Anda di halaman 1dari 79

TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR

DALAM TINJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM


(Analisis Putusan Nomor 3/JN.Anak/2021/MS. Aceh)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah


Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Nisya Febrianka
11170454000017

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH


JAKARTA
2022 M / 1443 H
TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR
DALAM TINJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
(Analisis Putusan Nomor 3/JN.Anak/2021/MS. Aceh)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah


Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Nisya Febrianka
NIM: 11170454000017

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Afwan Faizin, M.A Mufidah, S.Hi., M.H


NIP. 197210262003121001

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M/1443 H

i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Tindak Pidana Pemerkosaan Oleh Anak Di Bawah Umur Dalam Tinjauan Hukum
Positif dan Hukum Islam (Analisis Putusan Nomor 3/JN.Anak/2021/MS. Aceh)
telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Kamis tanggal 14 bulan
April tahun 2022 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Hukum Pidana Islam.
Jakarta, 14 April 2022
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A.


NIP : 19760807 200312 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASAH


1. Ketua : Qosim Arsadani, M.A
NIP. 196906292008011016 ( …………….. )

2. Sekretaris : Mohamad Mujibur Rohman, M.A


NIP. 197604082007101001 (……………… )

3. Pembimbing I : Afwan Faizin, M.A


NIP. 197210262003121001 (……………… )

4. Pembimbing II : Mufidah, S.Hi., M.H (……………… )

5. Penguji I : Dr. Yayan Sopyan, S.H., M.H


NIP. 196810141996031002 (……………… )

6. Penguji II : Dr. Kamarusdiana, M.H


NIP. 197202241998031003 (……………… )

ii
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Nisya Febrianka
NIM : 11170454000017
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 02 April 1999
Program Studi : Hukum Pidana Islam
Fakultas : Syari’ah dan Hukum

Dengan ini saya menyatakan bahwa:


1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar strata satu (S1) di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 14 April 2022

Nisya Febrianka

iii
ABSTRAK
Nisya Febrianka, NIM 11170454000017, TINDAK PIDANA
PEMERKOSAAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR DALAM
TINJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM, Program Studi
Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Permasalahan utama dalam skripsi ini adalah mengenai pelaku
pemerkosaan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh seorang
anak laki-laki yang berusia 17 tahun, yang terdapat di dalam putusan
perkara Nomor 3/JN.Anak/2021/MS.Aceh dengan pidana 50 bulan di
LPKA Banda Aceh. Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai
ketentuan hukum Islam dan Qanun Jinayat Aceh dan Pertimbangan Hakim
terkait pemerkosaan yang dilakukan oleh anak ditinjau dari beberapa
perspektif hukum, yaitu: hukum positif, hukum Islam, dan Qanun Jinayah
Aceh.
Penelitian dalam skripsi ini merupakan jenis penelitian kualitatif
dengan menggunakan metode pendekatan penelitian yuridis normatif
dengan bahan hukum primer kitab undang-undang hukum pidana, peraturan
perundang-undangan, Qanun Jinayah Aceh, putusan Mahkamah Syariah
dan bahan hukum sekunder seperti, buku-buku hukum, jurnal atau artikel
hukum yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.
Setelah data diperoleh kemudian penulis menganalisis secara kualitatif
terhadap putusan Nomor 3/JN.Anak/2021/MS.Aceh.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hukum pidana
positif pelaku pemerkosaan anak dikenakan pasal 285 KUHP dengan pidana
12 tahun dan 287 ayat 1 KUHP dengan pidana 9 tahun. Dikarenakan pelaku
masih tergolong sebagai anak maka untuk dijatuhi pidana memperhatikan
pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak pidana penjara dijatuhkan kepada anak maksimal ½
dari hukuman orang dewasa, menurut hukum pidana Islam pelaku
pemerkosaan anak jika anak sudah berumur 15 tahun maka dianggap sudah
baligh dan dikenakan had zina, dan menurut Qanun Jinayat Aceh pelaku
pemerkosaan anak dikenakan Pasal 50 dengan maksimum penjara 200
bulan dan dikarenakan pelaku masih belum berumur 18 tahun atau masih
anak maka sesuai Pasal 67 maka mendapatkan hukuman sepertiga dari
hukuman orang dewasa.

(Kata Kunci : Pemerkosaan Anak, Hukum Nasional, dan Hukum Islam )


Pembimbing : Afwan Faizin, M.A. dan Mufidah, S.Hi., M.H
Daftar pustaka : 2005 s.d 2020

iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehinga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada
junjungan Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW, para keluarga dan para
sahabatnya yang telah membawa petunjuk bagi umat Islam ke jalan yang
terang benderang.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis sangat menyadari akan
pentingnya orang-orang yang telah memberikan pemikiran dan dukungan
baik secara moril maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan
sesuai dengan apa yang diharapkan. Untuk itu penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas bimbingan, masukan,
kritik, saran, dan dukungan baik moril maupun materiil kepada yang
terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H. Selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Qosim Arsadani, M.A. Selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana
Islam.
3. Mohamad Mujibur Rohman, M.A. Selaku Sekretaris Ketua Program
Studi Hukum Pidana Islam.
4. Afwan Faizin, M.A. Selaku Dosen Pembimbing I dan Mufidah,
S.Hi., M.H Selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi ini
yang telah memberikan banyak masukan dan arahan serta telah
meluangkan waktunya dengan penuh keikhlasan dan ketulusan
kepada penulis.
5. Seluruh Dosen dan Civitas Akademis Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Paling istimewa teruntuk kedua orang tua penulis, Papa Andi Irwan
M dan Mama Leonita Darsa yang tidak pantang menyerah dalam

v
memberikan dukungan, semangat, motivasi, serta doa yang tiada
henti-hentinya selama penulis menempuh studi di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Pencapaian ini adalah persembaha istimewa
saya untuk papa dan mama.
7. Kepada suami tercinta Muhammad Rizki Ramdhani pria yang hebat,
motivator pribadi, partner hidup terbaik yang selalu memberikan
dukungan baik moral dan materiil, yang selalu mampu menjadi
tempat berkeluh kesah dan rumah untuk pulang melepas penat.
8. Kepada anak tersayang penulis Kay Shaquille Ramdhani dan
Keenan Esequille Ramdhani, terima kasih telah menjadi malaikat
kecil, penyejuk hati, dan selalu menjadi penyemangat dalam segala
hal.
9. Kepada teman terbaik Dany Ryzka Maulidya, S.H, teman yang
selalu ada disisi penulis baik dalam keadaan senang maupun sedih,
terima kasih atas inspirasi, dorongan, dan dukungan kepada penulis
hingga saat ini dan sampai nanti. Terima kasih telah menjadi teman
terbaik di dunia.
10. Kepada teman seperjuangan Inarotul Insyaniyah, S.H dan Annisa
Al-Aufia, S.H terimakasih telah mewarnai masa-masa perkuliahan.

Jakarta, 07 Desember 2021 M


3 Jumadil Awal 1443 H

Nisya Febrianka

vi
DAFTAR ISI

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................................... ii


LEMBAR PERNYATAAN ..............................................................................iii
ABSTRAK......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ v
DAFTAR ISI .................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah ...................................... 5
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................................................. 6
D. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ........................................................... 7
E. Kerangka Teori dan Konseptual ................ Error! Bookmark not defined.
F. Metode Penelitian...................................................................................... 8
G. Sistematika Penulisan .............................................................................. 10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA
PEMERKOSAAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR ................................. 16
A. Tindak Pidana Pemerkosaan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) ......................................................................................................... 16
1. Pengertian Pemerkosaan .......................................................................... 16
2. Dasar Hukum dan Unsur-Unsur Pemerkosaan ......................................... 17
B. Tindak Pidana Pemerkosaan Menurut Hukum Pidana Islam .................... 20
1. Pengertian Pemerkosaan .......................................................................... 20
2. Dasar Hukum dan Unsur Pemerkosaan .................................................... 22
C. Tindak Pidana Pemerkosaan Menurut Qanun Aceh ................................. 27
D. Anak Menurut Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam..................... 29
1. Anak Menurut KUHP .............................................................................. 29
2. Anak Menurut Hukum Islam ................................................................... 30
BAB III DESKRIPSI PUTUSAN PERKARA NOMOR
3/JN.ANAK/2021/MS.ACEH TENTANG KASUS PEMERKOSAAN OLEH
ANAK DI BAWAH UMUR ............................................................................. 35
A. Duduk Perkara ........................................................................................ 35
B. Dakwaan/Tuntutan Jaksa ......................................................................... 41
C. Amar Putusan .......................................................................................... 42

vii
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PERKARA NOMOR
3/JN.ANAK/2021/MS.ACEH TENTANG PEMERKOSAAN TERHADAP
ANAK DI BAWAH UMUR ............................................................................. 44
A. Sanksi Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak ............................................ 44
B. Pertimbangan Hakim ............................................................................... 52
C. Analisis Putusan Perkara Nomor 3/JN.Anak/2021/Ms.Aceh Tentang
Jarimah Pemerkosaan Dengan Anak............................................................... 55
1. Analisis Putusan Menurut Hukum Positif ................................................ 55
2. Analisis Putusan Menurut Hukum Islam .................................................. 59
3. Analisis Putusan Menurut Qanun Jinayah Aceh ....................................... 62
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 67
A. Simpulan ................................................................................................. 67
B. Saran ....................................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 69

viii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Provinsi Aceh merupakan provinsi yang mendapatkan legalitas dari
Pemerintah Pusat untuk menerapkan syariat Islam. Undang-Undang No. 11
Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh diterbitkan dalam rangka memperkuat
dan mempertegas penerapan syari’at Islam terhadap seluruh wilayah Provinsi
Nangroe Aceh Darussalam tertera di dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a yang
berbunyi:
“Penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at
Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup
antarumat beragama.”
Hukum Pidana Islam adalah hukum yang memuat mengenai tindak pidana
atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang
dapat dibebani kewajiban). Hukum Pidana Islam merupakan hukum Allah atau
hukum yang bersumber dari dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang
mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun
akhirat.1 Permasalahan yang akan dibahas oleh penulis ialah mengenai tindak
pidana pemerkosaan oleh anak. Seseorang yang dikatakan sebagai anak ialah
seseorang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
di dalam kandungan. 2
Anak merupakan generasi penerus bangsa yang memiliki hak dan
kewajiban untuk membangun negara dan bangsa Indonesia ke arah yang lebih
maju. Anak juga merupakan aset bangsa yang akan menentukan nasib bangsa
di masa depan. Kualitas anak sangat ditentukan oleh proses dan bentuk
perlakuan terhadap mereka di masa kini. Dalam kenyataannya upaya

1
Kharisatul Janah, Sanksi Tindak Pidana Pemerkosaan Oleh Anak Dalam Perspektif
Hukum Pidana Islam, TA’ZIR: Jurnal Hukum Pidana Vol. 4 No. 2, Desember 2020, h. 77.
2
Hilmawati dan Ainal Hadi, Jarimah Pemerkosaan Terhadap Anak Dan Penerapan
‘Uqubatnya (Suatu Penelitian Di Wilayah Hukum Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan), JIM Bidang
Hukum Pidana : Vol. 4, No.3 Agustus 2020, h. 442

1
2

pengembangan generasi muda acap kali dihadapkan pada berbagai masalah dan
tantangan yang sulit dihindari, antara lain dijumpai penyimpangan sikap
perilaku sementara anak. Bahkan lebih jauh dari itu, terdapat anak-anak yang
melakukan perbuatan melanggar hukum, baik anak dari kalangan sosial
ekonomi yang tinggi, menengah, maupun kebawah.3
Dalam pandangan Islam, pemaksaan zina atau perkosaan merupakan
kejahatan yang pelakunya dapat dijatuhkan hukuman berat. Ini karena dalam
Islam telah ditentukan cara penyaluran naluri seksual melalui lembaga
perkawinan. Karena itu, penyaluran naluri seksual di luar perkawinan yang sah
diharamkan oleh Islam, Apalagi dalam bentuk pemaksaan atau kekerasan. 4
Jarimah pemerkosaan yang telah diatur dalam Qanun Aceh Pasal 50 Nomor
6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah pemerkosaan
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 48 terhadap anak diancam dengan
‘Uqubat Ta’zir cambuk paling sedikit 150 (seratus lima puluh) kali, paling
banyak 200 (dua ratus) kali atau denda paling sedikit 1.500 (seribu lima
ratus) gram emas murni, paling banyak 2.000 (dua ribu) gram emas murni
atau penjara paling singkat 150 (seratus lima puluh) bulan, paling lama 200
(dua ratus) bulan.”5
Pasal 66 Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 yang mengatur tentang pidana
yang dilakukan oleh anak, yang berbunyi sebagai berikut:
“Apabila anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
melakukan atau diduga melakukan Jarimah, maka terhadap Anak tersebut
dilakukan pemeriksaan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan
mengenai peradilan pidana anak.”
Pasal 67 Ayat 1 dan 2 dalam Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 berbunyi
sebagai berikut:
(1) Apabila anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun tetapi
belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum menikah
melakukan Jarimah, maka terhadap anak tersebut dapat dikenakan Uqubat

3
Kharisatul Janah, Sanksi Tindak Pidana Pemerkosaan Oleh Anak Dalam Perspektif
Hukum Pidana Islam, TA’ZIR: Jurnal Hukum Pidana Vol. 4 No. 2, Desember 2020, h. 77.
4
Ali Abu Bakar dan Zulkarnanin Lubis, Hukum Jinayat Aceh Sebuah Pengantar Edisi
Pertama, (Jakarta : Kencana, 2019) h. 107.
5
Hilmawati dan Ainal Hadi, Jarimah Pemerkosaan Terhadap Anak Dan Penerapan
‘Uqubatnya (Suatu Penelitian Di Wilayah Hukum Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan), JIM Bidang
Hukum Pidana : Vol. 4, No.3 Agustus 2020, h. 442
3

paling banyak 1/3 (satu per tiga) dari Uqubat yang telah ditentukan bagi
orang dewasa dan/atau dikembalikan kepada orang tuanya/walinya atau
ditempatkan di tempat yang disediakan oleh Pemerintah Aceh atau
Pemerintah Kabupaten/Kota.
(2) Tata cara pelaksanaan Uqubat terhadap anak yang tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan mengenai sistem peradilan anak diatur
dalam Peraturan Gubernur.
Dalam padangan Islam bahwa kehidupan manusia begitu berharga dan
melakukan kezaliman jelas-jelas dilarang dan haram. Salah satu bentuk
kezaliman yang dilarang adalah perbuatan perkosaan. Tindak pidana perkosaan
dalam Hukum Pidana Islam termasuk kedalam persetubuhan yang haram.
Dalam Islam, persetubuhan yang haram diatur dalam jarimah 114 zina. Zina
secara harfiah berarti fahisyah, yaitu perbuatan keji. Zina dalam pengertian
istilah adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dengan seorang
perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan. Para
fuqaha mengartikan zina yaitu melakukan hubungan seksual dalam arti
memasukkan zakar (kelamin pria) ke dalam vagina wanita yang dinyatakan
haram, bukan syubhat, dan atas dasar syahwat.6
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan oleh anak, antara lain, disebabkan oleh faktor diluar diri anak
tersebut. Kenakalan anak setiap tahun meningkat, apabila dicermati
perkembangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak selama ini baik dari
kualitas maupun modus operandi yang dilakukan, kadang-kadang tindakan
pelanggaran yang dilakukan anak dirasakan telah meresahkan semua pihak
khususnya para orang tua, fenomena meningkatnya perilaku tindak pidana
kekerasan yang dilakukan anak seolah-olah tidak bebanding lurus dengan usia
pelakunya.7
Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia masih sangat tinggi.
Sebagaimana data yang diperoleh dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan

6 Fitri Wahyuni, Hukum Pidana Islam Aktualisasi Nilai-Nilai Hukum Pidana Islam Dalam
Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Tangerang Selatan: PT Nusantara Persada Utama, 2018)
Edisi ke-1Cetakan ke-1, h. 58-59.
7
Kharisatul Janah, Sanksi Tindak Pidana Pemerkosaan Oleh Anak Dalam Perspektif
Hukum Pidana Islam, TA’ZIR: Jurnal Hukum Pidana Vol. 4 No. 2, Desember 2020, h. 77-78.
4

dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat, sejak 1 Januari hingga 16 Maret


2021, terdapat 426 kasus kekerasan seksual dari total 1.008 kasus kekerasan
terhadap perempuan dan anak. 8 Kekerasan seksual terhadap anak ini harus
ditangani dengan serius karena kejahatan ini seringkali terjadi disekitar
masyarakat dan semakin berkembang modus dari pelakunya. 9 Oleh sebab itu,
keberpihakan negara terhadap anak-anak dan perempuan yang menjadi korban
pemerkosaan harus jelas dan tercermin dalam pemberian dan ketegasan
hukuman bagi pelaku kejahatan kemanusiaan tersebut.10
Salah satu contoh kasus pemerkosaan oleh anak terdapat pada Putusan
Nomor 3/Jn.Anak/2021/MS. Aceh. Dimana seorang anak yang menjadi pelaku
tindak pidana kejahatan ini membawa anak korban ke dalam suatu ruangan dan
pelaku memaksa anak korban dengan memasukkan jari tangannya ke dalam
vagina anak korban, lalu memeras payudara dan menciumi leher anak korban.
Setelah melakukan perbuatan jahatnya itu lalu pelaku mengantarkan anak
korban pulang. Setelah itu pelaku menghubungi teman-temannya dan
memberitahu bahwa ada anak korban yang dapat disetubuhi. Lalu, anak korban
dijemput dan diarahkan ke rumah teman pelaku untuk menyetubuhi kembali
dengan penisnya masuk ke dalam vagina anak korban dengan cara mendorong
dan menggoyangkan penisnya hingga keluar sperma.
Setelah melalui tahapan-tahapan di persidangan maka majelis hakim
menjatukan uqubat pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)
selama 50 (lima puluh) bulan dikurangi selama masa anak menjalani
penahanan.
Dari uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk membahas lebih
lanjut mengenai pemerkosaan oleh anak dengan judul:

8 https://nasional.kompas.com/read/2021/03/19/17082571/sejak-awal-januari
kementerian-pppa-catat-426-kasus-kekerasan-seksual. (Diakses pada Minggu, 13 Juni 2021 pukul
12:01 WIB)
9Virdis Firmanillah Putra Yuniar. Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana Pemerkosaan
Terhadap Anak Berdasarkan Qanun Jinayat Aceh, Media Iuris: Vol. 2 No. 2, Juni 2019, h. 261.
10 Selviyanti Kaawoan, Pemerkosaan Anak Kandung Oleh Orang Tua Dalam Pandangan
Islam, Irfani Volume 11 Nomor 1Juni 2015, h. 128-129.
5

“TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR


DALAM TINJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM (Analisis
Putusan Nomor 3/JN.Anak/2021/MS. Aceh)”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis mencoba
menerapkan untuk menguraikan identifikasi masalah sehingga
mempermudah untuk mengambil rumusan masalah. terkait tindak pidana
pemerkosaan terhadap anak dapat diidentifikasi permasalahannya sebagai
berikut :
a. Tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan oleh anak di bawah
umur pada dasarnya telah melanggar ketantuan peraturan
perundang-undangan. Akan tetapi, mengingat pelakunya adalah
anak-anak maka perlu penanganan yang khusus.
b. Tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya ilmu agama, adanya
kesempatan, hawa nafsu yang tinggi menjadi beberapa faktor
yang menyebabkan anak di bawah umur melakukan tindak
pidana pemerkosaan.
c. Banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak karena anak
belum mampu untuk mencegah terjadinya kejahatan tersebut.
d. Perbedaan hukuman bagi pelaku pemerkosaan yang dilakukan
oleh anak dan orang dewasa sebagaimana disebutkan dalam
Qanun Jinayah Aceh terkait dengan pemerkosaan yang
dilakukan oleh anak dikenakan Uqubat Ta’zir paling banyak 1/3
(satu per tiga) dari Uqubat yang telah ditentukan bagi orang
dewasa dan/atau dikembalikan kepada orang tuanya/walinya
atau ditempatkan di tempat yang disediakan oleh Pemerintah
Aceh atau Pemerintah Kabupaten/Kota.
6

e. Hukuman terhadap pelaku tindak pidana pemerkosaan yang


dilakukan oleh anak adalah berpedoman kepada peraturan
perundang-undangan mengenai peradilan pidana anak.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, agar pembahasan pada penelitian ini tidak
meluas dari inti pembahasan serta memfokuskan pada pokok pembahasan
agar spesifik. Maka penulis dengan segala keterbatasannya membatasi
ruang lingkup pembahasan ini yaitu difokuskan membahas tentang tindak
pidana pemerkosaan oleh anak di bawah umur dalam perspektif hukum
nasional dan hukum islam serta penerapan qanun jinayah Aceh berdasarkan
Putusan Nomor 3/Jn.Anak/2021/MS. Aceh.
3. Rumusan Masalah
Dari hasil identifikasi masalah dan pembatasan masalah-masalah diatas
dapat dirumuskan masalah penelitiannya sebagai berikut:
a. Bagaimana Ketentuan Hukum Positif dan Hukum Islam di Aceh
Terhadap Tindak Pidana Pemerkosaan Oleh Anak Di Bawah
Umur Dalam Putusan Nomor 3/Jn.Anak/2021/MS. Aceh?
b. Bagaimana Pertimbangan Hakim Dalam Perkara Nomor
3/Jn.Anak/2021/MS. Aceh Tindak Pidana Pemerkosaan Oleh
Anak Di Bawah Umur Menurut Perspektif Hukum Positif,
Hukum Islam, dan Qanun Jinayat Aceh?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulis mengangkat judul ini ialah sebagai berikut:
a. Untuk menjelaskan ketentuan mengenai tindak pidana
pemerkosaan oleh anak di bawah umur menurut tiga perspektif
hukum, yaitu: hukum nasional, hukum pidama Islam, dan qanun
jinayat Aceh dalam Putusan Nomor 3/Jn.Anak/2021/MS. Aceh.
b. Untuk menjelaskan pertimbangan hakim dalam perkara putusan
3/JN.Anak/2021/MS. Aceh menurut tiga perspektif hukum,
7

yaitu: hukum nasional, hukum pidana Islam, dan qanun jinayat


Aceh.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara Teoretis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
wawasan kepada peneliti selanjutnya dan menjadi referensi
khususnya dalam bidang hukum pidana islam mengenai kasus
tindak pidana pemerkosaan oleh anak.
b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
tambahan wawasan bagi penulis dan pembaca mengenai sanksi
tindak pidana kejahatan pemerkosaan serta dapat dijadikan bagi
aparat penegak hukum dalam menangani kasus tindak pidana
pemerkosaan oleh anak menurut perspektif hukum pidana Islam
dan Qanun Jinayat Aceh.

D. Penelitian Terdahulu Yang Relevan


Sejumlah penelitian tentang tindak pidana pemerkosaan oleh anak dibawah
umur sudah banyak dilakukan, penulis merujuk kepada skripsi dan jurnal yang
mencakup materi yang kemudian penulis jadikan sebagai bahan-bahan materi.
Berikut paparan tinjauan umum atas sebagian karya penelitian tersebut:
1. Skripsi Intan Retnowulan Mahasiswi Fakultas Syariah Dan Hukum
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang yang diterbitkan tahun
2018 berjudul “Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Uqubah
Pemerkosaan Dalam Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 Tentang Hukum
Jinayat”. Skripsi tersebut membahas bahwa tindak pidana pemerkosaan
dalam Qanun Hukum Jinayat digolongkan sebagai jarimah ta’zir. Oleh
karena itu, hukuman bagi pelaku tindak pidana dapat dikenakan uqubah
ta’zir antara cambuk, denda atau penjara.
2. Jurnal karya Fitri Wahyuni mahasiswi Fakultas Hukum Universitas
Islam Indragiri yang diterbitkan tahun 2016 berjudul “Sanksi Pidana
Pemerkosaan Terhadap Anak Menurut Hukum Pidana Positif dan
Hukum Pidana Islam.” Jurnal ini membahas mengenai dalam hukum
8

pidana Islam tidak menyebutkan secara tegas tentang perkosaan, namun


perkosaan dalam hukum pidana Islam dapat di golongan ke dalam
jarimah zina bahkan lebih kejam. Hukum Islam menjelaskan bahwa
perkosaan merupakan had hirabah (QS. Al maidah:33). Sanksinya
berupa hukuman mati, disalib, potong tangan kaki bersilang atau
diasingkan. Jadi, formulasi sanksi dalam pembaharuan hukum pidana
terhadap pemerkosaan anak dapat diadopsi dengan pilihan sanksi pidana
sebagaimana yang terdapat dalam hukum pidana Islam.
3. Jurnal karya Hilmawati dan Ainal Hadi Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Syiah Kuala yang diterbitkan tahun 2020 berjudul: “Jarimah
Pemerkosaan Terhadap Anak Dan Penerapan ‘Uqubatnya (Suatu
Penelitian Di Wilayah Hukum Mahkamah Syari’ah Tapaktuan)”. Jurnal
ini membahas mengenai faktor terjadinya pemerkosaan terhadap anak,
pertimbangan hakim dalam pemilihan ‘uqubat ta’zir penjara terhadap
pelaku, dan dampak yang diakibatkan oleh pelaku pemerkosaan
terhadap korban baik secara fisik maupun psikis.
Berdasarkan ketiga sumber penelitian di atas yang membahas mengenai
tindak pidana pemerkosaan yang membedakan dengan skripsi yang akan ditulis
oleh penulis yaitu, penulis akan membahas mengenai penerapan hukum pidana
Islam dalam kasus tindak pidana pemerkosaan oleh anak di bawah umur dan
sanksi bagi pelaku tindak pidana pemerkosaan oleh anak tentunya berdasarkan
dengan ketentuan Qanun Jinayat Aceh berdasarkan Putusan Nomor
3/Jn.Anak/2021/MS. Aceh.

E. Metode Penelitian
Penelitian skripsi ini dilakukan dengan ditunjang oleh sekumpulan data,
untuk memperoleh data-data yang akurat, maka dilakukan langkah-langkah
pengumpulan data dengan menggunakan data sebagai berikut :

1) Pendekatan Penelitian
9

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan hukum nomatif atau bisa


dsebut penelitian hukum doktrinal. dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum yang
dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
berprilaku masyarakat terhadap apa yang dianggap pantas. 11 Oleh karena
itu, penulis akan mengkaji aturan-aturan mengenai pemerkosaan oleh anak
yang terdapat pada aturan hukum pidana islam dan Qanun Jinayat Aceh
tentang Hukum Jinayat.

2) Jenis Penelitan

Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ialah penelitian


kualitatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan data pada
suatu latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi
dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci. 12

3) Sumber dan Jenis Bahan Hukum


a. Bahan Hukum Primer
Sumber primer atau bahan hukum primer yang bersifat autoratif
atrinya mempunyai ororitas. 13
Yakni, Al-Qur’an, Hadits,
Hukum Acara Jinayat, Qanun Jinayat Aceh, KUHP, Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014, dan Putusan Pengadilan Nomor
3/Jn.Anak/2021/MS. Aceh
b. Bahan Hukum Sekunder
Sumber sekunder atau bahan hukum sekunder merupakan
publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-
dokumen resmi. 14 Yakni, artikel atau jurnal terkait pokok
pembahasan pemerkosaan oleh anak.

11
Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris
Edisi Pertama, (Depok: Prenada Media Group, 2016), h. 124
12
Albi Anggito dan Johan Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Sukabumi: CV
Jejak, 2018) h.8
13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana, 2017), h.
181.
14
Ibid, h. 181
10

4) Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah


riset kepustakaan (library research) memanfaatkan sumber perpustakaan
untuk memperoleh data penelitian.15

5) Analisa Data

Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif kualitatif yaitu, memaparkan apa adanya tentang peristiwa hukum
atau kondisi hukum yang terjadi di suatu tempat tertentu pada keadaan
tertentu.16

F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017” dengan
sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas
beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun
perinciannya sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan menuliskan latar belakang
masalah, identifikasi, pembatasan, dan rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, penelitian terdahulu yang
relevan, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP TINDAK
PIDANA PEMERKOSAAN OLEH ANAK DI BAWAH
UMUR
Dalam bab ini penulis akan menguraikan tinjauan umum
tentang tindak pidana pidana pemerkosaan dari tiga sudut

15
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008),
h. 1-2.
16
I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori
Hukum,( Jakarta: Kencana, 2017), h. 152.
11

pandang hukum, yaitu hukum positif, hukum islam, dan


Qanun Jinayah Aceh, serta anak menurut pandangan hukum
positif dan hukum Islam.

BAB III : DESKRIPSI PUTUSAN PENGADILAN NOMOR


3/JN.ANAK/2021/MS. ACEH TENTANG KASUS
PEMERKOSAAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR

Dalam bab ini penulis akan menguraikan duduk perkara,


dakwaan dan tuntutan jaksa yang tercantum pada putusan
Nomor 3/JN.Anak/2021/MS. Aceh Tentang Pemerkosaan
oleh Anak Di Bawah Umur.

BAB IV :ANALISIS PUTUSAN NOMOR 3/JN.ANAK/2021/MS.


ACEH TENTANG KASUS PEMERKOSAAN OLEH
ANAK DI BAWAH UMUR

Dalam bab ini penulis akan menguraikan sanksi tindak


pemerkosan anak menurut hukum Islam, berikut ketentuan
peraturanya sesuai dengan Qanun Jinayat Aceh beserta
ancaman pidananya. Serta menganalisa putusan bagaimana
penerapan hukum pidana Islam dan pertimbangan hakim
dalam memutus perkara Nomor 3/JN.Anak/2021/MS. Aceh
perspektif hukum pidana Islam dan Qanun Jinayat Aceh.
BAB V : PENUTUP

Dalam bab ini penulis akan menguraikan pokok-pokok hasil


penelitian dalam suatu kesimpulan dan juga penulis akan
memberikan saran-saran terkait kegunaan penelitian untuk
kedepannya.
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN


OLEH ANAK DI BAWAH UMUR

A. Tindak Pidana Pemerkosaan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana (KUHP)

1. Pengertian Pemerkosaan
Pemerkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapare yang berarti mencuri,
memaksa, merampas, atau membawa pergi. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, perkosaan itu artinya, “menundukkan dengan kekerasan, memaksa
dengan kekerasan, menggagahi, dan merogol”. Pemerkosaan artinya “proses,
cara, perbuatan memerkosa, pelanggaran dengan kekerasan”. Memperkosa
berarti “menundukkan dengan kekerasan, menggagah, melanggar dengan
kekerasan’. Hal itu menunjukkan bahwa unsur utama yang melekat pada
tindakan pemerkosaan, yaitu adanya prilaku kekerasan yang terkait dengan
hubungan seksual yang dilakukan dengan jalan melanggar hukum. 1
Perkosaan menurut konstruksi yuridis peraturan perundang-undangan di
Indonesia (KUHP) adalah perbuatan memaksa seorang wanita yang bukan
istrinya untuk bersetubuh dengan dia dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan. Kata “memaksa” dan “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan”
sudah menunjukkan betapa mengerikannya perkosaan tersebut. Pemaksaan
hubungan kelamin pada wanita yang tidak menghendakinya akan menyebabkan
kesakitan hebat pada wanita tersebut, apalagi jika kemudian disertai dengan
kekerasan fisik. Akibat lebih lanjut adalah kesakitan yang bersifat psikis. 2
Perkosaan merupakan perbuatan kejahatan kesusilaan yang bisa disebabkan
oleh berbagai macam faktor. Kejahatan ini cukup kompleks penyebabnya dan

1
Ali Abubakar dan Zulkarnain Lubis, Hukum Jinayat Aceh Sebuah Pengantar Edisi
Pertama, (Jakarta: Kencana, 2019), h. 105.
2
Ibid, h. 105-106

16
17

tidak berdiri sendiri. Penyebabnya dapat dipengaruhi oleh kondisi yang


mendukung, keberadaan korban yang secara tidak langsung mendorong
pelakunya dan bisa jadi karena ada unsur-unsur lainyang mempengaruhinya.3
Perkosaan sudah terjadi sejak zaman dulu, dan muncul akibat adanya.
dorongan seksual pelaku yang tidak bisa dikendalikan dengan baik. Selain itu,
pada banyak kasus ditengarai suburnya budaya patriarkhi yang menempatkan
kekuasaan laki-laki diatas tubuh perempuan yang dianggap lebih lemah juga
memicu munculnya tindak perkosaan. 4
Kejahatan tentang pemerkosaan dan kejahatan terhadap kesusilaan pada
umumnya yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah
berlaku di Indonesia sejak merdeka, akan tetapi perbuatan pemerkosaan dan
tindak pidana kesusilaan lainnya terus berkembang bahkan dari waktu ke waktu
cenderung meningkat.5
Di dalam KUHP, tindak pidana pemerkosaan dikategorikan sebagai
kejahatan (rechtsdelicten) yang dicantumkan dalam Buku Kedua (II) Bab XIV.
Pemerrkosaan dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan karena
perbuatannya bertentangan dengan nilai keadilan, terlepas apakah perkosaan
diancam dalam suatu undang-undang atau tidak. Tindak perkosaan sebagai
kejahatan disebut sebagai kejahatan terhadap kesusilaan (misdrijven tegen de
zeden), yang oleh pakar hukum disebut juga dengan kejahatan mengenai
kesopanan atau kejahatan terhadap kesopanan.6

2. Dasar Hukum dan Unsur-Unsur Pemerkosaan


Tindak pidana pemerkosaan tentunya telah diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 285 yang berbunyi sebagai berikut:

3
Juniarto Onesimus Egi Supit, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana
Perkosaan Menurut Hukum Positif Indonesia, Lex Crimen Vol. IV No. 4 Juni 2015, h. 124.
4
Bunda Hana, Right From The Start, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014), h. 203.
5
Zuleha, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Pemerkosaan Dalam Perspektif
Viktimologi, Vol. 10 No. 1 Januari-Juni 2015, h. 126.
6
Ramiyanto dan Waliadin, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perkosaan Dengan
Sarana Penal Dalam Rangka Melindungi Perempuan, Jurnal Legislasi Indonesia Vol 15 No.4 -
Desember 2018, h. 322.
18

“Barang siapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa


perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, karena perkosaan,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun.”
Secara yuridis, kejahatan perkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP yang
unsurnya sebagai berikut 7:
1) Barang Siapa
Sebagian pakar berpendapat bahwa “barang siapa” bukan
merupakan unsur, hanya memperlihatan si pelaku adalah manusia tetapi
perlu diuraikan manusia siapa dan berapa orang, jadi identitas tersebut
harus jelas.
2) Dengan Kekerasan
Menurut Mr. M.T Tita Amidjaja dengan kekerasan dimaksudkan,
setiap perbuatan yang dilakukan dengan kekuatan badan yang agak
hebat (keras). Pasal 89 KUHP memperluas pengertian kekerasan yakni
membuat pingsan atau melemahkan orang, disamakan dengan
melakukan kekerasan.
3) Memaksa
Memaksa berarti diluar kehendak dari wanita itu. Satochid
Kartanegara, menyatakan antara lain perbuatan memaksa itu haruslah
ditafsirkan suatu perbuatan sedemikian rupa sehingga menimbulkan
rasa takut orang lain,
4) Seorang Wanita Bersetubuh Dengan Dia
Maksudnya kalau bukan wanita (dalam hal homoseks) maka tidak
dapat diterapakan pasal 285 KUHP. Pengertian “bersetubuh memnurut
Tirta Amidjaja, yang dikutip Leden Marpaung dalam bukunya
“Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya” adalah
persetubuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan
yang pada umunya dapat menimbulkan kehamilan.
5) Di Luar Perkawinan

7
Asyifa, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan PN Sidoarjo No.
189/Pid.B/2009/PN.Sda Tentang Pemerkosaan Anak Di Bawah Umur, al-Jinâyah: Jurnal Hukum
Pidana Islam Vol. 6, No. 1, Juni 2020, h. 153.
19

Artinya bukan istrinya. Banyak orang berpendapat agar unsur ini


dihapuskan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan suami terhadap
istri, suami merupakan kewajiban dan kebahagiaan tersendiri dengann
istri.
Adapun menurut P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang, tindak pidana
perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP hanya mempunyai unsur-unsur
objektif sebagai berikut 8:
1) Barangsiapa
2) Dengan kekerasan atau
3) Dengan ancaman akan memakai kekerasan
4) Memaksa
5) Seorang wanita (perempuan)
6) Mengadakan hubungan kelamin di luar perkawinan
7) Dengan dirinya
Dalam perkembangannya, mengenai tindak pidana perkosaan juga diatur
dalam undang-undang khusus, yaitu: Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dan Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Larangan untuk melakukan
perkosaan dan ancaman pidananya dalam UU No. 35 Tahun 2014 dicantumkan
pada Pasal 76D jo. Pasal 81. Kemudian dalam UU No. 23 Tahun 2004,
perkosaan dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual sebagaimana
dicantumkan dalam Pasal 8 huruf dan ancaman pidananya dicantumkan dalam
Pasal 46.9
Menurut Andi Hamzah mengemukakan bahwa bagian inti tindak pidana
perkosaan (delicts bestanddelen), yaitu10:
1) Dengan kekerasan atau acaman kekerasan

