Anda di halaman 1dari 339

POLITIK HUKUM NASIONAL

TENTANG PERBANKAN SYARIAH


DI INDONESIA

DISERTASI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Doktor dalam
Bidang Ilmu Ekonomi Islam

Oleh:
DJAWAHIR HEJAZZIEY
NIM : 04.3.00.1.08.01.0037

Promotor:
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA, MM.
Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH

Penguji:
Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA
Prof. Dr. H. Ahmad Rodoni, MM
Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah
Prof. Dr. H. Amsal Bakhtiar, MA.

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M
POLITIK HUKUM NASIONAL
PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

Oleh
DJAWAHIR HEJAZZIEY
NIM : 04.3.00.1.08.01.0037
Promotor:
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA, MM.
Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 M/1930 H
¯2lµƒo ­G¡‹+݉ƒo  ¯2Ù{´
‫اﻟﺴﻼم ﻋﻠﻴﻜﻢ ورﺣﻤﺔ اﷲ وﺑﺮآﺎﺗﻪ‬

I
KESIMPULAN BESAR DESERTASI

Disertasi ini membuktikan bahwa konfigurasi undang-undang merupakan korelasi yang


bersifat sinergiperpaduan antara produk hukum elitis dan produk hukum responsif
populistik yang dibangun berdasarkan nilai-nilai spirit agama, ideologi, politik, ekonomi,
sosial dan budaya.

II
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN
DENGAN KOMUNITAS AKADEMIK LAIN

Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan dan


kepentingan mengenai gerakan Politik Hukum Nasional Perbankan Syariah
sebagai hukum positif dalam sebuah sistem kenegaraan di Indonesia:
1. Gerakan “Islam Politik” mengutarakan bahwa menegakkan syari’at Islam
harus dilakukan melalui jalan kekuasaan atau revolusi sebagai alat.
sedangkan di bidang ekonomi, gerakan fundamentalis menempuh strategi
gradualis dan demokratis. Tokoh-tokoh pejuang syari’at Islam di bidang
ekonomi: A.M. Saefuddin, Karnaen Perwataatmaja, M. Amin Aziz,
Mohammad Syafi’i Antonio, Adiwarman Karim, Zaenal Arifin, Suroso Jajuli,
Zaenal Baharnoer, Iwan Poncowinoto atau Riawan Amin.
2. Gerakan “Islam Kultural” mengutarakan bahwa dalam menegakkan syariat
Islam memilih jalur budaya dan kemasyarakatan; bertujuan untuk
menciptakan masyarakat Islam (creating Islamic Society), peradaban Islam
atau masyarakat madani, paling tidak ikut serta dalam civil society.
Pendapat ini dianut oleh organisasi Islam mainstream, yaitu NU,
Muhammadiyah dan ICMI
3. Gerakan “Islam Liberal” atau sekulariasi mempropagndakan tidak perlu
membawa isu keagamaan ke dalam wacana publik. Pendapat ini dianut
oleh: Nurkholis Majid, Abdullah Ahmad an-Na’im, Khalid Muhammad Khalid,
III
POSISI PENULIS

Desertasi ini mengafirmasikan pendapat pertama, bahwa peneggakan syariat


Islam harus menempuh jalan mencapai kekuasaan atau revolusi sebagai alat
atau yang dikenal dalam istilah “Islam struktural”.

IV
SUMBER YANG DIPAKAI DAN CARA MEMBACANYA
1. Sumber data primer pada penelitian ini adalah Politik dan hukum perbankan
syaiah, didukung oleh buku-buku, jurnal maupun tulisan populer baik
diakses oleh media cetak ataupun elektronik, dengan telaah regulasi dan
Undang-undang
a. UU RI No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan;
b. UU RI No. 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
7 Tahun 1992 Tentang Perbankan;
c. UU RI No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia;
d. PP. No. 72 Tahun 1992 (Pasal 6) Merupakan Salah Satu Pelaksanaan
Peraturan Dari UU No.7 Tahun 1992;
e. UU RI No. 14 Tahun 1967 Pokok Perbankan
f. UU RI No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

2. Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh melalui data-data yang
telah diteliti dan dikumpulkan oleh pihak lain yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian ini.

3. Landasan teori desertasi ini: menggunakan analisis yang dikemukakan


oleh:
a. Van den Berg dalam sebuah teori receptio in complexu yang
menyatakan bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi
pemeluk-pemeluknya, jika penduduk masyarakat beragama Islam,
maka hukum yang berlaku harus hukum Islam.
b. Eugen Ehrlich mengutarakan bahwa untuk mengadakan pembaruan
hukum melalui perundang-undangan harus memperhatikan kenyataan
yang hidup dalam masyarakat “living dan just law” yang merupakan
cerminan nilai-nilai hidup masyarakat atau “inner order”
c. Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje sebagai penemu teori baru
yaitu teori receptie yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat
diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat. Jadi
dengan demikian menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya hukum
Islam harus diresepi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum adat.

Sekian terima kasih


wassalaam
POLITIK HUKUM NASIONAL
TENTANG PERBANKAN SYARIAH INDONESIA

DISERTASI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Doktor dalam
Bidang Ilmu Ekonomi Islam

Oleh:
DJAWAHIR HEJAZZIEY
NIM : 04.3.00.1.08.01.0037

Promotor:
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA, MM.
Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M
LEMBAR PERSETUJUAN

Desertasi yang berjudul “POLITIK HUKUM NASIONAL PERBANKAN


SYARIAH INDONESIA” yang ditulis oleh sdr. DJAWAHIR HEJAZZIEY dengan
NIM.: 04.3.00.1.08.01.0037 dapat disetujui untuk dibawa ke Sidang Ujian Desertasi
Pendahuluan

Demikian untuk dimaklumi,


Pembimbing I

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.


(Tanggal, --------------------2010)
LEMBAR PERSETUJUAN

Desertasi yang berjudul “POLITIK HUKUM NASIONAL PERBANKAN


SYARIAH INDONESIA” yang ditulis oleh sdr. DJAWAHIR HEJAZZIEY dengan
NIM.: 04.3.00.1.08.01.0037 dapat disetujui untuk dibawa ke Sidang Ujian Desertasi
Pendahuluan

Demikian untuk dimaklumi,


Pembimbing II

Prof. DR. H. Abdul Gani Abdullah, SH.


(Tanggal, --------------------2010)
TANDA BUKTI PENYERAHAN DESERTASI

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN


SYARIAH DI INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :
04.3.00.1.08.01.0037, telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam
Ujian Promosi Doktor pada Pukul 19.00 – 21.00 hari Senin Tanggal 06 September 2010 M/ 27
Ramadhan 1431 H, dan disetujui untuk diserahkan Disertasi final ke perpustakaan Sekolah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, 15 Oktober 2010

NAMA JABATAN TTD/PENERIMA


Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, Ketua Sidang/Penguji
MA ...................................................
Prof. Dr. H. M. Amin Suma, Pembimbing/Penguji
SH., MA., MM ...................................................
Prof. Dr. H. Abdul Gani Pembimbing /Penguji
Abdullah, SH ...................................................
Prof. Dr. H. Ahmad Rodoni, Penguji
MM ...................................................
Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah Penguji
...................................................
Prof. Dr. H. Amsal Bakhtiar, Penguji
MA ...................................................
Perpustakaan UIN
...................................................
Perpustakan Pascasarjana
...................................................

...................................................
PENGESAHAN

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN


SYARIAH DI INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :
04.3.00.1.08.01.0037, telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam
Ujian Promosi Doktor pada Pukul 19.00 – 21.00 hari Senin Tanggal 06 September 2010 M/ 27
Ramadhan 1431 H, dan disetujui Untuk diserahkan Disertasi Final ke perpustakaan Sekolah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ...... September 2010


Pembimbing/Penguji

Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM


PENGESAHAN

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN


SYARIAH DI INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :
04.3.00.1.08.01.0037, telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam
Ujian Promosi Doktor pada Pukul 19.00 – 21.00 hari Senin Tanggal 06 September 2010 M/ 27
Ramadhan 1431 H, dan disetujui Untuk diserahkan Disertasi Final ke perpustakaan Sekolah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ...... September 2010


Pembimbing /Penguji

Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH


PENGESAHAN

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN


SYARIAH DI INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :
04.3.00.1.08.01.0037, telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam
Ujian Promosi Doktor pada Pukul 19.00 – 21.00 hari Senin Tanggal 06 September 2010 M/ 27
Ramadhan 1431 H, dan disetujui Untuk diserahkan Disertasi Final ke perpustakaan Sekolah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ...... September 2010


Penguji

Prof. Dr. H. Ahmad Rodoni, MM


PENGESAHAN

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN


SYARIAH DI INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :
04.3.00.1.08.01.0037, telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam
Ujian Promosi Doktor pada Pukul 19.00 – 21.00 hari Senin Tanggal 06 September 2010 M/ 27
Ramadhan 1431 H, dan disetujui Untuk diserahkan Disertasi Final ke perpustakaan Sekolah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ...... September 2010


Penguji

Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah


PENGESAHAN

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN


SYARIAH DI INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :
04.3.00.1.08.01.0037, telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam
Ujian Promosi Doktor pada Pukul 19.00 – 21.00 hari Senin Tanggal 06 September 2010 M/ 27
Ramadhan 1431 H, dan disetujui Untuk diserahkan Disertasi Final ke perpustakaan Sekolah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ...... September 2010


Penguji

Prof. Dr. H. Amsal Bakhtiar, MA

PENGESAHAN
Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN
SYARIAH DI INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :
04.3.00.1.08.01.0037, telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam
Ujian Promosi Doktor pada Pukul 19.00 – 21.00 hari Senin Tanggal 06 September 2010 M/ 27
Ramadhan 1431 H, dan disetujui Untuk diserahkan Disertasi Final ke perpustakaan Sekolah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ...... September 2010


TIM PENGUJI

Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA


(Ketua Sidang/Penguji) ...................................................

Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM


(Pembimbing/Penguji) ...................................................

Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH


(Pembimbing /Penguji) ...................................................

Prof. Dr. H. Ahmad Rodoni, MM


(Penguji) ...................................................

Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah


(Penguji) ...................................................

Prof. Dr. H. Amsal Bakhtiar, MA


(Penguji) ...................................................
PERSETUJUAN KETUA SIDANG

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN


SYARIAH INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :
04.3.00.1.08.01.0037, dinyatakan Lulus Pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada hari Rabu 11
Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan komentar dari Tim penguji. Disertasi
ini disetujui untuk diajukan ke Sidang Ujian Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ------- Agustus 2010


Ketua Sidang/Merangkap Penguji
Prof. Dr. Suwito, MA

PERSETUJUAN PENGUJI

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN


SYARIAH INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :
04.3.00.1.08.01.0037, dinyatakan Lulus Pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada hari Rabu 11
Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan komentar dari Tim penguji. Disertasi
ini disetujui untuk diajukan ke Sidang Ujian Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ------- Agustus 2010


Penguji

Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA


PERSETUJUAN PENGUJI

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN


SYARIAH INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :
04.3.00.1.08.01.0037, dinyatakan Lulus Pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada hari Rabu 11
Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan komentar dari Tim penguji. Disertasi
ini disetujui untuk diajukan ke Sidang Ujian Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ------- Agustus 2010


Penguji

Prof. Dr. Masykuri Abdillah


PERSETUJUAN PENGUJI

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN


SYARIAH INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :
04.3.00.1.08.01.0037, dinyatakan Lulus Pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada hari Rabu 11
Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan komentar dari Tim penguji. Disertasi
ini disetujui untuk diajukan ke Sidang Ujian Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ------- Agustus 2010


Penguji

Prof. Dr. Sri Edi Swasono


PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGUJI

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN


SYARIAH INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :
04.3.00.1.08.01.0037, dinyatakan Lulus Pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada hari Rabu 11
Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan komentar dari Tim penguji. Disertasi
ini disetujui untuk diajukan ke Sidang Ujian Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ------- Agustus 2010


Pembimbing/merangkap Penguji

Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM


PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGUJI

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN


SYARIAH INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :
04.3.00.1.08.01.0037, dinyatakan Lulus Pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada hari Rabu 11
Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan komentar dari Tim penguji. Disertasi
ini disetujui untuk diajukan ke Sidang Ujian Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ------- Agustus 2010


Pembimbing/merangkap Penguji

Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH


PERSETUJUAN SEKRETARIS

Disertasi dengan judul “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN


SYARIAH INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. :
04.3.00.1.08.01.0037, dinyatakan Lulus Pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada hari Rabu 11
Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan komentar dari Tim penguji. Disertasi
ini disetujui untuk diajukan ke Sidang Ujian Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Jakarta, ------- Agustus 2010


Sekretaris

Feni Arifin
ABSTRAK

Nama : Djawahir Hjeazziey, NIM: 04.3.00.1.08.01.0037, Judul Disertasi: Politik


Hukum Nasional Tentang Perbankan Syariah Indonesia.
Disertasi ini membuktikan bahwa konfigurasi undang-undang memiliki
hubungan yang sinergi antara produk hukum elitis dan produk hukum responsif
populistik yang dibangun berdasarkan nilai-nilai spirit agama, ideologi, politik,
ekonomi, sosial dan budaya. Kesimpulan ini menolak pendapat: Nurcholis Majid,
Khalid Muhammad Khalid, Abdullah Ahmad an-Na’im yang mengutarakan bahwa
formalisasi syari’at Islam menjadi hukum positif, tidak diperlukan, karena negara
harus bersifat netral tidak boleh didominasi oleh satu golonganpun, baik muslim
maupun non-muslim.
Disertasi ini juga memperkuat pendapat gerakan Islam Politik yang
mengutarakan bahwa penegakkan syari’at Islam harus dilakukan melalui jalan
kekuasaan. Dalam bidang ekonomi, gerakan ini menempuh strategi gradualis dan
demokratis. Tokoh-tokoh pejuang syari’at Islam di bidang ekonomi: A.M. Saefuddin,
Karnaen Perwataatmaja, M. Amin Aziz, Mohammad Syafi’i Antonio, Adiwarman
Karim, Amin Suma, Zaenal Arifin, dan Riawan Amin.
Indikator yang menunjukkan kebenaran kesimpulan disertasi ini dapat
diketahui bahwa: pembentukan bank Islam di dunia; seperti, pertama Mesir Bank Mit
Ghamr maupun Bank Sosial Nasr; Faisal Islamic Bank, sebuah bank umum komersial
Islamic International Bank for Investment and Development, ternyata melibatkan elit
politik pemerintah, peranan pemerintah sangat besar, baik dalam bentuk regulasi
maupun permodalan; kedua, Pakistan, menghapuskan sistem lembaga keuangan non-
bank, dengan sistem non-ribawi; ketiga, Iran, Islamisasi sistem perbankan dilakukan
secara nasional setelah berdirinya Republik Islam Iran; keempat bank Amanah
Philipina, Bank Islam Malaysia, juga melibatkan pemerintah.
Sumber utama yang digunakan disertasi ini adalah data-data otentik yang
diperoleh dari buku-buku kontemporer tentang politik dan hukum perbankan syariah,
jurnal maupun tulisan populer yang diadop baik dari media cetak atau elektronik
dengan sifat penelitian deskriptif dan eksplanatif serta mengelaborasi disiplin ilmu
politik, ilmu hukum, agama dan sosial. Sedangkan pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan perspektif sosiologis antropologis dengan metode penelitian
telaah dokumen Undang-undang RI No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan; UU RI
No. 14 Tahun 1967 Tentang Pokok Perbankan; UU RI No. 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan; UU RI No
21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan Regulasi yakni PP. No. 72 Tahun
1992 (Pasal 6) merupakan salah satu pelaksanaan peraturan dari UU No.7 Tahun
1992; Data-data yang diperoleh dianalisa melalui deskripsi data, direduksi, dan
dilakukan pemilahan sesuai dengan fokus penelitian. Sedangkan pada tahap
kesimpulan dilakukan interpretasi data, dan dihubungkan yang satu dengan yang lain
untuk memperoleh kesimpulan akhir.

xii
ABSTRACT

Name: Djawahir Hjeazziey, NIM: 04.3.00.1.08.01.0037, Dissertation Title: Politics of


National Laws on Indonesian Islamic Banking.
This dissertation proves that the configuration of the laws have a synergistic
relationship between the legal product of elitist and the legal product of the
population responsive that is built on the values of religious faith, ideological,
political, economic, social and cultural rights. This conclusion rejects the notion:
Nurcholis Majid, Khalid Muhammad Khalid, Abdullah Ahmad an-Na'im who pointed
out that the formalization of Islamic shari'ah became positive law, not needed,
because the neutral country should not be dominated by only one group, both
Muslims and non- -Muslim.
This dissertation also reinforce the opinion of political Islam movement which
points out that enforcement of Islamic sharia must be done through street power. In
the economic sphere, this movement took gradualist strategy and democratic. Figures
of the Islamic sharia fighters in the economy: PM Saefuddin, Karnaen Perwataatmaja,
M. Amin Aziz, Mohammad Shafi Antonio, Amin Suma, Adiwarman Karim, Zaenal
Arifin, and Riawan Amen.
Indicators that show the truth of the conclusion of this dissertation can be seen
that: the establishment of Islamic banks in the world, like: firstly, Egyptian Bank and
the Bank Mit Ghamr Social Nasr, Faisal Islamic Bank, a commercial banks, Islamic
International Bank for Investment and Development, the government's political elite
turned out to involve , the role of government is very big, either in the form of capital
regulation and, secondly, Pakistan, abolish the system of non-bank financial
institutions, with a system of non-ribawi; third, Iran, the Islamization of the national
banking system is done after the foundation of the Islamic Republic of Iran; fourth
Amanah bank Philippines, Bank Islam Malaysia, also involving the government.
The main sources used in this dissertation is authentic data obtained from
contemporary books about politics and the law of sharia banking, journals and
popular writing that diadop either print or electronic media with descriptive and
explanatory nature of research and elaborate on the discipline of political science,
science legal, religious and social. While the approach used is the sociological
perspective of an anthropological approach to document analysis, research methods
Act No. RI. 7 Year 1992 About the Banking Act No. RI. 14 Year 1967 About the
Principal Banking Act No. RI. 10 of 1998 concerning the Amendment of Act No. 7
Year 1992 About the Banking Law Decree No. 21 Year 2008 About Islamic Banking
and Regulation of the PP. No. 72, 1992 (Article 6) is one of the implementation rules
of the Act No.7 of 1992; The data obtained were analyzed through the description of
data, is reduced, and conducted in accordance with the focus of the research division.
While the conclusions made at this stage of data interpretation, and connected with
each other to get final conclusions.

xiii
‫اﻟﻤﻠﺨﺺ‬

‫اﻻﺳﻢ ‪ :‬ﺟﻮاهﺮ ﺣﺠﺎزي ‪ ،‬هﻴﺎآﻠﻬﺎ اﻹﻃﺎرﻳﺔ اﻷﺳﺎﺳﻴﺔ ‪ ، 04.3.00.1.08.01.0037 :‬ﻋﻨﻮان اﻷﻃﺮوﺣﺔ ‪ :‬ﺳﻴﺎﺳﺔ‬
‫اﻟﻘﻮاﻧﻴﻦ اﻟﻮﻃﻨﻴﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﺨﺪﻣﺎت اﻟﻤﺼﺮﻓﻴﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ اﻹﻧﺪوﻧﻴﺴﻴﺔ ‪.‬‬
‫هﺬﻩ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﺗﺜﺒﺖ أن اﻟﺘﻜﻮﻳﻦ ﻟﻠﻘﻮاﻧﻴﻦ هﻨﺎك ﻋﻼﻗﺔ ﺗﻌﺎوﻧﻴﺔ ﺑﻴﻦ ﺑﻴﻦ اﻟﻤﻨﺘﺞ اﻟﻘﺎﻧﻮﻧﻲ ﻟﻠﻨﺨﺒﻮﻳﺔ واﻟﻤﻨﺘﺞ‬
‫اﻟﻘﺎﻧﻮﻧﻲ ﻟﻼﺳﺘﺠﺎﺑﺔ اﻟﺴﻜﺎن اﻟﺘﻲ اﻋﺘﻤﺪ ﻋﻠﻰ ﻗﻴﻢ اﻻﻳﻤﺎن واﻻﻳﺪﻳﻮﻟﻮﺟﻴﺔ اﻟﺪﻳﻨﻴﺔ واﻟﺴﻴﺎﺳﻴﺔ واﻻﻗﺘﺼﺎدﻳﺔ واﻻﺟﺘﻤﺎﻋﻴﺔ‬
‫واﻟﺜﻘﺎﻓﻴﺔ ‪.‬هﺬا اﻻﺳﺘﻨﺘﺎج ﺗﺮﻓﺾ ﻓﻜﺮة ‪ :‬ﻧﻮر ﺧﺎﻟﺺ ﻣﺎﺟﺪ ‪ ،‬ﺧﺎﻟﺪ ﻣﺤﻤﺪ ﺧﺎﻟﺪ ‪ ،‬ﻋﺒﺪ اﷲ أﺣﻤﺪ اﻟﻨﻌﻴﻢ ‪ ،‬اﻟﺬي أﺷﺎر إﻟﻰ‬
‫أن إﺿﻔﺎء اﻟﻄﺎﺑﻊ اﻟﺮﺳﻤﻲ ﻋﻠﻰ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﻓﻲ اﻟﻘﺎﻧﻮن اﻟﻮﺿﻌﻲ وﻟﻴﺲ ﻣﻦ اﻟﻀﺮوري ‪ ،‬ﻣﻨﺬ إﺿﻔﺎء اﻟﻄﺎﺑﻊ‬
‫اﻟﺮﺳﻤﻲ ﻋﻠﻰ ذﻟﻚ ‪ ،‬ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﺪوﻟﺔ أن اﺧﺘﻴﺎر ﻣﺪرﺳﺔ ﻣﻌﻴﻨﺔ ﻣﻦ ﻣﻤﺎ ﻳﻌﻨﻲ اﻟﺘﺨﻠﺺ ﻣﻦ اﻟﻤﺪارس اﻟﻤﺪارس‬
‫اﻷﺧﺮى ‪.‬‬
‫هﺬﻩ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ أﻳﻀﺎ ﻋﻠﻰ ﺗﻌﺰﻳﺰ اﻟﺒﺤﻮث اﻟﺘﻲ ﺗﺠﺮﻳﻬﺎ ﺣﺮآﺔ اﻹﺳﻼم اﻟﺴﻴﺎﺳﻲ اﻟﺬي ﻳﺸﻴﺮ إﻟﻰ أﻧﻪ ﻳﺠﺐ‬
‫ﺑﺬل ﺗﻄﺒﻴﻖ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﻣﻦ ﺧﻼل اﻟﺸﺎرع ﺑﺎﻧﻬﺎ اداة ﻓﻲ ﻳﺪ اﻟﺴﻠﻄﺔ أو اﻟﺜﻮرة ‪.‬أﻣﺎ ﻓﻲ اﻟﻤﺠﺎل اﻻﻗﺘﺼﺎدي ‪،‬‬
‫ﻣﻊ اﻟﺤﺮآﺔ اﻷﺻﻮﻟﻴﺔ واﻟﺪﻳﻤﻘﺮاﻃﻴﺔ اﺳﺘﺮاﺗﻴﺠﻴﺔ ﺗﺪرﻳﺠﻲ ‪.‬ﺷﺨﺼﻴﺎت ﻣﻦ اﻟﻤﻘﺎﺗﻠﻴﻦ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﻓﻲ اﻻﻗﺘﺼﺎد‬
‫‪ :‬رﺋﻴﺲ اﻟﻮزراء ﺷﻴﻒ اﻟﺪﻳﻦ ‪ ،‬آﺮﻧﻴﻦ ﻓﺮوﺗﺎﺗﻤﺠﺎ ‪,‬ﻣﺤﻤﺪ اﻣﻴﻦ ﻋﺰﻳﺰ ‪ ،‬ﻣﺤﻤﺪ ﺷﺎﻓﻲ أﻧﻄﻮﻧﻴﻮ ‪،‬اﻣﻴﻦ ﺳﻮﻣﺎ‪ ,‬ادي‬
‫ورﻣﺎن اﻟﻜﺮﻳﻢ ‪ ،‬زﻳﻦ اﻟﻌﺎرﻓﻴﻦ‪ ،‬ورﻳﺎون ﺁﻣﻴﻦ ‪.‬‬
‫وﻳﻤﻜﻦ ﻣﻼﺣﻈﺔ اﻟﻤﺆﺷﺮات اﻟﺘﻲ ﺗﻮﺿﺢ ﺣﻘﻴﻘﺔ ﺧﺘﺎم هﺬﻩ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﻣﺎ ﻳﻠﻲ ‪ :‬إﻧﺸﺎء اﻟﻤﺼﺎرف اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ‬
‫ﻓﻲ اﻟﻌﺎﻟﻢ ‪ ،‬ﻣﺜﻞ ‪ ،‬واﻟﺒﻨﻚ اﻟﻤﺼﺮي اﻷول وﻣﻴﺖ ﻏﻤﺮ ﻧﺼﺮ اﻟﺒﻨﻚ اﻻﺟﺘﻤﺎﻋﻴﺔ ‪ ،‬وﺑﻨﻚ ﻓﻴﺼﻞ اﻹﺳﻼﻣﻲ ‪،‬‬
‫واﻟﻤﺼﺎرف اﻟﺘﺠﺎرﻳﺔ واﻟﻤﺼﺮف اﻹﺳﻼﻣﻲ اﻟﺪوﻟﻲ ﻟﻼﺳﺘﺜﻤﺎر واﻟﺘﻨﻤﻴﺔ ‪ ،‬واﻟﻨﺨﺒﺔ اﻟﺴﻴﺎﺳﻴﺔ ﻟﻠﺤﻜﻮﻣﺔ ﺗﺤﻮﻟﺖ اﻟﻰ‬
‫إﺷﺮاك ‪ ،‬ودور اﻟﺤﻜﻮﻣﺔ هﻮ آﺒﻴﺮ ﺟﺪا ‪ ،‬ﺳﻮاء ﻓﻲ ﺷﻜﻞ ﻣﻦ أﺷﻜﺎل اﻟﺘﻨﻈﻴﻢ رأس اﻟﻤﺎل ‪ ،‬وﺛﺎﻧﻴﺎ ‪ ،‬وﺑﺎآﺴﺘﺎن ‪،‬‬
‫وإﻟﻐﺎء ﻧﻈﺎم ﻏﻴﺮ اﻟﻤﺼﺮﻓﻴﺔ واﻟﻤﺆﺳﺴﺎت اﻟﻤﺎﻟﻴﺔ ‪ ،‬ﻣﻊ ﻧﻈﺎم ﻏﻴﺮ ‪ -‬رﺑﺎوي ‪ ،‬ﺛﺎﻟﺜﺎ ‪ ،‬وإﻳﺮان ‪ ،‬وﻳﺘﻢ أﺳﻠﻤﺔ اﻟﻨﻈﺎم‬
‫اﻟﻤﺼﺮﻓﻲ اﻟﻮﻃﻨﻲ ﺑﻌﺪ ﺗﺄﺳﻴﺲ ﺟﻤﻬﻮرﻳﺔ إﻳﺮان اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ؛ اﻟﺮاﺑﻌﺔ اﻟﻔﻠﺒﻴﻦ أﻣﺎﻧﺔ اﻟﻤﺼﺮﻓﻴﺔ ‪ ،‬وﺑﻨﻚ إﺳﻼم ﻣﺎﻟﻴﺰﻳﺎ ‪،‬‬
‫واﻟﺘﻲ ﺗﺸﻤﻞ أﻳﻀﺎ اﻟﺤﻜﻮﻣﺔ ‪.‬‬
‫اﻟﻤﺼﺎدر اﻟﺮﺋﻴﺴﻴﺔ اﻟﻤﺴﺘﺨﺪﻣﺔ ﻓﻲ هﺬﻩ اﻷﻃﺮوﺣﺔ هﻲ اﻟﺒﻴﺎﻧﺎت اﻟﺘﻲ ﺗﻢ اﻟﺤﺼﻮل ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻣﻦ اﻟﻜﺘﺐ‬
‫اﻷﺻﻴﻠﺔ اﻟﻤﻌﺎﺻﺮة ﻓﻲ اﻟﺴﻴﺎﺳﺔ واﻟﻘﺎﻧﻮن واﻟﺸﺮﻳﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ اﻟﻤﺼﺮﻓﻴﺔ ‪ ،‬واﻟﻤﺠﻼت ‪ ،‬واﻟﻜﺘﺎﺑﺔ اﻟﺸﻌﺒﻴﺔ اﻟﺘﻲ‬
‫‪diadop‬إﻣﺎ ﻃﺒﺎﻋﺔ أو وﺳﺎﺋﻞ اﻹﻋﻼم اﻹﻟﻜﺘﺮوﻧﻴﺔ ﻣﻊ ﻃﺒﻴﻌﺔ وﺻﻔﻴﺔ وﺗﻔﺴﻴﺮﻳﺔ ﻟﻠﺒﺤﺚ ووﺿﻊ ﻋﻠﻰ اﻻﻧﻀﺒﺎط ﻓﻲ‬
‫اﻟﻌﻠﻮم اﻟﺴﻴﺎﺳﻴﺔ ‪ ،‬اﻟﻌﻠﻮم اﻟﻘﺎﻧﻮﻧﻴﺔ واﻟﺪﻳﻨﻴﺔ واﻻﺟﺘﻤﺎﻋﻴﺔ ‪.‬ﻓﻲ ﺣﻴﻦ ان اﻟﻨﻬﺞ اﻟﻤﺘﺒﻊ هﻮ اﻟﻤﻨﻈﻮر اﻟﺴﻮﺳﻴﻮﻟﻮﺟﻲ ﻧﻬﺞ‬
‫اﻷﻧﺜﺮوﺑﻮﻟﻮﺟﻴﺔ إﻟﻰ وﺛﻴﻘﺔ اﻟﺘﺤﻠﻴﻞ وﻃﺮق اﻟﺒﺤﺚ اﻟﻘﺎﻧﻮن رﻗﻢ ري ‪. 7‬ﺳﻨﺔ ‪ 1992‬ﺣﻮل ﻗﺎﻧﻮن اﻟﻤﺼﺎرف رﻗﻢ ري ‪.‬‬
‫‪14‬ﻋﺎم ‪ 1967‬ﺣﻮل ﻗﺎﻧﻮن اﻟﻤﺼﺎرف رﻗﻢ اﻟﻘﺮض ري ‪. 10‬ﻟﺴﻨﺔ ‪ 1998‬ﺑﺸﺄن ﺗﻌﺪﻳﻞ اﻟﻘﺎﻧﻮن رﻗﻢ ‪ 7‬ﺳﻨﺔ ‪1992‬‬
‫ﻋﻦ اﻟﺴﻨﺔ اﻟﻤﺼﺮﻓﻴﺔ اﻟﻤﺮﺳﻮم ﺑﻘﺎﻧﻮن رﻗﻢ ‪ 2008 21‬ﻋﻦ اﻟﺨﺪﻣﺎت اﻟﻤﺼﺮﻓﻴﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ وﺗﻨﻈﻴﻢ ﻣﺆﺗﻤﺮ اﻟﻤﻨﺪوﺑﻴﻦ‬
‫اﻟﻤﻔﻮﺿﻴﻦ ‪.‬رﻗﻢ ‪ 72‬ﻟﻌﺎم ‪) 1992‬اﻟﻤﺎدة ‪ (6‬هﻲ واﺣﺪة ﻣﻦ ﻗﻮاﻋﺪ ﺗﻨﻔﻴﺬ ﻗﺎﻧﻮن ‪ No.7‬ﻟﻌﺎم ‪ 1992‬؛ وﺗﺸﻴﺮ اﻟﺒﻴﺎﻧﺎت‬
‫اﻟﺘﻲ ﺗﻢ اﻟﺤﺼﻮل ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﺧﻼل ﺗﺤﻠﻴﻞ ووﺻﻒ اﻟﺒﻴﺎﻧﺎت ‪ ،‬وﻳﺘﻢ ﺗﺨﻔﻴﺾ ‪ ،‬واﻟﺘﻲ أﺟﺮﻳﺖ وﻓﻘﺎ ﻟﻠﺘﺮآﻴﺰ ﻗﺴﻢ‬
‫اﻟﺒﺤﻮث ‪.‬ﻓﻲ ﺣﻴﻦ أن اﻻﺳﺘﻨﺘﺎﺟﺎت اﻟﺘﻲ ﻗﺪﻣﺖ ﻓﻲ هﺬﻩ اﻟﻤﺮﺣﻠﺔ ﻟﺘﻔﺴﻴﺮ اﻟﺒﻴﺎﻧﺎت ‪ ،‬ورﺑﻄﻬﺎ ﻣﻊ ﺑﻌﻀﻬﺎ اﻟﺒﻌﺾ‬
‫ﻟﻠﺤﺼﻮل ﻋﻠﻰ ﻧﺘﻴﺠﺔ ﻧﻬﺎﺋﻴﺔ‪.‬‬

‫‪xiv‬‬
­G¡‹+݉ƒo  ¯2Ù{´
¯2lµƒo

KATA PENGANTAR

‫ واﻟﺼﻼة واﻟﺴﻼم ﻋﻠﻰ اﺷﺮف‬,‫ ﻋﻠﻰ اﻣﻮر اﻟﺪﻧﻴﺎ واﻟﺪﻳﻦ‬,‫ وﺑﻪ ﻧﺴﺘﻌﻴﻦ‬,‫اﻟﺤﻤﺪ ﷲ رب اﻟﻌﻠﻤﻴﻦ‬
.‫ وﻋﻠﻰ اﻟﻪ وﺻﺤﺒﻪ اﺟﻤﻌﻴﻦ‬,‫اﻻﻧﺒﻴﺎء واﻟﻤﺮﺳﻠﻴﻦ‬

Pertama-tama penulis panjatkan puji ke hadirat Ilahi Robbi, karena atas berkat
dan inayah-Nyalah bahwa disertasi yang berjudul “POLITIK HUKUM NASIONAL
PERBANKAN SYARIAH NASIONAL” dapat dirampungkan.Ṣalawat dan salam
disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad saw, kepada para sahabatnya,
keluaraganya dan kepada kita semua yang senantiasa berjuang menegakkan agama
Allah, yakni Islam.
Merupakan ciri dan sifat manusia bahwa ketidaksempurnaan melekat dan
terlihat sebagai kudratnya. Namun demikian, diyakini bahwa kekurangan tadi bukan
merupakan bentu usaha yang disengaja. Usaha-usaha penyempurnaan akan menuju
keilmiahan adalah sebagai bentuk perjuangan yang tidak akan terhenti untuk
mencapai suatu tujuan sampai menghadapi keharibaan Allah swt.
Dalam kesempatan ini, ucapan salam ta’dzim dan terimakasih yang tak
terhingga disampaikan kepada:
1. Bapak Prof.Dr. Komarudin Hidayat, sebagai Rektor yang telah memimpin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Bapak Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., sebagai Direktur sekolah Pasca
Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memperjuangkan SPS ini
dengan penuh semangat dan banyak membawa perubahan yang lebih baik.
Disamping itu, kharisma beliaulah yang dapat memberikan suri tauladan bagi
kebanyakan mahasiswa;
3. Bapak Prof.Dr.H. Suwito,MA, Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA. Bapak Dr.
Fuad Jabali, MA., yang telah membimbing dan mengarahkan kepada
mahasiswa dengan penuh semangat dan tak mengenal lelah. Merekalah para
penyangga SPS UIN ini;
4. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Summa, SH, MA, MM, yang telah
meberikan motivasi, dorongan, bimbingan dan suri tauladan kepada para
mahasiswa, tentu saja kepada penulis;
5. Bapak Prof.Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH. yang telah memberikan
motivasi baik secara moril maupun materil dan arahan yang jelas terhadap
penyelesaian disertasi ini;
6. Seluruh dosen dan staf cifitas akademik SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang secara penuh keikhlasan meberikan dalam pelaksanaan kuliah dan
penyelesaian disertasi ini;
7. Keluarga Besar Bapak H. Suwito dan Ibu yang telah memberikan dorongan
dan bantuan baik material maupun spiritual;
8. Bapak Tomy Soeharto yang telah memberikan bantuan dan motivasi dalam
menyelesaikan disertasi ini, baik dalam bentuk material maupun spiritual;
9. Seluruh kawan-kawan di Granadi, terutama Pak Sulton dan ustadz Ridwan
yang selalu memberikan dorongan hingga selesainya disertasi ini;
10. Seluruh kawan-kawan dosen, para pegawai dan staf perpustakaan yang ada di
Fakultas Syariah Hukum yang telah meberikan kemudahan dan motivasi yang
tak dapat disebutkan satu persatu;
11. Wabil khusus kawan-kawan: saudara Syafi’i, SEI, Mufida, SHI, Danny
Arsyad, SEI, Ervin, SEI, Ahmad Juhri, SP dan Pak Habibi, S.Ag, MH, yang
telah memberikan motivasi keras dan memberikan bantuan dalam mencari
data-data, hingga selesainya disertasi ini,
12. Istriku Ana Susanti tercinta, dan anak-anakku tersayang : Wihda Hejazziey,
Sayyid Fahd Mohammed Hejazziey, Siti Nabilah Hejazziey, Ezzet el-a’la
Hejazziey, Ratu Fedhlia Wednina Okta Hejazziey dan Maula Ikfina Qonita
Hejazziey yang telah terganggu waktu dan kasih sayangnya, karena
menyelesaikan disertasi ini;
13. Kakanda Drs. H. Ahmad Mun’im Hijassiy, tetenda Munadzarah, dan teh Dra.
Hj. Kholiyah Thahir, MA yang telah memberikan motivasi dan bantuan baik
moril dan materil sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.
Akhirnya, semoga amal bakti dan perjuangan mereka diberikan imbalan yang
setimpal oleh Allah swt. Amin Yaa Robbal ‘alamin.

Jakarta, 22 juli 2010


Penulis

Djawahir Hejazziey
SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Djawahir Hejazziey


NIM : 04.3.00.1.08.01.0037
Tempat Tgl Lahir : Banten,15 oktober 1955
Pekerjaan : Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
Alamat : Jalan. Abdul Wahab Gg. Swadaya 1 No.58 Rt.03/006
Sawangan Depok
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang berjudul : “POLITIK
HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA”,
adalah karya penulis sendiri, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya,
Apabila di dalamnya terdapat kesalahan dan kekeliruan, penulis siap menerima sanksi
dari Pascasarjana (SPS) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikianlah surat pernyataan ini penulis dibuat dengan sesungguhnya.

Ciputat, 22 Juli 2010


Yang membuat pernyataan

Djawahir Hejazziey
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
SURAT PERNYATAAN ii
PERSETUJUAN PENGUJI DAN PEMBIMBING iii
KATA PENGANTAR ix
ABSTRAK xii
DAFTAR TRANSLITERASI xv
DAFTAR LAMPIRAN xvii
DAFTAR ISI xviii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………. 1
B. Permasalahan ………………………………………………………….. 14
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………… 15
D. Manfaat Penelitian …………………………………………………….. 16
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ……………………………………. 16
F. Kerangka Teori ………………………………………………………… 18
G. Metode Penelitian ……………………………………………………… 22
H. Sistematika Pembahasan ………………………………………………. 24

BAB II DISKURSUS POLITIK HUKUM NASIONAL


A. Definisi Politik Hukum ………………………….……………………....26
B. Politik dan Hukum ……………...……………………………………… 34
C. Politik Hukum Nasional … …………………… ………………………. 54
D. Lembaga-Lembaga Pembentuk Undang-Undang .……………… 65

xviii
BAB III POLITIK HUKUM ISLAM
A. Politik Hukum Islam di Indonesia …………………...……………… 94
B. Transformasi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional …… ……….. 109
C. Perjuangan Penegakkan Hukum Islam di Indonesia ……...….….... 131

BAB IV HUKUM PERBANKAN SYARIAH DALAM SUATU TINJAUAN


A. Epistemologi …….………………… ………………………………. 155
B. Sumber Hukum Perbankan Syariah ……………………….…….…. 162
C. Dasar-Dasar Hukum Perbankan Syariah ………..…………….……. 170

BAB V POLITIK HUKUM PERBANKAN SYARIAH


A. Politik Hukum Perbankan Syariah …………………………….…… 196
B. Mekasime Pembentukan Hukum Perbankan Syariah ………………. 236
C. Perspektif Hukum Islam ……………………….………………….…. 245
D. Analisa ………………………………………………………… ….. 254

BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………….……. 271
B. Rekomendasi ………………………………………….…………….. 272

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….………….. 274


LAMPIRAN-LAMPIRAN ………...………………………………………… 285

xix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Islam, sebagai agama samawi dengan kitabnya al-Qur’ân Al-Karim,
tidak hanya merupakan sebuah sistem yang komprehensif dalam mengatur
semua aspek 1 , tetapi juga bersifat universal yang senantiasa sesuai dengan
dinamika kehidupan. Islam sebagai “total way of life”, memiliki hubungan
yang erat dan integral dengan kehidupan masyarakat, politik, hukum,
pendidikan, dan ekonomi. 2 Islam bukanlah agama sekuler yang memisahkan
agama dengan phenomena sosial.
John L. Esposito mengutarakan rasa kekagumannya terhadap
perkembangan dan kebangkitan Islam di seluruh penjuru dunia yang secara
dominan 3 merefleksikan kedinamisan identitas diri, baik dalam bidang politik,
hukum, budaya, pajak, dan ekonomi yang berkembang dengan pesat.

1
Lihat Said Sa’ad Marthon, Al-Madkhal li al-Fikr al-Iqtisâd fi al-Islâm: Ekonomi Islam
di Tengah Krisis Ekonomi Global, Penerjemah, Ahmad Ikram, Dimyauddin (Jakarta: Zikru
Hakim, 2007), xix.
2
Islam diakui relevan dan terintegritas dengan politik, hukum, pendidikan, kehidupan
masyarakat dan ekonomi. Lembaga-lembaga atau wilayah kehidupan tidak dilipandang sekuler
tetapi dipandang sebagai agama, didasarkan pada kepercayaan bahwa Islam sebagai jalan
kehidupan, agama dan masyarakat saling berhubungan. Bagi umat Islam, pendapat bahwa agama
adalah integral dengan kehidupan itu merupakan norma-norma ketuhanan, jadi tidak ada
dichotomi suci dan kotor, pertanyaannya adalah bukan apakah agama harus mengiformasikan
kehidupan, tapi kapan dan bagaimana. Bagi umat Islam, percampuran agama dan politik bukan
masalah, permasalahannya apakah itu dilakukan untuk memanipulasi aatau mengawasi manusia
atau sikap yang distorsi. Lihat John L. Esposito, Islam the Straight Path (New York: Oxford
University Press, 1998), 158-159.
3
Islam secara terus menerus menunjukkan kedinamisan dan perbedaan dalam ekpresi.
Tema-tema dominan mengenai Islam kontemporer mengenai telah ada kebangkitan. Pengaruh
Islam tentang kehidupan orang Islam telah menjadi bukti di banyak Negara Islam sejak tahun 1879
an, apakan dalam bentuk pakaian wanita di jalan-jalan di Kairo, Istanbul, and Kuala Lumpur atau
dalam politik Islam dari Tunis sampai Mindano. Hukum Islam, perpajakan, hukuman danbank-
bank telah diperkenalkan di banyak Negara Islam. Islam benar-benar sebuah agama dunia
(global).Perdebatan dan perjuangan tentang isu-isu mengenai identitas, keimanan, budaya dan
praktik-praktek yang terjadi sekarang ini tidak hanya di dunia Muslim taoi juga di Barat. Orang-
orang Islam di Negara-negara mayoritas beragama Islam dari Afrika Utara sampai ke Asia
Tenggara memperjuangkan peranan Islam dalam Negara dan masyarakat, sedangkan di Eropa dan
Amerika memperjuangkan isu-isu keimanan dan percampuran budaya. Lihat John L. Esposito,
Islam the Straight Path, 159

1
2

Di bidang ekonomi, Islam memberikan tuntunan dan petunjuk secara


paripurna, lugas dan tegas, baik dalam bentuk dogmatis, konsep dan
pemikiran, baik secara teoritis maupun implementatif. Islam menuntut
umatnya untuk memanifestasikan ajarannya dalam seluruh aspek kehidupan.
Adalah tidak masuk akal, seorang muslim menjalankan shalat 5 waktu sehari
dengan berikrar bahwa mati dan hidup karena Allâh, kemudian kesehariannya
melakukan transaksi yang menyimpang dari tuntunan Islam yang menjadi
rahmat bagi alam semesta (Rahmatan li al-‘âlamîn) termasuk kehidupan
perekonomian manusia.
Salah satu aspek nilai kemandirian Islam yang sangat menonjol adalah
doktrin dan praktek ekonomi. 4 Kaum muslimin menjadi lebih semangat dan
sangat berkeinginan membangun sebuah perekonomian yang konsisten
dengan nilai-nilai dan etika Islam, sesuai dengan validitas Islam yang tidak
terikat dengan ruang dan waktu. Ajaran Islam tentang ekonomi merupakan
bagian dari visi besar etika universal. Ini berarti basic formulas (rumusan
dasar), proses dan motivasi ekonomi dalam masyarakat Islam berpihak pada
nilai-nilai keadilan dan etik-religius, berbeda dengan yang lain baik Neo-
Klasik, Marxis, Intitusional dan lain-lain. 5 Nilai-nilai etika Islam bisa
ditransformasikan dalam seperangkat aksioma 6 dalam memformulasikan
prilaku ekonomi yang konsisten.
Nilai-nilai etika Islam terintegrasi menjadi tingkah laku ekonomi. 7

4
Lihat Pengantar Zafar Ishaq Ansori dalam buku M. Umer Chaptra: Islam and Economic
Developemnt: Islam dan Pembangunan Ekonomi, Penerjemah Ikhwan Abidin B. (Jakarta: Gema
Insani Press, 2000), xv.
5
Lihat Prolog Syed Nawab Haider Naqvi, Islam, Economics, And Society: Menggagas
Ilmu Ekonomi Islam, Penerjemah Syaiful Anam, Muhammad Ufukul Mubin (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar 2003), xii.
6
Ada empat aksioma yang terangkum di dalamnya yaitu: kesatuan (unity), keseimbangan
(equilibrium), kehendak bebas (free will), dan tanggung jawah (responsibility). Aksioma tersebut
harus dijadikan dasar untuk merumuskan pernyataan logis yang mengandung generalitas tentang
ekonomi Islam, rumusan pernyataan tersebut difalsifikasi jika tidak dapat diverifikasi dalam
konteks kehidupan masyarakat muslim. Lihat Prolog Syed Nawab Haider Naqvi, Islam,
economics, and society: Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Penerjemah Syaiful Anam, Muhammad
Ufukul Mubin, xiii.
7
Lihat Muhammad Akram Khan, Economic Message of the Qur’ân (Kuwait: Islamic
Book Publishers, 1996), 148.
3

Oleh karenanya, menempatkan manusia rasional dengan dasar insiatifnya


sendiri dan mengejar utilitas ekonomi optimal dengan keuntungan maksimal
(maximum gain) namun mengorbankan minimal (minimum sacrifice). Maka
manusia semacam ini disebut homo economicus yang berlawanan dengan
homo eticus. 8
Telah banyak bermunculan kritik terhadap ekonomi konvensional
antara lain: 9 Amartya Sen, mengatakan menjauhkan ilmu ekonomi dan etika
telah memelaratkan dan juga melemahkan landasan keterkaitan yang erat
antara deskriptif dan prediktif ilmu ekonomi. Sistem kapitalisme dan
sosialisme, dianggap kurang valid dan tidak mampu mengatasi problematika
kehidupan, sehingga diharapkan adanya sebuah penetrasi sistem ekonomi
alternatif yang lebih capable. 10 Pada awal abad inilah merupakan masa
kebangkitan dunia Islam dari ketertidurannya di tengah pergolakan dunia.
Kondisi ini membawa pada kesadaran baru untuk menerapkan prinsip dan
nilai-nilai syariah dalam kehidupan nyata.
Prinsip-prinsip etika ekonomi dan perdagangan yang bertumpu pada
syariah, 11 telah dibangun oleh Rasulullah Saw, di tengah-tengah masyarakat
Arab kuno tidak hanya mengenal barter, tetapi juga system jual beli telah
berlaku, mata uang Persia dan Romawi juga dikenal luas oleh masyarakat dan

8
M. Teresa Lunati, Ethical Issues in Economics: From Altruism to Cooperation to Equity
(London: MacMillan Press, 1977), 139.
9
Gunnar Myrdal (Swedia) Hla Myint (Myanmar) dan Amartya Sen (India), Amitai
Etzioni (Amerika). Tokoh-tokoh dari Indonesia seperti Sukadji Ranuwihardjo, Rukmono Markam,
Mubyarto, dan Sri Edi Swasono. Amartya Sen adalah salah satu pendukung aliran pemikiran
ekonomi kritis Social Economics, menjelaskan bahwa sebagai ilmu moral, ilmu ekonomi secara
impiratif mengenal keadilan (justice/fairness), peduli dengan persamaan (equality) dan pemerataan
(equity), mengedepankan kemanusiaan (humanity), serta mengemban nilai-nilai agama. Secara
etikal memngenal dan menghormati kepentimngan-kepentingan bersama, seperti: social welfare,
public needs, public interests, solidarity, juga menghormati kepentingan-kepentingan individu,
seperti kebebasan (liberty), kebahagiaan (happiness). Lihat A. Riawan Amin, Menata Perbankan
Syariah di Indonesi, Jakarta: UIN Press, UIN Syarif hidayatullah Jakarta, 2009, 9.
10
Said Sa’ad Marthon, Al-Madkhal li al-Fikr al-Iqtiṣâd fi al-Islâm: Ekonomi Islam di
Tengah Krisis Ekonomi Global, Penerjemah, Ahmad Ikram, Dimyauddin, xx.
11
A. Riawan Amin, Menata Perbankan Syariah di Indonesia (Jakarta: UIN Press, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), 11.
4

telah menjadi sarana pertukaran yang efektif 12 . Tradisi dan praktek ekonomi
Islam terus dikembangkan, Abu Bakar, misalnya telah menggunakan asas
pemerataan dalam distribusi harta Negara. Kebijakan ini berbeda dengan
Umar Ibn Khathab, 13 yang menggunakan sistem distribusi dengan asas
pengistimewaan pada orang-orang tertentu 14 yang mendapatkan prioritas
pertama. 15
Seiring dengan penggantian sistem pemerintahan Islam yang
berkembang kearah dinasti-dinasti Islam dalam suatu organisasi pemerintahan
yang kuat, muncul tokoh-tokoh pemikir muslim yang dikatagorikan sebagai
“fuqahâ”, para filosuf dan sufi. 16 Pada awalnya pemikiran mereka tentang
hukum-hukum yang berhubungan dengan ibadah maḥḍah (murni). Kemudian,
secara perlahan tapi pasti dituntut oleh suatu relaitas, karya ilmiahnya semakin
berkembang termasuk pemikiran-pemikiran ghair maḥḍah (tidak murni),
seperti ekonomi.
Kondisi ekonomi, sepanjang abad 20, dunia Internasional menghadapi
kehidupan yang krisis, 17 saat ini terdapat kesadaran transendental 18 untuk

12
Ashgar Ali Engineer, “Asal Usul dan Perkembangan Islam”, Analisis Pertumbuhan
Sosio-Ekonomi, Jakarta: Pustaka Belajar dan Insist Press, 1999, 63.
13
Afzalurrahman, Muhammad sebagai Seorang Pedagang (Jakarta: Yayasan Swarna
Buni: 1997), 21
14
Assaabiqunal Awalun, keluarga nabi, dan para pejuang perang. Sedangkan sumber
penerimaan Negara berasal dari Zakat, jizyah, kharaj, ghanimah dan fai yang kemudian pada masa
Umar dikembangkan lebih luas lagi seperti adanya ‘ushr’dari pajak perdagangan antara Negara
muslim dengan Negara asing.
15
Irfan Mahmud Ra’ana, Economic System under Umar the Great, Terjemahan
Mansuruddin Djaely dalam system ekonomi pemerintahan Umar Ibn Al-Khathab, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1992, 92.
16
A. Riawan Amin, Menata Perbankan Syariah di Indonesi, 13.
17
Krisis ekonomi dunia yang berdampak ekonomi Indonesia membawa berkah tersendiri.
Ada semacam justifikasi sosial atas kekurangan dan kelemahan system ekonomi konvensional
yang selama ini dijalankan, sekaligur menumbuhkan kuriositas umat Islam, khususnya uintuk lebih
memahami ekonomi Islam. Bahkan bagi sebahagian kelompok masyarakat muslim ada semacam
tuntutan utnuk menemukan kembali khazanah Islam yang sempat terlupakan dalam bidang
ekonomi. Maraknya kajian-kajian tentang ekonomi Islam tidak dapay dipisahkan dari fenomena
kembangkitan kembali ajaran-ajaran Islam yang orisinal (Islamic Resurgence) di seluruh dunia
Islam bahkan dikawasan minoritas muslim. Lihat A. Riawan Amin, Menata Perbankan Syariah di
Indonesai, 21.
18
Kesadaran di luar pengertian dan pengalaman manusia biasa. Kesadaran yang ada dalam
masyarakat Islam akhirnya mengkristal dalam kebangkitan Islam di seluruh dunia. Kebangkitan
ini mendoronga intelektual muslim untuk meningkatkan kemampuan intelektualnya guna
mengkaji, memahami, menganalisa dan mengelaborasi serta menerapkan sumber-sumber hukum
5

mengembalikan segala problematika kehidupan kepada nilai-nilai Islam dan


mempelajari khazanah Islam dengan mensinkronisasikan sistem kehidupan
yang ada.
Argumentasi yang dibangun oleh para pemikir ekonomi Islam bahwa
ekonomi Islam adalah sarat dengan nilai-nilai dan tidak mengajarkan spiritual
yang tandus atau gersang. 19 Pemikiran yang sangat brilian dari para fuqaha,
filosuf, dan sufi memiliki benang merah 20 yang jelas merupakan aplikasi etika
dan moral dalam seluruh aktifitas ekonomi. Selain itu, juga menjalankan
fungsinya sebagai penjelas terhadap suatu fakta secara objektif, disamping
fungsi prediktif seperti yang dilakukan oleh ilmu ekonomi konvensional. Dan
yang harus difahami adalah bahwa pemikiran ekonomi Islam tidak
bermaksud menafikan pemahaman dan analisa sistem ekonomi kontemporer.
Namun berusaha mendialektikakan pemahaman dan analisa tersebut dengan
nilai dan etika ekonomi Islam yang tidak lepas dari kajian para pemikir
sebelumnya yaitu para pemikir muslim masa klasik hingga abad
pertengahan. 21 Bahkan jauh sebelum kritik ilmu ekonomi konvensional
berkembang, para pemikir muslim telah lebih dahulu merumuskan
kemakmuran Negara berdasarkan tauhid. 22
Kebangkitan ekonomi Islam di tingkat Internasional secara kolektif,
berawal dari konferensi negara-negara Islam sedunia di Kuala Lumpur, 23

dan kitab-kitab peninggalan umat Islam untuk menemukan sebuak konsep serta paradigma baru
dalam semua aspek kehidupan. Salah satu manifestasi kebangkitan Islam adalah adanya keinginan
intelektual muslim untuk mengembalikan perkembangan pemikiran dan pengetahuan kepada
ajaran Islam, sesuai dengan perkembangan zaman.
19
Lihat Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic and the Orientalists (Delhi:
Markazi Maktaba Islami, 1985), 90.
20
Pemikiran yang brilian ini tidak berkembang di dunia muslim melainkan lahir dalam
bentuknya yang seperti suatu hal baru yang datang dari belahan dunia Barat.
21
Lihat A. Riawan Amin, Menata Perbankan Syariah di Indonesia , 10
22
Ilmu tentang teori yang berbasiskan tauhid , artinya bahwa tiada keterpisahan antara
kehidupan di dunia dan di akhirat bagi manusia yang beriman dan beramal sale Merka adalah
golongan yang mengharapkan ridho Allâh dalam segala geraknya. Lihat Murasa Sarkaniputra,
Ruqyah Syar’iyyah: Teori, Model dan sistem ekonomi (Jakarta: Al-Ishlah Press & STEI, 2009),
106-107.
23
Pada konferensi tersebut menghasilkan beberapa hal : 1) tiap keuntungan haruslah
tunduk kepada hukum untung dan rugi, jika tidak ia termasuk riba dan riba itu sedikit/banyak
haran hukumnya; 2) diusulkan supaya dibentuk suatu bank syariah yang bersih dari sistem riba
6

Malaysia pada bulan April 1969, yang dikuti oleh 19 negara peserta.
Kemudian sejarah kebangkitan perbankan Islam berikutnya yakni dengan
didirikannya Islamic Development Bank (IDB). 24 Lembaga ini kemudian
berperan penting dalam memenuhi kebutuhan negara-negara Islam untuk
pembangunan dan secara aktif memberikan pinjaman bebas bunga
berdasarkan partisipasi modal negara tersebut. Dengan berdirinya lembaga ini
dapat memberikan motivasi pada negara-negara lain untuk mendirikan
lembaga-lembaga keuangan Islam. Pada akhir tahun 1970-an dan awal dekade
1980-an lembaga-lembaga keuangan Islam banyak bermunculan seperti: di
Mesir, Sudan, Negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, dan Turki. 25
Bank-bank syariah dalam bentuknya yang sekarang untuk pertama kalinya
didirikan di Dubai dengan nama Dubai Islamic Bank pada tahun 1973 oleh
sekelompok pengusaha muslim dari berbagai Negara. Dalam jangka waktu
sepuluh tahun sejak pendirian bank tersebut telah muncul lebih dari 50 bank
yang bebas bunga. Di luar Negara-negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, bank-bank tersebut telah didirikan pula seperti di Denmark,
Luxemburg, Switzerland, dan United Kingdom. 26
Pada awalnya, persoalan bunga inilah yang menjadi latar belakang
lahirnya perbankan prinsip bagi hasil atau syariah dan ini pula yang
dijadikan sebagai salah satu kriteria dasar yang membedakan antara sistem
perbankan syariah dengan konvensional. Bagi pengusung perbankan syariah
didasarkan pada bagi hasil bukan bunga (riba). Schacht, mantan direktur
Bank Reich dalam ceramahnya di Damaskus, pada tahun 1953, menyatakan
bahwa bila dihitung secara matematik, ternyata semua kekayaan yang ada di

dalam waktu secepat mungkin; sementara waktu menunggu berdirinya bank syariah, bank-bank
yang menerapkan bunga diperbolehkan beroperasi, namun benar-benar dalam keadaan darurat.
24
Pendirian IDB diawali dengan sidang menteri Luar negeri Negara-negara Organisasi
Konfensi Islam (OKI) di Karachi, Pakistan pada bulan Desember 1970. Mesir mengajukan sebuah
proposal untuk mendirikan bank syariah Internasional. Setelah mendapatkan persetujuan dari
Negara-negara OKI lainnya dan tahapan tertentu, maka pada tahun 1975, berdirilah IDB yang
beranggotakan 22 negara Islam pendiri.
25
Gemala Dewi , Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perbankan Syariah di
Indonesia, Edisi Revisi (Jakarta: Kencana, 2007), 127.
26
Sutan Remy Syahdeini, “Perbankan Syariah suatu Alternative Kebutuhan Pembiayaan
Mastarakat”, Jurnal Hukum Bisnis, 2008, 8.
7

bumi sedang berpindah kepemilikannya kepada segelintir para pelaku


ekonomi yang berbasis bunga. 27 Islam sama sekali tidak mentolerir apalagi
memberikan apresiasi terhadap bunga, yang secara tegas dilarang oleh al-
Qur’ân.
Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir ini, ekonomi Islam terus
tumbuh menyempurkan diri di tengah-tengah beragamnya sistim sosial dan
ekonomi konvensional yang berasaskan pada sistim sekuler. Lebih dari 55
yang pasarnya sedang bangkit dan berkembang, bahkan beberapa lembaga
keuangan Islam telah beroperasi di 13 lokasi lain, yaitu Australia, Bahama,
Luxemburg, Swiss, Inggris, Amerika Serikat, dan Kepulauan Virginia. 28
Ekonomi Islam dikatakan baru dalam tanda petik, karena sesungguhnya ilmu
ekonomi Islam sudah pernah dipraktekan secara sempurna oleh Rasulullah
hingga masa keemasan Daulah Islamiyah beberapa abad lalu. 29 Di Pakistan,
Iran dan Sudan semua bank harus beroperasi sesuai dengan prinsip keuangan
Islam. Sedangkan di beberapa negara lain menerapkan sistem keuangan
campuran 30 atau kombinasi, termasuk di Indonesia dan Malaysia.
Istilah ekonomi Islam (Islamic Economics) untuk di negara lain, lebih
dikenal menggunakan istilah ekonomi syariah 31 untuk di Indonesia sebagai

27
Maksudnya adalah bahwa orang yang memberi pinjaman selalu saja beruntung dalam
segala bentuk kegiatannya. Sedangkan mereka yang menerima pinjaman senantiasa dihadapkan
kepada dua pilihan untung atau rugi. Dengan demikian, secara matematik semua harta pada
akhirnya berpindah milik kepada para pelaku riba yang terus menerus beruntung. Disinilah yang
sesungguhnya bahwa ekonomi syariah disamping juga menekankan pada keadilan juga
pemerataan yang tidak saling menganiaya sesama. Hal ini, bukan asumsi dasar yang menempatkan
manusia rasional dengan insiatifnya sendiri mengejar utilitas ekonomi ptimal yakni mencarai
keuntukngan maksimal denag mengorbankan minimal. Lihat Muhammad Gunawan Yasni,
Ekonomi Sufistik: Adil dan Membahagiakan, 14.
28
Mervyn K. Lewis & Latifa M. Alghoud, Perbankan Syariah: Prinsip Praktik dan
Prospek, Terjemahan Burhan Subrata (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007), 9.
29
Mustafa Edwin Nasution, et al, Pengenalan Eklusif Ekonomi Islam (Kencana, Jakarta:
2007), v.
30
Maksudnya bahwa bank Islam beroperasi berdampingan dengan bank konvensional
meski dengan skala yang sangat terbatas. Kendatipun telah tersebar secara meluas, perbankan
Islam masih kurang dipahami oleh dibeberapa belahan dunia Islam, bahkan masih teka-teki di
sjumlah Negara Barat. Lihat Mervyn K. Lewis &Latifa M. Alghoud, Perbankan Syariah: Prinsip
Praktik dan Prospek, 9.
31
Lihat M. Dawam Rahardjo, “Kata Pengantar Menegakkan Syariat Islam di Bidang
Ekonomi”, dalam bukunya Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan
(Jakarta: RahaGrafindo Persada, 2007), edisi ke-3, xii-xiii. Istilah Ekonomi Syariah ini misalnya
8

ciri khas. Sebuah sistem ekonomi yang diadopsi dari al-Qur’ân dan as-
Sunnah, serta dari tatanan ekonomi yang dibangun di atas dasar-dasar
tersebut, sesuai dengan berbagai macam bi’ah (lingkungan) dan setiap
zaman. 32 Ekonomi Syariah juga dapat dipahami sebagai sebuah ilmu yang
membahas prihal ekonomi dari berbagai sudut pandang keislaman (filsafat,
etika dan lain-lain) terutama dari aspek hukum, dan syariahnya. 33 Itulah
sebabnya, menurut Amin Suma, mengapa ekonomi Islam sering pula disebut
ekonomi syariah. 34
Pembangunan ekonomi syariah merupakan bagian dari pada bentuk
perjuangan penegakan syariat Islam di Indonesia yang telah dirintis sejak
republik ini dibangun, namun selalu mengalami kegagalan:
Pertama; ketika piagam Jakarta dirumuskan yang akan dijadikan
mukaddimah Undang-Undang Dasar 1945 dan dipersiakan oleh
BPUPKI/PPKI. Dalam rumusan tersebut, dicantumkan lima sila yang menjadi
dasar Negara, di mana sila pertamanya adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa
dengan kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Rumusan
ini tidak disetujui, degan alasan menjaga persatuan dan kesatuan seluruh
rakyat Indonesia, kemudian umat Islam, yang diwakili oleh Ki Bagus
Hadikusumo dari Muhammadiyah, akhirnya merelakan dicabut 7 kata
tersebut. 35
Kedua; Dalam sidang Konstituante 1959, seluruh partai Islam
memperjuangkan syari’at Islam berlaku tidak hanya untuk umat Islam, tetapi
juga untuk seluruh rakyat Indonesia. Perjuangan inipun akhirnya menemui

terdapat dalam pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006, Tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama (PERUPA).
32
Ahmad Izzan dan Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah: Ayat-ayat al-Qur’ân
yang Berdimensi Ekonomi (Bandung: Renaja Rosdakarya, 2006), 33.
33
Lihat Amin Suma, Seputar Ekonomi Syariah: Studi tentang Prinsip-prinsip Ekonomi
Syariah di Indonesia”, dalam Mahkamah Agung RI, Kapita Selekta Perbankan Syariah:
Menyongsong Berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2006. Tentang Perubahan UU. Nomor 7 Tahun
1989 (Perluasan Wewenang Peradilan Agama), (T. Tp.: Mahkamah Agubg RI, 2006), 39.
34
Suma, Seputar Ekonom Syariah, 39.
35
Lihat M. Dawam Rahardjo, “Kata Pengantar Menegakkan Syariat Islam di Bidang
ekonomi” dslsm buku Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2007), edisi ke-3 xxii.
9

kegagalan, karena suara pendukung Islam sebagai dasar negara masih lebih
kecil dari suara yang menolaknya, walaupun umat Islam disebut sebagai
mayoritas di Indonesia. 36
Ketiga; pada masa reformasi, perjuangan formalisasi syari’at Islam
muncul kembali atas tuntutan dari sejumlah organisasi Islam radikal dan
beberapa partai politik, khususnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan
Partai Keadilan (PK) agar ST MPR, Agustus 2002, agar memulihkan kembali
gagasan Piagam Jakarta, dengan mengamandemen pasal 29 ayat 1 UUD 1945
tentang dasar negara, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa untuk ditambah
“dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya.” Namun tuntutan itu
tidak memperoleh dukungan yang memadai dari para anggota MPR. Bahkan
dua organisasi Islam terbesar, yaitu Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah,
ternyata menolak usul amandemen tersebut.
Dari tiga alternatif usulan perjuangan penegakan syariat Islam di
Indonesia tersebut, semuanya mengalami kegagalan dengan alasan yang tidak
jelas, padahal bangsa ini termasuk penyelenggara negara adalah bangsa
penganut agama Islam dan terbesar kedua di dunia. Kenapa dan bagaimana
bisa terjadi demikian?
Ada permasalahan pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan
dan kepentingan terhadap formalisasi penegakan syariat Islam sebagai hukum
positif dalam sebuah sistem kenegaraan di Indonesia. Perbedaan ini dibangun
oleh tiga kelompok yang masing-masing memiliki bangunan argumentasi.
Pertama; gerakan “Islam Politik” yang menempuh jalan mencapai kekuasaan
sebagai alat untuk menegakkan syari’at Islam. Kedua, “Islam Kultural” yang
memilih jalur budaya dan kemasyarakatan. Ketiga, gerakan “Islam Liberal”
yang mempropagandakan tidak perlu membawa isu keagamaan ke dalam
wacana publik 37

36
Lihat Rahardjo, xxiii
37
Islam politik bertujuan menegakkan Negara Islam atau kekuasaan Islam, sedangkan
Islam kultural, bertujuan untuk menciptakan masyarakat Islam, peradaban Islam atau masyarakat
10

Konfigurasi politik hukum dalam ilmu politik hukum sangat signifikan


pengaruhnya terhadap suatu produk hukum yang kemudian dilahirkan,
diperbaharui, diubah dan/atau ditinggalkan . Faktor tersebut meliputi antara
lain : legal system (norma pokok negara dan falsafah negara); religiousisme;
humanisme; culturalisme; globalisasi; etniccal assimilation; liberalisme;
feodalisme; socialisme; militerisme; interrelationship of Civilizationship;
authoritarisme; capitalisme 38 dan seterusnya. Semua hal tersebut amat
mendominasi dalam pembentukan, penyusunan, perubahan dan pemberlakuan
undang-undang atau hukum.
Faktor lain adalah bahwa peranan pemerintah terhadap pelaksanaan
dan pembentukan syariat Islam dalam hal ini pembangunan Bank Syariah
secara meluas adalah sangat krusial sebagai instrumental, karena tanpa adanya
keterlibatan pemerintah disamping sebagai pembentuk payung hukum atau
undang-undang yang menjadi dasar bagi terbentuknya perbankan syariah.
Kepercayaan masyarakat akan dirasakan sulit, jika pemerintah tidak secara
tegas campur tangan baik dari segi regulasi maupun permodalan, apalagi
masyarakatnya bersifat majemuk dan heterogen.
Di negara-negara Islam lain, misalnya, keterlibatan pemerintah
memiliki pengaruh yang besar, di Mesir dibentuk Faisal Islamic Bank, sebuah
bank umum komersial dengan aset milliaran dolas AS dan juga sebuah bank
pembangunan, Islamic International Bank for Investment and Development,
Islamic Development Bank (IDB), yang berpusat di Jedah. Bank
pembangunan yang menyerupai Bank Dunia (The World Bank) dan Bank
Pembangunan Asia (ADB), ini dibentuk oleh organisasi Konferensi Islam
(OKI) yang anggota-anggotanya adalah negara-negara Islam, termasuk
Indonesia. Ini adalah juga sebuah kasus di mana negara berperan instrumental
dalam pembentukan bank pembangunan Islam dengan modal yang cukup

madani, paling tidak ikut serta dalam civil society. Organisasi Islam mainstream, yaitu NU,
Muhammadiyah dan ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia), memilih jalan kedua.
38
Abdul Gani Abdullah, Catatan Kuliah Sekolah Pascasarjana Universitas Islan Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 14 April 2010.
11

besar. Di Malaysia, Pakistan dan Iran Islamisasi sistem perbankan dilakukan


secara nasional setelah berdirinya Republik Islam Iran.
Inilah relevansi pemikiran ekonomi tersebut sebagai bahan kajian
untuk mendapatkan metodologi ekonomi syariah yang dapat dikembangkan
untuk konteks kekinian, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat pada
level praksisnya, 39 seperti dalam konteks penyusunan Rancangan Undang-
undang (RUU) Perbankan Syariah. 40
Penyusunan Undang-undang Perbankan Syariah memiliki orientasi
dan tujuan untuk mewadahi kehendak masyarakat Islam di Indonesia yang
telah lama memperjuangkan peranan Islam dalam Negara dan masyarakat
dalam bentuk pelaksanakan syariat Islam. Hal ini dimaksudkan agar umat
Islam akan merasa tenteram hatinya dengan menggunakan jasa perbankan
syariah, karena banyak umat Islam yang tidak mau menyimpan dananya atau
melakukan transaksi dengan menggunakan jasa bank konvensional.
Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam, tentunya
hukum yang paling relevan dan laik dengan jiwa bangsa adalah hukum positif

39
Mengenai hubungan ini sebuah teori/konsep perlu dihubungkan dengan level
praksisnya, agar dapat memberikan manfaatnya secara nyata. Hal ini sepeerti direfleksikan oleh
Malik Bi al-Nabi bahwa perlu diperhatikan adanya tiga level yang saling berkait dan agar tidak
dipisah-pisahkan untuk mensinergikan antara gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan dalam
berbagai bentuknya termasuk berupa kebijakan-kebijakan praksis strategisnya. Ketiganya adalah
hubungan antara gagasan-gagasan (pemikiran ) dan parameter tindakan (parameters of actions),
yang mesti tetap melihat pada tiga level, yakni: 1) level politik, ideology dan etika dalam
kaitannya dengan hal perseorangan; 2) level logika, filsafat dan sains untuk mencapai di bidang
ide, gagasan atau pemikiran; dan 3) level sosial, ekonomi dan teknik dalam hal untuk mencapai
sasaran atau tujuan. Lihat Malik Bi al-Nabi, The Question of Ideas in the Muslim World,
Penerjemah Muhammed el-Tahir el-Mesawi, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2003), 37.
40
Perbankan syariah sendiri, misalnya, sebagai salah satu bagian dari ekonomi syariah,
selama ini masih menjadi subordinate dari perbankan konvensional. Perbankan syariah, pada
mulanya masih tunduk di bawah UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah
dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, dan UU Nomor 23 Tahun 1999 Tentang
Bank Indonesia. Dengan demikian Perbankan syariah, belum memiliki UU tersendiri. Padahal,
pangsa pasar Perbankan syariah semakin hari semakin luas. Sebagaimana dilaporkan jurnal
nasional, (sebuah Harian Umum yang terbit di Jakarta sejak tahun 2006), sejauh ini, terdapat tiga
Bank Umum syariah, 23 Unit Usaha Syariah, dan 105 buah bank perkriditan rakyat syariah dengan
asset sebesar Rp. 30 Trilyun. Selain itu dalam kerja sama Internasional di dunia perbankan,
diperlukan adanya Badan perbankan syaria Dasar-dasar pikiran tersebut mendorong para anggota
dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terlibat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) sekitar 2.5
tahun silam menggagas agar ada UU tersendiri tentang perbankan syaria Abdul Razak, “Menanti
RUU Perbankan syariah” , dalam Jurnal Nasional, 13 Juni 2007, 7.
12

yang sesuai dengan agama yang dianut. Sebetulnya hukum ini telah lama
hidup dalam bentuk hukum adat, seperti paroan (bagi dua), pertelon (bagi
tiga) namun belum dilegalisasi oleh kekuasaan secara tertulis sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena hukum tanpa kekuasaan
adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman.
Kepatuhan atau loyalitas terhadap sistem ekonomi syariah sesuai dengan teori
reception in complexu yang dikemukakan oleh Lodewijk William Christian
van den Berg yang pada intinya mengatakan bahwa hukum mengikuti agama
yang dianut oleh seseorang. Kalau orangnya beragama Islam, maka hukum
Islamlah yang berlaku baginya. Menurutnya orang Islam yang ada di
Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam secara keseluruhan. 41
Dengan demikian bahwa lahirnya undang-undang Republik Indonesia
No. 21 tahun 2008, tentang perbankan syariah yang telah memberikan angin
segar dan pintu gerbang bagi perkembangan perbankan syariah di Indonesia
yang selama ini dinanti-nanti oleh ummat Islam agar memperoleh
perlindungan hukum dan ketenangan hidup karena sesuai dengan apa yang
diyakininya dan bentuk operasionalya selalu dikawal oleh Majelis Ulama
Indonesia
Perbankan syariah 42 yang berdiri pada tahun 1991 terus mengalami

41
Mohamad Daud Ali, Hukum Islam di Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan) (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002), 225.
42
Gagasan untuk mendirikan bank syariah di Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak
pertangahan tahun 1970-an. Hal ini dibicarakan pada seminar nasional hubungan Indonesia-Timur
Tenga Pada 1974 dan pada 1976 dalam seminar Internasional yang diselenggarakan Lembaga
Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (KSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Namun ada beberapa
hal yang menghambat terealisasinya ide ini yaitu pertama: operasi bank syariah yang menerapkan
prinsip bagi hasil belum diatur, dan arena itu tidak sejalan dengan UU Pokok Perbankan yang
berlaku, yakni UU No. 14/1967; Kedua: konsep bank syariah dari segi politis berkonotasi
ideologis, merupakan bagian dari atau berkaitan dengan konsep Negara Islam dan arena itu tidak
dikehendaki pemerintah; ketiga: masih dipertanyakan siapa yang bersedia menaruh modal dalam
ventura semacam itu. Sementara pendirian bank baru dari Timur Tengah masih dicegah, antara
lain pembatadan bank asing yang ingin membuka kantornya di Indonesia.
Tahun 1988 disaat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang
berisi liberalisasi Industri perbankan. Para ulama berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga,
tetapi tidak ada perangkat hukum yang dapat dirujuk. Setelah adanya rekomendasi dari lokakarya
ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor tanggal 19-22 Agustus 1990, yang
kemudian dibahas lebih mendalam pada musyawarah Nasional (Munas) IV Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang berlangsung di hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22-25 Agustus 1990 dibentuklah
13

pertumbuhan dan perkembangan hingga pertengahan 1997, pertumbuhan yang


spektakuler justru terjadi sejak masa krisis Ekonomi tahun 1997. Hal ini
diantaranya karena kemampuan perbankan Islam dalam menghadapi gejolak
moneter yang diwarnai oleh tingkat bunga yang sangat tinggi, sementara
perbankan syariah terbebas dari negatif spread karena tidak berbasis pada
bunga. 43
Meskipun demikian perkembangan perbankan syariah belum
diimbangi dengan kemajuan dibidang hukum dengan tidak adanya undang-
undang secara spesifik mengelaborasi kekhususan perbankan syariah.
Sesudah 28 tahun kemudian sejak berdirinya bank syariah dengan
pembentukan UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Jadi
Pengesahan UU Perbankan Syariah oleh DPR, 17 Juni 2008 dan
pengundangannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono 16 Juli 2008, 44
dapat dikatakan sangat terlambat. Sebab, di Zaman penjajahan saja,
pemerintahan Kolonial Belanda sudah mengakomodasikan sebagian aspirasi
masyarakat muslim dalm bidang ekonomi syariah, tercermin pada ordonansi
riba tahun 1938, tentang riba yang memberikan kewenangan kepada hakim
untuk membatalkan perjanjian yang memberatkan slah satu pihak atau
mempengan beban pihak yang merasa diberatkan itu (Pasal 2 ayat 14
Ordonansi Riba 1938). 45
Politik hukum Nasional perbankan syariah memiliki urgensitas yang
bernilai tinggi, baik dalam bentuk undang-undang maupun, fasilitas
permodalan dan infrastruktur yang kondusif agar perbankan syariah mampu
mengejar ketertinggalannya dari bank-bank konvensional yang ada di tanah
air dan atau bank Islam yang ada di dunia.

kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia.(Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga
Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi (Jakarta:Ekonisia, 2007), ed.2, Cet.4, 29)
43
Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah; Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek
(Jakarta: Alvabebet, 2000) Cet.III, ix
44
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tenatng Perbankan Syariah dimuat dalam
lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 No. 94 dan Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4867
45
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Addenda Cooigeada
(Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve), 1.
14

Dengan demikian, berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan


di atas penelitian ini mengambil judul: POLITIK HUKUM NASIONAL
TENTANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA. Judul ini
menitikberatkan pada persoalan urgensitas politik hukum perbankan syariah di
Indonesia.

B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Indonesia sebagai Negara yang mempunyai penduduk terbesar
keempat di dunia dengan mayoritas pemeluk agama Islam, sejatinya hal-hal
terkait dengan masalah ekonomi syariah dan kebijakan pemerintah terhadap
perbankan dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a. Al-Qur’ân sebagai kita suci umat Islam dan as-Sunnah sebagai
penjelasnya belum dijadikan sebagai pedoman hidup, dipahami dan
diintergrasikan dalam kehidupan bermuamalat sehari-hari
b. Fatwa Majelis Ulama Indonesia mengenai haramnya bunga bank.
c. Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syariah dengan menjalankan prinsip hukum Islam
yang dalam melaksanakan kegiatan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan
oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa dalam
bidang syariah.
d. Mengapa pemerintah belum optimal menunjukan keberpihakannya secara
signifikan terhadap ekonomi syariah, padahal telah mengetahui bahwa
bank syariah telah diakui oleh seluruh dunia mengenai keunggulan
dibanding dengan bank konvensional.
e. Mengapa umat Islam belum mau meninggalkan bank konvensional yang
jelas-jelas berbasis bunga dan dilarang oleh agama.
f. Pentingnya mendefinisikan kembali pemahaman agama Islam terhadap
bunga bank yang selama ini masih terdapat dalam perbankan syariah,
15

dimana dalam praktek prinsip murabahah masih mendapatkan kritik yang


dianggap masih belum lepas dari sistem bunga.
g. Disamping masalah-masalah tersebut, masih terdapat banyak persoalan
lain, seperti, bagaimana prospek ekonomi syariah di Indonesia setelah
diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah.
2. Pembatasan Masalah
Dalam pembatasan masalah yang terkait dengan politik hukum
nasional perbankan syariah, secara khusus belum dibahas orang. Agar
permasalahan dalam penelitian tidak melebar kemana-mana, maka
permasalahan dalam penelitian ini akan dibatasi seputar politik hukum
nasional perbankan syariah di Indonesia.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka
permasalahan dalam penulisan ini dapat dirumuskan dalam sebuah
pertanyaan:
a. Faktor apa saja yang mempengaruhi politik hukum nasional
perbankan syariah?
b. Bagaimana politik hukum nasional terhadap pembentukan hukum
perbankan syariah di Indonesia?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini antara lain meliputi tujuan umum dan tujuan
khusus. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengelaborasi bagaimana
kebijakan pemerintah terhadap perkembangan perbankan syariah dapat
terealisir dengan baik. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
1. menganalisis dan mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi
politik hukum perbankan syariah.
2. menganalisis dan mengetahui bagaimana politik hukum nasional
terhadap pembentukan hukum perbankan syariah di Indonesia.
16

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun praktis. Secara teoritis, bermanfaat akan menambah khazanah
ilmiah bagi dunia akademik dan memberikan kontribusi dalam
mengembangkan ilmu-ilmu ekonomi syariah, khususnya yang berkaitan
dengan politik hukum nasional mengenai perbankan syariah dan dalam aspek
aksiologi keilmuan Ekonomi Islam di Indonesia. Sedangkan secara praktis
bermanfaat untuk menjadi bahan masukan bagi pemerintah mengenai
pentingnya politik hukum nasional dalam merumuskan hukum nasional yang
lebih demokratis tentang hukum perbankan syariah yang berbasis al-Quran
dan as-Sunnah agar dapat operasi sesuai dengan tuntunan Islam.
Secara praktis, hasil-hasil penelitian ini dapat menjadi petunjuk praktis
bagi: pertama, perbankan syariah dalam melakukan transaksi ekonomi di
tengah masyarakat; kedua, lembaga-lembaga keuangan non bank dalam
menetapkan strategi pemasaran; ketiga, pemerintah dalam merumuskan
program pembangunan di bidang sosial ekonomi.

E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan


Pembahasan dan penelitian tentang politik ekonomi Islam sudah
banyak dilakukan oleh orang, namun yang secara khusus membahas mengenai
politik hukum nasional terhadap perbankan syariah secara komprehensip,
khususnya yang berkaitan undang-undang, belum ada. Untuk memperoleh
rujukan awal terkait dengan permasalahan di atas, diantaranya adalah:
1. Politik Hukum di Indonesia, karya Moh. Mahfud MD. Buku ini
menjelaskan legal policy (garis resmi) tentang bagaimana pengaruh politik
terhadap hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum
baru maupun dengan penggantian hukum lama dalam rangka mencapai
tujuan Negara. Disamping itu juga beliau menguraikan mengenai
konfigurasi politik yang demokratis dan otoriter. Dan ia mengelompokkan
Indoensia sebagai konfigurasi politik hukum demokratis.
17

2. Membangun dan merombak hukum Indonesia, karya Satjipto


Rahardjo. Di dalam buku ini diuraikan tentang pembangunan hukum yang
sangat terkait dengan pembangunan bidang-bidang kehidupan lain sebagai
bagian dari transformasi social yang lebih besar, sehingga dibebankan
untuk memberikan dukungan konseptual serta structural terhadap
perubahan dalam masyarakat. Di samping itu juga mengakaji hubungan
hukum dengan ekonomi, bagaimana suatu ekonomi bangsa akan tercermin
dalam hukumnya. Peranan ekonomi yang dijalankan oleh system hukum
dan politi ekonomi membutuhkan hukum untuk mewujudkannya.
3. Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah
di Indonesia, karya Gemala Dewi, 46 buku ini memuat tentang sejarah
perkembangan syariah, tinjauan operasional perbankan syariah di
Indonesia, perbedaan bank konvensional dan bank syariah, tinjuan hukum
perbankan Indonesia menurut hukum Islam.
4. Al-Bunûk al-Islâmiyah, karya al-khadiri. Ia sangat konsisten
berpedoman pada kaedah-kaedah Syariah (al-iltizâm bi al-Qawâ’id al-
Mustaqirrah li al-Sharî’ah al-Islâmiyah) Kaidah-kaidah utama syariah ini
antara lain: operasi perbankan selalu pada sesuatu yang halal dan
menjauhkan setiap yang haram dan subhat (masih diragukan); tidak
melakukan riba; selektif dalam menempatkan petugas keuangan; tidak
memakan harta orang lain secara bathil (tidak sah); transaksi yang
transparan; jujur dan objektif; tidak memonopoli terhadap regulasi harta;
pelayanan perbankan berkhidmat untuk meningkatkan Islam secara
internal dan eksternal; menunaikan zakat atas modal dan hasil yang
dicapai; serta realisasi keseimbangan diberbagai bentuk pelayanan dan
produk perbankan. 47
5. Hukum Ekonomi Syariah dalam Regulasi Nasional, karya Bismar
Nasution. Menurutnya, penerapan atau pengadopsian ekonomi syariah ke

46
Gemala Dewi , Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. Ke. 1, 128.
47
Lihat Al-Khadiri, Al-Bunûk al-Islâmiyah, 18-28.
18

dalam tatanan hukum nasional harusnya dilihat dalam kerangka yang luas.
Untuk keberhasilan transisi ini, haruslah terbentuk suatu sistem hukum
syariah di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dipikirkan untuk
mengintegrasikan prinsip-prinsip hukum Islam ke dalam sistem hukum di
Indonesia.

