Anda di halaman 1dari 28

REFERAT BEDAH PLASTIK

PERAWATAN LUKA JARINGAN GRANULASI DARI SUDUT


PANDANG BIOMOLEKULER

Disusun oleh:

Anggit Triadiana G09172040


Cindy Stephanie A G99181015
Nabilla Gita Ekanara G99172124
Rahma Pramatama Tameru G991903048
Ratna Ningsih G99172139

Pembimbing:
dr. Amru Sungkar, Sp.B, Sp.BP-RE(K)

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

Luka adalah terputusnya kontinuitas struktur anatomi jaringan


tubuh, dimana fase penyembuhannya terdiri dari 3 tahap yaitu Fase Inflamasi
yang dibagi menjadi early inflammation (Fase haemostasis), dan late
inflammation yang terjadi sejak hari ke 0 sampai hari ke 5 pasca terluka. Fase
Proliferasi, yang meliputi tiga proses utama yakni: Neoangiogenesis,
pembentukan fibroblast dan re-epitelisasi, terjadi dari hari ke-3 sampai hari ke-
21 pasca terluka. Fase Maturasi terjadi mulai hari ke-21 sampai 1 tahun pasca
luka.yang bertujuan untuk memaksimalkan kekuatan dan integritas struktural
jaringan baru pengisi luka, pertumbuhan epitel dan pembentukan jaringan
parut.

Ketiga fase ini saling mempengaruhi satu sama lain dan banyak sel
dan sitokin yang berperan didalam setiap fase. Banyaknya penelitian tentang
proses penyembuhan luka untuk mencapai hasil yang memuaskan dengan
waktu yang lebih singkat dari fase nomal menghasilkan teori proses
penyembuhan luka yang semakin detail yang akan dijelaskan dari aspek
mekanisme seluler dan molekuler.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PROSES PENYEMBUHAN LUKA


Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang melibatkan respon
seluler dan biokimia baik secara lokal maupun sistemik melibatkan proses
dinamis dan kompleks dari koordinasi serial termasuk pendarahan, koagulasi,
inisiasi respon inflamasi akut segera setelah trauma, regenerasi, migrasi dan
proliferasi jaringan ikat dan sel parenkim, serta sintesis protein matriks
ekstraselular, remodeling parenkim dan jaringan ikat serta deposisi kolagen (T
Velnar, 2009). Sel yang paling berperan dari semua proses ini adalah sel
makrofag, yang berfungsi mensekresi sitokin pro-inflamasi dan anti-inflamasi
serta growth factors, fibroblast dan kemampuannya mensistesis kolagen yang
mempengaruhi kekuatan tensile strengh luka dan mengisi jaringan luka
kembali ke bentuk semula, kemudian diikuti oleh sel-sel keratinosit kulit untuk
membelah diri dan bermigrasi membentuk reepitelialisasi dan menutupi area
luka (Faten Khorshid, 2010).
Keseimbangan antara sintesis dan degradasi jaringan membentuk suatu
proses penyembuhan luka normal yang terdiri dari even terpisah yang saling
berhubungan termasuk mikrosirkulasi transportasi oksigen, respon imun dan
inflamasi, perubahan metabolisme dan sistem neuroendokrin serta melibatkan
beberapa tingkat organisasi seperti bermacam-macam jenis sel (fibroblast,
netrofil, makrofag dan sebagainya), interselular messenger (sitokin, hormon,
growth factor dan sebagainya), produk buatan (kolagen, proteoglikan dan
sebagainya) dan enzim (MMP dan matriks metalloproteinas. Suatu luka
dikatakan sembuh secara sempurna jika luka telah kembali ke struktur anatomi
jaringan, fungsi jaringan, dan penampakan secara normal dalam periode waktu
yang sesuai (T Velnar, 2009). Secara umum, penyembuhan luka dibagi dalam
3 fase.

3
Gambar1.Tiga fase penyembuhan luka, waktu dan sel karakteristik
yang tampak pada waktu tertentu (Gutner GC, 2007)

FASE INFLAMASI AWAL (FASE HEMOSTASIS)


Fase Inflamasi terbagi dua, yaitu Fase inflamasi awal atau fase
haemostasis dan fase inflamasi akhir. Pada saat jaringan terluka, pembuluh
darah yang terputus pada luka akan menyebabkan pendarahan, reaksi tubuh
pertama sekali adalah berusaha menghentikan pendarahan dengan
mengaktifkan faktor koagulasi intrinsik dan ekstrinsik, yang mengarah ke
agregasi platelet dan formasi clot vasokontriksi, pengerutan ujung pembuluh
darah yang putus (retraksi) dan reaksi haemostasis. Reaksi haemostasis akan
terjadi karena darah yang keluar dari kulit yang terluka akan mengalami kontak
dengan kolagen dan matriks ekstraseluler, hal ini akan memicu pengeluaran
platelet atau dikenal juga dengan trombosit mengekspresi glikoprotein pada
membran sel sehingga trombosit tersebut dapat beragregasi menempel satu
sama lain dan membentuk massa (clotting). Massa ini akan mengisi cekungan
luka membentuk matriks provisional sebagai scaffold untuk migrasi sel-sel
radang pada fase inflamasi. (Landén, Li, & Ståhle, 2016) Pada saat yang
bersamaan sebagai akibat agregasi trombosit, pembuluh darah akan mengalami
vasokonstriksi selama 5 sampai dengan 10 menit, akibatnya akan terjadi
hipoksia, peningkatan glikolisis dan penurunan PH yang akan direspon dengan
terjadinya vasodilatasi. Lalu akan terjadi migrasi sel leukosit dan trombosit ke
jaringan luka yang telah membentuk scaffold tadi.
4
Selain itu, migrasi sel leukosit dan trombosit juga dipicu oleh aktivasi
associated kinase membrane yang meningkatkan permeabilitas membran sel
terhadap ion Ca2+ dan mengaktivasi kolagenase dan elastase, yang juga
merangsang migrasi sel tersebut ke matriks provisional yang telah terbentuk.
Setelah sampai di matriks provisional, sel trombosit mengalami degranulasi,
mengeluarkan sitokin-sitokin dan mengaktifkan jalur intrinsik dan ekstrinsik
yang menstimulasi sel-sel netrofil bermigrasi ke matriks provisional dan
memulai fase inflamasi (Landén et al., 2016). Adapun sitokin yang di sekresi
sel trombosit juga berfungsi untuk mensekresi faktor-faktor inflamasi dan
melepaskan berbagai faktor pertumbuhan yang potensial seperti Transforming
Growth Factor-β (TGF- β), Platelet Derived Growth Factor (PDGF),
Interleukin-1 (IL-1), Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1), Epidermal Growth
Factor (EGF), dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), sitokin dan
kemokin. Mediator ini sangat dibutuhkan pada penyembuhan luka untuk
memicu penyembuhan sel, diferensiasi dan mengawali pemulihan jaringan
yang rusak (Werner S, 2003).

