SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
AHMAD ZAIN
NIM : 11140480000104
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
AHMAD ZAIN
NIM : 11140480000104
i
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP
PENGGANTIAN ANTAR WAKTU CALON ANGGOTA LEGISLATIF
TERPILIH MENINGGAL DUNIA
(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
AHMAD ZAIN
NIM: 11140480000104
Pembimbing I Pembimbing II
ii
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) di Universitas
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
Hidayatullah Jakarta.
Ahmad Zain
Nim: 11140480000104
iv
v
ABSTRAK
AHMAD ZAIN. NIM 11140480000104. IMPLIKASI PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PENGGANTIAN ANTAR WAKTU
CALON ANGGOTA LEGISLATIF TERPILIH MENINGGAL DUNIA (Analisis
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019). Program Studi Ilmu
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Tahun 1442 H/2020 M. Isi : ix + 73 halaman + 3 halaman
daftar pustaka.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui Pertimbangan Hakim dalam
Putusan dan mengenai implikasi dari Putusan Mahkamah Agung Nomor
57/P/HUM/2019 terhadap penggantian antar waktu calon terpilih meninggal dunia
dilihat berdasarkan antara Komisi Pemilihan Umum dan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan. Serta menganalisa isi Putusan Mahkamah Agung Terkait
Polemik Penggantian Antar Waktu
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan
kepustakaan (library research) melalui pendekatan Perundang-undangan (statute
approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan
Perundang-undangan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Partai
Politik. Pendekatan Konseptual mengacu pada doktrin ataupun teori dari para ahli
hukum terkait penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukan terdapat implikasi terkait Putusan Nomor
57/P/HUM/2019 akibat kerancuan makna didalam Putusan Mahkamah Agung
sehingga terjadi multi tafsir bagi pemohon dan termohon. Kemudian mengenai
mekanisme penggantian antar waktu yang pada dasarnya hak mengusung calon
pengganti antar waktu adalah partai politik disini dikesampingkan oleh komisi
pemilihan umum karena usulan tersebut bertentangan dengan Undang-undang.
Maka calon pengganti antar waktu tersebut berdasarkan ketetapan komisi
pemilihan umum yang berdasarkan ketentuan didalam UUMD3.
v
vi
KATA PENGANTAR
ن الرَّحِيم
ِ َبِسْ ِم اللَّ ِه الرَّحْم
Puji dan rasa syukur mendalam, peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT,
karena berkat limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya maka skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik. Sholawat dan salam semoga selalu senantiasa
tercurahkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Selanjutnya, peneliti ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran penelitian skripsi ini,
baik berupa dorongan moril maupun materil. Karena peneliti yakin tanpa bantuan
dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi peneliti untuk menyelesaikan penelitian
skripsi ini. Oleh karena itu peneliti secara khusus ingin menyampaikan terima
kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa memberikan arahan
dan masukannya atas penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Ismail Hasani, S.H., M.H. dan Muhammad ishar Helmi S.Sy., S.H., M.H.
Pembimbing Skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan
pikirannya untuk memberikan kritik konstruktif dan motivasi yang sangat
berharga kepada peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian
skripsi ini.
vi
vii
5. Ucapan terima kasih tak terhingga kepada kedua orang tua peneliti, Bapak
Ahmad Hunen dan Ibu Rachmi Nurliana yang telah memberikan doa, daya,
dan upayanya kepada peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini
7. Semua pihak yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada peneliti
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan oleh peneliti.
Demikian, peneliti haturkan terima kasih yang tak terhingga atas segala
dukungan semua pihak yang membantu dalam proses penelitian skripsi ini dan
mohon maaf atas segala kekurangan maupun kesalahan dalam skripsi ini. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, terkhusus peneliti.
Wassalammualaikum
Ahmad Zain
vii
viii
DAFTAR ISI
viii
ix
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 70
B. Rekomendasi .......................................................................... 72
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (bandung : Citra
Aditya Bakti, 1993), h. 92.
1
2
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan paparan identifikasi masalah di atas, maka penelitian
ini hanya dibatasi pada implikasi hasil putusan Mahkamah Agung Nomor
57 P/HUM/2019 yang dinilai saling tumpang tindih. Karena tentunya
Mahkamah Agung memiliki pertimbangan dan faktor-faktor yang
mempengaruhi dalam menghasilkan putusan.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka peneliti merumuskan masalah yaitu: Implikasi
putusan Mahkamah Agung terhadap penggantian antar waktu calon
terpilih karena meninggal dunia. Perumusan masalah dipertegas dalam
bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Agung
Nomor 57 P/HUM/2019 tentang Penggantian antar waktu calon
legislatif terpilih karena meninggal dunia?
b. Bagaimana implikasi bagi pemohon dan termohon terhadap Putusan
Mahkamah Agung nomor 57 P/HUM/2019 dalam hal pergantian
antar waktu calon anggota legislatif terpilih yang meninggal dunia ?
