SKRIPSI
Oleh:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WISNUWARDHANA
MALANG
September 2020
1
ii
SKRIPSI
Oleh:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WISNUWARDHANA
MALANG
September 2020
ii
iii
SKRIPSI
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Fakultas Hukum
Universitas Wisnuwardhana
Oleh:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WISNUWARDHANA
MALANG
September 2020
iii
iv
Oleh:
Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Wisnuwardhana
iv
v
Oleh:
Tim Penguji:
Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Wisnuwardhana
v
vi
HALAMAN PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa karya skripsi ini tidak pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi lain, dan sepanjang
pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah di tulis atau
diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam skripsi ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan adanya unsur plagiasi, duplikasi atau
replikasi karya ilmiah orang lain, maka itu merupakan tanggungjawab pribadi
saya dan saya bersedia dibatalkan gelar kesarjanaan serta diproses menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Materai
6000
vi
vii
RIWAYAT HIDUP
DATA DIRI
1 Nama Lengkap : Diky Candra Purnama
2 Tempat/Tanggal Lahir : Malang / 27 Februari 1985
3 Jenis Kelamin : Laki - laki
4 Agama : Islam
5 Alamat Rumah : Jalan Murcoyo III RT. 18/05
Desa Gondanglegi Wetan
Kec. Gondanglegi Kab. Malang
6 Telpon Rumah / HP : 085204131942
7 Email : rafli.kusuma@gmail.com
8 Asal Instansi : Polsek Tirtoyudo Polres Malang
9 Alamat Instansi : Jalan Ahmad yani Kepanjen
10 Telpon Instansi : 0341-896110
11 Email Instansi : sektirtoyudo@gmail.com
DATA PENDIDIKAN
No Tingkat Jurusan Tahun Tempat
1 SD - 1997 SDI Salafiyah Khairuddin
2 SMP 2000 SMPN 01 Turen
3 SMA/SMK IPS 2003 SMAN 01 Kepanjen
PENGALAMAN KERJA
NO RINCIAN TAHUN
1 Polri 2004 -sekarang
PENGALAMAN SEMINAR/LOKAKARYA/PELATIHAN
NO RINCIAN TAHUN
KETERANGAN KELUARGA
1. Orangtua
No. Nama Tempat Tanggal Pekerjaan
vii
viii
lahir lahir
1 Alm. Mohammad Haqqi S.Pd Banyuwangi 06-02-1960 PNS
2 Hj. Naning Mulyaningrum Malang 10-10-1968 Wiraswasta
2. Isteri/Suami
No. Nama Tempat lahir Tanggal lahir Pekerjaan
1 Heny Apriliyanti Mojokerto 09-04-1990 Wiraswasta
3. Anak
No Nama Jenis Tempat Tanggal Pekerjaan
. kelamin lahir lahir
1 Rahmansyah Aziz Laki-laki Malang 07-06-2007 Pelajar
Pratama
viii
ix
Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-
Nya sehingga Skripsi dengan judul:“Implementasi Hukum Penyidikan
terhadap Anak Selaku Tersangka Tindak Pidana Penyalahgunaan
Narkotika” ini dapat terselesaikan dengan baik dan lancar.
Penelitian dan penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian
dari persyaratan guna memperoleh gelar sarjana, pada Program Studi Sarjana
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana dan merupakan kesempatan
berharga sekali untuk menerapkan beberapa teori yang diperoleh selama
menempuh pendidikan dalam situasi dunia nyata. Tanpa kesempatan, bimbingan,
masukan, serta dukungan semangat dari berbagai pihak, tentunya skripsi ini tidak
akan terwujud sebagaimana bentuknya saat ini.
Sehubungan dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis menyampaikan
banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, baik
moril maupun materiil, yaitu:
(1) Prof. Dr. H. Sukowiyono, SH., MH, selaku Rektor Universitas
Wisnuwardhana, yang juga selaku Pembimbing I yang telah memberikan
arahan dan bimbingan untuk perbaikan Skripsi ini
(2) Dr. Bambang Winarno, SH.MS, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Wisnuwardhana.
(3) Dr. Mukhammad Soleh, SH,.M.Hum, selaku Wakil Dekan Fakultas Hukum
Universitas Wisnuwardhana, dan selaku Pembimbing II yang telah
memberikan arahan dan bimbingan untuk perbaikan Skripsi ini
(4) Wahyu Hindiawati, SH., MH, selaku Ketua Program Studi Sarjana Hukum
Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana
(5) Para Tim Penguji Skripsi
(6) Para dosen pada Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana;
(7) Para Pegawai dan Staf Administrasi pada Fakultas Hukum Universitas
Wisnuwardhana
(8) Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana
ix
x
x
xi
ABSTRAK
xi
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL 1
LEMBAR PERSETUJUAN 2
LEMBAR PENGESAHAN 3
PERNYATAAN ORGINALITAS SKRIPSI 4
KATA PENGANTAR 5
ABSTRAKS 7
DAFTAR ISI 8
DAFTAR SINGKATAN 10
BAB I PENDAHULUAN 11
A. LATAR BELAKANG 11
B. RUMUSAN MASALAH 15
C. TUJUAN PENELITIAN 16
D. MANFAAT HASIL PENELITIAN 16
E. SISTEMATIKA PEMBAHASAN 17
BAB II KAJIAN TEORITIK 17
A. PENGATURAN ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA DI
INDONESIA 19
B. PENYEBAB ANAK MELAKUKAN TINDAK PIDANA
BERDASARKAN TEORI ASOSIASI DIFERENSIAL 24
C. DASAR HUKUM ANGGOTA KEPOLSIAN NEGARA RI DALAM
PENYIDIKAN ANAK PENYALAHGUNA NARKOTIKA 28
BAB III METODE PENELITIAN 42
A. JENIS PENELITIAN DAN PENDEKATAN 42
B. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN 42
C. JENIS DAN SUMBER DATA 43
D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA 44
E. TEKNIK ANALSIS DATA 45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 46
A. PELAKSANAAN PENYIDIKAN TERHADAP ANAK SELAKU
TERSANGKATINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN
NARKOTIKA46
1. Proses Penyidikan Terhadap Anak Penyalah Guna Narkotika Di Unit
Reskoba Polresta Malang Kota 46
2. Pelaksanaan Ketentuan Hukum Acara Pidana Dalam Penyidikan
Terhadap Anak Penyalahguna Narkotika 50
xii
xiii
xiii
xiv
DAFTAR SINGKATAN
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
1
Hamzah Andi., dan RM Surachman, 2004, Kejahatan Narkotika Psikotropika, Jakarta :
Sinar Grafika, h. 5.
