Anda di halaman 1dari 108

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

TENTANG PERATURAN BUPATI PURWAKARTA NO.70A


TAHUN 2015 TENTANG DESA BERBUDAYA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

BAYU BASKORO

NIM : 1111043200030

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM


PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016 / 1437 H
PERSPEKTTF HUKTJM ISLAM DAN HT}KT}M POSITIT
TENTAFIG PERATTJRAN BUTATI PT]RWAKARTA NO.?OA
TAHUN 2SX5 TENTANG I}ESA BERBT}DAYA
Slaipsi

Diajukan Ke,pada F&kuttas Syariah dan Hukum

Sebagai Salah Sa&r Syarat Mernperoleh Gelar Sarjana Syarieh (S.SV)

oleh:

BAyq,B4.SKORO
111r843200CI30

Di Bawah Bimbingan :

Pembimbingll

FIIP. 19581 I 101988031001 FilP. 1961 I 10I 1993031002

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDIPERBANDINGAN MAZHAB DAN HTIKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


IJNTVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARTF HIDAYATULLAH

JAKARTA
2gt6 I 1437 H

ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi ini berjudul PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAll HUKUM POSITIF


.&.ENTANG PERATURAN BUPATI PURWAKARTA NO. 7OA TAHUN
?015 TENTAIIG DESA BERBUDAYA. Telah diujikan dalam Sidang
Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukun Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
I{idayatullah Jakarta pada tanggal 29 Juni 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu, yaitu Sarjana Syariah (S-SV.)
pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum dengan Konsentrasi
Perbandingan Hukum.

Jakarta, 29lunt20l6
Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

NrP. 19691 161996031001

PAMTIA UJIAN
Ketua Falrqi Muhammad Ahmpdi. M-.Si
NIP. 1 974 1 2132003121002

Sekretaris Hj. Siti Hanna. S.Ae...Lc. MA

NrP. 19740216200801201 3

Pembimbing I Dr. Abdurrahman Dahlan. MA

NIP. 19581 I 10i988031001

Pembimbing II Dedv Nursyamsi. SH... M.Hum

NrP. 1961 1 101 1993031002

Penguji I H. Ahmad Bisyfi Abd. Sbqqrad. M,+

NrP. 19680320200003 1001

Penguji II Dr$. H, Allmad Yani. M.Ae

NrP. 19640412199403 1004


ilt
LEMBARTBFTYATAAN

Dengan ini sayamenyatakan :

L skipsi ini ffinryskffi bafiil k:ra mli saya lans dieiuhn rmtr* meursnuhi

salah satu persyarailari mempmleh gelar srata t di Uriversitas Islam


Negeri ([m\f) Syarif Hidayaarllah Jskarta"

2. $e,mua sumber 1ilang seya Smakm dalam peuulimn ini relah mya

cantrmkao sesuai dengan kstmtum yang be.rla*u di lJniversitas Islam

Negeri (UD,D SyarifHidayatullah Jakff -

3. Jika dikeNrxrdian ki Mukti bahqna kar1rf, iri buka kil krya saya atau

Uasit iiptatm dari karya orEmg tai& maka saya bersedia

mmsrima smksi lang berta*u di Untve,mitns Islam Neg€ri ([IIIrI) Syarif

Hids)railllahJakafia-

BAYUBASKORO

iv
ABSTRAK

Bayu Baskoro. NIM 1111043200030. Perspektif Hukum Islam dan Hukum


Positif Tentang Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa
Berbudaya. Perbandingan Hukum, Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2016.
xi + 84 halaman + 13 lampiran.
Skripsi ini membahas perihal Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun
2015 Tentang Desa Berbudaya yang akan ditinjau dalam perspektif hukum Islam
dan hukum positif. Permasalahan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
apa yang dimaksud dengan Desa Berbudaya dalam Peraturan ini. Kemudian,
bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum positif tentang Peraturan ini.
Setelah diketahui perspektif dari hukum Islam dan hukum positif akan di analisis
perbandingan antara hukum Islam dengan hukum positif.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan normatif. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan studi
kepustakaan (Library Research) dan studi lapangan (Field Research).
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Desa Berbudaya dalam
Peraturan Bupati ini adalah desa yang bersendikan pada nilai-nilai gotong-royong,
kekeluargaan, kebersamaan, dan kearifan lokal dalam rangka penyelenggaraan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam rangka peningkatan
kualitas desa. Kemudian, secara umum hukum Islam dan hukum positif sejalan
dengan Peraturan Bupati ini. Namun, ada beberapa materi yang bertentangan
dengan hukum positif, antara lain pada kebijakan berpacaran dan pelarangan dan
penggunaan minuman beralkohol. Lebih lanjut, analisis perbandingan antara
hukum Islam dengan hukum positif, antara lain persamaannya terletak pada
pemeriksaan kesehatan sebelum menikah, kewajiban memiliki tanaman dan
hewan peliharaan, dan pelarangan kegiatan (hasutan, fitnah, kebencian, dan adu
domba) yang dapat meruntuhkan persatuan. Sedangkan perbedaannya terletak
pada kebijakan berpacaran dan pelarangan penjualan dan penggunaan minuman
beralkohol.
Kata Kunci : Peraturan Bupati, Desa Berbudaya, Hukum Islam, Hukum
Positif.
Pembimbing : Dr. Abdurrahman Dahlan, MA.
Dedy Nursyamsi, SH., M.Hum.
Daftar Pustaka : Tahun 1976 s.d. 2015.

v
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq, hidayah,

serta nikmat-Nya, sehingga Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul “Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif Tentang Peraturan

Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa Berbudaya”. Shalawat serta

salam senantiasa tersampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada

keluarganya, sahabat, serta umatnya hingga akhir zaman.

Skripsi ini berjudul “PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM

POSITIF TENTANG PERATURAN BUPATI PURWAKARTA NO. 70A

TAHUN 2015 TENTANG DESA BERBUDAYA” disusun sebagai salah satu

syarat akademis untuk menyelesaikan program studi sarjana di Fakultas Syari’ah

dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak sedikit

hambatan serta kesulitan yang penulis hadapi. Namun, berkat kesungguhan hati

dan kerja keras serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun

tidak langsung, sehingga membuat penulis tetap bersemangat dalam

menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, penulis

berterima kasih kepada :

1. Kedua orang tua tercinta dan tersayang, Bapak Madiyo dan Ibu Tumini yang

dengan tulus selalu mendo’akan, memberi dorongan, dan semangat tanpa

henti kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini yang

vi
juga menjadi amanah bagi penulis kepada orang tua. Semoga Allah SWT

selalu memberikan kesehatan, panjang umur, serta perlindungan untuk Ibu

dan Bapak, di bawah kasih sayang-Nya. Amin

2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. dan Ibu Siti Hanna, Lc, M.Ag.

sebagai Ketua dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum,

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang tidak lelahnya membantu dan memberi masukan

dan semangat kepada penulis, serta dengan tulus ikhlas meluangkan

waktunya dalam proses penyelesaian skripsi.

4. Bapak Dr. Abdurrahman Dahlan, MA. dan Bapak Dedy Nursyamsi, SH.,

M.Hum. Selaku dosen pembimbing I dan dosen pembimbing II, yang dengan

sabar telah mengajarkan, memberikan banyak masukan, dan saran-saran

sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik dan benar. Semoga apa yang

telah Bapak ajarkan dan arahkan mendapat balasan dari Allah SWT.

5. Kepada seluruh dosen dan civitas akademik Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah

membagi ilmunya dengan ikhlas kepada penulis, serta para pengurus

perpustakaan yang telah meminjamkan buku-buku yang diperlukan demi

penyelesaian skripsi.

6. Bapak H. Dedy Mulyadi, S.H selaku Bupati Purwakarta dan jajarannya serta

Masyarakat Purwakarta yang telah memberikan banyak bantuan dalam

vii
penyelesaian skripsi ini, semoga Allah SWT membalasnya dengan ganjaran

pahala. Amin

7. Kepada Saudara/Saudari, Kerabat, serta Teman-teman; Hendro Kuncoro,

Bardoyo, Mustaqim, Sunarsih, Budianto, Tria Melani, Ida Rosida, Anik

Setyorini, Muhamad Rifai, Rahmat Hidayatullah, Yusuf Abdullah, dan

Khanza Aulia, yang selalu mendo’akan dan memberikan semangat kepada

penulis dalam mengerjakan skripsi.

8. Teman-teman kelas Perbandingan Hukum Tahun 2011; Abdul Aziz, Adnan

Chaidar, Heru, Akip Bustomi, Iqbal Farhan, Dicka Nanda Dermawan,

Hikmiyyah, Ratu Solihat, Farrah, Susi Purnamasari, Irfan Akbar Muharom,

Zainul Muhtarom, Ibnu Mubaidillah, Syahrul Rahmatullah, M. Salafuddin

Zuhri, Helmi Arisandi, dan yang tidak penulis sebutkan satu persatu, terima

kasih untuk dukungan semangat dan bantuannya dalam penyelesaian skripsi

ini, serta masa-masa yang tak terlupakan di kampus.

9. Teman-teman KKN CITA 2014; Aditya Rian Pratama, Budi Setiyadi, Dwi

Handayani, Fauziah Mazayolanda, Halimatus Sa’diah, Januar Cahyadi,

Meliana Pratiwi, Silvi Fauziyah, Taufan Chairul, dan Theresya Ayu

Prihatiningsih, terima kasih untuk dukungan semangat serta masa-masa yang

penuh suka cita selama pengabdian di Desa Malasari.

10. Seluruh pihak-pihak terkait yang telah membantu penulis, menyemangati, dan

menghibur penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.

viii
Akhirnya, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas sernua pihak

yang turut berperan dalam proses penyelesaian slaipsi penulis. Semoga kmya ini

dapat bemlanfaat bagi semua masyarakat dan kalang;an akademisi,

Was salamu' alaikum Wr. Wb.

Jakarta,3l Mei 2016

W
BAYU BASKORO

tx
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA SKRIPSI ............................................. iii

LEMBAR PENYATAAN ................................................................................... iv

ABSTRAK ........................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ........................................................................................................ x

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1


B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 2
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................................. 3
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 4
E. Review Studi Terdahulu ...................................................................... 5
F. Kerangka Teori.................................................................................... 8
G. Metode Penelitian................................................................................ 10
H. Sistematika Penulisan ......................................................................... 13

BAB II TEORI TENTANG HUKUM ISLAM DAN


HUKUM POSITIF SERTA KEBUDAYAAN .......................... 15

A. Hukum Islam dan Hukum Positif........................................................ 15


1. Pengertian Hukum ......................................................................... 15
2. Sumber Hukum ............................................................................. 19
3. Tujuan Hukum .............................................................................. 29
B. Kebudayaan ......................................................................................... 32
1. Pengertian Kebudayaan ................................................................. 32
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebudayaan ......................... 33

BAB III PERATURAN BUPATI PURWAKARTA NO. 70A


TAHUN 2015 TENTANG DESA BERBUDAYA .................... 34

A. Gambaran Umum Kabupaten Purwakarta .......................................... 34


1. Sejarah Kabupaten Purwakarta ..................................................... 34
2. Letak Geografis dan Demografi Kabupaten Purwakarta .............. 37
x
3. Kondisi Perekonomian dan Pendidikan
Di Kabupaten Purwakarta ............................................................. 39
A. Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015
Tentang Desa Berbudaya .................................................................... 40
1. Latar Belakang Terbentuknya Peraturan ....................................... 40
2. Sistematika Peraturan .................................................................... 43
B. Materi Kebudayaan dalam Peraturan Bupati ...................................... 46

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN


HUKUM POSITIF TENTANG PERATURAN
BUPATI PURWAKARTA NO.70A TAHUN 2015
TENTANG DESA BERBUDAYA ............................................. 49

A. Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Menikah ........................................ 49


B. Kewajiban Memiliki Tanaman dan Hewan Peliharaan ....................... 53
C. Kebijakan Berpacaran ......................................................................... 57
D. Pelarangan Kegiatan yang Berpotensi Meruntuhkan Persatuan ......... 60
E. Larangan Penjualan dan Penggunaan Minuman Beralkohol .............. 69
F. Analisis Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan
Hukum Positif ..................................................................................... 75

BAB V PENUTUP ..................................................................................... 77

A. Kesimpulan ......................................................................................... 77
B. Saran .................................................................................................... 79

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 80

LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 85

1. Lampiran Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015


Tentang Desa Berbudaya .................................................................... 85
2. Lampiran Pembagian Administratif Kabupaten Purwakarta .............. 94
3. Lampiran Surat Keterangan Wawancara ............................................ 95
4. Lampiran Hasil Wawancara ................................................................ 96

xi
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah

yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah, kepentingan

masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau

hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.1

Di Indonesia, ada sebuah konsep dalam mengatur pemerintahan di daerah-

daerah tertentu, yaitu otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang,

dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.2 Dalam menjalankan konsep otonomi daerah, setiap daerah

berwenang untuk membuat sebuah peraturan yang bertujuan pembangunan daerah

atau mewujudkan kearifan lokal, peraturan-peraturan ini biasa disebut dengan

Peraturan Daerah (Perda).

Di Kabupaten Purwakarta, telah disahkan sebuah Peraturan Bupati

Purwakarta No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa Berbudaya. Desa berbudaya

adalah desa yang bersendikan pada nilai-nilai gotong-royong, kekeluargaan,

kebersamaan, dan kearifan lokal dalam rangka penyelenggaraan kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam rangka peningkatan kualitas


1
Pasal 1 Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa Berbudaya.
2
Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah.
2

desa.3 Substansi dari Peraturan Bupati ini terdapat dalam BAB V yang membahas

tentang penataan kehidupan sosial, lingkungan hidup, kepariwisataan, dan

keamanan. Selanjutnya, Pasal 6 yang membahas tentang penataan kehidupan

sosial, akan diteliti kesesuaiannya antara hukum Islam dan hukum positif.

Mayoritas Masyarakat Purwakarta adalah beragama Islam, di dalam Islam

juga mengandung nilai-nilai yang mengatur hubungan antara manusia dan

mengakui budaya atau tradisi sebagai hukum yang hanya berlaku di daerah

tertentu. Lalu setiap orang yang beragama Islam harus melaksanakan ketentuan-

ketentuan yang ada di dalam hukum Islam, jadi bagaimana ketersinggungan

Peraturan Bupati ini dengan hukum Islam. Selain itu, dalam ketentuan bernegara

Peraturan Bupati ini sebagai Peraturan Pemerintah Daerah, bagaimana

hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu hukum positif.

Dengan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka penulis

sangat tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang permasalahan ini dan mencoba

membahasnya dalam sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi berjudul

“PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG

PERATURAN BUPATI PURWAKARTA NO.70A TAHUN 2015 TENTANG

DESA BERBUDAYA”.

B. Identifikasi Masalah

Kebudayaan adalah sebuah hasil cipta, rasa, dan karsa dalam masyarakat.

Kebudayaan itu dapat berbasis pada agama atau berbasis pada peraturan (hukum).

Bupati Purwakarta telah mengeluarkan Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a

3
Pasal 1 Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa Berbudaya.
3

Tahun 2015 Tentang Desa Berbudaya, hal-hal apa saja yang menjadi nilai-nilai

Desa Berbudaya dalam peraturan ini. Kemudian, untuk bisa berjalannya peraturan

ini bagaimana kesesuaiannya dengan hukum Islam karena sebagian besar

Masyarakat Purwakarta adalah beragama Islam. Selain itu, peraturan ini adalah

bagian dari peraturan perundang-undangan, agar dapat berjalan dengan efektif

bagaimana kesesuaiannya dengan peraturan pemerintah pusat (hukum positif).

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan masalah

Dari beberapa masalah yang dapat diidentifikasi, penulis tidak mungkin

membahas semuanya, dikarenakan keterbatasan dana, waktu, dan bahan bacaan.

Oleh karena itu, pembatasan masalah dalam penelitian ini dibatasi hanya pada

perspektif hukum Islam dan hukum positif tentang Pasal 6 dalam Peraturan Bupati

Purwakarta No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa Berbudaya.

2. Perumusan masalah

Dari identifikasi dan pembatasan masalah sebelumnya, penulis

merumuskan masalah pokok dalam penelitian ini, sebagai berikut :

a. Bagaimana Desa Berbudaya dalam Peraturan Bupati Purwakarta No.70a

Tahun 2015 Tentang Desa Berbudaya?

b. Bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum positif tentang Peraturan

Bupati Purwakarta No.70a Tahun 2015 Tentang Desa Berbudaya?

c. Bagaimana letak persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dan

hukum positif tentang Peraturan Bupati Purwakarta No.70a Tahun 2015

Tentang Desa Berbudaya?


4

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Dari perumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya, tujuan penelitian

yang akan dihasilkan sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui Desa Berbudaya dalam Peraturan Bupati Purwakarta

No.70a Tahun 2015 Tentang Desa Berbudaya.

b. Untuk mengetahui perspektif hukum Islam dan hukum positif dengan

Peraturan Bupati Purwakarta No.70a Tahun 2015 Tentang Desa

Berbudaya.

c. Untuk mengetahui letak persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dan

hukum positif tentang Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015

Tentang Desa Berbudaya.

2. Manfaat penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang dihasilkan, manfaat penelitian yang

diharapkan dari penelitian ini, antara lain :

a. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa sumbangan

bagi perkembangan ilmu dan pengetahuan hukum.

b. Memberikan satu karya ilmiah bermanfaat bagi civitas akademik Fakultas

Syari‟ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

c. Dapat dijadikan sumber rujukan bagi masyarakat secara umum tentang

Peraturan Bupati Purwakarta No.70a Tahun 2015 Tentang Desa

Berbudaya.
5

E. Review Studi Terdahulu

Sejauh penelusuran penulis, terdapat beberapa karya ilmiah dan jurnal

yang berkaitan dengan pembahasan Peraturan Bupati ini, antara lain :

1. Skripsi berjudul “Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah No. 2 Tahun

2008 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis, dan

Pengamen Di Kota Makassar”, yang ditulis oleh Asrul Nurdin. Skripsi ini

menjelaskan tentang sebuah Peraturan Daerah yang mengatur bentuk-bentuk

pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah kota Makassar terhadap anak

jalanan, gelandangan, pengemis, dan pengamen. Dalam pelaksanaannya

pemerintah kota Makassar melakukan pembinaan pencegahan, pembinaan

lanjutan, dan usaha rehabilitasi sesuai dengan Peraturan Daerah No. 2 Tahun

2008 di kota Makassar. Untuk menunjang keberhasilan dalam

pelaksanaannya, dinas sosial bekerja sama dengan lembaga sosial lainnya

seperti panti asuhan, kepolisian, dan elemen-elemen yang mendukung

kegiatan pembinaan ini. Faktor penghambat dalam melaksanakannya, antara

lain : industrialisasi, modernisasi, dan urbanisasi.4

2. Jurnal berjudul “Internalisasi Nilai-Nilai Hukum Islam dalam Peraturan

Daerah (Syariah) di Indonesia”, yang ditulis oleh Habib Muhsin Syafingi.

Jurnal ini menjelaskan tentang lahirnya peraturan-peraturan yang bernuansa

syariat Islam memang tidak bisa menggambarkan peningkatan kesadaran

masyarakat secara umum dalam melaksanakan syariat Islam, namun dari situ

setidaknya bisa dilihat adanya kesadaran dari tingkat elit daerah tentang
4
Asrul Nurdin, “Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2008 Tentang
Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis, dan Pengamen Di Kota Makassar”, (Skripsi S1
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Makassar, 2013).
6

pentingnya melakukan formalisasi Syariat islam. Kesadaran ini setidaknya

dipicu oleh dampak yang diharapkan timbul dari lahirnya ketentuan ini.

Hampir semua Peraturan Daerah tentang zakat dalam konsiderannya

menyatakan bahwa sumber penerimaan dari zakat ini merupakan sumber

dana yang potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat

terutama dalam mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Hal ini

merupakan implementasi dari aspek tujuan hukum islam, yaitu untuk

mewujudkan perlindungan jiwa, mengingat apabila dana zakat bila dikelola

secara profesional dan akuntabel maka akan semakin banyak fakir miskin

yang bisa dibantu untuk mengejar kehidupan yang lebih baik.5

3. Skripsi berjudul “Penerapan Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2011 Tentang

Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Di Purwokerto”, yang

ditulis oleh Syaiful Ramdhani. Skripsi ini menjelaskan dalam rangka

melakukan penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima di wilayah

Banyumas. Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas menerbitkan Peraturan

Daerah No. 4 Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang

Kaki Lima. Hal-hal yang diatur dalam peraturan ini meliputi lokasi, waktu,

ukuran, dan bentuk sarana pedagang kaki lima. Wewenang pengaturan

pedagang kaki lima di Banyumas merupakan wewenang Dinas Perdagangan,

Perindustrian, dan Koperasi (DISPERINDAGKOP) Kabupaten Banyumas.

