Anda di halaman 1dari 65

IMPLEMENTASI HUKUM PENYIDIKAN TERHADAP ANAK SELAKU

TERSANGKA TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA


(Studi di Unit Reskoba Polresta Malang Kota)

SKRIPSI

Oleh:

DIKY CANDRA PURNAMA


NIM: 1605010116

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WISNUWARDHANA
MALANG
September 2020

1
ii

IMPLEMENTASI HUKUM PENYIDIKAN TERHADAP ANAK SELAKU


TERSANGKA TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
(Studi di Unit Reskoba Polresta Malang Kota)

SKRIPSI

Oleh:

DIKY CANDRA PURNAMA


NIM: 1605010116

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WISNUWARDHANA
MALANG
September 2020

ii
iii

IMPLEMENTASI HUKUM PENYIDIKAN TERHADAP ANAK SELAKU


TERSANGKA TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
(Studi di Unit Reskoba Polresta Malang Kota)

SKRIPSI
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Fakultas Hukum
Universitas Wisnuwardhana

Oleh:

DIKY CANDRA PURNAMA


NIM: 1605010116

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WISNUWARDHANA
MALANG
September 2020

iii
iv

IMPLEMENTASI HUKUM PENYIDIKAN TERHADAP ANAK SELAKU


TERSANGKA TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
(Studi di Unit Reskoba Polresta Malang Kota)

Oleh:

DIKY CANDRA PURNAMA


NIM: 1605010116

Skripsi ini telah disetujui


pada Tanggal: .... September 2020

Prof. Dr. H. Suko Wiyono, S.H., M.H. ______________________


Pembimbing I

Dr. Mukhammad Soleh. SH., M.Hum ______________________


Pembimbing II

Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Wisnuwardhana

Dr. H. Bambang Winarno, S.H., M.S.

iv
v

IMPLEMENTASI HUKUM PENYIDIKAN TERHADAP ANAK SELAKU


TERSANGKA TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
(Studi di Unit Reskoba Polresta Malang Kota)

Oleh:

DIKY CANDRA PURNAMA


NIM: 1605010116

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji Ujian Skripsi


Fakultas Hukum
Universitas Wisnuwardhana
Pada tanggal: .... September 2020

Tim Penguji:

Ketua: Prof. Dr. _____________________ __________________

Anggota:1. Dr. ____________________ __________________

2.Dr. _____________________ __________________

3.Dr. _____________________ __________________

Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Wisnuwardhana

Dr. H. Bambang Winarno, S.H., M.S.

v
vi

HALAMAN PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa karya skripsi ini tidak pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi lain, dan sepanjang
pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah di tulis atau
diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam skripsi ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan adanya unsur plagiasi, duplikasi atau
replikasi karya ilmiah orang lain, maka itu merupakan tanggungjawab pribadi
saya dan saya bersedia dibatalkan gelar kesarjanaan serta diproses menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Malang, September 2020


Penulis Skripsi,

Materai
6000

DIKY CANDRA PURNAMA


NIM: 1605010116

vi
vii

RIWAYAT HIDUP

DATA DIRI
1 Nama Lengkap : Diky Candra Purnama
2 Tempat/Tanggal Lahir : Malang / 27 Februari 1985
3 Jenis Kelamin : Laki - laki
4 Agama : Islam
5 Alamat Rumah : Jalan Murcoyo III RT. 18/05
Desa Gondanglegi Wetan
Kec. Gondanglegi Kab. Malang
6 Telpon Rumah / HP : 085204131942
7 Email : rafli.kusuma@gmail.com
8 Asal Instansi : Polsek Tirtoyudo Polres Malang
9 Alamat Instansi : Jalan Ahmad yani Kepanjen
10 Telpon Instansi : 0341-896110
11 Email Instansi : sektirtoyudo@gmail.com

DATA PENDIDIKAN
No Tingkat Jurusan Tahun Tempat
1 SD - 1997 SDI Salafiyah Khairuddin
2 SMP 2000 SMPN 01 Turen
3 SMA/SMK IPS 2003 SMAN 01 Kepanjen

PENGALAMAN KERJA
NO RINCIAN TAHUN
1 Polri 2004 -sekarang

PENGALAMAN SEMINAR/LOKAKARYA/PELATIHAN
NO RINCIAN TAHUN

KETERANGAN KELUARGA
1. Orangtua
No. Nama Tempat Tanggal Pekerjaan

vii
viii

lahir lahir
1 Alm. Mohammad Haqqi S.Pd Banyuwangi 06-02-1960 PNS
2 Hj. Naning Mulyaningrum Malang 10-10-1968 Wiraswasta

2. Isteri/Suami
No. Nama Tempat lahir Tanggal lahir Pekerjaan
1 Heny Apriliyanti Mojokerto 09-04-1990 Wiraswasta

3. Anak
No Nama Jenis Tempat Tanggal Pekerjaan
. kelamin lahir lahir
1 Rahmansyah Aziz Laki-laki Malang 07-06-2007 Pelajar
Pratama

viii
ix

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-
Nya sehingga Skripsi dengan judul:“Implementasi Hukum Penyidikan
terhadap Anak Selaku Tersangka Tindak Pidana Penyalahgunaan
Narkotika” ini dapat terselesaikan dengan baik dan lancar.
Penelitian dan penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian
dari persyaratan guna memperoleh gelar sarjana, pada Program Studi Sarjana
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana dan merupakan kesempatan
berharga sekali untuk menerapkan beberapa teori yang diperoleh selama
menempuh pendidikan dalam situasi dunia nyata. Tanpa kesempatan, bimbingan,
masukan, serta dukungan semangat dari berbagai pihak, tentunya skripsi ini tidak
akan terwujud sebagaimana bentuknya saat ini.
Sehubungan dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis menyampaikan
banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, baik
moril maupun materiil, yaitu:
(1) Prof. Dr. H. Sukowiyono, SH., MH, selaku Rektor Universitas
Wisnuwardhana, yang juga selaku Pembimbing I yang telah memberikan
arahan dan bimbingan untuk perbaikan Skripsi ini
(2) Dr. Bambang Winarno, SH.MS, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Wisnuwardhana.
(3) Dr. Mukhammad Soleh, SH,.M.Hum, selaku Wakil Dekan Fakultas Hukum
Universitas Wisnuwardhana, dan selaku Pembimbing II yang telah
memberikan arahan dan bimbingan untuk perbaikan Skripsi ini
(4) Wahyu Hindiawati, SH., MH, selaku Ketua Program Studi Sarjana Hukum
Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana
(5) Para Tim Penguji Skripsi
(6) Para dosen pada Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana;
(7) Para Pegawai dan Staf Administrasi pada Fakultas Hukum Universitas
Wisnuwardhana
(8) Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana

ix
x

Kepada pihak-pihak lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu per-satu,


juga penulis sampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang tidak terhingga;
karena dengan bantuan Bapak dan Ibu semuanya maka Skripsi ini dapat
diselesaikan penulisannya dengan baik.
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya
kepada kita semua dalam melaksanakan pengabdian bagi kejayaan negara dan
bangsa Indonesia yang kita cintai. Amin.

Malang, September 2020


Penulis,

DIKY CANDRA PURNAMA


NIM: 1605010116

x
xi

ABSTRAK

Tindak pidana narkoba di Indonesia diatur dalam Undang-undang no 35


tahun 2009 tentang narkotika yang mengatur secara rinci tentang proses hukum
maupun sanksi pidana bagi para pelaku. Fenomena yang ada saat ini, pelaku
kejahatan tindak pidana ini bukan hanya terjadi pada orang dewasa melainkan
sudah terjadi pada anak-anak, dimana mereka dimanfaatkan sebagai kurir, dan
bahkan dijadikan pemakai dan pecandu narkotika. Anak merupakan generasi
penerus bangsa, sehingga negara harus hadir untuk memberikan perlindungan atas
hak-hak anak yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Penelitian bertujuan untuk
mengetahui dan menganalisis penyebab terjadinya tindak pidana penyalahgunaan
narkotika oleh anak, serta mengetahui dan menganalisis faktor-faktor penghambat
pelaksanaan penyidikan tindak pidana penyalahgunaan dengan anak sebagai
tersangka di Unit Reskoba Polresta Malang Kota. Penelitian menggunakan
metode yuridis empiris yaitu mengkaji implementasi penyidikan terhadap anak
selaku tersangka tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Pengumpulan data dan
fakta dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara. Hasil menunjukkan bahwa
pelaksanaan penyidikan terhadap anak selaku tersangka tindak pidana
penyalahgunaan narkotika di Polresta Malang Kota sudah berjalan sesuai
prosedur, dengan tetap menghormati hak-hak konstittusional anak. Terdapat dua
faktor yang menghambat pelaksanaan penyidikan terhadap anak sebagai tersangka
tindak pidana penyalahgunaan narkotika, yaitu faktor keterbatasan kognitif anak
dan adanya rasa takut pada penyidik. Untuk mengatasi hambatan tersebut
penyidik harus meningkatkan kemampuan dan pemahaman mengenai psikologi
anak agar lebih mudah dalam melakukan pendekatan dan menggali informasi dari
tersangka, dengan harapan proses penyidikan menjadi lebih optimal, dengan tetap
menghormati hak-hak konstitusional anak.

Kata Kunci : Penyidikan, Anak, Tersangka, Penyalahgunaan Narkotika.

xi
xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL 1
LEMBAR PERSETUJUAN 2
LEMBAR PENGESAHAN 3
PERNYATAAN ORGINALITAS SKRIPSI 4
KATA PENGANTAR 5
ABSTRAKS 7
DAFTAR ISI 8
DAFTAR SINGKATAN 10
BAB I PENDAHULUAN 11
A. LATAR BELAKANG 11
B. RUMUSAN MASALAH 15
C. TUJUAN PENELITIAN 16
D. MANFAAT HASIL PENELITIAN 16
E. SISTEMATIKA PEMBAHASAN 17
BAB II KAJIAN TEORITIK 17
A. PENGATURAN ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA DI
INDONESIA 19
B. PENYEBAB ANAK MELAKUKAN TINDAK PIDANA
BERDASARKAN TEORI ASOSIASI DIFERENSIAL 24
C. DASAR HUKUM ANGGOTA KEPOLSIAN NEGARA RI DALAM
PENYIDIKAN ANAK PENYALAHGUNA NARKOTIKA 28
BAB III METODE PENELITIAN 42
A. JENIS PENELITIAN DAN PENDEKATAN 42
B. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN 42
C. JENIS DAN SUMBER DATA 43
D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA 44
E. TEKNIK ANALSIS DATA 45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 46
A. PELAKSANAAN PENYIDIKAN TERHADAP ANAK SELAKU
TERSANGKATINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN
NARKOTIKA46
1. Proses Penyidikan Terhadap Anak Penyalah Guna Narkotika Di Unit
Reskoba Polresta Malang Kota 46
2. Pelaksanaan Ketentuan Hukum Acara Pidana Dalam Penyidikan
Terhadap Anak Penyalahguna Narkotika 50

xii
xiii

B. FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PELAKSANAAN PENYIDIKAN


TERHADAP ANAK SELAKU TERSANGKA TINDAK PIDANA
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA 53
BAB V PENUTUP 56
A. KESIMPULAN 56
B. SARAN 58
DAFTAR PUSTAKA

xiii
xiv

DAFTAR SINGKATAN

AIDS : Acquired Immuno Deficiency Syndrome


Babinkatibma : Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban
s Masyarakat
BAPAS : Balai Pemasyarakatan
BNN : Badan Narkotika Nasional
HAM : Hak Asasi Manusia
HIV : Human Immunodeficiency Virus
Kamtibmas : Keamanan dan ketertiban masyarakat
KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
LPAS : Lembaga Penempatan Anak Sementara
LPKA : Lembaga Pembekalan Khusus Anak
LPKS : Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
Narkoba : Narkotika dan Obat-obatan
Polresta : Kepolisian Resor Kota
POLRI : Kepolisian Negara Republik Indonesia
Reskoba : Reserse narkotika, psikotropika, dan obat terlarang
RI Republik Indonesia
SPPA : Sistem Peradilan Pidana Anak
PP Peraturan Pemerintah
UU : Undang-undang
UUPA Undang-undang Perlindungan Anak

xiv
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan


Penyalahgunaan narkotika saat ini menjadi perhatian berbagai kalangan dan
terus menerus dibicarakan dan dipublikasikan. Ironisnya, tidak hanya dikalangan
dewasa dan remaja saja narkotika begitu dikenal dan dikomsimsi, tetapi
dikalangan anak dibawah umur pun juga sudah mengenal barang haram tersebut.
Fakta yang disaksikan hampir setiap hari baik melalui media cetak maupun
elektronik, ternyata telah merebak kemana-mana tampak pandang usia, Narkotika
merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan
kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendapat Andi hamzah adalah di
sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
dipergunakan tanpa adanya pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama.1
Narkotika merupakan bagian dari narkoba yaitu segolongan obat, sehinggga
pendapat Ahmadi Sofyan bahan atau zat yang jika masuk kedalam tubuh
berpengaruh terutama pada fungsi otak (susunan 2 syaraf otak) dan sering
menimbulkan ketergantungan. Terjadi perubahan dalam kesadaran, pikiran,
perasaan, dan perilaku pemakaiannya.2
Berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika pada
Pasal 1 ayat (1) bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungaan, yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-
undang ini.
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya
manusia yang merupakan potensi dan penerus Cita-cita perjuangan bangsa, yang
memiliki peranan strategis dari mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan
pembekalandan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan

1
Hamzah Andi., dan RM Surachman, 2004, Kejahatan Narkotika Psikotropika, Jakarta :
Sinar Grafika, h. 5.
2
Ahmadi Sofyan, 2007, Narkoba Mengincar Anak Muda, Jakarta : Prestasi Pustaka, h.12.
2

perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi dan seimbang anak
adalah bukan orang dewasa dalam bentuk kecil, melainkan pendapat Suryana
manusia yang oleh karena kondisinya belum mencapai taraf pertumbuhan dan
perkembangan yang matang maka segala sesuatunya berbeda dengan orang
dewasa pada umumnya.3
Anak menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2012
tenteng sistem peradilan Anak pada Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa
anak.yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak
yang berumur 12 (dua belas) tahun,tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun
yang diduga melakukan tindak pidana Anak memerlukan perlindungan dan
pemeliharaan khusus dari orang tuanya. Seperti pada masa sekarang ini telah
banyak anak yang mengkonsumsi narkotika, sehingga diperlukan upaya
pembekalandan perlindungan terhadap anak agar anak terhindar dari
penyahgunaan narkotika.
Penyalagunaan narkotika merupakan kejahatan yang secara kriminalogis
dikategorikan sebagai kejahatan tanpa korban (Crime Without Victim), Kejahatan
ini tidak diartikan sebagai kejahatan yang tidak menimbulkan korban tetapi
mempunyai makna bahwa korban dari kejahatan ini adalah dirinya sendiri. Made
darma menyatakan bahwa dengan kata lain, si pelaku sekaligus sebagai korban
kejahatan.4
Sedangkan Firganefi dan Deni Ahmad berpendapat kriminalogis itu sendiri
berati ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-
luasnya.5 Masa remaja seorang anak dalam suasana atau keadaan peka, Karena
kehidupan emosionalnya yang sering berganti-ganti. Rasa ingin tahu yang lebih
dalam lagi terhadap sesuatu yang baru, kadang kala membawa mereka kepada hal-
hal yang bersifat negatif. Penyalagunaan narkotika yang dilakukan anak
merupakan suatu penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum,
sangat disayangkan apabila anak telah mengalami pengulangan tindak pidana,
dalam pergaulan sehari-hari, khususnya diantara para penjahat dan preman

3
Suryana, 2006, Keperawatan Anak Untuk Siswa, Jakarta : EGC, h. 33.
4
Made Darma Weda, 2004, Kronik Dalam Penegakan Hukum Pidana, Jakarta : Guna
Widya, h. 8.
5
Firganefi dan Deni Ahmad, 2013, Hukum Kriminologi. Bandar Lampung : PKKPUU FH
UNILA, h 1.
3

dikenal dengan “residivis” (seharusnya recidive) menurut Sudarsono seseorang


yang menderita ketagihan atau ketergantungan pada Narkotika akan merugikan
diri sendiri,juga merusak kehidupan masyarakat.6
Kecanduan terhadap narkotika adalah ganguan dalam otak yang disebabkan
penyalagunaan narkotika sehingga menyebabkan pengulangan perilaku yang
berlebihan dari orang yang tidak bisa terkendali atau susah berhenti terhadap obat-
obatan walaupun dengan resiko berbahaya bagi tubuhnya. Jika mereka berhenti
mengkomsunsi obat-obatan, Maka tubuh dari sipecandu akan menderita
berlebihan secara fisik dan mereka mau tidak mau harus memenuhi perasaan
ketagihan tersebut dengan cara apapun. Ryanda Dwi Menyatakan Seorang
pecandu narkotika sudah tidak mampu lagi mengendalikan dirinya sendiri, mereka
hanya sendirian tanpa perlu berfikir akan teman, keluarga atau lingungan
sekitarnya, Banyak pecandu narkotika yang meninggal dunia akibat penggunaan
dosis yang berlebihan atau over dosis.7
kejahatan terkait narkoba harus didukung dengan baik walaupun angka-
angka kasus tersebut tetap meningkat. Terungkapnya kasus-kasus di satu sisi
memang peran penting pihak kepolisian dalam tugasnya memberantas kasuss
dapat menjadi indikator meningkatnya kerja polisi dalam memburu sindikat
peredarn narkoba, terutama di wilayah hukum Polresta Malang kota, namun Hari
Hari Sasangka berpendapat disisi lain dapat memberi petunjuk betapa kebijakan
pemerintah saat ini lemah dalam menghadapi peredaran tersebut, kebijakan
peredaran narkoba diatur dalam undang-undang negara republik indonesia No. 5
tahun 1997 tentang psikotropika dan undang-undang negara republik indonesia
No.22 tahun 1997 tentang nakotika.8
Dengan melihat pada kenyataan inilah fungsi dan peranan kepolisian di uji
dalam kedudukannya sebagai aparat penegak hukum seperti yang ditentukan
dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Karena gejala meningkatnya penyalahgunaan narkoba dikalangan

6
Sudarsono, 2005, Kenakalan Remaja, Jakarta : Rineka Cipta, h. 68.
77
Trinanda Syahputra, et al., “Implementasi Sistem Pakar Untuk Mengidentifikasi Pecandu
Narkoba Menggunakan Metode Teorema Bayes”, Jurnal Sains dan Komputer (Saintikom). Vol.
18, No.2, Agustus 2019, h. 111.
8
Hari Sangsaka, 2003, Narkotika Dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Praktisi Serta
Penyuluhan Masalah Narkoba, Bandung : Mandar Maju, h. 58.
4

generasi muda, telah mengisi dan menambah pola baru dalam kriminalitas di
indonesia. Untuk itu pihak kepolisian diharapkan selalu siap siaga memerangi dan
menaggulangi bahaya penyalahgunaan narkoba tersebut, dengan menjalin
kerjasama antara instansi-instansi terkait dan juga adanya peran serta dari
masyarakat luas.9 Upaya seperti ini adalah hal yang paling dominan baik guna
kewaspadaan dan kelangsungan untuk meminimkan jumlah penyalaguna
narkotika.
Menurut data dari Badan Narkotika Nasional, jumlah pemakaian narkoba di
Indonesia mencapai 2% dari jumlah penduduk di Indonesia atau sebanyak 4 juta
orang. Sebanyak 20 % diantaranya termasuk kategori anak-anak karena berusia
dibawah umur 18 tahun. Jenis narkoba yang paling banyak dipakai adalah ganja,
sabu dan ekstasi. Para penggunanya sebagian besar dari golongan ekonomi
menengah kebawah termasuk anak-anak jalanan. Merupakan angka benar-benar
memperhatikan.10
Hasil observasi awal penulis di Polresta Malang Kota di Ruang Reserse Unit
Narkoba (tanggal 23 September 2016), yang dilakukan pada Satuan Reserse
Kriminal Polres Kota Malang, menunjukan bahwa jumlah tindak pidana
penyalahgunaan narkotika yang terjadi di Kota Malang pada tahun 2014 sebanyak
3 kasus, tahun 2015 sebanyak 2 kasus, kemudian pada tahun 2016 sebanyak 2
kasus, dan sampai bulan mei 2017 sebanyak 2 kasus penyalahgunaan narkotika
oleh anak sehingga hanya tercatat sebanyak 9 kasus yang dilakukan oleh anak11.
Sungguh sangat mengkhawatirkan dimana para penegak hukum dan mesyarakat
masih sangat aktif dalam kegitan sosialisasi juga pemberantasan kejahatan
narkotika, apapun bentuknya masih menimbulkan kekhawatiran dan keresahan
dari masyarakat terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak. Upaya-upaya
yang otentik dan mengarah pada kerjasama antar masyarakat terutama pada
generasi-generasi bangsa bisa mengerti dan dampak bahaya tentang narkotika.
Kejahatan Narkotika dan psikotropika telah berkembang menjadi kejahatan
yang bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan anak. Anak
99
Ibid
10
Humas BNN “Press Release Akhir Tahun, Kepala BNN : Jadikan Narkoba Musuh Kita
Bersama !” <https://bnn.go.id/press-release-akhir-tahun-kepala-bnn/> (20 Desember 2019).
11
Data Penyalaguna Narkotika di Unit Narkoba Polresta Malang Kota.
5

adalah bagian dari generasi muda merupakan suatu kekuatan sosial yang sangat
berperan dalam pembangunan bangsa dan negara. Di tangan generasi muda dan
anak terletak masa depan bangsa yang kelak akan menjadi pemimpin dalam
membangun hari depan yang lebih baik. Sebagai generasi penerus perjuangan
bangsa Indonesia yang mempunyai hak dan kewajiban ikut serta dalam
membangun negara dan bangsa Indonesia, generasi muda dalam hal ini anak
merupakan subyek dan obyek pembangunan nasional dalam usaha mencapai
tujuan bangsa Indonesia yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.12
Begitu juga dengan pengaruh langsung dari nakotika selain merusak moral
dan fisik bahkan penyakit yang mematikan, HIV atau AIDS sebagian menyebar
dari penggunaan narkotika. Dari perkembangan kasus narkotika yang menjadi
korban adalah di kalangan remaja, bahkan diantaranya terdapat beberapa anak
sekolah dasar. Suatu perbuatan kejahatan diluar batas toleransi yang dilakukan
jaringan pengedar narkotika. Kejahatan narkotika bila tidak ditanggulangi secara
bersama-sama (pemerintah dan masyarakat), maka bisa semakin banyak korban
berjatuhan, terutama generasi muda yang akan tumbuh13.

B. Rumusan Masalah.
Dari uraian yang dikemukakan dalam latar belakang masalah di atas, maka
dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan penyidikan terhadap anak selaku tersangka tindak
pidana penyalahgunaan narkotika?
2. Apa saja faktor-faktor penghambat pelaksanaan penyidikan terhadap anak
selaku tersangka tindak pidana penyalahgunaan narkotika?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan penyidikan terhadap anak
selaku tersangka tindak pidana penyalahgunaan narkotika
2. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat pelaksanaan penyidikan
terhadap anak sebagai tersangka tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

Anton Sudanto, “Penerapan Hukum Pidana Narkotika Di Indonesia”, ADIL: Jurnal


12

Hukum 2017, Vol. 7, No.1, h. 138.


