Anda di halaman 1dari 69

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORUPSI BANTUAN SOSIAL

OLEH MANTAN MENTERI SOSIAL PADA MASA PANDEMI


(Analisis Putusan Nomor 29/Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :
BIANCA SAFIRA JULYANNE
NIM : 11180480000078

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1444H/2023 M
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORUPSI BANTUAN SOSIAL
OLEH MANTAN MENTERI SOSIAL PADA MASA PANDEMI
(Analisis Putusan Nomor 29/Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :
BIANCA SAFIRA JULYANNE
NIM : 11180480000078

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1444H/2023 M

i
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORUPSI BANTUAN SOSIAL
OLEH MANTAN MENTERI SOSIAL PADA MASA PANDEMI
(Analisis Putusan Nomor 29/Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst)

SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :
Bianca Safira Julyanne
NIM : 11180480000078

Dibawah Bimbingan

Pembimbing

Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum


NIP : 195903191979121001

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1444 H/ 2023 M

ii
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertandatangan di bawah ini :


Nama : Bianca Safira Julyanne
NIM : 11180480000078
Program Studi : Ilmu Hukum
Peminatan : Praktisi Hukum
Alamat : Jalan Sukabhakti 2, No. 24C, RT. 01/RW.06, Serua Indah,
Ciputat, Kota Tangerang Selatan.
Kontak : 081315182146
E-mail : jbiancasafira1@gmail.com

Dengan ini saya menyatakan bahwa :


1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil plagiasi dari orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 17 Januari 2022

Bianca Safira Julyanne

iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORUPSI


BANTUAN SOSIAL OLEH MANTAN MENTERI SOSIAL PADA MASA
PANDEMI (Analisis Putusan Nomor 29/Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst)" oleh
Bianca Safira Julyanne NIM 11180480000078 telah diujikan dalam sidang
Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum pada tanggal 28 Desember 2022. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Strata Satu (S-
1) pada program studi Ilmu Hukum.

Jakarta, 17 Januari 2023


Mengesahkan
Dekan,

Prof. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.


NIP. 19760807 200312 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. ( )


NIP. 19670203 201411 1 001

Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. ( )


NIP. 19650908 199503 1 001

Pembimbing : Dr. Burhanuddin, S. H., M.Hum. ( )


NIP. 19590319 197912 1 001

Penguji I : Dr. Asmawi, M.Ag. ( )


NIP. 19721010 199703 1 008

Penguji II : Muhammad Ishar Helmi S.Sy., S.H., M.H. ( )


NIP. 19900903 202203 1 001

iv
ABSTRAK

Bianca Safira Julyanne, NIM 11180480000078,


“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORUPSI BANTUAN SOSIAL
OLEH MANTAN MENTERI SOSIAL PADA MASA PANDEMI (Analisis
Putusan Nomor 29/Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst)”. Program Studi Ilmu Hukum,
konsentrasi Praktisi Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1444 H/2022 M.
Tujuan penelitian ini untuk membahas perbedaan tindak pidana korupsi
suap menyuap dan gratifikasi dalam hukum positif serta penerapan hukum dan
pertimbangan Hakim menjatuhkan putusan dalam kasus korupsi bantuan sosial
yang dilakukan oleh Mantan Menteri Juliari Batubara dengan menganalisis Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 29/Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst).
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang
meneliti serta menelaah bahan hukum, seperti Undang-undang dan bahan Pustaka
lainnya. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundang-
undangan (Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) dan
pendekatan kasus (Kasus Korupsi Bantuan Sosial yang dilakukan oleh Mantan
Menteri Sosial). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah library research
yaitu pengumpulan data dengan menghimpun data dari berbagai literatur terkait
penelitian yang dilakukan. Setelah semua data telah dikumpulkan, data tersebut
akan dianalisis lalu dinarasikan secara deskriptif dalam bentuk data kualitatif, yakni
dengan menarasikan jawaban terkait rumusan masalah yang peneliti miliki.
Hasil dalam penelitian ini, suap dan gratifikasi memiliki perbedaan yang
terletak pada kesepakatan atau meeting of mind. Jika terjadi kesepakatan antara
pemberi dengan penerima maka tindakan tersebut adalah suap, sedangkan jika tidak
terjadi kesepakatan, maka tindakan tersebut menjadi gratifikasi. Selain itu,
penerapan hukum pasal 12 huruf b Undang-undang Tindak Pidana Korupsi oleh
hakim pada Terdakwa telah sesuai karena setiap unsur dalam pasal tersebut telah
terpenuhi.

Kata Kunci : Korupsi, Bantuan Sosial, Masa Pandemi

Pembimbing Skripsi : Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum


Daftar Pustaka : Tahun 1999 sampai Tahun 2021

v
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb, Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas
segala berkat, rahmat, dan karunia-Nya, shalawat serta salam selalu tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan seluruh umatnya.
Dengan mengucapkan Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, peneliti diberi kemudahan
dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA KORUPSI BANTUAN SOSIAL OLEH MANTAN MENTERI
SOSIAL PADA MASA PANDEMI (Analisis Putusan Nomor 29/Pid.Sus-
Tpk/2021/PN.Jkt.Pst)”
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari keterlibatan berbagai pihak yang
senantiasa membantu dan membimbing Penulis dalam suka maupun duka. Penulis
mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada seluruh pihak yang telah
membantu, terutama kepada kedua orang tua tercinta penulis yakni, Ayahanda
tercinta yang banyak memberikan pelajaran, inspirasi dan mengajarkan bagaiman
menjadi seorang yang mempunyai prinsip dan tetap berusaha sesulit apapun dan
ibunda tercinta atas segala curahan kasih sayang yang tulus dan motivasi serta doa
yang tulus kepada penulis agar Penulis senantiasa menjadi manusia yang
bermanfaat untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, Bangsa dan Negara. Mudah-
mudahan harapan ayahanda dan ibunda agar penulis menjadi manusia yang
bermanfaat bagi manusia lainya dikabulan oleh sang pencipta. Banyak pihak yang
mempunyai peran penting dalam membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini sekaligus sebagai tanda telah diselesaikanya pendidikan Strata Satu (S1) di
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Maka untuk itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya
kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidyatullah Jakarta beserta jajarannya.

vi
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah jakarta.
3. Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum. sebagai dosen penasihat akademik sampai awal
penyusunan skripsi ini. Hingga beliau kembali menjadi pembimbing skripsi
peneliti yang meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing peneliti
dalam menyelesaikan skripsi.
4. Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Kepala Urusan
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas dan
memberikan arahan dalam pencarian buku-buku referensi yang dibutuhkan
dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Mama Nurasiah dan Papa Henry yang telah memberikan support dalam berbagai
bentuk. Secara finansial, motivasi, arahan, hingga doa yang tiada henti.
6. Semua pihak yang berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung, tanpa
mengurangi esensi, makna dan arti penting bagi peneliti. Peneliti hanya mampu
mendoakan keberkahan dan kebaikan kepada teman-teman, semoga Allah SWT
membalas kebaikan-kebaikan yang berlipat ganda dan menempatkan kita semua
dalam Jannatu Firdaus Aamiin Ya Rabbal’alamiin.
Atas segala bantuan dan jasa yang diberikan, Penulis hanya bisa berharap
dan mendoakan semua pihak yang telah berjasa dalam hidup Penulis, semoga Allah
SWT senantiasa memberikan ridho dan balasan atas jasa-jasa dan kebaikan yang
diberikan kepada Penulis. Besar harapan Penulis agar kiranya skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua orang. Namun demikian, disadari sepenuhnya bahwa
penyusunan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Tangerang Selatan, 5 Desember 2022

Bianca Safira Julyanne

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i


HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................. iv
ABSTRAK .............................................................................................................v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ..........................4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................5
D. Metode Penelitian ............................................................................6
E. Sistematika Pembahasan .................................................................9

BAB II TINJAUAN UMUM SISTEM PEMBUKTIAN DALAM


PERADILAN PIDANA ......................................................................... 11
A. Kerangka Konseptual ....................................................................... 11
B. Kerangka Teori ................................................................................. 19
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................... 22
D. Tinjauan Umum tentang Pertanggungjawaban Pidana..................... 27

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS KASUS KORUPSI


BANTUAN SOSIAL ............................................................................. 29
A. Posisi Kasus ...................................................................................... 29
B. Pertimbangan Hakim ........................................................................ 31
C. Pertanggungjawaban Pidana Kasus Korupsi Bantuan Sosial ........... 35

BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DAN PENERAPAN


HUKUM TERHADAP KASUS KORUPSI BANTUAN SOSIAL .... 40
A. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ..................................................... 40

viii
B. Pertimbangan Hakim ....................................................................... 40
C. Amar Putusan ................................................................................... 43
D. Analisis Peneliti ................................................................................ 44

BAB V PENUTUP .............................................................................................. 56


A. Kesimpulan ....................................................................................... 56
B. Saran ................................................................................................. 56

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... . 57

ix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadikan hukum sebagai
konsep dalam bernegara. Konsep dari negara hukum itu sendiri adalah negara
yang berkeyakinan bahwa kekuasaan yang dimiliki pemerintah harus selalu
dijalankan sesuai dengan pondasi hukum yang mengedepankan rasa keadilan.
Hal ini tercermin dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
(UUD NRI) tahun 1945 Amandemen ke empat Pasal 1 ayat (3) yang
menyatakan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.1 Dalam konsep
hukum negara Indonesia sendiri terdapat identitas yang membedakan konsep
hukum Indonesia dengan konsep hukum negara lain. Yang kita ketahui,
konsep hukum negara indonesia menjalankan konsep hukum yang selaras
dengan nilai-nilai dasar Pancasila sebagai pondasi utama dan dasar hukum
yang digunakan di negara kita. Terdapat tiga unsur yang berkaitan dalam
sebuah negara hukum, yang mana setiap keputusan dan tindakan yang
diambil oleh pemegang kekuasaan memiliki tujuan untuk memberikan
kepastian hukum, memastikan berjalannya demokrasi, serta memberi
perlakuan yang sama pada setiap warga masyarakat tanpa terkecuali.
Sebagai sebuah negara hukum, tentu setiap masalah dan tindakan yang
dilakukan seseorang dan merugikan orang lain atau masyarakat luas akan
diberikan sanksi, terkhusus tindak pidana korupsi. Arti korupsi sendiri
menurut Nurdjana (1990) merupakan perbuatan yang tidak baik, buruk,
curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar
norma-norma agama materiil, mental dan hukum. Tindak Pidana ini juga
memberi dampak yang sangat buruk sebagai akibat dari perbuatannya yang
menjamah banyak bidang, seperti mampu merusak pembangunan sosial,
ekonomi, dan politik, serta menciderai nilai dari demokrasi dan moralitas

1
Achmad Irwan Hamzani,” Menggagas Indonesia Sebagai Negara Hukum Yang
Membahagiakan Rakyatnya”, Yustisia, Edisi 90, (Desember, 2014) h. 139.

1
2

bangsa kita.2Meskipun korupsi merupakan tindak pidana yang sangat


berdampak buruk bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, pada
kenyataannya tindak korupsi telah mengakar hingga terasa seperti budaya di
kalangan pejabat kita serta sulit untuk diberantas bahkan pada masa genting
sekalipun.
Seperti yang kita ketahui bahwa sejak awal tahun 2020, Indonesia
mengalami pandemi Corona Virus Disease 2019, yang mana virus ini
menyerang sistem pernapasan manusia. Serta penyebarannya sangat cepat
hanya melalui kontak langsung dengan percikan dahak dari orang terinfeksi
atau menyentuh permukaan yang terkontaminasi virus.3 Dengan munculnya
pandemi tersebut memunculkan permasalahan di berbagai bidang kehidupan.
Bidang pertama yang terdampak secara langsung adalah terkait kesehatan
masyarakat, namun bidang lain yang juga terkena dampak besar secara tidak
langsung adalah bidang sosial dan ekonomi. Pada saat itu, pergerakan
masyarakat terbatas, perputaran keuangan melambat, dan terjadi PHK secara
besar-besaran. Karena hal ini, pemerintah membuat program bantuan sosial
bagi masyarakat yang terdampak secara signifikan.
Dalam program ini terdapat bantuan sosial langsung tunai dan bantuan
sosial berbentuk sembako. Bantuan sosial berbentuk paket sembako akan
dibagikan untuk masyarakat di wilayah Jabodetabek. Tetapi pada saat
program bantuan sosial berlangsung, kemudian masyarakat menerima paket
sembako tersebut, banyak masyarakat yang mengeluhkan terkait kualitas
sembako yang diterima. Mulai dari beras yang diterima sudah berjamur
hingga terdapat bahan makanan yang sudah expired, sehingga menimbulkan
kecurigaan masyarakat bahkan menjadi kontroversi di masyarakat akibat
bantuan sosial tersebut.

2
Rifyal Ka’bah, “Korupsi di Indonesia”, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-37,
(Januari-Maret, 2007), h.87.
3
Unicef Indonesia, “Tanya Jawab Seputar Coronavirus (COVID-19)”,
https://www.unicef.org/indonesia/id/coronavirus/tanya-jawab-seputar-
coronavirus?gclid=CjwKCAiA8OmdBhAgEiwAShr402QELH3VB6phzWvbwegFlZunrnK3K664
Tybc0QI0_v1cp-Z1l_pnXhoCNEYQAvD_BwE#bagaimanacoronavirusmenyebar, (diakses 8
januari 2023 pada pukul 17.26 WIB).
3

Hingga pada akhir tahun 2021, Menteri Sosial pada saat itu, yakni Juliari
Pieter Batubara ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Saat itu, Juliari
diduga memerintahkan pemungutan uang fee dari para penyedia bantuan
sosial sebesar Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah) per paket sembako. Menurut
Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli, pengadaan barang atau jasa memang
merupakan titik rawan korupsi. Berpotensi terjadinya kolusi, mark-up harga,
dan kickback.4
Penetapan Juliari sebagai tersangka korupsi bantuan sosial saat itu,
menimbulkan kontroversi di masyarakat. Kontroversi tersebut dipicu oleh
pernyataan Ketua KPK, yaitu Firli Bahuri, bahwa pelaku yang melakukan
korupsi di tengah pandemi dapat dikenakan hukuman mati sesuai dengan
Undang- undang Tindak Pidana Korupsi. Tetapi peneliti Balitbangkumham,
menyatakan bahwa hukuman mati melanggar hak untuk hidup yang diatur
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of
Human Rights (DUHAM).5
Tidak hanya perbuatan korupsi yang dilakukan oleh Juliari, tuntutan yang
dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK juga cukup menimbulkan
pembicaraan di tengah masyarakat. Menurut Indonesia Corruption Watch
(ICW), hal ini terjadi karena tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang dianggap
terlalu rendah untuk perbuatan yang dilakukan oleh Juliari, jika dibandingkan
dengan dampak yang terjadi akibat perbuatannya.6 Selain itu, menurut
koordinator MAKI, Boyamin Saiman,7 pertimbangan hakim dalam
menetapkan alasan yang meringankan hukuman terdakwa juga dianggap
kurang tepat.

