Anda di halaman 1dari 88

Penggunaan Pengeras Suara untuk Kegiatan Ibadah: Studi atas SE.

05 Tahun
2022 tentang Pedoman Pengeras Suara di Masjid dan Mushola dalam Perspektif
Hukum Fiqh dan Positif

Skripsi ini diajukan untuk Memenuhi salah satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Disusun oleh :

Ahmad Riyandi Wargono

NIM : 11170430000097

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULAH
JAKARTA
2023 M / 1444 H
Penggunaan Pengeras Suara untuk Kegiatan Ibadah: Studi atas SE. 05 Tahun
2022 tentang Pedoman Pengeras Suara di Masjid dan Mushola dalam Perspektif
Hukum Fiqh dan Positif

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:
Ahmad Riyandi Wargono
NIM : 11170430000097

Dosen Pembimbing

Dr. Umar Al-Haddad, M.A


NIP : 1968090419994011001

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023 M / 1444 H

i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi saya yang berjudul tentang Penggunaan Pengeras Suara untuk Kegiatan Ibadah: Studi
atas SE. 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Pengeras Suara di Masjid dan Mushola dalam
Perspektif Hukum Fiqh dan Positif. Telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan
Hukum Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 30 Maret 2023. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana
ProgramStudi Strata Satu (S1) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum

Jakarta, 30 Maret 2023


Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

DR. Muhammad Maksum,S.H..M.A..M.D.C.


NIP. 197807152003121007
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Siti Hana, Lc., M.A ( )


NIP. 19740216008012013

2. Sekretaris : Fitria, S.H., MR., Ph.D ( )


NIP. 197908222011012007

3. Pembimbing : Dr. Umar Al-haddad, M.A ( )


NIP . 1968090419994011001

4. Penguji I : Dr. M. Fudhail rahman, Lc., M.A ( )


NIP . 197508102009121001

5. Penguji II : Andi syafrani, MCCL ( )


NIP .-

ii
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertandatangan dibawah ini :


Nama : Ahmad Riyandi Wargono
NIM 11170430000097
Program Studi : Perbandingan Mazhab
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar sarjana hukum (S.H) di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan
plagiasi karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 30 Maret 2023

Ahmad Riyandi Wargono

iii
ABSTRAK

Ahmad Riynadi Wargono, NIM 11170430000097. tentang Penggunaan Pengeras Suara


untuk Kegiatan Ibadah: Studi atas SE. 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Pengeras Suara di
Masjid dan Mushola dalam Perspektif Hukum Fiqh dan Positif. Skripsi, Program Studi
Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 1444 H/2023 M.
Penelitian dalam skripsi ini bertujuan untuk membahas terkait Penggunaan Pengeras
Suara untuk kegiatan Ibadah dalam Surat Edaran Kementrian Agama. Penggunaan pengeras
suara keluar area masjid di luar waktu yang telah ditentukan hingga saat ini masih dapat
menimbulkan polemik di tengah kehidupan masyarakat. Seperti yang sedang ramai ditengah
masyarakat setelah keluarnya Surat Edaran dari Kementrian Agama nomor : SE. 05 Tahun 2022
tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushola. Hukum Islam adalah
sebuah sistem hukum yang didasarkan atas syariah Islam dengan sumber hukum utamanya
adalah AlQur`an dan Sunnah. Sistem hukum ini biasa disebut dengan Islamic Law System atau
The Moeslem Legal Tadition, yang di anut oleh negara-negara Islam.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian Hukum Normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder. Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan Comparative
Approach (pendekatan perbandingan) atau muqaranah al-madzahib dalam hukum islam.
Pendekatan perbandingan digunakan untuk meneliti perbandingan Hukum Islam dan Hukum
Positof terkait Penggunaan Pengeras Suara untuk Kegiatan Ibadah: Studi atas SE. 05 Tahun
2022 tentang Pedoman Pengeras Suara di Masjid dan Mushola dalam Perspektif Hukum Fiqh
dan Positif.
Hasil dari penelitian ini mendapatkan Kedudukan dari surat edaran Kemetrian Agama
(Pemerintah) dan Pengguanaan Pengeras Suara secara Hukum Islam dan Positif, karena
promblemtika ini sempat menjadi hal yang cukup menarik ditengah masyarakat

Kata kunci : Surat Edaran, Pengeras Suara, Maslahah Mursalah, Fiqih Siyasah
Pembimbing : Dr. Umar Al-Haddad M.A
Daftar Pustaka : 72 Refrensi dimulai dari tahun 1983 s.d. 2022

iv
Kata Pengantar

Alhamdulillah. Segala puji dan syukur terucap hanya bagi Allah SWT.,Tuhan semesta alam yang
telah memberikan rahmat, nikmat, hidayah serta karunia-Nya kepada umat manusia di muka bumi ini,
terkhusus kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi Sarjana Strata Satu (S-1) di
Program Studi Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta dengan lancar dan baik. Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada
junjungan serta suri tauladan umat manusia yakni Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan
juga bagi yang mengikuti dan memegang teguh sunnahsunnahnya dengan setia hingga hari kiamat kelak.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima banyak sekali bantuan dari berbagai pihak,
sehingga dapat terselesaikan atas izin Allah SWT. Oleh karena itu, pada kesempatan yang berbahagia ini,
izinkan penulis mengucapkan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik
moril maupun materil, khususnya kepada :
1. Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. DR. Muhammad Maksum,S.H..M.A..M.D.C. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Siti Hana, Lc., M.A., Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Fitriyani, S.Ag.,
M.H., Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Umar Al-haddad, M.A Dosen Pembimbing Akademik yang telah mengarahkan dan
menuntun dalam permulaan pencarian judul skripsi hingga skripsi ini menjadi nyata.
5. Dr. Umar Al-haddad, M.A Dosen Pembimbing Skripsi yang telah membimbing serta
memberi arahan dan masukan kepada penulis hingga proses skripsi terwujud.
6. Dr. M. Fudhail rahman, Lc., M.A dan Andi syafrani, MCCL, selaku dosen penguji
sidang munaqasyah yang telah membantu dalam penyempurnaan pada tahap akhir
penyelesaian skripsi
7. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah mendidik, mengarahkan, mengevaluasi setiap ilmu yang diberikan,
dengan ilmu tersebut skripsi ini bisa terbantu dan lancar dalam menyusun dan semoga
ilmu-ilmu yang didapat akan terus diamalkan.
8. Seluruh civitas Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, bagian administrasi, Tata Usaha Fakultas Syariah dan Hukum serta

v
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, sekaligus seluruh staff dan karyawan
Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan pelayanan yang sangat maksimal
dan memuaskan dan telah banyak berkontribusi dalam kelancaran mengurus berkas dan
surat untuk menyelesaikan studi ini.
9. Orang tuaku, ayahanda Munarjo dan Ibunda Susriyanti, Penulis ucapkan terimakasih
sebesar-besarnya atas kesabaran dalam merawat serta mendidik penulis sampai saat ini.
Serta dukungan dan doa yang tidak pernah ada hentinya mengiringisetiap perjalanan
penulis.
10. Adik-adik tercinta: Aura susriyatun, Ali nurdin dan Salim danuh warta yang selalu
mberikan semangat kepada penulis
11. Terimakasih kepada khofifahtul zahro wanita yang selalu mengingatkan dan memberikan
semangat sehingga penulis bisa menyelesaikan tulisan ini
12. Guru-guru saya termasuk pengasuh di Pondok Pesantren darussallam Parung Bogor yang
senantiasa memberikan masukan kepada penulis: Ust. Saifullah, Ust. Nur Muhammad
Faiz dan Ust. Syamsul Bahri
13. Rekan kelas seperjuangan dalam mengingatkan penulis: Aab, Ayub, Barzan, Alif, Ucup.
Penulis percaya kalian dapat menuntaskan masa studi strata satu ini
14. Teman-teman seperjuangan di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
khususnya Mahasiswa/i Perbandingan mazhab angkatan 2017 yang telah membantu dan
memberikan motivasi dalam penulisan sekripsi ini. Terimakasih atas segala kenangan
yang telah di coretkan dalam lembar kertas perjalanan ini. Semoga tali silaturahmi kita
senantiasa terjalin.
15. Teman-teman alumni Pondok Pesantren Darussallam Parung Bogor yang senantiasa
memberikan semangat dan masukan kepada penulis: Uday, Habibi, Risky dan Rois
16. Semua pihak yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu, namun tidak mengurangi
rasa terima kasih dan rasa syukur penulis terhadap pelaksanaan serta tersusunnya skripsi

Jakarta, 28 Maret 2023

Ahmad riyandi wargono

vi
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUN PEMBIMBING i


LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ii
LEMBAR PERNYATAAN iii
ABSTRAK iv
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 4
D. Review Studi Terdahulu 5
E. Kerangka Teori 6
F. Metodologi Penelitian 11
G. Sistematika Penulisan 12
BAB II : TINJAUAN TEORITIS TENTANG PENGERAS SUARA
A. Esensi Ibadah 13
B. Komunikikasi & Informasi 19
C. Hakikat Adzan 26
D. Pengeras Suara 30
BAB III : ESENSI SURAT EDARAN SE : 05 TAHUN 2020
A. Ruang Lingkup tentang Surat Edaran 33
B. Surat Edaran SE Nomor 05 Tahun 2020 38
C. Interpretasi Surat Edaran SE Nomor 05 Tahun 2020 43
BAB IV : ANALISIS SURAT EDARAN NOMOR SE. 05 TAHUN 2022 DAN PENGERAS
SUARA DALAM PERSEPKTiF HUKUM FIQH DAN POSITIF
A. Esensi Surat Edaran Nomor 05 Tahun 2022 50
B. Pengaturan Pengeras Suata menurut Hukum Islam dan Positif 55
C. Surat Edaran Kemenag Nomor SE. 05 Tahun 2022 dalam perspektif Hukum Islam
dan Hukum Positif 59

vii
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan 74
B. Saran 75
DAFTAR PUSTAKA 76

Viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah suatu negara yang mayoritas penduduknya beargama
islam. Dalam setiap suatu acara kegiatan baik acara keagamaan ataupun acara
tertentu selalu menggunakan pengeras suara. Pengeras suara sangat diperlukan
untuk memberi suatu instruksi agar suara terlihat lebih jelas dan dapat
didengar sampai jarak tertentu. Pengeras suara sering disebut juga TOA,
padahal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak terdapat definisi
pasti dari TOA itu sendiri. Tidak banyak orang yang mengetahui dan
menyadari bahwa TOA itu merupakan sebuah merk perusahaan asal jepang
yang bergerak dibidang sound system.1
Dengan kemajuan teknologi sekarang ini, terutama bagi mayoritas
yang lingkungan penduduknya beragama islam, pengeras suara sangat umum
digunakan terutama di masjid, langgar atau musala. Tujuan digunakannya
pengeras suara adalah untuk menunjang tercapainya dakwah islam kepada
masyarakat luas baik di dalam maupun diluar masjid, langgar atau musala.
Penggunaan pengeras suara di masjid, langgar atau musala umumnya
terdengar minimal lima kali dalam sehari untuk keperluan azan.2 Azan
merupakan syiar Islam, yang dikumandangkan sejak zaman Rosulullah sampai
sekarang ketika hendak menunaikan ibadah shalat. Azan syiar Islam atau
dakwah yaitu mengajak umat Islam menunaikan ibadah shalat sesuai dengan
perintah Allah swt.3
Pada zaman Rasullullah saw belum ada pengeras suara (speaker) yang
digunakan seperti saat ini, dan pada saat itu juga belum ada suara kebisingan
seperti suara kendaraan serta mesin, sehingga untuk mengumandangkan azan,
khutbah, dan menyiarkan pengumuman hanya dengan suara yang cukup keras,
maka dibuatlah bangunan-bangunan yang tinggi seperti oleh arsitekarsitek
muslim agar suara azan terdengar sampai ketempat yang jauh.

1
http://www.toa.jp/profile/outline.html diakses pada Sabtu 24 Agustus 2022
2
Nahd Bin Abdurrahman Bin Sulaiman Arrumi, “Pemahaman Shalat dalam alquran”, h. 77.
3
Achmad Tibraya, “Menyelami Seluk Beluk Islam”, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 158.

1
Di zaman modern saat ini masyarakat sudah menggunakan alat
elektronik seperti pengeras suara (speaker) dan sudah lazim terdapat di masjid-
masjid dan musala yang mana biasa digunakan untuk kegiatan azan, khutbah,
pengajian, membaca alquran serta bersolawat agar radius suara lebih terdengar
luas. Sedangkan yang terjadi saat ini pengeras suara di masjid, langgar atau
musala sering terdengar di waktu tertentu, dimana waktu tersebut digunakan
oleh beberapa masyarakat untuk istirahat, misalnya seperti pengajian,
membaca alquran, serta bersolawat. Penggunaan tersebut hanya dilakukan
oleh masyarakat beragama islam, sedangkan masyarakat non muslim
merasakan dampak tersebut.
Penggunaan pengeras suara keluar area masjid di luar waktu yang telah
ditentukan hingga saat ini masih dapat menimbulkan polemik di tengah
kehidupan masyarakat.4 Seperti yang sedang ramai ditengah masyarakat
setelah keluarnya Surat Edaran dari Kementrian Agama nomor : SE. 05 Tahun
2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushola.
Hukum Islam adalah sebuah sistem hukum yang didasarkan atas
syariah Islam dengan sumber hukum utamanya adalah AlQur`an dan Sunnah.
Sistem hukum ini biasa disebut dengan Islamic Law System atau The
Moeslem Legal Tadition, yang di anut oleh negara-negara Islam.5
Pengeras suara (Speaker) adalah suatu alat yang mengubah sinyal
elektrik ke frekuensi audio (suara) melalui penggetaran komponen yang
berbentuk membran untuk menggetarkan udara hingga terjadilah gelombang
suara yang terdengar sampai digendang telinga dan dapat didengar. Adapun
beberapa contoh penggunaan pengeras suara yaitu seperti bersolawat,
membaca alquran, menyiarkan pengumuman, serta azan yang dipakai untuk
memanggil orang-orang untuk memperingatkan masuknya waktu shalat.6 Azan
secara etimologi mengandung pengertian menginformasikan semata-mata,
sedangkan secara istilah terminologi adalah menginformasikan
(memberitahukan) tentang waktu sholat dengan lafadz-lafadz tertentu.7

4
Panshaiskpradi, “Resepsi khalayak mengenai tarhim”, Jurnal Ilmu komunikasi, vol. 2, no. 2,
(2019) h. 180
5
Nurul Qamar, “Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan” ( Cet. I; Makassar; IKAPI,
2010), h. 17.
6
Nasution, “Ensiklopedia Islam Indonesia”, h.173
7
Nursyamsudin,” Fiqh Ibadah” (Bandung: Bulan Bintang, 2009), h. 46.

2
Pengeras suara diperlukan agar jamaah atau umat Islam yang tinggal
agak berjauhan dari masjid dapat mendengar suara adzan dengan adanya
pengeras suara. Selain itu, dengan pertumbuhan penduduk yang pesat,
menjadikan jamaah masjid membludak, sehingga perlu pengeras suara agar
suara imam atau khatib dapat didengar oleh jamaah.
Seruan agar masjid-masjid di Indonesia mengatur penggunaan
pengeras suara untuk adzan dinilai sangat rasional dan realistis. Terutama di
perkotaan, pengurus masjid dituntut untuk memperhatikan penggunaan
pengeras suara. Sudah tidak aneh lagi di perkotaan di sekitar masjid terdapat
tempat tinggal non Islam, sehingga keadaan dan kondisi mereka tetap
dipertimbangkan. Terdapat hadits Nabi yang mengatakan :”Demi Allah, tidak
beriman. Demi Allah tidak beriman. demi Allah tidak beriman”. Lalu ada
orang yang bertanya: Siapa itu ya Rasulullah (orang yang tidak beriman)”,
Rasulullah menjelaskan bahwa, orang yang tidak beriman itu adalah orang
yang tidak (pernah) aman tetangganya karena gangguan (kejahatannya).”
Jangan sampai akibat salah dalam menggunakan pengeras suara masjid,
membuat tetangga-tetangga menjadi merasa terganggu lebih-lebih sampai
menimbulkan kebencian tetangga yang non Islam terganggua terhadap masjid.
Atas dasar itulah maka penulis memutuskan untuk membuat skripsi
yang berjudul tentang; Penggunaan pengeras suara untuk kegiatan ibadah:
Studi Atas SE. 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Pengeras Suara di Masjid
dan Mushola dalam Perspektif Hukum fiqh dan Positif
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah.
Agar penelitian ini tidak meluas dan lebih terarah dengan jelas maka,
penulis membatasi masalah yang dibahas mengingat keterbatasan waktu dalam
proses penyusunan agar pembahasan tidak meluas dan menyimpang dari
permasalahan yang ada. Karena itu, penulis memfokuskan penelitian ini pada
Penggunaan pengeras suara untuk kegiatan ibadah: Studi Atas SE. 05 Tahun
2022 tentang Pedoman Pengeras Suara di Masjid dan Mushola dalam
Perspektif Hukum fiqh dan Positif. Atas lahirnya surat edaran tersebut menjadi
pro dan kontra ditengah Masyarakat alasan mengenai Kementrian Agama
merilis surat edaran tersebut.

3
2. Perumusan Masalah
Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana Esensi dari Surat Edaran Nomor : SE. 05 Tahun 2022
tentang Pedoman Pengeras Suara di Masjid dan Mushola ?
b. Bagaimana Hukum Islam & Positif menyikapi Surat Edaran
Nomor : SE. 05 Tahun 2022 ?
c. Bagaimana Kedudukan dari Surat Edaran Pemerintah ?
C. Tujuan & Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui Esensi dari Surat Edaran Nomor : SE. 05 Tahun
2022 tentang Pedoman Pengeras Suara di Masjid dan Mushola
b. Untuk mengetahui Surat Edaran Nomor : SE. 05 Tahun 2022 dalam
perspektif Hukum Islam dan Positif
c. Untuk mengetahui Kedudukan dari Surat Edaran Pemerintah
2. Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian yang dilakukan ini diharapkan bermanfaat bagi
pihak yang memiliki kepentingan dengan Penelitian Hukum ini, yaitu :
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam
pengembangan ilmu hukum, khususnya bidang Ibadah dan Sosial yakni
keterkaitan Penggunaan Pengeras Suara dari SE. 05 Tahun 2022 yang
ditinjau dari Hukum fiqh dan Hukum Positif
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan untuk dapat memberikan pemecahan
masalah terkait bentuk penggunaan Pengeras Suara dari Surat Edaran
Nomor SE. 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Pengeras Suara di Masjid dan
Mushola ditinjau dari Hukum Islam dan Positif bagi masyarakat dan
mengutip putusan hasil Ijtima Ulama ke 7 Komisi Fatwa. Selain itu,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada
berbagai pihak terkait yang melakukan penelitian dengan topik yang sama
dikemudian hari.

4
D. Review Studi Terdahulu
Pada penelitian skripsi ini, penulis telah melakukan telaah kepustakaan
yang bersumber pada buku dan skripsi tentang Penggunaan pengeras suara
untuk kegiatan ibadah: Studi Atas SE. 05 Tahun 2022 tentang Pedoman
Pengeras Suara di Masjid dan Mushola dalam Perspektif Hukum fiqh dan
Positif :
1. Skripsi tentang Tinjauan Hukum Islam Terhadap Implementasi Surat
Edaran Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
NO.B.3940/DJ.III/HK.007/08/2018 tentang Pengeras Suara Adzan di
Masjid Mushola dan Langgar, yang ditulis oleh Miftahul Ilmi, Universitas
Islam Negeri Raden Intan Lampung, Jurusan Hukum Tatanegara 2021,
Skripsi ini membahasa tentang Pengeras Suara Adzan di Masjid Mushola
dan Langgar dari Surat Edaran Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat
Islam, Persamaan dengan penulisan ini mendeskripsikan tentang Pengeras
Suara namun titik perbedannya tidak membahas dari SE Kementrian
Agama tapi dari Surat Edaran Direktur Jenderal (Dirjen) Bimbingan
Masyarakat Islam
2. Skripsi tentang SOULME : IoT Sistem Monitoring Pengeras Suara Masjid
(Studi kasus di Majid Al hidayah Kimpulan Utara Kampus UII), yang
ditulis oleh Rahmadita Syafiyana, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta,
Program Studi Teknik Elektro 2021. Skripsi ini membahas tentang
Monitoring Pengeras Suara Masjid pada Kampus UII yakni Masjid Al-
Hidayah, Persamaan dengan penulisan ini mendeskripsikan tentang
Pengeras Suara namun titik perbedannya tidak membahas dari SE
Kementrian Agama tapi studi kasus tentang Pengeras Suara di Masjid Al-
Hidayah UII
3. Skripsi tentang Analisis Pembingkaian Berita tentang Kontroversi
Peraturan Pengeras Suara Masjid pada Media Online TIRTO.ID Edisi
Juni – Agustus 2018, yang ditulis oleh Muhammad Kevin Dovara,
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Jurusan Ilmu
Komunikasi 2019, Skripsi ini membahas tentang Kontroversi Peraturan
Pengeras Suara Masjid pada Media Online Tirto Id, Persamaan dengan
penulisan ini mendeskripsikan tentang Pengeras Suara namun titik
perbedannya tidak membahas dari SE Kementrian Agama tapi membahas

5
terkait kontrovesi dari pemberitaan Tirto Id tentang Peraturan Pengeras
Suara Masjid
4. Jurnal tentang Komunikasi dan Motif Penggunaan Toah Masjid, yang
ditulis oleh Alen Manggola, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, JOPPAS: Journal of Public Policy and Administration
Silampari Volume 1, Nomor 2, Juni 2020, Jurnal ini membahas terkait
Komunikasi dan Motif Penggunaan Pengeras Suara (Toa) Masjid,
Persamaan dengan penulisan ini masih membahas terkait Pengeras Suara
(Toa) tapi titik perbedaanya tidak membahas tentang motif tentang
pengeras suara yang menjadi pro kontra di Masyarakat
5. Jurnal tentang Strategi Pengaturan Penggunaan Pengeras Suara
Masjid/Mushola Berbasis Kearifan Lokal, yang ditulis oleh Abdurrahman
Al Haddar, Studi Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama Vol. 12, No. 1,
Januari – Juni 2020, Jurnal ini membahas terkait Komunikasi dan Motif
Penggunaan Pengeras Suara Masjid, Persamaan dengan penulisan ini
masih membahas terkait Pengeras Suara tapi titik perbedaanya tidak
membahas tentang Strategi Pengaturan Penggunaan Pengeras Suara
Berbasis Kearifan Lokal
E. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan teori yang berkaitan
langsung dengan pokok permasalahan yang akan dibahas. Hal ini
dimaksudkan agar pembahasan dalam penulisan ini lebih terarah tetap pada
koridornya, ada pun teori yang akan digunakan sebagai berikut :
1. Surat Edaran
Surat edaran merupakan surat yang isinya menyangkut pemberitahuan
secara resmi didalam instansi, lembaga atau organisasi. Atau definisi surat
edaran yakni suatu surat pemberitahuan resmi yang diedarkan secara tertulis
dan ditujukan untuk berbagai pihak. Surat ini berisikan penjelasan mengenai
suatu hal, misalnya seperti kebijakan baru dari pimpinan instansi, berisikan
suatu peraturan dan lain-lain. Biasanya surat ini ditujukan untuk kalangan
umum, akan tetapi didalam ruang lingkup tertentu.8

8
https://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-surat-edaran/ diakses pada Minggu 25 Agustus 2022

6
Surat edaran ialah surat pemberitahuan yang dibuat secara tertulis yang
di tunjukkan kepada pejabat atau pegawai yang mana berisi sebuah penjelasan
tentang kebijakan atau cara dalam pelaksanaan peraturan ataupun
pengimplikasian peraturan perundang-undangan yang mana Surat Edaran ini
biasanya di gunakan oleh Pemerintah ataupun Swasta agar supaya sebuah
peraturan yang telah dibuat oleh sebuah Instansi ataupun lembaga dapat
berjalan dengan baik serta tidak melanggar peraturan yang ada sebelumnya.9
Fungsi dari Surat Edaran diantaranya :
a. Sebagai sarana untuk menyampaikan informasi atau pemberitahuan
kepada banyak pihak, dimana isi pemberitahuan tersebut sifatnya
umum atau bukan rahasia.
b. Sebagai petunjuk dan penjelasan tentang peraturan/ kebijakan atau tata
cara pelaksanaan (bagi instansi), dan sebagai pengumuman atau
pemberitahuan (bagi perusahaan swasta).
Ciri-ciri dari Surat Edaran diantaranya :
a. Surat edaran merupakan surat resmi dan dibuat dengan bahasa baku.
b. Surat edaran biasanya bersifat umum dan bukan rahasia.
c. Surat edaran dibuat dengan isi & bentuk yang sama untuk banyak
pihak.
d. Surat edaran dibuat untuk memberikan pemberitahuan kepada pihak-
pihak yang berada di dalam ruang lingkup tertentu.
Adapun jenis-jenis dari surat edaran diantaranya ada dua macam yaitu
surat edaran yang terbatas dan surat edaran yang tidak terbatas, berikut
dibawah ini penjelasannya :
a. Surat edaran terbatas yaitu surat yang biasanya ditujukan dari satu
organisasi atau instansi kepada para anggotanya saja, misalnya seperti
surat edaran dari koperasi kepada para anggotanya, surat dari ketua
osis untuk anggota osis, dan lain-lain.
b. Surat edaran tidak terbatas yaitu surat yang ditujukan kepada
masyarakat luas.

