Anda di halaman 1dari 338

DISERTASI

HAKIKAT PERLINDUNGAN HUKUM BAGI


KONSUMEN AKIBAT IKLAN YANG MERUGIKAN
BERBASIS NILAI KEADILAN

OLEH:
IB Gede Agustya Mahaputra
1331800002

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
2021
DISERTASI

HAKIKAT PERLINDUNGAN HUKUM BAGI


KONSUMEN AKIBAT IKLAN YANG MERUGIKAN
BERBASIS NILAI KEADILAN

HALAMAN JUDUL

Disertasi Ini diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar
Doktor pada Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

OLEH:
IB Gede Agustya Mahaputra
1331800002

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
2021
DISERTASI

HAKIKAT PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN


AKIBAT IKLAN YANG MERUGIKAN BERBASIS NILAI
KEADILAN
LEMBAR PERSETUJUAN
Oleh :
IB Gede Agustya Mahaputra
1331800002

Disusun Untuk Ujian Terbuka Disertasi


Pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Telah disetujui pada tanggal: ………………………

Prof. Dr. Made Warka, SH.,M.Hum (……………………………)


Promotor
Dr. Hj. Endang Prasetyawati, SH.,M.Hum (……………………………)
Co-Promotor-1
Dr. Ni Luh Made Mahendrawati.,SH.,M.Hum (……………………………)
Co-Promotor-2

Mengetahui
Ketua Program Studi Doktor Hukum

Dr. Yovita Arie Mangesti, SH.,M.H, CLA.


DISERTASI
LEMBAR PENGESAHAN
HAKIKAT PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN
AKIBAT IKLAN YANG MERUGIKAN BERBASIS
NILAI KEADILAN

Oleh:
IB Gede Agustya Mahaputra
1331800002

Disertasi ini Telah Dipertahankan di Depan Tim Penguji Ujian Tertutup


Program Doktor Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Pada Tanggal 24 Agustus 2021

Pada Tanggal…………………………..

Ketua : Prof. Dr. Made Warka, SH.,M.Hum ………………….


Promotor

Anggota : Dr. Hj. Endang Prasetyawati, SH.,M.Hum ………………..


Co. Promotor I

Dr. Ni Luh Made Mahendrawati.,SH.,M.Hum ………………..


Co. Promotor II

Dr.Slamet Suhartono, SH.,MH ………………..

Dr.Hufron, SH.,MH …………………

Dr. Erny Herlin Setyorini, S.H., M.H ………………..


Prof. Dr L. Budi Kagramanto, S.H., M.H., M.M ………………

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : IB GEDE AGUSTYA MAHAPUTRA
NIM : 1331800002
Program : Doktor Hukum Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya

HAKIKAT PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN AKIBAT


IKLAN YANG MERUGIKAN BERBASIS NILAI KEADILAN

Adalah hasil karya sendiri dan bukan “duplikasi” dari karya orang lain.
Sepengetahuan saya, di dalam naskah disertasi ini tidak terdapat karya ilmiah
yang pernah di ajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu
perguruan tinggi, dan tidak dapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau di
terbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis di kutip dalam naskah ini
dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar bacaan.
Apabila ternyata di dalam naskah disertasi ini dapat di buktikan terdapat
unsur-unsur plagiasi, saya bersedia di gugurkan dan gelar akademik yang telah
saya peroleh (Doktor) dibatalkan, serta proses disesuaikan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Demikian pernyataan dibuat, tanpa adanya paksaan dan dipergunakan
sebagaimana mestinya.

Surabaya, September 2021


Yang menyatakan

IB Gede Agustya Mahaputra


KATA PENGANTAR

Puji syukur di panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat

rahmat serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian Disertasi yang

berjudul “Hakikat Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Akibat Iklan yang

Merugikan Berbasis Nilai Keadilan” yang merupakan penelitian dalam

pengembangan ilmu pengetahuan hukum utamanya hukum bisnis khususnya

hukum perlindungan konsumen yang mengedepankan kajian dari aspek filosofis,

sosiologis maupun yuridis.

Dalam penelitian ini, telah mendapatkan bimbingan, kritik,saran dan

motivasi yang sangat besar dari berbagai pihak Dalam kesempatan ini, izinkan

menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada, Yang Terhormat dan

terpelajar:

 Dr. H. Slamet Suhartono, SH.,M.Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas

17 Agustus 1945 Surabaya, yang selalu menuntun dan membimbing, sejak

menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945

Surabaya sampai penyelesaiannya disertasi ini.

 Prof. Dr. Made Warka, SH.,M.Hum, Selaku Promotor yang telah sabar

membimbing dan meluangkan waktu memberikan pemikiran, motivasi,

saran dan masukan kedalam materi disertasi ini

 Dr. Hj. Endang Prasetyawati, SH.,M.Hum, Ketua Program Doktor Ilmu

Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dan selaku co-promotor I,

yang telah sabar membimbing dan meluangkan waktu memberikan


pemikiran motivasi, saran dan masukan terkait proses penyelesaian disertasi

ini.

 Dr. Ni Luh Made Mahendrawati.,SH.,M.Hum Selaku Co-promotor II yang

telah sabar membimbing dan meluangkan waktu memberikan pemikiran,

motivasi, saran dan masukan yang terkait materi disertasi ini

 Dr.Hufron, SH.,MH, Dr. Erny Herlin SetyoriniS.H., M.H, dan Prof. Dr L.

Budi Kagramanto, S.H., M.H., M.M,, selaku penguji dengan penuh

kesabaran dan ketulusan hati dalam menguji dan mengarahkan serta

memberikan masukan yang konstruktif sebagai upaya penyempurnaan

penulisan disertasi ini.

 Prof. Dr. Mulyanto Nugroho, MM.,CMA.,CPAI, Rektor Universitas 17

Agustus 1945 Surabaya, yang telah memberikan kesempatan untuk

menempuh Pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum di Fakultas Hukum

Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

 Tenaga Pendidik Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Program Studi Doktor, Prof. Dr. Made Warka, SH.,M.Hum., Prof. Dr.

Teguh Prasetyo, SH.,M.Si., Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH.,MS.,

Prof.Dr. L. Budi Karmanto, SH.,MM.,MH., Prof. Dr. IBR Supanca,

SH.,MH., Prof. Dr Muhaddar, SH.,MH., Prof. Dr. Amirrudin Ilmar,

SH.,MS., Prof. Dr Nyoman Nurjaya, SH., MH., Budiarsih, SH.,MH.,Ph.D.,

Dr. Sri Setyajie, SH.,M.Hum., Dr. Erny Herlin Setyarini, SH., MH., Dr.

Krisnadi Nasution, SH.,MH., Dr. Otto Yudianto, SH.,MH. Yang telah


banyak memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada saya selama saya

menempuh pendidikan Doktor.

 Seluruh Tenaga Kependidikan Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus

1945 Surabaya yang telah banyak membantu kelancaran selama mengikuti

studi pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum.

 Dr. Drs. A.A Gede Oka Wisnumurti, M.Si, Ketua Yayasan Kesejahteraan

Korpri Provinsi Bali, yang selalu memberikan motivasi positif kepada saya

dalam menempuh pendidikan Ilmu Hukum.

 Prof. Dr. I Dewa Putu Widjana, DAP&SE.,Sp. PARK, Rektor Universitas

Warmadewa, yang selalu memberikan semangat dalam menempuh

pendidikan Doktor Ilmu Hukum .

 Prof. Dr. I Nyoman Putu Budiartha, SH,MH, Dekan Fakultas Hukum

Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, beserta Dosen dan Tenaga

Kependidikan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa yang selalu

mensuport saya.

 Seluruh Pimpinan, Rekan Dosen dan Tenaga Kependidikan Universitas

Warmadewa Denpasar

 Kedua orang tua IB Darsana dan Ibu Ni Luh Made Mahendrawati Adik IB

Hendra Prawira, IA Cynthia Saisaria Mandasari. yang selalu memberikan

dukungan moril dan semangat dalam meraih dan menyelesaikan pendidikan

Doktor Ilmu Hukum.


 Ni Made Soraya Meranggi istri tercinta dan IA Luna Kay Miranda anak

tersayang yang menjadi inspirasi saya dalam menyelesaikan Pendidikan

Doktor.

 Teman-teman seangkatan, dan juga kakak kelas dan adik kelas, yang selalu

memberikan motivasi untuk terus berusaha menyelesaikan penyusunan

disertasi ini.

 Teman-teman ketika SD, SMP, SMA, S-1, S-2, dan yang tidak dapat

sebutkan satu persatu di dalam disertasi ini, terima kasih atas

kebersamaannya selama menempuh studi.

Semoga hasil penelitian dalam disertasi ini dapat bermanfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan hukum utamanya hukum bisnis khususnya

hukum perlindungan konsumen. Tak ada yang dapat diberikan kepada mereka

selain iringan doa yang tulus ikhlas dan semoga amal baik mereka diterima dan

mendapat balasan yang baik dari Tuhan yang Maha Esa.

Surabaya, September 2021

IB Gede Agustya Mahaputra


RINGKASAN

Secara filsafati masalah perlindungan konsumen tidak semata-mata masalah


orang perorang, tetapi sebenarnya merupakan masalah bersama dan masalah
nasional sebab pada dasarnya semua orang adalah konsumen. Maka dari itu,
melindungi konsumen adalah melindungi semua orang. Oleh karena itu, persoalan
perlindungan hukum kepada konsumen adalah masalah hukum nasional. Dengan
demikian perlindungan terhadap konsumen bertujuan untuk menjamin
keselamatan, keamanan, dan kesehatan warga negara, sebagaimana Tujuan
Negara RI dalam Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945, Alinea ke IV:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
Secara yuridis, konsumen yang merupakan asset dan pelaku pembangunan
nasional turut serta dalam kegiatan ekonomi, wajib dilindungi oleh hukum.
Sebagaimana konsep negara hukum, Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 merupakan
kewajiban negara untuk melindungi hak-hak warga negaranya, dan setiap warga
negara berhak mendapatkan perlindungan hukum, dalam rangka meningkatkan
harkat dan martabatnya. Secara faktual (sosiologis) dapat diperhatikan, bahwa
pelaku usaha cenderung tidak mau bertanggung jawab terhadap konsumen atas
produknya yang membawa kerugian. Bahkan seringkali pelaku usaha
memojokkan konsumen dan mencari kelemahan korban, untuk menutupi dan
melepaskan tanggung jawabnya. Fakta-fakta sosial yang merugikan masyarakat
merupakan wujud kurangnya etika dan moral pelaku usaha.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan permasalahan
yaitu: (1) Bagaimanakah hakikat perlindungan hukum bagi konsumen akibat iklan
yang merugikan? (2) Bagaimanakah konsep perlindungan hukum bagi konsumen
akibat iklan yang merugikan berbasis nilai keadilan?
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis metode
penelitian hukum normatif, pendekatan yang digunakan adalah statute approach,
filosofie approach dan conceptual approach. Dengan pendekatan dan teori-teori,
serta konsep yang digunakan dapat memperoleh jawaban yang memuaskan
terhadap isu hukum yang dikemukakan dalam penelitian disertasi ini.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa Hakikat
perlindungan konsumen akibat iklan yang merugikan dapat ditelusuri dari
perspektif filsafat dari sudut pandang ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Secara ontologi diawali dengan menjawab “apa”, sehingga pengertian
perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam UUPK, diartikan sebagai
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan konsumen berupa perlindungan terhadap hak-hak konsumen, yang
diperkuat melalui perundangan agar pelaku usaha tidak bertindak sewenang-
wenang yang dapat merugikan hak-hak konsumen. Secara epistemologi menjawab
bagaimana cara konsumen terlindungi baik secara preventif maupun represif
sebagaimana teori perlindungan hukum Phillipus Hadjon. Terlindungi berbagai
kepentingan dan terlindungi HAM. Untuk itu ditunjang 2 model kebijakan yaitu
(1) Kebijakan Komplementer, berupa hak atas informasi dan; (2) kebijakan
Kompensatoris, berupa perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen
(hak atas kesehatan dan keamanan). Sedangkan secara aksiologi perlindungan
hukum bagi konsumen mempunyai daya guna untuk pemberian kepastian,
keamanan serta keseimbangan hukum antara produsen dan konsumen. Sedangkan
Konsep perlindungan hukum bagi konsumen akibat iklan yang merugikan
berbasis nilai keadilan kedepan berpijak dari teori keadilan Pancasila mencakup 3
(tiga) komponen keadilan yaitu: keadilan tukar menukar, keadilan sosial, dan
keadilan dalam membagi. Dengan mendasarkan nilai keadilan Pancasila, sila ke-2
dan ke-5 jelas adanya pengakuan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia termasuk hak-
hak konsumen yang berkaitan dengan kegiatan periklanan, konsumen memiliki
hak untuk mendapatkan informasi yang benar dan hak untuk mendapatkan ganti
rugi dari pelaku usaha, apabila merugikan konsumen, Untuk itu kedepan nilai
keadilan Pancasila, lebih menekankan fungsi konstitutif yaitu menentukan dasar
suatu tata hukum yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga
tanpa dasar yang diberikan oleh Pancasila itu hukum akan kehilangan arti dan
maknanya sebagai hukum. Dan Pancasila dengan fungsi regulatifnya, menentukan
apakah suatu hukum sebagai produk itu adil atau tidak adil. Dengan demikian
keberadaan nilai keadilan Pancasila yang dikonseptualisasi dalam asas hukum
merupakan conditio sine quanon, karena mengandung nilai-nilai moral dan etis
yang mengarahkan pembentukan hukum yang memenuhi nilai-nilai filosofis yang
berintikan rasa keadilan dan kebenaran, secara sosiologis yang sesuai dengan tata
nilai budaya dan nilai-nilai yuridis yang sesuai dengan hukum yang berlaku di
negara Indonesia.

Kata Kunci: Perlindungan, Konsumen, Berbasis Nilai Keadilan


ABSTRACT

Philosophically, the problem of consumer protection is a common problem


and a national problem, basically everyone is a consumer. Juridically, consumers
are assets and actors of national development. Factually (sociologically) business
actors sometimes do not want to be responsible to consumers for their products
that bring losses.
Based on the background, problems can be formulated, namely: (1) What
is the nature of legal protection for consumers due to harmful advertising? (2)
What is the concept of legal protection for consumers due to harmful advertising
based on the value of justice?
The research method used in this study is a type of normative legal
research method, as well as the approaches used include the statue approach,
philosophical approach and conceptual approach.
Based on the results of research and discussion, it shows that the nature of
consumer protection due to harmful advertising can be traced from the point of
view of ontology, epistemology, and axiology. Ontology consumer protection is
defined as all efforts to ensure legal certainty of consumer protection.
Epistemologically, it answers the way consumers are protected both preventively,
repressively, protected by various interests and protected by human rights. For
this reason, 2 policy models are supported, namely (1) Complementary Policy, in
the form of the right to information and; (2) compensatory policies, in the form of
protection of the economic interests of consumers. axiologically legal protection
for consumers is efficient for providing certainty, and legal balance between
producers and consumers. Meanwhile, the concept of legal protection for
consumers due to harmful advertisements based on the value of future justice is
based on the Pancasila justice theory with constitutive and regulatory functions.

Keywords: Protection, Consumers, Value-Based Justice


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................ii
LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................iii
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................iv
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI..................................v
KATA PENGANTAR...........................................................................................vi
RINGKASAN.........................................................................................................x
ABSTRACT..........................................................................................................xii
DAFTAR ISI.......................................................................................................xiii
DAFTAR TABEL DAN BAGAN.......................................................................xv
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang Masalah............................................................................1
1.2. Rumusan Masalah...................................................................................21
1.3. Tujuan Penelitian.....................................................................................22
1.4. Manfaat Penelitian...................................................................................22
1.5. Orisinalitas Penelitian..............................................................................22
1.6. Landasan Teori dan Penjelasan Konsep..................................................28
1.6.1. Landasan Teori...............................................................................28
1.6.1.1. Teori Keadilan..................................................................29
1.6.1.2. Teori Perlindungan Hukum..............................................46
1.6.1.3. Teori Pertanggungjawaban Hukum..................................63
1.6.1.4. Teori Perundang-Undangan..............................................67
1.6.2. Penjelasan Konsep..........................................................................82
1.6.2.1. Konsep Konsumen............................................................82
1.6.2.2. Konsep Pelaku Usaha.......................................................84
1.6.2.3. Konsep Iklan.....................................................................86
1.7. Metode Penelitian....................................................................................91
1.7.1. Jenis Penelitian...............................................................................91
1.7.2. Pendekatan Masalah.......................................................................92
1.7.3. Sumber Bahan Hukum...................................................................95
1.7.4. Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum...............................96
1.7.5. Analisa Bahan Hukum....................................................................97
1.8. Pertanggungjawaban Sistematika Penulisan...........................................98
BAB II HAKIKAT PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN
AKIBAT IKLAN YANG MERUGIKAN........................................................101
2.1. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam Kegiatan Periklanan
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia........................................101
2.1.1. Perlindungan Konsumen Dalam Kegiatan Periklanan Menurut.......
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan..........
Konsumen.....................................................................................103
2.1.2. Perlindungan Konsumen dalam Kegiatan Periklanan Menurut........
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran.......124
2.1.3. Perlindungan Konsumen dalam Tata Krama dan Tata Cara
Periklanan Indonesia....................................................................130
2.2. Politik Hukum Pembentuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dalam Kegiatan Periklanan....................................................................138
2.2.1. Sejarah Perlindungan Konsumen.................................................138
2.2.2. Tujuan Perlindungan Konsumen..................................................153
2.2.3. Politik Hukum Pembentuk UUPK dalam Kegiatan Periklanan...165
2.3 Yurisprudensi Mengisi Kekosongan Hukum........................................170
2.4 Hakikat Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Akibat Iklan yang
Merugikan..............................................................................................174
2.4.1. Perspektif Teori Perlindungan Hukum.........................................174
2.4.2. Perspektif Teori Perundang-undangan.........................................184
BAB III KONSEP PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN AKIBAT
IKLAN YANG MERUGIKAN BERBASIS NILAI KEADILAN.................194
3.1. Perbandingan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Beberapa Negara
...............................................................................................................194
3.1.1. Perlindungan Konsumen di Australia...........................................194
3.1.2. Perlindungan Konsumen di Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) 196
3.1.3. Perlindungan Konsumen di Amerika Serikat...............................201
3.2. Dasar Pertanggungjawaban Pelaku Usaha terhadap Konsumen...........212
3.2.1. Tanggung Jawab Berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum........212
3.2.2. Tanggungjawab Berdasarkan Wanprestasi..................................226
3.2.3. Tanggungjawab Mutlak................................................................234
3.2.4. Tanggungjawab Pelaku Usaha Berdasarkan Teori Keadilan.......244
3.3. Tanggungjawab Pidana dan Administrasi.............................................251
3.4. Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.......................266
3.4.1. Dasar Hukum Pembentukan BPSK..............................................269
3.4.2. Susunan dan Keanggotaan Badan Penyelesaian Sengketa................
Konsumen.....................................................................................270
3.4.3. Tugas dan Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. .
......................................................................................................272
3.4.4. Tahap penyelesaian sengketa melalui BPSK...............................275
3.5. Konsep Perlindungan Hukum Bagi konsumen Akibat Iklan yang
merugikan Berbasis Nilai Keadilan.......................................................287
3.5.1. Perspektif Teori Pertanggungjawaban Hukum.............................287
3.5.2. Perspektif Teori Keadilan.............................................................304
BAB IV P E N U T U P......................................................................................316
4.1. Kesimpulan............................................................................................316
4.2. Saran......................................................................................................317
DAFTAR BACAAN
DAFTAR TABEL DAN BAGAN

Tabel 1. Jenis Iklan yang Merugikan Konsumen...................................................18


Tabel 2. Substansi Penelitian Perlindungan Konsumen Terdahulu.......................23
Tabel 3. Ringkasan Perbedaan dan Persamaan Penelitian Terdahulu dengan..........
Penelitian yang Dilakukan.......................................................................28

Bagan 1. Skema Kerangka Konseptual Penelitian.................................................90


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah untuk mewujudkan

masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era

demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun I945, selanjutnya disebut UUD 1945. Dengan

demikian, pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat

mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka

barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak, sekaligus mendapatkan

kepastian atas barang dan atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa

mengakibatkan kerugian kepada konsumen. Pasal 27 UUD 1945 menegaskan

bahwa tiap-tiap warga negara berhak untuk memperoleh hidup yang layak bagi

kemanusiaan. Untuk memperoleh hidup yang layak bagi kemanusiaan, dalam

rangka mewujudkan kesejahteraan dan kecerdasan, perlu penyediaan barang dan

atau jasa dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan dengan harga yang

terjangkau oleh masyarakat sebagai konsumen.1

Upaya pemenuhan kebutuhan konsumen akan barang dan jasa, kehadiran

pelaku usaha sebagai penghasil produk barang dan jasa sangatlah penting. Namun

pada praktiknya para pelaku usaha akan mencari keuntungan yang setinggi-

Janus, Sidabaiok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Citra Aditya Bakti
1

Bandung, h. 1

1
2

tingginya sesuai dengan prinsip ekonomi, sebagaimana yang dikemukakan oleh

Adam Smith bahwa: “dengan pengorbanan sekecil-kecilnya untuk memperoleh

hasil tertentu atau dengan pengorbanan tertentu untuk memperoleh hasil

semaksimal mungkin”.2 Adanya kebutuhan konsumen atas barang dan jasa

tersebut, menyebabkan ketergantungan konsumen terhadap pelaku usaha. Kondisi

ini dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk menjadikan konsumen obyek bisnis

untuk meraup keuntungan yang besar, lewat strategi pemasaran yang ditetapkan

oleh perusahaan seperti: promosi, diskon, undian serta penerapan kontrak baku

yang merugikan konsumen. Ketergantungan konsumen tersebut, menyebabkan

kedudukan konsumen terhadap pelaku usaha tidak seimbang, karena posisi

konsumen berada di posisi yang lemah. Faktor utama yang menjadi kelemahan

konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini

terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen.

Berdasarkan penelitian kurangnya pengetahuan dan pemahaman konsumen

atas barang dan jasa, menyebabkan kerugian bagi konsumen karena konsumen

tidak mengetahui jika barang yang dibeli ternyata berkualitas rendah,

mengandung unsur penipuan, pemalsuan merek, iklan yang menyesatkan dan

sebagainya. Di samping itu dengan adanya persaingan usaha, seringkali

melahirkan praktik-praktik curang yang pada akhirnya merugikan konsumen.

Oleh karena itu konsumen perlu mendapatkan perlindungan hukum.

Berdasarkan kajian secara filosofi masalah perlindungan konsumen tidak

semata-mata masalah orang perorangan, tetapi sebenarnya merupakan masalah

2
http//:Earthlovesun.blogspot-com/Ekonomi, Masalah pokok Ekonomi, Sistem
Perekonomian, diakses tanggal 15 Desember 2019
3

bersama dan masalah nasional sebab pada dasarnya semua orang adalah

konsumen. Maka dari itu, melindungi konsumen adalah melindungi semua orang.

Oleh karena itu, persoalan perlindungan hukum kepada konsumen adalah masalah

hukum nasional juga. Dengan demikian perlindungan terhadap konsumen

bertujuan untuk menjamin keselamatan, keamanan, dan kesehatan warga negara,

sebagai tujuan negara.

Tujuan Negara Republik Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945, Alinea ke

IV yang menyatakan :

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara


Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Kedudukan posisi konsumen sebagai pihak yang lemah diakui juga secara

internasional, sebagaimana tercermin dalam Resolusi Majelis Umum PBB,

No.A/RES/39/248 Tahun 1985 tentang guidelines for consumer protection yang

menghendaki agar konsumen dimanapun mereka berada dari segala bangsa,

mempunyai hak-hak dasar tertentu, terlepas dari status sosialnya. Yang dimaksud

dengan hak-hak dasar tersebut adalah hak untuk mendapatkan informasi yang

jelas, benar, dan jujur, hak untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan, hak

untuk memilih, hak untuk didengar, hak untuk mendapatkan ganti rugi, hak untuk

mendapatkan kebutuhan dasar manusia, hak untuk mendapatkan lingkungan yang

baik dan bersih serta kewajiban untuk menjaga lingkungan itu, dan hak untuk

mendapatkan pendidikan dasar. PBB menghimbau seluruh anggotanya untuk

memberlakukan hak-hak konsumen tersebut di negaranya masing-masing.


4

Perlindungan konsumen merupakan hal penting karena pada umumnya konsumen

berada di posisi yang lemah di hadapan pelaku usaha, oleh karena itu

perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia

Indonesia seutuhnya berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia

yaitu Pancasila dan UUD 1945. 3

Berdasarkan ketentuan Pasal 28 UUD 1945 D ayat (1): setiap orang berhak

atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 28 l, ayat (4) Perlindungan,

pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab

Negara terutama pemerintah. Dengan demikian merupakan kewajiban Negara

melindungi hak-hak konsumen, sebagai bentuk pengakuan terhadap Hak Asasi

Manusia. Aspek filsafat Perlindungan hukum bagi konsumen merupakan hakikat

pembangunan nasional. Konsumen sebagai pelaku pembangunan, merupakan

asset dan potensi bangsa yang sangat berharga karena memiliki peran penting

dalam penumbuhan ekonomi suatu bangsa. Namun berkaitan dengan hubungan

konsumen dan pelaku usaha dalam kegiatan periklanan, belum ada perlindungan

hukum bagi konsumen, sehingga negara bertanggung jawab melindungi hak-hak

konsumen dan menjamin keadilan bagi konsumen.

Persoalan keadilan merupakan hal penting bagi konsumen, konsumen

berhak mendapatkan haknya setelah ia menunaikan kewajibannya, karena itu

pelaku usaha tidak boleh berlaku sewenang-wenang terhadap konsumen, berkaitan

dengan produk yang diedarkan di pasaran harus memenuhi standarisasi produk

Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari
3

Hukum Acara Serta Implementasinya, Kencana Jakarta, h. 2


5

sehingga tidak membahayakan dan mengancam keselamatan bagi konsumen.

Persoalan konsumen selalu menjadi perhatian, karena selain berhubungan dengan

kesehatan manusia, juga menyangkut nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan.

Dalam kenyataannya konsumen belum bisa mendapatkan perlindungan hukum,

saat konsumen tersebut akan membeli, menggunakan atau memanfaatkan suatu

barang dan atau jasa tertentu, dikarenakan produk yang dipasarkan mengakibatkan

kerugian, bahkan membahayakan keselamatan jiwa konsumen.

Berdasarkan perkembangan meningkatnya aktivitas bisnis dewasa ini yang

sudah tidak lagi terbatas pada wilayah-wilayah suatu Negara, menghasilkan

berbagai macam bentuk barang dan jasa yang dapat dinikmati oleh konsumen,

apalagi dengan didukung oleh teknologi dan informatika, maka semakin mudah

bagi konsumen untuk mengakses atau mendapatkan barang dan jasa yang mereka

butuhkan. Situasi ini di satu sisi sangat menguntungkan konsumen, namun disisi

yang lain justru memberikan dampak negatif ketika konsumen tidak selektif

dalam memilih barang dan jasa, karena bisa saja apa yang mereka beli tersebut

justru merugikan bahkan membahayakan jiwa dan keselamatan konsumen. Maka

dari itu dibutuhkan perangkat hukum dalam rangka memberikan perlindungan

bagi konsumen.

Secara yuridis, konsumen yang merupakan asset dan pelaku pembangunan

nasional turut serta dalam kegiatan ekonomi, wajib dilindungi oleh hukum. Apa

lagi negara Indonesia disebut sebagai negara hukum, sebagaimana yang tercantum

dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 Sebagai Negara yang berdiri diatas hukum,

merupakan kewajiban negara untuk melindungi hak-hak warga negaranya, dan


6

setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum, dalam rangka

meningkatkan harkat dan martabatnya. Hukum menggunakan institusi untuk

mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Menurut Aristoteles keadilan adalah

suatu kebijakan politik menjadi dasar dari peraturan negara dan peraturan

perundang-undangan lainnya. Ini merupakan ukuran tentang hak. Orang harus

mengendalikan diri dalam mencari keuntungan diri sendiri dengan merebut apa

yang merupakan kepunyaan orang lain, atau menolak apa yang seharusnya

diberikan kepada orang lain.4

Abdul R Saliman menegaskan untuk melindungi atau memberdayakan

konsumen diperlukan seperangkat aturan hukum. Oleh karena itu diperlukan

adanya campur tangan Negara melalui penetapan sistem perlindungan hukum

terhadap konsumen.5Perhatian terhadap masalah konsumen di Indonesia telah

dimulai sejak pemerintahan orde baru. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

(YLKI) memiliki andil yang besar dalam memperjuangkan hak-hak konsumen.

Upaya dan perjuangan YLKI memakan waktu hampir 20 tahun, sampai DPR

menyepakati UUPK, yang kemudian disahkan oleh presiden pada tanggal 20

April tahun I999 yaitu Undang-Undang Nomor 8 tahun I999 tentang Perlindungan

Konsumen (LN.1999-42, TLN.3281), yang selanjutnya dikenal dan disebut

dengan UUPK.6

Berdasarkan ketentuan UUPK, Pasal l angka 2 menyebutkan: konsumen

adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,

4
Muhammad.S.T, 2008, Armia, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya
Paramita, Jakarta, h. 63
5
Abdul R, Saliman dkk, 2006, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan,Kencana, Jakarta, h.219.
6
Zulham, 2013, Hukum Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, h. 2
7

baik bagi kepentingan sendiri, keluarga orang lain, maupun makhluk hidup lain

dan tidak untuk diperdagangkan. Dalam penjelasan pasal 1 angka 2 tersebut yang

dimaksudkan dengan konsumen adalah konsumen akhir sebagaimana yang

dikenal dalam kepustakaan ekonomi. dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah

ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir

adalah pengguna atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen

antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari

proses produksi suatu produk lainnya.

Pengaturan terhadap perlindungan konsumen sendiri, tidak hanya terdapat

dalam UUPK, tetapi juga terdapat di beberapa peraturan perundang-undangan

lainnya seperti Undang-Undang Nomor 7 tahun I996 Tentang Pangan. (LN. 1996-

99, TLN. 3656) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (LN.

2002.139, TLN.4252), Undang-Undang Nomor II Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik, (LN. 2008-58, TLN. 4843), yang selanjutnya dikenal

dengan Undang-Undang ITE. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 57

Tahun 2001 Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Peraturan

Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan

Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 58

Tahun 2001, Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

Perlindungan konsumen dalam UUPK pasal 1 angka 1 adalah segala upaya

yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada


8

konsumen. Selanjutnya dalam UUPK Bab ll mengatur tentang tujuan dan manfaat

perlindungan konsumen.

Pasal 2 Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan,


keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian
hukum

Pasal 3 Perlindungan konsumen bertujuan untuk:


a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri.
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha

Beberapa kasus konsumen sangat menghebohkan masyarakat seperti:

biskuit beracun di awal I989 yang menelan korban 29 orang, dan beberapa yang

pingsan kemudian dirawat di rumah sakit, tahun l990-an kasus bakso yang

terdapat senyawa kimia yang mengandung unsur boraks serta zat monosodium

glutamate (MSG) bumbu penyedap yang ternyata dapat menimbulkan kerusakan

otak, kemudian beberapa tahun lalu kasus bumbu penyedap Ajinomoto yang

ternyata mengandung lemak babi yang diharamkan oleh umat Islam. Kasus-kasus

konsumen terus berlangsung dan dapat dijumpai dalam berbagai bidang,

berdasarkan data yang terdapat dalam Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia,

sejak tahun 2000 terdapat berbagai macam pengaduan konsumen atas tindakan

pelaku usaha, dan kegiatan ini berlangsung di saat Negara kita telah mengeluarkan

undang-undang yang bertujuan untuk melindungi konsumen.


9

Secara faktual (sosiologis) dapat diperhatikan, betapa pelaku usaha tidak

mau bertanggung jawab terhadap konsumen atas produknya yang membawa

kerugian. Bahkan tak jarang pelaku usaha memojokkan konsumen dan mencari

kelemahan korban, untuk menutupi dan melepaskan tanggung jawabnya.

Fakta-fakta sosial yang merugikan masyarakat merupakan wujud kurangnya

etika dan moral pelaku usaha. Kita tidak dapat mengabaikan begitu saja fakta-

fakta hukum yang terjadi, yang sering dikeluhkan oleh masyarakat konsumen,

berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen selama ini, antara lain:

1. Keluhan terhadap keterlambatan pengiriman barang atau garansi servis.

2. Barang yang dikirim seringkali berbeda dengan apa yang sudah dipesan

Kualitas

3. Barang yang tidak bagus atau tidak sesuai dengan promosinya.

4. Pelayanan barang atau jasa yang buruk

5. Manipulasi barang dan/atau jasa yang ditawarkan dengan berbagai cara

6. Kecurangan dalam takaran atau timbangan

7. Iklan barang dan/atau jasa yang cenderung menyesatkan.7

Dewasa ini dengan kemajuan dan keterbukaan media informasi, masalah-

masalah aktual konsumen tidak hanya sebatas pada kualitas serta standarisasi

produk, tetapi juga berkaitan dengan promosi dan periklanan sebagai bagian dari

strategi pemasaran. Pemasaran merupakan sarana untuk mencapai tujuan

perusahaan yaitu meraih laba yang sebesar-besarnya melalui penjualan produk,

karena itu, perusahaan menerapkan dan menjalankan strateginya supaya pasar

7
Sofyan Lubis, 2008, Mengenal Hak-Hak Konsumen dan Pasien, Pustaka Yustitia
Yogyakarta, h. 3.
10

dapat diraih seluas mungkin dan produk terjual sebanyak-banyaknya. Kadang-

kadang strategi pemasaran yang ditempuh oleh sebuah perusahaan harus

berbenturan dengan kepentingan pihak lain seperti perusahaan-perusahaan pesaing

dan masyarakat konsumen. Di samping itu, perusahaan yang bersangkutan kerap

kali harus bekerja sama dengan pihak lain dalam melaksanakan kebijakan

pemasarannya, misalnya pengelola media massa (surat kabar, majalah, televisi

atau pembuat papan reklame (billboard) dan pemerintah.8

Promosi adalah suatu kegiatan pengenalan atau penyebaran informasi suatu

barang dan atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan jasa

yang akan diperdagangkan. Dalam bidang pemasaran promosi merupakan satu hal

yang tidak bisa diabaikan begitu saja, karena dalam menjual suatu produk, dengan

adanya promosi yang baik maka diharapkan produk akan terjual sesuai target atau

bahkan lebih.9 Periklanan merupakan media informasi sangat penting dalam

rangka promosi atau pemasaran suatu produk. Media ini malahan dipandang

sebagai sarana terpenting dari sejumlah media pemasaran yang dikenal dalam

perdagangan. Dengan demikian periklanan sangat erat sekali hubungannya dengan

dunia usaha, karena media iklan merupakan jembatan penting antara pelaku usaha

dan konsumen.

Iklan merupakan salah satu bentuk promosi yang banyak dipilih oleh pelaku

usaha, untuk mengkomunikasikan sesuatu tentang produknya kepada masyarakat

konsumen. Karena itu produsen menempuh berbagai macam cara supaya dapat

menyampaikan pesannya secara efektif dan efisien, dengan memilih media yang

8
Janus Sidabalok, Op.Cit, h 231.
9
Kartini R., 2006, Hukum Komersial, Universitas Merdeka, Malang,h.37
11

tepat, serta memperhatikan latar belakang pendidikan, tingkat, status sosial,

budaya, agama dari konsumen sebagai sasaran. Iklan dapat menarik perhatian dari

konsumen sehingga menggunakan suatu produk yang diiklankan, namun pada

kenyataannya apa yang diinformasikan dalam iklan tidaklah benar atau tidak

sesuai dengan yang sebenarnya, hal tersebut dapat dilihat pada iklan-iklan produk

kecantikan atau kosmetik, di mana lewat iklan yang disampaikan bahwa

konsumen akan memiliki kulit yang indah, cerah dengan hanya menggunakan

produk selama dua minggu, pada praktiknya setelah menggunakan produk

tersebut apa yang menjadi harapan dari konsumen tidak tercapai yang

menyebabkan konsumen mengalami kerugian seperti cacat, terkena penyakit

bahkan meninggal serta kerugian terhadap harta bendanya.

Pengaruh iklan terhadap konsumen sangatlah besar, sehingga iklan menjadi

salah satu faktor yang menentukan pembelian suatu barang/produk atau

menggunakan jasa ide tertentu, akibat dari adanya pengaruh informasi dan

persuasi iklan baik melalui televisi maupun media cetak seperti majalah, koran

dan sebagainya. Apalagi dengan kehadiran internet dewasa ini membuat pelaku

usaha semakin muda untuk mempromosikan produknya. Suka atau tidak, iklan

mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat baik

secara positif maupun negatif. Pengaruh positif iklan adalah memberikan

informasi kepada konsumen sehingga memudahkan konsumen memilih produk

apa yang digunakan. Melalui informasi yang didapat dari iklan, konsumen

dimudahkan untuk mengetahui keunggulan suatu produk dibandingkan dengan

produk yang lain sehingga konsumen dapat mempertimbangkan dengan seksama


12

sebelum memutuskan untuk memilih. Pengaruh negatifnya adalah iklan dapat

mempengaruhi konsumen untuk membeli produk yang sebenarnya tidak mereka

butuhkan. Masyarakat yang sebenarnya tidak membutuhkan barang dan/atau jasa

tertentu terkadang dengan adanya iklan terpengaruh untuk membeli dan/atau

memanfaatkan jasa tersebut karena di dalam iklan digambarkan seolah-olah

masyarakat membutuhkannya.

Sebagai sarana komunikasi dan pemasaran, iklan memegang peranan

penting, sehingga iklan haruslah jujur, bertanggungjawab, tidak bertentangan

dengan hukum yang berlaku, dan tidak boleh menyinggung harkat martabat

negara, agama, susila, adat, budaya, suku, golongan, serta iklan harus dijiwai oleh

asas persaingan yang sehat.10 Dalam transaksi jual beli antara konsumen dan

pelaku usaha menimbulkan hak dan kewajiban. Konsumen berhak mendapatkan

barang dan/ atau jasa dengan mutu dan kualitas yang baik, setelah dia

melaksanakan kewajibannya yaitu membayar harga yang disepakati, dan

merupakan hak dari pelaku usaha untuk menerima pembayaran dari konsumen,

dengan demikian pelaku usaha bertanggung jawab atas produk yang mereka

edarkan, dan menjamin bahwa produk tersebut aman untuk digunakan konsumen,

tidak mendatangkan kerugian, atau bahkan membahayakan jiwa dan keselamatan

konsumen. Karena itu konsumen berhak meminta pertanggungjawaban pelaku

usaha atas setiap produk barang dan/ atau jasa yang merugikan.

Tanggung jawab merupakan hasil yang ditimbulkan dari suatu perbuatan,

ketika seseorang melakukan suatu perbuatan maka perbuatan itu akan berdampak

10
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/04/07/hak-konsumen-terhadap-promosi
produk- melalui-iklan-548990.html diunduh 15 Desember 2019
13

kepada orang lain. Dampak atau akibat itu harus ditanggung oleh orang yang

melakukan perbuatan tersebut. Tanggung jawab dituntut karena ada suatu

kesalahan yang dapat merugikan hak dan kepentingan orang lain.11 Berkaitan

dengan perlindungan konsumen periklanan maka merupakan kewajiban pelaku

usaha untuk bertanggung jawab atas iklan yang menyebabkan kerugian bagi

konsumen. UUPK telah mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha,

sebagaimana yang tercantum dalam pasal l9 UUPK.

Pasal 19

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,


pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan
atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengembalian
uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,
atau perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari
setelah tanggal transaksi
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian
lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku
apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut
merupakan kesalahan konsumen

Mencermati ketentuan pasal 19 ayat (3) UUPK, ketentuan ini tidak dapat

dijadikan dasar bagi konsumen untuk meminta pertanggungjawaban hukum

pelaku usaha, karena tenggang waktu tujuh hari yang ditetapkan, tidak

memungkinkan bagi konsumen periklanan untuk menuntut haknya. Hal ini

menyebabkan tidak adanya perlindungan hukum bagi konsumen dalam kegiatan

periklanan. Singkatnya waktu yang ditetapkan undang-undang bagi konsumen,

dalam mengajukan tuntutan terhadap pelaku usaha, memberi peluang bagi pelaku
Muhammad.s.T,Armia,Op.Cit, h 63
11
14

usaha untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya terhadap konsumen atas

iklan yang merugikan. Pengaturan batas waktu yang singkat ini di satu sisi

menguntungkan pelaku usaha, tetapi di sisi lain sangat merugikan konsumen, dan

tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan.

Batas waktu tujuh hari bagi konsumen untuk menuntut hak mereka

sangatlah singkat, dan sulit bagi konsumen untuk mendapatkan haknya, apalagi

negara kita Indonesia yang dikenal dengan negara kepulauan. Karena itu perlu

adanya pengkajian yang lebih mendalam terhadap batas waktu penuntutan bagi

konsumen, sehingga ketentuan undang-undang yang dibentuk bisa memberikan

keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. UUPK sendiri, tidak memberikan

definisi tentang iklan, akan tetapi kita dapat menjumpai definisi iklan yang

terdapat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1999

tentang Label dan Iklan Pangan pasal 1 butir 4, iklan pangan adalah setiap

keterangan atau pernyataan mengenai pangan dalam bentuk gambar, tulisan atau

bentuk lain yang dilakukan dengan berbagai cara untuk pemasaran dan atau

perdagangan pangan yang selanjutnya dalam peraturan pemerintah ini disebut

iklan.

Adapun pengertian iklan menurut pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 32

tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan bahwa siaran informasi yang bersifat

komersil dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang dan gagasan

yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada

lembaga penyiaran yang bersangkutan. Iklan adalah bagian dari bauran promosi

(promotion mix) dan bauran promosi adalah bagian dari bauran pemasaran
15

(marketing mix). Secara sederhana iklan didefinisikan sebagai pesan yang

menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media.

Sedangkan periklanan (advertising) adalah segala biaya yang harus dikeluarkan

sponsor untuk melakukan presentasi dan promosi nonpribadi dalam bentuk

gagasan, barang atau jasa.12 Raymond Williams mengatakan iklan bagaikan

sebuah dunia magis yang dapat mengubah komoditas ke dalam situasi gemerlap

yang memikat dan mempesona, sebuah sistem yang keluar dari imajinasi dan

muncul ke dalam dunia nyata melalui media.13

Selanjutnya dalam pasal 1 butir 6 menyatakan bahwa :

Siaran iklan niaga adalah siaran iklan komersil yang disiarkan melalui
penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan,
memasyarakatkan dan atau mempromosikan barang atau jasa kepada
khalayak sasaran untuk mempengaruhi konsumen agar menggunakan
produk yang ditawarkan.

Kalimat “dengan berbagai cara untuk pemasaran dan perdagangan"

sebagaimana yang dirumuskan dalam peraturan pemerintah tersebut dapat

menimbulkan berbagai interpretasi karena ketentuan ini seolah-olah memberikan

kebebasan bagi pelaku usaha untuk melakukan berbagai cara dalam rangka untuk

pemasaran produknya.

Memperhatikan penayangan iklan di berbagai media, iklan selain hendak

memperkenalkan produk terhadap konsumen, iklan juga mengandung dua makna

yaitu pertama, berisi informasi mengenai suatu produk yang diperdagangkan

seperti kegunaan dan manfaat, iklan juga mengandung janji dari perusahaan atas

12
Philip Kotler dan Gary Armstrong, 2008, Principles of Marketing, Twelfth Edition,
Pearson Education,Inc, (Terjemahan Bahasa Indonesia)
13
Burhan Bungin, 2001, Imaji Media Massa, Konstruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan
Televisi Dalam Masyarakat Kapitalistik, Jendela, Yogyakartah.122
16

hasil yang akan diperoleh dengan menggunakan produk sebagaimana yang

diiklankan. Sehingga menjadi pertanyaan iklan yang bagaimanakah yang

dianggap melanggar ketentuan undang-undang? Jika undang-undang sendiri tidak

mengatur konsep iklan. Tersebarnya ketentuan periklanan dalam berbagai undang-

undang maupun peraturan tersebut, menimbulkan ketidak jelasan baik dari segi

substansi maupun norma hukum, sehingga menjadi pertanyaan aturan mana yang

harus diikuti?. Karena belum ada undang-undang khusus yang mengatur tentang

iklan.

Berdasarkan fakta banyak iklan yang justru melanggar hak-hak konsumen.

namun konsumen tidak dapat menuntut haknya karena kurangnya pengetahuan

mereka tentang hak-hak mereka sebagai konsumen, situasi ini membawa

ketidakseimbangan kedudukan pelaku usaha perusahaan periklanan maupun

konsumen, sehingga pelaku usaha berani mengiklankan produk mereka walaupun

dalam kenyataannya apa yang mereka sampaikan dalam iklan tersebut tidaklah

benar, yang dapat berakibat merugikan konsumen atau bahkan membahayakan

jiwa dan keselamatan konsumen.

Faktanya banyak kasus periklanan yang menimbulkan kerugian terhadap

konsumen. Walaupun dirugikan karena penayangan iklan, konsumen tidak dapat

menuntut, apa lagi jika tingkat pendidikan konsumen tersebut tergolong rendah,

bahkan banyak konsumen yang tidak tahu kepada siapa mereka harus menuntut

pertanggungjawaban serta upaya apa yang harus mereka lakukan, apa lagi jika

pelaku usaha berada di luar wilayah yang berbeda dengan konsumen. Selain

konsumen, tidak sedikit pula pelaku usaha yang lain dirugikan akibat penayangan
17

iklan, karena tak jarang pelaku usaha dalam mempromosikan produknya dalam

iklan, mendiskreditkan produk lain atau merendahkan produk lain sehingga

menyesatkan konsumen supaya tidak membeli produk dari pelaku usaha yang

lain.

Contohnya iklan minuman Extra Joss Vs E-Juss. Secara kronologis dalam

video iklan tersebut diperankan oleh Sule sebagai supir angkot yang di tengah

perjalanan mengalami keletihan (dalam iklan ini memakai kata “gembos”). Para

penumpang di angkot Sule yang beratribut seperti tokoh di iklan jenis minuman

suplemen merek lain, menegur Sule. Yang dimaksud adalah extra joss, karena

dalam iklan extra sebelumnya seluruh pemeran dalam iklan memakai kaos

berwarna kuning yang melambangkan wama extra joss. Kemudian sule meminum

suplemen (E-JUSS), dan setelah meminumnya ia kembali bertenaga dan menarik

angkotnya menggunakan tangan. Beberapa waktu kemudian, seakan Extra Joss

membalas iklan sindiran dari E-juss dengan iklan. Di iklan tersebut extra joss

memiliki semacam jargon yaitu “laki-laki minum rasa-rasa, ya nggak laki" bahkan

digambarkan para lelaki yang loyo bekerja tersebut meminum minuman berwarna

ungu yang menggambarkan wama E-Juss seperti dalam iklan Sule dan bersuara

perempuan.

Tabel berikut ini akan menyajikan beberapa iklan yang merugikan,

mengandung janji yang tidak benar, mendiskreditkan produk lain dan

menyesatkan konsumen, bahkan membahayakan jiwa dan keselamatan konsumen:


18

Tabel 1. Jenis Iklan yang Merugikan Konsumen

Jenis Iklan Isi (Substansi) Keterangan

Garnier (Produk Kecantikan) Kulit cerah bersinar dalam Mengandung janji yang tidak
dua minggu benar sehingga merugikan
konsumen
Hit (Obat Nyamuk Anti nyamuk yang murah Mengandung zat berbahaya
dan aman yang mengancam kesehatan
konsumen
Fren Pake Fren bayarnya pake Melanggar nilai-nilai
daun kesopanan masyarakat
XL Pasti murah, bayar 1 menit Iklan yang menyesatkan,
gratis nelpon dan sms 12 menggunakan kata gratis tapi
jam harus bayar
Clear Shampoo ketombe no 1 Mengandung opini yang
berlebihan dengan
menggunakan kata no 1
So Nice So Good Tumbuh lebih tinggi Mengandung janji yang tidak
daripada tidak dapat dipertanggungjawabkan
E-Jus Menambah tenaga Mendiskreditkan produk lain
Nissan March Irit bensin 1liter dapat Mengandung janji yang tidak
digunakan untuk 16 km benar
Sumber: Data hasil pengolahan penulis dari berbagai sumber

Secara faktual menunjukan peraturan perundang-undangan dibidang

konsumen dan peraturan terkait lainnya belum bisa memberikan perlindungan

hukum bagi konsumen, khususnya konsumen periklanan. Terbukti dengan

banyaknya iklan yang ditayangkan tidak sesuai dengan harapan konsumen, karena

janji yang disampaikan lewat iklan. menyangkut manfaat dan kegunaannya

tidaklah benar.

Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (yang selanjutnya

disebut BPSK) sebagai lembaga yang diberi tugas dan wewenang dalam

menyelesaikan sengketa konsumen, ternyata tidaklah cukup untuk memberikan

perlindungan hukum bagi konsumen, karena dalam kenyataannya badan ini hanya

terdapat di beberapa Kota dan Kabupaten seperti: kota Kupang, kota Samarinda,

kota Sukabumi, kota Bogor, kota Kediri, kota Mataram, kota Palangkaraya, kota
19

Padang, kabupaten Kupang, kabupaten Belitung, kabupaten Sukabumi, kabupaten

Bulungan. kabupaten Serang, kabupaten Ogan Komering Ulu, kabupaten

Indramayu, kabupaten Bandung dan kabupaten Tangerang.14

Pada praktiknya kehadiran BPSK masih jauh dari harapan konsumen, di

samping pembentukannya yang hanya terdapat di beberapa Kota/Kabupaten,

terbukti banyak pelanggaran terhadap konsumen, khususnya yang berkaitan

dengan periklanan yang seharusnya tidak terjadi jika BPSK melaksanakan tugas

dan wewenangnya sebagaimana amanat pasal 52 UUPK tentang tugas dan

kewenangan BPSK.

Tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen meliputi :

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan

cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsilidasi

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen

c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku

d. Melaporkan kepada penyidik umum apakah terjadi pelanggaran ketentuan

dalam undang-undang ini

e. Menerima pengaduan, baik tertulis maupun tidak tertulis dan konsumen

tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen

f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen

g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap

perlindungan konsumen

Susanti, A. Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari


14

Hukum Acara Serta Implementasinya, Kencana, Jakarta, h.76


20

h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang

dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini

i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi

ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang

tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen

j. Mendapatkan, meneliti, dan/atau memakai surat, dokumen, atau alat bukti

lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan

k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian di pihak konsumen

Sebagaimana diatur pada Pasal 54 UUPK, dinyatakan :

a. Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen membentuk majelis;

b. Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil

sedikit dikitnya 3 (tiga), orang yang mewakili semua unsur sebagaimana

dimaksud dalam pasal 49 ayat (3), serta dibantu oleh seorang panitera;

c. Putusan majelis bersifat final dan mengikat;

d. Ketentuan teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas majelis diatur

dalam surat keputusan menteri

Mengacu pada Pasal tersebut maka Putusan BPSK bersifat final dan

mengikat, sedikit memberi harapan kepada konsumen, sehingga mereka tidak

harus diperhadapkan dengan proses pengadilan yang memakan waktu dan biaya

yang tidak sedikit. Namun pada akhirnya ketentuan final ini tetap memberi

peluang untuk diselesaikan lewat jalur pengadilan dengan dikeluarkannya

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan
21

Keberatan Terhadap Putusan BPSK. Ketentuan ini pada akhirnya menjadi jalan

bagi perusahaan untuk melakukan upaya hukum terhadap keputusan BPSK yang

bagi mereka lebih menguntungkan konsumen.

Sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomor 659 K/Pdt.Sus/2012.

Tentang keberatan yang diajukan oleh PT. NISSAN MOTOR INDONESIA

terhadap putusan BPSK Provinsi DKI Jakarta No. O99/Pts.A/BPSKDKI/ll/2012

tanggal 16 Februari 2012 yang mengabulkan permohonan konsumen (Ludmilla

Arif) yang menuntut PT NISSAN berkaitan dengan iklan yang disampaikan

bahwa dengan menggunakan kendaraan ini hanya memerlukan 1 liter bensin

untuk jarak 16 km sehingga konsumen tertarik membeli kendaraan, pada

kenyataannya apa yang disampaikan tidaklah benar sehingga konsumen menuntut

lewat BPSK. Keputusan BPSK yang mengabulkan tuntutan konsumen setelah

diajukan keberatan terhadap MA, dalam putusannya justru membatalkan

keputusan BPSK.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk

meneliti tentang " Hakikat Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Akibat

Iklan yang Merugikan Berbasis Nilai Keadilan".

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat diutarakan beberapa

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah hakikat perlindungan hukum bagi konsumen akibat iklan yang

merugikan?
22

2. Bagaimanakah konsep perlindungan hukum bagi konsumen akibat iklan yang

merugikan berbasis nilai keadilan?

1.3. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian

ini maka terdapat tujuan penelitian, sebagai berikut:

1. Menganalisis dan menemukan hakikat perlindungan hukum bagi konsumen

akibat iklan yang merugikan.

2. Menganalisis dan menemukan konsep perlindungan hukum bagi konsumen

akibat iklan yang merugikan berbasis nilai keadilan.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan menghasilkan temuan baru dalam dunia teoritis

maupun praktis sehingga bermanfaat pada beberapa pihak, antara lain sebagai

berikut:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian dan

memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu

pengetahuan khususnya hukum perlindungan konsumen dalam kegiatan

periklanan

2. Secara praktis, sumbangan pemikiran bagi pihak yang berwenang yaitu

pembuat kebijakan hukum atau melakukan revisi undang-undang

perlindungan konsumen kearah berbasis nilai keadilan

1.5. Orisinalitas Penelitian

Dalam rangka menghindari penjiplakan dan pengulangan. maka peneliti

melakukan studi pustaka (library research) di perpustakaan beberapa Universitas


23

di Indonesia dan melakukan pengambilan data secara online. Berdasarkan hasil

penelitian ini peneliti menemukan beberapa penelitian disertasi yang fokus kajian

penelitian terhadap Hukum Perlindungan Konsumen yang membahas beberapa isu

sebagai berikut :

Tabel 2. Substansi Penelitian Perlindungan Konsumen Terdahulu

Bentuk/
No Nama Judul Rumusan Hasil Penelitian
Tahun
Masalah
1. Disertasi Nurlaeli Rekonstruksi 1. Mengapa Informasi syarat
Universitas Sukesti Perlindungan perlindungan kontrak dalam
Sebelas Ariani Konsumen konsumen perdagangan secara
Maret, Nasution Dalam berkaitan elektronik (e-
Surakarta / Perdagangan dengan commerce) jenis B2C
2017 Secara informasi (business-to
Elektronik syarat kontrak consumer atau
Berkaitan dalam praktik perusahaan-dengan-
Dengan perdagangan konsumen) yang
Informasi Syarat secara sangat menentukan
Kontrak elektronik tingkatan
Berbasis Nilai belum berbasis perlindungan pada
Keadilan nilai keadilan? konsumen. Fokus
2. Apa saja utamanya pada 3
kelemahan- (tiga) hal, yaitu:
kelemahan mengenai tingkatan
dalam keadilannya,
perlindungan kelemahan informasi
konsumen syarat kontrak
berkaitan sebagai sinyal
dengan ketidakseimbangan
informasi posisi antara pelaku
syarat kontrak usaha dan konsumen,
dalam serta upaya
perdagangan merekonstruksi
secara perlindungan
elektronik? konsumen yang adil.
3. Bagaimana Pasal 9 Undang-
rekonstruksi Undang ITE dan
perlindungan Pasal 7 huruf b
konsumen UUPK hanya
berkaitan menjelaskan
dengan mengenai “informasi
informasi yang lengkap dan
syarat kontrak benar” (Pasal 9
dalam Undang-Undang ITE)
perdagangan di antaranya
elektronik mengenai syarat
berbasis nilai kontrak, namun
24

keadilan ? syarat kontrak itu


sendiri tidak diatur.
Demikian pula
pengaturan pada
Pasal 7 huruf b
UUPK, hanya
menentukan
kewajiban pelaku
usaha untuk
memberikan
informasi “yang
benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan
jaminan barang serta
memberi penjelasan
penggunaan,
perbaikan dan
pemeliharaan”.
Padahal bobot
keadilan bukan hanya
pada membagi
informasinya, namun
substansi dari ihwal
yang diinformasikan
itu, seperti syarat
kontrak dan kontrak
itu sendiri

2. Disertasi Rohmah Perlindungan 1. Bagaimana Secara kultur hukum


Universitas Maulidia Hukum struktur konsumen perempuan
Islam Konsumen kelembagaan di Ponorogo dapat
Negri Produk perlindungan dikategorikan
Sunan Kosmetik Di konsumen menjadi dua
Ampel, Ponorogo (Studi dalam bisnis kelompok, rasionalis
Surabaya / Sosiologi kosmetik di dan universalis.
2019 Hukum) Ponorogo? Sosok rasionalis
2. Bagaimana adalah tipe konsumen
substansi yang
hukum yang memiliki
berlaku di pengetahuan, open-
Indonesia minded, dan
tentang wawasan global,
perlindungan tetapi memiliki
hukum tingkat kepatuhan
konsumen? pada
nilai-nilai Islam yang
lebih rendah. Segmen
ini sangat kritis dan
pragmatis dalam
melakukan
pemilihan produk
berdasarkan
parameter
kemanfaatannya.
Namun dalam
25

memutuskan
pembelian,
mereka cenderung
mengesampingkan
aspek-aspek label
halal. Bagi mereka,
label Islam,
valueproposition
shariah, atau
kehalalan bukanlah
menjadi konsideran
penting dalam
mengambil
keputusan pembelian.
Adapun sosok
universalis adalah
konsumen Muslim
yang memiliki
pengetahuan/
wawasan luas, pola
pikir global, melek
teknologi; namun di
sisi lain secara teguh
menjalankan nilai-
nilai Islam dalam
kehidupan sehari-
hari. Mereka toleran,
open-minded dan
inclusive terhadap
nilai-nilai di luar
Islam

3. Disertasi Ukie Rekonstruksi 1. Mengapa Pasal 7 Huruf b


Universitas Tukinah Pengaturan penerapan Undang-Undang
Islam Perlindungan pengaturan Nomor 8 Tahun 1999
Sultan Hukum Bagi hukum bagi tentang Perlindungan
Agung, Konsumen konsumen, Konsumen yang
Semarang/ Dalam dalam berbunyi “Kewajiban
2020 Transaksi bertransaksi pelaku usaha
Onlineshop (E- online shop (e memberikan
commerce)Berb commerce) informasi yang benar,
asis Nilai belum jelas, dan jujur
Keadilan berkeadilan meliputi: 1.Identitas
Bermartabat 2. Bagaimana penjual, deskripsi
kelemahan- barang, total harga
kelemahan termasuk pajak,
pengaturan metode pembayaran,
perlindungan biaya pengiriman,
hukum bagi dan tambahan biaya,
konsumen cara pembayaran;
dalam 2.Informasi
transaksi online membatalkan
shop (e penawaran atau
commerce) saat penerimaan serta
26

ini. mengembalikan
3. Bagaimana barang rusak,
rekonstruksi pengembalian uang
pengaturan pembelian dan
perlindungan pengaturan
Hukum bagi penanganan keluhan,
konsumen validitas kontrak
dalam transaksi sampai soal periode
online shop (e hubungan kontraktual
commerce) berkaitan dengan
yang berbasis suplai produk secara
nilai keadilan permanen”. dalam
bermartabat. partai besar atau kecil
3.Pasal 13 ayat (3)
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun
2008 tentang ITE
yang berbunyi:
Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik
terdiri: 1.)
Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik
Indonesia berbadan
hukum Indonesia dan
berdomisili di
Indonesia 2.)
Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik
Asing yang
beroperasi di
Indonesia harus
terdaftar di Indonesia
3.) Badan Hukum
Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik
terbentuk dalam masa
bakti selambat-
lambatnya 5 ( lima )
tahun dari
diundangkannya
Undang-Undang No
19 Tahun 2016 4.)
Dalam pembuatan
Situs terdapat register
dan berlogo untuk
yang legal

Berdasarkan inventaris penelitian terdahulu yang fokus penelitian yang

penulis lakukan ditemukan beberapa perbedaan dan persamaan yang mendasari

penulis mengangkat judul yang akan diteliti. Adapun penelitian terdahulu tersebut
27

menjadi pijakan penulis untuk meningkatkan keyakinan bahwa penelitian yang

penulis lakukan memiliki tingkat orisinalitas dan belum pernah diteliti

sebelumnya. Bahkan dapat dikatakan sebagai penelitian pengembangan dari

penelitian disertasi sebelumnya.

 Penelitian pertama, Disertasi karya Nurlaeli Sukesti Ariani Nasution

memiliki persamaan fokus penelitian Hukum Perlindungan Konsumen, tetapi

perbedaanya fokus penyelesaian masalah apabila terjadi kasus atau problem

hukum terkait kontrak antara pelaku usaha dan konsumen, menekankan

perlindungan hukum hanya pada konsumen saja. sedangkan fokus penelitian

penulis berbeda dengan penelitian dahulu yaitu lebih fokus kepada

perlindungan hukum konsumen dan wujud tanggung jawab perusahaan

periklanan, dan pelaku usaha.

 Penelitian kedua, Disertasi karya Rohmah Maulida memiliki persamaan yaitu

fokus penelitian Hukum Perlindungan Konsumen. Sedangkan perbedaanya

penelitian ini melihat perlindungan hukum konsumen produk kosmetik yang

fokus penyelesaian problem hukum secara dikaji dari sudut pandang sosiologi

Hukum. Sedangkan penelitian penulis yang lakukan dengan berbeda dari

penelitian terdahulu yaitu lebih fokus pada penyelesaian problem hukum

secara yuridis normatif dan pendekatan secara konseptual berbasis nilai

keadilan.

 Penelitian ketiga, disertasi karya Ukie Tukinah memiliki persamaan yaitu

fokus penelitian perlindungan hukum konsumen tetapi perbedaannya bahwa

penelitian ini fokus penelitian pada penerapan hukum dalam transaksi online.
28

Sedangkan fokus penelitian penulis kepada kegiatan perlindungan hukum

bagi konsumen akibat iklan yang merugikan dengan mengedepankan

tanggung jawab pelaku usaha dan perusahaan periklanan berbasis nilai

keadilan.

Tabel 3. Ringkasan Perbedaan dan Persamaan Penelitian Terdahulu dengan


Penelitian yang Dilakukan

Substansi Prbedaan Persamaan


Penelitian Terdahulu Penelitian Yang Dilakukan
Hukum  Disertasi Nurlaeli:  Fokus penelitian Melakukan
Perlindungan Fokus penelitian pada perlindungan hukum bagi pengkajian dan
konsumen perlindungan konsumen konsumen akibat iklan implementasi
kasus perdagangan yang merugikan dilihat Undang-Undang
secara elektronik (e- dari perspektif tanggung Nomor 8 tahun
commerce) dan jawab tanggung jawab 1999 tentang
Penyelesaian hukum pelaku usaha dan Perlindungan
dilakukan ketika ada tanggung jawab Konsumen
kasus yang terjadi perusahaan periklanan.
 Disertasi Rohmah  Tujuan penelitian adalah
Maulida: Fokus menghasilkan/menemukan
penelitian perlindungan konsep perlindungan
hukum produk kosmetik hukum bagi konsumen
dan pengaturan berbasis nilai keadilan
substansi hukum
perlindungan konsumen.
 Disertasi Uki Tukinah:
Fokus penelitian pada
perlindungan konsumen
transaksi online shop
(E-Commerce. Dan
rekonstruksi hukum
pengaturan
perlindungan konsumen
transaksi online shop (e-
commerce)

1.6. Landasan Teori dan Penjelasan Konsep

1.6.1. Landasan Teori

Guna mengkaji permasalahan dalam penelitian ini, digunakan beberapa

teori yang relevan untuk membahas permasalahan yang telah diungkapkan.

Teori berasal dari bahasa yunani yaitu “theory” (pandangan dan tinjauan) yang
29

umum artinya adalah: pandangan yang gunanya untuk mencari keterangan bagi

gejala-gejala tertentu, tapi umumnya adalah teori dalam pengetahuan yang

berupa sistem yang terdiri atas berbagai dalil dan hipotesa-hipotesa yang

keadaannya berdasarkan pada suatu asas tertentu.15 Bruggink dalam Salim

mengungkapkan bahwa Teori hukum adalah suatu keseluruhan pernyataan

yang saling berkaitan dengan konseptual aturan- aturan hukum dan putusan-

putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian penting di positifkan.16

Jan Gijssels dan Mark Van Hoocke berpendapat bahwa teori hukum

adalah mencari keterangan untuk hukum dari faktor-faktor non-yuridis yang

bekerja dalam masyarakat dan untuk itu menggunakan suatu metode

interdisipliner.17 Pendapat lain pula mengungkapkan hal sejalan bahwa teori

adalah asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu

fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara

konsep.18 Teori juga merupakan asas, konsep dasar, pendapat yang telah

menjadi hukum umum sehingga dipergunakan untuk membahas suatu peristiwa

atau fenomena dalam kehidupan manusia.

