Anda di halaman 1dari 88

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP

PENGGANTIAN ANTAR WAKTU CALON ANGGOTA LEGISLATIF


TERPILIH MENINGGAL DUNIA

(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019)

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:
AHMAD ZAIN
NIM : 11140480000104

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
1442 H/ 2020 M
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP
PENGGANTIAN ANTAR WAKTU CALON ANGGOTA LEGISLATIF
TERPILIH MENINGGAL DUNIA
(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019)

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:
AHMAD ZAIN
NIM : 11140480000104

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
1442 H/ 2020 M

i
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP
PENGGANTIAN ANTAR WAKTU CALON ANGGOTA LEGISLATIF
TERPILIH MENINGGAL DUNIA
(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019)

SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

AHMAD ZAIN
NIM: 11140480000104

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ismail Hasani, S.H,. M.H. M. Ishar Helmi, S.H., M.H.


NIDN. 19771217 200710 1 002 NIDN. 150013194

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
1442 H/ 2020 M

ii
iii
iv

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Ahmad zain


Tempat, Tgl, Lahir : Jakarta, 27 Mei 1996
NIM : 11140480000104
Program Studi : Ilmu Hukum
Alamat : jl. Anyer XV RT/RW 001/009 Menteng, Jakarta Pusat
Kontak : 085719968639
Email : ahmadzainfun@gmail.com

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) di Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Agustus 2020

Ahmad Zain
Nim: 11140480000104

iv
v

ABSTRAK
AHMAD ZAIN. NIM 11140480000104. IMPLIKASI PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PENGGANTIAN ANTAR WAKTU
CALON ANGGOTA LEGISLATIF TERPILIH MENINGGAL DUNIA (Analisis
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019). Program Studi Ilmu
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Tahun 1442 H/2020 M. Isi : ix + 73 halaman + 3 halaman
daftar pustaka.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui Pertimbangan Hakim dalam
Putusan dan mengenai implikasi dari Putusan Mahkamah Agung Nomor
57/P/HUM/2019 terhadap penggantian antar waktu calon terpilih meninggal dunia
dilihat berdasarkan antara Komisi Pemilihan Umum dan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan. Serta menganalisa isi Putusan Mahkamah Agung Terkait
Polemik Penggantian Antar Waktu
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan
kepustakaan (library research) melalui pendekatan Perundang-undangan (statute
approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan
Perundang-undangan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Partai
Politik. Pendekatan Konseptual mengacu pada doktrin ataupun teori dari para ahli
hukum terkait penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukan terdapat implikasi terkait Putusan Nomor
57/P/HUM/2019 akibat kerancuan makna didalam Putusan Mahkamah Agung
sehingga terjadi multi tafsir bagi pemohon dan termohon. Kemudian mengenai
mekanisme penggantian antar waktu yang pada dasarnya hak mengusung calon
pengganti antar waktu adalah partai politik disini dikesampingkan oleh komisi
pemilihan umum karena usulan tersebut bertentangan dengan Undang-undang.
Maka calon pengganti antar waktu tersebut berdasarkan ketetapan komisi
pemilihan umum yang berdasarkan ketentuan didalam UUMD3.

Kata Kunci : Implikasi Putusan, Penggatian Antar Waktu

Pembimbing Skripsi : 1. Dr.Ismail Hasani, S.H., M.H.


2. Muhammad Ishar Helmi, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1989 sampai Tahun 2017

v
vi

KATA PENGANTAR

‫ن الرَّحِيم‬
ِ َ‫بِسْ ِم اللَّ ِه الرَّحْم‬

Puji dan rasa syukur mendalam, peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT,
karena berkat limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya maka skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik. Sholawat dan salam semoga selalu senantiasa
tercurahkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Selanjutnya, peneliti ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran penelitian skripsi ini,
baik berupa dorongan moril maupun materil. Karena peneliti yakin tanpa bantuan
dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi peneliti untuk menyelesaikan penelitian
skripsi ini. Oleh karena itu peneliti secara khusus ingin menyampaikan terima
kasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa memberikan arahan
dan masukannya atas penyusunan skripsi ini.

3. Dr. Ismail Hasani, S.H., M.H. dan Muhammad ishar Helmi S.Sy., S.H., M.H.
Pembimbing Skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan
pikirannya untuk memberikan kritik konstruktif dan motivasi yang sangat
berharga kepada peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian
skripsi ini.

4. Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kepala urusan


Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membantu
menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti, guna mengadakan studi
kepustakaan dalam penyelesaian skripsi.

vi
vii

5. Ucapan terima kasih tak terhingga kepada kedua orang tua peneliti, Bapak
Ahmad Hunen dan Ibu Rachmi Nurliana yang telah memberikan doa, daya,
dan upayanya kepada peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini

6. Kepada teman-teman Ilmu Hukum angkatan 2014 yang telah mengingatkan


selalu dalam penulisan skripsi ini.

7. Semua pihak yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada peneliti
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan oleh peneliti.

Demikian, peneliti haturkan terima kasih yang tak terhingga atas segala
dukungan semua pihak yang membantu dalam proses penelitian skripsi ini dan
mohon maaf atas segala kekurangan maupun kesalahan dalam skripsi ini. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, terkhusus peneliti.
Wassalammualaikum

Jakarta, Agustus 2020


Peneliti

Ahmad Zain

vii
viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i


HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii
SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN .............................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................ 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 6
D. Metode Penelitian................................................................... 6
E. Sistematika Pembahasan ........................................................ 10

BAB II PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF DAN KEDAULATAN


RAKYAT
A. Kerangka Konseptual ............................................................. 11
B. Kerangka Teori....................................................................... 13
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ..................................... 22

BAB III PERAN DAN WEWENANG MAHKAMAH AGUNG,


KOMISI PEMILIHAN UMUM DAN PARTAI POLITIK DAN
MEKANISME PENGGANTIANANTAR WAKTU
A. Peran Dan Wewenang Mahkamah Agung ............................ 26
B. Peran Dan Wewenang Komisi Pemilihan Umum dalam Pemilihan
legislatif .................................................................................. 29
C. Peran Partai Politik dalam Pemilihan Legislatif .................... 33
D. Mekanisme Penggantian Antar Waktu................................... 36

viii
ix

BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP


PENGGANTIAN ANTAR WAKTU CALON ANGGOTA
LEGISLATIF TERPILIH
A. Pertimbangan Hakim .............................................................. 40

B. Analisis Terkait Implikasi Putusan Mahkamah Agung ......... 51

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 70
B. Rekomendasi .......................................................................... 72

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 74

ix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Salah satu pelaksanaan kedaulatan rakyat diantaranya
diselenggarakannya pemilihan umum. Ketentuan mengenai pemilu diatur
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal
22E ayat (1) sampai dengan ayat (6). Bunyi pasal tersebut yakni: (1)
pemilihan umum dilaksanakan secara, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
dilaksanakan setiap lima tahun sekali, (2) pemilihan umum diselenggarakan
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
(3) Peserta pemilihan untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Partai Politik, (4) Peserta Pemilihan
umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Daerah Adalah
Perseorangan, (5) Pemilihan umum dilaksanakan oleh suatu Komisi
Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, (6) ketentuan
lebih lanjut mengenai pemilihan umum diatur dengan Undang-Undang.
Suatu norma tidak boleh bertentangan dengan norma yang ada
diatasnya. Hal inilah yang dimaksud sebagai system hierarki norma hukum
atau Perundang-undangan. Idealnya suatu pembentukan peraturan hukum
seharusnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang ada diatasnya.
Hans Kelsen mengemukakan teori jenjang norma hukum atau yang lebih
dikenal dengan stufentheorie berpendapat bahwa norma-norma hukum itu
berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki1.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum merupakan pelaksanaan dari
peraturan Perundang-undangan sebagai dimaksud pada pasal 75 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum
tentang pemilihan umum yang mengatur bahwa untuk menyelenggarakan

1
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (bandung : Citra
Aditya Bakti, 1993), h. 92.

1
2

pemilihan umum Komisi Pemilihan Umum membentuk Peraturan Komisi


Pemilihan Umum dan Keputusan Komisi Pemilihan Umum.
Apabila suatu norma hukum atau peraturan yang lebih rendah
tingkatannya dipandang bertentangan dengan suatu norma atau peratutan
yang lebih tinggi, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
dapat dilakukan uji materiil. Dalam konteks ini jika didalam Peraturan
Komisi Pemilihan Umum terdapat suatu pasal yang dipandang bertentangan
dengan Undang Undang Pemilu maka dapat dilakukan uji materiil yang
pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung sesuai dengan Pasal 9 Ayat
(2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Penggantian antar waktu merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh
Partai politik untuk menunjuk atau memilih pengganti dari anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dari partai politik pada daerah pemilihan yang sama hal
ini diatur pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPD, Dan DPRD, berdasarkan Undang-Undang tersebut menurut pasal 239
menjelaskan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhenti antar waktu
disebabkan dengan alasan berikut: meninggal dunia, mengundurkan diri, dan
diberhentikan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
menjelaskan bahwa Negara Republik Indonesia merupakan Negara yang
berdasarkan hukum, oleh sebab itu segala aspek ketatanegaraan harus
berdasarkan hukum atau peraturan Perundang-undangan. Dalam hal ini
Megawati Soekarno Putri yang merupakan Ketua Umum Dewan Pimpinan
Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPP PDIP) dan Hasto
Kritiyanto, Sekretaris Jendral Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan, yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh
Pasal 54 ayat (5) huruf K dan I juncto Pasal 55 ayat (3) Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Republik Indonesia nomor 3 tahun 2019 tentang
pemungutan dan perhitungan suara dalam Pemilihan Umum dan Pasal 92
huruf A Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2019 tentang Rekapitulasi hasil Penghitungan Perolehan Suara dan
3

Penetapan hasil Pemilihan Umum. Karena dalam pasal-pasal tersebut tidak


sejalan dan bertentangan dengan Pasal 422, Pasal 243 ayat (1), Pasal 241
ayat (1), dan Pasal 172 Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum.
Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
melakukan judicial review agar dapat mengajukan pergantian antar waktu,
karena calon terpilih di daerah pemilihan sumatera selatan 1 yakni
Nazaruddin Kiemas meninggal dunia. Menurut Pasal-pasal PKPU yang
disebutkan diatas maka suara calon terpilih yang meninggal dunia dinyatakan
gugur dan tidak sah untuk Partai Politik. Maka dilakukan judicial review oleh
Mahkamah Agung, dan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Agung Nomor
57 P/HUM/2019. pada Putusannya Mahkamah Agung mengabulkan sebagian
dari Tuntutan Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan, maka setelah adanya putusan Mahkamah Agung Nomor 57
P/HUM/2019 suara calon terpilih yang meninggal dunia tetap diperhitungkan
sebagai suara sah Partai Politik dan dapat melakukan penggantian antar
waktu.
Putusan Mahkamah Agung nomor 57/P/HUM/2019 singkatnya
mengabulkan semua pasal yang diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam judicial review dan menolak
permohonan agar Mahkamah Agung menginstruksikan Komisi Pemilihan
Umum agar memilih calon legislatif pengganti berdasarkan yang diajukan
oleh partai politik. Putusan Mahkamah Agung tersebut dinilai saling bertolak
belakang, disatu sisi semua pasal yang diajukan dikabulkan, dan menolak
permohonan agar menginstruksikan Komisi Pemilihan Umum. Karena yang
menjadi batu uji dalam judicial review ini beberapa adalah Pasal 241 ayat (1)
dan Pasal 172 Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum, secara singkat isi pasal tersebut menyatakan Partai Politik menyeleksi
bakal calon anggota legislatif itu sendiri dan peserta pemilu adalah partai
politik bukan perorangan. Maka seharusnya Mahkamah agung mengabulkan
permohonan agar menginstruksikan Komisi Pemilihan Umum untuk memilih
4

pengganti calon anggota legislatif terpilih berdasarkan usulan Partai Politik.


Karena didalam Pasal Peraturan Komisi Pemilihan Umum yang dikabulkan,
isi dari Pasal tersebut mengarah memang partai politik peserta pemilihan
umum bukan perseorangan dan yang berhak menentukan arah suara dari
Calon Anggota Legislatif terpilih yang meninggal adalah partai politik. Hal
tersebut menurut penulis bertujuan agar tidak terjadi multi tafsir bagi
Pemohon maupun Termohon.
Implementasi dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 57
P/HUM/2019 Komisi Pemilihan Umum memperhitungkan suara calon
anggota legislatif terpilih meninggal dunia yakni Nazaruddin Kiemas sebagai
suara sah partai politik. Komisi Pemilihan Umum memilih Rizky Aprillia
sebagai Pengganti Antar Waktu Nazaruddin Kiemas mengindahkan usulan
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang memilih Harun Masiku. Akibat
terdapat dualisme dan kerancuan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 57
P/HUM/2019 kedua pihak saling merasa benar dengan pendapatnya.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, hal tersebut sangat menarik
untuk dilakukan penelitian dengan judul Implikasi Putusan Mahkamah
Agung Terhadap Pergantian Antar Waktu Calon Legislatif Terpilih
Meninggal Dunia (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 57
P/HUM/2019).

