Anda di halaman 1dari 58

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Inflamasi dan Repair

Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang komplek, tetapi umumnya

terjadi secara teratur. Jenis sel khusus pertama-tama akan membersihkan jejas,

kemudian secara progresif membangun dasar (scaffolding) untuk mengisi defek

yang dihasilkan (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007).

Sebenarnya penyembuhan pada setiap jaringan tubuh terjadi dengan proses

yang berjalan sesuai dengan yang digambarkan untuk kulit, dengan variasi-variasi

lokal, bergantung pada kemampuan jaringan untuk beregenerasi dan sebagainya.

Walaupun mukosa selalu dalam keadaan basah dan bentukan krusta tidak akan

terjadi, tetapi proses penyembuhan luka pada mukosa mempunyai perbedaan yang

tidak terlalu jauh dengan kulit (Price dan Wilson, 2005).

Secara umum proses penyembuhan luka terdiri dari tiga fase, yaitu fase

inflamasi, fase proliferasi, dan fase remodeling (Kumar, Cotran dan Robbins,

2007). Dalam proses penyembuhan luka ada 3 fase yaitu, fase inflamasi, fase

proliferasi dan fase remodeling.

2.1.1 Fase Inflamasi

Inflamasi adalah suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang

disebabkan oleh trauma fisik dan zat kimia yang merusak atau zat-zat

mikrobiologi (Sutrisna, 2010). Inflamasi dapat juga diartikan sebagai suatu

respons protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel

serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal.

Inflamasi menjalankan tugas pertahannya dengan mengencerkan, menghancurkan


4
atau menetralkan agen berbahaya (misalnya, mikroba atau toksin). Namun reaksi

ini harus tetap dibatasi agar tidak berkepanjangan sehingga tidak akan terjadi

destruksi jaringan yang berlebih (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007).

Gejala klinis yang tampak pada fase ini adalah warna kemerahan atau rubor

yang terjadi akibat adanya hyperemia aktif karena bertambah banyaknya

vaskularisasi di daerah yang mengalami cidera. Panas atau kalor yang disebabkan

oleh adanya hyperemia aktif di daerah radang. Bengkak atau tumor disebabkan

oleh adanya edema setempat, yaitu terkumpulnya cairan ekstravaskular sebagai

bagian dari radang serta sel-sel yang bermigrasi ke daerah radang. Rasa sakit atau

dolor disebabkan oleh terangsangnya serabut saraf di daerah radang yang

kemungkinan akibat dari terlepasnya mediator kimia seperti histamine, asetilkolin

atau adanya jaringan yang meradang yang mengakibatkan tekanan lokal.

Hilangnya fungsi atau fungtio laesa adalah berkurangnya fungsi karena adanya

rasa sakit akibat saraf yang terangsang sehingga bagian organ tubuh tidak

berfungsi. Tanda utama radang ini disebut juga Cardinal Symptomp dan

disebabkan oleh perubahan pembuluh darah (Underwood, 1999; Sudiono,

Kurniadhi, Hendrawan dan Djimantoro, 2003).

Proses inflamasi ini melibatkan sel-sel leukosit, yaitu neutrofil. Neutrofil

adalah sel darah putih yang intinya berlobus tidak beraturan atau polimorf, oleh

karena itu sel ini disebut netrofil polimorfonuklear (PMN). Fungsi utama sel ini

adalah fagositosis karena mempunyai banyak lisosom untuk mencerna bakteri dan

sel-sel yang sudah tidak berguna lagi serta berumur pendek. Selain sel PMN juga

terjadi perubahan dasar pada jaringan vaskular yaitu vasodilatasi dan

meningkatnya permeabilitas dinding kapiler. Hal ini disebabkan oleh adanya zat

5
kimia yang terlepas seperti histamin, serotin dan lain-lain yang merangsang

terjadinya perubahan tersebut ketika terdapat luka atau cidera. Infiltrasi sel

mononuklear juga terjadi pada fase ini, yang mencakup makrofag, limfosit dan sel

plasma (Underwood, 1999; Sudiono, Kurniadhi, Hendrawan dan Djimantoro,

2003).

Fase inflamasi terjadi pada hari pertama sampai hari kelima. Proses

penyembuhan terjadi akibat luka. Luka karena trauma atau luka karena

pembedahan menimbulkan kerusakan jaringan dan mengakibatkan perdarahan.

Pada awalnya darah akan mengisi jaringan yang cedera dan paparan darah

terhadap kolagen akan mengakibatkan terjadinya degranulasi trombosit dan

pengaktifan faktor Hageman. Kemudian akan memicu sistem biologis lain seperti

pengaktifan komplemen kinin, kaskade pembekuan dan pembentukan plasmin.

Keadaan ini memperkuat sinyal dari daerah terluka, yang tidak saja mengaktifkan

pembentukan bekuan yang menyatukan tepi luka tetapi juga akumulasi dari

beberapa mitogen dan menarik zat kimia ke daerah luka. Pembentukan kinin dan

prostaglandin menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas

pembuluh darah di daerah luka. Hal ini menyebabkan edema dan kemudian

menimbulkan pembengkakan dan nyeri pada awal terjadinya luka.

Polimorfonuklear (PMN) yang utama adalah neutrofil merupakan sel pertama

yang menuju ke tempat terjadinya luka. Jumlahnya meningkat cepat dan mencapai

puncaknya pada 24 – 48 jam. Fungsi utamanya adalah memfagositosis bakteri

yang masuk. Pada penyembuhan luka normal tampaknya kehadiran sel-sel ini

tidak begitu penting sebab penyembuhan luka dapat terjadi tanpa keberadaan sel-

sel ini. Adanya sel ini menunjukkan bahwa luka terkontaminasi bakteri. Bila tidak

6
terjadi infeksi sel-sel PMN berumur pendek dan jumlahnya menurun dengan cepat

setelah hari ketiga (Cotran dan Kumar, 2005).

Elemen imun seluler yang berikutnya adalah makrofag. Sel ini turunan dari

monosit yang bersirkulasi, terbentuk karena proses kemotaksis dan migrasi.

Muncul pertama 48-96 jam setelah terjadi luka dan mencapai puncak pada hari ke

3. Makrofag berumur lebih panjang dibanding dengan sel PMN dan tetap ada di

dalam luka sampai proses penyembuhan berjalan sempurna. Sesudah makrofag

akan muncul limfosit T dengan jumlah bermakna pada hari ke 5 dan mencapai

puncak pada hari ke 7. Sebaliknya dari PMN, makrofag dan limfosit T penting

keberadaanya pada penyembuhan luka normal. Makrofag seperti halnya neutrofil,

memfagositosis dan mencerna organisme-organisme patologis dan sisa-sisa

jaringan. Makrofag juga melepas zat biologis aktif. Zat ini mempermudah

terbentuknya sel inflamasi tambahan yang membantu makrofag dalam

dekontaminasi dan membersihkan sisa jaringan. Makrofag juga melepas faktor

pertumbuhan dan substansi lain yang mengawali dan mempercepat pembentukan

formasi jaringan granulasi. Zat yang berfungsi sebagai transmiter interseluler ini

secara keseluruhan disebut sitokin (Cotran dan Kumar, 2005).

2.1.2 Fase Proliferasi

Fase ini terjadi pada hari ke 3 – 14. Apabila tidak ada kontaminasi atau

infeksi yang bermakna, fase inflamasi berlangsung pendek. Setelah luka berhasil

dibersihkan dari jaringan mati dan sisa material yang tidak berguna, dimulailah

fase proliferasi. Fase proliferasi ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi

pada luka. Jaringan granulasi merupakan kombinasi dari elemen seluler termasuk

fibroblast dan sel inflamasi, yang bersamaan dengan timbulnya kapiler baru

7
tertanam dalam jaringan longgar ekstra seluler dari matriks kolagen, fibronektin

dan asam hialuronik. Fibroblast muncul pertama kali secara bermakna pada hari

ke 3 dan mencapai puncak pada hari ke 7. Peningkatan jumlah fibroblast pada

daerah luka merupakan kombinasi dari proliferasi dan migrasi. Fibroblast ini

berasal dari sel-sel mesenkimal lokal, terutama yang berhubungan dengan lapisan

adventisia, pertumbuhannya disebabkan oleh sitokin yang diproduksi oleh

makrofag dan limfosit. Fibroblast merupakan elemen utama pada proses

perbaikan untuk pembentukan protein struktural yang berperan dalam

pembentukan jaringan (Cotran dan Kumar, 2005; Marchendetti, 2002).

2.1.3 Fase Remodeling

Setelah fase proliferasi, terjadi remodeling pada jaringan luka yang

immature. Fase ini dapat terjadi selama beberapa tahun. Pada proses remodeling

terjadi reduksi secara perlahan pada vaskularisasi dan selularitas jaringan yang

mengalami perbaikan sehingga terbentuk jaringan parut kolagen yang relatif

avaskuler dan aseluler. Hal ini tampak pada eritema berkurang dan reduksi

jaringan parut yang terbentuk. Gambaran tersebut merupakan gambaran normal

dari penyembuhan. Pada beberapa kasus terjadi pengerutan jaringan parut yang

menyebabkan penurunan mobilitas kulit seperti pada kontraktur. Pengerutan luka

yang terjadi karena pergerakan ke dalam dari tepi luka juga merupakan faktor

berpengaruh dalam penyembuhan luka dan harus dibedakan dengan kontraktur

(Cotran dan Kumar, 2005).

8
2.2 Port De Entre Infeksi Odontogen

Pada semua infeksi odontogenik, pada umumnya pemeriksaan dilakukan

untuk mengetahui apakah ada karies yang dalam, inflamasi periodontal, dan

impaksi dan gigi yang fraktur sebagai penyebab. Infeksi odontogen berasal dari 3

tempat :

1. Pulpo Periapikal

Infeksi pulpo periapikal melibatkan gigi yang terkena karies, lalu

menginflamasi pulpa. Pada foramen pulpa yang sempit pada akar gigi merupakan

sebuah reservoir bakteri menjadi jalan bakteri ke jaringan periodontal dan tulang.

Infeksi pulpa dapat menyebabkan infeksi gigi serius yang dapat menyebar diluar

soket gigi. Bila infeksi meluas melewati apeks gigi, infeksi ini disebut

infeksi periapikal dimana jalan patofisiologinya proses infeksi bervariasi

bergantung pada jumlah dan virulensi organisme, resistensi host, dan anatomi

daerah yang terlibat daerah infeksi. (Topazian,2002)

2. Periodontal

Ginggivitis dan periodontitis yang merupakan bagian terbesar penyakit yang

melibatkan periodonsium merupakan infeksi bakterial kronis. Bakteri

patogen periodontal dapat secara langsung menimbulkan kerusakan periodonsium

dengan cara :

a. Menghindar dari pertahanan penjamu sehingga dapat tetap menghuni

daerah sulkus gingival 

b. Merusak epitel krevikular yang merupakan penghalang.

c. Memproduksi enzim yang dapat secara langsung maupun tidak langsung

menyebabkan kerusakan jaringan (Saidina, 1995)

9
3. Perikorona

Infeksi jaringan lunak sekitar mahkota gigi yang sedang erupsi

(perikoronitis). Perikoronitis merupakan Inflamasi jaringan gusi sekitar mahkota

gigi yang mengalami erupsi inkomplit. sering terjadi pada Molar 3 (Topazian,

2002)

2.3 Patofisiologi Infeksi

2.3.1 Virulensi/Resistensi

Flora mulut biasanya hidup secara komensalistik dengan hospes misalnya,

tidak saling menguntungkan maupun merugikan. Apabila keadaan memungkinkan

terjadinya invasi, baik oleh flora tetap atau asing maka akan terjadi perubahan

hubungan (parasitisme). Sekali terjadi infeksi, organisme akan memperkuat diri

dan berkembang biak. Lingkungan biokimiawi jaringan setempat akan sangat

menentukan kerentanan dan ketahanan hospes terhadap parasit tertentu (Pederson,

1996).