13
ibid
6

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis :
a. Sebagai kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya
pengetahuan mengenai penyebab terjadinya penyalahgunaan narkotika yang
dilakukan anak-anak dan khusunya penanganan Polri untuk pelaku anak
sebagai penyalahgunaan narkotika sehingga Hasil penelitian dapat memberikan
kegunaan untuk mengembangkan ilmu hukumkhususnya hukum acara pidana
dalam hal penyalagunaan Narkotika.
b. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan dalam penelitian yang lain yang
sesuai dengan bidang peneliti penulis yang meneliti dimana harus ada
penerapan yang sesuai.
2. Manfaat Praktis :
a. Bagi aparat penegak hukum, khususnya masukan kepada pihak Kepolisian
Resort Kota Malang Kota dapat lebih meningkatkan peranannya dalam upaya
penanganannya terhadap anak sebagai penyebab penyalahgunaan narkotika.
b. Bagi pihak masyarakat umum, dapat menjadi informasi baru dan dapat
memperdalam menindak anak-anak, agar semakin dapat berhati-hati terhadap
anak-anak yang menyalahgunakan narkotika
c. Bagi penasehat hukum agar dapat lebih meningkatkan peranannya untuk
mendampingi dan lebih dalam upaya pembinanaan terhadap anak yang
menyalahgunakan narkotika sehingga dapat meminimalisir pelaku
penyalahgunaan narkotika.
d. Bagi BNN yang ditunjuk negara buat menangulangi khususnya terjadinya
penyebab penyalahgunaan narkotika dapat berperan aktif dan penuh guna
menurangi dan menghentikan penyalahgunaan narkotika.
7

E. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini penulis membagi menjadi lima bab yaitu:
BAB I : Pendahuluan yang berisi latar belakang permasalahan, rumusan
masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.
BAB II : Kajian Pustaka membahas konsep tentang pengaturan anak
sebagai pelaku tindak pidana di Indonesia, penyebab anak
melakukan tindak pidana berdasarkan teori asosiasi diferensial,
dan dasar hukum anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam penyidikan anak penyalaguna narkotika.
BAB III : Metode Penelitian, berisi tentang jenis penelitian, pendekatan
penelitian, bahan hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, dan
analisis hasil penelitian.
BAB IV : Pembahasan mengenai hasil pengumpulan data dan analisis
pelaksanaan penyidikan terhadap anak selaku tersangka tindak
pidana penyalahgunaan narkotika, dan faktor-faktor penghambat
pelaksanaan penyidikan terhadap anak sebagai tersangka tindak
pidana penyalahgunaan narkotika.
BAB V : Penutup, berisi tentang kesimpulan dari pembahasan dan saran-
saran yang diberikan.
8

BAB II
KAJIAN TEORITIK

A. Pengaturan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana di Indonesia


Materi penting yang diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak,
Undang-undang terbaru yang mengatur tentang anak yang terlibat hukum adalah
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Sebenarnya apa saja hal-hal penting yang diatur dalam undang-undang tersebut,
undang-undang terbaru yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan
hukum adalah yang mulai diberlakukan dua tahun setelah tanggal
pengundangannya, yaitu 30 Juli 2012 sebagaimana disebut dalam Ketentuan
Penutupnya Pasal 108 UU SPPA. Artinya UU SPPA ini mulai berlaku sejak 31
Juli 2014.14
UU SPPA ini merupakan pengganti dari UU Pengadilan Anak Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentaang pengadilan Anak yang bertujuan agar
dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan
terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. UU Pengadilan Anak
dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan
belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang
berhadapan dengan hukum.15
Substansi yang diatur dalam UU SPPA antara lain mengenai penempatan
anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembekalan
Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang
ini adalah pengaturan yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan
anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak
yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam
lingkungan sosial secara wajar. Demikian antara lain yang disebut dalam bagian

14
Nevey Varida Ariani, “Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Upaya Melindungi Kepentingan Anak”, Jurnal Media
Hukum, Vol. 21 No.1 Juni 2014, h 110.
15
Pengadilan Negeri Kefamenanu, “Pengadilan Anak”, 2014, <http://pn-
kefamenanu.go.id/prosedur-berperkara-pidana/pengadilan-anak>, (2014).

8
9

Penjelasan Umum UU SPPA. (secara tegas mengenai keadilan Restoratif dan


Diversi).16
Keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi, yaitu semua pihak
yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi
masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya
menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam
mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang
tidak berdasarkan pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara
anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.17
Berikut kami rangkum hal-hal penting yang diatur dalam UU SPPA.18
1. Definisi Anak di Bawah Umur
UU SPPA mendefinisikan anak di bawah umur sebagai anak yang telah
berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang
terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori:
Anak yang menjadi pelaku tindak pidana ;
a. Anak yang menjadi korban tindak pidana (anak korban) ; dan
b. Anak yang menjadi saksi tindak pidana (anak saksi)
Sebelumnya, UU Pengadilan Anak tidak membedakan kategori Anak
Korban dan Anak Saksi. Konsekuensinya, Anak Korban dan Anak Saksi tidak
mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini mengakibatkan banyak tindak pidana
yang tidak terselesaikan atau bahkan tidak dilaporkan karena anak cenderung
ketakutan menghadapi sistem peradilan pidana.
2. Penjatuhan Sanksi
Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua
jenis sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14
tahun,dan Pidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas.
a. Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi .
1. Pengembalian kepada orang tua/Wali
2. Penyerahan kepada seseorang
16
Pramukti, Angger Sigit dan Primaharsya, Fuady., 2014, Sistem Peradilan Pidana Anak,
Yogyakarta : Medpress Digital.
17
Fetri A. R. Tarigan, “Upaya Diversi Bagi Anak Dalam Proses Peradilan”, Lex Crimen, Vol.
4, No. 5, Juli 2015.
18
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
10

3. Perawatan di rumah sakit jiwa


4. Perawatan di LPKS
5. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan
pemerintah
6. Pencabutan surat izin mengemudi dan/atau
7. Perbaikan akibat tindak pidana
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak
terbagi atas pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana Pokok terdiri atas:
a. Pidana peringatan;
b. Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembekalandi luar lembaga, pelayanan
masyarakat, atau pengawasan;
c. Pelatihan kerja;
d. Pembekalandalam lembaga;
e. Penjara.
Pidana Tambahan terdiri dari:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
b. Pemenuhan kewajiban adat.
Selain itu, UU SPPA juga mengatur dalam hal anak belum berumur 12 (dua
belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil
keputusan untuk .
a. Menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani
bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama
6 (enam) bulan.
3. Hak-hak Anak
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak.
a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai
dengan umurnya:
b. Dipisahkan dari orang dewasa.
c. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif.
11

d. Melakukan kegiatan rekreasional.


e. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak
manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya.
f. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan
dalam waktu yang paling singkat.
g. Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak,
dan dalam sidang yang tertutup untuk umum.
h. Tidak dipublikasikan identitasnya.
i. Memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh
anak.
j. Memperoleh advokasi sosial.
k. Memperoleh kehidupan pribadi.
l. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat.
m. Memperoleh pendidikan.
n. Memperoleh pelayananan kesehatan. dan
o. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak atas.19
a. Remisi atau pengurangan masa pidana;
b. Asimilasi;
c. Cuti mengunjungi keluarga
d. Pembebasan bersyarat
e. Cuti menjelang bebas
f. Cuti bersyarat
g. Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. Penahanan
Penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah
berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga melakukan tindak pidana dengan
ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana

19
Soetodjo dan Wagiati, 2006. Hukum Pidana Anak. Bandung : PT Refika Aditama. h 51
12

yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi
hukum.20
5. Pemeriksaan Terhadap Anak Sebagai Saksi atau Anak Korban
UU SPPA ini memberikan kemudahan bagi anak saksi atau anak korban
dalam memberikan keterangan di pengadilan. Saksi/korban yang tidak dapat hadir
untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan dengan alasan apapun
dapat memberikan keterangan di luar sidang pengadilan melalui perekaman
elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan setempat, dengan
dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum, dan Advokat atau pemberi bantuan
hukum lainnya yang terlibat dalam perkara tersebut. Anak saksi/korban juga
diperbolehkan memberikan keterangan melalui pemeriksaan jarak jauh dengan
menggunakan alat komunikasi audiovisual. Pada saat memberikan keterangan
dengan cara ini, anak harus didampingi oleh orangtua/wali, Pembimbing
Kemasyarakatan atau pendamping lainnya.21
6. Hak Mendapatkan Bantuan Hukum
UU SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana untuk
mendapatkan bantuan hukum tanpa mempermasalahkan jenis tindak pidana telah
dilakukan. Anak berhak mendapatkan bantuan hukum di setiap tahapan
pemeriksaan, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun
tahap pemeriksaan di pengadilan. Anak Saksi/Anak Korban wajib didampingi
oleh orang tua/Wali, orang yang dipercaya oleh anak, atau pekerja sosial dalam
setiap tahapan pemeriksaan. Akan tetapi, jika orang tua dari anak tersebut adalah
pelaku tindak pidana, maka orang tua/walinya tidak wajib mendampingi.22
7. Lembaga Pemasyarakatan
Anak yang belum selesai menjalani pidana di Lembaga Pembekalan Khusus
Anak (LPKA) dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke
lembaga pemasyarakatan pemuda Pengaturan tersebut tidak ada dalam Pasal 61
UU Pengadilan Anak. Walaupun demikian, baik UU SPPA dan UU Pengadilan

20
Amelia Geiby Lembong, “Kajian hukum terhadap sistem pemidanaan anak menurut
undang-undang no. 11 tahun 2012”, Lex Crimen, Vol. 3, No. 4, Agustus-November 2014, h 16.
21
Afifah, Wiwik dan Lessy, Gusrin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Saksi
Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, DIH, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No. 20, Agustus 2014, h
69.
22
Layyin Mahfiana, “Perlindungan Hukum Terhadap Tersangka Anak sebagai Upaya
Melindungi Hak Anak”, Muwâzâh, Vol. 3, No. 1, Juli 2011, h 389.
13

Anak sama-sama mengatur bahwa penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan


dilakukan dengan menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun Penjelasan Pasal
86 ayat (2) UU SPPA dan Penjelasan Pasal 61 ayat (2) UU Pengadilan Anak.23

B. Penyebab Anak Melakukan Tindak Pidana Berdasarkan Teori Asosiasi


Diferensial.
Teori asosiasi diferensial atau differential association dikemukkan
pertama kali oleh Sutherland dalam teori ini berpendapat bahwa perilaku
kriminal merupakan perilaku yang dipelajari dalam lingkungan sosial. Artinya
semua tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai cara. Karena itu, perbedaan
tingkah laku yang conform dengan kriminal adalah bertolak ukur pada apa dan
bagaimana sesuatu itu dipelajari24 Teori ini dipengaruhi oleh tiga teori lain
yaitu : ecological and culture transmission theory, symbolic interactionism, and
culture conflict theory. Dari pengaruh-pengaruh tersebut dapat disimpulkan
bahwa munculnya teori diferensiasi ini didasarkan pada :
1. Setiap orang akan menerima dan mengakui pola-pola perilaku yang dapat
dilaksanakan;
2. Kegagalan untuk mengikuti pola tingkah laku dapat menimbulkan
inkonsistensi dan ketidakharmonisan;
3. Konflik budaya merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan.
4. Melakukan kejahatan dan motivasi/dorongan atau alasan pembenar25.
Teori asosiasi diferensial ini memiliki dua versi. Versi pertama
dikemukakan tahun 1939 lebih menekankan pada konflik budaya dan
disorganisasi sosial serta asosiasi diferensial. Dalam versi pertama. Sutherland
mendefinisikan asosiasi diferensial sebagai “the contents of pattern presented in
association would differ from individual to individual” Isi atau konten yang
disajikan dari sebuah asosiasi akan berbeda dari satu individu ke individu lain.