1.6.1.1. Teori Keadilan

Pengertian keadilan merupakan pengertian yang tidak statis tetapi terus

berubah sesuai dengan perubahan masyarakat dari segala arah sudut pandang

yang juga berubah, sehingga yang dulu dirasakan adil mungkin suatu saat tidak

adil lagi demikian seterusnya. Pengertian keadilan dirumuskan melalui

15
Jan Gijssels dan Mark Van Hoocke, 2000, Apa Teori Hukum Itu?”, Malang, h.i
16
Salim, 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h.2
17
Jan Gijssels dan Mark Van Hoocke,Op.cit, h..3
18
Burhanudin Ashofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 19.
30

pengamatan dan pemikiran yang mendalam terhadap perkembangan hubungan

antara hukum dan masyarakat.

Keadilan berasal dari kata dasar adil dengan mendapat imbuhan ke-

an, menjadi keadilan. Keadilan berarti dapat menempatkan sesuatu secara

proporsional dan persamaan hak sesuai dengan kapasitas dan kemampuan

seseorang dalam melakukan sesuatu masalah. 19 Di dalam literatur Inggris

istilah keadilan disebut dengan “justice”, kata dasarnya “jus”. Perkataan

“jus” berarti hukum atau hak. Dengan demikian salah satu pengertian dari

justice adalah hukum. Dalam makna keadilan sebagai hukum, kemudian

berkembang arti dari kata justice sebagai “lawfulness” yaitu keabsahan

menurut hukum. 20

Menurut bahasa (etimologi) keadilan ialah seimbang antara berat dan

muatan, 21 sesuai dengan hak dan kewajiban, sesuai antara pekerjaan dan

hasil yang diperoleh, sesuai dengan ilmu, sesuai dengan pendapatan dan

kebutuhan. WJS. Poerwadaminta memberikan pengertian adil sebagai

berikut:

1. Adil berarti tidak berat sebelah (tidak memihak), pertimbangan yang

adil, putusan yang dianggap adil.

Yatimin Abdullah, 2006, Pengantar Studi Etika, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.
19

537.
Bahder Johan Nasution, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat Bagi
20

Pekerja, Mandar Maju, Bandung, h. 48.


21
Ibnu Miskawaih, 1995, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Mizan, Bandung, h. 115.
31

2. Adil berarti patut, sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Misalnya,

dalam mengemukakan tuntutan yang adil, masyarakat adil, masyarakat

yang sekalian anggotanya mendapat perlakuan yang sama adil. 22

Menurut yang dikemukakan WJS. Poerwadarminta tentang adil,

hampir sama dengan pengertian adil/keadilan menurut pengertian kalangan

masyarakat pada umumnya yaitu merupakan sifat tindakan atau perlakuan

yang tidak memihak kepada salah satu pihak, tidak berat sebelah,

memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan hak yang harus

diperolehnya, selalu berpihak kepada yang benar dan tidak berbuat

sewenang-wenang. 23 Mengenai pengertian keadilan memiliki sejarah

pemikiran yang panjang. Tema keadilan merupakan tema utama dalam

hukum semenjak masa Yunani kuno, 24 karena salah satu tujuan hukum

adalah keadilan. Perbincangan tentang keadilan berkembang dengan

pendekatan dan sudut pandang yang berbeda-beda. Oleh karenanya

berkembang pula teori-teori keadilan dari para sarjana yang intinya

mengemukakan teorinya dari sudut pandangannya masing-masing.

Teori keadilan yang tepat dipergunakan dalam membedah

permasalahan penelitian ini, terutama permasalahan kedua adalah teori

keadilan Pancasila. Di Indonesia keadilan digambarkan dalam Pancasila

sebagai dasar negara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 25

22
Poerwadarminta WJS., 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h.
16.
Kuffal HMA., 2012, Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
23

Universitas Muhammadiyah, Malang, h. 48.


24
Fernando M. Manullang E., 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, PT. Kompas Media
Nusantara, Jakarta, h. 96.
25
Agus Santoso H.M., 2012, Hukum, Moral, dan Keadilan, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, h. 86.
32

Nilai-nilai yang terkandung dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila-sila dari Pancasila. 26 Berdasarkan

sila-sila dari Pancasila, maka dalam sila kelima terkandung nilai-nilai

keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bersama (kehidupan

sosial). Adapun keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat

keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungannya manusia dengan

dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan

masyarakat, bangsa dan negara, serta hubungan manusia dengan

Tuhannya. 27

Menurut I Ketut Rindjin, sesungguhnya keadilan sosial yang berlaku

dalam masyarakat meliputi segala bidang kehidupan, tidak hanya meliputi

aspek materiil saja, tetapi juga aspek spiritual, yaitu yang menyangkut adil

di bidang hukum, politik, sosial, budaya, maupun ekonomi. 28 Makna

keadilan sosial mencakup pula pengertian adil dan makmur yang

merupakan tujuan dari negara Indonesia. 29 Menurut Ida Bagus Wyasa

Putra, teori keadilan Pancasila mencakup sekurang-kurangnya tiga

komponen keadilan yaitu: keadilan tukar menukar, keadilan sosial, dan

keadilan dalam membagi. 30 Apa yang dimaksud dengan ketiga komponen

keadilan tersebut dapat diberikan penjelasan sebagai berikut:

1. Keadilan tukar menukar mencakup dua konsep yaitu: (a) memberikan

kepada pihak lain segala sesuatu yang menjadi haknya, atau yang

26
Ibid.
27
Kaelan, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, Paradigma,
Yogyakarta, h. 36.
28
Rindjin Ketut, 2012, Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, h. 178.
29
Kaelan, Op. Cit, h. 37
30
Wyasa Putra Ida Bagus I, Op.Cit. h. 210.
33

semestinya mereka terima, sehingga masing-masing pihak mempunyai

kesempatan untuk melaksanakan hak dan kewajiban tanpa rintangan.

(b) dalam hubungan manusia orang perorangan memberikan kepada

sesamanya segala sesuatu yang menjadi hak pihak lain atau yang

seharusnya diterima pihak lain, sehingga timbul keadaan saling

memberi dan saling menerima.

2. Keadilan sosial, yaitu dalam hubungan manusia perseorangan dengan

masyarakat, memberi dan melaksanakan segala sesuatu yang

memajukan kemakmuran serta kesejahteraan sebagai tujuan mutlak

masyarakat.

3. Keadilan dalam membagi, yaitu dalam hubungan antara masyarakat

dengan warganya, masyarakat dengan alat penguasaannya,

membagikan segala kenikmatan dan beban bersama dengan secara rata

dan merata, menurut keselamatan sifat dan tingkat perbedaan rohaniah

serta badaniah warganya, baik sebagai perseorangan maupun

golongan, sehingga terlaksana sama rasa sama rata. 31

Menurut pendapat John Rawls mengemukakan ada 2 (dua) prinsip

keadilan sebagai berikut:

“First, each person is to have an equal right to the most extensive basic
liberty compatible with a similar liberty for other, second, social and
economic inequalities are to be arranged so that they kare both (a)
reasonably expected to be everyone's advantage, and (b) attached to
positions and offices open to all. 32 (Pertama-tama, tiap orang agar
memiliki hak yang sama terhadap kebebasan dasar terhadap yang lain,
dan kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi agar diatur sedemikian
31
Ida Bagus Wyasa Putra I, Loc.Cit.
32
John Rawls, 2006, Teori Keadilan Atau Theory of Justice (Terjemahan Pustaka Pelajar),
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 60.
34

rupa sehingga sesuai dengan kemampuan dan tugas dan


wewenangnya)”.

Kedua prinsip keadilan diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:

prinsip yang pertama: menempatkan setiap orang mempunyai hak yang

sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama

bagi semua orang (bagi orang lain). Sedangkan prinsip kedua:

ketimpangan sosial dan ekonomi yang ada di tengah masyarakat, harus

diatur sedemikian rupa sehingga: (a) dapat diharapkan memberi

keuntungan pada setiap orang: (b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi

semua orang. Seperti ditegaskan oleh Otong Rosadi bahwa teori John

Rawls sangat penting dalam konteks pembahasan mengenai inkorporasi

prinsip keadilan sosial dalam proses pembentukan peraturan perundang-

undangan di Indonesia.

Teori Rawls tentang keadilan penting karena dua hal: 33

1. Prosedur pencapaian atau pencarian konsensus yang menempatkan

individu sama peluangnya.

2. Mengakui ada ketimpangan dalam masyarakat yang harus mendapat

prioritas perhatian dalam penyusunan atau pembentukan peraturan

perundang-undangan.

Berdasarkan uraian diatas apabila dicermati kembali bahwa keadilan

dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan “justice” yang berasal dari bahasa

latin iustitia. Kata justice memiliki tiga macam makna yang berbeda yaitu:

33
Otong Rosadi, 2012, Hukum Ekologi dan Keadilan Sosial Dalam Perenungan Pemikiran
(Filsafat) Hukum, Thafa Media, Yogyakarta, h. 117.
35

1. Secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya

justness);

2. Sebagai tindakan berat artinya tindakan menjalankan hukum atau tindakan

yang menjalankan hak dan ganjaran atau hukuman (sinonimnya

judicature); dan

3. Orang, yaitu pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan sebelum

suatu perkara dibawa ke pengadilan (sinonimnya judge, jurist,

magistrate).34

Pengertian keadilan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Lengkap

keadilan adalah suatu hal yang tidak berat sebelah atau tidak memihak serta

tidak sewenang-wenang.35

Menurut Carl Joachim Friedrich menyatakan Keadilan hanya bisa

dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh

hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan

proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga

didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum

tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.36

Pandangan orang dapat menganggap keadilan sebagai suatu hasrat naluri

yang diharapkan bermanfaat bagi dirinya. Realitas keadilan absolut di

asumsikan sebagai suatu masalah universal yang berlaku untuk semua manusia,

alam dan lingkungan, tidak boleh ada monopoli yang dilakukan oleh segelintir

34
Mochamad Ali Syafaat, pemikiran keadilan (Plato, Aristoteles dan Jawn Rawls),
http://safaat.lecture.ub.ac/files/2011/12/keadilan/pdf, diakses pada tanggal 15 Maret 2020.
35
Daryanto, SS, Kamus Besar Bahasa Indonesia Lengkap, Apollo, 1997, Surabaya, h. 18.
36
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung, Nuansa dan
Nusamedia, 2004, h. 239
36

orang atau sekelompok orang. Atau orang menganggap keadilan sebagai

pandangan individu yang menjunjung tinggi kemanfaatan yang sebesar-

besarnya bagi dirinya.

Konsep pandangan Aristoteles tentang keadilan bahwa keadilan mesti

dipahami dalam pengertian kesetaraan yang dibedakan antara kesetaraan

numerik dan kesetaraan proporsional. Kesetaraan numerik mempersamakan

setiap orang sebagai satu unit atau semua orang adalah sama di muka hukum.

Kesetaraan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai

dengan kemampuannya, prestasinya dan sebagainya.37 Karya Aristoteles yang

cukup terkenal adalah Nichomachian Ethics, Politics dan Rethoric. Khusus

dalam buku Nichomachian Ethics sepenuhnya ditunjukkan bagi keadilan untuk

memahami kompleksitasnya, karena mengamati betapa orang memberi makna

yang berbeda-beda pada gagasan tersebut. Pada prinsipnya menurut Aristoteles

apa yang adil itu berada di tengah karena situasi yang sangat adil dan tidak adil

selalu bersifat ekstrem.38

Aristoteles menyatakan bahwa kata adil mengandung lebih dari satu

arti. Adil dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding, yaitu yang

semestinya. Disini ditunjukkan bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil

apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang

37
Bernard I, Tanya, et.al, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, h. 43.
38
Aristoteles, Ethica Nochemacian, Edisi Jerman, buku ke-II, Stugart/Philip Reclam, 2013
dalam Budiono, Kusumohamidjoyo, Teori Hukum Dilema antara Hukum Dan Kekuasaan, Yrama
Widya, Bandung, 2016, h. 269
37

tidak menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan

kepada hukum dapat dianggap sebagai adil.39

Aristoteles membedakan keadilan menjadi keadilan distributif, keadilan

kumutatif dan keadilan remedial. Adapun penjelasan atas hal tersebut adalah

sebagai berikut:

a. Keadilan distributive adalah keadilan yang memberikan kepada setiap

orang berdasarkan profesinya atau jasanya. Pembagian barang-barang dan

kehormatan pada masing-masing orang sesuai dengan statusnya dalam

masyarakat. Keadilan ini menghendaki orang-orang yang mempunyai

kedudukan yang sama memperoleh perlakuan yang sama pula di hadapan

hukum.

b. Keadilan kumutatif, yaitu keadilan yang memberikan hak kepada

seseorang berdasarkan statusnya sebagai manusia.

c. Keadilan remedial, yaitu menetapkan kriteria dalam melaksanakan hukum

sehari-hari, yaitu kita harus mempunyai standar umum untuk memulihkan

akibat tindakan yang dilakukan orang dalam hubungannya satu sama lain.

Sanksi pidana yang dijatuhkan, memulihkan yang telah dilakukan oleh

pembuat kejahatan dang anti rugi memulihkan kesalahan perdata. Standar

tersebut diterapkan tanpa membeda-bedakan orang.40

Heri Tahir mencatat unsur minimal dari proses hukum yang adil lebih

berorientasi kepada keadilan prosedural. Artinya menempatkan konstitusi atau

Undang-undang sebagai basis pelaksanaan proses hukum yang adil.


39
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 156.
40
H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 51.
38

Keuntungan dari keadilan prosedural adalah dapat memberikan jaminan

kepastian hukum pada setiap orang dan diperlakukan sama. 41 Keadilan

merupakan hal yang penting, hal ini sejalan dengan pemikiran Rawls yang

mengatakan perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan

kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus

diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan. Keadilan merupakan nilai yang

tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilan lah ada jaminan

stabilitas hidup manusia.42

Keadilan didasarkan pada nilai, norma dan moralitas masyarakat

setempat. Masyarakat memiliki prosedur dan mekanisme sendiri dalam

menyelesaikan setiap konflik yang muncul. Beberapa yang berkembang dan

sudah menjadi rujukan kolektif adalah melalui jalan musyawarah, mediasi,

remedial, negosiasi, antar pihak-pihak yang berselisih atau berkonflik.43

Modern jurisprudence mengemukakan beberapa tipe keadilan yakni:

1. Social justice: Justice is an all-encompassing concept but social justice


concerns the distribution of benefits and burdens throughout a society as it
result from major social institutions, property system and public
organization.44
2. Commutative justice. While social justice is concerned with the society as
a whole and how it distributes its resources to its members, communitative
justice is a matter of redress in private transaction.
3. Substantive justice. It refers to the substance of the matter involved in a
dispute. In other words, it concern the rights, privileges, duties, powers,
liabilities, immunities or disabilities of parties to a dispute.

41
Heri Tahir, 2010, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia, Laksbang, Yogyakarta, h. 24.
42
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 161.
43
Umar Sholehudin, 2011, Hukum & Keadilan Masyarakat Perspektif Kajian Sosiologi
Hukum, Setara, Malang, h. 23.
44
Miller, David, Social Justice, h. 22.
39

4. Procedural justice. It refers to the procedures applied in settling a dispute


or taking decisions.
5. Corrective Justice. It seeks to restore equality when it is disturbed by
wrong behavior.
6. Comparative and Non comparative justice. Freinberg distinguishes
between comparative justice which involves comparison between various
persons, determining a person's due only by reference to his relations to
other persons and non comparative justice where one’s due is determined
independently of that of others.
7. Global justice: justice which does not change from place to place and
remains the same all over the earth it global justice. It takes into account
not the geographical or political boundaries but the whole mankind with
all the treasures or miseries that it may have.
8. Particular justice: In contrast to global justice, particular justice is
narrow in its scope as it is confined to a particular country or society.
What may be regarded as justice in a particular society may be described
by others as sheer injustice, if looked at from their point of view.
9. Legal justice: It is justice according to law and is justice which is done or
meted out as a result of the application of law. It may be the case that the
law in question it unjust. The consequence would be that the outcome of
the application of such unjust law may not be satisfactory. In other words,
it may be regarded as unjust but it is still called legal justice.45

Konsep keadilan merupakan hal yang dipisahkan oleh penganut aliran

positivisme yang secara ekstrem menolak ide dasar ini. Hans Kelsen dalam

tulisannya yang berjudul The Pure Theory of Law menyatakan: “Law and

justice are two different concept. Law as distinguished from justice is positive

law. It is the concept of positive law which is here in question; and a science of

positive law must be clearly distinguished from a philosophy of justice.”46

Sebaliknya ahli-ahli pemikir dari aliran realisme hukum (legal realism)

menaruh perhatian yang sangat besar terhadap keadilan, walaupun mereka

berpendapat bahwa secara ilmiah tak dapat ditentukan apa yang dinamakan

hukum yang adil. Pokok-pokok pikiran dari aliran ini banyak dikemukakan

45
Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, International Law Book Services, Kuala
Lumpur, h. 256.
46
M.P. Golding, The Nature of Law reading in Legal Philosiphy, Random House, New
York, h.110.
40

oleh Holmes dalam hasil karyanya yang berjudul The Path of The Law. Di

dalam bukunya tersebut, Holmes menyatakan bahwa kewajiban hukum

hanyalah merupakan suatu dugaan bahwa apabila seseorang berbuat atau tidak

berbuat, maka dia akan menderita sesuai dengan keputusan suatu pengadilan.47

Berdasarkan beberapa uraian diatas apabila diterapkan pada fakta

struktur dasar masyarakat, prinsip-prinsip keadilan harus mengerjakan dua hal

yakni:

a. Prinsip keadilan harus memberikan penilaian konkret tentang adil tidaknya

institusi-institusi dan praktik-praktik institusional.

b. Prinsip-prinsip keadilan harus membimbing kita dalam

memperkembangan kebijakan-kebijakan dan hukum untuk mengoreksi

ketidakadilan dalam struktur dasar masyarakat tertentu.48

Tujuan semua orang mempunyai kemauan mewujudkan suatu aturan

masyarakat yang adil sehingga keadilan itu yang menjadi fokus utama

pembentukan undang-undang, yang harus sesuai dengan prinsip-prinsip

keadilan di satu pihak dan di pihak lain dengan tujuan yang sama.49

Menurut Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and

State, berpendapat bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan

adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara memuaskan

sehingga dapat menemukan kebahagiaan di dalamnya.50 Keadilan adalah

legalitas, artinya suatu peraturan umum adalah adil jika benar-benar diterapkan
47
Soerjono Soekanto I, Op.Cit., h. 45.
Ibid., h. 163.
48

49
H. Zainuddin Ali, Op.Cit. h. 88.
50
Hams Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien,
Bandung, Nusa Media, 2011, h. 7.
41

pada semua kasus yang menurut isinya peraturan ini harus diterapkan.

Dikatakan tidak adil jika peraturan umum diterapkan pada satu kasus dan tidak

diterapkan pada kasus lain yang sama dan tanpa memperhatikan nilai dari

peraturan umum itu sendiri.

Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat positivisme, yaitu

keadilan adalah berdasarkan hukum, artinya pemeliharaan tata hukum positif

melalui penerapannya yang benar-benar sesuai dengan jiwa dari tata hukum

positif tersebut.51 Nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-

aturan hukum yang mengakomodir nilai-nilai umum, namun tetap adanya

pemenuhan rasa keadilan dan kebahagiaan diperuntukkan tiap individu.

Konsep keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum

nasional bangsa Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional

dapat dijadikan sebagai payung hukum (law umbrella) bagi peraturan-

peraturan hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan

hukum itu memiliki daya ikat terhadap materi-materi yang dimuat (materi

muatan) dalam peraturan hukum tersebut.

Sebuah teori lain tentang keadilan yang dipandang paling komprehensif

yang menghidupkan perbincangan-perbincangan intensif di kalangan para

filsuf, sarjana politik, ahli hukum dan ahli ekonomi, yaitu yang dicetuskan oleh

John Rawls. Dalam bukunya A Theory of Justice diterangkan bahwa 2 (dua)

asas keadilan akan disetujui secara bulat oleh anggota-anggota masyarakat,

yakni:

51
Hans Kelsen, General Theory of Law State, alih bahasa Somardi, Teori Hukum, Rimdi
Pers, 1995, h. 11.
42

1. Setiap orang hendaknya memiliki suatu hak yang sama atas sistem

menyeluruh yang terluas mengenai kebebasan-kebebasan dasar (basic

liberties).

2. Perbedaan sosial dan ekonomi hendaknya diatur sedemikian hingga:

a. Memberikan manfaat yang terbesar bagi mereka yang berkedudukan

paling kurang menguntungkan.

b. Bertalian dengan jabatan dan kedudukan yang terbuka bagi semua

orang berdasarkan persamaan kesempatan yang layak.52

Penjelasan diatas dapat dijelaskan bahwa adanya 3 (tiga) prinsip keadilan

yaitu:

1. Prinsip kebebasan yang sama (equal liberty of principle);

2. Prinsip perbedaan (differences principle);

3. Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle).

Jika terjadi konflik dari masing-masing prinsip keadilan tersebut,

menurut Rawls maka Equal liberty principle harus diprioritaskan daripada

prinsip-prinsip lainnya, demikian juga equal opportunity harus diprioritaskan

daripada deference's principle.

John Rawls mengakui adanya ketidaksamaan sosial ekonomis, karena

memang pada hakikatnya terdapat ketidaksamaan antara manusia yang satu

dengan yang lain, akan tetapi ketidaksamaan itu haruslah memberikan manfaat

yang besar bagi mereka yang berkedudukan paling tidak menguntungkan.

Dengan perkataan lain jangan sampai ketidaksamaan tersebut di eksploitasi

52
John Rawls, Theory of Justice, Harvard University Pers: Cambridge, 1971, h. 60.
43

sedemikian rupa oleh pihak yang kedudukan sosial ekonominya lebih baik

sehingga yang lemah akan lebih sengsara.

Berdasarkan keadaan tertentu kedua asas keadilan itu ditetapkan,

tinggallah penerapannya dalam praktik dengan penyusunan pranata-pranata

masyarakat. Menurut teori keadilan dari John Rawls tugas dari pranata-pranata

sosial dan politik ialah memelihara dan meningkatkan kebebasan dari

kesejahteraan individu. Asas kebebasan akan terjamin dengan penyusunan

suatu konstitusi sedang pelaksanaan asas perbedaan dapat tercapai melalui

perundang-undangan.

Permasalahan keadilan pada dasarnya menyangkut masyarakat secara

keseluruhan dan tidak bisa ditegakkan oleh orang perorangan belaka maka

muncullah masalah keadilan sosial. Jenis keadilan ini muncul sebagai

fenomena masyarakat semenjak orang merasakan adanya perbedaan mencolok

antara kaya dan yang miskin. Persoalan keadilan sosial difokuskan pada

masalah bagaimana menolong masyarakat yang miskin ini. Dalam kaitannya

ini maka persoalan keadilan sudah berkembang sedemikian rupa yang

mengarah pada terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur yang sejahtera

secara merata. Tujuan demikian umumnya menjadi tujuan utama negara

kesejahteraan (welfare state).53

Keadilan adalah perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban,

keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak dan menjalankan kewajiban

atau dengan kata lain keadilan adalah keadaan bila setiap orang memperoleh

53
A. Sodiki, Penataan Pemilikan Hak Atas Tanah Didaerah Perkebunan Kabupaten
Malang, Disertasi PPS Universitas Airlangga Surabaya, 1994, h. 212.
44

apa yang menjadi haknya, dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dan

kekayaan bersama.54

Menurut aliran positivisme hukum keadilan dapat dimaknai sebagai

legalitas. Adalah adil jika suatu aturan diterapkan pada semua kasus di mana

menurut isinya memang aturan tersebut harus diaplikasikan. Adalah tidak adil

jika suatu aturan diterapkan pada satu kasus tetapi tidak pada kasus lain yang

sama. Keadilan dalam arti legalitas adalah suatu kualitas yang tidak

berhubungan dengan isi tataran aturan positif, tetapi dengan pelaksanaannya.

Menurut legalitas, pernyataan bahwa tindakan individu adil atau tidak adil

berarti legal atau illegal, yaitu tindakan tersebut sesuai atau tidak dengan norma

hukum yang valid untuk menilai sebagai bagian dari tata hukum positif.55

Konteks keadilan merupakan suatu yang "maha" luas meliputi hukum,

sosial, agama. dan sebagainya. Namun demikian terlepas dari itu, sesuatu hal

yang pasti adil adalah bahwa prinsip keadilan menghendaki tujuan hukum bagi

setiap Negara hukum. Prinsip keadilan menghendaki agar setiap tindakan

institusi atau pejabat pemerintahan Negara (daerah) senantiasa memperhatikan

aspek keadilan dan kewajaran.56 Para penganut positivisme dengan keras

menuntut supaya hukum yang dibentuk bersifat adil.57 Hal keadilan juga

nampak dalam konsep pemikiran utilitarianisme bahwa tujuan hukum

54
http://septazelva blogspot.com/2011/11/manusia dan-keadilan dikaitkan dalam.html
diunduh 17 Desember 2020
55
Jimly Asshiddiqie &M.Ali Safa'at, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi
Press, lakarta, h. 21
56
Husni Thamrin, 2013, Hukum Pelayanan Publik di indonesia, Aswaja Pressindo, h. 41
57
Theo Huijbers, 1999, Filsafat Hukum, Kanisisus, Yogyakarta,h.. 48
45

memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, konsep ini melekat dalam alinea

kedua Pembukaan UUD 1945 "adil dan makmur.58

Konteks keadilan di Negara kita harus sesuai dengan kebenaran menurut

sistem pemikiran bangsa Indonesia. Begitu pun dengan keadilan hukum,

tentunya harus sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Sistem

pemikiran bangsa Indonesia dan keadilan hukum di Indonesia seharusnya juga

sejalan dengan ideologi bangsa dan landasan hukum Negara Indonesia, yaitu

Pancasila dan UUD 1945. Dalam hal ini keadilan yang dimaksud adalah apa

yang tercantum dalam sila kelima dari Pancasila, yaitu "Keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia". Adapun hukum yang adil bagi bangsa Indonesia

juga harus mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan

UUD 1945. Makna keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan

Pembukaan UUD 1945 termuat dalam kata-kata terakhir alinea yang keempat

sebagai penjelmaan naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang

berisi tentang tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia. Mencermati isi

dari alinea ke IV pembukaan UUD 1945 jelas bahwa Negara kita menjunjung

tinggi nilai-nilai keadilan.

Teori ini merupakan grand theory yang dipergunakan untuk menganalisis

terhadap permasalahan yang akan dibahas dalam Disertasi ini dimana

bekerjanya teori ini menjadi pisau analisis untuk menemukan rekonstruksi

hukum perlindungan konsumen kedepan yang berbasis pada nilai keadilan

58
Soetandyo, Wignosoebroto, 2013, Pergeseron Parodigma dalam Kajian-Kajian Sosial
dan Hukum, Setara Press, Malang, h.73
46

dilihat dari sudut pandang perihal periklanan sehingga tidak merugikan

konsumen.

1.6.1.2. Teori Perlindungan Hukum

Teori perlindungan hukum yang dipergunakan untuk menjelaskan aspek

perlindungan hukum dalam Disertasi ini, antara lain: Teori Perlindungan

Hukum dari Fitzgerald, Perlindungan Hukum dari Satjipto Raharjo, Teori

perlindungan Hukum Phillipus M Hadjon dan Lili Rasyidi.

Fitzgerald mengutip istilah teori perlindungan hukum dari Salmond

bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai

kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan

dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Kepentingan

hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum

memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu

diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni

perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan

hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan

kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara

anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang

dianggap mewakili kepentingan masyarakat.

Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan

pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan

perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua

hak-hak yang diberikan oleh hukum.


47

Menurut Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat

sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan

Hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang

mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan

keputusan berdasarkan diskresi dan perlindungan yang represif bertujuan untuk

mencegah terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan.

Berdasarkan pendapat Lili Rasyidi dan I.B Wysa Putra bahwa hukum

dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar

adaptif dan fleksibel, melainkan juga predictive dan antipatif.

Berdasarkan uraian para ahli diatas memberikan pemahaman bahwa

perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum

untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan

kepastian hukum. Perlindungan Hukum adalah suatu perlindungan yang

diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang

bersifat preventif maupun dalam bentuk yang bersifat represif, baik yang

secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan

hukum.

Mochtar Kusumaatmaja mengatakan bahwa:

“Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam


masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah
konservatif artinya hukum bersifat memelihara dan mempertahankan
yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap
masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena
disinipun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan
diamankan. Akan tetapi masyarakat yang sedang membangun, yang
dalam definisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum
tidak cukup memiliki fungsi demikian saja, Ia juga harus dapat
membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan yang kolot
48

tentang hukum yang menitik beratkan fungsi pemeliharaan ketertiban


dalam arti statis, dan menekankan sifat konservatif dari hukum,
menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang
berarti dalam proses pembaharuan”.10

Konsep hukum pembangunan akhirnya diberi nama oleh para murid-

muridnya dengan Teori Hukum Pembangunan atau dikenal dengan Madzhab

UNPAD. Ada 2 (dua) aspek yang melatarbelakangi kemunculan teori hukum

ini, yaitu:

1) Ada asumsi bahwa hukum tidak dapat berperan bahkan menghambat

perubahan masyarakat.

2) Kenyataan di dalam masyarakat Indonesia telah terjadi perubahan alam

pemikiran masyarakat ke arah hukum modern.

Berdasarkan hal itu, Mochtar Kusumaatmaja mengemukakan tujuan

pokok hukum bila direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan

syarat pokok bagi adanya masyarakat yang teratur. Tujuan lain hukum adalah

tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut

masyarakat dan zamannya. Selanjutnya untuk mencapai ketertiban diusahakan

adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak

mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang

diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan

ketertiban. Fungsi hukum dalam masyarakat Indonesia yang sedang

membangun tidak cukup untuk menjamin kepastian dan ketertiban.

Hadirnya hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berguna untuk

mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang biasa

bertentangan antara satu sama lain. Maka dari itu, hukum harus bisa
49

mengintegrasikannya sehingga benturan-benturan kepentingan itu dapat

ditekan seminimal mungkin. Pengertian terminologi hukum dalam Bahasa

Indonesia menurut KBBI adalah peraturan atau adat yang secara resmi

dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa ataupun pemerintah,

undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup

masyarakat, patokan atau kaidah tentang peristiwa alam tertentu, keputusan

atau pertimbangan yang ditetapkan oleh hakim dalam pengadilan, atau vonis.59

Pendapat mengenai pengertian untuk memahami arti hukum yang

dinyatakan oleh Notohamidjojo, Hukum ialah keseluruhan peraturan yang

tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan

manusia dalam masyarakat negara serta antara negara yang berorientasi pada

dua asas, yaitu keadilan dan daya guna, demi tata dan damai dalam

masyarakat.60

Berbagai definisi yang telah di kemukakan dan di tulis oleh para ahli

hukum, yang pada dasarnya memberikan suatu batasan yang hampir

bersamaan, yaitu bahwa hukum itu memuat peraturan tingkah laku manusia.61

Menurut Black Law Dictionary Bahasa Indonesia, Perlindungan berasal

dari kata lindung yang memiliki arti mengayomi, mencegah, mempertahankan,

dan membentengi. Sedangkan Perlindungan berarti konservasi, pemeliharaan,

penjagaan, dan bunker. Secara umum, perlindungan berarti mengayomi sesuatu

dari hal-hal yang berbahaya, sesuatu itu bisa saja berupa kepentingan maupun

59
Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, 1991, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Edisi kedua, cet. 1, Balai Pustaka, Jakarta, h.595
60
Syamsul Arifin, 2012, Pengantar Hukum Indonesia, Medan area University Press, Medan,
h.5.
61
Ibid
50

benda atau barang. Selain itu perlindungan juga mengandung makna

pengayoman yang diberikan oleh seseorang terhadap orang yang lebih lemah.

Dengan demikian, perlindungan hukum dapat diartikan Perlindungan oleh

hukum atau perlindungan dengan menggunakan pranata dan sarana hukum.

Namun dalam hukum Pengertian perlindungan hukum adalah Segala daya

upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga

pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan

dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada

sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia.

Berdasarkan uraian diatas sebenarnya perlindungan hukum bagi setiap

warga negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan dalam UUD 1945,

untuk itu setiap produk yang dihasilkan oleh legislative harus senantiasa

mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan

harus mampu menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang

berkembang di masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan yang

mengatur tentang adanya persamaan kedudukan hukum bagi setiap warga

Negara. Perlindungan hukum juga dapat diartikan sebagai tindakan atau upaya

untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa

yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan

ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya

sebagai manusia.62

62
Setiono, 2004, Rule of Law (Supremasi Hukum), Tesis Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, h.3
51

Teori Perlindungan Hukum juga digunakan dalam menganalisis secara

kritis rumusan masalah kedua. Mengacu pada pendapat Lili Rasyidi dan Ida

Bagus Wyasa Putra, bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan

perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga

prediktif dan antisipatif. Sunaryati Hartono berpendapat bahwa hukum

dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi

dan politik untuk memperoleh keadilan sosial. Kemakmuran dan kebahagiaan

rakyat merupakan tujuan Negara dan hukum, oleh karena itu hak-hak dasar

tersebut tidak boleh dihalangi Negara. Hak-hak dasar yang melekat pada diri

manusia secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang

Maha Esa, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan

diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan

hak kesejahteraan yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas

oleh siapapun. Dalam suatu Negara selain terdapat persamaan (equality), maka

terdapat pula pembatasan (restriction).

Menurut Fitzgerald, sebagaimana dalam Satjipto Raharjo menguraikan

bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai

kepentingan dalam masyarakat, dengan cara membatasi berbagai kepentingan

tersebut, karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap

kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi

kepentingan lain di lain pihak. Lebih lanjut, fitzgerald menjelaskan hukum

melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan kekuasaan

kepadanya secara terukur untuk bertindak dalam rangka kepentingannya yang


52

disebut sebagai hak.63 Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat

Indonesia landasan pijak kita adalah Pancasila sebagai dasar dan falsafah

Negara. Konsepsi perlindungan hukum bagi rakyat barat bersumber pada

konsep-konsep pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hak asasi

manusia dan konsep rechtstaat dan the rule of law.64 Dengan menggunakan

konsepsi barat sebagai kerangka pikir dengan landasan pijak pada Pancasila,

prinsip perlindungan hukum bagi rakyat di Indonesia adalah prinsip pengakuan

dan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat manusia yang

bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara Hukum berdasarkan Pancasila.

Menurut Philipus M. Hadjon menyatakan, sarana perlindungan hukum

bagi rakyat dibedakan menjadi dua antara lain: (1) sarana perlindungan hukum

preventif, yaitu sebelum pemerintah menetapkan suatu keputusan yang

definitive (bestemming splannen), rakyat dapat mengajukan keberatan

(inspraak), atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut.

(2) Sarana perlindungan hukum represif yaitu, perlindungan hukum yang

bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Prinsip perlindungan hukum terhadap

tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan

dan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia karena menurut sejarah

dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan

terhadap hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan

peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.65

63
Satjipto Rahardjo, 2012, Ilmu Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 53.
64
Philipus M.Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Cetakan
Pertama, Peradaban, Surabaya, h. 19
65
Ibid. h. 3
53

Perlindungan hukum menurut Hadjon perlindungan harkat dan

pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum dalam

Negara hukum berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara

tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan Perlindungan

hukum itu pada umumnya berbentuk peraturan tertulis sehingga sifatnya lebih

mengikat dan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan pada pihak

yang melanggarnya. Hadjon membagi perlindungan hukum ke dalam dua

bagian yaitu:

1. Perlindungan hukum represif yaitu dengan cara menerapkan sanksi

terhadap pelaku agar dapat memulihkan hukum pada keadaan sebenarnya.

Perlindungan jenis ini biasanya dilakukan di pengadilan.

2. Perlindungan hukum Preventif yaitu perlindungan hukum yang bertujuan

untuk mencegah terjadinya sengketa Perlindungan hukum jenis ini

misalnya sebelum pemerintah menetapkan suatu aturan/keputusan rakyat

dapat mengajukan keberatan atau diminta pendapatnya mengenai

keputusan tersebut.

Menurut Fitzgerald sebagaimana dikutip Satjipto Raharjo awal mula dari

munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau

aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato),

dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan

bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta

antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini

memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara
54

internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum

dan moral.66

Fitzgerald menjelaskan teori perlindungan hukum Salmond bahwa


“hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai
kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas
kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat
dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.
Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia,
sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan
kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan
hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu
ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh
masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat
tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota
masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap
mewakili kepentingan masyarakat”.67

Phillipus M. Hadjon berpendapat bahwa “Prinsip perlindungan hukum


bagi rakyat terhadap tindak pemerintah bertumpu dan bersumber dari
konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep
tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban pada
masyarakat dan pemerintah.”68

Dari uraian para ahli diatas memberikan pemahaman bahwa

perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum

untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan

kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang

diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang

bersifat preventif maupun dalam bentuk yang bersifat represif, baik yang

secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan

hukum. maka penerapan teori ini akan dipergunakan untuk membahas rumusan
66
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.53
67
Ibid, hal 54
68
Philipus M.Hadjon, 1987, Perlindungan Rakyat Bagi Rakyat di Indonesia (sebuah Studi
tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara), PT. Bina Ilmu: Surabaya, h. 38.
55

permasalahan pertama dan kedua. Hal mana guna menakar sebuah norma

apakah bermasalah secara normatif tentunya diperlukan ukuran atau acuan,

sehingga teori perlindungan hukum ini akan dipergunakan untuk menakar

perlindungan hukum terhadap konsumen pada bidang iklan yang kemudian

mempengaruhi tingkat konsumtif dari konsumen.

Maka jika dipastikan lagi, perlindungan hukum dimaksud adalah

perlindungan konsumen. Dapat diketahui bahwa Prinsip-prinsip mengenai

kedudukan konsumen dalam hubungan dengan pelaku usaha berdasarkan

doktrin atau teori yang dikenal dalam perkembangan sejarah hukum

perlindungan konsumen, antara lain :

1. Let the buyer beware (caveat emptor)

Doktrin let the buyer beware atau caveat emptor merupakan dasar

dari lahirnya sengketa dibidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi

bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat

seimbang, sehingga konsumen tidak memerlukan perlindungan. Prinsip ini

mengandung kelemahan, bahwa dalam perkembangan konsumen tidak

mendapat informasi yang memadai untuk menentukan Pilihan terhadap

barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya. Hal tersebut dapat disebabkan

oleh keterbatasan pengetahuan konsumen atau ketidakterbukaan pelaku

usaha terhadap produk yang ditawarkannya. Dengan demikian, apabila

konsumen mengalami kerugian, maka pelaku usaha dapat berdalih bahwa

kerugian tersebut akibat dari kelalaian konsumen sendiri

2. The due care theory


56

Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban

untuk berhati-hati dalam memasarkan produk, baik barang maupun jasa.

Selama pelaku usaha berhati-hati dengan produknya, maka ia tidak dapat

dipersalahkan. Pada prinsip ini berlaku pembuktian siapa mendalilkan

maka dialah yang membuktikan. Hal ini sesuai dengan jiwa pembuktian

pada hukum privat di Indonesia yaitu pembuktian ada pada penggugat,

sesuai dengan pasal 1865 BW yang secara tegas menyatakan bahwa

barangsiapa yang mendalilkan mempunyai suatu hak atau untuk

meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada

suatu peristiwa, maka diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa

tersebut.

3. The privity of contract

Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk

melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara

mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat

disalahkan di luar hal-hal yang diperjanjikan. Dengan demikian konsumen

dapat menggugat berdasarkan wanprestasi. Hal ini sesuai dengan

ketentuan dalam pasal 1340 BW yang menyatakan tentang ruang lingkup

berlakunya perjanjian hanyalah antara pihak-pihak yang membuat

perjanjian saja.69

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama

berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yakni:

Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, h..61


69
57

1. Asas Manfaat. Adalah segala upaya dalam menyelenggarakan

perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar besarnya

bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas Keadilan. Adalah memberikan kesempatan kepada konsumen dan

pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya

secara adil.

3. Asas Keseimbangan Adalah memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil

maupun spiritual.

4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen Adalah untuk memberikan

jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam

penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang

dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas Kepastian Hukum Adalah pelaku maupun konsumen mentaati

hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan

konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.70

Satu hal yang perlu memperoleh penekanan di sini ialah kepastian

hukum. bergerak dari latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan

diatas, maka permasalahan yang harus segera dicari solusinya ialah perihal

kepastian hukum sebagai akibat pengaturan perihal iklan terhadap konsumen

yang kurang jelas.

Berbicara perihal kepastian hukum, menurut Roscoe Pound sebagaimana

dikutip di dalam buku yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum oleh Peter
70
Elsi, Advendi, 2007, Hukum Dalam Ekonomi, PT Grasindo, Jakarta, h.159
58

Mahmud Marzuki dijelaskan bahwa ada dua pengertian tentang kepastian

hukum, yaitu:

1. Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui

perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

2. Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah

karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat

mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara

terhadap Individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal

dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan

hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim yang lain untuk

kasus serupa yang telah diputus.71

Pendapat lain dari Gustav Radbruch, menerangkan kepastian hukum

adalah “Scherkeit des Rechts selbst” (kepastian hukum tentang hukum itu

sendiri). Ada 4 (empat) hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum,

antara lain bahwa:

a. Hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-undangan

(gesetzliches Recht).

b. Hukum ini didasarkan pada fakta (Taatsachen), bukan suatu rumusan

tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti “kemauan

baik”, “kesopanan”.

c. Fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari

kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga mudah dijalankan.

71
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, (selanjutnya disingkat Marzuki I), h. 137.
59

d. Hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.72

Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya

bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian

hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-

undangan.

Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut Gustav Radbrunch,

hukum positif yang mengatur kepentingan-kepentingan manusia dalam

masyarakat harus selalu ditaati meskipun hukum positif itu kurang adil.

Pendapat lain tentang kepastian hukum sebagaimana dijelaskan oleh

Utrecht, yang menyatakan bahwa kepastian hukum mengandung dua

pengertian, yaitu: (1) adanya aturan yang bersifat umum membuat individu

mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan (2)

berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena

dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa

saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu”.73

Kepastian hukum merupakan harapan bagi pencari keadilan terhadap

tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum dalam menjalankan

tugasnya. Kepastian hukum dapat memberikan kejelasan bagi masyarakat akan

hak dan kewajiban menurut hukum. Tanpa ada kepastian hukum maka orang

akan tidak tahu apa yang harus diperbuat, tidak mengetahui perbuatannya

benar atau salah, dilarang atau tidak dilarang oleh hukum, demikian juga

masyarakat tidak mengetahui apakah tindakan yang dilakukan pemerintah

72
Achmad Ali, Op.Cit. h. 292-293.
73
Ibid, h. 82-83.
60

dan/atau penegak keadilan tersebut benar atau salah, sudah sesuai dengan

aturan perundang-undangan atau tidak, menyalahi hak mereka sebagai warga

negara atau tidak.

Kepastian hukum ini dapat diwujudkan melalui penormaan yang baik dan

jelas dalam suatu undang-undang sehingga akan jelas pula penerapannya.

Kepastian hukum juga dapat diartikan tepat hukumnya, subjeknya dan

objeknya serta ancaman hukumannya. Sayangnya, kepastian hukum tidak

selalu diindahkan keberadaannya dan hanya dianggap sebagai sarana yang

hanya akan digunakan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi dengan

memperhatikan asas manfaat dan efisiensi.

Menurut Lon Fuller hukum itu dapat memenuhi nilai-nilai kepastian

apabila di dalamnya terdapat 8 (delapan) asas, yang dapat diuraikan sebagai

berikut:

1. ..... a failure to achieve rules all, so that every issue must de decided on an
ad hoc basic;
2. a failure to publicize, or at least to make available to the affected party,
the rules he is expected to observe;
3. the abuse of retroactive legislation, which not only cannot itself guide
action, but undercuts the integrity of 'rules prospective effect, since it puts
them under the threat of retrospective change;
4. the enactment of contradictory rules;
5. rules that require conduct beyond the powers of the affected party;
6. introductions such frequent changes in the rules that the subject cannot
orients his action by them;
7. failure of congruence between the rules as announced and their actual
administration.74
Artinya:
1. Peraturan harus berlaku juga bagi penguasa, harus ada kecocokan atau
konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya;
dituangkan dalam aturan-aturan yang berlaku umum, artinya suatu sistem

74
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 68.
61

hukum harus mengandung peraturan-peraturan dan tidak boleh sekedar


mengandung keputusan-keputusan yang bersifat sementara atau ad hoc;
2. Aturan-aturan yang telah dibuat harus diumumkan kepada mereka yang
menjadi objek pengaturan aturan-aturan tersebut;
3. Tidak boleh ada peraturan yang memiliki daya laku surut atau harus non
retroaktif, karena dapat merusak integritas peraturan yang ditunjuk untuk
berlaku bagi waktu yang akan datang;
4. Dirumuskan secara jelas, artinya disusun dalam rumusan yang dapat
dimengerti;
5. Tidak boleh mengandung aturan-aturan yang bertentangan satu sama lain;
6. Tidak boleh mengandung beban atau persyaratan yang melebihi apa yang
dapat dilakukan;
7. Tidak boleh terus menerus diubah, artinya tidak boleh ada kebiasaan untuk
sering mengubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang
kehilangan orientasi; dan
8. Harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan
dengan pelaksanaan sehari-hari.

Pendapat Lon Fuller diatas dapat dikatakan bahwa harus ada kepastian

antara peraturan dan pelaksanaannya, dengan demikian sudah memasuki

tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan aksi, perilaku, dan faktor-

faktor yang mempengaruhi dijalankannya hukum positif.

Mengenai kepastian hukum dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal 28 D

ayat (1) yang berbunyi: “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di

hadapan hukum”. Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari

hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian

akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman

perilaku bagi setiap orang. Meskipun beberapa pendapat menyebut kepastian

hanya sebagai sarana, namun ada pula yang memasukan kepastian sebagai

salah satu tujuan hukum. Inti dari kepastian hukum adalah keteraturan.

Keteraturan menyebabkan orang dapat hidup dengan pasti sehingga leluasa


62

melakukan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan

bermasyarakat.

Kalimat “kepastian hukum yang adil” dalam Pasal 28 D ayat (1)

merupakan susunan kata-kata yang sangat menunjukkan ciri khas dari sebuah

landasan konstitusional, karena kalimat “kepastian hukum yang adil”

menunjukkan bahwa kepastian hukum dan keadilan dapat diwujudkan

bersamaan, namun jika dikembalikan pada amanat dasar yang terkandung

dalam UUD 1945 ternyata dapat dilihat bahwa harapan awal para pendiri

bangsa adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang didukung

dengan kepastian hukum. Hal tersebut tidaklah mengherankan karena

keduanya sama-sama ada di dalam konsepsi negara hukum (rechtstaat) yang

dianut oleh Indonesia.

Kepastian dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan,

tidak menimbulkan multi tafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat

dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung

keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan

hukum. Hukum yang satu dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga

tidak menjadi sumber keraguan. Kepastian hukum menjadi perangkat hukum

suatu negara yang mengandung kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak

menimbulkan kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu menjamin

hak dan kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya masyarakat yang

ada.
63

1.6.1.3. Teori Pertanggungjawaban Hukum

Menurut Black Law Dictionary Bahasa Indonesia tanggung jawab adalah

kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh dituntut,

dipersalahkan, dan diperkarakan. Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah

suatu keharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan

kepadanya.75

Menurut hukum tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi

kebebasan seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau

moral dalam melakukan suatu perbuatan.76 Selanjutnya menurut Titik Triwulan

pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan

timbulnya hak hukum bagi seorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa

hal yang melahirkan kewajiban hukum orang lain untuk memberi

pertanggungjawabannya.77 Tanggung jawab ialah suatu akibat lebih lanjut dari

pelaksanaan peranan, baik peranan itu merupakan hak maupun kewajiban

ataupun kekuasaan.78 Suatu konsep terkait dengan konsep kewajiban hukum

adalah konsep tanggung jawab hukum (liability), seseorang dikatakan secara

hukum bertanggung jawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia

dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan.

Normalnya, dalam kasus sanksi dikenakan terhadap delinquent adalah karena

perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut harus bertanggungjawab.

75
Andi Hamzah, 2005, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia,
76
Soekidjo Notoatmojo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, hl.42
77
Titik Triwulan dan Shinta Febrian, 2010, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi
Pustaka, Jakarta, h 48.
78
Anonymous, 2005, Pengantar lImu Hukum Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia,
Bogor, h. 163.
64

Dalam kasus ini subyek responsibility dan subyek kewajiban hukum adalah

sama.

Menurut Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum

menyatakan bahwa: “seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu

perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek

berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan

yang bertentangan.79 Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan bahwa:80

“Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum


disebut kekhilafan (negligence); dan kekhilafan biasanya dipandang
sebagai satu jenis lain dari kesalahan (culpa), walaupun tidak sekeras
kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki,
dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan.”

Hans Kelsen selanjutnya membagi mengenai tanggung jawab terdiri

dari:81

1. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab

terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri;

2. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung

jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain;

3. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang

individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena

sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian;

79
Hans Kelsen (a) , 2007, sebagaimana diterjemahkan oleh Somardi, General Theory Of law
and State , Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu
Hukum Deskriptif Empirik,BEE Media Indonesia, Jakarta, h. 81
80
Ibid,h.8
81
Hans Kelsen (b), sebagaimana diterjemahkan oleh Raisul Mutaqien, Teori Hukum Murni,
Nuansa & Nusa Media, Bandung, 2006, h. 140.
65

4. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu

bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak

sengaja dan tidak diperkirakan.

Menurut Abdulkadir Muhammad teori tanggung jawab dalam perbuatan

melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori, yaitu :82

1. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan

dengan sengaja (intentional tort liability), tergugat harus sudah melakukan

perbuatan sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat atau

mengetahui bahwa apa yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan

kerugian.

2. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan

karena kelalaian (negligence tort liability), didasarkan pada konsep

kesalahan (concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang

sudah bercampur baur (intermingled).

3. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa

mempersoalkan kesalahan (strict liability), didasarkan pada perbuatannya

baik secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan

kesalahannya tetap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat

perbuatannya.

Menurut teori tradisional, terdapat dua macam pertanggungjawaban yang

dibedakan yaitu pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan dan

pertanggungjawaban mutlak.83 Tanggung jawab mutlak adalah tanggung jawab


82
Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 503.
83
Jimly Asshiddiqie & M Ali Safa'at, Op Cit, h. 56
66

hukum dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum tanpa melihat

apakah yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya mempunyai unsur

kesalahan ataupun tidak, dalam hal ini pelakunya dapat dimintakan tanggung

jawab secara hukum, meskipun dalam melakukan perbuatannya itu dia tidak

melakukannya dengan sengaja dan tidak pula mengandung unsur kelalaian, ke

kurang hati-hatian atau ketidakpatuhan.84

Prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability) ini tidak

mempersoalkan lagi mengenai ada atau tidak adanya kesalahan, tetapi

produsen langsung bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh

produknya yang cacat. Produsen dianggap harus bertanggung jawab apabila

telah timbul kerugian pada konsumen karena mengkonsumsi suatu produk dan

oleh karena itu produsen harus mengganti kerugian itu. Sebaliknya produsen

lah yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah, yaitu bahwa ia telah

melakukan produksi dengan benar, melakukan langkah-langkah pengamanan

yang wajib ia ambil, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan duty of care.85

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat prinsip dalam

hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak

konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisa siapa yang harus

bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan

kepada pihak terkait.86

Teori tanggung jawab lebih menekankan pada makna tanggung jawab

yang lahir dari ketentuan Peraturan Perundang-Undangan sehingga teori


84
Munir Fuady, 2002, Perbuatan Melawan Hukum,Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 173
85
Janus Sidabalok, Op.Cit ,h. 116
86
Shidarta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, h.7
67

tanggung jawab dimaknai dalam arti liability,87 sebagai suatu konsep yang

terkait dengan kewajiban hukum seseorang yang bertanggung jawab secara

hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam

kasus perbuatannya bertentangan dengan hukum.

1.6.1.4. Teori Perundang-Undangan

Peraturan perundang-undangan dalam suatu negara yang menganut

sistem civil law termasuk Indonesia menjadi salah satu unsur penting terutama

dalam pembangunan hukum di Indonesia. Untuk itu pembenahan peraturan

perundang-undangan dalam pembangunan hukum nasional masih terus

diupayakan: “Pembenahan peraturan perundang-undangan tersebut perlu

dilakukan untuk mewujudkan tertib peraturan perundang-undangan, yang

memperhatikan hierarki, kearifan lokal, revitalisasi hukum adat, serta reposisi

yurisprudensi terkait dengan pembaruan materi hukum nasional.”88

Istilah “perundang-undangan” (legislation, wetgeving atau gezetsgebung)

mempunyai dua pengertian, yaitu:

1. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk

peraturan-peraturan negara, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat

Daerah.

2. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan

hasil pembentukan peraturan-peraturan baik di tingkat Pusat maupun di

tingkat Daerah.89
87
Busyra Azheri, 2011, Corporate Social Responsibility dari Voluntary menjadi Mandotary,
Raja Grafindo Perss, Jakarta, h.54
88
BPHN, Laporan Temu Konsultasi Pelaksanaan Hukum di Jajaran Departemen Hukum
dan HAM RI, Yogyakarta, 6-9 Maret 2006, h. 15.
89
S.J. Fockema Andreae, Rechtsgeleerd Handewoorden Boek, Groningen/Batavia, J.B.
Wolters, dalam Maria Farida Idriati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius,
68

Menurut H. Soehino, istilah perundang-undangan diartikan sebagai berikut:

1. Suatu proses atau tata cara pembentukan peraturan-peraturan perundangan

negara dari jenis dan tingkat tertinggi yaitu undang-undang sampai yang

terendah, yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi dari kekuasaan

perundang-undangan.

2. Keseluruhan produk peraturan-peraturan perundangan tersebut.90

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundangan diterangkan bahwa peraturan perundang-undangan

adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara

umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang

berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-

undangan.

Dibentuknya peraturan perundang-undangan adalah untuk mewujudkan

norma hukum dalam kehidupan bermasyarakat sebagai masyarakat negara

hukum. Sedangkan norma hukum mempunyai tujuan yang menitikberatkan

pada jaminan keamanan bagi kepentingan sesamanya agar tidak dilanggar. Dari

segi tujuannya norma hukum bertujuan kepada cita kedamaian hidup antar

pribadi (het recht wil de urede). Peraturan perundang-undangan yang dibentuk

tanpa pengkajian teoritis dan sosiologis yang mendalam akan cenderung

mewakili kepentingan-kepentingan pihak-pihak tertentu, sehingga ketika

diterapkan di dalam masyarakat yang terjadi adalah penolakan-penolakan.

Yogyakarta, h. 3.
90
Soehino, Hukum Tata Negara; Teknik Perundang-Undangan (Setelah Dilakukan
Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945), BPFE
69

Masyarakat tidak berpikir memiliki atas suatu peraturan perundang-undangan

sebagai akibat dari pembentukannya yang tidak partisipatif dengan

mengikutsertakan dan meminta pendapat dari masyarakat.

Salah satu tiang utama dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu

negara adalah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,

harmonis dan mudah diterapkan dalam masyarakat. Proses atau tata cara

pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan tahapan kegiatan

yang dilaksanakan secara berkesinambungan untuk membentuk undang-

undang.91

Menurut A. Hamid S Attamimi dalam pembentukan perundang-

undangan di Negara Republik Indonesia harus didasarkan pada asas-asas

hukum umum yakni Pancasila, Negara berdasarkan atas hukum, dan

pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi. Pancasila berdasarkan UUD 1945

menjadi landasan filsafati tertinggi dalam pembentukan perundang-undangan

di Indonesia. Hal ini disebabkan, bahwa Pancasila adalah menjadi cita hukum

(rechtsidee) yang menguasai hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis.92

Sebagai cita hukum, nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila

menjadi acuan konstruksi berfikir lembaga pembentuk peraturan perundang-

undangan yang baik yakni berisi kebenaran, keadilan dan kepastian hukum

bagi terwujudnya masyarakat dan negara hukum Indonesia yang madani.

91
Maria Farida Indriati S., 2007, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan, Kanisius, Yogyakarta, h. 2.
92
A. Hamid S. Attamimi, 2007, Disertasi: Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 302.
70

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan prinsip-

prinsip peraturan perundang-undangan antara lain:

1. Undang-undang tidak dapat berlaku surut;

2. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat;

3. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai

kedudukan yang tinggi pula (Lex superiori derogat lefi inferiori);

4. Undang-undang yang bersifat khusus akan mengesampingkan atau

melumpuhkan undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat

legi generalis);

5. Undang-undang yang baru mengalahkan atau melumpuhkan undang-

undang yang lama (Lex posteriori derogat legi priori);

6. Undang-undang merupakan sarana maksimal bagi kesejahteraan spiritual

masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan (inovasi) atau

pelestarian. Artinya, supaya pembuat undang-undang tidak sewenang-

wenang atau supaya undang-undang tersebut tidak menjadi huruf mati,

maka perlu dipenuhi beberapa syarat tertentu;

7. Keterbukaan di dalam proses pembuatan undang-undang;

8. Pemberian hak kepada warga masyarakat untuk mengajukan usul tertentu,

melalui cara-cara:

a. Penguasa setempat mengundang mereka yang berminat untuk

menghadiri suatu pembicaraan mengenai peraturan tertentu yang akan

dibuat.
71

b. Suatu departemen tertentu, mengundang organisasi-organisasi tertentu

untuk memberikan masukan bagi suatu rancangan undang-undang yang

sedang disusun.

c. Acara dengar pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat.

d. Pembentukan kelompok-kelompok penasihat yang terdiri dari tokoh-

tokoh atau ahli-ahli terkemuka.93

Pembentukan peraturan perundang-undangan perlu berpedoman pada

asas-asas pembentukan peraturan yang baik dan ideal. Hal ini dimaksudkan

untuk menghindari kesalahan dan kecacatan dalam pembentukan norma artinya

pembahasan mengenai asas-asas dalam pembuatan perundang-undangan yang

baik ini menjadi sangat penting agar tercipta perundang-undangan yang baik.

“Pembentukan peraturan perundang-undangan ini menyangkut isi peraturan,

bentuk dan susunan peraturan, metode pembentukan peraturan, prosedur dan

proses pembentukan peraturan”.94

Menurut I. C Van Der Vlies seperti yang dikutip oleh Maria Farida

Indriati dalam bukunya membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan

negara yang baik ke dalam asas-asas yang formal dan material.

1. Asas-asas formal meliputi

a. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelsteling), yang

mencakup tiga hal yakni mengenai ketepatan letak peraturan

perundang-undangan dalam kerangka kebijakan umum pemerintahan,

Soerjono Soekanto & Purnadi Purbacaraka, 1993, Perihal Kaidah Hukum, PT. Citra
93

Aditya Bakti, Bandung, h. 88-92.


94
Maria Farida, Op.Cit, h. 252.
72

tujuan khusus peraturan yang akan dibentuk dan tujuan dari bagian-

bagian yang akan dibentuk tersebut;

b. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juitse orgaan), hal ini

untuk menegaskan kejelasan organ yang menetapkan peraturan

perundang-undangan tersebut;

c. Asas perlunya pengaturan (het moodzakelijheids beginsel), merupakan

prinsip yang menjelaskan berbagai alternatif maupun relevansi

dibentuknya peraturan untuk penyelesaian problema pemerintahan;

d. Asas-asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid),

yaitu peraturan yang dibuat seharusnya dapat ditegakkan secara efektif;

e. Asas konsensus (het beginsel van consesnsus), yaitu kesepakatan rakyat

untuk melaksanakan kewajiban yang ditimbulkan oleh suatu peraturan

secara konsekuen.

2. Asas-asas material meliputi:

a. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van

duiddelijke terminologi en duiddelijke systematiek), artinya setiap

peraturan hendaknya dapat dipahami oleh rakyat;

b. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid),

tujuannya untuk mencegah praktik ketidakadilan dalam memperoleh

pelayanan hukum;
73

c. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtgelijkheids

beginsel), tujuannya untuk mencegah praktik ketidakadilan dalam

memperoleh pelayanan hukum;

d. Asas kepastian hukum (het rechtzerheid sbeginsel), artinya peraturan

yang dibuat mengandung aspek konsistensi walaupun

diimplementasikan dalam waktu dan ruang yang berbeda;

e. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de

individuele rechtsbedeling), asas ini bermaksud memberikan

penyelesaian yang khusus bagi hal-hal atau keadaan tertentu yang

menyangkut kepentingan individual.95

Pembentukan peraturan yang baik, apabila dikaitkan dengan

pembentukannya, proses pembentukan perundang-undangan tersebut sudah

mencakup tujuh kriteria atau kategori yang dikemukakan oleh Aan Seidmaan,

Robert Seidmann dan Nalin Abeyserkere dalam teorinya yang disebut dengan

teori ROCCIPI.

Teori ROCCIPI ini merupakan identifikasi tujuh faktor yang seringkali

menimbulkan masalah yang berkaitan dengan berlakunya suatu peraturan

perundang-undangan. Ketujuh kategori ini dapat digunakan untuk

mendapatkan masukan tentang proposisi penjelasan yang dapat diuji dan saling

berkaitan, yang terdiri dari Rule (peraturan), Opportunity (kesempatan),

Capacity (kemampuan), Communication (komunikasi), Process (proses), dan

Ideology (ideologi).96
95
Ibid.
96
Aan Seidman, Robert Seidman dan Nalin Abeyskere, 2002, Penyusunan Rancangan
Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis: Sebuah Panduan Untuk
74

Teori Perundang-Undangan (Gesetzgebungs theorie), yang berorientasi

pada mencari kejelasan dan kejernihan makna atau pengertian-pengertian

(begripsvorming dan begripsverheldering), dan bersifat kognitif

(erklarungsorientiert).97 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan (LN No. 82 Tahun 2011- TLN No.5234) selanjutnya disingkat

Undang-undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Pengertian Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang

memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau

ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur

yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

Menurut Bagir Manan, agar pembentukan undang-undang menghasilkan

suatu undang-undang yang tangguh dan berkualitas terdapat tiga landasan

dalam menyusun undang-undang:

1. Landasan yuridis (juridische gelding);

2. Landasan sosiologis (sociologische gelding);

3. Landasan filosofis.98

Pentingnya ketiga unsur landasan pembentukan undang-undang tersebut,

agar undang-undang yang dibentuk memiliki kaidah yang sah secara hukum

(legal validity) dan mampu berlaku efektif karena dapat atau akan diterima

Pembuat Rancangan Undang-Undang, Terjemahan Johanes Usfunan, et, el., ELIPS.


97
Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan, PT Kanisius, Yogyakarta, h.8.
98
Yuliandri, 2013, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik:
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, dikutip dari Bagir Manan, Dasar-Dasar
Konstitusional Peraturan Perundang-Undangan Nasional, Cetakan ke IV, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h. 29.
75

masyarakat secara wajar, serta berlaku untuk waktu yang panjang. Dalam

tataran pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal teori jenjang

hukum (Stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Berdasarkan

teori tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa The unity of thesenorm is

constituted by the fact that the creation of one norm-the lower one-is

determined by another-the higher-the creation of which is determined by a still

higher norm, and that this regressus is terminated by a highest,....”99 yang

artinya adalah ”kesatuan norma-norma ini ditunjukan oleh fakta bahwa

pembentukan norma yang satu yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh

norma lain yang lebih tinggi lagi dan bahwa regressus (rangkaian proses

pembentukan hukum) ini diakhiri oleh norma dasar tertinggi.

