Anda di halaman 1dari 70

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB EKSPLOITASI

SECARA EKONOMI TERHADAP ANAK JALANAN


DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERLINDUNGAN
ANAK

(Studi Kasus di Kota Malang)

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persayaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum

Disusun oleh:
Mochammad Zakariya Hayyad
NIM. 1405010103

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WISNUWARDHANA
MALANG
2020
KATA PEGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
berkat, penyertaan dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini yang berjudul
“Faktor-Faktor Penyebab Eksploitasi Secara Ekonomi terhadap Anak
Jalanan Dalam Perspektif Hukum Perlindungan Anak (Studi di Kota
Malang)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di
Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna dan masih banyak
kelemahan serta kekurangan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis
mengharapkan dan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari
berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Pada penulisan skripsi ini, penulis
telah banyak memperoleh masukan dan menerima bantuan dari berbagai pihak,
maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang
tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Suko Wiyono, S.H., M. Hum, selaku Rektor
Universitas Wisnuwardhana Malang serta Dosen Pembimbing I.
2. Bapak Dr. Bambang Winarno, S.H., M.S, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang.
3. Bapak Prof. Dr. H. Suko Wiyono, S.H., M. Hum, selaku Dosen
Pembimbing I yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk
membimbing, memberikan motivasi dan masukan yang membangun
serta mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
4. Bapak Dr. Mukh. Soleh, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II
yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk membimbing,
memberikan motivasi dan masukan yang membangun serta
mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
5. Seluruh Bapak/Ibu Dosen dan Staff Fakultas Hukum Universitas
Wisnuwardhana Malang memberikan pengarahan, bimbingan dan
dorongan pada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
6. Kedua Orang Tuaku dan Istriku yang selalu mendoakan dan selalu
memberikan nasehat serta motivasi.

1
2

7. Untuk Sahabat-Sahabat dan Rekan-Rekan Mahasiswa Fakultas Hukum


Universitas Wisnuwardhana Malang angkatan 2014 yang tidak bisa
saya sebutkan satu persatu saya ucapkan terimakasih atas kekeluargaan
dan kebersamaan yang telah terjalin selama ini sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan.
8. Almamater tercinta.
Akhir kata penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas
kebaikan mereka semua dan skripsi ini bermanfaat bagi yang
membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan
mengamalkan ilmu pengetahuan.

Malang, ................ 2020

MOCHAMMAD ZAKARIYA HAYYYAD


3

ABSTRAK

Mochhammad Zakariya Hayyad, 2020. Faktor-Faktor Penyebab


Eksploitasi Secara Ekonomi terhadap Anak Jalanan Dalam
Perspektif Hukum Perlindungan Anak (Studi di Kota Malang).
Skripsi Program Studi Imu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Wisnuwardhana Malang. Prof. Dr. H. Suko Wiyono, S.H., M.H Dosen
pembimbing I, Dr. Mukh. Soleh, S.H., M.Hum. Pembimbing II.
Permasalahan pekerja anak dari tahun ke tahun mengalami perkembangan
kompleksitas menuju bentuk-bentuk pekerjaan terburuk yang cenderung
mengeksploitasi dan membahayakan pertumbuhan dan perkembangan fisik,
mental, moral, sosial dan intelektual anak. Munculnya perilaku eksploitatif
terhadap anak baik oleh orang tua maupun pihak lain sebagai pengemis
merupakan kejahatan atau tindak pidana karena bertentangan dengan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 88 menjelaskan bahwa: ”setiap orang yang
mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000
(dua ratus juta rupiah)”. Peneliti menggunakan metode Metode pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang, yaitu
mengkaji/menganalisis data sekunder yang berupa surat-surat, berkas perkara
terutama bahan dan sekunder, lalu mengadakan perbandingan terhadap peraturan
hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia berupa penelitian hukum incoreto
(pasal-pasal yang menjadi kasus). Spesifikasi penelitian adalah metode deskriptif
analitis.

Penelitian ini menghasilkan Perlindungan hukum bagi anak juga mempunyai


spektrum yang cukup luas. Berbagai dokumen dan pertemuan internasional
terlihat bahwa perlunya perlindungan hukum bagi anak dapat meliputi berbagai
aspek, yaitu: a) Perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak; b)
Perlindungan anak dalam proses peradilan; c) Perlindungan kesejahteraan anak
(dalam lingkungan keluarga, pendidikan dan lingkungan sosial); d) perlindungan
anak dalam masalah penahanan dan perampasan kemerdekaan. Permasalahan
yang dihadapi dalam perlindungan hak-hak anak: a) Substansi hak anak yang
tercantum dalam rumusan Pasal 28 B ayat (2) UUD NRI 1945; b) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; c) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; d) Aparat Penegak Hukum; e)
Budaya Hukum Masyarakat.

Key Note : Eksploitasi Anak, Hukum, Perlindungan Anak.


4

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...........................................................
1
B. Rumusan Masalah.....................................................................
6
C. Tujuan Penelitian......................................................................
6
D. Manfaat Penelitian....................................................................
6
E. Sistematika Penulisan...............................................................
7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Eksploitasi Anak..........................................................................
9
1. Pengertian Eksploitasi Anak..............................................
9
2. Penyebab Terjadinya Praktek Eksploitasi Anak................
13
3. Bentuk-Bentuk Eksploitasi Anak.......................................
19
4. Pelanggaran Terhadap Hak-Hak Anak..............................
26
B. Hak Anak Dibawah Umur Sebagai Perkerja Dalam hukum
Positif .......................................................................................
36

BAB III METODE PENELITIAN


A. Metode Penelitian......................................................................
42
B. Jenis Penelitian..........................................................................
42
C. Jenis dan Sumber Data..............................................................
43
D. Teknik Pengumpulan Data........................................................
44
E. Teknik Analisis Data.................................................................
45

BAB IV PEMBAHASAN
A. Implementasi Hukum perlindungan Anak Dari
Eksploitasi Orangtua.................................................................
46
5

B. Faktor-Faktor Yang Menghambat Perlindungan


Anak Dari Eksploitasi Orangtua...............................................
53

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................
57
B. Saran.........................................................................................
58

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
60

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi oleh Mochammad Zakariya Hayyad dengan judul “Faktor-Faktor


Penyebab Eksploitasi Secara Ekonomi terhadap Anak Jalanan Dalam
Perspektif Hukum Perlindungan Anak (Studi di Kota Malang)” ini telah
disetujui untuk diuji.
Malang, 2020

Dosen Pembimbing I

Prof. Dr.H. Suko Wiyono,S.H.,M.H.

Dosen Pembimbing II
6

Dr, Mukh. Soleh,S.H.,M.Hum


7

PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI

Saya yang bertandatangan dibawah ini :

Nama : Mochammad Zakariya hayyad

NPM : 1405010103

Program Studi : Ilmu Hukum

Fakultas : Hukum

PTS : Universitas Wisnuwardhana Malang

Menyatakan bahwa karya ilimiah atau skripsi yang berjudul : Faktor-Faktor

Penyebab Eksploitasi Secara Ekonomi terhadap Anak Jalanan Dalam

Perspektif Hukum Perlindungan Anak (Studi di Kota Malang) adalah benar

hasil karya sendiri, dan tidak terdapat karya orang lain. Pengambilan karya orang

lain akan dilakukan dengan menyebutkan sumbernya sebagaimana tercamtum

dalam daftar pustaka.

Demikian Pernyataan ini saya buat dengan benar, apabila ada unsure

plagiasi maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar

akdemik (SH), sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003, pasal ayat 2 dan pasal

70 UU Nomor 12 Tahun 2012, pasal 42 ayat 3.

Malang, 2020
Yang menyatakan

Mochammad Zakariya Hayyad


8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak adalah karunia terbesar yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa

yang dalam dirinya telah melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.

Bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan

kekayaan harta benda lainnya. Anak sudah selayaknya dilindungi serta di

perhatikan hak-haknya. Ditangan kedua orang tuanya, anak bagaikan adonan

tepung yang lembut yang bisa dibentuk sesuai dengan keinginan kedua orang

tuanya, seperti halnya cermin polos yang bisa diukir dan dilukis sedemikian rupa.

Negara pun dalam hal ini sudah sewajarnya menjamin dan melindungi

hak-hak anak, baik sipil, sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Dalam Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dimaksud

dengan anak adalah “Seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Dalam pasal 13 Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa:

1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain

mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat

perlindungan dari perlakuan:

a. Diskriminasi;

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

c. Penelantaran;

d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan;


9

e. Ketidakadilan; dan

f. Perlakuan salah lainnya.

2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk

perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan

pemberatan hukuman”.

Pembentukan anak sebagai sumber daya manusia indonesia yang

berkualitas, mampu memimpin serta mampu memelihara persatuan dan kesatuan

bangsa, di perlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup,

pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial serta perlindungan dari

segala kemungkinan yang membahayakan mereka dan masa depan bangsa.

Seperti yang tercantum dalam UU No. 30 Tahun 2014 Jo UU No. 23 Tahun 2002

pasal 15, dimana setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:

a) Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;

b) Pelibatan dalam sengketa senjata;

c) Pelibatan dalam kerusuhan sosial;

d) Pelibatan dalam dalam peristiwayang mengandung unsur kekerasan;

e) Pelibatan dalam peperangan;dan

f) Kejahatan seksual.

Sedangkan dalam UU No. 30 Tahun 2014 Jo UU No.23 Tahun 2002

tentang perlindungan anak pasal 26 ayat (1) ”bahwa orang tua berkewajiban dan

bertanggung jawab untuk:

a) Mengasuh, memelihara, mendidik. dan melindungi anak;

b) Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan

minatnya; dan
10

c) Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.”

Permasalahan pekerja anak dari tahun ke tahun mengalami perkembangan

kompleksitas menuju bentuk-bentuk pekerjaan terburuk yang cenderung

mengeksploitasi dan membahayakan pertumbuhan dan perkembangan fisik,

mental, moral, sosial dan intelektual anak. Munculnya perilaku eksploitatif

terhadap anak baik oleh orang tua maupun pihak lain sebagai pengemis

merupakan kejahatan atau tindak pidana karena bertentangan dengan Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang

tercantum dalam Pasal 88 menjelaskan bahwa: ”setiap orang yang

mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk

menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000

(dua ratus juta rupiah).”

Perlindungan atas hak-hak anak wajib diusahakan secara maksimal untuk

mencegah terjadinya penyelewengan yang membawa akibat negatif bagi anak.

Mengingat masa anak-anak merupakan proses pertumbuhan, baik fisik maupun

jiwa, maka idealnya anak-anak harus terhindar dari berbagai perilaku yang

menggangu tumbuh kembang anak. Di antara pelanggaran hak asasi berkaitan

dengan anak antara lain yang menyangkut masalah pekerja anak, perdagangan

anak untuk tujuan pekerja seks komersial, dan anak jalanan. Memaksa anak untuk

melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial maupun yang lainnya tanpa

memperhatikan hak-hak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan

perkembangan fisik, psikis, atau status sosialnya secara langsung melanggar

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sedangkan


11

dalam Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak, menegaskan bahwa anak berhak atas pemeliharaan dan

perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah ia lahir, anak

berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan

atau menghambat pertumbuhan secara wajar.

Pada tahun 1990-an mulai muncul isu anak jalanan (AnJal), anak jaringan

kriminal (JerNal), dan anak yang bekerja di perkebunan. Permasalahan mengenai

anak jalanan merupakan salah satu permasalahan anak yang marak terjadi di

Indonesia. Di kota- kota besar masih banyak ditemui anak-anak yang menjadi

pekerja, seperti; anak-anak dibawah umur yang dipekerjakan sebagai tukang

koran di traffic light dan masih banyak ditemukan anak-anak yang dijadikan

sebagai pengemis.

Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan waktunya sehari-hari di

jalanan dengan berpenampilan kusam yang bertujuan untuk mencari uang yang

biasa dilakukan dengan cara mengemis dan mengamen. Karena di Kota Malang

juga masih banyak permasalahan mengenai AnJal, maka Pemerintah Daerah Kota

Malang telah membentuk Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 9 tahun 2013

tentang Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis.

Tujuan dibentuknya Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 9 tahun 2013

tentang Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis adalah untuk:

a. Mencegah dan mengantisipasi meningkatnya komunitas anak jalanan,

gelandangan dan pengemis;

b. Mencegah penyalahgunaan komunitas anak jalanan, gelandangan dan

pengemis dari eksploitasi pihak-pihak tertentu;


12

c. Mendidik komunitas anak jalanan, gelandangan dan pengemis agar dapat

hidup secara layak dan normal sebagaimana kehidupan masyarakat

umumnya;

d. Memberdayakan para anak jalanan, gelandangan dan pengemis untuk dapat

hidup mandiri secara ekonomi dan sosial; dan

e. Meningkatkan peran serta dan kesadaran Pemerintah Daerah, dunia usaha dan

elemen masyarakat lainnya untuk berpartisipasi dalam penanganan anak

jalanan, gelandangan dan pengemis”.