2
Ahmadi Sofyan, 2007, Narkoba Mengincar Anak Muda, Jakarta : Prestasi Pustaka, h.12.
2
perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi dan seimbang anak
adalah bukan orang dewasa dalam bentuk kecil, melainkan pendapat Suryana
manusia yang oleh karena kondisinya belum mencapai taraf pertumbuhan dan
perkembangan yang matang maka segala sesuatunya berbeda dengan orang
dewasa pada umumnya.3
Anak menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2012
tenteng sistem peradilan Anak pada Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa
anak.yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak
yang berumur 12 (dua belas) tahun,tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun
yang diduga melakukan tindak pidana Anak memerlukan perlindungan dan
pemeliharaan khusus dari orang tuanya. Seperti pada masa sekarang ini telah
banyak anak yang mengkonsumsi narkotika, sehingga diperlukan upaya
pembekalandan perlindungan terhadap anak agar anak terhindar dari
penyahgunaan narkotika.
Penyalagunaan narkotika merupakan kejahatan yang secara kriminalogis
dikategorikan sebagai kejahatan tanpa korban (Crime Without Victim), Kejahatan
ini tidak diartikan sebagai kejahatan yang tidak menimbulkan korban tetapi
mempunyai makna bahwa korban dari kejahatan ini adalah dirinya sendiri. Made
darma menyatakan bahwa dengan kata lain, si pelaku sekaligus sebagai korban
kejahatan.4
Sedangkan Firganefi dan Deni Ahmad berpendapat kriminalogis itu sendiri
berati ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-
luasnya.5 Masa remaja seorang anak dalam suasana atau keadaan peka, Karena
kehidupan emosionalnya yang sering berganti-ganti. Rasa ingin tahu yang lebih
dalam lagi terhadap sesuatu yang baru, kadang kala membawa mereka kepada hal-
hal yang bersifat negatif. Penyalagunaan narkotika yang dilakukan anak
merupakan suatu penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum,
sangat disayangkan apabila anak telah mengalami pengulangan tindak pidana,
dalam pergaulan sehari-hari, khususnya diantara para penjahat dan preman
3
Suryana, 2006, Keperawatan Anak Untuk Siswa, Jakarta : EGC, h. 33.
4
Made Darma Weda, 2004, Kronik Dalam Penegakan Hukum Pidana, Jakarta : Guna
Widya, h. 8.
5
Firganefi dan Deni Ahmad, 2013, Hukum Kriminologi. Bandar Lampung : PKKPUU FH
UNILA, h 1.
3
6
Sudarsono, 2005, Kenakalan Remaja, Jakarta : Rineka Cipta, h. 68.
77
Trinanda Syahputra, et al., “Implementasi Sistem Pakar Untuk Mengidentifikasi Pecandu
Narkoba Menggunakan Metode Teorema Bayes”, Jurnal Sains dan Komputer (Saintikom). Vol.
18, No.2, Agustus 2019, h. 111.
8
Hari Sangsaka, 2003, Narkotika Dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Praktisi Serta
Penyuluhan Masalah Narkoba, Bandung : Mandar Maju, h. 58.
4
generasi muda, telah mengisi dan menambah pola baru dalam kriminalitas di
indonesia. Untuk itu pihak kepolisian diharapkan selalu siap siaga memerangi dan
menaggulangi bahaya penyalahgunaan narkoba tersebut, dengan menjalin
kerjasama antara instansi-instansi terkait dan juga adanya peran serta dari
masyarakat luas.9 Upaya seperti ini adalah hal yang paling dominan baik guna
kewaspadaan dan kelangsungan untuk meminimkan jumlah penyalaguna
narkotika.
Menurut data dari Badan Narkotika Nasional, jumlah pemakaian narkoba di
Indonesia mencapai 2% dari jumlah penduduk di Indonesia atau sebanyak 4 juta
orang. Sebanyak 20 % diantaranya termasuk kategori anak-anak karena berusia
dibawah umur 18 tahun. Jenis narkoba yang paling banyak dipakai adalah ganja,
sabu dan ekstasi. Para penggunanya sebagian besar dari golongan ekonomi
menengah kebawah termasuk anak-anak jalanan. Merupakan angka benar-benar
memperhatikan.10
Hasil observasi awal penulis di Polresta Malang Kota di Ruang Reserse Unit
Narkoba (tanggal 23 September 2016), yang dilakukan pada Satuan Reserse
Kriminal Polres Kota Malang, menunjukan bahwa jumlah tindak pidana
penyalahgunaan narkotika yang terjadi di Kota Malang pada tahun 2014 sebanyak
3 kasus, tahun 2015 sebanyak 2 kasus, kemudian pada tahun 2016 sebanyak 2
kasus, dan sampai bulan mei 2017 sebanyak 2 kasus penyalahgunaan narkotika
oleh anak sehingga hanya tercatat sebanyak 9 kasus yang dilakukan oleh anak11.
Sungguh sangat mengkhawatirkan dimana para penegak hukum dan mesyarakat
masih sangat aktif dalam kegitan sosialisasi juga pemberantasan kejahatan
narkotika, apapun bentuknya masih menimbulkan kekhawatiran dan keresahan
dari masyarakat terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak. Upaya-upaya
yang otentik dan mengarah pada kerjasama antar masyarakat terutama pada
generasi-generasi bangsa bisa mengerti dan dampak bahaya tentang narkotika.