9
Surat Edaran No. B.3940/DJ.III/Hk.00.7/08/2018, Tentang Pelaksanaan Instruksi Direktur
jenderal Bimbingan masyarakat Islamn No: KEP/D/101/1978 Tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras
Suara Di Masjid, Langgar atau musala.

7
2. Pengeras Suara
Pengeras suara (bahasa Inggris: Loud speaker atau Speaker)
adalah transduser yang mengubah sinyal elektrik ke frekuensi audio (suara)
melalui penggetaran komponen yang berbentuk membran untuk menggetarkan
udara sehingga terjadilah gelombang suara yang terdengar sampai di gendang
telinga dan dapat didengar sebagai suara. Pada setiap sistem loud speaker
(penghasil suara), pengeras suara juga menentukan kualitas suara di samping
peralatan pengolah suara sebelumnya yang masih berbentuk listrik dalam
rangkaian penguat amplifier.
Sistem pada pengeras suara adalah suatu komponen yang mengubah
kode sinyal elektronik terakhir menjadi gerakan mekanik. Dalam penyimpan
suara pada kepingan CD, pita magnetik tape, dan kepingan DVD, suara dapat
direproduksi oleh loud speaker yang dapat mengeluarkan suara. Pengeras
suara juga adalah sebuah teknologi yang memberikan dampak yang sangat
besar terhadap banyak budaya di berbagai negara.
Pada sistem pemisah frekuensi sinyal suara audio ada dua macam yaitu;
Pertama crossover pasif dengan cara pemisah (filter) suara tanpa memerlukan
sumber arus listrik, umumnya ditempatkan dalam kotak speaker terbuat dari
rangkaian L dan C yaitu lilitan kawat tembaga dan Elco. Kedua crossover
aktif berupa rangkaian elektronik memerlukan tegangan dan arus bentuk
rangkaian filter R (resistor) dengan C (condencator) dan semikonduktor bisa
IC atau Transistor. Dalam hal ini, terdapat beberapa sistem cross over, yaitu
sistem dua jalur, tiga jalur, dan empat jalur.
3. Maslahah Mursalah
Salah satu metode yang dikembangkan ulama ushul fiqh dalam
mengistimbathkan hukum islam dari nash adalah maslahah mursalah.
Penggunaaan maslahah mursalah sebagai hujjah didasarkan pada pandangan
tentang adanya illat dalam suatu hukum. Menurut bahasa, kata maslahah
berasal dari Bahasa Arab dan telah dibakukan ke dalam Bahasa Indonesia
menjadi kata maslahah, yang berarti mendatangkan kebaikan atau yang
membawa kemanfaatan dan menolak kerusakan. Menurut bahasa aslinya kata
mas{lah{ah berasal dari kata salaha, yasluhu, salahan (‫ ﺻﻠﺢ‬, ‫ ﯾﺼﻠﺢ‬, ‫) ﺻﺎﺣﻼ‬
artinya sesuatu yang baik, patut, dan bermanfaat. Sedang kata mursalah artinya

8
terlepas bebas, tidak terikat dengan dalil agama (al-Qur’an dan al-Hadith)
yang membolehkan atau yang melarangnya.10
Pada hakikatnya, maslahah mempunyai dua sisi, yaitu sisi positif (ijabi)
dan sisi negatif (salabi). Sisi positif berupa merealisasikan suatu kebaikan
(‘ijad al-manfa’ah). Sedang sisi negatif berupa menolak kerusakan atau adanya
suatu bahaya.
Definisi maslahah mursalah, artinya mutlak. Dalam istilah ushul, yaitu
kemaslahatan yang tidak syari’atkan oleh shari’ hukum untuk ditetapkan. Dan
tidak ditunjukkan oleh dalil syar’i, untuk mengi’tibarkannya, atau
membatalkannya. Dinamakan mutlak karena tidak dikaitkan dengan dalil yang
menerangkan atau dalil yang membatalkannya. Misalnya, kemaslahatan yang
disyari’atkan. Definisi ini menerangkan bahwa tashri’ hukum itu tidak
bermaksud selain dari untuk menetapkan kemaslahatan masyarakat, artinya
mendatangkan kemanfaatan dan menghapuskan kemudharatan dalam
masyarakat. Dan tidak akan mencegah ifradnya. Dia hanya memperbarui
dengan pembaharuan maslah kemasyarakatan, mengikuti perkembangan yang
berbeda-beda menurut tempat dan masanya. Tashri’ hukum itu mendatangkan
kemanfaatan pada suatu masa dan kemudharatan pada masa lainnya. Pada
suatu masa dan kemudharatan pada masa lainnya. Pada suatu masa hukum itu
akan bermanfaat dan merupakan mudharat pada masa lainnya.11
Maslahah mursalah yaitu suatu kemaslahatan yang tidak disinggung
oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk
mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan
mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Maslahah mursalah
disebut juga maslahah yang mutlak, karena tidak ada dalil yang mengakui
kesahan atau kebatalannya. Jadi pembentuk hukum dengan cara maslahah
mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti
untuk mendatangkan manfaat/menolak kemudharatan/kerusakan bagi manusia.
4. Siyasah Dusturiyah
Siyasah Dusturiyah merupakan bagian fiqih siyasah yang membahas
masalah perundang-undangan Negara. Dalam hal ini juga dibahas antara lain
konsep-konsep konstitusi (Undang-undang Dasar Negara dan sejarah lahirnya

10
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2005), h. 96
11
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: PT.Pustaka Firdaus), h. 424.

9
perundang-undang dalam suatu Negara), Legislasi (bagaimana perumusan
perundang-undang), lembaga demokrasi dan syura yang merupakan pilar
penting dalam perundang-undangan tersebut. Kajian ini juga membahas
konsep Negara hukum dalam siyasah dan hubungan timbal balik antara
pemerintah dan warga Negara serta hak-hak warga negara yang wajib
dilindungi.12
Secara bahasa siyasah berasal dari kata sasa, yasusu, siyasatan yang
artinya adalah mengatur, mengurus dan memerintah atau pemerintahan, politik
dan pembuatan kebijaksanaan. Pengertian secara bahasa ini mengisyaratkan
bahwa tujuan siyasah ialah mengatur dan membuat kebijaksanaan atas suatu
yang bersifat politis untuk mencapai sesuatu.secara terminologis, Abdul
Wahhab Khallaf mendefinisikan siyasah ialah pengaturan perundang-
undangan yang diciptakan untuk memelihara ketertiban dan kemaslahatan.13
Secara bahasa dusturiyah berasal dari bahasa Persia dusturi semula
artinya ialah seorang yang memilki otoritas, baik dalam bidang politik maupun
agama. Dalam perkembangan selanjutnya kata ini digunakan untuk
menunjukkan anggota kependetaan, Zoroaster (Majusi) setelah mengalami
penyerapan dalam bahasa Arab, kata dusturiyah berkembang pengertiannya
menjadi asas dasar/pembinaan. Menurut istilah Dusturiyah ialah kumpulan
kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerja sama antara sesama anggota
masyarakat dalam suatu Negara yang baik yang tidak tertulis (konvensi)
maupun yang tertulis (konstitusi).14

F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library
research). Penelitian kepustakaan (library research) adalah suatu penelitian
yang dilakukan di ruang perpustakaan untuk menghimpun dan menganalisis
data yang bersumber dari perpustakaan, baik berupa buku-buku seperti
periodikal-periodikal, seperti artikel ilmiah yang diterbitkan secara berkala,
12
Muhamad Iqbal, “Fiqih Siyasah Konstektualisasi Doktrin Politik Islam”, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014), Cet. K-1, h. 177
13
Muhamad Iqbal, “Fiqih Siyasah Konstektualisasi Doktrin Politik Islam”, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014), Cet. K-1, h. 154
14
Muhamad Iqbal, “Fiqih Siyasah Konstektualisasi Doktrin Politik Islam”, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014), Cet. K-1, h. 163

10
kisah-kisah sejarah, dokumen-dokumen, dan materi perpustakaan lainnya yang
dapat dijadikan sumber rujukan untuk menyusun suatu laporan ilmiah15
Adapun yang menjadikan obyek penelitian ini adalah tentang Surat Edaran
terkait Pedoman Pengeras Suara dalam perspektif Hukum Islam dan Positif.
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat
digunakan untuk mengumpulkan data. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu; Metode kualitatif metode yang digunakan untuk
mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna.
Makna adalah data yang sebenarnya data yang pasti yang merupakan suatu
nilai di balik data yang tampak.16 Adapun pengumpulan data pada skripsi ini
sebagai berikut diantaranya :
a. Data yang dibutuhkan atau diperlukan
Penelitian ini data yang diperlukan adalah data tentang Pedoman
Pengeras Suara dari Surat Edaran Kementrian Agama dikarenakan
pengeras suara ini salah satu alat yang sering digunakan oleh masyarakat
dan tatacara penggunaan speaker di Masjid dan Mushola yang ditinjau dari
Hukum Islam dan Positif.

b. Sumber Data
Sumber data yang diperlukan pada skripsi ini adalah :
1) Data primer: data primer ini sebuah karya tulis baik berupa skripsi,
tesis, jurnal, dan buku-buku tentang jual beli, uang, cryptocurrency,
al-Quran, as-Sunnah, Kitab-kitab fiqih, Ushul Fiqih, Fiqih Ibadah
dan Surat Edaran Kementrian Agama
2) Data sekunder: data ini sebagai penunjang data primer dan
penyusun menggunakan data sekunder seperti, artikel-artikel dan
jurnal-jurnal pada website serta para trader dan mekanisme tentang
Pengeras Suara dan Surat Edaran

15
Abdurrahmat Fathoni, Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi, (Jakarta:
Rineka Cipta, Januari 2011), h. 95
16
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung : Alfabeta, Cetakan Ke-5, 2009), h. 3

11
3. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah penelitian hukum normatif
yaitu, penelitian untuk menemukan hukum tentang pengguanan pengeras dari
Surat Edaran kementrian Agama nomor : SE. 05 Tahun 2022 tentang Pedoman
Pengeras Suara di Majisd dan Mushola dalam Perspektif Hukum Fiqh dan
Positif. Memahami kedudukan dari Pengeras Suara dari dua sudut pandang
hukum agar dapat menjawab salah satu permasalahan di masyarakat.
4. Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis baik secara
induktif maupun deduktif. Metode induktif digunakan untuk menganalisis
tentang bagaimana Penggunan Pengeras Suara dan Surat Edaran Kementrian
Agama. Analisis deduktif digunakan untuk menganalisa hukum Islam dan
positif pada penggunaan pengeras suara dari surat edaran Kementrian Agama
SE.05 Tahun 2022 yang dijadikan sebuah pedoman bagi masyarakat dalam
penggunaan pengeras suara.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan Skripsi ini agar teratur dan berurutan dengan baik, maka
pembahan proposal ini dibangun secara sistematis, sehingga diharapkan dapat
diperoleh kejelasan yang cukup maksimal dari informasi yang termuat dalam
skripsi ini. Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan, Dalam Bab ini merupakan Pendahuluan yang
terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Rumusan Masalah,
Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Srudi Terdahulu, Kerangka Teori,
Metodologi Penelitian dan Sistmetaika Penulisan.
BAB II : Tinjauan Teoritis tentang Pengeras Suara dan Adzan.
Dalam Bab ini menjelaskan Tinjauan Teoritis tentang Pengeras Suara dan
Esensi Adzan
BAB III : Ruang Lingkup Surat Edaran Nomor : SE. 05 Tahun
2022, Dalam Bab ini memaparkan terkait Surat Edaran dan penjelasan
menyeluruh terkiat SE. 05 Tahun 2022
BAB IV : Analisis Surat Edaran Nomor SE. 05 Tahun 2022
perspektif Hukum Islam dan Positif, Dalam Bab ini menjelaskan Analisis
dari hasil dari SE. 05 Tahun 2022 perspektif Hukum Islam dan SE. 05 Tahun
2022 perspektif Hukum Positif

12
BAB V : Penutup, Dalam Bab ini merupakan Penutup yang berisi
Kesimpulan yang menjawab Rumusan Masalah dan Saran dari penulisan
tentang penelitian ini dan dilengkapi Daftar Pustaka.

13
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TERKAIT PENGERAS SUARA
A. Esensi Ibadah
Ibadah menurut bahasa berarti patuh (al-tha’ah), tunduk (al-khudu’).
Menurut Al-Azhari, kata ibadah tidak dapat disebutkan kecuali untuk
kepatuhan kepada Allah swt. Sedangkan pengertian ibadah menurut Hasby
Ash Shiddieqy yaitu segala taat yang dikerjakan untuk mencapai keridhaan
Allah dan mengharap pahala di akhirat.17
Menurut kamus istilah fiqih, ibadah yaitu memperhambakan diri
kepada Allah dengan taat melaksanakan segala perintahnya dan anjurannya,
serta menjauhi segala larangan-Nya karena Allah semata, baik dalam bentuk
kepercayaan, perkataan maupun perbuatan. Orang beribadah berusaha
melengkapi dirinya dengan perasaan cinta, tunduk dan patuh kepada Allah
swt.18
Sedangkan menurut ensiklopedi hukum Islam; ibadah berasal dari
bahasa arab merendahkan diri dan do’a, secara istilah ibadah yaitu perbuatan
yang dilakukan sebagai usaha menghubungkan dan mendekatkan diri kepada
Allah swt sebagai tuhan yang disembah oleh mahluk-Nya.19
Dari uraian di atas, menggabungkan pengertian pengamalan dan
pengertian ibadah, maka pengertian pengamalan ibadah yakni perbuatan yang
dilakukan seorang hamba sebagai usaha menghubungkan dan mendekatkan
diri kepada Allah swt dengan taat melaksanakan segala perintah dan anjuran-
Nya serta menjauhi segala larangnnya. Allah swt. memerintahkan kepada nabi
Muhammad saw. Melakukan ibadah selama hidupnya & tidak boleh berhenti
sebelum mati sebagaimana dalam Al-Quran surah Al-Hijr ayat 99 :
ُ‫وَٱﻋْﺒُﺪْ رَﺑﱠﻚَ ﺣَﺘﱠﻰٰ ﯾَﺄْﺗِﯿَﻚَ ٱﻟْﯿَﻘِﯿﻦ‬
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini”.
Jika kita renungi hakikat ibadah, kita pun yakin bahwa perintah
beribadah itu pada hakikatnya berupa peringatan, memperingatkan kita
menunaikan kewajiban terhadap Allah yang telah melimpahkan karunia-Nya.
Firman Allah SWT. Dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 21 :

17
Hasby Ash Shiddiqy, Kuliah Ibadah (Cet. I; Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 5.
18
M. Abdul Majieb et. el, Kamus Istilah Fiqih (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995), h. 109.
19
Ensiklopedi Hukum Islam (Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), h. 592

14
َ‫ﯾٰٓﺎَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﻧﱠﺎسُ اﻋْﺑُدُوْا رَﺑﱠﻛُمُ اﻟﱠذِيْ ﺧَﻠَﻘَﻛُمْ وَاﻟﱠذِﯾْنَ ﻣِنْ ﻗَﺑْﻠِﻛُمْ ﻟَﻌَﻠﱠﻛُمْ ﺗَﺗﱠﻘُوْن‬
Artinya : “Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”.
Ibadah itulah ghayah (tujuan) dijadikannya jin, manusia dan makhluk
selainnya. Firman Allah SWT. Dalam Al-Quran surah Adz Dzariyat ayat 56 :
ِ‫وَﻣَﺎ ﺧَﻠَﻘْﺖُ اﻟْﺠِﻦﱠ وَاﻻِْﻧْﺲَ اِﻻﱠ ﻟِﯿَﻌْﺒُﺪُوْن‬
Artimya : “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka
beribadah kepada-Ku”.
Ibadah itu, mensyukuri nikmat Allah. Atas dasar inilah tidak
diharuskan baik oleh syara’ maupun oleh akal beribadat kepada selain Allah,
karena Allah sendiri yang berhak menerimanya, lantaran Allah sendiri yang
memberikan nikmat yang paling besar kepada kita, yaitu hidup, wujud dan
segala yang berhubungan dengan-Nya.20
Meyakini dengan benar bahwa Allah swt yang telah memberikan
nikmat, maka mensyukuri nikmat Allah itu wajib, salah satunya dengan
beribadah kepada Allah , karena ibadah adalah hak Allah yang harus dipatuhi.
Untuk mengetahui ruang lingkup ibadah ini tidak terlepas dari
pemahaman terhadap pengertian itu sendiri. Oleh sebab itu menurut Ibnu
Taimiyah (661-728 H / 1262-1327 M) seperti yang telah dikutip oleh Ahmad
Ritonga, ibadah mencakup semua bentuk cinta dan kerelaan kepada Allah swt,
baik dalam perkataan maupun perbuatan, lahir dan bathin, maka yang
termasuk ke dalam hal ini adalah shalat, zakat, puasa, haji, benar dalam
pembicaraan, menjalankan amanah, berbuat baik kepada orang tua,
menghubungkan silaturrahmi, memenuhi janji, amar ma.ruf nahi munkar,
jihad terhadap orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak
yatim, fakir miskin, dan ibn sabil, berdo’a, berzikir, membaca Al-Qur’an,
ikhlas, sabar, sukur, rela menerima ketentuan Allah swt, tawwakal, raja’
(berharap atas rahmat), khauf (takut terhadap azab), dan lain sebagainya.21
Ruang lingkup ibadah yang dikemukakan Ibnu Taimiyah di atas
cakupannya sangat luas, bahkan menurut beliau semua ajaran agama itu
termasuk ibadah. Bilamana diklasifikasikan kesemuanya dapat menjadi
beberapa kelompok saja, yaitu :
20
Hasby Ash Shiddiqy, Kuliah Ibadah (Cet. I; Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 5.
21
A. Rahman Ritonga, Fiqh Ibadah (Cet. II; Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002), h. 6

15
1. Kewajibaban-kewajiban atau rukun-rukun syari.at seperti shalat, puasa,
zakat dan haji.
2. Yang berhubungan dengan (tambahan dari) kewajiban-kewajiban di atas
dalam bentuk ibadah-ibadah sunat, seperti zikir, membaca Al-Qur.an, doa
dan istigfar
3. Semua bentuk hubungan sosial yang baik serta pemenuhan hak-hak
manusia, seperti berbuat baik kepada orang tua, menghubungkan
silaturrahmi, berbuat baik kepada anak yatim, fakir miskin dan ibnu sabil.
4. Akhlak Insaniyah, (bersifat kemanusiaan), seperti benar dalam berbicara,
menjalankan amanah dan menepati janji.
5. Akhlak rabbaniyah (bersifat ketuhanan), seperti mencintai Allah swt, dan
rasulrasul-Nya, takut kepada Allah swt, ikhlas dan sabar terhadap
hukumNya.22
Lebih khusus lagi ibadah dapat diklasifikasikan menjadi ibadah umum
dan ibadah khusus. Ibadah umum mempunyai ruang lingkup yang sangat luas,
yaitu mencakup segala amal kebajikan yang dilakukan dengan niat ikhlas dan
sulit untuk mengemukakan sistematikanya. Tetapi ibadah khusus ditentukan
oleh syar.a (nash), bentuk dan caranya. Oleh karena itu dapat dikemukakan
sistematikanya secara garis besar sebagai berikut23 :
1. Thaharah
2. Shalat
3. Penyelenggaraan Jenazah
4. Zakat
5. Puasa
6. Haji dan Umrah
7. Iktikaf
8. Sumpah dan Kafarat
9. Nazar
10. Qurban dan Aqiqah
Ibadah mempunyai tujuan pokok dan tujuan tambahan. Tujuan
pokoknya adalah menghadapkan diri kepada Allah yang Maha Esa dan
mengkonsentrasikan niat kepada-Nya dalam setiap keadaan. Dengan adanya

22
A. Rahman Ritonga, Fiqh Ibadah (Cet. II; Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002), h. 8
23
A. Rahman Ritonga, Fiqh Ibadah (Cet. II; Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002), h. 9

16
tujuan itu seseorang akan mencapai derajat yang tinggi di akhirat. Sedangkan
tujuan tambahan adalah agar terciptanya kemaslahatan diri manusia dan
terwujudnya usaha yang baik. Shalat umpamanya, disyari.atkan pada dasarnya
bertujuan untuk menundukan diri kepada Allah swt dengan ikhlas,
mengingatkan diri dengan berzikir. Sedangkan tujuan tambahannya antara lain
adalah untuk menghindarkan diri dari perbuatan keji dan munkar,
sebagaimana dipahami dalam Qur’an surah Al-Ankabut ayat 45 :
ُ‫اُﺗْﻞُ ﻣَﺂ اُوْﺣِﻲَ اِﻟَﯿْﻚَ ﻣِﻦَ اﻟْﻜِﺘٰﺐِ وَاَﻗِﻢِ اﻟﺼﱠﻠٰﻮةَۗ اِنﱠ اﻟﺼﱠﻠٰﻮةَ ﺗَﻨْﮭٰﻰ ﻋَﻦِ اﻟْﻔَﺤْﺸَﺎۤءِ وَاﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِ ۗوَﻟَﺬِﻛْﺮ‬
َ‫ﷲِّٰ اَﻛْﺒَﺮُ ۗوَﷲُّٰ ﯾَﻌْﻠَﻢُ ﻣَﺎ ﺗَﺼْﻨَﻌُﻮْن‬
Artinya : “Bacalah Kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu
(Muhammad) dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari
(perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu
lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan”.
Dalam kaitan dengan maksud dan tujuan pensyariatannya ulama fiqih
membaginya kepada tiga macam, yakni24 :
1. Ibadah Mahdah adalah ibadah yang mengandung hubungan dengan Allah
swt semata-mata, yakni hubungan vertikal. Ibadah ini hanya sebatas pada
ibadahibadah khusus. Ciri-ciri ibadah mahdah adalah semua ketentuan dan
atuaran pelaksanaannya telah ditetapkan secara rinci melalui penjelasan-
penjelasan Al-Qur’an dan hadits. Ibadah mahdah dilakukan semata-mata
bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Contohnya seperti
wudhu, tayammum, mandi hadats, shalat, puasa, haji, umrah dan tajhiz al-
janazah
2. Ibadah ghair mahdah ialah ibadah yang tidak hanya sekedar menyangkut
hubungan dengan Allah swt, tetapi juga berkaitan dengan sesama makhluk
(habl min Allah wa habl mi an-nas), di samping hubungan vertikal juga
ada hubungan horizontal. Hubungan sesama makhluk ini tidak hanya
terbatas pada hubungan antar manusia, tetapi juga hubungan manusia
dengan lingkungannya, Contoh ibadah ghairu mahdah ialah belajar, dzikir,
dakwah, tolong menolong dan lain sebagainya.

