Anda di halaman 1dari 78

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBERIAN IZIN

MELAKSANAKAN POLIGAMI OLEH HAKIM


PENGADILAN AGAMA PURWOKERTO
(Studi Putusan Nomor : 1722/Pdt.G/2020/PA.PWT)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Disusun Oleh
Anniko Nugrahaning Widhi
1810010016

ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2023
HALAMAN PERSETUJUAN

Skipsi yang diajukan oleh:

Nama : Anniko Nugrahaning Widhi

NIM : 1810010016

Program Studi : Ilmu Hukum

Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Judul : Tinjauan Yuridis Mengenai Pemberian Izin Melaksanakan Poligami


Oleh Hakim Pengadilan Agama Purwokerto (Studi Putusan Nomor :
1722/Pdt.G/2020/PA.PWT)

Telah diterima dan disetujui.

Purwokerto, 26 Januari 2023

PEMBIMBING

Marsitiningsih, S.H.,M.H

NIK : 19611221986032001

HALAMAN PENGESAHAN

I
Skripsi yang diajukan oleh:
Nama : Anniko Nugrahaning Widhi
NIM : 1810010016
Program Studi : Ilmu Hukum
Fakultas : Hukum
Judul : Tinjauan Yuridis Mengenai Pemberian Izin Melaksanakan Poligami
Oleh Hakim Pengadilan Agama Purwokerto (Studi Putusan Nomor :
1722/Pdt.G/2020/PA.PWT)

Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai persyaratan
yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Ilmu
Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

DEWAN PENGUJI

Dosen pembimbing : Marsitiningasih, S.H,.M.H ( )

Penguji 1 : Dr. Soediro, S.H., LL.M ( )

Penguji 2 : Susilo Wardani, S.H.,S.E.,M. Hum ( )

Diterapkan di : Purwokerto

Tanggal : 26 Januari 2023

Mengetahui:
Dekan Fakultas Hukum

Dr, Soediro, S.H., LL,M.


NIK. 2160421

II
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Muhammadiyah Purwokerto dan demi pengembangan


ilmu pengetahuan, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Anniko Nugrahaning Widhi
Nim : 1810010016
Program Studi : Hukum
Fakultas : Hukum
Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Jenis Karya : Skripsi
Menyetujui untuk memberikan Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free
Right) kepada Universitas Muhammadiyah Purwokerto atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Tinjauan Yuridis Mengenai Pemberian Izin Melaksanakan Poligami Oleh Hakim Pengadilan
Agama Purwokerto (Studi Putusan Nomor: 1722/Pdt.G/2020/PA.PWT).
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalty Noneksklusif ini
Universitas Muhammadiyah Purwokerto berhak menyimpan,
mengalihmedia/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database)
merawat dan mempublikasikan skripsi saya dengan tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di :Purwokerto
Pada tanggal 26 Januari 2023
Yang menyatakan,

Anniko Nugrahaning Widhi

III
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Anniko Nugrahaning Widhi
NIM : 1810010016
Program Studi : Ilmu Hukum
Fakultas : Hukum
Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi ini adalah hasil karya dan semua
sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar serta bukan hasil
penjiplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat dan apabila kelak dikemudian hari terbukti ada unsur
penjiplakan, saya bersedia mempertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Purwokerto, 26 Januari 2023


Yang membuat pernyataan

Anniko Nugrahaning Widhi


NIM : 1810010016

IV
MOTTO

(Key Education Avoid Decepton)

Pendidian Kunci Terhindar Dari Tipu Muslihat

V
HALAMAN PERSEMBAHAN

Puji syukur alhamdulillah kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan limpahan
rahmat dan nikmat hingga terselesaikan penelitian ini. Dengan mengucap
bismillahirrahmanirrahim, saya mempersembahkan skripsi ini kepada:
1. Kedua orang tua saya, yaitu Alm. Thomas Purwoko ,S.H dan Ibu Candranita Purbani,
S.H, yang selama ini berjuang, berusaha untuk menyekolahkan saya dan yang selalu
memberikan dukungan dan do’a yang tiada henti untuk saya.
2. Keluarga besar saya khususnya kakak saya Rahmi Ichwandani Puri, S.H yang selalu
memberikan dukungan selama proses skripsi ini berjalan.
3. Teman-teman saya Rosyada Nur Anbiya.S,H, Kresna Anggoro, S.H, dan teman teman
lainnya yang merupakan teman seperjuangan yang selalu membantu, memberikan
semangat serta dukungan terhadap saya.
4. Teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Purwokerto Angkatan 2018, khususnya kelas A yang telah bersama berjuang dalam
setiap perkuliahan.
5. Almamater tercinta Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

VI
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmatnya, penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Tinjauan Yuridis Pemberian Izin
Melaksanakan Poligami Oleh Hakim Pengadilan Agama Purwokerto (Studi Putusan Nomor:
1722/Pdt.G/2020/PA.PWT).
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa
perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit untuk menyelesaikan skripsi
ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Jebul Suroso, K.Kp., Ns., Selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto;
2. Dr. Soediro, S.H. LL.M., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Purwokerto;
3. Ika Ariani Kartini, S.H., LL.M selaku Ketua Program Studi Hukum yang telah
memberi berbagai informasi dan bimbingan tentang tata laksana penyusunan skripsi;
4. Astika Nurul Hidayah, S.H., M.H., selaku Ketua Komisi Tugas Akhir/ Skripsi yang
telah memberi berbagai informasi dan bimbingan tentang tata laksana penyusunan
skripsi;
5. Marsitiningsih, S.H., M.H., selaku dosen Pembimbing Skripsi yang telah
membimbing saya dengan sabar dan sudah memberikan masukan-masukan dalam
penyusunan skripsi;
6. Susilo Wardani, S.H., S.E., M.Hum selaku dosen penguji 1 yang telah memberikan
berbagai saran dan masukan-masukan dan pertanyaan untuk menguji kelayakan
sebagai Sarjana Hukum;
7. Dr. Soediro, S.H., LL.M.,selaku penguji 2 yang telah memberikan arahan, motivasi
dan pertanyaan untuk menguji kelayakan sebagai Sarjana Hukum;
8. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto telah
memberikan ilmunya sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini;

Kata akhir semoga Allah SWT memberikan balasan atas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu. Aminnn.

Purwokerto, 26 Januari 2023

Anniko Nugrahaning Widhi


NIM : 1810010016

VII
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................................... I
HALAMAN PERSETUJUAN.......................................................................................... II
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................................... III
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS........................................................................................ IV
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS............................................................. V
HALAMAN MOTTO........................................................................................................ VI
HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................................ VII
KATA PENGANTAR....................................................................................................... VIII
DAFTAR ISI...................................................................................................................... IX
ABSTRAK.......................................................................................................................... XI
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................................... 2
B. Rumusan Masalah................................................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian..................................................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian................................................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................
A. Hasil Penelitian Terdahulu...................................................................................... 9
B. Landasan Teori........................................................................................................ 17
1. Teori Kepastian Hukum..................................................................................... 17
2. Teori Keadilan................................................................................................... 19
3. Tinjauan Tentang Perkawinan........................................................................... 21
4. Tinjauan Tentang Poligami............................................................................... 27
C. Kerangka Pemikiran................................................................................................ 38
BAB III METODE PENELITIAN...................................................................................
A. Jenis Penelitian........................................................................................................ 39
B. Spesifikasi Pemikiran.............................................................................................. 39
C. Data Penelitian......................................................................................................... 40
D. Metode Pengumpulan Data..................................................................................... 40
E. Metode Analisis Data.............................................................................................. 41

VIII
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.................................................
A. Hasil Penelitian........................................................................................................ 42
1. Peraturan Perundang-Undangan....................................................................... 42
2. Tentang Perkawinan Di Indonesia.................................................................... 46
B. Pembahasan............................................................................................................. 48
1. Pelaksanaan Pemberian Izin Melaksanakan Poligami Oleh Hakim Pengadilan
Agama Purwokero (Studi Putusan Nomor : 1722/Pdt.G/2020/PA.PWT)........ 48
2. Hambatan Dalam Pelaksanaan Pemberian Izin Melaksanakan Poligami Oleh
Hakim Pengadilan Agama Purwokerto (Studi Putusan Nomor :
1722/Pdt.G/2020/PA.PWT...............................................................................59
BAB IV PENUTUP.....................................................................................................
A. Kesimpulan......................................................................................................... 62
B. Saran.................................................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 64

IX
TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBERIAN IZIN
MELAKSANAKAN POLIGAMI OLEH HAKIM
PENGADILAN AGAMA PURWOKERTO
(Studi Putusan Nomor : 1722/Pdt.G/2020/PA.PWT)

Anniko Nugrahaning Widhi1 Marsitiningsih2


Universitas Muhammadiyah Purwokerto

ABSTRAK

Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Asas perkawinan yang berlaku pada
hukum perkawinan Indonesia adalah Asas Monogami yaitu dimana seorang pria hanya
diperbolehkan memiliki seorang isteri dan begitupun sebaliknya. Namun pada
kenyataannya di Indonesia masih banyak dimana seorang suami tidak cukup memiliki
seorang isteri. Seperti dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan menegaskan bahwa seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang,
maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan setempat. Tujuan penelitian
ini penulis ingin mengetahui pelaksanaan pemberian izin melaksanakan poligami oleh
Hakim Pengadilan Agama Purwokerto dan hambatan dalam pelaksanaan izin
melaksanakan poligami. Metode penelitian yang digunakan yuridis normatif disertai
wawancara. Dari hasil penelitian ini bahwa Hakim Pengadilan Agama Purwokerto
mengabulkan semua permohonan yang dilakukan oleh Pemohon untuk berpoligami
karena Pemohon telah memenuhi syarat dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan karenanya permohonannya patut diterima dan dikabulkan dan
hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan pemberian izin poligami ini, bahwa termohon
tidak penah hadir dalam persidangan sebanyak 2 kali walaupun sudah dipanggil secara
resmi dan patut.

Kata Kunci : Perkawinan, Pemberian Izin, Poligami

1
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto
2
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto

X
JURIDICAL REVIEW REGARDING GRANTING PERMISSION TO
PERFORM POLYGAM BY JUDGE OF PURWOKERTO RELIGIOUS
COURT (Decision Study Number: 1722/Pdt.G/2020/PA.PWT)

Anniko Nugrahaning Widhi3 Marsitiningsih4


Muhammadiyah University Purwokerto

ABSTRACT

Marriage is an inner and outer bond between a man and a woman as husband and wife
with the aim of forming a happy and eternal family (household) based on Belief in One
Almighty God. The principle of marriage that applies to Indonesian marriage law is the
principle of monogamy, namely that a man is only allowed to have one wife and vice
versa. But in reality in Indonesia there are still many where a husband is not enough to
have a wife. As in Article 4 of Law Number 1 of 1974 concerning marriage confirms
that a husband who will have more than one wife, he is obliged to submit an application
to the local court. As is the case in this case, the author wants to find out and analyze
how the implementation of the granting of permission to carry out polygamy by the
Judge of the Purwokerto Religious Court and what are the obstacles in implementing
the permit to carry out polygamy. The research method used is normative juridical
accompanied by interviews. From the results of this study, the Purwokerto Religious
Court Judge has decided on granted all requests made by the Petitioner for polygamy
because the Petitioner had complied with the terms and conditions of the applicable
laws and regulations and therefore his application should be accepted and granted and
the obstacles that occurred in the implementation of the granting of this polygamy
permit, that the respondent has never appeared in court for 2 summons even though he
has ben summoned officialy and properly.