FASE INFLAMASI AKHIR (LAG PHASE)


Fase inflamasi dimulai segera setelah terjadinya trauma sampai hari ke-
5 pasca trauma. Tujuan utama fase ini adalah menyingkirkan jaringan yang
mati, dan pencegahan kolonisasi maupun infeksi oleh agen mikrobial patogen
(Gutner GC, 2007). Setelah hemostasis tercapai, sel radang akut serta neutrofil
akan menginvasi daerah radang dan menghancurkan semua debris dan bakteri.
Dengan adanya neutrofil maka dimulai respon keradangan yang ditandai
dengan cardinal symptoms, yaitu tumor, kalor, rubor, dolor dan functio laesa.
Netrofil, limfosit dan makrofag adalah sel yang pertama kali mencapai daerah
luka. Fungsi utamanya adalah melawan infeksi dan membersihkan debris
matriks seluler dan benda-benda asing .Agen kemotaktik seperti produk
bakteri, yaitu DAMP (Damage Associated Molecules Pattern) dan PAMP
(Pathogen Spesific Associated Molecules Pattern), complement factor,
histamin, prostaglandin, dan leukotriene. Agen ini akan ditangkap oleh reseptor
5
TLRs (toll like receptor) dan merangsang aktivasi jalur signalling intraseluler
yaitu jalur NFκβ dan MAPK. Pengaktifan jalur ini akan menghasilkan ekspresi
gen yang terdiri dari sitokin dan kemokin pro-inflamasi yang menstimulasi
leukosit untuk ekstravasasi keluar dari sel endotel ke matriks provisional.
Leukosit akan melepaskan bermacam-macam faktor untuk menarik sel yang
akan memfagosit debris, bakteri, dan jaringan yang rusak, serta pelepasan
sitokin yang akan memulai proliferasi jaringan. Leukosit yang terdapat pada
luka di dua hari pertama adalah neutrofil, biasanya terdeteksi pada luka dalam
24 jam sampai dengan 36 jam setelah terjadi luka. Sel ini membuang jaringan
mati dan bakteri dengan fagositosis. Netrofil mensekresi sitokin pro inflamasi
seperti TNF-α, IL-1β, IL-6 juga mengeluarkan protease untuk mendegradasi
matriks ekstraseluler yang tersisa. Setelah melaksanakan fungsi fagositosis,
neutrofil akan difagositosis oleh makrofag atau mati. Meskipun neutrofil
memiliki peran dalam mencegah infeksi, keberadaan neutrofil yang persisten
pada luka dapat menyebabkan luka sulit untuk mengalami proses
penyembuhan. Hal ini bisa menyebabkan luka akut berprogresi menjadi luka
kronis (Landén et al., 2016).
Pada hari ke tiga luka, monosit berdiferensiasi menjadi makrofag
masuk ke dalam luka melalui mediasi monocyte chemoattractant protein 1
(MCP-1). Makrofag sebagai sel yang sangat penting dalam penyembuhan luka
memiliki fungsi fagositosis bakteri dan jaringan matin akan berubah menjadi
makrofag efferositosis (M2) yang mensekresi sitokin anti inflamasi seperti IL-
4, IL-10, IL13 (Landén et al., 2016). Makrofag mensekresi proteinase untuk
mendegradasi matriks ekstraseluler (ECM) dan penting untuk membuang
material asing, merangsang pergerakan sel, dan mengatur pergantian ECM.
Tabel 2. Sitokin yang berperan dalam Fase Inflamasi (Samantha Holoway,
2012) Sitokin Sel Penghasil Aktivitas Biologis Sitokin pro-inflamasi TNF-α
Makrofag Meningkatkan PMN dan sintesis MMP IL-1 Makrofag, keratinosit
Meningkatkan kemotaksis fibroblast dan keratinosit Meningkatkan sintesis
MMP IL-6 Makrofag, Keratinosit, PMN Meningkatkan Proliferasi Fibroblast
IL-8 Makrofag, Fibroblast Meningkatkan kemotaksis makrofag dan PMN
6
Meningkatkan sintesis kolagen Interleukin γ Makrofag, Limfosit-T
Meningkatkan aktivasi makrofag dan PMN Meningkatkan sintesis MMP
Menurunkan sintesis Kolagen Sitokin Anti Inflamasi IL-4 Limfosit T, Basofil,
sel Mast Menurunkan sintesis TNF-α, IL-1, IL-6 Meningkatkan proliferasi
fibroblast dan sintesis kolagen IL-10 Limfosit-T, Makrofag, Keratinosit
Menurunkan sintesis TNF-α, IL-1, IL-6 Menurunkan aktivasi makrofag dan
PMN IL-13 Limfosit T, Basofil, sel Mast, sel NK Menurunkan sintesis TNF-
α, IL-1, IL-6, TGF-β dan deposisi kolagen Meningkatkan sintesis MMP,
Makrofag M2 merupakan penghasil sitokin dan growth factor yang
menstimulasi proliferasi fibroblast, produksi kolagen, pembentukan pembuluh
darah baru, dan proses penyembuhan lainnya (GC, 2007). Makrofag akan
menggantikan peran polimorfonuklear sebagai sel predominan. Platelet dan
faktor-faktor lainnya menarik monosit dari pembuluh darah. Ketika monosit
mencapai lokasi luka, maka ia akan dimatangkan menjadi makrofag.
Peran makrofag adalah (Gutner GC, 2007):
 Memfagositosis bakteri dan jaringan yang rusak dengan
melepaskan protease.
 Melepaskan growth factors dan sitokin yang kemudian menarik
sel-sel yang berperan dalam fase proliferasi ke lokasi luka.
 Memproduksi faktor yang menginduksi dan mempercepat
angiogenesis.
 Memstimulasi sel-sel yang berperan dalam proses reepitelisasi
luka, membuat jaringan granulasi, dan menyusun matriks
ekstraseluler.
 Fase inflamasi sangat penting dalam proses penyembuhan luka
karena berperan melawan infeksi pada awal terjadinya luka serta
memulai fase proliferasi.

