Anda di halaman 1dari 111

POLIS ASURANSI JIWA SYARIAH SEBAGAI JAMINAN PEMBIAYAAN

PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh


Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Shelda Mustika Burhanudin

11180490000060

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1444 H/2022 M
POLIS ASURANSI JIWA SYARIAH SEBAGAI JAMINAN PEMBIAYAAN
PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:
Shelda Mustika Burhanudin
NIM. 11180490000060

Dosen Pembimbing

Muhammad Ishar Helmi, S.H., M.H.


NIP. 19900903 202203 1 001

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1444 H / 2022 M

i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “Polis Asuransi Jiwa Syariah sebagai Jaminan Pembiayaan
Pada Perbankan Syariah di Indonesia” yang ditulis oleh Shelda Mustika
Burhanudin Nomor Induk Mahasiswa: 11180490000060 telah diajukan dalam sidang
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Ekonomi Syariah
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada Selasa, 4 Oktober 2022.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Program Studi Satu (S-1) pada Program Studi Hukum Ekonomi Syariah.

Jakarta, 4 Oktober 2022


Mengesahkan
Dekan,

Prof. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H.


NIP. 19760807 200312 1 001

PANITIA UJIAN:
1. Ketua : AM. Hasan Ali, M.A.
NIP. 19751201 200501 1 005 (………….…….)
2. Sekretaris : Dr. Abdurrouf, Lc., M.A.
NIP. 19731215 200501 1 002 (……….……….)
3. Pembimbing : Muhammad Ishar Helmi, S.H., M.H.
NIP. 19900903 202203 1 001 (………………..)
4. Penguji I : Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H.
NIP. 19740725 200112 1 001 (…………….….)
5. Penguji II : Ahmad Chairul Hadi, M.A.
NIP. 19720531 200710 1 002 (………….…….)

ii
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Shelda Mustika Burhanudin
NIM : 11180490000060
Program Studi : Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas : Fakultas Syariah dan Hukum

Dengan ini, saya menyatakan bahwa:


1. Skripsi ini adalah hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Karya ini dikerjakan secara pribadi dan saya mampu bertanggungjawab atas
karya tulis ini.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil dari karya saya atau
terbukti bahwa saya telah melanggar ketentuan yang berlaku, maka saya bersedia
untuk menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 4 Oktober 2022

Shelda Mustika Burhanudin


NIM. 11180490000060

iii
ABSTRAK
Shelda Mustika Burhanudin. NIM 11180490000060. POLIS ASURANSI JIWA
SYARIAH SEBAGAI JAMINAN PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN
SYARIAH DI INDONESIA. Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalat),
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
1444 H/2022 M.
Penelitian ini merupakan analisis hukum terhadap polis asuransi jiwa syariah
sebagai jaminan pada pembiayaan di Perbankan Syariah. Permasalahannya yaitu
polis asuransi jiwa syariah baru dapat diklaim apabila peserta asuransi jiwa syariah
tersebut meninggal dunia atau telah jatuh tempo. Maka apabila nasabah mengalami
kendala dalam pembayaran ataupun wanprestasi, polis tidak dapat dicairkan saat itu
juga karena nasabah tidak mengalami kategori yang dapat mengklaim asuransi jiwa
syariah miliknya. Penelitian ini ditelaah dari aspek kepemilikan polis asuransi jiwa
syariah, kedudukan hukum menurut perspektif syariah dan hukum positif, dan
peluang bagi polis asuransi jiwa syariah sebagai jaminan pembiayaan di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif dengan pendekatan
yuridis normatif (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual
approach). Adapun sumber data yang digunakan adalah data primer dan data
sekunder. Data primer meliputi ketentuan dalam hukum Islam, doktrin, dan peraturan
perundang-undangan, sementara data sekunder terdiri dari dokumen dan karya ilmiah
seperti buku, jurnal, laporan penelitian terdahulu, artikel ilmiah, dan literatur
pendukung lainnya yang berkaitan dengan penelitian.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa polis asuransi jiwa syariah tidak
dapat dijadikan jaminan pembiayaan di Perbankan Syariah, kecuali Polis Asuransi
yang Disertai Investasi (PAYDI). Meskipun secara praktek baru beredar polis
asuransi jiwa konvensional sebagai jaminan pada perjanjian kredit maupun jaminan
hutang, akan tetapi tidak menutup kemungkinan di kemudian hari polis asuransi jiwa
syariah juga dapat digunakan sebagai jaminan dalam pembiayaan pada Perbankan
Syariah. Berdasarkan hukum positif yakni Pasal 1152 KUH Perdata, polis dapat
dijadikan jaminan karena termasuk pada jaminan kebendaan yang diikat dengan
gadai atau fidusia. Namun, jika dilihat berdasarkan hukum Islam terutama rukun dan
syarat rahn, terdapat salah satu syarat pada rukun yang tidak terpenuhi bagi polis
apabila dijadikan jaminan, yaitu aspek kepemilikan. Selain itu, secara umum belum
ada ketentuan hukum baik dari hukum positif maupun hukum Islam yang mengatur
lebih spesifik mengenai penggunaan polis asuransi jiwa sebagai jaminan pada
perjanjian kredit ataupun pembiayaan.
Kata Kunci : Kedudukan Hukum, Polis Asuransi Jiwa Syariah, Jaminan
Pembiayaan
Pembimbing : Muhammad Ishar Helmi, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1998 s.d 2022

iv
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah atas seluruh rahmat, nikmat dan karunia yang telah
Allah SWT berikan dalam setiap langkah dan kegiatan yang penulis lakukan, hingga
akhirnya sampai pada tahap ini. Atas izin dan pertolongan Allah SWT, skripsi yang
berjudul “POLIS ASURANSI JIWA SYARIAH SEBAGAI JAMINAN
PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA” dapat
diselesaikan dengan baik dan lancar.

Skripsi ini dibuat sebagai tugas akhir untuk meraih gelar Sarjana Hukum
(S.H.) di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Pada penyelesaiannya, penulis menyadari bahwa tiada proses yang mudah
untuk dilalui, tetapi berkat bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun
tidak langsung, alhamdulillah penulis dapat melalui seluruh tahapan dan proses
dengan baik, serta banyak pelajaran berharga yang penulis dapatkan. Untuk itu,
penulis mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada para pihak yang telah
membantu dalam penyusunan skripsi ini, yaitu:

1. Bapak Prof. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang senantiasa memberi dukungan, motivasi dan menginspirasi para
mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum;

2. Bapak AM. Hasan Ali, M.A. selaku Ketua Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah dan Bapak Dr. Abdurrouf, Lc., M.A. selaku Sekretaris Program Studi
Hukum Ekonomi Syariah, atas semua ilmu, bantuan, arahan dan bimbingan
yang telah diberikan selama penulis duduk di bangku kuliah. Jasa-jasa beliau
akan selalu terkenang sampai kapanpun dan dimanapun penulis berada, semoga
beliau senantiasa diberikan kesehatan, keselamatan dan keberkahan;

3. Bapak Muhammad Ishar Helmi, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Skripsi
yang selalu membantu, memberi arahan, saran, dan masukan dengan sangat

v
sabar dan baik sehingga memudahkan penulis dalam menyusun hingga
menyelesaikan skripsi ini. Semoga Bapak senantiasa dilindungi Allah SWT,
diberikan kemudahan, kesehatan dan keberkahan dalam setiap kegiatannya;

4. Bapak AH. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H. selaku Dosen Pembimbing


Akademik, Narasumber penelitian ini, serta Dosen Pengampu beberapa mata
kuliah selama penulis menuntut ilmu di Perguruan Tinggi, terimakasih atas
semua ilmu, pengetahuan dan wawasan yang telah diberikan, semoga dapat
bermanfaat bagi penulis untuk melanjutkan tahap kehidupan yang selanjutnya.
Semoga Bapak sehat selalu dan senantiasa diberikan keberkahan;

5. Seluruh Dosen serta Staf Akademik Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
berkenan memberikan ilmu, arahan dan membantu penulis selama menjadi
mahasiswa di Fakultas Syariah dan Hukum;

6. Ibu Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag., selaku Tokoh Syariah dan Dosen Besar
Bidang Ekonomi Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang menjadi Narasumber dalam penelitian ini, terimakasih banyak telah
berkenan dan meluangkan waktu untuk membantu penulis dalam penyusunan
penelitian ini. Semoga Prof sehat selalu, diberikan kelancaran, keberkahan dan
kemudahan yang senantiasa mengiringi di setiap langkah, aamiin;

7. Bapak Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ., FIIS., selaku Praktisi, Akademisi
dan Pakar Asuransi Syariah yang menjadi Narasumber dalam penelitian ini,
terimakasih banyak atas perkenan dan bantuannya, serta telah meluangkan
waktu untuk menjadi narasumber dalam penelitian ini. Semoga kebaikan
Bapak dibalas Allah SWT dan senantiasa diberikan kemudahan, kelancaran
dan sehat selalu, aamiin;

8. Kak Bakrie Ahmad Fa’ada, S.H., selaku Consumer Business di PT Bank


Syariah Indonesia KCP Tangerang Karawaci Kelapa Dua yang menjadi
Narasumber dalam penelitian ini, terimakasih telah berkenan dan meluangkan
waktunya untuk menjadi narasumber penelitian, serta terimakasih banyak

vi
sudah membantu juga membimbing penulis selama kuliah, terlebih saat
mengikuti kompetisi essay tingkat fakultas maupun nasional sampai penulis
menjadi juara. Semoga semua ilmu, bimbingan dan kebaikan-kebaikan yang
telah kakak berikan dibalas dengan lebih banyak kebaikan dan dapat
bermanfaat bagi penulis untuk menjadi bekal di masa mendatang;

9. Pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum


Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya yang
telah memberikan fasilitas dan layanan untuk penulis agar mendapatkan
referensi dalam menulis skripsi. Perpustakaan menjadi tempat ternyaman bagi
penulis untuk mengerjakan tugas sejak awal kuliah dan akan selalu menjadi
tempat favorit karena fasilitasnya yang lengkap dan tempatnya yang bersih;

10. Kepada orang tua yang sangat penulis cinta, Mama Lilis Nurbaeti, S.Ag.,
M.M., om dan tante yang juga sangat penulis cinta, Bapak Ace Kurnia, S.Ag.,
S.H., Ibu Yusi Nurelah, S.H., dan Ibu Maya Amelia, S.Hum., serta adik-adik
yang sangat penulis sayangi, Salwa Rahmatuna, Sylva Rusydah, Sabrina
Fadhilah, Vera Shafira dan Raden Muhamad Haris. Terimakasih banyak atas
seluruh doa, dukungan, bantuan, motivasi, semangat, cinta dan kasih sayang
dari mereka sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Skripsi
ini dipersembahkan khusus sebagai tanda terimakasih untuk mereka yang
sudah mendukung penulis dengan penuh cinta setiap waktu;

11. Kepada alm. Kakek dan almh. Nenek, yaitu alm. Aep Saepuloh dan almh.
Masyamah, terimakasih banyak telah menyayangi, mencintai, dan merawat
penulis dengan sangat baik, penuh cinta, kasih sayang dan penuh keikhlasan
sejak kecil hingga beranjak dewasa kini. Meskipun telah tiada, tetapi berkat
cinta serta kasih sayang dari mereka penulis dapat tumbuh menjadi pribadi
yang mandiri, percaya akan kemampuan yang dimiliki, kuat dan tidak mudah
menyerah. Skripsi ini penulis dedikasikan khusus untuk mereka, semoga
dengan selesainya skripsi ini bisa membuat mereka bangga, bahagia dan damai
di surgaNya;
vii
12. Kepada Eyang Kakung dan Eyang Uti, Eyang Ir. Edy Purwantoro dan Eyang
Dyah Indriani yang penulis sayangi dan cintai, yang senantiasa mendoakan,
selalu memberikan dukungan, semangat dan juga nasehat-nasehat baik untuk
penulis. Terimakasih banyak atas semua kasih sayang yang diberikan kepada
penulis, berkat semua doa, dukungan dan pesan dari eyang, alhamdulillah
skripsi ini dapat selesai tepat waktu. Semoga dengan selesainya skripsi ini
dapat menjadi hadiah untuk eyang dari cucunya;

13. Teman-teman baik penulis sejak lulus pondok, Alfiya Ma’la, Aliffiah Cinde,
Arna Sintia, Ikrima Nur, Miftahul Khairat, Meida Nugraha, Rizqi Isnaini,
Hasna Mutia, Azizah Syafira, Nofa Citra dan Audi Maulidya. Serta teman-
teman baik penulis yang saat ini sedang berjuang di Perguruan Tinggi yang
sama, Nur Syifa Rohidah, Putri Martarisanti dan Ainil Qalbi. Terimakasih
sudah selalu menguatkan, memberikan semangat, dukungan, dan doa-doa baik
untuk penulis, terlebih selama penyusunan skripsi;

14. Teman-teman baik penulis sejak awal masa kuliah, Nadia Widyani, Nuur
Lailah, Asfitri Aulia, Asri Wiranty, Atika Indriyaningsih, Nada Jidzrustsiqoh,
Ghaitsa Hana, Erika Listiani, Annisa Al Karimah dan Maulana Sidik.
Terimakasih banyak sudah membantu, menemani, saling mendukung dan
menyemangati satu sama lain, terlebih di masa-masa akhir menjadi mahasiswa.
Semoga silaturahmi kita terus terjaga sampai seterusnya;

15. Seluruh teman seperjuangan Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2018 yang
tidak dapat penulis sebutkan satu per-satu, terimakasih banyak telah hadir dan
mewarnai lika liku hidup penulis, sama-sama berjuang di bangku perkuliahan
hingga mengukir cerita indah yang penuh makna dan akan penulis kenang
sepanjang masa;

16. Teman-teman Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Hukum Ekonomi


Syariah, Sharia Economic Law Student Intellectual (SELSMIT), Keluarga
Besar HMI Hukum Ekonomi Syariah (Muamalat), dan Generasi Baru

viii
Indonesia (GenBI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat penulis
sebutkan seluruh namanya karena sangat banyak pihak yang berperan dan telah
membantu penulis untuk belajar serta berproses dalam organisasi tersebut,
terimakasih banyak atas semua kesempatan, amanah yang diberikan, dan telah
menjadi wadah yang sangat baik bagi penulis untuk terus belajar, menambah
wawasan, pengetahuan, dan pengalaman, serta mendalami skill yang dimiliki
untuk bekal di masa yang akan datang nanti. Semoga kelak kita bisa bertemu
kembali di titik kesuksesan masing-masing;

17. Kepada seluruh orang baik yang turut membantu dan memberikan masukan
serta saran kepada penulis, termasuk kakak-kakak tingkat yang selalu
membantu penulis, terimakasih banyak atas semua yang telah diberikan sejak
awal penulis menyusun skripsi hingga selesai, semoga kebaikan-kebaikan yang
telah diberikan dibalas lebih dan berlipat ganda oleh Allah SWT, aamiin;

18. Terakhir, terimakasih kepada diri sendiri yang telah mampu bertahan, berjuang,
mau untuk terus belajar dan kuat menghadapi suka, duka, pahit dan bahagia
dalam setiap tahapan kehidupan yang terjadi selama ini, terlebih semasa
penulisan skripsi.

Tanpa mengurangi rasa hormat, terimakasih sebanyak-banyaknya kepada


para pihak baik yang penulis sebutkan secara langsung maupun tidak langsung yang
telah membantu dan berkontribusi dalam penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT
senantiasa memberikan kesehatan, kelancaran, kemudahan dan kekuatan dalam
setiap kegiatan yang kita jalani sepanjang kehidupan, Aamiin Yaa Rabbal Aalamiin.

Jakarta, 4 Oktober 2022

Shelda Mustika Burhanudin

ix
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING.................................................. i


PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI.............................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ iii
ABSTRAK .................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................. v
DAFTAR ISI ................................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah .............................................................................................. 5
1. Identifikasi Masalah .......................................................................................... 5
2. Batasan Masalah................................................................................................ 5
3. Rumusan Masalah ............................................................................................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................. 6
1. Tujuan Penelitian .............................................................................................. 6
2. Manfaat Penelitian ............................................................................................ 6
D. Metode Penelitian ................................................................................................. 7
1. Jenis Penelitian .................................................................................................. 7
2. Pendekatan Penelitian ....................................................................................... 7
3. Sumber Bahan Hukum ...................................................................................... 8
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ................................................................ 8
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum ............................................... 9
6. Teknik Penulisan ............................................................................................. 10
E. Sistematika Penulisan ......................................................................................... 10
BAB II ASURANSI JIWA SYARIAH DALAM PEMBIAYAAN .......................... 12
A. Kerangka Konseptual .......................................................................................... 12
B. Kerangka Teori ................................................................................................... 13
1. Teori Hukum Jaminan ..................................................................................... 13
2. Teori Asuransi Jiwa Syariah ........................................................................... 18
x
3. Teori Jaminan Gadai dan Fidusia.................................................................... 21
4. Teori Akad Rahn ............................................................................................. 23
C. Kajian Penelitian Terdahulu ............................................................................... 26
BAB III KONSEP JAMINAN PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH
DAN POLIS ASURANSI JIWA SYARIAH ............................................................. 31
A. Perbankan Syariah ....................................................................................... 31
B. Hakikat Jaminan dalam Pembiayaan di Perbankan Syariah........................ 34
C. Polis Asuransi Jiwa Syariah ........................................................................ 45
D. Jaminan yang Diikat dengan Gadai dan Fidusia ......................................... 52
BAB IV POLIS ASURANSI JIWA SYARIAH SEBAGAI JAMINAN
PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH ................................................. 59
A. Analisis Kedudukan Hukum Polis Asuransi Jiwa Syariah sebagai Jaminan
Pembiayaan pada Perbankan Syariah..................................................................... 59
B. Peluang Implementasi Polis Asuransi Jiwa Syariah sebagai Jaminan
Pembiayaan di Indonesia........................................................................................ 78
BAB V PENUTUP..................................................................................................... 90
A. Kesimpulan .................................................................................................. 90
B. Rekomendasi ............................................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 92

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan Industri Asuransi Syariah terlihat lebih pesat dan
menunjukkan adanya peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Hal
tersebut berdampak baik pada angka perekonomian syariah di Indonesia.
Meskipun tahun 2020 perasuransian syariah mengalami penurunan pada jumlah
aset, namun di tahun selanjutnya yaitu pada tahun 2021 dapat ditingkatkan
kembali. Sebelumnya, pada tahun 2019 Industri Asuransi Syariah juga pernah
mengalami peningkatan sebesar 9,26% dari jumlah aset di tahun 2018. Berikut
tabel yang menjelaskan lebih spesifik terkait pertumbuhan asuransi syariah yang
didapat dari laman resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK):

Tabel 1
Pelaku Usaha dan Jumlah Aset Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) Syariah –
Asuransi Syariah1
No. Keterangan 2018 2019 2020 2021
1. Jumlah Perusahaan Asuransi Syariah* 13 13 13 14
2. Jumlah Unit Usaha Asuransi Syariah* 49 49 49 46
3. Jumlah Aset (Miliar Rp) 41.915 45.795 41.168 43.681
*Terdiri atas Pelaku Usaha Asuransi Jiwa Syariah, Asuransi Umum Syariah, dan Reasuransi Syariah.

Produksi asuransi syariah dapat tumbuh lebih cepat jika masyarakat


mendukung produk-produk yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi syariah
dan penerapannya, serta diperkenalkan secara lebih luas ke ranah publik. Selain
itu, usaha lainnya yaitu perlu adanya sosialisasi yang efektif dan berskala besar
untuk mengedukasi lebih dalam terkait asuransi syariah, terlebih perekonomian
syariah di Indonesia berpeluang besar untuk terus ditingkatkan perkembangannya
1
Otoritas Jasa Keuangan. (2021, Februari), https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/data-dan-
statistik/iknb-syariah/, dikutip pada 19 November 2021, pukul 10.00 WIB.
1
2

melalui kebijakan spin off bagi unit syariah pada setiap perusahaan asuransi
syariah di tahun 2024.2 Dari beberapa jenis asuransi syariah, salah satunya yang
paling diminati adalah asuransi jiwa syariah. Asuransi Jiwa Syariah adalah
bidang asuransi yang memberikan perlindungan terhadap jiwa, termasuk jaminan
kecelakaan diri dan Kesehatan yang dipersyaratkan oleh Undang-Undang.3 Jadi
selain memberikan perlindungan jiwa, asuransi jiwa syariah juga menyediakan
perlindungan terhadap kesehatan juga kecelakaan apabila di kemudian hari
resiko-resiko tersebut terjadi.

Seluruh ketentuan dan kesepakatan antara peserta asuransi jiwa syariah


dan perusahaan asuransi jiwa syariah tertuang ke dalam dokumen khusus yang
disebut dengan polis. Polis merupakan bukti adanya perjanjian antara peserta
dengan pihak perusahaan asuransi jiwa syariah, agar jika dikemudian hari
terdapat klaim maupun terjadi ketentuan yang tidak sesuai dengan perjanjian,
maka polis ini dapat dijadikan alat bukti yang berkekuatan hukum tetap.4

Secara umum pemberian fasilitas pembiayaan kerap dilakukan oleh


lembaga pembiayaan seperti perbankan, maupun lembaga non-Bank lainnya.
Namun pada beberapa tahun terakhir, terdapat perusahaan asuransi jiwa yang
memberikan fasilitas pembiayaan kepada peserta asuransinya, dengan jaminan
berupa polis asuransi jiwa milik peserta yang dikeluarkan oleh perusahaan
asuransi jiwa itu sendiri.5 Selain itu, terdapat pula perbankan syariah yang
mewajibkan nasabahnya untuk memiliki atau membuat asuransi jiwa sebelum
mengajukan pembiayaan di bank syariah tersebut. Hal ini dilakukan guna

2
Berita Satu. (2020, 21 Oktober), Manfaatkan Peluang Ekonomi Syariah.
https://www.beritasatu.com/anselmus-bata/tajuk/7489/manfaatkan-peluang-ekonomi-syariah, dikutip
pada 19 November 2021, pukul 08.05 WIB.
3
Pasal 3 ayat (2) Bab II tentang Ruang Lingkup Usaha Perasuransian, Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
4
Dirga Adil Fauzan., Suherman. (2021). “Perlindungan Hukum Pemegang Polis Asuransi
Jiwa Terhadap Mis-Selling oleh Agen Asuransi di PT. BNI Life Insurance”. Jurnal Hukum
De’rechtsstaat, 7(1), h. 5.
5
Wendra Catur Putra. (2018). “Kedudukan Hukum Polis Asuransi Jiwa sebagai Objek
Jaminan”, Tesis, Magister Kenotariatan, Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar, h. 3.
3

mengantisipasi resiko adanya gagal bayar oleh pihak nasabah yang mengajukan
pembiayaan. Namun pihak bank syariah tetap menagih pihak debitur guna
melunasi pembiayaan karena asuransi jiwa dapat dicairkan jika debitur atau
dalam hal ini adalah nasabah meninggal dunia atau mengalami kecelakaan yang
mengakibatkan cacat total tetap.6

Menurut perspektif Hukum Perdata, polis asuransi termasuk pada jaminan


kebendaan yang diikat dengan gadai atau fidusia sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 1152 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata),
karena polis berbentuk suatu dokumen atau surat perjanjian pada lembaga
asuransi, maka dari itu secara prinsip, piutang atas bawa merupakan surat piutang
yang pembayarannya memungkinkan kepada seseorang yang memiliki atau
membawa surat tersebut.7 Jika ditinjau berdasarkan perspektif Hukum Ekonomi
Syariah, jaminan kebendaan dapat disebut juga dengan al-rahn.

Sebelumnya terdapat kajian-kajian yang membahas lebih dalam mengenai


polis asuransi jiwa yang dijadikan jaminan dalam pemberian kredit berdasarkan
hukum positif (asuransi jiwa konvensional) pada lembaga keuangan, baik
perbankan maupun perusahaan asuransi. Beberapa penelitian menunjukkan hasil
bahwa polis asuransi jiwa diperbolehkan untuk dijadikan jaminan, sebagian
lainnya tidak memperbolehkan mengingat resiko yang akan dihadapi
kedepannya. Jika polis asuransi jiwa syariah dijadikan jaminan, maka perlu
dipertimbangkan kembali terkait kepemilikan dari polis asuransi jiwa syariah itu
sendiri serta peluang dan resiko yang akan dihadapi, serta faktor terpenting
adalah kedudukan hukum dari jaminan tersebut menurut hukum Islam.

6
Elisatin Ernawati., (2015) “Asuransi Jiwa dalam Perjanjian Pembiayaan Bank Syariah”,
Tesis, Surabaya: Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, 2015.
7
Ranapina Yuri V.T. Tampubolon., Leonardus Agatha P., (2014, 8 Juli), Polis Asuransi
sebagai Jaminan Kredit, https://www.hukumonline.com/klinik/a/polis-asuransi-sebagai-jaminan-
kredit-lt5330f120b4992, Dikutip pada 03 Maret 2022, pukul 15.20 WIB.
4

Melihat adanya beberapa fenomena tersebut, maka perlu dikaji lebih


dalam mengenai kedudukan hukum terhadap polis asuransi jiwa yang digunakan
sebagai jaminan pada lembaga keuangan, khususnya perbankan syariah yang
ditinjau berdasarkan perspektif hukum Islam, serta tingkat peluang terhadap
implementasinya di masa mendatang. Meskipun secara syariah belum ada
prakteknya, namun perlu diingat bahwa polis asuransi jiwa syariah tidak dapat
diklaim apabila unsur-unsur yang diasuransikan kepada perusahaan asuransi jiwa
syariah tidak terjadi, sehingga adanya ketidakpastian pada objek yang dijaminkan
oleh nasabah dalam pembiayaan. Selain itu jika polis asuransi jiwa syariah
dijadikan jaminan, belum diketahui secara pasti bagaimana ketentuan hukum
berdasarkan perspektif syariah serta kedudukan dari hukum positif yang
mengatur sistematika operasional akan hal tersebut, karena peserta asuransi jiwa
syariah dapat mengajukan klaim apabila terdapat resiko yang terjadi sesuai
dengan ketentuan dalam polis atau peserta meninggal dunia, sehingga apabila
terjadi wanprestasi dalam pembiayaan maka belum tentu nasabah yang sekaligus
peserta asuransi dapat mengklaim polis asuransi jiwa syariah yang dimilikinya.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis merasa perlu dikaji lebih


dalam mengenai Polis Asuransi Jiwa Syariah yang digunakan sebagai jaminan
pembiayaan pada lembaga keuangan syariah, khususnya perbankan syariah oleh
nasabah yang hendak mengajukan pembiayaan, dengan melakukan analisa dan
telaah lebih dalam dari aspek kedudukan hukum terhadap polis asuransi jiwa
syariah berdasarkan aspek Hukum Islam dan Hukum Positif serta menganalisis
peluang penggunaannya dalam pembiayaan pada perbankan syariah. Untuk itu,
penulis akan meneliti permasalahan tersebut dengan judul “Polis Asuransi Jiwa
Syariah sebagai Jaminan Pembiayaan pada Perbankan Syariah di
Indonesia”.
5

B. Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Setelah meninjau uraian latar belakang yang telah dipaparkan, penulis
mengidentifikasi beberapa masalah terkait sebagai berikut:

a. Maraknya penggunaan polis asuransi jiwa sebagai jaminan, baik


jaminan hutang maupun jaminan pada pemberian kredit/pembiayaan.
b. Adanya lembaga keuangan yang memperbolehkan nasabah/peserta
untuk menggunakan polis asuransi jiwa sebagai jaminan dari
kredit/pembiayaan yang diajukan.
c. Adanya ketidakjelasan kedudukan hukum terkait polis asuransi jiwa
syariah sebagai jaminan dalam pembiayaan.
d. Belum diketahui seberapa besar peluang penggunaan polis asuransi jiwa
sebagai jaminan dalam suatu pembiayaan menurut perspektif syariah.

2. Batasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan pada penelitian ini, penulis akan
membatasi penelitiannya pada Polis Asuransi Jiwa Syariah sebagai Jaminan
Pembiayaan pada Perbankan Syariah di Indonesia yang akan dianalisis
berdasarkan hukum Islam dan hukum positif, agar pembahasan dalam
penelitian ini lebih terarah, jelas dan sesuai dengan inti permasalahan.

3. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah tersebut, maka penulis
merumuskan masalah dengan menguraikannya dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:

1) Apakah polis asuransi jiwa syariah dapat dijadikan jaminan


pembiayaan menurut perspektif hukum Islam dan hukum positif?
2) Bagaimana peluang pengunaan polis asuransi jiwa syariah sebagai
jaminan dalam pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia?
6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui kententuan dan kedudukan hukum polis asuransi


jiwa syariah sebagai jaminan dalam pembiayaan.
b. Untuk menganalisis aturan hukum mengenai ketentuan terhadap polis
asuransi jiwa syariah yang dijadikan jaminan pembiayaan.
c. Untuk menganalisis peluang dari penggunaan polis asuransi jiwa
syariah sebagai jaminan dalam pembiayaan pada perbankan syariah di
Indonesia.

2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
1) Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan dan
memberikan informasi lebih lanjut di bidang Hukum Ekonomi Syariah.
2) Diharapkan dapat menambah wawasan terkait perspektif hukum
terhadap penggunaan polis asuransi jiwa syariah dalam pembiayaan
pada Perbankan Syariah, khususnya hukum Islam.
3) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk penelitian
selanjutnya, baik permasalahan serupa maupun permasalahan terkait
lainnya.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
hukum mengenai penggunaan polis asuransi jiwa syariah sebagai jaminan
dalam perspektif hukum, baik hukum Islam maupun hukum positif,
sehingga apabila digunakan sebagai jaminan, maka penerapannya dapat
sesuai dengan ketentuan dan prinsip-prinsip syariah serta regulasi hukum
yang berlaku.
7

D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
normatif. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian normatif merupakan
penelitian yang digunakan untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-
prinsip hukum dan doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan
hukum yang dihadapi.8 Penelitian hukum ini menggunakan dasar hukum
yang berasal dari hukum Islam dan hukum positif, yaitu teks yang sifatnya
mengikat secara formal dan mempunyai objek hukum, baik hukum sebagai
suatu ilmu atau aturan-aturan yang sifatnya dogmatis maupun hukum yang
berkaitan dengan perilaku dan kehidupan masyarakat, serta peraturan
perundang-undangan terkait. Penelitian ini tidak berpaku pada lokasi tertentu,
karena merupakan penelitian hukum yang membahas terkait penggunaan
Polis Asuransi Jiwa Syariah Sebagai Jaminan Pembiayaan pada Perbankan
Syariah di Indonesia.

2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu
pendekatan yang mengacu pada hukum dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (statue approach).9 Pendekatan ini diperlukan untuk mengkaji
lebih dalam mengenai peraturan-peraturan yang berlaku terkait polis asuransi
jiwa syariah serta jaminan dalam pembiayaan. Selain itu, penelitian ini juga
menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach), yaitu
pendekatan yang dilakukan berdasarkan pandangan-pandangan atau pendapat
para ulama dalam hukum Islam dan para ahli hukum di bidang hukum positif
mengenai polis asuransi jiwa syariah sebagai jaminan pembiayaan. Hasil dari

8
Fahmi Muhammad Ahmadi., Jaenal Aripin. (2010). Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cetakan Pertama, Desember 2010), h. 31.
9
Kornelius Benuf., Muhammad Azhar. (2020). “Metodologi Penelitian Hukum sebagai
Instrumen Mengurasi Permasalahan Hukum Kontemporer”, Jurnal Gema Keadilan, 1(1), h. 24.
8

telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu


permasalahan yang dihadapi.

3. Sumber Bahan Hukum


Berdasarkan sumbernya, data atau bahan hukum dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) macam, yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Berikut bahan-bahan hukum pada penelitian ini:

a. Bahan Hukum Primer


Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini berasal
dari fikih, peraturan-peraturan, doktrin dan ketentuan hukum yang
membahas mengenai konsep polis asuransi jiwa syariah dan jaminan
dalam pembiayaan, yaitu seperti ketentuan yang ditentukan dalam hukum
Islam, pendapat Ulama, pendapat Ahli, Peraturan Perundang-undangan,
dan peraturan turunan lainnya.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berasal dari berbagai
hasil penelitian yang meliputi karya ilmiah dan dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, seperti buku, jurnal,
laporan penelitian terdahulu, artikel ilmiah, bahan seminar, dan literatur
lainnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum


Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dalam penelitian
ini yaitu dengan melakukan wawancara, studi kepustakaan (library research),
dan studi dokumen.

a. Wawancara
Teknik wawancara dilakukan dengan mengajukan beberapa
pertanyaan kepada para ahli, baik akademisi maupun praktisi terkait
polis asuransi jiwa syariah yang menjadi jaminan pada suatu
9

pembiayaan di perbankan syariah, sehingga pendapat dari para ahli


dapat memberi wawasan dan pengetahuan lebih dalam kepada penulis
tentang kedudukan hukum dari polis asuransi jiwa syariah sebagai
jaminan serta menguatkan argumentasi penulis.
b. Studi Kepustakaan
Studi ini bertempat di perpustakaan atau tempat-tempat lain
yang di dalamnya terdapat berbagai sumber data hukum yang
diperlukan.10 Teknik ini dilakukan dengan cara mencari bahan-bahan
materi yang dibutuhkan berupa bahan pustaka, seperti buku, jurnal,
artikel, dan literatur lainnya serta dokumen-dokumen yang berkaitan
langsung dengan permasalahan yang diteliti sebagai data primer
maupun data sekunder.
c. Studi Dokumen

Teknik pengumpulan data dengan studi dokumen dapat


dilakukan dengan mengumpulkan data atau informasi berdasarkan
sumber yang didapat seperti membaca surat-surat, pengumuman, iktisar
rapat, pernyataan tertulis dari kebijakan tertentu, dan bahan-bahan
tulisan lainnya.11

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum


Dari seluruh bahan hukum yang didapatkan, penulis mengolah bahan
hukum tersebut dengan mengklasifikasikan seluruh data ke dalam beberapa
kategori tertentu berdasarkan permasalahan yang dirumuskan secara
deskriptif. Kemudian data tersebut dianalisis secara yuridis dan diolah lebih
lanjut dengan menggunakan metode analisis isi. Analisis isi merupakan
metode ilmiah yang digunakan guna mempelajari dan menarik kesimpulan

10
Zainuddin Ali. Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 225.
11
Natalina Nilamsari. (2014). “Memahami Studi Dokumen dalam Penelitian Kualitatif”,
Jurnal Wacana, 13(2), h. 179.
10

atas suatu fenomena dengan memanfaatkan dokumen (teks) sebagai bahan


penelitian.12

6. Teknik Penulisan
Penelitian ini ditulis dan disusun berdasarkan ketentuan yang telah
diatur dalam buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.

E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dan mengefisiensi proses penulisan, maka
penelitian ini disusun secara sistematis menjadi lima bab yang terdiri atas
beberapa sub-bab sesuai dengan pembahasan dan materi yang diteliti, agar para
pembaca mudah untuk memahami dan mempelajarinya.

Pada Bab I membahas tentang pendahuluan dari penelitian yang meliputi


latar belakang masalah, ruang lingkup penelitian, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Pada Bab II memuat pembahasan mengenai kajian teoritis berupa


Asuransi Jiwa Syariah dalam Pembiayaan yang meliputi kerangka konseptual,
kerangka teori dan kajian penelitian terdahulu. Adapun teori yang dimuat yaitu
Teori Hukum Jaminan, Teori Asuransi Jiwa Syariah, Teori Jaminan Gadai dan
Fidusia, serta Teori Akad Rahn. Pembahasan tersebut guna memperjelas analisis
terhadap objek yang akan diteliti, mempermudah peneliti dalam penyusunan
serta mengkaji penelitian terdahulu.

Pada Bab III membahas mengenai Konsep Jaminan dalam Pembiayaan di


Perbankan Syariah dan Polis Asuransi Jiwa Syariah. Pada pembahasan ini akan
dijelaskan lebih dalam mengenai jaminan dalam pembiayaan di Perbankan
Syariah, hakikat dari jaminan itu sendiri yang dilihat dari perspektif hukum

12
Eriyanto. Analisis Isi: Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu-
ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cetakan Ke-1, 2011), h. 10.
11

Islam dan hukum positif, polis asuransi jiwa syariah beserta dalil-dalil dan
ketentuan hukum yang mengatur keduanya, baik hukum Islam maupun hukum
positif, dan jaminan yang diikat dengan gadai maupun fidusia.

Pada Bab IV memuat penjelasan dari hasil penelitian dan pembahasan


mengenai ketentuan dan kedudukan hukum, serta peluang dari penggunaan polis
asuransi jiwa syariah sebagai jaminan dalam pembiayaan pada Perbankan
Syariah di Indonesia. Bab ini menjadi bagian terpenting untuk memenuhi dan
menyelesaikan penelitian.

Pada Bab V yang merupakan bab terakhir berisi tentang penutup dari
penelitian ini yang memuat kesimpulan dari hasil penelitian yang telah
didapatkan serta beberapa saran dari permasalahan yang telah diteliti sebagai
rekomendasi atas temuan yang diperoleh.
BAB II

ASURANSI JIWA SYARIAH DALAM PEMBIAYAAN

A. Kerangka Konseptual
1. Perbankan Syariah

Perbankan syariah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Bank


Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) yang memiliki fasilitas
pembiayaan dan mewajibkan adanya jaminan yang diberikan oleh nasabah
dalam pembiayaan tersebut.13

2. Jaminan Pembiayaan

Jaminan pembiayaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah objek


jaminan yang bersifat materil dalam suatu pembiayaan pada lembaga
Perbankan Syariah.14 Dalam penelitian ini, adapun bentuk jaminan yang
dimaksud adalah Polis Asuransi Jiwa Syariah.

3. Polis Asuransi Jiwa Syariah

Polis Asuransi Jiwa Syariah yang dimaksud dalam penelitian ini


adalah suatu dokumen yang digunakan bukan hanya sebagai bukti
kepemilikan asuransi syariah bagi seseorang, tetapi apabila digunakan pula
sebagai jaminan dalam suatu perjanjian kredit atau pembiayaan pada
perbankan syariah.15

13
Nurnasrina., P. Adiyes Putra. Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Pekanbaru: Cahaya
Fidaus Publishing and Printing), 2018, h. 12.
14
Ifa Latifa Fitriani. (2017). “Jaminan dan Agunan Dalam Pembiayaan Bank Syariah dan
Kredit Bank Konvensional”, Jurnal Hukum & Pembangunan, 47(1), h. 146.
15
Hidayatina. (2015). “Ketentuan Premi Asuransi Sebagai Jaminan Terhadap Pembiayaan
Murabahah Pada Perbankan Syariah (Analisis Konsep Jaminan dan Asuransi dalam Ekonomi Islam)”,
JURIS, 14(2), h. 127.
12
13

4. Akad Rahn

Akad Rahn yang dimaksud dalam pembiayaan ini adalah akad yang
digunakan oleh jaminan pada suatu pembiayaan dengan objek berupa benda
yang diikat dengan gadai atau fidusia pada suatu pembiayaan di perbankan
syariah, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak.16

B. Kerangka Teori
1. Teori Hukum Jaminan
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, jaminan adalah suatu tanggungan
yang diberikan oleh individu yang memiliki kedudukan sebagai debitur
dan/atau pihak ketiga kepada individu lainnya yang memiliki kedudukan
sebagai kreditur untuk menjamin kewajibannya dalam perikatan yang telah
disepakati. Selain itu seorang pakar perbankan, Thomas Suyatno
mengemukakan bahwa jaminan merupakan penyerahan kekayaan atau adanya
pernyataan kesanggupan dari seseorang untuk menanggung pembayaran
kembali suatu barang. Hukum jaminan memang memiliki makna yang lebih
luas dan umum, serta memiliki sifat mengatur.17

Menurut Lastuti, hukum jaminan pada hakikatnya termasuk pada


hukum perdata. Namun, saat ini hukum jaminan terus berkembang dengan
pesat yang membuat hukum jaminan menjadi bagian tersendiri dan bukan suatu
kesatuan dari hukum perdata. Sunaryati Hartono (1982) berpendapat bahwa
hukum jaminan menjadi bagian tersendiri karena keterlibatan dari bidang
hukum lainnya dan adanya pengaruh dari beberapa konvensi Internasional,
bahkan dapat dikatakan menjadi bagian dari hukum ekonomi yang memiliki
sifat interdisipliner dan transnasional. Maka dari itu permasalahan-

16
Abu Lubaba. (2020). “Implementasi Akad Rahn Dalam Perspektif Ekonomi Islam (Studi
Kasus Pegadaian Syariah Cabang Tukmudal – Sumber – Cirebon)”, Ecopreneur: Jurnal Ekonomi dan
Bisnis, 1(2), h. 51.
17
Inri Januar. (2016). “Kewajiban dan Tanggung Jawab Memenuhi Prestasi dalam Hukum
Jaminan”, Jurnal Hukum to-ra, 2(1), h. 290-291.
14

permasalahan yang timbul di ranah hukum jaminan tidak hanya dilihat dari
perspektif hukum perdata saja, tetapi juga regulasi-regulasi lainnya yang
berkaitan dengan permasalahan tersebut.18

J. Satrio berpendapat bahwa hukum jaminan merupakan peraturan


hukum yang mengatur tentang jaminan piutang yang dimiliki oleh seorang
kreditur terhadap debiturnya, sehingga dapat diartikan hukum jaminan
mengatur tentang upaya-upaya untuk memberikan perlindungan hukum dalam
aspek jaminan kepada kreditur dalam mempertahankan dan melaksanakan
haknya untuk mendapatkan pelunasan piutangnya dari debitur.19

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa


hukum jaminan merupakan ketentuan hukum yang mengatur terkait suatu
benda yang dijadikan agunan oleh pihak peminjam atau debitur untuk
mendapatkan pinjaman dana dari pemilik dana atau kreditur berdasarkan
kesepakatan yang dituangkan dalam suatu perjanjian.

Jaminan memiliki 3 unsur jika dilihat berdasarkan Pasal 1 angka 23


Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yaitu:20

a. Merupakan jaminan tambahan;

b. Diserahkan oleh nasabah selaku debitur kepada bank selaku kreditur;


dan

c. Sebagai syarat untuk mendapatkan fasilitas kredit maupun


pembiayaan sesuai dengan prinsip syariah.

18
Lastuti Abubakar. (2015). “Telaah Yuridis Perkembangan Lembaga dan Objek Jaminan
(Gagasan Pembaruan Hukum Jaminan Nasional)”, Buletin Hukum Kebanksentralan, 12(1), h. 4.
19
Budiman Setyo Haryanto. (2010). “Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) dalam Sistem
Hukum Jaminan Indonesia”, Jurnal Dinamika Hukum, 10(1), Januari 2010, h. 23.
20
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
15

Adapun fungsi dari jaminan adalah sebagai berikut:21

a. Meyakinkan lembaga keuangan atau kreditur bahwa debitur dapat


melunasi pembiayaan yang diberikan sebagaimana kesepakatan yang
telah dituangkan dalam perjanjian.

b. Sebagai jaminan agar debitur turut berperan dalam pembiayaan untuk


menjalankan usahanya, sehingga dapat mencegah adanya kerugian
maupun pemberhentian usaha atau proyek yang sedang dikerjakan.

c. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya,


seperti melakukan pembayaran angsuran setiap bulannya.

Menurut perspektif Hukum Ekonomi Syariah, jaminan dapat disebut


juga dengan dhamman, yaitu jaminan utang yang diminta kepada seseorang
untuk dipertanggungjawabkan atas suatu barang yang menjadi jaminan. Jika
dilihat berdasarkan kamus fikih, jaminan merupakan jenis dari perjanjian
dengan cara memberikan barang atau suatu benda untuk dijadikan sebagai alat
kepercayaan dalam persoalan utang-piutang.22

Salim H.S. berpendapat sebagaimana dijelaskan dalam Neneng


Nurhasanah, bahwa hukum jaminan memiliki asas-asas penting yang harus
diketahui. Terdapat 5 (lima) asas dalam hukum jaminan, yaitu:23

a. Asas Publiitet;

Bahwa semua hak wajib didaftarkan, baik itu hak tanggungan,


hak fidusia, maupun hipotek.

b. Asas Specialitet;
21
Djawahir Hejazziey. (2013). Hukum Perbankan Syariah, (Yogyakarta: Deepublish,
Cetakan Ke-1, November 2013), h. 173.
22
Neneng Nurhasanah., Panji Adam. (2017). Hukum Perbankan Syariah: Konsep dan
Regulasi, (Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan Pertama, November 2017), h. 204.
23
Neneng Nurhasanah., Panji Adam. Hukum Perbankan Syariah: Konsep dan Regulasi, h.
195-196.
16

Bahwa hak-hak jaminan berupa hak tanggungan, hak fidusia


dan hipotek hanya dapat dibebankan kepada barang-barang yang
sudah didaftarkan dan atas nama orang tertentu.

c. Asas Tak Dapat Dibagi-bagi;

Bahwa meskipun utang dapat dibagi tetapi tidak


mengakibatkan hak-hak jaminan juga dapat terbagi meskipun telah
dilakukan pembayaran sebagian.

d. Asas Inbezittstelling;

Bahwa barang yang telah dijaminkan harus berada pada


penerima jaminan, contohnya seperti barang jaminan yang
digadaikan; dan

e. Asas Horizontal

Bahwa bangunan dan tanah bukan suatu kesatuan, keduanya


terpisah. Karena bisa saja bangunan milik seseorang, tetapi tanah di
bawahnya milik orang lain yang memberikan hak pakai kepada orang
yang memiliki bangunan tersebut.24

Kemudian Djawahir Hejazziey mengemukakan syarat-syarat yang harus


dipenuhi bagi benda jaminan yang akan dijaminkan, yakni sebagai berikut:25

a. Secara mudah dapat membantu pihak debitur untuk memperoleh


kredit ataupun pembiayaan;

b. Tidak melemahkan potensi/kekuatan debitur untuk melakukan dan


meneruskan usahanya; dan

24
Neneng Nurhasanah., Panji Adam. Hukum Perbankan Syariah: Konsep dan Regulasi, h.
195-196.
25
Djawahir Hejazziey. Hukum Perbankan Syariah, h. 174.
17

c. Kreditur memberikan informasi kepada debitur, bahwa barang


jaminan setiap waktu dapat dilakukan eksekusi jika debitur melakukan
wanprestasi.

Adapun manfaat dari jaminan terbagi menjadi dua, yaitu manfaat bagi
kreditur dan manfaat bagi debitur. Bagi debitur, jaminan memiliki manfaat
untuk memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan, sehingga debitur tidak
perlu khawatir untuk mengembangkan ushanya. Sementara manfaat bagi
kreditur adalah agar terwujudnya keamanan dalam setiap transaksi yang
diberikan oleh pihak kreditur, sehingga apabila kedepannya debitur melakukan
hal-hal di luar kendali ataupun wanprestasi, maka kreditur memiliki barang
yang dapat dipergunakan untuk mengamankan dana miliknya yang dipinjam
oleh pihak debitur. Kemudian manfaat lainnya adalah memberikan kepastian
hukum bagi kreditur, agar kreditur juga memiliki keadilan hukum untuk
menindaklanjuti debitur yang ingkar janji.26

Jaminan dalam Bank Syariah dengan Bank Konvensional memiliki


kedudukan yang berbeda, meskipun jaminan yang diterapkan pada keduanya
sama, yakni berupa jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Adapun
kedudukan jaminan pada bank syariah adalah untuk memberikan kepastian
kepada pihak pemberi fasilitas pembiayaan yaitu pihak bank, bahwa nasabah
atau debitur akan menggunakan dana dari pihak bank sebagaimana disepakati
dalam perjanjian. Hal tersebut berdasarkan pada Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 7/DSN-MUI/2000
tentang Pembiayaan Murabahah. Sementara pada bank konvensional, jaminan
merupakan posisi sentral dalam suatu pemberian dana atau kredit. Maka dari
itu pada bank syariah jaminan dilihat dengan mengedepankan prinsip investasi
dengan cara melihat kelayakan usaha di setiap calon nasabah atau mitra yang

26
Djawahir Hejazziey. Hukum Perbankan Syariah, (Yogyakarta: Dee Publish, Edisi 1
Cetakan Pertama, November 2013), h. 174.
18

hendak mengajukan pembiayaan, sementara bank konvensional lebih


mengedepankan aspek jaminan atau agunan yang dimiliki oleh calon
nasabah.27

2. Teori Asuransi Jiwa Syariah


Menurut Wahbah Az-Zuhaili, asuransi dapat didefinisikan ke dalam
dua bentuk, yaitu at-ta’min at-ta’awuni dan at-ta’min bi al-qist as-sabit. At-
ta’min at-ta’awuni merupakan asuransi tolong menolong, yaitu kesepakatan
sejumlah orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah
seorang di antara mereka mendapat kemudharatan. Sementara at-ta’min bi al-
qist as-sabit adalah asuransi dengan pembagian tetap dimana akadnya
mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang kepada pihak asuransi yang
terdiri atas beberapa pemegang saham dengan perjanjian apabila peserta
asuransi mendapat kecelakaan, maka ia diberikan ganti rugi.28

Menurut Muhammad Ajib, pengertian dari asuransi jiwa adalah suatu


perjanjian yang disepakati oleh peserta asuransi selaku tertanggung dengan
perusahaan asuransi selaku penanggung, yang mana pengolahan resiko dan
premi yang dibayarkan oleh peserta berdasarkan pada prinsip syariah, termasuk
asuransi jiwa syariah yang memiliki nilai investasi maka diinvestasikan sesuai
dengan prinsip syariah.29

Sementara itu. menurut H.M.N. Purwosutjipto dalam Sumarni (2019)


memiliki pendapat lain tentang asuransi jiwa, yaitu suatu perjanjian yang
memiliki sifat timbal balik antara pemegang asuransi (peserta) dengan pihak
penanggung (perusahaan), yang mana pihak pemegang asuransi mengikatkan

27
Neneng Nurhasanah., Panji Adam. Hukum Perbankan Syariah: Konsep dan Regulasi, h.
212.
28
Daniar. (2015). “Asuransi Perspektif al-Qur’an”, Islamic Economics Journal, 1(2), h. 231.
29
Muhammad Ajib. (2019). Asuransi Syariah. (Jakarta: Rumah Fiqih Publisher, Cetakan
Pertama), h. 67-68.
19

diri selama berjalannya asuransi tersebut dengan membayarkan sejumlah uang


premi kepada pihak penanggung, sementara pihak penanggung sebagai pihak
yang bertanggungjawab atas akibat langsung dari meninggalnya seseorang
yang jiwanya dipertanggungkan atau telah melampaui jangka waktu yang
diperjanjikan kepada orang yang telah ditunjuk oleh peserta asuransi sebagai
penerima manfaat asuransi.30

Menurut Purwosutjipto, pengertian dari asuransi jiwa syariah


merupakan pengolahan resiko berdasarkan pada prinsip syariah untuk saling
tolong menolong serta melindungi dengan cara membayarkan sejumlah dana,
yang didasarkan pada meninggal atau hidupnya peserta, atau pembayaran lain
kepada peserta atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu sebagaimana
telah diatur dalam perjanjian beserta jumlah besaran yang telah ditetapkan dan
berdasarkan pada hasil pengelolaan dana.

Beberapa ulama memperbolehkan adanya asuransi syariah, termasuk


implementasi asuransi jiwa. Pendapat ini disetujui oleh Abdul Wahab Khallaf,
Mustafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa, dan Abdurrahman Isa.
Alasan diperbolekannya asuransi berdasarkan pendapat bahwa “Tidak ada nash
Alquran dan Hadis yang melarang asuransi”,31 sehingga dapat diartikan bahwa
pendapat ini kembali kepada kaidah fikih bahwa pada dasarnya muamalah
diperbolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya.

Asuransi jiwa memiliki 3 (tiga) jenis, yakni sebagai berikut:32

a. Asuransi Kematian, yaitu nominal pada asuransi dibayarkan kepada ahli


waris atau orang yang ditunjuk dalam polis (santunan) setelah nasabah
atau peserta asuransi meninggal dunia;

30
Sumarni., Abdul Tayib. “Polis Asuransi Jiwa sebagai Jaminan untuk Mendapatkan Kredit
Pada perusahaan Asuransi”, h. 22.
31
Teguh Suripto., Abdullah Salam. (2017). “Analisa Penerapan Prinsip Syariah dalam
Asuransi”, Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, 7(2), h. 133.
32
Muhammad Ajib. Asuransi Syariah, h. 68.
20

b. Asuransi Hidup, yaitu peserta asuransi memperoleh dana asuransi


dalam bentuk kontan atau pemasukan bulanan sesuai dengan
kesepakatan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak; dan

c. Asuransi Kematian dan Jaminan Hari Tua, yaitu peserta yang


memperoleh pemasukan bulanan dari nilai-nilai asuransi apabila peserta
telah pensiun, sementara sisanya diberikan kepada ahli waris jika
peserta tersebut meninggal dunia.