Keywords :Marriage, Give Permission, Polygamy

3
Student Of Faculty Of Law University Of Muhammadiyah Purwokerto
4
Lecturer Of Faculty Of Law University Of Muhammadiyah Purwokerto

XI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang

paling tinggi derajatnya, yang secara kodrati bersifat monodualistik,

yaitu mahluk rohani sekaligus jasmani dan mahluk individu sekaligus

mahluk sosial Suroto dalam perlindungan hukum terhadap Anak dalam

keluarga poligami manusia sebagai mahluk individu, memiliki emosi

yang memerlukan perhatian, kasih sayang, harga diri, pengakuan dan

tanggapan emosional dari manusia lainnya dalam kebersamaan hidup.5

Mustofa dalam journal perlindungan hukum terhadap Anak dalam

keluarga poligami mengatakan manusia sebagai mahluk sosial

memiliki tuntutan kebutuhan yang makin maju dan sejahtera, tuntutan

tersebut hanya dapat terpenuhi melalui kerjasama dengan orang lain,

baik langsung maupun tidak langsung.6

Perlindungan hukum terhadap Anak dalam keluarga poligami

mengatakan sudah menjadi kodrat Tuhan, bahwa manusia yang

berlainan jenis kelamin ini akan memiliki teman hidup yang

selanjutnya Ia akan melangsungkan perkawinan, dengan maksud untuk

membentuk rumah tangga dan memperoleh keturunan.7

Perkawinan bertujuan untuk menciptakan sebuah keluarga yang

bahagia, kekal,sejahtera lahir dan batin serta damai di antara keluarga

sendiri. Perkawinan akan menyebabkan adanya akibat-akibat hukum

5
Santoso, S. (2016). Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam dan Hukum
Adat. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, 7(2), Hal 415
6
Maharani, S. D. (2016). Manusia Sebagai Homo Economicus: Refleksi Atas Kasuskasus Kejahatan Di
Indonesia. Jurnal Filsafat, 26(1), Hal 30.
7
Hasyim, D. (2007). Tinjauan teoritis asas monogami tidak mutlak dalam perkawinan. MIMBAR: Jurnal Sosial
dan Pembangunan
dalam perkawinan, antara suami isteri tersebut, sehingga akan

mempengaruhi pula terhadap hubungan keluarga yang bersangkutan

Susanti.mengatakan dalam perlindungan hukum terhadap Anak dalam

keluarga poligami.8

Hubungan kekeluargaan ini sangat penting, karena ada sangkut

pautnya dengan hubungan anak dengan orang tua, pewaris, perwalian

dan pengampuan. Dengan perkawinan akan timbul ikatan yang berisi

hak dan kewajiban, umpamanya kewajiban untuk bertempat tinggal

yang sama, setia kepada satu dan lainnya.9 Menurut Rothenberg dan

Blumenkrantz “Married, as it iscommonly discussed, refers to a

contractual relationship between two persons, on male and female,

arising out of the Mutual promises that are recoqnized by law. As a

contract, it is generally requared that both parties. must consent to its

terms and have legal capasity”. Maksudnya bahwa perkawinan pada

umumnya merujuk kepada hubungan perjanjian yang nyata antara dua

orang yaitu satu pria dan satu wanita yang saling berjanji dan disahkan

oleh hukum.10 Nawi & Salle mengatakan, Sebagai suatu perjanjian,

secara umum diperlukan kesepakatan kedua belah pihak untuk

memahami hal-hal yang perlu dan memiliki kemampuan hukum.

Selanjutnya Rothenberg dan Blumenkrantz menambahkan “A

common law merried is entered into by an agrement between a man

and woman who have legally recognizable capacity to be married that

8
Susanti, D. O. (2016). Urgensi Pencatatan Perkawinan (Perspektif Utilities). Rechtidee, 11(2), Hal 166.
9
Riadi, H. (2019). Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan Dinamikanya. Mukammil: Jurnal Kajian
Keislaman, 1(2), Hal 123.
10
Nawi, S., & Salle, S. (2020). Analisis Pengaruh Berbagai Variabel Terhadap Permohonan Dispensasi
Pernikahan. Journal of Lex Philosophy, 1(1), Hal 84.

2
they will be recoqnized as husband and wife”. Maksudnya bahwa

perkawinan menurut adat kebiasaan merupakan pelaksanaan ke dalam

suatu perjanjian antara pria dan wanita yang secara sah memenuhi

kemampuan untuk kawin dan mereka dikenal sebagai suami isteri.11

Rini mengatakan, Suatu perkawinan tidak hanya didasarkan pada

ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, tetapi merupakan perwujudan

ikatan lahir dan batin.

Ikatan lahir tercermin adanya akad nikah, sedangkan ikatan batin

adanya perasaan saling mencintai dari kedua belah pihak menurut

Abbas, Walaupun demikian dalam keadaan-keadaan tertentu lembaga

perkawinan yang berasaskan monogami dalam Pasal 3 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa;12

1) Pada Azaznya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh

mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai

suami.

2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk

beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak

yang bersangkutan.

Poligami terjadi karena berbagai macam sebab, antara lain adanya

kekurangan pada pihak isteri sementara pihak suami enggan

menceraikan isterinya karena berbagai alasan Di samping itu juga

disebabkan isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri,

11
Rini, E. S. (2006). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami Ditinjau dari Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 di Kabupaten Wonosobo (Doctoral dissertation, Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro).
12
Zahari, A. (2014). Telaah Terhadap Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam. Masalah-Masalah Hukum,
43(1), Hal 9.

3
seperti cacat fisik atau mental dan tidak dapat memberikan keturunan.

Secara etimologis, poligami dalam bahasa latin disebut Polygamia

yang berasal dari bahasa Grik (Yunani) dan merupakan bentukan dari

dua kata yaitu polus dan gomes. Polus berarti banyak dan Gomes

berarti kawin.13 Istilah tersebut digunakan untuk menyatakan sistem

perkawinan di mana seseorang memiliki pasangan hidup lebih dari

seorang dalam satu waktu. Secara terminologi poligami merupakan

praktek perkawinan lebih dari satu isteri yang dilakukan pada satu

waktu (bersamaan). Dasar hukum poligami dapat kita jumpai dalam

Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Perkawinan yang mengatur secara

jelas bahwa: Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami

untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak

yang bersangkutan. Khusus bagi yang beragama Islam, dasar hukum

poligami diatur pula dalam Pasal 56 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam

(KHI) yaitu:

”Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus

mendapat izin dari Pengadilan Agama.”

Merujuk pada dasar hukum poligami tersebut di atas, dapat

disimpulkan bahwa pada dasarnya hukum poligami di Indonesia dapat

dilakukan, sepanjang poligami tersebut dilakukan sesuai dengan hukum

poligami yang berlaku di Indonesia dan memenuhi sejumlah syarat-

syarat poligami.

Agar dapat melakukan poligami secara sah menurut hukum di

Indonesia, maka poligami tersebut harus memenuhi syarat Poligami

13
Wiliam Moris, (1979), The Heritoge Iilustrased Dictionary of the English Language, vol II, Hougth Mifflin
Company, Boston, Hal 1016.

4
sebagai berikut :

1) Suami wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah

tempat tinggalnya, dengan syarat Ada persetujuan dari istri/istri-

istri, dengan catatan persetujuan ini tidak diperlukan jika istri/istri-

istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat

menjadi pihak dalam perjanjian’ tidak ada kabar dari istri selama

minimal 2 tahun

2) atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian

dari hakim pengadilan. Adanya kepastian suami mampu menjamin

keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

3) Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan

anak-anak. Pengadilan hanya memberikan izin poligami jika: istri

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; istri mendapat

cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Istri tidak

dapat melahirkan keturunan. Izin tersebut diberikan pengadilan jika

berpendapat adanya cukup alasan bagi pemohon (suami) untuk

beristri lebih dari seorang. Selanjutnya, mengenai syarat poligami

di KUA atau syarat poligami bagi yang beragama Islam, secara

garis besar, hukum poligami menurut hukum Islam memang tidak

jauh berbeda dengan Undang-undang Perkawinan.

Namun, dalam Kompilasi Hukum islam terdapat syarat

poligami lainnya yang.harus diperhatikan, yaitu Suami hanya boleh

beristri terbatas sampai 4 istri pada waktu bersamaan. Suami harus

mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak- anaknya. Jika

tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.

5
Suami harus memperoleh persetujuan istri dan adanya kepastian

suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak

mereka. Persetujuan ini dapat diberikan secara tertulis atau lisan.

Harus mendapat izin dari Pengadilan Agama ,Jika nekat dilakukan

tanpa izin dari Pengadilan Agama, perkawinan itu tidak mempunyai

kekuatan hukum.14 Jika istri tidak mau memberikan persetujuan,

dan permohonan izin diajukan atas dasar alasan yang sah menurut

hukum, Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian izin

setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di

persidangan Pengadilan Agama. Atas penetapan ini, istri/suami

dapat mengajukan banding atau kasasi.15 Alasan yang sah yang

dimaksud adalah jika istri tidak dapat menjalankan kewajibannya,

mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,

atau tidak dapat melahirkan keturunan.

Menarik untuk diteliti putusan pengadilan Agama purwokerto

nomor 1722/Pdt.G/PA.Pwt berawal pada tanggal 23 juli 2020

penggugat yang berrnama warkim bin suparno berumur 52 tahun

mengajukan izin poligami kepada Pengadilan Agama Purwokerto

yang menurut pertimbangan hakim sang isteri memiliki penyakit

yang tidak dapat disembuhkan penyakit tersebut harus jelas tidak

dapat disembuhklan dalam syarat mengajukan poligami di

Pengadilan Agama salah satunya adalah sang isteri yaitu Minah

binti karmidi umur 45 tahun memiliki suatu penyakit yang tidak

14
Erizka permatasari S, H. (2021, April 28). Hukum Online. Dikutip : 19 Februari 2022, dari Hukum
Online.com:https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukum-poligami-dan-prosedurnya- yang-sah-di-indonesia-
lt5136cbfaaeef9
15
Azni. (2015). IZIN POLIGAMI DI PENGADILAN AGAMA. JURNAL RISALAH VOL 26, Hal 55-57

6
dapat disembuhkan diputusan ini tidak dijelaskan secara rinci

penyakit apa yang diderita sang isteri dan jelasnya disebutkan sang

isteri sakit, tetapi tetap saja hakim Pengadilan Agama Purwokerto

memutuskan untuk memberikan izin pada penggugat untuk menikah

lagi. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas penulis

tertarik untuk mengkaji lebih jauh dan melakukan penelitian dengan

judul ‘’TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBERIAN IZIN

MELAKSANAKAN POLIGAMI OLEH HAKIM

PENGADILAN AGAMA PURWOKERTO (Studi Putusan

Nomor 1722/Pdt.G/2020/PA.PWT).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pelaksanaan pemberian izin melaksanakaan poligami

oleh Hakim Pengadilan Agama kelas IA Purwokerto ?

2. Apa hambatan dalam pelaksanaan pemberian izin melaksanakan

poligami oleh Hakim pengadilan Agama Purwokerto?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui dan menganalisis pelaksanaan pemberian izin

melaksanakaan poligami oleh.Hakim Pengadilan Agama kelas IA

Purwokerto.

2. Menganalisa hambatan dalam pelaksanaan pemberian izin

melaksanakan poligami oleh Hakim pengadilan Agama

Purwokerto.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini baik secara teoreitis maupun

praktis adalah sebagai sebagai berikut:

7
1. Manfaat Teoritis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagui

pembaca dengan menambah referensi dan infoormasi serta

memberikan kontribusi untuk pengembangan Ilmu hukum jika

mengambil tema penelitian yang sama khususnya Mahasiswa

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan dan pemikiran serta

wawasan yang luas bagi pembaca ,penulism,dan masyarakat terutama bagi

pihak yang memiliki permasalahan yang sama terkait dengan hal ini.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hasil Penelitian Terdahulu
N Nama Judul Penelitian Rumusan Kesimpulan
o Penuli Masalah
s
1. Rika alfitri Persepsi 1. Apa Saja Faktor 1. Faktor
masyarakat Terjadinya Poligami penyebab
terhadap praktik Tanpa Izin di Desa utama
poligami tanpa ijin Muara Danau poligami
di desa Muara Kecamatan Pelawan pada masa
danau kecamatan Kabupaten sekarang
Pelawan kabupaten Sarolangun ? yang
Sarolanung 2. Apa Sanksi menjadi
Terhadap Pelaku pertimban
Praktik Poligami gan kaum
Tanpa Izin di Desa laki-laki
Muara Danau dalam
Kecamatan Pelawan poligami
Kabupaten adalah:
Sarolangun ? • Faktor
3. Bagaimana Persepsi biologis
Masyarakat • Faktor
Terhadap Poligami interna
Tanpa Izin di Desa l
Muara Danau Rumah
Kecamatan Pelawan tangga
Kabupaten • Faktor sosial
Sarolangun ?
2. Tindak
Pidana
Poligami
Perbuata
n
poligami
Diperbolehk
an apabila
telah
memenuhi
persyaratan
sebagaiman
a
disebutkan
didalam
Pasal (3),
Pasal 4 dan
Pasal 5
UUP,
apabila
ketentuan
tersebut
dilanggar
maka
pelaku
poligami
ilegal
diancam
dikenakan
sanksi
pidana
kategori
pelanggaran
sebagaiman
a diatur
Pasal 45
Peraturan
Pemerintah
Nomor 9
Tahun
1975.
Ketentuan
sanksi
pidana yang
diatur
didalam
Pasal 45
Peraturan
Pemerintah
Nomor 9
Tahun 1975
merupakan
peristiwa
pidana yang
digolongkan
kepada jenis
pidana
pelanggaran
. Ancaman
sanksi bagi
pelaku yang
melanggar
ketentuan
Pasal 3, 10
Ayat (3)
dan Pasal
40 PP No 9
Tahun 1974
tergolong