Virulensi adalah jumlah total fungsi metabolis dan fisiologis parasit yang

bisa mendukungnya untuk bertahan hidup, tumbuh, memperbanyak diri, dan

memproduksi perubahan patologis terhadap jaringan hospes (Pederson, 1996).

Resistensi adalah jumlah total dari fungsi tersebut pada hospes sehingga

mampu bertahan dari aktivitas parasit. Serangan mikororganisme diawali dengan

terjadinya kelukaan langsung sehingga memungkinkan mikroorganisme

melakukan invasi, mengeluarkan eksotoksin, endotoksin dengan cara autolisis

(dinding sel dari bakteri gram negatif). Sedangkan hospes dapat menunjukkan

reaksi alergi terhadap produk-produk mikrobial atau kadang-kadang menimbulkan

10
gangguan langsung terhdap fungsi metabolisme seluler oleh sel-sel hospes

(Pederson, 1996).

2.3.2 Pertahanan Seluler/Keradangan

Respons lokal dari dari hospes adalah keradangan. Proses ini diawali dengan

dilatasi kapiler, terkumpulnya cairan edema, penyumbatan limfatik oleh fibrin.

Didukung oleh kemotaksis akan terjadi fagositosis. Daerah tersebut menjadi

sangat asam dan protease selular cenderung menginduksi terjadinya lisis terhdap

leukosit. Akhirnya makrofag mononuklear yang besar timbul, memangsa debris

leukositik, membuka jalan untuk pemulihan terhdap proses infeksi dan

penyembuhan (Pederson, 1996).

2.3.3 Pertahanan Humoral

Respon sistemik hospes adalah pertahan humoral yaitu reaksi antigen

antibodi. Antibodi adalah molekul protein yang diproduksi sel plasma/limfosit-B

yang tersensitisasi, disebut imunoglobulin. Antibodi ini menetralkan toksin alergi

terhadap bakteri, mencegah perlekatan dan mengaktifkan komplemen.

Komplemen berperan dalam pengenalan hospes terhdap bakteri dan memacu

proses fagositosis (Pederson, 1996).

2.4 Pola Penyebaran Infeksi

2.4.1 Transmisi Melalui Sirkulasi Darah (Hematogen)

Gingiva, gigi, tulang penyangga, dan stroma jaringan lunak di sekitarnya

merupakan area yang kaya dengan suplai darah. Hal ini meningkatkan

kemungkinan masuknya organisme dan toksin dari daerah yang terinfeksi ke

dalam sirkulasi darah. Di pihak lain, infeksi dan inflamasi juga akan semakin

11
meningkatkan aliran darah yang selanjutnya menyebabkan semakin banyaknya

organisme dan toksin masuk kedalam pembuluh darah. Karena perubahan tekanan

dan edema menyebabkan pembuluh vena dan karena vena pada daerah ini tidak

berkatup, maka aliran darah didalamnya dapat berlangsung dua arah,

memungkinkan penyebaran in feksi langsung dan fokus di dalam mulut ke kepala

atau faring sebelum tubuh mampu membentuk respon perlawanan terhadap

infeksi tersebut. Material septik (infektif) yang mengalir melalui vena jungularis

internal dan eksternal dan kemudian ke jantung dapat membuat sedikit kerusakan.

Namun, saat berada didalam darah, organisme yang mampu bertahan dapat

menyerang organ manapun yang kurang resisten akibat faktor-faktor predisposisi

tertentu (Suprapti, 2009).

2.4.2 Transmisi Melalui Aliran Limfatik (Limfogen)

Seperti halnya suplai darah, gingiva, dan jaringan lunak pada mulut kaya

dengan aliran limfatik, sehingga infeksi pada rongga mulut dapat dengan mudah

menjalar ke kelenjar limfe regional. banyaknya hubungan antara berbagai kelenjar

getah bening memfasilitasi penyebaran infeksi sepanjang rute ini dan infeksi dapat

mengenai kepala atau leher atau melalui duktus torasikus dan vena subklavia ke

bagian tubuh lainnya. Weinmann mengatakan bahwa inflamasi gingiva yang

menyebar sepanjang sisi krista alveolar dan sepanjang jalur pembuluh darah ke

sumsum tulang. Ia juga menyatakan bahwa inflamasi jarang mengenai membran

periodontal. Kapiler berjalan beriringan dengan pembuluh limfe sehingga

memungkinkan absorbsi dan penetrasi toksin ke pembuluh limfe dari pembuluh

darah (Suprapti, 2009).

12
2.4.3 Perluasan Langsung Infeksi Dalam Jaringan

Perluasan langsung infeksi dapat terjadi melalui penjalaran material septik

atau organisme kedalam tulang atau sepanjang bidang fasial dan jaringan

penyambung di daerah yang paling rentan. Pus terakumulasi di jaringan dan

merusak jaringan ikat longgar, membentuk ruang (spaces), menghasilkan tekanan,

dan meluas terus hingga terhenti oleh barier anatomik. Ruang tersebut bukanlah

ruang anatomik, tetapi merupakan ruang potensial yang normalnya terisi oleh

jaringan ikat longgar. Ketika terjadi infeksi, jaringan alveolar hancur, membentuk

ruang sejati, dan menyebabkan infeksi berpenetrasi sepanjang bidang tersebut,

karena fasia yang meliputi ruang tersebut relatif padat (Suprapti, 2009).

2.5 Infeksi Jaringan Pulpa

2.5.1 Etiologi

Biasanya berasal dari dental karies,s ehingga bakteri yang ditemukan atau

penyebab pada penyakit pulpa sama dengan yang ditemukan pada kasus karies,

yaitu Streptococcus mutans, Lactobacillus, dan Actinomyces. Merupakan sumber

utama terjadinya luka pada pulpa dan jaringan periradicular. Jalan masuknya

bakteri langsung melalui tubuli dentin. Hubungan antara bakteri, pulpa, dan

penyakit periradicular sangat menentukan (Richard, 1990).

Cara masuknya bakteri ke dalam pulpa selain melalui karies : Terbukanya

tubuli atau pulpa selama prosedur restoratif (preparasi kavitas, bleaching,

tumpatan dengan bahan etsa asamàkomposit). Penyakit periodontal (tubuli dentin,

furcal canals, lateral canals). Hilangnya beberapa substansi gigi seperti karena

erosi, atrisi, dan abrasi. Trauma dengan atau tanpa terbukanya pulpa. Kelainan

13
pertumbuhan jaringan gigi. Anachoresis (jalan masuknya mikroorganisme ke

dalam saluran akar dari aliran darah melalui foramen apikal) (Richard, 1990).

Mechanical Irritants Terlalu besarnya kekuatan dari alat-alat orthodontic.

Kelebihan bahan dari instrument saluran akar. Chemical Irritants Iritasi

periradicular bias terjadi dari irrigating solutions, bahan fenol, dan tekanan dari

bahan pengisi saluran akar (Richard, 1990).

2.5.2 Reversible Pulpitis

Kondisi temporer dapat diakibatkan oleh karies, erosi, atrisi, abrasi,

prosedur operatif, scalling/trauma ringan. Disebabkan oleh stimulus suhu

(biasanya dingin), terjadi cepat, tajam, dan respon hipersensitivitas dihilangkan.

Perbedaan reversibel pulpitis dengan symptomatic irreversible pulpitis adalah

reversible pulpitis tidak meliputi rasa sakit spontan, sedangkan symptomatic

irreversible pulpitis terdapat keluhan rasa sakit spontan. Reversible pulpitis dapat

berkembang menjadi kondisi irreversible (Richard, 1990).

Symptom : Rasa sakit hilang setelah stimulus dihilangkan. Sulit untuk

menentukan lokasi rasa sakit Gambaran radiografi periradikuler normal Gigi tidak

lunak jika diketuk (kecuali ada trauma oklusal). Terapi : menutup kembali

terbukanya dentin, menghilangkan stimulus, melapisi gigi dengan tepat.

2.5.3 Irreversible Pulpitis

Irreversible Pulpitis bisa menjadi akut, subakut, atau kronis ; bisa menjadi parsial

atau total ; bisas menginfeksi atau steril. Inflamasi pulpa akut biasanya

mempunyai gejala, sedangkan inflamasi pulpa kronis tanpa gejala. Biasanya

terjadi karena trauma hebat dan merupakan kelanjutan dari reversible pulpitis

(Richard, 1990).

14
Symptom : Rasa sakit dapat berkembang secara spontan atau karena ada

stimuli/rangsangan. Pada tahap akhir, rasa panas akan lebih jelas. Jika mengenai

ligamen periodontal maka rasa sakit dapat ditentukan. Pelebaran ligamen

periodontal terlihat pada gambaran radiografi di tahap akhir.

2.5.4 Macam-Macam Irreversibel Pulpitis

Symptomatic Irreversibel Pulpitis

Rasa sakit spontan, sementara atau serangan hebat berkelanjutan. Sakit lebih

lama jika ada perubahan temperatur mendadak. Tidak ada rasa sakit jika stimulus

dihilangkan. Perubahan sikap badan (tidur/membungkuk) menyebabkan rasa sakit

dan gelisah. Dapat didiagnosis melalui dental history, pemeriksaan visual lengkap,

radiografi yang tepat. Symptom akan hilang dan berlanjut menjadi tahap nekrosis

(Richard, 1990).

Asymptomatic Irreversibel Pulpitis

Mungkin disebabkan oleh perubahan symptomatic irreversibel pulpitis jadi

keadaan diam. Paling umum disebabkan oleh karies dan trauma. Kondisi patologis

diidentifikasi melalui gejala sakit gigi dan radiografi yang tepat.

Hyperplastic Pulpitis (pulpa polip)

Resorbsi Internal (perluasan tanpa rasa sakit pada pulpa karena kerusakan

dentin, berupa pink spot terapi endodontik yang tepat dapat mencegah kerusakan)

Kanal Kalsifikasi (deposit dentin yang berlebih sepanjang sistem kanal,

diskolorisasi mahkota disarankan chamber calcification) (Richard, 1990).

Akibat proliferasi radang pulpa muda kronik. Terapi : terapi saluran akar,

ekstraksi à jika tidak memungkinkan untuk dilakukan tindakan restorasi, dimana

tujuan restorasi adalah agar gigi tetap dapat berfungsi kembali.

15
2.5.5 Nekrosis Pulpa

Merupakan hasil irreversible pulpitis yang tidak dirawat dengan segera, luka

trauma atau kejadian-kejadian yang menyebabkan gangguan jangka panjang.

Macam-Macam Nekrosis Pulpa

Partial Pulp Nekrosis

Dapat memunculkan gejala seperti irreversible pulpitis. Misal pada dua

akar, akar pertama terjadi radang,terasa nyeri, kemudian dilakukan pengetesan

dengan jarum millen, dan akar kedua terjadi nekrosis.

Total Pulp Nekrosis

Tidak ada tanda-tanda sebelum mengenai ligamen periodontal. Tidak

memberikan respon pada berbagai tes. Ada diskolorisasi pada mahkota gigi

anterior. Terapi : terapi saluran akar, ekstraksi (Richard, 1990).

Penetrasi dari bakteri komensal yang mengalami perubahan, baik secara

kualitatif maupun kuantitatif bila diikuti sistem imun dan pertahanan seluler yang

terganggu, akan menyebabkan infeksi. Selain itu terganggunya keseimbangan

mikroflora akibat penggunaan antibiotik tertentu juga dapat menyebabkan adanya

dominasi bakteri lainnya yang potensial. Kondisi-kondisi maupun penyakit yang

menyebabkan keadaan imunokompromais seperti penyakit metabolik tak

terkontrol (uremia, alkoholisme, malnutrisi, diabetes), penyakit suppresif

(leukimia, limfoma, tumor ganas), dan penggunaan obat-obat immunosupresif

misalnya pada pasien yang menjalani kemoterapi kanker juga dapat memfasilitasi

dengan mudah terjadinya infeksi odontogenik (Taubert KA, 1998).