Hambatan normatif yang timbul dari penerapan Peraturan Daerah No. 4

Tahun 2011 Tentang Pembinaan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima

5
Habib Muhsin Syafingi, “Internalisasi Nilai-Nilai Hukum Islam dalam Peraturan Daerah
(Syariah) di Indonesia”, Jurnal Pandecta, Volume 7, No. 2, Juli 2012.
7

adalah ketentuan mengenai penempatan Pedagang Kaki Lima dalam

peraturan ini bertentangan dengan Undang-Undang Lalu Lintas No. 22 Tahun

2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Oleh sebab itu, peraturan

daerah ini perlu ditinjau kembali.6

4. Jurnal berjudul “Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Menertibkan

Peredaran Minuman Keras Di Kota Cilegon Provinsi Banten”, yang ditulis

oleh Suwaib Amiruddin. Jurnal ini jelaskan tentang sebuah Peraturan Daerah

No. 5 Tahun 2001 Tentang Pelanggaran Kesusilaan, Minuman Keras,

Perjudian, Penyalahgunaan Narkoba, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya di

kota Cilegon. Hasil penelitian ini, untuk menegakkan peraturan daerah itu,

pemerintah telah menggerakkan aparat keamanan untuk menegakkan

distributor tempat-tempat hiburan dan penjualan yang diindikasikan

mengedarkan minuman keras. Untuk hambatan yang dihadapi dalam

menegakkan penertiban, karena keterbatasan anggaran dan sumber daya

aparat. Selain itu, diindikasikan terdapat oknum dari pihak penertiban dan

aparat terkait yang mengambil keuntungan dengan menarik uang keamanan

dari pengedar minuman keras, sehingga para pengedar dan pemakai tetap

melakukan aksinya walaupun dengan tersembunyi.7

5. Skripsi berjudul “Efektivitas Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2011 Tentang

Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan Di Kota Makassar”, yang

6
Syaiful Ramdhani, “Penerapan Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2011 Tentang Pembinaan
dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Di Purwokerto”, (Skripsi S1 Fakultas Hukum Universitas
Jendral Soedirman, Purwokerto, 2013).
7
Suwaib Amiruddin, “Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Menertibkan Peredaran
Minuman Keras Di Kota Cilegon Provinsi Banten”, Jurnal Hukum, Volume 28, No. 2, Desember
2012.
8

ditulis oleh Oktafina Pikoli. Skripsi ini menjelaskan bahwa pelaksanaan

Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2011 Tentang Retribusi Pelayanan

Kesampahan/Kebersihan masih belum efektif, karena masih terdapat

beberapa kekurangan dalam peraturan ini. Kemudian masih terdapat

pungutan-pungutan liar yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Faktor

penghambat lainnya adalah kurangnya kesadaran wajib membayar retribusi

persampahan/kebersihan, sarana dan prasarana kurang memadai, banyaknya

wajib retribusi yang tidak mau membayar dan tidak mampu untuk

membayar.8

Dari beberapa karya ilmiah skripsi dan jurnal di atas, penulis memiliki

perbedaan dalam penelitian ini, karena akan membahas sebuah Peraturan Bupati

Purwakarta No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa Berbudaya yang selanjutnya

beberapa huruf dalam Pasal 6 Peraturan Bupati ini akan dilihat dalam perspektif

hukum Islam dan hukum positif.

F. Kerangka Teori

Di dalam hukum Islam ada sebuah kaidah yang berhubungan dengan

tradisi atau adat istiadat, yaitu :

‫ا َ ْى ْعادَة ُ ٍُ َح َّن ََت‬

Artinya : Kebiasaan (tradisi) itu bisa menjadi hukum.9

8
Oktafina Pikoli, “Efektivitas Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2011 Tentang Retribusi
Pelayanan Persampahan/Kebersihan Di Kota Makassar”, (Skripsi S1 Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, Makassar, 2014).
9
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Ciputat: Adelina
Bersaudara, 2008), hal. 143.
9

Kebiasaan (tradisi) adalah salah satu hal yang memiliki kontribusi besar

terhadap terjadinya transformasi hukum syar‟i. di atas kebiasaan (tradisi) ini,

banyak terbangun hukum-hukum fikih dan kaidah-kaidah furu.10

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda terdapat tiga teori yang terkenal

dalam keberlakuan hukum Islam, antara lain :

1. Receptio in Complexu adalah teori yang berarti bahwa bagi setiap orang

Islam berlaku hukum Islam.11

2. Theorie Receptie adalah teori yang berarti hukum Islam baru mempunyai

kekuatan kalau telah diterima hukum adat dan lahirlah dia keluar sebagai

hukum adat bukan sebagai hukum Islam.12

3. Receptio a Contrario adalah teori yang berarti hukum adat baru berlaku

kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.13

Kemudian, di dalam hukum positif ada beberapa teori yang berhubungan

dengan tujuan dari hukum positif, antara lain :14

- Ethische Theori

Menurut teori ini, tujuan hukum hanya ditempatkan pada perwujudan

keadilan yang semaksimal mungkin dalam tata tertib masyarakat. Pendapat

demikian sudah terkenal sejak zaman Aristoteles yang mengajarkan, bahwa yang

dimaksud dengan keadilan bukanlah keadilan yang mutlak. Keadilan tidak sama

dengan persamaan, tetapi berarti keseimbangan. Artinya, tiap orang dapat terjamin

10
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, hal. 143.
11
Sayuti Thalib, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, (Depok: UI Press, 1976), hal.
45.
12
Sayuti Thalib, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, hal. 46.
13
Sayuti Thalib, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, hal. 53.
14
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, hal. 52-53.
10

untuk memperoleh bagiannya sesuai dengan jasanya, dan inilah yang dinamakan

keadilan distributif.

- Utiliteis Theori

Menurut teori ini, tujuan hukum ialah kemanfaatan atau kebahagiaan

masyarakat atau manusia semata-mata. Para pengagasnya, J. Bentham, J. Austin,

dan J.S. Mills bersemboyan “The greatest happiness for the greatest number”.

- Gemengde Theori

Menurut teori ini, tujuan hukum ialah bukan hanya keadilan, tetapi juga

kemanfaatan (Justice et utilies). Penganut aliran ini di antaranya J. Schrasset,

berpendapat bahwa bilamana unsur keadilan saja yang diperhatikan, maka

hasilnya hanyalah ketentuan-ketentuan yang memenuhi keadilan mutlak (absolute

justice), tetapi tidak dapat memenuhi tuntutan-tuntutan dalam pergaulan sehari-

hari.

Dari beberapa kaidah dan teori ini akan dijadikan penulis sebagai pedoman

untuk menilai keabsahan Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015

Tentang Desa Berbudaya dalam hukum Islam dan hukum positif.

G. Metode Penelitian

Metodelogi penelitian adalah suatu cara atau jalan yang ditempuh dalam

mencari, menggali, mengolah, dan membahas data dalam suatu penelitian untuk

memperoleh kembali pemecahan terhadap permasalahan.15

15
Joko Subagyo, Metodologi Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1994), hal. 12.
11

1. Pendekatan

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan normatif

yakni penelitian yang hanya ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis sehingga

penelitian ini sangat erat hubungannya dengan perpustakaan karena akan

memerlukan data-data yang bersifat sekunder pada perpustakaan.

2. Sumber data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi 3 bagian yaitu :

a. Data primer

Data primer dalam penelitian ini adalah Peraturan Bupati No. 70a Tahun

2015 Tentang Desa Berbudaya dan wawancara yang dilakukan terhadap Bupati

Purwakarta serta tokoh-tokoh Masyarakat Purwakarta.

b. Data sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah literatur-literatur hukum Islam

dan hukum positif, antara lain: Buku karangan Abdul Wahab Khallaf yang

berjudul “Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh”, buku karangan Titik

Triwulan Tutik yang berjudul “Pengantar Ilmu Hukum”, dan lain-lain.

c. Data tersier

Data tersier dalam penelitian ini berasal dari makalah, artikel, jurnal,

skripsi, website, antara lain: Skripsi yang disusun Asrul Nurdin berjudul

“Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2008 Tentang

Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis, dan Pengamen Di Kota

Makassar”, Jurnal yang disusun Habib Muhsin Syafingi berjudul “Internalisasi


12

Nilai-Nilai Hukum Islam dalam Peraturan Daerah (Syariah) di Indonesia”, dan

lain-lain.

3. Wilayah pengumpulan data

Untuk mendapatkan informasi tentang landasan teoritis dan pendapat para

ahli dalam bidang hukum Islam dan hukum positif mengenai Peraturan Bupati No.

70a Tahun 2015 Tentang Desa Berbudaya, maka dilakukan penelitian

kepustakaan (Library Research). Sementara itu, untuk mengetahui pandangan

masyarakat dan para tokoh masyarakat tentang Peraturan tersebut, maka

dilakukan penelitian lapangan (Field Research).

4. Instrumen pengumpulan data

Instrumen pengumpulan data adalah alat-alat yang digunakan dalam

melakukan pengumpulan data, seperti lembar cek list, kuesioner, wawancara, foto

kamera, dan lainnya.16 Dalam penelitian ini, penulis hanya akan menggunakan

wawancara khususnya tokoh masyarakat dan menelaah kepustakaan khususnya

untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan perspektif hukum Islam dan

hukum positif.

5. Metode analisis data

Metode analisis data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu:

deskriptif analitis adalah memaparkan data-data apa adanya kemudian dianalisis

secara sederhana. Selanjutnya komparatif studi yaitu membandingkan hukum

Islam dan hukum positif dengan Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun

2015 Tentang Desa Berbudaya.

16
Hendryadi, Metode Pengumpulan Data, diunduh pada tanggal 25 Januari 2016 dari
https://teorionline.wordpress.com/service/metode-pengumpulan-data/.
13

6. Teknik penarikan kesimpulan

Teknik penarikan kesimpulan terbagi menjadi dua, yaitu: teknik induktif

adalah cara penarikan kesimpulan dengan metode pemikiran yang mengacu pada

mulai dari kasus-kasus yang bersifat khusus untuk menarik kesimpulan yang

bersifat umum. Sedangkan, teknik deduktif adalah cara penarikan kesimpulan

yang dimulai dari teori yang bersifat umum dilihat kesesuaiannya dengan kasus-

kasus yang bersifat khusus.

7. Teknik penulisan

Teknik penulisan pada penelitian ini, disusun berdasarkan buku “Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta 2012”.

H. Sistematika Pernulisan

Laporan hasil penelitian dalam bentuk skripsi ini, disusun dengan

sistematika sebagai berikut :

Bab Pertama, sebagaimana layaknya suatu karya ilmiah hasil penelitian

dalam bentuk skripsi, maka laporan hasil penelitian ini dimulai dengan

menjelaskan tentang latar belakang mengapa tema penelitian ini dipilih menjadi

objek penelitian. Kemudian dilanjutkan dengan identifikasi masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu,

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, uraian dalam bab ini berisi gambaran umum dan bekal bagi

pembaca sebagai untuk memahami konsep dan problem-problem yang muncul,

serta pembahasan-pembahasan yang akan dikemukan di bab selanjutnya. Dalam


14

bab ini dimaksudkan sebagai pengantar bagi pembaca untuk memasuki

pembahasan inti dalam Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015 Tentang

Desa Berbudaya.

Bab Ketiga, bab ini penulis mengemukakan tentang daerah tempat

penelitian ini, yaitu mulai dari sejarah, letak geografis, demografi, kondisi

ekonomi, dan kondisi keagamaan dan pendidikan.

Bab Keempat, bab ini penulis mengemukakan uraian tentang perspektif

hukum Islam dan hukum positif tentang Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a

Tahun 2015 Tentang Desa Berbudaya. Uraian dalam bab ini dimaksudkan sebagai

pembanding antara hukum Islam dan hukum positif tentang Peraturan Bupati

tersebut.

Bab Kelima, dalam bab terakhir ini, penulis akan membuat kesimpulan

dari uraian-uraian sebelum yang membahas tentang tinjauan umum, perspektif

hukum Islam dan hukum positif tentang Peraturan Bupati No. 70a Tahun 2015

Tentang Desa Berbudaya. Uraian singkat dalam bab ini berisi inti dari

pembahasan dalam penelitian dan saran.


15

BAB II

TEORI HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

SERTA KEBUDAYAAN

A. Hukum Islam dan Hukum Positif


1. Pengertian Hukum

a. Hukum Islam

Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata “Hukum” dan kata “Islam”.

Kedua kata itu, secara terpisah merupakan kata yang digunakan dalam bahasa

Arab dan terdapat dalam Al-Qur‟an, juga berlaku dalam bahasa Indonesia.17

Untuk memahami pengertian hukum Islam, perlu diketahui lebih dahulu kata

“hukum” dalam bahasa Indonesia, kemudian pengertian hukum itu disandarkan

kepada kata “Islam”. Definisi hukum secara sederhana, yaitu “Seperangkat

peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat,

disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan

mengikat untuk seluruh anggotanya”.18

Hukum Islam diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw untuk

segenap umat manusia dibagi menjadi tiga bagian :19

Pertama (Ilmu Tauhid), yaitu hukum atau peraturan-peraturan yang

berhubungan dengan dasar-dasar keyakinan agama Islam, yang tidak boleh

diragukan dan harus benar-benar menjadi keinginan kita. Misalnya, peraturan

17
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 4.
18
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, hal. 5.
19
Achmad El-Ghandur, Perspektif Hukum Islam, terj. Ma’mun Muhammad Mura’l,
(Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2006), hal. 7-9.
16

yang berhubungan dengan Dzat dan sifat Allah SWT yang harus iman kepada

Allah, iman kepada Rasul-rasul Allah, iman kepada Malaikat-malaikat Allah,

Kitab-kitab Allah, iman kepada hari akhir termasuk di dalamnya kenikmatan dan

siksa serta iman kepada qodar baik dan buruk. Ilmu tauhid itu juga dapat

dinamakan Ilmu Aqidah atau Ilmu Kalam.

Kedua (Ilmu Akhlak), yaitu peraturan-peraturan yang berhubungan dengan

pendidikan dan penyempurnaan jiwa. Misalnya, segenap peraturan yang

mengarah kepada melindungi keutamaan dan mencegah kejelekan-kejelekan

seperti kita harus berbuat benar, harus memenuhi janji, harus amanah (dapat

dipercaya), dan dilarang berdusta dan berkhianat.

Ketiga (Ilmu Fiqh), yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan

manusia dengan Allah SWT dan hubungan manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh

mengandung dua bagian: a. Ibadah, yaitu yang menjelaskan tentang hukum-

hukum hubungan manusia dengan Allah SWT. Dan ibadah tidak sah (tidak

diterima) kecuali disertai dengan niat, seperti sholat, zakat, puasa, haji.

b. Muamalat, yaitu bagian yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan

antara manusia dengan sesamanya, seperti jual beli, perjanjian, dan lain-lain.

Di dalam Islam, ada yang dikenal dengan Hukum Taklifi. Hukum ini

terbagi menjadi lima bagian, yaitu: Wajib, Sunnah, Haram, Makruh, Mubah.

Hukum taklifi itu menghendaki permintaan suatu pekerjaan. Jika tuntutannya itu

atas segi mewajibkan atau menetapkan, maka hukum itu adalah hukum wajib, dan

pengaruhnya adalah kewajiban yang dituntut pelaksanaannya adalah wajib. Jika

tuntutannya itu tidak atas tujuan mewajibkan atau menetapkan, maka hukum itu
17

sunnat, dan pengaruhnya adalah kesunnatan yang dituntut pelaksanaannya adalah

yang disunnatkan (al-mandub). Jika menghendaki larangan suatu pekerjaan yang

tuntutannya itu atas segi mewajibkan atau menetapkan, maka hukum itu adalah

haram, dan pengaruhnya keharaman yang dituntut berupa larangan suatu

pekerjaan itu adalah yang diharamkan (al-muharram).20

Jika menghendaki larangan suatu pekerjaan yang tuntutannya itu tidak atas

segi mewajibkan dan menetapkan, maka hukum itu adalah makruh, dan

pengaruhnya adalah kemakruhan yang dituntut berupa meninggalkan pekerjaan

itu adalah makruh. Jika memerintah untuk memilih kepada mukallaf di antara

mengerjakan atau meninggalkan, maka itu adalah mubah, dan pengaruhnya adalah

kebolehan yang disuruh memilih di antara melaksanakan atau meninggalkan

adalah mubah.21

b. Hukum Positif

Istilah hukum berasal dari terjemahan bahasa Inggris yaitu law, sedangkan

dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah recht. Mohammad Daud Ali

mengutip pendapat Donald Black yang memberikan definisi hukum sebagai

kontrol sosial dari pemerintah. Selanjutnya, Donald Black mengemukakan

pengertian kontrol sosial. Ada dua pengertian kontrol sosial, yaitu :22

- Kontrol sosial dalam arti sempit adalah aturan dan proses sosial yang

mencoba mendorong perilaku baik atau mencegah perilaku yang buruk.

20
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer
Iskandar al-Barsany – Moh. Tolchah Mansoer, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 158.
21
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer
Iskandar al-Barsany – Moh. Tolchah Mansoer, hal. 158.
22
Salim HS, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2010), hal. 21-22.
18

Misalnya, undang-undang yang melarang percurian, ada polisi, hakim,

serta pengadilan pidana mencoba menegakkannya.

- Kontrol sosial dalam arti luas adalah jaringan aturan dan proses

menyeluruh yang membawa akibat hukum terhadap perilaku tertentu.

Misalnya, tentang aturan umum mengenai hukum perbuatan melanggar

hukum. Jika saya berkendara dengan ceroboh atau terlalu cepat di tempat

parkir dan menabrak bemper mobil orang lain, maka di situ timbul akibat

hukum yang sangat jelas. Menabrak bemper bukanlah kejahatan, namun

bagi penabrak wajib membayar ganti rugi terhadap kerugian yang diderita

pemilik mobil.

C.S.T. Kancil mengutip pendapat Utrecht, hukum itu adalah himpunan

peraturan-peraturan (perintah-perintah atau larangan-larangan) yang mengurus

tata tertib suatu masyarakat dan harus ditaati oleh masyarakat itu. Hukum

memiliki beberapa unsur, antara lain :23

- Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.

- Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.

- Peraturan itu bersifat memaksa.

- Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.

Penggolongan hukum menurut kepentingannya merupakan

pengelompokan hukum atas dasar urusan, kebutuhan, atau keperluan dari warga

masyarakat yang akan diatur oleh hukum. Salim HS mengutip pendapat Ulpianus

merupakan ahli hukum pertama yang telah membagi hukum menjadi hukum

23
C.S.T. Kancil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1986), hal. 38-39.
19

publik dan hukum privat (perdata). Hukum publik adalah hukum yang

berhubungan dengan kesejahteraan negara. Hukum perdata adalah hukum yang

mengurus kepentingan purusa-purusa (hubungan) khusus.24

2. Sumber Hukum

a. Hukum Islam

Sumber adalah asal sesuatu. Sumber hukum Islam adalah asal (tempat

pengambilan) hukum Islam. Allah telah menentukan sendiri sumber hukum Islam

yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Adapun sumber hukum Islam adalah Al-

Qur‟an dan Al-Hadits.25

- Al-Qur‟an

Al-Qur‟an merupakan kitab suci yang berisi wahyu Ilahi yang menjadi

pedoman hidup kepada manusia yang tidak ada keragu-raguan di dalamnya.

Selain itu, Al-Qur‟an menjadi petunjuk yang dapat menciptakan manusia menjadi

bertakwa kepada Allah SWT. Oleh karena itu, Al-Qur‟an banyak mengemukakan

prinsip-prinsip umum yang mengatur kehidupan manusia dalam beribadah kepada

Allah SWT, meskipun kegiatan muamalah terjadi secara interaktif antara sesama

manusia, termasuk alam semesta.26 Allah SWT berfirman :

         

Artinya : Kitab Al-Qur‟an ini, tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka
yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 2).

24
Salim HS, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, hal. 27.
25
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), hal. 24.
26
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, hal. 25.
20

...     

Artinya : Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur‟an, agar kamu menjelaskan


kepada umat manusia ... (QS. Al-Nahl: 44).

Selanjutnya, Mohammad Daud Ali mengutip pendapat Sayyid Husein

Nasr yang berkata “sebagai pedoman abadi, Al-Qur‟an mempunyai tiga petunjuk

bagi manusia”, antara lain : 27

Pertama, adalah ajaran yang memberi pengetahuan tentang struktur

(susunan) kenyataan alam semesta dan posisi berbagai makhluk, termasuk

manusia, serta benda-benda di jagad raya. Ia juga mengandung metafisika tentang

Tuhan, kosmologi dan pembahasan tentang kehidupan akhirat. Ia berisi segala

pelajaran yang diperlukan manusia untuk mengetahui siapa dirinya, di mana ia

berada sekarang (dunia) dan ke mana ia akan pergi (akhirat). Ia berisi petunjuk

tentang iman atau keyakinan, syariat atau hukum, akhlak atau moral yang perlu

dipedomani manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Kedua, Al-Qur‟an berisi petunjuk yang menyerupai sejarah manusia,

rakyat biasa, raja-raja, orang-orang suci, para nabi sepanjang zaman dan segala

cobaan yang menimpa mereka.

Ketiga, Al-Qur‟an berisi sesuatu yang sulit untuk dijelaskan dalam bahasa

biasa. Ayat-ayat Al-Qur‟an, karena berasal dari firman Tuhan, mengandung

kekuatan yang berbeda dari apa yang dapat kita pelajari secara rasional.