10
ringan yaitu
hanya
sanksi
dengan
ancaman
denda
setinggi-
tinggi Rp.
7.500.-
(tujuh ribu
lima ratus
rupiah).
Pasal 15
UUP yang
berbunyi
“barang
siapa karena
perkawinan
dirinya
masih
terikat
dengan
salah satu
dari kedua
belah pihak
dan atas
dasar masih
adanya
perkawinan
yang dapat
mencegah
perkawinan
yang
baru. .Katen
tuan Pasal
40 yang
dimaksud
pada Pasal
45 PP
Nomor 9
Tahun 1975
adalah
“apabila
seorang
suami
bermaksud
untuk
beristri
lebih dari
seorang

11
maka ia
wajib
mengajukan
permohonan
secara
tertulis
kepada
pengadilan”
. jika
ditanya
bagaimana
respon
masyarakat
awalnya,
mereka
pasti
terkejut
karena bagi
mereka
pelaku
awalnya
seperti laki-
laki setia
kelihatanya,
namun
ujung-ujung
tetap
melakukan
poligami
dan yang
parahnya
bukan
hanya sekali
tapi berkali-
kali, sebagai
orang yang
hanya bisa
melihat
tanpa berani
berkomentar
didepan
pelaku
masyarakat
seperti tidak
ambil
pusing dan
apapun
yang
dilakukan
pelaku asal

12
tidak
melakukan
sesuatu
yang
melanggar
norma
agama,
norma
kesopanan
dan norma
sosial,
masyarakat
tidak akan
mencampuri
urusan
pelaku.
2. NOPI Dampak poligami 1) Bagaimana Dampak 1. Kehilangan
YULI terhadap poligami terhadap hubungan
ANA keharmonisan keharmonisan baik dengan
keluarga keluarga di desa suaminya
(Studi Kasus di surabaya udik dan akan
Desa Surabaya kecamatan sukadana bertanya
Udik Kecamatan kabupaten lampung siapakah ia
Sukadana timur? sekarang.
Kabupaten Sebelumnya
Lampung Timur ia adalah
seorang
yang
dicintai,men
arik dan
berbagai hal
positif
lainnya.
Gambaran
ini berubah
setelah
suami
menikah
lagi.Gambar
an diri
berubah
menjadi
negatif,
korban
kehilangan
diri.

13
3. FIRMA Kajian hukum 1. Bagaimana Dalam
N terhadap kedudukan Peraturan
SYAHP perkawinan perkawinan Pemerintah
UTR A poligami ditinjau poligami serta Nomor 9
dari undang syarat-syarat Tahun 1975
undang no 1 tahun perkawinan Pasal 43
1974 tentang poligami? sebagai
perkawianan (studi 2. Bagaimana aturan
putusan nomor problematika praktik pelaksanaan
5/PDT.G/2019/PA. perkawinan dari
GST) poligami? Undang-
3. Bagaimana kajian undang
hukum terhadap Nomor 1
perkawinan poligami Tahun 1974
pada putusan Nomor disebutkan
5/Pdt.G/2019/PA. bahwa.
Gst? Apabila
pengadilan
berpendapat
bahwa cukup
alasan bagi
seorang suami
untuk beristeri
lebih dari
seorang maka
pengadilan
memberikan
keputusan
yang berupa
izin untuk
beristeri lebih
dari satu,
kemudian
pada Pasal 44
Undang-
undang
Nomor 1
Tahun 1974
tentang
Perkawinan
disebutkan
bahwa
sebelum ada
izin dari
pengadilan
maka Pegawai
Pencatat

14
Nikah
dilarang
melakukan
pencatatan
perkawinan
seorang suami
yang akan
beristeri lebih
dari satu.
Sedangkan
untuk syarat
berpoligami
diatur dalam
Undangundan
g Nomor 1
Tahun 1974
yang terdapat
dalam Pasal 3
ayat (2), Pasal
4 dan Pasal 5,
bunyi Pasal
tersebut
adalah : Pasal
3 ayat (2):
Pengadilan
dapat
memberi
izin kepada
seorang
suami untuk
beristeri
lebih dari
seorang
apabila
dikehendaki
oleh pihak-
pihak yang
bersangkutan.
Permusuhan
di antara istri
terjadi
karena suami
biasanya
lebih
memperhatik
an istri muda
dibanding
istri yang
terdahulu.

15
Berdasarkan tabel hasil penelian terdahulu di atas perasamaan dan perbedaan

dengan penelitian penulis adalah sebagai berikut:

1. Persamaan penelitian pertama dengan apa yang penulis lakukan adalah

memiliki tema yang sama-sama membahas mengenai poligami

kemudian perbedaanya adalah penelitian No 1 terdahulu meneliti

mengenai banyaknya poligam. tanpa izin di desa Muara Danau

Kecamatan pelangan Kabupaten Sawangmangu yang disana banyak

terjadi poligami tanpaa izin pengadilan agama setempat sedangkan

penulis akan membahas mengenai Tinjauan Yuridis mengenai

pelaksanaan Pemberian Izin Melaksanakan poligami Oleh Hakim

Pengadilan Agama Purwokerto yang berfokus pada putusan hakim.

2. Persamaan penelitian terdahulu yang kedua dengan penelitian penulis

yang terdahulu lakukan yaitu sama –sama membahas mengenai

poligami , kemudian perbedaanya terdapat pada ruang lingkup yang

ditulis oleh penulis di penelitian terdahulu ruang lingkupnya terdapat

pada keluarga, lebih tepatnya pengaruh poligami terhadap anak dan istri

di suatu desa sedangkan penulis membahas mengenai Tinjauan yuridis

yang memberikan Izin Melaksanakan poligami oleh Hakim Pengadilan

Agama Purwokerto.

3. Persamaan dengan penelitian terdahulu adalah membahas mengenai poligami

dan studi putusan yang menjadi perbedaan dengan penelitian ini dalam hal

tersebut, penelitian terdahulu membahas tentang kajian hukum terhadap

perkawinan poligami ditinjau dari undang- undang No 1 tahun 1974. Lebih

tepatnya mengenai pengertian poligami asas , syarat dan lain sebagainya

sedangkan penulis berfokus pada pelaksanaan pemberian izin poligami.

16
B. Landasan Teori

1. Teori Kepastian Hukum

Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,

terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan

kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman

perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu

tujuan dari hukum. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian

dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri.

Keteraturan menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian, sehingga

dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan

bermasyarakat.

Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan

bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat

memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Kepastian

hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik dengan

keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat

menyamaratakan. Keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidak

menyamaratakan.

Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya,

sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan.

Penciptaan kepastian hukum dalam peraturan perundang-undangan,

memerlukan persyaratan yang berkenaan dengan struktur internal dari norma

hukum itu sendiri. Persyaratan internal tersebut adalah sebagai berikut:

17
1) Kejelasan Konsep yang digunakan Norma hukum berisi deskripsi

mengenai perilaku tertentu yang kemudian disatukan kedalam konsep

tertentu pula.

2) Kejelasan hirarki kewenangan dari lembaga pembentuk peraturan

perundang- undangan. Kejelasan hirarki ini penting karena menyangkut

sah atau tidak dan mengikat atau tidaknya peraturan perundang-

undangan yang dibuatnya. Kejelasan hirarki akan memberikan arahan

kepada pembentuk hukum yang mempunyai kewenangan untuk

membentuk suatu peraturan perundang-undangan tertentu.

3) Konsistensi Norma Hukum Perundang-Undangan

Ketentuan-ketentuan dari sejumlah peraturan perundang-undangan

yang terkait engan atu subjek tertentu, tidak saling bertentangan antara

satu dengan yang lain. Kepastian hukum mengehendaki adanya upaya

pengaturan hukum dalam perundang undangan, dibuat oleh pihak yang

berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek

yuridis. Aspek ini nantinya dapat menjamin adanya kepastian, bahwa

hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

Berdasarkan uraian-uraian mengenai kepastian hukum diatas, maka

kepastian dapat mengandung beberapa arti yakni, adanya kejelasan, tidak

menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat

dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat,

mengandung keterbukaan, sehingga siapapun dapat memahami makna

atas suatu ketentuan hukum.

2. Teori Keadilan

1) Teori keadilan John Rawls

18
John Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan bagi

seluruh masyarakat, tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa

keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan.

Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan. Rawls kemudian

menegaskan pandangannya terhadap keadilan, bahwa program

penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan, haruslah

memperhatikan dua prinsip keadilan.

Pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebesan

dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang.

Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang

terjadi, sehingga dapat memberi keuntungan bersifat timbal balik.

2) Teori Keadilan Plato

Plato dalam teorinya mengemukakan bahwa terdapat dua jenis

Keadilan, yaitu :

a) Keadilan Moral

Suatu perbuatan dapat dikatakan adil secara moral, apabila telah

mampu memberikan perlakuan yang seimbang antara hak dan

kewajibannya.

b) Keadilan Prosedural

Suatu perbuatan dikatakan adil secara prosedural apabila seseorang

telah mampu melaksanakan perbuatan adil berdasarkan tata cara

yang telah diharapkan. Aristoteles memberikan penjelasan mengenai

masalah keadilan sebagai berikut:

a. Keadilan Distributif (Memberi Bagian)

19
Mengatur pembagian barang-barang dan penghargaan kepada

tiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, serta

menghendaki perlakuan yang sama bagi mereka yang

berkedudukan sama menurut hukum.

b. Keadilan Korektif (mengadakan perbaikan) atau remidial

(memberikan pengobatan).

Merupakan suatu ukuran dari prinsip-prinsip teknis yang

menguasai administrasi daripada hukum pelaksanaan undang-

undang. Dalam mengatur hubungan hukum perlu ditemukan

ukuran umum untuk menanggulangi akibat- akibat perbuatan,

tanpa memandang siapa orangnya dan maksudnya baru dapat

dinilai menurut suatu ukuran objektif. Hukuman harus

memperbaiki kejahatan, ganti rugi harus memperbaiki

kesalahan/penyelewengan perdata, pengembalian harus

memperbaiki keuntungan yang diperoleh dengan tidak wajar.

Konsepsi mengenai Themis, yaitu dewi yang menimbang neraca

tanpa memandang siapa orangnya, mengiaskan bentuk keadilan

ini. Tetapi ini (keadilan korektif) harus dipahami sebagai takluk

kepada keadilan distributif.

3) Keadilan Menurut Franz Magnis Suseno

Franz Magnis Suseno membedakan keadilan kedalam keadilan dalam

arti formal dan keadilan dalam arti materil. Menurut Magnis Suseno

sebagaimana dikutip oleh Martitah, keadilan dalam arti formal

(prosedural) adalah keadilan dalam arti bahwa hukum itu berlaku secara

umum, sedangkam keadilan dalam arti materil (substantif) adalah

20
keadilan dalam arti bahwa setiap hukum harus sesuai dengan cita-cita

keadilan masyarakat.

C. Tinjuan Tentang Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1, bahwa yang disebut

Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan

seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga

atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa.16

“Perkawinan” berasal dari kata “kawin”, yang menurut bahasa,

artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan

kelamin dan bersetubuh”, istilah “kawin” digunakan secara umum,

untuk tumbuhan, hewan dan manusia, dan menunjukkan proses

generatif secara alami. Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan

pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional,

adat istiadat, dan terutama menurut agama. Makna nikah adalah akad

atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab

(pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan Kabul (pernyataan

menerima dari pihak laki-laki). Selain itu, nikah bisa juga diartikan

sebagai bersetubuh.17

Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama

dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernukahan itu bukan

16
M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, (2014), Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah Lengkap), PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
17
Moh Zahid, Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan UndangUndang Perkawinan, Departemen Agama RI Badan
Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2002. Hal. 2.

21
saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan

rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai jalan

menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan

perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan

antara satu dengan yang lainnya.

Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya

dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan

keturunannya, melainkan antara dua keluarga, dari baiknya pergaulan

antara si istri dengan suaminya, kasih mengasihi, akan berpindahlah

kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihaknya,

sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan bertolong-tolongan

sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala

kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari

kebinasaan hawa nafsunya.18

2. Arti dan Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut hukum Islam terdiri dari:

1) Berbakti kepada Allah;

2) Memenuhi atau mencukupkan kodrat hidup manusia yang telah

menjadi hukum bahwa antara pria dan wanita saling

membutuhkan;

3) Mempertahankan keturunan umat manusia

4) Melanjutkan perkembangan dan ketentraman hidup rohaniah

antara pria dan wanita;

18
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2010. Hal. 374

22
5) Mendekatkan dan saling menimbulkan pengertian antar golongan

manusia untuk men jaga keselamatan hidup.19

3. Asas Perkawinan

Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah:

1) Tujuan perkawinan ialah membentuk keluarga yang bahagia kekal

untuk itu suami isteri perlu saling bantu membantu dan melengkapi

agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya

membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.20

2) Dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa suatu perkawinan

adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap

perkawinan “harus dicatat” menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

3) Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila ia

dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama

dari yang bersangkutan mengijinkan seorang suami dapat beristri

lebih dari seorang.

4) Undang-undang perkawinan ini menganut prinsip bahwa calon

suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat

melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan

perkawinan, secara baik tanpa berfikir pada perceraian dan

mendapat keturunan yang baik dan sehat.

19
Abdul Djamali, (2002), Hukum Islam (Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum), Masdar
Maju, Bandung.
20
Abdul Djamali, Ibid

23
5) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang

bahagia kekal dan kedudukan sejahtera, maka undang-undang ini

menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian.

6) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun

dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala

sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan

bersama oleh suami istri.21

4. Hak Suami Isteri Dalam Perkawinan

Diatur dalam Pasal 30-34 Undang-Undang Perkawinan, bahwa

suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan rumah

tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Hak dan

kedudukan isteri ialah seimbang artinya masing-masing memiliki tugas

porsinya masing masing dalam rumah tangga. Masing-masing pihak

berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Suami merupakan kepala

rumah keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Suami isteri harus memiliki

kediaman yang tetap dan selalu bersama. Suami isteri wajib saling

mencintai hormat menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir dan

batin yang satu dengan yang lain. Suami wajib menjaga isteri dan

mampu memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai

dengan kemampuannya. Isteri juga wajib mengatur urusan rumah tangga

dengan sebaik-baiknya. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya

maka masing-masing dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan.22

5. Bubarnya Perkawinan
21
Ahmad Rafiq, (2000),Hukum Islam di Indonesia, PT. RajaGrafindo, Jakarta, Hal. 56-57.

22
Esi Amanda, (2020), Pemberian Izin Permohonan Poligami, (Universitas Muhammadiyah Magelang.

24
Batalnya perkawinan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.

Bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi

syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dalam Pasal 23 yang

dapat mengajukan pembatalan perkawinan ialah para keluarga dalam

garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, pejabat berwenang

melalui pengadilan. Sebelum diputus suatu perkawinan oleh pengadilan

masing-masing pihak mempunyai kepentingan hukum secara langsung

terhadap perkawinan nya itu.

Pasal 24, berbunyi “Barang siapa karena perkawinan masih terikat

dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih

adanya ikatan perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan

yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan pada Pasal 3 ayat (2)

Pasal 4 Undang-Undang ini”. Permohonan perkawinan diajukan kepada

Pengadilan dimana perkawinan tersebut diberlangsungkan atau di tempat

kedua suami isteri, suami atau isteri.23

Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan

pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah

ancaman yang melanggar hukum. Selain dari pada itu mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan apabila pada saat waktu

berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai suami atau

isterinya. Jika dalam waktu 6 (enam bulan) suami isteri yang bersalah

sangka itu menyadari hidup bersama setelah perkawinan sebagai suami

isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan

pembatalan, maka hanya tersebut telah dinyatakan gugur.24


23
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

24
Esi Amanda, Ibid

25
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 116, bahwa bubarnya

perkawinan dapat terjadi karena alasan antara lain:

1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemandat,

penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selam 2 (dua) tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau

karena hal lain diluar kemampuannya.

3) Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan itu berlangsung.

4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

yang membahayakan pihak lain.

5) Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan

akibat tidak dapat disembuhkan dan tidak menjalankan

kewajibannya sebagai suami atau isteri.

6) Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun kembali.

7) Peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak

rukunan dalam kehidupan rumah tangga.25

D. Tinjauan Tentang Poligami

1. Pengertian Poligami

Secara etimologi, kata Poligami berasal dari bahasa yunani, yaitu

apolus yang berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Maka

jika menggabungkan dua kata tersebut, dapat diketahui bawa

poligami adalah perkawinan yang banyak. Poligami secara termologis

adalah seorang laki-laki memiliki lebih dari satu orang perempuan.


25
Kompilasi Hukum Islam

26
Secara terminologi poligami merupakan praktek perkawinan lebih

dari satu isteri yang dilakukan pada satu waktu (bersamaan). Dasar

hukum poligami dapat kita jumpai dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-

undang Perkawinan yang mengatur secara jelas bahwa:

“Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk

beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang

bersangkutan.”

Khusus bagi yang beragama Islam, dasar hukum poligami

diatur pula dalam Pasal 56 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI)

bahwa :

“Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat

izin dari Pengadilan Agama”

Merujuk pada dasar hukum poligami tersebut di atas, dapat

diketahui bahwa pada dasarnya hukum poligami di Indonesia dapat

dilakukan, sepanjang poligami tersebut dilakukan sesuai dengan

hukum poligami yang berlaku di Indonesia.26 Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) poligami yakni sistem perkawinan seorang laki-

laki boleh mempunyai lebih dari satu orang perempuan.27 Jadi yang

dimaksud dengan poligami adalah suatu sistem perkawinan dimana

seorang laki-laki menikahi lebih dari satu orang perempuan dalam

waktu bersamaan.

Poligami yang ditinjau dari berbagai agama, memiliki pendapat

yang berbeda. Terdapat agama yang melarang sama sekali poligami,

misalnya Nasrani yang dalam prakteknya menganut sistem monogami


26
A. Rodli Maknun, Evi Muafiah dan Lia Amalia, (2009), Poligami dalam penafsiran Muhammad Syahrur,
(Ponorogo: STAIN Ponorogo Press,Hal 15.
27
Departemen Pendidikan Nasional, E-book Kamus Besar Bahasa Indonesia

27
mutlak dan melarang adanya poligami. Adapula boleh poligami jika

tidak adanya batasan- batasan yang jelas, seperti agama Yahudi yang

diturunkan kepada Nabi Musa.Tidak ada pembatasan secara jelas

mengenai poligami, seorang suami dapat melakukan poligami tanpa

batasan. Namun adapula agama yang membolehkan poligami tetapi

bersyarat, seperti Agama Islam.28

2. Sejarah Poligami

Banyak orang salah paham tentang poligami mereka mengira

poligami itu baru dikenal datangnya islam. Mereka menganggap

Islam lah yang membawa ajaran tentang poligami, bahkan secara

ekstrem berpendapat bahwa jika bukan karena Islam, poligami tidak

dikenal dalam sejarah manusia.29

Di jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam masyarakatnya telah

mempraktekan poligami, bahkan poligami yang tak sebatas. Sejumlah

riwayat menceritakan bahkan rata-rata pemimpin suku ketika itu

memiliki puluhan isteri, bahkan tidak sedikit kepala suku yang

mempunyai sampai ratusan isteri.

Supardi Mursalin mengemukakan bahwa bangsa barat Purbakla

menganggap poligami sebagai suatu kebiasaan, karena dilakukan oleh

raja-raja yang melambangkan ketuhanan sehingga orang banyak

menganggap sebagai perbuatan suci. Orang Hindu melakukan

poligami melakukan poligami secara meluas sejak zaman dahulu.

Begitupula Orang Babilonia, Assiria, dan Parsi tidak mengadakan

pembatasan mengenai jumlah wanita dikawini oleh seorang laiki-laki.


28
Bibit Suprapto, (1990), “Liku-Liku Poligami”, (Yogyakarta: Al- Kautsar, Hal 132.
29
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, Hal 3

28
Seorang Brahma berkasta tinggi bahkan juga dizaman modern ini,

bolehb mengawini wanita sebanyak yang ia suka. Dikalangan bangsa

Israil, poligami telah berjalan sejak sebelum zaman Nabi Musa AS.

Yang kemudian menjadi adat kebiasaan yang dilanjutkan tanpa ada

batasan jumlah perempuan yang boleh diperistri seorang laki-laki.

Kemudian Talmud membatasi jumlah itu menurut kemampuan suami

memelihara isterinya dengan baik. Meskipun para Rabbi

menasehatkan supaya tidak memiliki isteri lebih dari 4 orang.

Ketika Islam datang, kebiasaan poligami itu tidak serta merta

dihapuskan.Namun setelah ayat yang menyinggung soal poligami

diwahyukan, Nabi lalu melakukan perubahan yang cepat sesuai

dengan petunjuk kandungan ayat.30 Pertama membatasi jumlah

bilangan isteri hanya sampai empat. Sejumlah riwayat memaparkan

pembatasan poligami tersebut, diantaranya Pada riwayat lain Qais ibn

Tsabit berkata:

Ketika masuk Islam aku punya delapan isteri. Aku

menyampaikan hal itu kepada Rasul beliau berkata: ‚Pilihlah dari

mereka empat orang .31 Riwayat Serupa dari Ghailan ibn Salamah ats-

Tsaqafi menjelaskan bahwa dirinya punya sepuluh orang isteri, lalu

Rasul bersabda: ‚Pilih Empat orang dan Ceraikan yang lainnya.32

Kedua menetapkan syarat ketat bagi poligami, yaitu harus

mampu berlaku Adil. Persyaratan yang ditetapkan bagi kebolehan

poligami itu sangat berat, dan hampir dapat dipastikan tidak ada yang

30
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, hal 4.

31
Abu Dawud, (1990), Sunan Abu Dawud, Jilid I, Dar al-Fikr, Hal 499.
32
Musdah Mulia, Ibid.

29
mampu memenuhinya.Artinya Islam memperketat syarat poligami

sedemikian rupa sehingga kaum laki-laki tidak boleh lagi semena-

mena terhadap isteri mereka seperti sedia kala. Maksud dari berlaku

adil terhadap isteri- isteri dan anak-anaknya ini menyangkut masalah

lahiriah seperti pembagian waktu, pembagian nafkah, dan hal-hal

yang menyangkut kepentingan lahir. Sedangkan masalah batin tentu

saja, selamanya manusia tidak mungkin dapat berbuat adil secara

hakiki.33

Dengan demikian terlihat bahwa praktek poligami di masa Islam

sangat berbeda dengan Praktik Poligami sebelumnya. Perbedaan itu

menonjol pada dua hal Pertama, Pada Bilangan isteri, dari tidak

terbatas jumlahnya kemudian Islam datang memberi batasan hanya

empat. Pembatasan ini dirasakan sangat berat, sebab laki-laki pada

masa itu sudah terbiasa dengan banyak isteri, lalu mereka disuruh

memilih empat saja dan menceraikan selebihnya.Kedua, pada syarat

poligami sebelum Islam tidak mengenal syarat apapun, termasuk

syarat keadilan.Akibatnya poligami tidak terikat pada keharusan

berlaku adil, sehingga mereka berlaku aniaya dan semena-mena

mengikuti luapan nafsunya.34

Sebagai agama yang sangat mengutamakan keadilan dalam

segala hal, Islam datang membawa perubahan-perubahan dengan

memberi syarat bagi seorang yang akan berpoligami yaitu calon

suami yang akan poligami harus mampu bersikap Adil. Demikianlah

poligami telah menjadikbudaya, tradisi, dan nilai yang dianut oleh

33
Tihami, Sohari Sahrani, (2010), Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap,( Jakarta : Rajawali Pers.
34
Ibid, Hal 5

30
beberapa bangsa sebelum Islam.35

3. Dasar Hukum Poligami Menurut Undang-Undang Perkawinan

Dasar hukum poligami dalam Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan

yang mengatur secara jelas bahwa:

“Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk

beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang

bersangkutan”.

Khusus bagi yang beragama islam, dasar hukum poligami diatur pula

dalam Pasal 56 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam.

Merujuk pada dasar hukum poligami tersebut diatas, dapat

disimpulkan bahwa pada dasarnya hukum poligami di Indonesia dapat

dilakukan, sepanjang poligami tersebut dilakukan sesuai dengan

hukum poligami yang berlaku di Indonesia dan memenuhi sejumlah

syarat-syarat poligami.