4
Andri Saubani, “Empat Sektor Rawan Korupsi dalam Penanganan Pandemi Covid-19”,
https://www.republika.co.id/berita/qf95pl409/empat-sektor-rawan-korupsi-dalam-penanganan-
pandemi-covid19 , (diakses 8 Januari 2023, pukul 17.55 WIB).
5
Humas Kemenkumham, “Hukuman Mati dalam Perspektif HAM di Indonesia”.
6
Tatang Guritno, “Tuntutan 11 Tahun Penjara terhadap Juliari atas Dugaan Korupsi di
Tengah Pandemi”, https://nasional.kompas.com/read/2021/07/29/09264291/tuntutan-11-tahun-
penjara-terhadap-juliari-atas-dugaan-korupsi-di-tengah (diakses 9 Januari 2023, pada pukul 21.36
WIB).
7
KOMPASTV. 2021, 25 Agustus. Pro Kontra Vonis 12 Tahun untuk Eks Mensos Juliari
[Video]. Youtube. https://www.youtube.com/watch?v=w6cOnsum7Tg..
4

Dengan munculnya permasalahan di masyarakat terkait kasus ini, penulis


akan mencoba melakukan analisis pertimbangan putusan hakim yang
dijatuhkan terhadap kasus korupsi yang dilakukan mantan Menteri Juliari
Peter Batubara di tengah pandemi. Penulis akan menulis penelitian tersebut
dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORUPSI
BANTUAN SOSIAL OLEH MANTAN MENTERI SOSIAL PADA
MASA PANDEMI (Analisis Putusan Nomor 29/Pid.Sus-
Tpk/2021/PN.Jkt.Pst)”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dijabarkan penulis diatas, maka
penulis mengidentifikasi beberapa masalahnya sebagai berikut :
a. Indonesia merupakan negara yang menggunakan konsep negara
hukum, namun penegakkan hukum di Indonesia terutama kasus
korupsi sering mengecewakan masyarakat
b. Penjatuhan pidana yang dilakukan kepada pelaku tindak pidana
korupsi dirasa sering menunjukkan tidak berlakunya asas “Equality
Before The Law.
c. Faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia
d. Pro-kontra yang timbul dimasyarakat terkait hukuman mati bagi
pelaku tindak pidana korupsi di tengah pandemi Covid-19
e. Pertimbangan Hakim dan penerapan hukum dalam Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 29/Pid.Sus-
Tpk/2021/PN.Jkt.Pst)
2. Pembatasan Masalah
Agar penelitian yang dilakukan tetap konsisten dan untuk
mempermudah pembahasan penelitian skripsi ini, penulis akan
memberikan batasan masalah yang akan dibahas, sehingga penelitian yang
dilakukan dapat terarah seperti apa yang penulis harapkan. Dalam
penelitian ini, penulis hanya akan membahas perbedaan tindak pidana
5

korupsi suap menyuap dan gratifikasi dalam hukum positif serta penerapan
hukum dan pertimbangan Hakim menjatuhkan putusan dalam kasus
korupsi bantuan sosial yang dilakukan oleh Mantan Menteri Juliari
Batubara dengan menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor 29/Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst).
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah penulis paparkan di atas,
maka penulis akan melakukan analisis serta memaparkan terkait perbedaan
tindak pidana korupsi suap menyuap dan gratifikasi dalam hukum positif
Indonesia dan melakukan analisis terkait bagaimana pertimbangan Hakim
dan penerapan hukum dalam membuat putusan terkait kasus korupsi
bantuan sosial yang dilakukan Mantan Menteri Juliari Batubara
berdasarkan studi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
29/Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst), maka penulis merumuskan beberapa
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
a. Bagaimana pertanggungjawaban tindak pidana suap menurut hukum
positif?
b. Bagaimana pertimbangan hakim dan penerapan hukum dalam
menjatuhkan putusan kasus korupsi bantuan sosial dalam putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 29/Pid.Sus-
Tpk/2021/PN.Jkt.Pst?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang peneliti rumuskan diatas, maka
tujuan dari penelitian ini ialah:
a. Untuk memahami pertanggungjawaban tindak pidana korupsi suap
menyuap menurut hukum positif.
b. Untuk memahami pertimbangan hakim dan penerapan hukum dalam
menjatuhkan putusan kasus korupsi bantuan sosial dalam putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 29/Pid.Sus-
6

Tpk/2021/PN.Jkt.Pst.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Manfaat dari penelitian ini secara teoritis diharapakan dapat
menjadi referensi dan atau acuan penelitian lain mengenai keilmuan
hukum pidana terkait pertanggungjawaban pidana bagi pelaku kasus
korupsi suap menyuap. Selain itu, penelitian ini juga berfungsi untuk
mendalami teori serta ilmu yang telah didapat selama menjadi
mahasiswa strata satu di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Manfaat Praktis
Manfaat dari penelitian ini secara praktis dapat digunakan untuk
memberi masukan kepada pemerintah terkait penerapan penegakkan
hukum bagi pelaku kasus korupsi berdasarkan hukum positif
Indonesia.

D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yang bersifat
yuridis normatif. Metode ini adalah penelitian hukum kepustakaan yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder
belaka.8 Sehingga penelitian yang akan dilakukan adalah dengan meneliti
aturan hukum yang berlaku di Indonesia dengan metode pendekatan
perundang-undangan serta pendekatan yuridis dengan menggunakan
putusan kasus terkait. Selain itu peneliti juga akan meneliti bahan-bahan
kepustakaan atau data sekunder yang berhubungan dengan permasalahan.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang penulis gunakan adalah Statutory
Approach dan Case Approach. Statutory Approach yaitu pendekatan

8
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h.13.
7

terhadap suatu perundang-undangan, dengan menelaah serta memahami


semua peraturan perundang-undangan serta regulasi lain yang terkait
dengan permasalahan yang penulis teliti. Sedangkan Case Approach
adalah pendekatan yang dilakukan penulis dengan membuat argumentasi
hukum dalam perspektif kasus di lapangan dan berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti.9
Penelitian ini menggunakan jenis metode Penelitian Kualitatif.
Penelitian Kualitatif memanfaatkan lingkungan yang menjadikan suatu
objek penelitiannya sebagai sumber data penelitian. Penelitian ini
dilakukan dengan lebih deskriptif dan tidak menggunakan angka, karena
lebih memprioritaskan terhadap proses terjadinya suatu peristiwa tersebut.
3. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang peneliti lakukan adalah dengan
metode library research atau metode studi kepustakaan yaitu penelitian
yang dilakukan dengan cara membaca berbagai macam buku, jurnal, atau
artikel serta sumber data lainnya dalam perpustakaan. Kegiatan penelitian
ini dilakukan dengan cara menghimpun data dari berbagai literatur yang
telah dijadikan bahan referensi, yang dipergunakan tidak terbatas hanya
pada media informasi yang berformat buku, tetapi dapat juga berupa
bahan-bahan dokumentasi, majalah-majalah, Koran, dan lain-lain.10 Serta
penelitian ini tidak hanya menggunakan media cetak, tetapi juga media
elektronik. Adapun bahan hukum yang digunakan adalah :
a. Bahan Hukum Primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana
korupsi serta putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
29/Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst.
b. Bahan Hukum Sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah
literatur dan buku-buku yang terkait dengan kasus tindak pidana

9
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian hukum, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group,
2006), h. 93-94.
10
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada,
2006), h. 31.
8

korupsi, terutama tindak pidana korupsi suap. Sumber sekunder juga


dapat diambil dari laporan, makalah, putusan lain yang serupa, serta
artikel. Baik berbentuk media cetak ataupun dari media internet yang
membahas terkait permasalahan tindak pidana korupsi serta kasus
korupsi yang dilakukan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara.
c. Bahan Hukum Tersier yang digunakan adalah bahan penunjang dari
data primer dan sekunder yang masih berhubungan dengan masalah
yang diteliti, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia dan sebagainya.
4. Teknik Analisis Data
Data yang sudah didapatkan yaitu data yang bersifat kualitatif dengan
pengolahan secara manual dengan cara melakukan pemilahan/kategorisasi
data agar data dibutuhkan sesuai kebutuhan. Data kualitatif meliputi hasil
Studi- dokumen dan studi kasus. Kemudian peneliti melakukan analisis
data penelitian yang telah dikategorisasi tersebut dengan menggunakan
metode deskriptif kualitatif. Yang mana metode deskriptif, yaitu penelitian
yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasi apa yang ada,
pendapat yang sedang tumbuh, proses yang sedang berlangsung, akibat
atau efek yang terjadi atau kecenderungan yang berkembang.11

Kualitatif adalah melakukan analisis dengan mengorganisasikan data,


memilah data, mencari dan menemukan pola dari data serta teori hukum
untuk dapat menjelaskan permasalahan penelitian hukum dalam bentuk
logis serta bersifat ilmiah agar dapat dimengerti.
Dalam penelitian ini, nantinya peneliti akan melakukan analisis data
dengan memilah, mencari, serta menemukan pola dari bahan hukum yang
peneliti miliki. Lalu, peneliti akan mendeskripsikan dan
menginterpretasikan hasil analisis tersebut sehingga dapat dimengerti.
5. Teknik Penulisan
Pada penelitian ini, penulisan akan menggunakan metode penulisan
yang mengacu pada Buku Pedoman Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum

11
Sumanto, Teori dan Metode Penelitian, ( Yogyakarta; CAPS (Center of Academic
Publishing Service, 2014), h.179.
9

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017 serta


melihat contoh skripsi yang bersifat umum.

E. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini disusun menjadi lima bab, yang pada tiap bab terdiri
beberapa sub bab, yang diawali dengan pendahuluan dan diakhiri dengan
kesimpulan serta saran yang penulis anggap penting. Berikut ini penulis
jabarkan sistematikan pembahasan dalam skripsi ini, sebagai berikut :
Bab Pertama berisi pendahuluan, yang memuat tentang keseluruhan
mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah,
pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian tinjauan studi terdahulu,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab Kedua menyajikan pemaparan tinjauan umum tentang
pertanggung jawaban pidana serta tindak pidana korupsi. Lalu dilanjutkan
dengan menjelaskan teori yang digunakan untuk menganalisis dan
menginterpretasikan data penelitian.
Bab Ketiga ini menyajikan data penelitian. Penyediaan data berupa
deskripsi data yang berkenaan dengan variable yang diteliti secara objektif.
Bab Keempat ini menyajikan pemaparan hasil analisa dari rumusan
masalah yang diuraikan oleh peneliti dan akan dijelaskan secara rinci sesuai
data yang dimiliki.
Bab Kelima ini menyajikan penutup. Berisikan tentang kesimpulan
yang diambil dari permasalahan yang diteliti dengan menjawab masalah yang
telah diidentifikasi sebelumnya berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan.
BAB II
TINJAUAN UMUM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN
TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Kerangka Konseptual
1. Tinjauan Umum Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Dalam bukunya yang berjudul “Tindak Pidana Tertentu di
Indonesia”, Wirjono Prodjodikoro mendefinisikan tindak pidana
sebagai perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana,
serta pelakunya dapat dikatakan sebagai subjek dari tindak pidana.
b. Unsur Tindak Pidana
Untuk mengatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, tentu
terdapat unsur-unsur tindak pidana yang harus dipenuhi. Menurut S.R.
Sianturi, unsur tindak pidana dapat digolongkan ke dalam 2 (dua)
macam, yaitu unsur-unsur subjektif dan objektif.
1.) Unsur Subjektif adalah :
a.) Adanya subjek;
b.) Adanya unsur kesalahan.
2.) Unsur Objektif adalah :
a.) Perbuatan bersifat melawan hukum;
b.) Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-
undang atau diharuskan oleh undang-undang dan bagi
pelanggarnya akan dikenakan pidana;
c.) Dalam suatu waktu, tempat dan keadaan tertentu.1
c. Jenis Tindak Pidana
Berdasarkan KUHP Indonesia saat ini jenis tindak pidana terbagi
menjadi 2 bagian, yaitu ;
1.) Kejahatan (misdrijven); dan

1
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapan, (Jakarta; Storia
Grafika, 2002), h. 208.

11
12

2.) Pelanggaran (overtredingen).


Selain pembagian tindak pidana berdasarkan KUHP seperti di atas,
tindak pidana juga dapat dibedakan menjadi ;
1.) Tindak pidana formil yaitu tindak pidana yang menitikberatkan
pada perbuatan yang tidak boleh dilakukan. Dalam tindak pidana
formil, tindakan tersebut dianggap tindak pidana saat tindakan
tersebut telah selesai dilakukan oleh pelaku, dan tidak
mempermasalahkan akibat dari tindakan tersebut;
2.) Tindak pidana materiil yaitu tindak pidana yang menitikberatkan
pada akibat yang dilarang. Sehingga, tindak pidana akan dianggap
terjadi apabila telah selesai akibat yang ditimbulkan perbuatan
tersebut.2
d. Macam-macam Pidana
Berdasarkan pasal 10 KUHP, pidana dibagi menjadi 2 macam,
yaitu pidana pokok dan pidana tambahan;
1.) Pidana Pokok yaitu pidana yang tidak berkaitan dengan pidana
lain. Sehingga pidana pokok dapat dijatuhkan kepada pelaku
tanpa ada pidana tambahan. Yang termasuk pidana pokok, yaitu;
a.) Pidana mati;
b.) Pidana penjara;
c.) Pidana kurungan;
d.) Pidana denda;
e.) Pidana tutupan.
2.) Pidana Tambahan merupakan pidana yang hanya dapat
dijatuhkan kepada belaku bersamaan dengan pidana pokok.3
Yang termasuk pidana tambahan;
a.) Pencabutan hak-hak tertentu;
b.) Perampasan barang-barang tertentu;
c.) Pengumuman putusan hakim.