23
Tatik Mei Widari, “Pemenuhan Hak Pendidikan Anak Didik Pemasyarakatan Di
Lembaga Pemasyarakatan Anak” DIH, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 15, Februari 2012, h 37.
24
Edwin H Suterland pada tahun 1970 dalam bukunya Principle of Criminology.
25
Santoso, Topo dan Zulfa, Eva Achjani, 2008, Kriminologi, Jakarta : Grafindo, h 75
14

Hal ini tidak berarti bahwa hanya kelompok pergaulan dengan penjahat
akan menyebabkan seseorang berprilaku kriminal. Yang terpenting adalah isi dari
proses komunikasi dengan orang lain. Hal ini jelas menerangkan bahwa
kejahatan atau perilaku jahat itu timbul karena komunikasi dengan orang lain
yang jahat pula. Pada tahun 1947, Sutherland memaparkan versi kedua nya yang
lebih menekankan pada semua tingkah laku dapat dipelajari dan mengganti
istilah social disorganizationdengan differential social organization. Teori ini
menentang bahwa tidak ada tingkah laku jahat yang diturunkan dari kedua
orangtuanya. Pola perilaku jahat tidak diwariskan tetapi dipelajari melalui suatu
pergaulan yang akrab.
Differential Social organization mengemukakan bahwa kelompok-
kelompok sosial tertata secara berbeda, beberapa terorganisasi dalam mendukung
aktivitas kriminal dan yang lain terorganisasi melawan aktivitas kriminal.
Menurut Sutherland perilaku jahat itu dipelajari melalui pergaulan yang dekat
dengan pelaku kejahatan yang sebelumnya dan inilah yang merupakan proses
differential association. Lebih lanjut, menurutnya setiap orang mungkin saja
melakukan kontak (hubungan) dengan kelompok yang terorganisasi dalam
melakukan aktivitas kriminal atau dengan kelompok yang melawan aktivitas
kriminal26. Dan dalam kontak yang terjadi tersebut terjadi sebuah proses belajar
yang meliputi teknik kejahatan, motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi
melakukan suatu kejahatan.
Dasar dari differential social organization theory adalah sebagai berikut :
1. Criminal behavior is learned (Perilaku kejahatan dipelajari);
2. Criminal behavior is learned in Interaction with other person in a proccess
of communication; (Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan
orang lain dari komunikasi);
3. The principal part of the learning of criminal behavior occurs within intimate
personal groups (Dasar perilaku jahat terjadi dalam kelompok pribadi yang
intim);
4. When criminal behavior is learned, the learning includes (a) techniques of
committing the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very

26
Effendy, 1983, Ruang Lingkup Kriminologi, Bandung : Alumi.
15

simple and (b) the specific direction of motives, drives, rationalizations, and
attitudes (Ketika perilaku jahat dipelajari, pembelajaran termasuk juga teknik
melakukan kejahatan yang sulit maupun yang sederhana dan arah khusus dari
motif, dorongan, rasionalisasi, dan sikap-sikap);
5. The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the
legal codes as favorable or unfavorable (Arah khusus dari motif dan
dorongan dipelajari dari definisi aturan hukum yang menguntungkan atau
tidak menguntungkan);
6. A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to
violation of law over definitions unfavorble to violation of law (Seseorang
menjadi delinkuen disebabkan pemahaman terhadap definisi-definisi yang
menguntungkan dari pelanggaran terhadap hukum melebihi definisi yang
tidak menguntungkan untuk melanggar hukum);
7. Differential associations may vary in frequency, duration, priority, and
intencity (Asosiasi yang berbeda mungkin beraneka ragam dalam
frekuensi, lamanya, prioritas, dan intensitas);
8. The process of learning criminal behavior by association with criminal and
anticriminal patterns involves all of the mechanism that are involved in any
other learning (Proses pembelajaran perilaku jahat melalui persekutuan
dengan pola-pola kejahatan dan anti kejahatan meliputi seluruh mekanisme
yang rumit dalam setiap pembelajaran lainnya);
9. While criminal behavior is an expression of general needs and values, it is
not explained by those general needs and values, since noncriminal behavior
is an expression of the same needs and values (Walaupun perilaku jahat
merupakan penjelasan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum
tersebut sejak perilaku tidak jahat adalah sebuah penjelasan dari kebutuhan
dan nilai nilai yang sama);
Dari 9 proposisi ini, dapat disimpulkan bahwa menurut teori ini tingkah
laku jahat dapat dipelajari melalui interaksi dan komunikasi yang dipelajari
dalam kelompok adalah teknik untuk melakukan kejahatan dan alasan alasan
yang mendukung perbuatan jahat tersebut. Dengan diajukannya teori ini,
16

Sutherland ingin menjelaskan pandangannya tentang sebab-sebab terjadinya


kejahatan 27.
Adapun kekuatan teori differential association atau differential social
organization bertumpu pada aspek-aspek berikut :
Teori ini relatif mampu menjelaskan sebab timbulnya kejahatan akibat
penyakit sosial.
1. Teori ini mampu menjelaskan bagaimana seseorang karena adanya melalui
proses belajar menjadi jahat.
2. Teori ini berlandaskan kepada fakta dan bersifat rasional.
Kelemahan mendasar dari differential association theory atau differential
organization theory adalah sebagai berikut :
1. Tidak semua orang yang berhubungan dengan kejahatan akan meniru atau
memilih pola-pola kriminal.
2. Teori ini belum membahas, menjelaskan, dan tidak peduli pada karakter-
karakter orang-orang yang terlibat dalam proses belajar tersebut.
3. Teori ini tidak mampu menjelaskan mengapa individu lebih suka melanggar
undang-undang dan belum mampu menjelaskan kausa kejahatan yang lahir
karena spontanitas.
4. Teori ini sulit untuk diteliti, bukan hanya karena teoretik tetapi juga harus
menentukan intensitas, durasi, frekuensi dan prioritasnya.
Adapun kritik-kritik yang dikemukakan para ahli terhadap differential
association theory atau differential organization theory adalah sebagai berikut:
1. Matza (1968 : 107) mengatakan bahwa Sutherland kurang peka tanggap
terhadap pembaharuan pemikiran dan kemasyarakatan, yaitu antara pelaku
penyimpangan tingkah laku (deviant) dan dunia yang konvensional;
2. Nettler (1984) mengemukakan bahwa Judul istilah asosiasi diferensial adalah
menyesatkan karena Ia seakan-akan menunjuk pada suatu hubungan
pergaulan antar individu, sebagaimana halnya teori bad companion yang
menghasilkan kejahatan;
3. Clinard, meskipun mengakui hipotesis teori asosiasi diferensial-menyatakan
bahwa teori tersebut tidak dapat menjelaskan secara memadai semua kasus

27
Ibid.
17

pelanggaran hukum, terutama terhadap transaksi yang terjadi di pasar gelap


dan tidak dapat diperlakukan secara tepat terhadap adanya perbedaan-
perbedaan individual sepanjang yang menyangkut masalah pentaatan
terhadap undang-undang dalam kaitan dengan dunia perdagangan. Clinard
secara khusus menekankan pentingnya, certain personality trait dari seorang
individu.
Kesimpulan yang dapat diambil dari differential association theory atau
differential social organization theory adalah sebagai berikut :
1. Perbedaan asosiasi cenderung membentuk perbedaan kepribadian manusia
yang berbeda dalam pergaulan kelompok;
2. Tumbuhnya seseorang dalam pergaulan kelompok yang melakukan
pelanggaran hukumadalam karena individu yang bersangkutan menyetujui
pola prilaku yang melanggar hukum dibandingkan dari pola perilaku lain
yang normal;
3. Sikap menyetujui atau memilih salah satu pola perilaku tertentudalam asosiasi
yang berbeda adalah melalui proses belajar dari pergaulan yang paling intim
melalui komunikasi langsung yang berhubungan sering, lama, mesra, dan
prioritas pada perilaku kelompok atau individu yang diidentifikasi menjadi
perilaku miliknya.

C. Dasar Hukum Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam


Penyidikan Anak Penyalaguna Narkotika.
Beberapa definisi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)28 adalah :
1. Penyidik adalah pejabat polisi negara repubilik indonesia atau pejabat polisi
negara republik indonesia atau pegawai negri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
2. Penyidikan adalah serangakaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

28
Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara
Pidana
18

3. Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang


karea diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyelidikan yang
diatu dalam undang-undang ini.
4. Penyidikan adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
5. Penyelidikan adalah serngkaian tindakan penyeidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur undang-undang ini.
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dikenal saat ini adalah
kepolisian yang dibentuk 19 agustus 1945, Polri mencoba sistem kepolisian
federal membawa di departemen dalam negeri dengan kekuasaan tersendiri antar
propinsi dan antar karisidenan. Maka tanggal 1 Juli 1946 POLRI menganut
kepolisian nasional (The Indonesian National Police). Syarat baku untuk
membangun kepolisian yang kuat, yaitu sistem orgnisasi kepolisian yang baik,
Welfare kepolisian hukum dan politik negara yang mendukung. Welfare
mencakup kesejahterahan dan sarana kepolisian dengan historycal, Polri
merupakan lembaga birokrasi tertua disini. Sesuai dengan undang-undang dasar
1945 Indonesia adalah negara kesatuan, maka sejak 1 Juli 1946 Polri menjadi
Kepolisian Nasional dalam satu komando kepolisian distrik ditingkat kecamatan
dan kepolisian sektor bahkan pos-pos polisi dan bintara pebina kamtibmas di
tingkat desa (Babinkatibnas).29
Menurut Pasal 13 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia tugas kepolisian adalah memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat serta penegak hukum dan memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.30
Dari dasar-dasar di atas kemudian mengacu pada penyidikan dan wajib
memenuhi tentang pidana anak. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 tahun
2002 tentang Perlindungan anak, pengertian anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.

29
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), “Sejarah Polri”, Website Resmi
Kepolisian Negara Republik Indonesia, <https://www.polri.go.id/tentang-sejarah>, (2019).
30
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
19

Sedangkan dalam Konvensi Hak-hak Anak, anak adalah setiap manusia yang
berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku bagi
anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Anak adalah
setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum
menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah
demi kepentingannya.31
Perlindungan anak lebih diutamakan dalam pemahaman terhadap hak-hak
anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki substansi yang lemah
(kurang) dan di dalam hukum dipandang sebagai subyek hukum yang ditanamkan
dari bentuk pertanggungjawaban, sebagaimana layaknya seorang subyek hukum
yang normal. Pengertian anak dalam lapangan hukum pidana menimbulkan aspek
hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang
(kejahatan dan pelanggaran pidana) untuk membentuk kepribadian dan tanggung
jawab yang akhirnya anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak dan masa
depan yang lebih baik.32
Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk
dapat disebut sebagai seorang anak. Yang dimaksud dengan batas usia anak
adalah pengelompokan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak dalam
status hukum sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau
menjadi seorang subyek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri
terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukannya.
Secara umum dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, batas maksimal
manusia dikelompokkan sebagai anak adalah 18 (delapan belas) tahun. Sesuai
Undang-Undang Pengadilan Anak batas usia anak dapat diperlakukan atas suatu
pelanggaran hukum adalah 8 (delapan) sampai 18 (delapan belas) tahun.33
Penindakan secara hukum pidana anak. ditentukan berdasarkan perbedaan
umur anak, yaitu bagi anak yang masih di 8-18 tahun dan melakukan tindak
pidana diperlakukan atas suatu pelanggaran hukum dengan cara yang berbeda dari
perlakuan terhadap orang dewasa setelah melampaui batas usia 18 tahun maka

31
Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia .
32
Weda, 2004, Kronik dalam penegakan hukum pidana, Jakarta : Guna Widya, h 80.
33
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
20

anak yang melakukan tindak pidana ditangani dengan cara yang berlaku terhadap
orang dewasa.
Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Perlidungan Anak, hak asasi
manusia dan Beijing Rules berumur 8 (delapan) tahun sampai 12 (dua belas)
tahun hanya dapat dikenakan tindakan, seperti dikembalikan kepada orang tuanya,
ditempatkan pada organisasi social atau diserahkan kepada Negara, sedangkan
terhadap anak yang telah mencapai umur diatas umur 12 (dua belas) tahun sampai
18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhkan pidana.34
Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental, sosiologi, psikologis, pedegogis (pendidikan) sosial
anak35. Dasar pertimbangan ini dalam pertimbangan pemidanaan anak di bawah
umur tidaklah relevan kalau menggunakan tiga teori klasik yaitu :
1. Teori absolute atau pembalasan yaitu dalam teori pembalasan diharapkan
dapat menjarakan pelaku tindak pidana
2. Teori relative atau tujuan yaitu tidak seluruhnya dapat dikesampingkan dalam
pemindanaan anak di bawah umur sebab teori ini tidak saja masih
mempertimbangkan kepentingan pelaku, korban, masyarakat tetapi juga
kepentingan masa depan pelaku, termasuk juga memberikan pendidikan
terhadap anak agar menjadi insaf dan sadar,
tidak mau mengulangi lagi perbuatannya dan dapat menjadi manusia yang
baik.
3. Teori gabungan atau konvergensi yaitu teori yang mengambil dari teori
pembalasan dan teori relative di atas, jelas tidak relevan lagi dengan teori
pemindanaan pada saat sekarang, karena dalam teori yang masih berlaku
toeri,
pembalasan yang hanya memandang kejadian masa lampau tanpa
memandang kepentingan masa depan pelaku tindak pidana yang acapkali
menimbulkan penderitaan tanpa batas.36

34
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
35
ibid
36
Taufik Makarao, 2013, Pengkajian Hukum Tentang Penerapan Restorative Justice
Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak, Laporan Tim Pengkajian
Hukum, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI.
21