4. Syarat-Syarat Poligami

1) Syarat-Syarat Poligami Menurut UU Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

menganut asas monogami, akan tetapi apabila ketentuan suatu hukum

dan agama tertentu mengizinkan, maka sesorang suami dapat beristeri

lebih dari seseorang dengan memenuhi syarat tertentu dan dizinkan

oleh pengadilan agama. Seorang pria dapat melakukan poligami

asalkan memenuhi persyaratan tertentu yang telah ditentukan dalam

undang-undang perkawinan ini sebagaimana tercantum dalam undang

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 3 ayat (2) yaitu

35
(Supardi Mursalin, Menolak Poligami studi tentang undang undang perkawian dan hukum islam, Hal (17-18)

31
pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri

lebih dari seseorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang

bersangkutan. Menurut Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 1

Tahun 1974 secara sistematis hal-hal yang dapat dijadikan alasan

untuk beristeri lebih dari satu adalah sebagai berikut:

1. Pasal 4 Ayat 2 UU Perkawinan

a. Tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang

isteri

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan

c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

2. Pasal 5 Ayat 1 UU Perkawinan

Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan harus

dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Ada persetujuan dari isteri/ isteri-isterinya.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin

keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap

istri dan anak-anak mereka.36

2) Syarat-Syarat Poligami Menurut Hukum Islam

Agar dapat melakukan poligami secara sah menurut hukum di

Indonesia, maka poligami tersebut harus memenuhi syarat poligami

sebagai berikut :

a. Suami wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di

36
Surjati, (2014), Tinjauan Kompilasi Hukum Islam Terhadap Poligami Di Indonesia, Jurnal Universitas
Tulungagung BONOWORO Vol. 1 No. 2.

32
daerah tempat tinggalnya, dengan syarat:Ada persetujuan

dari istri/istri-istri

b. Dengan catatan persetujuan ini tidak diperlukan jika

c. Istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya

dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian’ tidak ada

kabar dari istri selama minimal 2 tahun; atau karena sebab-

sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim

pengadilan. Adanya kepastian suami mampu menjamin

keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; Adanya

jaminan suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan

anak-anak. pengadilan hanya memberikan izin poligami.

d. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai

seorang isteri. Istri mendapat cacat badan atau penyakit

yang tidak dapat disembuhkan. Istri tidak dapat melahirkan

keturunan. Izin tersebut diberikan pengadilan jika

berpendapat adanya cukup alasan bagi pemohon (suami)

untuk beristri lebih dari seorang. Selanjutnya, mengenai

syarat poligami di KUA atau syarat poligami bagi yang

beragama Islam, secara garis besar, hukum poligami

menurut hukum Islam memang tidak jauh berbeda dengan

UU Perkawinan. Namun, dalam KHI terdapat syarat

poligami lainnya yang harus3 diperhatikan, yaitu Suami

hanya boleh beristri terbatas sampai 4 istri pada waktu

bersamaan.

33
e. Suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan

anak- anaknya. Jika tidak mungkin dipenuhi, suami

dilarang beristri lebih dari seorang.

f. Suami harus memperoleh persetujuan istri dan adanya

kepastian suami mampu menjamin keperluan hidup istri-

istri dan anak-anak mereka.

g. Persetujuan ini dapat diberikan secara tertulis atau lisan.

h. Harus mendapat izin dari Pengadilan Agama

i. Jika nekat dilakukan tanpa izin dari Pengadilan Agama,

perkawinan itu tidak mempunyai kekuatan hukum

j. Jika istri tidak mau memberikan persetujuan, dan

permohonan izin diajukan atas dasar alasan yang sah

menurut hukum, Pengadilan Agama dapat menetapkan

pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang

bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama. Atas

penetapan ini, istri/suami dapat mengajukan banding atau

kasasi. Alasan yang sah yang dimaksud adalah jika istri

tidak dapat menjalankan kewajibannya, mendapat cacat

badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau

tidak dapat melahirkan keturunan.37

5. Prosedur Poligami

Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur oleh

Islam memang tidak ada ketentuan secara pasti namun di Indonesia,

37
NOPI.Y.(2018), DAMPAK POLIGAMI TERHADAP KEHARMONISAN KELUARGA (Studi Kasus di Desa
Surabaya Udik Kecamatan Sukadana Kabupaten Lampung Timur.

34
dengan Kompilasi Hukum Islam nya, telah mengatur hal tersebut sebagai

berikut:38

Pasal 56

a. Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus

mendapat izin dari Pengadilan Agama.

b. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1)

dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam

Bab VIII Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975.

c. Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga,

atau keempat tanpa izin dari Pengadilan agama tidak

mempunyai kekuatan hukum.

Di indonesia pada dasarnya menganut sistem

monogami, akan tetapi bagi seorang suami (yang

beragama Islam) jika karena keadaan yang darurat

hendak beristeri lebih dari satu dapat diizinkan atau

diperbolehkan dan diharuskan untuk mengajukan izin

poligami di pengadilan agama. kebolehan ini tentunya

juga dengan ketentuan alasan yang diajukan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia,

sebagaimana dapat di lihat pada pasal 57 Kompilasi

Hukum Islam berikut ini.

Pasal 57

Pengadilan Agama hanya member izin kepada Seorang

Suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

38
Slamet Abidin, (1999), H.Aminuddin, Fikih Munakahat 1,(Bandung: CV.Pustaka Setia ,Hal 126.

35
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai

seorang isteri

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak

dapat disembuhkan

c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.39

6. Hikmah Poligami

Mengenai hikmah diizinkan (dalam keadaan darurat dengan

syarat berlaku adil) antara lain adalah sebagai berikut :

a. Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur

dan isteri mandul

b. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan

isteri sekalipun istri tidak dapat menjalankan fungsinya

sebagai isteri atau ia mendapat cacat badan atau penyakit

yang tidak dapat disembuhkan.

c. Untuk menyelamatkan suami dari hyperseks dan

perbuatan zina serta krisis akhlak

d. Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak

yang tinggal di negara / masyarakat yang jumlah

wanitanya jau lebih baik banyak dari kaum prianya

misalnya akibat peperangan yang cukup lama.40

7. Hak dan Kewajiban Suami Istri

Apabila akad nikah telah berlangsung dan memenuhi

syarat rukunnya, maka menimbulkan akibat hukum. Dengan

demikian akad tersebut menimbulkan juga hak serta

39
Kompilasi Hukum Islam
40
Abdul Rohman Ghozali, (2008), Fiqh Munakahat, Hikmah Poligami Dlam Kajian Hukum Islam,Hal 136-137.

36
kewajibannya selaku suami isteri dalam keluarga, yang

meliputi: hak suami isteri secara bersama, hak suami atas

isteri, dan isteri atas suami.41Termasuk di dalamnya adab

suami terhadap isterinya sepertinya yang telah dicontohkan

Oleh Rasulullah SAW.42yang dimaksud dengan hak disini

adalah apa-apa yang diterima seseorang dari orang lain,

sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang

mesti di lakukan seseorang terhadap orang lain.43

Jika suami sama-sama menjalankan tanggung jawabnya

masing- masing, maka akan terwujudlah ketenteraman dan

ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagian hidup

berumah tangga. Dengan demikian tujuan hidup

berkeluarga akan terwujud sesuai dengan tuntunan agama,

yaitu sakinah, mawaddah, dan rahmah.

D. Kerangka Pemikiran

Latar Belakang :
Penggugat mengajukan izin poligami kepada Pengadilan Agama Purwokerto yang
menurut pertimbangan hakim sang isteri memiliki penyakit yang tidak dapat
disembuhkan penyakit tersebut harus jelas tidak dapat disembuhkan dalam syarat
mengajukan poligami di Pengadilan Agama salah satunya adalah sang isteri memiliki
suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan di putusan ini tidak dijelaskan secara
rinci penyakit apa yang diderita sang isteri dan jelasnya disebutkan sang isteri sakit.
Tetapi tetap saja hakim Pengadilan Agama Purwokerto memutuskan untuk
memberikan izin pada penggugat untuk menikah lagi.

Rumusan Masalah :
1. Bagaimana pelaksanaan pemberian
41
izin melaksanakan poligami oleh
Tihami,Sohari
hakim Sahrani, (2010), agama
pengadilana Fikih Munakahat
kelas 1A:Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers,
Hal 153.
42
Ibid,
Purwokerto?
43 2. Apa hambatan
Amir Syarifuddin, dalam pelaksanaan
Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(65Jakarta: Prenada Media Group), Hal 159.
pemberian izin melaksanakan
poligami oleh hakim pengadilan 37
agama Purwokerto?
Metode penelitian :
Metode yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu
meetode yuridis normatif
yaitu penelitian yang
Landasan teori : digunakan untuk
1. Teori kepastian hukum mendapatkan bahan bahan
2. Teori keadilan berupa dengan teori-teori
3. Tinjauan poligami hukum, sistem perundang-
undangan, konsep-konsep
hukum, asas-asas hukum
yang berkaitan dengan
1. Undang-undang Nomor 16 pokok pembahasan.
tahun 2019 tentang perubahan umum, komposisi, dan lain
atas Undang-undang No 1 sebagainya.
Tahun 1974 tentang
Perkawianan
2. Kompilasi Hukum Islam

Kesimpulan Kesimpulan
1 2

38
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Metode dalam penelitian ini adalah menggunakan metode yuridis

normatif. Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum normatif adalah sifat

dan ruang lingkup hukum. Disiplin sendiri memiliki arti kenyataan, dimana

menyangkut kedisiplinan analitis dan kedisiplinan prespektif. Disiplin hukum

yang masuk kedalam disiplin prespektif dianggap mencangkup segi

normatifnya saja. Penelitian hukum normatif memiliki kecenderungan dimana

hanya melihat hukum sebagai disiplin perspektif. Metode Normatif ini

dilakukan melalui studi pustaka terutama data sekunder seperti peraturan

perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian kontrak atau dokumen

hukum lainnya metode yuridis normatif ini juga dilengkapi dengan diskusi

dan rapat dengar pendapat. Penelitian dengan menggunakan metode yuridis

normatif ini didukung oleh literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah

yang penulis teliti ini.44

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan dengan

spesifikasi deskriptif analisis. Deskriptif analisis adalah suatu metode yang

dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang

berlangsung hal ini bertujuannya supaya dapat memberikan data mengenai

objek penelitian.45

C. Data Penelitian

44
Depri Liber Sonata, (2014), Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Fakultas Hukum dan
Universitas Lampung, 8(1), hal 25
45
Zainuddin Ali, (2009), Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, Hal.223.
Data yang di gunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer


Bahan Hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari

ketentuan perundang-undangan yaitu :

1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU

perkawinan

3) Kompilasi Hukum islam.

b. Bahan hukum sekunder

Merupakan suatu bahan hukum yang membantu menganalisis dan

memahami bahan hukum primer antara lain yaitu Buku, Jurnal, Artikel,

dan Internet.

c. Bahan hukum tersier

suatu hukum yang memberikan informasi yang berkaitan dengan bahan

hukum sekunder.46

D. Metode pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dengan cara Studi

Kepustakaan. Yang merupakan usaha yang dilakukan penulis untuk

menghimpun seluruh informasi yang relevan bertujuan menyatukan atas

literatur sesuai dengan penelitian yang dilakukan dan mengumpulkan data

sekunder yang terkait dengan permasasalahan yang diajukan baik dari buku,

jurnal, dokumen penelitian serta peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang Tinjauan yuridis mengenai Tinjauan yuridis Mengenai

pembverian izin melaksanakan Poligami.

46
Soerjono Soekanto, d. S. (2020). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Dalam S.M. DR.H.
Ishaq, Metode penelitian hukum serta penulisan skripsi, thaesis serta disertasi (hal.13-14). Bandung: Penerbit
Alfabeta

40
E. Metode Analisis Data

Teknik Analisis Data dalam penelitian ini menggunakan Analisis

Kualitatif yaitu suatu cara penelitian yang menghasilkan data secara deskrptif

analistis data berupa kata- kata tertulis atau lisan. Sehingga data primer dan

data sekunder berupa dokumen diperoleh harus lengkap. Karena kualitatif

merupakan penelitian yang ditunjukan untuk medeskripsikan atas fenomena

atau peristiwa kemudian dianalisa dengan peraturan-peraturan yang berlaku

yang sesuai berdasarkan dengan Teknik Analisis Data dalam penelitian ini

menggunakan Analisis Kualitatif yaitusuatu cara penelitian yang menghasilkan

data secara deskrptif analistis data berupa kata-kata tertulis atau lisan. Sehingga

data primer dan data sekunder berupa dokumen diperolehharus lengkap.

Karena kualitatif merupakan penelitian yang ditunjukan untuk medeskripsikan

atas fenomena atau peristiwa kemudian dianalisa dengan peraturan- peraturan

yang berlaku yang sesuai berdasarkan dengan Tinjauan yuridis mengenai

Pemberian Izin Melaksanakan poligami Oleh Hakim pengadilan Agama

Purwokerto.