Norma dasar (Grundnorm) yang merupakan norma tertinggi dalam suatu

sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi

lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai

norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di

bawahnya.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan jenis dan hierarki Peraturan

Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;


99
Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law and State, Translate by anders
Wedberg,Newyork: Russel & Rusel, dikutip oleh Jimly Assidhiqie, 2010, Perihal Undang-
undang ,Rajawali Press, Jakarta, h. 124.
76

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) Kekuatan hukum Peraturan

Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat

(1). Dalam penjelasan umum Pasal 7 ayat (2) Dalam ketentuan ini yang

dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan

Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-

undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan

Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Teori perjenjangan menitik beratkan pada penegakan kekuatan hukum

yang didasarkan atas derajat atau tingkat keberadaan peraturan perundangan,

peraturan yang letaknya di bawah tidak boleh bertentangan dengan yang

diatasnya. Kelsen mengelompokkan norma hukum terdiri dari :

1. Norma dasar (fundamental norms);

2. Norma umum (general norms);

3. Norma konkrit (concrete norms).

Letak norma dasar adalah pada konstitusi, sedangkan norma umum

dikelompokkan pada derajat undang-undang, statute atau legislative acts,

sedangkan norma konkret terdapat pada putusan Pengadilan (vonis) dan

keputusan-keputusan pejabat administrasi negara.100

Ibid, h.72
100
77

Teori ini terkait erat dengan cita hukum. lalu apa cita hukum

sebagaimana tujuan materiil peraturan perundang-undangan sebagai sebuah

produk hukum? Teori cita hukum atau rechtsidee theory dikemukakan oleh

Gustav Radbruch seorang ahli filsafat hukum beraliran Neo-Kantian. Cita

hukum dapat dipahami sebagai suatu konstruksi pikiran yang merupakan

keharusan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan

masyarakat. Gustav Radbruch berpendapat bahwa cita hukum berfungsi

sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif dan konstruktif. Tanpa cita hukum,

maka produk hukum yang dihasilkan itu akan kehilangan

maknanya.Pandangan Gustav Radbruch tersebut dapat dipahami:

“De rechtsidee niet allen alseen regulatieve maatstaaf fungeert (om het
positieve recht op zijn rechtvaardigheid of onrechtvaardigheit to
toetsen), maar tegelijk als constitutive grondslag (zonder welke het recht,
dat de rechtsidee der gerechtigheit de grondslag vormt van recht, dat met
de idee in strijd kan zijn (onrechtvaardigrecht)”. 101

Dengan demikian, setiap proses pembentukan dan penegakan serta

perubahan-perubahan yang hendak dilakukan terhadap hukum tidak boleh

bertentangan dengan cita hukum yang disepakati. Hans Kelsen menyebut cita

hukum sebagai Grundnormatau Basic norm.102

Cita hukum harus dipahami sebagai dasar sekaligus pengikat dalam

pembentukan perundang-undangan. Disini aspek nilai yang terkandung di

dalam cita hukum semakin penting artinya, dan secara instrumental berfungsi,

terutama bagi pembuat peraturan kebijaksanaan (technical policy). Dimensi

nilai yang dipersoalkan disini bukan saja dijumpai saat peraturan itu hendak

101
Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama,
Semarang, h. 43
102
Ibid., h. 44
78

diimplementasikan, sebab pada saat pengimplementasiannya itulah dibutuhkan

produk kebijaksanaan yang lebih teknis-operasional. Gustav Radbruch

mengemukakan, terdapat 3 (tiga) nilai dasar dari hukum yang kemudian

dikenal dengan cita hukum.103 Ketiga nilai tersebut yaitu kepastian, keadilan

dan kemanfaatan. Gustav Radbruch juga mengemukakan adanya kesulitan

dalam mewujudkan ketiga nilai-nilai dasar hukum ini secara bersamaan. Kalau

dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan

kepastian hukum, apakah itu mungkin tercapai. Dalam kenyataan sering antara

tujuan yang satu dengan yang lainnya berbenturan. Misalnya suatu kasus

dimana hakim menginginkan putusannya adil menurut persepsinya, namun

akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian

sebaliknya. Sehingga Radbruch mengajarkan, menggunakan asas prioritas

dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan

terakhir adalah kepastian hukum.104

Berkaitan dengan cita hukum di Indonesia, maka pancasila dikatakan

sebagai cita hukum (rechtsidee)dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

dan bernegara. Cita hukum (rechtsidee) menurut Rudolf Stammleradalah

konstruksi pikir yang mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan oleh

masyarakat.105 Cita hukum berfungsi sebagai bintang pemandu (leitstern) untuk

mencapai apa yang dicita-citakan. Cita hukum mengandung prinsip yang

berlaku sebagai norma bagi keadilan atau ketidakadilan hukum, dengan


Ibid., h. 47. “Tiga nilai dasar hukum ini disebut juga tiga ide dasar hukum dan tiga asas
103

hukum yaitu kepastian, keadilan dan kemanfaatan”


104
JohnRawls, 2006, A Theory of Justice, diterjemahkan: Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.47.
105
Rudolf Stammler dalam Theo Hujbers, 1995, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah,
Kanisius, Yogyakarta, h. 129.
79

demikian cita hukum secara serentak memberikan manfaat ganda yaitu dengan

cita hukum dapat diuji hukum positif yang berlaku, dan pada cita hukum dapat

diarahkan hukum positif menuju hukum yang adil. Hal senada juga

dikemukakan oleh Gustav Radbruch bahwa cita hukum tidak hanya berfungsi

sebagai tolak ukur yang bersifat regulatif yaitu untuk menguji apakah suatu

hukum positif adil atau tidak, melainkan sekaligus berfungsi sebagai dasar

yang bersifat konstitutif dan menentukan bahwa tanpa cita hukum, hukum

positif akan kehilangan maknanya sebagai hukum.

Cita hukum itu dibentuk dalam pikiran dan sanubari manusia sebagai

produk berpadunya pandangan hidup, keyakinan, keagamaan dan kenyataan-

kenyataan yang diproyeksikan pada proses pengkaidahan perilaku warga

masyarakat yang wewujudkan keadilan,hasil guna dan kepastian hukum. 106

Dalam dinamika kehidupan kemasyarakatan, cita hukum akan mempengaruhi

dan berfungsi sebagai asas umum yang mempedomani (guiding principle),

norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang memotivasi dalam

pembentukan, penemuan, penerapan dan perilaku hukum.107 Dengan

dirumuskan cita hukum akan memudahkan penjabarannya ke dalam berbagai

perangkat aturan kewenangan dan aturan perilaku serta memudahkan

terjaganya konsistensi dalam penyelenggaraan hukum.108

106
Penjelasan UUDN RI Tahun 1945 menerjemahkan kata Rechtsidee dengan cita-cita
hukum, yang semestinya adalah cita hukum karena cita berarti gagasan, rasa, cipta,
pikiran,sedangkan cita-cita berarti keinginan, kehendak, harapan yang selalu ada dipikiran atau
dihati.Karena itu Rechtidee sebaiknya diterjemahkan dengan cita hukum, Lihat Hamid S
Attamimi,Peranan Keputusan Presiden, Op.,Cit, h. 308, lihat pula Hamid S Attamimi,1996, Cita
Negara Peratuan Indonesia, BP-7 Pusat, Jakarta, h. 133
107
Badan Pembinaan Hukum Nasional dari Masa ke Masa, 1995, BPHN Departemen
Kehakiman RI, Jakarta, h. 246
108
Arief Sidharta, Op.Cit, h. 181
80

Berdasarkan pengertian cita hukum diatas, dapat ditarik pengertian

bahwa sebagai suatu ukuran yang berisikan nilai-nilai, maka cita hukum

tunduk pada falsafah yang mendasarinya. Dengan demikian setiap cita hukum

memiliki rumusan nilai yang berbeda. Rumusan nilai cita hukum Pancasila

berbeda dengan cita hukum yang orientasi falsafahnya liberalisme ataupun

sosialisme.Falsafah hidup Indonesia adalah Pancasila, merupakan asas

kerohanian negara, norma dasar, cita hukum, dan sumber dari segala sumber

hukum.109Hal ini sesuai dengan pendapat Hamid S. Attamimi yang

mengemukakan bahwaKelima sila Pancasila dalam kedudukannya sebagai cita

hukum rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara secara positif merupakan bintang pemandu yang memberikan

pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan, memberi isi kepada setiap

peraturan perundang-undangan, dan secara negatif merupakan kerangka yang

membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-undangan tersebut. Terhadap

isi peraturan perundang-undangan sila-sila tersebut baik sendiri-sendiri

maupun bersama-sama, baik tunggal maupun berpasangan merupakan asas

hukum umum. Selain sebagai cita hukum, Pancasila juga sebagai Norma

Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm),karena itu sila-sila Pancasila

baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama merupakan norma dasar atau

norma tertinggi bagi berlakunya semua norma hukum.

Tiap kaidah hukum mencerminkan sebuah nilai. Dengan demikian, tata

hukum itu mencerminkan atau bermuatan sistem nilai. Dalam esensinya sistem

M. Noor Syam, 2000, Penjabaran Filsafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (Sebagai
109

Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), Laboratorium Pancasila IKIP Malang, h. vi


81

nilai itu dapat dibedakan kedalam nilai dasar (base values) dan nilai tujuan

(goal values). Sebagai sistem nilai Pancasila merupakan nilai dasar sekaligus

nilai tujuan. Dalam kerangka pandangan tentang cara keberadaan manusia yang

dikemukakan menurut pandangan Pancasila, maka cita hukum Pancasila

berintikan110. Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan atas martabat

manusia, wawasan kebangsaan dan wawasan nusantara, persamaan dan

kelayakan, moral dan budi pekerti yang luhur dan partisipasi dan transparansi

dalam proses pengambilan putusan publik.

Berdasarkan kerangka cita hukum (recht idee) Pancasila, maka tujuan

hukum bagi bangsa Indonesia adalah untuk memberikan pengayoman kepada

manusia, yakni melindungi manusia secara pasif (negatif) dengan mencegah

tindakan sewenang wenang, dan secara aktif (positif) dengan menciptakan

kondisi masyarakat yang manusiawi yang memungkinkan proses

kemasyarakatan berlangsung secara wajar sehingga secara adil tiap manusia

memperoleh kesempatan yang luas dan samauntuk mengembangka seluruh

potensi kemanusiaannya secara utuh. Termasuk juga untuk memelihara dan

mengembangkan budi pekerti kemanusiaan serta cita cita moral rakyat yang

luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.111

110
Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum-Sebuah Penelitian
Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan
Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, h.183
111
Ibid., h.190
82

1.6.2. Penjelasan Konsep

1.6.2.1. Konsep Konsumen

Pakar ekonomi mengasumsikan bahwa konsumen merupakan pembeli

ekonomis, yakni orang yang mengetahui semua fakta dan secara logis

membandingkan pilihan yang ada berdasarkan biaya dan nilai manfaat yang

diterima untuk memperoleh kepuasan terbesar dari uang dan waktu yang

mereka korbankan. Pada hakikatnya mempelajari konsumen sama halnya kita

mempelajari perilaku manusia. Istilah perilaku konsumen yang pada umumnya

konsumen memusatkan perhatiannya pada perilaku individu yang khususnya

membeli suatu produk, sekalipun konsumen tersebut tidak terlibat dalam

merencanakan pembelian produk tersebut ataupun menggunakan produk

tersebut.

Perilaku konsumen didefinisikan sebagai tindakan-tindakan individu

yang secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh dan menggunakan

barang-barang jasa ekonomis termasuk proses pengambilan keputusan yang

mendahului dan menentukan tindakan-tindakan tersebut. Keputusan-keputusan

konsumen dapat dipahami melalui dua pendekatan pokok, yakni pendekatan

normatif dan deskriptif. Pendekatan normatif ini menekankan pada apa yang

seharusnya dilakukan oleh konsumen sehingga didapatkan keputusan yang

rasional. Pendekatan deskriptif menekankan pada apa saja yang dilakukan

konsumen dalam membuat keputusan tanpa melihat apakah keputusan tersebut

rasional atau tidak.


83

Menurut pendapat beberapa ahli ada tiga kemungkinan pendekatan

keputusan yang kompleks berdasarkan nilai yang diharapkan dalam situasi,

yaitu memaksimalkan nilai minimum, memaksimalkan nilai maksimum, dan

memaksimalkan nilai yang diharapkan. Di samping itu, menghadapi masalah-

masalah dan keputusan yang kompleks atau sulit, orang dapat

mempertimbangkan penggunaan proses berpikir sadar (conscious thinking)

atau berpikir tidak sadar (unconscious thinking).

Kata “konsumen” itu sendiri berasal dari kata dalam bahasa Inggris,

yakni “consumer” atau dalam bahasa Belanda “consument”, konsumen secara

harfiah adalah orang yang memerlukan. membelanjakan atau menggunakan,

pemakai atau pembutuh.112 Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai

terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha, yaitu

setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk

diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi.113 Pengertian konsumen di Amerika

Serikat dan MEE kata konsumen yang berasal dari consumer sebenarnya

berarti pemakai, namun di Amerika Serikat kata ini dapat diartikan lebih luas

lagi sebagai korban pemakaian produk yang cacat, baik korban tersebut

pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan juga korban yang bukan

pemakai, karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan oleh korban

yang bukan pemakai.114

Menurut UUPK Pasal 1 konsumen adalah setiap orang pemakai barang

dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat. baik bagi kepentingan diri
112
N.H.T Siahaan, 2005, Hukum Konsumen, Panta Rei, Jakarta, h.23
113
23 Janus Sidabalok, Op Cit, h. 17.
114
C.T.S Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika. Jakarta, h 23
84

sendiri, keluarga orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan. Di Amerika Serikat, pengalaman konsumen meliputi “korban

produk yang cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli, tetapi juga korban

yang bukan pembeli tapi pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai

memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai. Di Eropa pengertian

konsumen bersumber dari product liability directive sebagai pedoman bagi

Negara MEE dalam menyusun ketentuan hukum perlindungan konsumen.

Berdasarkan directive tersebut yang berhak menuntut ganti kerugian adalah

pihak yang menderita kerugian (karena kematian atau cedera) atau kerugian

berupa kerusakan benda selain produk yang cacat itu sendiri.

1.6.2.2. Konsep Pelaku Usaha

Istilah “produsen” berasal dari Bahasa Belanda yakni “producent”, dalam

bahasa Inggris “producer” yang artinya adalah penghasil. Dalam pengertian

yuridis, istilah produsen disebut dengan pelaku usaha.115 Produsen juga sering

diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam

pengertian ini termasuk di dalamnya pembuat, grosir, leveransir dan pengecer

professional, yaitu setiap orang atau badan yang ikut sena dalam penyediaan

barang dan jasa hingga sampai ketengan konsumen.116 Dengan demikian

produsen tidak hanya diartikan sebagai pihak pembuat/pabrik yang

menghasilkan produk saja. tetapi juga mereka yang terkait dengan

penyampaian/peredaran produk hingga sampai ketangan produsen. Artinya

dalam konteks perlindungan, produsen diartikan secara luas. Sebagai contoh

115
N.H.T Siahaan, Op Cit, h 26
116
Janus Sidabalok, Op Cit, h 16
85

dalam hubungannya dengan produk makanan hasil industri (pangan olahan).

maka produsennya adalah mereka yang terkait dalam proses pengadaan

makanan hasil industri (pangan olahan) itu hingga sampai ketangan konsumen.

Mereka itu adalah pabrik (pembuat), distributor. eksportir atau importir, dan

pengecer baik yang berbadan hukum ataupun yang bukan badan hukum.

Menurut UUPK pasal angka 3 pelaku usaha adalah setiap orang

perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan

badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan

dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun

bersama sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam

berbagai bidang ekonomi. Artinya pelaku usaha yang termasuk dalam

pengertian ini adalah perusahaan. korporasi, importir, pedagang, distributor dan

lain-lain.

1.6.2.3. Konsep Iklan

Menurut Sidabalok iklan adalah suatu bentuk komunikasi untuk promosi

memakai jasa media, dan ada sponsornya. Di mana di dalamnya terdapat

sekurang-kurangnya tiga pihak yaitu pemesan (pemilik produk yang di

iklankan), perusahaan media yang mengiklankan (agen periklanan), dan

masyarakat pemirsa/pembaca sebagai konsumen.117 Kotler, sendiri mengartikan

iklan sebagai komunikasi bukan pribadi, yang dilakukan melalui media yang

dibayar atas usaha yang jelas.118 Menurut Miru, iklan merupakan salah satu
117
Janus Sadabalok, Op Cit, h 243
118
Phlllp Khotler, 1994, Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan dan Pengendalian,
airlangga Jakarta, h. 7
86

bentuk informasi, merupakan alat bagi produsen untuk memperkenalkan

produknya kepada masyarakat agar dapat mempengaruhi kecenderungan

masyarakat untuk menggunakan atau mengonsumsi produknya. Demikian pula

sebaliknya, masyarakat akan memperoleh gambaran tentang produk yang

dipasarkan melalui iklan.119 Iklan merupakan sarana komunikasi yang

digunakan komunikator dalam hal ini perusahaan atau produsen untuk

menyampaikan informasi tentang barang atau jasa kepada publik, khususnya

pelanggannya melalui suatu media massa. Selain itu, semua iklan dibuat

dengan tujuan yang sama yaitu untuk memberi informasi dan membujuk para

konsumen untuk mencoba atau mengikuti apa yang ada di iklan tersebut, dapat

berupa aktivitas mengkonsumsi produk dan jasa yang ditawarkan.120

Iklan merupakan bentuk promosi yang dilakukan oleh pengusaha baik

dalam media cetak, media massa, elektronik atau kombinasi dari media-media

tersebut untuk memperkenalkan produk yang mereka tawarkan kepada

konsumen sebagai pengguna barang dan jasa. Tujuan Periklanan Menciptakan

kesadaran pada suatu merek di dalam benak konsumen. Tanpa brand

awareness yang tinggi akan sulit untuk mendapatkan pangsa pasar yang tinggi.

Karenanya iklan bertujuan untuk121:

1. Mengkomunikasikan informasi kepada konsumen mengenai keunggulan

119
Ahmadi Miru, 2000, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Konsumen di Indonesia,
Airlangga, Surabaya, h. 48
120
http://www.mage tankab.go.id/sites/default/files/documents formulir/Fungsi%20 dan
%20Peranan%20lklan%20pada%20tv.pdf Diakses Desember 2020
121
hppt://pramsky.blogspot.com/2009/12 jenis-tujuan-dan-manfaat-Iklan.html Diakses
Desember 2020
87

2. Suatu merek. Manfaat ini berhubungan dengan keunggulan dari sebuah

produk dibanding produk lain.

3. Mengasosiasikan suatu merek dengan perasaan serta emosi tertentu.

Tujuannya, agar ada hubungan emosi antara konsumen dengan suatu

merek.

4. Membuat perilaku. Artinya perilaku konsumen dapat dibentuk melalui

kampanye periklanan.

5. Mengembangkan atau mengubah citra atau personalitas dari sebuah merek.

Merck terkadang mengalami keterpurukan dimata konsumen.

6. Mengembangkan persepsi positif calon konsumen yang diharapkan kelak

dapat menjadi pembeli potensial

7. Mengarahkan konsumen untuk membeli suatu produk

Iklan serta dunia periklanan tentu memiliki batas atau nilai kepantasan

yang diiris oleh batas-batas etika. Nilai etika periklanan ini yang nantinya akan

menjadi indikator dalam sebuah periklanan apakah termasuk menyesatkan atau

justru sebaliknya. Beranjak dari itu, layak paparkan terlebih dahulu mengenai

konsep etika. Etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri

seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini

berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup baik, aturan hidup

yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari suatu orang

ke orang lain atau dari suatu generasi ke generasi yang lain.122

Sejalan dengan Etika Pariwara Indonesia (tata krama dan tata cara

periklanan Indonesia), periklanan adalah seluruh proses yang meliputi


Sony Keraf, 1998, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta, h.14
122
88

penyiapan, perencanaan, pelaksanaan, penyampaian, dan umpan balik dari

pesan komunikasi pemasaran.123 Iklan dan pelaku usaha periklanan harus:

1. Jujur, benar dan bertanggungjawab

2. Bersaing secara sehat

3. Melindungi dan menghargai khalayak, tidak merendahkan agama, budaya,

negara, dan golongan, serta tidak bertentangan dengan hukum yang

berlaku.

Adapun isi iklan harus meliputi hak cipta, Bahasa, dan tidak boleh

menggunakan kata “satu-satunya”, menggunakan kata “gratis” tetapi konsumen

harus membayar, kekerasan, keselamatan, hiperbolisasi, perbandingan harga,

merendahkan, peniruan, dan ketersediaan hadiah.

Penggunaan Bahasa juga harus diperhatikan, Bahasa iklan yang

disajikan harus dapat dipahami oleh khalayak sasarannya, dan tidak

menggunakan persandingan yang dapat menimbulkan penafsiran selain dari

yang dimaksudkan oleh perancang pesan iklan tersebut. Iklan tidak boleh

menggunakan kata-kata super relative seperti “paling”, “nomor satu”, “top”

atau kata-kata berawalan “ter” dan/ atau yang bermakna sama, tanpa secara

khas menjelaskan keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan

pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik.

Berdasarkan uraian yang disajikan sebagai gambaran umum atas

penjelasan tentang landasan teori dan konseptual untuk pembahasan masalah

dalam Disertasi ini maka konsep pemikiran dan teori yang akan dipakai

Etika Pariwara, 2007, Tata Krama dan Tata Cara Periklanan di Indonesia, Gedung
123

Dewan Press, Jakarta, h.18


89

sebagai pisau analisa dalam penelitian ini, maka secara garis besar penulis

dapat menyajikan skema sebagai berikut:

Bagan 1. Skema Kerangka Konseptual Penelitian

HAKIKAT PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN AKIBAT IKLAN YANG


MERUGIKAN BERBASIS NILAI KEADILAN

Problematika filosofis
Problematika sosiologis
Problematika yuridis

Bagaimanakah hakikat Bagaimanakah konsep


perlindungan hukum bagi perlindungan hukum bagi
konsumen akibat iklan yang konsumen akibat iklan yang
merugikan? merugikan berbasis nilai keadilan?

PISAU ANALISIS
Teori Perlindungan Hukum
METODE 90
Metode penelitian normatif, pendekatan perundang-undangan, filosofis, dan
konseptual, sumber bahan hukum (primer, sekunder & tersier), pengumpulan
bahan hukum (studi kepustakaan & studi dokumen), Analisa bahan hukum
(deskripsi, interprestasi, evaluasi & argumentasi)

HASIL AKHIR:
Temuan Berupa: Konsep Perlindungan Hukum Bagi PISAU ANALISIS
Konsumen Akibat Iklan
 Teori Keadilan
yang Merugikan Berbasis Nilai Keadilan
 Teori Pertanggungjawaban

1.7. Metode Penelitian

1.7.1. Jenis Penelitian

Penelitian ilmiah termasuk dalam penulisan Disertasi ini didukung oleh

metode tertentu, sehingga penelitian tersebut dapat berlangsung secara terencana

dan teratur. Van Peursen menerjemahkan pengertian metode secara harfiah,

mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi

penyelidikan atau penelitian, berlangsung menurut suatu rencana tertentu.124

Penelitian adalah merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan

analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan

konsisten.125 Sementara penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan

aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum, guna


124
Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu
Publishing, Malang, (Selanjutnya disebut Johnny Ibrahim I), h. 26
125
Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, (selanjutnya
disingkat Soerjono Soekanto I), h. 42
91

menjawab isu hukum yang dihadapi, sehingga penelitian hukum dilakukan untuk

menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam

penyelesaian masalah yang dihadapi.126

Penelitian hukum normatif memfokuskan objek kajian pada ketentuan-

ketentuan hukum positif, lalu mengarah pada makna dari asas hukum. Penelitian

hukum normatif terhadap pengkajian (analisis) dimulai dari perangkat-perangkat

Pasal-Pasal hukum positif terkandung konsep-konsep eksplanasi dan sifat dari

permasalahan penelitian. Selanjutnya mendalami lapisan ilmu hukum (dogmatik

hukum, teori hukum, dan filsafat hukum).127

Peter Mahmud Marzuki penelitian hukum adalah suatu proses untuk

menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin

hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.128 Penelitian hukum normatif

mengkaji hukum yang di konsepkan sebagai suatu norma yang berlaku. Norma

hukum yang berlaku berupa norma atau kaidah hukum positif tertulis bentukan

lembaga perundang-undangan, kodifikasi, undang-undang, peraturan pemerintah

dan sebagainya.129 Penelitian tipe ini lazim disebut sebagai studi dogmatic atau

yang dikenal dengan "doctrinal research"130 Penelitian tipe doctrinal adalah mirip

dengan tipe penelitian hukum normatif.131

126
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, (Selanjutnya disebut
Peter Mahmud Marzuki I), h.35..
127
Hadin Mudjad, dan Nunuk Nuswardani, 2012, Penelitian Hukum Indonesia
Kontemporer, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 10.
128
Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, Kencana , Jakarta, h. 35
129
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 42
130
Bambang Sunggono, 2004, Metodologi Penelitian Hukum, cet 1,Citra Aditya Bakti
Bandung, h. 52
131
Ibid
92

1.7.2. Pendekatan Masalah

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh kebenaran ilmiah atas jawaban

isu hukum yang dikaji, maka dalam penelitian dipergunakan beberapa

pendekatan.132 Berdasarkan permasalahan maka penelitian ini dipergunakan

pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)

2. Pendekatan filosofis (filosofie approach)

3. Pendekatan konsep (conceptual approach)

4. Pendekatan komparatif (comparative approach)

Berdasarkan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi

dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya.

Pendekatan- pendekatan yang digunakan dalam penelitian Disertasi ini adalah


133
:

a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)

Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua

undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang

sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan

undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk

mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-

undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dan

Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang. Hasil dari

telaah tersebut merupakan suatu argument untuk memecahkan isu yang

Philipus M. Hadjon, 1999, Menulis Laporan Penelitian Hukum, UNAIR, Surabaya, h. 2.


132

Peter Mahmud Mardzuki, Op Cit, , h.96


133
93

dihadapi. Bagi penelitian untuk kegiatan akademis, peneliti perlu mencari

ratio legis dan dasar ontologism lahirnya undang-undang tersebut. Dengan

mempelajari ratiolegis dan dasar ontologism suatu undang-undang,

peneliti sebenarnya mampu menangkap kandungan filosofi yang ada di

belakang undang-undang itu, peneliti tersebut akan menyimpulkan

mengenai ada atau tidaknya benturan filosofis antara undang-undang

dengan isu hukum yang dihadapi.

b. Pendekatan filosofis (filosofie approach)

Secara umum filosofis merupakan metode/cara berfikir dengan

kritis, sampai akar dan menyeluruh. Pendekatan filosofis akan membantu

memberikan cara pandang terhadap permasalahan yang akan dibahas

dengan memperhatikan segala aspek (menyeluruh), mendasar (sampai ke

akar) serta kritis melihat berbagai aspek yang dapat berpengaruh terhadap

simpulan yang ingin diperoleh. Tentunya pendekatan filosofis beranjak

dari hakikat/filsafat Ilmu Hukum yang merupakan bagian dari filsafat Ilmu

(mengakar). Pendekatan filosofis yang dipergunakan, dapat pula ditengahi

permasalahan yang sedang dibahas dari sudut pandang cabang ilmu yang

lain sehingga hasil (simpulan) yang diperoleh menjadi sebuah gagasan

yang mampu memenuhi keadilan serta kepastian hukum bagi semua pihak.

c. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Dipilih guna melakukan penelusuran terhadap makna suatu konsep

(pengertian) yang terdapat pada peraturan perundang-undangan,

pandangan ahli hukum, putusan pengadilan. Pendekatan konseptual itu


94

sendiri merupakan pendekatan yang dipergunakan untuk memperoleh

kejelasan dan pembenaran ilmiah berdasarkan konsep-konsep hukum yang

bersumber dari prinsip-prinsip hukum.134 Pendekatan konseptual dilakukan

manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal itu

dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan hukum untuk

masalah yang dihadapi. Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.

Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam

ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan

pengertian-pengertian hukum, konsep dihadapi. Pemahaman akan

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut ran bagi peneliti dalam

membangun suatu argumentasi konsep hukum, dan asas-asas hukum yang

relevan dengan isu yang hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.

d. Pendekatan Komparatif

Pendekatan komparatif (comparative approach) yang akan berdasar pada

sistem pendaftaran tanah di negara-negara lain serta perlindungan hukum

bagi pemegang hak atas tanah di negara lain, seperti Singapura, Malaysia,

dan Australia. Pendekatan ini digunakan agar mendapat gambaran tentang

bagaimana sistem pendaftaran di negara Singapura, Malaysia, Australia

dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah bersertipikat di

negara Singapura, Malaysia, Australia agar terciptanya sistem pendaftaran

tanah yang semakin baik di Indonesia dan terciptanya perlindungan hukum

134
Hadin Mudjad, Nunuk Nuswardani, Op.Cit.h.47
95

bagi pemegang hak atas tanah bersertipikat berdasarkan teori-teori dalam

penelitian ini.

1.7.3. Sumber Bahan Hukum

Sesuai jenis/tipe penelitian yaitu penelitian hukum normatif, maka bahan

hukum dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder.

Disamping bahan hukum primer dan sekunder juga digunakan bahan hukum

tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan hukum

primer dan sekunder yaitu Black Law Dictionary. Adapun bahan hukum dalam

penelitian ini sesuai dengan fokus permasalahan penelitiannya sebagai berikut:

1. Bahan hukum primer (bahan hukum yang mengikat secara umum) yang

terdiri dari aspek-aspek hukum perlindungan konsumen

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

c) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen;

e) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang

pangan;

f) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2016 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik;

g) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang

Penyiaran.
96

2. Bahan hukum sekunder, meliputi buku-buku hukum. Buku-buku yang

dimaksud yaitu hukum perlindungan konsumen dan buku-buku hukum lain

yang memiliki kaitan dengan perlindungan hukum terhadap konsumen.

Bahan-bahan hukum yang tergolong pada dua kategori tadi yaitu bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder diperoleh dari berbagai perpustakaan

baik yang ada di lingkungan perguruan tinggi, instansi pemerintah, maupun non

pemerintah.

1.7.4. Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Bahan hukum dikumpulkan melalui prosedur inventarisasi dan identifikasi

peraturan perundang-undangan, serta klasifikasi dan sistematisasi bahan hukum

sesuai permasalahan penelitian. Teknik ini berguna untuk mendapatkan landasan

teori dengan mengkaji dan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-

undangan, dan hasil penelitian lainnya baik cetak maupun elektronik. Yang

berkaitan dengan perlindungan konsumen akibat iklan yang merugikan.

Selanjutnya bahan hukum yang telah terkumpul diolah dengan cara memeriksa,

meneliti data yang diperoleh untuk menjamin apakah data dapat

dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan. Selanjutnya disajikan dalam

bentuk uraian kalimat yang sistematis dan mudah dipahami.

1.7.5. Analisa Bahan Hukum

Analisis diartikan sebagai proses mengorganisasikan dan mengurutkan

bahan hukum ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat

ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan
97

oleh bahan hukum.135 Informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan

bahan-bahan hukum sekunder selanjutnya di analisa yang disesuaikan dengan

permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, selanjutnya ditarik kesimpulan

dengan menggunakan metode deduktif, yaitu menarik kesimpulan hasil

pembahasan dari hal-hal yang bersifat umum ke hal-hal yang bersifat khusus.

Metode analisis bahan hukum deduktif merupakan suatu metode penelitian

berdasarkan konsep dan teori yang bersifat umum di aplikasikan untuk

menjelaskan tentang seperangkat bahan hukum dengan seperangkat bahan

hukum lainnya secara sistematis dan ditambahkan pendapat para pakar ilmu

hukum terkait dengan masalah hukum yang diteliti. Agar mendapatkan

kesimpulan akhir dari penelitian ini penulis berkonsultasi dengan promotor dan

co-promotor agar mendapatkan hasil yang baik.

1.8. Pertanggungjawaban Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan disertasi ini dibagi menjadi lima bab. Agar disertasi

ini dapat tersusun dengan baik, serta mudah di pahami oleh para pembaca, maka

sistematika penulisan disertasi ini sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Pada pendahuluan ini penulis memaparkan tentang latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat, orisinalitas, landasan teori dan

penjelasan konsep yang meliputi: konsep konsumen, konsep pelaku usaha, dan

konsep iklan. Serta metode penelitian meliputi: jenis penelitian, pendekatan

135
Salim Hs dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis dan Disertasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.68
98

masalah, sumber bahan hukum, pengumpulan dan pengolahan bahan hukum dan

analisis bahan hukum.

BAB II: HAKIKAT PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN AKIBAT

IKLAN YANG MERUGIKAN

Pada bab ini berisi sub-sub bab mengenai penjelasan terkait hakikat

perlindungan hukum bagi konsumen akibat iklan yang merugikan meliputi sub

bab tentang perlindungan hukum bagi konsumen dalam kegiatan periklanan

berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia diantaranya:

Perlindungan konsumen dalam kegiatan periklanan menurut Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Perlindungan konsumen

dalam kegiatan periklanan menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002

tentang penyiaran dan perlindungan konsumen dalam tata krama dan tata cara

periklanan Indonesia; Politik Hukum Pembentuk Undang-Undang Perlindungan

Konsumen dalam kegiatan periklanan meliputi: Sejarah perlindungan konsumen,

Tujuan perlindungan konsumen, Politik hukum pembentuk undang-undang

perlindungan konsumen dalam kegiatan periklanan; Yurisprudensi Mengisi

Kekosongan Hukum, dan hakikat perlindungan hukum bagi konsumen akbat iklan

yang merugikan terdiri dari perspektif teori perlindungan hukum dan perspektif

teori perundang-undangan.

BAB III: KONSEP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN AKIBAT

IKLAN YANG MERUGIKAN BERBASIS NILAI KEADILAN

Pada bab ini berisi sub-sub bab mengenai penjelasan terkait konsep

perlindungan hukum yang adil bagi konsumen akibat iklan yang merugikan,
99

meliputi sub bab tentang Perbandingan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di

Beberapa Negara diantaranya: Perlindungan konsumen di Australia, perlindungan

konsumen di Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), perlindungan konsumen di

Amerika Serikat; berikutnya adalah Dasar Pertanggungjawaban Pelaku Usaha

Terhadap Konsumen yang meliputi: tanggung jawab berdasarkan perbuatan

melawan hukum, tanggung jawab berdasarkan wanprestasi, tanggung jawab

mutlak, tanggung jawab pelaku usaha berdasarkan teori keadilan; selanjutnya

tanggung jawab Pidana dan Administrasi; Kewenangan Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen meliputi: Dasar hukum pembentukan BPSK, susunan dan

keanggotaan badan penyelesaian sengketa konsumen, tugas dan kewenangan

badan penyelesaian sengketa konsumen, tahap penyelesaian sengketa konsumen

melalui BPSK dan konsep perlindungan hukum bagi konsumen akibat iklan yang

merugikan berbasis nilai keadilan terdiri dari: perspektif teori

pertanggungjawaban hukum dan perspektif teori keadilan.

BAB IV PENUTUP

Bab ini merupakan bab penutup, yang didalamnya berisi kesimpulan dari

pembahasan dan diakhiri dengan saran yang berkaitan dengan temuan-temuan

dalam penelitian.
BAB II

HAKIKAT PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN AKIBAT

IKLAN YANG MERUGIKAN

2.1. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam Kegiatan Periklanan

Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Arus globalisasi dan arus perdagangan bebas telah menunjukkan

kekuatannya dalam bidang ekonomi dan mengharuskan pelaku usaha untuk

berkompetisi dalam meraup keuntungan yang sebesar- besarnya, dan salah satu

alat yang digunakan untuk memasarkan produk guna meraup keuntungan yang

besar dengan menggunakan iklan atau promosi. Dampak perekonomian global

telah merekonstruksi pola pikir dan kultur masyarakat untuk selalu ikut serta

dalam lalu lintas perdagangan barang dan jasa baik wilayah nasional atau

internasional, khususnya masyarakat di negara-negara berkembang yang

mempunyai kecenderungan masyarakat dengan budaya konsumtif.

Kecenderungan masyarakat konsumtif ini dijadikan lahan basah bagi

pengusaha untuk mengeksploitasi minat beli masyarakat dengan membuat iklan

atas produk barang atau jasa dengan iklan yang sangat menggiurkan konsumen.

Tataran ekonomi khususnya pada aspek marketing, iklan menempati posisi yang

sangat penting karena setiap perusahaan akan mengalokasikan dana khusus yang

tidak sedikit untuk keperluan periklanan. Mobilitas periklananyang tinggi dengan

segala atribut dan instrument pendukung yang begitu sensasional dan tidak jarang

menembus batas rasionalitas serta daya tarik psikologis menjadi sasaran utama

100
101

sebagian besar pelaku usaha periklanan untuk mendongkrak target penjualan yang

lebih tinggi sehingga keuntungan perusahaan akan semakin besar.

Setiap pelaku usaha meyakini bahwa iklan memberikan sumbangsih besar

terhadap pemasaran produk pasca produksi sehingga besarnya anggaran untuk

promosi merupakan konsekuensi logis dalam persaingan bisnis yang bukan tidak

mungkin menimbulkan resiko terhadap pelaku usaha tersebut atau terhadap

konsumen yang menggunakan produk tersebut.

Iklan diatur dengan beberapa klausula yang terdapat dalam Pasal 8 UUPK

yang menyatakan dalam salah satu ayatnya bahwa pelaku usaha dilarang

memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak sesuai

dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan

dalam label, etiket, atau keterangan barang dan atau jasa tersebut.

Iklan, merupakan salah satu sorotan dalam hal, perlindungan konsumen,

yang perlu mendapatkan pengaturan yang jelas serta keseluruhan, karena iklan

memainkan peran yang sangat berarti dalam kehidupan masyarakat, baik dari

sudut biaya, pengaruh pada masyarakat bisnis dan konsumen, maupun pada

kegiatan pemerintah. Namun sampai saat ini belum ada peraturan perundang-

undangan khusus dalam kegiatan periklanan. Pengaturan periklanan yang terdapat

dalam UUPK masih agak sumir.136

Sebagaimana konsep teori perlindungan hukum terhadap konsumen dapat

dilakukan secara preventif maupun represif sebagaimana yang dikemukakan oleh

Phillipus M. Hadjon. Berkaitan dengan perlindungan konsumen dalam kegiatan

periklanan perlindungan hukum secara represif seharusnya termuat dalam


Nazution, Op cit, hlm 239.
136
102

peraturan perundang-undangan yang ada, namun ketentuan dalam undang-undang

ini tidak bisa melindungi konsumen dalam kegiatan periklanan, karena pengaturan

yang ada dalam UUPK merujuk pada produk dan bukan informasi iklan.

Kegiatan periklanan, perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah,

karena di dalamnya terdapat kepentingan-kepentingan konsumen yang harus

dilindungi, oleh karena itu bagian ini hendak menguraikan perlindungan

konsumen berkaitan dengan kegiatan periklanan dari beberapa aturan perundang-

undangan yang ada, yang melindungi konsumen.

2.1.1. Perlindungan Konsumen Dalam Kegiatan Periklanan Menurut

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen

Menurut Yusuf Shofie, UUPK mengelompokkan norma-norma

perlindungan konsumen ke dalam dua kelompok yaitu Perbuatan yang dilarang

bagi pelaku usaha (bab IV UUPK) dan Ketentuan pencantuman klausula baku

(bab V UUPK). Menurutnya pengelompokan ini belum menggambarkan

hubungan pelaku usaha dan konsumen mulai dari kegiatan produksi barang

dan/atau jasa sampai ketangan konsumen, baik melalui transaksi atau peralihan

lain yang sesuai dengan hukum, karena itu pengelompokannya harus dilakukan

secara keseluruhan dan dikelompokkan sebagai berikut:137

1. Kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa

2. Kegiatan penawaran dan periklanan barang dan atau jasa

3. Kegiatan transaksi penjualan barang dan atau jasa

137
Yusuf Shofie, 2003, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-lnstrumen Hukumnya,
Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 26-27.
103

4. Kegiatan pra transaksi penjualan barang dan atau jasa.

UUPK memuat aturan-aturan hukum tentang perlindungan konsumen, dan

merupakan payung bagi perundang-undangan lain yang menyangkut konsumen,

sekaligus mengintegrasikan perundang-undangan itu sehingga memperkuat

penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.138

UUPK merupakan ketentuan khusus (lex specialis) terhadap ketentuan

peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum UUPK. Sesuai dengan

asas hukum lex specialisderogat legi generali, maka ketentuan di luar UUPK

tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dalam UUPK atau tidak

bertentangan dengan UUPK. Hal ini termuat pengaturannya dalam Pasal 64 Bab

XIV ketentuan peralihan yang menegaskan segala ketentuan peraturan

perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada

saat undang-undang ini diundangkan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara

khusus dan/ atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.

Ketentuan khusus yang dimuat pengaturannya dalam UUPK, pada

umumnya dimaksudkan untuk menggantikkan atau menyempurnakan ketentuan-

ketentuan yang terdapat di luar UUPK yang mengatur permasalahan yang terkait

dengan konsumen. Misalnya, ketentuan mengenai pembuktian kesalahan dalam

Pasal 1865 KUH Perdata yang meletakkan beban pembuktian kepada konsumen,

diganti dengan asas pembuktian terbalik yang diatur dalam Pasal 22, dan Pasal

28 UUPK, yang meletakkan beban pembuktian kepada pelaku usaha. Hal ini

didasarkan pertimbangan pelaku usaha mempunyai kemampuan yang lebih baik

dibandingkan dengan konsumen dalam melakukan pembuktian.


Janus Sidabalok, Op cit, h. 51.
138
104

Kehadiran UUPK setidaknya dapat membantu masyarakat/konsumen dari

hal yang tidak diinginkan (dari iklan yang memberi informasi tidak benar). Ini

disebabkan oleh UUPK memberikan ketentuan tentang hak-hak konsumen dan

kewajiban bagi para pelaku usaha, sehingga pelaku usaha tidak mengiklankan

produknya terhadap masyarakat/konsumen dengan jalan sewenang-wenang

tanpa memikirkan akibat hukumnya.

Berdasarak ketentuan UUPK, terdapat sejumlah pasal yang mengatur

tentang periklanan sebagaimana yang terdapat dalam pasal 8 sampai 20.

1) Pasal 8, pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan

barang dan/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label,

etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan atau jasa

tersebut. Pada intinya substansi dari pasal 8 ini tertuju pada dua hal yaitu

larangan memproduksi barang dan/jasa, dan larangan memproduksi barang

dan/jasa yang dimaksud, agar supaya barang dan/jasa yang beredar di

masyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain asal-usul,

kualitas sesuai dengan informasi pengusaha.

2) Pasal 9, tentang larangan menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan

suatu barang atau jasa secara tidak benar seolah-olah benar.

3) Pasal 10 tentang larangan menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan

pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan.

4) Pasal 12 tentang larangan menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan

barang dan atau jasa dengan tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu

padahal sebenarnya tidak bermaksud melaksanakan hal itu.


105

5) Pasal 13, tentang larangan menawarkan, mempromosikan atau

mengiklankan dengan janji hadiah padahal tidak bermaksud memberikan

sesuatu tidak sebagaimana dijanjikan.

6) Pasal 17, pelaku usaha dilarang memproduksi iklan yang mengelabui

konsumen, memuat informasi yang keliru, tidak memuat informasi

mengenai resiko pemakaian, mengeksploitasi kejadian atau seseorang,

melanggar etika dan ketentuan perundang-undangan.

7) Pasal 20, tentang ketentuan larangan-larangan terhadap dan tanggung jawab

pelaku usaha memproduksi iklan.

Larangan terhadap pelaku usaha berkaitan dengan kegiatan periklanan ini

dimulai dari pasal 8, yang melarang pelaku usaha untuk memproduksi barang

atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam iklan atau

promosi barang dan atau jasa. Hal ini mensyaratkan pelaku usaha harus

bertindak jujur terhadap konsumen menyangkut apa yang disampaikan lewat

iklan sehingga tidak merugikan konsumen.

Memperhatikan substansi ketentuan pasal 9 ini, pada intinya merupakan

bentuk larangan yang tertuju pada perilaku pelaku usaha yang menawarkan,

mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/jasa secara tidak benar dan

seolah-olah barang tersebut, telah memenuhi standar mutu tertentu, memiliki

potongan harga dalam keadaan baik dan/atau baru, telah mendapatkan dan/atau

memiliki sponsor, tidak mengandung cacat tersembunyi, merupakan

kelengkapan dari barang tertentu atau seolah-olah berasal dari daerah tertentu.

Demikian pula perilaku menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang


106

dan/atau jasa lain, menggunakan kata-kata yang berlebihan, menawarkan sesuatu

yang mengandung janji yang belum pasti.139

Menyangkut larangan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu

barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah barang tersebut

berasal dari daerah tertentu, dalam bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual

mengatur tentang Indikasi Asal dan Indikasi Geografis sebagaimana yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001, artinya selain melanggar

ketentuan UUPK maka pelaku usaha pun dapat dituntut sesuai dengan Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, karena dianggap mengelabui

konsumen atas asal-usul merek.

Substansi pasal 9 UUPK juga terkait dengan representasi di mana pelaku

usaha wajib memberikan representasi yang benar atas barang dan/atau jasa yang

diperdagangkannya. Hal ini penyebab terjadinya kerugian konsumen adalah

misrepresentasi terhadap barang dan/atau jasa tertentu. Kerugian yang dialami

konsumen di Indonesia juga kebanyakan karena tergiur oleh iklan-iklan atau

brosur-brosur barang dan/atau jasa yang ternyata tidak benar. Informasi berupa

janji yang dinyatakan dalam penawaran, promosi, dan pengiklanan barang

dan/atau jasa tersebut dapat menjadi alat bukti yang dipertimbangkan hakim atas

gugatan yang berdasarkan wanprestasi pelaku usaha.

Sebagaimana pengaturan dalam ketentuan pasal 9, pasal 10 UUPK juga

menyangkut larangan yang tertuju pada perilaku pelaku usaha yang tujuannya

mengupayakan adanya perdagangan yang tertib dan iklim usaha yang sehat guna

melestarikan produk yang diperjualbelikan dalam masyarakat dilakukan dengan


Dedi Harianto, Op Cit, h. 57.
139
107

cara tidak melanggar hukum. Demikian pula, karena ketentuan pasal 10 berisi

larangan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat

pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan terhadap barang dan/atau jasa

tertentu, maka secara otomatis larangan dalam pasal ini menyangkut persoalan

representasi sebagaimana diuraikan dalam pasal 9.

Berdasarkan ketentuan pasal 11 masih menyangkut persoalan representasi

yang tidak benar dilakukan oleh pelaku usaha, sebagaimana dalam ketentuan

pasal-pasal sebelumnya. Oleh karena itu pasal 11 ini menyangkut larangan yang

selain ditujukan pada perilaku pelaku usaha juga merupakan larangan yang

ditujukan kepada cara-cara penjualan yang dilakukan pelaku usaha.

Sebagaimana pendapat Nurmadjito mengatakan berbagai macam cara

penjualan dilakukan untuk mencapai target penjualan atau pengutamaan meraih

pangsa pasar serta keuntungannya dilakukan pelaku usaha dengan

mengupayakan barang dan/atau jasa yang ditampilkan menarik dengan harga

yang terjangkau. Cara tersebut antara lain dilakukan dengan cara obral, undian,

pemberian hadiah, atau sejenisnya dengan maksud ingin memperoleh perhatian

atas produk atau usaha yang dilakukan. Namun adakalanya terjadi ekses seperti

penjualan obral dilakukan pada saat barangnya berada dalam posisi over stock

atau mode produk tersebut tidak lagi mutakhir, atau yang biasa dikenal dengan

istilah cuci gudang.140

Ekses yang dimaksud adalah karena sesungguhnya cara penjualan obral

adalah cara yang digemari oleh konsumen karena ada harapan memperoleh

produk yang berkualitas dengan harga yang lebih murah, yang kenyataannya
140
Miru & Yodo, Op Cit, h. 93-94.
108

produk-produk tersebut adalah produk sisa akibat kelebihan persediaan atau

produk yang sudah tidak mutakhir. Sudah jelas bahwa cara penjualan ini adalah

perbuatan yang mengelabui dan menyesatkan konsumen, karena pada dasarnya

pelaku usaha tidak berniat untuk melakukan obral tapi hanya bermaksud

menarik perhatian konsumen untuk berkunjung ke tempat usahanya, padahal

target sebenarnya adalah produk yang lain.

Ketentuan pasal 12 masih menyangkut larangan yang tertuju pada perilaku

pelaku usaha, sebagaimana pasal-pasal sebelumnya. Sebagai larangan yang

ditujukan pada perilaku, terlihat dari kegiatan menawarkan, mempromosikan,

atau mengiklankan barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus padahal

pelaku tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya. Pelaku usaha dilarang

melakukan hal tersebut, untuk menghindari kekacauan tertib perdagangan dan

iklim usaha yang tidak sehat, di samping melindungi konsumen dari kegiatan

menyesatkan. Atas perilaku yang tidak benar seperti itu, dengan sendirinya di

kualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum.

Ketentuan pasal 13 menyangkut larangan yang tertuju pada cara-cara

penjualan yang dilakukan melalui sarana penawaran, promosi atau pengiklanan

di samping larangan yang tertuju pada perilaku pelaku usaha yang mengelabui

atau menyesatkan konsumen. Hanya variasinya yang membedakan dengan

larangan yang tertuang di dalam pasal-pasal sebelumnya. Ketentuan dalam ayat

1 jelas karena menyangkut perilaku usaha yang mengelabui atau menyesatkan

konsumen, walaupun perilaku tersebut baru akan diketahui setelah konsumen

yang mengadakan kontrak dengan pelaku usaha mengenai barang dan/atau jasa
109

yang ditawarkan, dipromosikan atau di iklankan oleh pelaku usaha. Hal yang

perlu ditelaah lebih dalam adalah maksud dari ketentuan ayat 2, mengingat

seolah-olah dalam ayat ini tidak memperlihatkan ekses yang ditimbulkan, dan

seolah-olah perbuatan tersebut menguntungkan konsumen, padahal pada

prakteknya tujuan dari pengusaha adalah untuk mencari keuntungan, dan tidak

ada diantara mereka yang ingin dirugikan apalagi memberikan hadiah secara

cuma-cuma.

Sebagaimana diuraikan sebelumnya ketentuan dalam pasal 15 yang

ditujukan pada perilaku dan cara-cara penjualan yang tidak benar dari pelaku

usaha. Ketentuan dalam pasal ini menyangkut cara paksaan yang menempatkan

posisi konsumen menjadi lemah. Cara ini dipandang sebagai suatu paksaan

karena pelaku usaha menawarkan langsung produknya di rumah-rumah

konsumen. Di satu sisi cara ini disenangi oleh konsumen karena mereka tidak

perlu lagi untuk keluar rumah dan membuang waktu untuk mendapatkan barang,

akan tetapi disisi lain konsumen seolah-olah dipaksa untuk membeli barang

tersebut padahal sebetulnya mereka tidak siap untuk membeli produk tersebut.

Akan tetapi karena berbagai rayuan dari para sales akhirnya konsumen pun

terpaksa membeli produk tersebut.

Pengaturan larangan-larangan terhadap pelaku usaha dalam UUPK, tidak

mampu melindungi konsumen dalam kegiatan periklanan karena undang-undang

ini tidak mengatur secara jelas sanksi hukum bagi pelaku usaha jika

mengabaikan larangan-larangan yang ada. Menurut Utrecht alasan orang

mentaati hukum yaitu adanya paksaan, sehingga orang yang melanggarnya dapat
110

dikenakan sanksi.141 Namun tidak diaturnya secara jelas sanksi itu sendiri dalam

UUPK menyebabkan undang-undang ini kehilangan daya paksa sebagai suatu

peraturan. Tentu dapat dipahami bahwa tujuan pengaturan dalam sebuah

peraturan perundang-undangan adalah untuk mengatur agar tertib serta menekan

pihak-pihak di dalamnya untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan

melalui ancaman sanksi bagi pelanggarnya, sehingga sanksi tersebut harus jelas

sehingga mudah untuk diimplementasikan.

Ketentuan pasal 17 dan 20 yang ditujukan pada perilaku pelaku usaha

periklanan. Berkaitan dengan pelaku usaha periklanan ini, menurut Az Nasution

terdapat tiga jenis pelaku usaha periklanan, yaitu :142

1. Pengiklan, yaitu perusahaan yang memesan iklan untuk mempromosikan,

memasarkan, dan atau menawarkan produk yang mereka edarkan.

2. Perusahaan iklan, adalah perusahaan atau biro yang bidang usahanya adalah

mendesain atau membuat iklan untuk para pemesannya.

3. Media, media elektronik atau non elektronik atau bentuk media lain, yang

menyiarkan atau menayangkan iklan-iklan tersebut.

Berdasarkan ketentuan pasal 20 UUPK pelaku usaha periklanan adalah:

"Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan

segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut". Memperhatikan isi pasal 20

UUPK yang dapat dikategorikan membatasi pelaku usaha periklanan yaitu

perusahaan yang memproduksi suatu iklan, sehingga perusahaan periklanan

yang harus bertanggung jawab jika iklan membawa kerugian terhadap

Soeroso, 2001, Pengantar llmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 65.


141

Nazution, Op Cit, h. 240-241.


142
111

konsumen.

Pembebanan tanggung jawab tersebut tidak seharusnya menjadi beban

perusahaan periklanan semata, karena yang paling bertanggung jawab adalah

perusahaan pemilik produk barang dan/atau jasa karena informasi yang

diberikan oleh perusahaan periklanan berasal dari pelaku usaha, kecuali

perusahaan periklanan mengkreasikan iklan secara berlebihan diluar informasi

yang diberikan kepadanya, tetapi sepanjang perusahaan periklanan tersebut tidak

merubah materi informasi yang ada tentu perusahaan periklanan tidak dapat

dimintakan pertanggungjawaban, namun bentuk pertanggungjawaban ini justru

tidak diatur dalam UUPK.

Perusahaan periklanan tentu memiliki kreativitas tersendiri, namun

kreativitas tersebut sesuai dengan persetujuan pelaku usaha pemilik produk,

karena perusahaan yang bersangkutan lah yang mengetahui tentang kegunaan

dan manfaat suatu produknya bukanlah perusahaan periklanan, jadi berkaitan

dengan informasi iklan yang merugikan yang paling bertanggung jawab adalah

perusahaan pemilik produk, terkecuali jika perusahaan periklanan memuat

informasi tidak sesuai dengan permintaan perusahaan bersangkutan. Karena itu

undang-undang perlu mengatur secara jelas tentang tanggung jawab perusahaan

pemilik produk untuk melindungi kepentingan konsumen dalam kegiatan

periklanan.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu di lihat peran dan partisipasi

masing-masing pihak dalam hal produksi suatu iklan, apakah perusahaan

pengiklan, perusahaan periklanan serta media penyiar sehingga jelas kepada


112

siapa konsumen dapat meminta pertanggungjawaban atas informasi iklan yang

merugikan tersebut.

Setiap aktivitas bisnis tentunya akan melibatkan pihak-pihak dalam

mengadakan suatu transaksi. Kaitannya dengan periklanan, Adrian Sutedi

membagi dalam empat pihak yaitu:143

1. Produsen atau pelaku usaha. Dalam kinerjanya produsen mempunyai hak

dan kewajiban. Hak diatur dalam pasal 6 UUPK, kewajiban dirumuskan

dalam pasal 7 UUPK.

2. Perusahaan periklanan. Secara definitif istilah ini tidak tercantum dalam

aturan tata krama dan tala cara periklanan Indonesia yang disempurnakan

maupun dalam UUPK. Walaupun secara definitif istilah perusahaan

periklanan ini tidak terdapat dalam kedua pengaturan tersebut, tetapi tentang

hak dan kewajibannya dirumuskan dalam ketentuan tata krama dan tata cara

periklanan Indonesia yang disempurnakan yang terdapat dalam bab III huruf

c.

3. Media massa, hal ini diatur dalam Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

4. Konsumen, pengertian konsumen diatur dalam UUPK pasal 1 angka 2.

Berdasarkan empat pihak yang terdapat dalam periklanan, menurut

penulis, pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab atas kesalahan dan

kerugian yang diderita konsumen adalah produsen atau pelaku usaha. Dari

sekian kesalahan atas informasi iklan yang tidak benar konsumen dapat

mengalami kerugian, baik itu materiil maupun inmateriil. UUPK juga mengatur

larangan-larangan yang secara khusus ditujukan kepada perusahaan periklanan


143
Adrian Sutedi, Op Cit, h.79-80.
113

supaya tidak memproduksi iklan dalam hal-hal sebagai berikut :144

1. Mengelabui konsumen tentang mutu, jumlah, bahan, kegunaan dan harga

barang atau jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang atau jasa itu.

2. Mengelabui jaminan atau garansi yang diberikan kepada barang atau jasa.

3. Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang atau

jasa.

4. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang atau jasa.

5. Mengeksploitasi kejadian dan atau seseorang tanpa izin yang berwenang

atau persetujuan yang bersangkutan.

6. Melanggar etika dan atau ketentuan perundang-undangan mengenai

periklanan.

Menurut, Siabaan diantara pasal 17 dan 20 di satu pihak dan dengan pasal-

pasal 9,10,12, dan UUPK di lain pihak hendaknya dibedakan, agar jelas sampai

dimana batas cakupan liabilitas dari si pelaku usaha sebagai pihak yang

mengorder iklan perusahaannya di satu pihak dan perusahaan periklanan yang

menerima pemasangan iklan di pihak lain.145

Berdasarkan ketentuan jika pasal 17 mengatur secara khusus tentang

tanggung jawab hukum dari pelaku usaha di bidang periklanan, sementara pasal

lainnya mengatur tentang pemasaran/promosi melalui iklan adalah di luar

tanggung jawab dari si pelaku periklanan tersebut. Dengan demikian, UUPK

memberikan limitasi pertanggungjawaban hukum dari pelaku usaha periklanan

atas iklan yang di produksinya. Kalau tidak demikian, maka si perusahaan iklan

akan memiliki tanggung jawab yang lebih berat dibandingkan dengan si pelaku

Siahaan, Op. Cit, h. 131-132.


144

Loc. Cit, h. 131.


145
114

usaha yang meminta/memesan iklan itu diproduksi. Alasan lainnya si pelaku

usaha yang meminta/memesan iklan tersebut justru lebih mengetahui situasi

kualitas, kuantitas, kuantitas dan proses produksi dari barang atau jasa yang di

produksinya sendiri dibandingkan dengan perusahaan iklan, yang hanya

meneruskan keinginan dari perusahaan pemesan iklan.146

Menurut Sidabalok, dari pasal-pasal tentang periklanan dalam UUPK

menghendaki iklan itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :147

1. Jujur, tidak membohongi;

2. Sesuai dengan yang sebenarnya, tidak mengelabui;

3. Informasinya benar, tidak keliru atau salah;

4. Lengkap, memuat risiko pemakaian;

5. Etis ;

6. Tidak mengeksploitasi kejadian atau seseorang;

7. Harus dapat dipenuhi.

Kerugian yang diderita oleh seorang pemakai produk yang cacat atau

membahayakan, bahkan juga pemakai yang turut menjadi korban, merupakan

tanggung jawab mutlak pelaku usaha pembuat produk itu sebagaimana diatur

dalam pasal 19 UUPK. Dengan penerapan tanggung jawab mutlak produk ini,

pelaku usaha pembuat produk atau yang di persamaan dengannya, dianggap

bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen pemakai produk, kecuali dia

dapat membuktikan keadaan sebaliknya, bahwa kerugian yang terjadi tidak

dapat dipersalahkan kepadanya.

Sering dihadapi perusahaan-perusahaan yang ada berusaha meningkatkan


Loc. Cit.
146

Janus Sidabalok, Op. Cit, h. 252.


147
115

niat beli konsumen atas hasil produk yang dihasilkan. Banyak sarana yang

digunakan untuk memperkenalkan hasil produknya kepada konsumen. Dari

sarana-sarana yang ada akhirnya banyak perusahaan memilih iklan sebagai

promosi untuk memperkenalkan produknya. Iklan sebagai sumber promosi dan

sarana pemasaran produk barang dan jasa merupakan hal yang sangat penting

bagi konsumen. Oleh karena itu, iklan harus menyampaikan informasi yang

jelas, jujur, dan tidak menyesatkan. Kenyataannya, banyak pelaku usaha yang

tidak mengindahkan norma-norma yang ada, menjanjikan manfaat tertentu,

informasi yang tidak jelas, bahkan mengarah pada unsur penipuan (fraudulent

misrepresentation) yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen,

terutama iklan yang dikemas secara menarik yang di tayangkan di televisi.148

Pihak-pihak yang terkait dalam periklanan di dunia bisnis menimbulkan

keinginan yang kadang kala tidak sehat dilakukan oleh sesama pengusaha,

sehingga segala macam cara digunakan untuk mempromosikan produknya tanpa

memerhatikan sisi negatifnya (akibat hukum) di kemudian hari. Akibatnya

konsumen dirugikan dengan iklan yang tidak benar itu.149

Ada kriteria iklan yang dilarang pengoperasiannya di Indonesia, di

antaranya adalah kriteria iklan yang dilarang oleh UUPK (hal ini dirumuskan

dalam pasal 8 ay at (1) huruf f, pasal 9 ayat (1) dan (2), pasal 10, pasal 12, pasal

13, dan pasal 17 ayat (1) dan (2) serta kriteria iklan yang dilarang oleh tata

krama dan tata cara periklanan Indonesia yang disempurnakan.

Kriteria iklan yang dilarang ini dimaksudkan agar tujuan dan fungsi

Adrian Sutedi, Op. Cit, h.78-79.


148

Loc. Cit.
149
116

periklanan terhadap konsumen dapat berjalan lancar dan saling menguntungkan

kedua belah pihak (produsen dan konsumen). Salah satu keuntungannya adalah

dengan iklan masyarakat. Mengetahui macam ragam suatu produk yang ada dan

pada akhirnya masyarakat/konsumen tertarik untuk membeli (mengkonsumsi).

Sedangkan dari segi fungsinya, iklan berfungsi untuk memperluas alternatif

pilihan pada konsumen di samping untuk menanamkan kepercayaan pada

konsumen.

Perlindungan konsumen sangat penting, Salah satu hal penting

menyangkut perlindungan konsumen, yaitu adanya tanggung jawab pelaku usaha

terhadap konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha. UUPK juga telah

mengatur tanggung jawab pelaku usaha secara tegas, yang dinyatakan dalam

pasal 19.

Ketentuan pasal 19 menyebutkan sebagai berikut:


1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat berupa pengembalian
uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara
nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)
hari setelah tanggal transaksi.
4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur
kesalahan.
5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat(l) dan ayat (2) tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Ketentuan dalam pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) ini tidak jelas, dan tidak
117

memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, karena ganti rugi yang

ditetapkan dalam bentuk pilihan, misalnya pengembalian uang atau penggantian

barang. Hal ini tidak adil bagi konsumen dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip

perlindungan konsumen. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmadi Miru

prinsip perlindungan konsumen terbagi atas perlindungan terhadap

kesehatan/harta konsumen serta perlindungan atas barang dan harga.150 Artinya

ganti rugi terhadap konsumen tidak hanya sebatas, pada penggantian barang atau

pengembalian uang, tetapi sejumlah kerugian yang dialami oleh kesehatan

karena mengkonsumsi barang dari pelaku usaha, semuanya harus diperhitungkan

baik kerugian secara materiil maupun inmateriil.

Berdasarkan ketentuan pasal 19 ayat (3) juga telah memberikan batas

waktu terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dibelinya. Cacat

tersembunyi yang ditemukan setelah jangka waktu garansi lewat waktu atau

berakhir masanya, maka tidak lagi menjadi tanggung jawab pelaku usaha.

Sedangkan cacat tersembunyi adalah sesuatu yang tidak terlihat atau tidak

nampak pasca pembelian. Ketentuan pasal 19 ini memberikan pertanyaan

tentang bagaimana kalau cacat tersembunyi itu akan nampak lebih dari 7 hari

yang tidak bisa diukur/dijangkau dengan pengetahuan si pembeli.

Sebagaimana contoh sebelumnya khususnya dalam kegiatan periklanan,

janji yang termuat dalam iklan berlaku setelah 7 hari atau bahkan 14 hari

sebagaimana dalam iklan-iklan kosmetik, yang menggunakan kata-kata sebagai

berikut: "kulit cerah, terang setelah 7 hari", apabila informasi yang disampaikan

dalam iklan tidak benar dan mengandung unsur penipuan, maka konsumen tidak
150
Ahmadi Miru, Op. Cit, h. 184.
118

dapat menuntut pertanggungjawaban pelaku usaha, karena UUPK hanya

membatasi waktu 7 hari.

Substansi pasal 19 ini sendiri, tidak dapat memberikan perlindungan yang

optimal dan akan menimbulkan berbagai penafsiran khususnya menyangkut

bentuk dan jenis ganti rugi sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 19 yaitu

dalam bentuk: pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang

sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian

santunan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pelaku usaha dapat saja memilih salah satu bentuk ganti rugi sebagai

pertanggungjawaban kepada konsumen, padahal kerugian yang dialami oleh

konsumen bisa lebih dari itu, dimana selain kerugian materi juga berakibat

terhadap kesehatan konsumen. Hal ini berarti bahwa UUPK, tidak mengenal

gugatan immaterial, yaitu gugatan kerugian atas hilangnya kesempatan untuk

mendapatkan keuntungan, kenikmatan, nama baik dan sebagainya.