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Teoritis: penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan
informasi dan kontribusi bagi kalangan intelektual, pelajar,
praktisi, akademisi, institusi, dan masyarakat umum yang ingin
mengetahui lebih lanjut tentang pergantian antar waktu calon
anggota legislatif terpilih yang meninggal dunia.
b. Praktis: penulisan skripsi ini diharapkan mampu menjadi
pertimbangan bagi para praktisi hukum untuk menjawab
persoalan terkait pergantian antar waktu calon anggota legislatif
terpilih yang meninggal dunia.
D. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Pada penelitian ini, metode yang digunakan peneliti dalam
penelitian ini adalah penelitian normatif. Tipe penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis normatif.
Penelitian yuridis normatif yang dilakukan dengan mengacu pada norma
7
E. Sistematika Pembahasan
Skripsi ini disusun sesuai dengan “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2017”. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan
dan materi yang diteliti.
Pertama, menguraikan mengenai alasan dalam pemilihan judul atau
latar belakang. Selain itu, diuraikan juga mengenai Pembatasan Masalah dan
Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metode Penelitian dan
rancangan Penelitian.
Kedua, membahas uraian materi hasil penelitian kepustakaan yang
meliputi: kerangka konseptual, tinjauan review terdahulu, kerangka teoritis
dan dan teori teori yang berhubungan dengan pergantian antar waktu calon
10
A. Kerangka konseptual
1. Implikasi
Implikasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
keterlibatan atau keterkaitan.1 Dalam hal ini keterlibatan atau
keterkaitan dengan adanya suatu penemuan. Implikasi adalah suatu
akibat yang terjadi dikarenakan terdapat suatu penemuan atau suatu hal
lainya.2 Dalam hal penelitian ini implikasi merupakan akibat yang
ditimbulkan dengan adanya suatu Putusan Mahkamah Agung bagi
Pemohon maupun termohon.
2. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung Republik Indonesia merupakan lembaga
tinggi Negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan
salah satu pemegang kekuasaan kehakiman dan bebas dari pengaruh
cabang-cabang kekuasaan lainnya. Salah satu kewenangan Mahkamah
Agung adalah melakukan judicial review atau Uji materiil terhadap
peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang. Suatu
peraturan Perundang-undangan dianggap bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi maka untuk memastikan keabsahannya
dapat dilakukan pengujian oleh lembaga yudikatif.3 Dalam penelitian
ini Mahkamah Agung menguji beberapa pasal yang terdapat didalam
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 dan 4 Tahun 2019
terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum.
1
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Departemen Pendidikan Nasional, h.
529.
2
https://www.pengertianmenurutparaahli.com/pengertian-implikasi/, diakses pada 18
Agustus 2020.
3
Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan, jenis, fungsi, dan materi muatan, (Yogyakarta:
kanisius, 2007), h. 41.
11
12
4
Joko J Prihatmoko, pemilihan kepala daerah langsung: filosofi dan problema dalam
penerapan di Indonesia (Semarang: Pustaka Pelajar, 2007), h. 34.
13
B. Kerangka Teori
1. Teori Kepastian Hukum
Hukum dibuat atau dibentuk bertujuan untuk memenuhi rasa
keadilan, kepastian, dan ketertiban. Menurut Hans Kelsen, hukum
adalah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan
pada aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan
beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Undang-Undang
yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi semacam acuan
5
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 318.
14
6
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum.,(Jakarta: Kencana, 2009), h. 47.
7
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 1999), h. 23.
8
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), h. 16.
9
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h. 24.
15
10
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 110.
11
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan ( Jakarta : Kanisius, 1998). h.
25.
12
Retno Saraswati, Problematika Hukum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jurnal Yustitia Vol.2 No.3 (September-Desember,
2013), h. 98.
16
13
Muhammad Yusrizal Adi syahputra, Kajian Yuridis Terhadap Penegasan Hierarki
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dalam perspektif stufen theorie, Jurnal Mercatoria
Vol. 9 No. 2 (Desember, 2016), h. 96.
