Oleh:
Abdul Mujib
Nim: 11140450000042
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Abdul Mujib
Nim: 11140450000042
Dosen Pembimbing:
atau merup*an jiplakan oralrg lain. ruaka sa1,a bersedia menedma sanksi
yang berlaku di Universitas Islarn Negeri Syarif Hidayanrllah Jakarta.
uI
tffi ;
ABSTRAK
Saat ini sering terjadi. Persekusi terjadi oleh seseorang atau kelompok
kepada kelompok yang berupa ancaman, penganiayaan dan kekerasan. Pelaku
melakukan persekusi dengan alasan korban telah menghina ulama dan menghina
agama. Namun dalam status hukum positif yang berada di Indonesia bahwa pelaku
persekusi dengan tegas mendapatkan hukuman yang telah di tetapkan tergantung
jenis dan sifatnya yang terjadi.
Hukum Islam bahwa tidak teratur secara ekplisit dalam menentukan batas
hukumannya bagi pelaku persekusi, maka dari itu dalam hukum Islam hukuman
bagi pelaku persekusi di kembalikan Kembali kepada pejabat negara yang
berwenang dalam menghakimi.
Dalam hasil penelitian ini adalah bagaimana konsep dan teori yang hakim
lakukan dalam mengambil keputsusan tersebut dan bagaimana status dalam hukum
positif dan Islam dalam menanggapi perihal persekusi.
iv
KATA PENGANTAR
ِالرِح ِيم
َّ ِالر ْْحَن
َّ بِ ْس ِمالل ِه
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Junjungan kita semua Nabi
Muhammad SAW yang mengantarkan manusia dari kegelapan ke zaman yang
terang benderang. Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat-syarat
untuk bisa mencapai gelar Sarjana Hukum di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari mengenai penulisan ini tidak bisa terselesaikan tanpa pihak-
pihak yang mendukung baik secara moril dan juga materil. Maka, penulis
menyampaikan banyak-banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu
penulis dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada:
1. Kedua orang tua, Ayahanda tersayang Zaenal Abidin dan Ibunda tercinta
Saidah yang memberikan dukungan moril dan materil serta doa yang
dipanjatkan kepada Allah SWT untuk penulis.
2. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bapak Dr. Ahmad Tholabi, M.A, Selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum.
4. Bapak Qosim Arshadani, M.A, selaku Kepala Program Studi Hukum Pidana
Islam (HPI) yang selalu memberikan dukungan dan motivasi untuk
penyusunan skripsi ini.
5. Bapak Muhammad Mujibur Rahman, M.A, selaku sekretaris Program Studi
Hukum Pidana Islam (HPI) yang selalu memberikan dukungan dan motivasi
untuk penyusunan skripsi ini.
6. Bapak Alfitrah, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktunya, kesabaran dan keikhlasannya telah membimbing,
memberikan saran masukan serta mengarahkan penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
v
7. Segenap Bapak/Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, khususnya
Program Studi Hukum Pidana Islam (HPI) yang dengan ketulusan dan
kesabaran telah berbagi ilmu pengetahuan serta pengalaman yang berharga
kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.
8. Pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah yang telah rela bersedia memberikan
layanan dengan baik dan tersedianya buku-buku yang penulis butuhkan
dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Syariah
dan Hukum Cabang Ciputat. Kanda, Yunda dan Adinda tanpa mengurangi
rasa hormat penulis, mohon maaf tidak menyebutkan satu persatu. Saya
bangga berada di lingkungan ini.
10. Juga seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi pembaca serta menjadi amal baik disisi Allah SWT.
Sekian dan terimakasih.
Abdul Muijb
vi
DAFTAR ISI
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ..................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................................. iii
ABSTRAK ........................................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... v
DAFTAR ISI.................................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................1
A. Latar Belakang .......................................................................................................1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ..............................................................................9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...............................................................................9
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .....................................................................9
E. KerangkaTeori .....................................................................................................10
F. Metode Penelitian ................................................................................................13
G. Sistematika Penulisan ...........................................................................................14
BAB II TINJAUAN UMUM PEMIDANAAN PELAKU PERSEKUSI..........................16
A. Teori Pemidanaan dalam Hukum Positif ..............................................................16
B. Macam-macam Tindak Pidana dan Hukumannya................................................25
C. Tujuan Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana ..........................................28
D. Teori Pemidanaan dalam Hukum Pidana Islam ....................................................29
BAB IIIPERSEKUSI DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM ..................36
A. Pengertian Persekusi ............................................................................................36
B. Implikasi Dari Persekusi ......................................................................................38
C. Presekusi Dalam Hukum Positif di Indonesia ......................................................41
D. Persekusi dalam Hukum Islam ................................................................................44
BAB IV ANALISA PUTUSAN NOMOR: 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Tim ......................47
A. Kronologi Kasus...................................................................................................47
B. Posisi Kasus .........................................................................................................47
C. Duduk Perkara No. 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkr.Tim) .............................................48
D. Analisis Dakwaan Putusan Umum .......................................................................50
E. Analisis Putusan Pengadilan Nomor 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkr.Tim ....................51
F. Analisis Putusan Pengadilan Nomor 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkr.Tim Dalam Hukum
Islam ............................................................................................................................56
BABV PENUTUP ..........................................................................................................59
A. Kesimpulan ..........................................................................................................59
B. SARAN ................................................................................................................59
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................61
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Hukum positif yang berlaku di Indonesia kasus persekusi ini
merupakan kejahatan yang sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan manusia, sejak awal mula peradaban manusia telah terjadi banyak
sekali tindak kejahatan mulai dari kejahatan yang belum diidentifikasi secara
hukum sampai pada akhirnya umat manusia mengenal kejahatan sebagai
sesuatu yang dapat diklasifikasi berdasarkan berbagai macam aspek, seperti
skala kecil dan besarnya kejahatan, jumlah korban, kerusakan yang diakibatkan,
dan hal-hal lainnya. Kejahatan pada dasarnya dimungkinkan terjadi karena pada
hakekatnya manusia selalu berinteraksi, di dalam masyarakat manusia selalu
berhubungan satu sama lain. Kehidupan bersama itu menyebabkan adanya
interaksi, kontak atau hubungan satu sama lain. Kontak dapat berarti hubungan
yang menyenangkan atau menimbulkan pertentangan atau konflik.