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang disampaikan diatas, terdapat
beberapa persoalan yang berkaitan dengan putusan Mahkamah agung
Nomor 57 P/HUM/2019. Dari latar belakang tersebut terdapat berbagai
masalah yang muncul yaitu:
a. Konsep kekuatan hukum didalam Peraturan Komisi Pemilihan
Umum nomor 3 Tahun 2019 tentang pemungutan dan perhitungan
suara dalam Pemilihan Umum dan Peraturan Komisi Pemilihan
5

Umum Nomor 4 tahun 2019 tentang Rekapitulasi hasil Penghitungan


Perolehan Suara dan Penetapan hasil Pemilihan Umum.
b. Landasan hukum penggantian antar waktu calon anggota legislatif
terpilih yang meninggal dunia dalam peraturan Perundang-undangan.
c. Pandangan kedaulatan rakyat terhadap pergantian antar waktu calon
anggota legislatif terpilih yang meninggal dunia.
d. Implikasi hasil putusan Mahkamah Agung nomor 57 P/HUM/2019
yang dinilai saling tumpang tindih.

2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan paparan identifikasi masalah di atas, maka penelitian
ini hanya dibatasi pada implikasi hasil putusan Mahkamah Agung Nomor
57 P/HUM/2019 yang dinilai saling tumpang tindih. Karena tentunya
Mahkamah Agung memiliki pertimbangan dan faktor-faktor yang
mempengaruhi dalam menghasilkan putusan.

3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka peneliti merumuskan masalah yaitu: Implikasi
putusan Mahkamah Agung terhadap penggantian antar waktu calon
terpilih karena meninggal dunia. Perumusan masalah dipertegas dalam
bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Agung
Nomor 57 P/HUM/2019 tentang Penggantian antar waktu calon
legislatif terpilih karena meninggal dunia?
b. Bagaimana implikasi bagi pemohon dan termohon terhadap Putusan
Mahkamah Agung nomor 57 P/HUM/2019 dalam hal pergantian
antar waktu calon anggota legislatif terpilih yang meninggal dunia ?

C. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
6

Tujuan Penelitian Merupakan jawaban atau sasaran yang ingin


dicapai peneliti dalam suatu penelitian. Oleh sebab itu, tujuan penelitian
ini adalah:
a. Untuk menjelaskan dan menganalisis pertimbangan hakim dalam
putusan Mahkamah Agung Nomor 57 P/HUM/2019 tentang
Penggantian antar waktu calon legislatif terpilih karena meninggal
dunia.
b. Untuk menjelaskan dan menganalisis implikasi bagi pemohon dan
termohon terhadap Putusan Mahkamah Agung nomor 57
P/HUM/2019 dalam hal pergantian antar waktu calon anggota
legislatif terpilih yang meninggal dunia.

2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Teoritis: penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan
informasi dan kontribusi bagi kalangan intelektual, pelajar,
praktisi, akademisi, institusi, dan masyarakat umum yang ingin
mengetahui lebih lanjut tentang pergantian antar waktu calon
anggota legislatif terpilih yang meninggal dunia.
b. Praktis: penulisan skripsi ini diharapkan mampu menjadi
pertimbangan bagi para praktisi hukum untuk menjawab
persoalan terkait pergantian antar waktu calon anggota legislatif
terpilih yang meninggal dunia.

D. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Pada penelitian ini, metode yang digunakan peneliti dalam
penelitian ini adalah penelitian normatif. Tipe penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis normatif.
Penelitian yuridis normatif yang dilakukan dengan mengacu pada norma
7

hukum yang terdapat pada peraturan Perundang-undangan dan putusan


pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga
yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat. 2
2. Pendekatan Penelitian
Mengingat pada penelitian ini menggunakan tipe penelitian
normatif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, maka
pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan Perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach). Pendekatan Perundang-undangan ini
digunakan untuk menelaah aturan-aturan yang berkaitan dengan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 57 P/HUM/2019 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
3. Sumber Bahan Hukum
Sumber pada penelitian ini antara lain mencakup bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, bahan non hukum/tersier.
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritati
artinya yang mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer
meliputi Perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalampembuatan Perundang-undangan, dan putusan-putusan
hakim.3Dalam penelitian ini yang termasuk dalam bahan hukum
primer adalah:
1) Undang-Undang Dasar 1945
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor: III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan
3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.
2
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam
Penelitian Hukum. (Jakarta: Pusat Dokumen Universitas Indonesia, 1979), h. 18.
3
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana, 2010), h. 35.
8

5) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas


Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.
6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung.
8) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
9) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,DPR,DPR,
dan DPRD
10) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
11) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019
Tentang pemungutan dan perhitungan suara dalam Pemilihan
Umum.
12) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2019 tentang
Rekapitulasi hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan
hasil Pemilihan Umum.
b. Bahan hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas norma hukum.
c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non-hukum
dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Sosiologi, Filsafat atau
laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang mempunyai
relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-hukum tersebut
dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti.
4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penelitian ini,
maka penulis menggunakan prosedur pengumpulan bahan hukum dengan
cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan
9

menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar,


peraturan perundang- undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan
dengan materi yang dibahasdalam skripsi ini.
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi
kepustakaan, aturan Perundang-undangan, dan artikel dimaksudkan
untuk peneliti uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga
disajikan dalam penulisan lebih sistematis guna menjawab permasalahan
yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan
secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang
bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
Selanjutnya bahan hukum yang ada dianalisis untuk melihat
pokok-pokok penting dalam uji materiil terutama dalam hal pentingnya
penerapan aturan agar tidak tumpang tindih serta batasan-batasan
lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif sehingga dapat membantu
sebagai dasar acuan dan pertimbangan hukum yang berguna dalam
menangani masalah permasalahan penerapan hukum.

E. Sistematika Pembahasan
Skripsi ini disusun sesuai dengan “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2017”. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan
dan materi yang diteliti.
Pertama, menguraikan mengenai alasan dalam pemilihan judul atau
latar belakang. Selain itu, diuraikan juga mengenai Pembatasan Masalah dan
Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metode Penelitian dan
rancangan Penelitian.
Kedua, membahas uraian materi hasil penelitian kepustakaan yang
meliputi: kerangka konseptual, tinjauan review terdahulu, kerangka teoritis
dan dan teori teori yang berhubungan dengan pergantian antar waktu calon
10

anggota legislatif terpilih yang meninggal dunia, ini merupakan landasan


untuk menganalisis putusan Mahkamah Agung nomor 57 P/HUM/2019.
Ketiga, mendeskribsikan sumber bahan hukum yang berkaitan dengan
putusan Mahkamah Agung nomor 57 P/HUM/2019, dan pergantian antar
waktu calon anggota legislatif terpilih yang meninggal dunia.
Keempat, berisi analisis mengenai petimbangan hakim, putusan dan
Implikasi Putusan Mahkamah Agung Terhadap Pergantian antar waktu calon
anggota legislatif terpilih yang meninggal dunia (Analisis Putusan
Mahkamah Agung nomor 57 P/HUM/2019).
Kelima, sebagai akhir penulisan menguraikan mengenai kesimpulan
dari penelitian yang merupakan jawaban dari pertanyaan rumusan masalah
yang diuraikan.
BAB II
PEMILIHAN UMU DAN KEDAULATAN RAKYAT

A. Kerangka konseptual
1. Implikasi
Implikasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
keterlibatan atau keterkaitan.1 Dalam hal ini keterlibatan atau
keterkaitan dengan adanya suatu penemuan. Implikasi adalah suatu
akibat yang terjadi dikarenakan terdapat suatu penemuan atau suatu hal
lainya.2 Dalam hal penelitian ini implikasi merupakan akibat yang
ditimbulkan dengan adanya suatu Putusan Mahkamah Agung bagi
Pemohon maupun termohon.

2. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung Republik Indonesia merupakan lembaga
tinggi Negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan
salah satu pemegang kekuasaan kehakiman dan bebas dari pengaruh
cabang-cabang kekuasaan lainnya. Salah satu kewenangan Mahkamah
Agung adalah melakukan judicial review atau Uji materiil terhadap
peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang. Suatu
peraturan Perundang-undangan dianggap bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi maka untuk memastikan keabsahannya
dapat dilakukan pengujian oleh lembaga yudikatif.3 Dalam penelitian
ini Mahkamah Agung menguji beberapa pasal yang terdapat didalam
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 dan 4 Tahun 2019
terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum.

1
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Departemen Pendidikan Nasional, h.
529.
2
https://www.pengertianmenurutparaahli.com/pengertian-implikasi/, diakses pada 18
Agustus 2020.
3
Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan, jenis, fungsi, dan materi muatan, (Yogyakarta:
kanisius, 2007), h. 41.

11
12

3. Pemilihan Umum Legislatif


Perwujudan dari dijalankannya demokrasi ialah melalui
pemilihan umum, yakni upaya yang dilakukan untuk memilih
pemimpin atau wakil rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan.
Dalam konteks pemilu, mekanisme pemilihan umum dikatakan
demokratis apabila memenuhi beberapa unsur berikut:
a. Pemilihan umum.
b. Rotasi kekuasaan.
c. Rekrutmen secara terbuka.
d. Akuntabilitas publik.4
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum bahwa pemilihan legislatif adalah pemilihan yang
dilaksanakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
secara langsung, umum, bebas, rahasia dan adil. Bekaitan dengan
penelitian ini pemilihan umum legislatif yang dilaksanakan pada tahun
2019 merupakan suatu perwujudan kedaulatan rakyat, yang mana
dalam hal ini masyarakat secara langsung berpartisipasi menyuarakan
pilihannya secara langsung. Pemiliham Umum Legislatif ini
diselenggarakan oleh lembaga negara yaitu Komisi Pemilihan Umum.

4. Calon Legislatif terpilih


Calon legislatif terpilih yakni calon anggota legislatif yang terpilih
berdasarkan perolehan surat suara terbanyak pada daerah pemilihannya
dan berdasarkan keputusan Komisi Pemilihan Umum. Berkaitan
dengan penelitian, calon legislatif terpilih, yakni calon terpilih dari
daerah pemilihan Sumatera Selatan 1 melalui Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan.

4
Joko J Prihatmoko, pemilihan kepala daerah langsung: filosofi dan problema dalam
penerapan di Indonesia (Semarang: Pustaka Pelajar, 2007), h. 34.
13

5. Penggantian Antar Waktu


Penggantian antar waktu diartikan sebagai proses penarikan
kembali anggota lembaga perwakilan rakyat untuk diberhentikan dan
digantikan dengan anggota lainnya sebelum berakhir masa
jabatannya.5 Pergantian antar waktu merupakan proses yang dapat
dilakukan oleh partai politik.
Menurut peneliti, Penggantian antar waktu ialah suatu upaya yang
dilakukan oleh partai politik untuk mengganti anggota lembaga
perwakilan rakyat dengan alasan tertentu yang mana untuk tetap
menjaga kepentingan partai juga demi memperjuangkan suara-suara
rakyat agar tetap berada pada hal yang diperjuangkan.
Penggantian Antar Waktu yang dimaksud dalam penelitian ini
ialah upaya pergantian yang dilakukan oleh Partai Politik dikarenakan
calon anggota legislatif terpilih dalam pemilihan legislatif meninggal
dunia pada saat belum dilantik. Partai politik pengusung melakukan
upaya pergantian antar waktu dimaksudkan agar suara-suara pemilih
tetap mendapatkan haknya, dan agar tetap terlaksananya program-
program yang sudah direncanakan oleh calon anggota legislatif terpilih
yang meninggal dunia tersebut.