Kejahatan Narkotika dan psikotropika telah berkembang menjadi kejahatan
yang bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan anak. Anak
99
Ibid
10
Humas BNN “Press Release Akhir Tahun, Kepala BNN : Jadikan Narkoba Musuh Kita
Bersama !” <https://bnn.go.id/press-release-akhir-tahun-kepala-bnn/> (20 Desember 2019).
11
Data Penyalaguna Narkotika di Unit Narkoba Polresta Malang Kota.
5
adalah bagian dari generasi muda merupakan suatu kekuatan sosial yang sangat
berperan dalam pembangunan bangsa dan negara. Di tangan generasi muda dan
anak terletak masa depan bangsa yang kelak akan menjadi pemimpin dalam
membangun hari depan yang lebih baik. Sebagai generasi penerus perjuangan
bangsa Indonesia yang mempunyai hak dan kewajiban ikut serta dalam
membangun negara dan bangsa Indonesia, generasi muda dalam hal ini anak
merupakan subyek dan obyek pembangunan nasional dalam usaha mencapai
tujuan bangsa Indonesia yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.12
Begitu juga dengan pengaruh langsung dari nakotika selain merusak moral
dan fisik bahkan penyakit yang mematikan, HIV atau AIDS sebagian menyebar
dari penggunaan narkotika. Dari perkembangan kasus narkotika yang menjadi
korban adalah di kalangan remaja, bahkan diantaranya terdapat beberapa anak
sekolah dasar. Suatu perbuatan kejahatan diluar batas toleransi yang dilakukan
jaringan pengedar narkotika. Kejahatan narkotika bila tidak ditanggulangi secara
bersama-sama (pemerintah dan masyarakat), maka bisa semakin banyak korban
berjatuhan, terutama generasi muda yang akan tumbuh13.
B. Rumusan Masalah.
Dari uraian yang dikemukakan dalam latar belakang masalah di atas, maka
dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan penyidikan terhadap anak selaku tersangka tindak
pidana penyalahgunaan narkotika?
2. Apa saja faktor-faktor penghambat pelaksanaan penyidikan terhadap anak
selaku tersangka tindak pidana penyalahgunaan narkotika?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan penyidikan terhadap anak
selaku tersangka tindak pidana penyalahgunaan narkotika
2. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat pelaksanaan penyidikan
terhadap anak sebagai tersangka tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis :
a. Sebagai kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya
pengetahuan mengenai penyebab terjadinya penyalahgunaan narkotika yang
dilakukan anak-anak dan khusunya penanganan Polri untuk pelaku anak
sebagai penyalahgunaan narkotika sehingga Hasil penelitian dapat memberikan
kegunaan untuk mengembangkan ilmu hukumkhususnya hukum acara pidana
dalam hal penyalagunaan Narkotika.
b. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan dalam penelitian yang lain yang
sesuai dengan bidang peneliti penulis yang meneliti dimana harus ada
penerapan yang sesuai.
2. Manfaat Praktis :
a. Bagi aparat penegak hukum, khususnya masukan kepada pihak Kepolisian
Resort Kota Malang Kota dapat lebih meningkatkan peranannya dalam upaya
penanganannya terhadap anak sebagai penyebab penyalahgunaan narkotika.
b. Bagi pihak masyarakat umum, dapat menjadi informasi baru dan dapat
memperdalam menindak anak-anak, agar semakin dapat berhati-hati terhadap
anak-anak yang menyalahgunakan narkotika
c. Bagi penasehat hukum agar dapat lebih meningkatkan peranannya untuk
mendampingi dan lebih dalam upaya pembinanaan terhadap anak yang
menyalahgunakan narkotika sehingga dapat meminimalisir pelaku
penyalahgunaan narkotika.
d. Bagi BNN yang ditunjuk negara buat menangulangi khususnya terjadinya
penyebab penyalahgunaan narkotika dapat berperan aktif dan penuh guna
menurangi dan menghentikan penyalahgunaan narkotika.
7
E. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini penulis membagi menjadi lima bab yaitu:
BAB I : Pendahuluan yang berisi latar belakang permasalahan, rumusan
masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.
BAB II : Kajian Pustaka membahas konsep tentang pengaturan anak
sebagai pelaku tindak pidana di Indonesia, penyebab anak
melakukan tindak pidana berdasarkan teori asosiasi diferensial,
dan dasar hukum anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam penyidikan anak penyalaguna narkotika.
BAB III : Metode Penelitian, berisi tentang jenis penelitian, pendekatan
penelitian, bahan hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, dan
analisis hasil penelitian.
BAB IV : Pembahasan mengenai hasil pengumpulan data dan analisis
pelaksanaan penyidikan terhadap anak selaku tersangka tindak
pidana penyalahgunaan narkotika, dan faktor-faktor penghambat
pelaksanaan penyidikan terhadap anak sebagai tersangka tindak
pidana penyalahgunaan narkotika.
BAB V : Penutup, berisi tentang kesimpulan dari pembahasan dan saran-
saran yang diberikan.
8
BAB II
KAJIAN TEORITIK
14
Nevey Varida Ariani, “Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Upaya Melindungi Kepentingan Anak”, Jurnal Media
Hukum, Vol. 21 No.1 Juni 2014, h 110.
15
Pengadilan Negeri Kefamenanu, “Pengadilan Anak”, 2014, <http://pn-
kefamenanu.go.id/prosedur-berperkara-pidana/pengadilan-anak>, (2014).