Berdasarkan uraian tersebut suatu hal ini merupakan suatu kelemahan

UUPK, yang perlu mendapatkan pengkajian dari pemerintah, hingga konsumen

diberikan perlindungan secara maksimal. Di samping itu larangan dan tanggung

jawab pelaku usaha yang diatur dalam UUPK lebih mengarah kepada

perusahaan periklanan, yang seharusnya tanggung jawab utama berada di tangan

pelaku usaha pemilik produk. Pada kesimpulannya UUPK ini tidak mengatur

tanggung jawab pelaku usaha pemilik produk karena UUPK justru mengatur

tentang tanggung jawab perusahaan periklanan.

UUPK tidak bisa melindungi konsumen dalam kegiatan periklanan, karena


119

itu perlu di rekonstruksi agar memberikan perlindungan yang optimal dan jelas

kepada konsumen, dengan tetap memperhatikan hak-hak pelaku usaha.

Sebagaimana fungsi undang-undang tersebut yaitu memberikan jaminan dan

kepastian hukum dalam masyarakat, maka sudah seharusnya UUPK diubah

sesuai dengan kebutuhan dalam masyarakat, serta mengandung nilai-nilai

keadilan dan kewajaran berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

Penganut positivisme hukum menuntut supaya hukum yang dibentuk harus

bersifat adil dan memiliki kepastian hukum, namun pengaturan tanggung jawab

pelaku usaha dalam pasal 19 UUPK tidak bisa memberikan keadilan bagi

konsumen, karena batas waktu 7 (tujuh) hari yang ditetapkan bagi konsumen

sangatlah singkat. Pembatasan pengajuan tuntutan memang perlu diatur tetapi

pembatasan masa 7 hari kurang tepat untuk kondisi letak geografis negara

Indonesia yang dikenal dengan negara kepulauan. Artinya konsumen tersebar di

seluruh wilayah, dan bisa saja domisili antara pelaku usaha dan konsumen

berbeda, sehingga untuk mencari tahu letak dan kepada siapa konsumen harus

menuntut memakan waktu bagi konsumen.

Ketentuan adanya batas 7 (tujuh) hari ini, hanya melindungi kepentingan

pelaku usaha semata dengan mengabaikan kepentingan konsumen, hal ini sangat

tidak adil bagi konsumen. Menurut John Rawls dalam teori keadilannya keadilan

tidak mengorbankan kepentingan sebagian orang untuk keuntungan orang lain,

karena dalam masyarakat yang adil hak-hak masyarakat dijamin oleh keadilan

tanpa tunduk pada tawar menawar politik atau kepentingan sosial lainnya. Dan

yang terpenting konteks keadilan di negara kita yang biasa dikenal dengan teori
120

keadilan Pancasila, dalam sila ke lima yaitu "keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia "artinya keadilan berlaku bagi semua orang bukan hanya sekelompok

orang.

Menurut peneliti ketentuan pasal 19 ini menyangkut tanggung jawab

pelaku usaha tidak dapat menjangkau pelaku usaha pengiklan, karena tanggung

jawab yang diatur dalam pasal 19 ini terbatas pada tanggung jawab pelaku usaha

terhadap produk yang cacat, sehingga jika pada saat digunakan konsumen

mengakibatkan kerugian, dan ketentuan ini tidak mencakup tanggung jawab

pelaku usaha terhadap informasi iklan yang merugikan konsumen, karenanya

pasal ini membatasi tanggung jawab pelaku usaha hanya 7 hari setelah transaksi,

karena yang dimaksudkan pasal ini lebih mengarah pada transaksi sehari-hari

yang dilakukan konsumen. Ketentuan pasal 19 ini tidak bisa dijadikan dasar bagi

konsumen dalam menuntut tanggung jawab pelaku usaha yang dirugikan oleh

karena informasi iklan.

John Rawls dalam pandangannya terhadap keadilan mengungkapkan

bahwa keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana

kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori betapapun elegan dan

ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar, demikian juga

dengan hukum dan institusi, tidak peduli betapa efisien dan rapinya harus

direformasi atau dihapuskan jika tidak adil.151

Berdasarkan teori dan pemikiran keadilan dari John Rawls tersebut, maka

suatu aturan perundang-undangan yang tidak bisa memberikan keadilan terhadap

masyarakat dapat dihapuskan atau direvisi, demikian pula halnya dengan


151
John Rawls, Op. Cit, h. 3-4.
121

pengaturan tanggung jawab pelaku usaha dalam pasal 19 UUPK tidak

memberikan keadilan bagi konsumen, sehingga perlu di dilakukan rekonstruksi

hukum atau dilakukan revisi. Karena itu perumusan pasal 19 UUPK. Perlu

direvisi dalam hal :

1. Bentuk tanggung jawab pelaku usaha sehingga tidak menimbulkan

penafsiran yang keliru perlu ada penjelasan dalam undang-undang.

Misalnya ada penjelasan dalam undang-undang jika akibat pemakaian

produk dan menimbulkan sakit pada konsumen maka tanggung jawab

pelaku usaha dalam bentuk perawatan kesehatan serta penggantian uang.

Jika akibat dari pemakaian tersebut tidak berakibat pada kesehatan

konsumen dapat berupa penggantian uang/barang yang sama serta

penggantian kerugian konsumen berupa biaya-biaya yang dikeluarkan

konsumen. Karena itu menurut peneliti bunyi pasal 19 ayat (1) ini

seharusnya "Pelaku usaha bertanggung jawab atas segala kerugian yang

dialami konsumen akibat penggunaan produk barang dan/atau jasa yang

diedarkan oleh pelaku usaha". Pasal 19 ayat (2) "Pelaku usaha pengiklan

bertanggung jawab atas kerugian konsumen akibat informasi iklan yang

mengakibatkan kerugian bagi konsumen".

2. Pasal 19 ayat (3) "ganti rugi yang dimaksudkan pada ayat (1) yaitu berupa:

biaya, rugi dan bunga, yang dialami konsumen sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku". Ayat (2) Menyangkut batas waktu 7

hari perlu dirubah menjadi satu bulan setelah transaksi. Waktu satu bulan ini

disesuaikan dengan letak geografis di negara kita Indonesia, dengan

demikian bunyi ayat 3 "pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang


122

1 (satu) bulan setelah tanggal transaksi".

Mencermati perumusan norma dalam UUPK ini, memang banyak terdapat

ketidak sesuaian antara norma yang satu dengan yang lainnya sehingga tidak

terlindunginya kepentingan konsumen. Norma-norma tersebut dapat ditemui

dalam sejumlah pasal yang dirumuskan dalam UUPK yaitu: Pasal 19, Pasal 23,

Pasal 60 dan pasal 61 menyangkut tanggung jawab pelaku usaha serta pasal 54,

pasal 55, dan pasal 58 menyangkut Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Akibat tidak jelasnya pengaturan tanggung jawab pelaku usaha dalam

kegiatan periklanan, berdampak pada perlindungan hukum bagi konsumen,

menurut peneliti konsumen tidak terlindungi haknya untuk mendapatkan ganti

rugi secara layak, karena pengaturan dalam UUPK tidak jelas, sehingga pelaku

usaha dapat terlepas dari tanggung jawabnya terhadap konsumen. Agar

kepentingan konsumen terlindungi secara optimal haruslah terdapat sanksi yang

jelas untuk diterapkan terhadap para pelanggarnya sebagaimana dalam teori

perlindungan hukum dari Phillipus Hadjon untuk melindungi harkat dan

martabat manusia perlu ada aturan hukum guna mencegah kesewenang-

wenangan. Dalam kegiatan periklanan pelaku usaha yang mengiklankan

produknya dengan tidak benar haruslah dijatuhi sanksi yang jelas.

2.1.2. Perlindungan Konsumen dalam Kegiatan Periklanan Menurut

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran

Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin membaik, biro-biro

iklan juga bersaing untuk menyediakan fungsi-fungsi kreatifnya seperti

pembuatan iklan yang menarik dan membujuk konsumen untuk membeli produk

yang sedang diiklankan. Dengan demikian kedudukan biro-biro iklan kemudian


123

berubah menjadi agen- agen pelayanan yang bersifat multifungsi dan

independen.

Menurut kalangan ekonom, definisi standar periklanan mengandung 5

elemen :152

1. Periklanan adalah bentuk komunikasi yang dibayar walaupun beberapa

bentuk periklanan seperti iklan layanan masyarakat menggunakan ruang

khusus yang tidak berbayar dengan alokasi waktu dan kesempatan yang

relative sedikit.

2. Didalam proses pembuatan iklan terjadi pula proses identifikasi sponsor,

iklan tidak hanya menampilkan pesan mengenai kehebatan produk yang

ditawarkan melainkan juga menyampaikan pesan supaya konsumen

mengetahui produsen dari produk tersebut sehingga maksud yang

terkandung dari semua iklan yang dibuat adalah untuk membujuk atau

mempengaruhi konsumen untuk melakukan suatu kegiatan yang dirancang

sedemikian rupa sampai dapat mempengaruhi konsumen untuk

menggunakan produk tersebut;

3. Periklanan memerlukan elemen media penyampai pesan untuk

menyampaikan pesan kepada masyarakat sebagai sasaran;

4. Penggunaan media massa ini menjadikan periklanan dikategorikan sebagai

komunikasi massal sehingga periklanan mempunyai sifat nonpersonal.

5. Perancangan iklan harus jelas ditentukan kelompok konsumen yang akan

152
Simatupang,Taufik, H. 2004. Aspek Hukum Periklanan dalam Perspektif Perlindungan
Konsumen. Citra Aditya Bakti. Bandung, h.23
124

menjadi sasaran pasar, tanpa identifikasi audiens yang jelas, pesan yang

disampaikan dalam iklan tidak akan efektif.

Produksi iklan, perusahaan periklanan dikawal oleh UUPK serta kode etik

periklanan. Kode etik periklanan terdapat banyak aturan yang ditetapkan untuk

melindungi hak-hak konsumen dan mencegah pelanggaran yang dilakukan oleh

produsen atau pelaku usaha bidang periklanan. Diantara aturan dalam kode etik

periklanan menyatakan bahwa iklan harus jujur, bertanggung jawab dan tidak

bertentangan dengan hukum yang berlaku (asas umum tata krama dan tata cara

periklanan Indonesia), hal tersebut sangat relevan jika disandingkan dengan

perlindungan konsumen yang mengatur beberapa pasal tentang periklanan yang

menyatakan, “ promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan

informasi suatu barang dan atau juga untuk menarik minat beli konsumen

terhadap barang dan atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan”.

Secara khusus beberapa perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha

periklanan diatur dalam UUPK Pasal 17 Ayat 1 yaitu pelaku usaha periklanan

dilarang memproduksi iklan yang:

1. Mengelabuhi konsumen mengenai kualitas, kuanti- tas, bahan, kegunaan dan

harga barang dan atau tarif jasa serta ketetapan waktu penerimaan barang

dan atau jasa.

2. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan

atau jasa.

3. Tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang dan atau jasa.
125

4. Mengeksploitasi kejadian dan atau seseorang tanpa persetujuan

bersangkutan.

5. Melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang- undangan.

Beberapa ketentuan larangan tentang periklanan, terdapat beberapa hal

yang harus diperhatikan pelaku usaha dalam tata cara periklanan, yaitu:153

1. Definisi iklan yang diindentikkan dengan kata promosi yaitu sebagai suatu

kegiatan pengenalan dan penyebarluasan informasi untuk menarik minat beli

konsumen, secara de facto pemahaman terhadap definisi iklan tersebut

seringkali ditafsirkan pelaku usaha bahwa iklan merupakan semacam alat,

dengan menghalalkan muatan informasi apa saja, sematamata untuk

menggugah minat beli masyarakat sehingga seringkali iklan yang dibuat

merugikan konsumen.

2. Hak konsumen untuk mengakses informasi dari penayangan iklan telah

diatur secara tegas bahwa konsumen harus mendapatkan informasi yang

yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau

jasa. Ketiga muatan informasi (jelas, benar, jujur) wajib diberikan kepada

konsumen sebagai pengguna produk barang atau jasa.

3. Terdapat kewajiban pelaku usaha sebagai timbal balik dari hak konsumen

yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha tetapi seringkali terjadi pelaku usaha

tidak memberikan informasi apapun tentang kondisi yang sebenarnya dari

produk barang.

Batasan periklanan yang terdapat didalam kode etik periklanan atau


153
Ibid
126

didalam UU PK telah menyebutkan secara jelas, akan tetapi secara penerapan

peraturan di wilayah Indonesia kurang mendapat tanggapan secara serius dari

pihak pelaku usaha sebagai pemilik produk yang gencar dalam memberikan

informasi, hal tersebut dikarenakan batas kreatifitas manusia kadangkala tidak

bisa terbendung dan diukur sampai menembus batas rasionalitas.

Ketentuan mengenai periklanan memiliki keterkaitan dengan perundang-

undangan yang lain, salah satunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002

tentang Penyiaran (UUP). Lahirnya suatu iklan melibatkan beberapa pihak, yaitu

pengusaha pengiklan (produsen, distributor, supplier, retailer), pengusaha

periklanan, dan juga media iklan (di antaranya melalui televisi, radio) sebagai

media penyebarluasan informasi, konsumen sebagai penerima informasi yang

disajikan melalui iklan dan pemerintah.

Asas, tujuan dan fungsi penyiaran menurut pasal 2 UUP yaitu penyiaran

diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 1945 dengan Asas Manfaat, Adil dan Merata,

Kepastian hukum, Keamanan, Keberagaman, Kemitraan, Etika, Kemandirian,

Kebebasan dan tanggung jawab. Iklan memiliki kaitan erat dengan bidang

penyiaran, karena merupakan suatu siaran komersial yang sering disiarkan baik

lewat televisi maupun radio, untuk memperkenalkan produk barang dan/atau

jasa kepada konsumen, sehingga konsumen tertarik untuk membeli produk yang

di iklankan tersebut.

Lembaga penyiaran memiliki peran penting sebagai sarana komunikasi,


127

tidak hanya sebagai media hiburan tetapi yang terpenting adalah sebagai media

informasi, pendidikan, dan alat kontrol dalam masyarakat. Dengan demikian

media penyiaran berkewajiban memberikan informasi yang benar kepada

khalayak ramai, agar informasi yang disampaikan tidak merugikan. Berkaitan

dengan kegiatan periklanan sendiri, undang-undang penyiaran, membatasi

kegiatan periklanan tersebut kepada penyelenggara penyiaran.

Berdasarkan ketentuan pasal 46 ayat 3 UUP, Siaran iklan niaga yang

ditayangkan tidak boleh memuat hal-hal berikut:

a. Promosi yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, ideologi pribadi

dan/atau kelompok, yang menyinggung perasaan dan/atau merendahkan

martabat agama lain, ideology lain, pribadi lain, atau kelompok lain;

b. Promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahaya zat adiktif;

b. Promosi rokok yang memperagakan wujud rokok;

c. Hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai

agama, dan atau;

d. Eksploitasi anak di bawah umur 18 (delapan belas tahun).

Pelaksanaan untuk mengawasi setiap materi iklan yang disiarkan melalui

lembaga penyiaran, maka di bentuk Komisi Penyiaran Indonesia baik pusat

maupun daerah yang mempunyai tugas dan kewajiban sebagai berikut :154

a. Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar

sesuai dengan hak asasi manusia

b. Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran

Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.


154
128

c. Ikut membantu iklim persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran dan

industri terkait

d. Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata dan seimbang

e. Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan serta kritik

dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran

f. Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang

menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.

Undang-undang Penyiaran sendiri, tidak dengan tegas mengatur tentang

larangan penayangan iklan yang merugikan konsumen, karenanya UUP hanya

membatasi tanggung jawab penyiaran terhadap lembaga yang menyelenggarakan

kegiatan penyiaran, di samping itu iklan yang dimaksudkan dalam UUP hanya

terbatas pada iklan televisi dan radio, sehingga pada akhirnya UUP tidak bisa

melindungi konsumen yang dirugikan oleh informasi iklan pelaku usaha.

2.1.3. Perlindungan Konsumen dalam Tata Krama dan Tata Cara

Periklanan Indonesia

Di Indonesia telah terdapat pedoman umum dalam praktik periklanan yang

disebut dengan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia, yang

dikeluarkan atas dorongan untuk memikul tanggung jawab sosial dan

perlindungan atas nilai-nilai budaya bangsa yang berdasarkan Pancasila dan

UUD 1945. Pedoman yang menjadi pola pengarahan periklanan itu

dimaksudkan pula untuk menunjang asas trilogi pembangunan nasional untuk

mencapai masyarakat adil dan makmur, termasuk kemajuan dunia usaha,

periklanan nasional dan media komunikasi massa. Para pemrakarsa penyusunan

Kode Etik Periklanan menyebutnya sebagai Tata Krama dan Tata Cara
129

Periklanan Indonesia (TKTCPI). Tata Krama dan Tata Cara Periklanan ini

pertama kali dibentuk tahun 1981 oleh Konvensi Periklanan yang

diselenggarakan pada tanggal 17 September 1981.

Perkembangan tahun 1990-1993 pendukung kode etik periklanan

bertambah dengan perusahaan televisi swasta diwakili oleh PT. Rajawali Citra

Televisi Indonesia (RCTI) dan para pelaku usaha periklanan media luar ruang

yang diwakili oleh PT Prasetya Madya. Kedua kelompok media massa tersebut

menyatakan akan mematuhi dan melaksanakan prinsip-prinsip periklanan yang

termuat dalam tata krama dan tata cara periklanan Indonesia.155

Beberapa hal penting yang berkaitan dengan tata krama periklanan

diturunkan dibawah asas-asas periklanan sebagai berikut :156

1. Iklan harus jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dengan hukum

yang berlaku

2. Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan atau merendahkan martabat

agama, tata susila, adat budaya, suku, golongan.

3. Iklan harus dijiwai oleh persaingan yang sehat

Jujur maksudnya iklan tidak boleh menyesatkan, antara lain dengan

memberikan keterangan yang tidak benar, mengelabui, dan memberikan janji

yang berlebihan. Dan bertanggung jawab maksudnya iklan tidak boleh

menyalahgunakan kepercayaan dan merugikan masyarakat. Sedangkan tidak

bertentangan dengan hukum maksudnya iklan harus mematuhi undang-undang

dan peraturan pemerintah yang berlaku. Ketentuan dalam TKTCPI ini

mengalami dua kali amandemen yakni tahun 1981 dan tahun 1996, yang

Nazution, Op. Cit, h.220.


155

Janus Sidabalok, Op. Cit, h.251.


156
130

sekaligus merubah nama TKTCPI menjadi Etika Pariwara Indonesia.

Latar belakang perlu dibentuknya Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang

merupakan kode etik periklanan nasional, menurut Rachmat Trijono didasarkan

beberapa alasan, yakni :157

1. Kode etik yang dimiliki oleh masing-masing asosiasi dianggap hanya

berlaku bagi anggota asosiasi tersebut. Di luar organisasi itu orang merasa

tidak diwajibkan untuk menaatinya

2. Kurangnya kesadaran konsumen untuk mengkritik periklanan

3. Motif ekonomi selalu mendorong pengusaha iklan mencantumkan kata

superlatif dan janji kosong

Penerapan ketentuan dalam tata krama dan tata cara periklanan Indonesia

ini, diakui oleh UUPK, hal tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 17 Ayat (1)

UUPK. Pasal ini mengatur tentang larangan bagi pelaku usaha untuk

memproduksi iklan dengan kriteria tertentu. Huruf f dari pasal ini menyatakan

kriteria itu mencakup larangan memproduksi iklan yang melanggar etika

dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan. Secara

tegas dinyatakan dalam pasal-pasal tersebut bahwa pelanggaran etika periklanan

sebagaimana disebutkan Pasal 17 Ayat (1) Huruf f itu adalah tindak pidana yang

diancam penjara paling lama dua tahun dan pidana denda paling banyak lima

ratus juta rupiah. Pengertian etika seperti disebutkan dalam Pasal 17 Ayat (1)

Huruf UUPK diatas tentu pertama-tama mengacu pada Tata Krama dan Tata

Cara Periklanan Indonesia, yang disusun oleh masyarakat periklanan sendiri.

Ikrar para pendukung tata krama dan tata cara periklanan Indonesia yang
Dedi Herianto, Op. Cit, h. 66.
157
131

disempurnakan tanggal 19 Agustus 1996 menyatakan, "untuk mematuhi segala

ketentuan dalam tata krama dan tata cara periklanan Indonesia yang

disempurnakan yang terdiri dari penambahan 24 klausul baru dalam tiga bab

lama dan 58 klausul baru dalam tiga bab baru". Pengawasan tata krama dan tata

cara periklanan diserahkan kepada badan tersendiri yaitu Komisi Periklanan

Indonesia, yang merupakan badan independen yang dibentuk untuk

mengembangkan dan mendayagunakan seluruh asset periklanan nasional untuk

kepentingan masyarakat periklanan dan kepentingan seluruh masyarakat.

Fungsi, tugas, dan kewajiban komisi tersusun kebijaksanaan yang meliputi

3 aspek :

1. Pemantapan kondisi berusaha dan persaingan sehat

2. Pengembangan profesionalisme bagi pelaku usaha periklanan nasional

3. Pemantapan tanggung jawab etika bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Tata krama dan tata cara periklanan ini terdiri dari 5 bab, dan bab

terpenting bagi konsumen adalah bab IV dan V, yaitu mengenai penerapan, dan

prosedur pengawasan serta bobot pelanggaran dan pengenaan sanksi.

Bab pendahuluan mengatur tentang batasan iklan, bab II, asas-asas umum

periklanan, bab III menyangkut hubungan antar unsur yang berkepentingan

dalam periklanan yaitu pelaku usaha, pemerintah dan konsumen, bab IV tentang

pengawasan serta bab V memuat tentang berat ringannya pelanggaran dan sanksi

yang dapat dijatuhkan kepada pelaku. Penerapan pelanggaran tata krama dan tata

cara periklanan dilakukan para asosiasi komponen periklanan dengan (wajib)

menegur, menjatuhkan sanksi langsung anggotanya yang melanggar tersebut


132

atau meminta campur tangan komisi untuk penyelesaiannya. Di samping itu,

komisi mempunyai tugas untuk :

a. Mengubah bentuk atau bobot sanksi yang akan dijatuhkan asosiasi

b. Menjadi penengah perselisihan antara para anggota asosiasi yang berbeda

c. Atas permohonan salah satu anggota asosiasi memberikan pengesahan atas

naskah atau materi periklanan

d. Memberi rekomendasi kepada dewan pers, instansi pemerintah atau

lembaga-lembaga negara mengenai pelaksanaan, penegakan dan

pengawasan tata krama dan tata cara periklanan.

e. Wajib secara berkala melakukan pembinaan dan upaya perbaikan tata

krama dan tata cara periklanan.

Mayoritas konsumen di Indonesia masih terlalu rentan dalam menyerap

informasi iklan yang "tidak sehat". Oleh karena itu, sangat riskan kiranya bila

tidak diadakan pengawasan yang memadai dan konsumen dibiarkan

menimbang-nimbang serta memutuskan sendiri iklan apa yang pantas untuk

dipercaya. Cara berpikir yang dalam hukum dikenal sebagai caveat emptor (let

the buyer beware) demikian hanya cocok untuk negara kapitalis abad ke-19,

yang di negara asalnya (Inggris dan Amerika Serikat) sudah pula ditinggalkan. 158

Posisi yang tidak berimbang antara produsen dan konsumen akan mudah di salah

gunakan (machtspositie) oleh pihak yang lebih kuat, apalagi jika pihak produsen

yang lebih kuat itu didukung oleh fasilitas yang memungkinkannya bertindak

secara monopolistis.

Menurut Sutedi Hadiwasito, ketua banding hukum dan perundang-


158
Shidarta, Op. Cit, h.142.
133

undangan PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), terdapat enam

faktor yang menyebabkan banyak iklan yang melanggar EPI, yaitu:159

1. Tidak adanya kekuatan penuh dari tim penilai iklan

2. Terjadinya bias antara konsep iklan dan hasil yang ditayangkan

3. Pemerintah lambat dalam menindak iklan yang melanggar

4. Gaya beriklan di Indonesia yang hanya menonjolkan kekuatan penjualan

5. Masih ada ketentuan yang kurang jelas (gray area) dalam buku panduan

beriklan

6. Lemahnya daya kreativitas pembuat iklan

Menurut peneliti ketentuan dalam tata cara dan tata krama periklanan ini

masih banyak mengandung kelemahan, dan belum bisa memberikan

perlindungan kepada konsumen yang dirugikan oleh informasi iklan, karena:

1. Ketentuan ini hanya berlaku bagi anggota asosiasi, bagaimana jika yang

melanggar ketentuan bukan anggota asosiasi.

2. Ketentuan ini ditetapkan bukan oleh lembaga negara atau pejabat yang

berwenang.

3. Apakah ketentuan dalam tata krama dan tata cara periklanan ini dapat

dianggap sebagai norma hukum yang mengikat.

4. Ketentuan ini banyak menitikberatkan kepada pemeroduksian iklan yang

merupakan tanggung jawab perusahaan periklanan, sedangkan dalam

kegiatan periklanan tersebut pihak yang terpenting adalah pelaku usaha

pemilik produk yang di iklankan.

5. Ketentuan ini lebih mengarah pada kepentingan para pelaku usaha, dalam

159
Dedi Herianto, Op. Cit, h. 70.
134

rangka untuk mencegah adanya persaingan usaha tidak sehat.

Pada dasarnya ketentuan perundang-undangan di Indonesia berkaitan

dengan perlindungan konsumen tidak mampu melindungi konsumen dalam

kegiatan periklanan, sehingga konsumen dirugikan oleh informasi iklan dari

pelaku usaha. Konsumen tidak terlindungi baik secara preventif maupun represif

sebagaimana perlindungan hukum yang dimaksudkan oleh Phillipus Hadjon

karena:

1. Secara preventif: peraturan perundang-undangan yang ada khususnya

UUPK sebagai bentuk perlindungan konsumen tidak bisa melindungi

konsumen yang dirugikan oleh informasi iklan dari pelaku usaha, hal

tersebut disebabkan oleh perumusan pasal-pasal dalam peraturan

perundang-undangan yang ada tidak jelas.

2. Secara represif: penyelesaian sengketa yang diatur dalam UUPK sendiri

tidaklah konsisten apakah merupakan wewenang dari BPSK atau

pengadilan, sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi konsumen.

Dengan demikian menurut peneliti belum ada perlindungan hukum bagi

konsumen khususnya dalam kegiatan periklanan, baik secara preventif maupun

represif, sehingga perlu ada rekonstruksi terhadap UUPK agar kepentingan-

kepentingan konsumen dapat terlindungi secara optimal.

Pentingnya informasi tentang mutu atau kualitas dan segala hal yang

terkait dengan produk barang atau jasa yang ditawarkan juga diharapkan dapat

memproteksi konsumen dari praktek-praktek iklan yang mengandung unsur

kecurangan dan penipuan (deception).

Iklan yang mengandung unsur penyesatan dan penipuan:


135

1. Iklan pancingan (Bait and switch ad)

Iklan yang sebenarnya tidak berniat untuk menjual produk yang

ditawarkan tetapi lebih ditujukan untuk menarik minat konsumen dengan

tawaran diskon harga atau hadiah menarik. Di amerika iklan pancingan

demikian dikategorikan sebagai iklan pancingan yang memberikan

informasi yang menyesatkan.

2. Iklan menyesatkan

Iklan yang selalu mengesankan “keampuhan” suatu barang dengan cara

mendemonstrasikannya dengan cara berlebihan dan menjurus kearah

penyesatan. Media yang digunakan pada umumnya adalah televise. Karena

tayangan dilayar kaca dapat dibuat lebih mengesankan dan tampak lebih

bagus.

Prakteknya iklan-iklan yang tidak jujur dan tidak bertanggung jawab

masih tetap berjalan dan resiko atau efek buruk dari produk tersebut akan

dipikul oleh konsumen sebagai pemakai produk. Banyak aspek yang

mempengaruhi sulitnya penegakan hukum dalam praktek periklanan baik dari

kalangan konsumen, pelaku usaha maupun belum adanya political will dari

pemerintah.

Faktor-faktor yang melatarbelakangi danay pelanggaran Kode Etik

Periklanan pada umumnya adalah:

a. Pada dasarnya para pengusahamenginginkan keuntungan sebesar-besarnya

dalam mema- sarkan produknya sehingga hal apapun akan dilakukan untuk
136

mendapatkan keuntungan tersebut, tidak terkecuali memberikan informasi

yang berlebihan kepada konsumen.

b. Ketidakpahaman makna yang tersurat di dalam tata cara (kode etik) serta

peraturan yang mengatur periklanan.

c. Dalam mengakses informasi tentang suatu produk, konsumen

membutuhkan suatu kejelasan atau cara untuk memilih lebih teliti dalam

mengkonsumsi suatu produk barang atau jasa. Hal tersebut hingga saat ini

yang belum didapatkan oleh konsumen sehingga hal itu dimanfaatkan oleh

produsen untuk meng-eksploitasi daya beli masyarakat terhadap suatu

barang.

d. Adanya persaingan antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya. Hal

tersebut dika- renakan jika salah satu pengusaha melakukan pelanggaran

dan tidak mendapatkan sanksi yang tegas maka pengusaha lain akan

melakukan hal yang sama karena tidak ada sanksi yang tegas yang

diterapkan.

2.2. Politik Hukum Pembentuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen

dalam Kegiatan Periklanan

2.2.1. Sejarah Perlindungan Konsumen

Perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha bukan merupakan hal

baru. Hal ini disebabkan oleh banyaknya transaksi yang di buat di luar peraturan

yang ada. Dalam perkembangannya konsumen semakin menyadari hak-haknya

dan berjuang dalam hal: konsumen menerima prestasi yang tidak sesuai dengan

kontrak, barang yang dibeli kualitasnya tidak bagus atau cacat tersembunyi yang
137

merugikan konsumen dan adanya unsur penipuan atau paksaan dalam

melaksanakan transaksi.

Gerakan perlindungan konsumen akhirnya lahir sebagai cabang hukum

baru dalam perkembangan ilmu hukum. Lahirnya cabang hukum baru ini

didasari oleh kesadaran konsumen akan posisinya yang semakin lemah. Hal ini

disebabkan oleh perkembangan dunia bisnis yang sangat pesat dan menghasilkan

produk yang semakin bervariasi, serta didukung pula oleh kemajuan teknologi

telekomunikasi dan informatika, sehingga ruang gerak arus transaksi semakin

menembus batas-batas negara. Sejarah perlindungan konsumen di Indonesia

tidak lepas dari gerakan perlindungan konsumen di negara-negara lain, artinya

pergerakan untuk memperjuangkan hak-hak konsumen negara-negara Eropa dan

Amerika, menjadi pendorong dan semangat bagi negara kita untuk

memperjuangkan hal yang sama bagi para konsumen.

Perkembangan sejarah perlindungan konsumen, Amerika Serikat tercatat

sebagai negara yang banyak memberikan sumbangan dalam masalah

perlindungan konsumen. Secara historis perlindungan konsumen diawali dengan

adanya gerakan konsumen di awal abad ke-19. Di New York pada tahun 1891

terbentuk Liga Konsumen yang pertama kali dan pada tahun 1898 di tingkat

nasional Amerika Serikat terbentuk Liga Konsumen Nasional "The National

Consumer's League". Organisasi ini kemudian tumbuh dan berkembang dengan

pesat sehingga pada tahun 1903 Liga Konsumen Nasional Amerika Serikat telah

berkembang menjadi 64 (enam puluh empat) cabang yang meliputi 20 (dua

puluh) negara bagian.


138

Pada perjalanannya gerakan ini mengalami berbagai hambatan. Untuk

mengegolkan The Food and Drugs Act dan The Meat Inspection Act yang lahir

pada tahun 1906 berbagai hambatan telah dialami. Perjuangan ini dimulai pada

tahun 1892, namun parlemen gagal menghasilkan undang-undang. Kemudian,

dicoba lagi tahun 1902 yang mendapat dukungan dari State Food and Dairy

Chemists, namun gagal juga. Pada tahun 1906 dengan gigih serta mendapat

dukungan dari Presiden Amerika Serikat, lahirlah The Food and Drugs Act dan

The Meat Inspection Act.

Perkembangan selanjutnya pada tahun 1914 dibuka kemungkinan untuk

membentuk komisi yang bergerak di bidang perlindungan konsumen, yaitu

Federal Trade Commission (FTC) dengan Federal Trade Commission Act-nya.

Selanjutnya tahun 1930-an mulai dipikirkan urgensi dari pendidikan konsumen.

Penulisan buku-buku tentang konsumen dan perlindungan konsumen dimulai,

disertai dengan riset-riset yang mendukung. Tahun 1937 terjadi tragedy Elixir

Sulfanilamide yang menyebabkan 93 (sembilan puluh tiga) konsumen di

Amerika Serikat meninggal. Hal itu mendorong terbentuknya The Food, Drug

and Cosmetics Act tahun 1938 yang merupakan amandemen dari The Food and

The Drugs Act tahun 1906.160

Era ketiga dari gerakan konsumen terjadi pada tahun 1960-an yang

melahirkan cabang hukum baru, yaitu hukum perlindungan konsumen

(Consumers Law). Pada tahun 1962 Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy

menyampaikan consumer message kepada kongres. Hal ini dianggap sebagai era

baru gerakan konsumen. Dalam preambul consumer message dicantumkan


160
Zulham, Op. Cit, h. 93.
139

formulasi pokok-pokok pikiran yang sampai sekarang terkenal sebagai hak-hak

konsumen (consumer bill of rights), dimana beliau menyebutkan empat hak

konsumen yang perlu mendapatkan perlindungan secara hukum:

1. Hak memperoleh keamanan (the right of safety)

2. Hak memilih (the right to choice)

3. Hak mendapat informasi (the right to be informed)

4. Hak untuk didengar (the right to be heard)161

MEE (Europese Ekonomische Gemenschap/EEG) menyepakati lima hak

dasar dari konsumen :

1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan

2. Hak perlindungan keperluan ekonomi

3. Hak mendapat ganti rugi

4. Hak atas penerangan

5. Hak untuk didengar162

Di Indonesia, gerakan perlindungan konsumen bam benar-benar

dipopulerkan sekitar 20 tahun lalu, yakni dengan berdirinya suatu lembaga

swadaya masyarakat (nongovernment organization) yang bernama Yayasan

Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Setelah YLKI, kemudian muncul

beberapa organisasi serupa antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan

Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri sejak Februari 1988 dan pada

tahun 1990 bergabung sebagai anggota Consumers Internasional (CI). Di luar

itu dewasa ini cukup banyak lembaga swadaya masyarakat serupa berorientasi

Janus Sidabalok, Op. Cit, h. 38.


161

Loc. Cit.
162
140

pada kepentingan pelayanan konsumen, seperti Yayasan Lembaga Bina

Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung dan perwakilan YLKI di berbagai

provinsi di tanah air.163

YLKI muncul dari sekelompok kecil anggota masyarakat yang diketuai

oleh Lasmidjah Hardi, yang semula justru bertujuan mempromosikan hasil

produk Indonesia. Ajang promosi yang diberi nama Pekan Swakarya ini

menimbulkan ide bagi mereka untuk mendirikan wadah bagi gerakan

perlindungan konsumen di Indonesia. Ide ini dituangkan dalam anggaran dasar

yayasan di hadapan Notaris G.H.S. Loemban Tobing, SH dengan akta No 26, 11

Mei l973.164

Yayasan ini sejak semula tidak ingin berkonfrontasi dengan produsen

apalagi dengan pemerintah. Hal ini dibuktikan benar oleh YLKI, yakni dengan

menyelenggarakan pekan promosi swakarya II dan III yang benar-benar

dimanfaatkan oleh kalangan produsen dalam negeri. Dalam suasana kerja sama

ini kemudian lahir motto yang dicetuskan oleh Ny. Kartini Sujono Prawirabisma

bahwa YLKI bertujuan melindungi konsumen, menjaga martabat produsen dan

membantu pemerintah.

YLKI memiliki cabang-cabang di berbagai provinsi dan mempunyai

pengaruh yang cukup besar karena didukung oleh media massa. Beberapa harian

besar nasional seperti Media Indonesia dan Kompas, secara rutin menyediakan

kolom khusus untuk membahas keluhan-keluhan konsumen. Demikian juga

dalam berbagai pertemuan ilmiah dan pembahasan peraturan perundang-

Shidarta, Op. Cit, h. 49.


163

Loc. Cit.
164
141

undangan, YLKI dianggap sebagai mitra yang representatif.

Hasil-hasil penelitian YLKI yang di publikasikan media massa juga

membawa dampak terhadap konsumen. Perhatian produsen terhadap publikasi

demikian juga terlihat dari reaksi-reaksi yang diberikan, baik berupa koreksi

maupun bantahan. Hal ini menunjukkan dalam perjalanan memasuki dasawarsa

ketiga, YLKI mampu berperan besar khususnya dalam gerakan menyadarkan

konsumen akan hak-haknya.165

Metode kerja YLKI baru pada penelitian terhadap sejumlah produk

barang/jasa dan mempublikasikan hasilnya kepada masyarakat. Gerakan ini

belum mempunyai kekuatan lobi untuk memberlakukan atau mencabut suatu

peraturan. YLKI juga tidak sepenuhnya dapat mandiri seperti Food and Drug

Administration (FDA). Alasan yang utama tentu karena YLKI sendiri bukan

badan dari pemerintah seperti FDA di Amerika Serikat dan tidak memiliki

kekuasaan publik untuk menerapkan suatu peraturan atau menjatuhkan sanksi.

Ditinjau dari kemajuan peraturan perundang-undangan di Indonesia di

bidang perlindungan konsumen, sampai saat ini dapat dikatakan masih sangat

minim, baik dilihat dari kuantitas peraturannya maupun kedalaman materi yang

dicukupinya. Sampai tahun 1991, pengaturan yang memuat unsur perlindungan

konsumen tersebar pada delapan bidang yaitu :obat-obatan dan bahan berbahaya,

makanan dan minuman, alat-alat elektronik, kendaraan bermotor, metrologi dan

tetra, industri, pengawasan mutu barang, lingkungan hidup. Jenis peraturan

perundang-undangannya pun bervariasi, mulai dari ordonansi undang-undang,

PP atau yang sederajat, instruksi presiden, Kepmen, Kepmen beberapa menteri,


Loc. Cit.
165
142

peraturan menteri, keputusan dirjen, instruksi dirjen dan keputusan gubernur.

Gerakan konsumen di Indonesia termasuk yang diprakarsai YLKI

mencacat prestasi besar setelah naskah akademik UUPK berhasil di bawah ke

DPR, selanjutnya rancangannya disahkan menjadi undang-undang. Keberadaan

YLKI juga sangat membantu dalam upaya peningkatan kesadaran atas hak-hak

konsumen. Lembaga ini tidak sekedar melakukan penelitian atau pengujian,

penerbitan, dan menerima pengaduan tetapi sekaligus juga mengadakan upaya

advokasi langsung melalui jalur pengadilan.

Upaya hukum individual dari konsumen untuk menggugat produsen baik

swasta maupun pemerintah tidak banyak membuahkan hasil. Sementara itu,

gugatan massal yang mewakili masyarakat luas, masih belum dikenal baik oleh

para penegak hukum di Indonesia. Untuk mewakili gugatan-gugatan masyarakat

YLKI dapat menggunakan lembaga hukum gugatan kelompok (Class action).

Namun walaupun ada produsen yang mengakui eksistensi gugatan kelompok

tersebut, banyak hakim yang masih ragu-ragu untuk menerimanya. Contoh kasus

yang diajukan oleh YLKI antara lain: PLN dan Telkom. Perkembangan baru di

bidang perlindungan konsumen terjadi setelah pergantian kekuasaan di

Indonesia, yaitu ketika Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan

konsumen (UUPK) disahkan dan diundangkan pada 20 April 1999. UUPK ini

masih memerlukan waktu satu tahun untuk berlaku efektif.

Sebagaimana dengan upaya perlindungan konsumen di negara-negara lain

yang melahirkan sejumlah hak UUPK juga menyebutkan hak-hak konsumen

sebagai wujud perlindungan hukum terhadap konsumen, sebagaimana dalam


143

pasal 4 UUPK yaitu :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan atau jasa.

Hak ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan

konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga

konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila

mengkonsumsi suatu produk.166 Konsumen harus dilindungi dari segala

bahaya yang mengancam kesehatan jiwa dan harta bendanya karena

memakai atau mengkonsumsi suatu produk. Setiap produk, baik dari segi

komposisi bahannya, dari segi desain konstruksi, maupun dari segi

kualitasnya harus diarahkan untuk mempertinggi rasa kenyamanan,

keamanan dan keselamatan konsumen.167

Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada

kedudukan utama karena selama berabad-abad berkembang suatu falsafah

berpikir bahwa konsumen (terutama pembeli) adalah pihak yang wajib

berhati-hati, bukan pelaku usaha. Falsafah yang disebut caveat emptor (let

the buyer beware) ini, mencapai puncaknya pada abad ke-19 seiring dengan

berkembangnya paham rasional-individualisme di Amerika Serikat. Prinsip

yang merugikan konsumen ini, dalam perkembangannya kemudian telah

ditinggalkan.168

Aspek ini sangat penting, karena berkaitan dengan keamanan dan

keselamatan jiwa konsumen. Tanggung jawab, intervensi dan peranan


166
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, h 41.
167
Janus Sidabalok, Op. Cit, h. 40.
168
Shidarta, Op. cit, h. 22-23.
144

pemerintah sangatlah penting untuk melindungi konsumen. Pengaturan dan

deregulasi perlindungan konsumen sangatlah penting untuk menjaga

konsumen dari pelaku usaha yang nantinya dapat mengancam jiwa dan

keselamatan konsumen.169

2. Hak untuk memilih barang dan atau jasa, serta mendapatkan barang dan atau

jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang

dijanjikan.

Memilih merupakan hak prerogatif konsumen, apakah ia akan

membeli atau tidak membeli suatu barang dan/atau jasa, termasuk keputusan

untuk memilih baik kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya.

Konsumen tidak boleh mendapatkan tekanan dari pihak luar, sehingga ia

kehilangan kebebasan untuk memilih.

Kebebasan memilih konsumen dapat terwujud jika terdapat alternatif

pilihan terhadap suatu produk. Pengaturan dari pemerintah sangat

diperlukan, untuk mencegah terjadinya hak monopoli dari suatu pihak,

sehingga konsumen kehilangan kesempatan untuk memilih. Pelaku usaha

dapat secara sepihak mempermainkan mutu barang dan harga jual, jika

monopoli diberikan kepada perusahaan yang tidak berorientasi pada

kepentingan konsumen.170

Mencegah praktik monopoli, pasal 19 dan 25 ayat (1) Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan

Usaha menentukan:

Zulham, Op. cit, h.48.


169

Shidarta, Op. cit, h. 27.


170
145

Pasal 19
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri
maupun bersama pelaku usaha lain yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa;
a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan
kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan, atau
b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk
tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu
c. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada
pasar yang bersangkutan, atau
d. Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

Pasal 25 ayat (1)


Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk :
a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah
dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa
yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas, atau
b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi
c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk
memasuki pasar bersangkutan.

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan atau jasa.

Hak ini mempunyai arti yang sangat fundamental bagi konsumen bila

dilihat dari segi ekonominya. Setiap keterangan mengenai suatu barang

yang akan dibelinya atau akan mengikat dirinya, haruslah diberikan

selengkap mungkin dengan penuh kejujuran.171Penyampaian informasi

terhadap konsumen tersebut dapat berupa :172

a. Representasi. Kerugian konsumen sering terjadi karena misrepresentasi

terhadap produk tertentu, karenanya perlu adanya representasi yang

benar terhadap suatu produk. Contohnya konsumen banyak tergiur

dengan suatu produk karena iklan-iklan yang tidak memuat informasi

Zulham, Op. cit, h. 48.


171

Ahmadi Miru, Op. cit, h.113-120.


172
146

yang benar. Karena pada umumnya yang ditonjolkan adalah kelebihan

suatu produk, dan bahkan terlalu melebih-lebihkan.

b. Peringatan. Peringatan merupakan bagian pemberian informasi kepada

konsumen ini merupakan pelengkap dari proses produksi. Peringatan ini

penting berkaitan dengan keamanan suatu produk.

c. Instruksi. Pencantuman informasi bagi konsumen yang berupa instruksi

atau petunjuk/prosedur pemakaian suatu produk merupakan kewajiban

pelaku usaha agar produknya tidak dianggap cacat karena ketiadaan

informasi atau informasi yang tidak memadai.

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai

informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai

mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi

ini dapat disampaikan dengan berbagai cara seperti lisan kepada konsumen,

melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan

produk (barang).173 Informasi tersebut biasanya menyangkut: manfaat

kegunaan produk, kandungan produk, efek samping penggunaan produk,

tanggal kadaluarsa, aturan pakai/cara penggunaan serta identitas produsen.

Informasi yang disampaikan pelaku usaha kepada konsumen atas

barang dan/atau jasa yang ditawarkan harus lengkap, benar, jelas, dan

jujur.174

1. Lengkap dalam arti, jangan ada informasi yang sengaja disembunyikan,

sehingga konsumen di kemudian hari tidak dirugikan atas barang

Shidarta, Op. cit, h. 24.


173

Inosentius Samsul, 2006, Tim Kompilasi Perlindungan Konsumen, Badan Pembinaan


174

Hukum Nasional, Jakarta, h. 2.


147

dan/atau jasa yang dikonsumsi.

2. Benar, dalam arti yang berkaitan dengan bahan baku, bahan penolong,

komposisi, kadaluarsa, kemanjuran/khasiat, kehalalan, isi atau syarat-

syarat dalam perjanjian tersebut.

3. Jelas, dalam arti pemaparan atau pengungkapannya, tidak boleh

menimbulkan arti ganda yang dapat menyesatkan konsumen.

4. Jujur, dalam arti informasi disampaikan harus dilakukan/dibuat oleh

orang yang jujur beritikad baik.

Hans W. Micklits, seorang ahli hukum konsumen dari Jerman, dalam

ceramah di Jakarta, 26-30 Oktober 1998 membedakan konsumen

berdasarkan hak ini. Ia menyatakan, sebelum kita melangkah lebih detail

dalam perlindungan konsumen, terlebih dahulu harus ada persamaan tentang

tipe konsumen yang akan mendapatkan perlindungan. Menurutnya secara

garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen yaitu konsumen yang

terinformasi (well informed) dan konsumen yang tidak terinformasi. Ciri-ciri

tipe pertama antara lain :

1. Memiliki tingkat pendidikan tertentu

2. Mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga dapat

berperan dalam ekonomi pasar

3. Lancar berkomunikasi.

Konsumen jenis terinformasi ini mampu bertanggung jawab dengan

dan relatif tidak memerlukan perlindungan, dengan tiga potensi yang

dimilikinya. Tipe konsumen kedua memiliki ciri-ciri :175


175
Shidarta, Loc. cit.
148

1. Kurang berpendidikan

2. Termasuk kategori kelas menengah ke bawah

3. Tidak lancar berkomunikasi.

Konsumen jenis ini perlu dilindungi, dan khususnya menjadi tanggung

jawab negara untuk memberikan perlindungan. selain ciri-ciri konsumen

tidak terinformasikan, karena hal-hal khusus, dapat juga dimasukan dalam

kelompok ini anak-anak, orang tua, dan orang asing (yang tidak

berkomunikasi dengan bahasa setempat), sebagai konsumen yang wajib

dilindungi oleh negara.

Berkaitan dengan kegiatan periklanan, baik konsumen terinformasi

maupun tidak terinformasi perlu mendapatkan perlindungan hukum, karena

kedua jenis konsumen ini memiliki potensi kerugian atas iklan pelaku usaha,

karena iklan dapat mempengaruhi konsumen dari berbagai kalangan.

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan

Hak ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih

lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini dapat

berupa pertanyaan tentang berbagai hal berkaitan dengan produk-produk

tertentu apabila informasi yang diperoleh dalam produk kurang memadai.

Hak ini juga dimaksudkan untuk menjamin konsumen bahwa

kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam kebijakan

pemerintah.
149

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut

Hak ini merupakan hak konsumen untuk dilindungi dalam upaya

penyelesaian sengketa, apakah itu dalam pengadilan ataupun di luar

pengadilan. Konsumen berhak mengajukan tuntutan kepada pelaku usaha

apabila merasa dirugikan dengan barang atau produk dari pelaku usaha

6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen

Pemerintah berkewajiban memberikan pembinaan dan pendidikan

konsumen, berupa penyuluhan akan hak-hak mereka lewat Lembaga

Swadaya Masyarakat, atau organisasi-organisasi yang bergerak dalam

bidang perlindungan konsumen.

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur, serta tidak

diskriminatif

Hak ini dimaksudkan supaya setiap konsumen diperlakukan sama

tanpa ada pembedaan.

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian

apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaimana mestinya

Konsumen berhak mendapatkan ganti rugi dari pelaku usaha, apabila

produk barang dan atau jasa yang diperolehnya tidak sesuai dengan nilai

tukar yang diberikannya baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Ganti rugi
150

yang dimaksudkan bisa berupa ganti rugi materiil dan immaterial.

9. Hak-hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya

Hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain misalnya

hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta hak untuk dilindungi dari akibat

negatif persaingan curang, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat.

Berdasarkan kesembilan hak yang diatur dalam UUPK, menurut peneliti

terdapat empat hak yang berkaitan erat dengan perlindungan konsumen dalam

kegiatan periklanan, yaitu :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan

Pelaku usaha dalam mengiklankan produknya harus memperhatikan

keamanan dan keselamatan konsumen, Contohnya untuk iklan minuman

kesehatan yang berbahaya untuk penderita penyakit gula untuk menarik

minat semua konsumen pengiklan menyebutkan produk tersebut aman bagi

penderita padahal setelah menggunakannya justru membahayakan kesehatan

konsumen karena mengandung kandungan-kandungan berbahaya yang

sebenarnya tidak boleh digunakan oleh konsumen yang memiliki penyakit

tertentu.

2. Hak untuk memilih

Terkadang konsumen seolah-olah tidak memiliki pilihan lain, karena


151

informasi yang disampaikan dalam iklan seolah-olah produk barang

dan/atau jasa tersebut yang terbaik untuk konsumen. Contohnya dengan

penggunaan kata-kata " Nomor satu, tiada duanya" dalam suatu produk.

3. Hak untuk memperoleh informasi yang benar

Pelaku usaha dalam mengiklankan produknya haruslah berhati-hati,

dan memberikan informasi yang sesungguhnya terhadap manfaat dan

kegunaan suatu produk sehingga tidak mengakibatkan kerugian bagi

konsumen. Iklan yang memuat informasi yang tidak benar, memenuhi

kriteria kejahatan yang lazim disebut fraudulent misrepresentation. Bentuk

kejahatan ini ditandai oleh pemakaian pernyataan yang jelas-jelas salah

(false statement), seperti menyebutkan diri yang terbaik tanpa indikator

yang jelas dan pernyataan yang menyesatkan (mislead), misalnya

menyebutkan adanya khasiat tertentu padahal tidak. Karena itu muatan

informasi dalam iklan harus mengandung kebenaran, kejujuran, jelas dan

tidak menyesatkan konsumen.

4. Hak untuk mendapatkan ganti rugi

Jika barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen, manfaat dan

kegunaannya tidak seperti informasi dalam suatu iklan, maka konsumen

berhak mendapatkan ganti rugi dari pelaku usaha, karena konsumen tidak

mendapatkan kemanfaatan dari produk sebagaimana yang diharapkan.

Tanpa mengurangi penghargaan terhadap upaya terus menerus yang

digalang oleh YLKI andil terbesar yang memaksa kehadiran UUPK ini adalah

besarnya tekanan dunia internasional setelah pemerintah Indonesia mengesahkan

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Agreement Establishing The


152

World Trade Organization (persetujuan pembentukan organisasi perdagangan

dunia), maka ada kewajiban bagi Indonesia untuk mengikuti standar-standar

hukum yang berlaku dan diterima luas oleh negara-negara anggota WTO. Salah

satunya eksistensi UUPK.

2.2.2. Tujuan Perlindungan Konsumen

Meningkatnya aktivitas bisnis, yang sudah tidak lagi terbatas pada wilayah

suatu negara, meningkatkan kesadaran masyarakat akan perlunya perlindungan

konsumen untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen agar konsumen

mampu melindungi dirinya sendiri dari pelaku usaha, maka berbagai upaya

dilakukan oleh konsumen.

Berdasarkan situasi dan kondisi dewasa ini aktivitas bisnis mengalami

perkembangan yang amat pesat, ditandai dengan perkembangan dunia usaha di

berbagai sektor. Perkembangan ini juga menyebabkan terjadinya persaingan di

antara para pelaku usaha, dengan kondisi ini pelaku usaha berupaya dengan

berbagai cara untuk merebut hati konsumen, supaya mau menggunakan produk

yang mereka tawarkan. Iklan merupakan salah satu bentuk promosi yang dipilih

oleh pelaku usaha.

Konsumen yang merupakan sasaran bisnis pelaku usaha, seringkali

terpedaya dengan trik-trik bisnis yang tidak etis bahkan merugikan konsumen.

Contohnya dengan mengiklankan suatu produk secara berlebihan, dimana

informasi yang disampaikan dalam. Iklan tidak sesuai dengan manfaat dan

khasiat sebenarnya suatu produk.

Pelaku usaha menyadari bahwa dalam rangka kelangsungan hidupnya

konsumen membutuhkan produk barang dan jasa, sehingga menimbulkan


153

ketergantungan konsumen kepada pelaku usaha, melemahkan posisi konsumen.

Adanya ketergantungan konsumen terhadap pelaku usaha, sering dimanfaatkan

oleh pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya,

dengan mengabaikan keamanan dan keselamatan konsumen dalam

mengkonsumsi produk barang dan/atau jasa.

Pasal 2 UUPK dengan jelas menyebutkan perlindungan konsumen

berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan

konsumen serta kepastian hukum. Sementara dalam Rancangan Akademik RUU

tentang Perdagangan, untuk mewujudkan sistem hukum perlindungan konsumen

yang baik, diperlukan beberapa prinsip perlindungan konsumen, yaitu :176

1. Hukum perlindungan konsumen harus adil bagi konsumen maupun

produsen, jadi tidak hanya membebani produsen dengan tanggung jawab,

tetapi juga melindungi hak-haknya untuk melakukan usaha dengan jujur

2. Aparat pelaksana hukumnya harus dibekali dengan sarana yang memadai

dan disertai dengan tanggung jawab

3. Peningkatan kesadaran konsumen akan hak-haknya

4. Mengubah sistem nilai dalam masyarakat kearah sikap tindak yang

mendukung perlindungan konsumen.

Menurut Purba, kunci pokok perlindungan konsumen adalah bahwa

konsumen dan pelaku usaha saling membutuhkan. Produksi tidak ada artinya

kalau tidak ada yang mengkonsumsinya, dan produk yang dikonsumsi secara

aman dan memuaskan, pada gilirannya akan merupakan promosi gratis bagi

176
Yusuf Shofie, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Ghalia
Indonesia, Jakarta, h. 29-30.
154

pengusaha.177 Perlindungan konsumen sangat penting, atas setiap transaksi yang

dilakukannya dengan pelaku usaha. Berkaitan dengan transaksi ini, harus

dipahami dalam tiga tahap :178

1. Tahap Pra Transaksi Konsumen

Pada tahap ini transaksi belum terjadi, namun dalam tahap ini konsumen

akan mempertimbangkan dengan mengaitkan pada uang serta kualitas barang

yang akan dibelinya. Oleh karena itu hal yang penting bagi konsumen adalah

informasi atau keterangan yang benar, jelas dan jujur atas barang atau jasa

yang akan dibelinya. Pada tahap transaksi ini konsumen membutuhkan

informasi yang akurat tentang karakteristik suatu barang dan atau jasa. Right

to be informed of consumers betul-betul memegang peranan penting dan

harus dihormati oleh pelaku usaha maupun konsumen.179

2. Tahap Transaksi Konsumen

Pada tahap ini terjadi proses peralihan barang dan jasa antara pelaku

usaha dan konsumen. Dalam tahap ini pelaku usaha seringkali menentukan

syarat-syarat dalam perjanjian secara sepihak yang berisikan pengalihan

tanggung jawab terhadap konsumen. Syarat-syarat dimaksud dituangkan

dalam suatu perjanjian dalam bentuk tulisan tercetak, namun berupa huruf

yang sangat kecil sehingga sulit dibaca oleh konsumen.

3. Tahap PurnaTransaksi

Tahap ini berada pada tahap pemakaian. Jika kemanfaatan suatu barang

177
Ibid.
178
Adrian Sutedi, Op. cit, h. 17-20.
179
Ade Manan Suherman, 2012, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia,
Jakarta, h. 102
155

sesuai dengan yang disampaikan oleh pelaku usaha, maka hal ini akan

memberikan kepuasan terhadap konsumen. Namun jika sebaliknya, informasi

produk yang didapatkan konsumen tidak sesuai dengan kenyataannya hal ini

akan menyebabkan masalah serta protes dari konsumen. Dalam tiga tahap ini

berkaitan erat dengan periklanan, informasi yang disampaikan dalam pra

transaksi akan menentukan bagi konsumen hingga masa purna transaksi,

sehingga merupakan kewajiban pelaku usaha untuk menyampaikan informasi

yang benar dalam iklan, tentang manfaat dan kegunaan barang atau jasa yang

diperdagangkannya.

Berkaitan dengan perlindungan konsumen, menurut buku "Menggeser

Neraca Kekuatan" yang diterbitkan oleh YLKI tahun 1980, ada empat hal

penting dalam perlindungan konsumen yang harus diperhatikan, yaitu :180

a. Dari aspek ekonomi ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan :

1) Berapa harga suatu produk

2) Apakah harga itu wajar jika dibandingkan dengan barang yang sama

mutu dan jumlahnya

3) Apakah ada barang pengganti sejenis yang lebih murah, lebih sehat dan

dapat diperoleh ditempat yang sama

b. Dari aspek lingkungan ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan :

1) Apa kemasannya baik, berupa botol atau kaleng

2) Apakah barang tersebut tercemar secara kimia atau biologis

3) Apakah kemasan tersebut menggunakan secara boros bahan baku yang

180
Sofyan Lubis & Muhammad Harry, 2008, Konsumen dan Pasien Dalam Hukum
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 30-31
156

langka dan merusak lingkungan hidup

c. Dari aspek hukum perlu dipertanyakan :

1) Menyangkut legalitas produk tersebut, apakah terdaftar atau tidak,

untuk makanan perlu dilihat adakah nomor registrasi dari Depkes

2) Jika konsumen tidak puas dengan produk tersebut dapatkah

dikembalikan kepada penjual/produsen

3) Jika isinya kurang dari seharusnya, sudikah penjual/produsen memberi

ganti rugi kepada konsumen

4) Apakah pelabelan dan iklan tersebut sudah sesuai dengan peraturan dan

ketentuan yang berlaku

d. Dari aspek kesehatan dan keamanan perlu dipertanyakan pula :

1) Apakah produk tersebut mengandung bahan berbahaya yang dapat

mengganggu kesehatan konsumen

2) Khusus makanan apakah menggunakan pemanis, pewarna, pengawet

dan pelezat buatan yang tidak diizinkan untuk makanan

3) Khusus untuk minyak rambut dan kosmetika, apakah mengandung zat

berbahaya seperti merkuri

Menteri Kehakiman Mudjono dalam sambutannya pada pembukaan

Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen yang

diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di Jakarta

pada tanggal 16-18 Oktober 1980, mengemukakan dua alasan mengapa masalah

perlindungan konsumen merupakan salah satu masalah penting di dunia dewasa

ini. Pertama, bahwa seluruh anggota masyarakat adalah konsumen yang perlu
157

dilindungi dari kualitas benda atau jasa yang diberikan oleh produsen kepada

masyarakat. Kedua, ternyata para konsumen adalah pihak yang sangat

menentukan dalam pembinaan modal untuk menggerakkan roda

perekonomian.181 Menurut hasil penelitian Badan dan Pembinaan Hukum

Nasional (BPHN), faktor-faktor yang melemahkan konsumen adalah :

1. Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya

2. Belum terkondisinya masyarakat konsumen karena sebagai masyarakat

belum tahu akan hak-hak dan kemana haknya disalurkan jika mendapatkan

kesulitan atau kekurangan dari standar barang atau jasa yang sewajarnya.

3. Belum terkondisinya masyarakat konsumen menjadi masyarakat yang

mempunyai kemauan menuntut hak-haknya

4. Proses peradilan yang ruwet dan waktu yang berkepanjangan

5. Posisi konsumen yang lemah.

Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya dibandingkan

dengan kedudukan produsen, perlindungan terhadap konsumen merupakan suatu

hal penting dan mendesak, apa lagi di era perdagangan bebas saat ini, masalah

perlindungan konsumen semakin kompleks. Contohnya mengenai: tanggung

jawab produk, standarisasi produk, standar kesehatan, timbangan barang, kausa

halal, pemeliharaan lingkungan, serta kegiatan periklanan.

Menurut Customers International (CI), di era pasar bebas, konsumen

diperhadapkan dengan berbagai tantangan sebagai berikut :

1. Cross Border Business Agreement: (a) merger dan akuisisi suatu perusahaan

181
Janus Sidabalok, Op. cit, h.29.
158

atau lebih bergerak untuk menciptakan monopoli di luar batas yuridiksi

suatu negara, (b) kartel internasional, suatu tindakan bersama dari beberapa

perusahaan dari berbagai Negara untuk membagi pasar dan menetapkan

harga, (c) persekongkolan bisnis strategis, persekongkolan di antara

perusahaan yang bersaing untuk mengembangkan produk atau penelitian.

2. Industrial Policy: (a) kartel ekspor, persetujuan di antara perusahaan atas

harga ekspor, (b) kartel impor, satu tanggapan defensif oleh perusahaan-

perusahaan yang membeli barang dari kartel ekspor, (c) kartel domestic,

satu cara dari perusahaan untuk membatasi akses pasar bagi perusahaan

asing.

3. Trade Policy, (a) undang-undang anti dumping, satu cara untuk menangkal

perusahaan asing membanjiri barang dan jasa yang lebih murah daripada

harga yang ditetapkan oleh perusahaan di dalam negeri, (b) penetapan target

impor, (c) penetapan kuota ekspor.182

Negara dibentuk dalam rangka mencapai masyarakat adil dan makmur

materiil dan spiritual, maka sesungguhnya negara mempunyai otoritas untuk

masuk dan campur tangan dalam kehidupan masyarakat. 183 Berkaitan dengan

perlindungan konsumen negara mempunyai kewenangan untuk menciptakan

perangkat peraturan, dengan tujuan:

1. Menjaga keseimbangan semua pihak yang kepentingannya berhadapan

2. Memberikan sanksi apabila memang sudah terjadi sengketa dengan cara

menegakkan hukum yang berlaku


182
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. cit, h. 9.
183
Sri Rejeki Hartono, 2007, Hukum Ekonomi Indonesia, Banyu Media Publishing,
Malang, h. 132.
159

3. Menyiapkan lembaga penyelesaian sengketa dan hukum acaranya.184

Perlindungan terhadap konsumen sangat penting, mengingat ada sejumlah

hak-hak konsumen yang perlu ditegakkan sehingga tidak dilanggar oleh pelaku

usaha yang tidak bertanggung jawab, karena itu pengaturan perlindungan

konsumen dalam peraturan perundang-undangan menjadi penting, dengan tetap

memperhatikan hak-hak pelaku usaha, sehingga pengaturannya tetap menjamin

kelangsungan usaha dari pelaku usaha. Di Indonesia perlunya perlindungan

terhadap konsumen, jelas termuat dalam uraian pertimbangan konsiderans

UUPK, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Perlindungan kepada konsumen berarti juga perlindungan terhadap seluruh


warga negara Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam tujuan
pembangunan nasional yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945.
2. Pelaksanaan pembangunan nasional membutuhkan manusia-manusia yang
sehat dan berkualitas, yang diperoleh melalui penyediaan kebutuhan secara
baik dan cukup. Oleh karena itu, konsumen perlu dilindungi untuk
mendapatkan kebutuhan yang baik dan cukup itu.
3. Modal dan pelaksanaan pembangunan nasional berasal dari masyarakat.
Karena itu, masyarakat konsumen perlu di dorong untuk berkonsumsi secara
rasional serta dilindungi dari kemungkinan timbulnya kerugian, harta benda
sebagai akibat dari perilaku curang pelaku usaha.
4. Perkembangan teknologi, khususnya teknologi manufaktur, mempunyai
dampak negatif berupa kemungkinan hadirnya produk-produk yang tidak
aman bagi konsumen. Dampak negatif ini kemudian dapat meluas manakala
perilaku pelaku usaha/produsen dalam penggunaan teknologi itu tidak
bertanggung jawab. Karena itu masyarakat konsumen perlu dilindungi dari
dampak negatif itu.
5. Kecenderungan untuk mencari untung yang tinggi secara ekonomis
ditambah dengan persaingan yang ketat di dalam berusaha dapat mendorong
sebagian pelaku usaha untuk bertindak curang dan tidak jujur, yang
akhirnya merugikan kepentingan konsumen. Karena itu konsumen perlu
dilindungi dari kemungkinan timbulnya kerugian sebagai akibat dari
perilaku curang tersebut.
6. Masyarakat konsumen perlu diperdayakan melalui pendidikan konsumen,
khususnya penanaman kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya sebagai
konsumen. Hal yang sama juga berlaku bagi pelaku usaha, supaya pelaku
Ibid, h.132.
184
160

usaha senantiasa memperhatikan sungguh-sungguh dengan melaksanakan


kewajibannya dengan baik.185
Pengaturan terhadap perlindungan konsumen dimaksudkan untuk:

1. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum.

2. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan

seluruh pelaku usaha pada umumnya.

3. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa.

4. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang

menipu dan menyesatkan.

5. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan

konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lain.186

Perlindungan terhadap konsumen ini, akan terlaksana secara optimal dan

efisien, asalkan ada kerja sama dari berbagai pihak yang terkait, yaitu:187

1. Pemerintah. Pemerintah adalah faktor penentu dalam menyelenggarakan

perlindungan konsumen. Karena pemerintah mempunyai kewajiban untuk

melindungi warganya terhadap tindakan sewenang-wenang pelaku usaha,

baik nasional maupun internasional yang dapat menimbulkan kerugian,

dalam lingkup luas adalah kepentingan nasional dan dalam lingkup sempit

adalah konsumen.

Perlindungan ini dituangkan dalam suatu produk hukum. Hal ini

penting karena hanya hukum yang memiliki kekuatan untuk memaksa

pelaku usaha untuk menaatinya, dan juga hukum memiliki sanksi yang
185
Janus Sidabalok, Op. cit, h. 30-31.
186
Sofyan Lubis & Muhammad Harry, Op. cit, h. 2.
187
Endang Sri Wahyuni, Op. cit, h.159-161.
161

tegas. Sejalan dengan teori perlindungan hukum dari represif dari Hadjon,

perlu ada UUPK yang mengatur kegiatan periklanan sehingga ada sanksi

yang dapat diterapkan kepada pelaku usaha jika ia melanggar hak-hak

konsumen, mengingat dampak penting yang dapat ditimbulkan akibat

tindakan pelaku usaha yang sewenang-wenang dan hanya mengutamakan

keuntungan dari bisnisnya sendiri, maka pemerintah memiliki kewajiban

untuk melindungi konsumen yang posisinya memang lemah.

Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari produk yang

merugikan dapat dilaksanakan dengan cara mengatur, mengawasi, serta

mengendalikan produksi, distribusi dan peredaran produk sehingga

konsumen tidak dirugikan. Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan

kebijaksanaan yang akan dilaksanakan, maka langkah-langkah yang dapat

ditempuh pemerintah adalah:

a. Registrasi dan penilaian;

b. Pengawasan produksi;

c. Pengawasan distribusi;

d. Pembinaan dan pengembangan usaha;

e. Peningkatan dan pengembangan prasarana dan tenaga.188

Hal ini sejalan dengan teori perlindungan hukum represif yaitu untuk

mencegah terjadinya sengketa konsumen, pemerintah perlu mengatur, dan

mengawasi peredaran produk yang ada sehingga tidak merugikan

konsumen.

2. Faktor Pelaku Usaha. Pelaku usaha adalah salah satu faktor yang ikut
Ading Suryana dalam Sidabalok, Op. cit, h. 23-24.
188
162

terlibat secara langsung dalam masalah perlindungan konsumen, karena

pelaku usaha merupakan pihak yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan. Yang menjadi persoalan di sini adalah bahwa orientasi bisnis

yang dijalankan oleh pelaku usaha seringkali menempatkan konsumen

sebagai objek sasaran dari pelaku usaha untuk dapat meraup keuntungan

yang sebesar-besarnya. Terhadap pelaku usaha yang demikian maka perlu

suatu upaya paksa untuk mengubah dan menertibkan perilakunya yang

dipandang tidak adil dan tidak etis.

3. Faktor Konsumen. Konsumen merupakan faktor penting, mengingat

bahwa tujuan di undangannya UUPK adalah untuk melindungi

kepentingan konsumen. Dan jika dilihat dari sejarah lahirnya perlindungan

konsumen, dapat dilihat bahwa perlindungan konsumen lahir dari

kesadaran masyarakat yang mengalami kerugian karena mengkonsumsi

produk tertentu, untuk memprotes dan menggugat pelaku usaha yang

dalam menjalankan usahanya kurang memperhatikan unsur-unsur

keamanan, kenyamanan dan kesehatan konsumen dalam mengkonsumsi

produk yang dihasilkannya. Sejarah menunjukkan kesadaran konsumen

memegang peranan penting. Artinya, hanya ketika masyarakat konsumen

telah sadar akan hak-haknya yang harus dilindungi dari tindakan-tindakan

yang dapat merugikan dirinya, maka perlindungan konsumen akan

berjalan efektif.

Oleh karena itu bagi konsumen, harus mewaspadai kebenaran

informasi dalam iklan, dengan memperhatikan hal-hal berikut:189


http://ghosye.wordpress.com/2009/04/17/cerdas-dan-cermat-dari-informasi-iklan ,
189
163

- Tidak mudah percaya pada janji yang berlebihan

- Tidak mengandalkan rekomendasi produk hanya pada satu sumber

saja, apalagi sumber tersebut berasal dari produsen

- Mengandalkan informasi akurat dari ahli Selalu ingat bahwa berita

advertorial merupakan kemauan produsen

Peran dan kerjasama dari ketiga pihak ini akan sangat menentukan

perlindungan hukum terhadap konsumen. Pemerintah sebagai pemegang

kekuasaan dalam suatu negara membuat pengaturan saja tidak cukup,

tetapi yang terpenting adalah bagaimana supaya peraturan perundang-

undangan yang ada bisa terlaksana dengan baik dalam masyarakat,

sehingga dapat melindungi kepentingan konsumen maupun pelaku usaha.

Bagi pelaku usaha sendiri kejujuran dan keadilan dalam berusaha sangat

penting, sehingga orientasi pelaku usaha tidak hanya untuk keuntungan

yang sebesar-besarnya, dengan melanggar hak-hak konsumen, sedangkan

konsumen adalah penting untuk dapat melindungi diri sendiri dengan

menjadi konsumen yang cerdas dalam berkonsumsi dan dapat menilai

produk barang dan jasa secara selektif, guna untuk kepentingan dan

keperluannya.

2.2.3. Politik Hukum Pembentuk UUPK dalam Kegiatan Periklanan

Secara politis perlunya perlindungan hukum bagi konsumen secara umum

telah dinyatakan di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), antara lain

melalui Ketetapan MPR RI No II Tahun 1988 dan Ketetapan MPR RI Nomor 2

Tahun 1993, meskipun keduanya memakai istilah yang berbeda. GBHN 1988
Diakses Desember 2020
164

memakai istilah menjamin kepentingan konsumen, sedangkan GBHN 1993

memakai istilah melindungi kepentingan konsumen.190

Mengingat pentingnya perlindungan terhadap konsumen tersebut, sehingga

dikeluarkannya UUPK. Politik hukum dikeluarkannya UUPK pada intinya

sebagaimana tercantum dalam konsiderans UUPK yaitu perlindungan konsumen

dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta menumbuh

kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.

Berdasarkan kajian dari perspektif sejarah perlindungan konsumen sendiri,

pemikiran terhadap perlindungan konsumen di Indonesia banyak dipengaruhi

oleh gerakan-gerakan konsumen negara lain terutama Amerika dan Eropa

termasuk dunia internasional lewat Dewan Ekonomi dan Sosial PBB lewat

resolusinya pada tanggal 16 April 1985 diserukan penghormatan terhadap hak-

hak konsumen.

Di Indonesia, sendiri gerakan perlindungan konsumen diserukan oleh

Lembaga Swadaya Masyarakat yang dikenal dengan Yayasan Lembaga

Konsumen Indonesia. Hasil perjuangan dari YLKI adalah memprakarsai naskah

akademik UUPK yang dibawah ke DPR, yang selanjutnya rancangannya

disetujui menjadi undang-undang.

Beberapa ahli dalam catatan dan komentarnya terhadap UUPK

menyebutkan bahwa UUPK sendiri memiliki beberapa kelemahan. Ahmadi Miru

& Sutarman Yodo mengkritisi tentang substansi pasal 19 menyangkut tanggung

jawab pelaku usaha dimana pengaturannya tidak dapat memberikan


190
Janus Sidabalok, Op. cit, h. 4.
165

perlindungan maksimal bagi konsumen.191 Catatan penting juga menyangkut

tanggung jawab pelaku usaha dalam pasal 19 diberikan oleh Zulham yang

dianggap merugikan konsumen.192 Selanjutnya menyangkut batasan konsumen

dan hak-hak konsumen dalam UUPK menurut Shidarta masih perlu pengujian-

pengujian di lapangan.193

Berdasarkan penelitian tidak dapat dipungkiri bahwa kelemahan-

kelemahan dalam UUPK menjadi jalan bagi pengusaha dalam melepaskan

tanggung jawabnya terhadap konsumen, baik menyangkut pengaturan tanggung

jawab pelaku usaha, serta menyangkut penerapan bentuk sanksi bahkan

pengaturan kewenangan BPSK yang tidak konsisten pengaturannya dalam

UUPK.

Pengaturan tanggung jawab pelaku usaha dalam pasal 19 sendiri, mulanya

terdapat beberapa pertentangan pada saat pembahasannya yaitu :

1. Menurut pendapat FKP, pasal 19 ini lebih pada langkah-langkah ganti rugi

barang.

2. Menurut pendapat FABRI, dalam pasal 7 menyangkut kewajiban pelaku

usaha sudah mengatur ganti rugi harusnya tidak ada rangkap mana

kewajiban dan mana tanggung jawab (pasal 19) sehingga menimbulkan

kerancuan, karenanya perlu ada pengkajian mana tanggung jawab dan

kewajiban supaya tidak dobel.

3. Menurut pendapat fraksi FKP, pasal 19 usulan pemerintah erat kaitannya

dengan pasal 7 menyangkut kewajiban pelaku usaha, karena apa yang ada
191
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op. cit, h. 95-96.
192
Zulham, Op. cit, h. 103.
193
Shidarta, Op. cit, h.10.
166

dalam pasal 19 sudah tertampung dalam pasal 7.

4. Menurut pendapat pemerintah, pasal 19 tidak hanya ganti rugi tapi juga hal-

hal lain yang menyebabkan kerugian konsumen, tanggung jawab pelaku

usaha dalam pasal 19 ini, menyangkut jual beli sehari-hari, pembelian

dengan kuitansi.

5. Ketua pansus, di Amerika Serikat beli baju cacat bisa dikembalikan dua

minggu.

Menurut peneliti, penetapan batas waktu 7 (tujuh) hari dalam pasal 19

tidak dapat melindungi konsumen yang dirugikan oleh informasi iklan, karena

batas tujuh hari sendiri yang dimaksudkan oleh DPR dan pemerintah

berdasarkan Risalah Sidang Pembahasan UUPK penentuan batas waktu tersebut

dimaksudkan untuk transaksi jual beli sehari-hari, atau kegiatan jual beli barang

setiap hari ketika konsumen tidak sempat meneliti barangnya yaitu mengacu

pada kerusakan produk dimana pertanggungjawabannya dapat dimintakan

kepada toko, atau distributor. Pertimbangan batas tujuh hari ini menunjukkan

sempitnya pemahaman pembentuk undang-undang itu sendiri menyangkut

perlindungan konsumen, karena ada banyak hal menyangkut perlindungan

konsumen itu sendiri, termasuk kegiatan periklanan, dengan adanya batas waktu

ini menyebabkan kekosongan hukum menyangkut tanggung jawab pelaku usaha

terhadap konsumen yang dirugikan oleh informasi iklan, di samping itu pasal 19

ini lebih mengarah pada tanggung jawab produk bukan pada informasi iklannya.

Dari uraian-uraian diatas, dapat disimpulkan politik hukum UUPK

sebenarnya menunjukkan adanya keberpihakan pemerintah kepada pelaku usaha

sebagai upaya pemulihan ekonomi pada saat itu yang sangat terpuruk, sehingga
167

walaupun UUPK ditujukan untuk melindungi konsumen, secara eksplisit

undang-undang ini juga melindungi kepentingan pelaku usaha sebagaimana

dalam penjelasan dalam UUPK sendiri, yang menyebutkan bahwa piranti hukum

perlindungan konsumen tidak bermaksud untuk mematikan usaha para pelaku

usaha.

Keberpihakan pemerintah terhadap pelaku usaha jelas tercermin dengan

pengaturan sanksi administrasi berupa penetapan ganti rugi, dimana sanksi ini

akan lebih melindungi konsumen jika dalam bentuk pencabutan izin tertentu,

terlihat jelas bahwa ada keengganan dari pemerintah untuk melakukan

pencabutan izin karena terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan

ekonomi. Menurut Shidarta, adanya pertimbangan pajak dan tenaga kerja,

menjadi alasan pemaaf bagi pengusaha yang merugikan konsumen.194

Badan Pembinaan Hukum Nasional sendiri jika diamati dalam pola sosial

faktor-faktor yang juga melemahkan posisi konsumen adalah:195

1. Politik pembangunan di negara kita lebih meleluasakan pelaku usaha,

berupa melonggarkan norma-norma hukum dalam penerapan dan

penentuan hukum konsumen

2. Tidak konsistennya badan peradilan atas putusan-putusannya, dimana

kerap terjadi perbedaan putusan-putusan pengadilan dalam kasus-kasus

yang serupa

3. Sistem hukum kita masih belum banyak menjamah dan merumuskan

kebijakan untuk melindungi konsumen

4. Tarik menarik berbagai kepentingan di antara para pelaku ekonomi yang


194
Loc. cit.
195
N.H.T, Op. cit, h. 43.
168

bukan konsumen, pihak mana memiliki akses kuat dalam pelbagai ini,

tidak terkecuali kepada pengambil keputusan. Figur ini secara sosial-logis

berada di luar jangkauan hukum.

Berdasarkan penelitian tidak terlindunginya konsumen atas informasi

iklan yang merugikan disebabkan karena UUPK itu sendiri yang memberi

kelonggaran terhadap pelaku usaha menyangkut:

1. Pengaturan tanggung jawab pelaku usaha yang hanya dibatasi tujuh hari

bagi konsumen untuk mendapatkan tanggung jawab dari pelaku usaha

dalam UUPK tidak bisa melindungi konsumen yang dirugikan oleh

informasi iklan, dimana pembatasan ini juga dipengaruhi dari pengaturan di

Amerika Serikat yang memberikan batas waktu 14 hari bagi konsumen.

2. Tidak diaturnya tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen yang

dirugikan oleh informasi iklan, serta tidak tepatnya penetapan sanksi dalam

UUPK

3. Adanya tekanan dunia internasional disebabkan karena keikutsertaan

Indonesia dalam WTO, sehingga ketentuan perundang-undangan yang ada

harus memenuhi standar internasional, tanpa memperhatikan kepentingan

dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

2.3 Yurisprudensi Mengisi Kekosongan Hukum

Tanggung jawab pelaku usaha pengiklan sangat penting bagi konsumen,

untuk melindungi hak-hak konsumen dalam kegiatan periklanan. Meskipun

UUPK telah mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha, tetapi menyangkut

pelaku usaha pengiklan belum terdapat pengaturan sehingga menimbulkan


169

kekosongan hukum menyangkut perlindungan konsumen dalam kegiatan

periklanan.

Kekosongan hukum perlindungan konsumen dalam kegiatan periklanan ini,

disebabkan karena :

1. UUPK tidak mengatur secara jelas tanggung jawab pelaku usaha dalam

kegiatan periklanan, pengaturan tanggung jawab pelaku usaha dalam pasal

19 UUPK tidak bisa menjangkau pelaku usaha pengiklan, karena tanggung

jawab yang dimaksudkan dalam pasal 19 ini yaitu menyangkut tanggung

jawab pelaku usaha atas produk yang diedarkan yang membawa kerugian

bagi konsumen, dan tidak mencakup pada informasi iklan yang merugikan

konsumen. Selanjutnya tanggung jawab yang dimaksudkan dalam pasal 20

UUPK yaitu tanggung jawab pada perusahaan periklanan, yang oleh peneliti

tanggung jawab atas informasi iklan, berada pada tanggung jawab pelaku

usaha pengiklan, karena informasi produk dalam suatu iklan datangnya dari

pelaku usaha pengiklan, sedangkan pelaku usaha periklanan hanya membuat

suatu iklan berdasarkan pesanan pelaku usaha pengiklan.

2. Pengaturan sanksi dalam UUPK tidak jelas, dengan adanya penerapan

sanksi ganti rugi oleh BPSK dalam sanksi administrasi tidak bisa

melindungi konsumen, tetapi justru memberi peluang kepada pelaku usaha

untuk tidak melaksanakan tanggung jawabnya terhadap konsumen.

Selanjutnya penerapan sanksi administrasi dalam bentuk ganti rugi tidak

sesuai dengan ketentuan administrasi, apa lagi yang menjatuhkannya adalah

BPSK.
170

3. Adanya inkonsistensi dalam LJUPK sendiri menghilangkan harapan

konsumen untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, dengan

diaturnya upaya keberatan terhadap putusan BPSK ke pengadilan, dalam

pasal 56 UUPK, yang semula dalam pasal 54 menyebutkan putusan BPSK

bersifat final dan mengikat. Hal ini diikuti juga dengan Peraturan

Mahkamah Agung No 1 tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan

ke Pengadilan atas putusan BPSK, ketentuan ini pada dasarnya tidak bisa

melindungi konsumen.

Pada dasarnya UUPK tidak mampu melindungi konsumen dalam kegiatan

periklanan, padahal pengaturan periklanan secara eksplisit telah termuat dalam

UUPK, dalam ketentuan tentang larangan pelaku usaha. Akan tetapi undang-

undang ini tidak mengatur secara jelas menyangkut tanggung jawab pelaku usaha

pengiklan atas informasi yang merugikan konsumen, menyebabkan adanya

kekosongan hukum.

Berdasarkan hasil penelitian untuk mengatasi hal tersebut maka pemerintah

perlu segera melakukan rekonstruksi hukum terhadap UUPK, agar terdapat

perlindungan hukum bagi konsumen dalam kegiatan periklanan, akan tetapi untuk

merevisi suatu ketentuan perundang-undangan di Indonesia membutuhkan waktu

yang cukup lama, karena itu peran hakim sangat dibutuhkan dalam membentuk

hukum berkaitan dengan perlindungan konsumen dalam kegiatan periklanan ini.

Berdasarkan kewenangannya untuk mengisi kekosongan yang ada,

yurisprudensi dapat dijadikan sumber bagi hakim dalam menemukan hukum.

Lahirnya yurisprudensi karena adanya peraturan undang-undang yang tidak jelas


171

atau masih kabur, sehingga menyulitkan hakim dalam membuat keputusan

mengenai suatu perkara. Hakim dalam hal ini membuat suatu hukum baru dengan

mempelajari putusan hakim yang terdahulu untuk mengatasi perkara yang sedang

dihadapi.196 Yurisprudensi adalah suatu produk peradilan yang diperoleh melalui

proses peradilan, dan merupakan sumber hukum formal yang dapat dijadikan

pedoman penanganan sengketa yang sejenis.197

Yurisprudensi diciptakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Berdasarkan ketentuan dalam undang-

undang Pasal 10 ayat (1) menyatakan:

“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara, mengadili

perkara dan memutuskan perkara yang diajukan dengan alasan tidak ada

atau aturan kurang jelas/kabur, melainkan wajib memeriksa serta

mengadilinya.”

Berdasarkan ketentuan pasal 10 ayat (1) hakim mempunyai kewajiban

sebagaimana tertuang dalam ketentuan pasal 5 ayat (1) yang menyatakan :

“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami

keadilan dan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat”.

Dengan adanya yurisprudensi diharapkan dapat memenuhi kebutuhan

masyarakat khususnya konsumen, yang dirugikan oleh informasi iklan pelaku

usaha pengiklan, sehingga bisa mengisi kekosongan hukum yang ada, sampai

196
http://www.penRertianpakar.com/2015/08/pengertian-yurisprudensi-dan.htmlt#,
Diakses Desember 2020.
197
H.P.Panggabaean, 2014, Analisis Yurisprudensi Hukum Bisnis,Alumni, Bandung, h.
83-84.
172

dikeluarkannya UUPK yang baru, karena itu diperlukan kearifan dari hakim untuk

melihat yurisprudensi yang ada, berkaitan dengan perkara sebagai upaya untuk

menemukan hukum.

2.4 Hakikat Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Akibat Iklan yang

Merugikan

2.4.1. Perspektif Teori Perlindungan Hukum

Berbicara mengenai hakikat sesuatu sebenarnya juga sedang mempelajari

filsafat dari sebuah ilmu, Pada setiap kajian disiplin suatu ilmu, biasanya ada

aspek-aspek tertentu yang mendominasi bersifat mayor, di samping ada juga

aspek lain yang yang akan menjadi aspek pendukung yang bersifat minor.

Terlebih lagi jika kajian ini membahas dari suatu induk. Induk yang dimaksud

di sini ialah induk pengetahuan itu sendiri atau sering disebut dengan filsafat,

sebelum melahirkan turunannya yang kemudian menjadi berbagai cabang

berbagai disiplin ilmu pengetahuan198. Tiga hal tersebut itu adalah ontologi,

epistemologi, dan aksiologi, akan selalu menjadi prolog suatu pembahasan

sehingga dapat membedakan akar suatu pembahasan dengan pengetahuan yang

melingkupi suatu akar pembahasan. Di banyak kesempatan sebagian orang

malah justeru tiga pembahasan tersebut (ontologi, epistemologi, dan aksiologi)

diposisikan sebagai tiga cabang dari filsafat itu sendiri.199

Adapun ontologi dimaksud di sini adalah suatu kajian yang ditujukan

untuk menjawab pertanyaan “apa”, sehingga ini sangatlah mendasar dan awal

sebelum membahas hal yang lainnya. Pembahasan pertama dari tema apapun
198
Dewa Gede Atmaja, Sudarsono, Suko Wiyono, 2014, Filsafat Ilmu Dari Pohon Pengetahuan
sampai Karakter keilmuan Ilmu Hukum, Madani, Malang, h. 28
199
Ibid, h.29
173

seharusnya diawali dengan menjawab “apa”, sehingga akan teridentifikasi

batasan-batasan apa yang menjadi kajiannya. Sementara tahapan berikutnya

adalah epistemologi, yaitu bagaimana mencari berbagai pengetahuan yang

berhubungan dan berkaitan terhadap jawaban “apa” yang dimaksud di kajian

ontologi seperti tersebut diatas. Adapun langkah berikutnya adalah, tidak hanya

cukup dengan mendefinisikan ‘apa sesuatu’ itu tetapi harusnya melengkapi

berbagai macam halnya tentang ‘sesuatu’ yang sedang menjadi objek

pembahasan. Oleh karena itu berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan

‘sesuatu’ yang sedang menjadi objek pembahasan menjadi target utama aspek

epistemologi ini, guna melahirkan suatu disiplin ilmu tertentu.

Melengkapi pertanyaan dari “apa” yang ada di kajian “ontologi’,

kemudian penjelasan tentang pertanyaan dari pertanyaan “bagaimana” yang

ada di kajian “epistemologi” ini, lalu kemudian dilengkapi dengan apa yang

dikaji dalam aksiologi. Karena aksiologi ini membahas tentang daya manfaat

dan daya guna dari bahasan tersebut, apakah memberi kemanfaatan dan

berguna ataukah tidak memberikan manfaat dan tidak berguna.

Membahas hakikat dari perlindungan hukum bagi konsumen akibat iklan

yang merugikan,maka peneliti akan menyajikan perlindungan konsumen dari

perspektif teori perlindungan hukum yang kemudian dihubungkan dengan

kajian filsafat yaitu dari perspektif ontologi, epistemologi dan aksiologi

sehingga akan dapat dirumuskan makna sebenarnya hakikat dari perlindungan

hukum bagi konsumen itu sendiri.


174

Perlindungan hukum bagi konsumen perspektif ontologi, dapat dilihat

bahwa ontologi, secara bahasa Yunani terdiri dari dua kata; on: being, dan

logos; Logic. Jadi ontologi ialah The theory of being qua being atau teori

tentang keberadaan. Berdasarkan ontologi aliran positivisme hukum bahwa

obyek yang dipelajari adalah norma-norma hukum.200 Jadi ontologi dari

perlindungan hukum bagi konsumen adalah sebagai keberadaan dalam

rumusan pengertian perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 1 angka 1

UUPK, perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin

adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan konsumen.

Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas, meliputi perlindungan

konsumen terhadap barang dan/atau jasa, yang berawal dari tahap kegiatan

untuk mendapatkan barang dan/atau jasa hingga sampai akibat-akibat dari

pemakaian barang dan/atau jasa tersebut.

Sebagaimana pendapat Az. Nasution berpendapat bahwa hukum

perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen yang memuat

asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan sifat yang melindungi

kepentingan konsumen, sedangkan hukum konsumen adalah hukum yang

mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain

berkaitan dengan barang dan jasa konsumen di dalam pergaulan hidup, artinya

bahwa hukum perlindungan konsumen sebagaimana teori perlindungan hukum

Fizgerald mengintegrasikan berbagai kepentingan baik konsumen, pelaku

usaha dan pihak-pihak lain yang berkepentingan .201 Ada yang berpendapat
200
Ibid, h. 46
201
Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta,
h.11.
175

bahwa perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen. Hal

ini dapat dilihat bahwa hukum konsumen memiliki skala yang lebih luas

karena hukum konsumen meliputi berbagai aspek hukum yang didalamnya

terdapat kepentingan pihak konsumen dan salah satu bagian dari hukum

konsumen ini adalah aspek perlindungannya, misalnya bagaimana cara

mempertahankan hak-hak konsumen terhadap gangguan pihak lain. Hal ini

sesuai dengan teori perlindungan hukum Satjipto Raharjo bahwa hukum dibuat

untuk memberikan penyoman hak-hak asasi manusia (HAM).

Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki

dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah yaitu diatur dalam UUPK.

Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak

konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Kepastian hukum untuk

memberi perlindungan kepada konsumen berupa perlindungan terhadap hak-

hak konsumen, yang diperkuat melalui Undang-Undang khusus, memberi

harapan agar pelaku usaha tidak bertindak sewenang-wenang yang dapat

merugikan hak-hak konsumen.202

Adapun hak-hak konsumen sesuai dengan Pasal 5 UUPK, Hak-hak

Konsumen adalah:

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi


barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;

202
Happy Susanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, h. 4
176

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.

Sedangkan Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang

Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah:

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian


atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.

Konsep perlindungan konsumen menyatakan bahwa kunci pokok

perlindungan konsumen adalah bahwa konsumen dan pengusaha (produsen

atau pengedar produk) saling membutuhkan. Produksi tidak ada artinya kalau

tidak ada yang mengkonsumsinya dan produk yang dikonsumsi secara aman

dan memuaskan, pada gilirannya akan merupakan promosi gratis bagi

pengusaha”203

Kajian perlindungan konsumen dari perspektif epistemologi, dimana

epistemologi adalah cara mendapatkan pengetahuan yang benar, karena

epistemologi itu adalah teori pengetahuan, tidak lain dan tidak bukan

merupakan kelanjutan yang tak terpisahkan dari ontologi seperti yang telah
203
Abdul Halim Barkatulah,2010, Hak-hak Konsumen, Nusa Media, Bandung, h. 47.
177

dijelaskan diatas, yaitu menjelaskan cara atau langkah-langkah Pada dasarnya

ketentuan perundang-undangan di Indonesia berkaitan dengan perlindungan

konsumen tidak mampu melindungi konsumen dalam kegiatan periklanan,

sehingga konsumen dirugikan oleh informasi iklan dari pelaku usaha.

Konsumen tidak terlindungi baik secara preventif maupun represif

sebagaimana teori perlindungan hukum yang dimaksudkan oleh Phillipus

Hadjon dimana :

1. Secara preventif: peraturan perundang-undangan yang ada khususnya

UUPK sebagai bentuk perlindungan konsumen belum bisa melindungi

konsumen yang dirugikan akibat informasi iklan dari pelaku usaha, hal

tersebut disebabkan oleh perumusan pasal-pasal dalam peraturan

perundang-undangan yang ada tidak jelas atau sumir.

2. Secara represif: penyelesaian sengketa yang diatur dalam UUPK tidak

konsisten apakah merupakan wewenang dari BPSK atau pengadilan,

sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi konsumen.

Berdasarkan uraian tersebut menurut Hans. W. Micklitz, dalam

perlindungan konsumen secara garis besar dapat ditempuh dengan cara 2 (dua)

model kebijakan204 yaitu:

1. Kebijakan Komplementer, suatu kebijakan yang mewajibkan pelaku

usaha untuk memberikan informasi yang memadai kepada konsumen

(hak atas informasi). Informasi yang harus didapatkan oleh konsumen

menurut Howard Beales adalah informasi tentang manfaat produk, efek

samping, tangga; kadaluwarsa, identitas produsen, kehalalan produk,


204
Sidarta, 2006, Op-Cit
178

komposisi yang telah teruji tidak membahayakan kesehatan dan kondisi

konsumen dikemudian hari. Informasi tersebut dapat disampaikan secara

lisan atau tertulis, baik dicantumkan pada label atau melalui media cetak

atau elektronik. Keterangan atau informasi yang diberikan oleh produsen

akan berdampak signifikan kepada produsen baik dampak positif atau

dampak negatif. Dampak positif yang terjadi adalah meningkatkan

kesetiaan dalam pemakaian produk dan hal tersebut secara otomatis akan

meningkatkan keuntungan untuk pelaku usaha, tetapi dampak negatif jika

informasi yang diberikan keliru baik sebagian atau seluruhnya maka

konsumen dapat menggugat jika terjadi kerugian dna secara otomatis

akan merugikan produsen.

2. Kebijakan Kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisi perlindungan

terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas kesehatan dan

keamanan). Hak tersebut dapat dijadikan sebagai titik tolak suatu

perlindungan terhadap konsumen karena kesehatan dan keamanan

merupakan hal yang sangat dilindungi. Berbagai kasus, konsumen tidak

cukup hanya dilindungi dengan kebijakan komplementer (pemberian

informasi) tetapi juga harus ditindak lanjuti dengan kebijakan

kompensatoris. Meminimalkan resiko dapat dilakukan misalnya dengan

mencegah beredarnya produk yang tidak lulus pengujian oleh lembaga

perizinan pemerintah, hal ini disebut kontrol pra-pasar, atau pencegahan

terhadap iklan suatu produk yang menyesatkan atau merugikan

konsumen.
179

Pengaturan dalam UUPK, sebenarnya juga terdapat prinsip-prinsip atau

asas-asas yang harus direalisasikan supaya konsumen mendapatkan

perlindungan, diantaranya adalah prinsip atau asas kemanfaatan, prinsip

keadilan, prinsip keseimbangan, prinsip keamanan dan keselamatan, serta

prinsip kepastian hukum, tetapi realisasi atau implementasi prinsip tersebut

belum maksimal.

Kajian perlindungan konsumen dari perspektif aksiologi melihat secara

bahasa aksiologi berasal dari perkataan Axios (bahasa Yunani) yang berarti

nilai, dan kata Logos yang berarti; teori, jadi aksiologi mengandung pengertian;

teori tentang nilai. Sementara secara umum aksiologi dapat diartikan sebagai

teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.

Oleh karena itu secara aksiologi atau teori nilai yang berkaitan dengan

kegunaan dari suatu pengetahuan yang didapat oleh manusia, dengan

sendirinya dapat dikategorikan akan memberi manfaat dan berguna ataukah

sebaliknya.

Berdasarkan kajian aksiologi perlindungan hukum bagi konsumen

mempunyai daya guna sebagaimana yang sudah dijelaskan bahwa

perlindungan konsumen diperuntukan untuk pemberian kepastian, keamanan

serta keseimbangan hukum antara produsen dan konsumen. Tujuan dibuatnya

perlindungan konsumen dapat dijelaskan dalam dalam Pasal 3 UUPK, yang

dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen


untuk melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
180

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,


dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggungjawab dalam berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Di Indonesia perlunya perlindungan terhadap konsumen, jelas termuat

dalam uraian pertimbangan konsiderans UUPK, yang dapat dirumuskan

sebagai berikut:

1. Perlindungan kepada konsumen berarti juga perlindungan terhadap


seluruh warga negara Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam
tujuan pembangunan nasional yang tercantum dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945.
2. Pelaksanaan pembangunan nasional membutuhkan manusia-manusia
yang sehat dan berkualitas, yang diperoleh melalui penyediaan kebutuhan
secara baik dan cukup. Oleh karena itu, konsumen perlu dilindungi untuk
mendapatkan kebutuhan yang baik dan cukup itu.
3. Modal dan pelaksanaan pembangunan nasional berasal dari masyarakat.
Karena itu, masyarakat konsumen perlu di dorong untuk berkonsumsi
secara rasional serta dilindungi dari kemungkinan timbulnya kerugian,
harta benda sebagai akibat dari perilaku curang pelaku usaha.
4. Perkembangan teknologi, khususnya teknologi manufaktur, mempunyai
dampak negatif berupa kemungkinan hadirnya produk-produk yang tidak
aman bagi konsumen. Dampak negatif ini kemudian dapat meluas
manakala perilaku pelaku usaha/produsen dalam penggunaan teknologi
itu tidak bertanggung jawab. Karena itu masyarakat konsumen perlu
dilindungi dari dampak negatif itu.
5. Kecenderungan untuk mencari untung yang tinggi secara ekonomis
ditambah dengan persaingan yang ketat di dalam berusaha dapat
mendorong sebagian pelaku usaha untuk bertindak curang dan tidak
jujur, yang akhirnya merugikan kepentingan konsumen. Karena itu
konsumen perlu dilindungi dari kemungkinan timbulnya kerugian
sebagai akibat dari perilaku curang tersebut.
6. Masyarakat konsumen perlu diperdayakan melalui pendidikan konsumen,
khususnya penanaman kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya
sebagai konsumen. Hal yang sama juga berlaku bagi pelaku usaha,
181

supaya pelaku usaha senantiasa memperhatikan sungguh-sungguh


dengan melaksanakan kewajibannya dengan baik

Perkembangan perlindungan terhadap konsumen, secara yuridis sering

dinyatakan bahwa antara pelaku usaha dan konsumen mempunyai kedudukan

yang sama akan tetapi fakta yang terjadi konsumen tetap menjadi pihak yang

selalu mengikuti aturan pelaku usaha, seperti banyak terjadi dalam dunia

periklanan dimana pelaku usaha hanya memberikan informasi tentang

keunggulan produk dan jarang sekali memberikan informasi tentang kelemahan

produk sehingga hal tersebut berimbas jika dikemudian hari terdapat kerugian

yang diderita oleh konsumen maka konsumen sendiri yang akan menanggung

akibatnya.

Berdasarkan analisa peneliti hakikat perlindungan hukum bagi konsumen

akibat iklan yang merugikan belum belum menyentuh secara holistik atau

keseluruhan terhadap hak-hak konsumen, untuk itu melakukan rekonstruksi

atau merevisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) menjadi

sangat urgen untuk dilakukan dengan harapan perlindungan hukum bagi

konsumen di masa yang akan datang dapat mencapai tujuan yaitu Undang-

undang tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dirumuskan dengan

mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional

termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap

konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya

yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar

negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945.


182

2.4.2. Perspektif Teori Perundang-undangan

Berdasarkan uraian hasil penelitian sebelumnya tentang hakikat

perlindungan hukum bagi konsumen akibat iklan yang merugikan dari kaca

mata filsafat baik ditinjau dari segi ontologi, epistemologi dan aksiologi

menunjukan bahwa posisi konsumen selalu lebih lemah jika dibandingkan

dengan pelaku usaha, maka sudah seharusnya posisi konsumen dilindungi oleh

hukum. Salah satu fungsi dan tujuan hukum adalah memberikan perlindungan

kepada masyarakat, sehingga dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya antara

hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang

hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasannya. Dengan adanya UUPK

beserta perangkat hukum lainnya, seharusnya konsumen memiliki hak dan

posisi yang seimbang dan mereka dapat menggugat atau menuntut jika ternyata

hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.

Mendasarkan pada Undang-Undang Dasar menyatakan Negara Indonesia

adalah negara hukum. Dengan sebutan sebagai negara hukum, Indonesia

memiliki aturan-aturan hukum yang berbentuk perundang- undangan. Bentuk

peraturan perundang-undangan ini berfungsi untuk mengatur masyarakat ke

arah yang lebih baik lagi. Dalam membentuk suatu peraturan perundang-

undangan, tentunya membutuhkan suatu konsep dalam rencana untuk

membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang baik. Peraturan


183

perundang-undangan yang baik yaitu suatu peraturan perundang-undangan

yang memiliki dasar atau landasan yang disebut dengan Grundnorm.

Bagi bangsa Indonesia, Grundnorm merupakan landasan bagi

pembentukan peraturan perundang- undangan. Grundnorm merupakan pondasi

bagi terbentuknya hukum yang memiliki keadilan. Pancasila merupakan

Grundnorm bagi bangsa Indonesia. Pancasila menjadi sumber dari segala

sumber hukum. Oleh sebab itu, jika pembentukan peraturan perundang-

undangan di Indonesia tidak sesuai dengan Pancasila, maka peraturan

perundang-undangan belum memiliki dasar yang kuat untuk diundangkan.

Dengan demikian, peraturan perundang-undangan belum memenuhi konsep

dalam pembentukan peraturan perundang- undangan yang ada.

Berdasarkan teori perundang-undangan pembentukan peraturan

perundang-undangan di Indonesia yang baik dan harus benar-benar sesuai

dengan norma dasar serta asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan. Dengan demikian, pembentukan peraturan perundang-undangan

akan membentuk hukum yang sesuai dengan cita hukum bangsa Indonesia.

yang mampu mengatur, menjaga dan melindungi seluruh masyarakat, bangsa

dan negara Indonesia. Termasuk di dalamnya memberikan perlindungan

hukum bagi konsumen.

Pembentukan peraturan perundang-undangan bertujuan untuk

membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang baik. Dalam menyusun

peraturan perundang-undangan yang baik menurut I.C. Van Der Vlies dan A.

Hamid S. Attamimi dibagi menjadi 2 (dua) klasifikasi, yaitu asas-asas yang


184

formal dan asas-asas yang material. Asas-asas yang formal meliputi: asas

tujuan yang jelas atau beginsel van duideleijke doelstelling; asas

organ/lembaga yang tepat atau beginsel van het juiste orgaan; asas perlunya

pengaturan atau het noodzakelijkheids beginsel; asas dapatnya dilaksanakan

atau het beginsel van uitvoerbaarheid; asas konsensus atau het beginsel van

consensus. Sedangkan asas-asas materiil antara lain meliputi: asas tentang

terminologi dan sistematika yang benar atau het beginsel van duidelijke

terminologi en duidelijke systematiek; asas tentang dapat dikenali atau het

beginsel van de kenbaarheid; asas perlakuan yang sama dalam hukum atau het

rechtsgelijk- heidsbeginsel; asas kepastian hukum atau het rechtszekerheids

beginsel; asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual atau het beginsel

van de individuele rechtbedeling.205

Pendapat Maria Farida diatas, jika dihubungkan pembagian atas asas

formal dan materiil yang sesuai dengan asas negara hukum di Indonesia, maka

pembagiannya dapat dikelompokkan. Maksud asas- asas formal meliputi asas

tujuan yang jelas, asas perlunya pengaturan, asas organ atau lembaga yang

tepat, asas materi muatan yang tepat, asas dapat dilaksanakan, dan asas dapat

dikenali. Sedangkan yang termasuk ke dalam asas-asas materiil yaitu, asas

sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara, asas

sesuai dengan hukum dasar negara, asas sesuai dengan prinsip negara

berdasarkan hukum, dan asas sesuai dengan prinsip pemerintahan berdasarkan

konstitusi.

Maria Farida Indrati Soeprapto, 2010, Ilmu Perundang- undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi
205

Muatan, Kanisius, Yogyakarta, h. 228


185

Berdasarkan uraian diatas dalam membentuk peraturan perundang-

undangan harus dilakukan berdasarkan asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik meliputi: kejelasan tujuan, kelembagaan atau

pejabat pembentuk yang tepat dan kesesuaian antara jenis, hierarki serta materi

muatan yang dapat dilaksanakan dan kedayagunaan serta kehasilgunaan,

kejelasan rumusan dan keterbukaan.

Di samping itu materi muatan yang dimuat dalam peraturan perundang-

undangan harus mencerminkan asas pengayoman, kemanusiaan dan

kebangsaan serta kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan

serta kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan

kepastian hukum serta keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Asas-asas pembentukan peraturan perundang- undangan diatas

mencerminkan bentuk peraturan perundang-undangan yang baik. Jika itu

diterapkan ke dalam suatu peraturan perundang-undangan, maka akan

terbentuk suatu peraturan perundang- undangan yang baik yang sesuai dengan

asas-asas yang sudah tercantum di dalam undang-undang tanpa meninggalkan

prinsip-prinsip keadilan.

Berangkat dari pemikiran dan upaya pemberdayaan konsumen melalui

pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen

dan dapat diterapkan secara efektif di dalam masyarakat sangat dibutuhkan.

Dengan pesatnya pembangunan dan perkembangan perekonomian nasional

yang menghasilkan variasi produk barang dan/jasa yang dikonsumsi dan

dimanfaatkan, memperluas ruang gerak transaksi barang dan/jasa hingga


186

melintasi batas-batas wilayah suatu negara. Konsumen menjadi obyek dari

aktivitas bisnis dari pelaku usaha melalui iklan, promosi, cara penjualan dan

penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Hal ini disebabkan

kurangnya pendidikan konsumen dan rendahnya kesadaran akan hak dan

kewajiban konsumen.

Berdasarkan analisa kedudukan konsumen pada umumnya masih lemah

dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan daya tawar, oleh karena itu sangat

dibutuhkan adanya undang-undang yang dapat melindungi kepentingan

konsumen yang selama ini masih kurang diperhatikan. Upaya perlindungan dan

pemberdayaan terhadap konsumen telah diwujudkan dengan lahirnya UUPK,

dimana upaya ini merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, dan

masyarakat yang diselenggarakan berdasarkan asas-asas yang relevan dengan

asas pembangunan nasional. Dengan demikian diharapkan masyarakat

konsumen yang dirugikan akan merasa terlindungi. Ini penting karena hukum

yang memiliki kekuatan untuk memaksa pelaku usaha untuk menaatinya, dan

hukum juga memiliki sanksi yang tegas. Namun posisi konsumen sebagai

pihak yang lemah juga diakui secara internasional sebagaimana tercermin

dalam Resolusi Majelis Umum PBB No.A/RES/39/248 Tahun 1985 tentang

Guidelines for Consumer Protection 1985 yang menyatakan bahwa :

“Taking into account the interest and needs of consumers in all


countries, particularly those indeveloping countries, recognizing that
consumers often face imbalance in economics terms, educational levels,
and bargaining power, and bearing in mind that consumers should have
the right of access to non- hazard-out products, as well as the right to
promote just, equitable and sustainable economic and social
development.”
187

Guidelines for Consumer Protection of 1985, menghendaki agar

konsumen di manapun mereka berada, dari segala bangsa mempunyai hak-hak

dasar tertentu, terlepas dari status sosialnya. Hak dasar tersebut adalah hak

untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar dan jujur, hak untuk

mendapatkan keamanan dan keselamatan, hak untuk memilih, hak untuk

didengar, hak untuk mendapatkan ganti rugi, hak untuk mendapatkan

kebutuhan dasar manusia, hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan

bersih serta kewajiban untuk menjaga lingkungan itu, dan hak untuk

mendapatkan pendidikan dasar. PBB menghimbau seluruh anggotanya untuk

memberlakukan hak-hak konsumen tersebut di negaranya masing-masing.

Sejak dinyatakan berlaku UUPK, yaitu mulai berlaku mulai tanggal 20

April 2000 sampai sekarang. UUPK ternyata masih menghadapi berbagai

kelemahan yang disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa faktor tersebut

diantaranya adalah kekeliruan, kekurangan dan kelemahan pengaturan di dalam

UUPK sendiri yaitu berkaitan dengan (1) gramatika Undang-Undang, (2)

sistematika Undang- Undang, (3) tanggung jawab pelaku usaha, (4)

penyelesaian sengketa konsumen dan (5) kelembagaan. Berdasarkan beberapa

faktor tersebut diatas, maka sangat perlu adanya perubahan-perubahan dengan

tujuan untuk menyempurnakan atau merevisi UUPK, agar sesuai dengan tujuan

awal dibentuknya undang-undang ini yaitu melindungi konsumen di Indonesia.

Hukum perlindungan konsumen selalu berhubungan dan berinteraksi

dengan berbagai bidang dan cabang hukum lain, karena pada tiap bidang dan

cabang hukum itu senantiasa terdapat pihak yang berpredikat” konsumen”.


188

Oleh karena itu ruang lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi

hanya dengan menampungnya dalam satu jenis undang-undang seperti UUPK.

Berkaitan dengan pengertian tersebut dapat disimpulkan beberapa pokok

pemikiran :

1. Hukum konsumen memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan

hukum perlindungan konsumen.

2. Subyek yang terlibat dalam perlindungan konsumen adalah masyarakat

selaku konsumen dan pelaku usaha atau pihak-pihak yang terkait, misalnya

distributor, media cetak, televisi, agen atau biro iklan, Yayasan Lembaga

Konsumen Indonesia, BPOM dan sebagainya.

3. Obyek yang diatur adalah barang, dan/atau jasa yang ditawarkan oleh

pelaku usaha/produsen kepada konsumen.

4. Ketidaksetaraan kedudukan konsumen dengan pelaku usaha mengakibatkan

pemerintah mengeluarkan kaidah-kaidah hukum yang dapat

menjamin dan melindungi konsumen.

Piranti hukum yang melindungi konsumen harus bertujuan untuk tidak

dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru

sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang

sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi

persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Di

samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen kedepan dalam

pelaksanaannya harus tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha


189

kecil dan mencegah. Hal itu dilakukan melalui upaya pembinaan dan

penerapan sanksi atas pelanggarannya.

Pemberian perlindungan kepada konsumen juga bertujuan untuk menjaga

eksistensi konsumen itu sendiri sebagai suatu potensi di dalam pembangunan

ekonomi, yang berarti melindungi konsumen adalah sama artinya dengan

menjaga kelangsungan produksi. Artinya selain aspek sosial ekonominya,

perlindungan konsumen juga memuat aspek pembangunan, yang esensi dari

ketentuan yang diharapkan untuk melindungi konsumen tersebut merupakan

tujuan demi kesejahteraan dari hasil pembangunan ekonomi. Sesungguhnya

kedudukan masyarakat sebagai konsumen adalah tidak mungkin ditanggalkan,

jika masalah perlindungan konsumen yang jelas-jelas menyangkut hajat hidup

orang banyak kurang mendapat perhatian adalah suatu hal yang sungguh

mengherankan.

Seiring dengan fungsi negara sebagai penyelenggara kesejahteraan

umum, maka dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen, pemerintah

memegang peranan sentral, yaitu bahwa pemerintah harus dapat mengusahakan

terwujudnya perlindungan terhadap kepentingan konsumen dengan baik

melalui penciptaan iklim yang kondusif baik, terpenuhinya hak-hak konsumen

baik melalui pembuatan peraturan-peraturan yang baik dan melaksanakan

peraturan tersebut sebaik-baiknya sebagai fungsi penegakan hukum. Dan

jangan sampai ada kesan bahwa mematuhi hukum yang berlaku malah

mendatangkan kerugian dan sebaliknya lebih menguntungkan kalau bertindak

melawan hukum.
190

Memperhatikan dan mengelaborasi dari ide dasar Negara Hukum

Kesejahteraan Pancasila sebagaimana yang dikonseptualisasikan dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan ide

normatif pengaturan perlindungan konsumen dalam UUPK maka harus dapat

dipahami bahwa ketiadaan asas-asas Pancasila berakibat suatu ketentuan dalam

suatu peraturan menjadi kehilangan makna hakikat atau bahkan filosofisnya.

Berdasar teori perundang-undangan, pembentukan perundang-undangan

yang baik harus berpedoman pada Staatfundamentalnorm yaitu Pancasila.

Dasar dari pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut mengadopsi

prinsip dan nilai-nilai Pancasila guna terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat

Indonesia yaitu perlindungan Hak Asasi Manusia dalam memperoleh keadilan.

Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari konsep

politik hukum berada dalam ruang lingkup nilai. Nilai tidak dapat dipisahkan

dalam pembentukan peraturan perundang- undangan. Nilai-nilai yang berasal

dari aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum, dan sebagainya saling

berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya dan merupakan satu

kesatuan dalam membentuk perundang-undangan. Dalam negara hukum,

konsep yang tepat adalah mengedepankan hak asasi manusia. Pembentukan

peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan konsep negara hukum

Pancasila yang mencerminkan prinsip-prinsip keadilan yang di dalamnya

menganut perlindungan HAM salah satunya adalah hak konsumen untuk

mendapatkan perlindungan secara hukum melalui pengaturan dalam produk

perundang-undangan. Pancasila mempunyai perbedaan dengan norma dasar


191

yang lainnya yaitu Pancasila menganut prinsip non sekuler dalam menciptakan

kepastian, keadilan, dan manfaat.

Hak Asasi Manusia tercermin dari sila ke-2 yaitu kemanusiaan yang adil

dan beradab dan sila ke-5 mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Memanusiakan manusia sebagai makhluk yang beradab sebagai

manusia dan memberikan keadilan seluas-luasnya bagi manusia dalam

perlindungan hak dan kewajibannya yang dilakukan oleh negara. Pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik harus mengedepankan persamaan di

hadapan hukum sesuai dengan asas equality before the law. Persamaan di

hadapan hukum merupakan hak bagi manusia dalam memperoleh keadilan

hukum. Hukum tidak memandang strata sosial seseorang di dalam hukum,

akan tetapi hukum harus memberikan persamaan bagi semua manusia dalam

memperoleh keadilan.

Pembentukan peraturan perundang-undangan tentunya harus

mengedepankan persamaan di hadapan hukum karena hukum dibentuk untuk

melindungi manusia dari kesewenang- wenangan sehingga dalam proses

perlindungannya, hukum tidak memandang kondisi strata sosial seseorang

dalam memperoleh perlindungan hukum. Pembentukan peraturan

perundang-undangan jika mengedepankan asas equality before the law akan

mewujudkan peraturan perundang-undangan yang mampu melindungi seluruh

rakyat Indonesia dalam memperoleh perlindungan hukum termasuk

perlindungan dalam memperoleh keadilan akibat iklan yang merugikan bagi

konsumen.
192
BAB III

KONSEP PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN

AKIBAT IKLAN YANG MERUGIKAN BERBASIS NILAI KEADILAN

Pada bab ini peneliti akan membahas tentang bagaimana konsep

perlindungan hukum konsumen akibat iklan yang merugikan berbasis nilai

keadilan dengan terlebih dahulu menggambarkan perlindungan hukum terhadap

konsumen di beberapa negara sebagai perbandingan hukum perlindungan

konsumen. Kemudian akan diuraikan dasar-dasar pertanggungjawaban pelaku

usaha didukung teori pertanggungjawaban dan teori keadilan yang hendak

digunakan sebagai upaya untuk merumuskan konsep perlindungan hukum

konsumen akibat iklan yang merugikan berbasis nilai keadilan.

3.1. Perbandingan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Beberapa

Negara

3.1.1. Perlindungan Konsumen di Australia

Di Australia undang-undang yang terkait dengan perlindungan konsumen

terhadap iklan menyesatkan diatur dalam Trade Practices Act (TPA) dan

pelaksana dari ketentuan ini adalah Australian Competition and Consumer

Commission (ACCC). Dalam kaitannya dengan hal ini ACCC kerap kali

menganjurkan keterbukaan informasi pada beberapa bidang.206

Di dalam TPA terdapat beberapa ketentuan yang bertujuan memastikan

agar konsumen memperhatikan semua fakta material, seperti:207

Adrian Sutedi, Op. cit, h. 179.


206

Loc. cit.
207

193
194

1. Section 33 mensyaratkan semua periklanan menspesifikasikan mengenai


keadaan suatu produk;
2. Section 65D dan 65E, dalam ketentuan Menteri Urusan Konsumen
(minister for consumer affair) dapat menjabarkan standar informasi
produk;
3. Section 75 AC (2), yang menyatakan bahwa berkaitan dengan penentuan
keselamatan dalam barang dan jasa maka tiap perintah memperingatkan
hal ini.

ACCC secara konsisten pula telah menyiapkan ketentuan lebih lanjut

mengenai informasi yang lebih baik bagi konsumen, hal ini mengingat semakin

banyaknya kesalahan dalam iklan dan produk yang menyesatkan. Dalam

kaitannya dengan ini pula ACCC memerintah pemerintah yang baru sekarang

melakukan reformasi terhadap perundang-undangan yang ada.208 Australia juga

mengenai ketentuan tentang iklan perbaikan (corrective adverting), yang telah

dipergunakan beberapa negara dalam melindungi konsumen periklanan,

misalnya Australia dalam Northern Territory Of Australia Food Act 2005,

Section 128, Court may order corrective advertising:209

"On finding a person guilty of committing an offence against this act or the
regulations, the court may make one or both of the following orders:
a. An order requiring the offender to disclose in a particular manner to
the public, to a particular person or to a particular class of person
specified information of a specified class which the offender possesses
or to which the offender has access
b. An order requiring the offender to publish advertisement at his or her
own expense and the manner, at the times and in the terms specified in
the order.”

Ketentuan yang sama juga dapat ditemukan pada South Australia Food Act

Loc. cit, h.179-180.


208

Dedi Heriyanto, Op. cit, h. 236-237.


209
195

2001, Section 107, Court any order corrective advertising:210

"A court by which a person is convicted ef an offence under part 2, make one
or both following orders:
a. An order requiring the convicted person to disclose in a particular
manner to the public, to a particular person or to a particular class ef
person specified information, or information of specified kind, which the
convicted person possesses or to which the convicted person has access
b. An orders requiring the convicted person to publish, at his or her own
expense, in manner and at times specified in the order, advertisements
the terms Of which are specified in the order.

3.1.2. Perlindungan Konsumen di Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE)

Masyarakat Eropa menempuh melalui dua tahap program terkait dengan

gerakan perlindungan konsumen, yaitu program pertama pada tahun 1937 dan

program kedua pada tahun 1981.211 Fokus program pertama, terkait dengan

kecurangan produsen terhadap konsumen, seperti: kontrak standard, ketentuan

perkreditan, penjualan yang bersifat memaksa, kerugian akibat mengkonsumsi

produk cacat, praktik iklan yang menyesatkan, serta jaminan setelah pemberian

produk. Fokus program kedua, terkait dengan penekanan kembali hak-hak dasar

konsumen yang kemudian dilanjutkan dengan mengeluarkan tiga kerangka

acuan perlindungan konsumen. (1) Produk yang dipasarkan harus memenuhi

standar keamanan dan kesehatan konsumen. (2) Konsumen harus dapat

menikmati keuntungan dari pasar bersama dengan masyarakat Eropa. (3)

Kepentingan konsumen harus selalu diperhitungkan dalam setiap kebijakan-

kebijakan yang dikeluarkan Masyarakat Eropa.212

Berdasarkan perkembangan pada tahun 1965 "hak-hak retorik" (right

210
Loc. cit, h.237.
211
Zulham, Op. cit, h. 31.
212
Loc. cit.
196

rhetoric) konsumen mengalami perubahan sejalan dengan perubahan keadaan

konsumen. Perubahan yang terjadi pada tahun 1965 merupakan perkembangan

kejadian tahun 1962 dimana Presiden Kennedy menyampaikan pesannya dalam

Kongres Gabungan negara-negara Bagian dan telah tercatat 4 hak-hak

konsumen, yang sejak saat itu dilakukan secara konsisten oleh negara bagian di

Amerika Serikat. Keempat hak-hak tersebut akhirnya dimuat dalam program

konsumen yang pertama dalam European Community (EC) pada tahun 1975.

Program tersebut menyatakan:

"Konsumen tidak selamanya hanya dilihat sebagai seorang pembeli dan


pengguna barang/jasa kepada orang, keluarga atau kelompok tertentu tapi
juga merupakan perhatian orang yang berhubungan dengan berbagai segi
dalam masyarakat yang mungkin mempengaruhinya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, sebagai konsumen. Kepentingan konsumen dapat
ditambahkan dalam pernyataan lima dasar
1) hak untut memperoleh perlindungan atas kesehatan dan keselamatan,
2) hak untuk memperoleh perlindungan atas kepentingan ekonomi,
3) hak atas ganti rugi,
4) hak atas informasi dan pendidikan,
5) hak atas perwakilan (hak untuk didengar).213

European Community benar-benar menyerahkan hak-haknya apabila

terdapat hal-hal yang kurang baik dalam pasar dan hak-hak atas

keseimbangannya di mana tindakannya menimbulkan kerugian konsumen.

Dokumen tersebut berbunyi: "Ketika kondisi pasar berubah, keseimbangan

antara supplier dan pelanggan dibebankan kepada supplier". Oleh karena itu,

hukum dan kebijakan perlindungan konsumen memerlukan kompensasi yang

seimbang. Program pertama telah mencantumkan sejumlah prinsip dan prioritas

yang digunakan untuk melindungi kepentingan ekonomi konsumen, misalnya:

1. Pembeli barang dan jasa harus dilindungi terhadap penjual yang


Adrian Sutedi, Op. cit, h. 184-185.
213
197

menyalahgunakan kekuasaannya atas ketidak patuhan di dalam membuat

standar kontrak, kecurangan mengenai hak-hak esensi kontrak, penerapan

istilah kredit yang kaku (tidak luwes), barang-barang yang dibayar bukan

barang yang dimaksudkan/dipesankan/diminta, pembeli dalam melakukan

pembelian barang mengalami tekanan/paksaan;

2. Konsumen harus mendapat perlindungan atas kerusakan barang dalam

memperoleh kepentingan ekonominya yang disebabkan oleh

cacat/rusaknya produk atau ketidak puasan atas jasa yang diperoleh

konsumen;

3. Tidak ada bentuk iklan yang dapat menyesatkan pembeli atas produk/jasa

yang dibelinya;

4. Konsumen berhak memperoleh pelayanan setelah masa penjualan barang-

barang dalam tenggang waktu yang cukup lama termasuk perbaikan atas

barang-barangnya.

Kesungguhan program ini ditetapkan karena adanya perilaku fungsi sistem

pasar yang luar biasa, yang diikuti oleh "kecondongan berbelanja" sehingga

perlu dilakukan langkah antisipasinya oleh Community. Pada saat ini hal tersebut

memang mencukupi untuk menyebutkan beberapa hal, yakni keseimbangan

kondisi umum mengenai kredit konsumen dengan mengambil ukuran pada

kesalahan pengiklanan atau pengiklanan yang menyesatkan, mengupayakan

perlindungan konsumen dari kecurangan praktik perdagangan. Beberapa bidang

praktik perdagangan meliputi istilah kontrak, kondisi dan jaminannya, serta

penjualan barang dari rumah ke rumah.214


Loc. cit, h. 185-186.
214
198

EEC kemudian di amandemen dalam The Single Act of 1987 yang

merupakan gambaran dari hasil kebijakan konsumen European. Keutamaan

mengenai The Single Act merupakan petunjuk yang dihadapkan pada adanya

suatu "integrasi negatif' (negative integration). Kebebasan dasar Community

telah memperkuat usaha perlindungan 'penyaluran barang dan jasa secara bebas.

Padahal hal ini tidak mungkin dikarenakan adanya pembatasan negara anggota

yang benar-benar berkesinambungan dan karena Community telah

memperkirakannya dengan suatu perundang-undangan yang memfasilitasi

kebebasan penyaluran barang di negara anggota. Jika dengan benar dapat

menafsirkan kesejahteraan terhadap analisis Commission yang merupakan

kebijakan utama institusi Community, maka masalah ini seharusnya dapat

mempertinggi kekuasaan konsumen dengan menciptakan kesempatan yang

diupayakan pilihan individu. Kebijakan konsumen ini terlihat sebagai

"kesempurnaan pasar" (market complementary). Fungsi efisien pasar internal

telah mengorelasikannya dalam upaya untuk memperbaiki kepentingan

konsumen.215

Ketentuan dalam Hukum Perdata Internasional, merupakan suatu

ketentuan yang digunakan dalam upaya melindungi konsumen di MEE. Hukum

Perdata Internasional adalah suatu lembaga hukum nasional, legislasi, tradisi,

dan praktik peradilan yang menentukan apakah suatu hukum dapat diterapkan

dalam hal mana ketentuan hukum itu melibatkan ketentuan hukum dari 2 atau

lebih negara. Dengan mengakui adanya perlindungan kepentingan ekonomi

konsumen, harus mengikuti situasi perlunya hukum itu dibuat untuk menentukan
Loc. cit, h. 188
215
199

apakah hukum yang di terapkan itu memiliki pertentangan hukum, seperti uraian

berikut:

1. Kontrak yang dibuat dalam suatu transaksi antara supplier yang terletak

pada suatu negara dan konsumen yang ada di negara lain. Pasar internal

secara eksplisit telah mendorong tipe transaksi ini dengan menekankan

kepada kebebasan bergerak keluar masuknya barang/jasa

2. Konsumen yang tinggal dalam satu negara anggota European Community

(EC) dapat dimasukkan ke dalam kontrak di negara anggota EC yang lain

untuk memperoleh kepuasannya, misalnya sebagai seorang wisatawan,

investor juga penelitian atau perawatan kesehatannya. Transaksi ini juga

tergolong kepada ambit dari kebebasan bergerak keluar masuknya orang-

orang berdasarkan prinsip pasal 8a dari amandemen EC Treaty.

3. Pesan-pesan periklanan yang dilakukan dari suatu negara anggota EC ke

negara anggota EC lain, misalnya melalui televisi dan email. Mereka tidak

hanya melakukan transaksi lintas batas, tetapi juga kecurangan-kecurangan,

yang secara efektif harus dikendalikan.

Hukum Perdata Internasional telah mengembangkan peraturan-peraturan

dengan melakukan koordinasi dari kemungkinan sistem hukum yang berbeda.

Mereka tidak memiliki tujuan atas substantif tingkat perlindungan kepentingan

konsumen, tetapi lebih kepada suatu kompromi antara perbedaan prinsip dari

hukum applicable yang dipilihnya. Hukum Community telah menjadikannya

lebih penting di dalam menyelesaikan konflik pengaturan hukum dari hukum

yang dimiliki negara anggota EC.


200

Mencermati perkembangan perlindungan konsumen di berbagai negara,

perhatian terhadap konsumen di Indonesia tidak sepesat dengan negara-negara

yang lain, khususnya dalam bidang periklanan di Amerika ketentuan khusus

mengenai periklanan sudah dikenal sejak dulu, di Indonesia sampai sekarang

belum ada ketentuan dalam perundang-undangan secara khusus yang mengatur

tentang iklan.

Perlindungan konsumen di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara

tersebut diatas, konsumen di Indonesia masih kurang mendapatkan perhatian

khususnya menyangkut kegiatan periklanan. Amerika misalnya telah memiliki

badan khusus yang menangani masalah periklanan yang dikenal dengan Federal

Trade Commotion, badan ini selain melakukan pengawasan terhadap kegiatan

periklanan, tapi juga mengadakan gugatan terhadap pelaku usaha jika iklan yang

disampaikan merugikan konsumen. Demikian pula halnya dengan Australia serta

MEE yang menjadikan iklan sebagai fokus utama dalam melindungi konsumen

dari praktik iklan menyesatkan.

3.1.3. Perlindungan Konsumen di Amerika Serikat

Perlindungan konsumen di Amerika telah mendapatkan perhatian serius

dari pemerintah sejak lama, dan memiliki perkembangan dari abad ke abad.