B. Kerangka Teori
1. Teori Kepastian Hukum
Hukum dibuat atau dibentuk bertujuan untuk memenuhi rasa
keadilan, kepastian, dan ketertiban. Menurut Hans Kelsen, hukum
adalah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan
pada aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan
beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Undang-Undang
yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi semacam acuan

5
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 318.
14

serta batasan berprilaku dalam bermasyarakat. Adanya aturan dan


dilaksanakannya aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.6
Kepastian hukum berangkat dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang
didasarkan pada aliran pemikiran Positivisme di dunia hukum yang
cenderung melihat hukum sebagai sesuatu otonom yang mandiri.
tujuan hukum tidak lain sekedar menjamin terwujudnya keadilan oleh
hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum
membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan
keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.7
Keharusan akan adanya Peraturan didalam ruang lingkup
masyarakat merupakan salah satu pokok untuk terciptanya suatu
kepastian hukum.8 Dengan adanya peraturan tersebut diharapkan
terciptanya kehidupan bermasyarakat yang ideal.
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian,
Pertama, Adanya aturan yang bersifat umum membuat Individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan
Kedua, Berupa keamanan hukum bagi Individu dari kesewenangan
Pemerintah karena dengan adanya turan yang bersifat umum itu
Individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh Negara terhadap Individu. 9 Dari pendapat tersebut jelas
bahwa dengan adanya suatu Peraturan didalam masyarakat maka ada
batasan-batasan berprilaku dan dengan peraturan tersebut pula
dijaminnya keamanan individu dari kesewenangan pemerintah, ini
yang disebut kepastian hukum.
Pelaksanaan daripada aturan-aturan hukum demi terciptanya suatu
kepastian hukum, Komisi Pemilihan Umum berdasarkan putusan
Mahkamah Agung Nomor 57 P/HUM/2019 menetapkan hasil
rekapitulasi suara Calon Anggota Legislatif yang meninggal dunia

6
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum.,(Jakarta: Kencana, 2009), h. 47.
7
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 1999), h. 23.
8
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), h. 16.
9
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h. 24.
15

sebagai suara sah partai politik, dan berhak melakukan Pergantian


Antar Waktu.

2. Teori Hierarki Peraturan Perundang-undangan


Teori Hierarki merupakan teori yang menyatakan bahwa sistem
hukum disusun secara berjenjang dan bertingkat-tingkat seperti anak
tangga. Hubungan antara norma yang yang mengatur perbuatan norma
lain dan norma lain tersebut disebut sebagai hubungan super dan
subordinasi dalam konteks spasial.10
Teori Hans Kelsen, Stufenbautheorie menyatakan bahwa norma-
norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
hierarki tata susunan. Dimana norma yang lebih rendah bersumber atau
berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi
bersumber kepada norma yang lebih tinggi lagi dan seterusnya sampai
kepada Norma Dasar (grundnorm).11 Norma Dasar yang merupakan
norma tertinggi dalam sistem norma tersebut, tidak bersumber atau
dibentuk berdasarkan norma yang lebih tinggi lagi. Norma Dasar
merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada dibawahnya
sehingga norma dasar tersebut dikatakan pre-supposed (diandaikan).12
Hans Nawiasky telah mengelompokkan norma-norma hukum
dalam suatu negara itu sebagai berikut:
a. Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara).
b. Staatsgrundgesetz (Norma Pokok Negara).
c. Formell Gesetz (Undang-Undang formal).
d. Verordnung dan Automone satzung (Aturan pelaksana dan
aturan otonom).

10
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 110.
11
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan ( Jakarta : Kanisius, 1998). h.
25.
12
Retno Saraswati, Problematika Hukum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jurnal Yustitia Vol.2 No.3 (September-Desember,
2013), h. 98.
16

Kedua Teori di atas diadopsi dalam sistem hukum yang ada di


Negara Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.13 Contoh urutan Peraturan Perundang-undangan terdapat
didalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3) Undang-Undang/Peraturan Pengganti Undang-Undang
4) Peraturan Pemerintah
5) Peraturan Presiden
6) Peraturan Daerah Provinsi
7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 tahun 2019 tentang
Pemungutan dan Perhitungan Suara dalam Pemilihan Umum dan
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2019 tentang
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan
Hasul Pemilihan Umum merupakan peraturan yang berdasar pada
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemelihan Umum
yang tentunya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang
tersebut. Oleh karena itu dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 57
P/HUM/2019 majelis hakim memutuskan mengabulkan semua pasal
yang diuji dalam sidang uji materiil karena dianggap bertentangan
dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum tersebut. Disebutkan dalam pasal-pasal Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 3 dan 4 Tahun 2019 yang di uji di
Mahkamah Agung singkatnya menganulir suara-suara yang menjadi
hak calon anggota legislatif terpilih yang meninggal dunia, hal ini

13
Muhammad Yusrizal Adi syahputra, Kajian Yuridis Terhadap Penegasan Hierarki
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dalam perspektif stufen theorie, Jurnal Mercatoria
Vol. 9 No. 2 (Desember, 2016), h. 96.
17

bertentangan dengan pasal-pasal yang menjadi batu uji di dalam


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

3. Teori Hak
Teori hak dalam penelitian ini yakni teori yang menganggap hak
sebagai kehendak yang diperlengkapi dengan kekuatan atau disebut
dengan wilsmacht theorie oleh Bernhard windscheid.14 Menurut teori
tersebut hak ialah suatu kehendak yang berdasarkan kekuatan yang
diberikan oleh suatu norma hukum kepada yang bersangkutan. Pihak
yang bersangkutan disini ialah subyek hukum, sehingga subyek hukum
disebut sebagi pendukung hak dan kewajiban. Oleh karena itu hak
yang diberikan kepada subyek hukum tidak dapat dirampas kecuali
suatu norma hukum itu sendiri yang menghendaki hilangnya hak yang
dimiliki oleh subyek hukum tersebut.
Hak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang benar, kekuasaan,
kewenangan untuk berbuat sesuatu, atau juga kekuasaan untuk tidak
berbuat sesuatu dan lain sebagainya.15 Maka dalam hal ini Hak itu
merupakan sesuatu yang melekat untuk melakukan suatu ataupun
melakukan kebijakan terkait hal-hal yang memang menjadi miliknya
atau kewenangannya. Seperti yang diketahui hak selalu beriiringan
dengan kewajiban. Kewajiban dalam hal ini merupakan suatu
keharusan peranan terhadap sesuatu yang disyaratkan oleh hukum atau
Undang-Undang.
Hak pada penelitian ini yang menjadi subyek hukum adalah Partai
Politik, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang merasa hak
untuk memilih calon pengganti berdasarkan pilihan Partai untuk calon
anggota legislatif yang meninggal dunia hilang. Ini dikarenakan
terdapat dualisme atau kerancuan didalam putusan Mahkamah Agung
Nomor 57 P/HUM/2019.
14
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h. 275.
15
Titik Triwulan Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 281.
18

4. Teori Demokrasi
Secara etimologis demokrasi berasal dari dua kata demos artinya
rakyat dan cratos/cratein berarti pemerintahan. arti demokrasi ialah
pemerintahan yang dilakukan oleh rakyat. 16 Oleh sebab itu pemaknaan
yang dimaksud ialah suatu pemerintahan haruslah mendapat
pengakuan dari rakyat yang salah satunya dilakukannya mekanisme
Pemilihan Umum. Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat
yang menggunakan, sebab dengan demokrasi hak rakyat untuk
menentukan jalannya pemerintahan dapat dijamin.17
Demokrasi merupakan suatu sistem dalam bernegara dimana
rakyat mempunyai kendali terhadap pemerintahan. Demokrasi
diartikan sebagai suatu pemerintahan dimana rakyat ikut serta
memerintah, baik secara langsung yang terdapat didalam masyarkat-
masyarakat sederhana maupun tidak langsung karena rakyat
diwakilkan yang terdapat didalam masyarakat modern.18 Dengan kata
lain demokrasi merupakan pemerintahan yang dijalankan secara tidak
langsung oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di pemerintahan.
Demokrasi diwujudkan dengan suatu pemerintahan melalui
perwakilan rakyat, yang mana kekuasaan dan wewenangnnya tersebut
berasal dari rakyat dan tentu harus bertanggung jawab penuh kepada
rakyat. Oleh sebab itu demokrasi mensyaratkan adanya suatu
Pemeilihan Umum guna memilih wakil-wakil dari rakyat tersebut yang
penyelenggaraannya berkala.
Joseph A. Schemeter mengatakan demokrasi merupakan
perkumpulan dari berbagai individu yang merencanakan suatu hal
yang bersifat institusional dalam meraih kepurusan politik yang
menggunakan individu untuk mendapatkan kekuasaan dengan

16
Abu Thamrin Dan Nurhabibi Ihya, Hukum Tata Negara, (Ciputat : Lembaga Penelitian
UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 70.
17
Mahfud MD, Demokrasi Konstitusi Di Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1993), h. 95.
18
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
2010), h. 69.
19

perjuangan yang kompetitif atas suara rakyat.19 Maka dapat dikatakan


kekuasaan merupakan tujuan dari demokrasi itu sendiri.
Menurut Philippe C. Schamitterdan dan terry lyn karl, demokrasi
merupakan suatu sistem pemerintahan dimana Pemerintah dimintai
tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh
warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi
kerjasama dengan para wakil mereka yang terpilih.20 Dari pendapat
tersebut dapat dipahami bahwa demokrasi merupakan sistem yang
menekankan pada suara rakyat mayoritas tanpa mengesampingkan
suara minorotas. Tentu hal ini rakyat diwakilkan oleh wakil-wakil
rakyat yang terpilih.
Demokrasi sebagai dasar hidup dalam bermasyarakat dan
bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan
ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya. Termasuk
dalam menilai suatu kebijakan negara, karena kebijakan tersebut dapat
mempengaruhi kehidupan didalam rakyat itu sendiri. Maka dapat
dikatakan Negara yang menganut sistem Demokrasi adalah Negara
yang diselenggarakan atas kehendak-kehendak rakyatnya.21 Oleh
sebab itu Negara dapat dikatakan Demokratis apabila didalam
kebijakan ataupun peraturan-peraturan terdapat nafas rakyat
didalamnya.

5. Teori Kedaulatan Rakyat


Kedaulatan merupakan suatu unsur terpenting dalam terciptanya
suatu Negara Demokrasi. Istilah kedaulatan berasal dari kata
sovereignty, dalam bahasa inggris, kemudian souvereinate dalam
bahasa perancis, dan sovranus dalam bahasa italia. Ketiga bahasa

19
Titik Triwulan Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945,… h. 68.
20
Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, (Malang: Bayu Media Publishing, 2005), h. 78.
21
Titik Triwulan Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945,… h. 69.
20

tersebut diturunkan dari sebuah kata dalam bahasa latin yaitu


superanus yang artinya tertinggi. Para ahli abad pertengahan
menggunakan pengertian yang sama maknanya dengan kata superanus
tadi yaitu summaparetes yang artinya wewenang tertingi dari sebuah
kekuasaan. Banyak definisi untuk kata kedaulatan tetapi istilah ini
selalu diartikan sebagai Otoritas Pemerintahan dan Hukum. 22
Rakyat merupakan kekuasaan tertinggi dalam Negara Demokrasi
dan menjadi atribut bagi Negara sebagai organisasi masyarakat paling
besar.23 Dengan demikian kedaulatan rakyat merupakan kekuasaan
tertinggi dalam negara yang terletak ditangan rakyat. Hukum yang
berlaku berasal dari aspirasi rakyat, serta mengikat penyelenggara
negara karena dikehendaki dan sesuai dengan perikehidupan rakyat. J.J
Rousseau mencetuskan ide bahwa rakyat memiliki dua kehendak yakni
kehendak rakyat seluruhnya (volunte de tous) dan kehendak rakyat
sebagian (volunte generale).
Ide dasar mengenai teori kedaulatan rakyat cukup sederhana,
bahwa rakyatlah yang harus menjadi sumber kekuasaan tertinggi
dalam suatu negara demokrasi. Rakyat berkuasa secara independen
atas dirinya sendiri.24 Bung Hatta mengatakan kedaulatan rakyat
berarti pemerintahan rakyat. Pemerintahan yang dilaksanakan oleh
pemimpin-pemimpinnya yang telah dipercayakan oleh rakyat
sebelumnya.25 Ide kedaulatan rakyat lahir sebagai reaksi atas
kedaulatan raja yang mana melahirkan monopoli terkai kekuasaan,
yang menyebabkan tirani dan kesengsaraan terhadap rakyat. 26
Menurut J.J Rousseau kedaulatan rakyat ini menjadi suatu
kedaulatan yang mutlak. Teori kedaulatan rakyat adalah ajaran yang

