Anda di halaman 1dari 17

Prosiding Penelitian SPeSIA 2015 Keuangan dan Perbankan Syariah

Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Akad Istishna’ dan Relevansinya
Pada Bank Syari’ah Mandiri Kantor Cabang Bandung
1
Akhmad Yusup
1,2
Keuangan dan Perbankan Syariah, Fakultas Syariah, Universitas Islam Bandung,
Jl. Tamansari No. 1 Bandung 40116
1
e-mail: akhyuss91@gmail.com

Abstract: Abu Hanifa thinking about Istishna agreement is remarkable. Istishna contract growing in the
midst of society and offer solutions that are highly relevant to people who want or need an item, but they
find it difficult due to the lack of sufficient capital to get it. Imam Abu Hanifa offers Istishna which
means asking to be made a certain item with certain requirements to be submitted in the future, however,
he does not require a period of delivery of the goods. In fact, the certainty of the terms of the contract
goods istishna becomes very important. In reality in any community delivery time is to be determined,
and one of the main banks that apply Shariah implementation period determination is Shariah Mandiri
Bank Branch Office Bandung.

Key Words: Analysis, Imam Abu Hanifa, Akad Istishna ', Relevance Akad Istishna'.

Abstrak: Pemikiran Abu Hanifah mengenai akad Istishna merupakan hal yang luar biasa. Akad istishna
berkembang di tengah-tengah masyarakat dan menawarkan solusi yang sangat relevan kepada masyarakat
yang menginginkan atau membutuhkan suatu barang, namun mereka merasa kesulitan disebabkan tidak
adanya modal yang cukup untuk mendapatkannya. Imam Abu Hanifah menawarkan Istishna yang berarti
meminta untuk dibuatkan suatu barang tertentu dengan syarat-syarat tertentu untuk diserahkan pada masa
yang akan datang, akan tetapi, beliau tidak mensyaratkan jangka waktu penyerahan barang. Padahal,
kepastian jangka waktu penyerahan barang dalam akad istishna menjadi hal yang sangat penting. Dalam
realita di masyarakat pun jangka waktu penyerahan ini harus ditentukan, dan salahsatu perbankan syari’ah
yang mengaplikasikan penerapan penetapan jangka waktu adalah Bank Syari’ah Mandiri Kantor Cabang
Bandung.

Kata Kunci : Analisis, Imam Abu Hanifah, Akad Istishna’, Relevansi Akad Istishna’.

A. Pendahuluan
Produk pembiayaan di Bank Syari’ah Mandiri Kantor Cabang Bandung
salahsatunya adalah jual-beli istishna’ yaitu transaksi jual-beli pesanan, dimana pihak
pembeli memesan suatu barang kepada pihak penjual untuk dibuatkan baginya, dan
mengenai pembayarannya dapat dilakukan dimuka sekaligus, bertahap sesuai dengan
proses pengerjaan, atau dicicil dalam jangka waktu panjang, semua dapat diatur sesuai
dengan perjanjian.
Istishna’ pada Bank Syari’ah Mandiri Kantor Cabang Bandung yaitu merupakan
akad jual-beli antara nasabah dengan bank syari’ah, namun barang yang hendak dibeli
sedang dalam proses pembuatan. Bank syari’ah membiayai pembuatan barang tersebut
dan mendapatkan pembayaran dari nasabah sebesar pembiayaan barang ditambah
dengan marjin keuntungan. Pembayaran angsuran pokok dan marjin kepada bank
syari’ah tidak sekaligus pada akhir periode, melainkan dicicil sesuai dengan
kesepakatan. Umumnya bank syari’ah memanfaatkan skema ini untuk pembiayaan
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Konstruksi.
Pembiayaan atas dasar pesanan, seperti pembiayaan kontruksi atau manufaktur
merupakan salahsatu pembiayaan bank syari’ah yang dipergunakan untuk objek atau

1
2 | Akhmad Yusup, et al.

barang yang diperjual-belikan belum ada. Kasus ini sering ditemukan pada proses
pembangunan rumah, gedung, atau usaha konveksi dan lain-lain.
Pada pembiayaan istishna’, nasabah selaku pembeli memesan terlebih dahulu
kepada bank selaku penjual atas pengadaan atau manufaktur obyek tertentu. Setelah
pemesanan selesai, bank akan menjualnya kepada pemesan senilai harga awal ditambah
marjin keuntungan bank.
Beberapa kalangan masyarakat masih mempertanyakan perbedaan antara bank
syari’ah dengan konvensional. Bahkan ada sebagian masyarakat yang menganggap
bank syari’ah hanya kamuflase untuk memperoleh bisnis dari kalangan muslim segmen
sosial. Sebenarnya cukup banyak perbedaan antara bank syari’ah dengan bank
konvensional, mulai dari tataran paradigma, operasional, organisasi hingga produk dan
skema yang ditawarkan. Paradigma bank syari’ah sesuai dengan ekonomi syari’ah
seperti yang dijelaskan dimuka.
Pada praktiknya, akad istishna’ yang digunakan pada KPR (Kredit Pemilikan
Rumah) adalah istishna’ paralel. Maksudnya konsumen yang membutuhkan rumah
datang ke bank dan memesan sebuah rumah dengan spesifikasi tertentu. Konsumen dan
bank lalu membuat kesepakatan serah-terima rumah, harga jual, dan mekanisme
pembayarannya. Oleh karena bank bukan merupakan perusahaan pangembang, maka
bank memesan lagi kepada pangembang agar dibuatkan rumah yang sama yang dipesan
oleh konsumen. Inilah yang disebut dengan istishna’ paralel, yaitu konsumen memesan
rumah pada bank, dan bank memesan lagi kepada pangembang untuk dibuatkan rumah.
Dengan akad tersebut jual-beli dapat dilaksanakan walaupun objeknya belum ada.
Walaupun masih terbatas, sebenarnya sudah ada pembiayaan perumahan dari
bank syari’ah. Memang belum banyak yang mengetahuinya, namun sudah banyak bank
syari’ah yang gencar memasarkan produk tersebut, tetapi masih banyak masyarakat
yang belum mengetahui apakah ada dalam bank syari’ah yang menyediakan Kredit
Pemilikan Rumah (KPR) yang menggunakan akad istishna’. Namun pada masa
mendatang, produk tersebut bukan tidak akan mungkin menjadi produk unggulan bank
syari’ah.
Menurut Imam Abu Hanifah, istishna’ jika dilihat dalam praktik menurut
prinsip-prinsip perbankan syari’ah bertentangan dengan transaksi istishna’ yang dikenal
dalam syari’at.
Berkaitan dengan permasalahan diatas, peneliti mencoba merelevansikan
fenomena konsep istishna’ yang ada pada bank tersebut dengan pemikiran Imam Abu
Hanifah yang merupakan salah seorang ulama atau faqih yang cukup besar dan luas
pengaruhnya dalam pemikiran hukum Islam. Sebagaimana diceritakan oleh
Muhammad Abu Zahrah bahwa Abu Hanifah adalah seorang faqih dan ulama yang
lebih banyak menggunakan ra’yu atau setidak-tidaknya lebih cenderung rasional.
Salah satu pemikiran Abu Hanifah yang luar biasa adalah tentang akad
istishna’. Sebagaimana kita ketahui bahwa akad istishna’ adalah salah satu bentuk
muamalah yang sering diaplikasikan oleh masyarakat umum. Istishna’ merupakan akad
ghairu musamma yang banyak dipraktekkan oleh masyarakat. Dalam kenyataannya,
akad istishna’ menjadi solusi yang sangat relevan untuk menyelesaikan permasalahan
ekonomi. Banyak diantara masyarakat yang menginginkan atau membutuhkan suatu
barang, namun sebagian orang merasa kesulitan disebabkan tidak adanya modal yang
cukup untuk mendapatkannya. Maka dari itu, akad istishna’ tampil sebagai solusi dari
permasalahan ini.
Ketika berbicara tentang relevansi, secara umum, arti dari relevansi itu sendiri