8
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan &
Norma Kepatutan, ( Jakarta: SInar Grafika, 2009), h. 97.
9
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan &
Norma Kepatutan, ( Jakarta: SInar Grafika, 2009), h. 322.
10
Ibid, h. 323.
20

2) Perbuatan yang dilakukan harus dengan kekerasan atau ancaman


kekerasan.
3) Memaksa
4) Perbuatan yang dilakukan harus dengan paksa sehingga perempuan itu
tidak dapat melawan dan terpaksa melakukan persetubuhan.
5) Dengan perempuan yang bukan istrinya
6) Perempuan yang disetubuhi tersebut bukan istrinya, artinya tidak
dinikahinya secara sah
7) Terjadi persetubuhan
8) Melakukan persetubuhan berarti terjadi hubungan biologis antara
pembuat dan perempuan yang dipaksa tersebut.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang
dinamakan perkosaan adalah, suatu hubungan kelamin yang dilarang dengan
seorang wanita tanpa persetujuannya, persetubuhan yang tidak sah oleh seorang
pria terhadap seorang wanita yang dilakukan dengan cara paksaan dan
bertentangan dengan kemauan wanita yang bersangkutan, perbuatan hubungan
kelamin yang dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang bukan
isterinya atau tanpa persetujuanya, dilakukan ketika wanita tersebut
ketakutan.11

B. Tindak Pidana Pemerkosaan Menurut Hukum Pidana Islam


1. Pengertian Pemerkosaan
Perkosaan merupakan bentuk kekerasan dan penindasan terhadap
perempuan. Segala penindasan, apapun bentuknya adalah sebuah pelanggaran
hak asasi manusia. Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan universal, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia, selalu kritis
terhadap penistaan harkat dan martabat manusia. Sebagai agama yang
diciptakan Allah untuk kemashlahatan manusia, maka segala perintah dan
larangan yang ada merupakan upaya untuk membebaskan manusia dari segala

11
Iwan Setiawan, Tindak Pidana Perkosaan Dalam Tinjauan Hukum Pidana Indonesia,
Volume 6 No. 2-September 2018, h. 128
21

macam tirani, penindasan, dan juga perbudakan. Dalam hukum islam pun
perkosaan merupakan suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang
dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai
melanggar menurut moral dan hukum. 12
Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan; tetapi termasuk segala bentuk
serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin. Tindakan tersebut
dilakukan dengan pemaksaan ataupun menunjukkan kekuasaan pada saat
korban tidak dapat memberikan persetujuan baik secara fisik maupun mental. 13
Dari karakternya pemerkosaan dibagi menjadi 4 macam, yaitu: Pertama,
pemerkosaan yang dilakukan orang yang dikenal korban, bisa teman, pacar,
rekan kerja, anggota keluarga, maupun tetangga. Akan tetapi, pemerkosaan
sering juga dilakukan orang yang sama sekali tidak dikenal korban. Kedua,
pemerkosaan saat berkencan, yakni pemerkosaan yang dilakukan pacar atau
teman dekat saat korban saat sedang berkencan. Ketiga, pemerkosaan dengan
ancaman yang halus, yakni pemerkosaan yang dilakukan orang yang
mempunyai kedudukan lebih tinggi ketimbang korban, seperti majikan terhadap
pembantu, atasan terhadap bawahan, guru terhadap murid, atau polisi terhadap
tahanan. Dan keempat, pemerkosaan dalam ikatan perkawinan, atau ang disebut
dengan istilah marital rape. Suami memaksa dilayani hasrat seksnya tanpa
melihat dan mempertimbangkan kesediaan dan kesiapan istri. Wacana marital
rape merupakan bentuk kesadaran baru akan pentigny perlindungan terhadap
hak-hak perempuan khususnya dalam kehidupan rumah tangga. 14
Hukum pidana Islam, tidak memberikan definisi khusus tentang
pemerkosaan baik dalam Alquran maupun hadits. Dalam kitab Fiqh Sunnah
yang ditulis oleh Sayyid Sabiq mengklasifikasikan pemerkosaan ke dalam zina
yang dipaksa. Karena perbuatan ini dikategorikan sebagai paksaaan, sehingga
merupakan perbuatan yang terjadi atas kemauan seseorang lain, dimana

12
Ali Abu Bakar, Hukum Jinayat Aceh Sebuah Pengantar Edisi Pertama, (Jakarta:
Kencana, Cet. Ke-1 2019), h.107.
13
Ali Abu Bakar, Hukum Jinayat Aceh Sebuah Pengantar Edisi Pertama, (Jakarta:
Kencana, Cet. Ke-1 2019), h.108.
14
Milda Marlia, Marital Rape Kekerasan Seksual Terhadap Istri, (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2007), h.72.
22

perbuatan itu luput dari kerelaannya ataupun dari kemauan orang tersebut.
Dalam bahasa Arab memperkosa disebut ‫ انتھك‬sedangkan dalam sumber-sumber
fiqh, seperti al-Qur’an dan hadist dipahami tidak banyak mengungkapkan
pengertian tindak pidana perkosaan secara langsung. Sekalipun sebenarnya ada
ayat yang sudah mengarah pada pelanggaran tindak pemaksaan dalam
persoalan seksual, sekaligus memberikan perlindungan terhadap korban
kekerasan seksual. 15

2. Dasar Hukum dan Unsur Pemerkosaan


Adapun mengenai pemerkosaan di dalam pandangan Islam disamakan
dengan zina. Zina adalah bersetubuh dengan orang yang tidak sah antara pria
dan wanita. Perbuatan tidak sah ini karena hubungan ini tidak terikat oleh
pernikahan dan perkawinan. Secara umum, perbuatan zina bukan hanya ketika
manusia telah melakukan hubungan seksual, akan tetapi segala perbuatan
seksual yang dapat merusak kehormatan manusia termasuk dikategorikan
zina. 16
Zina menurut para ulama, yaitu 17:
1) Menurut ulama Malikiyah, zina adalah me-wati-nya seorang laki-laki
mukallaf terhadap farji wanita yang bukan miliknya dilakukan dengan
sengaja.
2) Menurut ulama Syafi’iyah, zina adalah memasukkan zakar ke dalam
farji yang haram dengan tidak subhat dan secara naluri memuaskan
hawa nafsu.
3) Ulama Zahiriyah mendefinisikan zina dengan wati yang diharamkan
zatnya.

15
Asyifa, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan PN Sidoarjo No.
189/Pid.B/2009/PN.Sda Tentang Pemerkosaan Anak Di Bawah Umur, al-Jinâyah: Jurnal Hukum
Pidana Islam Vol. 6, No. 1, Juni 2020, h. 148-149.
16
Selviyanti Kaawoan, Pemerkosaan Anak Kandung Oleh Orang Tua Dalam Pandangan
Islam, Irfani, Volume 11 Nomor 1Juni 2015, h. 129
17
Asyifa, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan PN Sidoarjo No.
189/Pid.B/2009/PN.Sda Tentang Pemerkosaan Anak Di Bawah Umur, al-Jinâyah: Jurnal Hukum
Pidana Islam Vol. 6, No. 1, Juni 2020, h. 149-150
23

4) Zina menurut Ibnu Rusyd adalah setiap persetubuhan yang bukan terjadi
karena nikah yang sah dan bukan karena pemilikan.
Dari beberapa perbedaan pendapat ulama mengenai zina, dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan zina adalah memasukkan dzakar seorang laki-
laki mukallaf ke dalam kemaluan wanita yang bukan miliknya dan dengan
tidak subhat disertai dengan hawa nafsu. 18
Bahkan tidak hanya perbuatan zina saja yang haram mendekatinya zina pun
diharamkan oleh Allah sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 32
yang berbunyi:
َٰ َ ‫و ََل تَ ْقربوآ ٱلزنَىٓ ٓ إنَّهۥ ك‬
ً ‫س ِب‬
‫يل‬ َ ‫َان فَ ِحشَةً َو‬
َ ‫سآ َء‬ ِ َٰ ِ َ َ
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
Para ulama menetapkan unsur-unsur perkosaan atau rukun dari perbuatan
zina yang berhak atas ancaman yang memberatkan sebagai berikut 19:
1) Perzinahan adalah hubungan seks yang dilarang. Islam menyatakan
bahwa prinsip dasar hubungan seksual antara pria dan wanita adalah
Haram. Hanya ada satu cara untuk memperbaiki atau membenarkan
ilegalitas hubungan seksual dan itu adalah melalui pernikahan. Oleh
karena itu, perkawinan disebut akad yang menghalalkan hubungan
yang semula terlarang antara seorang pria dan seorang wanita.
2) Hubungan seksual disengaja dan ilegal. Artinya jika hubungan
seksual itu tidak disengaja karena masing-masing pelaku meyakini
bahwa pasangannya adalah pasangan yang sah atau dilakukan atas
dasar pemaksaan (pemerkosaan), maka perbuatan itu disebut
perzinahan. Dalam fiqh, hubungan seksual yang tidak disengaja
disebut subhat. Sifat subhat inilah yang membuat hubungan seksual
ilegal dan dikenakan hukuman.

18
Asyifa, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan PN Sidoarjo No.
189/Pid.B/2009/PN.Sda Tentang Pemerkosaan Anak Di Bawah Umur, al-Jinâyah: Jurnal Hukum
Pidana Islam Vol. 6, No. 1, Juni 2020 h. 150
19
Asyifa, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan PN Sidoarjo No.
189/Pid.B/2009/PN.Sda Tentang Pemerkosaan Anak Di Bawah Umur, al-Jinâyah: Jurnal Hukum
Pidana Islam Vol. 6, No. 1, Juni 2020, h. 151-152
24

Adapun pendapat para ahli hukum Islam menunjukkan bahwa konsep zina
harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1) Adanya persetubuhan.
2) Perkawinan yang disengaja berarti penetrasi alat kelamin laki-laki
ke dalam farji (alat kelamin) perempuan (ada yang berpendapat:
termasuk anus dan mulut).
3) Seks terjadi di luar perjanjian pernikahan yang sah (bukan istri atau
suami).
4) Hubungan seksual terjadi atas dasar persetujuan suka sama suka,
bukan atas dasar paksaan salah satu pihak.
Sedangkan unsur paksaan, menurut Ulama Hanafi juga ada empat syarat:
1) Kehendak orang yang membebankan kepadanya apa yang
mengancam, baik kekuasaan maupun kejahatan.
2) Ada ketakutan terhadap apa yang dipaksakan, yaitu sebelum ada
perlawanan terhadap tindakan yang telah dikenakan padanya.
3) Keadaan orang yang dipaksa, yaitu sebelum ada perlawanan
terhadap perbuatan yang dilakukan.
4) Keadaan orang yang terpaksa, baik dengan paksaan, orang yang
terpaksa kehilangan jiwanya atau anggota-anggotanya. 20
Seorang pemerkosa dapat dikatakan pemerkosa muhsan bila memenuhi
syarat sebagai berikut:
1) Dia adalah seorang mukallaf, yang berakal, waras, dan sudah balig.
2) Dia adalah seorang yang merdeka.
3) Dia sudah pernah merasakan persetubuhan dalam ikatan nikah yang
sah.
Tindak pidana pemerkosaan dibagi menjadi dua bagian, yaitu Muhsan dan
Gairu Muhsan. Pemerkosa muhsan adalah pemerkosa atau orang yang sudah
menikah yang melakukan hubungan seksual dengan orang yang bukan

20
I Asyifa, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan PN Sidoarjo No.
189/Pid.B/2009/PN.Sda Tentang Pemerkosaan Anak Di Bawah Umur, al-Jinâyah: Jurnal Hukum
Pidana Islam Vol. 6, No. 1, Juni 2020, h. 152
25

miliknya dengan paksaan atau kekerasan atau bukan atas kehendak pihak
perempuan. Sedangkan pemerkosa Gairu Muhsan masih lajang dan melakukan
hubungan seksual melalui kekerasan atau ancaman di luar perkawinan yang
sah dan tanpa persetujuan pihak perempuan. 21
Para Fuqaha (Imam Syafi'i, Malik, Auza'i dan Abu Hanifah) berpendapat
bahwa hukuman bagi orang seperti itu adalah rajam. Mereka berpegang teguh
pada otentisitas hadits tentang rajam, yakni perkataan Umar bin Khattab dalam
khutbah Ibnu Abbas.
Disamping itu, mereka beralasan pula dengan hadis Ali ra. Yang
dikeluarkan oleh Muslim dan lain-lainnya, bahwa Ali ra tetap menjatuhkan
dera terhadap Syarakah al Hamdiyah pada hari kamis dan kemudian
merajamnya pada hari jum’at, ia berkata: “Aku menderanya Sarakah
berdasarkan kitabullah, dan aku merajamnya berdasarkan sunnah Rasul-
Nya”.22
Adapun golongan kedua yang berpendapat bahwa hukuman bagi setiap
orang yang berbuat zina adalah dera, mereka berpegangan dengan keumuman,
firman Allah SWT. Adapun dalam Al-Qur’an Surat An-Nur Ayat 2 yang
berbunyi:

‫اح د ِم نْ ه َم ا ِم ا ئ َة َ َج لْ دَ ة‬
ِ ‫ال َّز ا ن ِ ي َ ة َو ال َّز ا ن ِ ي ف َ ا ْج ل ِ د وا ك لَّ َو‬
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.”
Ayat ini merupakan ayat yang disepakati sebagai ayat hukum oleh ketiga
mufassir (Ibnu Al-‘Araby, Muhammad ‘Ali As-Says dan Muhammad ‘Ali
Ash-Shahbuni). Ayat ini merupakan penjabaran lebih lamjut dari surat An-
nisa’ ayat 15 dan 16, yang berkaitan dengan hukuman untuk orang yang
melakukan zina.yang berbunyi:

21
Asyifa, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan PN Sidoarjo No.
189/Pid.B/2009/PN.Sda Tentang Pemerkosaan Anak Di Bawah Umur, al-Jinâyah: Jurnal Hukum
Pidana Islam Vol. 6, No. 1, Juni 2020, h. 154
22
Asyifa, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan PN Sidoarjo No.
189/Pid.B/2009/PN.Sda Tentang Pemerkosaan Anak Di Bawah Umur, al-Jinâyah: Jurnal Hukum
Pidana Islam Vol. 6, No. 1, Juni 2020, h. 155
26

ۖ ‫علَي ِْه َّن أَ ْر َب َعةً ِمنك ْم‬


َ ۖ‫ستَش ِْهدوا‬ ْ ‫ساۖ ِئك ْم فَٱ‬ َ ‫َوٱ َٰلَّ ِتى َيأْ ِت‬
َ ‫ين ٱ ْل َٰفَ ِحشَةَ ِمن ِن‬
َّ ‫ت َحتَّ َٰى يَتَ َوفَّ َٰىه َّن ٱ ْل َم ْوت أَ ْو يَجْ عَ َل‬
‫ٱَّلل‬ ِ ‫فَ ِإن ش َِهدواۖ فَأ َ ْمسِكوه َّن فِى ٱ ْلبيو‬
ً ِ‫سب‬
‫يل‬ َ ‫لَه َّن‬
Ar t in ya: “ Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya).
Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah
mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya,
atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.”

ۖ‫ع ْنه َما‬ ْ َ ‫ان يَأْتِ َٰيَنِ َها ِمنك ْم فَـَٔاذوه َما ۖ فَ ِإن تَابَا َوأ‬
َ ۖ‫صلَ َحا فَأَع ِْرضوا‬ ِ َ‫َوٱلَّذ‬
‫َان تَ َّوابًا َّر ِحي ًما‬ َّ ‫ۖ إِ َّن‬
َ ‫ٱَّللَ ك‬
Artinya: “Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara
kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya
bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
Sedangkan terkait hukuman Bagi Pezina Gairu Muhsan, para ulama telah
sepakat, bahwa hukuman yang dikenakan atas diri perawan dan jejaka merdeka
yang melakukan zina adalah seratus kali dera. Hal ini didasarkan kepada firman
Allah swt. dalam surat AnNur ayat 2, yang berbunyi:

‫ٱلزا ِنى فَٱجْ ِلدواۖ ك َّل َٰ َو ِحد ِم ْنه َما ِماۖئَةَ َج ْلدَة ۖ َو ََل تَأْخ ْذكم‬َّ ‫ٱلزا ِن َية َو‬
َّ
ْ ‫اخ ِر ۖ َو ْل َي‬
‫ش َه ْد‬ ِ ‫ٱَّلل َوٱ ْل َي ْو ِم ٱ ْل َء‬ َ ‫ٱَّلل ِإن كنت ْم ت ْؤ ِمن‬
ِ َّ ‫ون ِب‬ ِ ‫ِب ِه َما َرأْفَةٌ ِفى د‬
ِ َّ ‫ِين‬
َ ِ‫عذَابَه َما َطاۖئِفَةٌ ِم َن ٱ ْلم ْؤ ِمن‬
‫ين‬ َ
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah dan hari akhirat dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”
Menurut sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah saw. pernah menghukum orang yang melakukan zina (Gairu
Muhsan) berupa hukuman buangan selamanya satu tahun dan pukulan seratus
kali. Imam Muslim dari Ubaddah bin Samit, disebutkan bahwa nabi
Muhammad saw. bersabda: “Ketahuilah....ketahuilah sesungguhnya Allah
telah memberi jalan untuk mereka, untuk jejaka dan perawan yang berzina
dihukum dengan seratus kali pukulan dan diasingkan setahun lamanya, dan
27

untuk janda dan duda yang berzina dihukum dengan hukuman seratus kali
pukulan dan rajam”.(HR Muslim).
Imam Malik dan Auza’i berpendapat bahwa pengasingan hanya dikenakan
bagi pezina laki-laki dan tidak dikenakan pada perempuan karena mereka
menganggap perempuan adalah aurat yang harus dilindungi atau
disembunyikan. Imam Abu Hanafiyah dan para pengikutnya berpendapat
bahwasanya tidak ada pengasingan sama sekali.