27
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Hukum dan Tata Hukum Islam Di
Indonesia, (Jakarta: RT. RajaGrafindo Persada, 1990), hal. 80-82.
21

- Al-Hadits

As-Sunnah atau Al-Hadits adalah sumber hukum Islam kedua setelah Al-

Qur‟an, berupa perkataan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi‟liyah), dan

sikap diam (sunnah taqririyah) yang berasal dari Rasulullah SAW semasa

hidupnya. Ia merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang Al-Qur‟an.28

Al-Hadits merupakan penjelasan hukum dalam firman Allah SWT. Allah SWT

memberi perintah untuk mengikuti segala hal yang keluar dari Rasulullah SAW

yang sama kuat dengan perintah yang terdapat dalam Al-Qur‟an, sesuai dengan

firman-Nya :

...        


Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah ... (QS. Al-Hasyr: 7).

Dalam pembahasan Al-Hadits, ditinjau dari segi jumlah orang yang

menyampaikannya dibagi menjadi tiga, yaitu :29

- Mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak menurut

akal tidak mungkin mereka bersepakat dusta serta disampaikan melalui

jalan indra.

- Masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak tetapi tidak

sampai kepada derajat mutawatir, baik karena jumlahnya maupun karena

tidak jalan indra.

- Ahad, yaitu yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih yang

tidak sampai kepada tingkat masyhur dan mutawatir.

28
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Hukum dan Tata Hukum Islam Di
Indonesia, hal. 97.
29
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, hal. 32-33.
22

Ditinjau dari segi kualitas hadits dibagi menjadi empat, yaitu :30

- Shahih, yaitu hadits sehat yang diriwayatkan oleh orang-orang yang

terpercaya dan kuat hafalannya, materinya baik, dan persambungan

sanadnya dapat dipertanggungjawabkan.

- Hasan, yaitu hadits yang memenuhi persyaratan hadits shahih kecuali di

segi hafalan pembawanya kurang baik.

- Dha‟if, yaitu hadits lemah, baik karena terputus salah satu sanadnya atau

karena salah seorang pembawanya kurang baik, dan lain-lain.

- Maudhu, yaitu hadits palsu, hadits yang dibuat oleh seseorang dan

dikatakan sebagai sabda atau perbuatan Rasul.

Dalam pembahasan hadits, perlu ditegaskan adanya ucapan-ucapan nabi

yang disebut hadits qudsi yang tidak menjadi bagian Al-Qur‟an, tetapi di

dalamnya Allah berbicara melalui nabi. Hadits Qudsi adalah hadits suci yang

isinya berasal dari Allah, disampaikan dengan kata-kata nabi sendiri. Meskipun

hadits ini jumlah sedikit, tetapi peranannya sangat penting sehingga menjadi dasar

kehidupan spiritual umat Islam bersama dengan beberapa surat tertentu di dalam

Al-Qur‟an.31

Selain sumber utama dalam hukum Islam yaitu Al-Qur‟an dan Al-Hadits,

Al-Ra‟yu adalah akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha,

berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya memahami kaidah-

kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam Al-Qur‟an, kaidah-kaidah

hukum yang bersifat umum terdapat dalam Sunnah Nabi dan merumuskannya
30
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, hal. 33.
31
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Hukum dan Tata Hukum Islam Di
Indonesia, hal. 101.
23

menjadi garis-garis hukum yang dapat diterapkan pada suatu kasus tertentu. Bisa

juga digunakan untuk berusaha merumuskan garis-garis atau kaidah-kaidah

hukum yang pengaturannya tidak terdapat di dalam kedua sumber utama hukum

Islam.32 Allah berfirman :

                 

            

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur‟an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan Hari
Kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(QS. An-Nisa: 59).

Selain itu Nabi Muhammad SAW bersabda :

ٌَّ ُ ‫عيَّ ٌَ قَا َه ِإرَا َح َن ٌَ ْاى َحا ِم ٌُ فَاجْ خ َ َٖذَ ث‬


َ َٗ ِٔ ‫عيَ ْي‬ َّ َّٚ‫صي‬
َ ُ‫اَّلل‬ َّ ‫ع٘ َه‬
َ ِ‫اَّلل‬ ُ ‫ع َِ َع َس‬ ِ ‫ع َْ ِشٗ ب ِِْ ْاى َع‬
َ ََُّّٔ‫اص أ‬ َ ِْ ‫ع‬
َ

‫طأ َ فَئَُ أَجْ ش‬


َ ‫اُ َٗ ِإرَا َح َن ٌَ فَاجْ خ َ َٖذَ ث ُ ٌَّ أ َ ْخ‬
ِ ‫اب فَئَُ أَجْ َش‬
َ ‫ص‬َ َ‫أ‬

Artinya : Dari Amr bin al-Ash yang mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Jika
seorang hakim memberi putusan, dia berijtihad dan ternyata hukumnya benar,
dia akan mendapatkan dua pahala. Dan apabila dia memberi putusan, dia
berijtihad dan ternyata hukumnya salah, dia akan mendapatkan satu pahala”.33
(HR. Muslim).

Ada beberapa metode dalam melakukan al-Ra‟yu, antara lain :

- Ijma‟ adalah kebulatan pendapat fuqaha mujtahidin di antara umat muslim

pada suatu masa atas sesuatu hukum sesudah masa Nabi Muhammad

SAW.34

32
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Hukum dan Tata Hukum Islam Di
Indonesia, hal. 111-112.
33
Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits 4: Shahih Muslim 2,
terj. Masybari – Tatam Wijaya, (Jakarta: Almahira, 2012), hal. 129.
34
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, hal. 39.
24

- Qiyas adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya

kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah

ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dan kejadian itu dalam illat

hukumnya.35

- Maslahat Mursalah adalah memperhatikan kepentingan masyarakat dan

memelihara tujuan hukum Islam, mengambil kebaikan dan menolak

kerusakan dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, maslahat

mursalah adalah penetapan ketentuan hukum berdasarkan kemaslahatan

(kebaikan, kepentingan) yang tidak ada ketentuan khusus dari syara‟.36

- Sadduz Zari‟ah adalah menghambat atau menutup sesuatu yang menjadi

jalan kerusakan untuk menolak kerusakan. Misalnya, dalam hal berdagang

seperti menjual senjata api hukumnya boleh, tapi bila menjualnya kepada

anggota teroris hukumnya menjadi haram karena sudah pasti akan

digunakan untuk melakukan terorisme.37

- Istihsan adalah memandang sesuatu baik, yang artinya memandang lebih

baik meninggalkan ketentuan dalil yang bersifat khusus untuk

mengamalkan ketentuan dalil yang bersifat umum yang dipandang lebih

kuat.38

- Istishshab adalah menetapkan suatu menurut keadaan sebelumnya,

sehingga terdapat dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau

menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal

35
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer
Iskandar al-Barsany – Moh. Tolchah Mansoer, hal. 74.
36
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, hal. 40.
37
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, hal. 40-41.
38
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, hal. 41-42.
25

menurut keadaan sehingga terdapat dalil yang menunjukkan atas

perubahannya.39

- „Urf adalah kebiasaan atau adat istiadat yang sudah turun-temurun

keberlakuannya di dalam masyarakat. „Urf yang dimaksud ada yang sesuai

ajaran Islam dan ada yang tidak sesuai. „Urf yang sesuai atau tidak

bertentangan dengan ajaran Islam biasa disebut hukum adat.40

b. Hukum Positif

Sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan

yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang

kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.41

Pada umumnya sumber hukum dapat dibagi menjadi dua, yaitu sumber

hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materiil adalah sumber

hukum yang menentukan isi hukum. Sumber ini diperlukan ketika akan

menyelidiki asal usul hukum dan menentukan isi hukum. Misalnya Pancasila,

sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang kemudian menjadi falsafah

Negara merupakan sumber hukum dalam arti materiil yang tidak saja menjiwai

bahkan dilaksanakan oleh setiap peraturan hukum. Karena Pancasila merupakan

alat penguji untuk setiap peraturan hukum yang berlaku, apakah ia bertentangan

atau tidak dengan Pancasila, sehingga peraturan hukum yang bertentangan dengan

Pancasila tidak boleh berlaku.42

39
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer
Iskandar al-Barsany – Moh. Tolchah Mansoer, hal. 134.
40
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, hal. 43.
41
C.S.T. Kancil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hal. 46.
42
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher,
2006), hal. 136-137.
26

Pancasila sebagai sumber hukum dari segala sumber hukum dalam arti

materiil, karena :43

- Pancasila merupakan isi dari sumber hukum.

- Pancasila merupakan pandangan hidup dan falsafah negara.

- Pancasila merupakan jiwa dari setiap peraturan yang dibuat, diberlakukan,

segala sesuatu peraturan perundang-undangan atau hukum apapun yang

bertentangan dengan jiwa „Pancasila‟ harus dicabut dan dinyatakan tidak

berlaku.

Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang dikenal dalam

bentuknya. Karena bentuknya itulah sumber hukum formil diketahui dan ditaati

sehingga hukum berlaku umum. Selama belum mempunyai bentuk, suatu hukum

baru merupakan perasaan hukum dalam masyarakat atau baru merupakan cita-cita

hukum, oleh karenanya belum mempunyai kekuatan mengikat.44

Sumber hukum formil terbagi menjadi lima, antara lain :

- Undang-undang (Statute)

Undang-undang ialah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan

hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara. Undang-

undang mempunyai dua arti, yakni :45

Pertama, undang-undang dalam arti formil ialah setiap keputusan

Pemerintah yang merupakan undang-undang karena cara pembuatannya.

Misalnya, sebuah undang-undang dibuat oleh Pemerintah bersama-sama dengan

43
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, hal. 137.
44
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, hal. 115.
45
C.S.T. Kancil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hal. 46-47.
27

Parlemen. Kedua, undang-undang dalam arti materiil ialah setiap keputusan

Pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk.

- Kebiasaan (Custom)

Pada dasarnya undang-undang dibuat untuk mengatur segala hal dalam

kehidupan bermasyarakat, namun kini umumnya orang yakin, bahwa undang-

undang takkan pernah lengkap. Kehidupan masyarakat demikian rumitnya dan

berubah-ubah, sehingga pembentuk undang-undang tak mungkin memenuhi

segala pertanyaan hukum yang timbul dari kehidupan masyakarakat. Tak ada

sesuatu perundang-undangan yang dapat mengikuti pandangan yang berganti-

ganti dan hubungan yang berubah-ubah dalam masyarakat.46

Hukum undang-undang yang memberikan sekedar sifat kepastian pada

peraturan-peraturan hubungan masyarakat, terdapat kebutuhan akan pembentukan

hukum yang lain, yang mempunyai cukup gaya berubah, untuk dapat

menyesuaikan diri dengan hubungan sosial yang selalu berubah-ubah. Hukum

kebiasaan memenuhi kebutuhan tersebut.47

Kebiasaan adalah suatu tata cara hidup yang dianut oleh suatu masyarakat

atau suatu bangsa dalam waktu yang lama pada hakikatnya memberikan pedoman

bagi masyarakat atau bangsa yang bersangkutan untuk berpikir dan bersikap

tindak dalam menghadapi berbagai hal pada kehidupannya. Pipin Syarifin

mengutip pendapat Mr. J.H. Bellefroid yang mengatakan hukum kebiasaan adalah

juga dinamakan kebiasaan saja, meliputi semua peraturan-peraturan yang

46
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terj. Oetarid Sadino, (Jakarta: PT. Pradnya
Paramita, 2011), hal. 112.
47
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terj. Oetarid Sadino, hal. 117.
28

walaupun tidak ditetapkan oleh Pemerintah, tetapi ditaati oleh seluruh rakyat,

karena mereka yakin bahwa peraturan itu berlaku sebagai hukum.48

- Keputusan-keputusan Hakim (Yurisprudensi)

Yurisprudensi dapat diartikan sebagai keputusan hakim terdahulu yang

diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah

yang sama atau serupa.49 Hal ini berarti pula bahwa yurisprudensi adalah hukum

hasil penetapan seorang hakim terhadap masalah atau perkara yang dihadapi dan

merupakan hasil pemikirannya karena untuk perkara tersebut, tidak ada undang-

undang yang mengaturnya atau kurang jelas undang-undangnya yang kemudian

diikuti oleh hakim lain. Istilah yurisprudensi sering digunakan juga untuk

menyebut kumpulan putusan pengadilan.50

- Perjanjian (Traktat)

Traktat (Treaty) adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua negara

atau lebih yang isinya mengatur masalah-masalah tertentu yang berkenaan dengan

kepentingan masing-masing negara, misalnya kepentingan batas wilayah (darat,

laut, udara), hubungan diplomatik, kepentingan perekonomian, pertahanan

keamanan bersama, dan sebagainya.51 Menurut hukum antar negara traktat itu

baru mengikat sesudah dikukuhkan atau diratifisir dengan suatu pernyataan resmi

dari kepala negara (yang mewakili negara terhadap negara lain).52

48
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hal. 115.
49
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, hal. 121.
50
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, hal. 135.
51
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, hal. 117.
52
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terj. Oetarid Sadino, hal. 152.
29

- Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)

Kata “doctrine” (dalam bahasa Belanda) adalah pendapat para ahli hukum

yang ternama kemudian diterima sebagai dasar atau asas-asas penting dalam

hukum dan penerapannya atau disebut ajaran kaum sarjana hukum. 53 Pendapat

para sarjana hukum yang ternama mempunyai kekuasaan dan berpengaruh dalam

pengambilan keputusan oleh hakim. Terutama dalam hubungan internasional

pendapat-pendapat para sarjana hukum mempunyai pengaruh yang besar. Bagi

hukum internasional pendapat para sarjana hukum merupakan sumber hukum

yang sangat penting.54

3. Tujuan Hukum

a. Hukum Islam

Islam sebagai (agama) wahyu dari Allah SWT yang berdimensi rahmatan

li „al alamin memberi pedoman hidup kepada manusia secara menyeluruh,

menuju tercapainya kebahagiaan hidup rohani dan jasmani serta untuk mengatur

tata kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun bermasyarakat. Secara

umum tujuan penciptaan dan penetapan hukum oleh Allah SWT adalah untuk

kepentingan, kemaslahatan, dan kebahagiaan manusia seluruhnya, baik di dunia

maupun di akhirat.55 Ungkapan tersebut sesuai dengan firman-Nya :

                

       

Artinya : Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, berilah
kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa

53
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, hal. 128.
54
C.S.T. Kancil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hal. 51.
55
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, hal. 10.
30

api neraka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian dari apa yang
mereka usahakan dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya. (QS. Al-Baqarah:
201-202).

Di dalam hukum Islam, ada beberapa kepentingan yang harus dicapai

untuk mencapai kemaslahatan. Urutan kemaslahatan ini berbeda-beda dan terdiri

dari tiga tingkatan :56

Pertama (al-dharuriyat) atau kepentingan primer. Yakni yang tanpa

tingkatan ini sisi-sisi dari kemaslahatan tersebut tidak terwujud. Tingkatan ini

bagi jiwa ialah terlindunginya hidup (jiwa), anggota badan dan setiap sesuatu

yang tanpanya hidup menjadi tidak normal atau malah lenyap. Untuk harta adalah

sesuatu di mana tanpanya harta tidak terlindungi. Begitu juga untuk keturunan dan

agama. Muhammad Abu Zahrah mengutip pendapat Imam Ghazali yang

menuturkan, kemaslahatan-kemaslahatan yang lima ini (Maqashid Syari‟ah),

wajib dilindungi dalam tingkatan daruriyat.

Kedua (al-hajiyat) atau kepentingan sekunder. Yakni kepentingan di mana

hukum syara‟ hadir di dalamnya bukan untuk melindungi langsung terhadap lima

perkara pokok di atas, melainkan untuk mencegah kesulitan atau hal yang

memberatkan, atau sebagai upaya preventif demi terlindunginya lima pokok di

atas, seperti diharamkannya jual beli khamar (miras) agar masyarakat tidak mudah

untuk mendapatkannya, diharamkannya melihat aurat wanita untuk menghindari

perzinaan, dan lain-lain.

Ketiga (al-tahsiniyat) atau kepentingan tersier. Tanpa tingkatan ini

kemaslahatan inti yang lima di atas berjalan dan terwujud. Ia hanya melindungi

56
Muhammad Abu Zahrah, Fiqh Islam Mazhab dan Aliran, terj. Nahbani Idris,
(Tangerang Selatan: Gaya Media Pratama, 2014), hal. 68-70.
31

kemuliaan dan mencegah kehinaan. Contohnya celaan atau panggilan-panggilan

buruk. Perbuatan ini dilarang untuk memperindah kehidupan.

Ketika kemaslahatan merupakan tujuan hukum syara‟, maka hukum

syara‟ sangat memperhatikan kemaslahatan seseorang, namun jika kemaslahatan

seorang tersebut kontradiksi dengan kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum

syara‟ menolak kemaslahatan seseorang karena dipandanganya sebagai suatu

mudharat yang harus dihilangkan.57

b. Hukum Positif

Tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup secara damai. Perdamaian

di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-

kepentingan manusia yang tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda,

dan sebagainya, dari hal-hal yang merugikan.58

Dalam banyak literatur dikemukakan bahwa tujuan hukum atau cita

hukum tidak lain daripada keadilan. LJ. Van Apeldoorn mengutip pendapat

Gustav Radbruch, di antaranya menyatakan bahwa cita hukum tidak lain daripada

keadilan. Selanjutnya ia mengatakan “est autem jus a justitia, sicut a matre sua

ergo prius fuit justitia quam jus”. Menurut Ulpianus, “justitia est perpetua et

constans voluntas jus suum cuique tribuendi” yang kalau diterjemahkan secara

bebas keadilan adalah suatu keinginan yang terus-menerus dan tetap untuk

memberikan kepada orang apa yang menjadi haknya.59

57
Muhammad Abu Zahrah, Fiqh Islam Mazhab dan Aliran, terj. Nahbani Idris, hal. 74.
58
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terj. Oetarid Sadino, hal. 10-11.
59
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008), hal. 121.
32

Peter Mahmud Ali mengutip pendapat Thomas Hobbes yang

mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban sosial,

sejak itu pula ketertiban dipandang sebagai sesuatu yang mutlak harus diciptakan

oleh hukum. Pandangan demikian tidak tepat sebab yang dimaksudkan keadaan

tidak kacau balau sebenarnya bukannya tertib (order), melainkan damai sejahtera

(peace).60

B. Kebudayaan

1. Pengertian Kebudayaan

Kata kebudayaan berasal dari kata budh dalam bahasa Sansekerta yang

berarti akal, kemudian menjadi kata budhi (tunggal) atau budhaya (majemuk),

sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Ada

pendapat yang mengatakan bahwa kebudayaan berasal dari kata budi dan daya.

Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan, sedangkan

daya adalah perbuatan atau ikhtiar sebagai unsur jasmani, sehingga kebudayaan

diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia.61

Pendapat lain mengatakan, bahwa “budaya” adalah sebagai suatu

perkembangan dari kata majemuk budi-daya, yang berarti daya dari budi, karena

itu mereka membedakan antara budaya dengan kebudayaan. Budaya adalah daya

dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Sementara itu, kebudayaan adalah

hasil dari cipta, karsa, dan rasa tersebut.62

60
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, hal. 128.
61
Supartono Widyosiswoyo, Ilmu Budaya Dasar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 30.
62
Djoko Widagdho, dkk, Ilmu Dasar Budaya, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hal. 18.
33

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebudayaan

Supartono Widyosiswoyo mengutip pendapat Dr. H.Th. Fischer dalam

buku Pengantar Antropologi, ada sejumlah faktor yang mempengaruhi

kebudayaan dan secara garis besar, sebagai berikut :63

1. Faktor Kitaran Geografis, merupakan sesuatu corak budaya sekelompok

masyarakat. Dengan kata lain, faktor kitaran geografis merupakan

determinisme yang berperan besar dalam pembentukan suatu kebudayaan.

2. Faktor Induk Bangsa, ada dua pandangan yang berbeda mengenai faktor

induk bangsa ini, yaitu pandangan Barat dan pandangan Timur. Pandangan

Barat berpendapat bahwa perbedaan induk bangsa dari beberapa kelompok

masyarakat mempunyai pengaruh terhadap suatu corak kebudayaan.

Berdasarkan pandangan Barat, umumnya tingkat peradaban didasarkan pada

ras. Sedangankan pandangan Timur, berpendapat bahwa peranan induk

bangsa bukanlah sebagai faktor yang mempengaruhi kebudayaan.

3. Faktor Saling Kontak Antarbangsa, hubungan antarbangsa yang makin

mudah akibat sarana perhubungan yang makin sempurna menyebabkan satu

bangsa mudah berhubungan dengan bangsa lain. Akibat adanya hubungan

antarbangsa ini, dapat atau tidaknya suatu bangsa mempertahankan

kebudayaannya tergantung dari pengaruh kebudayaan asing, jika lebih kuat

maka kebudayaan asli dapat bertahan. Sebaliknya, apabila kebudayaan asli

lebih lemah daripada kebudayaan asing maka lenyaplah kebudayaan asli dan

budaya jajahan yang sifatnya tiruan.