Prosiding Penelitian Sivitas Akademika (Sosial dan Humaniora)


Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Akad Istishna’ dan Relevansinya pada Bank Syari’ah Mandiri Kantor
Cabang Bandung | 3

adalah kecocokan. Relevan adalah bersangkut paut, berguna secara langsung.


Sedangkan Relevansi berarti kaitan, dan hubungan (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Menurut Green (1995: 16), relevansi ialah sesuatu sifat yang terdapat pada penelitian
yang dapat membantu pengarang/peneliti dalam memecahkan kebutuhan akan
informasi. Penelitian dinilai relevan bila penelitian tersebut mempunyai topik yang
sama, atau berhubungan dengan subjek yang diteliti (topical relevance). Pada berbagai
tulisan mengenai relevance, topicality (topik) merupakan faktor utama dalam penilaian
kesesuaian penelitian. Froelich dalam Green (1995: 16) menyebutkan bahwa inti dari
relevance adalah topicality.
Menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah,
‫واإلستصناع هو ِش َرا ٌء ما وقفا للطلب‬
“Istishna’ artinya, membeli sesuatu yang dibuat sesuai dengan pesanan.”1

Dalam fatwa DSN-MUI, dijelaskan bahwa jual-beli istishna’ adalah akad jual-
beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesanan (pembeli/mustashni’) dan
penjual (pembuat/shani’). Pada dasarnya, pembiayaan istishna’ merupakan transaksi
jual-beli cicilan seperti transaksi murabahah mu’ajjal. Namun, berbeda dengan jual-beli
murabahah dimana barang diserahkan dimuka sedangkan uangnya dibayar secara
cicilan, dalam jual-beli istishna’ barang diserahkan dibelakang, walaupun uangnya juga
sama-sama dibayar secara cicilan.2
Ulama fiqh berpendapat, bahwa yang menjadi dasar diperbolehkannya transaksi
istishna’ adalah firman Allah SWT yang terdapat pada beberapa surat di bawah ini,
yaitu:
1. Q.S. Al-Baqarah, ayat 282, yang berbunyi:
          
             
          
..…  
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah [179] tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis
itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya…..

[179] Bermuamalah ialah seperti berjual-beli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan
sebagainya.

2. Q.S. Al-Baqarah, ayat 275, yang berbunyi:


         
           
          
1
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid. 4, Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 2009, hlm. 69.
2
Adiwarman A. Karim. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Edisi. 3, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007, hlm. 126.

Keuangan dan Perbankan Syariah ( S-1) Gelombang 1, Tahun Akademik 2014-2015


4 | Akhmad Yusup, et al.

           
     
275. orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual-
beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan): dan urusannya (terserah) kepada Allah.
orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka: mereka kekal di dalamnya.

Tim Pengembangan Perbankan Syari’ah Institut Bankir Indonesia


mendefinisikan istishna’, merupakan akad antara pemesan dengan pembuat untuk suatu
pekerjaan tertentu dalam tanggungan, atau jual-beli suatu barang yang akan dibuat oleh
pembuat. Kewajiban pembuat adalah menyediakan bahan baku dari barang yang
dipesannya. Tapi jika bahan baku dari pemesan, akad itu berubah menjadi upah biasa
(ujrah).3
Dalam aplikasinya, bank melakukan istishna’ paralel, yaitu bank (penerima
pesanan/shani’) menerima pesanan barang dari nasabah (pemesan/mustashni’),
kemudian bank (pemesan/mustashni’) memesankan permintaan barang nasabah kepada
produsen penjual (shani’) dengan pembayaran dimuka, dicicil atau dibayar di belakang,
dengan waktu penyerahan barang yang disepakati bersama.4
Dari pengertian di atas dapat kita ketahui bahwa istishna’ adalah salahsatu
produk jual-beli yang dikembangkan oleh perbankan syari’ah. Sebagai lembaga
intermediasi antar nasabah yang membutuhkan suatu barang sementara ia tidak
mempunyai uang yang cukup untuk memenuhinya dengan segera, bank menawarkan
solusi dengan jual-beli istishna’ ini. Dimana nasabah bisa mendapatkan barang tersebut
dan membayarnya dengan cara kontan, dicicil atau dibayar dibelakang. Kemudahan
yang diberikan oleh bank ini bukan tidak mungkin akan membuat jual-beli istishna’
semakin berkembang dimasa yang akan datang. Oleh karena itu pengkajian terhadap
istishna’ memiliki nilai penting untuk perkembangan produk-produk perbankan syari’ah
selanjutnya sekaligus sebagai rujukan praktek jual-beli istishna’ yang baik agar sesuai
dengan perkembangan zaman.