G. Kerangka Teori
1. Van den Berg dalam sebuah teori receptio in complexu menyatakan
bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemeluk-
pemeluknya. Jadi, jika penduduk masyarakat beragama Islam, maka
hukum yang berlaku harus hukum Islam.
2. Kemudian pendapat ini ditentang oleh Van Vollenhoven dan Snouck
Hurgronje sebagai penemu teori baru yaitu teori receptie yang menyatakan
bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan
dengan hukum adat. Jadi dengan demikian menurut pandangan teori ini,
untuk berlakunya hukum Islam harus diresepi (diterima) terlebih dahulu
oleh hukum adat. Teori receptie ini berpangkal dari keinginan Snouck
Hurgronje agar orang-orang pribumi rakyat jajahan jangan sampai kuat
memegang ajaran Islam, sebab pada umumnya orang-orang yang kuat
memegang ajaran Islam dan hukum Islam tidak mudah dipengaruhi oleh
peradaban Barat. Atas dasar itulah ia memberikan nasihat kepada
Pemerintah hindia Belanda untuk mengurus Islam di Indonesia dengan
berusaha menarik rakyat pribumi (inlander) agar lebih mendekat kepada
kebudayaan Eropa dan pemerintah Hindia Belanda. 48 Eksistensi teori
receptie ini kemudian dikokohkan melalui Pasal 134 I.S. yang menyatakan
bahwa bagi orang pribumi kalau mereka menghendaki, diberlakukan
Hukum Islam, selama hukum itu telah diterima di masyarakat Hukum
Adat.

48
Afdol. Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No. 3 tahun 2006 & Legislasi
Hukum Islam di Indonesia (Surabaya: Airlangga University Press, 2006), 47.
19

3. Seorang ahli hukum dari Austria, Eugen Ehrlich, bahwa pengaruh hukum
di dalam masyarakat harus dilakukan dengan pendekatan hukum yang
hidup dalam masyarakat itu sendiri. Artinya bahwa, “Hukum yang baik
adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam
masyarakat”. Teori ini berpangkal pada perbedaan antara hukum positif
dengan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat. Dia menyatakan
dalam hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat, yang dalam istilah antropologi dikenal
dengan pola-pola kebudayaan (culture patterns). 49
Eugen Ehrlich menganjurkan untuk mengadakan pembaruan hukum
melalui perundang-undangan dengan kesadaran untuk memperhatikan
kenyataan yang hidup dalam masyarakat Kenyataan-kenyataan tersebut
dinamakan “living dan just law” yang merupakan “inner order” dari pada
masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Jika ingin
diadakan perubahan hukum atau membuat suatu Undang-Undang agar hukum
atau Undang-Undang yang dibuat itu dapat diterima dan berlaku secara efektif
di dalam kehidupan masyarakat, maka suatu hal yang patut diperhatikan
adalah hukum yang hidup dalam masyarakat itu. 50 Jika hal itu tidak mendapat
perhatian, maka akibatnya hukum tidak bisa berlaku efektif bahkan akan
mendapat tantangan (rigid). 51
4. Lawrence M. Friedman dalam bukunya “The legal System”: A Social
Science Perspective”, melihat hukum itu sebagai suatu sistem yang terdiri
dari tiga komponen: pertama, legal substance yakni subtansi hukum yang
berisikan aturan-aturan atau norma-norma; kedua, legal structure
(institusi atau penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan pengacara);

49
Soejono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi hukum (Jakarta: Rajawali, 1991), 36.
50
W. Fridman, Legal Theory, Edisi ke 3 (Steven and Sons Limited), 52.
51
R. Otje Salman , Ikhtisar Filsafat Hukum (Bandung: Armico 1999),52.
20

dan ketiga, legal culture (budaya hukum yang meliputi agama dan
kepercayaan, ide-ide, sikap, dan pandangan tentang hukum. 52
5. Muchtar Kusumaatmadja, juga menegaskan agar hukum dapat berfungsi
secara efektif, selain harus memperhatikan kesadaran hukum yang tumbuh
di dalam masyarakat, hendaknya hukum itu juga dilegalisasi oleh
kekuasaan secara tertulis sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku, karena hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan
kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman. 53
Pentingnya aspek budaya hukum itu tidak hanya terkait dengan
masalah sikap dan prilaku para anggota masyarakat, akan tetapi lebih dari itu
sikap dan prilaku anggota-anggota atau individu-individu yang terlibat bekerja
dalam lingkungan lembaga-lembaga tinggi negara justru itu yang lebih
penting, karena mereka akan menjadi contoh dan suri tauladan masarakat. Jika
sikap, cara berfikir dan prilaku para nggota lembaga tinggi negara 54 tidak
mendukung niscaya akan sulit bagi kita untuk melihat suksesnya agenda
reformasi menyeluruh dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan
kenegaraan. Dalam hal ini, partispasi anggota masyarakat merupakan unsur
penting bagi terbentuknya hukum atau undang-undang, karena mereka yang
akan menjadi pengguna sasaran pengaturan hukum. Segala sesuatu yang akan
menjadi hukum di dalam masyarakat akan ditentukan oleh sikap pandangan
dan nilai-nilai yang dihayati dalam masyarakat yang bersangkutan. 55 Oleh
karena itu betapa eratnya hubungan antara hukum dengan masyarakat.

52
Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective (New York:
Rusel Sage Foundation), 1975, 15
53
Muchtar Kusumatmadja, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum (Bandung Bina
Cipta, 1976), 31
54
Para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)Para pejabat di lingkungan pemerintahan
pusat maupun daerah, para anggota mahkamah agung dan badan peradilan di bawahnya dan para
anggota lembaga-lembaga tinggi negaralainny. Begitu juga pihak-pihak kepolisian, pengacara dan
lain sebagainyayang bekerja dalm lingkungan penegak hukum.
55
Jimly Ashshidiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam
UUD 1945 (Yogyakarta: FH UII Press, 2005, 30
21

6. Menurut Thomas Aquinas, pada hakikatnya manusia diciptakan oleh


Tuhan Yang Maha Esa dengan kelebihan dan kesempurnaan yang tidak
dimiliki oleh makhluk-makhluk lain, perbedaan tersebut ditandai dengan
adanya norma-norma atau aturan-aturan yang didalamnya memuat unsur
tatanan, moral, etika, perikemanusiaan dan perikeadilan, 56 sebagaimana
hukum alam juga mempunyai arti sikap saling menghargai dan berbuat
adil, 57 bersusila serta berbuat seirama dengan peraturan, misalnya, tatanan
masyarakat dan tatanan sebuah negara. 58 Sebagaimana penjelasan yang
dimunculkan oleh Thomas Aquinas bahwa “dunia ini diatur oleh tatanan
ke-Tuhanan, seluruh masyarakat dunia ini diatur oleh akal ke-Tuhanan,
hukum ke-Tuhanan adalah yang tertinggi. Thomas Aquinas menilai
adanya hubungan Tuhan dan manusia secara alamiah, dan ia berhasil
menyimpulkan empat pembagian yang digandengkan dengan pengertian
hukum alam, yakni: lex aeterna, lex naturalis, lex devina dan lex humana
atau lex positif. 59
Dengan demikian, Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama

56
Menurut W.A.M. Luypen (1922-1980), Apa artinya keadilan itu?, tafsiran Luypen
tentang keadilan ialah: memperhatikan tugas dan kewajiban untuk mempertahankan dan
memperkembangkan perikemanusiaan, segala yang memajukan perikemanusiaan adalah adil dan
yang menentangnya adalah tidak adil, akan tetapi isi perikemanusiaan tidak pernah dapat
ditetapkan sebagai sesuatu yang kekal dan tidak ada norma-norma hukum yang alam yang tetap,
berkembang dengan berputarnya sejarah. Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan
Sejarah (Yogyakarta : Kanisius, 1982), Cet. Ke-15, 263.
57
Pandangan ini ditentang oleh beberapa pemikir, terutama pemikir yang beragama
Kristen yang beraliran Protestan, menurut mereka teori-teori hukum alam tidak menjamin
keadilan, oleh karena belum tentu apa yang disebut hukum alam mengandung prinsip-prinsip
keadilan. Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, 264.
58
Calvin (1509-1564), ia penganut aliran Protestantisme yang menolak adanya suatu
hukum alam dalam arti yang lama, yakni sebagai suatu hukum yang lama, yakni sebagai suatu
hukum yang terikat pada aturan alam dan mencerminkan rencana abadi dari Tuhan, ia
menambahkan bahwa Tuhan menciptakan dalam hati manusia suatu rasa keadilan; inilah hukum
alam baru, setiap pribadi mempunyai keyakinan dan hak tertentu yang tidak boleh dirongrong oleh
negara dan ia menolak absolutisme negara. Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan
Sejarah, 54.
59
Lex Aeterna adalah akal ke-ilahian yang menuntun seluruh gerakan semesta alam,
cakupannya luas dan sulit untuk dipahami, manusia hanya dapat memahami sebagaian saja akal
ke-ilahian itu yaitu disebut Lex Naturalis. Lex Naturalis memberikan pedoman atau pandangan
kepada manusia melalui petunjuk umum yaitu tentang persoalan baik dan buruk. Dalam filsafat
Aquinas, Lex Aeterna yang pada prinsipnya mengandung asas-asas yang abstrak itu dilengkapi
dengan petunjuk-petunjuk khusus yang berasal dari tuhan tentang bagaimana manusia harus
menjalani hidupnya, fungsi ini dijalankan oleh Lex Devina. Otje Salman dan Anton F Susanto,
Teori Hukum, cet. 1 (Bandung: Refika Aditama, 2004), 158.
22

Islam, tentunya hukum yang paling relevan dan laik dengan jiwa bangsa
adalah hukum positif yang sesuai dengan agama yang dianut, yakni hukum
yang sesuai dengan al-Qur’ân dan as-Sunnah. Kepatuhan atau loyalitas
terhadap sistem ekonomi syariah sesuai dengan teori receptio in complexu
yang dikemukakan oleh Lodewijk William Christian van den Berg yang pada
intinya mengatakan bahwa hukum mengikuti agama yang dianut oleh
seseorang. Kalau orangnya beragama Islam, maka hukum Islamlah yang
berlaku baginya. Menurutnya orang Islam yang ada di Indonesia telah
melakukan resepsi hukum Islam secara keseluruhan. 60

G. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Data ini bersifat kualitatif dan historis. Data kualitatif ini didasarkan
pada isi atau mutu suatu fakta, seperti data-data dan penjelasan secara terurai
yang berdasarkan buku-buku, koran serta artikel yang dikumpulkan penulis
yang berhubungan dengan politik hukum perbankan syariah yang kemudian
dianalisa supaya bisa menjawab permasalahan yang ada.
Sedangkan data historis didasarkan pada pengalaman masa lalu yang
menggambarkan secara utuh seluruh kebenaran kejadian atau fakta yang
bertumpu pada kegiatan mengevaluasi suatu objek seperti peristiwa atau tokoh
masa lampau dipandang dari sudut standar dan kebudayaan dewasa ini. 61
Yang dimaksud dengan data historis disini adalah data-data yang berhubungan
dengan perkembangan hukum Bank Syariah di negara Indonesia.
2. Sumber Data
a. Sumber data primer pada penelitian ini ada dua macam, yakni sumber
data primer dan skunder. Sumber data primer adalah: (i) UUD ’45

60
Mohamad Daud Ali, Hukum Islam di Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan) (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002), 225.
61
Husein umar, Metode Penelitian Untuk Skripsi Dan Tesis Bisnis, Jakarta: P.T. Raja
Grafindo Persada. 2003), 22. lihat juga lexy J. Maleong, Metode Penelitian kualitatif (Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya, 2002), 18
23

Pasal ; (ii) UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan; UU No. 10


Tahun 1998 Tentang Perbankan; UU No. 21 Tahun 1992 Tentang
Perbankan Syariah; UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesi;
Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; (iii) PP,
PBI, SK Direksi Surat Edaran BI, dan Fatwa-fatwa DSN-MUI tentang
Perbankan Syariah.
b. Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh melalui data-data
yang telah diteliti dan dikumpulkan oleh pihak lain yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian ini.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Data ini bersumber dari UUD ’45, UU, PP, PBI, SK Direksi Surat
Edaran BI, dan Fatwa-fatwa DSN-MUI yang berkenaan dengan Perbankan
Syariah, surat kabar, majalah, jurnal, artikel maupun penelitian atau
tulisan ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang dibahas
pada disertasi ini dikumpulkan melalui observasi dan wawancara
mendalam (deep inteview) 62 .
4. Teknis Analisis Data
Untuk menganalisa data yang telah terkumpul maka penulis memakai
metode sebagai berikut:
a. Contents Analisis (riset dokumentasi), karena pengumpulan data dan
informasi akan dilakukan pengujian arsip dan dokumen. Dalam hal ini
penulis menelaah dan menganalisa isi dari bab II (dua), III (tiga),
IV(empat), V (lima) dan VI (enam) baik dari segi gaya bahasa, teknik
penulisan, sumber yang didapat serta maksud dan tujuan dari setiap
bab tersebut.
b. Descriptive analysis, penulis melakukan analisa pada setiap uraian
dari data yang dikutip oleh penulis. Data-data yang diperoleh dianalisa

62
Lihat Arthur Asa Berger, Media and Communication Research Methods: An
Introduction to Qualitative and Quantitative Approaches (California, Sage Publications, 2000), 57.
24

melalui deskripsi data, direduksi, dipetakan dan dilakukan pemilahan


sesuai dengan fokus penelitian. Sedangkan pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan perspektif sosiologis antropologis
dengan metode penelitian telaah dokumen Undang-undang dan pada
tahap kesimpulan akhir dilakukan interpretasi data, menghubungkan
yang satu dengan yang lain. Dengan menganalisa secara deskriptif ini
diharapkan setiap fakta yang ada bisa terima secara logis dan secara
ilmiah.
6. Pedoman Penulisan
Pedoman penulisan skripsi ini, menggunakan buku ”Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) CeQDA (Center for
Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, UIN Press, 2007”

H. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam penyusunan tulisan ini akan dibagi
menjadi 6 bab yang masing-masing mempunyai korelasi dan relevansi dengan
sub bab lainnya sebagai suatu pembahasan yang utuh dan sistemik. Adapun
sistematika penulisan desertasi terdiri atas:
Bab I, Bab ini menguraikan tentang pengantar tulisan yang mutlak harus
dipahami dengan tepat dan benar, karena pembahasan bab-bab selanjutnya
berdasarkan pada bab pendahuluan. Dalam bab ini meliputi: latar belakang
masalah; pembatasan dan perumusan masalah; tujuan dan manfaat penelitian;
penelitian terdahulu yang relevan; kerangka teori, metodologi penelitian; dan
sistematika penulisan.
Bab II, Bab ini merupakan bab yang bertujuan untuk mencari dan
menemukan grounded theory atau grounded concept politik hukum nasional
tentang Perbankan Syariah. Dalam bab ini dibahas tentang; Politik Hukum
Nasional dengan pembahasannya meliputi: Definisi Politik Hukum, Politik
dan Hukum, Konfigurasi Politik Hukum, Politik Hukum Nasional, dan Politik
25

Hukum Islam di Indoensia, Dinamika Pemikiran Politik Islam dan


transformasi hukum Islam menjadi hukum positif
Bab III, Bab ini membahas tentang hukum pebankan syariah; meliputi
tentang Sumber hokum perbankan syariah, landasan hokum perbankan
syariah, dan perkembangan hokum perbankan syariah.
Bab IV, Pada bab ini berbicara tentang: fungsi lembaga-lembaga
negara, dan peran partai politik dalam pembentukan regulasi.
Bab V Pada bab ini menjelaskan tentang: politik hukum perbankan
syariah pada masa orde baru, pada masa reformasi, dan faktor yang
mempengaruhi politik hukum perbankan syariah.
Bab VI, yaitu penutup yang bersisikan: kesimpulan, saran dan
rekomendasi, sekaligus merupakan inti atau garis besar dari uraian-uraian
yang dianggap signifikan serta bermanfaat bagi para akademisi maupun
praktisi ekonomi syariah khususnya yang berhubungan dengan lembaga
keuangan syariah yakni perbankan syariah.
BAB II
DISKURSUS POLITIK HUKUM NASIONAL

A. Definisi Politik Hukum


Definisi atau batasan politik hukum sulit dirumuskan secara akurat,
karena ilmu politik hukum merupakan disiplin ilmu yang hidup dan dinamis
bergantung pada dimana ia lahir, kapan ia lahir dan mengapa ia lahir, jika
diberikan batasan atau definisi, ilmu itu akan mati dan kaku tidak hidup lagi. 1
Memang banyak definisi mengenai politik hukum yang diberikan oleh para ahli
hukum dari berbagai literatur. Mahfud MD, tidak memberikan definisi tentang
politik hukum, namun ia dengan secara eksplisit mengutarakan subtansi yang
ternyata sama menurutnya bahwa politik hukum adalah “legal atau garis
(kebijakan) resmi tentang hukum yang diberlakukan baik dengan pembuatan
hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai
2
tujuan negara.” Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang
hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum
yang akan dicabut atau tidak diberlakukan. Kesemuanya dimaksudkan untuk
mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945.
1. Etimologi
Politik Hukum terdiri dari dua kata, pertama “politik”, kedua”hukum”.
Politik dalam bahasa arab disebut “siyâsah” 3 yang kemudian dimaknakan siasat

1
Abdul Gani Abullah, Catatan Kuliah Politik Hukum (Jakarta: Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta), 14 April 2010
2
M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 1.
3
Adalah mengatur. Jika dihubungkan dengan syar’iyyah (ketentuan dari Allâh SWT. dan
Rasulnya) menyangkut masalah-maslah kekuasaan, fungsi dan tugas penguasa dalam pemerintahan
Islam, serta hubungannya dengan kepentingan rakyat. Ahli Fiqih mengemukakan definisi siyasah
syari’yyah sebagai wewenang penguasa dalam mengatur kepentingan umum dalam Negara Islam,
sehingga terjamin kemaslahatan dan terhindar dari segala kemudaratan dalam batas yang ditentukan

26
27

(muslihat, taktik, tindakan, kebijakan, akal) untuk mencapai suatu tujuan atau
maksud. 4 dalam bahasa Indonesia. Politik juga biasa diartikan cerdik atau
bijaksana dalam pembicaraan sehari-hari kita seakan-akan mengartikan sebagai
suatu cara yang dipakai untuk mewujudkan tujuan, tetapi para ahli politik
mengakui menghadapi kesulitan didalam mendefinisikan politik. 5 Asal mula kata
politik itu sendiri berasal dari kata “polis” yang berarti “negara kota”. Politik ada
hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama. Dalam hubungan tersebut
timbul hubungan aturan (hukum), kewenangan, kelakuan pejabat; legalitas
keabsahan dan akhirnya kekuasaan. 6 Aktifitas politik bukan pertama-tama karena
kodrat social mansuia, melainkan sesuatu yang diusahakan. Seperti dikatakan
Hannah Arendt, 7 politik merupakan seni untuk mengabadikan diri manusia.
Dalam Kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh Van Der Tas, kata “politiek”
mengandung arti “beleid”. Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia
mempunyai arti kebijakan (policy). Dengan demikian bahwa politik hukum
artinya kebijakan hukum yang disampaikan oleh yang berwenang atau berkuasa

syara’ dan kaidah umum yang berlaku, sekalipun upaya ini tidak sejalan dengan ijtihad ulama.
Kepentingan umum yang dimaksud adalah segala peraturan dan perundang-undangan Negara, baik
yang berkaitan dengan hubungan Negara dengan Negara mapun Negara dengan rakyat. Dalam siyasah
syar’iyyah, pihak penguasa berhak untuk mengatur segala persoalan Negara Islam dengan sejalan
dengan prinsip-prinsip pokok yang ada dalam agama, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ikhtisar
Baru, 2001), cet. Kelima, Qan-tas. 5, 1626.
4
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Cet. Keempat, 935.
5
Politik mempunyai ruang lingkup Negara, berbicara politik berarti berbicara tentang negara,
karena teori politik menyelidiki Negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi hidup
masyarakat, jadi Negara dalam keadaan bergerak. Politik menyelidiki ide-ide, azas-azas, sejarah
pembentukan Negara, hakikat Negara serta bentuk dan tujuan Negara. Selain dari pada itu juga politik
menyelidiki kelompok kepentingan, kelompok penekan, kelompok elit, pendapat umum, pranan partai
politik, dan keberadaan pemilihan umum. Jadi politik adalah suatu disiplin ilmu pengetahuan yang
berdiri sendiri, tetapi juga seni, karena banyak politikus yang tanpa pendidikan politi mampu berkiat
memiliki baka yang dibawa sejak lahir, sehingga dengan kharismatik menjalankan roda politik praktis.
Lihat Inu Kencana Syafiie, Azhari, Sistim Politik Indonesia, Era Soekarno, Hatta, Syahrir, Aidit,
Syarifuddin, Era Soeharto. Beni Moerdani, Wiranto, Harmoko, Habibie, Era Gus dur, Megawati,
Amin rais, Hamzah Haz, Era SBY, Kalla, Baasyir (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), 6-7
6
Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia (Bandung: Sinar Baru, 1985) Cet. Pertama,
10.
7
Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2004), Cet.
Kedua, 2.
28

untuk itu. Kata “kebijakan” berasal dari kata “bijak” yang berarti selalu
menggunakan akal budinya, pandai, mahir. Sementara “kebijakan” artinya
kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan, garis haluan atau rangkaian konsep dan
azas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu
pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak tentang pemerintahan organsasi dan
sebagainya khususnya dalam bidang hukum. 8
Istilah kebijakan (policy ini ternyata memiliki keragaman artiyang
berbeda-beda. Hal itu dapat kita lihat dari pandangan beberapa tokoh yang
mencoba untuk menjelaskan apa sebenarnya kebijakan (policy) itu. Klein
misalnya, menjelaskan bahwa kebijakan itu adalah tindakan secara sadar dan
sistematis, dengan mempergunakan sarana-sarana yang cocok, dengan tujuan
politik yang jelas sebagai sasaran, yang dijalankan langkah demi langkah 9 .
Hampir senada dengan Klein, Kuypers menjelaska, kebijakan itu adalah suatu
susunan dari (1) tujuan-tujuan yang dipilih oleh para administrator publik baik
untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan kelompok; (2) jalan-
jalan dan sarana-sarana yang dipilih olehnya; dan (3) saat-saat yang mereka pilih.
Adapun Friend memahami bahwa kebijakan pada hakikatnya adalah suatu posisi
yang sekali dinyatakan akan mempengaruhi keberhasilan keputusan-keputusan
yang akan dibuat di masa datang. 10
Carl J. Friedrick menguraikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan
yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan
tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan
terhadap pelaksana usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan

8
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka 1989), 115
9
A. Hoogerwef, Isi dan Corak-corak Kebijakan, dalam A. Hoogerwerf (ed), Overheidsbeleid,
diterjemahkan oleh R.L.L. Tobing (Jakarta: Erlangga, 1983), 7
10
J.K. Friend, J.M. Power dan C.J.L. Yewlett, Public Planning: The Inter Corporate
Dimention (London: Tavistock, 1974), 40
29

tertentu. 11 Dan, James E Anderson mengatakan bahwa kebijakan adalah


serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan
dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan
suatu masalah tertentu. 12 Dari pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh
beberapa ahli di atas, maka kita dapat mengemukakan beberapa hal sebagai
berikut:
a. Bahwa konsep kebijakan itu sulit untuk dirumuskan dan diberikan makna
yang tunggal, atau perkataan lain, sulit bagi kita untuk memperlakukan
konsep kebijakan tersebut sebagai sebuah gejala yang khas dan konkrit,
terutama bila kebijakan itu kita lihat sebagai suatu proses yang terus
berkembang dan berkelanjutan mulai dari proses pembuatan sampai
implementasinya. perbedaan pendapat di kalangan para ahli tentang
pengertian kebijakan jelasnya tidak dapat dihindari. Namun demikian juga
bukan bertentangan satu sama lain.
b. Ada perbedaan “penekanan” tentang kebijakasanaan diantara para ahli.
Sebagian dari mereka melihat kebijakan sebagai suatu perbuatan, sedangkan
yang lain melihat sebagai suatu sikap yang direncanakan (suatu rencana), atau
bahkan suatu rencana dan juga suatu tindakan.
c. Para ahli juga berpendapat berkaitan dengan tujuan dan sarana. Ada yang
berpendapat, bahwa kebijakan meliputi tujuan dan sarana, bahka ada yang
tidak lagi menyebut baik tujuan maupun sarana 13
Dari uraian diatas, perlu dijelaskan di sini bahwa, ada satu istilah dalam
bahasa Indonesia yang kerap dipakai secara bergantian dalam pengertian yang
hampir serupa dengan istilah dengan kebijakan, yaitu kebijakan. Berkaitan dengan

11
Carl J. Friedrick, Man and His Government (New York: McGraw Hill, 1963), 79
12
James E. Anderson, Publick Policy Making (New York: Praeger Publishers, 1979), 3
13
Penjelasan lebih jauh, lihat Bambang Sugono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik (Jakarta:
Sinar Grafika, 1994), Cet. I ,14-15
30

istilah diatas Giridro Prigodigdo 14 memberikan penjelasan yang menarik. Ia


membedakan pengertian antara istilah kebijaksanaan (policy; beleid) dan
kebijakan (wisdom; wijsheid). Menurut Pringgodigdo, kebijaksanaan adalah
serangkaian tindakan atau kegiatan yang direncanakan di bidang hukum untuk
mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki. Orientasinya pada pembentukan
dan penegakan hukum masa kini dan masa depan. Adapun kebijakan adalah
tindakan atau kegiatan seketika (instant decision) melihat urgensi serta
situasi/kondisi yang dihadapi, berupa pengambilan keputusan di bidang hukum
yang dapat bersifat pengaturan (tertulis) dan/atau keputusan tertulis atau lisan,
yang antara lain berdasarkan kewenangan/kekuasaan diskresi (discretionary
power/freies ermessen).
Dari pengertian kedua istilah di atas pada tataran konseptual dengan
sendirinya akan berimbas pada aktualisasi konsep itu pada tataran praksis.
Namun, meskipun terdapat perbedaan pengertian, kedua istilah ini kerap dipakai
dalam pengertian yang sama, yaitu rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis
besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan
cara bertindak. Dengan demikian, secara etimologis, politik hukum secara singkat
berarti kebijaksanaan hukum. 15
Sedangkan kata hukum yang kita pergunakan dalam bahasa Indonesia
berasal dari kata Arab “hukm” tanpa kata “u” yang berarti norma atau kaidah
yakni ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang digunakan untuk menilai
tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. 16 Dalam The New Book of
Knowledge, memberikan definisi bahwa hukum adalah aturan-aturan yang

14
R.M. Girindro Pringgodigdo, Kebijaksanaa, Hierarki Perundang-undangan dan Kebijakan
dalam Konteks Pengembangan Hukum Administrasi Negara di Indonesia, Pidato Pengukuhan pada
Upacara Penerimaan Jabatan sebagai Guru Besar Tetap ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Depok, 16 November 1994
15
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari , Dasar-dasar Politik Hukum (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), Cet. Pertama, 25
16
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), cet. Pertama, 40.
31

membatasi dan menjelaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban masyarakat.17


Maka ketika kita gabungkan kedua kata tersebut akan diperoleh batasan sebagai
berikut yakni: taktik, siasat atau kebijakan untuk mengatur dan membatasi hak
dan kewajiban masyarakat dalam kehidungan berbangsa dan bernegara, hal ini
dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara.
Dari penjelasan itu dapat dikatakan bahwa politik hukum secara singkat
berarti kebijakan hukum. Pengertian politik Hukum sendiri sangat bervariasi.18
Berbagai pengertian mengenai politik hukum meliputi: pertama, pembangunan
hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi
hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan: kedua, pelaksanaan ketentuan hukum
yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak
hukum. 19 Dari pengertian tersebut terlihat politik hukum mencakup proses
pembuatan dan pelakasaan yang dapat menunjukkan sifat dan kearah mana
hukum akan dibangun dan ditegakkan. Menurut Padmo Wahjono dalam bukunya
“Negara Indonesia berdasarkan atas hukum” mendefifinisikan politik hukum
sebagai kebijakan dasar yang menntukan arah, bentuk atau isi hukum yang akan
dibentuk. 20 Definisi ini kemudian disempurnakan dalam majalah Froum Keadilan,
Padmo Wahjono, 21 mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan
penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan
sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat dikaitkan dengan pembentukan
hukum, penerapan hukum dan penegakkannya sendiri.

17
Grolier Publishing Company, The New Book of Knowledge (Jakarta: Grolier Pub. Co.,
2003), 760
18
Defini politik hukum sangatlah rumit didefinikan untuk memperoleh pengertian yang utuh
tentang apa yang akan dirumuskan. Lihat Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali
Press, 2009), 1
19
Artidjo Alkosta, (editor) Pembangunan Hukum Nasinal salam Perspektif Kebijakan dalam
Identitas Hukum Nasional (Yogyakarta: FH-UII, 1997), 37
20
Padmo Wahyono, Indonesia, Negara Berdasarkan atas Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1983), Cet. Pertama, 160.
21
Padmo Wahyono, Menyelidik Proses terbentuknya Perundang-undangan (Forum Keadilan:
Jakarta: 1991) No. 29, 65
32

2. Terminologi
Seperti telah diutarakan di atas bahwa tidaklah mudah untuk memberikan
batasan atau pengertian mengenai politik hukum. Namun demikian, karena
banyak hal dapat membingungkan tentang pemahaman apa itu politik hukum, ada
beberapa definisi yang akan dapat dirumuskan oleh beberapa ahli hukum yang
konsern terhadap ilmu ini: Sunaryati Hartono, misalnya, memberikan definisi
bukan berarti bahwa ia tidak memperdulikan keberadaan politik hukum dalam sis
praktisnya. Tapiia melihat politik hukum sebagai alat atau sarana dan langkah
yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional
yang dikehendaki dan dengan sistem nasional itu akan diwujudkan cita-cita
22
bangsa. pernyataan menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki
mengisyaratkan bahwa kerangka kerja politik hukum menurutnya lebih menitik
beratkan pada dimensi hukum yang berlaku di masa yang akan mendatang, atau
ius constituendum pendapat lain memberikan definisi bahwa politik hukum
nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (Legal Policy)
yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu
pemerintahan negara tertentu. Dengan demikian politik hukum nasional bisa
berarti; Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten,
pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum
yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum baru
yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi dalam
masyarakat, penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan
pembinaan anggotanya, dan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut
persepsi kelompok elit pengambil kebijakan.
Apabila kita perhatikan, definisi politik hukum dari Garuda Nusantara
merupakan definisi politik hukum yang paling komprehensif di antara definisi-

22
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional (Bandung: Alumni,
1991), 1.
33

definisi politik hukum yang dipaparkan sebelumnya. Ini disebabkan karena ia


menjelaskan secara gamblang wilayah kerja politik hukum yang meliputi;
pertama, teritorial berlakunya politik hukum dan kedua, proses pembaruan dan
pembuatan hukum, yang mengarah pada sikap kritis terhadap hukum yang
berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum yang berdimensi ius
constituendum. Lebih dari itu, ia menekankan pula pada pentingnya penegasan
fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum, suatu hal yang tidak
disinggung oleh para ahli sebelumnya.
Hasil dari elaborasi ragam definisi politik hukum yang telah dikemukakan
di atas, penulis menyimpulkan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar
penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku,
yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku dan hidup di masyarakat untuk
mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Kata kebijakan di sini berkaitan
dengan adanya strategi yang sistematis, terinci dan mendasar. Dalam merumuskan
dan menetapkan hukum yang telah dan akan dilakukan, politik hukum
menyerahkan otoritas legislasi kepada penyelenggara negara, tetapi dengan tetap
memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Dan kesemuanya itu
diarahkan dalam rangka mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. 23
Hukum sebagai kaidah atau norma sosial tidak terlepas dari nilai-nilai
yang berlaku dalam suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu
merupakan pencerminan dan konkretisasi dari nilai-nilai yang pada suatu saat
berlaku dalam masyarakat. 24 Artinya, hukum sedikit banyak akan selalu
mengikuti tata nilai yang menjadi kesadaran bersama masyarakat tertentu dan

23
Menurut Frans Magnis-Suseno tujuan negara adalah memajukan kepentingan masyarakat
dalam kerangka keadilan, kebebasan, dan solidaritas bangsa. Apabila kita bertolak dari tugas negara
untuk mendukung dan melengkapkan usaha masyarakat untuk membangun suatu kehidupan yang
sejahtera, di mana masyarakat dapat hidup dengan sebaik dan seadil mungkin, maka tujuan negara
adalah penyelenggaraan kesejahteraan umum. Frans Magnis-Suseno, Etika Politik, Prinsip-prinsip
Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), 310-314
24
Soejono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999),
Edisi, I, Cet. IX, 14
34

berlaku secara efektif dalam mengatur kehidupan mereka. Hal yang sama terjadi
juga dalam politik hukum.
Politik hukum satu negara berbeda dengan politik hukum negara yang
lain. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan latar belakang
kesejarahan, pandangan dunia (word-view), sosio-kultural (nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat), dan political will dari masing-masing pemerintah. Dengan
kata lain, politik hukum bersifat lokal dan partikular (hanya berlaku dari dan
untuk negara tertentu saja), bukan universal (berlaku seluruh dunia). Namun, ini
bukan berarti bahwa politik hukum suatu negara mengabaikan realitas dan politik
hukum internasional. Mengutip Sunaryati Hartono, faktor-faktor yang akan
menentukan politik hukum tidak semata-mata ditentukan oleh apa yang kita cita-
citakan atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum, praktisi atau para
teoretisi belaka, akan tetapi ikut ditentukan pula oleh kenyataan serta
perkembangan hukum di lain-lain negara serta perkembangan hukum
internasional.
Perbedaan politik hukum suatu negara tertentu dengan negara lain inilah
yang kemudian menimbulkan apa yang disebut dengan politik hukum nasional.
Penjelasan lebih rinci mengenai pengertian istilah tersebut, ruang lingkup
pembahasannya, sifatnya strategi, latar belakang dan proses pembentukan suatu
produk hukum.

B. Politik dan Hukum


Tidaklah mengherankan, ketika mengkomunikasikan kata politik dan
hukum, maka diantara keduanya pasti akan ada yang tersisihkan pada saat
disandingkan. Ketika politik menjadi sebagai initial, maka yang akan dipengaruhi
adalah kata hukum. Hukum mejadi tersisihkan, dan memiliki kedudukan sebagai
subordinat. Tetapi ketika hukum yang menjadi initial dan politik yang sebagai
35

subordinate, maka politiklah yang akan terwarnai. Namum dalam bahasan disini
politik yang akan mempengaruhi hukum dan hukum sebagai subordinate.
Politik bertujuan menggalang kekuatan masyarakat untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan hukum adalah
aturan-aturan tentang hak dan kewajiban masyarakat yang harus dipatuhi. Oleh
karenanya hukum itu akan menjadi alat yang siap untuk dimanipulasikan, siap
untuk mengkonsolidasikan kekuatan dan memenangkan kepatuhan warga
negara. 25 Demikian pula dengan politik diman, poliik mempunyai kedudukan
yang lebih rendah atau menjadi objek ketika didahului dengan kata hukum.
Kemudian coba kita perhatikan bagaimana hubungan antara subsistem
politik dan subsistem hukum. Suatu aspek yang menarik dari hubungan tersebut
disebabkan oleh adanya perbedaan dalam konsentrasi energi (atau informasi)
antara keduanya. Subsistem politik ternyata memiliki konsentrasi energi lebih
besar daripada subsistem hukum yang mengakibatkan apabila hukum harus
berhadapan dengan politik, maka hukum berada pada kedudukan lebih lemah. 26
Hubungan itu disebut sebagai hubungan yang mengkondisikan. Politik merupakan
kondisi bagi dijalankannya hukum.
Adalah benar jika dikatakan bahwa hukum tidak steril dari subsitem
kemasyarakatan lainnya. Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan
dan pelaksanaan hukum sehingga muncul juga pertanyaan berikutnya tentang
subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih
suprematif. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih spesifikpun dapat
mengemuka seperti bagaimana pengaruh politik terhadap hukum, mengapa politik

25
Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak hukum Hukum Indonesia Sebuah
Pendekatan Lintas Disiplin (Yogyakata: Genta Publishing, 2009), Cet. Pertama, 112
26
Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak hukum Hukum Indonesia Sebuah
Pendekatan Lintas Disiplin (Yogyakata: Genta Publishing, 2009), Cet. Pertama, 130
36

banyka mengintervensi hukum, sistem politik yang bagaimana yang dapat


melahirkan produk hukum. 27
Keadaan seperti di atas dapat ditemukan dengan baik pada tulisan Daniel
S. Lev, yang mengatakan: Untuk memahami sistem-sistem hukum di tengah-
tengah trasnformasi politik, kita harus mengamatinya mulai dari bawah, untuk
mengetahui macam peran sosial dan politik apakah yang diberikan orang
kepadanya, fungsi-fungsi apakah yang boleh dilakukannya, yang didorong untuk
dilakukannya, dan yang dilarang untuk dijalankannya. 28
Dalam pandangan para perencana sistem tanam paksa, pengalaman masa
lalu menunjukkan bahwa rakyat belum siap untuk memasuki masa kemerdekaan29
yang diberikan kepada mereka.. Untuk menyegarkan ingatan kita, maka sistem
yang disebut landelijk stelsel bertujuan untuk membebaskan rakyat dari beban
feodalisme seperti tersebut di atas, dan diharapkan rakyat bisa lebih bergairah
untuk bekerja bagi kepentingan mereka sendiri. Atas penglihatan dan
pertimbangan tersebut, maka merombak struktur feodal yang ada, pemerintah
Belanda malahan mengukuhkannya demi memperoleh apa yang mereka inginkan,
yaitu keuntungan dalam produksi pertanian.
Berkenaan dengan politik pemerintah Belanda untuk tetap memanfaatkan
struktur feodal dan desa bagi kepentingannya sendiri, maka dengan sendirinya
kedudukan dan fungsi kepala desa (yang lama) harus dipertahankan, dalam suatu
struktur pemerintahan berhadap-hadapan dengan rakyat desa. Bertalian dengan
langkah-langkah tersebut, mudah untuk dimengerti mengapa Belanda juga
berusaha untuk mengukuhkan berlakunya hukum adat. Dengan demikian, maka
pikiran yang diajukan oleh Lev di atas memperoleh verifikasi empirisnya, oleh

27
Mo Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta, Rajawali Press, 2009), 9
28
Daniel S. Lev, Islamic Court in Indonesia (Berkeley, LA: University of California Press,
1972), 2
29
Berupa pembebesan dari tugas untuk bekerja bagi kepentingan para bangsawan, Lihat
Satjipto Rahardjo, Membangun dan merombak Hukum Indonesia sebuah Pendekatan Lintas Disiplin
(Yougyakarta: Genta Publishing, 2009), Cet. Pertama, 104
37

karena berdasarkan logika pemikiran di atas, Belanda hanya mengukuhkan


hukum adat disebabkan oleh kepentingan politik mereka.
Penulis lain, Hoogvelt, juga mempunyai pendapat yang sama, seperti
dikutip oleh Satjipto Rahardjo dalam bukunya, Membangun dan Merombak
Hukum Indonesia sebagai berikut:
“... Singkat kata, dualisme yang menyeluruh pada struktur sosial yang kita
bicarakan terdahulu dilengkapi oleh dualisme dalam struktur politik. Lebih lanjut
lagi, keseluruhan proses tersebut diperkuat dengan dibelah duanya sistem hukum.
Untuk kepentingan mengukuhkan kedudukan dari para kepala, pemerintah
kolonial merasa perlu untuk menegakkan kembali hukum rakyat, yang menurut
pikiran mereka, menjadi landasan kekuasaan para kepala tersebut. Sering terjadi
bahwa politik tersebut diikuti oleh kodifikasi dari kebiasaan rakyat.”
Mengikuti proses bagaimana hukum adat dimasukkan sebagai bagian dari
hukum positif Hindia Belanda pada waktu itu, dapat dilihat kebenaran dari kata-
kata Lev, yaitu tempat dan peranan apa yang dilakukan oleh hukum dalam
masyarakat, ditentukan oleh politik. 30
Praktek yang menyampingkan hukum adat apabila tidak bersesuaian
dengan politik pemerintah pada waktu itu. Politik hukum Daendels, misalnya
mengatakan: 31
Peradilan yang berlaku untuk orang pribumi hendaknya tetap dijalankan
menurut undang-undang dan kebiasaan mereka sendiri. Pemerintah Hindia,
dengan menggunakan cara-cara yang sesuai untuk itu, menjaga agar dalam
wilayah kekuasaanya tidak kemasukan praktek-praktek tercela, yang bertentangan

30
Sebagai contoh, mengapa penerimaan hukum adat oleh pemerintah Belanda dilakukan
secara setengah-setengah, seperti melalui lembaga penundukan kepada hukum perdata Eropa (K.B. 15
September 1916 No. 26: S. 1917 No. 12). Lihat Satjipto Rahardjo, 106
31
Berdasarkan atas pikiran yang tercantum dalam Charter voor de Aziatische bezittingen van
de Bataafsche Republick, yang disahkan oleh pemerintah Belanda pada tanggal 27 September 1804,
pasal 86. Lihat Satjipto Rahardjo, 107.
38

dengan peraturan perundang-undangan atau kebiasaan rakyat, dan untuk


mencapai peradilan yang cepat dan baik).
Dalam kenyataannya, pikiran-pikiran yang tercantum dalam peraturan
tersebut ditaati, sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang oleh pemerintah
dianggap harus dilindungi. Politik Daendels tersebut tercermin pada
penolakannya terhadap penerapan hukum adat, apabila hal itu berlawanan dengan
perintah-perintah pemerintah pusat serta bertentangan dengan dasar-dasar asasi
keadilan dan kepatutan ataupun apabila oleh karenanya, dalam hal
penyelenggaraan hukuman jasmani, kepentingan keamanan umum tidak terjamin.
Diskusi mengenai hukum pada negara-negara sedang berkembang,
dirasakan perlunya membicarakan hubungan antara hukum dan politik. Tentu
tidak akan dikatakan pembahasan mengenai hubungan antara dua subsistem
tersebut tidak penting untuk negara-negara yang sudah disebut maju. Pernyataan
tersebut hanya hendak mengatakan pada negara-negara yang sedang mengalami
suatu transformasi politik yang berat, pembicaraan tersebut lebih-lebih dirasakan
keperluannya.
Perhatian Nonet dan Selznick pertama-tama tertarik kepada hubungan
antara hukum atau tata hukum dengan penindasan. Setiap tata hukum senantiasa
mempunyai potensi untuk melakukan penindasan. Hukum dan kekuasaan
berhubungan sangat erat, karena bagaimanapun, tata hukum senantiasa terikat
kepada suatu status quo. Tata hukum tidak mungkin ada apabila ia tidak terikat
kepada suatu tata tertentu, atau mempertahankan suatu tata tertentu, terlepas dari
penilaian kita mengenai kualitas tata tersebut. Dengan mengikatkan diri dan
mempertahankan suatu tata tertentu tersebut, hukum pun telah mengefektifkan
kekuasaan. Sejak saat itu, maka pihak yang berkuasa, dengan menggunakan baju
otoritas, mempunyai kewenangan (yang sah) untuk menuntut warga negara
mematuhi kekuasaan yang bertahta.
39

Tentunya akan timbul pertanyaan, bagaimana hukum dengan begitu saja


bisa disamakan dengan penindasan? Memang, hukum dan penindasan dalam
konteks pembicaraan kita disamakan, karena kita akan membicarakan suatu
ikhwal kehidupan hukum pada peringkat tertentu. Kekuasaan yang memerintah
bersifat menindas, apabila menyampingkan kepentingan-kepentingan dari mereka
yang diperintah, yaitu tidak mau mengakui keabsahan dari kepentingan-
kepentingan tersebut. Dalam keadaan demikian, maka kedudukan warga negara
lemah dan mudah menjadi bulan-bulanan dari kekuasaan yang memerintah.
Potensi untuk melakukan penindasan pada suatu ketika bisa diperbesar,
yaitu pada saat pemerintah dihadapkan kepada munculnya pengharapan-
pengharapan dan kepentingan-kepentingan baru di kalangan rakyat. Munculnya
hal-hal yang baru tersebut bisa menyebabkan pemerintah mengambil keputusan
untuk menolaknya dan yang akan dirasakan oleh warga negara sebagai suatu
kerugian besar dan oleh karenanya akan dirasakan sebgai suatu efek yang
menindas. Namun demikian, dalam keadaan-keadaan tertentu, seperti keadaan
darurat, pengabaian terhadap suatu tuntutan tidak dirasakan sebagai suatu
penindasan, melainkan sesuatu hal darurat yang bisa dimengerti.
Sikap otoriter yang dilakukan oleh pemerintah masih bersifat terbatas,
apabila tidak digunakan secara umum, melainkan secara diskriminatif, yaitu untuk
menghadapi suatu ancaman tertentu; juga apabila kepada rakyat diberikan
kemungkinan untuk mengajukan permintaan guna mendapatkan perlindungan
bagi kepentingan-kepentingannya. Dengan singkat, kekuasaan tidak bersifat
menindas, apabila integritas seseorang tetap dijaga, sekalipun terhadapnya
digunakan kekerasan. Penggunaan kekuasaan juga tidak bersifat menindas,
apabila rakyat memang mempunyai kebiasaan untuk mematuhi kekuasaan. Dalam
ikhwal tersebut, paksaan pun terdorong kebelakang sebagai suatu upaya yang
tidak diperlukan.
40

Politik memberikan nuansa yang sangat signifikan terhadap hukum.


Derap dan langkah hukum sering terhambat jalannya menuju yang dicita-citakan
hukum. Oleh karena itu, hukum terwarnai oleh politik dan kedudukan hukum
tentu saja menjadi lemah dibandingkan dengan politik. Politik hukum secara
sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijakan32 hukum (legal policy) yang akan
atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula
pengertian tentang bagaimana politik memengaruhi hukum dengan cara melihat
konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum
tersebut. 33 Hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat
imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus
dipandang sebagai subsistem yang dalam pernyataan (das sein) bukan tidak
mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-
pasalnya maupun dalam implementasi penegakannya.
Dengan menggunakan asumsi bahwa hukum merupakan produk politik
maka dalam menjawab hubungan antara keduanya itu hukum dipandang sebagai
dependent variable (variable terpengaruh) sedangkan, politik diletakkan sebagai
independent variable (variable berpengaruh). Peletakkan hukum sebagai variable
yang tergantung atas politik atau politik yang determinan atas hukum itu mudah
dipahami dengan melihat realitas bahwa pada kenyataannya hukum dalam artian
sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal yang imperatif) merupakan
kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaing.

32
Kebijakan disepadankan dengan kata bahsa Inggris yaitu policy yang berbeda dengan kata
wisdom yang berarti kebijaksanaan atau kearifan. Istilah policy (kebijakan sering penggunaannya
saling dipertukarkan dengan istilah lain seperti tujuan, program, keputusan, undang-undang, ketentuan-
ketentuan, usulan-usulan, dan rancangan-rancangan besar. Menurut Perserikatan Bangsa-Bngsa,
kebijakan diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman itu boleh jadi amat sederhana atau
amat kompleks, bersifat umum atau khusus, luar atau sempet, kabur atau jelas, longgar atau terperinci
berifat kualitatif atau kuwantitatif, public atau privat. Kebijakan dalam makna seperti ini dapat
disimpulkan sebagai suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah atau
tindakan tertentu, suatu program mengenai aktifitas-aktifitas tertentu atau suatu rencana. Lihat Solichin
Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaandari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara
(Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet. Ke-6, 2.
33
M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 9.
41

Sidang parlemen bersama pemerintah untuk membuat Undang-Undang (UU)


sebagai produk huku pada hakikatnya merupakan adegan konstelasi politik agar
kepentingan dan aspirasi terakomodir di dalam keputusan poltik dan menjadi
Undang-undang dan UU tersebut terlahir atas dasar keputusan bersama dan
dipandang sebagai produk dan adegan konstelasi politik itu. 34
Dalam merespon pertanyaan tentang politik yang bagaimana yang
melahirkan produk hukum macam apa, jawabannya menggunakan dua konsep
yang dichotomis baik untuk variable politik maupun untuk variable hukumnya.
Variable politik dipecah atas konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi
politik otoriter sedangkan produk hukum dibedakan atas produk hukum yang
berkarakter responsif dan produk hukum yang berkarakter ortodoks. Indikator
yang dipergunakan pada variable konfigurasi politik adalah peranan lembaga
perwakilan rakyat, peranan pers dan peranan ekskutif, sedangkan indikator bagi
produk hukum adalah proses pembuatannya, pemberian fungsinya dan peluang
untuk menafsirkannya. Pada konfigurasi politik yang demokratis, lembaga
perwakilan rakyat (parlemen) sangat berperan dalam menentukan arah, kebijakan
dan program politik nasional, sehingga parlemen dapat benar-benar dipandang
sebagai representasi rakyat yang diwakilinya, pers memiliki kebebasan yang
relatif tinggi, sedangkan pemerintah melaksanakan keputusan-keputusan lembaga
perwakilan rakyat dan menghormatinya sebagai representasi rakyat.
Pada konfigurasi politik yang otoriter, terjadi keadaan yang sebaliknya.
Sementara itu pada produk hukum yang berkarakter responsif akan terlihat bahwa
proses pembuatannya bersifat partisipatif, dalam arti menyerap partisipasi
kelompok sosial maupun individu-individu di dalam masyarakat, menyerap
aspirasi masyarakat secara besar-besaran sehingga mengkristalisasikan berbagai
kehendak masyarkat yang saling bersaingan, dan membatasi space bagi
pemerintah untuk membuat tafsiran-tafsiran (interpretasi) yang terlalu banyak

34
M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 10.
42

ditentukan oleh fisi dan kekuasaan politiknya sendiri. Sedangkan pada produk
hukum yang konservatif, terjadi hal yang sebaliknya. Sehingga konfigurasi politik
yang demokratis akan melahirkan produk hukum yang responsif sedangkan
konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan produk hukum yang
konservatif. Demokrasi dan otoriter adalah istilah-istilah yang mengandung
pengertian yang ambigu. Dalam berbagai literatur, banyak ditemui perbedaan
antara demokrasi normatif dan demokrasi empiris yang belum tentu berjalan
seiring. Apa yang secara normatif konstitusional demokratis belum tentu
demokratis pula dalam kenyataan empirisnya. Seperti apa yang diutarakan oleh
Mahfud MD, bahwa menurut Amien Rais bahwa para ilmuwan politik telah lama
mengiingatkan adanya perbedaaan antara format dan subtansi demokrasi yang
harus dilihat secara jeli agar kita tidak terkecoh oleh penampilan. Tampilan suatu
sistem politik dapat saja kelihatan demokratis tetapi justru esensinya otoriter.
Bahkan negara yang sangat otoriter pun dapat mengklain dirinya sebagai negara
demokrasi karena pemerintahannya yang otoriter justru dibangun untuk
melindungi kepentingan rakyat.Di sinilah demokrasi tidak diartikan sebagai
pemerintahan yang dari, oleh dan untuk rakyat. 35 Inilah yang menurut pendapat
penulis sebagai kekuasaan otoriter yang amanah. Artinya sikap, pebuatannya
hanya diperuntukkan untuk membangun dan membela kepentingan.
1. Konfigurasi Politik Hukum dan Produk Hukum
Kata konfigurasi atau configuration adalah kata yang berasal dari bahasa
Inggris yang berarti “bentuk” atau “susunan”. Dalam Kamu Besar Bahasa
Indonesia, edisi kedua, konfigurasi adalah “bentuk”, “wujud” untuk
menggambarkan orang atau benda. Artinya bahwa ketika hal itu dikaitkan
dengan Konfigurasi Politik Hukum, maka akan mempunyai makna; suatu bentuk
atau wujud politik hukum dalam suatu negara tentang bagaimana hukum itu

35
M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 11
43

diwujudkan atau dibentuk sesuai dengan keinginan si penguasa dengan


memperhatikan socio-kultural dan yang berkembang di da lam masyarakat.
Konfigurasi ialah suatu pola yang unsur-unsur atau bagian-bagianya
semua saling berkaitan. Dalam menelaah suatu konfigurasi, maka setiap unsur
atau bagiannya diamati dan dianalisa dalam kaitannya satu dengan lain, dalam arti
bukan sebagai unsur atau bagian yang tidak berhubungan atau berdiri sendiri. 36
Selanjutnya tinjauan dilakukan dengan memperhatikan keseluruhan susunan
konfigurasi karena sesuatu itu memiliki sifat menyeluruh atau kesatuan bentuk
(Geltalt) yang unik serta tidak mungkin diperhatikan menurut unsur demi unsur
secara terpisah-pisah.
Sementara itu, frame work politik hukum adalah kebijakan pemerintah
yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia
meliputi: Pertama, pembangunan hukum yang berintikan perbuatan dan
pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan;
Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegasan fungsi
lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Batasan itu menggambarkan
bahwa politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang
dapat menujukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibagun dan ditegakkan. 37
Definisi lain diutarakan oleh Moh. Mahfud MD 38 yang mengartikan
konfigurasi politik sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara
dikotomis. Menurut Bambang 39 sebenarnya bahasa konfigurasi politik tidak lebih
dari bahasa trend yang digunakan oleh media masa, sebenarnya pengertian
konfigurasi politik lebih dekat dengan pengertian peta kekuatan politik (dinamika
politik).
36
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia (Ciputat: Ciputat Press, 2005), Cet.
Pertama, 12
37
Satria Effendi M. Zein, Aliran-Aliran Pemikiran Hukum Islam, Diktat Pada Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 9
38
M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta, LP3ES 1998), 24
39
Bambang Eka CW, Makalah Bahan Kuliah Ilmu Pemerintahan (Yogyakarta: UMY, 2003),
tanpa halaman
44

Bintan Ragen Saragih 40 mendefinisikan konfigurasi politik hukum sebagai


suatu kekuatan-kekuatan politik yang riil (nyata) dan eksis dalam suatu sistem
politik. Konfigurasi politik ini biasanya tergambarkan dalam wujud partai-partai
politik. Bila partai politik ini berperan secara nyata dalam sistem politik yang
berlaku dalam mengambil kebijakan (keputusan) seperti pembentukan hukum
atau kebijakan lainnya maka disebutkan bahwa konfigurasi politik itu adalah
konfigurasi politik yang demokrasi, sedangkan bila partai-partai politik yang ada
itu tidak berperan dalam pengambilan keputusan atau mengambil kebijakan dalam
sistem politik itu maka dikatakan bahwa konfigurasi politik yang ada itu adalah
konfigurasi politik yang otoriter. Dikatakan tergambar dalam partai-partai politik,
karena ada kalanya disebutkan juga kekuatan-kekuatan politik tidak hanya
tergambarkan melalui partai politik tetapi juga tokoh-tokoh berpengaruh,
organisasi kepentingan dan sebagainya.
Studi tentang politik hukum tidak hanya dilihat dari perspektif formal
yang memandang kebijakan-kebijakan hukum dan rumusan-rumusan resmi
sebagai produk saja, melainkan dapat dilihat dari latar belakang dan proses
keluarnya legal policy tersebut. Dapat dipertanyakan misalnya, mengapa dan
bagaimana perspektif formal itu lahir serta apa akibatnya bagi perkembangan
hukum nasional umumnya, pada hukum Islam khususnya.
Dalam perspektif ini terlihat bahwa dalam hubungan tolak angsur antara
politik dan hukum, maka hukum yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem
politik memiliki konsetrasi energi yang lebih besar daripada hukum. Jika pun
berhadapan hukum berada dalam pihak yang lemah. 41 Politik sering
mengintervensi hukum, tak terkecuali hukum Islam. Politik mana yang lebih
dominan, maka aspirasi hukumnya yang akan tersalurkan. Bila saja energi politik

40
Bintan Ragen Saragih, Politik Hukum (Bandung: CV Utomo, 2006), 33
41
Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antar Disiplin dalam
Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: Sinar Baru, 1985), 79
45

Islam yang dominan, ini berarti hukum Islam mempunyai peluang yang besar
dalam legislasi hukum Islam.
Diskriminasi politik terhadap hukum ternyata bermuara pada tujuan;
sebagai sarana legitimasi kekuasaan pemerintah; sebagai sarana untuk
menfasilitasi pertumbuhan ekonomi; sebagai sarana untuk menfasilitasi proses
rekayasa sosial; karena lebih kuat konsentrasi energi politik, maka menjadi
beralasan adanya konstatasi bahwa kerapkali otonomi hukum di Indonesia ini
diintervensi politik, bukan hanya dalam proses pembuatannya, tetapi juga
implementasinya.
Sehubungan dengan lebih kuatnya energi politik, maka hukum adalah
kekuasaan. Bahkan menurut Apeldoorn sebagaimana dikutip Moh. Mahfud,
misalnya mencatat, adanya beberapa pengikut paham bahwa hukum adalah
kekuasaan. Pertama, kaum Sophis di Yunani yang menyatakan keadilan adalah
apa yang berfaedah bagi orang yang kuat. Kedua, Lassalle mengatakan konstitusi
suatu negara bukan undang-undang dasar yang tertulis yang hanya merupakan
secarik kertas, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata di dalam
suatu negara. Ketiga, Gumplowics mengatakan hukum berdasar atas penaklukan
yang lemah oleh yang kuat, hukum adalah susunan definisi yang dibentuk oleh
pihak yang kuat untuk mempertahankan kekuasaannya. Keempat, sebagian
pengikut aliran positivisme juga mengatakan kepatuhan kepada hukum tidak lain
dari tunduknya orang yang lebih lemah pada kehendak yang lebih kuat, sehingga
hukum hanya merupakan hak orang yang kuat. 42
Untuk melihat hukum Islam dalam tataran politik hukum, maka beberapa
unsur penting yang saling berhubungan adalah; (1) landasan konstitusional yakni
Pancasila dan dioperasionalisasikan secara struktural dalam Undang-undang
Dasar 1945, (2) diimplementasikan norma-norma itu dalam bentuk politik hukum
nasional yang dirumuskan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

42
M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1998), 13-14
46

yaitu GBHN. Ia diarahkan pada perubahan tatanan hukum untuk


menyelenggarakan negara hukum, (3) perubahan masyarakat, watak alami dan
abadi dalam suatu masyarakat ialah mengalami perubahan, baik struktur maupun
pola budayanya, (4) perubahan tata hukum itu dilakukan secara nasional,
disengaja, berencana, dan berjangka, yang secara konkrit dirumuskan dalam
rencana pembangunan nasional di bidang hukum. Ia berhubungan dengan
berbagai faktor perubahan dan kesinambungan hukum Islam, (5) perubahan itu
sebagai hasil interaksi dari berbagai unsur dan potensi masyarakat yang majemuk,
yaitu kalangan elite, untuk mewujudkan norma-norma dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan (6) Sejarah dan subtansi Hukum
Islam yang terkait dengan penguasa “langit”. Keenam unsur ini memiliki variasi
hubungan fungsional (simetric), hubungan searah (assimetric), dan hubungan
timbal balik (reciprocal).
Dengan menggunakan asumsi dasar bahwa hukum sebagai produk politik,
maka politik akan sangat menentukan hukum sehingga kajian ini memposisikan
politik sebagai variabel bebas dan hukum (hukum Islam) sebagai variabel
terpengaruh.
Kajian ini berangkat dari perspektif bahwa dalam hubungan antara politik
dan hukum, maka hukum yang terpengaruh oleh politik, karena sub sistem politik
mempunyai energi yang paling kuat daripada hukum. Maka untuk melihat hukum
dan lembaganya menurut Daniel S. Lev harus diamati dari bawah dan melihat
peran sosial politik apa yang diberikan kepadanya. 43 Karena lebih kuatnya energi
politik dan intervensi politik terhadap hukum, maka kerapkali otonomi hukum di
bawah tekanan politik, bukan saja proses pembuatannya, tetapi juga implementasi
hukum. Sri Soemantri mengkonstatasikan hubungan antara hukum dan politik di
Indonesia ibarat perjalanan lokomotif kereta api yang keluar dari relnya. Jika

43
Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam di Indonesia, aliha Bahasa Zaini Ahmad Noeh dari
judul asli, Islamic Courts in Indonesia: A Study in the Political Bases of Legal Institutions, Jakarta:
Intermasa, 1986, 2
47

hukum diibaratkan sebagai rel, maka politik sebagai lokomotifnya, maka sering
terlihat lokomotif itu keluar dari rel yang semestinya dilaluinya. 44
Konfigurasi politik dalam kajian ini adalah sebagai susunan atau
konstelasi kekuatan politik yang secara dikhotomis dibagai atas dua konsep, yaitu
konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Secara konseptual
dan indikator-indikator variabel bebas in adalah 45 ;
a. Konfigurasi Demokrasi
Konfigurasi politik demokratis adalah susunan sistem politik yang
membuka kesempatan (peluang) bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut
aktif menentukan kebijakasanaan umum. Partisipasi ini ditentukan atas dasar
jumlah mayoritas wakil-wakil rakyat dan didasarkan atas kesamaan politik serta
diselenggarakan atas kebebasan politik. Dilihat dari hubungan pemerintah dengan
wakil rakyat, dalam konfigurasi politik demokratis terdapat kebebasan rakyat
untuk menyampaikan kritikan terhadap pemerintah. 46
Dari sejarah konfigurasi politik di Indonesia kita dapat melihat bagaimana
konfigurasi itu sendiri, pada masa liberal contohnya konfigurasi politiknya
demokrasi. Melalui Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 pemerintah
mengumumkan bahwa: 47
1) Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan
adanya partai-partai politik istilah depan dipimpin ke jalan yang teratur
segala aliran paham yang ada dalam masyarkat.
2) Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun sebelum
dilangsungkan pemilihan anggota badan-badan perwakilan rakyat.

44
Sri Soemantri Martossuwignyo, Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif, Makalah
disampaikan pada seminar Identitas Hukum Nasional di Fakultas Hukum UII Yogyakarta, 19-21
Oktober 1987, 6, Lihat juga Mo Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998, 13
45
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, 16
46
M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 24
47
Ma’sum Ahmad, Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Undang-undang
Dasar 1945 (Yogyakarta: Total Media, 2009), Cet. I, 37
48

Sejak dikeluarkan Maklumat Pemerintah tersebut maka berdirilah


sejumlah partai-partai politik, partai-partai tersebut berperan penting dalam
Komite Nasional Indonesia Pusat. Meskipun peran politik agak menurun pada
masa RIS (Republik Indonesia Serikat) itu disebabkan kekuasaan negara saat itu
berbagi antara pusat negara-negara bagian dan pemerintahan daerah yang berdiri
sendiri. Begitu kuatnya peranan partai-partai tersebut sehingga dapat disebut (saat
berlakunya UUDS 1950) masa itu adalah masa pemerintahan partai-partai politik,
konfigurasi politik pada saat itu sangat demokratis, sehingga hukum diciptakan
benar-benar sesuai dengan realitas masyarakat, dan jumlah hukum yang
diciptakan begitu banyak. Tetapi dipihak lain, karena tidak ada satupun partai
politik yang dominan maka kabinetpun jatuh. Masa liberal inipun dapat disebut
sebagai masa jatuh bangunnya kabinet, atau kabinet yang dibentuk selalu labil. 48
Alfian 49 mengatakan UUDS 1940 yang mencerminkan demokrasi liberal
seperti yang terdapat di beberapa negara barat memberikan peranan yang sangat
penting kepada Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (parlemen) karena ia yang
menentukan hidup matinya kabinet, karena parlemen terdiri dari wakil-wakil
partai, maka kekuasaan yang begitu besar langsung mencerminkan dominan
parlemen berarti sama atau sejalan dengan peranan utama partai-partai politik di
dalam sistem politik yang berlaku.
Pada periode ini pernah berlaku tiga macam konstitusi, yaitu UUD 1945,
konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950, tetapi konfigurasi politik yang ditampilkan
dapat diberi kualifikasi yang sama, yaitu konfigurasi politik yang demokrasi.
Indikator pertama adalah, dominannya partai-partai politik, kedua, kedudukan
pemerintah sangat lemah dan mudah dijatuhkan melalui “mosi” dilembaga

48
Bintan Ragen Saragih, Politik Hukum, 57
49
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1978, 249-250
dalam Bintan Regen Siragih, Politik Hukum, 57
49

perwakilan (parlement), ketiga, kehidupan pers cukup mendapatkan kebebasan


untuk mengekpresikan temuan, opini, dan kritik-kritiknya. 50
Konfigurasi politik yang demokratis 51 mempunyai kelebihan dan
kelemahannya, antara lain yaitu; Pertama, terciptanya suasana politik yang “fair”,
kesempatan politik yang besar bagi rakyat untuk bermain secara langsung. Kedua,
mendorong terbentuknya kompetisi yang sehat dalam aspek sosial, ekonomi, yang
berujung kepada pembangunan ekonomi mikro yang stabil dan pasar yang
kualitatif. Ketiga, penegakan hukum dipandang sebagai sebuah solusi, sedangkan
kelemahannya adalah; Pertama, mahal dan kompleknya dalam mencapai suatu
kebijakan terhadap publik. Kedua, kompetensi yang berlarut berimbas negatif
kepada stabilitas yang bisa memburuk.
b. Konfigurasi Otoriter
Konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih
memungkinkan negara yang berperan aktif serta mengambil inisiatif hampir
semua kebijakan negara. Konfigurasi ini ditandai oleh dorongan elit kekuasaan
untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan
negara untuk menentukan kebijaksanaan negara dan dominasi kekuasaan politik
oleh elit politik yang kekal, serta di balik semua itu ada satu doktrin yang
membenarkan konsentrasi kekuasaan. 52
Artinya konfigurasi politik yang menempatkan pemerintah pada posisi
yang sangat dominan dengan sifat yang intervensional dalam penentuan dan
pelaksanaan kebijakan negara sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak

50
M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 374
51
Demokrasi merupakan pengejawantahan dari nilai demokrasi dalam masyarakat. Demokrasi
dapat diibaratkan sebagai pisau bermata dua, disatu sisi dapat menimbulkan masalah tetapi disisi lain
mampu memberikan solusi. Tidak sedikit proses demokratisasi membawa perpecahan sebuah Negara
seperti terjadi di Negara Balkan dan Uni Soviet. Hal ini dapat terjadi karena univikasi idiologi tidak
mampu secara proposional menampung kepentingan atau keinginan kelompok dalam suatu populasi.
Dalam Agus Suratan dan Tuhana Taufiq A, Runtuhnya Negara Bangsa, UPN Veteran, Yogyakarta,
2002, 185
52
M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 24
50

teragregasi dan teraktualisasi secara proposional bahkan, dengan peran


pemerintahan yang sangat dominan, badan perwakilan rakyat dan partai politik
tidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan alat justifikasi atas kehendak
pemerintah; sedangkan pers tidak memiliki kebebasan senantiasa berada dibawah
kontrol pemerintah itu sendiri. Konfigurasi politik otoriter dapat dilihat peralihan
dari masa liberal kemasa terpimpin. Masa demokrasi terpimpin ini oleh penguasa
disebut sebagai masa Orde Lama. Masa demokrasi terpimpin dimulai dengan
dikeluarkannya dekrit Presiden 5 Juli 1959, 53 kehidupan demokrasi setelah
dikeluarkan dekrit 5 Juli 1959 sangat merosot dan yang muncul adalah sistem
politik otoriter dengan Soekarno sebagai aktor utama. Tampilnya sistem otoriter
ini dipilih sebagai jawaban atas kegagalan periode sebelumnya dalam
membangun stabilitas politik dan pembangunan. 54
Konfigurasi politik yang otoriter mempunyai kelebihan yaitu; Pertama,
corak yang otoritarian, cenderung menciptakan dominasi dalam berbagai aspek.
Hal itu, tentu saja memudahkan negara dalam melakukan penyeragaman
(uniform) dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. Misalnya; penyeragaman
hukum nasional, penyeragaman budaya, penyeragaman sistem politik. Kedua,
karena corak yang otoritarian memiliki kekuatan yang dominan akan sangat
mudah bagi negara untuk melakukan berbagai penyederhanaan dalam berbagai
aspek kehidupan negara.

53
Salah satu pertimbangan dikeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya
konstituente melaksanakan tugasnya hal ini dapat dilihat dari salah satu konsiferans dekrit tersebut
berbunyi “bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar anggota siding pembuat undang-
undang dasar untuk tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat Indonesia
kepadanya”. Dalam Jueniarto, Sejarah Ketatanegaraan, RI, 1990. lahirnya dekrit 5 Juli 1959
sebetulnya tidak semata-mata karena gagalnya konstituente menetapkan UUD yang baru sebagaimana
yang sering dikemukakan dan ditulis dalam banyak buku sejarah ketatanegaraan Indonesia. Tetapi
lahirnya dekrit tersebut terutama karena kuatnya desakan militer dan Presiden Soekarno karena
keduanya sama-sama berkepentingan untuk kembali ke UUD 1945. dan kekuatan ini lebih eksis di
bawah UUD 1945. Benny K. Harman. Konfigurasi Politik, 103
54
M. Mahfud MD., Pergulatan Politik Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media,
1999), 77
51

Sementara kelemahannya adalah; Pertama, tentu saja corak ini tidak


demokratis. Secara politik, sosial dan ekonomi, sistem yang terbentuk tidak
mungkin menciptakan suasana yang konpetitif, karena hanya didominasi saja.
Sehingga tidak menciptakan persaingan yang sehat. Akibatnya adalah terjadinya
kesenjangan dalam bidang sosial dan ekonomi yang tinggi. Kedua, sistem politik
otoriter yang dibangun oleh pemerintah melalui akumulasi kekuasaan secara terus
menerus dengan menggunakan konstitusi yang berlaku dapat pula melemahkan
supremasi hukum karena hukum tidaklah lagi menjadi “supreme”. Supreme
adalah kekuasaan yang dalam prakteknya sangat menentukan karakter isi dan
penegakan hukum.
Konfigurasi yang demokrasi terdapat sistem politik yang demokrasi, dan
sebaliknya yang otoriter terdapat pada sistem politik yang otoriter. Karena itu
politik hukum dalam konfigurasi politik yang demokratis adalah untuk
menciptakan hukum yang mendekatkan tata hukum dengan realita sosial,
sedangkan pada konfigurasi politik yang otoriter umumnya menciptakan hukum
untuk mempertahankan kekuasaan dari rezim penguasa sehingga menjauhkan tata
hukum dengan realita sosial. Tetapi adakalanya pada konfigurasi politik yang
otoriter dapat juga tercipta hukum yang mendekatkan tata hukum itu dengan
realita sosial.
Pada suatu pemerintahan yang otoriter, adakalanya politik hukumnya
dicantumkan dalam program kabinet yang ada, adakalanya juga tidak. Tetapi
politik hukum dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan. Hal ini dapat
dilihat dari produk perundang-undangan yang dibuat, hingga bentuk yang
tampaknya demokratis dengan membentuk parlemen melalui pemilihan umum
yang telah direkayasa dalam pemilihan umum tersebut untuk selalu memberikan
persetujuannya dalam pembentukan undang-undang.
Walaupun pada demokrasi terpimpin dan Orde Baru sistem politik yang
dibangun adalah autokrasi atau oligarki pembangunan, tetapi keberadaan
52

lembaga-lembaga politik dan kekuasaan kehakiman tetap dipertahankan, bukan


dihilangkan. Hanya fungsinya yang diamputasi dan arahnya untuk mendukung
kebijakan rezim yang berkuasa.
Lahirnya konfigurasi politik tidaklah mutlak tergantung pada konstitusi 55
atau undang-undang dasar yang berlaku. Berlakunya undang-undang dasar dapat
memperlihatkan konfigurasi politik yang berbeda-beda pada periode yang
berbeda pula. Undang-undang Dasar 1945 yang berlaku tahun 1945-1955 ternyata
melahirkan konfigurasi politik demokrasi. Sedangkan setelah tahun 1966, UUD
1945 melahirkan konfigurasi politik yang otoriter. Terbukti juga bahwa meskipun
pernah berlaku tiga konstitusi yang berbeda yaitu UUD 1945 tetapi konfigurasi
RIS, Undang-undang Dasar Sementara 1945 tetapi konfigurasi politik yang
dilahirkan adalah sama yakni konfigurasi politik yang demokratis. Disini yang
berlaku ditekankan adalah perlunya sinergi antara orang dan sistem yang sama-
sama baik. Sistem yang baik bisa jelek dibawah orang yang jelek. Tetapi juga
orang yang baik bisa menjadi jelek dibawah sistem yang jelek. Artinya sistem
sangat berperan penting dalam suatu perubahan yang demokratis.
Dalam menentukan karakter produk hukum di Indonesia yang dijadikan
sebagai studi kasus pada kajian ini meminjam teori yang digunakan oleh Moh.
Mahfud. Ada dua karakter produk hukum; 56

55
Konstitusi meliputi konstitusi tertulis dan tidak tertulis, Undang-undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 merupakan konstitusi tertulis. Konstitusi dalam praktiknya dapat berarti lebih
luas dari pada undang-undang dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian Undang-
undang Dasar. Penyamaan pengertian antara konstitusi dengan undang-undang dasar, sebenarnya
sudah mulai sejak Oliver Cromwell (Lord Protector Republik Inggris 1649-1660) yang menamakan
undang-undang dasar itu sebagai istrumen of govermment, yaitu bahwa undang-undang dasar dibuat
sebagai pegangan untuk memerintah dan disinilah timbul identifikasi dari pengertian konstitusi dan
undang-undang dasar. Konstitusi itu sendiri sebenarnya merupakan alat untuk membentuk system
politik dan sistem hukum dalam suatu Negara itu sendiri. Dalam Dahlan Thaib, Jazim Hamidi,
Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi ( Yogyakarta: Rajawali Press,. 2006), 45.
56
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, 18
53

1) Produk Hukum Responsif/Populistik


Produk hukum responsif/populistik adalah produk hukum yang
mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses
pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-
kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif
terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat.
2) Produk Hukum Konservatif/ortodok/elitis
Adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit
politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis
instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana ideologi dan program negara.
Berlawanan dengan hukum responsif, hukum ortodoks lebih tertutup terhadap
tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu dalam masyarakat. Dalam
pembuatannya peranan dan pastisipasi relatif kecil.
Untuk mengkualifisir apakah produk hukum itu responsif atau konservatif,
indikator yang dipakai adalah proses pembuatan hukum, sifat, fungsi hukum dan
kemungkinan penafsiran atas sebuah produk hukum. Semakin banyak partisipasi
masyarakat semakin mendekati hukum yang responsif dan sebaliknya semakin
kecil partisipasi kelompok masyarakat, semakin jauh pula hukum itu dari karakter
hukum responsif. Maka untuk karakter produk hukum ini disebut, konservatif atau
ortodoks / elitis.

C. Politik Hukum Nasional


Jelas bahwa politik hukum nasional dibentuk dalam rangka mewujudkan
tujuan cita-cita ideal negara Republik Indonesia sesuai dengan UUD 1945 dan
Pancasila sebagai dasar Falsafah negara Republik Indonesia. Dalam politik
hukum nasional memiliki beberapa tujuan yang harus dicapai. Tujuan tersebut
antara lain meliputi dua aspek yang saling berkaitan:
54

1. Tujuan Politik Hukum Nasional


a. Sebagai suatu alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan
oleh pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hukum nasional yang
dikehendaki; Mahfud MD. mengutarakan bahwa politik hukum adalah
merupakan legal policy tentang hukum yang akan dibelakukan untuk
mencapai tujuan negara. Disini posisi hukum diposisikan sebagai alat
untuk mencapai tujuan negara. 57 Terkait dengan ini Sunaryati Hartono
mengemukakan “Hukum sebagai Alat”, sehingga secara praktis politik
hukum juga merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat
digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional
guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara. 58
b. Dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa
Indonesia yang lebih besar. 59 Sistem hukum nasional terdiri dari dua
istilah sistem dan hukum. Sistem berarti suatu keseluruhan yang tersusun
dari sekian banyak bagian (whole compounded of several parts) 60 atau
hunungan yang langsung antara satuan-satuan atau komponen-komponen
secara teratur (an organized, functioning relaionship among units or
components). 61 Dengan kata lain, bahwa sistem adalah sekumpulan bagian
atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan
satu keseluruhan. 62 Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo, sistem adalah

57
M. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, 2
58
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju satu sitem Hukum Nasional (Bandung:
Alumni, 1991), 1.
59
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), Cet. Pertama, 59
60
Willian A. Shrode dan Dan Voich, Organization and Management: Basic System Concept
(Malaysia: Irwin Book Co., 1974), 115
61
Elias M. Awad, System Analysis and Design (Homewood, Illiois Richard D. Irwin, 1979),
4.
62
Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Jakarta: rajawali Press, 1996, 1.
55

suatu kesatuan yang bersifat komplek, terdiri dari bagian-bagian yang


63
berhubungan dan berkerja secara aktif unuk mencapai tujuan.
Sedangkan makna hukum nasional adalah hukum atau aturan perundang-
undangan yang tertera dalam landasan ideologi negara yakni Pancasila dan
Undang-Undang Dasar ’45 atau huku yang dibangun atas kreatifitas atau prakarsa
bangsa Indonesia sendiri. Dengan demikian berarti hukum nasional adalah sistem
hukum yang bersumber dari nilai-nilai luhur budaya bangsa yang sudah lama ada
dan berkembang sampai sekarang.
2. Ruang lingkup Politik Hukum Nasional
Ruang lingkup atau wilayah kajian (domain) disiplin politik hukum adalah
meliputi aspek lembaga kenegaraan pembuat politik hukum lembaga kenegaraan
pembuat politik hukum, letak politik hukum dan faktor (internal dan eksternal)
yang mempengaruhi pembentukan politik hukum suatu negara. Tiga
permasalahan itu baru sebatas membahas proses pembentukan politik hukum,
belum berbicara pada tataran aplikasi dalam bentuk pelaksanaan produk hukum
yang merupakan konsekuensi politis dari sebuah politik hukum.
Politik hukum adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya
mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada
pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menetapkan
undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan
pengadilan. 64
Permasalahannya sekarang, ketika kita berbicara tentang wilayah kajian
(domain) sebuah disiplin ilmu yang akan dipergunakan para mahasiswa hukum,
politik hukum dalam perspektif akademis tidak hanya berbicara sebatas
pengertian di atas an sich tetapi mengkritisi juga produk-produk hukum yang

63
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Jakarta: Citra Aditya Bhakti 1991), cet. Ketiga, 48.
64
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), 13
56

telah dibentuk. Dengan demikian, politik hukum menganut prinsip double


movement, yaitu selain sebagai kerangka pikir merumuskan kebijakan dalam
bidang hukum (legal policy) oleh lembaga-lembaga negara yang berwenang, ia
juga dipakai untuk mengkritisi produk-produk hukum yang telah diundangkan
berdasarkan legal policy di atas. Berdasarkan uraian tersebut, ruang lingkup atau
wilayah kajian politik hukum sebagai berikut:
a. Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam
masyarakat oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan
politik hukum;
b. Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi tersebut ke
dalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang-undangan oleh
penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum;
c. Penyelenggara negara yang berwenang merumuskan dan menetapkan
politik hukum;
d. Peraturan perundang-undangan yang memuat politik hukum;
e. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum,
baik yang akan, sedang, dan telah ditetapkan;
f. Pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang merupakan
implementasi dari politik hukum suatu negara
Keenam hal tersebut di atas itulah yang seterusnya akan menjadi wilayah
telaah dari politik hukum. Dalam hal ini, politik hukum secara umum bermanfaat
untuk mengetahui bagaimana proses-proses yang tercakup dalam enam wilayah
kajian itu dapat menghasilkan sebuah legal policy yang sesuai dengan kebutuhan
dan rasa keadilan masyarakat. Enam wilayah kajian itu tentu saja bersifat
integral 65 satu sama lain.

65
Kata integral berasal dari bahasa Belanda Integraal atau bahasa Inggri integral yang berarti
mengenai keseluruhan; meliputi seluruh bagian yang perlu untuk menjadi lengkap, utuh, bulat dan
57

Ruang lingkup pertama merupakan tahap awal dari kajian politik hukum.
Pada tahap ini kita ingin mengetahui apakah nilai-nilai (values) dan aspirasi yang
berkembang dalam masyarakat telah diakomodasi oleh penyelenggara negara
yang merumuskan politik hukum atau bahkan mungkin sebaliknya. Kajian
terhadap bidang ini penting untuk dilakukan karena secara substansial, hukum
tidak pernah lepas dari struktur rohaniah masyarakat yang bersangkutan, atau
masyarakat yang mendukung hukum tersebut. Itu artinya bila hukum itu dibangun
diatas landasan yang tidak sesuai dengan struktur rohaniah masyarakat, bisa
dipastikan resistensi masyarakat terhadap hukum itu sangat kuat. Bila itu
dikaitkan dengan teori keberlakuan hukum, hukum yang baik harus memenuhi
syarat sosiologis, filosofis dan yuridis. 66
Agar resistensi masyarakat itu tidak terjadi dan syarat keberlakuan hukum
terpenuhi, para penyelenggara negara yang berwenang menarik dan merumuskan
nilai-nilai dan aspirasi itu dalam bentuk tertulis harus peka terhadap kedua hal
tersebut. Namun, disinila letak permasalahannya, lembaga kenegaraan yang
berwenang menentukan politik hukum atau legal framework yaitu sebuah
kerangka umum yang memberikan bentuk dan isi dari hukum suatu negara 67 ,
bukan lembaga yang genuine dari berbagai kepentingan. Di dalam lembaga-

sempurna. Katon Y. Stefanus, Kajian Kritis Terhadap Teori Integralistik di Indonesia (Yogyakarta:
Universitas Atmajaya, 1998), 18
66
Dalam khazanah ilmu hukum suatu peraturan perundang-undangan dapat diakui
eksistensinya bila ia mempunyai keabsahan dari sisi landasan filosofis, yuridis, dan sosiologisnya. (1)
Keabsahan secara yuridis (juritische geltung) adalah apabila ada kesesuaian bentuk atau jenis
peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur terutama kalau diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi; (2) Keabsahan sosiologis (Seziologische geltung)
adalah apabila berlakunya tidak hanya karena paksaan penguasa tetapi juga karena diterima
masyarakat; (3) Keabsahan filosofis (filosofische geltung) adalah apabila kaidah hukum mencerminkan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang dalam UUD 1945 nilai-nilai tersebut tercermin dalam
apa yang disebutdengan Cita Hukum (rechtsidee). Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan di
Indonesia (Jakarta: Ind-Hill.Co, 1992), 13-16; Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian
Filosofis dan Sosiologis, Cet. II (Jakarta: Gunung Agung, 2002), 114-115; Sudikno Mertokusumo,
Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, Edisi III, Cet. I (Yogyakarta: Leberty, 1991), 74-76
67
Radhie, Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijaksanaan dalam Artidjo
Alkostar (ed), Identitas Hukum Nasional (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1997), 211
58

lembaga itu berkumpul berbagai kelompok kepentingan yang terkadang lebih


mementingkan aspirasi kelompoknya dari pada aspirasi masyarakat secara umum.
Dari asumsi dasar ini penulis hendak mengatakan bahwa hukum tidak
boleh diterima begitu saja secara apa adanya (taken for granted) tanpa
mempertimbangkan latar belakang yang bersifat non-hukum yang kemudian
sangat determinan dalam mempengaruhi bentuk dan isi suatu produk hukum
68
tertentu. Bagian ini menjadi wilayah kajian kedua, ketiga, dan kelima dari
disiplin politik hukum. Adapun wilayah kajian yang keempat merupakan
konsekuensi logis dari wilayah kajian politik hukum kedua dan ketiga. Pada
wilayah kajian keempat kita akan mengetahui pada tataran peraturan perundang-
undangan yang mana suatu kebijakan hukum sebuah negara dapat ditemukan.
Mengetahui hal ini akan bermanfaat bagi mahasiswa hukum untuk menentukan
penghierarkian peraturan perundang-undangan, sehingga antara peraturan
perundang-undangan yang satu dengan yang lain tidak saling bertentangan.
3. Aspek Politik Hukum Nasional
Politik hukum nasional dibentuk dalam rangka mewujudkan tujuan cita-
cita ideal negara Republik Indonesia tujuan itu meliputi dua aspek yang saling
berkaitan (1) yaitu sebagai suatu alat (tool atau sarana dan langkah yang dapat
digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hukum yang
dikehendaki, (2) dengan sistem hukum nasional akan diwujudkan cita-cita bangsa
Indonesia yang lebih besar. Sistem hukum nasional diadaptasi dari istilah bahasa
Yunani systema yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak
bagian (whole coumpounded of several parts), atau hubungan yang berlangsung
diantara satuan-satuan atau komponen-komponen secara teratur (an organized,
functioning realitionship amoung units or components).