8
9
19
Soetodjo dan Wagiati, 2006. Hukum Pidana Anak. Bandung : PT Refika Aditama. h 51
12
yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi
hukum.20
5. Pemeriksaan Terhadap Anak Sebagai Saksi atau Anak Korban
UU SPPA ini memberikan kemudahan bagi anak saksi atau anak korban
dalam memberikan keterangan di pengadilan. Saksi/korban yang tidak dapat hadir
untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan dengan alasan apapun
dapat memberikan keterangan di luar sidang pengadilan melalui perekaman
elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan setempat, dengan
dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum, dan Advokat atau pemberi bantuan
hukum lainnya yang terlibat dalam perkara tersebut. Anak saksi/korban juga
diperbolehkan memberikan keterangan melalui pemeriksaan jarak jauh dengan
menggunakan alat komunikasi audiovisual. Pada saat memberikan keterangan
dengan cara ini, anak harus didampingi oleh orangtua/wali, Pembimbing
Kemasyarakatan atau pendamping lainnya.21
6. Hak Mendapatkan Bantuan Hukum
UU SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana untuk
mendapatkan bantuan hukum tanpa mempermasalahkan jenis tindak pidana telah
dilakukan. Anak berhak mendapatkan bantuan hukum di setiap tahapan
pemeriksaan, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun
tahap pemeriksaan di pengadilan. Anak Saksi/Anak Korban wajib didampingi
oleh orang tua/Wali, orang yang dipercaya oleh anak, atau pekerja sosial dalam
setiap tahapan pemeriksaan. Akan tetapi, jika orang tua dari anak tersebut adalah
pelaku tindak pidana, maka orang tua/walinya tidak wajib mendampingi.22
7. Lembaga Pemasyarakatan
Anak yang belum selesai menjalani pidana di Lembaga Pembekalan Khusus
Anak (LPKA) dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke
lembaga pemasyarakatan pemuda Pengaturan tersebut tidak ada dalam Pasal 61
UU Pengadilan Anak. Walaupun demikian, baik UU SPPA dan UU Pengadilan
20
Amelia Geiby Lembong, “Kajian hukum terhadap sistem pemidanaan anak menurut
undang-undang no. 11 tahun 2012”, Lex Crimen, Vol. 3, No. 4, Agustus-November 2014, h 16.
21
Afifah, Wiwik dan Lessy, Gusrin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Saksi
Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, DIH, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No. 20, Agustus 2014, h
69.
22
Layyin Mahfiana, “Perlindungan Hukum Terhadap Tersangka Anak sebagai Upaya
Melindungi Hak Anak”, Muwâzâh, Vol. 3, No. 1, Juli 2011, h 389.
13
23
Tatik Mei Widari, “Pemenuhan Hak Pendidikan Anak Didik Pemasyarakatan Di
Lembaga Pemasyarakatan Anak” DIH, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 15, Februari 2012, h 37.
24
Edwin H Suterland pada tahun 1970 dalam bukunya Principle of Criminology.
25
Santoso, Topo dan Zulfa, Eva Achjani, 2008, Kriminologi, Jakarta : Grafindo, h 75
14
Hal ini tidak berarti bahwa hanya kelompok pergaulan dengan penjahat
akan menyebabkan seseorang berprilaku kriminal. Yang terpenting adalah isi dari
proses komunikasi dengan orang lain. Hal ini jelas menerangkan bahwa
kejahatan atau perilaku jahat itu timbul karena komunikasi dengan orang lain
yang jahat pula. Pada tahun 1947, Sutherland memaparkan versi kedua nya yang
lebih menekankan pada semua tingkah laku dapat dipelajari dan mengganti
istilah social disorganizationdengan differential social organization. Teori ini
menentang bahwa tidak ada tingkah laku jahat yang diturunkan dari kedua
orangtuanya. Pola perilaku jahat tidak diwariskan tetapi dipelajari melalui suatu
pergaulan yang akrab.
Differential Social organization mengemukakan bahwa kelompok-
kelompok sosial tertata secara berbeda, beberapa terorganisasi dalam mendukung
aktivitas kriminal dan yang lain terorganisasi melawan aktivitas kriminal.
Menurut Sutherland perilaku jahat itu dipelajari melalui pergaulan yang dekat
dengan pelaku kejahatan yang sebelumnya dan inilah yang merupakan proses
differential association. Lebih lanjut, menurutnya setiap orang mungkin saja
melakukan kontak (hubungan) dengan kelompok yang terorganisasi dalam
melakukan aktivitas kriminal atau dengan kelompok yang melawan aktivitas
kriminal26. Dan dalam kontak yang terjadi tersebut terjadi sebuah proses belajar
yang meliputi teknik kejahatan, motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi
melakukan suatu kejahatan.
Dasar dari differential social organization theory adalah sebagai berikut :
1. Criminal behavior is learned (Perilaku kejahatan dipelajari);
2. Criminal behavior is learned in Interaction with other person in a proccess
of communication; (Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan
orang lain dari komunikasi);
3. The principal part of the learning of criminal behavior occurs within intimate
personal groups (Dasar perilaku jahat terjadi dalam kelompok pribadi yang
intim);
4. When criminal behavior is learned, the learning includes (a) techniques of
committing the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very
26
Effendy, 1983, Ruang Lingkup Kriminologi, Bandung : Alumi.
15
simple and (b) the specific direction of motives, drives, rationalizations, and
attitudes (Ketika perilaku jahat dipelajari, pembelajaran termasuk juga teknik
melakukan kejahatan yang sulit maupun yang sederhana dan arah khusus dari
motif, dorongan, rasionalisasi, dan sikap-sikap);
5. The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the
legal codes as favorable or unfavorable (Arah khusus dari motif dan
dorongan dipelajari dari definisi aturan hukum yang menguntungkan atau
tidak menguntungkan);
6. A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to
violation of law over definitions unfavorble to violation of law (Seseorang
menjadi delinkuen disebabkan pemahaman terhadap definisi-definisi yang
menguntungkan dari pelanggaran terhadap hukum melebihi definisi yang
tidak menguntungkan untuk melanggar hukum);
7. Differential associations may vary in frequency, duration, priority, and
intencity (Asosiasi yang berbeda mungkin beraneka ragam dalam
frekuensi, lamanya, prioritas, dan intensitas);
8. The process of learning criminal behavior by association with criminal and
anticriminal patterns involves all of the mechanism that are involved in any
other learning (Proses pembelajaran perilaku jahat melalui persekutuan
dengan pola-pola kejahatan dan anti kejahatan meliputi seluruh mekanisme
yang rumit dalam setiap pembelajaran lainnya);
9. While criminal behavior is an expression of general needs and values, it is
not explained by those general needs and values, since noncriminal behavior
is an expression of the same needs and values (Walaupun perilaku jahat
merupakan penjelasan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum
tersebut sejak perilaku tidak jahat adalah sebuah penjelasan dari kebutuhan
dan nilai nilai yang sama);
Dari 9 proposisi ini, dapat disimpulkan bahwa menurut teori ini tingkah
laku jahat dapat dipelajari melalui interaksi dan komunikasi yang dipelajari
dalam kelompok adalah teknik untuk melakukan kejahatan dan alasan alasan
yang mendukung perbuatan jahat tersebut. Dengan diajukannya teori ini,
16
27
Ibid.