2
Mahrus Ali, Dasar Dasar Hukum Pidana, (Jakarta; Sinar Grafika, 2011), h. 102.
3
Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 2009), h.
66.
13

2. Tinjauan Umum Korupsi


a. Pengertian Korupsi
Kata korupsi merupakan turunan dari kata corruptus yang berarti
kerusakan.4 Arti dari kata korupsi masih memiliki penafsiran yang
luas. Menurut Henry Campbell Black dalam kamus hukumnya yang
berjudul “Black’s Law Dictionary”, korupsi diartikan sebagai suatu
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu
keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak
dari pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau
karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya atau
untuk orang lain bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari
pihak lain”.5
Tidak terlalu berbeda dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan pengertian dari tindak
pidana korupsi merupakan setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara. Yang pada intinya korupsi berarti perbuatan yang dilakukan
secara melawan hukum untuk menguntungkan diri sendiri/orang lain
dan dapat berdampak pada kerugian perekonomian negara.
b. Faktor Penyebab
Berdasarkan motivasi terbentuknya tindak korupsi, faktor
penyebabnya dapat dibedakan ke dalam 2 kelompok, yaitu;
1.) Faktor Internal
a.) Gaya Hidup

4
Margaretha Yesicha Pryscyllia, Pemiskinan Koruptor sebagai Salah Satu Hukuman
Alternatif dalam tindak Pidana Korupsi, (2014) h.7.
5
“Pengertian Tindak Pidana Korupsi” Pengertian Tindak Pidana Korupsi (kanal.web.id)
(diakses pada 31 Maret 2022, pukul 10.36 WIB)
14

Pada umumnya, para pelaku korupsi memiliki gaya hidup


yang cenderung konsumtif dan sulit merasa puas dengan
materi yang dimiliki. Di lain sisi, nilai kejujuran, moral, dan
integritas yang dimiliki pelaku sangat rendah.
b.) Motivasi Kerja
Bagi pelaku tindak korupsi biasanya motivasi kerja yang
mereka miliki hanyalah sebatas meraih materi. Sehingga
dalam bekerja, mereka hanya memikirkan keuntungan
sebesar mungkin yang dapat mereka peroleh tanpa
memikirkan baik atau buruk suatu pekerjaan.
c.) Pendidikan
Pelaku korupsi pada umumnya memiliki tingkat
Pendidikan yang tinggi. Hal ini membuktikan pernyataan
Kats dan Hans bahwa peran dari akademisi terlihat paradoks.
2.) Faktor Eksternal;
a.) Keluarga;
b.) Lingkungan Kerja;
c.) Hukum dan Peraturan.
c. Korupsi oleh Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara
Menurut pasal 1 ayat (1) Undang-undang tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian, Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik
Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh
pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan
negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pasal 3 Undang-
undang yang sama juga disebutkan bahwa salah satu tugas pegawai
negeri adalah memberikan pelayanan yang professional, jujur, adil,
serta merata kepada masyarakat. Hal ini berarti pegawai negeri harus
bersifat netral dari pengaruh golongan maupun partai politik apapun.
Pegawai negeri yang memiliki wewenang yang terus melekat
pada dirinya sepanjang mereka bertugas, memang cukup rentan untuk
15

melakukan penyalahgunaan wewenang yang dimiliki. Dapat dikatakan


korupsi terjadi apabila pegawai negeri telah melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.
Tujuan dari penyalahgunaan wewenang yang dilakukan memang pada
umumnya untuk meraih keuntungan sepihak bagi dirinya sendiri
maupun orang lain.6
d. Pidana bagi Koruptor
Berdasarkan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ancaman pidana yang dapat
dijatuhkan kepada pelaku korupsi adalah;
1.) Pidana Pokok
a.) Jika Pejabat yang melakukan Tindak Pidana Korupsi
(1) Pidana Mati
Merupakan pidana yang dapat dijatuhkan kepada
pelaku korupsi yang memperoleh keuntungan untuk
memperkaya dirinya atau orang lain dengan cara
melawan hukum. Selain itu, tindak pidana korupsi yang
dilakukan tersebut menyebabkan kerugian bagi keuangan
negara. Pidana mati diancamkan pada pelaku korupsi
yang terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999
Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Korupsi.
(2) Pidana Penjara
Merupakan pidana yang dapat dijatuhkan kepada
setiap pelaku korupsi yang terbukti memenuhi unsur
tindak pidana sesuai dengan pasal-pasal yang
didakwakan dalam Undang-undang Tindak Pidana
Korupsi. Lama pidana yang diancamkan juga bermacam-

6
I Gede Sayogaramasatya, I Made Minggu Widyantara dan Ida Ayu Putu Widiati,
SANKSI PIDANA TERHADAP PEJABAT NEGARA YANG MELAKUKAN KORUPSI ATAS
PENYALAHGUNAAN WEWENANG, Jurnal Interpretasi Hukum, Vol. 2, No. 1, (2021), h. 169.
16

macam, pidana paling singkat selama 1 tahun hingga 20


tahun, namun beberapa pasal memungkinkan penjatuhan
pidana seumur hidup.
(3) Pidana Denda
Pidana pokok yang diancamkan terhadap harta
kekayaan atau harta benda bagi pelaku. Besaran pidana
denda bervariasi dari Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah) hingga Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
2.) Pidana Tambahan
a.) Perampasan terhadap barang bergerak baik berwujud atau
tidak atau barang tidak bergerak yang dipergunakan serta
diperoleh dari hasil perbuatan korupsi, begitu pun perusahaan
yang dimiliki terpidana korupsi itu, begitu juga bagi barang
pengganti untuk itu.
b.) Mengganti sejumlah yang sama dari yang diperoleh sebagai
hasil korupsi dengan membayar uang pengganti.
c.) Ditutupnya sebagian hingga seluruh perusahaan yang dimiliki
setidaknya selama 1 (satu) tahun.
d.) Mencabut sebagian hingga atau sebagian dari beberapa hak
tertentu, bahkan dapat dihapusnya sebagian atau seluruh
keuntungan tertentu yang telah atau dapat pemerintah berikan
kepada terpidana.
e.) Apabila uang pengganti belum dibayarkan dalam jangka
waktu 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan dan
dinyatakan berkekuatan hukum tetap, maka dilakukan
penyitaan harta benda oleh jaksa dan dilakukan pelelangan
sebagai ganti untuk penutupan jumlah uang pengganti yang
belum dibayarkan tersebut.
3. Bantuan Sosial
Bantuan sosial adalah pemberian bantuan kepada individu, keluarga,
dan rakyat umum yang bersifat sementara dan bersyarat, serta bersumber
17

dari pemerintah maupun lembaga tertentu. Bantuan sosial bertujuan untuk


mencegah kemungkinan terjadi ancaman sosial.7 Ancamanan sosial yang
dimaksud adalah terkait terjadinya bencana yang tidak terduga, sehingga
masyarakat kesulitan untuk bertahan hidup. Maka bantuan sosial
diharapkan mencegah tingkat kriminalitas meningkat saat itu. Bantuan
sosial yang diberikan kepada masyarakat memiliki banyak macam yang
disesuaikan dengan tujuan dari pemberian bantuan sosial tersebut. Berikut
beberapa macam bantuan sosial yang disediakan oleh pemerintah :
a. Program Indonesia Pintar
Program pemerintah untuk memberikan bantuan dalam bentuk
uang kepada peserta didik yang kurang atau tidak mampu di tingkat
SD, SMP, SMA/SMK, dan sederajat.
b. Bantuan Program Jaminan Kesehatan Nasional
Program dari pemerintah dalam bentuk membayarkan iuran BPJS
Kesehatan masyarakat tidak mampu. Dengan tujuan agar setiap
masyarakat mendapatkan hak untuk memperoleh fasilitas Kesehatan
yang maksimal.
c. Program Keluarga Harapan
Program bantuan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat dengan melibatkan partisipasi kelompok penerima manfaat
dalam menjaga kesehatan dan menyekolahkan anak-anaknya. Nilai
yang diterima KPM adalah Rp 1.890.000,-/tahun/KPM.8
d. Bantuan Sosial Sembako dan Tunai dalam Penanganan Dampak
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
Kedua bantuan sosial ini diberikan sebagai upaya pemerintah untuk
membantu masyarakat tidak mampu yang keadaannya diperparah

7
Noni Noerkaisar, EFEKTIVITAS PENYALURAN BANTUAN SOSIAL PEMERINTAH
UNTUK MENGATASI DAMPAK COVID-19 DI INDONESIA,
file:///C:/Users/Noey%20Henry/Downloads/363-Article%20Text-2888-1-10-20210630.pdf.
(diakses pada 25 September 2022, pada pukul 19.38 WIB )
8
Program Bantuan Sosial Untuk Rakyat,
https://www.kominfo.go.id/content/detail/15708/program-bantuan-sosial-untuk-
rakyat/0/artikel_gpr (diakses pada 25 September 2022, pada pukul 19.45 WIB).
18

dengan munculnya pandemi Covid 19. Bantuan sosial sembako akan


disalurkan kepada masyarakat tidak mampu di wilayah Jabodetabek.
Sedangkan wilayah diluar Jabodetabek akan diberikan bantuan sosial
tunai.
4. Masa Pandemi
Pandemi adalah sebuah wabah penyakit yang menyerang hampir
setiap orang, penyebarannya serempak, serta meliputi wilayah yang luas.
Pandemi merupakan penyakit menular dengan angka penyebaran yang
sangat cepat hingga angkanya berada di atas batas wajar. Biasanya
pandemi dimulai dengan kemunculan penyakit tersebut secara tiba-tiba,
lalu dengan cepat menyebar ke wilayah lain bahkan dapat menjangkau
hampir seluruh dunia.9 Terdapat beberapa macam pandemi yang pernah
terjadi di dunia, diantaranya sebagai berikut :
a. Flu Spanyol
Wabah ini terjadi pada tahun 1918–1920 bersamaan dengan
terjadinya Perang Dunia 1. Penyebab dari penyakit flu spanyol adalah
virus H1N1 yang pada umumnya menyerang burung atau ungags,
namun tingkat kematian penyakit ini terbilang tinggi. Jangka usia
yang rentan terkena penyakit ini adalah usia 20 sampai 40 tahun.
Pertama kali muncul di Amerika Utara, namun menjadi pandemi saat
terjadinya penyebaran di Madrid. Sekitar 500 juta orang terjangkit
penyakit ini dan sekitar 20% diantaranya menjadi korban jiwa.
b. HIV/AIDS
Penyakit HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Kongo pada tahun
1976 dan baru ditetapkan sebagai pandemi global pada tahun 1981.
Penyakit ini disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV)
yang mengakibatkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS).
Dari pertama kali ditemukannya HIV/AIDS hingga sekarang, 36 juta
jiwa merupakan korban dari seluruh dunia.

9
Agus Purwanto, dkk, “Studi Eksplorasi Dampak Pandemi COVID 19 terhadap Proses
Pembelajaran Online di Sekolah Dasar”, (Indonesia: Universitas Pelita Harapan, 2020), h. 5
19

c. Flu Babi
Penyakit yang disebabkan oleh jenis baru dari virus H1N1 ini
menyebar pada tahun 2009 - 2010. Bermula dari Meksiko hingga
menyebar ke seluruh dunia hingga menginfeksi 1,4 miliar orang
dengan total korban jiwa sebanyak 500 ribu orang.
d. Ebola
Kasus pertama ditemukan tahun 2014 di sebuah desa di Guinea,
lalu menyebar di Afrika Barat. Penyakit ini ditularkan oleh hewan liar
ke manusia. Penyebaran antara manusia terjadi saat terdapat kontak
langsung dengan darah, sekresi, organ, atau cairan tubuh yang
terinfeksi serta pada permukaan atau bahan yang dapat terkontaminasi
cairan tersebut. Total yang terinfeksi berjumlah 28.600 orang dengan
korban jiwa sebanyak 11.325 orang.10
e. Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
Corona Virus Disease 2019 atau Covid-19 merupakan wabah
penyakit menular yang disebabkan oleh SARS-Cov-2. Kasus
pertamanya ditemukan di Wuhan, China pada akhir 2019. Lalu, terjadi
penyebaran yang cepat ke seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.
Kasus pertama di Indonesia ditemukan pada Maret 2020 di Depok dan
terus menyebar ke berbagai kota. Total korban secara global hingga
25 September 2022 berjumlah 615 juta dengan total korban jiwa
sekitar 6,5 juta orang.

B. Kerangka Teori
1. Teori Pemidanaan
Teori pemidanaan merupakan teori yang berpandangan bahwa
seseorang yang melakukan kejahatan atau pelanggaran, maka seseorang

10
Penyakit Yang Pernah Menjadi Wabah Di Dunia,
http://www.b2p2vrp.litbang.kemkes.go.id/mobile/berita/baca/358/Penyakit-Yang-Pernah-Menjadi-
Wabah-Di-Dunia (diakses pada 25 September 2022, pada pukul 20.34 WIB).
20

tersebut harus melakukan sesuatu untuk mempertanggungjawabkan


perbuatannya. Teori ini diklasifikasikan menjadi 3 golongan besar, yaitu:
a. Teori absolut
Teori ini merupakan teori yang memiliki kaitan erat dengan
kata pembalasan bahkan disebut juga teori pembalasan. Immanuel
Kant yang merupakan tokoh penggagas teori ini memiliki pandangan
bahwa kejahatan akan menimbulkan ketidakadilan, sehingga harus
dibalas juga dengan ketidakadilan. Dalam teori ini, pemidanaan
memiliki tujuan sebagai pembalasan kepada pelaku kejahatan.
Dengan teori ini, pemidanaan yang dijatuhkan kepada pelaku
akan dilakukan sesuai kejahatan yang dilakukan pelanggar tindak
pidana tersebut. Berdasarkan teori ini, pelaku kejahatan yang
menimbulkan penderitaan bagi korban, harus menerima dan
merasakan penderitaan yang setimpal dengan dampak dari perbuatan
yang dilakukan oleh pelaku. Kejatahatan yang dilakukan harus
dibalas dengan pemidanaan tanpa tawar menawar.11
b. Teori Relatif
Teori relatif dalam teori pemidanaan memiliki perspektif
bahwa proses pemidanaan merupakan jalan untuk melindungi serta
memberi kesejahteraan bagi masyarakat. Dengan lahirnya teori ini,
tujuan pemidanaan bukan lagi sebagai jalan untuk melakukan
pembalasan terhadap pelaku kejahatan, tetapi menjadi pencegahan
yang berlaku secara umum di masyarakat. Karena hukuman yang
diberikan sebagai sanksi dimaksudkan untuk memperbaiki
ketidakpuasan masyarakat atas tindakan tersebut dan juga bertujuan
untuk mencegah kejahatan tersebut Kembali dilakukan.
Menurut Leonard, teori ini bertujuan untuk mencegah dan
mengurangi kejahatan. Pemidanaan juga bermaksud untuk

11
Ayu Efritadewi, “Modul Hukum Pidana”, https://law.umrah.ac.id/wp-
content/uploads/2020/05/MODUL-HUKUM-PIDANA.pdf (diakses pada 24 September 2022,
pukul 23.34 WIB).
21

mengubah tingkah laku dari pelaku kejahatan agar tata tertib


masyarakat dapat ditegakkan.12
c. Teori Gabungan
Teori gabungan merupakan teori yang menjadi jalan tengah
dari kedua teori di atas, yang mana dalam teori ini, pemidanaan
memiliki tujuan untuk membalas kesalahan pelaku tindak pidana
dan juga untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan
ketertiban.
Dengan begitu, pidana memiliki hakikat sebagai pelindung
masyarakat serta pembalas bagi pelaku kajahatan. Menurut Roeslan
Saleh, pidana berfungsi untuk mewujudkan kerukunan dan pidana
juga merupakan proses untuk menjadikan orang dapat diterima
kembali dalam masyarakat.13
2. Teori Kepastian Hukum
Kepastian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki
arti perihal (keadaan) pasti, ketentuan, atau ketetapan. Sedangkan, hukum
pada hakikatnya harus pasti dan adil. Hakikat hukum yang pasti sebagai
tuntutan berperilaku serta adil dikarenakan tuntutan berperilaku tersebut
harus mewujudkan suatu tatanan yang dianggap wajar. Sehingga hukum
baru dapat berfungsi saat sifat pasti dan adil telah terwujud.14
Kepastian Hukum menurut Utrecht memiliki dua arti,15yang pertama,
memiliki aturan yang bersifat umum akan memberi pemahamahan kepada
masyarakat terkait perbuatan yang boleh dilakukan serta yang tidak boleh
dilakukan, dan yang kedua, kepastian hukum merupakan perlindungan
hukum bagi masyarakat agar terhindar dari kesewenangan pemerintah

12
Yuli Latriyani, “TEORI-TEORI PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA”, (DOC)
TEORI-TEORI PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA | yuli latriyani - Academia.edu
(diakses pada 25 Maret 2022, pukul 00.30 WIB).
13
Usman, “ANALISIS PERKEMBANGAN TEORI HUKUM PIDANA”, Jurnal Ilmu
Hukum, (2011), h. 74.
14
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum,
(Yogyakarta; Laksbang Pressindo, 2010), h. 59.
15
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya
Bakti,Bandung, 1999, hlm.23.
22

karena aturan bersifat umum tersebut membuat masyarakat mengerti apa


saja yang boleh dibebankan oleh negara kepada masyarakat.