17
3. Teori Hak
Teori hak dalam penelitian ini yakni teori yang menganggap hak
sebagai kehendak yang diperlengkapi dengan kekuatan atau disebut
dengan wilsmacht theorie oleh Bernhard windscheid.14 Menurut teori
tersebut hak ialah suatu kehendak yang berdasarkan kekuatan yang
diberikan oleh suatu norma hukum kepada yang bersangkutan. Pihak
yang bersangkutan disini ialah subyek hukum, sehingga subyek hukum
disebut sebagi pendukung hak dan kewajiban. Oleh karena itu hak
yang diberikan kepada subyek hukum tidak dapat dirampas kecuali
suatu norma hukum itu sendiri yang menghendaki hilangnya hak yang
dimiliki oleh subyek hukum tersebut.
Hak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang benar, kekuasaan,
kewenangan untuk berbuat sesuatu, atau juga kekuasaan untuk tidak
berbuat sesuatu dan lain sebagainya.15 Maka dalam hal ini Hak itu
merupakan sesuatu yang melekat untuk melakukan suatu ataupun
melakukan kebijakan terkait hal-hal yang memang menjadi miliknya
atau kewenangannya. Seperti yang diketahui hak selalu beriiringan
dengan kewajiban. Kewajiban dalam hal ini merupakan suatu
keharusan peranan terhadap sesuatu yang disyaratkan oleh hukum atau
Undang-Undang.
Hak pada penelitian ini yang menjadi subyek hukum adalah Partai
Politik, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang merasa hak
untuk memilih calon pengganti berdasarkan pilihan Partai untuk calon
anggota legislatif yang meninggal dunia hilang. Ini dikarenakan
terdapat dualisme atau kerancuan didalam putusan Mahkamah Agung
Nomor 57 P/HUM/2019.
14
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h. 275.
15
Titik Triwulan Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 281.
18
4. Teori Demokrasi
Secara etimologis demokrasi berasal dari dua kata demos artinya
rakyat dan cratos/cratein berarti pemerintahan. arti demokrasi ialah
pemerintahan yang dilakukan oleh rakyat. 16 Oleh sebab itu pemaknaan
yang dimaksud ialah suatu pemerintahan haruslah mendapat
pengakuan dari rakyat yang salah satunya dilakukannya mekanisme
Pemilihan Umum. Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat
yang menggunakan, sebab dengan demokrasi hak rakyat untuk
menentukan jalannya pemerintahan dapat dijamin.17
Demokrasi merupakan suatu sistem dalam bernegara dimana
rakyat mempunyai kendali terhadap pemerintahan. Demokrasi
diartikan sebagai suatu pemerintahan dimana rakyat ikut serta
memerintah, baik secara langsung yang terdapat didalam masyarkat-
masyarakat sederhana maupun tidak langsung karena rakyat
diwakilkan yang terdapat didalam masyarakat modern.18 Dengan kata
lain demokrasi merupakan pemerintahan yang dijalankan secara tidak
langsung oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di pemerintahan.
Demokrasi diwujudkan dengan suatu pemerintahan melalui
perwakilan rakyat, yang mana kekuasaan dan wewenangnnya tersebut
berasal dari rakyat dan tentu harus bertanggung jawab penuh kepada
rakyat. Oleh sebab itu demokrasi mensyaratkan adanya suatu
Pemeilihan Umum guna memilih wakil-wakil dari rakyat tersebut yang
penyelenggaraannya berkala.
Joseph A. Schemeter mengatakan demokrasi merupakan
perkumpulan dari berbagai individu yang merencanakan suatu hal
yang bersifat institusional dalam meraih kepurusan politik yang
menggunakan individu untuk mendapatkan kekuasaan dengan
16
Abu Thamrin Dan Nurhabibi Ihya, Hukum Tata Negara, (Ciputat : Lembaga Penelitian
UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 70.
17
Mahfud MD, Demokrasi Konstitusi Di Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1993), h. 95.
18
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
2010), h. 69.
19
19
Titik Triwulan Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945,… h. 68.
20
Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, (Malang: Bayu Media Publishing, 2005), h. 78.
21
Titik Triwulan Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945,… h. 69.
20
22
Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010), h. 169.
23
Khairul Fahmi, Pemilihan Umum dan Kedaulatan rakyat, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011), h. 19.
24
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta : Bumi Aksara, 2006), h. 32.
25
Kholid O. Santoso, Mencari Demokrasi Gagasan dan Pemikiran, (Bandung : Sega Arsy,
2009), h. 61.
26
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi,… h. 33.
