Anda di halaman 1dari 71

SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA

PERSEKUSI TINJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM


PIDANA ISLAM
(Analisis Putusan No. 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkr.Tim)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Oleh:
Abdul Mujib
Nim: 11140450000042

PROGRAM HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H/2021M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA


PERSEKUSI TINJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM
(ANALISIS PUTUSAN NO: 703/PID.SUS/2017/PN.JKT.TMR)” telah diajukan
dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum
Pidana Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 07 Juli
2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Program Strata (S-1) pada Program Studi Hukum Pidana Islam.

Jakarta, 07 Juli 2021


Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A


NIP. 197608072003121001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Qosim Arsadani, M.A. (………………)


NIP. 196906292008011016
2. Sekretaris : Mohamad Mujibur Rohman, M.A.
(………………)
NIP. 197604082007101001

3. Pembimbing : Dr. Alfitra, S.H, M.Hum.


(………………)
NIP. 197202032007011031
4. Penguji I :. Dr. Kamarusdiana, M.A., M.H
(………………)
NIP. 197202241998031003
5. Penguji II : Ali Mansur, M.A
(………………)
NIP. 197605062014111002
SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERSEKUSI
I'INJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM
(Analisis Putus an No. 703/Pid. Sus/20 1 7/PN. Jkr.Tim)

SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:
Abdul Mujib
Nim: 11140450000042

Dosen Pembimbing:

Dr. Alfitra, S.H., M.IIum.


Nip : 197202032007 011034

PROGRAM STT'DI IIUKTIM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIATI DAi\ HUKT]M
UMYERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATT]LLAII
JAKARTA
1442t2021
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini sayamenyatalCIn bahwa:
l. Skripsi merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu syaratt memperoleh gelar strata I (Sl) di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Skripsi merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu syaratt memperoleh gelar sfata 1 (S1) di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


3. .Iika di kemudian hari terbukti hasil kar-va ini bukan hasil asli saya

atau merup*an jiplakan oralrg lain. ruaka sa1,a bersedia menedma sanksi
yang berlaku di Universitas Islarn Negeri Syarif Hidayanrllah Jakarta.

uI
tffi ;
ABSTRAK

Abdul Mujib NIM. 11140450000042 Sanksi Pidana Terhadap Tindak


Pidana Persekusi Tinjauan Hukum Positif dan Hukum Islam Analisis Putusan No.
703/Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Tim. ProgramStudi Pidanaan Islam, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/ 2021M.

Saat ini sering terjadi. Persekusi terjadi oleh seseorang atau kelompok
kepada kelompok yang berupa ancaman, penganiayaan dan kekerasan. Pelaku
melakukan persekusi dengan alasan korban telah menghina ulama dan menghina
agama. Namun dalam status hukum positif yang berada di Indonesia bahwa pelaku
persekusi dengan tegas mendapatkan hukuman yang telah di tetapkan tergantung
jenis dan sifatnya yang terjadi.

Hukum Islam bahwa tidak teratur secara ekplisit dalam menentukan batas
hukumannya bagi pelaku persekusi, maka dari itu dalam hukum Islam hukuman
bagi pelaku persekusi di kembalikan Kembali kepada pejabat negara yang
berwenang dalam menghakimi.

Dalam hasil penelitian ini adalah bagaimana konsep dan teori yang hakim
lakukan dalam mengambil keputsusan tersebut dan bagaimana status dalam hukum
positif dan Islam dalam menanggapi perihal persekusi.

Kata Kunci : Hukum Positif, Hukum Islam, Persekusi dan Hakim

iv
KATA PENGANTAR

ِ‫الرِح ِيم‬
َّ ِ‫الر ْْحَن‬
َّ ‫بِ ْس ِمالل ِه‬
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Junjungan kita semua Nabi
Muhammad SAW yang mengantarkan manusia dari kegelapan ke zaman yang
terang benderang. Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat-syarat
untuk bisa mencapai gelar Sarjana Hukum di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari mengenai penulisan ini tidak bisa terselesaikan tanpa pihak-
pihak yang mendukung baik secara moril dan juga materil. Maka, penulis
menyampaikan banyak-banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu
penulis dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada:
1. Kedua orang tua, Ayahanda tersayang Zaenal Abidin dan Ibunda tercinta
Saidah yang memberikan dukungan moril dan materil serta doa yang
dipanjatkan kepada Allah SWT untuk penulis.
2. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bapak Dr. Ahmad Tholabi, M.A, Selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum.
4. Bapak Qosim Arshadani, M.A, selaku Kepala Program Studi Hukum Pidana
Islam (HPI) yang selalu memberikan dukungan dan motivasi untuk
penyusunan skripsi ini.
5. Bapak Muhammad Mujibur Rahman, M.A, selaku sekretaris Program Studi
Hukum Pidana Islam (HPI) yang selalu memberikan dukungan dan motivasi
untuk penyusunan skripsi ini.
6. Bapak Alfitrah, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktunya, kesabaran dan keikhlasannya telah membimbing,
memberikan saran masukan serta mengarahkan penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

v
7. Segenap Bapak/Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, khususnya
Program Studi Hukum Pidana Islam (HPI) yang dengan ketulusan dan
kesabaran telah berbagi ilmu pengetahuan serta pengalaman yang berharga
kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.
8. Pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah yang telah rela bersedia memberikan
layanan dengan baik dan tersedianya buku-buku yang penulis butuhkan
dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Syariah
dan Hukum Cabang Ciputat. Kanda, Yunda dan Adinda tanpa mengurangi
rasa hormat penulis, mohon maaf tidak menyebutkan satu persatu. Saya
bangga berada di lingkungan ini.
10. Juga seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi pembaca serta menjadi amal baik disisi Allah SWT.
Sekian dan terimakasih.

Jakarta, 27 Juli 2021

Abdul Muijb

vi
DAFTAR ISI
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ..................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................................. iii
ABSTRAK ........................................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... v
DAFTAR ISI.................................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................1
A. Latar Belakang .......................................................................................................1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ..............................................................................9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...............................................................................9
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .....................................................................9
E. KerangkaTeori .....................................................................................................10
F. Metode Penelitian ................................................................................................13
G. Sistematika Penulisan ...........................................................................................14
BAB II TINJAUAN UMUM PEMIDANAAN PELAKU PERSEKUSI..........................16
A. Teori Pemidanaan dalam Hukum Positif ..............................................................16
B. Macam-macam Tindak Pidana dan Hukumannya................................................25
C. Tujuan Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana ..........................................28
D. Teori Pemidanaan dalam Hukum Pidana Islam ....................................................29
BAB IIIPERSEKUSI DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM ..................36
A. Pengertian Persekusi ............................................................................................36
B. Implikasi Dari Persekusi ......................................................................................38
C. Presekusi Dalam Hukum Positif di Indonesia ......................................................41
D. Persekusi dalam Hukum Islam ................................................................................44
BAB IV ANALISA PUTUSAN NOMOR: 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Tim ......................47
A. Kronologi Kasus...................................................................................................47
B. Posisi Kasus .........................................................................................................47
C. Duduk Perkara No. 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkr.Tim) .............................................48
D. Analisis Dakwaan Putusan Umum .......................................................................50
E. Analisis Putusan Pengadilan Nomor 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkr.Tim ....................51
F. Analisis Putusan Pengadilan Nomor 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkr.Tim Dalam Hukum
Islam ............................................................................................................................56
BABV PENUTUP ..........................................................................................................59
A. Kesimpulan ..........................................................................................................59
B. SARAN ................................................................................................................59
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................61

vii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam Hukum positif yang berlaku di Indonesia kasus persekusi ini
merupakan kejahatan yang sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan manusia, sejak awal mula peradaban manusia telah terjadi banyak
sekali tindak kejahatan mulai dari kejahatan yang belum diidentifikasi secara
hukum sampai pada akhirnya umat manusia mengenal kejahatan sebagai
sesuatu yang dapat diklasifikasi berdasarkan berbagai macam aspek, seperti
skala kecil dan besarnya kejahatan, jumlah korban, kerusakan yang diakibatkan,
dan hal-hal lainnya. Kejahatan pada dasarnya dimungkinkan terjadi karena pada
hakekatnya manusia selalu berinteraksi, di dalam masyarakat manusia selalu
berhubungan satu sama lain. Kehidupan bersama itu menyebabkan adanya
interaksi, kontak atau hubungan satu sama lain. Kontak dapat berarti hubungan
yang menyenangkan atau menimbulkan pertentangan atau konflik.
Dalam hukum pidana islam para fuqaha membedakan penyertaan ini dalam
dua bagian yaitu; turit berbuat langsung (istirak-mubasyir), orang yang
melakukan nya disebut syarik-mubasyar dan turut berbuat tidak langsung
(istirak-ghairu mubasyar / istirak bit-tasabbubi), orang yang melakuakknya
disebut syarik mutasabbih. Perbedaan antara kedua pelaku tersebut ialah jika
orang pertama menjadi kawan nyata dalam pelaksanaan tindak pidana,
sedangkan orang kedua menjadi sebab adanya tindak pidana, baik karena
perjanjian atau menyuruh, menghasut, memberi bantuan, tetap tidak ikut serta
secara nya dalam melaksanakannya.
Menurut ulama perbuatan persekusi termasuk dalam katagori jarimah,
dilakukan oleh satu orang dan adakalanya dilakukan lebih dari satu orang.
2

Apabila beberapa orang bersama-sama melakukan jarimah maka perbuatan itu


disebut turut berbuat jarimah/al-istirak.1
Pada dasarnya menurut syariat islam banyak pelaku jarimah tidak
mengetahui berdasarkan hukum yang dijatuhkan atas masing-masing
pelakunya. Meskipun demikian masing-masing peserta bisa terpengaruh oleh
keadaan yaitu diri sendiri, tetapi tetap tidak bisa berpengaruh terhadap orang
lain.seorang kawan berbuat masih yang dibawah umur atau keadaan gila bisa
dilarang karena tidak memenuhi syarat untuk dilaksanakan hukuman atas
dirinya. Apabila jarimah yang mereka lakukan itu jarimah pembunuhan maka
hukuman terhadap mereka diperselisihkan oleh fuqaha menurut jumhur fuqaha.
Yang terdiri dari Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ats
Tsauri, Imam Ahmad, dan Imam Abu Tsur, apabila bebrapa orang membunuh
satu orang maka mereka harus dibunuh semuanya. Pada dasarnya menurut
syariat islam hukum – hukum yang telah ditetapkan oleh jarimah hudud dan
qishas hanya dijatuhkan pada pelaku langsung, atas peserta tidak langsung2.
Dengan demikian orang yang turut berbuat tidak langsung alam jarimah hanya
dijatuhkan hukuman ta’zir.
Ujaran kebencian tidak hanya terjadi di Indonesia. Di India misalnya,
Subramanian Swamy, penulis buku “terorisme di India” (2006) tertimpa
masalah dengan hukum di negaranya. Perdana Menteri Narendra Modi yang
memegang kekuasaan menganggap tulisan Swamy mengandung unsur ujaran
kebencian yang isinya bisa membenturkan umat Islam dan Hindu di India.
Menurut hukum di India ujaran kebencian adalah jika setiap ucapan, sikap atau
perilaku, tulisan atau sesuatu yang ditampilkan, dapat mendorong kekerasan
atau menyakiti perasaan keagamaan atau mempromosikan permusuhan antar-
kelompok yang berbeda atas dasar agama, ras, tempat lahir, tempat tinggal, atau
bahasa. Sampai sekarang proses persidangan masih terus berlanjut di
Mahkamah Agung India.

1
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam( Bandung: Asy Syamil Press dan
Grafika, Desember, 2000), h., 152.
2
A. Dzajuli, Fiqih Jinayah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997, Cet. Kedua), h., 17.
3

Kasus lainnya menimpa seorang wanita asal Australia (Magi) yang sempat
dihukum dan dideportasi dari Abu Dhabi, Uni Emirat, tanpa sempat membela
diri. Ia dituding menulis sesuatu yang buruk di media sosial tentang kebiasaan
parkir masyarakat setempat dengan meng- upload foto-foto. Persoalannya
adalah ia menggunakan kata “King Nobness” yang merujuk pada kaum kaya di
Arab yang dianggap sebagai sebuah sinisme dan kalimat yang dianggap buruk
di sana. Akhirnya sang pemilik mobil mengadukan Magi ke polisi dan
kemudian ia ditangkap dan diadili secara in absentia, dihukum penjara,
kemudian dideportasi.
Di Indonesia kasus ujaran kebencian di media sosial mencapai puncaknya
pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta. Dua kubu pendukung
calon kepala daerah berseteru, saling hujat dan saling menjatuhkan, bahkan tak
jarang dalam perseteruan itu lahir ujaran kebencian yang menghina etnis
tertentu, menghujat tokoh agama tertentu, menghina pejabat pemerintah,
hingga aparat kepolisian. Meskipun Pilkada DKI Jakarta telah selesai dan
melahirkan kepala daerah terpilih, kedua pendukung masih saling berseteru.
Bahkan ormas keagamaan tertentu yang bukan merupakan tim sukses salah
satu kepala daerah DKI juga terlibat dalam kontestasi ujaran kebencian itu.
Puncak dari keterlibatan ormas keagamaan itu adalah ketika anggotanya
melakukan intimidasi kekerasan kepada orang yang dipandang menghina
agama, ulama, atau pemimpin ormas. Kasus itu kemudian dipandang oleh
aparat kepolisian sebagai upaya persekusi. Secara bahasa persekusi adalah
perbuatan sewenang-wenang terhadap seseorang.
Sebelum adanya konsep negara, kejahatan hanya dipandang sebagai suatu
tindak pidana yang terjadi antara subjek hukum manusia saja. Hal ini berubah
total dengan munculnya konsep kedaulatan negara dan hukum . Dengan
lahirnya konsep negara yang berdaulat maka dunia mulai mengenal adanya
konsep masyarakat dan juga hukum. Hukum lazimnya mengatur hak-hak dan
kewajiban dari warganya, sedangkan hukum pidana yang mengatur tentang
tindak-tindak kejahatan, secara paradigma berkaitan dengan berbagai larangan-
larangan yang ditujukan kepada individu, pelanggaran kepada hukum pidana
4

ini akan berujung pada sanksi dari Negara.Interaksi sosial merupakan sebuah
syarat terjadinya aktivitas sosial. Dalam melakukan interaksi terdapat syarat-
syarat yang harus dipenuhi yaitu kontak sosial dan komunikasi sosial. Seiring
dengan perkembangan zaman, kebutuhan manusia akan tekhnologi komunikasi
dan informasi yang berkembang paling pesat adalah internet. Seperti kita
ketahui, sekarang internet adalah sudah menjadi kebutuhan utama manusia
dalam kehidupan sehari-hari.3
Teknologi Informasi di era globalisasi sangat berkembang pesat di dalam
kehidupan masyarakat. Penggunaan fasilitas komunikasi yang semakin canggih
memberikan peluang bagi setiap individu untuk mengakses informasi sesuai
keinginan serta dapat berkomunikasi dengan mudah tanpa memikirkan waktu.
Perkembangan teknologi yang semakin canggih memberikan suatu
perubahan besar dalam komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat di era
modern. Memasuki era globalisasi, remaja merupakan kalangan yang sering
menggunakan media internet khusunya media sosial sebagai sarana untuk
mencari informasi, hiburan maupun berkomunikasi dengan teman di situs jaring
sosial.4
Pesatnya perkembangan media sosial juga dikarenakan semua orang seperti
bisa memiliki media sendiri. Jika untuk media tradisional seperti televisi, radio,
atau koran dibutuhkan modal yang besar dan tenaga kerja yang banyak, maka
lain halnya dengan media sosial. Para pengguna media sosial bisa mengakses
menggunakan jaringan internet tanpa biaya yang besar dan dapat dilakukan
sendiri dengan mudah. Media sosial terbesar yang paling sering digunakan oleh
kalangan remaja antara lain; Facebook, Twitter, Path, Youtube, Instagram,
Kaskus, LINE, Whatsapp, Blackberry Messenger. Masing-masing media sosial
tersebut mempunyai keunggulan khusus dalam menarik banyak pengguna
media sosial yang mereka miliki.