22
Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010), h. 169.
23
Khairul Fahmi, Pemilihan Umum dan Kedaulatan rakyat, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011), h. 19.
24
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta : Bumi Aksara, 2006), h. 32.
25
Kholid O. Santoso, Mencari Demokrasi Gagasan dan Pemikiran, (Bandung : Sega Arsy,
2009), h. 61.
26
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi,… h. 33.
21

memberi kekuasaan tertinggi kepada rakyat, atau dapat disebut sebagai


pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. J.J Rousseau
memberi ajaran bahwa ada dua macam kehendak didalam kedaulatan
rakyat, yaitu:27
a. Kehendak seluruhnya dari rakyat yang dinamakan volunte de
tous
Yaitu hanya dipergunakan oleh rakyat sekali saja yakni
pada saat Negara hendak dibentuk melalui perjanjian masyarakat.
Maksud dari volunte de tous ini untuk memberi sandaran agar
mereka dapat berdiri sendiri dengan abadi karena seluruh rakyat
menyetujui. Keputusan ini merupakan kebulatan kehendak, dan
tidak dapat ditarik kembali.
b. Kehendak rakyat sebagian volunte generale
Kehendak tersebut berdasarkan suara terbanyak dalam hal
Ini dinyatakan sesudah Negara ada, dan berdasarkan suara
terbanyak. Dengan demikian kedaulatan rakyat bisa dikatakan
sebagai berdasarkan suara terbanyak.
Menurut Immanuel kant mengenai kedaulatan rakyat, tujuan
negara ialah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan
untuk warga negaranya dengan maksud bahwa kebebasan tersebut
berdasarkan dengan peraturan-peraturan yang mengaturnya, yang
mana peraturan-peraturan tersebut bersumber dari kehendak rakyat
tersebut.
Berkaitan dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor
57 P/HUM/2019 yang dianggap terdapat dualisme atau kerancuan
dalam putusannya. Jika dilihat dalam putusan tersebut majelis hakim
mengabulkan semua pasal yang diuji, yang secara tidak langsung
berarti suara calon anggota legislatif terpilih sah sebagai suara partai
politik dan dikembalikan kepada partai politik untuk memilih calon

27
Muh. Kusnardi dan Bintan R.Saragih, Ilmu Negara, Edisi Revisi, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 2000), h. 124.
22

terbaik untuk menggantikan calon anggota terpilih yang meninggal


tersebut. Disisi lain Mahkamah Agung menolak permohonan pemohon
agar menginstruksikan Komisi Pemilihan Umum untuk memilih Calon
pengganti berdasarkan pilihan Partai Politik. Ini menjadi suatu hal
yang bersebrangan, dan hal itu yang menjadikan dasar bagi Komisi
Pemilihan Umum untuk memilih calon pengganti berdasarkan
keputusan Komisi Pemilihan Umum.

C. Studi (Review) Kajian Terdahulu


1. Skripsi Rusdi Rizki Lubis, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta 2016 yang berjudul
“Rangkap Jabatan Sebagai Faktor Penggantian Antar Waktu
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia: Analisis
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD
& DPRD”.28 Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa rangkap
jabatan menjadi faktor penggantian antar waktu yang dilakukan oleh
anggota lembaga perwakilan rakyat, dan dijelaskan pula mekanisme
dan sebagainya. Rangkap jabatan merupakan larangan bagi anggota
lembaga perwakilan rakyat berdasarkan pasal 236 Undang-Undang
Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD & DPRD. Dan dalam
prakteknya Undang-Undang yang mengatur belum tegas secara formil
terkait waktu mengajukan dan mendaftarkan penggantian antar waktu
bagi anggota lembaga perwakilan rakyat yang melakukan rangkap
jabatan dikarenakan dianggap dapat mengganggu kinerja dari anggota
lembaga perwakilan rakyat tersebut. Dalam penelitian tersebut yang
menjadi persamaan dengan penelitian penulis adalah pada bahasan
mengenai anggota lembaga perwakilan rakyat yang melakukan
penggantian antar waktu. Perbedaan dengan penelitian ini, yang
menjadi faktor terjadinya penggantian antar waktu adalah anggota
28
Rizki Rusdi Lubis, Rangkap Jabatan Sebagai Faktor Penggantian Antar Waktu Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Analisis Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD & DPRD), (UIN Jakarta, 2016). h. 1.
23

lembaga perwakilan rakyat yang melakukan rangkap jabatan


mengajukan atau mendaftarkan pergantian antar waktu dikarenakan
rangkap jabatan, dan dilakukan pada saat sudah dilantik atau pada
masa jabatan mereka, bukan dikarenakan meninggal dunia dan pada
saat belum dilantik.
2. Skripsi Novita Akria Putri, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta 2015 yang berjudul
“Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Dengan
Penambahan Norma Penetapan Tersangka Sebagai Obyek
Praperadilan: Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian Pasal 77 huruf a Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana”.29
Dalam penelitian tersebut Novita Akria Putri menyimpulkan bahwa
kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian
Undang-Undang terhadap UUD 1945 dan implikasinya terhadap
putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan suatu pasal dalam
suatu Undang-Undang yang diujikan. Dalam penelitiannya dijelaskan
pada pokok permasalahan yakni bahwa pada putusan Mahkamah
Konstitusi tidak hanya membatalkan suatu norma atau pasal,
melainkan pula menambahkan suatu norma. Dijelaskan pula Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang pengujian
pada Pasal 77 huruf a UU No.8 tahun 1981 adalah salah satu cerminan
bahwa putusan Mahkamah, adalah putusan yang memasuki ranah
legislatif dengan menambahkan norma penetapan tersangka sebagai
salah satu objek praperadilan. Persamaan pada penelitian penulis yakni
terkait dari pada implikasi suatu putusan yang dikeluarkan oleh
Lembaga Yudikatif.

29
Novita Akria Putri, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Dengan Penambahan
Norma Penetapan Tersangka Sebagai Obyek Praperadilan (Studi Kasus Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana), (UIN Jakarta, 2015). h. 1.
24

3. Buku berjudul “Penataan Demokrasi & Pemilu Di Indonesia Pasca


Reformasi”.30 Yang ditulis oleh Prof. DR. Ni’matul Huda, S.H.,
M.HUM. Buku ini membahas perjalanan demokrasi dan pemilu yang
telah dilaksanakan di Indonesia sejak reformasi dan membahas ide,
gagasan ataupun kritik terhadap persoalan seputar demokrasi, pemilu,
kelembagaan penyelenggara pemilu pasca reformasi. Didalam buku
tersebut terdapat pembahasan mengenai penggantian antar waktu yang
dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat. Pembahasan tersebut
menjadi satu poin yang sama dalam penelitian penulis. Namun yang
menjadi pembeda dalam penelitian penulis adalah, dalam buku
tersebut membahas keresahan dan kritik prof. Ni’matul Huda terkait
dengan peraturan yang mengatur penggantian antar waktu yang
dianggap kurang tegas serta polemik-polemik dan sebagainya. Pada
Penelitian Peneliti, pembahasan mengenai penggantian antar waktu
calon anggota legislatif yang meninggal dunia, atau dalam hal ini
penyebab terjadinya penggantian antar waktu.

30
Ni’matul Huda, Penataan Demokrasi & Pemilu Di Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta :
Kencana, 2017). h. 1.
25
BAB III
PERAN DAN WEWENANG MAHKAMAH AGUNG, KOMISI
PEMILIHAN UMUM DAN PARTAI POLITIK DAN MEKANISME
PENGGANTIAN ANTAR WAKTU

Mahkamah Agung sebagai cabang kekuasaan yudikatif berperan


menjalankan peradilan terkait perkara-perkara tertentu. Berdasarkan pasal 24 ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan
“kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan
peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah mahkamah konstitusi”. Berdasarkan pasal tersebut menjadikan
Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain
mahkamah konstitusi. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan agar menegakkan hukum dan keadilan.
Indonesia merupakan Negara demokrasi yang telah menetapkan sistem
pemilihan umum yang dalam hal ini diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan
Umum sebagai wujud demokrasi itu sendiri. Ketentuan dasar mengenai hal
tersebut dijelaskan didalam Pasal 22E ayat (1) sampai dengan ayat (5) Undang-
Undang Dasar 1945 yang menjelaskan secara umum mengenai ketentuan-
ketentuan didalam Pemilihan Umum. Pemilihan Umum harus dijalankan dengan
langsung, umum, bebas, rahasia, adil dan jujur dilaksanakan lima tahun sekali,
diselenggarakan untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, dewan
perwakilan daerah, predisen dan wakil presiden dan dewan perwakilan rakyat
daerah, peserta pemilihan untuk dewan perwakilan rakyat dan dewan perwakilan
rakyat daerah merupakan Partai Politik, sedangkan untuk dewan perwakilan
daerah adalah perorangan, kemudian pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu
komisi pemilihan umum. peraturan lebih lanjut diatur didalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Partai Politik dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Partai politik merupakan kendaraan untuk

25
26

mewakilkan suara-suara rakyat yang memilihnya didalam pemilihan umum.


Anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi legislasi hal tersebut
diatur didalam Pasal 19, 20, 20A, 21, 22, 22A Dan 22B. Berdasarkan hal tersebut
maka Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang berangkat dari Partai Politik tentu
memiliki nilai-nilai yang telah ditetapkan didalam Partai Politik tersebut.

A. Peran dan Wewenang Mahkamah Agung


Mahkamah Agung memiliki beberapa fungsi atau yang menjadi
kewenangannya. Terkait fungsi peradilan yang dijelaskan didalam pasal 2, pasal
28 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, kemudian di dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, kemudian didalam Pasal 31A, Pasal 32, Pasal 32A, Pasal 32B Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yakni mahkamah agung
sebagai pengadilan negara tertinggi yaitu pengadilan kasasi, peninjauan kembali,
memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir, semua sengketa
perihal perampasan kapal asing dan tentu hak uji materiil. Terkait fungsi mengatur
Mahkamah Agung dijelaskan didalam pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung, Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut
terkait penyelenggaraan peradilan untuk kelancarannya. Mahkamah Agung juga
berfungsi untuk memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan
hukum kepada lembaga tinggi negara lain hal ini dijelaskan didalam Pasal 35
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 37 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Hak uji Materiil merupakan suatu wewenang yang diberikan kepada
Mahkamah Agung untuk menilai apakah suatu Peraturan Perundang-undangan
27

isinya sesuai atau bertentangan dengan Peraturan yang lebih tinggi 1. Mahkamah
Agung memiliki Hak menguji suatu Peraturan Perundang-undangan dibawah
Undang-Undang, Dalam Prakteknya dikenal dua macam Hak menguji, yaitu:2
1. Hak menguji Formal adalah wewenang untuk menilai suatu peraturan,
dalam proses pembuatannya melalui cara-cara sebagaimana telah diautur
oleh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Pengujian
formal terkait dengan masalah procedural dan berkenaan dengan legalitas
kompetensi Institusi yang membuatnya.
2. Hak menguji Materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan
menilai isi suatu Peraturan Perundang-undangan itu sesuai atau
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Pengujian material
berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu Peraturan
dengan Peraturan lain yang lebih tinggi.
Berdasarkan poin-poin diatas dapat disimpulkan bahwa konsekuensi dari
pengujian secara formal adalah keselururan peraturan menjadi tidak memiliki
kekuatan hukum tetap, sedankan dalam pengujian materiil hanya dalam beberapa
pasal yang di uji dalam hal ini apabila pengujian tersebut dikabulkan.
Mengenai Mahkamah Agung dalam melakukan Uji materiil harus bersifat
merdeka dan independent serta bebas dari pengaruh politik, hal tersebut harus
dilaksanakan sebagimana mestinya. Jika hal tersebut diterapkan maka Uji materil
yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai bagian dalam membangun
pemerintahan yang demokratis, dapat dijalankan sebagimana mestinya. 3
Tugas dan wewenang mahkamah agung yang berkaitan dengan penelitian
ini diatur di dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, secara rinci sebagai berikut:

1
Machmud Aziz, Pengujian Peraturan Perundang-undangan Dalam Sistem Perundang-
undangan Di Indonesia, Jurnal Mahkamah Konstitusi Vol. 7 No. 6, Edisi Desember 2010, hal.
127.
2
Kewenangan Hak Uji Materiil Pada Mahkamah Agung, jurnal hukum dan peradilan Vol.
2 No. 3, Edisi November 2013, hal. 347.
3
Zainal Arifin Hoessein, Judicial Review Di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian
Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta : Raja Grafindo, 2009), h. 239.
28

1. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang


Mahkamah Agung, Mahkamah agung bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus: a. permohonan kasasi; b. sengketa tentang
mengadili; c. permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji Peraturan
Perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-
Undang. ayat (2), Mahkamah Agung Menyatakan Tidak sah Peraturan
Perundang-undangan dibawah Undang-Undang atas alasan bertentangan
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan pembentukannya
tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. ayat (3), Putusan mengenai
tidak sahnya Peraturan Perundangan sebagai mana dimaksud ayat (2)
dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi
maupun berdasarkan pemohonan langsung pada Mahkamah Agung. ayat
(4), Peraturan Perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah
sebagaimana dimaksud ayat (3) tidak mempunyai kekutan hukum
mengikat. ayat (5), Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
dimuat dalam berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu
paling lambat 30 hari kerja sejak putusan diucapkan.
3. Pasal 37 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-
pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada
lembaga tinggi negara yang lain.
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkankan pancasila dan Undang-undang Dasar, agar terselenggaranya poin-
poin yang diuraikan didalam pasal-pasal diatas. Disamping hal itu, seperti
dijelaskan pada pasal 37 tersebut, Mahkamah Agung dapat memberikan nasihat-
nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada lembaga
negara.
Berkaitan dengan penelitian ini, Kewenangan Mahkamah Agung dalam
melakukan pengujian penjelasan Pasal 54 ayat (5) huruf k dan l juncto Pasal 55
ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
29

2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum, dan
Pasal 92 huruf a Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2019 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan
Penetapan Hasil Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Berdasarkan Pasal 31 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung berwenang menguji ataupun
menilai secara materiil peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-undang
tentang suatu peraturan yang ditinjau dari materinya, apakah peraturan tersebut
betentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Dengan demikian, berdasarkan uraian diatas, bahwa Mahkamah Agung
berwenang melakukakan pengujian penjelasan Pasal 54 ayat (5) huruf k dan l
juncto Pasal 55 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam
Pemilihan Umum, dan Pasal 92 huruf a Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rekapitulasi Hasil
Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum terhadap
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum.

