Anda di halaman 1dari 89

TINJAUAN PRINSIP SYARIAH DALAM MEKANISME

PENGELOLAAN DANA BPJS KESEHATAN

Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:
FIRDAUS

11140460000069

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2020 M
TINJAUAN PRINSIP SYARIAH DALAM MEKANISME
PENGELOLAAN DANA BPJS KESEHATAN

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Firdaus
11140460000069

Pembimbing:

Ahmad Chairul Hadi, M.A


NIP. 197205312007101002

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H/2020 M

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi berjudul “Tinjauan Prinsip Syariah Dalam Mekanisme Pengelolaan


Dana BPJS Kesehatan”, yang ditulis oleh Firdaus, NIM 11140460000069, telah
diujikan dalam sidang skripsi pada Selasa, 21 Juli 2020. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum (S.H.) pada
Program Studi Hukum Ekonami Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 21 Juli 2020
Mengesahkan

Panitia sidang
Ketua : A.M. Hasan Ali, M.A. (………………….)
NIP. 19751201 200501 1 005

Sekertaris : Dr. Abdurrauf, Lc., M.A. (………………….)


NIP. 19731215 200501 1 002

Pembimbing : Ahmad Chairul Hadi, M.A. (………………….)


NIP. 19720531 200710 1 002

Penguji I : Indra Rahmatullah, S.H., M. H. (……………….....)


NIDN. 2021088601

Penguji II : Mu’min Roup, M.Ag. (………………….)


NIP. 19700416 199703 1 004

iii
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:


1. Skripsi ini adalah hasil karya sendiri untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Stara 1 di Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penullisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya orang
lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, termasuk pencabutan gelar
akademik.

Jakarta, 21 Juli 2020

Firdaus
11140460000069

iv
ABSTRAK

Firdaus. NIM 11140460000069. TINJAUAN PRINSIP SYARIAH DALAM


MEKANISME PENGELOLAAN DANA BPJS KESEHATAN. Program Studi
Hukum Ekonomi Syariah (Muamalat), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020 M. x + 77 halaman.
Studi ini bertujuan untuk meninjau terhadap prinsip syariah dalam
mekanisme pengelolaan dana pada BPJS Kesehatan. Kehadiran BPJS Kesehatan
di awal tahun 2014 menarik perhatian banyak pihak, baik dari aspek sistem yang
digunakan, mekanisme oprasional, status kontrak dan hukum dari BPJS itu
sendiri. Fokus penelitian ini setidaknya akan menjawab dua persoalan, yaitu: 1)
Bagaimana penerapan pengelolaan dana BPJS kesehatan dalam tinjauan hukum
Islam ?, 2) Apa yang menghambat penerapan pengelolaan dana BPJS Kesehatan
dalam tinjauan hukum Islam.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library
reasearch dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,
buku-buku, dan jurnal yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam pengelolaan dana jaminan
sosial BPJS yang terkumpul tidak ada pemisahan antara dana tabarru dan dana
premi wajib peserta, sedangkan dalam asuransi syariah, khususnya asuransi sosial
harus dibedakan antara dana tabarru dengan dana bukan tabarru perbedaan pola
dan mekanisme tersebut secara normatif dan tehnis pelaksanaan akan mengalami
implikasi hukum yang berbeda terutama ditinjau dari aspek hukum Islam.
Beberapa hal menjadi penyebab relatif rendahnya penetrasi pasar asuransi syariah
adalah rendahnya dana yang mendukung perusahaan asuransi syariah, promosi
dan edukasi pasar yang relatif belum dilakukan secara efektif

Kata Kunci : Asuransi, Tabarru, BPJS kesehatan

Pembimbing : Ahmad Chairul Hadi, M.A


Daftar Pustaka : 2003 s.d. 2018

v
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, segala puji dan syukur kehadirat Allah


Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan nikmat Islam dan iman serta
melimpahkan rahmat dan karunia Nya kepada seluruh umat sehingga dapat
terselesaikannya skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam semoga
selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam, kepada keluarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya.
Skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, masih terdapat banyak
kekurangan didalamnya. Namun penulis berharap semoga dengan adanya skripsi
ini dapat bermanfaat bagi semua orang yang membaca dan khusunya bagi penulis.
Tidak lupa juga ucapan terimakasih untuk semua pihak yang telah memberikan
bantuan tanpa pamrih baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena
itu, dengan penuh rasa hormat ucapan terimakasih ingin penulis sampaikan
kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S,Ag., S.H., M.H., M.A. selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. AM. Hasan Ali, M.A. dan Dr. Abdurrauf, Lc., M.A. selaku Ketua Program
Studi dan Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ahmad Chairul Hadi, M.A selaku dosen pembimbing skripsi. Terimakasih
telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing penulis,
keikhlasan hati, kesabaran dan kontribusi dalam penyelesaian skripsi ini,
atas kritik maupun saran sehingga dapat memotivasi penulis.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan, arahan dan masukannya, serta bersedia memberikan segala
data-data yang penulis perlukan, sehingga penulisan ini terselesaikan.
6. Seluruh staff dan karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta. Terimakasih banyak karena

vi
dengan kesediaannya penulis dapat mengambil berbagai macam referensi
dari buku, jurnal, maupun informasi lainnya.
7. Untuk keluarga, Ayah, Ibu, Kakak, dan adik yang penulis sangat sayangi
dan cintai, terimakasih selalu sabar dan selalu mensupport penulis dari
dulu hingga sekarang sampai nanti. Terimakasih telah sabar mengahadapi
penulis dan berusaha jerih payah untuk menyekolahkan penulis sampai ke
jenjang perguruan tinggi ini. Serta do’a yang selalu diberikan kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Teman-teman Hukum Ekonomi Syariah 2014 yang sudah sama-sama
berjuang selama proses perkuliahan. Khususnya HES kelas B, yang sudah
mewarnai hari-hari penulis diperkuliahan.
9. Terimakasih banyak untuk Asri, Away, Intan, Junet dan Junot sahabat dari
awal masuk kuliah sampai sekarang yang telah menemani penulis
berjuang, menemani saat susah maupun senang, berbagi canda dan tawa
disela tugas kuliah, serta berdiskusi berbagai hal yang menarik di sekitar
kita. Semoga kita bisa sukses bersama, dan mencapai impian yang
diinginkan.
10. Teman-teman KOPASUS (Komando Pasukan Kosan Uus), Alung, Fathur,
Junet, Junot, Kholid dan Reno yang telah sama-sama beristirahat dibawah
atap yang sama dari teriknya masa kuliah, berdiskusi tentang topik-topik
yang berkembang di Indonesia, serta berdiskusi tentang masalah penelitian
masing-masing dan memberi masukan kepada penulis demi penyelesaian
skripsi ini.
11. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) 160 INDIGO, terimakasih telah
mewarnai hari-hari penulis selama menjalani masa KKN maupun setelah
KKN, merupakan suatu pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan.
12. Ibu Riri, Ibu Dian dan Indri Syafitri terimakasih atas do’a dan
dukungannya. Setiap kritik dan saran adalah bernilai bagi penulis.
13. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah
memberikan pikiran maupun tenaga sehingga skripsi ini dapat selesai
dengan baik.

vii
Semoga do’a, motivasi dan bantuan yang telah diberikan oleh berbagai
pihak tersebut mendapat balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Jakarta, 28 Desember 2019


Penulis,

Firdaus
11140460000069

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………… ii
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………... iii
LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………………... iv
ABSTRAK ……………………………………………………………………. v
KATA PENGANTAR ………………………………………………………... vi
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. ix

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………... . 1


A. Latar Belakang Masalah ..…………………………………………... 1
B. Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah ……..………………... 6
C. Tujuan Penelitian …………………………………..……………….. 7
D. Manfaat Penelitian …………………………………………..……… 7
E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ………………………..……... . 8
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual .………..…..………..... 12
G. Metode Penelitian ……………………………………..…………..... 15
H. Sitematika Penulisan ………………………..……………………... . 18

BAB II DISKRIPSI UMUM TENTANG ASURANSI …………………..... 20


A. Tinjauan Umum Tentang Asuransi ………………………………… 20
1. Pengertian Asuransi ……………………..………………………. 20
2. Dasar Hukum Asuransi ……………………………….…………. 22
3. Bentuk Dan Sifat Asuransi …………………………………….… 30
4. Perbedaan Asuransi konvensional dan Asuransi Syariah ………. . 32
B. Asuransi Sosial ……………………………………………………... 35
1. Asuransi Sosial dalam Islam ……………..……………………… 35
2. Implementasi Asuransi Sosial ………….………………………... 38
3. Pengelolaan Asuransi Sosial ………………….…………………. 40

ix
BAB III MEKANISME PENGELOLAAN DANA PADA BPJS
KESEHATAN …………………………………………………………..…… 43
A. Pengertian BPJS Kesehatan ………………………………………… 43
B. Sejarah BPJS Kesehatan ……………………………………………. 45
C. Dasar Hukum BPJS Kesehatan ........................................................... 47
D. Fungsi, Tugas, Wewenang, Hak dan Kewajiban BPJS Kesehatan …. 49

BAB IV ANALISIS MEKANISME PENGELOLAAN DANA PADA BPJS


KESEHATAN ……………………………………………………………….. 55
A. Penerapan Pengelolaan Dana BPJS Kesehatan Dalam Tinjauan Hukum
Islam ………………………………………………………………… 55
B. Hambatan Penerapan Pengelolaan Dana BPJS Kesehatan Dalam tinjauan
Hukum Islam ……………………………………………………….. 68

BAB V PENUTUP …………………………………………………………… 72


A. Kesimpulan …………………………………………………………. 72
B. Saran ………………………………………………………………… 73

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 74

x
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Syariat Islam adalah aturan yang bersifat jasmani dan rohani,
agamawi dan duniawi. Syariat berproses pada kekuatan iman dan budi
pekerti disamping pada kekuasaan dan negara. Syariat memiliki implikasi
balasan di dunia dan di akhirat. Syariat menentukan segala sesuatu sebagai
halal dan haram berdasarkan hakikat dan esensinya, tidak hanya sebatas
tampilan luarnya saja yang biasa dijadikan dasar dari ketetapan hukum
pada umumnya. Allah mengharamkan memakan harta dan mengambil hak
orang lain dengan cara yang salah. Sebab, keharamannya telah ditetapkan
jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah.1
Pemerintah sebagai pengemban amanah rakyat bertanggung jawab
penuh atas kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Untuk mewujudkan dan
kemakmuran rakyat, pemerintah menetapkan sebagai macam kebijakan
dengan berbagai macam programnya. Jika suatu pemerintah tidak mampu
memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, mereka akan menaburkan benih-
benih ketidak stabilan politik.2
Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945
beserta amandemen, pasal 34 mengamanahkan kepada Negara untuk
memberikan kesejahteraan sosial kepada warga Negaranya. Ayat (2) dari
pasal tersebut berbunyi: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Ayat ini mengandung arti
bahwa negara harus terus mengembangkan sistem jaminan sosial untuk
warga Negaranya, ayat (1) menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak

1
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (ife and general)Konsep dan Sistem
Oprasiona (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 9.
2
Didi sukardi, pengelolaan dana Badan Penyelenggara jaminan Sosial (BPJS) kesehatan
dalam perspektif hukum Islam, jurnal kajian hukum Islam, Vol. 1, Juni 2016.

1
2

terlantar dipelihara oleh Negara. Selanjutnya pada ayat (3) menyebutkan


bahwa Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan fasilitas umum yang layak 3
Ayat 1, 2 dan 3 tersebut mewajibkan kepada Negara untuk
menyediakan fasilitas kesehtan dan fasilitas umum yang layak bagi warga
Negaranya. Hal ini disebabkan karena kesehatan merupkan salah satu
kebutuhan dasar dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, unntuk
melaksanakan kewajiban tersebut, Negara membentuk Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dalam
Undang-Undang ini Negara mamberikan jaminan kepada semua warga
Negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan baik, dengan
sistem dan prosedur yang telah ditentukan oleh negara. Selanjutnya, untuk
menjalankan Undang-Udang tersebut, Negara memandang perlu
membentuk sebuah badan yang menjadi penyelenggara dari Sistem
Jaminan Sosial Nasional tersebut agar apa yang menjadi harapan dan
tujuan dari Undang-Undang tersebut dapat terlaksana dengan baik dan
sesuai apa yang dicita-citakan. Oleh karena itu, dengan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan,
Negara membentuk sebuah badan yang dinamakan Badan Penyelenggara
Jamninan Kesehatan. Badan ini dibentuk sebagai penyelenggara sekaligus
pengawas dari pelaksanaan SJSN. Badan ini yang akan berhubungan
langsung dengan warga Negara yang ikut serta sebagai peserata dari
BPJS.4
Pelaksanaan SJSN diselenggarakan secara nasional berdasarkan
prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Prinsip asuransi sosial adalah
mekanisme pengumpulan dana bersifat wajib yang berasal dari iuran guna
memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa
peserta dan atau anggota keluarganya. Adapun yang dimaksud dengan
prinsip ekuitas adalah tiap peserta yang membayar iuran akan mendapat

3UUD 45 (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945), Karya Simpati

Mandiri, h.27
4
Pasal 1, ayat (1-3), UU SJSN
3

pelayanan kesehatan sebanding dengan iuran yang dibayarkan. Artinya


bahwa tiap-tiap masyarakat sesuai prinsip kepesertaan. Sejalan dengan
ajaran Islam, dimana tujuan hukum Islam (Maqasid asy-Syari’ah) dapat
dirinci dalam lima tujuan yang disebut al-maqasid al-khamsah atau al-
kuliyyah al-khamsah.5
Sebagai produk legislasi Negara, UU SJSN dan UU BPJS ini pun
tidak lepas dari pro dan kontra dari masyarakat, salah satunya adalah
mengenai hukum dari mengikuti BPJS ini, terutama disini adalah ketika
UU ini kita kaitkan dengan hukum Islam. Mengingat kesempurnaan
hukum Islam dalam mengatur perilaku umatnya, sehingga sebagai ummat
perlu kiranya kita mengkaji setiap produk hukum yang dibentuk oleh suatu
hukum Negara agar jangan sampai pelaksanaan kewajiban sebagai warga
Nagara bertentangan dengan hukum agama yang kita anut. Apabila kita
memperhatikan pelaksanaan BPJS yang terjadi selama ini di masyarakat,
maka sangat erat hubungannya dengan konsep al-ta’min dalam hukum
Islam. Yaitu, lembaga yang mengadopsi konsep al-ta’min yang bertujuan
untuk saling tolong-menolong antara angggota BPJS dengan memberikan
jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan
pensiun,dan jaminan kematian.6
Kehidupan manusia pada zaman modern ini sangat erat dengan
beragam resiko dan bahaya. Manusia sendiri tidak mengetahui apa yang
akan terjadi esok hari dan dimana dia akan meninggal dunia. Resiko yang
mengancam manusia sangatlah beragam, mulai dari kecelakaan
transportasi udara, kapal, hingga angkutan darat. Manuasia juga
menghadapi kecelakaan kerja, kebakaran perampokan, pencurian, terkena
penyakit, bahkan kematian itu sendiri. Ibnu Abidin berpendapat akan
pentingnya asuransi untuk menjamin kemungkinan munculnya kerugian /
resiko, karena munculnya kerugian / resiko merupakan musibah yang tidak

5
Mairijani , Prinsip Umum Sistem Jaminan Sosial Nasional Oleh BPJS Menurut Hukum
Islam, Jurnal Interest, Vol. 12, N0. 1 Oktober 2014.
6
Muhammad Zamroni, Ilhaq Konsep BPJS dengan Al-Ta’min Perspektif Qiyas,
Istinbath, Jurnal Hukum Islam, Vol. 14, No. 2 Desember 2015.
4

disengaja, oleh karenanya bisa menjadikan pihak ketiga (asuransi) sebagai


pihak yang ikut bertanggung jawab. Hal ini menegaskan akan pentingnya
asuransi.7
Kesehatan dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya merupakan
hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pada awal
tahun 2014 tepat pada tanggal 1 januari Pemerintah Indonesia
mengoprasionalkan BPJS dengan program SJSN (Sistem Jaminan Sosial
Nasional) Program Jaminan Kesehatan dan Program Ketenagakerjaan
sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 24 tahun
2011.8
Pada awal tahun 2014 tepat pada tanggal 1 Januari, Indonesia
melalui Kementerian Kesehatan mengoprasikan Program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Program ini diselenggarakan oleh BPJS
(Badan Pemyelenggara Jaminan Sosial) merupakan lembaga yang
dibentuk berdasarkan UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS yang
diamanatkan dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN).9 Wajib bagi seluruh rakyat sesuai prinsip
kepesertaan wajib Undang-Undang SJSN, yakni seluruh penduduk wajib
jadi peserta asuransi sosial kesehatan dan wajib membayar premi/iuran
tiap bulannya. Di dalam pasal 17 disebutkan “(1) setiap peserta wajib
membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan presentase dari
upah atau suatu jumlah nominal tertentu. (2) setiap pemberi kerja wajib
memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang manjadi
kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS secara

7
Khoril Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Maslahat, Cet, 1, (Solo; Tiga Serangkai,
2007), h. 24.
8
Mairijani , Prinsip Umum Sistem Jaminan Sosial Nasional Oleh BPJS Menurut Hukum
Islam, Jurnal Interest, Vol. 12, N0. 1 Oktober 2014.
9
Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional.
5

berkala.10 Iuran untuk orang miskin dibayar oleh pemerintah dan mereka
disebut Penerima Bantuan Iuran (PBI) 11 atas nama hak sosial rakyat. Hak
itu tidak langsung diberikan kepada rakyat, tetapi dibayarkan kepada pihak
ketiga (BPJS) dari uang rakyat yang dipungut melalui pajak. Jadi,
realitanya, rakyat diwajibkan membiayai layanan kesehatan diri mereka
dan sesama rakyat lainnya.
Dalam Undang-Undang BPJS pasal 11 disebutkan bahwa BPJS
berwenang untuk menempatkan dana jaminan untuk investasi jangka
pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek liquiditas,
solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.12
Dana jaminan sosial itu wajib disimpan dan diadministrasikan di bank
kustodian yang merupakan BUMN. Artinya Bank BUMN bisa mendapat
sumber dana baru sesuai amanat pasal 11 Undang-Undang BPJS, dana itu
dapat diinvestasikan, misalnya dalam deposito berjangka, surat utang,
obligasi korporasi, reksadana, properti dan penyertaan langsung.
Bila melihat fenomena hadirnya BPJS, dalam pengelolaan dana
jaminan sosial BPJS yang terkumpul tidak ada pemisahan antara dana
tabarru dan dana premi wajib peserta, sedangkan dalam asuransi syariah,
khususnya asuransi sosial harus dibedakan antara dana tabarru dengan
dana bukan tabarru13 perbedaan pola dan mekanisme tersebut secara
normatif dan tehnis pelaksanaan akan mengalami implikasi hukum yang
berbeda terutama ditinjau dari aspek hukum Islam.
Melihat ketidakjelasan dari masalah di atas tentang status
mekanisme pengelolaan dana dari BPJS dan banyaknya pertanyaan serta
perhatian dari masyarakat tentang status BPJS apakah murni asuransi
sosial yang dibentuk pemerintah atau mengandung bisnis didalamnya.