Sistem operasional dalam asuransi jiwa syariah tentu berbeda dengan


sistem operasional pada asuransi jiwa konvensional, yaitu senantiasa
menghindari unsur-unsur yang dilarang dalam prinsip syariah seperti gharar,
maisir, dan riba. Untuk menghindari adanya unsur-unsur tersebut, maka dalam
asuransi jiwa syariah digunakan dua akad, yaitu akad tabarru’ dan akad
mudharabah (bagi hasil). Dalam operasionalnya, asuransi syariah menyiapkan
rekening khusus sebagai rekening dana tolong menolong atau rekening
tabarru’ yang menampung kontribusi yang disetorkan oleh seluruh peserta
yang telah diniatkan untuk membantu sesama peserta. Setiap peserta
menyetorkan kontribusi kepada perusahaan sebagai pengelola dana, kemudian
pihak perusahaan akan mengalokasikannya ke dalam dua rekening, yaitu
rekening tabarru’ atau derma (rekening bersama) dan rekening pribadi peserta.
Apabila seorang peserta terkena resiko sakit, kecelakaan atau meninggal, maka
klaimnya akan dibayarkan atau diambilkan dari rekening tabarru’. Dengan
adanya mekanisme ini, maka setiap peserta turut berkontribusi atau berderma
kepada peserta yang terkena resiko tersebut.33

33
Hadi Daeng Mapuna. “Asuransi Jiwa Syariah: Konsep dan Sistem Operasionalnya”, h.
164.
21

Pada umumnya, asuransi memiliki prinsip dasar yang harus dipenuhi.


Terdapat 6 (enam) prinsip dasar dalam asuransi, yaitu:34

a. Kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable risk) dan


Kepentingan keuangan;

b. I’tikad baik (utmost good faith);

c. Para pihak yang melakukan perjanjian/kontrak asuransi;

d. Sebab aktif (proximate cause);

e. Pengganti Kerugian (indemnity); dan

f. Pengalihan hak (subrogation).

3. Teori Jaminan Gadai dan Fidusia


Menurut Djawahir Hejazziey, gadai merupakan suatu hak yang
diperoleh oleh kreditur atas suatu barang bergerak yang dioerahkan oleh
debitur kepada kreditur atau orang lain atas Namanya yang memberikan
kekuasaan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut
dengan didahulukan dari kreditur-kreditur lainnya. Cakupan objek dalam gadai
meliputi benda bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud seperti
kendaraan, perhiasan atau logam mulia, deposito atau utang-piutang, surat
berharga berupa saham, efek, dan lainnya, serta alat elektronik.

Terdapat 3 (tiga) fase yang harus ditempuh agar perjanjian gadai dapat
diakui secara hukum dan mengikat bagi para pihak, yaitu:35

a. Membuat perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok;

34
Dewi Puspita., Harto A., Rakhmat. (2018). “Peran Asuransi Terhadap Resiko
Pembiayaan”, Jurnal Mahkamah, 3(2), Desember 2018, h. 268-269.
35
Djawahir Hejazziey. Hukum Perbankan Syariah, h. 176.
22

b. Membuat perjanjian pemberian gadai yang menunjuk pada perjanjian


pokok; dan

c. Penyerahan atau penguasaan benda yang menjadi objek gadai kepada


Kreditur.

Sementara Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak


dengan penguasaan tetap pada Pemberi Fidusia yang dimaksudkan sebagai
agunan bagi pelunasan hutang tertentu dan memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lain. Adapun cakupan
dari objek fidusia itu sendiri meliputi segala benda bergerak yang dapat
dimiliki dan dialihkan baik berwujud maupun tidak berwujud, yang terdaftar
maupun tidak terdaftar, dan benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani
Hak Tanggungan dan Hipotek.36

Menurut Marhainis, jaminan fidusia atau Fiduciare Eigendom


Overdracht (f.e.o) adalah suatu perjanjian atas kepercayaan atau penyerahan
hak milik atas kepercayaan.37

Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan


Fidusia, dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa fidusia merupakan pengalihan
hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa
benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan
pemilik benda. Sementara pengertian dari jaminan fidusia dijelaskan dalam
Pasal 1 ayat (2), yaitu hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud dan benda yang tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang
tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan

36
Djawahir Hejazziey. Hukum Perbankan Syariah, h. 180-181.
M. Yasir. (2016). “Aspek Hukum Jaminan Fidusia (Legal Aspect of Fiduciary Guaranty)”,
37

SALAM: Jurnal Sosial & Budaya Syar-i, 3(1), h. 77.


23

utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada


penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.38

Jaminan berupa benda yang diikat dengan jaminan fidusia memiliki hak
droit de suite, atau benda yang dijadikan jaminan fidusia berada dalam
penguasaan pemberi fidusia, tetapi hak kebendaannya telah berpindah kepada
penerima jaminan fidusia dimanapun benda tersebut berada. Selain itu, benda
yang dibebani dengan jaminan fidusia tidak dapat dialihkan, digadaikan,
disewakan kepada pihak lain atau orang ketiga.39

Jaminan fidusia merupakan produk konvensional yang digunakan untuk


memberikan perlindungan, khususnya untuk kreditur. Sehingga jika debitur
melakukan wanprestasi, maka kreditur dapat meminta ganti rugi kepada debitur
dengan melakukan eksekusi terhadap jaminan fidusia tersebut. Dengan
didaftarkannya jaminan fidusia, maka eksekusi barang jaminan dapat dilakukan
dengan segera tanpa menunggu putusan pengadilan. Dalam hukum Islam,
jaminan atau hak tanggungan dikenal dengan istilah rahn. Barang jaminan
tersebut boleh dijual jika dalam waktu yang disetujui oleh kedua belah pihak,
maka utang tidak boleh dilunasi oleh orang yang berutang. Maka dari itu hak
pemberi piutang hanya terkait dengan barang jaminan, apabila orang berutang
tidak mampu melunasi utangnya.40

4. Teori Akad Rahn


Heri Sudarsono mengemukakan bahwa gadai dalam fikih atau hukum
Islam disebut dengan rahn, yaitu sejumlah harta yang diserahkan sebagai
jaminan secara hak, akan tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.

38
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
39
Arifatul Uyun., Abdul Mujib. (2022). “Penyelesaian Sengketa Jaminan Fidusia dalam
Praktik Gadai”, Al ‘Adl: Jurnal Hukum, 14(2), Juli 2022, h. 287.
40
M. Yasir. “Aspek Hukum Jaminan Fidusia (Legal Aspect of Fiduciary Guaranty)”, h. 76-
77.
24

Sementara menurut Azhar Basyir, rahn memiliki arti tetap, berlangsung dan
menahan sesuatu barang sebagaimana tanggungan hutang, atau merupakan
suatu benda yang memiliki nilai sebagai jaminan hutang dan menjadi
tanggungan dari seluruh atau sebagian hutang yang dapat diberikan.41

Menurut Sayyid as-Sabiq, istilah Rahn memiliki makna yaitu


menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’
sebagai jaminan hutang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau
sebagian hutang dari barang tersebut.42

Beberapa ulama fikih juga mengemukakan pendapat mengenai


pengertian dari rahn. Ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa rahn
merupakan harta yang dijadikan jaminan utang oleh pemiliknya dan bersifat
mengikat. Sementara ulama madzhab Hanafi mengemukakan pengertian rahn
adalah menjadikan sesuatu atau barang sebagai jaminan terhadap hak piutang
yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut, baik sebagian
ataupun keseluruhan. Berbeda dengan ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali
yang mengemukakan definisi rahn dalam arti akad, yaitu suatu barang atau
materi dapat dijadikan jaminan utang apabila pembayar utang atau orang yang
berhutang tidak dapat membayar utangnya.43

Imam Ibnu Manzur berpendapat bahwa pengertian dari Rahn adalah


sesuatu yang diberikan sebagai jaminan terhadap suatu manfaat dari barang
yang diagunkan. Sementara itu, Wahbah Zuhaily mengatakan bahwa Rahn
yaitu menahan salah satu harta yang memiliki nilai ekonomis yang dimiliki
oleh pihak peminjam untuk digunakan sebagai jaminan atas pinjaman yang

41
Budiman Setyo Haryanto. “Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) dalam Sistem Hukum
Jaminan Indonesia”, h. 24.
42
Noor Hafidah. “Kajian Prinsip Hukum Jaminan Syariah dalam Kerangka Sistem Hukum
Syariah”, h. 4.
43
Neneng Nurhasanah., Panji Adam. Hukum Perbankan Syariah: Konsep dan Regulasi, h.
207.
25

diterimanya. Dan menurut Ibnu Qudamah, Rahn merupakan harta yang


dijadikan sebagai jaminan hutang agar pemberi hutang dapat menjual barang
tersebut jika pihak yang berhutang tidak dapat membayar hutangnya.44

Dalam hukum Islam, telah ditentukan mengenai rukun rahn. Para


ulama fikih memiliki perbedaan pendapat mengenai rukun dari rahn, akan
tetapi jika digabungkan maka menurut jumhur ulama terdapat 5 (lima) rukun
rahn sebagai berikut:

1) Rahin (orang yang menggadaikan);


2) Murtahin (orang yang menerima gadai);
3) Marhun/rahn (objek/barang gadai);
4) Marhun Bih (utang); dan
5) Sighat (ijab kabul).

Kemudian mengenai syarat-syarat rahn sesuai dengan rukun rahn, para


ulama fikih berpendapat bahwa syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:45

1) Adanya para pihak dalam pembiayaan rahn, yaitu rahin dan murtahin:
a. Baligh; dan
b. Berakal (rusyd)
2) Adanya kesepakatan (sighat) atau ijab qabul:
a. Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan dengan
waktu di masa depan.
3) Terdapat marhun bih (utang):
a. Harus merupakan hak yang wajib diberikan atau disertakan
kepada pemiliknya;
b. Hutang boleh dilunasi dengan rahn;

44
Abu Lubaba. (2020). “Implementasi Akad Rahn Dalam Perspektif Ekonomi Islam (Studi
Kasus Pegadaian Syariah Cabang Tukmudal – Sumber – Cirebon)”, Ecopreneur: Jurnal Ekonomi dan
Bisnis, 1(2), h. 51-52.
45
Zaeni Asyhadie. Hukum Jaminan Di Indonesia: Kajian Berdasarkan Hukum Nasional dan
Prinsip Ekonomi Syariah. h. 121-122.
26

c. Memungkinkan pemanfaatannya; dan


d. Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya (jelas dan
tertentu).
4) Terdapat barang sebagai objek (marhun):
a. Harus bisa diperjual-belikan;
b. Harus berupa harta yang bernilai;
c. Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah;
d. Harus diketahui keadaan fisiknya;
e. Harus dimiliki oleh Rahin (penggadai);
f. Rahn tidak terikat dengan hak orang lain;
g. Rahn merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran; dan
h. Rahn dikuasai secara hukum (qabdh) oleh Murtahin.

C. Kajian Penelitian Terdahulu


1. Kedudukan Hukum Polis Asuransi Jiwa Sebagai Objek Jaminan
Penelitian yang dilakukan oleh Wendra Catur Putra pada tahun 2018,
membahas mengenai kepastian kedudukan hukum dari polis asuransi jiwa
sebagai objek jaminan dilihat dari sudut pandang hukum jaminan
kebendaan, serta kedudukan hukumnya dalam praktik penjaminan polis
yang terdapat pada perusahaan asuransi jiwa. Dalam penelitian ini, Wendra
menemukan adanya praktik penjaminan polis asuransi jiwa atas utang
debitor kepada kreditor. Adapun Lembaga yang menjadi kreditor
merupakan perusahaan asuransi jiwa, dan polis asuransi jiwa yang menjadi
jaminan dikeluarkan oleh perusahaan asuransi jiwa itu sendiri. Sehingga
terdapat perusahaan asuransi jiwa yang melakukan praktik pemberian
27

fasilitas kredit kepada nasabahnya dengan menerima jaminan berupa polis


asuransi jiwa yang diterbitkan oleh perusahaan tersebut.46
Perbedaannya adalah penelitian yang dilakukan oleh Wendra Catur
Putra merupakan analisis terhadap Polis Asuransi Jiwa Konvensional yang
dijadikan jaminan oleh debitur kepada kreditur, dianalisis dari perspektif
hukum kebendaan. Adapun kreditur dalam penelitian tersebut adalah
perusahaan asuransi yang mengeluarkan polis tersebut.
2. Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Untuk Mendapatkan Kredit pada
Perusahaan Asuransi
Penelitian yang dilakukan oleh Sumarni dan Abdul Tayib pada tahun
2019, membahas lebih dalam mengenai polis asuransi jiwa sebagai jaminan
untuk mendapatkan kredit pada perusahaan asuransi. Dalam penelitian ini
dikatakan bahwa perjanjian kredit dengan jaminan polis asuransi hanya
dapat terjadi pada pertanggungan jiwa, sehingga pemegang polis pada
perusahaan asuransi jiwa mempunyai hak untuk meminjam sejumlah uang
pada perusahaan asuransi dengan cara menggadaikan polis. Pada penelitian
ini, polis asuransi jiwa sebagai jaminan gadai, yang mana polis tersebut
harus memiliki nilai tunai, serta perjanjian kredit dengan menggunakan
jaminan gadai polis asuransi hanya dapat terjadi pada pertanggungan jiwa.47
Perbedaannya dengan penelitian yang akan penulis teliti adalah bahwa
penelitian yang dilakukan oleh Sumarni dan Abdul Tayib merupakan
analisis Polis Asuransi Jiwa yang dijadikan jaminan kredit pada perusahaan
Asuransi Jiwa Konvensional.
3. Implementasi Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Kredit Pada
Perbankan (Studi di PT Bank Rakyat Indonesia Cabang Solo Slamet
Riyadi)

46
Wenda Catur Putra. (2018). “Kedudukan Hukum Polis Asuransi Jiwa sebagai Objek
Jaminan”, Tesis, Makassar: Magister Kenotariatan, Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.
47
Sumarni., Abdul Tayib. (2019). “Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Untuk
Mendapatkan Kredit Pada Perusahaan Asuransi”, Jurnal Unizar Law Review, 2(1).
28

Penelitian oleh Roslima Sitorus pada tahun 2020, dilakukan untuk


mengetahui implementasi dari polis asuransi jiwa sebagai jaminan kredit
pada lembaga keuangan, yaitu perbankan. Selain itu, penelitian ini juga
membahas bagaimana kedudukan hukum dari polis asuransi jiwa sebagai
objek jaminan dari nasabah yang melakukan pembiayaan kredit pada PT
Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Solo Slamet Riyadi, serta eksekusi
polis asuransi jiwa oleh kreditur apabila terjadi cidera janji atau wanprestasi.
Pada penelitian ini dijelaskan bahwa polis asuransi jiwa dalam jaminan
kebendaan diikat dengan gadai ataupun fidusia, karena polis asuransi jiwa
memiliki hak tagih (piutang) yang dapat diklasifikasikan sebagai benda
bergerak. Kemudian apabila terjadi wanprestasi, maka eksekusi dilakukan
sebagai penyelesaian dari pinjaman debitur tersebut.48
Perbedaannya adalah penelitian yang dilakukan oleh Roslima Sitorus
merupakan analisis polis asuransi jiwa yang terdapat dalam jaminan kredit
pada perbankan konvensional. Adapun bank yang menjadi objek dalam
penelitian tersebut adalah PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Solo
Slamet Riyadi.
4. Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jaminan dengan Polis Asuransi Jiwa
Sebagai Objek Jaminan
Penelitian yang dilakukan oleh Riky Rustam pada tahun 2016,
membahas permasalahan terkait keabsahan perjanjian pengikatan jaminan
dengan polis asuransi jiwa sebagai objek jaminan. Permasalahan yang
diangkat pada penelitian ini yaitu penentuan perikatan sebagai suatu benda
berdasarkan Pasal 511 ayat (3) KUH Perdata dan keabsahan perjanjian
pengikatan jaminan dengan objek jaminan berupa polis asuransi jiwa.
Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa benda dalam suatu perikatan
bukanlah perikatan itu sendiri, melainkan prestasi atau utang yang

48
Roslima Sitorus. (2020). “Implementasi Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Kredit Pada
Perbankan”, Skripsi, Surakarta: Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret.
29

terkandung dalam perikatan tersebut, sehingga ada atau tidaknya prestasi


sangat mempengaruhi bisa atau tidaknya suatu perikatan diklasifikasikan
sebagai benda. Menggunakan polis asuransi jiwa sebagai objek jaminan
sama saja dengan menempatkan polis asuransi jiwa yang bentuk dasarnya
adalah perikatan (perjanjian) sebagai suatu benda, karena polis asuransi jiwa
merupakan salah satu contoh benda yang ditentukan Pasal 511 ayat (3)
KUH Perdata, sehingga polis asuransi jiwa dapat dibebankan menjadi objek
jaminan, meskipun pada praktiknya polis asuransi jiwa dapat menimbulkan
beberapa masalah yang harus dikaji kembali.49
Perbedaannya adalah bahwa penelitian yang diteliti oleh Riky Rustam
merupakan analisis terhadap perjanjian pengikatan jaminan, dalam hal ini
jaminan tersebut berupa polis asuransi jiwa. Analisis ini ditelaah
berdasarkan perspektif hukum perikatan.
5. Ketentuan Premi Asuransi Sebagai Jaminan Terhadap Pembiayaan
Murabahah Pada Perbankan Syariah (Analisis Konsep Jaminan dan
Asuransi dalam Ekonomi Islam)
Penelitian oleh Hidayatina pada tahun 2015, membahas mengenai
jaminan dalam pembiayaan murabahah berupa sejumlah dana yang ada
dalam premi asuransi jiwa berdasarkan besaran plafon pembiayaan yang
diberikan pada Bank Syariah Aceh Cabang Lhokseumawe. Namun,
pembiayaan ini khusus diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) agar
mengurangi resiko terjadinya kredit macet maupun wanprestasi selama
pembiayaan berlangsung.50
Perbedaannya adalah objek penelitian yang dilakukan oleh Hidayatina
merupakan premi asuransi jiwa yang menjadi jaminan dalam pembiayaan

49
Riky Rustam. (2016). “Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jaminan dengan Polis Asuransi
Jiwa Sebagai Objek Jaminan”, Jurnal LamLaj, 1(2), Banjarmasin: Fakultas Hukum, Universitas
Lambung Mangkurat, September 2016.
50
Hidayatina. (2015). “Ketentuan Premi Asuransi Sebagai Jaminan Terhadap Pembiayaan
Murabahah Pada Perbankan Syariah (Analisis Konsep Jaminan dan Asuransi dalam Ekonomi Islam)”,
JURIS, 14(2), Juli-Desember 2015.
30

dengan akad Murabahah pada perbankan syariah yang berada di Aceh, yaitu
Bank Syariah Aceh Cabang Lhokseumawe. Penelitian ini menganalisis
ketentuan premi asuransi jiwa yang dijadikan jaminan berdasarkan konsep
jaminan dan Asuransi yang ditelaah menurut perspektif ekonomi Islam.

Berdasarkan pemaparan penelitian-penelitian tersebut, dapat diambil


kesimpulan bahwa terdapat perbedaan antara penelitian-penelitian sebelumnya
dengan penelitian ini, yaitu belum adanya penelitian yang membahas mengenai
polis asuransi jiwa sebagai objek jaminan dalam perspektif hukum Islam. Selain
itu belum ada yang mengkaji lebih dalam mengenai polis asuransi jiwa syariah
yang digunakan sebagai jaminan dalam pembiayaan pada Perbankan Syariah.
Maka dari itu permasalahan tersebut penting untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut
terkait kedudukannya dalam hukum Islam dan hukum Positif agar praktek yang
dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, regulasi hukum yang berlaku
dan tidak menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah diatur.
BAB III

KONSEP JAMINAN PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH DAN


POLIS ASURANSI JIWA SYARIAH

A. Perbankan Syariah
Perbankan syariah adalah suatu lembaga keuangan yang berfungsi
sebagai perantara bagi pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang
kekurangan dana untuk kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan
prinsip-prinsip dalam hukum Islam.51

Menurut Sudarsono, bank syariah adalah lembaga keuangan yang


memiliki pokok usaha berupa memberikan kredit dan berbagai jasa lainnya
dalam lalu-lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi dilandasi
dengan prinsip-prinsip hukum Islam.

Sementara menurut Schaik, bank syariah atau bank Islam merupakan


bentuk dari bank modern yang bergerak berdasarkan hukum Islam yang sah,
dikembangkan pada abad pertama Islam dengan metode utama yang digunakan
yaitu konsep berbagi resiko dan meniadakan keuangan berdasarkan
ketidakpastian serta keuntungan yang ditentukan sebelumnya. Ia juga
berpendapat bahwa terdapat 7 (tujuh) prinsip ekonomi Islam yang menghidupi
perbankan syariah, yakni sebagai berikut:52

1. Keadilan, kesamaan dan solidaritas;

2. Larangan terhadap objek dan makhluk;

3. Pengakuan kekayaan intelektual;

51
Zainuddin Ali. Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan Pertama,
2008), h. 1.
52
Ayief Fathurrahman. (2010). “Meninjau Ulang Landasan Normatif Perbankan Syariah di
Indonesia (Telaah atas Teori Kontruksi Fiqh Klasik)”, Jurnal Al-Mawarid, 11(1), h. 4-5.
31
32

4. Harta sebaiknya digunakan dengan rasional dan baik (fair way);

5. Tidak ada pendapatan tanpa usaha dan kewajiban;

6. Kondisi umum dari kredit, yang meliputi peminjam yang mengalami


kesulitan keuangan sebagiknya diperlakukan secara baik dan mengatur serta
mengakomodasi biaya transaksi;

7. Duality resiko, yang mana satu sisi sebagai bagian dari persetujuan kredit
(liability) usaha produktif, dan sisi lainnya sebagai bagian pengontrol resiko
agar lebih berhati-hati.

Pada dasarnya, perbankan syariah memiliki kesamaan dengan perbankan


konvensional, yaitu sebagai lembaga yang mengimpun dan menyalurkan dana.
Namun, perbankan syariah merupakan lembaga intermediasi keuangan
(Financial Intermediary Institution)53 yang bergerak dengan menerapkan
prinsip-prinsip sesuai dengan syariat Islam dan tidak melanggar aturan yang
telah ditentukan oleh hukum Islam. Adapun prinsip yang menjadi landasan
dalam menjalankan operasional dari perbankan syariah yaitu ketentuan hukum
mu’amalah, khususnya terkait dengan hukum perjanjian (akad), menghindari
hal-hal yang dilarang dalam Islam, seperti maysir, gharar, riba, dan lain-lain.54

Lembaga perbankan syariah memiliki 2 (dua) fungsi utama, yaitu


mengumpulkan dan menyalurkan dana. Bank syariah dalam menjalankan fungsi
sebagai pengumpul dana yaitu untuk menyimpan dana yang dimiliki oleh para
nasabah agar lebih aman dan terjaga. Kemudian dalam hal penyaluran dana,
bank syariah melakukan pemberian fasilitas berupa pembiayaan kepada debitur
yang membutuhkan, seperti untuk modal usaha ataupun kebutuhan konsumtif.
Sebagai pihak yang menyalurkan dana, khususnya dalam hal pembiayaan maka

53
Rahmat Ilyas. (2015) “Konsep Pembiayaan dalam Perbankan Syariah”, Jurnal Penelitian,
9(1), Februari 2015, h. 184.
54
Abdul Ghoni. “Implementasi Penyelesaian Hukum atas Eksekusi Jaminan dalam
Perbankan Syariah”, h. 63.
33

perbankan syariah harus memperhatikan beberapa hal agar pembiayaan tersebut


terhindari dari hal-hal yang tidak diinginkan, yaitu dengan melakukan analisis
kelayakan pembiayaan. Tahapan-tahapan yang harus dilakukan dalam
melaksanakan analisis kelayakan pembiayaan adalah sebagai berikut:55

1. Pendekatan Analisis Pembiayaan. Dalam tahapan ini terdapat beberapa


pendekatan yang dilakukan, yaitu pendekatan jaminan, pendekatan
karakter nasabah, pendekatan kemampuan pelunasan, pendekatan dengan
studi kelayakan, dan pendekatan fungsi bank sebagai lembaga intermediasi
keuangan.

2. Penerapan Prinsip Analisis Pembiayaan. Prinsip ini kerap disebut dengan


Rumus 5C, yaitu Character (Sifat), Capacity (Kemampuan), Capital
(Besaran modal yang diperlukan), Collateral (Jaminan), dan Condition
(Keadaan Nasabah).

3. Penerapan Prosedur Analisis Pembiayaan. Pada tahap ini, terdapat


beberapa hal penting yang harus dipahami terlebih dahulu oleh pengelola
Bank Syariah, yaitu berkas dan pencatatan; data pokok dan analisis
pendahuluan; penelitian data; penelitian atas realisasi usaha; penelitian atas
rencana usaha; penelitian dan penilaian barang jaminan; dan Laporan
Keuangan serta penelitiannya.

4. Penentuan Kebijakan Pembiayaan Bank Syariah. terdapat 2 (dua)


kebijakan pada tahapan ini, yaitu kebijakan umum pembiayaan syariah dan
pengambilan keputusan pembiayaan.