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Tinjauan kajian terdahulu memiliki fungsi sebagai pembanding skripsi


atau karya ilmiah yang terdahulu dengan pembahasan yang penulis teliti
terkait penelitian ini, dan juga bertujuan untuk menghindari plagiasi
maupun duplikasi. Berikut beberapa penelitian yang telah ada :

1. Penelitian yang disusun oleh Azharul Nugraha Putra 16


Penelitian ini membahas terkait kesesuaian penjatuhan pasal
dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam
perkara korupsi yang dilakukan pegawai BUMN. Kesamaan
pembahasan yang kami miliki adalah keduanya membahas tentang
pertanggungjawaban pidana pelaku korupsi berdasarkan Undang
Tindak Pidana Korupsi dan melakukan analisis kasus sesuai perkara
yang terkait. Namun, perbedaannya adalah dalam penelitian saudara
Azharul Nugraha membahas secara khusus pasal 2 dan pasal 3 dan
kesesuaiannya dengan putusan yang dibahas sedangkan dalam skripsi
saya membahas terkait Pertanggungjawaban korupsi suap menyuap
berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
serta menganalisis putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
29/Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst.
2. Penelitian yang disusun oleh Alfian Pratama 17
Penelitian ini membahas terkait pertanggungjawaban pidana bagi
pelaku tindak pidana korupsi alat pengadaan Kesehatan serta
penerapan sanksi pidana dalam putusan no. 62/Pid.Sus/2016/Pn.Mks.

16
Azharul Putra Nugraha, “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA
KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH KARYAWAN BADAN USAHA MILIK NEGARA”,
Universitas Hasanuddin, (Tidak diterbitkan)
17
Alfian Pratama, “ANALISIS YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN ALAT KESEHATAN (Studi Putusan Nomor
62/Pid.Sus.Tpk/2016/Pn/Mks)”, Universitas Hasanuddin, (Tidak diterbitkan)
23

Kesamaan pembahasan yang kami miliki adalah penelitian yang kami


lakukan adalah dengan menganalisis pasal yang terdapat dalam
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Namun, perbedaannya
adalah dalam penelitian saudara Alfian Pratama membahas terkait
pasal 2 dan 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan
dengan kerugian negara serta penerapan sanksi dalam putusan
tersebut, sedangkan dalam skripsi ini membahas terkait
pertanggungjawaban pidana korupsi suap menyuap berdasarkan
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta
menganalisis putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
29/Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst.
3. Penelitian yang disusun oleh Muhammad Zulham 18
Penelitian ini membahas tentang kualifikasi tindak pidana korupsi
pekerjaan pembangunan pasar serta bagaimana penjatuhan sanksi
pidana menurut pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang didakwakan pada tersangka sesuai Putusan
Nomor 8/Pid.Sus-TPK/2020/PT PAL. Kesamaan penelitian yang
kami lakukan ialah keduanya membahas dan menganalisis pasal
mengenai suap dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi .Namun terdapat bahasan yang menjadi pembeda dalam
penelitian kami yaitu, di dalam skripsi saudara Muhammad Zulham
dibahas terkait kualifikasi dari tindak pidana korupsi suap dan
penjatuhan sanksi pada terdakwa menurut putusan terkait, sedangkan
dalam skripsi saya dibahas terkait pertanggungjawaban pidana
korupsi suap menyuap dengan gratifikasi berdasarkan Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta menganalisis
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 29/Pid.Sus-
Tpk/2021/PN.Jkt.Pst.

18
Muhammad Zulham, “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK
PIDANA KORUPSI SECARA BERSAMA-SAMA PADA PERKERJAAN PEMBANGUNAN
PASAR” Universitas Hasanuddin, (Tidak diterbitkan).
24

4. Penelitian yang ditulis oleh Christian Victor Samuel Marzuki,


dkk19
Penelitian ini membahas tentang bagaimana kebijakan pemerintah
yang berupa bantuan sosial di masa pandemi Covid-19, Tindakan
penyalahgunaan wewenang yang mengacu pada Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta memberi beberapa
contoh kasus yang serupa. Kesamaan dari pembahasan kami adalah
keduanya membahas tentang korupsi yang dilakukan pejabat di
tengah pandemi mengacu pada Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi disertakan dengan studi kasus yang berkaitan. Perbedaan
dalam pembahasan yang kami miliki apabila dalam artikel tersebut
membahas terkait pasal penyalahgunaan wewenang oleh pejabat
pemerintahan serta memberi contoh kasus yang berkaitan, sedangkan
dalam skripsi saya akan dibahas terkait pasal suap yang berada di
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi disertakan dengan analisis
kasus yang mendalam terkait korupsi bantuan sosial.
5. Penelitian yang ditulis oleh Ni Komang Sri Herawati Octa, dkk20
Penelitian ini membahas tentang pertanggungjawaban pidana
pelaku korupsi berdasarkan hukum positif. Kesamaan penelitian kami
adalah membahas tentang pertanggungjawaban pidana pelaku korupsi,
tetapi yang membedakan adalah pada penelitian saya, terdapat kasus
yang juga dijadikan bahan penelitian untuk dikaitkan dengan
pertanggungjawaban tersebut.

19
Christian Victor Samuel Marzuki, John Dirk Pasalbessy, Jetty Patty, “Aspek Melawan
Hukum Pidana Terhadap Perbuatan Penyalahgunaan Wewenang Dalam Penyaluran Bantuan
Sosial Di Masa PSBB”. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 1 No. 7, 2021, h.674 – 677.
20
Ni Komang Sri Herawati Octa, Anak Agung Sagung Laksmi Dewi, Luh Putu Suryani,
“PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DANA BANTUAN SOSIAL
PANDEMI COVID-19 YANG DILAKUKAN OLEH PEJABAT NEGARA”. Jurnal Preferensi
Hukum. Vo. 3 No. 2, 2022, h. 424-429.
25

6. Penelitian yang disusun oleh Farug Human Maulana21

Penelitian ini membahas tentang dasar penjatuhan pidana mati


bagi pelaku korupsi serta hal yang menjadi kendala dalam penjatuhan
pidana tersebut. Persamaan dalam penelitian kami adalah keduanya
membahas tentang hukuman mati bagi pelaku korupsi bantuan sosial
covid-19. Sedangkan perbedaannya adalah dalam penelitian saya
menggunakan analisis putusan terkait serta menjelaskan
pertanggungjawaban bagi pelaku sesuai dengan amar putusan.

7. Penelitian yang disusun oleh Enrico Kirby Wijaya

Penelitian ini menganalisis terkait kasus korupsi bantuan sosial


covid-19 serta peran KPK dalam kasus tersebut.22 Persamaan
penelitian yaitu objek penelitian kami adalah kasus korupsi yang
dilakukan mantan Menteri sosial Juliari. Lalu, perbedaannya dalam
penelitian Enrico Kirby Wijaya lebih fokus pada bagaimana peran
pemerintah dalam pengawasan berjalannya program bantuan sosial,
serta bagaimana peran KPK dan tindakan yang perlu diambil dalam
kasus korupsi bantuan sosial yang dilakukan di masa pandemi
tersebut, sedangkan dalam penelitian saya fokus penelitian adalah
pada pertanggungjawaban pidana korupsi bantuan sosial di masa
pandemi serta memaparkan analisis peneliti terkait perimbang hakim
dan penerapan hukum dalam putusan terkait.

8. Penelitian yang disusun oleh Fitri Anugrah


Penelitian ini menganalisis terkait kasus korupsi dana bantuan
sosial yang dilakukan secara bersama-sama dengan melakukan studi
kasus berdasarkan putusan no. 2703K/Pid.Sus/2015/PN. Mks).
Persamaan penelitian kami adalah keduanya membahas terkait

21
Farug Human Maulana, “PENJATUHAN PIDANA MATI BAGI PELAKU KORUPSI
DANA BANTUAN COVID – 19”, Universitas Sriwijaya, (Tidak diterbitkan)
22
Enricko Kirby Wijaya, “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KASUS KORUPSI DANA
BANTUAN SOSIAL DI MASA PANDEMI COVID-19 OLEH EKS MENTERI SOSIAL JULIARI”,
Universitas Diponegoro, (Tidak diterbitkan)
26

pertanggungjawaban pidana korupsi bantuan sosial, namun


perebedaannya terletak pada studi kasus yang kami gunakan yaitu
saudari Fitri menggunakan Putusan Pengadilan Negeri Makassar No.
2703K/Pid.Sus/2015/PN. Mks , sedangkan saya menggunakan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 29/Pid.Sus-
Tpk/2021/PN.Jkt.Pst .23
9. Penelitian yang disusun oleh Ninik Alfiyah24
Penelitian ini menganalisis pertanggungjawaban pidana korupsi
bantuan sosial yang dilakukan di masa pandemi serta membahas
terkait kemungkinan digunakannya pasal 2 Undang-undang Tindak
Pidana Korupsi. Persamaan pembahasan kami adalah keduanya
memiliki pembahasan terkait pertanggungjawaban pidana bantuan
sosial yang dilakukan di masa pandemi. Tetapi, terdapat perbedaan
dalam pembahasan kami, yaitu penelitian obejek penelitian saya
menggunakan studi kasus berdasarkan putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat No. 29/Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst, sedangkan saudari
Ninik hanya membahas pertanggungjawaban pidana pelaku korupsi
bantuan sosial secara general.
10. Penelitian yang disusun oleh Yones Kumombong, Selviani
Sambali, Fonny Tawas25
Penelitian ini membahas tentang bagaimana pengawasan
pemerintah dalam penyaluran dana bantuan sosial Covid-19 kepada
masyarakat dan bagaimana tanggungjawab pemerintah dalam
menyikapi tindak pidana korupsi bantuan sosial Covid-19 kepada
masyarakat. Persamaan penelitian kamu adalah membahas tentang

23
Fitri Anugrah, “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI
DANA BANTUAN SOSIAL SECARA BERSAMA-SAMA (Studi Kasus Putusan Nomor: 2703
K/Pid.Sus/2015)”, Universitas Hasanuddin, (Tidak diterbitkan)
24
Ninik Alfiyah, “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU KORUPSI BANTUAN
SOSIAL DI MASA KEDARURATAN PANDEMI COVID-19”. Jurnal Education and Development.
Vol. 9 No. 2, 2021, h. 378-382
25
Yones Kumombong, Selviani Sambali, Fonny Tawas, “KAJIAN YURIDIS MENGENAI
TINDAK PIDANA KORUPSI DANA BANTUAN SOSIAL COVID-19 YANG DILAKUKAN OLEH
PEJABAT DAERAH”, (Tidak diterbitkan)
27

pertanggungjawaban tindak pidana bagi pelaku korupsi bantuan sosial


pada masa pandemic. Tetapi perbedaan kami adalah pada penelitian
saya terdapat studi kasus berdasarkan putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat terkait kasus Juliari Batubara. Sedangkan pada
penelitian saudara Yones Kumombong, Saudari Selviani Sambali,
dan saudari Fonny Tawas hanya membahas secara umum.

D. Tinjauan Umum Tentang Pertanggungjawaban Pidana


Pertanggungjawaban pidana merupakan perbuatan pelaku yang
merupakan akibat dari perbuatannya yang melanggar aturan pidana.
Pertanggungjawaban pidana atau disebut juga “Criminal Liability” dapat
diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada
perbuatan pidana secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat
dipidana karena perbuatannya tersebut.26 Pada hakikatnya, konsep dari
pertanggungjawaban pidana sendiri bukan hanya menyangkut nilai atau
norma hukum semata tetapi juga menyangkut nilai moral dan kesusilaan.
Dengan terjaganya nilai moral dan kesusilaan yang dimiliki masyarakat,
diharapkan pertanggungjawaban pidana dalam bentuk norma hukum dapat
mencapai keadilan yang semestinya.
Pertanggungjawaban pidana juga merupakan hal yang cukup vital
dalam hukum pidana. Dalam pertanggungjawaban pidana terdapat asas
yang sangat penting, yakni asas kesalahan/asas culpabilitas. Pada asas
kesalahan ini perlu berdasarkan keadilan yang diimbangi dengan asas
legalitas yang berdasarkan kepastian. Namun, dengan asas kesalahan yang
berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, dalam suatu keadaan
tertentu dapat terjadi pertanggungjawaban pidana pengganti yang
merupakan pengecualian dari asas kesalahan. Yang mana dalam hal ini,
maka seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana yang
dilakukan oleh orang lain.

26
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta; Sinar Grafika, 2011) h. 20.
28

Dengan adanya pertanggungjawaban pidana, maka dapat diketahui


secara pasti kewajiban yang dapat dibebankan kepada seseorang yang
melakukan pelanggaran pidana. Karena dalam pertanggungjawaban
pidana, kewajiban yang dibebankan akan ditentukan berdasar pada sanksi
pidana yang telah diatur sebelumnya. Dalam prosesnya juga dapat
diketahui apakah seseorang dapat dijatuhi hukuman pidana atau tidak.
Dalam hal terkait diminta pertanggungjawabannya berartikan bahwa
seseorang tersebut akan dijatuhkan hukuman secara pidana atau tidak.
tentu penjatuhan pidana akan dilakukan dengan berbagai pertimbangan,
seperti sudah harus dapat dibuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan
merupakan tindak pidana, pelaku dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya tersebut, serta juga harus dibuktikan apakah perbuatan
tersebut dilakukan secara sengaja atau karena kelalaian. Sehingga pelaku
akan memahami dan mengetahui kesalahan yang dilakukan.27 Selain itu
pertanggungjawaban pidana juga memiliki relasi dengan masyarakat, yaitu
diyakini dengan penjatuhan pidana terhadap pelaku juga dapat
menimbulkan efek jera sehingga memiliki fungsi social control di
masyakarat.