10
Pasal 17 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional.
11
Pasal 17 ayat (4)
12
Pasal 11 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial.
Agustianto, “BPJS dan Jaminan Sosial Syariah”, dakwatuna.com, di akses 20
13

oktober2015.
6

Untuk itulah penulis tertarik mengangkat penelitian ini dengan judul


kajian “Tinjauan Prinsip Syariah Dalam Mekanisme Pengelolaan Dana
BPJS Kesehatan.”

B. Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan suatu masalah terkait dengan
judul yang dibahas. Masalah-masalah yang tertuang sub bab latar
belakang di atas akan penulis paparkan kembali beberapa
permasalahan yang ditemukan sesuai dengan bagian latar belakang
penelitian ini, antara lain:
a. Masih adanya unsur gharar (ketidakjelasan) dalam jumlah yang
akan diterima oleh peserta.
b. Masih adanya unsur maisir (judi) dalam perhitungan keuangan
(untung rugi) yang diperoleh peserta.
c. Masih adanya perbedaaan pendapat antara Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dan Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU)
dalam menanggapi hukum yang terdapat dalam BPJS Kesehatan.
2. Batasan Masalah
Dari beberapa identifikasi masalah yang ada, pada penelitian
ini penulis membatasi masalahnya pada BPJS Kesehatan perspektif
hukum ekonomi syariah. Dengan fokus penelitian untuk menganalisis
aspek hukum ekonomi syariah dalam mekanisme pengelolaan dana
BPJS Kesehatan dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

3. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka untuk
mempermudah pembahasan, penulis merumuskan masalah sebagai
berikut :
7

a. Bagaimana penerapan pengelolaan dana BPJS kesehatan dalam


tinjauan hukum Islam ?
b. Apa yang menghambat penerapan pengelolaan dana BPJS
Kesehatan dalam tinjauan hukum Islam ?

C. Tujuan Penelitian
Terdapat penelitian yang memerlukan suatu tujuan umum, dan
terdapat juga yang mempunyai beberapa tujuan sesuai dengan sub
permasalahannya.14 Penelitian ini adalah kegiatan ilmiah yang
mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai oleh peneliti
yang tidak terlepas dari perumusan masalah yang telah ditentukan.
Adapun tujuan penulisan ini untuk:
1. Mengetahui bagaimana mekanisme pengelolaan dana Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
2. Mengetahui apa saja yang menghambat penerapan pengelolaan
dana BPJS Kesehatan dalam tinjauan hukum Islam.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Secara Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada
seluruh kalangan akademisi dalam perkembangan ilmu hukum,
khususnya di bidang Hukum Ekonomi Syariah.
b. Menambah wawasan keilmuan yang berguna bagi
pengembangan ilmu hukum dan hukum islam khususnya
dalam pengelolaan dana agar sesuai dengan syariat Islam
maupun peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

14
Bambang Sunggono,Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003, Cetakan ke 6), h.109.
8

c. Sebagai acuan untuk peneitian serupa di masa yang akan


datang serta dapat dikembangkan lebih lanjut demi
mendapatkan hasil yang sesuai dengan perkembangan zaman.

2. Secara Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi lembaga
asuransi khususnya BPJS Kesehatan dalam pengelolaan dana
b. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para peserta
BPJS Kesehatan
c. Untuk mengembangkan pemikiran sekaligus mengetahui
kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
Dan tentunya peneitian ini bermanfaat guna mamperoleh gelar
S1 Hukum Ekonomi Syariah.

E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu


Kajian tentang BPJS Kesehatan dalam perspektif hukum ekonomi
syariah, banyak penelitian yang sebelumnya dilakukan. Dalam upaya
pengembangan oprasional BPJS Kesehatan secara syariah ini perlu
dilakukan studi pustaka sebagai salah satu metode penelitian yang akan
diterapkan. Diantaranya adalah menganalisis kekurangan dalam proses
oprasionalnya selama mengidentifikasi metode yang pernah dilakuakan,
meneruskan peneitian sebelumnya, serta mengetahui orang lain yang
spesialisasi dan area penelitiannya sama di bidang ini.
Selanjutnya peneliti akan menganalisis mengenai aspek
pembahasan dan aspek pembeda dari penelitian sebelumnya yang
bersumber dari jurnal. Oleh karena itu di bawah ini merupakan
kesimpulan dari apa yang sudah peneliti dapatkan, yaitu
Analisis yuridis, Ilhaq Konsep BPJS Dengan Al- Ta’min Perspektif
Qiyas, Muhammad Zamroni. Penelitian ini menggunakan metode
pendekatan qiyas yang membahas tentang ilhaq konsep BPJS dengan al-
ta’min perspektif qiyas yang dimana lembaga BPJS mengadopsi konsep
9

al-ta’min yang bertujuan untuk saling tolong-menolong antara anggota


BPJS. BPJS dalam hukum Islam hanya memperbolehkan BPJS yang
memiliki prinsip saling tolong menolong, yakni saling membantu
(kerjasama), melindungi, bertanggung jawab dan menghilangkan unsur
gharar. BPJS hukumnya boleh dengan melihat anggota BPJS sebagai
mutabarri’ dengan syarat tidak unsur sanksi karena adanya keterlambatan
membayar premi. Sedangkan dalam penelitian yang saya tulis, membahas
mengenai mekanisme pengelolaan dana Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan perspektif hukum ekonomi syariah dan
pandangan hukum BPJS Kesehatan menurut Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN).
Didi Sukardi, Pengelolaan Dana Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan Dalam Perspektif Hukum Islam, tujuan dari
penulisan ini adalah untuk mengetahui mekanisme terhadap pengelolaan
dana BPJS Kesehatan. Hasil dari kajian tersebut menunjukan bahwa : (1)
BPJS kesehatan masih banyak masalah, selain sistem administrasi yang
belum rapi, terdapat beberapa penyimpangan dari sisi hukum Islam.
Diharapkan kedepannya pemerintah membentuk BPJS kesehatan syariah
yang penerapannya seperti asuransi syariah. (2) jaminan kesehatan
nasional (JKN) masih menggunakan asuransi konvensional bukan asuransi
syariah, dimana dalam pengelolaan dana oleh BPJS kesehatan tidak ada
pemisahan dana tabarru dan (3) jaminan kesehatan nasional (JKN) dalam
prakteknya masih mengandung unsur maisir dan gharar, sehingga menurut
analisis penulis hukumnya jatuh jadi syubhat. Sedangkan dalam penelitian
yang saya tulis, membahas mengenai pandangan hukum BPJS Kesehatan
menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Undang-Undang No. 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Mochamad Edris dan Dina Lusianti, Analisis Operasional BPJS
Kesehatan Terhadap Prinsip Ekonomi Syariah. Dalam penelitian ini
dilaksanakan di kantor BPJS Kesehatan Cabang Pati yang menggunakan
10

teknik dokumentasi yaitu berupa kumpulan peraturan perundang-


undangan mengenai program JKN, BPJS Kesehatan dan konsep asuransi
syariah, dan juga dilakukan observasi lapangan mengenai tata cara
pendaftaran, proses pembayaran iuran hingga pelayanan kesehtan yang
diberikan oleh provider BPJS Kesehatan Cabang Pati. BPJS Kesehatan
juga perlu melakukan sinergi dengan stakeholder terkait penyelenggaraan
JKN, seperti pada hal pemutakhiran data peserta khususnya pada peserta
penerima bantuan iuran (PBI), BPJS Kesehatan bersama kementrian
terkait agar peserta PBI benar-benar tepat sasaran dan bagi peserta yang
meninggal dunia segara dihapuskan dari kepesertaan untuk seanjutnya
dapat digunakan haknya bagi masyarakat tidak mampu yang belum
memperoleh jaminan kesehatan. Sedangkan dalam penelitian yang saya
tulis, membahas mengenai mekanisme pengelolaan dana Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan perspektif hukum
ekonomi syariah dan pandangan hukum BPJS Kesehatan menurut Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Itang, BPJS Kesehatan Dalam Perspektif Ekonomi Syariah, artikel
ini memberikan jawaban terhadap pertanyaan MUI tentang BPJS tidak
sesuai dengan prinsip ekonomi syariah. Pertama, solusi agar tidak terjadi
gharar, dimana peserta bayar premi bulanan namun tidak jelas berapa
jumlah yang akan diterima. Kedua, solusi agar tidak terjadi unsur judi,
dimana perhitungan keuangan bisa jadi untung bisa jadi rugi. Ketiga,
solusi tentang riba, ketika klaim yang diterima peserta BPJS lebih besar
dari premi yang dibayarkan. Sistem pengelolaan BPJS memerlukan unit
syariah untuk menjalankan sistem operasinya sesuai dengan prinsip
syariah. Ketika program jaminan sosial dikelola sebuah lembaga, seperti
BPJS, maka prinsip-prinsip syariah al-takmin al-ta’awuni seharusnya
diterapkan. Untuk menerapkan prinsip itulah diperlukan Unit Syariah.
Sedangkan dalam penelitian yang saya tulis, membahas mengenai
mekanisme pengelolaan dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
11

Kesehatan perspektif hukum ekonomi syariah dan pandangan hukum BPJS


Kesehatan menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Undang-Undang
No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Budi Kolistiawan, Tinjauan Syariah Terhadap Transaksi Muamalat
Asuransi Kesehatan Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS). Dari
jurnal ini penulis menerangkan bahwa kendala utama pembangunan
asuransi syariah adalah kurangnya sosialisasi, keterbatasan tenaga ahli
asuransi syariah yang profesional, rendahnya dukungan umat Islam, dan
lemahnya dukungan pemerintah. Sedangkan dalam penelitian yang saya
tulis, membahas mengenai mekanisme pengelolaan dana Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan perspektif hukum
ekonomi syariah pandangan hukum BPJS Kesehatan menurut Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Nurma Khusna Khanifa, Tindak Lanjut BPJS Haram Melalui
Reorganisasi Jaminan Sosial Kesehatan Berbasis Syirkah Ta’awun. dari
jurnal ini penulis memberikan solusi agar pembentukan BPJS kesehatan
berbasis syari’ah haruslah dibentuk oleh Majelis Ulama Indoneia, Otoritas
Jasa Keuangan, Dewan Jaminan Sosial Nasioanal, Kementrian Kesehatan
dan Kementrian Keuangan. Agar menghadirkan program terbaru yang
sesuai syariat Islam. Jaminan sosial tersebut boleh diterapkan dengan
memegang prinsip syirkan ta’awuniyah (perkumpulan yang saling tolong-
menolong). dengan demikian BPJS Syariah bisa terwujud dan menjadi
solusi polemik yang ada dimasyarakat. Sedangkan dalam penelitian yang
saya tulis, membahas mengenai mekanisme pengelolaan dana Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan perspektif hukum
ekonomi syariah pandangan hukum BPJS Kesehatan menurut Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Mairijani, Prinsip Umum Sistem Jaminan Sosial Nasional Oleh
BPJS Menurut Hukum Ekonomi Islam. Dari jurnal ini penulis
12

menyimpulkan bahwa menurut ketentuan hukum ekonomi Islam atau


hukum Islam terkait iuran sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur
oleh peserta dianggap sebagai hibah, hukumnya adalah boleh. Adapun
mengenai denda atas keterlambatan pembayaran iuran dianggap sebagai
bentuk ta’zir yaitu agar peserta lebih disiplin dalam melaksanakn
kewajibannya. Adapun berkenaan menempatkan dana jaminan sosial untuk
investasi jangka pendek dan jangka panjang, maka seharusnya penyaluran
dana untuk investasi yang dihalalkan menurut hukum ekonomi Islam.
Sedangkan dalam penelitian yang saya tulis, membahas mengenai
mekanisme pengelolaan dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan perspektif hukum ekonomi syariah pandangan hukum BPJS
Kesehatan menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Undang-Undang
No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Dari beberapa literatur review yang ada, menunjukan telah banyak
penelitian mengenai BPJS Kesehatan dalam perspektif hukum Islam,
mekanismenya, perbedaan pendapat, dan kekurangannya. Namun dapat
disimpulkan pula bahwa belum ditemukannya peneliti yang secara khusus
membahas mengenai problematika dan perkembangan BPJS Kesehtan
dalam perspektif hukum Islam di Indonesia.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual


1. Kerangka Teori
Hukum Islam adalah menegakkan prinsip “menghilangkan mafsadah
dan mendatangkan maslahah”. Hal tersebut dijelaskan dalam kaidah fiqih
sebagai berikut:
‫ىَمنَج ْلبَالمصاَلح‬
ْ ‫دَرْ ُءا ْلمفاسدأوْ ل‬
Artinya: “menghindari mafsadat (kerusakan, bahaya) lebih
didahulukan dalam mengambil manfaat”
13

Kaidah fiqih di atas sejalan dengan pendapat para ulama tentang


maslahah mursalah15. Untuk segenap umat manusia, baik jasmaninya,
jiwanya, rasionya, masyarakat keseluruhannya, dan maslahah untuk
seluruh manusia pada setiap masa dan generasi. Hukum Islam selalu
mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan khusus didalam
situasi tertentu. Hal ini memberikan kemungkinan bahwa hukum Islam
dapat hidup di tengah-tengah masyarakat yang lebih kompeks. Hal ini
pulalah yang menyebabkan hukum Islam menampung hajat dan kebutuhan
umat. Prinsip ini tercantum dalam kaidah fiqih.
“semua kemaslahatan hukum berkisar kepada kemaslahatan umat.
Maka, apabila di dapati kemaslahatan, di situlah letaknya hukum
Allah.”16
Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda assurantie, dan di
dalam hukum Belanda dipakai kata verzekering. Sedangkan dalam
bahasa Inggris disebut insurance. Kata tersebut kemudian disalin
dalam bahasa Indonesia dengan kata ‘pertanggungan’. Dari
peristilahan assurantie kemudian timbul istilah assuradeur bagi
penanggung, dan geassureede bagi tertanggung. Dalam bahasa Arab
asuransi digunakan istilah at-ta’min, penanggungnya disebut dengan
mu’ammin, dan tertanggung disebut dengan mu’amman lahu, atau
sering juga disebut dengan musta’min.17
Asuransi menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 1992 tentang usaha perasuransian Bab I Pasal 1 “Asuransi atau
Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan
mana pihak penanggung dengan menerima premi asuransi, untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau

15
Abdullah Wahab Khallaf, Ilmu Ushulul Fiqh, ter. Noer Iskandar al-Bansany,
Kaidah Kaidah Hukum Islam, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada), Cet-8, 2002, h. 123.
16
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (ife and general)Konsep dan Sistem
Oprasiona (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 11.
17
Kuat Ismanto, Asuransi Syariah; Tinjauan Asas-Asas Hukum Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), h. 20.
14

tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan


diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti,
atau untuk memberikan sesuatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.18
Asuransi syariah dikenal juga dengan istilah takaful. Takaful
berasal dari kata kerja takafala, yatakafulu, takaful, yang berarti saling
menanggung atau menanggung bersama atau “menjamin seseorang
untuk menghindari kerugian”. Dari sudut pandang ekonomi kata
takaful berarti “menjamin bersama” (mutual guaranty) yang
disediakan oleh sekelompok orang yanh hidup dalam kelompok yang
sama terhadap resiko atau bencana tertentu yang menimpa hidup
seseorang, kekayaan atau barang-barang lainnya. Oleh karenya takaful
lebih dikenal sebagai asuransi bersama (cooperative insurance).19
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN ) merupakan program jaminan
sosial yang menjamin biaya pemeliharaan kesehatan serta
penumbuhan kebutuhan dasar kesehatan yang diselenggarakan
nasional secara bergotong royong wajib oleh seluruh penduduk
Indonesia dengan membayar iuran berkala atau iurannya dibayari oleh
Pemerintah kepada badan penyelenggara jaminan kesehatan nirlaba.
Dalam Undang-undang SJSN pasal 19 ayat 2 disebutkan bahwa
program JKN memiliki tujuan untuk memberikan manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan akan pemenuhan kebutuhan
dasar kesehatan. 20

18
Am. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana 2004) h.
61.
19
Achmad Chairul Hadi, Hukum Asuransi Syariah, Konsep Dasar, Aspek Hukum dan
Sistem Oprasionalnya, (Ciputat: UIN Pres, 2015), h. 5.
20
Mochammad Edris dan Dina Lusianti, Analisis Oprasional BPJS Kesehatan Terhadap
Prinsip Ekonomi Syariah,universty research colloquium 2016.
15

2. Kerangka Konseptual
Untuk memudahkan dalam penelitian ini, peneliti membuat
kerangka pemikiran yang bertujuan untuk membentuk suatu konsep
penelitian dari awal hingga akhir sebagai berikut:

Analisis kesesuaian syariah


terhadap BPJS Kesehatan

Fatwa DSN MUI No. 98 / Undang-Undang Nomor 40 Undang-Undang Nomor 24


DSN-MUI / XII / 2015 tentang Tahun 2004 tentang Sistem Tahun 2011 tentang Badan
Pedeoman Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Penyelenggara Jaminan Sosial
Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) Kesehatan
Syariah

Analisis Perbandingan

Undang –
Pengumpulan Data Terkait undang, Fatwa
Peserta BPJS Kesehatan DSN MUI,
BPJS Buku- buku dan
Kesehatan Literature

Analisis dan Simpulan


16

G. Metode penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum
normatif atau kepustakaan, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan pendekatan yuridis normative,21 dimana dilakukan
pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji berbagai aspek
hukum dengan mempelajari ketentuan undang-undang, buku-buku,
dan literature lain yang berkaitan dengan permasalahan.

2. Pendekatan Penelitian
Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan
konsep (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan
dilakukan untuk meneliti aturan-aturan terkait demi menjawab
permasalahan yang terjadi. Pendekatan konsep, dilakukan dengan
menelaah konsep yang beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum dan agama.

3. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, yaitu mendeskripsikan
atau memaparkan dan menjelaskan data-data yang berkaitan erat
tentang BPJS Kesehatan perspektif hukum ekonomi syariah. Proses
ini dilakukan melalui penguraian dari data-data yang terkumpul,
kajian ini tidak melakukan penghakiman dengan menyalahkan atau
membenarka salah satu pemikiran atas produk pemikiran lain. Salah
satu benarnya dikembalikan kepada ahlinya.

21
Penelitian hukum normatif mencakup: (1) penelitian terhadap asas-asas hukum; (2)
penelitian terhadap sistematika hukum; (3) penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan
horisontal; (4) perbandingan hukum; dan (5) sejarah hukum. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,
Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 13.
17

4. Data Penelitian
a. Data Primer
Data primer merupakan informasi yang dikumpulkan peneliti
langsung dari sumbernya. Yaitu data yang diperoleh dari Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN), Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, serta
pernyataan dari Ketua Bidang Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Pusat.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah informasi yang telah dikumpulkan pihak
lain.22 Yaitu data yang diperoleh dari berbagai sumber literatur,
melalui buku-buku, media cetak, media elektronik, makalah,
artikel, majalah, pendapat para pakar hukum, serta sumber-sumber
lain yang relavan dengan penelitian ini.

5. Teknik Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data yang pertama digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan cara library research (study kepustakaan)
yaitu mengumpulkan data-data dari peraturan perundang-undangan,
buku, artikel, dan media-media online. Kemudian berdasarkan data
yang telah dikumpulkan penulis mengklasifikasi permasalahan untuk
dikaji secara komprehensif. Yakni dilakukan dengan cara
mengumpulkan data berdasarkan laporan yang dapat diteliti dari BPJS
Kesehatan dan laporan lainnya yang berkaitan dengan masalah
penelitian ini.

22
Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1993), h. 69.
18

6. Metode Analisis Data


Metode analisis data yang digunakan adalah Pendekatan
Kualitatif Deskriptif Analisis, yaitu untuk memberikan pemecahan
masalah dengan mengumpulkan data lapangan, menganalisis data,
menganalisis peraturan perundang-undangan, memilih mana yang
penting dan yang harus dipelajari agar terjadi harmonisasi hukum dan
membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri
maupun orang lain.

7. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi yang akan dilakukan berpedoman
kepada buku : “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

H. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi nantinya, diperlukan adanya uraian
mengenai susunan penulisan yang dibuat agar pembahasan teratur dan
terarah pada pokok ke permasalahan yang sedang dibahas. Untuk itu,
penulis merencanakan penulisan ini dibagi ke dalam 5 (lima) bab, yaitu:
BAB I Dalam bab ini, terdiri dari latar belakang masaah,
identifikasi masalah, pembatasan dan perrumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian studi (review) terdahulu,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II dalam bab ini akan diuraikan secara mendalam tentang
peneletian dari pada diskripsi umum tentang asuransi,
mengulas teori mengenai asuransi sosial, implementasinya,
pengelolaannya, akad asuransi syariah serta posisinya.
BAB III Dalam bab ini akan diuraikan secara mendalam tentang
mekanisme pengelolaan dana pada BPJS kesehatan,
mengulas teori mengenai pengertian BPJS kesehatan,
19

sejarah, dasar hukum, fungsi, tugas, wewenang, hak dan


kewajiban BPJS.
BAB IV Dalam bab ini akan berisi tentang hasil dan pembahasan
yang tersusun atas hasil-hasil penelitian yang merupakan
kumpulan bahan hukum yang diperoleh dari berbagai
literatur dan dokumen terkait. Pembahasan merupakan hasil
analisis penulis terhadap permasalahan yang dirumuskan
dalam penelitian ini. Hasil penelitian dan pembahasan ini
meliputi penelitian tentang analisis mekanisme pengelolaan
dana BPJS kesehatan ditinjau dari hukum Islam.
BAB V Dalam bab ini terdiri dari simpulan (jawaban singkat atas
rumusan masalah yang ditetapkan) dan saran dari penulis.
Bagian akhir, berisi tentang daftar pustaka, lampiran-
lampiran dan daftar riwayat hidup peneliti.
BAB II
DISKRIPSI UMUM TETANG ASURANSI

A. Tinjauan Umum Tentang Asuransi


1. Pengertian Asuransi
Asuransi adalah serapan dari kata “assurantie” (Belanda), atau
assurance / insurance (Inggris). Paling tidak menurut sebagian ahli, kata
istilah assurantie itu sendiri sesungguhnya bukanlah istilah asli bahasa
Belanda, melainkan berasal dari bahasa latin yang kemudian diserap
kedalam bahasa Belanda yaitu asecurare yang berarti “meyakinkan
orang”. Kata ini kemudian di kenal dalam bahasa Prancis sebagai
asurance.
Baik kata assurance maupun kata insurance, secara literal
keduanya berarti pertanggungan atau perlindungan. Padahal menurut
Dahlan Siamat, kedua istilah ini sesungguhnya memiliki pengertian yang
berbeda antara satu dengan yang lain. Insurance mengandung arti
“menanggung sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin terjadi”
sedangkan assurance berarti “ menanggung sesuatu yang pasti terjadi.23
Pengertian asuransi menurut KUH Dagang, Menurut pasal 246
KUH dagang, asuransi adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang
penanggung mengikatkan diri kepada seoang tertanggung, dengan
menerima suatu premi, untuk memberikan pengertian kepadanya suatu
kerugian kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang
mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.
Pengertian tersebut menunjukan bahwa perjanjian asuransi
merupakan suatu perikatan timbal balik antara penanggung yang
memberikan jaminan dan dengan tertanggungyang memberikan imbalan
pembayaran premi asuransi. Pengertian dalam pasal 246 KUH Dagang
tersebut hanya mengatur penggantian kepada tertanggung atas kerugian,

23
M. Amin Suma, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional (Ciputat: Kholam
Publishing, 2006), h., 39.

20
21

kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin


akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu. Definisi
tersebut tidak mencakup jaminan dalam asuransi jiwa yang tidak terkait
dengan kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan. Dalam asuransi jiwa, yang menjadi objek asuransi adalah
jiwa tertanggung atau mereka yang diasuransikan dan manfaat yang
diberikan dapat berupa santunan kepada seorang atau lebih yang ditunjuk
sebagai penerima manfaat apabila tertanggung atau yang
dipertanggungkan meninggal atau penerima manfaat yang disepakati oleh
tertanggung yang selamat sampai akhir masa asuransi.24
Dilihat dari sudut pandang ekonomi asuransi merupakan suatu
metode untuk mengurangi risiko dengan jalan memindahkan dan
mengombinasikan ketidakpastian akan adanya kerugian keungan
(finansial).
Dari sudut pandang hukum asuransi merupakan suatu kontrak
pertanggungan risiko antara tertanggung dan penanggung. Penanggung
berjanji membayar kegiatan yang disebabkan oleh risiko yang
dipertanggungkan kepada tertanggung. Sementara itu, tertanggung
membayar premi secara periodik kepada penanggung sehingga
tertanggung mempertukarkan kerugian besar yang mungkin terjadi
dengan pembayaran tertentu yang relatif kecil.
Dan dari sudut pandang bisnis asuransi merupakan sebuah
perusahaan yang usaha utamanya adalah menerima atau menjual jasa,
memindahkan risiko dari pihak lain, dan memperoleh keuntungan dengan
berbagai risiko (sharing of risk) dari masyarakat yang kemudian
menginvestasikan dana itu dalam berbagai kegiatan ekonomi.
Serta dari sudut pandang sosial asuransi didefinisikan sebagai
organisasi sosial yang menerima pemindahan risiko dan mengumpulkan
dana dari anggota-anggotanya guna membayar kerugian yan mungkin
terjadi pada masing-masing anggota tersebut. Dengan ketidakpastian

24
A. Junaedy Ganie, Hukum Asuransi Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h., 84.
22

kerugian yang terjadi pada setiap anggota, anggota yang tidak pernah
mengalami kerugian dari sudut pandang sosial merupakan penyumbang
terhadap organisasi.
Dari berbagai sudut pandang tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa asuransi konvensional adalah pemindahan atau pengalihan risiko
dari tertanggung kepada penanggung atau istilahnya transfer risk. Pada
konsep asuransi syariah, menurut DSN-MUI, risiko yang akan terjadi
ditanggung bersama atas dasar ta’wun, yaitu prinsip hidup saling
melindungi dan saling menolong atas dasar ukhwah islamiyah antara
sesama anggota dalam menghadapi malapetaka.25

2. Dasar Hukum Asuransi


Secara umum, peraturan perasuransian syariah pada dasarnya
sama dengan yang berlaku pada asuransi konvensional, terutama yang
berkenaan dengan ihwal administrasi dan sistem pelaporannya. Dalam
beberapa hal, diatur pula kekhususan-kekhususan yang berlaku /
diberlakukan bagi asuransi syariah sebagaimana diatur dalam keputusan
menteri keuangan Republik Indonesia terutama pada Pasal 15, 16, 17, 18,
dan Pasal 19.
Dari pasal-pasal khusus yang mengatur ihwal perasuransian
syariah di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam banyak hal, terdapat
persamaan antara asuransi konvensional di satu pihak dan asuransi
syariah di pihak yang lain. Namun demikian, dalam waktu yang
bersamaan, dalam beberapa hal keduanya (asuransi konvensional dan
asuransi syariah) juga terdapat perbedaan yang signifikan dan bahkan
mendasar.26
Dasar hukum atau pengaturan oprasional Asuransi Syariah
sebagaimana Lembaga Keuangan Syariah Bank dan Non Bank lainnya

25
Abdullah Amrin, Asuransi Syariah Keberadaan dan Kelebihannya di Tengah Asuransi
Konvensional, (jakarta: gramedia, 2006), h. 7.
26
M. Amin Suma, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional, h., 46.
23

didasarkan pada dua kategori sumber hukum, yaitu hukum Islam dan
hukum positif.
a. Hukum Islam
Kebanyakan ulama (jumhur) memkai metologi metologi
konvensional dalam mencari landasan syariah (al-asas al-
syar’iyyah) dari suatu pokok masalah (subject matter). Dalamhal ini
subject matter-nya adalah lembaga asuransi. Pada kesempatan kali
ini, landasan yang digunakan dalam memberi nilai legalisasi dalam
praktik bisnis asuransi adalah: al-Qur’an, sunnah Nabi, ijma, dan
qiyas.

1) Al-Qur’an
Al-Qur’an tidak menyebutkan secara tegas ayat yang
menjelaskan tegas tentang praktik asuransi seperti yang ada pada
saat ini. Hal ini terindikasi dengan tidak munculnya istilah
asuransi atau al-ta’min secara nyata dalam al-Qura’anwalaupun
begitu al-Qur’an masih mengakomodir ayat-ayat yang
mempunyai muatan nilai-nilai dasar yang ada dalam praktik
asuransi, seperti nilai dasar tolong-menolong, kerja sama, atau
semangat untuk melakukan proteksi terhadap peristiwa kerugian
(peril) di masa mendatang.
Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai muatan
nilai-nilai yang ada dalampraktik asuransi adalah:

a) Surah al-Maidah [5]: 2


“Tolong menolonglah kamu dalam (mengajarkan)
kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat doasadan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”
Ayat ini memuat perintah (amr) tolong-menolong antar
sesama manusia. Dalam bisnis asuransi, nilai ini terlihat dalam
24

praktik kerelaan anggota (nasabah) perusahaan asuransi untuk


menyisihkan dananya agar digunakan sebagai dana sosial
(tabarru). Dana sosial ini berbentuk rekening tabarru pada
perusahaan asuransi dan difungsikan untuk menolong salah
satu anggota (nasabah) yang sedang mengalami musibah
(peril).

b) Surah Al-Baqarah [2]: 185


“....Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu....”
Dalam ayat di atas Allah menjelaskan kemudahan
adalah sesuatu yang dikehendaki oleh-Nya, dan sebaliknya
kesukaran adalah sesuatu yang tidak dikehendaki oleh-Nya.
Maka dari itu, manusia dituntut oleh Allah SWT agar dalam
setiap langkah kehidupannya selalu dalam bingkai kemudahan
dan tidak mempersulit diri sendiri. Dalam konteks bisnis
asuransi, ayat tersebut dapat dipahami bahwa dengan adanya
lembaga asuransi, seorang dapat memudahkan untuk
menyiapkan dan merencanakan kehidupannya di masa
mendatang dan dapat melindungi kepentingan ekonominya
dari sebuah kerugian yang tidak disengaja.

2) Sunnah Nabi
a) Hadits tentang aqilah
“diriwayatkan Abu Hurairah ra, dia berkata: berselisih
dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu
wanita tersebut melempar batu kewanita yang lain sehingga
mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang
dikandungnya.maka ahli waris dari wanita yang meninggal
tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulallah
SAW, maka Rasulallah SAW memutuskan ganti rugi dari
25

pembunuhan terhadap janin tersebut dengan pembebasan


seorang budak laki-aki atau perempuan, dan memutuskan
ganti rugi kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat)
yang dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orang tua laki-
aki)”(HR. Bukhari).

Hadits di atas menjelaskan tentang praktik aqilah yang


telah menjadi tradisi di masyarakat Arab. Aqilah dalam hadits
di atas dimaknai dengan ashabah (kerabat dari orang tua laki-
laki) mempunyai kewajiban menanggung dendan (diyat) jika
ada salah satu anggota sukunya melakukan pembunuhan
terhadap anggota suku yang lain. Penanggungan oleh
aqilahnya merupakan suatu kegiatan yang mempunyai unsur
seperti yang berlaku pada bisnis asuransi. Kemiripan ini
didasarkan atas adanya prinsip saling menanggung (takaful)
antar anggota suku.

b) Hadits tentang perjanjian


“orang-orang muslim itu terikat dengan syarat yang
merekasepakati, kecuali syarat yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram.”(HR. At-Turmudzi).

Hadits ini menjelaskan tentang prinsip umum dalam


melakukan akad atau transaksi. Orang muslim dalam
melakukan transaksinya tergantung oleh syarat yang mereka
sepakati bersama antara kedua belah pihak, kecuali syarat yang
mengharamkan yang haal atau menghalalkan yamg haram.
Dalam perusahaan asuransi akad atau transaksi yang disepakati
antara anggota (nasabah) dengan pengelola asuransi harus
berdasarkan syarat-syarat yang mereka tetapkan bersama. Jika
syarat-syarat tersebut telah disepakati, maka kedua belah pihak
26

(nasabah dan perusahaan) terikat dalam suatu ikatan (al-‘aqdu)


yang harus dipatuhi bersama, kecuali syarat-syarat yang tidak
sesuai dengan ketentuan syariah.
3) Ijma
Para sahabat telah melakukan ittifaq (kesepakatan) dalam
hal ini (aqilah). Terbukti dengan tidak adanya penentangan oleh
sahabat lain terhadap apa yang dilakukan oleh sahabat lain
terhadap apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab.
Sehingga dapat disimpulakan bahwa mereka bersepakat
mengenai persoalan ini.
Sebagai dalil dari kebolehannya memakai ijma dalam
menetapkan hukum ini adalah:
“segala sesuatu yang menurut mayoritas kaum muslimin
itu baik maka dalam pandanagan Allah SWT juga baik.”
Rahasia praktik aqilah adalah mengankat perselisihan dan
percecokan antarsuku Arab. Dengan adanya aqilah berarti telah
membangun suatu nilai kehidupan yang positif (al-hasan)
diantara para suku Arab. Adanya aspek kebaikan dan nilai yang
positif dalam praktik aqilah mendorong para ulama untuk
bermufakat (ijma’) bahwa perbuatan semacam aqilah tidak
bertentangan denagn nilai-nilai yang terkandung dalam syariat
Islam.27

4) Fatwa DSN-MUI
Selain prinsip-prinsip umum al-Qur’an dan as-Sunnah,
untuk pengaturan asuransi syariah saat ini merujuk kepada fatwa
Dewan Syariah Nasional (DSN) Majlis Ulama Indonesia. Fatwa
tersebut dikeuarkan karena perundang-undangan yang mengatur
tentang asuransi di Indonesia saat ini tidak dapat dijadikan

27
AM Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam Suatu Tinjauan Analisis
Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta: Kencana, 2004), h., 104.
27

pedoman untuk menjalankan asuransi syariah. Fatwa DSN MUI


ini memang tidak merupakan produk hukum nasional karena tidak
termasuk peraturan perundang-undangan di Indonesia. Walaupun
sebenarnya bisa dimasukan kategori dokrin dalam ilmu hukum.

b. Hukum Positif
Selain bersumber dari hukum Islam, oprasional Asuransi
Syariah di Indonesia didasarkan pada hukum positif yang saat ini
berlaku yaitu:
1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
2) Ketentuan mengenai kegiatan asuransi dalam KUH Perdata diatur
dalam bab kelima belas tentang Perjanjian Untung-untungan.
3) Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).
4) Undang-undang No.2 1992 tentang Usaha Perasuransian dan.
5) Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 1999tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Mengingat Undang-
undang dan Peraturan Pemerintah tersebut tidak menjelaskan
secara spesifik asuransi syariah, maka untuk mengisi kekosongan
hukum dibuat beberapa peraturan hukum oleh pemerintah sebagai
berikut:
a) Keputusan menteri keuangan republik indonesia No.
426/KMK.06/2003 tentang perizinan usaha dan kelembagaan
asuransi dan perusahaan reasuransi. Peraturan inilah yang
dapat dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah
sebagaimana ketentuan dalam pasal 3 yang menyatakan
bahwa, setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau
usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah.
b) Keputusan Menteri Keungan RI No.424/KMK.06/2003
tentang Kesehatan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi.
Ketentuan yang terkait dengan asuransi syariah
28

tercantumdalam pasal 15-18 mengenai kekayaan yang


diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan
asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
c) Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor
Kep.4499/LK/2000tentang Jenis Penilaian dan pembatasan
Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
dengan Sistem Syariah.
Selain ketentuan perundang-undangan di atas,penyelenggara
asuransi syariah juga berpedoman dengan beberapa sumber hukum
positif yang terkait, yaitu hukum privat/perdata dan hukum publik.