Dalam hal memberikan pembiayaan kepada nasabah, pihak bank harus


melakukan analisis terlebih dahulu terhadap nasabah sebelum pembiayaan
tersebut diberikan. Adapun analisis yang dilakukan berpaku pada 5 (lima) prinsip

55
Rahmat Ilyas, “Konsep Pembiayaan dalam Perbankan Syariah”, h. 197-199.
34

penting atau disebut juga dengan 5C (Five C), yaitu: Character (watak), Capacity
(kemampuan), Capital (modal), Collateral (agunan), dan Condition of Economic
(kondisi atau prospek usaha).56

B. Hakikat Jaminan dalam Pembiayaan di Perbankan Syariah


Perjanjian jaminan menurut Subekti dapat diartikan sebagai perbuatan
pemisahan atas harta kekayaan yang dimiliki oleh debitur untuk pemenuhan
prestasinya pada kreditur, sehingga jaminan ini berarti suatu hak yang melekat
pada suatu benda milik debitur yang dijadikan jaminan dalam suatu kesepakatan
dari debitur kepada kreditur dalam sebuah perjanjian.57 Ketika jaminan telah
berada di bawah tangan kreditur, maka kreditur memiliki hak atas objek jaminan
tersebut apabila debitur melakukan cidera janji atau tidak memenuhi pelunasan
dalam pengembalian uang pembiayaan. Pengertian lain dari jaminan atau objek
jaminan yakni merupakan suatu benda yang dapat dialihkan dan mempunyai
nilai jual (ekonomis), menjaminkan suatu benda berarti melepaskan sebagian
kekuasaan pemilik benda atas benda tersebut. Jaminan merupakan kebutuhan
kreditur untuk memperkecil resiko apabla debitor tidak mampu menyelesaikan
segala kewajiban yang timbul dari kredit yang telah dikeluarkannya.58

Sementara pembiayaan atau financing adalah pendanaan yang diberikan


oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah
direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun oleh lembaga tertentu. Sementara
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan
yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara

56
Akbar Kurnia Wahyudi. Perbankan Indonesia, (Jakarta: Bintang Cemerlang Pressindo,
2002), h. 9.
57
Gentur Cahyo Setiono. (2018). “Jaminan Kebendaan dalam Proses Perjanjian Kredit
Perbankan (Tinjauan Yuridis Terhadap jaminan Benda Bergerak Tidak Berwujud)”, Jurnal
Transparansi Hukum, 1(1), h. 9-10.
58
Riky Rustam. “Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jaminan dengan Polis Asuransi Jiwa
Sebagai Objek Jaminan”, h. 229.
35

bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan atau bagi hasil.59

Menurut Muhammad dalam Rahmat Ilyas (2015), pembiayaan kerap


berkaitan dengan kegiatan bisnis. Sehingga pembiayaan (financing) dapat
diartikan sebagai pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain
dalam hal mendukung berjalannya investasi yang direncanakan oleh individu
maupun suatu lembaga.60 Sementara M. Syafi’i Antonio berpendapat bahwa
pembiayaan adalah salah satu tugas pokok yang dimiliki oleh perbankan untuk
memberikan fasilitas berupa dana kepada pihak-pihak dalam memenuhi
kebutuhannya.61

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengatur


pengertian tentang pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam Pasal 1 angka
12, yaitu penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan
tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.62
Sementara dalam Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, pembiayaan merupakan penyediaan dana atau
tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:

a) Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;

b) Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiya bittamlik;

59
Rahmat Ilyas, “Konsep Pembiayaan dalam Perbankan Syariah”, h. 186.
60
Rahmat Ilyas. “Konsep Pembiayaan dalam Perbankan Syari’ah”, h. 186.
61
Abdul Ghoni. (2016). “Implementasi Penyelesaian Hukum atas Eksekusi Jaminan dalam
Perbankan Syariah”, Jurnal Ius Constituendum, 1(2), h. 64.
62
Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan.
36

c) Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan


istishna’;

d) Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan

e) Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi


multijasa.

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS


dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas
dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.63

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa


pembiayaan adalah pemberian dana dari pihak lembaga keuangan syariah
kepada pihak lain yang dalam hal ini disebut nasabah, dengan persetujuan dari
kedua belah pihak dan adanya perjanjian dalam pengembalian dana sesuai
dengan kesepakatan.

Pada dasarnya, pembiayaan memiliki beberapa jenis yang


dikelompokkan ke dalam beberapa aspek, yaitu pembiayaan berdasarkan tujuan,
pembiayaan berdasarkan jangka waktu, serta pembiayaan aktiva produktif dan
aktiva tidak produktif. Dari aspek-aspek tersebut, terdapat pembagian yang lebih
rinci, yaitu sebagai berikut.64

a. Pembiayaan berdasarkan Tujuan:

1) Pembiayaan Modal Kerja; dan

2) Pembiayaan Investasi.

b. Pembiayaan berdasarkan Jangka Waktu:

63
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
64
Rahmat Ilyas, “Konsep Pembiayaan dalam Perbankan Syariah”, h. 193-196.
37

1) Pembiayaan dengan jangka waktu pendek (1 bulan sampai 1 tahun);

2) Pembiayaan dengan jangka waktu menengah (1 tahun sampai 5


tahun); dan

3) Pembiayaan dengan jangka waktu Panjang (lebih dari 5 tahun).

c. Pembiayaan yang bersifat Aktiva Produktif:

1) Pembiayaan dengan Prinsip Bagi Hasil (Mudharabah,


Musyarakah);

2) Pembiayaan dengan Prinsip Jual Beli; dan

3) Pembiayaan dengan Prinsip Sewa-Menyewa (Ijarah).

d. Pembiayaan yang bersifat Aktiva Tidak Produktif, yaitu seperti


pinjaman (Qardh). Adapun beberapa jenis pinjaman yang dapat
diberikan oleh perbankan syariah adalah:65

1) Pinjaman Talangan Haji;

2) Pinjaman Tunai dari produk Kartu Kredit Syariah;

3) Pinjaman bagi para Pengusaha Kecil; dan

4) Pinjaman kepada Pengurus Bank.

Untuk mengetahui lebih lenjut mengenai hakikat jaminan dalam suatu


pembiayaan, maka perlu dipahami terlebih dahulu terkait konsep jaminan
menurut hukum positif dan hukum Islam.

1. Konsep Jaminan menurut Hukum Positif

Pengertian dari jaminan adalah suatu perikatan antara kreditur dengan


debitur, dimana debitur memperjanjikan sejumlah hartanya untuk pelunasan

65
Rahmat Ilyas, “Konsep Pembiayaan dalam Perbankan Syariah”, h. 193-196.
38

utang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila dalam


waktu yang ditentukan terjadi kemacetan pembayaran utang pihak debitur.66
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tentang Jaminan Pemberian Kredit, yang
dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan
debitor untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.

Dalam Pasal 1131 KUH Perdata, jaminan adalah segala kebendaan


milik si berutang, baik bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah
ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk
segala perikatan perseorangan. Jika dilihat berdasarkan pasal tersebut, jaminan
merupakan kebendaan yang diberikan oleh debitor kepada kreditor untuk
menjamin pelunasan utang yang dimilikinya, dengan demikian objek jaminan
adalah benda. Makna benda dalam hal ini adalah benda yang memiliki nilai
ekonomis (dapat dinilai dengan uang) dan benda tersebut harus dapat dialihkan
kepada pihak lain untuk dilakukan penjualan atau pelelangan ketika debitor
wanprestasi dan uang hasil penjualan benda tersebut akan digunakan untuk
pelunasan utang debitor.67 Sementara berdasarkan Pasal 499 KUH Perdata,
yang dinamakan kebendaan adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang
dapat dikuasai oleh hak milik. Benda dalam ranah hukum perdata dapat
memiliki makna baik berupa barang maupun hak, yang mana dalam konteks
tersebut barang merupakan sesuatu yang berwujud, sementara hak merupakan
benda yang tidak berwujud.68

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa makna dari


jaminan adalah suatu objek dalam perjanjian yang termasuk pada perjanjian

66
Gatot Supramono. Perbankan dan Masalah Kredit, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 75.
67
Riky Rustam. (2016). “Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jaminan dengan Polis Asuransi
Jiwa Sebagai Objek Jaminan”, Jurnal LamLaj, 1(2), h. 221.
68
Gentur Cahyo Setiono. (2018). “Jaminan Kebendaan dalam Proses Perjanjian Kredit
Perbankan (Tinjauan Yuridis Terhadap jaminan Benda Bergerak Tidak Berwujud)”, Jurnal
Transparansi Hukum, 1(1), h. 4.
39

tambahan sebagai bukti nasabah akan melunasi utangnya kepada Lembaga


Keuangan baik Perbankan maupun Lembaga Keuangan Non-Bank dalam
jangka waktu yang telah ditentukan dan disepakati dalam perjanjian oleh kedua
belah pihak.
Jaminan berkaitan erat dengan pengajuan kredit maupun pembiayaan di
lembaga keuangan, baik perbankan maupun lembaga keuangan non-bank,
karena salah satu persyaratan yang diterapkan dalam rangka pemberian
pembiayaan di lembaga keuangan adalah penyerahan jaminan oleh calon
nasabah kepada pihak lembaga keuangan, begitupula dalam lembaga keuangan
syariah. Sementara jaminan yang diterima oleh pihak lembaga keuangan
mempunyai fungsi untuk menjaminkan akan dilunasinya utang-utang jika
nasabah atau debitur tidak membayar tepat waktu sesuai dengan perjanjian
yang sudah ditentukan, atau ketika debitur melakukan hal-hal yang melanggar
ketentuan dalam perjanjian atau wanprestasi, sehingga jaminan pembiayaan
yang diterima dapat dicairkan untuk pelunasan pembiayaan yang macet. Untuk
itu peranan jaminan sangat penting dalam pembiayaan demi kelancaran
operasional dalam lembaga keuangan itu sendiri, karena pembiayaan termasuk
sistem penting dan pemasukan utama bagi lembaga pembiayaan.69
Secara umum, fungsi dari jaminan ialah untuk menjamin pelunasan
utang debitur kepada kreditur apabila debitur cidera janji atau pailit. Jaminan
ini memberikan kepastian hukum kepada pihak kreditur bahwa utang debitur
akan kembali dengan cara mengeksekusi jaminan kreditnya.70
Jaminan dalam suatu pembiayaan mempunyai 2 (dua) fungsi, yaitu
untuk pembayaran utang apabila terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh
debitur dengan jalan merubah jaminan tersebut menjadi uang atau menjualnya;

69
Devy Yuvanto. “Polis Asuransi Sebagai Jaminan Kredit di Perusahaan Asuransi”,
Surabaya: Fakutas Hukum, Universitas 17 Agustus 1945, h. 2-3.
70
Viandre Prayogo Wijaya. (2019). “Kedudukan Jaminan Hak Tanggungan Dalam
Pembiayaan Mudharabah Pada Perbankan Syariah (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2479
K/PDT/2011)”, Skripsi, Jember: Fakultas Hukum, Universitas Jember, h. 16.
40

dan sebagai akibat dari fungsi pertama, yakni sebagai indikator untuk
menentukan jumlah pembiayaan yang dapat diberikan kepada debitur dari
pihak kreditur.71
Sementara yang dimaksud dengan Hukum Jaminan berasal dari
terjemahan Bahasa Belanda, yakni zakerheidesstelling dan Bahasa Inggris
yakni security of law. Menurut para ahli, Salim HS. mengemukakan bahwa
hukum jaminan adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya
dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit. Sementara J.
Satrio berpendapat bahwa hukum jaminan adalah peraturan hukum yang
mengatur jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap debitur.72
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka yang dimaksud
dengan hukum jaminan adalah suatu bentuk penanggungan yang mana seorang
penanggung memiliki kewajiban menanggung untuk memenuhi utang debitur
sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam perjanjian.
Adapun regulasi hukum positif di Indonesia yang mengatur mengenai
jaminan utang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda Yang Berkaitan dengan
Tanah, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia,
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Pendaftaran jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, PP
Nomor 27 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan peraturan-peraturan
lainnya yang berkaitan dengan objek jaminan.73

71
Zaeni Asyhadie., Rahma Kusumawati. Hukum Jaminan Di Indonesia: Kajian Berdasarkan
Hukum Nasional dan Prinsip Ekonomi Syariah. (Depok: Rajawali Pers, Cetakan Ke-1, Juli 2018), h.
1.
72
Zaeni Asyhadie., Rahma Kusumawati. Hukum Jaminan Di Indonesia: Kajian Berdasarkan
Hukum Nasional dan Prinsip Ekonomi Syariah, h. 3-4.
73
Wendra Catur Putra. (2018). “Kedudukan Hukum Polis Asuransi Jiwa sebagai Objek
Jaminan”, Tesis, Magister Kenotariatan, Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar, h. 56-62.
41

Secara umum, jaminan dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu jaminan
kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan meliputi Gadai,
Fidusia, Hak Tanggungan, Hipotik, dan Resi Gudang. Sementara jaminan
perorangan merupakan penanggungan atas suatu perjanjian dengan mana
seorang pihak ketiga, guna kepentingan orang yang berpiutang, mengikatkan
diri untuk memenuhi perikatan orang yang berutang manakala orang tersebut
tidak dapat memenuhinya.74
Jaminan perorangan (borgtocht/personal guarantee) adalah jaminan
berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seorang pihak ketiga guna
menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur yang bersangkutan kepada
kreditur, apabila debitur cidera janji atau wanprestasi. Hak jaminan perorangan
hanya dapat dipertahankan terhadap orang atau pihak ketiga yang terikat dalam
perjanjian saja, dan tidak mengikat kepada setiap orang seperti halnya pada
jaminan kebendaan yang memiliki sifat absolut.75
Sementara jaminan yang bersifat kebendaan merupakan hak mutlak atas
suatu benda tertentu dari debitur yang dapat dipertahankan pada setiap orang.76
Jaminan kebendaan lahir dan bersumber pada perjanjian. Jaminan ini ada
karena diperjanjikan antara kreditur dan debitur, maupun kreditur dengan pihak
ketiga yang menyediakan harta kekayaannya secara khusus, seperti tanah dan
bangunan yang digunakan untuk menjamin dipenuhinya kewajiban debitur
pada kreditur.77
Dalam hal ini, jika dilihat berdasarkan pembagiannya maka polis
asuransi jiwa termasuk pada jaminan kebendaan yang dikelompokkan menjadi

74
Sumarni., Abdul Tayib. (2019). “Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Untuk
Mendapatkan Kredit Pada Perusahaan Asuransi”, Jurnal Unizar Law Review, 2(1), h. 28-29.
75
Niken Prasetyawati., Tony Hanoraga. (2015). “Jaminan Kebendaan dan Jaminan
Perorangan Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Piutang”, JSH: Jurnal Sosial
Humaniora, 8(1), h. 127-129.
76
Riky Rustam. “Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jaminan dengan Polis Asuransi Jiwa
Sebagai Objek Jaminan”, h. 228.
77
Devy Yuvanto. “Polis Asuransi Sebagai Jaminan Kredit di Perusahaan Asuransi”, h. 10.
42

jaminan benda tidak berwujud, yaitu benda-benda yang berbentuk surat-surat


yang dijadikan jaminan. Selain itu, polis asuransi jiwa ini juga diklasifikasikan
sebagai jaminan tambahan dan termasuk pada perjanjian tambahan (accessoir).

2. Konsep Jaminan menurut Hukum Islam

Dalam Hukum Islam, terdapat dua istilah jaminan, yaitu jaminan


perorangan atau dikenal dengan istilah Kafalah atau Dhamman, dan jaminan
berupa harta benda atau disebut dengan Rahn.
Pengertian kafalah dalam kamus syar’i adalah menanggung atau
penanggungan terhadap sesuatu, yaitu akad yang mengandung perjanjian dari
seseorang di mana padanya ada hak yang wajib dipenuhi terhadap orang lain
dan berserikat bersama orang lain itu dalam hal tanggung jawab terhadap hak
tersebut dalam menghadapi penagih utang.78 Sementara pengertian rahn atau
dalam hukum perdata disebut dengan gadai adalah jaminan yang diserahkan
oleh pihak pengutang kepada yang memberi utang.79
Syariat Islam memperbolehkan adanya jaminan. Adapun dasar hukum
yang melandasi hal tersebut adalah sebagai berikut:80
1) Al-Qur’an Surat Al-Baqarah (2): 283
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika
sebagian kamu mempercayai Sebagian yang lain, Maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian dan barang siapa yang menyembunyikannya.
Maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

78
Zaeni Asyhadie., Rahma Kusumawati. Hukum Jaminan Di Indonesia: Kajian Berdasarkan
Hukum Nasional dan Prinsip Ekonomi Syariah. h. 7-8.
79
Zaeni Asyhadie., Rahma Kusumawati. Hukum Jaminan Di Indonesia: Kajian Berdasarkan
Hukum Nasional dan Prinsip Ekonomi Syariah. h. 115.
80
Zaeni Asyhadie., Rahma Kusumawati. Hukum Jaminan Di Indonesia: Kajian Berdasarkan
Hukum Nasional dan Prinsip Ekonomi Syariah. h. 6-7.
43

2) Hadis
“Dari Aisyah r.a menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah membeli
makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi
beliau” (HR. Bukhori).
3) Ijtihad
Kalangan ulama bersepakat, bahwa Rahn boleh dilakukan dalam
perjalanan ataupun tidak, asalkan barang jaminan itu langsung dikuasai
(Al-Qabdh) secara hukum oleh pemberi piutang. Misalnya barang jaminan
berbentuk sebidang tanah, maka yang dikuasai adalah surat jaminan tanah
tersebut (sertifikat).

Syarat-syarat jaminan dalam hukum Islam pada dasarnya adalah segala


sesuatu yang diperbolehkan untuk dijual diperbolehkan untuk dijadikan
jaminan (borg) utang:81
1) Barang tersebut sah milik si penjual;
2) Barang tersebut suci;
3) Barang tersebut memiliki manfaatnya;
4) Barang tersebut jelas dan dapat diserahterimakan; dan
5) Kualitas barang tersebut jelas.
Selain itu, barang yang dijadikan jaminan telah ada wujudnya dan ada
pada saat dibuatnya perjanjian (saat terjadinya perjanjian). Ketentuan ini untuk
menghindari kemungkinan adanya barang yang dijadikan jaminan untuk
diserahkan seketika itu pada murtahin. Barang jaminan juga memiliki nilai
menurut syara’, yaitu memenuhi syarat sah dan syarat kerusakan sesuai dengan
ketentuan dalam hukum Islam.82

81
Zaeni Asyhadie., Rahma Kusumawati. Hukum Jaminan Di Indonesia: Kajian Berdasarkan
Hukum Nasional dan Prinsip Ekonomi Syariah. h. 41.
82
Zaeni Asyhadie., Rahma Kusumawati. Hukum Jaminan Di Indonesia: Kajian Berdasarkan
Hukum Nasional dan Prinsip Ekonomi Syariah. h. 41.
44

Jaminan kebendaan dalam Islam atau disebut dengan al-rahn. Secara


Bahasa, kata rahn berarti tetap, kekal, dan berkesinambungan. Rahn juga
berarti al-habsu yaitu menahan atau jaminan.83

Adapun dasar hukum diperbolehkannya rahn atau gadai berdasarkan


dalil Al-Qur’an dan Hadis adalah sebagai berikut:

َِ ‫َولْي ت‬
َ‫َّق‬ ْ ‫ضاَف لْيُؤِدَالَّ ِذ‬
َ ُ‫يَاؤُُتِنَأَمان تَه‬ ُ ‫َتَ ُدواَكَ َاتِبًاَف ِرهانََم ْقَبَُوضةََۖفِإ ْن ََأ َِمنَبَ ْع‬
ً ‫ض ُك ْمَب ْع‬ ِ ‫َوَل‬
ْ َ ‫َوإِ ْنََ ُكْنَتُ ْمَعَل َىَسف ٍر‬
َ ِ‫َباَت ْعملَُونَعل‬
‫يم‬ َِ ُ‫اَّلل‬ َِ َُ‫اَالشهادةََۚوم ْنَيكْتُ ْمهاَفِإنََّه‬
ََّ ‫آثَق لَْبَُهَُ ََۗو‬ ََّ ‫اَّلل ََربَّهََُۗوَلَت َْكتُ ُمَو‬
َّ

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai)


sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada beberapa
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika Sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Rabbnya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya; dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-
Baqarah (2): 283).

ِ ‫رَد ِيَاِىلَاج ٍلَورهنه‬


َ‫َد ْرعاً َِم ْن‬ ِ ‫اَمنَي ه‬
ِ ِ ِ ُ َّ‫َّبَصل‬ ُ ‫ع َْنَعائِشةَر ِضى‬
ُ ُ ْ ‫ىَاهللاَعَلْيهَلَّموسَا ْشَتىَطع ًام‬ ََّ ِ‫َاهللاَعْن هاَا َّنَالن‬

َ‫ح ِديْ ٍد‬

“Dari Aisyah r.a, sesungguhnya Nabi SAW membeli makanan secara


tidak tunai dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya.” (H.R.
Bukhari dan Muslim).84

83
Zaeni Asyhadie., Rahma Kusumawati. Hukum Jaminan Di Indonesia: Kajian Berdasarkan
Hukum Nasional dan Prinsip Ekonomi Syariah. h. 9.
84
Abu Azam Al Hadi. Fikih Muamalah Kontemporer, (Depok: PT Rajagrafindo Persada,
Cetakan Ke-2, Januari 2019), h. 163.
45

Berdasarkan Fatwa DSN-MUI Nomor 68/DSN-MUI/III/2008 tentang


Rahn Tasjily, menjelaskan bahwa jaminan kebendaan yang secara fisik
diperbolehkan untuk tetap berada dalam penguasaan peminjam. Dalam fatwa
disebutkan istilah rahn karena pada dasarnya semua jaminan kebendaan dalam
Islam menggunakan lembaga rahn. Fatwa tersebut disebutkan bahwa rahn
tasjily adalah jaminan dalam bentuk barang atas utang, dengan kesepakatan
bahwa yang diserahkan kepada penerima jaminan (murtahin) hanya bukti sah
kepemilikannya, sedangkan fisik barang jaminan tersebut (marhun) tetap
berada dalam penguasaan dan pemanfaatan pemberi jaminan (rahin).85

Pada konsep hukum perjanjian yang dicantumkan dalam BW, al-rahn


dapat dianalogikan sebagai perjanjian tambahan (accesoir) atau perjanjian
ikutan. Sementara dalam konsep hukum jaminan, al-rahn dapat dianalogikan
sebagai lembaga jaminan sebagaimana lembaga jaminan konvensional lain
yang merupakan bagian dari perjanjian accesoir, seperti hak tanggungan,
fidusia dan gadai.86

C. Polis Asuransi Jiwa Syariah


Secara bahasa, pengertian asuransi dalam bahasa Belanda disebut
dengan kata assurantie, berasal dari kata assaradeur yang berarti penanggung,
dan kata geassureede yang berarti tertanggung. Dalam bahasa Latin, asuransi
disebut dengan assecurare yang berarti meyakinkan orang. Sementara dalam
bahasa Inggris disebut dengan insurance yang berarti menanggung sesuatu yang
mungkin atau tidak mungkin terjadi, dan assurance yang berarti menanggung
sesuatu yang pasti terjadi. Sementara dalam bahasa Arab, kata asuransi diartikan

85
Imron Rosyadi. Jaminan Kebendaan Berdasarkan Akad Syariah (Aspek Perikatan,
Prosedur Pembebanan dan Eksekusi), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2017), h. 157.
86
Noor Hafidah. “Kajian Prinsip Hukum Jaminan Syariah dalam Kerangka Sistem Hukum
Syariah”, h. 6.
46

dengan at-ta’min, berasal dari kata amana’i yang berarti memberi perlindungan,
ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut.87

Secara umum, asuransi adalah perjanjian antara penanggung


(perusahaan asuransi) dengan tertanggung (peserta asuransi), di mana
penanggung menerima pembayaran premi dari tertanggung. Istilah asuransi
digunakan untuk merujuk pada tindakan, sistem, atau bisnis pada perlindungan
finansial untuk jiwa, property, kesehatan, dan lain sebagainya, yang kemudian
mendapatkan penggantian dari kejadian tidak terduga yang dapat terjadi seperti
kematian, kehilangan, kerusakan atau sakit, dimana melibatkan pembayaran
premi secara teratur dalam jangka waktu tertentu sebagai ganti polis yang
menjamin perlindungan tersebut.88

Pengertian asuransi syariah berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-


Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian adalah kumpulan
perjanjian, yang terdiri atas perjanjian antara perusahaan asuransi syariah dan
pemegang polis dan perjanjian di antara para pemegang polis, dalam rangka
pengelolaan kontribusi berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan
melindungi dengan cara:89

1) Memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena


kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta
atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti;
atau
2) Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya peserta atau
pembayaran yang didasarkan pada hidupnya peserta dengan manfaat yang

87
Netta Agusti. (2017). “Sharing of Risk pada Asuransi Syariah (Takaful): Pemahaman
Konsep dan Mekanisme Kerja”, Jurnal MD, 3(2), h. 184-185.
88
Netta Agusti. “Sharing of Risk pada Asuransi Syariah (Takaful): Pemahaman Konsep dan
Mekanisme Kerja”, h. 185-186.
89
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
47

besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan


dana.

Sementara menurut Fatwa DSN-MUI Nomor 21/DSN-MUI/X/2001


tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, pengertian dari asuransi syariah
(Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-
menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset
dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi
resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Adapun
akad yang sesuai dengan syariah yaitu tidak mengandung gharar (penipuan),
maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram
dan maksiat.90

Dasar hukum asuransi dalam ranah hukum positif terdapat pada Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD), Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian, dan peraturan perundang-undangan lainnya terkait pengelolaan
dan operasional pelaksanaan kegiatan asuransi baik asuransi konvensional
maupun asuransi syariah. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) telah mengesahkan fatwa terkait asuransi syariah, yaitu Fatwa
DSN-MUI Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi
Syariah pada tahun 2001.

Dasar hukum asuransi dalam hukum Islam terdapat pada beberapa dalil
baik Al-Qur’an maupun sunnah sebagai landasan utama, diantaranya yaitu Q.S.
Al-Hasyr (59): 18, yang berbunyi:
ٌۢ ۟ ۟ ۟
َ ُ‫َٱَّللَخبِي َِباَت ْعمل‬
‫ون‬ َّ ‫ت ََلِغَ ٍدََۖوٱتَّ ُقوا‬
َّ ‫َٱَّللََۚإِ َّن‬ ْ ‫َماَقدَّم‬ َّ ‫أَييُّهاَٱلَّ ِذينَءامنُواَٱتَّ ُقوا‬
َّ ‫َٱَّللَولْتنظُْرَن ْفس‬

90
Fatwa DSN-MUI Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi
Syariah.
48

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan


hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari
esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hasyr (59): 18).

Dalam ayat ini, Allah menyerukan kepada orang yang beriman untuk
selalu memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk masa depannya, seperti
intropeksi dan perbaikan guna mencapai masa depan yang lebih baik. Jika
dikaitkan dengan asuransi, ayat ini dapat menjadi dalil bahwa berinvestasi
dengan asuransi dapat menjadi pilihan untuk mempersiapkan hal-hal buruk yang
terjadi terhadap harta dan keluarga secara tidak disengaja di kemudian hari.