68
Penghierarkian peraturan perundang-undangan mengingatkan pada gagasan pertingkatan
hukum Kelsen. Kelses mengatakan, hukum yang lebih rendah harus berdasar, bersumber dan tidak
boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Sifat bertentangan dari hukum yang lebih rendah
mengakibatkan batalnya daya laku hukum itu. Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai
Suatu Sistem (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), 81-82
59

Hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang


didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional negara, yaitu pancasila
dan UUD 1945 atau hukum yang dibangun diatas kreativitas atau aktivitas yang
di dasarkan atas cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri. Sehubungan dengan itu,
maka hukum nasional sebenarnya tidak lain adalah sistem hukum yang bersumber
dari nilai-nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang sekarang.
Dengan kata lain, hukum nasional merupakan sistem hukum yang timbul sebagai
buah usaha budaya rakyat indonesia yang berjangkauan nasional, yaitu sistem
hukum yang meliputi seluruh rakyat sejauh batas-batas nasional negara Indonesia.
Perlu ditekankan bahwa hukum nasional tidak bisa dilepaskan dari
konteks sejarah, sebagaimana di ketahui, setelah merdeka bangsa Indonesia belum
memiliki hukum yang bersumber dari tradisinya sendiri tetapi masih
memanfaatkan peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintah kolonial
belanda, kemudian atas dasar pertimbangan politik dan nasionalisme peraturan
perundang-undangan itu mengalami proses nasionalisasi, seperti penggantian
nama: Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan nasionalisasi
dari Wetboek van Straafrechts, Kitab Undang- undang Hukum Perdata dari
Burgelijk Wetboek, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dari Wetboek van
Koophandel,. Selain penggantian nama, beberapa pasal yang tidak lagi sesuai
dengan kebutuhan sebuah negara yang merdeka, berdaulat dan religius turut pula
diganti dan ditambahkan yang baru. 69 Pendekatan seperti di atas dalam jangka
pendek sangat bermanfaat karena dapat menghindarkan terjadinya kekosongan
hukum (reshtsvacuum).

69
Proses ini disebut Jaspan sebagai penggantian atau penambahan peraturan hukum ad hoc
satu persatu pada hukum colonial. M. A. Jaspan ‘mencari hukum baru : sinkritisme hukum di
Indonesia yang membingungkan’ dalam Mulyan W. Kusumah dan Paul S. Baut, Hukum, Politik dan
Perubahan Sosial (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1988), 250-251
60

1. Hierarki Hukum Nasional


Dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan
peraturan perundang-undang, hierarki hukum di Indonesia adalah (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD), (2) Undang-
Undang (UU), (3) Peraturan Pemerintah Pengganti UU (perpu), (4) Peraturan
Pemerintah (PP), (5) Peraturan Presiden (Perpres), dan (6) Peraturan Daerah
(Perda). 70
Peraturan perundang-undangan yang berada di urutan teratas adalah
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari yang berada di bawahnya.
Karena itu, peraturan perundang-undangan yang berada di bawah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya
(Penjelasan Pasal 7 ayat 5 UU No. 10 Tahun 2004).
Dengan adanya penentuan hierarki hukum di atas, maka sumber hukum
lain, seperti Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) tidak
berlaku lagi. Selanjutnya, TAP MPR yang sudah diterbitkan dan bersifat
mengatur ke luar harus diproses menjadi UU. Dengan demikian, pasca
amandemen UUD, kekuasaan MPR di bidang peraturan perundang-undangan
hanya mengubah dan menetapkan UUD yang berada dalam urutan teratas dalam
hierarki hukum Indonesia.
UU sendiri merupakan produk hukum yang dihasilkan oleh DPR sebagai
lembaga pembentuk undang-undang (Pasal 20 ayat [1] UUD 1945) bersama
presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di lembaga eksekutif. Pasal 20
ayat (2) sampai (5) UUD menyatakan bahwa: (2) setiap rancangan UU dibahas
oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama; (3) jika
rancangan UU tidak mendapatkan persetujuan bersama, rancangan UU itu tidak

70
UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan dikutip dari Lembaran
Negara Tahun 2004 No.53 sebagaimana dimuat dalam http://www.
parlemen.net/site/docs/UU_NO_10_2004.pdf.
61

boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu; (4) presiden mengesahkan
rancangan UU yang telah disetujui bersama; (5) jika presiden tidak mengesahkan
rancangan UU yang telah disetujui bersama dalam 30 hari semenjak
pengesahannya, rancangan UU itu sah menjadi UU dan wajib diundangkan. 71
Ketentuan di atas mengisyaratkan bahwa dalam pembentukan UU, DPR dan
presiden harus mengutamakan kebersamaan, karena kalau salah satu pihak tidak
menyetujui pasal-pasal dalam rancangan UU, maka rancangan UU tadi tidak bisa
disahkan menjadi UU. Nah, UU Perbankan Syariah ini sudah mendapatkan
persetujuan bersama dari DPR dan presiden sehingga dapat disahkan dan
diundangkan menjadi UU.
Di bawah UU ada, Perpu. Penerbitan Perpu merupakan kewenangan
presiden. Pasal 22 ayat 1-3 UUD menyatakan bahwa (1) Dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan Perpu; (2) Perpu itu
harus mendapat persetujuan DPR; (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka
Perpu itu harus dicabut. Jadi, syarat penerbitan Perpu ada dua, yaitu: (1) adanya
kegentingan yang memaksa dan (2) mendapatkan persetujuan DPR. Istilah
kegentingan yang memaksa sangat luas pengertiannya sehingga memberikan
ruang yang cukup bagi Presiden untuk menafsirkannya. Kegentingan memaksa ini
sudah diterjemahkan dalam berbagai makna, mulai dari adanya konflik dan
bencana alam atau upaya mencegah terjadinya kerugian ekonomi (mencegah
hengkangnya investasi asing) di masa mendatang. 72 Ketika DPR bersama
presiden sagat lamban dalam memberikan persetujuan bersama terhadap
rancangan UU Perbankan Syariah, muncul suara agar Presiden menerbitkan Perpu
Perbankan Syariah. Kepentingan memaksa yang menjadi alasan adalah Perbankan

71
Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dikutip
dari, MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta, Sekretariat
Jenderal MPR RI, 2008), 67.
72
Contoh dari yang menjadikan ancaman kerugian ekonomi di masa mendatang sebagai hal
ihwal kepentingan memaksa adalah perpu No. 1Tahun 2007 tentang prubahan UU No. 36 Tahun 2000
Tentang Pelabuhan Dan Perdagangan Bebas.
62

Syariah belum mempunyai kepastian hukum sehingga kesulitan mengembangkan


diri padahal masyarakat Indonesia menantikan kemajuan dan perkembangannya,
karena sangat cocok secara ideologis maupun secara ekonomis. Namun, rupanya
Presiden tidak menerbitkan Perpu tadi dan lebih memilih menyelesaikan UU
Perbankan Syariah secara normal.
Di bawah Perpu ada PP dan Perpres. Kedua produk hukum ini merupakan
kewenangan presiden. Hanya saja, PP diterbitkan presiden untuk melaksanakan
UU dan berdasarkan perintah dari UU, seperti pasal yang berbunyi: "Ketentuan
lebih lanjut mengenai hal tertentu diatur lebih lanjut dalam PP." Sementara itu,
Perpres bisa diperintahkan oleh UU sebagaimana juga bisa sebagai inisiatif
presiden untuk menyelesaikan persoalan tertentu. Yang penting, Perpres itu tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di
atasnya.
Di bawah Perpres ada Perda. Perda terbagi ke dalam tiga macam, seperti
diulas dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004, yaitu Perda provinsi yang
dibuat oleh DPRD provinsi bersama gubernur, Perda kabupaten/kota yang dibuat
DPRD kabupaten kota/ bersama gubernur bupati/walikota, serta Peraturan
Desa/peraturan atau yang setingkat yang yang dibuat oleh badan perwakilan desa
atau nama lainnya bersama kepala desa atau nama lainnya.Walaupun Perda
merupakan hasil dari lembaga legislatif dan lembaga eksekutif di daerah, Perda
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada di
atasnya. Jika dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undanganyang
ada di atasnya, maka Perda bisa dibatalkan oleh pemerintah melalui Perpres, 60
hari sejak disahkannya. Walau begitu, Pemda masih mempunyai ruang untuk
mempertahankan Perda dengan mengajukan perkara ke Mahkamah Agung untuk
meninjau kembali Perpres itu. Selanjutnya, pemberlakukan Perda itu tergantung
63

pada putusan Mahkamah Agung (Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah). 73
Dalam Pasal 2 TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang sumber hukum
dan tata urutan peraturan perundang-undangan, disebutkan bahwa tata urut
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia secara hirarkis di Indonesia
adalah: 74

UUD 1945

TAP MPR

UU

PERPU

PP

KEPRES

PERDA

Gambar 1
Hirarki Peraturan Perundang-undangan Indonesia
Pada gambar di atas tampak bahwa UUD 1945 menempati posisi tertinggi
dalam tata urutan peraturan perundang-undangan dan kemudian disusul di
bawahnya secara berurutan: TAP MPR, UU, PERPU, PP, KEPRES dan terakhir

73
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dikutip dari lembaran Negara Tahun
2004 No. 125 dan Tambahan Lembaran Negara NO. 4437.
74
Republik Indonesia, ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR tentang
sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan, Jakarta: Sekretariat Jendreal MPR RI,
2000), sebagaimana diketahui, ketetapan ini mencabut dan mengganti sumber hukum dan tata urutan
peraturan perundang-undangan sebelumnya, yaitu ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara Nomor: XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR dan sumber tertib hukum dan tata
urutan peraturan perundang-undangan (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2000).
64

PERDA, namun perlu diketahui bahwa kendati bersifat hirarkis seperti itu, bukan
berarti dalam hal perumusan dan penetapan suatu peraturan perundang-undangan
selalu bersumber atau merupakan perincian teknis dari peraturan perundang-
undangan yang berada persis di atasnya seperti PERDA berasal dari KEPRES,
PP, dari PERPU atau lainnya. Penyusunan hirarki atau tata urutan peraturan
perundang-undangan itu semata-mata dalam rangka menyingkronkan atau
menghindarkan konflik teknis pelaksanaan antara satu peraturan perundang-
undangan dengan peraturan perundangan lainnya. Dengan demikian sebuah atau
lebih peraturan perundang-undangan diharapkan akan berjalan sesuai dengan
tujuan dibuatnya peraturan perundang-undangan tersebut.
4. Karakteristik Politik Hukum Nasional
Karakteristik yang dimaksud adalah kebijakan atau arah yang akan dituju
oleh politik hukum nasional dalam masalah pembangunan hukum nasional,
sebagai bentuk dari kristalisasi kehendak-kehendak rakyat. Untuk itu kita perlu
untuk menengok kembali rumusan politik hukum nasional yakni: Menata sistem
hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan
menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-
undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk
ketidakadilan gender dan ketidak sesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui
program legislasi. 75
Berdasarkan kutipan di atas ada beberapa kesimpulan yang dapat kita
tarik: (1) sistem hukum nasional yang dibentuk hendaknya bersifat menyeluruh
dan terpadu; (2) sistem hukum nasional yang dibentuk tetap mengakui dan
menghormati eksistensi hukum agama dna hukum adat; (3) melakukan

75
GBHN. pada butir ke-2 TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara mengenai Arah Kebijakan bidang hukum.
65

pembaruan terhadap warisan hukum kolonial dan hukum nasional yang


diskriminatif dan tidak sesuai dengan tujuan reformasi. 76
Bila kita perhatikan rumusan politik hukum nasional yang berbunyi:
Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional, dengan antara lain
mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang
tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat.

D. Lembaga-Lembaga Pembentuk Hukum


Dalam Undang-Undang Dasar (UUD 1945) Negara Republik Indonesia,
perubahan ke-III (tiga) pada 9 November 2001 yang berbunyi; Indonesia adalah
negara hukum (rechtstaat), sebagai pasal yang sudah di amandemen,“Negara
Indonesia adalah negara yang berbentuk republik. Dalam kaitannya dengan pasal
tersebut negara hukum sangat menjunjung tinggi dan mengayomi lembaga-
lembaga dengan payung hukum yang jelas, baik dalam ranah legislatif, eksekutif
maupun yudikatif, berikut ini pembagian kekuasaan yang sudah dipisahkan
kewenangannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD) 77 , yakni:
1. Lembaga Legislatif
Dalam penelitian ini, bahasan pembuat undang-undang, pelaksana
undang-undang, dan kekuasaan untuk mengadili akan peneliti uraikan
sehubungan dengan tugas, fungsi dan kewenangannya dalam menjalankan serta
menyelenggarakan roda pemerintahan. Keberadaan lembaga (organ) ini masing-
masing mempunyai dasar hukum yang kuat yakni ada yang diatur langsung oleh
Undang-Undang Dasar 1945 atau dengan undang-undang yang khusus

76
TAP MPR No. IV/MPR/1999 berbeda radaksinya dengan TAP-TAP MPR sebelumnya,
seperti, TAP MPR No. IV/MPR/1978 butir (c)
77
Lembaga negara yang dibentuk/disebut/atau diberikan wewenang oleh UUD 1945, salah
satunya adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), diatur dalam Pasal 19-22B UUD 1945. Mahkamah
Konstitusi Dalam Tanya Jawab, Ahmad Roestandi (Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2006), cetakan ke1, 112.
66

meligitimasi keberadaannya. 78 Baik dalam bingkai legislatif, ekskutif, maupun


yudiktif. .
Perjalanan panjang dalam mewariskan peradaban baru dalam dunia ini
selalu dibarengi dengan proses dan peristiwa, dari proses otoriter menjadi sistem
yang demokrasi, dan peneliti menelusuri dari proses awal mula terjadinya
pemisahan kekuasaan, yakni dimulai dari demokrasi itu digulirkan. Kekuasaaan
legislatif yang dimanifestasikan sebagai wakil rakyat, ialah:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Setelah perubahan Keempat UUD 1945, keberadaan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi
negara itu memang telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, akan tetapi
keberadaannya tetap ada sehingga sistem yang kita anut tidak dapat disebut sistem
bikameral ataupun satu kamar, melainkan sistem tiga kamar (trikameralisme),
perubahan-perubanan mendasar dalam kerangka struktur parlemen Indonesia itu
memang telah terjadi mengenai hal-hal sebagai berikut.
a. Susunan Keanggotaan MPR
Susunan keanggotaan MPR berubah secara struktural karena
dihapuskannya keberadaan Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip
perwakilan fungsional (functional representation) dari unsur keanggotaan MPR.
Dengan demikian, anggota MPR hanya terdiri atas anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) yang mencerminkan prinsip perwakilan politik (political

78
Istilah lembaga negara atau organ negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau
lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa disebut Ornop atau Organisani Non Pemerintah
yang dalam Bahasa Inggris disebut Non-Goverenment Organization atau Non-Goverenmental
Organizations (NGO’s). Oleh sebab itu lembaga apasaja yang dibentuk bukan sebagai lembaga
masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara. Lembaga negara itu dapat berada dalam ranah
legislatif, ekskutif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran. Konsepsi tentang lembaga negara ini
dalam Bahasa Belanda disebut staatsorgaan. Dalam Bahasa Indonesia hal itu identik dengan lembaga
negara. Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), cetakan ke-2, 31.
67

representation) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang


mencerminkan prinsip perwakilan daerah (regional representatif).
b. Fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat
Bersamaan dengan perubahan yang bersifat struktural tersebut, fungsi
MPR juga mengalami perubahan mendasar (perubahan fungsional). 79 Majelis ini
tidak lagi berfungsi sebagai ‘supreme body’ yang memiliki kewenangan tertinggi
dan tanpa kontrol, akan tetapi kewenangannya berubah menjadi:
1) menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 dan/atau Perubahan UUD 1945;
2) melantik Presiden dan Wakil Presiden;
3) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden; dan
4) menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden pengganti sampai
terpilihnya Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya.
Dengan mengadopsi prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power)
secara tegas antara fungsi legistatif dan eksekutif dalam perubahan pasal 5 ayat
(1) juncto pasal 20 ayat (1) dalam perubahan pertama UUD 1945 yang dipertegas
lagi dengan tambahan pasal 20 ayat (5) perubahan kedua UUD 1945.
Dalam perubahan-perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan
membentuk Undang-Undang berada di tangan DPR, meskipun Presiden sebagai
kepala pemerintahan eksekutif tetap diakui haknya untuk mengajukan sesuatu
rancangan Undang-Undang. Dengan perubahan ini berarti UUD 1945 tidak lagi
menganut sistem MPR berdasarkan prinsip ‘Supremasi parlemen’ dan sistem

79
Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan keempat UUD tahun
1945, Jimly asshiddiqie, Makalah disampaikan pada: Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII. Tema Penegakan hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan,
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman
dan Hak Asasi Manusia RI Denpasar, 14-18 Juli 2003.
68

pembagian kekuasaan (distribution of power) oleh lembaga tertinggi MPR ke


lembaga-lembaga negara di bawahnya. 80
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket secara langsung
oleh rakyat dalam ketentuan pasal 6A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 yang
sekaligus dimaksud untuk memperkuat dan mempertegas anutan sistem
pemerintahan presidential dalam UUD 1945. Dengan sistem pemilihan langsung
oleh rakyat itu, maka konsep dan sistem pertanggungjawaban Presiden tidak lagi
dilakukan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi juga langsung kepada
rakyat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam hubungannya dengan
pengorganisasian kedaulatan rakyat, kedaulatan yang ada ditangan rakyat itu,
sepanjang menyangkut fungsi legislatif, dilakukan oleh MPR yang terdiri atas dua
kamar dewan, sedangkan dalam bidang eksekutif dilakukan oleh Presiden dan
Wakil Presiden sebagai satu paket kepemimpinan eksekutif yang dipilih langsung
oleh rakyat.
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dulu dikenal sebagai lembaga
tertinggi negara, dimasa depan berubah menjadi nama dari lembaga perwakilan
rakyat Indonesia yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah yang secara bersama-sama kedudukannya sederajat dengan
Presiden dan Wakil Presiden, serta dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi. Namun, seperti dikemukakan diatas, lembaga MPR pada pokoknya
menurut ketentuan UUD 1945 pasca perubahan Keempat tetap berdiri sendiri
disamping DPR dan DPD. Banyak kritik dan ketidakpuasan mengenai pengaturan
UUD 1945 mengenai hal ini, tetapi dalam kenyataannya memang demikianlah
ketentuannya dalam UUD 1945 pasca Perubahan Keempat. Menurut ketentuan
pasal 2 ayat (1), MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD.

80
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara (Jakarta:
KonPress, 2005), cet. Pertama, 95.
69

Pasal 8 ayat (2) menyatakan dalam hal terjadinya kekosongan wakil


presiden, selambat lambatnya dalam waktu 60 hari, MPR bersidang untuk
memilih wakil presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden. Sedangkan
ayat (3) nya menyatakan bahwa dalam hal terjadinya kekosongan presiden dan
wakil presiden secara bersamaan, maka selambat-lambatnya 30 hari setelah itu,
MPR bersidang untuk memilih presiden dan wapres dari dua pasangan calon
presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang
pasangan calon Presiden dan Wapresnya meraih suara (pen:‘yang’) terbanyak
pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya.
Menurut ketentuan pasal 3 ayat (3), pasal 7A dan 7B, MPR juga
berwenang untuk mengubah dan menetapkan UUD sebagaimana dimaksud oleh
pasal 3 ayat (1) dan pasal 37 UUD 1945, dengan adanya kewenangan yang
demikian itu maka dapat dipahami bahwa MPR itu adalah lembaga yang berdiri
sendiri disamping DPR dan DPD. Dengan demikian, meskipun didunia hanya
dikenal adanya struktur parlemen unicameral dan bicameral, UUD 1945
memperkenalkan sistem ketiga, yaitu parlemen trikameral atau trikameralisme.
2. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 81 menurut ketentuan UUD
1945 pasca perubahan juga banyak dikritik orang. Lembaga ini semula didesain
18 sebagai kamar kedua parlemen (bikameralisme) Indonesia di masa depan.
Akan tetapi, salah satu ciri bikameralisme yang dikenal di dunia ialah apabila
kedua-dua kamar yang dimaksud sama-sama menjalankan fungsi legislatif
sebagaimana seharusnya. Padahal, jika diperhatikan DPD sama sekali tidak
mempunyai kekuasaan apapun dibidang ini. DPD hanya memberikan masukan
pertimbangan, usul, ataupun saran, sedangkan yang berhak memutuskan adalah

81
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Jakarta:
Kon. Press, 2005), cet. Pertama, 28.
70

DPR, bukan DPD. Karena itu, keberadaan DPD di samping DPR tidak dapat
disebut sebagai bikameralisme dalam arti yang lazim.
Selama ini dipahami bahwa jika kedudukan kedua kamar itu di bidang
legislatif sama kuat, maka sifat bikameralismenya disebut ‘strong becameralism’,
tetapi jika kedua tidak sama kuat, maka disebut ‘soft becameralism’. Akan tetapi,
dalam pengaturan UUD 1945 pasca perubahan Keempat, bukan saja bahwa
struktur yang dianut tidak dapat disebut sebagai ‘strong becameralism’ yang
kedudukan keduanya tidak sama kuatnya, tetapi bahkan juga tidak dapat disebut
sebagai ‘soft becameralism’ sekalipun. DPD, menurut ketentuan pasal 22 D (a)
dapat mengajukan rancangan UU tertentu kepada DPR (ayat 1), (b) ikut
membahas rancangan UU tertentu (ayat 2), (c) memberikan pertimbangan kepada
DPR atas rancangan UU APBN dan rancangan UU tertentu (ayat 2), (d) dapat
melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu (ayat 3).
Dengan kata lain, DPD hanya memberikan masukan, sedangkan yang
memutuskan adalah DPR, sehingga DPD ini lebih tepat disebut sebagai Dewan
Pertimbangan DPR, karena kedudukannya hanya memberikan pertimbangan
kepada DPR. Ironisnya, mekanisnme pengisian jabatan keanggotaan DPD ini
lebih berat bila dibandingkan dengan mekanisme pengisian keanggotaan DPR.
Disamping itu, peserta pemilu menjadi anggota DPD adalah perorangan,
sedangkan peserta pemilu untuk DPR adalah partai politik. Artinya, dapat terjadi
tokoh perorangan yang akan tampil sebagai calon anggota DPD menghadapi
kesulitan luar biasa dalam menggalang dukungan bagi dirinya, sedangkan calon
anggota DPR cukup memanfaatkan struktur partai politiknya sebagai mesin
penghimpun dukungan suara dalam pemilihan umum.
Dengan perkataan lain, sudah sulit-sulit untuk mejadi anggota perwakilan
ditingkat pusat, setelah berhasil, kewenangannya sangat terbatas. Karena itu,
banyak orang yang pesimis dengan pola pengaturan DPD yang demikian. Tentu
ada juga argumen sebaliknya yang cenderung lebih optimis. Justru karena
71

kewenangannya yang terbatas itu menyebabkan DPD dapat terhindar dari sasaran
kritik dari masyarakat madani (civil society), asalkan para anggota DPD dapat
terbuka. Karena pusat kewenangan untuk memutuskan atas nama rakyat dan
untuk kepentingan dan aspirasi rakyat ada di DPR, maka DPR-lah yang akan
menjadi pusat hujatan dan kemarahan apabila aspirasi rakyat tidak sungguh-
sungguh disalurkan.
Dengan demikian, para anggota DPD dapat bermain ditengah gelombang
aspirasi rakyat secara lebih terbuka dan memihak kepada rakyat didaerah-daerah.
Karena itu, bagi para politisi muda, DPD dapat menjadi wadah baru untuk
aktualisasi diri dan forum pelatihan kepemimpinan politik yang efektif untuk
masa depan. Oleh karena itu, ditengah kritik dan kekecewaan atas pengaturan
yang sangat mengecil arti lembaga perwakilan daerah ini, masih tersisa optimisme
yang cukup menjanjikan untuk penataan sistem politik nasional ke depan.
3. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Dasar hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Bab VII Pasal 19 sampai
dengan 22B. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan
Kedudukan. Pasal 20 UUD 1945 ayat 1 dan 2 yang membahas tentang
kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membentuk undang-undang
dengan persetujuan bersama Pemerintah. 82 Adapun beberapa fungsinya juga
diatur oleh pasal 20 A ayat 1 yang antara lain;
a. Fungsi Pengaturan (legislasi)
Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang pertama-tama mencerminkan
kedaulatan rakyat. Kegiatan bernegara, pertama-tama adalah untuk mengatur

82
Lembaga negara yang dibentuk/disebut atau diberikan wewenang oleh UUD
1945, antara lain; Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), diatur dalam Pasal 19-22B UUD
1945. Ahmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), cet. 1, 112.
72

kehidupan bersama. Oleh sebab itu, kewenangan untuk menetapkan peraturan itu
pertama-tama harus diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen
atau lembaga legislatif. 83
Ada tiga hal penting yang harus diatur oleh para wakil rakyat melalui
parlemen, yaitu:
1) pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan warga negara;
2) pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga negara; dan
3) pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara
negara. 84
Pengaturan mengenai ketiga hal tersebut hanya dapat dilakukan atas
persetujuan dari warga negara sendiri, yaitu melalui perantaraan wakil-wakil
mereka di parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat. Oleh karena itu, yang
biasa disebut sebagai fungsi pertama lembaga perwakilan rakyat adalah fungsi
legislasi atau pengaturan.
Fungsi pengaturan (regelende functie) ini berkenaan dengan kewenangan
untuk menentukan peraturan yang menghikat warga negara dengan norma-norma
hukum yang mengikat dan membatasi. Sehingga, kewenangan ini utamanya
hanya dapat dilakukan sepanjang rakyat sendiri menyetujui untuk diikat dengan
norma hukum yang dimaksud. Sebab, cabang kekuasaan yang dianggap berhak
mengatur pada dasarnya adalah lembaga perwakilan rakyat, maka peraturan yang

83
Selain itu, fungsi legislatif juga menyangkut empat bentuk kegiatan sebagai
berikut :Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation); Pembahasan
rancangan undang-undang (law making process); Persetujuan atas pengesahan
rancangan undang-undang (law enactment approval); Pemberian persetujuan
pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan
dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (Binding decision making on
international agreement and treaties or other legal binding documents).
84
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan
MKRI, 2006), jilid II, cet, ke-1, 33.
73

paling tinggi dibawah undang-undang dasar haruslah dibuat dan ditetapkan oleh
parlemen dengan persetujuan bersama dengan eksekutif.
Selanjutnya, kewenangan pengaturan lebih operasional itu dianggap
berasal dari delegasi kewenangan legislatif dari lembaga perwakilan rakyat
(khususnya DPR) yang didalamnya ada alat kelengkapan dalam menjalankan
fungsi dan kewenangannya, adapun alat kewenangannya terdiri dari; Pimpinan
DPR (Leadership of DPR), Badan Musyawarah (Steering Committee), Komisi
(Commissions), 85 Badan Legislasi (Legislation Council), Panitia Anggaran
(Budget Committee), Badan Urusan Rumah Tangga (Household Committee),
Badan Kerja Sama AntarParlemen (Committee for Inter-parliamentary
Cooperation), Badan Kehormatan (Conduct Council), dan Panitia Khusus, Badan
Akuntabilitas Keuangan Negara, (Accountability Committee of State Treasury
News). 86
Pengecualian terhadap doktrin pendelegasian kewenangan pengaturan
yang demikian itu hanya dapat diterima berdasarkan prinsip frijsermessen yang
dikenal dalam hukum administrasi negara, dimana pemerintah dengan sendirinya
dianggap memiliki keleluasaan untuk bertindak atau bergerak dalam rangka
penyelengaraan administrasi pemerintahan untuk kepentingan umum. Dalam hal
yang terakhir ini, tanpa delegasipun pemerintah dianggap berwenang menetapkan
peraturan dibawah undang-undang secara mandiri atau otonomi, meskipun tidak
diperintah oleh undang-undang. 87

85
Komisi adalah unit kerja utama di dalam DPR. Hampir seluruh aktivitas yang berkaitan
dengan fungsi-fungsi DPR-RI, substansinya dikerjakan di dalam Komisi. Setiap anggota DPR (kecuali
pimpinan) harus menjadi anggota salah satu komisi. Pada umumnya, pengisian keanggotan Komisi
terkait erat dengan latar belakang keilmuan atau penguasaan anggota terhadap masalah dan substansi
pokok yang digeluti oleh Komisi. http://id.wikipedia.org/wiki/DPR#Badan_Kehormatan Tugas dan
Wewenang. Diakses pada, Sabtu, 1 Mei 2010.
86
http//www.dprri.go.id. Diakses pada 10 April 2010.
87
Penggunaan huruf besar “Undang-Undang” dipahami dalam arti nama atau sebutan undang-
undang yang sudah tertentu (definite), misalnya undang-undang nomor dan nama tertentu, jika
penggunaan huruf kecil “undang-undang” maka yang dimaksudkan adalah kata undang-undang dalam
arti umum atau belum tertentu atau belum terkait dengan nomor dan judul tertentu. Dengan kata lain
74

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, fungsi


legislasi ini biasanya memang dianggap yang paling penting. Sejak dulu, lembaga
parlemen atau lembaga perwakilan biasa dibedakan dalam tiga fungsi, yaitu: (a)
fungsi legislasi, (b) fungsi pengawasan, dan (c) fungsi anggaran. Pembedaan ini
misalnya, dapat dilihat dalam undang-undang tentang susunan dan kedudukan
anggota MPR, DPR, dan DPRD. 88
Dalam praktiknya di Indonesia, fungsi legilasilah yang dianggap utama,
sedangkan fungsi pengawasan dan penganggaran adalah fungsi yang kedua dan
ketiga sesuai dengan urutan penyebutannya dalam undang-undang. Padahal,
ketiga-tiganya sama-sama penting. Bahkan dewasa ini, di seluruh penjuru dunia,
yang lebih diutamakan justru adalah fungsi pengawasan daripada fungsi legislasi.
Hal ini terjadi karena sistem hukum diberbagai negara maju sudah dianggap
cukup untuk menjadi pedoman penyelenggaraan negara yang demokratis dan
sejahtera, sehingga tidak banyak lagi produk hukum baru yang diperlukan. 89
Di samping itu, perlu ditelaah secara kritis pula mengenai fungsi
penganggaran (Budgeting), apakah tepat disebut sebagai fungsi tersendiri.
Masalahnya, anggaran pendapatan dan belanja negara itu dituangkan dalam baju
hukum undang-undang, sehingga penyusunan anggaran dan belanja negara itu
identik dengan pembentukan undang-undang tentang APBN, meskipun
rancangannya selalu harus datang dari Presiden.
Sementara itu, pelaksanaan APBN itu sendiri harus pula diawasi oleh
DPR, dan pengawasan itu sendiri termasuk kategori fungsi pengawasan oleh
parlemen. Oleh karena itu, sebenarnya, lebih tepat untuk mengelompkkan fungsi-

“undang-undang” adalah genus, sedangkan “Undang-Undang” adalah perkataan yang terkait dengan
undang-undang yang tertentu dan dikaitkan dengan nama tertentu. Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-
Undang, Pdf, 31, diakses pada Ahad, 7 Februari 2010.
88
Indonesia, Undang-undang tentang Susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan.
89
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan peran pemerintah dan parlemen dalam sejarah (Jakarta: UI
press, 1966).
75

fungsi parlemen itu menjadi tiga, yaitu: (i) pengawasan, (ii) legislasi, dan (iii)
representasi.
b. Fungsi Pengawasan (Control)
Parlemen pertama-tama haruslah terlibat dalam mengawasi proses
perumusan dan penentuan kebijakan pemerintahan, jangan sampai bertentangan
dengan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama oleh parlemen
bersama dengan pemerintah.
Pada intinya, Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang serta Peraturan
Perundang-undangan pelaksanaan lainnya mencerminkan norma-norma hukum
yang berisi kebijakan atau state policy yang dituangkan dalam bentuk hukum
tertentu yang tidak boleh bertentangan dengan state policy yang tertuang dalam
bentuk hukum yang lebuh tinggi. Setiap kebijakan yang dimaksud, baik
menyangkut bentuk penuangannya, isinya, maupun pelaksanaannya haruslah
dikontrol dengan seksama oleh lembaga perwakilan rakyat.
Pengawasan oleh parlemen juga berkaitan dengan pengangkatan dan
pemberhentian pejabat-pejabat publik tertentu yang memerlukan sentuhan
pertimbangan yang bersifat politik. Semua pejabat yang dipilih secara tidak
langsung oleh rakyat, maka pemilihannya dilakukan oleh lembaga perwakilan
rakyat. Demikian pula pejabat publik lainnya yang perlu diangkat dengan
pertimbangan politik tertentu, maka pengangkatannya ditentukan harus dengan
pertimbangan atau bahkan dengan persetujuan lembaga perwakilan rakyat.
Misalnya, pengangkatan para Hakim Agung di pilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat untuk selanjutnya ditetapkan menjadi Hakim Agung dengan
keputusan Presiden. 90 Tiga orang Hakim Konstitusi, dipilih oleh DPR untuk
selanjutnya ditetapkan dengan keputusan Presiden. Duta besar, diangkat oleh

90
Pasal 24A UUD 1945, Pasal 8 UU No 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU Nomor 4
Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang
Komisi Yudisial.Calon Hakim Agung yang akan dipilih oleh DPR adalah Calon Hakim Agung yang
diusulkan dari Komisi Yudisial.
76

Presiden dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Pimpinan atau Dewan


Gubernur Bank Sentral dipilih oleh DPR 91 untuk selanjutnya ditetapkan dengan
keputusan Presiden. Panglima TNI dan Kepala POLRI diangkat oleh Presiden
dengan persetujuan DPR, dan lain sebagainya.
Keterlibatan lembaga perwakilan rakyat dengan adanya hak untuk
memberikan atau tidak memberikan persetujuan ataupun pertimbangan ini disebut
juga sebagai hak untuk konfirmasi (right to confirm) lembaga legislatif. Hak
untuk konfirmasi (right to confirm) ini khusus diberikan dalam rangka
pengangkatan pejabat publik melalui pengangkatan politis (political
appointment). Dengan adanya hal ini, anggota perwakilan rakyat dalam parlemen
turut aktif membangun negara dan tetap mengawasi pemerintah, 92 sebagaimana
fungsinya yakni mengendalikan atau mengawasi kinerja para pejabat publik
dimaksud dalam menjalankan tugas dan kewenagannya masing-masing agar
sesuai dengan ketentuan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Sehingga, fungsi kontrol inilah yang sebenarnya lebih utama daripada
fungsi legislasi. Fungsi kontrol inilah tidak saja berkenaan denagn kinerja
pemerintah dalam melaksankan ketentuan undang-undang ataupun kebijakan
yang telah ditentukan, melainkan juga berkaitan dengan penentuan anggaran dan
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara yang telah ditetapkan. Oleh
sebab itu, dalam fungsi pengawasan sudah terkandung pula pengertian fungsi

91
Republik Indonesia, UUD 1945 Pasal 13, perubahan pertama.
92
Dalam praktek, sebenarnya fungsi kontrol atau pengawasan inilah yang harus diutamakan.
Apalagi pada hakikatnya, asal mula munculnya konsep parlemen sebagai lembaga perwakilan itu
sendiri dalam sejarah berkaitan erat dengan kata le Parle yang berarti to speak yang berarti
“berbicara”. Artinya, wakil rakyat itu adalah juru bicara rakyat, yaitu menyuarakan aspirasi,
kepentingan, dan pendapat rakyat. Parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat tak ubahnya
merupakan wadah, dimana kepentingan dan aspirasi rakyat itu diperdengarkan dan diperjuangkan
untuk materi kebijakan dan agar kebijakan itu dilaksanakan dengan tepat untuk kepentingan seluruh
rakyat yang aspirasinya diwakili.Tugas utama Parlemen adalah memilih dan mengawasi pemerintahan
serta mengadakan undang-undang negara, A.Heuken SJ dkk, Ensiklopedi Politik Pembangunan
Pancasila (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1984), jilid IV, cet, ke-5, 15.
77

anggaran (budgeting) yang di Indonesia di sebut sebagai fungsi tersendiri.


Sesungguhnya, fungsi anggaran itu sendiri merupakan salah satu manifestasi
fungsi pengawasan, yaitu pengawasan fiskal. Dengan demikian yang terpenting.
Dengan demikian, yang penting disebut tersendiri sebagai fungsi parlemen itu
sebenarnya adalah fungsi legislasi, fungsi pengawasan (control), dan fungsi
representasi (representation).
c. Fungsi Perwakilan (Representasi)
Fungsi parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat yang paling pokok
sebenarnya adalah fungsi representasi atau perwakilan itu sendiri. Lembaga
perwakilan tanpa representasi tentulah tidak bermakna sama sekali. Dalam
hubungan itu, penting dibedakan antara pengertian representation in presence dan
representation in ideas. Pengertian pertama bersifat formal, yaitu keterwakilan
yang dipandang dari segi kehadiran fisik. Sedangkan, pengertian keterwakilan
yang kedua bersifat substantif, yaitu keterwakilan atas dasar aspirasi atau idea. 93
Dalam pengertian yang formal, keterwakilan itu sudah dianggap ada
apabila secara fisik dan resmi, wakil rakyat yang terpilih sudah duduk di lembaga
perwakilah rakyat. Akan tetapi secara substansial, keterwakilan rakyat itu sendiri
baru dapat dikatakan tersalur apabila kepentingan nilai, aspirasi, dan pendapat
rakyat yang diwakili benar-benar telah diperjuangkan dan berhasil menjadi bagian
dari kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat yang
bersangkutan, atau setidak-tidaknya aspirasi mereka itu sudah benar-benar
diperjuangkan sehingga mempengaruhi perumusan kebijakan yang ditetapkan
oleh parlemen.

93
Pada 10 Agustus 2002 Majelis Permusyawaratan Rakyat RI telah menetapkan perubahan
keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, khususnya mengenai Pasal 2
yang berbunyi: Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut
dengan undang-undang. Ismail Sunny, Kumpulan seminar “Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya
terhadap Arah Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional” (Jakarta: Departemen Hukum dan Ham RI
BPHN, 2006).
78

Untuk menjamin keterwakilan substantif itu, prinsip perwakilan dianggap


tidak cukup hanya apabila sesuatu pendapat rakyat sudah disampaikan secara
resmi ke lembaga perwakilan rakyat. Untuk menjamin hal itu, masih diperlukan
kemerdekaan pers, kebebasan untuk berdemo atau berunjuk rasa, dan bahkan hak
mogok bagi buruh, dan sebagainya, sehingga keterwakilan formal di parlemen itu
dapat dilengkapi secara substantif. Dengan demikian, perwakilan formal memang
dapat dianggap penting, tetapi tetap tidak mencukupi (it’s necessary, but not
sufficient) untuk menjamin keterwakilan rakyat secara sejati dalam sistem
demokrasi perwakilan yang dikembangkan dalam praktik.
Dalam rangka pelembagaan fungsi legislasi representasi itu, dikenal pula
adanya tiga sistem perwakilan yang dipraktikkan di berbagai negara demokrasi.
Ketiga fungsi itu adalah :
1) Sistem perwakilan politik (political representation);
2) Sistem perwakilan teritorial (territorial and regional representation);
3) Sistem perwakilan fungsional (functional reprecentation).
Sistem perwakilan politik menghasilkan wakil-wakil politik (political
representatives), sistem perwakilan teritorial menghasilkan wakil-wakil daerah
(regional representative and territorial representatives). Sedangkan, sistem
perwakilan fungsional menghasilkan wakil-wakil golongan fungsional (functional
representatives). Misalnya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang
berasal dari partai politik merupakan contoh dari perwakilan politik, sedangkan
angggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang berasal dari tiap-tiap daerah
provinsi adalah contoh dari perwakilan teritorial atau regional representation.
Sedangkan anggota utusan golongan dalam sistem keanggotaan MPR di masa
Orde Baru (sebelum perubahan UUD 1945) adalah contoh dari sistem perwakilan
fungsional (functional representatives).
Dianutnya ketiga sistem perwakilan politik (political representation),
perwakilan teritorial (territorial representation), dan perwakilan fungsional
79

(functional representation) menentukan bentuk dan struktur pelembagaan sistem


perwakilan itu di setiap negara. Pilihan sistem perwakilan itu selalu tercermin
dalam struktur kelembagaan parlemen yang dianut suatu negara.
Pada umumnya di suatu negara, dianut salah satu atau paling banyak dua
dari ketiga sistem itu secara bersamaan. Dalam hal negara yang bersangkutan
menganut salah satu dari ketiganya, maka pelembagaannya tercermin dalam
struktur parlemen satu kamar. Artinya, struktur lembaga perwakilan rakyat yang
dipraktekkan oleh negara itu mestilah parlemen satu kamar (unicameral
parliament).
Jika sistem yang dianut itu mencakup dua fungsi, maka kedua fungsi itu
selalu dilembagakan dalam struktur parlemen dua kamar (bicameral parliament).
Sebagai pelaksana fungsi perwakilan, Parlemen Indonesia di dalamnya terdapat
tiga unsur anggota, yaitu (i) anggota DPR sebagai perwakilan politik (political
representatives), (ii) utusan daerah dari daerah provinsi (regional
representatives), dan (iii) Utusan golongan yang berasal dari golongan fungsional
(functional representatives).
2. Lembaga Eksekutif
1. Sistem Pemerintahan
Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang memegang kewenangan
administrasi pemerintahan negara yang tertinggi. Dalam hubungan ini, di dunia
dikenal adanya 3 (tiga) sistem pemerintahan negara, yaitu (i) sistem pemerintahan
presidential, (ii) sistem parlementer atau sistem kabinet, dan (iii) sistem
pemerintahan campuran. Sistem pemerintahan itu dikatakan bersifat parlementer
apabila (a) sistem kepemimpinannya terbagi dalam jabatan kepala negara dan
kepala pemeritahan sebagai dua jabatan yang terpisah, dan (b) jika sistem
pemerintahannya ditentukan harus bertanggung jawab kepada parlemen, sehingga
dengan demikian (c) kabinet dapat dibubarkan apabila tidak mendapat dukungan
80

parlemen, dan sebaliknya (d) parlemen juga dapat dibubarkan oleh pemerintah,
apabila dianggap tidak dapat memberikan dukungan kepada pemerintah.
Sistem pemerintahan itu dikatakan bersifat presidential apabila (a)
kedudukan kepala negara tidak terpisah dari jabatan kepala pemerintahan, (b)
kepala negara tidak bertanggung jawab kepada parlemen, melainkan langsung
bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya, (c) Presiden sebaliknya juga
tidak berwenang membubarkan parlemen, (d) kabinet sepenuhnya bertanggung
jawab kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara atau
sebagai administrator tertinggi. Dalam sistem presidential, tidak dibedakan
apakah presiden adalah kepala negara atau kepala pemerintahan tetapi yang ada
hanya presiden dan wakil presiden saja dengan segala hak dan kewajibannya atau
tugas dan kewenangannya masing-masing.
Sementara itu, dalam sistem campuran, terdapat ciri-ciri presidentil dan
ciri-ciri parlementer secara bersamaan dalam sistem pemerintahan yang
diterapkan. Sistem campuran ini biasanya oleh para ahli disebut sesuai dengan
kebiasaan yang diterapkan oleh masing-masing negara. Misalnya, sistem yang
diterapkan di Perancis biasa dikenal oleh para sarjana dengan sebutan hybrid
sistem. Kedudukan sebagai kepala negara dipegang oleh presiden yang dipilih
langsung oleh rakyat, tetapi juga ada kepala pemerintahan yang dipimpin oleh
seorang perdana menteri yang didukung oleh parlemen, seperti dalam sistem
parlementer yang biasa, oleh karena itu, sistem Prancis ini, dapat pula kita sebut
sebagai sistem quasi-parlementer.
2. Kementerian Negara
Dalam sistem pemerintahan kabinet atau parlementer, menteri tunduk atau
bertanggung jawab kepada parlemen. Sedangkan dalam sistem presidential, para
81

menteri tunduk dan bertanggung jawab kepada Presiden. 94 Dalam sistem


parlementer jelas sekali bahwa, kedudukan menteri adalah bersifat sentral.
Perdana menteri sebagai menteri utama, menteri koordinator, atau menteri yang
memimpin para menteri lainnya dalam kabinet adalah kepala pemerintahan, yaitu
yang memimpin pelaksanaan tugas–tugas pemerintahan secara operasional
seharai-hari.
Kinerja pemerintahan sepenuhnya berada di tangan para menteri yang
dipimpin oleh seorang perdana menteri itu. Dikarenakan sangat kuatnya,
kedudukan para menteri, parlemen pun dapat dibubarakan oleh mereka.
Sebaliknya, kabinet juga dapat dibubarkan oleh parlemen apabila mendapat mosi
tidak percaya dari parlemen. Demikianlah perimbangan kekuatan diantara kabinet
dan parlemen dalpam sistem sistem pemerintahan parlementer.
Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, maka dalam sistem
presidential kedudukan menteri sepenuhnya tergantung kepada presiden, para
menteri diangkat dan diberhentikan secara bertanggung jawab kepada presiden.
Meskipun demikian, dalam pelaksanaan tugasnya tentu saja para menteri itu
membutuhkan parlemen agar tidak setiap kebijakannya “dijegal” atau “diboikot”
oleh parlemen. Namun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa para
menteri dalam sistem pemerintahan presidential itu mempersyaratkan kualifikasi
yang lebih teknis, professional dari pada politis seperti dalam sistem parlementer.
Dalam sistem presidential, yang bertanggung jawab adalah presiden,
bukan menteri, sehingga sudah seharusnya nuansa pekerjaan para menteri dalam
sistem presidential itu bersifat lebih professional daripada politis. Oleh sebab itu,
untuk diangkat menjadi menteri, seharusnya seseorang, benar-benar memiliki
kualifikasi teknis dan professional untuk memimpin pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan berdasarkan prinsip meritokrasi.

94
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan
MKRI, 2006), jilid III, cet, ke-5, 157. Dalam bahasa Sansekerta seorang mantriN adalah a man who
knows the sacred text and formulas, a wise man, a minister or counselor of a king.
82

Sistem pemerintahan presidential lebih menuntut kabinetnya sebagai


zaken kabinet dari pada cabinet dalam sistem parlementer yang lebih menonjol
sifat politisnya. Oleh karena itu, dalam menetapkan seseorang diangkat menjadi
menteri, sudah seharusnya presiden dan wakil presiden lebih mengutamakan
persyaratan teknis kepemimpinan dari pada persyaratan dukungan politis.
Hal itu dipertegas lagi oleh kenyataan bahwa dalam sistem pemerintahan
presidentil, menteri itu sendiri adalah pemimpin yang tertinggi dalam kegiatan
pemerintahan di bidangnya masing-masing. Oleh karena dalam jabatan presiden
dan wakil presiden tergabung fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan
sekaligus, maka tentunya presiden dan wakil presiden tidak mungkin terlibat
terlalu mendetil dalam urusan-urusan operasional pemerintahan sehari-hari.
Bahkan untuk kepentingan koordinasi, terbukti pula diperlukan adanya
jabatan menteri senior, seperti para menteri koordinator. Artinya, untuk
melakukan fungsi koordinasi teknis saja, presiden dan wakil presiden sudah tidak
dapat lagi terlalu diharapkan efektif. Oleh karena itu, jabatan menteri untuk
masing-masing bidang pemerintahan tersebut memang seharusnya dipercayakan
penuh kepada para menteri yang kompeten di bidangnya masing-masing. Itulah
sebabnya, dalam penjelasan UUD 1945 yang diberlakukan sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari UUD 1945 berdasarkan dekrit presiden 5 Juli 1959,
dinyatakan bahwa menteri itu bukanlah pejabat tinggi negara yang biasa.
Menteri itu adalah pemimpin pemerintahan yang sesungguhnya dalam
bidangnya masing-masing. Oleh karena jabatan presiden jabatan presiden dan
wakil presiden adalah jabatan simbolik, maka fungsi kepemimpinan dalam arti
teknis memang seharusnya berada di pundak para menteri.
Oleh sebab itu, di katakana bahwa para menterilah yang sesungguhnya
merupakan pemimpin pemerintahan yang riil dan operasional dalam pengertian
sehari-hari. Bahkan, dapat diidealkan bahwa perbedaan kualitas antar sifat-sifat
kepemimpinan presiden dan para menteri dalam proses pemerintahan adalah
83

bahwa presiden dan wakil presiden adalah pemimpin pemerintahan dalam arti
politik. Sedangkan, para menteri merupakan pemimpin pemerintahan dalam arti
teknis.
Siapa yang akan diangkat menjadi menteri, tentu merupakan sepenuhnya
merupakan kewenangan Presiden untuk menentukannya. Pasal 17 ayat (1), (2),
dan (3) UUD 1945 menyatakan,
“Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”, “Menteri-menteri itu
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”, “Setiap menteri membidangi
urusan tertentu dalam pemerintahan”. Akan tetapi, pasal 17 ayat (4)
menentukan pula bahwa “pembentukan, pengubahan dan pembubaran
kementrian negara diatur dalam undang-undang”.
Maksudnya ialah meskipun mengenai orangnya merupakan kewenangan
mutlak presiden, tetapi mengenai struktur organisasinya harus diatur dalam
undang-undang.dengan deikian, organisasi kementrian negara itu tidak dapat
seenaknya diadakan, diubah, atau dibubarkan hanya oleh pertimbangan keinginan
atau kehendak pribadi seorang presiden belaka. Semua hal yang berkenaan
dengan organisasi kementrian negara itu haruslah diatur dalam undang-undang.
Artinya perubahan, pembentukan, atau pembubaran organisasi kementrian negara
harus diatur bersama oleh presiden bersama-sama para wakil rakyat yang duduk
di lembaga Dewan perwakilan rakyat. Itulah esensi dari ketentuan bahwa hal
tersebut harus diatur dalam undang-undang.
3. Lembaga Yudikatif
Reformasi mengantarkan bangsa ini mengenal peradaban yang modern,
yakni menjamin hak-hak rakyat seutuhnya, hal ini terbukti dengan berdirinya
lembaga-lembaga seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi,
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Yudisial dan lain-lain yang
merupakan bagian dari lembaga yudikatif. Lembaga-lembaga tersebut diatas
secara tidak langsung juga diawasi oleh rakyat, disamping ada pengawasan yang
84

khusus berasal dari fungsi kekuasaan legislatif atau yang kita kenal dengan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lembaga ini mempunyai alat kelengkapan
yang bernama komisi, komisi-komisi yang merupakan bentukan dari partai
politik ini memantau berbagai lembaga negara yang berada dalam ranah fungsi
kekuasaan ekskutif dan yudikatif. Komisi-komisi tersebut merupakan
pengejawantahan dari partai politik yang mempunyai peranan penting di dalam
pembentukan undang-undang.
Prinsip yang harus dipegang oleh badan yudikatif dalam setiap negara
hukum adalah, badan ini haruslah terbebas dari intervensi oleh eksekutif dan
badan-badan yang lain, ini dimaksudkan agar badan ini dapat berfungsi
sebagaimana mestinya demi penegakan hukum dan keadilan serta menjunjung
tinggi nilai-nilai humanisme. Asas kebebasan badan ini diharapkan dapat
melahirkan hakim yang memutuskan perkara tidak berat sebelah, adil, tidak
memihak dan tetap berpedoman pada norma-norma hukum serta murni dari hati
nurani hakim.
Secara umum dapat dikemukakan ada 2 (dua) prinsip yang biasa
dipandang sangat pokok dalalam sistem peradilan, yaitu (i) the principle of
judicial independence, dan (ii) the principle of judicial impartiality. Kedua
prinsip ini diakui sebagai prasyarat pokok sistem di semua negara yang disebut
hukum modern atau “modern constitutional state.
Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap
para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. Di
samping itu, independensi juga tercermin dalam berbagai pengaturan mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan, masa kerja, pengembangan karir,
sistem penggajian dan pemberhentian para hakim.
Sementara itu, prinsip kedua yang sangat penting adalah prinsip
ketidakberpihakan (the principle of imperiality). Bahkan oleh O. Hood Philips
dan kawan-kawan dikatakan, “the impartiality of the judiciary is recognized as an
85

important, if not the most important element, in the administration of justice.” 95


Dalam praktek, ketidakberpihakan atau imperiality itu sendiri mengandung makna
dibutuhkannya hakim yang tidak saja bekerja secara imparsial (to be impartial),
tetapi juga terlihat bekerja secara imparsial (to appear to be impartial). 96
Namun, di samping kedua prinsip tersebut, dari perspektif hakim itu
sendiri berkembang pula pemikiran mengenai prinsip-prinsip lain yang juga
dianggap penting. Misalnya, dalam forum Internasional Judicial Conferency di
Bangalore, India, 2001, yang kemudian disebut the Bangalore draft. Selanjutnya,
setelah akhirnya diterima luas oleh berbagai kalangan hakim di dunia sebagai
pedoman bersama dengan sebutan resmi the Bangalore Principles of Judicial
conduct.
Dalam The Bangalore Principles itu, tercantum adanya enam prinsip
penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia, yaitu prinsip-
prinsip independency, imperiality, integrity, propriety, equality, competency and
diligency. 97
1. Mandiri (Independency)
Independensi hakim merupakan jaminan bagi terwujudnya hukum dan
keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum. Independensi
melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan
pengambilan keputusan atas setiap perkara dan terkait erat dengan independensi
pengadilan sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat dan terpercaya.
Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan

95
O. Hold Philips dkk., Constitutional and Administrative Law (London: Sweet &
Maxwell, 2001), 437.
96
Ofer Raban. Modern Legal Theory and Judicial Impartiality (T.tt. Glass House Press,
2003), 1.
97
Tentang prinsip-prinsip independensi peradilan dan hakim, selain terdapat dalam The
Bangalore Principles, juga bisa dilihat dalam prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Independensi Lembaga Peradilan. Untuk lengkapnya lihat dalam. “Penguatan Integritas dan Kapasitas
Sektor Peradilan di Indonesia” Kumpulan Dokumen Lokakarya Pertama Tingkat Propinsi untuk Sistem
Peradilan di Sulawesi Tenggara (Jakarta: Mahkamah Agung RI dan BPHN Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia RI, 2004), 117-129.
86

kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari berbagai


pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat
mempengaruhi dengan halus, dengan tekanan, paksaan, kekerasan atau balasan
karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan
politik yang berkuasa, kelompok atau golongan, dengan imbalan atau janji
imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntunngan ekonomi, atau bentuk lainnya.
2. Ketidakberpihakan (Impartiality)
Ketidakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi
hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap
perkara yang diajukan kepadanya. Ketidakberpihakan mencakup sikap netral,
menjaga jarak yang sama dengan semua pihak manapun, disertai penghayatan
mandalam mengenai keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan
perkara.
3. Integritas (Integrity)
Intregritas Hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan
dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat
negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup
sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalitasnya, disertai
ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan jabatan,
kekayaan, popularitas ataupun godaan–godaan lainnya. Sedangkan keseimbangan
kepribadian mencakup keseimbangan rohani dan jasmani atau mental dan fisik,
serta keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional dan
kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya.
4. Kepatutan dan Sopan Santun (Propriety)
Kepantasan dan Kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan
kesusilaan antar pribadi yang tercermin dalam menjalankan tugas profesionalnya,
yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan dan kepercayaan. Kepantasan
tercermin dalam penampilan dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan
87

kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, tata
busana, tata suara atau kegiatan tertentu; sedangkan kesopanan terwujud dalam
perilaku hormat dan tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan antarpribadi,
baik dalam tutur kata lisan, tulisan atau bahasa tubuh; dalam bertindak, bekerja
dan bertingkah laku; dalam bergaul dengan sesama hakim, dengan karyawan atau
pegawai pengdilan, dengan tamu, dengan pihak-pihak dalam persidangan atau
pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara.
5. Kesetaraan (Equality)
Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama
terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Tanpa
membedakan satu dengan yang lain atas dasar agama, suku, ras, warna kulit, jenis
kelamin, status perkawinan kondisi fisik, status sosial ekonomi, umur, pandangan
politik, atau alasan-alasan lain yang serupa. Prinsip kesetaraan ini secara
essesnsial melekat dalam sikap setiap hakim untuk senantiasa memperlakukan
semua pihak dalam persidangan secara sama sesuai dengan kedudukanya masing-
masing dalam proses peradilan.
6. Kecakapan dan Keseksamaan (Competence and diligency)
Kecakapan dan keseksamaan hakim merupakan prasyarat penting dalam
pelaksanaan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercermin dalam kemampuan
professional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan dan/atau
pengalaman dalam pelaksanaan tugas; sedangkan keseksamaan merupakan sikap
pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian dan
kesungguhan dalam melaksanakan tugas professional hakim.
Demikian enam prinsip yang berkaitan dengan dengan etika hakim dalam
memerankan dirinya sebagai penegak hukum. Kekuasaan kehakiman dalam hal
ini adalah lembaga yudikatif mempunyai beberapa bagian besar dalam republik
ini, dan tugas kewenangannya juga berbeda-beda sebagaimana gambaran yang
ada dibawah ini, yakni;
88

a. Mahkamah Agung
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung berserta
badan-badan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkmah Konstitusi.
Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan
peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer
dan Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan di samping Mahkmah Agung,
terdapat Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan konstitusi tersendiri
dengan kedudukan yang berada di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung.
Hampir semua negara demokrasi yang menganut sistem seperti yang diterapkan
di Amerika Serikat, fungsi peradilan konstitusi seperti yang dijalankan oleh
Mahkamah Konstitusi, tidak dilembagakan tersendiri, tetapi terintegrasi dalam
fungsi dan kewenangan Mahkamah Agung. 98 Karena itu, dalam sistem yang
berlaku di Amerika Serikat dan di berbagai negara yang mengikuti sistem
Amerika Serikat, yang disebut sebagai the Guardian of The Contitution adalah
Mahkamah Agung. Atas dasar inilah Mahkmah Agung Amerika Serikat biasa
disebut sebagai The Guardian of American Constitution. 99
Namun, negara-negara demokrasi aliaran Eropa Kontinental yang
menerima prinsip-prinsip negara hukum modern, pada umumnya, memisahkan
fungsi peradilan Konstitusi (constitutional adjudication) itu secara tersendiri di
luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung. Semua negara jenis ini mengikuti
jejak Austria sebagai negara pertama di dunia yang membentuk lembaga
peradilan yang tersendiri dengan nama Verfassungsgerichtshof atau Mahkamah
Konstitusi. Ada juga variasi yang berbeda seperti dikembangkan oleh Prancis,
yaitu dengan membentuk dewan konstitusi (Conseil Constitutionnel), bukan

98
Robert G. McCloskey. The American Supreme Court (Chicago: The University of
Chicago Press, 2005) 4 th edition.
99
Alfred Kelly, Winfred A. Harbison, and Herman Belz, The American Constitution.
(1991) 7 t William M. Wiecek. Liberty under Law: The Supreme Court in Amerika Life. (1988).
89

Mahkamah Konstitusi (Court Constitutionnel). Namun, kedudukannya tetap


bersifat tersendiri, berada di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung. 100
Berbeda dari Mahkamah Konstitusi yang hanya ada di Jakarta sebagai Ibu
Kota Negara, Mahkamah Agung Republik Indonesia merupakan pengadilan
negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan tersebut. Karena itu,
jangkauan organisasinya sangat luas ke seluruh wilayah negara. Karena itu dapat
dikatakan bahwa, organisasi Mahkamah Agung inilah yang menjadi organisasi
terbesar dan terluas jangkauan kegiatannya dewasa ini. Presiden sebagai kepala
pemerintahan eksekutif tidak lagi memiliki kekuasaan mutlak untuk mengangkat
atau memberhentikan gubernur, bupati atau walikota. Karena itu, seperti halnya
presiden dan wakil presiden, sekarang ketiganya beserta wakilnya masing-masing
telah dipilih langsung oleh rakyat di daerah.
b. Komisi Yudisial
Berawal pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan
Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan
dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang
berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan
tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil
dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Baru kemudian tahun 1998-an muncul kembali dan menjadi wacana yang
semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang
tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-
cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional
dapat tercapai.

100
Baca Jimly Ashidiqie. Model-model Pengujian Konstitusi di Berbagai Negara (Jakarta:
Konstitusi Press, 2005) dan Jimly Ashidiqie dan Achmad Syahrizal. Peradilan Konstitusi di Sepuluh
Negara (Jakarta: Konstitusi Press, 2006).
90

Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR


tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan
pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya
Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Berdasarkan pada amandemen ketiga
itulah dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.
Setelah melalui seleksi yang ketat, terpilih 7 (tujuh) orang yang ditetapkan
sebagai anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 melalui Keputusan Presiden
tanggal 2 Juli 2005. Dan selanjutnya pada tanggal 2 Agustus 2005, ketujuh
anggota Komisi Yudisial mengucapkan sumpah dihadapan Presiden, sebagai awal
memulai masa tugasnya.
c. Mahkamah Konstitusi: Pengawal Konstitusi
Dalam Sejarah berdirinya lembaga (MK) diawali dengan diadopsinya ide
Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang
dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001
sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal
7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9
Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan
pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka
menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK), MPR menetapkan
Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk
sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil
Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan
Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan
91

mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24


Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan
oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4316).Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus
2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim
konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah
jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus
2003.Lembaran perjalanan Mahkamah Konstitusi (MK) selanjutnya adalah
pelimpahan perkara dari Mahkamah Agung (MA) ke Mahkamah Konstitusi
(MK), pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya
kegiatan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu cabang kekuasaan
kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi, bukanlah bagian dari Mahkamah Agung dalam
makna perkaitan struktur unity jurisdiction, seperti halnya dalam sistem Anglo
Saxson, tetapi berdiri sendiri serta terpisah dari Mahkamah Agung secara duality
of jurisdiction. Mahkamah Konstitusi berkedudukan setara dengan Mahkamah
Agung. Keduanya adalah penyelenggara tertinggi dari kekuasaan kehakiman. 101
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, dengan adanya perubahan UUD 1945,
maka selain Mahkamah Agung sebagai puncak pelaksanaan kekuasaan
kehakiman di lingkungan peradilan yang berada di bawahnya, juga terdapat
Mahkamah Konstitusi yang secara fungsional juga sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman, namun tidak mempunyai hubungan struktural dengan Mahkamah
Agung. Kedua lembaga tersebut, memiliki fungsi yang sama sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman, namun dibedakan dalam yurisdiksi atau kompetensinya.
Menurut Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang

101
Laica Marzuki. “Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complain) Sebuah Gagasan
Cita Hukum”. Dalam buku Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), cet. Ke-1. 83.
92

melakukan tugas di bidang kekuasaaan kehakiman. Mahkamah Konstitusi


berkedudukan di Ibu Kota Negara Indonesia.
Sedangkan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Selain kewenangan seperti
dijelaskan di atas, Mahkamah Konstitusi wajib memberhentikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan tehadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela,
dan atau tidak lagi memenuhi syarat sebagi Presiden dan atau Wakil Presiden.
Diperolehnya kewenangan ini, mengingat Mahkamah Konstitusi karena lembaga
ini yang memiliki tugas khusus yakni forum previlegiatum. 102
Di samping ketiga lembaga tersebut mempunyai peranan pembentuk
undang-undang, ada lembaga-lembaga non pemerintah seperti partai politik juga
turut serta dalam pembentukan undang-undang di Indonesia juga merujuk kepada
lembaga yang berwenang, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pemegang
kekuasaan legislatif, Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif, dan para
hakim yang memegang kekuasan yudikatif sebagai penegak undang-undang.
Ketiga lembaga tinggi negara tersebut merupakan wakil dari unsur partai-partai
politik yang memiliki tujuan untuk membangun negara berdasarkan konstitusi.
Artinya bahwa orang-orang yang duduk dalam sebuah kabinet merupakan
pengejewantahan orang-orang partai yang diutus untuk itu. Dengan demikian
bahwa partai politik memiliki peranan dan tanggung jawab yang penting dalam
penbentukan undang-undang dan sebagai pemegang amanah konstitusi, dalam
hal ini undang-undang dasar suatu negara atau udang-undang dasar 1945 untuk di
Indonesia.

102
Forum Previlegiatum adalah peradilan yang khusus untuk memeutus pendapat DPR bahwa
Presiden/Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat serta memutus pendapat DPR bahwa Presiden
telah melanggar hal-hal tertentu yang disebutkan dalam UUD sehingga dapat diproses untuk
diberhentikan. Mahfud MD. Perdebatan... 115.
93

Dengan demikian bila kita perhatikan bahwa partai politik merupakan


kepanjangan tangan lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif dimana
ruang operasionalnya berada pada masyarakat di wilayah sekitarnya. Demikian
pula sebaliknya bahwa lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif
merupakan bagian pula dari kelompok anggota partai politik yang berada dalam
pemerintahan negara baik sebagai pembuat, pelaksana, dan atau penegak undang-
undang untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan tujuan negara yang citap-
citakan berdasarkan konstitusi dan tujuan partai politik dari masing-masing yang
sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik.
Tugas partai politik adalah mencari dan atau menerima aspirasi yang
berkembang dalam masyarakat untuk bangsa yang kemudian disampaikan badan
pelaksana negara melalui parelemen untuk diwujudkan dalam bentuk yang real
melalui undang-undang. Jadi peranan partai politik adalah sama dengan peranan
dan kedudukan anggota badan legislatif, eksekutif dan yudikatif yang duduk
menjadi perwakilan partai politik seprti yang telah peneliti uraikan di atas.
BAB III
POLITIK HUKUM ISLAM

A. Politik Hukum Islam di Indonesia


Dalam pengamatan sarjana Barat, Islam di Nusantara di sebarkan oleh
para pedagang. Para pedagang ini, di samping menjalankan aktivitas utamanya,
yakni berdagang, mereka juga melakukan perkawinan dengan wanita setempat.
Pendapat lain justru mengatakan “adalah suatu hal yang sulit dipercaya jika para
pedagang ini juga melakukan penyebaran agama Islam” hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa sebelum abad XII M., Islam belum tampak sebagai satu agama
yang dianut oleh para penduduk, padahal mereka sudah hadir sejak abad VII M.
Dengan kata lain, walaupun saat itu sudah terjadi interaksi dengan pedagang
muslim, namun belum tampak ada tanda-tanda bagi proses Islamisasi di
Nusantara. Berdasarkan hal tersebut, A. H. Jhons dalam Sufisme as a Category in
Indonesia Literature and History, sebagaimana dikutip oleh Azra, 1 mengajukan
teori bahwa pergerakan para sufi pengembara, berkat otoritas dan kekuatan magis
yang mereka miliki, telah mampu melakukan penyebaran Islam di Nusantara dan
berhasil mengislamkan penduduk Nusantara dalam jumlah besar sejak abad XII
H. 2 Mereka telah mentransplantasi, meramu, dan menghadirkan satu sentuhan
yang harmonis dari unsur budaya lokal ke dalam ajaran Islam sehingga mampu
menghadirkan Islam dengan ajarannya yang sinergis dengan tradisi yang dianut

1
Teori Johns ini dikritik oleh Drewes. Dalam New Light of the Coming of Islam to Indonesia,
sebagaiman dikutip oleh Alwi Shihab, Drewes mengatakan bahwa walaupun para sufi memiliki peran
yang cukup besar dalam penyebaran Islam, namun awal kedatangan Islam tidak terikat sama sekali
dengan lembaga terakat dan persaudaraan sufi. Namun demikian, dalam hal ini Jhons tidak
memberikan data baru yang dapat memperkuat hipotesisnya. Lihat Alwi Shihab, Islam Sufistik…, 6
2
Saat jatuhnya Baghdad pada 1258 M fenomena sufisme menjadi gerakan missal di dunia
Islam. Tarekat dan persaudaraan sufi secara bertahap menjadi institusi yang stabil dan disiplin. Lihat
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII.
Bandung : Mizan, 1999)

94
95

masyarakat. Fenomena inilah yang memaksa para penulis Barat untuk


mengatakan bahwa karakteristik Islam di Nusantara bersifat sinkretik. 3
Mengikuti teori yang memaparkan dominasi kaum sufi dalam penyebaran
Islam di Nusantara maka wajar kiranya jika secara sirkumtasial ia telah
membentuk karakteristik Islam Indonesia denga corak sufi, dima watak
intelektualis-filosofis redup di dalamnya. Wacana intelektualisme Islam lebih
menampakkan nuansa sufistik-sinkretik. 4 Keadaan yang tidak menguntungkan ini
masih diperparah dengan kenyataan bahwa Islam pertama yang datang ke
Indonesia adalah Islam yang berada dlam anti klimaks sejarah peradaban dunia
Islam dan adanya slogan bahwa pintu ijtihad sudah dinyatakan tertutup oleh
rumor sejarah. Dengan sendirinya, situasi stagnasi pemikiran dan taklid yang
menjadi trade mark dunia Islam saat itu, memberikan pengaruh yang juga kurang
positif bagi pemikiran keislaman di Indonesia.
Kenyataan ini telah membuat Islam Indonesia kurang memiliki
memontum dan kemampuan yang adekuat untuk mengembangkan diri secara
mandiri dalam segala bidang, termasuk di dalamnya pemikiran hukum Islam.
Umat Islam lebih enjoi menikmati mistisme Islam ala Ghazalian, yakni satu
tradisi yang lebih menekankan asketisme dan menafikkan masalah-masalah
duniawi. Bigitu kuatnya pengaruh dari tradisi ini maka pemikiran-pemikiran
hukum Islam yang ada menjadi terjebak dalam pararelisme epistemologi tasawuf.
Secara umum, gerakan fikih sebenarnya merupakan kelanjutan dari bertumpu
pada orientasi tasawuf yang sudah sedemikian kuat mengakar dalam kesadaran
keilmuan umat Islam. Titik tolak kehidupan yang cenderung bersifat teologis dan
tasawuf oriented menjadi tidak sebanding dengan diksi-diksi ilmiah yang

3
Lihat misalnya penelitian Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1980); Clifford Geertz. Abangan Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1981); Howard M Fiderspiel. Persatuan Islam, Pembaruan Islam Indonesia Abad XX
(Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1996), 1-3
4
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di
Indonesia (Yogyakarta: LKIS, 2001), 111
96

ditawarkan hukum Islam (Fiqh), yang biasanya formalistik. Dengan demikian


bisa dibayangkan bahwa kreatifitas dan improvisasi pemikiran hukum Islam akan
menjadi mental dan tereliminir oleh tradisi tersebut.
Di samping dominasi tasawuf faktor mazhab syafi’i yang dianut oleh para
pembawa Islam pertama di Nusantara juga memberikan andil yang cukup besar
bagi terbentuknya karakter pemikiran hukum Islam di Indonesia, eksistensi
mazhab Syafi’i yang dianggap sebagai sintesis ahli ar-ra’yu dan ahli Al-Hadith
sesuai dengan sifatnya yang adaptif, adoptif, dan kompromis dalam banyak hal
bisa dikatakan selaras dengan orientasi pemikiran tasawuf oleh karena itu,
walaupun dianggap telah terjadi keseimbangan baru antara tasawuf dan fiqih 5
namun keadaannya hanya merupakan keseimbangan yang paling mungkin, wajar
dan dalam batas yang paling vulgar, yakni karena adanya kesamaan dan
kedekatan orientasi dan juga epistemologi antara ajaran tasawuf dan mazhab
syafi’i, yang memungkinkan keduanya bertemu dalam satu titik kepentingan dan
pengembangan. Implikasi yang terjadi mungkin akan menjadi kontras jika
mazhab hukum pertama yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Hanbali,
Maliki, Hanafi, ataupun Syiah. 6 Sebab, madzhab-madzhab ini mempunyai cara
pandang dan cara baca yang berbeda atas fenomena tasawuf. Walaupun masih
perlu bukti-bukti pendukung yang lebih konkrit, dan karenanya diperlukan

5
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madhhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di
Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2001), 113
6
Tahir Mahmood telah membuat studi dan analisis yang cerdas dalam memotret peran dan
dampak madzhab hukum Islam klasik terhadap sifat reformasi konstitusi hukum keluarga Islam di
beberapa Negara Islam. Beberapa Negara Islam yang penduduknya bermadzhab Hanafi biasanya
menganut pola pikir yang sangat rasional dalam merumuskan konstitusinya. Negara-negara Islam yang
penduduknya bermadzhab Hambali dan Maliki sangat puritan, merujuk pada tekstualitas Al-Qur’ân
dan Hadits. Sedangkan yang bermadzhab Syafi’I bersifat kompromis. “gado-gado” dan mengambil
jalan tenga Adapun yang Negara-negara yang penduduknya bermadzhab Syi’ah, menampakkan
sesuatu yang unik bagi konstitusi negaranya. Lihat lebih lanjut pada Tahir Mahmood, Family Law
Reform in the Muslim World (Bombay: N. M. Tripathi, Pvt. Ltd, 1972), 112; Bandingkan dengan
analisis serupa dari S. Amin, Islamic Law and Its Implication for Modern World (Scotland: Royston
Ltd, 1989), 19-51
97

penelitian tersendiri, namun indikasi awal ini menjadi cukup valid untuk
melahirkan prakonsepsi di atas.
1. Dinamika Pemikiran Hukum Islam
Hukum adalah sebagai produk yang lahir dari dinamika kehidupan
manusia, dimana ada masyarakat di sana ada hukum. Oleh karena itu sektor
hukum harus selalu mengikuti irama perkembangan masyarakat dalam artian
bahwa suatu masyarakat yang modern maka harus memiliki hukum yang moderen
pula. Jadi pemahaman yang sangat keliru ketika berbicara tentang konsep hakikat
hukum Islam itu adalah statis, immobile, tidak dinamis dan tidak akan mampu
mengikuti perubahan sosial dalam suatu masyarakat yang sudah maju.
Pandangan Noel J. Coulson mencerminkan suatu miskonsep terhadap
pemahaman hukum Islam dengan mengatakan bahwa “Hukum Islam mendahului
dan membentuk masyarakat “. 7 Coulson tidak mencerminkan sejarah bahwa
dalam sejarah Islam ketika Nabi Muhammad saw. hijrah ke Madinah dan dipilih
sebagai kepala Negara Madinah, diamana masyarakat Islam yang terdiri dari
kaum Anshar dan Muhajirin secara factual telah terbentuk 8 . Kemudian proses
pembentukan hukum Islam terjadi secara evolusi bersama proses kristalisasi
ummat atau komunitas dalam Negara Madinah. 9 Sebagai contoh ketika agama
Islam belum disempurnakan oleh Allâh, maka aturan-aturan yang akan mengatur
masyarakat diturunkan secara incremental, dalam rentang waktu 22 tahun dari
tahun 610 sampai 632, tahun kematian Rasulullah. Ini sebagai indikator bahwa
Islam akan senantiasa mengikuti perkembangan zaman.
Secara historis, dinamika pemikiran hukum Islam di Indonesia setidaknya
menunjukan satu fenomena transformatif dan remedialis, kendati masih nampak

7
Noel J. Coulson, Hukum Islam dalalam Perspektif Sejarah (Jakarta: P3M, 1987, 1-2.
8
Muhammad Husein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, Terjemahan Ali Audah (Jakarta:
Pustaka Jaya dan Tintamas, 1982), 112
9
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat
dari Segi Hukum Islam. Omplementasiny pada Priode Negara Madinah dan Masa Kini (Jakarta:
Bulam Bintang, 1992), Cet. Pertama, 44
98

nuansa paralelisme yang berulang-ulang tanpa ada kejelasan. Pemikiran ini


bukan tambal sulam ide, namun seperti bola salju yang terus menggelinding dan
melaju, membangun berbagai konstruksi berbagai tipe dan karakter baru. 10
Dalam suatu pembangunan hukum, pada tahun 1975, Abdurrahman
Wahid, memperkenalkan sebuah pemikiran bahwa, Hukum Islam sebagai
penunjang pembangunan, 11 yang secara umum mengarahkan pembicaraannya
pada peran dan fungsi hukum Islam untuk menunjang perkembangan tata hukum
positif di Indonesia. Munawir Sadzali melontarkan gagasan, Reaktualisasi Ajaran
Islam. Denga mengambil isu-isu pembicaraan mengenai hukum waris,
perbudakan dan bunga bank. 12
Disinilah sebetulnya para ahli hukum Islam (fuqaha/ulama) untuk
merumuskan kembali ajaran agama (hukum Islam) agar mampu mengadop
budaya masyarakat (socio-cultural) yang sesuai dengan kebutuhan dan realitas
yang ada sehingga sikap mendua dalam praktik beragama tidak lagi terjadi.
Sebagai missal, ironis jika umat Islam yang tekun beribadah, namun
kesehariannya melakukan transaksi melalui bank konvensional. Kendati masih
terdapat pro dan kontra terhadap hukum mengenai haramnya bunga bank. Paling
tidak seharusnya meninggalkan sesuatu ketentuan yang masih tanda kutip. Karena
tanda kutip menunjukkan adanya indikator kesubhatan dan subhat harus dijauhi
atau ditinggalkan.
2. Potret Politik Hukum Islam di Indonesia
Ajaran Islam yang mengatur tata cara hidup disebut hukum. Dalam ilmu
ushul fiqih, hukum didfiniskan sebagai “perintah Allâh yang berhubungan dengan

10
Mahsun Fuad, Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKIS, 2005) cet. 1, 2
11
Lihat artikel Abdurrahman Wahid, “Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan , dalam
prisma No. 4 1975Tulisan ini telah diproduksi dalam berbagai buku diantaranya Eddi Rudiana Arief
(ed), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Bandung: Rosda Karya, 199, 124.
12
Lihat Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina 1997), 6; Munawir
Sjadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Iqbal Abdurrouf Saimima, (ed)Polemik Reaktualisasi
Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), 11.
99

perbuatan orang-orang mukallaf, berupa tuntunan untuk melakukan sesuatu yang


berarti perontah yang wajib dikerjakan atau tuntunan untk meninggalkan sesuatu
yang berarti larangan dan haram dikerjakan, atau ketetapan hukum itu berupa hal
yng mubah (fakultatif), yang berarti boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan,
maupun ketetapan hukum yang menjadikan dua hal berkaitan dan salah satunya
menjadi sebab atau syarat atau rintangan terhadap yang lain. 13
Musthafa Ahmad al-Zarqa menyebutkan cakupan hukum Islam meliputi
hukum akidah, ibadah, keluarga, muamalah, jinayah, tatanegara, hukum antar
negara dan adab sopan santun. Untuk membatasi masalah yang dibahas maka
tulisan ini tidak menyinggung masalah akidah, ibadah dan adab sopan santun. 14
Menurut Ahmad Azhar Bashir seorang pemikir yang mempunyai
karakteristik tersendiri dalam memperkaya khazanah pemikiran hukum Islam, ia
menyatakan bahwa hukum Islam dapat ditelusuri melalui dua pendekatan, yakni :
pertama, pendekatan qauli (menekankan fiqh sisi hasil pemikiran semata (fiqh),
kedua, pendekatan manhaji (menekankan pemdekatan dari segi metodologi (uṣul
Fiqh). 15
Al-Jabiri pernah mengatakan bahwa kebudayaan Islam adalah
16
“Kebudayaan fiqh”. Menempatkan kebudayaan ini sedemikian adiluhung adalah
sama sahihnya dengan kita mengatakan bahwa kebudayaan Yunani adalah
“kebudayaan filsafat” dan kebudayaan Barat adalah “kebudayaan iptek”.
Eksistensinya sebagai sebuah sistem pengetahuan (niẓam al-ma’rifi) dan
kodifikasi ajaran agama sangat kokoh dan telah teruji oleh sejarah. Setiap muslim
yang pernah belajar dan bisa membaca al-Qur’ân niscaya juga membaca dan

13
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Kairo: Daar al-Fikr al’arabi), 1958), 21.
14
Musthafa Ahmad Al-Zarqa, Al-Fiqh al-Islâmi fi Thaubibi al-Jadîd (Damaskus Lathba’ah
Jami’ah, 1959), 29.
15
Abdul Aziz Dahlan, et. Al, (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru van
Hoeve, 1999), Jilid, 1, 156.
16
Tinggi mutunya, yakni nilai-nilai seni budaya adiluhung yang wajib dipelihara, Lihat Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka 1989),
100

menyimpan sebuah atau lebih kitab fiqh. Pandangan yang paralel dengan banyak
pemikir lain ini menunjukkan bahwa fiqh merupakan dimensi ajaran agama yang
paling mapan dalam belahan masyarakat muslim mana pun. Dari sini, ide untuk
melegalformalkan hukum Islam melalui istitusi negara dianggap, oleh sebagian
orang, sebagai suatu hal yang penting. 17
Seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, wewenang kekuasaan
yang selama ini dijalankan oleh lembaga taḥkim dipindahkan dan diberikan
kepada pengadilan. Hal ini dimaksudkan agar hukum Islam benar-benar bisa
ditegakkan dan sekaligus merupakan penjabaran lebih lanjut dari aktivitas
keulamaan dalam memberi layanan keagamaan kepada masyarakat. 18 Dari situ,
maka muncullah berbagai lembaga pengadilan Islam di beberapa tempat, di
antaranya, Pengadilan Serambi di Jawa, Mahkamah Syar’iyah di Sumatera, dan
Kerapatan Qadi di Banjar dan Pontianak. Lembaga-lembaga pengadilan ini tidak
hanya menuntaskan persoalan perdata saja, akan tetapi dalam batas tertentu juga
manangani persoalan pidana.
Fenomena hukum Islam sebagai hukum yang hidup di masyarakat, dengan
raja (sultan) sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, telah melahirkan satu teori
kredo atau syahadat di kalangan pemerhati hukum Islam. Teori yang
sesungguhnya merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid dalam filsafat hukum
Islam ini mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah
mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal ini sesuai dengan teori otoritas hukum
Islam, sebagaimana digagas oleh H.A.R Gibb, bahwa orang yang telah menerima
Islam sebagai agamanya berarti ia telah menerima otoritas hukum Islam atas
dirinya. 19 Begitulah keberadaan hukum Islam di Indonesia ketika itu. Sebagai

17
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris
(Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005), Cet. Pertama, 48
18
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah dan Prospeknya
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 78
19
A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj, Machnun Husein (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1993), 145-146
101

sebuah sistem hukum, ia telah dijalankan dengan penuh kesadaran oleh


pemeluknya, sebagai refleksi dan pantulan atas penerimaan Islam sebagai agama
yang diyakini.
Bisa dikatakan bahwa kedudukan politik hukum Islam pada masa
prakemerdekaan, khususnya menjelang berakhirnya masa penjajahan, berada pada
posisi yang tidak pasti. Selain dipengaruhi oleh kepentingan kolonialisme, hal itu
juga disebabkan karena dalam wilayah ini tidak ada satu pun sistem hukum yang
mampu mengakomodasi pluralitas hukum yang ada dalam masyarakat. Sistem
hukum Islam yang ada di Nusantara masih terpenggal-penggal, belum kohesif,
dan ternyata ia merupakan sistem hukum peninggalan kerajaan-kerajaan Islam
lama di Nusantara yang penyusunannya belum terkonstruk dengan baik.
Kenyataan ini menyebabkan hukum Islam menjadi gagap ketika harus berhadapan
dengan sistem hukum yang relatif lebih maju (Belanda) dan juga sistem hukum
adat. Belum sempurnanya proses transplantasi dengan hukum adat, di samping
juga karena nuansa politik dalam proses eklektisisme dengan hukum Barat
(Belanda) ini begitu kental, telah membuat semuanya berjalan dengan tidak wajar.
Menilik pada catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan,
kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin
meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada
tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di
masyarkat, tetapi sudah sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan
legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum
nasional, bukan semata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif.
Fenomena ini pertama kali muncul setidaknya berbarengan dengan lahirnya
Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, di mana sila pertamanya berbunyi:
“Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi
Pemeluk-pemeluknya”. Perjuangan bagi legislasi hukum Islam sedikit meredup
setelah pada 18 Agustus 1945, tim sukses dari golongan Islam tidak mampu
102

mempertahankan tujuh kata terakhir dari hiruk-pikuk polarisasi dasar negara.