24
Ensiklopedi Hukum Islam (Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), h. 593

17
3. Ibadah zi al-wajhain adalah ibadah yang memiliki dua sifat sekaligus,
yaitu mahdah dan ghairu mahdah. Maksudnya adalah sebagian dari
maksud dan tujuan pensyariatannya dapat diketahui dan sebagian lainnya
tidak dapat diketahui, seperti nikah dan iddah.25
Dari segi ruang lingkupnya ibadah dapat dibagi kapada dua macam
diantaranya, yaitu :
1. Ibadah khassah, yakni ibadah yang ketentuan dan cara pelaksanaannya
secara khusus ditetapkan oleh nash seperti shalat, zakat, puasa, haji dan
lain-lain sebagainya.
2. Ibadah 'ammah, yaitu semua perbuatan baik yang dilakukan dengan niat
yang baik dan semata-mata karena Allah swt (ikhlas), seperti makan dan
minum, bekerja, amar ma’ruf nahi munkar, berlaku adil berbuat baik
kepada orang lain dan sebagainya.26
Pembagian ibadah menurut Hasby Ash Shiedieqy berdasarkan bentuk
dan sifat ibadah terbagi kepada enam macam :
1. Ibadah-ibadah yang berupa perkataan dan ucapan lidah, seperti tasbih,
memberi salam, menjawab salam, membaca basmalah ketika makan,
minum dan menyembelih binatang, membaca Al-Qur’an dan lain
2. Ibadah-ibadah yang berupa perbuatan yang tidak disifatkan dengan sesuatu
sifat, seperti berjihad di jalan Allah, membela diri dari gangguan,
menyelenggarakan urusan jenazah.
3. Ibadah-ibadah yang berupa menahan diri dari mengerjakan sesuatu
pekerjaan, seperti puasa, yakni menahan diri dari makan, minum dan
segala yang membatalkan puasa.
4. Ibadah-ibadah yang melengkapi perbuatan dan menahan diri dari sesutu
pekerjaan, seperti I’tikaf (duduk di dalam mesjid), serta menahan diri dari
jima. dan mubasyarah, haji, thawaf, wukuf di Arafah, ihram, menggunting
rambut, mengerat kuku, berburu, menutup muka oleh para wanita dan
menutup kepala oleh orang laki-laki.
5. Ibadah-ibadah yang bersifat menggugurkan hak, seperti membebaskan
orangorang yang berhutang, memaafkan kesalahan orang, memerdekakan
budak untuk kafarat

25
Ensiklopedi Hukum Islam (Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), h. 594
26
A. Rahman Ritonga, Fiqh Ibadah (Cet. II; Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002), h. 10

18
6. Ibadah-ibadah yang melengkapi perkataan, pekerjaan, khusyuk menahan
diri dari berbicara dan dari berpaling lahir dan batin untuk menghadapi-
Nya.
Dilihat dari segi fasilitas yang dibutuhkan untuk mewujudkannya,
ibadah dapat dibagi menjadi tiga macam :
1. Ibadah badaniyyah ruhiyyah mahdah, yaitu suatu ibadah yang untuk
mewujudkannya hanya dibutuhkan kegiatan jasmani dan rohani saja,
seperti shalat dan puasa.
2. Ibadah maliyyah, yakni ibadah yang mewujudkannya dibutuhkan
pengeluaran harta benda, seperti zakat.
3. Ibadah badaniyyah ruhiyyah maliyyah, yakni suatu ibadah yang untuk
mewujudkannya dibutuhkan kegiatan jasmani, rohani dan pengeluaran
harta kekayaan, seperti haji.
Dari segi sasaran manfaat ibadah dapat dibagi menjadi dua macam :
1. Ibadah keshalehan perorangan (fardiyyah), yaitu ibadah yang hanya
menyangkut diri pelakunya sendiri, tidak ada hubungannya dengan orang
lain, seperti shalat.
2. Ibadah keshalehan kemasyarakatan (ijtima’iyyah), yaitu ibadah yang
memiliki keterkaitan dengan orang lain, terutama dari segi sasarannya.
Contoh, sedekah, zakat. Di samping merupakan ibadah kepada Allah, juga
merupakan ibadah kemasyarakatan, sebab sasaran dan manfaat ibadah
tersebut akan menjangkau orang lain.
B. Komunikasi & Informasi
Semua manusia hidup dengan berkomunikasi, karena dengan
berkomunikasi seseorang dapat menyampaikan ide-idenya kepada orang lain.
Komunikasi dirumuskan sebagai proses-proses penyampaian pesan atau
informasi dibeberapa orang oleh karena itu komunikasi melibatkan pengirim
pesan, pesan informasi, saluran dan penerima pesan. Komunikasi merupakan
sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia, meskipun berhasil atau
tidaknya komunikasi tersebut.
Komunikasi adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
sehari-hari manusia, baik secara individu maupun bermasyarakat. Betapa tidak,
komunikasi adalah salah satu aktivitas yang sangat fundamental dan vital
dalam kehidupan manusia. Hal ini, bisa dibuktikan dengan kebutuhan manusia

19
untuk berhubungan dengan Tuhan, dan sesamanya diakui hampir semua
agama telah ada sejak Adam dan Hawa. Digambarkan dalam Al-Quran dari
dialog yang dilakukan Allah SWT, Adam dan malaikat. QS Al-Baqarah ayat
31- 33.27
ِ‫ وَﻋَﻠﱠﻢَ ءَادَمَ اﻷَﺳْﻤَﺂءَ ﻛُﻠﱠﮭَﺎ ﺛُﻢﱠ ﻋَﺮَﺿَﮭُﻢْ ﻋَﻠَﻰ اﻟْﻤَﻼَﺋِﻜَﺔِ ﻓَﻘَﺎلَ أَﻧﺒِﺌُﻮﻧِﻲ ﺑِﺄَﺳْﻤَﺂء‬:‫ﻗَﺎلَ ﷲُ ﺗَﻌَﺎﻟﻰ‬
َ‫ھَﺆُﻵءِ إِن ﻛُﻨﺘُﻢ ﺻَﺎدِﻗِﯿﻦَ ﻗَﺎﻟُﻮا ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﻻَ ﻋِﻠْﻢَ ﻟَﻨَﺂ إِﻻﱠ ﻣَﺎ ﻋَﻠﱠﻤْﺘَﻨَﺎ إِﻧﱠﻚَ أَﻧﺖَ اﻟْﻌَﻠِﯿﻢُ اﻟْﺤَﻜِﯿﻢُ ﻗَﺎل‬
ِ‫ﯾَﺂءَادَمُ أَﻧﺒِﺌْﮭُﻢ ﺑِﺄَﺳْﻤَﺂﺋِﮭِﻢْ ﻓَﻠَﻤﱠﺂ أَﻧﺒَﺄَھُﻢْ ﺑِﺄَﺳْﻤَﺂﺋِﮭِﻢْ ﻗَﺎلَ أَﻟَﻢْ أَﻗُﻞ ﻟﱠﻜُﻢْ إِﻧﱢﻲ أَﻋْﻠَﻢُ ﻏَﯿْﺐَ اﻟﺴﱠﻤَﺎوَات‬
‫وَاﻷَرْضِ وَأَﻋْﻠَﻢُ ﻣَﺎ ﺗُﺒْﺪُونَ وَﻣَﺎ ﻛُﻨﺘُﻢْ ﺗَﻜْﺘُﻤُﻮن‬
Artinya : “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu
berfirman:”Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika memang kamu
orang yang benar!”, [31] Mereka menjawab:”Maha Suci Engkau, tidak ada
yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [32]
Allah berfirman:”Hai Adam, beritahukan kepada mereka nama-nama benda
ini”. Maka setelah diberitahukannya nama-nama benda itu, Allah
berfirman:”Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku
mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan
dan apa yang kamu sembunyikan [33]”.
Dari ayat di atas, tergambar sifat manusia untu menyampaikan
keinginan dan untuk mengetahui hasrat orang lain, merupakan awal
keterampilan manusia berkomunikasi secara otomatis melalui
lambinglambang isyarat, kemudian disusul dengan kemampuan untk arti di
setiap lambing-lambang itu dalam bentuk bahasa verbal.28
Pada dasarnya komunikasi digunakan untuk menciptakan atau
meningkatkan aktifitas hubungan antar manusia. Menurut jenis komunikasi
dibagi menjadi dua yaitu :
1. Komunikasi Non Verbal
Komunikasi non verbal adalah komunikasi tanpa kata-kata tapi
dengan menggunakan tanda-tanda atau simbol-simbol tertentu. Pesan yang
disampaikan melalui tanda-tanda ini juga berpengaruh dalam komunikasi,

27
Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, ( Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), h. 43
28
Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, ( Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), h. 44

20
karena dengan menggunakan simbol-simbol tertentu. Komunikasi non
verbal biasa disebut juga “bahasa diam” (silent language).29 Di bawah ini
yang termasuk dalam komunikasi non verbal antara lain :
a. Ekspresi wajah
Ekspresi wajah ini merupakan cerminan dari suasana emosi seseorang.
Oleh karena itu wajah merupakan sumber yang kaya akan komunikasi.30
Dalam melaksanakan adzan, ekspresi wajah seorang mu’adzin harus jelas
(dalam keadaan apa adzan itu dilakukan) maksudnya, adzan tidak boleh
sambil bergurau, adzan sambil melamun, adzan sambil marah, ataupun
cemberut. Karena adzan merupakan panggilan bagi umat Islam untuk ingat
kepada Allah baik dalam keadaan suka ataupun tidak.
b. Gerak isyara
Gerak isyarat dalam komunikasi non verbal dapat mempertegas
pembicaraan. Komunikasi dengan gerak isyarat ini bisa dengan
menggerakkan tangan, menggeleng atau menganggukkan kepala.31 Pada
saat adzan biasanya seorang mu’adzin menutup salah satu telinganya.
Tujuannya adalah agar suara mu’adzin lebih keras karena dia tidak bisa
mendengar suaranya sendiri.
c. Kontak Mata
Dengan mengadakan kontak mata, berarti seseorang terlibat dalam
komunikasi non verbal. Kontak mata mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai
pengatur dan sebagai ekspresif.
d. Sentuhan
Sentuhan merupakan komunikasi personal, karena sentuhan lebih
bersifat spontan dari pada komunikasi verbal. Seperti halnya dukungan
emosional dan kasih sayang.32 Ucapan selamat akan lebih berarti jika
dilakukan dengan memberi sentuhan, sentuhan ini juga bisa dilakukan
ketika mengumandangkan adzan kepada bayi yang baru lahir.
e. Sound (Suara)
29
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2009), h. 341
30
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2009), h. 327
31
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2009), h. 353
32
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2009), h. 379

21
Suara juga merupakan bagian dari komunikasi non verbal Karena suara
dapat dijadikan alat komunikasi dalam mengungkapkan perasaan dan
pikiran seseorang, bahkan suara desispun bisa dijadikan pesan yang sangat
jelas. Suara seorang mu’adzin harus jelas, tidak boleh mengumandangkan
adzan dengan suara desisan agar tidak terjadi perubahan pada lafald dan
artinya.
f. Postur tubuh (ekspresi tubuh)
Postur tubuh atau ekspresi tubuh seseorang dapat mengungkapkan
ekspresi dirinya. Bahkan hal ini juga bisa dijadikan seseorang untuk
melihat tingkat kesehatan seseorang.33 Dalam melaksanakan adzan seorang
mu’adzin harus berdiri tegak, tidak sambil duduk ataupun tiduran
2. Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan katakata,
entah lisan maupun tulisan. Komunikasi ini paling banyak dipakai dalam
hubungan antar manusia. Melalui kata-kata, mereka mengungkapkan
perasaan, emosi, pemikiran, gagasan, atau maksud mereka, menyampaikan
fakta, data, dan informasi serta menjelaskannya, saling bertukar perasaan
dan pemikiran, saling berdebat, dan bertengkar. Dalam komunikasi verbal
itu Bahasa memegang peranan penting.34 Ada beberapa unsur penting
dalam komunikasi verbal, yaitu :
a. Bahasa
Pada dasarnya bahasa adalah suatu system lambang yang
memungkinkan orang berbagi makna. Dalam komunikasi verbal, lambang
bahasa yang dipergunakan adalah bahasa verbal entah lisan, tertulis pada
kertas, ataupun elektronik. Bahasa suatu bangsa atau suku berasal dari
interaksi dan hubungan antara warganya satu sama lain.35
Bahasa memiliki banyak fungsi, namun sekurang-kurangnya ada tiga
fungsi yang erat hubungannya dalam menciptakan komunikasi yang efektif.
Ketiga fungsi itu adalah, pertama, untuk mempelajari tentang dunia
sekeliling kita, kedua, untuk membina hubungan yang baik di antara
33
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2009), h. 354
34
Agus M. Hardjana, Komunikasi Intrapersonal & Komunikasi Interpersonal, (Yogyakarta:
Kanisius, 2003), h. 22
35
Agus M. Hardjana, Komunikasi Intrapersonal & Komunikasi Interpersonal, (Yogyakarta:
Kanisius, 2003), h. 23

22
sesama manusia, ketiga, untuk menciptaakan ikatanikatan dalam
kehidupan manusia. Menurut para ahli, ada tiga teori yang membicarakan
sehingga orang bisa memiliki kemampuan berbahasa.
Teori pertama disebut Operant Conditioning yang dikembangkan oleh
seorang ahli psikologi behavioristik yang bernama B. F. Skinner (1957).
Teori ini menekankan unsur rangsangan (stimulus) dan tanggapan
(response) atau lebih dikenal dengan istilah S-R. teori ini menyatakan
bahwa jika satu organism dirangsang oleh stimuli dari luar, orang
cenderung akan member reaksi. Anak-anak mengetahui bahasa karena ia
diajar oleh orang tuanya atau meniru apa yang diucapkan oleh orang lain.
Teori kedua ialah teori kognitif yang dikembangkan oleh Noam
Chomsky. Menurutnya kemampuan berbahasa yang ada pada manusia
adalah pembawaan biologis yang dibawa dari lahir.
Teori ketiga disebut Mediating theory atau teori penengah.
Dikembangkan oleh Charles Osgood. Teori ini menekankan bahwa
manusia dalam mengembangkan kemampuannya berbahasa, tidak saja
bereaksi terhadap rangsangan (stimuli) yang diterima dari luar, tetapi juga
dipengaruhi oleh proses internal yang terjadi dalam dirinya sendiri.36
b. Kata
Kata merupakan inti lambang terkecil dalam bahasa. Kata adalah
lambang yang melambangkan atau mewakili sesuatu hal, entah orang,
barang, kejadian, atau keadaan. Jadi, kata itu bukan orang, barang,
kejadian, atau keadaan sendiri. Makna kata tidak ada pada pikiran orang.
Tidak ada hubungan langsung antara kata dan hal. Yang berhubungan
langsung hanyalah kata dan pikiran orang.37
Komunikasi non verbal dan komunikasi verbal, hal ini juga terjadi
pada pengeras suara, keduanya juga terdiri dari bunyi-bunyi yang jelas,
susunan kalimatnya juga terstruktur dengan baik, dan mempunyai sistem yang
jelas. Pengeras Suara juga mempunyai arti yang berkesinambungan serta
keduanya pun mengandung kedalam kategori dakwah.

36
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2007), h. 99-
102
37
Agus M. Hardjana, Komunikasi Intrapersonal & Komunikasi Interpersonal, (Yogyakarta:
Kanisius, 2003), h. 24

23
Islam adalah agama risalah, untuk manusia secara keseluruhan.Ummat
Islam adalah mendukung amanah, untuk meneruskan risalah dengan dakwah,
baik sebagai ummat kepada ummat yang lain, ataupun selalu perseorangan di
tempat manapun mereka berada menurut kemampuan masing-masing.38 Usaha
untuk menyebarluaskan Islam, begitu pula untuk merealisir ajaranya ditengah-
tengah kehidupan ummat manusia merupakan usaha dakwah. Dalam keadaan
bagaimanapun dan dimanapun harus dilaksanakan oleh ummat Islam.
Dakwah menurut Islam adalah kegiatan dan usaha untuk menyeru,
mengajak dan memanggil orang banyak (masyarakat ramai), untuk menuju
kepada Allah, yaitu agama-Nya, agama Islam yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad SAW. Hakekat dakwah yaitu mempengaruhi dan mengajak
manusia untuk mengikuti (menjalankan) idiologi (pengajak) nya. Sedangkan
pengajak (da’i) sudah barang tentu memiliki tujuan yang hendak dicapainya.
Proses dakah tersebut agar mencepai tujuan yang efektif dan efisien, da’i harus
mengorganisir komponen-komponen (unsur) dakwah secara baik dan tepat.
Salah satu komponen adalah media dakwah.39
Arti istilah media bila dilihat dari asal katanya (etimilogi), berasal dari
bahasa latin yaitu “median” yang berarti alat perantara. Sedangkan kata media
merupakan jamak dari pada kata median tersebut. Pengertian semantiknya
media berarti segala sesuatu uang dapat dijadikan sebagai alat (perantara) utuk
mencapai suatu tujuan tersebut. Dengan demikian media dakwah adalah segala
sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah
yang telah ditentukan.40
Dalam arti sempit media dakwah dapaat diartikan sebagai alat bantu
dakwah, atau yang populer di dalam proses belajar mengajar diebut dengan
istilah “alat peraga”. Alat bantu berarti media dakwah memiliki peranan atau
kedudukan sebagai penunjang tercapainya tujuan. Artinya proses dakwah
tanpa adanya media masih dapat mencapai tujuan yang semaksimal mungkin.41
Media komunikasi dakwah banyak sekali jumlahnya. Mulai yang
tradisional sampai yang modern misalnya kentongan, bedug, pagelaran
kesenian, surat kabar, papan pengumuman, majalah, film radio dan televise.

38
M. Natsir, Fiqhud Dakwah, (Jakarta: Majalah Islam Kiblat, 1995), h. 105
39
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: AlIkhlas, 1983), h. 165
40
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: AlIkhlas, 1983), h. 163
41
Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, ( Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), h. 104

24
Dari semua itu, pada umumnya dapat diklasifikasikan sebagai media tulis atau
cetak, visual, aural, dan audiovisual.
Menurut Hamzah Ya’kub alat-alat yang dipakai untuk menyampaikan
ajaran Islam, membagi media dakwah itu menjadi lima :
a. Lisan, inilah media dakwah yang paling sederhana yang menggunakan
lidah dan suara. Media ini dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah,
bimbingan, penyuluhan, adzan, dan sebagainya.
b. Tulisan, buku majalah, surat kabar, korespondensi (surat, email, smas),
spanduk dan lain-lain.
c. Lukisan, gambar, karikatur, dan sebagainya.
d. Audio visual, yaitu alat dakwah yang dapat merangsang indra
pendengaran atau penglihatan dan kedua-duanya, bisa berbentuk
televise, slide, ohp, internet, dan sebagainya.
e. Akhlak, yaitu perbuatan-perbuatan nyata yang mencermikan ajaran
Islam, yang dapat dinikmati dan didengarkan oleh Mad’u
Sedangkan jika dilihat dari segi penyampaian pesan dakwah, dibagi
menjadi tiga golongan yaitu :

a. The spoken words (berbentuk ucapan), yang termasuk dalam kategori


ini adalah alat yang mengeluarkan bunyi. Karena hanya dapat
ditangkap oleh telinga dan bisa disebut dengan the audial media dan
dapat dipergunakan dalam kehidupan.
b. The printed writing (berbentuk tulisan), yang termasuk didalamnya
adalah barang-barang cetak, gambar-gambar tercetak, lukisan-lukisan,
tulisan-tulisan (buku, surat kabar, majalah, brosur, smas, dan
sebagainya.
c. The audio visual (berbentuk gambar hidup), yaitu merupakan
penggabungan dari kedua golongan, yang termasuk dalam kategor ii
adalah film, video, DVD, CD, dan seagainya.42
Strategi media merupakan bagian akhir dari proses informasi dan
komunikasi yang akan dilakukan. Pemilihan media juga sangat menentukan
keberhasilan, efektivitas, dan efisiensi komunikasi yang dilakukan.