17
28
Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara
Pidana
18
29
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), “Sejarah Polri”, Website Resmi
Kepolisian Negara Republik Indonesia, <https://www.polri.go.id/tentang-sejarah>, (2019).
30
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
19
Sedangkan dalam Konvensi Hak-hak Anak, anak adalah setiap manusia yang
berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku bagi
anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Anak adalah
setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum
menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah
demi kepentingannya.31
Perlindungan anak lebih diutamakan dalam pemahaman terhadap hak-hak
anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki substansi yang lemah
(kurang) dan di dalam hukum dipandang sebagai subyek hukum yang ditanamkan
dari bentuk pertanggungjawaban, sebagaimana layaknya seorang subyek hukum
yang normal. Pengertian anak dalam lapangan hukum pidana menimbulkan aspek
hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang
(kejahatan dan pelanggaran pidana) untuk membentuk kepribadian dan tanggung
jawab yang akhirnya anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak dan masa
depan yang lebih baik.32
Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk
dapat disebut sebagai seorang anak. Yang dimaksud dengan batas usia anak
adalah pengelompokan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak dalam
status hukum sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau
menjadi seorang subyek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri
terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukannya.
Secara umum dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, batas maksimal
manusia dikelompokkan sebagai anak adalah 18 (delapan belas) tahun. Sesuai
Undang-Undang Pengadilan Anak batas usia anak dapat diperlakukan atas suatu
pelanggaran hukum adalah 8 (delapan) sampai 18 (delapan belas) tahun.33
Penindakan secara hukum pidana anak. ditentukan berdasarkan perbedaan
umur anak, yaitu bagi anak yang masih di 8-18 tahun dan melakukan tindak
pidana diperlakukan atas suatu pelanggaran hukum dengan cara yang berbeda dari
perlakuan terhadap orang dewasa setelah melampaui batas usia 18 tahun maka
31
Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia .
32
Weda, 2004, Kronik dalam penegakan hukum pidana, Jakarta : Guna Widya, h 80.
33
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
20
anak yang melakukan tindak pidana ditangani dengan cara yang berlaku terhadap
orang dewasa.
Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Perlidungan Anak, hak asasi
manusia dan Beijing Rules berumur 8 (delapan) tahun sampai 12 (dua belas)
tahun hanya dapat dikenakan tindakan, seperti dikembalikan kepada orang tuanya,
ditempatkan pada organisasi social atau diserahkan kepada Negara, sedangkan
terhadap anak yang telah mencapai umur diatas umur 12 (dua belas) tahun sampai
18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhkan pidana.34
Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental, sosiologi, psikologis, pedegogis (pendidikan) sosial
anak35. Dasar pertimbangan ini dalam pertimbangan pemidanaan anak di bawah
umur tidaklah relevan kalau menggunakan tiga teori klasik yaitu :
1. Teori absolute atau pembalasan yaitu dalam teori pembalasan diharapkan
dapat menjarakan pelaku tindak pidana
2. Teori relative atau tujuan yaitu tidak seluruhnya dapat dikesampingkan dalam
pemindanaan anak di bawah umur sebab teori ini tidak saja masih
mempertimbangkan kepentingan pelaku, korban, masyarakat tetapi juga
kepentingan masa depan pelaku, termasuk juga memberikan pendidikan
terhadap anak agar menjadi insaf dan sadar,
tidak mau mengulangi lagi perbuatannya dan dapat menjadi manusia yang
baik.
3. Teori gabungan atau konvergensi yaitu teori yang mengambil dari teori
pembalasan dan teori relative di atas, jelas tidak relevan lagi dengan teori
pemindanaan pada saat sekarang, karena dalam teori yang masih berlaku
toeri,
pembalasan yang hanya memandang kejadian masa lampau tanpa
memandang kepentingan masa depan pelaku tindak pidana yang acapkali
menimbulkan penderitaan tanpa batas.36
34
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
35
ibid
36
Taufik Makarao, 2013, Pengkajian Hukum Tentang Penerapan Restorative Justice
Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak, Laporan Tim Pengkajian
Hukum, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI.
21
37
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention on the
Rights of the Child konvensi hak-hak anak.
38
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
22
39
Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
23
Anak) dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 2 menyatakan secara jelas status dan
kedudukan anak nakal yang menyebutkan bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Pengadilan Anak, Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah
mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Pengadilan Anak.
a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau
b. Anak melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang undangan maupun menurut peraturan hukum
lain hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Kenakalan anak yang menunjuk pada perbuatan anak nakal adalah istilah
yang diambil dari istilah asing Juvenile Deliquency yang berasal dari kata
juvenile yang merupakan sinonim dari kata young person (orang yang muda),
youngster (masa muda), youth (kaum muda), child (anak-anak), atau adolescent
(remaja); dan deliquency yang menunjuk pada tindakan atau perbuatan yang
dilakukan oleh anak, dimana jika tindakan atau perbuatan itu dilakukan oleh
orang dewasa merupakan suatu kejahatan. Terdapat dua bentuk deliquency yaitu
criminal Deliquency offence atau Juvenile crime dan status Deliquency offence40.