Dengan hilangnya tujuh kata tersebut, maka menjadi sangat sulit bagi siapa pun
untuk melegal-positifkan hukum Islam (Syari’ah) dalam bingkai konstitusi
negara, termasuk di era reformasi sekarang ini. Sebuah problem bersama yang
entah kapan akan berakhir.
Setelah lahirnya dua undang-undang yang berhubungan erat dengan nasih
legalisasi hukum Islam di atas, pada tahun 1989, lahir UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga Peradilan yang khusus diperuntukkan
bagi umat Islam. Hal ini mempunyai nilai strategis, sebab keberadaanya telah
memancing lahirnya peraturan-peraturan bagu sebagai pelengkap. Oleh karenaya,
adalah wajar jika pada tahun 1999 Presiden RI. Mengeluarkan Inpres No. 1 Tahun
1991 yang berisi tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI sendiri
disusun dengan tujuan memberikan pedoman bagi para hakim agama dalam
memutus perkara dalam lingkup Peradilan Agama. Terlepas dari segala
kontroversi latar belakang kelahiran dan materi dari pasal-pasal yang ada di
dalamnya, fenomena mutakhir mengisyaratkan bahwa keberadaan KHI mulai
diproyeksikan sebagai undang-undang resmi negara yang digunakan dalam
lingkungan peradilan agama. 20
Selain beberapa legislasi di atas masih ada beberapa peraturan perundang-
undangan lain yang memuat dan mendukung terlaksananya hukum Islam di
Indonesia, di antaranya UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, dan UU
No. 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji. 21

20
Studi tuntas mengenai kontroversi kelahiran KHI dapat dilihat pada Marzuki Wahid dan
Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKiS,
2001); Ahmad Imam Mawardi, Socio-Political Backgraud of the Enactment Kompilasi Hukum Islam
Indonesia, Thesis, Faculty of Graduatu Studies and Research, Institute of Islamic Studies Mc. Gill
University, Montreal Canada, Monreal Canada. (1998). Tidak diterbitkan: Cik Hasan Basri (ed),
Kompilasi Hukum Islam dalam sistem hukum Nasional (Jakarta: Logos, 1999)
21
Budi Budiman, Potensi Dana Zis Sebagai Instrumen Ekonomi Islam, makalah pada
Simposium Nasional Ekonomi Islam oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam
Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 13-14 Maret 2002, 2; Rohani Budi
Prihatin, Mencermati Undang-undang Zakat, dalam Republika 25 Agustus 1999, 14
103

Secara umum, perkembangan legislasi hukum Islam di Indonesia dewasa


ini telah sampai pada tingkat yang cukup memuaskan. Sejumlah dimensi ajaran
agama yang selama ini belum tuntas diperjuangkan, mulai menampakkan tanda-
tanda akan diterima. Memang terdapat ajaran hukum Islam yang mempunyai
kendala untuk dilegalkan, dengan alasan substansinya tidak sesuai dan
bertabrakan dengan peraturan-peraturan di atasnya. Untuk kasus seperti ini, upaya
legalisasi berbagai elemen hukum bisa jadi mustahil akan berhasil. Karena
bersifat umum, eksistensi peraturan yang lebih dahulu ada ini biasanya
diperuntukkan bagi semua golongan, dan bersifat universal. Jika di paksakan
untuk diganti, kemungkinan besar akan menimbulkan gejolak sosial, yang cost-
nya sangat mahal. Dengan demikian pemilahan dan penentuan skala prioritas
materi hukum Islam yang dicitakan legalisasinya menjadi langkah awal yang
harus ditempuh. Bukankah melegalkan status peraturan atau ketentuan hukum
yang secara sosiologis telah hidup dalam masyarakat terasa lebih mudah
dibandingkan dengan memaksakan hukum ideal yang terdapat dalam kitab-kitab
hukum, begitu juga tentunya dengan legalisasi hukum Islam.
3. Lahirnya Politik Hukum Islam
Pembahasan mengenai politik, atau yang biasa di sebut ilmu politik lahir
ketika manusia mulai memikirkan bagaimana mereka dan nenek moyang mereka
diperintah. Persoalannya ialah apakah peraturan ini perlu diterima atau tidak dan
mengapa sebagian masyarakat memilih peraturan yang berbeda dari masyarakat
lain. 22 Dengan kata lain, pemisahan dalam pengertian aktivitas memelihara
ketentraman, yang berarti pengaturan hubungan antara manusia dalam pengertian
luas. 23

22
Sebenarnya Praktik politik sama tuanya dengan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu,
manusia dalam sebuah komunitas harus menerima peraturan tingkah laku tertentu, walaupun peraturan
tersebut hanya bertujuan melindungi keberadaan komunitas dan mencegah para anggotanya untuk
saling membunuh satu sama lain. Lihat Simamora, Ilmu Politik (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), 1.
23
Kartono, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1997), Cet. Ke-6, 4.
104

Dalam hubungan dengan politik Islam, al- Qorodwiy menyebut dengan


istilah As- siyâsah Ash-shar’iyah. Sebab makna Ash- Shar’iyah dalam konteks ini
adalah yang menjadi pangkal tolak dan sumber bagi As- siyâsah (politik) dan
menjadikannya tujuan bagi As- siyâsah. 24 Pengertian ini berkaitan dengan
pandangan ulama dahulu yang mengartikan politik pada dua makna: Pertama,
makna umum, yaitu menangani urusan manusia dan masalah kehidupan dunia
mereka berdasarkan syariat agama. 25 Oleh karena itu mereka mengenal istilah
khilafah, yang berarti perwakilan dari Rasulullah SAW. untuk menjaga agama
dan mengatur dunia. Kedua, makna khusus, yaitu pendapat yang dinyatakan
pemimpin, hukum dan ketetapan-ketetapan yang dikeluarkannya untuk
menangkal kerusakan yang akan terjadi membasmi kerusakan yang sudah terjadi,
atau memecahkan masalah khusus.
Dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Keduanya
secara organis berhubungan, bahkan juga integral dengan struktur ekonomi suatu
negara Islam. Baik al-Qur’ân, Hadith maupun sejarah Islam membuktikan hal itu.
Agama dan politik saling terkait, bahkan saling membutuhkan. Pada saat awal
kehadiran Islam, masalah pertama yang dihadapinya adalah politik. Sebab tanpa
peranan politik, Islam tidak tidak akan mampu hidup. Islam harus memiliki
kekuasaan demi kelancaran mekanisme pengembangan agama. Di sini pula dapat
terbukti bahawa berkembanganya suati agama sangat bergantung pada kondisi
politik tertentu. Apabila kondisi politik itu memungkinkan untuk melancarkan
manuver politik keagamaan, besar kemungkinan agama itu dapat berkembang,
begitu pula sebaliknya. 26 Dengan demikian, yang di maksud dengan politik Islam

24
Yusuf Al- Qorodwiy, As Siyâsah Ash- Shar’iyyyah, terjemahan Kathur suhardi, Pedoman
Bernegara dalam persfektif Islam (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 1999), 34-35.
25
Oleh karena itu Abul A’la Al-Maududi menyatakan bahwa Islam merupakan tatanan yang
sempurna, keseluruhan yang bulat, yang berdasarkan diri pada himpunan postulat jelas yang pasti.
26
Hijrahnya Nabi Muhammad SAW. dari Mekkah ke Kota Madinah adalah manuver politik
pertama yang dilakukannya dan merupakan kota yang memungkinkan dan potensial untuk
105

adalah politik yang didasarkan atas syari’at yang berasal dari al- Quran dan As-
Sunnah.
Istilah yang didasarkan diatas, mengandung pengertian interpretasi nas-
naṣ̣ al-Qur’ân dan As-sunnah tentang prinsip-prinsip politik dalam Islam. Di
dalamnya di yakini milik prinsip-prinsip itu, sebagaimana telah dicontohkan oleh
Rasulullah SAW, bahwa Islam pertama-tama tampil sebagai agama yang
tercermin dalam ajaran tentang ketuhanan dan kehidupan yang baik, kemudian
membentuk wilayah (negara) sebagai alat untuk memberikan perlindungan
terhadap umat dan meningkatkan kehidupan yang baik, dan akhirnya menjadi
budaya yang memadukan peradaban luhur yang telah dihasilkan manusia selama
ribuan tahun dan melenyapkan peradaban lain yang tidak sejalan dengan kerangka
tujuan budaya islam. Oleh karena itu, islam telah meletakkan sistem kekuasaan
yang bukan sistem aristokrasi maupun teokrasi 27 , sehingga prinsip-prinsip
kekuasaan dalam Islam harus menjadi landasan utama dalam politik Islam.
Kekuasaan yang dicari dalam Islam, bukanlah untuk kekuasaa itu sendiri, bukan
pula perluasan kekuasaan pribadi atau kolektif. Islam menempatkan kekuasaan
dalam kerangka morala yang aktif. Kekuasaan bukanlah tujuan, tetapi sarana
untuk mengabdi kepada SWT. Kekuasaan adalah alat untuk mencari kehidupan
abadi yang bahagia dan merupakan sumber rahmat dan keadailan bagi ummat
manusia. Dengan demikian, politik Islam bermakana pengaturan, pengurusan, dan
pemeliharaan berbagai urusan masyarakat dengan tatanan yang sesuai dengan
Islam.
Tidak dapat dipungkiri bagi kaum muslimin dewasa ini bahwa Islam
merupakan jalan hidup yang meliputi aspek-aspek fisik, politik, dan spiritual.

pengembanagn agama. Lihat Fachry Ali, Pancasila dan pergulatan Politik (Jakarta: Pustaka Antara,
1984), 3.
27
Ahmad Yamin, Yaumul Islâm, Terjemahan Abu Laila dan Muhammad Tohir, Islam Dari
Masa Ke Masa (Bandung, Rosda, 1987), 59.
106

Sha’riah atau jalan hidup Islam meliputi perundang-undangan hukum, politik,


upacara keagamaan serta moral. Hukum Islam atau fikih tidak terbatas hanya
pada masalah-masalah sipil dan kriminal, melainkan juga mengatur berbagai
urusan politik, ekonomi, sosial, nasional, Islam tidak memisahkan agama dari
politik. 28
Menurut A. Ezzati 29 sama halnya dengan sumber-sumber hukum sipil dan
hukum pribadi, ada empat sumber politik Islam, yakni sebagai berikut :
a. Al-Qur’ân sebagai kumpulan wahyu Illahi yang bertalian secara langsung
maupun tidak langsung dengan sasaran politik dan konstitusi, yakni yang
menyatakan dengan jelas bahwa kedaulatan atau otoritas adalah tetap pada
semata. Oleh karena itu, Al-Qur’ân secara tegas mengutuk kekacauan dan
anarki.
b. Sunnah; Nabi Muhammad SAW, sebagai utusan mendirikan negara
muslim pertama yang dijelaskan dengan perkataan, perbuatan serta
persetujuan politik, prinsip-prinsip konstitusi serta perundang-
undangannya. Nabi SAW, menekankan perlunya tatanan, organisasi, dan
otoritas dalam masyarakatmuslim.
c. Ijma’ atau konsensus masyarakat Muslim dan fuqaha telah
direkomendasikan sebagai salah satu hukum utama oleh Al-Qur’ân dan
As-Sunnah. Rasulullah SAW. bersabda, “Umatku tidak akan pernah
bersepakat dalam kesalahan, karena itu Ijma’ juga dibutuhkan untuk
pemerintahan Islam”.
d. Qiyas (analogi), menurut mazhab Sunni dan ‘aql (akal manusia) menurut
Syi’ah juga diterima sebagai salah satu dari empat sumber utama hukum
Islam (Fiqh) yang umumnya meliputi politik dan hukum konstitusi.

28
Iqbal Ahmad, Realitas Politik Islam, Terjemahan Utsman Efendi dalam Majalah Pesantren,
No. 2, 1988, P3M, Jakarta, 3.
29
A. Ezzati, The Revolutionary Islam, Terjemahan agung Sulistiadi, Gerakan Islam, Sebuah
Analisis (Jakarta :Pustaka Hidayah), Hal. 3
107

Selain itu, ada beberapa sumber tambahan untuk politik dan spekulasi
konstitusi, yakni:
1. Praktik yang dicurahkan para khalifah dan penguasa Muslim;
2. Karya-karya tentang politik dan konstitusi yang dapat dijadikan sebagai
teladan;
3. Pemakaian, praktik dan adat istiadat yang dilakukan masyarakat Muslim;
4. Karya-karya tentang politik, konstitusi, ilmu pengetahuan sosial, dan
berbagai disiplin lain yang relevan;
5. Karya- karya tentang bidang administratif, fiskal, militer dan subjek-
subjek yang tergabung;
6. Karya-karya tentang hukum internasional yang umum;
7. Leteratur mengenai politik dan topik-topik yang relevan;
8. Karya-karya tentang hukum Islam pada umumnya;
9. Karya-karya tentang Ilmu agama Islam, terutama karya-karya mengenai
nilai-nilai teopolitik;
10. Karya-karya mengenai sejarah Islam dan filsafat.
Prinsip yang paling mendasar dan terpenting yang harus ditegakkan dalam
dasar-dasar politik islam adalah berkaitan dengan prinsip ajaran Islam, yakni
ajaran Tauhid, monoteisme dalam pengertiannya yang paling tegas, tauhid bukan
sekedar suatu prinsip teologi, tetapi juga merupakan landasan utama dalam
epistimologi Islam dan prinsip yang mendasar dari metodologi Islam serta semua
studi mengenai Islam. Sesuai dengan prinsip otoritas ini, kedaulatan, keputusan,
dan kekuasaan serta hak memberi perintah adalah semata-mata milik SWT. Al-
quran menyatakan semua itu sebagai postulat dasar. Seseorang yang memiliki
keyakinan seperti ini sampai ke lubuk hati dan jiwanya, dan tidak sekedar
pengakuan di lisan, maka seseorang tersebut telah menemukan kebenaran dan
kebaikan hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dengan demikian, prinsip
108

ini harus menjadi dasar dalam konstitusi Islam dalam sebuah pemerintahan
negara.
Prinsip dasar tauhid dalam politik memberikan pembenaran atas segala
usaha untuk mendirikan suatu tatanan Illahi, suatu pemerintahan dan sistem
politik yang adil serta tidak mengenal imperialisme, kediktatoran, kolonialisme,
keajaiban, penindasan, tirani, politik kekuasaan serta segala bentuk model dan
jenis peraturan yang bertentangan dengan ajaran tauhid jadi masyarakat muslim
muwâhid yang baik dengan sistem sosio-politik Islam adalah masyarakat dengan
sistem tauhid yang benar.
Dengan demikian, pada dasarnya prinsip utama dalam politik Islam adalah
iman terhadap keesaan dan kekuasaan SWT, dan ini merupakan landasan sistem
sosial dan moral yang ditanamkan oleh para Rasul, kedaulatan ada di tangan
sehingga sendirilah yang merupakan pemberi hukum
Tata aturan yang Rasulullah SAW. tegakkan bersama-sama para kaum
mukmin di Madinah, apabila ditinjau dari segi kenyataan dan dibandingkan
dengan ukuran-ukuran politik pada masa modern ini dapatlah kita katakan bahwa,
tata aturan itu merupakan tata aturan politik. Dalam pada itu tidak ada hubungan
untuk kita menyatakan bahwa tata aturan itu berciri keagamaan, yaitu apabila kita
lihat kepada tujuan-tujuannya dan penggerak-penggeraknya. 30
Jika demikian, dapatlah kita mengatakan, bahwa tata aturan Islam itu
adalah tata aturan yang bersifat politik dan bersifat agama. Hal itu adalah karena
hakikat Islam meliputi segi-segi kebendaan (mâlliyah) dan segi-segi kejiwaan
(rûhiyah) dan dia mencakup segala amal insani dalam kehidupan duniawiyah dan
ukhrawiyah. Sebenarnya falsafah Islam adalah falsafah yang mencampurkan antra
urusan dunia dengan urusan akhirat yang saling menjalin yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya. Karena itu, kedua segi itu menyusun suatu

30
Teungku Muhammad Hasbi Ashiddieqy, Islam dan Politik Bernegara (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2002) Cet. Kedua, 5.
109

kesatuan yang harmonis. Inilah hakikat tabiat Islam yang dikuatkan dengan bukti-
bukti sejarah dan inilah yang menjadikan akidah bagi umat Islam. Kebanyakan
orientalis (ahli masalah Islam) telah menemukan hakikat-hakikat ini. Dalam pada
itu, ada segelintir putra Islam yang mengakui dirinya sebagai jamaah
pembaharuan, menolak hakikat ini. Mereka berpendapat, bahwa hakikat Islam
hanyalah: dakwah diniyah, yang hanya mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya. Tidak ada hubungan apa-apa dengan masalah keduniaan, seperti
peperangan, urusan-urusan politik. Mereka berkata: “Inna al-dîna shai-un wa al-
siyâsatu shay-un âkhar agama adalah suatu hal dan politik adalah suatu hal yang
lain”.

B. Transformasi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional


Hukum Islam (Islamic Law) merupakan perintah-perintah suci dari Allâh
SWT yang mengatur seluruh aspek kehidupan setiap Muslim 31 , dan meliputi
materi-materi-materi hukum secara murni serta materi-materi spiritual
keagamaan. 32 Melalui penelitian sejarah yang empiris, Joseph Schacht menyebut
Islamic Law sebagai ringkasan dari pemikiran Islam, manifestasi way of life Islam
yang sangat khas, dan bahkan sebagai inti dari Islam itu sendiri. 33
Pada periode Islam awal, yaitu periode Islam di Mekkah, hukum Islam
dimulai dengan tetap membiarkan praktek-praktek hukum yang telah ada di
dalam masyarakat. Namun kemudian, sebagaimana dikemukakan oleh
Muhammad Hamidullah, secara bertahap, berdasarkan wahyu (al-Qur’ân) dan
sunnah Nabi Muhammad saw, sistem hukum yang telah menjadi kebiasaan pada
masyarakat Jahiliyyah tersebut diperbaiki, dirombak dan bahkan diganti sama

31
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford: Oxford University Press, 1964),
cet. II , 1.
32
S.D. Goitein, "The Birth-Hour of Muslim Law; an Essay in Exegesis" dalam Jurnal The
Muslim World, vol. L (Hartdford: The Hartdford Seminary Foundation, 1960), 23.
33
Schacht, An Introduction, 1.
110

sekali dengan sistem hukum Islam yang berbeda dalam kurun waktu sekitar dua
puluh tiga tahun. 34
Sebagai konsekuensi dari sebuah transformasi (perubahan) sosial, hukum
Islam berposisi sebagai hukum yang berbeda dan merombak hukum Jahiliyyah. 35
Dalam sejarah, Nabi Muhammad saw beserta para pemeluk Islam awal benar-
benar membuat sikap kontra terhadap sistem hukum Jahiliyyah dalam perilaku
dan tindak tanduk mereka, sehingga mendapatkan pertentangan yang keras dari
36
para tokoh penegak sistem hukum Jahiliyyah. Dan bahkan kemudian,
pendekatan Muhammad saw sebagai pembawa Islam awal terhadap kelompok
yang 'terpinggirkan' dalam stratifikasi sosial untuk membawa ajaran Islam di
masyarakat, juga menjadi poin penting dalam konsekuensi tersebut.
Secara jelas, al-Qur’ân menolak penggunaan hukum Jahiliyyah yang
dinilai penuh dengan pertimbangan hawa nafsu dan pemihakan terhadap
kelompok tertentu yang berkuasa di dalam masyarakat. Selanjutnya ditegaskan
bahwa hukum Islam merupakan satu-satunya hukum yang harus dipatuhi oleh
manusia karena berasal dari Allâh SWT dan membawa prinsip keadilan dan
kesetaraan sosial. 37
Pada periode awal Islam, Nabi Muhammad saw menyebarkan ajaran Islam
secara universal kepada seluruh manusia, di bawah bimbingan wahyu Allâh SWT.
W.M. Watt merinci ajaran Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw pada
periode awal Islam tersebut ke dalam 5 (lima) tema pokok, yaitu; kebaikan dan
kekuasaan Tuhan (God's Goodness and Power), pengadilan Tuhan di akhirat (the
Return to God for Judgement), respon manusia untuk bersyukur dan menyembah
34
Muhammad Hamidullah, The Emergence of Islam, Afzal Iqbal (translator and editor)
(Islamabad: Islamic Research Institut, 1993), cet. I , 64.
35
Andrew Rippin, Muslims; Their Beliefs and Practices, vol. I The Formative Period
(London: Routledge, 1990), cet. I, 10.
36
Lihat Marsh G. S. Hodgson, The Venture of Islam, 174
37
Ayat al-Qur’ân surat Al-Ma'idah ayat 50. Ayat ini didahului dengan ayat yang menerangkan
perintah Allâh SWT untuk memerangi dan menggunakan hukum Islam yang telah diturunkan oleh
Allâh SWT, lihat surat Al-Ma'idah ayat 48-49.
111

Tuhan (Man's Response gratitude and worship), respon manusia di hadapan


Tuhan untuk seorang dermawan (Man Response to God –Generosity) dan risalah
kenabian Muhammad saw (Muhammad's Own Vocation). 38
Inti ajaran awal Nabi Muhammad saw adalah ajaran tawhid yaitu ajaran
untuk beriman kepada Allâh yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa, Pencipta alam
semesta dan Penguasa alam akhirat yang mengadili pertanggungjawaban seluruh
makhluk-Nya (termasuk manusia) atas semua perbuatannya. 39 Konsekuensi logis
dari ajaran ini adalah adanya kewajiban untuk menyembah dan bersyukur kepada
Tuhan serta kewajiban untuk menjadi egaliter dan saling menyayangi antar
sesama makhluk, terutama sesama manusia. 40 Sementara itu, secara singkat bisa
dikatakan bahwa dasar ajaran pada periode awal tersebut adalah kesalihan
keakhiratan, kemuliaan etis dan ibadah shalat, seperti dikemukakan oleh Lapidus
bahwa eschatological piety, ethical nobility and prayer formed the basis of early
Islam. 41
Secara umum, hukum Islam berdiri di atas prinsip-prinsip yang harus
dipertahankan secara absolut dan universal. Prinsip-prinsip tersebut, sebagaimana
dikemukakan oleh Masdar F. Mas'udi, adalah ajaran yang qaṭ'i dan menjadi tolok
ukur pemahaman dan penerimaan hukum Islam secara keseluruhan. 42 Prinsip-
prinsip tersebut diidentifikasikan oleh Masdar yang antara lain adalah prinsip
kebebasan dan pertanggungjawaban individu, 43 prinsip kesetaraan derajat
manusia di hadapan Allâh, 44 prinsip keadilan, 45 prinsip persamaan manusia di

38
W.M. Watt, Muhammad; Prophet and Statesman (reprint) (Oxford: Oxford University
Press, 1969), cet. II , 23-24.
39
Marshall G.S. Hodgson, The Venture, I:163.
40
Ira M. Lapidus, 24.
41
Ira M. Lapidus, 25.
42
Masdar Farid Mas'udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqh
Pemberdayaan (Bandung: Mizan, 1997), cet. II , 29-30.
43
Surat al-Zalzalah/99 ayat 7-8.
44
Surat al-Hujurat/49 ayat 13.
45
Surat Al-Ma'idah/5 ayat 8.
112

hadapan hukum, 46 prinsip tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, 47 prinsip
kritik dan kontrol sosial, 48 prinsip menepati janji dan menjunjung tinggi
kesepakatan, 49 prinsip tolong menolong untuk kebaikan, 50 prinsip yang kuat
melindungi yang lemah, 51 prinsip musyawarah dalam urusan bersama, 52 prinsip
kesetaraan suami-istri dalam keluarga, 53 dan prinsip saling memperlakukan
dengan ma'ruf antara suami dan istri. 54
Berkenaan dengan egalitarianitas dalam Islam, surat al-Hujurat:49 ayat 13
menegaskan bahwa orang yang paling mulia di hadapan Allâh SWT adalah orang
yang paling bertaqwa, bukan orang yang paling kaya, paling pandai atau paling
berkuasa, entah itu laki-laki atau perempuan dan entah berasal dari suku bangsa
apapun. Disebutkan di permulaan ayat bahwa manusia itu tercipta dari asal
muasal yang sama, yaitu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
kemudian tersebar ke berbagai kelompok dan suku bangsa. Ditegaskan pula
bahwa antar sesama manusia perlu mengadakan komunikasi dan interaksi timbal
balik. Ayat tersebut diceritakan turun berkenaan dengan beberapa peristiwa,
antara lain peristiwa yang terjadi pada waktu fath al-makkah. Diceritakan bahwa
Bilal bin Rabah mengumandangkan seruan adzan dan dinilai oleh al-Harits bin
Hisyam tidak pantas karena Bilal adalah seorang "bekas" budak yang berkulit
hitam. Suhayl bin Amru merespon penilaian tersebut dengan menyatakan bahwa
jika perbuatan Bilal itu salah, tentu Allâh SWT akan mengubahnya dan turunlah
ayat tersebut. 55

46
Surat Al-Ma'idah/5 ayat 8..
47
Surat al-Baqarah/2 ayat 279.
48
Surat al-'Ashr/103 ayat 1-3.
49
Surat al-Isra'/17 ayat 34.
50
Surat al-Ma'idah/5 ayat 2.
51
Surat al-Nisa'/4 ayat 75. .
52
Surat al-Syura/42 ayat 38.
53
Surat al-Baqarah/2 ayat 187.
54
Surat al-Nisa'/4 ayat 19.
55
Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi, Asbâb al-Nuzûl, Abu al-Qasim Hibatullah ibn
Salamah Abu Nashr (pentahqiq) (Kairo: Maktabah al-Dakwah, t.t.), 295.
113

Jika kemudian ada aturan-aturan dalam hukum Islam yang kelihatannya


tidak sesuai dengan prinsip egaliter dan dan prinsip-prinsip lainnya, maka aturan
tersebut harus dipahami sesuai dengan konteks realitas sosial yang melingkupinya
dan memperhatikan fungsinya sebagai legal counter terhadap aturan-aturan
hukum non-egaliter yang berlaku pada masa Jahiliyyah. Sebagai contoh hukum
waris yang membagi harta warisan pada laki-laki dan perempuan dengan bagian
satu berbanding dua sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’ân, menurut
pemahaman yang egaliter, sebagaimana diungkapkan oleh Masdar misalnya,
harus dipahami dengan memperhatikan dua hal yang penting. Pertama, dengan
memberi bagian warisan kepada perempuan serta mendudukkan laki-laki dan
perempuan sama-sama sebagai subyek penerima warisan, maka berarti hukum
Islam telah melakukan reformasi yang cukup revolusioner dan radikal terhadap
hukum Jahiliyyah yang telah ada sebelumnya, yaitu tidak menjadikan perempuan
sebagai subyek penerima harta warisan dan bahkan bisa menjadi harta warisan itu
sendiri. Kedua, setting sosial ekonomi dalam kehidupan keluarga pada masa
munculnya aturan hukum tersebut adalah beban nafkah keluarga ditanggung oleh
laki-laki, sehingga pembagian warisan yang membagi laki-laki dengan bagian
warisan yang lebih besar daripada bagian warisan perempuan merupakan
pembagian yang adil. 56 Dengan begitu, maka aturan-aturan hukum Islam adalah
aturan hukum yang memiliki karakter egaliter, tidak rasial, tidak feudal dan tidak
patriarkhal.
1. Peranan Lembaga Pendidikan Islam (Pesantren)
Tanggung jawab lain yang mesti diemban pesantren, bahwa salah satu
misi awal didirikannya untuk menyebarluaskan informasi ajaran tentang
universalitas Islam yang berwatak pluralis, baik dalam dimensi kepercayaan,
budaya maupun kondisi social masyarakat.Hal ini nampak, dimana dengan
institusi pesantren, para wali, ulama dan pemuka agama Islam terdahulu berhasil

56
Masdar F. Mas'udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi, 52-53.
114

menginternalisasi nilai-nilai Islam dalam lingkungan masyarakat. Idealisasi


bentuk dari masyarakat yang diinginkan tersebut adalah masyarakat muslim yang
inklusif, egaliter, patriotic, luwes serta memiliki gairah terhadap upaya-upaya
transformatif. Misi kedua ini lebih menggambarkan peran pesantren sebagai
sebuah institusi pendidikan.
Dalam perkembangan selanjutnya, institusi pesantren dengan dua misi
besar di atas setelah dalam perjalanannya banyak bersinggungan dan bersentuhan
dengan berbagai kenyataan global dalam masyarakat dan dunia, maka disadari
bahwa dalam perkembangannya kemudian melahirkan berbagai persoalan krusial
dan dilematis. Di satu sisi dia berperan sebagai penterjemah 57 dan penyebar
ajaran-ajara Islam dalam masyarakat, di sisi lain untuk mempertahankan jati
dirinya sebagai lembaga atau institusi pendidikan Islam tradisional, pesantren
harus melakukan seleksi ketat dalam pegaulannya dengan masyarakat luar, atau
kenyataan luar yang tidak jarang menawarkan nilai-nilai yang bertentangan
dengan nilai-nilai yang dianut dan digariskan oleh pesantren. Akibatnya terjadi
semacam tarik menarik dua kekuatan, memilih salah satu sisi, berarti dia harus
meninggalkan keutuhan missinya, terlebih lagi jika harus meninggalkan kedua
sisi tersebut secara bersamaan.
Kondisi inilah yang kemudian memposisikan pesantren pada situasi
dilematis, yang kemudian melahirkan sebuah kenyataan yang menggambarkan
ketidak mampuannya lagi untuk memberikan kontribusi bagi masyarakatnya
dalam melakukan transformasi sosial, bahkan kemudian menjadikan pesantren
“jauh” dari masyarakatnya. Pesantren seolah-olah telah membentuk “komunitas
eksklusif”, yang tidak mau lagi bersentuhan dengan masyarakat sekitarnya.
Situasi lain yang juga memiliki andil dalam menciptakan kondisi
pesantren seperti di atas, adalah adanya berbagai kebijakan formal dalam

57
Yang dimaksud dengan penterjemah bahwa pesantren dan para kiyainya memberikan
penjelasan dan pemahaman atau penafsir terhadap kandungan al-Qur’ân dan Al-Hadith sebagai
sumber hukum yang harus ditaati.
115

masyarakat, baik yang dibuat secara sadar maupun tidak, telah menjadikan
institusi pesantren menjadi sebuah institusi yang kehilangan sikap kemandirian
dan elan vital yang dimilikinya. Kondisi ini kemudian menjadikan pesantren,
disamping sulit mengemban peran dan fungsi (role and place) seperti yang
dikemukakan di atas, juga membuat “hidupnya” diisi dengan mental
ketergantungan.
Berangkat dari kondisi ideal yang dicita-citakan serta realitas yang terjadi
dan dirasakan oleh institusi pesantren, maka ikhtiar yang mungkin dapat
dilakukan untuk mengembalikan fungsi dan peran pesantren sebagai institusi yang
diharapkan dapat berperan dalam upaya perubahan social (agent of social
change), serta institusi kelimuan yang diharapkan dapat berperan dalam
transformasi keilmuan baik untuk kalangan komunitas warga pesantren, maupun
untuk masyarakat pada umumnya, adalah dengan mencoba mengkaji ulang secara
kritis menggugat kemapanan pesantren yang selama ini selalu dibanggakan
sebagai institusi yang dinilai “paling orsinil” milik masyarakat Indonesia dengan
segala macam predikat baik lainnya.
Meskipun pesantren memiliki kecanggihan dan kemampuan menginstal
para ulama dan cenkiawan, namun daya tahan ekonominya sangat lemah,
sehingga tidak berdaya menepis godaan politik dan kekuasaan. 58 Godaan politik
dan kekuasaan inilah yang memberikan iming-iming agar pesantren ditinggalkan.
Upaya untuk membangun kembali atau mengembalikan fungsi dan peran
pesantren pada misi awal yang diembannya, sebagai institusi yang diharapkan
dapat menjadi agent transformasi keilmuan dalam berbagai bidang trutama dalam
hulum Islam dan pencerdasan masyarakat menuju terciptanya perubahan sosial ke
arah yang lebih baik, merupakan kondisi dan instrumen penting dalam upaya
penguatan masyarakat sipil (civil society), masyarakat yang secara sederhana

58
Hasbi Indra, Pesantren dan trasformasi Sosial Studi atas Pemikiran K Abdullah Syafi’e
dalam Bidang Pendidikan, Editor Hasan M. Noer dan Masyafa-Ullah, xviii
116

dapat difahami, sebagai bentuk masyarakat yang sadar akan hak dan
kewajibannya, serta memiliki kepedulian dan kemampuan untuk
memperjuangkan hak-haknya, serta menunaikan kewajibannya.59
Dalam hal ini bahwa peranan pondok pesantren sangat besar dalam
transformasi hukum. Para kiyai dengan ilmunya yang diajarkan kepada santri
kemudian para santri mengamalkan ilmu yang diturunkan oleh ustadnya yang
selanjutnya di suri tauladan atau ditiru oleh masyarakat, maka dari masyarkat
itulah masuk ke dalam Negara atau yang kemudian menjadi hukum positip.
Begitu pula halnya dngan pendidikan perguruan tinggi Islam
2. Peranan Perguruan Tinggi
Di sinilah kemudian peranan sivitas akademik dalam membantu
pemerintah menyiapkan blue print pengembangan Ilmu hukum yang lebih luas
menjadi penting. Dengan penguatan dan pemanfaatan nilai-nilai Islam yang
tercakup dalam ekonomi Islam pada berbagai aspek kehidupan, maka potensi
ekonomi Islam dalam mendukung ekonomi nasional akan makin terbuka. Sivitas
akademik di perguruan tinggi sudah saatnya tidak hanya berkutat pada masalah
akad dan transaksi yang menjadi core dari aktivitas mu’amalah, tetapi juga
melihat secara lebih makro kepada aspek-aspek kemanfaatan (maṣlaḥat) yang
terkandung dalam setiap transaksi untuk kemudian menterjemahkannya dalam
kerangka keilmuan yang dapat dimanfaatkan oleh banyak pihak, termasuk
pemerintah. 60
Perkembangan dan kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh sejauh
mana sumber daya manusia menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan
kepatuhan terhadap hukum untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan
kemakmuran bangsa. Suatu lembaga yang relevan dan bertanggung jawab untuk

59
Hasbi Indra, Pesantren dan trasformasi Sosial Studi atas Pemikiran K Abdullah Syafi’e
dalam Bidang Pendidikan, Editor Hasan M. Noer dan Masyafa-Ullah, 175.
60
Makalah ini disampaikan dalam Kuliah Umum Ekonomi Islam dan Pendidikan Islam Tahun
Akademik 2008/2009 Magister Studi Islam (MSI) UII, Sabtu, 13 September 2008.
117

menghasilkan sumber daya manusia unggul dan berkualitas yang menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah perguruan tinggi. Perguruan tinggi sebagai
centre of excellence hendaknya mampu mencetak sumber daya manusia yang
berkualitas untuk menghadapi era globalisasi yang penuh dengan tantangan dan
persaingan mutu atau kualitas. Tingkat kemajuan bangsa sangat ditentukan oleh
kemajuan dan perkembangan perguruan tingginya.
Perguruan tinggi agama Islam memiliki tantangan tidak ringan yang
seharusnya sudah dikuasai, tetapi sampai sekarang belum dilakukan dan dikuasai.
Tantangan itu adalah pengembangan sumber daya insani, sains, dan teknologi.
Apalagi sedikit sekali produk-produk atau ilmu-ilmu sains dan teknologi yang
cukup signifikan yang dikuasai oleh orang-orang dari perguruan tinggi agama
Islam. Tantangan yang dihadapi perguruan tinggi berkaitan dengan fungsi dan
tugas perguruan tinggi sebagai transformer dalam bidang hukum.
Suatu masyarakat moderen tidak akan terpikirkan tanpa adanya
universitas. A modern society is unthinkable without the university. 61 Kalimat ini
kutipan Jaroslave Pelikan, presiden American Academy of Arts and Siences. Bagi
setiap bangsa yang ingin maju, mau moderen dan berkembang, harus memiliki
perguruan tinggi yang bukan saja melestarikan tetapi yang lebih penting
mengembangkan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Lembaga pendidikan tinggi
diharapkan meneliti, menggodok dan memasyarakatkan nilai. Meto dan ide baru
serta memantau dn memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi
masyarakatnya. 62
Besarnya peran dan pentingnya fungsi perguruan tinggi tidak menutupi
kenyataan bahwa lembaga ini tidak terlepas sasaran kritik dan tumpuan kecaman.
Ada tiga fungsi perguruan tinggi yang disebut tridarma atau tiga pengabdian

61
Kutipan Jaroslave Pelikan, The Idea of University: A Reexamination (New Haven: Yale
University Press, 1992), 13.
62
Edward Shills, Modernizarion and Higher Education, dalam Myrom Weiner (ed)
Modernization: The Dynamics of Growth (New York Basic Books, 1966), 87-88.
118

perguruan tinggi yang ketiganya saling terpadu, yaitu darma pendidikan dan
pengajaran (teaching and learning), darma penelitian, dan darma pengabdian.
Perbedaan fungsi dan darma, adalah fungsi berkaitan dengan tugas dan darma
berkaitan dengan peran.
Darma pertama perguruan tinggi adalah pendidikan dan pengajaran
(teaching and learning). Darma ini menjadi pondasi dalam pelaksanaan
perguruan tinggi karena lebih banyak diarahkan untuk pengembangan sumber
daya insani. Indikator berkualitasnya pendidikan dan pengajaran salah satu
normanya adalah berkaitan dengan satuan kredit semester (SKS). SKS itu bobot
yang diberikan kepada tiap mata kuliah yang menunjukkan berapa banyak
pertemuan itu dilaksanakan, berapa banyak tugas-tugas yang harus dikerjakan
oleh peserta didik maupun dosen, berapa banyak pula upaya-upaya yang
dilakukan oleh peserta didik dan dosen dalam meningkatkan diri melalui kegiatan
mandiri belajar bebas. Misalnya, satu mata kuliah bobotnya 3 SKS dengan satuan
waktu 50 menit. Artinya bagi peserta didik harus mengikuti kuliah 3 kali 50 menit
kali 14 kali pertemuan (12 kali perkuliahan, 1 kali Ujian Tengah Semester (UTS)
dan 1 kali Ujian Akhir Semester (UAS) dalam satu semester. Ditambah 3 kali 50
menit mengerjakan tugas-tugas dari dosen. Ditambah lagi 3 kali 50 menit
mengerjakan tugas atau belajar mandiri. Jika peserta didik melaksanakan SKS itu
dengan baik, maka akan dihasilkan peserta didik dengan hasil belajar yang
berkualitas. Namun, keberhasilan itu akan dicapai jika dosen pun melakukan
tugasnya dengan baik. Dosen harus datang ke kelas 3 kali 50 menit kali 14 kali
pertemuan untuk berinteraksi dengan peserta didik. Dosen pun perlu persiapan-
persiapan yang matang untuk memberikan pengajarannya. Kemudian dosen pun
harus memeriksa semua tugas peserta didik dan mengembalikannya kepada
peserta didik, sehingga diketahui benar atau salahnya pekerjaan yang dilakukan
peserta didik tersebut. Selain itu, dosen pun dituntut untuk selalu membaca
119

sekurang-kurangnya 3 kali 50 menit. Dengan demikian bahan-bahan kuliah yang


akan diajarkan kepada peserta didik akan selalu up date. 63
Darma kedua perguruan tinggi yaitu penelitian yang muatannya lebih
banyak berkaitan dengan pengembangan sains dan teknologi. Penelitian ini yang
dianggap sebagai alat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pendidikan dan penelitian yang dilakukan dosen dan peserta didik diarahkan
untuk mengembangkan kemampuan kerja sama, cara berpikir dan berkarya secara
aktif dan kreatif, sustainable agar memiliki kontribusi dalam perubahan yang
terjadi di masyarakat ke arah yang lebih baik dengan dilandasi nilai-nilai
keimanan.
Darma ketiga perguruan tinggi adalah pengabdian, yaitu kegiatan yang
dilakukan oleh civitas akademika seperti dosen dan peserta didik dalam
pengembangan masyarakat agar terjadi perubahan ke arah yang lebih baik (agent
of change), baik untuk jangka pendek, menengah, atau jangka panjang
berdasarkan dari ilmu yang diperoleh dari pendidikan dan pengajaran serta hasil-
hasil penelitian. Untuk itu maka diterapkan suatu prinsip yang dikenal dengan
community development, atau rekayasa sosial yang dapat memberdayakan
masyarakat 64 agar mampu berdiri sendiri yang difasilitasi oleh perguruan tinggi.
Perguruan tinggi harus benar-benar menunjukkan perannya secara aktif dengan
melakukan kegiatan membina masyarakat supaya baik. Untuk perguruan tinggi
yang berkecimpung di bidang agama adalah membina masyarakat berkaitan
dengan agama Islam. Inilah yang disebut dengan dakwah. Bisa pula melakukan
pembinaan berkaitan dengan bidang lainnya seperti melaksanakan
entrepreneurship atau kewirausahaan, agar masyarakat bisa hidup mandiri.

63
Departemen Agama, Pembangunan Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional
(Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2009), 15.
64
Pemberdayaan dalam tahap emansipatif yaitu dari orang Islam, oleh orang Islam, untuk
orang Islamdan didukung oleh masyarakat global. Bukan hanya pada tahap initial, dari masyarakat
global, oleh masyarakat global, untu umat Islam, Lihat Syahrin Harahap, Perguruan Tinggi Islam di
Era Globalisasi (Sumatera Utara: IAIN Sumaetra Utara dan Tiara Wacana Yogya, 1998), Cet-1, x.
120

Ketiga fungsi dan peran perguruan tinggi itu saling berkaitan. Jika satu
fungsi atau peran pincang, apalagi ketiga-tiganya, maka sulit dikatakan perguruan
tinggi itu berkualitas. Fungsi dan peran perguruan tinggi ini dikaitkan dengan
keberadaan pendidikan yang lebih besar lagi. Semua orang yang terlibat dalam
penyelenggaraan perguruan tinggi mulai pimpinan, dosen sampai staf
administrasi, di dalam benaknya diarahkan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan.
Fungsi dan peran perguruan tinggi sebagai suatu lembaga pendidikan
harus dapat memberikan jaminan bahwa layanan yang bermutu kepada peserta
didiknya. 65 Perguruan tinggi atau dosen dalam memberikan layanannya agar tetap
bermutu memerlukan audit terhadap kinerja yang dilakukannya, termasuk
penilaian ynag dilakukan oleh peserta didik terhadap kualitas dosennya dalam
menyampaikan pengajaran. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui
kekurangan atau kelemahan dalam memberikan bahan kuliah untuk dijadikan
bahan memperbaiki dan mengembangkan kemampuan yang lebih baik dengan
bahan kuliah yang selalu up date. Penilaian dari peserta didik ini biasanya objektif
karena mereka mengalami langsung pembelajaran dari dosennya, apakah
memuaskan atau tidak memuaskan.
Dilihat dari konteksnya, fungsi dan peran perguruan tinggi berlaku dalam
tataran yang bersifat umum atau universal yang berlaku di mana pun. Siapa saja
baik perorangan, masyarakat, maupun negara dalam menyelenggarakan perguruan
tinggi harus menyadari fungsi perguruan tinggi itu. Yang paling mendasar pada
prinsipnya bahwa perguruan tinggi sebagai penyambung transformer hukum yang
selam ini terjadi stagnasi.

65
Layanan bermutu adalah layanan yang memberikan kepuasan kepada pemangku
kepentingan (stake holder). Kepuasan itu tidak hanya dirasakan oleh peserta didik saja, melainkan juga
orang tua atau masyarakat yang merasakan peserta didik sebagai sumber daya yang berkualitas. Lihat
Departemen Agama.. Pembangunan Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2009), 56
121

3. Peranan Majelis Ulama Terhadap Tranformasi Hukum


Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah Lembaga Swadaya Masyarakat
yang mewadahi ulama, zu'ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk
membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia,
MUI berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan
tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah
para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air,
antara lain: meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di
Indonesia pada waktu itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-
ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al
Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang
ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut
dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk
membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan
cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,”
yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut
Musyawarah Nasional Ulama I.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah
berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi
bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang
peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama
dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para
ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk: 66

66
"http://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia (Diakses pada tanggal 2 Februari
2010)
122

1) memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam


mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allâh
Subhanahu wa Ta’ala;
2) memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan
kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat
beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta;
3) menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan
penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan
pembangunan nasional;
4) meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam
dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan
kepada masyarakat khususnya umat Islam.
Majelis ulama Indonesia mempunyai lima fungsi utama, 67 yaitu :
a) Sebagai Pewaris Tugas-Tugas Para Nabi (Waratsatu al-Anbiyâ)
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai ahli waris tugas-tugas para
Nabi, yaitu menyebarkan ajaran Islam serta memperjuangkan terwujudnya suatu
kehidupan sehari-hari secara arif dan bijaksana berdasarkan Islam. Sebagai
waratsatu al-anbiyâ (ahli waris tugas-tugas para nabi), Majelis Ulama Indonesia
menjalankan fungsi kenabian (an-nubuwwah) yakni memperjuangkan perubahan
kehidupan agar berjalan sesuai ajaran Islam, walaupun dengan konsekuensi akan
menerima kritik, tekanan, dan ancaman karena perjuangannya bertentangan
dengan sebagian tradisi, budaya, dan peradaban manusia.
b) Sebagai Pemberi Fatwa (Mufti)
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pemberi fatwa bagi umat Islam
baik diminta maupun tidak diminta. Sebagai lembaga pemberi fatwa Majelis
67
"http://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia (Diakses pada tanggal, 25 Maret
1010)
123

Ulama Indonesia mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi umat Islam Indonesia


yang sangat beragam aliran paham dan pemikiran serta organisasi keagamaannya.
Dalam bidang ekonomi Syariah MUI telah mengeluarkan fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN) yang khusus menangi perekonomian secara Islam sebanyak 75
fatwa sampat pada tahun 2010.
c) Sebagai Pembimbing dan Pelayan Umat (Ra'iy wa Khadim al
Ummah)
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pelayan umat (khadim al-
ummah), yaitu melayani umat dan bangsa dalam memenuhi harapan, aspirasi dan
tuntutan mereka. Dalam kaitan ini, Majelis Ulama Indonesia senantiasa berikhtiar
memenuhi permintaan umat, baik langsung maupun tidak langsung, akan
bimbingan dan fatwa keagamaan. Begitu pula, Majelis Ulama Indonesia berusaha
selalu tampil di depan dalam membela dan memperjuangkan aspirasi umat dan
bangsa dalam hubungannya dengan pemerintah.
d) Sebagai Penegak Amar Ma’ruf dan Nahyi Munkar
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai wahana penegakan amar
makruf nahyi munkar, yaitu dengan menegaskan kebenaran sebagai kebenaran
dan kebatilan sebagai kebatilan dengan penuh hikmah dan istiqamah. Dengan
demikian, Majelis Ulama Indonesia juga merupakan wadah perhidmatan bagi
pejuang dakwah (mujahid dakwah) yang senantiasa berusaha merubah dan
memperbaiki keadaan masyarakat dan bangsa dari kondisi yang tidak sejalan
dengan ajaran Islam menjadi masyarakat dan bangsa yang berkualitas (khairu
ummah)
e) Sebagai Pelopor Gerakan Pembaharuan (al-Tajdîd)
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pelopor tajdid yaitu gerakan
pembaruan pemikiran Islam. Disamping itu juga sebagai pelopor gerakam ishlah
menjadi juru damai terhadap perbedaan yang terjadi di kalangan umat. Apabila
terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam maka Majelis Ulama
124

Indonesia dapat menempuh jalan al-jam'u wa al-tawfîq (kompromi dan


persesuaian) dan tarjih (mencari hukum yang lebih kuat). Dengan demikian
diharapkan tetap terpelihara semangat persaudaraan (ukhuwwah) di kalangan
umat Islam Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda dengan organisasi-organisasi
kemasyarakatan 68 lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom
dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam
kemandirian -- dalam arti tidak tergantung dan terpengaruh -- kepada pihak-pihak
lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan
mengambil keputusan atas nama organisasi.
Kemandirian Majelis Ulama Indonesia tidak berarti menghalanginya
untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam
negeri maupun luar negeri, selama dijalankan atas dasar saling menghargai posisi
masing-masing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama
Indonesia. Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama
Indonesia bahwa organisasi ini hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang
sangat beragam, dan menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidup
berdampingan dan bekerjasama antar komponen bangsa untuk kebaikan dan
kemajuan bangsa. Sikap MUI ini menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam
sebagai Raḥmatan li al-‘Alamîn (Rahmat bagi Seluruh Alam) 69
Peranan MUI dalam transformasi hukum Islam menjadi hukum positif
sangatlah besar, tidak hanya hukum yang berkaitan hukum keluarga tetapi juga

68
Dalam kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam, Majelis
Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra-struktur
yang membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya
sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat Islam. Majelis Ulama
Indonesia , sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama dan cendekiawan
Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/
Majelis_Ulama_Indonesia (Diakses pada tanggal, 25 April 2010)
69
http://www.mui.or.id/index.php?option=com.content&view=article&id=49&Itemid=53
(Diakses pada tanggal, 25 Mare 2010)
125

yang berhubungan dengan hukum bisnis. Banyaknya fatwa-fatwa MUI yang


digunakan sebagai dasar hukum pelaksanaan kegiatan ekonomi atau perbankan.
Dalam hal ini menunjukkan bahwa fatwa-fatwa MUI telah menjadi hukum positif
yang mempunyai keuatan hukum yang pasti.
4. Peran Ormas-Ormas Islam
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur
paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia
bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul
dalam satu batas teritorial kenegaraan. Karena itu, menjadi sangat menarik untuk
memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas
Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh
pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum
Islam di Tanah Air, misalnya, dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum
Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia.
Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga
dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan –bagi umat Islam secara khusus- untuk
menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan
“mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam
yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga
dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang
diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi
bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa
proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.
Untuk itulah, tulisan ini dihadirkan. Tentu saja tulisan ini tidak dapat
menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian sejarah hukum Islam di
Tanah air, namun setidaknya apa yang telah penulis paparkan di sini dapat
memberikan gambaran tentang perjalanan hukum Islam, sejak awal kedatangan
agama ini ke bumi Indonesia hingga di era reformasi ini.
126

Baru-baru ini, hukum Islam hanya bicara soal hukum yang berkaitan
keluarga, kini telah merambah pada tataran hukum bisnis atau ekonomi. Hal ini
terjadi disebabkan oleh banyaknya peran ulama dalam pengembangan ekonmi
yang dikenal dengan ekonomi syariah. Sebelumnya peran ulama masih berkisar
pada sebagai pemuka agama yang berorientasi pada masalah-masalah ibadah
semata. Seiring dengan berjalannya waktu peran ulama bergeser pada tataran
penting dalam dunia politik, social, budaya bahkan ekonomi. Jelas bahwa peranan
dan kontribusi ormas-ormas mempunyai pengaruh yang besar terhadap
pembnetukan dan transformasi hukum Islam menjadi hukum positif.
5. Peran Masyarakat Islam dalam Transformasi Hukum Islam
Hampir di seluruh kampus, sekolah-sekolah umum di kota-kota besar di
Indonesia, terdapat maraknya kajian dan dakwah mengenai Islam dalam satu
decade terakhir ini, Di masjid, mushalla, surau, rumah bahkan kadang-kadang
lapangan digunakan untuk dakwah menyebarkan syiar Islam. Hal tersebut patut
menggembirakan dengan adanya semangat umat Islam dan kesadarannya tumbuh
sedemikian besar. Tidaklah mengherankan ketika mendengar alunan suara merdu
yang membaca al-Qur’ân. Ini bisa disebut sebagai kebangkitan umat islam dari
tidurnya.
Kesadaran Islam tidak hanya terbatas di kalangan orang-orang yang sudah
lanjut usia, sebagaimana yang biasa kelihatan pada dekade-dekade yang lalu.
Pada zaman sekarang, kaum profesional berdasi tidak sungkan mendiskusikan
masalah-masalah Islam. Bahkan, ada kegiatan pesantren kilat untuk kalangan
eksekutif pada bulan-bulan tertentu. Selain itu, ada pula pengajian tetap mereka di
kantornya masing-masing. 70
Jika kita ingat-ingat bahwa dulu, mungkin ada kesan bahwa rajin ke
masjid itu kalau kepala sudah beruban. Barangkali juga, dahulu, sangat sulit

70
Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakti Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam
Pascakeyatuhan Soeharto, 108.
127

menemukan orang berpendidikan umum rajin datang ke masjid atau menghadiri


pengajian.. Akan tetapi, itu bukan pemandangan aneh pada zaman ini. Masjid-
masjid kampus penuh sesak dengan mahasiswa teknik, kedokteran, MIPA,
ekonomi, dan sebagainya. Mereka sangat bergairah mendiskusikan masalah-
masalah dakwah dan pengamalan ajaran Islam.
Dulu, sealim-alim mahasiswa di kampus umum, paling ia hanya aktif di
organisasi kemahasiswaan Islam, yang jika disorot dari segi pengamalan Islam
dan konsistensi pada ajarannya, tidak terlalu menonjol, apalagi jika ditinjau dari
segi akhlak Islamiyah. Mereka biasa mengadakan training dan diskusi Islam,
tetapi duduk bersebelahan, bahkan bersenderan antara laki-laki dan perempuan.
Ketika mau pulang, mahasiswinya diantar dan dibonceng oleh teman laki-lakinya.
Alasannya untuk lebih menjamin "keamanan" si wanita. Mereka juga
menganggap berpacaran itu suatu hal yang biasa dan terlalu alim (fanatis) jika ada
di antara mereka yang tidak berpacaran. 71
Akan tetapi, dalam lima belas tahun terakhir ini, ada fenomena lain yang
berubah jauh dibanding fakta-fakta tersebut, terutama berkaitan dengan tingkat
pemahaman keagamaan. Trend baru itu, yang kebanyakan justru tumbuh subur di
kampus-kampus umum, adalah kekentalan dalam mengamalkan Islam. Jika kita
menemukan aktivis wanitanya, jangan harap ia mau diajak berjabat tangan. Tidak
hanya itu, ketika berbicara dengan lawan jenisnya pun, mereka tidak mau
menantang bola mata lawan bicaranya.
Jika diukur dengan pola beragama aktivis dekade sebelumnya, fenomena
ini bisa saja mereka sebut sebagai ekstrimisme atau fundamentalisme. Akan
tetapi, dalam pandangan aktivis baru itu, hal-hal tersebut merupakan sikap yang
memang seharusnya ditampilkan oleh setiap Muslim. Alasan mereka begitulah

71
Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakti Peluang dan Tantangan Penerapan Syaria’t Islam
Pascakeyatuhan Soeharto, 109.
128

generasi awal Islam dahulu memegang Islam dengan sepenuhnya tidak separo-
separo.
Bila terjadi pernikahan di antara sesama aktivis di antara mereka, pesta
nya bisa dianggap sebagai sesuatu yang asing oleh orang awam. Pasalnya mereka
tidak mau mencampurkan antara undangan pria dan wanita. Sang pengantin juga
tidak mau disandingkan di depan orang seperti pajangan Jadi, intinya mereka
memang ingin menjalankan dengan sungguh-sunggul apa yang mereka baca dan
ketahui tentang Islam dari pendahulu-pendahuh umat ini (sahabat Nabi, tabi'in,
dan generasi-generasi sesudah mereka).
Selain itu, di kalangan masyarakat Muslim, semangat Islam itu jelas
terlihat Sebagai contoh, jumlah jama'ah haji terus meningkat dari tahun ke tahun.
Begitu pula orang-orang yang pergi umrah. Bahkan, banyak di antan mereka yang
melangsungkan Akad Nikah di Masjid. Di ibukota Jakarta, hal seperti ini sudah
menjadi fenomena baru, termasuk orang-orang berdasi yang banyak memenuhi
masjid.
Ini merupakan peluang yang sangat strategis bagi umat Islam bahwa
kemauan politik (political will) dari pemerintah, untuk menjadikan syariat Islam
menjadi hukum nasional menjadi nyata dan perubahan dengan mudah dapat
dilakukan. Akan tetapi, bila kemauan itu tidak ada, perubahan sekecil apa pun
terasa sulit untuk dilakukan. Selain kemauan politik, yang cukup menunjang
perubahan adalah iklim politik. Iklim politik yang otoriter tidak memungkinkan
adanya perubahan, kecuali dengan menggunakan kekerasan (revolusi). Iklim
seperti ini pernah kita rasakan selama periode kekuasaan Orde Lama dan Orde
Baru. Kekuasaan terpusat di tangan orang yang bergelar presiden. Suara-suara
rakyat yang tidak sejalan dengan kemauan Presiden dianggap sebagai penentang
yang akan menggulingkan kekuasaan yang "sah" (subversi).
Pada masa Orde Baru, isu syariat tidak lagi muncul kecuali dengan
nuansa negatif. Isu "Piagam Jakarta" digambarkan sebagai momok yang
129

menakutkan, sehingga semua golongan bangsa sama-sama mengantisipasinya


untuk tidak berlaku. Orang-orang yang bercita-cita hendak mengungkit kembali
"Piagam Jakarta" dianggap sebagai orang-orang berbahaya atau lebih populer
dengan sebutan "ekstrim kanan". Akhirnya, betapa rakyat Indonesia yang Muslim
ingin menerapkan syariat Islam, hal tersebut selalu mengalami jalan buntu.
Sungguhpun demikian, agaknya umat Islam masih belum berputus asa atau
berhenti memperjuangkan berlakunya syari’at Islam menjadi hukum positif. 72
Dengan runtuhnya rezim Orde Baru, tuntutan menerapkan kembali
"Piagam Jakarta" dan syariat Islam mengemuka, 73 terlebih ketika otonomi khusus
diberikan kepada Daerah Istimewa Aceh. Untuk itu, yang dibutuhkan sekarang
dalam konteks perjuangan penerapan syariat di Aceh adalah sebagai berikut.
a. Sosialisasi syariat sebagai sistem hukum yang ideal. Masyarakat harus sadar
betul bahwa persoalan Aceh dapat diselesaikan dengan syariat.
b. Meningkatkan wawasan masyarakat Aceh tentang syariat. Dalam hal ini,
seharusnya syariat dipandang sebagai sistem hukum yang utuh. Syariat
hendaknya tidak dikesankan hanya sebatas jilbab, libur hari Jumat, berdirinya
bank syariat, pakaian laki-lakinya jubah dan peci haji.
c. Mempersiapkan perangkat perundang-undangan syariat dalam berbagai
cabang hukum, seperti pidana, perdata, dagang, acara, perburuhan, pembagian
hasil alam yang dimiliki daerah, dan lain-lain.
Lebih dari itu, sesungguhnya, penerapan syariat tidak terbatas hanya di
wilayah Aceh saja. Opsi tersebut sejatinya di seluruh wilayah nusantara yang
dikuasai Islam. Pasalnya, jika kembali kepada prinsip akidah Islam, setiap
Muslim mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan Hukum Allâh di muka

72
Lihat M. Dawam Rahardjo, “Kata Pengantar Menegakkan Syariat Islam di Bidang
Ekonomi”, dalam bukunya Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, edisi ke-
3 (Jakarta: RahaGrafindo Persada, 2007), xii
73
Lihat M. Dawam Rahardjo, “Kata Pengantar Menegakkan Syariat Islam di Bidang
Ekonomi”, xiii
130

bumi dan kondisi masyarakat di wilayah-wilayah Nusantara tidak jauh berbeda


dengan Aceh.
Masyarakat Sumatera adalah masyarakat Melayu yang dalam pergaulan
sehari-hari identik dengan Islam. Orang non-Muslim yang masuk Islam disebut
"masuk Melayu". Adat istiadat Melayu hampir identik dengan ajaran Islam.
Apalagi dengan masyarakat Minangkabau yang dikenal sangat kental dengan
ajaran Islam. Di Minang, ada sebuah pepatah yang sangat terkenal: "Adat basandi
syara, Syara basandi Kitabullah". Pepatah Minang ini menggambarkan, betapa
melekatnya syariat Islam dengan adat Minangkabau.
Dengan adanya peraturan tentang otonomi daerah yang disahkan oleh
DPR pada tahun 1999 lalu, daerah-daerah di Indonesia berpeluang untuk
melaksanakan peraturan atau norma yang menjadi tuntutan masyarakat setempat.
Bila aturan itu disetujui oleh DPRD setempat, aturan itu sudah mempunyai
kekuatan hukum. Sebagai masyarakat Melayu yang identik dengan Islam,
masyarakat di Sumatera sudah tentu menginginkan bahwa hukum yang mengatur
kehidupan mereka adalah hukum syariat yang bersumber dari agama mereka.
Mereka merasakan bahwa syariat merupakan hukum yang paling adil dalam
memandang manusia.
Hal itu tentu beralasan karena syariat adalah hukum yang bersumber dari
wahyu Allâh Swt., Sang Pencipta manusia. Sudah tentu, hukum yang berasal dari
Allâh adalah hukum yang paling adil. Hal itu berbeda dengan hukum yang dibuat
manusia, yang pasti mengandung unsur ketidakadilan, kecurangan, dan
keberpihakan kepada kelompok tertentu.
Perjalanan panjang bangsa ini dengan produk hukum penjajah dengan segala
ekses yang ditimbulkannya-seperti kezaliman, hilangnya rasa kema-nusiaan,
mempertuhan materi dan hawa nafsu, tidak adanya keadilan- semakin
memperkuat kerinduan kita, masyarakat Melayu, agar hukum syariat dapat
diterapkan di daerah-daerah Melayu.
131

C. Perjuangan Penegakkan Hukum Islam di Indonesia


Pada hakikatnya bahwa Islam telah diterima oleh bangsa Indonesia jauh
sebelum penjajah datang ke Indonesia, waktu penjajah Belanda datang ke
Indonesia (Hindia Belanda), mereka menyaksikan kenyataan bahwa di Hindia
Belanda sudah ada hukum yang berlaku, yaitu hukum agama yang dianut oleh
penduduk Hindia Belanda seperti Islam, Hindu, Budha, dan Nasrani, disamping
hukum adat Indonesia (adatrecht), juga berlakunya hukum Islam yang sebagian
besar penduduk Hindia Belanda, berkaitan dengan munculnya kerajaan Islam
setelah runtuhnya kerajaan Majapahit pada sekitar tahun 1518M. Menurut
Christian Snouck Hurgronje sendiri bahwa pada abad ke-16 di Hindia Belanda
sudah muncul kerajaan Islam seperti Mataram, Banten dan Cirebon yang
berangsur-angsur mengislamkan semua penduduknya. 74
Kendatipun pada mulanya kedatangan Belanda yang beragam Kristen
Protestan ke Hindia Belanda tidak ada kaitannya dengan masalah hukum agama,
namun pada perkembangan selanjutnya, berkaitan dengan kepentingan penjajah,
akhirnya mereka tidak bisa menghindari terjadinya persentuhan dengan masalah
hukum yang berlaku bagi penduduk pribumi (Inlander) sehubungan dengan
berlakunya hukum adat bagi bangsa Indonesia dan Hukum agama bagi masing-
masing pemeluknya, muncullah beberapa teori yang dikenal dengan teori receptio
in complexu, teori receptie (resepsi), teori receptie exit dan teori receptio a
contrario, dan teori eksistensi. Dua teori yang pertama muncul pada masa
sebelum bangsa Indonesia merdeka. Dan tiga teori terakhir muncul setelah
Indonesia merdeka.
1. Politik Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli
sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan

74
Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 143
132

kedelapan masehi. 75 Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara,


kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal
gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu
kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur.
Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh
berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan
ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara. 76
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah
nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul
berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri
Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan
Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan
Kesultanan Ternate serta Tidore. Kesultanan-kesultanan tersebut –sebagaimana
tercatat dalam sejarah- itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai
hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di
setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang
telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini
dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama
nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. 77 Dan kondisi terus berlangsung hingga
para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara. Hukum Islam pada Masa
Penjajahan Belanda Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara
dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia

75
Sebagaimana disebutkan dalam Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam
Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Mei 2005), 61. Sementara itu Bahtiar Effendy
menyebutkan bahwa Islam mulai diperkenalkan di wilayah nusantara pada akhir abad 13 dan awal
abad 14 Masehi. Kesimpulan ini sangat mungkin didasarkan pada fakta bahwa kesultanan Islam
pertama, Samudra Pasai, berdiri pada kisaran waktu tersebut. Li Bahtiar Effendy, Islam dan
Negara;Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina,
Oktober 1998, 21.
76
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, 61.
77
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-Konstitusi Indonesia, 61-62.
133

Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang,
VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat
dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC
sebagai perpanjang tangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu, disamping
menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam
menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan
hukum Belanda yang mereka bawa. Dalam kenyataannya, penggunaan hukum
Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat
menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun
membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah
mereka jalankan. 78 Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa
“kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
1) Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC,
dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk
agama Islam.
2) Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di
tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini
kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
3) Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di
Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone. Di Semarang, misalnya, hasil
kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-
Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan disbanding
Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum
pidana Islam. 79
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga
menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda

78
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-Konstitusi Indonesia, 63-64.
79
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-Konstitusi Indonesia, 64-66.
134

kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5


tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah
Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras
mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu
menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan
rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dâr al-Islâm dan
dâr al-harb.
Menurut Masykuri Abdillah ajaran-ajaran agama Islam sebagian besar
telah dipraktekkan dalam kehidupan pribadi, sosial dan politik sejak peride nadi
sampai kedatangan koonialisme Barat. Hukum Islam menjadi hukum positif
dalam kekhalifahan kesultanan dan kerajaan Islam, 80 seperti kerajaan Mataram
dengan istilah natagama. Datangnya kolonialisme Barat ke negara-negara Muslim
mengakibatkan berkurang eksistensi hukum Islam di kalangan para
pemeluknya. 81 Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan berbagai cara
untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya melalui:
1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi; dan
2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah
(spiritual) saja. 82
Politik perkembangan hukum Islam yang sangat pesat, penasihat
pemerintah Belanda yang juga ahli hukum Islam, Prof Christian Snouck
Hurgronje (1857-1936) memunculkan kebijakan Islam Policy yang pada intinya,
hukum Islam harus dijauhkan dari masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam

80
Masykuri Abdillah, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, dalam Jauhar
Journal Pemikiran Islam Kontektual, Vol. 1, No. 1, Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2000, 51
81
Masykuri Abdillah, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasiona, 51
82
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, 67-68.
135

dan menarik rakyat pribumi agar lebih dekat dengan tradisi dan budaya
pemerintah kolonial Belanda dan Eropa lainnya. 83
Kebijakan tersebut akhirnya dirinci oleh Snouck Hurgronje menjadi teori
Receptie seperti yang tertuang dalam pasal 134 ayat 2 Indische Straaftregeling
(IS) di mana hukum Islam hanya dapat diterima sebagai hukum apabila telah
dilaksanakan oleh masyarakat adat. Artinya tidak ada hukum Islam kecuali yang
diterima sebagai hukum adat.
Dengan kebijakan tersebut, arah hukum yang berlaku bagi masyarakat
Indonesia pribumi pada saat itu bergerak menuju hukum adat dan menggeser
peran hukum Islam. Tidak kurang dari 19 wilayah di Indonesia mulai
mengembangkan hukum adatnya. Kekuasaan Peradilan Agama mulai dibatasi
oleh sebuah komisi bentukan pemerintahan kolonial yang dipimpin oleh Bertrand
ter Haar Barn (1892-1941). Kewenangan Peradilan Agama di Jawa dan
Kalimantan Selatan untuk memutus soal-soal kewarisan mulai ditanggalkan dan
diserahkan ke Landraad.
Setelah kebijakan Snouck Hurgronje ini, arah kebijakan hukum
pemerintah kolonial yang diberlakukan bagi golongan pribumi mengutamakan
hukum adat. Sehingga muncullah selanjutnya kajian-kajian hukum adat ini oleh
para ahli hukum Belanda seperti Cornellis van Vollenhoven (1874-1933) dengan
karyanya Het adatrech van Nederlandsch-Indie (Kitab Hukum Adat Hindia
Belanda) yang berisi tradisi adat dari 19 wilayah yang berbeda dan tradisi adat
dari kaum pendatang seperti Arab, Tionghoa, India, dan lain sebagainya.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya muncul berbagai teori yang
pada intinya menentang teori Snouck Hurgronje yang mengesampingkan hukum
Islam sebagai hukum yang hidup dan diakui yang dikemukakan oleh para ahli
hukum Indonesia seperti antara lain Prof. Hazairin (1905-1975) dan Sayuti Thalib
yang pada initinya mengemukakan bahwa berdasarkan kenyataan kebutuhan dan

83
MS. Kaban, Mengawal Syari’ah (Jakarta: Pustaka ar-Rayhan, 2007), Cet. Kedua, 18-23.
136

konsumsi hukum masyarakat Indonesia yang kebanyakan Islam adalah bahwa


toeri Receptie yang mendahulukan adat adalah terbalik/bertentangan (Contratio)
dengan kenyataan yang hidup di tengah masyarakat.
Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum
Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut:
1) Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan
Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin
menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan
hukum Belanda. 84
2) Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem,
Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang
agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan
yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas
kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian
menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda. 85
3) Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje,
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk
komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam
memeriksa kasuskasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh
hukum adat setempat). 86
4) Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische
Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement),
yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan
hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak
ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi. 87 Lemahnya posisi hukum Islam ini

84
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, 68.
85
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, 68-70.
86
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia,70.
87
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, 72.
137

terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di


wilayah Indonesia pada tahun 1942.
2. Politik Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada
panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942,
segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu
diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan
bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya
dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja
berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi
terakhirnya di masa pendudukan Belanda. 88
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan
berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat
Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
a) Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam
sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
b) Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin
oleh bangsa Indonesia sendiri.
c) Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
d) Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi)
pada bulan oktober 1943. 89
e) Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang
mendampingi berdirinya PETA.
Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan
kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat,

88
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, 76.
89
Mengenai apakah Masyumi versi ini merupakan asal-usul Partai Masyumi di kemudian hari.
Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, 93, catatan kaki no. 105.
138

Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu.
Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan
kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka. 90
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum
Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga,
masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya
pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah
keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah
Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di
bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam.
Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika
pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945) Meskipun Pendudukan Jepang
memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia,
namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang
memenangkan perang –yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan
untuk kemerdekaan Indonesia-, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya.
Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh
nasionalis Indonesia.
Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis
untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa
badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI
(Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis.
Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11
diantaranya yang mewakili kelompok Islam. 91 Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat

90
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, 76-79.
91
Daniel S.Lev, Islamic Courts in Indonesia, 34, sebagaimana dinukil dari Bakhtiar Effendy,
Islam dan Negara, 83.
139

menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan
yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar
anggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golongan dalam
masyarakat Indonesia”. 92
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir
dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi
paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia
merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam. 93
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang
mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat
Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu
akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh
PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi
mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan
Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut
dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945.
Namun Letkol Shegeta Nishijima –satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui
Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru
Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu
dipertanyakan mengingat Latuharhary –bersama dengan Maramis, seorang tokoh

92
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, 84. Mereka antara lain adalah Ki Bagus Hadikusumo,
Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, dan K.A.Wahid Hasjim. Jumlah ini
didasarkan pada apa yang dituliskan oleh Muhammad Yamin dalam Naskah Persiapan Undang-
Undang Dasar 1945, jilid I dan II (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), 60. Sementara dalam Ramly
Hutabarat menyebutkan dalam Kedudukan Hukum Islam, 85, disebutkan jumlah kubu Islam adalah 15
orang. Data ini didasarkan pada pidato Abdul Kahar Muzakkir di Konstituante, dalam Tentang Dasar
Negara di Konstituante, (jilid III. Bandung: Secretariat Jenderal Konstituante, 1959), 35.
93
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, 89-90. Titik kompromi lain juga terlihat dalam
rumusan tentang syarat menjadi Presiden Republik Indonesia yang haruslah “orang Indonesia asli dan
beragama Islam.
140

Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu
saat sidang BPUPKI. 94
Perjuangan formalisasi syariat Islam ternyata tidak berhenti sampai di
situ. Umat Islam terus berlanjut memperjuangkannya dan memuncaknya dalam
Sidang Konstituante 1959. Dalam forum itu seluruh partai Islam justru
memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara yang artinya syariat berlaku tidak
hanya pada umat Islam, tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia. Perjuangan ini pun
menjadi kandas, karena suara pendukung Islam sebagai dasar Negara masih lebih
kecil dari suara yang menolaknya, wlaupun umat Islam disebut sebagai mayoritas
di Indonesia.
3. Politik Hukum Islam di Era Orde Lama
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar.
Isa Ashary mengatakan, Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat
Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu
politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam. 95 Hukum Islam pada Masa
Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950
Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki
masa-masa revolusi (1945-1950).
Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin
kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda
berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan
negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia.
Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak
lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia
Serikat pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan berlakunya Konstitusi RIS
tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik
94
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, 92-93
95
Risalah Perundingan 1957, tanpa tempat, Konstituante Republik Indonesia, tanpa tahun,
325, sebagaimana dinukil dari Bakhtiar Effendy, Islam dan Negara, 91.
141

Indonesia–yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia


Serikat-. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai
konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini
misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana
rancangan UUD’45 yang disepakati oleh BPUPKI.
Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh
faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan
Deklarasi HAM versi PBB. 96 Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun
1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara
Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir,
mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai
upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19
Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS
dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi,
jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak
yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam
Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34
yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar
Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap
penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang
menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. 97 “Kelebihan”
lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan
hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang.
Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. 98
Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat

96
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 103.
97
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 110-111.
98
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 112.
142

mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada


tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum
nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan
Nasional. 99 Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi
memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka
tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-
undang yang bersifat tetap. 100
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam
Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir
tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh
Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas
akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang
dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam
dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa
“Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu
kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan
memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono
lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”. 101
Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik
adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini
hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang
kuat dan meyakinkan. Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya
beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini.
Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo
dari Jawa Barat.

99
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 113.
100
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 115.
101
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 131-133.
143

Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islam-nya


pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk
kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI
terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah
diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun
memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun
pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas
itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan
Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri
dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar apa yang mereka
sebut dengan “kesadaran teologis politis”nya. 102
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah
eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu
sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang
mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal
15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat
pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian
menerima Manipol Usdek-nya Soekarno 103 - bersama dengan PKI dan PNI 104
kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yangberjiwa Nasakom.
Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan;
salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan
kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. 105

102
Karl. D. Jackson, Traditional Authority, Islam, and Rebellion, 10, sebagaimana dikutip
dari Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, 96-97.
103
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, 110.
104
Masing-masing diwakili oleh Idham Cholid (NU), D.N. Aidit (PKI), dan K. Suwirjo (PNI).
105
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 140-141.
144

Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama
ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang
untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi
ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran
hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
4. Politik Hukum Islam di Era Orde Baru
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru,
banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam
upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan
politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan
bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun
segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD
1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan
menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi. 106 Lalu bagaimana
dengan hukum Islam?
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum
nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk
mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad
Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan
Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat
fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan
dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan
di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan
lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu
badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan

106
Bakhtiar Effendy, Islam dan Negara, 111-112.
145

sendirinya menurut Hazairin- hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai
hukum yang berdiri sendiri. 107
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no.
14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. 108 Hal ini kemudian disusul
dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di
bidangbidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari
1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan
menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama. 109
Munculnya Orde Baru, mengandung harapan bagi para pemimpin politik
Islam tentang kemungkinan kembalinya Islam dalam panggung politik nasional,
terutama harapan untuk tampilnya kembali partai politik Islam Masyumi, yang
oleh penguasa lama dibubarkan. Sayangnya, harapan itu tak pernah menjadi
kenyataan, karena partai Masyumi tidak direhabilitasi. 110 Bakha, kecendrungan
Orde Baru dalam kebijakan-kebijakan politisnya lebih merugikan umat Islam.
Misalnya pada periode 1970-1973, ada ketegangan antara kelompok-kelompok
politik yang berorientasi agama Islam dan penguasa berkaitan dengan rencana
fungsi partai-partai politik Islam. Penyederhanaan itu ditempuh dengan
pengelompokan partai menjadi tiga golongan utama yaitu: golongan karya, partai-
partai yang berdasarkan nasionalisme dan partai-partai yang berdasarkan agama.
Akhirnya, pada tanggal 1973, IPKI, partai katolik, parkindo, murba, dan PNI
berfungsi menjadi demokrasi Indonesia (PDI), dan partai NU, Parmusi, PSII, dan
Perti tergabung dalam partai persatuan pembangunan (PPP). 111 Tidak
dicantumkannya kata Islam dalam partai yang baru dibentuk (PPP) dan
menggantinya dengan kata pembangunan tentu mengurangi identitas politik

107
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 149-150, dan 153.
108
Ramli Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 163-164.
109
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 156-157.
110
Sebagai gantinya, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) didirikan, tetapi dengan control
cukup ketat oleh pemerintah, bahkah unsure pimpinan Masyumi tidak dilibatkan, lihat, Fachry Ali,
Islam, Pancasila, dan Pergulatan Politik, Pustaka Antara, 108
111
UU No. 3 Tahun 1975
146

Islam, kecurigaan umat Islam semakin kuat ketika kebijakan Orde Baru
sebenarnya sedang menyingkirkan Islam dari gelanggang politik dengan lahirnya
RUU Perkawinan Tahun 1974 perubahan lambang PPP dari Kabah menjadi
bintang, peristiwa tanjung priok, asas tunggal pancasila, isu komando jihad, UU
Pendidikan Nasional, dan UU Peradilan Agama.
Trend yang berkembang pada masa Orde Baru dalam kehidupan politik
adalah peranan militer dalam kehidupan politik yang sangat kuat dan dominan.
Civic mision telah semakin sempurna menjadi dwi fungsi. Kaum militer telah
menunjukkan peran pentingnya dalam usaha konsolidasi. Dalam masalah ini,
hubungan militer dengan Islam sebagai bagian dari kekuatan sipil sangat
ditentukan oleh pandangan keduannya. Pada masa ini pula, trend yang
berkembang kuat adalah penerimaan pancasila dengan satu-satunya asas. 112
Menurut Mohammad Natsir, 113 salah satu wujud akomodasi bagi gagasan
pelaksanaan syariat Islam dibentuknya Departemen Agama Republik Indonesia
yang dimaksudkan agar umat Islam masih terus bisa memperjuangkan berlakunya
syariat Islam bagi para pemeluknya, melalui legislasi di parlemen dengan
dukungan partai-partai Islam. Kerjasama Departemen Agama dengan partai-partai
Islam dan unsur-unsur simpatisan Islam di partai sekuler seperti Golkar telah
terjadi penyusunan hukum positif yang mengakomodasi syariat Islam, misalnya
tercermin dalam UU Nomor 14 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor
1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama, UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, dan UU No. 17 tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Haji.
Perkembangan politik Islam pada sepuluh tahun pertama masa orde baru
tidaklah menguntungkan. Hubungan antara negara dan Islam penuh ketegangan.
Apapun yang datangnya dari Islam selalu ditanggapi pemerintah dengan

112
Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah
(Bandung: Pustaka Setia, 2004), Cet. Pertama, 126
113
Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah, xiv
147

pendiskreditan. Sebagai akibatnya pihak Islam bermunculan kelompok


fundamentalis yang menentang hampir semua kebijakan pemerintah. Kesan
bahwa Islam itu tradisionalis, anti modernisasi, anti pembangunan, dan bahkan
anti pancasila telah menyebabkan umat Islam terkena proses marginalisasi dalam
modernisasi dan pembangunan nasional. Munculnya gerakan pemikiran baru
Islam dikalangan intelektual muda Islam pada tahun 1970 an merupakan salah
satu bentuk penyikapan agar eksistensi umat Islam diperhitungkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara 114 .
Gagasan pemikiran baru Islam mendapatkan bentuknya paling awal ketika
Nurcholis Maddjid menuliskan gagasan-gagasannya dalam sebuah makalah
berjudul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.
Inti yang dikemukakan oleh Nurcholish berkenaan dengan kondisi umat Islam
yang kurang dikesani menguntungkan. Oleh karena itu, umat Islam yang kurang
dikesani pilihan antara keharusan pembaruan dan mempertahankan sikap
tradisionalistik. Keduanya memiliki konsekuensi tertentu. Pilihan pertama
tampaknya mempunyai potensi yang dapat menimbulkan perpecahan umat,
sementara pilihan kedua berarti memperpanjang situasi kejumudan intelektual
umat Islam.
5. Politik Hukum Islam di Era Reformasi
Tumbangnya Soeharto menandai kemunculan reformasi. Istilah ini
menjadi sangat dikenal oleh seluruh masyarakat yang dianggap sebagai
penyelamat kehidupan mereka, bahkan dianggap segala-galanya. Ia muncul
sebagai akibat dari keterpurukan ekonomi yang berdampak pada semakin

114
Istilah Pemikiran baru adalah untuk menyederhanakan istilah pembaruan pemikiran yang
secara terminologis masih belum jelas dan banyak dipersoalkan. Paling tidak, istilah itu menunjukkan
adanya perbedaan gagasan dengan tokoh Islam sebelumnya, seperti M. Natsir, HM Rasyidi, Deliar
Noer, dan sebagainya. Sedangkan pemikiran baru lebih bersifat empirik, tetapi tidak apologetic dalam
meyikapi gagasan modernisasi pemerintah Orde Baru. Lihat, Fachry Ali, Islam, Pancasila, dan
Pergulatan Politik, 122-123
148

beratnya beban hidup masyarakat. 115 Reformasi, boleh dikatakan merupakan hasil
usaha bersama antara kelompok nasionalis (abangan) dan Islam (santri) dengan
tema sentral KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Setelah itu, fenomena
konflik abangan-santri mulai muncul. Ada forkot, Famred, dan Promeg (Pro
Megawati) sebagai simbol abangan, yang sejak pagi mengajukan sidang istimewa
MPR. Ketika Habibie disahkan sebagai Presiden menggantikan Soeharto, mereka
ramai-ramai menolaknya dan menganggapnya tidak konstitusional. Padahal,
penyebab sebenarnya adalah karena mereka tidak suka apabila elit santri dalam
ICMI mengisi kekosongan pemerintahan pasca-Soeharto. Tampaknya, sesudah
masa Soeharto (Orba), Islam masih mencari jati dirinya, terutama dalam politik.
Masa Soeharto memang telah menyingkirkan kalangan Islam dari perpolitikan
resmi.
Munculnya Orde Reformasi merupakan bagian dari proses sejarah
kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Orde Reformasi ini diyakini akan lebih
baik dibandingkan orde sebelumnya. 116 Apalagi sudah didengungkan bahwa orde
ini berorientasi pada penciptaan Masyarakat Madani, suatu masyarakat terbuka,
demokratis, dan transparan. Pemerintahan sipil (civilian government)
sebagaimana ditulis oleh filosof Inggris John Locke dalam buku Civilian
Government pada 1690, dan dipandang sebagai orang yang pertama kali
membicarakan ide ini bahwa pembentukan pemerintahan sipil adalah membangun
pemikiran otoritas umat untuk merealisasikan kekayaan. Dalam hal ini dapat
direalisasikan melalui demokrasi parlementer, sebagai wakil rakyat dan pengganti
otoritas raja.