B. Landasan Teori
Dasar hukum transaksi ba’I al-istishna’ berdasarkan firman Allah QS. Al-
Baqarah: 282 dan QS. An-Nisa’: 29 yang berbunyi sebagai berikut:

          
             
          
..... 

3
Tim Pengembangan Perbankan Syari’ah Institut Bankir Indonesia, Bank Syari’ah: Produk dan
Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan, 2001, hlm. 67.
4
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari’ah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008. Hlm. 99.

Prosiding Penelitian Sivitas Akademika (Sosial dan Humaniora)


Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Akad Istishna’ dan Relevansinya pada Bank Syari’ah Mandiri Kantor
Cabang Bandung | 5

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah [179] tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya…..

[179] Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan
sebagainya.

         


             
 
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu [287]: Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

[287] Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain,
sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan
suatu kesatuan.

Dan didalam al-Hadist dijelaskan bahwa:

‫ال َم ْن َأ ْسلَفَ فِي‬ ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ْال َم ِدينَةَ َوهُ ْم يُ ْسلِفُونَ فِي الثِّ َم‬
َ َ‫ار ال َّسنَةَ َوال َّسنَتَ ْي ِن فَق‬ َ ‫س قَا َل قَ ِد َم النَّبِ ُّي‬
ٍ ‫ع َْن ا ْب ِن َعبَّا‬
‫وم‬ ُ
ٍ َ ٍ ‫ل‬ ْ
‫ع‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ج‬ َ ‫َأ‬ ‫ى‬ َ ‫ل‬ ‫وم‬ ُ ‫ل‬ ْ
‫ع‬ ‫م‬ ‫ن‬
‫ٍ َ ٍ َ َ ٍ َ ٍ ِإ‬ ْ
‫ز‬ ‫و‬‫و‬ ‫وم‬ ُ ‫ل‬ ْ
‫ع‬ ‫م‬ ‫ل‬ ْ
‫ي‬ َ
‫ك‬ ‫ي‬ ْ ِ‫تَ ْم ٍر فَ ْليُ ْسل‬
ِ‫ف ف‬

“ Dari Ibnu Abbas dia berkata, "Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tiba di
Madinah, penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran di muka,
sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau
dua tahun kemudian. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa
yang menjual kurma dengan akad as-salam, hendaklah dengan takaran tertentu,
timbangan tertentu dan jangka waktu tertentu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Akad istishna’ adalah akad jual-beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu. Istishna’ dapat dilakukan langsung
antara dua belah pihak antara pemesan atau penjual seperti, atau melalui perantara. Jika
dilakukan melalui perantara maka akad disebut dengan akad istishna’ paralel. Walaupun
istishna’ adalah akad jual-beli, tetapi memiliki perbedaan dengan salam maupun dengan
murabahah. Istishna’ lebih ke kontrak pengadaan barang yang ditangguhkan dan dapat
di bayarkan secara tangguh pula. Istishna’ menurut para fuqaha adalah pengembangan
dari salam, dan di izinkan secara syari’ah. Untuk pengakuan pendapatan istishna’ dapat
dilakukan melalui akad langsung dan metode persentase penyelesaian.
Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat
menggunakan sub-kontrakator untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian,
pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya kepada
kontrak pertama. Kontrak baru ini di kenal sebagai istishna’ paralel. Istishna’ paralel

Keuangan dan Perbankan Syariah ( S-1) Gelombang 1, Tahun Akademik 2014-2015


6 | Akhmad Yusup, et al.

dapat dilakukan dengan syarat: (a) akad kedua antara bank dan sub-kontraktor terpisah
dari akad pertama antara bank dan pembeli akhir dan (b) akad kedua di lakukan setelah
akad pertama sah.
Akad istishna’ yang digunakan dalam bank syari’ah adalah istishna’ paralel,
aplikasinya dipergunakan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi yang
pembayarannya dapat dilakukan dalam waktu yang relatif lama. Sehingga pembayaran
dapat dilakukan sekaligus atau bertahap. Ada beberapa konsekuensi saat bank Islam
menggunakan kontrak paralel. Diantaranya sebagai berikut:
1. Bank Islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak
yang bertanggung jawab terhadap pelaksaaan kewajibannya. Istishna’ paralel atau
sub-kontrak untuk sementara harus di anggap tidak ada. Dengan demikian sebagai
shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap kesalahan,
kelalaian atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak paralel.
2. Penerima sub-kontrak pembuatan pada istishna’ paralel bertanggung jawab
terhadap Bank Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum
secara langsung dengan nasabah pada kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’
kedua merupakan kontrak paralel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk
kontrak pertama. Dengan demikian kedua kontrak tersebut tidak memunyai kaitan
hukum sama sekali.
3. Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang,
bertanggungjawab kepada nasabah atas pelaksanaan sub-kontraktor dan jaminan
yang timbul darinya. Kewajiban inilah yang membenarkan keabsahan istishna’
paralel, juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.
4. Bank Islam dan Lembaga Keuangan menggunakan istishna’ sebagai model
pembiayaan. Mereka membiayai pembangunan pabrik rumah di sebidang tanah
milik klien. Rumah atau pabrik dibangun baik oleh pemodal sendiri atau oleh
sebuah perusahaan konstruksi. Dalam kasus yang terakhir ini, bank memasuki sub-
kontrak dengan perusahaan konstruksi. Tetapi jika kontrak dibuat antara bank,
yaitu, pemilik modal, dan klien menyediakan secara khusus bahwa pekerjaan akan
dilakukan oleh pemodal sendiri, maka sub-kontrak tidak valid. Dalam kasus seperti
itu, perlu bahwa bank harus memiliki konstruksi sendiri perusahaan dan kontraktor
ahli untuk melaksanakan tugas.
5. Pemodal dalam kontrak istishna’ bertujuan/berkewajiban untuk membangun rumah
sesuai dengan spesifikasi rinci dalam perjanjian. Beberapa perjanjian tersebut
mengatur bahwa pemodal akan bertanggung jawab atas setiap cacat dalam
konstruksi dan penghancuran bangunan selama periode yang ditentukan dalam
kontrak.
6. Dalam hal pemilik modal memberikan tugas konstruksi kepada pihak ketiga, perlu
diingat bahwa hal itu harus mengawasi pekerjaan konstruksi secara rutin, harga
konstruksi dapat dibayar oleh klien pada saat perjanjian dan dapat ditunda sampai
saat selesai atau waktu lain yang disepakati kedua belah pihak. Pembayaran
mungkin dalam bentuk cicilan. Dalam rangka untuk menjamin pembayaran
angsuran, surat dari rumah atau tanah dapat disimpan oleh bank sebagai jaminan
sampai angsuran terakhir dibayar oleh klien. Model istishna’ digunakan juga untuk
menggali sumur dan air kanal. Bank syari’ah membiayai sektor pertanian melalui
model ini dan memainkan peran yang efektif dalam mengaktifkan sektor penting
dari perekonomian.