41
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

1. Peraturan Perundangan-Undangan Terkait Pemberian Izin Melaksanakan

Poligami

Berdasarkan penelitian penulis terdapat peraturan perundangan undangan yang

berkaitan dengan judul tersebut, diantaranya;

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat 1

UU perkawinan nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukn

perkawianan menurut agama islam pencatatan dilakukan dikantor urusan agama

atau KUA sedangkan untuk agama non islam pencatatan dilakukan dikantor

catatan sipil atau KCS.

a. Pasal 3

1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh

mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai

seorang suami

2. Pengadilan, dapat memberi ijin terhadap suami untuk beristri lebih dari

seorang apabila di kehendaki oleh pihak pihak yang bersangkutan.

b. Pasal 4

1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana

tersebut dalam pasal 3 ayat 2 undang undang ini, maka ia wajib

mengajukan permohonan terhadap pengadilan didaerah tempat

tinggalnya

2. Pengadilan dimaksud data ayat 1 pasal ini hanya memberikan izin

terhadap seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apa bila;
a) Istiri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan;

c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

c. Pasal 5

1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pegadilan, sebagaimana

dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 undang undang ini, harus dipenuhi

syarat syarat sebagai berikut;

a) Adanya persetujuan dari istri atau istri istrinya

b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-

keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;

c) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri

dan anak anak mereka.

2. Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak

diperlukan

bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin

dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam

perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang

kurangnya 2 tahun, atau karna sebab-sebab lainnya yang perlu

mendapat penilaian dari hakim pengadilan.47

2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanan Undang-

Undang Perkawinan diatur dalam pasal-pasal;

a. Pasal 4

1. Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka

ia wajib mengajukan permohan secara tertulis kepada pengadilan.


47
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

43
b. Pasal 41

Pengadilan memeriksa mengenai;

1. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi,

ialah;

a) Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

b) Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan;

c) Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturuan.

2. Ada tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis,

apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus

diucapkan didepan sidang pengadilan.

3. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan

hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:

a) Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani

oleh bendahara tempat bekerja; atau

b) Surat keterangan pajak penghasilan; atau

c) Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.

4. Ada atau tidaknya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-

istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang

dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

c. Pasal 42

1. Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal hal pada pasal 40 dan 41,

pengadilan harus memangil dan mendengar istri yang bersangkutan

2. Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat

selambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan

44
berserta lampiran lampirannya.

d. Pasal 43

1. Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk

berisitri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya

berupa izin untuk beristri lebih dari seorang.

e. Pasal 44

1. Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan

seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin

pengadilan seperti yang dimaksud dalam pasal 43.48

3) Kompilasi Hukum islam

a. Pasal 85

Yang berbunyi “ Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak

menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.

b. Pasal 86

1. Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri

karena perkawinan.

2. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi pebuh olehnya, demikian

juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

c. Pasal 87

1. Harta bawaan masing-masing suami dan istri, dan harta yang diperoleh

masing-masing sebagai hadiah atau warisan merupakan dibawah

penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain

dalam perjanjian perkawinan.

d. Pasal 94 ayat 1 dan ayat 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa :


48
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan

45
Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih

dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri, dan pad ayat 2

disebutkan bahwa, pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang pria

yang mempunyai lebih dari seorang masing-masing terpisah dan berdiri

sendiri, dihitung pada ssat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua,

ketiga dan kempat.49

2. Tentang Pekawinan Di Indoneisa

Perkawinan di Indonesia mengenal dua jenis pekawinan yaitu monogami dan

apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan maka

diperbolehkan adanya poligami. Poligami diperbolehkan apabila agama dan

kepercayaan seorang suami memperbolehkannya. Di Indonesia peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang perkawinan dan tentu saja mencangkup tentang izin

poligami terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-

Undang Perkawinan. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan peraturan tentang poligami diatur dalam Pasal 3, 4, dan 5. Sedangkan

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-

Undang Perkawinan terdapat dalam Pasal 40 hingga Pasal 44. Pada dasarnya Undang-

Undang Perkawinan menganut asas monogami, tetapi hal tersebut tidak bersifat

mutlak. Sifatnya hanya bersifat arahan pada pembentukan perkawinan monogami

dengan jalan mempersempit dan mempersulit penggunaan lembaga poligami sehingga

tidak sama sekali mengganggu terjadinya poligami.50

Seseorang yang akan melakukan poligami harus mengajukan permohonan izin

ke Pengadilan Agama setempat, selain itu harus mendapatkan persetujuan dari isteri
49
Kompilasi Hukum Islam
50
https://kemenag.go.id/read/perkawinan-ideal-adalah-perkawinan-monogami-0em5, diakses pada tanggal 14
Desember 2022

46
atau isteri-isterinya yang terlebih dahulu dalam bentuk lisan maupun tertulis dimuka

sidang pengadilan oleh isteri itu sendiri untuk menghindari kecurangan yang

dilakukan oleh suami. Pemberian izin poligami dalam Undang-Undang dan Peraturan

Pemerintah tersebut harus memenuhi syarat-syarat dan alasan-alasan yang tepat dan

benar agar seorang suami dapat berpoligami. Berikut alasan-alasan seorang suami

melakukan permohonan poligami ke pengadilan agama antara lain:

1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri

2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

3) Isteri tidak dapat mendapatkan keturunan.51

Berikut pula syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan permohonan

poligami diantaranya:

1) Adanya persetujuan dari isteri/ isteri-isterinya

2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjalin keperluan-keperluan hidup

isteri-isteri dan anak-anaknya:52

3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-

anaknya.

Hal diatas memberikan penjelasan syarat-syarat serta pelaksanaan

permohonan izin poligami yang sesuai dengan peraturan perundangan yang

berlaku. Oleh karena itu pada pembahasan selanjutnya akan dibahas mengenai

isi putusan Nomor : 1722/Pdt.G/2020/PA.PWT) mengenai bagaimana

pelaksanaan pemberian izin poligami pada kasus dimana suami mengajukan izin

poligami terhadap pengadilan agama dengan alasan isteri tidak menjalankan

kewajibannya atau sang isteri mengidap penyakit yang tidak dapat

disembuhkan.

51
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
52
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

47
B. PEMBAHASAN

1. Pelaksanaan Pemberian Izin Poligami Oleh hakim Pengadilan Agama

Purwokerto Putusan Nomor : 1722/Pdt.G/2020/PA.PWT)

Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang

Perkawinan, tidak banyak kesulitan yang dihadapi oleh suami lebih dari seorang

wanita, setelah memenuhi semua persyaratan.

Prosedur poligami yang cukup mudah yang secara sepintas cenderung

membela kepentingan pihak suami, yakni si suami tersebut hanya

memberitahukan pegawai pencatatan nikah dimana pernikahan tersebut akan

dilangsungkan syarat yang harus dipenuhi oleh suami bisanya cukup mudah dan

sederhana, yaitu pegawai pencatatan nikah akan meminta surat keterangan yang

menyatakan persetujuan dari istri pertama, bahwa ia bersedia untuk dimadu.

Syarat tersebut tidak mutlak dan tidak memaksa, artinya ketika bisa disimpangi

yang tidak ada sanksi hukumnya.53

Ketika undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan

peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang

perkawinan diberlakukan, dimana undang-undang ini menganut prinsip

mempersulit adanya poligami maka prosedur yang harus dipenuhi atau ditempuh

dalam setiap akan dilakukan poligami maka masing-masing pihak harus izin

terhadap lembaga berwenang yaitu pengadilan agama.54

Berdasarkan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan

peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang

perkawinan, maka hukum perkawinan di indonesia menganut asas monogami,

baik untuk pria maupun wanita. Hanya apabila dikehendaki oleh kedua belah
53
Drs.H.Khamimudin,M.H., Hakim Pengadilan Agama Purwokerto, Wawancara, Purwokerto, 3 Januari 2023.
54
https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukum-poligami-dan-prosedurnya-yang-sah-di-indonesia-
lt5136cbfaaeef9, diakses pada tanggal 17 desember 2020.

48
pihak karena hukum dan agamananya mengizinkannya, seorang suami dapat

beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan

lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang

bersangkutan maka hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi persyaratan

persyaratan yang telah ditentukan oleh undang-undang dan diputuskan oleh

pengadilan. Dasar pertimbangan yang dibuat pengadilan dalam memberikan izin

poligami atau menolak tentunya akan melihat sejauh mana syarat-syarat

melakukan poligami tersebut dipenuhi.55

Seorang suami yang beragama islam yang menghendaki beristri lebih dari

satu orang wajib mengajukan permohonan izin poligami kepada pengadilan

agama, dengan syarat-syarat yang diatur dalam pasal 4 dan pasal 5 undang-

undang nomor 1 tahun 1974.56

Supaya pemberian izin poligami tidak bertentangan azaz monogami yang

dianut oleh undang-undang nomor 1 tahun 1974, maka pengadilan agama dalam

memeriksa dan memutus perkara permohonan izin poligami harus berpedoman

kepada hal-hal sebagai berikut:

1) Permohonan izin poligami harus bersifat kontentius, yaitu pihak istri

didudukan sebagai termohon.

2) Alasan izin poligami yang diatur dalam pasal 4 ayat 2 undang-undang nomor

1 tahun 1974 bersifat fakultatif, artinya bila salah satu persyaratan dapat

dibuktikan dipengadilan maka pengadilan agama dapat memberikan izin

poligami.

3) Persyaratan izin poligami yang diatur dalam pasal 5 ayat 1 undang-undang

55
https://banten.kemenag.go.id/det-berita-poligami-dalam--perspektif--khi.html. Diakses pada tanggal 17
Desember 2022
56
Mahkamah Agung RI, Buku II : Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, (Jakarta:
Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, 2013), Hal. 135

49
nomor 1 tahun 1974 besifat komulatif, artinya pengadilan agama hanya dapat

memberikan izin poligami apabila persyaratan tersebut telah terpenuhi. 57

4) Harta bersama dalam hal suami beristri lebih dari satu orang, telah diatur

dalam pasal 94 kompilasi hukum islam, akan tetapi pasal tersebut

mengandung ketidakadilan, karena dalam keadaan tertentu dapat merugikan

istri yang dinikahi terlebih dahulu oleh karena pasal tersebut harus dipahami

sebagaimana diuraikan dalam keterangan dibawah ini.

5) Harta yang diperoleh oleh suami selama dalam ikatan perkawinan dengan

istri pertama, merupakan harta benda bersama milik suami dan istri pertama.

Sedangkan harta yang diperoleh dari suami selama dalam ikatan perkawinan

dengan istri kedua dan selama itu pula suami masih terikat perkawinan

dengan istri pertama, maka harta tersebut merupakan harta bersama milik

suami, istri pertama dan istri kedua. Demikian pula halnya sama dengan

perkawinan dengan istri ketiga dan keempat.

6) Ketentuan harta bersama tersebut tidak berlaku atas harta yang diperuntukan

terhadap istri kedua, ketiga dan keempat (seperti rumah, perabotan rumah

tangga dan pakaian) sepanjang harta yang diperunntukan istri kedua, ketiga

dan keempat tidak melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta bersama yang diperoleh

dengan istri kedua, ketiga dan keempat

7) Bila terjadi pembagian harta bersama bagi suami yanng mempunyai istri

lebih dari satu orang karena kematian atau perceraian, cara perhitungan yaitu

sebagai berikut : unntuk istri pertama ½ dari harta bersama dengan suami

yang diperoleh selama perkawinan, ditambah 1/3 X harta bersama yang

diperoleh suami bersama dengan istri pertama dan istri kedua, ditambah ¼ X

57
Mahkamah Agung RI, Buku II : Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, (Jakarta:
Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, 2013), Hal 135-136.

50
harta bersama yanng diperoleh suami bersama istri ketiga, istri kedua dan

istri pertama, ditambah 1/5 X harta bersama yanng diperoleh suami bersama

istri keempat, ketiga, kedua dan pertama

8) Harta yang diperoleh dari istri pertama, kedua, ketiga, dan keempat

merupakan harta bersama dengan suaminya, kecuali yang diperoleh suami

atau istri dari hadiah atau warisan-warisannya.

9) Pada saat melakukan permohonan izin poligami, suami wajib pula

mengajukan permohonan penetapan harta bersama dengan istri sebelumnya

atau istri yang pertama, atau harta bersama dengan istri-istrinya sebelumnya.

