Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jumlah orang miskin, baik di negara berkembang maupun yang telah maju, terus
bertambah. Pada pertengahan 1990, jumlah penduduk miskin di dunia diperkirakan
sebesar 1,1 miliar orang (lebih dari separuhnya bahkan sangat miskin). Jumlah penduduk
Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan memang menurun drastis, dari 60%
(atau 70 juta) pada tahun 1970 menjadi 15% (27 juta) di tahun 1990, dan terus menurun
sampai 13,7% (25 juta) pada 1993. Sebelum krisis moneter, mereka yang hidup di bawah
garis kemiskinan diperkirakan sebanyak 19 juta orang. Jumlah ini belum mencakup
mereka yang hidup tepat di garis kemiskinan, dan juga tidak memaparkan berapa banyak
penduduk yang tergolong sangat miskin (Notoatmodjo, 2007).
Masalah gizi buruk menjadi perhatian lebih serius setelah adanya krisis moneter
beberapa tahun silam, ditandai dengan kasus balita gizi buruk yang cukup tinggi. Pokok
permasalahan masyarakat Indonesia, yaitu kurangnya pemberdayaan keluarga dan
kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat, berhubungan dengan berbagai faktor
baik langsung maupun tidak langsung dan yang menjadi akar masalah, yaitu kurangnya
pemanfaatan sumber daya masyarakat terkait dengan meningkatnya pengangguran,
inflasi dan kemiskinan yang disebabkan oleh krisis ekonomi, politik, dan keresahan
sosial yang menimpa Indonesia sejak tahun 1997. Keadaan tersebut telah memicu
munculnya kasus gizi buruk akibat kemiskinan dan ketahanan pangan keluarga yang
tidak memadai (Notoatmodjo, 2007).

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana penangangan kasus gizi buruk pada masyarakat ?
b. Bagaimana pengaruh penanganan gizi buruk pada kesehatan masyarakat ?

1.3 Tujuan

1
2

Dalam penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan, khususnya bagi
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi dalam materi gizi dan penanganannya terhadap
kesehatan masyarakat.

1.4 Hipotesa
Apabila dilakukan penanganan pencegahan gizi buruk secara maksimal, dengan
meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat, maka akan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gizi
Gizi berasal dari bahasa Arab, yaitu “Ghidza”. Gizi adalah suatu proses
penggunaan makanan yang dikonsumsi secara normal oleh suatu organisme melalui
proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan metabolisme dan pengeluaran zat-zat
yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan pertumbuhan dan fungsi normal
dari organ-organ, serta menghasilkan energi. Sedangkan ilmu gizi didefinisikan sebagai
suatu cabang ilmu yang mempelajari zat-zat pangan sejak dikonsumsi, dicerna, diserap
sampai dimanfaatkan tubuh serta dampaknya terhadap pertumbuhan, perkembangan dan
kelangsungan hidup manusia serta faktor yang mempengaruhinya (Proverawati dan
Kusumawati, 2010).

2.1.1 Fungsi Gizi


a. Pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh (zat pembangun)
Protein, mineral, dan air diperlukan untuk membentuk sel-sel baru,
memelihara, dan mengganti sel yang rusak. Makanan juga bermanfaat untuk
memulihkan badan yang baru sembuh dari sakit. Selama sakit banyak bagian
tubuh yang rusak. Mungkin juga sebagian selnya mati. Selama orang juga kurang
makan sehingga tubuh kekurangan berbagi zat makanan yang dibutuhkannya.
Mungkin juga banyak kehilangan darah sehingga makin lama sakit berlangsung,
makin banyak zat makanan yang harus ditambahkan. Untuk itu, setelah sakit kita
perlu banyak makan makanan bergizi. Begitu juga untuk yang menjalani operasi
atau yang baru melahirkan (Margaret, 2010).
b. Memberi energi (zat pembakar)
Karbohidrat, lemak, dan protein, merupakan ikatan organik yang mengandung
karbon yang dapat dibakar dan dibutuhkan tubuh untuk melakukan kegiatan atau
aktivitas seperti mandi, menyapu, juga berkebun. Dalam keadaan tidurpun tubuh
tetap membutuhkan tenaga untuk bernapas, degup jantung, serta tenaga memasak
zat makanan dan memakainya. Namun, makanan perlu diatur agar sesuai dengan
kebutuhan tubuh. Jumlahnya harus memadai dan mutunya sesuai dengan
kebutuhan sehari-hari (Margaret, 2009).
3
4

c. Mengatur metabolisme dan berbagai keseimbangan air, mineral dan cairan tubuh
(Margaret, 2009).
d. Berperan di dalam mekanisme pertahanan tubuh (Proverawati dan Kusumawati,
2010).