Mekanisme tersering terjadinya infeksi odontogenik berawal dari karies

dentis. Proses demineralisasi enamel gigi akan merusak enamel yang selanjutnya

16
melanjutkan invasi bakteri ke pori/ trabekula dentin yang kemudian menyebabkan

pulpitis hingga nekrosis pulpa. Dari Pulpa maka infeksi dapat menyebar ke akar

gigi dan selanjutnya menyebar ke os maksila atau mandibula, menyebabkan

osteomyelitis. Kerusakan ini dapat menyebabkan perforasi sehingga melibatkan

pula mukosa mulut maupun kulit wajah (Taubert KA, 1998).

Sebagian besar bakteri yang berlokasi pada supragingival adalah gram

positif, fakultatif dan sakarolitik yang berarti bahwa pada keadaan dimana

terdapat karbohidrat terutama sukrosa, maka akan diproduksi asam. Asam ini akan

membuat enamel mengalami demineralisasi yang memfasilitasi infiltrasi dari

bakteri pada dentin dan pulpa. Dengan adanya invasi dari bakteri pada jaringan

internal gigi, bakteri berkembang, terutama bakteri gram negatif, anaerobik dan

proteolitik akan menginfeksi rongga pulpa. Beberapa bakteri ini memiliki faktor

virulensi yang dapat menyebabkan invasi bakteri pada jaringan periapikal melalui

foramen apikal. Lebih dari sebagian lesi periapikal yang aktif tidak dapat

dideteksi dengan sinar-X karena berukuran kurang dari 0.1 mm2. Jika respon imun

host menyebabkan akumulasi dari netrofil maka akan menyebabkan abses

periapikal yang merupakan lesi destruktif pada jaringan. Namun jikan respon

imun host lebih didominasi mediasi oleh makrofag dan sel limfosit T, maka akan

berkembang menjadi granuloma apikal, ditandai dengan reorganisasi jaringan

melebihi destruksi jaringan. Perubahan pada status imun host ataupun virulensi

bakteri dapat menyebabkan reaktivasi dari silent periapical lessions (Taubert KA,

1998).

Infeksi odontogenik juga dapat berasal dari jaringan periodontal. Ketika

bakteri subgingival berkembang dan membentuk kompleks dengan bakteri

17
periodontal patogen yang mengekspresikan faktor virulensi, maka akan memicu

respon imun host yang secara kronis dapat menyebabkan periodontal bone loss.

Abses periodontal dapat berasal dari eksaserbasi periodontitis kronik, defek

kongenital yang dapat memfasilitasi invasi bakteri(fusion dari akar, development

grooves, dll), maupun iatrogenik karena impaksi dari kalkulus pada epitel

periodontal pocket selama scaling. Beberapa abses akan membentuk fistula dan

menjadi kronik yang pada umumnya bersifat asimptomatik ataupun

paucisimptomatik. Bentuk khusus dari abses periodontal rekuren adalah

perikoronitis yang disebabkan oleh invasi bakteri pada coronal pouch selama

erupsi molar (Taubert KA, 1998).

2.6 Infeksi Periapikal

2.6.1 Penyebaran

Infeksi periapikal dapat menyebar ke jaringan-jaringan lain mengikuti pola

patofisiologi yang beragam yang pada dasarnya dipengaruhi oleh : jumlah dan

virulensi kuman, resistensi dari host, dan struktur anatomi daerah yang terlibat

(Anonim, 2007).

Pus pada jaringan periapikal menyebar melalui tulang kanselus menuju ke

permukaan tulang dan setelah menembus lapisan korteks pus masuk ke jaringan

lunak di sekitarnya yang biasanya didahului dengan keradangan pada periosteum

tulang alveolar di daerah tersebut (periostitis) (Anonim, 2007).

18
Arah penyebaran infeksi periapikal menuju ke jaringan lunak dipengaruhi

oleh 2  faktor utama yaitu (Anonim, 2007):

1. Ketebalan tulang yang meliputi apeks gigi

2. hubungan antara tempat perforasi tulang dan tempat perlekatan otot-otot

pada    maksila dan mandibula

Bila apeks gigi yang terinfeksi lebih dekat dengan labial plate maka akan

menyebabkan vestibular abscess. Sebaliknya jika kar gigi lebih dekat dengan

permukaan palatal maka yang terjadi adalah palatal abscess (Anonim, 2007).

Setelah pus menembus permukaan tulang dan masuk ke dalam jaringan

lunak arah penyebaran selanjutnya ditentukan oleh tempat perlekatan otot-otot

pada tulang rahang, utamanya yaitu m. Buccinator pada maksila dan mandibula,

dan. Mylohyoid pada mandibula. Pada gigi-gigi posterior rahang atas apabila pus

keluar ke arah bukal dan dibawah perlekatan m.buccinator pada maksila dan

mandibula, dan m mylohyoid pada mandibula. Pada gigi posterior rahang atas

apabila pus keluar ke arah bukal dan dibawah perlekatan m. Buccinator maka

akan terjadi vestibular abscess. Apabila pus terletak di atas perlekatan m.

Buccinator maka yang terjadi adalah buccal space abscess (Anonim, 2007).

Infeksi periapikal pada gigi-gigi rahang atas pada umunya menjalar ke arah

labial atau bukal. Beberapa gigi seperti insisif lateral yang inklinasinya ekstrenm,

akar palatal gigi premolar pertama dan molar rahang atas dapat menyebabkan

abses di sebelah palatal. Penjalaran infeksi ke labial atau bukal dapat menjadi

vestibular abscess atau fascial space infection ditentukan oleh hubungan antara

tempat peforasi tulang dan tempat perlekatan otot-otot oada tukang maksila yaitu

m, buccinator dan Musculus Levator anguli oris (Anonim, 2007).

19
Gigi insisif sentral dan lateral rahang atas penyebaran infeksi ke labial

sehingga terjadi vestibular abscess. Infeksi pada kaninus yang akarnya panjang

dapat menyebabkan canine space infection. Infeksi pada M rahang atas bisa

menjadi vestibular abscess. Infeksi periapikal gigi-gigi P dan M rahang atsa dapat

menyebar ke arah sinus maksilaris sehingga menyebabkan sinusitis maksilaris. Di

rahang bawah infeksi periapikal dari gigi I,C dan P pada umumnya akan merusak

korteks di buccal palte sehingga menjadi vestibular abscess. Infeksi pada gigi M1

bisa mengarah ke bukal atau ke lingual demikian juga M2, sedangkan infeksi

periapikal gigi M3 selalu mengarah ke lingual (Anonim, 2007).

Penyebaran infeksi Molar  bawah yang ke arah bukal juga ditentukan oleh

perlekatan m. Buccinator. Apabila pus keluar diatas perlekatan m. buccinator

maka yang tejadi adalah vestibular abscess, bila pus keluar dibawah perlekatan

otot tersebut maka yang terjadi adalah buccal space infection atau perimandibular

infection. Penyebaran infeksi M RB yg kearah lingual ditentukan oleh relasi

antara letak apeks akar gigi M dan tempat perlekatan m. Mylohyoid. Bila pus

keluar dari dinding lingual di atas perlekatan m. Mylohyoid maka akan terjadi

sublingual space abscess, sebaliknya bila pus keluar dibawah perlekatan otot tsb

akan timbul submandibular space abscess (Anonim, 2007).

2.6.2 Periostitis

Serous periostitis adalah keradangan akut pada periosteum tulang rahang

karena infeksi periapikal telah menembus korteks tulang. Keradangan yang terjadi

berupa cairan serous diantara korteks dan periosteum, belum terbentuk nanah.

Gejala subjektifnya  berupa rasa sakit selama 1-3 hari disertai pembengkakan,

suhu badan meningkar. Ekstra Oral tampak pembengkakan merata, warna agak

20
kemerahan, palpasi peningkatan suhu dan sakit. Intra Oral tampak peninggian

buccal fold tapi tidak ada fluktuasi, terdapat gigi dengan karies profunda dan non

vital (Gangren pulpa) (Ariji dkk, 2002).

Pencabutan merupakan kontraindikasi karena dapat menyebabkan

penyebaran infeksi yang berbahaya. Perawatan ditujukan pada tindakan yang

dapat meredakan infeksi akut : open bur disertai dengann ekstirpasi saluran akar,

pemberian antibiotik dan analgesik. Pencabutan dilakukan bila tanda radang sudah

reda (Ariji dkk, 2002).

2.6.3 Abses dan Selulitis

Penyebaran infeksi odontogen ke jaringan lunak dapat berupa abses,

selulitis, atau kombinasi dari keduanya (Green, Flower dan New, 2001).

Abses didefinisikan sebagai kumpulan pus dalam suatu rongga yang secara

anatomis tidak ada dan diliputi oleh membran abses. Nanah atau pous merupakan

bentuk nekrosis pencairan (liquefaction) sel-sel jaringan yang disebabkankarena

aktivitas enzimatik kuman-kuman patogen. Pus dalam suatu abscess berisi : sel-

sel leukosit (PMN) mati, sel-sel jaringan yang mati, dan mikroorganisme

penyebab proses supuratif ini disebut dengan kuman piogenik, utamanya adalah

Streptococcus pyogens dan Staphylococcus aureus. Pembentukan abscess 

dihubungkan dengan enzim coagulase yang dihasilkan oleh mikroorganisme.

Enzim coagulase menyebabkan terjadinya deposisi fibrin sehingga menghambat

fagositosis dan kondisi ini mengarah kepada pembentukan abses. Secara klinis ciri

khas suatu abses jaringan lunak ialah : pembengkakan berbatas jelas, palpasi

terdapat fluktuasi, dan pada umumnya memberikan tanda klinis yang bersifat

kronis (Green, Flower dan New, 2001).

21
Perawatan pada abses pada prinsipnya adalah insisi dan drainase. Untuk

mempertahankan drainase dari pus perlu dilakukan pemasangan drain, misalnya

dengan rubber drain atau penrose drain. Beberapa tujuan dari insisi dan drainase

yaitu : (1) mencegah terjadinya perluasan abses ke jaringan lain,(2) mengurangi

rasa sakit,(3) menurunkan jumlah popolasi mikroba beserta toksinnya,(4)

memperbaiki vaskularisasi jaringan,(5) mencegah terjadinya jaringan parut

(Green, Flower dan New, 2001).

Selulitis

Bila infeksi yang terjadi tidak dapat ditanggulangi oleh faktor pertahanan

jaringan, misalnya virulensi kuman yang tinggi atau faktor pertahanan yan rendah,

maka infeksi tidak  terhambat dan akan menyebar dengan cepat menuju jaringan

yang lain disekitarnya, infeksi semacam ini disebut selulitis (Green, Flower dan

New, 2001).

Selulitis adalah infeksi pada jaringan lunak yang tidak terlokalisir dimana

eksudat dengan cepat menyebar diantara celah interstitial jaringan ikat. Secara

klinis ditandai dengan pembengkakan akut, difus, kemerahan, konsistensi keras,

tidak terdapat fluktuasi. Selulitis biasanya disertai gejala sistemik yaitu : penderita

tampak pucat, malaise, peningkatan suhu badan dan denyut nadi. Dibandingkan

abses selulitis lebih berbahaya karena penyebaran infeksi berlangsung sangat

cepat ke jaringan yang letaknya jauh dari tempat infeksi asalnya dan resiko

terjadiya septikemia cukup tinggi (Green, Flower dan New, 2001).

Bakteri Streptokokus diduga sebagai penyebab selulitis karena

kemampuannya menghasilkan enzim streptokinase yang dapat menyebabkan

fibrinolisis dan enzim hyaluronidase yang mengkatalisa hidrolisis asam

22
hyaluronat, bahan dasar jembatan interseluler jaringan ikat, sehingga dapat

mempermudah terjadinya penyebaran infeksi secara cepat. Perawatan pada

selulitis adalah pemberian antibiotika yang tepat dan dengan dosis yang tinggi.