Dalam hal ini suami tidak mengajukan permohonan penetapan harta bersama

yang digabungkan dengan permohonan izin poligami, istri atau istrinya dapat

mengajukan rekonvensi penetapan harta bersama.

10) Dalam hal suami tidak mengajukan permohonan penetapan harta bersama

yang digabungkan dengan permohonan izin poligami dan istri terdahulu tidak

menngajukan rekonvensi penetapan harta bersama dalam perkara permohonan

izin poligami sebagaimana dimaksudkan diatas, permohonan penetapan izin

poligami harus dinyatakan tidak dapat diterima. \

A. Duduk Perkara No. 1722/Pdt.G/2020/PA.PWT

Bahwa Pemohon WARKIM bin SUPARNO telah menikah dengan

termohon, yaitu seorang perempuan bernama MINAH bin KASMIDI, pada ssat

itu permohon telah berusia 52 Tahun, sedangkan termohon berusia 45 Tahun,

yang dilaksanakan pada tanggal 1 Desember 1992, pemohon telah

melangsungkan pernikahan dengan termohon yang dicatat oleh Pegawai Pencatat

Nikah KUA Kecamatan Tulang Bawang Tengah. Sesuai dengan Kutipan Akta

51
Perkawinan No. 1722/Pdt.G/2020/PA.PWT tanggal 1 Desembet 1992, dari

perkawinan tersebut telah dikaruniai 4 (empat) orang anak laki-laki.

Bahwa pemohon hendak menikah lagi (poligami) dengan seorang perempuan

bernama KASIATI binti ATMOWIARJO SIKIN sebagai calon isteri kedua

pemohon yang saat ini berusia 47 tahun. Pemohon dan calon kedua isteri

pemohon telah menjalankan hubungan sejak lama. Bahwa keduanya ingin

mengesahkan hubungan antara pemohon dengan KASIATI binti ATMOWIARJO

SIKIN yang memang sebelumnya sudah melakukan pernikahan siri (islam).

Bahwa Termohon tidak keberatan apabila Pemohon menikah lagi dengan

perempuan, berdasarkan surat pernyataan diatas yang telah ditandatangani

termohon mengenai pemberian izin poligami.

Bahwa pemohon menyatakan secara tertulis akan berlaku adil baik kepada

isteri pertama maupun isteri kedua sesuai dengan surat pernyataan berlaku adil

yang telah ditandatangani pemohon. Bahwa harta yang dimiliki Pemohon dan

Penghasilan Pemohon setiap bulannya dirasa cukup untuk menghidupi Termohon

dan anak-anaknya, serta calon isteri Pemohon. Hal ini sesuai dengan surat

pernyataan penghasilan yang ditandatangani Pemohon. Bahwa pemohon

mengajukan Permohonan Izin Poligami mendasar pada UU No. 1 tahun 1974

pasal 5 ayat (1) mengenai syarat izin poligami. Bahwa selama pernikahan

Pemohon dan Termohon memiliki harta bersama, sebagaimana dalam pernyataan

harta kekayaan milik bersama yang ditandatangani pemohon dan termohon antara

lain benda tidak bergerak yaitu Perkebunan karet dan Konveksi, dan benda

bergerak yaitu satu buah mobil Toyota Innova Venture, satu buah sepeda motor

Suzuki.

52
Berdasarkan uraian diatas pemohon memohon kepada ketua Pengadilan

Agama Purwokerto, yang memeriksa dan mengadilkan perkara tersebut, berkenan

memberikan putusan hukum tentang izin poligami kepada pemohon WARKIM

bin SUPARNO dengan calon isteri kedua KASIATI binti ATMOWIARJO

SIKIN.

B. Amar Putusan

Terhadap kasus diatas, Pengadilan Agama Purwokerto melalui putusan

nomor 1722/Pdt.G/2020/PA.PWT. Hakim Pengadilan Agama Purwokerto

menjatuhkan amar putusannya berbunyi sebagai berikut:

1. Menerima dan mengabulkan permohonan izin poligami dari pemohon;

2. Menetapkan memberikan izin kepada pemohon (PEMOHON) untuk

melakukan pernikahan dengan calon isteri permohon (KASIATI binti

ATMOWIARJO SIKIN);

3. Menetapkan harta bersama yang tersebut dalam posita ke-10 yakni benda

tidak bergerak antara lain Perkebunan karet dan Konveksi, serta benda

bergerak antara lain satu buah mobil toyota Innova Venture dan satu buah

motor suzuki.

4. Membebankan biaya perkara menurut hukum yang berlaku.

Bahwa, pada hari persidangan yang telah di tetapkan Pemohon dan

datang sendiri menghadap di persidangan sedangkan Termohon tidak pernah

hadir atau mengirimkan wakilnya yang sah untuk mewakili dirinya,

meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut sebanyak 2 (dua) kali, dan

tidak ternyata kehadirannya karena alasan yang sah.

Bahwa perkara ini tidak menempuh prosedur mediasi dengan bantuan

mediator Hakim karena Termohon tidak pernah hadir. Bahwa, Majelis telah

53
berusaha menasehati pemohon namun tidak berhasil. Kemudian dibacakan

surat permohonan Pemohon yang isi serta maksudnya tetap dipertahankan

oleh Pemohon.

C. Pertimbangan Hakim

Bahwa, atas permohonan Pemohon, Pihak Termohon memberikan jawaban

secara tanggal yang pada pokonya sebagai berikut:

- Bahwa Termohon mengakui seluruh dalil-dalil Permohonan Pemohon;

- Bahwa Termohon tidak keberatan dan rela untuk dimadu dengan calon isteri

kedua Pemohon yang bernama KASIATI binti ATMOWIARJO SIKIN;

- Bahwa benar dari pernikahan Pemohon dengan Termohon telah memiliki

harta bersama sebagaimana posita ke-10 dan harta-harta tersebut tidak bisa

diiganggu gugat oleh isteri kedua;

- Bahwa berdasarkan jawaban tersebut mohon agar Pengadilan memberikan

putusan yang seadil-adilnya;

- Menimbang bahwa berdasarkan pengakuan Termohon, kemudian

dihubungkan dengan bukti bukti yang diajukan oleh pemohon di persidangan,

maka majelis haki telah menemukan fakta sebagai berikut:

1. Bahwa, Pemohon akan menikah lagi seorang perempuan bernama KASIATI

binti ATMOWIARJO SIKIN dan atas keinginan tersebut pemohon telah

mendapatkan persetujuan dari termohon/ tidak keberatan untuk dimadu dan

begitu pula dengan isterinya.

2. Bahwa, antara pemohon dengan calon istrinya tidak ada larangan untuk

menikah, baik menurut hukum islam, maupun peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

54
3. Bahwa, Pemohon termasuk orang yang mampu/ sanggup untuk menafkahi

dan berlaku adil kepada isteri/ isterinya.

4. Bahwa, keluarga masing-masing mengetahui dan telah setuju tentang

rencana perkawinan tersebut.

5. Bahwa, Termohon rela dan mengizinkan Pemohon untuk menikah lagi

dengan calon isterinya yang kedua disebabkan Termohon tidak dapat

menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri karena Vertigo.

6. Bahwa, keterangan-keterangan dari pemohon maupun bukti dari keterangan

saksi-saksi tersebut dibenarkan oleh Termohon, dan tidak dibantah oleh

Termohon.

7. Bahwa, Termohon tidak mengajukan bukti-bukti di persidangan meskipun

telah diberi kesempatan untuk itu.

8. Bahwa, Pemohon telah menyampaikan kesimpulan yang pada pokoknya:

bahwa dalil-dalil permohonan Pemohon telah diakui seluruhnya oleh

Termohon yang syarat-syarat bepoligami juga telah dipenuhi oleh

Pemohon.

9. Bahwa, Termohon mengajukan kesimpulan juga pada pokoknya Termohon

tetap pada jawabannya dan bersedia dimadu dengan calon isteri yang kedua

dengan syarat-syarat yang sudah disepakati oleh Pemohon.

D. Analisis Putusan

Putusan merupakan keputusan pengadilan atas perkara berdasarkan adanya

suatu permasalahan/ sengketa, dalam arti putusan adalah produk pengadilan

dalam perkara-perkara contentiosa.58 Berdasarkan hasil wawancara dengan

58
Disebut contentiosa karena adanya 2 (dua) pihak yang berlawanan dalam perkara. Mardani, Hukum Acara
Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), Hal. 118

55
Hakim Pengadilan Agama Purwokerto, sependapat bahwa yang menjadi dasar

pertimbangan para hakim dalam memutus permohonan izin poligami adalah

sebagai berikut:

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta tersebut diatas, bahwa pemohon

untuk menikah lagi dengan seorang perempuan bernama KASIATI binti

ATMOWIARJO adalah cukup beralasan bagi hakim dalam memutus perkara ini

karena telah memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut yaitu:

1. Peraturan Perundang-Undangan

1) Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

yang berbunyi pengadilan, dapat memberi izin memberi ijin terhadap suami

untuk beristri lebih dari seorang apabila di kehendaki oleh pihak pihak yang

bersangkutan.59

2) Pasal 4 ayat (2) Huruf a dan b Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, yang berbunyi: “adanya alasan bahwa, isteri tidak dapat

menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau

penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan

keturunan.”

3) Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

yang berbunyi:

a. Adanya persetujuan dari istri atau istri istrinya;

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan

hidup istri-istri dan anak-anak mereka;

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak

anak mereka.60

59
Drs.H.Khamimudin,M.H., Hakim Pengadilan Agama Purwokerto, Wawancara, Purwokerto, 3 Januari 2023.
60
Jo. Pasal 56 – 57 dalam Kompilasi Hukum Islam

56
4) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-

Undang Perkawinan, di dalam Pasal 40, 41, 42, dan Pasal 44. Pada pokoknya

semua tata cara pelaksanaan berpoligami yang dilakukan oleh Pemohon

terhadap Pengadilan, terhadap Termohon semuanya diterima dan tidak ada

bantahan dari Termohon untuk menolaknya.

5) Jo. Pasal 58 Kompilasi Hukum Islam

Dalam al-qur’an terdapat ayat yang berkenaan tentang poligami, yaitu di

dalam Surat An-Nisa ayat 3 yang artinya sebagai berikut: “maka kawinilah

wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika

kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang

saja…”(Q.S.An-Nisa).61

2. Berdasarkan Surat Pernyataan

Surat pernyataan merupakan surat yang menyatakan kemampuan atau

kesanggupan atau kesediaan seseorang atau kelompok melakukan sesuatu atau

bertanggung jawab terhadap kemauan dirinya mengenai resiko yang akan terjadi.

Dalam hal ini diantaranya surat pernyataan isteri pertama, surat pernyataan

kesanggupan memenuhi kebutuhan hidup para isteri dan anak-anaknya, surat

pernyataan kesanggupan untuk selalu berlaku adil terhadap para isteri dan anak-

anaknya, surat pernyataan calon isteri kedua untuk tidak mengganggu gugat harta

bersama yang telah ada dengan isteri pertama.

3. Berdasarkan Keterangan Para Saksi Di bawah Sumpah

Saksi merupakan orang yang dapat memberikan keterangan di depan hakim guna

kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang sesuatu yang ia alami,

mendengar, merasakan dan melihat dengan sendiri suatu peristiwa atau kejadian dalam

61
https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-3. Diakses pada tanggal 17 Desember 2022.

57
perkara yang di persengketakan.62

Menimbang, bahwa karena Permohonan Pemohon tersebut juga sesuai dengan

ketentuan yang diatur dalam Pasal 35 dan 36 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, Jo. Pasal 85, 86, 87 dan 94 Kompilasi Hukum Islam.

Menimbang dari Pasal ayat tersebut diatas, maka seseorang dibolehkan akan

menikah lagi (berpoligami) dengan perempuan lain yang ia senangi dan sanggup

berlaku adil terhadap istri-istrinya tersebut.

Demikian, berdasarkan semua pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut diatas,

maka Majelis hakim Pengadilan berpendapat bahwa Permohonan Pemohon untuk

menikah lagi (berpoligami) dengan perempuan bernama KASIATI binti

ATMOWIARJO SIKIN telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku dan karenanya patut diterima dan dikabulkan.63

Penulis melihat dari amar putusan nomor 1722/Pdt.G/2020/PA.PWT, tentang izin

poligami dikabulkan dan memberi izin kepada pemohon WARKIM bin SUPARNO

untuk menikah lagi (poligami) dengan calon isteri bernama KASIATI binti

ATMOWIARJO SIKIN. Majelis Hakim memberikan izin atas dasar dan pertimbangan

hukum permohonan yang diajukan oleh pemohon dalam memutus perkara izin

poligami dan majelis hakim menganggap sudah cukup bukti dan beralasan sehingga

izin poligami kabulkan.