3
Fela Asmaya, “Pengaruh Pengunaan Media Sosial Facebook Terhadap Perilaku
Prososial Remaja di Kenagarian Kota Bangun”,Jurnal Fisip, Vol. 2 No.2 2015, hal., 2.
4
Elsa Puji Juwita, “Peran Media Sosial Terhadap Gaya Hidup Siswa”, Jurnal Sosietas,
Vol. 5 No. 1, hal., 1.
5

Media sosial memang menawarkan banyak kemudahan yang membuat para


remaja betah berlama-lama berselancar di dunia maya. Para pengguna media
sosial pun dapat dengan bebas berkomentar serta menyalurkan pendapatnya
tanpa rasa khawatir. Hal ini dikarenakan dalam internet khususnya media sosial
sangat mudah memalsukan jati diri atau melakukan kejahatan.
Sebagai pengguna media sosial dituntut untuk menggunakan Sosial media
dengan bijak. Apabila menggunakan sosial media tidak dengan bijak, maka
akan berdampak buruk pada masyarakat. Seperti pada kasus yang terjadi pada
ahir tahn 2017 kemarin. Karena penggunaan media sosial yang tidak bijak,
berujung adanya intimidasi atau ramai disebut persekusi oleh salah satu
kelompok karena tidak terima atas postingan di sosial medianya.
Dari kasus itu, Indonesia disibukkan dengan kasus yang kebanyakan orang
menamakan sebagai persekusi. Media massa besar di Indonesia ramai-ramai
mengulas kasus persekusi yang ternyata menjamur dan sangat banyak di
Indonesia. Meskipun telat, karena ternyata kasus persekusi ini sering terjadi di
Indonesia dan mungkin tidak disadari oleh sebagian besar orang.
Penggunaan istilah persekusi dan pemberitaan oleh berbagai media
memunculkan dugaan bahwa tindakan persekusi telah terjadi dan nyata adanya
di Indonesia.Di sosial media perbincangan persekusi begitu hangat, persekusi
di twitter sempat menjadi trending topic selama beberapa hari. Mulai viral
ketika seorang remaja berinisial PMA yang diduga mengolok tokoh Agama dan
Front Pembela Islam melalui akun facebooknya.
Apa pun istilah yang dipergunakan, perbuatan yang disebut “persekusi”
tersebut merupakan suatu pelanggaran terhadap hak atas kebebasan
berpendapat dan intimidasi yang dilakukan secara sistematis. Menurut data dari
Koalisi Anti Persekusi sampai saat ini sudah lebih dari 59 korban persekusi di
Indonesia. Perbuatan tersebut berawal dari menentukan target dimana target
yang merupakan orang-orang yang mengemukakan pendapatnya di sosial
media yang bertentangan dengan kelompoknya kemudian dianggap sebagai
perbuatan yang menghina Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab dan
menistakan agama Islam. Setelah target terkumpul dan terdata maka pendapat
6

target tersebut di-capture dan diviralkan. Tahap selanjutnya adalah melakukan


perburuan target dengan menggumumkan, mengkordinasi dan memobilisasi
anggota kelompok di lapangan. Setelah itu target diintimidasi baik fisik maupun
mental dengan cara memaksa target untuk meminta maaf secara tertulis di atas
materai kemudian difoto dan divideokan lalu diviralkan. Tidak berhenti sampai
disitu, polisi juga dilibatkan dalam proses ini dimana target kemudian dilaporan
dan dibawa ke polisi untuk kemudian dengan tekanan memaksa polisi untuk
memproses hukum dan mengambil upaya paksa berupa penahanan.
Suatu hal yang menjadi catatan adalah perbuatan ini marak dilakukan pasca
Pengadilan Negeri Jakarta Utara mengeluarkan putusan yang memidana
terdakwa Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dalam perkara yang dikenal sebagai
penodaan atau penistaan agama Islam sehingga disebut sebagai Ahok efek.
Memang pasca putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tersebut tensi politik
tidak juga menurun dan ada kecenderungan kelompok yang bertentangan
dengan Ahok untuk “menghukum” orang-orang yang dipandang melakukan
perbuatan yang dipandang serupa dengan perbuatan yang dilakukan oleh Ahok.
Bentuk serupa dengan persekusi namun dengan cara halus dilakukan oleh
kelompok yang bertentangan dengan FPI. Ketika ada pendapat dari pengguna
sosial media yang menggunakan kata-kata kasar dan agresif yang menyinggung
kelompok yang berlawanan maupun tokoh tertentu, maka akan dicapture dan
kemudian akan diviralkan ke sosial media untuk menitimbulkan reaksi dari
pengguna sosial media lainnya. Hal ini menimpa Manajer Business Inteligent
& Reporting PT Indosat Ooredoo, Tbk Riko M Ferajab yang mengkritik
tindakan aparat penegak hukum yang melakukan kriminalisasi Imam Besar FPI
Habib Rizieq Shihab sehingga menyebut pemerintahan Presiden Joko Widodo
sebagai rezim paling busuk dalam sejarah perpolitikan di Indonesia. Hal
tersebut mengundang perhatian pengguna sosial media lainnya dan timbul
#boikotindosat di sosial media. Hal ini kemudian mengundang reaksi dari
pimpinan PT Indosat, Tbk yang kemudian memberhentikan karyawannya
tersebut
7

Dalam kasus persekusi, Polisi terus mengusut kasus tersebut yang menimpa
remaja berinisial PMA di Cipinang Muara, Jakarta Timur pada Minggu 28 Mei
2017. Saat ini, polisi telah menetapkan dua tersangka yang terbukti memukul
korban saat diinterogasi di pos RW setempat. amun, rupanya PMA tidak hanya
mengalami kekerasan fisik saat diinterogasi di pos RW tersebut. Remaja
berusia 15 tahun itu juga sempat dipukuli oleh sekelompok orang saat pertama
kali dijemput paksa dari rumahnya.Persekusi terhadap PMA terjadi pada 28
Mei 2017. Aksi ini diduga dipicu perbuatan PMA yang dianggap telah
menghina Front Pembela Islam (FPI) dan pemimpinnya, Rizieq Shihab, melalui
media sosial.Pada video yang viral di media sosial, PMA dikerumuni sejumlah
orang diduga simpatisan FPI. Dia diinterogasi mengenai maksud unggahan di
akun Facebook miliknya.Namun, peristiwa itu juga diwarnai aksi kekerasan
oleh massa terhadap PMA. Terlihat beberapa kali PMA dipukul kepalanya dan
ditampar mukanya. Terakhir ia disuruh membuat surat pernyataan permohonan
maaf.Sejauh ini, polisi telah menetapkan dua orang tersangka, yakni AM (22)
dan M (57). Keduanya dijerat dengan Pasal 80 ayat 1 jo Pasal 76c UU Nomor
35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 170 KUHP.5
Akibat aksi persekusi ini, muncul berbagai koalisi di masyarakat yang
meminta polisi bertindak dan mengamankan pelaku persekusi karena dinilai
meresahkan dan sudah tidak sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku.
Persekusi terjadi akibat kebebasan berpendapat yang keblabasan di media
sosial. Orang dengan bebas dan seenaknya menghina ulama atau tokoh lain.
Disisi lain, pihak yang merasa menjadi korban penghinaan tidak percaya
kepada aparat penegak hukum yang selama ini cenderung dan terkesan pro
Ahoker. Jadi bisa dikatakan, maraknya persekusi akibat krisis kepercayaan
kepada penegak hukum, dan tidak beretikanya penggunaan media sosial yang
melakukan penghinaan dan pelecehan terhadap orang lain. Bagaimanapun,
selalu ada pemicu munculnya sebuah tindakan, termasuk persekusi. Pelaku

5
Nafiysul Qodar, Remaja Korban Persekusi Cipinang Sempat di Pukuli di Rumahnya.
Diakses dari http://news.liputan6.com/read/2975424/remaja-korban-persekusi-cipinang-sempat-
dipukuli-di-rumahnyapada tanggal 25 Februari 2018 jam 14.18
8

persekusi sudah muak terhadap fenomena pengguna media sosial yang suka
menghina dan melecehkan dalam statusnya.6
Dari kejadian tersebut, polisi mengamankan pelaku persekusi dan korban
persekusi. Setelah terbukti bersalah, dan polisi mempunyai alat bukti yang sah,
ahirnya pelaku persekusi di tangkap dan dijadikan sebaai tersangka. Setelah
berkas lengkap, berkas dilimpahkan ke kejaksaan dan seterusnya berkas sudah
P21 dan disidangkan di Pengadilan Cipinang Jakarta Timur.
Setelah melewati berbagai sidang dan pembuktian, 2 pelaku persekusi di
vonis bersalah oleh hakim dan di hukum 1 tahun pernjara. Akan tetapi putusan
tersebut membuat keluarga dari pelaku persekusi geram. Karena kasus tersebut
terbilang kasus kecil, hanya Cuma menabok mukanya tetapi di hukum 1 tahun
lamanya. Sementara korban persekusi itu bebas tanpa di proses hukum, padahal
yang memancing ini semua berawal dari ujaran kebencian yaitu psotingan
hinaan dari anak itu di media sosial miliknya. Apakah keadilan hanya berpihak
atau keadilan itu hanya sebuah teori saja ?
Atas putusan tersebut, kita mempertanyakan dasar pertimbangan hakim
sehingga memutus vonis sampai satu tahun penjara. Mengapa tidak di bebaskan
saja atau di hukum lebih singkat karena kasus tersebut terbilang kasus kecil
yang hanya di besar-besarkan oleh media karena pas saat momen pilkada DKI
jakarta 2017.
Berdasarkan kasus diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang
berjudul Sanksi Pidan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Persekusi (Analisis
Putusan No. 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkr.Tim). Dalam pelaksanaan penegakan
hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak identik dengan
keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat
menyamaratakan. Setiap orang yang berbuat kejahatan Sebaliknya keadilan
bersifat subjektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.7

6
Di akses dari http://www.komunikasipraktis.com/2017/06/pengertian-persekusi.html
pada tanggal 25 Februari 2018 jam 14.18
7
Sudikno Mertokusumo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, (Yoyakarta: Citra Aditya
Bakti, 1993), hal., 2.
9

B. Batasan dan Rumusan Masalah


1. Batasan Masalah
Sehubungan dengan luas dan banyaknya penelitian dengan topik ini,
maka permasalahan penelitian ini akan dibatasi. Fokus pada penelitian ini
adalah dasar pertimbangan hakim.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana dasar pertimbangan hakim atas putusan No.
703/Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Tim
b. Tinjauan hukum pidana positif dan hukum pidana Islam terhadap
putusan No.703/Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Tim sudah mencerminkan rasa
keadilan atau belum?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan penelitian
a. Untuk mengatahui dasar pertimbangan hakim atas putusan No.
703/Pid.Sus/2017/PN.Jk
b. Untuk mengetahui Untuk isi putusan No. 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkt
sudah mencerminkan rasa keadilan atau belum.
2. Manfaat penelitian
a. Diharapkan dengan adanya penelitian ini bisa memberi sumbangsih
teoritis tentang ilmu hukum pidana
b. Menambah pengetahuan bagi para pembaca terutama mahasiswa
hukum pidana.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu


Dalam Pembuatan skripsi ini, sebelumnya penulis melakukan terhadap
penelitian terdahulu dari berbagai literatur yang ada. Adapun penelitian
tersebut sebagai berikut:

Pertama, jurnal dengan judul Penegakan Hukum Terhadap Kasus Perbuatan


Main Hakim Sendiri (eigenrichting) Di Wilayah Sektor Cerenti, yang di tulis
oleh Rayon Syaputra JOM Fakultas Hukum Volume 1 Nomor 1 Febuari 2015.
Berdasarkan penelitian penulis dapat di simpulkan:Faktor-faktor penyebab
10

masyarakat melakukan perbuatan main hakim sendiri adalah faktor budaya


hukum masyarakat, dan faktor kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap
aparat penegak hukum.Kendala yang di hadapi dalam penegakan hukum
terhadap kasus main hakim sendiri (eigenrichting) adalah jumlah personil
kepolisian sektor Cerenti yang masih terbatas kurangnya dukungan masyarakat
serta faktor kehawatiran dari personil Kepolisian Sektor Cirenti.

Kedua, Skripsi dengan judul Analisis Krimonologis Terhadap Tindak Main


Hakim Sendiri Oleh Ormas FPI ( Fronet pembela islam) di Wilayah Hukum
Kota Makasar ( studi kasus 2011-2013) yang di tulis oleh Aulia Pratiwi
(B11111913) Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Hasanudin
Makasar,Tahun 2015 berdasarkan membahasan yang di kemukakan dan bab
pembahasan maka penulis menyimpulkan sebagai berikut: Eksitesi FPI
Sabagai Oraganisai Masyarakat menjadikan islam sebagai asas organisasi.
Dimana kelahirannya di sebabkan dalam kegagalan hukum dalam menjalankan
fungsinya di kehidupan sosial sehingga dalam menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar FPI seringkasi melakukan tindak main hakim sendiri dan melanggar
hak asasi manusia dengan mengatasnamakan penodaan agama. Sebab, antara
FPI dan penegak hukum.