Selain itu dalam Q.S. Al-Maidah (5): 2 juga menjadi landasan dasar
dalam kegiatan asuransi, yang berbunyi:
۟ ِْ ‫وتَعاوَنُ ۟وَاَ َعلىَٱلِْ ِب ََوٱلتَّ ْقوىَََۖوَلَت عاوَنُ ۟واَعل‬
‫اب‬ ُ ‫َٱَّللَشَ َِد‬
َِ ‫يدَٱلْعِق‬ َّ ‫ىَٱْل ِْثَوٱلْعُ ْدو ِنََۚوٱتَّ ُقوا‬
َّ ‫َٱَّللََۖإِ َّن‬

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan


takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
(Q.S. Al-Maidah (5): 2).

Ayat ini menjelaskan mengenai kewajiban untuk saling tolong


menolong diantara sesama di dalam kebaikan. Prinsip ini merupakan asas utama
dalam asuransi, yaitu konsep saling tolong menolong diantara sesama yang
merupakan wujud ketaqwaan kepada Allah SWT.

Sementara dalil yang berasal dari sunah, hadis yang diriwayatkan oleh
Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:91

91
Daniar. “Asuransi Perspektif Al-Qur’an”, h. 233-234.
49

“Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia,


Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah
senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong
saudaranya.” (HR. Muslim).

Pada praktek asuransi syariah, konsep dasarnya yakni antara


penanggung dan tertanggung tidak terpisah. Peserta asuransi menjadi
penanggung sekaligus menjadi pihak yang ditanggung atau tertanggung. Karena
prinsipnya adalah tolong-menolong, sehingga perusahaan asuransi hanya
berperan sebagai operator yang menerima amanah dari peserta untuk mengelola
kontribusi yang disetorkan oleh nasabah, atau sebagai pihak yang mengelola
dana para peserta asuransi. Sebagai imbalan atas pekerjaan tersebut, maka
perusahaan asuransi memperoleh upah (fee/ujrah) dan atau bagi hasil dari
pengelolaan dana yang terkumpul dari peserta.92 Adapun prinsip-prinsip dasar
dalam asuransi yaitu tauhid, keadilan, tolong menolong, kerja sama, amanah,
kerelaan, kebenaran, larangan riba, larangan judi dan larangan gharar.93

Dana tabarru’ dalam asuransi jiwa syariah merupakan kumpulan dana


kebajikan dari uang kontribusi para peserta asuransi jiwa syariah yang setuju
untuk saling bantu apabila terjadi resiko di antara mereka. Dana ini kemudian
dikelola sesuai prinsip syariah dan di bawah pengawasan Dewan Pengawas
Syariah (DPS) untuk menghadapi resiko tertentu.94 Dengan adanya asuransi
syariah, maka kebutuhan manusia akan jaminan kehidupan yang lebih baik dapat
terpenuhi. Karena jika dilihat berdasarkan fakta yang ada, ciri khas dari asuransi

92
Hadi Daeng Mapuna. “Asuransi Jiwa Syariah: Konsep dan Sistem Operasionalnya”, h.
162-163.
93
AM. Hasan Ali. Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Prenata Media, 2004),
h. 125-135.
94
Hadi Daeng Mapuna. “Asuransi Jiwa Syariah: Konsep dan Sistem Operasionalnya”, h.
160.
50

merupakan pembayaran dari semua peserta untuk membantu sesama peserta


lainnya jika dibutuhkan. 95

Seluruh ketentuan terkait asuransi jiwa syariah serta perjanjian antara


peserta dengan perusahaan asuransi syariah tertuang dalam dokumen tertulis
yang disebut dengan polis. Polis adalah dokumen khusus yang memuat seluruh
ketentuan dan kesepakatan antara peserta asuransi jiwa syariah dan perusahaan
asuransi jiwa syariah. Polis merupakan bukti adanya perjanjian antara peserta
dengan pihak perusahaan asuransi jiwa syariah, agar jika dikemudian hari
terdapat klaim maupun terjadi ketentuan yang tidak sesuai dengan perjanjian,
maka polis ini dapat dijadikan alat bukti yang berkekuatan hukum tetap.96

Pengertian lain dari polis asuransi yakni merupakan suatu dokumen


yang memuat kontrak antara pihak yang ditanggung dengan pihak perusahaan
asuransi, yang di dalamnya memuat ketentuan, hak, dan kewajiban dari kedua
belah pihak yang telah bersepakat. Sementara pengertian polis asuransi jiwa
dapat diartikan sebagai surat perjanjian terkait asuransi jiwa yang berisi tentang
seluruh hal yang berkaitan dengan asuransi jiwa itu sendiri, seperti dasar dari
asuransi, syarat-syarat, dan lain sebagainya, kemudian disepakati oleh
penanggung dan pemegang polis dengan menandatangani polis tersebut.97

Polis pada umumnya dengan polis asuransi jiwa sebenarnya memiliki


pengertian yang serupa, hanya saja polis asuransi jiwa merupakan suatu
dokumen yang di dalamnya terdapat perjanjian asuransi jiwa, sementara polis
yang lain memiliki perjanjian yang berbeda-beda di dalamnya, termasuk polis
asuransi jiwa syariah. Dalam polis asuransi jiwa syariah, terdapat ketentuan-

95
Teguh Suripto., Abdullah Salam. “Analisa Penerapan Prinsip Syariah dalam Asuransi”, h.
133.
Dirga Adil Fauzan., Suherman. (2021). “Perlindungan Hukum Pemegang Polis Asuransi
96

Jiwa Terhadap Mis-Selling oleh Agen Asuransi di PT. BNI Life Insurance”, Jurnal Hukum
De’rechtsstaat, 7(1), h. 5.
97
Sumarni., Abdul Tayib. (2019). “Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Untuk
Mendapatkan Kredit Pada Perusahaan Asuransi”, Jurnal Unizar Law Review, 2(1), h. 23.
51

ketentuan, dasar hukum, syarat-syarat dan hal lain terkait perjanjian asuransi
jiwa syariah antara peserta asuransi dengan perusahaan asuransi syariah, yang
mana seluruh ketentuan yang tertera pada polis tersebut sesuai dengan ketentuan
dalam hukum Islam.

Secara umum, polis asuransi merupakan suatu dokumen yang berisi


kontrak antara pihak yang ditanggung dengan perusahan asuransi. Fungsi dari
polis asuransi ini adalah sebagai alat bukti tertulis dari perjanjian yang telah
disepakati antara pihak tertanggung dengan pihak penanggung.98 Sehinga
apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, polis ini dapat
menjadi alat bukti yang sah dan berkekuatan hukum tetap sehingga dapat
dipertanggungjawabkan.

Polis asuransi secara keseluruhan telah diatur dalam hukum positif


sebagaimana ditentukan dalam Pasal 256 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD), termasuk polis asuransi jiwa. Selain itu, karena polis asuransi
termasuk pada perjanjian, maka pengaturannya juga mengacu pada Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pasal 1320 menentukan
syarat-syarat sahnya perjanjian, yakni sebagai berikut:99

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

3) Suatu pokok hal tertentu;

4) Suatu sebab yang halal.

Maka dari itu, pada umumnya seluruh polis asuransi harus memenuhi
ketentuan-ketentuan tersebut, yaitu kedua belah pihak sepakat, para pihak telah

98
Sumarni., Abdul Tayib. “Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Untuk Mendapatkan Kredit
Pada Perusahaan Asuransi”, h. 23.
99
Sumarni., Abdul Tayib. “Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Untuk Mendapatkan Kredit
Pada Perusahaan Asuransi”, h. 22-23.
52

cakap hukum untuk membuat dan menyepakati perjanjian, terdapat pokok


tertentu yang tercantum di dalamnya, dan tidak ada ketentuan yang dilarang atau
atas dasar hal yang halal.

D. Jaminan yang Diikat dengan Gadai dan Fidusia


1. Jaminan yang Diikat dengan Gadai

Berdasarkan sistem hukum yang berlaku di Indonesia dan beberapa


negara yang menganut sistem common law, objek jaminan utang yang berupa
benda bergerak maka dalam hukum penjaminan diikat dalam bentuk gadai.
Setiap jaminan yang menjadi objek gadai harus diberikan atau diserahkan
kepada penerima gadai, sementara untuk benda tidak bergerak yang berbentuk
hipotik atau hak tanggungan maka jaminan tetap dipegang oleh debitur.100

Menurut Pasal 1150 KUH Perdata, bahwa barang yang dijadikan sebagai
objek gadai merupakan benda bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud.
Sehingga pengertian dari objek gadai itu sendiri adalah suatu benda bergerak
baik berwujud maupun tidak berwujud yang digadaikan atau dijadikan sebagai
jaminan gadai. Akan tetapi, bagi benda atau barang bergerak yang tidak dapat
dipindah tangankan maka tidak dapat digadaikan, kecuali dalam bentuk surat-
surat sebagaimana diatur dalam Pasal 1152 KUH Perdata.

Hak gadai dalam hal penyerahan benda gadai kepada pihak kreditur, pada
Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata dijelaskan bahwa tidak ada hak gadai atas
benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan pihak debitur atas kemauan pihak
kreditur, sehingga hak gadai dapat terjadi apabila barang gadai telah dibawa
keluar dari kekuasaan pihak debitur. Adapun prosedur barang gadai harus
dibawa keluar dari kekuasaan debitur atau pemberi gadai ini merupakan syarat

100
M. Yasir. “Aspek Hukum Jaminan Fidusia (Legal Aspect of Fiduciary Guaranty)”, h. 81.
53

inbezittstelling101 yang harus dipenuhi secara mutlak dalam proses gadai. Barang
tersebut dibawa keluar dari kekuasaan debitur apabila barang telah diserahkan
oleh debitur kepada kreditur atau orang ketiga yang disebut sebagai pemegang
gadai yang disetujui oleh kreditur. Penyerahan benda gadai dapat dilakukan
secara langsung maupun simbolis.102

Objek gadai yang termasuk benda bergerak berwujud dapat berupa benda
berharga, seperti perhiasan, alat elektronik, surat-surat berharga, dan lain
sebagainya. Sementara objek gadai yang termasuk pada jenis benda bergerak
tidak berwujud dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu gadai piutang atas bawa,
gadai piutang atas tujuk, dan gadai piutang atas nama.

Apabila objek gadai dalam bentuk surat piutang atas bawa, sebagaimana
diatur dalam Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata maka hal tersebut dapat terjadi
apabila surat diberikan kepada tangan pemegang gadai atau pihak ketiga yang
telah disetujui oleh kedua belah pihak. Piutang atas bawa pasti selalu memiliki
surat yang menjadi bukti bahwa seseorang memiliki piutang. Hal yang dilakukan
apabila objek gadai berupa surat piutang atas bawa adalah yakni dengan
menahan kertas bukti yang dijaminkan kepada kreditur atas sejumlah uang
tersebut.

Sementara dalam gadai piutang atas tunjuk mengharuskan adanya


endossemen yang diikuti dengan penyerahan suratnya, yang mana surat hutang
kemudian diserahkan dan dipindahkan kepada penerima gadai. 103

Kemudian gadai piutang atas nama telah diatur dalam Pasal 1153 KUH
Perdata. Adapun cara penyerahan objek gadai tersebut adalah dengan

101
Asas yang menjelaskan bahwa barang yang telah dijaminkan harus berada pada penerima
jaminan.
102
Devy Yuvanto. (2018). “Polis Asuransi Sebagai Jaminan Kredit Di Perusahaan Asuransi”,
Skripsi, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, h. 11-12.
103
Devy Yuvanto. “Polis Asuransi Sebagai Jaminan Kredit Di Perusahaan Asuransi”, h. 12-
13.
54

memberitahukan kepada debitur baik secara tertulis maupun lisan tentang


perjanjian gadainya, yakni tentang kepada siapa hak gadai tersebut akan
dilaksanakan. Setelah itu, debitur hanya dapat membayar hutangnya kepada
pemegang gadai atau penerima gadai. Gadai piutang atas nama ini dapat disebut
juga dengan cessie.104

Dalam hukum Islam, gadai disebut dengan rahn. Penerapan rahn pada
Perbankan Syariah, Pegadaian Syariah, maupun Lembaga Pembiayaan Syariah
lainnya memiliki konsekuensi hukum, yang mana saat ini terdapat 3 (tiga)
macam transaksi gadai yang digunakan di Indonesia, yaitu:

a. Gadai (Pand);

b. Gadai (Verpanding); dan

c. Gadai Syariah (Rahn).

Gadai (Pand) berdasarkan KUH Perdata digunakan sebagai jaminan


dalam suatu kegiatan usaha pada Bank Konvensional, sementara Gadai
(Verpanding) merupakan kegiatan usaha pokok pada Pegadaian berdasarkan
Aturan Dasar Pegadaian (ADP/Pandhuis Reglement), lalu Gadai Syariah (Rahn)
merupakan jaminan peminjaman uang atau pembiayaan dalam kegiatan usaha
pada Bank Syariah dan Pegadaian Syariah.105

2. Jaminan yang Diikat dengan Fidusia

Pengertian jaminan fidusia berdasarkan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang


Nomor 42 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:106

104
Devy Yuvanto. “Polis Asuransi Sebagai Jaminan Kredit Di Perusahaan Asuransi”, h. 12-
13.
105
Budiman Setyo Haryanto. “Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) dalam Sistem Hukum
Jaminan Indonesia”, h. 24.
106
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
55

Bahwa jaminan fidusia adalah pengalihan hak jaminan atas benda bergerak baik
yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang
tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepad apenerima
fidusia terhadap kreditor lainnya.

Jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan atau perjanjian tambahan


dari perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk
memenuhi suatu prestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999. Sebelumnya, dalam Pasal 1 ayat (3) disebutkan
pengertian dari Benda yang menjadi objek jaminan fidusia, yaitu segala sesuatu
yang dapat dimiliki atau dialihkan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud,
yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak
bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik.107

Tan Kamelo berpendapat dalam M.Yasir (2016), bahwa jaminan fidusia


memiliki asas-asas yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu sebagai berikut:108

1) Kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur yang


diutamakan dari kreditur-kreditur lainnya (preferen);

2) Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan


fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada;

107
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
108
M. Yasir. “Aspek Hukum Jaminan Fidusia (Legal Aspect of Fiduciary Guaranty)”, h. 82-
83.
56

3) Jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan atau tambahan yang lazim


disebut asas asesoritas;

4) Jaminan fidusia dapat diletakkan atas hutang yang baru akan ada;

5) Jaminan fidusia dapat dibebankan pada benda yang akan ada;

6) Jaminan fidusia dapat dibebankan pada bangunan atau rumah yang


terdapat di atas tanah milik orang lain;

7) Jaminan fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subjek dan objek
jaminan fidusia;

8) Pemberi jaminan fidusia harus orang yang memiliki kewenangan hukum


atas objek jaminan fidusia;

9) Jaminan fidusia harus didaftarkan ke Kantor pendaftaran Fidusia;

10) Benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh
kreditur penerima jaminan fidusia;

11) Jaminan fidusia memberikan hak prioritas kepada kreditur yang


mendaftarkan kemudian;

12) Pemberi jaminan fidusia yang tetap menguasai benda jaminan harus
mempunyai iktikad baik; dan

13) Jaminan fidusia mudah dieksekusi.

Selain asas-asas tersebut, menurut M.Yasir suatu perjanjian yang


menimbulkan fidusia memiliki beberapa karakteristik, yakni sebagai berikut:109

1) Antara pemberi fidusia dengan penerima fidusia terdapat suatu hubungan


perikatan yang menerbitkan hak bagi kreditur untuk meminta penyerahan
barang jaminan dari debitur110;

109
M. Yasir. “Aspek Hukum Jaminan Fidusia (Legal Aspect of Fiduciary Guaranty)”, h. 83.
57

2) Perikatan tersebut merupakan perikatan dalam hal memberikan sesuatu


karena debitur telah menyerahkan suatu barang111;

3) Perikatan dalam rangka pemberian Fidusia merupakan perikatan yang


bersifat accesoir atau tambahan, yakni suatu perikatan yang mengikuti
perikatan pokok berupa perikatan hutang-piutang;

4) Perikatan fidusia termasuk dalam golongan perikatan dengan yarat batal,


karena apabila hutang telah dilunasi maka jaminan secara fidusia menjadi
hangus;

5) Perikatan fidusia termasuk dalam golongan perikatan yang memiliki


sumber dari suatu perjanjian, yaitu perjanjian Fidusia;

6) Perjanjian fidusia merupakan perjanjian yang tidak disebutkan secara


khusus dalam KUH Perdata, maka dari itu perjanjian ini termasuk dalam
perjanjian tak bernama atau Onbenoem De Overeenkoinst; dan

7) Perjanjian fidusia tetap tunduk pada ketentuan dari perikatan yang


terdapat dalam KUH Perdata.

Secara umum, objek jaminan fidusia berupa benda bergerak, baik


berwujud maupun tidak berwujud. Terkait dengan pembebanan benda yang
diikat dengan jaminan fidusia, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 telah
mengatur tentang pembebanannya, yaitu pembebanan suatu benda atas jaminan
fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan Akta
Jaminan Fidusia. Maka dari itu diperlukan adanya Akta Jaminan Fidusia bagi
setiap benda yang diikat dengan jaminan fidusia. Hal ini dimaksudkan agar jika
suatu saat terjadi hal-hal maupun tindakan yang tidak diinginkan, maka akta
tersebut dapat digunakan sebagai perlindungan hukum yang berkekuatan hukum

110
Secara constitutum posessorium.
111
Secara constitutum posessorium.
58

tetap karena merupakan akta autentik yang memiliki kekuatan hukum dan
pembuktian yang sempurna.112

Adapun ketentuan bagi Akta Jaminan Fidusia berdasarkan Pasal 6


Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 setidaknya memuat ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:113

a. Identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia;

b. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

c. Uraian mengenai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia;

d. Nilai penjaminan; dan

e. Nilai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

Pasal 9 ayat (1) menjelaskan bahwa jaminan fidusia dapat diberikan


terhadap satu atau lebih satuan atau jenis Benda, termasuk piutang, baik yang
telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian. Lalu
pada Pasal 9 ayat (2), disebutkan bahwa pembebanan jaminan atas Benda atau
piutang yang diperoleh kemudian tidak perlu dilakukan dengan perjanjian
jaminan tersendiri.114 Kemudian mengenai benda jaminan yang diikat dengan
jaminan fidusia, pengalihan hak kepemilikan dalam jaminan fidusia pada
hakikatnya masih terdapat dalam kekuasaan pemilik benda tersebut.115

112
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
113
Reiza Natalia Kolang. (2019). “Tinjauan Yuridis Terhadap Benda Jaminan yang Diikat
dengan Fidusia”, Jurnal Lex Privatum, 7(3), Maret 2019, h. 79-80.
114
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
115
Muhammad Syakir Sula. Pakar, Praktisi dan Akademisi Bidang Asuransi Syariah,
Interview pribadi, Minggu, 14 Agustus 2022.
BAB IV

POLIS ASURANSI JIWA SYARIAH SEBAGAI JAMINAN PEMBIAYAAN


PADA PERBANKAN SYARIAH

A. Analisis Kedudukan Hukum Polis Asuransi Jiwa Syariah sebagai Jaminan


Pembiayaan pada Perbankan Syariah
Secara umum, asuransi jiwa syariah terbagi menjadi 2 (dua) macam,
yaitu asuransi jiwa syariah tradisional dan asuransi jiwa syariah yang memiliki
unsur nilai investasi (unitlink). Sebelum membahas kedudukan hukum, dari
aspek kepemilikan dapat diketahui bahwa asuransi jiwa syariah bagi peserta
asuransi masih sebatas janji dan belum sepenuhnya dimiliki. Kepemilikan dapat
beralih apabila jatuh tempo atau ketika mengajukan klaim jika terjadi resiko-
resiko yang telah tercantum dalam polis.116 Sehingga, asuransi jiwa syariah dari
sisi nasabah belum dimiliki sepenuhnya oleh nasabah tersebut, kecuali nilai tunai
dalam investasi yang terdapat pada asuransi jiwa syariah yang memiliki unsur
investasi di dalamnya (unitlink).

Jika dilihat dari aspek pembagiannya, asuransi jiwa syariah tradisional


merupakan jenis asuransi yang di dalamnya terdapat perjanjian untuk
memproteksi diri atau jiwa peserta asuransi dari suatu resiko ataupun kerugian
yang memungkinkan terjadi di kemudian hari, seperti kecelakaan bahkan sampai
meninggal dunia.117 Adapun dana yang disetorkan merupakan dana tabarru’
yang dikumpulkan bersama dengan para peserta asuransi jiwa syariah lainnya,

116
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ah. Azharuddin Lathif. Ketua Bidang Edukasi,
Sosialisasi & Literasi Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan Dosen UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Interview pribadi, Jum’at, 22 Juli 2022.
117
Ayu Damayanti., Atika. (2022). “Minat Nasabah Non Muslim Dalam Membeli Produk
Asuransi Syariah (Studi Kasus Pada Asuransi Jiwa Syariah Bumiputera 1912 Cabang Medan), Jurnal
Manajemen Akuntansi (JUMSI), 2(2), April 2022, h. 272-273.
59
60

sehingga apabila resiko itu terjadi pada salah satu peserta maka dana dapat
digunakan oleh peserta yang mengalami resiko tersebut.118

Berbeda dengan asuransi jiwa syariah yang di dalamnya terdapat unsur


investasi, karena selain untuk memproteksi diri peserta juga terdapat investasi
yang ada di dalamnya. Dalam hal ini, investasi tersebut merupakan hak mutlak
peserta asuransi jiwa syariah dan telah menjadi miliknya, bukan seperti dana
asuransi jiwa syariah yang baru dapat dimiliki apabila terdapat resiko yang
terjadi atau polis asuransi jiwa syariah tersebut telah jatuh tempo. Dana investasi
yang terdapat dalam polis asuransi jiwa syariah dapat diambil kapanpun selama
telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua
belah pihak, yaitu pihak peserta dan pihak perusahaan asuransi. Karena dana
tersebut merupakan hak milik peserta dan boleh digunakan oleh peserta. Selain
itu, yang menjadi hal mendasar adalah bahwa asuransi jiwa syariah berbeda
dengan asuransi jiwa konvensional.

Hal ini diperkuat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Euis


Amalia,119 yaitu bahwa asuransi jiwa syariah berbeda dengan asuransi jiwa
konvensional. Kepemilikan pada asuransi konvensional merupakan milik
perusahaan, akan tetapi kepemilikan pada asuransi syariah merupakan hak milik
peserta yang masih dalam proses, sehingga belum sepenuhnya milik peserta
sampai waktu yang telah ditentukan sebagaimana tercantum dalam polis atau
sampai jatuh tempo. Sementara itu pendapat lain dikemukakan oleh Muhammad
Syakir Sula,120 dijelaskan bahwa kepemilikan dari polis asuransi merupakan
milik ahli waris dari peserta asuransi, sehingga apabila peserta asuransi

118
Ayu Damayanti., Atika. “Minat Nasabah Non Muslim Dalam Membeli Produk Asuransi
Syariah (Studi Kasus Pada Asuransi Jiwa Syariah bumiputera 1912 Cabang Medan), h. 272.
119
Berdasarkan hasil wawancara dengan Euis Amalia. Tokoh Syariah dan Guru Besar
Bidang Ilmu Ekonomi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Interview pribadi, Selasa, 2 Agustus
2022.
120
Berdasarkan hasil wawancara dengan Muhammad Syakir Sula. Pakar, Praktisi dan
Akademisi Bidang Asuransi Syariah, Interview pribadi, Minggu, 14 Agustus 2022.
61

meninggal dunia atau polis asuransi tersebut telah jatuh tempo maka dana yang
telah disetorkan menjadi milik ahli waris. Namun hal tersebut dapat terjadi jika
ada klaim yang diajukan atau polis tersebut telah jatuh tempo, sehingga sebelum
hal itu terjadi maka peserta asuransi maupun ahli waris dari asuransi jiwa syariah
belum dapat memiliki polis asuransi jiwa tersebut dengan sepenuhnya.

Pembiayaan yang diberikan oleh Perbankan Syariah mewajibkan kepada


setiap calon nasabah yang akan mengajukan pembiayaan untuk memberikan
jaminan dalam hal mengantisipasi resiko yang akan terjadi di kemudian hari.
Selain itu, perlu dilakukan analisis terlebih dahulu oleh pihak bank syariah dari
aspek kelayakan usaha yang akan dijalani oleh calon nasabah atau mitra usaha
yang akan mengajukan pembiayaan, guna mengantisipasi resiko terjadinya
pembiayaan bermasalah atau wanprestasi. Hal ini dilakukan berdasarkan prinsip
kehati-hatian yang wajib dijalankan oleh setiap bank syariah dalam menjalankan
setiap kegiatan perbankan.121

Pada dasarnya, jaminan yang digunakan dalam pembiayaan pada


perbankan syariah merupakan suatu upaya untuk memberikan kepastian kepada
pihak bank bahwa nasabah akan menggunakan dana yang telah diberikan oleh
pihak bank sesuai dengan perjanjian yang akan disepakati oleh kedua belah
pihak, dengan cara melihat dari aspek kelayakan usaha yang dimiliki oleh
nasabah tersebut, sehingga setelah analisis dilakukan maka dapat terlihat
gambaran usaha yang akan dijalankan oleh pihak nasabah dengan besaran
jaminan yang diberikan oleh nasabah tersebut.122 Menurut penulis, hal ini
dilakukan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian yang wajib dijalankan oleh
setiap perbankan syariah sebelum memberikan sejumlah dana kepada nasabah
yang mengajukan pembiayaan.