63
Supartono Widyosiswoyo, Ilmu Budaya Dasar, hal. 32-33.
34

BAB III

TINJAUAN UMUM PERATURAN BUPATI PURWAKARTA

NO. 70A TAHUN 2015 TENTANG DESA BERBUDAYA

A. Gambaran Umum Kabupaten Purwakarta

1. Sejarah Kabupaten Purwakarta

Keberadaan Purwakarta tidak lepas dari sejarah perjuangan melawan

pasukan VOC. Sekitar awal abad ke-17, Sultan Mataram mengirimkan pasukan

yang dipimpin oleh Bupati Surabaya ke Jawa Barat untuk menundukkan Sultan

Banten. Tetapi dalam perjalanannya berbenturan dengan pasukan VOC sehingga

terpaksa mengundurkan diri. Setelah itu, dikirimkan kembali ekspedisi kedua dari

Pasukan Mataram di bawah pimpinan Dipati Ukur.64

Ekspedisi kedua ini mengalami nasib yang sama. Untuk menghambat

perluasan wilayah kekuasaan kompeni (VOC), Sultan Mataram mengutus

Penembahan Galuh (Ciamis) bernama R.A.A. Wirasuta yang bergelar Adipati

Panatayuda atau Adipati Kertabumi III untuk menduduki Rangkas Sumedang

(Sebelah Timur Citarum). Selain itu, juga mendirikan benteng pertahanan di

Tanjungpura, Adiarsa, Parakansapi, dan Kuta Tandingin. Setelah mendirikan

benteng tersebut Adipati Kertabumi III kemudian kembali ke Galuh dan wafat.

Nama Rangkas Sumedang itu sendiri berubah menjadi Karawang karena kondisi

daerahnya berawa-rawa (Karawaan dalam bahasa Sunda).65

64
Handri Mulyandi, Sejarah Purwakarta, diunduh pada tanggal 10 April 2016 dari http
://bule-sang.blogspot.co.id/2011/04/sejarah-kota-purwakarta_26.html.
65
Handri Mulyandi, Sejarah Purwakarta.
35

Sultan Agung Mataram kemudian mengangkat putra Adipati Kertabumi

III, yakni Adipati Kertabumi IV menjadi Dalem (Bupati) di Karawang, pada tahun

1656. Adipati Kertabumi IV ini juga dikenal sebagai Panembahan Singaperbangsa

atau Eyang Manggung, dengan ibu kota di Udug-udug. Antara tahun 1819-1826

Pemerintahan Belanda melepaskan diri dari Pemerintahan Inggris yang ditandai

dengan upaya pengembalian kewenangan dari para Bupati kepada Gubernur

Jenderal van der Capellen.66

Dengan demikian Kabupaten Karawang dihidupkan kembali sekitar tahun

1820, meliputi wilayah tanah yang terletak di sebelah Timur kali Citarum/Cibeet

dan sebelah Barat kali Cipunaga. Dalam hal ini kecuali Onder Distrik Gandasoli,

sekarang Kecamatan Plered pada waktu itu termasuk Kabupaten Bandung.

Sebagai Bupati I Kabupaten Karawang yang dihidupkan kembali dengan

diangkatnya R.A.A. Surinata dari Bogor sebagai Dalem Santri yang kemudian

memilih ibu kota Kabupaten di Wanayasa.67

Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Suriawinata atau Dalem Sholawat,

pada tahun 1830 ibu kota dipindahkan dari Winayasa ke Sindangkasih, yang

kemudian diberi nama “PURWAKARTA” yang artinya Purwa: permulaan, karta:

ramai/hidup. Diresmikan berdasarkan besluit (surat keputusan) pemerintah

kolonial (Gubernur Jenderal Hindia-Belanda) tanggal 20 Juli 1831 No. 2. Akan

tetapi, nama Sindangkasih tetap digunakan, yaitu sebagai nama distrik di wilayah

ibu kota kabupaten (sekarang menjadi nama kelurahan). Keputusan tentang

pemberian nama Purwakarta untuk ibu kota baru Kabupaten Karawang itu
66
Website Resmi Pemerintahan Kabupaten Purwakarta, Sejarah Purwakarta, diunduh
pada tanggal 15 Februari 2016 dari http ://purwakartakab.go.id/web2/sejarah-purwakarta/.
67
Website Resmi Pemerintahan Kabupaten Purwakarta, Sejarah Purwakarta.
36

diumumkan dalam surat kabar pemerintah, Javasche Courant No. 97 yang terbit

Selasa tanggal 16 Agustus 1831 sebagai berikut: Door den Gouverneur in Rade, is

bepaald dat de hoofdplaats de Assistant-residentie Krawang, voortan den naam

Poerwakarta (Gubernur Jenderal telah menetapkan, bahwa sejak waktu itu ibu

kota Afdeling/Kabupaten Karawang bernama Purwakarta).68

Surat keputusan tersebut adalah sumber akurat dan primer serta

mengandung makna yuridis formal. Oleh karena itu, tanggal 20 Juli 1831

merupakan fakta sejarah tentang berdirinya kota/tempat bernama Purwakarta.

Momentum inilah yang kemudian menjadi dasar dari Hari Jadi Purwakarta yang

diperingati tiap tahun.69

Dari uraian sejarah Kabupaten Purwakarta di atas, bahwa keberadaan

Purwakarta untuk menjadi sebuah kabupaten melalui beberapa perjuangan. Mulai

dari perlawanan menghadapi pasukan VOC, Sultan Mataram yang mengirim

pasukan sampai dua ekspedisi untuk menundukkan Sultan Banten kandas, karena

berhadapan dengan pasukan VOC. Lalu Sultan Mataram mengutus Penembahan

Galuh yang bernama R.A.A Wirasuta untuk menduduki Rangkas Sumedang

(Karawang), tak lama setelah mendirikan beberapa benteng pertahanan di

Rangkas Sumedang beliau wafat. Akhirnya Sultan Agung Mataram kemudian

mengangkat putra Adipati Kertabumi III (Adipati Kertabumi IV) menjadi Dalem

di Karawang.

Pemerintahan Belanda pun melepaskan diri dari Pemerintahan Inggris

dengan upaya pengembalian kewenangan dari para Bupati kepada Gubernur

68
Website Resmi Pemerintahan Kabupaten Purwakarta, Sejarah Purwakarta.
69
Website Resmi Pemerintahan Kabupaten Purwakarta, Sejarah Purwakarta.
37

Jenderal van der Capellen. Pada masa pemerintahan R.A Suriwinata, ibu kota

dipindahkan dari Winayasa ke Sindangkasih, yang kemudian diberi nama

“PURWAKARTA” yang berarti purwa (permulaan) dan karta (ramai/hidup). Lalu

muncul surat keputusan pemerintah tanggal 20 Juli 1831 yang menyatakan bahwa

Purwakarta menjadi nama ibu kota baru dari Kabupaten Karawang. Oleh karena

itu, setiap tanggal 20 Juli diperingati sebagai Hari Jadi Purwakarta yang dirayakan

setiap tahun.

2. Letak Geografis dan Demografi Kabupaten Purwakarta

Kabupaten Purwakarta merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa

Barat yang terletak di antara 107o30 – 107o40 BT dan 6o25 - 6o45 LS. Secara

administratif, Kabupaten Purwakarta mempunyai batas wilayah sebagai berikut :70

a. Bagian Barat dan sebagian wilayah Utara berbatasan dengan Kabupaten

Karawang.

b. Bagian Utara dan sebagian wilayah bagian Timur berbatasan dengan

Kabupaten Subang.

c. Bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung.

d. Bagian Barat Daya berbatasan dengan Kabupaten Cianjur.

Kabupaten Purwakarta berada pada titik-temu tiga jalur utama lalu lintas

yang sangat strategis, yaitu jalur Purwakarta-Jakarta, Purwakarta-Bandung, dan

Purwakarta-Cirebon yang merupakan jalur utama ke wilayah Jawa Tengah. Luas

wilayah Kabupaten Purwakarta tercatat 971,72 km2 atau sekitar 2,81 persen dari

wilayah Provinsi Jawa Barat. Sejak januari 2011, Kabupaten Purwakarta

70
Website Resmi Pemerintahan Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Purwakarta, diunduh
pada tanggal 18 Februari 2016 dari http ://www1.jabarprov.go.id/index.php/pages/id/1054.
38

mempunyai 17 kecamatan dengan 192 desa/kelurahan (183 desa dan 9 kelurahan).

Jarak antara kecamatan bervariasi, di mana jarak terdekat sepanjang 4 km terdapat

antara Kecamatan Sukatani dengan Kecamatan Plered. Sementara jarak terjauh

adalah 60 km yang terdapat antara Kecamatan Bojong dengan Kecamatan

Sukasari.71

Demografi (demography), dari segi kata merupakan istilah yang berasal

dari dua kata Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk, dan grafien

yang berarti menggambar atau menulis. Oleh karena itu, demografi dapat

diartikan sebagai tulisan atau gambaran tentang penduduk. Secara umum,

gambaran penduduk atau statistik dan data kependudukan sangat diperlukan

terutama oleh para pembuat kebijakan, baik di kalangan pemerintah maupun non-

pemerintah. Data tentang jumlah dan pertumbuhan penduduk misalnya, digunakan

sebagai informasi dasar dalam pengembangan kebijakan penurunan angka

kelahiran, peningkatan layanan kesehatan, pengarahan penyebaran penduduk,

persediaan kebutuhan penduduk akan makanan, pendidikan, perumahan, dan

lapangan pekerjaan.72

Menurut Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten

Purwakarta semester II tahun 2015, jumlah penduduk Kabupaten Purwakarta

adalah 885.853 jiwa dengan perbandingan penduduk laki-laki 448.948 jiwa dan

penduduk perempuan 436.905 jiwa. Dari segi keagamaan, mayoritas Masyarakat

Purwakarta beragama Islam dengan jumlah 877.146 jiwa, kemudian Kristen 6.256

71
Website Resmi Pemerintahan Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Purwakarta.
72
Sri Moertiningsih Adioetomo - Omas Bulan Samosir, Dasar-Dasar Demografi, (Jakarta:
Salemba Empat, 2011), hal 1.
39

jiwa, Katholik 1.821 jiwa, Hindu 137 jiwa, Budha 484 jiwa, Konghucu 9 jiwa,

dan Kepercayaan 0 jiwa.

3. Kondisi Perekonomian dan Pendidikan Di Kabupaten Purwakarta

Kondisi perekonomian di Kabupaten Purwakarta termasuk golongan

menengah ke bawah, hal ini karena tingkat pengangguran masih tinggi. Dari

885.853 jumlah penduduk sebagian besar belum/tidak bekerja dan hanya

mengurus rumah tangga. Sebagian penduduk bekerja sebagai buruh harian lepas,

lalu disusul oleh karyawan swasta, wiraswasta, petani kebun, dan pegawai negeri

sipil. Dan sebagian lainnya masih duduk di bangku sekolah dan perguruan tinggi.

Penduduk menurut jenis profesi atau pekerjaan :

No Jenis Profesi/Pekerjaan Jumlah Orang

1 Belum/Tidak Bekerja 205.000 orang

2 Mengurus Rumah Tangga 222.157 orang

3 Pelajar/Mahasiswa 164.194 orang

4. Buruh Harian Lepas 94.187 orang

5. Karyawan Swasta 71.621 orang

6. Wiraswasta 70.369 orang

7. Petani Kebun 19.935 orang

8. Pegawai Negeri Sipil 10.415 orang

9. Lain-lain 27.890 orang


40

Kondisi pendidikan di Kabupaten Purwakarta dapat dikatakan kurang

peduli pendidikan, karena masih banyak penduduk yang belum sekolah, tidak

tamat SD, dan hanya tamat sampai SD. Ini adalah tingkat pendidikan di

Kabupaten Purwakarta :

No Pendidikan Jumlah Orang

1. Belum Sekolah 173.699 orang

2. Tidak Tamat SD 96.935 orang

3. Tamat SD 304.193 orang

4. Tamat SMP 128.766 orang

5. Tamat SMA 150.966 orang

6. Diploma II 1.803 orang

7. Diploma III 9.321 orang

8. Strata I 19.205 orang

9. Strata II 935 orang

10. Strata III 30 orang

B. Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015 tentang Desa

Berbudaya

1. Latar Belakang Terbentuknya Peraturan

Terbentuknya peraturan ini tidak terlepas dari peranan seorang bupati

nyentrik yang sering mengenakan pakaian pangsi (pakaian khas sunda) dan ikat

kepala berwarna putih ialah Dedi Mulyadi. Dedi Mulyadi, seorang yang lahir di

Kampung Sukadaya, Desa Sukasari, Kecamatan Dawuan, Kabupaten Subang

pada tanggal 11 April 1971. Beliau adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara.
41

Ayahnya Sahlin Ahmad adalah seorang pensiunan Tentara Prajurit Kader yang

dipensiunkan muda pada usia 28 tahun akibat sakit yang diderita sebagai dampak

racun mata-mata tentara Belanda. Sementara ibunya Karsiti yang tidak sekolah,

saat mudanya adalah seorang aktivis Palang Merah Indonesia.73

Seorang yang akrab disebut dengan Kang Dedi ini, memulai jenjang

pendidikannya mulai dari Sekolah Dasar Sukabakti sampai lulus tahun 1984, dan

sekolah di SMP Negeri Kalijati sampai tahun 1987. Kemudian melanjutkan

sekolah di SMA Negeri Purwadadi sampai tahun 1990. Sambil berkiprah

diberbagai organisasi, beliau kembali melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi,

tepatnya di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Purnawarman sampai lulus tahun 1999.

Pemuda energik yang mempunyai prinsip hidup, berpikir cermat dan bertindak

tepat serta aktif berorganisasi.74

Kemudian pada tahun 2008 tepatnya pada bulan Maret melalui Pemilihan

Umum Kepala Daerah (Pilkada) yang langsung dipilih oleh rakyat, beliau berhasil

menjadi Bupati Purwakarta berdampingan dengan Drs. H. Dudung B. Supardi,

MM yang menjabat sebagai Wakil Bupati sampai tahun 2013. Lalu pada

Pemilihan Kepala Daerah tahun 2013, beliau terpilih kembali menjadi Bupati

Purwakarta berdampingan dengan Drs. H. Dadan Koswara sampai dengan

sekarang, namun beliau tetap mengutamakan keluarganya. Buah perkawinannya

73
Dedi Mulyadi, Setitik Kisah Hidup “Kang H. Dedi Mulyadi, SH”, diunduh pada tanggal
12 April 2016 dari http ://dedimulyadi-bupati.blogspot.co.id/2009/10/setitik-kisah-hidup-kang-h-
dedi-mulyadi_13.html.
74
Website Resmi Pemerintahan Kabupaten Purwakarta, Kepala Daerah, diunduh pada
tanggal 12 April 2016 dari http ://www.purwakartakab.go.id/kepala-daerah.php.
42

dengan Anne Ratna Mustika. Saat ini mereka sudah dikaruniai 2 orang anak yaitu

Maulana Akbar Ahman Habibie dan Yudistira Manunggaling Rahmaning Hurip.75

Pada tanggal 15 Juni 2015, Dedi Mulyadi telah menetapkan sebuah

Peraturan Bupati No. 70a tahun 2015 Tentang Desa Berbudaya yang di dalam

peraturan tersebut ada beberapa pasal yang unik. Dalam pembuatan peraturan ini,

ada beberapa pihak yang terlibat di dalamnya, antara lain: Asisten Sekretaris

Daerah Bidang Pemerintahan, Bagian Hukum, Bagian Pemerintah Desa, dan

Organisasi Perangkat Daerah yang terkait. Peraturan ini berisi tentang Desa

Berbudaya yang artinya desa yang dibangun dalam kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan dan nilai-nilai

kearifan lokal.76

Peraturan ini dibuat dalam rangka penguatan tugas, fungsi, dan peranan

Pemerintahan Desa maka diperlukan suatu penyelenggaraan Pemerintahan Desa

yang berbasis budaya dan nilai-nilai kearifan lokal yang terintegrasi dengan

sistem pemerintahan desa secara nasional dengan berpedoman kepada peraturan

perundang-undangan. Selain itu untuk mewujudkan penguatan tugas, fungsi, dan

peranan Pemerintahan Desa, perlu dibentuk Desa Berbudaya di Kabupaten

Purwakarta dengan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan.77

75
Website Resmi Pemerintahan Kabupaten Purwakarta, Kepala Daerah.
76
Hasil wawancara dengan H. Dedi Mulyadi, S.H pada tanggal 22 Maret 2016.
77
Hasil wawancara dengan H. Dedi Mulyadi, S.H pada tanggal 22 Maret 2016.
43

2. Sistematika Peraturan

Dalam Peraturan Bupati ini, berisi 10 BAB dan 17 Pasal yang disusun

dengan sistematika sebagai berikut :

Konsideran (Menimbang), sebagaimana umumnya sebuah peraturan

perundang-undangan, konsideran berisi tentang landasan-landasan keberlakuan,

seperti landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam peraturan ini salah satu

landasannya adalah untuk penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang berbasis

budaya dan nilai-nilai kearifan lokal.78

Dasar Hukum (Mengingat), setiap peraturan harus memiliki dasar hukum

yang bertujuan sebagai dasar kewenangan dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan tersebut. Dalam peraturan ini salah satu dasar

kewenangannya adalah Undang-Undang No. 14 Tahun 1950 Tentang

Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Provinsi Djawa Barat

yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1968 Tentang

Pembentukan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang.79

Bab Pertama, bab ini berisi tentang ketentuan umum yang terdiri dari Pasal

1 dan Pasal 2. Pasal 1 membahas pengertian Pemerintahan Daerah, Bupati, Desa,

Pemerintahan Desa, Pemerintah Desa, Majelis Budaya Desa, Desa Berbudaya,

dan Pasal 2 membahas maksud dan tujuan pembentukan Peraturan Bupati.80

78
Menimbang dalam Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa
Berbudaya.
79
Mengingat dalam Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa
Berbudaya.
80
BAB I dalam Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa
Berbudaya.
44

Bab Kedua, bab ini berisi tentang ruang lingkup yang terdiri dari Pasal 3.

Ruang Lingkup Peraturan Bupati, antara lain: pembentukan dan penyelenggaraan

pemerintahan desa, standarisasi infrastruktur desa, dan lain-lain.81

Bab Ketiga, bab ini berisi tentang pembentukan dan penyelenggaraan

pemerintahan desa yang terdiri dari Pasal 4. Bahwa dalam pembentukan dan

penyelenggaraan pemerintahan desa harus berorientasi kepada nilai-nilai budaya

lokal serta nilai-nilai budaya lokal yang berbeda di setiap desa wajib dilestarikan

oleh masyarakat desa.82

Bab Keempat, bab ini berisi tentang standarisasi infrastruktur desa yang

terdiri dari Pasal 5. Bahwa dalam pembangunan infrastruktur desa wajib memiliki

standarisasi konstruksi, kualitas, bentuk, dan estetika, serta standarisasi

infrastruktur desa meliputi bangunan pemerintahan desa, desain interior eksterior

sarana pemerintahan desa, jalan atau jembatan desa, dan lain-lain.83

Bab Kelima, bab ini berisi tentang penataan kehidupan sosial, lingkungan

hidup, kepariwisataan, dan keamanan yang terdiri dari Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,

Pasal 9, dan Pasal 10. Dalam Pasal 6 membahas tentang penataan kehidupan

sosial, Pasal 7 menbahas penataan lingkungan hidup, Pasal 8 membahas penataan

kepariswisataan, Pasal 9 membahas penataan keamanan, dan Pasal 10 penjabaran

lebih lanjut yang dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9.84

81
BAB II dalam Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa
Berbudaya.
82
BAB III dalam Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa
Berbudaya.
83
BAB IV dalam Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa
Berbudaya.
84
BAB V dalam Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa
Berbudaya.
45

Bab Keenam, bab ini berisi tentang ketahanan pangan yang terdiri dari

Pasal 11. Bahwa pemerintah desa wajib menjaga dan meningkatkan ketahanan

pangan melalui kegiatan, antara lain: pengadaan lumbung padi di setiap

keluaga/RT/RW/Desa, dan lain-lain.85

Bab Ketujuh, bab ini berisi tentang peranan majelis budaya desa yang

terdiri dari Pasal 12 dan Pasal 13. Majelis Budaya Desa memiliki tujuan, antara

lain: sebagai pemangku adat desa, pemutus perselisihan/sengketa adat bersama

Kepala Desa, dan lain-lain.86

Bab Kedelapan, bab ini berisi tentang sanksi yang terdiri dari Pasal 14.

Untuk melaksanakan ketentuan dan sanksi terhadap Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,

Pasal 9, dan Pasal 10 yang ditentukan oleh Majelis Budaya Desa dan Kepala

Desa.87

Bab Kesembilan, bab ini berisi tentang pembinaan perangkat desa, ketua

RT, ketua RW, dan Badega Lembur yang terdiri dari Pasal 15, Pasal 16.

Pemerintahan Desa wajib melakukan pembinaan, penilaian, pengawasan terhadap

perangkat Desa, Ketua RT, Ketua RW, dan Badega Lembur.88

Bab Kesepuluh, bab ini berisi tentang ketentuan penutup yang terdiri dari

Pasal 17. Peraturan Bupati ini berlaku pada tanggal yang diundangkan dan agar

85
BAB VI dalam Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa
Berbudaya.
86
BAB VII dalam Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa
Berbudaya.
87
BAB VIII dalam Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa
Berbudaya.
88
BAB IX dalam Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa
Berbudaya.
46

setiap orang mengetahuinya, dan memerintahkan pengundangan Peraturan Bupati

ini dengan menempatkannya dalam berita daerah Kabupaten Purwakarta.89

3. Materi Kebudayaan dalam Peraturan Bupati

Pada dasarnya budaya itu adalah apa yang dianggap baik oleh masyarakat.