2.1.2 Pengelompokan Gizi


a. Menurut Fungsinya
1) Memberi energi
2) Pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh
3) Mengatur proses tubuh (stimulantia)
(Proverawati dan Kusumawati, 2010)
b. Menurut Kebutuhan
1) Zat gizi makro
Dibutuhkan dalam jumlah banyak : karbohidrat, lemak, dan protein
2) Zat gizi mikro
Dibutuhkan dalam jumlah relatif sedikit : vitamin dan mineral (Proverawati
dan Kusumawati, 2010)

2.1.3 Angka Kecukupan Gizi (AKG)


Angka kecukupan gizi (AKG) adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi
yang diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua penduduk menurut
kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis, seperti kehamilan dan
menyusui. Konsep kecukupan energi kelompok penduduk adalah nilai rata-rata
kebutuhan, sedangkan pada kecukupan protein dan zat gizi lain adalah nilai rata-rata
kebutuhan ditambah dengan dua kali simpangan baku. Kegunaan angka kecukupan
gizi yang dianjurkan adalah :
a. Untuk menilai kecukupan gizi yang telah dicapai melalui konsumsi
b. Untuk merencanakan pemberian makanan tambahan balita maupun untuk
perencanaan institusi
c. Untuk merencanakan penyediaan pangan tingkat regional maupun nasional
d. Untuk patokan label gizi makanan yang dikemas apabila perbandingan dengan
angka kecukupan gizi diperlukan
e. Untuk bahan pendidikan gizi (Proverawati dan Kusumawati, 2010).
5

Disamping kegunaan kecukupan gizi tersebut yang mempunyai beberapa


keterbatasan. Kecukupan gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
a. Tahap pertumbuhan dan perkembangan tubuh
b. Ukuran dan komposisi tubuh
c. Jenis kelamin
d. Keadaan kesehatan tubuh
e. Keadaan fisiologis tubuh
f. Kegiatan fisik
g. Lingkungan
h. Mutu makanan
i. Gaya hidup (Abunain, 1990).
AKG yang sudah ditetapkan untuk orang Indonesia meliputi energi, protein,
vitamin A, vitamin D, vitamin E, vitamin C, vitamin K, tiamin, riboflavin, niacin,
piridoksin, vitamin B 12, asam folat, kalsium, fosfor, magnesium, besi, seng, iodium,
mangan, selenium, dan fluor. Angka kecukupan energi tingkat nasional yang pada
taraf konsumsi 2000 kkal. Sedangkan angka kecukupan protein tingkat nasional pada
taraf konsumsi 52 gram dan taraf persediaan 57 gram. Untuk menghitung kecukupan
energi individu dapat dilakukan dengan menghitung jumlah pengeluaran energi total
selama sehari. Pengeluaran energi total terdiri dari pengeluaran energi saat istirahat
(REE) atau Basal Metabolic Rate (BMR). BMR merupakan jumlah energi minimum
yang dibutuhkan untuk melakukan proses-proses tubuh vital, tanpa berlangsungnya
kegiatan tersebut tidak mungkin terjadi kehidupan (Proverawati dan Kusumawati,
2010).

2.1.4 Penilaian Status Gizi


Untuk mengetahui status gizi seseorang dapat dilakukan dengan metode penilaian
status gizi. Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung (Proverawati dan Kusumawati, 2010).
Penilaian status gizi secara langsung dapat dilakukan dengan cara antropomeri,
klinis, biokimia dan biofisik. Antropomeri gizi berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat gizi. Antropomeri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein
dan energi, yang terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh.
6