C. Tindak Pidana Pemerkosaan Menurut Qanun Aceh


Qanun secara etimologis, berasal dari bahasa yunani yang masuk menjadi
bahasa Arab melalui bahasa siryani yang artinya alat pengukur. Dalam bahasa
inggris Qanun sendiri berarti canon dengan sinonim artinya dengan peraturan
(regulation), hukum (law), norma (norm), Undang-undang (statue) dan
peraturan dasar (basic rule).23
Para fuqaha sering kali menggunakan kata Jinayah dengan maksud jarimah.
merupakan bentuk suatu kata verbal noun dari kata jana. Secara etimologi, kata
Jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan
dosa atau perbuatan salah. Kata jana juga berarti memtik buah dari pohonnya.
Orang yang berbuat jahat disebut jani dan orang yang dikenai perbuatan atau
mujna’alaih. Kata Jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau
tindak pidana.24
Pengertian pemerkosaan menurut Qanun Jinayat Aceh No. 6 Tahun 2014
adalah hubungan seksual terhadap faraj atau dubur orang lain sebagai koban
dengan zakar pelaku atau benda lainnya yang digunakan pelaku atau terhadap
faraj atau zakar korban dengan mulut pelaku atau terhadap mulut korban
dengan zakar pelaku, dengan kekerasan atau paksaan atau ancaman terhadap
korban.25

23
Virdis Firmanillah Putra Yunia , Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Pemerkosaan
Terhadap Anak Berdasarkan Qanun Jinayat Aceh , Media Iuris Vol. 2 No. 2, Juni 2019, h. 262
24
Zulkarnain Lubis dan Bakti Ritonga, Dasar-Dasar Hukum Acara Jinayah, (Jakarta:
Prenamedia Grup 2016), h. 2.
25
Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam), (Banyumas: CV.Pena Persada,
2020), h. 119.
28

Memahami definisi pemerkosaan ini secara sempurna tidak cukup dibaca


sekali-dua kali, melainkan harus dibaca berulang kali. Apabila dijabarkan
secara detail, maka dapat disebutkan bahwa bentuk-bentuk tindakan jarimah
pemerkosaan yang terkandung dalam Qanun Aceh Jinayat adalah berikut 26:
a. Memasukkan zakar pelaku ke dalam faraj korban.
b. Memasukkan zakar pelaku ke dalam dubur korban.
c. Memasukkan benda lain ke dalam faraj korban.
d. Memasukkan benda lain ke dalam dubur korban.
e. Memasukkan mulut pelaku ke dalam faraj korban.
f. Memasukkan zakar korban ke dalam mulut pelaku.
g. Memasukkan zakar pelaku ke dalam mulut korban.
Qanun Hukum Jinayah membagi kategori sasaran pemerkosaan kepada tiga
macam, yaitu: a. sasaran pemerkosaan terhadap orang dewasa, b. pemerkosaan
terhadap anak, c. pemerkosaan terhadap orang yang memiliki hubungan
mahram. Ketiga kategori ini memiliki ‘uqubat tazir yang berbeda satu sama
lain. ‘Uqubat ta’zir yang diancam kepada pelaku pemerkosaan adalah sangat
berat dan bahkan melampui ‘uqubat hudud zina. Pertimbangannya adalah pada
jarimah pemerkosaan terdapat unsur pidana pemaksaan dan bukan atas dasar
kerelaan kedua belah pihak. 27
Pemaksaan yang dilakukan oleh pemerkosa dapat berupa memasukkan
zakar atau benda lain terhadap faraj atau dubur, sehingga dapat merusak kedua
organ tubuh ini. Allah SWT meminta umat Islam untuk menjaga anggota tubuh
dan tidak merusak segala ciptaan-Nya. Faraj merupakan alat reproduksi yang
terdapat pada perempuan, sehingga perlu dijaga kehormatannya. Demikian pula
dengan organ bilogis lainnya semisal dubur.28

26
R. Fakhrurrazi, Jarimah Zina dan Pemerkosaan Dalam Qanun Jinayat Aceh: Analisis
Perumusan Metode Istinbath, Islam Universalia International Journal Of Islamic Studies and Social
Sciences, Vol. I No. 3 January 2020, h. 420-421
27
Syahrizal Abbas, Filosofi Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh, (Banda Aceh: Naskah
Aceh, 2018), h. 75.
28
Syahrizal Abbas, Filosofi Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh, (Banda Aceh: Naskah
Aceh, 2018), h.76.
29

D. Anak Menurut Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam

1. Anak Menurut KUHP


Anak merupakan generasi penerus bangsa dan penerus perjuangan
pembangunan yang ada. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan yang
Maha Esa yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat,
martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi
anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-
Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-
hak anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa
depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta
berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil
dan kebebasan.29
Secara yuridis pengertian anak didasarkan pada batas usia tertentu. Namun
perumusan seorang anak dalam berbagai Undang-Undang sama sekali tidak
sama. Bahkan terkadang tidak memiliki korelasi antara satu Undang-Undang
denga Undang-Undang yang lain menyagkut apa yang dimaksud dengan anak.
Hal ini dipengaruhi batasan usia anak mengacu kepada pertimbangan
kepentingan tertentu dan tujuan tertentu.30
Di bawah ini akan diuraikan beberapa ketentuan menurut KUHP mengenai
kriteria anak dibawah umur dijelaskan sebagai berikut 31:
1) Hukum perdata memberikan batas usia anak yang belum dewasa
adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan
tidak lebih dulu menikah (pasal 330 ayat (1) KUHP), maka pada
batas usia tersebut seorang anak masih membutuhkan wali (orang

29
Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsa, Sistem Peradilan Pidana Anak,
(Yogyakarta: Medpress Digital, 2014), h. 5.
30
Liza Agnesta Krisna, Hukum Perlindungan Anak Panduan Memahami Anak Yang
Berkonflik Dengan Hukum, (Yogyakarta: Deepublish, 2018), h. 14.
31 Asyifa, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan PN Sidoarjo No.
189/Pid.B/2009/PN.Sda Tentang Pemerkosaan Anak Di Bawah Umur, al-Jinâyah: Jurnal Hukum
Pidana Islam Vol. 6, No. 1, Juni 2020, h. 158-159.
30

tua) untuk melakukan tindakan hukum perdata, begitu juga Undang-


undang Kesejahteraan Anak (Undang-Undang No.4 tahun 1979)
pasal 1 ayat 2 sama dengan apa yang dimaksud dalam hukum
perdata.
2) Undang-undang pokok kebutuhan (Undang-Undang No.12 tahun
1984) pasal 1 mendefinisikan anak di bawah umur adalah orang
laki-laki atau perempuan berumur 14 tahun ke bawah.
3) Undang-undang pokok perkawinan (Undang-Undang No.1 tahun
1974) pasal 50 ayat 1 menjelaskan bahwa “anak yang belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawa kekuasaan
orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.” 32
4) Pasal 45 KUHP, mendefinisikan anak dibawah umur apabila
belum berumur 16 tahun (menderjaring) pada saat ia
melaksanakan suatu tindak pidana Undang-undang No.3 tahun
1997 tentang pengadilan anak pasal 1 merumuskan bahwa anak
adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai
umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum
pernah menikah.
5) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa “anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk yang masih dalam
kandungan. 33

2. Anak Menurut Hukum Islam


Demikian halna dalam pandangan hukum islam, untuk membedakan anak
dan dewasa tidak didasarkan pada batas usia semata. Para ulama membagi

32
Liza Agnesta Krisna, Hukum Perlindungan Anak Panduan Memahami Anak Yang
Berkonflik Dengan Hukum, (Yogyakarta: Deepublish, 2018), h. 15.
33
I Liza Agnesta Krisna, Hukum Perlindungan Anak Panduan Memahami Anak Yang
Berkonflik Dengan Hukum, (Yogyakarta: Deepublish, 2018),, h. 17.
31

masa-masa yang dilewati manusia dilihat dari segi kelayakannya menerima


kewajiban dan melaksanakannya kepada empat fase sebagai berikut 34:
1) Fase Pertama
Fase atau marhalah pertama adalah masa ketika belum
dilahirkan, yakni ketika ia masih berupa janin dalam rahim ibunya.
Manusia, dalam fase demikian dapat dinilai dari dua pertimbangan
(i’tibar).
Pertimbangan pertama dari sisi bahwa ia adalah bagian dari
ibunya. Ia bergerak dengan gerakannya, berpindah denga
kepindahannya, dan seakan-akan merupakan salah satu anggota dari
anggota badan ibunya. Atas dasar itu, maka ia akan merdeka jika
sang ibu merdeka, dan akan menjadi budak sahaya jika sang ibu pun
seorang budak sahaya. Bahkan ia juga akan termasuk yang dijual,
jika sang ibu dijual.
Oleh sebab itu maka anak kecil kehilangan ahliyyah
(kelayakan/keahlian) dalam mengemban kewajiban atau tugas-tugas
yang mesti ia tunaikan. Hal itu merupakan kasih sayang syar’i dan
demi kebaikan serta kemashlahatannya.
2) Fase Kedua
Masa ini dimulai sejak sang bayi lahir dan berakhir pada
masa tamyiz. Yaitu ketika ia menginjak usia tujuh tahun. Manusia
pada fase ini merupakan sosok yang merdeka dari berbagai tuntutan.
Ia secara mutlak mesti mendapatkan jaminan (dzimmah).
Ditetapkan baginya hak-hak secara sempurna untuk
diperlakukan secara baik oleh yang lain (ahliyyah al-wujud). Yakni,
bahwa ada kewajiban-kewajiban atas yang lain yang harus dipenuhi
demi kemashlahatannya.
Sedang syarat ditetapkannya ahliyyah al-wujud yang
sempurna adalah bahwa anak kecil, karena ia mesti ditanggung atau

34
Liza Agnesta Krisna, Hukum Perlindungan Anak Panduan Memahami Anak Yang
Berkonflik Dengan Hukum, (Yogyakarta: Deepublish, 2018), h. 20-23
32

mempunyai hak dzimmah, maka ia harus layak atau mempunyai hak


untuk mendapatkan hak-haknya dan ditetapkan pula atasnya (untuk
melaksanakan) kewajiban-kewajibannya. Itu berarti sang anak yang
kecil itu mempunyai kewajiban untuk melaksanakan hak-hak yang
lain sebagaimana hak-hak tersebut pun diwajibkan atas orang-orang
dewasa. Sebab dzimmah nya ada secara sempurna dan sebabnya pun
jelas.
3) Fase Ketiga
Fase ini dimulai sejak usia tamyiz yakni, senggang waktu
antara tujuh tahun sampai usia dewasa.
Manusia pada usia demikian tidak memiliki kelayakan al-
ada (pelaksanaan) syariat secara sempurna. Sebab kelayakan untuk
melaksanakan syariat secara sempurna sebagaimana telah
disebutkan memerlukan dua kemampuan. Yakni, kemampuan
memahami khithab yang akan terbukti dengan adanya akal dan
kemampuan untuk melaksanakan syariat yang akan terpenuhi
dengan badan (yang kuat)
Pada fase ini, manusia belum mencapai kesempurnaannya
sebagai manusia dari segi akal dan fisik. Karena ia lahir sejak
permulaanya tidak memiliki (kesempurnaan) akal dan badan.
Meskipun ia telah memiliki persiapan dan kepantasan untuk
memiliki kedua kemampuan tersebut sedikit demi sedikit, sampai
pada gilirannya mencapai kesempurnaannya; yakni, dewasa dan
berakal secara sempurna.
Yang jelas, pada masa tamyiz itu manusia telah mempunyai
ahliyyat al-wujud secara sempurna dan ahliyyat al-ada’ yang minim
karena mempunyai kemampuan yang minim sebagai konsekuensi
dari kelemahan akalnya.
4) Fase Keempat
Fase keempat, dimulai dengan masa kedewasaan. Tandanya
adalah nampaknya salah satu atau lebih tanda-tanda kedewasaan.
33

Pada masa ini, seorang anak manusia sudah dianggap


memiliki ahliyyat al-wujud (kelayakan mendapat tugas) dan
ahliyyat al-ada’ (kelayakan dan kemampuan untuk melaksanakan
tugas-tugas secara sempurna). Ia harus menjalankan segala
ketentuan-ketentuan syara’, seperti keharusan beriman, melakukan
ibadah, bermuamalah, bermasyarakat dengan baik dan lain-lainnya.
Anak yang telah dewasa diakui sah untuk melakukan berbagai akad
atau transaksi dan segala tindakan yang berhubungan dengan syariat
dengan segala konsekuensinya. Ia berhak mendapatkan segala
manfaat dan faedah dari segala tindakan baiknya.
Ia pun wajib dan berhak dituntut, secara sempurna,
mengenai segala tindakanya yang salah. Ditegakkan padanya had
atau hukuman jika ia melakukan sesuatu yang mewajibkan
hukuman, seperti berzina, mencuri, memnimum khamar, menuduh
zina, dan lain-lainnya, kecuali jika ada tanda tada atau bukti
mengenai kelemahan akal atau keabnormalannya. Pada usia ini,
segala kewajiban dapat gugur bahkan tidak dapat dihukum bila
seorang itu gila.
Balig (al-bulugh) yaitu dewasa secara etimolotis diartikan
mengenal/memahami. Tanda-tanda balig menurut jumhur ulama
yatitu al-ihtilam atau bermimpi berhubungan suami istri (pria-
wanita). Disamping itu, tanda khusus bagi anak wanita yaitu haid
atau menstruasi.
Sedangkan pendapat mengenai batasan usia balig yang
sempurna, Imam Abu Hanifah membedakan antara anak kecil pria
dan wanita. Menurutnya kesempurnaan balig bagi pria adalah
delapan belas tahun dan bagi wanita adalah tujuh belas tahun. Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, tidak membedakan batasan
usia balig bagi anak pria dan wanita, menurut mereka batasan usia
balig anak pria dan wanita yaitu lima belas tahun.
34

Dalam pandangan hukum Islam, seseorang yang


dikategorikan memasuki usia balih merupakan ukuran yang
digunakan untuk menentukan umur awal seseorang empunyai
kewajiban melaksanakan syariat Islamdalam kehidupan sehari-
harinya.
Dengan kata lain terhadap mereka telah balig dan berakal,
berlakulah seluruh ketentuan hukum islam.

E. Kerangka Teori
1. Teori Keadilan
Teori keadilan menurut Aristoteles diantaranya ialah:
a. Keadilan Komulatif
Keadilan yang memberikan masing-masing orang apa yang menjadi
bagiannya, dimana yang diutamakan adalah obyek tertentu yang
menjadi hak seseorang. Keadilan komulatif berkenaan dengan
hubungan antar individu.
b. Keadilan Distributif
Keadilan yang memberikan masing-masing orang apa yang menjadi
haknya. Subyek dalam hal ini yaitu individu. Sedangkan yang menjadi
subyek kewajiban adalah masyarakat. Keadilan distributif berkenaan
dengan hubungan antara individu dan masyarakat.

c. Keadilan Legal
Keadilan yang berdasarkan undang-undang. Yang menjadi objek dari
keadilan legal ialah tata masyarakat. Tata masyarakat ini dilindungi
dengan undang-undang.
d. Keadilan Vindikatif
Keadilan yang memberikan masing-masing orang denda atau hukuman
sesuai dengan pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan.
35

e. Keadilan Reaktif
Keadilan yang dapat memberikan masing-masing orang bagiannya
berupa kebebasan untuk menciptakan sesuai dengan kreatifitas yang
dimiliki.
f. Keadilan Protektif
Keadilan memberikan perlindungan kepada pribadi dalam masyarakat,
keamanan dan kehidupan pribadi warga masyarakat wajib dilindungi
dari tindak sewenang-wenang pihak lain. 35

2. Teori Kepastian Hukum


Kepastian hukum menurut Sudikno Mertukusumo merupakan
sebuah jaminan bahwa hukum harus dijalankan dengan cara yang baik.
Kepastian hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik.
Kepastian hukum menghendaki upaya pengaturan hukum pada
perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan
berwibawa. Sehingga aturan-aturan tersebut memiliki aspek yuridis yang
dapat menjamin adanya kepastian hukum yang berfungsi sebagai
peraturan yang harus ditaati.36

3. Teori Kemaslahatan
Menurut Al-Ghazali ialah menarik kemanfaatan atau menolak
sesuatu yang dapat menimbulkan kerugian. Untuk mencapai kemanfaatan
dan menafikan kemadharatan adalah tujuan atau maksud dari makhluk.
Kemaslahatan atau kebaikan mahkluk terletak pada tercapainnya tujuan
mereka. Tetapi, yang dimaksud dengan maslahat ialah menjaga atau
memelihara tujuan syara’. Tujuan syara’ yang berhubungan dengan
mahluk ada lima. Yaitu: pemeliharaan atas mahluk terhadap agama, jiwa,
akal, nasab atau keturunan, harta mereka. Setiap sesuatu yang mencakup

35 http://www.pengertian ahli.com/2014/01/pengertian-keadilan-apa-itu-
keadilan. Diakses pada tanggal 15 july 2022.
36 Asikin Zainal, 2012, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rajawali Press,

Jakarta.
36

pemeliharaan atas lima pokok dasar tersebut adalah mafsadat. Akan tetapi
jika menolaknya dari kelima pokok dadar tersebut adalah maslahat.37

37Al-Ghazali,Abu Hamid Muhammad, al-Musthfa, (Beirut: Mu’assasah ar


Risalah, 1997) Juz I, hal, 416.
BAB III

DESKRIPSI PUTUSAN PERKARA NOMOR 3/JN.ANAK/2021/MS.ACEH


TENTANG KASUS PEMERKOSAAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR

A. Duduk Perkara
Putusan Mahkamah Syariah Nomor 3/JN.Anak/2021 adalah berkas putusan
jarimah pemerkosaan dengan anak. Adapun kronologis perkara perkara yang
terdapat pada putusan ini adalah sebagai berikut1:

Pada tanggal 16 Maret 2021 pukul 10.00 Wib saksi A dan B menemui anak
saksi C di depan MAN Kota Langsa untuk menagih utangnya sebesar Rp.
150.000,- (seratus lima puluhribu rupiah). Lalu mengatakan “Kau sediakan aja
baneng, utang lunas” dan saksi X mengatakan “Bisa juga” dan dijawab anak
saksi X “Ya udah, liat nanti malam” dan dijawab saksi X “Ya udah”. Kemudian
sekira pukul 19.00 Wib anak saksi X menghubungi anak korban X untuk
mengajak jalan namun ditolaknya sehingga anak saksi X menghubungi anak
saksi lainnya untuk membujuk anak saksi X mau pergi jalan sedangkan anak
saksi X meminta temannya yaitu saksi X ikut menemaninya menjemput anak
korban X dan anak saksi X di rumah anak korban X di Jalan Kota Langsa
tibatiba saksi X mengirim pesan di Mesengger (yang sudah dihapus) “Dimana?”
dan dijawab anak saksi X “Lagi diluar” dan saksi X bertanya “Ada cewe ga?”
dan dijawab anak saksi X “Iya” dan saksi X menyuruh saksi anak X agar
perempuan (anak korban X) dibawa ke rumah kosong di Gampong Kota Kota
Langsa.