c. Hukum Privat/Publik
Ada (2) dua sumber hukum perdata untuk kegiatan Asuransi
Syariah yaitu asas kebebasan berkontrak dan perundang-undangan
dibidang hukum perdata:
1) Asas Kebebasan Berkontrak
Hubungan hukum yang terjadi dalam kegiatan asuransi
syariah selalu dibuat secara tertulis (kontrak) sebagai dokumen
hukum yang menjadi dasar kepastian hukum (legal certainty).
Perjanjian asuransi syariah ini dibuat berdasarkan atas asas
kebebasan berkontrak para pihak yang memuat rumusan
kehendak berupa hak dan kewajiban dari perusahaan asuransi
syariah dan para nasabahnya.
Perjansian Asuransi syariah merupakan dokumen utama
(main legal document) yang dibuat secara sah dengan memenuhi
syarat-syarat bagaimana ditetapkan dalam pasal 1320 KUH
Perdata. Akibat hukum yang dibuat secara sah, maka beraku
sebagai Undang-undang bagi pihak-pihak, yaitu perusahaan
asuransi syariah dan nasabah (Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata).
Konsekuaensi yuridis selanjutnya, perjanjian iti harus
dilaksanakan dengan itikad baik (in good faith) dan tidak dapat
29

dibatalkan secara sepihak. Perjanjian asuransi syariah berfungsi


sebagai dokumen bukti yang sah bagi perusahaan asuransi syariah
dan nasabah.
2) Undang-undang di bidang hukum perdata di luar KUH Perdata
disamping KUHP, ada ketentuan-ketentuan lain yang yang
mengatur aspek perdata Asuransi Syariah yaitu antara lain;
a) Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya undang-
undang ini apabila asuransi syariah itu mempunya bentuk
hukum berupa Perseroan terbatas.
b) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
konsumen dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya undang-
undang ini apabila perusahaan asuransi syariah sebagai
produsen melakukan pelanggaran atas kewajiban dan larangan
undang-undang yang secara perdata merugikan
konsumen/nasabah.
c) Undang-undang No. 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan, apabila
asuransi syariah menghadapi prosesgugatan kepailitan oleh
para nasabahnya, maka undang-undang tersebut harus menjadi
acuannya.
d) Undnag-undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal,
undang-undang No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu intas Devisa
dan Sistem Nilai Tukar.

d. Segi Hukum Publik


Sebagai usaha yang bergerak dalam bidang jasa pembiayaan,
asuransi syariah banyak menyangkut kepentingan publik terutama
yang bersifat administratif. Oleh karena itu perundang-undangan
yang bersifat publik yang relavan berlaku pula pada suransi syariah.
Perundang-undangan terebut terdiri atas undang-undang, keputusan
presiden dan keputusan menteri.
30

Berbagai undang-undang dibidang administrasi negara yang


menjadi sumber hukum utama asuransi syariah adalah sebagai
berikut;
1) Undang-undang No. 3 Tahun 1982 tentangWajib dasar
Perusahaan dan Peraturan Pelaksanaannya. Berlakunya undang-
undang ini apabila perusahaan asuransi syariah berurusan dengan
pendaftaran perusahaan pada waktu pendirian, pendaftaran ulang,
dan pendaftaran likuidasi perusahaan.
2) Undang-undang No.12 Tahun 1985, undang-undang No. 7 Tahun
1991, undang-undang No. 8 Tahun 1991 dan peraturan
pelaksanaannya, semuanya tentang perpajakan. Berlakunya
undang-undang ini karena perusahaan asuransi syariah wajib
membayar pajak bumi dan bangunan, penghasilan, dan
pertambahan nilai serta pajak jenis lainnya.
3) Undang-undang No. 8 Tahun tentang Dokumen Perusahaan dan
peraturan pelaksanaannya.berlakunya undang-undang ini apabila
perusahaan asuransi syariah melakukan pembukuan perusahaan
dan pemeliharaan dokumen perusahaan.28

3. Bentuk Dan Sifat Asuransi


Berdasarkan karakternya, perjanjian asuransi terbagi dalam dua
golongan, yaitu asuransi kerugian dan asuransi jumlah / jiwa / keluarga.
a. Asuransi Kerugian
Asuransi kerugian adalah perjanjian asuransi yang
memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian
kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga
yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti. Asuransi kerugian
meliputi asuransi kendaraan, asuransi rumah (bangunan)

28
Ahmad Chairul Hadi, Hukum Asuransi Syariah, Konsep Dasar, Aspek Hukum dan
Sistem Oprasionalnya (Ciputat, UIN Press, 2015), h., 52-62.
31

b. Asuransi Jumlah / Jiwa / Keluarga


Asuransi jiwa adalah perjanjian asuransi yang memberikan
jasa dalam penanggulangan risiko yang berkaitan dengan hidup atau
meninggalnya seseorang. Asuransi jiwa ini meliputi asuransi jiwa,
kesehatan dan kecelakaan.
Dalam fatwa DSN-MUI pasal 5 ayat 1, berdasarkan jenisnya
asurasni terbagi dua, yaitu asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Asuransi
bentuk takaful keluaga atau jiwa memberikan perlindungan finansial
kepada peserta asuransi dalam menghadapi bencana kematian dan
kecelakaan yang menimpa peserta asuransi.
Selain bentuk asuransi di atas, di Indonesia terdapat asuransi
sosial yang dibentuk atau diselenggarakan oleh pemerimtah. Asuransi
sosial ini memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan asuransi
lain, walaupun memiliki ruang lingkup yang sama.
Menurut Prof Abdul Ghafur Anshori, ciri-ciri asuransi sosial
dapat di bagi menjadi tiga, yaitu:
a) Sifat hubungan pertanggungan adalah wajib bagi seluruh anggota
masyarakat atau anggota masyarakat tertentu.
b) Penentuan penggantian kerugian diatur oleh pemerintah dengan
pengaturan khusus yang dibuat untuk itu.
c) Bertujuan untuk jaminan sosial (sosial security) bukan untuk
mencari keuntungan.
Adapun jenis-jenis asuransi sosial yang diselenggarakan oleh
pemerintah antara lain tabungan dan asuransi pegawai negeri (TASPEN),
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), Asuransi Kesehatan
(ASKES) dan Pertanggungan Kecelakaan Penumpang dan Lalu Lintas
(JASA RAHARJA). Pada tahun 2014 JAMSOSTEK dan ASKES diubah
menjadi Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
(BPJS).
Asuransi yang ada sekarang ini dapat dibagi menjadi dua dalam
usahanya, yaitu:
32

a. Asuransi Komersial
Maksud asuransi komersial ini adalah asuransi dimana kedua
belah pihak, baik itu nasabah maupun perusahaan, memiliki kewajiban
masing-masing; nasabah wajib membayar premi dan perusahaan
memberikan ganti rugi bila terjadi risiko pada peserta. Kontrak yang
dilakukan asuransi komersial ini tidak bersifat kooperatif, melainkan
bertujuan mencari laba dan laba tersebut diperoleh dari premi yang
dibayarkan oleh nasabah.
b. Asuransi yang bersifat Kooperatif
Asuransi yang bersifat kooperatif, biasa dikenal sebagai
Takaful dimana sekelompok orang saling menghadapi risiko yang
sama. Setiap anggota wajib membayar iuran yang telah ditetapkan
oleh perusahaan. Ketika setiap orang atau anggota telah
mengumpulkan iurannya kemudian dijadikan satu. Ketika ada salah
satu anggota mengalami risiko maka uang iuran tersebut digunakan
untuk membayar risiko yang terjadi padanya. Asurnasi yang bersifat
kooperatif ini menjaga solidaritas antara peserta sehingga mereka
saling membantu.29

4. Perbedaan Asuransi konvensional dan Asuransi Syariah


DalamUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992,
pengertian asuransi konvensioanal adalah pelimpahan risiko yang
mungkin akan terjadi pada tertanggung (peserta asuransi) kepada
penanggung (perusahaan asuransi). Dengan demikian, unsur-unsur yang
terdapat dalam pengertian asuransi konvensional adalah:
a. Pihak tertanggung berjanji membayar uang premi kepada pihak
penanggung sekaligus atau berangsur-angsur.

29
Waldi Nopriansyah, Asuransi Syariah Berkah Terakhir yang Tak Terduga (Yogyakarta
: Andi Offset, 2016), h., 17.
33

b. Pihak pengnggung berjanji akan membayar sejumlah uamg kepada


pihak tertanggung, sekaligus atau berangsur-angsur, apabila
terlaksana unsur ketiga.
c. Suatu peristiwa yang semula belum belum jelas akan terjadi.30
Asuransi syariah adalah suatu pengaturan pengelolaan risiko yang
memenuhi ketentuan Syariah, tolong-menolong secara mutual yang
melibatkan peserta dan operator. Syariah berasal dari ketentuan-
ketentuan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebatas tertentu konsep
asuransi syariah tidak terlalu berbeda jauh dengan konsep pengelolaan
risiko konvensional yang dilakukan secara mutual, seperti Mutual
Insurance dan Protection and Indemnity Club (P & I Club). Letak
perbedaan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional adalah pada
bagian risiko itu dikelola dan ditanggung, dan bagaimana dana asuransi
syariah dikelola. Perbedaan lebih jauh adalah pada hubungan antara
operator (pada asuransi konvensional istilah yg digunakan: Penanggung)
dengan peserta (pada asuransi konvensional istilah yang digunakan:
Tertanggung).
Dalam pengelolaan dana dan penanggungan risiko asuransi
syariah tidak memperbolehkan adanya gharar( ketidakpastian atau
spekulasi) dan maisir (perjudian). Dalam investasi atau manajemen dana
tidak diperkenankan adanya riba(bunga). Ketiga larangan ini, Gharar,
Maisir dan Riba adalah area yang harus dihindari dalam praktik asuransi
syariah, dan yang menjadi pembeda utama dengan asuransi
konvensional.31
Adapun perbedaan antara asuransi Konvensional dengan asuransi
Syariah, terutama terletak pada kepemilikan harta (uang) yang
dibayarkan para pemegang polis. Dalam asuransi Konvensional
kepemilikan uang nasabah beralih total menjadi milik penuh perusahaan

30
Abdullah Amrin, Asuransi Syariah Keberadaan dan Kelebihannya di Tengah
Asuransi Konvensional, h., 6.
31
Muhammad Iqbal, Asuransi Umum Syariah Dalam Praktik Upaya Menghilangkan
Gharar, Maisir dan Riba (Jakarta: Gema Insani, 2006) h., 2.
34

asuransi, sedangkan dalam asuransi syariah, kepemilikan uang tetap


berada pada semua anggota pemegang polis. Denagn kalimat lain, dalam
asuransi konvensional, perusahaan asuransi menjadi pihak kreditur dan
nasabah menjadi debitur. Sedangkan dalam asuransi syariah, perusahaan
asuransi bertindak sebagai pengelola dan juru bayar, denagn kedudukan
nasabah sebagai pemilik kekayaan asuransi yang sesungguhnya.
Perbedaan lain antara asuransi konvensional dengan asuransi
syariah juga terletak pada sumber penghasilan yang diperolah masing-
masing perusahan. Pada asuransi konvensional, sumber penghasilan lebih
didasarkan pada sistem bunga yang sangat mungkin mengandung unsur
spekulatif dan riba. Sedangkan pada asurransi syariah, penghasilan
perusahaan lebih bersumberkan pada sistem upah dan bagi hasil.32
Hasil kajian para cendikiawan muslim dan pakar ekonomi
mengenai asuransi syariah dan asuransi konvensional antara lain
menemukan perbedaan, yaitu sebagai berikut:
a. Operasional asuransi syariah berasaskan ajaran Islam, seperti
menghilangkan unsur-unsur yang diharamkan. Sedangkan asuransi
konvensional tidak berasaskan syariat sehingga oprasionalnya
perusahaan tidak dapat terhindar dari unsur yang dilarang oleh Islam,
seperti unsur al-gharar, al-maisir dan al-riba.
b. Dari sudut kontrak, kontrak asuransi syariah adalah didasari atas
prinsip al-takafuldan al-mudharabah, sedangkan kontrak asuransi
konvensional adalah sebuah kontrak berdasarkan kepada perniagaan
atau jual beli semata.
c. Asuransi syariah mengamalkan prinsip saling jamin-menjamin,
kerjasama dan saling bantu-membantu berlandaskan konsep tabarru
diantara para peserta sedangkan asuransi konvensional tidak ada
pengamalan tabarru hanya perjanjian ganti kerugian oleh perusahaan
asuransi.

32
M. Amin Suma, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional, h., 41.
35

d. Peserta asuransi syariah akan mendapat dua keuntungan yaitu


keuntungan investasi dan bantuan manfaat keuangan, sedangkan
peserta asuransi konvensional hanya mendapat satu keuntungan yaitu
uang pengganti.
e. Asuransi syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah yang berfungsi
untuk mengawasi skim (produk) dan investasi dana diperoleh,
sedangkan asuransi konvensional tidak memiliki dewan ini.
f. Dalam asuransi syariah investasi dana berasaskan pada sistem bagi
hasil (al-mudharabah), sedangkan dalam asuransi konvensional
pelaburan dana berasaskan bunga (interest).
g. Dana yang terkumpul (premi) merupakan milik peserta dalam
perusahaan asuransi syariah. Sedangkan daam asuransi konvensional
dana yang terkumpul dari peserta adalah menjadi milik perusahaan
asuransi.
h. Dalam asuransi syariah uang yang diberikan kepada peserta berasal
dari dana tabarru, sedangkan dalam asuransi konvensional dana
yang diambil adalah berasal dari uang milik perusahaan asuransi.
Keuntungan yang diterima oleh perusahaan asuransi syariah akan
dibagikan kepada peserta sesuai dengan perjanjian akad al-
mudharabah, sedangkan dalam asuransi konvensional seluruh
keuntungan menjadi milik perusahaan.33

B. Asuransi Sosial
1. Asuransi Sosial dalam Islam
Asuransi Sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang
bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan
atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota
keluarganya.34Asuransi ini biasanya dilakukan oleh pihak pemerintah
dengan tujuan memberikan manfaat untuk masa depan rakyatnya, yaitu
33
Nurul Ichsan Hasan, Pengantar Asuransi Syariah (Jakarta, Gaung Persada Press
Group, 2014), h., 49.
34
Pasal 1 UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
36

dengan cara memotong sebagian gaji para pegawai dan pekerja. Contoh
dari jenis asuransi ini misalnya asuransi dana pensiun, asuransi kesehatan
dan keselamatan kerja, dan lain sebagainya.
Dari ketiga macam asuransi di atas jika di lihat manfaat yang
diperoleh masing-masing pihak, para ulama umumnya memberi penilaian
sebagi berikut. Untuk asuransi yang bersifat bisnis,terdapat keberatan
para ulama dikarenakan hal-hal berikut:
a. Asuransi bisnis tergolong perjanian kompensasi finansial spekulatif
yang mengadung unsur “untung-untungan (maysir) dan
“ketidakjelasan” (gharar). Hal ini dikarenakan pihak yang menerima
manfaat asuransi pada saat asuransi pada saat perjanjian tidak
mengetahui jumlah uang yang akan ia berikan dan akan ia terima
b. Asuransi bisnis mengandung unsur “riba”, yaitu riba fadhal dan riba
nasi’ah. Jika perusahaan asuransi membayar kepada pihak penerima
jasa (ahli waris) lebih dari jumlah uang yang telah disetorkan, berarti
tergolong riba fadhal. Namun, jika perusahaan asuransi membayar
kepada pihak nasabah sebesar yang dia setorkan saja dan dibayar
beberapa waktu, berarti tergolong riba nasi’ah.
c. Termasuk mengambil harta orang tanpa imbalan dan mengandung
unsur pemaksaan terhadap hal yang tidak disyaratkan. Hal ini
bertentangan dengan QS. an-Nisa (4): 29.
Sedangkan untuk asuransi yang bersifat kolektif, sesuai keputusan
majelis dengan ketetapan secara mufakat dari Ha’ah Kibrar al-Ulama di
Saudi Arabia Nomor 51 tanggal 4/4/1397 Hijriyah tentang
diperbolehkannya menyelenggarakan asuransi kooperatif berdasarkan
dalil-dalil berikut:
a. Adanya perjanjian amal kebajikan berdasarkan gotongroyong dalam
menghadapi bahaya, serta bekerjasama dalam memikiul tanggung
jawab ketika terjadi musibah. Caranya adalah dengan memberikan
andil atau saham dari beberapa orang denagn jumlah uang tertentu
yang secara khusus diberikan kepada orang yang tertimpa musibah.
37

b. Tidak mengandung unsur riba, baik riba fadhal maupun riba nasi’ah
(perjanjian orang-orang yang memberikan saham uang itu bukanlah
riba)
c. Kelompok pemberi saham (orang yang mewakili mereka) berusaha
melakukan pengembangan modal dari semua saham yang terkumpul
untuk merealisasikan tujuan dari kerja sama tersebut.35

a. Konsep asuransi sosial


Sistem ini mengacu pada konsep pemilik usaha dan karyawan
sama-sama membayarkan presentase tertentu dari gaji mereka kepada
puhak pemerintah yang disebut badan atau yayasan asuransi sosial (di
Indonesia kita mengenal PT.JAMSOSTEK). pihak ini lantas
menginvestasikan setoran gaji tersebut dan terikat kewajiban untuk
memberikan uang pensiun secara periodik kepada tertanggung
(nasabah) ketika ia mencapai usia tertentu, atau kepada ahli waris atau
yang ditunjuk setelah kematiannya dengan syarat-syarat terentu.
Sistem ini termasuk badan usaha milik negara yang
bertanggung jawab mengurus rakyat dan menjamin kehidupan yang
layak bagi mereka saat memasuki masa tua, pensiun, dan menganggur,
atau bagi ahi waris mereka setelah mereka meninggal dunia.
b. Jenis-jenis asuransi sosial
Asuransi sosial memiliki ragam jenis dan jasa layanan,
diantaranya yang terpenting adalah dana pensiun pemerintah, jaminan
masa tidak kerja (pengangguran), asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan yang mengakibatkan disfungsi organ secara total maupun
sebagian.
Masing-masing jenis ini memiliki landasan dan prosedur
sendiri. Sistem ini juga berbeda-beda antara satu negara deangan

35
Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), h.,
197.
38

negara yang lain. Namun semuanya termasuk kebijakan pemerintan


yang diperbolehkan secara syara’sebagaimana yang akan dijelaskan.