Tahun 1891 merupakan masa penting dalam sejarah perlindungan konsumen di

Amerika, karena pada tahun 1891 Liga Konsumen di Amerika Serikat didirikan

untuk pertama kali di kota New York. Keberadaan liga konsumen demikian

ternyata dinilai positif untuk mempromosikan hak-hak konsumen sehingga pada

1898 muncul Liga Konsumen Nasional (The National Consumer's League).


201

Menjelang akhir abad ke-19, gerakan perlindungan konsumen di Amerika

Serikat semakin menghadapi banyak tantangan. Hal ini terjadi karena jumlah

produsen mulai banyak dan produknya membanjiri pasaran sehingga persaingan

dagang juga makin ketat. Distribusi barang juga mulai lancar mencapai pelosok

negeri karena didukung oleh pembangunan transportasi kereta api, demikian

pula dengan pemanfaatan iklan untuk memasarkan produk atau jasa tertentu,

juga mulai meluas digunakan. Industri yang mengolah hasil-hasil pertanian juga

mengalami gelombang pasang karena meningkatnya hasil panen.

Pelanggaran dalam periklanan juga mencapai tingkat yang

memprihatinkan saat itu, semua ini mendorong pemerintah Federal Amerika

Serikat mengeluarkan suatu peraturan tentang praktik periklanan, yang disebut

The 1914 Federal Trade Commission Act. Undang-undang ini melarang metode-

metode persaingan yang tidak jujur dalam perdagangan. Untuk mengawasi

jalannya undang-undang ini dibentuk badan khusus yang diberi nama The

Federal Trade Commission (FTC).

Perlindungan konsumen terhadap iklan menyesatkan telah dilakukan di

beberapa negara. Di Amerika Serikat instrumen hukum yang terkait dengan

perlindungan konsumen terhadap iklan menyesatkan tersebar secara parsial

dalam beberapa perundang-undangan federal dan negara bagian. Pada tingkat

negara bagian terdapat 28 negara bagian yang dalam undang-undang

perlindungan konsumen yang mengatur mengenai pelarangan terhadap iklan

menyesatkan, diantaranya adalah Massachusetts, New Hampshire, New Mexico,

Missouri, Kentucky, Iowa, Arizona, dan beberapa negara bagian lainnya.216


Adrian Sutedi, Op. cit, h. 178.
216
202

Di Amerika Serikat untuk mengukur kebenaran klaim yang disampaikan

pelaku usaha melalui iklan perbandingan (comparative advertising), pengadilan

mempergunakan 3 (tiga) kriteria :

1. Serangkaian percobaan yang dilakukan untuk membuktikan kemampuan


produk yang diperbandingkan, harus memperhatikan kondisi sebenarnya
pada saat konsumen mempergunakan produk yang bersangkutan;
2. Untuk menghindarkan terjadinya bias terhadap hasil percobaan, The
Lanham Act mensyaratkan agar pihak yang melakukan serangkaian
percobaan tersebut adalah pihak yang netral, tidak mempunyai kaitan sama
sekali dengan produk yang di uji coba, serta tidak mengetahui identitas
objek percobaan, produsen penghasil produk, bahkan pihak yang menjadi
sponsor percobaan tersebut;
3. Metode statistik yang dipergunakan harus dapat menunjukkan perbedaan
aktual dari performa setiap produk yang di uji coba, sehingga dapat terlihat
perbedaannya secara nyata.217

Di samping hal tersebut terdapat beberapa perundang-undangan lain yang

terkait dengan perlindungan konsumen terhadap iklan menyesatkan, termasuk

beberapa perundangan-undangan tingkat federal, seperti:

1. Uniform Deceptive Trade Practice Act (UDTPA);

2. Lanham Act;

3. Federal Trade Commission Improvement Act 1980;

2. Federal Trade Commission Act (FTCA);

3. The Magnuson-Moss Warranty Act;

4. The Wheeler Lea Act.

Mengingat iklan secara umum diarahkan bagi publik, maka sudah

sepatutnya pemerintah membentuk beberapa lembaga untuk melindungi publik

dari iklan yang tidak tepat. Pengaturan terhadap iklan pada tingkat federal di

Dedi Herianto, Op. cit, h.30-71.


217
203

Amerika Serikat merupakan kewenangan FTC dan FDA (food and drug

administration), sedangkan peraturan pada tingkat negara bagian biasanya

merupakan kewenangan dari jaksa agung negara bagian.

Berdasarkan wewenang yang diatur dalam FTCA, FTC memiliki

kewenangan untuk melakukan pengawasan melalui pengaturan terhadap iklan

menyesatkan. Hal lain yang juga menjadi kewenangan FTC dalam hal ini adalah

untuk memeriksa suatu iklan dan melakukan gugatan perdata terhadap perilaku

tersebut dalam iklan. Hal ini juga sebagaimana wewenang yang diberikan

berdasarkan The Magnuson-Moss Warranty Act.218

Di Amerika Serikat sendiri, FTC telah mengenakan iklan perbaikan

sebagai salah satu bentuk sanksi administrasi bagi pelanggaran ketentuan

periklanan. Hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa bentuk sanksi FTC,

berikut ini:219

a. Perintah penarikan yang disetujui (consent decrees)

Merupakan perintah yang dikeluarkan FTC dan pengiklan memberikan

persetujuan untuk menghentikan iklan tersebut.

b. Perintah penghentian (cease and desist orders)

Merupakan suatu perintah hukum yang memerintahkan pengiklan untuk

menghentikan kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum.

c. Ganti rugi benda (restitution)

Konsumen mendapatkan ganti kerugian atas setiap kerusakan yang

ditimbulkan.

Adrian Sutedi, Op. cit, h.179.


218

Dedi Heriyanto, Op. cit, h.237.


219
204

d. Pernyataan tambahan (affirmative disclosures)

Bila iklan tidak menginformasikan secara cukup jelas kepada konsumen

maka pernyataan tambahan harus dikeluarkan.

e. Iklan perbaikan (corrective advertising)

Beberapa kasus yang ditangani FTC, dapat ditemukan pengenaan sanksi

administrasi berupa iklan perbaikan yaitu dalam kasus FTC vs. Ford Motor

Co. Kasus ini bermula dari tayangan iklan mobil Ford Taurus dan

beberapa produk mobil Ford lainnya yang dipromosikan memiliki

kelebihan dapat mempergunakan bahan bakar alternatif, yaitu bahan bakar

yang merupakan hasil percampuran antara 85% etanol dan 1 5% bensin

tanpa timbal. Dengan mempergunakan bahan bakar campuran ini (E85),

Ford mengklaim mobil-mobil produksinya mengkonsumsi bahan bakar

50% lebih irit dibandingkan dengan mempergunakan bahan bakar

konvensional. Tetapi sayangnya, dalam tayangan iklan produk mobil Ford

tersebut, perusahaan itu tidak pernah memberitahukan konsumen bahwa

ketersediaan bahan bakar campuran tersebut (E85) masih sangat sedikit.

Dari 176000 stasiun pengisian bahan bakar di seluruh negara hanya 676

stasiun pengisian bahan yang menyediakan bahan bakar campuran ini

(E85) sehingga dapat dipastikan konsumen yang membeli mobil Ford

tersebut tidak dapat mempergunakan bahan bakar alternatif tersebut

sebagai bahan bakar kendaraannya.220 Berkenaan dengan tayangan mobil

Ford tersebut FTC kemudian menetapkan Ford Motor Co, telah melanggar

The Federal Trade Commission Act dengan melakukan penyesatan


Loc. cit, h. 238.
220
205

terhadap konsumen, dan memerintahkan perusahaan mobil Ford tersebut

untuk menjalankan iklan perbaikan kepada konsumen.

Sebagaimana perkembangan dalam kasus yang lain, antara FTC vs.

Norvatis Corp. FTC telah memerintahkan pelaku usaha yang memasarkan

Doan's Pills untuk menjalankan iklan perbaikan (corrective advertising), karena

telah menayangkan iklan yang memuat klaim berlebihan dengan menyatakan

produk obat yang dipasarkannya lebih manjur dalam menyembuhkan nyeri

punggung dibandingkan produk obat dari perusahaan lain, tanpa didukung oleh

adanya pembuktian.

Pada era tahun 1960-an juga tercatat beberapa kejadian penting yang

menandai sejarah gerakan perlindungan konsumen Amerika Serikat. Dalam hal

ini, negeri Paman Sam cukup beruntung karena gerakan perlindungan konsumen

mendapat dukungan pada tingkat suprastruktur politik. Ini terjadi pada 15 Maret

1962 tatkala Presiden John F. Kennedy mengucapkan pidato kenegaraan di

hadapan Kongres Amerika Serikat berjudul "A Special Message of Protection

the Consumer Interest". Kennedy mengemukakan empat hak konsumen seperti

berikut ini:221

1. the right to safety;

2. the right to be informed;

3. the right to choose;

4. the right to be heard.

Pengganti Kennedy, Presiden LB. Johnson pada 5 Februari 1964,

mengingatkan kembali tentang empat hak diatas. la kemudian juga


Shidarta, Op. cit, h. 44-45.
221
206

memperkenalkan konsep hukum yang baru berkenaan dengan perlindungan

konsumen, yang sekarang lazim disebut dengan product warranty dan product

liability. Presiden Johnson juga dinilai cukup berjasa karena pada 21 Maret 1966

berhasil mengajukan rancangan undang-undang tentang "lending charges" dan

"packaging practices", yang kemudian disetujui oleh Kongres pada 1967 dan

1968.222

Pada 6 Februari 1968 Presiden Johnson menegaskan kembali empat hak

konsumen dan menetapkannya sebagai program baru kepemimpinannya untuk

tahun itu. Program ini menurutnya, tidak sekadar program partai, bisnis, atau

perburuhan, tetapi program untuk semua warga Amerika Serikat yang berjumlah

sekitar 200 juta jiwa.

Presiden Nixon, Oktober 1969 mengirim pesan kepada kongres berkenaan

dengan perlindungan konsumen seraya mengatakan, "Consumerism... is a

healthy development that is to here to stay". Selanjutnya ia memperinci hak-hak

konsumen sebagai berikut:223

1. the right to make intelligent choice among product and services;


2. the right to accurate information;
3. the right to expect that sellers have considered the health and safety of the
buyer;
4. the right to register his dissatisfaction and have his complain heard and
weighed.
Pada 1971, berkumpul sebanyak 200 tokoh terkemuka di bidang bisnis dan

pendidikan di Amerika Serikat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut the

Committee for Economic Development. Panitia ini mengeluarkan suatu laporan

yang berjudul Responsibilities of Business Corporations. Ada lima tujuan yang

222
Loc cit, h. 44.
223
Loc. cit, h. 45-46.
207

ditetapkan dalam laporan itu, seperti berikut ini:.

1. Elimination of poverty and provision of good health care;


2. Equal opportunity for each person to realize his full potential regardless of
care, sex, or creed;
3. Education and training for a fully productive and rewarding participation
in modern society;
4. Ample Job and career opportunities in all parts of society;
5. Livable communities with decent housing, safe streets a clean and pleasant
environment, efficient transportation, good cultural and educational
opportunities.

Pada tahun 1971 juga, komunitas periklanan di Amerika Serikat telah

membentuk The National Advertising Division (NAD) dari The Council Better

Business Bureaus, sebagai suatu organisasi yang bertanggung jawab untuk

menetapkan standar industri periklanan, dan meminimalkan campur tangan

pemerintah terhadap iklan. NAD juga menetapkan prosedur bagi konsumen dan

pelaku usaha (sebagai kompetitor suatu produk) untuk mengajukan keberatan

terhadap suatu iklan, namun iklan yang diajukan keberatannya tersebut haruslah

iklan nasional (peredaran iklan tersebut untuk konsumsi pasar Amerika

Serikat).224 Keanggotaan NAD terdiri atas para pengacara yang selalu melakukan

peninjauan terhadap penerapan aturan hukum, serta menciptakan suatu standar

periklanan yang dikenal sebagai The Better Business Bureau Code of

Advertising.

Pengiklan mempergunakan the better business bureau code of advertising

ini sebagai panduan untuk mempersiapkan iklan-iklannya serta guna

menghindarkan pemberlakuan ketentuan-ketentuan hukum yang dibuat

pemerintah. Apabila NAD menemukan iklan-iklan bermasalah, maka NAD akan

Dedi Herianto, Op. cit.


224
208

menghubungi pengiklan serta mempertanyakan substansi dari klaim yang dibuat,

atau menyarankan dilakukannya perubahan terhadap iklan bermasalah tersebut.

Dari saat pembentukannya NAD telah menerima lebih dari 3100 keberatan

terhadap iklan, klaim sebagian besar iklan-iklan tersebut telah disetujui untuk

diubah atau tidak dilanjutkan penayangannya.

Di samping the better business bureau code of advertising, terdapat pula

creative code yang disusun oleh American Association of Advertising Agencies

(AAA), yaitu the members of the American Association of Advertising Agencies

recognize:225

1. That advertising bears a dual responsibility in the American Economic


system and way of life.
2. To the public it is a primary way of knowing about the goods and service
which are the product of American free enterprise, goods and services
which can be freely chosen to suit the desire and needs of the individual.
The public is entailed to expect that advertising will be reliable in content
and honest in presentation.

Creative Code sangat memahami arti pentingnya informasi yang

disampaikan melalui iklan bagi publik di Amerika Serikat, karena dengan

panduan informasi iklan tersebut, konsumen di Amerika Serikat dapat dengan

bebas menentukan pilihannya terhadap barang atau jasa yang dibutuhkan.

Namun, hendaknya informasi tersebut sesuai dengan kondisi barang atau jasa

yang sebenarnya, serta jujur dalam penyampaiannya.

Pengaturan periklanan di Australia, MEE dan Amerika Serikat, menurut

peneliti Amerika Serikat termasuk salah satu negara yang memberi perhatian

penting terhadap konsumen menyangkut informasi iklan, dengan adanya badan

khusus yang dibentuk yakni FTC yang selain mengawasi kegiatan periklanan

Nazution, Op. cit, h. 203.


225
209

juga memiliki wewenang untuk mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha.

Di Indonesia, upaya perlindungan konsumen dalam UUPK, juga dilakukan

melalui Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), di mana badan ini

berfungsi untuk mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia, jika

dibandingkan dengan Amerika Serikat badan ini mirip dengan FTC hanya saja

FTC khusus pada masalah-masalah periklanan, sedangkan BPKN

mengembangkan perlindungan konsumen secara umum tidak hanya terbatas

pada kegiatan periklanan.

Menurut pasal 34 UUPK, Badan Perlindungan Konsumen Nasional

mempunyai tugas :

a. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka


penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
b. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
c. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut
keselamatan konsumen;
d. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat;
e. Menyebarkan informasi melalui media massa mengenai perlindungan
konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
f. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat,
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
g. Melakukan survey yang menyangkut kebutuhan konsumen.

Menurut peneliti, kehadiran dari Badan Perlindungan Konsumen

Nasional sangat tepat untuk melindungi konsumen, akan tetapi masih perlu

memperluas kewenangan BPKN, sebagaimana dengan kewenangan FTC di

Amerika Serikat, yaitu dalam hal :

1. Memanggil pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap konsumen

2. Memberikan peringatan terhadap pelaku usaha yang memuat informasi


210

yang merugikan konsumen, agar melakukan perbaikan terhadap iklan yang

ada.

3. Mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha yang tidak mengindahkan

peringatan yang diberikan.

Berdasarkan penjelasan diatas maka menurut peneliti pemberian

kewenangan ini penting sebagai upaya untuk melindungi konsumen di sebabkan

karena :

1. Lemahnya kedudukan konsumen di hadapan pelaku usaha;

2. Adanya keengganan konsumen dalam beracara di pengadilan;

3. Dari segi ekonomi maupun pendidikan, seringkali konsumen berada di

bawah pelaku usaha, sehingga akan menyulitkan jika konsumen sendiri

yang mengajukan gugatan.

Menurut peneliti pemerintah melalui BPKN dapat mengajukan gugatan

perdata sebagaimana amanat dalam pasal 46 UUPK pemerintah atau instansi

terkait dapat mengajukan gugatan atas pelanggaran pelaku usaha.

Adanya perluasan wewenang terhadap Badan Perlindungan Konsumen

Nasional, dimaksudkan untuk mencegah adanya pelanggaran terhadap

kepentingan konsumen, hal ini sejalan dengan teori perlindungan hukum dari

Phillipus Hadjon, di mana dalam teorinya perlindungan hukum terhadap

konsumen dapat dibagi dua, yaitu:

1. Perlindungan hukum represif yaitu untuk mengoptimalkan fungsi Badan

Perlindungan Konsumen Nasional dalam melakukan pengkajian terhadap

perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen, serta penetapan

sanksi yang jelas.


211

2. Perlindungan hukum preventif, yaitu untuk mencegah terjadinya sengketa

antara konsumen dan pelaku usaha dibutuhkan UUPK yang mengatur secara

jelas tentang kegiatan periklanan

3.2. Dasar Pertanggungjawaban Pelaku Usaha terhadap Konsumen

3.2.1. Tanggung Jawab Berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum

Berdasarkan kajian hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus

mempunyai dasar yaitu hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib)

bertanggung jawab. Dasar pertanggungjawaban itu menurut hukum perdata

adalah kesalahan dan risiko yang ada dalam setiap peristiwa hukum. Keduanya

menimbulkan akibat dan konsekuensi hukum yang jauh berbeda di dalam

pemenuhan tanggung jawab berikut hal-hal yang berkaitan dengan prosedur

penuntutannya.226

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting

dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak

konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus

bertanggungjawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada

pihak-pihak terkait.227

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat

dibedakan sebagai berikut:

1. Kesalahan (liability based on fault);

2. Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability);

Janus Sidabalok, Op. cit, h. 101.


226

Celina, Op. cit, h. 92.


227
212

3. Praduga selalu tidak bertanggung jawab(presumption of non liability);

4. Tanggung jawab mutlak (strict liability);

5. Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability).

Prinsip ini menyatakan, bahwa seseorang baru dapat dimintakan

pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang

dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata, yang lazim dikenal sebagai pasal

tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur

pokok, yaitu :

1. Adanya perbuatan;

2. Adanya unsur kesalahan;

3. Adanya kerugian yang diderita;

4. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Berdasarkan ketentuan demikian apabila salah satu unsur diatas tidak

terpenuhi, maka seseorang tidak dapat di tuntut oleh karena perbuatan melawan

hukum.

Secara klasik yang dimaksud dengan perbuatan dalam istilah perbuatan

melawan hukum adalah:228

1. Nonfeasance, yakni merupakan tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh

hukum;

2. Misfeasance yakni merupakan perbuatan yang dilakukan secara salah,

perbuatan mana merupakan kewajibannya atau merupakan perbuatan yang

dia mempunyai hak untuk melakukannya.;


Munir Fuadi, Op. cit, h. 5.
228
213

3. Malfeasance yakni merupakan perbuatan yang dilakukan padahal pelakunya

tidak berhak untuk melakukannya.

Ketentuan pasal 1365 KUH Perdata mensyaratkan adanya unsur kesalahan

(schuld) terhadap suatu perbuatan melawan hukum. Dan sudah merupakan

tafsiran umum dalam ilmu hukum bahwa unsur kesalahan tersebut dianggap ada

jika memenuhi salah satu di antara 3 (tiga) syarat sebagai berikut:

1. Ada unsur kesengajaan atau;

2. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa), dan;

3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond).

seperti keadaan overmatch, membela diri tidak waras dan lain- lain

Penganut ajaran kesalahan mengemukakan bahwa dalam menentukan

perbuatan melanggar hukum belum menentukan tanggung gugat si pembuat,

sebab dalam perbuatan melanggar hukum yang dikualifikasikan adalah

perbuatannya, sedangkan dalam kesalahan yang dikualifikasikan adalah

pembuatnya, yang menurut istilah Meijers, harus ada pola pikiran dari si

pembuat sehingga perbuatan itu dalam situasi tertentu dihubungkan dengan

larangan atau perintah secara abstrak menjadi perbuatan yang dapat dicela.

Sedangkan menurut Rutten orang dapat meminta pertanggung gugatan

seseorang, karena secara moral dan psikis bertanggung gugat. Selanjutnya pasal

1365 BW, secara nyata menghendaki adanya kesalahan.229

Ditinjau dari segi berat ringannya, derajat kesalahan dari pelaku perbuatan

melawan hukum maka dibandingkan dengan perbuatan melawan hukum yang

dilakukan dengan unsur kelalaian maka perbuatan melawan hukum yang


Ahmadi Miru, Op. cit, h. 88.
229
214

dilakukan dengan unsur kesengajaan derajat kesalahannya lebih tinggi. Jika

seseorang yang dengan sengaja merugikan orang lain (baik untuk

kepentingannya sendiri atau bukan) berarti dia telah melakukan perbuatan yang

melanggar hukum tersebut dalam arti yang sangat serius ketimbang

dilakukannya hanya sekadar kelalaian belaka namun demikian, semakin

berkembangnya peradaban manusia dan dengan semakin baik dan pastinya

penegakan hukum terhadap perbuatan melawan hukum maka fakta sekarang

menunjukkan bahwa kuantitas dari kasus-kasus perbuatan melawan hukum

dalam bentuk kesengajaan semakin berkurang dan sebaliknya kuantitas

perbuatan melawan hukum dalam bentuk kelalaian semakin bertambah banyak

seirama dengan semakin bertambah banyaknya kasus tentang tanggung jawab

tanpa kesalahan (strict liability).

Menurut ajaran luas dari perbuatan melawan hukum, tercakup pengertian

berbuat (aktif) atau tidak berbuat (pasif) sehingga bertentangan dengan hukum

dalam arti luas. Menurut ajaran atau teori kesalahan, kewajiban ada karena

adanya kesalahan. Kesalahan selalu ada meskipun dalam ketentuan unsur itu

tidak ada, namun harus dipersangkakan ada. Untuk dapat menuntut ganti

kerugian berdasarkan perbuatan melawan hukum, maka unsur. kesalahan ini

harus dapat dibuktikan. Kesalahan di sini umumnya diartikan secara luas, yang

meliputi kesengajaan (opzet) dan kekurang hati-hatian atau kelalaian

(negligence). Ukuran yang dipergunakan adalah perbuatan dari seorang manusia

dalam keadaan normal.230 Adapun yang dimaksud dengan negligence ialah suatu

perilaku yang tidak sesuai dengan standar kelakuan (standard of conduct) yang

Janus Sidabalok, Op. cit, h. 108.


230
215

ditetapkan dalam undang-undang demi perlindungan anggota masyarakat

terhadap risiko yang tidak rasional." Yang dimaksudkan di sini adalah adanya

perbuatan kurang cermat, kurang hati-hati yang semestinya seorang penjual atau

produsen mempunyai duty of care.231

Kesalahan yang dimaksud di dalam kaitan dengan perbuatan melawan

hukum ini adalah kesalahan, baik berupa kesengajaan maupun kekurang hati-

hatian (kelalaian). Kesengajaan menunjukkan adanya maksud atau niat dari

produsen yang menimbulkan akibat tertentu atau dapat diduga akan terjadi dan

dengan sadar melakukan perbuatan itu.

Kekurang hati-hatian mempersoalkan masalah kelalaian, lalai mengambil

masalah tindakan yang sepatutnya sehingga timbul akibat yang tidak

dikehendaki. Dalam hukum perdata Indonesia kekurang hati-hatian masuk ke

dalam kesalahan pada perbuatan melawan hukum.

Berdasarkan ketentuan tersebut apabila dihubungkan dengan perbuatan

melawan hukum dalam konsep Pasal 1365 KUH Perdata maka negligence ini

merupakan salah satu bagian daripadanya, yaitu bagian yang mempersoalkan

kekurang hati-hatian atau kelalaian. Dengan kata lain, masalah negligence ini

adalah juga masalah perbuatan melawan hukum. Negligence ini banyak

disebutkan dalam kaitannya dengan tanggung jawab produk, misalnya oleh.

Tebbens (1980), Prosser dan Wade (1971), Roszkowski (1989), ataupun Stern

dan Eovaldi (1984).

Berdasarkan uraian diatas untuk dapat menggunakan negligence sebagai

dasar untuk meminta/menuntut pertanggungjawaban, maka harus dipenuhi

Loc. cit, h. 109.


231
216

syarat-syarat:232

1. Adanya satu tingkah laku yang menimbulkan kerugian, yang tidak sesuai

dengan sikap hati-hati yang normal.

2. Yang harus dibuktikan adalah bahwa tergugat (produsen) lalai dalam duty of

care terhadap penggugat (konsumen).

3. Kelakuan itu seharusnya penyebab (proximate cause) dari kerugian yang

timbul

Unsur esensial dalam negligenceini adalah adanya duty of care (kewajiban

memelihara kepentingan orang lain) yang dilanggar oleh produsen. Duty of care

ini mensyaratkan bahwa produsen harus hati-hati dalam menjaga kepentingan

orang lain, yaitu pemakai produk. Oleh karena itu produsen atau penjual

diharuskan waspada dalam memproduksi dan memasarkan produknya.

Kewaspadaan ini tidak hanya terhadap penjual, tetapi juga kepada seluruh

masyarakat pemakai produknya. Gugatan berdasarkan negligence ini diikuti

dengan pembuktian atas:233

1. Kerugian yang diderita ditimbulkan oleh cacat yang ada pada produk

2. Bahwa cacat tersebut telah ada pada saat penyerahan produk

3. Bahwa cacat pada produk disebabkan oleh kurang cermatnya produsen

Berdasarkan uraian diatas, untuk mengetahui adanya cacat pada produk

yang dapat menyebabkan kerugian dan bahwa cacat tersebut telah ada pada saat

penyerahan, serta bahwa cacat itu terjadi oleh kekurang hati-hatian produsen,

maka adanya pedoman produksi dan pemasaran yang ditetapkan oleh pemerintah

Loc. cit, h 45-46.


232

ibid, h. 110.
233
217

sangat diperlukan. Dengan demikian, dapat ditetapkan di manakah kesalahan

atau kekurang hati-hatian itu berada apakah pada konsepsi (desain), pada proses

produksi, atau pada pemberian instruksi/petunjuk pemakaian.

Berdasarkan saluran perbuatan melawan hukum ataupun negligence

cenderung kurang berhasil karena sulit diharapkan konsumen mengetahui

masalah-masalah desain, proses produksi, dan hal-hal lain yang berkaitan

dengan proses produksi. Demikian juga mengenai petunjuk penggunaan dan

larangan yang dibuat dalam label pembungkus produk tidak selalu memuaskan

dan memenuhi syarat sehingga sulit dibaca dan dimengerti oleh konsumen.

Apalagi kalau dikaitkan dengan tingkat kemampuan pemahaman konsumen

yang masih rendah. Kesulitan pembuktian akan tetap menyulitkan konsumen.

Dengan kata lain, kegagalan konsumen penggugat untuk membuktikan

negligence-nya produsen tergugat merupakan ancaman terhadap keberhasilan

konsumen yang menderita kerugian karena produk cacat.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya ada juga konsep ganti rugi yang dapat

diterima dalam sistem ganti rugi karena perbuatan melawan hukum. tetapi terlalu

keras jika diberlakukan terhadap ganti rugi karena wanprestasi kontrak.

Misalnya ganti rugi yang menghukum (punitive damages) yang dapat diterima

dengan baik dalam ganti rugi karena perbuatan melawan hukum, tetapi pada

prinsipnya sulit diterima dalam ganti rugi karena wanprestasi kontrak Ganti rugi

dalam bentuk menghukum ini adalah ganti rugi yang harus diberikan kepada

korban dalam jumlah yang melebihi dari kerugian yang sebenarnya Ini

dimaksudkan untuk menghukum pihak pelaku perbuatan melawan hukum

tersebut. Karena jumlahnya yang melebihi dari kerugian yang nyata diderita
218

maka untuk ganti rugi menghukum ini sering disebut juga dengan istilah "uang

cerdik" (smart money).234

Bentuk dari ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum yang dikenal

oleh hukum adalah sebagai berikut:235

1. Ganti rugi nominal

Jika adanya perbuatan melawan hukum yang serius, seperti perbuatan

yang mengandung unsur kesengajaan, tetapi tidak menimbulkan kerugian

yang nyata bagi korban, maka kepada korban dapat diberikan sejumlah uang

tertentu sesuai dengan rasa keadilan tanpa menghitung berapa sebenarnya

kerugian tersebut.

2. Ganti rugi kompensasi

Ganti rugi kompensasi merupakan ganti rugi pembayaran kepada

korban atas dan sebagian besar kerugian yang benar-benar telah dialami oleh

pihak korban dari suatu perbuatan melawan hukum. Ganti rugi ini juga di

sebut ganti rugi aktual. Misalnya, ganti rugi atas segala biaya yang

dikeluarkan oleh korban, kehilangan keuntungan/gaji, sakit dan penderitaan

termasuk penderitaan mental seperti stress, malu, jatuh nama baik dan lain-

lain.

3. Ganti rugi penghukuman

Ganti rugi penghukuman merupakan suatu ganti rugi dalam jumlah

besar yang melebihi jumlah kerugian sebenarnya. Besarnya ganti rugi

tersebut dimaksudkan sebagai hukuman bagi si pelaku.

234
Munir Fuady, Op. cit, h.134.
235
Loc. cit, h. 34-135.
219

Ketiga bentuk ganti rugi ini dapat diterapkan, dalam hubungan pelaku

usaha dan konsumen, sehingga pelaku usaha, supaya dapat berhati-hati dalam

mengiklankan produk mereka kepada konsumen, yaitu dengan memberikan

informasi yang sebenarnya, tanpa melebih-lebihkan. Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, yang merupakan kiblatnya hukum perdata di Indonesia,

termasuk kiblat bagi hukum yang berkenaan dengan perbuatan melawan hukum.

mengatur kerugian dan ganti rugi dalam hubungannya dengan perbuatan hukum

dengan 2 (dua) pendekatan sebagai berikut: ganti rugi umum dan ganti rugi

khusus.

Pengertian ganti rugi umum dalam hal ini adalah ganti rugi yang berlaku

untuk semua kasus, baik untuk kasus-kasus wanprestasi kontrak. maupun kasus-

kasus yang berkenaan dengan perikatan lainnya termasuk karena perbuatan

melawan hukum. Ketentuan tentang ganti rugi yang umum ini oleh KUH

Perdata diatur dalam bagian keempat dari buku ketiga, mulai dari Pasal 1243

sampai dengan Pasal 1252. Dalam hal ini untuk ganti rugi tersebut, KUH

Perdata secara konsisten untuk ganti rugi digunakan istilah :

1. Biaya.

Adapun yang dimaksud dengan biaya adalah setiap cost atau uang, atau apa

pun yang dapat dinilai dengan uang yang telah dikeluarkan secara nyata

oleh pihak yang dirugikan,

2. Rugi.

Yang dimaksud dengan: "rugi" atau "kerugian" (dalam arti sempit) adalah
220

keadaan berkurang (merosotnya) nilai kekayaan kreditur sebagai akibat dari

adanya wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat dari tidak

dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya

perbuatan melawan hukum.

3. Bunga.

Adapun yang dimaksud dengan "bunga" adalah suatu keuntungan yang

seharusnya diperoleh, tetapi tidak jadi diperoleh oleh pihak kreditur karena

adanya wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat dari tidak

dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya

perbuatan melawan hukum.

Kerugian yang diderita seseorang karena perbuatan melawan hukum itu

dapat juga dibedakan antara kerugian ekonomis dan kerugian fisik (economic

loss and physical harm), economic loss, yaitu kerugian berupa hilang atau

berkurangnya sejumlah harta kekayaan sebagai akibat dari perbuatan melawan

hukum yang dilakukan orang lain. Physical harm berupa berkurangnya

kesehatan seseorang akibat dari perbuatan melawan hukum, misalnya luka-luka,

sakit, dan sebagainya.236

Berdasarkan kajian dari perspektif jenis konsekuensi dari perbuatan

melawan hukum, khususnya perbuatan melawan hukum terhadap tubuh

orang .maka ganti rugi dapat diberikan jika terdapat salah satu dari unsur-unsur

sebagai berikut:237

1. Kerugian secara ekonomis, misalnya pengeluaran biaya pengobatan dan

Janus Sidabalok, Op. cit, h. 157.


236

Munir Fuadi, Op. cit, h. 138.


237
221

rumah sakit.

2. Luka atau cacat terhadap tubuh korban

3. Adanya rasa sakit secara fisik.

4. Sakit secara mental, seperti stress, sangat sedih, rasa bermusuhan yang

berlebihan cemas, dan berbagai gangguan mental/jiwa lainnya.

KUH Perdata tidak dengan tegas atau bahkan tidak mengatur secara rinci

tentang ganti rugi tertentu atau tentang salah satu aspek dari ganti rugi. maka

hakim mempunyai kebebasan untuk menerapkan ganti rugi tersebut sesuai

dengan asas kepatutan. sejauh hal tersebut memang dimintakan oleh pihak

penggugat. Justifikasi terhadap kebebasan hakim ini adalah karena penafsiran

kata rugi, biaya dari bunga tersebut sangat luas dan dapat mencakup hampir

segala hal yang bersangkutan dengan ganti rugi.

Berkaitan dengan cara perhitungan besarnya kerugian tersebut,

Bloembergen menyatakan bahwa: bilamana kita bicara tentang kerugian maka

dapat dipikirkan suatu pengertian yang konkret dan subjektif, yaitu kerugian

adalah kerugian yang nyata diderita oleh orang yang dirugikan, di mana

diperhitungkan situasi yang konkret dengan keadaan subjektif dari yang

bersangkutan. Selain itu kita juga dapat memikirkan secara objektif, dimana kita

melepaskan diri seluruhnya atau sebagian dari keadaan konkrit dari orang yang

dirugikan dan menuju ke arah yang normal (abstraksi).238

Berdasarkan perkembangan pengertian perbuatan melawan hukum

mengalami pergeseran, jika sebelumnya pada masa sebelum tahun 1919 di

identikkan dengan perbuatan melanggar undang-undang, setelah tahun 1919


Ahmad Miru, Op. cit, h. 79.
238
222

(kasus Lindenbaund-Cohen), perbuatan melanggar hukum dapat berupa:239

1. Melanggar hak orang lain

2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat

3. Berlawanan dengan kesusilaan yang baik

4. Berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam

pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.

Kasus Cohen dan Lindenbaund ini, menimbulkan perluasan terhadap

pengertian perbuatan melawan hukum, dimana perbuatan melawan hukum itu

tidak saja merupakan perbuatan/atau tidak berbuat lalai, yang melanggar

perundang-undangan, tetapi juga apabila melanggar kesusilaan dan kepatutan

yang hidup dan harus diindahkan dalam masyarakat.240

Perkembangan penerapan pengertian perbuatan melawan hukum, dalam

berbagai yurisprudensi dan BW baru Belanda, terdiri dari beberapa unsur:241

1. Unsur atas pelanggaran hak-hak orang lain

Yang dimaksudkan adalah hak-hak subjektif orang lain. Ke dalamnya

termasuk hak-hak kebendaan dan Iain-lain hak yang bersifat mutlak, (seperti

hak milik, oktroi, dan hak merek), hak-hak pribadi perseorangan

(persoonlijkrechteri) seperti hak-hak atas integritas (harga diri), kehormatan

dan nama baik seseorang.

2. Unsur bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku

Yang dimaksudkan adalah kewajiban hukum yang diletakkan


239
Loc. cit, h. 75.
240
Nazution, Op. cit, h. 81.
241
Loc. cit, h. 84
223

perundang-undangan dalam arti materiil, ditetapkan oleh lembaga yang

berwenang, baik bersifat perdata maupun public (misalnya perbuatan

pelanggaran atau kejahatan seperti termuat dalam KUHP).

3. Unsur bertentangan dengan kehati-hatian yang hidup atau harus diindahkan

dalam kehidupan bermasyarakat

Sejak tahun 1919, unsur ini tampaknya merupakan unsur yang

terpenting dalam penentuan tolak ukur perbuatan melawan hukum. la

menunjuk pada kebiasaan tak tertulis, yang dapat digunakan dengan berdiri

sendiri, baik secara terlepas dari atau bersama unsur-unsur lainnya. Pada

pokoknya orang harus memperhatikan perilaku yang dianggap patut

(behoorlijk) dalam masyarakat dikaitkan dengan kepentingan perorangan satu

sama lain.

Berdasarkan uraian tersebut berkaitan dengan perlindungan konsumen,

kerugian yang dimaksudkan dalam UUPK sebagaimana yang diatur dalam pasal

19 UUPK yaitu :

1. Kerugian atas kerusakan

2. Kerugian karena pencemaran

3. Kerugian sebagai akibat dari mengkonsumsi barang atau jasa yang

dihasilkan.

Selanjutnya dalam pasal 19 ayat 2 UUPK membagi wujud kerugian

dalam bentuk:

1. Pengembalian uang, atau;

2. Penggantian barang dan/atau jasa sejenis atau setara nilainya, atau;


224

3. Perawatan kesehatan, dan atau;

4. Pemberian santunan, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang

berlaku.

Berdasarkan analisis apabila pelaku usaha tidak melaksanakan

kewajibannya dalam hal memberikan ganti rugi kepada konsumen maka

sebagaimana ketentuan dalam pasal 60 UUPK, BPSK mempunyai kewenangan

memberikan sanksi administratif kepada pelaku usaha, berupa ganti rugi

sebanyak Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).Ganti rugi yang diatur dalam

pasal 60 UUPK merupakan jenis sanksi administrasi bukan sanksi perdata dan di

tetapkan oleh BPSK. Hal ini jelas tidak sesuai dengan sanksi administrasi yang

seharusnya dalam bentuk pencabutan izin.

Berdasarkan ketentuan pasal 60 UUPK pada akhirnya akan menghilangkan

hak konsumen dan melemahkan kedudukan konsumen dalam menuntut haknya,

karena pelaku usaha yang tidak memiliki itikad baik, dapat mengabaikan

ketentuan dalam pasal 19 UUPK, karena pada akhirnya pelaku usaha hanya akan

membayar sanksi administratif senilai Rp. 200.000.000, yang mungkin lebih

kecil dibandingkan harus membayar kerugian kepada konsumen.

Berdasarkan ketentuan, di samping itu, ketentuan ganti rugi terhadap

konsumen menurut pasal 19 ayat 2 UUPK, juga tidak bisa memberikan

perlindungan hukum kepada konsumen, dengan adanya beberapa alternatif

pilihan ganti rugi, karena bisa saja kerugian yang dialami konsumen lebih dari

itu, khususnya menyangkut kerugian inmateriil atau physical harm.

Pada dasarnya pertanggungjawaban pelaku usaha berdasarkan perbuatan


225

melawan hukum tidak bisa memberikan perlindungan bagi konsumen, karena

untuk dapat meminta pertanggungjawaban pelaku usaha berdasarkan perbuatan

melawan hukum ini, pihak konsumen harus dapat membuktikan adanya unsur

kesalahan pelaku usaha, bila konsumen gagal untuk membuktikan maka pihak

pelaku usaha dianggap tidak bersalah. Adanya beban pembuktian terhadap

konsumen akan sangat menyulitkan karena ketidakmampuan dari konsumen itu

sendiri, karena pelaku usaha lah yang paling mengetahui seluk beluk suatu

produk.

3.2.2. Tanggungjawab Berdasarkan Wanprestasi

Tanggung jawab pelaku usaha atas produk yang merugikan konsumen

merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen.

Dalam kasus-kasus pelanggaran konsumen diperlukan kehati-hatian dalam

menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung

jawab tersebut dibebankan kepada pihak yang terkait. Dan kebanyakan dari

kasus-kasus yang ada saat ini, konsumen merupakan yang paling banyak

mengalami kerugian yang disebabkan produk dari pelaku usaha itu sendiri.

Beberapa sumber formal hukum, seperti perundang-undangan dan perjanjian di

hukum keperdataan sering memberikan pembatasan terhadap tanggung jawab

yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen yaitu pelaku usaha.

Disisi lain, walaupun konsumen yang sering dirugikan oleh produk dari

pelaku usaha, tidak pernah henti memakai atau menggunakan produk dari pelaku

usaha dengan alasan karena kebutuhan dari konsumen. Kebutuhan-kebutuhan

ini, khususnya kebutuhan ekonomi yang dalam perkembangan saat ini sangatlah
226

mendesak. Apalagi dalam era globalisasi sekarang ini, yang ditandai dengan

adanya saling ketergantungan antara pelaku usaha dan konsumen, dimana pelaku

usaha membutuhkan konsumen demi mendapatkan laba atau keuntungan,

sedangkan konsumen memakai atau menggunakan produk dari pelaku usaha

dikarenakan kebutuhan.

Tanggung jawab pelaku usaha dapat dimintakan pertanggungjawaban

apabila pelaku usaha melakukan wanprestasi karena tidak sesuai dengan iklan

yang ditawarkan untuk itu akan dijelaskan dasar pertanggungjawaban karena

wanprestasi.

Wanprestasi adalah suatu istilah yang menunjuk pada ketidak laksanaan

prestasi oleh debitur. Bentuk ketidak laksanaan ini dapat terwujud dalam

beberapa bentuk, yaitu :242

1. Debitur sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya;

2. Debitur tidak melaksanakan kewajibannya tidak sebagaimana mestinya;

3. Debitur tidak melaksanakan kewajibannya pada waktunya;

4. Debitur melaksanakan sesuatu yang tidak diperbolehkan.

Berkaitan dengan perlindungan konsumen, pelaku usaha berkewajiban

untuk beriktikad baik dalam aktivitas produksinya. Dari sudut hukum perikatan,

terdapat suatu unsur kewajiban yang harus dipenuhi untuk melaksanakan suatu

prestasi. Pasal 1234 KUH Perdata menentukan, tiap-tiap perikatan bertujuan:

memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu.

Tanggung jawab pelaku usaha berdasarkan wanprestasi juga merupakan

bagian dari tanggung jawab berdasarkan kontrak (contractual liability). Dengan


Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Op. cit, h. 81.
242
227

demikian suatu produk yang rusak dan mengakibatkan kerugian, maka

konsumen melihat isi kontrak, baik tertulis maupun tidak tertulis.243

Berdasarkan ketentuan praktiknya, untuk mencari dan menemukan ada

tidaknya hubungan kontraktual antara pelaku usaha dan konsumen tidaklah

mudah, karenanya perlu mencari atau mengumpulkan fakta-fakta sekitar

terjadinya peristiwa yang menimbulkan kerugian itu lalu merekonstruksikannya

menjadi sebuah kontrak/perjanjian. Untuk itu perlu diperhatikan kewajiban-

kewajiban penjual sebagaimana terdapat dalam undang-undang dan perjanjian

serta segala macam garansi atau jaminan yang ada. 244 Tanggung jawab timbul

karena seseorang atau suatu pihak mempunyai kewajiban karena undang-undang

dan hukum. Jika perikatan timbul dari perjanjian, memerlukan kesepakatan

terlebih dahulu agar perjanjian tersebut sah, namun bila perikatan timbul karena

undang-undang atau hukum yang melahirkan sejumlah kewajiban tanpa adanya

kesepakatan, kewajiban tetap harus dilaksanakan karena hukum menghendaki

yang demikian.245

Gugatan berdasarkan wanprestasi ini, dalam perkembangannya dapat

dilaksanakan walaupun tanpa hubungan kontraktual, dengan pertimbangan

bahwa dalam praktik bisnis modern, proses distribusi dan iklan langsung

ditujukan kepada konsumen melalui media massa, sehingga tidak perlu ada

hubungan kontrak yang mengikat antara produsen dan konsumen.246

Merujuk ketentuan UUPK, jika suatu produk merugikan konsumen, maka

243
Zylham, Op. cit, h. 92.
244
Janus Sidabalok, Op. cit, h. 112.
245
Siahaan, Op. cit, h. 137-138.
246
Zulham, Op. cit, h. 92.
228

pelaku usaha bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang diderita

konsumen. Kewajiban itu melekat pada pelaku usaha meskipun pelaku usaha

dan konsumen tidak terdapat perjanjian terlebih dahulu.

Mengenai kerugian dalam konteks hukum perjanjian, menurut pasal 1244,

pasal 1245, dan pasal 1246 KUH Perdata dirinci dalam tiga unsur, yaitu biaya,

rugi, dan bunga. Subekti menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan:" biaya

adalah segala pengeluaran pokok atau perongkosan yang nyata sudah

dikeluarkan oleh salah satu pihak, rugi adalah kerugian karena kerusakan

barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh wanprestasi debitur,

dan bunga adalah keuntungan yang diharapkan akan diperoleh kreditur

kemudian hari seandainya debitur melaksanakan kewajibannya dengan baik".247

Niewenhuis, mengartikan kerugian yaitu berkurangnya harta kekayaan

salah satu pihak disebabkan oleh perbuatan pihak lain dengan melanggar norma

yang ada. Kerugian di sini terdiri dari dua unsur, yaitu 1) kerugian yang nyata

diderita konsumen, meliputi biaya dan rugi serta 2) keuntungan yang tidak di

peroleh berupa bunga.248

Agus Yudha Hernoko memahami, ganti rugi sebagai upaya untuk

memulihkan kerugian yang prestasinya bersifat subsider, artinya apabila

pemenuhan prestasi tidak lagi di mungkinkan atau sudah tidak diharapkan lagi,

maka ganti rugi adalah alternatif yang dapat dipilih oleh kreditor. Ganti rugi

meliputi:

1. Ganti rugi pengganti yaitu ganti rugi yang diakibatkan oleh tidak adanya

Janus Sidabalok, Op. cit, h. 81.


247

Muhammad Syaiffudin, Hukum Kontrak, (Bandung: Mandar Maju, 2012, h. 345.


248
229

prestasi yang seharusnya menjadi hak kreditor, meliputi seluruh kerugian

yang diderita akibat wanprestasi, (

2. Ganti rugi pelengkap yaitu ganti rugi sebagai akibat terlambat atau tidak

dipenuhinya prestasi debitur sebagaimana mestinya atau karena adanya

pemutusan kontrak.249

Penanggungan atau jaminan atas cacat-cacat tersembunyi yang

dimaksudkan pada pasal 1504 KUH Perdata diatas dapat digolongkan pada

warranty berupa janji atau jaminan dari pihak penjual tentang dapat

dipergunakannya dengan baik. Di sini terkandung janji bahwa dengan memakai

dan mengkonsumsi produk tertentu yang dijualnya, penjual menjamin bahwa

pembeli (konsumen) akan memperoleh kenikmatan manfaat dan kegunaan

tertentu dalam memenuhi kebutuhannya .

Terhadap adanya cacat-cacat tersembunyi pada barang yang di beli,

konsumen dapat mengajukan tuntutan atau aksi pembatalan jual beli, dengan

ketentuan asal tuntutan tersebut dimajukan dalam waktu singkat, dengan

perincian sebagaimana yang ditentukan pasal 1508 KUH Perdata :250

1. Kalau cacat tersebut dari semula diketahui oleh Kalau cacat tersebut dari
semula diketahui oleh pihak penjual, maka penjual wajib mengembalikan
harga penjualan kepada pembeli dan ditambah dengan pembayaran ganti
rugi yang terdiri dari ongkos, kerugian, dan bunga.
2. Kalau cacat itu memang benar-benar tidak diketahui oleh penjual, maka
penjual hanya berkewajiban mengembalikan harga penjualan serta biaya-
biaya (ongkos) yang dikeluarkan oleh pembeli waktu pembelian dan
penyerahan barang.
2. Kalau barang yang dibeli musnah sebagai akibat yang ditimbulkan oleh
cacat yang tersembunyi, maka penjual tetap wajib mengembalikan harga
penjualan kepada pembeli.

Ibid, h.347.
249

Adrian Sutedi, Op. cit, h. 76-77.


250
230

Ketentuan yang sama dapat diterapkan pada produsen pembuat (pabrik)

sehingga ia mempunyai keterikatan kepada konsumen dalam bentuk pemberian

janji, jaminan. ini merupakan janji sepihak dari produsen pembuat (pabrik). di

mana dengan memproduksi produk tertentu dengan menyebutkan kegunaan,

manfaat, dan kenikmatannya melalui label dan atau menerbitkan suatu brosur

mengenai itu, maka dapat ditafsirkan bahwa secara sepihak produsen pembuat

telah mengikatkan dirinya dengan memberi janji kepada konsumen.251

Tanggung jawab berdasarkan wanprestasi (warranty) itu dapat

dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu:

1. Express warranty, (jaminan secara tegas)

Express warranty adalah suatu jaminan kualitas produk, baik

dinyatakan secara lisan maupun tertulis. dengan adanya express warranty ini,

berarti produsen sebagai pihak yang menghasilkan barang atau produk dari

produsen atau pembeli bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajibannya

terhadap adanya kekurangan atau kerusakan dalam produk yang dipasarkan. 252

Dalam perkembangannya, pernyataan produsen terhadap produknya hanya

diberlakukan bagi pembeli langsung (immediate buyer) yang bersifat eksplisit

dan tegas. Namun prinsip tersebut dipandang tidak menguntungkan

konsumen, maka pernyataan produsen terkait dengan produknya tidak saja

dalam bentuk kata-kata formal dan tertulis. lebih jauh lagi, terkait dengan

pernyataan penjual ketika menawarkan produknya kepada konsumen juga

merupakan janji yang mengikat produsen.253


251
Janus Sidabalok, Op. cit, h. 103.
252
Adrian Sutedi, Op. cit, h. 75.
253
Zulham, Op. cit, h. 93.
231

2. Implied warranty, (janji yang dinyatakan secara diam-diam).254

Perkembangan hukum yang berorientasi pada perlindungan konsumen

lahir bersamaan dengan prinsip breach of warranty, yaitu berdasarkan

implied warranty yang memperluas tanggung jawab produsen. Prinsip ini

juga dipandang sebagai benih atau cikal bakal dari prinsip strict product

liability, karena pada posisi ini hukum memiliki tingkat responsibility yang

tinggi terhadap kepentingan konsumen.255 Implied warranty juga merupakan

suatu jaminan yang dipaksakan oleh undang-undang atau hukum, sebagai

akibat dari penjualan barang-barang dalam keadaan tertentu. Misalnya

kewajiban penjual untuk menanggung cacat tersembunyi pada barang yang

dijualnya.256 Kemudian implied warranty ini dapat dibedakan lagi atas :257

a. Implied warranty of merchantability (jaminan implicit tentang layak

diperdagangkan)

b. Implied warranty of fitness for a particular purpose (jaminan implicit

tentang kecocokan untuk tujuan tertentu.

Berdasarkan implied warranty of merchantability, produsen menjamin

antara lain:258

1. Barang sesuai dengan keterangan dalam perjanjian sedemikian rupa

sehingga dapat diterima dalam perdagangan umumnya.

2. Pada jual beli genus, kualitas seharusnya layak (around the middle belt of

254
Janus Sidabalok, Op. cit, h. 103.
255
Zulham, Op. cit, h. 94.
256
Adrian Sutedi, Op. cit, h. 75.
257
Janus Sidabalok, Op. cit, h. 103-104.
258
Ibid, h. 104.
232

quality).

3. Barang seharusnya cocok untuk tujuan barang tertentu itu dipergunakan.

4. Barang yang sejenis dari suatu kontrak seharusnya sama dan sebentuk.

5. Jika perjanjian atau sifat barang mensyaratkan bahwa harus dibungkus,

maka harus dilaksanakan secara rapi dan disertai informasi dan instruksi

6. Kualitas dan kuantitas barang seharusnya sesuai janji-janji dan gambaran

nyata yang diberikan dan yang ada pada barang atau pembungkusnya.

7. Jaminan-jaminan yang implicit lainnya bisa berasal dari kebiasaan

perdagangan barang tertentu atau daerah/lokasi tertentu; atau dari

kebiasaan para pihak yang timbul dari transaksi terlebih dahulu

Kedua jenis warranty diatas, yaitu express warranty dan implied warranty

mempunyai perbedaan yang jauh, di mana kewajiban penjual pada express

warranty bersumber dari perjanjian antara pembeli dan penjual. Sedangkan

kewajiban pada implied warranty bersumber pada hukum.

Berdasarkan kenyataan masih banyak konsumen yang lebih terpengaruh

oleh iklan yang kadang-kadang menyesatkan menimbulkan pandangan baru

dalam mencari dasar pertanggungjawaban produsen. Di sini warranty

berdasarkan hubungan kontraktual tidak lagi memuaskan sehingga di

terapkanlah pertanggungjawaban berdasarkan hukum atau demi hukum, Artinya,

dengan memenuhi syarat-syarat tertentu produsen demi hukum bertanggung

jawab atas kerugian yang timbul pada konsumen karena memakai barang yang

cacat dan tidak lagi didasarkan pada perjanjian sebelumnya. Ini berarti pula

bahwa pertanggungjawaban produsen terhadap konsumen beralih (bergeser) dari


233

pertanggungjawaban kontraktual pada pertanggungjawaban karena perbuatan

melawan hukum.259

Berdasarkan ketentuan tersebut, akan tetapi sama halnya dengan dasar

pertanggungjawaban pelaku usaha berdasarkan perbuatan melawan hukum,

dasar pertanggungjawaban pelaku usaha melalui wanprestasi, tidak sepenuhnya

melindungi konsumen, karena beban pembuktian ada di tangan konsumen, yang

pada akhirnya akan membawa kesulitan bagi konsumen.

3.2.3. Tanggungjawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak merupakan sistem tanggung jawab yang

tidak berdasarkan kesalahan produsen, yakni menerapkan tanggung jawab

kepada penjual produk yang cacat tanpa ada beban bagi konsumen atau pihak

yang diragukan untuk membuktikan kesalahan tersebut. Prinsip tanggung jawab

mutlak dinilai lebih responsif terhadap kepentingan konsumen dibanding dengan

prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian/kesalahan (negligence) dan

wanprestasi (breach of warranty).260

Pertanggungjawaban mutlak (Strict liability) terjadi di mana pembeli yang

mengalami kerugian memperoleh penggantian tanpa harus mengajukan bukti-

bukti yang tidak beralasan, Penggugat harus dapat membuktikan bahwa produk

barang yang dibelinya rusak dan tergugat tidak perlu menunjukkan hal-hal yang

tidak rasional atas proses produk suatu barang atau penjualan barangnya.

Kerusakan ini biasanya disebut cacat produk (manufacturing defect) yang tidak

sesuai dengan spesifikasi barang, kerusakan pada desain (design defect) desain

Ibid, h. 106.
259

Zulham, Op. cit, h.96.


260
234

produk tidak cukup aman, ketiadaan petunjuk-petunjuk pada barang

mengenai informasi penggunaannya." jadi, dalam strict liability, konsumen

dapat menuntut ganti rugi kepada produsen tanpa dihalangi oleh beberapa

hambatan dalam gugatan. 261

Prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability) ini tidak

mempersoalkan lagi mengenai ada atau tidak adanya kesalahan, tetapi

produsen langsung bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh

produknya yang cacat. Produsen dianggap harus bertanggung jawab apabila

telah timbul kerugian pada konsumen karena mengkonsumsi suatu produk dan

oleh karena itu produsen harus mengganti kerugian itu. sebaliknya, produsen

lah yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah, yaitu bahwa ia telah

melakukan produksi dengan benar. melakukan langkah-langkah pengamanan

yang wajib ia ambil serta hal-hal lain yang berkaitan dengan duty of care.262

Tujuan penerapan tanggung jawab mutlak yaitu : 263

1. Memberikan jaminan secara hukum bahwa biaya kecelakaan yang


diakibatkan oleh produk yang cacat ditanggung oleh orang yang
menghasilkan dan mengedarkan produk tersebut ke pasar, bukan oleh
pembeli atau konsumen yang tidak mempunyai kemampuan untuk
melindungi diri;
2. Perancang doktrin strict liability berpendapat bahwa tujuan
penerapan
doktrin ini adalah penjual dengan memasarkan produk untuk
digunakan atau keperluan konsumen telah menyadari dan sudah siap
dengan tanggung jawab terhadap masyarakat umum yang akan
mengalami cidera akibat mengkonsumsi barang yang ditawarkan atau
dijualnya, dan sebaliknya masyarakat juga memiliki hak dan harapan
untuk terpenuhinya hak itu;
3. Untuk menjamin konsumen yang mengalami kecelakaan akibat produk

Loc. cit, h 74.


261

Janus Sidabalok, Op. cit, h. 116.


262
263
Abdul Halim Barkatulah, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teorities dan
Perkembangan Pemiklran, Nusa Media, Bandung, h. 68-69
235

cacat, tanpa harus membuktikan kelalaian si produsen;


4. Agar risiko dan kerugian akibat produk yang cacat harus ditanggung
supplier, karena mereka berada pada posisi yang dapat memasukan
kerugian dan biaya dalam kegiatan bisnis;
5. Sebagai instrument kebijakan sosial dan jaminan keselamatan publik;
6. Tanggung jawab khusus untuk keselamatan masyarakat oleh seseorang
yang menyuplai produk yang dapat membahayakan keselamatan orang
dan harta benda.
Ada juga beberapa alasan lain, diterapkannya strict liability dalam masalah

product liability yaitu :

1. Bahwa seharusnya yang menanggung beban kerugian di antara konsumen


sebagai korban dan pelaku usaha adalah pihak yang memproduksi barang
dan jasa yang cacat/berbahaya itu.
2. Dengan mengedarkan atau menempatkan barang-barang di pasar, hal itu
berarti pelaku usaha telah menjamin bahwa barang-barang tersebut aman
dan pantas untuk digunakan. Jika terbukti tidak demikian, maka pelaku
usaha bersangkutan harus bertanggung jawab
3. Pelaku usaha dapat dituntut secara beruntun meskipun tidak menerapkan
strict liability. Penuntutan beruntun dapat dilakukan oleh konsumen kepada
pengecer, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor
kepada agen dan oleh agen kepada pelaku usaha. Strict liability diterapkan
di sini dengan maksud untuk menghilangkan proses yang panjang itu..264

Pertanggungjawaban mutlak atau Strict liability adalah bentuk khusus dari

tort (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip pertanggungjawaban dalam

perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan pada kesalahan (sebagaimana

pada tort umumnya), tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku usaha langsung

bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum

itu. Karenanya prinsip strict liability disebut juga dengan liability without

fault.265

Di Indonesia konsep strict liability (tanggung jawab mutlak, tanggung

jawab risiko) secara implisit dapat ditemukan di dalam Pasal 1367 dan Pasal

264
Siahaan, Op. cit, h. 169-170.
265
Janus Sidabalok, Op. cit, h.115.
236

1368 KUH Perdata, Pasal 1367 KUH Perdata mengatur tentang tanggung jawab

seseorang atas kerugian yang disebabkan oleh barang-barang yang berada di

bawah pengawasannya. misalnya, seorang pemilik barang tertentu, suatu ketika

barang itu mengakibatkan kerugian bagi orang lain, misalnya meledak dan

melukai orang lain, maka pemiliknya bertanggung jawab atas luka-luka yang

ditimbulkan. tanpa mempersoalkan ada tidaknya kesalahan yang menimbulkan

ledakan itu. Menerapkan Pasal 1367 KUH Perdata seperti ini memang

membutuhkan penafsiran yang cukup berani, tetapi sudah dapat dijadikan

sebagai salah satu dasarnya. Kata-kata barang yang berada di bawah

pengawasannya pada pasal 1367 KUH Perdata itu dapat dipandang sebagai

faktor yang berdiri sendiri sebagai penyebab timbulnya kerugian yang berarti

tidak membutuhkan adanya kesalahan pemilik barang. 266 Prinsip tanggung jawab

mutlak (strict liability) sering di identikkan dengan prinsip tanggung jawab

absolut (absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang

membedakan kedua terminologi diatas.267

Ada beberapa pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip

tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang

menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan

untuk di bebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeure.

Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan

tidak ada pengecualiannya. Selain itu, ada pandangan yang agak mirip, yang

Loc. cit, h. 117.


266

Celina, Op. cit, h. 96.


267
237

mengait perbedaan keduanya pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas an

subjek yang bertanggung jawab dan kesalahannya. Pada strict liability,

hubungan itu harus ada, sementara pada absolute liability, hubungan itu tidak

selalu ada. Maksudnya, pada absolute liability, dapat saja si tergugat yang

dimintai pertanggungjawaban itu bukan si pelaku langsung kesalahan tersebut

(misalnya dalam kasus bencana alam).268

Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan tanggung jawab mutlak

terletak pada risk liability. Dalam risk liability, kewajiban mengganti rugi

dibebankan kepada pihak yang menimbulkan risiko adanya kerugian itu. Namun,

penggugat (konsumen) tetap diberikan beban pembuktian, walaupun tidak

sebesar si tergugat. Dalam hal ini, ia hanya perlu membuktikan adanya

hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku usaha (produsen) dan kerugian

yang dideritanya.269

Menurut Sidabalok ada tiga ciri penting dari strict liability, yaitu :

1. Tanggung jawab yang dibebankan adalah tidak didasarkan kepada


kesalahan
2. Tanggung jawab timbul seketika pada saat timbulnya peristiwa.
Pembuktian dibebankan kepada pelaku/tergugat.
3. Adanya pengecualian tanggung jawab.270

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen

secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha, khususnya produsen

barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas

tanggung jawab itu dikenal dengan product liability. Menurut asas ini produsen
268

Loc. cit, h.97.


269

Janus Sidabalok, Op. cit, h. 168.


270
238

wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan

produk yang di pasarkannya. Gugatan product liability dapat dilakukan

berdasarkan tiga hal: (1) melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya

khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan

produk, (2) ada unsur kelalaian (negligence), yaitu produsen lalai memenuhi

standard pembuatan obat yang baik, (3) menerapkan tanggung jawab mutlak

(strict liability).271

Tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam hukum perlindungan

konsumen dirasakan sangat penting, paling tidak didasarkan pada empat alasan,

yaitu: pertama, tanggung jawab mutlak merupakan instrumen hukum yang relatif

masih baru untuk memperjuangkan hak konsumen memperoleh ganti kerugian.

Kedua, tanggung jawab mutlak merupakan bagian dan hasil dari perubahan

hukum di bidang ekonomi, khususnya industri dan perdagangan yang dalam

praktiknya sering menampakkan kesenjangan antara standar yang diterapkan di

negara yang satu dengan negara lainnya, dan kesenjangan dalam negara yang

bersangkutan, yaitu antar kebutuhan. Keadilan masyarakat dengan standar

perlindungan konsumen dalam hukum positifnya. Ketiga, penerapan prinsip

tanggung jawab mutlak melahirkan masalah baru bagi produsen, yaitu

bagaimana produsen menangani risiko gugatan konsumen. Keempat, Indonesia

merupakan contoh yang menggambarkan dua kesenjangan yang dimaksud, yaitu

antara standar norma dalam hukum positif dan kebutuhan perlindungan

kepentingan dan hak-hak konsumen.272

Shidarta, Op. cit, h.79.


271

Zulham, Op. cit, h. 96.


272
239

Beberapa alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak diterapkan

dalam hukum perlindungan konsumen, antara lain:

1. Di antara korban/konsumen di satu pihak dan produsen di pihak


lain seharusnya beban kerugian (risiko) ditanggung oleh pihak
yang memproduksi atau mengeluarkan barang-barang di pasaran.
2. Dengan menerapkan/mengedarkan barang-barang di pasaran,
berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan
pantas untuk digunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian
maka produsen harus bertanggung jawab.
3. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak,
produsen yang melakukan kesalahan dapat dituntut melalui
proses tuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang
eceran, pedagang eceran kepada grosir, grosir kepada distributor,
distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Adapun
penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan
proses yang cukup panjang ini.273

Menurut R.C. Hoeber et al., biasanya prinsip tanggung mutlak ini

diterapkan karena :

1. konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan


adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang
kompleks,
2. di asumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu
ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau
menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya,
3. asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati.274
Prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability) ini tidak

mempersoalkan lagi mengenai ada atau tidak adanya kesalahan, tetapi produsen

langsung bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh produknya

yang cacat. Produsen dianggap harus bertanggung jawab apabila telah timbul

kerugian pada konsumen karena mengkonsumsi suatu produk dan oleh karena

itu produsen harus mengganti kerugian itu. sebaliknya, produsen lah yang harus

membuktikan bahwa ia tidak bersalah, yaitu bahwa ia telah melakukan produksi

Loc. cit, h. 98.


273

Shidarta, Op. cit, h. 78.