Meskipun banyak peraturan yang melarang akan eksploitasi anak namun

lemahnya pengawasan terhadap penegakan hukum masih saja menjadi persoalan

hal ini yang diungkapkan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak. Usaha

represif dan preventif sudah berulangkali dilakukan, akan tetapi jumlah pekerja

anak sebagai pengemis belum berkurang. Hal ini merupakan masalah yang tidak

sederhana,bukan dikarenakan kompleksitas sistem hukum itu sendiri, tetapi juga

rumitnya sistem hukum dengan sistem sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.

Berdasarkan data yang dimiliki oleh Dinas Sosial Kota Malang berjumlah

108 diantaranya 58 anak (laki-laki) dan 50 anak (wanita) (Dinsos Kota Malang,

2017). Oleh karena itu penegakan dan perlindungan hukum terhadap anak tidak

akan terlaksana secara maksimal jika tidak adanya dukungan dari masyarakat.

Berdasarkan fenomena diatas, maka penulis merasa tertarik untuk membahas

lebih dalam mengenai AnJal sehingga mengambil judul “Faktor-Faktor

Penyebab Eksploitasi Secara Ekonomi Terhadap Anak Jalanan Dalam

Perspektif Hukum Perlindungan Anak” (Studi Kasus di Kota Malang).


13

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan oleh penulis, maka

penulis mencoba merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana implementasi hukum perlindungan anak dari eksploitasi orang

tua?

2. Faktor-faktor apa saja yang menghambat perlindungan anak dari eksploitasi

orang tua?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada pokok masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui implementasi hukum perlindungan anak dari

eksploitasi orang tua.

2. Untuk mengetahui Faktor-faktor apa saja yang menghambat perlindungan

anak dari eksploitasi orang tua

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara

teoritis maupun sacara praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Memberikan pengetahuan terhadap masyarakat terutama dalam

perkembangan hukum positif di Indonesia, dan memberikan gambaran

bahwa semua Warga Negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan

hukum.
14

2. Manfaat Praktis

Memberikan pemahaman hukum yang nantinya berguna dalam kehidupan

masyarakat dan memberikan pembelajaran terhadap masyarakat agar

senantiasa ta`at pada aturan hukum yang berlaku di Indonesia dengan baik

dalam penyelesaian mengenai masalah anak jalanan.

E. Sistematika Penulisan

Penulisan permasalahan ini terbagi dalam lima bab, untuk memudahkan

dalam pembahasan dan pemahaman secara menyeluruh tentang permasalahan ini,

maka sistematika penulisan ini tersusun sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam Bab ini penulis akan mengemukakan tentang latar belakang

masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

BAB II :KAJIAN PUSTAKA

Dalam Bab yang kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka teori dan

kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis akan menguraikan

tinjauan mengenai Eksplorisasi anak dan hak anak dibawah umur sebagai

perkerja dalam hukum positif

BAB III : METODE PENELITIAN

Metode penelitian menggunakan metode pendekatan undang-undang.Jenis

penelitian ini menggunakan yuridis empiris yaitu dengan menggunakan

jenis data primer dan data sekunder serta menggunakan sumber data

penelitian kepustakaan, penelitian terdahulu dan penelitian

lapangan.Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini


15

adalah wawancara dan dokumentasi, sedangkan teknik analisis data

menggunakan teknik deskriptif

BAB IV : PEMBAHASAN

Pada bab ini memuat implementasi hukum perlindungan anak dari

eksploitasi orangtua dan faktor-faktor apa saja yang menghambat

perlindungan anak dari eksploitasi orangtua.

BAB V : PENUTUP

Bab ini merupakan penutup dari keseluruhan pembahasan dengan

kesimpulan dan saran.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Eksploitasi Anak

1. Pengertian Eksploitasi Anak

Terlebih dahulu harus disadari bahwa hak-hak anak merupakan hak-hak

asasi manusia yang dimiliki sejak ia lahir, yang berarti bahwa anak juga harus

dipandang sebagai suatu subyek yang utuh dipenuhi hak-haknya. Adanya suatu

hak pada seseorang mengakibatkan timbulnya peran dan kewajiban pada orang

atau pihak lain. Adanya hak yang dimiliki suatu pihak tidak hanya menimbulkan

kewajiban bagi pihak lain, tetapi juga berati membentuk batasan bagi kebebasan

pihak lain, sehingga kemudian yang harus terjadi adalah hubungan timbal balik

agar setiap orang dapat terpenuhi hak-haknya.

Segala tindakan yang bertentangan dan mengabaikan hak-hak anak atau

kondisi dimana hak-hak anak tidak dipenuhi dapat dikatakan sebagai pelanggaran

hak-hak anak, adapun pihak yang semestinya berkewajiban memenuhi hak-hak

anak namun melalaikan hal tersebut haruslah mendapatkan sangsi atas terjadinya

pelanggaran tersebut, sebab hak-hak anak telah diakui oleh mayoritas negara-

negara di dunia dan telah diratifikasi oleh pemerintahan RI. Konvensi hak-hak

anak merupakan paling utama untuk menentukan standar hak-hak dan kehidupan

anak (Teuku, 2001:83).

Terminologi eksploitasi pada awalnya berkembang dalam dunia

perburuhan, yaitu merujuk pada eksploitasi buruh yang berkembang seiring

dengan berkembangnya kapitalisme di dunia. Eksploitasi buruh kemudian

menjadi salah satu isu dalam masyarakat industri yang mulai berkembang.

16
17

Penggunaan terminologi eksploitasi terhadap anak difokuskan kepada anak yang

bekerja, yang pada awalnya lebih ditunjukan pada masalah-masalah pekerja anak

disektor formal, meskipun eksploitasi anak itu sendiri sebenarnya telah dikenal

sejak jauh sebelumnya, dan sejarah sudah mencatat terjadinya berbagai bentuk

eksploitasi anak sejak jaman dahulu kala (Sjef, 1990:13). Anak jalanan

merupakan salah satu bentuk eksploitasi yang dilakukan terhadap anak

sebagaimana yang dikemukakan oleh karundeng yang menyebutkan bahwa

macam-macam bentuk eksploitasi anak adalah (Laily, 2013:51):

a. Perdagangan Manusia (trafficking in person)

b. Perbudakan (Slavery)

c. Prostitusi Anak (Child Prostitution)

d. Buruh Anak/ Pekerja Anak (Child Labour)

e. Anak Jalanan (Children of the street).

Peraturan Daerah Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 9 tahun 2013

tentang Penanganan Anak Jalanan, anak jalanan merupakan anak yang

menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidupnya

dijalanan, baik untuk mencari nafkah atau berkeliaran dijalan atau ditempat-

tempat umum lainnya yang mempunyai ciri-ciri: berusia antara 5-18 tahun

melakukan kegiatan atau berkeliaran dijalan, penampilannya kebanyakan kusam,

pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi.

Bentuk-bentuk modern dari eksploitasi pekerja anak mulai timbul sejak

kapitalisme modern muncul dengan upaya menciptakan pasar global yang dimulai

di Negara-negara barat pada awal abad ke-19. Anak sebagai komponen sumber

daya manusia kemudian menjadi bagian dari perangkat yang digunakan untuk
18

mencapai cita-cita terwujudnya pasar global tersebut, disamping dukungan sistem

ekonomi dan teknologi modern sebagai komponen lainnya. Anak menjadi sumber

daya yang efektif bagi perkembangan ekonomi pasar bebas sebab anak merupakan

pekerja yang dapat dibayar dengan upah rendah, mudah dikuasai serta kurang

terorganisir dengan baik, sehingga kemungkinan untuk terjadinya pemberontakan

menjadi lebih kecil (Sjef, 1990:13). Anak kemudian menjadi mangsa para pelaku

industri untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.

Eksploitasi anak, secara mendasar dapat diartikan sebagai suatu kondisi

dimana anak melakukan sesuatu untuk suatu kepentingan yang tidak sepenuhnya

merupakan kepentingan anak itu sendiri, dengan ada atau tidak adanya tekanan

dari pihak yang menguasainya kepada anak tersebut. Ada keterkaitan yang erat

antar perlakuan salah terhadap anak dengan cara yang digunakan untuk

memperlakukan anak secara salah dan terwujud dalam tindakan-tindakan yang

semena-mena yang bersifat fisik, mental, emosional, seksual dan akal.

Eksploitasi anak sebetulnya diawali dari presepsi mengenai anak itu

sendiri yang di anut oleh sebagian besar masyarakat. Persepsi masyarakat yang

menganggap anak mengalami proses perkembangan alamiah dari subjek yang

tidak utuh menjadi subjek yang utuh sehingga membentuk bimbingan dari orang

dewasa, kemudian meletakan anak pada posisi ketergantungan pada orang dewasa

dalam struktur masyarakat. Posisi tersebut pada dasarnya mengandung hubungan

kekuasaan antara orang dewasa dengan anak-anak yang selanjutnya menjadi benih

terjadinya eksploitasi anak (Indasari, 2015).

Sesuai dengan isi kandungan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perlindungan Anak, eksploitasi anak terbagi menjadi dua tindakan yang
19

melanggar hukum, pertama eksploitasi secara ekonomi dan kedua eksploitasi

secara seksual, pada dasarnya tindakan eksploitasi seksual adalah pelanggaran

terhadap hak anak yang menjadikan anak sebagai objek seksual dan objek

komersial. Sekurang-kurangnya ada lima bentuk tindak eksploitasi seksual anak,

yaitu: pelacuran anak, pornografi anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual,

pariwisata seks anak dan pernikahan anak. eksploitasi seksual anak tidak hanya

menjadi sebuah obyek seks tetapi juga sebagai sebuah komoditas. Adanya unsur

keuntungan dari pihak lain, dalam eksploitasi anak inilah yang membedakan

antara eksploitasi seksual anak dengan kekerasan seksual anak, karena dalam

kekerasan seksual anak tidak ada unsur keuntungan meskipun keduanya sama-

sama menunjuk pada tindakan seksual anak.

Adapun eksploitasi secara ekonomi adalah tindakan dengan tanpa

persetujuan anak yang menjadi korban yang meliputi kerja atau pelayanan paksa,

perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan

fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau

mentransplantasi organ atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau

kemampuan anak oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materil.

Pada pasal 76 I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak disebutkan setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan,

melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan eksploitasi secara

ekonomi dan atau seksual terhadap anak. Dalam kepustakaan hukum nasional

Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 hanya menyebut dua

pasal tentang larangan melakukan eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi


20

pada anak yaitu pasal 76 huruf I dan pasal pasal 88 dengan ancaman hukuman

penjara maksimum 10 tahun dan atau denda paling banyak 200 juta rupiah.

2. Penyebab Terjadinya Praktek Eksploitasi Anak

1) Kekuasan Orang Tua Terhadap Anak

Salah satu analisis dasar yang mengupas mengenai hubungan antara

pribadi yang berkaitan dengan kekuasaan adalah yang dikemukakan oleh George

Simmel, yang mengkaji mengenai proses interaksi antara pribadi yang

kekuasaanya tidak seimbang, maka terjadilah apa yang dinamakan sebagai posisi

superordinasi dan subordinasi. Seseorang yang berada dalam posisi superordinasi

adalah orang yang mempunyai kelebihan tertentu untuk menguasai sehingga

menjadikan orang lain yang tidak memiliki kekuasaan yang setara berada pada

posisi subordinat (Doyle, 1994:252).

Dalam keluarga, orang tua merupakan pihak yang berada pada posisi

superordinasi terhadap anak, sebab orang tua memiliki kekuasan yang lebih besar

terhadap anak. Kekuasaan tersebut pada sisi anak kemudian akan menjadi

ketergantuangan, sebab kekuasaan yang dimiliki orang tua merupakan sarana

yang dibutuhkan anak untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingannya,

sementara sebaliknya bagi pihak yang berada pada posisi superordinasi,

kebutuhan dan kepentingan subordinat sangat diperhatikan sebagai sarana untuk

melakukan kontrol, antara superordinat dengan subordinat lebih terlihat sebagai

interaksi satu arah dari superordinasi. Artinya dimana superordinasi akan selalu

memperhitungkan kebutuhan atau keinginan subordinat dengan tujuan mengontrol

subordinat (Doyle, 1994:262).


21

Namun apabila lebih ditelaah pada interaksi pada tataran mikro antara

orangtua dan anak, maka kekuasaan orang tua sesungguhnya menimbulkan

ketergantuan anak terhadap orang tua. Namun semakin bertambah usia anak maka

bertambah pula kekuasaan yang dimilikinya, dan semakin kecil ketergantungan

anak pada orangtua sehingga semakin kecil kekuasaan orang tua terhadap anak.

Anak bergantung pada orang tua secara fisik, emosional, ekonomi serta

sosial, dimana orangtua memiliki kekuasaan lebih daripada anak dalam hal-hal

tersebut. Secara fisik orang tua memiliki kemampuan dan kekuasaan yang lebih

daripada anak. Secara emosional anak membutuhkan orang tua untuk memenuhi

kebutuhan akan kasih sayang, keterikatan, pengasuhan, serta kebutuhan emosional

lainya. Secara ekonomi, orang tua memiliki kekuasaan yang lebih besar dari pada

anak dalam mengontrol ekonomi keluarga, sehingga anak tergantung pada orang

tua untuk memenuhi kebutuhan mereka, setidaknya untuk memenuhi kebutuhan

akan makan, pakaian dan tempat tinggal. Secara sosial, anak membutuhkan orang

tua, sebab orang tualah yang membentuk keluarga, memberikan identitas pada

anak, keterkaitan dalam wadah keluarga, terjadi proses sosialisasi, serta menjadi

wadah bagi anak dalam suatu struktur masyarakat yang lebih luas.