Dalam hukum pidana islam para fuqaha membedakan penyertaan ini dalam
dua bagian yaitu; turit berbuat langsung (istirak-mubasyir), orang yang
melakukan nya disebut syarik-mubasyar dan turut berbuat tidak langsung
(istirak-ghairu mubasyar / istirak bit-tasabbubi), orang yang melakuakknya
disebut syarik mutasabbih. Perbedaan antara kedua pelaku tersebut ialah jika
orang pertama menjadi kawan nyata dalam pelaksanaan tindak pidana,
sedangkan orang kedua menjadi sebab adanya tindak pidana, baik karena
perjanjian atau menyuruh, menghasut, memberi bantuan, tetap tidak ikut serta
secara nya dalam melaksanakannya.
Menurut ulama perbuatan persekusi termasuk dalam katagori jarimah,
dilakukan oleh satu orang dan adakalanya dilakukan lebih dari satu orang.
2
1
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam( Bandung: Asy Syamil Press dan
Grafika, Desember, 2000), h., 152.
2
A. Dzajuli, Fiqih Jinayah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997, Cet. Kedua), h., 17.
3
Kasus lainnya menimpa seorang wanita asal Australia (Magi) yang sempat
dihukum dan dideportasi dari Abu Dhabi, Uni Emirat, tanpa sempat membela
diri. Ia dituding menulis sesuatu yang buruk di media sosial tentang kebiasaan
parkir masyarakat setempat dengan meng- upload foto-foto. Persoalannya
adalah ia menggunakan kata “King Nobness” yang merujuk pada kaum kaya di
Arab yang dianggap sebagai sebuah sinisme dan kalimat yang dianggap buruk
di sana. Akhirnya sang pemilik mobil mengadukan Magi ke polisi dan
kemudian ia ditangkap dan diadili secara in absentia, dihukum penjara,
kemudian dideportasi.
Di Indonesia kasus ujaran kebencian di media sosial mencapai puncaknya
pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta. Dua kubu pendukung
calon kepala daerah berseteru, saling hujat dan saling menjatuhkan, bahkan tak
jarang dalam perseteruan itu lahir ujaran kebencian yang menghina etnis
tertentu, menghujat tokoh agama tertentu, menghina pejabat pemerintah,
hingga aparat kepolisian. Meskipun Pilkada DKI Jakarta telah selesai dan
melahirkan kepala daerah terpilih, kedua pendukung masih saling berseteru.
Bahkan ormas keagamaan tertentu yang bukan merupakan tim sukses salah
satu kepala daerah DKI juga terlibat dalam kontestasi ujaran kebencian itu.
Puncak dari keterlibatan ormas keagamaan itu adalah ketika anggotanya
melakukan intimidasi kekerasan kepada orang yang dipandang menghina
agama, ulama, atau pemimpin ormas. Kasus itu kemudian dipandang oleh
aparat kepolisian sebagai upaya persekusi. Secara bahasa persekusi adalah
perbuatan sewenang-wenang terhadap seseorang.
Sebelum adanya konsep negara, kejahatan hanya dipandang sebagai suatu
tindak pidana yang terjadi antara subjek hukum manusia saja. Hal ini berubah
total dengan munculnya konsep kedaulatan negara dan hukum . Dengan
lahirnya konsep negara yang berdaulat maka dunia mulai mengenal adanya
konsep masyarakat dan juga hukum. Hukum lazimnya mengatur hak-hak dan
kewajiban dari warganya, sedangkan hukum pidana yang mengatur tentang
tindak-tindak kejahatan, secara paradigma berkaitan dengan berbagai larangan-
larangan yang ditujukan kepada individu, pelanggaran kepada hukum pidana
4
ini akan berujung pada sanksi dari Negara.Interaksi sosial merupakan sebuah
syarat terjadinya aktivitas sosial. Dalam melakukan interaksi terdapat syarat-
syarat yang harus dipenuhi yaitu kontak sosial dan komunikasi sosial. Seiring
dengan perkembangan zaman, kebutuhan manusia akan tekhnologi komunikasi
dan informasi yang berkembang paling pesat adalah internet. Seperti kita
ketahui, sekarang internet adalah sudah menjadi kebutuhan utama manusia
dalam kehidupan sehari-hari.3
Teknologi Informasi di era globalisasi sangat berkembang pesat di dalam
kehidupan masyarakat. Penggunaan fasilitas komunikasi yang semakin canggih
memberikan peluang bagi setiap individu untuk mengakses informasi sesuai
keinginan serta dapat berkomunikasi dengan mudah tanpa memikirkan waktu.
Perkembangan teknologi yang semakin canggih memberikan suatu
perubahan besar dalam komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat di era
modern. Memasuki era globalisasi, remaja merupakan kalangan yang sering
menggunakan media internet khusunya media sosial sebagai sarana untuk
mencari informasi, hiburan maupun berkomunikasi dengan teman di situs jaring
sosial.4
Pesatnya perkembangan media sosial juga dikarenakan semua orang seperti
bisa memiliki media sendiri. Jika untuk media tradisional seperti televisi, radio,
atau koran dibutuhkan modal yang besar dan tenaga kerja yang banyak, maka
lain halnya dengan media sosial. Para pengguna media sosial bisa mengakses
menggunakan jaringan internet tanpa biaya yang besar dan dapat dilakukan
sendiri dengan mudah. Media sosial terbesar yang paling sering digunakan oleh
kalangan remaja antara lain; Facebook, Twitter, Path, Youtube, Instagram,
Kaskus, LINE, Whatsapp, Blackberry Messenger. Masing-masing media sosial
tersebut mempunyai keunggulan khusus dalam menarik banyak pengguna
media sosial yang mereka miliki.
3
Fela Asmaya, “Pengaruh Pengunaan Media Sosial Facebook Terhadap Perilaku
Prososial Remaja di Kenagarian Kota Bangun”,Jurnal Fisip, Vol. 2 No.2 2015, hal., 2.
4
Elsa Puji Juwita, “Peran Media Sosial Terhadap Gaya Hidup Siswa”, Jurnal Sosietas,
Vol. 5 No. 1, hal., 1.