E. KerangkaTeori
Kerangka teori dimaksudkan untuk memberi gambaran atau batasa- batasan
tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan penelitian yang akan
dilakukan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, teori adalah pendapat yang
dikemukakan sebagai suatu keterangan mengenai suatu peristiwa kejadian dan
asas-asas, hukum-hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu
pengetahuan serta pendapat cara-cara dan aturan- aturan untuk melakukan sesuatu.
Menurut Effendy, teori berguna menjadi titik tolak landasan berpikir dalam
memecahkan atau menyoroti masalah. Fungsi teori sendiri adalah untuk
menerangkan, meramalkan, memprediksi, dan menemukan fakta-fakta yang ada
secarasistematis.21
Analisis Penelitian dalam skripsi ini dapat direalisasikan dengan rinci dan
11

sistematis serta menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan keinginan, maka


dibutuhkan teori-tori yang dapat membantu dalam menganalisis masalah yang
dibahas. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Pemidanaan,
Pemidanaan adalah sinomin dengan perkataan penghukuman. Penghukuman
berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai penetapan hukum
tentang hukumnya. Hal ini didukung oleh teori yang di kemukan oleh W.A. Bonger
didalam bukunya Pengatar tentang Kriminologi menyatakan bahwa pemidanaan
adalah sebagai berikut:22 “Menghukum adalah mengenakan penderitaan.
Menghukum sama artinya dengan “celaan kesusilaan” yang timbul terhadap tindak
pidana itu, yang juga merupakan penderitaan. Hukuman pada hakikatnya
merupakanperbuatanyang dilakukan oleh masyarakat (dalam hal ini negara) dengan
sadar. Hukuman tidak keluar dari satu atau beberapa orang, tapi harus suatu
kelompok, suatu kolektivitas yang berbuat dengan sadar dan menurut perhitungan
akal. Teori-teori tentang pemidanaan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Teori Absolut(Retrebutif)
Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas
kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak
pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam
hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu
kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan
kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk
memuaskan tuntutankeadilan.23
Mengenai teori pembalasan ini, Andi Hamzah mengemukakan bahwa “Teori
pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis,
seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-
unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu
kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana”. 24 Apabila
manfaat penjatuhan pidana ini tidak perlu dipikirkan sebagaimana dikemukakan
oleh penganut teori absolut atau teori pembalasan ini, maka yang menjadi sasaran
utama dari teori ini adalah balas dendam. Dengan mempertahankan teori
pembalasan yang pada prinsipnya berpegang pada “pidana untuk pidana”, hal itu
12

akan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya teori pembalasan itu tidak


memikirkan bagaimana membina si pelakukejahatan.
Teori pembalasan atau absolut ini terbagi atas pembalasan subjektif dan
pembalasan objektif. Pembalasan subjektif ialah pembalasan terhadap kesalahan
pelaku. Pembalasan objektif ialah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan
pelaku di dunia luar.25
2. Teori Tujuan(Relatif)
Teori tujuan memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas
kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi
masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya,
yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan
bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.26
Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan,
yaitu:27
Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving vande
maatschappelijkeorde)
a. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari
terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de misdaad onstane
maatschappelijkenadeel)
b. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vandedader)
c. Untuk membinasakan kejahatan (onschadelijk maken van de misdadiger)
d. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van demisdaad)
Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban
di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan
kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan
untuk mempertahankan ketertiban umum.
3. Teori Gabungan (Virenigingstheorieen)
Teori ini mencakup dasar hubungan dari teori absolut dan teori relatif,
digabungkan menjadi satu. Menurut teori ini dasar hukumnya adalah terletak pada
kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan. Di samping itu, sebagai dasar
adalah tujuan daripada hukuman. Menurut teori ini dasar penjatuhan pidana dilihat
dari unsur pembalasan dan juga untuk memperbaiki penjahatnya, artinya dasar
13

pemidanaan terletak pada kejahatan dan tujuan dari pidana itu sendiri.Berdasarkan
hal tersebut, maka dalam teori gabungan tidak saja hanya mempertimbangkan masa
lalu (seperti dalam teori pembalasan), tetapi juga harus bersamaan
mempertimbangkan masa datang (seperti yang dimaksudkan pada teori tujuan).
Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan kepuasan, baik bagi
penjahat maupun bagimasyarakat.

F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif yaitu penelitian
yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder
seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum,
dan dapat berupa pendapat para sarjana. Penelitian jenis normatif ini
menggunakan analisis kualitatif yakni dengan menjelaskan data-data yang
ada dengan kata-kata atau pernyataan bukan dengan angka-angka.

2. Pendekatan penelitian
Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan research library.
3. Sumber data
Jenis data yang dipakai dalam penelitian normatif ini adalah data
sekunder yang di bagi menjadi:
a. Bahan hukum primer
Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan
diantaranya adalah KUHP, KUHAP, Al-Qur’an.
b. Bahan hukum sekunder
Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang di gunakan adalah
buku-buku hukum, jurnal hukum, artikel dan tulisan yang berkaitan
tentang tindak pidana pengoplosan gas.
4. Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu
metode kepustakaan. Data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitan
14

kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan buku-


buku, dokumen dan hasil penelitian.
5. Tekhnik Analisis Data
Tehnik analisis data yang dipakai dalam skripsi ini adalah
menggunakan tehnik analisis deskriptif yaitu dengan cara menjelaskan dan
menguraikan pokok-pokok permasalahan dalam penelitian ini.
6. Tekhnik Penulisan
Dalam penulisan ini mengacu pada buku “pedoman penulisan skripsi
FakultasSyariah dan Hukum, yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta cetakan tahun
2017

G. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, batasan dan
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review kajian
terdahulu, kerangka teori metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II Tinjaun Umum Pemidanaan Pelaku Persekusi
Tinjauan Umum tentang tindak pidana persekusi. Dalam bab ini
penulis membahas tentang teori pemidanaan dalam hukum
positif, jenis tindak pidana, tujuan pemidanaan terhadap pelaku
tindak pidana dan teori pemidanaan dalam hukum pidana Islam
BAB III Persekusi Dalam Hukum Positif Dan Hukum Islam
Dalam bab ini merupakan uraian tentang pengertian persekusi,
implikasi dari persekusi, persekusi dalam hukum di Indonesia
dan persekusi menurut hukum Islam
BAB IV Analisis Putusan No. 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Tim.
Dalam Bab ini merupakan hasil dari kronologi kasus, posisi
kasus, duduk perkara no. 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Tim, analisis
dakwaan putusan umum, analisis putusan pengadilan No.
15

703/Pid/Sus/2017/Jkt.Tim dan nalisis Putusan Pengadilan Nomor


703/Pid.Sus/2017/PN.Jkr.Tim dalam hukum Islam
BAB V Penutup
Dalam bab ini penulis membahas tentang kesimpulan hasil
menjawab rumusan masalah yang ada dan saran dari penulis
untuk penelitian ini.
BAB II

TINJAUAN UMUM PEMIDANAAN PELAKU PERSEKUSI

A. Teori Pemidanaan dalam Hukum Positif


1. Pengertian Tindak Pidana
Suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang
berupapidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.8Berdasarkan
pendapat di atas pengertian dari tindak pidana yang dimaksud adalah perbuatan
pidana atau tindak pidana yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum,
atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana
yang ditujukan kepada perbuatan, sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya
ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian
tersebut. Dalam hal ini, maka terhadap setiap orang yang melanggar aturan-aturan
hukum yang berlaku, dapat dikatakan sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku
tindak pidana. Akan tetapi haruslah diingat bahwa larangan dan ancaman
mempunyai hubungan yang erat dan berkaitan. Oleh karenanya, antara kejadian
dengan orang yang menimbulkan kejadian mempunyai hubungan yang erat pula.
Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang
HukumPidana(KUHP)dikenaldenganistilahStrafbaarFeitdandalamkepustakaanten
tanghukumpidanaseringmempergunakanistilahdelik,sedangkanpembuatundang-
undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa
pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana merupakan istilah
yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang
dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum
pidana. Tindak pidana mempunya pengertian yang abstrak dari peristiwa-

8
Moeljato, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), h. 54

16
17

peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukumpidana,9 sehingga tindak


pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas
untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan
masyarakat.
Perumusan mengenai pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai
berikut: “Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan
hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar
larangan tersebut.” Adapunperumusan tersebut yang mengandung kalimat“Aturan
hukum pidana” dimaksudkan akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang
masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.
2. Tindak Pidana Menurut Istilah
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “Strafbaar feit”, di dalam
kitab undang-undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa
sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. 1Biasanya tindak
pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin yakni kata
delictum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia delik adalah perbuatan yang dapat
dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang
tindak pidana. Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah-
laku dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang
untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan
tindak pidana. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi
barangsiapa melanggar larangan tersebut Pengertian tindak pidana menurut para
ahlihukum:2
a. Pompe, menyatakan bahwa Hukum Pidana adalah keseluruhan aturan
ketentun hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum
dalam aturanpidananya.
b. Apeldoorn, menyatakan bahwa hukum pidana dibedakan dan diberikan
arti hukum pidana materiil yang menunjuk pada perbuatan pidana dan

9
Moeljato, Asas-asas Hukum Pidana, hal. 54
18

oleh sebab perbuatan itu dapat dipidana, dimana perbuatan pidana itu
mempunyai 2 bagian:
1) Bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau sikap yang
bertentangan hukum pidana positif, sehingga bersifat melawan
hukum yang menyebabkan tuntutan hukum dengan ancaman
pidana ataspelanggarannya.
2) Bagian subjektif merupakan kesalahan yang menunjuk kepada
pelaku untuk dipertanggungjawabkan menuruthukum.
c. Hazewinkel-Suringa dalam bukunya membagi hukum pidana dalam arti
objektif (ius poenale) yang meliputi:
1) Perintah dan larangan yang pelanggarannya diancam dengan
sanksi pidana oleh badan yang berhak. Ketentuan-ketentuan
yang mengatur upaya yang dapat digunakan, apabila norma
itu dilanggar, yang dinamakan Hukumpanitensier.
2) Subjektif (ius puniendi) yaitu hak negara menurut hukum
untuk menuntut pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan
serta melaksanakanpidana.
d. Algra Janssen, mengatakan bahwa hukum pidana adalah alat yang
dipergunakan oleh seorang penguasa (hakim) untuk memperingati
mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dibenarkan,
reaksi dari penguasa tersebut mencabut kembali sebagian dari
perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa,
kebebasan dan harta kekayaannya, yaitu seandainya ia telah tidak
melakukan suatu tindak pidana.
e. Moeljatno, mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian daripada
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan
dasar dasar dan aturanuntuk:10
1) Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana

10
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, (Jakarta: RAJA Grafindo Persada, 2007),
hal. 67
19

tertentu bagi barangsiapa melanggar larangantersebut.


2) Menentukan kapan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan
pidana sebagaimana yang telahdiancamkan.
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangantersebut.
f. Satochid Kartanegara, bahwa Hukum Pidana dapat dipandang dari
beberapa sudut yaitu:
1) Hukum Pidana dalam arti objektif, yaitu sejumlah peraturan yang
mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan
terhadap pelanggarannya diancam dengan hukuman.
2) Hukum Pidana dalam arti subjektif, yaitu sejumlah peraturan
yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang
melakukan perbuatan yang dilarang.
g. Soedarto, mengatakan Hukum Pidana merupakan sistem sanksi yang
negatif, ia diterapkan, jika sarana lain sudah tidak memadai, maka
hukum pidana dikatakan mempunyai fungsi, yangsubsideir.11
h. Roeslan Saleh, bahwa setiap perbuatan oleh masyarakat dirasakan
sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan sehingga
perlu adanya penekanan pada perasaan hukum masyarakat oleh karena
itu, sesuatu perbuatan pidana berarti perbuatan yang menghambat atau
bertentangan dengan tercapainya tatanan dalam pergaulan yang dicita-
citakanmasyarakat.
i. Vos, delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum oleh undang-
undang.
j. Van hamel, delik adalah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap
hak-hak oranglain.

11
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2014), hal. 47-49.
20

k. Simons, delik adalah suatu tindakan yang melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seorang yang
dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannnya dan undang-undang
telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang
dapatdihukum.
Dengan demikian pengertian sederhana dari tindak pidana adalah
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut.

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana


Membagi suatu kelompok benda atau manusia dalam jenis tertentu atau
mengklasifikasikan dapat sangat bermacam-macam sesuai dengan kehendak yang
mengklasifikasikan atau mengelompokkan, yaitu menurut dasar apa yang diinginkan
demikian pula halnya dengan tindak pidana KUHP sendiri telah mengklasifikasikan
tindak pidana atau delik ke dalam dua kelompok besar yaitu dalam buku kedua dan
ketiga masing-masing menjadi kelompok kejahatan dan pelanggaran, kemudian bab-
babnya dikelompokkan menurut sasaran yang hendak dilindungi oleh KUHP terhadap
tindak pidana tersebut. Misalnya bab 1 buku kedua adalah kejahatan terhadap
keamanan negara, dengan demikian ini merupakan kelompok tindak pidana yang
sasarannya adalah keamanan Negara:
1. Kejahatan dan Pelanggaran
KUHP menempatkan kejahatan di dalam buku kedua dan pelanggaran
dalam buku ketiga, tetapi tidak ada penjelasan mengenai apa yang disebut
kejahatan dan pelanggaran. Semuanya diserahkan kepada ilmu pengetahuan untuk
memberikan dasarnya, tetapi tampaknya tidak ada yang sepenuhnya memuaskan.
Dicoba membedakan bahwa kejahatan merupakan rechtsdelict atau delik hukum
dan pelanggaran merupakan wetsdelict atau delik undang- undang, delik hukum
adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan.
21

2. Delik Formal (Formil) dan Delik Material(Materiil)


Delik Formal adalah delik yang dianggap selesai dengan dilakukannya
perbuatan itu, atau dengan perkataan lain titik beratnya berada pada perbuatan itu
sendiri tidak dipermasalahkan apakah perbuatannya, sedangkan akibatnnya hanya
merupakan aksi dentalia (hal yang kebetulan). Contoh delik Formaladalah Pasal
362 (pencurian), Pasal 160 (penghasutan), dan Pasal 209-210 (penyuapan). Delik
material titikberatnya berakibat yang dilarang, delik itu dianggap selesai jika
akibatnya sudah terjadi, bagaimana cara melakukan perbuatan itu tidak menjadi
masalah. Contohnya adalah Pasal 338(pembunuhan).
3. Delik Dolus dan DelikCulpa
Delik Dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan, rumusan
kesengajaan itu mungkin dengan kata-kata yang tegas (dengan sengaja), tetapi
mungkin juga dengan kata-kata lain yang senada seperti (diketahuinya), dan lain
sebagainya. Delik Culpa didalam rumusannya memuat unsur kealpaan dengan
kata….karena kealpaannya. Misalnya pada pasal 359, 360, dan 195.
4. Delik Commisionis dan DelikOmmisionis
Delik Commisionis tidak sulit untuk dipahami, misalnya mengambil
menganiaya, menembak, mengancam, dan sebagainya. Delik Ommisionis dapat
dijumpai dalam Pasal 522 (tidak datang menghadap ke Pengadilan sebagai saksi,
Pasal 164 (tidak melaporkan adanya pemufakatan jahat).
5. Delik Aduan dan Delik Biasa (Bukan Aduan)
Delik aduan (klachtdelict) adalah tindak pidana yang penuntutannya hanya
dilakukan atas dasar adanya pengaduan. pihak yang berkepentingan atau terkena.
Misalnya, penghinaan, perzinahan, pemerasan. Terdapat dua jenis delik aduan,
yaitu delik aduan absolute yang penuntutannya hanya berdasarkan pengaduan,
dan delik aduan relatif disini karena adanya hubungan istimewa antara pelaku
dengan korban, misalnya pencurian dalam keluarga (pasal 367 ayat (2) dan(3)).
Ada usul agar delik perzinahan tidak lagi dimasukkan sebagai delik aduan, tetapi
sebagai delik biasa ternyata banyak yang menentang, sebab hal itu dapat berakibat
lebih parah. Dalam proses penangkapan, orang awam dapat melakukan
penangkapan terhadap pelaku kejahatan jika dalam keadaan tertangkap tangan,
22

yaitu tertangkap ketika sedang berbuat.