Di dalam Peraturan Bupati ini, pembahasan inti mengenai kebudayaan diatur

mulai dari BAB 5 Pasal 6, BAB 6 Pasal 11, BAB 7 Pasal 12, dan BAB 8 Pasal 14.

Untuk lebih jelasnya, materi kebudayaan dalam peraturan tersebut, antara lain :

Pertama, BAB 5 Pasal 6 yang menyebutkan :

a. Mengembangkan budaya gotong royong melalui kegiatan kerja


bakti;
b. Mengembangkan sikap tolong menolong melalui kegiatan “beas
perelek”;
c. Masyarakat pasangan usia subur wajib menjadi akseptor KB;
d. Larangan penyelenggaraan kegiatan hiburan yang berpotensi
menimbulkan keributan atau kericuhan;
e. Anak yang berusia di bawah umur dilarang mengendarai
kendaraan bermotor;
f. Masyarakat yang akan menikah harus menempuh proses
pemeriksaan kesehatan;
g. Masyarakat dan pelajar wajib memiliki tanaman dan hewan
peliharaan;
h. Anak usia sekolah wajib mengikuti pendidikan formal;
i. Anak usia sekolah dilarang berada di luar rumah lebih dari pukul
21.00 WIB;
j. Masyarakat wajib memadamkan listrik di luar rumah pada saat
bulan purnama;
k. Tamu wajib lapor ke Ketua RT dan dilarang bertamu lebih dari
pukul 21.00 WIB;
l. Warga masyarakat yang berumur 17 (tujuh belas) tahun ke bawah
(usia remaja) dilarang berpacaran;
m. Warga masyarakat yang berumur di atas 17 (tujuh belas) tahun
dilarang berpacaran baik di dalam maupun di luar rumah lebih
dari pukul 21.00 WIB, kecuali didampingi oleh orang tua atau
keluarganya;

89
BAB X dalam Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa
Berbudaya.
47

n. Pelarangan kegiatan yang berisi hasutan, fitnah, kebencian, adu


domba antar kelompok/golongan yang berpotensi meruntuhkan
persatuan, gotong royong dan ketenteraman masyarakat;
o. Pelarangan penjualan dan penggunaan minuman beralkohol.
(telah dibatalkan sesuai dengan surat keputusan gubernur jawa
barat nomor 188.342./Kep.1354-Hukham/2015).

Dari uraian Pasal 6, dapat dilihat bahwa dalam rangka penataan kehidupan

sosial Masyarakat Purwakarta dituntut melakukan segala hal yang disebut dalam

pasal ini agar menjadi sebuah kebiasaan yang semakin lama akan membudaya,

budaya-budaya ini diharapkan akan terus berjalan dari generasi ke generasi.

Kedua, BAB 6 Pasal 11 yang menyebutkan :

a. Pengadaan lumbung padi di setiap keluarga/RT/RW/Desa;


b. Peternakan, pertanian, dan perikanan rakyat;
c. Himbauan kepada masyarakat pemilik tanah pertanian untuk tidak
menjual dan/atau mengalihfungsikan lahan pertanian kepada pihak
lain;
d. Pembinaan anak usia sekolah dalam bercocok tanam, beternak,
ngarit, menenun;
e. Pengalihan pemakaian bahan bakar minyak dan gas ke kayu
bakar.

Dari uraian Pasal 11, Pemerintah Desa mewajibkan Masyarakat

Purwakarta untuk menjaga dan meningkatkan ketahanan pangan agar dapat

memenuhi kebutuhan hidup, selain itu untuk mengajarkan kepada anak-anak agar

untuk hidup mandiri mulai dari kecil.

Ketiga, BAB 7 Pasal 12 yang menyebutkan :

a. Sebagai pemangku adat Desa;


b. Pemutus perselisihan/sengketa adat bersama Kepala Desa;
c. Mengembangkan kehidupan adat istiadat dan kebudayaan
masyarakat;
d. Menjalin kerja sama dengan Majelis Budaya Desa lain dalam
rangka penguatan Desa Berbudaya;
e. Membuat regulasi tentang tatanan kehidupan bermasyarakat yang
bersendikan kearifan budaya lokal.
48

Dari uraian Pasal 12, dibuatnya Majelis Budaya Desa memiliki peranan

penting dalam mengatur dan menjaga adat istiadat dan kebudayaan masyarakat,

majelis ini juga memiliki kewenangan dalam memutuskan suatu

perselisihan/sengketa bersama dengan Kepala Desa.

Keempat, BAB 8 Pasal 14 yang menyebutkan :

a. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,


dan Pasal 10, Majelis Budaya Desa bersama Kepala Desa dapat
menerapkan sanksi yang diatur dengan peraturan Desa.
b. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dan
dijatuhkan oleh Majelis Budaya Desa bersama Kepala Desa
berdasarkan rasa kemanusiaan dan keadilan serta menjunjung
tinggi nilai-nilai luhur budaya masyarakat Desa.

Dari uraian Pasal 14, menjelaskan tentang sanksi bagi siapa saja yang

melanggar peraturan, namun di sini penetapan sanksinya tidak dijelaskan secara

jelas, melainkan diserahkan kepada Majelis Budaya dengan Kepala Desa yang

tetap menjunjung rasa kemanusiaan dan keadilan serta nilai-nilai luhur budaya.
49

BAB IV

ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG

PERATURAN BUPATI PURWAKARTA NO. 70A TAHUN 2015

TENTANG DESA BERBUDAYA

A. Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Menikah

Pasal 6 huruf f dalam Peraturan Bupati No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa

Berbudaya menyatakan :

Masyarakat yang akan menikah harus menempuh proses


pemeriksaan kesehatan.

Pemeriksaan kesehatan sebelum menikah (Premarital Check Up)

merupakan sekumpulan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan status

kesehatan kedua calon mempelai, terutama untuk mendeteksi adanya penyakit

menular, menahun atau diturunkan yang dapat mempengaruhi kesuburan

pasangan maupun kesehatan janin.90

Tujuan dari pemeriksaan kesehatan sebelum menikah adalah mengecek

kesehatan genetis dan reproduksi, dengan mendeteksi risiko penyakit dan faktor

yang berkaitan dengan tingkat kesuburan pasangan yang akan menikah. Di

antaranya adalah penyakit genetis dalam keluarga, seperti thalassemia atau

hemofilia, lalu penyakit yang dapat menular melalui darah dan hubungan seksual,

seperti hepatitis, sifilis, gonore, TORCH, dan HIV. Selain itu, diperiksa juga

90
Laboratrium Klinik Prodia, Premarital Check Up, diunduh pada tanggal 14 April 2016
dari http://www.prodia.co.id/InfoKesehatan/PenyakitDiagnosisDetails/premarital-check-up.
50

faktor risiko penyakit degeneratif, misalnya jantung, hati, hipertensi, dan

diabetes.91

1. Tinjauan Hukum Islam

Allah SWT telah menciptakan lelaki dan perempuan sehingga mereka

dapat berhubungan satu sama lain, sehingga saling mencintai, menghasilkan

keturunan serta hidup dalam kedamaian sesuai dengan perintah-Nya dan petunjuk

Rasulullah.92 Allah berfirman :

                

    

Artinya : Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan


pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (QS. Ar-Ruum: 21).

Dari firman Allah surat Ar-Ruum ayat 21 di atas, salah satu tanda-tanda

kebesaran Allah SWT adalah ia menciptakan manusia berpasang-pasangan (laki-

laki dan perempuan), agar kita sebagai manusia bisa cenderung dan tentram

dengan pasangannya, kemudian akan menimbulkan rasa kasih dan sayang.

Kesehatan adalah harta yang sangat berharga. Harta bertumpuk dapat

lenyap dalam sekejap apabila kesehatan terganggu. Sebaliknya, bila kesehatan

prima, produktivitas seseorang akan meningkat sehingga dapat memberikan

manfaat sebanyak-banyaknya bagi dirinya dan keluarganya, bahkan kepada orang

91
Ika, Premarital Check-Up, diunduh pada tanggal 14 April 2016 dari
http://mantenhouse.com/article/125-premarital-check-up-penting-nggak-sih-
.html#.Vx4b7vl9600.
92
Abdur Rahman I. Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1992), hal. 1.
51

lain.93 Kualitas hidup suatu keluarga akan meningkat bila kesehatan terpelihara

dengan baik. Karena itu menjadi kewajiban setiap keluarga untuk membangun

keluarga sehat dengan cara memelihara dan menjaga kesehatan, agar dapat

menjalankan fungsi dan tugas kemanusiaan dengan baik untuk memakmurkan

bumi dengan dibarengi do‟a kepada Allah agar diberikan kebaikan (hasanah) di

dunia dan di akhirat.94

Secara umum, pemeriksaan kesehatan dalam Islam berprinsip pada upaya

menjaga kesehatan secara preventif (menjaga kesehatan sebelum sakit). Kemudian

setelah itu, Islam menganjurkan pengobatan bagi siapa yang membutuhkan karena

sakit. Inilah salah satu prinsip dalam Islam yang sesuai dengan karakteristik,

kemampuan, dam keadaan fitrah manusia. Oleh karena itu, pemeriksaan kesehatan

adalah satu satu langkah awal dalam menjaga kesehatan, gagasan semacam ini

tiada lain karena dengan pemeriksaan dapat diketahui keadaan manusia tersebut.95

Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih :

‫اىض ََّش ُس يُضَ ا ُه‬


Artinya : Kemudharatan harus dihilangkan.96

Maksud dari kaidah ini, kemudharatan (keburukan) harus dicegah sebelum

terjadi. Karena, mencegah sesuatu lebih mudah daripada menghilangkannya. Dari

kaidah fiqih ini, dapat disimpulkan bahwa mencegah sesuatu kemudharatan

93
Huzaemah Tahido Yanggo, Hukum Keluarga Dalam Islam, (Jakarta: Yamiba, 2013), hal.
94.
94
Huzaemah Tahido Yanggo, Hukum Keluarga Dalam Islam, hal. 94-95.
95
Nooryanti, “Urgensi Pemeriksaan Kesehatan Pranikah Bagi Pembentukan Keluarga
Sakinah (Studi di KUA Kec. Hanau Kab. Seruyan Kalimantan Tengah)”, (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah
Universitas Islam Negeri Malang, Malang, 2007), hal. 19-20.
96
Nashr Farid Muhammad Washil – Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah,
terj. Wahyu Setiawan, (Jakarta: Amzah, 2013), hal. 17.
52

sebelum terjadi sangat dianjurkan. Karena untuk menghilangkan keburukan

bukanlah hal yang mudah. Tentang pencegahan penyakit, pada umumnya dalam

ajaran Islam terdapat ajaran-ajaran, antara lain :97

a. Untuk mendiagnosis suatu penyakit dan memberikan dosis obatnya, Islam

memerintahkan agar berobat kepada dokter spesialis.

b. Untuk menjaga kesehatan dari penyakit menular, Islam mengajarkan agar

mengarantinakan orang yang menderita penyakit menular, sehingga

penyakit itu tidak meluas.

c. Islam juga menyarankan kepada orang yang sehat tidak memasuki daerah

yang rentan penyakit atau menjauhkan dirinya sampai daerah itu bebas

dari penyakit menular.

d. Prinsip yang ditanamkan oleh Islam tersebut, Islam pun mendorong

pengadaan makanan umum yang sehat sebagai usaha menghindari

penyakit.

2. Tinjauan Hukum Positif

Dalam hukum positif tentang pemeriksaan kesehatan sebelum menikah,

Berdasarkan Instruksi Bersama Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam

dan Urusan Haji Departemen Agama dan Direktur Jenderal Pemberantasan

Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen

Kesehatan No : 02 Tahun 1989 Tentang Imunisasi Tetanus Toxid Calon

Pengantin menginstruksikan kepada : Semua kepala kantor wilayah Departemen

97
Ahmad Syauqi Al-Fanjari, Nilai Kesehatan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
1999), hal. 37-42.
53

Agama dan kepala kantor wilayah Departemen Kesehatan di seluruh Indonesia

untuk :

1. Memerintahkan kepada seluruh jajaran di bawahnya melaksanakan

bimbingan dan pelayanan Imunisasi TT Calon Pengantin sesuai dengan

pedoman pelaksanaan.

2. Memantau pelaksanaan bimbingan dan pelayanan Imunisasi TT Calon

Pengantin di daerah masing-masing.

3. Melaporkan secara berkala hasil pelaksanaan instruksi kepada Dirjen

Bimas Islam dan Urusan Haji dan Dirjen PPM & PLP sesuai tugas

masing-masing.

Berdasarkan peraturan ini, Kantor Urusan Agama (KUA) menetapkan

salah satu syarat administrasi pernikahan adalah melakukan imunisasi TT dengan

menunjukkan surat/bukti imunisasi TT1 bagi calon pengantin perempuan dari

rumah sakit atau puskesmas terdekat.

B. Kewajiban Memiliki Tanaman dan Hewan Peliharaan

Pasal 6 huruf g dalam Peraturan Bupati No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa

Berbudaya menyatakan :

Masyarakat dan pelajar wajib memiliki tanaman hewan

peliharaan.

Tujuan dari Pasal 6 huruf g di atas adalah agar masyarakat dan pelajar

dapat membiasakan dan melatih sejak dini anak sekolah untuk bisa belajar

mandiri dalam rangka menjaga ketahanan pangan.98 Ketahanan pangan adalah

98
Hasil wawancara dengan H. Dedi Mulyadi, S.H pada tanggal 22 Maret 2016.
54

kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang

tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,

aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan

agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan

produktif secara berkelanjutan.99

Ketahanan pangan harus mencakup faktor ketersediaan, distribusi, dan

konsumsi. Faktor ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk

memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas,

keragaman, dan keamanannya. Distribusi berfungsi mewujudkan sistem distribusi

yang efektif dan efisien untuk menjamin agar masyarakat dapat memperoleh

pangan dalam jumlah, kualitas, dan keberlanjutan yang cukup dengan harga yang

terjangkau. Sementara itu, faktor konsumsi berfungsi mengarahkan agar pola

pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman,

kandungan gizi, keamanan, dan kehalalnya.100

1. Tinjauan Hukum Islam

Di dalam hukum Islam, menganjurkan kepada umatnya untuk bercocok

tanam atau menanam tanaman, karena dengan bercocok tanam segala manfaat

yang akan didapatkan dari tanaman tersebut akan dihitung sebagai nilai sedekah.

99
Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2015 Tentang Ketahanan Pangan dan Gizi.
100
Rossi Prabowo, “Kebijakan Pemerintah Dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Di
Indonesia”, Jurnal Mediagro, Volume 6, No. 2, Tahun 2010, hal, 63.
55

Rasulullah SAW bersabda :

‫اسيَّ ِت فِي ّ َْخ ٍو ىَ َٖا فَقَ َو ىَ َٖا‬


ِ ‫ص‬ ّ َ‫ أ ُ ِ ًّ ٍُب‬َٚ‫عي‬
َ ّْ َ ‫ش ٍِش األ‬ َ ‫عيَّ ٌَ دَ َخ َو‬
َ َٗ ِٔ ‫عيَ ْي‬ َّ َّٚ‫صي‬
َ ُ‫اَّلل‬ ُّ ِ‫ع ِْ َجابِ ٍش أ َ َُّ اىَّْب‬
َ ‫ي‬ َ

ْ َ‫ط َٕزَا اىَّْ ْخ َو أ َ ٍُ ْغ ِيٌ أ َ ًْ َمافِش فَقَاى‬


ُ ‫ج بَ ْو ٍُ ْغ ِيٌ فَقَ َو ََل يَ ْغ ِش‬
‫ط‬ َ ‫عيَّ ٌَ ٍَ ِْ غ ََش‬
َ َٗ ِٔ ‫عيَ ْي‬ َّ َّٚ‫صي‬
َ ُ‫اَّلل‬ ُّ ‫اىَّْ ِب‬
َ ‫ي‬

‫صذَ قَت‬ ْ ّ‫َيء ِإ ََّل َما‬


َ َُٔ‫َج ى‬ َ ّْ ‫عا فَيَأ ْ ُم َو ٍِ ُْْٔ ِإ‬
ْ ‫غاُ َٗ ََل دَابَّت َٗ ََل ش‬ ُ ‫عا َٗ ََل يَ ْض َس‬
ً ‫ع صَ ْس‬ ً ‫ٍُ ْغ ِيٌ غ َْش‬

Artinya : Dari Jabir, bahwa Nabi SAW menemui Ummu Mubasyir al-Anshariyah
di kebun kurma miliknya. Kemudian Nabi SAW bertanya kepadanya, ” Siapakah
yang menanam pohon kurma ini? Seorang Muslim ataukah kafir?” Ummu
Mubasyir menjawab, “seorang muslim.” Beliau bersabda: “Jika seorang Muslim
menanam suatu pohon atau suatu tanaman, kemudian hasil tanaman tersebut
dimakan oleh manusia, binatang atau yang lain, maka itu menjadi sedekah
baginya”.101 (HR. Muslim).

Penegasan hadits tersebut, bahwa pahalanya akan terus berlangsung

selama tanaman atau benih yang ditaburkan itu dimakan atau dimanfaatkan,

sekalipun yang menanam dan yang menaburkannya itu telah meninggal dunia,

dan sekalipun tanaman-tanaman itu telah pindah ke tangan orang lain.102

Selanjutnya, untuk memelihara hewan dalam hal ini hewan ternak, ada

sebuah hadits yang mengatakan bahwasanya Nabi pernah menggembala kambing.

Rasulullah SAW bersabda :

َ ‫اَّللُ نَبِيًّا ِإ هَّل َر‬


‫عى‬ ‫ث ه‬ َ ‫سله َم قَا َل َما بَ َع‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫اَّلل‬ َ ِ‫ي‬ َ ُ‫ع ْنه‬
ّ ِ‫ع ِن النهب‬ َ ُ‫اَّلل‬
‫ي ه‬ ِ ‫ع ْن أَبِي ُه َر ْي َرة َ َر‬
َ ‫ض‬ َ

َ‫ط ِِل َ ْه ِل َم هكة‬


َ ‫علَى قَ َر ِاري‬
َ ‫عاهَا‬ ْ َ ‫ْالغَن ََم فَقَا َل أ‬
َ ‫ص َحابُهُ َوأ َ ْنتَ فَقَا َل نَعَ ْم ُك ْنتُ أ َ ْر‬

Artinya : Dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda, “Setiap nabi yang
diutus Allah pasti pernah mengembala kambing.” Para sahabat bertanya:
“Engkau juga?” Nabi menjawab, “Ya, aku pernah mengembalakan kambing
orang-orang Mekah dengan upah beberapa qirath”.103 (HR. Al-Bukhari).

101
Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits 4: Shahih Muslim 2,
terj. Masybari – Tatam Wijaya, hal. 26.
102
Muhammad Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, terj. Mu’ammal
Hamidy, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1982), hal. 172.
103
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits 1: Shahih al-
Bukhari, terj. Masyhur – Muhammad Suhadi, (Jakarta: Almahira, 2011), hal. 500.
56

Dari hadits ini, hikmah sehingga para nabi diberi ilham untuk

menggembala kambing sebelum diangkat menjadi nabi, adalah agar mereka dapat

melatih diri dengan menggembalakannya guna menghadapi beban yang akan

dipikul kepada mereka, yaitu meluruskan urusan umatnya.104 Selain itu

menggembala kambing adalah salah satu sunnah Rasulullah SAW.

2. Tinjauan Hukum Positif

Dalam hukum positif, ketahanan pangan di atur dalam Peraturan

Pemerintah No. 17 Tahun 2015 Tentang Ketahanan Pangan dan Gizi. Selain itu,

hal-hal yang berhubungan dengan melestarikan lingkungan seperti menanam

tanaman, terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009

Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tujuan dari peraturan

ini terdapat dalam Pasal 3, antara lain :

a. Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari


pemcemaran dan/atau kerusakan lingkungan.
b. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia.
c. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian
ekosistem.
d. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
e. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan
hidup.
f. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi
masa depan.
g. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan
hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia.
h. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana.
i. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
j. Mengantisipasi isu lingkungan global.

Selain mendapat hasil buah-buahan dan sayuran untuk memenuhi

kebutuhan hidup, menanam tanaman juga dapat mencegah terjadinya banjir,

104
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari, terj.
Amiruddin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hal. 46.
57

karena tanaman-tanaman ini akan menyerap kandungan air yang berlebih dalam

tanah dan mengurangi dampak yang ditimbulkan dari global warming (pemanasan

global), karena semakin banyak tanaman yang ada di muka bumi semakin banyak

gas CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman.

Selanjutnya, dalam memelihara hewan khususnya hewan ternak diatur

dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 2014 Perubahan Atas

Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Tujuan dari peraturan ini adalah mengelola sumber daya hewan secara

bermartabat, bertanggung jawab, dan berkelanjutan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat. Mencukupi kebutuhan pangan, barang, dan jasa asal hewan

secara mandiri, berdaya saing, dan berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan

peternakan dan masyarakat.105

C. Kebijakan Berpacaran

Pasal 6 huruf l dalam Peraturan Bupati No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa

Berbudaya menyatakan :

Warga masyarakat yang berumur 17 (tujuh belas) tahun ke bawah


(usia remaja) dilarang berpacaran.