5
Dalam kasus persekusi, Polisi terus mengusut kasus tersebut yang menimpa
remaja berinisial PMA di Cipinang Muara, Jakarta Timur pada Minggu 28 Mei
2017. Saat ini, polisi telah menetapkan dua tersangka yang terbukti memukul
korban saat diinterogasi di pos RW setempat. amun, rupanya PMA tidak hanya
mengalami kekerasan fisik saat diinterogasi di pos RW tersebut. Remaja
berusia 15 tahun itu juga sempat dipukuli oleh sekelompok orang saat pertama
kali dijemput paksa dari rumahnya.Persekusi terhadap PMA terjadi pada 28
Mei 2017. Aksi ini diduga dipicu perbuatan PMA yang dianggap telah
menghina Front Pembela Islam (FPI) dan pemimpinnya, Rizieq Shihab, melalui
media sosial.Pada video yang viral di media sosial, PMA dikerumuni sejumlah
orang diduga simpatisan FPI. Dia diinterogasi mengenai maksud unggahan di
akun Facebook miliknya.Namun, peristiwa itu juga diwarnai aksi kekerasan
oleh massa terhadap PMA. Terlihat beberapa kali PMA dipukul kepalanya dan
ditampar mukanya. Terakhir ia disuruh membuat surat pernyataan permohonan
maaf.Sejauh ini, polisi telah menetapkan dua orang tersangka, yakni AM (22)
dan M (57). Keduanya dijerat dengan Pasal 80 ayat 1 jo Pasal 76c UU Nomor
35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 170 KUHP.5
Akibat aksi persekusi ini, muncul berbagai koalisi di masyarakat yang
meminta polisi bertindak dan mengamankan pelaku persekusi karena dinilai
meresahkan dan sudah tidak sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku.
Persekusi terjadi akibat kebebasan berpendapat yang keblabasan di media
sosial. Orang dengan bebas dan seenaknya menghina ulama atau tokoh lain.
Disisi lain, pihak yang merasa menjadi korban penghinaan tidak percaya
kepada aparat penegak hukum yang selama ini cenderung dan terkesan pro
Ahoker. Jadi bisa dikatakan, maraknya persekusi akibat krisis kepercayaan
kepada penegak hukum, dan tidak beretikanya penggunaan media sosial yang
melakukan penghinaan dan pelecehan terhadap orang lain. Bagaimanapun,
selalu ada pemicu munculnya sebuah tindakan, termasuk persekusi. Pelaku
5
Nafiysul Qodar, Remaja Korban Persekusi Cipinang Sempat di Pukuli di Rumahnya.
Diakses dari http://news.liputan6.com/read/2975424/remaja-korban-persekusi-cipinang-sempat-
dipukuli-di-rumahnyapada tanggal 25 Februari 2018 jam 14.18
8
persekusi sudah muak terhadap fenomena pengguna media sosial yang suka
menghina dan melecehkan dalam statusnya.6
Dari kejadian tersebut, polisi mengamankan pelaku persekusi dan korban
persekusi. Setelah terbukti bersalah, dan polisi mempunyai alat bukti yang sah,
ahirnya pelaku persekusi di tangkap dan dijadikan sebaai tersangka. Setelah
berkas lengkap, berkas dilimpahkan ke kejaksaan dan seterusnya berkas sudah
P21 dan disidangkan di Pengadilan Cipinang Jakarta Timur.
Setelah melewati berbagai sidang dan pembuktian, 2 pelaku persekusi di
vonis bersalah oleh hakim dan di hukum 1 tahun pernjara. Akan tetapi putusan
tersebut membuat keluarga dari pelaku persekusi geram. Karena kasus tersebut
terbilang kasus kecil, hanya Cuma menabok mukanya tetapi di hukum 1 tahun
lamanya. Sementara korban persekusi itu bebas tanpa di proses hukum, padahal
yang memancing ini semua berawal dari ujaran kebencian yaitu psotingan
hinaan dari anak itu di media sosial miliknya. Apakah keadilan hanya berpihak
atau keadilan itu hanya sebuah teori saja ?
Atas putusan tersebut, kita mempertanyakan dasar pertimbangan hakim
sehingga memutus vonis sampai satu tahun penjara. Mengapa tidak di bebaskan
saja atau di hukum lebih singkat karena kasus tersebut terbilang kasus kecil
yang hanya di besar-besarkan oleh media karena pas saat momen pilkada DKI
jakarta 2017.
Berdasarkan kasus diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang
berjudul Sanksi Pidan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Persekusi (Analisis
Putusan No. 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkr.Tim). Dalam pelaksanaan penegakan
hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak identik dengan
keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat
menyamaratakan. Setiap orang yang berbuat kejahatan Sebaliknya keadilan
bersifat subjektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.7
6
Di akses dari http://www.komunikasipraktis.com/2017/06/pengertian-persekusi.html
pada tanggal 25 Februari 2018 jam 14.18
7
Sudikno Mertokusumo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, (Yoyakarta: Citra Aditya
Bakti, 1993), hal., 2.
9
E. KerangkaTeori
Kerangka teori dimaksudkan untuk memberi gambaran atau batasa- batasan
tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan penelitian yang akan
dilakukan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, teori adalah pendapat yang
dikemukakan sebagai suatu keterangan mengenai suatu peristiwa kejadian dan
asas-asas, hukum-hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu
pengetahuan serta pendapat cara-cara dan aturan- aturan untuk melakukan sesuatu.
Menurut Effendy, teori berguna menjadi titik tolak landasan berpikir dalam
memecahkan atau menyoroti masalah. Fungsi teori sendiri adalah untuk
menerangkan, meramalkan, memprediksi, dan menemukan fakta-fakta yang ada
secarasistematis.21
Analisis Penelitian dalam skripsi ini dapat direalisasikan dengan rinci dan
11
pemidanaan terletak pada kejahatan dan tujuan dari pidana itu sendiri.Berdasarkan
hal tersebut, maka dalam teori gabungan tidak saja hanya mempertimbangkan masa
lalu (seperti dalam teori pembalasan), tetapi juga harus bersamaan
mempertimbangkan masa datang (seperti yang dimaksudkan pada teori tujuan).
Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan kepuasan, baik bagi
penjahat maupun bagimasyarakat.
F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif yaitu penelitian
yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder
seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum,
dan dapat berupa pendapat para sarjana. Penelitian jenis normatif ini
menggunakan analisis kualitatif yakni dengan menjelaskan data-data yang
ada dengan kata-kata atau pernyataan bukan dengan angka-angka.