Setelah itu anak saksi X dan anak saksi X tiba di rumah anak korban X
bertemu dengan anak korban X dan saksi X langsung saksi anak X
memboncengi anak korban X dengan menggunakan kendaraan miliknya
berupa 1 (satu) unit sepeda motor merk Honda jenis Kharisma tanpa nomor

1
Putusan Nomor 3/JN.Anak/2021/MS.Aceh

35
36

kendaraan, namun anak saksi X memboncengi anak saksi Imelka. Selanjutnya


di perjalanan saksi anak X memisahkan diri dari anak saksi X dan anak saksi X.

Saksi anak X membawa anak korban X ke sebuah rumah kosong yang


berada di Gampong Kota Langsa. Kemudian tiba di tempat tersebut anak saksi
X menghubungi saksi X mengatakan anak saksi X telah berada di tempat
tersebut bersama dengan anak korban X (perempuan) yang dijanjikan.

Pada pukul 20.30 WIB, saksi anak X dan anak korban X duduk di depan
rumah tersebut tiba-tiba datang saksi X bersama dengan X. Setelah itu saksi X
mengatakan apa yang telah dilakukan oleh anak saksi X dan anak korban X
telah diduga berbuat mesum ditempat tersebut. Kemudian saksi X mengatakan
akan melaporkan perbuatan mereka kepada masyarakat setempat namun tidak
akan dilaporkan apabila anak korban X melakukan sesuatu kepadanya. Setelah
itu anak korban merasa terpaksa akan menyanggupi permintaan tersebut namun
tidak mengetahui tentang hal tersebut. Selanjutnya saksi X menyuruh anak
korban X agar masuk ke dalam rumah kosong tersebut berdua dengannya
namun berusaha ditolaknya sedangkan anak saksi X menarik paksa tangan anak
korban membawa masuk ke dalam rumah tersebut sesuai permintaan saksi X
langsung saksi X membawa paksa anak korban X ke dalam ruangan kosong di
dalam rumah tersebut sedangkan anak saksi X bersama dengan X menunggu
diluar untuk mengawasi apabila ada warga yang mencurigai perbuatan mereka.

Lalu saksi X terus mengancam akan melaporkan kepada warga setempat


apabila tidak mau mengikuti perkataan dan permintaannya sehingga anak
korban X merasa takut dan terancam terpaksa mengikuti permintaannya untuk
berbaring di atas alas kain didalam ruangan tersebut dan korban X membuka
celananya langsung saksi X membuka celananya. Kemudian saksi X membuka
paksa baju dan BH anak korban X langsung saksi X meremas-remas payudara
anak korban X dengan tangan kirinya lalu saksi X menyuruh anak korban X
agar menghisap penisnya namun anak korban menolaknya langsung saksi X
menarik paksa kepala dan mulut anak korban X membuka mulut hingga masuk
penis saksi X ke dalam mulut anak korban X dan menggunakan tangan kirinya
37

menggerakkan kepala anak korban Xxxxx maju mundur hingga mengeras penis
saksi X sambil tangan kanannya meremas payudara anak korban X. Setelah itu
saksi X menyuruh anak korban untuk berbaring terlentang diatas alas kain
tersebut langsung saksi X membuka kaki anak korban X agar mengangkang
dan saksi X berusaha memasukkan penisnya ke dalam vagina anak korban X
dengan menindih tubuhnya namun anak korban X berusaha menolaknya.
Selanjutnya saksi X memposisikan tubuh anak korban menungging dan saksi X
berusaha memasukkan penisnya ke dalam vagina anak korban X namun
ditolaknya. Lalu anak korban X berusaha berdiri dan merebut celananya namun
saksi X menarik tangan anak korban X dengan memaksa agar menghisap
penisnya lagi dan ditolak anak korban X. Kemudian saksi X menarik paksa
kepala anak korban X dan membuka mulut anak korban X dengan memasukkan
penisnya. Setelah itu masuk ke ruangan tersebut yaitu Xxxxx memaksa anak
korban dengan memasukkan jari tangannya ke dalam vagina anak korban X,
lalu X meremas payudaranya dan menciumi leher anak korban X dan
memasukkan penisnya ke dalam vagina anak korban X

Selanjutnya masuk ke ruangan tersebut saksi X, anak saksi X dan X. Lalu


saksi X memangku kepala anak korban X dipahanya sambil meremas payudara
anak korban X sedangkan anak saksi X Permana memasukkan penisnya ke
dalam vagina anak korban X sambil meremas payudara anak korban X.

Lalu bergantian saksi X menghisap payudara anak korban dan memasukkan


penisnya ke dalam vagina anak korban X. Kemudian bergantian juga dengan
saksi X memasukkan penisnya ke dalam vagina anak korban X, yang mana anak
korban X berusaha melepaskan dan berteriak menjerit sehingga menyudahi
perbuatannya memperkosa/menyetubuhi anak korban X dan meninggalkannya
diruangan tersebut.

Kemudian anak saksi X bertanya kepada X siapa yang akan mengantarkan


pulang anak korban Xdan dijawab X yang akan mengantarkan pulang anak
korban X. Setelah itu saksi X, saksi X, anak saksi X dan saksi X meninggalkan
38

rumah kosong tersebut dikarenakan perbuatan mereka telah selesai dan Xakan
mengantarkan anak korban X.

Setelah itu anak saksi X berusaha mengikuti sepeda motor yang dikendarai
oleh X memboncengi anak korban X. Selanjutnya diperjalanan anak saksi X
kehilangan jejak dengan X yang telahmemisahkan diri langsung anak saksi
Raihan pulang ke rumahnya. Lalu X yang memboncengi anak korban X
membawa dan meninggalkannya di sebuah Mesjid di Sungai Pauh Kota Langsa
yang mana agar anak korban menunggu sementara di Mesjid tersebut langsung
X pulang ke rumah untuk mengecas handphonenya. Kemudian pada hari Rabu
tanggal 17 Maret 2021 sekira pukul 02.00 Wib tiba dirumah X menghubungi
kawannya yaitu anak atas nama X dengan mengatakan ada perempuan yang
dapat dipake/disetubuhi juga meminta tempat untuk menyetubuhinya dan
dijawab anak atas nama X agar perempuan tersebut/anak korban X dibawa ke
rumahnya di Lorong Permai Gampong Teungoh Kecamatan Langsa Kota Kota
Langsa, yang mana anak atas nama X sedang bersama dengan saksi X.

Setelah itu anak atas nama X mengajak saksi X agar menemaninya


menjemput X dirumahnya dan akan membawaperempuan yang dapat
dipake/disetubuhi yaitu anak korban X yang ditinggalkan X di Mesjid Sungai
Pauh Kota Langsa untuk dibawa ke rumah anak atas nama X sehingga saksi X
yang akan ikut juga akan menyetubuhi perempuan tersebut ikut bersama dengan
anak atas nama X. Selanjutnya anak atas nama X bersama dengan saksi X
bersama dengan pergi ke rumah X. Lalu tiba di rumah X langsung tidak lama
anak atas nama X dengan saksi X juga X pergi menjemput anak korban X di
Mesjid Sungai Pauh Kota Langsa. Kemudian tiba di Mesjid Sungai Pauh Kota
Langsa, X memboncengi anak korban X sedangkan anak atas nama X bersama
dengan saksi X pergi ke rumah anak atas nama Nuzul Shahjahan.

Setelah itu sekira pukul 02.30 Wib tiba di rumah anak atas nama X di Kota
Kota Langsa langsung masuk ke dalam kamar bersama dengan anak korban X
sedangkan anak atas nama X bersama dengan saksi X menunggu diluar kamar
mengawasi apabila orang tua dari anak atas nama X terbangun dan mencurigai
39

perbuatan mereka. Selanjutnya di dalam kamar tersebut X memaksa kembali


agar menyetubuhi anak korban X dengan memaksa penisnya masuk ke dalam
vagina anak korban X dengan cara mendorong dan menggoyangkan penisnya
hingga keluar spermanya. Selanjutnya keluar X dari dalam kamar tersebut
langsung anak atas nama X masuk ke dalam kamar tersebut sedangkan saksi X
diluar bersama dengan X menunggu dan mengawasi apabila orang tua anak atas
nama X terbangun. Lalu didalam kamar tersebut anak atas nama X memaksa
anak korban agar melakukan persetubuhan dengan cara memaksa penisnya
masuk ke dalam vagina anak korban X dan menggoyangkannya hingga keluar
spermanya.

Kemudian tiba-tiba sekira pukul 05.00 Wib terbangun orang tua dari anak
atas nama Xsehingga anak atas nama X dengan saksi X akan mengantarkan
anak korban X pulang ke rumahnya sedangkan X tidur di rumah tersebut.
Setelah itu sekira pukul 05.00 Wib saksi X menghubungi kawannya yaitu saksi
X dengan mengatakan ada perempuan dapat dipake/disetubuhi agar dijemput di
Simpang Tugu Kota Langsa dan saksi X mengatakan akan menjemputnya.
Selanjutnya saksi X yang sedang berada dengan saksi X meminta agar
mengantarkan dirinya ke Simpang Tugu Kota Langsa. Lalu saksi xxxx
mengantarkan saksi X langsung pergi ke tempat simpang Tugu Kota Langsa.
Kemudian tiba di simpang Tugu Kota Langsa saksi X bertemu dengan anak atas
nama Xserta saksi X. Setelah itu saksi X meminta uang Rp. 5.000,- (lima ribu
rupiah) untuk beli rokok kepada saksi X langsung anak atas nama X dan saksi
X pergi dari tempat tersebut. Selanjutnya saksi X mengetahui tujuan saksi X
akan menjemput perempuan yang akan dipake/disetubuhi yaitu anak korban X
langsung saksi X mengendarai sepeda motor tersebut memboncengi anak
korban X sedangkan X bonceng dibelakang anak korban X dibawa pergi ke
rumah saksi Xxxxxdi Gampong xxxxx Kota Langsa. Lalu tiba di rumah saksi
X langsung saksi X dan anak korban X turun sedangkan saksi X pergi
menggunakan sepeda motornya pulang ke rumahnya.
40

Kemudian saksi X membawa masuk anak korban X masuk ke dalam


kamarnya dengan memaksa melakukan persetubuhan namun ditolaknya.
Setelah itu saksi X memaksa membuka baju dan BH anak korban X langsung
menghisap dan meremas-remas payudara anak korban X. Selanjutnya saksi X
membuka paksa celana jean dan celana dalam anak korban X lalu memasukkan
jari tangannya ke dalam vagina anak korban Xxxxx yang merintih kesakitan
dan memaksa anak korban untuk menghisap penisnya ke dalam mulut anak
korban X. Lalu sekira pukul 09.30 Wib saksi X menghubungi saksi Xagar
menjemput anak korban dirumahnya. Kemudian anak atas nama X
menghubungi anak saksi X agar menjemput anak korban X yang sudah
diketahuinya X dapat dipake/disetubuhi dirumah saksi X di Timbang Langsa
Kota Langsa.

Kemudian sekira pukul 10.30 Wib anak saksi X datang kepada anak saksi
X meminta tolong diantarkan ke rumah saksi X di X Kota Langsa. Setelah itu
anak saksi xxxxx mengantarkan anak saksi xxxx ke rumah saksi X di X Kota
Langsa. Selanjutnya di simpang empat Jl.TM. Bahrum saksi X turun sehingga
anak saksi X yang menjemput anak korban X sedangkan anak saksi X dijemput
temanya. Lalu anak saksi X menjemput anak korban di rumah saksi X di
Timbang Langsa Kota Langsa langsung membawanya ke Warnet di belakang
Cek Li Jl. xxxx Kota Langsa. Kemudian didalam bilik warnet tersebut anak
saksi X meraba-raba paha anak korban X sambil memaksa tidur kepala anak
korban X dipangkuannya dan memaksa agar anak korban tidur dirumahnya.
Setelah itu anak korban Xmemaksa agar pulang hingga anak korban dengan
berjalan kaki pulang ke rumahnya.

Bahwa berdasarkan Surat Visum Et Repertum atas nama Xxxxx Nomor:


445/918/2017 tanggal 03 April 2017 yang ditandatangani oleh dr. NETTY
HERAWATI, M.Ked (For), S.p.F diperoleh kesimpulan : dijumpai memar
berwarna kemerahan di leher bagian kiri, depan dan kanan. Dijumpai memar
berwarna kemerahan di bibir kecil bagian dalam kanan dan kiri. Dijumpai luka
robek pada liang senggama arah pukul dua sampai ke dasar disertai memar
41

berwarna kebiruan, arah pukul empat dan lima sampai ke dasar, arah pukul
enam, tujuh tidak sampai ke dasar disertai memar berwarna kemerahan, arah
pukul delapan tidak sampai ke dasar. Dijumpai luka lecet berwarna kemerahan
di liang senggama arah pukul enam (vestibulum).

B. Dakwaan/Tuntutan Jaksa
Menimbang, bahwa Jaksa Penuntut Umum dengan surat tuntutannya
Nomor Reg. PERKARA PDM-06/LNGSA/Eku.2/04/2021 tanggal 29 April
2021 yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Menyatakan Anak XXXXX terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana turut serta dengan sengaja melakukan jarimah
pemerkosaan terhadap anak sebagaimana dalam dakwaan Primair
melanggar Pasal 50 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum
Jinayat Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo UU RI No. 11 tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak.
2. Menjatuhkan pidana terhadap anak xxxxx dengan “Uqubat Ta’zir” penjara
selama 55 (lima puluh lima) bulan dikurangi selama anak menjalani
penahanan.
3. Menyatakan barang bukti berupa :
 1 (satu) Unit HP merk VIVO 1816 Type Y91 warna Hitam Biru IMEI 1 :
867906049127 IMEI 2 : 867906049127905.
Dirampas untuk dimusnahkan.
 1 (satu) buah Kain Sarung warna Coklat Muda dan Coklat Tua dengan
motif garis-garis berwarna Putih;

 1 (satu) buah Jilbab segi 4 (empat) polos warna Merah Marun;


 1 (satu) buah Baju Lengan panjang warna Merah Marun dengan tulisan di
bagian dada depan “JUST PEACHY” warna Merah muda;
 1 (satu) buah celana panjang Lie berbahan karet warna Biru muda;
 1 (satu) buah celana dalam polos warna Merah marun berbahan karet;
 1 (satu) buah Bra warna merah muda polos.
Dipergunakan dalam perkara XXXXX
42

4. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp


2.000,- (dua ribu rupiah).

C. Amar Putusan
Dalam amar putusan Nomor 3/JN.Anak/2021/MS.Aceh mengenai
pemerkosaan terhadap anak adalah sebagai berikut:
Memperhatikan Undang Undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah
Aceh, Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat dan
Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat serta Peraturan
Perundang-undangan lainnya dan Hukum Syara’ yang berkaitan dengan perkara
ini:
MENGADILI:
 Menerima permohonan banding Pembanding
 Membatalkan Putusan Mahkamah Syar’iyah Langsa Nomor 3/JN.Anak /
2021/MS.Lgs tanggal 03 Mei 2021 Masehi bertepatan tanggal 21
Ramadhan 1442 Hijriyah,
DENGAN MENGADILI SENDIRI:
1. Menyatakan Anak xxxxx terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana turut serta dengan sengaja melakukan jarimah
pemerkosaan terhadap anak sebagaimana dalam dakwaan Primair
melanggar Pasal 50 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum
Jinayat Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo UU RI No. 11 tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak;
2. Menjatuhkan pidana terhadap anak xxxxx dengan Uqubat pembinaan di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Banda Aceh selama 50 (lima
puluh) bulan dikurangi selama anak menjalani penahanan;
3. Menyatakan barang bukti berupa :
 1 (satu) Unit HP merk VIVO 1816 Type Y91 warna Hitam Biru IMEI1 :
867906049127 IMEI 2 : 867906049127905.
Dikembalikan kepada Anak Korban;
43

 1 (satu) buah Kain Sarung warna Coklat Muda dan Coklat Tua dengan motif
garis-garis berwarna Putih;
 1 (satu) buah Jilbab segi 4 (empat) polos warna Merah Marun;
 1 (satu) buah Baju Lengan panjang warna Merah Marun dengan tulisan di
bagian dada depan “JUST PEACHY” warna Merah muda;
 1 (satu) buah celana panjang Lie berbahan karet warna Biru muda;
 1 (satu) buah celana dalam polos warna Merah Marun berbahan karet;
 1 (satu) buah Bra warna merah muda polos.
Dipergunakan dalam perkara xxxxx
4. Menetapkan agar Anak dibebani membayar biaya perkara pada tingkat
pertama sebesar Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah).
 Menetapkan agar Anak dibebani membayar biaya pada tingkat banding
sejumlah Rp5.000,00 (lima ribu rupiah),
BAB IV

ANALISIS PUTUSAN PERKARA NOMOR 3/JN.ANAK/2021/MS.ACEH


TENTANG PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR

A. Sanksi Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak


1. Sanksi Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Menurut Hukum Positif
Penerapan sanksi pidana terhadap korban merupakan jalan terakhir yang
harus diupayakan agar korban mendapatkan keadilan. Dimana penderitaan
korban akan sedikit berkurang jika adanya sanksi pidana yang diterapkan bagi
pelaku tindak pidana. Pelaku kejahatan pemerkosaan harus mendapatkan sanksi
hukuman yang berat untuk mengembalikan rasa keadilan bagi korban, bahkan
diperlukan adanya hukuman tambahan bagi pelaku. Perasaan tidak adil yang
dimiliki korban tindak pidana pemerkosaan, wajib diutamakan. Hal ini
berkaitan dengan adanya pengembalian hak anak untuk hidup normal dan
berpartisipasi penuh dalam masyarakat. Tindak pidana pemerkosaan
merupakan salah satu tindak kejahatan yang sangat keji dan tidak
berperikemanusiaan. Tindak pidana pemerkosaan tidak hanya melanggar
norma kesusilaan dan norma agama saja, tetapi juga telah melanggar hak asasi
manusia yang melekat pada diri korban, apalagi yang menjadi korban
pemerkosaan adalah anak yang masih di bawah umur. Pelaku pemerkosaan
harus mendapatkan hukuman yang berat, agar dapat memberikan efek jera bagi
pelaku. 1
Negara kita telah memberikan perlindungan hukum terhadap tindak pidana
pemerkosaan yang tercantum dalam Pasal 285 KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena
memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.”