FASE PROLIFERASI
Fase proliferasi berlangsung mulai hari ke-3 hingga 14 pasca trauma,
ditandai dengan pergantian matriks provisional yang didominasi oleh platelet
7
dan makrofag secara bertahap digantikan oleh migrasi sel fibroblast dan
deposisi sintesis matriks ekstraselular (T Velnar, 2009). Pada level
makroskopis ditandai dengan adanya jaringan granulasi yang kaya akan
jaringan pembuluh darah baru, fibroblas, dan makrofag, granulosit, sel endotel
dan kolagen yang membentuk matriks ekstraseluler dan neovaskular yang
mengisi celah luka dan memberikan scaffold adhesi, migrasi, pertumbuhan dan
diferesiasi sel (Landén et al., 2016) (Gutner GC, 2007). Tujuan fase proliferasi
ini adalah untuk membentuk keseimbangan antara pembentukan jaringan parut
dan regenerasi jaringan. Terdapat tiga proses utama dalam fase proliferasi,
antara lain:
1. Neoangiogenesis
Angiogenesis merupakan pertumbuhan pembuluh darah baru yang terjadi
secara alami di dalam tubuh, baik dalam kondisi sehat maupun patologi
(sakit). Kata angiogenesis sendiri berasal dari kata angio yang berarti
pembuluh darah dan genesis yang berarti pembentukan. Gambar 3. Fase
proliferasidi mana jaringan granulasi mengisi kavitas luka dan keratinosit
bermigrasi untuk menutup luka (Gutner GC, 2007) Pada keadaan terjadi
kerusakan jaringan, proses angiogenesis berperan dalam mempertahankan
kelangsungan fungsi berbagai jaringan dan organ yang terkena. Terjadinya
hal ini melalui terbentuknya pembuluh darah baru yang menggantikan
pembuluh darah yang rusak (Frisca dkk., 2009). Pada angiogenesis
pembentukan pembuluh darah baru berasal dari kapilerkapiler yang muncul
dari pembuluh darah kecil di sekitarnya (Kalangi, 2011). Pembuluh darah
kapiler terdiri atas sel-sel endotel dan perisit. Kedua jenis sel ini memuat
seluruh informasi genetik untuk membentuk pembuluh darah dan cabang-
cabangnya serta seluruh jaring-jaring kapiler. Molekulmolekul angiogenik
khas akan mendorong terjadinya proses ini, tetapi ada pula molekulmolekul
penghambat bersifat khusus untuk menghentikan proses angiogenesis.
Molekulmolekul dengan fungsi yang berlawanan tersebut nampaknya
seimbang dan serasi dalam bekerja terus menerus mempertahankan suatu
sistem pembuluh darah kecil yang konstan (Kalangi, 2011). Pada
8
proliferasi terjadi angiogenesis disebut juga sebagai neovaskularisasi, yaitu
proses pembentukan pembuluh darah baru, merupakan hal yang penting
sekali dalam langkah-langkah penyembuhan luka. Jaringan di mana
pembentukan pembuluh darah baru terjadi, biasanya terlihat berwarna
merah (eritem) karena terbentuknya kapiler-kapiler di daerah itu. Selama
angiogenesis, sel endotel memproduksi dan mengeluarkan sitokin.
Beberapa faktor pertumbuhan terlibat dalam angiogenesis antara lain
Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), angiopoetin, Fibroblast
Growth Factor (FGF) dan TGF-β. Setelah pembentukan jaringan cukup
adekuat, migrasi dan proliferasi sel-sel endotelial menurun, dan sel yang
berlebih akan mati dalam dengan proses apoptosis (Gurtner GC, 2007).
Angiogenesis meliputi urutan peristiwa sebagai berikut : 1. Terdapat
degradasi lokal lamina basal pada kapiler yang telah ada. 2. Migrasi sel-sel
endotel ke tempat pertumbuhan baru. 3. Proliferasi dan diferensiasi untuk
membentuk kuncup kapiler. 4. Penyusunan kembali sel-sel endotel untuk
membentuk lumen. 5. Anastomosis kuncup-kuncup yang berdekatan untuk
membentuk jalinan pembuluh darah. 6. Pengaliran darah melalui pembuluh
darah baru
2. Fibroblast
Fibroblas memiliki peran yang sangat penting dalam fase ini. Fibroblas
memproduksi matriks ekstraselular yang akan mengisi kavitas luka dan
menyediakan landasan untuk migrasi keratinosit. Matriks ekstraselular
inilah yang menjadi komponen yang paling nampak pada skar di kulit.
Makrofag memproduksi growth factor seperti PDGF, FGF dan TGF- yang
menginduksi fibroblas untuk berproliferasi, migrasi, dan membentuk
matriks ekstraselular (Gurtner GC, 2007). Dengan bantuan matrix
metalloproteinase (MMP-12), fibroblas mencerna matriks fibrin dan
menggantikannya dengan glycosaminoglycan (GAG). Dengan berjalannya
waktu, matriks ekstraselular ini akan digantikan oleh kolagen tipe III yang
juga diproduksi oleh fibroblas. Kolagen ini tersusun atas 33% glisin, 25%
hidroksiprolin, dan selebihnya berupa air, glukosa, dan galaktosa.
9
Hidroksiprolin berasal dari residu prolin yang mengalami proses
hidroksilasi oleh enzim prolyl hydroxylase dengan bantuan vitamin C.
Hidroksiprolin hanya didapatkan pada kolagen, sehingga dapat dipakai
sebagai tolok ukur banyaknya kolagen dengan mengalikan hasilnya dengan
7,8. Selanjutnya kolagen tipe III akan digantikan oleh kolagen tipe I pada
fase maturasi. Faktor proangiogenik yang diproduksi makrofag seperti
vascular endothelial growth factor (VEGF), fibroblas growth factor (FGF)-
2, angiopoietin-1, dan thrombospondin akan menstimulasi sel endotel
membentuk neovaskular melalui proses angiogenesis.
3. Re-epitelisasi
Secara simultan, sel-sel basal pada epitelium bergerak dari daerah tepi luka
menuju daerah luka dan menutupi daerah luka.(T Velnar, 2009). Pada tepi
luka, lapisan single layer sel keratinosit akan berproliferasi kemudian
bermigrasi dari membran basal ke permukaan luka. Ketika bermigrasi,
keratinosit akan menjadi pipih dan panjang dan juga membentuk tonjolan
sitoplasma yang panjang. Mereka akan berikatan dengan kolagen tipe I dan
bermigrasi menggunakan reseptor spesifik integrin. Kolagenase yang
dikeluarkan keratinosit akan mendisosiasi sel dari matriks dermis dan
membantu pergerakan dari matriks awal. Sel keratinosit yang telah
bermigrasi dan berdiferensiasi menjadi sel epitel ini akan bermigrasi di atas
matriks provisional menuju ke tengah luka, bila sel-sel epitel ini telah
bertemu di tengah luka, migrasi sel akan berhenti dan pembentukan
membran basalis dimulai (T Velnar, 2009).

FASE MATURASI (REMODELING)