Dengan demikian mengingat pada Pasal 67 bahwa berlakunya Undang-


Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak, maka Pasal 45, 46 dan 47
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku, jadi pembedaan
perlakuan dan sanksi pidana diatur dalam Pasal 22-34 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Pasal 16-18 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dimaksudkan untuk lebih melindungi
dan mengayomi anak yang bermasalah dengan hukum agar dapat menyongsong
masa depannya37.
Selain itu, berkaitan dengan jaminan pemenuhan Hak Asasi Manusia
termasuk di dalamnya hak-hak anak, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.38 Pasal-Pasal khusus yang mengatur
tentang hak-hak anak adalah Pasal 52-66 dan yang berkaitan dengan jaminan
perlakuan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum diatur secara
khusus pada butir-butir Pasal 66 yang dengan jelas menyebutkan sebagai berikut:
1. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan
atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
2. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan pada pelaku
Tindak pidana yang masih anak-anak.
3. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan
hukum.
4. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan
sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai
upaya terakhir.
5. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapat perlakuan secara
manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi
sesuai dengan usianya
6. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum
atau
7. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri

37
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention on the
Rights of the Child konvensi hak-hak anak.
38
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
22

Mengenai perlindungan anak, Pasal 64 Undang-Undang Perlindungan Anak


menyebutkan bahwa39:
1. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan
anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat.
2. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan melalui:
Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak
anak.
Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini.
a. Penyediaan sarana dan prasarana khusus. d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk
kepentingan yang terbaik bagi anak.
b. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang
behadapan dengan badan hukum.
c. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau
keluarga.
d. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi.
3. Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang berbunyi :
a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga.
b. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi.
c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik,
maupun sosial.
d. Pemberian aksesbilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan
perkara.
Dalam system peradilan pidana anak, seorang anak yang melakukan suatu
tindak pidana disebut anak nakal. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan anak, (Selanjunya disingkat dengan Undang-Undang Pengadilan

39
Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
23

Anak) dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 2 menyatakan secara jelas status dan
kedudukan anak nakal yang menyebutkan bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Pengadilan Anak, Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah
mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Pengadilan Anak.
a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau
b. Anak melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang undangan maupun menurut peraturan hukum
lain hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Kenakalan anak yang menunjuk pada perbuatan anak nakal adalah istilah
yang diambil dari istilah asing Juvenile Deliquency yang berasal dari kata
juvenile yang merupakan sinonim dari kata young person (orang yang muda),
youngster (masa muda), youth (kaum muda), child (anak-anak), atau adolescent
(remaja); dan deliquency yang menunjuk pada tindakan atau perbuatan yang
dilakukan oleh anak, dimana jika tindakan atau perbuatan itu dilakukan oleh
orang dewasa merupakan suatu kejahatan. Terdapat dua bentuk deliquency yaitu
criminal Deliquency offence atau Juvenile crime dan status Deliquency offence40.
Tindakan atau perbuatan yang tergolong criminal deliquency offence seperti
pembunuhan, perampokan, sergapan, dan pencurian. Sedangkan tindakan atau
perbuatan status deliquency offence antara lain pembolosan; meninggalkan
rumah; terbiasa menentang perintah yang sah menurut hukum dan yang layak
dari suatu orang tua, wali, atau penjaga/wali; tak mau patuh, tidak dapat
dikendalikan, atau perilaku yang tak terkendalikan, dan pelanggaran hukum
minum minuman keras.
Deliquency juga berarti doing wrong, terabaikan/mengabaikan, yang
kemudian diperluas artinya sebagai jahat, asocial, criminal, pelanggar aturan,
pembuat rebut, pengacau dan lain-lain . Dengan demikian secara etimologis
juvenile deliquency adalah kejahatan anak, dan dilihat dari pelakunya maka
juvenile deliquency memiliki arti penjahat anak atau anak jahat.41
40
Rusli Effendy, 1983, Ruang Lingkup Kriminolgi, Alumi, Bandung. Hal 23
41
Irfandhy Idrus, 2016, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pencurian Oleh Anak
Serta Penerapan Diversi (Studi Kasus Nomor: 235/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Mks), Skripsi,
Makassar: Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, h 13.
24

Menurut Setya Wahyudi, juvenile deliquency adalah suatu tindakan atau


perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma social yang
dilakukan oleh anak-anak usia muda. Penggunaan istilah kenakalan anak untuk
menunjuk pada perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak dilakukan agar tidak
menimbulkan kesan yang terlampau ekstrim dibandingkan dengan menggunakan
istilah kejahatan anak. Kenakalan anak timbul sebagai akibat prose salami setiap
manusia yang harus mengalami kegoncangan jiwa semasa menjelang
kedewasaannya. Penggunaan istilah kejahatan anak untuk juvenile deliquency
juga dapat menimbulkan dampak negatif secara psikologis terhadap anak yang
menjadi pelakunya44.
Ketika seseorang dihadapkan ke depan sidang pengadilan pidana,
tujuannya adalah untuk membuktikan apakah perbuatan yang dilakukannya dapat
dipertanggungjawabkan dan pengenaan sanksi hukum pidana yang tepat kepada
orang tersebut. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya
apabila ia mempunyai kesalahan sehingga perbuatannya patut dicelakakan
kepada orang tersebut. Seseorang dikatakan bersalah jika:
1. Orang tersebut mempunyai kemampuan bertanggungjawab karena keadaan
jiwanya normal.
2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya berupa kesengajaan
(dolus) atau kealpaan (culpa).
3. Tidak terdapat alasan pemaaf atau tidak ada alasan penghapus kesalahan;
Pembicaraan tentang pertanggujawaban anak, tidaklah melepaskan
pembicaraan sanksi-sanksi yang mengandung penekanan aspek kesejahteraan
anak. Dengan kata lain, sanksi yang dijatuhkan pada anak memperhatikan
tujuan pemidanaan di mana unsur paedologi menjadi unsur utama .secara
garis besar jenis sanksi hukum pidana adalah pidana (punishment) dan
tindakan (treatment).42
Berbagai tindakan penempatan anak (various disposition neasures)
yaitu:
1. Perintah pengasuhan, pembimbingan, dan pengawasan.
2. Probation.

Monks, F.J.K dan Haditono, S.R. 1999. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : Gadjah
42

Mada University Press, h 54.


25

3. Perintah pelayanan masyarakat.


4. Sanksi denda, kompensasi, dan restitusi.
5. Perintah untuk pembekalanlangsung atau tindakan pembekalan lainnya.
6. Perintahuntuk berperan serta dalam kelompok konseling atau tindakan serupa.
7. Perintah pembimbingan masyarakat, hidup di tengah masyarakat, atau
tindakan pendidikan lain.
8. Perintah lain yang relevan.43
Sedangkan sanksi terhadap anak mengatur bahwa pejabat pengadilan
berwenang di dalam menetapkan dengan mempertimbangkan kebutuhan anak,
perilaku perlindungan masyarakat dan kepentingan korban44. Sementara itu
mengatur tentang pejabat pembekalandapat saja menerapkan berbagai jenis
sanksi yang berupa:
1. Sanksi verbal dalam bentuk nasihat yang baik, teguran keras, dan peringatan
keras;
2. Pembebasan bersyarat;
3. Pidana yang berhubungan dengan status;
4. Sanksi ekonomi dan pidana yang bersifat uang seperti denda dan denda
harian;
5. Perampasan dan perintah pengambilalihan;
6. Pembayaran ganti rugi korban atau kompensasi lain;
7. Pidana bersayarat;
8. Pengawasan;
9. Perintah kerja social;
10. Pengiriman pada pusat kehadiran;
11. Penahanan rumah; atau
12. Kombinasi dari tindakan-tindakan di atas.
Memenuhi cita-cita Undang-Undang Perlindungan Anak yang
menginginkan agar anak terhindar dari stigma (cap jahat) ketika anak tersebut
melakukan suatu tindak pidana.

43
Mulia Astuti, 2011, “Anak Berhadapan Dengan Hukum Ditinjau Dari Pola Asuhnya
Dalam Keluarga” (Studi Kasus di Provinsi Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Provinsi Nusa Tenggara Barat), Jurnal Informasi, Vol. 16, No. 01, 2011, h 5.
44
Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Anak-anak. Edisi Enam, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hal 55
26

Narkotika sintetis, narkotika golongan ini diperoleh melalui proses kimia


dengan menggunakan bahan baku kimia, sehingga diperoleh suatu hasil baru
yang mempunyai efek narkotika seperti Pethidine, Metadon dan Megadon.
Narkotika dalam dunia kesehatan bertujuan untuk pengobatan dan
kepentingan manusia seperti operasi pembedahan, menghilangkan rasa sakit,
perawatan stress dan depresi.
Di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, menyatakan bahwa narkotika hanya dapat digunakan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sedangkan untuk pengadaan, impor, ekspor, peredaran dan
penggunaannya diatur oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Kesehatan45.
Sehingga penggunaan narkotika selain yang disebutkan pada Pasal 7 di atas,
mempunyai konsekuensi akibat yuridis yaitu penyalahgunaan narkotika dan akan
memperoleh pidana/ancaman pidana sesuai yang diatur dalam undang-undang
tersebut46.
Menurut Pasal 1 Angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, yaitu :
1. Penyalahgunaan adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau
melawan hukum.
2. Selanjutnya dalam Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang narkotika, memberikan pengertian peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara tanpa hakatau melawan hukum yang ditetapkan sebagai
tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, tindak pidana narkotika adalah
tindak pidana penyalahgunaan narkotika tanpa hak atau melawan hukum selain
yang ditentukan dalam undang-undang.
Adapun bentuk-bentuk dan sanksi terhadap tindak pidana penyalahgunaan
narkotika di atur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika yaitu sebagai berikut :
Pasal 111 :
45
Ibid
46
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Psikotropika
27

(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I
dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda
paling sedikit Rp 800.000.000 (Delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 8.000.000.000 (Delapan milyar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5
(lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3.
Pasal 112 :
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun atau pidana
denda paling sedikit Rp 800.000.000 (Delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 8.000.000.000 (Delapan milyar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
narkotika Golongan I sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) beratnya
melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3.
Pasal 113 :
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika Golongan I, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000 (Satu
28

milyar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000 (Sepuluh milyar


rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan narkotika Golongan I sebagaimana yang dimaksud pada ayat
(1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon
atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku
dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
1/3.
Pasal 114 :
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar
atau menyerahkan narkotika Golongan I, dipidana dengan penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000 (Satu
milyar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000 (Sepuluh milyar
rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan
narkotika Golongan I sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) yang dalam
bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima)
batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram,
pelaku dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditambah 1/3.
Pasal 115 :
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,
mengangkut, mentransito narkotika Golongan I, dipidana dengan penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau
29

pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000 (Delapan ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 8.000.000.000 (Delapan milyar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, mentransito
narkotika Golongan I sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) yang dalam
bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima)
batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram,
pelaku dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3.
Pasal 116 :
(1).Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika
Golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika Golongan I
untuk digunakan orang lain, dipidana dengan penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling
sedikit Rp 1.000.000.000 (Satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp
10.000.000.000 (Sepuluh milyar rupiah).
(2). Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian
narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati, cacat permanen,
pelaku dipidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
1/3.
Pasal 117 :
(1).Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan II, dipidana dengan
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
atau pidana denda paling sedikit Rp 600.000.000 (Enam ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp 5.000.000.000 (Lima milyar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
narkotika Golongan II sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) beratnya
melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan penjara paling singkat 5
30

(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3.
Pasal 127 :
(1). Setiap penyalah Guna:
a. Narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun.
b. Narkotika golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan
c. Narkotika golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun.
(2). Dalam memutus perkara sebagiamana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55,
dan Pasal 103.
(3). Dalam hal panyalaguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibuktikan atau terbukti sebagia korban penyalahgunaan narkotika,
penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial.
Dengan demikian, dari uraian-uraian di atas tentang bentuk-bentuk
penyalahgunaan narkotika sebagaimana yang diatur Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, maka tindak pidana penyalahgunaan narkotika
dapat dikelompokan sebagai berikut ;
a. Penguasaan narkotika.
b. Produksi narkotika.
c. Jual-beli narkotika.
d. Pengangkutan dan transito narkotika.
e. Penyalahgunaan narkotika.
31
32

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian Dan Pendekatan


Penelitian tentang tinjauan terhadap tindak pidana penyalahgunaan
narkotika oleh Anak-anak dan Anak-anak di Kota Malang adalah yuridis-
empirisyaitu adalah penelitian berdasarkan fakta–fakta yang ada di dalam
masyarakat mengenai penyebab-penyebab yang menyebabkan terjadinya tindak
pidana penyalahgunaan narkotika oleh Anak-anak di Kota Malang dengan
pendapat Soejono Sukamto secara sosiologis dapat berupa penelitian dapat
berpengaruh hukum dimasyarakat47. dan bagaimanakah upaya-upaya yang
dilakukan oleh pihak Kepolisian Resor Malang Kota dalam menanggulangi
terjadinya tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh Anak-anak dan Anak-
anak di Kota Malang.
Di samping itu peneliti juga menggunakan pendekatan yuridis kriminologis
yaitu melakukan pengkajian tentang proses terjadinya prisonisasi dengan
menggunakan teori-teori kriminologi.