Dengan terapi antibiotik gejala akutnya mereda atau bisa menjadi abses (Green,

Flower dan New, 2001).

Subperiosteal abscess

Merupakan kelanjutan dari seruos periostitis dimana pus sudah terbentuk

dan terkumpul di bawah periosteum. Periosteum adalah jaringan ikat yang tipis

dan tegang, maka dengan terkumpulnya pus dibawahnya akan timbul rasa sakit

yang sangat dan biasanya periosteum akan pecah dalam waktu singkat. Oleh

karena itu secara klinis oeriosteal abscess jarang dijumpai. Keadaan ini dapat

berlanjut menjadi vestibular abscess atau fascial space abscess (Ariji dkk, 2002).

Vestibular abscess (Submucous abscess)

Setelah menembus korteks dan periosteum tulang labial/bukal pus yang

berasal dari infeksi periapikal masuk ke dalam jaringan lunak di bawah

permukaan mukosa di daerah vestibulum (mocobucal fold), disebut dengan

vestibular abscess. Keadaan ini rasa sakit sudah agak mereda dibandingkan

dengan subperiosteal abscess (Ariji dkk, 2002).

Ekstra Oral berupa pembengkakan tidak berbatas jelas, palpasi sakit dan

pembesaran kelenjar limfe regional. Intra Oral tanpak buccal fold terangkat,

warna kemerahan, palpasi terasa sakit dan ada fluktuasi. Terdapat gigi gangren

yang memberikan respon sakit pada perkusi dan druk. Abses dapaty pecah dan

membentk drainase berupa fistel intra oral (Ariji dkk, 2002).

23
Bila belum terjadi drainase spontan, maka perawatannya adalah incisi dan

drainase pada puncak fluktuasi dan drainase dipertahankan dengan pemasangan

drain (drain karet atau kasa), pemberian antibiotik dan analgesik. Pencabutan

dilakukan setelah gejala akutnya mereda (Ariji dkk, 2002).

Palatal abscess

Patogenesa palatal abscess sebenarnya sama dengan submucous abscess,

hanya lokasinya yang berbeda karena disini pus keluar ke arah palatal. Biasanya

disebabkan oleh infeksi pd akar palatal gigi posterior rahang atas. IO berupa

pembengkakan mucosa palatal, berbatas jelas dan ada fluktuasi (Ariji dkk, 2002).

Pericoronitis

Pericoronitis adalah infeksi yang melibatkan jaringan lunak di sekitar

mohkota gigi yang erupsi sebagian, umumnya terjadi pada gigi M3 bawah. Pada

gigi yang impaksi sebagian, mahkota gigi biasanya diliputi oleh jaringan lunak

baik yang menutupi permukaan oklusal mahkota gigi (operculum) atau

permukaan aksialnya. Antara mahkota gigi yang impaksi dan jaringan lunak yang

menutupinya terdapat suatu ruan potensial, yakni bagian dari dental

follicle.Pericoronitis berawal dari keradangan pada follicle ini (Green, Flower dan

New, 2001).

Pericoronitis dapat juga terjadi akibat taruma gigitan dari M3 RA.

Operculum dari mahkota M3 rahang bawah dapat menjadi bengkak karena tergigit

oleh M3 RA. Dalam hal ini pencabutan gigi M3 RA biasanya akan dapat

menghilangkan gejala klinis dan simptom yang ada. Pericoronitis dapat pula

terjadi akibat terperangkapnya makanan dibawah operculum, sisa makan dapat

menjadi media pertumbuhan bakteri (Green, Flower dan New, 2001).

24
Pericoronitis akut

Pericoronitis akut adalah keradangan akut pada jaringan lunak perikorona

yang ditandai dengan rasa sakit cekot-cekot terutama pada waktu mengunyah.

Pada anamnesa pasien mengeluhkan trismus dan rasa tidak enak bila menelan

(Green, Flower dan New, 2001).

Pemeriksaan klinis menunjukkan adanya peningkatan suhu tubuh, frekuensi

denyut nadi dan pernapasan, terdapat pembengkakan Ekstra Oral yang difuse,

kelenjar limfe submandibularis membesar dan sakit pada palpasi. Intra Oral

tampak mukosa perikorona membengkak, kemerahan, palpasi sakit dan bila

ditekan keluar pus dari ruan potensial dibawah mukosa (Green, Flower dan New,

2001).

Pericoronitis akut dapat menyebar ke infeksi fasial space di daerah ramus

mandibula(pterygomandibular space atau submasseteric space) atau ke daerah

lateral dari leher (lateralpharyngeal space). Pencabutan merupakan kontraindikasi

mengingat resiko terjadinya penyebaran infeksi. Antibiotik mutlak diperlukan,

pilihan yang umum adalah golongan penisilin. Analgesik diberikan untuk

mengurangi rasa sakit (Green, Flower dan New, 2001).

Disamping perawatan umum tersebut, perlu dilakukan perawatan lokal yaitu

(Green, Flower dan New, 2001):

1. Irigasi H2O2

2. Bila terdapat trauma dari gigi M RA dilakukan pemendekkan tonjol

oklusal

3. Bila terbentuk abses, perlu dilakukan insisi pada absesnya.

25
4. Instruksi pada pasien untuk kumur-kumur larutan air garam hangat dengan

frekuensi yang cukup sering. Tindakan ini cukup efektif untuk meredakan

rasa sakit dan mempercepat resolusi dari keradangan yang terjadi.

Pericoronitis kronis

Pericoronitis kronis ditandai dengan rasa kemeng yang timbulnya berkala.

Tanda yang khas pasien mengeluhkan rasa tidak enak. Tidak ada gejala klinis dan

cukup dilakukan perawatan lokal saja,antibiotik tidak diperlukan. Molar ke 3

rahang bawah bisa dicabut setelah gejala klinis dari perikoronitis stelah hilang.

Bila pencabutan dilakukan pada saat keradangan akut resiko cukup tinggi untuk

terjadi komplikasi seperti : dry socket atau postoperative infection. Setelah infeksi

dapat diatasi, perawatan definitif yaitu pencabutan dapat segera dilakukan (Green,

Flower dan New, 2001).

2.7 Pemeriksaan

Anamnesa yaitu wawancara yang dilakukan oleh dokter untuk

mendapatkan informasi mengenai keluhan dan riwayat penyakit yang dialami

pasien (Pedersen, 1996):

›Keluhan utama, regio mana, sejak kapan,

›Bila ada riwayat trauma: Modus of injury,pingsan, pusing, muntah,perdarahan,

nyeri+/-, perubahan bentuk.

›Bila keluhan berupa benjolan: bertambah besar/ tetap, berkembang cepat/ lambat,

nyeri/tidak, ada demam/tidak, penurunan berat badan , sesak napas, disertai

kelainan syaraf.

26
Informasi yang dapat diperoleh dari anamnesa yaitu (Pedersen, 1996):

1. Penyakit medis dahulu kala

2. Prosedur pembedahan

3. Rawat-inap di rumah sakit

4. Trauma mayor yang tidak tercakup sebelumnya

5. Obat

6. Alergi

7. Penyakit masa anak-anak

8. Status imunisasi

9. Riwayat kehamilan dan persalinan

Pemeriksaan klinis

1. Suatu prosedur yang dilakukan oleh dokter untuk mengumpulkan data

pasien dengan cara memeriksa langsung fisik pasien.

2. Dilakukan setelah memperoleh informasi yang diperlukan dari anamnesa.

Metode Pemeriksaan ada 4 yaitu (Pedersen, 1996):

1. Inspeksi

2. Palpasi

3. Perkusi

4. Auskultasi

Inspeksi yaitu melihat secara umum diperoleh gambaran menyeluruh dan kesan

umum tentang penderita (Pedersen, 1996).

1. Pengamatan secara visual pada berbagai bagian tubuh pasien, yang dapat

memberikan informasi kelainan.

2. Memakai indera mata, bagian yang diperiksa harus terbuka.

27
3. Memerlukan cahaya yang terang.

4. Hasil observasi dinyatakan dalam ukuran (jika mungkin), kemudian

dibandingkan dengan yang normal.

Pada inspeksi kita harus memperhatikan (Pedersen, 1996):

1. normal/abnormal

2. ukuran / diameter

3. perubahan warna: pucat,hiperemis

4. Bentuk, simetris/asimetris

5. batas jelas/tidak jelas

6. ada/tidaknya lesi (ulkus,tumor)

7. Single/multiple.

8. unilateral/bilateral.

28
Palpasi yaitu pemeriksaan yang dinilai dengan sentuhan , raba pada daerah

yang dicurigai serta daerah yang bersangkutan dengan kelainan utama (Pedersen,

1996).

1. Harus dilakukan hati – hati.

2. Tindakan meraba dgn 1 atau 2 tangan atau jari tangan

3. Usaha untuk menegaskan yang dilihat, disamping untuk menemukan yang

tidak terlihat.

4. Penilaian: Permukaan halus /kasar, Batas (Jelas /Diffuse), Diameter

metrik, unilateral/ bilateral, bertangkai/tidak.

Pada palpasi dapat ditentukan (Pedersen, 1996):

1. Massa

2. Ukuran

3. Warna

4. Mengetahui bentuk dan struktur suatu organ permukaan licin, berbenjol,

kasar

5. Perubahan tahanan kesan konsistensi struktur (lunak, kenyak,keras), dapat

bermakna untuk menetapkan keadaan patologis suatu organ atau sistem.

6. Hubungan suatu struktur dengan struktur sekitar dengan cara menentukan

batasnya atau mobilitasnya terhadap struktur lain disekitarnya.

7. Batas: difuse, tegas

8. Fluktuasi : berpindahnya cairan di dalam suatu rongga yang tertutup.

9. Suhu dan perbedaan suhu (terutama pada infeksi).

10. Rasa nyeri (terutama pada tumor).

29
Perkusi yaitu mendengarkan bunyi dari hasil ketokan jari/tanga didasarkan

pada hantaran dan pantulan suara dan getaran (Pedersen, 1996).

1. Organ yang terletak lebih dalam tidak dapat dilihat atau diraba jelas secara

keseluruhan maupun sebagian.

2. Perlu tempat yang tenang utk mendegarkan perkusi.

3. Dapat diperoleh informasi tentang besarnya organ, adanya udara dalam

struktur yang lebih dalam, dan struktur patologis yang secara normal tak

ada.

Auskultasi yaitu Mendengarkan bunyi yang berasal dari dalam tubuh pada

umumnya dilakukan dengan menggunakan stetoskop (Pedersen, 1996).

1. Dilakukan di dada untuk mendengarkan suara nafas

2. Dilakukan di abdomen untuk mendengarkan bising usus

3. Pada waktu auskultasi ruangan harus tenang

Penilaian meliputi (Pedersen, 1996):

1. Frekuensi : jumlah getaran per menit

2. Frekuensi tinggi : bunyi nada tinggi

3. Frekuensi rendah : nada rendah

30
4. Intensitas : ukuran kuat lemahnya suara

5. Durasi : lama bunyi terdengar

6. Kualitas : warna nada, variasi suara

Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan radiografi

2. Pemeriksaan lab (pemeriksaan histologi dan kultur jaringan)

2.8 Abses Periapikal

Abses periapikal adalah kumpulan pus yang terlokalisir dibatasi oleh

jaringan tulang yang disebabkan oleh infeksi dari pulpa dan atau periodontal.

Abses periapikal umumnya berasal dari nekrosis jaringan pulpa. Jaringan yang

terinfeksi menyebabkan sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang

berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi (Glenny, 2004).