115
Seperti diketahui, tahun 1997 agenda utama reformasi yang dituntut oleh mahasiswa dan
elit politik adalah pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), penegakan hukum,
pengadilan mantan Presiden Soeharto serta keluarga dan kroninya, serta penghapusan peran politik dan
Polri. Lihat, Muhammad Said Didu, Mereformasi Agenda Reformasi, bagian pertama dari dua tulisan,
salah artikel yang dimuat dalam Republika, tanggal 9 Mei 200, 4
116
Sebenarnya, agenda reformasi hanya dapat dilaksanakan pada suasana masyarakat yang
tertib, landasan yang kuat, serta suasana negara yang mandiri dalam mengambil keputusan. Dalam
kondisi ancaman kebangkrutan perekonomian serta ancaman disintegrasi bangsa, yang diperlukan
hanyalah agenda penyelamatan bangsa. Lihat, Muhammad Said, 143.
149

Masa Reformasi telah terjadi kebangkitan politik Islam, yang ditandai oleh
beberapa gejala. Pertama, lahirnya sejumlah partai-partai Islam, yaitu partai-
partai yang mendasarkan diri pada Islam sebagai idiologi politik. Kedua, lahirnya
sejumlah organisasi berhaluan radikal fundamentalis yang secara lebih fokus dan
tegas menginginkan ditegakkannya syari’at Islam, dengan metode jihad. Ketiga,
tuntutan atau rencana sejumlah daerah propinsi, khususnya Nanggroe Aceh
Darsussalam (NAD) dan kabupaten baik di Jawa maupun luar Jawa, untuk
menerapkan syari’at Islam, melalui legislasi di daerah dalam rangka otonomi
daerah.
Perkembangan itu menunjukkan, bahwa di samping kegagalan dalam
memperjuangkan formalisasi syari’at Islam di tingkat nasional, tampak telah
terjadi kemajuan penerapan syari’at Islam secara inkremental, dalam dimensi
institusional, sektoral maupun ragional. Dalam masa reformasi telah timbul lagi
perjuangan formalisasi syari’at Islam, dengan timbulnya tuntutan dari sejumlah
organisasi Islam radikal dan beberapa partai politik, khususnya Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan (PK) agar ST MPR, Agustus 2002,
memulihkan kembali gagasan Piagam Jakarta, dengan mengamandemen pasal 29
ayat 1 UUD 1945 tentang dasar negara, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa untuk
ditambah “dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya.” Namun tuntutan
itu tidak memperoleh dukungan yang memadai dari para anggota MPR. Bahkan
dua organisasi Islam terbesar, yaitu Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah,
ternyata menolak usul amandemen tersebut.
Belum adanya kesamaan sikap di antara para tokoh Islam, terutama dalam
hubungannya dengan politik, tampaknya akan terus berlangsung sejalan dengan
dinamika kahidupan umat Islam dalam berbangsa dan bernegara. Namun
demikian, paling tidak dua spektrum pemikiran politik Islam yang berbeda 117

117
Pandangan ini berusaha untuk membandingkan atau memahami politik Islam dalam
konteks politik modern, lihat Bahtiar Efendy, 12-13
150

dapat diidentifikasi. Kedua spektrum itu sama-sama mengakui pentingnya


prinsip-prinsip Islam dalam setiap aspek kehidupan dan keduanya mempunyai
penafsiran yang jauh berbeda atas ajaran-ajaran Islam dan kesesuainnya dengan
kehidupan modern. Oleh karena itu, bagi sebagian kalangan muslim, ajaran-ajaran
itu harus lebih ditafsirkan kembali melampaui makna tekstualnya dan aplikasinya
dalam kehidupan nyata. Pertama, beberapa kalangan muslim beranggapan bahwa
Islam harus menjadi dasar negara, yaitu Syari’ah harus diterima sebagai konstitusi
negara; kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; gagasan tentang negara bangsa
(nation-state) bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam) yang tidak
mengenal batas-batas politik atau kedaerahan; dan sementara mengakui prinsip
syura (musyawarah), aplikasi prinsip itu berbeda dengan demokrasi yang dikenal
dalam diskursus politik modern dewasa ini. Dengan kata lain, konteks sistem
politik modern, dengan banyaknya negara Islam yang baru merdeka telah
mendasarkan bangunan politiknya, diletakkan dalam posisi yang berlawanan
dengan ajaran-ajaran Islam. Kedua, beberapa kalangan Muslim lainnya
berpendapat bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara
(atau sistem politik) yang harus dijalankan oleh ummah. Menurut aliran pemikiran
ini, istilah negara (dawlah) pun tidak dapat ditemukan dalam al-Qur’ân yang
merujuk atau seolah-olah merujuk pada kekuasaan politik dan otoritas, tetapi
ungkapan-ungkapan ini hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya bagi
teori politik. Yang jelas, bagi mereka, al-Qur’ân bukanlah buku tentang ilmu
politik.
Gegap gempita demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok
Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum
Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan
MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang
yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan
151

ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu
daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya
suatu peraturan yang bersifat umum. 118
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit
merealisasikan hukum Islam dalam wujud Undang-undang dan peraturan telah
membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam
tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002. 119
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi
sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia.
Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan
hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, yang diadop
berdasarkan Al-Qurân dan al-sunnah untuk kemudian dijadikan sebagai norma
hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.
6. Amanat Reformasi Hukum Islam
Sepanjang sejarah Indonesia merdeka, tidaklah berlebihan apabila
dikatakan pada masa reformasi inilah wakil umat Islam mendapatkan posisi yang
lebih baik dalam pentas kekuasaan. Tokoh Muhammadiyah menjadi ketua MPR.
Tokoh NU menjadi Presiden. Tokoh HMI menjadi ketua DPR. Sepanjang sejarah
hukum di Indonesia, baru kali ini juga seorang aktivis Islam menjadi menteri
kehakiman. Padahal, dalam rezim-rezim sebelumnya, aktivis-aktivis Islam hanya
berada dalam posisi pinggiran dan tidak strategis. Bahkan, sering gara-gara
keaktifan mereka dalam kegiatan-kegiatan Islam, mereka kehilangan posisi.

118
Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional (Jakarta: makalah
Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, 27
September 2000), 5
119
Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional (Jakarta: makalah
Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, 27
September 2000), 7.
152

Terlepas dari kritikan tajam yang diarahkan kepada mereka, yang pasti, peluang
menduduki jabatan-jabatan strategis itu baru terbuka sesudah adanya reformasi. 120
Sebenarnya, sekarang tinggal bagaimana bergantung pada para tokoh-
tokoh umat itu mampu memanfaatkan posisi yang Allâh amanahkan kepada
mereka atau tidak, terutama untuk merancang penerapan syariat. Dengan
memberdayakan sarjana-sarjana syariat dan sarjana hukum yang ada di berbagai
wilayah, adalah sangat memungkinkan untuk merancang rumusan undang-undang
yang bernafaskan syariat di wilayah masing-masing. Paling tidak, pekerjaan besar
ini sudah bisa dicicil dari sekarang.
7. Peluang dan Aspirasi Penerapan Syaria’t Islam
Ketika Negara Republik Indonesia akan diproklamasikan dibentuklah
sebuah Badan Perancang Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Dalam sidang-sidang BPUPKI yang akan menentukan dasar Negara itu, dimana
anggota-anggotanya terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan dasar Negara
tersebut. Pihak Islam yang megusulkan agar Negara ini menjadi Negara Islam dan
pihak nasionalis yang mengingnkan pemsiahan urusaha kenegaraaan dengan
urusan keagamaan. 121 Kedua usul ini sama kuat, namun pada akhirnya terjadilah
kompromi antara kedua pihak dimana pada akhirnya empat pemimpin Islam
berhasil murumuskan piagam Jakarta yang akan dijadikan Mukaddimah UUD
1945 dan telah dipersiapkan oleh BPUPKI/PPKI. Dalam piagam itu, dicantumkan
lima sila yang menjadi dasar Negara, di mana sila pertamanya adalah “Ketuhanan
Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi
pemeluknya”. 122

120
Lihat Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakti Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat
Islam Pascakeyatuhan Soeharto, 110.
121
Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakti Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam
Pascakeyatuhan Soeharto (Bandung: Syamsul Cipta Media, 2006), Cet. Pertama, 109
122
Dawam Rahardjo, Pengantar Menegakkan Syariat Islam di Bidang Ekonomi, Dalam sebuah
Buku, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, ditulis oleh Adiwarman Karim (Jakarta: IIIT
Indonesia, 2003), Cet. Prtama, xiii.
153

Apa yang terjadi setelah Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17


Agustus 1945 disore harinya adalah bahwa rumusan kompromis itu dihapus pada
sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sehari sesudah
proklamasi. Aktor intelektual dari upaya penghapusan ini adalah M. Hatta sendiri.
Ia mengklaim didatangi salah seorang opsir angkatan laut Jepang yang mengaku
sebagai utusan dari kelompok Kristen dari Indonesia Timur. 123
Kendatipun demikian, umat Islam yang committed tetap mempertahankan
aspirasi mereka untuk menerapkan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Pada era reformasi di bawah Presiden B.J. Habibie dan
Abdurrahman Wahid memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk kembali
menyampaikan aspirasi mereka secara terbuka, termasuk aspirasi untuk
memperjuangkan legislasi hukum Islam sebagai hukum nasional atau
pembelakuan piagam Jakarta. 124
Aspirasi umat Islam untuk menerapkan hukum Islam tidak dapat
dipisahkan dari proses tranformasi sosial dan politik Ada dua kontek pendekatan,
pertama, kontek pendekatan struktural yang menekankan tranformasi dalam
tatanan sosial dan politik agar mempengaruhi transformasi prilaku sosial sehingga
lebih Islami; kedua, pendekatan kultural menekankan transformasi dalam prilaku
sosial yang diharapkan dapat mempengaruhi institusi-intitusi sosial dan politik
menjadi Islami. Hubungan timbal balik antar kedunya sangatlah dekat.
Sebaliknya, pendekatan struktural mensyaratkan pendekatan politik, yang berupa
partai-partai politik, lobi-lobi atau melakukan sosilisasi ide-ide Islami yang dapat
mendorong produk pembuatan kebijakan umum. Sebaliknya, pedekatan kultural
hanya mensyaratkan sosilisai dan internalisasi ajaran Islam oleh umat Islam tanpa
dukungan langsung prioritas politik 125

123
Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakti Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam
Pasca Kejatuhan Soeharto, 110.
124
Masykuri Abdillah, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, 52
125
Masykuri Abdillah, 53.
154

Sejatinya yang pertamalah yang harus dilakukan, karena ajaran Islam itu
sebetulmya bersifat otoriter bagi para pemeluknya. Namun umat Islam hanya
memahami ajaran agama secara parsial tidak secara komprehensif. Islam tidak
hanya mengenalkan diri sebagai suatu sistem spiritual atau mengenai hubungan
vertikal makhluk dengan Khaliknya saja seperti ibadah mahdhah. Islam
mengharuskan agar ajaran-ajarannya dilaksanakan secara utuh sehingga
menghasilkan perubahan total dalam kehidupan masyarakat; mulai dari perubahan
ideologis, perubahan pola pikir, perubahan gaya hidup, hingga kepada penerapak
syariat Islam sebagai aspek hukum dalam Islam. 126 Ini yang dimaksudkan dengan
ayat Al-Qur’ân, Q:S. 2:208, “Masuk Islamlah kamu secara keseluruhan”. Dalam
pandangan Islam, hidup manusia itu dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh.
Tidak ada perbedaan antara masalah shalat sebagai ibadah maḥḍah dan
muamalah sebagai ibadah ghairu maḥḍah dalam kewajiban untuk tunduk kepada
syariat. Sebagaimana wajibnya kita melaksanakan shalat.

126
Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakti Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam
Pascakeyatuhan Soeharto, 107.
BAB IV
HUKUM PERBANKAN SYARIAH
DALAM SUATU TINJAUAN

A. Epistemologi
1. Hukum Perbankan Syariah
Hukum perbankan syariah terdiri dari tiga suku kata, yakni hukum,
perbankan, dan syariah. seperti yang telah diuraikan pada bab terdahulu bahwa
pengertian hukum adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap
mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas. 1 Sedangkan
kata hukum yang kita pergunakan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Arab
“hukm” tanpa huruf “u” yang berarti norma atau kaidah yakni ukuran, tolok
ukur, patokan, pedoman yang digunakan untuk menilai tingkah laku atau
perbuatan manusia dan benda. 2 Dalam buku The New Book of Knowledge,
didefinisikan ”laws  are  rules  that  define  people’s  rights  and  responsibilities 

toward society. Laws are agreed on by society and made official by governments”.
Hukum adalah aturan-aturan yang membatasi hak dan kewajiban orang-orang
terhadap masyarakat, disepakati oleh masyarakat dan dibuat pegawai
3
pemerintah.
Perbankan adalah bentuk kata benda berasal dari kata “bank”. Kata “bank”
terambil dari bahasa Itali, yakni banco yang berarti meja. Artinya bahwa mejalah
yang digunakan untuk melakukan kegiatan proses kerja bank sejak dahulu sampai

1
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Cet.
Keempat , 350
2Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), cet. Pertama, 40.
3
Grolier Publishing Company, The New Book of Knowledge (Jakarta: Grolier Pub. Co.,
2003), 760

155
156

sekarang masih, dan mungkin sampai yang akan datang secara administrati, tetap
dilaksanakan di atas meja. Dalam bahasa Arab bank disebut dengan kata maṣrif,
yang berarti tempat berlangsungnya saling, baik dengan cara mengambil ataupun
menyimpan, atau selainnya untuk melakukan muamalah. 4
Dalam bahasa Indonesia kata bank berarti lembaga keuangan yang usaha
pokoknya memberikan kredit dan jasa lalu lintas pembayaran dan peredaran
uang. 5 Menurut UU Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
syariah, pada ketentuan umum, pasal 1 ayat (2) Bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat. Sedangkan kata “perbankan” itu sendiri yang
merupakan bentuk kata benda “abstrak” mempunyai segala sesuatu yang
berkenaan dengan bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan
proses melaksanakan kegiatannya. 6
Selanjutnya, kata “syariah”, menurut Hussain Hamid Hassan dalam
bukunya Lectures on Islamic Economics menyebutkan bahwa hukum Islam
adalah pemahaman manusia mengenai syariah. Pemahaman ini bisa benar dan
bisa salah dan itulah fitrahnya fiqih. Sebaliknya bahwa syariah tidah pernah akan
salah, karena syariah wahyu Allâh melalui nabi Muhammad saw. Jadi syariah itu
permanen tidak berubah dan tidak bisa diragukan, sebab syariah adalah al-Qur’ân
itu sendiri. 7 Muhammad Said al-Ashmawi, mengutarakan bahwa kata syariah
dalam arti yang sebenarnya adalah “jalan, metode, atau cara”. Kata syariah pada
mulanya digunakan oleh generasi muslim untuk arti yang tepat, kemudian di

4
Muhammad Sayyid Thanthawi, Mu’amalah al-Bunûk wa Aḥkâmuha al-Shar’iyyah (Mesir
Daar Nahḍah, 1997), 50.
5
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, 90.
6
Hermansyah, Hukum Perbakan Nasional Indonsia (Jakarta: Prenada Media Group, 2008,
Cet. Keempat, 39.
7
Hussain Hamid Hassan, Lectures on Islamic Economic (New York: Cambridge University
Press, 2000), 759
157

perluas meliputi aturan-aturan hukum baik yang ada dalam al-Qur’ân maupun al-
Hadith. Akhirnya istilah syariah masuk dalam ranah aturan-aturan hukum yang
sah. Kini, hukum Islam atau syariah merujuk pada yurisprudensi Islam. 8
Sementara kata “syariah“ dalam versi bank syariah di Indonesia adalah
aturan perjanjian yang dilakukan oleh pihak bank dan pihak lain untuk
penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha dan kegiatan lainnya
sesuai dengan hukum Islam. 9 Sedangkan kata syariah secara harfiah adalah jalan
menuju sumber air dan dalam pengertian teknis, kata ini berarti sistem hukum dan
aturan perilaku yang sesuai dengan ajaran al-Qur’ân dan hadith. Karenanya kaum
muslimin tak dapat memilah perilaku mereka kedalam dimensi religius dan
dimensi sekuler. Selain itu tindakan mereka harus selalu mengikuti syariah. 10
Sementara itu hukum Islam yang dimaksud adalah hukum yang berkaitan dengan
pemahaman manusia tentang ketentuan-ketentuan hukum syariah. 11 Prinsip
syariah menurut Undang-undang adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. 12
Untuk memeperoleh pengertian tentang hukum perbankan perlu
dikemukakan berbagai pengertian dari para ahli hukum perbankan antara lain:
Menurut Djumhana, hukum perbankan adalah sebagai kumpulan peraturan
hukum yang mengatur kegiatan lembaga keuangan bank yang meliputi segala
8
Hal ini terjadi dengan kata syariah juga terjadi pada kata Taurat dalam Yahudi. Taurat berarti
“way of Guidance” .yang kemudian dimaknakan legal rules (aturan-aturan yang sah atau resmi)di
dalam Taurat, khususnya dalam buku perjanjian lama . Lihat Muhammad Said al-Ashmawi, Islamic
Law and Contemporary Politic and Sociaty, 97-98.
9
Zainuddin Ali, Hukum Perbankan syariah (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008), Cet. 1. 1
10
Mervyn K.Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah prinsip, praktik dan Prospek
terj.(Jakarta: Serambi Ilmu, 2001), 27.
11
Pemahaman manusia mengenai syariah itu disebut hukum Islam Syariah tidak akan pernah
salah, karena adalah wahyu Allâh melalui nabi SAW dan syariah itu adalah permanent (tetap). Jadi
syariah itu tidak diragukan lagi kebenarannya,oleh karenanya yang selalu berubah adalah pemahaman
manusianya yang beruba Lihat Hussain Hamid Hassan, Lectures Islamics Economics (New York:
Cambridge University Press, 2000), 760
12
Departemen Keuangan RI, Undang-undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah (Jakarta: Departemen Keuangan RI, 2008), 4
158

aspek, dilihat dari segi esensi, dan eksistensinya, serta hubungannya dengan
bidang kehidupan yang lain. 13
Munir Fuady merumuskan hukum perbankan adalah seperangkat kaidah
hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yurisprudesi, doktrin, dan
lain-lain sumber hukum, yang mengatur masalah-masalah perbankan sebagai
lembaga dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi
oleh suatu bank, prilaku petugas-petugasnya, hak, kewajiban, tugas dan tanggung
jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan oleh bank, eksistensi perbankan, dan lain-lain yang
berkenan dengan dunia perbankan.
Hermansyah mengemukakan bahwa hukum perbankan adalah keseluruhan
norma-norma tertulis maupun norma-norma tidak tertulis yang mengatur tentang
bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses
melaksanakan kegiatannya.
Dengan demikian, menurut pendapat penulis bahwa yang dimaksud
dengan hukum perbankan syariah adalah keseluruhan norma, kaidah, aturan yang
mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perbankan, yang dalam
bentuk operasionalnya berdasarkan al-Qur’ân dan al-Hadith yang
diimplementasikan dalam bentuk Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Oleh
karena itu, ketika bank yang kegiatan operasionalnya tidak didasarkan pada fatwa
MUI, maka bank tersebut tidak termasuk sebagai bank syariah.
2. Perbankan Syariah
Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta
cara dan proses dalam emlaksanakan kegiatan usahanya. 14 Perbankan Syariah

13
Hermansyah, Hukum Perbakan Nasional Indonsia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008,
Cet. Keempat, 39
14
Undang –Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,
Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (1)
159

adalah lembaga keuangan yang bekerja untuk menarik (mengumpulkan) sumber-


sumber keuangan yang berasal dari individu-individu masyarakat, dan
melaksanakan fungsinya dalam menjamin kebesaran dan pertumbuhan keuangan
berdasarkan kaidah-kaidah syariat Islam, serta peran pelayanan umat dan upaya
peningkatan ekonomi mereka. 15
Singkatnya tujuan bank syariah/Islam bukanlah sekedar untuk
mengumpulkan harta kaum muslimin an sich namun tujuan dasarnya adalah
untuk melaksankan tugas operatifnya bagi peningkatan produktifitas
nasionalisme, penyediaan modal bagi masyarak dan pemenuhan kebutuhan
mereka, serta tujuan untuk mencapai keuntungan bagi setiap nasabah, bank dan
masyarakat. 16
Secara umum, tahap pengintegrasian pinsip syariah telah dilakukan oleh
Indonesia, seperti adanya pengakuan sistem perbankan berbasiskan syariah
dalam UU perbankan. Namun, yang perlu diperhatikan adalan bahwa UU ini
perlu didukung oleh perangkat perudang-undangan yang lainnya agar dapat
berjalan secara maksimal.
Menurut Nasution, pengintegrasian ekonomi syariah agar dapat dilakukan
adalah melalui pengakuan dan pengadopsian prinsip hukum ekonomi syariah
seperti yang terdapat dalam KHI ke dalam regulasi nasional kita. Hal ini dapat
dilakukan melalui pembentukan regulasi khusus yang mengatur tentang ekonomi
syariah maupun melalui amandemen regulasi yang ada.
Disamping itu, juga harus dilakukan penguatan infrastruktur pelaksana
hukum ekonomi syariah agar dapat diimplementasikan di tingkat lapangan.
Pembentukan budaya hukum masyarakat yang menerima dan melaksanakan
prinsip ekonomi syaria juga merupakan hal penting untuk menjamin suksesnya
pengintegrasian hukum ekonomi syariah dalam hukum nasional. Selain itu aksi

15
Lihat Al-Khadiri, Al-Bunûk al-Islâmiyah, 17.
16Lihat Al-Khadiri, Al-Bunûk al-Islâmiyah, 31.
160

nyata yang harus dilakukan adalah pembaruan produk-produk huku ekonomi yang
lebih efektif untuk mendukung perkembangan dan implementasi ekonomi syariah.
Pembangunan hukum (law making) harus dilakukan sebagai suatu usaha dalam
memperbarui hukum positif hukum di Indonesia. 17
Menurutnya bahwa tujuan utama bank Islam antara lain: peningkatan bank
Islam; penanaman modal; tujuan sosial, peningkatan kwalitas hidup manusia;
tujuan pencapaian predikat tinggi; penyebaran budaya dan pengetahuan
perbankan Islam; menghidupkan dan membangkitkan tradisi dalam berbagai
transaksi finansial; niaga dan pertukaran uang.
Bank syariah muncul di Indonesia disebabkan oleh dorongan keinginan
masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Islam, yang berpandangan bahwa
bunga bank merupakan riba sehingga dilarang oleh Islam. Namun tidak semua
umat Islam berpendapat bahwa bunga bank itu adalah haram. Pro dan kontra
inilah menyebabkan lahir dan perkembangan perbankan syariah di Indonesia
sangat lambat. Dilihat dari aspek hukum, adanya bank syariah di Indonesia adalah
undang-undang Nomor 7 Tahun 1992. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan
sebagai bank prinsip bagi hasil. 18
Tahun 1992 Undang-undang perbankan Indonesia telah mengakomodir
sistem perbankan yang menjalankan operasinya berdasarkan prinsip bagi hasil,
yakni perbankan syariah. Hal ini secara nyata diwujudkan dalam revisi UU Pokok
Perbankan No. 14/1967 menjadi UU No.7 Tahun 1992 tentang perbankan yang
telah memasukkan ketentuan tentang pelaksanaan kegiatan perbankan dengan
sistem bagi hasil yang selanjutnya diatur secara lebih rinci dalam PP No. 72 tahun
1992 tentang Bank dengan Prinsip Bagi hasil. Berdasarkan UU No. 7 tahun 1992
itu, bank syariah dipahami sebagian bank bagi hasil, selebihnya bank syariah
harus tunduk pada peraturan perbankan umum yang berbasis konvensional. Oleh

17Nasution,
Hukum Ekonomi Syariah dalam Regulasi Nasional, 19-20
18
Muhammad Sholahuddin dan Lukman Hakim, Lembaga Ekonomi dan Keuangan syariah
Kontemporer, 76.
161

karena itu manajemen bank syariah mengadopsi produk-produk bank


konvensional.yang disyariahkan dengan variasi produk yang terbatas. Akibatnya
tidak semua kebutuhan masyarakat terakomodir dan produk yang ada tidak
kompetitif terhadap semua produk bank Konvensional. Sementara itu, PP. No. 72
Tahun 1992 (Pasal 6) merupakan salah satu pelaksanaan peraturan dari UU No.7
Tahun 1992. 19
Berdasarkan identifikasi terhadap sejumlah kendala tersebut maka UU
No.7 tahun 1992 tentang Perbankan diubah dengan Undang-undang No.10 Tahun
1998, sehingga landasan hukum syariah menjadi lebih jelas dan kuat, baik dari
segi kelembagaannya maupun landasan operasionalnya. Dengan demikian
pengembangan bank Syariah merupakan amanah UU No. 10 tahun 1998 yang
harus dilaksanakan oleh Bank Indonesia karena UU tersebut mengakui
keberadaan bank konvensional dan bank syariah secara berdampingan atau lebih
dikenal dengan dual banking system . Berdasarkan UU tersebut bank umum
maupun BPR dapat beroperasi berdasarkan prinsip syariah dan bank umum
konvensional melalui suatu mekanisme perizinan tertentu dari Bank Indonesia
dapat melakukan kegiatan usaha perbankan syariah dengan membuka kantor
cabang syariah. Guna menindak lanjuti UU No. 10 tahun 1998 pada tahun 1999
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai kelembagaan dan jaringan
kantor bagi Bank Umum Syariah (BUS), Bank Umum Konvensional (BUK) yang
membuka Unit Usaha Syariah (UUS) dan Kantor Cabang Syariah (KCS) dan
ketentuan BPR Syariah (BPRS).

19
Undang-undang tersebut menentukan bahwa: Bank Umum atau Bank Perkriditan Rakyat
yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan
kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil. Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan
usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil. Lihat Tim Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia,
Perbankan Syariah Nasional: Arah dan Kebijakan dan Perkembangan (Jakarta: Biro Perbankan
Syariah Bank Indonesia,2003) 4
162

Selanjutnya Undang-undang No.3 tahun 2004 tentang perubahan UU


No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia bahwa dalam rangka mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia diantaranya mempunyai tugas
pokok mengatur dan mengawasi bank (pasal 8), termasuk bank umum dan BPRS.
Tugas pokok tersebut mempertegas bahwa Bank Indonesia berkewajiban
mengembangkan Bank Syariah dengan menyusun ketentuan dan menyiapkan
infrastruktur yang sesuai dengan karakteristik bank syariah.
Disamping itu, pasal 10 point 2 UU No. 23 Tahun 1999 menegaskan
bahwa Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter berdasarkan
prinsip-prinsip syariah. Pada tahun 2000, sebagai tindak lanjut dari UU No. 23
Tahun 1999, dikeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengatur kliring,
pembukaan rekening Giro pada Bank Indonesia bagi UUS, Giro Wajib Minimum
(GWM) bagi bank umum syariah, Pasar Uang Antar Bank berdasarkan prinsip
syariah (PUAS), fasilitas pembiayaan jangka pendek bank Syariah, Kualitas
Aktiva Produktif Bank Syariah, Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank
Syariah dan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). 20 Jadi bank Indonesia
tidak hanya melakukan pengendalikan pada bank konvensional saja tetapi juga
pada bank yang berdasarlan prinsip syariah.

B. Sumber Hukum Perbankan Syariah


Islam mengatur umatnya dalam segala hal, diantaranya adalah mengatur
hubungan antara makhluk dengan Tuhannya serta hubungan makhluk dengan
makhluk seperti hubungan antar sesama manusia. 21 Hubungan makhluk dengan
Tuhan diwujudkan dalam ibadah yang kemudian diatur dengan fiqh ibadah. Dan
hubungan makhluk dengan makhluk diatur dengan fiqh muamalat. Salah satu

20
Bank Indonesia, Himpunan Ketentuan Perbankan Syariah Indonesia Agustus1999-Januari
2005 (Jakarta: BI, 2005)
21
Sauqi Ahmad Dunya, Sistem Ekonomi Islam sebuah alternatif (Jakarta: Fikahati Aneska,
1994), Cet. 1, 120
163

pembahasan dalam fiqh muamalat adalah ekonomi Islam. 22 Kemudian dalam


ekonomi Islam terdapat pembahasan tentang perbankan syariah.
Adapun landasan yang digunakan dalam perbankan syariah adalah Al-
Qur’ân (wahyu Allâh yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. melalui
malaikat jibril) dan Sunah Rasulullah (ucapan, perbuatan dan sikap Rasulullah
saw.) Yang kemudian ijma dan Qiyâs yang di ijtihatkan oleh Dewan Syariah
Nasional. Untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’ân
Al-Qur’ân adalah sumber pertama dan utama bagi ekonomi Islam, oleh
karena itu Al-Qur’ân 23 adalah sebagai dasar hukum dalam perbankan syariah
yang didalamnya terdapat hal ihwal yang berkaitan dengan ekonomi dan juga
terdapat hukum-hukum dan undang-undang diharamkannya riba, dan
diperbolehkannya jual beli, orang yang memakan riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan, sebagaimana yang
dijelaskan surat Al-Baqarah ayat 275.
Contoh lain di dalam al-Qur’ân adanya perintah mencatat atau
membukukan yang baik dalam hal utang-piutang, di dalam surat Al-Baqarah ayat
282 yang artinya:

22
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif: Ekonomi Islam (Jakarta:Kencana, 2006), ed.
I., Cet-2, 12
23
Tujuan diturunkannya Al-Qur’ân adalah a) sebagai hudan atau petunjuk bagi kehidupan
umat manusia; b) Sebagai rahmat atau keberuntungan yang diberikan Allâh dalam bentuk kasih
sayangnya; c) sebagai furqan yaitu pembela dari yang baik dan buruk; d) sebagai mau’izhah atau
pepengajaran yang akan mengajar dan membimbing umat untuk mencapai kebahagiaan dunia akherat;
e) sebagai bushra atau berita gembira bagi orang yang telah berbuat baik kepada Allâh dan sesama
manusia; f) sebagai tibyan atau mubîn yang berarti penjelasan atau yang menjelaskan terhadap segala
sesuatu yang disampaikan Allâh; g) sebagai musaddiq atau pembenar terhadap kitab kitab yang datang
sebelumnya (Taurat, Zabur dan Injil); h) sebagai nur atau cahaya yang akan memerangi kehidupan
manusia; i) sebagai tafsil yaitu memberikan penjelasan secara rinci sehingga dapat dilaksanakan sesuai
dengan yang di kehendaki Allâh; ) sebagai shifâ as sudur atau obat rohani yang sakit; k) sebagai
hakim atau sumber kebijaksanaan/hikma(Drs. Mohammad Hidayat, Pengantar Ekonomi Islam,
(Jakarta: PKES, 2009), 10)
164

Selain itu ada perintah Allâh kepada orang-orang yang beriman agar
menepati dan menghormati janjinya, baik sesama muslim maupun non muslim.
Ini dijelaskan dalam surat Al-Maidah. (QS: 5:1)
2. Sunnah An-Nabawiyah
As-Sunnah adalah sumber kedua dalam perundang-undangan Islam. As-
Sunnah sekaligus merupakan alat untuk menginterpretaskan al-Qur’ân. Di
dalamnya dapat kita jumpai aturanaturan yang terkait dengan perekonomian
Islam. Diantaranya seperti sebuah hadith yang isinya larangan terhadap jual beli
gharar (akad jual beli tipuan yang menyodorkan barang yang tidak jelas)
ââdisebutkan dalah hadith Abu Hurairah dalah Shahih bahwa ia menceritakan:
“Rasulullah Saw. Melarang menjual dengan sistem hashat (melempar batu
dalam menjual tanah untuk mengukur luasnya) dan jual beli gharar.” 24
Contoh lain, As-Sunnah juga menjelaskan tentang riba. Riba adalah
tergolong dalam hal yang membinasakan, hal ini disebutkan dalam hadis Abu
Hurairah, dari Nabi Saw. Diriwayatkan bahwa Beliau bersabda:
“Hindarilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya,
“Apakah Tujuh hal yang membinasakan itu wahai Rasulullah?” Beliau
menjawab, ‘Perbuatan syirik kepada Allâh, sihir, membunuh orang yang
diharamkan oleh Allâh untuk dibunuh kecuali dengan alasan yang haq,
memakan riba, memakan harta anak yatim,lari dari medan perang, dan menuduh
wanita suci yang sudah menikah dan beriman bahwa mereka berzina.’ 25
Contoh terakhir adalah hadis yang menerangkan larangan menipu
“Barang siapa menipu kami, maka tidak termasuk golongan kami”. (HR.Muslim).
Dari beberapa contoh tersebut diatas adalah sebagian dari dasar hukum
yang digunakan dalam konsep perbankan syariah.

24
Muslim, Al-Iman, Bab Qauluhu Saw. Man Ghasysyana fa laisa minna, no.102
25
Al-Bukhori, al-Washaya, no. 2766
165

3. Ijma’ dan Qiyâs


Untuk Ijma’ dan Qiyâs disini adalah ijma’ dan Qiyâs yang dilakukan oleh
para salafus shalihin. Ijma dan Qiyâs perbankan syariah merujuk pada kitab-kitab
fiqih umum dan kitab fiqih khusus.
Kitab-kitab fiqih umum ini menjelaskan ibadah dan muamalah. Dalam
muamalah terdapat pembahasan tentang ekonomi yang dikenal dengan Al-
Muamalah Al-Maliyah, isinya merupakan hasil Ijtihat ulama terutama dalam
mengeluarkan hukum-hukum dari dalil Al-Qur’ân dan Hadis yang shahih.
Pembahasan yang dimaksud disini (dalam kitab-kitab fiqih umum) yang berkaitan
dengan ekonomi Islam adalah Zakat, Sedekah sunah, Fidyah, Zakat Fitrah, Jual
Beli, riba, dan lain sebagainya.
Kitab fiqih khusus (Al-Mâlu Wal-Iqtisâdi). Kitab ini secara khusus
membahas masalah yang berkaitan dengan uang, harta lainnya dan jual beli. 26
Yang dimaksud dengan Fiqih atau hukum Islam adalah pemahaman manusia
mengenai al-Qur’ân dan Al-Sunnah yang kemudian impelementasikan dalam
fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
4. Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Di Indonesia terdapat sebuah lembaga yang bernama Majelis Ulama
Indonesia, yang di dalamnya merupakan kumpulan para ulama dari berbagai
golongan atau organisasi umat Islam di Indonesia. Walaupun Majelis Ulama
bukan merupakan supra struktur dari ormas-ormas Islam yang ada di Indonesia,
akan tetapi Majelis Ulama Indonesia bisa dipahami sebagai sebuah wadah yang
merepresentasikan umat Islam Indonesia. Hal ini disebabkan antara lain karena
pengurus majelis ulama Indonesia merupakan fungsionaris atau pimpinan ormas
Islam, bahkan Majelis Ulama Indonesia mengakomodir tokoh-tokoh lain yang
tidak berasal dari oramas Islam yang mempunyai kredibilitas dan kapabilitas,

26
Ahmad Izzan, dan Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah: Ayat-Ayat Al-Qur’ân Yang
Berdimensi Ekonomi (Bandung: Rosda karya, 2006), Cet.1, 33
166

misalnya Perguruan Tinggi Islam dan dari pesantren serta dari Institusi keislaman
lainnya.
Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah perkhidmatan terhadap umat
Islam di Indonesia mempunyai berbagai fungsi dan tugas yang harus diembannya,
salah satu fungsi dan tugasnya adalah sebagai pemberi fatwa keagamaan di
Indonesia. 27
Fatwa yang ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia dapat
dikelompokkan kedalam tiga kategori utama: kategori pertama adalah fatwa
tentang kehalalan produk makanan, minuman, dan kosmetika, kategori kedua
adalah fatwa yang bekaitan dengan perekonomian Islam, dan kategori ketiga
adalah; pertama. fatwa tentang masalah sosial keagamaan; kedua; sosial
kemasyarakatan; ketiga, kesehatan dan lain sebagainya. 28
Karena perbankan syariah berdasarkan syariah Islam maka semua akad
yang ada dalam perbankan syariah harus sesuai dengan fatwa Majelis Ulama
Indonesia, yang dalam istilah ekonomi syariah lebih tepat Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia.
Jadi, salah satu sumber rujukan hukum tentang Perbankan Syariah adalah
Fatwa MUI yang biasanya digodok dan dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional
MUI (DSN MUI). Sebagai lembaga yang menghimpun semua organisasi Islam
yang ada di Indonesia, Fatwa MUI dapat menjadi rujukan semua masyarakat
muslim di Indonesia. Hal ini berbeda dengan Fatwa Muhammadiyah atau Fatwa
Nahdlatul Ulama, misalnya, yang mempunyai lingkup yang lebih kecil. Sampai
Juli 2007, DSN MUI telah mengeluarkan 61 fatwa terkait produk keuangan
syariah,18 seperti fatwa tentang Obligasi Syariah Ijarah, Sertifikat Investasi
Muḍarabah Antar-bank, Syariah Charge Card, dan lain sebagainya.19

27
Ma’ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Syariah (Jakarta: Lekas, 2007), Cet. 1, 253
28
Ma’ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Syariah (Jakarta: Lekas, 2007), Cet. 1, 254
167

Walau begitu, Fatwa MUI sebagaimana juga fatwa organisasi massa Islam
lainnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bukan merupakan hukum positif
sehingga hanya mengikat masyarakat muslim secara personal saja. Selain itu,
negara tidak berhak mengeluarkan sanksi terhadap pihak-pihak yang melanggar
fatwa tadi. Memang, dalam beberapa FBI disebutkan keharusan untuk
memperhatikan fatwa DSN-MUI seperti pasal 20 ayat 3 PBI No. 8/21/PBI/2006,
tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan
Usaha berdasarkan prinsip Syariah 29 . Bahwa: “Ketentuan lebih lanut yang
berkaitan dengan penyertaan modal mengacu pada PBI yang mengatur mengenai
prinsip kehati-hatian dalam penyertaan modal dan fawa kehati-hatiann Dewan
Syariah Nasional yang berlaku.
Sebenarnya ketentuan dalam PBI di atas bisa digugat dalam sistem
ketatanegaraan Nasional, karena UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
memerintahkan hanya kepada Bank Indonesia untuk mengatur legih lanjut tentang
perbankan, termasuk Perbankan Syariah. Lalu kenapa Bank Indonesia
melimpahkan lagi kewenangannyakepada DSN-MUI?
Namun dengan adanya UU Perbankan Syariah, maka fatwa MUI juga
mempunyai pijakan. Hal ini terjadi karena UU Perbankan Syariah menentukan
bahwa perincian mengenai prinsip syariah difatwakan oleh MUI, yang kemudian
diupayakan menjadi PBI melalui penggodokan di Komite Perbankan Syariah
yang dibentuk oleh Bank Indonesia, seperti terlihat dalam pasal 26 UU Perbankan
Syariah bahwa: (1) kegiatan usaha perbankan syariah dan/atau produk dan jasa
syariah, wajib tunduk kepada prinsip syariah; (2) Prinsip Syriah itu difatwakan
oleh MUI ; (3) Watwa MUI dituangkan dalam PBI; (4) Dalam rangka penyusunan
PBI, Bank Indonesia membentuk Komite Perbankan Syariah.

29
PBI No. 8/21/PBI/2006, tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang melaksanakan
Kegiatan Usaha berdasarkan prinsip Syariah dalam Lembaran Negara Tahu 2006 No. 78.
168

Dengan ketentuan di atas, maka kelak Fatwa MUI tenatng Pebankan


Syariah akan lebih berdaya guna, karena akan dituangkan menjadi PBI itu sendiri.
Akhirnya, Fatwa MUI dapat menjadi hukum positif yang diakui keabsahannya
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kususnya fatwa MUI yang berhubungan
dengan dengan bank syariah saja.
a) Kedudukan Majelis Ulama dalam Perbankan syariah
Peran MUI yang pokok adalah menjalankan dan memfungsikan DSN dan
DPS sesuai dengan SOP dari kedua lembaga tersebut. DSN mengeluarkan fatwa-
fatwa syariah sesuai dengan perkembangan produk-produk yang dikeluarkan oleh
bank-bank syariah. Sedangkan DPS merupakan pelaksana dari fatwa-fatwa DSN
dan mengawasi pelaksanaan prinsip syariah di dalam internal masing-masing
bank syariah. Tentu saja tugas dan fungsi tersebut dilaksanakan dengan
memperhatikan undang-undang perbankan syariah dan peraturan BI yang
merupakan regulasi dari teknis banknya.
Terkait dengan kebijakan pencanangan pangsa syariah 5% untuk tahun
2008 MUI dan ulama pada umumnya diharapkan bekerjasama dan melakukan
perang strategis sebagai berikut :
1) Sebagai supervisor yaitu melaksanakan fungsi dan tugas pengawasan
langsung kepatuhan syariah dan implementasi fatwa DSN pada
operasional LKS/bank syariah.
2) Sebagai advisor memberikan nasehat, inspirasi, pemikiran, saran-
saran konsultansi untuk perkembangan produk dan jasa yang inovatif
untuk persaingan global.
3) Sebagai marketer yaitu menjadi mitra strategis untuk peningkatan
kuantitas dan kualitas industri LKS melalui komunikasi massa untuk
memberikan motivasi penjelasan dan ejukasi publik sebagai penyiapan
SDM, sosialisasi, community & networking building dan peran-peran
lainnya dalam bentuk hubungan bermasyarakat public relationship.
169

b) Dewan Syariah Nasional dan Dewan Pengawas Syariah


Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah Unsur yang membedakan bank
syariah dan bank konvensional. Dewan Pengawas Syariah (DPS) bertugas
mengawasi operasional bank dan produk-produk agar sesuai dengan ketentuan
syariah. Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat
Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektifitas dari setiap
opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena Itu, penetapan
anggota Dewan Pengawas Syariah (DPS) biasanya dilakukan oleh rapat umum
pemegang saham (RUPS), setelah para anggota DPS itu mendapatkan
rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional (DSN). DSN adalah badan otonom
MUI yang diketahui secara ex-officio oleh Ketua MUI, sedangkan kegiatan
sehari-hari DSN dilaksanakan oleh Badan Pelaksana Harian DSN. 30
Bagi perusahaan yang akan membuka bank syariah dan konvensional atau
cabang syariah atau lembaga keuangan syariah yang lainnya harus mengajukan
rekomendasi anggota DPS kepada DSN. Berdasarkan Laporan dari DPS pada
masing-masing lembaga keuangan syariah, DSN dapat memberikan teguran jika
lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah
ditetapkan. Jika lembaga yang bersangkutan tidak mengindahkan teguran yang
diberikan, DSN dapat mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang memiliki
otoritas seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan untuk memberikan
sangsi.
Adapun Fungsi Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah berikut:
a) Mengawasi jalannya operasionalisasi bank sehari-hari, agar sesuai
dengan ketentuan syariah;
b) Membuat pernyataan secara berkala (biasanya tiap tahun) bahwa bank
yang di awasi telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah;

30
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Ekonnisia: Jakarta, 2007), Ed. 2,
cet. 4, 42
170

c) Meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang


diawasinya.
Sedangkan fungsi Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah sebagai:31
a) Mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai
dengan syariah;
b) Meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang
dikembangkan lembaga keuangan syariah;
c) Memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai
Dewan Syariah Nasional pada suatu Lembaga Keuangan Syariah;
d) Memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah jika lembaga
yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah
ditetapkan.

C. Dasar-Dasar Hukum Perbankan Syariah


Kini perbankan syariah telah memiliki landasan hukum yang kuat yang
secara spesifik mengelaborasi kekhususan Perbankan Syariah. Jika dihitung,
rentang waktu antara pendirian Perbankan Syariah (Tahun 1980) dengan
pembentukan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah membutuhkan
waktu sekitar 28 tahun. Jadi, pengesahan UU Perbankan Syariah oleh DPR, 17
Juni 2008 dan pengundangannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 16
Juli 2008, 32 dapat dikatakan sangat telat. Sebab, di zaman penjajahan saja,
pemerintahan kolonial Belanda sudah mengakomodasikan sebagian aspirasi
masyarakat muslim dalam bidang ekonomi syariah, seperti tercermin dari
ordonansi riba tahun 1938. Ordonansi riba ini dikeluarkan untuk mencegah

31
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Ekonnisia: Jakarta, 2007), Ed. 2,
cet. 4, 43
32
UURI No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di muat dalam lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 No.94 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4867
171

praktik riba di kalangan masyarakat, antara lain dengan memberikan kewenangan


kepada hakim untuk membatalkan perjanjian yang dianggap memberatkan salah
satu pihak atau memperingan beban pihak yang merasa diberatkan itu (Pasal 2
ayat-14 Ordonansi Riba 1938). 33
Pengesahan UU Perbankan Syariah telah melahirkan secercah harapan
dalam sejarah perbankan di Indonesia. Dengan UU Perbankan Syariah, eksistensi
Perbankan Syariah sebagai pelaku ekonomi nasional mendapatkan pijakan yang
sangat kuat. Selama ini, secara hukum, keberadaan Perbankan Syariah cukup
sumir, karena pengoperasiannya tidak berpijak pada UU yang secara khusus
mengatur Perbankan Syariah.
1. Perbankan Syariah dalam UUD 1945
Perbankan Syariah dapat dilihat dalam Pasal 33 ayat (4) UUD yang
berbunyi: "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar asas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional." Institusi ekonomi yang paling tepat
untuk menerjemahkan hal di atas adalah Perbankan Syariah, karena (1) sesuai
dengan aspirasi masyarakat serta sangat tepat untuk masyarakat Indonesia yang
sebagian besar menjadi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (asas demokrasi
ekonomi), (2) Perbankan Syariah mengutamakan kemajuan bersama daripada
kemajuan individu (asas kebersamaan), (3) Perbankan Syariah sangat cocok
sebagai solusi pembiayaan untuk masyarakat kecil sehingga mereka dapat
menikmati layanan perbankan dan dapat memberdayakan diri (asas keadilan dan
kemandirian), (4) Perbankan Syariah tidak boleh mendukung atau bermitra
dengan pengusaha atau perusahaan yang terlibat dalam kerusakan lingkungan
(asas keberlanjutan dan lingkungan), (5) Perbankan Syariah menggabungkan

33
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republic Indonesia, Addenda & Corrigeada
(Jakrata PT Ichtiar Baru Van Hoeve), Halaman 1.
172

antara tuntutan duniawi dengan tuntutan ukhrawi (asas keseimbangan), serta (6)
Perbankan Syariah sangat mengutamakan kemajuan sektor riil, yang sangat cocok
dengan ekonomi nasional yang berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya
manusia (asas kesatuan ekonomi nasional).
Dengan penjelasan di atas, maka kritik dari sebagian kecil kalangan bahwa
Perbankan Syariah tidak mempunyai landasan konstitusional serta bertentangan
dengan watak dasar bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila menjadi tidak
beralasan lagi.
Dengan dukungan konstitusi di atas, maka seharusnya bangsa Indonesia
sudah jauh-jauh hari mengesahkan dan mengundangkan UU Perbankan Syariah.
Negara kepulauan ini dapat dikatakan terlambat dalam mengadopsi UU
Perbankan Syariah. Barangkali hal inilah yang menjadi salah satu penyebab
kenapa perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia masih lamban dan
tertinggal jauh dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia yang merupakan
negara Islam.
2. Perbankan Syariah dalam UU
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diamandemen dengan UU No. 10 Tahun 1998. Namun, dalam UU ini ketentuan
tentang Perbankan Syariah sangat minim sehingga tidak bisa menjadi jawaban
terhadap keunikan dan kekhususan Perbankan Syariah. Menurut Pakar Hukum
Perbankan, Sutan Remy Sjahdeini, UU tersebut hanya secara samar-samar
memberikan indikasi mengenai kemungkinan suatu bank memberikan fasilitas
perbankan berdasarkan bagi hasil. 34
Pasal 6 huruf m UU No.7 tahun hanya menyebutakan bahwa bank umum
dapat (m). menyediakan pembiayaan agi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Dengn

34
Sutan Remy Sjahdeni, Perbankan Islam Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti,1999), 122.
173

begitu, ketentun di atas hanya memberikan kepada Bank Umum menyediakan


pembiayaan berdasarkan bagi hasil, serta belu mendorong agar Bank Umum
menjadi Bank Syariah.
Dalam UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, ketentuan tentang
perbankan syariah dinyatakan lebih tegas lagi, seperti terlihat pada pasal 1 angka
3 dan 4 bahwa (3) bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
memerikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;(4) Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
adalah Bnak yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran. Selanjutnya dalam pasal 1 angka 13 UU No. 10 tahun
berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk kegiatan lainnya yang
dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip
bagi hasil (muḍorobah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal
(musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni
tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas
barang yang di sewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijârah wa iqtinâ).
Namun, kelemahan dari UU No. 10 Tahun 1998 dalam perspektif
Perbankan Syariah adalah UU ini mengatur ketentuan yang berlaku untuk semua
bank, baik bank konvensional maupun Bank Syariah, sebagaimana terlihat dari
pendefinisian Bank Umum dan BPRS tadi. Karena itu, UU No. 10 Tahun 1998
telah merancukan batasan antara bank konvensional dengan Bank Syariah
sehingga seakan-akan semua ketentuan yang mengatur Bank Umum dan BPR
dapat mengatur pula Perbankan Syariah. Kerancuan di atas semakin terlihat,
karena hal yang mengatur secara khusus tentang Perbankan Syariah sangat
minim. Dari 59 Pasal yang ada dalam UU No. 10 Tahun 1998, hanya ada 8 Pasal
yang mengulas Perbankan Syariah, yaitu Pasal l^angka (12), Pasal 6 huruf (n),
174

Pasal 7 huruf (c), Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (1) dan (4a), Pasal 13,
Pasal 29 ayat (3), dan Pasal 37 ayat (1) huruf (c). Dengan penjelasan di atas, maka
UU No. 10 Tahun 1998 belum menjelaskan kekhususan dari Perbankan Syariah
dan bagaimana mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Rancangan UU Perbankan Syariah sebenarnya sudah sejak tiga tahun lalu
dibahas di DPR, namun baru disahkan pada 17 Juni 2008 lain. Ini berarti
pembahasan Rancangan UU Perbankan Syariah memakan waktu yang sangat
lama. Padahal, sebagai penduduk yang mayoritas muslim, seharusnya Indonesia
bisa lebih cepat mengundangkan UU Perbankan Syariah, apalagi Perbankan
Syariah selama krisis ekonomi tidak membebani keuangan negara sedikit pun
sebagaimana terjadi pada perbankan konvensional yang memerlukan suntikan
pendanan dari pemerintah dalam jumlah ratusan triliun.
Dalam UU Perbankan Syariah ini diatur jenis usaha, ketentuan
pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi Bank
Syariah maupun UUS yang merupakan bagian dari Bank Umum Konvensional.
Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih
meragukan operasional Perbankan Syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah meliputi kegiatan usaha yang
tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim.
Sebagai UU yang khusus mengatur Perbankan Syariah, dalam UU ini
diatur mengenai masalah kepatuhan syariah (syariah compliance) yang
kewenangannya berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus dibentuk
pada masing-masing Bank Syariah dan UUS. Untuk menindaklanjuti
implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke dalam PBI, di dalam internal Bank
Indonesia dibentuk Komite Perbankan Syariah, yang keanggotaan-nya terdiri atas
perwakilan dari Bank Indonesia, Departemen Agama, dan unsur masyarakat yang
komposisinya berimbang.
175

Sementara itu, penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada


Perbankan Syariah, akan dilakukan melalui pengadilan di lingkungan Peradilan
Agama. Di samping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa melalui
musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase, atau melalui pengadilan di
lingkungan Peradilan Umum sepanjang disepakati di dalam akad oleh para pihak.
Untuk menerapkan substansi UU Perbankan Syariah ini, maka pengaturan
terhadap UUS yang secara korporasi masih berada dalam satu entitas dengan
Bank Umum Konvensional, di masa depan, apabila telah berada pada kondisi dan
jangka waktu tertentu diwajibkan untuk memisahkan UUS menjadi Bank Umum
Syariah dengan memenuhi tata cara dan persyaratan yang ditetapkan dengan PBI.
3. Perbankan Syariah Dalam Peraturan Pemerintah
Setidak-tidaknya ada empat peraturan pemerintah yang mengatur tentang
perbankan syariah, yaitu:
Pertama, PP No.70 tahun 1992 tentang Bank Umum dan Perubahan-
Perubahannya. Hal penting dari PP ini berkaitan dengan Bank Syariah,
sebagaimana tertera dalam fasal 2 PP No. 38 Tahun tentang perubahan atas PP.
No. 1992, adalah tentang modal disetor untuk mendirikan Bank Umum dan Bank
Campuran yang sekurang-kurangnya sebesar Rp3 triliun.
Kedua, PP No. 71 tahun 1992 tentang BPR dalam PP ini, ketentuan
tentang BPR hanya terdapat dalam pasal 6 ayat (2) bahwa Bank berkreditan
rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil, harus
secara tegas mencantumkan kegiatan usaha bank yang semata-mata berdasarkan
prinsip bagi hasil dalam rancangan anggaran dasar dan rencana kerjanya.
Penjelasan dari pasal di atas adalah : yang di maksud dengan bank perkreditan
rakyat yang berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank sebagaimana di maksud
dalam peraturan perundang-undangan tentang bank berdasarkan prinsip bagi
hasil.
176

Ketiga, PP No. 72 Tahun 1992 Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi


Hasil. Inti dari PP No. 72 tahun 1992 ini adalah bahwa bank yang melaksanakan
prinsip bagi hasil harus memperhatikan prinsip-prinsip syaria (pasal 2) dan
kesepakatan yang di tuangkan dalam perjanjian tertulis antara (para pihak pasal
3). Selain itu, bank yang melaksanakan prinsip bagi hasil harus memiliki dewan
syariat (pasal 5). Bank yang melaksanakan prinsip bagi hasil (pasal 6). Dengan
demikian, meskipun PP No. 72 tahun 1972 yang hanya terdiri dari 9 pasal ini
serta PP lainnya belum cukup untuk mengeksplorasi kekhususan perbankan
syariah, karena hanya mengatur bagian yang sangat kecl tentang perbankan
syariah.
Keempat, PP terakhir yang membahas tentang perbankan syariah adalah
PP No. 30 Tahun 1999 Tentang pencabutan PP No. 70 Tahun 1992 Tentang Bank
Umum sebagaimana telah bebrapa kali di ubah terakhir dengan PP No.73 Tahun
1998, PP No. 71 Tahun 1992 tentang BPR, dan PP No.72 Tahun 1992 tentang
Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Alasan dari adanya PP ini adalah karena
dengan pemberlakuan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan, maka ketentuan
pelaksanaan mengenai Bank Umum dan BPR, termasuk yang melaksanakan
prinsip bagi hasil, menjadi wewenang Bank Indonesia,bukan pemerintah. Walau
begitu PP yang di cabut tapi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
UU serta tidak di cabut atau di perbarui.
Dengan adanya PP No. 30 Tahun 1999, maka semua regulasi yang
mengatur perbankan secara umum dan Perbankan Syariah secara khusus tidak
lagi melalui PP, melainkan melalui PBI. Kekuasaaan untuk membina dan
mengawasi bank selanjutnya beralih dari pemerintah melalui Departemen
Keuangan ke Bank Indonesia.
4. Perbankan Syariah Dalam Peraturan Bank Indonesia
Peraturan Bank Indonesia (PBI) adalah peraturan yang di keluarkan oleh
Bank Indonesia untuk mengawasi dan membina semua Bank yang berbadan
177

hukum Indonesia atau beroperasi di Indonesia. Pasti timbul pertanyaan : di


manakah posisi PBI dalam hierarki hukum nasional yang terdiri dari UUD,
UU,Perpu, PP, Perpres, dan Perda.? Dengan tidak termasuknya PBI dalam salah
satu hierarki hukum nasional seperti yang dilansir UU No. 10 Tahun 2004,
apakah PBI ilegal, alias tidak mengikat?
Dalam Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 ditegaskan bahwa
peraturan yang dikeluarkan lembaga negara lain, seperti Bank Indonesia, yang
bersifat mengatur mempunyai kekuatan hukum selama diperintahkan oleh
peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini oleh UUD, UU, Perpu, PP,
dan Perpres. Dengan begitu, maka peraturan lembaga negara, seperti PBI, tidak
boleh berdiri sendiri, melainkan harus merujuk atau melaksanakan perintah dari
salah satu hierarki hukum di atas.
Pasal 56 UU No. 10 Tahun 2004 memberikan pengecualian bahwa
ketentuan yang bersifat mengatur yang dikeluarkan oleh pejabat negara sebelum
pemberlakuan UU No. 10 Tahun 2004, 1 November 2004, tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan UU di atas (Pasal 56 UU No. 10 Tahun
2004). UU No. 10 Tahun 2004 mulai berlaku pada 1 November 2004 (Pasal 58
UU No. 10 Tahun 2004).
Dengan ketentuan di atas, PBI yang lahir sebelum 1 November 2004 tetap
mempunyai kekuatan hukum. Namun, untuk PBI yang lahir setelah 1 November
2004 harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 2004.
Karena PBI tidak ter-masuk dalam hierarki hukum nasional, maka proses
kelahiran PBI harus ada perintah dari peraturan perundang-undangan yang
disebutkan dalam Pasal 7, yaitu UUD, Perpu, UU, PP, dan Perpres (Pasal 7 ayat 4
UU No. 10 Tahun 2004). Jadi, dalam UU (misalnya) ada pasal yang berbunyi:
"Ketentuan lebih lanjut mengenai hal tertentu diatur dalam PBI."
UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No. l0 Tahun
1998 tentang Perbankan, yang memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia
178

untuk mengatur hal-hal tertentu terkait dengan Bank Umum dan BPR, termasuk
yang melaksanakan Prinsip Syariah, sebenarnya telah memberikan pijakan yang
kuat kepada Bank Indonesia untuk mengeluarkan peraturan di bidang perbankan
melalui PBI. Persoalannya, UU No. 7 Tahun 1992, sebagaimana diubah dengan
UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan belum spesifik mengeksplorasi
kekhususan Perbankan Syariah sehingga PBI yang dikeluarkan berdasarkan
perintahnya "terkerangkeng" dalam sebuah penjara yang tidak memungkinkannya
mengeksplorasi kekhususan Perbankan Syariah.
Namun, dengan pengesahan UU Perbankan Syariah, keberadaan PBI yang
mengatur Perbankan Syariah juga semakin kuat, karena diperintahkan oleh UU
yang secara khusus mengacu Perbankan Syariah, bukan diperintahkan oleh UU
yang mengatur perbankan secara umum sebagaiman terjadi sebelumnya.
Dalam UU Perbankan Syariah banyak pasal-pasal yang memerintahkan
"ketentuan lebih lanjut mengenai hal tertentu di atur dalam FBI." Setidak-
tidaknya terdapat 21 ketentuan dalam Perbankan Syariah yang memerintahkan
pengaturan lebih lanjut hal tertentu dalam FBI, yaitu: (1) FBI tentang tugas
manajemen, remunerasi komisaris dan direksi, laporan pertanggungjawaban
tahunan, penunjukan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan, laba, dan hal-hal
lainnya; (2) FBI tentang jumlah maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah
oleh warga negara asing dan/ atau badan hukum asing diatur dalam Peraturan
Bank Indonesi, (3) FBI tentang perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasa
serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah; (4) FBI tentan besarnya modal
disetor minimum untuk mendirikan Bank Syariah; (5) FBI tentang Izin perubahan
UUS menjadi Bank Umum Syariah(6) FBI tentang tata cara pembentukan,
keanggotaan, dan tugas komite perbankan syariah; (7) FBI tentang uji
kemampuan dan kepatutan pemegang saham pengendali; (8) FBI tentang syarat,
jumlah, tugas, kewenangan, tanggung jawab, serta hal Jain yang menyangkut
dewan komisaris dan direksi Bank Syariah; (9) FBI untuk memastikan kepatuhan
179

Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan


perundang-undangan lainnya; (10) FBI tentang uji kemampuan dan kepatutan
dewan komisaris dan direksi; (11) FBI tentang pengangkatan pejabat eksekutif
Bank Syariah; (12) FBI tentang pembentukan Dewan Pengawas Syariah ; (13)
PBI tentang tata kelola Perbankan Syariah yang baik; (14) FBI tentang
pelaksanaan dan pelaporran batas maksimum penyaluran dana; (15) FBI tentang
pengelolaan risiko; (16) FBI tentang pembelian bagunan oleh Perbankan Syariah;
(17) FBI tentang tukar-menukar informasi antar bank; (18) FBI tentang tingkat
kesehatan Perbankan Syariah; (19) FBI tentang persyaratan dan tata cara
pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada pada Perbankan Syariah oleh
Akuntan Publik atau pihak lain; (20) FBI tentang pelaksanaan sanksi
administratif; dan (21) FBI tentang persyaratan dan tata cara pencabutan izin
usaha Bank Syariah.
5. Perkembangan Hukum Perbankan Syariah
Sejak berdiri perbankan syariah pada tahun 1992 hingga pertengahan
tahun 1997 perbankan syariah memang terus tumbuh dan berkembang. Akan
tetapi pertumbuhan yang spektakuler justru terjadi sejak masa krisis ekonomi
tahun 1997. hal ini diantaranya karena kemampuan perbankan Islam dalam
menghadapi gejolak moneter yang diwarnai oleh tigkat bunga yang sangat tinggi,
sementara perbankan syariah terbebas dari negatif spread karena tidak berbasis
pada bunga. 35
Selain itu perkembangan bank syariah di Indonesia, tidak bisa dilepaskan
dari perkembangan perundang-undangan yang menjadi dasar atau landasar hukum
operasionalilasinya. Sejak tahun 1992 Undang-undang perbankan Indonesia telah
mengakomodir sistem perbankan yang menjalankan operasinya berdasarkan
prinsip bagi hasil, yakni perbankan syariah. Hal ini secara nyata diwujudkan

35
Zainal Arifin, Memahami Bank Syariah; Lingkup, peluang, Tantangan dan Prospek
(Jakarta: Alvabelt, 2000)cet. III, ix
180

dalam revisi Undang-undang pokok perbankan No.14/1967 menjadi UU No. 7


tahun 1992 tentang perbankan yang telah memasukkan ketentuan tentang
pelaksanaan kegiatan perbankan dengan sistem bagi hasil yang selanjutnya diatur
secara lebih rinci dalam PP No. 72 tahun 1992 tentang Bank dengan prinsip bagi
hasil. Berdasarkan UU No. 7 tahun 1992 itu, Bank syariah bank syariah di pahami
sebagai bank bagi hasil, selebihnya bank syariah harus tunduk pada peraturan
perbanakan umum yang berbasis konvensional. 36 Oleh karena itu manajemen
bank syariah cenderung mengadopsi produk-produk perbankan konvensional
yang disyariahkan dengan variasi yang terbatas. Akibatnya tidak semua
kebutuhan mesyarakat terakomodasi dan produk yang ada tidak kompetitif
terhadap semua produk Bank Konvensinal.
a. Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992
Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992, tidak secara
eksplisit menjelaskan mengenai perbankan syariah. Namun dalam undang-undang
tersebut secara implisit merujuk kepada sistem ekonomi yang dilaksanakan secara
islami. Sistem bagi hasil merupakan bentuk dari sistem ekonomi yang diterapkan
berdasarkan hukum adat yang diadopsi dari hukum Islam.
Seperti diuraikan di atas bahwa sejak tahun 1991, ketika perbankan
syariah pertama kali berdiri hingga tahun 2008, basis hukum dari perbankan
syariah belumlah kondusif. Basis hukum Perbankan syariah baru memiliki
kekuatan hukum setelah disahkannya Undang-Undang Perbankan Syariah pada
tahun 2008. Memang benar bahwa secara teoritis Bank Syariah sudah dirintis
sejak tahun 1940-an dan secara institusi baru dapat dibentuk pada tahun 1960-an.
Sedangkan di Indonesia pada kenyataannya baik secara teoritis maupun secara
institusi, perkembangan Bank Syariah jauh lebih kemudian. Janin eksistensi bank
Syariah masih dalam ranah hukum positif masuk melalui pintu pasal 6 huruf m,

36
Bank Indonesia, Himpunan Ketentuan Perbankan Syariah Indonesia Agustus 1999-Januari
2005 (Jakarta: BI, 2005)
181

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam pasal tersebut


sama sekali tidak dijelaskan istilah Bank Syariah seperti dipergunakan kemudian
yang secara resmi dipergunakan dalam Undang-Undang Perbankan Islam (UUPI),
namun hanya menyebutkan sebagai berikut: Pasal 6 bagian huruf (m)
“menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah”.
Di dalam pasal 5 ayat (3) PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum pun
hanya disebutkan frasa “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi
hasil” dan dalam penjelasannya disebut “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil”.
Begitu puladalam pasal 6 ayat (2) PP No. 71 Tahun 1992 tentang Bank
Perkreditan Rakyat hanya menyebutkan frasa “Bank Perdkreditan Rakyat yang
akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” yang dalam
penjelasannya disebut “Bank Perkreditan Rakyat yang berdasarkan bagi hasil”.
Kesimpulan bahwa “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil” merupakan
istilah bagi Bank Islam atau bank Syariah baru dapat ditarik dari penjelasan pasal
1 ayat (1) PP. No. 72 Tahun 1992 Tentang “Bank Berdasarkan Prinsip Bagi
Hasil”. Dalam penjelasan ayat tersebut ayat tersebut ditetapkan bahwa yang
dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan syari’at
dalam melakukan kegiatan usaha bank. Melihat ketentuan-ketentuanyang ada
dalam PP. No. 72 Tahun 1992, keleluasan untuk mempraktekkan gagasan
perbankan berdasarkan syaria’t Islam terbuka seluas-luasnya, terutama berkenaan
dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Pembatasan hanya diberikan dalam
hal:
1) Larangan atas melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip
bagi hasil (artinya bahwa kegiatan usaha berdasarkan perhitungan bunga)
bagi Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya
semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu pula Bank umum atau
182

BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil dilarang
melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
2) Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan
pengawasan atas produk perbankan baik dana maupun pembiayaan agar
berjalan sesuai dengan prinsip syariah, dimana pembentukannya dilakukan
oleh bank berdasarkan hasil konsultasi denagn Majelis Ulama Indonesia
(MUI)
Pada saat berlakunya UU. No. 7 Tahun 1992, selain ketiga PP. tersebut di
atas tidak ada lagi peraturan perundangan yang berkenaan dengan bank Islam.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa eksistensi Bank Islam yang telah diakui
secara hukum positif di Indonesia, belum mendapat dukungan secara wajar
berkenaan dengan praktek transkasionalnya. Hal ini dapat dilihat misalnya dari
tidak seimbangnya jumlah dana yang mampu dikumpulkan dibandingkan dengan
penyalurannya di masyarakat. Bagi BMI tidak ada kesulitan untuk
mengumpulkan dana berupa tabungan dan investasi dari masyarakat, namun
untuk menyalurannya masih sangat terbatas, mengingat belum adanya instrument
investasi yang berdasarkan prinsip syariah yang diatur secara pasti, baik
instrument investasi di Bank Indonesia, Pemerintah, atau antar Bank. Tidaklah
mengherankan bilamana dalam Laporan Keuangan BMI pada masa tersebut dapat
ditemukan satu pos anggaran atau account yang diberi istilah sebagai
“Pendapatan Non Halal”, yakni pendapatan yang didapat dari transaksi yang
bersifat perbankan konvensional.
Hal perkembangan yang patut dicatat, berkaitan dengan perbankan syariah
pada saat berlakunya UU. No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah berdirinya
Badan Arbitrasi Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI bediri secara resmi
tanggal, 21 Oktober 1993 dengan pemrakarsa MUI dengan tujuan menyelsaikan
kemungkinan terjadinya sengketa muamalat dalam hubungan perdagangan,
industri, keuangan jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam di Indonesia. Dengan
183

demikian, dalam transaksi-transaksi atau perjanjian-perjanjian bidang perbankan


syariah, lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu choice of forum bagi para
pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang mungkin terjadi
dalam pelaksanaan transkasi atau perjanjian tersebut. Perkemabangan kemudian
berkenaan dengan BAMUI, melalaui surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia
No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003, menetapkan diantaranya
perubahan nama BAMUI menjadi Badan Arbitrasi Syariah Nasional
(BASYARNAS) dan mengubah bentuk badan hukumnya yang semula merupakan
‘Yayasan’ menjadi ‘Badan’ yang berada di bawah MUI dan merupakan pernagkat
organisasi MUI.
Meskipun pada saat berlakunya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
perkembangan perbankan syariah masih sangat terbatas, namun sebagaimana
disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrul Zaman, SH. 37 merupakan salah
satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya dalam kehidupan umat Islam
dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum Nasional.38 Dalam makalahnya
beliau mengatakan:
“Undang-undang Perbankan No. 7 Tahun1992, membawa era baru
dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Undang-
Undang tersebut memperkenalkan “sistem bagi hasil” yang tidak dikenal
dalam undang-undang tentang Pokok Perbankan No. 14 Tahun 1967.
Dengan adanya system bagi hasil itu maka perbankan dapat melepaskan
diri dari usaha-usaha yang mempergunakan sistem “bunga”.
….Jika selama ini peranan hukum Islam di Indonesia terbatas hanya pada
bidang hukum keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan hukum Islam
sudah memasuki dunia hukum ekonomi (bisnis)”

37
Mariam Darus Badrul Zaman, Peranan BAMUI dalam Pembangunan Hukum Nasional,
Makalah Dalam seminar Hukum Nasional, 2006.
38
http://omperi.wikidot.com/sejarah-hukum-perbankan-syariah-di-Indonesia, 23-10-2008
(Diakses pada tanggal 12 Maret 2010)
184

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sejak tahun 1992, telah
memiliki undang-undang yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti dalam
bidang ekonomi.
b. Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1998
Lahirnya UU No.10 Tahun 1998 yang merupakan amandemen atas UU
No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka di Indonesia dikenal dua sistem
perbankan (dual system banking) yaitu sistem bank konvensional dan sistem bank
syariah. Sistem operasional Bank Syariah adalah berbeda dengan bank umum
lainnya (konvensional). Bank Konvensional lebih kental aromanya dalam
mengejar keuntungan materiil semata (kapitalistik) dengan sistem bunganya,
sehingga tidak mengenal adanya kerugian pihak lain, sedangkan Bank Syariah
menekankan adanya sifat ta’awun (tolong menolong dalam suka dan duka /
kemitraan), sehingga ada prinsip bagi bagi hasil yang dikenal dengan nama
“profit and loss sharing” atau “ muḍarabah “ dan juga ada pinjaman kebajikan
(social) bagi nasabah yang sangat lemah dengan skim (bentuk pembiayaan)
“qorḍul ḥasan” yaitu pinjaman dimana nasabah tidak dibebani sesuatu apapun
kecuali hanya mengembalikan pokoknya. 39
Khusus dibidang perbankan, setelah lahirnya UU No.10 Tahun 1998 yang
secara tegas mengakui sistem perbankan syariah disamping perbankan
konvensional, maka keberadaan Bank Muamalat Indonesia dan bank Umum
Syariah lainnya serta lembaga keuangan syari’ah pada umumnya semakin kokoh
dan kuat karena terdapat pijakan hukum yang pasti. Adanya landasan hukum yang
pasti tersebut maka sampai tahun 2004 telah lahir 3 Bank Umum Syariah, 11
Unit Usaha Syariah (windows) dari Bank Konvensional, 88 Bank Perkreditan
Syariah dengan jaringan 102 Kantor Pusat dan 137 Kantor Cabang dan ratusan

39
http://aanaboodzforlife.com/2010/02/sistem-perbankan-syari%E2%80%99ah-dalam-
perspektif-politik-hukum-indonesia-pada-saat-ini/ (Dikases pada tanggal, 24 Februari 2010)
185

kantor cabang pembantu, disamping itu lahir pula ribuan Baitul Mal Wat Tamwil
(BMT) di seluruh pelosok wilayah Republik Indonesia. 40
Tentu saja pada tahun 1998, eksistensi Bank Islam lebih dikukuhkan
dengan di keluarkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-
undang tersebut, sebagaimana ditetapkan dalam angka 3 jo. angka 13 Pasal 1
undang-undang No. 10 Tahun 1998, menyebutkan terhadap entitas perbankan
Islam secara eksplisit diberikan dengan istilah Bank Syariah atau Bank
Berdasarkan Prinsip Syariah. Pada tanggal 12 Mei 1999, Direksi Bank Indonesia
mengeluarkan 3 (tiga) buah Surat Keputusan sebagai pengaturan lebih lanjut
Bank Syariah yang telah dikukuhkan melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998, yakni:
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/Kep/DIR tentang
Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan
Pembukaan Kantor Cabang Syariah;
b. Surat Kepuusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/Kep/DIR tentang Bank
Umum Berdasarkan Prinsip Syariah;
c. Surat Kepuusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/Kep/DIR tentang Bank
Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Selanjutnya berkenaan dengan operasional dan instrument yang dapat
dipergunakan Bank Syariah, pada tanggal 23 Februari 2000 Bank Indonesia
secara sekaligus mengeluarkan 3 (tiga) Peraturan Bank Indonesia, yakni:
a. Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000, tentang Giro Wajib
Minimum Dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum yang
Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yang mengatur

40
http://aanaboodzforlife.com/2010/02/sistem-perbankan-syari%E2%80%99ah-dalam-
perspektif-politik-hukum-indonesia-pada-saat-ini/ (Dikases pada tanggal, 24 Februari 2010)
186

mengenai kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum bank umum yang


melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
b. Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000, tentang Pasar Uang Antar
Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang dikeluarkan dalam rangka
menyediakan sarana penanaman dana atau pengelolaan dana antar bank
berdasarkan prinsip syariah; dan
c. Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000, tentang Sertifikat Wadiah
Bank Indonesia (SWBI), yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia
sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah
yang merupakan piranti dalam pelaksanaan pengendalian moneter
semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan
konvensional.
Berkenaan dengan peraturan-peraturan Bank Indonesia di atas, dalam hal
ini relevan dikemukakan tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana
disebutkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan kepada Bank
Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syariah dalam
melakukan pengendalian moneter. Kemudian pasal 11 ayat (1) UUBI juga
memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan
pendanaan jangka pendek suatu Bank dengan membeikan pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh)
hari. Dipandang dari sudut lain, denagn demikian UUBI sebagai undang-undang
Bank Sentral yang baru sedara hukum positif telah mengakui dan memberikan
tempat bagi penerapan prinsip-prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam
melakukan tugas dan kewenangan.
Disamping peraturan-peraturan tersebut di atas, terhadap jenis kegiatan, produk
dan jasa keuangan syariah, Bank Syariah juga wajib mengikuti semua fatwa
187

Dewan Syariah nasional (DSN), yakni satu-satunya dewan yang mempunyai


kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa
keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-
lembaga keuangan syariah di Indonesia. Sampai saat ini DSN telah memfatwakan
sebanyak 75 yang melingkupi fatqwa mengenai produk perbankan syariah,
lembaga keuangan non bank seperti asuransi, pasar modal, gadai serta berbagai
fatwa penunjang transkasi dan akad lembaga keuangan syariah, yakni sebagai
terlampir.
Keberadaan perbankan Islam atau yang pada perkembangan mutakhir
disebut sebagai Bank Syariah di Indoonesia telah diakui sejak diberlakukannya
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, dan lebih dikukuhkan
dengan diundangkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 beserta beberapa Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia (PBI) sebagaimana telah dibahas di muka. Berkenaan dengan
transaksi dan instrumen keuangan Bank Syariah juga telah dikeluarkan beberpa
Pertauran Bank Idonesia dan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN).
c. Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008
Upaya strategis dalam hubungannya dengan pengembangan ekonomi
Islam ini telah mulai dilakukan pemerintah, antara lain dengan penyusunan
perangkat perundangan yang pada tahun 2008 ini telah disahkan yaitu UU No 19
Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Nasional dan UU No 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syariah. UU No 19 dapat disebut sebagai upaya pemerintah
meningkatkan porsi pembiayaan pembangunan nasional melalui skema
pembiayaan syariah dari obligasi negara dan surat berharga lainnya yang memang
memiliki peluang besar bagi Indonesia untuk memperolehnya dari investor Timur
Tengah maupun ummat Islam Indonesia sendiri. Adapun UU No 21 Tahun 2008
yang secara khusus membahas perbankan syariah merupakan upaya pemerintah
dalam menguatkan kontribusi lembaga keuangan syariah dalam memperkokoh
188

pembangunan nasional. Lahirnya kedua peraturan perundangan ini dengan


sendirinya akan menambah ruang bagi pengembangan ekonomi Islam dengan
perbankan syariah sebagai lokomotifnya, meskipun berbagai pengembangan
masih tetap perlu dilakukan, terutama terkait dengan kebijakan pendukung.
1) Pelaksanaan UU No. 21 Tahun 2008
Perlu kita ketahui bahwa terhadap pengertian penitipan adalah suatu
penyimpanan harta berdasarkan Akad antara Bank Umum Syariah (UUS) dan
penitip, dengan ketentuan Bank Umum Syariah (UUS) yang bersangkutan tidak
mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut dan terdapatnya wali amanat
adalah Bank Umum Syariah yang mewakili kepentingan pemegang surat berharga
berdasarkan Akad wakalah antara Bank Umum Syariah yang bersangkutan dan
pemegang surat berharga tersebut.(hal ini didalam realisasi transaksi perbankan
syari’ah).
Didalam kegiatan perbankan, mungkin saja akan terjadi didalam
penyehatan suatu bank yaitu dengan cara melakukan penggabungan yaitu suatu
perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Bank/lebih untuk menggabungkan diri
dengan Bank lain yang telah ada, yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari
Bank yang menggabungkan diri akan beralih kepada hukum Bank yang menerima
penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Bank yang menggabungkan
diri tersebut akan berakhir karena hukum.
Sedangkan mengenai suatu upaya peleburan adalah suatu perbuatan
hukum yang dilakukan oleh dua Bank/lebih untuk meleburkan diri dengan cara
mendirikan satu Bank baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva
dari Bank yang meleburkan diri dan status badan hukum Bank yang meleburkan
diri berakhir karena hukum. 41
Begitu pula dengan istilah pengambil alihan adalah perbuatan hukum yang
dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih
41
Sukrisno, Perencanaan Strategis Bank (Jakarta: LPPI, 1992), 46
189

saham Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank tersebut dan
pegitupula mengenai hal pemisahan adalah pemisahan usaha dari satu Bank
menjadi dua badan usaha atau lebih, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Segala tindakan tersebut diataur oleh Undang Undang No. 21 Tahun 2008
tentang perbankan syari’ah, yang merupakan sebagai kebijakan pemberlakukan
yang ditentukan oleh kebijakan dasar dari Peraturan Bank Indonesia, yang
merupakan sebagai bank sentral indonesia untuk mengatur dan mengawasi segala
kegiatan perbankan di Indonesia.
Kegiatan perbankan syari’ah didasari oleh asas, tujuan dan fungsi dari
Perbankan Syariah didalam melakukan kegiatan usahanya yang berasaskan
Prinsip Syariah/Islam, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian, dengan
bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat yaitu:
1) Untuk menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat,
2) Untuk menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu
menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana
sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat,
3) Untuk menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan
menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak
pemberi wakaf (wakil) dan
4) Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 42
Mengenai masalah perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar dan
kepemilikan diatur oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syari’ah, dimana dalam Pasal 5 ayat

42
Muhammad Syafe’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Prakltik (Jakarta: Gema Insani,
2001), 43
190

1) Menyatakan bahwa setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank
Syariah atau UUS wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai
Bank Syariah (UUS) dari Bank Indonesia,
2) Untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus memenuhi persyaratan
sekurang-kurangnya tentang: (a.susunan organisasi dan kepengurusan,
b.permodalan, c. kepemilikan, d.keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan
e. kelayakan usaha),
3) Persyaratan untuk memperoleh izin usaha UUS diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Bank Indonesia,
4) Bank Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas kata "syariah" pada penulisan
nama banknya,
5) Bank Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas
frase "Unit Usaha Syariah" setelah nama Bank pada kantor UUS yang
bersangkutan,
6) Bank Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya berdasarkan
Prinsip Syariah dengan izin Bank Indonesia,
7) Bank Umum Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Umum
Konvensional,
8) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank
Perkreditan Rakyat dan
9) Bank Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat Bank
dengan izin Bank Indonesia. 43

43
Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah
191

Terdapat pengaturan dalam Pasal 6 ayat 1 sampai dengan ayat 4, dimana


terhadap pembukaan kantor cabang Bank Syari’ah(UUS), dan jenis-jenis lainnya ,
begitu pula terhadap pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis¬-
jenis kantor lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah dan Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS yaitu hanya dapat dilakukan dengan izin Bank
Indonesia. Dan kemudian untuk pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang,
wajib dilaporkan dan hanya dapat dilakukan setelah mendapat surat penegasan
dari Bank Indonesia.
Sedangkan terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak diizinkan
untuk membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis kantor lainnya di
luar negeri, hal ini merupakan suatu ketentuan yang telah dinyata secara tegas
oleh Undang-Undang Bank Indonesia.
Mengenai bentuk Badan Hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas
(diatur dalam Pasal 7), sedangkan mengenai anggaran dasar Bank Syariah selain
memenuhi persyaratan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan adalah mengenai ketentuan : a. pengangkatan
anggota direksi dan komisaris harus mendapatkan persetujuan Bank Indonesia, b.
Rapat Umum Pemegang Saham Bank Syariah harus menetapkan tugas
manajemen, remunerasi komisaris dan direksi, laporan pertanggungjawaban
tahunan, penunjukkan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-
hal lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia (Pasal 8).
Dalam hal mengenai pendirian dan kepemilikan Bank Syari’ah harus
memenuhi syarat-syarat : Bank Umum Syari’ah didirikan dan dimiliki oleh a.
warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia, b. warga negara
Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau
badan hukum asing secara kemitraan; atau c. pemerintah daerah.(ayat 1),
sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau
dimiliki oleh: a). warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang
192

seluruh pemiliknya warga negara Indonesia,b).pemerintah daerah; atau c).dua


pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b (ayat 2) dan
untuk kepemilikan Bank Umum Syariah oleh warga negara asing dan/atau badan
hukum asing diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ((ayat 3) dari Pasal 9).
Terhadap pengaturan mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran
dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah (terdapat dalam pasal 5 s/d
Pasal 9) dan mengenai besarnya modal yang disetor untuk mendirikan Bank
Syari’ah ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia (pasal 10 dan Pasal 11).
Terhadap kegiatan saham bank syari’ah dapat diterbitkan dalam bentuk
saham atas nama, dan kegiatan Bank Umum Syariah dapat melakukan penawaran
umum efek melalui pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah/Islam dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal (Pasal 11 dan Pasal 12). Untuk ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan
dengan Bank Syari’ah diatur oleh Pasal 13 sampai dengan Pasal 17, dimana harus
selaras dengan ketentuan Prinsip Syari’ah dan Peraturan Bank Indonesia.
Untuk pengaturan mengenai jenis dan kegiatan usaha, kelayakan
penyaluran dana dan larangan bagi bank syariah dan UUS, diatur dalam Pasal 18
sampai dengan Pasal 26, sedangkan mengenai pengaturan pemegang saham
pengendalian, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, Direksi dan Tenaga
Kerja Asing diatur dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33. Terhadap pengaturan
Tata Kelola, Prinsip Kehati-hatian dan Pengelolaan Risiko Perbankan Syari’ah
diatur dan dijelaskan dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 40, yang mengatur
secara jelas dan terperinci terhadap kegiatan perbankan syari’ah tersebut.
Kerahasiaan Bank wajib dijaga mengenai nasabah penyimpan, nasabah
investor, investasinya dengan pengecualian untuk kepentingan penyidik pidana
perpajakan, pimpinan BI atas perintah menteri keuangan, untuk kepentingan
peradilan dalam perkara pidana ( diatur oleh Pasal 41 sampai Pasal 49).
193

2) Pengawasan Bank Indonesia Terhadap Bank Syariah


Bank Indonesia melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Bank
Syariah(UUS), agar tetap memelihara tingkat kesehatan yang meliputi sekurang-
kurangnya mengenai kecukupan modal, kualitas aset, likuiditas, rentabilitas,
solvabilitas, kualitas manajemen yang menggambarkan kapabilitas dalam aspek
keuangan, kepatuhan terhadap Prinsip Syariah dan prinsip manajemen Islami,
serta aspek lainnya yang berhubungan dengan usaha Bank Syariah (UUS), dimana
kriteria tingkat kesehatan dan ketentuan yang wajib dipenuhi oleh Bank Syariah
(UUS) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank
Indonesia. Dan selain itu Bank Syariah (UUS) wajib menyampaikan segala
keterangan dan penjelasan mengenai usahanya kepada Bank Indonesia menurut
tata cara yang telah ditetapkan. 44
Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia berwenang : a. memeriksa dan mengambil
data/dokumen dari setiap tempat yang terkait dengan Bank, b. memeriksa dan
mengambil data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut
penilaian Bank Indonesia memiliki pengaruh terhadap Bank dan c.
memerintahkan Bank melakukan pemblokiran rekening tertentu, baik rekening
simpanan maupun rekening Pembiayaan.
Bank Indonesia dapat menugasi kantor akuntan publik atau pihak lainnya
untuk dan atas nama Bank Indonesia, melaksanakan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2), sebagaimana persyaratan dan tata cara
pemeriksaan yang di atur dalam ayat (1) Peraturan Bank Indonesia dan Bank
Indonesia berwenang melakukan tindakan terhadap Bank Syariah apabila
mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, dalam rangka
tindak lanjut melakukan pengawasan antara lain: a.membatasi kewenangan Rapat
Umum Pemegang Saham, komisaris, direksi, dan pemegang saham, b. meminta

44
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tentang Bank Indonesia
194

pemegang saham menambah modal, c. meminta pemegang saham mengganti


anggota dewan komisaris dan/atau direksi Bank Syariah, d. meminta Bank
Syariah menghapus pembukuaan penyaluran dana yang macet dan
memperhitungkan kerugian Bank Syariah dengan modalnya, e. meminta Bank
Syariah melakukan penggabungan atau peleburan dengan Bank Syariah lain, f.
meminta Bank Syariah dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih
seluruh kewajibannya, g. meminta Bank Syariah menyerahkan pengelolaan
seluruh atau sebagian kegiatan Bank Syariah kepada pihak lain, dan h. meminta
Bank Syariah menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank
Syariah kepada pihak lain. (diatur oleh Pasal 50 sampai dengan Pasal 54).
Apabila Bank Syariah didalam melakukan kegiatan perbankan terdapat
sengketa terhadap pihak lain, maka penyelesaian sengketa Perbankan Syariah
dapat dilakukan/diselesaikan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama, apabila para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyelesaian sengketa dapat
dilakukan sesuai dengan isi Akad dan didalam penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip
Syariah/Islam. (diatur dalam Pasal 55).
Bank Indonesia yang merupakan sebagai Bank Sentral di Indonesia,
berkewajiban melakukan pemeriksanaan maupun pengawasan terhadap Bank
Syari’ah, apabila dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi
kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang, dan pengenaan
sanksi administratif dan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagai akibat dari
pelanggaran kerahasiaan bank tersebut. 45
Landasan hukum berdasarkan kebijakan dasar tersebut adalah
membuktikan bahwa perbankan syari’ah terlihat siap ikut melaksankan dan

45
Teguh Pudjo Muljono, Analisis Laporan Keuangan Untuk Perbankan (Jakarta: Penerbit
Djembatan, 1999)
195

membantu perekonomian Indonesia, khususny perekonomian yang berdasarkan


prinsip kesyari’ahan. secara faktor eksternal, adalah untuk membuktikan kapada
dunia internasional bahwa perbankan syari’ah dapat melaksanakan kegiatan-
kegiatan perekonomian baik secara nasional maupun internasional, serta untuk
menarik para investor asing terutama para investor negara-negara Islam (misalnya
negara arab saudi, Quaid dan lain-lainya) agar mau menginvestasikan modalnya
di negara Indonesia dengan prinsip-prinsip kesyari’ahan. 46
Faktor eksternal inilah yang berperan sangat penting didalam
perkembangan perbankan syari’ah, agar dapat tumbuh dan berkembang dengan
ceapt, yang nantinya dapat diharapkan membantu perekonomian Indonesia.baik
secara faktor internal maupun secara faktor eksternal, dimana terlihat baik
mengenai kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuannya telah selaras dan
harmonis, hanya didalam realisasi harus diatur dengan secara tegas berdasarkan
prinsip syari’ah yang bersifat nasional maupun internasional, hal ini untuk
mengantisipasi apabila terjadi sengketa baik dengan para nasabah/investor baik
secara nasional maupun internasional. Hal ini harus diperhitungkan secara
mendalam bagaimana untuk menangani sengketa tersebut? apalagi jika
melibatkan wilayah hukum dua negara atau lebih.