21
27
Muh. Kusnardi dan Bintan R.Saragih, Ilmu Negara, Edisi Revisi, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 2000), h. 124.
22
29
Novita Akria Putri, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Dengan Penambahan
Norma Penetapan Tersangka Sebagai Obyek Praperadilan (Studi Kasus Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana), (UIN Jakarta, 2015). h. 1.
24
30
Ni’matul Huda, Penataan Demokrasi & Pemilu Di Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta :
Kencana, 2017). h. 1.
25
BAB III
PERAN DAN WEWENANG MAHKAMAH AGUNG, KOMISI
PEMILIHAN UMUM DAN PARTAI POLITIK DAN MEKANISME
PENGGANTIAN ANTAR WAKTU
25
26
isinya sesuai atau bertentangan dengan Peraturan yang lebih tinggi 1. Mahkamah
Agung memiliki Hak menguji suatu Peraturan Perundang-undangan dibawah
Undang-Undang, Dalam Prakteknya dikenal dua macam Hak menguji, yaitu:2
1. Hak menguji Formal adalah wewenang untuk menilai suatu peraturan,
dalam proses pembuatannya melalui cara-cara sebagaimana telah diautur
oleh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Pengujian
formal terkait dengan masalah procedural dan berkenaan dengan legalitas
kompetensi Institusi yang membuatnya.
2. Hak menguji Materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan
menilai isi suatu Peraturan Perundang-undangan itu sesuai atau
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Pengujian material
berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu Peraturan
dengan Peraturan lain yang lebih tinggi.
Berdasarkan poin-poin diatas dapat disimpulkan bahwa konsekuensi dari
pengujian secara formal adalah keselururan peraturan menjadi tidak memiliki
kekuatan hukum tetap, sedankan dalam pengujian materiil hanya dalam beberapa
pasal yang di uji dalam hal ini apabila pengujian tersebut dikabulkan.
Mengenai Mahkamah Agung dalam melakukan Uji materiil harus bersifat
merdeka dan independent serta bebas dari pengaruh politik, hal tersebut harus
dilaksanakan sebagimana mestinya. Jika hal tersebut diterapkan maka Uji materil
yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai bagian dalam membangun
pemerintahan yang demokratis, dapat dijalankan sebagimana mestinya. 3
Tugas dan wewenang mahkamah agung yang berkaitan dengan penelitian
ini diatur di dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, secara rinci sebagai berikut:
1
Machmud Aziz, Pengujian Peraturan Perundang-undangan Dalam Sistem Perundang-
undangan Di Indonesia, Jurnal Mahkamah Konstitusi Vol. 7 No. 6, Edisi Desember 2010, hal.
127.
2
Kewenangan Hak Uji Materiil Pada Mahkamah Agung, jurnal hukum dan peradilan Vol.
2 No. 3, Edisi November 2013, hal. 347.
3
Zainal Arifin Hoessein, Judicial Review Di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian
Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta : Raja Grafindo, 2009), h. 239.
28
2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum, dan
Pasal 92 huruf a Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2019 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan
Penetapan Hasil Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Berdasarkan Pasal 31 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung berwenang menguji ataupun
menilai secara materiil peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-undang
tentang suatu peraturan yang ditinjau dari materinya, apakah peraturan tersebut
betentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Dengan demikian, berdasarkan uraian diatas, bahwa Mahkamah Agung
berwenang melakukakan pengujian penjelasan Pasal 54 ayat (5) huruf k dan l
juncto Pasal 55 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam
Pemilihan Umum, dan Pasal 92 huruf a Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rekapitulasi Hasil
Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum terhadap
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum.
4
Joko J Prihatmoko, pemilihan kepala daerah langsung: filosofi dan problema dalam
penerapan di Indonesia (Semarang: Pustaka Pelajar, 2007), h. 34.
5
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2005), h. 122.
6
Ramlan Surbakti, Demokrasi Menurut Pendekatan Kelembagaan Baru, Jurnal Ilmu
Pemerintahan, Edisi 19 Tahun 2003, h. 4.
31
7
Suparman Marzuki, Peran Komisi Pemilihan Umum dan Pengawas Pemilu Yang
Demokratis, Ius Iustum law Journal Of Islamic University Of Indonesia, Vol. 15 No. 3 Juli 2008,
h. 399.
8
Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, (Yogyakarta : UII
press, 2007), h. 90.
32
9
Ni’matul Huda, Penataan Demokrasi & Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta:
Kencana, 2017), h. 52.