B. Lokasi Dan Waktu Penelitian


Penulis memilih lokasi penelitian di Kota Malang yang merupakan wilayah
hukum Polresta Malang Kota, dan waktu penelitian yang dilaksanakan pada bulan
Agustus 2020. Adapun alasan memilih lokasi penelitian ini karena semakin
meningkatnya yang ditangani oleh pihak Kepolisian Resort Kota Malang Kota
khususnya tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh anak-anak di Kota
Malang.
1. Mayoritas di wilayah hukum Polresta Malang Kota sering terjadi dan sering
ada yang tertangkap tangan tentang terjadinya penyalahgunaan narkotika.
2. Berdasarkan orientasi pendahuluan, sehingga data dan informasi guna
mengkaji permasalahan dalam penelitian ini, maka data saya dapatkan di
Kantor Polresta Malang di bagian Min Ops.

47
Soejono Sukamto, 1996, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Pres, h 79.
33

A. Jenis Dan Sumber Data


1. Jenis penelitian
Penulis skripsi ini menurut Ronny Hanitijo Soemitro dilakukan melalui
pendekatan yuridis kriminologis yaitu31berdasarkan kasus yang sudah ada dan juga
pendekatan yuridis formal berdasarkan perundang-undangan yang ada48.
2. Sumber data
Peneliti menggunakan sumber data yang berupa keterangan-keterangan dari
pihak Polresta Malang Kota, sehingga data dalam penelitian ini terdiri atas data
primer yaitu : data yang diperoleh dari sumber pertama, baik dari individu
maupun perorangan dilokasi penelitian melalau wawancara dan observasi
terhadap objek penelitian. Data tersebut juga didukung oleh data sekunder yaitu :
diperoleh dengan cara mencari dan mempelajari informasi yang berasal dari
dokumen yang berupa literatur, tulisan dari berbagai media serta Undang-undang
yang terkait dengan permasalahan tersebut, sehingga peneliti menggunakan
beberapa alat dalam memperoleh data diantaranya dengan wawancara yaitu yang
digunakan seseorang untuk mendapatkan keterangan atau pendapat secara lisan
dari respoden dengan bercakap-cakap secara lansung, yang akan ditentukan
melalui wawancara bebas. Dalam hal ini pihak yang berhubungan dengan objek
penelitian pihak kasubag pidana narkotika Polresta Malang Kota.
Responden penelitian ini adalah seluruh aparat Polresta Malang Kota yang
menangani upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika dan masyarakat
yang di anggap mengetahui tentang penyebab terjadinya tindak pidana narkotika
serta pelaku tindak pidana narkotika. Sedangkan sampel dalam penelitian ini
adalah 1 orang Kasat Narkoba, 1 orang Kanit dan 6 orang penyidik Polresta
Malang Kota, 2 orang tokoh masyarakat, 2 orang Tokoh Agama, 2 orang tokoh
pemuda serta 2 orang anak-anak dan 1 orang Anak-anak pelaku tindak pidana
narkotika
Pertimbangan peneliti memilih 2 orang tokoh masyarakat, 2 orang Tokoh
Agama, 2 orang tokoh pemuda serta 2 orang dan 1 orang Anak-anak pelaku tindak
pidana narkotika, karena sampel tersebut cukup representatif memberikan
48
Ronny Hanitijo Soemitro, 1998, Metode penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta :
Ghalia, h 68.
34

informasi mengenai penyebab-penyebab apakah yang menyebabkan terjadinya


tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Kota Malang.
Sedangkan pertimbangan peneliti memilih 1 orang Kasat Narkoba, 1 orang
Kanit dan 6 orang penyidik Polresta Malang Kota, karena peneliti mengharapkan
dan berkeyakinan akan mendapatkan informasi mengenai upaya-upaya yang
dilakukan oleh pihak kepolisian dalam mengatasi terjadinya tindak pidana
penyalahgunaan narkotika oleh anak-anak dan anak-anak di Kota Malang,
berdasarkan hasil survei di ruang Unit Reskoba di bagian min ops.
Adapun teknik pemilihan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
Purposive Sampling yaitu dengan penunjukan langsung oleh peneliti untuk
dijadikan sebagai sampel penelitian.

B. Teknik Pengumpulan Data


1. Metode pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu :
Penulis melakukan tanya jawab (interview) kepada sejumlah nara sumber
yang berkompeten seperti Anak-anak dan Anak-anak yang pernah menjadi pelaku
dalam tindak pidana penyebab penyalahgunaan narkotika dan penyidik Polri
Polresta Malang Kota, Kasat Reskoba Malang Kota serta masyarakat, tokoh
agama dan tokoh pemuda dalam upaya menanggulangi terjadinya tindak pidana
penyebab penyalahgunaan narkotika oleh Anak-anak danAnak-anak di Kota
Malang. penulis melakukan pengumpulan data-data dilokasi penelitian yang
berhubungan dengan tindak pidana penyebab penyalahgunaan narkotika oleh
Anak-anak dan upaya-upaya yang dilakukan pihak kepolisian dalam
menanggulangi terjadinya hal tersebut yang dilakukan Anak-anak di Kota
Malang.
Observasi (Observation), penulis mendatangi lokasi penelitian kemudian
melakukan pengamatan secara langsung dan seksama terhadap obyek penelitian
guna mengetahui penyebab-penyebab yang mempengaruhi terjadinya tindak
pidana penyalahgunaan narkotika oleh Anak-anak dan upaya-upaya yang
dilakukan oleh pihak kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana
penyalahgunaan narkotika oleh Anak-anak di Kota Malang.    
35

C. Teknik Analisis Data


Data penelitian diolah dan dianalisis secara deskrit-analitis, artinya
menyatakan data yang diperoleh dari respoden secara obyektif berdasarkan
kenyataan yang terjadi kemudian dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan yang ada
untuk dimasukan kedalam pembahasan permasalahan sehingga diperoleh suatu
kesimpulan yang bersifat umum.49kemudian melakukan pengamatan secara
langsung aktivitas-aktivitas yang terjadi di tempat penelitian dan pencatatan
secara sistematis terhadap kendala serta gejala pada objek penelitian, maka untuk
memperoleh hasil akhir yang dapat dipertanggung jawabkan antar lain secara
deskritptif kualitif yang merupakan suatu cara untuk mengkapkan masalah atau
peristiwa yang ada, sekedar mengungkap fakta yang ada sehungga memperoleh
gambaran yang jalas dan lengkap, kemudian menghubungkan hal tersebut dengan
teori-teori ilmu hukum sehingga dapat ditarik kesimpulan.

49
Soejono Soekamto, Op Cit, 1986 h 250.
36

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penyidikan Terhadap Anak Selaku Tersangka Tindak


Pidana Penyalahgunaan Narkotika
1. Proses Penyidikan Terhadap Anak Penyalahguna Narkotika Di Unit Reskoba
Polresta Malang Kota
Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika teiah banyak dilakukan
oleh aparat penegak hukum dan telah banyak tindakan penyidik dalam melakukan
penyelidikan terhadap pelaku dan korban penyalahgunaan narkotika. Dengan
demikian, penegakan hukum ini di harapkan mampu menjadi faktor penangkal
terhadap merebaknya peredaran gelap serta penyalahgunaan narkotika, dimana
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai dasar hukum
atau ketentuan perundang-undangan yang mengatur masalah narkotika telah
disusun dan diberlakukan walaupun demikian kejahatan yang menyangkut
narkotika belum juga bisa diredakan.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika mengatur
mengenai penggunaan mekanisme double track system dalam penyelesaian
permasalahan narkotika, double track system merupakan sistem dua jalur
mengenai sanksi dalam hukum pidanayakni jenis sanksi pidana (kebijakan penal)
dan sanksi tindakan (kebijakan non penal). fokus sanksi pidana ditujukan pada
perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan
agar yang bersangkutan menjadi jera sedangkan fokus sanksi tindakan lebih
terarah pada upaya pemberian pertolongan pada pelakuagar ia berubah.
Sanksi tindakan yang dimaksud yakni pemberian rehabilitasi yang ditujukan
khusus bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Menurut Pasal 1 butir
3 PERBERy01/IIl/2014/BNN, yang dimaksud dengan korban penyalahgunaan
narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena
dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan/atau diancam untuk menggunakan
narkotika. Dengan demikian seorang korban penyalahgunaan narkotika harus
terbukti tidak mempunyai unsur kesengajaan untuk mempergunakan narkotika
secara melawan hukum, dikarenakan adanya keadaan seperti dipaksa atau

35
37

diancam yang membuat korban mau tidak mau menggunakan narkotika atau
karena ketidaktahuan yang bersangkutan jika yang digunakan adalah narkotika hal
seperti inilah yang dikatakan (dibujuk, ditipu atau diperdaya).
Dalam proses penyelesaian perkara penyalahgunaan narkotika, dimana
untuk mendapatkan titik terang suatu perkara penegak hukum dapat mengawali
dari tahap penyelidikan. Berdasarkan pedoman pelaksanaan KUHAP karena
proses penyelidikan dimaksudkan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana dan selanjutnya untuk menentukan dapat
tidaknya peristiwa tersebut dilakukan penyidikan" Peran penyidik untuk
mengungkap kasus tindak pidana narkotika sangat berarti dan berdampak baik
terhadap proses pemberantasan tindak pidana narkotika yang semakin meningkat
dengan korban yang semakin banyak.
Proses penyidikan di unit Reskoba Malang Kota sudah sesuai dengan
prosedur dimana disaat dilakukan pemeriksaan terhadap anak- anak sebagai
pelaku penyalahgunaan narkotika, baik yang dilakukan laki-laki atau perempuan
untuk anak-anak adalah sama dalam penanganan penyidikan.
Seorang penyidik tidak menggunakan seragam kepolisian dan tempat yang
dibuat lakukan penyidikan sesuai dengan peraturan bahwa dilakukan ditempat
khusus pemeriksaan anak-anak sehingga dampak psikologis anak-anak yang
terlibat dalam penyalahgunaan narkotika bisa lebih baik, dengan tetap
berpedoman pada undang-undang yang berlaku antara lain, Kitab Undang Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang undang RI nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan peraturan pemerintah Repulik
Indonesia nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP.
Proses pelaksanaan penyidikan tindak pidana penyalahgunaan narkotika
oleh pihak Polresta Malang adalah suatu sistem atau cara penyidikan yang
dilakukan untuk mencari, serta mngumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya
sesuai dengan cara yang diatur dalam KUHAP. Hasil penelitian yang dilakukan
peneliti, bahwa pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana penyalahgunaan
narkotika (Studi Kasus di Polresta Malang Kota) yaitu Polresta Malang Kota
menerima Laporan dari masyarakat setempat tentang adanya dugaan tindak pidana
38