27
Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya,
(Jakarta; Storia Grafika, 2002), h.54.
BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS KASUS KORUPSI
BANTUAN SOSIAL

A. Posisi Kasus
Pada 13 April 2020, Presiden menetapkan Corona Virus Disease 2019
sebagai bencana nasional. Karena itu, 16 April 2020, Terdakwa menetapkan
adanya bantuan sosial sembako dan bantuan sosial tunai dalam penanganan
dampak Corona Virus Disease 2019. Dalam Keputusan yang dikeluarkan,
bantuan sosial sembako akan dilaksanakan di wilayah Jabodetabek.
Tanggal 19 April 2020, Terdakwa melakukan pertemuan di rumah
dinasnya dengan beberapa pejabat Kementerian Sosial, diantaranya Hartono
(Sekretaris Jendral Kementerian Sosial), Pepen Nazarudin (Direktur Jendral
Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial), Isak Sawo (Direktur
Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial/PSKBS), Adi Wahyono (Kepala
Biro Umum Kementerian Sosial), dan Victorius Saut Hamonangan/ (Kepala
Sub Direktorat Penanganan Bencana Sosial & Politik pada direktorat PSKBS
KEMENSOS dan PPK Reguler Direktorat PSKBS) untuk membahas
pelaksanaan bantuan sosial sembako dan penentuan perusahaan penyedia
sembako. Saat itu, Terdakwa menunjuk AW agar membantu penyediaan
bantuan sosial tersebut.
Pada tanggal 20 April, Matheus Joko Santoso ditunjuk sebagai Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) dan tanggal 30 April, Adi Wahyono ditunjuk
Terdakwa menjadi Pelaksana Tugas Direktur Perlindungan Sosial Korban
Bencana Sosial Kementerian Sosial. Lalu, Terdakwa juga menunjuk Adi
Wahyono menjadi Kuasa Pengguna Anggaran pada Direktorat PSKBS dan
memerintahkan Adi Wahyono untuk mengumpulkan fee sebesar Rp.10.000
(sepuluh ribu rupiah) per paket dari penyedia untuk kepentingan pribadinya
dengan berkoordinasi Bersama Kukuh Ari Wibowo (tim teknis kementerian
sosial) dalam pengadaan bantuan sosial.

29
30

Setelah itu, Adi Wahyono menyampaikan perintah Terdakwa kepada


Hartono, Pepen Nazarudin, dan Matheus Joko. Matheus juga mengumpulkan
fee operasional Terdakwa dan kegiatan lainnya di Kementerian Sosial.
Penunjukkan penyedia sembako dan pengalokasian dilakukan dengan Kukuh
Ari memberi catatan kuota paket sembako serta nama perusahaan penyedia
kepada Matheus. Lalu, Matheus menyampaikan dan merekapnya dalam
sebuah draft usulan penyedia sembako yang diserahkan kepada Adi, Adi
menyerahkan kepada Pepen, Pepen menyerahkah kepada Terdakwa untuk
diperiksa dan disetujui.
Pada awal Juni, Terdakwa meminta MS melalui KA untuk melaporkan
realisasi pengumpulan uang fee. Lalu, pada tahap 6 bantuan sosial
dilaksanakan, MS dan AW menemui Terdakwa di ruangan kerja Terdakwa
terkait penerimaan uang fee. Sehingga Terdakwa meminta AW dan MS
memaksimalkan pengumpulan uang fee dari penyedia sembako di tahap
berikutnya.
Di bulan September, Terdakwa melakukan pertemuan dengan MS serta
AW di rumah dinasnya untuk menyampaikan akan ada penggantian PPK
Bantuan Sosial sembako dari MS ke AW, namun tugas teknis PPK akan tetap
dilakukan MS, meskipun yang menjabat AW. Hingga awal Oktober,
Terdakwa mengangkat Sunarti sebagai KPA menggantikan AW. Kemudian di
pertengahan Oktober, AW ditunjuk sebagai PPK secara resmi. Untuk
menjalani permintaan Terdakwa, MS dan AW mengumpulkan uang fee
dengan rincian sebagai berikut :
1. Harry Van Sidabukke (PT. Pertani dan PT. Mandala Hamonangan Sude)
sebesar Rp 1.280.000.000 (satu miliar dua ratus delapan puluh juta
rupiah)
2. Ardian Iskandar Maddanatja (PT. Tigapilar Agro Utama) sebesar Rp.
1.950.000.000 (satu miliar sembilan ratus lima puluh juta rupiah)
3. Penerimaan fee seluruhnya berjumlah Rp. 29.252.000.000 (dua puluh
sembilan miliar dua ratus lima puluh dua juta rupiah) dari penyedia
lainnya.
31

Setelah uang fee terkumpul, Terdakwa menerima uang fee secara


bertahap, yang seluruhnya berjumlah Rp. 14.700.000.000 (empat belas miliar
tujuh ratus juta rupiah) Selain diberi kepada Terdakwa, uang tersebut juga
dibagikan kepada beberapa pihak lain yang terlibat. Selanjutnya, dengan
sepengetahuan Terdakwa, uang fee tersebut juga digunakan untuk kegiatan
operasional Terdakwa selaku Menteri Sosial dan kegiatan Kementerian Sosial
lainnya.
Hingga pada tanggal 5 Desember 2020, MS ditangkap di rumahnya oleh
KPK dan ditemukan sejumlah uang dalam mata uang rupiah, dollar Amerika,
dan dollar Singapura. Kemudian, ditemukan pula sejumlah uang di rumah MS
yang beralamat berbeda. Selain MS, beberapa pejabat Kementerian Sosial
juga ditangkap oleh KPK. Keesokkan harinya, Terdakwa juga dijadikan
tersangka oleh KPK.1

B. Pertimbangan Hakim

Dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, hakim didefinisikan


sebagai hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan
tersebut. Sedangkan dalam pasal 1 ayat (8) Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana, hakim diartikan sebagai pejabat peradilan negara yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Yang pada ayat berikutnya,
dijelaskan bahwa mengadili merupakan serangkaian tindakan hakim untuk
menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas,
jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini.
Hakim memiliki tugas yaitu memutuskan tiap-tiap perkara atau
permasalahan yang diajukan kepada mereka dan menetapkan hal terkait nilai

1
Juliari Pieter Batubara, Nomor 29/Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst, Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, 23 Agustus 2023.
32

hukum dari perilaku, hubungan hukum, serta kedudukan hukum para pihak
terlibat. Hal ini bertujuan agar hakim dapat menyelesaikan perkara secara
imparsial berdasarkan hukum yang ada, selain itu hakim juga harus bebas dari
pengaruh siapapun, terutama saat melakukan pemutusan perkara.2
Dalam menjatuhkan putusan atas perkara yang ditanganinya, hakim
memiliki kebebasan yang kontekstual yaitu :
1. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan
2. Tidak ada yang dapat mempengaruhi atau mengarahkan hakim dalam
menjatuhkan putusan, tak terkecuali pemerintah.
3. Tidak ada konsekuensi secara pribadi terhadap hakim dalam menjalani
tugas dan fungsi sebagaimana harusnya.3
Menurut peneliti, berdasarkan hal yang dijabarkan diatas dapat diketahui
bahwa bebas yang dimaksud dalam kebebasan hakim bukan berarti tidak
memiliki batasan. Tetapi lebih menunjukkan bahwa dalam tugasnya, terutama
dalam memutus suatu perkara, hakim tidak dapat dipengaruhi oleh apapun,
siapapun, serta segala kekuasaan dalam bentuk apapun, kecuali sesuai dengan
hukum yang berlaku. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa hakim
dalam memutus perkara harus mengacu pada keadilan yang sepatutnya,
memiliki alasan hukum atau legal reasoning yang kuat, serta dasar hukum
juga penalaran yang logis.
Selain itu, untuk menjatuhkan putusan, hakim harus memperhatikan
aspek-aspek lain, seperti surat dakwaan, fakta hukum yang ada di
persidangan, bahkan keadaan dalam persidangan.4 Serta berdasarkan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana, pasal 183 juga diatur bahwa dalam
memutus perkara dengan menjatuhkan pidana kepada terdakwa, hakim harus
memiliki setidaknya 2 (dua) alat bukti yang sah untuk dijadikan pertimbangan
bagi hakim. Karena Indoenesia menganut sistem pembuktian negatif yang

2
Wildan Suyuthi Mustofa, “Kode Etik Hakim, Edisi Kedua”, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2013), h. 74
3
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 104.
4
Bambang Waluyo, “Pidana dan Pemidanaan”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 80.
33

berarti dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa, hakim memerlukan


sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah disertai dengan keyakinan
hakim bahwa tindak pidana tersebut benar-benar terjadi sehingga terdakwa
dinyatakan bersalah atas perbuatan tersebut.
Dari penjabaran terkait pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan,
maka pertimbangan tersebut dikategorikan dalam 3 kelompok, yaitu ;
1. Pertimbangan Yuridis
Pertimbangan yuridis merupakan pertimbangan paling utama dalam
pertimbangan hakim. Dalam pertimbangan ini berarti dasar dari
penjatuhan putusan yang dilakukan hakim adalah ketentuan peraturan
perundang-undangan secara formil. Dengan begitu, menurut peneliti,
hakim yang diamanatkan kekuasaan kehakiman dengan tujuan
menegakkan hukum demi terselenggaranya negara hukum Republik
Indonesia dituntut untuk memahami hukum yang sesuai, dalam hal ini
Undang-undang yang memiliki kaitan dengan perkara tersebut.
Selain itu, pada pelaksanaannya, pertimbangan yuridis adalah elemen
yang dianggap paling penting dalam putusan, karena di dalamnya terdapat
pembuktian setiap unsur tindak pidana yang akan menentukan apakah
terdakwa terbukti bersalah sesuai dakwaan Jaksa Penuntut Umum.5
Sehingga dalam pertimbangan yuridis ini, hakim harus mempertimbangan
fakta hukum serta dalam persidangan,6 seperti dakwaan jaksa penuntut
umum, keterangan terdakwa, keterangan saksi, dan sebagainya.
2. Pertimbangan Filosofis
Pada pertimbangan filosofis adalah pertimbangan hakim yang fokus
berusaha memberi keadilan kepada terdakwa juga korban.7 Sedangkan
menurut Bagir Manan yang ditulis beliau dalam bukunya yang berjudul
“Dasar-dasar Pertimbangan Undang-undangan Indonesia”, nilai filosofis

5
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia,
(Malang; PT Citra Aditya Bakti, 2014) h. 129.
6
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, …
h.219.
7
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 20.
34

atau nilai dalam cita hukum (rechtsidee) perlu ditunjukkan sebagai sarana
menjamin keadilan. Hal ini berarti hakim akan mempertimbangkan untuk
menjatuhkan pidana sebagai upaya dalam membantu terdakwa
memperbaiki perilakunya tanpa mengesampingkan rasa keadilan yang
patut dirasakan korban. Menurut peneliti, pertimbangan filosofis ini cukup
penting untuk menunjukkan fungsi hukum pidana terhadap terdakwa, yaitu
mendidik orang yang telah melakukan tindak pidana agar menjadi orang
baik dan dapat diterima kembali dalam masyarakat.
Jadi, pidana yang dijatuhkan bukan lagi pidana yang bertujuan untuk
membalas dendam terhadap terdakwa atas perbuatannya hingga terdakwa
harus merasakan penderitaan yang sama seperti yang dirasakan korban,
melainkan lebih kepada memberi pembelajaran kepada terdakwa, namun
juga tetap dengan memperhatikan hak serta rasa keadilan dari korban.
3. Pertimbangan Sosiologis
Pertimbangan sosiologis berarti saat melakukan penjatuhan pidana,
hakim melakukan pertimbangan dengan latar belakang sosial dari
terdakwa serta pidana yang dijatuhkan juga bermanfaat bagi masyarakat.8
Jika putusan hakim menjadikan pertimbangan sosiologis sebagai salah satu
pertimbangannya, maka putusan tersebut seharusnya tidak akan
bertentangan dengan hukum yang ada di masyarakat. Hal ini sesuai dengan
aturan pada pasal 5 ayat (1) dalam Undang-undang No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa hakim diharuskan memahami dan
mengikuti nilai hukum dan keadilan yang tumbuh di masyarakat.
Sehingga, manfaat dari pidana yang dijatuhkan dapat dirasakan
masyarakat.
Salah satu mantan hakim agung Mahkamah Agung, yakni hakim
Bismar Siregar menulis dalam bukunya yang berjudul “Bunga Rampai
Karangan Tersebar” bahwa seandainya terjadi dan akan terjadi benturan
bunyi hukum antara yang dirasakan adil oleh masyarakat dengan apa yang

8
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Konteporer, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2007), h.212.
35

disebut kepastian hukum, jangan hendaknya kepastian hukum dipaksakan


dan rasa keadilan masyarakat dikorbankan. Maka dapat disimpulkan
bahwa pertimbangan sosiologis merupakan pertimbangan hakim untuk
menjatuhkan pidana berdasarkan apa yang adil untuk terdakwa juga dapat
diterima dan tidak berlawanan dengan rasa keadilan serta hukum yang
berlaku pada masyarakat.
Apabila dalam pertimbangan filosofis, hakim mempertimbangkan rasa
keadilan agar tidak condong pada salah satunya, melainkan sesuai dengan
hak yang seharusnya terhadap terdakwa dan korban. Sedangkan dala
pertimbangan sosilogis, hakim diminta untuk mempertimbangkan rasa
keadilan yang seharusnya terhadap terdakwa dengan tanpa mengabaikan
rasa keadilan pada masyarakat.

C. Pertanggungjawaban Pidana Kasus Korupsi Bantuan Sosial


1. Unsur Pertanggungjawaban Pidana
Dalam hukum pidana, dikenal trias hukum pidana yaitu 3 (tiga)
masalah pokok dalam hukum pidana. Trias hukum pidana tersebut adalah
perbuatan yang melawan hukum, kesalahan, dan pidana. Objek dari ilmu
hukum pidana adalah perbuatan yang dapat dipidana yang terwujud in
abstracto dalam hukum yang berlaku.9 Roeslan Saleh mendefiniskan
perbuatan pidana sebagai perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan
sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan.
a. Mampu bertanggungjawab
Setiap yang mampu bertanggungjawab, dalam hal ini dapat orang
perseorangan atau korporasi. Menurut Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, pasal 44 dinyatakan bahwa “Barang siapa melakukan
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya
karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena
penyakit, tidak dipidana”.