Dengan lebih besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh orang tua terhadap

anak, maka orang tua akan menuntut anak taat dan patuh pada orang tua. Dalam

berbagai kasus, peristiwa perlakuan salah dan eksploitasi pada anak terjadi

sebagai salah satu bentuk tuntutan orang tua atas ketaatan anak. Dengan

kekuasaan yang tidak seimbang, maka anak sering menjadi korban perlakuan

salah dan eksploitasi yang dilakukan oleh orang tua, sebab orangtua memiliki

kekuasaan yang lebih besar terhadap anak. Finkelhor mengemukakan suatu pola
22

kekerasan dalam keluarga, yaitu anggota keluarga yang paling lemah sering

menjadi korban tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota kaluargga yang

paling kuat (Alice, 1990:272-273). Kekuatan anggota keluarga ini dinilai dari

seberapa besar kekuasan yang dimilikinya dalam keluarga tersebut. Anak yang

usianya paling muda merupakan anggota keluarga yang paling rentan menjadi

korban karena lebih lemah, sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk

merespon balik tindakan kekerasan ataupun bentuk eksploitasi yang dialami,

apalagi untuk melakukan perlawanan.

Dalam kasus eksploitasi anak jalanan terjadi diawali oleh persepsi

masyarakat mengenai anak tersebut. Menyuruh anak bekerja dianggap sebagai

bagian dari proses yang harus dilalui oleh anak untuk belajar menjadi dewasa.

Turunya anak ke jalan sebagai pekerja dipahami sebagai upaya untuk membuat

anak memahami sekaligus membantu mengurangi kesulitan yang dialami

orangtua. Dengan kekuasaan orang tua yang lebih besar terhadap anak, maka anak

kemudian harus taat kepada suruhan orang tua.

2) Kemiskinan

Beberapa penelitian yang dilakuakan terhadap anak jalanan menemukan

bahwa kemiskinan merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi seseorang

anak tereksploitasi. Irwanto (2008) mengemukakan bahwa kemiskinan dan

munculnya pekerja anak kerapkali digunakan sebagai dalil yang sudah jelas

kebenaranya, meskipun bagaimana keterkaitan antar kedua variable ini belum

dibuktikan. Dalam berbagai penelitian ditemukan bahwa kemiskinan secara

signifikan mendorong anak untuk bekerja, baik suruhan orang tua ataupun atas

kehendak anak itu sendiri, sehingga kemudian disimpulkan bahwa latar belakang
23

kemiskinan adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan fenomena ini.

Meskipun demikian, pendapat lain juga menyatakan bahwa kemiskinan tidak

menjadi pendorong atas munculnya fenomena anak jalanan (UNICEF, 1997:21).

Pendapat kedua ini mengemukakan bahwa tidak semua keluarga miskin

menyuruh anaknya bekerja, dan secara makro juga terbukti bahwa fenomena

pekerja anak tidak hanya terdapat di Negara-negara berkembang saja.

Pada tingkat mikro, khususnya dalam hubungan anak sebagai bagian dari

keluarga dan satu kelompok masyarakat tertentu, kemiskinan memang menjadi

faktor pendorong yang signifikan terhadap terlibatnya anak-anak dalam pekerjaan

di jalanan. Hampir seluruh anak turun kejalan atas suruhan orang tua mereka.

Pada awalnya orang tua mengambil keputusan untuk menyuruh anaknya bekerja

disebabkan oleh tekanan ekonomi yang berat, semetara penghasialan orang tua

tidak mencukupi kebutuahan keluarga sehari-hari. Anak yang menjadi aset

keluarga diangap dapat membantu orang tua memperoleh penghasilan tambahan

untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Eksploitasi anak pun dimulai, sebab orangtua justru memanfaatkan

keluguan dan ketidakberdayaan anak untuk mendapatkan uang, bukan berusaha

melakukan aktifitas ekonomi lainya untuk mendapatkan penghasilan tambahan

tanpa melibatkan anak yang jelas-jelas terlalu dini untuk bekerja.

Mempekerjakan anak kemudian menjadi cara yang tidak sah yang

dilakukan oleh orangtua untuk mencukupi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi

melalui cara pencapaian tujuan yang sah. Dalam hal ini terlihat bahwa kemiskinan

kemudian mendorong orang tua untuk melakukan segala cara untuk memeperoleh

uang. Bonger menyatakan bahwa “sebagian keluarga miskin menempuh cara


24

ilegal untuk memperoleh materi apabila pendapatan yang mereka peroleh secara

sah tidak mencukupi, yang kemudian dilihat bahwa kemiskinan mendorong orang

untuk melakukan kejahatan” (Simanjuntak 1981:232). Eksploitasi anak

merupakan cara ilegal untuk memperoleh uang atau materi, sehingga tindakan

tersebut dapat dikatagorikan sebagai kejahatan.

3) Tingkat Pendidikan Orang tua

Rendahnya pendidikan orang tua berkaitan dengan rendahnya pemahaman

mereka terhadap hak-hak anak yang harus dipenuhi, sehingga baik disadari

ataupun tidak, peluang terjadinya eksploitasi anak justru lebih besar. Perlakuan

orangtua yang menyuruh dan mengawasi anaknya mengamen merupakan salah

satu wujud bahwa disebabkan pendidikan orangtua yang rendah, maka orangtua

hanya mengutamakan bagaimana anak dapat berpartisipasi dalam membantu

meringankan beban ekonomi keluarga, dengan tidak mempertimbangkan secara

rasional dampak dari menyuruh anak bekerja. Penyelesayan masalah yang

dilakukan oleh orang tua lebih pada penyelesaian jangka pendek, atau masalah

yang dihadapi saat ini saja, dan mengabaikan masalah yang dapat muncul dalam

jangka panjang.

Selain itu, tingkat pendidikan orang tua yang rendah mengakibatkan

orangtua juga tidak mementingkan pendidikan anak, sebab tidak

mempertimbangkan besarnya arti pendidikan bagi perkembangan anak di masa

mendatang. Dalam masalah ini terlihat ketidak sanggupan orangtua

memperhatikan pendidikan anak, sebab orang tua lebih mempertahankan

keberadaan anaknya di jalanan untuk memperoleh uang, sebab apabila anak

mengikuti pendidikan di sekolah itu artinya waktu yang dipergunakan anak untuk
25

mencari uang di jalanan berkurang dan pengeluaran biaya keluarga juga

bertambah.

Disebabkan pendidikan orang tua rendah, maka keterampilan yang

dimiliki baik orang tua maupun anak juga sangat minim. Bekerja di jalanan adalah

pilihan mata pencaharian, sebab tidak membutuhkan keterampilan tertentu.

4) Disfungsi Ayah Sebagai Pencari Nafkah Utama

Ayah sebagai kepala keluarga yang pada awalnya memiliki pekerjaan

yang mampu memenuhi kebutuhan keluarga, kemudian kehilangan pekerjaan

akibat pemecatan, setelah itu tidak lagi bekerja, ayah tidak berusaha untuk

mendapatkan pekerjaan lainnya yang dapat menghasilkan pendapatan bagi

keluarga. Terjunnya ibu menjadi pencari nafkah bukanlah suatu kesalahan, namun

melibatkan anak-anak dalam dunia kerja merupakan eksploitasi terhadap anak.

Lan (1994:55) mengemukakan bahwa dalam suatu sistem, seluruh sub-sub

sistem yang mendukung sistem tersebut memiliki fungsi masing-masing, apabila

salah satu sub sistem mengalami disfungsi atau terganggu fungsinya, maka akan

mengganggu berjalanya fungsi sub-sistem yang lainya. Ketika keluarga dipandang

sebagai suatu sistem sosial, maka setiap anggota keluarga memiliki fungsi-fungsi

untuk menjamin bahwa sistem tersebut berjalan sebagaimana mestinya.

Pada masyarakat patriakal sebagaimana dianut sebagian besar kelompok

masyarakat Indonesia, ayah memiliki fungsi sebagai pencari nafkah utama. Fungsi

dan peran ayah sebagai pencari nafkah utama juga dipengaruhi oleh pembagian

kerja secara sosial dan budaya menurut jenis kelamin dan usia. Laki-laki

diidentikan dengan pekerjaan utama yang lebih membutuhkan tenaga lebih besar,
26

sementara wanita lebih banyak melakukan pekerjaan ringan dan penghasilan tidak

jelas terlihat (William, 1952:140).

Ketika ayah tidak mampu menjalankan fungsi tersebut, maka anggota

keluarga yang lain harus merestitusi disfungsi tersebut agar keluarga dapat

bertahan hidup. Anak kemudian dipandang memiliki potensi ekonomis untuk

mencari nafkah, terlebih lagi untuk jenis pekerjaan mengamen di jalanan, disadari

bahwa anak lebih potensi dibandingkan orangtua untuk meraup pengahsilan lebih

besar.

Dalam keluarga dimana ibu dapat menyumbang bagi pendapatan keluarga,

maka dapat terjadi perimbangan dalam struktur kekuasaan keluarga (Pat,

1990:275). Dalam budaya patrikal, hal untuk menentukan keputusan penting lebih

banyak dimiliki oleh laki-laki, sehingga kekuasaan suami juga lebih besar.

Kekuasaan ini pula didukung oleh fungsi ayah sebagai pencari nafkah utama. Jika

fungsi ini terganggu, serta terlibatnya istri dalam dunia bekerja, maka terjadi

perimbangan kekuasaan, dimana suami tidak lagi sepenuhnya dapat menentukan

seluruh keputusan penting dalam keluarga, terutama berkaitan dalam masalah

ekonomi keluarga. Pada akhirnya istri mengambil alih kendali keluarga.

3. Bentuk-Bentuk Eksploitasi Anak

Anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan terhadap eksploitasi

karena kelemahan dan ketidakberdayaan mereka, diperparah pula dengan

lemahnya perlindungan terhadap mereka. Menurut kongres Amerika Serikat

eksploitasi anak dinyatakan sebagai bagian dari perlakuan salah terhadap anak

(child abuse) dan penelantaran anak (child neglect) (Breckemridge, 1965:68).

Meskipun eksploitasi anak kerap kali bermuara pada kekerasan pada anak, namun
27

tidak semua bentuk eksploitasi melibatakan kekerasan. Secara umum dapat

dikatakan bahwakekerasan merupakan tindakan yang dilakukan, sementara

eksploitasi itu sendiri merupakan suatu proses yang terjadi pada tataran interaksi

yang kemudian menghasilkan tindakan kekerasan. Bentuk-bentuk eksploitasi itu

sendiri sangatlah luas rentangnya. Eksploitasi dapat muncul dari akar persoalan

yang mendorong terjadinya eksploitasi lebih lanjut, namun juga dapat muncul dari

situasi di mana anak itu bekerja. Bentuk-bentuk eksploitasi anak yang sering

dialami antara lain sebagai berikut :

1. Eksploitasi Ekonomi oleh Orang tua/Wali

Dalam pandangan orang tua anak merupakan milik orang tua atau orang

tua adalah penguasa bagi anaknya, sehingga orang tua kemudian memiliki hak

untukmemperlakukan anak sesuai dengan keinginanya. Hal ini juga berarti apabila

orang tua membutuhkan bantuan anak, maka orang tua berhak menyuruh anaknya

untuk membantunya. Adapun salah satu bentuk bantuan anak pada orang tuanya

adalah tenaga anak untuk menghasilkan uang agar terpenuhi kebutuhan keluarga,

sebab anak dinilai sebagai suatu aset keluarga yang sewaktu-waktu dapat

digunakan untuk menunjang ekonomi keluarga (Asril, 1980:20). Salah satu

contoh anak jalanan bekerja sebagi pedagang asongan atau pengamen jalanan,

anak-anak tersebut turun bekerja di jalanan mencari nafkah bukan untuk

memenuhi kebutuhan anak itu sendiri, melainkan untuk pihak lain yang dalam

kasus ini adalah orangtuanya mereka sendiri yang seharusnya bertanggung jawab

atas kesejahteraan anaknya.

Orang tua melakukan eksploitasi ekonomi terhadap anak dengan

memanfaatkan keluguan anak untuk memancing rasa iba orang-orang yang di


28

jadikan target mengamen bagi anak. Kelemahan anak ini kemudian dikembangkan

sedemikian rupa oleh orang tua untuk menambah nilai ekonomis anak, misalnya

dengan melengkapi anak dengan pakaian buruk, penampilan yang kumuh dan

menyedihkan, serta mengajarkan pada anak bagaimana menimbulkan rasa iba

penumpang dengan cara berpura-pura cacat fisik dan aktifitas tubuh yang tidak

wajar. Eksploitasi ekonomi terhadap anak juga berkaitan erat dengan dilakukanya

aktivitas ekonomi yang dapat menghambat perkembangan anak, upah yang tidak

layak, atau bahkan tidak dibayar, serta tidak terpenuhinya kebutuhan dasar anak.