c. Status hukum fikih sistem asuransi sosial


Kalangan ahli fikih berpandangan bahwa sistem ini tidak
mengandung risiko pelanggaran syara’ atau dosa bagi kalangan
pebisnis maupun pegawai. Akan tetapi, risiko dosa sepenuhnya
ditanggung oleh pemerintah sebagai pengelola asuransi jika ia sampai
menginvestasikan dana tersebut pada bidang-bidang yang
bertentangan dengan hukum dan prinsip syariat Islam.
Pemerintah seharusnya membedakan antara pegawai yang
kaya dan yang miskin ketika memberikan dana pensiun atau
tunjangan-tunjangan lainnya. Bea kebutuhan pokok yang dibutuhkan
manusia juga harus dipertimbangkan, tanpa mengacu pada hierarki
kepegawaian atau lama pengabdian ketika menghitung dana pensiun.
Sejumlah fatwa telah dikeluarkan terkait dengan permasalahan
asuransi sosial, diantaranya Fatwa Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyyah
dalam koferensinya yang kedua pada bulan mei 1965 dalam fatwa
tersebut dinyatakan “sistem pensiun dan sistem jaminan-jaminan
sosial lainnya yang berlaku di beberapa negara serta sistem asuransi
sosial yang diberlakukan di beberapa negara lain, semuanya
merupakan kebijakan yang diperbolehkan menurut syara’. 36

2. Implementasi Asuransi Sosial


Sistem operasional asuransi syariah (takaful) adalah saling
bertanggung jawab, bantu-membantu, dan saling melindungi antara para
pesertanya perusahaan asuransi syariah diberi kepercayaan atau amanah
oleh para peserta untuk mengelola premi, mengembangkan dengan jalan

36
Husain Husain Syahatah, Asuransi Dalam Perspektif Syariah (jakarta: Amzah, 2006),
h., 28.
39

yang halal, dan memberikan santunan kepada yang mengalami musibah


sesuai isi akta perjanjian.
Keuntungan perusahaan diperoleh dari pembagian keuntungan
dana peserta yang dikembangkan dengan prinsip mudharabah (sistem
bagi hasil). Para peserta takaful berkedudukan sebagai pemilik modal
(shohibul mal) dan perusahaan takaful berfungsi sebagai pemegang
amanah (mudharib).
Keuntungan yang diperoleh dari pengembangan dana itu dibagi
antara para peserta dan perusahaan sesuai dengan ketentuan (nisbah)
yang telah disepakati. Mekanisme pengelolaan dana peserta (premi)
terbagi menjadi dua sistem.
a. Sistem produk saving tabungan
b. Sistem pada produk non saving tidak ada tabungan.
Sistem pada produk saving (ada unsur tabungan). Setiap peserta
wajib membayar sejumlah uang (premi) secara teratur kepada
perusahaan. Besar premi yang dibayarkan tergantung kepada keuangan
peserta. Akan tetapi, perusahaan menetapkan jumlah minimum premi
yang akan dibayarkan. Setiap premi yang dibayarkan oleh peserta, akan
dipisah dalan dua rekening yang berbeda.
a. Rekening tabungan peserta, yaitu dana yang merupakan milik
peserta, yang dibayarkan bila:
1) Perjanjian berakhir,
2) Peserta mengundurkan diri,
3) Peserta meninggal dunia.
b. Rekening tabarru,yaitu kumpulan dana kebajikan yang telah
diniatkan oleh peserta sebagai iuran dana kebajikan untuk saling
menolong dan saling membantu, yang dibayarkan bila:
1) Peserta meninggal dunia,
2) Perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana).
Sistem inilah sebagai implementasi dari akad takafulidan akad
mudharabah, sehingga asuransi syariah dapat terhindar dari unsur gharar
40

dan maisir. Selanjutnya kumpulan dana peserta ini diinvestasikan sesuai


dengan syariat Isam. Tiap keuntungan dari hasil investasi, setelah
dikurangi dengan beban asuransi (klaim dan premi reasurans), akan
dibagi menurut prinsip al-mudharabah. Presentase pembagian
mudharabah dibuat dalam suatu perbandingan tetap berdasarkan
perjanjian kerja sama antara perusahaan dan peserta.
Sistem pada produk non saving. Setiap premi yang dibayar oleh
peserta, akan dimasukan dalam rekening tabarru perusahaan. Yaitu,
kumpulan dana yang telah diniatkan oleh peserta sebagai iuran dan
kebajikan untuk tujuan saling menolong dan saling membantu, dan
dibayarkan bila:
1) Peserta meninggal dunia,
2) Perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana).
Kumpulan dana peserta ini akan diinvestasikan sesuai dengan
syariat Islam. Keuntungan hasil investasi setelah dikurangi dengan beban
asuransi (klaim dan premi reasuransi), akan dibagi antara peserta dan
perusahaan menurut prinsip al-mudharabah dalam suatu perbandingan
tetap berdasarkan perjanjian kerja sama antara perusahaan (takaful) dan
peserta.37

3. Pengelolaan Asuransi Sosial


a. Takaful Keluarga
Pengelolaan dana asauransi Islam pada Takaful Keuarga
terdapat dua macam sistem yang dipakai, yaitu sistem pengelolaan
dana tanpa unsur tabungan. Untuk aktifitas asuransi Ilam Takaful
Keluarga yang tanpa unsur tabungan, mekanisme pengelolaan
dananya sama saja dengan mekanisme oprasional takaful umum.
Setiap premi takaful yang telah diterima akan dimasukan kedalam
dua rekening yaitu;

37
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and genera)l konsep dan sistem
operasional (Jakarta: Gema Insani), h., 176.
41

1) Rekening tabungan peserta


2) Rekening khusus / tabarru
Rekening yang diniatkan derma dan digunakan untuk
membayar klaim (manfaat takaful) kepada ahli waris, apabila ada di
antara peserta yang ditakdirkan meninggal dunia atau mengalami
musibah lainnya.
Premi takaful akan disatukan kedalam “kumpulan dana
peserta” yang selanjutnya diinvestasikan kedalam pembiayaan-
pembiayaan proyek yang dibenarkan secara syariah. Keuntungan
yang diperoleh dari investasi itu akan dibagikan sesuai denagn
perjanjian mudharabah yang disepakati bersama misalnya 70% dari
keuntungan untuk peserta dan 30% untuk perusahaan takaful.
Atas bagian keuntungan milik peserta(70%) akan
ditambahkan kedalam rekening tabungan dan rekening khusus secara
proporsional. Rekening tabungan akan dibayarkan apabila
pertanggungan berakhir atau mengundurkan diri dalam masa
pertanggungan. Sedangkan, rekening khusus akan dibayarkan jika
peserta meninggal dunia dalam masa pertanggungan atau
pertanggungan berakhir (jika ada). Untuk bagian keuntungan milik
perusahaan (30%) akan digunakan untuk membiayai oprasional
perusahaan.38

b. Takaful umum
Setiap premi takaful yang diterima akan dimasukan kedalam
rekening khusus, yaitu rekening yang diniatkan derma/tabarru dan
digunakan untuk membayar klaim kepada peserta apabila terjadi
musibah atas harta benda atau peserta itu sendiri.
Premi takaful akan dikelompokan kedalam kumpulan dana
peserta untuka kemudian diinvestasikan kedalam pembiayaan

38
Wirdyaningsih dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia (jakarta: Kencana 2005),
h., 214.
42

pembiayaan proyek yang dibenarkan secara syariah. Keuntungan


investasi yang diperoleh akan dimasukan ke dalam kumpulan dana
peserta untuk kemudian dikurangi beban asuransi (klaim, premi
asuransi). Apabila terdapat keebihan sisa akan dibagikan menurut
prinsip mudharabah. Bagian keuntungan milik peserta akan
dikembalikan kepada peserta yang tidak mengalami musibah sesuai
dengan penyertaannya. Sedangkan, bagian keuntungan yang diterima
perusahaan akan digunakan untuk membiayai oprasional perusahaan.
Pada asuransi sosial yang diselenggarakan oleh BUMN
sesuai dengan ketentuan UU No. 2 Tahun 1992 tentang
perasuransian,pada hakikatnya dapat menggunakan pola asuransi
sosial syariah oleh BUMN sebagai upaya untuk memberiakan hak
konstitusional uamat islam di Indonesia. Konsep asuransi sosial
syariah yang dilaksanakan sama dengan asuransi sosial perusahaan
dimana ada dua pihak yang berperan yaitu pemerintah sebagai
bagian dari kewajiban untuk membantu masyarakat sebagai amanat
konstitusi dan masyarakat yang menjadi asuransi sosial syariah.
Asuransi sosial syariah yang berlandaskan pada saling tolong-
menolong masyarakat, dimana pemerintah memberikan dana kepada
masyarakat sebagai dana jaminan sosial melalui APBN yang
dikelola oleh perusahaan asuransi sosial syariah. Pengalokasian dana
dari pemerintah tidak 100% (seratus persen) diberikan oleh
pemerintah, tetapi ada premi asuransi yang harus dibayarkan oleh
masyarakat. Dalam hal ini, dimana sistem pengoprasian asuransi
sosial syariah merupakan tanggung jawab antara pemerintah dan
masyarakat.39

39
Fakhrul Muin dan Rully Syahrul mucharom “Asuransi Sosial Syariah Bagi Muslim
Indonesia”, Ahkam, Vol. XV, No. 1( Januari 2015).
BAB III
MEKANISME PENGELOLAAN DANA PADA BPJS KESEHATAN

A. Pengertian BPJS Kesehatan


Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden No 12 Tahun 2013
Tentang Jaminan Kesehatan, Jaminan kesehatan adalah jaminan berupa
perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan
kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan
yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau
iurannya dibayarkan oleh pemerintah.40Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) adalah badan hukum publik yang
bertanggung jawab kepada Presiden dan berfungsi menyelenggarakan
program jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia termasuk
orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia.41
Pengertian badan hukum publik tersebut adalah badah hukum
yang didirikan berdasarkan hukum publik atau orang banyak, atau orang
menyangkut kepentingan negara. Badan hukum publik memiliki dua
macam bagian yaitu badan hukum yang mempunyai teritorial dan badan
hukum yang tidak mempunyai teritorial. Dalam penjelasannya, badan
hukum yang mempunyai teritorial adalah suatu badan hukum yang
memperhatikan atau menyelenggarakan kepentingan mereka yang tinggal
didalam daerah atau wilayah. Sedangkan badan hukum yang tidak
mempunyai teritorial adalah suatu badan hukum yang dibentuk oleh yang
berwajib dan hanya untuk tujuan tertentu.42

40
Peraturan Presiden No 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan, Pasal 1.
41
www.jamsosindonesia.com/bpjs/view/pengeretian-bpjs-kesehatan
42
Jucky Nirwan, Penerapan Kebijakan Sistem dan Akad Pada Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Perspektif Ekonomi Islam Cabang Palangka Raya, IAIN
Palangka Raya 2017.

43
Tiga kriteria di bawah ini digunakan untuk menentukan bahwa
BPJS merupakan badan hukum publik, yaitu:43
1. Cara pendiriannya atau terjadinya badan hukum itu, diadakan dengan
konstruksi hukum publik, yaitu didirikan oleh penguasa (Negara)
dengan Undang-undang.
2. Lingkungan kerjanya, yaitu dalam mmelaksanakan tugasnya badan
hukum tersebut pada umumnya dengan publik dan bertindak dengan
kedudukan yang sama dengan publik.
3. Wewenangnya, badan hukum tersebut didirikan oleh penguasa Negara
dan diberi wewenang untuk membuat keputusan, ketetapan, atau
peraturan yang mengikat umum.
BPJS merupakan badan hukum public karena memenuhi ketiga
persyaratan tersebut di atas. Ketiga persyaratan tersebut tercantum dalam
berbagai norma dalam UU BPJS, yaitu:
1. BPJS dibentuk dengan Undang-undang No. 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
2. BPJS berfungsi untuk menyelenggarakan kepentingan umum, yaitu
system Jaminan Sosial Nasional (JSN) yang berdasarkan asas
kemanusiaan, manfaat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
3. BPJS diberi delegasi kewenangan untuk membuat aturan yang
mengikat umum.
4. BPJS bertugas mengelola dana publik, yaitu dana jaminan sosial untuk
kepentingan peserta.
5. BPJS berwenang melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas
kepatuhan peserta dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial
nasional.

43
Asih Eka Putri, seri buku saku-2: paham BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Kesehatan), 2014, h.., 7.
45

6. BPJS bertindak mewakili Negara RI sebagai anggota organisasi atau


lembaga internasional.
7. BPJS berwenang mengenakan sanksi administrative kepada peserta
atau pembari kerja yang tidak memenuhi kewajibannya.
8. Pengangkatan anggota Dewan Pengawas dan anggota Dioreksi oleh
Presiden, setelah melalui proses seleksi publik.
Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosiaal (UU BPJS) pasal 7 ayat (1) dan ayat (2)
pasal 9 ayat (1) yakni Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS
Kesehatan) adalah badan hukum publik yang bertanggungjawab kepada
Presiden dan berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
Jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesetan agar
peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan
dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap
orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.
Dalam pelaksanaan pengelolaan BPJS, dapat dikategorikan
menjadi dua macam, yaitu sumber dana yang berupa iuran dan alokasi
dana iuran yang kemudian dikelola oleh BPJS untuk pertanggungan bagi
peserta dengan bentuk layanan kesehatan maupun jaminan lainnya. Selain
itu terdapat beberapa ketentuan dalam pengelolaan BPJS, seperti
pembagian kelompok iuran yang harus dibayar,serta kepesertaan menjadi
anggota BPJS.44

B. Sejarah perjalanan jaminan sosial di Indonesia


Jaminan pemeliharaan kesehatan di Indonesia sebenarnya sudah
ada sejak zaman kolonial Belanda. Dan setelah kemerdekaan, pada tahun
1949, setelah pengakuan kedaulatan oleh Pemerintah Belanda, upaya
untuk menjamin kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat,
khususnya pegawai negeri sipil beserta keluarga, tetap dilanjutkan.
44
Rosmiati, Hasan Aedy, Ambo Wonua Nusantara, “Studi Identifikasi Kesesuaian
Pengelolaan Dana BPJS Kesehatan dengan Prinsip Syariah”, Ekonomi Pembangunan, Vol 8,
No 2,(Desember 2018).
46

Prof.g.a. siwabessyi, selaku Menteri Kesehatan yang menjabat pada saat


itu, mengajukan sebuah gagasan untuk perlu segera menyelenggarakan
program asuransi kesehatan semesta (universal health insurance) yang saat
itu mulai diterapkan di banyak negara maju dan tengan berkambang pesat.
Pada saat itu pesertanya baru mencakup pegawai negeri sipil
beserta anggota keluarganya saja. Namun Siwabessy yakin suatu hari
nanti, klimaks dari pembangunan derajat kesehatan masyarakat Indonesia
akan tercapai melalui suatu sistem yang dapat menjamin kesehatan seluruh
warga bangsa ini.
Pada 1968, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehtan
Nomor 1 Tahun 1968 denagn membentuk Badan Penyelenggara Dana
Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang mengatur pemeliharaan kesehatan
bagi pegawai negara dan penerima pensiun beserta keluarganya.
Selang beberapa waktu kemudian, pemerintah mengeluarkan
Perturan Pemerintah Nomor 22 dan 23 Tahun 1984. BPDPK pun berubah
status dari sebuah badan dilingkungan Departemen Kesehatan menjadi
BUMN, yaitu PERUM HUSADA BHAKTI (PHB), yang melayani
jaminan kesehatan bagi PNS, pensiun PNS, veteran, perintis kemerdekaan,
dan anggota keluarganya.
Pada tahun 1992, PHB berubah status menjadi PT Akses (Persero)
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992. PT Akses (Persero)
mulai menjangkau karyawan BUMN melalui program Alses Komersial.
Pada Januari 2005 PT Akses (Persero) dipercaya pemerintah untuk
meaksanakan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin
(PJKMM) yang selanjutnya dikenal menjadi program Askeskin denagn
sasaran peserta masyarakatmiskin dan tidak mampu sebanyak 60 juta jiwa
yang iurannya dibayarkan oleh Pemerintah Pusat.
PT Akses (Persero) juga menciptakanprogram Jaminan Kesehatan
Masyarakat Umum (PJKMU), yang ditujukan bagi masyarkat yang belum
tercover oleh jamkesmas, Akses Sosial, maupun asuransi swasta. Hingga
saat itu, ada lebih dari 200 kabupaten/kota atau 6,4 juta jiwayang telah
47

menjadi peserta PJKMU. PJKMU adalah Jaminana Kesehatan Daerah


(Jamkesda) yang pengelolaannya diserahkan kepada PT Akses (Persero).
Langkah menuju cakupan kesehatan semesta pun semakin nyata
dengan resmi beroprasinya BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014, sebagai
transformasi dari PT Akses (Persero). Hal ini berawal pada tahun 2004
saat pemerintah mengeluarkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan kemudian pada tahun 2011
pemerintah menetapkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) serta menunjuk PT Akses (Persero)
sebagai penyelenggara program jaminan sosial dibidang kesehatan,
sehingga PT Akses (Persero) pun berubah menjadi BPJS Kesehatan.45

C. Dasar Hukum BPJS Kesehatan


Dasar hukum perubahan PT. AKSES (Persero) menjadi BPJS Kesehatan:
1. Undang-undang Dasar 1945.
2. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional.
3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial
Selanjutnya pemerintah yang mengatur tentang penyelenggaraan
BPJS kesehatan yaitu:
1. PP no. 90 Tahun 2013 Pencabutan PP 28/2003 tentang Subsidi dan
Iuran Pemerintan dalam Penyelenggaraan Asuransi Kesehatan bagi
PNS dan Penerima Pensiun.
2. PP no. 89 Tahun 2013 tentang Pencabutan PP 69/1991 Pemeliharaan
Kesehatan PNS, Penerima Pensiun, Veteran Perintis Kemerdekaan
beserta Keluarganya.
3. PP no.88 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi
Administratif bagi Anggota Dewan Pengawas dan Angota Dewan
Direksi Penyeenggara Jaminan Sosial.