Tindakan atau perbuatan yang tergolong criminal deliquency offence seperti
pembunuhan, perampokan, sergapan, dan pencurian. Sedangkan tindakan atau
perbuatan status deliquency offence antara lain pembolosan; meninggalkan
rumah; terbiasa menentang perintah yang sah menurut hukum dan yang layak
dari suatu orang tua, wali, atau penjaga/wali; tak mau patuh, tidak dapat
dikendalikan, atau perilaku yang tak terkendalikan, dan pelanggaran hukum
minum minuman keras.
Deliquency juga berarti doing wrong, terabaikan/mengabaikan, yang
kemudian diperluas artinya sebagai jahat, asocial, criminal, pelanggar aturan,
pembuat rebut, pengacau dan lain-lain . Dengan demikian secara etimologis
juvenile deliquency adalah kejahatan anak, dan dilihat dari pelakunya maka
juvenile deliquency memiliki arti penjahat anak atau anak jahat.41
40
Rusli Effendy, 1983, Ruang Lingkup Kriminolgi, Alumi, Bandung. Hal 23
41
Irfandhy Idrus, 2016, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pencurian Oleh Anak
Serta Penerapan Diversi (Studi Kasus Nomor: 235/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Mks), Skripsi,
Makassar: Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, h 13.
24
Monks, F.J.K dan Haditono, S.R. 1999. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : Gadjah
42
43
Mulia Astuti, 2011, “Anak Berhadapan Dengan Hukum Ditinjau Dari Pola Asuhnya
Dalam Keluarga” (Studi Kasus di Provinsi Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Provinsi Nusa Tenggara Barat), Jurnal Informasi, Vol. 16, No. 01, 2011, h 5.
44
Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Anak-anak. Edisi Enam, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hal 55
26
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I
dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda
paling sedikit Rp 800.000.000 (Delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 8.000.000.000 (Delapan milyar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5
(lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3.
Pasal 112 :
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun atau pidana
denda paling sedikit Rp 800.000.000 (Delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 8.000.000.000 (Delapan milyar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
narkotika Golongan I sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) beratnya
melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3.
Pasal 113 :
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika Golongan I, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000 (Satu
28
pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000 (Delapan ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 8.000.000.000 (Delapan milyar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, mentransito
narkotika Golongan I sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) yang dalam
bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima)
batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram,
pelaku dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3.
Pasal 116 :
(1).Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika
Golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika Golongan I
untuk digunakan orang lain, dipidana dengan penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling
sedikit Rp 1.000.000.000 (Satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp
10.000.000.000 (Sepuluh milyar rupiah).
(2). Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian
narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati, cacat permanen,
pelaku dipidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
1/3.
Pasal 117 :
(1).Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan II, dipidana dengan
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
atau pidana denda paling sedikit Rp 600.000.000 (Enam ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp 5.000.000.000 (Lima milyar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
narkotika Golongan II sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) beratnya
melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan penjara paling singkat 5
30
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3.
Pasal 127 :
(1). Setiap penyalah Guna:
a. Narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun.
b. Narkotika golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan
c. Narkotika golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun.
(2). Dalam memutus perkara sebagiamana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55,
dan Pasal 103.
(3). Dalam hal panyalaguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibuktikan atau terbukti sebagia korban penyalahgunaan narkotika,
penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial.
Dengan demikian, dari uraian-uraian di atas tentang bentuk-bentuk
penyalahgunaan narkotika sebagaimana yang diatur Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, maka tindak pidana penyalahgunaan narkotika
dapat dikelompokan sebagai berikut ;
a. Penguasaan narkotika.
b. Produksi narkotika.
c. Jual-beli narkotika.
d. Pengangkutan dan transito narkotika.
e. Penyalahgunaan narkotika.
31
32
BAB III
METODE PENELITIAN
47
Soejono Sukamto, 1996, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Pres, h 79.
33
49
Soejono Soekamto, Op Cit, 1986 h 250.
36
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
35
37
diancam yang membuat korban mau tidak mau menggunakan narkotika atau
karena ketidaktahuan yang bersangkutan jika yang digunakan adalah narkotika hal
seperti inilah yang dikatakan (dibujuk, ditipu atau diperdaya).
Dalam proses penyelesaian perkara penyalahgunaan narkotika, dimana
untuk mendapatkan titik terang suatu perkara penegak hukum dapat mengawali
dari tahap penyelidikan. Berdasarkan pedoman pelaksanaan KUHAP karena
proses penyelidikan dimaksudkan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana dan selanjutnya untuk menentukan dapat
tidaknya peristiwa tersebut dilakukan penyidikan" Peran penyidik untuk
mengungkap kasus tindak pidana narkotika sangat berarti dan berdampak baik
terhadap proses pemberantasan tindak pidana narkotika yang semakin meningkat
dengan korban yang semakin banyak.
Proses penyidikan di unit Reskoba Malang Kota sudah sesuai dengan
prosedur dimana disaat dilakukan pemeriksaan terhadap anak- anak sebagai
pelaku penyalahgunaan narkotika, baik yang dilakukan laki-laki atau perempuan
untuk anak-anak adalah sama dalam penanganan penyidikan.
Seorang penyidik tidak menggunakan seragam kepolisian dan tempat yang
dibuat lakukan penyidikan sesuai dengan peraturan bahwa dilakukan ditempat
khusus pemeriksaan anak-anak sehingga dampak psikologis anak-anak yang
terlibat dalam penyalahgunaan narkotika bisa lebih baik, dengan tetap
berpedoman pada undang-undang yang berlaku antara lain, Kitab Undang Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang undang RI nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan peraturan pemerintah Repulik
Indonesia nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP.
Proses pelaksanaan penyidikan tindak pidana penyalahgunaan narkotika
oleh pihak Polresta Malang adalah suatu sistem atau cara penyidikan yang
dilakukan untuk mencari, serta mngumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya
sesuai dengan cara yang diatur dalam KUHAP. Hasil penelitian yang dilakukan
peneliti, bahwa pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana penyalahgunaan
narkotika (Studi Kasus di Polresta Malang Kota) yaitu Polresta Malang Kota
menerima Laporan dari masyarakat setempat tentang adanya dugaan tindak pidana
38
Republik Indonesia atau Pejabat lain yang ditunjukkan oleh Kepala Kepolisian
Republik Indonesia.
Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah telah berpengalaman sebagai penyidik tindak
pidana yang dilakukan oleh orang dewasa, mempuyani minat, perhatian, dedikasi,
dan memahami masalah anak. Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, tugas
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibebankan kepada,
Penyidik yang melakukan tugas penyidikan bagi tindak pidana yang dilakukan
oleh orang dewasa; atau Penyidik lain yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
Undang-undang yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 42 Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak yang berisi ketentuan, penyidik wajib memeriksa tersangka
dalam suasana kekeluargaan, dalam melakukan penyidikan terhadap anak nakal,
penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing
Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran
dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas
kemasyarakatan lainnya, dan proses penyidikan terhadap perkara anak nakal wajib
dirahasiakan.
Hasil wawancara dengan Bambang Heryanta51, pelaku anak yang terkait
dengan ketentuan Pasal 32. Ayat 1, 2, dan 3 yang bisa ditahan itu anak yang
berumur 14 (empat belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dengan ancaman
7 (tujuh) tahun atau lebih. Sedangkan Pasal 33 Ayat 1, 2, dan 3 terhadap anak,
penyidik melakukan penahanan 7 (tujuh) hari paling lama bisa diperpanjang
hanya 8 hari. Dalam waktu kurang lebih 15 hari harus sudah tahap 2 tersangka
harus sudah diserahkan ke Kejaksaan bilamana ketetuan hukum selama 15 hari
tidak terpenuhi maka harus dikeuarkan demi hukum. Penahanan terhadap Anak
dilaksanakan di LPAS yang bisa menahan anak yang terkait hukum/LPKA.
Berdasarkan Pasal 9 ayat 2 bagi tindak pidana anak, penyidik sebaiknya
memberikan kesempatan kepada anak dengan kesepakatan diversi dimana bagi
tindak pidana penyalahguna narkotika khususnya anak-anak, dikarenakan
anacamannya kurang dari 7 (tujuh) tahun. Sehinggga para penyidik, penuntut
51
Ibid
42
52
Ibid
43
dirinya sendiri dan hak-hak lain yang dimilikinya agar tercipta suatu penyidikan
tanpa adanya kekerasan terhadap anak. Perlindungan anak dibutuhkan unttuk
menjamin kesejahteraan anak, karena perlindungan anak adalah segala kegiatan
untuk menjamin dan melindungi anak serta hak-haknya untuk bisa hidup, tumbuh
berkembang dan dapat berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan.
Berdasarkan hasil penelitian dilapangan yang dilakukan oleh penulis di Unit
Reskoba Malang Kota pada dasarnya proses pelaksanaan penyidikan itu sendiri
telah dilakukan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang diatur dalam Undang-
undang pengadilan anak. Pasal 42 Undang-undang No. 3 Tahun 1997 mewajibkan
Penyidik memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan, dalam melakukan
penyidikan terhadap anak nakal, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran
dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama atau petugas kemasyarakatan
lainnya, dan proses penyidikan terhadap perkara anak nakal wajib dirahasiakan.
Proses pelaksanaan penyidikan juga dilakukan oleh penyidik yang telah
berpengalaman dan memenuhi syarat dalam Pasal 41 Ayat (1), yaitu
berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan orang dewasa,
serta mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
Proses penyidikan terhadap anak tidak selalu berjalan dengan lancar, hal ini
dikarenakan adanya beberapa faktor yang menghambat proses penyidikan. Faktor
adalah satu hal, keadaan, peristiwa yang ikut menyebabkan atau mempengaruhi
terjadinya sesuatu. Secara umum terdapat beberapa faktor-faktor yang sering
terjadi dalam proses pelaksanaan penyidikan terhadap anak, yaitu faktor internal
dan faktor eksternal.53
Pada faktor internal, pada dasarnya Unit Reskoba tidak banyak menemukan
kesulitan-kesulitan, baik didalam melakukan penangkapan maupun dalam
melakukan proses pelaksanaan penyidikan, karena pada umumnya anak-anak itu
tidak begitu menyadari dengan apa yang dilakukannya dan akibat yang
ditimbulkan oleh perbuatannya sendiri. Tetapi tidak dipungkiri bahwa dalam
proses penyidikan ada beberapa hal yang meghambat, seperti rendahnya sumber
daya manusia pelaku yang menyebabkan pelaku kesulitan dalam mencerna
53
Eryke, Herlita dan Herlambang, “Mediasi Penal Bagi Anak yang Berkonflik dengan
Hukum”, University of Bengkulu Law Journal, Vol. 5, No. 1, April 2020, h 55
44
pertanyaan dan memahami BAP, dan adanya rasa takut dalam diri pelaku. Takut
disini adalah rasa takut yang dialami oleh pelaku anak terhadap penyidik, karena
figure penyidik merupakan polisi yang membuat stigma memberi hukuman.
Selain itu takut yang sering dialami oleh pelaku adalah ancaman ketika keluar dari
penjara atau masa hukuman telah selesai, karena hal ini menyebabkan pelaku
tidak berani mengatakan kebenaran.
Faktor eksternal yang dapat ditemui oleh penyidik adalah cara dalam
memberikan pengertian terhadap orang tua/wali atau keluarga dari anak yang
melakukan tindak pidana, karena pada dasarnya mereka sulit untuk
mengintropeksi diri tentang peran mereka sebagai orang tua yang pada satu sisi
mereka sebagai bapak atau ibu dan disis lain mereka sebagai teman atau bahkan
relasi sehingga sebagaian besar orang tua menganggap sudah memberikan yang
terbaik untuk anaknya. Sehingga mereka tidak percaya kalau anaknya sampai
terlibat dalam suatu kasus atau perbuatan yang melanggar hukum atau tindak
pidana.
45
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pelaksanaan penyidikan terhadap anak selaku tersangka tindak pidana
penyalahgunaan narkotika.