B. Peran dan Wewenang Komisi Pemilihan Umum dalam Pemilihan Legislatif


Komisi Pemilihan Umum merupakan salah satu penyelenggara Pemilihan
Umum, dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum
memiliki tugas untuk mengkonsep Norma, membuat rancangan, program dan
mengkoordinasikan seluruh tahapan Pemilu bersama-sama. Pasal 22E ayat (5)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menentukan bahwa
“Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasiona l”. Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga negara yang
berperan sebagai penyelenggara pemilihan umum tentu memiliki peran dan
wewenang.
30

Komisi Pemilihan Umum harus menjalankan mekanisme pemilihan umum


yang menurut para ahli dikatakan demokratis apabila memenuhi beberapa unsur
pemilihan umum, rotasi kekuasaan, rekrutmen secara terbuka dan akuntabilitas
publik.4 Oleh sebab itu Komisi Pemilihan Umum dibenarkan dan berwenang
dalam membuat Peraturan terkait pelaksaan Pemilihan Umum guna terciptanya
unsur-unsur tersebut.
Komisi Pemilihan Umum sebagai salah satu lembaga penyelenggara
Pemilihan Umum yang dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang dasar 1945
sebagaimana disebut dalam pasal diatas. Komisi Pemilihan Umum dikategorikan
sebagai lembaga negara yang memiliki apa yang disebut constitutional
importance.5 Sebagai lembaga negara yang penting Komisi Pemilihan Umum
ditegaskan harus bersifat nasional, tetap dan mandiri (independent). Yang dalam
hal ini tentu menjadikan Komisi Pemilihan Umum sederajat dengan lembaga-
lembaga negara lainnya yang dibentuk oleh Undang-Undang.
Komisi Pemilihan Umum dapat dikatakan sebagai institusi demokrasi
yang harus menjaga dan memastikan prosedur yang terpola dan pasti (predictable
procedures) dalam melaksanakan pemilihan umum sehingga hasilnya tidak dapat
diketahui ( unpredictable results).6 Oleh sebab itu Komisi Pemilihan Umum dalam
melaksanakan penyelengaraan Pemilihan Umum harus bersifat mandiri, rahasia
disetiap proses pemilihan umum. hal ini bertujuan agar hasil dari pemilihan umum
itu sendiri tidak dapat diketahui hasilnya.
Komisi Pemilihan Umum dengan tujuan memenuhi unsur-unsur Pemilihan
Umum yang dikatakan demokratis, Komisi Pemilihan Umum berwenang
membuat suatu Peraturan mengenai setiap proses didalam Pemilihan Umum itu
sendiri. Komisi Pemilihan Umum membuat suatu peraturan dalam hal ini
Peraturan Komisi Pemilihan Umum sebagai sebuah Peraturan Perundang-
undangan yang jelas kedudukannya didalam hierarki Peraturan Perundang-

4
Joko J Prihatmoko, pemilihan kepala daerah langsung: filosofi dan problema dalam
penerapan di Indonesia (Semarang: Pustaka Pelajar, 2007), h. 34.
5
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2005), h. 122.
6
Ramlan Surbakti, Demokrasi Menurut Pendekatan Kelembagaan Baru, Jurnal Ilmu
Pemerintahan, Edisi 19 Tahun 2003, h. 4.
31

undangan. Peraturan Komisi Pemilihan Umum memiliki kekuatan hukum


mengikat sehingga memiliki konsekuensi terhadap elemen-elemen yang terkait
didalam proses Pemilihan Umum iu sendiri.7
Komisi Pemilihan Umum dalam hal ini merupakan lembaga Negara
tingkat dua yang mana dibentuk berdasarkan Undang-undang yang sumber
kewenangannya berasal dari pembentuk Undang-Undang. Proses pembentukan,
pembubaran, atau pengubahan bentu dan kewenangannya melibatkan Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden.8
Peran dan wewenang komisi pemilihan umum dalam Pemilihan Umum
Legislatif diatur didalam Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum, secara rinci sebagai berikut:
1. Pasal 1 ayat (7), penyelenggara pemilu adalah lembaga yang
menyelenggarakan pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum,
Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
sebagai satu kesatuan penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden
dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah secara langsung oleh rakyat.
2. Pasal 7 ayat (3), dalam menyelenggarakan pemilu, KPU bebas dari
pengaruh pihak manapun berkaitan dengan tugas dan wewenangnya.
3. Pasal 12 huruf a, merencanakan program dan anggaran serta menetapkan
jadwal; huruf c, menyusun Peraturan KPU untuk setiap tahapan Pemilu;
huruf d, mengoordinasikan, menyelenggarakan, mengendalikan, dan
memantau semua tahapan pemilu; huruf h, mengumumkan calon anggota
DPR, calon anggota DPD, dan pasangan calon terpilih serta membuat
berita acaranya.

7
Suparman Marzuki, Peran Komisi Pemilihan Umum dan Pengawas Pemilu Yang
Demokratis, Ius Iustum law Journal Of Islamic University Of Indonesia, Vol. 15 No. 3 Juli 2008,
h. 399.
8
Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, (Yogyakarta : UII
press, 2007), h. 90.
32

4. Pasal 13 huruf b, menetapkan peraturan KPU untuk setiap tahapan


pemilu; huruf c, menetapkan peserta pemilu; huruf d, menetapkan dan
mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara tingkat nasional
berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara di KPU Provinsi untuk
Pemilu Presiden dan untuk pemilu anggota DPR serta hasil rekapitulasi
penghitungan suara di setiap KPU Provinsi untuk Pemilu anggota DPD
dengan membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat hasil
penghitungan suara; huruf e, menerbitkan keputusan KPU untuk
mengesahkan hasil pemilu dan mengumumkannya; huruf f, menetapkan
dan mengumumkan perolehan jumlah kursi anggota DPR, anggota
DPRD Provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota untuk setiap partai
politik peserta pemilu anggota DPR, anggota DPRD Provinsi, dan
anggota DPRD kabupaten/kota.
5. Pasal 14 huruf b, memperlakukan peserta pemilu secara adil dan setara;
huruf g, menyampaikan laporan periodic mengenai tahapan
penyelenggaraan Pemilu kepada Presiden dan DPR dengan tembusan
kepada Bawaslu; huruf h, membuat berita acara pada setiap rapat pleno
KPU yang ditandatangani oleh ketua dan anggota KPU; huruf k,
menyediakan data hasil pemilu secara nasional.
Berdasarkan uraian pasal-pasal diatas Komisi Pemilihan Umum memiliki
peranan yang sangat strategis dalam dalam Pemilihan Legislatif itu sendiri.
Komisi Pemilihan Umum yakni sebagai penyelenggara Pemilihan Umum
merupakan pihak yang mengatur jalannya pemilihan umum, mulai dari merancang
tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilihan umum, menetapkan peserta
pemilihan umum, menetapkan pemilih, melakukan pemungutan suara,
menghimpun rekapitilasi perolehan suara hingga menetapkan pemenang
pemilihan umum.9 Berhasil tidaknya Pemilihan Umum mewujudkan tujuan-tujuan
idealnya, sangat ditentukan oleh performa penyelenggara Pemilu yakni Komisi

9
Ni’matul Huda, Penataan Demokrasi & Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta:
Kencana, 2017), h. 52.
33

Pemilihan Umum, sehingga tidak salah menyebut Komisi Pemilihan Umum


sebagai Nahkoda yang memiliki peran sangat penting dan strategis.
Komisi Pemilihan Umum berkaitan dengan penelitian ini merupakan
lembaga penyelenggara pemilihan umum legislatif tahun 2019. Yang mana telah
dijelaskan diatas bahwa Komisi Pemilihan Umum dapat membuat suatu peraturan
tertentu untuk menjalankan proses dari pemilihan umum legislatif itu sendiri,
dalam hal ini komisi pemilihan umum membuat Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 3 tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara dalam Pemilihan
Umum dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 tentang Rekapitulasi
Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum yang
beberapa pasalnya diajukan sebagai bahan Hak uji materiil yang dilayangkan oleh
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan kepada Mahkamah Agung guna dapat
memilih Pengganti Antar Waktu bagi calon terpilihnya didalam Pemilihan Umum
Legislatif yang meninggal dunia.

C. Fungsi dan Hak Partai Politik Dalam Pemilihan Legislatif


Menurut Miriam Budiardjo, Partai Politik merupakan suatu kelompok
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-
cita dengan tujuan untuk memperoleh kekuasaan politikdan merebut kedudukan
politik untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan partai tersebut.10 Maka
dapat dikatakan secara umum bahwa Partai politik merupakan sekelompok
anggota masyarakat yang terorganisir secara teratur berdasarkan ideologi atau
program dimana ada keinginan para pimpinannya untuk merebut kekuasaan
negara. jadi secara teori dapat disebut organisasi politik.11 Oleh sebab itu Partai
Politik merupakan kendaraan menuju kekuasan didalam suatu negara demokrasi.
Partai Politik merupakan instrument yang tak terpisahkan dari Pemilihan
Umum legislatif, dapat dikatakan partai politik merupakan organisasi resmi
penyalur anggota lembaga legislatif. Partai Politik merupakan sarana yang
diperlukan untuk memperoleh kekuasaan dengan cara ikut serta dalam Pemilihan
10
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2010),
h. 11.
11
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2008), h. 155.
34

Umum sebagai Prasyarat yang diakui untuk memperoleh kekuasaan.12 Partai


politik dalam pemilihan legislatif berkedudukan sebagai peserta pemilihan umum
yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum. Dalam Undang-undang
nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diatur mengenai Partai Politik
sebagai Peserta Pemilihan Legislatif, yakni:
1. Pasal 1 ayat (27), peserta Pemilu adalah Partai Politik untuk Pemilu
anggota DPR, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/kota,
perseorangan untuk pemilu anggota DPD, dan pasangan calon yang
diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik untuk Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden.
2. Pasal 172, peserta Pemilihan Umum anggota DPR, DPRD Provinsi,
DPRD Kabupaten/kota adalah partai politik.
Fungsi Partai Politik yang berkaitan dengan Pemlihan Legislatif diatur
didalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, yakni
dalam pasal berikut:
1. Pasal 10 ayat (2) huruf a, meningkatkan partisipasi politik anggota dan
masyarakat dalam rangka penyelenggaraan politik dan pemerintahan.
2. Pasal 11 ayat (1) huruf c, penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi
politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan
negara.
3. Pasal 11 ayat (1) huruf e, rekrutmen politik dalam proses pengisian
jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan
kesetaraan dan keadilan gender.
Hak partai politik didalam penyelenggaraan Pemilihan Umum diatur
didalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik didalam
pasal-pasal berikut:
1. Pasal 12 huruf d, ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil

12
Fajrulrahman Jurdi, Pengantar Hukum Partai Politik, (Jakarta : Kencana, 2005), h. 3.
35

Kepala Daerah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang


berlaku.
2. Pasal 12 huruf g, mengusulkan penggantian anggotanya di dewan
perwakilan rakyat dan dewan perwakilan rakyat daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undang yang berlaku.
3. Pasal 12 huruf h, mengusulkan pemberhentian anggotanya di dewan
perwakilan rakyat dan dewan perwakilan rakyat daerah sesuai dengan
peraturan Perundang-undangan.
Dalam hal kedudukannya sebagai poin penting diselenggarakannya
Pemilihan Umum, peran Partai Politik dapat dikatakan sebagai wadah seleksi
kepemimpinan baik nasional maupun daerah. Sistem demokrasi modern memang
bertumpu pada sistem perwakilan yang terpresentasikan dalam partai politik.13
Dalam hal ini seorang calon anggota legislatif yang direkrut oleh partai politik
yang dalam hal ini sebagai peserta pemilihan umum untuk mencalonkan diri
sebagai anggota legislatif, setelah terpilih oleh rakyat, memiliki suatu hubungan
hukum dengan rakyat itu sendiri, kendati sejatinya calon tersebut mencalonkan
diri melalui partai politik. diharapkan partai politik mempunyai rasa tanggung
jawab yang tinggi kepada para pemilihnya, oleh karenanya harus menyesuaikan
dengan keinginan serta kebutuhan masyarakat. Bahkan harus rela berkorban demi
kepentingan pendukungnya.14
Partai Politik dalam hal ini Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
menuntut haknya untuk dapat memilih pengganti antar waktu terhadap calon
anggota legislatif terpilih meninggal dunia pada pelaksanaan pemilihan umum
legislatif. Dengan dikeluarkannya Putusan Nomor 57/P/HUM/2019 Partai
Demokrasi Indonesia Mendapati hak nya kembali terkait Penggantian Antar
Waktu. Persoalan yang timbul dengan adanya Putusan tersebut, Putusan tersebut
dimaknai berbeda oleh Komisi Pemilihan Umum dan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuanan. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Merekomendasikan seorang

13
Firman Subagyo, Menata Partai Politik Dalam Arus Demokratisasi Indonesia, (Jakarta :
Wahana Semesta Intermedia, 2009), h. 6.
14
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, … h. 21.
36

calon yang ditolak oleh Komisi Pemilihan Umum dikarenakan bertentangan


dengan Undang-Undang.

D. Mekanisme Penggantian Antar Waktu Anggota Legislatif


Hukum yang baik adalah hukum yang diterima oleh rakyat karena ia
mencerminkan kesadaran hukumnya. 15 Maka untuk melaksanakan hukum yang
dapat diterima oleh masyarakat diperlukan pejabat-pejabat atau penguasa yang
mengerti akan pentingnya keadilan, sehingga fungsi dari hukum itu sendiri dapat
terealisasi dengan baik.
Secara konstitusional hak recall atau Penggantian Antar Waktu diatur
dalam Pasal 22B Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa anggota
DPR dapat diberhentikan dari jabatannya, dengan syarat-syarat dan tata cara yang
diatur dalam UndangUndang. Landasan konstitusional ini termaktub dalam
amandemen kedua UUD 1945. Dari landasan ini dapat dirangkum bahwa recall
atau Penggantian Antar Waktu dapat diterapkan kepada anggota Dewan
Perwakilan Rakyat.
Recall atau Penggantian Antar Waktu dimaknai sebagai pelengseran atau
pemberhentian seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat melalui mekanisme
Penggantian Antar Waktu.16 DPR merupakan salah satu lembaga yang terafiliasi
kepada Partai Politik. Recall merupakan salah satu sikap yang sewaktu-waktu bisa
dilakukan oleh Partai Politik sebagai Hak yang dimilikinya bertujuan sebagai
bentuk kendali Partai Politik terhadap Anggotanya. 17
Menurut M. Hadi Subhan, recall merupakan penarikan kembali seorang
anggota DPR oleh partai politik yang mengusungnya sebelum masa jabatannya
habis.18 Menurut Moh. Mahfud MD recall dapat diartikan penarikan kembali

15
Moh. Kusnardi, Ilmu Negara, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000), h. 135.
16
Ni’matul Huda, Penataan Demokrasi Dan Pemilu Di Indonesia Pasca Reformasi, … h.
175.
17
Interpretasi kewenangan Recall Partai Politik Dalam Tatanan Pemerintahan Perspektif
Siyasah Syar’iyah, Jurnal Varia Hukum, Vol. 1 No. 1, Edisi Januari 2019, hal. 46.
18
M. Hadi Subhan, recall: Antara hak Partai Politik Dan Hak Berpolitik Anggota Partai
Politik, Jurnal Konstitusi III, No. 4 (Desember 2006), h. 31.
37

seseorang dari keanggotaannya di lembaga perwakilan rakyat. 19 Sesungguhnya


pemaknaa recall oleh para ahli ini memiliki makna yang kurang lebib sama, yakni
penarikan kembali atau penggantian keanggotaan yang diusulkan oleh partai
politik pengusung.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat daerah (UU MD3) mengatur ketentuan-ketentuan terkait
mekanisme Penggantian Antar Waktu didalam Pasal-pasalnya, yakni:
1. Pasal 239 ayat (1), anggota DPR berhenti antar waktu karena: a.
meninggal dunia; b. mengundurkan diri; c. diberhentikan.
2. Pasal 240 ayat (1), pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud
dalam pasal 239 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c,
huruf d, huruf g, dan huruf hdiusulkan oleh Pimpinan Partai Politik
kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.
3. Pasal 242 ayat (1), anggota DPR yang berhenti antar waktu sebagaimana
dimaksud dalam pasal 239 ayat (1) dan pasal 240 ayat (1) digantikan oleh
calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya
dalam daftar peringkat perolehan suara dari Partai Politik yang sama
pada daerah pemilihan yang sama.
4. Pasal 242 ayat (2), dalam hal calon anggota DPR yang memperoleh suara
terbanyak urutan berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai calon anggota DPR, anggota DPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPR yang memperoleh suara
terbanyak urutan berikutnya dari Partai Politik yang sama pada daerah
pemilihan yang sama.
5. Pasal 242 ayat (3), masa jabatan anggota DPR pengganti antar waktu
melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikannya.

19
Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Press, 2014), h. 167.
38

6. Pasal 243 ayat (1), Pimpinan DPR menyampaikan nama anggota DPR
yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti
antarwaktu kepada KPU.
7. Pasal 243 ayat (2), KPU menyampaikan nama calon pengganti
antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
242 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPR paling lama 5 (lima)
Hari sejak diterimanya surat pimpinan DPR.
8. Pasal 243 ayat (3), Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak menerima nama
calon pengganti antarwaktu dari KPU sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), pimpinan DPR menyampaikan nama anggota DPR yang
diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Presiden.
9. Pasal 243 ayat (4), Paling lama 14 (empat belas) Hari sejak menerima
nama anggota DPR yang diberhentikan dan nama calon pengganti
antarwaktu dari pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Presiden meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan
keputusan Presiden.
10. Pasal 243 ayat (5), Sebelum memangku jabatannya, anggota DPR
pengganti antar waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPR dengan
teks sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78.
11. Pasal 243 ayat (6), Penggantian antar waktu anggota DPR tidak
dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikan
kurang dari 6 (enam) bulan.
Ketentuan mengenai penggantian antar waktu juga diatur didalam
Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yakni:
1. Pasal 426 ayat (1) huruf a, Penggantian calon terpilih anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan apabila
calon terpilih: meninggal dunia.
2. Pasal 426 ayat (3), Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, d"rl
DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti oleh
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota. dengan calon dari daftar
39

calon tetap Partai Politik Pesertg Pemilu yang sama di daerah pemilihan
tersebut berdasarkan perolehan suara calon terbanyak berikutnya.
3. Pasal 426 ayat (5), KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota
menetapkan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota sebagai calon terpilih pengganti sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dengan kepuhrsan KPU, KPU Provinsi, atau KPU
Kabupaten/Kota paling lambat 14 (empat belas) hari setelah calon
terpilih berhalangan ssfagaimana dimaksud pada ayat (1).
Berdasarkan uraian pasal pasal diatas dapat dikatakan bahwa Partai Politik
memiliki peranan yang cukup besar berkaitan dengan penggantian antar waktu.
Partai politik dapat mengusulkan pemberhentian anggota DPR, bahkan terhadap
alasan tertentu sebagaimana disebutkan dalam pasal 240 ayat (1) diatas, pimpinan
Partai Politik satu-satunya pihak yang dapat mengusulkan pemberhentian
tersebut.20 Maka dapat dikatakan Penggantian Antar Waktu berdasarkan pasal-
pasal diatas dikonstruksikan sebagai hak Partai Politik.
Mekanisme penggantian antar waktu dalam penelitian ini berkaitan tentang Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan yang beranggapan bahwa penunjukan ataupun
pemilihan pengganti bagi calon legislatif terpilih meninggal dunia merupakan
sepenuhnya kewenangan partai politik, dengan dasar pertimbangan hakim di
dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019. komisi pemilihan
umum hanya berperan sebagai yang menetapkan pilihan dari partai demokrai
Indonesia perjuangan tersebut. Namun yang menjadi persoalan adalah pilihan dari
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tidak sesuai dengan apa yang menjadi
ketentuan didalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat daerah.

20
Ni’matul huda, Penataan Demokrasi & Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi, … h. 176.
BAB IV
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP
PENGGANTIAN ANTAR WAKTU CALON ANGGOTA LEGISLATIF
TERPILIH MENINGGAL DUNIA

A. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung


Mekanisme pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Agung
digerakkan oleh adanya permohonan dari pemohon yang memiliki legal standing
untuk memberikan kepentingannya yang dianggap dirugikan oleh berlakunya satu
Undang-Undang. Tentu permohonan hak uji materiil merupakan Hak warga
Negara yang merasa dirugikan oleh suatu Undang-Undang, dalam hal ini Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dan hal tersebut sejalan dengan teori Hierarki
Peraturan Perundang-undangan. Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam
putusannya selalu disertai dengan pertimbangan-pertimbangan yang dilatar
belakangi oleh suatu peraturan Perundang-undangan dan sebagainya.
Permohonan Pengujian Pasal 54 ayat (5) huruf k dan l juncto Pasal 55 ayat
(3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2019
tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum, dan Pasal
92 huruf a Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2019 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan
Penetapan Hasil Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, setelah Majelis Hakim
Mahkamah Agung memeriksa dengan seksama permohonan pemohon, keterangan
dari termohon, bukti-bukti dan Ahli yang diajukan oleh pemohon maupun
termohon serta kesimpulan tertulis pemohon dan termohon. Kemudian
berdasarkan dalil-dalil tersebut Permohonan Pemohon yang kemudian dibantah
oleh Termohon dihubungkan dengan bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak,
sebagaimana termuat didalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 57
P/HUM/2019. Mahkamah Agung sebelum mempertimbangkan pokok
permohonan, Majelis Hakim mempertimbangkan terlebih dahulu mengenai
permohonan a quo memenuhi persyaratan formal, yaitu mengenai kewenangan

40
41

Mahkamah Agung untuk menguji objek permohonan keberatan hak uji materiil
dan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan
keberatan hak uji materiil, yakni:
1. Kedudukan Hukum
Calon Anggota Legislatif dari daerah pemilihan Sumatera Selatan 1
dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yakni, Nazaruddin Kiemas,
meninggal dunia. Bersamaan dengan itu Nazaruddin Kiemas terpilih
berdasarkan pendapatan perolehan suara terbanyak pada Pemilihan Umum
Legislatif tahun 2019. Oleh sebab itu tentu dikarenakan pasal-pasal yang
diuji dalam hak uji materiil oleh Partai pengusung dikabulkan, maka Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan memperoleh Haknya untuk mengusung
pengganti dari Calon Anggota legislatif yang meninggal dunia tersebut
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
2. Pertimbangan Majelis Hakim Terkait Kewenangan Mahkamah Agung
Dalam pertimbangan tersebut, kewenangan Mahkamah Agung untuk
menguji permohonan keberatan hak uji materiil didasarkan pada ketentuan
Pasal 24A ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945, Pasal 31A Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 20
ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, serta Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, yang pada intinya
menentukan bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan
Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal tersebut didasari agar
terciptanya kepastian hukum.
Peraturan Perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah
peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum
dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
42

berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan Perundang-


undangan.
Jenis dan hierarki peraturan Perundang-undangan telah ditentukan
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang
terdiri atas UUD Negara RI Tahun 1945, Tap MPR, UU/Perpu, PP,
Perpres, Perda Provinsi, dan Perda Kabupaten/Kota. Objek permohonan
keberatan hak uji materiil berupa Peraturan Komisi Pemilihan Umum.
Hierarkinya berada di bawah Undang-Undang dan dibentuk untuk
melaksanakan peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi in casu
UU Pemilu, sehingga termasuk jenis peraturan Perundang-undangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juncto Pasal 1
angka 2 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2011. Dengan
demikian Mahkamah Agung berwenang untuk menguji objek keberatan
hak uji materiil a quo.1
3. Pertimbangan Majelis Hakim Terkait Kedudukan Pemohon
Pertimbangan Mahkamah Agung terkait hal ini, Pemohon adalah
Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai badan hukum publik yang
didirikan berdasarkan Akta Pendirian Nomor 04 tanggal 4 Mei 2015 yang
dibuat di hadapan H. Rakhmat Syamsul Rizal, S.H., M.H. Notaris di
Jakarta Barat yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia dalam Surat Keputusan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-05.AH.11.01
Tahun 2015, tanggal 7 Mei 2015. Dengan demikian, Pemohon telah
memenuhi ketentuan Pasal 31A ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 dan Pasal 1 angka 4 Peraturan Mahkamah Agung nomor 1
tahun 2011.
Dalam perkara a quo, Pemohon adalah Peserta Pemilihan Umum
Serentak Tahun 2019 Nomor Urut 3 (Bukti P-5). Pada saat