6. Delik Tunggal dan DelikBerganda.
Delik tunggal merupakan tindak pidana yang terjadi cukup dengan satu kali
perbuatan. Delik berganda merupakan suatu tindak pidana yang baru dianggap
terjadi bila dilakukan berkali-kali, misalnya : Penadahan sebagai kebiasaan (Pasal
481KUHP).
Jenis Delik yanglain.
a. Delik berturut-turut;
b. Delik yang berlangsung terus;
c. Delik berkualifikasi (gequalificeerd);
d. Delik dengan Privilage (gepriviligeerdelict);
e. Delik Politik;
f. Delik Propria;
g. Delik yang tidak berlangsungterus;
7. Tindak Pidana Ringan dan Tindak PidanaBerat
Penggolongan tindak pidana ini berdasarkan pada kriteria yang bersifat
kuantitatif ataupun kriminologis. Tindak pidana ringan merupakan tindak pidana
yang dampak kerugiannya tidak besar sehingga ancaman pidananya juga ringan.
Tindak pidana berat merupakan tindak pidana yang dampak kerugian yang
ditimbulkannya sangat besar sehingga ancaman pidananya berat.
8. Tindak Pidana Umum dan Tindak PidanaKhusus
Tindak pidana umum merupakan tindak pidana yang perumusannya sudah
terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tindak pidana khusus
merupakan tindak pidana yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang,
misalnya tindak pidana korupsi.
4. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Pada hakikatnya setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur
lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan
karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam lahir (dunia). Menurut
23

Moeljatno yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana adalah12kelakuan


dan akibat (perbuatan), kal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan
tambahan yang memberatkan pidana.
Unsur melawan hukum yang objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku
yang terdiri atas perbuatan manusia,berupa:
1. Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif.
2. Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negative, yaitu perbuatan
yang mendiamkan ataumembiarkan.
Akibat (result) perbuatan manusia, akibat tersebut membahayakan atau
merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh
hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, kehormatan. Keadaan-keadaan
(circumstances), pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain: keadaan
pada saat perbuatan dilakukan, keadaan setelah perbuatan dilakukan,
Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. Sifat dapat dihukum
berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman.
Adapun sifat melawan hokum adalah perbuatan itu bertentangan dengan hukum,
yakni berkenaan dengan larangan atau perintah melakukan sesuatu.
5. Unsur Melawan Hukum yang Subjektif
Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas
hukum pidana menyatakan An act does not make a person guilty unless the mind
is guiltyor actusnon facit reum nisi mens sit rea (tidak ada hukuman kalau tidak ada
kesalahan). Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang diakibatkan
oleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan (negligence or schuld). Pada
umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri dari tiga, yakni:
a. Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk).
b. Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als
zekerheidsbewustzijn).
c. Kesengajaan keinsafan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus

12
Rahman Syamsudin, Ismail Arif, Merajut Hukum di Indonesia, (Jakarta: Mitra
Wacana Media, 2014), hal.193-195.
24

evantualis).
6. Ruang Lingkup Hukum Pidana
Berdasarkan Pengertian hukum pidana diatas, maka ruang lingkup
hukum pidana dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
A. Ius Poenale (hukum pidanamateril)
Hukum Pidana (Ius Poenale) merupakan sejumlah peraturan yang
mengandung perumusan peristiwa pidana serta ancaman hukumannya,
yang dikenal dengan Hukuman pidana substantif (hukum pidana materil),
yaitu aturan hukum mengenal yang diancam dengan hukuman pidana,
mengenai hal-hal: apa, siapa dan bagaimana sesuatu hukuman dapat
dijatuhkan, yang dimuat dalam KUHP dan peraturan- peraturan pidana
lainnya diluar KUHP.
B. Ius Poeniendi (hak memidana/hukum pidana formil)
Aturan hukum mengenai hak Negara untuk menghukum seorang yang
melakukan sesuatu persitiwa pidana, ketentuan hukum yang menyangkut
cara proses pelaksanaan penguasa menindak warga yang didakwa dan
pertanggung jawaban atas sesuatu delik yang dilakukannya. Ini
merupakan realisasi hukum pidana substantive materil, yaitu hukum acara
pidana yang dimuat dalam KUHAP (UU No.8 tahun 1981) dan ketentuan-
ketentuan hukum acara pidana lainnya, yang khusus terdapat di luar
KUHAP. Hak-hak Negara tersebut meliputi:
a. Hak untuk mengancam hukuman.
b. Hak untuk menjatuhkan hukuman.
c. Hak untuk melaksanakan hukuman.
Dan segi lain, maka hukum pidana substantif atau hukum pidana
materil dapat dianggap sebagai hukum sanksi, Kata sanksi (Belanda)
merupakan penegasan yang bersifat positif berupa anugerah, hadiah
maupun negatif berupa hukuman, termasuk hukuman pidana. Ilmu hukum
dapat dipandang dari 2 sudut:
1. Bilamana dipandang dari sudut delict, maka ia merupakan
delictenrecht (hukum tentangdelik).
25

2. Bilamana dipandang dari sudut sanksi adalah merupakan sancsjerecht


(hukum tentang sanksi),karena:
1). Sebagai akibat hukum.
2). Sebagai jaminan untuk di patuhi.
C. Algra Janssen, mengatakan bahwa hukum pidana adalah alat yang
dipergunakan oleh seorang penguasa (hakim) untuk memperingati mereka
yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dibenarkan, reaksi dari
penguasa tersebut mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang
seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan dan harta
kekayaannya, yaitu seandainya ia telah tidak melakukan suatu tindak
pidana.
D. Moeljatno, mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian daripada
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan
dasar dasar dan aturanuntuk.13

B. Macam-macam Tindak Pidana dan Hukumannya


Tindak pidana menurut sistem KUHP terbagi kedalam dua bagian;
A. Kejahatan yang dapat didefinisikan sebagai peristiwa pidana atau
perbuatan melanggar hukum yang dipidana berdasarkan asas legalitas
Pasal 1 ayat 1 KUHP artinya suatu perbuatan penjahat dapat dipidana
(dihukum) berdasarkan adanya undang-undang pidana.14 Sedangkan
menurut sebagian pakar hukum menyatakan perbuatan-perbuatan yang
meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan
pidana, akan tetapi telah dirasakan sebagai perbuatan yang bertentangan
dengan tatahukum.15
B. Pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan,
hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan
dengan demikian yang dapat diartikan sebagai perbuatan yang tidak
sesuai atau bertentangandengan

13
Ibid.
14
Kertonegoro, Pengupahan Teori, Hukum, Manajemen Sentanoe, (Jakarta: Yayasan Tenaga
Kerja Indonesia, 2001), hal. 62.
15
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992), hal. 130
26

Ketentuan undang-undang pidana ditentukan lebih ringan pidananya dari pada


kejahatan.16 Pembagian dua jenis ini, tidak ditentukan dengan nyata-nyata dalam
suatu pasal KUHP, tetapi sudah dianggap demikian adanya.17 Adapun jenis
hukuman yang ada di Indonesia khsusunya seseorang melakukan tindak pidana
dapat dikenakan sanksi berupa penjara disertai denda yang dalam hal ini dilihat dari
pandangan menurut hukum pidana positif (KUHP) dan diluar KUHP ada dua
macam juga, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.
1. Pidana pokok meliputi:
a. Pidana Mati. Hukuman mati adalah hukuman yang dilaksanakan untuk
menghilangkan nyawa terhukum. Menurut Pasal 11 KUHP, hukuman mati
dilakukan oleh algojo pada tempat gantungan dengan mengeratkan tali yang
terikat ditiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan
papan tempat terpidana berdiri.18
b. Pidana Penjara. Pidana Penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan
kebebesan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan
menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga permasyarakan, dengan
mewajibkan orang untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku
didala lembaga permasyarakat, yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata
tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturantersebut.19
c. Pidana Kurungan. Pidana kurungan juga merupakan salah satu bentuk
perampasan kemerdekaan, akan tetapi pidana kurungan ini dalam beberapa
hal lebih ringan dari pada pidana penjara. Keringan tersebut diantaranya
seperti pidana kurungan mempunyai hak pistolel.20
d. PidanaDenda.Secaraumum,katadendaberartihukumanyang berupa harus

16
Teguh Prastyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), cet. 3, hal. 41.
17
Teguh Prastyo dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana (Harian Baru Pasca Reformasi), (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2011, cet.1 hal. 33.
18
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), cet. 7, hal. 71
19
Jur. Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet 2,
hal.54.
20
Himan Hadi Kusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 19920, hal. 118.
P.A.F. Laminating dan Theo Laminating, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), hal. 54. Untuk batasan minimum dan maksimum pidana menurut pasal 12 KUHP Pidana
penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu (ayat 1), Pidana penjara selama waktu
tertentu paling pendek satunhari dan paling lama lima belas tahun bertuut berturut.
27

membayar dengan uang atau juga dapat diartikan dengan uang yang harus
dibayar sebagai hukuman karena melanggar berupa harus membayar
dengan uang atau dapat juga diartikan dengan uang yang harus dibayarkan
sebagai hukuman karena melanggar hukum.21 Sedangkan dalam bahasa
Belanda hukuman denda berasal dari kata vermogenstraf yang berarti
hukuman kekayaan.22
e. Pidana Tutupan (ditambah UUNo. 20/1946). Pidana ini adalah salah satu
pidana yang menghilangkan kemerdekaan namun lebih berat dari pada
hukuman denda hukuman ini biasanya diberikan kepada orang- orang yang
mempunyai kedudukan tinggi di Indonesia yang melakukan kejahatan dan
telah berjasa kepada Negara.23
f. Pidana Tambahan, meliputi:
1) Pencabutan Hak-hak Tertentu. Pencabutan hak-hak tertentu bersifat
sementara, berkisar antara 2-5 tahun lebih lama dari pada pidana pokok.
Kecuali jika dijatuhi pidana mati atau penjara seumur hidup, maka
lamanya pidana pencabutan hak adalah seumur hidup.24
2) Perampasan Barang-Barang Tertentu. Pidana ini bertujuan untu
mencegah pengurangan atau pengggantian dari barang-barang hasil
kejahatan. Barang-barang yang boleh dirampas ialah corpora delicta
(barang-barang milik si terpidana yang diperoleh sebagai hasil dari
kejahatan) dan instrumenta delicta (barang-barang milik terpidana
yang digunakan untuk melakukan kejahatan).25
(1) Pengumuman Putusan Hakim,26Hukuman tambahan ini
dimaksudkan untuk mengumumkan kepada khalayak ramai agar

21
Hak pistol ialah hak atau kesempatan para terpidana kurungan untuk mengurus makanan
dan alat tidur sendiri.
22
Hilman Hadi Kusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni,1992), hal. 119Andi
Hamzah, Asas-asas hukum Pidana, (Jakarta: PT. Pradya Paramita, 1997), hal.191.
22
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: BPK
Gunung Muria,1996),hal. 142
24
Laden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
hal.144
25
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.10
26
Laden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
hal.112-113.
28

dengan demikian masyarakat umum lebih berhati-hati terhadap si


terhukum. Biasanya ditentukan oleh hakim dalamsurat kabar yang
mana kesemuanya di tanggung atas biyaya terhukum.27
Jadi, cara-cara menjalankan pengumuman putusan hakim dimuat dalam
putusan.Disamping jenis sanksi yang berupa pidana, dalam hukum pidana positif
dikenal juga jenis sanksi yang berupa tindakan, misalnya :
a. Penempatandi rumah sakit jiwa bagi yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan,
karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu penyakit;
b. Bagi anak yang berumur 16 tahun melakukan tindak pidana, hakim dapat
mengembalikan kepada orang tuanya, memerintahkan agar anak tersebut
diserahkan kepada pemerintah.28

C. Tujuan Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana


Pemikiran yang menjadi landasan aktivitas tentang tujuan penghukuman
ini adalah memerangi kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat, agar bagi
pelaku tindak pidana merasakan efek jera dalam melakukan kejahatan dan
tidak mampu melakukan kejahatan-kajahatan lainnya. Menurut Andi
Hamzah, sepanjang sejarah, tujuan dari pidana ada empat bagian:
1. Pembalasan (retribution)
Teori retribution memandang bahwa pemidanaan merupakan
pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi
pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri.
Teori inibertujuan adanya kesamaan dan kesetaraan antara
pemidanaan dan kejahatan, sehingga pelaku harus kehilangan sesuatu
sebagaimana yang korban alami atau derita.

2. Pencegahan (Deterrence)

27
Teguh Prastyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), cet.3, hal.98. Lihat juga
Pasal 44 ayat 2 dan Pasal 45 KUHP
28
Ibid, h. 74-74. Zainal Abidin, Pemidanaan, Pidana dan TindakandalamRancangan KUHP,
hal. 11.
29

Toeri deterrence memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai


pembalasan atas kesalahan pelaku, akan tetapi merupakan sarana
mencapai.Tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat
menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ini ditekankan pada tujuannya,
yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka
bukan tujuan pemuasan absolut atas keadilan.
7. Penjeraan (Rehabilitation)
Yaitu memperbaiki si pelaku tindak kejahatan (rehabilition of the
criminal) Pidana ini ditetapakan sebagai usaha untuk mengubah sikap
dan perilaku agar tidak mengulangi kejahatannya. Modelrehabilitasi
menganjurkan bahwa sanksi seharusnya digunakan untuk mengubah apa
yang menyebabkan pelaku melakukan kajahatan.

8. Kapasitas/pelemahan(. Incapacitation)
Paradigma inkapasitasi dapat diartikan sebagai upaya untuk
menurunkan atau menghilangkan kemampuan seseorang untuk
melakukan kejahatannya. Penjaran telah memisahkan pelaku
darimasyarakat, untuk melakukan menghapus atau mengurangi
kemampuan mereka kejahatan terntentu.
9. Restoration
Pendekatan keadilan restoratif mengakui bahwa kebutuhan korban
sering diabaikan dalam sistem peradilan pidana. Pendekatan ini juga di
rancang untuk mendorong pelaku untukmengembangkan rasa tanggung
jawab individu dan menjadi anggota masyarakat yang bertanggung
jawab.