2.8.1 Patogenesis

Streptococcus mutans memiliki 3 macam enzim yang sifatnya destruktif,

salah satunya adalah enzim hyaluronidase. Enzim ini berperan layaknya parang

petani yang membuka hutan untuk dijadikan ladang persawahannya, ya.. enzim ini

merusak jembatan antar sel yang terbuat dari jaringan ikat (hyalin/hyaluronat),

kalau ditilik dari namanya “hyaluronidase”, artinya adalah enzim pemecah

hyalin/hyaluronat. Padahal, fungsi jembatan antar sel penting adanya, sebagai

transpor nutrisi antar sel, sebagai jalur komunikasi antar sel, juga sebagai unsur

penyusun dan penguat jaringan. Jika jembatan ini rusak dalam jumlah besar, maka

dapat diperkirakan, kelangsungan hidup jaringan yang tersusun atas sel-sel dapat

terancam rusak/mati/nekrosis (Glenny, 2004).

31
Proses kematian pulpa, salah satu yang bertanggung jawab adalah enzim

dari S.mutans tadi, akibatnya jaringan pulpa mati, dan menjadi media

perkembangbiakan bakteri yang baik, sebelum akhirnya mereka mampu

merambah ke jaringan yang lebih dalam, yaitu jaringan periapikal (Glenny, 2004).

Pada perjalanannya, tidak hanya S.mutans yang terlibat dalam proses abses,

karenanya infeksi pulpo-periapikal seringkali disebut sebagai mixed bacterial

infection. Kondisi abses kronis dapat terjadi apabila ketahanan host dalam kondisi

yang tidak terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup tinggi. Yang terjadi dalam

daerah periapikal adalah pembentukan rongga patologis abses disertai

pembentukan pus yang sifatnya berkelanjutan apabila tidak diberi penanganan

(Glenny, 2004).

Adanya keterlibatan bakteri dalam jaringan periapikal, tentunya

mengundang respon keradangan untuk datang ke jaringan yang terinfeksi tersebut,

namun karena kondisi hostnya tidak terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup

tinggi, yang terjadi alih-alih kesembuhan, namun malah menciptakan kondisi

abses yang merupakan hasil sinergi dari bakteri S.mutans dan S.aureus (Glenny,

2004).

S.mutans dengan 3 enzimnya yang bersifat destruktif tadi, terus saja mampu

merusak jaringan yang ada di daerah periapikal, sedangkan S.aureus dengan

enzim koagulasenya mampu mendeposisi fibrin di sekitar wilayah kerja S.mutans,

untuk membentuk sebuah pseudomembran yang terbuat dari jaringan ikat, yang

sering kita kenal sebagai membran abses (oleh karena itu, jika dilihat melalui

ronsenologis, batas abses tidak jelas dan tidak beraturan, karena jaringan ikat

adalah jaringan lunak yang tidak mampu ditangkap dengan baik dengan ronsen

32
foto). Ini adalah peristiwa yang unik dimana S.aureus melindungi dirinya dan

S.mutans dari reaksi keradangan dan terapi antibiotika (Glenny, 2004).

Tidak hanya proses destruksi oleh S.mutans dan produksi membran abses

saja yang terjadi pada peristiwa pembentukan abses ini, tapi juga ada

pembentukan pus oleh bakteri pembuat pus (pyogenik), salah satunya juga adalah

S.aureus. jadi, rongga yang terbentuk oleh sinergi dua kelompok bakteri tadi,

tidak kosong, melainkan terisi oleh pus yang konsistensinya terdiri dari leukosit

yang mati (oleh karena itu pus terlihat putih kekuningan), jaringan nekrotik, dan

bakteri dalam jumlah besar (Glenny, 2004).

Secara alamiah, sebenarnya pus yang terkandung dalam rongga tersebut

akan terus berusaha mencari jalan keluar sendiri, namun pada perjalanannya

seringkali merepotkan pasien dengan timbulnya gejala-gejala yang cukup

mengganggu seperti nyeri, demam, dan malaise. Karena mau tidak mau, pus

dalam rongga patologis tersebut harus keluar, baik dengan bantuan dokter gigi

atau keluar secara alami (Glenny, 2004).

2.8.2 Diagnosis

Diagnosis abses periapikal akut sangat jelas. Pasien akan mengalami

pembengkakan difus dan gigi yang bersangkutan akan terasa sakit pada

pemeriksaan perkusi. Pasien mengeluh gigi tersebut mengganjal apabila

menyentuh gigi lawan jika berada dalam oklusi. Selain itu gigi tidak merespon

terhadap tes pulpa. Pemberian rangsangan es akan sedikit mengurangi rasa sakit,

berbeda dengan panas yang mengintensifkan rasa sakit. Gigi tersebut juga dapat

menunjukkan adanya mobilitas (Weine, 2004).

33
Menurut Glenny (2004), gejala abses periapikal akut secara umum adalah:

gigi non-vital, nyeri berdenyut onset cepat, nyeri saat menggigit atau perkusi,

pembengkakan, radiografi tidak menunjukkan perubahan untuk radiolusensi

periapikal.

2.9 Granuloma

2.9.1 Definisi

Periapikal granuloma merupakan lesi yang berbentuk bulat dengan

perkembangan yang lambat yang berada dekat dengan apex dari akar gigi,

biasanya merupakan komplikasi dari pulpitis. Terdiri dari massa jaringan

inflamasi kronik yang berprolifersi diantara kapsul fibrous yang merupakan

ekstensi dari ligamen periodontal (Smith, 2009).

2.9.2 Etiologi

Granuloma periapikal dapat disebabkan oleh berbagai iritan pada pulpa

yang berlanjut hingga ke jaringan sekitar apeks maupun yang mengenai jaringan

periapikal. Iritan dapat disebabkan oleh organisme seperti: bakteri dan virus; dan

non-organisme seperti: iritan mekanis, thermal, dan kimia. Penelitian yang

dilakukan terhadap spesimen periapikal granuloma, sebagian besar merupakan

bakteri anaerob fakultatif dan organisme yang tersering adalah Veillonella species

(15%), Streptococcus milleri (11%), Streptococcus sanguis (11%), Actinomyces

naeslundii (11%), Propionibacterium acnes (11%), dan Bacteroides species (10%)

(Smith, 2009).

34
Sedangkan faktor non-organisme adalah karena iritan mekanis setelah root

canal therapy, trauma langsung, trauma oklusi, dan kelalaian prosedur endodontik;

dan bahan kimia seperti larutan irigasi (Smith, 2009).

2.9.3 Patogenesis

Patogenesis yang mendasari granuloma periapikal adalah respon system

imun untuk mempertahankan jaringan periapikal terhadap berbagai iritan yang

timbul melalui pulpa, yang telah menjalar menuju jaringan periapikal. Terdapat

berbagai macam iritan yang dapat menyebabkan peradangan pada pulpa, yang

tersering adalah karena bakteri, proses karies yang berlanjut akan membuat jalan

masuk bagi bakteri pada pulpa, pulpa mengadakan pertahanan dengan respon

inflamasi. Terdapat tiga karakteristik utama pulpa yang mempengaruhi proses

inflamasi (Smith, 2009).

Pertama, pulpa tidak dapat mengkompensasi reaksi inflamasi secara adekuat

karena dibatasi oleh dinding pulpa yang keras. Inflamasi akan menyebabkan

dilatasi pembuluh darah dan meningkatnya volume jaringan karena transudasi

cairan. Kedua, meskipun pulpa memiliki banyak vaskularisasi, namun hanya

disuplai oleh satu pembuluh darah yang masuk melalui saluran sempit yang

disebut foramen apikal, dan tidak ada suplai cadangan lain. Edema dari jaringan

pulpa akan menyebabkan konstriksi pembuluh darah yang melalui foramen apikal,

sehingga jaringan pulpa tidak adekuat dalam mekanisme pertahanan, terlebih lagi

edema jaringan pulpa akan menyebabkan aliran darah terputus, menyebabkan

pulpa menjadi nekrosis. Ruangan pulpa dan jaringan pulpa yang nekrotik akan

memudahkan kolonisasi bakteri. Ketiga, karena gigi berada pada rahang, maka

35
bakteri akan menyebar melalui foramen apikal menuju jaringan periapikal (Smith,

2009).

Bagan 1. Patogenesis granuloma periapikal

Meskipun respon imun dapat mengeliminasi bakteri yang menyerang

jaringan periapikal, eradikasi bakteri pada saluran akar tidak dapat dilakukan,

sehingga saluran akar akan menjadi sumber infeksi bakteri. Infeksi yang persisten

dan reaksi imun yang terus menerus pada jaringan periapikal akan menyebabkan

perubahan secara histologis. Perubahan ini akan dikarakteristikkan dengan adanya

jaringan sel yang kaya granulasi, terinfiltrasi dengan makrofag, neutrofil,

plasmasel dan elemen fibrovaskular pada jumlah yang bervariasi. Kerusakan

jaringan periapikal akan teRjadi bersamaan dengan resorbsi dari tulang alveolar

(Smith, 2009).

2.9.4 Gambaran Klinis

Pasien dengan granuloma periapikal umumnya tidak bergejala, namun jika

terdapat eksaserbasi akut maka akan menunjukkan gejala seperti abses periapikal

(Smith, 2009).

2.9.5 Gambaran Histopatologis

Secara histologi, granuloma periapikal didominasi oleh jaringan granulasi

inflamasi dengan banyak kapiler, fibroblast, jaringan serat penunjang, infiltrat

36
inflamasi, dan biasanya dengan sebuah kapsul. Jaringan ini menggantikan

kedudukan dari ligamen periodontal, tulang apikal dan kadangkala dentin dan

sementum akar gigi, yang diinfiltrasi oleh sel plasma, limfosit, mononuklear

fagosit dan neutrofil (Smith, 2009).

Kebanyakan dari periapikal granuloma ditemukan secara tidak sengaja

selama pemeriksaan rutin. Karena granuloma periapikal merupakan kelanjutan

darinekrosis pulpa maka pada pemeriksaan fisik akan didapatkan tes thermal yang

negatif dan tes EPT yang negatif. Pada gambaran radiografi lesi yang berukuran

kecil tidak dapat dipisahkan secara klinis dan radiografi. Periapikal granuloma

terlihat sebagai gambaran radiolusen yang menempel pada apex dari akar gigi.

Sebuah gambaran radiolusensi berbatas jelas atau difus dengan berbagai ukuran

yang dapat diamati dengan hilangnya lamina dura, dengan atau tanpa keterlibatan

kondensasi tulang (Smith, 2009).

Granuloma periradikuler

2.9.6 Diferensial Diagnosis

Diferensial diagnosis termasuk kista periapikal dan abses periapikal. Gejala

klinis dari granuloma periapikal dan kista periapikal sangat sulit dibedakan,

biasanya pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri, dan tes perkusi negatif. Oleh

37
karena berhubungan dengan pulpa yang telah nekrosis, stimulasi thermal akan

menunjukkan nilai yang negatif (Smith, 2009).

Gambaran radiografi akan menunjukkan adanya radiolusen dengan batas

yang jelas. Meskipun pemeriksaan dengan radiografi merupakan kunci diagnostik,

satu satunya cara untuk dapat membedakan keduanya secara akurat adalah dengan

menggunakan pemeriksaan mikroskopik; gambaran histopatologis granuloma

periapikal telah dijelaskan sebelumnya, sedangkan gambaran histopatologis kista

periapikal ditandai dengan adanya suatu rongga yang berlapiskan epitel jenis non-

keratinizing stratified squamous dengan ketebalan yang bervariasi, dinding

epitelium tersebut dapat sangat proliferatif dan memperlihatkan susunan

plexiform. Secara khas dapat dilihat adanya proses radang dengan ditemukannya

banyak sel radang, yaitu sel plasma dan sel limfosit pada dinding kista tersebut.

Rousel body atau round eusinophilic globule banyak ditemukan didalam atau

diluar sel plasma sehingga terjadi peningkatan sintesis imunoglobulin (Smith,

2009).

Pasien dengan abses periapikal mungkin dapat dengan atau tanpa tanda-

tanda peradangan, yang difus atau terlokalisasi. Pada pemeriksaan perkusi dan

palpasi dapat ditemukan tanda-tanda sensitifitas dengan derajat yang bervariasi.