1
Astrid Ayu Pravitria, Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Yang Melakukan
Pemerkosaan Terhadap Anak, Media Iuris: Vol. 1 No. 3, Oktober 2018, h. 412

44
45

Adapun hukuman bagi pelaku pemerkosaan yang mengadakan


hubungan kelamin pada wanita yang belum mencapai usia lima belas
tahun atau yang belum dinikahi yang demikian telah diatur dalam Pasal
287 ayat (1) yang berbunyi:
“Barang siapa mengadakan hubungan kelamin diluar pernikahan
dengan seorang wanita. yang ia ketahui atau sepantasnya harus ia duga
bahwa wanita itu belum mencapai usia lima belas tahun atau jika tidak
dapat diketahui dari usianya. Wanita itu merupakan seorang wanita
yang belum dapat dinikahi, dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya sembilan tahun”
Hukuman bagi pelaku tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah
umur, yang awalnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
sekarang ini pengaturannya dikhususkan ke dalam produk hukum yaitu
Undang-Undang No. 23 tahun 2002 telah direvisi ke dalam Undang-Undang
No. 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak sehingga Pasal yang
berhubungan dengan hukuman bagi pelaku tindak pidana pemerkosaan
terhadap anak di bawah umur, sebagai berikut 2:
Pasal 76D yang berbunyi:
“Setiap Orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang
lain.”
Pasal 76E yang berbunyi:
“Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan,
atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul.”
Pasal 81 yang berbunyi:
1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain.

2
Brenda Gabriela Tangkawarouw, Penghukuman Terhadap Perbuatan Pemerkosaan Anak
Menurut Undangundang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, Lex et Societatis, Vol.
V/No. 5/Jul/2017, h. 80
46

3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan,
maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 82 yang berbunyi:
1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan,
maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Dilihat dari pengaturan sanksi pidana bagi pemerkosaan anak, ditetapkan
pidana maksimum umum dan minum khusus menjadi peluang bagi hakim
dalam menjatuhkan sanksi yang ringan bagi pelaku pemerkosaan anak sehingga
tujuan pemidanaan agar pelaku tidaka mengaulangi kejahatan tersebut terbuka
lebar. Selain itu, sanksi pidana tersebut belum mengakomodir kepentingan
perlindungan korban hanya berorientasi pada perbuatan pelaku. 3
Namun dikarenakan pelaku tindak pidana pemerkosaan ialah masih
dikategorikan sebagai anak karena belum berusia 18 tahun maka sanksi pidana
yang dijatuhkan kepada pelaku tidak dapat dijalankan sesuai dengan ketetapan
Pasal 285 KUHP dan Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak, akan tetapi
pelaku harus diadili sesuai dengan ketentuan Peraturan Sistem Peradilan Pidana
Anak yang diberlakukan khusus untuk menangani kasus anak-anak yang
berkonflik atau berhadapan dengan hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 81 Ayat 2 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak yang berbunyi:
“Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu
perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 81 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pidana Penjara yang dapat
dijatuhkan kepada Anak paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman

3
Fitri Wahyuni, Sanksi Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Menurut Hukum Pidana
Positif dan Hukum Pidana Islam, Jurnal Media Hukum Vol. 23 No.1 Juni 2016, h. 100.
47

pidana penjara bagi orang dewasa. Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai


anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Anak yang telah menjalani 1/2 (satu
perdua) dari lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik berhak
mendapatkan pembebasan bersyarat. Pidana penjara terhadap anak hanya
digunakan sebagai upaya terakhir. Jika tindak pidana yang dilakukan anak
merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, maka pidana yang dijatuhkan kepada anak adalah pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh tahun) penjara.4
2. Sanksi Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Menurut Hukum Islam
Hukum pidana Islam, tidak memberikan definisi khusus tentang
pemerkosaan baik dalam Al quran maupun hadits. Dalam kitab Fiqh Sunnah
yang ditulis oleh Sayyid Sabiq mengklasifikasikan pemerkosaan ke dalam zina
yang dipaksa. Sedangkan Pemerkosaan dalam bahasa Arab disebut dengan al
wath’u (Al wath’u dalam bahasa Arab artinya bersetubuh atau berhubungan
seksual. Bi al ikraah (hubungan seksual dengan paksaan). Sementara pengertian
paksaan secara bahasa adalah membawa orang kepada sesuatu yang tidak
disukainya secara paksa. Sedangkan menurut fuqaha adalah mengiring orang
lain untuk berbuat sesuatu yang tidak disukainya dan tidak ada pilihan baginya
untuk meninggalkan perbuatan tersebut. Jadi sanksi yang diberlakukan bagi
pemerkosa adalah apabila seorang laki-laki memperkosa seorang perempuan,
seluruh fuqaha sepakat perempuan itu tak dijatuhi hukuman zina (had az zina),
baik hukuman cambuk 100 kali maupun hukuman rajam. Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam al- Quran surat al-An’am (6) ayat 145 yang berbunyi5:

‫ون‬َ ‫علَ َٰى َطا ِعم يَ ْطعَمهۥ إِ ََّلۖ أَن يَك‬ ِ ‫قل ََّلۖ أَ ِجد فِى َماۖ أ‬
َ ‫وح َى إِلَ َّى م َح َّر ًما‬
ْ ِ‫س أ َ ْو ف‬
ِ َّ ‫سقًا أ ِه َّل ِلغَي ِْر‬
ۖ ‫ٱَّلل ِب ِهۦ‬ ْ ‫َم ْيتَةً أَ ْو َد ًما َّم‬
ٌ ْ‫سفو ًحا أَ ْو لَحْ َم ِخ ِنزير فَ ِإنَّهۥ ِرج‬
‫ور َّر ِحي ٌم‬
ٌ ‫غف‬َ َ‫غي َْر بَاغ َو ََل عَاد فَ ِإ َّن َربَّك‬
َ ‫ضط َّر‬ ْ ‫فَ َم ِن ٱ‬
Artinya: “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir
atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang

4
Kharisatul Janah, Sanksi Tindak Pidana Pemerkosaan Oleh Anak Dalam Perspektif
Hukum Pidana Islam, TA’ZIR: Jurnal Hukum Pidana Vol. 4 No. 2, Desember 2020, h. 87
5
Ibid, h.102
48

yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan
terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui
batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (Q.S Al An’aam (6):145).
Adapun hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah (ghoiry muhsan)
didasarkan pada ayat AlQur‟an Surah An-Nuur ayat 2 yang berbunyi:

‫ٱلزانِى فَٱجْ ِلدواۖ ك َّل َٰ َو ِحد ِم ْنه َما ِماۖئَةَ َج ْلدَة ۖ َو ََل تَأْخ ْذكم بِ ِه َما‬ َّ ‫ٱلزانِيَة َو‬
َّ
‫عذَابَه َما‬ ْ َ‫اخ ِر ۖ َو ْلي‬
َ ‫ش َه ْد‬ ِ ‫ٱَّلل َوٱ ْليَ ْو ِم ٱ ْل َء‬ َ ‫ٱَّللِ إِن كنت ْم ت ْؤ ِمن‬
ِ َّ ِ‫ون ب‬ ِ ‫َرأْفَةٌ فِى د‬
َّ ‫ِين‬
َ ِ‫َطاۖئِفَةٌ ِم َن ٱ ْلم ْؤ ِمن‬
‫ين‬

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang
yang beriman.”
Ada beberapa pendapat ulama mengenai hukuman bagi pelaku
pemerkosaan sebagai berikut 6:
1) Imam Malik berpendapat yang sama dengan Imam Syafi‟i dan
Imam Hanbali Yahya (murid Imam Malik) mendengar Malik
berkata bahwa, apa yang dilakukan dimasyarakat mengenai
seseorang laki-laki memperkosa seseorang perempuan, baik
perawan atau bukan perawan, jika ia wanita merdeka, maka
pemerkosa harus wajib membayar maskawin dengan nilai yang
sama dengan seseorang seperti dia. Jika wanita itu budak maka
pemerkosa wajib membayar nilai yang dihilangkan. Hadd adalah
hukuman yang diterapkan kepada pemerkosa, dan tidak ada
hukuman diterapkan bagi yang diperkosa, jika pemerkosa adalah
budak, maka menjadi tanggung jawab tuannya kecuali ia
menyerahkan.

6 Kharisatul Janah, Sanksi Tindak Pidana Pemerkosaan Oleh Anak Dalam Perspektif
Hukum Pidana Islam, TA’ZIR: Jurnal Hukum Pidana Vol. 4 No. 2, Desember 2020, h. 89
49

2) Sulaiman Al Baji Al Maliki mengatakan bahwa wanita yang


diperkosa, jika dia wanita yang diperkosa, jika dia wanita merdeka
(bukan budak), berhak mendapatkan mahar yang sewajarnya dari
laki-laki yang memperkosanya. Hukuman hadd merupakan dua
kewajiban untuk pelaku pemerkosa. Hukuman hadd ini terkait
dengan hak Allah SWT, sementara kewajiban membayar mahar
terkait dengan hak makhluk.
3) Abu Hanifah dan Ats Tsauri berpendapat bahwa pemerkosa berhak
mendapatkan hukuman hadd, namun tidak wajib membayar mahar.
Sedangkan menurut Imam Syafi‟i dan Imam Hanbali bahwasanya
barang siapa yang memperkosa wanita maka ia wajib membayar
mahar mitsli.
Adapun manusia sebagai pembawa hak dan kewajiban secara sempurna
(ahliyah al-nujub al-naqishah) yang dimiliki setiap orang sejak dia dilahirkan
sampai meninggal dunia. Kecakapan bertindak hukum (ahiyah al-ada) menjadi
dasar bahwa seseorang secara hukum dapat dibebani kewajiban hukum
(mukallaf), yaitu orang yang secara fisik (jasmani) telah mencapai umur dewasa
atau sehat secara rohani. Para ahli hukum menggunakan standar umur karena
dianggap diberlakukan seacara umum, dan 15 tahun dianggap seseorang telah
memasuki usia baligh. Namun ada riwayat dari Imam Hanafi dan Imam Malik
yang menetapkan batas 18 tahun sebagai usia baligh. Perbedaan itu wajar,
karena mengingat perkembangan berpikir seseorang berbeda-beda antara satu
sama lain, terlebih lagi beda daerah anatara satu dengan yang lainnya. Dengan
telah menyandang status sebagai mukallaf, maka secara hukum seseorang
dianggap memiliki kecakapan bertindak sempurna (ahliyah al ada al kamilah),
karena telah memiliki kecakapan bertindak secara sempurna, ia dapat dimintai
pertanggung jawabannya baik secara pidana maupun perdata terhadap
perbuatan hukum yang dilakukannya.7

7
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2005), h.
271
50

3. Sanksi Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Menurut Qanun Jinayah


Aceh
Qanun Jinayat Nomor 6 Tahun 2014, merupakan hasil revisi terhadap
Qanun Jinayat yang telah disahkan dan diberlakukan sejak tanggal 15 Juli 2003.
Salah satu Qanun yang dimaksud adalah Qanun Nomor 14/2003 tentang
Khalwat serta pelanggaran syriat Islam lainnya. Qanun Jinayat Nomor 6 Tahun
2014, disahkan melalui rapat paripurna di gedung Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh (DPRA) pada hari Sabtu, tanggal 27 September 2014. Ada dua alasan
dilakukan revisi terhadap qanun tersebut, yakni8:
1. Untuk menyempurnakan kekurangan hukum material dalam Qānūn Nomor
14 dan pelanggaran syari’at Islam lainnya. Di antaranya adalah: (a)
Kekaburan beberapa pengertian yang terkandung dalam Qānūn
sebelumnya, (b) Belum adanya pengaturan tentang pengertian anak dan
perlindungan anak, (c) Belum ada logika yang jelas dan konsisten tentang
rasio/perbandingan antara hukuman cambuk, penjara, dan denda, (d) Batas
hukuman maksimal dan minimal yang diancam kepada pelanggar terlalu
ringan. Ditambah belum adanya hukuman cambuk bagi pelindung,
fasilitator, dan pembantu terjadinya tindak pidana, (e) Belum ada hukum
acara Jināyat yang meliputi penahanan, prosedur pelaksanaan hukum
cambuk, dan perlu dimasukkannya pengaturan tentang hubungan lembaga
adat dan Mahkamah Syar’iyah, (f) Pengaturan terhadap tindak pidana yang
belum diatur seperti ikhtilat, muṣāhaqah, liwaṭ, pemerkosaan, pelecehan
seksual, dan lain-lain.
2. Disesuaikan dengan Undang- undang Nomor 11/2006 tentang
Pemerintahan Aceh yang salah satu isinya adalah memberikan wewenang
yang lebih luas kepada Aceh dalam penyusunan dan pelaksanaan hukum
Jināyat di Aceh.

8
Nurhayati, Pelaksanaan Tindak Pidana Pemerkosaan: Studi Komparatif Antara Hukum
Islam dan Qanun Jinayat Di Aceh, Al-Manahij Vol. XII No. 1 Juni 2018, h. 23-24
51

Qanun Hukum Jinayah membagi kategori sasaran pemerkosaan kepada tiga


macam, yaitu sasaran pemerkosaan terhadap orang dewasa, pemerkosaa
terhadap anak, dan pemerkosaan terhadap orang yang memiliki hubungan
mahram. Ketiga kategori ini memiliki ‘uqubat takzir yang berbebda satu sama
lain. Uqubat takzir yang diancam kepada pelaku pemerkosaan adalah sangat
berat dan bahkan melampai uqubat hudud zina. Pertimbangannya adalah pada
jarimah pemerkosaan terdapat unsur pidana pemaksaan dan bukan atas dasar
kerelaan kedua belah pihak.9
Pemaksaan yang dilakukan oleh pemerkosa dapat berupa memasukkan
zakar atau benda lain terhadap faraj atau dubur, sehingga dapat merusak kedua
organ tubuh ini. Allah SWT meminta umat islam untuk menjaga anggota tubuh
dan tidak merusak segala ciptaannya. Faraj meruakan alat reproduksi yang
terdapat pada perempuan, sehingga perlu dijaga kehormatannya. Demikian pula
dengan organ biologis lainnya semisal dubur.
Pertimbangan lain uqubat bagi pemerkosaan lebih berat dari uqubat zina,
karena prilaku seksual dilakukan dengan kkekerasab dan cara paksa, sehingga
unsur pidana yang daoat memberatkan pelaku jarimah pemerkosaan terdiri atas
dua unsur, yaitu prilaku seksual secara tidak sah da dilakukan dengan kekerasan
atau dibawah ancaman, sehingga korban tidak berdaya sama sekali. 10
Uqubat pemerkosaan yang telah diatur qanun hanya tertentu pada ta’zir
saja, dengan pengertian bahwa pelaku pemerkosaan diancam dengan sanksi
ta’zir bukan had. Sedangkan bentuk dan jumlahnya berbeda-beda bergantung
pada status korban yang meliputi anak-anak. Adapun qanun ‘uqubat
pemerosaan yang objeknya anak-anak dalam Pasal 50 yang berbunyi11:
“Setiap orang dengan sengaja melakukan Jarimah Pemerkosaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 terhadap anak-anak diancam dengan
‘uqubat ta’zir cambuk paling sedikit 150 (seratus lima puluh) kali, paling
banyak 200 (dua ratus) kali atau benda paling sedikit 1.500 (seribu lima

9
Syahrizal Abbas, Filosofi Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh, (Banda Aceh: Naskah
Aceh dan Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry, 2018), h. 75
10
Ibid,. h. 76
11
R. Fakhrurrazi, Jarimah Zina dan Pemerkosaan Dalam Qanun Jinayat Aceh: Analisis
Perumusan Metode Istinbath, Islam Universalia International Journal Of Islamic Studies and Social
Sciences, Vol. I No. 3 January 2020, h. 426.
52

ratus) gram emas murni, paling banyaj 2.000 (dua ribu) gram emas murni
atau penjara paling singkat 150 (seratus lima puluh) bulan, paling lama 200
(dua ratus) bulan.”