Prosiding Penelitian Sivitas Akademika (Sosial dan Humaniora)


Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Akad Istishna’ dan Relevansinya pada Bank Syari’ah Mandiri Kantor
Cabang Bandung | 7

7. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia selalu berinteraksi dengan


sesamanya untuk mengadakan berbagai transaksi ekonomi, salah satunya adalah
jual-beli yang melibatkan dua pelaku, yaitu penjual dan pembeli. Biasanya penjual
adalah produsen, sedangkan pembeli adalah konsumen konsumen. Pada
kenyataannya, konsumen kadang memerlukan barang yang belum di hasilkan
sehingga konsumen melakukan transaksi jual-beli dengan produsen dengan cara
pesanan. Di dalam perbankan syari’ah, jual-beli istishna’ lazim di tetapkan pada
bidang konstruksi dan manufaktur.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Dalam literatur fiqh klasik, masalah istishna’ mulai mencuat setelah menjadi
bahasan Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya (mazhab Hanafi). Menurut beliau,
secara bahasa istishna’ berarti thalab ash-Shun’ati (minta di buatkan). Sedangkan
menurut istilah syara’, istishna’ berarti meminta untuk dibuatkan suatu barang tertentu
dengan syarat-syarat tertentu untuk diserahkan pada masa yang akan datang. 5 Demikian
pengertian istishna’ menurut Imam Abu Hanifah dan diikuti pula oleh murid-muridnya.
Selanjutnya mengenai syarat-syarat istishna’. Abu Hanifah menyebutkan
sebagai berikut:
ِ َ‫صفَتِ ِه َألنَّهُ الَ ي‬
‫صي ُر َمعلُوما بِ ُدوْ نِ ِه‬ ِ ‫بَياَنُ ِج ْن‬
ِ ْ‫س ال َمصْ نُو‬
ِ ‫ع َونَوْ ِع ِه َوقَ ْد ِر ِه َو‬
“Adanya kejelasan barang atau obyek (mashnu’) baik jenis, macam, ukuran dan
sifatnya. Karena sesungguhnya tanpa semua ini akad istishna’ menjadi tidak sah.”

ِ َ ‫ان يَ ُكنَ ِمما َّ يَجْ ِري فِ ْي ِه التَّعا َ ُم ُل بَ ْينَ النّا‬


‫س‬
“Obyek istishna’ merupakan barang yang biasa ditransaksikan atau berlaku dalam
hubungan antar manusia.”

ُ‫ َوهُ َو قَبْض‬, ‫ صاَ َر َسلَما ً َحتَّي يُ ْعتَبَ َر فِ ْي ِه َش َراِئطُ السَّلّ ِم‬, ً‫ع َأ َجال‬
ِ َ ‫ب لِِإل ْستِصْ نا‬َ ‫ض َر‬َ ‫ فَِإ ْن‬, ‫َأ ْن الَ يَ ُكوْ نَ فِ ْي ِه َأ َج ٌل‬
ّ ْ ْ َّ
‫ َوالَ ِخيَا َر لِ َوا ِح ٍد ِم ْنهُ َما ِإ َذا َسل َم الصَّانِ ُع ال َمصْ نُوْ َع َعلَى ال َوجْ ِه ال ِذي ُش ِرطَ َعلَ ْي ِه فِي‬, ‫س‬ ِ ِ‫ْالبَ َد ِل فِي ْال َمجْ ل‬
‫(وهذاَ) قَوْ ُل َأبِي هَنِيفَة َر ِح َمهُ هللا‬ َ ‫الس َِّلم‬.
“Tidak boleh adanya penentuan jangka waktu, jika jangka waktu penyerahan barang
ditetapkan, maka kontrak ini akan berubah menjadi akad salam sehingga berlakulah
ketentuan-ketentuan akad salam…”6

Berbeda dengan gurunya (Imam Abu Hanifah), Muhammad dan Abu Yusuf
berpendapat bahwa point ke tiga dari syarat-syarat yang diajukan oleh Imam Abu
Hanifah untuk diperbolehkannya transaksi jual beli istishna’ bukanlah syarat dari akad
istishna’. Jangka waktu penyerahan barang harus ditentukan dan ini dimaksudkan
supaya pekerjaan dikerjakan dengan segera, sehingga bisa selesai tepat pada waktunya.7
Pemikiran Abu Hanifah mengenai akad istishna’ sungguh luar biasa. Beliaulah
ulama’ yang pertama kali membahas tentang akad istishna’. Kecemerlangan pemikiran
Abu Hanifah mengenai jual beli istishna’ terbukti dengan dikembangkannya pemikiran
Abu Hanifah tersebut oleh para muridnya, para ulama’ fiqh klasik, kemudian
dilanjutkan pula oleh para ulama’ fiqh kontemporer hingga saat ini. Kini jual beli
5
Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala ad-Daar al-Muhtar Syarh Tanwir al-Abshar, Beirut: Daar al-Kitab
al-Amaliyyah, 2005, hlm. 474.
6
Imam ‘ala ad-Din Abi Bakr bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Badai’ as-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’,
Jilid 6, Qahirah: Daar al-Hadits, 2005, hlm. 97-98.
7
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Damsyiq: Daar al-Fikr, 2006, hlm. 3648.