Pulpa tidak bereaksi terhadap stimulasi thermal karena berhubungan dengan pulpa

yang telah nekrosis. gambaran radiografi dapat bervariasi dari penipisan ligamen

periodontal hingga lesi radiolusensi dengan batas yang tidak jelas (Smith, 2009).

2.9.7 Penatalaksanaan

Karena sulitnya diagnosis secara radiografi dan granuloma periapikal

mempunyai respon yang baik terhadap penanganan endodontik non pembedahan,

38
maka pilihan pertama terapi adalah penanganan endodontik konvensional, namun

juga dapat diikuti dengan tindakan apicoectomy.4 Apabila lesi menetap setelah

beberapa periode lebih dari dua tahun, direkomendasikan penanganan secara

pembedahan (Smith, 2009).

The American Association of Endodontists mendefinisikan bahwa

apicectomy merupakan eksisi bagian apikal dari akar gigi dan melekatkan

jaringan lunak selama pembedahan periradikular (Smith, 2009).

Indikasi untuk apicectomy adalah (Smith, 2009):

1. Ketidakmampuan untuk melakukan penanganan endodontik

konvensionalkarena defek anatomis, patologis dan iatrogenik dari saluran

akar.

2. Hambatan saluran akar karena metamorfosis kalsifikasi atau restorasi

radikular.

3. Alasan medis dan waktu.

4. Infeksi persisten setelah penanganan endodontik konvensional.

5. Memerlukan biopsi.

6. Memerlukan evaluasi dari reseksi saluran akar untuk saluran tambahan

atau fraktur.

Granuloma periapikal merupakan reaksi inflamasi kronis yang berada di

sekitar apex gigi yang merupakan kelanjutan dari keradangan pada pulpa yang

disebabkan oleh berbagai macam iritan, seperti bakteri, trauma mekanis, dan

bahan kimia. Patogenesis yang mendasarinya adalah reaksi dari sistem imun

tubuh terhadap adanya iritan. Granuloma periapikal biasanya tidak bergejala dan

ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan radiografi sebagai gambaran

39
radiolusen, diagnosis bandingnya termasuk kista periapikal dan abses periapikal,

yang hanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan mikroskopis. Terapi dapat

dilakukan dengan penanganan endodontik non pembedahan maupun pembedahan.

Prognosis dari granuloma periapikal adalah baik (Smith, 2009).

2.10 Kista Pada Rahang

Kista adalah rongga patologis yang berisi cairan, semi-cairan ataupun

campur seperti gas dan tidak dibentuk oleh pengumpulan nanah, yang sering

dibatasi oleh epitel, tetapi tidak selalu. Suatu teori menyebutkan adanya

degenerasi sel sentral di dalam proliferasi sel epitel yang mengakibatkan suatu

tekanan osmotik dan menyebabkan pelepasan prostaglandin. Hal ini

memunculkan terjadinya akumulasi cairan. Teori lain menyebutkan terbentuknya

kista disebabkan oleh adanya degenerasi dari jaringan granulasi (Bakar, 2012).

2.10.1 Macam-Macam Kista pada Rahang

1. Kista Primordial

Kista primordial adalah kista yang timbul dari pemecahan retikulum stelata

organ enamel sebelum terbentuk jaringan yang dimineralisasikansehingga timbul

pada tempat gigi normal ataupun supernumerary. Banyak diderita oleh laki-laki,

pada umur dasawarsa kedua dan ketiga, banyak terdapat di mandibula dari pada

maksilla (75% mandibulla), dan sekitar 50% dari semua kasus di mandibula,

berlokasi di angulus mandibula, yang dapat meluas ke korpus atau ke ramus

ascendens mandibulae. Pasien merasa nyeri, ada pembengkakan dan keluar

sekret. Kadang mengalami parastesia. Beberapa pasien mengalami fraktur

mandibula patologis. Kista yang terdapat di maksilla lebih sering mengalami

40
infeksi, dan sepertiganya mengalami expansi ke bukal. Pada gambaran radiologis,

sering terlihat sebagai daerah radiolusen yang besar, bundar atau ovoid.

Kebanyakan berbatas tegas dengan tepi sklerotik. Dapat monolukuler dan dapat

juga multilokuler. Lesi monolukuler dapat mempunyai tepi berbentuk scalloped

(melekuk-lekuk) (Bakar, 2012).

2. Kista Gingival

Kista gingival pada bayi sering terlihat pada neonatus, tetapi jarang terlihat

setelah 3 bulan. Sebagian besar diantaranya mengalami involusi dan hilang atau

pecah melalui epitel permukaan bereksfolisasi. Kista ini sering ditemukan di

puncak alveolar ridge pada maksilla dan mandibula. Pada orang dewasa, kista ini

kira-kira hanya 0,3% dari keseluruhan kista rahang yang ada, dan diderita oleh

paling banyak antara umur 40-59 tahun. Wanita lebih banyak menderita kista ini,

dengan perbandingan 2:1. Lebih sering terjadi pada mandibula dari pada maksilla,

terutama regio premolar atau caninus. Pada gambaran klinis terlihat adanya

pembengkakan pada gingiva, tumbuh lambat dan tidak sakit. Berbatas tegas, kecil

dengan diameter kurang dari 1cm. Berlokasi di attached gingiva atau papilla

interdentalis dan selalu pada sisi fasial. Permukaan licin seperti warna gingiva

yang normal ataupun kebiruan, konsistensi lunak, fluktuasi, dan gigi yang

berdekatan biasanya vital. Pada pembedahan terlihat adanya erosi tulang tanpa

perluasan ke periodontium (Bakar, 2012).

3. Kista Periodontal Lateralis

Ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit, dan kira-kira hanya 1,5%

selama 20 tahun. Diderita pada umur rata-rata 50 tahun, dan ada kecenderungan

banyak diderita oleh laki-laki. Lokasi antara premolar dua kiri sampai pada

41
premolar dua kanan, lebih banyak terjadi di mandibula dari pada maksilla.

Terlihat pada pemeriksaan radiologis yang rutin (daerah radiolusensi ovoid

ataupun bundar yang berbatas tegas dengan tepi sklerotik), namun kadang-kadang

dapat membesar dan terjadi pembengkakan pada gingiva pada sisi fasial. Yang

jelas gigi di sampingnya terlihat masih vital (Bakar, 2012).

4. Kista Dentigerous (folikuler)

Kista dentigerous adalah kista yang tumbuh dari folikel gigi dan menutupi

mahkota gigi yang belum erupsi serta melekat pada leher gigi. Gigi yang terlibat,

berturut-turut adalah molar ketiga mandibula, caninus maksilla, dan kemudian

diikuti oleh premolar mandibula dan molar ketiga maksilla. Kista dentigerous

dapat tumbuh besar sebelum terdiagnosis. Sebagian ditemukan pada pemeriksaan

radiologis ketika tidak ada erupsi gigi, gigi hilang, miring, atau keluar dari

lengkung gigi. Tumbuh perlahan-lahan dan terasa sakit bila mengalami infeksi

serta terjadi pembengkakan seperti abses. Tetapi penderita mengeluh bahwa

pembengkakakn masih tetap ada walaupun tidak sebesar bila mengalami infeksi.

Bila tidak ada infeksi maka kista ini tidak memberi sensasi sakit. Pada gambaran

radiografis terlihat gambaran radiolusensi unilokuler yang di dalamnya

mengandung mahkota gigi, dinding sklerotik, dan berbatas tegas kecuali bila telah

terinfeksi, kadang-kadang terlihat trabekulasi yang dapat memberi kesan

multilokularitas (Bakar, 2012).

5. Kista Erupsi

Kista erupsi adalah kista dentigerous yang terjadi pada jaringan lunak, kista

ini berkembang dari folikel gigi yang sedang bererupsi. Terlihat permukaan licin

dengan warna gingiva normal ataupun kebiruan, lunak dan berfluktuasi. Tidak

42
merasa sakit kecuali terinfeksi. Kadang dapat terlihat lebih dari 1 kista. Dalam 3-4

minggu akan berdiameter kira-kira 1-1,5cm (Bakar, 2012).

6. Kista Apikal atau Kista Radikuler

Kista apikal atau kista radikuler adalah kista yang timbul dari sisa-sisa epitel

pada ligamen periodontal sebagai akibat dari peradangan yang mengikuti

kematian pulpa gigi dan ditemukan di daerah apikal gigi (Bakar 2012).

Kista radikuler merupakan kista odontogenik yang paling sering terjadi,

yang berhubungan dengan gigi nonvital atau frakmen akar gigi. Penentuan

vitalitas gigi yang berkaitan dengan lesi yang diduga kista periapikal sangatlah

penting, karena terapi endodontik/bedah periradikuler masih sering dipakai

sebagai alternatif konservatif daripada pencabutan. Lesi yang umum terjadi ini,

relatif kecil (diameternya kurang dari 1cm), dan mudah dienukleasi melalui

alveolus pada waktu ekstraksi. Apabila diketemukan kemudian setelah ukurannya

bertambah besar (2-3cm) dan melibatkan gigi atau struktur penting disekitarnya

biasanya sudah terinfeksi (Pederson, 1996).

7. Kista Residual

Kista residual adalah kista yang berkembang dari sisa yang tertinggal ketika

gigi nekrosisnya diambil. Biasanya ditemukan setelah dilakukan pencabutan

(Bakar, 2012).

8. Kista Dermoid

Kista dermoid adalah kista congenital yang berisikan elemen-elemen yang

berasal dari jaringan ektodermal dan ditemukan dalam kulit, dasar mulut, dan

leher bagian atas (Bakar, 2012).

43
9. Kista Ductus Nasopalatinus

Kista Ductus Nasopalatinus disebut juga kista canalis incisivus. Berdinging

epitel yang berasal non-odontogenik, diduga berasal dari sisa-sisa epitel

embrionik dalam canalis nasopalatinus, dan epitel ini termasuk dalam garis fusi

prosessus fasialis embrionik. Gejala yang lazim adalah pembengkakan, biasanya

pada regio anterior garis tengah palatum. Juga dapat terjadi pada garis tengah

labial “albeolar ridge”. Pada beberapa kasus dapat dijumpai fluktuasi. Dapat

terjadi kombinasi pembengkakan, sekret, dan nyeri. Sekret bisa mukoid, yang

dirasakan pasien sedikit asin, bisa purulent dan mengeluh adanya bau busuk.

Terlihat juga adanya pergeseran gigi. Untuk menentukan diagnosis, maka perlu

disingkirkan adanya kemungkinan lesi periapikal dan mengetest vitalitas gigi

incisivus. Kista ini terjadi dalam canalis incisivus, dan mungkin sulit menentukan

apakah kista atau canalis yang membesar. Karena itu batas maksimal dari canalis

normal adalah 6mm. Lebih dari itu sudah bisa kita sebut kista. Kista ini ditemukan

pada garis tengah palatum, di atas ataupun di antara gigi incisivus pertama (Bakar,

2012).

10. Kista Palatine Median

Kista palatine median adalah kista perkembangan yang timbul di fissure

mediana palatum (Bakar, 2012).

11. Kista Nasolabialis

Kista ini terjadi di luar tulang pada lipatan nasolabialis di bawah alae nasi.

Sebenarnya merupakan kista jaringan lunak (Bakar, 2012).

44
12. Kista Globulomaksilaris

Kista globulomaksilaris yaitu sebagai kista yang ditemukan dalam tulang

antara incisivus kedua dan caninus maksilla. Secara radiologis merupakan lesi

yang radiolusen dan berbatas tegas yang sering menyebabkan akar gigi yang

berdekatan devergen (Bakar, 2012).

2.11 Perawatan Pada Infeksi Odontogenik (Lokal)

Prinsip utama dari perawatan infeksi odontogenik adalah melakukan

pembedahan (drainase) dan menghilangkan penyebab dari infeksi. Tujuan

utamanya adalah menghilangkan pulpa nekrotik dan poket periodontal yang

dalam. Tujuan yang kedua adalah menghilangkan pus dan nekrotik debris

(Soemartono, 2000).