D. Teori Pemidanaan dalam Hukum Pidana Islam


1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana (jarimah) didefinisikan oleh imam al-Mawardi sebagai
berikut:
َ ُ‫َم ْحظُ ْو َرتٌ ش َْر ِعيَةٌ ز َج َرهللا‬
‫ع ْن َها بِ َح ٍد ا َ ْوت َ ْع ِزي ٍْر‬
30

“Segala larangan syara’(melakukan hal-hal yang dilarang dan atau


meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau
ta’zir.”
Sedangkan hukuman atau dalam hukum pidana disebut juga sebagai
‘uqubah yang menurut bahasa berasal dari kata ‫ عقب‬yang artinya mengikuti atau
mengiringi. Sedangkan menurut istilah derita atau nestapayang ditetapkan bagi
suatu perbuatan yang dilarang. Didasarkan kepada sumber dan dalil hukum
Islam. Abdul Qodir Audah mendefinisikan hukuman sebagai sanksi hukum yang
telah ditetapkan untuk kemaslahatan umat khususnya masyarakat karena melanggar
perintah syari’ (Allah SWT dan Rasul-Nya). Ibnu ‘Abidin dari ulama madzhab
Hanafi mendefinisikan bahwa hukuman penghalang sebelum melakukan, ancaman
sesudahnya. Maksudnya, dengan mengetahui syariatnya menghalangi
keberaniannya melakukan dan terjerumusnya sesudahnya menghalangi kembali
kepadanya.
2. Macam-macam Tindak Pidana dan Hukum Islam
Berdasarkan suatu ketentuan yang ada dalam hukum pidana Islam,
hukuman mempunyai macam-macamnya diantaranya hukuman ditinjau dari segi
terdapat dalam nashnya, yaitu hudud, qisash, diyat, dan kafarah. Misalnya hukuman
bagi pezina, pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh, dan orang yang
mendzihar istirinya. Sedangkan yang tidak ada nashnya hukumannya
disebut ta’zir, seperti percobaan melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan
amanah, sanksi palsu, dan melanggar lalu lintas.
a. Hudut
Hudud secara bahasa merupakan bentuk jamak dari kata ُُ: bahasa arab
yang berarti (hukuman). Sedangkan menurut istilah hudud adalah batasan-batasan
ketentuan dari Allah SWT tentang hukuman yang diberikan kepada orang-orang
yang berbuat dosa atau melanggar hukum. Sedangkan perbutan melanggar hukum
secara umum pengertian hudud berarti larangan atau batas anatasa dua barang yang
bertentangan. Jadi hukuman hudud adalah sanksi dari sebuah hukum yang
ditetapkan untuk jarimah hudud.
31

Sedangkan dari sebuah pengertian hudud adalah perbuatan pidana dimana


bentuk tindak pidana dan batas hukumannya sudah ditetapkan secara khusus
(eksplisit) oleh nash-nash syara’, baik dari al-Qur’andan hadist dimana tindak
pidana tersebut menyangkut hak Allah. Yang ditetapkan sanksinya berupa had
(ketetapan dalam al-Qur’an dan sunnah). Hukumannya berupa rajam, jilid atau dera,
amputasi tangan, eksekusi bunuh, pengasingan atau deportasi, dansalib.
Adapun contoh hukuman yang diberikan kepada orang yang melakukan
tindakan seperti hukuman orang melakukan zina yang muhsan, maka harus
dihukum dengan hukuman rajam, yang ghoiru muhsan harus dicambuk atau dera
100 kali sekaligus diasingkan, kemudian dicambuk 80 kali bagi yang menuduh
berzina atau yang disebut qadzaf, sedangkan yang syurb al-khamar (meminum
minuman keras) dihukum dengan 40 atau 80 kali dera, adapun al-baghyu
(pemberontakan) diancam dengan pidana mati, sariqah (pencurian) hukumannya
harus dipotong tangan atau amputasi tangan, hirabah diancam hukumannya dengan
pidana mati, penyaliban, dan pengasingan dan riddah (murtad) dihukum dengan
hukuman mati.

b.Qishash
Secara bahasa qishas berasal dari kata ‫ قص – يقص – قصاص‬yang berarti
(mengikuti), menelusuri jejak langkah. Sedangkan menurut istilah yang ditemukan
oleh Al-jurjani yaitu mengenakan sebuah tindakan (sanksi hukum) kepada pelaku
persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut (terhadap korban).49
Dalam fiqh jinayah, sanksi qishash ada dua macam, yaitu sebagai berikut:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash


berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa
32

yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan)


mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar
(diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian
itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih..” (Qs. Al-
Baqarah: [2] 178).
Ayat ini berisi tentang hukuman qishash bagi pembunuhan yang dilakukan
kejahatannya secara sengaja dan pihak keluarga korban tidak memaafkan pelaku.
Adapun keluarga korban memaafkan pelaku, maka sanksi qishash tidak berlaku dan
beralih menjadi hukuman diyat.
3. Tujuan Penghukuman Terhadap Pelaku Tindak Pidana Islam
Tujuan dari adanya hukuman dalam syari‟at Islam, menurut Siti Jahroh,
merupakan realisasi dari tujuan hukum Islam itu sendiri, yakni sebaga pembalasan
atas perbuatan jahat, pencegahan secara umum dan pencegahan secara khusus serta
perlindungan terhadap hak-hak si korban.Tujuan dari penetapan dan penerapan
hukuman dalam syariat Islam adalah:
1)Pembalasan (al-Jazā‟)
Konsep ini secara umum memberikan arti bahwa pelaku tindak pidana perlu
dikenakan pembalasan yang setimpal dengan apa yang dilakukannya tanpa
melihat apakah hukuman itu berfaedah untukdirinya atau masyarakat. Hal ini
sesuai dengan konsep keadilan yangmenghendaki seseorang itu mendapat
pembalasan yang setimpal dengan apa yang telah dilakukannya. Istilah pembalasan
ini banyak digunakan oleh Al-quran dalam tindak pidana hudud.
Pengertian Pencegahan adalah menahan orang berbuat jarimah agar ia tidak
mengulangi perbuatan jarimahnya. Disamping mencegah pelaku, pencegah juga
mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan
melakukan jarimah, sebab ia dapat mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan
kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan
perbuatan yang sama.

2. Pendidikan dan Perbaikan


33

Tujuan penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku jarimah agar ia


menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Disini terlihat
bagaimana perhatian syariat Islam terhadap pelaku. Dengan adanya hukuman
ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia
menjauhi jarimah bukan karena takut hukuman, melainkan karena kesadaran
diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapatkan
ridha Allah SWT.
3. Kemaslahatan Masyarakat
Pada dasarnya bermuara pada sebuah keinginan agar para pelaku tindak
pidana menyadari akan pentingnya syariat Islam yang harus dijalani dalam
kehidupan sehari-hari, maka dari itu Abdul Qodir Awdah mengatakan bahwa
prinsip hukuman dalam Islam dapatdisimpulkan
dalamduaprinsippokok,yaitumenuntaskansegalaperbuatanpidanadengan
mengabaikan pribadi terpidana dan memperbaiki pribadi terpidana dan
memperbaiki sikap terpidana sekaligus memberantas segala bentuk tindak
pidana. Memberantas segala bentuk tindak pidana bertujuan untuk
memperbaiki sikap dan perilakunya. Oleh sebab itu, menurutnya hukuman
bagi segala bentuk tindak pidana yang terjadi harus sesuai dengan
kemahslahatan dan ketentraman masyarakat yang menghendakinya.
4. Restorasi ( ‫)الستعادة‬
Tujuan ini lebih untuk mengembalikan suasana seperti semula,
merekonsiliasi korban (invidu atau masyarakat) dan pelaku tindak pidana, dan
mendorong pelaku untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah
memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatannya.
Dalam Islam, tujuan ini dapat disimpulkan dari ayat-ayat yang menegaskan
adanya hukuman diat sebagai hukuman pengganti dari hukuman kisas apabila
korban memaafkan pelaku tindak pidana. Pemberian maaf dari keluarga korban
yang kemudian diikuti oleh pemberian diat oleh pelaku tindak pidana merupkan
salah satu bentuk rekonsisliasi yang dapat mengikis rasa dendam kedua belah pihak
dan mewujudkan kembali kedamaain.
5. Penebusan Dosa
34

Salah satu hal yang membedakan hukum pidana Islam dan hukum pidana
sekular adalah adanya dimensi-dimensi ukhrawi dalam hukum pidana Islam. Ketika
manusia melakukan kejahatan, ia tidak hanya dibebankan pertanggungjwaban/
hukuman di dunia saja, tetapi juga pertanggungjawaban/ hukuman di
akhirat.Penjatuhan hukumandi dunia ini menurut fukoha, adalah salah satu
fungsi untukmengugurkan dosa-dosa yang telah dilakukannya.
1. Persekusi Menurut Pidana Islam
Persekusi dalam bahasan Arab diterjemahkan dengan kata idtihad(‫)هاد َطِ ضْإ‬
Masdar (kata benda). Diartikan sebagai [tindakan] melampaui batas [dalam]
kekuasaan dan perlakuan paksa, sewenang-wenang, melanggar prinsip-prinsip
konstitusional, terutama perlindungan Hak Asasi Manusia. Diartikan pula
َ ‫)د َ ْض‬
sebagai penindasan atau pemaksaan. Sementara memersekusi (َ ‫طه ِ ا‬
diartikan dengan memperlakukan dengankasar; memaksa dan menganiaya;
menyakiti. Definisi pertama tampaknya mengadopsi dari konsep persekusi
sebagai sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan menurut hukum internasional.
Jika demikian, term idthihad sebagai salah satu bentuk tindak pidana (jarimah)
merupakan term baru dan tidak dikenal dalam fiqh jinayah. Sejauh ini, dari
penelusuran penulis terhadap sumber-sumber berbahasa Arab tidak ditemukan
satupun tulisan yang menjelaskan idthihadddalam konteks fiqh jinayah atau
hukum pidana islam. Idthihaddselalu dijelaskan dalam konteks hukum
internasional tentang kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia.Dengan demikian persekusi yang
diartikan dengan idthihaddbukanlah tindak pidana biasa. Ia adalah tindak
pidana luar biasa yang memerlukan kajian mendalam. Meskipun dalam batas
tertentu bisa dijelaskan dengan pendekatan jarimah al-baghy (pemberontakan).
Ini jika konteksnya konflik internal, dalam negeri. Lain hal jika konteksnya
antar negara. Oleh karena itu pembahasan selanjutnya akan dibatasi pada bahwa
persekusi atau idthihadddi sini dalam pengertian tindakan main hakim sendiri
(eigenrechting) yang di dalamnya bisa mencakup berbagai macam tindak
pidana biasa. Tergantung perbuatan apa saja yang telah dilakukan pelaku.
Dalam fiqh jinayah tindak pidana disebut jarimah. Menurut Imam Al Mawardi,
35

jarimah ialah perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh allah
dengan hukuman hadddan ta’zir. Dalam terminologi hukum pidana di
Indonesia jarimah sama dengan tindak pidana atau delik. Mayoritas ulama
kemudian membagi jarimah ke dalam 3 kategori. Ketiga kategori itu ialah: (1)
Jarimah hudud, (2) Jarimah qisas/ diat, (3) Jarimah ta’zir. Pembagian ini paling
moderat dan banyak dianut meskipun ada sebagian kecil ulama membaginya
menjadi 2 saja menjadi hanya jarimah hudud dan ta’zir saja29

29
file:///C:/Users/ACER/Downloads/437-Article%20Text-1659-1-10-20191026%20(1).pdf di
akses pada tgl 26 juni 2021 pukul 13:42 wibdalamjudulartikelpersekusidalamtinjauanfiqihjinayah
hanif azhar
BAB III

PERSEKUSI DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

A. Pengertian Persekusi
Peristiwa persekusi di Indonesia sudah semakin marak terjadi dan
hampir setiap tahun adanya peristiwa persekusi di Indonesia, khususnya di
Kota Tangerang. Persekusi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah:30

“Segala tindakan yang pada pokoknya merupakan perbuatan


sewenangwenang terhadap seseorang atau kelompok untuk
disakiti, dipersusah, atau ditumpas”.

Persekusi sebagai tindakan sewenang-sewenang/menganiaya yang


awalnya dari kata-kata kebencian, penghinaan melalui media sosial,
kemudian oleh pihak yang merasa terhina atau sakit hati memburu,
mendatangi atau “merunduk” secara langsung di kediaman korban lalu
disitulah pihak yang merasa sakit hati kemudian melakukan intimidasi.
Pola persekusi yang terjadi akhir-akhir ini, meliputi:

a. Menelusuri orang-orang di media sosial yang dianggap melakukan


penghinaan
b. Menginstruksikan massa untuk mencari target yang sudah dibuka
identitas, foto dan alamat
c. Mendatangi rumah atau kantor, melakukan intimidasi, dan dalam
beberapa kasus dipukul, dipaksa menandatangani surat
permohonanan maaf bermaterai, ada pula yang didesak agar ia
dipecat.

30
Kamus Hukum Online Indonesia, Istilah Persekusi, https://kamushukum.web.id/search/persekusi
diakses pada hari Selasa, 3 Agutus 2021, Pukul 20.10 WIB, hal. 2

36
37

Klasifikasi tindak pidana persekusi hingga Tahun 2017 belum


pernah dimuat dalam suatu instrumen hukum yang mengikat di Indonesia.
Oleh sebab itu, tuduhan tindak pidana persekusi adalah suatu kesalahan
secara keilmuan hukum.

Sebagaimana diketahui, hukum pidana menganut asas legalitas


Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan, “tidak ada hukuman, kalau tak
ada ketentuan Undang-Undang yang mengaturnya.” Asas tersebut
merupakan asas mendasar yang wajib dipahami oleh sarjana hukum. Oleh
karena itu, penggunaan istilah tindak pidana persekusi untuk menilai suatu
perbuatan hukum seharusnya tidak mungkin dilakukan oleh ahli-ahli
hukum.

Pada praktiknya, perbuatan hukum persekusi yang dituduhkan


akhirnya ditegakkan melalui pasal-pasal biasa dalam KUHP seperti Pasal
368 KUHP tentang pengancaman, Pasal 351 KUHP tentang
penganiayaan, Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan, penghinaan,
kekerasan, pengrusakan atau beberapa pasal dalam Undang-Undang
Informasi Teknologi Elektronik (UU ITE) apabila media yang digunakan
utnuk melakukan perbuatan melawan hukum tersebut berhubungan
dengan media elektronik. Penegakan hukum tersebut semakin
menjelaskan bahwa

Penggunaan istilah persekusi dalam dunia hukum belum diakui


keabsahannya. Walaupun hanya sekadar istilah yang digunakan, keilmuan
hukum sangat detail mengenai 3 istilah yang digunakan karena dapat
mengakibatkan kesesatan berfikir dan kesalahan dalam penafsiran hukum
yang mengakibatkan chaos pada sistem hukum.

Persekusi menurut Djamar Juniarto: “Persekusi itu beda dengan


main hakim sendiri, dalam makna yang sebenarnya persekusi itu adalah
tindakan memburu seseorang atau golongan tertentu yang dilakukan suatu
38

pihak secara sewenangwenang dan sistematis juga luas, jadi beda dengan
main hakim sendiri”.31

Kasus persekusi juga merupakan suatu tindak pidana dan suatu


perbuatan melawan hukum. Tindak pidana merupakan masalah yang
berhubungan dengan masalah kriminalisasi yang diartikan sebagai proses
penetapan perbuatan orang yang semula bukan merupakan tindak pidana
menjadi tindak pidana, proses penetapan ini merupakan masalah
perumusan perbuatan-perbuatan yang berada di luar diri seseorang,
sedangkan masalah subjek hukum pidana berkaitan erat dengan penentuan
pertanggungjawaban pidana.

Pengertian mengenai Pertanggung jawaban Pidana menurut


Moeljatno “Pertanggungjawaban pidana adalah suatu mekanisme untuk
menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka
dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.
Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang
dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam
Undang-undang. Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa
setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum,
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut
patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan
kesalahannya.”32

B. Implikasi Dari Persekusi


Persekusi dan implikasi moralnya belum mendapat banyak
perhatian dari banyak akademisi, namun Jaakko Kuosmanen (2014) telah
menetapkan definisi persekusi dengan membongkar asumsi umum
berdasarkan kasus historis. Menurutnya, agar sebuah pelanggaran

31
Damar Juniarto, Penjelasan mengenai Persekusi, https://www.merdeka.com/peristiwa/apa-
itupersekusi-ini-penjelasannya.html diakses pada hari Selasa, 3 Agutus 2021, Pukul 20.40 WIB,
hal. 1
32
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1983,
hlm.41.
39

dianggap sebagai bentuk persekusi,ada tiga syarat yang diperlukan,tapi


tidak mencukupi,kondisi yangharus ditetapkan:
(1) ancaman asimetris dan sistemik;
(2) bahaya berat dan berkelanjutan; dan,
(3) sasaran diskriminatif yang tidak adil.