penyalahgunaan Narkotika kemudian membuat Laporan Polisi terhadap laporan


tersebut setelah itu dibuatkan Surat Perintah Penyelidikan dan Surat Perintah
Tugas kemudian Anggota Polresta Malang Kota melakukan tindakan pertama
yaitu diadakanya gelar perkara pertama yaitu gelar penangkapan kemudian
anggota segera merapat pada tempat kejadian dan ditemukan saudaraTersangka
sedang melakukan pesta sabu sendirian sehingga anggota Polresta Malang Kota
melakukan upaya paksa penangkapan terhadap saudaraTersangka tersebut,
penggeledahan dan penyitaan terhadap barang bukti Anggota polresta malang kota
Khususnya di bagian reskoba dalam melakukan penyelidikan terhadap tindak
pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh tersangka Tersangka
dibilang lancar, karena pada waktu di tangkap semua tidak melakukan
perlawanan. Di samping itu semua barang bukti yang digunakan masih di tempat,
seperti: 2 (dua) plastik kecil transparan terdapat sisa shabu, 2 (dua) pipa kaca
terdapat sisa shabu, seperangkat alat hisap shabu (Bong) dari botol Aqua kecil,
sebuah Hp merk EVERCROSS warna putih kombinasi biru beserta No. IM3
0857255555xx, dan sebuah Bungkus rokok Sampoerna mild merah dan kemudian
Tersangka dibawa Polresta Malang Kota guna dimintai keterangan lebih lanjut
untuk mencari dari mana barang tersebut didapatkan langkah selanjutnya
dilakukan tes urine di ruang unit reskoba guna untuk mengetahui hasil positif dan
negatifnya guna untuk di serahkan ke Laboratorium Forensik, selanjutnya
dilakukan Gelar Perkara kedua untuk menganalisis penerapan Pasal yang yang
akan disangkakan terhadap saudara Tersangka, setelah itu melengkapi
administrasi penyidikan (membuat Surat Perintah Penyidikan) kemudian saudara
Tersangka dilakukan Pemeriksaan sebagai tersangka (Penyidik membuat Berita
Acara Pemeriksaan), dari semua anggota yang melakukan penyidikan memeriksa
saksi umum dan saksi petugas selanjutnya saudara Tersangka menjalani
pemeriksaan lebih lanjut, kemudian para kasat dan kanit beserta anggota jajaranya
melekukan rapat mendadak dikarenakan Tersangka sebagai tersangka
penyalahgunaan masih dibawa umur kemudian kasat reskoba sebagia penanggung
jawab pada anggotanya pada proses penyidikan maka kasat reskoba memutuskan
Tersangkauntuk tidak tahan dikarenakan Tersangka masih dibawah umur dan
Anggota Polresta Malang Kota Menghungi keluarganya Kemudian dalam proses
39

dan Tersangka dikembalikan ke orang tuanya dikarenakan Tersangka menginat


ancaman kurang adari 7 (tujuh) tahun, akan tetapi berkas tetap berjalan kemudian
Penyidik melengkapi Berkas Perkara dan mengirim berkas perkara tersebut ke
Kejaksaan Negeri Malang Kota dan berkas perkara dinyatakan telah lengkap (P-
21), setelah itu dilakukan tahap pengiriman tersangka Tersangka beserta barang
bukti ke Kejaksaan Negeri Malang Kota.
Hasil wawancara dengan Bambang Heryanta50 diketahui bahwa seorang
anak yang tertangkap tangan dalam penyalaggunaan adalah seorang anak yang
benar- benar menjadi penyalahgunaan narkotika, maka ketentuan tentang diversi
akan didapatkan secara utuh initinya seoarang penyidik dari anggota Polresta
Malang kota bahwa pemberian diversi itu layak dan tidaknya untuk diberikan,
sehingga aturan-aturan hukum yang bisa dijalakan bahkan menjadi pedamon perlu
dikaji ulang dan disesuaikan dengan kepentingan dalam penyidikan bahwa banyak
terjadi kesalahpahaman antara pendapat penyidik dengan persyaratan diversi,
Seharunya dikaji ulang atau direvisi tentang aturan atau persratan diversi yang
tidak menuliskan pada saat terjadi penangkapan pada hari libur apakah kejaksaan
atau bapas itu ada kegiatan dalam kerja sehingga perlu ada payung hukum yang
kuat guna melaksanakan aturan-aturan hukum. Sehingga untuk saat ini sudah baik
walaupun masih banyak ada yang tidak sesuai dengan aturan diversi, karena
kebijakan serta pemekiran yang jauh guna mendapatkan hak keadilan tapi aturan-
aturan dalam penyidikan juga sudah ada yang sesuai seperti hanya para tersangka
khususnya anak-anak sudah diberlakukan dengan baik dan juga mendapatan
keadilan yang sesuai sehingga dalam penanganan selama ini tidak ada
permasalahan,yang dialami saat ini pada pendapingan tersangka anak-anak tidak
semua wilayah dijawa timur khusunya Malang memiliki BAPAS dan waktu
pemeriksaan penyidikan. Dikarenakan penyidik dalam waktu 1x24 jam harus
sudah menyerahkan kepada jaksa, Sedangkan identitas anak-anak yang terlibat
tindak pidana khususnya pada penyalah guna wajib dirahasiakan baik pada
masyarakat maupun media massa contoh media elektronik, apabila ada kekeliruan
atau berita itu menyebar luas maka diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun
dan denda Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Dan itu semua sudah
50
Komunikasi langsung dengan Bambang Heryanta S.E Bareskoba, Kanit Bin luh Sat
Reskoba, Kepolisian Resort Kota Malang. 30 Agustus 2020.
40

sesuai walaupun dengan adanya kebijakan-kebijakan tertentu dari penyidik untuk


tersangka penyalahgunaan narkotika.
2. Ketentuan Hukum Acara Pidana dalam penyidikan terhadap Anak penyalaguna
Narkotika
Anak merupakan generasi penerus bangsa yang dapat dijadikan sebagai
harapan untuk memperbaiki bangsa ini. Bangsa ini juga sangat membutuhkan
anak-anak yang cerdas yang dapat membanggakan nusa dan bangsa. Tugas dari
anak-anak itu sendiri adalah belajar dan belajar agar kelak menjadi anak yang
berguna, namun pada zaman sekarang anak banyak yang melampaui dirinya dari
kodrat sebagai seorang anak.
Umumnya anak masih kurang dalam memahami lingkungan sekitarnya
karena anak itu sendiri pada dasarnya masih mencari jati diri atau identitas diri
sebagai anak banyak terjadinya pelanggaran-pelanggaran atau tindak pidana yang
dilakukan oleh anak-anak dibawah umur yang sebetulnya anak itu sendiri kurang
atau tidak paham dengan apa yang dilakukannya tersebut, dan juga terdapat anak-
anak dibawah umur yang berurusan dengan hukum sehingga harus mengikuti
prosedur-prosedur hukum seperti penyidikan.
Usaha menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku menyimpang
anak-anak, sekali-kali tidak boleh melupakan kedudukan anak dengan segala
karakternya yang khusus. Walaupun anak pada dasarnya dan dalam batas wajar
telah menentukan sendiri langkah perbuatan berdasarkan pikiran, perasaan dan
kehendaknya tetapi karena kondisinya sebagai anak, keadaan sekitarnya dapat
berpengaruh lebih besar dalam menentukan sikap dan nilai pribadinya. Oleh
karena itu, dalam menghadapi anak nakal dan terlantar masyarakat sekelilingnya
dan terutama orang tua lebih bertanggung jawab dari pada anak itu sendiri.
Hubungan antara orangtua dengan anak dalam kehidupan manusia merupakan
suatu hubungan yang hakiki, termasuk hubungan mental psikologi maupun mental
spiritual.
Berdasarkan Pasal 41 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
pengadilan anak yang berisi ketentuan, penyidikan terhadap anak nakal, dilakukan
oleh penyidik yang ditetapkan berdasarakan Surat Keputusan Kepala Kepolisian
41

Republik Indonesia atau Pejabat lain yang ditunjukkan oleh Kepala Kepolisian
Republik Indonesia.
Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah telah berpengalaman sebagai penyidik tindak
pidana yang dilakukan oleh orang dewasa, mempuyani minat, perhatian, dedikasi,
dan memahami masalah anak. Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, tugas
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibebankan kepada,
Penyidik yang melakukan tugas penyidikan bagi tindak pidana yang dilakukan
oleh orang dewasa; atau Penyidik lain yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
Undang-undang yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 42 Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak yang berisi ketentuan, penyidik wajib memeriksa tersangka
dalam suasana kekeluargaan, dalam melakukan penyidikan terhadap anak nakal,
penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing
Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran
dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas
kemasyarakatan lainnya, dan proses penyidikan terhadap perkara anak nakal wajib
dirahasiakan.
Hasil wawancara dengan Bambang Heryanta51, pelaku anak yang terkait
dengan ketentuan Pasal 32. Ayat 1, 2, dan 3 yang bisa ditahan itu anak yang
berumur 14 (empat belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dengan ancaman
7 (tujuh) tahun atau lebih. Sedangkan Pasal 33 Ayat 1, 2, dan 3 terhadap anak,
penyidik melakukan penahanan 7 (tujuh) hari paling lama bisa diperpanjang
hanya 8 hari. Dalam waktu kurang lebih 15 hari harus sudah tahap 2 tersangka
harus sudah diserahkan ke Kejaksaan bilamana ketetuan hukum selama 15 hari
tidak terpenuhi maka harus dikeuarkan demi hukum. Penahanan terhadap Anak
dilaksanakan di LPAS yang bisa menahan anak yang terkait hukum/LPKA.
Berdasarkan Pasal 9 ayat 2 bagi tindak pidana anak, penyidik sebaiknya
memberikan kesempatan kepada anak dengan kesepakatan diversi dimana bagi
tindak pidana penyalahguna narkotika khususnya anak-anak, dikarenakan
anacamannya kurang dari 7 (tujuh) tahun. Sehinggga para penyidik, penuntut

51
Ibid
42

umum, dan hakim dalam melaksanakan diversi harus mempertimbangkan kategori


tindak pidana, umur anak, dan hasil penelitian kemasyarakat BAPAS dan
terutama dukungan lingkungan.

B. Faktor-Faktor Penghambat Pelaksanaan Penyidikan Terhadap Anak


Selaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika
Proses pemeriksaan terhadap tersangka anak adalah bagian dari kegiatan
penyidikan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan keidentikkan tersangka
dengan barang buktinya. Dalam proses pemeriksan harus dilaksanakan sesuai
dengan hukum yang berlaku serta memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM)
anak sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
Hasil wawancara dengan Bambang Heryanta52, mengenai proses
pelaksanaan penyidikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana
penyalahgunaan narkotika oleh Unit Reskoba Malang Kota, bahwasannya proses
penyidikan dilakukan dengan mengacu Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) dalam menentukan pasal-pasal yang dilanggar oleh tersangka. Pada
kasus ini tersangka telah melanggar Undang-undang Narkotika Subs UU RI No. 3
Tahun 1997 Subs Pasal 80 Ayat (3) UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Ditambahnya pasal dari Undang-undang Perlindungan Anak
dikarenakan korban dan tersangkanya sendiri masih tergolong anak-anak. Pada
kasus ini pihak kepolisian menggunakan Undang-undang No. 3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak sebagai dasar hukum untuk pemeriksaan tersangka,
sedangkan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
digunakan sebagai dasar hukum untuk korban.
Proses pelaksanaan penyidikan terhadap anak mengacu pada Undang-
undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Tanggungjawab yang perlu
dipahami oleh penyidik anak adalah dengan memberikan suatu arahan yang
bersifat membangun. Proses penyidikan anak juga diharapkan mampu untuk
mengerti kondisi anak, hal ini karena adanya suatu pandangan bahwa anak
merupakan bagian dari manusia yang perlu mendapatkan perlindungan atas

