O., 2009. Pendekatan penyelesaian kejahatan siber dan
keamanan siber. arXiv pracetak arXiv:0908.0099 .
9
Qutub, S., 2014. Cyber Terorism dalam Tinjauan Hukum Islam . Penerbit A-Empat.
10
Laksono, P. dan Magfiraini, R., 2014. Prostitusi Cyber: Bergesernya masalah sosial ke
dalam ruang virtual. Jurnal Analisa Sosiologi , 3 (1).
4

tuna susila.`Menurut William Benton dalam`Encyclopedia Britanica, pelacuran

dijelaskan sebagai praktek hubungan seksual`yang dilakukan sesaat, yang kurang

lebih dilakukan dengan siapa saja untuk imbalan berupa`uang.11 Bonger

menyatakan dalam bukunya Mudjijono bahwa prostitusi merupakan gejala sosial

karena perempuan menjual dirinya sebagai objek hasrat demi kepuasan laki-laki

yang membayarnya.12

Cyber`prostitution berasal dari dua kata yang masing-masing dapat berdiri

sendiri yakni prostitusi`dan Cyber. Menurut Frank E. Hagan, prostitusi adalah

"praktik hubungan seksualitas dengan pengabaian situasi emosional" yang

dilakukan dengan siapa saja dan dengan biaya. Prostitusi juga dapat`dianggap

sebagai instrument`seseorang untuk membayar dengan`imbalan untuk tindakan

pelecehan seksual`terhadap perempuan atau laki-laki sehingga prostitusi adalah

persetubuhan yang dibayar’’(paid rape).13 Cyber``adalah suatu istilah yang

digunakan orang untuk menyatakan sesuatu yang berhubungan`dengan internet

atau dunia`maya. Sehingga pengertian dari Cyber prostitution adalah kegiatan

menawarkan jasa pelayanan seksual melalui dunia`maya.

Menurut Barda Nawawi Arief, Cyber prostitution merupakan bagian`dari

Cyber crime`maka Cyber prostitution mempunyai`karakteristik yang sama dengan

Cyber`crime, yakni : a. Perbuatan yang dilakukan secara`ilegal, tanpa hak atau

11
Anindia, IA and Sularto, RB, 2019. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya
Penanggulangan Prostitusi Sebagai Pembaharuan Hukum Pidana. Jurnal Pembangunan Hukum
Indonesia , 1 (1), h.18.
12
Maulana, RR, 2019. Analisa Kriminologi Terhadap Perempuan Sebagai Pelaku Prostitusi
Terselubung Di Desa Tanjung Alai Kecamatan Tapung (Disertasi Doktoral, Universitas Islam
Riau), h.29.
13
Schulze, Erika. 2014. Sexual Exploitation and prostituion and its impact on gender equality.
In Citizens’ Rights an Contitutional Affairs European Parliament. Brussels: Policy
Department,h.34.
5

tidak etis. Terjadi dalam ruang/wilayah siber`(Cyber space) sehingga tidak dapat

dipastikan yurisdiksi negara mana yang berlaku`terhadapnya. b. Perbuatan

tersebut dilakukan dengan menggunakan`peralatan apapun yang terhubung

dengan internet. c. Perbuatan`tersebut mengakibatkan kerugian material maupun

immaterial (waktu, nilai, jasa, uang, barang, harga diri, martabat, kerahasiaan

informasi) yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan kejahatan

konvensional. d. Perlunya`orang`yang menguasai penggunaan internet beserta

aplikasinya. e. Perbuatan tersebut sering dilakukan`secara transnasional/melintasi

batas`negara.14

Prostitusi Cyber`merupakan wujud dari kejahatan baru yang muncul akibat

kemajuan teknologi. Dengan perkembangan akses komunikasi yang tanpa batas

dan munculnya berbagai jejaring aplikasi media sosial elektronik dalam dunia

maya atau Cyber space menjadikan prostitusi Cyber sulit untuk

diberantas.15 Media sosial merupakan faktor utama pertumbuhan prostitusi Cyber

karena memungkinkan pekerja seks komersial menarik pelanggan dengan menjual

diri mereka sendiri melalui dunia maya. Layanan prostitusi Cyber tidak hanya

terbatas pada hubungan seksual saja, namun dapat berbentuk chatting, video call,

telepon, dan lain-lain tergantung keinginan konsumen. Prostitusi Cyber

menawarkan berbagai layanan melalui dunia maya, dengan tarif`yang`relatif

tinggi dan menawarkan keuntungan bagi yang menjadi Mucikari, Pekerja Seks

Komersial`(selanjutnya disebut PSK) maupun Pengguna Jasa`Prostitusi.

14
Dewi Bunga, 2012. Prostitusi cyber: diskursus penegakan hukum dalam anatomi kejahatan
transnasional, Denpasar-ali : Udayana University Press. h.54.
15
Mustofa, MB, Dwiandrini, EL, Agustin, I., Esyarito, MA, Anggraeni, M. dan Wuryan, S.,
2022. Media Massa dan Cyber Crime di Era Society 5.0. At-Tanzir: Jurnal Ilmiah Prodi
Komunikasi Penyiaran Islam , h.77.
6

PSK dengan`mudah menjajakan diri melalui media sosial kemudian calon

konsumen yang berminat kemudian mengontak PSK dan akan dilanjutkan ke

instant`messaging dalam terjemahan bebas sebagai pesan singkat yng digunakan

untuk melakukan Open Booking Order (Open BO) atau pemesanan layanan

prostitusi melalui media sosial dalam dunia maya. Media sosial memungkinkan

PSK dan mucikari bergerak secara geografis tanpa bertemu langsung dan

membangun jejaring PSK yang terorganisir. Hal inilah yang memicu prostitusi

Cyber melalui aplikasi sosial media di Indonesia makin`merebak tanpa terkendali.

Pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi membuat praktek

prostitusi telah ikut berkembang kearah prostitusi Cyber. Seiring`dengan semakin

merambahnya penggunaan internet di Indonesia, aktivitas`Cyber prostitution

dengan memanfaatkan layanan internet dirasa lebih mudah dan menguntungkan

karena para pelaku praktek prostitusi cyber dapat menghindar dari razia dan

tekanan atau stigma negative dari`masyarakat sekitar. Banyak orang yang ingin

melakukan prostitusi dapat dengan mudah menggunakan metode ini. Mereka tidak

perlu pergi ke kawasan lokalisasi dan khawatir identitas mereka akan diketahui

orang lain. Para`pelaku mulai`menggunakan situs-situs jejaring`sosial seperti

facebook, whatshap, twiiter, telegram, MiChat dan website untuk`memasarkan

transaksi`seks.16 Hal tersebut menunjukan adanya suatu gejala sosial dimasyarakat

yang ditunjukan dengan banyaknya masyarakat yang mengakses sosial media

sebagai sarana praktek prostitusi Cyber. Sehingga hal tersebut meresahkan

16
Fitria, S. and Adhari, A., 2022. Penanggulangan Praktik Prostitusi Siber Siber Pada
Aplikasi Michat Berdasarkan Kebijakan Kriminal Di Indonesia. Jurnal Hukum Adigama , 5 (1),
h.956.
7

masyarakat, terutama bagi para pengguna di bawah umur yang rentan terekspos

prostitusi cyber.

Salah satu`aplikasi yang sering digunakan`untuk melakukan kegiatan

kriminal seperti prostitusi Cyber adalah MiChat dan Telegram, karena aplikasi

tersebut mudah diakses dan memungkinkan penggunanya mengirimkan foto dan

video.17 Cyber prostitution menjadi problematika yang mengkawatirkan di

kalangan masyarakat umum, seperti dalam Cyber prostitusi, seseorang menjadi

komoditas yang dijual melalui media elektronik di ruang Cyber space atau dunia

maya. Mirisnya lagi banyak kasus yang melibatkan remaja usia belia. Bahkan

praktik ini tidak`hanya dilakukan oleh kalangan`menengah ke bawah, tetapi juga

oleh kalangan artis public figure yang terlibat dalam Cyber prostitusi

menggunakan media aplikasi MiChat.18

MiChat`merupakan aplikasi olah pesan instan gratis yang memungkinkan

pengguna saling terhubung dengan keluarga,`teman, dan lainnya. Aplikasi`ini

dikembangkan`oleh MiChat PTE. Limited`yang berbasis di Singapura. Pada tahun

2018,`MiChat menjadi salah satu aplikasi pengiriman`pesan yang paling banyak

diunduh di Google`Play Store. MiChat`sendiri tersedia di perangkat Android

maupun iOS. Ada`beragam fitur di aplikasi`MiChat yang mendukung kebutuhan

pengiriman pesan`antarpengguna. Aplikasi ini juga memungkinan pengguna

untuk bertemu dengan`teman baru, termasuk di lokasi sekitarnya. Misalnya, dapat

17
Djanggih, H., 2021. Tinjauan Kriminologi Terhadap Kejahatan Protitusi Online di Kota
Makassar (Studi Kasus Aplikasi Mi Chat). Tinjauan Hukum Kalabbirang , 3 (2), h.86.
18
Azahra, F. dan Aprison, W., 2022. Aplikasi Michat Sebagai Media Prostitusi Online Dan
Dampaknya Terhadap Pendidikan. ANTHOR: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran , 1 (6), h.294.
8

menemukan orang dalam jarak 50 meter hingga 1 kilometer satu sama lain yang

menggunakan aplikasi ini dan memiliki`minat yang sama.