Pemerkosaan merupakan sebuah tindak pidana yang sanksinya tidak ada


ketentuannya di dalam nash. Oleh karenanya, bentuk dan ukuran sanksi yang
akan dijatuhkan kepada pelaku, ditentukan oleh kebijakan seorang imam
(pemerintah). Pemerintah mempunyai otoritas dan kebijakan penuh di dalam
menentukan sanksi tindak pidana pemerkosaan. Namun demikian pemerintah
tidak boleh memberikan keputusan ta’zir secara semena-mena, ta’zir harus
dirumuskan dengan pertimbangan maslahat secara holistik. Seperti
mempertimbangkan sebab-sebab kejadian, status sosial pelaku ataupun korban
dan kerugian yang diderita korban. Dalam sebuah kaidah disebutkan 12:

‫التعز ير يدو ر مع المصلحة‬


Artinya: “Sanksi ta’zir (jenis dan ukurannya) berputar sesuai dengan
kemashlahatan.”
Filosofi diterapkan uqubat yang cukup berat terhadap pemerkosaan, karena
pemerkosaan merupakan kejahatan yang luar biasa terhadap kehormatan, organ
tubuh tertentu yang dilakukan secara paksa, kekerasan dan di bawah ancaman.
Tujuannya adalah untuk melindungi organ biologis dan alat reproduksi
pemerkosaan dari tindakan kekerasan. Ada sisi lain pemerkosaan adalah
perbuatan keji karena menggunakan alat kelamin secara paksa dan tidak sah,
serta penggunaan mulut terhadap faraj orban atau mulut korban terhadap zakar
pelaku. 13

B. Pertimbangan Hakim
Adapun pertimbangan hakim dalam memutus perkara nomoe
3/JN.Anak/2021/Ms. Aceh antara lain14:
 Bahwa Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai yudex factie pada tingkat
banding berpendapat bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan

12
Ibid., h. 426
13
Syahrizal Abbas, Filosofi Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh, (Banda Aceh: Naskah
Aceh dan Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry, 2018), h. 77-78
14
Putusan Nomor 3/JN.Anak/2021/Ms.Aceh
53

Jarimah Pemerkosaan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 Qanun Aceh


Nomor 6 tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat, diancam dengan ‘uqubat
sesuai dengan ketentuan dalam qanun tersebut, dan menurut pasal 178
angka (6) Qanun Aceh Nomor 7 tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat
“uqubat yang dijatuhkan oleh hakim boleh kurang atau lebih dari jumlah
uqubat yang diajukan Penuntut Umum”, bahkan Majelis Hakim boleh
menjatuhkan jenis hukuman yang berbeda dari yang diminta oleh penuntut
Umum jika Uquba tjarimah tersebut bersifat alternatif sebagaimana
tersebut pada Pasal 178 angka 7 Qanun Aceh Nomor 7 tahun 2013 Tentang
Hukum Acara Jinayat.
 Bahwa Mahkamah Syar’iyah Aceh berpendapat bahwa jumlah uqubat yang
dijatuhkan oleh Mahkamah Syar’iyah Langsa tersebut dinilai masih belum
memberikan efek jera pada diri Anak sehingga tidak terpenuhinya rasa
keadilan bagi Anak korban apabila jumlah uqubat tersebut dipertahankan.
 Bahwa jarimah yang dilanggar oleh Terdakwa adalah pemerkosaan
terhadap anak korban, hal ini terungkap berdasarkan keterangan para saksi
yang dihadirkan di persidangan dan dari pengakuan Anak sendiri di hadapan
sidang Mahkamah Syar’iyah Langsa, bahwa Anak telah melakukan jarimah
pemerkosaan di bulan Maret 2021, sehingga Mahkamah Syar’iyah Aceh
menilai bahwa perbuatan Anak tidak menghargai nilai-nilai Hukum Islam
yang dianut oleh Anak sendiri dan yang ditegakkan oleh Pemerintah Aceh,
serta bila tidak di beri uqubat yang dapat memberi efek jera dikhawatirkan
Anak akan terus melakutan perbuatan bejat tersebut kepada anak korban,
oleh karena itu Mahkamah Syar’iyah Aceh berpendapat jumlah uqubat yang
telah dijatuhkan oleh Mahkamah Syar’iyah Langsa beralasan secara hukum
untuk ditambahkan.
 Bahwa terlepas dari keberatan Pembanding/Jaksa Penuntut Umum yang
telah menuntut dengan ’uqubat Penjara selama 55 (lima puluh lima) bulan,
Mahkamah Syar’iyah Aceh berpendapat bahwa berdasarkan ancaman
‘uqubat yang tercantum dalam pasal 50 Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014
tentang Hukum Jinayat paling banyak 200 bulan penjara, paling singkat 150
54

bulan penjara, maka uqubat yang layak terhadap Anak dalah sepertiga dari
150 sesuai pasal 67 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 adalah 50
(lima puluh) bulan penjara dikurangi masa tahanan yang telah dijalani oleh
Anak.
 Bahwa sebelum menjatuhkan putusan, perlu dipertimbangkan hal-hal yang
memberatkan dan meringankan Terdakwa:
Hal-hal yang memberatkan :
- Perbuatan Terdakwa tidak mendukung program Pemerintah Aceh dalam
menegakkan Syari’at Islam di Provinsi Aceh.
- Perbuatan Anak merusak masa depan anak korban.
Hal-hal yang meringankan :
- Anak belum pernah dihukum.
- Anak bersikap sopan di persidangan dan berterus terang mengakui
perbuatannya.
 Bahwa oleh karena Anak dinyatakan bersalah dan dihukum, maka sesuai
dengan ketentuan Pasal 214 ayat (1) Qanun AcehNomor 7 Tahun 2013
tentang Hukum Acara Jinayat, kepada Anak harus dibebankan untuk
membayar biaya perkara pada tingkat pertama dan pada tingkat banding.
 Bahwa karena pada tingkat pertama Anak telah dibebankan untuk untuk
membayar biaya perkara sejumlah Rp5.000,00 (lima ribu rupiah), maka
sesuai dengan Surat Ketua Mahkamah Agung RI. Nomor KMA/155/X/1981
tanggal 19 Oktober 1981 dan angka 27 Lampiran Keputusan Menteri
Kehakiman Nomor M.M 14-PW.07:03 Tahun 1983 tentang Tambahan
Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang menyebutkan biaya perkara pidana
maksimum yang dapat dibebankan kepada terpidana adalah paling rendah
Rp5000,00 (lima ribu rupiah) dan maksimal Rp10.000,00 (sepuluh ribu
rupiah), maka pada tingkat banding Anak dibebankan membayar biaya
perkara sejumlah Rp5.000,00 (lima ribu rupiah).
55

C. Analisis Putusan Perkara Nomor 3/JN.Anak/2021/Ms.Aceh Tentang


Jarimah Pemerkosaan Dengan Anak

1. Analisis Putusan Menurut Hukum Positif


Berdasarkan putusan Mahkamah Syariah Aceh dengan nomor pekara
3/JN.Anak/2021/MS.Aceh terdakwa yang beridentitas seorang laki-laki
berumur 17 tahun di dakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan
Primair melanggar Pasal 50 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum
Jinayat Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo UU RI No. 11 tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak.
Adapun terkait pasal pemerkosaan dan pemerkosaan terhadap anak terdapat
dalam Pasal 285 dan 287 Ayat 1KUHP berbunyi:
Pasal 285
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena
melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Pasal 287 Ayat 1
“Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya, sedang
diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu
belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan
itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya
Sembilan tahun.”
Setelah melihat semua fakta yang tertulis di dalam putusan dan oleh karena
semua unsur dakwaan telah teperuhi, maka terdakwa dinyatakan telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pemerkosaan
terhadap anak sebagaimana diatur dalam dakwaan tersebut.
Menurut penulis, terkait amar putusan yang diberikan oleh majelis hakim
Mahkamah Syariah Aceh telah sesuai dengan ketentuan hukum pidana positif
yang berlaku karena telah mempertimbangkan beberapa peraturan perundang-
undangan, seperti pasal 55 ayat 1 KUHP yang menyatakan bahwa:
“Orang yang turut serta melakukan perbuatan pidana, dipidana sebagai
pelaku tindak pidana”
Akan tetapi ada pertimbangan yang lain dalam hal ini, mengingat pelaku
tindak pidana berusia 17 (tujuh belas) tahun dan masih dikategorikan sebagai
56

anak dimana menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang


Pengadilan anak Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa:
“Anak nakal adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun
dan belum pernah menikah.”
Oleh sebab itu, anak yang berhadapan atau berkonflik dengan hukum
berhak mendapatkan perlindungan khusus. Lahirnya Undang-Undang
Perlindungan anak bukan semata-mata untuk memberikan perlindungan
terhadap korban saja melainkan pelaku yang masih dikategorikan anak juga
dapat perlindungan hukum.
Dengan dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah maka
pelaku harus dijatuhi pidana sesuai dengan tingkat kesalahannya. Maka hakim
harus menjatuhkan pidana yang dapat memberikan rasa keadilan bagi pihak
korban dan memberikan efek jera terhadap pelaku. Mengenai penjatuhan pidana
yang akan ditetapkan oleh Hakim semua berdasarkan pertimbangan dan
peraturan undang-undang yang berlaku. Akan tetapi disini yang menjadi
pertimbangan adalah usia pelaku yang masih tergolong sebagai anak. Maka,
ancaman pidana penjara yang akan dijatuhi kepada pelaku tindak pidana adalah
½ (satu perdua) dari maksimum pidana penjara bagi orang dewasa. Dimana hal
ini sesuai dengan ketetapan Pasal 81 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Berdasarkan amar putusan pertama dengan nomor pekara
4/JN.Anak/2021/MS.Lgs hakim dalam menjatuhkan pidana penjara terhadap
terdakwa hanya 40 bulan kemudian hal itu tidak sependapat dengan Penuntut
Umum karena dinilai masih belum memberikan efek jera pada diri anak
sehingga tidak terpenuhinya rasa keadilan bagi anak korban apabila hukuman
itu dipertahankan dan dikhawatirkan jika tidak memberikan efek jera maka anak
akan terus melakukan perbuatan bejat terhadap anak korban. Kemudian
penuntut umum menunut dengan pidana penjara 55 bulan. Adapun dalam
perkara banding nomor 3/JN.Anak/2021/Ms.Aceh dimana menyebutkan bahwa
anak dijatuhkan pidana penjara 50 bulan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak
(LPKA) di Banda Aceh. Hakim dalam menjatuhkan pidana telah
57

memperhatikan perlindungan terhadap kepentingan dan hak-hak anak yang


berhadapan dengan hukum. Hakim juga menerapkan pasal 66 Undang-Undang
Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dimana menyebutkan15:
a. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan,
penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
b. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan
untuk pelaku tindak pidana yang masih anak.
c. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara
melawan hukum.
d. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh
dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilaksanakan sebagai upaya terakhir.
e. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan
perlakuan manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan,
pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan
dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.
f. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh
bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap
tahapan upaya hukum yang berlaku.
g. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela
diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang
objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk
umum.
Tentunya hal ini telah sesuai juga dengan ketentuan peraturan sistem
peradilan pidana anak. Dimana penjatuhan pidana terhadap anak lebih
ringan dari pelaku dewasa dikarenakan pelaku yang tergolong masih muda
dan diharapkan masih bisa menjadi manusia yang berguna dikemudian hari.
Selain itu, ada hal-hal yang dapat meringankan pelaku, yaitu: anak belum
pernah dihukum dan anak bersikap sopan di persidangan dan berterus terang

15
Bambang Heri Supriyanto, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Perkosaan
Berdasarkan Hukum Positif Indonesia, ADIL: Jurnal Hukum Vol. 6 No.2 2015, h. 166
58

mengakui perbuatannya. Jadi, Jika ditinjau dari sudut pandang anak maka
pidana yang dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana pemerkosaan terhadap
anak adalah sesuai porsinya.
Selain itu penulis juga sependapat dengan putusan hakim pada perkara
nomor 3/JN.Anak/2021/MS.Aceh karena dalam memutus perkara telah
mempertimbangkan dari segi yuridis dan non yuridis. Adapun
pertimbangan yuridisnya, ialah: dakwaan penutut umum, keterangan
terdakwa, keterangan para saksi, barang bukti, dan pasal-pasal pidana.
sedangkan pertimbangan non yuridisnya, ialah: latar belakang terdakwa
yang melakukan perbuatan bejatnya dan teman-temannya dengan cara
memaksa anak korban untuk memuaskan nafsunya, kemudian kondisi
terdakwa yang masih tergolog anak, terdakwa juga terus terang kepada
hakim mengenai perbuatannya, dan akibat perbuatan terdakwa dan teman-
temannya anak korban mengalami luka dan memar dibagian tubuhnya.
Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan terdakwa, yaitu
terdakwa tidak mendukung program pemeritah Aceh dalam menegakkan
syariat Islam di Provinsi Aceh kemudian terdakwa juga telah merusak masa
depan korban. Adapun meringankan terdakwa, yaitu: terdakwa belum
pernah dihukum dan terdakwa dinilai kooperatif pada saat persidangan
berlangsung. Dalam perkara ini hakim dinilai telah sesuai dalam
memberikan putusan terhadap pihak korban dan pelaku.
Putusan dari Hakim merupakan sebuah hukum bagi terdakwa pada
khususnya dan menjadi sebuah hukum yang berlaku luas apabila menjadi
sebuah yurisprudensi yang akan diikuti oleh para Hakim dalam memutus
suatu perkara yang sama. Apabila suatu perkara yang diputus sudah keliru
dan pada akhirnya menjadi sebuah yurisprudensi, maka yang terjadi adalah
tidak terciptanya keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti
yang dicantumkan dalam setiap putusan Hakim, khususnya dalam
pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban pemerkosaan
59

menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan


Anak. 16

2. Analisis Putusan Menurut Hukum Islam


Menurut ketentuan hukum Islam, pemerkosaan disamakan dengan
perzinahan. Maka sesuai dengan deskripsi kasus yang telah dipaparkan diatas
bahwasannya pelaku pemerkosaan terhadaap anak di bawah umur ialah
tergolong sebagai anak juga atau dapat dikatakan pemerkosa ghairu muhsan,
yakni pelaku yang belum pernah menikah dan tidak memiliki pasangan yang
sah. Maka hukuman bagi pelaku perzinahan ghairu muhsan adalah didera
seratus kali dan pengasingan selama satu tahun bagi pezina yang belum
berkeluarga.
Berdasarkan Ayat Al-Qur’an dan Hadis tidak banyak mengungkapkan
penyebutan kejahatan perkosaan secara langsung. Akan tetapi, dalam Surat al-
Nūr ayat 33 walaupun tidak ada menyebutkan kata perkosaan, tetapi sudah
mengarah kepada larangan tindak pemaksaan dalam persoalan seksual
sebagaimana disebutkan17:

َّ ‫ف ا ل َّ ِذ ي َن ََل ي َ ِج د و َن ن ِ كَا ًح ا َح ت َّ َٰى ي غْ ن ِ ي َ ه م‬


‫َّللا ِم ْن‬ ِ ِ‫َو لْ ي َ سْ ت َعْ ف‬
‫اب ِم َّم ا َم ل َ كَتْ أ َيْ َم ان ك ْم ف َ كَا ت ِ ب وه ْم‬ َ َ ‫ض لِ ِه ٓ َو ا ل َّ ِذ ي َن ي َ بْ ت َغ و َن ا لْ ِك ت‬ ْ َ‫ف‬
‫َّللا ِ ا ل َّ ِذ ي آ ت َ اك ْم ٓ َو ََل‬ َّ ‫يه ْم َخ يْ ًر ا ٓ َو آت وه ْم ِم ْن َم ا ِل‬ ِ ِ ‫إ ِ ْن عَ لِ ْم ت ْم ف‬
َ‫ت كْ ِر ه وا ف َ ت َي َ ا ت ِ ك ْم عَ ل َ ى ا لْ ب ِ غ َ ا ِء إ ِ ْن أ َ َر ْد َن ت َ َح صُّ ن ً ا لِ ت َبْ ت َغ وا عَ َر ض‬
َّ ‫ا لْ َح ي َ ا ةِ ال دُّ نْ ي َ ا ٓ َو َم ْن ي ْك ِر هْ ه َّن ف َ إِ َّن‬
‫َّللا َ ِم ْن ب َ عْ ِد إ ِ كْ َر ا هِ ِه َّن‬
ٌ‫غَ ف و ٌر َر ِح ي م‬
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga
kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-
Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian,
hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada
kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta
Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa
budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri
mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi.

16
Waty Suwarty Haryono dan Bhetner Hatta Pritz, Perlindungan Hukum Bagi Anak
Sebagai Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Perkosaan, Jurnal LEX Certa Vol. 1 No. 1 2016, h. 85
17
Nur Arifah B, Persepektif Hukum Pidana Islam & Positif Terhadap Uqubah (Hukuman)
Pemerkosaan Terhadap Anak, diakses melalui https://osf.io pada Senin, 06 Desember 2021 pukul
10.28, h. 3
60

Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah


Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka
dipaksa itu.”
Dalam Hukum Islam pemerkosaan terhadap anak masuk dalam kategori
Zina dengan pemaksaan dimana unsur-unsur pemerkosaan hampir sama
dengan unsur-unsur yang terdapat dalam perbuatan zina. Unsur-unsur
pemerkosaan adalah diantaranya adalah18:
a. Adanya pelaku pemerkosaan
b. Adanya korban pemerkosaan
c. Adanya kekerasan atau ancaman
d. Terjadinya persetubuhan antara laki-laki dan perempuan
e. Tidak adanya unsur syubhat (perkara yang masih samar)
Adapun manusia sebagai pembawa hak dan kewajiban secara sempurna
(ahliyah al-nujub al-naqishah) yang dimiliki setiap orang sejak dia
dilahirkan sampai meninggal dunia. Kecakapan bertindak hukum (ahiyah
al-ada) menjadi dasar bahwa seseorang secara hukum dapat dibebani
kewajiban hukum (mukallaf), yaitu orang yang secara fisik (jasmani) telah
mencapai umur dewasa atau sehat secara rohani. Para ahli hukum
menggunakan standar umur karena dianggap diberlakukan seacara umum,
dan 15 tahun dianggap seseorang telah memasuki usia baligh. Namun ada
riwayat dari Imam Hanafi dan Imam Malik yang menetapkan batas 18 tahun
sebagai usia baligh. Perbedaan itu wajar, karena mengingat perkembangan
berpikir seseorang berbeda-beda antara satu sama lain, terlebih lagi beda
daerah anatara satu dengan yang lainnya. Dengan telah menyandang status
sebagai mukallaf, maka secara hukum seseorang dianggap memiliki
kecakapan bertindak sempurna (ahliyah al ada al kamilah), karena telah
memiliki kecakapan bertindak secara sempurna, ia dapat dimintai

18
Min Nuthfatin Nadlifah, Sanksi Hukum Bagi Pelaku Pemerkosaan Terhadap Anak (
Studi Komparatif Antara Pasal 81 dan Pasal 82 Perppu Nomor 1 Tahun 2016 dengan Hukum Islam,
Maqasid: Jurnal Studi Hukum Islam/Vol. 6, No. 1, 2017, h. 14
61

pertanggung jawabannya baik secara pidana maupun perdata terhadap


perbuatan hukum yang dilakukannya.19
Terkait pengaturan sanksi mengenai pemerkosaan maka ada pendapat
beberapa ulama, seperti: Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali
mereka sependapat mengenai hukuman bagi pelaku pemerkosa seseorang
laki-laki memperkosa seseorang perempuan, baik perawan atau bukan
perawan, jika ia wanita merdeka, maka pemerkosa harus wajib membayar
maskawin dengan nilai yang sama dengan seseorang seperti dia sebagai
bentuk hukuman tambahan. 20
Sedangkan bagi pelaku pemerkosa, hukum pidana Islam membagi
kepada dua kelompok, yaitu21:
a. Pemerkosaan tanpa mengancam dengan senjata, jika pelakunya
belum menikah maka dijatuhi hukuman cambuk seratus kali
serta diasingkan selama satu tahun. Sebagian ulama mewajibkan
kepada pelaku pemerkosa untuk memberikan mahar bagi wanita
korban pemerkosaan.
b. Pemerkosaan Dengan Menggunakan Senjata, Pelaku
pemerkosaan dengan menggunakan senjata untuk mengancam,
dihukum sebagaimana perampok.
Dalam perkara Nomor 3/JN.Anak/20121/Ms.Aceh ini, pelaku yang
berusia 17 tahun. Dimana menurut para ahli fiqh masa kemampuan berpikir
penuh dimulai sejak anak mencapai 15 tahun atau 18 tahun. Pada masa ini
telah dikenakan pertanggung jawaban pidana atas tindak pidana yang
dilakukan. Menurut Sayyid Sabiq bahwasannya batas anak ketika ia telah
bermimpi dengan kata lain sudah baligh. Adapun salah satu tanda baligh

19
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2005), h.
271
20
Kharisatul Janah, Sanksi Tindak Pidana Pemerkosaan Oleh Anak Dalam Perspektif
Hukum Pidana Islam, TA’ZIR: Jurnal Hukum Pidana Vol. 4 No. 2, Desember 2020, h. 89
21 Fitri Wahyuni, Sanksi Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Menurut Hukum Pidana

Positif dan Hukum Pidana Islam, Jurnal Media Hukum Vol. 23 No.1 Juni 2016, h. 102-103
62

ialah telah sampai umur 15 tahun. 22 Maka dalam hal ini seharusnya jika
anak tersebut dapat dikatan sudah baligh maka mendapatkan hukuman sama
dengan hukumann hadd zina. Dimana para ulama juga telah bersepakat
mengenai ketentuan diberlakukannya hukum hadd pemerkosaan jika
terdapat bukti yang kongkret dan dijatuhi hukuman hadd apabila pelaku
mengakui perbuatannya. Jadi, sanksi yang diberlakukan bagi pemerkosa
adalah apabila seorang laki-laki memperkosa seorang perempuan, seluruh
fuqaha sepakat perempuan itu tak dijatuhi hukuman zina (had az zina).