Pelaksanaan penyidikan terhadap anak selaku tersangka tindak pidana
penyalahgunaan narkotika di Polresta Malang Kota sudah berjalan sesuai
prosedur. Proses penyidikan berpedoman pada KUHAP, UU Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan PP nomor 27 Tahun
1983 tentang pelaksanaan KUHAP. Hal ini dilakukan selama tidak diatur secara
khusus (atau menyimpang) dari Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika (lex specialis derogat legi generalis). Namun dengan
mempertimbangkan bahwa anak sebagai tersangka pelaku tindak pidana
penyalahgunaan narkotika, maka proses penyidikan dilaksanakan dengan
menghormati hak-hak anak, dengan menerapkan UU RI No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, dan Pasal 42 UU No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, dimana penyidik memeriksa tersangka dalam suasana
kekeluargaan, tidak menggunakan seragam kepolisian, dan prosesnya dilakukan di
tempat khusus anak. Selain itu penyidik jika diperlukan dapat meminta
pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan, ahli pendidikan,
psikolog anak, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya. Penyidik wajib
merahasiakan identitas anak, dan tidak membedakan perlakuan terhadap anak
berdasarkan jenis kelamin.
2. Faktor-faktor penghambat pelaksanaan penyidikan terhadap anak sebagai
tersangka tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
Secara garis besar terdapat dua faktor utama yang menghambat pelaksanaan
penyidikan terhadap anak sebagai tersangka tindak pidana penyalahgunaan
narkotika di Polresta Malang Kota, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal meliputi keterbatasan kognitif anak sehingga kesulitan dalam
memahami pertanyaan yang diajukan saat pemeriksaan, dan adanya rasa takut
karena penyidik sebagai petugas kepolisian yang mempunyai stigma memberikan
44
46
hukuman. Faktor eksternal umumnya berupa penolakan dari orangtua anak yang
sering tidak percaya kalau anaknya sampai terlibat dalam perbuatan yang
melanggar hukum.
B. SARAN
1. Bagi Akademisi
Agar meningkatkan frekwensi dan intensitas kajian keilmuan mengenai
fenomena anak sebagai pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Upaya
ini dapat dilakukan melalui diskusi dengan melibatkan para pakar hukum, pakar
psikologi anak, dan lembaga swadaya masyarakat pemerhati masalah anak,
dengan harapan di masa mendatang hukum dapat ditegakkan dengan tanpa
mengesampingkan hak-hak anak sebagai generasi penerus bangsa.
2. Bagi Masyarakat Umum
Diharapkan masyarakat umum turut berpartsispasi aktif dalam pencegahan
anak sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika, mengingat dampaknya yang
begitu besar bagi kehidupan bangsa dan negara di masa depan.
3. Bagi Satuan Reserse Narkoba Polresta Malang Kota
Kepada Satuan Reserse Narkoba di Polresta Malang Kota disarankan untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas personil penyidik Polri, meningkatkan
kemampuan penyidik mengenai konsep psikologi anak agar lebih mudah dalam
melakukan pendekatan dan menggali informasi dari tersangka, dengan harapan
proses penyidikan menjadi lebih optimal, dengan tetap menghormati hak-hak
konstitusional anak.
4. Bagi Penyelengggara Negara
Penyelenggara negara dalam hal ini adalah pihak kepolisian agar dapat
selalu mengikuti perkembangan teknologi dalam modus operandi peredaran
narkotika di kota Malang. Hal ini sangat di perlukan dalam mengungkap
peredaran dan penyalahgunaan narkotika khususnya anak-anak yang sekarang
sudah sangat memahami penggunaan teknologi, bagi pihak kepolisian dan tetap
berusaha untuk menjalani kerja sama yang baik kepada pihak PJT terkait kendala
yang terjadi, dan tetap menjaga citra dan nama baik Polri, khususnya Kepolisian
Resort Kota Malang.
47
48
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Pramukti, A S., Fuady P., 2014, Sistem Peradilan Pidana Anak, Yogyakarta :
Medpress Digital.
Sarwono, S.W., 2002, Psikologi Anak-Anak. Edisi Enam, Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
Sangsaka H., 2003, Narkotika Dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Praktisi
Serta Penyuluhan Masalah Narkoba, Bandung : Mandar Maju.
Sofyan A., 2007, Narkoba Mengincar Anak Muda, Jakarta : Prestasi Pustaka.
Weda, Made Darma, 2004, Kronik Dalam Penegakan Hukum Pidana, Jakarta :
Guna Widya.
Jurnal:
Afifah, W., Lessy, G., Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Saksi Dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak, DIH, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No.
20, Agustus 2014, h. 63-75.
Astuti, Mulia, “Anak Berhadapan Dengan Hukum Ditinjau Dari Pola Asuhnya
Dalam Keluarga” (Studi Kasus di Provinsi Sumatera Barat, Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Nusa Tenggara Barat), Jurnal
Informasi, Vol. 16, No. 01, Tahun 2011. h. 1-16
Eryke H., Herlambang, “Mediasi Penal Bagi Anak yang Berkonflik dengan
Hukum”, University of Bengkulu Law Journal, Vol. 5, No. 1, April 2020,
h. 47-61.
Tarigan F A R., “Upaya Diversi Bagi Anak Dalam Proses Peradilan”, Lex
Crimen, Vol. 4, No. 5, Juli 2015. h 104-112.
Internet:
Humas BNN “Press Release Akhir Tahun, Kepala BNN : Jadikan Narkoba Musuh
Kita Bersama!” <https://bnn.go.id/press-release-akhir-tahun-kepala-
bnn/> (20 Desember 2019).
Karya Ilmiah:
Irfandhy Idrus, 2016, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pencurian Oleh
Anak Serta Penerapan Diversi (Studi Kasus Nomor: 235/Pid.Sus-
Anak/2015/PN.Mks), Skripsi, Makassar : Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin.
Komunikasi langsung dengan Bambang Heryanta S.E Bareskoba, Kanit Bin luh
Sat Reskoba, Kepolisian Resort Kota Malang. 30 Agustus 2020.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum
Acara Pidana.