Penindasan yang dilakukan terhadap orang-orang Kristen dilakukan


oleh negara secara sporadis. Hal ini dimulai pada tahun 250 M,
persekusian seluruh kerajaan terjadi dengan dekrit dari Kaisar
Decius, banyak orang kristen terbunuh dan hal ini mempengaruhi
perkembangan kristen saat itu. Hingga akhirnya persekusi menjadi
perbincangan menarik bagi berbagai relasi sosial- politik internasional
karena menyangkut “harkat dan martabat” kemanusiaan. Persekusi
tersebut yang diadopsi dari Statuta Roma Mahkamah Pengadilan
Internasional (International Criminal Court) Pasal 7, memasukkan
persekusi sebagai kejahatan kemanusiaan yang berbunyi:

“Persecution against any identiable group or collectivity


on political, racial, national, ethnic, cultural, religious,
gender…or other grounds that are universally recognized
as impermissible under international law…”

Kejahatan persekusi itu sendiri diterjemahkan pasal 9 (h) UU


PengadilanHAM sebagai berikut:
“penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulan yang didasari persamaan paham politik,
ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara universal
sebagai hal yang dilarang hukum internasional”
40

Persekusi mulai dipahami oleh banyak kalangan hingga


akhirnya ditetapkan sebagai tindak kekerasan terhadap kemanusiaan
seperti yang dinyatakan dalam Statuta Roma tahun 1998. Untuk di
Indonesia saat ini, persekusi tengah ramai dibicarakan dan menyeret
banyak pelaku persekusi dalam ranah hukum pidana. Persekusi yang
dimaksudkan pada kasus-kasus yang tengah ramai di Indonesia ialah
main hakim sendiri kepada seseorang, seperti pada kasus main hakim
sendiri (persekusi) kepada seorang remaja berusia 15 tahun inisial PMA,
dan kasus persekusi yang dialami oleh seorang dokter di daerah Solok,
Sumatera Barat. Dikutip dari Kompas Online, Presiden RI Joko Widodo
khawatir jika persekusi terus dibiarkan, maka Indonesia dapat jadi negara
barbar.
Dalam perkembangan mengalami perluasan dengan berlakunya
Statuta Roma. Dalam Pasal 7 Statuta Roma, persekusi juga termasuk
dalam salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam
pengaturan Statuta Roma, persekusi didefinisikan sebagai: Pembatasan
hak-hak dasar secara sengaja dan serius yang bertentangan dengan
hukum internasional, berlandaskan identitas kelompok atau kolektifitas.
Perbedaan pengaturan dalam Statuta Roma dibandingkan Statuta
ICTR dan Statuta ICTY adalah perluasan cakupan persekusi sebagai
salah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dapat kita lihat
dalam Pasal 7 ayat(1)huruf(h): “Persekusi terhadap suatu kelompok yang
dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras,
kewarganegaraan, etnis, budaya, agama, gender sebagaimana di
definisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal
dilarang berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan
setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan
yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah”.
Apabila sebelumnya persekusi hanya mencakup tindakan
pembatasan hak dasar dengan unsur diskriminatif berdasarkan ras,
politik, atau agama, maka dalam Statuta Roma dasar persekusi menjadi
41

diperluas sebagaimana paragraf diatas. Dalam menentukan ada atau


tidaknya persekusi, menurut Prof. David Cohen menekankan adanya dua
tingkat pembuktian yang harus dilakukan: Pertama, unsur kontekstual
dari persekusi, yaitu pengetahuan dari pelaku bahwa tindakannya
merupakan bagian dari serangan yang sistematis atau meluas terhadap
penduduk sipil. Kedua, adanya dasar mendiskriminasi korban, kelompok
atau kolektivitas dimana mereka menjadi bagin darinya: politik (tidak
harus terinstitusionalisasi), ras, kewarganegaraan, etnis, budaya, agama,
gender, atau dasar lain yang secara universal dilarang berdasarkan
hukum internasional. Pelaku persekusi bisa siapa saja, tidak hanya
pemerintah atau organ-organ Negara, tetapi juga masyarakat sipil.

C. Presekusi Dalam Hukum Positif di Indonesia


Persekusi dalam kerangka hukum di Indonesia telah
memberlakukan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang
mengadopsi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai bentuk
pelanggaran HAM berat. Persekusi sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan diatur dalam Pasal 9 huruf (h). Maka persekusi sebagai
pelanggaran HAM berat dapat diproses berdasarkan UU No. 26 Tahun
2000.33
Seiring dengan perkembangan zaman saatini, permasalahan-
permasalahan atau kasus-kasus sangat banyak sekali terjadi di dalam
masyarakat, organisasi, bahkan dalam ruang lingkup pemerintahan. Hal ini
dapat kita saksikan secara langsung maupun lewat media sosial, baik itu
dari surat kabar lokal, nasional, facebook, youtobe, dan bahkan berita
nasional.
Menurut Koalisi Anti Persekusi, dalam tindak persekusi ini bertujuan
menyakiti secara fisik dan psikisnya. Karena dalam persekusi tersebut,
kelompok tertentu melakukan sepuluh pola, antara lain:
1. Menelusuri orang yang dianggap menghina ulama.

33
Yayasan Lembaga Bntuan Hukum, Artikel Diskusi, http://www.Ylbhi.or.id/2017/07/artikel-
diskusi-persekusi/. diakses 26 juni2021 pada pukul 12.31.
42

2. Membuka identitas dan menyebarkannya.


3. Menginstruksikan untuk memburu target.
4. Aksi mendatangi ke rumah atau kantor.
5. Ancaman kekerasan hingga terjadi kekerasan.
6. Dilaporkan ke kantor polisi dengan Pasal 28 Undang-Undang ITE
atau Pasal 156 a KUHP.
7. Disuruh meminta maaf lisan maupun pernyataan tertulis.
8. Penegak hukum menetapkan tersangka.
9. Penegak hukum hanya melihat proses penuntutan permintaan maaf.
10. Akun korban diduga dipalsukan.
Berdasarkan KUHP pasal 170, 353, 340, 285 yang berkaitan dengan
bentuk perbuatan persekusi. Pasal 170 KUHP dapat dikaitkan dalam konsep
persekusi statute roma yang menjelaskan bahwa adanya tindakan
diskriminasi menggunakan kekerasan yang menyebabkan luka terhadap
orang lain dengan maksud untuk menghukum atau meniadakan kelompok
yang bersebrangan pendangan oleh pelaku persekusi dan bentuk
tindakannya dapat ditakitkan dengan pasal ini karena menggunakan
kekerasan dalam tindakannya dan dilakukan secara bersama-sama karena
yang dimaksud kelompok lebih dari satu orang.34
Pasal 353 KUHP dapat dikaitkan dengan tindak pidana persekusi
yang dikualifikasikan sebagai delik penganiayaan dengan rencana karena
apabila dikaitkan dengan konsep dalam statute roma bentuk perbuatannya
mekalukan penganiayaan terhadap korbannya yang dilakukan secara
berkelompok dan menimbulkan kerugian yang dialami korbannya.35 Pasal
340 KUHP tindak pidana persekusi dapat dikualifikasikan sebagai delik
pembunuhan dengan rencana karena apabila dikaitkan dengan konsep
statute roma bentuk perbuatannya mekalukan pembunuhan terhadap
korbannya dan menimbulkan hilangnya nyawa korbannya. Pasal 285

34
P.A.F. Lamintang dan C.D. Samosir, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:Sinar Baru,
1983), Hal. 82
35
Lamintang, P.A.F dan Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, &
Kesehatan, (Jakarta:Sinar Baru, 1983), Hal. 132
43

KUHP tindak pidana persekusi dapat dikualifikasikan sebagai delik


pemerkosaan karena dalam bentuk perbuatannya mekalukan perbudakan
seksual terhadap korbannya sesuai dengan konsep yang dijelaskan dalam
statuta roma.36

Dalam demokrasi, haram penyelesaian masalah dengan cara


kekerasan. Dengan itu jelas, walau seseorang dicaci dan dihina, dia tidak
boleh mengambil keputusan main hakim sendiri, apa lagi dengan ancaman
dan intimidasi. Seorang atau sekelompok dapat melakukan tindakan
persekusi karena hidup dengan budaya kekerasan dan budaya premanisme.
Tindakan persekusi yang salah akan mereka anggap benar karena sudah
biasa hidup dalam kekerasan.
Dengan viralnya video persekusi yang beredar di media sosial, tentu
ini menumpuk rasa takut pada masyarakat Indonesia. Apalagi dalam video
tersebut terdapat aksi intimidasi, kekerasan dan penghinaan. Persekusi pun
dianggap sebagai upaya meruntuhkan kekuatan dan wibawa suatu negara
dihadapan para korban persekusi. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh
Bambang Soesatyo, seorang Ketua Komisi III DPR.
Menurut Bambang, negara yang di dalamnya terdapat aksi persekusi
tidaklah menoleransi aksi-aksi persekusi. Siapapun pelakunya dan sebesar
apapun kekuatan pendukungnya, negara wajib merespons aksi persekusi
dengan sikap dan tindakan tegas. Akan terbangun persepsi yang negatif
dibenarkan publik jika persekusi tidak segera direspons.
Negara akan diasumsikan lemah dan kehilangan wibawanya karena
ada sekumpulan warga negaranya yang bertindak semena-mena terhadap
warga lainnya. Kedua, masyarakat juga akan berasumsi bahwa dinegara ini
tidak ada kepastian hukum. Penggunakan diksi persekusi oleh aparat hukum
atau pejabat negara bahkan pegiat hak asasi manusia terhadap kasus yang

36
P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, Kejahatan Melannggar Norma Kesusilaan Norna
Kepatutan, (Jakarta:Sinar Baru, 2009), Hal 55
44

terjadi belakangan ini merupakan upaya berlebihan, pandir, bahkan bisa


dikategorikan kekerasan verbal itu sendiri.

D. Persekusi dalam Hukum Islam


Penganiayaan adalah perbuatan menyakiti orang lain yang
mengenai badannya, tetapi tidak sampai menghilangkan nyawanya.
Melukai atau menganiaya (jinayah terhadap selain jiwa) bisa sengaja, semi
sengaja dan kesalahan. Jinayah atau kejahatan atas fisik tetapi tidak
menimbulkan kematian, dalam literature fiqih jinayah disebut baik
dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja yang terurai kepada seperti
sengaja.37
Namun dalam hukum Islam penganiyaan tidak terlalu eksplisit
diatur dalam jenis hukumanya, hal ini disebabkan ta’zir bisa di terjemahkan
bebas dalam islam. Menurut Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam Al
Sulthoniyah “ Ta’zir ialah pengajaran terhadap pelaku dosa-dosa yang tidak
di atur oleh hudud. Status hukumnya berbeda-beda sesuai dengan keadaan
dosa dan pelakunya”
Sementara menurut Ibrahim Anis dalam kamus Al’Mu’jam Al Wast
“ Ta’zir ialah pengajaran yang tidak sampai pada ketentuan had syar’I
seperti pengajaran terhadap seseorang yang mencaci pihak lain tetapi bukan
menuduh”.
Selanjutnya menurut Wahbah Al-Zuhaili dalam kitab Al Fiqh Al
Islami wa Adillatuh “ Sanksi Ta’zir adalah hukuman-hukuman yang secara
sya’ra tidak di tegaskan mengenai ukurannya. Syariat islam menyerahkan
kepada penguasa Negara untuk menentukan sanksi terhadap pelaku tindak
pidana yang sesuai dengan kejahatannya.38

Hal ini sesuai dengan hadist nabi yang di riwayatkan oleh Abu
Dawud Al-Tirmidzi, Al-Nasa'i, dan Baihaqi. Dishahihkan oleh Hakim

37
Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta : Prenada Media 2003 ), hal 269
38
Dr. H.M Nurul Irfan, M.Ag dan Masyrofah, S.Ag., M.Si., Fiqh Jinayah, (Jakarta:Amzah,
2015), Cetakan Ke 3, Hal 137-139
45

‫عن بهز بن حكيم عن أبيه عن جده أن النبي صلى هللا عليه وسلم حبس‬
‫رجال في تهمة‬
Dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya bahwasanya Nabi
menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan. (HR. Abu
Dawud Al-Tirmidzi, Al-Nasa'i, dan Baihaqi. Dishahihkan oleh Hakim)"
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum sanksi ta'zir. Berikut ini adalah
penjelasannya.

1. Menurut golongan Malikiyah dan Hanabilah, ta'zir hukumnya wajib


sebagaimana hudud karena merupakan teguran yang disyariatkan untuk
menegakkan hak Allah dan seorang kepala negara atau kepala daerah tidak
boleh mengabaikannya.

2. Menurut mazhab Syafi'i, ta'zir hukumnya tidak wajib. Seorang kepala


negara atau kepala daerah boleh meninggalkannya jika hukum itu tidak
menyangkut hak adami.

3. Menurut mazhab Hanafiyah, ta'zir hukumnya wajib apabila berkaitan


dengan hak adami. Tidak ada pemberian maaf dari hakim karena hak hamba
tidak dapat digugurkan, kecuali oleh yang memiliki hak itu. Adapun jika
berkenaan dengan hak Allah, keputusannya terserah hakim. Jika hakim
berpendapat ada kebaikan dalam penegakannya maka ia melaksanakan.
keputusan itu. Akan tetapi, jika menurut hakim tidak ada maslahat maka
boleh meninggalkannya. Artinya, si pelaku mendapat ampunan dari hakim.
Sejalan dengan ini Ibnu Al-Hamam berpendapat, "Apa yang diwajibkan
kepada imam untuk menjalankan hukum ta'zir berkenaan dengan hak Allah
adalah kewajiban yang menjadi wewenangnya dan ia tidak boleh
meninggalkannya, kecuali tidak ada maslahat bagi pelaku kejahatan."

Ta'zir dilakukan untuk menegur atau memberikan pelajaran. Oleh


karena tu, keringanan dalam cambukan hanya terdapat pada jumlahnya,
46

bukan neniadakannya sama sekali. Penetapan sanksi ta'zir dilakukan


melalui pengakuan, bukti, serta pengetahuan hakim dan saksi. Kesaksian
dari kaum perempuan bersama kaum laki-laki dibolehkan, namun tidak
diterima jika saksi dari kaum perempuan saja.

Selain imam atau hakim, orang yang berhak memberikan sanksi ta’zir
kepada pelanggar hukum syar'i adalah ayah atau ibu untuk mendidik anak,
suami untuk mendidik istrinya, atau guru untuk mendidik muridnya. Para
pemberi sanksi itu tidak boleh mengabaikan keselamatan jiwa si pelanggar
hukum, kecuali imam atau hakim.