33
12
Fajrulrahman Jurdi, Pengantar Hukum Partai Politik, (Jakarta : Kencana, 2005), h. 3.
35
13
Firman Subagyo, Menata Partai Politik Dalam Arus Demokratisasi Indonesia, (Jakarta :
Wahana Semesta Intermedia, 2009), h. 6.
14
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, … h. 21.
36
15
Moh. Kusnardi, Ilmu Negara, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000), h. 135.
16
Ni’matul Huda, Penataan Demokrasi Dan Pemilu Di Indonesia Pasca Reformasi, … h.
175.
17
Interpretasi kewenangan Recall Partai Politik Dalam Tatanan Pemerintahan Perspektif
Siyasah Syar’iyah, Jurnal Varia Hukum, Vol. 1 No. 1, Edisi Januari 2019, hal. 46.
18
M. Hadi Subhan, recall: Antara hak Partai Politik Dan Hak Berpolitik Anggota Partai
Politik, Jurnal Konstitusi III, No. 4 (Desember 2006), h. 31.
37
19
Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Press, 2014), h. 167.
38
6. Pasal 243 ayat (1), Pimpinan DPR menyampaikan nama anggota DPR
yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti
antarwaktu kepada KPU.
7. Pasal 243 ayat (2), KPU menyampaikan nama calon pengganti
antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
242 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPR paling lama 5 (lima)
Hari sejak diterimanya surat pimpinan DPR.
8. Pasal 243 ayat (3), Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak menerima nama
calon pengganti antarwaktu dari KPU sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), pimpinan DPR menyampaikan nama anggota DPR yang
diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Presiden.
9. Pasal 243 ayat (4), Paling lama 14 (empat belas) Hari sejak menerima
nama anggota DPR yang diberhentikan dan nama calon pengganti
antarwaktu dari pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Presiden meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan
keputusan Presiden.
10. Pasal 243 ayat (5), Sebelum memangku jabatannya, anggota DPR
pengganti antar waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPR dengan
teks sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78.
11. Pasal 243 ayat (6), Penggantian antar waktu anggota DPR tidak
dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikan
kurang dari 6 (enam) bulan.
Ketentuan mengenai penggantian antar waktu juga diatur didalam
Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yakni:
1. Pasal 426 ayat (1) huruf a, Penggantian calon terpilih anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan apabila
calon terpilih: meninggal dunia.
2. Pasal 426 ayat (3), Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, d"rl
DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti oleh
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota. dengan calon dari daftar
39
calon tetap Partai Politik Pesertg Pemilu yang sama di daerah pemilihan
tersebut berdasarkan perolehan suara calon terbanyak berikutnya.
3. Pasal 426 ayat (5), KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota
menetapkan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota sebagai calon terpilih pengganti sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dengan kepuhrsan KPU, KPU Provinsi, atau KPU
Kabupaten/Kota paling lambat 14 (empat belas) hari setelah calon
terpilih berhalangan ssfagaimana dimaksud pada ayat (1).
Berdasarkan uraian pasal pasal diatas dapat dikatakan bahwa Partai Politik
memiliki peranan yang cukup besar berkaitan dengan penggantian antar waktu.
Partai politik dapat mengusulkan pemberhentian anggota DPR, bahkan terhadap
alasan tertentu sebagaimana disebutkan dalam pasal 240 ayat (1) diatas, pimpinan
Partai Politik satu-satunya pihak yang dapat mengusulkan pemberhentian
tersebut.20 Maka dapat dikatakan Penggantian Antar Waktu berdasarkan pasal-
pasal diatas dikonstruksikan sebagai hak Partai Politik.
Mekanisme penggantian antar waktu dalam penelitian ini berkaitan tentang Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan yang beranggapan bahwa penunjukan ataupun
pemilihan pengganti bagi calon legislatif terpilih meninggal dunia merupakan
sepenuhnya kewenangan partai politik, dengan dasar pertimbangan hakim di
dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019. komisi pemilihan
umum hanya berperan sebagai yang menetapkan pilihan dari partai demokrai
Indonesia perjuangan tersebut. Namun yang menjadi persoalan adalah pilihan dari
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tidak sesuai dengan apa yang menjadi
ketentuan didalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat daerah.
20
Ni’matul huda, Penataan Demokrasi & Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi, … h. 176.