42
Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, ( Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), h. 106-107

25
C. Hakikat Adzan
Adzan menurut bahasa berarti pemberitahuan. Allah Swt berfirman
dalam alquran surat At-Taubah ayat 3 dan surat Al-Anbiya ayat 109 :
‫ﱠِ وَرَﺳُﻮﻟِﮫِۦٓ إِﻟَﻰ ٱﻟﻨﱠﺎسِ ﯾَﻮْمَ ٱﻟْﺤَﺞﱢ‬y‫ﱠَ ﺑَﺮِىٓءٌ ﻣﱢﻦَ ٱﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﯿﻦَ ۙ وَرَﺳُﻮﻟُﮫُۥ ۚ وَأَذَٰنٌ ﻣﱢﻦَ ٱ‬y‫ٱﻷَْﻛْﺒَﺮِ أَنﱠ ٱ‬
ِ‫ﱠِ ۗ وَﺑَﺸﱢﺮ‬y‫ٱﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﻛَﻔَﺮُوا۟ ﺑِﻌَﺬَابٍ ﻓَﺈِن ﺗُﺒْﺘُﻢْ ﻓَﮭُﻮَ ﺧَﯿْﺮٌ ﻟﱠﻜُﻢْ ۖ وَإِن ﺗَﻮَﻟﱠﯿْﺘُﻢْ ﻓَﭑﻋْﻠَﻤُﻮٓا۟ أَﻧﱠﻜُﻢْ ﻏَﯿْﺮُ ﻣُﻌْﺠِﺰِى ٱ‬
ٍ‫أَﻟِﯿﻢ‬
Artinya : “Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya
kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan
Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu
(kaum musyrikin) bertobat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika
kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat
melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih”.
َ‫ﻓَﺈِن ﺗَﻮَﻟﱠﻮْا۟ ﻓَﻘُﻞْ ءَاذَﻧﺘُﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻰٰ ﺳَﻮَآءٍ ۖ وَإِنْ أَدْرِىٓ أَﻗَﺮِﯾﺐٌ أَم ﺑَﻌِﯿﺪٌ ﻣﱠﺎ ﺗُﻮﻋَﺪُون‬
Artinya : “Jika mereka berpaling, maka katakanlah: "Aku telah
menyampaikan kepada kamu sekalian (ajaran) yang sama (antara kita) dan
aku tidak mengetahui apakah yang diancamkan kepadamu itu sudah dekat
atau masih jauh?".
Dari penggalan ayat surat At-Taubah ayat 3 dan surat Al-Anbiya ayat
109 bahwa kata azan menurut bahasa berarti pemakluman, pemberitahuan,
penyampaian, dan seruan. Sedangkan menurut syariat atau istilah azan adalah
lafadz yang sudah maklum diketahui dan disyari’atkan untuk dikumandangkan
pada waktu-waktu shalat untuk memberitahukan waktu shalat, yang di
dalamnya terdapat banyak fadhilah dan ganjaran pahala yang melimpah.43
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya yang berjudul Fikih Sunnah
yang di tahqiq dan ditakhrij oleh Muhammad Nasaruddin Al-Abani adzan
adalah kumandang untuk memberitahukan masuknya waktu shalat dengan
lafadz-lafadz tertentu. Azan juga berfungsi sebagai ajakan untuk
melaksanakan shalat berjama‟ah dan menampakkan syi‟ar Islam. Qurthubi
dan yang lain berkata, azan dilihat dari beberapa lafadznya mengandung
beberapa hal yang berkaitan dengan aqidah, karena azan dimulai dengan takbir,
yang didalamnya terdapat keterangan atas adanya Allah Swt Swt, sifat

43
Ibnū Qudamah, Al Mughi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), cet. I, h. 659

26
kesempurnaan-Nya, pujian atas keesaan-Nya, peniadaan sesuatu yang
menyekutukan-Nya, dan juga ketetapan atas risalah yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Saw. Lafadz selanjutnya adalah ajakan untuk melaksanakan
ketaatan secara khusus setelah melafadzkan syahadah (persaksian) atas risalah
yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Lalu dilanjutkan dengan ajakan
untuk menggapai kebahagiaan yang abadi, dan juga didalamnya terdapat
isyarat datangnya hari kiamat, kemudian diulangi dan diulangi.44
Adzan adalah simbol komunikasi, oleh karena itu adzan dilakukan
ketika sudah masuk waktu shalat, jika muadzin adzan sebelum masuk waktu
sholat maka harus diulang kembali.45 Adzan secara lughawi (etimologi)
menginformasikan semata-mata. Sedangkan secara istilah (terminologi) adalah
menginformasikan (memberitahukan) tentang waktu-waktu shalat dengan
kata-kata tertentu. Adzan ini telah diperintahkan (dilakukan) sejak pada tahun
pertama dari Hijrah Nabi ke Madinah. Sedangkan diperintahkan (disyari’atkan)
menurut Syi’ah adalah bahwa malaikat Jibril yang membawa turun dari Allah
kepada Raulullah yang mulia. Sedangkan menurut sunni adalah Abdullah bin
Zaid bermimpi ada orang yang mengejarinya, kemudian diceritakan hasil
mimpinya itu kepada Rasulullah, lalu Rasulullah memastikannya untuk
dipergunakan.46
Sesungguhnya adzan adalah seruan yang penuh dengan dinamisme dan
kehidupan, serta bukannya suara yang muncul dari alat yang bisu tetapi seruan
yang muncul dari dari pemahaman seseorang yang hidup, pemilik kalbu yang
hidup dan penuh keimanan.
Adzan bukanlah hanya sekedar pemberitahuan akan datangnya waktu
shalat, tetapi juga merupakan dakwah yang tegas dan seruan untuk memenuhi
panggilan hayya alash shalah hayya alal falah (mari menuju shalat mari
menuju kebahagiaan). Kemudian adzan juga merupakan dakwah yang terfokus
kepada Islam sebagai agama tauhid yang seringkali seruan seruan ini
memberikan pengaruh terhadap jiwa orang-orang non muslim sehiingga Allah
melapangkan dada mereka kepada Islam. Sesungguhnya adzan telah

44
Sayyid Sabiq Fikih Sunnah Jilid I, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008), cet. I, h. 191
45
Muhammad Rawwas, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khattab ra, (Jakarta PT. Raja Grofindo
persada, 1999), h. 24
46
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996),
h.96

27
memadukan antara keindahan dan kesehajaan, antara kekuatan dan kepadatan,
dan tidak ada seruan serta pemberitahuan berbagai ibadah dalam agama-
agama lain yang sanggup menandinginya.47
Hukum adzan adalah sunnah, namun para ulama juga berbeda
pendapat mengenai hukum adzan. Menurut Hanafi, Syafi’i dan Imamiyah
meriwayatkan hukum adzan itu adalah sunnah muakkad (yang dikuatkan).
Sedangkan menurut Hambali, hukum adzan itu adalah fardhu kifayah di desa-
desa dan di kota-kota pada setiap shalat lima waktu bagi lelaki mukmim bukan
musafir. Menurut Maliki, hukum adzan adalah wajib fardhu kifayah.
Tradisi melafadzkan adzan pada kondisi-kondisi diluar shalat, para
ulama pun berbeda-beda pendapat seperti menurut Hambali, Maliki, Hanafi,
an Syafi’i adzan tidak dilakukan untuk jenazah, shalat tarawih dan tidak boleh
pula untuk shalat sunnah, shalat nadzar, dan tidak pula shalat-shalat nafilah
(sunnah) lainnya. Apabila menurut Imamiyah, adzan tidak diperintahkan
kecuali pada shalat-shalat yang sehari-hari saja dan setelah itu disunnahkan
untuk shalat qadha dan fardhu, baik berjama‟ah maupun sendiri, baik musafir
maupun bukan, baik wanita maupun lelaki.
Keutamaan adzan sangatlah besar dan pahalanya sangat banyak,
sebagaimana yang dipaparkan dalam beberapa hadits, di antaranya hadits
nasrani Mu’awiyah ra bahwasanya Nabi SAW bersabda : “para mu’adzin
adalah manusia yang paling panjang lehernya pada hari kiamat”.
Diriwayatkan juga oleh Abdullah bin Abdurahman bahwasanya Abu Sa‟id Al-
Khudri pernah berkata kepadanya, “Kulihat engkau menyukai kambing dan
kampung halamanmu. Oleh karena itu, jika engkau sedang berada dekat
kambing-kambingmu, atau di kampung halamanmu, lalu engkau hendak
mengumandangkan adzan untuk shalat, maka keraskanlah suaramu, karena
sesungguhnya tidaklah mendengar suara mu’adzin baik jin maupun manusia
atau sesuatu melainkan dia akan menjadi saksi baginya hari kiamat kelak,”
Abi Sa’id berkata, “aku mendengarnya dari Rasulullah SAW”. 48
Azan merupakan panggilan shalat yang dilakukan oleh orang muslim
sebagai tanda masuknya waktu shalat fardhu. Mengumandangkan azan pada

47
Syaikh Mushthafa Masyhur, Fiqh Dakwah, (Jakarta Timur: Al-I’tishom, 2004), h. 180
48
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah, (Jakarta:
Amzah, 2015), h. 176

28
dasarnya hukumnya sunnah mu’akkad bagi shalat fardhu, baik yang
dikerjakan jama’ah ataupun sendirian. Disunnahkan dibaca dengan keras
kecuali di masjid yang sudah dilakukan shalat atau sedang berlangsungnya
shalat jama’ah. azan juga dikerjakan dengan berdiri dan menghadap kiblat.49
Azan mulai disyari’atkan mulai tahun kedua Hijriah. Pada suatu hari
Nabi Muhammad Saw mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah
bagaimana cara memberitahu waktu shalat telah tiba dan mengajak orang
untuk berkumpul ke masjid untuk melakukan shalat berjama’ah. Di dalam
musyawarah itu ada beberapa usulan, ada yang mengusulkan dikibarkan
bendera sebagai tanda waktu shalat telah tiba, dan apabila ada orang yang
melihatnya memberitahukan kepada umum. Ada juga usulan supaya ditiup
terompet seperti yang biasa dilakukan oleh orang Yahudi. Ada juga yang
mengusulkan supaya dibunyikan lonceng seperti yang dilakukan oleh orang
Nasrani.
Ada pula sahabat yang mengusulkan supaya dinyalakan api dari tempat
yang tinggi di mana orang-orang dengan mudah melihat ketempat tersebut,
setidaknya asapnya bisa dilihat orang dari tempat yang jauh. Yang melihat api
itu itu dinyalakan hendaknya segera berkumpul untuk menghadiri shalat
berjama’ah. Semua usulan yang diajukan oleh semua sahabat itu ditolak oleh
Nabi Muhammad Saw dan ditukar dengan lafadz “aṣ-ṣalātu jāmi’ah”. Lantas
Umar bin Khaṭṭab memberikan usul, jika ditunjuk seseorang yang yang
bertindak sebagai pemanggil shalat bagi kaum muslim pada setiap masuknya
waktu shalat. Kemudian saran itu banyak dari sahabat yang menerima saran
tersebut dan Nabi Muhammad Saw menyetujuinya.50
D. Pengeras Suara
Pengeras suara (bahasa Inggris : Loud speaker atau Speaker)
adalah transduser yang mengubah sinyal elektrik ke frekuensi audio (suara)
melalui penggetaran komponen yang berbentuk membran untuk menggetarkan
udara sehingga terjadilah gelombang suara yang terdengar sampai di gendang
telinga dan dapat didengar sebagai suara.

49
Moh. Rifa’i, Risalah Tuntunan Sholat Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2008), h. 27
50
M Sukron Makmun, Dahsyatnya Adzan, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010), cet. I, h. 19

29
Pada setiap sistem loud speaker (penghasil suara), pengeras suara juga
menentukan kualitas suara di samping peralatan pengolah suara sebelumnya
yang masih berbentuk listrik dalam rangkaian penguat amplifier.
Sistem pada pengeras suara adalah suatu komponen yang mengubah
kode sinyal elektronik terakhir menjadi gerakan mekanik. Dalam penyimpan
suara pada kepingan CD, pita magnetik tape, dan kepingan DVD, suara dapat
direproduksi oleh loud speaker yang dapat mengeluarkan suara. Pengeras
suara juga adalah sebuah teknologi yang memberikan dampak yang sangat
besar terhadap banyak budaya di berbagai negara.
Pada sistem pemisah frekuensi sinyal suara audio ada dua macam
yaitu : Pertama crossover pasif dengan cara pemisah (filter) suara tanpa
memerlukan sumber arus listrik, umumnya ditempatkan dalam kotak speaker
terbuat dari rangkaian L dan C yaitu lilitan kawat tembaga dan Elco. Dan
Kedua crossover aktif berupa rangkaian elektronik memerlukan tegangan dan
arus bentuk rangkaian filter R (resistor) dengan C (condencator) dan
semikonduktor bisa IC atau Transistor. Dalam hal ini, terdapat beberapa
sistem cross over, yaitu sistem dua jalur, tiga jalur, dan empat jalur.

Sistem pada Speaker Elektronil itu ada 3 Macam, yaitu :


1. Sistem 2 jalur
Penggunaan speaker elektronik yang paling sederhana adalah sistem 2
jalur atau sistem bi-amp, yang bisa memberi hasil yang baik. Keuntungannya
adalah pengecilan distorsi TIM (transient intermodulation) dan bisa menyetel
bass dan treble secara mandiri. Bila Anda menggunakan sub woofer untuk
kanal bawah ini, dan harus mengubah dengan saklar diubah di bawah 100 Hz.

a. Speaker woofer, daya power amplifier sebagai penggetar speaker


woofer dipilih sesuai kebutuhan. Daya speaker Woofer perlu
dilebihkan dari daya Power amplifier. Untuk ruang biasa daya
amplifier yang cocok 20-30 Watt. Hendaknya dipilih power amplifier
yang cocok untuk penggunaan nada rendah dan mempunyai faktor
damping besar.

30
b. Speaker tweeter bisa menggunakan tweeter atau dengan super tweeter,
daya Power amplifier tweeter ini lebih kecil dari woofer.
Pada crossover aktif ini ada yang dilengkapi dengan saklar untuk
mengubah jalur frekuensi 100 Hz, jika digunakan subwoofer pada output suara
tengah dan treble dikombinasikan dengan crossover pasif. untuk kanal bawah
frekuensi 100 Hz digunakan kotak yang terpisah.
2. Sistem 3 jalur
Sistem ini mirip dengan sistem 2 jalur, namun di sini nada tengah
dipisahkan dengan band pass filter. Ada beberapa kemungkinan yang bisa
diambil mengenai pemasangan speaker :
a. Pilihan pertama, SP1 woofer, SP2 mid range, SP3 tweeter (tiga power
amplifier).
b. Pilihan kedua, SP1 sub woofer, SP2 mid range, SP3 super tweeter, titik
frekuensi peralihan 100 Hz ke bawah, 100Hz sampai 5Hz dan di atas 5
KHz (tiga power amplifier).
c. Pilihan ketiga, SP1 sub woofer, SP2 speaker lengkap (woofer, mid
range, tweeter dengan cross over pasif), SP3 super tweeter . (dua power
amplifier + satu crossover pasif tiga jalur).

Persyaratan power amplifier sama dengan sistem 2 jalur. Penyetelan suara


dilakukan melalui pendengaran pada sistem yang sudah terpasang. Tiap jalur
frekuensi pada crossover aktif disetel mula-mula dari sisi ground (suara
volume terkecil) diputar perlahan sampai detail suara terdengar paling baik.
Penyetelan optimal didapat dengan memutarnya mundur sedikit dari posisi
mula-mula.
3. Sistem 4 jalur
Pada sistem empat jalur crossover aktif dibagi menjadi titik frekuensi
peralihan masing-masing adalah di bawah 100Hz (super bass), 100Hz sampai
500Hz (suara bass tengah), 500Hz sampai 5KHz (suara tengah) dan di atas
5KH suara tinggi (tweeter). Output crossover aktif empat jalur masing-masing
diperlukan power amplifier yang dayanya berbeda dari daya terkecil tweeter
sampai daya terbesar super woofer, juga diperlukan speaker yang diameternya

31
berlainan pada masing-masing jalur frekuensi, diameter speaker terkecil
tweeter dan diameter terbesar super woofer.
Crossover aktif tiga jalur bisa juga dikombinasi untuk keperluan empat
jalur jika spesifikasinya menunjang sistem empat jalur. Untuk menyetel
supaya detail suara mendekati suara natural setelah semua peralatan dan tata
kabel yang benar-benar ditata rapi, jika tata kabel tidak rapi bisa timbul osilasi
dan distorsi yang bisa menurunkan kualitas suara itu sendiri.

32
BAB III
ESENSI SURAT EDARAN NOMOR : SE.05 TAHUN 2022
A. Ruang Lingkup tentang Surat Edaran
1. Defenisi Surat Edaran
Surat edaran adalah produk hukum yang isinya secara materil
mengikat umum namun bukanlah peraturan perundang-undangan. Sebab
bukan peraturan perundang-undangan maka surat edaran merupakan sebuah
instrumen administratif yang bersifat internal. Surat edaran telah menjadi
bagian dari kebijakan lembaga negara, termasuk lembaga peradilan bahkan
pemerintah pusat atau daerah.
Surat Edaran ialah surat pemberitahuan yang di buat secara tertulis
yang di tujukan kepada pejabat atau pegawai yang mana berisi sebuah
penjelasan tentang kebijakan atau cara dalam pelaksanaan peraturan ataupun
pengimplikasian peraturan perundang-undangan yang mana Surat Edaran ini
biasanya di gunakan oleh Pemerintah ataupun Swasta agar supaya sebuah
peraturan yang telah dibuat oleh sebuah Instansi ataupun lembaga dapat
berjalan dengan baik serta tidak melanggar peraturan yang ada sebelumnya.51
Surat Edaran dapat berupa sebuah perintah, larangan, pemberitahuan
maupun petunjuk serta pengumuman yang mana biasanya di buat untuk dasar
dalam pembuatan sebuah kebijakan tertentu dalam institusi maupun lembaga
tertentu yang mana biasanya ditujukan bagi kalangan umum namun dalam
lingkup tertentu contohnya surat edaran yang biasa kita temui yakni surat
edaran dari rector kepada mahasiswa namun juga terdapat surat edaran yang
buat oleh lembaga pemerintahan yang mana di tujukan kepada seluruh
masyarakat Indonesia.
Surat Edaran memiliki dua jenis yakni Surat Edaran terbatas dan Surat
Edaran tidak terbatas yang mana perbedaan di antara keduanya yakni lingkup
tujuan dari Surat Edaran tersebut seperti Surat Edaran yang di buat oleh
sebuah organisasi yang di tujukan kepada anggota organisasi berbeda dengan
Surat Edaran tak terbatas yakni Surat Edaran yang tujuannya mencakup
masyarakat luas tanpa adanya batasan tertentu.

51
Surat Edaran No. b.3940/DJ.III/Hk.00.7/08/2018, tentang pelaksanaan instruksi dirjen bimas
islamn no: KEP/D/101/1978 Tentang tuntunan penggunaan pengeras suara di masjid, langgar dan
mushalla.

33
Surat edaran merupakan surat yang isinya menyangkut pemberitahuan
secara resmi didalam instansi, lembaga atau organisasi. Atau definisi surat
edaran yakni suatu surat pemberitahuan resmi yang diedarkan secara tertulis
dan ditujukan untuk berbagai pihak. Surat ini berisikan penjelasan mengenai
suatu hal, misalnya seperti kebijakan baru dari pimpinan instansi, berisikan
suatu peraturan dan lain-lain. Biasanya surat ini ditujukan untuk kalangan
umum, akan tetapi didalam ruang lingkup tertentu.52
Fungsi dari Surat Edaran diantaranya :
a. Sebagai sarana untuk menyampaikan informasi atau pemberitahuan
kepada banyak pihak, dimana isi pemberitahuan tersebut sifatnya
umum atau bukan rahasia.
b. Sebagai petunjuk dan penjelasan tentang peraturan/ kebijakan atau
tata cara pelaksanaan (bagi instansi), dan sebagai pengumuman
atau pemberitahuan (bagi perusahaan swasta).
Ciri-ciri dari Surat Edaran diantaranya :
a. Surat edaran merupakan surat resmi dan dibuat dengan bahasa
baku.
b. Surat edaran biasanya bersifat umum dan bukan rahasia.
c. Surat edaran dibuat dengan isi & bentuk yang sama untuk banyak
pihak.
d. Surat edaran dibuat untuk memberikan pemberitahuan kepada
pihakpihak yang berada di dalam ruang lingkup tertentu
Adapun jenis-jenis dari surat edaran diantaranya ada dua macam yaitu
surat edaran yang terbatas dan surat edaran yang tidak terbatas, berikut
dibawah ini penjelasannya :
a. Surat edaran terbatas yaitu surat yang biasanya ditujukan dari satu
organisasi atau instansi kepada para anggotanya saja, misalnya
seperti surat edaran dari koperasi kepada para anggotanya, surat
dari ketua osis untuk anggota osis dll
b. Surat edaran tidak terbatas yaitu surat yang ditujukan kepada
masyarakat luas.

52
https://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-surat-edaran/ diakses pada 20 Desember 2022

34
2. Kedudukan Surat Edaran
Pada praktik ketatanegaraan di Indonesia Mentri setidaknya dapat
mengeluarkan tiga jenis surat menyurat yang sering kita jumpai yakni berupa
Peraturan Mentri, Keputusan Mentri, Dan Keputusan Bersama Mentri. Dalam
perundang-undangan di Indonesia tidak diatur secara detil tentang produk
yang di keluarkan oleh mentri50. dalam membentuk sebuah peraturan ataupun
regulasi di Indonesia haruslah berdasarkan pada kejelasan dari tujuan, pejabat
yang membuat, kesesuaian antara jenis, hierarki, serta materi muatan, dapat di
laksanakan, rumusan yang jelas serta keterbukaan.53 Begitupun dalam materi
muatan dari peraturan tersebut haruslah berdasarkan keadilan, kemanusiaan,
keadilan, kekeluargaan, kebangsaan, kebhinekaan, kesamaan kedudukan
dalam hukum serta pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum dan atau
keseimbangan. Sebuah peraturan yang di lakukan haruslah sejalan dengan
peraturan yang diatasnya agar dapat diberlakukan dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan sebagaimana pada undang-undang No 12 tahun 2011.54
Dalam penyusunan peraturan-peraturan perlu di bedakan secara tegas
sifat serta tujuan dari peraturan tersebut seperti putusan yang bersifat mengatur
serta peraturan yang hanya bersifat penetapan Administrative. Element inilah
yang semestinya dijadikan tolak ukur dalam materi hukum yang di buat agar
sesuai dengan tingkatan hirarkisnya.
Dalam arti luas keputusan-keputusan mentri mengandung kekuatan
hukum karena di dalamnya berisi hubungan-hubungan tentang hak dan
kewajiban dari pihak yang terlibat di dalamnya yang diterbitkan oleh pihak
yang berwenang serta di dasarkan atas peraturan perundang-undangan yang
sah. Akan tetapi untuk kepentingan tertib perundang-undangan bentuk
peraturan yang bersifat administrative tersebut sebaiknya disebut dengan
istilah yang berbeda dari bentuk-bentuk formal peraturan perundang-undangan,
dengan demikian yang termasuk dalam pengertian perundang-undangan dalam
arti sempit itu adalah UUD dan dokumen-dokumen yang sederajat, Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Mentri dan
Pejabat yang Setingkat Mentri, Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur,
Peraturan Bupati/Walikota, Dan Peraturan Desa Serta Kepala Desa.

53
UU No 12 tahun 2011pasal 5 tentang pembentukan peraturan-perundang-undangan.
54
UU No 12 tahun 2011pasal 6 ayat 1 tentang pembentukan peraturan-perundang-undangan

35
Sedangkan bentuk-bentuk putusan lainnya dapat dinamakan Ketetapan
atau Keputusan yang tingkatannya itu sederajat. Misalnya, Keputusan Presiden
dapat disetarakan tingkatannya dengan Peraturan Presiden, Keputusan Menteri
sederajat dengan Peraturan Menteri, Keputusan Gubernur dengan Peraturan
Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota dengan Peraturan Bupati/Walikota, dan
seterusnya.55
Selain dari bentuk-bentuk peraturan yang bersifat mengatur itu, ada
pula bentuk-bentuk peraturan yang disebut dengan Peraturan Kebijakan,
Bentuk peraturan kebijakan ini memang dapat juga disebut peraturan, tetapi
hanya dalam rangka prinsip ‘freis ermessen’, yaitu prinsip kebebasan
bertindak yang diberikan kepada pemerintah untuk mencapai tujuan
pemerintahan yang dibenarkan menurut hukum. Berdasarkan prinsip freis
ermessen itu, sudah seyogyanya suatu pemerintahan itu diberikan ruang gerak
yang cukup untuk berkreatifitas dalam usahanya melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan, yang tidak selalu atau bahkan tidak mungkin ditentukan secara
rinci dalam bentuk peraturan-peraturan perundang-undangan. Inilah yang pada
mulanya menjadi dasar pembenar sehingga muncul Keputusan-Keputusan
Presiden yang turut mengatur, meskipun bukan dalam peraturan yang bersifat
umum (regeling).56
Jika kita kaitkan dengan surat edaran mentri, maka kita dapat mengurai
kedudukan surat edaran mentri adalah sebagai berikut :
1. Surat edaran merupakan perintah ataupun penjelasan tentang sesuatu yang
tidak mempunyai kekuatan hukum ataupun sangsi bagi yang tidak
mentaatinya.
2. Surat edaran derajatnya lebih tinggi dari pada surat biasa hal tersebut di
karnakan surat edaran memuat petunjuk ataupun penjelasan tentang
sesuatu yang harus di lakukan
3. Surat edaran merupakan naskah dinas yang berisi pemberitahuan,
penjelasan dan petunjuk dalam melaksanakan hal yang di anggap penting
dan mendesak.

55
Taufiqurrahman Syahuri Dalam Buku Konstitusi Dan Ketatanegaraan Indonesia
Kontemporer, The Biografi Institute, Bekasi, 2007, h. 144
56
https//Birohukum.Bappenas.Go.Id, Oleh Arif Christiono Soebroto, SH.,Msi, Kedudukan
Hukum Peraturan/Kebijakan Dibawah Peraturan Mentri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Bappenas, (Diakses Pada 22 Desember 2022 Pada Pukul 00.06).