2. Eksploitasi atas Waktu Luang

Dalam surat edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor. SE-12/M/BW/1997

tentang petunjuk pelaksana penanganan anak yang bekerja dijelaskan dalam

pengaturan jam kerja anak yang mengacu pada Undang-Undang Nomor. 25

Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Aturan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Anak sebaiknya boleh bekerja selama 4 jam dalam satu hari, dengan

pengaturan 2 jam kerja, ¼ jam istirahat dan 2 jam kerja.

b. Anak tidak diperkenankan lembur kerja dan bekerja antara pukul 18.00 s/d

06.00 keesokan harinya.

c. Anak harus mendapat istirahat mingguan, tahunan dan libur resmi yang

ditetapkan oleh pemerintah .

Pada umumnya anak-anak jalanan yang bekerja sebagai pengamen dan

pedagang dipinggul bekerja dengan waktu 3 hingga 11 jam bekerja, di awali pada

pagi hari dimana lampu merah jalanan akan macet disebabkan volume kendaraan

meningkat oleh pengendara yang hendak berangkat bekerja dan sekolah. Waktu

istirahat pada siang hari sampai pada sore hari mereka melanjutkan kerja
29

beriringan dengan jam pulang kantor dan sekolah, bekerja selama 7 hari tanpa hari

libur, meskipun pada hari libur resmi. Disamping itu, sebagian anak jalanan juga

terpaksa bekerja pada malam hari sebagai kuli panggul di pasar induk sampai

menjelang waktu fajar. Panjangnya jam kerja mengakibatakan kelelaan pada anak,

sebab tubuh mereka memang belum kuat untuk melakukan pekerjaan selama itu.

Namun tragisnya orang tua tidak peduli dengan apa yang dialami anaknya.

Panjangnya jam kerja anak menjadi salah satu ukuran sekaligus bentuk

eksploitasi yang nyata terhadap anak sebab hal ini berpengaruh secara signifikan

terhadap partisipasi anak dalam pendidikanya, hampir setengah dari waktunya

dalam sehari digunakan untuk bekerja di jalanan, maka anak tidak lagi memiliki

waktu untuk belajar dan memperoleh pendidikannya. Sebagian besar anak jalanan

putus sekolah, sebab sangatlah tidak mungkin bagi mereka untuk mengikuti

pendidikan di bangku sekolah yang jam belajarnya sama dengan jam kerjanya

mereka di jalanan, pendidikan bagi anak jalanan sangat minim dan tidak mudah

untuk di jalankan oleh mereka anak jalanan yang selalu diawasi oleh orang

tuanya. Sebagian anak jalanan lainnya yang masih berkesempatan sekolah hanya

dapat mengikuti pelajaran di sekolah, namun tidak dapat mengikuti pelajaran

dengan baik, sebab sehabis pulang sekolah mereka harus langsung ke jalanan

untuk bekerja hingga malam hari. Tidak ada waktu bermain, belajar, atau

memperoleh jenis pendidikan tambahan, sebab orang tua mereka peranggapan

pendidikan hanya dapat mengurangi biaya yang mereka peroleh tanpa

menghasilkan apapun baginya.


30

3. Eksploitasi Terhadap Harga Diri

Indikator lain yang digunakan untuk menentukan apakah pekerja anak

telah memasuki kondisi eksploitasi adalah dilakukannnya pekerjaan yang

mengurangi martabat dan harga diri anak. Anak-anak jalanan yang bekerja

sebagai pengamen dibawah pengawasan orangtuanya menyatakan bahwa mereka

merasa malu menghadapi penumpang kendaraan umum ataupun orang lewat,

sebab adanya persepsi diri sebagai anak yang kumuh, gembel, dan menimbulkan

perasaan jijik pada orang yang melihatnya, selain itu mereka juga merasakan

tekanan mental yang diperoleh dari celaan, hinaan, ataupun penolakan dari orang

lain yang ditemui sebagai pekerja jalanan (Djalal, 2004:70).

Anak-anak jalanan juga menganggap dirinya berbeda dengan anak-anak

lainya yang hidup layak dan dapat bersekolah. Timbul juga perasaan malu apabila

ada temanya atau tetangganya mengetahui bahwa sehari-harinya mereka bekerja

sebagai pengamen di jalanan yang mengharapkan belas kasih orang.

Orang tua telah memaksa anaknya untuk melakukan pekerjaan yang tidak

diinginkan anaknya, membuat anak merasa malu akan dirinya sendiri. Dan

tentunya menimbulkan rasa rendah diri yang dirasakan oleh anak tersebut. Ini

berarti anak telah melakukan pekerjaan yang merendahkan martabat, atas paksaan

orangtua. Jenis pekerjaan seperti ini merupakan pekerjaan yang seharusnya tidak

patut dilakukan oleh anak, dan dalam hal ini eksploitasi telah terjadi pada diri

anak dalam bentuk harga diri yang direndahkan.

4. Eksploitasi Terhadap Tumbuh Kembang Anak

Aspek terpenting yang perlu dicermati dalam masalah pekerja anak adalah

sejauh mana pekerjaan itu mengganggu tumbuh kembang anak. Proses tumbuh
31

kembang anak dapat terhambat akibat dilakukannya pekerjaan yang berbahaya

oleh anak tersebut. Dengan dilakukannya pekerjaan berbahaya oleh anak diartikan

anak memasuki kondisi yang sangat buruk dan memiliki dampak negatif yang

sangat besar bagi perkembangan anak.

Pekerjaan yang berbahaya mempunyai hubungan yang sangat signifikan

terhadap terjadinya eksploitasi terhadap anak, sebab dengan dilakukanya

pekerjaan yang berbahaya oleh anak, berarti eksploitasi terhadap anak telah

terjadi, sebab anak mengorbankan kesehatan, keselamatan dan perkembanganya

untuk melakukan sesuatu yang sesungguhnya belum menjadi tanggung jawabnya.

Semakin berbahaya pekerjaan yang dilakukan oleh anak. Maka semakin buruk

eksploitasi yang terjadi pada anak.

Bahaya fisik yang ditimbulkan dari lingkungan dan cara bekerja

merupakan potensi bahaya yang terlihata secara jelas. Anak-anak rentang terhadap

bahaya polusi udara yang dihasilkan lalu lalang kendaraan di jalanan (Djumadias,

2002:54). Pertumbuhan dan perkembangan fisik anak juga dapat terganggu

apabila anak mengalami kecelakaan ketika bekerja. Potensi terjadinya kecelakaan

amatlah tinggi, mengingat anak bekerja di jalan raya yang lalu lintasnya padat.

Anak-anak juga mudah terjatuh dari kendaraan yang mereka naiki ketika

mengamen, terutama anak-anak jalanan yang masih sangat kecil. Cara kerja anak

jalanan mengamen juga dapat membahayakan perkembangan fisik mereka, sebab

mereka memukul-mukulkan kecrekan di dada atau di bagian tubuh lainya yang

rentan terhadap pukulan berulang-ulang dengan waktu lama. Kondisi gizi yang

kurang baik, serta makanan yang tidak steril dan pola makan yang tidak beraturan

dapat berakibat buruk pada perkembangan anak. Anak juga mengalami berbagai
32

gangguan kesehatan, seperti iritasi kulit, pusing, lemas, dan infeksi luka yang

dihasilkan ketika anak bekerja di jalanan.

5. Eksploitasi dalam bentuk kekerasan terhadap anak

Kekerasan terhadap anak merupakan salah satu bentuk eksploitasi pada

anak, dan juga merupakan bagian dan perlakuan yang salah terhadap anak,

meskipun eksploitasi anak juga terwujud dalam berbagai jenis tindakan lainnya

yang bukan merupakan kekerasan. Dalam beberapa kasus, kekerasan pada anak

menjadi bentuk eksploitasi yang paling ekstrim (Asha, 1995:7).

Kekerasan terhadap anak seringkali dilakukan oleh orang tua dengan

alasan menanamkan disiplin pada anak, padahal semestinya penanaman

kedisiplinan pada anak tidak perlu dilakukan dengan bentuk kekerasan. Jenis-jenis

kekerasan pada anak sangat bervariasi, bahkan terkadang orang tua tidak

menyadari bahwa tindakan yang dilakukannya adalah perbuatan yang melanggar

hukum. Adapun secara garis besar kekerasan pada anak dapat dijelaskan sebagai

berikut : “kekerasan merupakan istilah umum yang menunjuk pada semua bentuk

tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, baik berupa ancaman saja

maupun sudah merupakan suatu tindakan nyata yang memiliki akibat-akibat

kerusakan terhadap harta benda atau fisik atau mengakibatkan kematian pada

anak” (Stanfor, 1983:1918).

Adapun kekerasan yang dilakukan orangtua terhadap anaknya di jalan

berbentuk kekerasan verbal berupa kata-kata kotor, makian, ancaman, perintah

dan larangan yang disampaikan oleh orangtua mereka dengan nada yang keras

dengan tujuan untuk menekan anak agar rajin bekerja dan memperoleh

penghasilan yang meningkat, disamping alasan lain sebagai upaya pendisiplinan


33

pada anak. Kekerasan verbal ini juga dilakukan oleh orangtua terhadap anak di

muka umum. Akibatnya tentu akan berlipat ganda bagi anak, sebab selain

menerima kata-kata yang tidak pantas diucapkan pada anak, orang tua juga

mempermalukan anak di depan orang banyak.

Selain orang tua, orang dewasa lainya yang juga berada di lokasi

merupakan pihak yang melakukan kekerasan terhadap anak. Seperti petugas

SatPolPP melibatkan kekerasan dalam melaksanakan tugasnya di lokasi, seperti

mengejar anak-anak jalanan sambil mengacungkan alat pemukulnya, serta

menyeretnya apabila anak jalanan tertangkap. Beberapa orang sopir dan kenek

metromini dan angkot juga sering menghardik anak jalanan yang mencoba naik ke

kendaraannya. Anak-anak jalanan juga menerima perlakuan kekerasan yang

bersifat verbal dari penumpang. Selain orang dewasa, anak jalanan juga menjadi

korban kekerasan yang di lakukan oleh anak jalanan lainya yang berasal dari

lokasi lain, misalnya di telanjangi, dipukul, dan dipalak

4. Pelanggaran Terhadap Hak-Hak Anak

Pada kasus-kasus eksploitasi anak jalanan jelas terlihat bahwa sebagian

besar hak-hak anak telah dirampas. Anak-anak jalanan yang berasal dari

komunitas yang paling marjinal sekalipun berhak untuk memeperoleh segala hak

yang di atur dalam undang-undang, sebagaimana dikemukakan di atas bahwa hak-

hak anak berlaku secara non diskriminatif. Tidak ada satu alasan pembenaran

apapun yang dapat diajukan untuk memberikan toleransi atas terlanggarnya

hakhak anak ini, sebab apabila orang tua tidak mampu memenuhi kewajiban

terhadap kehidupan dan kesejahteraan anak, maka Negara harus membantu orang
34

tua atau pihak lain yang berkewajiban atas pengasuhan anak untuk memenuhi

hak-hak tersebut.

Ekesploitasi terhadap anak jalanan terlihat sebagai perosos yang dilakukan

langsung oleh orang tua yang bertanggung jawab atas pengasuhan dan

kesejahteraan anak, namun tidak hanya orangtua merupakan satu-satunya pihak

yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak anak. Hak yang terlanggara dalam

kasus ini meliputi sebagai pasal-pasal yang tercantum dalam Undang-undang

Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun

2002 Tantang Perlindungan Anak, yang akan dijabarkan menurut katagori yang

telah disebutkan diatas.

1) Hak Anak Memepertahankan Keberlangsungan Hidup (Survival Rights)

Katagori hak untuk mempertahankan keberlangsungan hidup terdiri dari

hak untuk melestarikan dan memepertahankan hidup, serta hak untuk

memeperoleh standar kesehatan dan pelayanan kesehatan yang terbaik (Stanfor,

1983:1918). Pasal-pasal utama dari Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014

Tentang Perlindungan Anak yang termasuk dalam katagori ini pasal 1ayat 2.

Adapun pasal 1 ayat 2 dari peraturan ini berbunyi: Perlindungan Anak adalah

segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat

hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan

harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan

dan diskriminasi.