Fase maturasi (gambar 4) ini berlangsung mulai hari ke-21 hingga
sekitar 1 tahun yang bertujuan untuk memaksimalkan kekuatan dan integritas
struktural jaringan baru pengisi luka, pertumbuhan epitel dan pembentukan
jaringan parut (T Velnar, 2009). Segera setelah kavitas luka terisi oleh jaringan
granulasi dan proses reepitelialisasi usai, fase ini pun segera dimulai. Pada fase
ini terjadi kontraksi dari luka dan remodeling kolagen. Kontraksi luka terjadi
10
akibat aktivitas fibroblas yang berdiferensiasi akibat pengaruh sitokin TGF-β
menjadi myofibroblas, yakni fibroblas yang mengandung komponen
mikrofilamen aktin intraselular. Myofibroblast akan mengekspresikan α-SMA
(α-Smooth Muscle Action) yang akan membuat luka berkontraksi. Matriks
intraselular akan mengalami maturasi dan asam hyaluronat dan fibronektin
akan di degradasi (T Velnar, 2009). Sekitar 80% kolagen pada kulit adalah
kolagen tipe I dan 20% kolagen tipe III yang memungkinkan terjadinya tensile
strength pada kulit. Diameter serat kolagen akan meningkat dan kolagen tipe
III pada fase ini secara gradual digantikan oleh kolagen tipe Idengan bantuan
matrix metalloproteinase (MMP) yang disekresi oleh fibroblas, makrofag & sel
endotel. (Gurtner GC, 2007)(T Velnar, 2009).Sedangkan pada jaringan
granulasi mengekspresikan kolagen tipe 3 sebanyak 40% (T Velnar, 2009).
Pada fase ini terjadi keseimbangan antara proses sintesis dan degradasi kolagen
serta matriks ekstraseluler. Kolagen yang berlebihan didegradasi oleh enzim
kolagenasedan kemudian diserap. Sisanya akan mengerut sesuai tegangan yang
ada.Hasil akhir dari fase ini berupa jaringan parut yang pucat, tipis, lemas, dan
mudah digerakkan dari dasarnya. Setidaknya terdapat tiga prasyarat kondisi
lokal agar proses penyembuhan luka dapat berlangsung dengan normal, yaitu:
1. semua jaringan di area luka dan sekitarnya harus vital, 2. tidak terdapat benda
asing, 3. tidak disertai kontaminasi eksesif atau infeksi (Prasetyono T, 2009).
Saat kadar produksi dan degradasi kolagen mencapai keseimbangan, maka
mulailah fase maturasi dari penyembuhan jaringan luka. Fase ini dapat
berlangsung hingga 1 tahun lamanya atau lebih, tergantung dari ukuran luka
dan metode penutupan luka yang dipakai. Selama proses maturasi, kolagen tipe
III yang banyak berperan saat fase proliferasi akan menurun kadarnya secara
bertahap, digantikan dengan kolagen tipe I yang lebih kuat. Serabut-serabut
kolagen ini akan disusun, dirangkai, dan dirapikan sepanjang garis luka. Fase
remodelling jaringan parut adalah fase terlama dari proses penyembuhan. Pada
umumnya tensile strength pada kulit dan fascia tidak akan pernah mencapai
100%, namun hanya sekitar 80% dari normal, karena serat-serat kolagen hanya
bisa pulih sebanyak 80% dari kekuatan serat kolagen normal sebelum
11
terjadinya luka.(Marzoeki, 1993; Schultz, 2007). Kekuatan akhir yang dicapai
tergantung pada lokasi terjadinya luka dan durasi lama perbaikan jaringan yang
terjadi (T Velnar, 2009).
Sintesis dan degradasi kolagen dan matriks ekstraseluler terjadi secara
simultan dan biasanya terjadi keseimbangan antara kedua proses hingga 3
minggu setelah terjadinya luka sebelum akhirnya terjadi kestabilan.

ASPEK BIOMOLEKULER PENYEMBUHAN LUKA


 TNF-α
TNF-α adalah salah satu sitokin pro-inflamasi yang dihasilkan
oleh makrofag tipe 1 yang berfungsi merangsang sel inflamasi,
fibroblast dan epitel. Proses penyembuhan luka memerlukan peranan
dari mediator proinflamasi seperti Tumor Necrotic factor (TNFα) ini.
Semakin tinggi kadar TNF-α pada luka, menandakan proses inflamasi
yang sedang berlangsung. Sebuah penelitian yang membandingkan
antara tikus yang tidak terluka dan tikus yang terluka pada hari ke-3 dan
ke-4 diukur kadar TNF-α nya dengan ELISA, didapatkan rentang kadar
TNF-α pada tikus normal sebesar 0,81 pada hari ke-3, dan kadar TNF-
α tertinggi didapatkan pada hari ke-3 pasca trauma. Pada proses luka
terjadi kenaikan kadar TNF-α. Kenaikan kadar TNF-α dapat
menginduksi keluarnya molekul adhesi endotel yaitu intercellular 3
adhesion molecule 1 (ICAM-1) yang akan menambah melekatnya
neutrofil pada sel endotel sebelum masuk ke dalam ruang
ekstravaskuler atau ruang intrasel. Produk peradangan lainnya akan
menyebabkan kemotaksis netrofil menuju jaringan yang cedera (Haq
FF, 2016).
 TGF-β
 TGF-β dapat diproduksi oleh semua sel, tetapi tiga sel yang paling
berperan adalah sel monosit, fibroblast dan platelet, dan berperan
penting dalam proses penyembuhan luka. Adapun pengaruh TGF-β
pada proses penyembuhan luka antara lain (Hariani, 2017): - TGF-β
12
mempengaruhi kerja sel monosit dalam menghambat menghasilkan
enzim proteolitik, - Sebagai faktor pertumbuhan TGF-β akan
merangsang terjadinya kemotaksis sel-sel fibroblast sekaligus proses
proliferasi fibroblast pada fase proliferasi sehingga akan dimulai
pembentukan jaringan granulasi dan luka akan tampak berwarna
kemerahan. - TGF-β mengendalikan perubahan fibroblast menjadi
miofibroblast, yang nantinya berakibat luka akan tampak berkontraksi
secara makro visual. - TGF-β merangsang produksi Extra Cellular
Matrix (ECM) pada fase proliferasi dan maturasi untuk membentuk
kolagen dan fibronektin. - TGF-β juga merangsang sel-sel endotel
untuk membentuk gelunggelung kapiler, yang biasa disebut dengan
proses angiogenesis. - TGF-β mempengaruhi terjadinya epitelisasi.

 MMP-1
Matrix Metalloproteinase 1 (MMP-1) yang disebut juga
matrixins, kolagenase vertebra adalah enzim utama yang terlibat dalam
proses turn over matriks ekstra seluler dan telah diidentifikasi sebagai
prosesor utama komponen matriks ekstraseluler. Adapun matriks ekstra
seluler itu adalah bahan yang diproduksi oleh sel dan dikeluarkan ke
ruang ekstra seluler dalam jaringan, yang berfungsi sebagai penyangga
untuk menahan jaringan. Matriks ekstra seluler pada kulit memiliki
peran struktural untuk mengatur transportasi nutrisi, faktor
pertumbuhan, molekul sinyal sel lainnya, zat kimia syaraf dan produk
sisa seluler pada kulit, yaitu membran basalis.
Produksi MMP distimulasi oleh sel inflamasi aktif seperti
netrofil dan makrofag, serta sel epitel, fibroblast dan sel endotel
vaskuler. Aktivasinya dilakukan oleh IL-1, tripsin, plamin dan SDS,
dan stabilisasinya dilakukan oleh kalsium.MMP juga di regulasi secara
ketat oleh TIMP (Tissue Inhibitor of Metallo Proteinase). Pada
epidermis kulit manusia, MMP-1 bekerja untuk me-remodelling
kolagen tipe-3 secara bertahap diganti menjadi menjadi kolagen tipe-1.
13
MMP memainkan peranan penting dalam 6 proses pada fase
penyembuhan luka, yaitu (Hariani, 2017):
 Membunuh bakteri
 Melisiskan matriks ekstraseluler yang rusak
 Membantu proses angiogenesis
 Membantu migrasi sel epidermis
 Kontraksi matriks ekstraseluler bekas luka
 Remodelling matriks ekstraseluler bekas luka