36
4. Surat edaran merupakan suatu perintah pejabat tertentu kepada
bawahannya.
5. Penerbit surat edaran tidak memerlukan dasar hokum dalam pembuatannya
karena surat edaran merupakan sebuah kebijakan yang mana di terbitkan
semata-mata berdasarkan wewenang namun sebagai dasar pertimbangan
penerbitannya, perlu di perhatikan beberapa factor yakni hanya di terbitkan
dalam keadaan mendesak, ada peraturan terkait yang tidak jelas
substansinya dan butuh di tafsirkan, substansi tidak bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi, tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, tidak memicu perpecahan antar masyarakat, dapat di
pertanggung jawabkan dengan perinsip pemerintahan yang baik.57
Surat edaran dibentuk atau dibuat oleh Lembaga negara dan Lembaga
lembaga yang berwenang dengan tetap melalui prosedur perundang-undangan.
Dalam hirarki perundang-undangan yakni UUD 1945, TAP MPR, UU/Perpu,
PP, Pepres, Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota. Tidak disebutkan surat
edaran secara ekplisit atau konkrit, kecuali dalam pasal 8 ayat 1 dan 2 UU No
12 tahun 2011 Tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni
pada ayat 1 berbunyi : “Jenis perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) tentang hirarki perundang-undangan
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR. DPD, MA, MK, BPK,
Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Mentri, Badan, Lembaga, atau komisi yang
setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau pemerintah atas
perintah Undang-Undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD
Kabupaten/Kota, Bubati/Walikota, Kepala Desa atau setingkat”.
Selanjutnya pada ayat 2 berbunyi: peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi atau berdasarkan kewenangan.58

57
Saiful Anam dan Partners, www.saplaw.top/Kedudukan-Surat-Edaran-Mentri-Dalam-
SistenHukum-Indonesia, (diakses pada 23 Desember 2022, pikul 21:10 WIB).
58
Uu No 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 8, Ayat
1 Dan 2

37
Dengan demikian Surat Edaran Kementrian Agama RI tentang
pengeras suara tetap diakui keberadaannya karna diakui oleh Undang-Undang,
tetapi bukan peraturan perundang-undangan, dikarenakan tidak memuat norma
yang sesuai dengan syarat peraturan perundang-undangan.
B. Suret Edaran Nomor SE. 05 Tahun 2022
1. Latar Belakang terbitnya Surat Edaran Kemenag
Indonesia merupakan negara dengan Jumlah penduduk beragama
muslim terbanyak di dunia, keberadaan masjid dan mushola sebagai tempat
ibadah adalah hal yang lumrah dan dapat kita temukan di setiap daerah.
Bangunan masjid di Indonesia juga tidak lepas dari yang namanya pengeras
suara atau biasa disebut toa (karena yang umum digunakan adalah merk
“TOA”). Fungsi pengeras suara di masjid sendiri digunakan untuk berbagai
macam kebutuhan seperti mengumandangkan adzan, sholawat, maupun ayat-
ayat suci Al-Quran.
Walaupun digunakan untuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an,
namun terhitung beberapa kali di Indonesi terjadi kasus hukum yang terjadi
dengan inti permasalahan bermula dari pengeras suara di masjid. Salah satu
kasus yang sempat mencuri perhatian dari publik adalah yang dialami
oleh Meiliana seorang warga Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara. Pada
tahun 2018 dirinya divonis pidana penjara selama satu tahun enam bulan akibat
dianggap melakukan penistaan agama karena memprotes volume pengeras
suara yang terlalu besar.
Menurut Surat Edaran itu sendiri alasan diterbitkannya Surat Edaran
tersebut yakni dikarenakan banyaknya pertanyaan masyarakat mengenai
penggunaan pengeras suara di Masjid dan Mushalla namun jika dilihat dari
kenyataan dan dari berita tentang ibu Meiliana warga Tanjung Balai, Medan
Sumatra Utara yang memperotes volume suara azan yang berkumandang di
lingkungannya yang kemudian dijatuhkan vonis penjara selama 18 bulan oleh
Pengadilan Negri Medan, Hakim menilai ia secara sah terbukti melanggar
pasal 156 a KUHP dikarnakan terbukti melakukan penistaan terhadap agama
tertentu yakni agama islam,59 dengan demikian sebab diterbitkannya kembali
instruksi dari Dirjen Bimas Islam No. Kep/D/101/1978 bukan semata-mata

59
Nasional.tempo.com, http://www.nasional.tempo.co, Ini Kronologi Kasus Penistaan Agama
Meiliana di Tanjung Balai, diakses pada 25 Desember 2022

38
karna pertanyaan masyarakat mengenai penggunaan pengeras suara pada
Masjid dan Mushalla melainkan karna adanya kasus yang terjadi menimpa ibu
Meiliana.
Beberapa kali menimbulkan polemik di tengah masyarakat, sebenarnya
bagaimana pedoman penggunaan pengeras suara masjid untuk kegiatan
keagamaan? Menjawab pertanyaan tersebut, sebetulnya bukan barang baru
pemerintah melalui Kementerian Agama mengeluarkan pedoman peraturan
tentang pengeras suara masjid. Karena di tahun 2018, pernah terbit surat
edaran bernomor B.3940/DJ.III/Hk. 00.7/08/2018, yang mengatur tata cara
penggunaan pengeras suara di masjid.
Namun baru-baru ini Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas, atau
lebih akrab disapa Gus Yaqut, kembali mengeluarkan peraturan yang serupa
melalui Surat Edaran Menteri Agama Nomor 5 tahun 2022. Di dalam surat
edaran tersebut disebutkan bahwa pengeras suara dibagi menjadi dua, yaitu
pengeras suara dalam dan luar. Pengeras suara dalam merupakan perangkat
pengeras suara yang difungsikan/diarahkan ke dalam ruangan masjid/musala.
Sedangkan pengeras suara luar difungsikan/diarahkan ke luar ruangan
masjid/musala.60
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan edaran yang
mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. Aturan ini
tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang
Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.
Menurut Mentri Agama, penggunaan pengeras suara di masjid dan
musala merupakan kebutuhan bagi umat Islam sebagai salah satu media syiar
Islam di tengah masyarakat. Pada saat yang bersamaan, masyarakat Indonesia
juga beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya. Sehingga,
diperlukan upaya untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial.61
Menag menjelaskan, surat edaran yang terbit 18 Februari 2022
ditujukan kepada Kepala Kanwil Kemenag Provinsi, Kepala Kantor Kemenag
kabupaten/kota, Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan, Ketua Majelis
Ulama Indonesia, Ketua Dewan Masjid Indonesia, Pimpinan Organisasi

60
Ngertihukum.id gertihukum.id/menteri-agama-keluarkan-surat-edaran-pedoman-
penggunaan-pengeras-suara-di-masjid/, diakses pada 25 Desember 2022
61
Kemenag.go.id, https://www.kemenag.go.id/read/menag-terbitkan-pedoman-penggunaan-
pengeras-suara-di-masjid-dan-musala-amboe, diakses pada 25 Desember 2022

39
Kemasyarakatan Islam, dan Takmir/Pengurus Masjid dan Musala di seluruh
Indonesia. Sebagai tembusan, edaran ini juga ditujukan kepada seluruh
Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia.
Di dalam Surat Edaran yang mengatur penggunaan pengeras suara di
masjid dan musala yang dikeluarkan Menag Yaqut Cholil tersebut, terdapat
pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala bagi pengelola
(takmir). Kementrian Agama Gus Yaqut “Pedoman diterbitkan sebagai upaya
meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga
masyarakat”.
Lebih lanjut Menag menjelaskan, surat edaran yang terbit 18 Februari
2022 ditujukan kepada Kepala Kanwil Kemenag Provinsi, Kepala Kantor
Kemenag kabupaten/kota, Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan, Ketua
Majelis Ulama Indonesia, Ketua Dewan Masjid Indonesia, Pimpinan
Organisasi Kemasyarakatan Islam, dan Takmir/Pengurus Masjid dan Musala
di seluruh Indonesia. “Pedoman ini agar menjadi pedoman dalam
penggunaan pengeras suara di masjid dan musala bagi pengelola (takmir)
masjid dan musala dan pihak terkait lainnya”.62
2. Isi Surat Edaran Nomor SE. 05 Tahun 2022
Surat Edaran
Nomor : SE.05 Tahun 2022
Tentang
Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala
a. Pendahuluan
Penggunaan pengeras suara di masjid dan musala saat ini merupakan
kebutuhan bagi umat Islam sebagai salah satu media syiar Islam di tengah
masyarakat. Pada saat yang bersamaan, kita hidup dalam masyarakat yang
beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya, sehingga
diperlukan upaya untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial.
Untuk memastikan penggunaan pengeras suara agar tidak
menimbulkan potensi gangguan ketenteraman, ketertiban, dan
keharmonisan antarwarga masyarakat, diperlukan pedoman penggunaan

62
Nu Online, nu.or.id/nasional/menag-terbitkan-pedoman-penggunaan-pengeras-suara-di-
masjid-dan-mushala-soco, diakses pada 25 Desember 2022

40
pengeras suara di masjid dan musala bagi pengelola (takmir) masjid dan
musala.
Berdasarkan pemikiran tersebut, perlu ditetapkan Surat Edaran Menteri
Agama Republik Indonesia tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara
di Masjid dan Musala.
b. Maksud
Surat Edaran ini dimaksudkan sebagai pedoman penggunaan pengeras
suara di masjid dan musala dengan tujuan untuk mewujudkan
ketenteraman, ketertiban, dan kenyamanan bersama.
c. Ketentuan
1) Waktu Salat :
a) Subuh :
 sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Qur'an atau
selawat/tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar
dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) menit; dan
 pelaksanaan salat Subuh, zikir, doa, dan kuliah Subuh
menggunakan Pengeras Suara Dalam.
b) Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya :
 sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Qur'an atau
selawat/tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) menit; dan
 sesudah azan dikumandangkan, yang digunakan Pengeras
Suara Dalam.
c) Jum'at :
 sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Qur'an atau
selawat/tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar
dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) menit; dan
 penyampaian pengumuman mengenai petugas Jum’at, hasil
infak sedekah, pelaksanaan Khutbah Jum’at, Salat, zikir,
dan doa, menggunakan Pengeras Suara Dalam.
2) Pengumandangan azan menggunakan Pengeras Suara Luar.
3) Kegiatan Syiar Ramadan, gema takbir Idul Fitri, Idul Adha, dan
Upacara Hari Besar Islam :

41
a) penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan baik dalam
pelaksanaan Salat Tarawih, ceramah/kajian Ramadan, dan
tadarrus Al-Qur’an menggunakan Pengeras Suara Dalam;
b) takbir pada tanggal 1 Syawal/10 Zulhijjah di masjid/musala
dapat dilakukan dengan menggunakan Pengeras Suara Luar
sampai dengan pukul 22.00 waktu setempat dan dapat
dilanjutkan dengan Pengeras Suara Dalam.
c) pelaksanaan Salat Idul Fitri dan Idul Adha dapat dilakukan
dengan menggunakan Pengeras Suara Luar;
d) takbir Idul Adha di hari Tasyrik pada tanggal 11 sampai dengan
13 Zulhijjah dapat dikumandangkan setelah pelaksanaan Salat
Rawatib secara berturut-turut dengan menggunakan Pengeras
Suara Dalam; dan
e) Upacara Peringatan Hari Besar Islam atau pengajian
menggunakan Pengeras Suara Dalam, kecuali apabila
pengunjung tablig melimpah ke luar arena masjid/musala dapat
menggunakan Pengeras Suara Luar.
4) Suara yang dipancarkan melalui Pengeras Suara perlu diperhatikan
kualitas dan kelayakannya, suara yang disiarkan memenuhi
persyaratan :
a) bagus atau tidak sumbang; dan
b) pelafazan secara baik dan benar.
5) Pembinaan dan Pengawasan
a) pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Surat Edaran
ini menjadi tanggung jawab Kementrian Agama secara
berjenjang.
b) Kementerian Agama dapat bekerja sama dengan Pemerintah
Daerah dan Organisasi Kemasyarakatan Islam dalam
pembinaan dan pengawasan.

42
d. Penutup
Demikian Surat Edaran ini dikeluarkan untuk dapat dipedomani dan
dilaksanakan dengan baik.63
C. Interpetasi Surat Edaran Nomor SE. 05 Tahun 2022
Kemajemukan adalah salah satu ciri utama dari realitas. Meskipun
terdapat keumuman tertentu, unsur-unsur dalam realitas memiliki karakteristik
yang beragam, yang karena itu masing-masing unsur pada saat yang sama
bersifat unik satu sama lain.
Sebagai bagian dari realitas, kehidupan manusia juga ditandai dengan
kemajemukan. Istilah “manusia” sendiri tak lain dari sebuah nama kategoris
bagi organisme-organisme individual yang memiliki ciri-ciri bersama tertentu,
yang membuat organisme-organisme individual itu bisa digolongkan dalam
satu spesies yang berbeda dari spesies-spesies pada organisme-organisme
yang lain.
Selain pada level spesies, kemajemukan juga menandai kehidupan
manusia pada level sub-spesies seperti ras, gender, orientasi seksual,
kepercayaan, etnis, bangsa, dan sebagainya. Sebagaimana pada level spesies,
pengelompokan pada level sub-spesies didasarkan pada ciri-ciri bersama yang
dimiliki sejumlah organisme individual, sehingga satu kelompok bisa
digolongkan dalam satu ras yang berbeda dari ras-ras lain, dan seterusnya.
Namun begitu, individu manusia sebagai unit paling dasar yang
menjadi subyek klasifikasi pada level spesies maupun sub-spesies tersebut
satu sama lain bersifat unik. Di sisi lain, karena unit-unit individual tersebut
juga berasosiasi untuk memenuhi kebutuhan masing-masing, dibutuhkan
kesediaan dari setiap unit individual untuk berbagi ruang hidup dalam
perbedaan secara damai.
Pluralisme merupakan paradigma yang relevan dengan kebutuhan
manusia untuk berbagi ruang hidup di tengah perbedaan. Paradigma ini
menuntut penerimaan atas kemajemukan sebagai fakta kemanusiaan, yang
dioperasionalkan dalam sikap toleran terhadap perbedaan. Paradigma ini
semakin relevan ketika masyarakat manusia dari waktu ke waktu semakin

63
Surat Edaran Nmor SE.05 Tahun 2022 tentang Pedoman Pengeras Suara di Masjid dan
Musala

43
ditandai keberagaman ciri-ciri yang tidak semata-mata fisik, tapi juga mental;
tidak semata-mata bawaan, tapi juga bentukan.
Hal yang kemudian penting diberikan perhatian ialah di atas fondasi
apa toleransi itu harus dibangun. Persoalan-persoalan semacam apakah kita
harus menoleransi intoleransi atau apakah segala macam bentuk perbedaan
harus dihormati mengisyaratkan kebutuhan akan fondasi etis bagi paradigma
pluralisme itu sendiri.
Watak kemajemukan yang makin kompleks dalam masyarakat dewasa
ini, bagaimanapun, erat kaitannya dengan proses modernisasi. Salah satu ciri
yang menonjol dalam modernisasi adalah kebangkitan individualisme,
kesadaran individu manusia akan personalitasnya yang unik dan tak bisa
sepenuhnya direduksi dalam “kolektivitas” atau “keumuman.”
Dalam era modern, perbedaan dalam kehidupan manusia tidak lagi
cukup dipahami dalam kerangka kelompok-kelompok sub-spesies yang satu
sama lain berbeda dalam karakteristik seperti ras, gender, orientasi seksual,
etnis, agama, nasionalitas, dan semacamnya, karena, pada level yang
mendasari semua klasifikasi, unit-unit individual manusia adalah unik satu
sama lain.
Seseorang, misalnya, karena memiliki kesamaan ciri tertentu dengan
sejumlah orang lain, mungkin diklasifikasikan sebagai pemeluk suatu agama
tertentu yang bisa dibedakan dari orang-orang, yang karena ciri-ciri umum
mereka, diklasifikasikan sebagai pemeluk agama lain. Namun, personalitas
seorang pemeluk agama membuatnya memiliki pemaknaan yang tak akan
sepenuhnya serupa meski dengan sesama pemeluk.
Situasi serupa juga berlaku dalam ras, gender, etnis, nasionalitas, dan
kelompok-kelompok sub-spesies lainnya, di mana individu-individu
mengkonstruksi makna kelompok afiliasinya dengan cara yang masing-masing
berbeda.
Jelas paradigma pluralisme yang didasarkan pada etika komunitarian,
di mana penghargaan atas perbedaan berhenti pada level hubungan di antara
kelompok-kelompok yang berbeda, tidak memadai bagi kemajemukan
masyarakat modern yang makin bercorak individualistik. Apa yang
dibutuhkan sebagai fondasi pluralisme ialah etika liberal yang menyediakan

44
ruang hidup bagi setiap individu untuk hidup bebas dari ancaman pihak lain,
apakah pihak lain itu individu ataup kelompok.
Dalam kerangka etika liberal, toleransi dikembangkan di atas konsep
tentang hak sebagai sebuah klaim yang melekat pada individu. Konsep hak
dalam etika liberal berpijak pada asumsi filosofis bahwa setiap orang adalah
pemilik sah atas dirinya-sendiri (self-ownership). Hak, dengan demikian,
bukanlah klaim yang melekat pada kelompok-kelompok, apa pun itu, di mana
individu-individu diklasifikasikan berdasarkan ciri-ciri tertentu yang dimiliki
secara bersama-sama.
Karena setiap orang adalah pemilik sah atas dirinya-sendiri, ia
berdaulat penuh atas tubuh dan kehidupannya, dengan segala karakteristik
fisik maupun mental yang melekat pada ke-diri-annya, seperti anggota tubuh,
bakat, tenaga, pikiran, hati nurani, dan sebagainya. Ini berarti individu
seharusnya bebas untuk memiliki dan menggunakan itu semua untuk
Kebebasan bekerja, kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat, kebebasan
berkeyakinan, dan, secara umum, kebebasan untuk menjalani hidup menurut
cara-cara yang dikehendaki demi tujuan-tujuan yang dipilih sendiri adalah
contoh sejumlah hak yang diturunkan dari prinsip kepemilikan diri dalam etika
liberal.
Kepemilikan diri membebaskan individu dari perilaku sewenang-
wenang pihak lain dalam mengamalkan hak-hak yang didasarkan pada
kepemilikan dirinya, seperti hak atas hidup; hak atas anggota tubuh dan tenaga;
hak atas bakat, pikiran, dan hasil kreasinya; hak untuk mengekspresikan
identitas, pikiran, dan keyakinannya serta memilih cara hidup sesuai
preferensinya tanpa kuatir akan terancam keselamatan diri dan propertinya
oleh gangguan dari pihak lain. Harus bebas dari ancaman kekerasan oleh
orang lain selama ia mengamalkan hak-hak yang didasarkan atas kepemilikan
dirinya itu tanpa mengancam hak-hak orang lain atas kepemilikan diri mereka.
Dalam relasi sosial, seseorang dikatakan toleran ketika sikap dan
tindakannya memberikan keleluasaan bagi orang lain untuk merealisasikan
hal-hal yang menjadi haknya, terlepas dari atribusi kelompok seperti ras,
gender, orientasi seksual, agama, kebangsaan, dan sebagainya. Sebaliknya,
ketika sikap dan tindakan seseorang mengakibatkan terhambatnya realisasi

45
hak-hak orang lain, atau bahkan secara langsung melanggar hak-hak orang
lain, ia adalah orang yang intoleran.
Sebagai contoh, seorang pemeluk agama bisa saja tidak menyetujui
homoseksualitas. Etika liberal akan memandang ketidaksetujuan pemeluk
agama ini layak ditoleransi, bahkan jika ketidaksetujuan ini dinyatakan secara
tajam. Pemeluk agama ini tidak layak ditoleransi jika ketidaksetujuannya
diekspresikan dalam cara-cara yang mengakibatkan terlanggarnya hak orang
lain untuk hidup sebagai homoseksual dan mengekspresikan orientasi
seksualnya secara damai.
Di sisi lain, seorang sekuler mungkin sangat jengkel pada pandangan
pemeluk agama pada homoseksualitas. Etika liberal akan memandang
kejengkelan ini layak ditoleransi, bahkan jika kejengkelan orang sekuler ini
dinyatakan secara tajam. Orang sekuler ini tidak layak ditoleransi jika
kejengkelannya diekspresikan dalam cara-cara yang mengakibatkan hak-hak si
pemeluk agama terlanggar, termasuk hak untuk meyakini bahwa agama yang
ia peluk tidak menyetujui homoseksualitas dan hak untuk menyebarluaskan
keyakinannya itu secara damai.
Dengan demikian, konsep hak dalam etika liberal, yang didasarkan
atas prinsip kepemilikan diri pada setiap orang, menjadi garis demarkasi
antara wilayah di mana individu seharusnya bebas sehingga layak ditoleransi
dan wilayah di mana ia tidak seharusnya bebas dan tidak layak ditoleransi.
Dalam etika liberal, toleransi tidak menoleransi intoleransi. Supremasi
hukum berdasarkan etika liberal menjamin setiap individu bebas dari
kesewenang-wenangan pihak lain dalam merealisasikan hak-haknya dan
menjatuhkan sanksi atas pelaku intoleransi, yaitu individu atau kelompok yang
tindakannya mengakibatkan orang lain terancam diri dan propertinya ketika
merealisasikan hak-haknya.64
Surat Edaran Menteri Agama Republik Indonesia No. 05 Tahun 2022,
terkait penggunaan pengeras suara di masjid dan mushalla. Mengapa demikian,
sesungguhnya keluarnya Surat Edaran Menteri Agama No. 05 tahun 2022
tersebut bukan barang baru, melainkan pernah ada sejak lama yaitu Instruksi
Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam No.KEP/D/101/78 tentang Tuntunan

64
Indeks Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial https://indeks.or.id/program/pluralisme-dan-
toleransi/, diakses pada 27 Desember 2022

46
Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musalla, tertanggal 17 Juli 1978.
Dirjen Bimas Islam Drs HA Kafrawi, MA, pada masa Menteri Agama saat itu
yaitu Alamsyah Ratu Perwiranegara 44 Tahun yang lalu semasa orde baru
sudah mengeluarkan surat instruksi dan himbauan. Artinya, berkaitan dengan
pembatasan penggunaan pengeras suara di rumah peribadatan seperti di masjid
dan mushalla sesungguhnya bukan baru melainkan telah ada sejak lama.
Perlu disadari bahwa si’arnya agama dengan menyuarakan pada
masyarakat sangat dibutuhkan, misalkan pengunaan TOA untuk azan,
membaca al-Quran, dan beribadah sejenisnya. Kegiatan tersebut merupakan
upaya mengamalkan perintah sang-Khaliq, juga mengandung ajakan bagi
pemeluknya untuk menyegerakan menjalankan ibadah. Kendati demikian,
ajakan sebagaimana dalam azan yang menggunakan TOA hendaknya
memperhatikan kondisi lingkungan. Perlu diperhatikan bahwa menyuarakan
perintah Tuhan, perlu juga memperhatikan kondisi social dan lingkungan,
jangan sampai mengganggu misalnya bagi mereka yang sedang sakit, sedang
beristirahat dan sejenisnya. Terlebih, pada lingkungan masjid dimana struktur
masyarakatnya yang majemuk, bertempat tinggal juga warga masyarakat yang
memeluk agama lain, maka menjalankan ibadah yang merupakan ekpresi
ketuhanan, justru jangan sampai mengganggu lingkungan sekitar. Yang pasti,
menjalankan ibadah yang syarat dengan kebajikan, janganlah kemudian
mengganggu lainnya. Akhirnya, justru malah memunculkan rasa kurang
simpati, intoleransi, mengganggu kehormanisan, mengganggu perasaan bagi
pemeluk agama lain.
Spirit moderasi beragama, toleransi umat beragama, saling menghargai
serta menghormati yang terkandung dalam SE No. 5 Tahun 2022 harus kita
hargai. Surat Edaran yang kebetulan secara langsung bersinggungan dengan
kaum muslim, yang oleh sebagiannya dianggap masuk wilayah
sensitif hendaknya tidak ditanggapi dengan berlebihan. Bersikap kritis itu
bagus, untuk perbaikan dan saling mengingatkan sebagai bentuk social control.
Namun, bersikap provokatif bahkan sampai mengarah kepada bullying pada
salah satu pihak tidak perlu dilakukan. Oleh karena, bersikap arif, proporsional
dan menghargai terhadap muncul Surat Edaran tersebut adalah sikap yang
elegan. Perbedaan atau ketidak-kecocokokan tidak perlu diperbesar, apalagi
SE No. 05 Tahun 2022 tersebut hadir didasarkan dengan spirit untuk menjaga