1
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 60.
43

penyelenggaraan Pemilu tersebut, di Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I,


terdapat salah satu Calon Anggota Legislatif yang dicalonkan oleh
Pemohon meninggal dunia dan memperoleh suara terbanyak, sedangkan
pengaturan dalam objek permohonan tidak memberikan kewenangan
kepada Partai Politik untuk menentukan kader terbaik sebagai Anggota
Legislatif yang akan menggantikan Calon Anggota Legislatif yang
meninggal dunia. Oleh karena itu, Pemohon merasa sangat dirugikan
akibat keberadaan Pasal 54 ayat (5) huruf k dan l juncto Pasal 55 ayat (3)
PKPU No. 3/2019 dan Pasal 92 huruf a PKPU No. 4/2019 karena
kehilangan hak untuk menentukan kader terbaik untuk ditetapkan menjadi
Anggota DPR RI Periode 2019-2024.
Pemohon merupakan peserta pemilu untuk pemilihan umum anggota
legislatif periode 2019-2024. Pemohon dirugikan dengan berlakunya objek
hak uji materiil, karena tidak dapat menentukan kader terbaik untuk
kemajuan partainya. Tidak dapatnya pimpinan partai menentukan kader
terbaik untuk kemajuan partainya, dipandang sebagai kerugian yang
bersifat spesifik dan aktual, karena jika pimpinan partai tidak diberikan
kewenangan menentukan kader terbaiknya, maka anggota partai yang
memperoleh suara terbanyak berikutnya yang tidak memenuhi harapan
partai politiknya yang akan menjadi anggota legislatif. Pemberlakuan
objek hak uji materiil akan menimbulkan kerugian bagi Pemohon.
Pemohon merupakan subjek hukum yang dirugikan haknya akibat
berlakunya objek hak uji materiil. Dengan demikian Pemohon mempunyai
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan
keberatan hak uji materiil a quo sebagaimana dimaksud Pasal 31A ayat (2)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Pasal 1 angka 4 Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.2
4. Pertimbangan Hakim Terkait Tenggang Waktu
Objek permohonan diundangkan tanggal 4 Februari 2019, sehingga
batas akhir pengajuan permohonan adalah tanggal 19 Maret 2019,

2
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 62.
44

sedangkan permohonan a quo diajukan dan terdaftar di Kepaniteraan


Mahkamah Agung pada tanggal 8 Juli 2019, sehingga secara yuridis
formal pengajuan permohonan a quo telah lewat waktu. Ketentuan Pasal
76 ayat (3) UU Pemilu tersebut harus diterapkan secara kasuistis, karena
pemungutan suara Pemilu dilaksanakan tanggal 17 April 2019, sehingga
belum ada kepentingan Pemohon yang dirugikan, padahal untuk
mengajukan permohonan hak uji materiil, diharuskan adanya kepentingan
yang dirugikan pada Pemohon. Dengan demikian norma tentang tenggang
waktu tersebut tidak mungkin dapat dilaksanakan, karena pada saat itu
belum dilaksanakan pemilu. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 28 D ayat
(1) UUD 1945 juncto Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan hak asasi kepada setiap
orang untuk menuntut haknya pada proses peradilan, maka ketentuan Pasal
76 ayat (3) UU Pemilu tersebut dapat dikesampingkan.3
5. Pertimbangan Majelis Hakim Terkait Pokok Permohonan
Dalam pertimbangan Mahkamah Agung, pokok permohonan
keberatan hak uji materiil adalah pengujian Pasal 54 ayat (5) huruf k dan l
juncto Pasal 55 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan
Suara dalam Pemilihan Umum, dan Pasal 92 huruf a Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 tentang
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil
Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pemohon berkedudukan sebagai peserta Pemilu Anggota
Legislatif, sebagai sarana rekrutmen politik (political recruitment) Partai
Politik diberikan otoritas penuh untuk menyeleksi dan menentukan Calon
Anggota Legislatif yang akan mengikuti kontestasi Pemilu sebagaimana
diatur dalam Pasal 241 ayat (1) yang menyatakan “Partai Politik Peserta
Pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan

3
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 65
45

DPRD kabupaten/kota” dan Pasal 243 ayat (1) yang menyatakan “Bakal
calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 disusun dalam daftar bakal
calon oleh partai politik masing-masing.4
hubungan antara Calon Anggota Legislatif dengan Partai Politik
yang mengusung dan mengusulkannya adalah hubungan yang bersifat
subordinatif, karena seorang calon legislatif tidak mungkin dapat
mengikuti kontestasi Pemilu tanpa dicalonkan oleh partai politiknya. Oleh
karena itu, perolehan suara calon anggota legislatif yang meninggal dunia
untuk Pemilihan Anggota DPR dan DPRD dengan perolehan suara
terbanyak seharusnya menjadi kewenangan diskresi dari pimpinan partai
politik untuk menentukan kader terbaik sebagai anggota legislatif yang
akan menggantikan calon anggota legislatif yang meninggal dunia tersebut
dengan tetap memperhatikan peraturan Perundang-undangan yang berlaku
dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Diskresi pimpinan partai
politik tersebut harus diterapkan secara ketat, terukur dan dapat
dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum, agar tercapainya tujuan
untuk meningkatkan kualitas keberadaan suatu partai politik dan
penguatan kaderisasi partai. Konsep kedaulatan rakyat menjadi poin
penting dalam hal ini.
Mahkamah Agung berpendapat bahwa frasa “… dinyatakan sah
untuk Partai Politik” yang tercantum dalam Pasal 54 ayat (5) huruf k, dan
frasa “… dinyatakan sah untuk Partai Politik” yang tercantum dalam Pasal
54 ayat (5) huruf l juncto frasa “… suara pada Surat Suara tersebut
dinyatakan sah dan menjadi suara sah Partai Politik” yang tercantum
dalam Pasal 55 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan
Suara dalam Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

4
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 66.
46

ketentuan Pasal 92 huruf a Peraturan Komisi Pemilihan Umum


Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rekapitulasi Hasil
Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum juga
bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum.
Tuntutan keempat mengenai “Perintah kepada Termohon untuk
menetapkan calon anggota legislatif terpilih untuk menduduki jabatan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode 2019-
2024 adalah calon anggota legislatif yang ditentukan oleh pimpinan partai
politik pengusung sebagai pengganti calon anggota legislatif yang
meninggal dunia dan memperoleh suara terbanyak” bukan ranah pengujian
keberatan hak uji materiil oleh Mahkamah Agung. Oleh karena itu,
terhadap tuntutan ini patut dinyatakan tidak diterima.5
6. Amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM
Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan dengan dasar
pertimbangan-pertimbangan yang telah disebutkan sebelumnya, maka
Mahkamah Agung memutuskan:6
a. Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian.
b. Menyatakan ketentuan Pasal 54 ayat (5) huruf k Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2019 tentang
Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum
sepanjang frasa “… dinyatakan sah untuk Partai Politik” dan Pasal 54
ayat (5) huruf l Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan
Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum sepanjang frasa “…
dinyatakan sah untuk Partai Politik” juncto Pasal 55 ayat (3)
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam
Pemilihan Umum sepanjang frasa “… suara pada Surat Suara

5
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 68.
6
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 69.
47

tersebut dinyatakan sah dan menjadi suara sah Partai Politik”


bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut:7
1) Pasal 54 ayat (5) huruf k Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan
Penghitungan Suara dalam Pemilihahan Umum:
“… dinyatakan sah untuk calon yang meninggal dunia dan
dinyatakan sah untuk Partai Politik bagi calon yang tidak lagi
memenuhi syarat sebagai calon”.
2) Pasal 54 ayat (5) huruf l Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan
Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum:
“… dinyatakan sah untuk calon yang meninggal dunia dan
dinyatakan sah untuk Partai Politik bagi calon yang tidak lagi
memenuhi syarat sebagai calon”.
3) Pasal 55 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan
Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum:
“… suara pada Surat Suara tersebut dinyatakan sah dan menjadi
suara sah untuk calon yang meninggal dunia dan dinyatakan sah
dan menjadi suara sah untuk Partai Politik bagi calon yang tidak
lagi memenuhi syarat sebagai calon”.
c. Menyatakan ketentuan Pasal 92 huruf a Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rekapitulasi
Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan
Umum bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
d. Menyatakan Permohonan Pemohon selebihnya tidak diterima.

7
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 69-70.
48

Putusan mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, Mahkamah Agung


mengabulkan sebagian daripada tuntutan yang diminta oleh pemohon, namun
sepenuhnya mengabulkan semua pasal yang diuji didalam persidangan, yakni
Pasal 54 ayat (5) huruf k dan l juncto Pasal 55 ayat (3) Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan
dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum, dan Pasal 92 huruf a Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 tentang
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan
Umum. Yang ditolak hanya pada tuntutan agar Mahkamah Agung memerintahkan
atau menginstruksikan termohon atau Komisi pemilihan Umum untuk memilih
pengganti calon anggota legislatif terpilih berdasarkan keputusan atau pilihan
partai politik, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Hal ini
dilatarbelakangi, bahwa bukan menjadi kewenangan Mahkamah Agung untuk
poin tersebut. Maka dapat dikatakan, sejatinya permohonan yang diajukan oleh
pemohon diterima sepenuhnya, karna yang menjadi obyek dalam uji materiil
adalah suatu peraturan Perundang-undangan.
Teori Hans Kelsen, Stufenbautheorie menyatakan bahwa norma-norma
hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan.
Dimana norma yang lebih rendah bersumber atau berdasar pada norma yang lebih
tinggi, norma yang lebih tinggi bersumber kepada norma yang lebih tinggi lagi
dan seterusnya sampai kepada Norma Dasar (grundnorm).8 Berdasarkan pendapat
tersebut peneliti berpendapat bahwa Mahkamah Agung benar adanya dan setuju
dengan keputusan Mahkamah Agung dengan mengabulkan keseluruhan pasal
yang diuji yakni, Pasal 54 ayat (5) huruf k dan l juncto Pasal 55 ayat (3) Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan
Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum, dan Pasal 92 huruf a Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rekapitulasi Hasil
Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum. Karena