Pasal 6 huruf m dalam Peraturan Bupati No. 70a Tahun 2015 Tentang

Desa Berbudaya menyatakan :

Warga masyarakat yang berumur di atas 17 (tujuh belas) tahun


dilarang berpacaran baik di dalam maupun di luar rumah lebih
dari pukul 21.00 WIB, kecuali didampingi oleh orang tua atau
keluarganya.

105
Penjelasan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 2014 Perubahan
Atas Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan.
58

Dalam bahasa Indonesia, pacar diartikan sebagai teman lawan jenis yang

tetap dan mempunyai hubungan batin, biasanya untuk menjadi tunangan dan

kekasih. Dalam praktiknya, istilah pacaran dengan tunangan sering dirangkai

menjadi satu. Muda-mudi yang pacaran, kalau ada kesesuaian lahir batin,

dilanjutkan dengan tunangan. Sebaliknya, mereka yang bertunangan biasanya

diikuti dengan pacaran.106

Kadangkala, seorang remaja menganggap perlu pacaran untuk tidak hanya

mengenal pribadi pasangannya, melainkan sebagai pengalaman, uji coba, maupun

bersenang-senang belaka. Itu terlihat dari banyaknya remaja yang gonta-ganti

pacar, ataupun masa pacaran yang relatif pendek. Beberapa kasus yang

diberitakan oleh media massa juga menunjukkan bahwa akibat pergaulan bebas

atau bebas bercinta (free love) tidak jarang menimbulkan hamil pranikah, aborsi,

bahkan akibat rasa malu di hati, bayi yang terlahir dari hubungan mereka berdua

lantas dibuang begitu saja sehingga tewas.107

1. Tinjauan Hukum Islam

Islam sebenarnya telah memberikan batasan-batasan dalam pergaulan

antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, kita dilarang untuk mendekati zina.

Seperti dalam firman-Nya :

         

Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu

perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra‟: 32).

106
M.A. Tihami – Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat: Kajian Fiqih Nikah Lengkap, (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hal. 21.
107
M.A. Tihami – Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat: Kajian Fiqih Nikah Lengkap, hal. 22.
59

Dalam proses pembentukan suatu rumah tangga, Islam memiliki etika

dalam pergaulan dan mengadakan perkenalan antara pria dan wanita. Dalam

proses ta‟aruf atau perkenalan, setelah bertemu dan tertarik satu sama lain,

dianjurkan untuk dapat mengenal kepribadian, latar belakang sosial, budaya,

pendidikan, keluarga, maupun agama kedua belah pihak. Dengan tetap menjaga

martabat sebagai manusia yang dimuliakan Allah, artinya tidak terjerumus pada

perilaku tak senonoh. Bila di antara mereka kedua terdapat kecocokan, maka bisa

diteruskan dengan saling mengenal kondisi keluarga masing-masing, misalnya

dengan jalan bersilaturrahmi ke orang tua keduanya.108 Allah SWT berfirman :

...            

Artinya : Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal ... (QS. Al-Hujurat: 13).

Selanjutnya adalah khitbah (lamaran pernikahan) adalah permulaan

sebagai pembuka pintu menuju pernikahan. Sebagai pembuka, khitbah dapat

diasumsikan „janji‟ untuk menikah dan bukan sebagai pelegalan hubungan antara

laki-laki dan perempuan. Karena ia merupakan janji yang direncanakan, maka

tidak mengikat hubungan antara keduanya sehingga ada kemungkinan dibatalkan

oleh sebab-sebab tertentu.109 Allah SWT berfirman :

...              

108
M.A. Tihami – Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat: Kajian Fiqih Nikah Lengkap, hal. 22-
23.
109
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari,
2006), hal. 91.
60

Artinya : Dan Tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu


dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati ... (QS. Al-
Baqarah: 235).

Diharamkannya berpacaran selain tidak ada dalam ajaran Islam, hal ini

juga berkaitan dengan perlindungan terhadap keturunan (hifdz an-nasl) dalam

Maqashid Syariah, yang artinya segala hal yang dapat merusak keturunan harus

ditinggalkan, misalnya berpacaran merupakan jurang awal dari terjadinya sebuah

perzinaan.

2. Tinjauan Hukum Positif

Dalam hukum positif, sejauh penelusuran penulis tidak ada undang-

undang maupun peraturan-peraturan yang melarang tentang kegiatan berpacaran,

namun bila hal-hal dalam berpacaran ini sudah melampaui batas-batas dari nilai

kesusilaan, seperti berpelukan, berciuman, dan lain-lain. Hal ini bertentangan

dengan KUHP Pasal 281 yang menyatakan :

Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan


bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah: 1. Barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar
kesusilaan, 2. Barang siapa dengan sengaja dan di depan orang
lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya,
melanggar kesusilaan.

D. Pelarangan Kegiatan yang Berisi Hasutan, Fitnah, Kebencian, dan Adu

Domba yang Berpotensi Meruntuhkan Persatuan

Pasal 6 huruf e dalam Peraturan Bupati No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa

Berbudaya menyatakan :

Pelarangan kegiatan yang berisi hasutan, fitnah, kebencian, adu


domba antar kelompok/golongan yang berpotensi meruntuhkan
persatuan, gotong royong dan ketentraman masyarakat.
61

Sebagai manusia kita harus saling tolong menolong, karena manusia

adalah makhluk sosial artinya bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan atau

pertolongan orang lain. Oleh karena itu, walaupun manusia terdiri dari berbagai

macam suku, ras, dan agama kita harus mempererat tali persaudaraan dan

menghindari perselisihan.

Beberapa kegiatan yang dapat merusak persatuan antara lain, hasutan,

fitnah, kebencian, dan adu domba. Hasutan adalah ajakan negatif yang menjurus

kepada permusuhan. Kebencian adalah perasaan yang melambangkan

ketidaksenangan terhadap seseorang, sesuatu hal, atau sebuah kejadian. Fitnah

adalah sebuah informasi atau tuduhan yang palsu dan bertujuan untuk

menyesatkan orang lain kepada keburukan. Adu domba adalah perbuatan yang

menyebabkan dua pihak atau lebih saling bermusuhan.

1. Tinjauan Hukum Islam

Islam memberikan pelindungan melalui pengharaman ghibah

(menggunjing), mengadu domba, memata-matai, mengumpat, dan mencela

dengan menggunakan panggilan-panggilan buruk, juga perlindungan-

perlindungan lain yang bersinggungan dengan kehormatan dan kemuliaan

manusia.110

Pada dasarnya hasutan, fitnah, kebencian, dan adu domba perbuatan yang

saling berkaitan. Karena hasutan biasanya berisi perkataan-perkataan yang

bertujuan untuk menjelekan harga diri seseorang (fitnah) atau bertujuan untuk

membuat dua pihak berselisih (adu domba), selanjutnya akan timbul rasa

110
Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, terj. Khikmawati, (Jakarta: Amzah,
2013), hal. 131.
62

kebencian terhadap orang yang dimaksud dalam hasutan ini. Berikut ini beberapa

dalil-dalil yang berhubungan dengan hasutan, fitnah, kebencian, dan adu domba :

a. Fitnah

Fitnah dalam hukum Islam disebut dengan buhtan, perbuatan ini

hukumnya haram, karena dapat menimbulkan kebencian dan mencemarkan nama

baik orang lain. Rasulullah SAW bersabda :

ُُٔ‫ع٘ى‬ َّ ‫عيَّ ٌَ قَا َه أَحَذ ُْسَُٗ ٍَا ْاى ِغي َبتُ قَاىُ٘ا‬
ُ ‫اَّللُ َٗ َس‬ َ َٗ ِٔ ‫عيَ ْي‬ َّ َّٚ‫صي‬
َ ُ‫اَّلل‬ ُ ‫ع ِْ أَبِي ُٕ َشي َْشة َ أ َ َُّ َس‬
َّ ‫ع٘ َه‬
َ ِ‫اَّلل‬ َ

‫أ َ ْعيَ ٌُ قَا َه ِر ْم ُشكَ أ َ َخاكَ ِب ََا َي ْن َشُٓ ِقي َو أَفَ َشأَيْجَ ِإ ُْ َماَُ ِفي أ َ ِخي ٍَا أَقُ٘ ُه قَا َه ِإ ُْ َماَُ ِفي ِٔ ٍَا حَقُ٘ ُه‬

َُّٔ‫فَقَ ِذ ا ْغخ َ ْبخَُٔ َٗإِ ُْ ىَ ٌْ يَ ُن ِْ فِي ِٔ فَقَ ْذ بَ َٖخ‬

Artinya : Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah bertanya, “Tahukan
kalian, apakah ghibah itu?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui.” Kemudian, Rasulullah SAW bersabda, “Ghibah adalah engkau
membicarakan tentang saudaramu sesuatu yang tidak disukainya.” Seseorang
bertanya, “Bagaimanakah menurut engkau apabila apa yang aku bicarakan itu
memang ada padanya?” Rasulullah SAW berkata, “Apabila benar apa yang
engkau bicarakan itu ada padanya, berarti engkau telah menggunjingnya.
Namun, apabila yang engkau bicarakan itu tidak ada padanya, berarti engkau
telah melakukan kebohongan terhadapnya.”111 (HR. Muslim).

Dari hadits ini, bahwasanya Rasulullah SAW mengajarkan kepada

umatnya untuk tidak menceritakan kejelekan atau aib orang lain di hadapan umum

walaupun yang diceritakan itu adalah benar adanya (ghibah), sedangkan

menceritakan sesuatu hal yang jelek tentang seseorang padahal hal itu tidak

pernah terjadi, itu adalah buhtan. Jadi, menceritakan suatu hal kejelekan atau aib

di hadapan umum saja tidak boleh, apalagi merekayasa cerita-cerita yang tidak

benar adanya.

111
Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits 4: Shahih Muslim 2,
terj. Masybari – Tatam Wijaya, hal. 562.
63

Di dalam Al-Qur‟an menyinggung beberapa masalah tentang dosa fitnah,

namun makna fitnah yang terdapat dalam Al-Qur‟an berbeda dengan fitnah yang

dimaksud dalam pembahasan ini. Salah satu firman-Nya :

...     ...

Artinya : Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan ... (QS. Al-Baqarah:
191).

Fitnah dalam ayatnya ini adalah kekejaman kaum musyrikin Mekkah yang

telah menganiaya kaum muslimin, menyiksa mereka dengan aneka siksaan

jasmani, perampasan harta, dan pemisahan sanak keluarga, teror serta pengusiran

dari tanah tumpah darah, bahkan menyangkut agama dan keyakinan mereka

sehingga pembunuhan dan pengusiran yang diizinkan Allah itu adalah wajar.112

Dalam Al-Qur‟an, kata fitnah terulang tidak kurang dari tiga puluh kali, tidak satu

pun yang mengandung makna membawa berita bohong, atau menjelekkan orang

lain.113

b. Adu Domba

Adu domba dalam hukum Islam hukumnya haram, karena adu domba

selain mendatangkan kebencian juga dapat merusak hubungan bahkan

persaudaraan antara dua pihak. Rasulullah SAW bersabda :

َ َ‫ َجي‬َّٚ‫عا ٍَ َع ُحزَ ْيفَتَ فِي ْاى ََغ ِْج ِذ فَ َجا َء َس ُجو َحخ‬
‫ظ ِإىَ ْيَْا فَ ِقي َو‬ ً ُ٘‫د قَا َه ُمَّْا ُجي‬ ِ ‫ع ِْ َٕ ََّ ِاً ب ِِْ ْاى َح‬
ِ ‫اس‬ َ

َّٚ‫صي‬ َّ ‫ع٘ َه‬


َ ِ‫اَّلل‬ َ ُٔ‫اُ أ َ ْشيَا َء فَقَا َه ُحزَ ْيفَتُ ِإ َسادَة َ أ َ ُْ يُغ َِْ َع‬
ُ ‫ع َِ ْعجُ َس‬ ِ ‫ط‬َ ‫غ ْي‬
ُّ ‫ اى‬َٚ‫ِى ُحزَ ْيفَتَ ِإ َُّ َٕزَا يَ ْشفَ ُع ِإى‬

‫عيَّ ٌَ يَقُ٘ ُه ََل يَ ْذ ُخ ُو ْاى َجَّْتَ قَخَّاث‬


َ َٗ ِٔ ‫عيَ ْي‬ َّ
َ ُ‫اَّلل‬

112
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an
Volume 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 508.
113
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an
Volume 1, hal. 560.
64

Artinya : Dari Hammam bin al-Harits dia berkata, “Pada suatu ketika, kami
pernah duduk-duduk di masjid bersama Hudzaifah. Tak lama kemudian ada
seorang laki-laki yang datang dan turut bersama kami. Lalu ada seorang yang
berkata kepada Hudzaifah, “Orang ini biasanya melaporkan sesuatu kepada
penguasa.” Kemudian Hudzaifah berkata dengan maksud agar didengar oleh
orang tersebut, „Sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah SAW
bersabda: Tidak masuk surga orang yang suka memfitnah dan mengadu
domba‟.”114 (HR. Muslim).

Adu domba adalah salah satu perbuatan dosa besar, hal ini seperti sabda

Rasulullah SAW :

َ َ‫اُ ْاى ََذِيَْ ِت أ َ ْٗ ٍَ َّنتَ ف‬


‫غ َِ َع‬ ِ ‫ط‬َ ‫عيَّ ٌَ ِب َحائِطٍ ٍِ ِْ ِحي‬
َ َٗ ِٔ ‫عيَ ْي‬ َّ َّٚ‫صي‬
َ ُ‫اَّلل‬ ُّ ‫َّاط قَا َه ٍَ َّش اىَّْ ِب‬
َ ‫ي‬ ٍ ‫عب‬ َ ِِْ ‫ع ِْ اب‬
َ

‫اُ فِي‬ ِ َ‫عيَّ ٌَ يُ َعزَّب‬


ِ َ‫اُ َٗ ٍَا يُ َعزَّب‬ َ َٗ ِٔ ‫عيَ ْي‬ َّ َّٚ‫صي‬
َ ُ‫اَّلل‬ ُّ ‫ُ٘س ِٕ ََا فَقَا َه اىَّْ ِب‬
َ ‫ي‬ ِ َ‫غاَّي ِِْ يُ َعزَّب‬
ِ ‫اُ فِي قُب‬ َ ّْ ‫ص ْ٘ثَ ِإ‬
َ

‫ َماَُ أ َ َحذُ ُٕ ََا ََل َي ْغخَخِ ُش ٍِ ِْ َب ْ٘ ِى ِٔ َٗ َماَُ اآلخ َُش َي َْشِي بِاىَّْ َِي ََ ِت‬َٚ‫يش ث ُ ٌَّ قَا َه َبي‬
ٍ ‫َم ِب‬

Artinya : Dari Ibnu Abbas berkata, “Nabi SAW melewati perkebunan penduduk
Madinah atau Mekah. Lalu beliau mendengar suara dua orang yang sedang
disiksa dalam kubur mereka. Nabi SAW pun berkata, „Keduanya sedang disiksa,
dan mereka disiksa bukan karena perkara besar (yang sulit ditinggalkan).‟ Lalu
beliau menerangkan, Tentu saja, yang satu disiksa karena tidak menjaga
(cipratan) air kencingnya, sedangkan yang kedua disiksa karena suka mengadu
domba.”115 (HR. Al-Bukhari).

Dari beberapa penjelasan di atas mengenai hasutan, fitnah, kebencian, dan

adu domba. Dapat disimpulkan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut bertujuan untuk

merusak atau meruntuhkan persatuan. Persatuan itu dalam Islam haruslah dijaga

dan dipertahankan, karena dengan ini dapat mendatangkan hal positif seperti

kekuatan, persaudaraan, tolong menolong, dan senantiasa saling memaafkan.

Allah SWT berfirman :

114
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim II, terj. Subhan – Imron
Rosadi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003), hal. 521-522.
115
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits 2: Shahih al-
Bukhari 2, terj. Subhan Abdullah. dkk, (Jakarta: Almahira, 2012), hal. 55.
65

...       

Artinya : Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai-cerai ... (QS. Al-„Imran: 103).

Berpegang teguhlah, yakni upayakan sekuat tenaga untuk mengaitkan diri

satu dengan yang lain dengan tuntunan Allah sambil menegakkan disiplin kamu

semua tanpa kecuali. Sehingga, kalau ada yang lupa ingatkan dia, atau ada yang

tergelincir, bantu dia bangkit agar semua dapat bergantung kepada tali agama

Allah. Kalau kamu lengah atau ada salah seorang menyimpang, keseimbangan

akan kacau dan disiplin akan rusak. Karena itu bersatu padulah, dan janganlah

kamu bercerai-berai dan ingatlah nikmat Allah kepadamu.116

2. Tinjauan Hukum Positif

Dalam hukum positif mengenai kegiatan hasutan, kebencian, fitnah, adu

domba akan dijelaskan sebagai berikut :

a. Hasutan/Adu domba dalam hukum positif terdapat dalam KUHP Pasal 160

jo Pasal 161 ayat 1, isi dari pasal-pasal ini, antara lain :

Pasal 160 yang menyatakan :

Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut


supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan
terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan
undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan
berdasarkan ketentuan undang-undang. Diancam dengan pidana
penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.

Dari Pasal 160 di atas, siapa pun yang melakukan perbuatan menghasut

baik dengan cara lisan atau tulisan yang bertujuan untuk memprovokasi orang

116
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an
Volume 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 205.
66

dalam berbuat kejahatan, maka akan diancam dengan pidana penjara paling lama

enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 161 ayat 1 yang menyatakan :

Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di


muka umum tulisan yang menghasut supaya melakukan perbuatan
pidana, menentang penguasa umum dengan kekerasan, atau
menentang sesuatu hal lain seperti tersebut dalam pasal di atas,
dengan maksud supaya isi yang menghasut diketahui atau lebih
diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah”.

Dari Pasal 161 ayat 1 di atas, siapa pun yang membuat hasutan berupa

tulisan dalam bentuk penyiaran, pertunjukkan, atau penempelan di hadapan umum

untuk memprovokasi orang lain dalam berbuat kejahatan, yang bertujuan agar

tulisannya ini diketahui oleh orang lain, maka akan diancam dengan pidana

penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima

ratus rupiah.

b. Fitnah dalam hukum positif terdapat dalam KUHP Pasal 311 ayat 1 jo

Pasal 317 ayat 1, isi dari pasal-pasal ini, antara lain :

Pasal 311 ayat 1 yang menyatakan :

Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran


tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu
benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan
dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Dari Pasal 311 ayat 1 di atas, kejahatan mencemarkan nama baik

seseorang baik dalam bentuk lisan atau tertulis diperbolehkan untuk membuktikan

tuduhannya itu, namun jika yang tuduhannya itu bertentangan dengan apa yang
67

dituduhkannya, maka akan diancam dengan pidana penjara paling lama empat

tahun.

Pasal 317 ayat 1 yang menyatakan :

Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau


pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis
maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan
atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan
pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat
tahun.

Dari Pasal 317 ayat 1 di atas, siapa pun yang membuat informasi palsu

kepada penguasa baik secara tertulis atau untuk dituliskan, bertujuan untuk

mencemarkan nama baik seseorang, maka akan diancam dengan pidana penjara

paling lama empat tahun.

c. Kebencian dalam hukum positif terdapat dalam KUHP Pasal 156 jo Pasal

157 ayat 1, isi dari pasal-pasal ini, antara lain :

Pasal 156 yang menyatakan :

Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan,


kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa
golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal
berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang
berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras,
negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau
kedudukan menurut hukum tata negara.

Dari Pasal 156 di atas, siapa pun yang menyatakan rasa permusuhan,

kebencian, atau penghinaan terhadap seseorang atau beberapa golongan rakyat

Indonesia, maka akan diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun

atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Maksud dari
68

golongan dalam pasal ini adalah ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan,

kebangsaan, atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Pasal 157 ayat 1 yang menyatakan :

Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan


atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan
perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau
terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya
isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Dari Pasal 157 ayat 1 di atas, siapa pun yang melakukan penyiaran,

pertunjukkan, atau penempelan tulisan atau lukisan di hadapan umum, yang

menyatakan rasa permusuhan, kebencian, atau penghinaan di antara dua pihak

atau golongan-golongan rakyat Indonesia, yang bertujuan agar diketahui orang

lain, maka akan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam

bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Semua pelarangan kegiatan di atas bertujuan agar tercipta persatuan dan

kesatuan sesuai dengan isi sila ke tiga dari Pancasila yaitu Persatuan Indonesia,

makna dari sila ini terdapat dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan

Pancasila (P4), antara lain :117

a. Menempatkan persatuan, kesatuan kepentingan, keselamatan bangsa dan

negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.

b. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.

c. Cinta Tanah Air dan Bangsa.

d. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia.

117
C.S.T. Kansil, Hidup Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: Erlangga, 1990), hal. 12.
69

e. Memajukan pergaulan demi persatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal

Ika.

E. Pelarangan Penjualan dan Penggunaan Minuman Beralkohol

Pasal 6 huruf o dalam Peraturan Bupati No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa

Berbudaya menyatakan :

Pelarangan penjualan dan penggunaan minuman beralkohol.