52
Ibid
43

dirinya sendiri dan hak-hak lain yang dimilikinya agar tercipta suatu penyidikan
tanpa adanya kekerasan terhadap anak. Perlindungan anak dibutuhkan unttuk
menjamin kesejahteraan anak, karena perlindungan anak adalah segala kegiatan
untuk menjamin dan melindungi anak serta hak-haknya untuk bisa hidup, tumbuh
berkembang dan dapat berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan.
Berdasarkan hasil penelitian dilapangan yang dilakukan oleh penulis di Unit
Reskoba Malang Kota pada dasarnya proses pelaksanaan penyidikan itu sendiri
telah dilakukan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang diatur dalam Undang-
undang pengadilan anak. Pasal 42 Undang-undang No. 3 Tahun 1997 mewajibkan
Penyidik memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan, dalam melakukan
penyidikan terhadap anak nakal, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran
dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama atau petugas kemasyarakatan
lainnya, dan proses penyidikan terhadap perkara anak nakal wajib dirahasiakan.
Proses pelaksanaan penyidikan juga dilakukan oleh penyidik yang telah
berpengalaman dan memenuhi syarat dalam Pasal 41 Ayat (1), yaitu
berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan orang dewasa,
serta mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
Proses penyidikan terhadap anak tidak selalu berjalan dengan lancar, hal ini
dikarenakan adanya beberapa faktor yang menghambat proses penyidikan. Faktor
adalah satu hal, keadaan, peristiwa yang ikut menyebabkan atau mempengaruhi
terjadinya sesuatu. Secara umum terdapat beberapa faktor-faktor yang sering
terjadi dalam proses pelaksanaan penyidikan terhadap anak, yaitu faktor internal
dan faktor eksternal.53
Pada faktor internal, pada dasarnya Unit Reskoba tidak banyak menemukan
kesulitan-kesulitan, baik didalam melakukan penangkapan maupun dalam
melakukan proses pelaksanaan penyidikan, karena pada umumnya anak-anak itu
tidak begitu menyadari dengan apa yang dilakukannya dan akibat yang
ditimbulkan oleh perbuatannya sendiri. Tetapi tidak dipungkiri bahwa dalam
proses penyidikan ada beberapa hal yang meghambat, seperti rendahnya sumber
daya manusia pelaku yang menyebabkan pelaku kesulitan dalam mencerna
53
Eryke, Herlita dan Herlambang, “Mediasi Penal Bagi Anak yang Berkonflik dengan
Hukum”, University of Bengkulu Law Journal, Vol. 5, No. 1, April 2020, h 55
44

pertanyaan dan memahami BAP, dan adanya rasa takut dalam diri pelaku. Takut
disini adalah rasa takut yang dialami oleh pelaku anak terhadap penyidik, karena
figure penyidik merupakan polisi yang membuat stigma memberi hukuman.
Selain itu takut yang sering dialami oleh pelaku adalah ancaman ketika keluar dari
penjara atau masa hukuman telah selesai, karena hal ini menyebabkan pelaku
tidak berani mengatakan kebenaran.
Faktor eksternal yang dapat ditemui oleh penyidik adalah cara dalam
memberikan pengertian terhadap orang tua/wali atau keluarga dari anak yang
melakukan tindak pidana, karena pada dasarnya mereka sulit untuk
mengintropeksi diri tentang peran mereka sebagai orang tua yang pada satu sisi
mereka sebagai bapak atau ibu dan disis lain mereka sebagai teman atau bahkan
relasi sehingga sebagaian besar orang tua menganggap sudah memberikan yang
terbaik untuk anaknya. Sehingga mereka tidak percaya kalau anaknya sampai
terlibat dalam suatu kasus atau perbuatan yang melanggar hukum atau tindak
pidana.
45

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pelaksanaan penyidikan terhadap anak selaku tersangka tindak pidana
penyalahgunaan narkotika.
Pelaksanaan penyidikan terhadap anak selaku tersangka tindak pidana
penyalahgunaan narkotika di Polresta Malang Kota sudah berjalan sesuai
prosedur. Proses penyidikan berpedoman pada KUHAP, UU Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan PP nomor 27 Tahun
1983 tentang pelaksanaan KUHAP. Hal ini dilakukan selama tidak diatur secara
khusus (atau menyimpang) dari Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika (lex specialis derogat legi generalis). Namun dengan
mempertimbangkan bahwa anak sebagai tersangka pelaku tindak pidana
penyalahgunaan narkotika, maka proses penyidikan dilaksanakan dengan
menghormati hak-hak anak, dengan menerapkan UU RI No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, dan Pasal 42 UU No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, dimana penyidik memeriksa tersangka dalam suasana
kekeluargaan, tidak menggunakan seragam kepolisian, dan prosesnya dilakukan di
tempat khusus anak. Selain itu penyidik jika diperlukan dapat meminta
pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan, ahli pendidikan,
psikolog anak, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya. Penyidik wajib
merahasiakan identitas anak, dan tidak membedakan perlakuan terhadap anak
berdasarkan jenis kelamin.
2. Faktor-faktor penghambat pelaksanaan penyidikan terhadap anak sebagai
tersangka tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
Secara garis besar terdapat dua faktor utama yang menghambat pelaksanaan
penyidikan terhadap anak sebagai tersangka tindak pidana penyalahgunaan
narkotika di Polresta Malang Kota, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal meliputi keterbatasan kognitif anak sehingga kesulitan dalam
memahami pertanyaan yang diajukan saat pemeriksaan, dan adanya rasa takut
karena penyidik sebagai petugas kepolisian yang mempunyai stigma memberikan

44
46

hukuman. Faktor eksternal umumnya berupa penolakan dari orangtua anak yang
sering tidak percaya kalau anaknya sampai terlibat dalam perbuatan yang
melanggar hukum.

B. SARAN
1. Bagi Akademisi
Agar meningkatkan frekwensi dan intensitas kajian keilmuan mengenai
fenomena anak sebagai pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Upaya
ini dapat dilakukan melalui diskusi dengan melibatkan para pakar hukum, pakar
psikologi anak, dan lembaga swadaya masyarakat pemerhati masalah anak,
dengan harapan di masa mendatang hukum dapat ditegakkan dengan tanpa
mengesampingkan hak-hak anak sebagai generasi penerus bangsa.
2. Bagi Masyarakat Umum
Diharapkan masyarakat umum turut berpartsispasi aktif dalam pencegahan
anak sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika, mengingat dampaknya yang
begitu besar bagi kehidupan bangsa dan negara di masa depan.
3. Bagi Satuan Reserse Narkoba Polresta Malang Kota
Kepada Satuan Reserse Narkoba di Polresta Malang Kota disarankan untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas personil penyidik Polri, meningkatkan
kemampuan penyidik mengenai konsep psikologi anak agar lebih mudah dalam
melakukan pendekatan dan menggali informasi dari tersangka, dengan harapan
proses penyidikan menjadi lebih optimal, dengan tetap menghormati hak-hak
konstitusional anak.
4. Bagi Penyelengggara Negara
Penyelenggara negara dalam hal ini adalah pihak kepolisian agar dapat
selalu mengikuti perkembangan teknologi dalam modus operandi peredaran
narkotika di kota Malang. Hal ini sangat di perlukan dalam mengungkap
peredaran dan penyalahgunaan narkotika khususnya anak-anak yang sekarang
sudah sangat memahami penggunaan teknologi, bagi pihak kepolisian dan tetap
berusaha untuk menjalani kerja sama yang baik kepada pihak PJT terkait kendala
yang terjadi, dan tetap menjaga citra dan nama baik Polri, khususnya Kepolisian
Resort Kota Malang.
47
48

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Effendy, Rusli, 1983, Ruang Lingkup Kriminologi, Bandung : Alumi.

Firganefi, Ahmad D., 2013, Hukum Kriminologi. Bandar Lampung : PKKPUU


FH Unila.

Hamzah A., Surachman R M., 2004, Kejahatan Narkotika Psikotropika, Jakarta :


Sinar Grafika.

Makarao, Taufik, 2013, Pengkajian Hukum Tentang Penerapan Restorative


Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-
Anak, Laporan Tim Pengkajian Hukum, Jakarta : Badan Pembinaan
Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI.

Monks, F. J. K., Haditono, S. R., 1999. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta :


Gadjah Mada University Press.

Pramukti, A S., Fuady P., 2014, Sistem Peradilan Pidana Anak, Yogyakarta :
Medpress Digital.

Santoso T., Zulfa E A., 2008, Kriminologi, Jakarta : Grafindo.

Sarwono, S.W., 2002, Psikologi Anak-Anak. Edisi Enam, Jakarta : Raja Grafindo
Persada.

Sangsaka H., 2003, Narkotika Dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Praktisi
Serta Penyuluhan Masalah Narkoba, Bandung : Mandar Maju.

Soemitro, Ronny Hanitijo, 1998, Metode penelitian Hukum dan Jurimetri,


Jakarta : Ghalia.

Soetodjo, Wagiati, 2006, Hukum Pidana Anak, Bandung : PT Refika Aditama.

Sofyan A., 2007, Narkoba Mengincar Anak Muda, Jakarta : Prestasi Pustaka.

Sudarsono, 2005, Kenakalan Remaja, Jakarta : Rineka Cipta.

Sukamto S., 1996, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press.

Suryana, 2006, Keperawatan Anak Untuk Siswa, Jakarta : EGC.

Sutherland, E H., 1934, Criminology, New York : J. B. Lippincott Company.


49

Weda, Made Darma, 2004, Kronik Dalam Penegakan Hukum Pidana, Jakarta :
Guna Widya.

Jurnal:

Afifah, W., Lessy, G., Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Saksi Dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak, DIH, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No.
20, Agustus 2014, h. 63-75.

Ariani, Nevey Varida, “Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012


Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Upaya Melindungi
Kepentingan Anak”, Jurnal Media Hukum, Vol. 21 No.1 Juni 2014, h
107-122.

Astuti, Mulia, “Anak Berhadapan Dengan Hukum Ditinjau Dari Pola Asuhnya
Dalam Keluarga” (Studi Kasus di Provinsi Sumatera Barat, Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Nusa Tenggara Barat), Jurnal
Informasi, Vol. 16, No. 01, Tahun 2011. h. 1-16

Eryke H., Herlambang, “Mediasi Penal Bagi Anak yang Berkonflik dengan
Hukum”, University of Bengkulu Law Journal, Vol. 5, No. 1, April 2020,
h. 47-61.

Lembong A G., “Kajian hukum terhadap sistem pemidanaan anak menurut


undang-undang no. 11 tahun 2012”, Lex Crimen, Vol. 3, No. 4, Agustus-
November 2014, h. 13-21.

Mahfiana, Layyin, “Perlindungan Hukum Terhadap Tersangka Anak sebagai


Upaya Melindungi Hak Anak”, Muwâzâh, Vol. 3, No. 1, Juli 2011, h
385-397.

Sudanto A., “Penerapan Hukum Pidana Narkotika Di Indonesia”, ADIL: Jurnal


Hukum, 2017, Vol. 7, No.1, h. 137-161.

Syahputra T., Elfitriani, Maya W R., “Implementasi Sistem Pakar Untuk


Mengidentifikasi Pecandu Narkoba Menggunakan Metode Teorema
Bayes”, Jurnal Sains dan Komputer (Saintikom). Vol. 18, No.2, Agustus
2019, h 111-118.

Tarigan F A R., “Upaya Diversi Bagi Anak Dalam Proses Peradilan”, Lex
Crimen, Vol. 4, No. 5, Juli 2015. h 104-112.

Widari, Tatik Mei, “Pemenuhan Hak Pendidikan Anak Didik Pemasyarakatan Di


Lembaga Pemasyarakatan Anak” DIH, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No.
15, Februari 2012, 28-47.
50

Internet:

Humas BNN “Press Release Akhir Tahun, Kepala BNN : Jadikan Narkoba Musuh
Kita Bersama!” <https://bnn.go.id/press-release-akhir-tahun-kepala-
bnn/> (20 Desember 2019).

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), “Sejarah Polri”, Website Resmi


Kepolisian Negara Republik Indonesia, <https://www.polri.go.id/tentang-
sejarah>, (2019).

Pengadilan Negeri Kefamenanu, “Pengadilan Anak”, 2014, <http://pn-


kefamenanu.go.id/prosedur-berperkara-pidana/pengadilan-anak>, (2014).

Karya Ilmiah:

Irfandhy Idrus, 2016, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pencurian Oleh
Anak Serta Penerapan Diversi (Studi Kasus Nomor: 235/Pid.Sus-
Anak/2015/PN.Mks), Skripsi, Makassar : Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin.

Sumber Data Primer:

Data Penyalaguna Narkotika di Unit Narkoba Polresta Malang Kota.

Komunikasi langsung dengan Bambang Heryanta S.E Bareskoba, Kanit Bin luh
Sat Reskoba, Kepolisian Resort Kota Malang. 30 Agustus 2020.

Peraturan Perundang-undangan:

Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention on


the Rights of the Child Konvensi Hak-Hak Anak.

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum
Acara Pidana.

Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik


Indonesia.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Psikotropika.


51

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem


Peradilan Pidana Anak.

Anda mungkin juga menyukai