3. Analisis Putusan Menurut Qanun Jinayah Aceh


Lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh
dengan harapan atau tujuan untuk memperkuat dan mempertegas penerapan
syari’at Islam di Aceh bagi masyarakat di Aceh. Salah satu kewenangan yang
diberikan kepada Pemerintah Aceh ialah dengan adanya peraturan perundang-
undangan untuk daerah Aceh, yaitu Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Hukum Jinayat Aceh. Kebijakan pidana dalam Qanun Aceh merupakan salah
satu wujud akomodasi yang ideal dalam pembangunan hukum, sebab
pembangunan hukum nasional harus berwawasan nasional satu kesatuan atau
unifikasi, dan demi keadilan harus diperhatikan wawasan bhineka tunggal ika
yang menghormati latar belakang sosial budaya yang berbeda namun tetap
mengutamakan kepastian hukum. 23
Menurut penulis, berdasarkan putusan Nomor 3/JN.Anak/2021/Ms.Aceh
dalam hal ini hakim telah mengadili dan memutus perkara sesuai dengan
ketentuan Qanun Jinayah Aceh dimana pelaku pemerkosaan anak diatur dalam
Pasal 50 Qanun Jinayah Aceh yang berbunyi:

22
Nety Hermawati, Kejahatan Anak Menurut Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana
Islam, Diakses melalui http://e-
journal.metrouniv.ac.id/index/php/istinbath/article/download/577/518, pada Senin, 06 Desember
2021 pukul 19.43, h. 17
23
Virdis Firmanillah Putra Yuniar, Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Pemerkosaan
Terhadap Anak Berdasarkan Qanun Jinayat Aceh, Media Iuris Vol. 2 No. 2, Juni 2019, h. 264
63

“ Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan jarimah pemerkosaan


terhadap anak diancam dengan uqubat takzir cambuk paling sedikit 150
kali, paling banyak 200 kali, atau denda paling sedikit 1.500 gram emas
murni, paling banyak 2.000 gram emas murni, atau penjara paling singkat
150 bulan, paling lama 200 bulan.”
Adapun dalam hal ini pelaku berusia 17 tahun ketika melakukan tindak
pidana pemerkosaan maka sesuai dengan Pasal 66 yang mengatur mengenai
Uqubat bagi anak-anak, ialah:
“Apabila anak yang belum mencapai umur 18 tahun melakukan atau diduga
melakukan jarimah, maka terhadap anak tersebut dilakukan pemeriksaan
berpedoman kepada peraturan perundangan-undangan sistem peradilan
pidana anak.”
Penulis juga sependapat kepada hakim terkait hukuman yang berikan
kepada pelaku, yakni 50 bulan di penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak
(LPKA) Banda Aceh. Dengan dijatuhkannya hukuman penjara di LKPA maka
anak bisa dibina sesuai dengan usianya dan kebutuhannya, sehingga anak tetap
mendapatkan hak-haknya. Hukuman bagi pelaku yang masih tergolong anak
berbeda terhadap pelaku orang dewasa. Dimana anak hanya mendapat hukuman
sepertiga dari hukuman orang dewasa yang melanggar ketentuan Pasal 67 Ayat
1 Qanun Jinayat ini.
Ketua Mahkamah syariah dalam mengadiili seluruh ketentuan Syariat Islam
di Aceh dapat juga telah melaksanakan hukum Islam yang tertuang pada Qanun
Jinayah. Adapun ketua Mahkamah Syariah menangani kasus pidana anak
berpedoman kepada Pedoman Mahkamah Syariah, sebagai berikut 24:
1. Mahkamah Syar’iah dalam mengadili anak yang melanggar ketentuan
hukum jinayah harus berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 11
tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sepanjang belum
adanya aturan khusus dalam memeriksa dan mengadili anak.

24Mahkamah Syariah Aceh, Buku Pedoman Administrasi dan Peradilan Jinayat Pada
Mahkamah Syariah Di Aceh, h.68-71
64

2. Pengadilan anak bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan


menyelesaikan berkonflik dengan hukum yang dapat diajukan ke sidang
anak adalah sudah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai
umur 1 (9delapan belas) tahun dan belum menikah.
3. Dalam Sistem Peradilan Anak mulai dari penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di persidangan wajib diupayakan diversi.
4. Dalam Sistem Peradilan Anak wajib mengutamakan pendekatan
Keadilan Restoratif.
5. Pemeriksaan Perkara:
a. Dalam hal anak melakukan tindak jarimah sebelum 18 tahun dan
diajukan kesidang Mahkamah Syar’iah setelah anak yang
bersangkutan melampui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai
umur 21 tahun tetap diajukan kesidang anak.
b. Hakim yang mengadili perkara anak, adalah hakim yang ditetapkan
berdasarkan surat keputusan ketua Mahkamah Agung atas usulan
ketua Mahkamah Syar’iah yang bersangkutan melalui ketua
Mahkamah Syar’iah Aceh.
c. Dalam hal belum ada hakim anak, maka ketua Mahkamah Syar’iah
dapat menunjuk hakim yang melakukan tugas pemeriksaan bagi
tindakan jarimah yang dilakukan oleh orang dewasa.
d. Persidangan terhadap anak dilaksanakan dengan hakim tunggal, dan
dapat dilakukan dengan Hakim majelis dalam hal apabila ancaman
uqubat atas perbuatan jarimah yang dilakukan anak yang
bersangkutan adalah penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau hukum
ta’zir lain yang setara dan sulit pembuktiannya.
e. Dalam hal anak melakukan tindakan jarimah bersama-sama dengan
orang dewasa, maka anak yang bersangkutan diajukan ke sidang
anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang yang
dilaksanakan untuk orang dewasa.
f. Acara Pesidangan anak dilakukan sebagai berikut:
1) Persidangan dilakukan secara tertutup.
65

2) Hakim, Jaksa Penuntut Umum dan Penasihat hukum Terdakwa


tidak menggunakan toga.
3) Penyidik, Jaksa Penuntut Umum, Hakim, wajib melaksanakan
diversi apabila diancam dengan uqubat dibawah 7 tahun dan
bukan merupakan pengulangan jarimah.
4) Hakim wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari
setelah Ketua Mahkamah Syar’iah menetapkan Hakim.
5) Diversi sebagaimana dimaksud pada angka 4 dilaksanakan
paling lama 30 (tiga puluh) hari.
6) Sebelum sidang dibuka, Hakim memerintahkan agar
pembimbing kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil
penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan.
7) Selama dalam persidangan, terdakwa wajib didampingi oleh
orangtua, wali atau orang tua asuh, penasihat hukum dan
pembimbing kemasyarakatan.
8) Persidangan terhadap anak dilaksanakan di dalam ruang khusus
anak.
9) Pada waktu memeriksa saksi, hakim dapat memerintahkan agar
terdakwa dibawa keluar ruang sidang, namun orang tua, wali
atau orang tua asuh, penasihat hukum, dan pembimbing
kemasyarakatan tetap hadir.
10) Dalam persidangan, Terdakwa anak dan saksi korban anak dapat
juga didampingi oleh petugas pendamping atas izin hakim atau
Majelis hakim.
11) Putusan wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
g. Penahanan.
1) Hakim berwewenang melakukan penahanan bagi anak paling
lama 15 hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah
Syar’iah yang bersangkutan untuk paling lama 30 hari.
2) Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh
mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan
66

masyarakat. Alasan penahanan harus dinyatakan secara tegas


dalam surat perintah penahanan.
3) Tempat penahanan bagi anak harus dipisahkan dari orang
dewasa.
h. Putusan.
1) Sebelum mengucapkan putusannya, hakim memberikan
kesempatan kepada orang tua asuh untuk mengemukakan segala
sesuatu yang bermanfaat bagi anak.
2) Putusan wajib mempertimbangkan laporan penelitian
kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan.
3) Terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dapat dijatuhi
tindakan atau uqubat.
BAB V

PENUTUP
A. Simpulan
1. Pertimbangan hakim dalam memutus perkara Nomor
3/JN.Anak/2021/MS.Aceh adalah dengan mempertimbangkan seluruh
fakta-fakta didalam persidangan, baik itu saksi, barang bukti, keterangan
terdakwa yang diajukan di persidangan, hal-hal yang memberatkan dan
meringankan anak, Pasal 50 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Hukum Jinayat Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo UU RI No. 11 tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
2. Hukuman/ Uqubat bagi pelaku pemerkosaan terhadap anak, ditinjau dari
beberapa sudut pandang hukum, ialah:
a. Hukum Positif: Apabila Anak belum berumur 18 tahun ketika
melakukan tindak pidana maka, diancam dengan pidana penjara ½
dari maksimum penjara bagi orang dewasa. Hal ini tertulis dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
b. Hukum Islam: Apabila anak sudah berumur 15 tahun ia tergolong
baligh kemudia ia terbukti bersalah melakukan tindak pidana dan
mengakui perbuatannya. Maka para ulama mewajibkan hukuman
hadd zina bagi anak tersebut.
c. Qanun Jinayah Aceh: Apabila anak yang belum berusia 18 tahun
melakukan Jarimah pemerkosaan maka hukuman yang akan
diberikan oleh Anak dikurangi 1/3 dari maksimum pidana penjara
orang dewasa. Dan akan dipenjara di Lembaga Khusus Penanganan
Anak.

67
68

B. Saran
1. Kepada aparat penegak hukum, penulis memberikan saran bahwa ketika
menganangi, mengadili, dan memutus suatu perkara harus sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundangan-undangan yang berlaku. Khususnya di
Aceh yang diberikan kewenangan istimewa untuk dapat mengurus
daerahnya sendiri oleh Pemerintah Aceh. maka hakim harus menerapkan
hukuman yang sesuai dengan Qanun Jinayat Aceh agar dapat selalu
menjunjung tinggi dan menerapkan syariat Islam kepada masyarakat. Dan
hakim dalam memutus perkara harus memuat nilai-nilai keadilan, kepastian,
dan kemanfaatan hukum khususnya bagi pelaku dan korban.
2. Kepada orang tua, penulis memberikan saran bahwa peran orang tua dalam
menjaga dan mendidik anak sangatlah penting bagi masa depan anak. Anak-
anak yang melakukan tindak pidana ini disebabkan oleh beberapa faktir,
seperti tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya ilmu agama, adanya
kesempatan, hawa nafsu yang tinggi. Sehingga sebagai orang tua harus
memberikan wawasan mengenai hal-hal yang boleh dilakukan dan hal yang
tidak boleh dilakukan karena akan diancam dengan pidana. Karena apabila
tidak diberikan edukasi sejak dini maka kasus-kasus kejahatan oleh anak
dan terhadap anak akan terus meningkat.
3. Kepada masyarakat, penulis juga memberikan saran bahwasannya harus
turut serta dalam memperhatikan anak. Apabila ada anak-anak yang nakal
maka harus diberi nasihat agar anak tidak melakukan tindak pidana yang
melanggar hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2005)
Albi Anggito dan Johan Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Sukabumi:
CV Jejak, 2018)
Ali Abu Bakar, Hukum Jinayat Aceh Sebuah Pengantar Edisi Pertama, (Jakarta:
Kencana, Cet. Ke-1 2019
Ali Abubakar dan Zulkarnain Lubis, Hukum Jinayat Aceh Sebuah Pengantar Edisi
Pertama, (Jakarta: Kencana, 2019
Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam), (Banyumas: CV.Pena
Persada, 2020)
Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsa, Sistem Peradilan Pidana Anak,
(Yogyakarta: Medpress Digital, 2014)
Bunda Hana, Right From The Start, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014
I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi
Teori Hukum,( Jakarta: Kencana, 2017)
Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris Edisi Pertama, (Depok: Prenada Media Group, 2016
Liza Agnesta Krisna, Hukum Perlindungan Anak Panduan Memahami Anak Yang
Berkonflik Dengan Hukum, (Yogyakarta: Deepublish, 2018)
Mahkamah Syariah Aceh, Buku Pedoman Administrasi dan Peradilan Jinayat
Pada Mahkamah Syariah Di Aceh.
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2008)
Milda Marlia, Marital Rape Kekerasan Seksual Terhadap Istri, (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2007)
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan
& Norma Kepatutan, ( Jakarta: SInar Grafika, 2009
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana, 2017)

69
70

Sahid HM, Legislasi Hukum Islam Di Indonesia Studi Formalisasi Syariat Islam,
(Surabaya: Pustaka Idea, 2016)
Syahrizal Abbas, Filosofi Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh, (Banda Aceh:
Naskah Aceh dan Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry, 2018)
Zainal Asikin, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2012).
Zulkarnain Lubis dan Bakti Ritonga, Dasar-Dasar Hukum Acara Jinayah,
(Jakarta: Prenamedia Grup 2016)
Jurnal:
Astrid Ayu Pravitria, Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Yang Melakukan
Pemerkosaan Terhadap Anak, Media Iuris: Vol. 1 No. 3, Oktober 2018
Asyifa, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan PN Sidoarjo No.
189/Pid.B/2009/PN.Sda Tentang Pemerkosaan Anak Di Bawah Umur, al-
Jinâyah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol. 6, No. 1, Juni 2020
Bambang Heri Supriyanto, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku
Perkosaan Berdasarkan Hukum Positif Indonesia, ADIL: Jurnal Hukum
Vol. 6 No.2 2015
Brenda Gabriela Tangkawarouw, Penghukuman Terhadap Perbuatan Pemerkosaan
Anak Menurut Undangundang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak, Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017
Fitri Wahyuni, Sanksi Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Menurut Hukum
Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam, Jurnal Media Hukum Vol. 23
No.1 Juni 2016
Hilmawati dan Ainal Hadi, Jarimah Pemerkosaan Terhadap Anak Dan Penerapan
‘Uqubatnya (Suatu Penelitian Di Wilayah Hukum Mahkamah Syar’iyah
Tapaktuan), JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 4, No.3 Agustus 2020
Iwan Setiawan, Tindak Pidana Perkosaan Dalam Tinjauan Hukum Pidana
Indonesia, Volume 6 No. 2-September 2018
Juniarto Onesimus Egi Supit, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak
Pidana Perkosaan Menurut Hukum Positif Indonesia, Lex Crimen Vol. IV
No. 4 Juni 2015
71

Kharisatul Janah, Sanksi Tindak Pidana Pemerkosaan Oleh Anak Dalam Perspektif
Hukum Pidana Islam, TA’ZIR: Jurnal Hukum Pidana Vol. 4 No. 2,
Desember 2020
Min Nuthfatin Nadlifah, Sanksi Hukum Bagi Pelaku Pemerkosaan Terhadap Anak
( Studi Komparatif Antara Pasal 81 dan Pasal 82 Perppu Nomor 1 Tahun
2016 dengan Hukum Islam, Maqasid: Jurnal Studi Hukum Islam/Vol. 6,
No. 1, 2017
Munandar, Kedudukan Anak Sebagai Jinayah Dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun
2014 Tentang Hukum Jinayah, Syiah Kuala Law Journal: Vol. 1, No.1
April 2017
Nety Hermawati, Kejahatan Anak Menurut Hukum Pidana Positif dan Hukum
Pidana Islam, Diakses melalui http://e-
journal.metrouniv.ac.id/index/php/istinbath/article/download/577/518,
pada Senin, 06 Desember 2021 pukul 19.43
Nur Arifah B, Persepektif Hukum Pidana Islam & Positif Terhadap Uqubah
(Hukuman) Pemerkosaan Terhadap Anak, diakses melalui https://osf.io
pada Senin, 06 Desember 2021 pukul 10.28
R. Fakhrurrazi, Jarimah Zina dan Pemerkosaan Dalam Qanun Jinayat Aceh:
Analisis Perumusan Metode Istinbath, Islam Universalia International
Journal Of Islamic Studies and Social Sciences, Vol. I No. 3 January 2020
Ramiyanto dan Waliadin, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perkosaan
Dengan Sarana Penal Dalam Rangka Melindungi Perempuan, Jurnal
Legislasi Indonesia Vol 15 No.4 -Desember 2018
Selviyanti Kaawoan, Pemerkosaan Anak Kandung Oleh Orang Tua Dalam
Pandangan Islam, Irfani, Volume 11 Nomor 1Juni 2015
Virdis Firmanillah Putra Yuniar, Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana
Pemerkosaan Terhadap Anak Berdasarkan Qanun Jinayat Aceh, Media
Iuris Vol. 2 No. 2, Juni 2019
Waty Suwarty Haryono dan Bhetner Hatta Pritz, Perlindungan Hukum Bagi Anak
Sebagai Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Perkosaan, Jurnal LEX Certa
Vol. 1 No. 1 2016
72

Zuleha, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Pemerkosaan Dalam


Perspektif Viktimologi, Vol. 10 No. 1 Januari-Juni 2015

Putusan:
Putusan Nomor 3/JN.Anak/2021/Ms.Aceh
Putusan Nomor 3/JN.Anak/2021/Ms.Lgs

Internet:
https://nasional.kompas.com/read/2021/03/19/17082571/sejak-awal-januari
kementerian-pppa-catat-426-kasus-kekerasan-seksual. (Diakses pada Minggu, 13
Juni 2021 pukul 12:01 WIB)
http://www.pengertianahli.com/2014/01/pengertian-keadilan-apa-itu-
keadilan. (Diakses pada tanggal 15 juli 2022 pukul 14:00).

Kitab:
Al-Qur’an
Hadits
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012
Qanun Jinayat Aceh No. 6 Tahun 2014
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad, al-Musthfa, (Beirut: Mu’assasah ar Risalah,
1997) Juz I, hal, 416.

Anda mungkin juga menyukai