Saat ini, banyak`orang menggunakan MiChat sebagai alat prostitusi

Cyber.19 Hal ini terjadi karena fitur yang tersedia pada aplikasi ini dapat

mendukung transaksi prostitusi Cyber yang dilakukan melalui chatroom MiChat,

di mana foto atau video dapat dikirim. Algoritma MiChat membantu pengguna

menemukan orang-orang`terdekat yang memiliki`minat yang`sama dengan

mereka. Ini membuatnya lebih mudah dan lebih nyaman bagi pengguna yang

berminat pada prostitusi Cyber untuk menemukan penjaja seks di dekat mereka,

atau untuk menemukan iklan web dan informasi terkait lainnya tentang prostitusi

Cyber.20 Aplikasi`MiChat dilengkapi dengan`fitur chat`personal maupun`chat

grup yang membuat penyebaran content video maupun pesan teks yang mengarah

kepada prostitusi Cyber sulit untuk dilacak dan dideteksi, sehingga untuk

mengungkap permasalahan ini perlu segera untuk mengatur perbuatan prostitusi

apapun bentuk dan caranya menjadi sebuah tindak pidana.

Banyak`kasus prostitusi Cyber yang terjadi`di Indonesia, seperti misalnya

kasus VA pada tahun`2019, kasus VS tahun 2020, dan kasus CA pada tahun 2022

yang baru-baru ini kembali menggemparkan media massa. Penyidik

Ditreskrimsus Polda Metro Jaya tidak menahan artis CA (23) usai ditetapkan

sebagai tersangka atas kasus dugaan prostitusi Cyber. Kabid Humas Polda Metro

Jaya, Kombes Pol Endra Zulpan menyampaikan, penyidik hanya meminta CA

menjalani wajib lapor, hal ini dikarenakan CA memang pelaku prostitusi, tetapi ia
19
Damayanti, I., Hidayat, Y. dan Reski, P., 2022. Aplikasi Michat Sebagai Media Prostitusi
Online di Banjarmasin. PAKIS (Publikasi Berkala Pendidikan Ilmu Sosial) , 2 (1), h.46.
20
Op.cit,h.296.
9

juga disebut sebagai korban. Itulah yang menjadi pertimbangan penyidik tak

menerbitkan surat penahanan kepada pesinetron Ikatan Cinta itu.21

Bahkan kasus yang terbaru yang sedang viral dikalangan masyarakat

adalah akun Telegram @bh_hanna diduga menawarkan jasa prostitusi khusus

perempuan warga negara asing (WNA) di Bali. Bule wanita pekerja seks

komersial (PSK) itu dijajakan lewat grup Telegram Beverly Babes. Grup ini

pertama kali membuat unggahan pada 6 Juni 2023 dan di bio tertulis VIP Escort,

pay by crypto. Akun @bh_hanna menampilkan biografi sebagai escort agent

dapat diterjemahkan sebagai agen penyedia jasa prostitusi yang ada di Bali,

Phuket, dan Singapura. Akun itu hingga Jumat siang (20/10/2023) telah

menawarkan 19 wanita open Booking Order (BO) lengkap dengan nama foto dan

deskripsi ukuran fisik mereka di grup Telegram Beverly Babes.22

Berdasarkan keterangan terpisah dari, Kasubdit V Cyber Ditrekrimsus

Polda Bali, AKBP Nanang Prihasmoko menyatakan bahwa, pengelola akun grup

Telegram Beverly Babes tersebut menggunakan nomor telepon luar negeri dan

masih dalam penyelidikan."Jadi terkait WNA tersebut kami masih proses lidik

dan mereka menggunakan nomor luar negeri semua," kata AKBP Nanang kepada

Tribun Bali.23

21
https://www.liputan6.com/news/read/4850176/cassandra-angelie-tidak-ditahan-terkait-
kasus-prostitusi-ini-alasan-polisi diakses tanggal 17 Desember 2022, pukul 14.30 WITA.
22
Baca artikel detikbali, "Viral Akun Telegram Jual Bule PSK di Bali, Polisi Turun Tangan"
selengkapnya https://www.detik.com/bali/hukum-dan-kriminal/d-6992879/viral-akun-telegram-
jual-bule-psk-di-bali-polisi-turun-tangan. Diakses tanggal 27 Oktober 2023, pukul 15.00 WITA.
23
Artikel ini telah tayang di TribunNewsmaker.com dengan judul Open BO Bule Menjamur
di Bali, Viral Grup Telegram Beverly Babes Berisi 2000 Member, Ini
Tarifnya, https://newsmaker.tribunnews.com/2023/10/22/open-bo-bule-menjamur-di-bali-viral-
grup-telegram-beverly-babes-berisi-2000-member-ini-tarifnya?page=2. Diakses tanggal 27
Oktober 2023, pukul 15.00 WITA.
10

Kasus`ini menunjukkan bahwa pemberantasan`prostitusi khususnya

prostitusi cyber belum berhasil`dilakukan. Penanggulangan praktik prostitusi

masih terkendala dikarenakan belum dikriminalisasinya perbuatan prostitusi,

khususnya prostitusi cyber. Kondisi ini secara langsung juga menyebabkan pelaku

perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini mengakibatkan

praktik prostitusi Cyber di Indonesia belum mampu untuk diberantas secara

tuntas.24

Kelemahan penanggulangan prostitusi karena belum ada ketentuan yang

mengatur bahwa perbuatan prostitusi cyber merupakan suatu tindak pidana. Jika

dikaitkan dengan pengaturan praktik prostitusi Cyber saat ini, berdasarkan asas

legalitas meskipun perbuatan itu merupakan perbuatan hina dan tercela yang

memenuhi unsur-unsur tindak pidana, namun akibat tidak adanya pengaturan atas

larangan praktik prostitusi tersebut maka tidak dapat dijadikan dasar untuk

menjerat dan mempidanakan semua pelaku yang terlibat dalam praktik prostitusi

cyber baik PSK, Pengguna Jasa dan mucikari. Jadi ada kekosongan norma dalam

hukum pidana Indonesia. Sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (untuk selanjutnya disebut KUHP). KUHP belum mengatur

ketentuan seperti ini, KUHP hanya mengatur perbuatan-perbuatan yang

melanggar ketentuan kesusilaan namun tidak mengatur larangan terhadap praktik

prostitusi untuk menjerat seluruh pelakunya dan terkait pertanggungjawaban

pidana terhadap praktik prostitusi maupun prostitusi Cyber saat ini hanya dapat

dipertanggungjawabkan oleh pihak perantara terjadinya praktik prostitusi yang

24
Antari, PED, 2022. Pemidanaan Terhadap Pekerja Seks Komersial Melalui Aplikasi Michat
The Liability of Prostitute On Michat. Jurnal Selat , 9 (2), h.123.
11

dikenal dengan sebutan mucikari atau germo, yang diatur dalam Pasal 296`KUHP

dan Pasal 506`KUHP.

Pasal 296 KUHP pada intinya mengatur orang yang dengan sengaja

menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul dan dijadikan sebagai

pekerjaan atau kebiasaan, yang sering kita sebut sebagai mucikari atau germo, dan

memberikan ancaman pidana penjara maksimal 1 tahun 4 bulan dan denda paling

banyak seribu rupiah (dengan penyesuaian mata uang). Secara substantif,

ketentuan pasal 296 KUHP ini ditujukan terhadap mucikari sebagai penyedia jasa,

R. Soesilo menyatakan bahwa Pasal 296 KUHP digunakan untuk memberantas

kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengadakan/menyediakan atau

menjalankan bordil atau tempat-tempat pelacuran. Berdasarkan hal ini mucikari

atau yang dikenal dengan germo sebagai penyedia jasa prostitusilah yang dapat

dijerat dengan Pasal 296 KUHP.

Selanjutnya, Pasal 506 KUHP mengatur orang yang menarik keuntungan

dari pelanggaran seksual wanita sebagai mata pencarian, dengan ancaman

hukuman penjara maksimal satu tahun. Pasal 506 KUHP adalah pasal yang

mengatur tentang pelanggaran ketertiban umum. Dalam penjelasannya R. Soesilo

dalam pasal ini menyatakan bahwa mucikari (souteneur) adalah makelar cabul,

sebagai yang menolong, mencarikan pelanggan dan mucikari`akan mendapatkan

bagian (pembayaran) dari hasil`pelacuran tersebut. Pasal 506`KUHP ini jika dikaji

hanya dapat dikenakan kepada mucikari atau germo saja sebagai pihak atau orang

yang menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan

menjadikannya sebagai mata`pencarian.


12

Berdasarkan kajian`terhadap Pasal`296 dan 506`KUHP dapat diketahui

bahwa Pasal 296 dan 506 KUHP hanya dapat menjerat atau dikenakan kepada

mucikari`atau germo`sebagai penyedia jasa prostitusi. Sedangkan Pekerja Seks

Komersial dan Pengguna Jasa`Prostitusi tidak dapat dijerat atau dikenakan Pasal

296 dan 506 KUHP, sehingga dapat dikatakan bahwa`KUHP tidak mengatur

Prostitusi Cyber sebagai tindak pidana yang menyebabkan pelaku dan mereka

yang turutserta melakukan perbuatan tersebut yaitu PSK`dan pengguna jasa

prostitusi tidak dapat dipertanggung jawabkan`secara pidana. Hanya mucikari

yang bisa dipertanggungjawabkan secara pidana.