Menurut Imam Al-Syafi'i dan Abu Hanifah, pemberian sanksi ta'zir


selain penguasa harus terikat dengan jaminan keselamatan. Karena
mendidik dan memberi peringatan bagi selain imam tidak boleh sama
dengan apa yang dilakukan oleh imam yang memang ditugaskan oleh
syariat. Hal ini sebagaimana hadis dari Abu Hurairah yang mengatakan
bahwa Rasulullah bersabda "Imam (penguasa pemerintahan) adalah perisai.
Dari belakangnya, musuh-musuh diperangi. Jika imam itu memerintah
dengan takwa kepada Allah dan ia bertindak adil, maka baginya pahala dan
jika ia memerintah dengan selain takwa, maka baginya dosa dari
pemerintahannya." (HR. Muslim dalam kitab Al-Imarah).39

39
Ibid, Hal.144-147
BAB IV

ANALISA PUTUSAN NOMOR: 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Tim


A. Kronologi Kasus
Berawal pada hari Jumat tanggal 26 mei 2017 sekitar pukul 08.00 wib saksi
korban Mario alvian alexander memposting di akan fecebook miliknya gambar-
gambar dan tulisan kebencian kepada FPI atau habib Riziq dari hp merk Azus ty
zen Go, lalun di komentari oleh saksi bagas lasmana teman satu sekolah di SMK
Darul mukminin dengan komentar “postingan lo di hapus kalau tidak tidak di
hapus, orang FPI datang kerumah lo” kemudian di balas oleh saksi Putra mario
alvian alexsander dengan komentar “ Gua tunggu bro” .
Kemudian pada hari Sabtu tanggal 27 mei 2017 sekira 21:00 WIB saksi
mario alvian di datangi Paryono menyarankan kepada saksi Putra Mario Alvian
untuk menghapus postingannya di facebook tentang penghinaan FPI dan Habib
Riziq selanjutnya pada hari minggu tanggal 28 mei 2017 sekitar pukul 23:30 WIB
di jl. Cipinang Muara Rt.04/03 No.20 kel. Cipinang Muara Kec. Jatinegara Jakarta
Timur rumah konterakan saksi Putra Mario di datangi oleh beberapa anggota FPI
Jatinegara Jakarta Timur dan membawa saksi korban Putra Mario ke kantor RW 03
kel. Cipinang Muara Jakarta Timur di sana sudah bnayak anggota FPI dan beberapa
orang warga lalu saksi korban Putra Mario di interogasi oleh beberapa orang
anggota FPI mengenai postingan di akun Facebook.

B. Posisi Kasus
Telah terjadi tindak pidana persekusi yang di mana hal ini melibatkan dua
orang pelaku berawal di sebuah postingan facebook yang di unggah oleh seorang
bernama PMA mengunduh dalam akun facebooknya penghinaan terhadap FPI dan
habib Riziq hal tersebuh memicu kemarahan orang-orang atau anggora FPI.
Disitulah saat tanggal 28 mei 2017 pukul 23.30 wib PMA di datangi oleh
beberapa anggota FPI dan korban di bawa ke dalam kantor RW003 untuk di minta

47
48

penjelasan dalam hal postingan tersebut maka di situlah terjadi pemukulan terhadap
korban yaitu PMA.
Maka dari peristiwa itu yang di mana pelaku AM dan MHS terjerat kasus
persekusi. Pasal yang di buktikan 80 ayat 1 jo pasal 76 C UU RI NO. 35 Tahun
2014 tentang perubahan atas UU RI NO. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.

C. Duduk Perkara No. 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkr.Tim)


Dalam sistem beracara pidana, yang dikedepankan saat ini adalah
adversary system yaitu sistem berhadapan atau biasa juga disebut accusatoir.
Sistem ini sebagai lawan dari inquisitoir yang mana terdakwa menjadi objek
pemeriksaan, sedangkan hakim dan penuntut umum berada di pihak yang sama.
Dengan mengedepankan sistem saling berhadapan, maka diandaikan ada pihak
terdakwa yang di belakangnya terdapat penasihat hukumnya, sedangkan di pihak
lain terdapat penuntut umum yang atas nama negara menuntut pidana. Hakim
berada di tengah pihak-pihak yang berperkara dan tidak memihak.40
Dalam putusan No. 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkr.Tim)41 menyebabkan bahwa
terdakwa ABDUL MUJIB dan MATUSIN telah melakukan tindak pidana persekusi
yang di mana hal ini melibatkan dua orang pelaku berawal di sebuah postingan
facebook yang di unggah oleh seorang bernama PMA mengunduh dalam akun
facebooknya penghinaan terhadap FPI dan habib Riziq hal tersebuh memicu
kemarahan di orang-orang atau anggora FPI di situlah saat tanggal 28 mei 2017
pukul 23.30 WIB.
PMA di datangi oleh beberapa anggota FPI yang di korban di bawa ke
dalam kantor RW 03 untuk di minta penjelasan dalam hal postingan tersebut maka
di situlah terjadi pemukulan terhadap korban yaitu PMA maka dari peristiwa itu
yang di mana pelaku AM dan MHS terjerat kasus persekusi.
Pasal yang di buktikan:

40
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015),
Cet. ke-2, hal. 64.
41
Salinan Putusan Nomor No. 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkr.Tim.
49

a. 80 ayat 1 jo pasal 76 C UU RI NO. 35Tahun 2014 tentang perubahan


atas UU RI NO. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
b. Menimbang para terdakwa diajukan ke persidangan oleh penuntut
umum dengan dakwaan sebagai berikut: Melanggar pasal 80 ayat
(1) Jo pasal 76 C Undang Undang RI No.35
c. Tahun 2014 Tentang perubahan. Atas Undang Undang RI No. 23
Tahun 2002 tentang perlindungan anak Melanggar pasal 170 ayat
(1) dan ayat (2) ke-1 KUHP
Mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini
berkenan memutuskan: Menyatakan terdakwa AM dan MHS terbukti secara sah
bersalah atas tindak pidana kekerasan terhadap anak melanggar pasal 80 Jo pasal
76 C UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak.
a. Menyatakan terdakwa AM dan MHS telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana” TURUT SERTA
MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ANAK.
b. Menjatuhkan pidana kepada AM dan MHS dengan pidana masing-
masing selama 1 (satu) tahun.
c. Menetapkan masa tahanan yangb telah di jalani oleh masing-masing
terdakwa di kurangi seluruhnya dari masing-masing lamanya pidana
yang di jatuhkan.
d. Menetapkan agar para terdakwa menetap berada dalam tahanan.
e. Menetapkan para terdakwa di bebani biaya perkara masing-masing
sebesar Rp.5000.-(lima ribu rupiah).
f. Barangbukti: 1 (satu) buahpeciwarnamerah;
1) 1 (satu) potong kemeja putih lengan Panjang;
2) 1 (satu) potong jaket loreng ARMY;
3) 1 (satu) potong celana Panjang warna hitam;
4) 1 (satu) kartu tanda anggota FPI jatinegara di sitadari Abdul
Mujib;
5) 1 (satu) potong jaket warna hitam merk adidas;
6) 1 (satu) potong kaos warna biru;
50

7) 1(satu) potong celana pendek warna biru merk adidas disita


dari Matusin, di kembalikan kepada terdakwa satu Abdul
Mujib dan terdakwa dua Matusin
8) 1 (satu) unit HP merk xiaomi note 3 warna krem di
kembalikan kepada saksi Fahrurozi
9) 1 (satu) buah Flashdisk mrek Sandisk 32 GB warna hitam
berisi rekaman youtube dengan judul “Remaja ini di
intimidasi sambal di pukuli pengikut FPI karena menghina
FPI dan Habib Rizieq” durasi 11.26 menit tetap terlampir
dalam berkas perkara;
Menimbang para terdakwa diajukan kepersidangan oleh penuntut umum
dengan dakwaan sebagaiberikut:
a. Melanggar pasal 80 ayat (1) Jo pasal 76 C Undang-Undang RI No.35
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI No. 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak.
b. Melanggar Pasal 170 ayat (1) dan ayat (2) ke-1 KUHP.

D. Analisis Dakwaan Putusan Umum


Penerapan pasal pada tindak pidana, sejatinya berkaitan erat dengan tahapan
penuntutan yang sebagaimana tertuang dalam Pasal 143 KUHAP yang menyatakan
bahwa untuk mengadili suatu perkara Penuntut Umum wajib mengajukan
permintaan disertai surat dakwaan.
Berkaitan dalam hal ini, Terdakwa Abdul Mujib dan Matusin di dakwa oleh
Jaksa Penuntut Umum dengan menggunakan Ketentuan KUHP tepatnya pada Pasal
80 ayat (1) Jo Pasal 76 C Undang- Undang No. No. 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan. Atas Undang-Undang RI. No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak. Dengan demikian, Penuntut Umum meyakini bahwa perbuatan dari
Terdakwa Abdul mujib dan matusin melakukan perbuatan turut serta melakukan
kekerasan terhadap anak di bawah umur.
Dalam putusan nomor Putusan No. 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkr.Tim) Tentang
tindak pidana kekerasan terhadap anak Terdakwa dihadapkan dengan dakwaan
51

yakni Pasal 80 ayat 1 jo Pasal 76c UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak juncto Pasal 170 KUHP unsur-unsurnya yaitu :
Pertama, Barang siapa maksud dari frasa barang siapa ialah siapa saja setiap
orang sebagai subyek hukum yang didakwa sebagai pelaku tindak pidana. Dalam
perkara ini, yang diajukan oleh penuntut umum adalah terdakwa bernama Abdul
Mujib dan Matusin dimana setelah majelis Hakim menanyakan identitas terdakwa
di persidangan ternyata cocokdengan identitas terdakwa dalam surat dakwaan
Penuntut Umum, karenanya unsur setiap orang telah terpenuhi.
Kedua, unsur dengan melakukan kekerasan terhadap anak di bawah umur
memukul sebanyak 3 (tiga) kali hal tersebut di benarkan oleh majlis hakim yang di
mana bukti tersebut ada pada rekaman yang berdurasi 11.26 menit.
Dengan demikian, berdasarkan pada pembahasan penulis di atas maka
dapat dilihat dan disimpulkan bahwa perbuatan terdakwa memang benar bersalah
dalam hal melakukan perbuatan tindak pidana turut serta melakukan pemukulan
kepada anak di bawah umur dan terbukti menurut hukum yang telah sesuai dengan
unsur delik. Penulis kemudian sependapat dengan tuntutan yang disampaikan oleh
Jaksa Penuntut Umum bahwa terdakwa melakukan tindak pidana kekerasan
terhadap anak di bawah umur.

E. Analisis Putusan Pengadilan Nomor 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkr.Tim


Majelis Hakim Pengadilan Negeri ini berpijak pada hukum formal
sekaligus materil. Dalam artian, aturan berupa Undang-Undang tersebut merupakan
produk dari badan legislatif bersama eksekutif, dan isi dari undang-undang tersebut
mengikat bagi pelaku tindak pidana apabila unsur-unsurnya terpenuhi. Pijakan
Mejelis Hakim dalam putusan Nomor No. 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkr.Tim) adalah
pasal Pasal 80 ayat 1 Jo Pasal 76C UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak Jo Pasal 170 KUHP. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Undang-undang ini mengatur anak mendapatkan hak, perlindungan, dan
keadilan atas apa yang menimpa mereka. UU Perlindungan Anak ini juga mengatur
tentang ancaman hukuman bagi siapapun yang melakukan kekerasan atau
52

penganiayaan terhadap anak. Tak tanggung-tanggung, ancaman hukumannya lima


tahun penjara dan denda Rp100 juta.
Pasal yang menjerat pelaku penganiayaan anak diatur khusus dalam Pasal
76 C UU 35 tahun 2014 yang berbunyi "Setiap Orang dilarang menempatkan,
membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan
kekerasan terhadap anak." Sementara, sanksi pidana bagi orang atau pelaku
kekerasan/peganiayaan yang melanggar pasal di atas ditentukan dalam Pasal 80 UU
35 tahun 2014 “Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6
(enam) bulan dan/atau denda paaling banyak Rp72 juta”
Untuk sampai kepada putusan, Majelis Hakim terlebih dahulu
mempertimbangkan antara fakta hukum dan unsur-unsur yang dilanggar oleh
pelaku. Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal ini antara lain
1. Unsur Barang siapa;
2. Unsur dengan kekerasan terhadap anak di bawah umur.;
3. Unsur melakukan perbuatan tindak pidana persekusi
Pertama, unsur Barang siapa disini ialah siapa saja setiap orang sebagai
subyek hukum yang didakwa sebagai pelaku tindak pidana, yang dalam hal ini
Abdul Mujib Dan Matusin yang setelah melalui pemeriksaan di tingkat penyidikan
dan pra penuntutan selanjutnya ia dihadapkan sebagai terdakwa dan ternyata
terdakwa mengakuinya bahwa identitas sebagaimana tersebut dalam surat dakwaan
adalah sebagai identitasnya, maka terdakwa yang diajukan dalam perkara ini adalah
Abdul Mujib Dan Matusin ialah sebagai manusia yang dapat mempertanggung
jawabkan perbuatannya. Dengan demikian, maka unsur “Barang siapa” telah
terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
Kedua, unsur dengan kekerasan memaksa seseorang. Berkaitand alam hal
ini, kekerasan adalah melakukan kekerasan yang mempergunakan tenaga atau
kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan
atau dengan senjata, menyepak, menendang dan bentuk kekerasan lainnya. Fakta
hukum yang kemudian terungkap dalam persidangan yakni berdasarkan keterangan
saksi-saksi dan keterangan Terdakwa sendiri serta barang bukti menyatakan bahwa
53

Terdakwa pada tanggal 26 mei 2017 sekitar pukul 08.00 WIB saksi korban Mario
Alvian Alexander memposting di akan fecebook miliknya.
Ketiga, unsur melakukan perbuatan persekusi perbuatan tindak pidana
persekusi segala bentuk tindak pidana main hakim sendiri yang di mana korban
adalah seorang anak yang masih di bawah umur yang di mana akibat dari postingan
nya di media social yang memancing kemarahan anggota FPI yang di mana korban
di intimidasi bahkan korban sampai di pukul beberapa kali dan di situ korban hanya
bisa terdiam saat dirinya merasa tertekan dengan beberapa orang yang
mengintimidasi nya karena itu, atas fakta tersebut jelas bahwa Terdakwa telah
melakukan perbuatan pindak pidana persekusi atau main hakin sendiri yang dimana
korban adalah seorang anak di bawah umur.
Namun meski penerapan hukum yang terdapat dalam kasus ini sudah tepat,
masih ada hal yang perlu di kritisi terkait dengan tujuan pemidanaan terhadap
terpidana yang dijatuhi pidana 1 tahun penjara. Hal ini dapat terlihat misalnya dari
putusan hakim yang kurang progresif dalam memandang kasus tentang persekusi.
Jika dikaji secara aspek psikologis terpidana terutama setelah melihat perbuatan
yang dilakukan oleh terpidana dalam putusan No. 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkr.Tim
menggambarkan bahwa terpidana telah melakukan tindakan kekerasan terhadap
anak di bawah umur.