 VEGF
Vascular Endhothelial Growth Factor (VEGF) diproduksi oleh
banyak jenis sel, seperti sel endotel, fibroblast, platelet, netrofil, dan
makrofag yang berhubungan dengan proses penyembuhan luka.
Sitokin diinduksi di dalam keratinosit dan makrofag tepi luka, dan
diregulasi oleh sel endotel pada lokasi trauma. Peningkatan kadar
VEGF selama proses penyembuhan luka yang normal akan
menstimulasi pembentukan neoangiogenesis dan secara langsung
akan meningkatkan sekresi MMP-1, TIMP dan MMP-2 dari sel
endotel dan sekresi MMP-1, MMP-2, MMP-9 dari otot halus
pembuluh darah. Angiogenesis pada penyembuhan luka termasuk
terjadinya vasodilatasi, degradasi membran basalis, migrasi sel
endotel, dan proliferasi sel endotel. Bersamaan dengan proses
tersebut, akanterbentuk pembuluh darah baru diikuti dengan proses
anastomosis. Penyembuhan luka normal sangat dipengaruhi oleh
pertumbuhan kapiler baru atau neoangiogenesis, karena hal ini akan
memberi nutrisi dan mediator untuk proses penyembuhan luka. Hal
ini ditandai dengan adanya pembentukan jaringan granulasi seperti
jaringan fibrovaskular yang terdiri dari fibroblast, kolagen dan
pembuluh darah (Hariani, 2017).
 EGF

14
Faktor pertumbuhan (growth factor) EGF (Epithelial Growth
Factor) mempunyai peranan penting dalam hantaran sinyal antar sel,
dengan mengatur perkembangan dan pertumbuhan yang normal,
dengan meregulasi proses proliferasi, diferensiasi, migrasi dan adhesi
sel (Dinh T, 2015). Sitokin ini juga merupakan polipeptida yang
bersifat mitogenik terhadap sejumlah epitel yang terlibat dalam proses
maturase epitel. EGF (Epithelial Growth Factor) bekerja dengan cara
mengikat reseptor EGF (Epithelial Growth Factor) yaitu EGRF pada
permukaan membrane sel dan merangsang aktivitas pada reseptor
intrinsik protein Tirosin Kinase, yang dimulai dengan kaskade
transduksi sinyal yang menghasilkan berbagai perubahan biokimia sel
dimana terjadi kenaikan kadar kalsium intraseluler, peningkatan
glikolisis, sintesa protein dan peningkatan sintesa DNA dan ekspresi
gen tertentu serta proliferasi sel (Hariani, 2017).
 Kolagen
Kolagen merupakan protein utama dari matriks esktraseluler
yang terdapat pada kulit yang terbentuk dari asam amino dengan
struktur triple helix yang disebut kolagen monomer, seratnya
fleksibel, berdiameter 50- 90 nm, dan tahan terhadap regangan.
Kolagen berperan sebagai struktur dasar pembentuk jaringan, dapat
ditemukan pada semua jaringan ikat longgar, tendon, tulang, ligamen
dan struktur penting untuk mempertahankan integritas organ dalam.
Tiga kelas kolagen utama yang normal terdapat dalam jaringan ikat,
yaitu :  Kolagen fibrillar : Kolagen tipe I, III dan V  Kolagen
membran basalis: Kolagen tipe IV  Kolagen interstisial lain :
Kolagen tipe VI, VII dan VIII Kolagen pada kulit yang umum
ditemuan adalah kolagen tipe I dan tipe III, Kolagen pada kulit dapat
ditemukan pada lapisan retikuler dan papiler, lapisan tipis serat
kolagen juga mengelilingi pembuluh darah pada dermis. Sekitar 80%
kolagen pada kulit normal adalah kolagen tipe I, sisanya adalah
kolagen tipe III. Jika jaringan kulit mengalami trauma dan terjadi luka,
15
maka kolagen normal akan digantikan oleh parut kolagen dimana
tensile strength nya hanya maksimal 80% dari tensile strength kolagen
normal (Hariani, 2017).

B. PERAWATAN LUKA
1. Pengertian
Perawatan luka modern adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
untuk merawat luka agar dapat mencegah terjadinya trauma (injuri) pada
kulit membran mukosa atau jaringan lain, fraktur, luka operasi yang dapat
merusak permukaan kulit. Serangkaian kegiatan itu meliputi pembersihan
luka, memasang balutan, mengganti balutan, pengisian (packing) luka,
memfiksasi balutan, tindakan pemberian rasa nyaman yang meliputi
membersihkan kulit dan daerah drainase, irigasi, pembuangan drainase,
pemasangan perban. Prinsipnya adalah moisture balance.