BAB IV
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP
PENGGANTIAN ANTAR WAKTU CALON ANGGOTA LEGISLATIF
TERPILIH MENINGGAL DUNIA
40
41
Mahkamah Agung untuk menguji objek permohonan keberatan hak uji materiil
dan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan
keberatan hak uji materiil, yakni:
1. Kedudukan Hukum
Calon Anggota Legislatif dari daerah pemilihan Sumatera Selatan 1
dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yakni, Nazaruddin Kiemas,
meninggal dunia. Bersamaan dengan itu Nazaruddin Kiemas terpilih
berdasarkan pendapatan perolehan suara terbanyak pada Pemilihan Umum
Legislatif tahun 2019. Oleh sebab itu tentu dikarenakan pasal-pasal yang
diuji dalam hak uji materiil oleh Partai pengusung dikabulkan, maka Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan memperoleh Haknya untuk mengusung
pengganti dari Calon Anggota legislatif yang meninggal dunia tersebut
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
2. Pertimbangan Majelis Hakim Terkait Kewenangan Mahkamah Agung
Dalam pertimbangan tersebut, kewenangan Mahkamah Agung untuk
menguji permohonan keberatan hak uji materiil didasarkan pada ketentuan
Pasal 24A ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945, Pasal 31A Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 20
ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, serta Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, yang pada intinya
menentukan bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan
Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal tersebut didasari agar
terciptanya kepastian hukum.
Peraturan Perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah
peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum
dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
42
1
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 60.
43
2
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 62.
44
3
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 65
45
DPRD kabupaten/kota” dan Pasal 243 ayat (1) yang menyatakan “Bakal
calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 disusun dalam daftar bakal
calon oleh partai politik masing-masing.4
hubungan antara Calon Anggota Legislatif dengan Partai Politik
yang mengusung dan mengusulkannya adalah hubungan yang bersifat
subordinatif, karena seorang calon legislatif tidak mungkin dapat
mengikuti kontestasi Pemilu tanpa dicalonkan oleh partai politiknya. Oleh
karena itu, perolehan suara calon anggota legislatif yang meninggal dunia
untuk Pemilihan Anggota DPR dan DPRD dengan perolehan suara
terbanyak seharusnya menjadi kewenangan diskresi dari pimpinan partai
politik untuk menentukan kader terbaik sebagai anggota legislatif yang
akan menggantikan calon anggota legislatif yang meninggal dunia tersebut
dengan tetap memperhatikan peraturan Perundang-undangan yang berlaku
dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Diskresi pimpinan partai
politik tersebut harus diterapkan secara ketat, terukur dan dapat
dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum, agar tercapainya tujuan
untuk meningkatkan kualitas keberadaan suatu partai politik dan
penguatan kaderisasi partai. Konsep kedaulatan rakyat menjadi poin
penting dalam hal ini.
Mahkamah Agung berpendapat bahwa frasa “… dinyatakan sah
untuk Partai Politik” yang tercantum dalam Pasal 54 ayat (5) huruf k, dan
frasa “… dinyatakan sah untuk Partai Politik” yang tercantum dalam Pasal
54 ayat (5) huruf l juncto frasa “… suara pada Surat Suara tersebut
dinyatakan sah dan menjadi suara sah Partai Politik” yang tercantum
dalam Pasal 55 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan
Suara dalam Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
4
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 66.
46
5
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 68.
6
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 69.
47
7
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 69-70.
48
8
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan ( Jakarta : Kanisius, 1998). h.
25.
49
berdasarkan pilihan atau rekomendasi dari Partai Politik. Maka putusan tersebut
berakibat dapat disalahpahami oleh pemohon maupun termohon. Memang yang
menjadi permohonan oleh pemohon yang menjadi satu-satunya yang ditolak
dalam putusan ini bukan menjadi kewenangan Mahkamah Agung, tapi tetap ini
menjadi problem. Menurut peneliti Mahkamah Agung kurang teliti didalam
pertimbangannya terkait hal tersebut, seharusnya hal tersebut menjadi poin
penting, dikarenakan Komisi Pemilihan Umum yang menjalankan Putusan
tersebut. Maka akan terjadi gesekan antar Partai Politik pengusung dengan Komisi
Pemilihan Umum yang akan peneliti jelaskan dalam Poin Analisis putusan
Mahkamah Agung dibawah.
Pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung pada pada
putusannya, menjadikan pasal Pasal 54 ayat (5) huruf k dan l juncto Pasal 55 ayat
(3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 tentang
Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum, dan Pasal 92 huruf
a Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rekapitulasi
Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum
terbukti bertentangan dan bertolak belakang dengan ketentuan didalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum dan tidak memiliki
kekuatan hukum tetap.
9
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 4-5.
53
10
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 66.
11
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 66.
54
12
Samsul Wahidin, distribusi Kekuasaan Negara Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2014), h. 200.