Alkohol termasuk zat adiktif, artinya zat tersebut dapat menyebabkan

ketagihan dan ketergantungan. Karena zat adiktifnya tersebut maka orang yang

meminumnya lama kelamaan tanpa disadari akan menambah sampai pada dosis

keracunan (intoksidasi) atau mabuk.118 Mabuk adalah hilangnya akal karena

mengonsumsi khamr atau setiap yang memabukkan sehingga setelah sadar orang

yang mabuk itu tidak mengetahui apa yang dilakukan pada waktu mabuk.119

Pada dasarnya terdapat dua jenis dampak pada pecandu alkohol, yaitu efek

jangka pendek dan jangka panjang. Efek jangka pendek konsumsi alkohol lebih

kurang satu botol besar menjadikan seseorang itu kurang daya koordinasi seperti

tidak dapat berjalan dengan benar dan tidak dapat membuka pintu. Dalam waktu

yang singkat ini juga menyebabkan hangover. Hangover lazimnya disebabkan

oleh keracunan alkohol, bahan lain dalam alkohol dan akibat ketagihan alkohol.

Tanda-tanda hangover alkohol adalah sakit kepala, muntah, diare, gangguan

pergerakan usus dan menggeletar selama 8-12 jam kemudian.120

118
Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Pidana Nasional, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 88-89.
119
Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Islam Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam,
terj. M. Misbah, (Jakarta: Robbani Press, 2008), hal. 417.
120
Hartati Nurwijaya – Zullies Ikawati, Bahaya Alkohol dan Cara Mencegah
Kecanduannya, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2009), hal. 182.
70

Dampak jangka panjang akan dirasakan setelah meminumnya selama

beberapa bulan atau tahun. Dampak utama adalah seperti sakit jantung, hati, atau

penyakit dalam perut. Bila situasi ini terjadi mereka akan kurang selera makan,

kekurangan vitamin, mudah terjangkit penyakit, dan impoten. Kematian awal

sering terjadi akibat sering minum alkohol. Biasanya terjadi serangan sakit

jantung dan hati, radang paru-paru, kanker, keracunan alkohol, kecelakaan,

pembunuhan, dan bunuh diri.121

1. Tinjauan Hukum Islam

Minum khamr dalam pandangan syari‟at Islam merupakan kejahatan

karena ia merusak akal, dan karena akibat yang ditimbulkannya berupa

penghamburan harta dan tindak kejahatan.122 Hal ini juga berkaitan dengan

perlindungan terhadap akal (hifdz al-„aql) dalam Maqashid Syari‟ah, yang artinya

segala hal yang dapat menutup atau merusak akal harus ditinggalkan.

Karena akal merupakan sumber hikmah (pengetahuan), sinar hidayah,

cahaya mata hati, dan media kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Dengan

akal, surat perintah dari Allah SWT disampaikan, dengannya pula manusia berhak

menjadi pemimpin di muka bumi, dan dengannya manusia menjadi sempurna,

mulia, dan berbeda dengan makhluk lainnya.123 Syari‟at Islam telah

mengharamkan minum khamr. Dalam Al-Qur‟an ditegaskan :

121
Hartati Nurwijaya – Zullies Ikawati, Bahaya Alkohol dan Cara Mencegah
Kecanduannya, hal. 182.
122
Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Islam Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam,
terj. M. Misbah, hal. 513.
123
Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, terj. Khikmawati, hal. 91.
71

            

  


Artinya : Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamr, berjudi,
berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah
perbuatan yang keji, termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah: 90).

Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa ada sepuluh golongan yang

dilaknat karena khamr, sesuai dengan sabdanya :

‫ع ْش َشةِ أ َ ْٗ ُج ٍٔ ِب َع ْيِْ َٖا‬ َ ‫ج ْاىخ ََْ ُش‬


َ َٚ‫عي‬ ِ َْ‫عيَّ ٌَ ىُ ِع‬
َ َٗ ِٔ ‫عيَ ْي‬ َّ َّٚ‫صي‬
َ ُ‫اَّلل‬ َ ِ‫اَّلل‬ ُ ‫ع ََ َش يَقُ٘ ُه قَا َه َس‬
َّ ‫ع٘ ُه‬ ُ َِْ‫ع ِْ اب‬
َ

ِ ‫اٍ ِي َٖا َٗ ْاى ََحْ َُ٘ىَ ِت ِإىَ ْي ِٔ َٗآ ِم ِو ث َ ََِْ َٖا َٗش‬
‫َاسبِ َٖا‬ ِ ‫َص ِشَٕا َٗبَائِ ِع َٖا َٗ ٍُ ْبخ َا ِع َٖا َٗ َح‬
ِ ‫اص ِشَٕا َٗ ٍُ ْعخ‬
ِ ‫ع‬َ َٗ

‫عاقِي َٖا‬
َ َٗ

Artinya : Dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Khamr itu dikutuk
dari sepuluh sisi; bendanya, orang yang memerasnya, orang yang minta
diperaskan, penjualnya, pembelinya, pembawanya, orang yang dibawa
kepadanya, orang yang memakan hasil jualnya, peminumnya, dan orang yang
menuangkannya”.124 (HR. Ibnu Majah).

Sanksi kejahatan ini didasarkan pada Sunnah, yaitu dera empat puluh kali,

dan boleh ditambah hingga delapan puluh kali, dengan menganggap tambahan ini

sebagai hukuman ta‟zir yang boleh dilakukan oleh Imam.125 Rasulullah SAW

bersabda :

‫عيَّ ٌَ َجيَذَ فِي ْاىخ ََْ ِش ي ِذ َٗاى ِّْعَا ِه ث ُ ٌَّ َجيَذَ أَبُ٘بَ ْن ٍش‬
َ َٗ ِٔ ‫عيَ ْي‬ َّ َّٚ‫صي‬
َ ُ‫اَّلل‬ َّ ِ‫ع ِْ أَّ َِظ ب ِِْ ٍَاىِلٍ أ َ َُّ اىَّْب‬
َ ‫ي‬ َ

َ ‫ قَا َه ٍَا ح ََش َُْٗ فِي َج ْي ِذ ْاىخ ََْ ِش فَقَا َه‬ٙ‫يف َٗ ْاىقُ َش‬
ُ‫ع ْبذ‬ ِ ‫اىش‬
ّ ِ ٍَِِ ‫اط‬ ُ َُ‫أ َ ْسبَعِيَِ فَيَ ََّا َما‬
ُ َّْ‫ع ََ ُش َٗدََّا اى‬

ُ َ‫َف ْاى ُحذُٗ ِد قَا َه فَ َجيَذ‬


َِ‫ع ََ ُش ث َ ََاِّي‬ ِ ّ ‫ أ َ ُْ حَجْ عَيَ َٖا َمأَخ‬ٙ‫ع ْ٘فٍ أ َ َس‬
َ ُِْ ‫اىشحْ ََ ِِ ب‬
َّ

124
Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini Ibnu Majah, Ensiklopedia Hadits 8:
Sunan Ibnu Majah, terj. Saifuddin Zuhri, (Jakarta: Almahira, 2013), hal. 612.
125
Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Islam Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam,
terj. M. Misbah, hal. 513.
72

Artinya : Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi SAW pernah mencambuk orang yang
meminum khamr dengan pelepah kurma dan terompah (sebanyak 40 kali). Abu
Bakar juga melakukan hukum cambuk itu sebanyak 40 kali. Dan pada masa
pemerintahan Umar, orang-orang semakin dekat dengan perkebunan dan
pedesaan. Dia bertanya, “Bagaimana pendapat kalian mengenai hukuman
cambuk bagi peminum khamr?” Abdurrahman bin Auf menjawab, “Aku
berpendapat, jadikanlah hukuman itu hadd yang paling ringan.” Umar pun
melaksanakan hukuman cambuk sebanyak 80 kali.126 (HR. Muslim).

2. Tinjauan Hukum Positif

Penjualan dan penggunaan minuman beralkohol di Indonesia, ada sebuah

wacana tentang Rancangan Undang-Undang baru yang berjudul RUU Larangan

Minuman Beralkohol yang diusulkan Fraksi PPP dan PKS di DPR. Isi dari RUU

ini soal pelarangan total terhadap produksi, perdagangan, sampai konsumsi

minuman beralkohol, namun draf RUU ini masih dimatangkan di Badan Legislatif

DPR.127

Ketentuan hukum positif yang mengatur tentang penjualan minuman

beralkohol, antara lain :

a. Peraturan Presiden No. 74 Tahun 2013 Tentang Pengendalian Dan

Pengawasan Minuman Beralkohol.

b. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 15/M-

DAG/PER/3/2006 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Impor,

Pengedaran Dan Penjualan, Dan Perizinan Minuman Beralkohol.

c. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

86/Men.Kes/Per/IV/77 Tentang Minuman Keras.

126
Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits 4: Shahih Muslim 2,
terj. Masybari – Tatam Wijaya, hal. 122-123.
127
DetikNews, RUU Larangan Miras, diunduh pada tanggal 01 Mei 2016 dari
http://news.detik.com/berita/2907107/ini-draf-ruu-larangan-total-minuman-beralkohol-di-
indonesia.
73

d. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 13/M-

DAG/PER/3/2006 Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Penerbitan Surat Izin

Usaha Penjualan Langsung.

Selanjutnya di dalam KUHP, ada beberapa larangan tentang penjualan

minuman beralkohol, antara lain :

a. Pasal 537 yang menyatakan :

Barang siapa di luar kantin tentara menjual atau memberikan


minuman keras atau arak kepada anggota Angkatan Bersenjata di
bawah pangkat letnan atau kepada istrinya, anak atau pelayan,
diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga minggu atau
pidana denda paling tinggi seribu lima ratus rupiah.

Dari Pasal 537 di atas, siapa pun yang menjual atau memberikan minuman

keras atau arak kepada anggota Angkatan Bersenjata di bawah pangkat letnan atau

kepada istrinya, anak, atau pelayan, maka akan diancam dengan pidana penjara

paling kurungan paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak seribu

lima ratus rupiah.

b. Pasal 538 yang menyatakan :

Penjual dan wakilnya yang menjual minuman keras yang dalam


menjalankan pekerjaan memberikan atau menjual minuman keras atau
arak kepada seorang anak di bawah umur enam belas tahun, diancam
dengan pidana kurungan paling lama tiga minggu atau pidana denda
paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

Dari Pasal 538 di atas, siapa pun yang dalam suatu pekerjaan memberikan

atau menjual minuman keras atau arak baik sebagai penjual langsung atau

wakilnya kepada seorang anak yang berumur di bawah enam belas tahun, maka

akan diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga minggu atau pidana

denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.


74

Untuk penggunaan (meminum) minuman beralkohol akan diberikan sanksi

hanya apabila peminumnya mabuk di tempat umum dan mengganggu ketertiban

umum, antara lain :

a. Pasal 492 ayat 1 yang menyatakan :

Barang siapa dalam keadaan mabuk di muka umum merintangi


lalu lintas, atau mengganggu ketertiban, atau mengancam
keamanan orang lain, atau melakukan sesuatu yang harus
dilakukan dengan hati-hati atau dengan mengadakan tindakan
penjagaan tertentu lebih dahulu agar jangan membahayakan
nyawa atau kesehatan orang lain, diancam dengan pidana
kurungan paling lama enam hari, atau pidana denda paling banyak
tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.

Dari Pasal 492 ayat 1 di atas, siapa pun yang dalam keadaan mabuk di

hadapan umum menghalangi lalu lintas, mengganggu ketertiban, mengancan

orang lain, melakukan suatu hal yang harus dilakukan dengan hati-hati, atau

melakukan penjagaan tertentu lebih dahulu agar jangan membahayakan nyawa

atau kesehatan orang lain, maka akan diancam dengan pidana kurungan palingan

lama enam hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima

rupiah.

b. Pasal 536 ayat 1 yang menyatakan :

Barang siapa terang dalam keadaan mabuk berada di jalan umum,


diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh
lima rupiah.

Dari Pasal 536 ayat 1 di atas, siapa pun yang secara terang-terangan dalam

keadaan mabuk berada di jalan umum, maka akan diancam dengan pidana denda

paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.


75

F. Analisis Perbandingan antara Hukum Islam dengan Hukum Positif

Penulis akan melakukan analisis perbandingan hukum Islam dengan

hukum positif, yang selanjutnya akan dilihat persamaan dan perbedaan antara

keduanya untuk kemudian ditarik kesimpulan.

1. Persamaan

a. Pemeriksaan kesehatan sebelum menikah dalam hukum Islam dan hukum

positif sama-sama mengharuskan calon pasangan suami dan istri

melakukan serangkaian kegiatan ini, dengan tujuan yang sama yaitu

kemaslahatan.

b. Kewajiban memiliki tanaman dan hewan peliharaan dalam hukum Islam

dan hukum positif sama-sama tidak ada kewajiban untuk melakukannya,

namun hanya berupa anjuran karena tujuan dari kedua hal tersebut adalah

demi memenuhi kebutuhan hidup dan kesejateraan.

c. Pelarangan kegiatan yang berisi hasutan, fitnah, kebencian, dan adu domba

dalam hukum Islam dan hukum positif sama-sama perbuatan yang

dilarang, hal ini demi menjaga persatuan antar sesama manusia,

mewujudkan keamanan, dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat.

2. Perbedaan

a. Kebijakan berpacaran dalam hukum Islam dan hukum positif memiliki

perbedaan di antaranya, hukum Islam melarang segala bentuk pacaran

yang dilakukan laki-laki dan perempuan, baik itu seorang anak-anak,

remaja, atau orang dewasa karena hal ini hanya akan menjerumus kepada

perzinaan. Hukum Islam hanya mengenal istilah Ta‟aruf dan Khitbah bila
76

berkeinginan untuk menikah. Sedangkan, hukum positif berpacaran tidak

ada larangan yang mengatur hal ini, hanya saja bila berpacaran ini telah

melanggar batas-batas dari norma kesopanan dan kesusilaan seperti

berpegangan tangan, berpelukan, bercium, dan lain-lain serta dilakukan di

tempat umum, baru bisa diberlakukan ketentuan hukum yang berlaku.

b. Larangan penjualan dan penggunaan minuman beralkohol dalam hukum

Islam dan hukum positif memiliki beberapa perbedaan di antaranya,

hukum Islam melarang penjualan dan penggunaan minuman beralkohol

secara mutlak karena hal ini bertentangan dengan Maqashid Syariah yaitu

merusak akal (hifdz al-„aql) yang termasuk lima hal pokok yang harus

dijaga. Sedangkan, hukum positif tidak melarang penjualan dan

penggunaan minuman beralkohol selama hal itu mengikuti dan tidak

bertentangan dengan peraturan-peraturan dan undang-undang yang

berlaku.
77

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian beberapa BAB sebelumnya, dapat disimpulkan tentang

jawaban permasalahan sejalan dengan tujuan penulisan skripsi ini, antara lain :

1. Desa Berbudaya menurut Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun

2015 Tentang Desa Berbudaya adalah desa yang bersendikan pada nilai-

nilai gotong-royong, kekeluargaan, kebersamaan, dan kearifan lokal dalam

rangka penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara dalam rangka peningkatan kualitas desa.

2. Secara umum, hukum Islam dan hukum positif sejalan dengan Peraturan

Bupati ini, namun ada salah satu materi dalam Peraturan Bupati yang

bertentangan dengan hukum positif, yaitu Penjualan dan penggunaan

minuman beralkohol di dalam hukum positif masih diperbolehkan selama

penjualannya mengikuti ketentuan undang-undang yang berlaku,

sedangkan penggunaan (meminum) minuman beralkohol pun tidak

dilarang selama peminumnya tidak berada di muka umum atau

mengganggu ketertiban umum. a

3. Analisis perbandingan hukum Islam dengan hukum positif dari Pasal 6

huruf f, g, l, m, n, o dalam Peraturan Bupati ini, antara lain :

- Persamaan antara hukum Islam dengan hukum positif, mulai dari

pemeriksaan kesehatan sebelum menikah sama-sama mengharuskan calon


78

pasangan suami dan istri mengikuti serangkaian kegiatan ini, dengan

tujuan kemaslahatan. Selanjutnya, kewajiban memiliki tanaman dan hewan

peliharaan sama-sama tidak ada perintah yang tegas dalam melakukannya,

namun hanya berupa anjuran saja yang bertujuan untuk memenuhi

kebutuhan hidup dan kesejahteraan. Kemudian, pelarangan kegiatan yang

berisi hasutan, fitnah, kebencian, dan adu domba sama-sama perbuatan

yang dilarang, hal ini demi menjaga persatuan dan kesatuan antar sesama

manusia, mewujudkan keamanan, dan ketentraman dalam kehidupan

bermasyarakat.

- Perbedaan antara hukum Islam dengan hukum positif, mulai dari kebijakan

berpacaran dalam hukum Islam adalah melarang segala kegiatan ini, baik

anak-anak, remaja, atau orang dewasa karena hanya akan menjerumus

pada perzinaan. Hukum Islam hanya mengenal istilah Ta‟aruf dan Khitbah

bila berkeinginan untuk menikah. Sedangkan hukum positif tidak

mengatur ketentuan tentang berpacaran, hanya saja bila kegiatan ini sudah

melanggar nilai-nilai kesopanan dan kesusilaan yang dilakukan di hadapan

umum, maka akan dikenakan ketentuan yang berlaku. Selanjutnya,

pelarangan penjualan dan penggunaan minuman beralkohol dalam hukum

Islam adalah dilarang secara mutlak karena hal ini demi perlindungan

terhadap akal dalam Maqashid Syariah (hifdz al-„aql). Sedangkan dalam

hukum positif, tidak ada larangan untuk melakukannya selama hal ini

mengikuti dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang

berlaku.
79

B. Saran

Dari kesimpulan di atas, penulis hanya ingin menyatakan bahwa secara

umum Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa

Berbudaya sudah baik, karena sejalan dengan hukum Islam dan hukum positif

pada umumnya. Untuk menyukseskan Peraturan Bupati ini di lapangan,

pemerintah daerah perlu melakukan sosialisasi lebih luas pada masyarakat, agar

segala hal yang diatur dalam Peraturan Bupati ini betul-betul terwujud secara

nyata dalam kehidupan sehari-hari.


80

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an :
Al-Qur‟an Al-Karim

Buku Referensi :
Abbas, Ahmad Sudirman. Pengantar Pernikahan. Jakarta: PT. Prima Heza
Lestari, 2006.

----------. Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh. Ciputat: Adelina Bersaudara,


2008.

Adioetomo, Sri Moertiningsih dan Omas Bulan Samosir. Dasar-Dasar


Demografi. Jakarta: Salemba Empat, 2011.

Albani, Muhammad Nashiruddin Al. Ringkasan Shahih Muslim II. Penerjemah


Subhan dan Imron. Jakarta: Pustaka Azzam, 2003.

Asqalani, Ibnu Hajar Al. Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari.
Penerjemah Amiruddin. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al. Ensiklopedia Hadits 1: Shahih
al-Bukhari. Penerjemah Masyhur dan Muhammad Suhadi. Jakarta:
Almahira, 2011.

----------. Ensiklopedia Hadits 2: Shahih al-Bukhari. Penerjemah Subhan


Abdullah, dkk. Jakarta: Almahira, 2012.

Fanjari, Ahmad Syauqi Al. Nilai Kesehatan Dalam Syariat Islam. Jakarta: Bumi
Aksara, 1999.

Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam Pengantar Hukum dan Tata Hukum Islam
Di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1990.

Ali, Zainuddin. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika, 2006.

Apeldoorn, L.J van. Pengantar Ilmu Hukum. Penerjemah Oetarid Sadino. Jakarta:
PT. Pradnya Paramita, 2011.

Doi, Abdur Rahman I. Perkawinan Dalam Syariat Islam. Jakata: PT. Rineka
Cipta, 1992.
81

Ghandur, Achmad El. Perspektif Hukum Islam. Penerjemah Ma‟mun Muhammad


Mura‟l. Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2006.

HS, Salim. Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2010.

Jauhar, Ahmad al-Mursi Husain. Maqashid Syariah. Penerjemah Khikmawati.


Jakarta: Amzah, 2013.

Khallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh.


Penerjemah Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.

Kancil, C.S.T. Hidup Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: Erlangga, 1990.

----------. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 1986.

Majah, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini Ibnu. Ensiklopedia


Hadits 8: Sunan Ibnu Majah. Penerjemah Saifuddin Zuhri. Jakarta:
Almahira, 2013.

Mardani. Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum


Pidana Nasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008.

Naisaburi, Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi An. Ensiklopedia Hadits 4: Shahih


Muslim 2. Penerjemah Masybari dan Tatam Wijaya. Jakarta: Almahira,
2012.

Nurwijaya, Hartati dan Zullies Ikawati. Bahaya Alkohol dan Cara Mencegah
Kecanduaannya. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2009.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an


Voluma 1. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

----------. Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an Voluma 2.


Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Subagyo, Joko. Metodologi Penelitian Dalam Teori Dan Praktek. Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1994.

Syarifin, Pipin. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid I. Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997.
82

Qaradhawi, Muhammad Yusuf. Halal dan Haram Dalam Islam. Penerjemah


Mu‟ammal Hamidy. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1982.

Tihami, M.A. dan Sohari Sahrani. Fiqh Munahakat: Kajian Fiqih Nikah Lengkap.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010.

Tim Penyusun Fakultas Syari‟ah dan Hukum. Pedoman Penulisan Skripsi.


Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu Fakultas Syari‟ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri, 2012.

Thalib, Sayuti. Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia. Depok: UI Press, 1976.

Tutik, Titik Triwulan. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka


Publisher, 2006.