2. Bahan-bahan dan Teknik pada Perawatan Luka Modern


Kemajuan ilmu pengetahuan dalam perawatan luka telah mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Hal ini tidak terlepas dari dukungan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu
tersebut dapat dilihat dari banyaknya inovasi terbaru dalam perkembangan
produk bahan pembalut luka modern. Bahan pembalut luka modern adalah
produk pembalut hasil teknologi tinggi yang mampu mengontrol
kelembapan disekitar luka. Bahan balutan luka modern ini di disesuaikan
dengan jenis luka dan eksudat yang menyertainya.
Jenis-jenis balutan luka yang mampu mempertahankan kelembaban antara
lain :
1) Calcium Alginat
Alginat banyak terkandung dalam rumput laut cokelat dan
kualitasnya bervariasi. Polisakarida ini digunakan untuk bahan
regenerasi pembuluh darah, kulit, tulang rawan, ikatan sendi dan
sebagainya. Apabila pembalut luka dari alginat kontak dengan luka,
16
maka akan terjadi infeksi dengan eksudat, menghasilkan suatu jel
natrium alginat. Jel ini bersifat hidrofilik, dapat ditembus oleh
oksigen tapi tidak oleh bakteri dan dapat mempercepat pertumbuhan
jaringan baru. Selain itu bahan yang berasal dari alginat memiliki
daya absorpsi tinggi, dapat menutup luka, menjaga keseimbangan
lembab disekitar luka, mudah digunakan, bersifat elastis.
antibakteri, dan nontoksik.
Alginat adalah balutan primer dan membutuhkan balutan
sekunder seperti film semi-permiabel, foam sebagai penutup. Hal ini
disebabkan karena balutan ini menyerap eksudat, memberi
kelembaban, dan melindungi kulit di sekitarnya agar tidak mudah
rusak. Untuk memperoleh hasil yang optimal balutan ini harus
diganti sekali sehari. Balutan ini dindikasi untuk luka superfisial
dengan eksudat sedang sampai banyak dan untuk luka dalam dengan
eksudat sedang sampai banyak sedangkan kontraindikasinya adalah
tidak dinjurkan untuk membalut luka pada luka bakar derajat III, dan
luka dengan jaringan nekrotik dan kering.
2) Hidrogel
Hidrogel tersedia dalam bentuk lembaran (seperti serat kasa,
atau jel) yang tidak berperekat yang mengandung polimer hidrofil
berikatan silang yang dapat menyerap air dalam volume yang
cukup besar tanpa merusak kekompakkan atau struktur bahan. Jel
akan memberi rasa sejuk dan dingin pada luka, yang akan
meningkatkan rasa nyaman pasien. Jel diletakkan langsung diatas
permukaan luka, dan biasanya dibalut dengan balutan sekunder
(foam atau kasa) untuk mempertahankan kelembaban sesuai level
yang dibutuhkan untuk mendukung penyembuhan luka. Indikasi
balutan ini adalah digunakan pada jenis luka dengan cairan yang
sedikit sedangkan kontraindikasinya adalah luka yang banyak
mengeluarkan cairan.
3) Foam Silikon Lunak/Absorbant dressing
17
Balutan jenis ini menggunakan bahan silikon yang
direkatkan, pada permukaan yang kontak dengan luka. Silikon
membantu mencegah balutan foam melekat pada permukaan luka
atau sekitar kulit pada pinggir luka. Hasilnya menghindarkan luka
dari trauma akibat balutan saat mengganti balutan, dan membantu
proses penyembuhan. Balutan luka silikon lunak ini dirancang
untuk luka dengan drainase dan luas. Balutan ini berfungsi untuk
menyerap cairan luka yang jumlahnya sangat banyak, sebagai
dressing primer atau sekunder. Terbuat dari polyurethane; non-
adherent wound contact layer, highly absorptive. Indikasi
penggunaannya adalah eksudat sedang sampai berat.
Kontraindikasi pengunaannya adalah luka dengan eksudat
minimal, dan jaringan nekrotik hitam.
4) Hidrokoloid
Balutan hidrokoloid bersifat ”water-loving” dirancang
elastis dan merekat yang mengandung jell seperti pektin atau
gelatin dan bahan-bahan absorben atau penyerap lainnya. Balutan
hidrokoloid bersifat semipermiabel, semipoliuretan padat
mengandung partikel hidroaktif yang akan mengembang atau
membentuk jel karena menyerap cairan luka. Bila dikenakan pada
luka, drainase dari luka berinteraksi dengan komponen-komponen
dari balutan untuk membentuk seperti jel yang menciptakan
lingkungan yang lembab yang dapat merangsang pertumbuhan
jaringan sel untuk penyembuhan luka. Balutan hidrokoloid ada
dalam bermacam bentuk, ukuran, dan ketebalan. Balutan
hidrokoloid digunakan pada luka dengan jumlah drainase sedikit
atau sedang. Balutan jenis ini biasanya diganti satu kali selama 5-7
hari, tergantung pada metode aplikasinya, lokasi luka, derajat
paparan kerutan-kerutan dan potongan-potongan, dan
inkontinensia. Balutan ini diindikasikan pada luka pada kaki, luka
bernanah, luka berwarna kemerahan dengan epitelisasi dan eksudat
18
minimal sedangkan kontraindikasi balutan ini adalah tidak
digunakan pada luka yang terinfeksi atau luka grade III-IV.
5) Hidrofiber
Hidrofiber merupakan balutan yang sangat lunak dan bukan
tenunan atau balutan pita yang terbuat dari serat sodium
carboxymethylcellusole, beberapa bahan penyerap sama dengan
yang digunakan pada balutan hidrokoloid. Komponen-komponen
balutan akan berinteraksi dengan drainase dari luka
untukmembentuk jel yang lunak yang sangat mudah dieliminasi
dari permukaan luka. Hidrofiber digunakan pada luka dengan
drainase yang sedang atau banyak, dan luka yang dalam dan
membutuhkan balutan sekunder. Hidrofiber dapat juga digunakan
pada luka yang kering sepanjang kelembaban balutan tetap
dipertahankan (dengan menambahkan larutan normal salin).
Balutan hidrofiber dapat dipakai selama 7 hari, tergantung pada
jumlah drainase pada luka.
6) Film Dressing
Jenis balutan ini lebih sering digunakan sebagai secondary
dressing dan untuk luka-luka superfisial dan non-eksudatif atau
untuk luka post-operasi. Terbuat dari polyurethane film yang
disertai perekat adhesif; tidak menyerap eksudat. Indikasi
penggunaannya adalah luka dengan epitelisasi, low exudate, luka
insisi. Kontraindikasi dari penggunaannya adalah luka terinfeksi,
eksudat banyak.

7) Antimicrobial Dressing
Ketika menggunakan antimikroba, tujuannya harus selalu
untuk menyediakan kondisi optimal untuk mendukung
penyembuhan yang cepat. Bukti klinis yang mendukung
penggunaan rutin dressing antimikroba lemah. Dalam memilih
agen antimikroba untuk mengurangi atau memberantas

19
mikroorganisme, pilihan harus dipengaruhi oleh spesifisitas dan
kemanjuran agen, sitotoksisitasnya terhadap sel manusia,
potensinya untuk memilih strain yang resisten dan
alergenisitasnya. Kisaran agen antimikroba topikal yang saat ini
digunakan termasuk produk yang mengandung iodin (cadexomer
iodine dan povidone iodine), produk yang mengandung perak
(perak sulfadiazin dan pembalut yang diresapi ionik perak) dan
produk yang mengandung zat antiseptik seperti poliheksamin.
Madu juga antimikroba, bertindak sebagai agen debriding dan
dapat membantu mengendalikan bau. Produk antimikroba hanya
boleh digunakan jika dianggap bahwa bioburden adalah
penghalang penyembuhan. Produk antimikroba hanya boleh
digunakan jika dianggap bahwa bioburden adalah penghalang
penyembuhan. Penggunaan harus dibatasi untuk periode singkat
(rekomendasi tidak menyarankan lagi dari 2 minggu) dan jika tidak
ada perbaikan luka harus dinilai kembali dan pengobatan alternatif
dipertimbangkan.

8) Larval Therapy
Biosurgeri dengan larva Lucilia sericata (lalat botol hijau)
adalah metode debridemen luka yang terbukti, yang juga
mengurangi beban mikroba dan merangsang penyembuhan.
Mereka juga dapat mendorong revaskularisasi luka. Untuk menjadi
hard eschar yang paling efektif, pertama-tama harus dilunakkan
atau dipotong dengan debridemen tajam. Larva tidak toleran
terhadap eksudat yang berlebihan. Terapi larva biasanya berlanjut
selama 45 hari dan larva dapat diterapkan sebagai 'freerange' atau
terkandung dalam BioBag (LarvE). Terapi larva bisa menyebabkan
ketidaknyamanan dan dikontraindikasikan pada pasien dengan
gangguan pendarahan dan harus digunakan dengan hati-hati ketika
diterapkan di daerah yang berkomunikasi dengan rongga tubuh.

20
9) Deodorizing dressing
Bau luka bisa menjadi masalah yang signifikan bagi pasien,
terutama mereka yang tidak sembuh atau luka ganas. Produk
berbasis arang bisa efektif dalam mengurangi bau luka. Clinisorb
menggunakan arang aktif untuk menyerap bau dan dirancang untuk
digunakan sebagai pembalut sekunder atau dalam sistem perban.
Ada sederet dressing komposit lain yang mengandung arang aktif,
beberapa mengandung perak, yang dapat digunakan sebagai
lapisan kontak luka penyerap yang mengelola baik bau maupun
eksudat. Karena bau biasanya disebabkan oleh aktivitas bakteri,
terutama anaerob. Metronidazole Gel juga bisa efektif sebagai agen
peredam bau topikal.