2. Pendekatan penelitian
Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan research library.
3. Sumber data
Jenis data yang dipakai dalam penelitian normatif ini adalah data
sekunder yang di bagi menjadi:
a. Bahan hukum primer
Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan
diantaranya adalah KUHP, KUHAP, Al-Qur’an.
b. Bahan hukum sekunder
Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang di gunakan adalah
buku-buku hukum, jurnal hukum, artikel dan tulisan yang berkaitan
tentang tindak pidana pengoplosan gas.
4. Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu
metode kepustakaan. Data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitan
14
G. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, batasan dan
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review kajian
terdahulu, kerangka teori metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II Tinjaun Umum Pemidanaan Pelaku Persekusi
Tinjauan Umum tentang tindak pidana persekusi. Dalam bab ini
penulis membahas tentang teori pemidanaan dalam hukum
positif, jenis tindak pidana, tujuan pemidanaan terhadap pelaku
tindak pidana dan teori pemidanaan dalam hukum pidana Islam
BAB III Persekusi Dalam Hukum Positif Dan Hukum Islam
Dalam bab ini merupakan uraian tentang pengertian persekusi,
implikasi dari persekusi, persekusi dalam hukum di Indonesia
dan persekusi menurut hukum Islam
BAB IV Analisis Putusan No. 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Tim.
Dalam Bab ini merupakan hasil dari kronologi kasus, posisi
kasus, duduk perkara no. 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Tim, analisis
dakwaan putusan umum, analisis putusan pengadilan No.
15
8
Moeljato, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), h. 54
16
17
9
Moeljato, Asas-asas Hukum Pidana, hal. 54
18
oleh sebab perbuatan itu dapat dipidana, dimana perbuatan pidana itu
mempunyai 2 bagian:
1) Bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau sikap yang
bertentangan hukum pidana positif, sehingga bersifat melawan
hukum yang menyebabkan tuntutan hukum dengan ancaman
pidana ataspelanggarannya.
2) Bagian subjektif merupakan kesalahan yang menunjuk kepada
pelaku untuk dipertanggungjawabkan menuruthukum.
c. Hazewinkel-Suringa dalam bukunya membagi hukum pidana dalam arti
objektif (ius poenale) yang meliputi:
1) Perintah dan larangan yang pelanggarannya diancam dengan
sanksi pidana oleh badan yang berhak. Ketentuan-ketentuan
yang mengatur upaya yang dapat digunakan, apabila norma
itu dilanggar, yang dinamakan Hukumpanitensier.
2) Subjektif (ius puniendi) yaitu hak negara menurut hukum
untuk menuntut pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan
serta melaksanakanpidana.
d. Algra Janssen, mengatakan bahwa hukum pidana adalah alat yang
dipergunakan oleh seorang penguasa (hakim) untuk memperingati
mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dibenarkan,
reaksi dari penguasa tersebut mencabut kembali sebagian dari
perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa,
kebebasan dan harta kekayaannya, yaitu seandainya ia telah tidak
melakukan suatu tindak pidana.
e. Moeljatno, mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian daripada
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan
dasar dasar dan aturanuntuk:10
1) Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana
10
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, (Jakarta: RAJA Grafindo Persada, 2007),
hal. 67
19
11
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2014), hal. 47-49.
20
k. Simons, delik adalah suatu tindakan yang melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seorang yang
dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannnya dan undang-undang
telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang
dapatdihukum.
Dengan demikian pengertian sederhana dari tindak pidana adalah
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut.
12
Rahman Syamsudin, Ismail Arif, Merajut Hukum di Indonesia, (Jakarta: Mitra
Wacana Media, 2014), hal.193-195.
24
evantualis).
6. Ruang Lingkup Hukum Pidana
Berdasarkan Pengertian hukum pidana diatas, maka ruang lingkup
hukum pidana dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
A. Ius Poenale (hukum pidanamateril)
Hukum Pidana (Ius Poenale) merupakan sejumlah peraturan yang
mengandung perumusan peristiwa pidana serta ancaman hukumannya,
yang dikenal dengan Hukuman pidana substantif (hukum pidana materil),
yaitu aturan hukum mengenal yang diancam dengan hukuman pidana,
mengenai hal-hal: apa, siapa dan bagaimana sesuatu hukuman dapat
dijatuhkan, yang dimuat dalam KUHP dan peraturan- peraturan pidana
lainnya diluar KUHP.
B. Ius Poeniendi (hak memidana/hukum pidana formil)
Aturan hukum mengenai hak Negara untuk menghukum seorang yang
melakukan sesuatu persitiwa pidana, ketentuan hukum yang menyangkut
cara proses pelaksanaan penguasa menindak warga yang didakwa dan
pertanggung jawaban atas sesuatu delik yang dilakukannya. Ini
merupakan realisasi hukum pidana substantive materil, yaitu hukum acara
pidana yang dimuat dalam KUHAP (UU No.8 tahun 1981) dan ketentuan-
ketentuan hukum acara pidana lainnya, yang khusus terdapat di luar
KUHAP. Hak-hak Negara tersebut meliputi:
a. Hak untuk mengancam hukuman.
b. Hak untuk menjatuhkan hukuman.
c. Hak untuk melaksanakan hukuman.
Dan segi lain, maka hukum pidana substantif atau hukum pidana
materil dapat dianggap sebagai hukum sanksi, Kata sanksi (Belanda)
merupakan penegasan yang bersifat positif berupa anugerah, hadiah
maupun negatif berupa hukuman, termasuk hukuman pidana. Ilmu hukum
dapat dipandang dari 2 sudut:
1. Bilamana dipandang dari sudut delict, maka ia merupakan
delictenrecht (hukum tentangdelik).
25
13
Ibid.
14
Kertonegoro, Pengupahan Teori, Hukum, Manajemen Sentanoe, (Jakarta: Yayasan Tenaga
Kerja Indonesia, 2001), hal. 62.
15
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992), hal. 130
26
16
Teguh Prastyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), cet. 3, hal. 41.
17
Teguh Prastyo dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana (Harian Baru Pasca Reformasi), (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2011, cet.1 hal. 33.
18
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), cet. 7, hal. 71
19
Jur. Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet 2,
hal.54.
20
Himan Hadi Kusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 19920, hal. 118.