274
240

dengan benar, melakukan langkah-langkah pengamanan yang wajib ia ambil

serta hal-hal lain yang berkaitan dengan duty of care.275

Alasan diterapkannya strict liability dalam masalah product liability yaitu:

1. Bahwa seharusnya yang menanggung beban kerugian di antara konsumen


sebagai korban dan pelaku usaha adalah pihak yang memproduksi barang
dan jasa yang cacat/berbahaya itu.
2. Dengan mengedarkan atau menempatkan barang-barang di pasar, hal itu
berarti pelaku usaha telah menjamin bahwa barang-barang tersebut anian
dan pantas untuk digunakan. Jika terbukti tidak demikian, maka pelaku
usaha bersangkutan harus bertanggung jawab
3. Pelaku usaha dapat dituntut secara beruntun meskipun tidak menerapkan
strict liability. Penuntutan beruntun dapat dilakukan oleh konsumen kepada
pengecer, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor
kepada agen dan oleh agen kepada pelaku usaha. Strict liability diterapkan
di sini dengan maksud untuk menghilangkan proses yang panjang itu.276

Berdasarkan ketentuan UUPK mengakomodasi dua prinsip penting, yakni

tanggung jawab produk (product liability) dan tanggung jawab profesional

(professional liability). Tanggung jawab produk merupakan tanggung jawab

produsen untuk produk yang dipasarkan kepada pemakai, yang menimbulkan

dan menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.

Sedangkan tanggung jawab profesional berhubungan dengan jasa, yakni

tanggung jawab produsen terkait dengan jasa profesional yang diberikan kepada

klien.277

Berdasarkan ketentuan UUPK, ketentuan yang mengisyaratkan adanya

tanggung jawab produk dan tanggung jawab profesional dimuat dalam Pasal 7

hingga 17, 19, 23, dan 28. Adapun pelanggaran terhadap Pasal 8 hingga Pasal 17

275
Janus Sidabalok, Op. cit, h. 116.
276
Siahaan, Op. cit, h. 169-170.
277
Zulham, Op. cit, h. 99.
241

dikategorikan sebagai tindak pidana menurut ketentuan Pasal 62. Ketentuan

yang lebih tegas terkait dengan product liability dan professional liability

terdapat dalam Pasal 19 UUPK, menyebutkan:

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,


pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian
uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara
nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu tujuh hari setelah
tanggal transaksi.
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dan ayat (2)
tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku
apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut
merupakan kesalahan konsumen.278

Ketentuan Pasal 19 tersebut meliputi tanggung jawab pelaku usaha

terhadap ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan kerugian konsumen. Maka

produk yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban

bagi pelaku usaha, Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi

segala kerugian yang dialami konsumen.279

Ketentuan pasal 19 mengandung prinsip tanggung jawab mutlak, (suatu

bentuk pertanggungjawaban tanpa adanya unsur kesalahan atau kelalaian

produsen) ini akan sangat bermanfaat bagi konsumen, jika bentuk dan

substansinya dirubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat konsumen tanpa

mengenyampingkan kepentingan pelaku usaha, karena apabila melihat isi pasal

19 ini konsumen tidak perlu melalui jalur pengadilan atau penyelesaian

Loc. cit, h.101.


278

Ibid.
279
242

sengketa, tapi karena bentuk dan jenis substansi pengaturan yang tidak tegas dan

jelas pada akhirnya menjadi tidak bermanfaat bagi konsumen.

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam perlindungan konsumen tidak

identik dengan tanggung jawab absolut (absolute liability). Oleh karena itu,

produsen dapat dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita

konsumen. UUPK memberikan pengecualian atas tanggung jawab produsen,

yakni: Pertama, barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak

dimaksudkan untuk diedarkan. Kedua, cacat barang timbul pada kemudian hari.

Ketiga, cacat timbul akibat tidak di taatinya ketentuan mengenai kualifikasi

barang. Keempat, kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen. Kelima, lewatnya

jangka waktu penuntutan empat tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka

waktu yang diperjanjikan.280

Penerapan teori tanggung jawab mutlak (strict liability) ini, sangat tepat

dalam melindungi konsumen yang dirugikan oleh informasi iklan, Berdasarkan

teori tanggung jawab mutlak ini, pelaku usaha otomatis bertanggung jawab

kepada konsumen jika informasi dalam iklan yang di sampaikan merugikan

konsumen, karena kegunaan dan kemanfaatan yang di sampaikan dalam iklan

tidak benar.

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam tanggung jawab pelaku usaha atas

produk yang merugikan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat”

pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang

merugikan konsumen. Dalam hal ini, konsumen hanya perlu membuktikan


280
Ibid, h 103.
243

adanya hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku usaha dan kerugian yang

dideritanya. Selebihnya dapat digunakan prinsip strict liability.

3.2.4. Tanggungjawab Pelaku Usaha Berdasarkan Teori Keadilan

Secara teoritis hubungan hukum menghendaki adanya kesetaraan di antara

para pihak, akan tetapi dalam hubungan pelaku usaha dan konsumen sering

berjalan tidak seimbang, hal ini juga terjadi dalam kegiatan periklanan, di mana

konsumen tidak mendapatkan hak-haknya dengan baik. Sehubungan dengan itu

diperlukan perlindungan hukum bagi konsumen, sehingga pelaku usaha

bertanggung jawab terhadap konsumen yang mengalami kerugian atas informasi

iklan yang tidak benar. Hubungan hukum memiliki tiga unsur sebagai berikut :281

1. Adanya orang-orang yang hak/kewajibannya saling berhadapan

2. Adanya objek yang berlaku berdasarkan hak dan kewajiban tersebut

3. Adanya hubungan antara pemilik hak dan pengemban kewajiban atau

adanya hubungan atas objek yang bersangkutan

Berdasarkan uraian diatas untuk menentukan pertanggungjawaban pelaku

usaha, harus mengacu pada ketentuan yang ada, sehingga dapat ditentukan pihak

mana yang bertanggung jawab, hal-hal yang dapat dipertanggungjawabkan,

bentuk-bentuk pertanggungjawaban, besarnya kompensasi dan lain-lain. 282

Berkaitan dengan kegiatan periklanan sendiri terdapat tiga pihak terkait yakni:

perusahaan pengiklan (produsen), perusahaan periklanan (perusahaan yang

membuat iklan), serta media penyiar. Dari ketiga pihak ini, perusahaan

281
Soeroso, Op. cit, h. 271.
282
Ahad Sudito, 2013, Nilai Keadilan pada Hubungan Pelaku Usaha dan Konsumen
dalam Hukum Transportasi Udara Niaga, dalam Amad Sudiro & Deni Brama (Hukum dan
Keadilan), Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 8.
244

pengiklan (produsen) merupakan pihak yang paling bertanggung jawab kepada

konsumen karena informasi dalam suatu iklan berasal dari produsen sebagai

pemilik produk.

Tanggung jawab muncul karena adanya kerugian yang dialami konsumen,

atas informasi iklan yang disampaikan pelaku usaha tentang suatu produk tidak

sesuai dengan harapan konsumen, dimana konsumen tidak bisa mendapatkan

kemanfaatan suatu produk sebagaimana yang di informasikan dalam iklan oleh

pelaku usaha (produsen).

Merujuk pada ketentuan pasal 1365 KUH Perdata 283 konsumen berhak

meminta ganti rugi kepada pelaku usaha atas tindakan pelaku usaha yang

mengakibatkan kerugian bagi konsumen, sebaliknya pelaku usaha bertanggung

jawab memberi ganti rugi kepada konsumen. Kepentingan konsumen dapat

dibagi menjadi empat macam kepentingan yaitu :284

1. Kepentingan fisik yang berkenaan dengan badan atau tubuh yang berkaitan

dengan keamanan dan keselamatan tubuh dan jiwa dalam penggunaan

barang dan/atau jasa. kepentingan fisik ini berkaitan dengan kesehatan dan

keselamatan jiwa, sehingga harus diperhatikan oleh pelaku usaha

2. Kepentingan sosial dan lingkungan konsumen yang bermakna terwujudnya

keinginan konsumen untuk memperoleh hasil yang optimal dari penggunaan

sumber-sumber ekonomi mereka dalam mendapatkan barang dan/atau jasa

yang merupakan kebutuhan hidup, sehingga konsumen memerlukan

283
Lihat pasal 1365 KUH Perdata "tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu
mengganti kerugian tersebut".
284
Ibid, h. 13-14.
245

informasi yang benar mengenai produk yang digunakan, sebab akan terjadi

gejolak social jika konsumen menggunakan produk yang tidak aman

3. Kepentingan ekonomi yang melindungi para pelaku usaha untuk

mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya adalah sesuatu yang wajar,

akan tetapi daya beli konsumen juga harus dipertimbangkan, sehingga

pelaku usaha jangan memikirkan keuntungan semata tanpa memerinci biaya

rill produksi atas suatu produk yang dihasilkan.

4. Kepentingan hukum konsumen adalah akses konsumen terhadap keadilan,

sehingga konsumen berhak untuk dilindungi dari tindakan pelaku usaha

yang merugikan.

Konteks perlindungan konsumen dalam UUPK, khususnya menyangkut

tanggung jawab pelaku usaha dalam pasal 19 UUPK tidak mampu melindungi

konsumen yang dirugikan oleh informasi iklan, selain itu penerapan sanksi

administrasi dalam bentuk ganti rugi melemahkan posisi dan kedudukan

konsumen dalam undang-undang ini. Selanjutnya bentuk perlindungan melalui

KUH Perdata berupa tanggung jawab berdasarkan perbuatan melawan hukum

maupun wanprestasi juga tidak mampu melindungi konsumen, hal ini berkaitan

dengan sistem pembuktian yang dikenal dalam KUH Perdata yang berada di

tangan konsumen (Pasal 1865 KUH Perdata). Ketentuan ini akan menyulitkan

konsumen karena tidak mudah bagi konsumen untuk menghadirkan bukti dan

saksi untuk mendukung gugatannya.

Kewajiban pelaku usaha yang diatur dalam UUPK, tidak cukup

melindungi konsumen tanpa disertai dengan bentuk pertanggungjawaban yang


246

jelas, karena pertanggungjawaban muncul ketika tidak di penuhinya suatu

kewajiban.285 Kewajiban tidak sama dengan pertanggungjawaban dari sisi

kebahasaan dapat di ketahui bahwa seseorang mewajibkan dirinya untuk

berperilaku dengan cara tertentu, seseorang tidak bisa mewajibkan agar orang

lain berperilaku dengan cara tertentu, namun seseorang bisa dikenai tanggung

jawab tidak hanya atas perilakunya sendiri namun juga dapat dikenai tanggung

jawab atas perilaku orang lain.286

John Austin dalam analytical legal positivism mengemukakan unsur-unsur

hukum sebagai berikut:287

1. Adanya seorang penguasa (sovereignty);


2. Suatu perintah (command);
3. Kewajiban untuk mentaati (duty);
4. Sanksi bagi mereka yang tidak taat (sanction).

Hukum tanpa sanksi sebagai tatanan pemaksa perlu dipertanyakan, dan

jika unsur-unsur pemaksaan dihilangkan dari tatanan social yang ada, yang

dinamakan hukum sebagaimana diprediksikan oleh sosialisme nya Marx akan

mengalami perubahan karakter yang sangat mendasar. Hukum tanpa sanksi akan

kehilangan karakternya sebagai hukum, dan tatanan social yang di bentuknya

akan kehilangan karakternya sebagai negara, negara beserta hukumnya akan

berangsur melemah.288

Sebagaimana ketentuan dengan UUPK, meskipun Undang-Undang ini

telah mengatur sejumlah kewajiban dan larangan-larangan bagi pelaku usaha


285
Hans Kelsen, 2011, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasarllmu Hukum Normatif, Nusa
Media,, Bandung, h. 137.
286
Ibid.
287
Bernard L Tanya, dkk, Op cit, h. 120.
288
Hand Kelsen, Op. cit.
247

namun tanpa adanya sanksi yang tegas UUPK akan kehilangan daya paksa

terhadap pelaku usaha dalam mempertanggungjawabkan setiap tindakan pelaku

usaha yang merugikan konsumen, khususnya berkaitan dengan informasi iklan.

Berkaitan tidak adanya pengaturan tanggung jawab pelaku usaha

pengiklan dan tidak jelasnya pengaturan sanksi dalam UUPK mengakibatkan

konsumen kesulitan untuk menuntut hak-hak mereka. Hal ini tentu tidak adil

konsumen, pelaku usaha wajib memberikan hak konsumen menyangkut

informasi, dan jika pelaku usaha tidak melaksanakan kewajibannya maka dia

harus bertanggung jawab terhadap konsumen.

Konsep keadilan dalam Pancasila terdapat dalam sila ke 2 "Kemanusiaan

yang adil dan beradab" (makna keadilan dalam arti individu) serta sila ke 5

"keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" , di mana dalam konsep ini

seluruh rakyat harus dapat menikmati keadilan dan negara harus menjamin

pemenuhannya.289 Dalam hubungan dengan keadilan sosial ini, John Rawls

menyatakan bahwa subjek utama keadilan sosial adalah struktur masyarakat,

atau lebih tepatnya cara lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak

dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerja

sama sosial. Selanjutnya menurut John Rawls terdapat dua prinsip keadilan yang

harus diperhatikan yaitu: Pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas

kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang;

Kedua, bahwa suatu ketimpangan ekonomi dan sosial haruslah dihilangkan

melalui jaminan terhadap terlaksananya pengharapan yang logis dari setiap

manusia untuk keuntungannya masing-masing, dan dijamin terbukanya semua

Ahmad Sudiro, Op.cit.


289
248

posisi dan jabatan dalam masyarakat bagi semua anggota masyarakat yang

memenuhi persyaratan logis.290

Keadilan dalam UUPK terdapat dalam pasal 2 yang menyebutkan bahwa

"Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,

keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum". Asas keadilan ini

dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal

dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk

memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.291

Pada dasarnya konsumen tidak bisa mendapatkan keadilan dari pelaku

usaha karena konsumen tidak bisa menuntut hak mereka kepada pelaku usaha

untuk mendapatkan ganti rugi ketika informasi iklan yang di sampaikan

merugikan konsumen, meskipun dalam UUPK pelaku usaha diwajibkan untuk

memberikan informasi yang benar serta memberi kompensasi dan ganti rugi

kepada konsumen292 pada akhirnya konsumen sering mengalami kesulitan untuk

meminta pertanggungjawaban pelaku usaha atas pelanggaran terhadap

kewajiban mereka.

Mengacu pada pasal 19 UUPK menyangkut tanggung jawab pelaku usaha

yang hanya di batasi pada 7 hari setelah transaksi serta tidak jelasnya bentuk

pertanggungjawaban pelaku usaha, akan sulit bagi konsumen untuk mengajukan

gugatan kepada konsumen karena terbatasnya waktu pengaturan dalam UUPK,

sehingga jika mengacu pada pasal 19 tersebut maka ketentuan ini tidak bisa

menjangkau pelaku usaha pengiklan (produsen), tetapi hanya terbatas pada

290
Op. cit.
291
Lihat penjelasan pasal demi pasal UUPK pasal 2 butir 2.
292
Lihat pasal 7 UUPK .
249

produk yang cacat dalam transaksi sehari-hari dan bukan untuk kegiatan

periklanan, sehingga konsumen yang dirugikan oleh informasi iklan tidak

terlindungi.

Jika akan merujuk dalam KUH Perdata maka dasar pertanggungjawaban

pelaku usaha terhadap konsumen dapat dilakukan melalui dua cara yakini

perbuatan melawan hukum serta wanprestasi, namun pada akhirnya ketentuan

ini tidak mampu melindungi konsumen karena keharusan untuk membuktikan

ada di tangan konsumen, dan ini tentu tidak mudah bagi konsumen yang

seringkali berada di bawah pelaku usaha.

Iklan sendiri memiliki peran penting bagi konsumen, karena informasi

dalam iklan menjadi salah satu faktor penentu bagi konsumen untuk

memutuskan apakah akan membeli atau tidak suatu produk, karena itu perlu

pelaku usaha harus bertanggung jawab terhadap informasi iklan yang mereka

sampaikan.

Dari uraian diatas menunjukkan keadilan bagi konsumen belum terpenuhi.

Merujuk pada teori keadilan dari Aristoteles bahwa orang yang melakukan

kesalahan bertanggung jawab memberikan kompensasi yang memadai bagi yang

dirugikan dan jika suatu kejahatan dilanggar maka bagi pelaku harus

mendapatkan hukuman yang sepantasnya.293 Sejalan dengan teori keadilan John

Rawls keadilan tidak mengorbankan kepentingan sebagian orang untuk

keuntungan orang lain, karena dalam masyarakat yang adil hak-hak masyarakat

dijamin oleh keadilan. Dengan demikian konsumen berhak menuntut haknya

kepada pelaku usaha sebaliknya pelaku usaha bertanggung jawab terhadap


Bernard L. Tanya, dkk, Op cit.
293
250

konsumen yang dirugikan oleh tindakan pelaku usaha.

3.3. Tanggungjawab Pidana dan Administrasi

Pelaku usaha tidak hanya bertanggung jawab secara perdata, namun

kepadanya dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana, untuk

menimbulkan efek jera termasuk dalam pelanggaran ketentuan periklanan,

sebagaimana yang diatur dalam pasal 19 ayat 4 UUPK. "Pemberian ganti rugi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan

kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut

mengenai adanya unsur kesalahan".

Peran hukum pidana dalam perlindungan konsumen terlihat dalam asas-asas

hukum melalui dua pandangan tentang intervensi hukum pidana dalam bidang

hukum lainnya, pandangan tersebut adalah pandangan ultimum remedium dan

pandangan premium remedium.294

Menurut pandangan ultimum remedium hukum pidana merupakan upaya

terakhir untuk memperbaiki kelakuan manusia, dan wajarlah apabila orang

menghendaki agar hukum pidana itu di dalam penerapannya haruslah disertai

dengan pembatasan-pembatasan yang seketat mungkin.295

Pertanggungjawaban pidana merupakan salah satu syarat penjatuhan pidana,

di samping pembuat tersebut telah melakukan tindak pidana. Pembuat tidak

mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan

tindak pidana, serta ada tidaknya kesalahan pada si pembuat yang dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana.296 Asas tidak ada pidana tanpa kesalahan merupakan


294
Yusuf Shofie, Op. cit, h. 116.
295
Loc. cit.
296
H. Setiyono, 2013, Teori-Teori dan Alur Pikir Penerapan Pertanggungjawaban Pidana
251

asas yang fundamental dalam pemidanaan. Pelaku yang melakukan tindak pidana

akan dijatuhi pidana apabila ia mempunyai kesalahan atau dapat

dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.297

Menurut pandangan premium remedium menghendaki diterapkannya hukum

pidana dalam berbagai pelanggaran hukum yang selama ini muncul cukup

diselesaikan dengan instrument hukum administrasi dan hukum perdata.298

Mewakili pandangan ini, Muladi dengan cermat memberikan lima kriteria

diterapkannya hukum pidana sebagai berikut:

1. Kondisi-kondisi subjektif yang berkaitan dengan perbuatan;


2. Hal-hal subjektif yang berkaitan dengan pelaku;
3. Kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan;
4. Kesan masyarakat terhadap tindak pidana;
5. Perangkat tujuan pemidanaan yang lain.299

Lingkup pertanggungjawaban pidana, menurut pakar hukum pidana

Sudarto, di samping kemampuan bertanggungjawab, kesalahan dan melawan

hukum, sebagai syarat pengenaan pidana, tindakan pelaku harus dinilai

membahayakan masyarakat. Dengan demikian format pertanggungjawaban pidana

dalam arti di pidananya pelaku mensyaratkan beberapa hal, yakni:300

1. Terdapat suatu tindak pidana oleh si pelaku

2. Terdapat unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan

3. Terdapat pelaku yang mampu bertanggung jawab

4. Tidak terdapat alasan pemaaf.

Berdasarkan ketentuan dalam UUPK terdapat perluasan dalam penerapan

Korporasi, Bayumedia Publishing, Bandung, h. 21.


297
H. Setiyono, Ibid.
298
Ibid
299
ibid.
300
Janus Sidabalok, Op. cit, h.177.
252

pidana, karena tidak hanya terbatas pada unsur kesalahan, tetapi juga mengenal

tanggung jawab tanpa kesalahan dengan di anutnya prinsip strict liability

sebagaimana yang tercantum dalam pasal 22 UUPK, "Pembuktian terhadap ada

tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal

19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku

usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian".

Dalam pasal ini tersirat bahwa tuntutan tanggung jawab terhadap pelaku usaha

dapat dilakukan, ada tidaknya suatu kesalahan.

Penerapan sanksi pidana terhadap pelanggaran ketentuan periklanan,

dipertegas dalam ketentuan Pasal 62 UUPK :

1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1), huruf a,
huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan pasal 18 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp.2.000.000.000 (dua miliar rupiah).
2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (1)
huruf d dan huruf f, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta
rupiah).
3) Terhadap pelanggaran yang menimbulkan luka berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Menurut rumusan pasal 62 ini jelas bahwa terdapat beberapa ketentuan

dalam UUPK yang dapat diterapkan dalam kegiatan periklanan khususnya

terhadap pelaku usaha pemilik produk barang dan jasa. sanksi pidana yang diatur

dalam ketentuan ini dapat berupa pidana penjara atau denda.

Mencermati rumusan pasal 62 UUPK tersebut, mengandung kelemahan,

karena sanksi pidana yang dapat dijatuhkan masih bersifat alternatif, yaitu dengan

dipergunakannya rumusan "atau" diantara ancaman sanksi pidana penjara dengan


253

sanksi pidana denda, sehingga dimungkinkan untuk pengenaan sanksi salah satu

diantaranya, dan yang pasti pelaku usaha pasti akan memilih sanksi pidana berupa

denda, mengingat kemampuan finansial yang dimilikinya, pada akhirnya

ketentuan ini tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku usaha.

Berdasarkan analisa penulis untuk lebih memperberat ancaman sanksi

pidana dalam Pasal 62 UUPK, maka dalam Pasal 63 UUPK dimungkinkan

pengenaan sanksi pidana tambahan, berupa:

a. perampasan barang-barang tertentu;

b. pengumuman keputusan hakim;

c. pembayaran ganti rugi;

d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan kerugian

konsumen;

e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau f pencabutan izin usaha

Sanksi tambahan yang diatur dalam pasal 63 (f) UUPK, sudah dipastikan

memberikan efek jera bagi pelaku usaha, karena setiap pelaku usaha pasti akan

berusaha untuk menjaga keberlangsungan usaha mereka, namun penempatan

ketentuan ini rasanya kurang tepat, mengingat UUPK mengatur tentang sanksi

administrasi, yang lebih tepat untuk mengatur tentang pencabutan izin usaha.

Selain UUPK pengenaan sanksi pidana dalam kegiatan periklanan juga diatur

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Mempertimbangkan potensi bahaya yang dapat timbul dari pemberian

informasi iklan menyesatkan terhadap konsumen, maka pengenaan pasal- pasal

KUHP tidak hanya mengenai pasal-pasal penipuan dengan ancaman pidana


254

penjara maksimal 4 (empat) tahun penjara, seperti Pasal 378, 382 bis, 383, 386

ayat (1), tetapi dapat pula dikenakan pasal-pasal pidana dengan ancaman pidana

yang lebih berat, misalnya ketentuan dalam pasal 204, 205, 359, 382, 383, dan

390, meskipun pasal-pasal ini tidak menyebutkan tentang kata "konsumen",

namun demikian ketentuan-ketentuan ini juga dapat diterapkan dalam rangka

melindungi konsumen akibat informasi iklan yang menyesatkan dan membawa

kerugian bagi konsumen.

1) Pasal 204: Barangsiapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-


bagikan barang, yang diketahui bahwa membahayakan nyawa atau
kesehatan orang, padahal sifat berbahaya itu tidak diberitahukan, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Jika perbuatan
mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua
puluh tahun.
2) Pasal 205: barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan bahwa barang-
barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang lain dijual
diserahkan atau dibagi-bagikan tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh
yang membeli atau yang memperoleh, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau
denda paling banyak tiga ratus rupiah. Jika perbuatan mengakibatkan
matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama satu
tahun empat bulan atau kurungan paling lama satu tahun. Barang-barang itu
dapat disita.
3) Pasal 359: Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang
lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lama satu tahun.
4) Pasal 360: Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain
mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau kurungan paling lama satu tahun. Barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga
timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda
paling tinggi tiga ratus rupiah
5) Pasal 382: Barangsiapa menjual, menawarkan atau menyerahkan makanan,
minuman atau obat-obatan yang di ketahui bahwa itu di palsu, dan
menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun. Bahan makanan, minuman atau obat-obatan itu di palsu, jika
nilainya atau faedahnya menjadi kurang karena dicampur dengan sesuatu
255

bahan lain.
6) Pasal 383: Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli: (1) karena
sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, (2)
mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan, dengan
menggunakan tipu muslihat.

Apabila dilakukan analisis lebih lanjut mengenai penerapan pasal- pasal

KUHP dalam rangka pertanggungjawaban pidana para pihak terkait penyampaian

iklan menyesatkan, maka akan ditemukan bahwa unsur-unsur dalam pasal-pasal

KUHP tersebut tidak sesuai atau tidak dapat dipergunakan untuk menentukan

adanya penyesatan dalam suatu iklan. Misalnya, Pasal 378 KUHP sebagai pasal

mengenai penipuan yang terdiri dari beberapa unsur, yaitu:"

a. membujuk orang agar memberikan barang, membuat utang atau


menghapuskan piutang;
b. maksud pembujukan itu adalah hendak menguntungkan diri sendiri atau
orang lain dengan melawan hak;
c. pembujukan tersebut dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, akal
cerdik (tipu muslihat), atau karangan perkataan bohong.301

Unsur-unsur dalam Pasal 378 KUHP ini sama sekali tidak memasukkan

kegiatan penyampaian informasi menyesatkan melalui iklan sebagai salah satu

kegiatan membujuk, sehingga apabila Pasal 378 KUHP ingin dipergunakan untuk

menjerat pelaku usaha yang menyampaikan informasi menyesatkan tersebut harus

dalam rangka penafsiran pasal-pasal KUHP, serta ketepatan penggunaan pasal

penipuan ini harus diuji terlebih dahulu melalui putusan pengadilan.

Demikian pula dalam Pasal 382 bis KUHP mengenai persaingan curang

atau penawaran curang. Agar kejahatan ini dapat dihukum maka harus dipenuhi

unsur-unsur sebagai berikut:

Dedi Harianto, Op. cit, h. 227.


301
256

a. Terdakwa harus melakukan suatu perbuatan curang


b. Perbuatan menipu tersebut untuk memperdaya publik atau seorang tertentu.
c. Perbuatan tersebut dilakukan untuk menarik sesuatu keuntungan di dalam
perdagangan atau perusahaan sendiri atau orang lain.
d. Karena perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi saingannya
e. Saingan itu adalah saingan dari terdakwa sendiri atau saingan dari orang
yang dibela oleh terdakwa.302

Berdasarkan kajian, selain unsur-unsur dalam Pasal 382 bis KUHP tersebut

tidak dapat dipergunakan untuk menentukan adanya perbuatan penyesatan dalam

suatu iklan, ketentuan pidana yang diatur lebih ditujukan untuk memberikan

perlindungan kepada pelaku usaha lain yang merupakan pesaing dalam kegiatan

perdagangan iklan bukan kepada publik (konsumen) yang juga telah turut

diperdaya oleh adanya persaingan curang tersebut.303

Sebagai perumpamaan sulitnya penerapan pasal-pasal penipuan dalam

KUHP untuk menjerat para pelaku penyampaian informasi menyesatkan dalam

kegiatan periklanan, dapat terlihat pada kasus halal-haram Ajinomoto Dalam hal

ini, penyidik Polri di tingkat Polda (Jawa Timur) dan Mabes Polri telah

mengenakan kepada para direksi/pengurus PT Ajinomoto Indonesia tuduhan

klasik Pasal 378 KUHP mengenai Delik Penipuan. Tindakan tersebut sebagai

tindak lanjut dikeluarkannya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) lewat

suratnya No. U-558/MUI/XI1/2000 yang menyatakan bahwa produk Ajinomoto

haram dikonsumsi umat Islam.304

Fatwa MUI tersebut di latarbelakangi oleh adanya temuan lembaga

302
Dedi Herianto, h. 228.
303
Dedi Herianto, h. 228.
304
Loc. cit, h. 229.
257

pengkajian pangan, obat-obatan dan kosmetik Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-

MUI), bahwa PT Ajinomoto telah mengganti bahan nutrisi untuk

mengembangkan kultur bakteri dari polypeptone menjadi bactosoytone yang

mengandung porcine (enzim dari pancreas babi) sejak juni 2000, tetapi tidak

memberitahukan/melaporkan perubahan tersebut kepada LPPOM-MUI. Setelah

terjadi perdebatan seru mengenai halal haramnya produk Ajinomoto tersebut, PT

Ajinomoto akhirnya memutuskan untuk mengganti porcine dengan memo yang

halal. Temuan LPPOM-MUI terasa sangat kontras dengan label dan tayangan-

tayangan iklan Ajinomoto yang selalu menampilkan kesan bahwa produk

Ajinomoto sebagai produk yang halal untuk dikonsumsi masyarakat Indonesia

yang mayoritas menganut agama Islam.305

Kendala lain berkaitan dengan upaya untuk meminta pertanggungjawaban

pidana para pihak yang terlibat dalam kegiatan periklanan adalah berkenaan

dengan bentuk kegiatan usaha pengiklan, perusahaan periklanan, media

periklanan sebagai subjek hukum pidana berbentuk korporasi, yang memiliki

harta kekayaan serta hak dan kewajiban terpisah dari yang dimiliki oleh para

pengurusnya.306

Berdasarkan uraian sebelumnya, Apabila dikaitkan dengan upaya

perlindungan konsumen terhadap iklan-iklan yang menyesatkan pada konteks

dasar-dasar pertimbangan perumusan korporasi sebagai subjek delik dalam KUHP

Indonesia, maka akan terlihat sebagai berikut:

Loc cit.
305

Loc cit, h. 230.


306
258

a. Iklan merupakan sarana strategi sebagai pengusaha dalam mengembangkan


usahanya baik, di sektor barang maupun jasa. iklan diperlukan oleh
konsumen sebagai sumber informasi secara benar, agar ia memiliki bekal
untuk menentukan pilihan, baik mengenai mutu, harga. Oleh karena itu
iklan, seharusnya dapat menjadi sarana pendorong persaingan yang sehat
dan saling menguntungkan, baik antara perusahaan-perusahaan maupun
antara perusahaan dengan konsumen.
b. Perkembangan dalam praktik periklanan yang merupakan hasil kerjasama
beberapa pihak, selain kurang memperhatikan kepentingan pesaing juga
kepentingan konsumen kurang diperhatikan. Hal ini dapat diketahui dan
dipahami melalui iklan-iklan (makanan dan obat-obatan) seringkali
mempergunakan pernyataan menyesatkan, sehingga dapat menyebabkan
kerugian clan membahayakan konsumen. Sebab suatu hasil produksi (obat
dan makanan) yang di iklankan, belum tentu aman dikonsumsi aman oleh
warga masyarakat.307

Berkenaan dengan permasalahan tersebut, Hamzah Hatrik berpendapat,

terdapat tiga permasalahan pokok guna meminta pertanggungjawaban korporasi;

a. Masalah pokok tentang perbuatan yang dilarang, yang akan menyangkut


masalah kriminalisasi, yakni perbuatan-perbuatan yang bagaimanakah yang
akan dinyatakan kejahatan atau tindak pidana korporasi.
b. Masalah pokok tentang kesalahan yang mengandung persoalan yang tidak
mudah terpecahkan, yakni menyangkut korporasi sebagai subjek hukum
pidana dan pembuat tindak pidana. Sebab masih banyak kalangan hukum
baik teoritis maupun praktisi hukum yang menolak korporasi sebagai
pembuat tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan, karena korporasi
mustahil dapat melakukan kesalahan;
c. Persoalan selanjutnya adalah masalah sanksi pidana yang diancamkan
terhadap korporasi yang melakukan pelanggaran dalam menjalankan
aktivitas korporasi yang seringkali dimotivasi untuk mencapai tujuan
memperoleh profit.308

Pertanggungjawaban pidana, pelaku usaha tidak dapat berdalih bahwa suatu

perbuatan yang ada di lingkungan usahanya bukan dilakukannya, atau bukan atas

perintahnya. Sebagaimana diketahui dasar pertanggungjawaban pidana

meliputi :309

307
Loc cit, h. 230-231.
308
Loc cit, h.231-232.
309
Janus Sidabalok, Op cit, h. 186.
259

1. Tanggung jawab utama

2. Tanggung jawab atas perbuatan orang lain

2. Tanggung jawab korporasi

3. Tanggung jawab untuk membantu.

Sistem ini disebut dengan vicarious liability, yang dalam UUPK tersirat

dalam pasal 61 UUPK, Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha

dan/atau pengurusnya. Dengan demikian tanggung jawab pidana tidak hanya

dibebankan kepada mereka yang nyata-nyata melakukan perbuatan itu, melainkan

kepada pimpinan perusahaan baik direksi maupun pengurus atau orang yang

bertanggung jawab terhadap perbuatan tersebut, termasuk di dalamnya korporasi.

Berdasarkan analisa peneliti di luar ketentuan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana terdapat banyak sekali ketentuan pidana yang beraspekkan

perlindungan konsumen. Lapangan pengaturan hukum yang berkaitan dengan

hukum perlindungan konsumen terdapat pada bidang kesehatan, Undang-Undang

Pangan, undang-undang tentang Hak Kekayaan Intelektual khususnya mengenai

Merek dan Hak cipta, menyangkut pembajakan merek dan hak cipta yang

merugikan hak-hak konsumen.

Peran hukum pidana dalam melindungi konsumen sangatlah penting karena

berhubungan dengan kesehatan, keamanan serta kepentingan ekonomi konsumen,

dimana sanksi pidana dapat digunakan untuk melindungi konsumen dari

pelanggaran pelaku usaha.310

Setelah membahas tentang tanggung jawab pidana pelaku usaha terhadap

konsumen, kiranya perlu pula dibahas perihal tanggung jawab pelaku usaha dalam

Yusuf Shofie, Op. cit, h. 122.


310
260

perspektif hukum administrasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu asas

hukum pidana adalah sebagai ultimum remidium, sehingga sedapat mungkin

diusahakan upaya hukum lain sehingga upaya hukum pidana menjadi upaya

hukum terakhir. Ketika membahas upaya hukum administrasi maka, hal yang

pertama harus dibahas adalah pengertian dari hukum administrasi itu sendiri.

Hukum administrasi negara adalah instrumen hukum publik yang penting

dalam perlindungan konsumen. Sanksi-sanksi hukum perdata dan pidana

seringkali kurang efektif jika tidak disertai sanksi administrasi. 311 Aspek

administratif merupakan sarana alternatif publik menuntut kebijakan pemerintah

untuk meningkatkan perlindungan konsumen. Aspek ini berkaitan dengan

perizinan yang diberikan pemerintah kepada pelaku usaha.312

Bidang-bidang hukum administrasi dari bidang konsumen ialah penetapan-

penetapan dari pemerintah dalam rangka mengendalikan prinsip-prinsip

pemerintahan yang baik. Contohnya masalah penetapan perizinan. Perizinan

merupakan alat kontrol efektif pemerintah untuk membina lembaga usaha dan

kegiatan masyarakat yang bisa merusak berbagai aspek di masyarakat.313

Sanksi administratif ditujukan kepada pelaku usaha dengan maksud

menimbulkan efek jera, karena berkaitan dengan perizinan yang diberikan,

sehingga jika terdapat pelanggaran pemerintah dapat mencabut izin usaha secara

sepihak.

Pencabutan izin hanya bertujuan menghentikan proses produksi dari

produsen/penyalur. Produksi disini harus diartikan secara luas, dapat berupa


311
Celina, Op. cit, h. 83.
312
Janus Sidabalok, Op cit, h. 204.
313
Loc cit, h. 205.
261

barang atau jasa. Dengan demikian, dampaknya secara tidak langsung berarti

melindungi konsumen pula, yakni mencegah jatuhnya lebih banyak korban.

Adapun pemulihan hak-hak korban (konsumen) yang dirugikan bukan lagi tugas

instrumen hukum administrasi negara. Hak-hak konsumen yang dirugikan dapat

dituntut dengan bantuan hukum perdata dan/atau pidana.314

Campur tangan administratur negara idealnya harus dilatarbelakangi itikad

melindungi masyarakat luas dari bahaya. Pengertian bahaya di sini terutama

berkenaan dengan kesehatan dan jiwa. itulah sebabnya, sejak pra kemerdekaan,

peraturan-peraturan tentang produk makanan, obat-obatan, dan zat-zat kimia,

diawasi secara ketat. Syarat-syarat pendirian perusahaan yang bergerak di bidang

tersebut dan pengawasan terhadap proses produksinya dilakukan ekstra hati-hati.

Peraturan-peraturan masa kolonial itu bahkan masih banyak yang berlaku sampai

sekarang.315 Sanksi administratif ini seringkali lebih efektif dibandingkan dengan

sanksi perdata atau pidana.

Ada beberapa alasan untuk mendukung pernyataan bahwa sanksi

administratif lebih efektif dari sanksi pidana atau perdata, antara lain:

Pertama, sanksi administratif dapat diterapkan secara langsung dan sepihak,


Dikatakan demikian karena penguasa sebagai pihak pemberi izin tidak perlu
meminta persetujuan terlebih dahulu dari pihak manapun. Persetujuan,
kalaupun itu dibutuhkan, mungkin dari instansi-instansi Pemerintah terkait.
Sanksi administratif juga tidak perlu melalui proses pengadilan. Memang,
bagi pihak yang terkena sanksi ini dibuka kesempatan untuk "membela
diri", antara lain mengajukan kasus tersebut ke pengadilan tata usaha
negara, tetapi sanksi itu sendiri dijatuhkan terlebih dulu, sehingga berlaku
efektif.

Kedua, sanksi perdata dan/atau pidana acapkali tidak membawa efek jera
bagi pelakunya. Nilai ganti rugi dan pidana yang dijatuhkan mungkin tidak

Loc cit, h. 84.


314

Celina, Op. cit, h. 84.


315
262

seberapa dibandingkan dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan


negatif produsen. Belum lagi mekanisme penjatuhan putusan yang biasanya
berbelit-belit dan membutuhkan proses yang lama, sehingga konsumen
sering menjadi tidak sabar. Untuk gugatan secara perdata, konsumen juga
dihadapkan pada posisi tawar menawar yang tidak selalu menguntungkan
dibandingkan dengan si produsen.316

Sanksi administratif berupa pencabutan izin tersebut, yang diharapkan dapat

memberikan efek jera kepada pelaku usaha ini, justru tidak diatur dalam UUPK,

karena bentuk sanksi administrasi yang diatur dalam UUPK justru berupa ganti

rugi, yang ditetapkan oleh BPSK. Pengaturan jenis sanksi administrasi dalam

UUPK ini mengandung kelemahan, sehingga pada akhirnya tidak memberikan

perlindungan kepada konsumen dan tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku

usaha.

Bentuk pertanggungjawaban administratif yang dapat dituntut dari produsen

sebagai pelaku usaha diatur di dalam Pasal 60 UUPK yaitu pembayaran ganti

kerugian paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta) rupiah, terhadap

pelanggaran atas ketentuan tentang:

1. Kelalaian membayar ganti rugi kepada konsumen (Pasal 19 ayat (2) dan
ayat (3));
2. Periklanan yang tidak memenuhi syarat (Pasal 20);
3. Kelalaian dalam menyediakan suku cadang (Pasal 25); dan
4. Kelalaian memenuhi garansi yang dijanjikan.317
Pengenaan sanksi administrasi berupa ganti rugi yang diatur dalam UUPK

tidak bisa melindungi konsumen dalam kegiatan periklanan, karena itu diperlukan

undang-undang khusus yang mengatur kegiatan periklanan, dengan perumusan

sanksi yang tepat dengan tegas antara sanksi perdata, pidana dan administrasi.

Dimana penerapan sanksi administrasi lebih tepat jika dalam bentuk pencabutan

Loc cit, h. 84-85.


316

Janus Sidabalok, Op. cit, h. 95.


317
263

izin usaha dan bukan merupakan ganti rugi, yang merupakan bagian dari sanksi

perdata.

Pengaturan mengenai sanksi dalam UUPK perlu untuk segera direvisi sesuai

dengan asas-asas pembentukan perundang-undangan yang baik, karena itu

pembentuk undang-undang harus benar-benar mengetahui dan memahami hukum

positif Indonesia yang baik, sehingga memahami dengan jelas letak dan bentuk

sanksi perdata, pidana dan administrasi agar peraturan perundang-undangan yang

dibuat sistematika, jenis dan muatannya jelas. Ketidak jelasan pengaturan sanksi

dalam UUPK ini sangat jelas yaitu: pengaturan sanksi administrasi dalam bentuk

ganti rugi, yang merupakan bagian dari hukum perdata sedangkan penetapan

sanksi pidana dalam bentuk pencabutan izin usaha yang justru bagian dari sanksi

administrasi. Akibatnya terjadi kekosongan hukum dalam sanksi administrasi

pada UUPK, karena penetapan sanksi yang keliru dan tidak benar.

Pengaturan sanksi administrasi dalam pasal 60 UUPK sangat merugikan

konsumen, karena itu perlu untuk segera direvisi, karena tidak sesuai dengan asas-

asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana yang

tercantum dalam pasal 5 butir c dan f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 5c : Kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan.

Asas kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan adalah


bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus
benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan
jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.

Pasal 5f : Kejelasan rumusan.

Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundang-


undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan
264

perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminology,


serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

Pengaturan sanksi administrasi dalam UUPK jenis, hierarki dan muatannya

tidaklah sesuai, karena bentuk sanksi administrasi yang diatur yakni dalam bentuk

ganti rugi merupakan bentuk sanksi perdata dan bukan bagian daripada sanksi

administrasi, karena itu untuk melindungi konsumen perumusan sanksi

administrasi perlu di revisi sebagaimana dalam ketentuan administrasi yaitu

berupa: pencabutan izin usaha yang nanti akan lebih melindungi konsumen dan

memberikan efek jera bagi pelaku usaha, karena setiap pelaku usaha pasti akan

menjaga kelangsungan usahanya. Sebagaimana juga dengan asas kejelasan

rumusan mengatur menyangkut tentang sistematika, jadi dalam sistematika

pengaturan perundang-undangan hendaknya jelas mana bagian dari sanksi

perdata, pidana, dan administrasi haruslah jelas rumusannya.

Peraturan perundang-undangan agar bisa memberikan perlindungan dan

jaminan kepastian hukum terhadap masyarakat, materi dan muatannya harus jelas

serta sistematika dan kerangkanya benar dan sesuai dengan pembentukan

peraturan perundang-undangan.

3.4. Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Penyelesaian sengketa merupakan suatu hal penting dalam sengketa

konsumen, baik bagi konsumen maupun pelaku usaha. Bagi konsumen hal

penyelesaian sengketa bukanlah hal mudah, karena tentu akan memakan biaya

yang tidak sedikit, serta proses penyelesaian yang lama dan rumit. Bagi pelaku

usaha sendiri sebagai pelaku bisnis ini akan berpengaruh terhadap kelangsungan
265

usahanya, apa lagi jika sengketa tersebut sampai di ekspos pada masyarakat

umum, karena itu dalam hal penyelesaian sengketa baik pelaku usaha dan

konsumen tentu menginginkan suatu proses yang cepat.

Ketentuan dalam UUPK mengatur hal penyelesaian sengketa dalam dua

bentuk yaitu penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan serta

penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. undang-undang ini

memungkinkan adanya penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan maksud

untuk menemukan penyelesaian atas persoalan antara konsumen dan pelaku

usaha.

Pelaksanaan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,

merupakan harapan konsumen karena mahalnya serta lambatnya penyelesaian

sengketa lewat pengadilan. Secara terdapat beberapa kritikan terhadap

penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yaitu :318

1. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat, karena


pemeriksaan yang formalistik dan sangat teknis.
2. Biaya perkara mahal, apalagi jika penyelesaiannya memakan waktu yang
lama, biaya yang dikeluarkan semakin tinggi.
3. Pengadilan pada umumnya tidak responsif, karena pengadilan dianggap
sering berlaku tidak adil, karena hanya memberi pelayanan dan kesempatan
kepada orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang lebih besar
4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah, karena putusan
pengadilan seringkali tidak bisa memberikan kepuasan para pihak
5. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis, kemampuan para hakim
terbatas, terutama di abad iptek dan globalisasi sekarang.

Adanya berbagai kekurangan dari lembaga peradilan tersebut, sehingga para

pihak yang bersengketa, memilih untuk menyelesaikan sengketa di luar

pengadilan. Hal itu yang hendak diakomodir oleh UUPK sehingga memungkinkan

para pihak untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan pilihan mereka, dan dalam
Ahmadi Miru, Op. cit, h. 155-156.
318
266

UUPK dikenal Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

BPSK merupakan suatu lembaga yang dibentuk berdasarkan UUPK, untuk

menyelesaikan sengketa konsumen. Konsumen yang dirugikan dapat menggugat

pelaku usaha melalui BPSK. Pasal 1 butir 11 UUPK menyebutkan tugas BPSK

adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku

usaha dan konsumen. Badan ini merupakan bentukan pemerintah yang

berkedudukan di ibu kota daerah tingkat II kabupaten/Kota.

Pembentukan BPSK sendiri didasarkan pada kecenderungan masyarakat

yang segan beracara di pengadilan karena posisi konsumen yang secara sosial dan

finansial tidak seimbang dengan pelaku usaha. Terbentuknya lembaga ini

diharapkan dapat menyelesaikan sengketa konsumen secara cepat, mudah dan

murah, karena tenggang waktu yang ditetapkan dalam undang-undang paling

lambat 21 hari BPSK wajib mengeluarkan putusan setelah gugatan diterima.

Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk

mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi atau menangani

tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya kembali kerugian yang

diderita konsumen.

Mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui BPSK yang

diatur dalam UUPK, merupakan bentuk perlindungan hukum represif bagi

konsumen, akan tetapi kehadiran BPSK ini tidak bisa memenuhi harapan

konsumen untuk menyelesaikan sengketanya dengan pelaku usaha di luar

pengadilan, karena pasal-pasal pengaturan menyangkut kewenangan BPSK

tersebut terdapat kontradiktif. Pasal 54 ayat 3 UUPK menyebutkan "putusan


267

majelis bersifat final dan mengikat". Pengertian final berarti penyelesaian

sengketa tersebut telah selesai dan berakhir, sedangkan kata mengikat

mengandung arti memaksa harus dilaksanakan dan jalankan oleh pihak yang di

wajibkan. Prinsip res judicata pro veritate habetur, menyatakan bahwa putusan

yang tidak dapat dilakukan upaya hukum, dinyatakan sebagai putusan yang

mempunyai kekuatan hukum pasti.319 berdasarkan prinsip ini maka putusan BPSK

dipandang sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat

dilaksanakan (in kracht van gewijsde).

Putusan BPSK ini, pada akhirnya menjadi tidak berarti, karena dalam pasal

56 ayat 2 UUPK menyebutkan "para pihak dapat mengajukan keberatan kepada

pengadilan negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima

pemberitahuan putusan tersebut". Hal ini bertentangan dengan ketentuan pasal 54

ayat 3 UUPK, sehingga pengaturan pasal-pasal dan UUPK ini tidak konsisten, dan

pada akhirnya tidak mampu melindungi konsumen, karena pada akhirnya

konsumen harus berhadapan dengan pelaku usaha di pengadilan yang memakan

waktu dan biaya yang tidak sedikit.

Perlindungan hukum sebagaimana pendapat Phillipus Hadjon di laksanakan

secara preventif dan represif. Tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa

merupakan bentuk perlindungan secara represif, karena itu untuk melindungi

konsumen dalam kegiatan periklanan maka UUPK harus konsisten dan pasal-

pasal yang ada tidak kontradiktif, sehingga BPSK dapat menjalankan

kewenangannya secara tegas dalam penyelesaian sengketa konsumen.

Susanti Adi Nugroho, Op. cit.


319
268

3.4.1. Dasar Hukum Pembentukan BPSK

Dasar hukum pembentukan BPSK adalah UUPK pasal 49 ayat 1 jo pasal 2

kepmenperindag No 350/MPP/Kep/12/2001 mengatur bahwa setiap kota atau

kabupaten harus di bentuk BPSK. Kehadiran BPSK diresmikan pada tahun 2001

yaitu dengan adanya keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang

Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Menurut ketentuan pasal 90 Kepres No 90 tahun 2001, biaya pelaksanaan

tugas BPSK dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam upaya

untuk memudahkan konsumen menjangkau BPSK, maka dalam keputusan

presiden tersebut, tidak dicantumkan pembatasan wilayah yuridiksi BPSK,

sehingga konsumen dapat mengadukan masalahnya pada BPSK mana saja yang

dikehendakinya.

3.4.2. Susunan dan Keanggotaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

BPSK berkedudukan di Daerah Tingkat II kabupaten/Kotamadya dengan

susunan :

1. Satu orang ketua merangkap anggota

2. Satu orang wakil merangkap anggota

3. Sembilan sampai dengan lima belas anggota

Berdasarkan surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan

Nomor 301/MPP/Kep/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota

dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, ditetapkan anggota

BPSK terdiri dari unsur-unsur :


269

1. Unsur pemerintah, berasal dari wakil instansi yang ruang lingkup tugasnya

meliputi bidang industri, perdagangan, kesehatan, pertambangan, pertanian,

kehutanan, perhubungan, dan keuangan.

2. Unsur konsumen, berasal dari wakil Lembaga Perlindungan Konsumen

Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang terdaftar dan diakui oleh wali kota

atau bupati atau kepala dinas setempat.

3. Unsur pelaku usaha, berasal dari wakil asosiasi dan/atau organisasi

pengusaha yang berada di daerah kota atau di daerah kabupaten setempat.

Setiap unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha

berjumlah sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima)

orang, disesuaikan dengan volume dan beban kerja BPSK. Jumlah anggota

sedikit-dikitnya 9 (Sembilan) orang atau sebanyak-banyaknya 15 (lima belas)

orang, disesuaikan dengan volume dan beban kerja BPSK setempat. Kemudian,

sepertiga dari jumlah BPSK wajib berpengetahuan dan berpendidikan di bidang

hukum.

Menurut pasal 49 UUPK, untuk dapat diangkat menjadi anggota BPSK,

seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Warga Negara Republik Indonesia

2. Berbadan sehat

3. Berkelakuan baik

4. Tidak pernah di hukum karena kejahatan

5. Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen

6. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.


270

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam menjalankan tugasnya

dibantu oleh sekretariat. Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

terdiri atas kepala sekretariat dan anggota sekretariat. Pengangkatan dan

pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen ditetapkan oleh Menteri.

3.4.3. Tugas dan Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Tugas dan wewenang BPSK, menurut pasal 52 UUPK, adalah:

1. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan


cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi
2. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen
3. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku
4. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan
dalam undang-undang ini
5. Menerima pengaduan, baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen
tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen
6. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen
7. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen
8. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini
9. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf (g) dan huruf (h),
yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa
konsumen
10. Mendapatkan, meneliti, dan/atau melihat surat, dokumen, atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan
11. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian di pihak
konsumen
12. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen
13. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini.

Berdasarkan ketentuan butir (a) pasal 52 tersebut, penyelesaian sengketa

konsumen lewat BPSK dilaksanakan dengan cara mediasi, arbitrase atau

konsiliasi. Mediasi merupakan bentuk penyelesaian sengketa yang dilakukan


271

sendiri pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak

aktif sebagai mediator, berbeda dengan cara konsiliasi dimana mediator

bertindak pasif sebagai kosilitator.320

Penyelesaian sengketa, lewat jalur arbitrase merupakan bentuk

penyelesaian dimana para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya

kepada BPSK. Penyelesaian secara arbitrase dilakukan dan diputuskan oleh

majelis yang bertindak sebagai arbiter.321 Pemeriksaan yang dilakukan oleh

BPSK ini akan berusaha menemukan bukti-bukti tentang adanya pelanggaran

hukum di dalam sengketa konsumen, agar putusan yang dibuat sesuai dengan

ketentuan hukum.322

Pelaksanan menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara mediasi atau

konsiliasi, maka yang berwenang untuk menetapkan siapa yang menjadi

personilnya baik sebagai ketua majelis yang berasal dari unsur pemerintah

maupun anggota majelis yang berasal dari konsumen dan pelaku usaha adalah

ketua BPSK.323

Berdasarkan ketentuan, Hal ini berbeda dengan majelis dengan cara

arbitrase, yang berwenang menentukan siapa yang duduk di majelis adalah pihak

yang bersengketa bukan ketua BPSK. Baik konsumen maupun pelaku usaha

dapat memilih arbiter yang akan mewakili kepentingannya. Para pihak bebas

menentukan satu dari anggota BPSK sebagai arbiter yang akan menjadi anggota

majelis, selanjutnya arbiter dari pihak konsumen dan pelaku usaha akan memilih

arbiter ke tiga yang berasal dari unsur pemerintah yang merupakan anggota
320
Adian Sutedi, Op. cit, h25.
321
Loc. cit
322
Janus Sidabalok, Op. cit, h. 199.
323
Susanti Adi Nugroho, Op. cit, h. 81.
272

BPSK, yang kemudian bertindak sebagai ketua majelis.324

Berdasarkan analisa peneliti untuk menangani dan menyelesaikan sengketa

konsumen, BPSK membentuk majelis, dengan jumlah anggota minimal tiga

orang, dan mewakili semua unsur serta di bantu oleh seorang panitera. Panitera

BPSK berasal dari anggota sekretariat yang ditetapkan oleh ketua BPSK. Tugas

panitera adalah:

a. Mencatat jalannya proses penyelesaian sengketa konsumen

b. Menyimpan berkas laporan

c. Menjaga barang bukti

d. Membantu majelis menyusun putusan

e. Membantu penyampaian putusan kepada konsumen dan pelaku usaha

f. Membuat berita acara persidangan

g. Membantu majelis dalam tugas-tugas penyelesaian sengketa.

Ketua majelis BPSK atau anggota BPSK, atau panitera, berkewajiban

untuk mengundurkan diri apabila terdapat permintaan atau tanpa permintaan dari

ketua BPSK, atau anggota BPSK, atau para pihak yang bersengketa, jika terikat

hubungan darah sampai derajat ketiga atau hubungan suami istri meskipun telah

bercerai dengan pihak yang bersengketa.325

Berdasarkan ketentuan pasal 52 butir m, dan pasal 60 UUPK, BPSK

berwenang menjatuhkan sanksi administratif, kepada pelaku usaha. Kewenangan

ini menimbulkan pertanyaan, apakah BPSK dapat melakukannya, karena

Loc. cit.
324

Pasal 20 ayat 1 dan 2, SK Memperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001


325
273

kewenangan menjatuhkan sanksi administratif ada pada pemerintah.

3.4.4. Tahap penyelesaian sengketa melalui BPSK

Adapun beberapa tahapan yang harus dilalui ketika perselisihan perihal

perlindungan konsumen diselesaikan melalui BPSK, antara lain:

1. Tahap Pemasukan Gugatan

Seorang atau sekelompok konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku

usaha, dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa kepada BPSK.

Gugatan ini dapat diajukan secara lisan maupun tertulis.

Permohonan diajukan secara tertulis, kepada sekretariat BPSK, maka

sekretariat BPSK akan memberikan tanda terima kepada pemohon, dan jika

permohonan diajukan secara lisan maka secretariat BPSK akan mencatat

permohonan tersebut dalam sebuah formulir yang disediakan secara khusus,

dan dibubuhi tanggal dan nomor registrasi. Apabila permohonannya ternyata

tidak lengkap atau permohonan bukan merupakan kewenangan BPSK, maka

ketua BPSK menolak permohonan tersebut. Jika permohonan memenuhi

persyaratan dan diterima, maka ketua BPSK memanggil pelaku usaha secara

tertulis disertai dengan kopi permohonan dari konsumen, selambat-lambatnya

tiga hari sejak permohonan diterima.

Pelaku usah diberikan surat panggilan yang memuat hari, tanggal, jam

dan tempat persidangan serta kewajiban pelaku usaha untuk memberikan

jawaban terhadap penyelesaian sengketa konsumen untuk diajukan pada

persidangan pertama. Pelaku usaha yang tidak hadir untuk memenuhi

panggilan, dapat dipanggil sekali lagi, sebelum liwat waktu tiga hari sejak
274

pengaduan. Pelaku usaha yang tetap tidak hadir tanpa alasan yang jelas,

BPSK dapat meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha.

Konsumen dapat memilih cara penyelesaian sengketanya yang harus

disetujui oleh pelaku usaha, jika pelaku usaha hadir. Cara yang bisa dipilih

dan disepakati adalah: konsiliasi, mediasi atau arbitrase. Persidangan pertama

dilaksanakan selambat-lambatnya hari ke-7 terhitung sejak diterimanya

permohonan.

Menurut ketentuan pasal 46 UUPK gugatan atas pelanggaran pelaku

usaha dapat dilakukan oleh:

a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan


b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi
syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam
anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikan
organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen
dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
d. Pemerintah dan atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang
besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Menurut ketentuan pasal 46 ini juga, gugatan terhadap BPSK hanya

berlaku untuk seorang konsumen, sedangkan untuk gugatan sekelompok

konsumen dan pemerintah hanya dapat diajukan lewat pengadilan.

Berdasarkan ketentuan Kepmenperindag No. 350 pasal 15, gugatan

dapat dilakukan oleh konsumen maupun ahli waris atau kuasanya.

Permohonan penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan oleh ahli

waris atau kuasanya, dalam hal konsumen:

a. Meninggal dunia
b. Sakit atau telah berusia lanjut sehingga tidak dapat mengajukan
pengaduan sendiri, baik secara tertulis maupun lisan, sebagaimana
275

dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan bukti Kartu Tanda


Penduduk.
c. Belum dewasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
d. Orang asing (warga negara asing)

Ketentuan ini mengandung kelemahan, karena konsumen tidak

diberikan kebebasan untuk mendapatkan bantuan hukum dalam pengajuan

gugatan, tidak semua konsumen memiliki kemampuan yang sama, apa lagi

jika tidak didukung dengan latar belakang pendidikan yang memadai, karena

bisa saja ahli waris atau kuasa konsumen sebenarnya tidak mampu untuk

mengajukan upaya hukum sendiri, tetapi membutuhkan bantuan atau

penasihat hukum, berkaitan dengan masalah yang ia hadapi.

2. Tahap Persidangan dan Pemberian Keputusan

Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dalam bentuk majelis,

artinya sengketa konsumen diperiksa dan diputus oleh sekurang-kurangnya

tiga anggota, dan dibantu oleh seorang panitera. Persidangan dalam BPSK

dapat ditempuh melalui:

a. Persidangan dengan cara konsiliasi.

Penyelesaian sengketa konsumen melalui konsiliasi dilakukan

sendiri oleh para pihak yang bersengketa di dampingi oleh majelis BPSK

yang bersifat pasif sebagai konsiliator, jadi penyelesaian sengketanya

diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun

jumlah ganti kerugiannya. Tugas konsiliator hanya memanggil para pihak

yang bersengketa, memanggil saksi serta saksi ahli, menjawab pertanyaan

konsumen dan pelaku usaha perihal peraturan perundang-undangan di


276

bidang konsumen, serta menuangkan hasil musyawarah para pihak dalam

keputusan majelis BPSK untuk menguatkan perjanjian tersebut.326

b. Persidangan dengan cara mediasi

Penyelesaian sengketa dilakukan sendiri oleh para pihak dengan

didampingi mediator, hanya saja dalam proses ini mediator bertindak lebih

aktif dibandingkan dengan konsiliator dalam hal memberikan nasihat,

petunjuk, saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa.

Peran majelis BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara

mediasi meliputi tugas: memanggil para pihak yang bersengketa,

memanggil saksi dan saksi ahli jika diperlukan, secara aktif mendamaikan

kedua belah pihak bersengketa, secara aktif memberikan saran atau

anjuran penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen,

mengukuhkan hasil musyawarah dalam putusan BPSK untuk menguatkan

perjanjian tersebut.327

c. Persidangan dengan cara arbitrase

Pada persidangan pertama, ketua majelis wajib mendamaikan para

pihak. Jika terjadi perdamaian majelis wajib membuat putusan dalam

bentuk penetapan perdamaian, sebaliknya jika tidak mencapai perdamaian

maka persidangan dimulai dengan membacakan isi gugatan konsumen,

dan surat jawaban dari pelaku usaha. Ketua majelis BPSK memberikan

kesempatan yang sama kepada kedua belah pihak untuk menjelaskan hal-

Susanti Adi Nugroho, Op cit,h. 107.


326

Loc cit,h. 110-111.


327
277

hal yang dipersengketakan.

Proses penyelesaian sengketa beban pembuktian ada pada pelaku usaha,

dengan tidak menutup kemungkinan bagi konsumen untuk mengajukan bukti-

bukti untuk mendukung gugatannya. Setelah mempertimbangkan pernyataan

dari kedua belah pihak, majelis BPSK memberikan putusan. Putusan BPSK

dapat berupa :

1. Perdamaian

2. Gugatan ditolak

3. Gugatan dikabulkan.

BPSK memberikan putusan sengketa konsumen paling lambat 21 hari

sejak gugatan diterima. Putusan majelis ini bersifat final dan mengikat

sebagaimana ketentuan dalam pasal 54 UUPK.

Ketentuan final dan mengikat dalam pasal 54 ayat 3 UUPK, mengandung

arti bahwa putusan tersebut bersifat final dan seharusnya tidak ada upaya hukum

lagi baik banding maupun kasasi terhadap putusan BPSK. Ketentuan ini bertolak

belakang dengan pasal 56 ayat 2 UUPK, yang dapat mengajukan keberatan

kepada pengadilan jika keberatan terhadap putusan BPSK, selanjutnya dalam

pasal 58 ayat 2 juga memberi peluang kepada para pihak untuk mengajukan

kasasi ke Mahkamah Agung. Selanjutnya juga terdapat PERMA No 1 tahun

2006 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan

BPSK. Kata mengajukan keberatan dalam artian hukum acara pada hakikatnya

sama dengan pengertian banding atau kasasi. Dari perumusan pasal-pasal 56 dan

58 UUPK ini, dapat di katakana bahwa pada dasarnya putusan BPSK tidak
278

bersifat final dan mengikat, karena masih ada upaya hukum yang dapat

dilakukan oleh para pihak.

Berdasarkan analisa jika terdapat upaya hukum, putusan BPSK akan

dijadikan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan

penyidikan, menjadi persoalan apabila tuntutan konsumen didasarkan pada

pebuatan melawan hukum, wanprestasi, atau tanggung jawab mutlak, apakah

penyidik memiliki kewenangan dalam hal itu, hal ini menunjukkan banyaknya

kerancuan dalam perumusan norma pada UUPK.

Pengaturan pengajuan keberatan atas putusan BPSK, juga tidak berpihak

pada konsumen, karena dalam pasal 56 ayat 3 disebutkan pelaku usaha yang

tidak mengajukan keberatan terhadap putusan BPSK dianggap menerima

putusan tersebut, hal ini mengandung arti bahwa hanya pelaku usaha yang bisa

mengajukan keberatan terhadap putusan BPSK. Konsumen tidak memiliki hak

untuk mengajukan keberatan kepada pengadilan apabila ia tidak merasa puas

dengan putusan BPSK. Ketentuan ini sangat tidak adil bagi konsumen, karena

setiap orang sepatutnya diperlakukan sama di hadapan hukum, dengan demikian

hal pengajuan keberatan merupakan hak dari konsumen maupun pelaku usaha.

Berikut beberapa contoh kasus sengketa konsumen dan pelaku usaha yang

di periksa oleh BPSK yang belum bisa melindungi hak-hak konsumen, dan

diajukan keberatan pada pengadilan dan Mahkamah Agung.

1. Kasus antara konsumen dan PT. Nissan March

Kasus ini bermula dari tuntutan seorang konsumen Ludmilla Arif, yang

menggugat PT. Nissan March lewat BPSK, karena merasa dirugikan dengan
279

iklan Nissan, di mana dalam iklannya Nissan menyampaikan konsumsi BBM

dalam kota adalah 1 liter untuk jarak tempuh 18.5/km tidak sesuai dengan

yang dialami oleh pembeli sebagai konsumen, karena setelah digunakan

ternyata 1 liter untuk 8/km, kemudian dalam tuntutannya Ludmilla Arif

menuntut Nissan untuk membeli kembali mobilnya, Nissan menolak untuk

membeli mobil tersebut seharga dengan mobil baru, pada akhirnya kasus ini

di bawah ke BPSK, dan dalam putusannya BPSK menerima sebagian dari

gugatan Ludmilla yaitu menghukum Nissan untuk membeli kembali mobil

Ludmilla seharga 150 juta, yaitu harga diatas pasaran mobil bekas, dan

dibawah harga mobil baru. Atas keputusan BPSK ini Nissan mengajukan

keberatan di pengadilan dan MA. Baik pengadilan maupun MA menguatkan

putusan BPSK untuk menghukum Nissan membeli mobil Ludmilla Arif

dengan harga 150 juta.