Dikaitakan dengan kasus eksploitasi anak jalanan maka sebagian hak-hak

anak untuk memepertahankan hidup dapat dikatakan telah dilanggar. Turunya

anak ke jalan dalam pandangan orang tua dinggap sebagai upaya untuk bertahan
35

hidup, dimana uang merupakan sumber ekonomi utama untuk memenuhi

kebutuhan hidup. Namun sesungguhnya keberadaan anak di lokasi jalan

kendaraan umum merupakan sebuah anacaman bagi keselamatan, kesehatan,

bahakan nyawa anak itu sendiri. Banyak kasus meninggalnya salah seorang anak

jalanan di lokasi akibat bekerja sebagai pengamen merupakan salahsatu

bukti ekstrim terlanggaranya hak untuk hidup pada anak. Anak-anak memiliki hak

untuk memeperoleh kesehatan dan pelyanan kesehatan terbaik guna menjamin

kelangsungan hidupnya. Pada kenyataanya di lapangan bahwa keadaan kesehatan

fisik anak kurang baik, di perburuk dengan kurangnya perlindungan kesehatan

tatkala anak dalam bekerja. Kondisi gizi anak juga dinilai kurang baik, di

sebabkan pola makan dan minum yang tak beraturan serta tidak seterilnya apa-apa

yang di makan oleh anak jalanan. Adapun ketika mereka sakit fasilitas dan akses

kesehatan sangat sulit di dapatkan bagi mereka.

2) Hak untuk Tumbuh Kembang (development rights)

Hak-hak yang termaksut dalam katagori ini adalah segala bentuk

pendidikan, baik yang formal maupun informal, juga hak anak untuk mencapai

setandar kehidupan yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral

dan sosialnya. Adapun pasal-pasal utama yang masuk dalam katagori ini adalah

pasal Pasal 9 ayat 1 dan bagian keempat pasal 26 ayat 1: Pasal 9 (1) Setiap anak

berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan

pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.

Bagian Keempat, Kewajiban dan Tanggung Jawab Orang Tua dan

Keluarga pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak;


36

b. Menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan

minatnya;

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan

d. Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti

pada anak.

Kenyatan dilapangan menunjukan bahwa orang tua tidak mampu

menjamin taraf hidup yang layak bagi pengembangan fisik, mental, moral,

spiritual, dan social anak. Ketidak mampuan ini pada awalnya dimulai dengan

keterbatasanya kapasitas ekonomi dan keuangan orang tua, secara logis dapat

dianalogika sebagai berikut; bagaimana orang tua yang miskin dapat memberikan

jaminan taraf hidup bagi anak-anaknya. Dalam hal ini seharusnya Negara terlibat

untuk membantu orang tua dalam memenuhi taraf hidup anak, setidaknya

diperukan partisipasi masyarakat. Namun yang terjadi adalah orang tua keluarga

anak justru semakin jauh dari akses dan kedekatan pada masyarakat yang

semestinya dapat membantu mereka untuk bertahan dalam kondisi krisis. James

Gabarino mengemukakan bahwa isolasi kluarga dari sistem pendukung social

yang potensial (potent prosocial support system) dan kombinasi dengan krisis

yang dihadapi keluarga dapat mengakibtakan munculnya situasi yang merugikan

bagi anak (Robert, 1992:440).

Selain misalnya pemenuhan taraf hidup anak, masalah lain yang berkaitan

dengan isu perkembangan ini adalah mengenai pendidikan anak jalanan. Sebagian

besar anak jalanan merupakan anak putus sekolah, sebab orang tua tidak mampu

membayar biaya sekolah anak. Hampir seluruh anak yang putus sekolah ini tidak

melanjutakan sekolah atas dasar suruhan orang tua untuk berhenti sekolah.
37

Kenyataan di Indonesia bahwa untuk menempuh pendidikan dasar (Sekolah Dasar

dan Sekolah Menengah Pertama) orang tua tetap harus mengeluarakan sejumlah

biaya kepada pihak sekolah. Sebagian anak jalanan yang lain belum pernah

sekolah, meskipun usia mereka telah memasuki usia wajib belajar pendidikan

dasar (7 hingga 15 tahun). Sementara anak jalanan yang masih sekolah nyaris

tidak memiliki waktu menaruh perhatiannya pada pendidikannya sendiri, sebab

orang tua menyekolahkan hanya sekedar untuk mendaptkan status bersekolah bagi

anaknya saja.

Dalam kasus anak jalanan terkait dengan pendidikanya dapat di simpulkan

bahwa anak-anak jalanan ini kehilangan hak mereka untuk memeperoleh akses

pendidikan sebab orang tua mereka memang tidak mementingkan arti pendidikan

itu sendiri. Dalam hal ini berarti orang tua tidak memprioritaskan kepentingan

terbaik anak (the best interest of the child), melainkan mengutamakan

kepentingan orang tua untuk memperoleh nafkah bagi pemenuhan kebutuhan

keluarga.

Jika dilakukan penyisihan perolehan pendapatan anak dari mengamen,

seharusnya dapat dibagi sebagianya untuk membiayai pendidikan anak di sekolah.

Namun uang buakanlah masalah utama dalam hal ini, melainkan keberatan orang

tua bila anak mereka sekolah, sebab itu hanya mengganggu produktifitas anak

bekerja di jalanan. Hal ini juga sekaligus menjelaskan mengapa sebagian besar

orang tua jalanan tidak mengupayakan adanya pendidikan alternatif bagi anak.

Secara umum dapat dikatakan bahwa hak anak dalam hal ini juga terlanggar,

sebab anak bekerja hampir setiap hari, tanpa hari libur, dengan jam kerja yang

panjang. Pada akhirnya anak tidak memiliki waktu untuk bermain dengan teman
38

sebayanya, meskipun dengan sesama anak jalanan, sebab apabila orang tua

melihat mereka bermain dengan sesama anak jalanan, maka orang tua akan segera

memarahinya dan menyuruh anaknya kembali bekerja. Selain kesempatan untuk

bermain yang nyaris tidak ada, anak-anak jalanan juga kehilangan kesempatan

untuk menikmati rekreasi, meskipun mereka pernah diajak untuk rekreasi oleh

orang lain, tetapi kesempatan ini amatlah langka bagi mereka.

3) Hak untuk Berpartisipasi (Participation Rights)

Hak untuk berpartisipasi adalah hak anak untuk mengemukakan

pandangan dan pendapat atas segala sesuatu yang memepengaruhi anak secara

subyektif, termasuk penghargaan terhadap bagaimana pandangan tersebut

mengkonstruksikan budaya dan informasi. Dalam katagori ini juga termasuk hak

anak untuk memeperoleh akses informasi dan berkreasi (Robert, 1992:35). Hak

partisipasi ini memeberi makana dan pengakuan bahwa anak merupakan subyek

utuh yang ikut berperan dalam masyarakat, bukan hanya sebagai penerima yang

bersifat pasif dalam segala sesuatu yang berkaitan dengan perkembanganya

(Robert, 1992:46).

Pasal-pasal utama dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Anak yang masuk dalam kelompok hak partisipasi ini adalah pasal 1

ayat 2, 6, 24 dan pasal 56. Ringkasan dari ketiga pasal tersebut adal sebagai

berikut :

‘’Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi’’.


39

’Setiap Anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan

berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan

Orang Tua atau Wali’’.

’’Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin Anak untuk

mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan

tingkat kecerdasan Anak”.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan

pemeliharaan dan perawatan wajib mengupayakan dan membantu Anak, agar

Anak dapat:

a. Berpartisipasi;

b. Bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan

agamanya;

c. Bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia

dan perkembangan Anak;

d. Bebas berserikat dan berkumpul;

e. Bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan berkarya seni

budaya; dan

f. Memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan

keselamatan.

Kembali pada kasus eksploitasi anak jalanan. Anak-anak jalanan nyaris

tidak memiliki kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya sendiri kepada

orang tua mereka, sebab orang tua berkuasa dan memegang kendali penuh

terhadap kehidupan berikut seluruh aktifitas si anak. Bahakan untuk pernyataan

keberatan melakukan pekerjaan atau keluhan kelelahan dari anka juga sering
40

diabaikan oleh orang tuanya, atau justru mengakibtakan terjadinya kekerasan

terhadap anak. Ketakutan terhadap terjadinya kekerasan atau terjadinya kekerasan

itu sendiri kemudian menjadi penghalang bagi anak untuk menyatakan

pendapatnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri atau

mengekspresiakan pikiran-pikiranya.

Anak-anak juga tidak memeperoleh akses yang cukup dan layak terhadap

informasi. Pikiran serata gagasan mereka dibentuk dalam suatu lingkungan

pekerjaan, sehingga apa yang mereka pikirkan dan lakukan lebih banyak berkisar

pada pekerjaan dan aktifitas di jalanan. Anak-anak juga tidak memahami hak-hak

merka sediri, sebab mereka tidak pernah mendapatkan informasi mengenai hal

tersebut.

4) Hak untuk Mendapatkan Perlindungan (protection rights)

Kategori ini merupakan pusat perhatian dalam tulisan mengenai

eksploitasi anak. Hak-hak yang dimasukan dalam katagori ini adalah hak-hak

untuk memperoleh perlindungan dari diskriminasi, perlindungan dari terjadinya

perlakuan salah dan penelantaran anak (child abuse and neglect) atau perlakuan

semena-mena lainya, perlindungan dari eksploitasi, perlindungan bagi anak-anak

yang tidak memiliki atau tidak diketahui keluarganya, serta perlindungan dari

pengungsuian anak.

Pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Anak yang mengatur mengenai hak-hak perlindungan ini kemudian

dapat pula di jabarkan sebagai berikut:

a. Pasal 1 ayat 2 mengnai jaminan akan hak hidup tumbuh, berkembang,

serta dapat berpartisipasi secara optimal.


41

b. Pasal 1 ayat 12 tentang kewajiban Negara, masyarakat, dan keluarga

agar memperhatikan hak anak sebagi hak asasi manusia.

c. Pasal 12 menghususkan bagi anak penyandang Disabillitas berhak

dilindungi dengan rehabilitas, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf

kesejahteraan sosial.

d. Pasal 15 Setiap Anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :

1. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;

2. pelibatan dalam sengketa bersenjata;

3. pelibatan dalam kerusuhan sosial;

4. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur Kekerasan;

5. pelibatan dalam peperangan; dan kejahatan seksual.

e. Pasal 45B mewajibkan Pemerintah, Masyarakat, serta Orang Tua untuk

melindungi anak dari perbuatan yang menggangu kesehatan dan

tumbuh kembang anak.

f. Pasal 66 perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara

ekonomi atau seksual.

Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya eksploitasi anak

merupakan bagian dari perlakuan menyimpangan terhadap anak (child abuse).

Pasal 66, pasal 71A dan 71B secara gamblang menyatakan bahwa anak tidak

boleh menjadi korban perlakuan yang menyimpang serta eksploitasi yang

dilakukan oleh orang tua, atau pihak yang bertanggung jawab terhadap

pengasuhan anak. Dalam kenyataanya, anak-anak jalanan samasekali tidak

mendapatkan perlindungan terhadap eksploitasi yang terjadi pada diri mereka

yang dilakukan oleh orang tua mereka sendiri. Orang tua yang seharusnya
42

menjadi tumpuan anak untuk mendapatakan kasih sayang, perlindungan,

pengasuhan dan kehidupan yang layak, justru menciptakan kondisi yang rawan

bagi anak itu sendiri. Selain eksploitasi, anak-anak juga kerap menjadi koraban

kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh orang tuanya, padahal

seharusnya anak-anak tidak boleh diperlakuak demikian.

Anak-anak dilibatkan dalam kegiatan ekonomi pada usia yang sangat

rawan, bahkan jauh dibawah usia minimum bekerja yang telah di tetapkan oleh

pemerintahan RI. Ini diartiikan secara ekonomi anak telah dieksploitasi untuk

kepentingan orang tuanya. Tidak hanya eksploitasi ekonomi yang terkandung

dalam pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak di jalanan ini, tetapi juga bahaya

yang mengancam kesehatan dan perkembangan anak itu sendiri, serta menggangu

bahkan menghalangi akses mereka terhadap pendidikan.

Anak-anak semakin jatuh ke dalam jurang eksploitasi ini akibat jam kerja

yang sangat panjang. Kondisi bekerja di jalanan juga menjadi salah satu konteks

eksploitasi anak sebagi pekerja, sebab dalam melakukan pekarjaannya anak-anak

berada dalam kondisi yang menyerupai perbudakan, dan ironisnya yang menjadi

majikan dalam perbudakan ini adalah orang tua mereka sendiri.

Tidak hanya eksploitasi ekonomi yang dialami oleh anak-anak jalanan ini,

mereka juga mengalami eksploitasi bentuk lain, yaitu proses terpinggirnya mereka

dalam suatu struktur masyarakat disebabkan oleh pekerjaan yang merendahakan

harga diri dan martabat anak. Akibatnya anak akan terdampar pada posisi marjinal

yang tentu saja sangat merugikan bagi masa kini dan masa depan anak.
43

B. Hak-Hak Anak Dibawah Umur Sebagai Pekerja dalam Hukum Positif


Didalam Undang-Undang Republik Indonesia No 13 Tahun 2003 tentang

Tenaga Kerja disebutkan pengertian anak yaitu : ”anak adalah setiap orang yang

berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun”. Dan di dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang

berbunyi : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Sehingga dalam kondisi apapun dan dengan alasan apapun anak yang

diawah umur 18 (delapan belas) tahun, harus mendapatkan hak-hak mereka

sepenuhnya. Dalam konstitusi kita UUD 1945 juga dijelaskan bahwa “setiap anak

berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, maka dapat dipastikan bahwa

anak mempunyai hak konstitusional dan negara wajib menjamin serta melindungi

pemenuhan hak anak yang merupakan Hak Asasi Manusia (HAM).