P.A.F. Laminating dan Theo Laminating, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), hal. 54. Untuk batasan minimum dan maksimum pidana menurut pasal 12 KUHP Pidana
penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu (ayat 1), Pidana penjara selama waktu
tertentu paling pendek satunhari dan paling lama lima belas tahun bertuut berturut.
27
membayar dengan uang atau juga dapat diartikan dengan uang yang harus
dibayar sebagai hukuman karena melanggar berupa harus membayar
dengan uang atau dapat juga diartikan dengan uang yang harus dibayarkan
sebagai hukuman karena melanggar hukum.21 Sedangkan dalam bahasa
Belanda hukuman denda berasal dari kata vermogenstraf yang berarti
hukuman kekayaan.22
e. Pidana Tutupan (ditambah UUNo. 20/1946). Pidana ini adalah salah satu
pidana yang menghilangkan kemerdekaan namun lebih berat dari pada
hukuman denda hukuman ini biasanya diberikan kepada orang- orang yang
mempunyai kedudukan tinggi di Indonesia yang melakukan kejahatan dan
telah berjasa kepada Negara.23
f. Pidana Tambahan, meliputi:
1) Pencabutan Hak-hak Tertentu. Pencabutan hak-hak tertentu bersifat
sementara, berkisar antara 2-5 tahun lebih lama dari pada pidana pokok.
Kecuali jika dijatuhi pidana mati atau penjara seumur hidup, maka
lamanya pidana pencabutan hak adalah seumur hidup.24
2) Perampasan Barang-Barang Tertentu. Pidana ini bertujuan untu
mencegah pengurangan atau pengggantian dari barang-barang hasil
kejahatan. Barang-barang yang boleh dirampas ialah corpora delicta
(barang-barang milik si terpidana yang diperoleh sebagai hasil dari
kejahatan) dan instrumenta delicta (barang-barang milik terpidana
yang digunakan untuk melakukan kejahatan).25
(1) Pengumuman Putusan Hakim,26Hukuman tambahan ini
dimaksudkan untuk mengumumkan kepada khalayak ramai agar
21
Hak pistol ialah hak atau kesempatan para terpidana kurungan untuk mengurus makanan
dan alat tidur sendiri.
22
Hilman Hadi Kusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni,1992), hal. 119Andi
Hamzah, Asas-asas hukum Pidana, (Jakarta: PT. Pradya Paramita, 1997), hal.191.
22
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: BPK
Gunung Muria,1996),hal. 142
24
Laden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
hal.144
25
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.10
26
Laden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
hal.112-113.
28
2. Pencegahan (Deterrence)
27
Teguh Prastyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), cet.3, hal.98. Lihat juga
Pasal 44 ayat 2 dan Pasal 45 KUHP
28
Ibid, h. 74-74. Zainal Abidin, Pemidanaan, Pidana dan TindakandalamRancangan KUHP,
hal. 11.
29
8. Kapasitas/pelemahan(. Incapacitation)
Paradigma inkapasitasi dapat diartikan sebagai upaya untuk
menurunkan atau menghilangkan kemampuan seseorang untuk
melakukan kejahatannya. Penjaran telah memisahkan pelaku
darimasyarakat, untuk melakukan menghapus atau mengurangi
kemampuan mereka kejahatan terntentu.
9. Restoration
Pendekatan keadilan restoratif mengakui bahwa kebutuhan korban
sering diabaikan dalam sistem peradilan pidana. Pendekatan ini juga di
rancang untuk mendorong pelaku untukmengembangkan rasa tanggung
jawab individu dan menjadi anggota masyarakat yang bertanggung
jawab.
b.Qishash
Secara bahasa qishas berasal dari kata قص – يقص – قصاصyang berarti
(mengikuti), menelusuri jejak langkah. Sedangkan menurut istilah yang ditemukan
oleh Al-jurjani yaitu mengenakan sebuah tindakan (sanksi hukum) kepada pelaku
persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut (terhadap korban).49
Dalam fiqh jinayah, sanksi qishash ada dua macam, yaitu sebagai berikut:
Salah satu hal yang membedakan hukum pidana Islam dan hukum pidana
sekular adalah adanya dimensi-dimensi ukhrawi dalam hukum pidana Islam. Ketika
manusia melakukan kejahatan, ia tidak hanya dibebankan pertanggungjwaban/
hukuman di dunia saja, tetapi juga pertanggungjawaban/ hukuman di
akhirat.Penjatuhan hukumandi dunia ini menurut fukoha, adalah salah satu
fungsi untukmengugurkan dosa-dosa yang telah dilakukannya.
1. Persekusi Menurut Pidana Islam
Persekusi dalam bahasan Arab diterjemahkan dengan kata idtihad()هاد َطِ ضْإ
Masdar (kata benda). Diartikan sebagai [tindakan] melampaui batas [dalam]
kekuasaan dan perlakuan paksa, sewenang-wenang, melanggar prinsip-prinsip
konstitusional, terutama perlindungan Hak Asasi Manusia. Diartikan pula
َ )د َ ْض
sebagai penindasan atau pemaksaan. Sementara memersekusi (َ طه ِ ا
diartikan dengan memperlakukan dengankasar; memaksa dan menganiaya;
menyakiti. Definisi pertama tampaknya mengadopsi dari konsep persekusi
sebagai sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan menurut hukum internasional.
Jika demikian, term idthihad sebagai salah satu bentuk tindak pidana (jarimah)
merupakan term baru dan tidak dikenal dalam fiqh jinayah. Sejauh ini, dari
penelusuran penulis terhadap sumber-sumber berbahasa Arab tidak ditemukan
satupun tulisan yang menjelaskan idthihadddalam konteks fiqh jinayah atau
hukum pidana islam. Idthihaddselalu dijelaskan dalam konteks hukum
internasional tentang kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia.Dengan demikian persekusi yang
diartikan dengan idthihaddbukanlah tindak pidana biasa. Ia adalah tindak
pidana luar biasa yang memerlukan kajian mendalam. Meskipun dalam batas
tertentu bisa dijelaskan dengan pendekatan jarimah al-baghy (pemberontakan).