45
https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/pages/detail/2013
48

4. PP no.87 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengelolaan Aset Jaminan


Sosial Kesehatan.
5. PP no.86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi
Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan
Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja dan Penerima Bantuan
Iuran dalam Penyelenggara Jaminan Sosial.
6. PP no.85 Tahun 2013 tentang Hubungan antara Setiap badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
Peraturan Presiden yang mengatur tentang BPJS Kesehatan yaitu:
1. Perpres no. 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana
Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama Milik Pemerintah Daerah.
2. Perpres no. 111 Tahun 2013 tentang Perugahan atas Perpres no. 12
Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
3. Perpres no. 110 Tahun 2013 tentang Gaji atau Upah dan Manfaat
Tambahan Lainnya serta Insentif bagi Anggota Dewan Pengawas dan
Anggota Direksi BPJS.
4. Perpres no. 109 Tahun 2013 tentang Penahapan Kepesertaan Program
Jaminan Sosial.
5. Perpres no. 108 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Isi Laporan
Pengelolaan Program Jaminan Sosial.
6. Perpres no. 107 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Tertentu
Berkaitan Dengan Kegiatan Operasional Kementrian Pertahanan, TNI
dan Kepoisian NKRI.
7. Perpres no. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
Dari berbagai dasar hukum yang melandasi perubahan PT. Akses
(persero) menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan baik itu
berdasarkan Undang-undang, Peraturan Pemerintah maupun Peraturan
Presiden maka terdapat berbagai dampak atau akibat dari perubahan itu
yaitu:
49

1. Dampak bagi perusahaan


a. Perusahaan wajib mendaftarkan karyawannya kepada BPJS
Kesehatan.
b. Perusahaan wajib mengalokasikan dan untuk mebayar iuran kepada
BPJS Kesehatan.
2. Dampak bagi masyarakat.
a. Kepesertaan bersifat wajib.
b. Peserta harus membayar iuran.46

D. Fungsi, Tugas, Wewenang, Hak dan Kewajiban BPJS Kesehatan


1. Fungsi
Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan
asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia yang bertujuan untuk memberikan jaminan
terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta
dan/atau anggota keluarganya.
Sistem Jaminan Nasional diselenggarakan berdasarkan padap rinsip :47
a. Kegotong-royongan.
b. Nirlaba.
c. Keterbukaan.
d. Kehati-hatian.
e. Akuntabilitas.
f. Portabilitas.
g. Kepesertaanbersifatwajib.
h. Dana amanat.
i. Hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya
untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar
kepentingan peserta.

46
Widya Hartati, “Kjian Yuridis Perubahan PT. Akses (Persero) Menjadi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan”, IUS, Vol III, Nomor 9, (Desember 2015).
47
Pasal 2, 3, dan 4 UU No. 40 Tahun 2004, tentang SJSN
50

UU BPJS menentukan bahwa, “BPJS Kesehatan berfungsi


menyelenggarakan program jaminan kesehatan”. Jaminan kesehatan
menurut UU SJSN diselenggarakan secara nasional berdasarkan
prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, dengan tujuan menjamin
agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan
perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
2. Tugas
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana tersebut di atas,
BPJS bertugas untuk:
a. Melakukan dan /atau menerima pendaftaran peserta.
b. Memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta dan pemberi
kerja.
c. Menerima bantuan iuran dari pemerintah.
d. Mengelola dana jaminan sosial untuk kepentungan pesera.
e. Mengumpukan dan mengelola data peserta program jaminan sosial.
f. Membayarkan manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan
sesuai dengan ketentuan program jaminan sosial.
g. Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program
jaminan sosial kepada peserta dan masyarkat.
3. Wewenang
Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud di atas
BPJS berwenang:
a. Menagih pembayaran iuran.
b. Menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek
dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas,
solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang
memadai.
c. Melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta
dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undanganjaminan sosial nasional.
51

d. Membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar


pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif
yang ditetapkan oleh Pemerintah.
e. Membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas
kesehatan.
f. Mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi
kerja yang tidak memenuhi kewajibannya.
g. Melaporkan pemberi kerja kepada instansi yang berwenang
mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar iuran atau dalam
memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
h. Melakukan kerjasama denagn pihak lain dalam rangka
penyelenggaraan program jaminan sosial.
Kewenangan menagih pembayaran iuran dalam arti meminta
pembayaran dalam hal terjadi penunggakan, kemacetan,atau
kekurangan pembayaran, kewenangan melakukan pengawasan dan
kewenangan mengenakan sanksi administratif yang diberikan kepda
BPJS memperkuat kedudukan BPJS sebagai hukum publik.48
4. Hak BPJS Kesehatan
UU BPJS menentukan dalam melaksanakan kewenangannya,
BPJS berhak:
a. Memperolah dana oprasional untuk penyelenggaran program yang
bersumber dari dana jaminan sosial dan/atau sumber lainnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan
program jaminan sosial dari DJSN.
Dalam penjelasan pasal 12 huruf a UU BPJS dikemukakan
bahwa yang dimaksud dengan dana oprasional adalah bagian dari
akumulasi iuran jaminan sosial dan hasil pengembangannya yang

48
www.jamsosindonesia.com/bpjs/view/fungsi-tugas-wewenang
52

dapat digunakan BPJS untuk membiayai kegiatan oprasional


penyelenggaraan program jaminan sosial.
UU BPJS tidak memberikan pengaturan mengenai berapa
besaran dana oprasional yang dapt diambil dari akumulasi iuran
aminan sosial dan hasil pengembangannya. UU BPJS tidak juga
mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai hal tersebut kepada
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang.
Dana oprasional yang digunakan oleh BPJS untuk membiayai
kegiatan oprasional penyelenggaraan program jaminan sosial tentunya
harus cukup pantas jumlahnya agar BPJS dapat bekerja secara
optimal, tetapi tidak boleh berlebihan.Besaran dana oprasional harus
dihitung dengan cermat, menggunakan ratio yang wajar sesuai dengan
best practice penyelenggaraan program jaminan.
Mengenai hak memperoleh hasil monitoring dan evaluasi
penyelenggaraan program jaminan sosial dari DJSN setiap 6 bulan,
dimaksudkan agar BPJS memperoeh umpan balik sebagai bahan untuk
melakukan tindakan korektif memperbaiki penyelenggaraan program
jaminan sosial. Perbaikan penyelenggaraan program akan memberikan
dampak pada pelayanan yang semakin baikkepada peserta. Tentunya
DJSN sendiri dituntut untuk melakukan monitoring dan evaluasi
secara objektif dan profesional untuk menjamin terselenggaranya
program jaminan sosial yang optimal dan berkelanjutan, termasuk
timgkat kesehatan keuangan BPJS. 49

a. Hak Peserta
1) Mendapatkan kartu peserta sebagai identitas peserta untuk
memperolah pelayanan kesehatan.

Faizal Nurmatias, Sulistyandari, “Maula Dina, Perspektif Hukum Islam Terhadap


49

Iuran BPJS Kesehatan” (analisis atas bab v pasal 19 ayat 3 UU No 24 tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial) Jurnal
53

2) Memperoleh manfaat dan informasi tentang hak dan


kewajiban serta prosedur pelayanan kesehatan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
3) Mendapatkan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang
bekerja dengan BPJS kesehatan, dan
4) Menyampaikan keluhan / pengaduan, kritik dan saran secara
lisan atau tertulis kepada BPJS Kesehatan.
5. Kewajiban BPJS Kesehatan
UU BPJS menentukan bahwa untuk melaksanakan tugasnya,
BPJS berkewajiban untuk:
a. Memberikan nomor identitas tunggal kepada peserta; yang
dimaksud dengan “nomor identitas tunggal” adalah nomor yang
diberikan secara khusus oleh BPJS kepada setiap peserta untuk
menjamin tertib administrasi atas hak dan kewajiban setiap
peserta. Nomor identitas tunggal berlaku untuk semua program
jaminan sosial.
b. Mengembangkan aset Dana Jaminan Sosial dam BPJS untuk
sebesar-besarnya kepentingan peserta.
c. Memberikan informasi melalui media massa cetak dan elektronik
mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil
pengembangannya. Informasi mengenai kinerja dan kondisi
keuangan BPJS mencakup informasi mengenai jumlah aset dan
liabilitas, penerimaan dan pengeluaran BPJS.
d. Memberikan manfaat kepada kepada seluruh peserta sesuai UU
SJSN.
e. Memberikan informasi kepada peserta mengenai hak dan
kewajiban untuk mengikuti ketentuan yang berlaku.
f. Memberikan informasi kepada peserta mengenai prosedur untuk
mendapatkan hak dan memenuhi kewajiban.
g. Memberikan informasi kepada peserta mengenai saldo JHT dan
pengembangannya 1 kali dalam 1 tahun.
54

h. Memberikan informasi kepada peserta mengenai besar hak pensiun


1 kali dalam 1 tahun.
i. Membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktik aktuaria
yang lazim dan berlaku umum.
j. Melakukan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang
berlaku dalam penyelenggaraan jaminan sosial.
k. Melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi
keuangan, secara berkala 6 bulan sekai kepada Presiden dengan
tembusan kepada DJSN.
Jika dicermati ke 11 kewajiban BPJS tersebut berkaitan dengan
governance BPJS sebagai badan hukum publik. BPJS harus dikelola
sesuai dengan prinsip-prinsip transparancy, accountability, and
responsibility, responsiveness, independency, dan fairness.
Dari 11 kewajiban yang diatur dalam UU BPJS, 5 diantaranya
menyangkut kewajiban BPJS memberikan informasi. UU Nomor 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi publik memang
mewajibkan badan publik untuk mengumumkan infomasi publik yang
meliputi informasi yang berkatan denagn badan publik, informasi
mengenai kegiatan dan kinerja badan publik, informasi mengenai
laporan keuangan, dan informasi lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.50
a. Kewajiban peserta
1) Mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai
peserta BPJS Kesehatan.
2) Membayar iuran.
3) Memberika data dirinya dan anggota keluarganya secara
lengkap dan benar.
4) Melaporkan perubahan data dirinya dan anggota keluarganya,
antara lain perubahan golongan, pengkat atau besaran gaji,
50
Faizal Nurmatias, Sulistyandari, “Maula Dina, Perspektif Hukum Islam Terhadap
Iuran BPJS Kesehatan” (analisis atas bab v pasal 19 ayat 3 UU No 24 tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial) Jurnal
55

pernikahan, perceraian, kematian, kelahiran, pindah alamat


dan pindah fasilitas kesehatan tingkat pertama.
5) Menjaga kartu peserta agar tidak rusak, hilang atau
dimanfaatkan oleh orang yang tidak berhak.
6) Mentaati semua ketentuan dan tata cara pelayanan kesehatan.
b. Kewajiban Pemberi Kerja
1) Mendaftarka dirinya dan pekerjanya sebagai peserta jaminan
kesehatan kepada BPJS Kesehatan.
2) Menghitung dan memungut iuran yang menjadi kewajiban
pesera dari pekerjanya melalui pemotongan gaji/upah
pekerja.
3) Membayar dan menyetorkan iuran yang menjadi tanggung
jawabnya kepada BPJS Kesehatan.
4) Memberikan data mengenai dirinya, pekerjaanya dan anggota
keluarganya secara lengkap dan benar.
5) Data pekerja berikut anggota keluarganya yang didaftarkan
sesuai dengan data pekerja yang dipekerjakan.
6) Data upah yang dilaporkan sesuai dengan upah yang diterima
pekerja.
7) Data kepesertaan dalam program jamina sosial sesuai dengan
pentahapan kepesertaan.
8) Perubahan data Badan Usaha atau Badan Hukumnya,
meliputi: alamat perusahaan, kepengurusan perusahaan, jenis
badan usaha, jumlah pekerja, data pekerja dam keluarganya,
dan perubahan besarnya upah setiap pekerja.51

51
https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/pages/detail/2017/27 , 20 september
2018.
BAB IV
ANALISIS MEKANISME PENGELOLAAN DANA PADA BPJS
KESEHATAN

A. Penerapan Pengelolaan Dana BPJS Kesehatan Dalam Tinjauan


Hukum Islam
Hukum Islam mengakui adanya kebebasan berkontrak. Nas-nas
al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta kaidah-kaidah fiqh menunjukan bahwa
hukum Islam menganut asas kebebasan berkontrak. Dalam al-Qur’an
Allah berfirman.

....‫نَآمََنُوََْاوْ فُوَْاَبَاَل َُعقَُوَْ َد‬


َ َ‫يَ َاأيهَاالذَ ْي‬
“Hai orang-orang yang beriman! Tunaikan lah akad-akad itu …
(QS. Al-Maidah [5]: 1)
Dari ayat ini disimpulkan tentang asas kebebasan berkontrak.
Perintah dalam ayat ini menunjukan wajib. Memenuhi akad-akad itu
hukumnya wajib. Sehingga dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa akad
apa saja, baik yang bernama maupun yang tidak bernama wajib untuk
dipenuhi. Dalam hadist Nabi dinyatakan :

‫حلَحَ َرامَا‬
َ ‫طاَحَرمَََحَلََالَََأوََْأ‬
َ َْ‫الَشر‬ َ َْ‫علَىَ ُشَ َُرو‬
َ ‫طهَ َْمََإ‬ َْ ‫ال َُم‬
َ ََ‫سلَ َُموْ ن‬
“Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang diberlakukan
diantara mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.”
Sedangkan kaidah fiqh menyatakan :
َ‫َاألصْ لَُفىَال ُمعامآلتَاإلباحةَُإالأ ْنَيدُلَدلَ ْيلٌَعليَالتحْ ريْم‬
"Pada dasarnya, segala bentuk muamalat diperboehkan kecuali
ada dalil yang menharamkannya atau meniadakan kebolehannya”
Kaidah di atas secara jelas menunjukan kebebasan berkontrak
karena perjanjian itu dinyatakan sebagai dasar sepakat para pihak dan

55
56

akibat hukumnya adalah apa yang dibuat oleh para pihak sendiri
melalui janji.52
UU BPJS menentukan dalam melaksanakan kewenangannya,
BPJS berhak:
1. Memperoleh dana oprasional untuk penyelenggaraan program
yang bersumber dari dana jaminan sosial dan / atau sumber
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undagan.
2. Memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan
program jaminan sosial dan hasil pengembangannya yang dapat
digunakan BPJS untuk membiayai kegiatan oprasional
penyelenggaraan program jaminan sosial.
Adapun hak peserta yaitu:
1. Mendapatkan kartu peserta sebagai identitas peserta untuk
memperoleh pelayanan kesehatan.
2. Memperoleh manfaat dan informasi tentang hak dan
kewajiban serta prosedur pelayanan kesehatan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
3. Mendapatkan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang
bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, dan
4. Menyampaikan keluhan / pengaduan, kritik dan saran secara
lisan atau tertulis kepada BPJS Kesehatan.
UU BPJS menentukan bahwa untuk melaksanakan tugasnya, BPJS
berkewajiban untuk:
1. Memberikan nomor identitas tunggal kepada peserta, yang
dimaksud dengan “nomor identitas tunggal” adalah nomor yang
diberikan secara khusus oleh BPJS kepada setiap peserta untuk
menjamin tertib administrasi atas hak dan kewajiban setiap
peserta. Nomor identitas tunggal berlaku untuk semua program
jaminan sosial.

52
Mairijani, Prinsip Umum Sistem Jaminan Sosial Nasional Oleh BPJS Menurut Hukum
Ekonomi Islam, Interest, Vol. 12, No. 1 Oktober 2014.

56
57

2. Mengembangkan aset dana jaminan sosial dan BPJS untuk


sebesar besarnya kepentingan peserta.
3. Memberikan informasi melalui media massa cetak dan
elektrononik mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta
kekayaan dan hasil pengembangannya. Informasi mengenai
kinerja dan kondisi keuangan BPJS mencakup informasi
mengenai jumlah aset dan liabilitas, penerimaan dan
pengeluaran BPJS.
4. Memberikan manfaat kepada seluruh peserta sesuai UU SJSN.
5. Memberikan informasi kepada peserta mengenai hak dan
kewajiban untuk mengikuti ketentuan yang berlaku.
6. Memberikan informasi kepada peserta mengenai prosedur
untuk mendapatkan hak dan memenuhi kewajiban.
7. Memberikan informasi kepada peserta mengenai saldo Jaminan
Hari Tua (JHT) dan pengembangannya 1 kali dalam satu tahun.
8. Memberikan informasi kepada peserta mengenai besar hak
pensiun 1 kali dalam 1 tahun.
9. Membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktik
aktuaria yang lazim dan berlaku umum.
10. Melakukan pembukaan sesuai dengan standar akuntansi yang
berlaku dalam penyelenggaran jaminan sosial.
11. Melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi
keuangan, secara berkala 6 bulan sekali kepada Presiden
dengan tembusan kepada DJSN.
Adapun kewajiban peserta sebagai berikut:
1. Mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai peserta
BPJS Kesehatan.
2. Membayar iuran.
3. Memberikan data dirinya dan anggota keuarganya secara
lengkap dan benar.
58

4. Melaporkan perubahan data dirinya dan anggota keluarganya,


antara lain perubahan golongan, pangkat atau besaran gaji,
pernikahan, perceraian, kematian, kelahiran, pindah alamat dan
pindah fasilitas kesehatan tingkat pertama.
5. Menjaga kartu peserta agar tidakrusak, hilang atau
dimanfaatkan oleh orang yang tidak berhak.
6. Mentaati semua ketentuan dan tata cara pelayanan kesehatan.53
Adapun ketentuan mengenai akad dalam asuransi syariah adalah
sebagai berikut:54
1. Akad dalam asuransi
a. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas
akad tijarah dan/atau akad tabarru
b. Akad tijarah yang dimaksud ayat1 fatwa DSN MUI adalah
mudharabah, sedangkan akad tabarru adalah hibah
c. Dalam akad sekurang - kurangnya harus disebutkan :
1) Hak dan kewajiban peserta asuransi dan perusahaan asuransi;
2) Cara dan waktu pembayaran premi ;
3) Jenis akad tijarah dan/atau akad tabarru serta syarat-syarat
yang disepakati sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
2. Kedudukan para pihak dalam akad tijarah dan tabarru adalah sebagai
berikut:
a. dalam akad tijarah (mudharabah) perusahaan bertindak sebagai
mhudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shohibul
maal (pemegang polis).
b. dalam akad tabarru (hibah), peserta memberikan hibah yang akan
digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah,
sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.
Hubungan antara perusahaan takaful dan peserta mengikatkan diri
dalam perjanjian mudharabah dengan hak dan kewajiban sesuai dengan
53
https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/pages/detail/2007/27, di akses pada 20
september 2018.
54
Fatwa DSN MUI NO. 21 DSN/MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
59

perjanjian. Berbeda dengan asuransi konvensional, asuransi syariah


dibangun dengan semangat saling menanggung (takaful), bukan
berdasarkan akad pertukaran (tadabbuli).
3. Tata cara pengelolaan atau investasinya tidak boleh bertentangan
dengan syariat Islam:
a. Tidak menginvestasikan dananya dengan menggunakan
mekanisme bunga/riba.
b. Terhindar dari gharar (ketidakjelasan transaksi), diharamkannya
asuransi konvensional karena ketidakjelasan ma’kud alaihi
(sesuatu yang diadakan) yang meliputi hal-hal yang tidak
diketahui secara pasti berapa yang diperoleh (ada ataupun tidak
ada, besar maupun kecil), tidak diketahui berapa yang dibayarkan
, tidak diketahui berapa peserta akan mampu membayarnya.
c. Terhindar dari maysir (judi / untung-untungan). Mekanisme
asuransi konvensional melahirkan konsep maysir sebagai akibat
dari adanya gharar. Dalam asuransi konvensional, maysir dapat
timbul karena ada dua hal yakni:
1) Sekiranya seseorang memasuki satu premi, ada kemungkinan
dia berhenti karena alasan tertentu. Jika berhenti di jalan
sebelum mencapai refreshing period, dia hanya bisa
menerima uangnya kembali sekitar 20% dan selebihnya
hangus.
2) Apabila perhitungan kematian tepat dan menunjukan jumlah
polis yang tepat, maka perusahaan akan untung, tetapi jika
salah dalam perhitungan maka perusahaan akan rugi.55
Menurut Fatwa MUI NO.98/DSN-MUI/XII/2015, akad antara
Peserta-Individu dengan Peserta-Kolektif yang diwakili BPJS Kesehatan
adalah akad hibah dalam rangka saling menolong sesama peserta
(ta’awun). Akad antara Pemerintah dengan Peserta-Individu sebagai