9
Yarni Nikita, TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DANA
BANTUAN SOSIAL (Studi Kasus Putusan Nomor: 18/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Mks.), Universitas
Hasanuddin, (Tidak diterbitkan), h. 42.
36

b. Adanya kesalahan
Kesalahan seseorang merupakan hal penting dalam hukum
pidana. Bahkan dalam hukum positif negara kita mengenal asas
kesalahan yang menyatakan tiada pidana tanpa kesalahan.
Berdasarkan asas tersebut kita mengetahui bahwa seseorang baru
dapat diminta pertanggungjawaban, apabila terdapat kesalahan yang
melekat padanya.10 Dalam hukum pidana, dikenal 2 (dua) bentuk
kesalahan yaitu kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa,
yang akan peneliti uraikan sebagai berikut:
1.) Kesengajaan
Dalam pasal 11 Criminal Wetboek Nederland dijelaskan
bahwa sengaja adalah maksud berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu yang dilarang atau diperintahkan undang undang. 11
2.) Kealpaan
Kealpaan merupakan kesalahan yang terjadi karena ketidak
hati-hatian karena kurang melihat ke depan atau berpikir
panjang. Kesalahan berbentuk kealpaan ini dianggap lebih
ringan dibanding kesengajaan.
c. Tidak ada alasan pemaaf
Menyangkut pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan
pidana telah dilakukan. Alasan pemaaf dapat menghapuskan
kesalahan orang yang melakukan delik atas beberapa hal. Alasan
pemaaf terdiri dari :
1.) Daya paksa relatif (Pasal 48 KUHP)
2.) Pembelaan terpaksa melampaui batas (Pasal 49 ayat (2) KUHP)
3.) Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah, tetapi terdakwa
mengira perintah itu sah (Pasal 51 ayat (2) KUHP)
2. Pertanggungjawaban Pidana Kasus Korupsi Bantuan Sosial

10
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo, 2014), h. 227.
11
Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 226.
37

Arti dari suap menurut Wiyono dalam bukunya yang berjudul


Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
merupakan suatu tindakan memberikan uang atau barang atau
perjanjian khusus kepada orang lain yang memiliki otoritas atas
sesuatu dan meminta untuk menyesuaikan otoritas yang dimiliki untuk
memberi keuntungan kepadanya atas kompensasi sesuatu yang dia
inginkan untuk menutupi tuntunan lainnya yang masih kurang.12 Jika
dilihat dari Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, untuk tindak pidana suap menyuap diatur dalam 5
pasal, yaitu pasal 12 (pasal 12 huruf a,b,c, dan d), pasal 5, pasal 6,
pasal 11, dan pasal 13.
Terkait dengan kasus korupsi bantuan sosial, Juliari dikenakan
pasal 12 huruf b Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tindak Pidana
Korupsi yang terkait dengan tindak korupsi suap menyuap, disebutkan
tentang ancaman hukuman bagi pemberian hadiah kepada pegawai
negeri sebagai berikut :
Pasal 12 huruf b
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut
diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
dengan kewajibannya.
Ancaman hukuman pidana bagi pelaku yang melanggar pasal
tersebut adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu miliar
rupiah).

12
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 132.
38

3. Analisis Peneliti
Dalam kasus korupsi bantuan sosial mantan Menteri sosial dalam
program bantuan sosial, dapat kita ketahui bahwa Juliari Pieter
Batubara, sebagai subjek hukum memenuhi unsur pertama. Juliari
merupakan subjek hukum orang perseorangan yang mampu
mempertanggungjawab. Unsur ini dapat dilihat dari kemampuan
Juliari dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan
tegas dan yakin. Selain itu, secara fisik dan jiwa terdakwa juga sehat.
Selain itu, jika mengacu pada KUHP, Juliari sebagat terdakwa dalam
perkara no 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst terkait kasus korupsi
bantuan sosial juga tidak memenuhi hal yang dapat menghapus
pertanggungjawaban pidana yang dilakukan, baik alasan pembenar
maupun pemaaf.
Menurut salah satu hakim Pengadilan Negeri Makassar yaitu Hakim
Rostansar S. H., M. H., terdapat 3 (tiga) alasan terhapusnya
tanggungjawab secara pidana yang tidak disebut, yaitu :
a. Negara tidak dirugikan;
b. Terdakwa tidak memperoleh untung;
c. Kepentingan umum terselenggara.13
Jika ketiga unsur tersebut terpenuhi, maka terdakwa dapat diputus
dengan putusan lepas. Menurut LiliK Mulyadi, dalam bukunya yang
berjudul “Hukum Acara Pidana” pada hal. 152-153. Putusan lepas
berarti segala tuntutan hukum atas perbuatan terdakwa dalam surat
dakwaan terlah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum
tetapi terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana.14
Berdasarkan alasan penghapus pertanggungjawaban diatas, pada
kasus korupsi bantuan sosial yang dilakukan terdakwa Juliari juga tidak

13
Yarni Nikita, TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DANA
BANTUAN SOSIAL (Studi Kasus Putusan Nomor: 18/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Mks.), Universitas
Hasanuddin, (Tidak diterbitkan), h. 48.
14
Moeljatno, Delik-delik Percobaan dan Delik-delik Penyertaan, (Jakarta: PT. Bina
Askara , 1985), h. 88.
39

memenuhi alasan penghapusan tersebut. Karena berdasarkan


pertimbangan hakim dalam putusan perkara tersebut, terdakwa terbukti
memperoleh keuntungan dari suap yang diberikan oleh para penyedia
bantuan sosial sebesar Rp. 32.482.000.000 (tiga puluh dua milyar empat
ratus delapan puluh dua juta rupiah). Selain itu, dengan buruknya
kualitas dari bantuan sosial yang diterima masyakat tentu syarat
kepentingan umum terselenggara tidak terpenuhi. Karena banyak
masyarakat yang merasa bantuan sosial yang terima tidak layak untuk
dikonsumsi. Sehingga tujuan dari program tersebut juga tidak tercapai.
Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa telah terhapus alasan
penghapusan pertanggungjawaban pidana tersebut.
Selanjutnya adalah unsur kesalahan, yang dalam kasus korupsi ini
terdakwa dengan sengaja memberikan perintah kepada bawahannya
untuk melakukan pemungutan uang commitment fee sebesar Rp.10.000
(sepuluh ribu rupiah). Dengan diberikannya commitment fee tersebut
terdakwa melalaikan tanggungjawabnya sebagai pimpinan tertinggi di
Kementerian Sosial untuk memastikan berjalannya program, salah
satunya dengan adanya pengecekan latar belakang dan kesiapan
perusahaan penyedia dalam program bantuan sosial. Berdasarkan pasal
55 KUHP, disebutkan bahwa turut serta dipidana sebagai pelaku tindak
pidana bagi seseorang yang melakukan atau menyuruh melakukan
perbuatan pidana.
Meskipun bukan terdakwa yang secara langsung melakukan
pemungutan commitment fee dari para penyedia. Namun, dengan
keluarnya perintah dari terdakwa kepada bawahannya. Maka, terpenuhi
pula unsur kesalahan yang sengaja dilakukan oleh terdakwa.
BAB IV
PERTIMBANGAN HAKIM DAN PENERAPAN HUKUM TERHADAP
KASUS KORUPSI BANTUAN SOSIAL PADA MASA PANDEMI
(Analisis Putusan No. 29/Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst)

A. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum


Berdasarkan Putusan No. 29/Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst, diketahui
bahwa surat dakwaan jaksa penuntut umum pada intinya berisikan dakwaan
untuk Juliari Pieter Batubara dalam kasus korupsi bantuan sosial dengan
menggunaan dakwaan subsidair sebagai berikut :
1. Dakwaan Primair
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
pasal 12 huruf b Juncto Pasal 18 Undang-undang RI Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah
dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
2. Dakwaan Sekunder
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
pasal 11 Juncto Pasal 18 Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah
dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

B. Pertimbangan Hakim
1. Pertimbangan Hakim
Berdasarkan fakta hukum di persidangan, majelis hakim
mempertimbangkan perbuatan yang dilakukan terdakwa telah memenuhi

40
41

unsur-unusr dari pasal yang didakwakan kepada terdakwa. Berikut


beberapa pertimbangan hakim terkait unsur tindak pidana yang
terpenuhi:

a. Unsur “Pegawai negeri atau Penyelenggara Negara”

(1) Menimbang, berdasarkan fakta-fakta di persidangan,


Terdakwa yaitu JB merupakan Menteri Sosial RI dalam
Kabinet Indonesia Maju Periode Tahun 2019-2024.

(2) Menimbang, bahwa dalam Pasal 1 angka 2 huruf c


Undang-undang RI No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah
dengan Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2001 yang
menyatakan bahwa orang menerima gaji atau upah dari
keuangan negara atau daerah merupakan pegawai negeri,
sedangkan terdakwa JB merupakan orang yang menerima
gaji atau upah dari keuangan negara karena jabatannya
sebagai Menteri Sosial sehingga merupakan Pegawai
Negeri.

b. Unsur “Menerima hadiah”


(1) Menimbang, bahwa berdasarkan Putusan Hoge Raad tanggal 25
April 1916 yang dimaksud dengan menerima hadiah adalah
segala sesuatu yang mempunyai arti, yang termasuk sesuatu
adalah baik berupa benda berwujud, misal mobil dan televisi, atau
benda tidak berwujud misalnya fasilitas bermalam di suatu hotel
berbintang.
(2) Menimbang, melalui alat bukti yang ada. Terdakwa melalui MJS
dan AW terbukti telah menerima fee berupa uang dari saksi HVS
dan beberapa penyedia bantuan sosial lainnya dengan jumlah
seluruhnya sebesar Rp. 32.482.000.000 (tiga pulh dua miliar
empat ratus delapan puluh dua juta rupiah). Dengan demikian,
menurut Majelis Hakim, unsur “Menerima hadiah” dalam
dakwaan perkara a quo telah terpenuhi.
42

c. Unsur “Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut


diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya”
(1) Menimbang, bahwa dalam seorang pegawai negeri atau
penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya dikatakan
bertentangan dengan kewajibannya jika terdapat keadaan sebagai
berikut :

a.) Pegawai negeri atau penyelenggara negara telah


“berbuat” sesuatu, padahal berbuat sesuatu tersebut
“tidak merupakan kewajiban” yang terdapat atau
melekat pada jabatan pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang bersangkutan;

b.) Pegawai negeri atau penyelenggara negara telah


“tidak berbuat” sesuatu, padahal tidak berbuat
sesuatu, “tidak merupakan kewajiban” yang terdapat
atau melekat pada jabatan pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang bersangkutan, atau dengan
perkataan lain justru pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut harus berbuat sesuatu
sesuai dengan kewajiban yang terdapat atau melekat
pada jabatan pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang bersangkutan.

2. Keadaan yang Meringankan

a. Terdakwa belum pernah dijatuhi pidana;


b. Terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh
masyarakat. Terdakwa telah divonis oleh masyarakat telah
bersalah, padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah
sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap;
43

c. Selama persidangan kurang lebih 4 (empat) bulan terdakwa hadir


dengan tertib, tidak pernah bertingkah dengan macam-macam
alasan yang akan mengakibatkan persidangan tidak lancar, padahal
selain sidang untuk dirinya sendiri selaku terdakwa, terdakwa juga
harus hadir sebagai saksi dalam perkara terdakwa ADI
WAHYONO dan MATHEUS JOKO SANTOSO.
3. Keadaan yang Memberatkan
a. Terdakwa tidak mengakui perbuatannya telah melakukan tindak
pidana korupsi pengadaan paket bantuan sosial penanganan Covid-
19 di wilayah Jabodetabek tahun 2020.
b. Tindakan korupsi Terdakwa dilakukan saat Indonesia sedang
mengalami kondisi darurat wabah bencana non alam pandemi
Covid-19.

C. Amar Putusan
MENGADILI:
i. Menyatakan Terdakwa Juliari P Batubara tersebut di atas, terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana KORUPSI
SECARA BERSAMA-SAMA DAN BERLANJUT sebagaimana
dakwaan alternatif ke satu Penuntut Umum;
ii. Menjatuhkan pidana oleh karenanya kepada Terdakwa dengan pidana
penjara selama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda sejumlah
Rp500.000,000,00 (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila
denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6
(enam) bulan;
iii. Menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa untuk membayar uang
pengganti sejumlah Rp14.597 .450,000,00 (empat belas miliar lima ratus
sembilan puluh tujuh juta empat ratus lima puluh ribu rupiah) dengan
ketentuan apabila tidak dibayar paling lama 1 (satu) bulan setelah perkara
ini mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta benda Terpidana
dirampas untuk menutupi kerugian negara tersebut dan apabila harta
44

bendanya tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti maka


diganti dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun;
iv. Menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa berupa pencabutan hak
untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 (empat) tahun setelah
Terdakwa selesai menjalani pidana pokok;
v. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani
Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
vi. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan dengan jenis
penahanan Rumah Tahanan Negara;
vii. Menyatakan barang bukti yang terdiri atas dipergunakan sebagai barang
bukti dalam perkara lain;
viii. Membebani Terdakwa untuk membayar biaya perkara sejumlah
Rp5.000,00 (lima ribu rupiah),
Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim
Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada hari
Senin, tanggal 23 Agustus 2021. Oleh kami: Muhammad Damis, S.H, M.H.,
sebagai Ketua Majelis, Yusuf Pranowo, S.H., M.Hum., dan Hakim Adhoc
Joko Subagyo, S.H., M.T., masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan
ini diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada hari dan
tanggal itu juga oleh Majelis Hakim tersebut, dengan dibantu oleh Min
Setiadhi, S.H, sebagai Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh Tim Penuntut
Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Terdakwa yang didampingi
oleh Tim Penasihat Hukumnya.

D. Analisi Peneliti

1. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Berdasarkan dakwaan jaksa penuntut umum, diketahui bahwa Juliari


didakwa dengan pasal suap yaitu pasal 12 huruf b dan pasal 11 Undang-
undang Tindak Pidana Korupsi. Mengutip dari tayangan Youtube CNN
Indonesia, pernyataan Asep Iwan Iriawan, pakar hukum pidana, dakwaan
45

yang diajukan jaksa penuntut umum seharusnya bukan pasal suap


menyuap melainkan pasal kerugian negara. Hal ini karena dalam kasus
korupsi bantuan sosial, uang yang diterima Juliari merupakan anggaran
negara untuk melakukan program bantuan sosial. Sehingga, terdapat uang
negara yang dikorupsi dan menimbulkan kerugian bagi negara.1

Dalam pasal 143 ayat (2) b KUHAP disebutkan bahwa surat dakwaan
harus dibuat dengan cermat. Menurut peneliti berarti dalam surat dakwaan
tersebut seharusnya disusun tanpa kekurangan dan kekeliruan sesuai
dengan undang-undang yang berlaku bagi terdakwa. Sehingga, jaksa
penuntut umum seharusnya memahami bagaimana kronologi terjadinya
tindak pidana dan bagaimana posisi dari terdakwa. Namun, jika melihat
surat dakwaan yang diajukan jaksa pada perkara ini, terlihat bahwa jaksa
penuntut umum tidak memahami secara mendalam terkait perbuatan yang
dilakukan terdakwa dan perbedaan tindak pidana korupsi suap menyuap
dengan kerugian uang negara. Jika ditelaah dengan baik, sangat tampak
pasal kerugian uang negara jauh lebih tepat untuk kasus korupsi yang
dilakukan Juliari dibandingkan dengan pasal suap menyuap. Karena
berdasarkan fakta yang terbukti di persidangan, Juliari menerima uang
sebesar 32 miliar tersebut dari anggaran negara untuk program bantuan
sosial.