Abses merupakan suatu lesi yang bagi tubuh sulit ditangani, karena

kecenderungannya untuk meluas ke banyak jaringan dan sulitnya agen-agen

terapeutik masuk ke dalam abses melalui pembuluh darah. Infeksi odontogen

dapat menyebar ke jaringan-jaringan lain mengikuti pola patofisiologi yang

beragam dan dipengaruhi oleh jumlah dan virulensi mikroorganisme, resistensi

dari host dan struktur anatomi dari daerah yang terlibat (Soemartono, 2000).

Prinsip dasar perawatan kasus infeksi odontogen antara lain,

mempertahankan dan meningkatkan faktor pertahanan tubuh penderita, pemberian

antibiotik yang tepat dengan dosis yang memadai, tindakan drainase secara bedah

dari infeksi yang ada, menghilangkan secepat mungkin sumber infeksi dan,

evaluasi terhadap efek perawatan yang diberikan. Pada kasus-kasus infeksi fascial

45
space, pada prinsipnya sama dengan perawatan infeksi odontogen lainnya, tetapi

tindakan yang dilakukan harus lebih luas dan agresif (Soemartono, 2000).

Mempertahankan dan meningkatkan faktor pertahanan tubuh penderita

meliputi, meningkatkan kualitas nutrisi, termasuk pemberian vitamin tambahan,

diet tinggi kalori dan protein, mempertahankan keseimbangan cairan tubuh, dan

pemberian analgesik. Pencabutan gigi atau menghilangkan faktor penyebab lain

yang menjadi sumber infeksi harus segera dilakukan setelah gejala infeksi akut

mereda. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekambuhan dari infeksi. Beberapa

tindakan meliputi tindakan lokal langsung rongga mulut, mukosa dan gigi

sekitarnya pada infeksi odontogenik adalah dengan melakukan insisi dan

drainase, apicoectomy (reseksi akar) dan pencabutan gigi yang menjadi fokal

infeksi (Soemartono, 2000).

1. Insisi dan drainase

Perawatan pada abses pada prinsipnya adalah insisi dan drainase. Insisi

adalah pembuatan jalan keluar nanah secara bedah (dengan scapel). Drainase

adalah tindakan eksplorasi pada fascial space yang terlibat untuk mengeluarkan

nanah dari dalam jaringan, biasanya dengan menggunakan hemostat. untuk

mempertahankan drainase dari pus perlu dilakukan pemasangan drain, misalnya

dengan rubber drain atau penrose drain, untuk mencegah menutupnya luka insisi

sebelum drainase pus tuntas (Pedersen, 1996).

Apabila belum terjadi drainase spontan, maka perawatan abses vestibular

adalah insisi dan drainase pada puncak fluktuasi dan drainase dipertahankan

dengan pemasangan drain (drain karet atau kasa), pemberian antibiotik untuk

mencegah penyebaran infeksi dan analgesik sebagai penghilang sakit. Selain itu,

46
drainase dapat juga dilakukan dengan melakukan open bur dan ekstirpasi jarngan

pulpa nekrotik, atau dengan pencabutan gigi penyebab (Pedersen, 1996).

Ada beberapa tujuan dari tindakan insisi dan drainase, yaitu:

1. Mencegah terjadinya perluasan abses/infeksi ke jaringan lain,

2. Mengurangi rasa sakit

3. Menurunkan jumlah populasi mikroba beserta toksinnya

4. Memperbaiki vaskularisasi jaringan (karena pada daerah abses

vakularisasi jaringan biasanya jelek) sehingga tubuh lebih mampu

menanggulangi infeksi yang ada dan pemberian antibiotik lebih efektif

5. Mencegah terjadinya jaringan parut akibat drainase spontan dari abses.

Insisi dan drainase biasanya merupakan prosedur bedah yang sederhana.

Pengetahuan tentang anatomi wajah dan leher diperlukan untuk melakukan

drainase yang tepat pada abses yang lebih dalam. Abses seharusnya dikeluarkan

bila ada fluktuasi, sebelum pecah dan pusnya keluar. Insisi dan drainase adalah

perawatan yang terbaik pada abses (Pedersen, 1996).

Insisi tajam yang cepat pada mukosa oral yang berdekatan dengan tulang

alveolar biasanya cukup untuk menghasilkan pengeluaran pus yang banyak,

sebuah ungkapan abad ke-18 dan 19 yang berupa deskriptif dan seruan. Ahli

bedah yang dapat membuat relief instan dan dapat sembuh dengan pengeluaran

pus dari abses patut dipuji dan oleh sebab itu lebih dikenal daripada teman sejawat

yang kurang terampil yang menginsisi sebelum waktunya atau pada tempat yang

salah (Pedersen, 1996).

Prinsip berikut ini harus digunakan bila memungkinkan pada saat

melakukan insisi dan drainase adalah sebagai berikut:

47
1. Melakukan insisi pada kulit dan mukosa yang sehat. Insisi yang ditempatkan

pada sisi fluktuasi maksimum di mana jaringannya nekrotik atau mulai

perforasi dapat menyebabkan kerutan, jaringan parut yang tidak estetis.

Penempatan insisi untuk drainase ekstraoral infeksi kepala leher.  Insisi pada

titik-titik berikut ini digunakan untuk drainase infeksi pada spasium yang

terindikasi: superficial dan deep temporal, submasseteric, submandibular,

submental, sublingual, pterygomandibular, retropharyngeal,  lateral pharyngeal,

retropharyngeal (Pedersen, 1996).

2. Tempatkan insisi pada daerah yang dapat diterima secara estetis, seperti di

bawah bayangan rahang atau pada lipatan kulit alami.

3. Apabila memungkinkan tempatkan insisi pada posisi yang bebas agar

drainase sesuai dengan gravitasi.

4. Lakukan pemotongan tumpul, dengan clamp bedah rapat atau jari, sampai ke

jaringan paling bawah dan jalajahi seluruh bagian kavitas abses dengan

perlahan-lahan sehingga daerah kompartemen pus terganggu dan dapat

diekskavasi. Perluas pemotongan ke akar gigi yang bertanggung jawab

terhadap infeksi

48
5. Tempatkan drain (lateks steril atau catheter) dan stabilkan dengan jahitan.

6. Pertimbangkan penggunaan drain tembus bilateral, infeksi ruang

submandibula.

7. Jangan tinggalkan drain pada tempatnya lebih dari waktu yang ditentukan;

lepaskan drain apabila drainase sudah minimal. Adanya drain dapat

mengeluarkan eksudat dan dapat menjadi pintu gerbang masuknya bakteri

penyerbu sekunder.

8. Bersihkan tepi luka setiap hari dalam keadaan steril untuk membersihkan

bekuan darah dan debris.

Pengetahuan yang seksama mengenai anatomi fascial dan leher sangat

penting untuk drain yang tepat pada abses yang dalam, tetapi abses yang

membatasi daerah dentoalveolar menunjukkan batas anatomi yang tidak jelas bagi

ahli bedah. Hanya mukosa yang tipis dan menonjol yang memisahkan scalpel dari

infeksi. Idealnya, abses harus didrain ketika ada fluktuasi sebelum ada ruptur dan

drainase spontan. Insisi dan drainase paling bagus dilakukan pada saat ada tanda

awal dari “pematangan” abses ini, meskipun drainase pembedahan juga efektif,

sebelum adanya perkembangan klasik fluktuasi (Pedersen, 1996).

Teknik insisi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut (Pedersen, 1996) :

1. Aplikasi larutan antiseptik sebelum insisi.

2. Anestesi dilakukan pada daerah sekitar drainase abses yang akan dilakukan

dengan anestesi infiltrasi.

3. Untuk mencegah penyebaran mikroba ke jaringan sekitarnya maka

direncanakan insisi :

1. Menghindari duktus dan pembuluh darah besar.

49
2. Drainase yang cukup, maka insisi dilakukan pada bagian superfisial pada

titik terendah akumulasi untuk menghindari sakit dan pengeluaran pus

sesuai gravitasi.

3. Jika memungkinkan insisi dilakukan pada daerah yang baik secara estetik,

jika memungkinkan dilakukan secara intraoral.

4. Insisi dan drainase abses harus dilakukan pada saat yang tepat, saat

fluktuasi positif.

4. Drainase abses diawali dengan hemostat dimasukkan ke dalam rongga abses

dengan ujung tertutup, lakukan eksplorasi kemudian dikeluarkan dengan

unjung terbuka.  Bersamaan dengan eksplorasi, dilakukan pijatan lunak untuk

mempermudah pengeluaran pus.

5. Penembatan drain karet di dalam rongga abses dan distabilasi dengan jahitan

pada salah satu tepi insisi untuk menjaga insisi menutup dan drainase.

6. Pencabutan gigi penyebab secepatnya.

2. Kuretase

Untuk melakukan perawatan lesi periapikal secara bedah endodontik

digunakan teknik kuretase periapikal. Kuretase periapikal ini lebih dulu

dikerjakan sebelum melakukan perawatan bedah lain seperti apicoectomy.

Indikasi dari kuretase periapikal adalah bila pada daerah periapikal dijumpai abses

atau lesi yang tidak sembuh dan juga dijumpai kelebihan pasta pada perawatan

secara konvensional (Grossman, 1995).

50
Adapun tahap kuretase lesi periapikal adalah sebagai berikut (Grossman,

1995):

1. Ro-fo untuk melihat daerah kelainan periapikal

2. Anastesi lokal

3. Isolasi dan steril dengan topikal antiseptik

4. Pembuatan flap

5. Flap dibuka dengan periosteal elevator, dan dtahan dengan tisue refraktor

6. Pengambilan jaringan lesi dengan alat kuret

7. Daerah operasi dibersihkan dan flap ditutup kembali

8. Flap dijahit

9. Kontrol 24 jam. Jahitan dapat dibuka dalam 5-7 hari

10. Kontrol bertahap (Ro-fo)

3. Reseksi akar (Apicoectomy)

Apicoectomy yang juga disebut reseksi akar dan amputasi / pengambilan

akar adalah tindakan bedah berupa suatu pemotongan bagian akar gigi dan

kuratage dan pengerokan seluruh jaringan periapikal yang nekrotik dan radang. 

Prosedur ini dikenal dengan kuratase apical (Grossman, 1995).

Teknik ini dapat dilakukan apabila atau dengan pertimbangan adanya

kegagalan pada perawatan endodontik intrakanal. Adapun kelainan – kelainan lain

yang termasuk indikasi perawatan apicoectomy antara lain; adanya kelainan

periapikal pada gigi yang tidak dapat dirawat secara endodontik intrakanal,

adanya granuloma, abses alveolar, kista periapikal yang semuanya dapat

mengakibatkan eksaserbasi akut (Grossman, 1995).

51
Indikasi perawatan reseksi akar :

1. Adanya abses kronik dan granuloma pada gigi yang tidak sampai

melibatkan sinus.

2. Adanya kelebihan pengisian pada saat pengisisan saluran akar, pada

daerah periapikal.

3. Adanya alat yang patah pada saluaran akar.

4. Pengisian yang kurang baik pada pengisian saluran akar yang

mengakibatkan adanya infeksi pada daerah periapikal.

5. Akar gigi yang terlalu bengkok sehingga tidak dapat dirawat secara

konservatif.

6. Adanya resorbsi akar bagian apek oleh karena adanya abses periapikal

7. Pada penderita dengan adanya kelainan sistemik yang aktif antara

lain; rheumatic fever, nephritis, leukemia, syphilis, anemia,

thyrotoxicosis.

8. Gigi dengan mobilitas yang besar .

9. Posisi gigi yang tidak baik yaitu letak anatomis dekat dengan daerah

sinus, nervus yang dapat menyulitkan teknik operasi tersebut.