Ada tiga pendekatan dalam memandang masalah pekerja anak, yaitu

penghapusan (abolition), perlindungan (protection), dan pemberdayaan

(empowerment). Pendekatan abolisi mendasarkan pemikirannya bahwa setiap

anak tidak boleh bekerja dalam kondisi apapun, karena anak punya hak yang

seluas-luasnya untuk bersekolah dan bermain, serta mengembangkan dirinya

seoptimal mungkin. Sementara pendekatan proteksi mendasari pemikirannya pada

jaminan terhadap hak sipil yaitu bahwa sebagai manusia dan sebagai warga

negara setiap anak punya hak untuk bekerja. Dan pendekatan pemberdayaan

sebenarnya merupakan lanjutan dari pendekatan proteksi, yang mengupayakan

pemberdayaan terhadap pekerja anak agar mereka dapat memahami dan mampu

memperjuangkan hak-haknya. Di sini berarti negara penanggung jawab


44

perlindungan anak harus mampu mengambil kebijakan baik secara yuridis, sosial,

serta melakukan kerja sama internal masyarakat dalam rangka melindungi hak

anak dari eksploitasi ekonomi.

Pendekatan perlindungan, muncul berdasarkan pandangan bahwa anak

sebagai individu mempunyai hak untuk bekerja. Oleh karenanya hak-haknya

sebagai pekerja harus dijamin melalui peraturan ketenagakerjaan sebagaimana

yang berlaku bagi pekerja dewasa, sehingga terhindar dari tindak penyalahgunaan

dan eksploitasi (Joni, 2006:32). Dalam pendekatan kedua ini tidak melarang anak

bekerja karena bekerja adalah bagian dari hak asasi anak yang paling dasar.

Meskipun masih anak-anak, hukum harus dapat menjamin terwujudnya hak anak

yang paling asasi untuk mendapatkan pekerjaan dan oleh karenanya juga

mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Masa depan anak tidak

lagi ditentukan oleh kekuatan orangtua, keluarga, masyarakat, apalagi negara.

Tetapi sebaliknya orangtua, keluarga, masyarakat dan negara, mempunyai

kewajiban untuk menjamin terwujudnya hak anak yang paling asasi yakni

mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam

pendekatan ini tidak dibenarkan ada peraturan perundangan yang mengeksploitasi

sumber daya anak, hanya sekedar untuk kepentingan ekonomi, sosial, politik,

budaya, hukum dalam perspektif orangtua, keluarga, masyarakat dan negara.

Sedangkan pendekatan Empowerment, juga berangkat dari pengakuan

terhadap hak-hak anak dan mendukung upaya penguatan pekerja anak agar

mereka memahami dan mampu memperjuangkan hak-haknya. Pendekatan

perlindungan dan pendekatan pemberdayaan inilah yang seharusnya menjadi

dasar pijakan bagi negara-negara di kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika,
45

khususnya di Indonesia, lebih khusus lagi di daerah selaras dengan semangat dan

esensi otonomi daerah.

Selain memperhatikan ketiga pendekatan tersebut diatas, upaya

memberikan perlindungan dan pencegahan terhadap pekerja anak dapat dilakukan

dengan cara; pertama, mengubah presepsi masyarakat terhadap pekerja anak,

bahwa anak yang bekerja dan terganggu tumbuh kembangnya dan tersita hak-

haknya akan pendidikan tidak dapat dibenarkan. Kedua, melakukan advokasi

secara bertahap untuk mengeliminasi pekerja anak, dengan perhatian pertama

diberikan kepada jenis pekerjaan yang sangat membahayakan, dalam hal ini perlu

ada kampanye besar-besaran untuk menghapuskan pekerja anak. Ketiga,

mengundangkan dan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang selaras

dengan konvensi internasional, khususnya Konvensi Hak Anak. Keempat,

mengupayakan perlindungan hukum dan menyediakan pelayanan yang memadai

bagi anak-anak yang bekerja di sektor informal, seperti di tempat pembuangan

akhir (TPA) sampah. Kelima, memastikan agar anak-anak yang bekerja

memperoleh pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan keterampilan melalui bentuk-

bentuk pendidikan alternatif yang sesuai dengan kebutuhan mereka (Prinst,

2003:18).

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia yang merupakan Undang-Undang organik tentang perlindungan

hak asasi manusia dari UUD 1945 hasil amandemen IV. Rumusan mengenai hak

anak disebutkan dalam pasal 52 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas

perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat, dan negara. Selain itu pasal ini juga

menyebutkan bahwa hak anak adalah hak asasi manusia sehingga demi
46

kepentingan anak, hak tersebut harus diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan

sejak dalam kandungan.

Pasal 58 menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan

perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran,

perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orangtuanya

atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan

anak tersebut, pasal ini merupakan rumusan perlindungan hak anak yang harus

dilindungi oleh hukum.

Beberapa pasal lain dalam Undang-Undang HAM yang memuat ketentuan

perlindungan anak, terutama dalam bentuk perlindungan terhadap anak sebagai

pekerja adalah Pasal 64 dan Pasal 65. Pasal 64 berbunyi: "setiap anak berhak

untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap

pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan,

kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya". dan Pasal 65

berbunyi: "setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan

eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari segala

bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya".

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan diatur

dalam beberapa pasal, diantaranya :

Pasal 69

Anak berumur antara 13 (tiga belas) tahun dapat, di bawah ketentuan-

ketentuan tertentu yang ketat, melakukan pekerjaan yang ringan sepanjang tidak

menghambat atau mengganggu perkembangan fisik, mental dan sosial anak yang
47

bersangkutan, pengusaha yang mempekerjaakan anak pada pekerjaan ringan harus

memenuhi persyaratan, :

1. Bahwa pengusaha harus mendapatkan izin tertulis dari orangtua atau walinya.

2. Harus ada perjanjian kerja antara pengasuh dengan orangtua atau walinya.

3. Pengasuh tidak boleh mengharuskan anak untuk bekerja lebih dari empat jam

sehari.

4. Pengasuh hanya dibenarkan mempekerjakan anak pada siang hari tanpa

menggangu waktu sekolah anak yang bersangkutan.

5. Dalam mempekerjakan anak, pengasuh harus memenuhi syarat-syarat

keselamatan dan kesehatan kerja.

6. Ada hubungan yang jelas antara pengasuh dan pekerja anak yang bersangkutan

/orangtua walinya)

7. Anak berhak menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Beberapa

ketentuan di atas dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.

Pasal 70

Anak dapat diperbolehkan melakukan pekerjaan ditempat kerja sebagai

bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan sekolah yang disahkan oleh

pejabat yang berwenang, anak yang dimaksud dalam ayat 1 dapat diberikan

kepada anak dengan syarat: diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan

pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan

diberikan perlindungan keselamatan dan kesejahteraan kerja.

Pasal 72

Dalam hal anak dipekerjaan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa,

maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.
48

Pasal 74

Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada

bentukbentuk pekerjaan yang terburuk. Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk

anak meliputi :

1. Segala pekerja dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya.

2. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan

anak untuk pelacuran, produksi ponografi, pertunjukan porno atau

perjudian.

3. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan

anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika ,

psikotropika, dan zat adiktif lainnya: dan semua pekerjaan yang

membahayakan kesehatan, atau moral anak.

Undang-Undang ini menetapkan sanksi bagi para pelanggar hukum.

Mereka yang melanggar ketentuan mengenai bentuk pekerjaan terburuk untuk

anak dikenai hukuman penjara selama 2 hingga 5 tahun atau denda sedikitnya 200

juta rupiah atau maksinal 500 juta rupiah. Sedangkan pelanggaran aturan

mengenai pekerjaan ringan akan dikenakan hukuman penjara selama 1 hingga 4

tahun dan atau denda sekurang-kurangnya 100 juta rupiah dan maksimal 400 juta

rupiah.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

a. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

undang-undang, yaitu mengkaji/menganalisis data sekunder yang berupa surat-

surat, berkas perkara terutama bahan dan sekunder, lalu mengadakan

perbandingan terhadap peraturan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia

berupa penelitian hukum incoreto (pasal-pasal yang menjadi kasus). Pendekatan

undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-

undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang

ditangani. Pendekatan perundang-undangan ini misalnya dilakukan dengan

mempelajari konsistensi/kesesuaian antara Undang-Undang Dasar dengan

Undang-Undang, atau antara Undang-Undang yang satu dengan Undang-Undang

yang lain (Marzuki, 2009:93).

b. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian adalah metode deskriptif analitis.Metode Deskriptif

analitis adalah suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi

gambaran terhadap obyek yang diteliti melalui data yang telah terkumpul

sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang

berlaku untuk umum (Sugiono, 2009:29).

B. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis empiris.

Pendekatan yuridis (hukum dilihat sebagai norma atau das sollen), karena dalam

49
50

membahas permasalahan penelitian ini menggunakan bahan-bahan hukum (baik

hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis atau baik bahan hukum

primer maupun bahan hukum sekunder). Pendekatan empiris (hukum sebagai

kenyataan sosial, kultural atau das-sein), karena dalam penelitian ini digunakan

data primer yang diperoleh dari lapangan. Pada penelitian berdasarkan aturan-

aturan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan kemudian

mendiskripsikan secara faktual pelaksanaan penyidikan, penyelidikan, dan

penuntutan serta upaya penyelesaian terhadap eksploitasi secara ekonomi terhadap

anak jalan.

C. Jenis dan Sumber Data

a. Jenis Data

a) Data Primer

Yaitu data yang diperoleh langsung dari obyek penelitian, dalam hal

ini penulis berusaha terjun ke lapangan dengan mengadakan penelitian

untuk mendapatkan data primer yang berasal dari nara sumber yaitu

Dinas Sosial Kota Malang.

b) Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari literatur, serta peraturan perundang-

undangan yang ada, yang berhubungan dengan materi yang penulis

bahas dalam penulisan skripsi ini yang terdiri dari surat-surat, berkas

perkara, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan peraturan

pemerintah pengganti Undang-undang.


51

b. Sumber Data

a) Penelitian Kepustakaan (Library Research)

yaitu data yang diperoleh dari membaca buku-buku, literatur-

literatur dan perundang-undangan yang berhubungan dengan penulisan ini,

terutama yang berkaitan dengan rumusan masalah pada karya skripsi ini,

yang merupakan kajian normatif terkait dengan urgensi penerapan hukum

perlindungan anak.

b) Penelitian Terdahulu

Dari penelitian terdahulu diantaranya yaitu penelitian yang

dilakukan Adi Putro (2016) dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap

Hak Pekerja Anak Berdasarkan Undang-undang No 35 Tahun 2014

Tentang Perlindungan Anak,selanjutnya ada Choirul Ardinata (2017)

Perlindungan Terhadap Eksploitasi Anak Dibawah Umur Dalam

Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan Indonesia.

Dari beberapa tulisan penelitian terdahulu tersebut penulis mengumpulkan

keterangan-keterangan sesuai dengan yang dibutuhkan.

c) Penelitian Lapangan

Untuk mendapatkan data lapangan penulis turun langsung ke

lapangan mewawancarai narasumber yang menjadi sampel di penelitian ini

yaitu Dinas Sosial Kota Malang.

D. Teknik Pengumpulan Data

Lazimnya untuk mendapatkan data yang sesuai dengan hal-hal yang diteliti,

peneliti menggunakan instrument sebagai berikut :


52

1. Wawancara adalah Tanya jawab dengan seseorang untuk mendapatkan

keterangan atau pendapat tentang suatu masalah. Penggunaan teknik ini

dimaksudkan untuk menggali dan mendalami hal-hal penting yang mungkin

belum terjangkau melalui observasi atau untuk mendapatkan jawaban yang

lebih detail atas suatu persoalan. Untuk memudahkan pelaksanaanya,

wawancara dilakukan secara terstruktur dengan mengunakan pedoman

wawancara (interview guide) terhadap Dinas Sosial Kota Malang dan rekan

sejawat..

2. Dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan

menganalisa dokumen-dokumen. Teknik dokumentasi ini dipergunakan untuk

mengumpulkan data tertulis yang tidak didapatkan melalui instrument

pengumpulan data lainnya.

E. Teknik Analisis Data

Berdasarkan data primer dan sekunder yang telah diperoleh oleh penulis

kemudian membandingkan data tersebut. Penulis menggunakan teknik deskriptif

yang didasari oleh teori-teori yang diperoleh diperkuliahan dan literatur yang ada,

yaitu menggambarkan keadaan yang sesungguhnya dilapangan kemudian

menafsirkan dan menjabarkan data berdasarkan teori dan norma hukum yang ada

sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan.


BAB IV

PEMBAHASAN

Dinas Sosial Kota Malang terletak di Jalan Raya Sulfat 12 Malang. Dinas

Sosial Kota Malang mempunyai tugas untuk melaksanakan otonomi daerah di

bidang kesejahteraan sosial di wilayah kota Malang yang terdiri dari 5 kecamatan

dan 57 kelurahan.