47
moderasi beragama serta menjujung tinggi Kebinekaan. Kita perlu waspada
pada para pihak yang mencoba memecah belah bangsa, suka provolatif dan
menyusup kesemua lini terutama lewat media sosial dengn content-content
yang kurang produktif. Perbedaan adalah sunatullah, dan pasti ada, dan selalu
muncul. Kita sebaiknya bisa menerima perbedaan pendapat dan keragaman
dengan hati yang terbuka, kritis dan dewasa. Jangan kita berharap dunia ini
berjalan bak paduan suara, yang itu ada hanya di logika.
Membangun harmoni antar umat se-agama dan beragama karena itu
lah sejatinya elan vital dalam sejarah bangsa Indonesia. Bangsa ini terbentuk,
terikat dengan kuat dan terawat hingga kini sebagai sebuah negara karena
semangat saling bertoleransi hingga pada tingkat yang paling asasi.
Dideklarasikan dalam dasar negara dan pembukaan Undang Undang Dasar
1945. Hilangnya frasa menjalankan syariat Islam menjadi bukti kongkrit
komitmen toleransi sejak negeri ini didirikan. Kini, umat Islam hanya diminta
untuk mengatur suara toa, agar tak ada pihak yang seagama dan berbeda
agama merasa terganggu. Bukankah esensi Islam adalah keselamatan dan
kedamaian.
Memastikan kualitas kehidupan beragama semakin baik mengandung
makna, keras atau pelannya suara adzan dari toa tidak berpengaruh, karena
semua umat Islam selalu tergerak hatinya untuk berjamaah. Bahkan kini
berkembang gerakan komunitas, berkunjung ke masjid-masjid sambil
melakukan bakti sosial dan shalat berjamaah. Aktivisnya anak muda yang
bertaubat dan haus ilmu agama. Menjadi penanda bahwa sudah banyak hati
tergerak untuk segera memenuhi masjid dan musola di tempatnya masing-
masing. Adzan dikumandangkan, berjamaah ditunaikan. Setelah itu, dibahas
dan dilakukan berbagai program untuk pemberdayaan. Masjid tak pernah sepi,
tidak pula digembok atau hanya dibuka saat waktu shalat tiba saja.
Esensi moderasi beragama adalah setiap pemeluk agama berhak
mendapatkan kesejukan dan kedamaian. Karena itu, pengaturan pengeras
suara tersebut sangat baik. Pengeras suara merupakan alat untuk
menginformasikan. Jauh sebelum ada perangkat ini, dulu ada kentongan,
bedug dan berbagai alat yang menginformasikan telah masuk waktu shalat.
Kini dengan jam ada di tangan, tersedia pula di telepon genggam dan jam
dinding di rumah masing-masing, hatilah yang harusnya tergerak begitu waktu

48
shalat tiba, agar shalat di awal waktunya. Hatilah yang rindu segera
mengunjungi masjid untuk shalat berjamaah.
Tentu saja konteks yang dimaksud oleh Menteri Agama dalam surat
edaran tersebut adalah di lingkungan masyarakat yang plural, di mana di sana
terdapat pemeluk agama yang beragam. Dalam konteks yang plural dan
heterogen itu pula, Menteri Agama memisalkan kebisingan dengan suara
gonggongan anjing. Pesan yang dipahami, bahwa yang dimisalkan adalah
suara bisingnya, bukan anjing yang mengeluarkan kebisingan itu. Jadi, tidak
sedang membandingkan suara adzan dengan suara gonggongan. Tetapi sedang
memisalkan kebisingan. Buktinya, di wawancara yang sama, toh beliau tidak
melarang penggunaan toa, termasuk untuk adzan.
Islam merupakan agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Salah
satu bentuk nyatanya adalah menghormati kaum minoritas. Bukan hanya
menghormati, malah melindungi. Demikianlah teladan yang dicontohkan Nabi.
Piagam Madinah salah satu isinya adalah penghormatan terhadap minoritas,
termasuk hak mendapat ketenangan dan ketentraman dalam beragama.

49
BAB IV
ANALISIS SURAT EDARAN NOMOR: SE. 05 TAHUN 2022 DAN PENGERAS
SUARA DALAM PERSEPKTIF HUKUM FIQH DAN POSITIF
A. Esensi Surat Edaran Nomor : SE.05 Tahun 2022 Tentang Pedoman
Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala
a. Pendahuluan
Penggunaan pengeras suara di masjid dan musala saat ini merupakan
kebutuhan bagi umat Islam sebagai salah satu media syiar Islam di tengah
masyarakat. Pada saat yang bersamaan, kita hidup dalam masyarakat yang
beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya, sehingga
diperlukan upaya untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial.
Untuk memastikan penggunaan pengeras suara agar tidak
menimbulkan potensi gangguan ketenteraman, ketertiban, dan
keharmonisan antarwarga masyarakat, diperlukan pedoman penggunaan
pengeras suara di masjid dan musala bagi pengelola (takmir) masjid dan
musala.
Berdasarkan pemikiran tersebut, perlu ditetapkan Surat Edaran Menteri
Agama Republik Indonesia tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara
di Masjid dan Musala.
b.Maksud
Surat Edaran ini dimaksudkan sebagai pedoman penggunaan pengeras
suara di masjid dan musala dengan tujuan untuk mewujudkan
ketenteraman, ketertiban, dan kenyamanan bersama.
c. Ketentuan
6) Waktu Salat :
a) Subuh :
 sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Qur'an atau
selawat/tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar
dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) menit; dan
 pelaksanaan salat Subuh, zikir, doa, dan kuliah Subuh
menggunakan Pengeras Suara Dalam.
b) Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya :

50
 sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Qur'an atau
selawat/tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) menit; dan
 sesudah azan dikumandangkan, yang digunakan Pengeras
Suara Dalam.
c) Jum'at :
 sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Qur'an atau
selawat/tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar
dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) menit; dan
 penyampaian pengumuman mengenai petugas Jum’at, hasil
infak sedekah, pelaksanaan Khutbah Jum’at, Salat, zikir,
dan doa, menggunakan Pengeras Suara Dalam.
7) Pengumandangan azan menggunakan Pengeras Suara Luar.
8) Kegiatan Syiar Ramadan, gema takbir Idul Fitri, Idul Adha, dan
Upacara Hari Besar Islam :
f) penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan baik dalam
pelaksanaan Salat Tarawih, ceramah/kajian Ramadan, dan
tadarrus Al-Qur’an menggunakan Pengeras Suara Dalam;
g) takbir pada tanggal 1 Syawal/10 Zulhijjah di masjid/musala
dapat dilakukan dengan menggunakan Pengeras Suara Luar
sampai dengan pukul 22.00 waktu setempat dan dapat
dilanjutkan dengan Pengeras Suara Dalam.
h) pelaksanaan Salat Idul Fitri dan Idul Adha dapat dilakukan
dengan menggunakan Pengeras Suara Luar;
i) takbir Idul Adha di hari Tasyrik pada tanggal 11 sampai dengan
13 Zulhijjah dapat dikumandangkan setelah pelaksanaan Salat
Rawatib secara berturut-turut dengan menggunakan Pengeras
Suara Dalam; dan
j) Upacara Peringatan Hari Besar Islam atau pengajian
menggunakan Pengeras Suara Dalam, kecuali apabila
pengunjung tablig melimpah ke luar arena masjid/musala dapat
menggunakan Pengeras Suara Luar.

51
9) Suara yang dipancarkan melalui Pengeras Suara perlu diperhatikan
kualitas dan kelayakannya, suara yang disiarkan memenuhi
persyaratan :
c) bagus atau tidak sumbang; dan
d) pelafazan secara baik dan benar.
10) Pembinaan dan Pengawasan
c) embinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Surat Edaran
ini menjadi tanggung jawab Kementerian Agama secara
berjenjang.
d) Kementerian Agama dapat bekerja sama dengan Pemerintah
Daerah dan Organisasi Kemasyarakatan Islam dalam
pembinaan dan pengawasan.
e. Penutup
Demikian Surat Edaran ini dikeluarkan untuk dapat dipedomani dan
dilaksanakan dengan baik.65
Surat Edaran Menteri Agama Republik Indonesia No. 05 Tahun 2022,
terkait penggunaan pengeras suara di masjid dan mushalla. Mengapa demikian,
sesungguhnya keluarnya Surat Edaran Menteri Agama No. 05 tahun 2022
tersebut bukan barang baru, melainkan pernah ada sejak lama yaitu Instruksi
Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam No.KEP/D/101/78 tentang Tuntunan
Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musalla, tertanggal 17 Juli 1978.
Dirjen Bimas Islam Drs HA Kafrawi, MA, pada masa Menteri Agama saat itu
yaitu Alamsyah Ratu Perwiranegara 44 Tahun yang lalu semasa orde baru
sudah mengeluarkan surat instruksi dan himbauan. Artinya, berkaitan dengan
pembatasan penggunaan pengeras suara di rumah peribadatan seperti di masjid
dan mushalla sesungguhnya bukan baru melainkan telah ada sejak lama.
Perlu disadari bahwa si’arnya agama dengan menyuarakan pada
masyarakat sangat dibutuhkan, misalkan pengunaan TOA untuk azan,
membaca al-Quran, dan beribadah sejenisnya. Kegiatan tersebut merupakan
upaya mengamalkan perintah sang-Khaliq, juga mengandung ajakan bagi
pemeluknya untuk menyegerakan menjalankan ibadah. Kendati demikian,
ajakan sebagaimana dalam azan yang menggunakan TOA hendaknya

65
Surat Edaran Nmor SE.05 Tahun 2022 tentang Pedoman Pengeras Suara di Masjid dan
Musala

52
memperhatikan kondisi lingkungan. Perlu diperhatikan bahwa menyuarakan
perintah Tuhan, perlu juga memperhatikan kondisi social dan lingkungan,
jangan sampai mengganggu misalnya bagi mereka yang sedang sakit, sedang
beristirahat dan sejenisnya. Terlebih, pada lingkungan masjid dimana struktur
masyarakatnya yang majemuk, bertempat tinggal juga warga masyarakat yang
memeluk agama lain, maka menjalankan ibadah yang merupakan ekpresi
ketuhanan, justru jangan sampai mengganggu lingkungan sekitar. Yang pasti,
menjalankan ibadah yang syarat dengan kebajikan, janganlah kemudian
mengganggu lainnya. Akhirnya, justru malah memunculkan rasa kurang
simpati, intoleransi, mengganggu kehormanisan, mengganggu perasaan bagi
pemeluk agama lain.
Spirit moderasi beragama, toleransi umat beragama, saling menghargai
serta menghormati yang terkandung dalam SE No. 5 Tahun 2022 harus kita
hargai. Surat Edaran yang kebetulan secara langsung bersinggungan dengan
kaum muslim, yang oleh sebagiannya dianggap masuk wilayah
sensitif hendaknya tidak ditanggapi dengan berlebihan. Bersikap kritis itu
bagus, untuk perbaikan dan saling mengingatkan sebagai bentuk social control.
Namun, bersikap provokatif bahkan sampai mengarah kepada bullying pada
salah satu pihak tidak perlu dilakukan. Oleh karena, bersikap arif, proporsional
dan menghargai terhadap muncul Surat Edaran tersebut adalah sikap yang
elegan. Perbedaan atau ketidak-kecocokokan tidak perlu diperbesar, apalagi
SE No. 05 Tahun 2022 tersebut hadir didasarkan dengan spirit untuk menjaga
moderasi beragama serta menjujung tinggi Kebinekaan. Kita perlu waspada
pada para pihak yang mencoba memecah belah bangsa, suka provolatif dan
menyusup kesemua lini terutama lewat media sosial dengn content-content
yang kurang produktif. Perbedaan adalah sunatullah, dan pasti ada, dan selalu
muncul. Kita sebaiknya bisa menerima perbedaan pendapat dan keragaman
dengan hati yang terbuka, kritis dan dewasa. Jangan kita berharap dunia ini
berjalan bak paduan suara, yang itu ada hanya di logika.
Membangun harmoni antar umat se-agama dan beragama karena itu
lah sejatinya elan vital dalam sejarah bangsa Indonesia. Bangsa ini terbentuk,
terikat dengan kuat dan terawat hingga kini sebagai sebuah negara karena
semangat saling bertoleransi hingga pada tingkat yang paling asasi.
Dideklarasikan dalam dasar negara dan pembukaan Undang Undang Dasar

53
1945. Hilangnya frasa menjalankan syariat Islam menjadi bukti kongkrit
komitmen toleransi sejak negeri ini didirikan. Kini, umat Islam hanya diminta
untuk mengatur suara toa, agar tak ada pihak yang seagama dan berbeda
agama merasa terganggu. Bukankah esensi Islam adalah keselamatan dan
kedamaian.
Memastikan kualitas kehidupan beragama semakin baik mengandung
makna, keras atau pelannya suara adzan dari toa tidak berpengaruh, karena
semua umat Islam selalu tergerak hatinya untuk berjamaah. Bahkan kini
berkembang gerakan komunitas, berkunjung ke masjid-masjid sambil
melakukan bakti sosial dan shalat berjamaah. Aktivisnya anak muda yang
bertaubat dan haus ilmu agama. Menjadi penanda bahwa sudah banyak hati
tergerak untuk segera memenuhi masjid dan musola di tempatnya masing-
masing. Adzan dikumandangkan, berjamaah ditunaikan. Setelah itu, dibahas
dan dilakukan berbagai program untuk pemberdayaan. Masjid tak pernah sepi,
tidak pula digembok atau hanya dibuka saat waktu shalat tiba saja.
Esensi moderasi beragama adalah setiap pemeluk agama berhak
mendapatkan kesejukan dan kedamaian. Karena itu, pengaturan pengeras
suara tersebut sangat baik. Pengeras suara merupakan alat untuk
menginformasikan. Jauh sebelum ada perangkat ini, dulu ada kentongan,
bedug dan berbagai alat yang menginformasikan telah masuk waktu shalat.
Kini dengan jam ada di tangan, tersedia pula di telepon genggam dan jam
dinding di rumah masing-masing, hatilah yang harusnya tergerak begitu waktu
shalat tiba, agar shalat di awal waktunya. Hatilah yang rindu segera
mengunjungi masjid untuk shalat berjamaah.
Tentu saja konteks yang dimaksud oleh Menteri Agama dalam surat
edaran tersebut adalah di lingkungan masyarakat yang plural, di mana di sana
terdapat pemeluk agama yang beragam. Dalam konteks yang plural dan
heterogen itu pula, Menteri Agama memisalkan kebisingan dengan suara
gonggongan anjing. Pesan yang dipahami, bahwa yang dimisalkan adalah
suara bisingnya, bukan anjing yang mengeluarkan kebisingan itu. Jadi, tidak
sedang membandingkan suara adzan dengan suara gonggongan. Tetapi sedang
memisalkan kebisingan. Buktinya, di wawancara yang sama, toh beliau tidak
melarang penggunaan toa, termasuk untuk adzan.

54
Islam merupakan agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Salah
satu bentuk nyatanya adalah menghormati kaum minoritas. Bukan hanya
menghormati, malah melindungi. Demikianlah teladan yang dicontohkan Nabi.
Piagam Madinah salah satu isinya adalah penghormatan terhadap minoritas,
termasuk hak mendapat ketenangan dan ketentraman dalam beragama.
B. Pengaturan Pengeras Suata menurut Hukum Islam dan Positif
1. Pengaturan Pengeras Suara menurut Hukum Fiqh
Selain mengajarkan kebaikan, Islam juga mengajarkan kebaikan itu
harus dilakukan dengan cara-cara yang baik. Mengajak orang lain ibadah itu
sangat baik, namun demikian ajakan itu pun harus dilakukan dengan cara-cara
yang baik. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan pengeras suara atau
mikrofon di tempat ibadah seperti masjid dan mushalla.
Dalam hal ini ada 7 dalil atau argumentasi ilmiah tentang pengaturan
penggunaan pengeras suara yang layak dipahami dari Kitab I’lâmul Khâsh wal
‘Âmm bi Anna Iz’âjan Nâsi bil Mikrûfûn Harâm (Pemberitahuan Bagi Orang
Pintar dan Orang Awam Bahwa Mengganggu orang Lain dengan Mikrofon
Hukumnya Haram) karya Sayyid Zain bin Muhammad bin Husain Alydrus,
Dosen Universitas Al-Ahgaf Yaman.66
a. Pertama, banyak ayat dan hadits yang memerintah untuk memelankan
suara dalam shalat, dzikir dan doa. Sebagai contoh adalah ayat dan
hadits berikut :
ِ‫وَاذْﻛُﺮْ رَﺑﱠﻚَ ﻓِﻲ ﻧَﻔْﺴِﻚَ ﺗَﻀَﺮﱡﻋًﺎ وَﺧِﯿﻔَﺔً وَدُونَ اﻟْﺠَﮭْﺮِ ﻣِﻦَ اﻟْﻘَﻮْلِ ﺑِﺎﻟْﻐُﺪُوﱢ وَاﻻَْٓﺻَﺎل‬
َ‫وَﻻَ ﺗَﻜُﻦْ ﻣِﻦَ اﻟْﻐَﺎﻓِﻠِﯿﻦ‬
Artinya, “Ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa
takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang,
dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”
(Surat Al-A’raf ayat 205).
‫أَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﻨﱠﺎسُ ارْﺑَﻌُﻮا ﻋَﻠَﻰ أَﻧْﻔُﺴِﻜُﻢْ إِﻧﱠﻜُﻢْ ﻟَﯿْﺲَ ﺗَﺪْﻋُﻮنَ أَﺻَﻢﱠ وَﻻَ ﻏَﺎﺋِﺒًﺎ إِﻧﱠﻜُﻢْ ﺗَﺪْﻋُﻮنَ ﺳَﻤِﯿﻌًﺎ‬
ْ‫ﻗَﺮِﯾﺒًﺎ وَھُﻮَ ﻣَﻌَﻜُﻢ‬
Artinya, “Wahai manusia, kasihanilah diri kalian dengan mengecilkan
suara kalian saat berdo`a. Sungguh kalian tidak memanggil zat yang tuli

66
https://islam.nu.or.id/syariah/tujuh-dalil-pengaturan-pengeras-suara-pada-tempat-ibadah-
tOAhB diakses pada 2 Februari 2022

55
dan yang gaib. Sungguh kalian memanggil Allah Yang Maha Mendengar
dan Maha Dekat. Allah bersama kalian.” (HR Muslim)

Ayat dan hadits seperti ini secara eksplisit memerintahkan agar


orang memelankan suara dalam shalat, dzikir dan doa; dan secara implisit
melarang melakukannya secara terlalu keras. Larangan ini juga
memasukkan d dengan pengeras suara, apalagi dilakukan dengan volume
maksimal yang memekakkan telinga dan menggangu orang lain.
b. Kedua, banyak riwayat sahabat yang melarang suara keras di masjid.
Sayyidina Umar bin Khattab ra memberi teguran keras kepada dua
orang Tha’if yang melantangkan suara di masjid Nabawi. “Andaikan
kalian adalah penduduk Madinah, niscaya aku akan menghukum
(mencambuk) kalian. Kalian telah mengeraskan suara di masjid
Rasulullah saw” (HR Al-Bukhari). Hal ini juga berlaku untuk masjiD
selainnya.
c. Ketiga, penggunaan pengeras suara luar mengganggu konsentrasi
ibadah dan aktifitas orang lain, kenyamanan orang yang sedang
istirahat, dan orang yang sedang sakit. Padahal mengganggu orang lain
hukumnya tidak boleh, baik secara nash maupun ijmak ulama. Nabi
SAW bersabda :
ِ‫ﻣَﻦْ ﺿَﺎرﱠ أَﺿَﺮﱠ ﷲﱠُ ﺑِﮫِ وَﻣَﻦْ ﺷَﺎقﱠ ﺷَﺎقﱠ ﷲﱠُ ﻋَﻠَﯿْﮫ‬
Artinya, “Siapa saja yang mengganggu orang lain maka Allah akan
mengganggunya; dan siapa saja yang memberatkan orang lain maka
Allah akan memberatkannya. (HR Ibnu Majah dan ad-Daraquthni).

d. Keempat, penggunaan pengeras suara luar meskipun mengandung


kemaslahatan bagi jamaah masjid, namun di sisi lain juga menganggu
kenyamanan masyarakat luas selain jamaah masjid. Kenyamanan
masyarakat luas harus didahulukan daripada kemaslahatan jamaah
masjid. Kaidah fiqih menyatakan: “Falâ turajjâhu mashâlalih
khâsshah ‘ala mashâlalih ‘ammah,” kemaslahatan yang bersifat
khusus tidak dimenangkan di atas kemaslahatan yang bersifat umum.”
e. Kelima, kaidah Dar’ul mafâsid muqaddamun ‘alâ jalbil mashâlih atau
menghindari kerusakan harus didahulukan daripada mendatangkan

56
kemaslahatan. Penggunaan pengeras suara luar meskipun juga
membawa kemaslahatan, seperti memperdengarkan nasehat dan
bacaan Al-Qur'an, bila sampai mengganggu istirahat orang banyak,
orang-orang yang sedang sakit dan semisalnya, maka harus dibatasi,
sebagaimana semangat kaidah ini.
f. Keenam, penggunaan pengeras suara luar untuk menyampaikan
nasehat dan bacaan Al-Qur'an terkadang menjadi pintu masuk menuju
riya dan sum’ah (pamer dan mencari popularitas) yang justru dilarang
agama. Nabi SAW bersabda:
ِ‫ وَﻣَﻦْ ﯾُﺮَاﺋِﻲ ﯾُﺮاﺋِﻲَ ﷲُ ﺑِﮫ‬،ِ‫ﻣَﻦْ ﺳَﻤﱠﻊَ ﺳَﻤﱠﻊَ ﷲ ﺑِﮫ‬
Artinya, “Siapa saja yang pamer (amal agar didengar orang) maka
Allah akan memamerkan keburukannya; dan siapa saja yang (amal
agar dilihat orang), maka Allah akan memperlihatkan keburukannya.”
(HR Al-Bukhari dan Muslim).
g. Ketujuh, penggunaan pengeras suara untuk dzikir, doa dan semisalnya
jauh dari ketenangan dalam beribadah yang disyariatkan agama. Nabi
bersabda: َ‫اُدْﻋُﻮا رَﺑﱠﻜُﻢْ ﺗَﻀَﺮﱡﻋًﺎ وَﺧُﻔْﯿَﺔً إِﻧﱠﮫُ ﻻَ ﯾُﺤِﺐﱡ اﻟْﻤُﻌْﺘَﺪِﯾﻦ‬ Artinya, “Berdoalah
kepada Tuhan kalian dengan rendah hati dan suara lembut, sungguh
Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Surat Al-
A’raf ayat 77).
Demikian 7 dalil atau argumentasi ilmiah tentang pengaturan pengeras
suara di tempat ibadah. Secara lebih lengkap dapat dibaca di kitab I’lâmul
Khâsh wal ‘Âmm bi Anna Iz’âjan Nâsi bil Mikrûfûn. Bangunan 7 dalil atau
argumentasi ilmiah di atas memberi pengertian kepada kita bahwa penggunaan
pengeras suara luar untuk ibadah, doa, dan—kecuali untuk azan—secara lebih
sederhana dapat diperinci sebagai berikut67t:
1) Bila mengganggu orang lain maka hukumnya haram, meskipun yang
terganggu hanya sedikit
2) Bila tidak mengganggu orang lain, maka hukumnya adalah khilafus
sunnah atau tidak berkesesuaian dengan sunnah, sebab syariat tidak
menyunahkan mengeraskan suara dalam ibadah, doa, dan d sehingga
menggangu orang lain. (Zain bin Muhammad bin Husain Alydrus,

67
Ahmad Muntaha AM, Pengaturan Pengeras Suara pada Tempat Ibadah, Founder Aswaja
Muda dan Redaktur Keislaman NU Online 2022