55
13
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 69.
14
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 69.
56
15
Kewenangan Hak Uji Materiil Pada Mahkamah Agung, jurnal hukum dan peradilan
Vol. 2 No. 3, Edisi November 2013, hal. 347.
16
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 110.
57
konstitusional hak Pergantian Antar Waktu diatur didalam Pasal 22B UUD
1945 yang menyatakan bahwa anggota DPR dapat diberhentikan dari
jabatannya, dengan syarat-syarat dan tata cara yang diatur dalam Undang
Undang. Landasan konstitusional ini termaktub dalam amandemen kedua
UUD 1945. Dari dasar tersebut dapat dikatakan bahwa Penggantian Antar
Waktu dapat diterapkan kepada anggota Dewan Perwakilan rakyat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penggantian Antar Waktu diatur didalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD
Provinsi dan DRPD yang hak tersebut diberikan kepada Partai Politik.
Sesuai dengan isi putusan yang mengabulkan Pasal 54 ayat (5)
huruf k dan l juncto Pasal 55 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan
Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum dan Pasal 92 huruf a
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2019 tentang
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil
Pemilihan Umum, menjadikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Dapat melakukan penggantian antar waktu bagi calon anggota legislatif
terpilih yang meninggal dunia, yakni nazaruddien kiemas.
Menurut peneliti mengembalikan suara rakyat, yang mana dalam
hal ini Nazaruddien Kiemas merupakan calon dari partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan, tentunya antara Nazaruddien Kiemas dengan Partai
tersebut secara umum memiliki visi misi yang sama perihal tugas legislasi
dan lain sebagainya. Oleh sebab itu penggantian Nazaruddien Kiemas
harus dilakukan dikarenakan suara-suara yang telah memilih nazaruddien
kiemas merupakan amanat yang telah dibebankan kepadanya. Oleh sebab
itu partai politik sebagai pengusung sekaligus yang secara umum memiliki
visi misi yang sama harus melakukan penggantian antar waktu, Yang
dalam hal ini Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memiliki hak serta
kewajiban untuk mengarahkan amanat melalui perolehan suara
Nazaruddien Kiemas agar tidak sia-sia. Dan diharapkan pengganti
nazaruddien kiemas tersebut tidak hanya mengganti secara raga saja tapi
58
17
Muh. Kusnardi dan Bintan R.Saragih, Ilmu Negara, Edisi Revisi, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 2000), h. 124.
18
Khairul Fahmi, Pemilihan Umum dan Kedaulatan rakyat, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011), h. 19.
59
19
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
2010), h. 69.
60
20
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, ( Jakarta : PT. Bhuana Ilmu
Populer, 2007), h. 512.
61
21
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h. 24.
62
24
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h. 275.
64
27
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 67.
66
28
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum.,(Jakarta: Kencana, 2009), h. 47.
67
29
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 67.
68
(2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD. Hal ini menurut peneliti sebagai bentuk Negara Hukum yang mana
dalam menjalankan roda pemerintahan harus berdasarkan dengan
ketentuan Perundang-undangan yang berlaku untuk adanya suatu
kepastian hukum.
Pendapat peneliti mengenai apa yang menjadi ketetapan Komisi
Pemilihan Umum untuk memilih Rezky aprillia sebagai Pengganti Antar
Waktu Nazaruddien Kiemas dengan berdasarkan ketentuan Pasal 242 ayat
2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD Dan
DPRD dengan mengesampingkan Surat Pendapat Mahkamah Aagung
tersebut benar adanya dengan alasan Komisi Pemilihan Umum hanya
menjalankan Fungsinya sebagai lembaga pemerintahan untuk menciptakan
suatu kepastian hukum. Hukum dibuat atau dibentuk bertujuan untuk
memenuhi rasa keadilan, kepastian, dan ketertiban. Menurut Hans Kelsen,
hukum adalah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan
pada aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa
peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Undang-Undang yang berisi
aturan-aturan yang bersifat umum menjadi semacam acuan serta batasan
berprilaku dalam bermasyarakat. Adanya aturan dan dilaksanakannya
aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.32
Konklusi dari upaya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk
mengembalikkan Haknya dengan Pengganti Antar Waktu terwujud dengan
adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019 yang
sebelumnya hak tersebut dianulir berdasarkan Pasal 54 ayat (5) huruf k
dan l juncto Pasal 55 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan
Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum, dan Pasal 92 huruf a
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2019 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan
Penetapan Hasil Pemilihan Umum. Walau dalam pelaksanaan dari putusan
32
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum.,(Jakarta: Kencana, 2009), h. 47.