121
Rahmat Ilyas, “Konsep Pembiayaan dalam Perbankan Syariah”, h. 197.
122
Muhammad Maulana. (2014). “Jaminan Dalam Pembiayaan Pada Perbankan Syariah Di
Indonesia (Analisis Jaminan Pembiayaan Musyarakah dan Mudarabah)”, Jurnal Ilmiah Islam Futura,
14(1), Agustus 2014, h. 74.
62

Jika dalam hal tersebut jaminan yang akan disertakan oleh nasabah
berupa polis asuransi jiwa syariah, yang mana dalam pembahasan penelitian ini
polis asuransi jiwa merupakan objek jaminan yang digunakan dalam suatu
pembiayaan, bukan merupakan polis asuransi jiwa yang dijadikan syarat untuk
mengajukan pembiayaan, maka perlu diperhatikan terlebih dahulu jenis asuransi
jiwa syariah apa yang nasabah tersebut miliki, yaitu asuransi jiwa syariah
tradisional atau asuransi jiwa syariah unitlink. Karena pada dasarnya, polis
asuransi jiwa syariah tradisional secara syariah tidak dapat dijadikan jaminan
pembiayaan pada perbankan syariah. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan
oleh Ah. Azharuddin Lathif,123 bahwa jika polis tersebut merupakan polis dari
asuransi jiwa tradisional maka polis tersebut tidak dapat dijadikan jaminan,
karena pada hakikatnya asuransi jiwa syariah milik nasabah belum sepenuhnya
dimiliki oleh nasabah tersebut dan masih sebatas janji, sehingga nilai yang
disetorkan hanya untuk memproteksi jiwa atau diri peserta asuransi jika di
kemudian hari terjadi resiko seperti meninggal dunia, kecelakaan, dan lain
sebagainya.

Selain itu, Euis Amalia124 juga memiliki pendapat yang sama, bahwa
polis asuransi jiwa syariah tidak dapat dijadikan jaminan, kecuali polis dari
asuransi jiwa syariah yang memiliki nilai tunai. Adapun asuransi jiwa syariah
yang memiliki nilai tunai adalah asuransi jiwa syariah jenis unitlink atau yang di
dalamnya terdapat unsur investasi. Kemudian Muhammad Syakir Sula125 juga
menegaskan bahwa polis yang memungkinkan untuk dijadikan jaminan adalah
jenis Polis Asuransi yang Disertai Investasi (PAYDI), seperti unitlink maupun

123
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ah. Azharuddin Lathif. Ketua Bidang Edukasi,
Sosialisasi & Literasi Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan Dosen UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Interview pribadi, Jum’at, 22 Juli 2022.
124
Berdasarkan hasil wawancara dengan Euis Amalia. Tokoh Syariah dan Guru Besar
Bidang Ilmu Ekonomi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Interview pribadi, Selasa, 2 Agustus
2022.
125
Berdasarkan hasil wawancara dengan Muhammad Syakir Sula. Pakar, Praktisi dan
Akademisi Bidang Asuransi Syariah, Interview pribadi, Minggu, 14 Agustus 2022.
63

berbagai jenis asuransi tradisional lain yang di dalamnya terdapat unsur


investasi.

Jika dilihat dari beberapa pendapat di atas, maka polis asuransi jiwa
syariah yang dapat digunakan sebagai jaminan adalah polis asuransi jiwa syariah
yang di dalamnya terdapat investasi atau PAYDI. Menurut penulis, hal ini
dilakukan karena nilai tunai dalam investasi yang terdapat dalam polis asuransi
jiwa tersebut merupakan hak milik peserta asuransi sepenuhnya, mengingat dana
iuran premi dengan dana investasi berada dalam kantong dana yang berbeda.
Sehingga apabila peserta asuransi hendak menggunakan dana investasi miliknya,
maka itu menjadi hak dan kewenangan milik peserta asuransi jiwa syariah
selama hal tersebut telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dan
sebagaimana perjanjian yang telah disepakati dan tertuang dalam polis asuransi
jiwa syariah itu sendiri.

Selaras dengan salah satu syarat yang terdapat pada rukun dan syarat
rahn, bahwa objek gadai (marhun) harus dimiliki oleh pihak penggadai atau
rahin. Maka dari itu, polis asuransi jiwa syariah jenis tradisional tidak dapat
dijadikan jaminan, karena belum dimiliki oleh nasabah. Adapun yang dapat
dijadikan jaminan menurut Azharuddin Lathif126 dan Euis Amalia127 adalah
asuransi jiwa syariah jenis unitlink, tetapi hanya nilai investasinya saja yang
dapat dijadikan jaminan, karena nilai tunai dalam investasi tersebut yang baru
dimiliki oleh nasabah sepenuhnya. Selain itu, marhun harus memiliki nilai
ekonomis sebagaimana diatur dalam syarat-syarat gadai syariah (rahn). Maka
dari itu hanya polis asuransi jiwa syariah yang memiliki nilai tunai pada
investasi yang terdapat di dalamnya yang dapat dijadikan jaminan, agar di

126
Ah. Azharuddin Lathif. Ketua Bidang Edukasi, Sosialisasi & Literasi Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Interview
pribadi, Jum’at, 22 Juli 2022.
127
Euis Amalia. Tokoh Syariah dan Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Interview pribadi, Selasa, 2 Agustus 2022.
64

kemudian hari dapat digunakan oleh pihak bank syariah apabila nasabah
mengalami pembiayaan bermasalah ataupun wanprestasi, sehingga utang
nasabah dapat lunas.

Menurut penulis, hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi resiko


yang akan terjadi di kemudian hari. Karena pada hakikatnya asuransi jiwa
syariah baru dapat diklaim apabila terdapat resiko-resiko yang terjadi atau ketika
telah jatuh tempo, sementara jika di kemudian hari terjadi wanprestasi maupun
pembiayaan bermasalah, maka pihak bank syariah tidak dapat menggunakan
polis asuransi jiwa syariah yang telah dijaminkan oleh nasabah kepada pihak
bank syariah karena dana tidak dapat dicairkan. Kecuali jika asuransi jiwa
syariah yang dimiliki oleh nasabah terdapat unsur investasi, yang mana di
dalamnya pasti terdapat nilai tunai yang benar-benar sudah dimiliki oleh nasabah
tersebut, sehingga memungkinkan polis asuransi jiwa syariah dapat dijadikan
jaminan dalam pembiayaan pada perbankan syariah.

Pada prakteknya, polis asuransi jiwa dapat digunakan sebagai jaminan


pada beberapa pemberian kredit oleh bank konvensional. Namun, saat ini polis
asuransi jiwa belum dapat digunakan sebagai jaminan pokok, melainkan sebagai
jaminan tambahan dalam perjanjian kredit antara nasabah dan pihak bank untuk
mencover pinjaman dan menghindari adanya hal-hal yang tidak diinginkan,
contohnya seperti nasabah selaku debitur meninggal dunia.128

Meskipun saat ini kedudukan hukum polis asuransi jiwa tidak dapat
dijadikan jaminan pokok karena dianggap tidak memiliki nilai tunai yang cukup
sebagai pengaman dan untuk menjamin suatu perjanjian kredit, yang mana
jaminan pokok merupakan objek jaminan yang pertama dieksekusi jika debitur
melakukan wanprestasi ataupun tidak dapat membayar tagihan, akan tetapi pada

128
Roslima Sitorus., Pranoto. “Implementasi Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Kredit
Pada Perbankan (Studi di PT Bank Rakyat Indonesia Cabang Solo Slamet Riyadi)”, Jurnal Privat
Law, 10(2), Mei-Agustus 2022, h. 228.
65

hakikatnya polis asuransi jiwa dapat dijadikan jaminan pokok karena memiliki
hak tagih yang di dalamnya terdapat nilai tunai sebagaimana ketentuan yang
berlaku dalam hukum jaminan kebendaan. Apabila polis asuransi jiwa akan
digunakan sebagai jaminan pokok, maka diperlukan adanya mekanisme dan
peraturan tersendiri.129

Mekanisme penggunaan polis asuransi jiwa sebagai jaminan yang telah


dilakukan oleh beberapa bank konvensional, salah satunya adalah oleh PT Bank
Rakyat Indonesia (Persero) Cabang Solo Slamet Riyadi yang terdapat pada
penelitian Roslima Sitorus (2022), dijelaskan bahwa PT Bank Bank Rakyat
Indonesia (BRI) tersebut bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan asuransi
yang sudah bermitra, seperti PT Asuransi Jiwa Beringin Jiwa Sejahtera, dan
Bringin Life. Apabila terdapat nasabah yang akan mengajukan perjanjian kredit
dengan menggunakan polis asuransi jiwa sebagai jaminannya, maka pinjaman
kredit yang akan diajukan harus bersifat konsumtif, seperti Kredit Kendaraan
Bermotor (KKB), Kredit Pemilikan Rumah (KPR), dan pemberian kredit lainnya
yang sifatnya konsumtif. Kemudian nasabah tersebut wajib memiliki polis
asuransi jiwa dari perusahaan-perusahaan asuransi yang telah bekerjasama
dengan PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebagaimana yang telah disebutkan
sebelumnya, karena nanti polis tersebut akan dijadikan jaminan dalam perjanjian
kredit. Namun, apabila nasabah telah menjadi peserta dari salah satu perusahaan
yang menjadi rekanan dengan PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Solo
Slamet Riyadi, maka nasabah tersebut cukup membawa polis asuransi jiwa yang
telah dimiliki dan tidak perlu membuat yang baru.130

Klaim dari polis asuransi jiwa sebagai jaminan baru dapat dilaksanakan
apabila nasabah mengalami hal-hal sebagaimana diperjanjian dalam polis,

129
Roslima Sitorus., Pranoto. “Implementasi Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Kredit
Pada Perbankan (Studi di PT Bank Rakyat Indonesia Cabang Solo Slamet Riyadi)”, h. 233.
130
Roslima Sitorus., Pranoto. “Implementasi Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Kredit
Pada Perbankan (Studi di PT Bank Rakyat Indonesia Cabang Solo Slamet Riyadi)”, h. 233.
66

seperti meninggal dunia. Maka ketika nasabah meninggal dunia, maka klaim
ataupun eksekusi jaminan dari polis asuransi jiwa dapat dilakukan sebagai
penyelesaian pinjaman kredit yang telah diperjanjikan, bukan untuk diberikan
kepada ahli waris maupun tertanggung dari polis asuransi jiwa tersebut. Adapun
syarat dari klaim polis asuransi jiwa tersebut adalah maksimal sejumlah pokok
pinjamannya. Jika nasabah memiliki kewajiban tertunggak yang dapat
mengakibatkan pinjaman yang dimiliki melebihi dari nilai pinjaman pokok,
maka pembayaran tunggakan dapat dilakukan dengan mengeksekusi jaminan
pokoknya maupun dibayarkan secara langsung oleh ahli waris dari nasabah
tersebut.131 Karena polis asuransi jiwa tersebut telah digunakan sebagai jaminan
perjanjian pemberian kredit dari PT BRI Cabang Solo Slamet Riyadi kepada
nasabah yang mengajukan, maka dari itu apabila nasabah meninggal dunia maka
klaim dari polis tersebut digunakan untuk melunasi pembayaran dari pemberian
kredit, bukan untuk diberikan kepada pihak keluarga maupun ahli waris.

Berbeda dengan perusahaan asuransi konvensional yang memberikan


sejumlah dana dengan polis asuransi jiwa yang dikeluarkan oleh perusahaan
asuransi tersebut sebagai jaminannya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Wendra Catur Putra (2018), polis asuransi jiwa yang dijadikan jaminan adalah
polis asuransi jiwa tradisional. Karena nilai tunai yang terdapat dalam polis
asuransi jiwa tradisional tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh nasabah, kecuali
dengan cara menutup fasilitas asuransi atau melalui pinjaman polis. Namun,
dengan syarat polis asuransi jiwa tersebut merupakan polis yang aktif (masih
berlaku) dan telah memiliki nilai tunai.132

Melihat adanya perbedaan antara praktek yang berlaku pada lembaga


perbankan maupun lembaga keuangan konvensional dengan teori yang dikaji

131
Roslima Sitorus., Pranoto. “Implementasi Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Kredit
Pada Perbankan (Studi di PT Bank Rakyat Indonesia Cabang Solo Slamet Riyadi)”, h. 234.
132
Wendra Catur Putra. “Kedudukan Hukum Polis Asuransi Jiwa sebagai Objek Jaminan”, h.
83.
67

berdasarkan hukum Islam, polis asuransi jiwa masih diperlukan adanya kajian
lebih lanjut terkait penggunaannya. Karena jika dilihat berdasarkan hukum
Islam, polis asuransi jiwa syariah yang dapat dijadikan jaminan pembiayaan
adalah Polis Yang Disertai Investasi atau PAYDI, karena memiliki nilai tunai
dan telah dimiliki sepenuhnya oleh peserta asuransi selaku nasabah. Sementara
dalam praktek konvensional, polis asuransi jiwa yang digunakan sebagai
jaminan adalah polis asuransi jiwa tradisional atau polis asuransi jiwa murni.133
Namun, jika dilihat kembali berdasarkan rukun, syarat-syarat dan prinsip
jaminan dalam hukum Islam, maka polis asuransi jiwa syariah yang dapat
digunakan sebagai jaminan pembiayaan adalah PAYDI.

Jika ditelaah berdasarkan aspek hukum yakni dari hukum positif, Riky
Rustam dalam penelitiannya mengemukakan bahwa polis asuransi jiwa termasuk
pada kategori benda yang pada hakikatnya merupakan suatu perikatan
(perjanjian) dari asuransi, maka dari itu polis asuransi jiwa dijadikan sebagai
jaminan. Karena polis asuransi jiwa merupakan perjanjian atau suatu perikatan,
maka tentu harus memenuhi ketentuan yang tertuang dalam Pasal 1320 KUH
Perdata tentang syarat-syarat sahnya perjanjian.134

Pada Pasal 511 KUH Perdata terdapat penjelasan mengenai ketentuan


yang termasuk pada benda bergerak, yang berbunyi sebagai berikut:135

“Sebagai kebendaan bergerak karena ketentuan undang-undang harus


dianggap:

1. Hak pakai hasil dan hak pakai atas kebendaan bergerak;

133
Wendra Catur Putra. “Kedudukan Hukum Polis Asuransi Jiwa sebagai Objek Jaminan”, h.
83.
134
Riky Rustam. “Kebsahan Perjanjian Pengikatan Jaminan dengan Polis Asuransi Jiwa
Sebagai Objek Jaminan”, h. 225.
135
Pasal 511 Bagian Keempat Tentang Kebendaan Bergerak Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata).
68

2. Hak atas bunga-bunga yang diperjanjikan, baik bunga yang


diabadikan, maupun bunga cagak hidup;

3. Perikatan-perikatan dan tuntutan-tuntutan mengenai jumlah-jumlah


uang yang dapat ditagih atau yang mengenai benda-benda bergerak;

4. Sero-sero atau andil-andil dalam persekutuan perdagangan uang,


persekutuan dagang atau persekutuan perusahaan, sekalipun benda-
benda persekutuan yang bersangkutan dan perusahaan itu adalah
kebendaan tak bergerak. Sero-sero atau andil-andil itu dianggap
merupakan kebendaan bergerak, akan tetapi hanya terhadap para
pesertanya selama persekutuan berjalan.

5. Andil dalam perutangan atas beban Negara Indonesia, baik andil-andil


karena pendaftaran dalam buku besar, maupun sertifikat-sertifikat,
surat-surat pengakuan utang, obligasi atau surat-surat lain yang
berharga, beserta kupon-kupon atau surat tanda bunga, yang termasuk
didalamnya;

6. Sero-sero atau kupon obligasi dalam perutangan lain, termasuk juga


perutangan yang dilakukan negara-negara asing.

Dalam Pasal 511 ayat (3) KUH Perdata ditentukan bahwa suatu benda
yang dianggap benda bergerak karena Undang-Undang adalah perikatan-
perikatan dan tuntutan-tuntutan mengenai sejumlah uang yang dapat ditagih,
maka dari itu polis asuransi jiwa termasuk pada benda bergerak tidak berwujud
karena termasuk piutang atas bawa. Namun, setiap dari jaminan harus memenuhi
ketentuan yaitu memiliki nilai ekonomis dan dapat dialihkan kepada orang lain
sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata.136

136
Riky Rustam. “Kebsahan Perjanjian Pengikatan Jaminan dengan Polis Asuransi Jiwa
Sebagai Objek Jaminan”, h. 221-222.
69

Jika dilihat dari ketentuan Pasal 511 ayat (3) KUH Perdata, karena nilai
tunai dari polis asuransi jiwa merupakan sesuatu yang dapat ditagih atau piutang,
maka dengan diakuinya nilai tersebut oleh perushaan asuransi jiwa dapat
dikatakan bahwa nilai tunai dari polis asuransi jiwa memiliki nilai ekonomi.
Dalam menjadikan polis asuransi jiwa sebagai jaminan, maka menurut Johanes
Ibrahim dalam Roslima Sitorus diperlukan adanya pertimbangan yang dilihat
dari 2 (dua) faktor, yakni sebagai berikut:137

1. Secure, yaitu harus terdapat pengikatan secara yuridis formal dalam


perjanjian kredit tersebut sesuai dengan peraturan hukum yang
berlaku, termasuk peraturan perundang-undangan. Hal ini dilakukan
agar apabila pihak nasabah selaku debitur melakukan perbuatan
melawan hukum atau wanprestasi maka pihak bank selaku kreditur
memiliki kekuatan hukum untuk melakukan eksekusi jaminan.

2. Marketable, yaitu jaminan tersebut yang dalam hal ini berupa polis
asuransi jiwa harus memiliki nilai tunai di dalamnya dan dapat
dicairkan untuk kemudian dieksekusi oleh pihak bank dalam hal
melunasi kewajiban dari pihak nasabah yang belum dilunasi.

Kemudian menurut Sumarni dalam penelitiannya dijelaskan bahwa polis


asuransi jiwa termasuk dalam benda yang dapat digadaikan dalam bentuk
tagihan atau surat tanda bukti adanya penagihan. Meskipun begitu, polis yang
digadaikan hanya akan mengikat pihak penanggung.138 Selain itu, Devy juga
berpendapat pada penelitiannya bahwa polis asuransi jiwa termasuk pada
jaminan kebendaan yang dapai digadaikan, karena polis termasuk objek gadai

137
Roslima Sitorus., Pranoto. “Implementasi Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Kredit
Pada Perbankan (Studi di PT Bank Rakyat Indonesia Cabang Solo Slamet Riyadi)”, h. 232.
138
Sumarni., Abdul Tayib. “Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Untuk Mendapatkan
Kredit Pada Perusahaan Asuransi”, Jurnal Unizar Law Review, h. 26.
70

benda bergerak yang tidak berwujud yang digolongkan pada benda bergerak
tidak berwujud berupa piutang.139

Berdasarkan pendapat tersebut, jika dilihat berdasarkan hukum positif


terutama hukum jaminan, maka polis asuransi jiwa dapat diklasifikasikan pada
jaminan kebendaan, yaitu benda bergerak yang tidak berwujud berupa dokumen
atau surat-surat berharga. Karena menurut penulis, polis asuransi jiwa syariah
pada hakikatnya memiliki nilai, meskipun belum sepenuhnya dimiliki oleh
peserta. Maka dari itu, secara syariah polis asuransi jiwa yang diperbolehkan
untuk dijadikan jaminan adalah polis asuransi jiwa syariah yang memiliki nilai
tunai dari investasi atau PAYDI, karena nilai tunai pada investasi yang terdapat
dalam polis asuransi jiwa syariah tersebut telah dimiliki secara penuh oleh
peserta asuransi jiwa syariah. Hal ini dilakukan untuk menghindari resiko gagal
bayar maupun resiko lainnya.

Jika ditinjau berdasarkan aspek peraturan hukum, belum ada yang


mengatur tentang implementasi polis asuransi jiwa yang dijadikan jaminan
dalam kredit maupun pembiayaan. Adapun dari perspektif hukum jaminan
secara umum, praktek polis asuransi jiwa sebagai jaminan dikaitkan dengan
praturan-peraturan yang telah ada, yaitu seperti KUH Perdata, KUHD, dan
Peraturan Perundang-undangan lain yang berkaitan seperti Undang-Undang
Jaminan maupun Undang-Undang Perasuransian. Belum ada peraturan yang
mengatur lebih spesifik terkait penggunaan polis asuransi jiwa sebagai jaminan
dalam suatu perjanjian kredit maupun jaminan hutang. Termasuk dari perspektif
hukum Islam, belum ada Fatwa maupun Peraturan Perundang-undangan khusus
yang mengatur terkait kebolehan dan syarat-syarat penggunaan polis asuransi
jiwa syariah sebagai jaminan pembiayaan.

139
Devy Yuvanto. (2018). “Polis Asuransi Sebagai Jaminan Kredit Di Perusahaan Asuransi”,
Skripsi, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, h. 13.
71

Hal ini diperkuat dengan pendapat Muhammad Syakir Sula,140 bahwa


perlu adanya peraturan khusus apabila praktek polis asuransi jiwa syariah
dibolehkan sebagai jaminan, karena seharusnya polis asuransi jiwa syariah dapat
dijadikan jaminan yang diikat dengan jaminan fidusia karena adanya pengalihan
hak kepemilikan yang mana hak kepemilikan masih dalam kekuasaan pemilik
benda jaminan atau polis tersebut, dengan syarat para pihak bersepakat untuk
menjadikan polis asuransi jiwa syariah sebagai jaminan pada suatu pembiayaan.

Selain itu, pada hakikatnya jika dilihat berdasarkan perspektif hukum


Islam maka boleh saja polis asuransi jiwa syariah menjadi jaminan pembiayaan
pada perbankan syariah, sepanjang para pihak yaitu peserta asuransi sekaligus
nasabah yang mengajukan pembiayaan, ahli waris dari pemegang polis tersebut
dengan pihak bank syariah bersepakat. Di sisi lain, dari pihak perusahaan
asuransi syariah dan pihak bank syariah juga harus memiliki kesepakatan untuk
menjadikan polis asuransi jiwa tersebut sebagai jaminan pembiayaan. Hal ini
sesuai dengan kaidah fikih, yaitu:141

َُ ‫الْ ُم ْسلِ َُم ْونَعَل‬


َ‫ىَش ُرْو ِط ِه ْمَإَِلََّش ْرطًاَحََّرمَحالَلًَأ ْوَأح َّلَحر ًَاما‬

“Dan kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati
kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu
yang haram.”
Menurut penulis, hal ini perlu diperhatikan lebih lanjut mengenai
pengaturan hukum dari polis asuransi jiwa yang dijadikan jaminan. Karena jika
belum ada peraturan yang mengatur, maka belum ada kepastian hukum yang
menjadi landasan dasar jaminan tersebut beroperasi. Jika kedepannya terjadi hal-
hal yang tidak diinginkan, baik oleh pihak bank maupun nasabah, maka tidak

140
Muhammad Syakir Sula. Pakar, Praktisi dan Akademisi Bidang Asuransi Syariah,
Interview pribadi, Minggu, 14 Agustus 2022.
141
Muhammad Syakir Sula. Pakar, Praktisi dan Akademisi Bidang Asuransi Syariah,
Interview pribadi, Minggu, 14 Agustus 2022.
72

ada kekuatan hukum yang mengatur akan hal tersebut. Selama ini, berdasarkan
hukum positif polis asuransi jiwa dikaitkan kepada jaminan kebendaan yang
termasuk pada kelompok jaminan tidak berwujud, yakni benda-benda berupa
surat-surat atau dokumen yang dijadikan jaminan. Namun, polis ini menjadi
jaminan kebendaan yang dapat diikat dengan gadai atau fidusia sebagai piutang
atas bawa sebagaimana Pasal 1152 KUH Perdata dan terklasifikasi kepada
jaminan tambahan.142 Sehingga perlu diperhatikan kembali dampak yang akan
terjadi kedepannya apabila polis asuransi jiwa dijadikan jaminan, serta perlu
adanya analisis terlebih dahulu bagi pihak lembaga keuangan, khususnya
perbankan sebelum memberikan kredit kepada nasabah yang menjadikan polis
asuransi jiwa sebagai jaminan yang diagunkan.

Begitupula dengan hukum Islam, jika polis asuransi jiwa syariah akan
dijadikan jaminan di kemudian hari, maka perlu diperhatikan kembali rukun dan
syarat-syarat jaminan dalam Islam. Seperti barang tersebut sah miliknya,
memiliki manfaat atau nilai, merupakan barang yang jelas dan dapat
diserahterimakan. Melihat dari syarat-syarat barang jaminan dalam hukum Islam
sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, maka menurut penulis secara
umum polis asuransi jiwa pada hakikatnya belum sepenuhnya memenuhi
persyaratan tersebut, kecuali PAYDI. Karena polis asuransi jiwa syariah jenis
tradisional belum sepenuhnya dimiliki oleh peserta, dalam artian bahwa
kepemilikan belum seutuhnya milik peserta asuransi. Sementara PAYDI terdapat
nilai tunai yang sudah sepenuhnya milik peserta asuransi, yaitu nilai tunai pada
investasi yang terdapat dalam asuransi jiwa syariah berbasis unitlink.143

142
Hidayatina, “Ketentuan Premi Asuransi Sebagai Jaminan Terhadap Pembiayaan
Murabahah Pada Perbankan Syariah (Analisis Konsep Jaminan dan Asuransi dalam Ekonomi Islam)”,
h. 127-128.
143
Muhammad Syakir Sula. Pakar, Praktisi dan Akademisi Bidang Asuransi Syariah,
Interview pribadi, Minggu, 14 Agustus 2022.
73

Hukum Islam telah mengatur ketentuan terkait jaminan yang


diperbolehkan dalam Islam. Menurut Euis Amalia, jika dilihat dari salah satu
syarat jaminan yaitu benda yang memiliki nilai atau aset yang bernilai maka
dibolehkan, sama halnya dengan polis. Sepanjang polis asuransi jiwa syariah
tersebut memiliki nilai, maka polis asuransi jiwa syariah dapat dijadikan
jaminan. Kemudian beliau menekankan bahwa nilai tunai tersebut harus dapat
dicairkan, dalam arti sepenuhnya milik nasabah itu sendiri dan dana yang ada
dapat diambil kapanpun. Karena berdasarkan hukum Islam, syarat jaminan yang
pertama adalah barang atau harta tersebut milik dia sendiri, yang kedua yakni
memiliki nilai, yang ketiga dapat dicairkan (liquid), dan yang keempat adalah
nilai manfaatnya jelas. Selama polis asuransi jiwa syariah dapat memenuhi
syarat-syarat tersebut, maka boleh saja dijadikan jaminan pembiayaan pada
perbankan syariah.144

Kemudian jika ditinjau berdasarkan hukum gadai syariah atau rahn,


objek atau marhun yang merupakan rukun dari rahn memiliki beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi agar jaminan tersebut sesuai dengan ketentuan
hukum Islam, yaitu harus bisa diperjual-belikan; merupakan harta yang bernilai;
bisa dimanfaatkan secara syariah; harus diketahui keadaan fisiknya; harus
dimiliki oleh Rahin (pemberi gadai); rahn tidak terikat dengan hak orang lain;
rahn merupakan harta yang utuh dan tidak bertebaran; dan rahn dikuasai secara
hukum oleh Murtahin (penerima gadai).145

Berdasarkan syarat-syarat tersebut, maka polis asuransi jiwa syariah yang


akan dijadikan jaminan pembiayaan perlu dianalisis terlebih dahulu oleh pihak
perbankan syariah, mulai dari kepemilikan, jumlah nilai yang terdapat dalam
nilai tunai polis tersebut, jangka waktu yang tersisa hingga jatuh tempo, syarat

144
Euis Amalia. Tokoh Syariah dan Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Interview pribadi, Selasa, 2 Agustus 2022.
145
Zaeni Asyhadie. Hukum Jaminan Di Indonesia: Kajian Berdasarkan Hukum Nasional
dan Prinsip Ekonomi Syariah. h. 121-122.
74

dan ketentuan yang tertuang dalam polis dari pihak asuransi syariah agar polis
tersebut dapat digunakan sebagai jaminan dan tidak ada hambatan maupun
kendala saat penggunaannya, kemudian terdapat polis asli secara fisik yang
kemudian diserahkan kepada pihak bank syariah sebagai jaminan yang diajukan
oleh nasabah kepada bank, dan tidak terikat dengan hak orang lain.