Ini jika konteksnya konflik internal, dalam negeri. Lain hal jika konteksnya
antar negara. Oleh karena itu pembahasan selanjutnya akan dibatasi pada bahwa
persekusi atau idthihadddi sini dalam pengertian tindakan main hakim sendiri
(eigenrechting) yang di dalamnya bisa mencakup berbagai macam tindak
pidana biasa. Tergantung perbuatan apa saja yang telah dilakukan pelaku.
Dalam fiqh jinayah tindak pidana disebut jarimah. Menurut Imam Al Mawardi,
35
jarimah ialah perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh allah
dengan hukuman hadddan ta’zir. Dalam terminologi hukum pidana di
Indonesia jarimah sama dengan tindak pidana atau delik. Mayoritas ulama
kemudian membagi jarimah ke dalam 3 kategori. Ketiga kategori itu ialah: (1)
Jarimah hudud, (2) Jarimah qisas/ diat, (3) Jarimah ta’zir. Pembagian ini paling
moderat dan banyak dianut meskipun ada sebagian kecil ulama membaginya
menjadi 2 saja menjadi hanya jarimah hudud dan ta’zir saja29
29
file:///C:/Users/ACER/Downloads/437-Article%20Text-1659-1-10-20191026%20(1).pdf di
akses pada tgl 26 juni 2021 pukul 13:42 wibdalamjudulartikelpersekusidalamtinjauanfiqihjinayah
hanif azhar
BAB III
A. Pengertian Persekusi
Peristiwa persekusi di Indonesia sudah semakin marak terjadi dan
hampir setiap tahun adanya peristiwa persekusi di Indonesia, khususnya di
Kota Tangerang. Persekusi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah:30
30
Kamus Hukum Online Indonesia, Istilah Persekusi, https://kamushukum.web.id/search/persekusi
diakses pada hari Selasa, 3 Agutus 2021, Pukul 20.10 WIB, hal. 2
36
37
pihak secara sewenangwenang dan sistematis juga luas, jadi beda dengan
main hakim sendiri”.31
31
Damar Juniarto, Penjelasan mengenai Persekusi, https://www.merdeka.com/peristiwa/apa-
itupersekusi-ini-penjelasannya.html diakses pada hari Selasa, 3 Agutus 2021, Pukul 20.40 WIB,
hal. 1
32
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1983,
hlm.41.
39
33
Yayasan Lembaga Bntuan Hukum, Artikel Diskusi, http://www.Ylbhi.or.id/2017/07/artikel-
diskusi-persekusi/. diakses 26 juni2021 pada pukul 12.31.
42
34
P.A.F. Lamintang dan C.D. Samosir, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:Sinar Baru,
1983), Hal. 82
35
Lamintang, P.A.F dan Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, &
Kesehatan, (Jakarta:Sinar Baru, 1983), Hal. 132
43
36
P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, Kejahatan Melannggar Norma Kesusilaan Norna
Kepatutan, (Jakarta:Sinar Baru, 2009), Hal 55
44
Hal ini sesuai dengan hadist nabi yang di riwayatkan oleh Abu
Dawud Al-Tirmidzi, Al-Nasa'i, dan Baihaqi. Dishahihkan oleh Hakim
37
Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta : Prenada Media 2003 ), hal 269
38
Dr. H.M Nurul Irfan, M.Ag dan Masyrofah, S.Ag., M.Si., Fiqh Jinayah, (Jakarta:Amzah,
2015), Cetakan Ke 3, Hal 137-139
45
عن بهز بن حكيم عن أبيه عن جده أن النبي صلى هللا عليه وسلم حبس
رجال في تهمة
Dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya bahwasanya Nabi
menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan. (HR. Abu
Dawud Al-Tirmidzi, Al-Nasa'i, dan Baihaqi. Dishahihkan oleh Hakim)"
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum sanksi ta'zir. Berikut ini adalah
penjelasannya.
Selain imam atau hakim, orang yang berhak memberikan sanksi ta’zir
kepada pelanggar hukum syar'i adalah ayah atau ibu untuk mendidik anak,
suami untuk mendidik istrinya, atau guru untuk mendidik muridnya. Para
pemberi sanksi itu tidak boleh mengabaikan keselamatan jiwa si pelanggar
hukum, kecuali imam atau hakim.
39
Ibid, Hal.144-147
BAB IV
B. Posisi Kasus
Telah terjadi tindak pidana persekusi yang di mana hal ini melibatkan dua
orang pelaku berawal di sebuah postingan facebook yang di unggah oleh seorang
bernama PMA mengunduh dalam akun facebooknya penghinaan terhadap FPI dan
habib Riziq hal tersebuh memicu kemarahan orang-orang atau anggora FPI.
Disitulah saat tanggal 28 mei 2017 pukul 23.30 wib PMA di datangi oleh
beberapa anggota FPI dan korban di bawa ke dalam kantor RW003 untuk di minta
47
48
penjelasan dalam hal postingan tersebut maka di situlah terjadi pemukulan terhadap
korban yaitu PMA.
Maka dari peristiwa itu yang di mana pelaku AM dan MHS terjerat kasus
persekusi. Pasal yang di buktikan 80 ayat 1 jo pasal 76 C UU RI NO. 35 Tahun
2014 tentang perubahan atas UU RI NO. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
40
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015),
Cet. ke-2, hal. 64.
41
Salinan Putusan Nomor No. 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkr.Tim.
49
yakni Pasal 80 ayat 1 jo Pasal 76c UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak juncto Pasal 170 KUHP unsur-unsurnya yaitu :
Pertama, Barang siapa maksud dari frasa barang siapa ialah siapa saja setiap
orang sebagai subyek hukum yang didakwa sebagai pelaku tindak pidana. Dalam
perkara ini, yang diajukan oleh penuntut umum adalah terdakwa bernama Abdul
Mujib dan Matusin dimana setelah majelis Hakim menanyakan identitas terdakwa
di persidangan ternyata cocokdengan identitas terdakwa dalam surat dakwaan
Penuntut Umum, karenanya unsur setiap orang telah terpenuhi.
Kedua, unsur dengan melakukan kekerasan terhadap anak di bawah umur
memukul sebanyak 3 (tiga) kali hal tersebut di benarkan oleh majlis hakim yang di
mana bukti tersebut ada pada rekaman yang berdurasi 11.26 menit.