Dalam praktiknya PSK dan Pengguna Jasa Prostitusi sering dikenakan

atau dijerat dengan pasal 284`KUHP yang mengatur tindak pidana perzinahan jika

Pengguna Jasa Prostitusi Cyber berstatus telah menikah. KUHP Indonesia jika

dikaji secara khusus maka tidak ada ketentuan yang dapat menjerat PSK`dan

Pengguna`Jasa Prostitusi`sebagai pelaku tindak pidana.25 Pasal 284 KUHP tidak

tepat digunakan sebagai dasar hukum prostitusi karena pasal ini bukanlah pasal

tentang prostitusi tetapi tentang perzinahan. Pasal 284 KUHP hanya mengatur

tentang prostitusi yang hanya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana oleh

mucikari, sedangkan PSK dan pengguna jasa prostitusi tidak dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana dalam kasus prostitusi atau prostitusi

online.

Selanjutnya berdasarkan ketentuan Undang-Undang No.`11 Tahun 2008

Tentang`Informasi dan Transaksi`Elektronik jo. Undang-Undang RI No. 19

25
E.Fernando.M Manullang, 2016, Legisme : Legalitas dan Kepastian Hukum, Pranadamedia
Group, Jakarta, h.33.
13

Tahun 2016`Tentang Perubahan`Atas Undang-Undang Nomor`11 Tahun 2008

Tentang`Informasi dan Transaksi`Elektronik (selanjutnya disebut UU`ITE). Cyber

prostitution (prostitusi dunia maya) merupakan salah satu bentuk dari Cyber crime

yang dalam ketentuan Pasal 27 UU ITE dikategorikan sebagai perbuatan yang

dilarang. Ketentuan dalam UU ITE dan perubahannya sebatas melarang konten

yang berisi hal-hal yang melanggar kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 27

ayat (1) UU ITE: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan

dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar

kesusilaan.

Setelah mempelajari secara substansial dan elemen-elemen dalam Pasal 27

ayat (1) UU ITE, jelas bahwa aturan ini nampaknya hanya berlaku untuk orang

yang sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat

dapat diaksesnya pornografi melalui informasi elektronik atau dokumen

elektronik. Dengan demikian, PSK, mucikari, dan pengguna jasa tidak dapat

mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya pornografi

melalui informasi elektronik atau dokumen elektronik.26

PSK yang menjajakan`dirinya di media`sosial, dalam UU ITE dan

perubahannya sendiri tidak ada ketentuan yang secara eksplisit`mengatur

mengenai larangan akan hal tersebut. Hukuman bagi orang yang melanggar

ketentuan Pasal 27`ayat (1)`UU ITE`adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 45

ayat (1)`UU ITE,`yaitu: Setiap`Orang yang dengan sengaja`dan tanpa hak

26
Wongso, R., 2016. Kejahatan Cyber Berbasis Prostitusi Ditinjau Dari Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informatika Transaksi Dan Elektronik. Lex Privatum , 4 (4), h.34.
14

mendistribusikan`dan/atau mentransmisikan`dan/atau membuat dapat`diaksesnya

Informasi`Elektronik dan/atau Dokumen`Elektronik yang memiliki`muatan yang

melanggar`kesusilaan sebagaimana`dimaksud dalam Pasal 27`ayat (1)`dipidana

dengan pidana penjara paling lama`6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp 1`miliar. Dilihat dari bunyi pasal tersebut ternyata yang bisa dikenakan sanksi

hanyalah si mucikari, karena unsur dalam pasal itu hanya mengatur tentang orang

yang dengan sengaja mendistribusikan segala sesuatu yang memuat pelanggaran

kesusilaan, dihubungkan dengan kasus prostitusi`Cyber dimana si mucikari

melakukan aksinya dengan menggunakan sosial media untuk`mendatangkan atau

melakukan kegiatan yang mengandung kesusilaan tersebut, semisal dengan

menggunakan website juga sosial media semacam`MiChat, facebook, twitter dan

lain sebagainya.

Untuk itu UU ITE tidak dapat menjerat semua para pelaku dalam praktik

prostitusi ini, sehingga hal ini lebih memberi kebebasan kepada PSK maupun

Pengguna Jasa Prostitusi untuk melakukan kegiatan praktik prostitusi Cyber ini.

Pemerintah seharusnya merevisi kembali UU ITE sehingga dapat menjerat PSK

dan Pengguna Jasa Prostitusi guna juga dapat menekan perkembangan prostitusi

Cyber. Faktanya sampai saat ini belum ditemukan kasus PSK ataupun Pengguna

Jasa Prostitusi yang dijerat dengan pasal ini terkait dengan praktek prostitusi

Cyber.

Oleh karenanya saat ini, jika terjadi prostitusi yang dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana hanyalah mucikari selaku perantara praktik prostitusi

yang dilakukan antara PSK dengan Pengguna Jasa Prostitusi. Hal ini dikarenakan
15

dalam KUHP tidak ada satu ketentuan pasal pun yang mengatur secara spesifik

dan tegas mengenai pertanggungjawaban pidana oleh pihak yang terlibat praktik

prostitusi, sehingga hanya`mucikari saja yang bisa dipertanggungjawabkan secara

pidana, sedangkan PSK dan Pengguna Jasa``Prostitusi Cyber tidak bisa

dipertanggungjawabkan secara`pidana.27

Menurut Eddy O.S. Hiariej pengaturan mengenai praktik prostitusi di

Indonesia saat ini merupakan pengaturan yang rumusan deliknya bersifat

diskriminatif dan juga pengaturan yang sudah expired atau kadaluarsa sehingga

dapat dikatakan pula tidak sesuai lagi dengan tatanan kehidupan masyarakat

Indonesia karena KUHP hanya memberikan ancaman bagi siapa yang

mempermudah perbuatan cabul, tidak terhadap pengguna atau pelaku pencabulan

itu sendiri.28 Tentu hal ini jauh dari rasa keadilan dan tidak memberikan efek jera

sehingga bagi mereka yang melakukan praktik prostitusi akan tetap tenang

melakukan perbuatannya padahal perbuatan yang demikian bertentangan dengan

norma agama dan norma kesusilaan yang ada di masyarakat. Itulah sebabnya

penulis lebih cenderung untuk mengatakan bahwa masalah prostitusi tidak diatur

dalam Buku II KUHP yakni tentang kejahatan jo. Bab XIV yang berada dibawah

judul “Kejahatan Terhadap Kesusilaan”.

PSK dan Pengguna Jasa Prostitusi dalam praktik prostitusi Cyber

merupakan pihak yang terpenting karena telah menjadi prinsip dasar bahwa tidak

akan ada penjual jika tidak ada pembelinya. Seperti halnya teori ekonomi yaitu
27
Ilyas, Adam, and Maria Novita Apriyani, 2021. Urgensi Kriminalisasi Pengguna Jasa
Prostitusi Cyber Sebagai Upaya Penanggulangan Permasalahan Sosial Di Indonesia. Mulawarman
Law Review 6 (2), h.73. https://doi.org/10.30872/mulrev.v6i2.687.
28
Mahardika Wijaya, I Komang, and I Gede, Yusa, 2019. Kriminalisasi Terhadap Perbuatan
Penggunaan Jasa Prostitusi di Indonesia. Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum, Vol 9 No 1 , h. 5.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/48276/28803.
16

teori supply and demand, bahwa tanpa adanya penawaran otomatis tidak akan ada

permintaan begitupun sebaliknya, jadi untuk memberantas praktik prostitusi di

Indonesia baik Pengguna Jasa Prostitusi dan pelaku prostitusi yaitu PSK haruslah

sama-sama ditindak tegas.29 Makna kekosongan norma dengan belum

dikriminalisasinya praktik prostitusi di Indonesia ini dapat diartikan dengan

negara memberikan kesempatan seseorang untuk mengadakan praktik perbuatan

cabul yang legal menurut hukum yang berakibat pada pelaku praktik prostitusi

Cyber akan tetap leluasa dan merasa aman melakukan praktik pelacuran yang

pada akhirnya menyebabkan meningkatnya permasalahan sosial yang berdampak

dalam bidang hak asasi manusia, sosial, agama, dan kesehatan karena prostitusi

Cyber merupakan perbuatan yang hina, immoral, dan tidak sesuai dengan nilai-

nilai yang terkandung dalam Pancasila. Oleh karena itu sudah sepantasnya seluruh

subyek dalam praktik prostitusi atau pelacuran yang memiliki kontribusi dan

keikutsertaan dalam terselenggarakannya praktik prostitusi dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana.30

Penelitian ini menemukan adanya kekosongan hukum yaitu norma kosong

(leemten van normen) akibat dari nilai-nilai luhur yang hidup dalam masyarakat

belum diadopsi dalam aturan hukum nasional sehingga berdasarkan asas legalitas

tidak dapat diterapkan untuk menjerat pelaku praktik prostitusi Cyber. Aturan

terkait larangan pelacuran sejauh ini hanya muncul dalam beberapa peraturan

daerah di Indonesia diantaranya PERDA Kota Denpasar NO. 1 TH. 2015 dan

29
Mahardika Wijaya, I Komang, Op.cit,.h.4.
30
Sugama, I. D. G. D., and Hariyanto, D. R. S. 2021. Politik Hukum Pemberantasan Prostitusi
Cyber Terkait Kriminalisasi Pekerja Seks Komersial dan Pengguna. Kertha Wicaksana: Sarana
Komunikasi Dosen dan Mahasiswa. 15(2). h. 158. https://doi.org/10.22225/kw.15.2.2021.158-168
17

PERDA Kab. Badung NO.7 TH. 2016 Tentang Ketertiban Umum Dan

Ketenteraman Masyarakat yang mengatur mengenai larangan melakukan

perbuatan prostitusi baik menawarkan dan/atau menyediakan diri sendiri untuk

perbuatan prostitusi, menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain

untuk melakukan perbuatan prostitusi; dan memakai jasa prostitusi. Penegakan

hukum terhadap prostitusi melalui peraturan daerah hanya bersifat teritorial

karena pengaturannya berada pada peraturan daerah masing-masing yang sifat

berlakunya parsial atau hanya mengikat dan berlaku pada daerah itu saja.