Keuangan dan Perbankan Syariah ( S-1) Gelombang 1, Tahun Akademik 2014-2015


8 | Akhmad Yusup, et al.

istishna’ menjadi salah satu produk yang dikembangkan oleh perbankan syariah. Di
perbankan syariah akad istishna’ biasa dipakai untuk pembiayaan kepemilikan rumah
(KPR), pembiayaan renovasi rumah, dan lain-lain yang pembayarannya bisa dilakukan
secara kredit. Hal ini tentu lebih meringankan nasabah (masyarakat). Sebagaimana kita
ketahui bahwa rumah merupakan hal yang sangat urgent bagi setiap orang. Sementara
kebutuhan orang tidak hanya satu, ingin punya rumah saja. Oleh karena itu bukan tidak
mungkin produk istishna’ ini akan menjadi produk unggulan bank syariah di masa yang
akan datang.
Mengenai syarat penyerahan barang pada akad istishna’, Imam Abu Hanifah
berpendapat tidak perlu ada tenggang waktu antara pesanan dengan penyerahan barang,
apabila jangka waktu ditentukan, maka akan berubah menjadi akad salam.8 Beliau
berpendapat demikian bukan tanpa alasan. Beliau berpendapat demikian justru karena
beliau sangat manusiawi (memperhatikan kepentingan manusia), khususnya bagi kaum
yang lemah agar tidak merasa tertekan oleh keterbatasan waktu. Beliau juga
mengantisipasi kalau-kalau dalam proses pekerjaan (pembuatan barang pesanan) itu
terjadi sesuatu di luar kehendak manusia yang menyebabkan pekerjaan menjadi
tertunda. Oleh karena itu, beliau berpendapat tidak perlu menentukan jangka waktu
penyerahan barang pada akad istishna’. Namun, apabila pendapat Imam Abu Hanifah
diterapkan pada masa sekarang maka tidak relevan. Sebab penentuan jangka waktu
antara pesanan dengan penyerahan barang menjadi suatu keharusan dalam setiap
transaksi dan harus ditentukan secara jelas dan pasti di awal akad. Hal ini untuk
memelihara kepentingan pemesan atau pembeli (mustashni’) agar tidak mengalami
kerugian dan memelihara unsur keridhaan (an-taradhin) yang merupakan unsur dasar
dalam setiap muamalah. Kerelaan di sini dapat berarti kerelaan melakukan suatu bentuk
muamalat maupun kerelaan dalam arti kerelaan menerima dan atau menyerahkan harta
yang dijadikan obyek perikatan dan bentuk muamalat lainnya.9
Asas ini berdasarkan firman Allah QS. Al-Baqarah: 282 dan QS. An-Nisa’: 29
yang berbunyi sebagai berikut:

          
             
          
..... 
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah [179] tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya…..

[179] Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan
sebagainya.

Imam ‘ala ad-Din Abi Bakr bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Op. cit, hlm. 97.
8

Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM, 1995, hlm. 113.
9

Prosiding Penelitian Sivitas Akademika (Sosial dan Humaniora)


Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Akad Istishna’ dan Relevansinya pada Bank Syari’ah Mandiri Kantor
Cabang Bandung | 9

         


             
 
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu [287]: Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

[287] Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain,
sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan
suatu kesatuan.

Secara umum produk jual beli dalam bank syariah merupakan produk yang lebih
dominan dibanding dengan produk inti yakni bagi hasil. Masyarakat umumnya
menghendaki cara yang lebih praktis. Dengan skema bagi hasil, masyarakat tidak mau
disibukkan dengan berbagai persoalan administratif. Dengan skema jual beli, hambatan
administratif tersebut dapat diminimalisir.10 Dalam perbankan syariah, aplikasi bai’
istishna’ biasanya menggunakan istishna’ paralel. Bank syariah yang mendapat order
dari calon pembeli tidak akan mampu memproduksi sendiri barangnya. Sehingga bank
akan mengsuborderkan barang tersebut kepada produsen yang ahli, sesuai dengan
spesifikasi barang yang telah ditetapkan.11
Dalam fatwa DSN MUI, dijelaskan bahwa jual beli istishna’ adalah akad jual
beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang di sepakati antara pemesan (pembeli/mustasni’) dan penjual
(pembuat/shani’).12
Pada dasarnya, pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli cicilan pula
seperti transaksi murabahah muajal. Namun, berbeda dengan jual beli murabahah di
mana barang diserahkan di muka sedangkan uangnya di bayarkan secara cicilan, dalam
jual beli istishna’ barang diserahkan di belakang, walaupun uangnya juga sama-sama
dibayar secara cicilan.
Persis dengan metode pembayaran dalam jual beli istishna, yakni sama sama
dengan sistem pembayaran pengangsuran (installmen). Satu satunya hal yang
membedakan antara keduanya adalah waktu penyerahan barangnya. Dalam murabahah
mu’ajjal, barang di serahkan di muka, sedangkan dalam istishna barang diserahkan di
belakang, yakni pada akhir periode pembiayaan. Hal ini terjadi, karena biasanya
barangnya belum di buat atau belum wujud. Jadi, pada dasarnya pola arus kas dan
penyerahan barang pada jual-beli istishna’ merupakan kebalikan 180 derajat saja dari
jual-beli murabahah mu’ajjal.
Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’ bisa saja pembeli mengijinkan pembuat
menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian,
pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya pada
kontrak pertama. Kontrak baru ini dikenal dengan istishna’ paralel.13

10
Muhammad Ridwan, Konstruksi Bank Syariah Indonesia, Yogyakarta: Pustaka SM, 2007, Cet. 1 . hlm.
83.
11
Ibid., hlm. 84.
12
Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Eds. 3, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007, hlm. 126.

Keuangan dan Perbankan Syariah ( S-1) Gelombang 1, Tahun Akademik 2014-2015


10 | Akhmad Yusup, et al.

Ada beberapa konsekuensi saat bank Islam menggunakan kontrak istishna’


paralel, diantaranya sebagai berikut:
1. Bank Islam sebagai pembuat pada kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya
pihak yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan kewajibannya. Istishna’ paralel
atau subkontrak untuk sementara harus dianggap tidak ada. Dengan demikian,
sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap
kesalahan, kelalaian atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak paralel.
2. Penerima subkontrak untuk pembuatan pada istishna’ paralel bertanggungjawab
pada bank Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara
langsung dengan nasabah pada kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua
merupakan kontrak paralel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk
kontrak pertama. Dengan demikian, kedua kontrak tersebut tidak mempunyai kaitan
hukum sama sekali.
3. Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang,
bertanggungjawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan subkontraktor dan
jaminan yang timbul darinya. Kewajiban inilah yang memberikan keabsahan
istishna’ paralel juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau
ada.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Istishna’ paralel dapat


dilakukan dengan syarat:
1. Akad kedua antara bank dan sub-kontraktor terpisah dari akad pertama antara bank
dan pembeli akhir.
2. Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.