10. Pada kasus dengan traumatic oklusi yang tidak dapat diperbaiki.

Teknik reseksi akar :

1. Pembuatan gambar Ro-fo dari berbagai sudut

2. Anastesi gigi dan jaringan lunak sekitar dengan anastesi local.

3. Buatlah insisi semilunar yang dimulai dari mesial apek akar gigi,

diteruskan ke bawah sejauh 2/3 jarak antara apeks gigi dengan

gingival line

52
4. Kemudian flap dipisahkan dari tulang dan ditahan dengan retractor

kecil

5. Kurangi tulang bukal dengan chisel atau bur tulang.

6. Pengambilan tulang hendaknya jangan sampai merusak akar gigi

sebelahnya

7. Potonglah ujung akar gigi dengan fissure bur, jangan memotong lebih

dari 1/3 akar gigi

8. Bersihkan jaringan patologis sekitarnya dengan kuret, dan bulatkan

ujung akar yang terpotong dan pinggiran yang tajam

9. Kembalikan flap dan dijahit

4. Pencabutan (Ekstraksi)

Ekstraksi gigi adalah proses pencabutan gigi dari dalam soket dari tulang

alveolar. Ekstraksi gigi dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu teknik sederhana

dan teknik pembedahan. Teknik sederhana dilakukan dengan melepaskan gigi dari

perlekatan jaringan lunak menggunakan elevator kemudian menggoyangkan dan

mengeluarkan gigi di dalam soket dari tulang alveolar menggunakan tang

ekstraksi. Sedangkan teknik pembedahan dilakukan dengan pembuatan flep,

pembuangan tulang disekeliling gigi, menggoyangkan dan mengeluarkan gigi di

dalam soket dari tulang alveolar kemudian mengembalikan flep ke tempat semula

dengan penjahitan. Teknik sederhana digunakan untuk ekstraksi gigi erupsi yang

merupakan indikasi, misalnya gigi berjejal. Ekstraksi gigi dengan teknik

pembedahan dilakukan apabila gigi tidak bisa diekstraksi dengan menggunakan

teknik sederhana, misalnya gigi ankilosis (Pedersen, 1996).

53
Indikasi dilakukan tindakan pencabutan adalah (Pedersen, 1996):

1. Gigi dengan karies yg besar

2. Gigi nonvital dimana PSA tidak dapat dilakukan

3. Gigi goyang oleh karena penyakit/kelainan periodontal

4. Perawatan ortho atau prostho

5. Penderita akan diterapi radiasi

6. Gigi yang terlibat fraktur

7. Pulpitis akut/kronis yg tidak dapat dirawat endo.

8. Gigi gangren pulpa yang tdk dpt dirawat endo.

9. Gigi sebagai fokal infeksi

10 Sisa akar

5. Terapi Medikasi

Drug Of Choice odontogen yg paling sering digunakan (Pedersen, 1996):

• Antibiobik

• Analgesik

• Anti inflamasi

Hal yang harus mempertimbangkan (Pedersen, 1996):

a. Alergi

b. Resistensi beberapa organisme thd obat

Apabila memungkinkan, pemilihan obat didasarkan pada (Pedersen, 1996):

a. Smear/pewarnaan gram

b. Kultur

c. Tes sensitivitas

54
Pemilihan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati. Sering terjadi salah

pemahaman bahwa semua infeksi harus diberikan antibiotik, padahal tidak semua

infeksi perlu diberikan antibiotik. Pada beberapa situasi, antibiotik mungkin tidak

banyak berguna dan justru bisa menimbulkan kontraindikasi. Untuk

menentukannya, ada 3 faktor yang perlu dipertimbangkan. Yang pertama adalah

keseriusan infeksi ketika pasien datan ke dokter gigi. Jika pasien datang dengan

pembengkakan yang ringan, progress infeksi yang cepat, atau difuse celulitis,

antibiotik bisa ditambahkan dalam perawatan. Faktor yang kedua adalah jika

perawatan bedah bisa mencapai kondisi adekuat. Pada banyak situasi ekstraksi

bisa menyebabkan mempercepat penyembuhan infeksi. Pada keadaan lain,

pencabutan mungkin saja tidak bisa dilakuakan. Sehingga, terapi antibiotik sangat

perlu dilakukan untuk mengontrol infeksi sehingga gigi bisa dicabut.

Pertimbangan yang ketiga adalah keadaan pertahanan tubuh pasien. Pasien yang

muda dan dengan kondisi sehat memiliki antibodi yang baik, sehingga

penggunaan antibiotik bisa digunakan lebih sedikit. Di sisi lain, pasien dengan

penurunan pertahanan tubuh, seperti pasien dengan penyakit metablik atau yang

melakukan kemoterapi pada kanker, mungkin memerlukan antibiotik yang cukup

besar walaupun infeksinya kecil (Pedersen, 1996).

Indikasi penggunaan antibiotik (Pedersen, 1996):

1. Pembengkakan yang berproges cepat

2. Pembengkakan meluas

3. Pertahanan tubuh yang baik

4. Keterlibatan spasia wajah

5. Pericoronitis parah

55
6. Osteomyelitis

Kontra indikasi penggunaan antibiotik :

1. abses kronik yang terlokalisasi

2. abses vestibular minor

3. soket kering

4. pericoronitis ringan

Pemakaian antibiotik dalam perawatan medikasi lebih diutamakan dengan

tujuan untuk mencegah penyebaran infeksi. Pemilihan antibiotik dilakukan

berdasarkan bakteri penyebab infeksi. Terdapat dua faktor mikrobiologi  yang

harus ada di dalam benak dokter gigi pada saat memilih antibiotik. Pertama,

antibiotik harus efektif melawan organisme Streptococcus selama bakteri ini

paling banyak ditemukan. Kedua, antibiotik harus efektif melawan bakteri

anaerobik sprektrum luas (Pedersen, 1996).

Penisilin masih menjadi drug of choice yang sensitif terhadap

organisme Streptococcus (aerobik dan anaerobik), namun sayangnya antibiotik

jenis ini mengalami resistensi. Penisilin dibagi menjadi penisilin alam dan

semisintetik. Penisilin alam memiliki beberapa kelemahan antara lain tidak tahan

asam lambung, inaktivasi oleh penisilinase, spektrum sempit dan sering

menimbulkan sensitivitasi pada penderita yang tidak tahan terhadap penisilin.

Untuk mengatasi hal tersebut, dapat digunakan penisilin semisintetik antara lain

amfisilin (sprektrum luas, tidak dirusak asam lambung, tetapi dirusak oleh

penisilinase) dan kloksisilin (efektif terhadap abses, osteomielitis, tidak dirusak

oleh asam lambung dan tahan terhadap penisilinase) (Pedersen, 1996).

56
Pengobatan pilihan pada infeksi adalah penisilin. Penicillin ialah

bakterisidal, berspektrum sempit, meliputi streptococci dan oral anaerob, yang

mana bertanggung jawab kira-kira untuk 90% infeksi odontogenic, memiliki

toksisitas yang rendah, dan tidak mahal (Pedersen, 1996).

Penggunaan penisilin di dalam klinik antara lain adalah ampisilin dan

amoksisilin. Absorbsi ampisilin oral seringkali tidak cukup memuaskan sehingga

perlu peningkatan dosis. Absorbsi amoksisilin di saluran cerna jauh lebih baik

daripada ampisilin. Dengan dosis oral yang sama, amoksisilin mencapai kadar

dalam darah yang tingginya kira-kira 2 kali lebih tinggi daripada ampisilin,

sedangkan masa paruh eleminasi kedua obat ini hampir sama. Penyerapan

ampisilin terhambat oleh adanya makanan di lambung, sedangkan amoksisilin

tidak.  Namun, akhir-akhir ini penggunaan metronidazole sangat populer dalam

perawatan infeksi odontogen. Metronidazole tidak memiliki aktivitas dalam

melawan bakteri aerob, tetapi efektif terhadap bakteri anaerob (Pedersen, 1996).

Untuk pasien yang alergi penisilin, bisa digunakan clarytromycin dan

clindamycin. Cephalosporin dan cefadroxil sangat berguna untuk infeksi yang

lebih luas. Cefadroxil diberikan dua kali sehari dan cephalexin diberikan empat

kali sehari. Tetracycline, terutama doxycycline adalah pilihan yang baik untuk

57
infeksi yang ringan. Metronidazole dapat berguna ketika hanya terdapat bakteri

anaerob (Pedersen, 1996).

Pada umumnya antibiotik harus terus diminum hingga 2 atau 3 hari setelah

infeksi hilang, karena secara klinis biasanya seorang pasien yang telah dirawat

dengan pengobatan antibiotik maupun pembedahan akan mengalami perbaikan

yang sangat dramatis dalam penampakan gejala di hari ke-2, dan terlihat

asimptomatik di hari ke-4. Maka dari itu, antibiotik harus tetap diminum hingga 2

hari setelahnya (total sekitar 6 atau 7 hari) (Pedersen, 1996).

Dalam situasi tertentu dimana tidak dilakukan pembedahan (contohnya

endodontik atau ekstraksi), maka resolusi dari infeksi akan lebih lama sehingga

antibiotik harus tetap diminum hingga 9 – 10 hari. Penambahan beberapa

administrasi obat antibiotik juga dapat dilakukan untuk infeksi yang tidak sembuh

dengan cepat (Pedersen, 1996).

Macam Antibiotok Berdasarkan Spektrum Bakterinya (Pedersen, 1996):

A. Spektrum Luas :

- Ampicilin

- Amoxilyn

- Hetacillin

- Tetracyclin

- Chloramphenicol

- Gentamycin

B. Spektrum Sempit:

1. Gram Positif :

- Benzyl Penicilin

58
- Cloxacillins

- Cephalospirin

- Bacitrcyn

- Erythromycyn

- Spiramycyn

2. Gram Negative :

- Polymixin B

- Collistin

Macam golongan antibiotik (Pedersen, 1996):

1. Erythromycin

a. Digunakan untuk orang yg alergi terhadap penicilin

b. Efektif terhadap bakteri gram positif

c. Bekerja menghambat sintesis protein pada bakteri bisa bersifat

bakteriositas terhadap bakteri tertentu dan bakteriosid pada bakteri yang

lain

d. Diekskresikan melalui feses dan mepedu

e. Penggunaan

a. Dosis dewasa : 250-500 mg setiap 6 jam

b. Dosis anak-anak : 30-100 mg/kg bb per hari

2. Cephalosporin

a. Secara struktural & farmakologisnya mirip dengan penicilin

b. Bersifat bakteriosid terhadap sebagian besar jenis streptococcus dan

staphilococcus tapi tidak efektif terhadap sebagian coccus gram negatif

dan batang

59
c. Penggunaan

a. Dosis dewasa : 1-4 mg/ hari

b. Dosis anak-anak : 25-50 mg/kg bb per hari

3. Lincosamide

a. Indikasinya terutama untuk infeksi yang disebabkan coccus gram positif

anaerob & batang gram negatif

b. Untuk orang yang alergi terhadap penisilin

c. Penggunaannya :

a. Dosis dewasa : 150 – 300 mg tiap 6 jam

b. Dosis anak-anak : 8-16 mg/ kg bb per hari

4. Metronidazole

a. Anti-protozoa mulut (trichomonas, entamoeba) dan anti bakteri

b. Bekerja dengan jalan mengganggu sintesis DNA

c. Diekskresikan lewat ginjal

d. Efektif untuk bakteri anaerob

e. Efek samping paling sering mual disertai sakit kepala, anoreksia, kadang-

kadang muntah

f. Penggunaan:

Dosis dewasa : 500 mg tiap 6 jam.

5. Tetracyclin

a. Bersifat bakteriositas

b. Bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein

c. Diekskresikan lewat urine dan feses

60
d. Obat ini digunakan apabila tes sensitivitas menunjukkan perlunya

pemberian obat tersebut/ obat lain tidak ada/ px alergi terhadap obat utama

e. Penggunaan

Dosis dewasa : 100 mg, 2 kali sehari

61

Anda mungkin juga menyukai