Peraturan daerah yang menetapkan sanksi pidana untuk mengkriminalisasi

PSK dan pengguna jasa prostitusi telah jelas menunjukkan bahwa masyarakat

Indonesia, yang memiliki budaya ketimuran yang luhur, menginginkan dasar

hukum yang kuat untuk memberantas prostitusi di Indonesia, hal ini menunjukkan

bahwa hukum lahir dari kehendak masyarakat di daerah-daerah dari bawah

(bottom-up) yang hendaknya dijadikan kajian dalam peraturan hukum nasional.

Peraturan terkait prostitusi masih lemah sehingga perlu dilakukan

rekonstruksi hukum berupa pembaharuan hukum pidana yang mengatur prostitusi

Cyber, sebagaimana yang menjadi tujuan utama dalam penelitian ini. Terhadap

PSK dan Pengguna Jasa Prostitusi harus diatur pertanggungjawaban pidananya

sehingga diperlukan kriminalisasi atas perbuatan prostitusi untuk memberikan

efek jera, sehingga penelitian ini penting yang bermanfaat untuk merumuskan

penegakan tindak pidana prostitusi ke depan (ius constituendum).

Tindakan berupa pembaharuan hukum Pidana merupakan langkah yang

tepat dilakukan sebagai langkah pemberantasan prostitusi Cyber demi


18

menanggulangi permasalahan sosial serta terciptanya keadilan dan kepastian

hukum untuk perlindungan dan kesejahteraan masyarakat. Tujuan kriminalisasi

terhadap Pengguna Jasa Prostitusi dan PSK merupakan perwujudan atas

pemenuhan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab yang menyatakan bahwa

manusia bukanlah sebuah komoditas yang dapat diperjual belikan sehingga perlu

diberikan perhargaan dan perlakuan yang sama terhadap setiap manusia.

Fenomena bahwa prostitusi kian marak terjadi dan lemahnya perangkat

hukumnya menjadikan tulisan ini urgen dan menarik untuk dikaji sehingga

penulis tertarik melakukan penelitian dengan mengangkat judul, “Kriminalisasi

Terhadap Perbuatan Prostitusi Cyber Dalam Pembaharuan Hukum

Indonesia”.

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Apakah diperlukannya kriminalisasi terhadap praktik prostitusi Cyber

di Indonesia ?

1.2.2. Bagaimanakah formulasi kriminalisasi Prostitusi Cyber di masa yang

akan datang (ius Constituendum)?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Secara Umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji urgensi dari

pengaturan Kriminalisasi terhadap pihak yang terlibat dalam praktik

prostitusi Cyber dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia.


19

1.3.2. Tujuan Khusus

Secara Khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan

mengkaji permasalahan terkait pengaturan kriminalisasi terhadap

praktik prostitusi Cyber dan urgensi pembaharuan hukum pidana

dalam pemberantasan prostitusi di Indonesia, khususnya terkait

pertanggungjawaban pidana bagi PSK dan Pengguna Jasa Prostitusi

Cyber di Indonesia, dengan tujuan mengetahui, menganalisis, dan

menemukan pengaturan hukum yang berguna dalam pembaharuan

hukum pidana terkait pemberantasan prostitusi Cyber.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelusuran pengaturan prostitusi Cyber di Indonesia

bermanfaat untuk mengetahui hukum yang berlaku dalam

pemberantasan prostitusi Cyber di Indonesia.

1.4.2. Manfaat Praktis

a) Manfaat bagi Peneliti : Hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan sumbangan pemikiran maupun sebagai masukan bagi

peneliti lain kedepannya.

b) Manfaat bagi Masyarakat : Penelitian dengan bentuk formulasi

kriminalisasi praktik prostitusi sebagai upaya pemberantasan


20

prostitusi Cyber ini akan sangat bermanfaat sebagai upaya

perlindungan bagi masyarakat dari dampak negative adanya

prostitusi Cyber.

c) Manfaat bagi Pemerintah dan penegak Hukum : Hasil penelitian ini

dapat menghasilkan rumusan pengaturan mengenai kriminalisasi

terhadap prostitusi Cyber yang dapat menjerat PSK dan pengguna

jasa prostitusi, sehingga pemberantasan prostitusi Cyber dapat

efektif dilakukan dan membantu penegak hukum dalam penegakan

hukum prostitusi Cyber di Indonesia.

1.5 Orisinalitas Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pertama. Selama pengamatan yang

dilakukan baik di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana maupun

melalui media internet, tidak ditemukan penelitian yang serupa baik dalam konsep

maupun judulnya. Untuk menjabarkan perbedaan yang menggambarkan

perbandingan penulisan ini, maka akan digambarkan dengan data sebagai berikut :

Tabel 1. 5
Orisinalitas Penelitian
Nama Peneliti,
Judul Penelitian dan
No. Universitas, dan
Rumusan Masalah
Tahun Penelitian
1. Arie Benedict Judul Tesis : Perlindungan Perempuan Korban
Pardede, Program Perdagangan Manusia Sebagai Sarana Prostitusi
Studi Magister Ilmu Yang Ditawarkan Melalui Media Cyber (Studi
Hukum Fakultas Putusan : 1118/Pid.Sus/2018/ PN-Mdn).
21

Hukum Universitas Rumusan Masalah :


Sumatera Utara, 1. Bagaimana ketentuan pidana tentang
Tahun 2019 perdagangan manusia sebagai sarana prostitusi
Tesis yang ditawarkan melalui media Cyber?
2. Bagaimana aspek perlindungan hukum terhadap
perempuan sebagai korban dari tindak pidana
perdagangan orang sebagai sarana prostitusi
yang ditawarkan melalui media Cyber studi
putusan Nomor 1118/Pid.Sus/2018/ PN-Mdn?
3. Bagaimana kebijakan pemerintah daerah dalam
perlindungan perempuan korban tindak pidana
perdagangan orang sebagai sarana prostitusi
yang ditawarkan melalui media Cyber?
2. Kantinoko Judul Tesis : Kebijakan Kriminalisasi Prostitusi
Kurniawan, Terselubung (Salon Plus) dan Alternatif
Universitas Gadjah Penanggulangannya di Kabupaten Sleman
Mada Yogyakarta, Rumusan Masalah :
tahun 2012 1. Bagaimana kebijakan kriminalisasi Pemerintah
Tesis Daerah dalam penanggulangan prostitusi di
Kabupaten Sleman?
2. Apakah kendala kebijakan Pemerintah daerah
dalam menanggulangi prostitusi di Kabupaten
sleman?
3. Amanda Marcela, Judul Tesis : Kondisi Prostitusi Dibawah Umur di
Universitas Prancis Pada Kurun Waktu 1995-2008
Indonesia, Tahun Rumusan Masalah :
2010 1. Bagaimana kebijakan kriminalisasi pemerintah
Tesis Prancis terhadap kondisi prostitusi dalam rangka
penanggulangannya?
2. Apakah kendala yang dihadapi dalam kebijakan
kriminalisasi prostitusi oleh pemerintah Prancis?
22

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Arie Benedict Pardede (2019)

memiliki persamaan dengan penelitian ini terkait dengan bentuk perbuatan

prostitusi yang ditawarkan melalui media cyber. Sedangkan perbedaan penelitian

sebelumnya dengan penelitian ini adalah pada penekanan pengaturan kriminalisasi

terhadap perbuatan prostitusi cyber yang dapat menjerat seluruh pelaku yang

terlibat dalam praktik prostitusi. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh

Kantinoko Kurniawan (2012) memiliki persamaan terkait upaya kriminalisasi

yang akan dilakukan pada perbuatan prostitusi namun perbedaannya adalah

penelitian tersebut dilakukan melalui metode empiris dengan objek penelitiannya

dilakukan pada Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman. Selanjutnya penelitian

yang dilakukan oleh Amanda Marcela (2010) memuat persamaan pada topik

kriminalisasi terhadap prostitusi yang dilakukan oleh pemerintah Prancis.

Sedangkan perbedaan dengan penelitian penulis saat ini terdapat pada upaya

pembaharuan hukum pidana nasional yang ditawarkan dengan merumuskan

pengaturan kriminalisi perbuatan prostitusi cyber di Indonesia. Sehingga

berdasarkan ketiga penelitian terdahulu tersebut penelitian penulis saat ini bersifat

orisinal.

1.6 Kerangka Teoritik dan Konseptual

Landasan teoritis merupakan upaya untuk mengidentifikasi konsep-konsep

hukum, teori-teori hukum, asas-asas hukum, dan norma hukum, yang akan

digunakan sebagai landasan untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini.

Adapun yang menjadi landasan teoritis penelitian ini adalah:


23

A. Konsep-Konsep

1. Konsep Negara Hukum

Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep

‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’

yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat

dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi.

‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan

sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau

hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan

hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggris

yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule

of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law,

and not of Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum

itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian

diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”, jelas

tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama

dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.31

Pada zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental

dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte,

dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan

31
Asshiddiqie, J., 2011, November. Gagasan negara hukum Indonesia. Makalah Disampaikan
dalam Forum Dialog Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional yang Diselenggarakan oleh
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM.
24

dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas

kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”.32

Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan

istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu: 1. Perlindungan

hak asasi manusia. 2. Pembagian kekuasaan. 3. Pemerintahan berdasarkan

undang-undang. 4. Peradilan tata usaha Negara. Sedangkan A.V. Dicey

menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang

disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu: 1. Supremacy of Law. 2.

Equality before the law. 3. Due Process of Law.33

Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl

tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of

Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara

Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission

of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip

peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary)

yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara

demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut

“The International Commission of Jurists” itu adalah: 1. Negara harus tunduk

pada hukum. 2. Pemerintah menghormati hak-hak individu. 3. Peradilan yang

bebas dan tidak memihak.

32
Konstitusi, M., 2016. Modul Pendidikan Negara Hukum dan Demokrasi. Jakarta: Pusat
Pendidikan Pancasila dan Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia .
33
Kusniati, R., 2011. Sejarah Perlindungan Hak Hak Asasi Manusia dalam Kaitannya dengan
Konsepsi Negara Hukum. INOVATIF| Jurnal Ilmu Hukum , 4 (5).
25

Profesor Utrecht membedakan antara Negara Hukum Formil atau Negara

Hukum Klasik, dan Negara Hukum Materiel atau Negara Hukum Modern. 34

Negara Hukum Formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan

sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang

kedua, yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula

pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya

‘Law in a Changing Society’ membedakan antara ‘rule of law’ dalam arti formil

yaitu dalam arti ‘organized public power’, dan ‘rule of law’ dalam arti materiel

yaitu ‘the rule of just law’, yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang

Negara Hukum di zaman sekarang.

Jika dikaitkan dengan penelitian ini tentunya dapat digunakan sebagai

pisau analisis untuk menjawab Rumusan Masalah Ke-II, sebagaimana konsep

Negara Hukum erat kaitannya dalam mewujudkan legalitas formal maupun

material dalam perumusan ketentuan pidana untuk mengkriminalisasi perbuatan

Prostitusi Cyber. Bahwa untuk mewujudkan Negara Hukum Formil sangat

penting untuk segera mengatur perbuatan prostitusi cyber sebagai suatu tindak

pidana, sehingga dapat mewujudkan keadilan dalam penegakan hukum terhadap

tindak pidana prostitusi yang dapat menjerat seluruh pelaku yang terlibat dalam

praktik prostitusi cyber sebagaimana tujuan Negara Hukum secara materiil.

2. Konsep Kriminalisasi

Kriminalisasi adalah proses yang memperlihatkan perilaku yang

sebelumnya tidak dianggap sebagai perbuatan pidana tetapi kemudian

34
Siallagan,H., 2016. Penerapan prinsip negara hukum di Indonesia. Sosiohumaniora , 18 (2),
h.122.
26

digolongkan sebagai perbuatan pidana oleh masyarakat, menurut kriminologi.

Berdasarkan konteks inilah pengertian “kriminalisasi” mendapat tempat untuk

mengkaji dan menelaah kelakuan manusia, yang pada awalnya perbuatan tersebut

belum dirumuskan dalam bentuk norma, tetapi hanya di cela berdasarkan nilai-

nilai kepatutan masyarakat, menurut Herbert Lionel Adolphus Hart, menyebutnya

masih dalam sebatas hukum primer, belum menjadi norma hukum sekunder.35

Moeljatno menyatakan bahwa dalam proses pembentukan hukum pidana,

sifat kriminalisasi dinilai berdasarkan tiga kriteria. Pertama dan terpenting,

menetapkan suatu tindakan sebagai perbuatan terlarang, atau pidana, harus sesuai

dengan perasaan hukum yang ada di masyarakat. Kedua, apakah ancaman pidana

dan penjatuhan pidana adalah metode utama untuk mencegah melanggar larangan

tersebut. Ketiga, apakah pemerintah, dengan bantuan alat negara yang relevan,

benar-benar memiliki kekuatan untuk menerapkan ancaman pidana jika ternyata

ada yang melanggarnya. Uraian konsep Kriminalisasi ini akan digunakan sebagai

pisau analisis untuk menjawab pertanyaan Rumusan Masalah ke-I. Perbuatan

praktek prostitusi sesuai dengan uraian sifat kriminalisasi diatas telah memenuhi

ketiga kriteria yang dimaksud, maka dari itu perlu digolongkan sebagai

“perbuatan pidana” melalui perumusan dalam norma agar supaya orang yang

dianggap melakukan perbuatan terlarang sesuai dengan prinsip fundamental

dalam hukum pidana yaitu asas legalitas dapat dijatuhi pidana.

Lebih dari itu, kriminalisasi sebagai proses transformasi pelanggaran

menjadi pelanggaran pidana dapat mencakup penambahan, peningkatan, atau

35
Ibid, h.28.
27

pemberatan hukuman pidana yang telah diatur sebelumnya. Ini tidak hanya

terbatas pada model perundang-undangan baru.

B. Teori-Teori

1. Teori Kebijakan Kriminal/ Kebijakan Hukum Pidana/Politik Hukum

Pidana

Teori Kebijakan Kriminal atau upaya penanggulangan kejahatan pada

hakikatnya merupakan bagian integral dari kebijakan sosial yang dapat diartikan

sebagai upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai

kesejahteraan masyarakat (social welfare).36 Istilah kebijakan hukum pidana,

dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana dan dalam kepustakaan

asing istilah politik hukum pidana ini dikenal dengan istilah penal policy, criminal

law policy atau strafrechtspolitiek.37

Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pembangunan hukum pidana

pada dasarnya merupakan upaya untuk mengubah dan mereformasi hukum pidana

agar sesuai dengan prinsip sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural utama

masyarakat Indonesia. Nilai-nilai ini menentukan kebijakan sosial, kriminal, dan

penegakan hukum di Indonesia..38 Berdasarkan pendapat Barda Nawawi Arief

tersebut dapat dikatakan bahwa untuk mendapatkan hukum yang dapat

mewujudkan rasa keadilan dan membawa kemanfaatan bagi masyarakat, dalam

melakukan pembangunan/pembaharuan hukum tidak boleh lepas dari politik

hukum, perkembangan sosial masyarakat dan harus berdasar pada budaya bangsa.

36
Ibid, h. 2.
37
Silaen, F. dan Siregar, SA, 2020. Hubungan Kebijakan Kriminal Dengan Kebijakan Hukum
Pidana. Jurnal Darma Agung , 28 (1), h.16.
38
Arief, Barda N. 2017. Ruu Kuhp Baru: Sebuah Restrukturisasi ,Rekonstruksi Sistem
Hukum Pidana Indonesia. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro h.145.
28

Pembangunan hukum pidana merupakan suatu keniscayaan yang harus

dilakukan dalam kerangka pembangunan hukum nasional.39 Ini disebabkan oleh

fakta bahwa hukum pidana Indonesia masih bergantung pada hukum kolonial.

Hukum pidana Indonesia bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) penjajah Belanda sejak negara ini didirikan. Karena KUHP dibuat oleh

pemerintah kolonial Belanda dan berdasarkan nilai-nilai individualis dan liberalis

Belanda, asas-asas hukum yang terkandung dalamnya juga mencerminkan

pandangan hidup Belanda, yang sangat berbeda dengan jiwa dan nilai Indonesia.

Sebagaimana dikemukakan oleh Sudarto, bahwa hukum pidana itu

seharusnya merupakan pencerminan dari nilai-nilai budaya yang hidup dalam

masyarakat yang bersangkutan.40 Hal ini berkaitan dengan keyakinan moral dan

tata susila keagamaan, serta kepentingan negara yang bersangkutan. Oleh karena

itu, pengembangan hukum pidana di Indonesia harus didasarkan pada nilai-nilai

nasional yang dipercaya masyarakatnya. Menurut Satjipto Rahardjo, Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Pancasila adalah sumber

hukum utama.41 Ini berarti bahwa mereka harus dapat menggunakan prinsip-

prinsip Pancasila sebagai dasar filosofis saat membangun hukum pidana nasional.

Oleh karena itu, dalam pembangunan hukum pidana Indonesia, Pancasila harus

digunakan sebagai paradigma dan kerangka berpikir. Ini disebabkan oleh fakta

bahwa Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang

dipercaya. Dengan demikian, Pancasila harus digunakan sebagai kompas, sumber

39
Anindia, IA and Sularto, RB, 2019. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya
Penanggulangan Prostitusi Sebagai Pembaharuan Hukum Pidana. Jurnal Pembangunan Hukum
Indonesia , 1 (1), h.18.
40
Beccaria, C. 2011. Perihal Kejahatan dan Hukuman. Yogyakarta: Penerbitan Genta, h.67.
41
Zaidan, MA, 2022. Menuju pembaruan hukum pidana . Sinar Grafika.h.89.
29

nilai, dan kerangka berpikir dalam setiap upaya pembangunan hukum pidana

untuk mencapai keadilan substantive di masyarakat. Adapun maksud

pembangunan hukum pidana dilakukan dengan pendekatan nilai (value approach)

adalah suatu pendekatan dengan mengkaji dan selanjutnya mendasarkan pada

nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat sekarang, tentang apa yang tercela,

yang tidak patut dalam pandangan masyarakat sehingga seharusnya dijatuhi

pidana.

Tujuan politik hukum adalah untuk menciptakan hukum yang lebih

sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia dan mewujudkan keadilan yang diinginkan.