Pada dasarnya istishna’ tidak dapat dibatalkan, kecuali:


1. Kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya.
2. Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi
pelaksanaan atau penyelesaian akad

Pembeli mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari produsen atas:


1. Jumlah yang telah dibayarkan.
2. Penyerahan barang pesanan sesuai dengan spesifikasi dan tepat waktu.

Produsen atau penjual mempunyai hak untuk mendapatkan jaminan bahwa harga
yang disepakati akan dibayar tepat waktu. Perpindahan kepemilikan barang pesanan
dari produsen atau penjual ke pembeli dilakukan pada saat penyerahan sebesar jumlah
yang disepakati.14
Alasan keharusan menentukan jangka waktu penyerahan barang pada akad
istishna juga sesuai dengan fatwa DSN MUI (Fatwa DSN No.
06/DSN-MUI/MIV/2000) yang menjelaskan tentang ketentuan istishna’, sebagai
berikut:
1. Fatwa tentang jual beli istishna’ (Fatwa DSN No. 06/DSN-MUI/MIV/2000), yaitu:
a. Ketentuan tentang Pembayaran

13
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Azkia Institut, 1999, Cet
1, hlm. 161.
14
Muhammad , Pengantar Akuntansi Syariah, Eds. 2, Jakarta: Salemba Empat, 2005, hlm. 218.

Prosiding Penelitian Sivitas Akademika (Sosial dan Humaniora)


Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Akad Istishna’ dan Relevansinya pada Bank Syari’ah Mandiri Kantor
Cabang Bandung | 11

1) Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,
barang atau manfaat.
2) Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
3) Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang.
b. Ketentuan tentang Barang
1) Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai utang.
2) Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3) Penyerahannya dilakukan kemudian.
4) Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan.
5) Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6) Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
7) Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan,
pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau
membatalkan akad.
c. Ketentuan lain
1) Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan,
hukumnya mengikat.
2) Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas
berlaku pula pada jual beli istishna’.
3) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.15
2. Fatwa tentang jual beli istishna’ paralel (fatwa DSN No. 22/DSN-MUI/III/2002),
yaitu:
a. Jika LKS melakukan transaksi istishna’ untuk memenuhi kewajibannya kepada
nasabah ia dapat melakukan istishna’ lagi dengan pihak lain pada obyek yang
sama, dengan syarat istishna’ pertama tidak bergantung (mu’allaq) pada
istishna’ kedua.
b. Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad istishna’ (fatwa DSN No.
06/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula dalam istishna’ paralel.16
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia dalam buku
yang berjudul Bank Syariah: Produk dan Implementasi Operasional menyebutkan
syarat-syarat akad istishna’ sebagai berikut:
1. Pihak yang berakad harus cakap hukum.
2. Produsen (shani’) sanggup memenuhi persyaratan pesanan.
3. Obyek (mashnu’) yang dipesan jelas spesifikasinya.
4. Harga jual adalah harga pesanan ditambah keuntungan.
5. Harga jual tetap selama jangka waktu pemesanan.
6. Jangka waktu pembuatan disepakati bersama.17

15
M. Ichwan Sam, dkk. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Jilid. 1, Jakarta: Dewan Syariah
Nasional MUI, 2006, Eds. 1, hlm. 37-38.
16
Ibid.
17
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah: Produk dan
Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan, 2001, hlm. 119-120.

Keuangan dan Perbankan Syariah ( S-1) Gelombang 1, Tahun Akademik 2014-2015


12 | Akhmad Yusup, et al.

Dari uraian di atas ada point penting yang perlu di catat sebagai relevansi antara
penelitian terhadap pemikiran Abu Hanifah tentang waktu penyerahan barang pada akad
istishna’ dengan skripsi ini. Menurut Imam Abu Hanifah dalam akad istishna’ tidak
menentukan jangka waktu penyerahan barang. Abu Hanifah memang ulama’ yang
terkenal rasionalis. Mungkin pemikiran beliau cocok untuk diaplikasikan oleh
masyarakat pada masanya. Akan tetapi apabila pemikiran Abu Hanifah ini diaplikasikan
pada masa sekarang maka tidak relevan. Karena pada kenyataannya praktek istishna’
pada masa sekarang, penentuan waktu penyerahan barang itu harus ditentukan. Hal ini
untuk memberikan jaminan hak terhadap pembeli untuk medapatkan barang sesuai
pesanan dan penyerahan barang secara tepat waktu.
Alasan lain perlunya penentuan waktu penyerahan barang pada akad istishna’
adalah untuk kemaslahatan umat yang berupa memelihara kepentingan pembeli atau
pemesan (mustashni’) agar tidak merasa dirugikan dan menjaga unsur keridhaan yang
merupakan unsur dasar dalam setiap muamalah. Hal ini sesuai dengan al-Qawaid al-
Asasiyah (kaidah fiqh yang asasi) yaitu:
ِ َ‫صالِح َو َد ْف ُع ْال َمف‬
‫اس ِد‬ َ ‫جلب ْال َم‬
“Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan”
Ke-maslahat-an dilihat dari syari’ah dibagi menjadi tiga, ada yang wajib
melaksanakannya, sunnah melaksanakannya dan ada yang mubah melaksanakannya.
Demikian pula ke-mafsadat-an, ada yang haram melaksanakannya dan ada yang makruh
melaksanakannya. Apabila di antara yang maslahat itu banyak dan harus dilakukan
salah satunya dalam waktu yang sama, maka lebih baik dipilih yang paling maslahat.18
Sebagaimana penentuan jangka waku penyerahan barang pada akad istishna’, lebih
banyak manfaatnya dari pada madharat-nya. Bahkan pada masa sekarang, setiap
melakukan transaksi sebaiknya dibuat di depan notaris. Hal ini untuk memberikan
kejelasan hukum apabila terjadi perselisihan setelah akad.
Perintah untuk memilih jalan ke-maslahat-an ini sesuai dengan firman Allah QS.
Az-Zumar : 55:

          
     
Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum
datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.