55
Muhammad Firdaus, dkk, Sistem Oprasional Asuransi Syariah, (Jakarta: Renaisan,
2005), h. 25.
60

Penerima Bantuan Iuran (PBI) adalah akad hibah, yang diserahterimakan


kepada BPJS Kesehatan sebagai wakil dari Peserta-Kolektif. Akad antara
Peserta-Kolektif dengan BPJS Kesehatan adalah akad wakalah atau akad
wakalah bil ujrah yang mencakup pemberian kuasa untuk kegiatan
administrasi, pengelolaan portofolio risiko, investasi atau pembangunan
DJS, pembayaran klaim dari BPJS ke faskes, dan pemasaran (promosi)
atau sosialisasi.
Dalam ketentuan terkait penempatan dan pengembangan DJS,
BPJS Kesehatan wajib memiliki rekening penampungan DJS pada bank
syariah. BPJS Kesehatan wajib melakukan pengelolaan portofolio DJS
sesuai dengan prinsip syariah. BPJS Kesehatan tidak boleh
mengembangkan DJS pada kegiatan usaha dan/atau transaksi keuangan
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah dan dalam upaya
mengembangkan DJS harus menggunakan akad-akad yang sesuai prinsip-
prinsip syariah.
BPJS Kesehatan boleh mengenakan sanksi (ta’zir) kepada pemberi
kerja atau peserta-individu dengan ketentuan berikut:
1. Apabila pemberi kerja atau peserta-individu terlambat membayar
iuran karena lalai, maka boleh dikenakan sanksi (ta’zir)
2. Apabila pemberi kerja atau peserta-individu terlambat membayar
iuran karena sebab yang benar menurut syariah dan hukum (misal
karena kendala teknis operasional, kesulitan keuangan yang sangat
atau ketidaktahuan), maka BPJS Kesehatan tidak boleh mengenakan
sanksi
3. Tingkatan berat atau ringannya sanksi (ta’zir) dapat diberlakukan
sepadan dengan jenis dan tingkatan pelanggarannya dan dana sanksi
(ta’zir) wajib diakumulasikan ke dalam dana jaminan sosial.
BPJS Kesehatan boleh dikenakan sanksi (ta’zir) karena terlambat
dalam pembayaran imbalan kepada faskes sesuai nilai syariah serta
61

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dana sanksi wajib


dipergunakan untuk dana sosial.56
Jaminan sosial yang berbentuk asuransi sosial (at-takmin at-
ta’awuniy). Dalam konsep jaminan sosial, baik di bidang kesehatan,
ketenagakerjaan, hari tua dan kematian, seluruh rakyat diwajibkan
membayar premi secara terjangkau. Konsep jaminan sosial dalam bentuk
at-takmin at- ta’awuniy ini, merupakan implementasi dari perintah Al –
Qur’an agar hambanya saling menolong (ta’awun), dan saling melindungi.
Cukup banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW yang memerintahkan
agar manusia saling menolong, saling melindungi, saling menyayangi.
Implementasi dari doktrin syariah tersebut diwujudkan dalam bentuk
asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan.
Dengan demikian konsep Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS
sesungguhnya penerapan at-takmin at- ta’awuniy yang sangat didukung
dan didorong oleh ajaran syariah Islam. Konsep Islam mengenai jaminan
sosial sejalan dengan UUD 1945. Landasan konstitusional Negara
Indonesia ini dengan jelas mengintruksikan bahwa salah satu tugas negara
adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Salah satu upaya yang
mencapainya adalah dengan mengembangkan suatu sistem jaminan sosial
(at-takaful al-ijtima’iy)57
Beberapa indikator dan kriteria yang menentukan asuransi sesuai
syariah atau tidak, yaitu harus dipastikan dalam pengelolaan dan
penanggungan risiko terhindar dari unsur gharar (ketidakpastian atau
spekulasi), maisir (perjudian) dan dalam investasi atau manejemen dana
tidak diperkenankan adanya riba.
Definisi gharar menurut Mazhab Syafi’i adalah apa-apa yang
akibatnya tesembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling kita
takuti. Gharar (ketidakjelasan) itu terjadi pada asuransi konvensional,

56
Fatwa DSN MUI NO.98/DSN-MUI/XII/2015 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Jaminan Sosial Kesehatan Syariah.
57
Diakses pada 19 Januari 2014 dari https://www.dakwatuna.com/2014/01/19/45011/bpjs-
dan-jaminan-sosial-syariah/
62

dikarenakan tidak adanya batas waktu pembayaran premi yang didasarkan


atas usia tertanggung, sementara kita sepakat bahwa usia seseorang berada
di tangan Yang Maha Kuasa. Jika baru sekali seorang tertanggung
membayar premi ditakdirkan meninggal, perusahaan akan rugi sementara
pihak tertanggung merasa untung secara materi. Jika tertanggung
dipanjangkan usianya, perusahaan akan untung dan tertanggung merasa
rugi secara finansial.
Dengan kata lain kedua belah pihak tidak mengetahui seberapa
lama masing-masing pihak menjalankan transaksi tersebut. Ketidakjelasan
jangka waktu pembayaran dan jumlah pembayaran mengakibatkan
ketidaklengkapan suatu rukun akad, yang kita kenal sebagai gharar. Para
ulama berpendapat bahwa perjanjian jual beli / akad tabadduli tersebut
cacat secara hukum.58
Dalam upaya menghindari gharar, pada setiap kontrak asuransi
syariah harus dibuat sejelas mungkin dan sepenuhnya terbuka.
Keterbukaan itu dapat diterapkan di dua sisi, yaitu baik pada pokok
permasalahan maupun pada ketentuan kontrak. Tidak diperbolehkan di
dalam kontrak asuransi syariah bila terdapat elemen yang tidak jelas dalam
pokok permasalahan dan/atau ruang lingkup kontrak itu sendiri.59
Solusi agar tidak terjadi gharar (peserta bayar premi bulanan,
namun tidak jelas berapa jumlah yang akan diterima, bisa lebih besar bisa
kurang) ini dengan tabungan sukarela sejak pembayaran premi yang
diniatkan peserta dalam akad. Sehingga tidak mengklaim yang membayar
premi lebih banyak akan menerima besar dan sebaliknya dengan tabungan
sukarela itu sebagai infak untuk membantu sesama tanpa melihat besar
kecilnya dari premi yang diterima.60

58
Muh Fudhail Rahman, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, Al-‘Adalah, Vol. X,
No. 1 Januari 2011.
59
Didi Sukardi, Pengelolaan Dana BPJS Kesehatan Dalam Perspektif Hukum Islam,
Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 1, No. 1, Juni 2016.
60
Itang, BPJS Kesehatan Dalam Perspektif Ekonomi Syariah, Ahkam, Vol. XV, No. 2,
Juli 2015.
63

Allah SWT. berfirman dalam Q.s. Al-Maidah [5]: 90, sebagai berikut:
Hai orang-orang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Secara bahasa maysir (judi) artintya memperoleh sesuatu dengan
sangat mudah tanpa kerja keras dalam pengertian yang lebih luas, maysir
dapat dipahami sebagai transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk
kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan
merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan
suatu tindakan atau kejadian tertentu.61
Maisir (perjudian) timbul karena gharar. Peserta (tertanggung)
mungkin memiliki kepentingan yang dipertanggungkan, tetapi apabila
perpindahan risiko berisikan elemen-elemen spekulasi, maka tidak
diperkenankan dalam asuransi sosial.62
Maysir dalam asuransi konvensional dapat terjadi dalam tiga hal
berikut:
1. Ketika peserta pemegang polis mendadak mendapat musibah dan risiko,
sehingga berhak mendapat klaim sungguhpun baru sedikit membayar
premi dan baru menjadi klien asuransi, maka dalam kondisi ini, peserta
diuntungkan;
2. Sebaliknya, jika hingga akhhir masa perjanjian dan pertanggungan,
namun tidak terjadi suatu klaim sekalipun sementara premi telah
dibayar lunas oleh peserta maka dalam keadaan demikian, perusahaan
yang diuntungkan;
3. In case peserta asuransi pemegang polis karena hal-hal tertentu
membatalkan kontraknya sebelum masa reserving period, maka uang

61
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and genera)l konsep dan sistem
operasiona, h., 48.
62
Didi Sukardi, Pengelolaan Dana BPJS Kesehatan Dalam Perspektif Hukum Islam,
Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 1, No. 1, Juni 2016.
64

premi yang telah dibayarkan (cash value) tidak akan dikembalikan


kecuali sebagian kecil saja, bahkan uangnya dianggap hangus.63
Solusi agar tidak terjadi unsur judi, perhitungan keuangan bisa jadi
untung, bisa jadi rugi. Tidak menyebut peserta BPJS yang sakit berarti
untung, sebaliknya ketika sehat berarti rugi. Hendaknya pengelolaan premi
yang dibayarkan peserta BPJS terbagi tiga alokasi dana, yaitu dana tabarru
(sukarela / kebajikan), tabungan (investasi) dan upah (ujrah) bagi
pengelola BPJS. Dengan pembagian dana ini alokasinya jelas, bagi peserta
yang sakit biayanya diambil dari dana tabarru yang diberikan peserta
secara sukarela denagn prinsip ta’awun (tolong-menolong). Dana investasi
ini merupakandana tabungan dari premi yang dibayarkan setiap bulan dan
dapat diambil sesuai waktu yang ditentukan dalam akad. Sedangkan ujrah
ini sebagai upah pengelola BPJS yang dananya dari premi yang dibayarkan
peserta yang besarannya sudah ditentukan dalam akad sesuai dengan
kesepakatan. Jadi perhitungan dan pembagian dana ini jelas tidak ada
unsur judi karena dibagi sesuai peruntukannya dengan tidak tarik menarik
antara yang sakit dan yang sehat.
Disamping bertentangan dengan syariat, filosofi pengharaman riba
pada dasarnya tidak saja merupakan domain preveles dalam doktrin Islam
atau agama samawi lainnya semata, namun juga pada hakikatnya
pelarangan riba dikarenakan berlawanan dengan keadilan dan fitrah
kemanusiaan manusia sendiri. Selain legalisasi riba dapat menimbulkan
negative spread dalam pertumbuhan ekonomi, praktik riba juga akan
menimbulkan ketidak-seimbangan sosial, sebab diperoleh secara tidak
adil, baik dalam bentuk pinjam-meminjam, hutang-piutang maupun jual
beli.
Riba secara Bahasa bermakna tambahan (ziyadah). Dalam
pengertian lain, juga berarti tumbuh (numuwu) dan membesar. Dalam
kasus asuransi yang dikembangkan dengan skema konvensional, sangat

63
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and genera)l konsep dan sistem
operasiona, h., 52.
65

mungkin melahirkan berbagai jenis riba tersebut. Riba fadl mungkin


terjadi dalam asuransi konvensional sebab tambahan (ziyadah), dapat
terjadi karena kelebihan sesuatu pertukaran (ziyadah ahad al-‘iwadayn)
baik itu dari sisi pembayaran premi oleh peserta ataupun pertanggungan
klaim yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi. Sementara riba nasi’ah
juga mungkin terjadi manakala suatu pertukaran sejenis (uang) ditunda
(ta’khir) penyerahannya (ta’khir ahad al-‘iwadayn al-muttahidayn jinsan).
Dalam hal ini, premi berupa uang (yang termasuk benda ribawi dengan
mengiyaskannya kepada emas dan perak sebab termasuk kedalam benda
berharga / tsamaniyah) diganti dan dibayarkan pula dengan uang (berupa
tuntutan klaim) belakang manakala terjadi musibah atau risiko.
Sebagaimana riba qord dapat berlangsung pula pada asuransi
konvensional jika dana asuransi yang ada, dikembangkan dan
diinvestasikan dengan skema kredit atau hutang-piutang konvensional
dengan mengandalkan pembayaran dari suku bunga yang disepakati di
awal transaksi atau perjanjian. Penetapan denda (penalty) atas
keterlambatan pembayaran premi peserta juga merupakan bentuk lain dari
riba yang tidak dapat dibenarkan secara syariat.
Di luar itu semua, ketiadaan Dewan Pengawas Syariah pada model
operasional asuransi konvensional, sangat rentan pula menyebabkan
investasi dana peserta pada sektor-sektor yang tidak dibenarkan secara
syariat, mengingat logika dalam investasi konvensional yang kurang
memperhatikan keabsahan hukum dan kesesuaian syariat, asalkan investasi
yang dilakukan dapat mendatangkan keuntungan maksimal semata. 64
Solusi pengelolaan BPJS ketika terjadi klaim peserta yang diterima
lebih besar dari premi yang dibayarkan, pembayarannya diambil dari
danatabarru (sukarela/kebajikan) agar tidak terjadi riba fadhl (tidak sama
uang yang diterima dengan premi yang dibayarkan) dengan prinsip syariah
al-takmin al-ta’awuni (asuransi sosial). Demikian denda yang dikenakan

64
Husni Mubarak, Kontroversi Asuransi di Indonesia, Jurnal Tsaqofah, Vol. 12, No I,
Mei 2016.
66

bagi peserta BPJS, dengan dana tabarru tersebut akan dapat tertalangi
keterlambatan pembayaran tersebut tanpa meminta denda kepada peserta
BPJS, sehingga tidak terhindar dari riba nasiah.65
Akan halnya bahaya riba dalam asuransi konvensioanl dapat
dihilangkan dengan menginvestasikan dana asuransi yang dipercayakan
oleh peserta asuransi kepada perusahaan pengelola dengan menggunakan
akad mudharabah (bagi hasil) dengan porsi pembagian yang disepakati di
awal, dimana peserta berperan sebagai pemilik harta, sedangkan
perusahaan sebagai pengelola (amil).66
Pengelolan asuransi kesehatan atau jaminan sosial lainnya dengan
model takaful yg berasaskan syariat ini telah lama dipraktikan dan
berkembang luas di berbagai negara Muslim seperti Sudan, Malaysia dan
lain-lain. Hal yang menjadi penting untuk diperhatikan dan dipahami
bersama bahwa keunggulan dari asuransi yang berlandaskan kepada
syariat Islam bukan saja karena ia bersumber dari ajaran agama, namun
juga sejalan dengan nilai, prinsip, dan semangat ajaran syariat yang
bertujuan mewujudkan keadilan dan maslahat bagi manusia
Asuransi sosial ini juga merupakan pertanggungan (daman) dari
BPJS Kesehatan yang terbentuk dari orang-orang yang berserikat terhadap
partisipan yang mengalami kejadian. Karena itu syarat-syarat
pertanggungan (al-daman) di dalam Islam wajib diterapkan terhadapnya.
Syarat pertanggungan (daman) adalah :
1. Di sana wajib ada hak yang wajib ditunaikan yang berada di dalam
tanggungan, yaitu bahwa kejadian yang terjadi kemudian perusahaan
memberikan pertanggungan kepada seseorang yang mengalami
kejadian. Artinya membayar konsekuensi yang muncul dari kejadian
itu.

65
Itang, BPJS Kesehatan Dalam Perspektif Ekonomi Syariah, Ahkam, Vol. XV, No. 2,
Juli 2015.
66
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and genera)l konsep dan sistem
operasiona, h, 176.
67

2. Di sana harus tidak ada konpensasi, yakni penanggung tidak


mengambil konpensasi baik disebut keuntungan atau surplus atau
partisipasi (premi).
3. Akad asuransi sosial harus akad yang syar’i dengan memnuhi syarat-
syarat syirkah di dalam Islam, yaitu adanya harta dan badan, bukan
syirkah harta saja.
4. Di sana tidak boleh ada investasi harta, apalagi dengan jalan tidak
syar’i, melaului perusahan lain, apapun nama dan sebutannya tidak
disebut investasi ataupun reasuransi.67
Dari hasil survey yang dilakukan dengan menggunakan metode
kuesioner, maka dilakukan analisis data menggunakan deskriptif kualitatif
yaitu untuk memberikan pemecahan masalah dengan mengumpulkan data
lapangan serta menganalisis data.
Kuesioner yang dilakukan dalam survey ini dibagi menjadi dua
variable yaitu peranan BPJS Kesehatan dan Asuransi Syariah. Kuesioner
dibagikan secara acak kepada peserta BPJS Kesehatan dengan jumlah
responden yang di dapatkan sebanyak 55 orang dengan 10 pertanyaan.
Yang pertama yaitu variable BPJS Kesehatan. Berdasarkan hasil
kuesioner yang dibagikan ke responden, didapatkan hasil sebagian besar
responden puas dan setuju dengan alasan merasa terbantu dengan adanya
peranan BPJS Kesehatan dalam masyarakat, namun sebagian dari
responden menyatakan kurang puas dengan alasan BPJS Kesehatan kurang
optimal dalam menjamin peserta untuk mendapatkan layanan kesehatan
dan kurang baik dalam mensosialisasikan informasi pemanfaatan BPJS
untuk memperoleh layanan kesehatan.
Yang kedua yaitu variable Asuransi Syariah. Berdasarkan hasil
kuesioner yang dibagikan, didapatkan hasil sebagian besar responden
setuju mengenai penerapan syariah dalam BPJS Kesehatan. Dengan
jumlah persentase yaitu sebesar 32,7 % peserta sangat setuju, 63,5%

67
Didi Sukardi, Pengelolaan Dana BPJS Kesehatan Dalam Perspektif Hukum Islam,
Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 1, No. 1, Juni 2016.
68

peserta setuju dan 3,8% peserta tidak setuju bila mana BPJS Kesehatan
menerapkan prinsip syariah.