Pada dasarnya, politik hukum pidana adalah upaya untuk membuat hukum,

khususnya hukum pidana, sesuai dengan kebutuhan dan situasi saat ini (ius

constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum). Selain itu, dilihat sebagai

bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti,

"bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-

undangan pidana yang baik.42

Menurut Moh. Mahfud MD, politik hukum adalah upaya menjadikan

hukum sebagai proses pencapaian cita-cita dan tujuan bangsa, jika hukum

dianggap sebagai alat untuk mencapai cita-cita dan tujuan. Mendasarkan pada

pendapat Mahfud MD tersebut, dapat dikatakan bahwa politik hukum menjadi

acuan pemikiran pada tahap pembentukan hukum (law inabstracto) dan tahap

penegakan hukum (law in-concreto).43 Dalam upaya menciptakan hukum yang

42
Kenedi, J., 2017. Buku Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Sistem Penegakan
Hukum Di Indonesia . Pustaka Pelajar.h.113.
43
Hum, M., Manan, H.A., 2020. Dinamika politik hukum di Indonesia. Jakarta :
Kencana.h.56.
30

sesuai dengan masyarakat dari suatu bangsa, maka hukum harus dapat

mengadopsi nilai-nilai keadilan, ukuran kesejahteraan, serta kepentingan yang

secara umum dibutuhkan masyarakat tersebut. Uraian pada teori kebijakan hukum

pidana ini akan berguna sebagai pisau analitis dalam menjawab Rumusan Masalah

Ke-II terkait merumuskan pengaturan kriminalisasi terhadap perbuatan prostitusi

cyber di masa depan sebagai ius contituendum.

2. Teori Pembaharuan Hukum.

Perlu dipahami bahwa, menurut Barda Nawawi Arief, membangun atau

melakukan pembaharuan hukum (law reform, khususnya “penal reform”) pada

hakikatnya adalah “membangun / memperbaharui pokok-pokok

pemikiran/konsep/ide dasarnya”, bukan sekadar memperbaharui/mengganti

perumusan pasal (undang-undang) secara tekstual.44 Oleh karena itu, percakapan

atau kajian teks tentang ide-ide yang terkandung dalam RUU KUHP harus disertai

dengan percakapan konseptual. Ini menunjukkan bahwa pembaharuan hukum

pidana dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya mengubah bagian teks atau

substansi undang-undang. Secara keseluruhan, ini berarti bahwa konsep, ide,

pokok pikir, gagasan, pandangan, dan nilai-nilai undang-undang tersebut

diperbarui, semuanya tetap mengacu pada Pancasila.

Dibutuhkan pembaharuan sistem hukum pidana untuk mengatasi

permasalahan prostitusi. Pembaharuan sistem hukum pidana dapat meliputi ruang

lingkup yang sangat luas, yaitu mencakup: a. Pembaharuan “substansi hukum

pidana”, yang meliputi pembaharuan hukum pidana materiel (KUHP dan UU

44
Arief, Barda Nawawi, 2008. Bunga rampai kebijakan hukum pidana: Perkembangan
penyusunan konsep KUHP baru. Jakarta: Kencana.h.57.
31

diluar KUHP), hukum pidana formal (KUHAP) dan hukum pelaksanaan pidana;

b. Pembaharuan “struktur hukum pidana”, yang meliputi antara lain pembaharuan

atau penaataan institusi/lembaga, system manajemen/ tata laksana dan

mekanismenya serta sarana/prasaran pendukung dari sitempenegakkan hukum

pidana (sistem peradilan pidana); dan c. Pembaharuan “budaya hukum pidana”,

yang meliputi antara lain masalah kesadaran hukum, perilaku hukum, pendidikan

hukumdan ilmu hukum pidana. Pembaharuan hukum dalam hal ini untuk

mengefektifkan penegakan hukum maka dapat dimaknai sebagai kebijakan untuk

memperbaharui substansi hukum. Teori Pembaharuan Hukum Ini penting

digunakan untuk pisau analisis dalam menjawab Rumusan Masalah Ke-II.

C. Asas-Asas
1. Asas Legalitas

Asas Legalitas dengan adagium “Nullum Delictum Noela Poena Lege

Praviera” yang berarti tidaklah mungkin pidana dijatuhkan jika belum ada

peraturan yang memuat sanksi terlebih dahulu terhadap suatu perbuatan. 45 Asas

ini melindungi hak asasi manusia dari tindakan otoriter penguasa. Namun,

melacurkan diri dengan atau tanpa mucikari bukan merupakan kejahatan karena

tidak dilarang oleh hukum pidana Indonesia, meskipun melanggar agama, adat

istiadat, dan kesusilaan masyarakat.

Oleh karena itu, E Utrecht mengatakan, asas legalitas kurang melindungi

kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen), karena memungkinkan

dibebaskannya pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak

45
Huda, Chairul. 2011. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta: Kencana.h.42.
32

tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, paradigma yang dianut

asas ini adalah konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan

karena adanya peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan

karena tercela).46 Uraian asas Legalitas ini penting sebagai pisau analisis dalam

menjawab Rumusan Masalah Ke-I. Jika dikaitkan dengan pengaturan praktik

prostitusi Cyber saat ini, menunjukan bahwa meskipun perbuatan itu merupakan

perbuatan hina dan tercela namun akibat masih terdapatnya kekosongan norma

atas pengaturan praktik prostitusi tersebut maka tidak dapat dijadikan dasar untuk

menjerat dan mempidanakan semua pelaku yang terlibat dalam praktik prostitusi

cyber baik PSK, Pengguna Jasa dan mucikari. Untuk itu diperlukan sesegera

mungkin mengatur mengenai kriminalisasi terhadap praktek prostitusi khususnya

prostitusi Cyber di Indonesia.

Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya

seseorang telah melakukan tindak pidana. Moeljatno mengatakan “orang tidak

mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan

perbuatan pidana. Dalam konteks perundangan juga dikatakan bahwa ada

tidaknya pidana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang ada, yang di

interpretasikan bahwa tiada pertanggung jawaban pidana tanpa aturan hukum

yang mengaturnya terlebih dahulu.47 Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan

oleh Machteld Boot, perumusan suatu delik pidana haruslah memenuhi prinsip-

prinsip sebagai berikut:

46
Angling, D. and Asmara, Y., 2018. Dekontruksi Terhadap Asas Legalitas, Perimbangan
Perlindungan Terhadap Kepentingan Pelaku Dan Korban Tindak Pidana. Viva Themis: Jurnal Ilmu
Hukum dan Humaniora, 1(1) h.34.
47
Candra, S., 2013. Pembaharuan Hukum Pidana; Konsep Pertanggungjawaban Pidana
Dalam Hukum Pidana Nasional Yang Akan Datang. Jurnal Cita Hukum , 1 (1), h.95.
33

1. Prinsip lex certa atau nullum crimen, nula poena, sine lege certa
berarti tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-
undang yang jelas merupakan salah satu syarat yang fundamental dari
asas legalitas.
2. Prinsip nullum crimen, nula poena, sine lege scripta berarti tidak ada
perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis.
3. Prinsip nullum crimen, nula poena, sine lege praevia berarti tidak ada
perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya.
4. Prinsip nullum crimen, nula poena, sine lege stricta yang berarti tidak
ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang
ketat.48

2. Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan

Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan dengan adagium “Geen Straf Zonder

Schuld”. Moeljatno menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana tidak cukup

dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus ada

kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, sehingga untuk membuktikan

adanya kesalahan tersebut maka perlu adanya kontruksi norma terkait

kriminalisasi bagi pelaku prostitusi yang dapat menjerat baik mucikari, PSK dan

Pengguna Jasa Prostitusi karena perbutan tersebut tentunya telah memenuhi unsur

sifat batin yang dapat dicela, karena jika tidak diaturnya atau dirumuskannya

prostitusi sebagai suatu delik pidana maka tidak dapat dibuktikan adanya unsur

kesalahan yang senyatanya berdasarkan norma agama dan kesusilaan itu salah

namun dalam hukum belum diatur kesalahan tersebut, sehingga terhadap pelaku

prostitusi berdasarkan asas hukum yang tidak tertulis tidak dapat dipidana jika

tidak ada kesalahan (green straf zonder schuld, ohne schuld keine strafe).

Syarat atau prinsip utama untuk adanya pertanggungjawaban pidana dalam

hal ini adalah harus adanya unsur kesalahan. Selanjutnya untuk membuktikan
48
Sudibyo, A. dan Rahman, AH, 2021. Dekonstruksi Asas Legalitas Dalam Hukum
Pidana. Jurnal Praduga Hukum , 3 (1), h.55.
34

suatu kesalahan, subyek hukum tersebut harus memenuhi unsur-unsur antara lain:

1) Hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya yang berupa kesengajaan

(dolus) atau kealpaan (culpa). Secara teoritis bentuk kesalahan berupa

kesengajaan dibedakan menjadi tiga corak, yaitu kesengajaan sebagai maksud,

kesengajaan dengan sadar kepastian, dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan

(dolus eventualis); 2) Adanya kemampuan bertanggung jawab pada pembuat. 49

Van Hammel menyatakan bahwa pertanggungjawaban yaitu suatu keadaan

normal dan kematangan psikis yang membawa 3 (tiga) macam kemampuan untuk:

1. Memahai arti dan akibat perbuatannya sendiri. 2. Memahami bahwa

perbuatannya itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh masyarakat. 3. Menetapkan

kemampuan terhadap perbuatan-perbuatan itu sehingga dapat disimpulkan bahwa

pertanggungjawaban mengandung pengertian kemampuan atau kecakapan.; dan 3)

Tidak adanya alasan pembenar dan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan.