Dengan demikian, berdasarkan pada pembahasan penulis di atas maka
dapat dilihat dan disimpulkan bahwa perbuatan terdakwa memang benar bersalah
dalam hal melakukan perbuatan tindak pidana turut serta melakukan pemukulan
kepada anak di bawah umur dan terbukti menurut hukum yang telah sesuai dengan
unsur delik. Penulis kemudian sependapat dengan tuntutan yang disampaikan oleh
Jaksa Penuntut Umum bahwa terdakwa melakukan tindak pidana kekerasan
terhadap anak di bawah umur.
Terdakwa pada tanggal 26 mei 2017 sekitar pukul 08.00 WIB saksi korban Mario
Alvian Alexander memposting di akan fecebook miliknya.
Ketiga, unsur melakukan perbuatan persekusi perbuatan tindak pidana
persekusi segala bentuk tindak pidana main hakim sendiri yang di mana korban
adalah seorang anak yang masih di bawah umur yang di mana akibat dari postingan
nya di media social yang memancing kemarahan anggota FPI yang di mana korban
di intimidasi bahkan korban sampai di pukul beberapa kali dan di situ korban hanya
bisa terdiam saat dirinya merasa tertekan dengan beberapa orang yang
mengintimidasi nya karena itu, atas fakta tersebut jelas bahwa Terdakwa telah
melakukan perbuatan pindak pidana persekusi atau main hakin sendiri yang dimana
korban adalah seorang anak di bawah umur.
Namun meski penerapan hukum yang terdapat dalam kasus ini sudah tepat,
masih ada hal yang perlu di kritisi terkait dengan tujuan pemidanaan terhadap
terpidana yang dijatuhi pidana 1 tahun penjara. Hal ini dapat terlihat misalnya dari
putusan hakim yang kurang progresif dalam memandang kasus tentang persekusi.
Jika dikaji secara aspek psikologis terpidana terutama setelah melihat perbuatan
yang dilakukan oleh terpidana dalam putusan No. 703/Pid.Sus/2017/PN.Jkr.Tim
menggambarkan bahwa terpidana telah melakukan tindakan kekerasan terhadap
anak di bawah umur.
a. Layanan pengaduan;
b. Layanan rehabilitasi kesehatan;
c. Layanan rehabilta sisosial;
d. Layanan bantuan hukum;
e. Pemulangan dan
f. Reintegrasisosial.
Pusat pelayanan terpadu ini sudah tersebar di berbagai daerah namun tidak
dilirik sebagai tempat pemulihan korban yang efektif. Penulis memahami bahwa
terdapat perbedaan yang jelas antara delik main hakim sendiri dengan melakukan
kekerasan dan delik turut serta, namun seharusnya terdapat persamaan perlakuan
terhadap kedua korban tindak pidana tersebut karena berkaitan dengan psikologi
korban dimana dampak yang ditimbulkan sama-sama membuat korban merasa
tertekan atas kejadian yang menimpanya dan membuat trauma yang
berkepanjangan terhadap kehidupan korban.
Sehingga solusi yang ditawarkan oleh penulis adalah sudah sepantasnya
bahwa seorang yang mengalami tindak kekerasan maka harus ditangani dengan
penanganan yang komprehensif untuk memberikan jaminan bahwa proses
pemidanaan dan tujuan pemidanaan itu sendiri tercapai.
Selanjutnya, pandangan penulis terdapat kekeliruan formil yang terdapat
dalam persidangan berkaitan dengan perkara ini, dimana sudah jelas bahw perkara
ini berkaitan dengan Tindakan kekerasan kesusilaan sehingga seharusnya
persidangan ini ialah tidak terbuka untuk umum dimana pemeriksaan semacam ini
yang korbannya anak usia di bawah umur seharusnya tertutup untuk umum
sehingga kehadiran peserta sidang harus dibatasi dan tidak terbuka untuk public.
Jika kita ingin secara konsekuen menerapkan prinsip hukum acara pidana
kita, maka seharusnya hakim merujuk Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi bahwa
“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan
menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau
terdakwanya anak-anak”
Tentunya kritik yang disampaikan penulis adalah hasil refleksi yang
56
Namun dalam hukum Islam penganiyaan tidak terlalu eksplisit diatur dalam
jenis hukumanya, hal ini disebabkan ta’zir bisa di terjemahkan bebas dalam islam.
Menurut Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam Al Sulthoniyah “ Ta’zir ialah
57
pengajaran terhadap pelaku dosa-dosa yang tidak di atur oleh hudud. Status
hukumnya berbeda-beda sesuai dengan keadaan dosa dan pelakunya”
Sementara menurut Ibrahim Anis dalam kamus Al’Mu’jam Al Wast “Ta’zir
ialah pengajaran yang tidak sampai pada ketentuan had syar’I seperti pengajaran
terhadap seseorang yang mencaci pihak lain tetapi bukan menuduh”. Selanjutnya
menurut Wahbah Al-Zuhaili dalam kitab Al Fiqh Al Islami wa Adillatuh.
Sanksi Ta’zir adalah hukuman-hukuman yang secara sya’ra tidak di
tegaskan mengenai ukurannya. Syariat islam menyerahkan kepada penguasa
Negara untuk menentukan sanksi terhadap pelaku tindak pidana yang sesuai dengan
kejahatannya.
1. Menurut golongan Malikiyah dan Hanabilah, ta'zir hukumnya wajib
sebagaimana hudud karena merupakan teguran yang disyariatkan untuk
menegakkan hak Allah dan seorang kepala negara atau kepala daerah tidak
boleh mengabaikannya.
2. Menurut mazhab Syafi'i, ta'zir hukumnya tidak wajib. Seorang kepala
negara atau kepala daerah boleh meninggalkannya jika hukum itu tidak
menyangkut hak adami.
3. Menurut mazhab Hanafiyah, ta'zir hukumnya wajib apabila berkaitan
dengan hak adami. Tidak ada pemberian maaf dari hakim karena hak hamba
tidak dapat digugurkan, kecuali oleh yang memiliki hak itu. Adapun jika
berkenaan dengan hak Allah, keputusannya terserah hakim. Jika hakim
berpendapat ada kebaikan dalam penegakannya maka ia melaksanakan.
keputusan itu. Akan tetapi, jika menurut hakim tidak ada maslahat maka
boleh meninggalkannya. Artinya, si pelaku mendapat ampunan dari hakim.