57
I’lâmul Khâsh wal ‘Âmm bi Anna Iz’âjan Nâsi bil Mikrûfûn Harâm,
[Mukalla, Dârul ‘Idrûs: 1435/2014], halaman 31-37). Setelah memahami
berbagai catatan ini, sudah seharusnya kita mengevaluasi penggunaan
pengeras suara luar yang kadang memang mengganggu orang di luar
jamaah, yang tidak berani menyampaikan keluhannya karena khawatir
dianggap menista. Karenanya pengaturan pengeras suara di masjid dan
musala layak diapresiasi, terlepas dari pro dan kontra yang
mengitarinya.
2. Pengaturan Pengeras Suara menurut Hukum Positif
Penggunaan pengeras suara masjid diatur dalam Instruksi Dirjen Bimas
Islam 101/1978 yang tahun 2018 lalu ditindaklanjuti pelaksanaannya
melalui SE Dirjen Bimas Islam B.3940/DJ.III/HK.00.7/08/2018. Kemudian,
baru-baru ini Menteri Agama menerbitkan SE Menag 05/2022 yang kurang
lebih mengatur hal yang sama. Yang dimaksud dengan pengeras suara adalah
perlengkapan teknik yang terdiri dari mikropon, amplifier, loud speaker, dan
kabel-kabel tempat mengalirnya arus listrik.68
Dalam lampiran Instruksi tersebut dijelaskan syarat-syarat penggunaan
pengeras suara antara lain yaitu tidak boleh terlalu meninggikan suara do’a,
dzikir, dan sholat karena pelanggaran seperti ini bukan menimbulkan simpati
melainkan keheranan bahwa umat beragama sendiri tidak menaati ajaran
agamanya. Lebih lanjut, suara yang memang harus ditinggikan adalah adzan
sebagai tanda telah tiba waktu shalat.69
Selain itu, dijelaskan pula dalam SE Menag 05/2022 bahwa suara yang
dipancarkan melalui pengeras suara perlu diperhatikan kualitas dan
kelayakannya, yakni memenuhi persyaratan suara yang bagus atau tidak
sumbang dan pelafazan secara baik dan benar.70
Dasar Hukum Pengeras Suara menurut Hukum Positif yaitu :
a. Surat Edaran Menteri Agama Nomor SE.05 Tahun 2022 tentang
Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala;

68
Bagian A angka 1 Lampiran Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Nomor KEP/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan
Mushalla (“Instruksi Dirjen Bimas Islam 101/1978”)
69
Bagian D angka 3 dan 5 Lampiran Instruksi Dirjen Bimas Islam 101/1978
70
Bagian C angka 4 Surat Edaran Menteri Agama Nomor SE.05 Tahun 2022 tentang Pedoman
Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala (“SE Menag 05/2022”)

58
b. Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor
KEP/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di
Masjid, Langgar, dan Mushalla;
c. Surat Edaran Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor
B.3940/DJ.III/HK.00.07/08/2018 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan
Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor KEP/D/101/1978 tentang
Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar dan
Mushalla.
C. Surat Edaran Kemenag Nomor SE. 05 Tahun 2022 dalam perspektif
Hukum Islam dan Hukum Positif
1. Surat Edaran Nomor SE. 05 Tahun 2022 menurut Hukum Islam
Siyasah Dusturiyah merupakan bagian fiqih siyasah yang membahas
masalah perundang-undangan Negara. Dalam hal ini juga dibahas antara lain
konsep-konsep konstitusi (Undang-undang Dasar Negara dan sejarah lahirnya
perundang-undang dalam suatu Negara), Legislasi (bagaimana perumusan
perundang-undang), lembaga demokrasi dan syura yang merupakan pilar
penting dalam perundang-undangan tersebut. Kajian ini juga membahas
konsep Negara hukum dalam siyasah dan hubungan timbal balik antara
pemerintah dan warga Negara serta hak-hak warga negara yang wajib
dilindungi.71
Secara bahasa siyasah berasal dari kata sasa, yasusu, siyasatan yang
artinya adalah mengatur, mengurus dan memerintah atau pemerintahan, politik
dan pembuatan kebijaksanaan. Pengertian secara bahasa ini mengisyaratkan
bahwa tujuan siyasah ialah mengatur dan membuat kebijaksanaan atas suatu
yang bersifat politis untuk mencapai sesuatu.secara terminologis, Abdul
Wahhab Khallaf mendefinisikan siyasah ialah pengaturan perundang-
undangan yang diciptakan untuk memelihara ketertiban dan kemaslahatan.72
Secara bahasa dusturiyah berasal dari bahasa Persia dusturi semula
artinya ialah seorang yang memilki otoritas, baik dalam bidang politik maupun
agama. Dalam perkembangan selanjutnya kata ini digunakan untuk
menunjukkan anggota kependetaan, Zoroaster (Majusi) setelah mengalami

71
Muhamad Iqbal, “Fiqih Siyasah Konstektualisasi Doktrin Politik Islam”, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014), Cet. K-1, h. 177
72
Muhamad Iqbal, “Fiqih Siyasah Konstektualisasi Doktrin Politik Islam”, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014), Cet. K-1, h. 154

59
penyerapan dalam bahasa Arab, kata dusturiyah berkembang pengertiannya
menjadi asas dasar/pembinaan. Menurut istilah Dusturiyah ialah kumpulan
kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerja sama antara sesama anggota
masyarakat dalam suatu Negara yang baik yang tidak tertulis (konvensi)
maupun yang tertulis (konstitusi).73
Dapat disimpulkan bahwa kata dusturiyah ialah adalah suatu norma
aturan perundang-undangan yang mendasar sehingga dijadikan landasan
utama dalam rujukan semua tata aturan dalam hal bernegara agar sejalan
dengan nilai-nilai syari’at.dengan demikian semua peraturan
perundangundangan haruslah mengacu kepada konstitusi masing-masing
setiap Negara yanag tercermin dalam nilai-nilai islam dalam hukum syari’at
yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan sunah nabi.
Siyasah Dusturiyah mencakup bidang kehidupan yang sangat luas dan
kompleks. Keseluruhan persoalan tersebut dan persoalan siyasah dusturiyah
umumnya tidak lepas dari dua hal pokok: pertama, dalil-dalil kully, baik ayat-
ayat al-Qur’an maupun hadist, maqosidusy syar’iyyah dan semangat ajaran
islam didalam mengatur masyarakat yang tidak akan berubah. Karena dalil
kully tersebut menjadi dasar dinamisator dalam mengubah masyarakat. Kedua,
aturan-aturan yang dapat berubah karena perubahan situasi dan kondisi,
termasuk didalamnya hasil Ijtihad para ulama.74 Adapun ruang lingkup kajian
siyasah dusturiyah adalah :
1. Al-Sulthah al-Tasyri’iyah
Al-Sulthah al-tasyri’iyah merupakan kekuasaan legislative, yaitu
kekuasaan pemerintah islam dalam membuat dan menetapkan hukum istilah
Al-Sulthah al-tasyri’iyah digunakan untuk menunjukkan salah satu
kewenangan atau kekuasaan pemerintah islam dalam mengatur masalah
kenegaraan yang meliputi persoalan ahlul halli wa al-aqdi hubungan muslim
dan non muslim dalam satu Negara, Undang-undang Dasar, Peraturan
Perundang-undangan, Peraturan Pelaksana, serta peraturan Daerah. Unsur-
unsur dalam Al-Sulthah al-tasyri’iyah adalah :

73
Muhamad Iqbal, “Fiqih Siyasah Konstektualisasi Doktrin Politik Islam”, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014), Cet. K-1, h. 163
74
A. Djazuli, “Fiqih Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu
Syari’ah”, (Jakarta: kencana, 2013), cet, k-5, h.47

60
a. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk melakukan hukum
yang akan diberlakukan dalam masyarakat islam
b. Masyarakat islam yang akan melaksanakannya.
c. Isi peraturan atau hukum yang sesuai dengan nilai-nilai dasar syari’at
islam.
Adapun fungsi lembaga legislative yakni yang pertama dalam mengatur
hal-hal yang ketenyuannya sudah terdapat didalam nash AlQur’an dan sunnah.
Kedua, melakukan penalarana terhadap permasalahan yang secara tegas tidak
terdapat di Al-Qur’an mereka melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum
dengan jalan qiyas`.
Peraturan yang dikeluarkan oleh legislative yakni undangundang yang
merupakan peraturan yang tidak kebal akan zaman yang terus berjalan. Suatu
saat peraturan yang dibuat oleh badan legislative apabila terdapat
permasalahan baru yang mengharuskan harus revisi peraturan yang lama atau
bahkan menggantiknya dengan peraturan perundang-undangan yang baru.
Badan legislative harus serta merta intens meninjau kembali atau bahkan
mengganti undang-undang sesuai dengan kondisi masyarakat yang terus
menerus berkembang.
Ketiga dalam bidang keuangan Negara lembaga legislative berhak
mengadakan pengawasan dan mempertannyakan pembendaharaan negara,
sumber devisa dan anggaran pendapatan belanja yang dikeluarkan negara
kepada kepala negara pelaksanaan pemerintahan.
2. Wizarah Al-Tafwidh dan Wizarah Al-Tanfidz
a. Wazir Al-Tafwidh
Wazir al-Tafwidh dijelaskan oleh Imam al-Mawardi dalam kitab al-
Ahkam al-Sulthaniyah adalah orang yang diangkat dan diserahi
kewenangan oleh imam (khalifah) untuk menjadi pembantu imam
(khalifah) dalam menangani berbagai urusan (negara dan pemerintahan)
dengan pendapatnya, serta memutuskan urusan tersebut berdasarkan
ijtihadnya sendiri.75
Wazir al-Tafwidh merupakan pembantu khalifah yang membantu
dalam semua tugas-tugas kekhilafahan (pemerintahan) dan memiliki

75
Imam al-Mawardi, Ahkam Sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam, Terj.
Khalifurrahman Fath dan Fathurrahman (Jakarta: Qisthi Press, 2014), h. 45.

61
wewenang untuk melaksanakan setiap tugas kekhilafahan. Baik yang
dilimpahkan oleh khalifah ataupun tidak, sebab Wazir al- Tafwidh telah
mendapat penyerahan wewenang secara umum. Akan tetapi, Wazir al-
Tafwidh wajib melaporkan setiap tindakan yang sedang dia lakukan
kepada khalifah.76
Hal tersebut dikarenakan Wazir al-Tafwidh merupakan pembantu
khalifah dan bukan khalifah itu sendiri, sehingga tidak independent.
Bahkan, Wazir al-Tafwidh harus melaporkan setiap tindakannya kepada
khalifah, baik urusan yang kecil maupun besar. Sebagaimana yang telah
dilakukan oleh Umar ketika menjadi wazir Abu Bakar, dimana Umar
senantiasa melaporkan apa yang menjadi kebijakannya kepada khalifah
Abu Bakar. Kemudian dia selalu melaksanakan sesuai dengan apa yang
menjadi keputusan khalifah Abu Bakar.
Dengan adanya penyerahan wewenang tersebut, maka Wazir al-
Tafwidh memiliki wewenang sebagaimana wewenang khalifah, dengan
kata lain kewenangan imam adalah juga kewenangan wāzir. Adapun hak-
hak atau wewenang yang dimiliki Wazir al-Tafwidh sebagaimana
dijelaskan Imam al-Mawardi dalam Ahkam Sulthaniyah adalah sebagai
berikut :
1) Wazir al-Tafwidh diperbolehkan memberikan keputusan hukum
sendiri dan melantik hakim.
2) Wazir al-Tafwidh diperbolehkan menjadi komandan perang dan
melantik seseorang untuk menjadi panglima perang.
3) Wazir al-Tafwidh diperbolehkan menangani segala urusan yang
direncanakannya, baik terjun secara langsung maupun menugaskan
orang lain untuk menanganinya.77
Kewenangan di atas juga sebagaimana pendapat An-Nabhani. Bahkan,
Taqiyyuddin an-Nabhani menambahkan kewenangan wazir al-tafwidh
dengan kewenangannya memberi pendapat dalam masalah yang berkaitan
dengan madzalim serta menunjuk wakil dalam masalah ini.78 Selain ketiga
kewenangan di atas, penyerahan wewenang oleh imam (khalifah) kepada
76
An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, Bangil : Al Izzah, 1997, h. 173
77
Imam al-Mawardi, Ahkam Sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam, Terj.
Khalifurrahman Fath dan Fathurrahman (Jakarta: Qisthi Press, 2014), h. 50
78
An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, Bangil : Al Izzah, 1997, h. 180

62
Wazir al-Tafwidh membenarkan dirinya untuk melakukan tugas-tugas
imam (khalifah). Akan tetapi dalam hal ini, semua keputusan mutlak
setiap kebijakan tetap berada pada kekuasaan imam (khalifah). Segala
sesuatu yang disahkan dilakukan oleh imam (khalifah), juga sah
dilakukan oleh Wazir al-Tafwidh, kecuali dalam tiga hal yaitu
mengangkat dan menunjuk seorang pengganti; meletakkan jabatan
langsung kepada umat; dan memecat pejabat yang dilantik oleh imam
(khalifah).79 Berdasarkan luas dan besarnya wewenang dan tanggung
jawab yang dimiliki seorang Wazir al-Tafwidh, maka syarat yang harus
dipenuhinya harus sama dengan syarat seorang imam (khalifah). Wazir
al-Tafwidh haruslah seorang mujtahid, karena ia harus mengeluarkan dan
memutuskan hukum berdasarkan ijtihadnya.80
Berdasarkan kewengan tersebut di atas, menunjukkan bahwa
wewenang Wazir al-Tafwidh sebagai pembantu khalifah sangat luas. Hal
ini disebabkan adanya mandat yang diberikan khalifah kepada Wazir al-
Tafwidh untuk mengurus segala urusan kenegaraan dan pemerintahan
secara kompleks. Wazir al-Tafwidh dalam menjalankan kewenangannya
adalah bertindak sebagaimana tugas yang diemban khalifah dalam
menjalankan amanah pemerintahan. Meskipun demikian, dengan melihat
kedudukannya yakni sebagai pembantu khalifah, maka segala tindakan
atau keputusan kebijakan yang akan atau telah dikerjakan oleh Wazir al-
Tafwidh adalah tetap berdasarkan pada keputusan khalifah sendiri sebagai
bentuk kontrol khalifah terhadap Wazir al-Tafwidh nya. Hal ini
menunjukkan bahwa yang bertanggung jawab penuh terhadap urusan
rakyat atau negara adalah tetap di tangan milik kekuasaan khalifah secara
mutlak.
b. Wazir Al-Tanfidz
Wazir al-Tanfidz adalah seorang wazir (pembantu) yang diangkat oleh
seorang khalifah untuk membantunya dalam urusan operasional dan
senantiasa menyertai khalifah dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Wazir

79
Imam al-Mawardi, Ahkam Sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam, Terj.
Khalifurrahman Fath dan Fathurrahman (Jakarta: Qisthi Press, 2014), h. 51
80
Muhamad Iqbal, “Fiqih Siyasah Konstektualisasi Doktrin Politik Islam”, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014), Cet. K-1, h. 170

63
al-Tanfidz adalah seorang mediator (perantara) yang menjadi penghubung
antara imam/ khalifah dengan rakyat.81
Tugas seorang Wazir al-Tanfidz adalah melaksanakan perintah imam
(khalifah), merealisasikan titahnya, menindaklanjuti keputusannya,
menginformasikan pelantikan pejabat, mempersiapkan pasukan, serta
melaporkan informasi-informasi penting dan actual kepada imam (khalifah)
agar ia dapat menanganinya sesuai perintah imam (khalifah). Dengan
demikian, maka Wazir al-Tanfidz hanya berperan melaksanakan tugas
yang diperintahkan oleh imam (khalifah) dan menjalankan apa yang telah
diputuskan oleh imam (khalifah), sebab kedudukan Wazir al-Tanfidz
adalah tidak lebih dari seorang mediator (duta). Oleh karena itu, posisi
Wazir al-Tanfidz adalah lebih lemah dan tidak ada syarat yang berat
baginya.
Syarat menjadi seorang Wazir al-Tanfidz adalah harus memiliki tujuh
sifat utama, yaitu; amanah, jujur, tidak bersikap rakus dengan harta agar
tidak menjadikannya mudah menerima suap, tidak senang bermusuhan dan
bertengkar dengan orang lain, harus seorang lakilaki, cerdas dan cekatan,
serta ia bukan tipe orang yang suka menuruti hawa nafsunya yang dapat
menyelewengkannya dari kebenaran. Dalam hal ini, berbeda dengan Wazir
al-Tafwidh dimana kewenangan berdasarkan tugas yang dimilikinya, maka
Wazir al- Tanfidz memiliki ruang lingkup wewenang yang sangat lemah
dan terbatas. Keterbatasan wewenang tersebut disebabkan kedudukan
Wazir al-Tanfidz adalah sebatas pembantu khalifah dalam urusan
administrasi yakni penghubung atau mediator saja.
Di dalam kajian Siyasah dusturiyah terdapat bidang siyasah tashri’yah
(legislasi) atau kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan pemerintahan islam dalam
membuat dan menetapkan hukum berdasarkan ketentuan yang telah ditentukan
Allah SWT dalam syariat islam yang meliputi82 :
1. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan
hukum yang akan diberlakukan dalam masyarakat islam
2. Masyarakat islam yang melaksanakannya.

81
Imam al-Mawardi, Ahkam Sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam, Terj.
Khalifurrahman Fath dan Fathurrahman (Jakarta: Qisthi Press, 2014), h. 52
82
Muhamad Iqbal, “Fiqih Siyasah, Konstektualisasi Doktrin Politik Islam”, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014), Cet. ke-1, h. 162

64
3. Isi peraturan atau hukum itu sendiri yang harus sesuai dengan
nilai-nilai dasar syariat islam.
Selain itu, dalam fiqih siyasah terdapat juga cabang siyasah yang
membahas mengenai pembentukan perundang-undangan. Siyasah Wadl’iyah
adalah peraturan perundangundangan yang dibuat oleh manusia atau lembaga
negara yang berwenang yang digali dan bersumber pada manusia sendiri dan
lingkungannya, seperti pendapat para pakar, al-urf, adat, pengalaman-
pengalaman dan aturan-aturan terdahulu. Menurut Abd. Salam, dalam
padangan Islam, hukum yang dibuat oleh penguasa yang digali dari nilainilai
budaya yang bersumber dari lingkungan masyarakat yang disebut siyasah
wadl’iyah itupun harus diterima, nilainya sama dengan siyasah syar’iyah,
selama siyasah wadl’iyah itu sejalan dan atau tidak bertentangan dengan
prinsip prinsip umum syari’at. Karena hal yang demikian ini juga merupakan
perintah agama (syariat).83
Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan atau bisa disebut khalifah
sebagai gelar kepala negara dalam sejarah islam mempunyai kewenangan dan
kekuasaan untuk mengeluarkan suatu ketetapaan hukum yang tidak diatur jelas
dalam al-Qur’an dan Hadist, namun hak untuk membuat suatu peraturan
perundang-undangan hanyalah milik Allah SWT, dan Rasulnya, sehingga
khilafah mengeluarkan suatu hukum atau qanun atau undangundang yang
tidak diatur jelas. Karena aturan hukum Allah SWT tidak membeda-bedakan
anatar pemilik kekuasaan dan individu negara. Tahapan mekanisme
pembuatan qanun/undang-undang pemegang kekuasaan dan kewenangan
tertinggi ada ditangan kepala negara, presiden, atau dalam istialh politik islam
klasik khalifah merupakan khas sistem kekuasaan modern dimana kekuasaan
itu dibangun secara konstitusional.84 Khalifah sebagai pemimpin tertinggi
suatu negara berhak menetapkan aturan hukum atau qanun yang tidak diatur
secara tegas dalam Al-Qur’an dan Hadist. Selain kekuasaan dalam menetapkan
aturan hukum khilafah, para Al-sulthah al-Tashri’iyah juga berhak
menetapkan aturan hukum atau qanun yang dilaksanakan oleh lembaga ahlu

83
M. Muhtarom, “kedudukan peraturan perundang-undangan negara dalam institusi hukum
islam karya drs. H. Abd. Salam, s.h.m.h”, Jurnal SUHUF, Vol. 27, No. 1, Mei 2015: Dosen Fakultas
Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, h. 22
84
Masdar Farid Mas’udi, “Syarah Konstitusi UUD 1945 Dalam Perspektif Islam”,(Jakarta:
Pustaka Alvabet, 2010), h.77

65
al-halli wal aqdi. Namun kekuasaan dan kewenangan untuk menetapkan suatu
hukum merupakan hak Allah SWT dan rasulnya.
Undang-undang dan peraturan yang akan dikeluarkan oleh kekuasaan
ahlu al-halli wal aqdi harus mengikuti ketentuan-ketentuan kedua sumber
syariat islam tersebut. Oleh karena itu dalam hal ini terdapat dua fungsi
lembaga legislatif. Pertama, dalam hal ketentuannya sudah terdapat di nash
Al-Qur’an dan sunnah, kedua, melakukan penafsiran (ijtihad), terhadap
permasalahan yang secara tegas tidak dijelaskan oleh nash, ijtihad mereka juga
perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi sosial masyarakat agar hasil
peraturan yang akan di perundangkan sesuai dengan aspirasi masyarakat.
undang-undang yang dikeluarkan oleh ahlu alhalli wal aqdi adalah illahiyah
yang diisyaratkan. Namun, hal ini sangat sedikit karena pada prinsipnya
sumber ajaran islam tersebut banyak berbicara masalah yang global dan
sedikit sekali menjelaskan suatu permasalahan secara terperinci.

Surat Edaran sering dibuat dalam bentuk Surat Edaran Menteri, Surat
Edaran tidak mempunyai kekuatan mengikat keluar karena pejabat yang
menerbitkannya tidak memiliki dasar hukum menerbitkan surat edaran.
Pejabat penerbit Surat Edaran tidak memerlulan dasar hukum karena Surat
Edaran merupakan suata peraturan kebijakan yang diterbitkan semata-mata
berdasarkan kewenangan bebas namun perlu perhatikan beberapa faktor
sebagai dasar pertimbangan penerbitannya :
a. Hanya diterbitkan karena keadaan mendesak
b. Terdapat peraturan terkait yang tidak jelas yang butuh ditafsirkan
c. Substansi tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan
2. Surat Edaran Nomor SE. 05 Tahun 2022 menurut Hukum Positif
Peraturan kebijakan dalam sistem hukum di Indonesia, tentunya tidak
dapat lepas dari kekuasaan bebas (freies Ermessen, diskresi) yang dimiliki
oleh pemerintah. Tugas-tugas pemerintahan dapat diselenggarakan jika
pemerintah diberi kebebasan untuk mengambil kebijakan sesuai dengan situasi
dan kondisi faktual. Kebijakan-kebijakan pejabat administrasi negara itu
kemudian dituangkan dalam bentuk peraturan kebijakan.