Sejumlah uang tersebut diperoleh dari anggaran negara yang


seharusnya dipergunakan untuk membantu masyarakat di masa pandemi.
Namun, kenyataannya barang yang diterima masyarakat tidak layak
konsumi. Hal ini menimbulkan kerugian bagi negara dan juga masyarakat.
Karena anggaran negara yang sanget besar dan diperuntukkan bagi

1
CNN Indonesia, “Juliari Divonis 12 Tahun, Pakar Hukum: Harusnya Didakwa dengan
Pasal Merugikan Keuangan Negara”, 23 Agustus 2021,
https://www.youtube.com/watch?v=8933IS2nLPA
46

program tersebut tidak berjalan dengan baik dan kebanyakan menimbulkan


kekecewaan masyarakat.

2. Pertimbangan Hakim dan Penerapan Hukum oleh Hakim

Berdasarkan yang telah peneliti jabarkan pada poin amar putusan di


atas, terdakwa kasus korupsi bantuan sosial yaitu Juliari Pieter Batubara
dijatuhi hukuman pidana penjara selama 12 tahun. Penjatuhan hukum
pidana ini sesuai dengan teori pemidanaan yang berpandangan bahwa
seseorang yang melakukan suatu kejahatan harus melakukan sesuatu
(hukuman) untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut.
Dalam perkara ini, pidana penjara yang dijatuhkan oleh hakim kepada
terdakwa sebenernya sudah lebih tinggi dibandingkan dengan tuntutan
jaksa penuntut umum yaitu 11 tahun. Namun, tetap saja menimbulkan pro
kontra pada masyarakat. Ditambah, sebelumnya Ketua KPK menyatakan
bahwa pejabat yang melakukan korupsi di masa pandemi dapat diancam
hukuman mati. Bahkan, Wakil Menteri Hukum dan HAM, mengatakan
bahwa Juliari layak dijatuhi hukuman mati sesuai pasal 2 ayat (2) Undang-
undang Tindak Pidana Korupsi. Dikarenakan, korupsi yang dilakukan di
masa pandemi.

Jika terkait dengan hukuman mati, hal ini tentu sulit dilakukan oleh
hakim. Karena, dakwaan yang diajukan jaksa penuntut umum adalah Pasal
12 huruf b Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 11 Undang-
undang Tindak Pidana Korupsi. Apabila kita merujuk pada Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pada pasal 182 ayat (3) dan ayat
(4) menyatakan :

(3) Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk


mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan
setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum dan
hadirin meninggalkan ruangan sidang.
47

(4) Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat
dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di
sidang.

Selain itu menurut Saud Situmorang, wakil ketua KPK tahun 2015-2019,
beliau menyatakan bahwa hakim tidak dapat menjatuhkan hukuman mati
karena pasal yang didakwa oleh jaksa hanya pasal suap bukan pasal 2
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Dari pasal serta penyataan
tersebut, dapat kita lihat bahwa hakim menjatuhkan putusan harus
didasarkan dengan surat dakwaan yang disusun oleh jaksa penuntut umum
serta setiap hal yang terbukti secara sah selama persidangan. Yang berarti,
sudah jelas bahwa dalam kasus Juliari, hakim tidak bisa menjatuhkan
hukuman mati. Karena hukuman mati merupakan hukuman yang dapat
dijatuhkan jika Terdakwa terbukti melanggar sesuai pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi serta jika dalam keadaan tertentu
dapat dijatuhi hukuman mati berdasarkan pasal 2 ayat (2), sedangkan
dalam surat dakwaan yang diajukan jaksa tidak dicantumkan pasal tersebut
sebagai dakwaan terhadap Terdakwa, maka fakta-fakta yang ada di
persidangan tidak akan membuktikan pasal yang tidak tercantum dalam
surat dakwaan. Sehingga majelis hakim akan sulit melakukan penjatuhan
pidana mati, karena hal itu akan menjadikan putusan tidak sesuai dengan
surat dakwaan. Selain itu, menurut teori kepastian hukum, hal ini akan
menjadi bertentangan. Karena teori ini berpendapat bahwa hukum
dianggap berfungsi ketika bersifat pasti dan adil. Apabila hakim
melakukan penjatuhan pidana diluar dari surat dakwaan yang dibuat jaksa,
maka menjadi timbul ketidakpastian hukum bagi terdakwa, meski
terdakwa bersalah namun keadilan juga tetap harus ditegakkan untuk
siapapun. Serta berdasarkan pasal 197 KUHAP, putusan yang tidak sesuai
dengan surat dakwaan yang diajukan maka akan batal demi hukum.

Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana,


Juliari pantas dijatuhi hukuman pidana seumur hidup. Hal ini berdasarkan
48

betapa luasnya dampak yang dirasakan masyarakat atas perbuatan yang


dilakukannya.2 Menurut peneliti, hukuman tersebut memang hukuman
maksimal yang paling memungkinkan dapat dijatuhi kepada Juliari dengan
dakwaan yang diajukan jaksa.Jika merujuk pada amar putusan hakim
bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan dakwaan
primair. Sehingga pasal 12 huruf b merupakan pasal yang dinyatakan
terbukti sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Jika
menilik setiap unsur tindak pidana dalam pasal 12 huruf b tersebut.,
peneliti rasa seluruh unsur tindak pidana memang secara jelas telah
terpenuhi. Unsur tindak pidana yang ingin peneliti garisbawahi adalah
unsur “Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut
diberikan sebagai akibat atau karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya”, Dalam kasus korupsi bantuan sosial ini, JB selaku Menteri
Sosial yang memiliki jabatan tertinggi dalam Kementerian Sosial
seharusnya patut menduga bahwa uang berupa fee yang diterimanya
merupakan “hadiah” untuk melancarkan para vendor yang tidak memenuhi
syarat tersebut menjadi terpilih.

Selain itu, terdakwa juga memberikan beberapa nama perusahaan yang


menjadi titipannya meskipun perusahaan tersebut juga tidak memenuhi
syarat. Meskipun, terdakwa mengakui nama-nama tersebut merupakan
saran dari terdakwa saja. Tetapi, terdakwa seharusnya menyadari jabatan
yang dia miliki sebaagai Menteri dan memiliki kuasa paling tinggi dalam
Kementerian Sosial. Sehingga, sadar atau tidak sadar, terdakwa telah
melakukan intervensi dalam pemilihan penyedia bantuan sosial tersebut.

Terdakwa bahkan mengakui bahwa ia lalai, terutama karena dalam


pemilihan penyedia vendor tersebut, terdakwa juga memberikan

2
KOMPASTV, “Juliari Batubara Divonis 12 Tahun Penjara, ICW: Koruptor Bansos
Seharusnya Dihukum Seumur Hidup”, 24 Agustus 2021,
https://www.youtube.com/watch?v=xBhG0yXJiFU
49

persetujuan.3 Sedangkan, hampir semua perusahaan yang ditunjuk tidak


memenuhi kualifikasi dan tidak layak ditunjuk sebagai penyedia bantuan
sosial.

Dengan begitu, Terdakwa terbukti melakukan sesuatu yang


bertentangan dengan kewajibannya untuk mengawasi pelaksanaan
anggaran. Karena Terdakwa, dengan sengaja menyetujui draft usulan
penyedia yang berisi daftar penunjukkan perusahaan penyedia yang
sebenarnya tidak memenuhi kualifikasi.

Terkait dengan keadaan yang meringankan dalam pertimbangan hakim,


menurut Asep Iwan Iriawan selaku pakar hukum pidana sekaligus mantan
hakim, karena salah satu alasan meringankan karena terdakwa telah dihina
oleh masyarakat. Yang mana hal ini merupakan sanksi sosial, bukan sanksi
hukum. Seharusnya pertimbangan hakim hanya fokus pada fakta hukum di
persidangan.4 Dalam peraturan memang tidak diatur secara spesifik
tentang apa saja yang dapat dikategorikan sebagai keadaan yang
meringankan serta memberatkan hukuman terdakwa. Namun, jika melihat
dari pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan
bahwa hakim dan hakim konstitusi harus menggali dan mengikuti nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang ada di masyarakat. Berdasarkan inilah,
menurut peneliti hakim memiliki batasan dalam mempertimbangkan
keadaan yang meringankan serta memberatkan hukuman yaitu berdasarkan
dengan nilai hukum serta keadilan bagi masyarakat. Karena dalam kasus
ini Juliari secara jelas telah melukai perasaan masyarakat sehingga wajar
bahwa masyarakat menunjukkan kekecewaannya. Sehingga, opini
masyarakat dapat diolah dan didiskusikan dengan logika penalaran bagi
hakim.

3
Ferry Hidayat, “Tak Mengaku Korupsi, Juliari Hanya Menyebut Lalai”,
https://wartaekonomi.co.id/read354600/tak-mengaku-korupsi-juliari-hanya-menyebut-lalai
(diakses pada 9 Januari, pukul 10.14 wib).
4
CNN Indonesia, “Juliari Divonis 12 Tahun, Pakar Hukum: Harusnya Didakwa dengan
Pasal Merugikan Keuangan Negara”, 23 Agustus 2021,
https://www.youtube.com/watch?v=8933IS2nLPA.
50

Jika majelis hakim dapat mempertimbangkan hal tersebut, sangat


disayangkan jika majelis hakim tidak mempertimbangkan hal yang
memberatkan pidana Juliari dengan jabatan yang dimilikinya saat
melakukan tindak pidana korupsi. Yang dalam KUHP pasal 52 diatur
tentang dasar pemberat pidana bagi pejabat yang melanggar kewajibannya
atau menggunakan kekuasaannya dalam melakukan tindak pidana, maka
dapat diberikan pidana tambahan sepertiga dari hukuman yang dapat
dijatuhkan. Berdasarkan perkara ini, artinya terdakwa sebagai pejabat telah
melanggar kewajibannya untuk mengawasi penggunaan anggaran dan
menggunakan kekuasaannya untuk mengintervensi pemilihan perusahaan
yang menyediakan bantuan sosial.

Menurut peneliti bahkan vonis hukuman dari majelis hakim sangat


ringan jika dibandingkan dengan putusan No. 1616 K/Pid.Sus/2013 yang
merupakan Putusan Kasasi milik Angelina Sondakh atau Angie. Dalam
putusan tersebut Angie dijatuhi hukuman penjara 12 tahun karena korupsi
yang dilakukan sebesar 12 miliar rupiah. Korupsi yang dilakukan oleh
Angie bahkan tidak mencapai setengah dari korupsi yang dilakukan oleh
Juliari. Terlebih, Angie tidak melakukan korupsi tersebut di masa
pandemi. Namun, majelis hakim perkara Angie mempertimbangkan
jabatan dan tanggungjawab moral Angie sebagai seorang tokoh
masyarakat.

3. Perspektif hukum islam


Tindak pidana suap menyuap atau yang lebih sering disebut tindak
pidana suap dalam ilmu fiqih dikenal sebagai risywah. Kata risywah
berasal dari bahasa Arab yaitu Risywatun () yang artinya upah, hadiah,
komisi, atau suap. Sedangkan pengertian risywah secara istilah berarti
sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau
sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang batil/salah atau
menyalahkan yang benar.5

5
Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta; Amzah, 2012), h. 89.
51

Jika berdasarkan fatwa MUI, risywah didefinisikan sebagai


pemberian yang diberikan oleh seorang kepada orang lain (pejabat)
dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar
menurut syariah) atau membatalkan perbuatan yang hak. Selain itu,
risywah juga diartikan sebagai suatu pemberian kepada pihak yang
berkuasa atas urusan tertentu agar pihak itu memutuskan untuk
membatalkan urusan sesuai kehendak pemberi suap, menggagalkan
kebenaran, maupun mewujudkan suatu kebathilan.6 Dari beberapa
pengertian risywah diatas, dapat disimpulkan bahwa risywah merupakan
setiap pemberian dari seseorang kepada orang lain yang dianggap
memegang kuasa atas hal tertentu dengan tujuan memperoleh
keuntungan agar hal tersebut diputuskan sesuai keinginan pemberi suap
sehingga terwujud kebathilan serta menyalahkan kebenaran.
Pada saat terjadi tindakan suap, setidak-tidaknya terdapat 3 (tiga)
unsur, yaitu pemberi suap (al-rasyi), penerima suap (al-murtasyi), serta
barang bernilai atau hal tertentu yang dijadikan hadiah. Jika dikaitkan
dengan perkara korupsi yang dilakukan oleh Juliari, maka telah terjadi
penyalahgunaan kekuasaan yang dimiliki terdakwa sebagai al-rasyi
untuk memperoleh keuntungan dari para penyedia bantuan sosial sebagai
al-murtasyi dengan menggugurkan hak orang lain yaitu masyarakat yang
merupakan target dari program bantuan sosial sembako tersebut.
Perbuatan suap dalam islam seringkali diibaratkan dengan anak
burung yang menjulurkan kepalanya ke dalam paruh induknya sambil
meminta agar makanan yang berada dalam paruh induknya disuapkan
kepadanya. Menurut peneliti, sebenarnya perumpamaan di atas sangatlah
menunjukkan betapa buruk dan hinanya pelaku suap menyuap. Karena
mereka digambarkan sebagai orang yang sangat lemah dan tidak mampu
untuk memperoleh makanan (rezeki) dengan usahanya sendiri. Serta
barang bernilai yang mereka peroleh tersebut diibaratkan seperti

6
“Suap dan Korupsi dalam Perspektif Hukum Islam” (Khotbah Jumat), (Bersama
Dakwah, 2016), h. 2.
52

muntahan dari orang yang memberi suap kepadanya. Sehingga para


penerima suap tersebut digambarkan sangat lemah karenanya melakukan
hal buruk dan menjijikan demi mendapatkan rezeki yang tidak baik.
Dari perumpamaan di atas, tentu dapat disimpulkan bahwa perbuatan
suap dalam hukum islam merupakan sesuatu yang dilarang dan
hukumnya haram. Menurut hadist riwayat Ahmad, Rasulullah SAW
mengatakan bahwa Allah bahkan melaknat para pelaku suap, sebagai
berikut :

‫علَيْه‬ َ ‫صلَى‬
َ ‫ّللاه‬ َ ‫ّللا‬ ‫ع ْم ٍرو قَا َل قَا َل َر ه‬
َ ‫سو هل‬ َ ‫ع ْن‬
َ ‫عبْد‬
َ ‫ّللا بْن‬ َ
‫سلَ َم لَ ْعنَةه‬
َ ‫َو‬
‫الراشي َو ْال هم ْرتَشي‬
َ ‫علَى‬ َ
َ ‫ّللا‬
Artinya :
“Dari Abdullah bin’Amr, dia menceritakan Rasulullah SAW
bersabda, “Laknat Allah SWT kepada pemberi suap dan penerima suap.”
(HR Ahmad)
Dalam Al-Qur’an juga terdapat ayat yang menyinggung tentang
larangan bagi manusia melakukan perbuatan suap, yaitu pada surat Al-
Baqarah ayat 188 :

‫َو َل تَأ ْ هكلهوا أ َ ْم َٰ َولَ هكم بَ ْينَ هكم ب ْٱل َٰبَطل َوت ه ْدلهوا ب َها إلَى ْٱل هح َكام‬
‫لتَأ ْ هكلهوا‬

َ‫فَريقًا م ْن أ َ ْم َٰ َول ٱلنَاس ب ْٱْلثْم َوأَنت ه ْم ت َ ْعلَ همون‬


Artinya :

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang


lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
53

sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah, 2 : 188)

Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah melarang seseorang


memperoleh atau mendapat harta dari orang lain melalui cara yang tidak
baik atau bathil. Bentuk dari jalan yang bathil dari ayat di atas
dimaksudkan jika hal tersebut dilarang dalam syara’. Hal ini termasuk
memberikan suap kepada hakim dengan tujuan memperoleh keuntungan
(harta). Padahal orang tersebut telah mengetahui dan menyadari bahwa
cara yang dia gunakan untuk memperoleh keuntungan tersebut adalah
dengan berbuat dosa.