A. Implementasi Hukum Perlindungan Anak Dari Eksploitasi Orangtua

Perlindungan anak sebenarnya telah terintegrasi dalam hukum nasional yang

terserak-serak didalam KUHPerdata, KUHPidana, dan sejumlah peraturan

perundangan-undangan tentang perlindungan anak. Secara internasional, sejak

tahun 1989 masyarakat dunia telah mempunyai instrumen hukum, yakni Konvensi

Hak Anak (Un’s Convention on the Rights of the Child). KHA mendeskripsikan

hak-hak anak secara detail, menyeluruh dan maju. Karena KHA memposisikan

anak sebagai dirinya sendiri dan hak anak sebagai segmen manusia yang harus

dibantu perjuangan bersama-sama orang dewasa.

Praktek perlakuan salah terhadap anak, makin maraknya kasus perkosaan

anak, kekerasan terhadap anak (domestik dan disektor publik), kekerasan psiskis

dan mentalitas serta beban yang berat, ekploitasi dan penekanan anak dalam

media iklan, siaran televisi, dan kebijakan serta hukum yang tidak pro hak anak.

Bahkan perlakuan aparatus penegak hukum, apakah para hakim, jaksa, polisi yang

dalam praktek penegakan hukum anak cendeung memidana anak. Padahal

menurut prinsip hukum pidana, pidana bagi anak adalah pilihan yang terakhir.

Oleh karena itu, mengimplemntasikan hak anak diupayakan untuk meneguhkan

53
54

tatanan, sistem dan konstruksi struktural yang pro anak/hak anak. Upaya ini

sejalan dengan upaya reformasi hukum yang mengikis tesis hukum yang

eksploitatif-destruktif terhadap anak.

Sosialisasi, promosi, dan penegakan hak-hak anak perlu dilakukan terus

menerus dan sungguh-sungguh, mengingat masalah anak belum manjadi isu

utama dalam pembangunan. Menegakan hak-hak anak membutuhkan komitmen

dengan orang dewasa yang memiliki kekuatan, kapital, kekuatan mendesak, dan

sumber daya pendukung lainnya. Karena kodratnya yang lemah dalam masa

pertumbuhan, bagaimanapun, anak tidak bisa dibiarkan mandiri secara total. Anak

bukan orang dewasa dalam ukuran mini sehingga tidak absah dibiarkan berjuang

sendiri menegakan hak-hak anak yang tertulis indah dalam dokumen formal

ataupun ketentuan hukum. Disinilah urgensi advokasi dan perlindungan hukum

anak untuk menciptakan tatanan dunia yagn lebih baik bagi anak.

Hak-hak anak sebagai mana dimaksud dalam dokumen hukum mengenai

perlindungan hak-hak anak masih belum cukup ampuh bisa menyingkirkan

keadaan yang buruk bagi anak. Pada kenyataannya, tatanan dunia dan prilaku

kehidupan masyarakat masih menyimpan masalah anak. Bahkan keadaan seperti

itu bukan saja melanda Indonesia, namun juga hampir pada seluruh muka jagat

bumi ini.

Dengan mengembangkan realitas anak-anak dewasa ini, dimaksudkan untuk

memberikan gambaran betapa masalah anak belum mereda dalam perkembangan

pembangunan dunia yang pesat diantaranya termasuk di Indonesia. Gambaran

dimuka menunjukan bahwa perlindungan anak dan pelaksanaan hak-hak anak

masih perlu dimaksimalkan sebagai gerakan global yang melibatkan seluruh


55

potensi negara bangsa-bangsa didunia. Anak juga mempunyai hak dan kewajiban

sebagai anak, dan hak anak tersebut antara lain setiap anak berhak untuk dapat

hidup, tumbuh, berkembang, dan berispirasi secara wajar sesuai dengan harkat

dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi, setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status

kewarganegaraan dan anak juga berhak beribadah menurut agamanya, berpikir,

dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan

orang tua, anak juga berhak menyatakan dan didengarkan pendapatnya,

menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan kecerdasan dan

usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan

kepatutan, yang terpenting, setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali,

atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak

mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik eksploitasi

ekonomi maupun seksual, penelantaran , kekejaman, kekerasan, penganiayaan,

ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya. Penelitian Jaringan Penanggulangan

Pekerja Anak (JARAK) adalah sebagai berikut; pertama, kemiskinan. Rendahnya

ekonomi keluarga merupakan faktor dominan yang menyebabkan anak-anak

terlibat mencari nafkah. Anak sering menjadi sumber penghasilan yang sangat

penting. Bahkan dalam banyak hal, pekerja anak dipandang sebagai mekanisme

survival untuk mengeliminasi tekanan kemiskinan yang tidak terpenuhi dari hasil

kerja orangtua. Terlibatnya anak dalam kegiatan ekonomi juga karena adanya

dorongan untuk membantu meringankan beban orangtua, bekerja untuk

mendapatkan penghormatan dari masyarakat, juga keinginan menikmati hasil

usaha kerja, merupakan faktor-faktor motivasi pekerja anak. Akan tetapi sebab
56

terbesar yang mendorong anak-anak bekerja adalah tuntutan orangtua dengan

tujuan mendapat tambahan pemasukan bagi keluarga. Anak-anak seringkali tidak

dapat menghindar untuk tidak ikut terlibat dalam pekerjaan.

Akan tetapi mengapa sampai sekarang ini masih saja terjadi bentuk-bentuk

pengeksploitasian terhadap anak? Tugas yang seharusnya dikerjakan oleh orang

tua untuk bekerja mencari nafkah, kini dibebankan kepada anak-anak yang belum

terlalu mengerti dan pahami benar dunia kerja itu seperti apa? Anak-anak

seharusnya diajarkan untuk mendapatkan pendidikan yang layak guna

menghadapi masa depan sebagai seorang penerus bangsa akan tetapi anak-anak

malah diajarkan untuk bagaimana melakukan suatu pekerjaan yang dapat

menghasilkan uang agar supaya tetap bertahan hidup. Bahkan ada orang tua yang

mengajarkan kepada anak-anaknya untuk mencari uang dengan cara-cara yang

salah seperti mencuri dll. Ada juga anak-anak yang meniru vara-cara

mendapatkan uang dengan mudah lewat adegan-adegan yang

ditayangkanditelevisi. Ini tertjadi akibat kurangnya didikan dari kedua

orangtuanya. Banyak faktor – faktor pendorong sehingga eksploitasi anak kerap

terjadi di Indonesia, diantaranya : Faktor lingkungan keluarga. Tugas orang tua

sebagai pendidik adalah mendidik mengajarkan kepada anak – anak hal – hal yang

bersifat positif sehingga anak – anak menjadi penerus bangsa yang mampu

membawa bangsa menjadi suatu bangsa yang mampu menjadi contoh bagi bangsa

– bangsa lain. Bahkan orang tua ikut seharusnya menjadi contoh yang baik kepada

anak – anak mereka harus menjadi anak – anak yang berguna bagi bangsa dan

negara.Faktor lingkungan keamanan.Permasalahan yang timbul juga disebabkan

faktor lingkungan keamanan sekitar. Dari fakta yang ada, dalam kurun waktu lima
57

tahun terakhir ratusan ribu anak terjebak dalam berbagai konflik di tanah air,

seperti yang terjadi di poso, aceh, irian, maluku, dan tempat – tempat lain baik di

jawa maupun di luar jawa. Mereka mendapatkan suatu tekanan batin karena

mereka harus menyaksikan bahkan mengalami kejadian kekerasan luar biasa,

kehilangan orangtua dan sanak saudara serta tempat tinggal akibat konflik yang

berkepanjangan. Hal ini mendorong mereka untuk bekerja sendiri untuk mencari

uang. Keadaan mereka seperti ini yang sudah kehilangan orang tua membuat

mereka mudah terjerumus dalam eksploitasi anak. Faktor ekonomi (kemiskinan)

Sebagai salah satu konsekuensi dari krisis multi dimensional yang menimpa

masyarakat dunia pada umumnya, di Indonesia pada khususnya, kemiskinan

merupakan salah satu faktor terbesar yang menyebabkan pengekspolitasian anak

terjadi. Bentuk itu umumnya dilakukan dengan cara membiarkan anak dalam

situasi kurang gizi, tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai, tidak

mendapatkan hak – haknya dalam bidang pendidikan, memaksa anak untuk

menjadi seorang pengemis, buruh pabrik, dan jenis – jenis pekerjaan yang dapat

membahayakan keselamatan dan tumbuh kembang anak (kristya-

kembara.blogspot).

Kasus eksploitasi anak ini, semua subjek mengatakan mereka tidak

mengetahui bahwa ada konvensi anak yang didalamnya berisi tentang hak-hak

anak, seperti: hak kelangsungan hidup (survival right), hak berkembang

(development right), hak memperoleh perlindungan (protection right), serta hak-

hak untuk berpartisipasi dalam berbagai kepentingan hidupnya. Subjek hanya

menjalankan peran sebagai orang tua pada umumnya yaitu memberi makan dan

memberikan anak-anak mereka rumah untuk berteduh. Selebihnya mereka tidak


58

mengerti tentang isi dari konvensi hak-hak anak tersebut. Hal ini tentunya dengan

mengorbankan hak-hak anak. Akan hal adanya undang-undang tentang

perlindungan hak dan kewajiban anak serta pasal 88 yang berbunyi :”Setiap orang

yang mengeksploitasi anak dalam bentuk ekonomi maupun seksual anak dengan

maksud untuk menguntungkan diri sendiri maupun orang lain akan dipidana

penjara paling lama 10 tahun atau denda sebesar Rp. 200.000.000,00. Para orang

tua mengakui bahwa memang mereka tidak mengetahui ada undang-undang

seperti itu. Namun, kedua orang tua subjek memiliki peran yang besar dalam hal

munculnya pekerja anak (buruh anak) di bawah umur. Ketidaktahuan orang tua

tentang konvensi hak-hak anak inilah yang menjadi penyebab munculnya pekerja

anak dibawah umur, seperti halnya keterangan UNICEF sebagai badan

perlindungan anak sedunia dalam PBB (gunadarma.ac.id), bahwa salah satu faktor

penyebab anak dibawah umur terpaksa bekerja salah satunya adalah

ketidaktahuan orang tua tentang konvensi hak-hak anak dan undang-undang

tentang anak. Bagi para orang tua, anak memiliki nilai ekonomis tertentu. Meski

orang tua H tidak menyuruh anaknya untuk bekerja, namun dirinya mengakui

bahwa dirinya dan istrinya merasa senang jika anaknya tersebut bersedia

membantu dirinya meringankan beban perekonomian keluarga. Dapat

disimpulkan bahwa pendapat semua subjek dimana mereka menganggap bahwa

anak memiliki nilai ekonomis tertentu inilah yang menjadi penyebab munculnya

tenaga kerja anak dibawah umur sesuai dengan keterangan UNICEF sebagai

badan perlindungan anak sedunia dalam PBB (gunadarma.ac.id).

Perlindungan hukum atau dalam bahasa Inggris disebut legal protection dan

dalam bahasa Belanda disebut rechtsbecherming. Dengan kata lain perlindungan


59

hukum adalah perlindungan yang diberikan dengan berlandaskan pada hukum dan

undang-undang. Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya

perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak

(fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang

berhubungan dengan kesejahteraan anak. Berangkat dari pembatasan di atas,

maka lingkup perlindungan hukum bagi anak-anak mencakup:

a) Perlindungan terhadap kebebasan anak;

b) Perlindungan terhadap hak asasi anak; dan

c) Perlindungan hukum terhadap semua kepentingan anak yang berkaitan

dengan kesejahteraan (Waluyadi, 2009:18).

Perlindungan hukum bagi anak juga mempunyai spektrum yang cukup luas.

Berbagai dokumen dan pertemuan internasional terlihat bahwa perlunya

perlindungan hukum bagi anak dapat meliputi berbagai aspek, yaitu:

a) Perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak;

b) Perlindungan anak dalam proses peradilan;

c) Perlindungan kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga, pendidikan

dan lingkungan sosial);

d) perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan

kemerdekaan;

e) Perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan,

perdagangan anak, pelacuran, pornografi, perdagangan/penyalahgunaan

obat-obatan, memperalat anak dalam melakukan kejahatan dan

sebagainya);

f) Perlindungan terhadap anak-anak jalanan;


60

g) Perlindungan anak dari akibat-akibat peperangan/konflik bersenjata;

h) perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan (Nawawi, 1998:156)

Kata eksploitasi yang dimaksud dalam butir e) diatas termasuk dalam pengertian

tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada

pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan,

penindakan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara

melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan atau jaringan tubuh atau

memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan

keuntungan baik materiil maupun immateriil (kpai.go.id.) Eksploitasi terhadap anak, baik

oleh orang tua maupun oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, dalam hal ini

adalah pemilik usaha/entertainment, menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan

sewenang-wenang terhadap anak. Memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi

kepentingan ekonomi, sosial maupun politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk

mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis dan status

sosialnya.