Klinis, pemeriksaan klinis adalah metode untuk melihat status gizi masyarakat
berdasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan
ketidakcukupan zat gizi. Biokimia, penilaian status gizi dengan biokimia adalah
pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai
macam jaringan tubuh, seperti darah, urin, tinja, dan beberapa jaringan tubuh seperti
hati dan otot. Biofisik, penilaian status gizi secara biofisik adalah metode penentuan
status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat
perubahan struktur dari jaringan (Proverawati dan Kusumawati, 2010).
Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dilakukan dengan cara survei
konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi. Survei konsumsi makanan
adalah metode penilaian status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan
jenis zat gizi yang dikonsumsi. Statistik vital, penilaian status gizi dengan statistik
vital adalah dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka
kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian serta data-data lainnya
yang berhubungan dengan gizi. Faktor ekologi, malnutrisi merupakan masalah
ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya.
Jumlah makanan yang tersedia sangat bergantung dari keadaan ekologi seperti iklim,
tanah, irigasi, dan lain-lain. Pengukuran faktor ekologi sangat penting untuk
mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan
program intervensi gizi (Proverawati dan Kususmawati, 2010).
Dengan adanya penilaian status gizi, kita dapat mengetahui status gizi seseorang.
Seseorang dikatakan mengalami gizi baik apabila dilihat dari penilaian status gizinya,
asupan gizi dalam tubuhnya telah cukup dan seimbang. Sebaliknya seseorang
dikatakan mengalami gizi buruk apabila dilihat dari penilaian status gizinya, asupan
gizi dalam tubuhnya kurang dan tidak seimbang (Proverawati dan Kusumawati,
2010).

2.2 Gizi Buruk


Gizi buruk adalah keadaan kekurangan energi dan protein (KEP) tingkat berat
akibat kurang mengkonsumsi makanan yang bergizi dan atau menderita sakit dalam
7

waktu lama. Ditandai dengan status gizi sangat kurus (menurut berat badan terhadap
tinggi badan) dan atau hasil pemeriksaan klinis menunjukkan gejala marasmus,
kwarsiorkor, atau marasmus-kwasiorkor (Depkes, 2004).

2.2.1 Faktor Penyebab Gizi Buruk


1. Krisis ekonomi yang meningkatkan kemiskinan penduduk.
2. Daya jangkau penduduk untuk memenuhi kebutuhan semakin buruk.
3. Kurangnya pengetahuan (pendidikan), keterampilan ibu dan juga sikap terhadap
kondisi kehamilan yang kurang baik.
4. Pelayanan yang tidak terjangkau dan asupan gizi yang kurang.
5. Jumlah makanan dan zat-zat gizi yang tersedia bergantung pada iklim, tanah,
irigasi dan penyimpanan, transportasi, dan tingkat ekonomi penduduk. Disamping
itu budaya juga berpengaruh, seperti kebiasaan memasak, prioritas makanan
dalam keluarga dan pantangan makan bagi golongan rawan gizi.
6. Keadaan infeksi.
7. Pengaruh budaya (Tarwodjo, 1988).

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada 3 faktor penyebab gizi buruk,
yaitu :
1. Keluarga miskin
2. Ketidaktahuan orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak
3. Faktor penyakit bawaan pada anak, seperti : jantung, TBC, HIV/AIDS, saluran
pernapasan dan diare (Depkes, 2004).

Sedangkan menurut UNICEF (1988), ada 2 faktor penyebab utama, antara lain :
1. Penyebab langsung
a.) Asupan makanan
Maksud dari asupan makanan ini adalah pola makan yang tidak seimbang
kandungan nutrisinya seperti kaarbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral,
air, dan oksigen (Depkes, 2004).
b.) Infeksi penyakit
Beberapa orang dapat menderita gizi buruk karena mengalami penyakit atau
kondisi tertentu, yang menyebabkan tubuh tidak mampu untuk mencerna
8

ataupun menyerap makanan secara sempurna. Contohnya, pada penyakit


seliak yang mengalami gangguan pada saluran pencernaan, yang dipicu oleh
sejenis protein yang banyak terdapat pada tepung gluten. Penyakit seliak ini
mempengaruhi kemampuan tubuh untuk menyerap nutrisi sehingga terjadi
defisiansi. Kemudian ada juga penyakit cysytic fibrosis yang mempengaruhi
penkreas, yang fungsinya adalah untuk memproduksi enzim yang dibutuhkan
untuk mencerna makanan. Demikian juga penderita intoleransi laktosa yang
susah untuk mencerna susu dan produk olahannya (Depkes, 2004).
2. Penyebab tidak langsung
Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan
anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Rendahnya ketahanan
pangan rumah tangga, pola asuh anak yang tidak memadai merupakan tiga faktor
yang saling berhubungan. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk keluarga
serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan sarana kesehatan,
ditambah dengan pamahaman ibu tentang kesehatan, makin kecil resilo anak
terkena penyakit dan kekurangan gizi (Depkes, 2004).