Widagdho, Djoko, dkk. Ilmu Dasar Budaya. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

Widyosiswoyo, Supartono. Ilmu Budaya Dasar. Bogor: Ghalia Indonesia, 2004.

Yanggo, Huzaemah Tahido. Hukum Keluarga Dalam Islam. Jakarta: Yamiba,


2013.

Washil, Nashr Farid Muhammad dan Abdul Aziz Muhammad Azzam. Qawa‟id
Fiqhiyyah. Penerjemah Wahyu Setiawan. Jakarta: Amzah, 2013.

Zahrah, Muhammad Abu. Fiqh Islam Mazhab dan Aliran. Penerjemah Nahbani
Idris. Tangerang Selatan: Gaya Media Pratama, 2014.

Zaidan, Abdul Karim. Pengantar Studi Islam Mengenai Syari‟ah Islam Lebih
Dalam. Penerjemah M. Misbah. Jakarta: Robbani Press, 2008.

Skripsi :
Nooryanti. “Urgensi Pemeriksaan Kesehatan Pranikah Bagi Pembentukan
Keluarga Sakinah (Studi di KUA Kec. Hanau Kab. Seruyan Kalimantan
Tengah)”. Skripsi S1 Fakultas Syari‟ah, Universitas Islam Negeri Malang,
Malang, 2007.

Nurdin, Asrul. “Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2008


Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis, dan
Pengamen Di Kota Makassar”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Hasanuddin, Makassar, 2013.

Pikoli, Oktafina. “Efektivitas Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2011 Tentang


Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan Di Kota Makassar”. Skripsi
S1 Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar, 2014.
83

Ramdhani, Syaiful. “Penerapan Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2011 Tentang


Pembinaan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Di Purwokerto”.
Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto,
2013.

Peraturan Perundang-Undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Peraturan Bupati Purwakarta No. 70a Tahun 2015 Tentang Desa Berbudaya.

Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2015 Tentang Ketahanan Pangan dan Gizi.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan


Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-


Undang No. 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan.

Jurnal/Artikel/Website :

Amiruddin, Suwaib. “Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Menertibkan


Peredaran Minuman Keras Di Kota Cilegon Provinsi Banten”. Jurnal
Hukum Volume 28. Nomor 2 (Desember 2012).

DetikNews. “RUU Larangan Miras”. Artikel diunduh pada tanggal 01 Mei 2016
dari http://news.detik.com/berita/2907107/ini-draf-ruu-larangan-total-
minuman-beralkohol-di-indonesia.

Hendriyadi. “Metode Pengumpulan Data”. Artikel diunduh pada tanggal 25


Januari 2016 dari https://teorionline.wordpress.com/service/metode-
pengumpulan-data/.

Ika. “Premarital Check-Up”. Artikel diunduk pada tanggal 14 April 2016 dari
http://mantenhouse.com/article/125-premarital-check-up-penting-nggak-
sih-.html#.Vx4b7vl9600.

Laboratorium Klinik Prodia. “Premarital Check Up”. Artikel ini diunduh pada
tanggal 14 April 2016 dari
http://www.prodia.co.id/InfoKesehatan/PenyakitDiagnosisDetails/premarit
al-check-up.

Mulyadi, Dedi. “Setitik Kisah Hidup (Kang H. Dedi Mulyadi, SH)”. Artikel
diunduh pada tanggal 12 April 2016 dari http ://dedimulyadi-
84

bupati.blogspot.co.id/2009/10/setitik-kisah-hidup-kang-h-dedi-
mulyadi_13.html.

Mulyandi, Handri. “Sejarah Purwakarta”. Artikel diunduh pada tanggal 10 April


2016 dari http ://bule-sang.blogspot.co.id/2011/04/sejarah-kota-
purwakarta_26.html.

Prabowo, Rossi. “Kebijakan Pemerintah Dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan


Di Indonesia”. Jurnal Mediagro Volume 6. Nomor 2 (2010).

Syafingi, Habib Muhsin. “Internalisasi Nilai-Nilai Hukum Islam dalam Peraturan


Daerah (Syariah) di Indonesia”. Jurnal Pandecta Volume 7. Nomor 2 (Juli
2012).

Website Resmi Pemerintahan Kabupaten Purwakarta. “Kepala Daerah”. Artikel


diunduh pada tanggal 12 April 2016 dari http
://www.purwakartakab.go.id/kepala-daerah.php.

----------. “Sejarah Purwakarta”. Artikel diunduh pada tanggal 15 Februari 2016


dari http ://purwakartakab.go.id/web2/sejarah-purwakarta/.

Website Resmi Pemerintahan Provinsi Jawa Barat. “Kabupaten Purwakarta”.


Artikel diunduh pada tanggal 18 Februari 2016 dari http
://www1.jabarprov.go.id/index.php/pages/id/1054.
PROVINSI JAWA BARAT

PERATURAN BUPATI PURWAKARTA


NOMOR 70.A TAHUN 2015

TENTANG
DESA BERBUDAYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


BUPATI PURWAKARTA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka penguatan tugas, fungsi dan
peranan Pemerintahan Desa diperlukan suatu
penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang berbasis
budaya dan nilai-nilai kearifan lokal yang terintegrasi
dengan sistem pemerintahan desa secara nasional;
b. bahwa untuk mewujudkan penguatan tugas, fungsi dan
peranan Pemerintahan Desa sebagaimana dimaksud
pada huruf a, perlu dibentuk desa berbudaya di
Kabupaten Purwakarta dengan berpedoman kepada
peraturan perundang-undangan;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten Dalam
Lingkungan Provinsi Djawa Barat (Berita Negara
Republik Indonesia 1950), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1968 tentang
Pembentukan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten
Subang dengan mengubah Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah
Kabupaten Dalam Lingkungan Provinsi Djawa Barat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2851);
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5495);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 123, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5539), sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47
Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5717);
8. Peraturan Daerah Kabupaten Purwakarta Nomor 3
Tahun 2005 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan
Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Purwakarta
Tahun 2005 Nomor 3);
9. Peraturan Daerah Kabupaten Purwakarta Nomor 12
Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan Badan
Permusyawaratan Desa (BAMUSDES) (Lembaran Daerah
Kabupaten Purwakarta Tahun 2006 Nomor 12);
10. Peraturan Daerah Kabupaten Purwakarta Nomor 3
Tahun 2008 tentang Pemerintah Desa (Lembaran Daerah
Kabupaten Purwakarta Tahun 2008 Nomor 3);
11. Peraturan Daerah Kabupaten Purwakarta Nomor 7
Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi
Kewenangan Pemerintah Kabupaten Purwakarta
(Lembaran Daerah Kabupaten Purwakarta Tahun 2008
Nomor 7);
12. Peraturan Daerah Kabupaten Purwakarta Nomor 9
Tahun 2008 tentang Pembentukan Sekretariat Daerah
dan Sekretariat DPRD (Lembaran Daerah Kabupaten
Purwakarta Tahun 2008 Nomor 9);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG DESA BERBUDAYA

BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian

Pasal 1
Dalam Peraturan Bupati ini yang dimaksud dengan :
1. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.
2. Bupati adalah Bupati Purwakarta.
3. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang
diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
4. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa.
5. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa dan perangkat desa sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan desa.
6. Majelis Budaya Desa adalah Badan Permusyawaratan Desa sebagai
majelis pemangku adat.
7. Desa Berbudaya adalah Desa yang bersendikan pada nilai-nilai gotong-
royong, kekeluargaan, kersamaan, dan kearifan lokal dalam rangka
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
dalam rangka peningkatan kualitas Desa.

Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan
Pasal 2
(1) Maksud dibentuknya peraturan Bupati tentang Desa Berbudaya adalah
sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yang
berbasis budaya lokal.
(2) Tujuan dibentuknya peraturan Bupati tentang Desa Berbudaya adalah
untuk meningkatkan kinerja pemerintahan desa yang berbasis budaya
lokal.
BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 3
Ruang lingkup peraturan Bupati ini meliputi :
a. pembentukan dan penyelenggaraan pemerintahan Desa;
b. standarisasi infra struktur desa;
c. penataan kehidupan sosial, lingkungan hidup, kepariwisataan, dan
keamanan;
d. ketahanan pangan;
e. peranan Majelis Budaya Desa;
f. pembinaan perangkat Desa, Ketua RT, Ketua RW, dan Badega Lembur.

BAB III
PEMBENTUKAN DAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA

Pasal 4
(1) Pembentukan dan penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Kabupaten
Purwakarta harus berorientasi kepada nilai-nilai budaya lokal.
(2) Nilai-nilai budaya lokal yang beraneka ragam di setiap Desa wajib
dilestarikan oleh masyarakat Desa dalam upaya penyelenggaraan
Pemerintahan Desa.

BAB IV
STANDARISASI INFRA STRUKTUR DESA

Pasal 5
(1) Pembangunan infra struktur Desa wajib memiliki standarisasi konstruksi,
kualitas, bentuk, dan estetika.
(2) Standarisasi infra struktur Desa meliputi :
a. bangunan pemerintahan desa;
b. desain interior dan eksterior sarana pemerintahan desa;
c. jalan dan jembatan Desa;
d. pagar, penerangan jalan;
e. bentuk dan arsitektur bangunan tempat tinggal masyarakat;
f. desain bangunan saung sawah;
g. desain batas desa;
h. desain tempat pertunjukan kesenaian rakyat.

(3) Pemerintah Daerah membuat pedoman penyelenggaraan infra struktur


Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
BAB V
PENATAAN KEHIDUPAN SOSIAL, LINGKUNGAN HIDUP,
KEPARIWISATAAN, DAN KEAMANAN

Pasal 6

Pemerintah Desa wajib melakukan penataan kehidupan sosial


kemasyarakatan, meliputi :
a. mengembangkan budaya gotong royong melalui kegiatan kerja bakti;
b. mengembangkan sikap tolong menolong melalui kegiatan “beas perelek”;
c. masyarakat pasangan usia subur wajib menjadi akseptor KB;
d. larangan penyelenggaraan kegiatan hiburan yang berpotensi menimbulkan
keributan atau kericuhan;
e. anak yang berusia di bawah umur dilarang mengendarai kendaraan
bermotor;
f. masyarakat yang akan menikah harus menempuh proses pemeriksaan
kesehatan;
g. masyarakat dan pelajar wajib memiliki tanaman hewan peliharaan;
h. anak usia sekolah wajib mengikuti pendidikan formal;
i. anak usia sekolah dilarang berada di luar rumah lebih dari pukul 21.00
WIB;
j. masyarakat wajib memadamkan listrik di luar rumah pada saat bulan
purnama;
k. tamu wajib lapor ke Ketua RT dan dilarang bertamu lebih dari pukul 21.00
WIB;
l. warga masyarakat yang berumur 17 (tujuh belas) tahun ke bawah (usia
remaja) dilarang berpacaran;
m. warga masyarakat yang berumur di atas 17 (tujuh belas) tahun dilarang
berpacaran baik di dalam maupun di luar rumah lebih dari pukul 21.00
WIB, kecuali didampingi oleh orang tua atau keluarganya;
n. pelarangan kegiatan yang berisi hasutan, fitnah, kebencian, adu domba
antar kelompok/golongan yang berpotensi meruntuhkan persatuan, gotong
royong dan ketenteraman masyarakat;
o. pelarangan penjualan dan penggunaan minuman beralkohol.

Pasal 7

Pemerintah Desa wajib melakukan penataan lingkungan hidup, meliputi :


a. masyarakat dan Pemerintah Desa wajib memelihara dan melestarikan
situ dan mata air;
b. penebangan pohon dan tumbuhan tertentu harus mempunyai izin dari
Kepala Desa;
c. pelarangan kegiatan penambangan tanpa izin;
d. pelarangan pengambilan air bersih untuk kepentingan komersial;
e. pelarangan pengambilan ikan di selokan, sungai, dan situ dengan
menggunakan alat dan/atau bahan yang berbahaya;
f. pelarangan pengambilan belut dan katak di sawah dengan menggunakan
aliran listrik;
g. pelarangan berburu burung, ular, tupai, dan satwa yang dilindungi oleh
undang-undang;
h. pelarangan buang air besar di selokan, sawah, dan kebun.

Pasal 8

Pemerintah Desa wajib melakukan penataan kepariwisataan, yang meliputi :


a. inventarisasi potensi wisata unggulan di daerahnya;
b. perbaikan infrastruktur yang menuju objek wisata;
c. penataan dan pengembangan infrastruktur pendukung pariwisata;
d. mengembangkan tradisi dan adat istiadat;
e. setiap desa harus mempunyai kesenian khas;
f. setiap desa harus mempunyai gedung/balai pertunjukkan kesenian;
g. Pemerintah Desa wajib mengembangkan cara berpakaian adat sunda
dalam upaya mendukung kepariwisataan;
h. Pemerintah Desa wajib mengembangkan potensi wisata yang berbasis
pertanian;
i. Pemerintah Desa wajib mengembangkan potensi wisata kuliner termasuk
tarian “goyang maranggi”.

Pasal 9

Pemerintah Desa wajib melakukan penataan keamanan lingkungan, yang


meliputi :
a. pembinaan peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap gangguan
keamanan;
b. peningkatan koordinasi dengan Babinkamtibmas dan Babinsa;
c. menggalakkan sistem keamanan lingkungan yang berbasis partisipasi
masyarakat;
d. peningkatan kemampuan Badega Lembur;
e. peningkatan sarana Pos Kamling;
f. pemasangan CCTV pada setiap batas Desa dan tempat strategis;
g. penerapan sanksi adat terhadap pelanggaran gangguan keamanan,
ketertiban dan ketentraman masyarakat.

Pasal 10

Penjabaran lebih lanjut mengenai penataan kehidupan sosial, lingkungan


hidup, kepariwisataan, dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Desa.
BAB VI
KETAHANAN PANGAN

Pasal 11

Pemerintah Desa wajib menjaga dan meningkatkan ketahanan pangan melalui


kegiatan :
a. pengadaan lumbung padi di setiap keluarga/RT/RW/Desa;
b. peternakan, pertanian, dan perikanan rakyat;
c. himbauan kepada masyarakat pemilik tanah pertanian untuk tidak
menjual dan/atau mengalihfungsikan lahan pertanian kepada pihak lain;
d. pembinaan anak usia sekolah dalam bercocok tanam, beternak, ngarit,
menenun;
e. pengalihan pemakaian bahan bakar minyak dan gas ke kayu bakar.

BAB VII
PERANAN MAJELIS BUDAYA DESA

Pasal 12

Majelis Budaya Desa mempunyai peran :


a. sebagai pemangku adat Desa;
b. pemutus perselisihan/sengketa adat bersama Kepala Desa;
c. mengembangkan kehidupan adat istiadat dan kebudayaan masyarakat;
d. menjalin kerja sama dengan Majelis Budaya Desa lain dalam rangka
penguatan Desa Berbudaya;
e. membuat regulasi tentang tatanan kehidupan bermasyarakat yang
bersendikan kearifan budaya lokal.

Pasal 13

Majelis Budaya Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ditur lebih lanjut
dengan peraturan Bupati.

BAB VIII
SANKSI

Pasal 14

(1) Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan


Pasal 10, Majelis Budaya Desa bersama Kepala Desa dapat menerapkan
sanksi yang diatur dengan peraturan Desa.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dan dijatuhkan
oleh Majelis Budaya Desa bersama Kepala Desa berdasarkan rasa
kemanusiaan dan keadilan serta menjunjung tinggi nilai-nilai luhur
budaya masyarakat Desa.
BAB IX
PEMBINAAN PERANGKAT DESA, KETUA RT, KETUA RW,
DAN BADEGA LEMBUR

Pasal 15

(1) Pemerintah Desa wajib melakukan pembinaan terhadap perangkat Desa,


Ketua RT, Ketua RW, dan Badega Lembur melalui :

a. kegiatan bimbingan teknis bekerja sama dengan dinas terkait;


b. membuat pakta integritas bagi seluruh perangkat Desa, Ketua RT,
Ketua RW dan Badega Lembur;
c. kegiatan evaluasi dan pengawasan kinerja.

(2) Pemerintah Desa melakukan penilaian terhadap perangkat Desa, Ketua


RT, Ketua RW, dan Badega Lembur.

(3) Perangkat Desa, Ketua RT, Ketua RW, dan Badega Lembur yang
melaksanakan tugas tidak dengan baik diberikan sanksi.

(4) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari :


a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pernyataan tidak puas secara tertulis;
d. penundaan pembayaran penghasilan tetap/insentif;
e. pemberhentian sebagai perangkat Desa atau Badega Lembur.

Pasal 16

Penjabaran lebih lanjut terhadap pembinaan perangkat Desa, Ketua RT, Ketua
RW, dan Badega Lembur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diatur lebih
lanjut dengan peraturan Desa.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17

Peraturan Bupati ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bupati ini dengan penempatannya dalam berita daerah Kabupaten
Purwakarta.
Ditetapkan di Purwakarta
pada tanggal 15 Juni 2015

BUPATI PURWAKARTA,

DEDI MULYADI

Diundangkan di Purwakarta
Pada tanggal 15 Juni 2015

SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN PURWAKARTA

Drs. H. PADIL KARSOMA,M.Si


BERITA DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA TAHUN 2015 NOMOR 70A
Pembagian Administratif Kabupaten Purwakarta

No. Kecamatan Jumlah Kel/Desa Luas Wilayah

1 Babakan Cikao 09 42,40 km2

2 Bojong 14 68,69 km2

3 Bungursari 10 54,66 km2

4 Campaka 10 43,60 km2

5 Cibatu 10 56,50 km2

6 Darangdan 15 67,39 km2

7 Jatiluhur 10 60,11 km2

8 Kiara Pedes 10 52,16 km2

9 Maniis 08 71,64 km2

10 Pasawahan 12 36,96 km2

11 Plered 16 31,48 km2

12 Pondok Salam 11 44,08 km2

13 Purwakarta 10 24,83 km2

14 Sukasari 05 92,01 km2

15 Sukatani 14 95,43 km2

16 Tegalwaru 13 73,23 km2

17 Wanayasa 15 56,55 km2


SURAT PERNYATAAiT
TELAE MELAI(U'KAN }YAWANCARA

Dengan ini saya yangbernama:

Nama : Balu Baskoro

Tempat/ Tanggal Lahir : Ponorogo, 12 November 1993

NIM :1111043200030

Semester : X (10)

Prograrn Studi : Perbandingan Hukum

Alamat : Jl. Sumatra, Gang.Dama, RT:02106

Kec. Ciputat, Kel. Jombang, Tangerang Selatan

Telp/I{p : 0812 8609 9275

Telah melakukan wawancara dengan Bupati Purwakarta pada tanggal22\tlaret2}l6,

pukul W OO wIB di Balai Negeri.

Pewawancara

Bayu Baskgro
Hasil Wawancara
Hasil wawancara dengan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi tanggal 22 Maret 2016
jam 14.00 WIB di Balai Negeri.

1. Apa yang melatarbelakangi bapak dalam membuat peraturan ini?

Dalam rangka penguatan tugas, fungsi, dan peranan Pemerintahan Desa maka
diperlukan suatu penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang berbasis budaya dan
nilai-nilai kearifan lokal yang terimtegrasi dengan sistem pemerintahan desa
secara nasional dengan berpedoman kepada Peraturan Perundang-Undangan.

2. Siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan peraturan ini?

Pihak-pihak yang terlibat, antara lain :

a. Asisten Sekretaris Daerah Bidang Pemerintahan.

b. Bagian Hukum.

c. Bagian Pemdes.

d. OPD lain yang terkait.

3. Apa yang menjadi alasan terbentuknya Pasal 6 huruf f tentang pemeriksaan


kesehatan sebelum menikah?

Untuk menghindari dari risiko penularan penyakit yang disebabkan hubungan


seperti suami istri (penyakit HIV atau penyakit kelamin lainnya).

4. Apa yang menjadi alasan terbentuknya Pasal 6 huruf g tentang kewajiban


memiliki tanaman dan hewan peliharaan?

Agar masyarakat dapat membiasakan dan melatih sejak dini anak sekolah untuk
bisa belajar mandiri dalam rangka menjaga ketahanan pangan.

5. Apa yang menjadi alasan terbentuknya Pasal 6 huruf l dan m tentang


kebijakan berpacaran?

Pada usia 17 tahun atau lebih seseorang diberi ruang untuk mengenal lawan
jenisnya secara fisikologis dan biologis namun dalam batas-batas norma yang
dapat diterima oleh masyarakat serta pada usia 17 tahun ke atas dipandang usia
yang cukup matang untuk mengenal lawan jenis secara bertanggungjawab.
Sedangkan pada usia di bawah 17 tahun tidak memenuhi syarat-syarat
sebelumnya.
6. Apa yang menjadi alasan terbentuknya Pasal 6 huruf n tentang pelarangan
kegiatan yang berisi hasutan, fitnah, kebencian, dan adu domba antar
kelompok/golongan yang berpotensi meruntuhkan persatuan?

Untuk menciptakan ketertiban, ketentraman, dan keamanan serta menjunjung


tinggi persatuan dan kesatuan masyarakat.

7. Apa yang menjadi alasan terbentuknya Pasal 6 huruf o tentang pelarangan


penjualan dan penggunaan minuman beralkohol?

Pasal ini telah dibatalkan sesuai dengan surat keputusan Gubernur Jawa Barat
nomor 188.342./Kep.1354-Hukham/2015.

Anda mungkin juga menyukai