10) Topical negavite pressure therapy


Pengenalan TNPT telah meredefinisi ulang perawatan
luka modern dan meningkatkan manajemen luka kompleks. TNPT
telah ditemukan untuk meningkatkan penyembuhan luka; untuk
menstabilkan luka dan membantu kontraktur luka, untuk
merangsang angiogenesis dan untuk menghilangkan eksudat luka
dan mengurangi edema peri-luka. Dalam bentuknya yang paling
sederhana, tekanan negatif lokal diterapkan pada busa tertutup atau
pembalut luka berbasis kasa yang dipasang pada luka rongga yang
tersegel di bawah pembalut film. Sejumlah iklan sistem tersedia.
Tergantung pada sistem yang dipilih dan jenis pengisi luka,
tekanan negatif antara 80 mmHg dan 150 mmHg dikelola oleh
pompa portabel, eksudat dikumpulkan dari luka di reservoir
tertutup. Perkembangan terbaru termasuk dimasukkannya
mekanisme irigasi luka tertutup dalam sistem, yang
memungkinkan luka untuk sebentar-sebentar disiram dengan
larutan antimikroba. Sistem Terapi V.A.C.Ulta saat ini merupakan
satu-satunya sistem terintegrasi yang menyediakan opsi instilasi

21
kepada TNPT (V.A.C. VeraFlo Therapy). Ini memberikan standar
TNPT ditambah dengan otomatis, pengiriman terkontrol dan
penghapusan solusi luka topikal, seperti antimikroba, ke dasar
luka.

Berbagai pembalut khusus telah dikembangkan untuk


membantu pengelolaan luka kompleks, termasuk pembalut untuk
perut terbuka. Laporan NICE menunjukkan bahwa tidak ada
peningkatan risiko pembentukan fistula saat menggunakan TNPT
dressing perut khusus. Namun, TNPT tidak cocok untuk semua
luka. Luka harus didebridasi secara adekuat dan tidak terinfeksi
serta dirawat secara terbuka harus diambil ketika menggunakan
TNPT dekat dengan organ dan pembuluh darah yang terpapar.
Pendarahan bisa menjadi masalah pada pasien dengan kelainan
pembekuan dan beberapa pasien mengalami rasa sakit, terutama
saat ganti pakaian

11) Detecting and modifying inflammation


Salah satu alasan untuk penyembuhan luka yang tertunda
adalah respon inflamasi destruktif yang persisten dalam luka
dengan tingkat peningkatan protease menghancurkan upaya untuk
membentuk matriks ekstraseluler baru. Kit diagnostik telah
diperkenalkan untuk memantau aktivitas metaloprotease (MMP) di
luka dan sejumlah protease dressing modulasi tersedia, sebagian
besar berasal dari beku kering, selulosa teroksidasi dan kolagen
sapi, dirancang untuk mengurangi aktivitas MMP dan
meningkatkan ketersediaan faktor pertumbuhan. Produk-produk
ini mungkin mengandung antimikroba seperti perak dan ketika
digunakan pada luka yang sesuai telah ditemukan untuk membantu
penyembuhan. Agen topikal seperti steroid juga dapat diterapkan
pada luka, terutama yang dengan penyebab inflamasi yang
diidentifikasi seperti pioderma gangrenosum, dan kulit peri-luka.
22
Ketika digunakan aplikasi steroid harus dibatasi waktu tetapi
mereka mungkin bermanfaat dalam mengurangi eksudat dan dapat
mengurangi nyeri luka. Analgesik topikal yang sama seperti krim
EMLA dapat bermanfaat sebagai pembalut luka ketika masalah
nyeri luka menjadi masalah.

12) Dressings replacing or restoring the extracellular matrix


Berbagai produk rias telah dikembangkan yang berupaya
mengembalikan matriks ekstraseluler yang berfungsi. Ini berkisar
dari penerapan solusi terdegradasi dari amelogenin, protein alami
yang awalnya diisolasi dari ligamen periodontal, yang berkumpul
menjadi membran pengganti, hingga konstruksi seluler atau
aselular kompleks yang ditanamkan ke dalam dan secara bertahap
diturunkan dalam luka.

C. PERAWATAN LUKA JARINGAN GRANULASI DARI SUDUT


PANDANG BIOMOLEKULER
Penyembuhan luka sudah banyak diteliti pada hewan denga tujuan
untuk mendapatkan fase penyembuhan dan efek terapeutik pada fase
penyembuhan yang semirip mungkin dengan pada kulit manusia. Tikus
adalah hewan coba yang sering digunakan untuk studi penyembuhan luka
karena ketersediaannya, biaya rendah, dan kemudahan penanganannya
dibanding hewan coba lainnya. Fase penyembuhan luka pada tikus sendiri
dapat berjalan lebih cepat karena terdapat beberapa karateristik yang berbeda
pada kulit tikus. Selain itu, biasanya pada model luka eksisional didapatkan
bahwa penyembuhan luka pada tikus terutama disebakan oleh kontraksi
bukan pembentukkan jaringan granulasi seperti pada kebanyakan luka di
manusia.
Hal ini disebabkan 26 adanya lapisan otot subkutan yang ekstensif,
yang disebut pannuculus carnosus, yang memudahkan kontraksi kulit pada
penutupan luka. Pada manusia tidak terdapat strukur ini dan pada manusia
23
dermisnya lebih melekat pada jaringan sub-dermal yang membuat proses
kontraksi kurang dapat tercapai sehingga memungkinkan untuk terbentuknya
jaringan granulasi. Akibatnya diperlukan manipulasi pada host atau luka
dalam model penyembuhan luka untuk meminimalkan kontraksi atau
menstimulasi kondisi lain yang memperlambat penyembuhan luka. Salah satu
cara untuk mencegah kontraksi luka adalah dengan membalut luka (splint
wound) seperti yang dilakukan oleh (Galiano, et al., 2004) dengan perekatan
donat silikon ke kulit yang mengelilingi luka eksisional penuh pada tikus. Hal
ini memungkinkan untuk terjadinya pembentukkan jaringan granulasi dan
menghasilkan kondisi yang lebih mirip seperti luka pada manusia (Lindblad,
2008).
Balut luka dapat dipandang sebagai bentuk ekstrem dari pembentukan
matriks. Jika luka tanpa balutan, maka jaringan granulasi melekat pada tepi
kulit yang dapat memiliki tingkat mobilitas yang bervariasi. Penelitian pada
tikus , mobilitas kulit pada luka yang tidak dibalut cenderung tinggi.
Pelepasan tepi luka pada luka yang tidak dibalut menginduksi peningkatan
apoptosis jaringan granulasi. Penurunan mobilitas kulit meningkatan
pembentukan jaringan granulasi dengan membalut luka pada saat awal terjadi
luka. Pelepasan balut luka dikombinasikan dengan sayatan tepi luka dapat
menyebabkan penurunan pembentukan matriks jaringan granulasi; sehingga
sel-sel akan tetap tertanam pada matriks.
Mekanisme terbentuknya jaringan granulasi tergantung pengikatan
matriks masih spekulatif. Pada lapisan epitel atau endotel, kelangsungan
hidup sel tergantung pada pengikatan; sel yang terpisah dari substratnya
mengalami bentuk apoptosis khusus. Fibroblast (kumpulan matriks kolagen),
menunjukkan apoptosis diinduksi oleh gangguan pengikatan matriks
dikaitkan dengan penghambatan adhesi fokal kinase dan protein kinase. Sel-
sel luka tidak terlepas dari substratnya; melainkan, pengikatan matriks ke
substratum terganggu.