2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Gizi Buruk


Faktor-faktor yang mempengaruhi gizi buruk adalah terjadinya krisis ekonomi,
politik, dan sosial termasuk bencana alam, pengetahuan yang rendah, tingkat
pendidikan yang kurang, lingkungan tempat tinggal yang tidak memadai sehingga
akan mempengaruhi ketidak seimbangan antara asupan makanan dan adanya penyakit
infeksi, yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi masyarakat (Soekirman, 1999).

2.2.3 Penggolongan Kasus Gizi Buruk


a.) Marasmus
Marasmus seringkali terjadi pada bayi dibawah 12 bulan. Terdapat beberapa tanda
khusus pada marasmus ialah kurangnya (bahkan tidak ada) jaringan lemak
dibawah kulit, sehingga seperti bayi yang memakai pakaian yang terlalu besar
ukurannya. Selain itu terdapat pula beberapa tanda khusus bayi terkena marasmus,
diantaranya :
1. Bayi akan merasa lapar dan cengeng
2. Wajahnya tampak menua (old man atau monkey face)
9

3. Atrofi jaringan, otot lemah terasa kendor atau lembek ini dapat dilihat pada
paha dan pantat bayi yang seharusnya kuat, kenyal, dan tebal.
4. Oedema (bengkak) tidak terjadi
5. Warna rambut tidak berubah (Dinkes Surabaya, 1999).
b.) Kwashiorkor
Kwashiorkor biasanya terjadi pada anak usia 1-3 tahun. Pertumbuhannya
terhambat, jaringan otot lunak dan kendor. Namun jaringan lemak dibawah kulit
masih ada dibanding bayi marasmus. Beberapa tanda khusus dari kwashiorkor
adalah :
1. Selalu ada oedema (bengkak), terutama pada kaki dan tungkai bawah. Bayi
tampak gemuk, muka membulat (moon face), karena oedema. Cairan oedema
sekitar 5-20% dari jumlah berat badan yang diperhitungkan dari penurunan
berat badan ketika tidak oedema lagi (pada masa penyembuhan).
2. Rambut berubah menjadi warna kemerahan, menipis dan mudah rontok.
3. Kulit tampak pucat dan biasanya disertai anemia.
4. Terjadi dispigmentasi dikarenakan habisnya cadangan energi atau protein.
Pada kulit yang terdapat dispigmentasi akan tampak pucat. Sering terjadi
dermatitis (radang pada kulit). Pada kasus kwashiorkor tingkat berat kulit akan
mengeras seperti keripik terutama pada persendian utama. Bibir retak-retak,
lidah pun menjadi lunak dan gampang luka.
5. Perubahan mental juga terjadi misalnya menjadi cengeng, apatis, hilangnya
nafsu makan dan sukar diberi makan atau disulang (Dinkes Surabaya, 1999).
c.) Marasmus-Kwashiorkor
Anak atau bayi yang menderita marasmus-kwashiorkor mempunyai gejala
(sindroma) gabungan kedua hal diatas. Seorang bayi menderita marasmus-
kwashiorkor berlanjut menjadi kwashiorkor atau sebaliknya tergantung dari
makanan atau gizinya dan sejauh mana cadangan energi dari lemak dan protein
akan berkurang atau habis terpakai.
Apabila masukan energi kurang dan cadangan lemak terpakai, bayi atau anak
jatuh menjadi marasmus. Sebaliknya bila cadangan protein energi, gejala
kwashiorkor akan menyertai. Hal ini dapat terjadi pada anak yang dietnya hanya
mengandung karbohidrat saja seperti beras, jagung atau singkong yang miskin
akan protein. Gagalnya pertumbuhan kemungkinan akan menyertai pada kasus
10

kekurangan energi protein-marasmus, kwashiorkor atau keduanya (Dinkes


Surabaya, 1999).

2.2.4 Pengaruh Gizi Buruk


Pengaruh dari gizi buruk adalah dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut :
a. Menyebabkan kematian bila tidak segera ditanggulangi oleh tenaga kesehatan
b. Kecerdasan anak akan berkurang
c. Berat dan tinggi badan umur dewasa lebih rendah dari anak normal
d. Sering sakit infeksi kronis seperti : batuk, pilek, diare, TBC, dll (Depkes, 2004).