46
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani,
2001), 51
‹BAB V
POLITIK HUKUM PERBANKAN SYARIAH

A. Politik Hukum Pebankan Syariah


Ketika kita berbicara mengenai politik hukum perbankan syariah, maka
akan terbayang dalam benak kita bahwa hukum adalah sesuatu yang lemah.
Artinya bahwa hukum dalam posisi sebagai objek dari politik, dan politik sebagai
subjek yang memberikan pengaruh kepada hukum. 1 Hal ini menunjukkan bahwa
hukum adalah produk politik, sehingga ketika membahas politik hukum
cenderung mendiskripsikan pengaruh politik terhadap hukum atau pengaruh
sistem politik terhadap pembangunan hukum menuju perubahan iklim politik
yang membawa tatanan pemerintahan kearah yang lebih baik, seperti halnya
bangsa Indonesia ini yang semakin tumbuh dewasa dalam penerapan hukum 2 dan
demokrasi. 3 baik penegakan hukum, persamaan hukum, 4 hak asasi manusia, 5

1
Hukum adalah hasil tarik-menarik berbagai kekuatan politik yang mengejawantah dalam
produk hukum. Dalam hal ini Satjipto Raharjo menyatakan, bahwa hukum adalah instrumentasi dari
putusan atau keinginan politik, sehingga pembuatan undang-undang sarat dengan kepentingan-
kepentingan tertentu, dan dengan demikian medan pembuatan undang-undang menjadi medan
perbenturan dan pergumulan kepentingan-kepentingan. Badan pembuat undang-undang akan
mencerminkan konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Konfigurasi
kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang menjadi penting karena pembuatan
undang-undang modern bukan sekadar merumuskan materi hukum secara baku berikut rambu-rambu
yuridisnya, melainkan membuat putusan politik terlebih dahulu. Disamping konfigurasi kekuatan dan
kepentingan dalam badan pembuat undang-undang, intervensi-intervensi dari luar tidak dapat
diabaikan dalam pembentukan undang-undang. Intervensi tersebut dilakukan terutama oleh golongan
yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Jazuni, Legislasi
Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), cetakan pertama, 9.
2
Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum
Islam), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 T XIV, al-Hikmah, 2003, 74.
3
Esensi demokrasi adalah proses, karenanaya ia merupakan sistem yang dinamis menuju ke
arah yang lebih baik dan maju dibanding dengan yang sedang dialami masyarakat (negara), atau
sebelumnya Nurcholis Madjid, Demokrsi dan Demokratisasi di Indonesia, dalam Elsa Pedi Taher
(ed.), Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi (Jakarta: Paramadina, 1994), cetakan pertama, 203.
4
Persamaan di depan hukum bagi seluruh warga, ini berlaku umum (lex generalis).
Sedangkan semua penduduk diberi hak untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan
agamanya masing-masing, ini berlaku khusus (lex spesialis). Ada kekhususan hukum untuk pemeluk
agama tertentu. Ismail Suny, Sekitar UUPA ((Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara
Pancasila yang disusun oleh Zuffran Sabrie), (Jakarta: Pustaka Antara, 1990), cetakan pertama, 114.

196
197

pemerataan sosial dan sebagainya. Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek yaitu


proses pembentukan ius contitutum (hukum positif) dari ius contituendum (hukum
yang akan dan harus ditetapkan) untuk memenuhi kebutuhan perubahan dalam
kehidupan masyarakat. Politik hukum terkadang juga dikaitkan dengan kebijakan
publik (public policy) yang menurut Thomas Dye yaitu : “whatever the
government choose to do or not to do”. Politik hukum juga didefinisikan sebagai
pembangunan hukum. 6
Mahfud MD., memberikan uraian bahwa hukum atau sistem legal nasional
harus dipandang sebagai sistem yang holistik dan mencakup hubungan antara
sistem sosial, sistem politik dan sistem ekonomi dengan sistem hukum. 7
Pandangan ini menurut pengamatan penulis cukup berbeda dari pandangan
kebanyakan para pengasuh pendidikan hukum, yang memandang hukum dalam
perspektif yang terbatas dan mencakup hanya lembaga penegak hukum serta
hukum positif sebagai produk utamanya.
Hukum itu memiliki inherenitas yang besar dengan berbagai aspek
kehidupan, yakni sistem ideologi Negara, sistem sosial, sistem politik dan sistem
ekonomi, sistem hukum, dan sistem budaya baik budaya local maupun regional
bahkan global. Karena adanya inherenitas tadi sehingga banyak faktor-faktor
5
Di Indonesia penghormatan atas hak-hak asasi manusia telah dijamin olehPancasila dan
Undang-undang Dasar 1945, sebagai pandangan hidup, falsafah dandasar konstitusional bagi Negara
Kesatuan RI. Walaupun perwujudan secara materiildan formil baru ada setelah dikeluarkannya
undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM.Undang-undang tersebut dikeluarkan sebagai salah satu rangkaian rencana
aksinasional hak asasi manusia berdasarkan Keputusan Presiden No. 129 tahun 1998.Sebagaimana
diketahui, keluarnya undang-undang tersebut setelah berbagai peristiwa kekerasan terjadi di Indonesia
terutama pada masa pemerintahan Orde Baru, seperti kasus Tanjung Priok, Tim-Tim, Semanggi dan
sebagainya. Kasus-kasus tersebut sampai saat ini masih dalam proses penyelesaian. Paling tidak ada
dua endala utama dalam penyelesaian kasus-kasus HAM di masa lalu, yaitu kendala eknis prosedural
yang menyangkut pembuktian secara hukum dan kendala politis yang ditandai oleh adanya kekuatan
yang besar untuk menghambat upayapenyelesaian melalui pengadilan. Mo Mahfud MD, Politik Hukum
Hak Azasi Manusia di Indonesia”, Pidato Pengukuhan dalam jabatan Guru Besar, Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta, 23 September 2000.
6
Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum
Islam), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 T XIV, al-Hikmah, 2003, 74.
7
M. Mahfudz MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta: Pustaka
LP3ES, 2006), Cet. Pertama, 12.
198

yang mempengaruhi terjadinya pembentukan hukum sangat dominan. Ketika akan


sedang bahkan sesudah dibentuk hukum perbankan syariah terdapat pro dan
kontra di dalam masyarakat, ada yang menghendaki pentingnya dibentuk hukum
perbankan syariah dan ada pula yang megatakan tidak penting dengan adanya
hukum perbankan syariah. Juru bicara partai Fraksi PDS Retna Rosmanita
Situmorang mengatakan bahwa “Hal-hal yang berkaitan dengan perbankan
syariah telah diatur dalam UU Republik Indonesia No. 10 Tahun 1998, sehingga
tidak perlu lagi dibuatkan UU khusus yang mengatur mengenai kegiatan
perbankan syariah. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sebuah UU yang berlaku
umum tidak memasukkan prinsip-prinsip kelompok tertentu saja ke dalam sistem
hukum nasional, sehingga akan berimplikasi dualisme hukum, agar tidak
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945”. 8
Konfigurasi kepentingan dan kekuatan serta intervensi-intervensi baik dari
dalam maupun dari luar dalam badan pembentukan dan penegakkan undang-
undang, tidaklah mungkin dapat diabaikan. Intervensi tersebut dilakukan terutama
oleh golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik secara sosial, politik
maupun ekonomi. 9 Di Indonesia, misalnya, intervensi pemerintah dalam bidang
politik sudah lazim, begitu pula di negara-negara berkembang lainnya. Sejak
zaman penjajahan Belanda sampai saat ini pemerintah sangat dominan di dalam
mewarnai politik hukum di Indonesia. 10
Politik hukum, menurut Mahfud MD, juga mencakup pengertian tentang
bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi
kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum. 11 Juga
mempertimbangkan etik hukum, baik buruknya, adil tidaknya, atau cocok

8
Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum
Islam), 76.
9
Jazuli, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, 9-10.
10
Zainal Abidin Abu Bakar, Pengaruh Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia,
Jurnal Mimbar Hukum No. 9 Thn. IV, Al-Hikmah, Jakarta, 1993, 56.
11
M. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia ( Jakarta, LP3ES, 1998), 1-2.
199

tidaknya ketentuan-ketentuan hukum itu bagi masyarakat yang bersangkutan,


karena hal itu ada hubungannya dengan ditaati atau tidaknya hukum itu dalam
suatu masyarakat.
Seiring dengan pendapat Daniel S. Lev, politik hukum itu merupakan
produk interaksi di kalangan elit politik yang berbasis kepada berbagai kelompok
dan budaya. Ketika elit politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam
interaksi politik, pengembangan hukum Islam dalam suprastruktur politik pun
memiliki peluang yang sangat besar. 12 Begitu pula sebaliknya ketika menengok
sejarah pada masa penjajahan Belanda, posisi hukum Islam sangat termarjinalkan.
Hukum Islam hanya dipandang sebagai hukum apabila diresepsi ke dalam hukum
adat, itu pun dalam strata ketiga setelah hukum Eropah dan hukum Adat orang
timur asing (Arab, China dan India). 13 Indonesia yang merupakan negara jajahan
Belanda, telah mengalami masa berlangsungnya proses introduksi dan proses
perkembangan sistem hukum asing ke dalam hukum masyarakat pribumi. 14 Jadi,
bahwa dalam pembentukan hukum perbankan syariah dikelilingi oleh banyak
faktor adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan lagi.
Van den Berg dalam sebuah teori receptio in complexu menyatakan
bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemeluk-pemeluknya. Jadi
jika penduduk masyarakat beragama Islam, maka hukum yang berlaku harus
hukum Islam pula. Kemudian pendapat ini ditentang oleh Van Vollenhoven dan
Snouck Hurgronje sebagai penemu teori baru yaitu teori receptie yang
menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak
bertentangan dengan hukum adat. Jadi dengan demikian menurut pandangan teori
ini, untuk berlakunya hukum Islam harus diresepi (diterima) terlebih dahulu oleh

12
Cik Hasan Bisri, Transformasi Hukum Islam Ke Dalam Sistem Hukum Nasional, Jurnal
Mimbar Hukum No. 56 Thn XIII (Jakarta,Al-Hikmah, 2002), 31.
13
Cik Hasan Bisri, Transformasi Hukum Islam Ke Dalam Sistem Hukum Nasional, 2002), 32
14
Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi Terhadap Legislasi Kompilasi
Hukum Islam (KHI), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Thn XIV (Jakarta: Al-Hikmah, 2003), Januari-
Maret, 80
200

hukum adat. Teori receptie ini berpangkal dari keinginan Snouck Hurgronje agar
orang-orang pribumi rakyat jajahan jangan sampai kuat memegang ajaran Islam,
sebab pada umumnya orang-orang yang kuat memegang ajaran Islam dan hukum
Islam tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat. Atas dasar itulah ia
memberikan nasihat kepada Pemerintah hindia Belanda untuk mengurus Islam di
Indonesia dengan berusaha menarik rakyat pribumi (inlander) agar lebih
mendekat kepada kebudayaan Eropa dan pemerintah Hindia Belanda. 15 Eksistensi
teori receptie ini kemudian dikokohkan melalui Pasal 134 I.S. yang menyatakan
bahwa bagi orang pribumi kalau mereka menghendaki, diberlakukan Hukum
Islam, selama hukum itu telah diterima di masyarakat Hukum Adat. Hal ini telah
terbukti di dalam hukum perbankan syariah, dimana istilah bagi hasil ini telah
dilakukan oleh nenek moyang kita sebelumnya, seperti bagiro/paroan (bagi dua),
pertelu (bagi tiga)
Memang benar, pada awalnya, politik hukum Indonesia dalam hal
pembangunan hukum nasional, masih dipengaruhi oleh teori receptie yang
dikembangkan oleh Snock Horgronye, namun pada akhir masa pemerintahan orde
baru teori receptie mulai berkurang pengaruhnya dan bahkan mengalami sakarotul
maut, dan selanjutnya dipandang telah mati pada masa reformasi saat ini, terbukti
dengan telah diterimanya hukum Islam ( perdata dan muamalat ) secara bulat
sebagai hukum positif, yaitu dengan dimasukkannya Peradilan Agama dalam
kekuasaan yudikatif, dihapusnya fiat eksekusi atas putusan Peradilan Agama,
tidak adanya lagi hak opsi dalam kewarisan Islam dan diterapkannya hukum
ekonomi Islam serta diperluasnya kewenangan Peradilan Agama, namun
demikian masih ada sebagian elit politik yang phobia terhadap pemberlakuan
Hukum Islam. 16

15
Afdol. Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No. 3 tahun 2006 & Legislasi
Hukum Islam di Indonesia (Surabaya: Airlangga University Press, 2006), 47.
16
http://aanaboodzforlife.com/2010/02/sistem-perbankan-syari%E2%80%99ah-dalam
perspektif-politik-hukum-indonesia-pada-saat-ini (Diakses pada tanggal, 12 Maret 2010)
201

Seorang ahli hukum dari Austria, Eugen Ehrlich, mengemukakan bahwa


pengaruh hukum di dalam masyarakat harus dilakukan dengan pendekatan hukum
yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Artinya bahwa, “Hukum yang baik
adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat”.
Teori ini berpangkal pada perbedaan antara hukum positif dengan hukum yang
hidup (living law) dalam masyarakat. Dia menyatakan dalam hukum positif hanya
akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, yang
dalam istilah antropologi dikenal dengan pola-pola kebudayaan (culture
patterns). 17
Eugen Ehrlich menganjurkan untuk mengadakan pembaruan hukum
melalui perundang-undangan dengan kesadaran untuk memperhatikan kenyataan
yang hidup dalam masyarakat Kenyataan-kenyataan tersebut dinamakan “living
dan just law” yang merupakan “inner order” dari pada masyarakat
mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Jika ingin diadakan perubahan
hukum atau membuat suatu Undang-Undang agar hukum atau Undang-Undang
yang dibuat itu dapat diterima dan berlaku secara efektif di dalam kehidupan
masyarakat, maka suatu hal yang patut diperhatikan adalah hukum yang hidup
18
dalam masyarakat itu. Jika hal itu tidak mendapat perhatian, maka akibatnya
hukum tidak bisa berlaku efektif bahkan akan mendapat tantangan (rigid). 19
1. Embrio Politik Hukum Perbankan Syariah
Perjuangan politik hukum perbankan syariah merupakan bagian usaha
penegakkan dalam penerapan syariat Islam di Indonesia yang dilakukan oleh
bangsa Indonesia, khususnya umat Islam. Usaha-usaha ini sebetulnya telah lama
diformat melalui piagam Jakarta yang cukup representatif, namun selalu
mengalami kegagalan untuk diaplikasikan. Padahal telah dipersiapkan oleh Badan
Perancang Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) atau Panitia Persiapan

17
Soejono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi hukum, Jakarta: Rajawali, 1991), 36.
18
W. Fridman, Legal Theory, Edisi ke 3 (Steven and Sons Limited), 52.
19
R. Otje Salman , Ikhtisar Filsafat Hukum (Bandung: Armico 1999),52.
202

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan akan dijadikan Mukaddimah dalam UUD


’45. Isi piagam yang rencananya akan dimasukkan kedalam lima dasar dalam sila
pertamayang berbunyi sebagai berikut: “ketuhanan Yang Maha Esa dengan
kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya.” Ini disetujui bersama
oleh wakil-wakil Islam, Nasionalis dan Kristen. 20 Dengan isi piagam Jakarta itu,
keinginan kedua belah pihak tercapai.
Sebenarnya misi gerakan Islam untuk merealisasikan syari’at dalam
kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan negara masih terus dilaksanakan.
Ada dua pola realisasi. Pertama, melaksanakan syari’at Islam sebagai hukum
voluntir (voluntary law), seperti pernah dikemukakan oleh Sjafruddin
Prawiranegara, yaitu dilaksanakan oleh dan dalam kerangka civil society yang
relatif independen dari negara. Kedua, formalisasi syari’at Islam menjadi hukum
positif, sebagai suatu jalan pintas. Kedua-dua pola itu sebenarnya telah berjalan di
Indonesia, tanpa formalisasi Piagam Jakarta. 21
Usaha-usaha formalisasi syariat Islam ternyata tidak berhenti sampai di
situ. Umat Islam terus berlanjut memperjuangkannya dan memuncaknya dalam
Sidang Konstituante 1959. Dalam forum itu seluruh partai Islam memperjuangkan
Islam sebagai dasar Negara yang artinya syariat Islam berlaku tidak hanya pada
umat Islam, tetapi seluruh rakyat Indonesia. Perjuangan ini pun menjadi kandas,
karena suara pendukung Islam sebagai dasar Negara masih lebih kecil dari suara
yang menolaknya, walaupun umat Islam disebut sebagai mayoritas di Indonesia. 22
Memperhatikan politik Islam, apalagi jika dihubungkan dengan kontek
kekinian, saat-saat sebagian besar Negara-negara Islam lebih diwarnai oleh
sistem Barat beserta instrument-instrumennya. Padahal Islam memiliki sistem dan
corak tersendiri dalam menata pemerintahan. Interaksi peradaban yang besar
20
Deliar Noer, Syariat Islam Republika, 4 September, 200-.
21
M. Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia),
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. 72.
22
M. Dawam Rahardjo, Dalam Kata Pengantar Buku Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis
Fiqih dan Keuangan, xiii
203

antara Barat dan Islam memberikan pengaruh kepada sejumlah intelektual muslim
untuk menerima alternatif yang ditawarkan oleh Barat dalam politik, ketimbang
memepertahankan sistem yang sudah ada. Kendatipun konsep itu telah teruji
kebenaran dan keampuhannya. 23
Kekhawatiran penguasa-penguasa Barat terhadap berdirinya Negara yang
berdasarkan syariat Islam adalah bahwa berdirinya kekhalifahan Islam (The
Caliphate of Islam) yang megah selama belasan abad, membentang dari ujung
Barat di Andalusia (Spanyol) dan kawasan Balkan di Eropa Timur hingga ke
Indonesia dan Philipina di Timur. Image mereka tentang gambaran pemerintahan
Islam adalah potret sejarah Perang Salib yang memakan waktu sangat panjang.
Peperangan ini juga tandai dengan kalah dan menangnya silih berganti di kedua
belah pihak, yang akhirnya kekalahan tragis itu ada pada kaum Salib Eropa,
ketika komandan perangnya Louis IX dari Peancis, tertangkap oleh pasukan
Shalahuddin Al-Ayyubi di Manshurah, Mesir. Hal ini kemudian menjadi dendam
kesumat sejarah yang tak kunjung padam di benak setiap insan Eropa. Akhirnya
kisah perang Salib ini, hingga sekarang diabadaikan melalui kurikulum sekolah
sejak dari sekolah dasar sampai pada perguruan tinggi. Perang Salib ini
menampakkan corak politik dan keserakahan Barat ketimbang perang karena
motivasi agama. Alasannya kaum Nasrani di Timur tidak memihak kepada tentara
Salib dari Eropa, tetapi justru berada di belakang pasukan Shalahuddin.
Umpamanya, sikap Kristen Koptik di Mesir justru memihak kepada tentara Islam
bukan tentara Salib. 24
Negara-negara Barat saat ini, selalu dihantui oleh tidak hanya berdirinya
kekhalifahan Islam, tetapi juga dihantui oleh sebuah negara yang berdasarkan
Islam sebagai azas ideologi. Mereka berusaha sekuat tenaga menghalang-halangi

23
Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam
Pasca Kejatuhan Soeharto (Bandung, Syaamil, 2006), Cet. Pertama, 82
24
Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam
Pasca Kejatuhan Soeharto, 83.
204

dan menekan negara Islam yang sudah berdiri, dikhawatirkan pula akan menular
terbentuknya negara baru yang berdasarkan Islam sebagai azas ideologi.
Memahami bahwa kekhalifahan merupakan gabungan dari negara-negara bagian
Islam. Seandainya negara Islam dapat berdiri tanpa hambatan, itu merupakan
motivasi bagi bagi negeri lain untuk ikut mendirikan negara Islam, Jika negara
Islam semakin banyak, maka akan berdiri pula Khilafah Islamiyah yang amat
ditakuti oleh Barat. 25
Untuk itu, Barat mempunyai kepentingan menolak konsep Negara Islam
melalui ide dan pemikiran yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh umat Islam sendiri
yang telah terkontaminasi oleh pendidikan dan pemikiran Barat. Dalam tataran
pemikiran, Barat telah berhasil mencetak kaum interlektual yang telah siap
mengamini dan menjadi juru bicara Barat sengaja maupun tidak, untuk tidak
menerima pendirian Negara Islam dengan alasan apapun. Mereka memang lebih
akrab dengan pemikiran Barat yang liberalis dari pada metode al-Qur’ân dan Al-
Hadith. Bagi mereka mempunyai kemudahan dalam menggulir pemikirannya,
karena disamping, mereka hidup di tengah-tengah masyarakat muslim juga
banyak yang memegang posisi strategis dalam pemerintahan baik sebagai praktisi
maupun akademisi. Bagi Barat merasa kesulitan jika pemikiran itu, lahir dari
orientalis, karena sudah pasti memperoleh tantangan yang besar dari umat Islam
di Dunia.
Abdullah Ahmad an-Na’im, seorang cendikiawan Muslim asal Sudan
yang kini bermukim di AS, dalam ceramahnya di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta berpendapat, bahwa formalisasi syari’at Islam dalam konteks
negara-negara (nation-state), dianggap tidak saja tidak mungkin, tetapi juga tidak
perlu. Sebab, negara modern itu bersifat netral dan karena itu tidak boleh
didominasi oleh satu golongan pun, baik Muslim maupun non-Muslim. Demikian
pula formalisasi syari’at Islam menjadi hukum positif tidak diperlukan, karena

25
Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan., 84.
205

dalam formalisasi itu, negara harus memilih suatu mazhab tertentu, yang berarti
akan menyingkirkan mazhab-mazhab yang lain. Karena itulah, pilihan umat Islam
adalah mengembalikan Islam kepada masyarakat dalam suatu civil society.
Nurcholis Madjid menyampaikan gagasan dalam menyikapi persoalan
yang berkembang di masyarakat tentang “Keharusan Pemikiran Islam dan
Masalah Integrasi Umat”. Munculnya pemikiran tersebut tidak terlepas dari
kondisi umat Islam Indonesia ketika itu yang tengah mengalami kestatisan dalam
pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan psychological
striking force dalam perjuangannya. 26
Ajaran-ajaran agama, yang mampu memberikan landasan nilai dan moral
universal, merupakan kebutuhan mendasar bagi masyarakat bangsa Indonesia
yang sedang mengalami proses modernisasi dalam berbagai bidang, baik sosial,
politik, budaya maupun ekonomi. Nurcholish Madjid yang memiliki komitmen
tinggi terhadap Islam melontarkan gagasan “Islam, Yes”; Partai Islam, No”,
merupakan sebuah refleksi untuk mengkounter banyaknya kemunculan partai-
partai Islam saat itu. Disamping itu juga berangkat dari kekecewaan atas partai
Islam yang tidak berhasil membangun image positif dan simpatik, bahkan
sebaliknya. 27 Dengan kata lain, penolakan terhadap institusi kepartaian politik
Islam haruslah difahami sebagai penolakan bukan karena Islamnya tetapi
penolakan terhadap pemanfaatan atas Islam oleh mereka yang terlibat dalam
kehidupan partai Islam. Tingkah laku politik dan pemanfaatan Islam seperti itu
pada gilirannya justru menjatuhkan nilai-nilai ajaran Islam yang sebenarnya. 28
Namun di pihak lain, pemikiran Nurcholis Madjid tentang, “Islam, Yes”;
Partai Islam, No” menunjukkan bahwa umat Islam tidak patut mendirikan Negara
Islam dengan menjadikan Islam sebagai kendaraan politiknya. Dan jargon inilah
26
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, sebuat Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, kemanusiaan dan keomderenan (Jakarta: Paramadina, 1992), Cet. Ke-2, xviii.
27
Nurcholis Madjid, Islam Kemoderenan dan keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1995), Cet.
Ke-8, 204.
28
Nurcholis Madjid, Islam Kemoderenan dan keindonesiaan, 205
206

yang kemudian dijadikan oleh pemerintah sebagai alat untuk memberanguskan


politik Islam. Sebenarnya, pemikiran ini telah terkontaminasi 29 oleh rezim Orde
Baru yang tidak akomodatif dengan politik Islam, disamping merupakan refleksi
keinginan penguasa 30 pada saat itu. dan bukan desebabkan oleh bangsa Indonesia
yang sangat majemuk, baik dari suku, bangsa dan agama. Pemikiran ini ada
benarnya
Gagasan lain yang diutarakan oleh Nurcholish Madjid mengenai
skularisasi di era 1970 an, ini berdampak pada kebebasan berfikir dan munculnya
sikap keterbukaan di kalangan umat Islam Indonesia untuk tidak mensakralkan
segala sesuatu yang berifat material dunia, dan telah membuat masyarakat muslim
menyadari hakikat nilai pluralisme, toleransi dan penilaian yang serba tidak
absolute. 31
Sekularisasi yang diluncurkan Nurcholis Madjid, sebuah proses
pembebasan, yaitu untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya
bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecendrungan untuk
mengukhrawikannya. Proses pembebasan ini untuk lebih memantapkan tugas
manusia sebagai “khalifah Allâh di Bumi”. 32 Ternyata sekularisasi yang
diluncurkan Nurchalis Madjid juga sama dengan sekularisme, yang memisahkan
urusan dunia dengan ukhrawi. Oleh karena itu pendapat Nurkholis Madjid
tidaklah jauh dengan pemikiran Abdullah Ahmad an-Na’im yang mengutarakan

29
Yaitu kekhawatiran akan timbulnya keruncingan yang berbau SARA. Padahl istila SARA
itu sendiri adalah terminologi yang diciptakan rezim waktu itu unuk menghajar kekuatan politik umat
Islam. Lihat Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat
Islam Pasca Kejatuhan Soeharto, 72
30
Indikasi lain, pemerintah juga melakukan pengkebirian atau pembelengguan partai politik.
Puncaknya adalah ketika semua parpol, bahkan ormas dipaksa untuk mengubah masing-masing
azasnya menjadi azas Pancasila sebagai satu-satunya azas. Ali Murtopo, antek politik orde baru,
melalui lembaga CSIS-nya, berusaha utuk membumihanguskan poliik, sasaran tembakyang paling
utama adalah “politik Islam”. Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan
Penerapan Syariat Islam Pasca Kejatuhan Soeharto, 74
31
Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional (Jakarta: Ciputat Press, 2002), cet. 1, 30
32
Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional, 31
207

bahwa formalisasi syari’at Islam dalam konteks negara-negara (nation-state),


adalah tidak penting. Umat Islam harus mengembalikan Islam kepada masyarakat
dalam suatu civil society
Banyak kalangan menolak terhadap gagasan sekularisasi yang dilontarkan
Nurcholis Madjid, termasuk penolakan, Harun Nasution, tokoh modernis
kontemporer yang berpendidikan Barat, tidak menerima dengan gagasan
sekularisasi yang telah sampai ke tingkah pemisahan dunia dan akhirat. Antara
kedua bentuk ini terdapat garis pemisah yang jelas. 33
Begitu juga dikatakan Nurcholis Madjid, bahwa umat Islam tidak patut
untuk mendirikan Negara Islam, karena tidak memiliki alasan yang mendasar.
Nurcholis Madjid mempunyai pandangan yang sangat keliru. Ia hanya hanya
mengikuti pemerintah orde baru yang tidak akomodatif terhadap Islam. Rasa
ketakutan dan ketidakmampuan Nurkholis Madjid untuk melontarkan gagasan
mendirikan Negara Islam, dan disamping pemikirannya telah terkontaminasi
dengan alur pemikiran barat.
Khalid Muhammad Khalid dikenal sebagai seorang intelektual Mesir yang
berhaluan sekulerisme, dengan tegas menolak gagasan pendirian “Negara Islam”.
Ia menganggap pemikiran itu merupakan keterbelakangan. Ia mengajak umat
Islam agar memisahkan urusan agama dengan masalah politik dan pemerintahan,
karena dalam pandangannya, Negara-negara maju di Barat yang menganut
sekularisme. Kemajuan mereka setelah berhasil memisahkan peran gereja dengan
persoalan politik dan kenegaraan . Jadi mengambilan kesimpulan bahwa, jika
umat Islam ingin maju, urusan agama harus dipisahkan dari Negara. Tetapi di
penghujung penghidupan atau pada kematangan berfikir, Khalid Muhammad

33
Harusn Nasution, Islam Rasional (Bandung : Mizan 1996), cet. ke-4, 193.
208

Khalid, mengakui dan menganulir/meralat ide-idenya yang dikatakan di atas


adalah menganggapnya sebagai suatu kesalahan besar. 34
Sejatinya, seorang ilmuwan, harus bertanya apakah hipotesa ilmuwan
Barat sudah menjadi aksioma atau hanya sekadar asusmsi? Jika sarjana-sarjana di
Barat mengatakan,”Kami maju karena meninggalkan agama”. Seorang muslim
yang sejati akan mengatakan, “Itu akan hanya berlaku bagi agama yang selama ini
dianut oleh orang-orang Eropa, tapi tidak untuk agama Islam yang sempurna dan
universal”.
Islam memandang kehidupan duniawi dan ukhrawi secara seimbang:
artinya tidak ada salah satunya dikorbankan untuk memenangkan sisi yang lain
Bila politik tidak dikendalikan, ia akan menajdi liar dan menjadikan manusia
lainnya sebagai mangsanya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Ibnu Taimiyah mengatakan
bahwa mendirikan negara, bukan perintah dari syariah, tapi menegakkan syariat
Islam adalah perintah atau kewajiban. Kekuasaan harus dijalankan dengan syura
dan hukum harus ditegakkan dengan adil. Kaidah ushul Fiqh menyebutkan
bahwa, “Mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihî, fahuwa wâjibun” Sesuatu yang wajib
untuk dijalankan dan kewajiban itu tidak mungkin ditegakkan kecuali adanya alat
untuk sesuatu kewajiban itu. Maksudnya adalah menegakkan syariat Islam suatu
kewajiban 35 haruslah secara utuh dan menyeluruh, tidak beribadah secara
sempalan atau parsial, dan untuk menegakkan syariah haruslah ada sarana/alat
yakni negara. Nah, sekarang negara sudah ada, memberikan nama negara Islam
atau tidak negara Islam bukan merupakan suatu hal yang pokok. Yang pokok

34
Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam
Pasca Kejatuhan Soeharto, 85-86
35
Kewajiban adalah sesuatu yang haris dijalankan dalam Islam. Syariah adalah keseluruhan
dari ajaran-ajaran itu sendiri. Dalam terminologi hukum pemahaman terhadap syariah baik di dalam al-
Qur’ân maupun yang terkandung di Hadits Rasulullah saw. Mengandung sutu norma hukum sesuia
yang mengalami perkebangan. Lihat Kata Pengantar Yusril Ihza Mahendra dalam, Mengawal Syariah,
tulisan MS. Kaban (Jakarta: Pustaka Ar-Raihan, 2007), v
209

adalah melaksanakan al-amru bi al-ma’rûf wa al-nnahyu ‘ani al-munkar,


menciptakan kemakmuran dan perdamaian. 36
Tetapi menurut hemat penulis, ketika tidak bisa menegakkan syariat
Islam di dalam negara tersebut, maka mendirikan negara Islam dan/atau
menjadikan negara Islam menjadi wajib hukumnya atau mutlaq harus dilakukan
dan bila tidak dilakukan pastilah Allâh tidak menurunkan kehidupan yang berkah,
bahkan siksa Allâh yang amat pedih pasti turun. 37
Dawam Rahardjo mengutarkan bahwa, gerakan Islam itu sendiri secara
keseluruhan dapat dibedakan menjadi dua pola. Pertama, pola “Islam Politik”
yang menempuh jalan mencapai kekuasaan sebagai alat untuk menegakkan
syari’at Islam. Kedua, “Islam Kultural” yang memilih jalur budaya dan
kemasyarakatan. Yang pertama bertujuan menegakkan Negara Islam atau
kekuasaan Islam, sedangkan yang kedua, bertujuan untuk menciptakan
masyarakat Islam, peradaban Islam atau masyarakat madani, paling tidak ikut
serta dalam civil society. 38
Sebagai reaksi terhadap gejala Islam fundamentalis dan Islam Radikal,
telah timbul kelompok Islam Liberal yang mengkampanyekan sekularisme. 39
Pandangan sekularisme ini menurut penulis, sebagai suatu kesalahan besar yang
dilakukan oleh umat Islam, jika dilihat dari kacamata Islam seharusnya adalah
menempuh jalan “Islam struktural” untuk mencapai kekuasaan sebagai alat untuk

36
Yusril Ihza Mahendra dalam, Mengawal Syariah, tulisan MS. Kaban (Jakarta: Pustaka Ar-
Raihan, 2007), viii
37
Q:S., Al-A’raf, 7:96.
38
M. Dawam Rahardjo, Dalam Kata Pengantar Buku Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis
Fiqih dan Keuangan, xiv
39
Menurut kelompok ini, gerakan Islam tidak perlu membawa isu keagamaan ke dalam
wacana publik. Selain itu, dalam menanggapi persoalan publik, pendekatan agama tidak perlu dipakai
dan diganti dengan ilmu pengetahuan. Gagasan kelompok liberal ini agaknya sulit atau tidak bisa
diterima, tidak saja oleh kelompok radikal dan fundamentalisme, tetapi juga oleh kalangan mainstream
yang berpandangan moderat. Lihat M. Dawam Rahardjo, Dalam Kata Pengantar Buku Adiwarman
Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, xv
210

menegakkan syari’at Islam. Mengapa berpendapat demikian? Jawabannya adalah


Islam adalah agama yang sempurna 40 .
Untuk itu, membangun partai politik Islam - bukan pemanfaatan Islam
untuk mencari kekuasaan dan kekayaan yang pada gilirannya justru menjatuhkan
nilai-nilai ajaran Islam yang sebenarnya - guna menegakkan syariat Islam
dan/atau mendirikan Negara Islam yang berazaskan kepada al- Qur’an, adalah
merupakan keniscayaan dan kewajiban muthlak untuk umat Islam, yang apabila
tidak dilaksankan sama halnya dengan tidak melaksanakan ibadah-ibadah yang
lainnya. Disinilah sebetulnya akan terjadi penciptaan suatu masyarakat madani.
Dengan demikian, meraih kekuasaan untuk penerapan syariat Islam akan
lebih mudah. Penerapan syariat Islam harus dipaksakan kepada masyarakat.
Masyarakat tunduk kepada hukum Tuhan, karena hukum Tuhan (Syariat Islam)
bersifat memaksa (authoritarian), sedangkan hukum duniawi tunduk kepada
manusia. Dengan sifat otoriter itu, juga sama dilakukan dengan penerapan shalat
lima waktu dan ibadah-ibadah lainnya agar masyarakat menjadi terbiasa. Karena
manusia lebih banyak mengikuti hawa nafsunya yang buruk ketimbang mengikuti
perintah Tuhannya. Di sinilah, sebetulnya bahwa mengapa pendirian dan
penegakkan negara Islam 41 di Indonesia menjadi sangat penting kendatipun hal
ini dianggap sulit, tetapi bukan berarti tidak mungkin untuk dperjuangkan. Untuk

40
Q:S. 3:83
41
Mendirikan negara Islam itu berawal dari sebuah wacana politik Islam. Barat sangat
berkepentingan jika yang menolak konsep tentang Negara Islam itu berasal dari kalangan umat Islam
sendiri, apalagi jika ide itu dilontarkan oleh seorang tokoh Islam. Pasalnya, jika disampaikan oleh
seorang orientalis, misalnya, tentu saja ide yang sama akan mendapat penolakan secara total dari
masyarakat muslim. Dalam tataran pemikiran, barat telah berhasil mencetak serombongan kaum
intelektual yang siap mengamin agenda damn pola berfikir barat, sengaja atau tidak sengaja. Mereka
hidup di tengah-tengah masyarakat muslim dan tidak sedikit diantara mereka yangmemegang posisi
strategis dalam pemerintahan, baik sebagai praktisi maupun akademisi. Mereka memamng lebih akrab
dengan metode berfikir barat yang liberalis, ketimbang metode Qur’an dan Hadits Mereka lebioh
percaya denga fenomena yang terjadi di Barat saat ini daripada melihat sejarah kegilangan umat Islam
dimasa lampau. Lihat Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan
Syariat Islam Pasca Kejatuhan Soeharto, 85
211

itu, menurut pendapat penulis mendirikan negara Islam sebuah keniscayaan, yang
harus diperjuangkan oleh seluruh umat Islam.
Nah, mendirikan partai Islam untuk menegakkan syariat Islam
dan/mendirikan negara Islam adalah juga wajib hukumnya. Berangkat dari sinilah
sebetulnya urgensitas perubahan sistem politik masa lalu, sebagai tuntutan utama
reformasi. Rakyat menyadari bahwa pemerintah masa lalu telah memperlakukan
Islam kurang harmonis atau tidak baik. Namun kemudian, baru saja reformasi
muncul dan iklim demokrasi pintunya terbuka, tiba-tiba Nurcholis Madjid
mengatakan bahwa mendirikan partai agama tidak perlu. Ungkapan yang
disampaikan sehari setelah mundurnya Soeharto dan masih sedang hangat-
hangatnya iklim reformasi ini, terasa sebagai hal yang bertentangan dengan
reformasi dan memukul hati sanubari umat Islam Indonesia. Padahal salah satu
isu reformasi menghapuskan UU yang membatasi ruang gerak parpol. 42
Beberapa kendala yang ada terhadap pendirian negara Islam di Indonesia
antara lain: disebabkan ada tiga kelompok besar yang selalu berbeda pandangan
mengenai penegakkan syariat Islam dan/atau mendirikan negara Islam di
Indonesia. Masih banyaknya masyarakat Islam yang tidak perduli terhadap ajaran
agama Islam karena ketidak fahamannya terhadap Islam yang sebenarnya.
Ketiga kelompok tersebut yakni: Pertama, kelompok Islam fundamentalis
dan Islam Radikal yang menghendaki menjadikan negara Islam atau negara
masuk ke dalam Islam secara kaffah dengan menggunakan azas berdasarkan al-
Qur’ân dan Al-Hadith, yang dikenal dengan istilah “Islam Struktural”,
sayangnya kelompok ini juga tidak memiliki figur pimpinan yang dapat dipercaya
atau diakui reputasinya oleh semua golongan, baik secara nasional maupu
Internasional; kedua, kelompok Islam moderat yang mengiginkan Islam
terintegrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara artinya dalam

42
Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam
Pasca Kejatuhan Soeharto, 85-86
212

kehidupan berbangsa dan bernegara ini tidak mesti membentuk negara Islam, atau
dikenal dengan istilah “Islam kultural”. Ini sebetulnya dapat dilakukan ketika al-
Qur’ân Al-Hadith belum ada (tidak sempurna); sedangkan yang ketiga, adalah
kelompok Islam liberal yang menghendaki bahwa gerakan Islam tidak perlu
membawa isu keagamaan ke dalam wacana publik. Dan yang ketiga ini dikenal
dengan istilah sekularisme. 43
Hanya saja, nampaknya masih terjadi perbedaan pendapat mengenai apa
itu yang disebut dengan syari’at Islam atau Hukum Allâh. Ada dua pandangan
baru mengenai apa yang dimaksud dengan syariat Islam. Pertama, syari’at Islam
sebagai sebuah prinsip-prinsip umum yang sifatnya universal, yang merupakan
petunjuk Tuhan (al-huda) atau al-Qur’ân dan Sunnah Rasul. Prinsip-prinsip
umum itu kini telah dirumuskan menjadi al-maqâsid al-sharî’ah, sebagaimana
telah dirumuskan oleh Imam al Syatibi dan Imam al-Ghazali. Konsekuensi dari
pemahaman ini adalah, bahwa penerapan syari’at Islam memerlukan penafsiran
yang pasti akan sangat beragam dan berubah dari waktu ke waktu sebagaimana
yang telah terjadi dalam Islam historis. Kedua, yang dimaksud dengan syari’at
Islam itu adalah hukum fiqih yang telah dirumuskan oleh para ulama. Jika itu
yang dimaksud, maka sebenarnya syari’at Islam itu tidak identik dengan hukum
Tuhan, melainkan merupakan penafsiran para ahli mengenai wahyu Allâh dan
Sunnah Nabi SAW. Syari’at Islam seperti ini masih memerlukan kajian ilmiah
untuk bisa diperjuangkan menjadi hukum positif. 44
Menurut Mohammad Natsir, 45 salah satu wujud akomodasi bagi gagasan
pelaksanaan penegakkan syariat Islam dibentuknya Departemen Agama Republik
Indonesia yang dimaksudkan agar umat Islam masih terus bisa memperjuangkan
berlakunya syariat Islam bagi para pemeluknya, melalui legislasi di parlemen
dengan dukungan partai-partai Islam. Kerjasama Departemen Agama dengan

43
M. Dawam Rahardjo, xv.
44
M. Dawam Rahardjo, xvi
45
M. Dawam Rahardjo, xvi
213

partai-partai Islam dan unsur-unsur simpatisan Islam di partai sekuler seperti


Golkar telah terjadi penyusunan hukum positif yang mengakomodasi syariat
Islam, misalnya tercermin dalam UU Nomor 14 1970 tentang Kekuasaan
Kehakiman, UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, UU Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama, UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan
zakat, dan UU No. 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan Undang-
Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yang sedang penulis
bahas ini.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengaruh Politik Hukum
Pembentukan UU perbankan syariah banyak dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Dan perbankan syariah merupakan bagian dari ekonomi syariah. Ekonomi
syariah adalah bentuk aktifitas yang operasionalnya dikemas dan dibingkai oleh
Islam. Islam dan politik merupakan dua aspek penting yang menjadi satu kesatuan
yang tak dapat terpisahkan satu sama lain. Di satu sisi pembangunan ekonomi
Islam dipengaruhi oleh faktor politik, di sisi lain politiknya juga dipengaruhi oleh
Islam. Realitas interdependensi dua hal tersebut telah melahirkan suatu kajian
yang dikenal dengan politik ekonomi.
Secara konkret realitas interdependensi ekonomi Islam dan politik
tersebut, bisa dibaca pada gagasan umat Islam Indonesia untuk mendirikan bank
Islam, yang sangat sarat dengan muatan politis. Pada mulanya, hubungan umat
Islam dan Orde Baru masih diliputi kecurigaan dan prasangka. Para penguasa
Orde Baru pada tahun 1970-an masih mencurigai gagasan tersebut sebagai salah
satu wujud dari gerakan pendirian negara Islam atau realisasi Piagam Jakarta.
Oleh karenanya pemerintah tidak mengizinkan pendirian lembaga tersebut. 46

46
Alasan resmi yang dikemukakan oleh Pemerintah mengenai tidak diizinkannya pendirian
bank Islam adalah karena cara operasi bank Islam, yang menuntut pemerataan lebih adil dengan sistem
bagi hasil, tidak sejalan dengan Undang-undang yang berlaku, yaitu Undang-undang No. 14 Tahun
1967, BAB I Pasal 1, yang tidak mengizinkan beroperasinya bank tanpa bunga kredit. Lihat M.
214

Namun, pada perkembangan selanjutnya hingga saat ini, ternyata bank


syariah mengalami kemajuan yang sangat berarti, bahkan banyak bank
konvensional yang membuka divisi syariah. Melihat berbagai perubahan yang
cukup pesat dari perkembangan sistem ekonomi Islam yang dimanifestasikan
dalam wujud perbankan syariah dan adanya akomodasi dari regulasi perbankan,
yang kemudian memunculkan pertanyaan besar, mengapa semua itu bisa terjadi
dengan cepat? Dengan adanya asumsi bahwa antara ekonomi dan politik terjadi
hubungan interdepedensi yang sangat erat, maka pertanyaan: peristiwa politik
apakah yang memungkinkan itu semua bisa terjadi? Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pembentukan hukum perbankan syariah yakni:
a. Faktor Internal
1) Ideologi
Pancasila sebagai dasar falsafah Negara Republik Indonesia menjamin
kehidupan bernegara dan berbangsa. Jaminan UUD 1945 Pasal 29 yakni,
kebebasan berkeyakinan beserta pelaksanaannya harus dipandang sebagai adanya
kebebasan bagi masyarakat Islam untuk melakukan aktivitas keperdataan sesuai
dengan konsep hukum Islam sebagai keyakinan yang dianutnya. Dalam
penerapan pasal inipun mengalami banyak interpretasi. Bagi Indonesia yang
mayoritas masyarakatnya beragama Islam, tentu dalam pencapaian yang
diinginkan oleh Islam formalis adalah harus dengan penetapan ketentuan-
ketentuan syariah dalam ketetapan hukumnya (hukum formil), yang terkadang
tanpa tersadar bahwa terbentuknya Indonesia atas dasar kontrak sosial. Dimana
Indonesia tetap berpegang pada kemajemukan penduduk meskipun Islam sebagai
agama mayoritas. 47 Lahirnya UU perbankan syariah sebetulnya merupakan
tuntutan ideology Negara, dimana Negara yang penduduknya menganut agama

Dawam Rahardjo, “Bank Islam”, dalam Ensiklopedi Islam Tematis (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Houve, 2002), 399.
47
http://www.nggersik.com/tinjauan-politik-hukum-perbankan-syariah-di-indonesia.htm,
17/02/10(Diakses pada tanggal 25 Maret 2010)
215

Islam, maka kebutuhan undang-undang yang mengatur ekonomi yang berbasis


ajaran agama juga merupakan keniscayaan.
Garansi negara tentang hak kebebasan beragama tersebut menempatkan
posisi negara sebagai fasilitator. Dalam ketetapan pencapaiannya dikembalikan
kepada mekanisme penetapan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Jika berbentuk undang-undang, maka harus melalui lembaga legislatif, yang
diperoleh dari hasil Pemilihan Umum (Pemilu). Oleh karena Indonesia menganut
sistem politik demokrasi, maka hal ini juga harus terpenuhi dalam segala langkah
upaya melalui jalur politik. Sehingga apapun yang terlahir, baik undang-undang
maupun keputusan kenegaraan tidak mengarah pada pembelaan atau pertentangan
negara terhadap satu kelompok tertentu. Berikut DPS-DSN juga harus
melepaskan seragam partai, menjaga jarak dan tidak terintegrasi dengan
pemerintah atau lembaga perbankan untuk menghindari politisasi fatwa.
Demikian juga yang seharusnya dilakukan oleh para pelaku industri
perbankan syariah. Melalui jalur politik dalam penetapan hukumnya akan
membuat tujuan pencapaian perkembangan perbankan syariah di Indonesia akan
semakin terbuka lebar.
2) Agama
Indonesia, Negara yang penduduknya mayoritas menganut agama Islam
tentu saja ajaran-ajaran al-Qur’ân dan al-Sunnah dijadikan sebagai pedoman
kehidupan (way of life) keseharian baik ibadah secara vertikal maupun secara
horizontal, termasuk pemikiran dasar mengenai sistem keuangan didasarkan atas
skema bagi hasil (profit and loss sharing). Islam telah memperkenalkan sistem
ekonominya, sebagai solusi terhadap perekonomian dunia yang selama ini
mengalami keterpurukan yang disebabkan oleh bisnis ribawi.
Islam tidak menawarkan sistem bunga (interest). Islam mengajak para
deposan untuk berpartisipasi dalam suatu usaha. Deposan akan mendapat bagian
dari keuntungan usaha (bank) sesuai dengan rasio yang telah ditetapkan
216

sebelumnya. Dengan demikian terjalin hubungan kemitraan antara bank dan


deposan di pihak lain. Dan di pihak lain antara bank dan nasabah investasi yang
mengelola simpanan deposan dalam berbagai usaha produktif. 48
1) Sistem bunga yang dimaksud adalah tambahan pembayaran atas uang pokok
pinjaman. Penerapan sistem bunga ternyata berimplikasi negatif terhadap
kehidupan. 49 Disamping itu
2) Sistem perbankan yang ada sekarang memiliki kecenderungan terjadinya
konsentrasi kekuatan ekonomi ditangan kelompok elit, para bankir dan
pemilik modal. 50
3) Sistem perbankan yang menerapkan bunga menimbulkan laju inflasi semakin
tinggi, karena ada kecenderungan bank-bank untuk memberikan kredit secara
berlebih-lebihan. 51
4) Sistem perbankan yang menerapkan bunga sekarang dirasakan sangat tidak

berhasil dalam membantu memerangi kemiskinan dan memeratakan


pendapatan baik di tingkat nasional maupun global. 52
Di dalam era pembangunan ekonomi setiap negara dewasa ini peranan
lembaga perbankan sangat besar dan menentukan. Bank yang berdasarkan prinsip
syariat Islam, diharapkan mempunyai pengaruh yang besar terhadap terwujudnya
suatu sistem ekonomi Islam yang menjadi keinginan bagi setiap negara Islam atau
negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Jadi sistem ekonomi Islam akan terus berkembang melalui kerja ijtihad.
Bahkan sistem ekonomi Islam bukan hanya teoritis, ia merupakan hasil suatu

48
Mervyn K. Lewis & Latifa M. Algaoud, Islamic Banking , Terjemahan oleh Burhan Subrata
Perbankan Syariah Prinsip, Praktek dan Prospek (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007), Cet. !, 9-
10
49
Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam Dan Lembaga-Lembaga Terkait (BAMUI,
Takaful dan Pasar Modal Syariah) di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 14
50
Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam Dan Lembaga-Lembaga Terkait, 15
51
Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam Dan Lembaga-Lembaga Terkait, 16
52
Warkum Sumitro,Asas-Asas Perbankan Islam Dan Lembaga-Lembaga Terkait (BAMUI,
Takaful dan Pasar Modal Syariah) di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 15
217

proses tranformasi nilai-nilai Islam yang membentuk kerangka serta perangkat


kelembagaan dan pranata ekonomi yang hidup dan berproses dalam kehidupan
masyarakat.
3) Politik Kekuasaan
Dalam menghadapi berbagai kecaman dan kritikan atas beragam
kebijakan yang dijalankannya serta akibat dari padanya, Soeharto kemudian
membangun aliansi dengan partai politik, dengan harapan dapat mengerahkan
dukungan rakyat terhadapnya. Ada dua partai politik yang dapat memberikan
dukungan terhadapnya, yaitu partai NU dan PNI. NU dominan di kalangan santri
di kawasan pedesaan maupun di kalangan wiraswasta muslim yang merupakan
mayoritas masyarakat bisnis pribumi Indonesia, serta memiliki kepemimpinan
yang relatif bersatu. Di pihak lain PNI terkenal di kalangan abangan dan di
kalangan pamong praja, birokrasi negara yang terpenting. 53
Akhirnya, diciptakanlah ketertiban politik: pertama, menjadikan “dwi
fungsi” ABRI sebagai alat untuk mendistribusikan ganjaran kepada para perwira
yang setia kepada pemimpin yang tertinggi dengan menugaskan mereka ke dalam
posisi-posisi ekonomi dan politik yang berpengaruh. Kedua, penugasan para
perwira militer di posisi-posisi birokrasi dan politik untuk menjamin
terpeliharanya politik yang tertib dan terkendali dengan mengendalikan konflik
faksifaksi di antara perwira AD sendiri dan persaingan antar angkatan dalam
tubuh ABRI serta penyederhanaan politik kepartaian. 54

53
Santri dan Abangan adalah dua istilah sosiologis yang sudah akrab di kalangan umat Islam
Jawa. Secara kultural, santri digunakan untuk menyebut kelompok muslim yang taat dalam
menjalankan agama. Sedangkan abangan sebaliknya, yakni sebutan untuk muslim yang tidak taat
dalam menjalankan agama, terutama dalam wilayah ubudiya Dalam sosiologi Jawa masing-masing
kelompok itu merupakan paguyuban yang seolah-olah saling membuat batas wilayah pergaulan
sosiologisnya secara eksklusif. Masing-masing mempunyai budaya dan pola hubungan sosial sendiri-
sendiri, sehingga nampak eksklusif. Paparan terkenal untuk pembagian dikotomi ini. Lihat Clifford
Geertz, The Religion of Java (London: The Free Press of Glencoe, 1960), 6.
54
Clifford Geertz, The Religion of Java (London: The Free Press of Glencoe, 1960), 201.
218

Diangkatnya Ali Murtopo, yang merupakan salah satu dari dua belas
perwira staf pribadi Soeharto, sebagai pembantu politik kepercayaannya memang
menunjukkan bahwa Soeharto tidak menyukai radikalisme Islam. Ali Murtopo
yang Islam phobia ini bersekutu dengan kelompok Katolik dan tokoh Jawa. 55
Tidak mengherankan jika kebijaksanaan politik pada awal pemerintahan Orde
Baru banyak merugikan kaum muslimin, karena kelompok Ali Murtopo yang
memegang kendali pemerintahan didominasi orang-orang yang cenderung
memusuhi Islam. Dalam pikiran kelompok ini, Islam merupakan potensi yang
amat membahayakan apabila diberi kesempatan. Bagi mereka Islam itu identik
dengan “Darul Islam” sehingga mereka cenderung untuk menghancurkannya. 56
Puncak kegagalan politik Islam untuk kembali berkiprah dalam
pemerintahan adalah ketika pemilu pertama Orde Baru pada 1971 yang membawa
kemenangan mutlak kepada Golkar yang mengantongi 62,80% suara atau 392
kursi. ABRI sebanyak 230 kursi, Utusan Daerah dan Golongan 130 kursi, Partai
Islam (NU, Parmusi, PSII dan Perti) sebanyak 126 kursi dan partai lain (PNI,
Parkindo, Parkat, IPKI dan Murba) memperoleh 42 kursi. 57 Dengan hanya
memperoleh jumlah wakil yang kecil, ruang gerak politik Islam sangat terbatas.
Sebaliknya kedudukan pemerintah relatif aman untuk menggolkan agenda
politiknya di parlemen. Kemenangan mutlak Golkar juga memberikan legitimasi
bagi pemerintah dan militer untuk melakukan kontrol terhadap kehidupan politis.
Kontrol ini kemudian direalisasikan dalam program pengembangan sistem
politik hegemonis. Pada Januari 1973, pemerintah memutuskan untuk melakukan
restrukturalisasi sistem kepartaian. Dalam struktur politik yang baru ini, seluruh
partai, kecuali Golkar, harus bergabung dalam dua partai politik. Keempat partai

55
Aminuddin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah
Runtuhnya Rezim Soeharto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 75.
56
Afan Gaffar, “Partai Politik, Elit dan Massa dalam Pembangunan Nasional” dalam Ahmad
Zaini Abas, Beberapa Aspek dari Pembangunan Orde Baru, Solo: Ramadhani, 199, 22.
57
Jamhari, “Islam di Indonesia” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid 6, Jakarta: PT
Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), 359.
219

Islam-NU, Parmusi, PSII dan Perti-digabung dalam PPP (Partai Persatuan


Pembangunan). 58 Sedangkan lima partai lain yang berlatarbelakang nasionalis
(PNI, IPKI dan Murba), Kristen Protestan (Parkindo) dan Katolik (Parkat)
digabung dalam PDI. 59
Selain melakukan pengerucutan jumlah partai-partai, pemerintah juga
(dalam hal ini golongan mayoritas anggota parlemen adalah Golkar, wakil ABRI,
utusan daerah dan golongan) mengusulkan untuk menyejajarkan aliran kebatinan
dengan lima agama yang ada Indonesia, dan dengan mudah mendapat
persetujuan. Peminggiran keterlibatan umat Islam kembali dilakukan dengan
diberlakukannya asas tunggal. 60 Sosialisasi Pancasila dengan program P4
(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dilakukan untuk menghindari
terjadinya pertentangan ideologi. Lebih dari itu, menurut pemerintah sikap
fanatisme terhadap ideologi akan mudah memancing terjadinya kerawanan dan
konflik sosial, seperti yang pernah terjadi di Lapangan Banteng Jakarta ketika
terjadi bentrokan antar massa PPP dengan Golkar pada 1982.
Walaupun reaksi keras terhadap kebijakan pemerintah ini masih tampak,
seperti dalam peristiwa Tanjung Priok pada 12 September 1984, namun umat
Islam menyadari bahwa perlawanan konfrontatif tidak akan berhasil. Untuk ini,
kalangan cendikiawan muda melakukan reorientasi terhadap makna politik Islam
yang selama ini dielaborasi dalam corak legalitas dan formalitas. Orientasi poltik
baru tersebut lebih mengarah kepada politik substantif dan integratif. Artinya
pendekatan baru tersebut lebih mengutamakan kepada aspek kandungan nilai

58
Sebuah nama partai yang sama sekali tidak menunjukkan adanya unsur-unsur Islami. Lihat
Francois Raillon, “The New Order and Islam: or the Imbrioglio of Faith and Politics” dalam Indonesia
(Cornell Southeast Asia Program, 1993), 202.
59
Jamhari, “Islam di Indonesia”, 359.
60
Setelah penerapan asas tunggal ini, semua kekuatatan politik (partai) dan semua organisasi
sosial harus menjadikannya sebagai landasan ideologi partai atau organisasi. Lihat Francois Raillon,
“The New Order”, 204.
220

Islam sebagai sumber inspiratif bagi kekuatan politis serta sikap saling menerima
dan menyesuaikan antara umat Islam dan negara. 61
Pada periode 1982-1985, hubungan yang baik antara Islam dan negara
mulai terwujud, walaupun belum sampai pada taraf yang ideal. Adanya Munas
ketiga Golkar pada Oktober 1983, menandai awal era baru peranan politik elit
Islam di dalam tubuh partai negara Orde Baru. Akbar Tanjung yang
berlatarbelakang Ketua Umum HMI bersaing dengan Sarwono Kusumaatmadja,
aktivis mahasiswa “Kelompok Bandung” yang mempunyai hubungan patronase
dengan Jendral L.B. Moerdani. Keduanya bertarung untuk memperebutkan posisi
sebagai Sekjend Golkar. Akbar yang memiliki latarbelakang HMI tentu saja
memiliki visi lebih Islam ketimbang Sarwono yang lebih berorientasi sosialis.
Kendati dalam pertarungan tersebut Akbar kalah, namun hal tersebut tetap
memberikan makna baru bagi perkembangan Golkar ke depan. Golkar yang pada
dua dekade pertama Orde Baru lebih dikuasai abangan yang anti Islam, semenjak
tampilnya Akbar sebagai kandidat Sekjen, telah memberikan harapan lebih baik
bagi tokoh-tokoh gerakan Islam untuk bisa memainkan peranan lebih baik dalam
tubuh Golkar di masa berikutnya. 62
Sementara itu dalam komposisi kepengurusan hasil Munas II Golkar itu,
pengaruh dan peranan Ali Murtopo merosot. Jika dalam hasil Munas Golkar 1978
orang-orang dari kelompok ini banyak memegang posisi kunci seperti Sekretaris
Jendral, Wakil Ketua dan sebagainya, maka produk kepengurusan Golkar 1983,
kelompok Ali Murtopo hanya terwakili dua orang dan itu pun tidak menduduki
kedudukan yang strategis.
Kemerosotan politik kubu Ali Murtopo ini sangat terkait dengan
kesenjangan politik Ali sendiri dengan Soeharto. Ada dua hal yang menyebabkan
gap Ali dengan Soeharto yang menyebabkan terpinggirkannya kubu Ali dalam

61
Jamhari, “Islam di Indonesia”, 360.
62
Leo Suryadinata, Golkar dan Militer (Jakarta: LP3ES, 1992), 21.
221

percaturan politik nasional dan di DPD Golkar, khususnya dalam kurun waktu
tersebut. Pertama, pada dekade 1970-an Ali Murtopo telah dapat mengerahkan
sumber-sumber kekuasaannya sendiri yang dapat menggerogoti kedudukan
Soeharto. Kedua, kenyataan yang mendasari krisis politik pada bulan Januari
1974 (Peristiwa Malari) adalah persaingan antara Ali Murtopo dengan Jendral
Soemitro. Berangkat dari kenyataan tersebut, Soeharto di penghujung dekade
1970-an hingga 1980-an secara perlahan-lahan mulai menyusutkan peranan
politik Ali Murtopo dan mulai menoleh kepada Soedarmono yang berhasil
mengelola sekretariat negara, selanjutnya secara resmi diangkat sebagai Wakil
Presiden. 63
4) Ekonomi
Dengan kondisi perekonomian Indonesia yang sudah terpuruk, rezim Orde
Baru tampil dengan mengusung perlunya stabilisasi, rehabilitasi yang berorientasi
pada pembangunan ekonomi. Hal ini tidaklah berlebihan mengingat rakyat
Indonesia sudah berkali-kali kecewa akibat krisis-krisis ekonomi pada era Orde
Lama. 64

63
Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik, 179.
64
Kelahiran Orde Baru dilatarbelakangi oleh kondisi politik dan ekonomi yang sudah
terpuruk. Gagalnya percobaan kudeta G 30 S 1965 berikut perlawanannya telah membawa korban
hampir setengah juta jiwa. Kondisi perekonomian saat itu hampir-hampir macet. Sebagaimana yang
ditulis oleh Harold Crouch, pada 1965 inflasi di Indonesia mencapai 500% dan harga beras naik
900%. Defisit anggaran belanja pada tahun itu mencapai 300% dari pemasukan dan defisit triwulan
pertama tahun 1966 hampir sebesar jumlah defisit keseluruhan tahun 1965. Potret buram ekonomi juga
terlihat dalam data tentang perdagangan dan pembayaran internasional. Nilai total ekspor 1956 sebesar
$924,4 juta dan turun menjadi $790,7 juta pada 1958 dan pada tahun 1965 angka itu menjadi $705,9
juta. Defisit neraca pembayaran juga meningkat antara 1960-1967. Defisit neraca pembayaran juga
meningkat antara 1960-1967. Defisit dalam neraca berjalan adalah $84 juta tahun 1960 dan meningkat
secara tajam menjadi $523 juta, ketika arus bantuan militer dari Uni Soviet melimpa Pada tahun 1965,
defisit itu berjumlah $248 juta dan bersamaan dengan itu cadangan valuta asing merosot dari $313 juta
tahun 1960 menjadi $8 juta pada April 1966. Padahal pada akhir 1965 Indonesia harus membiayai
kebutuhan impor, minimum berjumlah lebih dari $600 juta. Kemudian masih ada lagi masalah hutang
luar negeri. Demokrasi terpimpin menciptakan hutang berjumlah $2.358 juta, 42% kepada Uni Soviet,
10% kepada Jepang dan 7,5% kepada Amerika Serikat. Pembayaan hutang ini dijadwalkan selama 7
tahun dimulai pada tahun 1966. Masalah keuangan tersebut menimbulkan dampak yang berat hampir
di semua sektor. Tidak adanya mesin suku cadang dan bahan mentah impor, telah menyebabkan
produksi industri merosot menjadi kurang dari 20% dari kapasitasnya. Kurangnya biaya pemeliharaan
juga menyebabkan rusaknya infrastruktur, terutama transformasi dan komunikasi. Hal ini diperparah
222

Jenderal Soeharto, yang pada saat itu sudah menjabat sebagai presiden
cukup menyadari bahwa tugas dari kaum militer bukanlah untuk membuat
kebijakan-kebijakan perekonomian. Dia mempercayakan pembuatan kebijakan
ekonomi tersebut kepada orang-orang sipil, khususnya kepada sekelompok ahli
ekonomi dari Universitas Indonesia yang dipimpin oleh Profesor Widjojo
Nitisastro, kemudian beberapa anggota dari kelompok ini dikirim ke Universitas
California-Berkeley untuk mengadakan pelatihan berkenaan dengan upaya
stabilitas ekonomi dalam negeri, 65 di samping bantuan dari sebuah perutusan dana
moneter internasional yang dikirim ke Jakarta untuk pertama kalinya memperjelas
posisi hutang luar negeri Indonesia. 66
Langkah penting pertama untuk menanggulangi inflasi adalah
memperbaiki beberapa aturan dalam urusan keuangan pemerintah. Proyek-proyek
khusus Presiden Soekarno yang boros dihentikan dan hampir semua proyek
pembangunan ditunda. Berbagai upaya dibuat untuk memperbaiki pengawasan
atas pengeluaran pemerintah. Untuk pertama kali selama beberapa tahun, sebuah
anggaran belanja disusun pada tahun 1967. Dengan pemotongan-pemotongan
secara ketat dalam pengalokasiannya, tidak terkecuali untuk angkatan bersenjata,
anggaran belanja dibuat seimbang pada tahun tiap kuartalnya dan beberapa orang
pejabat tinggi Angkatan Darat dilibatkan pada seksi-seksi yang bertanggung
jawab pada kementerian keuangan untuk mengawasi anggaran ini. Tindakan-
tindakan fiskal diperketat oleh pembatasan-pembatasan yang ketat atas kredit

lagi dengan kondisi hubungan Indonesia dengan luar negeri, terutama setelah dikeluarkannya
Indonesia dari keanggotaan PBB dan IMF pada tahun 1965. Pada saat Indonesia harus bersiap-siap
membayar kembali hutang luar negerinya yang menumpuk serta memperoleh kredit-kredit baru,
negara ini sulit memperoleh status layak kredit. Lihat Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik
Orde Baru 1966- 1967, (Jakarta: LP3ES, 1989), 51.
65
R. William Liddle, “Regime: The New Order”, dalam Donald K. Emmerson (ed), 2001,
Indonesia Beyond Suharto Policy Economy Society Transition, New York: M.E. Sharpe, 50.
66
W. Arndt, 1994, Pembangunan Ekonomi Indonesia: Pandangan Seorang Tetangga
(Yogyakarta: Gadjah Mada Press), 87.
223

perbankan dan dengan menaikkan tingkat suku bunga bank yang lebih mendekati
tingkat 15-20% perbulan. 67
Melalui tindakan debirokrasi dan deetalisasi ini pemerintah berjanji
meninggalkan ekonomi komando versi Orde Lama dan membiarkan kekuatan-
kekuatan pasar sebanyak mungkin menentukan keputusan-keputusan ekonomi.
Karena itu, peraturan pemerintah dan perizinan akan dihapuskan dan badan-badan
pemerintah hendak dibuat jadi lebih rasional dan efisien. Kehadiran perusahaan-
perusahaan negara akan ditinjau kembali. 68
Keputusan-keputusan tersebut dipandang oleh pimpinan baru sangat
penting guna menstabilkan dan membangun perekonomian serta menarik para
kreditor dan investor asing. Sebagai penegasan tentang pendekatan baru atas
kebijakan luar negeri (yang telah ditunjukkan dengan mengakhiri konfrontasi dan
bergabung kembali kepada PBB) dan sebagai langkah pertama menuju
pembaharuan pembangunan ekonomi, sebuah undang-undang penanaman modal
asing diundangkan pada tahun 1967. Undang-undang ini memberikan dorongan
dan jaminan finansial untuk penanaman modal langsung dari modal asing di
Indonesia, baik yang berdiri sendiri maupun berupa perusahaan patungan dengan
perusahan-perusahaan Indonesia. 69
Setelah berhasil menjalin kembali hubungan dengan luar negeri,
pemerintah baru ini berusaha untuk mencapai persetujuan untuk penjadwalan
kembali dengan para kreditor luar negeri Indonesia di mana beban utang
ditangguhkan, dan setiap tahun dirundingkan lagi sampai tahun 1969. Negara-
negara Barat dan Komunis dibujuk untuk menerima sebuah penyelesaian jangka
panjang dari utang-utang Soekarno. Hal ini menyangkut pembayaran kembali
untuk jangka 30 tahun yang dimulai tahun 1970 dengan satu periode yang

67
W. Arndt, 1994, Pembangunan Ekonomi Indonesia: Pandangan Seorang Tetangga, 88.
68
Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik, 94
69
W. Arndt, Pembangunan Ekonomi., 89.
224

sifatnya fakultatif bagi sebagian pembayaran modal dan bunga yang tertunda 15
tahun yang terakhir yaitu antara tahun 1985-1999. 70
Program stabilisasi berhasil di luar dugaan. Sebagai sasaran pertama untuk
memperlambat dan menghentikan laju inflasi, di samping perusahaan-perusahaan
dalam maupun luar negeri sudah mulai menginvestasikan modalnya secara
perlahan. Menurut William Liddle, tanpa langkah-langkah tersebut dapat
dipastikan rezim Orde Baru tidak akan mampu bertahan. 71
Sedangkan untuk mencermati motif-motif ekonomi politik negara
(Presiden Soeharto) mendukung kepentingan kaum Muslimin bisa ditilik dari
tantangan atau kesulitan ekonomi yang dihadapi pemerintah memasuki dasawarsa
1980-an. Paling tidak sejak 1982 potret perekonomian Indonesia banyak diwarnai
kesuraman, terutama akibat makin langkanya dana investasi pembangunan, baik
yang datang dari APBN maupun dari penanaman modal domestik dan luar negeri
. sifat perekonomian negara Orde baru yang terbuka, dimana sektor ekspor dan
impor berperan besar dalam Produk Domestik Bruto (PDB), menjadikan APBN
Indonesia menjadi rentan terhadap guncangan perekonomian dunia. 72
Resesi dunia yang berkepanjangan telah mengakibatkan kemerosotan
sekaligus pendapatan ekspor dan arus penanaman modal asing. Padahal ekspor
minyak dan penanaman modal asing bersama dengan bantuan asing menurut
Sumarlin merupakan tiga sumber “Rezeki Nomplok”. Sementara untuk
menghadapi masalah baru itu beberapa masalah lama belum juga bisa
diselesaikan, terutamapengangguran penduduk usia kerja yang diperkirakan tiap
tahun bertambah kira-kira 2 juta orang. Dalam menghadapi tantangan tersebut
pemerintah telah melakukan serangkaian kebijakan ekonomi dengan melakukan
penghematan dan pengurangan anggaran belanja, reformasi perpajakan,

70
W. Arndt, Pembangunan Ekonomi, 90.
71
R. William Liddle, “Regime: The New Order”, 50.
72
Mohtar Mas’oed, “Prospek Pembiayaan Pembangunan dan Penyasuaian Birokrasi”, Prima,
No.2/1985 Tahun XIV, 14-15
225

reorganisani bea cukai, reformasi fiskal, moneter, dan administrasi pemerintahan


dengan semangat dengan semangat “deregulasi dan debirokratisasi”.73
Kehadiran BMI dalam konteks ini, diharapkan bisa membantu menjawab
problem ekonomi yang di hadapi pemerintah, krisis ekonomi yang cukup
berkepanjangan akibat kelangkaan sumber pendanaan pembangunan pasca oil
boom juga mendorong negara orde baru untuk menggunakan fasilitas bantuan
keuangan dan kredit dari Islamic Development Bank (IDB). IDB yang didirikan
Organisasi Konverensi Islam (OKI) pada 23 April 1975 memang bertujuan
mendorong pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan sosial
negara-negara anggotanya yang terdiri dari 44 negara muslim di mana Indonesia
termasuk didalamnya. IDB yang dimaksudkan berfungsi seperti halnya Bank
Dunia, dana moneter Internasional (IMF) dan bak Pembangunan Asia (ADB)
dalam usaha mencapai tujuannya mendorong pertumbuhuhan ekonomi negara
muslim dengan menggalang iuran pembelian saham bank negara anggotanya dan
kemudian menyalurkan bantuan atau fasilitas kepada anggotanya. Fasilitas atau
bantuan yang diberikan sangat bervariasi, namun secara umum berupa penyertaan
modal, pinjaman tidak mengikat dan atau bunga, baik swasta maupun
pemerintah. 74
5) Sosial
Menurut Effendy ada dua alasan utama mengapa Orde Baru merekrut
kaum muslimin, dalam hal ini para aktivis dan cendekiawan muslim. Pertama,
dari sudut sosiologis, sejak terbukanya akses pada pendidikan dan aktivitas
ekonomi, yang memberikan para cendekiawan banyak kesempatan untuk
menempuh pendidikan di luar negeri. Pulangnya mereka dari menuntut ilmu
disertai dengan mobilitas sosial menjadikan nilai tawar umat Islam semakin tinggi
sehingga mereka harus diakomodasi ke dalam struktur negara. Kedua,

73
Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru (Jakarta:LP#ES, 1989, 214
74
Hubungan IDB dan BAPINDO, Infobank, No. 53/1984, 16-17
226

peningkatan kualitas pendidikan umat Islam serta kemampuan cendekiawan Islam


dalam melontarkan gagasan pemikiran Islam sehingga membuat pemerintah tidak
mungkin mengabaikan keberadaan mereka, apalagi karena pemikiran-pemikiran
tersebut dalam beberapa hal sesuai dengan arah dan kebijakan politik yang
dikembangkan Orde Baru. 75
Selanjutnya, bentuk akomodasi pemerintah Orde Baru terhadap Islam ada
empat macam, yaitu akomodasi struktural, akomodasi legislatif, akomodasi
infrastruktural dan akomodasi kultural. Yang dimaksud dengan akomodasi
struktural adalah diakomodasinya atau direkrutnya para tokoh muslim pada
lembaga-lembaga eksekutif (birokrasi) dan lembaga-lembaga legislatif negara.
Mengenai akomodasi secara struktural ini baru terlihat dengan jelas ketika
Presiden Soeharto menyetujui didirikannya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia) pada 1990. Sedangkan akomodasi legislatif berkaitan dengan
dikeluarkannya undang-undang atau peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
Islam sebagai aturan yang mandiri dan sah. Di antara kebijakan akomodasi ini
adalah pengesahan UU Pendidikan Nasional tahun 1989, pemberlakuan undang-
undang peradilan agama, diperbolehkannya pemakaian jilbab pada tahun 1991
serta disahkannya undang-undang yang berkaitan dengan perbankan syariah di
Indonesia pada tahun 1992.
Adapun akomodasi infrastruktural adalah penyediaan infrastruktur yang
diperlukan umat Islam untuk melakukan kewajiban-kewajban agama mereka.
Salah satu bentuk dari akomodasi ini adalah kesediaan pemerintah, bukan hanya
mengizinkan, tapi juga membantu pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI)
pada 1991. Sementara itu akomodasi kultural adalah diperbolehkannya secara
luas berbagai ekspresi kebudayaan yang dipahami sebagai Islam. 76

75
Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di
Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), 37-38.
76
Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di
Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), 40-45.
227

Pembentukan ICMI pada 7 Desember 1990 di Kampus Universitas


Brawijaya, Malang, dianggap sebagai momentum sejarah penting bagi umat
Islam. Perkembangan itu tidak saja berarti mulai mencairnya hubungan Islam dan
negara melainkan juga telah ditemukannya rumusan mengenai hubungan Islam
dengan negara yang integral dan sesuai dengan kultur Indonesia. 77 ICMI
menandai era baru umat Islam setelah periode lama yang dicirikan oleh adanya
kendala ideologis dan psikologis antara umat Islam dan negara. Dengan demikian
ICMI mempunyai dwi makna politis: pertama, dari sudut pemerintah, hal ini
berarti bertambahnya dukungan politis. Kedua berarti pula terbukanya peluang
lebih besar bagi umat Islam untuk turut berpartisipasi dalam perpolitikan negara.
Sikap pro dan kontra terhadap keberadaan ICMI di kancah perpolitikan
Indonesia menunjukkan betapa organisasi ini mempunyai bobot politis yang
tinggi. Walaupun secara tegas Ketua ICMI, Prof. Dr. B. J. Habibie, pada tanggal
10 September 1993 menyatakan bahwa ICMI bukanlah sebuah kekuatan politik
dan tentu saja bukan merupakan sebuah partai politik baru. ICMI merupakan
sebuah organisasi intelektual yang berusaha untuk mengembangkan sumber daya
manusia Indonesia. 78 Hal ini juga disebabkan karena ICMI menjadi wadah
peleburan berbagai kelompok dan aliran di kalangan umat Islam, seperti NU,
Muhammadiyah, DDII, dan Persatuan Islam (Persis).
6) Budaya
Seperti diketahui bahwa bangsa Indonesia yang memiliki budaya hidup
kebersamaan dan kegotong royongan, sesuai dengan motivasi konstitusi terhadap
Perbankan Syariah, itu dapat dilihat dalam Pasal 33 ayat (4) UUD yang berbunyi:
"Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar asas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan

77
Jamhari, “Islam di Indonesia”, 362.
78
Darul Aqsha, et.al., Islam in Indonesia: A Survey of Events and Development From 1988 to
March 1993, Jakarta: INIS, 1995), 275.
228