Demikian pula sebaliknya, apabila menghadapi mafsadat pada waktu yang


sama, maka harus didahulukan mafsadat yang paling buruk akibatnya. Apabila
berkumpul antara maslahat dan mafsadat, maka yang harus dipilih maslahat-nya yang
lebih banyak (lebih kuat), dan apabila sama banyaknya atau sama kuatnya maka
menolak mafsadat lebih utama dari pada meraih maslahat, sebab menolak mafsadat itu
sudah termasuk kemaslahatan. Hal ini sesuai dengan kaidah:
‫ح‬ َ ‫ب ْال َم‬
ِ ِ ‫صل‬ ِ ‫اس ِد مقدم َعلَي َج ْل‬
ِ َ‫َد ْف ُع ْال َمف‬
“Menolak mafsadat didahulukan dari pada meraih kemaslahatan” 19

Ukuran yang lebih konkret mengenai kemaslahatan ini dijelaskan oleh imam al-
Ghazali dalam al-Mustasfa, Imam asy-Syatibi dalam al-Muwafaqat dan ulama yang
18
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh : Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-
Masalah yang Praktis, Eds. 1, Jakarta: Kencana, 2007, Cet. 2, hlm. 27.
19
Ibid., hlm. 164.

Prosiding Penelitian Sivitas Akademika (Sosial dan Humaniora)


Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Akad Istishna’ dan Relevansinya pada Bank Syari’ah Mandiri Kantor
Cabang Bandung | 13

sekarang seperti Abu Zahrah, dan Abdul Wahab Khalaf, apabila disimpulkan, maka
persyaratan ke-maslahat-an tersebut adalah:
1. Ke-maslahat-an itu harus sesuai maqasid as-Syari’ah, semangat ajaran, dalil-dalil
kulli dan dalil qath’i baik wurud maupun dalalah-nya.
2. Ke-maslahat-an itu harus meyakinkan, artinya ke-maslahat-an itu berdasarkan
penelitian yang cermat dan akurat, sehingga tidak meragukan bahwa itu bisa
mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat.
3. Ke-maslahat-an itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan kesulitan yang
di luar batas, dalam arti ke-maslahat-an itu bisa dilaksanakan.
4. Ke-maslahat-an itu memberi manfaat pada sebagian besar masyarakat bukan pada
sebagian kecil masyarakat.20

MUI dalam musyawarah nasional ke VII Tahun 2005, dalam keputusannya No.
6/MUNAS/VII/MUI/10/2005 memberikan kriteria maslahat sebagai berikut:
1. Ke-maslahat-an menurut hukum Islam adalah tercapainya tujuan syariah (maqasid
asy-Syariah) yang diwujudkan dalam bentuk terpeliharanya lima kebutuhan primer
(ad-Daruriyyar al-Khamsah), yaitu agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.
2. Ke-maslahat-an yang dibenarkan oleh syariat adalah ke-maslahat-an yang tidak
bertentangan dengan nash.
3. Yang berhak menentukan maslahat dan tidaknya sesuatu menurut syariah adalah
lembaga yang mempunyai kompetensi di bidang syariah dan dilakukan melalui
ijtihad jama’i.21

Di dalam kaidah fiqh yang khusus di bidang muamalah atau transaksi juga
dijelaskan bahwa “Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad
tersebut, maka syarat tersebut dibolehkan”.
Seperti keharusan untuk menentukan jangka waktu penyerahan barang pada
akad istishna’ bisa menjadi syarat mutlak yang harus ada dalam akad istishna’, karena
ini untuk ke-maslahat-an akad itu sendiri, juga untuk mencapai ke-maslahat-an
masyarakat (mencegah perselisihan yang mungkin terjadi setelah akad). Berarti tujuan
ini telah sesuai dengan al-Qawaid al-Asasiyah tersebut.
Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa Imam Abu Hanifah mempunyai
konstribusi yang besar dalam menyumbangkan pemikirannya mengenai hukum
muamalah khususnya istishna’. Beliau adalah pencetus istilah berikut substansi dari
akad istishna’ yang sedang gencar-gencarnya dikembangkan oleh para pemikir ekonomi
Islam melalui lembaga perbankan. Mengingat bank adalah lembaga intermediasi antara
nasabah yang membutuhkan suatu barang sementara ia tidak mempunyai uang yang
cukup untuk memenuhinya dengan segera, kemudian bank menawarkan solusi dengan
akad istishna’ ini. Di mana nasabah bisa mendapatkan barang tersebut dan
membayarnya dengan cara kontan, dicicil atau di bayar di belakang.
Dan relevansi Bank Syari’ah Mandiri dengan (fatwa DSN No.
06/DSN-MUI/IV/2000) adalah sesuai/relevan karena semua rukun dan syarat yang
berlaku dalam akad istishna’ yang ada pada Bank Syari’ah Mandiri Kantor Cabang
Bandung tidak ada yang menyimpang dari (fatwa DSN No. 06/DSN-MUI/IV/2000).

D. Kesimpulan
Ibid., hlm. 29.
20

Ibid., hlm. 165.


21

Keuangan dan Perbankan Syariah ( S-1) Gelombang 1, Tahun Akademik 2014-2015


14 | Akhmad Yusup, et al.

Berdasarkan hasil penelitian melalui content analitis dan deskriptif analitis dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Menurut Imam Abu Hanifah, waktu penyerahan barang dalam akad istishna’,
tidak perlu disyaratkan atau ditentukan. Jika waktu penyerahan barang tersebut
ditentukan, maka akan berubah menjadi akad salam, sehingga berlakulah
ketentuan-ketentuan akad salam di dalamnya. Akan tetapi, jika pemikiran Imam
Abu Hanifah ini diaplikasikan pada masa sekarang, tidak relevan. Karena dalam
melakukan kontrak pesanan itu harus ditentukan waktu penyerahan.
2. Fenomena atau konsep akad istishna’ di Bank Syari’ah Mandiri Kantor Cabang
Bandung pada praktiknya, akad istishna’ yang digunakan adalah istishna’
paralel, yaitu konsumen yang membutuhkan rumah datang ke bank dan
memesan sebuah rumah dengan spesifikasi tertentu. Konsumen dan bank lalu
membuat kesepakatan serah-terima rumah, harga jual, dan mekanisme
pembayarannya. Karena bank bukan merupakan perusahaan pangembang, maka
bank memesan lagi kepada pangembang agar dibuatkan rumah yang sama yang
dipesan oleh konsumen.
3. Menurut Imam Abu Hanifah dalam akad istishna’ tidak menentukan jangka
waktu penyerahan barang. Abu Hanifah memang ulama’ yang terkenal
rasionalis. Mungkin pemikiran beliau cocok untuk diaplikasikan oleh
masyarakat pada masanya. Akan tetapi apabila pemikiran Abu Hanifah ini
diaplikasikan pada masa sekarang maka tidak relevan. Karena pada
kenyataannya praktek istishna’ pada masa sekarang, penentuan waktu
penyerahan barang itu harus ditentukan. Hal ini untuk memberikan jaminan hak
terhadap pembeli untuk medapatkan barang sesuai pesanan dan penyerahan
barang secara tepat waktu. Alasan lain perlunya penentuan waktu penyerahan
barang pada akad istishna’ adalah untuk kemaslahatan umat yang berupa
memelihara kepentingan pembeli atau pemesan (mustashni’) agar tidak merasa
dirugikan dan menjaga unsur keridhaan yang merupakan unsur dasar dalam
setiap muamalah. Maka, akad istishna’ yang tejadi di Bank Syari’ah Mandiri
Kantor Cabang Bandung lebih relevan dengan (fatwa DSN No.
06/DSN-MUI/IV/2000) karena semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad
istishna’ yang ada pada Bank Syari’ah Mandiri Kantor Cabang Bandung tidak
ada yang menyimpang dari (fatwa DSN No. 06/DSN-MUI/IV/2000) .