Uraian asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan penting sebagai pisau analisis

dalam menjawab Rumusan Masalah Ke-II. Dalam praktik prostitusi Cyber apabila

dapat dibuktikan bahwa semua pihak yang terlibat baik mucikari, PSK, dan

Pengguna Jasa Prostitusi memenuhi unsur kesengajaan dan kealpaan maka sudah

sepatutnya kesemuanya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sehingga

sangat penting untuk segera merumuskan pengaturan perbuatan prostitusi sebagai

suatu tindak pidana.

49
Ibid,h.17.
35

1.6.2. Kerangka Berpikir

Kriminalisasi Terhadap Perbuatan Prostitusi Cyber Dalam Pembaharuan Hukum


Indonesia

LATAR BELAKANG RUMUSAN LANDASAN


MASALAH TEORITIS

Prostitusi Cyber merupakan wujud dari 1. Apakah a. Asas Nullum


kejahatan baru yang muncul akibat kemajuan diperlukannya Delictum
teknologi. Munculnya berbagai jejaring aplikasi kriminalisasi Noela Poena
terhadap praktik Lege
media sosial elektronik dalam dunia maya prostitusi Cyber Praaaviera
seperti facebook, whatshap, twiiter, telegram, di Indonesia? b. Teori
MiChat dan website menjadikan prostitusi Kebijakan
Cyber sulit untuk diberantas dengan Hukum Pidana
memanfaatkan layanan internet dirasa lebih c. Konsep
2. Bagaimanakah Kriminalisasi
mudah dan menguntungkan karena para pelaku formulasi
praktek prostitusi cyber dapat menghindar dari kriminalisasi a. Asas Geen
razia dan tekanan atau stigma negative dari Prostitusi Cyber Straf Zonder
masyarakat sekitar. di masa yang Schuld
akan datang (ius b. Teori
Mirisnya lagi banyak kasus yang Constituendum) Pembaharuan
melibatkan remaja usia belia. Bahkan praktik ini ? Hukum.
c. Konsep Negara
tidak hanya dilakukan oleh kalangan menengah Hukum
ke bawah, tetapi juga oleh kalangan artis public d. Teori
figure yang terlibat dalam Cyber prostitusi Kebijakan
misalnya kasus VA pada tahun 2019, kasus VS Hukum Pidana
tahun 2020, CA tahun 2022 dan kasus terbaru
pada tahun 2023 yang melibatkan WNA serta
kasus-kasus lainnya yang bisa ditemukan
disemua kalangan. Kasus ini menunjukkan
bahwa pemberantasan prostitusi belum berhasil
dilakukan. Penelitian ini menemukan adanya
kekosongan hukum yaitu norma kosong METODE PENELITIAN
(leemten van normen) akibat dari nilai-nilai NORMATIF
luhur yang hidup dalam masyarakat belum
diadopsi dalam aturan hukum nasional sehingga
berdasarkan asas legalitas tidak dapat diterapkan KESIMPULAN DAN SARAN
untuk menjerat pelaku praktik prostitusi Cyber.
36

1.7 Metodelogi Penelitian

Metode penelitian dalam tulisan ini adalah penelitian normatif. Penelitian

hukum normatif menempatkan sistem norma sebagai objek kajiannya. Sistem

norma yang dimaksud sebagai obyek kajian adalah seluruh unsur norma hukum

yang berisi nilai-nilai tentang bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku. 50

Sebagaimana menurut Meuwissen, ilmu hukum normatif mempunyai tugas pokok

untuk mengarahkan, menganalisis, mensistematisasi, menginterpretasi dan menilai

hukum positif.51 Sehingga menghasilkan argumentasi atau nalar hukum atas

validitas norma, tafsir norma, dan kreasi norma (ius constituendum).52

1.7.1 Jenis Pendekatan

Menurut Peter Mahmud Marzuki, tujuan pendekatan dalam penelitian

hukum adalah mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum

yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya". Adapun memurut Peter Mahmud

Marzuki, pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah

"pendekatan undang-undang (stature approach), pendekatan kasus (case

approach), pendekatan historis (historycal approach), pendekatan komparatif

(comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach)".

Pendekatan menurut I Made Pasek Diantha, secara umum pendekatan

dalam penelitian hukum normatif terdiri dari "pendekatan perundang-undangan

atau state approach, pendekatan konseptual atau conceptual approach,

pendekatan sejarah hukum atau historical approach, pendekatan kasus atau case

50
Muhaimin. 2020. Metode Penelitian Hukum. Mataram: Mataram University Press. h.13
51
Diantha, Made Pasek, 2019. Metodelogi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi
Teori Hukum, Prenadamedia Group, Jakarta Timur.h.82.
52
Diantha, Made Pasek, dkk, 2018. Metodelogi Penelitian Hukum dan Penulisan Disertasi,
Swasta Nulus, Denpasar-Bali.h.5.
37

approach, dan pendekatan perbandingan atau comparative approach". Lebih

lanjut dijelaskan, pendekatan perundang-undangan biasanya digunakan untuk

membahasa permasalahan konflik norma atau conflicten van normen, sedangkan

pendekatan konseptual, historis, dan perbandingan dapat digunakan untuk

membahas kekosongan norma atau leemten van normen, sementara untuk

pendekatan kasus disamping digunakan untuk pembahasan norma kabur atau

vague van normen yang berbasis interpretasi, juga dapat digunakan untuk

pembahasan kekosongan norma atau norma kosong.

Jenis pendekatan yang digunakan untuk menjawab isu hukum pada penelitian ini

adalah:

a. Pendekatan perundang-undangan atau statute approach Pendekatan

perundang-undang (statute approach) yang dilakukan dengan menelaah

semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu

hukum yang sedang ditangani.

b. Pendekatan konseptual atau conceptual approach Pendekatan konseptual

(conceptual approach) beranjak dari pandangan- pandangan dan doktrin-

doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum, sehingga ditemukan ide-ide

yang melahirkan pengertian-pengertian hukum. konsep-konsep hukum,

dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.

c. Pendekatan kasus atau case approach Pada pendekatan kasus (case

approach) permasalahan yang dikaji dalam penelitiannya adalah

kekosongan norma atau kekaburan norma dalam penerapannya oleh

hakim. Pada pendekatan kasus, apabila yang dikaji kekaburan norma,


38

maka dapat melihat isu kekaburan norma tersebut dalam 2 (dua) situasi,

yakni pertama normanya sendiri tidak jelas, dan kedua normanya sudah

jelas tetapi kurang tepat diterapkan oleh hakim.

Penelitian ini menggunakan Pendekatan perundang-undangan (Statute

approach), Pendekatan Konseptual (Conceptual approach), Pendekatan Kasus

(case approach), Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach).

1.7.2 Sumber Bahan Hukum

Pada suatu kegiatan penelitian akan diawali oleh kegiatan untuk

mengumpulkan bahan hukum, terutama bahan hukum primer untuk menemukan

permasalahan hukum normatif. Tahapan ini sering dikenal dengan istilah

penelitian pendahuluan atau preliminary research.53 Bahan hukum dalam

penelitian hukum normatif sendiri dapat berupa bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder. Adapun sumber bahan hukum baik primer maupun sekunder

pada penelitian ini akan dijabarkan sebagai berikut:

1. Bahan Hukum Primer

Menurut Coben dan Olson, bahan bukum primer adalah segala aturan

hukum yang penegakannya atau pemaksaannya dilakukan oleh negara atau

enforced by the state. Adapun bahan hukum primer yang dipakai pada penelitian

ini adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

c. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi


53
Ibid.h.8
39

Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor

251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952)

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder menurut I Made Pasek Diantha dapat digolongkan

menjadi bahan hukum sekunder dalam arti sempit dan bahan hukum sekunder

dalam arti luas. Pada perkembangan sumber bahan hukum penelitian hukum

normatif berkembang pula bahan hukum lainnya yang dipengaruhi oleh

perkembangan yang sangat pesat terkait dunia maya (situs-situs internet). Adapun

situs-stus internet yang dapat dipertimbangkan dan dianggap layak dijadikan

sumber bahan hukum lainnya pada penelitian hukum normatif adalah:

a. Situs yang diterbitkan oleh perguruan tinggi terutama situs tentang

penerbitan berkala seperti jurnal hukum (law journal) dan usalan hukum

(law review).

b. Situs tertentu yang diakui reputasinya oleh kalangan dunia pendidikan dan

penelitian hukum.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang merupakan pelengkap yang

sifatnya memberikan petunjuk atau penjelasan tambahan terhadap bahan hukum

primer dan sekunder. Bahan hukum tersier yang terdapat dalam penelitian

misalnya kamus hukum, Kamus Asing dan kamus besar bahasa Indonesia.

1.7.3 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum


40

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui

studi kepustakaan (library research). Teknik pengumpulan bahan hukum studi

kepustakaan (library research) dilakukan melalui studi pustaka terhadap bahan-

bahan hukum yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tersier maupun bahan non hukum lainnya yang dilakukan dengan

membaca, melihat, mendengar maupun melakukan penelusuran bahan hukum

melalui media internet.

1.7.4 Teknik Analisa Bahan Hukum

Setelah bahan hukum terkumpul, kemudian dilakukan analisa bahan

hukum untuk mendapatkan argumentasi akhir yang berupa jawaban terhadap

permasalahan yang diteliti. Adapun pada penelitian ini digunakan teknik analisa

bahan hukum, yakni teknik deskriptif, teknik komparasi, teknik evaluasi dan

teknik argumentasi yang akan dijabarkan sebagai berikut:

1. Teknik Deskriptif

Tujuan dilakukannya teknik analisa bahan hukum deskriptif adalah guna

memaparkan apa adanya tentang suatu peristiwa hukum atau kondisi hukum.