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan


kesatuan ekonomi nasional." Institusi ekonomi yang paling tepat untuk
menerjemahkan hal di atas adalah Perbankan Syariah, karena (1) sesuai dengan
aspirasi masyarakat serta sangat tepat untuk masyarakat Indonesia yang sebagian
besar menjadi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (asas demokrasi
ekonomi), (2) Perbankan Syariah mengutamakan kemajuan bersama daripada
kemajuan individu (asas kebersamaan), (3) Perbankan Syariah sangat cocok
sebagai solusi pembiayaan untuk masyarakat kecil sehingga mereka dapat
menikmati layanan perbankan dan dapat memberdayakan diri (asas keadilan dan
kemandirian), (4) Perbankan Syariah tidak boleh mendukung atau bermitra
dengan pengusaha atau perusahaan yang terlibat dalam kerusakan lingkungan
(asas keberlanjutan dan lingkungan), (5) Perbankan Syariah menggabungkan
antara tuntutan duniawi dengan tuntutan ukhrawi (asas keseimbangan), serta (6)
Perbankan Syariah sangat mengutamakan kemajuan sektor riil, yang sangat cocok
dengan ekonomi nasional yang berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya
manusia (asas kesatuan ekonomi nasional dan kegotong royongan). 79
Sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai
terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, perlu
dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan,
kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan. Perbankan Syariah merupakan satu-
satunya institusi yang paling tepat untuk menerjemahkan tujuan pembangunan
nasional di atas dalam kehidupan nyata.
Disamping itu, kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa Perbankan
Syariah semakin meningkat, seiring dengan kesadaran masyarakat muslim dan
bahkan non-muslim bahwa jasa-jasa Perbankan Syariah lebih sesuai dengan
kebutuhan riil masyarakat. Kebutuhan masyarakat terhadap Perbankan Syariah
semakin meningkat manakala kita melihat bahwa sebagian besar dari mereka
79
Zubaisri Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariah, Titik Temu Hukum Islam dan Hukum
Nasional (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 11-12.
229

adalah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Nah, sistem yang
cocok untuk mengembangkan UMKM adalah sistem bagi hasil dan bagi risiko
yang biasa dilaksanakan oleh Perbankan Syariah.
b. Faktor Eksternal
Pada awalnya bertepatan dengan surplus neraca pembayaran yang sangat
besar pada negara-negara muslim pengekspor minyak, yang dikenal sebagai “oil
booming” pada dekade 70-an. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh faktor-
faktor yang lain, seperti keinginan perubahan terhadap system sosio-politik dan
ekonomi yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam dan kepribadian Islam yang
lebih kuat. Sekaligus sebagai upaya reformasi makro ekonomi dan reformasi
struktural dalam sistem keuangan negara-negara muslim. 80
Pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Benghazi, Libya bulan Maret
1973, usulan sebagaimana disebutkan di atas kembali diagendakan. Bulan Juli
1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil minyak bertemu
di Jeddah untuk membicarakan pendirian Bank Islam. Rancangan pendirian bank
tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dibahas pada
pertemuan kedua, bulan Mei 1972. Pada Sidang Menteri Keuangan OKI di
Jeddah tahun 1975 berhasil disetujui rancangan pendirian Islamic Development
Bank (IDB) dengan modal awal 2 milyar dinar dan beranggotakan semua negara
anggota OKI .
Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam
bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia,
Bangladesh dan Turki. Secara garis besar lembaga-lembaga perbankan Islam
yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni sebagai Bank
Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal Islamic Bank (Mesir
dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for

80
M. Umer Capra, Sistem Moneter Islam (Jakarta: Gema Insani Press & TazkiaCendekia,
2000), Edisi terjemah, 2.
230

Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for
Finance and Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international
holding companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment
Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic
Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank (Manama) dan
Islamic Investment House (Amman). 81
Bank Myt Ghamr maupun Bank Sosial Nasr itu ternyata memberikan
inspirasi umat di Dunia Islam. Lalu pada tahun 1973, justru lahir Bank Amanah di
Philipina, yang lahir juga di sebuah negara sekuler yang sebagian besar
penduduknya beragama Kristen Katholik. Tapi pemrakarsanya adalah masyarakat
cendekiawan dan profesional. Bank ini ternyata tidak “diganggu” oleh pemerintah
dalam suatu negara sekuler. Kemudian di Pakistan, sebuah negara Islam,
pemerintah pada tahun 1979, menghapuskan sistem tiga lembaga keuangan non-
bank, yaitu National Investment, House Building Finance Corporation dan
Mutual Funds of the Investment Corporation untuk diganti dengan sistem non-
ribawi. Kebijaksanaan ini dilanjutkan dengan dikeluarkannya UU perusahaan
Muḍarabah dan Murabaḥah pada tahun 1981, yang memungkinkan
beroperasinya 7.000 cabang bank komersial di seluruh Pakistan berdasarkan
syari’ah. Ini juga sebuah contoh pelaksanaan syari’at Islam yang cepat meluas
karena campur tangan pemerintah. Dengan demikian, memang ada alasannya bagi
gerakan Islam untuk “mengislamkan” negara atau pemerintah, walaupun secara
parsial atau gradual.
Salah satu tonggak perkembangan perbankan Islam adalah didirikannya
Islamic Develompmen Bank (IDB) pada tahun 1975, yang berpusat di Jedah.
Bank pembangunan yang menyerupai Bank Dunia (The World Bank) dan Bank
Pembangunan Asia (ADB, Asian Development Bank) ini dibentuk oleh organisasi
Konferensi Islam (OKI) yang anggota-anggotanya adalah negara-negara Islam,

81
M. Dawam Rahardjo, xvi
231

termasuk Indonesia. Ini adalah juga sebuah kasus di mana negara berperan
instrumental dalam pembentukan bank pembangunan Islam dengan modal yang
cukup besar, pemerintah Indonesia termasuk salah satu pemegang saham dan
Menteri Keuangan mendapat kedudukan di jajaran Dewan Gubernur. Proyek
semacam ini malahan tidak mungkin dilaksanakan oleh sektor swasta, apalagi
civil society, yang merupakan sektor ketiga (the third sector).
Berdirinya IDB ini kemudian memicu berdirinya bank-bank Islam di
seluruh dunia, termasuk di kawasan Eropa. Di Timur Tengah, bank-bank Islam
bermunculan pada belahan kedua dasawarsa ’70-an, Misalnya Dubai Islamic
Bank (1975) Kuwait Finance House (1977). Di Iran, Islamisasi sistem perbankan
dilakukan secara nasional setelah berdirinya Republik Islam Iran. Di Asia
Tenggara, tonggak perkembangan perbankan terjadi pada awal dasawarsa ’80-an,
dengan berdirinya Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) pada tahun 1983, yang
menjelang tahun 2000, telah mengembangkan 70 cabang di seluruh Malaysia.
BIMB sekses terutama berkat kerjasama dengan lembaga urusan dan Tabung
Haji. Sukses BIMB itu mendorong lahirnya bank-bank Islam yang serupa. 82
Di Indonesia, bank Islam pertama, bank Mu’amalat Indonesia (BMI) baru
bisa didirikan pada tahun 1991, padahal pemikiran mengenai hal ini sudah terjadi
sejak dasawarsa ’70-an. Penghalangnya adalah faktor politik, yaitu bahwa
pendirian bank Islam dianggap sebagai bagian dari cita-cita mendirikan negara
Islam. Berdirinya BMI juga karena faktor politik, yaitu setelah kelahiran ICMI
yang kemudian merangkul Majelis Ulama Indonesia (MUI). Semula tidak
disetujui pendirian bank Islam adalah karena di dasarkan pada UU yang tidak
mengenal sistem perbankan tanpa bunga. Tapi, karena sikap pemerintah, terutama
setelah mendapat persetujuan Presiden Soeharto pada waktu itu, maka BMI dapat
berdiri. Bahkan Presiden Soeharto sendiri ikut serta mengumpulkan modal

82
A. Riawan Amin, Manata Perbankan Syariah di Indondsia, 87
232

awalnya. Peranan Pemerintah dalam permodalan sangat penting, antara lain


dengan meminta BUMN ikut serta menjadi pemegang saham. 83
1) Politik
Faktor pendorong berdirinya perbankan syariah ini dari kenyataan bahwa
negara-negara muslim khususnya, dan negara sekuler umumnya telah membuka
dan mengopersikan bank prinsip bagi hasil. Untuk itu Indonesia sebagai negara
muslim terbesar kedua di dunia merasa tergugah hatinya dan terbuka
pandangannya bahwa Indonesia telah banyak memperoleh bantuan dari bank
Islam di dunia.
Setelah didirikannya bank syariah di Indonesia, IDB memberikan bantuan
keterampilan teknis kepada calon pengelola Bank Muamalat Indonesia, juga
mensponsori kajian-kajian/seminar yang dibutuhkan untuk pendirian bank syariah
di Indonesia. Khusus bantuan-bantuan yang diberikan IDB yang tertuang dalam
anggaran dasarnya, Article 2 ayat (xi) pada butir 103 berbunyi IDB memberikan
bantuan teknis, baik dalam bentuk penyelenggaraan seminar-seminar ekonomi
dan perbankan syariah seluruh dunia maupun dalam bentuk pembiayaan untuk
tenaga perbankan yang belajar di bank syariah serta tenaga ahli bank syariah yang
baru berdiri. 84
Bantuan IDB kepada Indonesia sampai akhir 1991 berjumlah ID 50,74
juta (US$ 64,05 juta). Kendatipun bantuan dan fasilitas yang diberikan IDB tidak
sebesar lembaga moneter internasional lain seperti IMF namun bantuan itu
menjadi cukup penting karena tiga faktor. Pertama, IDB dalam memberikan
bantuan pinjaman terhadap negara anggotanya, termasuk Indonesia, boleh
dikatakan tidak memungut bunga pinjaman, dan kalaupun ada beban tambahan
tak lebih dari ongkos administrasi yang tidak besar dibandingkan bunga pinjaman
lembaga moneter multiiteral lain. Kedua, bila bantuan moneter internasional yang
83
A. Riawan Amin, 88
84
Karnaen Perwataatmaja dan Syafii Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, 67.
233

didominasi barat acap kali mengaitkan bantuan dan pinjaman dengan isu Hak
Asasi Manusia (HAM) dan sejenisnya, tidak demikian halnya bagi IDB yang
nyaris tidak tepengaruh oleh persoalan isu HAM di Indonesia. Malahan barang
kali IDB lebih sensitif terhadap persoalan umat Islam di negara anggotanya.
Ketiga: dengan mulai masuknya Indonesia sebagai salah satu negara Industri baru
dikawasan Asia jelas membuat Negara RI tidak lagi mudah mendapatkan bantuan
internasional berupa hibah atau pinjaman lunak sebagaimana telah diperolehnya
ketika awal pemerintahan orde baru ketika menghadapi perekonomian yang porak
poranda. Bagaimanapun strategi pemerintah orde baru yang mengabdikan politik
bagi pertumbuhan ekonomi selama empat dekade telah mengakibatkan
transformasi ekonomi sosial yang fundamental dibandingkan awal kemunculan
pemerintahan Soeharto. Bila pada 1967 GDP Indonesia perkapita hanya US$ 70
dengan rate inflasi tiga digit (650%), pada dekade 1990-an GNP perkapita
mencapai US$ 645. prestasi Indonesia menjadi young economic tiger (macan
ekonomi muda) atau new-NIC ( negara industri baru) di kawasan Asia. 85
Kendati kucuran IDB ke Indonesia tidak begitu besar, tetapi menjadi
cukup berarti ditengah kesuraman sumber ekonominya, ibarat mata air yang
menyejukkan dimusim kemarau yang panjang. Ditambah lagi dengan kelangkaan
sumber-sumber pembiayaan pembangunan di Indonesia akibat kemerosotan harga
minyak di pasar internasional dekade 1980-an dan sesudahnya.
2) Ekonomi
Masyarakat dunia Islam menginginkan keluar dari jeratan pengaruh yang
mencengkeram dari sistem kapitalisme. Serangkaian krisis bertubi-tubi yang
dialami sistem keuangan internasional sepanjang dua dekade terakhir –yang telah
memunculkan kesadaran baru akan kebutuhan reformasi arsitektur sistem
keuangan- juga telah memberikan angin segar bagi pengembangan sistem
keuangan Islami. Sistem keuangan Islami diharapkan mampu menyuntikan

85
A. Riawan Amin, 91.
234

disiplin sekaligus mendorong untuk terpenuhinya regulasi dan supervise yang


prudensial pada industri keuangan. Fenomena-fenomena ini setidaknya yang
kemudian juga mendorong Bank-bank Islami dalam jumlah yang banyak
bermunculan di seluruh penjuru dunia sepanjang 30 tahun terakhir. 86
Faktor hubungan ekonomi dengan negara-negara di dunia, khususnya
peristiwa krisis minyak 1974 dan 1979, yang menimbulkan kekuatan finansial,
berupa petro-dolar pada negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika
Utara, termasuk Indonesia, Malaysia dan Brunei di Asia Tenggara. Melihat gejala
itu timbul pemikiran untuk “memutar” dana petro-dolar tersebut melalui lembaga
keuangan syari’ah. 87
Sebelum berdirinya BMI, Indonesia telah lama memanfaatkan bantuan
dari IDB itu. Misalnya pada tahun 1982 Indonesia mulai berusaha
mengoptimalakan bantuan dana IDB dan dalam bentuk Line of Equity dan Line of
Instaltment Sale melalui Bank pembangunan Indonesia (BAPINDO). Line of
Equity adalah penyertaan modal melalui Bank/Lembaga Keuangan nasional di
Negara anggota yang disebut sebagai National Development Financial Institution
(NDFI). Cukup menarik, penggunaan fasilitas IDB itu nampak dijalin bersamaan
dengan adanya gejala menurunnya harga minyak di pasaran yang menyusutkan
penghasilan Indonesia sebesar RP. 1,5 Trilyun. Dalam kesepakatan tersebut
Bapindo ditunjuk untuk menyalurkan fasilitas IDB dalam bentuk Line of Equity
dan Line Instalment sale sebesar US$ 5 juta untuk pengusaha lemah berupa
penyertaan modal paling rendah US$ 100.000 dan paling tinggi US$ 2 juta.
Pada Desember 1988, Indonesia juga memperoleh Fasilitas dan bantuan
IDB dalam Usaha meningkatkan ekspor non migas terutama ke negara-negara
anggota IDB. Fasilitas yang diberikan berupa longer Term Trade Financing
schema (LTTFS), memberikan fasilitas, yaitu suatu fasilitas untuk mendorong

86
M. Umer Chapra & Habib Ahmed, Corporate Governance in Islamic Financial Institution
(Jeddah: Ocasional Paper IDB, 2002), 1
87
M. Dawam Rahardjo, xvi
235

ekspor negara anggota dengan cara memberikan fasilitas pembiayaan ekspor ke


negara-negara anggota OKI dengan jangka waktu 2 sampai 5 tahun. Rentang
waktu itu dapat dimanfaatkan eksportir dalam negeri untuk menutup kontrak
jangka panjang. 88
Selain itu, ada fasilitas atau bantuan lain dari IDB yang dimanfaatkan
Indonesia, antara lain penyertaan modal langsung untuk proyek-proyek investasi
bernilai diatas US$ 2 juta. Contohnya PT. Semen Andalas di Aceh sebesar ID
8.34 juta dan PT.Sumatera Subur Tekstil (Sumatex Subur) ID 3,50 juta – 1
Islamic Dollar (ID) setara dengan satu SDR Special Drawing Right. Dalam
hubungannya dengan perbankan di Indonesia, IDB telah menunjuk bank milik
Bapindo untuk menjadi agent line of instalment sale untuk proyek-proyek
investasi di atas US $100.000. jumlah dana dari IDB yang disalurkan pada
Bapindo baru saja mengalami guncangan hebat akibat mega skandal Eddy Tanzil
senilai RP 1,3 Trilyun yang melibatkan JB. Sumarlin dan Sudomo. Tambahan
suntikan dana dari IDB yang diharapkan bisa membantu memulihkan kredibilitas
Bapindo itu nampaknya tidak terlepas dari peran yang dimainkan Mar’ie
Muhammad yang baru saja diangkat sebagai Menteri Keuangan RI yang juga
memegang jabatan sebagai Ketua Dewan Gubernur IDB.
IDB membiayai pula proyek-proyek pembangunan prasarana ekonomi,
seperti irigasi, bendungan, jalan dengan fasilitas dari IDB yang lebih lunak
dibanding lembaga moneter Internasional lain. Untuk proyek prasarana perikanan,
IDB meminjamkan dana senilai 700 juta ID, proyek transmigrasi Sulawesi
Selatan sebesar 800 juta ID, dan beberapa pinjaman dan bantuan yang lain. IDB
juga telah menyetujui pemberian fasilitas Instalment sale atau kredit pengadaan
barang modal dengan pembayaran cicilan setiap 6 bulan untuk waktu 7 sampai 10
tahun kepada gabungan koperasi Batik Indonesia (GKBI) sebesar US$ 10 Juta.

88
A. Riawan Amin, 90
236

B. Mekasime Pembentukan Hukum Perbankan Syariah


Dalam proses pembuatan undang-undang haruslah sesuai dengan
semangat Undang-Undang Dasar 1945 dan aspirasi rakyat. Sedangkan lembaga
negara pembuat hukum dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian yakni, lembaga
legislatif, eksekutif dan yudikatif. Lembaga pembuat hukum, dengan akses
informasi lengkap didukung oleh pakar dimana undang-undang tersebut dibuat
tetap berkoordinasi dengan parlemen. Selanjutnya, selain mitra presiden dalam
membuat undang-undang, parlemen juga mempunyai pengawasan. Sedangkan
pengadilan ada pembuat hukum yakni hakim, institusi negara ini juga aktif dan
produktif dalam membuat hukum dengan keputusan-keputusan hakim yang
dianggap mempunyai dasar hukum yang kuat.
Selain institusi negara diatas pembuat hukum juga berasal dari institusi
masyarakat, diantaranya; institusi masyarakat adat, institusi hukum dalam
praktek, serta lembaga riset hukum dan perguruan tinggi. Proses pembuatan
hukum ini dapat berlangsung dan diawali dengan pembentukan hukum
perundang-undangan, pembentukan hukum yurisprudensi, pembentukan hukum
adat, dan lain sebagainya. Menurut George Jellinek (1851-1911) berdasarkan
penggolongannya lembaga dibedakan menjadi 2 (dua) anatara lain; lembaga
negara utama atau lembaga negara primer, yaitu lembaga negara yang dibentuk
untuk menjalankan salah satu cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif,
yudikatif), dan lembaga negara sekunder yaitu lembaga negara yang dibentuk
untuk memperkuat lembaga negara utama dalam menjalankan kekuasaannya.
Sehubungan dengan kewenangan DPR yang identik dengan pembuat
undang-undang, maka penyusunan undang-undang di era reformasi ini diatur
sedemikian rupa agar tidak terjadi ketimpangan, oleh karena itu Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) melaksanakan pembaruan sejarah dengan melakukan
amandemen yang berkaitan dengan konstitusi yang selama ini dianggap sakral,
agar ada dasar hukum yang tepat bagi DPR dalam menyusun undang-undang,
237

pembuatan dan penyusunan Undang-undang sebelum perubahan Undang-Undang


Dasar 1945 berbeda dengan setelah perubahannya. Untuk lebih hematnya, peneliti
hanya menjelaskan mekanisme pembuatan Undang-undang setelah perubahan
Undang-Undang Dasar 1945, Pembuatan Undang-undang setelah perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 memiliki empat tahap, yakni;
a. Pengajuan dan Pemabahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) 89
Pemabahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) berasal dari Presiden
dan DPR. Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 perubahan perubahan
memberikan hak kepada Presiden untuk mengajukan rancangan undang-undang
tidak dinyatakan secara eksplisit dalam rumusan pasal. Hak mengajukan RUU ini
timbul dari kewenangan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-
undang. Karena DPR adalah sebuah lembaga perwakilan tentunya kekuasaan
untuk membuat undang-undang tersebut juga tercerminkan dalam hak-hak yang
dimiliki oleh anggota DPR, 90 dan untuk itu Pasal 21 Undang-Undang Dasar 1945
hasil perubahan memberikan hak anggota DPR untuk mengajukan usul rancangan
undang-undang. Sebagai sebuah usul tentunya rancangan undang-undang yang
datang dari anggota tersebut haruslah dibahas oleh DPR untuk disetujui sebagai
rancangan DPR.
Pada masa sebelum dilakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945,
hak untuk mengajukan RUU oleh DPR disebut sebagai hak inisiatif. Tentunya hal
ini tepat, karena kekuasaan membentuk undang-undang berada ditangan Presiden.
Namun, setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 penggunaan hak inisiatif
sebagai hak DPR tidaklah tepat lagi karena memang fungsi utama DPR adalah

89
Selanjutnya istilah Rancangan Undang-Undang penulis singkat RUU.
90
Perbedaan antara legislasi dan regulasi dalam hal ini adalah bahwa kegiatan legislasi
dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat atau setidak-tidaknya melibatkan peran lembaga perwakilan
rakyat yang dipilih melalui Pemilihan Umum, sedangkan regulasi merupakan pengaturan oleh lembaga
eksekutif yang menjalankan produk legislasi dan mendapatkan delegasi kewenangan untuk mengatur
(regulasi) itu dari produk legislasi yang bersangkutan. Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian
Undang-Undang (Jakarta: Konspres, 2006), cet, ke-1, 27.
238

hak legislasi. Hak inisiatif seharusnya dimaknai sebagai hak anggota DPR untuk
mengajukan usul RUU, 91 atau hak Presiden untuk mengajukan RUU.
Pembahasan bersama suatu RUU antara Presiden dan DPR adalah
ketentuan konstitusi sebagaimana dinyatakan oleh pasal 20 ayat (2). Oleh karena
itu pembahasan bersama menjadi syarat formal bagi sahnya sebuah undang-
undang. Hal ini berbeda dengan ketentuan sebelum perubahan dimana
pembahasan bersama tidaklah merupakan syarat syarat konstitusionalitas sebuah
undang-undang. Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebelum
perubahan menyatakan” Jika suatu rancangan undang-undang tidak mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh
dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”.
Ketentuan ini jelas mengatur perihal persetujuan DPR terhadap sebuah
rancangan undang-undang, sehingga forum untuk memberikan persetujuan ini
adalah forum internal DPR, bukan merupakan forum DPR bersama Presiden
untuk melakukan pembahasan RUU. Dengan ketentuan Undang-Undang Dasar
1945 sebelum perubahan tersebut DPR dapat melakukan sidang sendiri tanpa
melibatkan Presiden untuk satu agenda saja yaitu membahas RUU yang diajukan
Presiden dan mengambil putusan guna menolak atau menyetujui RUU yang
diajukan oleh Presiden. Ketentuan Pasal 21 ayat(2) Undang-Undang Dasar 1945
sebelum perubahanpun menyiratkan bahwa sebuah forum pembahasan bersama
antara Presiden dan DPR bukan merupakan syarat konstitusional bagi syahnya
undang-undang. Ketentuan tersebut berbunyi” jika rancangan itu, meskipun
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disyahkan oleh Presiden, maka
rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan
91
Seperti ketentuan Pasal 21 UUD 1945, setiap anggota DPR berhak pula mengajukan usul
rancangan undang-undang yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam peaturan tata tertib. Seperti
halnya Presiden yang berhak mengajukan rancangan undang-undang, para anggota DPR-pun secara
sendiri-sendiri dapat berinisiatif untuk mengajukan rancangan undang-undang asalkan memenuhi
syarat, yaitu jumlah anggota DPR yang tampil sendiri-sendiri itu mencukupi jumlah persyaratan
minimal yang ditentukan undang-undang. Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga
Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006), cet, ke-2, 135.
239

Rakyat masa itu”. Dengan adanya ketentuan ini maka Presiden secara sepihak
tanpa pembahasan bersama dengan DPR dapat langsung mengesahkan atau tidak
mengesahkan RUU yang diajukan DPR kepada Presiden.
b. Tahap Persetujuan Bersama terhadap RUU
Sebuah forum untuk melakukan pembahasan bersama terhadap RUU yang
dilakukan oleh Presiden dan DPR dengan demikian adalah sangat penting dan
bahkan menjadi syarat konstitusionalitas sebuah undang-undang. Syarat
berikutnya adalah bahwa dalam pembahasan bersama tersebut dicapai persetujuan
bersama. Persetujuan bersama tersebut seharusnya menyangkut dua hal yaitu (i)
aspek formal dan (ii) aspek substansi yang saling berkait. Dari aspek formal
harusnya pembahasan tersebut menghasilkan sebuah naskah kesepakatan terhadap
hal-hal yang telah disetujui bersama dimanakedua belah pihak membubuhkan
tanda persetujuannya. Sedangkan dari aspek substansi, menampung hal-hal yang
dituangkan dalam naskah kesepakatan yang merupakan substansi hasil
pembahasan bersama. Dalam hal pembahasan bersama,tujuan tersebut belum atau
tidak dapat menghasilkan kesepakatan bersama terhadap RUU yang diajukan,
tentunya naskah kesepakatan atau persetujuan tersebut belum atau tidak dapat
dirumuskan. Naskah inisangat penting karena proses pembuatan undang-undang
secara konstitusional akan terkait dengan hasil persetujuan bersama Presiden dan
DPR yang telah tertuang dalam naskah tersebut sebagaimana tercermin dalam
tahapan ini. Apabila ternyata antara Presiden dan DPR tidak berhasil mencapai
persetujuan bersama terhadap materi RUU yang dibahas dalam suatu kurun masa
persidangan, maka ketentuan Pasal 20 ayat (3) melarang RUU tersebut diajukan
kembali dalam persidangan DPR masa itu.

c. Pengesahan RUU Perbankan Syariah Menjadi Undang-Undang


240

Proses konstitusional yang disyaratkan agar RUU sah menjadi undang-


undang, pengaturan hukumnya terdapat dalam Pasal 20 ayat (4) dan ayat (5) UUD
1945 setelah perubahan. Pasal 20 ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945 setelah
perubahan. Pasal 20 ayat (4) menyatakan“ Presiden mengesahkan rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang”.
Dengan adanya ketentuan ini, berubahnya rancangan undang-undang menjadi
undang-undang adalah karena adanya perbuatan Presiden untuk mengesahkan
undang-undang yang telah disetujui bersama DPR menjadi undang-undang. Di
pihak lain, UUD 1945 memberikan alternatif kapan sebuah RUU yang telah
disetujui bersama Presiden dan DPR berubah statusnya secara sah menjadi
undang-undang. Waktu itu adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 20
ayat (5) yang menyatakan “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari
semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang
tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”.
Dari dua ketentuan tersebut ternyata RUU yang disetujui bersama oleh
Presiden dan DPR sangatlah penting, karena dari RUU ini undang-undang lahir
baik karena adanya pengesahan Presiden maupun karena lewat waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak adanya persetujuan. Sebuah RUU yang sah menjadi undang-
undang karena lewat waktu 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui
bersama, tidak memerlukan perbuatan Presiden lagi atau dapat dikatakan RUU
tersebut demi hukum telah berubah menjadi undang-undang.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-
Undang Perbankan Syariah menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna yang
dipimpin oleh ketua DPR, Agung Laksono di ruang Rapat Paripurna, Gedung
Nusantara II, Selasa 17 Juni 2008. Beberapa fraksi dalam pandangannya menilai
perbankan syariah dapat memberi kontribusi dalam perekonomian nasional. 92

92
dpr.go.id, tanggal 18 Juni 2008, 1
241

Juru bicara F. PAN, Nurul Falah, mengutarakan pendapatnya bahwa “pada


saat ini perbankan syariah telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam
upaya menumbuh kembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai
keadilan. Disamping itu, ia menilai bahwa keberadaan perbankan syariah
memberikan sumbangsih yang cukup sidnifikan pula untuk menggerakkan
berbagai sektor perekonomian Indonesia terutama sektor usaha menengah, kecil
dan mikro”.
Sedangkan juru bicara F-PKB, Arsa Suthisna menilai bahwa ‘perbankan
syariah yang masih berusia muda masih mempunyai kelemahan terutama pada
keterbatasan kuwalitas dan kwantitas sumber daya mansuia. Untuk itu perbankan
syariah harus mempersiapkan sumber daya yang mumpuni yang memmiliki
integritas, moralitas serta komitmen yang tinggi. Selanjutnya ia meminta agar
dilakukan sosialisasi terhadap perbankan syariah, karena pemahaman masyarakat
masih sangat rendah terhadap produk maupun perbedaannya dengan perbankan
konvensional.”
Tukijo, juru bicara F-PDIP, menilai bahwa ‘perbankan syariah mengalami
peningkatan yang pesat dan mendapat respon yang positif dari pihak industri jasa
perbankan. Untuk itu pernakna syariah tidak boleh berdiri secara eksklusif
membatasi pihak yang akan terkait dengan penggunaan jasa perbankan syariah,
melainkan harus terbuka untuk kepentingan semua lapisan masyarakat”.
F-PG, melalui juru bicaranya, Harry Azhar Aziz menjelaskan bahwa
“orientasi dalam UU perbankan syariah adalah pada stabilitas sistem dengan
mengadopsi 25 Based Core Priciples for Effective Banking Suoervision terutama
terkait dengan perizinan, prudential, kewajiban pengelolaan resiko, pembinaan
dan pengawasan, dan jejaring pengaman sistem perbankan syariah. Fraksi ini juga
menilai dengan adanya prinsip tersebut maka RUU perbankan syariah akan
memiliki aspek kepatuhan syaria, perlindungan konsumen, kenyamanan iklim
investasi dan kepastian usaha serta stabilitas perbankan secara keseluruhan”.
242

Menurut F-PPP, dengan juru bicaranya Sofyan Usman keberadaan UU


Perbankan Syariah sudah sangan mendesak dan telah lama dinanti-nanti berbagai
kalangan karena perbankaan syariah di Indonesia sudah cukup lama beroperasi
dan megalami perkembangan yang sangat pesat. Ini menunjukkan adanya minat
berbagai kalangandalam memnggunakan jasa perbankan syariah sehingga harus
dijawan dengan memberikan ruang yang semakin terbukadan berkembang”.
Tata Zainul Muttaqin dari F-PD menilai bahwa perbankan syariah
merupakan salah satu wujud untuk memulihkan perekonomian nasional melalui
investasi dalam dunia perbankan syariah khususnya investasi dari luar negeri
terutama negara-negara di kawasan Timur Tengah. Oleh karena itu perlu
pengaturan yang lebih rinci dan lebih jelas lagi tentang perbankan syariah”. 93
F-FBR dengan juru bicara, Zainul Abidin menjelaskan bahwa siapa saja
dapat memanfaatkan jasa keuangan bank syariah. Ketika krisis moneter melanda
Indonesia pada pertengahan 1997, sisten syariah telah meberikan manfaat bagi
banyak kalangan. Ini menjadi salah satu fakta bahwa bank syariah di Indonesia
memberikan kontribusi yang signifikan bagi ketahanan dan pertumbuhan
perekonomian negara”.
Sedangkan, F-PKS melalui juru bicara Mustafa Kamal berharap dalam
pelaksanaan perbankan syariah harus diikut dengan keberpihakan yang lebih
besar dan nyata dalam hal penyaluran dana bagi usaha kecil dan menengah sera
kemudahan akses dana bantuan bagi UMKM. Sehingga mampu menggerakkan
sektor riil dan meiliki manfaat yang lebi besarbagi terciptanya kemakmurandan
kesejahteraan rakyat”.
Lebih sederhana lagi pandangan dari F-BPD menyatakan setuju RUU ini
disahkan menjadi Undang-Undang.
Namun demikian, tidak semua Fraksi menyetujui UU perbankan syariah
disahkan menjadi UU. Dari 10 fraksi yang ada di DPR, satu diantaranya F-PDS
93
dpr.go.id, tanggal 18 Juni 2008, 2 (Diakses Tanggal 21 Februari 2010)
243

menolak RUU Perbankan Syariah disahkan, dengan alasan bahwa perbankan


syariah tidak sesuai dengan hukum dasar Indonesia yaitu Pancasila dan UUD
1045. Fraksi tersebut melalui juru bicaranya, Retna Rosmanita Situmorang,
menyampaikan bahwa “informasi di beberapa negara yang ia ketahui, terbukti
bahwa produk perbankan syariah tidak dalam bentuk Undang-undang, hany
merupakan turunan dari undng-undang perbankan yang ada, bukan dalam
undang-undang yang khusus.” 94
Dari pihak Pemerintah, Menteri Agama , Maftuh Basyuni, “berharap
dengan disahkannya UU Perbankan Syariah dapat mendorong industri perbankan
dalam negeri untuh tumbuh dan berkembang lebih baik. Kami berharap segera
disusun aturan pelaksanaan UU ini oleh Bank Indonesia.”
Kini payung hukum perbankan syariah yang diharapkan oleh masyarakat,
khusunya umat Islam telah hadir dihadapan bangsa Indonesia. Eksistensi
perbankan syariah telah menjadi kuat. Penantian yang panjang itu pun telah
berakhir. Setelah enam tahun, DPR bersama Pemerintah bersepakat mengesahkan
RUU perbankan Syariah menjadi undang-undang perbankan syariah. Lamanya
penantian ini membuat kalangan praktisi sempat tidak terlalu memikirkan
Undang-undang itu, karena seperti diketahui bahwa tanpa Undang-Undang pun,
perbankan syariah sudah eksis. 95

PERJALANAN USUL UU INISIATIF PERBANKAN SYARIAH

94
dpr.go.id, tanggal 18 Juni 2008, 3. , 2 (Diakses Tanggal 21 Februari 2010)
95
http://www.pk-sejahtera.org/v2/indek.php?op=isi&id=5197. (Diakses Tgl, 21 Februari
244

DPR (13 September RUU beserta Penjelasan


1 2005) dan Naskah Akademik 2

Naskah akademik dibuat


Bamus (27 Oktober oleh DPR
3 2005)

Paripurna Pendapat Fraksi- Diserahkan


4 5 fraksi kepada Komisi XI
(27 September 2005)
6

Penjelasan Rapat Kerja Pemerintah


9 DPR dan 8 (21 Maret 2008) 7 (5 Januari 2007)
Tanggapan
Pemerintah
Raker Menteri Keuangan,
Menteri Agama dan Menteri
Hukum dan HAM
DIM Pemerintah
10

Penyisipan DIM FDS Menolak Panga (11


Pemerintah 11 12 RUU 13 Februari
2008)

Pendapat Mini Pendapat Timus /


16 Fraksi-fraksi (6 15 Pemerintah Timsin 14
Juni 2008)

FDS tetap menolak RUU

Bamus Paripurna PA Pemerintah


(5 Juni 2008) 17 (17 Juni 2008) 18
19

Pengesahan PA Fraksi-fraksi
Menjadi UU 20
19

d. Tahap Pengundangan
245

Ketentuan tentang pengundangan Undang-undang dalam UUD 1945


disinggung dalam Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang mengatur tentang RUU yang
tidak disahkan oleh Presiden dengan menyatakan ”wajib diundangkan”. Hal
demikian tentulah tidak dimaksudkan bahwa yang wajib diundangkan hanya
RUU yang menjadi undang-undang karena berdasarkan Pasal 20 ayat (5) saja.
RUU yang menjadi UU karena pengesahan Presiden pun wajib untuk
diundangkan. UUD 1945 menentukan aturan yang khusus tentang pengundangan
dan dengan adanya Pasal 22A UUD yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih
lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-
undang”. 96 Dengan demikian maka tata cara pengundangan dapat diatur dalam
undang-undang yang melaksanakan Pasal 22A tersebut.
Dasar hukum dalam keempat tahap tersebut diatas diatur dalam Undang-
undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. Naskah RUU yang disetujui bersama tersebut seharusnya memuat
didalamnya: (1) Subtansi undang-undang yang tertuang dalam rumusan ketentuan
yang telah disepakati antara Presiden dan DPR. Hal ini diperlukan untuk menjadi
bukti otentik tentang hal-hal yang telah disetujui. (2) Bukti DPR dan Presiden
bahwa telah menyutujui bersama subtansi undang-undang dengan cara
pembubuhan tandatangan Presiden dan Ketua DPR sebagai institusi. (3)
Momentum atau waktu kapan persetujuan tersebut dicapai yaitu saat
ditandatangani oleh Presiden dan Ketua DPR.

C. Perspektif Hukum Islam


Hukum yang dibuat atau dirancang oleh manusia (man-made) hanya
ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat, tidak
sebagai individu, disebut hukum duniawi. Dalam tata aturan hukum duniawi,
96
Lihat Harjono dalam Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer; Pembuatan
Undang-undang Menurut Undang-Undang Dasar (Jakarta: The Biography Institute, 2007), cet, ke-1,
135.
246

aturan yang berkaitan dengan pribadi tidak dinamakan hukum melainkan norma
“moral”, “budi pekerti” atau “susila”. Dalam hal ini, hukum yang bersifat
duniawi adalah hukum sebagai hasil proses kehidupan manusia dalam
bermasyarakat, seperti diutarakan oleh Cicero bahwa “dimana ada masyarkat di
sana ada hukum” (Ubi societies ibi ius). 97
Berbeda halnya dengan hukum Islam yang dibangun berdasarkan
pemahaman manusia terhadap Al-Qur’ân al-Karim dan al-Sunnah. Al-Qur’ân
diturunkan kepada manusia sebagai syari’at Islam untuk mengatur kehidupan
manusia, baik selaku individu maupun sebagai anggota masyarakat, relevan
untuk setiap tempat dan waktu (fî kulli makânin wa zamânin). Hal itu bergantung
kepada kemampuan manusia dalam memberikan interpretasi akan kekayaan
makna kandungan al-Qur’ân itu sendiri.
Hukum Islam adalah bagian dari agama Islam yang berlaku bagi orang
Islam dimana pun ia berada, apapun nasionalitasnya. Sedangkan hukum nasional
adalah hukum yang berlaku bagi bangsa tertentu, di suatu Negara nasional
tertentu. Dalam kasus Indonesia, hukum nasional mungkin juga berarti hukum
yang dibangun oleh bangsa Indonesia setelah Indonesia merdeka dan berlaku bagi
penduduk Indonesia terutama warga Negara republik Indonesia, sebagai
pengganti hukum kolonial dahulu. Jadi, hukum Islam yang
Untuk membangun dan membina hukum nasional diperlakukan politik
hukum tertentu. Politik hukum nasional Indonesia, pokok-pokoknya ditetapkan
dalan garis Besar haluan Negara, dirinci lebih lanjut oleh menteri kehakiman
Republik Indonesia untuk melaksanakannya, telah didirikan satu lembaga yang
(kini) bernama badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) atau Babinkumnas.

97
Suparman Usman, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), Cetakan kedua, 65.
247

Melalui koordinasi yang dilakukan oleh badan ini diharapkan, dimasa yang akan
datang akan terwujud satu hukum nasional di tanah air kita.98
Setelah disahkan dan diundangkannya UU No. 21 Tahun 2008 Tentang
Hukum Perbankan Syariah, kini hukum Islam telah menjadi bagian dari hukum
positif yang berlaku untuk seluruh warga Negara Indonesia dengan tidak
memandang agama apa yang ia anut. Hukum ini digali didasarkan atas pemikiran
dan interpretasi para ulama dari yang terkandung di dalam al-Qur’ân dan al-
Sunnah yang dijadikan sebagai pedoman dengan memperhatikan unsur-unsur
budaya Islam yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
Dalam perjalanan pembentukan hukum perbankan syariah ketika akan
dijadikan hukum nasional, banyak terjadi benturan-benturan politik yang
mengitari. Politik hukum nasional perbankan syariah adalah sebuah bentuk
produk kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap pembentukan hukum
perbankan syariah di Indonesia. Kemunculan poitik hukum perbankan syariah ini
banyak dipengaruhi oleh berbagai tuntutan, seperti yang diurai di atas, yang
antara lain:
1. Tuntutan Ideologi
Indonesia dengan dasar falsafahnya Pancasila dan pada sila yang pertama
disebutkan, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, menunjukkan bahwa Negara ini adalah
Negara yang didasarkan pada agama. Faktor inilah yang menandakan adanya
keterkaitan dengan agama khususnya adalah Islam. Untuk itu Islam mengajarkan
kepada umatnya agar senantiasa mengabdi dan hanya menyembah kepada Tuhan
yang Maha Esa yang telah menciptakan manusia.
Faktor tuntutan ideologi inilah yang menuntut perlu dibentuk sebuah
undang-undang yang mengatur kehidupan mengenai hukum perbankan yang
sesuai dengan nilai-nilai Islam.

98
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Hukum Islam di Indonesia
(Jakarta: PT. Rajgrafinda Persada, 2009), 266-267
248

Al-Qur’ân, Q:S. 56:51, menunjukkan bahwa semua aktifitas yang


dilakukan oleh manusia dan jin harus didasarkan pada perintah Allâh, dan semata-
mata untuk beribadah kepada-Nya, termasuk ibadah yang mahḍah maupun ghairu
mahḍah atau bermuamalat. Kegiatan-kegiatan itu harus diatur dengan sebuah
peraturan yang dituangkan dalam sebuah undang-undang atau hukum. Hal ini
dimaksudkan agar manusia tidak keluar dari tambatan atau ikatan yang telah
ditetapkan Allâh.
Kemudian ayat lain yang mengajak manusia agar semua kita menyembah
Tuhan yang telah menciptakannya sebagai kepentingan manusia bukan
kepentingan Tuhan agar mereka menjadi orang menikmati kehidupan dalam
ketenteraman dan kebahagiaan. (Q:S, 2:21)
2. Tuntutan Agama
Umat Islam berkewajiban mutlak untuk menegakkan hukum-hukum
Allâh yang turunkan di dalam al-Qur’ân melalui Nabi Muhammad saw.
Kewajiban menegakkan hukum Allâh ini tak lain bertujuan untuk menjadikan
kehidupan manusia yang bahagia, baik dalam kehidupan di dunia maupun di
akhirat. Bentuk penegakkan syariat Islam seperti yang contohkan Nabi Ibrahim
kepada anaknya (Isma’il) di dalam al-Qur’ân dengan tidak melihat siapa, ketika
itu meruakan perntah Allâh wajiblah dilaksanakan(Q:S. 37:102).
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa dalam menegakkam syariat
sebagai kewajiban tidak pernah memandang pangkat, hubungan keluarga atau
siapapun dia. Jika itu merupakan perintah dari Allâh, maka harus segera
dilaksanakan atau ditegakkan sesuai ketentuan dan aturan.
Negara-negara Islam, dengan berbagai latar belakang sedang menjalankan
langkah-langkah reformasi atas sistem perbankan dan keuangan mereka agar
sesuai dengan ajaran Islam. Tantangan yang dihadapi oleh negara-negara Muslim
saat ini adalah bagaimana mendisain dan menjalankan secara berkelanjutan sistem
perbankan dankeuangan yang sejalan dengan hakekat ideologi Islam,
249

penghapusan riba, dan membantu mewujudkan tujuan sosial ekonomi Islam.


Disisi lain lembaga kredit yang merupakan sistem perbankan dan keuangan
kapitalis yang berdasarkan bunga, yang telah relatif kokoh diterapkan oleh
negara-negara Muslim selama dua abad terakhir dibawah pengaruh kolonialisme
telah berimplikasi buruk pada pembangunan. Hal inilah diantaranya yang
mendorong upaya untuk kembali membangun sistem keuangan dan perbankan
yang sesuai dengan ajaran Islam. Selain itu eksistensi perbankan dan keuangan
syariah merupakan respon atas kerentanan system perekonomian, keuangan dan
perbankan dunia dewasa ini. Sistem ekonomi saat ini membutuhkan arsitektur
sistem perbankan dan keuangan yang kokoh dan tangguh.
Islam menyatakan dengan tegas mengenai larangan praktek riba. Kata
“riba” dalam al-Qur’ân disebut delapan kali dalam empat surat yang berbeda:
(Q:S. 2:275-276, 278). 275 terdiri dari 3 kata, 276 dan 278 masing-masing kata,
jadi 5 kata; Ayat tersebut menjelaskan orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila, padahal Allâh Telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.
a. (Q:S. 3:130), ayat ini menjelaskan kepada orang-orang yang beriman agar
tidak memakan riba yang berlipat ganda dan bagi orang yang telah
memakannya agar segera bertakwa kepada Allâh supaya mendapat
keberuntungan.
b. (Q:S. 4:161). Surat ini terdiri dari 1 kata, menjelaskan bahwa mereka
memakan riba, memakan harta benda orang dengan jalan yang batil.
diantara mereka itu pasti akan mendapatkan siksa yang pedih.
c. (Q:S. 30:39). Surat ini terdiri dari 1 kata, yang mengutarakan bahwa
Allâh memberikan perbandingan antara riba dan zakat dimana riba itu
tidak akan menambahkan kepada harta orang yang melakukan riba,
250

sedangkan zakat akan memberikan tambahan yang melimpah, disamping


pahala dan keriḍoan dari Allâh.
Begitu juga dalam Al-Hadith pelarangan dengan tegas mengenai riba: 99
Dari Abu Sa`ad r.a., diceritakan : Pada suatu ketika, Bilal datang kepada
Rasulullah Saw. Membawa kurma barni. Lalu Rasulullah Saw bertanya
kepadanya,” Kurma dari mana ini? Jawab Bilal, Kurma kita rendah mutunya
karena itu ku tukar dua gantung dengan satu gantung kurma ini untuk pangan
Nabi Saw”. Maka bersabda Rasulullah SAW. “Inilah yang disebut riba. Jangan
sekali-kali engkau lakukan lagi. Apabila engkau ingin membeli kurma (yang
bagus), jual lebih dulu kurmanya (yang kurang bagus) itu, kemudian dengan
uang penjualan itu beli kurma yang lebih bagus.”(H.R. Muslim)
Dari Jabir r.a., dikatakan : Rasulullah Saw. Mengutuk pemakan riba, yang
menyuruh memakan riba, juru tulis pembuat akte riba dan saksi-saksinya.
Menurut beliau: Mereka itu sama saja (dosanya)
Setelah dilakukan pengkajian terhadap riba, ternyata, disamping berdosa
karena melanggar larangan atau ketentuan Allâh, juga pengaruhnya tehadap
perekonomian membawa implikasi yang besar pada kehidupan manusia.
Implikasinya antara lain:
1) Masyarakat sebagai nasabah menghadapi suatu ketidak pastian, bahwa
hasil perusahaan dari kredit yang diambilnya tidak dapat diramalkan
secara pasti. Sementara itu dia tetap wajib membayar persentase berupa
pangambilan sejumlah uang tertentu yang tetap berada diatas jumlah
pokok pinjaman. Selain itu hal ini akan semakin memberatkan nasabah
karena dengan penetapan persentase jumlah bunga akan menjadi kelipatan
perseratus dari sisa pinjaman dikalikan jangka waktu pinjaman. Sehingga

99
Shahih Muslim oleh Ma’mun Daud Jilid III, Bab Riba dalam buku Warkum Sumitro, Asas-
Asas perbankan Islam dan Lembaga Terkait: BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syari’ah (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004), 11.
251

dalam jangka waktu tertentu bisa terjadi suatu saat jumlah yang harus
dikembalikan nasabah berlipat ganda dari pokok pinjaman. 100
Keadaan ini bertentangan dengan ketentuan Allâh, yang intinya bahwa
hanya Allâh yang dapat mengetahui sesuatu yang akan terjadi dimasa datang,
sedangkan manusia tidak akan bisa meramalnya. (Q:S, 31:34)
Maksudnya, manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang
akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya, namun demikian mereka
diwajibkan berusaha.
2) Penerapan sistim bunga mengakibatkan eksploitasi (pemerasan) oleh
orang kaya terhadap orang miskin. Uang/modal besar yang dikuasai orang
kaya tidak disalurkan kedalam usaha-usaha produktif yang dapat
menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, tetapi modal besar itu justru
untuk kredit berbunga yang tidak produktif. Selain itu penerapan sistem
bunga akan mengakibatkan kebangkrutan usaha, dan pada gilirannya bisa
mengakibatkan keretakan kehidupan rumah tangga, jika peminjam tidak
mampu mengembalikan pinjaman dan bunganya. 101 Al-Qur’ân
menerangkan bahwa hendaknya harta kekayaan itu tidak hanya berputar
pada orang-orang yang kaya saja, tetapi harus beredar untuk seluruh umat
manusia di bumi ini.
3) Sistem bunga tidak akan mampu mengentaskan kemiskinan, karena bank
dengan perangkat bunganya kurang memberi peluang kepada kelompok
masyarakat miskin untuk mengembangkan usahanya yang lebih mandiri di
bidang ekonomi. Tetapi sebaliknya orang-orang miskin sebagai nasabah
semakin berjiwa konsumtif dan ketergantungannya semakin tinggi kepada
bank. Jika kreditnya habis untuk kepentingan-kepentingan konsumtif,

100
Warkum Sumitro, Asas-Asas perbankan Islam dan Lembaga Terkait: BAMUI, Takaful dan
Pasar Modal Syari’ah, 14.
101
Warkum Sumitro, Asas-Asas perbankan Islam dan Lembaga Terkait: BAMUI, Takaful dan
Pasar Modal Syari’ah, 14.
252

langsung mengambil kredit lagi secara terus menerus. Bahkan


pengambilan kredit dilakukan diberbagai bank sehingga pada akhirnya
mereka akan terlilit utang bunga yang semakin besar. Bank-bank yang ada
sekarang dikatakan tidak berhasil didalam upaya pemerataan pendapatan,
karena pranata pembayaran bunga tetap menjamin arus sumber dari
debitur secara terus menerus kearah kreditur. Politik ekonomi Islam harus
menjamin adanya pekerjaan setiap individu. Dan sesungguhnya orang-
orang Islam bukan menrima sedekah (Mustahiqa) tapi yang seharusnya
menjadi pemberi sedekah atau zakat (Muzakki). Dalam al-Qur’ân,
ditegaskan mengenai pemabagian harta zakat untuk menjamin kehidupan
fakir miskin: Q:S. 09:60
Dari Abi Hurairah, dia berkata, Berkata Nabi saw. ”Sebaik-baiknya
sedekah adalah apa yang ditinggalkan orang kaya. Tangan yang di atas itu lebih
baik dari tangan yang di atas. Mulailah (memberi sedekah) dari orang yang
menjadi tanggunganmu.” Seorang wanita berkata: ”jika engkau memberi makan
aku, dan jika engkau menceraikan aku”. Seorang hamba berkata: ”berilah aku
makan dan suruhlah aku bekerja”. Dan seorang anak berkata: ”Berilah akau
makan hingga (tiada) seorangpun yang sedih (karena) aku”. 102
Seperti diuraikan di atas bahwa sistem bunga tidak mampu memberantas
kemiskinan. Akhirnya bangsa Indonesia akan selalu bergantung kepada negara.
Sementara negara tidak memiliki kemampuan untuk menjaga dan memelihara
rakyatnya dari kemiskinan, dikarenakan pengelolaan bank atau sistem ekonomi
yang dilakukan oleh negara menggunakan sistem bunga, bukan sistem bagi hasil.
Islam menjamin atas segala usaha dan kebutuhan nafkah manusia. Al-Qur’ân
menjelaskan tentang itu. Q:S. 11:6, 67:11.

102
HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah dari Aisya
253

3. Tuntutan Politik Kekuasaan/Konflik Kepentingan


Jenderal Soeharto adalah seorang muslim yang baik, namun dia tidak
setuju dengan politik berdasarkan pada agama seperti yang diperjuangkan oleh
politisi santri NU. 103 Akan tetapi karena berbagai pertimbangan, salah satunya
adalah karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, kiranya memang
tidak mudah baginya untuk menolak begitu saja terhadap NU. Disamping, karena
kepentingan ini dianggap sebagai kepentingan umat Islam, maka apapun
alasannya untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara kesatuan dan persatuan,
maka persaudaraan harus diutamakan, sebagaimana al-Qur’ân menerangkan
bahwa sesama umat Islam adalah bersaudara. Q:S. 49:10
Selanjutnya bahwa umat Islam harus bersikap lemah lembut, sesuai
dengan tuntunan dan harapan al-Qur’ân bahwa urusan peperangan dan hal-hal
duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-
lainnya.Q:S. 3:159.
4. Tuntutan Politik Ekonomi
Al-Qur’ân menerangkan bahwa, pada mulanya merupakan nasihat
terhadap kaum kapitalis-materialistis yakni Qarun yang hidup di zaman nabi
Musa as. dimana pada ayat sebelumnya diceritakan bahwa Qarun menimbun harta
kekayaan yang bergudang-gudang, sehinga untuk mengangkut anak kunci
gudangnya saja diperlukan tenaga orang yang kuat. Berulang kali kaumnya
memberikan ancaman agar tidak menyombongkan diri. Namun, Qarun menjawab
dengan congkak, mengatakan bahwa kekayaan itu diperoleh dari ilmu
pengetahuannya. Dia lupa bahwa Allâh mnghukum orang-orang yang menimbun
harta kekayaannya. Kemudian diceritakan bahwa Qarun memakai pakaian
kemgahan yang menggoda iman orang-orang yang mudah dipengaruhi oleh
kemewahan duniawi. Pada ayat berikutnya, disebutkan bahwa orang yang
berpengetahuan luas adalah lebih menghormati budi pekerti dari pada keganasan

103
Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik…, 130.
254

dan material dan lebih mengutamakan ketuhanan dari pada tipuan duniawi. 104
Q:S. 28:77.
5. Tuntutan Sosial dan budaya
Sesuai dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai
terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, perlu
dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan nilai keadilan, kebersamaan,
pemerataan dan pemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah. Al-Qur’ân telah
mengajarkan bahwa system ekonomi Islam harus berlandaskan pada nilai
keadilan dan kebersamaan.Q:S. 49:13.
Kemudian Al-Qur’ân memberikan akan pentingnya hidup bersama dengan
saling tolong menolong, tidak mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang
dari kebenaran. dan memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi,
Q:S. 5:2, Q:S. 4:135.
D. Analisa
Pada bagian akan dianalisa mengenai bagaimana politik hukum nasional
mempengaruhi pembentukan hukum perbankan syariah. Sebagaimana telah
dipaparkan pada uraian terdahulu bahwa politik hukum dikaitkan dengan
kebijakan publik (public policy) tentang apa yang akan dan atau yang tidak akan
dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pembangunan hukum.
Uraian bahwa hukum atau sistem legal nasional harus dipandang sebagai
sistem yang holistik dan mencakup hubungan antara sistem sosial, sistem politik
dan sistem ekonomi dengan sistem hukum. Hukum itu memiliki inherenitas yang
lengket dengan berbagai aspek kehidupan, yakni sistem ideologi Negara, sistem
sosial, sistem politik dan sistem ekonomi, sistem hukum, dan sistem budaya baik
budaya lokal maupun regional bahkan global.

104
Q:S. 28:77-82
255

Karena adanya inherenitas tadi sehingga banyak faktor-faktor yang


mempengaruhi terjadinya pembentukan hukum sangat dominan. Ketika akan
sedang bahkan sesudah dibentuk hukum perbankan syariah terdapat politik pro
dan kontra di dalam masyarakat, ada yang menghendaki pentingnya dibentuk
hukum perbankan syariah dan ada pula yang megatakan tidak penting dengan
adanya hukum perbankan syariah.
Konfigurasi kepentingan dan kekuatan serta intervensi-intervensi baik dari
dalam maupun dari luar dalam badan pembentukan dan penegakkan undang-
undang, tidaklah mungkin dapat diabaikan. Intervensi pemerintah dalam bidang
politik sudah lazim, begitu pula di negara-negara berkembang lainnya. Di
Indonesia, sejak zaman penjajahan Belanda sampai saat ini pemerintah sangat
dominan di dalam mewarnai politik hukum di Indonesia.
Politik hukum, juga mencakup pengertian tentang bagaimana politik
mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di
belakang pembuatan dan penegakan hukum. 105 Juga mempertimbangkan etik
hukum, baik buruknya, adil tidaknya, cocok atau tidaknya (match or mismatch)
ketentuan-ketentuan hukum itu bagi masyarakat yang bersangkutan, karena hal itu
ada hubungannya dengan ditaati atau tidaknya hukum itu dalam suatu masyarakat.
1. Analisa Politik Hukum Pada masa Orde Baru
Pendirian bank Islam di Indonesia, pada awalnya, tidak disetujui, karena
dianggap punya kaitan dengan gerakan kaum fundamentalis yang akan
mendirikan negara Islam. Disamping itu, undang-undang perbankan Indonesia
(UUPI) tidak mengenal sistem atau tidak memberikan ruang bagi beroperasinya
bank tanpa bunga. Undang-undang tersebut adalah UU Pokok Perbankan No.
14/1967 Bab I, yang mengharuskan setiap transaksi kredit disertai dengan
bunga. 106 Faktor politik 107
yang dominan itu sangat mempengaruhi politik

105
M. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia ( Jakarta, LP3ES, 1998), 1-2.
106
M. Dawam Rahardjo, 399-400.
256

pendirian bank Islam. Namun atas insiatif Majelis Ulama Indonesia (MUI),
Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan para tokoh muslim
Indonesia serta tuntutan masyarakat baik dari dunia akademisi maupun praktisi
mampu merangkul pemerintah. sehingga pendirian Bank Muamalat Indonesia
dapat dilakukan pada tahun 1991, yang kemudian diikuti oleh institusi syariah
lain. Sungguh amat terlambat bila dibandingkan dengan negara-negara lain di
dunia, padahal pemikiran mengenai hal ini sudah terjadi sejak tahun ’70-an.
Adanya kekhawatiran datangnya acaman dari orang yang merasa terusik
kenikmatan mengeruk kekayaan rakyat yang sebagian besar beragama Islam
melalui sistem perbankan yang ada. Munculnya Bank Syariah yang menuntut
pemerataan yang lebih adil akan dirasakan sebagai ancaman terhadap status quo
yang telah dinikmatinya selama puluhan tahun. Mereka mungkin akan
menghambat pendirian Bank Syariah dengan membenturkan pada perangkat
perundangan perbankan yang pada saat itu memang boleh disebut tidak
memberikan ruang beroperasinya bank tanpa bunga sesuai dengan syariat Islam.
Setelah tim perbankan syariah mengadakan pendekatan kepada Munawir
Sadzali, menteri Agama; Dirjend Moneter Oskar Surjaatmajda, Menmud
Keuangan Nasrudin Sumintapura, dan Menteri Perdagangan Arifin Siregar Serta
Mensesneg Moerdiono. Bahkan setelah berkonsultasi ke BJ. Habibi, Pada awal
tahun 1991 Ketua umum ICMI tersebut membentuk Tim mobilisasi dana diketuai
Emil Salim. 108
Silaturrahim tim perbankan MUI dengan Menmud Keuangan Nasrudin
Sumintapura dan Mensesneg Moerdiono membuahkan kekuatan kepastian hukum
bank tanpa bunga dengan disiapkannya RUU perbankan baru pasal 1 ayat 17 yang
menyebutkan pelunasan utang setelah jangka waktu yang tertentu dapat disertai
107
Nampaknya alergi politik terhadap gerakan kaum fundamentalis Islam membekas dalam
jiwa bangsa Indonesia sehingga pendirian bank syariah dianggap masih memiliki rentetan dengan
perjuangan kaum radikalis yang membangun negara Islam.
108
Karnaen. A. Perwataatmadja, Peluang dan Strategi Operasional Bank Muamalat Indonesia
dalam Berbagai Aspek Ekonomi Islam (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1992), 148
257

dengan bunga atau pembagian hasil keuntungan. Artinya, RUU perbankan baru
itu yang kemudian disetujui oleh rapat Pleno DPR RI pada bulan Fabruari 1992
semakin mengabsahkan bank tanpa bunga dalam ekonomi Indonesia. 109
Mensesneg Moerdiono kemudian membawa tim ini ke Presiden Soeharto.
Dalam pertemuan tim pendirian bank syariah dengan Presiden Soeharto
melaporkan bahwa kepala negara menyambut antusias dan bersedia dicantumkan
sebagai pemrakarsa Bank Syariah sekaligus memberikan dana RP 3 Miliyar dari
kas Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila tanpa bunga dan tanpa batas waktu
pinjaman. Lebih lanjut Presiden berjanji membantu kekurangan modal awal yang
diperlukan bagi pendirian bank syariah dengan menggelar saresehan ala tapos di
Istana Bogor pada 3 November 1991. mereka yang diundang dalam acara di
Istana Bogor adalah para pengusaha Muslim dan warga Jawa Barat.
Perhatian yang besar dari Presiden kepada persoalan yang dihadapi para
pendiri bank syariah itu sangat dimungkinkan oleh peran para pendiri bank
syariah yang melaporkan secara terpisah mengenai urusan bank syariah yang
hendak didirikan. Dalam pertemuan dengan para perintis pendirian bank tanpa
bunga itu juga menyarankan bank syariah itu dengan nama Bank Muamalat
Indonesia. 110
Betapapun telah mendapat uluran dan komitmen dari Presiden Soeharto,
kekwatiran kekurangan dana RP 7 Milyar tidak terpenuhi padahal mereka sudah
mencatut nama Presiden. Dengan kecemasan semacam itu tidak mengherankan
setelah Presiden Soeharto menyatakan akan mengadakan silaturrahmi di Istana
Bogor, tim pendirian Bank Syariah tersebut dengan tangkas bekerja melobi
kelompok-kelompok masing-masing target group dengan fokus kesuksesan
silaturrahmi yang akan diadakan.

109
Kliping koran PELITA, MUI Optimis Bank Tanpa Bunga Akan Hidup, 22 Pebruari 1991.
110
Majalah PROSPEK, Mengapa Baru Sekarang BMI Berdiri?, tanggal 2 November 1991.
258

Bayang-bayang kesulitan modal keuangan yang diperlukan bagi


berdirinya bank Syariah tersebut sirna setelah menteri-menteri bersimpati
terhadap rencara berdirinya bank itu terjun langsung memobilisasi pengusaha-
pengusaha yang diperkirakan bisa diajak bekerja sama. Pada 11 Oktober 1991 dan
13 Oktober 1991 Menteri Ginanjar Kartasasmita mengambil inisiatif untuk
mengadakan pertemuan dengan para pengusaha muslim di kediamannya dan di
Syahid Jaya Hotel. Dalam pertemuan atau silaturrahmi yang dihadiri oleh 87
pejabat tinngi dan pangusaha itu terdapat dinama-nama pengusaha besar antara
lain, Fadel Muhammad, Abu Rizal Bakrie, Bob Hasan , Sukamdani Sahid
Gitosarjono, dan Pontjo Sutowo. Pada kesempatan itu terkumpul komitmen
dengan besaran Rp. 55 Milyar.
Dalam minggu berikutnya, Habibie menggalang dana pensiun dari tiga
industri strategis yang berada lam kendalinya sehingga dana yang terkumpul
menjadi 63 Milyar. Jumlah uang sebesar itu terus bergulir dan membesar ketika
tim perbankan MUI di panggil menteri perindustrian untuk diberikan tambahan
komitmen dana, sehingga seluruhnya waktu itu telah terkumpul Rp.
84.473.000.000. Jumlah sebanyak itu sudah termasuk beberapa perusahaan yang
mayoritas kepemilikannya adalah bukan orang Islam, termasuk Salim Grup
perusahaan ini telah menalangi lebih dulu membeli saham untuk karyawannya
yang beragama Islam. 111
Selain melakukan pendekatan-pendekatan kepada pejabat dan pengusaha-
pengusaha besar, para perintis bank syariah juga melakukan persiapan manajerial
dan penjajakan kerja sama dengan lembaga bisnis (keuangan) yang
memungkinkan. Persiapan manajemen bank syariah yang dilakukan mulai dari
penyusunan berdirinya bank syariah, penandatanganan akte notarishingga
menyelenggarakan training calon staf BMI melalui Manajement Development
Program (MDP). Yang menarik dalam training MDP pada 29 Maret 1991 itu

111
M. Amin Aziz, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, 120
259

langsung dibuka oleh Menmud Keuangan, yang juga berusaha meyakinkan


beberapa pengusaha muslim untuk menjadi pemegang saham. Penjajakan
kerjasama bidang manajemen dan perangkat lunak lainnya juga dilakukan dengan
Islamic Development Bank (IDB), kelompok bisnis raksasa Arab Saudi, al-
Barakah Grup dan Bank Syariah Madilaksanakannya mobilisasi laysia Berhad.
Menjelang dilaksanakannya mobilisasi dana Bank Muamalat, pada tanggal
1 November 1991 diadakan penandatangan akata pendirian PT BMI yang
dilakukan oleh 145 orang pendiri BMI di hadapan notaris Yudo paripurno SH.
Izin menteri kehakiman No. C 2.2413..HT. 01. penandatanganan akta pendirian
itu sempat tertunda karena adanya perbedaan pendapat tentang perlu tiaknya
pencantuman kata “bahwa pemegang saham pendiri BMI warga Indonesia yang
beragama Islam”. Setelah berdialog selama 15 menit akhirnya disepakati kalimat
itu tetap dicantumkan. 112
Puncak mobilisasi dana bank Muamalat berlangsung di Istana Bogor pada
3 November 1991 yang di hadiri sekitar 4.600 undangan. Para undangan yang
hadir dalam acara yang diprakarsai Presiden Soeharto itu sangat beragam, mulai
dari para pedagang kaki lima hingga para menteri, tak terkecuali pejabat Menkeu
JB Sumarlin, Gubernur bank Indonesia Adrianus Mooy, dan deretan nama-nama
pengusaha besar. Saham yang dijual seharga 1.000 rupiyah perlembar di Istana
Bogor terseut hanya dalam waktu 2 jam berhasil menyedot dana masyarakat
sebaesar RP. 24 hingga 26 Milliyar. Jumlah sebesar itu termasuk tambahan dari
yayasan Dakap, Supersemar, Dharmais, yang dibawah naungan Soeharto,
Masing-masing Rp 1 Milyar. Secara pribadi kepala negara juga membeli saham
BMI senilai 50 Juta rupiah. Denga bertambahnya keuangan yang terkumpul dari

112
Koran PELITA, PT Bank Mumalat Indonesia Resmi di Bentuk dengan Modal Rp. 500
Milyar, tanggal 2 November 1991. Karnaen Perwataatmadja dan syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana
Bank Islam (Yogyaakarta: Dana Abadi Wakaf, 1992), 84
260

penjualan saham di Istana Bogor itu, modal awla telah melewati angka Rp. 110
Milyar. 113
Angka itu tercatat sebagai modal terbesar dalam sejarah perbankan setelah
dikeluarkannya Pakto 88 oleh pemerintah dan diberlakukannya beleid uang ketat
(tight money policy). Sukamdani Sahid Gitosarjono, pengusaha perhotelan,
menyatakan, “pengumpulan dana BMI adalah salah satu rekor pengumpulan
modal tercepat”.
Dukungan dan kepercayaan yang besar kaum muslimin seperti terlihat dari
begitu banyaknya jumlah dana yang terserap dari masyarakat itu, di satu sisi
merupakan perkembangan yang menggembirakan namun disisi lain merupakan
beban moral yang berat bagi pengelola BMI. Kehadiran bank syariah itu juga
berarti taruhan politik umat Islam, jika pengelolaan bank syariah itu kemudian
mengecewakan atau gagal akan sulit menanamkan kepercayaan pada masa
berikutnya.
Dengan terkumpulnya modal awwal tersebut dan setelah mendapatkan
izin prinsip, surat kepautusan menteri keuangan RI No. 1223/MK.013/1991
tanggal 5 Nopember 1991, dan izin Usaha keputusan menteri keuangan RI No.
430/KMK:013/1992 tanggal24 April 1992, pada tanggal 1 Mei 1992 Bank
Muamalat Indonesia (BMI) secara resmi mulai beroperasi di pusat bisnis jalan
sudirman Jakarta. 114
Dari paparan sejarah berdirinya bank syariah diatas jelas bahwa Soeharto
dan para menterinya terlibat begitu serius mensponsori pendirian bank
berdasarkan pada syariat Islam. Keterlibatan pemerintah tak hanya sekedar
memberiakan dorongan moril, melainkan juga membantu sepenuhnya dalam
memobilisasi dana besar-besaran di Istana Bogor. Hingga akhirnya dana yang

113
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani
Press) 25
114
Karnaen Perwataatmadja dan Syafi’i Antonio, Apa Dan Bgaiman bank Islam, 85
261

berhasil dikumpulkan sebagai modal awal melebihi target semula yang


direncanakan.
Dalam hal ini peranan negara terutama pengaruh presiden soeharto adalah
sangat menentukan. Ada dua hal yang membuat pengaruh presiden soeharto
dalam proses penndirian bank Muamalat menjadi vital.
Pertama: ide mendirikan bank yang berdasarkan syariat Islam (tanpa
bunga) kemungkinan besar mengalami kesulitan permodalan, karena banyak
pengusaha besar yang lebih tertarik menanam investasinya pada bank
konvensionalyang lebih menjanjikan prospeknya pada bank tanpa bunga yang
harus menerapkan azas kehati-hatian extra tinggi. Apalagi hingga awal dekade
1990-an konglomerat-konglomerat atau pengusaha raksasa yang hampir
seluruhnya “pengusaha klien” didominasi kelompok non-pri dan non-muslim.
Kedua: berbagai pejabat perbankan dan moneter kabinet pembangnan IV
ketika itu yang masih didominasi kelompok non-muslim jelas merupakan faktor
kondisi subjektif yang memilik potensi menjadi trouble maker. Indikasi dari
dominannya kelompok non muslim dalam kebijakan perekonomian dan keuangan
waktu itu bisa dilihat dari merebaknya istilah trio RMS (Radius, Moy dan
Sumarlin), tiga pejabat tinggi negara yang terkait dengan ekonomi, perbankan dan
keuangan.
Oleh karena itu berdirinya bank syariah yang lancar bagaikan jalan tol di
atas merupakan hal spektakuler, mengejutkan dan istimewa. Bila dalam dua
dekade pertama kepemimpinan orde baru, segala pendirian institusi yang
memiliki muatan syariah Islam menjadi sumber kecurigaan pemerintah terhadap
Islam, dalam kasus berdirinya BMI negara memberikan dukungan sepenuh hati.
Pemegang sahamnya saja selain presiden dan wakil presiden juga terdapat tak
kurang dari 10 menteri dan pengusaha-pengusaha besar yang diantaranya terdapat
“pengusaha Klien” negara.
262

Pada tanggal 1 Mei 1992 Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi.


Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, keberadaan bank syari’ah ini
belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan
nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan sistem syari’ah
masih lemah, tidak diatur secara rinci dan hanya petikan kecil dari UU No. 7
tahun 1992 yang memberikan sinyalemen kemungkinan beroperasinya bank
dengan sistem bagi hasil. Pasal 6 huruf m beserta penjelasannya tidak
mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau Bank Syariah sebagaimana
dipergunakan kemudian sebagai istilah resmi dalam Undang-undang Perbankan
Indonesia, namun hanya menyebutkan:“menyediakan pembiayaan bagi nasabah
berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah." 115
Perkembangan lain yang patut dicatat berkaitan dengan perbankan syariah
pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
adalah berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI
berdiri secara resmi tanggal 21 Oktober 1993 dengan pemrakarsa MUI dengan
tujuan menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat dalam
hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat
Islam di Indonesia. Dengan demikian dalam transaksi-transaksi atau perjanjian-
perjanjian bidang perbankan syariah lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu
choice of forum bagi para pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa
yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan transaksi atau perjanjian tersebut.
1. Analisa Politik Hukum Pada Masa Reformasi
Rentang waktu antara pendirian Perbankan Syariah (Tahun 1980) dengan
pembentukan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah membutuhkan
waktu sekitar 28 tahun. Jadi, pengesahan UU Perbankan Syariah oleh DPR, 17
Juni 2008 dan pengundangannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 16

115
Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 Tentang Perbankan
263

Juli 2008, 116 dapat dikatakan sangat telat. Sebab, di zaman penjajahan saja,
pemerintahan kolonial Belanda sudah mengakomodasikan sebagian aspirasi
masyarakat muslim dalam bidang ekonomi syariah, seperti tercermin dari
ordonansi riba tahun 1938. Ordonansi riba ini dikeluarkan untuk mencegah
praktik riba di kalangan masyarakat, antara lain dengan memberikan kewenangan
kepada hakim untuk membatalkan perjanjian yang dianggap memberatkan salah
satu pihak atau memperingan beban pihak yang merasa diberatkan itu (Pasal 2
ayat-14 Ordonansi Riba 1938). 117
Pengesahan undang-undang No 21 tahun 2008 yang dilakukan oleh
pemerintah (presiden) menghabiskan waktu selama 3 tahun. Ini mengindikasikan
bahwa pemerintah kurang responsif terhadap aspirasi rakyat yang mayoritas
beragama Islam. Padahal, seperti diketahui selama terjadinya krisis moneter,
perbankan syariah juga tidak membutuhkan bantuan atau memguras keuangan
Negara, seperti halnya bank konvensional.
Seiring dengan tuntutan kebutuhan terhadap perbankan syari’ah dan
perjuangan yang dilakukan oleh umat Islam yang memiliki kesadaran untuk
melakukan aktifitas perbankan secara Islami, lahir Undang-undang No. 10 Tahun
1998. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 merupakan ketentuan yang
memberikan landasan hukum yang kuat terhadap pengembangan sistem
perbankan syari’ah di Indonesia. Terdapat perubahan yang signifikan dalam
pengakuan terhadap eksistensi perbankan syari’ah. Dalam Undang-undang
sebelumnya (Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992) istilah perbankan syari’ah
masih belum dinyatakan secara eksplisit, pengertian bank dengan prinsip bagi
hasil yang dimaksud dalam undang-undang tersebut belum mencakup secara tetap
pengertian Bank Syari’ah atau Islamic Bank yang memiliki cakupan yang lebih

116
UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di muat dalam lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 No.94 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4867
117
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republic Indonesia, Addenda & Corrigeada
(Jakrata PT Ichtiar Baru Van Hoeve), 1.
264

luas dari bagi hasil, meskipun undang-undang tersebut telah memungkinkan


dijadikan dasar untuk berdirinya bank umum syari’ah pertama di Indonesia.
Demikian pula peraturan pelaksanaan yang ada pada masa itu dirasakan belum
banyak membuka ruang gerak bagi operasional perbankan syari’ah Indonesia. 118
Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang
merupakan amandemen Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
serta peraturan-peraturan pelaksanaannya ini, Indonesia telah memasuki priode
baru yaitu priode perkembangan sistem perbankan syari’ah yang ditandai dengan
bermunculannya bank-bank syari’ah baru.
Berdasarkan Undang-undang Perbankan yang baru ini, sistem perbankan
di Indonesia terdiri dari Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syari’ah
(atau digunakan istilah sebagai Dual Banking Sistem). Salah satu prinsip yang
dipegang dalam pengaturan tentang Bank Syari’ah dalam Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998 adalah prinsip syari’ah merupakan suatu prinsip dalam
menajalankan kegiatan usaha bank. Jadi sifatnya bukan merupakan jenis
kelembagaan melainkan cara menjalankan kegiatan usaha bank. Sejalan dengan
itu, istilah Bank Syari’ah tidak didefinisikan sebagai bank tersendiri, sehingga
jenis bank di Indonesia tetap hanya dua, yakni Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat. Adapun dari segi kegiatan usahanya Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat tersebut dapat menjalankan kegiatan usaha secara konvensional atau
berdasarkan prinsip syari’ah (menjadi Bank Umum Syari’ah dan BPR
Syari’ah). 119
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 ini juga membuka kesempatan
bagi pengembangan bank syari’ah melalui pendirian bank syari’ah baru,
118
Subarjo Joyosumarto, Kebijakan Bank Indonesia dalam Pengembangan Bank Syariah, paper
disampaikan pada Seminar Aspek Hukum dan Bisnis Perbankan Syari’ah, 23 Mei 2000 di Jakarta.
119
Lihat Sis Abadi, Beberapa Permasalahan dalam Pelaksanaan UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan Sebagaimana Telah Diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, Makalah dalam seminar
“Sosialisasi UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah dengan UU No. 10
Tahun 1998”, 13-14 Juli 1999. Lihat pula ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan (4) Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998.
265

perubahan kegiatan usaha bank konvensional menjadi bank syari’ah dan


pelaksanaan kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syari’ah oleh bank
konvensional. Khusus bagi bank umum yang selama ini menjalankan kegiatan
usaha secara konvensional, dapat melakukan kegiatan usaha secara prinsip
syari’ah, dengan cara membuka kantor cabang baru yang semata-mata
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah, atau mengubah kantor
cabang yang telah ada menjadi kantor cabang yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syari’ah. 120 Jika suatu bank menjalankan kegiatan usahanya
baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syari’ah, bank yang
bersangkutan harus menatausahkan pembukuannya secara terpisah mengingat
perbedaan prinsip yang digunakan.
a. Kelahiran Undang-Undang Perbankan Syari’ah
Dengan lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
perkembangan bank syariah ke depan akan mempunyai peluang usaha yang lebih
besar di Indonesia. Hal-hal yang membuka peluang besar pangsa perbankan
syariah sesuai UU tersebut adalah: Pertama, Bank Umum Syariah dan Bank
Perkreditan Rakyat tidak dapat dikonversi menjadi Bank Konvensional,
sementara Bank Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5
ayat 7); Kedua; Penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) antara Bank
Syariah dengan Bank Non Syariah wajib menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2);
Ketiga, Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS)
harus melakukan pemisahan (spin off) apabila (Pasal 68 ayat 1): UUS mencapai
asset paling sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya; atau 15 tahun sejak
berlakunya UU Perbankan Syariah.
Hal lain yang dapat membuka peluang perkembangan bank syariah lebih
cepat adalah dimungkinkannya warga negara asing dan/atau badan hukum asing
yang tergabung secara kemitraan dalam badan hukum Indonesia untuk

120
Lihat Penjelasan Ketentuan Pasal 6 huruf m Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
266

mendirikan dan/atau memiliki Bank Umum Syariah (Pasal 9 ayat 1 butir b).
Pemilikan pihak asing tersebut dapat secara langsung maupun tidak langsung
melalui pembelian saham di bursa efek (Pasal 14 ayat 1). Dengan demikian,
banyak faktor-faktor pendorong yang terdapat pada UU Perbankan Syariah dalam
menuju akselerasi pertumbuhan bank syariah ke depan. 121
UU Perbankan Syariah juga memberikan peluang akivitas usaha bank
syariah yang lebih banyak dan beragam dibandingkan bank konvensional.
Terdapat usaha-usaha yang bisa dilakukan oleh sebuah bank umum syariah dan
tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional (vide Pasal 19 s.d 21). Dengan
demikian, perbankan syariah dapat menawarkan jasa-jasa lebih dari yang
ditawarkan oleh investment banking, karena jasa-jasa bank syariah merupakan
suatu kombinasi yang dapat diberikan oleh commercial bank, finance company,
dan merchant bank. 122
Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh sebuah Bank Umum Syariah
(BUS) lebih luas dibandingkan dengan Unit Usaha Syariah (UUS) dari sebuah
bank konvensional. Tidak semua usaha yang dapat dilakukan oleh BUS dapat
dilakukan oleh UUS.
Di samping usaha komersial, bank syariah dapat pula menjalankan fungsi
sosial dalam bentuk: lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari
zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada
organisasi penelola zakat (Pasal 4 ayat 2); dan menghimpun dana sosial dari
wakaf uang dan menyalurkannya kepada lembaga pengelola wakaf (nazhir) sesuai
kehendak pemberi wakaf (wakif) (Pasal 4 ayat 3).
UU Perbankan Syariah, di samping memberikan peluang usaha yang lebih
beragam bagi bank syariah dan kemungkinan untuk percepatan pertumbuhan

121
Mierza Gamal, Harapan dan Tantangan Bank Syariah Pasca Undang-undang Perbankan
Syari’ah, http://id.wordpress.com/tag/pengesahan-uu-perbankan-syariah (Diakses pada tanggal, 29
Maret 2010)
122
Mierza Gamal, Harapan dan Tantangan Bank Syariah,
267

perbankan syariah ke depan, juga memiliki tantangan persaingan yang lebih


tajam. Tantangan utama bagi pelaku bank syari’ah nasional dengan lahirnya UU
Perbankan Syariah adalah adanya pembebasan pemilikan bank umum syariah
oleh badan hukum Indonesia dengan warganegara asing dan/atau badan hukum
asing secara kemitraan secara langsung (Pasal 9) maupun melalui bursa efek
merupakan tantangan yang sangat besar ke depan bagi warganegara dan badan
hukum Indonesia dalam kepemilikan bank syariah ke depan. Demikian pula
pembebasan penggunaan tenaga kerja asing (Pasal 33 ayat 1) dapat merupakan
tantangan besar bagi warganegara Indonesia sebagai pengelola dan atau pekerja di
perbankan Syariah. 123
Tantangan lainnya adalah prinsip syariah yang menjadi dasar produk/jasa
perbankan syariah dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia oleh Komite
Perbankan Syariah berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (Pasal 26). Hal ini
dapat membatasi produk/jasa yang dapat dilakukan perbankan syariah di
Indonesia. Suatu produk/jasa perbankan syariah yang dapat dilakukan perbankan
syariah di dunia internasional bisa saja tidak dapat dilakukan di Indonesia.
b. Urgensi Kompilasi Hukum Perbankan Syari’ah
Hadirnya hukum perbankan syari’ah dalam ranah sistem hukum nasional
merupakan pengejawantahan dari semakin tumbuhnya pemikiran dan kesadaran
untuk mewujudkan prinsip hukum sebagai agent of development (hukum sebagai
sarana pembangunan), agent of modernization (hukum sebagai sarana
modernisasi) dan hukum sebagai a tool of social engineering (sarana rekayasa
sosial). 124 Namun dengan bertambahnya kewenangan tersebut belum diimbangi
dengan kesiapan sarana hukum sebagai rujukan hakim dalam memutus

123
Mierza Gamal, Harapan dan Tantangan Bank Syariah
124
Neni Sri Imaniyati, Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam dalam Perkembangan (Bandung:
Mandar Maju, 2002), 70.
268

perkara. 125 Oleh karena itu adanya produk legislasi yang mengatur tentang
ekonomi syari’ah sudah sangat mendesak dan urgen yang pasti akan dirasakan
oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama. 126
Pesatnya perkembangan lembaga-lembaga ekonomi yang berbasis
syari’ah perlu payung hukum yang cukup memadai dalam mengatur perilaku
bisnis yang berlandaskan syari’ah, tidak cukup hanya berbekal pada doktrin
hukum (fikih) semata. Sebab sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, kendatipun Pengadilan Agama telah
lama diakui eksistensinya 127 namun hakimnya masih belum memiliki buku
standar yang dapat dijadikan rujukan secara bersama layaknya KUHP, apalagi
kewenangan di bidang ekonomi syari’ah adalah kewenangan yang baru, praktis
Hakim Pengadilan Agama masih mengandalkan kitab-kitab fikih produk ijtihad
para Imam Madzhab sebagai bahan rujukan utama. Padahal menurut Joseph
Schacht 128 kitab-kitab fikih madzhab yang diakui mempunyai otoritas yang
mapan bukan merupakan kitab hukum, cakupan hukum Islam di situ bukan
menjadikan kitab fikih tersebut menjadi undang-undang (a corpus of legislation),
tetapi merupakan hasil yang hidup dari ilmu hukum.
Tanpa suatu standarisasi atau keseragaman landasan hakim dalam
menyelesaikan sengketa, akibatnya banyak putusan yang berbeda dari kasus yang
sama dari masing-masing hakim antar Pengadilan Agama, sehingga muncul
ungkapan “different judge different sentence” (lain hakim lain pendapat dan

125
M. Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam : Mempositifkan Abstraksi
Hukum Islam, Mimbar Hukum edisi No. 5 Thn III, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama,
Jakarta, 1992, 26.
126
Hartono Mardjono, Prospek Berlakunya Hukum Muamalah di Indonesia (Sebuah Kenangan
65 Tahun Prof. Dr. Busthanul Arifin, S) (Jakarta: PP-IKAHA, 1994), 336.
127
Lembaga ini dibentuk sejak tahun 1882 ditempat-tempat yang ada landraad (Pengadilan
Negeri-nya), bahkan sebelum secara formil diakui oleh pemerintah pada tahun 1882 tersebut,
Pengadilan Agama telah diterapkan secara riil. Begitu juga pada tahun 1760 telah diterbitkan
compendium freijer yang menghimpun materi hukum perkawinan dan waris Islam yang dijadikan
pedoman menyelesaikan sengketa antar orang-orang Islam.
128
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (edisi terjemahan Pengantar Hukum Islam)
(Yogjakarta: Islamika, 2003), 106.
269

putusannya). Dari sudut teori hukum berarti produkproduk putusan Pengadilan


Agama bertentangan dengan prinsip kepastian hukum. 129 apabila putusan
Pengadilan Agama selalu didasarkan pada doktrin fikih, maka para pihak yang
berperkara dalam kesempatan yang diberikan oleh Majelis Hakim bisa saja
mengajukan dalih dan dalil ikhtilâfi dan mereka menuntut hakim untuk mengadili
menurut pendapat dan doktrin madzhab tertentu yang diikutinya.
Keberadaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
ekonomi syari’ah yang akan datang adalah untuk mengisi kekosongan hukum
subtansial yang dijadikan rujukan oleh para hakim di lingkungan Peradilan
Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, mengingat masih
tersebarnya hukum materiil Islam khususnya yang berkenaan dengan ekonomi
syari’ah di berbagai kitab fikih muamalah, 130 sehingga gagasan legislasi fikih
muamalah dapat dipandang sebagai upaya unifikasi madzab dalam hukum
Islam. 131
Kedudukan undang-undang tentang ekonomi syari’ah nantinya adalah
sebagai norma ukuran, kaidah hukum resmi dan baku bagi Pengadilan Agama,
maupun masyarakat muslim dan para pencari keadilan sehingga terwujud: 132
1. Kesatuan landasan hukum (unified legal frame work) dan keseragaman
pandangan hukum (unified legal opinion) sehingga dapat dihindarkan dan
diperkecil putusan-putusan hukum yang berdisparitas tinggi dan bercorak
“ketidakpastian”.
2. Membina kepastian penegakan hukum, agar dapat direalisir kehidupan negara
hukum dan supremasi “ rule of law” yakni keunggulan kekuasaan hukum.