Sejalan dengan ini Ibnu Al-Hamam berpendapat, "Apa yang diwajibkan
kepada imam untuk menjalankan hukum ta'zir berkenaan dengan hak Allah
adalah kewajiban yang menjadi wewenangnya dan ia tidak boleh
meninggalkannya, kecuali tidak ada maslahat bagi pelaku kejahatan."
Ta'zir dilakukan untuk menegur atau memberikan pelajaran. Oleh karena tu,
keringanan dalam cambukan hanya terdapat pada jumlahnya, bukan neniadakannya
sama sekali. Penetapan sanksi ta'zir dilakukan melalui pengakuan, bukti, serta
58
pengetahuan hakim dan saksi. Kesaksian dari kaum perempuan bersama kaum laki-
laki dibolehkan, namun tidak diterima jika saksi dari kaum perempuan saja.
Selain imam atau hakim, orang yang berhak memberikan sanksi ta’zir kepada
pelanggar hukum syar'i adalah ayah atau ibu untuk mendidik anak, suami untuk
mendidik istrinya, atau guru untuk mendidik muridnya. Para pemberi sanksi itu
tidak boleh mengabaikan keselamatan jiwa si pelanggar hukum, kecuali imam atau
hakim.
Menurut Imam Al-Syafi'i dan Abu Hanifah, pemberian sanksi ta'zir selain
penguasa harus terikat dengan jaminan keselamatan. Karena mendidik dan
memberi peringatan bagi selain imam tidak boleh sama dengan apa yang dilakukan
oleh imam yang memang ditugaskan oleh syariat. Hal ini sebagaimana hadis dari
Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda "Imam (penguasa
pemerintahan) adalah perisai. Dari belakangnya, musuh-musuh diperangi. Jika
imam itu memerintah dengan takwa kepada Allah dan ia bertindak adil, maka
baginya pahala dan jika ia memerintah dengan selain takwa, maka baginya dosa
dari pemerintahannya." (HR. Muslim dalam kitab Al-Imarah).
Maka dari itu, segala sesuau yang dilakukan oleh jaksa penutut umum untuk
dikembalikan kembali kepada Negara segala bentuk putusan apa yang akan terjadi
adalah sudah sesuai dengan hukum islam, dikarenakan di dalam hukum islam tidak
secara eksplisit atau tidak secara mendetail bagi pelaku yang melakukan tindak
penganiyaan.
BABV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pertimbangan hakim dalam mengambil putusan No.
703/Pid.Sus/2017/PN.Jkr.Tim) adalah melihat dari sudut pandang
kronolgi, bukti yang di berikan ketika persidangan, dasar hukum yang
berlaku atau dasar hukum positif dan pengakuan bersalah dari terdakwa
bahwa terdakwa. Maka dari itu keputusan absolut/incraht merujuk dengan
kaidah teori yang di gunakan ialah terori tujuan (relative) yang bertujuan
untuk kebermanfaatan melindungi antar masyarakat menuju tujuan
keadilan bagi terdakwa dan korban.
2. Hukum Islam dan Hukum Positif dalam hal ini yakni persekusi memiliki
dua jalur yang sangat sejalan. Dalam hal ini bahwa Hukum Islam tidak
secara ekplisit memberikan penjelasan tentang hukuman bagi pelaku
persekusi oleh karena itu para ulama bersepakat untuk mengembalikan
para pelaku atau memberikan hukuman bagi pelaku persekusi kepada
negara sesuai aturan yang berlaku di setiap masing-masing negara.
Sementara hukum positif sudah mengatur seadil-adilnya dalam
penanganan hukuman bagi pelaku pidana pesekusi.
B. SARAN
1. Berprinsip bagi setiap penegak hukum berlaku adil, profesional, cepat, dan
bijak dalam menyelesaikan bahkan memutuskan setiap adanya perkara dan
jangan sampai merugikan dari salah satu belah pihak, terlebih lagi
kepolisian untuk aktif dan tanggap terhadap situasi dan kondisi sosial,
politik masyarakat, sehingga dapat mencegah terjadinya perbuatan yang
merugikan dan
59
60
meresahkan masyarakat.
2. Memasukan hukum Islam di negara Indonesia saat ini, mungkin
sudah saatnya diberlakukan, karena dengan hukum Islam yang
ditegakkan sedikit banyaknya dapat menimbulkan efek jera bagi
setiap pelaku tindak penganiaayan dan kekerasan, karena dalam
hukum positif banyak sekali orang yang salah mengartikan dalam
pengambilan hukumnya itu berdampak tidak memberikan efek jera
bagipelakunya.
3. Membagi infomasi dan anjuran kepada masyarakat khususnya
generasi- generasi yang muda agar bijak dan selektif dalam
menggunakan teknologi khususnya yang bersifat media sosial agar
dapat menyaring segalasesuatu
yang dishare agar tidak menimbulkan kebencian dan keresahan,
setidak ada seorang atau kelompok yang merasa tersinggung dan
tersakiti.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim
Hadist Rasulullah Saw
Ahmad, Dzajuli, “Fiqih Jinayah”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
Dr. H.M Nurul Irfan, M.Ag dan Masyrofah, S.Ag., M.Si., Fiqh Jinayah,
Jakarta:Amzah, 2015
Elsa Puji Juwita, Peran Media Sosial Terhadap Gaya Hidup Siswa. Jurnal
Sosietas, Vol. 5, 2015.
Moeljato, Asas-asas Hukum Pidana. 2002. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.
61
62
Lamintang, P.A.F dan Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, &
Santoso Topo, “Menggagas Hukum Pidana Islam”. Bandung: Asy Syamil Press
dan Grafika, 2003.
Sudikno Mertokusumo, “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”.Yoyakarta: Citra
Aditya Bakti,1993.
B. Perundang-Undangan
Peraturan Perundang-Undangan Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
UU No.18 Tahun, 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
UU No. 11 Tahun, 1946 Tentang Mengadakan Peraturan Dalam Biaya Materai
(“Zegel VerorDening”) 1921
UU No. 12 Thn 2012 Tentang Pendidikan Tinggi
C. Website
Kamus Hukum Online Indonesia, Istilah Persekusi,
https://kamushukum.web.id/search/persekusi diakses pada hari Selasa,
3 Agutus 2021, Pukul 20.10
http://www.Ylbhi.or.id/2017/07/artikel-diskusi-persekusi/. diakses 26