Polis asuransi jiwa syariah dalam hukum positif dikategorikan sebagai


jaminan kebendaan tidak berwujud yang mana termasuk pada benda atau barang,
maka polis asuransi jiwa syariah dapat dijadikan jaminan atas hutang. Dalam
Fatwa DSN-MUI Nomor 68 Tahun 2008 tentang Rahn Tasjily, dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan Rahn Tasjily (disebut juga dengan Rahn Ta’mini, Rahn
Rasmi, atau Rahn Hukmi) adalah jaminan dalam bentuk barang atas utang,
dengan kesepakatan bahwa yang diserahkan kepada penerima jaminan
(murtahin) hanya bukti sah kepemilikannya, sedangkan fisik barang jaminan
tersebut (marhun) tetap berada dalam penguasaan dan pemanfaatan pemberi
jaminan (rahin).146 Sehingga dapat dikatakan bahwa polis asuransi jiwa syariah
dapat dijadikan jaminan dan diserahkan kepada pihak perbankan syariah, akan
tetapi manfaat dan kewajiban untuk membayar premi masih tetap milik pihak
nasabah dan tidak berpindah ke pihak perbankan syariah.

Mengenai pemeliharaan dan penyimpanan marhun atau objek rahn,


dalam Fatwa DSN-MUI Nomor 25 Tahun 2002 tentang Rahn telah ditentukan
bahwa pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi
kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya
dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin.147 Berdasarkan
fatwa tersebut, maka dapat dikatakan bahwa objek jaminan pada hakikatnya
disimpan oleh Rahin atau nasabah, akan tetapi untuk mengantisipasi resiko

146
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 68/DSN-
MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily.
147
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 25/DSN-
MUI/III/2002 tentang Rahn.
75

nasabah yang tidak bertanggungjawab dan lari dari prestasi yang harus
dijalankan, maka objek jaminan dapat disimpan oleh pihak Murtahin yang dalam
hal ini adalah pihak bank syariah.

Kemudian dalam Fatwa DSN-MUI Nomor 92 Tahun 2014 telah diatur


ketentuan mengenai pembiayaan yang disertai dengan rahn. Pada ketentuan
marhun atau barang jaminan, dijelaskan bahwa barang jaminan (marhun) harus
berupa harta (mal) berharga baik benda bergerak maupun tidak bergerak yang
boleh dan dapat diperjual-belikan, termasuk aset keuangan berupa sukuk, efek
syariah atau surat berharga syariah lainnya.148 Dengan adanya aturan tersebut,
maka dapat dikatakan bahwa polis asuransi jiwa syariah yang di dalamnya
terdapat unsur investasi atau PAYDI dapat termasuk pada kategori marhun yang
dibolehkan, karena merupakan aset keuangan yang di dalamnya terdapat nilai
tunai dari investasi yang tentu merupakan investasi berdasarkan prinsip syariah.
Investasi tersebut dapat berupa sukuk, efek syariah, maupun jenis investasi
lainnya sesuai dengan kesepakatan antara peserta asuransi dengan perusahaan
asuransi syariah.

Selain itu, dalam fatwa tersebut juga dijelaskan ketentuan bahwa dalam
hal barang jaminan (marhun) merupakan musya’ (bagian dari kepemilikan
bersama/part of undivided ownership), maka musya’ yang digadaikan harus
sesuai dengan porsi kepemilikannya.149 Maka jika melihat secara aspek
kepemilikan, tentu ahli waris dari polis tersebut harus mengetahui bahwa nilai
tunai yang ada dalam polis akan digunakan sebagai jaminan pembiayaan dan
harus disetujui oleh seluruh pihak. Apabila terdapat pihak atau ahli waris yang
tidak menyetujui, maka polis tidak dapat dijadikan jaminan pembiayaan karena
penggunaannya harus berdasarkan persetujuan dari seluruh pihak.

148
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 92/DSN-
MUI/IV/2014 tentang Pembiayaan yang Disertai Rahn (At-Tamwil Al-Mautsuq Bi Al-Rahn).
149
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 92/DSN-
MUI/IV/2014 tentang Pembiayaan yang Disertai Rahn (At-Tamwil Al-Mautsuq Bi Al-Rahn).
76

Dalam hal syarat bahwa rahn tidak terikat dengan hak orang lain, maka
sebelumnya dapat diketahui terlebih dahulu oleh ahli waris dari polis asuransi
jiwa syariah, bahwa polis tersebut akan dijadikan jaminan pembiayaan pada
bank syariah. Kemudian ketika perjanjian persetujuan berlangsung, ahli waris
atau orang-orang yang menerima manfaat dari polis asuransi jiwa tersebut harus
menghadiri dan turut memberikan persetujuan dengan melakukan tanda tangan,
sehingga bukan hanya nasabah yang memiliki polis tersebut yang melakukan
tanda tangan persetujuan, tetapi juga ahli waris dari polis asuransi jiwa syariah
tersebut.150 Hal ini dilakukan agar seluruh pihak yang terkait dalam polis
asuransi jiwa syariah tersebut memiliki satu kesepakatan yang sama dengan
pemilik polis, sehingga tidak ada kesalahpahaman yang dapat menimbulkan
permasalahan kedepannya.

Selain itu, adanya persetujuan dari ahli waris ini sesuai dengan pendapat
Muhammad Syakir Sula mengenai kepemilikan polis asuransi jiwa syariah,
bahwa pada hakikatnya polis tersebut dimiliki oleh ahli waris sesuai dengan
akad yang digunakan, baik akad tabarru’, akad mudharabah musytarokah, dan
akad wakalah bil ujrah. Maka dari itu ahli waris perlu untuk mengetahui dan
menyetujui perjanjian pengajuan pembiayaan yang menjadikan polis asuransi
jiwa syariah tersebut sebagai jaminan di dalamnya.151 Selain itu, hal ini
dilakukan agar apabila ketika pembiayaan telah berlangsung lalu nasabah
meninggal dunia ataupun wanprestasi, dana dari hasil klaim polis asuransi jiwa
syariah tersebut dapat digunakan untuk melunasi sisa pembiayaan yang belum
dibayarkan, bukan diberikan kepada ahli waris. Sehingga terdapat unsur
kesepakatan di awal perjanjian antara pihak bank syariah, nasabah, serta ahli
waris dari polis asuransi jiwa syariah milik nasabah tersebut.

150
Muhammad Syakir Sula. Pakar, Praktisi dan Akademisi Bidang Asuransi Syariah,
Interview pribadi, Minggu, 14 Agustus 2022.
151
Muhammad Syakir Sula. Pakar, Praktisi dan Akademisi Bidang Asuransi Syariah,
Interview pribadi, Minggu, 14 Agustus 2022.
77

Berdasarkan pembahasan-pembahasan tersebut, maka polis asuransi jiwa


syariah pada hakikatnya tidak dapat dijadikan jaminan pembiayaan apabila polis
tersebut merupakan polis asuransi jiwa syariah tradisional yang tidak memiliki
nilai tunai, sementara Polis Asuransi yang Disertakan Investasi (PAYDI) dapat
dijadikan jaminan pembiayaan karena memiliki nilai tunai dari investasi yang
tedapat di dalamnya. Selain itu, secara kepemilikan polis asuransi jiwa syariah
belum sepenuhnya dimiliki, karena masih sebatas perjanjian dan baru dimiliki
sepenuhnya apabila telah jatuh tempo atau peserta asuransi tersebut meninggal
dunia. Sementara PAYDI dalam asuransi jiwa syariah yang memiliki unsur
investasi mempunyai nilai tunai yang secara penuh telah dimiliki oleh peserta
asuransi serta dapat dicairkan sesuai dengan ketentuan dan perjanjian yang
tertuang dalam polis asuransi jiwa syariah tersebut.

Meskipun secara praktek belum ditemukan adanya penggunaan polis


asuransi jiwa syariah sebagai jaminan pembiayaan pada perbankan syariah
maupun lembaga keuangan syariah lainnya, sehingga belum ada peraturan yang
mengatur secara khusus terkait implementasi dari polis asuransi jiwa syariah
sebagai jaminan. Namun, telah ditemukan adanya praktek polis asuransi jiwa
konvensional yang digunakan sebagai jaminan kredit maupun jaminan hutang
berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu. Berdasarkan hal tersebut, tidak
menutup kemungkinan di kemudian hari polis asuransi jiwa syariah dapat
dijadikan sebagai jaminan pembiayaan pada lembaga keuangan syariah,
terutama perbankan syariah.

Melihat dari aspek kedudukan hukum, polis asuransi jiwa syariah bisa
saja memiliki kedudukan yang sah untuk digunakan sebagai jaminan
pembiayaan apabila telah terdapat ketentuan-ketentuan khusus dalam suatu
peraturan yang mengatur akan penggunaannya.152 Peraturan hukum menjadi hal

152
Roslima Sitorus., Pranoto. “Implementasi Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Kredit
Pada Perbankan (Studi di PT Bank Rakyat Indonesia Cabang Solo Slamet Riyadi)”, h. 233.
78

yang penting bagi implementasi polis asuransi jiwa syariah tersebut agar
memiliki kekuatan hukum yang tetap dan sebagai dasar hukum apabila terjadi
wanprestasi maupun hal-hal yang dapat merugikan pihak-pihak yang
bersangkutan.

Terlepas dari berbagai kekhawatiran akan kegunaan polis asuransi jiwa


sebagai jaminan, di samping itu polis juga memiliki beberapa keuntungan yang
perlu dipertimbangkan karena dapat berdampak baik bagi berbagai pihak, baik
masyarakat, pemerintah, maupun pihak lembaga keuangan syariah itu sendiri.
Salah satunya adalah dapat meningkatnya peminat asuransi jiwa syariah yang
memiliki unsur investasi.153 Apabila PAYDI dibolehkan untuk dijadikan
jaminan, maka akan semakin banyak masyarakat yang berminat untuk memiliki
asuransi jiwa syariah, khususnya yang di dalamnya memiliki unsur investasi.
Dengan dapat dipergunakannya PAYDI, maka peserta sekaligus nasabah dapat
mengajukan pembiayaan dengan PAYDI sebagai jaminan yang diajukan.
Sehingga polis juga memiliki makna lebih selain menjadi bukti sah perjanjian
pada industri asuransi syariah.

B. Peluang Implementasi Polis Asuransi Jiwa Syariah sebagai Jaminan


Pembiayaan di Indonesia
Pada praktek konvensional, sudah ada beberapa pihak yang
menggunakan polis asuransi jiwa sebagai jaminan yang terbukti dalam beberapa
penelitian yang sudah ada sebelumnya. Namun, belum ditemukan adanya polis
asuransi jiwa syariah yang digunakan sebagai jaminan pada Lembaga Keuangan
Syariah, baik Perbankan Syariah maupun Lembaga Pembiayaan lainnya.
Meskipun sudah ada praktek secara konvensional, akan tetapi belum ada
peraturan yang mengatur secara spesifik mengenai hal tersebut, baik dari

153
Euis Amalia. Tokoh Syariah dan Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Interview pribadi, Selasa, 2 Agustus 2022.
79

ketentuan yang harus dipenuhi, syarat-syarat bagi para pihak dan objek jaminan,
sampai hal-hal yang perlu diperhatikan selama polis asuransi jiwa dijadikan
jaminan pada suatu perjanjian kredit, pembiayaan, maupun kegiatan pinjam-
meminjam lainnya.

Hal ini dimungkinkan karena masih adanya kekhawatiran akan berbagai


resiko yang akan terjadi dan terdapat hal-hal yang perlu dipertimbangkan
kembali jika polis asuransi jiwa syariah disahkan untuk dijadikan jaminan
pembiayaan, baik pada perbankan syariah maupun lembaga keuangan lainnya.154
Maka dari itu belum adanya praktek pembiayaan yang menggunakan polis
asuransi jiwa syariah sebagai jaminan pada pembiayaan di perbankan syariah.

Adapun praktek yang sudah berlangsung selama ini di perbankan syariah


adalah asuransi jiwa sebagai syarat pengajuan pembiayaan, yang mana polis
asuransi jiwa syariah merupakan bentuk jaminan tambahan (banker clause) dari
jaminan pokok. Bakrie Ahmad Fa’ada155 menjelaskan bahwa penyerahan polis
tersebut sebagai jaminan dalam suatu pembiayaan (collateral) dilakukan dengan
cara pemegang polis menjaminkan manfaat asuransi sehubungan dengan
meninggalnya tertanggung kepada pemberi pinjaman. Sehingga polis asuransi
jiwa syariah yang digunakan sebagai jaminan tambahan pada perbankan syariah
saat ini adalah polis asuransi jiwa tradisional untuk memitigasi resiko kematian
nasabah selama periode pembiayaan berlangsung. Polis asuransi jiwa syariah
yang dijadikan syarat pengajuan pembiayaan tersebut dapat dikatakan dengan
asuransi jiwa penjaminan pembiayaan syariah, yang mana pihak bank syariah
sebagai pemegang polis. Hal ini dilakukan agar apabila nasabah meninggal
dunia, maka pihak perbankan syariah dapat mengajukan klaim kepada

154
Muhammad Syakir Sula. Pakar, Praktisi dan Akademisi Bidang Asuransi Syariah,
Interview pribadi, Minggu, 14 Agustus 2022.
155
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bakrie Ahmad Fa’ada. Bagian Consumer Business,
PT Bank Syariah Indonesia (BSI) KCP Tangerang Karawaci Kelapa Dua, Interview pribadi, Rabu, 12
Oktober 2022.
80

perusahaan asuransi syariah yang dalam hal ini sebagai pihak penjamin, agar
sisa hutang nasabah yang meninggal tersebut dapat dilunasi. Maka, polis
asuransi jiwa syariah dipegang oleh pihak perbankan syariah, sementara nasabah
hanya memegang bukti kepesertaan.156

Peluang bagi polis asuransi jiwa syariah sebagai jaminan pokok


pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia dapat dikatakan masih kecil,
disamping belum ada prakteknya juga dikhawatirkan adanya resiko yang tinggi.
Maka dari itu polis asuransi jiwa syariah saat ini masih dijadikan sebagai
jaminan tambahan saja, bukan jaminan pokok. Namun, tidak menutup
kemungkinan polis asuransi jiwa syariah dapat dijadikan jaminan pokok di
Indonesia beberapa waktu mendatang, jika sudah ada peraturan yang sah
mengatur terkait mekanismenya. Polis asuransi jiwa syariah juga memungkinkan
untuk dijadikan jaminan apabila ditambah dengan fitur Wanprestasi (WP). Fitur
ini merupakan tambahan pada klausul dalam polis asuransi jiwa yang akan
dijadikan jaminan, yaitu klausul Resiko Terjadinya Wanprestasi. Sehingga selain
dapat mengantisipasi resiko kematian nasabah, juga dapat mengantisipasi
nasabah yang tidak membayar tagihan ataupun melakukan wanprestasi kepada
pihak bank, kemudian apabila pihak nasabah melakukan wanprestasi maka pihak
bank syariah dapat tetap mengajukan klaim kepada pihak asuransi syariah atas
dasar terjadinya wanprestasi.157 Pada hakikatnya praktek tersebut sudah ada dan
berlangsung, akan tetapi bukan sebagai jaminan pokok melainkan sebagai
jaminan tambahan pada suatu pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah.

Polis asuransi jiwa syariah belum dijadikan jaminan pembiayaan pokok


pada perbankan syariah karena dikhawatirkan salah satunya terjadi resiko

156
Bakrie Ahmad Fa’ada. Bagian Consumer Business, PT Bank Syariah Indonesia (BSI)
KCP Tangerang Karawaci Kelapa Dua, Interview pribadi, Rabu, 12 Oktober 2022.
157
Bakrie Ahmad Fa’ada. Bagian Consumer Business, PT Bank Syariah Indonesia (BSI)
KCP Tangerang Karawaci Kelapa Dua, Interview pribadi, Rabu, 12 Oktober 2022.
81

fraud158 sebab peserta asuransi sekaligus nasabah tersebut mengalami gagal


bayar. Hal ini dikemukakan oleh Muhammad Syakir Sula selaku praktisi bidang
Asuransi Syariah, karena selain merugikan pihak perbankan syariah hal tersebut
juga dapat menimbulkan dampak yang buruk bagi pihak nasabah itu sendiri.159
Maka dari itu perlu diperhatikan kembali dengan lebih teliti jika kedepannya
polis asuransi jiwa syariah akan digunakan sebagai jaminan pembiayaan pada
perbankan syariah.

Namun, jika polis asuransi jiwa syariah dapat dijadikan jaminan maka
hal ini dapat berdampak baik pada industri perasuransian syariah, karena akan
banyak masyarakat yang tertarik untuk memiliki asuransi jiwa syariah. Jika
sebelumnya polis asuransi jiwa syariah hanya sekedar bukti perjanjian asuransi
yang berbentuk tertulis dan memiliki kekuatan hukum tetap, akan tetapi jika
dalam beberapa periode kedepan ternyata polis dapat dijadikan jaminan bagi
polis asuransi jiwa syariah yang memiliki unsur investasi, maka polis tersebut
dapat memiliki manfaat lain yang dapat dibilang menguntungkan, sehingga
masyarakat dapat menggunakan polis untuk dijaminkan saat mengajukan
pembiayaan, bukan hanya Surat Bukti Kepemilikan Kendaraan (Buku Pemilik
Kendaraan Bermotor/BPKB), Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), Sertifikat
Tanah, dan lain sebagainya.160

158
Sebagaimana Pasal 1 ayat (2) POJK Nomor 39/POJK.03/2019 tentang Penerapan Strategi
Anti Fraud Bagi Bank Umum, fraud yaitu tindahakan penyimpangan atau pembiaran yang sengaja
dilakukan untuk mengelabui, menipu atau memanipulasi Bank, nasabah atau pihak lain, sehingga
mengakibatkan terdapat pihak yang menderita kerugian dan pihak lainnya memperoleh keuntungan
keuangan baik secara langsung maupun tidak langsung.
159
Berdasarkan hasil wawancara dengan Muhammad Syakir Sula. Pakar, Praktisi dan
Akademisi Bidang Asuransi Syariah, Interview pribadi, Minggu, 14 Agustus 2022.
160
Muhammad Syakir Sula. Pakar, Praktisi dan Akademisi Bidang Asuransi Syariah,
Interview pribadi, Minggu, 14 Agustus 2022.
82

Hal ini disetujui oleh Euis Amalia,161 beliau berpendapat bahwa polis
asuransi jiwa syariah memiliki peluang untuk dapat dijadikan jaminan
pembiayaan pada perbankan syariah, dan memiliki dampak yang baik bagi
perusahaan asuransi syariah yaitu dapat meningkatnya jumlah masyarakat yang
memiliki asuransi jiwa syariah. Namun perlu digaris bawahi, bahwa polis
asuransi jiwa syariah yang diperbolehkan untuk dijadikan jaminan adalah yang
memiliki nilai tunai atau terdapat unsur investasi sehingga terdapat nilai tunai
yang benar-benar dimiliki oleh peserta asuransi tersebut.

Apabila polis asuransi jiwa syariah menjadi jaminan pokok pembiayaan


pada perbankan syariah, maka harus dianalisis lebih lanjut terkait profil nasabah
dan dimungkinkan untuk jenis pembiayaan yang profil resikonya rendah. Hal ini
dilakukan untuk memitigasi resiko dan berdasarkan prinsip kehati-hatian yang
harus diterapkan oleh pihak bank syariah. Salah satu contoh dari pembiayaan
tersebut adalah pembiayaan yang berbasis payroll. Selain itu, perlu diperhatikan
kembali dari sisi profil resiko nasabah, agar tidak terjadi hal yang tidak
diinginkan dan merugikan di kemudian hari. Penggunaan polis asuransi jiwa
syariah sebagai jaminan pembiayaan memiliki tantangan tersendiri jika dilihat
dari perspektif perbankan syariah, karena selain dikhawatirkan dapat berbahaya
bagi pihak perbankan syariah, dapat berbahaya pula bagi pihak masyarakat. Hal
tersebut disebabkan oleh belum adanya mekanisme yang mengatur secara
khusus apabila polis asuransi jiwa syariah menjadi jaminan pembiayaan pokok,
dari aspek jenis polis asuransi jiwa syariah yang dapat dijadikan jaminan, berapa
besaran nilai tunai yang ditentukan sehingga dapat dijadikan jaminan,
pengaturan terkait pengajuan klaim, dan lain sebagainya. Karena selama ini baru
ada polis asuransi jiwa tradisional, baik dalam perbankan konvensional maupun
perbankan syariah yang menjamin resiko kematian nasabah saja, bukan

161
Berdasarkan hasil wawancara dengan Euis Amalia. Tokoh Syariah dan Guru Besar
Bidang Ilmu Ekonomi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Interview pribadi, Selasa, 2 Agustus
2022.
83

perbuatan wanprestasi dari nasabah. Perbankan sebagai lembaga intermediary


yang menjadi penghimpun dana masyarakat tentu harus sangat berhati-hati
dalam menyalurkan dana, agar dana-dana tersebut dapat tersalurkan dengan
baik.162

Berkaitan dengan polis asuransi jiwa yang memiliki unsur investasi atau
PAYDI, terdapat syarat-syarat yang perlu diperhatikan sebelum dijadikan
jaminan pembiayaan pada perbankan syariah. Euis Amalia menjelaskan bahwa
hal yang perlu diperhatikan dan dapat menjadi syarat polis dapat digunakan
sebagai jaminan adalah seberapa besar jumlah nilai tunai yang terdapat dalam
polis untuk dijadikan jaminan dalam pembiayaan, dapat menutupi pembiayaan
tersebut atau tidak. Apabila nominal yang dikeluarkan dalam pembiayaan
tersebut cukup besar, maka harus ada ketentuan bagi nasabah yang mengajukan
bahwa terdapat jumlah minimal dari nilai tunai yang harus dimiliki oleh nasabah
dalam setiap pengajuan pembiayaan.

Hal ini dilakukan agar terhindar dari resiko-resiko pembiayaan yang


tidak diinginkan, seperti ketika nasabah mengalami pembiayaan macet kemudian
jaminan tidak dapat dicairkan, maka dapat merugikan pihak bank syariah.
Kemudian, hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah status polis
tersebut aktif atau tidak, lalu polis tersebut jika telah sampai pada masa waktu
yang ditentukan apakah secara otomatis dana yang terdapat di dalamnya
terambil (debit) atau tidak. Hal-hal tersebut sangat penting diperhatikan agar
kegunaan polis asuransi jiwa syariah sebagai jaminan pembiayaan dapat dengan
optimal berfungsi dan tidak ada kendala saat pembiayaan tersebut
berlangsung.163

162
Bakrie Ahmad Fa’ada. Bagian Consumer Business, PT Bank Syariah Indonesia (BSI)
KCP Tangerang Karawaci Kelapa Dua, Interview pribadi, Rabu, 12 Oktober 2022.
163
Euis Amalia. Tokoh Syariah dan Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Interview pribadi, Selasa, 2 Agustus 2022.
84

Kemudian dari sisi praktisi, Muhammad Syakir Sula berpendapat bahwa


terdapat peluang bagi polis asuransi jiwa syariah untuk dijadikan jaminan
pembiayaan pada perbankan syariah, meskipun saat ini belum ada praktek nyata
baik pada industri perbankan syariah maupun industri asuransi syariah. Terlepas
dari berbagai kekhawatiran akan polis asuransi jiwa syariah sebagai jaminan
pembiayaan, namun terdapat keuntungan yang sebenarnya didapatkan oleh
berbagai pihak, baik pihak nasabah maupun pihak perusahaan. Bagi pihak
nasabah, hal ini menguntungkan terutama yang tidak memiliki Sertifikat Tanah,
BPKB, maupun surat-surat berharga lainnya untuk dijadikan jaminan saat
mengajukan pembiayaan kepada perbankan syariah.164

Polis asuransi jiwa syariah dapat dijadikan sebagai “sertifikat” untuk


dijaminkan bagi nasabah yang hendak mengajukan pembiayaan pada perbankan
syariah. Namun, beliau menegaskan bahwa polis tersebut harus memiliki garansi
untuk tidak gagal bayar dan polis dijaminkan sebesar nilai tunai yang sudah
terbentuk pada saat dilakukan pinjaman pembiayaan. Hal ini dilakukan demi
keamanan bagi pihak perbankan syariah serta menerapkan prinsip kehati-hatian.
Sebagai contoh, apabila pemegang polis sudah memiliki polis dan berlangsung
selama 5 (lima) tahun hingga 10 (sepuluh) tahun, maka nilai tunai saat itulah
yang dijadikan jaminan. Sehingga tidak ada resiko fraud bagi bank syariah.
Selain itu, beliau juga mengemukakan bahwa dapat menggunakan polis asuransi
jiwa syariah dengan jenis “single premium” atau polis yang pembayarannya
dilakukan secara sekaligus. Polis tersebut merupakan polis yang memiliki premi
(kontribusi) yang dibayarkan didepan sekaligus, sehingga pihak perbankan
syariah dapat menyetujui polis asuransi jiwa syariah tersebut untuk dijadikan
jaminan pembiayaan karena polis telah dibayar secara lunas di awal, maka tidak

164
Muhammad Syakir Sula. Pakar, Praktisi dan Akademisi Bidang Asuransi Syariah,
Interview pribadi, Minggu, 14 Agustus 2022.
85

ada resiko gagal bayar maupun resiko-resiko lain yang dikhawatirkan terjadi
selama pembiayaan berlangsung.165

Menurut penulis, selain untuk proteksi diri atau jiwa jika hal ini
diperbolehkan maka polis asuransi jiwa syariah juga memiliki manfaat investasi.
Bukan hanya investasi yang terdapat di dalamnya, melainkan juga investasi
untuk membuka suatu kegiatan usaha dengan menjadikan nilai tunai yang
terdapat dalam polis tersebut sebagai jaminan untuk mengajukan pembiayaan
pada lembaga perbankan syariah. Sehingga bukan hanya pihak perbankan
syariah maupun asuransi syariah saja yang diuntungkan, tetapi pihak nasabah
juga diuntungkan dengan kegunaan polis yang dapat dijaminkan, bukan hanya
diletakkan dan disimpan dengan baik sebagai bukti perjanjian asuransi yang sah.