129
Munawir Sadzali, Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, (Dalam Peradilan
Agama dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta,UII Press,
1993), 2.
130
M. Yahya Harahap, Informasi Materi, 436.
131
M. Yahya Harahap, Informasi Materi, 432
132
Matardi, Kompilasi Hukum Islam Sebagai Hukum Terapan di Pengadilan Agama, Mimbar
Hukum edisi no. 24 tahun VII (Jakarta, Al-Hikmah ,1996), 31.
270

3. Memberi perlakuan yang sama (equal treatment ini smilar cases) sehingga
undang-undang ekonomi syari’ah dapat dan mampu berperan menegakkan
prinsip “Predictable” yakni dapat diperkirakan kebenaran putusan yang akan
diberikan oleh hakim Pengadilan Agama.
Dari beberapa uraian di atas tergambar betapa pentingnya legislasi fikih
muamalah yang mengatur tentang ekonomi Islam pasca amandemen Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa untuk memutus suatu perkara di pengadilan
tidak cukup hanya berlandaskan fatwa ulama, pendapat para ahli fikih maupun
kitab-kitab klasik yang berisi pendapat hukum para imam madzhab sekitar 13
abad yang lalu. Oleh karena itu legislasi fikih muamalah adalah sebagai upaya
mempositifkan “nilai-nilai” hukum Islam yang berkenaan dengan ekonomi
syari’ah secara terumus dan sistematis dalam “kitab hukum” atau positivisasi
hukum Islam. 133 Dengan demikian, kehadiran undang-undang yang mengatur
kegiatan ekonomi syari’ah akan datang tidak perlu diperdebatkan lagi, karena
kehadirannya di satu sisi untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, di sisi
lain secara subtansial akan dijadikan sebagai landasan bagi hakim Pengadilan
Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Selanjutnya diperlukan
intervensi negara dalam pembentukan dan pengaturannya karena berhubungan
dengan ketertiban umum dalam pelaksanaannya.
Kehadiran Undang-Undang Perbankan Syariah tentu sangat penting. Bagi
kalangan praktisi, UU Perbankan Syariah menjadi legitimasi paling akurat untuk
menjalankan praktik perbankan syariah, Selain itu, adanya daya dorong kepada
pemerintah pusat dan daerah untuk melaksanakan sistem ekonomi dan perbankan
berbasis syariah.
Di sisi lain, kehadiran Undang-undang Perbankan Syari’ah yang tidak
matang akan memunculkan masalah baru bagi perkembangan perbankan syari’ah
di Indonesia.

133
Matardi, Kompilasi Hukum Islam, 434.
BAB V

Secara historis, embrio tentang pemisahan kekuasaan lembaga negara dapat


dilacak sejak zaman Yunani Kuno, karena pada saat itu sudah ada istilah
konstitusi yang bersifat materiil. Distingsi antara politea dan nomoi sudah
terdengar sejak zaman Aristoteles, peran kedua aturan ini bertingkat, yakni,
politea itu mempunyai kekuasaan membentuk dan posisinya lebih tinggi dari pada
nomoi atau undang-undang biasa. 1 Dari kesimpulan diatas dapat ditelusuri
melalui tahapan periode sebagai pembagian sejarah tumbuh kembangnya lembaga
negara dalam mengawal tugas-tugas pemerintahan, periode itu antara lain;
Pertama, pada masa Yunani Kuno, abad ke-4 SM sampai abad ke-6 M. Pada
masa ini, demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi langsung (direct
democracy), artinya rakyat membuat keputusan-keputusan politik dan dijalankan
secara langsung oleh seluruh warga negara. Di mana warga negara memiliki hak
dan kewajiban yang sama di depan hukum, merumuskan undang-undang, dan
tidak didiskriminasi dalam proses perumusan kebijakan negara. 2 Praktik
demokrasi langsung untuk pertama kalinya diterapkan di negara- kota (city-state)
Athena,Yunani Kuno. Praktik demokrasi inilah yang menjadi salah satu faktor
bagi munculnya gagasan, ide, dan lembaga demokrasi pasca kekalahan negara-
kota Athena dari Sparta. Yaitu, terbentuknya negara kesejahteraaan (walfare
state), yang digagas oleh filsuf Yunani Kuno, seperti Plato, Aristoteles (384-323
sM), M. Tullius Cicera (106-43 SM), dan lainya.
Periode kedua, abad pertengahan (600-1400 M). Masa ini ditandai oleh pola
kehidupan negara yang bersifat feodalistik dan mengagung-agungkan bangsawan,
Gereja sebagai lembaga agama di bawah kepemimpinan Paus memainkan peran
sangat besar, bahkan gereja membawahi negara. Pada masa ini pula, banyak
terjadi perebutan kekuasaan untuk mempengaruhi raja yang dilakukan oleh para
bangsawan, dan munculnya konsep demokrasi melalaui Magna Charter (Piagam
Besar) diakhir abad pertengahan sebagai tonggak perkembangan gagasan
demokrasi. Piagam ini berintikan perjanjian antara kaum bangsawan dan raja John
di Inggris, untuk mengakui dan menjamin hak-hak (privileges) rakyat sebagai
imbalan bagi penyerahan dana pada kerajaan untuk membiayai kebutuhannya.
Selain itu, piagam ini juga memuat dua prinsip yang sangat mendasar: pertama,

1
Aristoteles melanjutkan karangan Plato (429-347 sM), karangan tersebut adalah: (1) Politeia (the
Republic), yang ditulis ketika ia masih muda;(2) Politicos (the Statesman); dan(3) Nomoi (the
Law). Buku pertama – Politea – ditulis ketika Plato merasa sangat prihatin melihat keadaan
negaranya yang dipimpin oleh orang-orang yang haus akan harta, kekuasaan, dan gila hormat.
Pemerintahan yang sewenang-wenang yang tidak memperhatikan penderitaan rakyatnya telah
menggugah Plato untuk menulis buku ini, dimana ia mengangankan eksistensi suatu negara yang
ideal sekali sesuai dengan cita-citanya; suatu negara yang bebas dari pemimpin negara yang rakus
dan jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi. Satya Arinanto, Hak Azasi Manusia Dalam Transisi
Politik Di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara-Fakultas Hukum- Universitas
Indonesia, 2005), cet. Ke-2, 70.
2
Mo Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesi, (Jakarta: Univ. Atmajaya,
2000), cet. Ke- 2, 58.

1
2

adanya pembatasan kekuasaan raja; kedua, hak asasi manusia lebih penting dari
kedaulatan negara.
Periode ketiga, abad renaisance (1350-1600 M) dan reformasi (1500-1650 M).
Renaisance adalah ajaran yang ingin menghidupkan kembali minat pada
kesusastraan dan kebudayaan Yunani Kuno yang selama abad pertengahan
disisihkan. Sedangkan reformasi adalah revolusi agama yang terjadi di Eropa
Barat yang berkembang menjadi asas-asas protestanisme, seperti perjuangan
menentang kekuasaan sewenang-wenang atas nama agama, desakralisasi
kekuasaan gereja, memperjuangkan kebebasan beragam, kebebesan berfikir,
kebebasan mengemukakan pendapat.
Singkatnya, setelah (1350-1600 M) dan reformasi (1500-1650 M) Montesquieu
(1689-1755) memunculkan pemikirannya bahwa kekuasaan pemerintah yang
tidak dibatasi akan terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan, hukum
yang adil dapat menjadi sebaliknya, buruk dan bahkan keluar dari tujuannya, hal
ini disebabkan oleh terpusatnya kekuasaan pada satu orang atau satu lembaga saja.
Pendapat tersebut dituangkan Montisquieu dalam teori pemisahan kekuasaan atau
the separation of power dalam bukunya. 3
Kekuasaan negara haruslah dipisah-pisahkan ke dalam tiga fungsi, pertama, fungsi
legislatif (the legeslative function) agar tidak terjadinya penumpukan kekuasaan
dalam satu lembaga, sehingga dapat menimalisir penyelewengan atau
penyalahgunaan wewenang oleh lembaga yang menaungi kekuasaan tersebut, 4
kedua, fungsi eksekutif (the executive or administratif function) dan yudisial (the
judicial function). 5 Fungsi legislatif dikaitkan dengan peran kekuasaan parlemen

3
L’Esprit des Lois (The Spirit of the Laws) sebagai solusi yang nyata terhadap sejarah peradaban
manusia dalam memimpin sebuah pemerintahan, khususnya dalam dunia hukum dan politik. Teori
ini sebelumnya sudah dirumuskan oleh John Locke (1632-1704) dalam bukunya Two Treatises on
Civil Government (1690). Two Treatises on Civil Government (1690) yang ditulisnya sebagai
kritik atas kekuasaan absolut dari raja-raja Stuart serta untuk membenarkan revolusi Gemilang
tahun 1688 (The Glorius Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh parlemen Inggris.
Menurut Locke kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yaitu; kekuasaan legislatif,
kekuasaan eksekutif, kekuasaan federatif, yang masing-masing terpisah-pisah satu sama lain.
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), cet, ke-
XIII, 151.
4
Produk legislatif adalah produk peraturan yang ditetapkan oleh atau dengan melibatkan peran
lembaga perwakilan rakyat, baik sebagai legislator ataupun co-legislator, Dalam sistem hukum
Indonesia dewasa ini, pada tingkat nasional yang dapat disebut sebagai lembaga legislator utama
atau legislatif utama adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Perkataan legislator utama itu
penting untuk membedakan dengan lembaga legislatif yang bersifat penunjang atau yang disebut
co-legislator belaka. Dewan Perwakilan Daerah (DPD), misalnya, karena kedudukannya yang
tidak setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)-tidak dapat disebut sebagai legislator utama.
Sifat kelembagaannya hanya menunjang sebagai auxiliary organ terhadap fungsi legislatif oleh
DPR. Namun terlepas dari hal itu, produk pengaturan yang ditetapkan oleh legislator utama itulah
yang disebut sebagai legislative act yang dalam sistem hukum Indonesia disebut undang-undang
atau dalam istilah Belanda disebut wet. Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-
Undang, (Jakarta; Konpress, 2006), cet. Ke-3, 30.
5
O.Hood Phillips, Paul Jackson. Constitutional and Administrative Law. (London: Sweet and
Maxwell, 2001), 10.
3

atau legislature, fungsi eksekutif dikaitkan dengan peran pemerintah dan fungsi
yudisial dengan kekuasaan kehakiman. 6
Ide Montesquieu mempunyai kesamaan argumen dengan Immanuel Kant tentang
tujuan negara yaitu memelihara hal dan kemerdekaan warga negara dengan
membentuk serta memelihara hukum, pemisahan kekuasaan yang juga digunakan
untuk menjamin hak-hak asasi, ia menyebutkan tiga pemisahan itu dengan
kekuasaan-kekuasaan, antara lain; potestas-legislatora, potestas-rectoria, potestas-
indiciaria. 7 Selain dibentuk oleh lembaga yang berwenang, hukum juga dapat
berangkat dari hal yang terjadi dalam masyarakat, kemudian menjadi aturan
normatif yang mengatur dan menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan
masyarakat dengan didukung oleh sistem sanksi tertentu terhadap setiap
penyimpangan terhadapnya. Bentuk-bentuk aturan normatif seperti itu tumbuh
sendiri dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan bernegara ataupun sengaja
dibuat menurut prosedur dan ketentuan yang berlaku dalam suatu negara.

Peraturan itu telah menjadi pembatas bagi berkembangnya bank syariah karena
jalur pertumbuhan jaringan kantor bank syariah hanya melalui perluasan kantor
bank syariah yang telah atau pembukaan bank baru yang relatif besar
investasinya. Situasi demikian membuat Bank Muamalat Indonesia (BMI)
menjadi pemain tunggal di pasar dengan sejumlah problem terutama berkaitan
dengan masalah pengelolaan likuiditas dan mitra kerjasama. Sementara itu
kebutuhan masyarakat terhadap perbankan syariah telah dirasakan meningkat
pada saat itu. Maka untuk mengakomodir kebutuhan tersebut sejumlah investor
telah mendirikan BPR yang beroperasi dengan prinsip syariah. Hingga tahun 1998
telah berdiri 76 BPR Syariah di berbagai kota di Indonesia.
Gagasan pemikiran Bank Islam, sebetulnya, telah muncul sejak lama.8 Salah satu
upaya adalah aplikasi lembaga keuangan syariah yang didasarkan atas prinsip-
prinsip Islam. Rintisan aplikasi sistem profit and loss sharing, sebagai inti bisnis
lembaga keuangan syariah tercatat telah ada sejak tahun 1940-an, yaitu upaya
mengelola dana jemaah haji secara non-konvensional di Pakistan dan Malaysia.9
Kemudian perkembangan berikutnya yang merupakan tonggak sejarah pebankan
syariah adalah Islamic Rural Bank di daerah Mit Ghamr. 10

6
Montesquieu, The Spirit of the Laws, Translated by Thomas Nugent, (London: G.Bell dan
Sons, Ltd, 1914), Part VI, Chapter, 67.
7
C.S.T. Cansil. Ilmu Negara (Umum dan Indonesia). (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), cet. ke-2,
57.
8 Ditandai banyaknya pemikir-pemikir muslim yang menulis tentang keberadaaan bank Islam,
misalnya Anwar Qureshi (1946), Naeim Siddiqi (1948), dan Mahmud Ahmad (1952). Lihat Heri
Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: Ekonisia-
FE UII, 2003), h. 9.
9 Faturrahman Jamil, “Urgensi Undang-Undang Perbankan Syariah di Indonesia”, Jurnal Hukum
Bisnis, (Agustus 2002), h. 39.
10 Bank ini didirikan oleh Ahmed el-Najar yang permodalannya dibantu oleh Raja Faisal pada
tahun 1963 hingga 1967 di Kairo, Mesir kemdatipun yang pada akhirnya diambil alih oleh
National Bank of Egypt dan Central Bank of Egypt.
4

Mengenai unsur primsip perbankan Islam,

8. Pengenalan Eklusif Ekonomi Islam, karya Mustafa Edwin Nasution dkk.,11


Buku ini memberikan informasi tentang ekonomi Islam yang cukup memadai.
Tema ekonomi Islam dibahas dalam 12 bab dan terpisah dalam bagian utama.
Bagian pertama menjelaskan pandangan Islam tentang segala kegiatan ekonomi
yang kemudian bermuara pada pembentukan definisi ekonomi Islam. Pandangan
dan koreksi terhadap berbagai aspek ekonomi menjadi fokus pada pembahasan
bagian kedua. Sedangkan perkembangan ekonomi Islam dalam tataran praktis,
yakni terbentuknya lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan berbasis Islam
dibahas dalam bagian ketiga.
Ekonomi dalam Islam itu sesungguhnya bermuara kepada akidah Islam, yang
bersumber dari syariatnya.. Ini baru dari satu sisi. Sedangkan dari sisi yang lain
ekonomi Islam bermuara kepada al-Qur’an al-Karim dan as-Sunnah an-
Nabawiyah yang berbahasa Arab. Ekonomi Islam juga dipahami sebagai sebuah
ilmu.12 Ada banyak beberapa definisi yang kemukakan oleh para pakar ekonomi
Islam dalam buku ini.
Pada bagian akhir pada bab 12 secara khusus dibahas tentang lembaga keuangan
Islam di Indonesia. Bahasan ini meliputi perkembangan Lembaga Keuangan
Syariah (LKS); Perbankan Syariah; Asuransi Syariah; pasar modal syariah yang
mencakup produk-produknya, seperti obligasi syariah atau sukuk; saham syariah;
reksadana syariah; pegadaian syariah (rahn) dana pensiuna dan Lembaga
Keuangan Syariah Internasional (LKSI). Dengan demikian buku ini dapat
dijadikan rujukan awal yang informative tentang ekonomi Islam. Akan tetapi
permasalah tentang ekonomi Syariah, yang menjadi fokus penelitian ini tidaklah
dibahas dalam buku ini. Ada sedikit ilustrasi tentang bagaimana kebijakan
pemerintah dalam ekonomi Islam, namu tidak membicarakan tentang perundang-
undang atau payung hukum mengenai ekonomi Islam.

Perkembangan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, karya Bambang Iswanto


Dosen STAIN Samarinda, menguraikan pertumbuhan perbankan syariah di
Indonesia cukup pesat. Dalam kesimpulannya bahwa jika di Malaysia
pertumbuhan perbankan syariah didukubf oleh regulasi dan insentif dari
pemerintah, sementara pertumbuhan bank berbasis syariah di indonesia legih
banyak didukung oleh apresiasi yang tinggi dari masyarakat. Pertumbuhan
perbankan syariah bisa dibilang bottom up. Sejak 1991, ketika perbankan sayariah
pertama kali berdiri hingga tahun 2008basis hukum dari perbankan syariah tidak

11 Mustafa Edwin Nasution et al, Pengenalan eklusif ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007).
12 Nasution, et al, Pengenalan ekslkusif, h. 16.
5

memadai. Basis hukum perbankan syariah baru kuat setelah disahkannya Undang-
undang Perbankan Syariah Tahun 2008 ini.
Riawan
5. Perbankan Syariah sebagai Solusi Perekonomian Nasional, Karya A. Riawan
Amin.13 Buku ini disampaikan pada acara pidato ilmiah penganugerahan gelar
Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) bidang Penbankan Syariah
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, tanggal 11 Juli 2009.
Dalam pidatonya disampaikan bahwa kegiatan pemikiran ekonomi di dunia Islam
setidaknya mengambil dua pola. Pertama; pola ideal, yakni sistem ekonomi Islam
yang lebih komprehensif dan holistik sebagai agenda jangka panjang, dan hal ini
diupayakan secara terus menerus. Kedua; pola pragmatis, yaitu mengembangkan
sistem yang bersifat parsial dan satu aspek saja, yang menjadi focus pemikiran
adalah lembaga keuangan syariah yang diawali dengan tumbuh kembangnya
sistem perbankan syariah. Di Indonesia mengambil pola yang kedua, sehingga
tidak heran jika perkembangan industri keuangan syariah tumbuh lebih cepat dari
pengkajian secara teoritis dan konseptual dalam pembentukan sistem yang lebih
komprehensif.14
Perkembangan perbankan syariah yang begitu cepat dan signifikan disebabkan
adanya dukungan dari senua stakeholder dan semakin terasa dengan disahkannya
UU Perbankan Syariah No 21 Tahun 2008dan UU Surat BNerharga Syariah
Negara No 19 Tahun 2008. Dengan adanya regulasi yang mandiri tersebut,
eksistensi perbankan syariah di Indonesia semakin kuat.15
Lebih lanjut dikatakan bahwa meskipun share perbankan syariah baru sekitar 2,05
persen per November atau masih terlalu kecila bila dibandingkan asset perbankan
nasional, namun dukungan pemerintah menyiratkan dan sekaligus memberi
pengakuan bahwa industri baru ini tidak bisa diremehkan perannya dalam
membangun ekonomi nasional. Bahkan perbankan syariah bukan lagi alternatif
tetapi solusi untuk mengokohkan ekonomi nasional aserta membawa kembali
harkat dan martabat bangsa.16
6. Islam dan Pembangunan Ekonomi, Karya M. Umer Chapra, Penerjemah
Ikhwan Abidin E.17 Ada lima bab yang amat terkait dengan permasalahan
dibahas, antara lain: stabilitas dan tujuan-tujuan sosio-ekonomi, di dalamnya
mmenguraikan tentang tujuan, pandangan dunia dan pentingnya strategi baru dan
pandangan hidup Islam. Ia mengatakan bahwa tujuan dari sebuah system ekonomi
pada prinsipnya ditentukan makna dari tujuan hidup manusia serta hubungan
manusia dengan manusia lain, hubungan amanusia dengan alam sekitarnya, maka
tentu saja tidak bertanggung jawab kepada siapapun. Akan tetapi jika mansuia
merasa apa yang dimiliki adalah ciptaan Tuhan dan mereka bertanggung jawab

13 A. Riawan Amin, Perbankan Syariah sebagai Solusi Perekonomian Nasional, (Jakarta:


Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009)
14 A. Riawan Amin, Perbankan Syariah sebagai Solusi Perekonomian Nasional, h. 41.
15 A. Riawan Amin, Perbankan Syariah sebagai Solusi Perekonomian Nasional, h. 43
16 A. Riawan Amin, Perbankan Syariah sebagai Solusi Perekonomian Nasional, 44.
17 M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, “Islam dan Pembangunan Ekonomi”,
Penerjemah Ikhwan Abidin B, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000),
6

kepada-Nya, maka tidak mungkin menganggap dirinya bebas mutlak dan


berperilaku semaunya.18
Pendekatan Islam yang berdimensi empat19 harus dapat membuktikan lebih
efektif dalam menjamin kesejahteraaan semua anggota masyarakat dari pada
pendekatan kapitalis dan sosialis yang berdimensi tunggal dan hanya
mengandalkan kepentngan diri sendiri. Dan kekuatan pasar yang hanya
mengandalkan kolektifitas dan perencanaan pusat.
Dalam melakukan kebijakan harus ada dua kriteria. Pertama tindakan kebijakan
harus mampu memberikan kontribusi terhadap realisasi tujuan syariat (maqashid).
Kedua, tidak boleh melakukan kerangka kerja optimalitas Pareto.20 Menurut
Chapra, ada lima tindakan kebijakan yang diajukan bagi pembangunan yang
disertai dengan keadilan dan stabilitas: memberikan kenyamanan kepada factor
manusia; mereduksi konsentrasi kekayaan; melakukan restrukturisasi ekonomi,
keuangan dan rencana kebijakan strategis.
Tindakan-tindakan kebijakan ini sudah dikenal dalam literatur pembangunan.
Namun yang terpenting adalah injeksi dimensi moral ke dalam parameter
pembangunan material. Karena tanpa sebuah integrasi moral dan material seperti
itu, tidak mungkin dapat diwujudkan adanya efisiensi dan pemerataan. 21

1. Economic Message of the Qur’an, Karya Akram Khan,22 dalam buku ini
Akram khan menjelaskan pandangan Islam mengenai ekonomi, prinsip-prinsip
dasar mengenai ekonomi Islam, masyarakat yang adil dan norma-norma tingkah
laku ekonomi. Pandangannya tentang ekonomi bahwa dunia ini adalah milik
Allah dan mansia di bumi sebagai makhluk Allah ditugasi menjadi khalifah untuk
mengurus bumi dan alam beserta isinya guna kemakmuran hidupnya, memenuhi
kebutuhannya dari lapar, tempat berteduh, tidur, dan seks dalam kehidupannya.
Kesemuanya ini adalah berasal dari konsep Tauhid atau kesaan Tuhan. 23
Menurutnya, bahwa tujuan ekonomi Islam untuk membangun dan menopang
masyarakat manusia memperoleh kebahagiaan. Dalam istilah al-Qur’an disebut

18 Lihat M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, “Islam dan Pembangunan
Ekonomi”, Penerjemah Ikhwan Abidin B, h. 4.
19 Pertama; melengkapi mekanisme pasar dengan filter moral; kedua, memotivasi
individu ikut menanggung kepentingan social; ketiga, merestrukturisasi sosio-ekonomi; dan
kempat peranan pemerintah. Lihat M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, “Islam
dan Pembangunan Ekonomi”, Penerjemah Ikhwan Abidin B, h. 84.
20 Suatu strategi yang memandang bahwa meningkatkan sumber-sumber daya untuk
tujuan-tujuan yang lain hanya akan mengarah kepada kegagalan dan ketidakseimbangan.
Kebijakan-kebijakan harus dites melalui filter-filter Islam. Lihat M. Umer Chapra, Islam and
Economic Development, “Islam dan Pembangunan Ekonomi”, Penerjemah Ikhwan Abidin B, h.
85.
21 Lihat M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, “Islam dan Pembangunan
Ekonomi”, Penerjemah Ikhwan Abidin B, h. 85
22 Muhammad Akram Khan , Economic Message of the Qur’an, (Kuwait: Islamic Book
Publishers, 1996), First Puliblished.
23 Akram Khan , Economic Message of the Qur’an, (Kuwait: Islamic Book Publishers,
1996), h. 9.
7

dengan al-falah, yang memiliki arti dan menunjukan kepada kebahagiaan dan
kesejahteraan spiritual, budaya, politik, masyarakat dan ekonomi dalam dunia
serta rahmat dan kasih sayang dari Tuhan.24
Yang termasuk dalam prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam, menurut Akram Khan,
adalah yang berkaitan dengan hak milik, faktor-faktor produksi, mekanisme pasar,
keuangan umum dan peranan negara dalam ekonomi. Dikatakan bahwa negara
memiliki peanan yang positif dalam ekonomi.25 Sikap Islam yaitu bahwa negara
harus bertanggung jawab untuk memaksa sikap yang sesuai dengan semua agen
ekonomi dan mencegah tingkah laku yang tidak sesuai dengan mereka. Itu harus
menjamin keadilan ekonomi sehingga setiap orang memiliki kesempatan untuk
mencapai falah dan memiliki tanggung jawab untuk membangun sebuah lembaga
yang membantu tercapainya masyarakat Islam. 26

2. Prospek Cerah Perbankan Syariah, karya K.H.. Ma’ruf Amin,27 buku ini
memberikan informasi antara lain: prospek perbankan syariah di Indonesia,
perkembangan kebijakan dan tantangan industri keuangan syariah di Indonesia,
tantangan dan prospek cerah perbankan syariah di Indonesia, kebijakan strategis
pengembangan perbankan syariah di Indonesia, peranan dan nilai moral dalam
perekonomian Islam, fungsi, peran dan mekanisme kerja dewan syariah nasional
MUI di perbankan syariah dan system dan prosedur fatwa tentang ekonomi Islam
dan produk halal.
Dalamnya dikatakan bahwa pentingnya sebuah regulasi yang lebih
komprehensip dalam penerapan prinsip syariah, karena kepercayaaan masyarakat
terhadap perbankan syariah semakin hari semakin berkembang. 28
Peranan Dewan Syariah Nasional (DSN) mengawasi pelaksanaan aspek-aspek
perbankan syariah di lembaga-lembaga keuangan syariah juga memberikan
rekomendasi agar secara periodik melakukan pengawasan terhadap aspek-aspek
syariah pada suatu LKS dan melaporkannya kepada DSN. 29
Sedangkan mengenai tantangan dan prospek perbankan syariah menurutnya
adalah bahwa perlunya ada penguatan struktur dengan penyediaan modal yang
kuat, modal yang kuat akan membentuk suatu manajemen yang professional dan
memperkuat daya tahan bank terhadap resiko usaha, kendatipun resiko tersebut

24 Akram Khan , Economic Message of the Qur’an, (Kuwait: Islamic Book Publishers,
1996), h. 10.
25 Jika terjadi kerusakan pasar seperti ketentuan-ketentuan mengenai infrastruktur atau
mendirikan sebuah industri yang dibutuhkan atau menyiapkan jasa seperti pelayanan kesehatan;
harus mencegah monopoli dala sector pribadi; dan pentingnya mendistribusikan kembali inkam
dan kekayaan. Lihat Akram Khan , Economic Message of the Qur’an, (Kuwait: Islamic Book
Publishers, 1996), h. 72-73.
26 Lihat Akram Khan , Economic Message of the Qur’an, (Kuwait: Islamic Book
Publishers, 1996), h. 73.
27 Ma’ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Syariah,, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama
dan Sosial, 2007), Cet. 1
28 Ma’ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Syariah,, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama
dan Sosial, 2007), Cet. 1, h. 5
29 Ma’ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Syariah, h. 15
8

telah dibagai antara antara investor (shahibul mal) dan bank sebagai pengelola
(mudarib) yang berbasis bagi hasil.30

Dalam buku ini diuraikan bahwa gagasan berdirinya bank syariah secara
Internasional yang muncul dalam konferensi negara-negara Islam sedunia yang
diikuti oleh 19 negara peserta menghasilkan antara lain: tiap keuntungan haruslah
tunduk kepada hukum untung dan rugi, jika tidak termasuk riba dan riba sedikit
atau banyak haram hukumnya. Oleh karenanya agar dibentuk sebuah bank
syariah yang bersih dari sistem secepat mungkin. Sedangkan untuk menunggu
berdirinya bank syariah, bank-bank yang menerapkan bunga boleh beroperasi
sebagai tindakan darurat. 31
Lembaga keuangan yang ada di Indonesia hampir semua telah memiliki konsep
berdasarkan ketentuan hukum Islam dalam prakteknya. Konsep tersebut tidak
lepas dari keinginan umat Islam untuk mengekpresikan kepatuhannya kepada
agama dalam bidang muamalah seperti halnya lembaga keuangan syariah, yakni:
perbankan syariah, asuransi syariah, modal ventura syariah, pegadaian syarian
leasing syariah, dan yang baru dikembangkan sejak maret 2003 yaitu pasar modal
sayariah.32
Gemala Dewi memberikan perbandingan antara bank konvensional dan bank
syariah dimana perbedaananya tidak hanya terletak pada bunga dan bagi hasil tapi
juga penekanannya pada aspek legalitas atau akad. Bahwa aikad dalam bank
syariah itu memiliki unsure yang berbeda. Azas-azas yang paling memonjol
adalah azas harus saling menguntungkan.33
4. Perbankan Syariah Prinsip, Praktik, dan Prospek, karya karya Mervyn K. lewis
& Latifa M. Al-Gaoud, penterjemah Burhan Subrata,34 buku ini banyak
memberikan informasi tentang sistem keuangan, sistem perbankan Islam,
perbankan Islam dalam sistem campuran syariah, sikap Islam dan Kristen
terhadap riba. Dalam buku tersebut dijelaskan tentang peranan agama bahwa Ciri
khas dari perbankan Islam adalah harus tunduk kepada hukum Islam (syariah)
yakni: pelarangan riba dalam semua transaksi; semua aktifitas bisnis harus
dijalankan dengan ketentuan syariah (halal); transaksi harus bebas dari unsur
gharar (spekulasi yang tidak pasti dan tidak masuk akal); bank harus membayar
zakat; dan semua aktifitas harus dengan prinsip-prinsip Islam.35
Lebih lanjut mengatakan bahwa fondasi keuangan dan ekonomi Islam yang
bersifat filosofis dan religius terutama difokuskan pada bagaimana menerapkan

30 Ma’ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Syariah, h. 59.


31 Gemala Dewi , Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 53-54
32 Gemala Dewi , Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, h. 161.
33 Gemala Dewi , Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, h. 100.
34 Mervyn K. lewis & Latifa M. Al-Gaoud , Perbankan syariah Prinsip, Paraktik dan
Prospek, Penerjemah Burhan Subrata, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007), Cet. Ke 1.
35 Mervyn K. lewis & Latifa M. Al-Gaoud , Perbankan syariah Prinsip, Paraktik dan
Prospek, Penerjemah Burhan Subrata, h. 50.
9

hukum Islam dalam suatu aktifitas ekonomi dan keuangan. Bisnis perbankan
harus dilaksanakan berdasarkan hukum Islam, yang meliputi masalah-masalah
penggunaan investasi yang produktif bukan investasi moneter yang menarik
bunga atau riba. 36

b. Kesempurnaan Pedoman (Syumuliyah Al Minhaj)


Islam sebagai minhaj yang sempurna didasari kepada asas Aqidah, dibina dari
akhlak dan ibadah kemudian didukung oleh da’wah dan jihad. Asas dari Islam
adalah aqidah. Tanpa aqidah maka tidak akan kuat bangunan Islam karena ibarat
rumah aqidah adalah pondasinya, kekuatan rumah dan bangunan dipengaruhi oleh
kekuatan pondasi itu sendiri.
Pada sebuah rumah bila aqidah diibaratkan sebagai pondasinya maka akhlaq
dan ibadah sebagai bangunan yang akan mengokohkan dengan membentuk
bagaimana rupa rumah tersebut, semakin bagus ibadah dan akhlaknya semakin
bagus bentuk dan rupa rumah tersebut. untuk memperindah rumah tersebut perlu
ada hiasan di rumah tersebut dengan da’wah dan jihad melalui dukungan da’wah
dan jihad, maka pondasi tetap kuat dan kukuh, bangunan terpelihara dengan baik,
hiasan rumah yang utama adalah atapnya dengan atap maka rumah yang dibangun
akan berfungsi dengan baik. Tanpa atap, sebagus apapun bentuk bangunannya
tidak akan dapat berfungsi dengan baik.37
c. Kesempurnaan Tempat dimanapun (Syumuliyah Al Makan)
Seluruh tempat di muka bumi ini adalah tempat yang sesuai dengan Islam.
Demikian pula siapa pun orangnya dan darimana pun asalnya, tetap di bawah
naungan Islam. Semua itu diciptakan oleh Allah. Karena hanya Allah penciptanya
maka seluruh makhluk dan alam dimana pun sama, sama-sama diciptakan Allah
sehingga Islam yang dijadikan sebagai pedoman hidup maka Islam berlaku bagi
seluruh makhluknya dimana pun mereka berada.38
3. Sistem Yang Terkandung dalam Islam
Sebagai sebuah pedoman hidup bagi umat manusia dulu, kini dan yang
kan datang, Islam memiliki kesempurnaan sehingga fleksibel di segala jaman dan
lengkap sehingga dapat dipergunakan di segala jaman pula, diantara sistem yang
terkandung di dalam Islam ialah:
Islam Sebagai Akhlaq
Islam sebagai diin tidak hanya berisi tentang cara peribadatan namun
Islam mempunyai sistem akhlaq yang membedakannya dengan sistem
moral/tingkah laku buatan manusia. Akhlaq Islam adalah akhlaq yang
berpandukan kepada Al Qur’an. Islam mengajarkan hubungan Allah sebagai
khalik dan manusia sebagai makhluk. Maksudnya, akhlaq adalah tingkah laku
makhluk yang diridhai Khalik.

36 Lihat 36 Mervyn K. lewis & Latifa M. Al-Gaoud , Perbankan syariah Prinsip,


Paraktik dan Prospek, Penerjemah Burhan Subrata, h. 313.
37
QS. Ali Imran (5) : 104

38
QS. Al Baqarah (2) : 163-164.
10

Sistem akhlaq dalam pandangan Islam mencakup seluruh kehidupan alam


dan manusia dengan berlandaskan kepada prinsip-prinsip dasar alam dan manusia.
Manhaj yang bersesuaian dengan tashawur umum ini bersumber dari Allah SWT,
oleh karena itu Islam dapat melahirkan perilaku amal saleh dan akhlaq yang
mulia. Namun amat disayangkan hal yang tragis terjadi sekarang adalah seorang
muslim bekerjasama dengan orang yang memusuhi Islam dan mengesampingkan
kaum muslimin karena terikat oleh satu ide atau ikatan.
Hal ini terjadi karena aqidah mu’min belum mantap di hati mu’min
tersebut. ia belum pernah mendapat pendidikan Islam yang benar dan belum
mendapat kesempatan hidup di lingkungan Islami yang membudayakan akhlaq
Islami, berarti ia masih memiliki hati nurani dan fitrah yang benar. Secara umum
bentuk-bentuk akhlaq itu dibagi menjadi lima, yaitu:
Akhlaq kepada Allah, QS. Al Baqarah (2) : 186
Akhlaq kepada Rasul, QS. An Nisaa’ (4) : 80
Akhlaq kepada diri sendiri, QS. Al Baqarah (2) : 43-44
Akhlaq kepada sesama, QS. Al Baqarah (2) : 83
Akhlaq kepada alam, QS. Al Baqarah (2) : 30
Dengan kelima akhlaq di atas, maka seorang mu’min akan meninggalkan
perbuatan tercela dan menghiasi diri dengan perbuatan mulia.
b. Islam Sebagai Pedoman Hidup
Konsep keyakinan, QS. Al baqarah (2) : 255
Konsep moral (akhlaq), QS. Al A’raf (7) : 96
Konsep tingkah laku, QS. Al Baqarah (2) : 138
Syu’ur (perasaan), QS. Ar Rum (30) : 30
Konsep pendidikan (tarbawi), QS. Al Baqarah (2) : 151, Hadits “Tuntutlah ilmu
dari buaian hingga akhir hayat” (HR. Muslim)
Konsep sosial (ijtima’i), QS. Ar Rum (30) : 22, An Nur (24) : 2-10
Konsep politik (as siyasi), QS. Yusuf (12) : 40
Konsep ekonomi (Iqtishadi), QS. Al Baqarah (2) : 275-276
Konsep kemiliteran (Al Asykaari), QS. Al Anfaal (8) : 60
Konsep hukum/peradilan (Al Jinaa’i), QS. An Nisaa’ (4) : 65

Islam sebagai agama yang dipeluk oleh manusia, tentu sangat berpengaruh
terhadap pola hidup pemeluknya. Perilaku pemeluknya tidak lepas dari syari'at
yang dikandung agamanya. Melaksanakan syari'at agama yang berupa hukum-
hukum menjadi salah satu parameter ketaatan seseorang dalam menjalankan
agamanya. Islam merupakan perwujudan aturan hidup yang telah diwahyukan
oleh Allah SWT kepada manusia. Oleh karena itu Islam disebut juga Diinullah.
Diin memiliki makna yang berbeda dari agama (milah). Islam memiliki ciri dan
sifat tertentu yang menggambarkan kehidupan manusia secara keseluruhan.
Pemahaman Islam yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya adalah Islam yang
bersifat integral, lengkap, sempurna dan komprehensif berdasarkan Al Qur’an dan
yang dicontohkan Rasulullah SAW melalui sunnahnya. Islam juga merupakan
agama para Nabi mulai dari Adam AS sampai Nabi yang terakhir yaitu Nabi
11

Muhammad SAW. Ia memiliki beberapa makna yang menggambarkan sifat Islam


itu sendiri, antara lain : Islam Diil Al-Anbiya Wal Mursalin, Islam Minhajul
Hayah (pedoman hidup), Ahkamullah fi kitabihi wa sunnah rasulihi (hukum Allah
yang ada dalam Al-Qur’an dan As Sunnah), Ash-shirath al mustaqim (jalan yang
lurus) dan Salamah dunia wal akhirat (selamat dunia dan akhirat).
Diharapkan setelah memahami Islam secara menyeluruh kita dapat memperbaiki
amal ibadah kita di dunia sebagai wujud pelaksanaan tujuan kita diciptakan di
bumi ini.39
1. Makna Islam
a. Makna Islam secara bahasa berarti :
Al Wajh (menundukan wajah), QS. An Nisaa’ (4) : 125
Al Istislam (berserah diri), QS. Ali Imran (3) : 83
As Salaamah (suci, bersih), QS. As Syuara (26) : 89
As Salaam (selamat/sejahtera), QS. Al An’am (6) : 54
As Salm (perdamaian), QS. Muhammad (47) : 35
b. Secara istilah Islam berarti
Islam dalam Al-Qur’an disebut Ad Diin mengandung arti sistem kehidupan yang
menyeluruh termasuk ibadah, kemasyarakatan, politik dan jihad. Islam mencakup
keseluruhan hidup. Islam secara lengkap menyediakan keperluan manusia untuk
mengatur kehidupan oleh karena itu Islam itu tinggi dan tiada yang
menandinginya.40
Islam bagaikan sebuah bangunan yang sempurna dengan pondasi aqidah yang
kuat dan sendi tiang berupa ibadah kepada Allah dan diperindah dengan akhlak
yang mulia. Peraturan dalam syariat Allah adalah yang memperkuat bangunan
tersebut, manakala da’wah dan jihad merupakan pagar-pagar yang menjaga dari
kerusakan musuh-musuh Islam. Islam juga memperhatikan suatu keseimbangan
dimana Islam sebagai diin tidak hanya mengejar kepentingan akhirat tapi juga
kepentingan dunia. Islam menggambarkan suatu keutuhan dan kesatuan dengan
berbagai aspek kesempurnaan. Dengan demikian Islam adalah agama yang
komprehensif yang mengatur semua yang ada di alam agar kembali kepada
hukum Allah, pencipta alam ini.
2. Kesempurnaan Islam (Syumuliyah Al Islam)
Setiap muslim diperintah oleh Allah SWT untuk masuk dan memeluk Islam
secara keseluruhan agar kita memahami bahwa Islam itu sempurna maka kita
pertama-tama harus menyadari dan memahami bahwa Islam itu sempurna dilihat
dari berbagai aspek, yaitu :
a. Kesempurnaan Sepanjang Zaman (Syumuliyah al Zaman)
Islam sebagai aturan hidup sepanjang masa menunjukkan bahwa Islam
diperuntukkan kepada semua alam semesta tidak terkecuali. Manusia sebagai
khalifah bertugas menjaga, membangun dan memelihara melalui penutup nabi

39
QS. Adzariyat (51) : 56
40
QS. Ali Imran (3) : 19
12

yaitu Muhammad SAW, beliau membawa risalah yang sama dengan nabi Adam
AS sebagai khatam al anbiya (penutup nabi) maka seluruh risalah yang dibawa
para nabi sebelumnya dilengkapi dan disempurnakan sehingga berlaku bagi
seluruh manusia, tidak hanya untuk umat Rasulullah SAW pada saat itu saja,
namun berlaku hingga akhir jaman.41

2. Nabi Muhammad saw mendapatkan wahyu dari Allah SWT pertama kali pada
hari Senin tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahirannya, bertepatan dengan
tanggal 6 Agustus 610 M.42 Semenjak saat itu, Muhammad bin Abdullah
mengemban amanat nubuwwah dari Allah SWT untuk membawa agama Islam ke
tengah-tengah manusia, yang ternyata merupakan sebuah ajaran yang merombak
seluruh sistem sosial, terutama sistem hukum yang ada pada masyarakat
Jahiliyyah.43
Kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh BUS adalah:
Menjamin penerbitan surat berharga;
Penitipan untuk kepentingan orang lain;
Menjadi wali amanat;
Penyertaan modal;
Bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun;
Menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang
syariah.

41
QS. As Saba (34): 28.
42
Muhammad Ridho, Muhammad Rasul Allah Shalla Alllahu 'alayhi wa Sallama, cet. V (Kairo:
Dar al-Ihya' al-'Arabiyyah, 1966 M / 1385 H) hlm. 59.
43
Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization,
Vol. I The Classical Age of Islam (Chicago: Chicago University Press, 1974), hlm. 174.
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Disertasi ini membuktikan bahwa konfigurasi undang-undang memiliki
hubungan yang sinergi antara produk hukum elitis dan produk hukum responsif
populistik yang dibangun berdasarkan nilai-nilai spirit agama, ideologi, politik,
ekonomi, sosial dan budaya. Kesimpulan ini menolak pendapat: Nurcholis Majid,
Khalid Muhammad Khalid, Abdullah Ahmad an-Na’im yang mengutarakan bahwa
formalisasi syari’at Islam menjadi hukum positif, tidak diperlukan, karena negara
harus bersifat netral tidak boleh didominasi oleh satu golonganpun, baik muslim
maupun non-muslim.
Disertasi ini juga memperkuat pendapat gerakan Islam Politik yang
mengutarakan bahwa penegakkan syari’at Islam harus dilakukan melalui jalan
kekuasaan. Dalam bidang ekonomi, gerakan ini menempuh strategi gradualis dan
demokratis. Tokoh-tokoh pejuang syari’at Islam di bidang ekonomi: A.M. Saefuddin,
Karnaen Perwataatmaja, M. Amin Aziz, Mohammad Syafi’i Antonio, Amin Suma,
Sri-Edi Swasono, Adiwarman Karim, Zaenal Arifin, dan Riawan Amin.
Indikator yang menunjukkan kebenaran kesimpulan disertasi ini dapat
diketahui bahwa: pembentukan bank Islam di dunia; seperti, pertama Mesir Bank Mit
Ghamr maupun Bank Sosial Nasr; Faisal Islamic Bank, sebuah bank umum komersial
Islamic International Bank for Investment and Development, ternyata melibatkan elit
politik pemerintah, peranan pemerintah sangat besar, baik dalam bentuk regulasi
maupun permodalan; kedua, Pakistan, menghapuskan sistem lembaga keuangan non-
bank, dengan sistem non-ribawi; ketiga, Iran, Islamisasi sistem perbankan dilakukan
secara nasional setelah berdirinya Republik Islam Iran; keempat bank Amanah
Philipina, Bank Islam Malaysia, juga melibatkan pemerintah.

271
272

Disertasi ini juga memberikan kesimpulan bahwa politik hukum perbankan


syariah ini terbagi menjadi tiga fase: Pertama fase orde lama, dimana usaha-usaha
penegakkan syariat Islam diformat melalui piagam Jakarta, mengalami kegagalan,
walaupun telah dipersiapkan oleh BPUPK) atau PPKI; Kedua, fase orde baru yakni
berdirinya BMI yang kemudian ditetapkan UU No.7/1992 Tentang Perbankan,
dimana bank bagi hasil diakomodasikan. Hal ini didasarkan pada adanya sikap
akomodatif pemerintah terhadap aspirasi rakyat; Ketiga fase reformasi, berhasil
mengamandemen UU Nomor 7 Tahun 1992 dengan lahirnya UU Nomor 10 Tahun
1998 yang lebih memposisikan dengan jelas kedudukan perbankan Islam. Pada masa
ini pula lahir UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yang disahkan
pada tanggal, 17 Juni 2008. Undang-Undang ini secara eksplisit menyebutkan tentang
Perbankan Syariah.
Jika kita tinjau dalam perspektif hukum Islam, penegakan Syari’at Islam di
Negara yang berpenduduk mayoritas muslim merupakan kewajiban sebagai farḍu
kifâyah.

B. Rekomendasi
1. Masih banyaknya pebedaan pendapat di kalangan umat Islam mengenai bunga
bank, untuk itu perlu duduk bersama untuk redefinisi pemahaman agama Islam
terhadap bunga yang selama mebawa kemudharatan terhadap kehidupan bangsa;
2. Umaro dan ulama hendaknya bersanding lebih dekat dalam menyelesaikan
persoalan negara khusunya mengenai hukum dan menjawab tantangan serta
memberikan solusi mengenai perbankan syariah, dimana dalam praktek prinsip
murabahah masih mendapatkan kritikan yang dianggap masih belum lepas dari
sistem bunga;
3. Perlu adanya keseragaman pola fikir secara bersama mengakui bahwa perbankan
syariah sebagai satu-satunya bank yang sesuai dengan prinsip ajaran Islam.
273

Dengan demikian, bertransaksi melalui bank syariah berarti membangun dan


menjalankan syariah Islam sebagai perintah Allah;
4. Semestinya pemerintah menunjukan keberpihakannya secara signifikan terhadap
ekonomi syariah, sebagai aspirasi rakyat mayoritas. Padahal pemerintah secara
pasti telah mengetahui bahwa bank syariah telah diakui oleh seluruh dunia
internasional, disamping resisten terhadap krisis moneter 1997;
DAFTAR PUSTAKA

A. Kitab Suci
Al-Qur’an al-Karim
B. Buku-Buku
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf,
1995, Jilid 2.
Afzalurrahman, Islam: Ideology and The way of Life, London: The Muslim
School Trust, 1980.
Ahmadi, Abu, dan Anshori Umak Sitanggal, Sistim Ekonomi Islam Prinsip-
Prinsip dan Tujuan-Tujuannya, Surabaya: Bina Ilmu, 1980.
Allouche, Adel, Maluk Ekonomics: A study and Translation of al-Maqrizi’s
Ighathah (Salt Lake City: University of Utah Press, 1994)
Amin, Ma' ruf, Fatwa Dalam Hukum Sistem Islam, Jakarta: Elsas, Cet. Ke- 1.
2008.
Amin, A. Riawan, Menata Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: UIN Press,
UIN Syarif hidayatullah Jakarta, 2009.
Amin, Hammad Al-Bashir Muhammad, Istisna (Manufacturing Contract) in
Islamic Banking and Finance, Kuala Lumpur: Zafar Sdn. Bhd., Second
Print, 2006.
Amin, Ma'ruf, Prospek Cerah Perbankan Syariah, Jakarta: LeKAS, 2007, Cet.
Ke-1
An-Na'im, Abdullah Ahmed, Toward an Islamic Reformation, Civil Liberties
Human Right and International Law, Terjemahan, oleh Ahmad Suaidy dkk,
Jogjakarta LKIS, 1994.
Anshori, Abdul Ghafur, Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 2007.
Arifin, Zainul, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan
prospek, Jakarta: Alvabert, 1999, Cet. Ke-1
Ash-Shadr, Syahid Muhammad Baqir, Keunggulan Ekonomi Islam, Penerjemah
M. Hashem, Jakarta: Pustaka Zahra, 2002.
Audi, Al-, Rifa’at Min al-Turâts: al Iqtiṣâd li al-Muslimîn (Mekah: Râbithah
‘alam Islâmi, 1985).

274
275

Azra, Azyumardi, dkk. (ed.), Ensiklopedi Islam II, Jakarta: Intermasa, 1996, Cet.
Ke- 1
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru, Jakarta, Penerbit Kalimah, 2001.
Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme
Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996, Cet. I
Beatty, Andrew, Varieties of Javanese Religion: An Anthropological Account,
Cambridge University Press, Cambridge, 1999.
Black, Antony, Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, Cet. Ke-
1, 2006.
Borgatta, Edgar.F. (ed), Encyclopedia of Sociology, V.1., Macmillan Publishing
Company, New York, 1992.
Boulakia, Jean David C., Ibnu Khaldun, Fourteenth Century Economist, dalam
Journal of Political Economy (Chicago: Chicago University, 1971, Vol. 79.
Chapra, M. Umer, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Penerjemah Ikhwan
Abidin Basri, M. Ag., Jakarta: Gema Insani Press,2000, Cet. Pertama
Chapra, M. Umer, Etika Ekonomi Politik: Elemen-Elemen Strategis
Pembangunan Masyarakat Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1997.
Chapra, M. Umer, The Future of Economics: An Islamic Perspective, pent. A diar
Amir…(et. al.) (Jakarta: SEBI, 2001)
Chatamarrasyid, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencaba
Prenada Media Group, 2008, Cet. Ke- 5
Choudhury, Masudul Alam, Contributions to Islamic Economic Theory, New
York: Martin's Press, 1986. t.
Choudhury, Masudul Alam, Studies in Islamic Social Science, Britain: Macmillan
Press, 1998.
Crave, David W., Pemasaran Strategis, Penerjemag Lina Salim, Jakarta:
Erlangga. 1991, Edisi4, Cet. Ke-3 Jilid 1 & II.
Dahlan, Abdul Aziz, (ed), Suplemen Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1977, Jilid 2.
Dahlan, Abdul Aziz, dkk (ed), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtra Baru
Van Hoeve, 1997), Jilid 5, Cet. 1
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi (Jakarta: Rahawali Press, 1995)
Departemen Agama, Pembangunan Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2009.
276

Departemen Agama.. Penyempurnaan Keputusan Menteri Agama Nomor 110


Tahun 1982 tentang Penetapan Pembidangan Ilmu Agama Islam dalam
Lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). 1982
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indoensia,
Jakarta: Balai Pustaka , 1996, Cet. Ke 7.
Devi, Laxmi., (ed), Encyclopedia of Social Research, V.2., , New Delhi, Anmol
Publications PVT.LTD, 1997
Dewan Asuransi Indonesia, Undang-undang RI nomor 2 Th 1992 dan Peraturan
Pelaksana Tentang Usaha Perasuransian, DAI, 2003, ed 1.
Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, Himpunan Fatwah dewan Syari’ah
Nasional, Jakarta : DSN-MUI dan BI, 2003.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan
Syariah Nasional MUI, Edisi Revisi, Jakarta: CV. Gaung Persada, 2006,
Cet. Ke- 3
Dewi, Gemala, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan Syariah di Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Ke-3..
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
, Jakarta: LP3ES, 1985
Engineer, Asghar Ali, “Asal Usul dan Perkembangan Islam”, Analisis
Pertumbuhan Sosio-Ekonomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist Press,
1999)
Esposito, John (ed), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, V.3,
New York, Oxford, Oxford University Press, 1995.
Friedman, Lawrence M., The Legal System: A Social Science Perspective, (New
York: Rusel Sage Foundation), 1975, h. 15
Ghazanfhar, S.M., dan Abdul Azim Islahi, Economic Thought of am Arab
Scholatic: Abu Hamid Al-Ghazali, dalam History of Political Economy,
Durham: Duke University Press.,1990, Vol. 2 No. 22.
Gie, Kwik Kian, Ekonomi Indonesia dalam Krisis dan Transisi Politik, Jakarta:
Gramedia Pustaka, Cet. Ke-2, 1999.
Hakim, Agus, Perbandingan Agama, Bandung: CV. Diponegoro,1996.
Hallaq, Wael B. Authorrity, Continuity and Change in Islamic Law, New York:
Cambridge University Press, 2001.
Hanafi, Hassan, Al-Uṣ̣ûliyah al-Islâmiyyah dalam al-Dîn wa aṣ-Ṣawrah fi Misr
1952-1981, Terjemahan Kamran As’ad Irsyadi, Mufliha Wijayanti
277

Hanef, M. Assalam, Contemporary Islamic Economic Thought: A Selected


Comparative Analysis (Kuala Lumpur: 1995)
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.
Hasjimi, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1987)
Hosen, Nadratuzzaman, Ali, Hasan, Muchtashib, Menjawab keraguan Umat
Islam Terhadap Bank Syariah, Jakarta: PKES, 2007.
Hoyle, Mark S.W., Dr., Arab and Islamic Laws Series, Canada: Kluwer Law
International, 1198.
Ibnu Hazm, Risâlah an-Naql al-Arus fi Tawârikh al-Khulafâ (Beirut: Muassasat
al-Arabiyah, 1987)
Ibnu Khaldun, Mukaddimah, edisi Indonesia, pent. Ahmadie Thoha (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000).
Issawi, Charless, Ibnu Khaldun’s Analysis of Economic Issues; Reading in Islamic
Thought (Malaysia: Longman, 1992)
Jalaluddin, Abul Khair Muhd., The Role of the Government in an Islamic
Economy, Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1991.
Janidal, Hammad, Al- bin Abdurrahman, Manâhij al-Bahitsin fi al-Iqtiṣâ al-
Islâmi (Riyadh: Syirkah al-Ubaikan li al-Thaba’ah wa-al Nasyir, 1406 H),
Jilid 2.
Kaaf, Abdullah Zakiy, Al-, Ekonomi Dalam Perspektif Islam, Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2002, Cet. Ke-1
Kahf, Monzer, A Contribution to the Theory of Consumerin an Islamic Siciety,
dalam Khursyid Ahmad (Ed.) in Islamics Economics (United Kingdom: The
Islamic Foundation & IRTI-IDB, 1981).
Karim, Adiwarman A, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: IIIT
Indonesia, 2003.
Karim, Adiwarman A, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001, Cet. Ke- 1.
Karim, Adiwarman A, Ekonomi Mikro Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007, Cet. Ke- 3.
Karim, Adiwarman A, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Ke- 3
Karim, Adiwarman A., Islamic Banking: Fiqh and financial Analysis, Jakarta:
PT. Raja Grafindo, Ed. 2005.
278

Karim, Adiwarman Azwar, Pemikiran Ekonomi Seorang Skolastik Arab: Abu


Hamid Al-Ghazali (Jakarta:Tim IIIT IAIN Jakarta, 2002)
Kasmir, Bank Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002, Cet. Ke-6.
Kasmir, Manajemen Perbankan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Khan, Muhammad Akram, Economic Message of The Quran, Kuwait: Islamic
Book Publishers, 1996.
Khudairi, Zaenab al-, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun (Bandung: Penerbit Pustaka,
1995)
Kusumatmadja, Muchtar, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum, (Bandung
Bina Cipta, 1976), h. 31
Lewis, Mervyn K. & Algaud, Latifa M., Terjemahan Burhan Subrata, Perbankan
Syariah: Prinsip Teori, Praktik dan Prospek, Jakarta: Pt. Serambi Ilmu
Semesta, 2001, Cet. Ke-1.
Lunati, M. Teresa, Ethical Issues in Economics: From Antruism to Cooperation
to Equity, London: MacMillan Press, 1977.
Lupioadi, Rambat, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema
Insani, 2001.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan
Timur (Jakarta: 1996).
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, et. Al, Syariat Islam Yes Syariat Islam No: Dilemma
Piagam Jakartadalam AmandemenUUD 1945, Jakarta: Paramadina, 2001.
Madjid, Nurcholish, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Paramadina,
1999, Cetakan I
Madjid, Nurcholish, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dal Wacana
Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 1998, Cet. I.
Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Jakarta: Mizan,
1998, Cet, XI
Makruf, Jamhari., Radikalisme Melawan Modernisme?, Tempo, 29 Desember
2002.
Maliki, Abdurrahman, Al-, Politik Ekonomi Islam, Penerjemah: Ibnu Sholah,
Bangil Jatim: Al-Izzah, 2001, Cet. Pertama.
Mannan, Moh. Abdul, Ekonomi Islam; Teori dan Praktek, Jakarta: Inter
masa,1992.
279

Mannan, Moh. Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta, PT. Dana
Bhakti Prima Yasa, 1997.
Maqrizi, Al-, Al-Nuqud al-Qadimah al-Islamiyah, dalam al-Abbal-insitas al-
Karmali (ed) Kitab an-Nuqud al-‘Arabiyah wa al-Islamiyah wa ‘Ilm an-
Namyat (Kairo: Maktabah al-Tsaqofah al-Diniyah, 1986)
Marthon, Said Sa’ad, Al-Madkhal li al-fikr al-iqtishad fi al-Islam: Ekonomi Islam
di Tengah Krisis Ekonomi Global, Penerjemah, Ahmad Ikram,
Dimyauddin, Jakarta: Zikru Hakim, 2007.
Martinsion, Paul Varo, Islam an Introduction for Christian, United State of
America, Augsburg, 1994.
Mishri, Al-, Abdul Sami', Pilar-Pilar Ekonomi Islam, Penterjemah Dimyauddin
Djuaini, Yogyakarta:, Maktabah Wahbah 14, Cet. Ke- 1, 2006.
Mufti, Aris, Bunga Bank: Maslahat atau Muslihat, Jakarta: PT. Quantum Prima,
2004.
Mughni, Al-, Syafiq, Sejarah Kebudayaan di Turki (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997)
Muhammad, Abdul Qadir Abu Faris, Kajian Kritis Pendayagunaan Zakat,
Semarang:Dina Utama Semarang, t. th.
Muhammad, Bank Sayariah: Analisis Kekuatan, Peluang dan Ancaman,
Yogyakarta: Ekonisia, 2004, Cet. Ke- 3.
Muhammad, Bank Syariah: Problem dan prospek Perkembangan di Indonesia,
Jakarta: Graha Ilmu, 2005.
Muhammad, Qutb Ibrahim , Kebijakan Ekonomi Umar Ibnu Khathab,
Penerjemah Ahmad Syarifuddin Sholeh, Jakarta: Graha Ilmu, Cet. Ke-1.
2002.
Muslehuddin, Muhammad, Sistem Perbankan Dalam Islam, Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2004, Cet. Ke-3.
Nabhani, Taqiyuddin, An., Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, Surabaya:
Risalah Gusti, 1996.
Nasution, Mustafa Edwin, et al, Pengenalan Eklusif Ekonomi Islam, Jakarta:
Kencana , Cet. Ke 2, 2007.
Nyazee, Imran Ihsan Khan, Theories of Islamic Law, Delhi: Adam Publishers &
Distributors, 1966, First Edition.
Perwataatmadja, Karnaen, dan Muhammad Syafi'i Antonio, Apa dan Bagaimana
Bank Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1999, Cet. Ke- 3.
280

Perwataatmaja, Karnaen, “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, Diktat Kuliah


pada Fakultas Syariah, 2000/2001.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Qureisyi, Anwar Iqbal, Islam and The Theory of Interest (Lahore: S.M. Ashraf
Publishers, 1946)
Ra’ana, Irfan Mahmud, Ekonomi Pemerintahan Umar Ibn al-Khattab (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1997), Cet. Ketiga.
Rajagukguk, Erman, Perubahan Hukum di Indonesia Persatuan Bangsa,
Perubahan ekonomi dan kesejahteraan sosial (1998-2004). Makalah
disampaikan dalam seminar Huklum di Indonesia, dilaksanakan di Fakultas
Hukum Unibersita Indonesia pada tanggal 17 Desember 2004 di Jakarta.
Sachiko Murata and William C. Chittick, The vision of Islam, USA: Paragon
House, 1994.
Sadeq, Abdul Hasan M. dan Ghazali, Aidit (ed), Reading in Islamic Thought
(Malaysia: Longman, 1992)
Salabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994)
Shawi , Shalah, As- & Al-Mushlish, Abdullah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam,
Penerjemah Umar Ibnu Basyir, Jakarta: Daarul Haq, 2008, Cet. Ke- 2
Sholahuddin, Muhammad, SE., M.Si., dan Lukaman Hakim, SE. M.Si., Lembaga
Ekonomi dan Keuangan Syariah kontemporer, Surakarta: Muhammadiyah
University Press., 2008.
Siddiqi, M. Nejatullah, Role of The State in the Economiy: An Islamic
Perspective, The Islamic Foundtion, United Kingdom: 1996.
Sidiqi, M. Nejjatullah , Kegiatan Ekonomi dalam Islam (Jakarta: Bumi Aksara,
1996)
Sidiqi, M. Nejjatullah, The History of Islamic Economic Thought, dalam Ausaf
Ahmad dan Kazim Raza Awan , Lectures on Islamic Economics (Jeddah:
IRTI, IDB, 1992).
Singelton, R.A. dan Straits, B. C., Approaches to Social Research, New York:
OUP,1999.
Soekanto, Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali, 1991.
Swasono, Sri-Edi, Menolak Neoliberalisme dan Membangun Ekonomi Nasional,
Jakarta: Pustep-UGM, 2010.
281

Swasono, Sri-Edi, Indonesia dan Doktrin Kesejateraan Sosial: Dari Klasikal dan
Neo Klasikal Sampai Ke The End Laissez Faire, Jakarta: Perkumpulan
Prakarsa, 2010
Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: EKONISIA,
Kampus FE UII, Edisi, 2, 2004.
Sudarsono, Heri, Bank & Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Ekonisia, 2005, Cet. Ke- 3.
Sudarsono, Heri,, Menggali Akar dan Mengurai Serat Ekonomi & Keuangan
Islam, Jakarta: Kholam Publishing, 2008, Cet. Pertama.
Sumitro, Warkum, SH., MH., Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-Lembaga
Terkait, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Ke- 4.
Syafi'i Antonio, Muhammad, Bank Syariah: Wacana Ulama & Cendikiawan,
Jakarta:, 1999 Cet. Ke-1.
Syafi'i Antonio, Muhammad, Bank Syariah: Bagi Bankir dan praktisi Keuangan,
Jakarta: Bank Indonesia dan Tazkia Institut, 1999, Cet. Ke-1.
Vogel, Frank E. and Hayes, Samuel L., Islamic Law and Finance; Religion, Risk,
and Return, Kluwer Law International, 1998.
Wafi, Ali Abdul Wahid, Ibnu Khaldun Riwayat Hidup dan Karyanya, pent.
Ahmad Toha (Jakarta: Grafiti Press, 1985.
Wahid, Abdurrahman., Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren,
Yogyakarta:LkiS, 2001.
Watt, William Montogomery, Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam,
Bandung: Pustaka Setia, 2003, Cet. I
Yasni, Muhammad Gunawan, Ekonomi Sufistik, Mizan, 2007, Cet. Ke-1
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1992, Cet. Kedua.
Yusuf Al, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press,
2001, Cet. Ke- 1.
Yusuf Al, Islamic Banking and Interest: A study of the Prohibition of riba and its
Contemporary Interpretation, Nederlands: 1996.
Yusuf Al-, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Penerjemah, Zainal Arifin, Jakarta:
Gema Insani Press, 1997, Cet. Ke- 1.
Zadjuli, Suroso Imam, Siz Model AnalisiPembangunan Kemiskinan di Indonesia,
Surabaya, PSIE-I-PRESS, 2008.
282

Zarqa, Anas, Islamic Economics: An Approach to Human Welfare, dalam


Khursid Ahmad (ed.) Studies in Islamic Economics, Leicester: The Islamic
Foundation, 1980.
Zarqa, Mustafa Anas, Islamics: an Approach to Human Welfare, dalam Aidit
Ghazali dan Syed omar (ed.), Reading in the Concept and Methodology of
Islamics Economics (Selangor Darul Ehsan: Pelanduk Publication, 1989.
Ziemek, Manfred., Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta: 1986.
Zuhaily, Wahbah, Al-, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damsik: Dar al-Fikri,
1978.
Zuhairini, dll., Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta,1997.

C. UU, Perpem, Peraturan BI, SK Direksi BI, Surat Edaran BI, dan Fatwa-
Fatwa DSN-MUI
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilam Agama untuk Ekonomi Syariah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun1967 tentang Pokok
Perbankan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun1992 tentang
Perabankan
Peraturan Pemerintah Repulblik Indonesia Nomor 72/1992 tanggal 30 Oktober
tentang Bank Bedasarkan Prinsip Bagi Hasil
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39/2005 tentang Penjaminan
Simpan Nasabah Bank Bedasarkan Prinsip Syariah
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/1/PBI/2007 tentang System Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum Bedasarkan Prinsip Syariah
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang Antar Bank
Bedasarkan Prinsip Syariah.
283

Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/7/PBI/2003 tentang Kwalitas Aktiva Produktif


bagi Bank Syariah
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/9/PBI/2003 tentang Penyisihan Penghapusan
Aktiva Produktif bagi Bank Syariah.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/7/PBI/2004Tentang Serfikat Wadiah Bank
Indonesia
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/7/PBI/2007 tentang Perubahan atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 8/3/PBI/2006 tentang Perbahan Kegiatan Usaha
Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum yang melaksanakan
Kegiatan Usaha Bedasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank
yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Bedasarkan Prinsip Syariah Oleh
Bank Umum Konvensional.
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/1999 Tentang Bank Umum
berdasarkan Prinsip bagi Hasil
Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI)
tenatng Beberap Produk dan Ekonomi Syariah.

D. Jurnal/Koran/Websit
Abdillah, Masykuri, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional,
dalam Jauhar Journal Pemikiran Islam Kontektual, Vol. 1, No. 1, Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000.
Djamil, Fahurrahman, The Muhammadiyah and the Theory of Maqashud Al-
Syariah, Studi Islamika, Volume 2, Nomor 1, 1995.

E. Referensi yang tidak dipublikasikan


Abdurrahman, Masalah-Masalah Hukum dalam Pelaksanaan Ekonomi Syariah,
Makalah pada rapat Kerja Kelompok Kerja Perdata Agama MA. RI, di
Cisarua Bogor, Pada 16-17 Maret 2007.
Abullah, Abdul Gani,Catatan Kuliah Politik Hukum, (Jakarta: Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta), 14 April 2010
Bismar Nasution, Hukum Ekonomi Syariah dalam Regulasi Nasional, Makalah
disampaikan dalam “Seminar Nasional Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah”, Kerjasama Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara dengan
Mahkamah Agung RI, di Medan, 27 Oktober 2007, h. 14-15.
Nuruddin, Amir, Peran Fakultas Syariah dalam Pembinaan dan Pengembangan
Hukum Ekonomi Syariah, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
284

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, kerjasama fakultas Syariah IAIN


Sumatera Utara dengan MA RI, Medan 27 Oktober 2007.
Suma, Muhammad Amin, "Potensi Lembaga Keuangan Sosial Dalam Sistem
Keuangan Syariah di Indonesia", , Seminar yanmg dilaksanakan pada
fakultas syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Rabu, 17 Januari 2007.
Wisakseno, Budi, Peranan Perbankan Syariah di Indonesia, Makalah yang
disampaikan pada seminar yang diselenggarakan oleh fakultas ekonomi
Unuiversitas Trisakti pada tanggal 01 Desember 2994, bertempat di Kampus
A. Trisakti Grogol, Jakarta.
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

Pedoman transliterasi dari Arab ke Latin yang dipergunakan dalam penulisan


desetasi ini adalah mengacu kepada “Pedoman Transliterasi Turabian”, yang
diunggah pada tanggal, 22 Juni 2010, berdasarkan arsip tanggal, 9 Januari 2008, 6:29
am. Pedomna transliterasi tersebut adalah sebagai berikut:

dh ‫ض‬ a ‫أ‬
th ‫ط‬ b ‫ب‬
zh ‫ظ‬ t ‫ت‬
‘a ‫ع‬ ts ‫ث‬
gh ‫غ‬ j ‫ج‬
f ‫ف‬ ĥ ‫ح‬
q ‫ق‬ kh ‫خ‬
k ‫ك‬ d ‫د‬
l ‫ل‬ dz ‫ذ‬
m ‫م‬ r ‫ر‬
n ‫ن‬ z ‫ز‬
h ‫ﻩ‬ s ‫س‬
w ‫و‬ sy ‫ش‬
y ‫ي‬ sh ‫ص‬
● Bacaan yang panjangnya dua harakat diberi tanda dengan garis bawah, atau ditulis
dengan huruf yang dobel.
● Hamzah ( ‫ )ء‬yang dimatikan/disukun diberi tanda ( ` ).
Contoh:
1. An-Nisa`, atau An-Nisaa` ( ‫) اَﻟ ﱢﻨﺴَﺎ ُء‬
2. Al-Fatiĥah ( ‫ﺤ ُﺔ‬ َ ‫) َاﻟْﻔَﺎ ِﺗ‬
3. Ar-Ra’du ( ‫) اَﻟﺮﱠﻋْ ُﺪ‬
4. Al-Ma-idah, atau Al-Maa-idah ( ‫) َاﻟْﻤَﺎ ِﺋ َﺪ ُة‬
CURRICULUM VITAE

A. Identitas

Nama : Dr. Djawahir Hejazziey, Drs., SH., MA


NIP : 130 789 745
Tempat/Tgl.Lahir : Banten, 15 Oktober 1955
Pekerjaan : Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta
Pangkat/Gol. : Lektor Kepala/IV/a
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Jabatan : Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
Alamat : Jl. Abd. Wahab, Swadaya I/58, RT.03/006 Sawangan-Depok
Telp/Hp :(021)7424454/08989874999
Email : Hejazzieydjawahir@yahoo.com
Keluarga
Ayah : H. Sayyid Djamhari al-‘Aroziey (wafat 1997)
Ibu : Siti Mashitoh (Wafat 1957)
Istri : Ana Susanti
Putra : - Wihda Hejazziey
: - Sayyid Fahd Mohammed Hejazziey
: - Siti Nabilah Hejazziey
: - Ezzet Al- A’laa Hejazziey
: - Ratu Fedhlia Wednina Okta Hejazziey
: - Maula Ikfina Qonita Hejazziey

B. Pendidikan
1. SD 6 Tahun Pekalongan, Cilegon Banten (1968)
2. Madrasah Ibtidaiyah Pekalongan, Cilegon Banten (1968)
3. PGAN 4 Tahun Pahoman, Lampung (1972)
4. PGAN 2 Tahun Serang, Banten (1975)
5. Sarjana Muda (BA) Tadris B. Inggris Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta (1978)
6. Sarjana Muda Hukum (Sm.HK) Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta
(UID) (1986)
7. Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Atas IKIP Jakarta (1979)
8. Sarjana (Drs.) Bahasa Inggris IAIN Jakarta (1987)
9. Sarjana Hukum (SH) Hukum Perdata Internasional UID (1988)
10. Magister (MA) Pascasarjana IIQ Jakarta (2004)
11. Program S3 Ekonomi Islam pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (2010)
C. Pengalaman/Riwayat Kerja
1. Guru SMAN 24 Jakarta (1979-1986)
2. Guru SMAN 82 Jakarta (1986-1996)
3. Pengacara bersama Syamsuddin & Partners (1990-1994)
4. Guru SMAN 108 Jakarta 1996-2001)
5. Pembina OSIS SMA 82 Jakarta (1986-1992)
6. Staf Kepala Sekolah (1992-1995)
7. Wakil Kepala Sekolah SMAN 108 (1997-2000)
8. Dosen Luar Biasa pada Fakultas Tarbiyah IAIN Maulana Hasanuddin Banten
(1998-2006)
9. Dosen Luar Biasa pada Fakultas Syariah IIQ Jakarta (2005-2008)
10. Dosen Terbang pada Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh (2004-
2005)
11. Ketua Koordinator Teknis Program Non Reguler FSH UIN Jakarta (2005-
Sekarang)
12. Dosen pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(2001-Sekarang)

D. Seminar dan Workshop


1. Peserta Seminar Internasional “ Islamic Law in Southest Asia
Opportunity(2007)
2. Peserta Seminar “Potret Kerawanan Sosial DKI Jakarta, Sebuah Evaluasi
Kritis” di Jakarta (2007)
3. Peserta Workshop Nasional “Menggagas Konsentrasi Manajemen Zakat dan
Wakaf” (2007)
4. Peserta Seminar Nasional “Politik Perempuan dan Perumusan Hukum Islam
di Jakarta (2007)
5. Peserta Talk show “Perencanaan Keuangan Keluarga dan Investasi dalam
perspektif Ekonomi Syariah” di Jakarta (2006)
6. Peserta Workshop Nasional “Menggagas Program Studi Hukum Bisnis
Syari’ah di Fakultas Syari’ah” di jakarta (2005)
7. Peserta Workshop “Mencegah Radikalisme Agama Melalui Lembaga-
Lembaga Penyiaran Agama” di Jakarta (2004)

E. Penelitian
a. Individual
Analisa terhadap Peraturan Perundang-Undangan Islam Di Indonesia, 2008.

b. Kolektif
1. Dinamika Belajar di Program Non-Reguler, 2009
2. Respon Mahasiswa Non-Reguler Terhadap Kehadiran Bank Konvensional di
Kampus UIN Jakarta. 2010
F. Karya Ilmiah :
1. Idiomatic Phrase for Senior High School, Diktat, 1980.
2. Dampak Testamen terhadap Hukum Kewarisan menurut BW dan Islam,
Paper, Universitas Islam Jakarta: 1986.
3. Teaching Adjective in the Senior High School 24 KJ Jakarta, Paper, 1987
4. Special Readers English for Islamic Studies, Banten: IAIN Suhada Press,
2005.
5. English Competency in Reading Comprehension: For University Students
Faculty of Sharia and and Law, State Islamic University, Jakarta: 2004.
6. Aspek Ketertiban Umum sebagai Filter Hukum Asing dalam Hukum Perdata
Internasional, Skripsi, Uiversitas Islam Jakarta (UID), 1988.
7. Studi Anak Yatim dalam Perspektif Al-Qur’an, Tesis, 2004.
8. Politik Hukum Nasional tentang Perbankan Syariah di Indonesia

Kampus UIN “Syahida”


Jakarta, 17 September 2010.

Djawahir Hejazziey
NIM.: 04.3.00.1.08.01.0037
NIP.: 130 789 746
Lampiran:

FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL


MAJELIS ULAMA INDONESIA

NO. NOMOR FATWA Tentang


1. 01/DSN-MUI/IV/2000 Giro
2. 02/DSN-MUI/IV/2000 Tabungan
3. 03/DSN-MUI/IV/2000 Deposito
4. 04/DSN-MUI/IV/2000 Murabahah
5. 05/DSN-MUI/IV/2000 Jual Beli Salam
6. 06/DSN-MUI/IV/2000 Jual Beli Istisna
7. 07/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
8. 08/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Musyarakah
9. 09/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Ijarah
10. 10/DSN-MUI/IV/2000 Wakalah
11. 11/DSN-MUI/IV/2000 Kafalah
12. 12/DSN-MUI/IV/2000 Hawalah
13. 13/DSN-MUI/IX/2000 Uang Muka Dalam Murabahah
14. 14/DSN-MUI/IX/2000 Sistem Distribusi Hasil Usaha Dalam LKS
15. 15/DSN-MUI/IX/2000 Prinsip Distribusi Hasil Usaha Dalam LKS
16. 16/DSN-MUI/IX/2000 Diskon Dalam Murabahah
17. 17/DSN-MUI/IX/2000 Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-
Nunda Pembayaran
18. 18/DSN-MUI/IX/2000 Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif
Dalam LKS
19. 19/DSN-MUI/IX/2000 Al-Qardh
20. 20/DSN-MUI/IX/2000 Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa
Dana Syariah
21. 21/DSN-MUI/X/2001 Pedomana Umum Asuransi Syariah
22. 22/DSN-MUI/III/2002 Jual Beli Istishnah Paralel
23. 23/DSN-MUI/III/2002 Potongan Pelunasan Dalam Murabahah
24. 24/DSN-MUI/III/2002 Safe Deposit Box
25. 25/DSN-MUI/III/2002 Rahn
26. 26/DSN-MUI/III/2002 Rahn Emas
27. 27/DSN-MUI/III/2002 Al-Ijarah al-Mumtahiya Bi al-Tamlik
28. 28/DSN-MUI/III/2002 Jual Beli Mata Uang (al-Sharf)
29. 29/DSN-MUI/VI/2002 Pembiayaan Pengurusan Haji LKS
30. 30/DSN-MUI/VI/2002 Pembiayaan Rekening Koran Syariah
31. 31/DSN-MUI/VI/2002 Pengalihan Hutang
32. 32/DSN-MUI/IX/2002 Obligasi Syariah
33. 33/DSN-MUI/IX/2002 Obligasi Syariah Mudharabah
34. 34/DSN-MUI/IX/2002 L/C Impor Syariah
35. 35/DSN-MUI/IX/2002 L/C Ekspor Syariah
36. 36/DSN-MUI/X/2002 Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
37. 37/DSN-MUI/X/2002 Pasar Bank Antar Bank Berdasarkan Prinsip
Syariah
38. 38/DSN-MUI/X/2002 Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank
(Sertifikat IMA)
39. 39/DSN-MUI/X/2002 Asuransi Haji
40. 40/DSN-MUI/X/2003 Pasar Modal Dan Pedoman Umum Penerapan
Prinsip Syariah Dibidang Pasar Modal
41. 41/DSN-MUI/III/2004 Obligasi Syariah Ijarah
42. 42/DSN-MUI/V/2004 Syariah Charge Card
43. 43/DSN- Ganti Rugi (Ta’widh)
MUI/VIII/2004
44. 44/DSN-MUI/VII/2004 Pembiayaan Multi Jasa
45.. 45/DSN-MUI/II/2005 Line facility ( at-Tashilat)
46. 46/DSN-MUI/II/2005 Potongan Tagihan Murabahah
47. 47/DSN-MUI/II/2005 Penyelesaian Piutang Murabahah bagi Nasabah
Tak mampu bayar
48. 48/DSN-MUI/II/2005 Penjadwalan Kemabli tagihan Murabahah
49. 49/DSN-MUI/II/2005 Konversi Akad Murabahah
50. 50/DSN-MUI/III/2006 Akad Murabahah Musytarakah
51. 51/DSN-MUI/III/2006 Akad Murabahah Musytarakah pada Asuransi
Syariah
52. 52/DSN-MUI/III/2006 Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi Dan
Reasuransi Syariah
53. 53/DSN-MUI/III/2006 Akad Tabarru’ Pada Asuransi Dan Reasuransi
Syariah
54. 54/DSN-MUI/X/2006 Syariah Card

55. 55/DSN-MUI/V/2007 Pembiayaan Rekening Koran Syari’ah


Musyarakah
56. 56/DSN-MUI/V/2007 Ketentuan Review Ujrah
Pada Lembaga Keuangan Syariah
57. 57/DSN-MUI/V/2007 Letter Of Credit (L/C) Dengan
Akad Kafalah Bil Ujrah
58. 58/DSN-MUI/V/2007 Hawalah Bil Ujrah
59. 59/DSN-MUI/V/2007 Obligasi Syariah Mudharabah Konversi
60. 60/DSN-MUI/V/2007 Penyelesaian Piutang Dalam Ekspor
61. 61/DSN-MUI/V/2007 Penyelesaian Utang Dalam Impor

62. 62/DSN-MUI/XII/2007 Ju’alah


63. 63/DSN-MUI/XII/2007 SBSI
64. 64/DSN-MUI/XII/2007 Sertifikat Bank Indonesia
65. 65/DSN-MUI/III/2008 Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (Hmetd)
Syariah
66. 66/DSN-MUI/III/2008 Waran Syariah
67. 67/DSN-MUI/III/2008 Anjak Piutang Syariah
68. 68/DSN-MUI/III2008 Rahn Tasjily
69. 69/DSN-MUI/VI/2008 Surat Berharga Syariah Negara
70. 70/DSN-MUI/VI/2008 Metode Penerbitan Surat Berharga Syariah
Negara
71. 71/DSN-MUI/VI/2008 Sale And Lease Back
72. 72/DSN-MUI/VI/2008 Surat Berharga Syariah Negara
Ijarah Sale And Lease Back
73. 73/DSN-MUI/XI/2008 Musyarakah Mutanaqisah
74. 74/DSN-MUI/I/2009 Penjaminan Syariah
75. 75/DSN MUI/VII/2009 Pedoman
Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS)
Translation

Departing from previous exposure, a record that can be argued that the political economy
of Indonesia's Islamic sharia law before the birth of Indonesia has played a significant
role. As a result of the rise of the 'elite students', then the bargaining power of Muslims
vis-à-vis the higher authorities. Moreover, ruler (Suharto) at that desperately need
support from Muslims, as the balance from the start reduced military support. Can be said
to have occurred 'honeymoon' between the Muslim community with the ruling, which
allows accommodation of the interests of Muslims, including the establishment of Islamic
banking problems. Islamic banking own existence by chance is benefited by the
economic crisis, which has made a lot of conventional banking collapse, while the
Islamic banking instead shows the toughness and satisfactory performance.

Sharia law is the political will of the notice of the Indonesian nation whose inhabitants
are predominantly Muslim. The birth of Islamic banking law is the Muslims who hold
very long. Islamic banking national legal materials adopted from the understanding and
the thinking of scholars and umaro and Indonesian Muslim scholars of the Koran and al-
Sunnah that accumulated, then poured into Islamic banking laws of Indonesia. However
that sharia law not only applies to Muslims only, but applies to the entire Indonesian
nation.
The efforts of Muslims in Indonesia, have now successfully menhantarkan Islamic
shari'ah became positive law, with the birth of a number of laws to accommodate Islamic
shari'ah, both at national and regional level. Even the formalization of Islamic shari'ah
model Jakarta Charter was approved in NAD and may be followed in other areas, both at
provincial and district levels.
Thus, that sharia banking law to bring a new era in the history of legal developments in
the Indonesian economy that introduce profit-sharing system that is not known in the
Basic Law on Banking No. 14 Year in 1967. Given that sharing system, the Bank can
detach from businesses that use the system of interest. In previous level Indonesian
Islamic law is limited to the field of family law, but since 1992, the role of Islamic law
the world has entered the area of economic law (business)

Anda mungkin juga menyukai