B. Faktor-Faktor Yang Menghambat Perlindungan Anak Dari Eksploitasi

Orangtua

Kemiskinan memang merupakan salah satu kondisi yang memaksakan

banyak anak terlibat dalam pekerjaan guna menghidupi diri dan keluarganya agar

dapat memperbaiki kondisi ekonomi. Namun, di sisi lain pekerja anak juga dapat

menyebabkan tetap terpeliharanya kemiskinan, karena anak-anak yang bekerja

tersebut seringkali tidak mendapatkan kesempatan untuk bersekolah guna

menambah kemampuan ketrampilannya untuk memperoleh prospek penghasilan

yang lebih baik. Oleh karena itu, penulis berpendapat upaya-upaya yang harus

dilakukan terhadap terjadinya pekerja anak yaitu :


61

1. Faktor ekonomi

Adapun upaya konkrit yang harus dilakukan menurut modul penanganan

pekerja anak terkait faktor ekonomi,yaitu :

Pemerintah bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan masyarakat dan

memberikan perlindungan anak. Untuk itu dalam mengatasi masalah pekerja anak

perlu dilakukan upaya pemberdayaan keluarga dan masyarakat, kegiatan

pemberdayaan keluarga dan masyarakat ditujukan untuk meningkatkan

kesejahteraan keluarga kurang mampu.

2. Orang Tua/Keluarga

Adapun upaya konkrit yang harus dilakukan menurut Anggun Fatmawati

terkait faktor orang tua/keluarga, yaitu :

Orang tua lebih memahami dan mengerti bahwa anak bukanlah milik pribadi

karena dasarnya setiap anak adalah sebuah pribadi yang utuh yang juga memiliki

hak sebagaimana individu lainnya, sehingga anak tidak dapat dijadikan tumpuan

amarah atas semua permasalahan yang dialami orang tua.

3. Lingkungan

Adapun upaya konkrit yang harus dilakukan menurut modul penanganan

pekerja anak terkait lingkungan, yaitu :

Melaksanakan program sosialiasi, artinya upaya menyebarluaskan informasi

berkaitan dengan subtansi pekerja anak, ditujukan untuk meningkatkan

pengetahuan, kesadaran dan menggerakan masyarakat dalam upaya pencegahan

dan penanggulangan pekerja anak, menghimpun kekuatan dan sumber daya serta

modal sosial berbagai pihak yang dapat digunakan mencegah pekerja anak.
62

Permasalahan yang dihadapi dalam perlindungan hak-hak anak:

a) Substansi hak anak yang tercantum dalam rumusan Pasal 28 B ayat (2)
UUD NRI 1945 kurang lengkap karena seolah-olah hanya memandang
anak perlu mendapat perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi.
Mestinya, perlindungan yang diberikan negara terhadap anak, sebagai
salah satu kewajiban generik negara, juga meliputi perlindungan. Sebab,
posisi anak-anak yang rentan dan tergantung sebagai akibat hubungan
yang tidak setara antara anak dan orang tua bukan hanya membuat anak
berpotensi menjadi korban kekerasan dan diskriminasi tapi juga eksploitasi
ekonomi dan seksual serta penelantaran. Karena itu dengan memasukan
kata diharapkan akan mencegah potensi yang mungkin dapat menciderai
hak anak. Bagaimanapun, tindakan eksploitasi, diskriminasi, kekerasan,
dan penelantaran merupakan bentuk-bentuk perlakuan yang menurunkan
martabat anak sebagai manusia.
b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, hak-
hak anak dalam bidang hukum perdata meliputi perlindungan anak untuk
memperoleh kesejahteraan. Tentang kesejahteraan anak telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, akan
tetapi hingga kini belum dibuat peraturan pelaksanaanya, khususnya Pasal
10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang orang tua yang terbukti
melalaikan tanggung jawabnya untuk mendidik anak. Namun, melihat
realitas sosial, ekonomi dan budaya nasional di Indonesia, masih menjadi
persoalan apakah orang tua yang lalai menjalankan tanggungjawabnya
secara sosiologis dapat dicabut haknya sebagai orang tua sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak.
c) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 68 tentang
Ketenagakerjaan, menegaskan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan
anak. Akan tetapi dalam Pasal 69 dibuka peluang bagi pengusaha untuk
mempekerjakan anak-anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun
sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan
sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental,
dan sosial. Pekerjaan yang bagaimana tidak disebutkan secara jelas dalam
undang-undang ini sehingga sulit untuk melarang anak untuk bekerja
secara konsisten.
d) Aparat Penegak Hukum, yakni para petugas atau lembaga yang berkaitan
dengan proses berlangsungnya hukum dalam masyarakat. Dalam hal
penegakan hukum di Indonesia, aparat yang bertugas menegakkan hukum
dikenal dengan catur wangsa yang meliputi kepolisian (lembaga penyidik),
kejaksaan (penuntut), hakim (peradilan) dan pengacara (lawyer) atau
63

advokat. Dalam menegakkan hak-hak anak aparat penegak hukum


menghadapi permasalahan yang umum melanda Indonesia yakni
keterbatasan kemampuan para penegak hukum yang memahami hukum
anak dan hak-hak anak, kualitas, pendidikan dan keahlian masing-masing
aparat penegak hukum.
e) Budaya Hukum Masyarakat, yakni struktur sosial dan pandangan kultural
yang berlangsung dan diyakini masyarakat dalam menegakkan hukum
sebagai sebuah pedoman tingkah laku sehari-hari. Masalah budaya hukum
merupakan masalah penting dalam menegakkan hukum di Indonesia yang
menyangkut keyakinan masyarakat pada hukum.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari rumusan masalah, berdasarkan hasil penelitian, dan pembahasan yang

telah diuraikan diatas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Perlindungan hukum atau dalam bahasa Inggris disebut legal protection

dan dalam bahasa Belanda disebut rechtsbecherming. Dengan kata lain

perlindungan hukum adalah perlindungan yang diberikan dengan

berlandaskan pada hukum dan undang-undang. Perlindungan hukum bagi

anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai

kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of

children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan

kesejahteraan anak. Berangkat dari pembatasan di atas, maka lingkup

perlindungan hukum bagi anak-anak mencakup:

a) Perlindungan terhadap kebebasan anak;

b) Perlindungan terhadap hak asasi anak; dan

c) Perlindungan hukum terhadap semua kepentingan anak yang

berkaitan dengan kesejahteraan.

Perlindungan hukum bagi anak juga mempunyai spektrum yang cukup

luas. Berbagai dokumen dan pertemuan internasional terlihat bahwa

perlunya perlindungan hukum bagi anak dapat meliputi berbagai aspek,

yaitu:

a) Perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak;


b) Perlindungan anak dalam proses peradilan;
c) Perlindungan kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga,
pendidikan dan lingkungan sosial);

64
65

d) perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan


kemerdekaan;
e) Perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan,
perdagangan anak, pelacuran, pornografi,
perdagangan/penyalahgunaan obat-obatan, memperalat anak dalam
melakukan kejahatan dan sebagainya);
f) Perlindungan terhadap anak-anak jalanan;
g) Perlindungan anak dari akibat-akibat peperangan/konflik bersenjata;
h) perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan

2. Permasalahan yang dihadapi dalam perlindungan hak-hak anak:

a) Substansi hak anak yang tercantum dalam rumusan Pasal 28 B ayat

(2) UUD NRI 1945

b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

c) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

d) Aparat Penegak Hukum,

e) Budaya Hukum Masyarakat.

B. Saran

penulis menyarankan beberapa hal sebagai berikut:

1. Agar pemerintah Daerah Kota Malang, Dinas Sosial Kota Malang dan

juga aparat Penegak Hukum di Kota Malang untuk lebih memperhatikan

dan melakukan tindakan secara tegas mengenai masalah eksploitasi secara

ekonomi terhadap anak jalanan baik dari segi pembinaan maupun sanksi

hukum bagi pelaku eksploitasi secara ekonomi terhadap anak jalanan serta

diperlukan adanya penyuluhan kepada masyarakat/ orang tua diantaranya

mengenai larangan memberi sesuatu baik itu berupa uang maupun barang

kepada anak jalanan dan juga dampak negatif bagi anak jalanan yang

mengalami eksploitasi secara ekonomi.


66

2. Perlindungan hukum bagi anak dibawah umur yang menjadi korban

eksploitasi sebagai artis masih kurang. Padahal, di Indonesia sendiri

perangkat hukum dan aturan yang tersedia sebenarnya sudah jelas

menyatakan larangan melibatkan anak bekerja. Masalahnya sekarang,

meski telah ada hukum dan aturan yang melarang keterlibatan anak

bekerja, dalam kenyataan tetap saja bisa ditemui anak-anak yang bernasib

malang dan bekerja yang jauh diluar kemampuan mereka. Meskipun sudah

banyak undang- undang yang mengatur mengenai hak-hak anak, undang-

undang tersebut belum teratur dan belum terarah dalam pengaturannya,

karena dari sejumlah undang-undang yang mengatur tentang hak-hak anak

dan larangan eksploitasi anak, belum ada harmonisasi dalam

pelaksanaanya, sehingga pemerintah, penegak hukum dan masyarakat

sukar untuk menerapkannya ditambah lagi ketidakpedulian masyarakat

khususnya orang tua serta kurangnya pengetahuan orang tua terhadap

pendidikan dan kebutuhan hak-hak anak.


67

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Akbariah, Laily. 2013. Upaya Pemerintah Daerah Dalam Mereduksi Eksploitasi


Ekonomi Anak. Malang, Fakultas Ilmu Administrasi. 2013. Hlm 51.

Amstrong, Pat. 1990. Economic Conditions and Family Structures, in Maureen


Baker ed. Families: Changing Trends in Canada. Hlm. 275

Asril Aini. 1980. Masalah Batas Umur Bekerja Untuk Anak. Kertas Kerja dalam
Simposium, Aspek aspek Hukum Masalah Perlindungan Anak, Dilihat
dari Segi Pembinaan Generasi Muda. BPHN – Departemen Kehakiman
RI. Hlm 20.

Breckenridge and Vincent. 1965. Child Development, Physical and


Psychiological Growthn Through Adolescent. London : W.B. Saunders
company and fifth edition. Hlm. 68.

Craib , Lan. 1994. Teori Social Modern, dari Parsons sampai Habermas. Jakarta.
Hlm. 55

Darwan, Prinst. 2003Hukum Anak Indonesi, .Bandung : Anggota IKAPI. PT. Citra
Aditya Bakti. Hlm. 18.

J. Goode, William. 1995.Sosiologi Keluarga, Jakarta : Bumi Aksara. Cetakan ke-


4.

Johnson, Doyle paul. 1994. Teori Sosioligi Klasik dan Moderen. Pandawa.
Jakarta. Hlm. 252.

Joni, Muhammad. 2006. Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif


KHA (Konvensi Hak Anak). Jakarta : Citra Aditya. Hlm.32.

Arief, Barda Nawawi. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan


Pengembangan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung

Waluyadi. 2009. Hukum Perlindungan Anak. CV. Mandar Maju. Bandung.

Kadish, Stanfor . 1983. Encyclopedia of crime and justice. London. Hlm.1918.

Nachrowi, Djalal. 2004. PEKERJA ANAK DI INDONESIA : Kondisi, Determinal,


dan Eksploitasi. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indinesia. Hlm. 70.

Proper, Alice. 1990. Patterns of Family Violence, in Maureen Baker ed. Families:
Changing Trends in Canada. Hlm. 272-273.
68

Simanjuntak , B. 1981. Pengantar Kriminoligi dan Patologi Sosial. Bandung.


Hlm. 232.

Susanto. 2011. Kriminologi. Genta Publishing. Yogyakarta. Hlm 87.

Teuns, Dr. Sjef. 1990. Right of The Child; ‘How To Go On? In The Report of the
First Asian Conference on Child Exploitasion and Abuse. Calcutta. Hlm.
13.

Tjandraningsih, Indrasari. 2015. Memahami Eksistensi Anak Marjinal di


Indonesia, bahan pengantar diskusi yang dipresentasikan kosultasi
pelayanan anak. Bogor.

Trojanowicz, Robert C. and Merry Morash. 1992. Juvenile delinguency; concept


and control.New Jersey.Hlm. 440

UNICEF. 1997. Laporan situasi anak dunia. Jakarta. Hlm. 21

Yusuf, Syamsu. 2004. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung. Hlm
33

Internet:

https://dinsos.malangkota.go.id/data-pmks/ (di akses Senin, 9 Desember 2019)

http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2007/Artikel_10
502032.pdf (diakses jumat 17 Juli 2020)

http://kristya-kembara.blogspot.com/2010/05/perlindungan-hukum-terhadap-hak-
anak.html (diakses Jumat 17 Juli 2020)

http:/emeidwsinanarhati.blogspot.com/2012/08/jurnal-reformasi.html (diakses
Jumat 17 Juli 2020)

http://www.kpai.go.id/artikel/temuan dan rekomendasi kpai tentang perlindungan


anak/, (diakses pada tanggal 17 Juli 2016)

Undang-Undang:

Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 9 tahun 2013 tentang Penanganan Anak

Jalanan

Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor. SE-12/M/BW/1997 tentang petunjuk

pelaksana penanganan anak


69

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

Anda mungkin juga menyukai