Daftar Pustaka

A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh : Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan


Masalah-Masalah yang Praktis, Eds. 1, Jakarta: Kencana, 2007, Cet. 2.

Abdullah Mustafa al-Maraghi, Fath al-Mubin fi Tabaqat al-Ushuliyyah, Terj. Husein


Muhammad, “Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang sejarah”, Yogyakarta: LKPSM,
2001, Cet. 1.

Adiwarman A. Karim. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Edisi. 3, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2007.

Prosiding Penelitian Sivitas Akademika (Sosial dan Humaniora)


Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Akad Istishna’ dan Relevansinya pada Bank Syari’ah Mandiri Kantor
Cabang Bandung | 15

Ahmad asy-Syurbasy, al-Aimmah al-Arba’ah, Terj. Futuhal Arifin, “Empat Mutiara


Zaman”, Jakarta Timur: Pustaka Qalami, 2003, Cet. 1.

Ali Fikri, al-Muammalat al-Maaddiyyah wa al-Adabiyyah, Mathba’ah Mushtafa al-


Babiy al-Halabiy, Mesir, 1983.

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu, 2005). Jilid 1.

Analisa atas hasil wwancara yang dilakukan peneliti dengan sumber wawancara dari
pihak Bank Syari’ah Mandiri Kantor Cabang Bandung.

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari’ah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.

Bank Syari’ah Mandiri, “Gambaran Umum dan Visi Misi”, di akses pada 07 Januari
2010 dari http:/www.syari’ahmandiri.co.id.com/2010/01/gambaran umum dan
visi misi. Html.

Cik Hasan Bisri, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi.
2001:66.

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed III, (Jakarta, Balai Pustaka, 2005).

Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.


Cet. 1.

Dr. Tariq Suwaidan, Biografi Imam Abu Hanifah, Jakarta: Zaman, 2013, Cet. 1.

Imaam Abu Hanifa (R.A.), Biography of One of The Four Great Imaams.

Imam ‘ala ad-Din Abi Bakr bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Badai’ as-Shanai’ fi Tartib
asy-Syarai’, Jilid 6, Qahirah: Daar al-Hadits, 2005.

Ibnu ‘Abidin, Raddul Mukhtar, juz 7, Beriut: Daar al-Kitab Al-Ilmiyyah, 2005.

Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala ad-Daar al-Muhtar Syarh Tanwir al-Abshar, Beirut:
Daar al-Kitab al-Amaliyyah, 2005.

Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000, Cet. 2.

Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM,
1995.

Keuangan dan Perbankan Syariah ( S-1) Gelombang 1, Tahun Akademik 2014-2015


16 | Akhmad Yusup, et al.

M. Ichwan Sam, dkk. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Jilid. 1, Jakarta:
Dewan Syariah Nasional MUI, 2006, Eds. 1.

Muhammad , Pengantar Akuntansi Syariah, Eds. 2, Jakarta: Salemba Empat, 2005.

Muhammad Ridwan, Konstruksi Bank Syariah Indonesia, Yogyakarta: Pustaka SM,


2007, Cet. 1.

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Azkia
Institut, 1999, Cet 1.

Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah: dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani, 2001. Cet. 1.

Munawar Khalil, biografi Empat Serangkai Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1983, Cet.
4.

Mun’im A Sirry, Sejarah Fiqh Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti ,
1996, Cet. 2.

Noven Suprayogi, DPS dan Pengawasan Internal Syari’ah pada Bank Syari’ah, diakses
pada 17 oktober 2013.
Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/PBI 2009, tentang Pelaksanaan GCG pada Bank
Umum Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah. Pasal 47.

PSAK 59: Akuntasi Perbankan Syari’ah, paragraph 93.

Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999, Cet. 1.

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid. 4, Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 2009.

Sofyan Safri Harahap, Auditing Dalam prespektif Islam, Jakarta, Pustaka Quantum,
2002.

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta: Rineka


Cipta, 1998.

Surat Edaran Pembiayaan Bank Syari’ah Mandiri, Jakarta 06 Juni 2006.

Surat Edaran No. 12/13/DPbs/2010 tentang Pelaksanaan Good Corporate Government


bagi Bank Umum Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah.

Prosiding Penelitian Sivitas Akademika (Sosial dan Humaniora)


Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Akad Istishna’ dan Relevansinya pada Bank Syari’ah Mandiri Kantor
Cabang Bandung | 17

Syamsuddin asy-Syarkhasi, al-Mabsuth, Juz. 11, Beirut: Daar al-Ma’rifah, 1989.

Syekh Muhammad Ali as-Saayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh, Eds.
1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. 1.

Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Cet. 3, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1995.

Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan


Bintang, 1975, Cet. 1, hlm. 58-59 lihat juga Jaih Mubarok, Sejarah dan
Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000, Cet. 2.

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah:


Produk dan Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan, 2001.

Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 4, Daar al-Fikr, Damaskus,


cet. III, 1989.

Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 5, Damsyiq: Daar al-Fikr,


2006.

Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metoda Teknik, Bandung:


Tarsito 1989.

Keuangan dan Perbankan Syariah ( S-1) Gelombang 1, Tahun Akademik 2014-2015

Anda mungkin juga menyukai