Peluang yang cukup besar bagi polis asuransi jiwa syariah berbasis
investasi sebagai jaminan pembiayaan merupakan suatu kesempatan yang dapat
dimanfaatkan dengan baik oleh berbagai pihak. Akan tetapi perlu diperhatikan
kembali kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam polis asuransi jiwa
syariah apabila dijadikan jaminan pembiayaan, agar pelaksanaannya dapat
berlangsung dengan maksimal dan meminimalisir resiko yang akan terjadi, baik
bagi pihak perbankan syariah maupun pihak nasabah.

Inovasi lainnya yang dapat dijadikan acuan bagi industri asuransi syariah
di Indonesia adalah penggunaan asuransi mikro sebagai jaminan pembiayaan
untuk melindungi Usaha Mikro, seperti di Sudan yang sudah memulai sejak
tahun 2008, Mesir, dan beberapa negara Arab Saudi lainnya. Pada negara-negara
tersebut, asuransi mikro yang diperuntukkan bagi rakyat yang kurang mampu
dapat mendorong mereka untuk memiliki usaha dengan jaminan berupa asuransi
mikro tersebut yang secara nominal memiliki nilai premi yang rendah, sehingga
tidak membebani mereka dengan keadaan ekonomi yang serba berkecukupan.

165
Muhammad Syakir Sula. Pakar, Praktisi dan Akademisi Bidang Asuransi Syariah,
Interview pribadi, Minggu, 14 Agustus 2022.
86

Sehingga dengan memiliki asuransi mikro maka mereka juga memiliki


kesempatan untuk membuka usaha dan memiliki modal dengan jaminan berupa
asuransi mikro yang mereka lindungi. Adapun fungsi dan kegunaan asuransi
mikro di setiap negara tentu memiliki ketentuan yang berbeda-beda.166

Terdapat salah satu negara yang telah menggunakan polis asuransi


sebagai jaminan (collateral) untuk memperoleh pinjaman dan dapat dijadikan
contoh bagi negara-negara lain termasuk Indonesia, yaitu di negara Bangladesh.
Di Bangladesh, asuransi mikro tidak hanya untuk mengantisipasi biaya-biaya
kematian saja, tetapi juga untuk mengumpulkan tabungan bagi masyarakat
kurang mampu. Sehingga manfaatnya sangat terasa bagi masyarakat kurang
mampu yang hendak memiliki asuransi. Salah satu perusahaan asuransi swasta
yang terdapat di Bangladesh, yaitu Delta Insurance Company (DIC)
memberikan pelayanan bagi masyarakat kurang mampu berupa fasilitas asuransi
mikro. Selain itu perusahaan asuransi tersebut juga memberikan fasilitas-fasilitas
lainnya, seperti:167

1. Telah memberikan asuransi jiwa kepada lebih dari 80.000 tertanggung;

2. Proses pemberian layanan dan pemungutan premi dilakukan oleh delegasi


dari rumah tertanggung; dan

3. Tertanggung dapat memperoleh pinjaman dengan menggunakan polis


asuransi sebagai jaminan.

Salah satu dari fasilitas yang disediakan oleh perusahaan asuransi


tersebut adalah fasilitas penggunaan polis asuransi sebagai jaminan, khususnya
bagi masyarakat kurang mampu dengan menggunakan asuransi mikro. Hal

166
Ahmed MH. (2016). “Micro Tafakul Insurance as a Tool to Guaranteeing Financing and
Protecting Micro Enterprises”, Journal of Business & Financial Affairs, 5(4), American University in
the Emirates (AUE), January 2016, h. 6-8.
167
Ahmed MH. “Micro Tafakul Insurance as a Tool to Guaranteeing Financing and
Protecting Micro Enterprises”, h. 7.
87

tersebut dilakukan agar masyarakat kurang mampu dapat memanfaatkan fasilitas


tersebut dan membuka suatu usaha maupun kegiatan bermanfaat lainnya untuk
menghasilkan suatu pemasukan yang kemudian dapat membantu ekonomi
keluarganya serta kehidupan sehari-hari.168 Maka dari itu penggunaan polis ini
agar mereka memperoleh pinjaman dan dapat membuka peluang baru. Hal ini
juga berdampak baik pada kondisi ekonomi negara dan dapat mendorong angka
perekonomian menjadi lebih baik apabila masyarakat-masyarakat dari golongan
mereka dapat memanfaatkan fasilitas tersebut dengan baik.

Melihat hal tersebut yang terjadi di negara lain yang telah membolehkan
adanya polis asuransi jiwa sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman, maka
Indonesia juga dapat mempertimbangkan dengan menelaah lebih lanjut
mengenai penggunaan polis asuransi jiwa syariah sebagai jaminan pada suatu
pembiayaan maupun sebagai alat untuk pengajuan pinjaman lainnya. Karena hal
ini dapat sangat membantu bagi berbagai kalangan masyarakat, khususnya
masyarakat kurang mampu dalam memenuhi kebutuhannya dan masyarakat
yang tidak memiliki surat berharga untuk dijadikan jaminan.

Asuransi mikro selain dapat membantu kalangan masyarakat kurang


mampu untuk mendapatkan proteksi, juga dapat membantu mereka dalam
memiliki suatu usaha untuk membangkitkan keadaan ekonomi keluarganya
menjadi lebih baik.169 Melihat beberapa negara yang membolehkan penggunaan
asuransi mikro untuk dijadikan jaminan bagi usaha mikro milik masyarakat yang
kurang mampu, hal ini juga dapat dijadikan acuan dan contoh karena dampaknya
dapat meningkatkan angka perekonomian negara dengan memberdayakan dan
membangkitkan semangat masyarakat yang kurang mampu.

168
Ahmed MH. “Micro Tafakul Insurance as a Tool to Guaranteeing Financing and
Protecting Micro Enterprises”, h. 7.
169
Ahmed MH. “Micro Tafakul Insurance as a Tool to Guaranteeing Financing and
Protecting Micro Enterprises”, h. 7.
88

Selain itu, beberapa negara Asia seperti Filipina, India, China, Malaysia,
dan termasuk Indonesia pada hakikatnya sudah menjadi negara-negara
berkembang yang memiliki angka peningkatan yang cenderung baik di bidang
industri perasuransian. Maka dari itu, negara-negara ini sudah seharusnya dapat
lebih meningkatkan kembali minat dan keinginan masyarakatnya dalam
menggunakan asuransi, salah satu caranya dengan melakukan edukasi dan
sosialisasi secara lebih meluas agar seluruh kalangan masyarakat dapat
mengetahui fungsi, kegunaan dan manfaat dari penggunaan asuransi.170

Hakikatnya literasi akan asuransi syariah telah banyak disebarluaskan


dan dapat diperoleh oleh berbagai kalangan masyarakat dengan cukup mudah.
Terlebih dengan adanya teknologi informasi yang semakin maju, sehingga
masyarakat yang memiliki fasilitas seperti internet dan alat elektronik dengan
mudah menjangkau pengetahuan dan informasi tentang asuransi syariah,
termasuk asuransi jiwa syariah.

Selain pihak perbankan syariah, dalam penggunaan polis asuransi jiwa


syariah sebagai jaminan maka pihak nasabah juga perlu diperhatikan agar tidak
salah dan keliru dalam penggunaan polis asuransi jiwa syariah tersebut sebagai
jaminan pembiayaan. Maka dari itu, diperlukan adanya peraturan yang mengatur
secara khusus terkait penggunaan polis asuransi jiwa syariah, ketentuan dari
objek jaminan (polis) tersebut, hak dan kewajiban bagi para pihak, dan ketentuan
lain apabila kedepannya polis asuransi jiwa syariah diperbolehkan untuk
dijadikan jaminan pembiayaan pada perbankan syariah, terutama ketentuan
syariah atau Fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia. Penggunaan dari Polis Asuransi Jiwa Syariah yang Disertai
Investasi atau PAYDI sebagai jaminan pembiayaan bukan hanya berdampak
baik pada perbankan syariah, tetapi juga lembaga-lembaga pembiayaan lainnya.

170
Ahmed MH. “Micro Tafakul Insurance as a Tool to Guaranteeing Financing and
Protecting Micro Enterprises”, h. 7-8.
89

Selain itu, pihak perusahaan asuransi juga dapat melihat dan


memanfaatkan peluang yang cukup besar ini, karena jika suatu produk yang
diciptakan dengan inovasi dan penggunaan teknologi yang tepat, maka dapat
menghasilkan pencapaian yang tinggi. Tentu dengan bantuan pemasaran dan
pendistribusian yang baik pula sehingga dapat mencapai target yang baik dalam
penjualan produk asuransi jiwa syariah.171 Sehingga perusahaan asuransi syariah
pun mendapatkan keuntungan dari inovasi penggunaan polis asuransi jiwa
syariah sebagai jaminan.

Dalam setiap peluang yang ada, tentu terdapat ancaman yang


dimungkinkan dapat terjadi. Maka dari itu, menurut penulis hal ini dapat
diantisipasi dengan mempersiapkan peraturan hukum yang mumpuni,
melakukan edukasi secara luas baik dari pihak perbankan syariah maupun
kepada masyarakat, khususnya terkait manfaat lain yang dapat diperoleh dan
digunakan dari polis asuransi jiwa syariah, serta kajian ilmiah yang membahas
lebih dalam tentang polis asuransi jiwa syariah yang dijadikan jaminan
pembiayaan di perbankan syariah pada beberapa periode yang akan datang. Hal
ini dilakukan agar peluang yang ada dapat dimanfaatkan dengan baik dan
matang, sehingga berdampak baik bagi berbagai pihak dan angka perekonomian
syariah di Indonesia.

171
Ahmed MH. “Micro Tafakul Insurance as a Tool to Guaranteeing Financing and
Protecting Micro Enterprises”, h. 4.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Bahwa pada hakikatnya, berdasarkan hukum Islam polis asuransi jiwa syariah
tidak dapat dijadikan jaminan pembiayaan pada perbankan syariah yang
disebabkan oleh kepemilikan asuransi jiwa syariah belum sepenuhnya dimiliki
oleh peserta asuransi, karena masih berbentuk perjanjian dan masih dalam
proses untuk dimiliki sepenuhnya, kecuali apabila telah jatuh tempo atau
peserta asuransi meninggal dunia. Namun, terdapat polis asuransi jiwa syariah
yang dapat dijadikan jaminan pembiayaan, yaitu Polis Asuransi yang Disertai
dengan Investasi (PAYDI) yang di dalamnya memilliki nilai tunai. Karena
secara kepemilikan, nilai tunai dalam PAYDI telah dimiliki seutuhnya oleh
peserta asuransi, sehingga secara syariah dapat digunakan sebagai jaminan
pembiayaan dengan memperhatikan syarat-syarat dan ketentuan yang tertuang
dalam polis. Sementara menurut hukum positif, polis asuransi jiwa dapat
dijadikan jaminan karena termasuk pada jaminan kebendaan berupa benda
bergerak tidak berwujud berupa piutang atas bawa yang dikaitkan dengan
jaminan gadai atau fidusia, seperti dokumen maupun surat berharga.

2. Terdapat peluang bagi polis asuransi jiwa syariah yang dapat menimbulkan
berbagai keuntungan bagi banyak pihak apabila dibolehkan untuk dijadikan
sebagai jaminan pembiayaan. Bagi pihak Lembaga Asuransi Syariah, maka
akan banyak masyarakat yang tertarik dengan asuransi jiwa syariah dan
berlomba-lomba untuk memiliki asuransi jiwa syariah, khususnya yang
memiliki unsur investasi. Bagi pihak Perbankan Syariah, maka terdapat variasi
jenis jaminan baru yang dapat dijaminkan, dengan catatan harus diperhatikan
secara khusus dan lebih teliti apabila PAYDI digunakan oleh nasabah untuk
90
91

dijadikan jaminan pembiayaan. Dan bagi pihak nasabah atau masyarakat, maka
dapat menguntungkan pihak-pihak yang tidak memiliki surat berharga yang
dapat dijadikan jaminan, seperti Sertifikat Tanah, Surat Bukti Kepemilikan
Kendaraan (Buku Pemilik Kendaraan Bermotor/BPKB), Sertifikat Hak Guna
Bangunan (SHGB), dan lain-lain. Sehingga PAYDI dapat digunakan sebagai
jaminan untuk mengajukan pembiayaan pada Perbankan Syariah.

B. Rekomendasi
1. Kepada Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI),
dimohonkan untuk dapat membahas lebih lanjut mengenai penggunaan polis
asuransi jiwa syariah yang memiliki unsur investasi sebagai jaminan
pembiayaan. Jika dibolehkan, maka perlu adanya peraturan berupa fatwa yang
secara sah memperbolehkan polis asuransi jiwa syariah yang memiliki unsur
investasi sebagai jaminan pembiayaan pada perbankan syariah.

2. Kepada Pemerintah, diharapkan adanya peraturan hukum yang di dalamnya


mengatur secara khusus terkait penggunaan polis asuransi jiwa sebagai
jaminan, terutama syariah. Agar kedepannya implementasi polis asuransi jiwa
baik syariah maupun konvensional dapat terus berkembang.

3. Kepada Pihak Perbankan Syariah dan Nasabah, apabila polis asuransi jiwa
syariah berbasis investasi telah diperbolehkan untuk dijadikan jaminan dan
memiliki peraturan hukum yang berlaku, maka perlu dipelajari lebih lanjut
terkait syarat-syarat dan ketentuannya agar ketika pembiayaan berlangsung
tidak ada kendala dan dapat berjalan dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ahmadi, Fahmi Muhammad., Aripin, Jaenal. Metode Penelitian Hukum, Ciputat:


Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cetakan Pertama,
Desember 2010.

Ajib, Muhammad. Asuransi Syariah. Jakarta: Rumah Fiqih Publisher, Cetakan


Pertama, 2019.

Al Hadi, Abu Azam. Fikih Muamalah Kontemporer, Depok: PT Rajagrafindo


Persada, Cetakan Ke-2, 2019.

Ali, AM. Hasan. Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta: Prenata Media,
2004.

Ali, Zainuddin. Hukum Perbankan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan Pertama,
2008.

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Asyhadie, Zaeni., Kusumawati, Rahma. Hukum Jaminan Di Indonesia: Kajian


Berdasarkan Hukum Nasional dan Prinsip Ekonomi Syariah. Depok:
Rajawali Pers, Cetakan Ke-1, 2018.

Eriyanto. Analisis Isi: Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan
Ilmu-ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cetakan
Ke-1, 2011.

Hejazziey, Djawahir. Hukum Perbankan Syariah, Yogyakarta: Dee Publish, Cetakan


Ke-1, November 2013.

92
Nurhasanah, Neneng., Adam, Panji. Hukum Perbankan Syariah: Konsep dan
Regulasi, Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan Pertama, November 2017.

Nurnasrina., Putra, P. Adiyes. Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, Pekanbaru:


Cahaya Fidaus Publishing and Printing, 2018.

Rosyadi, Imron. Jaminan Kebendaan Berdasarkan Akad Syariah (Aspek Perikatan,


Prosedur Pembebanan dan Eksekusi), Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2017.

Sula, Muhammad Syakir. Asuransi Syari’ah (Life and General): Konsep adan Sistem
Operasional, Jakarta: Gema Insani Press, 2004.

Supramono, Gatot. Perbankan dan Masalah Kredit, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

Wahyudi, Akbar Kurnia. Perbankan Indonesia, Jakarta: Bintang Cemerlang


Pressindo, 2002.

Jurnal, Artikel Penelitian dan Karya Tulis Ilmiah Lainnya

Abubakar, Lastuti. “Telaah Yuridis Perkembangan Lembaga dan Objek Jaminan


(Gagasan Pembaruan Hukum Jaminan Nasional)”, Jurnal Buletin Hukum
Kebanksentralan, 12(1), Januari-Juni 2015.

Agusti, Netta. “Sharing of Risk pada Asuransi Syariah (Takaful): Pemahaman


Konsep dan Mekanisme Kerja”, Jurnal MD, 3(2), Juli-Desember 2017.

Ali, AM. Hasan. “Kapita Selekta Asuransi Syariah: Telaah Umum Tentang Asuransi
Syariah di Indonesia”, Jurnal Al-Iqtishad, 3(1), Januari 2011.

Benuf, Kornelius., Azhar, Muhammad. “Metodologi Penelitian Hukum sebagai


Instrumen Mengurasi Permasalahan Hukum Kontemporer”, Jurnal Gema
Keadilan, 1(1), Juni 2020.

93
Damayanti, Ayu., Atika. “Minat Nasabah Non Muslim Dalam Membeli Produk
Asuransi Syariah (Studi Kasus Pada Asuransi Jiwa Syariah Bumiputera 1912
Cabang Medan), Jurnal Manajemen Akuntansi (JUMSI), 2(2), April 2022.

Daniar. “Asuransi Perspektif al-Qur’an”, Islamic Economics Journal, 1(2),


Desember 2015.

Ernawati, Elisatin. “Asuransi Jiwa dalam Perjanjian Pembiayaan Bank Syariah”,


Tesis, Surabaya: Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas
Airlangga, 2015.

Fauzan, Dirga Adil., Suherman. “Perlindungan Hukum Pemegang Polis Asuransi


Jiwa Terhadap Mis-Selling oleh Agen Asuransi di PT. BNI Life Insurance”,
Jurnal Hukum De’rechtsstaat, 7(1), Maret 2021.

Fitriani, Ifa Latifa. “Jaminan dan Agunan Dalam Pembiayaan Bank Syariah dan
Kredit Bank Konvensional”, Jurnal Hukum & Pembangunan, 47(1), 2017.

Ghoni, Abdul. “Implementasi Penyelesaian Hukum atas Eksekusi Jaminan dalam


Perbankan Syariah”, Jurnal Ius Constituendum, 1(2), 2016.

Hafidah, Noor. “Kajian Prinsip Hukum Jaminan Syariah dalam Kerangka Sistem
Hukum Syariah”, Jurnal, Banjarmasin: Fakultas Hukum, Universitas
Lambung Mangkurat, ______.

Haryanto, Budiman Setyo. “Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) Dalam Sistem Hukum
Jaminan Indonesia”, Jurnal Dinamika Hukum, 10(1), Januari 2010.

Hutami, Hatma Sri Woro., Triyanto, Andi. “Eksekusi jaminan Pada Pembiayaan
bermasalah di BMT Bima Kota Magelang (Telaah Fatwa DSN MUI
No.17/DSN/IX/2000)”, Jurnal Cakrawala, 11(2), Desember 2016.

94
Hidayatina. “Ketentuan Premi Asuransi Sebagai Jaminan Terhadap Pembiayaan
Murabahah Pada Perbankan Syariah (Analisis Konsep Jaminan dan Asuransi
dalam Ekonomi Islam)”, JURIS, 14(2), Juli-Desember 2015.

Ilyas, Rahmat. “Konsep Pembiayaan dalam Perbankan Syariah”, Jurnal Penelitian,


9(1), Februari 2015.

Januar, Inri. “Kewajiban dan Tanggung Jawab Memenuhi Prestasi dalam Hukum
Jaminan”, Jurnal Hukum to-ra, 2(1), April 2016.

Kartika, Rini Fatwa. “Jaminan dalam Pembiayaan Syariah (Kafalah dan Rahn)”,
Jurnal Kordinat, 15(2), Oktober 2016.

Kolang, Reiza Natalia. “Tinjauan Yuridis Terhadap Benda Jaminan yang Diikat
dengan Fidusia”, Jurnal Lex Privatum, 7(3), Maret 2019.

Lubaba, Abu. “Implementasi Akad Rahn Dalam Perspektif Ekonomi Islam (Studi
Kasus Pegadaian Syariah Cabang Tukmudal – Sumber – Cirebon)”,
Ecopreneur: Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 1(2), Agustus 2020.

Mapuna, Hadi Daeng. “Asuransi Jiwa Syariah: Konsep dan Sistem Operasionalnya”,
Jurnal Ar-Risalah, 19(1), Mei 2019.

Maulana, Muhammad. “Jaminan Dalam Pembiayaan Pada Perbankan Syariah Di


Indonesia (Analisis Jaminan Pembiayaan Musyarakah dan Mudarabah)”,
Jurnal Ilmiah Islam Futura, 14(1), Agustus 2014.

MH, Ahmed. “Micro Tafakul Insurance as a Tool to Guaranteeing Financing and


Protecting Micro Enterprises”, Journal of Business & Financial Affairs, 5(4),
American University in the Emirates (AUE), January 2016.

Nilamsari, Natalina. “Memahami Studi Dokumen dalam Penelitian Kualitatif”,


Jurnal Wacana, 13(2), Juni 2014.

95
Prasetyawati, Niken., Hanoraga, Tony. “Jaminan Kebendaan dan Jaminan
Perorangan Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Piutang”,
JSH: Jurnal Sosial Humaniora, 8(1), Juni 2015.

Puspita, Dewi., Harto A., dkk. “Peran Asuransi Terhadap Resiko Pembiayaan”,
Jurnal Mahkamah, 3(2), Desember 2018.

Putra, Wendra Catur. “Kedudukan Hukum Polis Asuransi Jiwa sebagai Objek
Jaminan”, Tesis, Magister Kenotariatan, Pasca Sarjana Universitas
Hasanuddin Makassar, 2018.

Rustam, Riky. “Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jaminan dengan Polis Asuransi


Jiwa Sebagai Objek Jaminan”, Jurnal LamLaj, 1(2), Banjarmasin: Fakultas
Hukum, Universitas Lambung Mangkurat, September 2016.

Setiono, Gentur Cahyo. “Jaminan Kebendaan dalam Proses Perjanjian Kredit


Perbankan (Tinjauan Yuridis Terhadap jaminan Benda Bergerak Tidak
Berwujud)”, Jurnal Transparansi Hukum, 1(1), Januari 2018.

Sitorus, Roslima. “Implementasi Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Kredit Pada
Perbankan”, Skripsi, Surakarta: Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret,
2020.

Sitorus, Roslima., Pranoto. “Implementasi Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan


Kredit Pada Perbankan (Studi di PT Bank Rakyat Indonesia Cabang Solo
Slamet Riyadi)”, Jurnal Privat Law, 10(2), Mei-Agustus 2022.

Sumarni., Tayib, Abdul. “Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Untuk Mendapatkan
Kredit Pada Perusahaan Asuransi”, Jurnal Unizar Law Review, 2(1), Juni
2019.

Suripto, Teguh., Salam, Abdullah. “Analisa Penerapan Prinsip Syariah dalam


Asuransi”, Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, 7(2), Desember 2017.

96
Uyun, Arifatul., Mujib, Abdul. “Penyelesaian Sengketa Jaminan Fidusia dalam
Praktik Gadai”, Al ‘Adl: Jurnal Hukum, 14(2), Juli 2022.

Wijaya, Viandre Prayogo. “Kedudukan Jaminan Hak Tanggungan Dalam


Pembiayaan Mudharabah Pada Perbankan Syariah (Studi Putusan Mahkamah
Agung Nomor 2479 K/PDT/2011)”, Skripsi, Jember: Fakultas Hukum,
Universitas Jember, 2019.

Yasir, M. “Aspek Hukum Jaminan Fidusia (Legal Aspect of Fiduciary Guaranty)”,


SALAM: Jurnal Sosial & Budaya Syar-i, 3(1), Fakultas Syariah dan Hukum,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.

Yuvanto, Devy. “Polis Asuransi Sebagai Jaminan Kredit di Perusahaan Asuransi”,


Surabaya: Fakutas Hukum, Universitas 17 Agustus 1945, ______.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 39/POJK.03/2019 tentang


Penerapan Strategi Anti Fraud Bagi Bank Umum

97
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)

Fatwa DSN-MUI Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi


Syariah.

Fatwa DSN-MUI Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn.

Fatwa DSN-MUI Nomor 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily.

Fatwa DSN-MUI Nomor 92/DSN-MUI/IV/2014 tentang Pembiayaan yang Disertai


Rahn (At-Tamwil Al-Mautsuq Bi Al-Rahn)

Wawancara

Interview pribadi dengan Prof. Euis Amalia, M.Ag., Tokoh Syariah dan Guru Besar
Bidang Ilmu Ekonomi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Interview pribadi dengan Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H., Ketua Bidang
Edukasi, Sosialisasi & Literasi Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) dan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Interview pribadi dengan Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ., FIIS., Pakar, Praktisi
dan Akademisi Bidang Asuransi Syariah.

Interview pribadi dengan Bakrie Ahmad Fa’ada, S.H., Bagian Consumer Business,
PT Bank Syariah Indonesia (BSI) KCP Tangerang Karawaci Kelapa Dua.

Internet

Berita Satu. (2020, 21 Oktober), Manfaatkan Peluang Ekonomi Syariah.


https://www.beritasatu.com/anselmus-bata/tajuk/7489/manfaatkan-peluang-
ekonomi-syariah, Diakses pada 19 November 2021, pukul 08.05 WIB.

98
Ranapina Yuri V.T. Tampubolon., Leonardus Agatha P., (2014, 8 Juli), Polis
Asuransi sebagai Jaminan Kredit,
https://www.hukumonline.com/klinik/a/polis-asuransi-sebagai-jaminan-
kredit-lt5330f120b4992, Diakses pada 03 Maret 2022, pukul 15.20 WIB.

Otoritas Jasa Keuangan. (2021, Februari),


https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/data-dan-statistik/iknb-syariah/,
Diakses pada 19 November 2021, pukul 10.00 WIB.

99

Anda mungkin juga menyukai