Hal ini akan semakin problematis bilamana kemudian terpidana


dimasukkan kedalam penjara dengan tanpa pembinaan dan pendampingan
sebagaimana mestinya.yang disebabkan oleh minimnya lembaga pemasyarakatan
yang Amar putusan hakim dalam perkara ini hanya menyentuh pada persoalan
bahwa terpidana bersalah dan harus dihukum sesuai dengan perbuatannya, namun
tidak memperhatikan konsekuensi setelah penjatuhan vonis terhadap terpidana.
Padahal jika kita melakukan komparasi pada kasus serupa kita bisa melihat
berapa banyak terpidana yang melakukan Tindakan residivis gagal untuk
merehabilitasi pelaku pelanggar asusila, apalagi jika hukuman yang dijatuhkan
hanya mendekam di penjara tentu efektifitas pemidanaannya dipertanyakan.
Bahwasannya setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau
pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
54

perlindungan dari perlakuan:


A. Diskriminasi;
B. Eksploitasi, Ekonominys Maupun Seksual;
C. Penelantaran;
D. Kekejaman, Kekerasan, dan Penganiayaan;
E. Ketidakadilan; dan
F. Perlakuan Salah Lainnya.
Menurut yurisprudensi, yang dimaksud dengan kata penganiayaan yaitu
sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka.
Contoh “rasa sakit” tersebut misalnya diakibatkan mencubit, mendupak, memukul,
menempeleng, dan sebagainya. Pasal yang Menjerat Pelaku Penganiayaan Anak
Menjawab pertanyaan Anda, pasal tentang penganiayaan anak ini diatur khusus
dalam Pasal 76C UU 35/2014 yang berbunyi “Setiap Orang dilarang
menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta
melakukan Kekerasan terhadap Anak”. Sementara, sanksi bagi orang yang
melanggar pasal di atas (pelaku kekerasan/peganiayaan) ditentukan dalam Pasal 80
UU 35/2014:
1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh
dua juta rupiah).
2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Nomor
05 Tahun 2010 Tentang Panduan Pembentukan dan Pengembangan Pusat
Pelayanan Terpadu yang ditugaskan untuk mendampingi korban kekerasan seksual.
Amat sangat mubazir jika kemudian unit yang memiliki layanan komprehensif
seperti yang tertuang dalam pasal 6 yang menyebut bahwa Pembentukan dan
pengembangan PPT dilakukan dalam rangka memberikan layanan terpadu korban
kekerasan berupa:
55

a. Layanan pengaduan;
b. Layanan rehabilitasi kesehatan;
c. Layanan rehabilta sisosial;
d. Layanan bantuan hukum;
e. Pemulangan dan
f. Reintegrasisosial.
Pusat pelayanan terpadu ini sudah tersebar di berbagai daerah namun tidak
dilirik sebagai tempat pemulihan korban yang efektif. Penulis memahami bahwa
terdapat perbedaan yang jelas antara delik main hakim sendiri dengan melakukan
kekerasan dan delik turut serta, namun seharusnya terdapat persamaan perlakuan
terhadap kedua korban tindak pidana tersebut karena berkaitan dengan psikologi
korban dimana dampak yang ditimbulkan sama-sama membuat korban merasa
tertekan atas kejadian yang menimpanya dan membuat trauma yang
berkepanjangan terhadap kehidupan korban.
Sehingga solusi yang ditawarkan oleh penulis adalah sudah sepantasnya
bahwa seorang yang mengalami tindak kekerasan maka harus ditangani dengan
penanganan yang komprehensif untuk memberikan jaminan bahwa proses
pemidanaan dan tujuan pemidanaan itu sendiri tercapai.
Selanjutnya, pandangan penulis terdapat kekeliruan formil yang terdapat
dalam persidangan berkaitan dengan perkara ini, dimana sudah jelas bahw perkara
ini berkaitan dengan Tindakan kekerasan kesusilaan sehingga seharusnya
persidangan ini ialah tidak terbuka untuk umum dimana pemeriksaan semacam ini
yang korbannya anak usia di bawah umur seharusnya tertutup untuk umum
sehingga kehadiran peserta sidang harus dibatasi dan tidak terbuka untuk public.
Jika kita ingin secara konsekuen menerapkan prinsip hukum acara pidana
kita, maka seharusnya hakim merujuk Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi bahwa
“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan
menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau
terdakwanya anak-anak”
Tentunya kritik yang disampaikan penulis adalah hasil refleksi yang
56

bertujuan untuk memberika pandangan alternatif dalam khazanah hukum pidana


kita. Karena penulis dalam melakukan eksaminasi melihat dengan menggunakan
optik restorative justice yang sedang digandrungi dalam dunia pemidanaan dewasa
ini dimana Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan
yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan
bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri . Sehingga kritik yang ditawarkan
oleh penulis dalam hasil eksaminasi ini adalah semata-mata bertujuan untuk
membuat kondisi yang sama-sama diinginkan oleh pelaku dan korban yakni
mendapatkan perlakuan yang pantas sehingga hukum dalam hal ini dapat menjadi
obat yang tepat bagi persoalan yang mendera sebagaimana adagium hukum yang
berbunyi Lex Semper Debit Remedium. Demikian perspektif penulis dari segi
hukum positif.

F. Analisis Putusan Pengadilan Nomor 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkr.Tim


Dalam Hukum Islam
Mengenai perihal kronologis dan duduk perkara pada amar putusan pengadilan
Nomor 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Tim bahwa terdakwa sudah mengakui salah atas
segala perbuatannya. Jika merujuk kepada hukum Islam yakni bentuk perbuatan
yang dilakukan oleh terdakwa tidak secara ekplisit di atur, namun semakin
berkembangnya zaman, terjadi beberapa ijtihad dan pendapat para ulama untuk
menjawab tantangan zaman.
Persekusi dalam bahasan Arab diterjemahkan dengan kata idtihad(‫)هاد َطِ ضْإ‬
Masdar (kata benda). Diartikan sebagai [tindakan] melampaui batas [dalam]
kekuasaan dan perlakuan paksa, sewenang-wenang, melanggar prinsip-prinsip
konstitusional, terutama perlindungan Hak Asasi Manusia. Diartikan pula sebagai
َ ‫ )د َ ْض‬diartikan dengan
penindasan atau pemaksaan. Sementara memersekusi (َ ‫طه ِ ا‬
memperlakukan dengankasar; memaksa dan menganiaya; menyakiti.

Namun dalam hukum Islam penganiyaan tidak terlalu eksplisit diatur dalam
jenis hukumanya, hal ini disebabkan ta’zir bisa di terjemahkan bebas dalam islam.
Menurut Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam Al Sulthoniyah “ Ta’zir ialah
57

pengajaran terhadap pelaku dosa-dosa yang tidak di atur oleh hudud. Status
hukumnya berbeda-beda sesuai dengan keadaan dosa dan pelakunya”
Sementara menurut Ibrahim Anis dalam kamus Al’Mu’jam Al Wast “Ta’zir
ialah pengajaran yang tidak sampai pada ketentuan had syar’I seperti pengajaran
terhadap seseorang yang mencaci pihak lain tetapi bukan menuduh”. Selanjutnya
menurut Wahbah Al-Zuhaili dalam kitab Al Fiqh Al Islami wa Adillatuh.
Sanksi Ta’zir adalah hukuman-hukuman yang secara sya’ra tidak di
tegaskan mengenai ukurannya. Syariat islam menyerahkan kepada penguasa
Negara untuk menentukan sanksi terhadap pelaku tindak pidana yang sesuai dengan
kejahatannya.
1. Menurut golongan Malikiyah dan Hanabilah, ta'zir hukumnya wajib
sebagaimana hudud karena merupakan teguran yang disyariatkan untuk
menegakkan hak Allah dan seorang kepala negara atau kepala daerah tidak
boleh mengabaikannya.
2. Menurut mazhab Syafi'i, ta'zir hukumnya tidak wajib. Seorang kepala
negara atau kepala daerah boleh meninggalkannya jika hukum itu tidak
menyangkut hak adami.
3. Menurut mazhab Hanafiyah, ta'zir hukumnya wajib apabila berkaitan
dengan hak adami. Tidak ada pemberian maaf dari hakim karena hak hamba
tidak dapat digugurkan, kecuali oleh yang memiliki hak itu. Adapun jika
berkenaan dengan hak Allah, keputusannya terserah hakim. Jika hakim
berpendapat ada kebaikan dalam penegakannya maka ia melaksanakan.
keputusan itu. Akan tetapi, jika menurut hakim tidak ada maslahat maka
boleh meninggalkannya. Artinya, si pelaku mendapat ampunan dari hakim.
Sejalan dengan ini Ibnu Al-Hamam berpendapat, "Apa yang diwajibkan
kepada imam untuk menjalankan hukum ta'zir berkenaan dengan hak Allah
adalah kewajiban yang menjadi wewenangnya dan ia tidak boleh
meninggalkannya, kecuali tidak ada maslahat bagi pelaku kejahatan."
Ta'zir dilakukan untuk menegur atau memberikan pelajaran. Oleh karena tu,
keringanan dalam cambukan hanya terdapat pada jumlahnya, bukan neniadakannya
sama sekali. Penetapan sanksi ta'zir dilakukan melalui pengakuan, bukti, serta
58

pengetahuan hakim dan saksi. Kesaksian dari kaum perempuan bersama kaum laki-
laki dibolehkan, namun tidak diterima jika saksi dari kaum perempuan saja.
Selain imam atau hakim, orang yang berhak memberikan sanksi ta’zir kepada
pelanggar hukum syar'i adalah ayah atau ibu untuk mendidik anak, suami untuk
mendidik istrinya, atau guru untuk mendidik muridnya. Para pemberi sanksi itu
tidak boleh mengabaikan keselamatan jiwa si pelanggar hukum, kecuali imam atau
hakim.
Menurut Imam Al-Syafi'i dan Abu Hanifah, pemberian sanksi ta'zir selain
penguasa harus terikat dengan jaminan keselamatan. Karena mendidik dan
memberi peringatan bagi selain imam tidak boleh sama dengan apa yang dilakukan
oleh imam yang memang ditugaskan oleh syariat. Hal ini sebagaimana hadis dari
Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda "Imam (penguasa
pemerintahan) adalah perisai. Dari belakangnya, musuh-musuh diperangi. Jika
imam itu memerintah dengan takwa kepada Allah dan ia bertindak adil, maka
baginya pahala dan jika ia memerintah dengan selain takwa, maka baginya dosa
dari pemerintahannya." (HR. Muslim dalam kitab Al-Imarah).
Maka dari itu, segala sesuau yang dilakukan oleh jaksa penutut umum untuk
dikembalikan kembali kepada Negara segala bentuk putusan apa yang akan terjadi
adalah sudah sesuai dengan hukum islam, dikarenakan di dalam hukum islam tidak
secara eksplisit atau tidak secara mendetail bagi pelaku yang melakukan tindak
penganiyaan.
BABV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pertimbangan hakim dalam mengambil putusan No.
703/Pid.Sus/2017/PN.Jkr.Tim) adalah melihat dari sudut pandang
kronolgi, bukti yang di berikan ketika persidangan, dasar hukum yang
berlaku atau dasar hukum positif dan pengakuan bersalah dari terdakwa
bahwa terdakwa. Maka dari itu keputusan absolut/incraht merujuk dengan
kaidah teori yang di gunakan ialah terori tujuan (relative) yang bertujuan
untuk kebermanfaatan melindungi antar masyarakat menuju tujuan
keadilan bagi terdakwa dan korban.
2. Hukum Islam dan Hukum Positif dalam hal ini yakni persekusi memiliki
dua jalur yang sangat sejalan. Dalam hal ini bahwa Hukum Islam tidak
secara ekplisit memberikan penjelasan tentang hukuman bagi pelaku
persekusi oleh karena itu para ulama bersepakat untuk mengembalikan
para pelaku atau memberikan hukuman bagi pelaku persekusi kepada
negara sesuai aturan yang berlaku di setiap masing-masing negara.
Sementara hukum positif sudah mengatur seadil-adilnya dalam
penanganan hukuman bagi pelaku pidana pesekusi.

B. SARAN
1. Berprinsip bagi setiap penegak hukum berlaku adil, profesional, cepat, dan
bijak dalam menyelesaikan bahkan memutuskan setiap adanya perkara dan
jangan sampai merugikan dari salah satu belah pihak, terlebih lagi
kepolisian untuk aktif dan tanggap terhadap situasi dan kondisi sosial,
politik masyarakat, sehingga dapat mencegah terjadinya perbuatan yang
merugikan dan

59
60

meresahkan masyarakat.
2. Memasukan hukum Islam di negara Indonesia saat ini, mungkin
sudah saatnya diberlakukan, karena dengan hukum Islam yang
ditegakkan sedikit banyaknya dapat menimbulkan efek jera bagi
setiap pelaku tindak penganiaayan dan kekerasan, karena dalam
hukum positif banyak sekali orang yang salah mengartikan dalam
pengambilan hukumnya itu berdampak tidak memberikan efek jera
bagipelakunya.
3. Membagi infomasi dan anjuran kepada masyarakat khususnya
generasi- generasi yang muda agar bijak dan selektif dalam
menggunakan teknologi khususnya yang bersifat media sosial agar
dapat menyaring segalasesuatu
yang dishare agar tidak menimbulkan kebencian dan keresahan,
setidak ada seorang atau kelompok yang merasa tersinggung dan
tersakiti.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim
Hadist Rasulullah Saw

A. Buku dan Jurnal

Ahmad, Dzajuli, “Fiqih Jinayah”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.

Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqih, Jakarta : Prenada Media 2003.

Dr. H.M Nurul Irfan, M.Ag dan Masyrofah, S.Ag., M.Si., Fiqh Jinayah,

Jakarta:Amzah, 2015

Elsa Puji Juwita, Peran Media Sosial Terhadap Gaya Hidup Siswa. Jurnal
Sosietas, Vol. 5, 2015.

Fela Asmaya, Pengaruh Pengunaan Media Sosial Facebook Terhadap Perilaku


Prososial Remaja di Kenagarian Kota Bangun. Jurnal Fisip Vol. 2,
2015

M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah-Bumi Aksara, 2016.

Moeljato, Asas-asas Hukum Pidana. 2002. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Rineka


Cipta, Jakarta, 1983

P.A.F. Lamintang dan C.D. Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Jakarta:Sinar


Baru, 1983

61
62

Prof. Moeljatno.S,H Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),


Jakarta:Sinar Grafika, 2018

Lamintang, P.A.F dan Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, &

Kesehatan, Jakarta:Sinar Baru, 1983.

Santoso Topo, “Menggagas Hukum Pidana Islam”. Bandung: Asy Syamil Press
dan Grafika, 2003.
Sudikno Mertokusumo, “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”.Yoyakarta: Citra
Aditya Bakti,1993.

B. Perundang-Undangan
Peraturan Perundang-Undangan Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
UU No.18 Tahun, 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
UU No. 11 Tahun, 1946 Tentang Mengadakan Peraturan Dalam Biaya Materai
(“Zegel VerorDening”) 1921
UU No. 12 Thn 2012 Tentang Pendidikan Tinggi

C. Website
Kamus Hukum Online Indonesia, Istilah Persekusi,
https://kamushukum.web.id/search/persekusi diakses pada hari Selasa,
3 Agutus 2021, Pukul 20.10

Damar Juniarto, Penjelasan mengenai Persekusi,


https://www.merdeka.com/peristiwa/apa-itupersekusi-ini-
penjelasannya.html diakses pada hari Selasa, 3 Agutus 2021, Pukul
20.40 WIB.
63

Nafiysul Qodar, Remaja Korban Persekusi Cipinang Sempat di Pukuli di


Rumahnya. Diakses dari
http://news.liputan6.com/read/2975424/remaja-korban-persekusi-
cipinang-sempat-dipukuli-di-rumahnya pada tanggal 25 Februari 2018
jam 14.18

Yayasan Lembaga Bntuan Hukum, Artikel Diskusi,

http://www.Ylbhi.or.id/2017/07/artikel-diskusi-persekusi/. diakses 26

Juni2021 pada pukul 12.31 WIB

Anda mungkin juga menyukai