24
25
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed S, Ikram S. Chitosan Based Scaffolds and Their Applications in Wound


Healing. 2016. Achievements in the Life of Sciences 10 : 27-37.
Ahmed, A., & Boateng, J. (2018). Calcium alginate-based antimicrobial film
dressings for potential healing of infected foot ulcers. Therapeutic Delivery,
9(3), 185–204. doi:10.4155/tde-2017-0104
Akhtar MF, Hanif M, Ranjha NM. 2015. Methods of synthesis of hydrogels – a
review. Saudi Pharmaceutical Journal 24 : 554-9.
Browning P. 2017. Modern management in acute wound care. British Journal of
Healthcare Management Vol 23 No 10.
Calo E, Khutoryanskiy VV. 2015. Biomedical applications of hydrogels: A review
of patents and commercial products. Europian Polymer Journal 65 : 252-67.
Castleberry SA, Almaquist B, Li W. 2015. Self-Assembled Wound Dressing
Silence MMP-9 and Improve Diabetic Wound Healing In Vivo. Adv Mater
28 : 1809-17.
Collins L et al. 2010. Diagnosis and treatment of venous ulcers. American Family
Physician. 1:8
DEPKESRI. (2011). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI.
Deutsch, C., Edwards, D., & Myers, S. (2017). Wound dressings. British Journal of
Hospital Medicine, 78(7), C103–C109. doi:10.12968/hmed.2017.78.7.c103
Dhivya S, Padma VV, Santhini E. 2015. Wound dressings – a review. Biomedicine
5(4) : 24-8.
Dinh T, Braunagel S, Rosenblum BI., (2015), Growth factors in wound healing: the
present and the future? Clin Pediatr Med Surg.Vol.32(1), p.109-19.
Driscoll, P. (2014). wound prevalence and wound management : 2012-2020.
Opgeroepen op 05 27, 2017
Dudley HAF, Eckersley JRT, Paterson-Brown S. 2000. Pedoman Tindakan Medik
dan Bedah. Jakarta: EGC
Dutra, R. A. A., Salomé, G. M., Alves, J. R., Pereira, V. O. S., Miranda, F. D.,
Vallim, V. B., … Ferreira, L. M. (2015). Using transparent polyurethane film
and hydrocolloid dressings to prevent pressure ulcers. Journal of Wound
Care, 24(6), 268–275.doi:10.12968/jowc.2015.24.6.268
Fan L, Yang H, Yang J. 2016. Preparations and characterization of
chitosan/gelatin/PVA hydrogel for wound dressings. Carbohydrate polymers
146: 427-34.

26
Faten Khorshid, S. S. (2010). Plectranthus tenuiflorus (Shara) Promotes Wound
Healing: In vitro and in vivo Studies. Int. J. of Botany, 69-80
Frisca, Sardjono, C.T., dan Sandra F., 2009, Angiogenesis: Patofisiologi dan
Aplikasi Klinis, JKM, Vol 8 (2): 174-87.
Gutner, GC,. (2007). Wound Healing, Normal and Abnormal. In Grabb and Smith’s
Plastic Surgery 6th edition (pp. 15-22).
Galiano RD, Michaels J 5th, Dobryansky M, Levine JP, Gurtner GC. 2004.
Quantitative and reproducible murine model of excisional wound healing.
Wound Repair and Regen. 12(4):485–492.
Gillespie DL. Venous ulcer diagnosis, treatment, and prevention of recurrences.
Journal of vascular surgery 52:14
Guidelines for the Clinical Management of Snakes bites in the South-East Asia
Region, World Health Organization, 2005.
Hamedi H, Moradi S, Hudson SM. 2018. Chitosan based hydrogels and their
applications for drug delivery in wound dressings: A review. Carbohydrate
polymers 199: 445-60.
Hariani, L. (2017). Pola Proses Penyembuhan Luka sekitar melalui analisis ekspresi
EGF, VEGF, TGF-beta, kolagen, MMP-1 dan pembuluha kapiler yang
diinduksi adiposed derived mesenchymal stem cells pada luka primer.
Surabaya: Ilmu Kedokteran Jenjang Doktor Universitas Airlangga.
Kalangi, S.J.R., 2011, Peran Integrin pada Angiogenesis Penyembuhan Luka,
Cermin Dunia Kedokteran, 38(3): 177-181.
Kamoun EA, Kenawy ES, Chen X. 2017. A review on polymeric hydrogel
membranes for wound dressing applications: PVA-based hydrogel dressings.
Journal of Advanced Research (2017) 8:217-33.
Kaplan NE, Hentz VR. 2012. Emergency Management of Skin and Soft Tissue
Wounds, An Illustrated Guide. Boston: Little Brown.
Kenawy, E.-R., Kamoun, E. A., Mohy Eldin, M. S., & El-Meligy, M. A. (2014).
Physically crosslinked poly(vinyl alcohol)-hydroxyethyl starch blend
hydrogel membranes: Synthesis and characterization for biomedical
applications. Arabian Journal of Chemistry, 7(3), 372ñ380.
doi:10.1016/j.arabjc.2013.05.026
Landén, N. X., Li, D., & Ståhle, M. (2016). Transition from inflammation to
proliferation: a critical step during wound healing. Cellular and Molecular
Life Sci., 73(20), p.3861–3885. https://doi.org/10.1007/s00018-016-2268-0
Liu X, Jia G. 2018. Modern Wound Dressing Using Polymers/Biopolymers.
Journal of Material Sciences & Engineering (7) 3.
Pedoman Pertolongan Keracunan untuk Puskesmas, Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia, 2002.

27
Philadelphia: Elseviers. Haq, FF. (2016). Pengaruh Luka Insisi Terhadap
Perbandingan Kadar Tnfα Pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Galur
Wistar,Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Sultan Agung Semarang.
Available at : http://repository.unissula.ac.id/5208/1/co ver_1.pdf.
Prakash S et al. 2013. Venous Ulcer. Surgical Science,14:144-150
Prasetyono, T., (2009). General concept of wound healing, revisited, Med. J.
Indones vol.18.p.208-16.
Rohmayanti, Handayani E. 2017. Modern wound care application in diabetic
wound management. Journal of Research in Medical Sciences 5(2):702-6.
Singh, S., Young, A., & McNaught, C.-E. (2017). The physiology of wound
healing. Surgery (Oxford), 35(9), 473ñ477. doi:10.1016/j.mpsur.2017.06.004
Sood A, Granick MS, Tomaselli N. 2012. Wound dressings and Comparative
Effectiveness Data. Advanceds in Wound Care 3 (8): 511-29.
Sri Fajriani A, Marsaoly. (2016). Infeksi Luka Post Operasi Pada Pasien Post
Operasi Di Bangsal Bedah Rs Pku Muhammadiyah Bantul, available at
:http://repository.umy.ac.id/handle/12345678 9/2838
T Velnar, T Bailey, V Smrkolj, (2009), The Wound Healing Process : an Overview
of Cellular and Molecular Mechanism, The J of International Medical
Research, p.1528-42. Werner S, G. R. (2003). Regulation of wound healing
by growth factor and cytokines. Physiol Rev 83, 835-870
Vasudevan B. 2014. Venous leg ulcers : pathophysiology and classification. Indian
Dermatology Online Journal. 5:3
Vowden K, Vowden P. 2017. Wound dressings: principles and practice. Surgery
(2017)
Yeung, R. A., & Kennedy, R. A. (2019). A comparison of selected physico-
chemical properties of calcium alginate fibers produced using two different
types of sodium alginate. Journal of the Mechanical Behavior of Biomedical
Materials, 90, 155–164. doi:10.1016/j.jmbbm.2018.10.011

28

Anda mungkin juga menyukai