70
A. Kesimpulan
Setelah memperhatikan, menelaah serta menganalisa Putusan
Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019 tentang Uji materiil penjelasan
makna Pasal 54 Ayat (5) huruf K dan I juncto Pasal 55 Ayat (3) Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia nomor 3 tahun 2019 tentang
pemungutan dan perhitungan suara dalam Pemilihan Umum dan Pasal 92
huruf A Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2019 Tentang Rekapitulasi hasil Penghitungan Perolehan Suara dan
Penetapan hasil Pemilihan Umum, serta berdasarkan penjelasan Bab-bab
terdahulu dan untuk mengakhiri pembahasan dalam skripsi ini peneliti
memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019
pertimbangan Hakim yang paling utama terkait Penggantian Antar Waktu.
Pertama, pertimbangan Mahkamah terkait Pemohon sebagai peserta
Pemilu Anggota Legislatif, sebagai sarana rekrutmen politik (political
recruitment) Partai Politik diberikan otoritas penuh untuk menyeleksi dan
menentukan Calon Anggota Legislatif yang akan mengikuti kontestasi
Pemilu. Kedua, hubungan antara Calon Anggota Legislatif dengan Partai
Politik yang mengusung dan mengusulkannya adalah hubungan yang
bersifat subordinatif, karena seorang caleg tidak mungkin dapat mengikuti
kontestasi Pemilu tanpa dicalonkan oleh partai politiknya. Ketiga,
perolehan suara calon anggota legislatif yang meninggal dunia untuk
Pemilihan Anggota DPR dan DPRD dengan perolehan suara terbanyak
memang menjadi kewenangan diskresi dari pimpinan partai politik untuk
menentukan kader terbaik sebagai anggota legislatif yang akan
menggantikan calon anggota legislatif yang meninggal dunia tersebut
namun tetap memperhatikan peraturan Perundang-undangan yang berlaku
dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Diskresi pimpinan partai
71
72
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, melalui penelitian
ini, peneliti mengajukan saran konstruktif dalam penelitian ini sebagai
berikut:
1. Bagi Mahkamah Agung sebagai Lembaga tinggi Negara agar lebih
memperhatikan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku terkait
dengan apa yang menjadi batu uji didalam sidang Hak uji materill.
Agar tidak menimbulkan multi tafsir bagi pihak pemohon dan
termohon.
2. Bagi Partai Politik, pada dasarnya Hak penggantian antar waktu
memang menjadi Hak Partai Politik, dan mekanismenya dijelaskan
didalam Pasal 242 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Namun bukan berarti
74
Asshiddiqie, Dan M. Ali Safa’at. Theory Hans Kelsen Tentang Hukum. (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006).
Fadjar, Mukhtie. Tipe Negara Hukum. (Malang: Bayu Media Publishing. 2005).
Fahmi, Khairul. Pemilihan Umum dan Kedaulatan rakyat. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2011).
Hoessein, Zainal Arifin. Judicial Review Di Mahkamah Agung RI. Tiga Dekade
Pengujian Peraturan Perundang-undangan. (Jakarta : Raja Grafindo.
2009).
75
76
____, Ni’matul. Recall Anggota DPR dan DPRD dalam Dinamika Ketatanegaraan
Indonesia. Mimbar Hukum Vol.23 (Oktober 2011).
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Balai
Pustaka. 1989).
Kusnardi, Muh dan Bintan R. Saragih. Ilmu Negara. Edisi Revisi. (Jakarta : Gaya
Media Pratama. 2000).
Marzuki, Suparman. Peran Komisi Pemilihan Umum dan Pengawas Pemilu Yang
Demokratis. Ius Iustum law Journal Of Islamic University Of Indonesia.
Vol. 15 No. 3 Juli 2008.
Subhan, M. Hadi. recall: Antara hak Partai Politik Dan Hak Berpolitik Anggota
Partai Politik. Jurnal Konstitusi III. No. 4 (Desember 2006).
Sulastri, dewi Dan Neni Nuraeni. Interpretasi kewenangan Recall Partai Politik
Dalam Tatanan Pemerintahan Perspektif Siyasah Syar’iyah. Jurnal Varia
Hukum. Vol. 1 No. 1. Edisi Januari 2019.
Thamrin, Abu Dan Nurhabibi Ihya. Hukum Tata Negara. (Ciputat : Lembaga
Penelitian UIN Syarief Hidayatullah Jakarta. 2010).