B. Hambatan Penerapan Pengelolaan Dana BPJS Kesehatan Dalam


Tinjauan Hukum Islam
Prospek perkembangan industri asuransi khususnya asuransi
syariah di Indonesia menuju arah yang positif, ada juga tantangan-
tantangan yang dihadapi oleh industri asuransi syariah Indonesia. Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa masih banyak tantangan bagi
industri asuransi di Indonesia untuk terus berkembang di masa-masa
mendatang. Hasil survey literasi keuangan yang dilakukan OJK pada 2013
diketahui hanya 18 persen masyarakat yang memahami produk asuransi
dan baru 12 persen masyarakat yang memanfaatkan produk asuransi.
Untuk terus tumbuh maka industri asuransi harus mampu mengoptimalkan
berbagai macam langkah guna memberi edukasi mengenai pentingnya
memiliki asuransi.
Suatu industri ingin maju maka harus didukung banyak faktor,
dimana faktor-faktor yang mungkin menjadi tantangan industri asuransi
Indonesia kedepan adalah68:
1. Perlambatan ekonomi yang akan menurunkan permintaan (demand)
pasar asuransi dan juga kondisi pasar modal, pertumbuhan asuransi
umum tergantung kinerja sektor riil dengan melambatnya
perekonomian pada satu sampai dua tahun terakhir ini membuat
industri asuransi menghadapi perlambatan pertumbuhan karena
masyarakat lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan pokoknya
dahulu ketimbang untuk ikut asuransi.
2. Dari sisi permodalan industri asuransi dalam hal ini perusahaan
asuransi harus memnuhi kebutuhan modal minimal sekitar Rp. 100
miliar.

68
Herry Ramadhani, Prospek dan Tantangan Perkembangan Asuransi syariah di
Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, Vol. 01, No. 01, Desember 2015.
69

3. Adanya kompetisi terbuka untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi


Asean (MEA) dimana Indonesia ikut serta didalamnya.
4. Kurangnya sumber daya manusia yang paham dengan asuransi
syariah.
5. Masih rendahnya kesadaran pentingnya asuransi bagi masyarakat,
rendahnya pertumbuhan asuransi salah satunya akibatnya rendah
pendidikan masyarakat Indonesia dan juga masyarakat masih anti
dengan asuransi.
6. Banyak produk asuransi yang masih konvensional.
7. Masih kurangnya produk-produk asuransi yang bisa menjangkau kelas
menengah bawah dan kelas bawah, karena selama ini asuransi adalah
produk yang biayanya sangat mahal inovasi produk-produk asuransi
yang rendah.
8. Terbatasnya kapasitas risk coverage industri asuransi nasional.
Kapasitan perusahaan asuransi dan reasuransi nasional kita masih
relatif terbatas untuk dapat mencakup risiko terutama projek-projek
berskala besar.
9. Rendahnya aksesibilitas dan distribusi produk asuransi di tengah-
tengah masyarakat. Kehadiran kantor asuransi di daerah-daerah masih
tergolong rendah.
10. Susah jika melakukan klaim asuransi. Jauhnya masyarakat terhadap
produk asuransi selain dari tingkat literasi keuangan yang masih
kurang.
Asuransi syariah belum memiliki peraturan khusus yang berkenaan
dengan produk asuransi umum dan masih ikut kepada peraturan asuransi
konvensional. Selama ini, asuransi umum syariah masih mendasarrkan
legalitasnya pada UU No. 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian.
Secara oprasional asuransi syariah masih mengacu pada regulasi yang
dikeluarkan oleh pemerintah baik berupa peraturan pemerintah melalui PP
No. 73 Tahun 1992 jo PP No. 63 Tahun 1999 jo PP No. 39 Tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, maupun regulasi Menteri
70

Keuangan yang berkaitan dengan asuransi syariah dan juga fatwa yang
dikeluarkan oleh MUI melalui fatwa DSN-MUI yang berkaitan dengan
asuransi syariah.
Minimnya keuangan perusahaan. Beberapa hal menjadi penyebab
relatif rendahnya penetrasi pasar asuransi syariah adalah rendahnya dana
yang mendukung perusahaan asuransi syariah, promosi dan edukasi pasar
yang relatif belum dilakukan secara efektif (terkait dengan lemahnya
dana), belum timbulnya industri penunjang asuransi syariah seperti broker-
broker asuransi syariah, agen, dan lain sebagainya, produk dan layanan
belum diunggulkan diatas produk konvensional, dukungan kapasitas
reasuransi yang masih terbatas karena terkait dengan dana dan belum
adanya inovasi produk dan layanan yang benar-benar digali dari konsep
dasar syariah. Didalam keputusan Nomor 426 Tahun 2003, Menteri
Keuangan hanya mensyaratkan modal kerja perusahaan 2 milyar sehingga
menurut Muhammad Syakir Sula, ketua Islamic Insurance Society banyak
yang asal membuka cabang syariah, padahal dengan dana sekecil itu
perhitungan bisnisnya menjadi kurang masuk akal.
Dukungan pemerintah yang belum memadai. Tantangan yang
cukup berpengaruh adalah dukungan penuh dari para pengambil kebijakan
di negeri ini, terutama menteri-menteri dan lembaga pemerintahan yang
memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan ekonomi. Banyak
aparatur pemerintah yang pada masa kampanye pemilu menyatakan
mendukung ekonomi syariah, tetapi belum sepenuhnya mewujudkan
dukungan itu dalam bentuk program kerja tim ekonomi kabinetnya.
Salah satu tantangan besar bisnis asuransi syariah di Indonesia dan
negara lainnya adalah meyakinkan masyarakat akan keuntungan
menggunakan asuransi umum syariah. Perlu sekali mensosialisasikan
asuransi syariah bukan saja berasal dari agama, tetapi memperlihatkan
keuntungan.69

69
Nurul Ichsan, Peluang Dan Tantangan Inovasi Produk Asuransi Umum Syariah, Jurnal
Ekonomi Islam, Vol. VII, No. 2, September 2016.
71

Walaupun secara kuantitas, perkembangan asuransi syariah di


Indonesia relatif pesat, tetapi pada kenyataannya asuransi syariah masih
menghadapi beberapa kendala. Dukungan umat Islam yang masih rendah.
Mereka belum menjadikan asuransi syariah sebagai kewajiban dalam
praktik muamalat, sehingga motif finansial masih dominan menjadi
pertimbangan dibandingkan dengan kebutuhan kesesuaian dengan
ketentuan hukum Islam.70Kenyataan di lapangan, bahwa para pelaku
ekonomi syariah masih menghadapi tantangan berat untuk menanamkan
prinsip syariah sehingga mengakar kuat dalam perekonomian nasional dan
umat Islam itu sendiri. Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat umum
sampai saat ini masih sulit menerima keberadaan lembaga asuransi dengan
melihat kenyataan bahwa selain faktor ekonomi, faktor transparansi dan
banyaknya penyimpangan bisnis juga ikut berperan dalam memberikan
citra buruk bagi institusi keuangan ini.
Data pengaduan terhadap perkara asuransi ysng masuk ke YLKI
(Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) maupun YLKAI (Yayasan
Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia) menunjukan angka-angka yang
relatif masih tinggi. Jenis pengaduan yang muncul biasanya berkisar pada
masalah klaim yang ditolak, prosedur klaim dipersulit, masalah nilai tunai,
dan lain-lain. Praktek-praktek seperti inilah yang menurut kacamata
konsumen dipandang sangat merugikan mereka.71

70
Andri Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta:Kencana, 2009), h.286.
71
Nurul Ichsan, Peluang Dan Tantangan Inovasi Produk Asuransi Umum Syariah, Jurnal
Ekonomi Islam, Vol. VII, No. 2, September 2016.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pelaksanaan SJSN yang diselenggarakan oleh pemerintah dalam hal ini BPJS
bertujuan untuk kesejahteraan masyarkat, hal itu sesuai dengan cita-cita bangsa
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Sejalan dengan ajaran Islam, dimana tujuan hukum Islam (maqasid asy-syari’ah)
dapat dirinci kepada lima tujuan yang disebut al-maqasid al-khamsah atau al-kulliyah
al-khamsah.
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan
bahwa dalam pengelolaan dana jaminan sosial BPJS yang terkumpul tidak ada
pemisahan antara dana tabarru dan dana premi wajib peserta, sedangkan dalam
asuransi syariah, khususnya asuransi sosial harus dibedakan antara dana tabarru
dengan dana bukan tabarru perbedaan pola dan mekanisme tersebut secara normatif
dan tehnis pelaksanaan akan mengalami implikasi hukum yang berbeda terutama
ditinjau dari aspek hukum Islam.
Gharar (ketidakjelasan) itu terjadi pada asuransi konvensional, dikarenakan
tidak adanya batas waktu pembayaran premi yang didasarkan atas usia tertanggung,
sementara kita sepakat bahwa usia seseorang berada di tangan Yang Maha Kuasa.
Jika baru sekali seorang tertanggung membayar premi ditakdirkan meninggal,
perusahaan akan rugi sementara pihak tertanggung merasa untung secara materi. Jika
tertanggung dipanjangkan usianya, perusahaan akan untung dan tertanggung merasa
rugi secara finansial.
Dengan kata lain kedua belah pihak tidak mengetahui seberapa lama masing-
masing pihak menjalankan transaksi tersebut. Ketidakjelasan jangka waktu
pembayaran dan jumlah pembayaran mengakibatkan ketidaklengkapan suatu rukun
akad, yang kita kenal sebagai gharar. Para ulama berpendapat bahwa perjanjian jual
beli / akad tabadduli tersebut cacat secara hukum.
Maisir (perjudian) timbul karena gharar. Peserta (tertanggung) mungkin
memiliki kepentingan yang dipertanggungkan, tetapi apabila perpindahan risiko
berisikan elemen-elemen spekulasi, maka tidak diperkenankan dalam asuransi sosial.
riba qord dapat berlangsung pula pada asuransi konvensional jika dana
asuransi yang ada, dikembangkan dan diinvestasikan dengan skema kredit atau

72
73

hutang-piutang konvensional dengan mengandalkan pembayaran dari suku bunga


yang disepakati di awal transaksi atau perjanjian. Penetapan denda (penalty) atas
keterlambatan pembayaran premi peserta juga merupakan bentuk lain dari riba yang
tidak dapat dibenarkan secara syariat.
Sejatinya, mempraktikkan sistem syariah di BPJS tidak perlu ada yang
dikhawatirkan. Justru akan memberi ketenangan kepada penduduk Indonesia yang
beragama Islam. Dari survei terbatas yang dilakukan, sebanyak 97% setuju bahwa
bila BPJS memiliki layanan syariah. Jika ada opsi BPJS syariah, sebanyak 93%
responden akan memilihnya. Pertimbangan utamanya adalah lebih tenang, karena
sesuai dengan ajaran Islam (54%).

B. Saran
Kebijakan pemerintah tentang jaminan sosial merupakan salah satu kewajiban
negara dalam melindungi rakyat. Jaminan Sosial BPJS Kesehatan jika dilihat dari
maqashid syariah bahwa jaminan tersebut harus memberikan kemaslahatan bagi
semua elemen masyarakat, agar masyarakat memiliki kehidupan yang lebih baik dan
kesejahteraan dapat dinikmati oleh seluruh rakyat. Dalam maqashid syariah ada 5
tujuan yang harus terpenuhi yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kondisi yg
ideal dalam memberikan jaminan sosial atau BPJS Kesehatan dalam syariat Islam
adalah terpenuhi semua tujuan dari maqashid syariah bagi semua masyarakat.
Sistem pengelolaan BPJS memerlukan unit syariah, untuk menjalankan sistem
operasinya sesuai dengan prinsip syariah. Ketika program jaminan sosial dikelola
sebuah lembaga seperti BPJS, maka prinsip-prinsip syariah al-takmin al-ta’awuni
seharusnya diterapkan. Yang menerapkan model asuransi syariah dan dalam
oprasionalnya diawasi oleh Badan Pengawas Syariah (BPS) dan diaudit oleh Dewan
Syariah Nasional (DSN).
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU
Ali, Am Hasan. Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam. (Jakarta:
Kencana 2004) h. 61.
Amrin, Abdullah. Asuransi Syariah Keberadaan dan Kelebihannya di
Tengah Asuransi Konvensional. (jakarta: gramedia, 2006), h. 7.
Andri Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta:Kencana,
2009), h.286.
Anwar, khoril. Asuransi Syariah Halal dan Maslahat. Cet, 1, (Solo; Tiga
Serangkai, 2007), h. 24.
Ganie,A. Junaedy. Hukum Asuransi Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika,
2011), h., 84.
Hadi, Achmad Chairul. Hukum Asuransi Syariah, Konsep Dasar, Aspek
Hukum dan Sistem Oprasionalnya. (Ciputat: UIN Pres, 2015), h.
5.
Hasan, Nurul Ichsan. Pengantar Asuransi Syariah (Jakarta, Gaung
Persada Press Group, 2014), h., 49.
Hermawan Wasito. Pengantar Metodologi Penelitian. (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1993), h. 69.
Iqbal, Muhammad, Asuransi Umum Syariah Dalam Praktik Upaya
Menghilangkan Gharar, Maisir dan Riba. (Jakarta: Gema
Insani, 2006) h., 2.
Ismanto, Kuat. Asuransi Syariah; Tinjauan Asas-Asas Hukum Islam.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 20.
Khallaf, Abdullah Wahab, Ilmu Ushulul Fiqh, ter. Noer Iskandar al-
Bansany, Kaidah Kaidah Hukum Islam, (Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada), Cet-8, 2002, h. 123.
Muhammad Firdaus, dkk, Sistem Oprasional Asuransi Syariah, (Jakarta:
Renaisan, 2005), h. 25.

74
75

Nopriansyah, Waldi. Asuransi Syariah Berkah Terakhir yang Tak


Terduga (Yogyakarta: Andi Offset, 2016), h., 17.
Putri, Asih Eka, 2014, seri buku saku-2: paham BPJS (Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan),iedrich-ebert-stiftung,
h., 7.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat. (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 13.
Sula, Muhammad Syakir. Asuransi Syariah (ife and general)Konsep dan
Sistem Oprasional. (Jakarta Gema Insani Press, 2004), h. 9.
Suma, M. Amin. Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional. (Ciputat:
Kholam Publishing, 2006), h., 39.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003, Cetakan ke 6), h.109.
Syahatah, Husain Husain. Asuransi Dalam Perspektif Syariah. (jakarta:
Amzah, 2006), h., 28.
UUD 45 (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945), Karya
Simpati Mandiri, h.27.
Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana,
2005), h., 197.

B. JURNAL
Aedy, Rosmiati, Hasan, Ambo Wonua Nusantara, “Studi Identifikasi
Kesesuaian Pengelolaan Dana BPJS Kesehatan dengan Prinsip
Syariah”, Ekonomi Pembangunan, Vol 8, No 2,(Desember
2018).
Edris, Mochammad dan Dina Lusianti. “Analisis Oprasional BPJS
Kesehatan Terhadap Prinsip Ekonomi Syariah”,universty
research colloquium, 2016.
Hartati, Widya, “Kjian Yuridis Perubahan PT. Akses (Persero) Menjadi
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan”, IUS,
Vol III, Nomor 9, (Desember 2015).
76

Husni Mubarak, Kontroversi Asuransi di Indonesia, Jurnal Tsaqofah, Vol.


12, No I, Mei 2016.
Ichsan, Nurul. “Peluang Dan Tantangan Inovasi Produk Asuransi Umum
Syariah”, Jurnal Ekonomi Islam, Vol. VII, No. 2, September
2016.
Itang. “BPJS Kesehatan Dalam Perspektif Ekonomi Syariah”, Ahkam, Vol.
XV, No. 2, Juli 2015.
Mairijani , Prinsip Umum Sistem Jaminan Sosial Nasional Oleh BPJS
Menurut Hukum Islam, Jurnal Interest, Vol. 12, N0. 1 Oktober
2014.
Nurmatias,Faizal, dkk, “Perspektif Hukum Islam Terhadap Iuran BPJS
Kesehatan” (analisis atas bab v pasal 19 ayat 3 UU No 24 tahun
2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial) Jurnal.
Rahman, Muh Fudhail. Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, Al-
‘Adalah, Vol. X, No. 1 Januari 2011.
Ramadhani, Herry. “Prospek dan Tantangan Perkembangan Asuransi
syariah di Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, Vol.
01, No. 01, Desember 2015.
Sukardi, Didi. “Pengelolaan dana Badan Penyelenggara jaminan Sosial
(BPJS) kesehatan dalam Perspektif hukum Islam”, jurnal kajian
hukum Islam, Vol. 1, Juni 2016.
Zamroni, Muhammad. “Ilhaq Konsep BPJS dengan Al-Ta’min Perspektif
Qiyas”, Istinbath, Jurnal Hukum Islam, Vol. 14, No. 2
Desember 2015.

C. UNDANG-UNDANG
Pasal 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional.
Pasal 1, ayat (1-3), Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional.
77

Pasal 11 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan


Penyelenggara Jaminan Sosial.
Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional.
Pasal 17 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional.
Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional.
Pasal 2, 3, dan 4 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004, tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional.
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan,
Pasal 1.
Fatwa DSN MUI NO. 21 DSN/MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah.
Fatwa DSN MUI NO.98/DSN-MUI/XII/2015 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan Syariah.

D. ARTIKEL
Agustianto, “BPJS dan Jaminan Sosial Syariah”, dakwatuna.com, di akses
20 oktober2015.

https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/pages/detail/2013.

https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/pages/detail/2017/27 , 20
september 2018.

https://www.dakwatuna.com/2014/01/19/45011/bpjs-dan-jaminan-sosial-
syariah/#axzz62xUUI2Yg.

www.jamsosindonesia.com/bpjs/view/fungsi-tugas-wewenang.
www.jamsosindonesia.com/bpjs/view/pengeretian-bpjs-kesehatan.
78

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Firdaus, dilahirkan di Kabupaten Serang, tepatnya di Kp. Pabuaran, Desa Tanjung


Manis, Kecamatan Anyar. Pada hari Ahad, 20 Agustus 1995. Anak ke lima dari
lima bersaudara, pasangan dari H. Abd Fatah dan Hj. Rofiah. Peneliti
menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar di SD Negeri Jaha di Kecamatan
Anyar, Kabupaten Serang pada tahun 2008. Pada tahun itu juga penulis
melanjutkan Pendidikan di Pondok Pesantren Al-Hasyimah selama 6 tahun, dan
selesai pada tahun 2014. Pada tahun 2014 penulis melanjutkan pendidikan di
perguruan tinggi negeri, tepatnya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Ekonomi Syariah. Penulis
menyelesaikan kuliah strata satu (S1) pada tahun 2020.

Anda mungkin juga menyukai