66
Peraturan kebijakan, pengertiannya tidak dapat dirujuk pada peraturan
perundang-undangan karena tidak adanya peraturan perundang-undangan yang
mengatur peraturan kebijakan. Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak memberikan pengertian
yang komprehensif tentang peraturan kebijakan. Oleh karena itu, untuk
mengonstruksikan pengertian peraturan kebijakan, dilakukan dengan mengacu
pada pendapat para ahli hukum. Laica Marzuki mendefinisikan peraturan
kebijakan dengan mengacu pada tiga komponen peraturan kebijakan. Pertama,
peraturan kebijakan dibuat oleh badan atau pejabat tata usaha negara sebagai
perwujudan penggunaan diskresi dalam bentuk tertulis yang diumumkan
keluar lalu mengikat para warga. Kedua, isi peraturan kebijakan memuat
aturan umum tersendiri yang melampaui cakupan kaidah peraturan perundang-
undangan yang dibuatkan pengaturan operasional. Ketiga, badan atau pejabat
tata usaha negara yang membuat peraturan kebijakan tidak memiliki
kewenangan perundang-undangan.85
Bagir Manan juga memberikan pandangan yang serupa. Menurutnya
salah satu ciri utama peraturan kebijakan adalah tidak adanya wewenang
pemerintah membuat peraturan tersebut. Tidak adanya wewenang dalam hal
ini perlu di interpretasikan sebagai tidak adanya peraturan perundang-
undangan yang secara tegas memberikan kewenangan pada pemerintah untuk
mengeluarkan peraturan kebijakan tersebut. Walaupun tidak ada kewenangan
yang diberikan namun seringkali permasalahan yang ada membuat pemerintah
tidak dapat menyelesaikannya jika hanya berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang ada. Dalam sudut pandang keadaan yang mendesak inilah
peraturan kebijakan menjadi relevan untuk dibuat oleh pemerintah. Menurut
Philipus Hadjon, suatu peraturan kebijakan pada hakikatnya merupakan
produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan menampakkan keluar
suatu kebijakan tertulis tanpa didasarkan pada kewenangan pembuatan
peraturan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang menciptakan
peraturan kebijakan tersebut.86 Dari pandangan Philipus Hadjon, Jimly

85
Laica Marzuki, Peraturan Kebijakan (Beleidsregel), Hakikat Serta Fungsinya Selaku
Sarana Hukum Pemerintahan, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2010, h. 58
86
Victor Imanuel, Konsep Uji Materil, Malang: Setara Pers, 2013, h 35

67
Asshiddiqie dan Bagir Manan menggolongkan peraturan kebijakan bukan
sebagai peraturan perundang-undangan
Van Kreveld mengemukakan unsur yang membedakan peraturan
kebijakan dari peraturan perundang-undangan secara lebih luas. Secara singkat,
Van Kreveld mengemukakan bahwa peraturan kebijakan memiliki ciri-ciri
sebagai berikut87 :
1. Peraturan itu, langsung ataupun tidak langsung, tidak berdasar pada
ketentuan formele wet (undang-undang) ataupun Grondwet
(Undangundang Dasar) yang membrikan kewenangan mengatur,
dengan perkataan lain tidak mempunyai dasar hukum yang tegas
dalam Undang-undang.
2. Peraturan itu dapat berupa
a. Tidak tertulis, kemudian terjadi serangkaian keputusan instansi
pemerintah yang berdiri sendiri dalam rangka
menyelenggarakan kewenangan pemerintah yang tidak terikat
b. Ditetapkan dengan tegas secara tertulis oleh suatu instansi
pemerintah.
3. Peraturan itu pada umumnya menunjukkan bagaimana suatu
instansi pemerintah akan bertindak, dalam menyelenggarakan
kewenangan pemerintah yang tidak terikat, terhadap setiap orang
dalam situasi sebagaimana dimaksud dalam peraturan.
Menurut Laica Marzuki karakteristik peraturan kebijakan yakni88; Freis
ermessen, bertulis, Bukan bagian dari perundang-undangan, dan tidak dapat
diajukan ke pengadilan. Adapun tiga komponen utama dari peraturan
kebijakan menurut Laica Marzuki, yakni89 :
1. Komponen subjektum yakni peraturan kebijakan (beleidsregel)
dibuat badan atau pejabat tata usaha negara sebagai perwujudan
penggunaan freis ermessen (discretionary power) dalam bentuk
tertulis yang diumumkan keluar lalu mengikat keluar.

87
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, Dan Asas- Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik, Erlangga, Jakarta: 2010, h. 102.
88
Abdul Razak, Disertasi, Kedudukan Dan Fungsiperaturan Kebijakan Tentang Perizinan
Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah, Pasca Sarjana Fakultas Hukum Unhas, 2005, h. 34.
89
Laica Marzuki, Peraturan Kebijakan (Beleidsregel), Hakikat Serta Fungsinya Selaku
Sarana Hukum Pemerintahan, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2010, h. 33

68
2. Komponen materi yakni Isi Peraturan kebijakan (beleidsregel)
memuat aturan umum (algemene regel) tersendiri yang melampaui
cakupan kaidah (materalsphara) peraturan perundang-undangan
yang dibuatkan pengaturan operasional.
3. Komponen kewenangan (bavoegheid) yakni badan atau pejabat tata
usaha negara yang membuat peraturan kebijakan tidak memiliki
kewenangan perundang-undangan namun secara tidak langsung
mengikat warga Negara sebagaimana halnya dengan kaidah-kaidah
“juridische regels”.

Tanda pengenal utama beleidsregel adalah pengaturannya tidak secara


tegas diperintahkan Undang-Undang Dasar atau undang-undang. Dengan kata
lain, tidak ada atribusi kewenangan Reglementer dari Undang-Undang Dasar
dan undangundang kepada pejabat atau badan administrasi negara untuk
mengeluarkan dan menetapkan beleidsregel.
Peraturan kebijakan memiliki bentuk yang khas dan berbeda dengan
peraturan perundang-undangan. Jika mengacu pada jenis peraturan perundang
undangan dalam Undang-undang. No. 12 tahun 2011, maka akan terlihat
kekhasan bentuk peraturan kebijakan. Peraturan kebijakan dapat dibentuk
dalam berbagai bentuk dokumen tertulis yang bersifat membimbing,
menuntun, memberi arahan kebijakan, dan mengatur suatu pelaksanaan tugas
dan pekerjaan.90
Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam praktiknya di Indonesia, peraturan
kebijakan dapat dibuat dalam bentuk-bentuk seperti91 :
1. Surat edaran
2. Surat perintah atau instruksi, contoh; Instruksi presiden
3. Pedoman kerja atau manual
4. Petunjuk pelaksanaan (Juklak)
5. Petunjuk Teknis (Juknis)
6. Buku panduan atau ‘guide’ (guidance)
7. Kerangka acuan atau Term Of Reference (TOR)
8. Desain kerja atau desain proyek (Project Design).

90
Victor Imanuel, Konsep Uji Materil, Malang: Setara Pers, 2013, h. 75
91
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta, Rajawali Pers, 2011, h. 274

69
Di sisi lain, Bagir Manan menggolongkan beberapa jenis peraturan
kebijakan yang sedikit berbeda dengan yang dipaparkan oleh Jimly
Asshiddiqie. Menurutnya paling tidak terdapat lima bentuk peraturan
kebijakan. Bentuk kebijakan tersebut antara lain92 :
1. Peraturan kebijakan yang berbentuk peraturan. Sebagai contoh
bentuk peraturan kebijakan yang berbentuk peraturan adalah
Permendagri No.4 Tahun 1976 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Penyerahan UrusanUrusan Dari Daerah Tingkat I Kepada Daerah
Tingkat II.
2. Peraturan Kebijakan yang berbentuk Keputusan, Peraturan
kebijakan yang berbentuk keputusan bukanlah KTUN. Sifat
substansinya berbeda dengan KTUN yang bersifat konkret,
individual, dan final. Contoh peraturan kebijakan yang berbetuk
keputusan adalah Keppres No. 29 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
3. Surat Edaran
Administrasi negara sebagai pelaksana suatu kebijakan tidak dapat
begitu saja menyampingkan surat edaran. Walaupun surat edaran
bukan merupakan suatu ketentuan hukum tetapi merupakan
manifestasi dari kebebasan bertindak yang melekat pada administrasi
negara. Dalam administrasi negara juga berlaku asas mematuhi
keputusan sendiri dan menjalankan dengan sungguh-sungguh
kebijakan yang ditetapkan secara hierarkis dalam lingkungan
administrasi negara yang bersangkutan.
4. Instruksi
Instruksi merupakan suatu bentuk keputusan yang bersifat hierarkis,
berlaku bagi jajaran administrasi negara di bawah pembuat instruksi.
Berdasarkan isinya, terdapat instruksi yang merupakan peraturan
kebijkan. Instruksi tentang kebijakan konkret tertentu (khusus) tidak
dapat dimasukkan sebagai peraturan kebijakan. Instruksi untuk
melaksanakan tugas tertentu bukanlah peraturan kebijakan jika disertai
dengan ketentuan yang bersifat umum.

92
Bagir Manan Dan Kunta Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
Bandung, Alumni, 1997, h 171.

70
5. Pengumuman tertulis, yakni Sekitar tahun 1945-1949 cukup banyak
dijumpai berbagai macam pengumuman atau maklumat. Namun
maklumat yang ditetapkan pada waktu itu tidak selalu bersifat
peraturan kebijakan. Pengumuman sebagai peraturan kebijakan
juga harus berbentuk tertulis dan bersifat umum.
Peraturan kebijakan memainkan peran penting dalam birokrasi
pemerintahan dimanapun didunia ini, termasuk di Indonesia. Peraturan
kebijakan salah satu bentuk dari instrumen Hukum Publik yang digunakan
oleh pemerintah untuk menjalankan tugas-tugas umum pemerintahan.
Pertimbangan untuk membentuk aturan kebijakan ini haruslah benar-benar
cermat dan karena keadaan mendesak yang mengharuskan pemerintah segera
mengeluarkan sebuah legislasi aturan), mengingat semua tindakan pemerintah
harus berdasarkan pada asas legalitas artinya harus berdasarkan peraturan
perundang-undangan.93
Meskipun dasar penerbitan aturan kebijakan adalah kewenangan
Diskresioner (discresionari power) atau freis ermessen, bukan berarti
kewenangan tersebut dapat digunakan secara sewenang-wenang, aturan
kebijakan tersebut haruslah memenuhi syarat, diantaranya, yakni :
a. Peraturan Kebijakan dibentuk dalam keadaan mendesak, yang
mana pemerintah memerlukan suatu peraturan untuk menjalankan
tugas umum pemerintahan
b. Peraturan Kebijakan dapat dipertanggung jawabkan secara etika
dan moral
Mengenai kekuatan mengikat dari aturan kebijakan ini, diantara para
pakar hukum tidak terdapat kesamaan pendapat, menurut bagir manan, aturan
kebijakan bukan peraturan perundang-undangan dan tidak langsung mengikat
secara hukum. Aturan kebijakan pada dasarnya ditujukan kepada administrasi
negara sendiri, sehingga yang pertama melaksanakan ketentuan tersebut ialah
badan atau pejabat tata usaha negara itu sendiri, meskipun demikian, ketentuan
tersebut dapat secara tidak langsung akan dapat mengenai masyarakat umum.
Menurut Indroharto, berpendapat bahwa aturan kebijkan bagi masyarakat

93
https://Bppk.Kemenkeu.Go.Id, Kedudukan Peraturan Kebijkan Surat Edaran, Instruksi,
Ptunjuk Teknis Dalam Hukum Positif Indonesia, Publikasi Artikel Pajak 167 (Diakses Pada 30
Desember 2022 Pukul 23:00 WIB)

71
menimbulkan keterikatan secara tidak langsung sedangkan menurut Hamid
Attamimi aturan kebijakan mengikat secara umum, karena masyarakat yang
terkena aturan kebijkan tersebut tidak dapat berbuat lain kecuali mengikutinya.
Sebenarnya penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam suatu negara
haruslah berdasarkan pada aturan perundang-undangan sesuai dengan prinsip
yang dianut dalam suatu negara hukum yaitu asa legalitas. Namun, karena
peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis mengandung
kelemahan dan kekurangan, keberadaan aturan kebijakan ini menempati posisi
penting terutama dalam negara hukum modern.
Surat Edaran merupakan salah satu bentuk dari bagian peraturan
kebijakan. Jika kita kaitkan dengan surat edaran mentri, maka kita dapat
mengurai kedudukan surat edaran mentri adalah sebagai berikut :
1. Surat edaran merupakan perintah ataupun penjelasan tentang
sesuatu yang tidak mempunyai kekuatan hokum ataupun sangsi
bagi yang tidak mentaatinya.
2. Surat edaran derajatnya lebih tinggi dari pada surat biasa hal
tersebut di karnakan surat edaran memuat petunjuk ataupun
penjelasan tentang sesuatu yang harus di lakukan.
3. Surat edaran merupakan naskah dinas yang berisi pemberitahuan,
penjelasan dan petunjuk dalam melaksanakan hal yang di anggap
penting dan mendesak.
4. Surat edaran merupakan suatu peruintah pejabat tertentu kepada
bawahannya.
5. Penerbit surat edaran tidak memerlukan dasar hukum dalam
pembuatannya karena surat edaran merupakan sebuah kebijakan
yang mana di terbitkan semata-mata berdasarkan wewenang namun
sebagai dasar pertimbangan penerbitannya, perlu di perhatikan
beberapa factor yakni hanya di terbitkan dalam keadaan mendesak,
ada peraturan terkait yang tidak jelas substansinya dan butuh di
tafsirkan, substansi tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,

72
tidak memicu perpecahan antar masyarakat, dapat di pertanggung
jawabkan dengan perinsip pemerintahan yang baik.94
Surat edaran dibentuk atau dibuat oleh Lembaga negara dan Lembaga
lembaga yang berwenang dengan tetap melalui prosedur perundang-undangan.
Dalam hirarki perundang-undangan yakni UUD 1945, TAP MPR, UU/Perpu,
PP, Pepres, Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota. Tidak disebutkan surat
edaran secara ekplisit atau konkrit, kecuali dalam pasal 8 ayat 1 dan 2 UU No
12 tahun 2011 Tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni
pada ayat 1 berbunyi : “Jenis perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) tentang hirarki perundang-undangan
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR. DPD, MA, MK, BPK,
Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Mentri, Badan, Lembaga, atau komisi yang
setingkat yang dibentuk dengan UndangUndang atau pemerintah atas
perintah Undang-Undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD
Kabupaten/Kota, Bubati/Walikota, Kepala Desa atau setingkat.”
Selanjutnya pada ayat 2 berbunyi : “Peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundangundangan yang lebih tinggi atau berdasarkan kewenangan”.95
Dengan demikian Surat Edaran Kementrian Agama RI tentang
pengeras suara tetap diakui keberadaannya karna diakui oleh Undang-Undang,
tetapi bukan peraturan perundang-undangan, dikarenakan tidak memuat norma
yang sesuai dengan syarat peraturan perundang-undangan.

94
Saiful Anam dan Partners, www.saplaw.top/Kedudukan-Surat-Edaran-Mentri-Dalam-
SistenHukum-Indonesia, diakses pada 30 Desember 2022
95
Uu No 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 8, Ayat
1 dan 2

73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis mengamati dengan cermat uraian diatas, maka penulis
mengambil kesimpulan sebagaimana berikut :
1. Surat edaran adalah produk hukum yang isinya secara materil mengikat
umum namun bukanlah peraturan perundang-undangan. Surat Edaran
memiliki dua jenis yakni Surat Edaran terbatas dan Surat Edaran tidak
terbatas yang mana perbedaan di antara keduanya yakni lingkup tujuan
dari Surat Edaran. Alasan Kementrian Agama mengeluarkan surat edaran
tentang penggunaan pengeras suara di masjid dan musala merupakan
kebutuhan bagi umat Islam sebagai salah satu media syiar Islam di tengah
masyarakat. Pada saat yang bersamaan, masyarakat Indonesia juga
beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya. Sehingga,
diperlukan upaya untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial.
2. Surat Edaran menurut Hukum Positif dapat dikaitkan pada Peraturan
Kebijakan yang dimana menurut Jimly Asshiddiqie, dalam praktiknya di
Indonesia, peraturan kebijakan dapat dibuat dalam bentuk-bentuk seperti
Surat edaran, Surat perintah atau instruksi, Pedoman kerja atau manual,
Petunjuk pelaksanaan (Juklak), Petunjuk Teknis (Juknis), Buku panduan
atau ‘guide’ (guidance),Kerangka acuan atau Term Of Reference (TOR)
dan Desain kerja atau desain proyek (Project Design).
3. Surat Edaran menurut Hukum Islam dapat dikaitkan dengan Siyasah
Dusturiyah yang merupakan bagian fiqih siyasah yang membahas masalah
perundang-undangan Negara. Dalam hal ini juga dibahas antara lain
konsep-konsep konstitusi (Undang-undang Dasar Negara dan sejarah
lahirnya perundang-undang dalam suatu Negara), Legislasi (bagaimana
perumusan perundang-undang), lembaga demokrasi dan syura yang
merupakan pilar penting dalam perundang-undangan. Wazir At-Tafwidh
dapat mengeluarkan Surat Edaran karena merupakan suatu Perintah
pejabat tertentu kapada bawahannya/orang di bawah binaannya.

74
B. Rekomendasi
Adapun Saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis
sebagai berikut :
1. Surat edaran bukan merupakan suatu ketentuan hukum tetapi merupakan
manifestasi dari kebebasan bertindak yang melekat pada administrasi
negara. Dalam administrasi negara juga berlaku asas mematuhi keputusan
sendiri dan menjalankan dengan sungguh-sungguh kebijakan yang
ditetapkan secara hierarkis dalam lingkungan administrasi negara yang
bersangkutan karena merupakan bagian dari Peraturan Kebijakan dan
Siyasah Dusturiyah tentang Wazir At-Tafwidh
2. Untuk menciptakan efektivitas dari kedudukan Surat Edaran perlu adanya
sosialisasi terkait edukasi bahwa surat edaran itu Surat Edaran Kementrian
Agama RI tentang pengeras suara tetap diakui keberadaannya karna diakui
oleh Undang-Undang, tetapi bukan peraturan perundang-undangan,
dikarenakan tidak memuat norma yang sesuai dengan syarat peraturan
perundang-undangan

75
DAFTAR PUSTAKA
A. Djazuli, “Fiqih Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu
Syari’ah”, (Jakarta: kencana, 2013), cet, k-5
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah,
(Jakarta: Amzah, 2015)
Abdul Razak, Disertasi, Kedudukan Dan Fungsiperaturan Kebijakan Tentang
Perizinan Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah, Program Pasca
Sarjana Fakultas Hukum Unhas, 2005
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2005)
Abdurrahmat Fathoni, Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi, (Jakarta:
Rineka Cipta, Januari 2011)
Achmad Tibraya, “Menyelami Seluk Beluk Islam”, (Jakarta: Prenada Media, Agustus,
2003)
Agus M. Hardjana, Komunikasi Intrapersonal & Komunikasi Interpersonal,
(Yogyakarta: Kanisius, 2003)
An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, Bangil : Al Izzah, 1997
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: AlIkhlas, 1983)
Bagir Manan Dan Kunta Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
Bandung, Alumni, 1997
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2009)
Ensiklopedi Hukum Islam (Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999)
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2007)
Hasby Ash Shiddiqy, Kuliah Ibadah (Cet. I; Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2000)
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, Dan Asas- Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik, Erlangga, Jakarta: 2010
https//Birohukum.Bappenas.Go.Id, Oleh Arif Christiono Soebroto, SH.,Msi,
Kedudukan Hukum Peraturan/Kebijakan Dibawah Peraturan Mentri
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, (Diakses Pada 22
Desember 2022 Pada Pukul 00.06).
https://Bppk.Kemenkeu.Go.Id, Kedudukan Peraturan Kebijkan Surat Edaran,
Instruksi, Ptunjuk Teknis Dalam Hukum Positif Indonesia, Publikasi Artikel
Pajak 167 (Diakses Pada 30 Desember 2022 Pukul 23:00 WIB)

76
https://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-surat-edaran/ diakses pada 20
Desember 2022
Ibnū Qudamah, Al Mughi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), cet. I
Imam al-Mawardi, Ahkam Sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam, Terj.
Khalifurrahman Fath dan Fathurrahman (Jakarta: Qisthi Press, 2014)
Indeks Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial https://indeks.or.id/program/pluralisme-
dan-toleransi/, diakses pada 27 Desember 2022
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta, Rajawali Pers, 2011
Kemenag.go.id, https://www.kemenag.go.id/read/menag-terbitkan-pedoman-
penggunaan-pengeras-suara-di-masjid-dan-musala-amboe, diakses pada 25
Desember 2022
Laica Marzuki, Peraturan Kebijakan (Beleidsregel), Hakikat Serta Fungsinya Selaku
Sarana Hukum Pemerintahan, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2010
M Sukron Makmun, Dahsyatnya Adzan, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010), cet. I
M. Abdul Majieb et. el, Kamus Istilah Fiqih (Cet. II; Jakarta: PT Pustaka Firdaus,
1995)
M. Natsir, Fiqhud Dakwah, (Jakarta: Majalah Islam Kiblat, 1995)
Moh. Rifa’i, Risalah Tuntunan Sholat Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2008)
Muhamad Iqbal, “Fiqih Siyasah Konstektualisasi Doktrin Politik Islam”, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014), Cet. Ke-1
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: PT.Pustaka Firdaus)
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: PT. Lentera Basritama,
1996)
Muhammad Rawwas, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khattab ra, (Jakarta PT. Raja
Grofindo persada, 1999)
M. Muhtarom, “kedudukan peraturan perundang-undangan negara dalam institusi
hukum islam karya drs. H. Abd. Salam, s.h.m.h”, Jurnal SUHUF, Vol. 27, No.
1, Mei 2015: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Masdar Farid Mas’udi, “Syarah Konstitusi UUD 1945 Dalam Perspektif
Islam”,(Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010)
Nahd Bin Abdurrahman Bin Sulaiman Arrumi, “Pemahaman Shalat dalam alquran”
2018

77
Nasional.tempo.com, http://www.nasional.tempo.co, Ini Kronologi Kasus Penistaan
Agama Meiliana di Tanjung Balai, diakses pada 25 Desember 2022
Nasution, “Ensiklopedia Islam Indonesia”
Ngertihukum.id gertihukum.id/menteri-agama-keluarkan-surat-edaran-pedoman-
penggunaan-pengeras-suara-di-masjid/, diakses pada 25 Desember 2022
Nu Online, nu.or.id/nasional/menag-terbitkan-pedoman-penggunaan-pengeras-suara-
di-masjid-dan-mushala-soco, diakses pada 25 Desember 2022
Nursyamsudin,” Fiqh Ibadah” (Bandung: Bulan Bintang, 2009)
Nurul Qamar, “Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan” ( Cet. I; Makassar;
IKAPI, Februari 2010)
Panshaiskpradi, “Resepsi khalayak mengenai tarhim”, Jurnal Ilmu komunikasi, vol.
2, no. 2, (Tahun 2019)
Rahman Ritonga, Fiqh Ibadah (Cet. II; Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002)
Saiful Anam dan Partners, www.saplaw.top/Kedudukan-Surat-Edaran-Mentri-Dalam-
SistenHukum-Indonesia, (diakses pada 23 Desember 2022, pikul 21:10 WIB).
Sayyid Sabiq Fikih Sunnah Jilid I, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008), cetakan
pertama
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung : Alfabeta, Cetakan Kelima,
2009)
Surat Edaran Nomor SE.05 Tahun 2022 tentang Pedoman Pengeras Suara di Masjid
dan Musala
Surat Edaran No. B.3940/DJ.III/Hk.00.7/08/2018, Tentang Pelaksanaan Instruksi
Direktur jenderal Bimbingan masyarakat Islamn No: KEP/D/101/1978
Tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara Di Masjid, Langgar atau
mushala.
Surat Edaran No. b.3940/DJ.III/Hk.00.7/08/2018, tentang pelaksanaan instruksi dirjen
bimas islamn no: KEP/D/101/1978 Tentang tuntunan penggunaan pengeras
suara di masjid, langgar dan mushalla.
Syaikh Mushthafa Masyhur, Fiqh Dakwah, (Jakarta Timur: Al-I’tishom, 2004)
Taufiqurrahman Syahuri Dalam Buku Konstitusi Dan Ketatanegaraan Indonesia
Kontemporer, The Biografi Institute, Bekasi, 2007
Uu No 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal
8, Ayat 1 dan 2
UU No 12 tahun 2011pasal 5 tentang pembentukan peraturan-perundang-undangan.

78
UU No 12 tahun 2011pasal 6 ayat 1 tentang pembentukan peraturan-perundang-
undangan
Victor Imanuel, Konsep Uji Materil, Malang: Setara Pers, 2013
Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, ( Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010)
Saiful Anam dan Partners, www.saplaw.top/Kedudukan-Surat-Edaran-Mentri-Dalam-
SistenHukum-Indonesia, diakses pada 30 Desember 2022
https://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-surat-edaran/ diakses pada Minggu 25
Agustus 2022
http://www.toa.jp/profile/outline.html diakses pada Sabtu 24 Agustus 2022

79

Anda mungkin juga menyukai