2.3 Upaya Pencegahan Gizi Buruk


1. Menerapkan tata laksana penanggulangan gizi buruk yaitu :
a. Melaksanakan kewaspadaan dini secara intensif.
b. Pelacakan kasus dan penemuan kasus baru.
c. Menangani kasus gizi buruk dengan perawatan Puskesmas dan di Rumah Sakit
(Depkes RI, 1999).
2. Melakukan pencegahan meluasnya kasus dengan koordinasi lintas program dan
lintas sektor. Memberikan bantuan pangan, memberikan Makanan Pendamping
ASI (MP-ASI), pengobatan penyakit, penyediaan air bersih, memberikan
penyuluhan gizi dan kesehatan terutama peningkatan ASI Eksklusif sejak lahir
sampai 6 bulan dan diberikan Makanan Pendamping ASI setelah usia 6 bulan,
menyusui diteruskan sampai usia dua tahun (Krisnatuti dan Yenrina, 2007).

2.4 Upaya Penanganan Perbaikan Gizi


Upaya untuk mencegah dan menanggulangi balita gizi buruk tentunya tidak dapat
dilakukan hanya oleh sektor kesehatan saja, tetapi harus ada peran serta masyarakat
dalam menangani kasus gizi buruk dan yang paling berperan dalam hal ini adalah
keluarga (Soekirman, 1999).
Menurut Soekirman (1999), dalam menangani kasus gizi buruk ada beberapa yang
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan, antara lain :
a. Terapi preventif
Terapi preventif yaitu dengan membuka konseling atau pelayanan konsultasi di
klinik gizi puskesmas, melakukan penyuluhan-penyuluhan baik secara langsung
11

maupun dengan berbagai media seperti media cetak, elektronik dan media massa.
Selain itu dilakukan pula surveilans melalui kegiatan penimbangan balita, dengan
pemantauan terhadap balita, pemantauan konsumsi gizi dan pelacakan dini kasus
gizi buruk. Dari sisi masyarakat agar pengetahuan dan pemahaman keluarga
makanan bergizi meningkat dilakukan pembinaan keluarga mandiri sadar gizi
(KADARZI) (Soekirman, 1999).
b. Terapi kuratif
Terapi kuratif meliputi penanganan penderita di klinik gizi puskesmas dengan
memberikan pemberian makanan tambahan pemulihan (PMT-P) dengan formula
khusus, pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI), pengobatan terhadap
penderita gizi buruk dengan penyakit penyerta, rujukan penderita ke rumah sakit
dengan biaya dari Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) atau Jaminan
Kesehatan Daerah (JAMKESDA) (Soekirman, 1999).
c. Terapi promotif
Terapi promotif yaitu terapi yang digunakan untuk meningkatkan kesehatan
individu, dengan cara memberikan penyuluhan, peningkatan gizi, pemeliharaan
kesehatan lingkungan perorangan serta olahraga teratur (Soekirman, 1999).
d. Terapi rehabilitatif
Terapi rehabilitatif ini semestinya telah dimulai di rumah sakit dan dilanjutkan
secara rawat jalan. Penderita harus terus mengkonsumsi energi, protein, dan zat-
zat gizi lain, dalam jumlah yang tepat, terutama jika makanan tradisional telah
dimasukkan kedalam menu harian. Sementara itu, dukungan fisik dan emosi juga
harus diberikan, disamping pengobatan untuk diare yang membandel, parasit usus,
serta vaksinasi.
Tujuan utama dalam terapi ini adalah mendorong anak untuk makan
sebanyak mungkin, memulai dan juga mendorong pemberian air susu ibu
secukupnya, merangsang perkembangan fisik dan emosi, serta menyiapkan ibu
dan atau pengasuh dalam pengawasan anak setelah keluar dari rumah sakit
(Soekirman, 1999).
12
BAB III
CONCEPTUAL MAPPING