Adanya peluang dari UUPK, untuk pengajuan keberatan ini terhadap

pengadilan maupun MA, akan sangat merugikan konsumen, karena harapan

konsumen untuk menyelesaikan kasus secara cepat dengan biaya murah tidak

akan mungkin, apa lagi UUPK tidak mengenal tuntutan ganti rugi berupa

ganti rugi immaterial, jadi BPSK maupun pengadilan hanya akan

memberikan ganti rugi berdasarkan kerugian yang nyata-nyata diderita oleh

konsumen.

Kerugian yang dialami konsumen dalam kasus Nissan ini pada akhirnya

bukan saja pada mobil yang dibelinya, tapi ia akan kehilangan keuntungan

yang diharapkan bahkan harus mengeluarkan biaya-biaya lain seperti sewa


280

pengacara.

2. Kasus Wahyudi Prasetyo dan PT. Bank Century Surabaya

Kasus ini bermula ketika penggugat (Wahyudi Prasetyo) ditawari

pelaku usaha (PT. Bank Century) produk investasi dana tetap terproteksi,

dimana dalam promosinya tergugat menyampaikan dana produk tersebut

lebih baik dari deposito dan dijamin aman. Penggugat percaya dan membeli

produk tersebut dan menandatangani form aplikasi yang disediakan tergugat.

Tanda terima konfirmasi investasi nasabah akan dicairkan pada tahun 2008,

namun setelah jatuh tempo investasi yang berjumlah Rp.66.250.000.000

(enam puluh enam miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) tersebut, tidak

dapat dicairkan.

Sewaktu mengkonfirmasi investasi tersebut penggugat terkejut karena

produk yang ditawarkan pelaku usaha ternyata bukan investasi dana tetap

terproteksi melainkan produk "Kontrak Pengelolaan Dana" (KPP) milik PT.

Delta Securitas Indonesia, yang mana penggugat tidak pernah berhubungan

langsung dengan PT. Delta Securitas Indonesia hanya dengan PT. Bank

Century.

Penggugat kemudian mengajukan gugatan kepada BPSK atas

perubahan investasi dana tetap terproteksi secara sepihak oleh tergugat, di

mana tergugat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum melanggar

UUPK No 8 tahun 1999 dengan jumlah kerugian sebagai berikut :

- Dana pokok Rp. 66.250.000.000


- Bunga jatuh tempo Rp. 2.048.219.179
- Bunga berjalan per tahun Rp. 8.612.500.000
Total Rp. 76.910.719.179
281

BPSK Surabaya dalam putusannya No 39/BPSK/III/2011 tanggal 23

Maret tahun 2011 tidak memproses pengaduan konsumen dengan alasan

kedua belah pihak tidak memiliki kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa

tersebut melalui arbitrase.

Mencermati putusan BPSK tersebut tentu sangat merugikan konsumen,

karena berdasarkan kewenangan BPSK dalam UUPK, BPSK berwenang

melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen, ada

atau tidaknya perjanjian antara kedua belah pihak.

Berdasarkan duduk perkara antara penggugat kepada PT. Bank Century,

hal tersebut merupakan bagian dari sengketa konsumen, sehingga konsumen

memiliki hak untuk menggugat pelaku usaha baik melalui pengadilan atau

diluar pengadilan yang dalam hal ini melalui BPSK.

3. Kasus antara Muhammad Taufiq dan PT Telkomsel

Kasus ini diajukan ke BPSK oleh konsumen yang merasa dirugikan

dengan iklan Telkomsel yang memiliki layanan paket blackberry unlimited

and full service, di mana konsumen merupakan pengguna layanan kartu hallo

merasa iklan tersebut menjebak dan merugikan, karena adanya kata unlimited

dan full service dengan kualitas terbaik tersebut juga termasuk penggunaan

streaming dan download.

Konsumen sendiri merupakan pelanggan layanan paket BB Unlimited

Rp 90.000/bulan full service bonus special 25 MB video, sesuai dengan iklan

PT Telkomsel, pada akhirnya konsumen merasa dirugikan karena tagihan

yang diberikan oleh PT Telkomsel untuk bulan Juli Rp.504.476 dan Agustus
282

Rp. 741.321 total Rp.1.044.396. Konsumen merasa dijebak karena berpikir

bahwa paket tersebut unlimited dan full service, sehingga konsumen

mengajukan gugatan pada BPSK Surakarta, dan menuntut ganti rugi serta

penarikan iklan PT Telkomsel di seluruh media massa sehingga tidak

merugikan konsumen.

Atas pengaduan konsumen tersebut BPSK dalam putusannya, BPSK

Surakarta No 001-3/IX/2011/BPSK/Ska tanggal 1 November tahun 2011,

mengabulkan gugatan konsumen untuk sebagian, yaitu memerintahkan

pelaku usaha melakukan perbaikan atas iklan tersebut dan menarik iklan

tersebut dari seluruh media massa, menolak permohonan ganti rugi oleh

konsumen karena menganggap tidak terdapat kerugian dari konsumen.

Atas putusan BBSK tersebut kemudian pelaku usaha mengajukan

keberatan kepada pengadilan di Surakarta, dimana pengadilan dalam amar

putusannya membatalkan putusan BPSK Surakarta, karena berpendapat

bahwa tidak terjadi pelanggaran pelaku usaha terhadap iklan, karena pelaku

usaha sendiri telah menyediakan layanan informasi lebih lanjut secara gratis

melalui call center yang tersedia, karenanya menghukum konsumen untuk

membayar tagihan kepada pelaku usaha sebagaimana mestinya. Putusan ini

kemudian oleh konsumen diajukan keberatan terhadap MA, dan MA dalam

putusannya menguatkan putusan pengadilan negeri Surakarta.

Menurut analisa peneliti, bahwa keliru jika BPSK menerapkan tidak

adanya kerugian di pihak konsumen, karena konsumen justru secara nyata

dirugikan, karena dia hanya membeli paket layanan senilai Rp. 90.000 namun
283

pada akhirnya harus membayar melebihi jumlah tersebut. Menurut ketentuan

pasal 10 UUPK pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang

ditunjukkan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan,

mengiklankan, atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan

mengenai harga atau tarif barang dan/atau jasa serta kegunaan suatu barang dan

atau jasa.

Berdasarkan kronologis jelas bahwa PT Telkomsel telah melanggar

ketentuan UUPK, menyangkut dalil dari Telkomsel bahwa mereka telah

menyediakan layanan informasi seperti call center, layanan tersebut baru dapat

diakses oleh pelanggan setelah mereka membeli produk tersebut, jadi dengan

menggunakan kata seperti full service tersebut sudah menimbulkan penafsiran

yang lain bagi konsumen, sehingga mereka tertarik untuk membeli produk dari

Telkomsel, maka sudah seharusnya Telkomsel memperbaiki dan menarik iklan

tersebut.

Berdasarkan analisa peneliti menyangkut penggunaan kualitas terbaik

juga melanggar ketentuan dalam Etika Pariwara Indonesia menyangkut isi iklan,

yang berbunyi:

 iklan harus disajikan dalam bahasa yang bisa dipahami oleh khalayak
sasarannya, tidak menggunakan persandian yang dapat menimbulkan
penafsiran selain dari yang dimaksudkan oleh perancang pesan tersebut.
 iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti: "paling",
"nomor satu", "top", "ter" dan/atau yang bermakna sama tanpa secara khas
menjelaskan keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan
pernyataan tertulis dan otoritas terkait atau sumber autentik.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada bahwa terdapat penyesatan

terhadap konsumen atas informasi iklan yang disampaikan oleh Telkomsel,


284

karena makna dan kata-kata iklan yang disampaikan, sehingga wajar jika

konsumen menuntut adanya ganti rugi dan penarikan iklan tersebut dari

peredaran.

Iklan telekomunikasi ini, banyak merugikan konsumen sehingga sering

menjadi sorotan, menurut Udin Silalahi iklan telekomunikasi seperti iklan tarif

murah yang ditayangkan hampir semua stasiun TV dan media cetak nasional

timbul karena lemahnya kontrol pemerintah serta tidak adanya aturan yang jelas

soal periklanan.328 Hal senada juga disampaikan oleh anggota Badan Regulasi

Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Heru Sutedi yang menilai iklan operator

telekomunikasi kebablasan karena dinilai tidak memberikan info yang lengkap

kepada konsumen.329

Putusan BPSK dalam kasus konsumen dengan Telkomsel merugikan

konsumen dan tidak bisa melindungi konsumen, menurut peneliti tidak

terlindunginya konsumen di sebabkan oleh tidak adanya aturan yang jelas dalam

kegiatan periklanan khususnya menyangkut tanggung jawab pelaku usaha,

implikasinya pada putusan BPSK tersebut.

Mencermati pasal demi nasal dalam UUPK, ini menurut peneliti pembuat

undang-undang masih setengah hati dalam melindungi konsumen, hak-hak

konsumen belum sepenuhnya dilindungi oleh hukum, bahkan harapan konsumen

untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan belum sepenuhnya

diakomodir.

http://nu,or.id, KPI Minta Stasiun TVHentikan Iklan XL dan KiJoko Bodo


328

Ibid.
329
285

3.5. Konsep Perlindungan Hukum Bagi konsumen Akibat Iklan yang

merugikan Berbasis Nilai Keadilan

3.5.1. Perspektif Teori Pertanggungjawaban Hukum

Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa perkembangan industrialisasi

di dunia saat ini sangat penting, dimana masyarakat saling menopang satu sama

lain dalam bidang- bidang tertentu demi tercapainya masyarakat yang sejahtera.

Untuk itu, kemajuan ekonomi perdagangan yang semakin terbuka dan memiliki

daya saing yang begitu banyak tantangan, baik sebagai pelaku usaha, konsumen

dan pemerintah. Hal ini yang membuat lebih lemah kedudukan/posisi konsumen

dibanding pelaku usaha. Tanggung jawab pelaku usaha dalam masyarakat

sekarang ini sangat diperlukan.

Suatu perkembangan baru dalam masyarakat sekarang ini, khususnya di

Indonesia, dengan makin meningkatnya perhatian terhadap masalah

perlindungan konsumen bersamaan dengan adanya pengaturan dalam UUPK.

Apabila di masa lalu pihak pelaku usaha dipandang sebagai suatu badan yang

sangat berjasa dalam perkembangan perekonomian negara mendapat perhatian

lebih besar, maka saat ini perlindungan terhadap konsumen lebih mendapat

perhatian sesuai dengan makin meningkatnya perlindungan terhadap hak asasi

manusia. Pihak konsumen dipandang lebih lemah hukum, maka perlu mendapat

perlindungan lebih besar di banding masa-masa yang lalu.

Berdasarkan uraian tersebut, masalah product liability telah menarik

perhatian yang makin meningkat dari berbagai kalangan, baik kalangan industri,

konsumen, pedagang, industri asuransi, pemerintah dan para ahli hukum. Namun
286

demikian, hukum tentang tanggung jawab produsen/pelaku usaha di setiap

negara berbeda-beda. Dengan makin berkembangnya perdagangan internasional,

maka persoalan tanggung jawab pelaku usaha pun menjadi masalah yang

melampaui batas-batas negara. Sehubungan dengan itu di berbagai negara,

khususnya di negara-negara maju dan di dunia internasional telah dilakukan

pembaharuan-pembaharuan hukum yang berkaitan dengan product liability

terutama dalam rangka mempermudah pemberian kompensasi bagi konsumen

yang menderita kerugian akibat produk yang diedarkan di masyarakat termasuk

didalamnya dalam melakukan iklan produk yang dapat merugikan konsumen.330

Tanggung jawab pelaku usaha atas produk yang diiklankan yang

merugikan konsumen merupakan juga perihal yang sangat penting dalam hukum

perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran konsumen diperlukan

kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan

seberapa jauh tanggung jawab tersebut dibebankan kepada pihak yang terkait.

Dan kebanyakan dari kasus-kasus yang ada saat ini, konsumen merupakan yang

paling banyak mengalami kerugian yang disebabkan produk dari pelaku usaha

itu sendiri. Beberapa sumber formal hukum, seperti perundang-undangan dan

perjanjian di hukum keperdataan sering memberikan pembatasan terhadap

tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen yaitu pelaku

usaha. Atau perusahaan periklanan.

Disisi lain, walaupun konsumen yang sering dirugikan oleh produk dari

pelaku usaha, tidak pernah henti memakai atau menggunakan produk dari pelaku

Husni Syawali dan Neni Sri Imaniwati, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju,
330

Bandung, h. 43
287

usaha dengan alasan karena kebutuhan dari konsumen. Kebutuhan-kebutuhan

ini, khususnya kebutuhan ekonomi yang dalam perkembangan saat ini sangatlah

mendesak. Apalagi dalam era globalisasi sekarang ini, yang ditandai dengan

adanya saling ketergantungan antara pelaku usaha dan konsumen, dimana pelaku

usaha membutuhkan konsumen demi mendapatkan laba atau keuntungan,

sedangkan konsumen memakai atau menggunakan produk dari pelaku usaha

dikarenakan kebutuhan.

Secara umum, tanggung jawab pelaku usaha atas produk iklan yang

merugikan konsumen perspektif teori pertanggungjawaban hukum yang

dibedakan sebagai berikut:

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based

on fault) adalah prinsip yang cukup berlaku dalam hukum pidana dan

perdata. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, khususnya pasal

1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini

menyatakan seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban secara

hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365

KUHPerdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melanggar

hukum, mengharuskan terpenuhi empat unsur pokok, yaitu adanya

perbuatan, adanya unsur kesalahan, adanya kerugian yang diderita, dan

adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dengan kerugian.


288

Adapun yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan

dengan hukum. Pengertian “hukum”, tidak hanya bertentangan dengan

undang-undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.

Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena

adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi

pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah

harus mengganti kerugian yang diderita oleh orang lain.

Mengenai beban pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan pasal

163 Herziene Indonesische Reglement (HIR) atau pasal 283

Rechtsreglement Buitengewesten (RBG) dan pasal 1865 Kitab Undang-

undang Hukum Perdata. Di situ dikatakan, barangsiapa yang mengaku

mempunyai suatu hak, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu

(actorie incumbit probatio).

Ketentuan diatas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara,

yakni asas audi et alterm partem atau asas kedudukan sama antara semua

pihak yang berperkara. Di sini hakim harus memberi para pihak beban yang

seimbang dan patut, sehingga masing-masing memiliki kesempatan yang

sama untuk memenangkan perkara tersebut. Persoalan yang perlu diperjelas

dalam prinsip ini, yang sebenarnya berlaku umum untuk prinsip-prinsip

lainnya, adalah definisi tentang subjek pelaku kesalahan. Dalam doktrin

hukum dikenal asas vicarious liability dan corporate liability.

Vicarious liability mengandung pengertian, majikan bertanggung

jawab atas pihak lain yang disebabkan oleh orang- orang/karyawan yang
289

berada dibawah pengawasannya. Jika karyawan itu dipinjamkan ke pihak

lain, maka tanggung jawabnya beralih pada si pemakai karyawan tadi.

Sedangkan corporate liability pada prinsipnya memakai pengertian yang

sama dengan vicarious liability. Menurut doktrin ini, lembaga (korporasi)

yang menaungi suatu kelompok pekerja mempunyai tanggung jawab

terhadap tenaga-tenaga yang dipekerjakannya. Latar belakang penerapan

prinsip ini adalah konsumen hanya melihat semua di balik dinding suatu

korporasi itu sebagai satu kesatuan. Ia tidak dapat membedakan mana yang

berhubungan secara organik dengan korporasi dan mana yang tidak.

2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat dianggap selalu bertanggung jawab

(presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan ada pada

si tergugat Saat ini, beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast)

masih dapat diterima dengan prinsip praduga untuk selalu bertanggung

jawab. Dasar pemikiran dari teori pembalikan beban pembuktian adalah

seseorang yang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat

membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum

praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang lazim dikenal

dalam hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak,

asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang

berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha

yang digugat. Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti, dirinya

tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak lalu berarti dapat sekehendak hati
290

mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka

untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan

si tergugat.

3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu

bertanggung jawab. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab

(presumption of nonliability principle) hanya dikenal dalam lingkup

transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian

biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contoh dari penerapan

prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan

pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si

penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal

ini, pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawabannya.

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Prinsip tanggung jawab mutlak (strict

liability)

Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip

tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang

menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan

dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya dalam keadaan force majeure.

Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan

dan tidak ada pengecualiannya. Selain itu, ada pandangan yang agak mirip,

yang mengaitkan perbedaan keduanya pada ada atau tidak adanya hubungan

kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab dan kesalahannya. Pada


291

strict liability, hubungan itu harus ada, sementara absolute liability,

hubungan itu tidak selalu ada. Maksudnya, pada absolute liability, dapat

saja si tergugat yang dimintai pertanggungjawaban itu bukan si pelaku

langsung kesalahan tersebut, misalnya dalam kasus bencana alam.

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam tanggung jawab pelaku usaha

atas produk yang merugikan konsumen secara umum digunakan untuk

“menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan

produknya yang merugikan konsumen. Dalam hal ini, konsumen hanya

perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku

usaha dan kerugian yang dideritanya. Selebihnya dapat digunakan prinsip

strict liability.

5. Tanggung Jawab Dengan Pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability

principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai

klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam

perjanjian cuci cetak film, misalnya ditentukan bila film yang ingin

dicuci/dicetak itu hilang atau rusak (termasuk kesalahan petugas), maka si

konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu

rol film baru.

Secara umum, prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan

konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UUPK

seharusnya tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan

konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada


292

pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan

yang jelas.

Selain itu dari sudut pandang lain, konsumen memiliki hak-hak seperti

yang telah ada pada bab sebelumnya yaitu hak untuk mendapat

kenyamanan, aman, selamat, memilih, mendapat informasi yang benar,

untuk didengar, mendapat pendidikan, mendapat advokasi, untuk dilayani

dengan jujur, untuk mendapat kompensasi serta hak untuk mendapat

ketentuan lainnya. Dalam banyak hal, pelaku usaha terikat untuk

memperhatikan hak konsumen untuk mendapatkan “pendidikan konsumen”

ini. Pengertian “pendidikan” tidak harus diartikan sebagai proses formal

yang dilembagakan. Pada prinsipnya, makin kompleks teknologi yang

diterapkan dalam menghasilkan suatu produk menuntut pula makin banyak

informasi yang harus disampaikan kepada konsumen. Bentuk informasi

yang lebih komprehensif dengan tidak semata-mata menonjolkan unsur

komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan

konsumen. Produsen mobil misalnya, dalam memasarkan produk dapat

menyisipkan program-program pendidikan konsumen yang memiliki

kegunaan praktis, seperti tata cara perawatan mesin, pemeliharaan ban, atau

penggunaan sabuk pengaman.

Berdasarkan analisa peneliti, tanggung jawab pelaku usaha atas

produk yang merugikan konsumen sangat perlu diperhatikan dan perlu

perhatian dari pemerintah yang berwenang demi tercapainya kepuasan

konsumen dan keuntungan dari pelaku usaha. Dan apabila terjadi kerugian
293

pada konsumen yang disebabkan oleh produk iklan dari pelaku usaha, maka

sudah sepantasnya pelaku usaha memberikan ganti kerugian kepada

konsumen, yaitu penggantian dengan barang dan/atau jasa yang sama dan

penggantian dengan sejumlah uang.

Adanya kerugian terhadap konsumen atas produk iklan yang

merugikan konsumen, maka ada upaya-upaya dari pelaku usaha untuk

menentukan bagaimana cara-cara yang ditempuh agar dapat membuktikan

bahwa produk mereka cacat/rusak ataupun merugikan konsumen, yaitu

dasar pertanggungjawaban, pembuktian, dan ganti kerugian.

Berdasarkan analisa peneliti ada 2 (dua) cara upaya yang akan

dilakukan pelaku usaha apabila ada produk yang merugikan konsumen,yaitu

(1) segi pertanggungjwaban produsen/pelaku usaha dan (2) pembuktian.

Pertama dari segi pertanggungjawaban, produsen sebagai pelaku

usaha dibebani dua jenis pertanggungjawaban, yaitu :

1. Pertanggungjawaban Publik

Produsen sebagai pelaku usaha mempunyai tugas dan kewajiban

untuk ikut serta menciptakan dan menjaga iklim usaha yang sehat yang

menunjang bagi pembangunan perekonomian nasional secara

keseluruhan. Karena itu, kepada pelaku usaha dibebankan tanggung

jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajiban itu, yaitu melalui penerapan

norma-norma hukum, kepatutan, dan menjunjung tinggi kebiasaan yang

berlaku dikalangan dunia usaha. Etika bisnis merupakan salah satu

pedoman bagi setiap pelaku usaha. Prinsip business is business, tidak


294

dapat diterapkan, tetapi harus dengan pemahaman atas prinsip bisnis

untuk pembangunan. Jadi, sejauh mungkin pelaku usaha harus bekerja

keras untuk menjadikan usahanya memberi kontribusi pada peningkatan

pembangunan secara keseluruhan.

Kewajiban pelaku usaha untuk senantiasa beritikad baik dalam

melakukan kegiatannya berarti bahwa pelaku usaha ikut bertanggung

jawab untuk menciptakan iklim yang sehat dalam berusaha demi

menunjang pembangunan nasional. Jelas ini adalah tanggung jawab

publik yang diemban oleh seorang pelaku usaha. Banyak ketentuan di

dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen ini yang bermaksud

mengarahkan pelaku usaha untuk berperilaku sedemikian rupa dalam

rangka menyukseskan pembangunan ekonomi nasional, khususnya di

bidang usaha.

Atas setiap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha maka

kepadanya dikenakan sanksi-sanksi hukum, baik sanksi administratif

maupun sanksi pidana. Beberapa perbuatan yang bertentangan dengan

tujuan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dapat dikategorikan

sebagai perbuatan kejahatan.

Pemberian sanksi ini penting, mengingat bahwa menciptakan iklim

berusaha yang sehat membutuhkan keseriusan dan ketegasan. Untuk itu,

sanksi merupakan salah satu alat untuk mengembalikan keadaan pada

keadaan semula manakala telah terjadi pelanggaran (rehabilitasi)

sekaligus sebagai alat preventif bagi pengusaha lainnya sehingga tidak


295

terulang lagi perbuatan yang pernah dilakukannya. Bentuk

pertanggungjawaban administratif yang dapat dituntut dari produsen

sebagai pelaku usaha diatur dalam pasal 60 UUPK yaitu tentang

pembayaran ganti kerugian paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus

juta) rupiah terhadap pelanggaran atas ketentuan tentang kelalaian

membayar ganti rugi kepada konsumen. Sedangkan pertanggungjawaban

pidana yang dibebankan kepada pelaku usaha yang bersangkutan maupun

pengurusnya dengan dipidana penjara dua sampai lima tahun dan denda

paling banyak 500.000.000,00 (lima ratus juta) rupiah. Selain pada

pidana diatas dapat juga dikenakan hukuman tambahan, seperti

perampasan barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran

ganti rugi, dan perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan

timbulnya kerugian konsumen.

2. Pertanggungjawaban Privat

Berdasarkan UUPK diatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha

pada pasal 19. Dengan ketentuan sebagai berikut: (1) pelaku usaha

bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,

dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa

yang dihasilkan atau diperdagangkan; (2) ganti rugi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) berupa pengambilan uang atau penggantian

barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan

kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang- undangan yang berlaku; (3) pemberian ganti rugi


296

dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal

transaksi; (4) pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana

berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan;

(5) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan

tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Berdasarkan ketentuan pasal 19 UUPK terdapat dua golongan

konsumen yang dapat dilihat dari segi ketertarikan antara pelaku usaha

dan konsumen, yaitu Pertama, tentang ada tidaknya hubungan hukum

antara pelaku usaha dan konsumen. Kedua, golongan tersebut adalah

konsumen yang mempunyai hubungan kontraktual dengan pelaku usaha

dan konsumen yang tidak mempunyai hubungan kontraktual dengan

pelaku usaha. Hubungan hukum ini telah ada terlebih dahulu antara

pelaku usaha dan konsumen, yang berupa hubungan kontraktual tetapi

mungkin juga tidak pernah ada sebelumnya dan keterikatan itu mungkin

justru lahir setelah peristiwa yang merugikan konsumen. Pada dasar

hubungan kontraktual itu berbentuk hubungan/perjanjian jual beli,

meskipun ada jenis hubungan hukum lainnya.

Perspektif hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus

mempunyai dasar yaitu, hal yang menyebabkan seseorang harus/wajib

bertanggung jawab. Dasar pertanggungjawaban itu merupakan suatu

kesalahan dan resiko yang ada dalam setiap peristiwa hukum. Keduanya
297

menimbulkan akibat dan konsekuensi hukum yang lebih jauh dalam

pemenuhan tanggung jawab oleh konsumen. Secara teori,

pertanggungjawaban terkait dengan hubungan hukum yang timbul antara

pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan pihak yang dituntut

untuk bertanggung jawab.

Berdasarkan jenis hubungan hukum atau peristiwa hukum atas

produk yang merugikan konsumen, maka terdapat dua kategori hukum

yaitu:

a. Tanggung jawab karena pelanggaran janji (wanprestasi) dalam

hubungan kontraktual khususnya jual beli

Setiap perjanjian, ada sejumlah janji (term of conditions)

yang harus dipenuhi oleh para pihak. Janji itu merupakan

kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para pihak yang berjanji

dan sekaligus merupakan hak bagi pihak lawan untuk menuntut

pemenuhannya. Apabila janji tidak dipenuhi, maka akan

menimbulkan kerugian di pihak lawan, yang akhirnya keadaan

tidak dipenuhinya perjanjian (breach of contract) itu, menimbulkan

hak bagi pihak lawan untuk menuntut penggantian kerugian. Dalam

jual beli, seorang penjual mempunyai kewajiban utama untuk

menyerahkan kebendaan yang dijual kepada pembeli, bertanggung

jawab atas cacat tersembunyi pada barang yang dijualnya termasuk

segala kerugian yang diderita oleh si pembeli sehubungan dengan

tercapainya perjanjian jual beli sekedar itu telah dikeluarkan oleh


298

pembeli, dan memenuhi segala apa yang menjadi kewajibannya

sesuai dengan perjanjian. Mengenai kerugian atas produk yang

merugikan konsumen karena pelanggaran janji dalam konteks

hukum perjanjian terdiri dari tiga unsur, yaitu biaya, rugi, dan

bunga. Di sini terkandung janji bahwa dengan memakai dan

mengkonsumsi produk tertentu yang dijualnya, penjual menjamin

bahwa pembeli/konsumen akan memperoleh kenikmatan, manfaat,

dan kegunaan tertentu dalam memenuhi kebutuhan konsumen.

Ketentuan yang sama dapat diterapkan pada pelaku usaha selaku

pembuat (pabrik) sehingga pelaku usaha tersebut mempunyai

keterikatan kepada konsumen dalam bentuk pemberian janji

jaminan. Ini merupakan janji sepihak dari pelaku usaha selaku

pembuat barang dan/atau jasa, dimana dengan memproduksi

produk tertentu dengan menyebutkan kegunaan, manfaat, dan

kenikmatannya melalui atau menerbitkan suatu brosur mengenai

itu, maka dapat ditafsirkan bahwa secara sepihak pelaku usaha

pembuat telah meningkatkan dirinya dengan memberi janji kepada

konsumen.

Berdasarkan analisa peneliti, wanprestasi (kelalaian atau

kealpaan) dalam suatu pertanggungjawaban pelaku usaha dapat

terjadi apabila pelaku usaha tidak melakukan apa yang disanggupi

akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi

tidak sebagaimana dijanjikannya, melakukan apa yang


299

dijanjikannya tetapi terlambat, dan melakukan sesuatu yang

menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Sebagaimana Pada

Pasal 1267 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan:

“pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat


memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan
memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian,
ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai
penggantian biaya kerugian dan bunga.”

b. Tanggung jawab atas dasar perbuatan melanggar hukum

Menurut ketentuan pasal 1365 Kitab Undang- undang Hukum

Perdata, setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa

kerugian kepada orang lain selaku konsumen, mewajibkan orang

yang karena salah menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian

tersebut. Dan dalam pasal 1367 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata yang berbunyi:

“seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang


disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan perbuatan orang- orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang
berada di bawah pengawasannya”

Perbuatan melanggar hukum dalam tanggung jawab pelaku

usaha atas produk iklan yang merugikan konsumen dapat diartikan

juga sebagai perbuatan yang melanggar hak orang lain,

bertentangan dengan kewajiban pelaku usaha, bertentangan dengan

kesusilaan dan tidak sesuai dengan kepantasaan dalam masyarakat

perihal memperhatikan kepentingan orang lain (konsumen). Untuk


300

dapat menuntut ganti kerugian atas produk yang merugikan

konsumen dalam dasar perbuatan melanggar hukum maka harus

dipenuhi beberapa syarat, seperti adanya suatu perbuatan melawan

hukum, adanya kesalahan, adanya kerugian, dan adanya hubungan

kausal antara kerugian dan kesalahan.

Perbuatan melanggar hukum dalam tanggung jawab pelaku

usaha atas produk yang merugikan konsumen, cenderung kurang

berhasil karena sulit diharapkan konsumen mengetahui masalah-

masalah desain, proses produksi, dan hal-hal lain yang berkaitan

dengan proses produksi. Demikian juga mengenai petunjuk

penggunaan dan larangan yang di buat dalam label pembungkus

produk tidak selalu memuaskan dan memenuhi syarat sehingga

sulit dibaca dan dimengerti oleh konsumen. Ataupun dikaitkan

dengan tingkatkemampuan pemahaman konsumen yang masih

rendah, kesulitan pembuktian membuat atau menjadikan momok

bagi konsumen. Dengan kata lain, kegagalan konsumen untuk

membuktikan kelalaian dari pelaku usaha merupakan ancaman

terhadap keberhasilan tuntutan konsumen yang menderita kerugian

karena produk yang cacat.

Di sini tampak bahwa kedudukan pelaku usaha masih lebih

kuat dibanding konsumen, karena pelaku usaha sendiri yang

mengetahui dan memahami apa yang menjadi bahan produksi,


301

proses produksi, dan kesalahan apa yang mungkin terjadi dari

produknya.

Syarat lain adalah kerugian yang terdiri dari unsur biaya ganti

rugi dan bunga. Juga antara kerugian dan kesalahan pada perbuatan

melanggar hukum harus ada hubungan kausalitas, yang berarti

bahwa kerugian yang diderita oleh konsumen sebagai korban

perbuatan meelanggar hukum itu adalah kerugian yang semata-

mata timbul karena terjadinya perbuatan melanggar hukum yang

dilakukan pelaku usaha sebagai pelaku. Ini berarti bahwa harus di

buktikan kaitannya antara kerugian dan kesalahan pelaku pada

perbuatan melanggar hukum.

Jadi, memakai perbuatan melanggar hukum pada tanggung

jawab pelaku usaha atas produknya yang merugikan konsumen

menjadi saluran untuk menuntut ganti kerugian oleh konsumen

kepada pelaku usaha karena memakai atau mengonsumsi pangan

yang cacat dan berbahaya sehingga menimbulkan kerugian, dapat

diterima. Artinya, bahwa perbuatan pelaku usaha itu dapat

dikualifikasikan sebagai perbuatan melanggar hukum.

Upaya Kedua, upaya pelaku usaha setelah pertanggungjawaban adalah

pembuktian. Dalam hal ini, pelaku usaha membuktikan apakah yang

menyebabkan terjadinya kerugian terhadap konsumen atas produknya. Bisa

saja produk yang mereka jual dalam keadaan baik atau bagus namun pada

saat konsumen membeli, terjadi kerusakan pada produk tersebut. Sebagai


302

contoh, konsumen membeli produk susu kemasan dalam keadaan baik dan

dalam ketentuan produk tersebut melarang terkena sinar matahari langsung.

Karena lalai, konsumen membiarkan produknya tersebut terkena sinar

matahari yang membuat susu tersebut rusak seperti yang diatur dalam pasal

27 UUPK.

Di sisi lain, tuntutan konsumen kepada pelaku usaha, harus

membuktikan adanya peristiwa yang melahirkan hak untuk menuntut yaitu

peristiwa yang menimbulkan kerugian pada kosumen. Dalam hal ini juga

membuktikan adanya kesalahan yang dibuat oleh pelaku usaha. Konsumen

harus membuktikan kesalahan dari pelaku usaha, seperti makanan olahan

yang mengandung bahan berbahaya dan dapat merugikan kesahatan

manusia dalam hal ini konsumen itu sendiri.

3.5.2. Perspektif Teori Keadilan

Keberadaan suatu bangsa ketika memasuki tahap negara kesejahteraan

sebagaimana negara Indonesia, maka, tuntutan terhadap intervensi pemerintah

melalui pembentukan hukum yang melindungi yang lemah sangatlah kuat.

Periode ini negara mulai memperhatikan antara lain kepentingan tenaga kerja,

konsumen, usaha kecil dan lingkungan hidup. Kenyataannya memang

perlindungan konsumen merupakan konsekuensi dari kemajuan teknologi dan

industri,331 karena perkembangan produk-produk industri di satu pihak, pada

pihak lain memerlukan perlindungan terhadap konsumen. 332 Sebenarnya sistem

331
Dahlan, A, 2014, Mengagas Negara Kesejahteraan. el-Jizya: Jurnal Ekonomi
Islam, 2(1), 1-22.
332
Tumbel, T. G. M, 2020, Perlindungan Konsumen Jual Beli Online Dalam Era Digital
4.0. Lex Et Societatis, 8(3).
303

hukum perlindungan konsumen juga demikian, terbukti dari pencantuman

beberapa undang-undang terkait, termasuk undang-undang di bidang

ketenagakerjaan (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan) dan lingkungan hidup dalam Penjelasan Umum Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Adanya pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan

khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan

berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dikonsumsi. Kondisi ini di satu pihak

menguntungkan konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang/atau jasa

yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk

memilih aneka jenis dan kualitas barang/dan atau jasa sesuai dengan keinginan

dan kemampuan konsumen.

Peran pelaku ekonomi mempunyai tempat yang sangat signifikasi dalam

pembangunan negara secara umum. Sementara itu, kedudukan konsumen adalah

juga pelaku ekonomi, yang diharapkan dapat memperkuat upaya kita untuk

membangun wujud masyarakat yang kita harapkan, yaitu yang maju, mandiri,

sejahtera, dan berkeadilan.

Pembentukan UUPK, sebagai salah satu produk hukum perlindungan

konsumen seharusnya sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila

dan UUD 1945, sebagai landasan filosofi. Secara eksplisit Pancasila sebagai

dasar landasan filosofi UUPK tercermin dalam konsiderans khususnya bagian a

dan d. (a) Bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu

masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era
304

demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, (d) bahwa untuk

meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran,

pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi dirinya serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang

bertanggung jawab.

Berdasarkan ketentuan tersebut adanya tanggung jawab yang dibebankan

kepada pelaku usaha, Namun dalam penjabaran pasal-pasal yang ada dalam

UUPK ini, pada dasarnya tidak melindungi konsumen secara optimal, bahkan

tidak sesuai dengan asas-asas dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan

UUD 1945 tersebut khususnya sila ke 2 dan sila ke 5. Dalam sila ke 2 terkandung

nilai kemanusiaan antara lain: (a) pengakuan terhadap martabat manusia, (b)

perlakuan yang adil terhadap manusia.333 Selanjutnya nilai-nilai yang terkandung

dalam sila kelima yaitu: (a) mengembangkan sikap adil terhadap sesama, (b)

mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana

kekeluargaan dan ke gotong royongan, (c) cinta akan kemajuan dan

pembangunan.334 Selanjutnya dalam konteks politik hukum sendiri sila ke 2:

kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi landasan politik hukum yang

menghargai dan melindungi hak-hak asasi manusia yang non diskriminasi, dan

sila ke 5: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi landasan politik

hukum dalam hidup bermasyarakat yang berkeadilan sosial sehingga mereka yang

lemah secara sosial dan ekonomis tidak ditindas oleh mereka yang kuat secara

Jazim Hamidi & Mustafa Lutfi, 2010, Civic Education, Antara Realitas Politik dan
333

Implementasi Hukumnya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 57-57


334
Ibid.
305

sewenang-wenang.335

Sejalan dengan itu, menurut Ida Bagus Wyasa Putra, berdasarkan teori

keadilan Pancasila mencakup sekurang-kurangnya tiga komponen keadilan yaitu:

keadilan tukar menukar, keadilan sosial, dan keadilan dalam membagi. Apa yang

dimaksud dengan ketiga komponen keadilan tersebut dapat diberikan penjelasan

sebagai berikut:

1. Keadilan tukar menukar mencakup dua konsep yaitu: (a) memberikan


kepada pihak lain segala sesuatu yang menjadi haknya, atau yang
semestinya mereka terima, sehingga masing-masing pihak mempunyai
kesempatan untuk melaksanakan hak dan kewajiban tanpa rintangan. (b)
dalam hubungan manusia orang perorangan memberikan kepada
sesamanya segala sesuatu yang menjadi hak pihak lain atau yang
seharusnya diterima pihak lain, sehingga timbul keadaan saling memberi
dan saling menerima.
2. Keadilan sosial, yaitu dalam hubungan manusia perseorangan dengan
masyarakat, memberi dan melaksanakan segala sesuatu yang memajukan
kemakmuran serta kesejahteraan sebagai tujuan mutlak masyarakat.
3. Keadilan dalam membagi, yaitu dalam hubungan antara masyarakat
dengan warganya, masyarakat dengan alat penguasaannya, membagikan
segala kenikmatan dan beban bersama dengan secara rata dan merata,
menurut keselamatan sifat dan tingkat perbedaan rohaniah serta badaniah
warganya, baik sebagai perseorangan maupun golongan, sehingga
terlaksana sama rasa sama rata.336

Berdasarkan kajian dari teori keadilan Pancasila, maka kembali melihat

kedua sila diatas jelas adanya pengakuan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia

yang di dalamnya termasuk hak-hak konsumen di mana berkaitan dengan

kegiatan periklanan konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi

yang benar serta hak untuk mendapatkan ganti rugi dari pelaku usaha, apabila

informasi dalam iklan tersebut merugikan konsumen, karena itu konsumen

perlu mendapatkan perlindungan hukum sehingga tidak di perlakukan


335
Rachmaat Safa'at, 2013, Rekonstruksi Politik Hukum Pangan dari Ketahanan Pangan
ke Kedaulatan Pangan, Universitas Brawijaya Press, Malang,h. 138.
336
Ida Bagus Wyasa Putra I, Loc.Cit.
306

sewenang-wenang oleh pelaku usaha, yang secara sosial maupun ekonomi

berada diatas konsumen.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila harus tercermin dalam

pasal-pasal UUPK. Berkaitan dengan perlindungan konsumen sesuai dengan

nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila ini harus sesuai dengan nilai-nilai

keadilan. Persoalan keadilan merupakan hal penting sehingga terdapat 2 (dua)

sila dalam Pancasila yang memberi perhatian tentang keadilan. Memperhatikan

pengaturan perlindungan konsumen dalam UUPK belum bisa memberikan

keadilan kepada konsumen khususnya dalam kegiatan periklanan.

Pancasila, sebagai cita hukum dapat memiliki fungsi konstitutif maupun

fungsi regulatif. Pancasila, dengan fungsi konstitutif menentukan dasar suatu

tata hukum yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga

tanpa dasar yang diberikan oleh Pancasila itu hukum akan kehilangan arti dan

maknanya sebagai hukum. Pancasila dengan fungsi regulatifnya, menentukan

apakah suatu hukum sebagai produk itu adil atau tidak adil. Pancasila sebagai

grundnorm, yang menciptakan konstitusi menentukan isi dan bentuk berbagai

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang seluruhnya tersusun

secara hierarkis. Pancasila dalam susunan hierarkis menjamin keserasian atau

tiadanya kontradiksi antara berbagai peraturan perundang-undangan, baik

secara vertikal maupun horizontal. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa

tidak terjadi pertentangan (inkonsistensi) antara satu norma dengan norma

hukum yang secara hierarkis lebih tinggi, apalagi dengan Pancasila.337 Suatu

337
Istislam, Sanski Paksaan Pemerintah dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, (Disertasi, Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2012), h. 253-254 88
307

undang-undang tidak akan berfungsi dengan baik jika tidak ada sinkronisasi

dalam pembuatan undang-undang tersebut baik dalam undang-undang yang

bersangkutan maupun dengan undang-undang lain secara horizontal.338

Pengaturan tanggung jawab bagi pelaku usaha yang hanya dibatasi dalam

waktu 7 (tujuh) hari, serta pengaturan sanksi yang tidak jelas serta adanya

inkonsistensi dalam UUPK sendiri yaitu pasal 54 UUPK dan 56, putusan

BPSK yang dianggap final dan mengikat, namun dalam pasal selanjutnya

menyebutkan terhadap putusan BPSK dapat diajukan keberatan terhadap

pengadilan, di mana ketentuan pasal 56 UUPK ini diikuti dengan Peraturan

Mahkamah Agung (PERMA) RI Nomor 1 tahun 2006, tentang tata cara

pengajuan upaya hukum keberatan terhadap putusan BPSK berimplikasi pada

tidak terlindunginya konsumen dalam kegiatan periklanan di Indonesia.

Ketentuan-ketentuan ini jelas tidak sesuai dengan nilai-nilai yang

terkandung dalam Pancasila yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan,

bahkan adanya inkonsistensi dalam UUPK baik dalam undang-undang itu

sendiri maupun antara UUPK dan SEMA No 1 tahun 2006. Kedudukan SEMA

Nomor 1 Tahun 2006 ini jelas berada di bawah undang-undang sehingga bisa

dibatalkan demi hukum.

Berdasarkan Kongres Pancasila yang berlangsung tanggal 30 Mei sampai

dengan 1 Juni 2009, disimpulkan Pancasila merupakan kaidah penuntun dan

politik hukum nasional sehingga hukum nasional harus di kembangkan

mengarah pada:

Arief Amrullah, 2007, Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Korban Kejahatan
338

Ekonomi di Bidang Perbankan,,Bayu media Publishing, Malang, h. 110


308

1. Menjaga integritas bangsa baik dari aspek ideologi maupun teritori


2. Didasarkan pada upaya membangun demokrasi dan nomokrasi sekaligus
3. Didasarkan pada upaya membangun keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia
4. Didasarkan pada prinsip toleransi beragama yang berkeadilan.339

Berdasarkan hal tersebut, dengan demikian maka pembentukan undang-

undang harus memperhatikan berbagai asas pembentukan undang-undang,

begitu pula dengan jenis hierarki dan muatannya, karena itu pembentukan

undang-undang di Indonesia harus berdasarkan kepada UUD 1945, dan

mencerminkan karakter negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila.340

Pancasila merupakan sumber material tertinggi yang menentukan materi

muatan dalam pembentukan hukum serta sebagai tolak ukur filosofi dalam

pengujian konstitusional norma hukum, karena itu perlu adanya pengkajian dan

penelitian terhadap UUPK agar semangat dan materi muatannya sesuai dengan

nilai-nilai Pancasila, dalam rangka memberikan perlindungan terhadap

konsumen dalam kegiatan periklanan.

Menurut Pataniari Siahaan, tidak sesuainya pembentukan Undang-

Undang dengan UUD 1945 karena:

1. Kurangnya komitmen pembentuk undang-undang.

2. Keterbatasan penguasaan teknik perundang-undangan.

3. Kurangnya kemampuan merumuskan inti permasalahan yang harus diatur

dan bagaimana cara pengaturannya.341

Indonesia sebagai negara hukum (rechstaat) artinya setiap keputusan

339
Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen
UUD1945, Konpress Jakarta, h. 367.
340
Ibid. ,
341
Ibid.
309

tidak dilaksanakan berdasarkan kekuasaan semata (machstaat), dalam

kaitannya dengan perlindungan konsumen dalam kegiatan periklanan dasar dan

filosofis yang dapat dijadikan sumber hukum dalam merekonstruksi UUPK

adalah Pancasila sebagai cita hukum dan UUD 1945 sebagai sumber hukum

nasional.

Keberadaan asas Pancasila yang dikonseptualisasi dalam asas hukum

merupakan conditio sine quanon, karena mengandung nilai-nilai moral dan etis

yang mengarahkan pembentukan hukum yang memenuhi nilai-nilai filosofis

berintikan rasa keadilan dan kebenaran, nilai-nilai sosiologis yang sesuai

dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat, serta nilai-nilai yuridis

yang sesuai dengan hukum yang berlaku.342

Pengaturan perlindungan konsumen dalam UUPK didasarkan atas asas-

asas hukum penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana yang

termuat dalam Pasal 2, yang terdiri dari asas manfaat, asas keadilan,

kesimbangan serta kepastian hukum. Sesuai dengan penjelasan UUPK, maka

yang dimaksud dengan:

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamankan bahwa segala upaya


dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil;
3. Asas kesimbangan dimaksudkan untuk memberikan kesimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam materiil dan
spritual;
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

Nugroho, S. S, 2016, Grounding Pancasila Law as the Future of National Law Basis. Law
342

Research Review Quarterly, 2(2), h. 147-166.


310

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen


dalam penggunaa pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan;
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun
konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
meyelenggarakan perlindungan konsumen serta negara menjamin
kepastian hukum.

Kelima asas hukum perlindungan konsumen ini jika disesuaikan dengan

asas-asas Pancasila yang bersumber dari lima silanya, maka Pancasila yang

memuat lima (5) asas, yang substansi masing asas Pancasila dari sila pertama

(1) adalah memuat etika, sila kedua (2) adalah asas kemanusiaan, sila ketiga (3)

nasionalisme, sila keempat (4) kerakyatan/ demokrasi, dan sila kelima(5)

keadilan sosial. Dengan demikian yang menjadi benang merah kesesuaiannya,

dengan memperhatikan dan elaborasi antara isi asas-asas Pancasila dengan asas

hukum perlindungan konsumen, adalah sebagai berikut:343

1. Asas etika dari sila pertama Pancasila pada asas hukum perlindungan

konsumen termuat dalam asas keamanan dan keselamatan konsumen;

2. Asas kemanusian pada sila kedua Pancasila pada asas hukum

perlindungan konsumen termuat dalam asas keseimbangan;

3. Asas nasionalisme pada sila ketiga Pancasila pada asas hukum

perlindungan konsumen termuat dalam asas manfaat;

4. Asas kerakyatan/demokrasi pada sila keempat Pancasila pada asas

hukum perlindungan konsumen termuat dalam asas kepastian hukum;

5. Asas keadilan sosial pada sila kelima Pancasila pada asas hukum

343
Holijah, H, 2015, Keadilan Bagi Konsumen: Membedah Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1999. Nurani: Jurnal Kajian Syari'ah dan Masyarakat, 15(1), h. 01-
26.
311

perlindungan konsumen termuat dalam asas keadilan

Memperhatikan substansi Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen termasuk Penjelasannya tersebut diatas, tercermin perumusannya

mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia

Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada Pancasila sebagai falsafah negara

Republik. Selanjutnya, kelima asas yang disebutkan dalam Pasal 2 Undang-

Undang Perlindungan Konsumen tersebut dari substansinya sesuai dengan

tujuan hukum menurut Radbruch berupa keadilan, kemanfaatan dan kepastian

hukum sebagai 3 (tiga) ide dasar hukum atau 3 (tiga) nilai dasar yang dapat

dipersamakan asas hukum, sebagaimana pendapat Gustav Radbruch maka

substansinya dapat dibagi menjadi: (1) Asas kemanfaatan yang didalamnya

meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen; (2) Asas keadilan yang

didalamnya meliputi asas keseimbangan dan; (3) Asas kepastian hukum.344

Ketiga asas ini, ada kesulitan untuk mewujudkan secara bersamaan.

Yang sering menjadi sorotan adalah masalah asas keadilan yang menurut

Friedman every function of law, general or specifik is allcative.345 Sesuai

dengan asas Pancasila yang kelima merupakan paling khusus dan terutama

yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, merupakan tujuan dari

kelima sila lainnya.

Adapun mengenai keadilan menurut perspektif Radbruch, yang

mengajarkan bahwa kita harus menggunakan asas prioritas di mana prioritas

Atikah, I, 2020, Perlindungan Hak-Hak Konsumen dalam Hukum Negara.


344

345
Monika, C, 2016, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Produk Kosmetik Berbahan Zat
Kimia Berbahaya Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan Dan Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
Doctoral dissertation, Fakultas Hukum Unpas. Bandung.
312

pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian

hukum.346 Akan tetapi prioritas kasuitis, artinya tujuan hukum diprioritaskan

sesuai dengan kasus yang dihadapi. Sementara menurut teori keadilan John

Rawls347, mengemukakan ada 3 (tiga) hal yang merupakan solusi bagi problem

keadilan, yaitu:

1. Prinsip kebebasan yang sama bagi setiap orang (principle of greatest


equal liberty). Rumusan ini mengacu pada rumusan Aristoteles tentang
kesamaan, oleh karenanya kesamaan dalam memperoleh dan
penggunaanya berdasarkan hukum alam. Ini inheren dengan pengertian
equal yaitu sama derajat antara sesama manusia, sehingga konsep
keadilan yang diterapkan adalah konsep keadilan sosial;
2. Prinsip perbedaan (the difference principle), rumusan ini merupakan
modifikasi atau imbangan terhadap rumusan pertama yang menghendaki
persamaan terhadap semua orang apabila memberi manfaat kepada setiap
orang;
3. Prinsip persamaan yang adil untuk memperoleh kesempatan bagi setiap
orang (the principle of fair equality of opportunity), yaitu
ketidaksamaan ekonomis harus diatur sedemikian rupa agar memberi
kesempatan bagi setiap orang untuk menikmatinya

Dengan konsep keadilan tersebut, John Rawls, membagi keadilan

kedalam:

1. Keadilan yang formal (formal justice), menerapkan keadilan yang


sama bagi setiap orang sesuai dengan bunyi peraturan;
2. Keadilan substantif, keadilan lebih dari keadilan formal saja,
karena menerapkan hukum berarti mencari keadilan yang hakiki,
dan dalam melaksanakan keadilan yang substantif itu harus
didukung oleh rasa keadilan sosial, keadilan yang mengandung
hak-hak dan kewajiban yang dapat diterima oleh masyarakat
umum.

Berdasarkan teori keadilan dari John Rawls ini, maka dapat disimpulkan
346
Nugroho, S. S. 2016, Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum Berbasis
Transendental. Perspektif, 21(2), h.97-104.
347
Fattah, D. 2013, Teori keadilan menurut John Rawls. Jurnal Tapis: Jurnal Teropong
Aspirasi Politik Islam, 9(2), h. 30-45.
313

bahwa keadilan sebagai kesetaraan dengan tidak boleh ada pertukaran

kebebasan atau kesejahteraan sesorang (individu) dengan kesejahteraan orang

lain yang diperbolehkan. Kebebasan dasar harus didistribusikan setara dan

tidak boleh dikorbankan demi pencapaian ekonomi, karena ketidakadilan ada

pada masyarakat yaang berada di bawah, dan keadilan tergantung pada

kebebasan, kesetaraan dan rasionalitas manusia untuk tercapai keadilan sosial

dengan mengutamakan untuk golongan yang lemah atau kurang beruntung.348

Menurut analisa peneliti pendapat ini sejalan dengan konsep tujuan yang

ingin di capai dalam perlindungan hukum bagi konsumen akibat iklan yang

merugikan berbasis nilai keadilan, di mana tujuannya untuk terpenuhinya hak-

hak konsumen. Memberikan perlindungan kepada konsumen sama artinya juga

memberikan perlindungan kepada masyarakat, karena semua manusia adalah

konsumen Dengan demikian pencapaian keadilan merupakan yang utama dari

semua tujuan yang ingin dicapai, dan keadilan yang tertinggi adalah keadilan

sosial untuk semua manusia sebagaimana dalam nilai-ni;ai keadilan Pancasila.

Adapun konsep keadilan yang ingin dicapai tersebut adalah terpenuhinya

tujuan dari perlindungan konsumen di Indonesia sebagai penghormatan

manusiawi terhadap harkat dan martabat manusia sebagai konsumen dapat

terpenuhi, juga pelaku usaha maupaun perusahaan periklanan.

348
Nasution, B. J, 2014, Kajian Filosofis tentang Konsep Keadilan dari Pemikiran Klasik
sampai Pemikiran Modern. Yustisia Jurnal Hukum, 3(2).
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

1. Hakikat perlindungan konsumen akibat iklan yang merugikan dapat

ditinjau dari sudut pandang ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Secara

ontologi pengertian perlindungan konsumen diartikan sebagai segala

upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan

perlindungan konsumen. Secara epistemologi konsumen terlindungi baik

secara preventif maupun represif sebagaimana teori perlindungan hukum

Phillipus Hadjon. Untuk itu ditunjang 2 model kebijakan yaitu (1)

kebijakan komplementer, berupa hak atas informasi dan; (2) kebijakan

Kompensatoris, berupa perlindungan terhadap kepentingan ekonomi

konsumen (hak atas kesehatan dan keamanan). Secara aksiologi

perlindungan hukum bagi konsumen mempunyai daya guna untuk

pemberian kepastian, keamanan serta keseimbangan hukum antara

produsen dan konsumen.

2. Konsep perlindungan hukum bagi konsumen akibat iklan yang merugikan

berbasis nilai keadilan, berpijak dari teori pertanggungjawaban hukum

pelaku usaha atau perusahaan periklanan yang merugikan perpegang pada

prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan, prinsip praduga

untuk tidak selalu bertanggung jawab, prinsip tanggung jawab mutlak, dan

prinsip tanggung jawab dengan pembatasan. Sedangkan berdasarkan

314
315

persepektf teori keadilan Pancasila mencakup 3 (tiga) komponen keadilan

yaitu: keadilan tukar menukar, keadilan sosial, dan keadilan dalam

membagi. Dengan mendasarkan nilai keadilan Pancasila, sila ke-2 dan ke-

5 jelas adanya pengakuan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia termasuk hak-

hak konsumen yang berkaitan dengan kegiatan periklanan konsumen untuk

itu kedepan nilai keadilan. Dengan demikian keberadaan nilai keadilan

Pancasila yang dikonseptualisasi dalam asas hukum merupakan conditio

sine quanon, karena mengandung nilai-nilai moral dan etis yang

mengarahkan pembentukan hukum yang memenuhi nilai-nilai filosofis

yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran.

4.2. Saran

1. Kepada pemerintah, seyogyanya memaksimalkan perlindungan konsumen

dari iklan yang merugikan karena belum memenuhi nilai keadilan ataupun

keseimbangan antara hak serta kewajiban. Dalam polanya, perusahaan

periklanan hanya menyeleksi barang/jasa yang akan disiarkan/ di iklankan

melalui beberapa indikator yang tidak menyentuh pada kualitas atau

standarisasi produk. Sehingga agar tercipta pola yang mencerminkan nilai

keadilan di mana pertanggungjawaban terhadap kerugian konsumen akibat

iklan menjadi kewajiban dari pelaku usaha/ perusahaan penerbit produk

serta perusahaan penyiaran.

2. Kepada konsumen, seyogyanya juga lebih teliti dalam memilah dan

memilih produk yang teriklan pada media mengingat sejauh ini belum

terdapat aturan hukum yang memuat pertanggungjawaban pelaku usaha


316

pembuat barang/jasa, sejauh ini hanya terdapat aturan hukum tentang

pertanggungjawaban perusahaan periklanan.


DAFTAR BACAAN

Buku

Ali, H. Zainuddin, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta

Andreae, S.J. Fockema, 1998, Rechtsgeleerd Handewoorden Boek,


Groningen/Batavia, J.B. Wolters

Anonymous, 2005, Pengantar lImu Hukum Dalam Tanya Jawab, Bogor Ghalia;
Indonesia

Arifin, Syamsul, 2012, Pengantar Hukum Indonesia, Medan area University


Press: Medan.

Aristoteles, 2016, Ethica Nochemacian, Edisi Jerman, buku ke-II, Stugart/Philip


Budiono, Kusumohamidjoyo, 2013, Teori Hukum Dilema antara Hukum
Dan Kekuasaan, Yrama Widya, Bandung,

Asshiddiqie, Jimly & Safa'at, M.Ali, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Konstitusi Press, Jakarta.

Atikah, I, 2020, Perlindungan Hak-Hak Konsumen dalam Hukum Negara.

Azheri, Busyra, 2011, Corporate Social Responsibility dari Voluntary menjadi


Mandotary, Raja Grafindo Perss, Jakarta.

Bungin, Burhan, 2001, Imaji Media Massa, Konstruksi dan Makna Realitas Sosial
Iklan Televisi Dalam Masyarakat Kapitalistik, Yogyakarta, Jendela.

Chand, Hari, 1994, Modern Jurisprudence, International Law Book Services,


Kuala Lumpur.

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Daryanto, 1997, SS, Kamus Besar Bahasa Indonesia Lengkap, Apollo, Surabaya

Elsi, Advendi, 2007, Hukum Dalam Ekonomi, PT Grasindo:Jakarta

Friedrich, Carl Joachim, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung,


Nuansa dan Nusamedia
Fuady, Munir, 2002, Perbuatan Melawan Hukum,Citra nditya Bakti, Bandung.

Golding, M.P., The Nature of Law reading in Legal Philosiphy, Random House,
New York

Hadjon, Philipus M. , 1987, Perlindungan Rakyat Bagi Rakyat di Indonesia


(sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan
dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan
Administrasi Negara), PT. Bina Ilmu: Surabaya

_____, 1999, Menulis Laporan Penelitian Hukum, UNAIR, Surabaya.

Hamzah, Andi, 2005, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta

Shidarta, 2004,Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta.

Huijbers, Theo, 1999, Filsafat Hukum, Kanisisus, Yogyakarta.

Ibrahim, Johnny, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,


Bayu Publishing, Malang.

Indriati, Maria Farida S., 2007, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan
Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta.

Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata


Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Janus, Sidabaiok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Citra


Aditya Bakti Bandung

Kartini R., 2006, Hukum Komersial, Universitas Merdeka ,Malang.

Kelsen, Hans, 2006, sebagaimana diterjemahkan oleh Raisul Mutaqien, Teori


Hukum Murni, Nuansa & Nusa Media, Bandung.

_____, 2011, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul
Muttaqien, Bandung, Nusa Media.

Keraf, Sony, 1998, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta

Khotler, Phlllp, 1994, Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan dan


Pengendalian, airlangga Jakarta.

_____dan Armstrong, Gary, 2008, Principles of Marketing, Twelfth Edition,


Pearson Education,Inc,
Kristiyanti, C.T.S, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika. Jakarta

Lubis, Sofyan, 2008, Mengenal Hak-Hak Konsumen dan Pasien, Pustaka Yustitia
Yogyakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2008 Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta

_____, 2009, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.

Miru, Ahmadi, 2000, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Konsumen di


Indonesia, Airlangga, Surabaya.

Mudjad, Hadin, dan Nuswardani, Nunuk, 2012, Penelitian Hukum Indonesia


Kontemporer, Genta Publishing, Yogyakarta.

Muhamad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.

_____, 2010, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti.

Muhammad.S.T, 2008, Armia, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum,


Pradnya Paramita, Jakarta

Notoatmojo, Soekidjo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.

Nugroho, Susanti Adi, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau


dari Hukum Acara Serta Implementasinya, Kencana Jakarta.

Pariwara, Etika, 2007, Tata Krama dan Tata Cara Periklanan di Indonesia,
Gedung Dewan Press, Jakarta.

Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, Kencana ,Jakarta.

Raharjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Rawls, John, 1971, Theory of Justice, Harvard University Pers: Cambridge.

Salim Hs dan Nurbani, Erlies Septiana, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Saliman, Abdul R, dkk, 2006, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Kencana, Jakarta

Seidman, Aan, Robert Seidman dan Nalin Abeyskere, 2002, Penyusunan


Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang
Demokratis: Sebuah Panduan Untuk Pembuat Rancangan Undang-Undang,
Terjemahan Johanes Usfunan, et, el., ELIPS.

Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta.

Sholehudin, Umar, 2011, Hukum & Keadilan Masyarakat Perspektif Kajian


Sosiologi Hukum, Setara, Malang.

Siahaan, N.H.T, 2005, Hukum Konsumen,Panta Rei, Jakarta.

Sodiki, A., 1994, Penataan Pemilikan Hak Atas Tanah Didaerah Perkebunan
Kabupaten Malang, Disertasi PPS Universitas Airlangga Surabaya.

Soehino, Hukum Tata Negara; Teknik Perundang-Undangan (Setelah Dilakukan


Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945), BPFE

Soekanto, Soerjono & Purbacaraka, Purnadi, 1993, Perihal Kaidah Hukum, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung,

_____, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

_____, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali.

Soeprapto, Maria Farida Idriati, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius,


Yogyakarta,

Soetandyo, 2013, Wignosoebroto, Pergeseron Paradigma Dalam Kajian-Kajian


Sosial dan Hukum, Setara Press ,Malang.

Sunggono, Bambang, 2004, Metodologi Penelitian Hukum, cet 1,Citra Aditya


Bakti Bandung.

Tahir, Heri, 2010, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia, Laksbang, Yogyakarta.

Tanya, Bernard I, , et.al, 2013, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta.

Thamrin, Husni, 2013, Hukum Pelayanan Publik di indonesia, (Yogyakarta


Aswaja Pressindo.

Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, 1991, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, cet. 1, Balai Pustaka, Jakarta.
Triwulan, Titik dan Febrian, Shinta, 2010, Perlindungan Hukum bagi Pasien,
Prestasi Pustaka, Jakarta.

Zulham, 2013, Hukum Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media


Group, Jakarta.

Disertasi, Jurnal, Makalah atau Penelitian Ilmiah

A. Hamid S. Attamimi, 2007, Disertasi: Peranan Keputusan Presiden Republik


Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Universitas
Indonesia, Jakarta.

BPHN, Laporan Temu Konsultasi Pelaksanaan Hukum di Jajaran Departemen


Hukum dan HAM RI, Yogyakarta, 6-9 Maret 2006.

Fattah, D. 2013, Teori keadilan menurut John Rawls. Jurnal Tapis: Jurnal


Teropong Aspirasi Politik Islam, 9(2).

Holijah, H, 2015, Keadilan Bagi Konsumen: Membedah Undang-undang


Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999. Nurani: Jurnal Kajian Syari'ah
dan Masyarakat, 15(1).

Lndradewi, Anak Agung Sagung Ngurah, 2012, Tanggung Jawab Yuridis Media
Penyiar iklan Dalam Menjamin Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen,
Universitas Udayana.

Maitri, Joynindya Nurislaminarry, 2012, Tinjauan Terhadap .Perlindungan


Konsumen Yang Mengalami Kerugian Akibat iklan Layanan Telkomsel
Blackberry Unlimited, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Mantri, Bagus Hanindyo, 2007, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen


Dalam Transaksi E-Commerce, Universitas Diponegoro.

Monika, C, 2016, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Produk Kosmetik


Berbahan Zat Kimia Berbahaya Dihubungkan Dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Dan Undangundang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Doctoral dissertation,
Fakultas Hukum Unpas. Bandung.

Nasution, B. J, 2014, Kajian Filosofis tentang Konsep Keadilan dari Pemikiran


Klasik sampai Pemikiran Modern. Yustisia Jurnal Hukum

Nugroho, S. S. 2016, Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum Berbasis


Transendental. Perspektif, 21(2)
_____, S. S, 2016, Grounding Pancasila Law as the Future of National Law
Basis. Law Research Review Quarterly, 2(2),
Setiono, 2004, Rule of Law (Supremasi Hukum), Tesis Magister Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Sri, Lestariningsih, 2011, Perlindungan Konsumen Terhadap Iklan Yang


Menyesatkan, Universitas Diponegoro

Sudiyana, 2017, Judul Politik Hukum Pasar Modal Dalam Memberikan


Perlindungan Hukum Berbasis Keadilan Substantif Terhadap Pemegang
Saham Publik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Website dan Link

http://www.mage tankab.go.id/sites/default/files/documents formulir/Fungsi%20


dan%20Peranan%20lklan%20pada%20tv.pdf

Mochamad Ali Syafaat, pemikiran keadilan (Plato, Aristoteles dan Jawn Rawls),
http://safaat.lecture.ub.ac/files/2011/12/keadilan/pdf, diakses pada tanggal
15 Maret 2020.

http//:Earthlovesun.blogspot-com/Ekonomi, Masalah pokok Ekonomi, Sistem


Perekonomian, diakses tanggal 15 Desember 2019

hppt://pramsky.blogspot.com/2009/12 jenis-tujuan-dan-manfaat-Iklan.html

http://septazelva blogspot.com/2011/11/manusia dan-keadilan dikaitkan


dalam.html diunduh 17 Desember 2019

http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/04/07/hak-konsumen
terhadappromosi produk- melalui-iklan-548990.htmldiunduh 15 Desember
2019

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi


dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran

Anda mungkin juga menyukai