Peristiwa hukum yang dimaksud adalah peristiwa yang beraspek hukum, terjadi

disuatu tempat tertentu dan pada waktu tertentu, sedangkan yang dimaksud

dengan kondisi hukum seperti halnya suatu undang-undang bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya atau suatu putusan hakim

yang kontroversial dengan mengutip pada bagian-bagian tertentu dari putusan

tersebut seperti apa adanya tanpa komentar oleh peneliti yang bersifat solusi.

2. Teknik Komparasi
41

Setelah dilakukannya teknik analisa bahan hukum deskripsi maka

kemudian diperlukan suatu langkah guna melakukan komparasi (perbandingan)

terhadap satu pendapat dengan pendapat yang lainnya. Beberapa pendapat

tersebut kemudian diidentifikasi dalam jumlah yang dianggap cukup untuk

memberi kejelasan tentang materi hukum yang diperbandingkan, oleh karena itu,

teknik komparasi ini diperlukan guna menganalisa bahan hukum sekunder yang di

dalamnya terdapat berbagai pandangan para sarjana terkemuka.

3. Teknik Evaluasi

Setelah melakukan teknik analisa bahan hukum deskriptif dan komparasi,

maka akan dilanjutkan dengan melakukan evaluasi terkait suatu kondisi kondisi

hukum, yang mana dalam teknik komparasi akan diperoleh beberapa pandangan

yang pro dan kontra. Lebih lanjut terhadap pandangan-pandangan tersebut akan

dilakukan evaluasi dan hasil daripada evaluasi tersebut ada kemungkinan disetujui

salah satunya dan menolak yang lainnya atau tidak disetujui daripada pandangan-

pandangan sarjana terkemuka tersebut.

4. Teknik Argumentasi

Pada akhirnya, dilakukan teknik analisa bahan hukum argumentasi yang

bertujuan untuk memberikan penalaran atau reasoning atau penjelasan yang

masuk akal terhadap hasil dari pada evaluasi yang dilakukan.54

54
Diantha, Made Pasek, 2019.Loc.Cit.
42

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Arief, Barda Nawawi. 2008. Bunga rampai kebijakan hukum pidana:


Perkembangan penyusunan konsep KUHP baru. Jakarta: Kencana.

____________. 2011. Pornografi, Pornoaksi dan Cybersex- Cyberporn,


Semarang : Pustaka Magister.

____________. 2017. Ruu Kuhp Baru: Sebuah Restrukturisasi ,Rekonstruksi


Sistem Hukum Pidana Indonesia. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.

Beccaria, C. 2011. Perihal Kejahatan dan Hukuman. Yogyakarta: Penerbitan


Genta.

Dewi Bunga. 2012, Prostitusi cyber: diskursus penegakan hukum dalam anatomi
kejahatan transnasional, Denpasar-Bali : Udayana University
Press.

Diantha, Made Pasek, dkk, 2018, Metodelogi Penelitian Hukum dan Penulisan
Disertasi, Denpasar-Bali : Swasta Nulus.

____________, 2019, Metodelogi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi


Teori Hukum, Jakarta Timur: Prenadamedia Group.

E.Fernando.M Manullang, 2016, Legisme : Legalitas dan Kepastian Hukum,


Jakarta : Pranadamedia Group.

Efendi, A’an dkk.,2017. Teori Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.

Huda, Chairul. 2011. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta: Kencana.

Zainudin Ali, 2009.Metode Penelitian-Hukum, Jakarta :Sinar Grafika.

B. Jurnal Ilmiah

Amalia, Astry Sandra. 2013. Dampak Lokalisasi Pekerja Sek Komersial (PSK)
Terhadap Masyarakat Sekitar (Studi Kasus di Jalan Soekarno-
Hatta Km.10 Desa Purwajaya Kabupaten Kutai Kartanegara.
EJournal Administrasi Negara, 1(2).
43

Anindia, IA and Sularto, RB, 2019. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya
Penanggulangan Prostitusi Sebagai Pembaharuan Hukum
Pidana. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia , 1 (1).

Antari, PED, 2022. Pemidanaan Terhadap Pekerja Seks Komersial Melalui


Aplikasi MiChat The Liability of Prostitute On MiChat. Jurnal
Selat , 9 (2).

Ayofe, AN dan Oluwaseyifunmitan, O., 2009. Pendekatan penyelesaian kejahatan


siber dan keamanan siber. arXiv pracetak arXiv:0908.0099 .

Azahra, F. dan Aprison, W., 2022. Aplikasi MiChat Sebagai Media Prostitusi
Online Dan Dampaknya Terhadap Pendidikan. ANTHOR: Jurnal
Pendidikan dan Pembelajaran , 1 (6).

Damayanti, I., Hidayat, Y. dan Reski, P., 2022. Aplikasi MiChat Sebagai Media
Prostitusi Online di Banjarmasin. PAKIS (Publikasi Berkala
Pendidikan Ilmu Sosial) , 2 (1).

Danuri, M., 2019. Perkembangan dan transformasi teknologi digital. Jurnal


Ilmiah Infokam , 15 (2).

Djanggih, H., 2021. Tinjauan Kriminologi Terhadap Kejahatan Protitusi Online di


Kota Makassar (Studi Kasus Aplikasi Mi Chat). Tinjauan Hukum
Kalabbirang , 3 (2).

Fitria, S. and Adhari, A., 2022. Penanggulangan Praktik Prostitusi Siber Siber
Pada Aplikasi MiChat Berdasarkan Kebijakan Kriminal Di
Indonesia. Jurnal Hukum Adigama , 5 (1).

Hamzah Hattrick. 1995. Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum


Pidana Indonesia ( Strict Liability dan Vicarious Liability).
Rajawali Pers. Jakarta dalam Candra, S., 2013. Pembaharuan
Hukum Pidana; Konsep Pertanggungjawaban Pidana Dalam
Hukum Pidana Nasional Yang Akan Datang. Jurnal Cita
Hukum , 1 (1).

Haryadi, D., 2007. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap


Penanggulangan Cyberporn Dalam Rangka Pembaharuan
Hukum Pidana di Indonesia (Disertasi doktoral, program
Pascasarjana Universitas Diponegoro).

Ilyas, Adam, and Maria Novita Apriyani. 2021. Urgensi Kriminalisasi Pengguna
Jasa Prostitusi Cyber Sebagai Upaya Penanggulangan
Permasalahan Sosial Di Indonesia. Mulawarman Law Review 6
(2), h.73. https://doi.org/10.30872/mulrev.v6i2.687.
44

Irmawanti, ND dan Arief, BN, 2021. Urgensi tujuan dan pedoman pemidanaan
dalam rangka pembaharuan sistem pemidanaan hukum
pidana. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia , 3 (2).

Laksono, P. dan Magfiraini, R., 2014. Prostitusi Cyber: Bergesernya masalah


sosial ke dalam ruang virtual. Jurnal Analisa Sosiologi , 3 (1).

Mahardika Wijaya, I Komang, and I Gede, Yusa. 2019. Kriminalisasi Terhadap


Perbuatan Penggunaan Jasa Prostitusi di Indonesia. Kertha
Wicara: Journal Ilmu Hukum, Vol 9 No 1 , h. 5.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/48276/
28803

Marufah, N., Rahmat, HK dan Widana, IDKK, 2020. Degradasi Moral Sebagai
Dampak Kejahatan Siber pada Generasi Millenial di
Indonesia. NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial , 7 (1).

Maulana, RR, 2019. Analisa Kriminologi Terhadap Perempuan Sebagai Pelaku


Prostitusi Terselubung Di Desa Tanjung Alai Kecamatan
Tapung (Disertasi Doktoral, Universitas Islam Riau).

Mawardi, M., 2020. Implementasi Politik Hukum Pidana Dalam Penegakan


Tindak Pidana Perdagangan Manusia. Jurnal Kompilasi
Hukum , 5 (2).

Mewengkang, IB, 2021. Kajian Yuridis Cyber Crime Penanggulangan Dan


Penegakan Hukumnya. Lex Crimen , 10 (5).

Mustofa, MB, Dwiandrini, EL, Agustin, I., Esyarito, MA, Anggraeni, M. dan
Wuryan, S., 2022. Media Massa dan Cyber Crime di Era Society
5.0. At-Tanzir: Jurnal Ilmiah Prodi Komunikasi Penyiaran Islam.

C. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi


Elektronik jo. Undang-Undang RI No. 19 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik

D. Internet

https://www.liputan6.com/news/read/4850176/cassandra-angelie-tidak-ditahan-
terkait-kasus-prostitusi-ini-alasan-polisi diakses tanggal 17
Desember 2022, pukul 14.30 WITA.
45

https://www.detik.com/bali/hukum-dan-kriminal/d-6992879/viral-akun-telegram-
jual-bule-psk-di-bali-polisi-turun-tangan. Diakses tanggal 27
Oktober 2023, pukul 15.00 WITA.

https://newsmaker.tribunnews.com/2023/10/22/open-bo-bule-menjamur-di-bali-
viral-grup-telegram-beverly-babes-berisi-2000-member-ini-
tarifnya?page=2. Diakses tanggal 27 Oktober 2023, pukul 15.00
WITA.

Anda mungkin juga menyukai