Di surat An-Nisa ayat 29 juga disinggung terkait tindak suap,


sebagai berikut :

ََ‫ّل أَن ت َ ُكون‬


َ‫ل ِإ َا‬ ََ َ‫َٰ ايَأَيُّ َها ٱلَذِينََ َءا َمنُوا‬
َِ ‫ّل تَأ ْ ُكلُ اواَ أ َ ْم َٰ َولَ ُكم بَ ْينَ ُكم ِب ْٱل َٰبَ ِط‬
ََ‫ٱّلل َكان‬
َََ ‫ن‬ َ ُ‫ّل ت َ ْقتُلُ اواَ أَنف‬
ََ ‫س ُك َْم َۚ ِإ‬ َ َ‫تِ َٰ َج َرة‬
ََ ‫عن ت َ َراضَ ِمن ُك َْم َۚ َو‬
‫بِ ُك َْم َر ِحيما‬
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu."

Pada ayat di atas, Allah melarang manusia untuk memperoleh harta


dari jalan yang buruk dan tidak sesuai syariat seperti korupsi (termasuk
suap) dan Al-Qur’an menawarkan perdagangan yang dilakukan atas
dasar keinginan dan kerelaan dari kedua belah pihak, baik pembeli
maupun penjual untuk mendapatkan harta yang halal serta sesuai dengan
syariat. Dalam Al-Qur’an, amanat yang kita miliki wajib hukumnya
untuk disampaikan dengan sebaik-baiknya kepada yang berhak menerima
54

hal tersebut. Perumpamaan kata memakan digunakan untuk


menggambarkan bahwa memperoleh harta dari hasil korupsi untuk
kebutuhan pokok manusia yaitu berupa makanan saja tidak
diperbolehkan apalagi untuk kebutuhan yang sekunder atau tersier. Selain
itu, dengan melakukan perbuatan risywah tersebut, manusia diibaratkan
membunuh dirinya sendiri karena sangat besar dosa bagi pelaku risywah.

Di dalam hukum fiqih, perdagangan yang dasarkan prinsip suka


sama suka berarti telah terjadi ijab dan qabul antara penjual pembeli. Ijab
yang dilakukan pembeli yaitu kesediaanya untuk memindahkan hak atas
barang atau jasa miliknya kepada orang lain, serta qabul yang dilakukan
oleh penerima yaitu kesediaannya untuk menerima hak atas barang atau
jasa milik orang lain. Serta yang diperjualbelikan baik barang ataupun
jasanya bukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Sehingga dari
ijab dan qabul tersebut ada keridhoan (kerelaan) dari kedua belah pihak
yang menjadikan halalnya perdagangan tersebut.7

Berdasarkan hadist serta ayat-ayat diatas, telah jelas bahwa hukum


dari tindak pidana suap atau risywah dalam islam adalah haram, bahkan
Allah melaknat (mengutuk) pelaku suap maupun penerima suap. Karena
perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang merampas hak orang lain
serta membenarkan yang salah. Misalnya, seorang pegawai negeri
menerima sejumlah uang dari seseorang untuk menjadikan dirinya
memiliki jabatan tertentu. Hal ini menjadikan kandidat lain yang
mungkin dapat terpilih untuk jabatan tersebut menjadi tidak terpilih.
Sehingga, hak orang lain tersebut diambil oleh pemberi suap serta
pegawai negeri yang menerima suap selaku orang yang memiliki kuasa
tersebut.

7
Muhammad Afiruddin, https://tafsiralquran.id/tafsir-surah-an-nisa-ayat-29-prinsip-jual-
beli-dalam-
islam/#:~:text=Berdasarkan%20penjelasan%20di%20atas%20dapat,diri%20sendiri%20dan%20or
ang%20lain. (diakses pada tanggal 4 Oktober 2022, pukul 16.47 WIB).
55

Para ulama sepakat bahwa hukuman Ta’zir merupakan hukuman


yang dapat diterapkan pada setiap perbuatan yang yang tidak ada hukum
haddnya. Adanya Ta’zier dalam hukum Islam menjamin rasa keadilan
masyarakat untuk mewujudkan maslahat. Yang sifat dan bentuk
hukuman ta’zir deserahkan kepada kebijaksanaan akal sehat, keyakinan
dan rasa keadilan hakim yang didasarkan keadilan masyarakat.8
Kejahatan korupsi memang terlihat serupa dengan pencurian, namun
dalam korupsi tidak terpenuhi hukum potong tangan. Sehingga bagi
pelaku korupsi akan dikenakan hukum Ta’zir. Hukuman Ta’zir bagi
pelaku korupsi diserahkan kepada Ulil Amri (pihak yang berwenang)
untuk menentukannya, yaitu dapat berupa hukuman fisik, harta,
kurungan, moril, dan sebagainya. Sebagai contoh pernah dikisahkan
bahwa Khalifah Utsman Bin Affan memberikan hukuman kurungan bagi
pelaku pencurian yang tidak memenuhi syarat potong tangan. Hukuman
Ta’zir dijatuhkan kepada pelaku korupsi karena para pencuri harta negara
yang dicuri tidak berada dalam hirz. Selain hukuman diatas, untuk
menimbulkan efek jera, para koruptor juga dapat diberhentikan dari
pekerjaannya serta diumumkan di media massa.9

8
Rahmayanti, “Sanksi Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan
Hukum Positif dan Hukum Islam”. Mercatoria Vol. 10 No. 1, 2017, h. 70.
9
Rosi Handayani, “Bisakah Koruptor Dihukum Potong Tangan Sesuai Syariat Islam?”
(https://www.republika.co.id/berita/qky1su430/bisakah-koruptor-dihukum-potong-tangan-
sesuaisyariat-islam ,diakses pada tanggal 9 Januari 2023 pukul 08:59).
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan, maka peneliti
dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi bantuan dana
sosial studi kasus putusan no. 29/Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst adalah
dalam kasus ini terdakwa telah memenuhi setiap unsur
pertanggungjawaban pidana, adanya kesalahan, serta tidak ditemukan
adanya alasan pemaaf dan pembenar. Dalam kasus ini terdakwa
dijatuhkan pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Penerapan dan pertimbangan hakim pada putusan no. 29/Pid.Sus-
Tpk/2021/PN.Jkt.Pst, setiap unsur tindak pidana yang terdapat dalam
pasal yang didakwa oleh jaksa penuntut umum telah terpenuhi dan
terbukti. Sehingga, putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa telah
sesuai. Namun, menurut peneliti terkait pertimbangan hakim masih
terdapat beberapa alasan yang meringankan terdakwa yang memang
dapat mengecewakan rasa keadilan masyarakat.

B. Saran
Berangkat dari pembahasan yang telah dipaparkan dalam bentuk
pembahasan dan kesimpulan, dengan ini peneliti memberikan beberapa saran
sebagai berikut :
1. Bagi peneliti yang akan melanjutkan untuk mengembangkan penelitian
sejenis, maka tulisan ini dapat dijadikan sebagai referensi yang dapat di
sempurnakan.
2. Bagi pembaca yang tertarik dengan penelitian ini, maka penelitian ini
dapat menjadi wawasan tambahan bagi pembaca agar lebih memahami
bagaimana pertanggungjawaban tindak pidana korupsi di masa pandemi.

56
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Ali Mahrus. Dasar Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2011
Harahap M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, 2012
Irfan Nurul. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah, 2012
Irwan Hamzani Achmad. Menggagas Indonesia Sebagai Negara Hukum Yang
Membahagiakan Rakyatnya. Yustisia, 2014
Joko Subagyo P. Metode Penelitian dalam teori dan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta, 2000
Kanter dan Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya,
Jakarta; Storia Grafika, 2002
Marzuki Peter Mahmud. Penelitian hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006
Muhammad Rusli. Hukum Acara Pidana Konteporer. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2007
Mulyadi Lilik. Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia. Malang: PT Citra Aditya Bakti, 2014
Mustofa Wildan Suyuthi. Kode Etik Hakim, Edisi Kedua. Jakarta: Prenadamedia
Group, 2013
Rato Dominikus. Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum.
Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010
Rifai Ahmad. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif.
Jakarta: Sinar Grafika, 2011
Sianturi S.R. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapan. Jakarta:
Storia Grafika, 2002
Soekanto Soerjono dan Sri Mahmudji. Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003
Sumanto. Teori dan Metode Penelitian. Yogyakarta; CAPS (Center of Academic
Publishing Service, 2014

57
58

Sunggono Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada, 2006
Syahrani Riduan. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti: Bandung,
1999
Tiena Masriani Yulie. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2009
Waluyo Bambang. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Wiyono R. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Agustinus Pardede dkk. Modul Kekayaan Intelektual Tingkat Dasar Bidang Hak
Cipta. Jakarta: Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum
dan HAM, 2020

Jurnal
Efritadewi Ayu, “Modul Hukum Pidana”, Modul Hukum Pidana, (2020)
Gede Sayogaramasatya I, I Made Minggu Widyantara, dan Ida Ayu Putu Widiati,
“SANKSI PIDANA TERHADAP PEJABAT NEGARA YANG
MELAKUKAN KORUPSI ATAS PENYALAHGUNAAN WEWENANG”
, Jurnal Interpretasi Hukum, Vol. 2, No. 1, (2021)
Ka’bah, Rifyal, “Korupsi di Indonesia”, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun
ke-37, (2007)
Marzuki Christian Victor Samuel, John Dirk Pasalbessy, Jetty Patty, “Aspek
Melawan Hukum Pidana Terhadap Perbuatan Penyalahgunaan Wewenang
Dalam Penyaluran Bantuan Sosial Di Masa PSBB”, Jurnal Ilmu Hukum,
Vol. 1, No. 7, (2021)
Purwanto Agus, dkk, “Studi Eksplorasi Dampak Pandemi COVID 19 terhadap
Proses Pembelajaran Online di Sekolah Dasar”, Journal of Education,
Psychology, and Counseling, (2020)
Usman, “ANALISIS PERKEMBANGAN TEORI HUKUM PIDANA”, Jurnal
Ilmu Hukum, (2011)
Yesicha Pryscyllia Margaretha, “Pemiskinan Koruptor sebagai Salah Satu
Hukuman Alternatif dalam tindak Pidana Korupsi”, (2014)
59

Skripsi

Azharul Putra Nugraha, “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK


PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH KARYAWAN BADAN
USAHA MILIK NEGARA”, Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, (2017)

Alfian Pratama, “ANALISIS YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA


PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN ALAT
KESEHATAN”, Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
(2020)
Muhammad Zulham, “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU
TINDAK PIDANA KORUPSI SECARA BERSAMA-SAMA PADA
PERKERJAAN PEMBANGUNAN PASAR”, Skripsi S-1 Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, (2021)

Artikel
Lesmana Irwan, “Suap dan Korupsi dalam Perspektif Hukum Islam”, (2016),
https://adoc.pub/khutbah-jumat-suap-dan-korupsi-dalam-perspektif-islam-
bersam.html
Noerkaisar Noni, “EFEKTIVITAS PENYALURAN BANTUAN SOSIAL
PEMERINTAH UNTUK MENGATASI DAMPAK COVID-19 DI
INDONESIA”,file:///C:/Users/Noey%20Henry/Downloads/363-
Article%20Text-2888-1-10-20210630.pdf

Website
Afiruddin Muhammad, https://tafsiralquran.id/tafsir-surah-an-nisa-ayat-29-
prinsip-jual-beli-dalam-
islam/#:~:text=Berdasarkan%20penjelasan%20di%20atas%20dapat,diri%20
sendiri%20dan%20orang%20lain, (2021)
60

Moerdijat Lestari, “Sejarah Perjalanan Korupsi di Indonesia”, Sejarah Perjalanan


Korupsi di Indonesia | Sinergi Bangsa (2019)

Hidayatulloh Permana Rakhmad, “Dear Penyalur Bansos, Korupsi di Tengah


Pandemi Bisa Dihukum Mati!” Dear Penyalur Bansos, Korupsi di Tengah
Pandemi Bisa Dihukum Mati! (detik.com) (2020)
Latriyani Yuli, “TEORI-TEORI PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA”,
(DOC) TEORI-TEORI PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA | yuli
latriyani - Academia.edu (2019)
“Pengertian Tindak Pidana Korupsi” Pengertian Tindak Pidana Korupsi
(kanal.web.id), (2017)
“Penyakit Yang Pernah Menjadi Wabah Di Dunia”,
http://www.b2p2vrp.litbang.kemkes.go.id/mobile/berita/baca/358/Penyakit-
Yang-Pernah-Menjadi-Wabah-Di-Dunia , (2020)
“Program Bantuan Sosial Untuk Rakyat”
https://www.kominfo.go.id/content/detail/15708/program-bantuan-sosial-
untuk-rakyat/0/artikel_gpr
“Suap yang Halal”, https://konsultasisyariah.com/11604-suap-yang-halal.html,
(2020).

Anda mungkin juga menyukai