Penilaian status gizi

Gizi Buruk

Faktor penyebab Faktor yang


mempengaruhi

Langsung Tidak Langsung Ekonomi Sosial Pendidikan Lingkungan

Penggolongan Gizi
Buruk

Upaya Perbaikan

Gizi Buruk

13
BAB IV
PEMBAHASAN

Untuk mengetahui status gizi seseorang, dapat dilakukan dengan penilaian status gizi.
Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Penilaian
status gizi secara langsung dapat dilakukan dengan cara antropometri, klinis, biokimia, dan
biofisik. Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dilakukan dengan cara survei
konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi.
Gizi buruk adalah keadaan kekurangan energi dan protein (KEP) tingkat berat akibat
kurang mengonsumsi makanan yang bergizi, dan atau menderita sakit dalam waktu lama.
Gizi buruk ini terjadi karena adanya faktor penyebab dan faktor yang mempengaruhi. Faktor
penyebab gizi buruk, digolongkan menjadi faktor penyebab secara langsung dan tidak
langsung. Faktor penyebab secara langsung dilihat dari asupan makanan dan infeksi penyakit.
Asupan makanan, maksud dari asupan makanan ini adalah pola makan yang tidak seimbang
kandungan nutrisinya seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, air, dan oksigen.
Infeksi penyakit, beberapa orang dapat menderita gizi buruk karena mengalami penyakit atau
kondisi tertentu yang menyebabkan tubuh tidak mampu untuk mencerna ataupun menyerap
makanan yang sempurna. Sedangkan penyebab secara tidak langsung yaitu dalam bidang
ekonomi, pendidikan, sosial dan lingkungan. Apabila makin tersedia air bersih yang cukup
untuk keluarga, serta makin dekat dengan jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan sarana
kesehatan, ditambah dengan pemahaman ibu tentang kesehatan, makin kecil resiko anak
terkena penyakit dan kekurangan gizi.
Gizi buruk dapat digolongkan menjadi marasmus, kwarshiokor, marasmus-
kwarshiokor. Marasmus dengan ciri-ciri anak sangat kurus, wajah seperti orang tua, cengeng
dan rewel, rambut tipis, jarang, kusam, kulit keriput, tulang iga tampak jelas, pantat kendur
dan keriput, perut cekung. Kwarshiokor dengan ciri-ciri wajah bulat dan sembab, cengeng
dan rewel, rambut tipis, warna rambut kemerahan, mudah dicabut tanpa rasa sakit, kedua
punggung kaki bengkak, bercak merah kehitaman ditungkai atau di pantat. Marasmus-
kwarshiokor dengan ciri-ciri gabungan tanda-tanda marasmus dan kwarshiokor sangat kurus,
rambut mudah rontok, perut buncit.
Dalam upaya perbaikan gizi buruk dengan menggunakan terapi preventif, kuratif,
promotif, rehabilitatif, dan resosialitatif. Terapi preventif dengan membuka konseling atau
pelayanan konsultasi di klinik gizi puskesmas, melakukan penyuluhan-penyuluhan baik
14
15

secara langsung maupun dengan berbagai media. Terapi kuratif meliputi penanganan
penderita di klinik gizi puskesmas dengan memberikan pemberian makanan tambahan
pemulihan dengan formula khusus. Terapi promotif merupakan terapi yang digunakan untuk
meningkatkan kesehatan individu, dengan cara memberikan penyuluhan, peningkatan gizi,
pemeliharaan, kesehatan lingkungan perorangan, serta olahraga teratur. Terapi rehabilitatif,
fase ini semestinya telah dimulai di rumah sakit dan dilanjutkan secara rawat jalan. Terapi
resosialitatif yaitu upaya yang digunakan untuk mengembalikan penderita atau individu dan
kelompok-kelompok khusus ke dalam pergaulan masyarakat, diantaranya adalah kelompok-
kelompok yang diasingkan masyarakat.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
a. Pada masyarakat Indonesia penyebab utama gizi buruk harus diatasi oleh
pemerintah bersama seluruh komponen masyarakat Indonesia adalah kemiskinan
yang merupakan tanggung jawab pemerintah untuk meningkatkan pendapatan
keluarga miskin sehingga mampu memberikan gizi yang baik dan seimbang bagi
anaknya.
b. Sedangkan, pada anak penderita gizi buruk karena penyakit bawaan, menjadi
tugas pemerintah untuk memberikan imunisasi bagi wanita hamil, sehingga
bayinya nanti tidak memiliki penyakit bawaan. Selain itu, bayi memiliki penyakit
bawaan harus disembuhkan penyakitnya, agar mereka nanti mampu menerima
asupan gizi yang baik.

5.2 Saran
Dalam penulisan ini banyak harapan yang diinginkan agar terwujud masyarakat
sadar gizi, jadi penulis mengharapkan setelah adanya tulisan ini dapat menambah
wawasan pembaca. Hal yang terpenting adalah beberapa saran penting dari penulis :
a. Pembaca dapat mengetahui dan memahami masalah akan pentingnya gizi dalam
kehidupan masyarakat.
b. Penulisan ini dijadikan sebuah ilmu pengetahuan yang bermakna dalam
menghadapi masalah gizi buruk di masyarakat.
c. Untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang pentingnya pemenuhan
kebutuhan gizi.

16

Anda mungkin juga menyukai