2. Hambatan Dalam Pelaksanaan Pemberian Izin Poligami Oleh Hakim Pengadilan

Agama Purwokerto

Tugas pokok badan Peradilan merupakan menerima, memeriksa, mengadili, dan

menyesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Dalam rangka melaksanakan tugas

pokok tersebut. Hakim wajib membuat keputusan atau penetapan terhadap semua
62
Abdul Manan, (2006), Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet.4, (Jakarta:
Kencana, Hal. 249
63
Drs.H.Khamimudin,M.H., Hakim Pengadilan Agama Purwokerto, Wawancara, Purwokerto, 3 Januari 2023

58
perkara yang disidangkan. Dalam hukum beracara mengenai verstek telah diatur dalam

pasal 125-129 HIR dan Pasal 149-153 RBg. Dalam peraturan putusan verstek diartikan

putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim tanpa hadinya tergugat, ketidakhadirannya

itu tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut (default

without reason).64

Dalam praktik acara di lingkungan Peradilan Agama terhadap putusan verstek ini

masih ada perbedaan pendapat di kalangan praktisi hukum. Sebagian mereka

mengatakan bahwa dalam perkara perceraian, izin poligami apabila tergugat tidak hadir

dalam sidang pertama dan kedua padahal sudah dipanggil secara resmi dan patut, maka

terhadap perkara tersebut dapat diputus secara verstek tanpa dibuktikan terlebih dahulu.

Sebagian lagi mengatakan bahwa apabila tergugat (termohon) telah di pangil secara

patut dan resmi dan ternyata tergugat (termohon) tidak hadir tanpa alasan yang sah,

maka perkara tersebut baru boleh diputuskan kalau sudah diperiksa dengan teliti dan

telah terbukti dalil gugat yang diajukan, karena pembuktian dalam perkara itu mutlak

diperlukan.

Sehubungan dengan hal tersebut para praktisi hukum di Pengadilan Agama harus

hati-hati dalam menjatuhkan putusan verstek dalam perkara perceraian maupun

pemberian izin poligami, sebab banyak aspek yang harus dipertimbangkan, rumit, dan

sangat kompleks. Apabila tergugat (termohon) telah dipanggil secara resmi dan patut

sebanyak 2 (dua) kali, dan tergugat (termohon) tidak mengirimkan wakilnya yang sah

dalam sidang yang telah ditetapkan, maka putusan tersebut telah berkekuatan hukum.

Berikut faktor-faktor penyebab putusan verstek dalam Putusan Nomor

1722/Pdt.G/2020/PA.PWT, yaitu:

1. Tergugat (Termohon) tidak hadir dan tidak mengirimkan wakilnya

64
Abdul Manan, (2006), Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Cet,1; Jakarta:
Kencana, Hal. 212

59
Dalam pertimbangan hakim dalam menjatuhkan dan memutus putusan verstek,

dikarenakan pihak Termohon tidak hadir dan tidak pula mengirimkan wakilnya

yang sah meskipun ia telah dipanggil dengan secara resmi dan patut untuk hadir

pada saat persidangan yang telah ditentukan.

2. Tergugat tidak keberatan untuk suaminya melakukan poligami

Putusan verstek dipengaruhi juga oleh ketidakeberatannya pihak tergugat

(termohon), sekalipun ia tidak hadir namun tidak keberatan bersedia untuk dimadu

dan mengizinkan suaminya berpoligami dengan calon isteri kedua. Hal ini dapat

dilihat dari pihak yang tidak hadir, biasanya ada yang mengirimkan surat

pernyataan dari pihak tergugat (termohon) yang menyatakan bahwa ia tidak

keberatan untuk suaminya menikah lagi.65

Dalam Menangani perkara poligami tidak selamanya berjalan mulus tentu

hakim akan menemui hambatan-hambatan dalam menangani perkara tersebut.

Adapun hambatan-hambatan yang ditemui dalam putusan ini, yaitu:

a. Bahwa, pada hari persidangan yang telah ditetapkan Pemohon dan datang sendiri

menghadap dipersidangan sedangkan Termohon tidak pernah hadir atau

mengirimkan wakilnya yang sah untuk mewakili dirinya, meskipun telah dipanggil

secara resmi dan patut sebanyak 2 (dua) kali, dan tidak ternyata kehadirannya karena

alasan yang sah.

b. Bahwa, perkara ini tidak menempuh prosedur mediasi dengan bantuan mediator

Hakim karena Termohon tidak pernah hadir.

c. Bahwa, Majelis Hakim telah berupaya menasehati kedua belah pihak berperkara

terutama kepada Pemohon tetapi Pemohon agar tetap mempertahankan satu isteri

namun usaha tersebut tidak membuahkan hasil.

65
Drs.H.Khamimudin,M.H., Hakim Pengadilan Agama Purwokerto, Wawancara, Purwokerto, 3 Januari 2023

60
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa hakim dalam

memutus perkara nomor 1722/Pdt.G/2020/PA.PWT, menitikberatkan kepada

keterangan-keterangan diajukan oleh pemohon yang mana keterangan-keterangan

tersebut tidak dibantah oleh termohon, dan termohon mengizinkan bahwa suami

boleh menikah lagi (berpoligami) dengan perempuan bernama KASIATI binti

ATMOWIARJO SIKIN, walaupun termohon tidak hadir pernah hadir dalam

persidangan.

61
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan yang berkaitan dengan

apa yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Agama Purwokerto dalam

pelaksanaan pemberian izin poligami, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai

berikut:

1. Pelaksanaan pemberian izin poligami, Bahwa Majelis Hakim tetap berdepoman

kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan

dan KHI. sebenarnya hakim memutus dengan menitikberatkan pada Pasal 3 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi

“pengadilan dapat memberi izin memberi ijin terhadap suami untuk beristri lebih

dari seorang apabila di kehendaki oleh pihak pihak yang bersangkutan”, dan Pasal 4

ayat (2). Beberapa pertimbangan yang digunakan hakim dalam memberikan izin

poligami yaitu:

a. Pemohon telah membuat pernyataan akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya

di muka Persidangan.

b. Termohon telah membuat pernyataan bahwa dirinya tidak keberatan untuk

dimadu.

c. Pernyataan Pemohon di muka Persidangan tentang jaminan kemampuan

terhadap keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

d. Hakim melihat bahwa:

1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;


2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan.

Jadi, Majelis Hakim dalam memberikan izin atas dasar dan pertimbangan

dalam memutus perkara izin poligami, sudah cukup bukti dan beralasan

sehingga izin poligami tersebut didapat dikabulkan.

2. Hambatan atau kendala yang dihadapi hakim dalam pengambilan keputusan terkait

dengan permohonan izin poligami dalam putusan Nomor

1722/Pdt.G/2020/PA.PWT, menurut Penulis berdasarkan wawancara dengan bapak

hakim PA Purwokerto bahwa hakim telah memutus verstek karena Termohon tidak

pernah hadir dalam persidangan walaupun sudah dipanggil secara resmi dan patut

sebanyak 2 kali, dan termohon tidak pernah mengirimkan wakilnya yang sah dalam

persidangan. Namun putusan ini tetap sah dimata hukum karena sudah mengikuti

ketentuan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

B. Saran

Berdasarkan kasus yang menjadi topik pembahasan dalam penulisan skripsi

ini, maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Hakim dalam memutus izin poligami selain menerapkan ketentuan yang sudah

berlaku seharusnya juga dapat mempertimbangkan keadilan terhadap perempuan.

Karena tidak ada satupun perempuan yang rela atau ingin berbagi suaminya dengan

perempuan lain walaupun dirinya mengizinkan karena dengan alasan lain.

2. Sebaiknya Termohon dalam putusan permohonan pemberian izin poligami yang

diajukan oleh Permohon, Termohon ikut serta atau hadir dipersidangan karena untuk

memudahkan hakim dalam memutus perkara pemberian izin poligami supaya

termohon juga benar-benar mendapatkan putusan yang seadil-adilnya atau tidak

diputus dengan secara verstek.

63
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ahmad Rafiq, (2000), Hukum Islam di Indonesia, PT. RajaGrafindo, Jakarta.

Abdul Manan, (2006), Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan


Agama, Cet.4, (Jakarta: Kencana).

Bibit Suprapto, (1990), “Liku-Liku Poligami”, (Yogyakarta: Al- Kautsar).

Mardani, (2010), Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah,
(Jakarta: Sinar Grafika).

Friedman, (1990), Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas Teori-teori Hukum
Rajawali Press, Jakarta.

Notohamidjojo, (1971), Masalah keadilan, Tirta Amerta, Semarang.

Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami

Moh Zahid, (2002), Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan UndangUndang Perkawinan,
Departemen Agama RI Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.

Soetanto Soepiadhy, Keadilan Hukum, Surabaya, diakses pada tanggal 21 juni 2022

Susanti, D. O. (2016). Urgensi Pencatatan Perkawinan (Perspektif Utilities).


Rechtidee.

Supardi Mursalin, Menolak Poligami (studi tentang undang undang perkawian dan
hukum islam)

Sulaiman Rasjid, (2010), Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung.

Tihami, Sohari Sahrani, (2010) Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap,( Jakarta
: Rajawali Pers.

M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, (2014), Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah
Lengkap), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Mahkamah Agung RI, (2013), Buku II : Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Peradilan Agama, (Jakarta: Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama).

Wiliam Moris, (1979), The Heritoge Iilustrased Dictionary of the English Language, vol
II, Hougth Mifflin Company, Boston.

Zainuddin Ali, (2009), Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Zahari, A. (2014). Telaah Terhadap Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam. Masalah-
Masalah Hukum.
Jurnal:
A, Rodli Maknum, Evi dan Lia Amalia,(2009), Poligami dalam Penafsiran Muhammad
Syahrur, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press).

Abdul Djamali, (2002), Hukum Islam (Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium


Ilmu Hukum), Masdar Maju, Bandung.

Depri Liber Sonata, (2014), Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Fakultas
Hukum dan Universitas Lampung.

Hasyim, D, (2007), Tinjauan Teoritis Asas Monogami Tidak Mutlak Dalam Perkawinan,
MIMBAR: Jurnal Sosial dan Pembangunan

Maharani, S.D. (2016), Manusia Sebagai Homo Economicus: Refleks Atas Kasus-Kasus
Kejahatan Di Indonesia, Jurnal Filsafat.

Nawi, S.,& Salle, S, (2020), Analisis Pengaruh Berbagai Variabel Terhadap Permohonan
Dispensasi Pernikahan, Jurnal Of Lex Philosophy.

Surjati, (2014), Tinjauan Kompilasi Hukum Islam Terhadap Poligami Di Indonesia, Jurnal
Universitas Tulungagung BONOWORO Vol, 1 No 2.

Santoso, S. (2014), Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum


Islam dan Hukum Adat. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam.

Undang-Undang:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang


Perkawinan

Kompilasi Hukum Islam

Skripsi:
Esi Amanda, (2020), Pemberian Izin Permohonan Poligami, (Universitas Muhammadiyah
Magelang.
NOPI.Y.(2018) DAMPAK POLIGAMI TERHADAP KEHARMONISAN KELUARGA
(Studi Kasus di Desa Surabaya Udik Kecamatan Sukadana Kabupaten Lampung Timur
Rika Alfitri, (2021), Persepsi Masyarakat Terhadap Praktik Poligami Tanpa Izin di
Desa Muara Danau Kecamatan Pelawan Kabupaten Sarolangun
Firman Syahputra, (2021), Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Poligami Di Tinjau
Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Putusan
Nomor 5 /Pdt.G/2019/PA.Gst)
Internet:
Erizka permatasari S, H. (2021, April 28). Hukum Online. Dikutip : 19 Februari 2022, dari
Hukum Online.com:https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukum-poligami-dan-prosedurnya-
yang-sah-di-indonesia- lt5136cbfaaeef9
Departemen Pendidikan Nasional, E-book Kamus Besar Bahasa Indonesia
https://kemenag.go.id/read/perkawinan-ideal-adalah-perkawinan-monogami-0em5, diakses
pada tanggal 14 Desember 2022
https://banten.kemenag.go.id/det-berita-poligami-dalam--perspektif--khi.html. Diakses pada
tanggal 17 Desember 2022

https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukum-poligami-dan-prosedurnya-yang-sah-di-
indonesia-lt5136cbfaaeef9, diakses pada tanggal 17 desember 2020.

https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-3. Diakses pada tanggal 17 Desember 2022

Anda mungkin juga menyukai