8
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan ( Jakarta : Kanisius, 1998). h.
25.
49

didalam ketentuan-ketentuan yang terdapat didalam pasal tersebut bertentangan


dengan apa yang menjadi ketentuan didalam pasal 422, Pasal 243 Ayat (1), Pasal
241 Ayat (1) dan 172 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan
Umum.
Didalam putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019 Majelis
Hakim berpendapat dalam pertimbangannya, bahwasannya Partai Politik memiliki
otoritas penuh untuk menyeleksi dan menentukan Calon Anggota legislatif yang
akan mengikuti kontestasi pemilu. Menurut peneliti hal tersebut benar adanya
karena didasari oleh pasal 243 dan pasal 241 Undang-Undang Nomor 7 tahun
2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam hal ini Partai Politik sebagai sarana
transportasi para Calon Anggota legislatif, dan tentu yang menjadi pengemudi
adalah Pimpinan Partai Poltik, akan kemana Partai Politik Tersebut melaju.
Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim tersebut seyogyanya calon Anggota
legislatif masih berada didalam naungan Partai Poltik, tidak bisa melakukan
sesuatu hal yang tidak sejalan atau tanpa izin Partai Politik.
Hubungan antara Calon Anggota legislatif dengan Partai Politik dikatakan
oleh Majelis Hakim dalam putusannya adalah hubungan yang bersifat
subordinatif, dikarenakan seorang Calon Anggota legislati tidak mungkin dapat
melakukan pencalonan sebagai Calon Anggota legislatif tanpa dicalonkan oleh
Partai Politik Pengusung, karena sejatinya peserta Pemilihan Umum Legislatif
adalah Partai Politik, bukan perorangan. Peneliti berpendapat Majelis Hakim
didalam pertimbangannya sudah berpendapat dengan benar dengan alasan sesuai
dengan Pasal 1 ayat 27 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang pemilihan
umum, yang secara garis besar menjelaskan hal tersebut. Maka benang antar
Partai Politik dengan Calon Anggota legislatif tidak bisa diputus dalam
pencalonan Anggota Legislatif.
Peran Partai politik didalam Pemilihan Legislatif salah satunya yaitu
menyeleksi calon-calon anggota legislatif, mengusung, serta menahkodai calon-
calon tersebut agar sejalan dengan kepentingan Partai Politik tersebut. Tentu hal
tersebut bentuk tanggung jawab Konstitusional dari Partai Politik sebagai sebagai
salah satu elemen penting Negara Demokrasi. Karena sebagai salah satu alat
50

control Pemerintah. Oleh sebab itu Majelis Hakim didalam pertimbangannya,


mengatakan hubungan antara Calon Anggota Legislatif dan Partai Politik
memiliki sifat subordinatif. Menurut peneliti hal tersebut benar adanya, antara
mereka saling bergantungan.
Sebagai pengingat, Calon anggota legislatif daerah pemilihan Sumatera
Selatan 1 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yakni, Nazaruddin Kiemas,
meninggal dunia. Bersamaan dengan itu Nazaruddin Kiemas terpilih berdasarkan
pendapatan perolehan suara terbanyak. Oleh sebab itu tentu dikarenakan pasal-
pasal yang diuji dalam hak uji materiil oleh Partai pengusung dikabulkan, maka
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memperoleh Haknya untuk mengusung
pengganti dari Calon Anggota legislatif yang meninggal dunia tersebut
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan hal diatas tersebut, Mahkamah Agung menyatakan Pasal 54
ayat (5) huruf k dan l juncto Pasal 55 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan
Suara dalam Pemilihan Umum, dan Pasal 92 huruf a Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rekapitulasi Hasil
Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum perolehan
suara Calon Anggota legislatif Terpilih yang mendapatkan perolehan suara
terbanyak yang meninggal dunia untuk pemilihan Anggota DPR seharusnya
menjadi kewenangan diskresi dari Partai Politik untuk menentukan kader terbaik
sebagai anggota legislatif yang akan menggantikan Calon Anggota Legislatif
terpilih yang meninggal dunia tersebut dengan catatan tetap memerhatikan
peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Menurut penelitis ini menarik,
dimana Mahkamah Agung berpendapat demikian dengan Pasal 1 ayat 27 Undang-
Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menjadi dasar dalam
hal tersebut. Menurut pasal 1 ayat 27 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017
tentang Pemilihan Umum memang menyatakan demikian, namun yang menjadi
problem adalah ditolaknya permohonan agar Mahkamah Agung menginstruksikan
atau memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk memilih dan
menetapkan calon pengganti anggota legislatif terpilih yang meninggal dunia
51

berdasarkan pilihan atau rekomendasi dari Partai Politik. Maka putusan tersebut
berakibat dapat disalahpahami oleh pemohon maupun termohon. Memang yang
menjadi permohonan oleh pemohon yang menjadi satu-satunya yang ditolak
dalam putusan ini bukan menjadi kewenangan Mahkamah Agung, tapi tetap ini
menjadi problem. Menurut peneliti Mahkamah Agung kurang teliti didalam
pertimbangannya terkait hal tersebut, seharusnya hal tersebut menjadi poin
penting, dikarenakan Komisi Pemilihan Umum yang menjalankan Putusan
tersebut. Maka akan terjadi gesekan antar Partai Politik pengusung dengan Komisi
Pemilihan Umum yang akan peneliti jelaskan dalam Poin Analisis putusan
Mahkamah Agung dibawah.
Pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung pada pada
putusannya, menjadikan pasal Pasal 54 ayat (5) huruf k dan l juncto Pasal 55 ayat
(3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 tentang
Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum, dan Pasal 92 huruf
a Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rekapitulasi
Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum
terbukti bertentangan dan bertolak belakang dengan ketentuan didalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum dan tidak memiliki
kekuatan hukum tetap.

B. Analisis Terkait Implikasi Putusan Mahkamah Agung Nomor


57/P/HUM/2019
Peneliti dalam pembahasan penelitian ini akan menguraikan Analisis dan
implikasi dari Putusan tersebut. Putusan Mahkamah Agung Nomor
57/P/HUM/2019 merupakan hasil dari uji materiil yang di layangkan oleh Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang mana pada saat Pemilihan Umum
Legislatif tahun 2019 Nazaruddien Kiemas yang berasal dari daerah pemilihan
Sumatera Selatan 1 dalam penghitungan perolehan suara dinyatakan mendapat
suara terbanyak dan terpilih. Bersamaan dengan hal tersebut, Calon Anggota
Legislatif tersebut meninggal dunia, yakni Nazaruddien kiemas. Komisi
Pemilihan Umum mengeluarkan surat Ketua Komisi Pemilihan Umum Nomor
52

707/PL.01.4-SD/06/KPU/2019 perihal pengumuman calon anggota Dewan


Perwakilan Rakyat yang tidak memenuhi syarat karena meninggal dunia, secara
garis besar menerangkan bahwa nama Nazaruddien Kiemas dicoret dari daftar
calon terpilih. Maka dari hal tersebut Partai Demokrasi Perjuangan merasa
dirugikan oleh ketetapan Komisi pemilihan Umum tersebut yang pada intinya
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tidak dapat mengusulkan penggantian
Calon anggota legislatif tersebut.9 oleh karena itu PDIP merasa bahwa pasal-pasal
dari Peraturan komisi pemilihan umum tersebut bertentangan dengan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017. Berdasarkan hal tersebut Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan melakukan hak uji materiil terhadap pasal-pasal tersebut ke
Mahkamah Agung. Maka Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan Mahkamah
Agung Nomor 57/P/HUM/2019.
1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019
Putusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa permohonan
dikabulkan sebagian. Untuk seluruh pasal yang menjadi bahan uji materiil
yakni Pasal 54 ayat (5) huruf k dan l juncto Pasal 55 ayat (3) Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2019
tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum,
dan Pasal 92 huruf a Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum dikabulkan
seluruhnya. Dan hanya pada permohonan agar Mahkamah Agung
menginstruksikan Komisi Pemilihan Umum untuk menetapkan Pengganti
Antar Waktu calon terpilih meninggal dunia berdasarkan pilihan Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan yang ditolak oleh Mahkamah Agung. hal
ini menutut peneliti merupakan hal yang bertolak belakang dengan
pertimbangan Hakim didalam putusannya yang menyatakan pada intinya
kewenangan memilih atau menetukan pengganti calon terpilih yang
meninggal merupakan kewenangan Partai Politik. Maka menurut Peneliti
secara tidak langsung Putusan Mahkamah Agung tersebut menjadi

9
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 4-5.
53

permohonan diterima secara seluruhnya. Mahkamah Agung menyatakan


ditolaknya permohonan agar Komisi Pemilihan Umum menetapkan
pengganti berdasarkan pilihan Partai Politik dengan alasan itu bukan
merupakan poin didalam Hak Uji Materiil. Tentu hal tersebut benar
adanya, namun mengenai pertimbangan hakim dan putusan yang saling
bertolak belakang tersebut dibenarkan, tetap menjadikan putusan tersebut
multi tafsir bagi Pemohon dan Termohon. Jika hanya menilik pada isi
putusan tersebut, peneliti menyatakan bahwa Mahkamah Agung benar
dalam bersikap. Yang menjadi persoalan adalah ketika Komisi Pemilihan
Umum menentukan Pengganti Antar Waktu melaui urutan surat suara
terbanyak berikutnya dan menolak rekomendasi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan, Mahkamah Agung mengeluarkan pendapat hukum
melalui surat Mahkamah Agung Nomor: 37/Tuaka.TUN/IX/2019 yang
isinya secara garis besar menyatakan agar Komisi Pemilihan Umum dalam
menentukan Pengganti Antar Waktu calon terpilih yang meninggal dunia
harus konsisten dengan apa yang menjadi pertimbanga haki didalam
putusan yakni“Penetapan Suara Calon Legislatif yang meninggal dunia
kewenanangannya diserahkan kepada Pimpinan Partai politik untuk
diberikan kepada Calon Legislatif yang dinilai terbaik”.10 Itu yang
menjadi bukti bahwa sebenarnya isi dari Putusan Mahkamah Agung
mengabulkan seluruh permohonan. Namum Mahkamah Agung didalam
surat tersebut tidak melihat frasa selanjutnya yang terdapat didalam
pertimbangan Hakim yakni “Dengan tetap memperhatikan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku dan asas- asas umum pemerintahan
yang baik”.11 Ini yang menjadi landasan Komisi Pemilihan Umum
menolak pilihan ataupun rekomendasi dari Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan terkait Penggantian Antar Waktu Calon terpilih meninggal
dunia. Hal tersebut dikarenakan pilihan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan bertentangan dengan mekanisme Penggantian Antar Waktu

10
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 66.
11
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 66.
54

yang diatur didalam Pasal 242 ayat 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun


2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
2. Analisis Peneliti
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019 tentunya
memiliki implikasi terkait Penggantian Antar Waktu Calon Anggota
Legislatif yang meninggal dunia, baik terhadap Komisi Pemilihan Umum
ataupun bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Bagaimana
pelaksanaan dari putusan Mahkamah Agung Tersebut. Hal itu menjadi
poin penting dalam pembahasan penelitian ini. Apakah suatu putusan
Mahkamah mampu mencerminkan keadilan, dalam arti sesuai dengan
heterogenitas masyarakat Indonesia yang beragam serta dapat
mencerminkan keadilan hukum itu sendiri.12
Peneliti dalam pembahasan penelitian ini akan menguraikan
mengenai implikasi terkait Putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan
keseluruhan pasal yang di uji didalam persidangan. Menurut analisa
peneliti, implikasi tersebut setidaknya melingkupi lima segi utama, yakni:
Implikasi terhadap makna didalam beberapa Pasal yang diuji tidak
memiliki kekuatan hukum tetap, Implikasi terhadap Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan mendapati haknya untuk melakukan Penggantian
atar waktu, Implikasi terhadap penjelasan kedudukan partai politik
didalam lembaga legislatif, Implikasi terhadap independensi Mahkamah
Agung terkait proses penggantian antar waktu dan implikasi terhadap
Implementasi Putusan oleh Komisi Pemilihan Umum.
Pertama, Implikasi terhadap makna beberapa Pasal yang diuji
tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Nomor merupakan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya
berada dibawah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan
Umum. dengan dikabulkankannya keseluruhan pasal yang diuji didalam
persidangan Hak Uji Materiil, yakni Pasal 54 ayat (5) huruf k dan l juncto

12
Samsul Wahidin, distribusi Kekuasaan Negara Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2014), h. 200.
55

Pasal 55 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun


2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan
Umum, dan Pasal 92 huruf a Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4
Tahun 2019 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan
Penetapan Hasil Pemilihan Umum. oleh sebab itu didalam Putusannya,
Mahkamah Agung menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan didalam pasal
tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
Tentang Pemilihan Umum dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan uraian diatas peneliti berpendapat, maka bilamana
terjadi suatu kejadian serupa di dalam pemilihan umum legislatif maka
tidak perlu Partai Politik pengusung mengajukan Hak uji materiil kembali,
sepanjang pasal-pasal tersebut tidak dimaknai sebagaimana yang telah
dijelaskan didalam Putusan tersebut. Yakni, Pasal 54 ayat (5) huruf k
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihahan
Umum: “… dinyatakan sah untuk calon yang meninggal dunia dan
dinyatakan sah untuk Partai Politik bagi calon yang tidak lagi memenuhi
syarat sebagai calon”.13 Kemudian Pasal 54 ayat (5) huruf l Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2019
tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum:
“… dinyatakan sah untuk calon yang meninggal dunia dan dinyatakan sah
untuk Partai Politik bagi calon yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai
calon”.14 Kemudian Pasal 55 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan
Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum: “… suara pada Surat Suara
tersebut dinyatakan sah dan menjadi suara sah untuk calon yang
meninggal dunia dan dinyatakan sah dan menjadi suara sah untuk Partai
Politik bagi calon yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon”

13
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 69.
14
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 69.
56

Hak menguji Materiil suatu wewenang Mahkamah Agung untuk


menyelidiki dan menilai isi suatu pasal dalam Peraturan Perundang-
undangan itu sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Pengujian materiil berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi
suatu Peraturan dengan Peraturan lain yang lebih tinggi dengan
konsekuensi pasal-pasal yang diuji menjadi tidak memiliki kekuatan
hukum tetap.15 Berbeda dengan pegujian secara formal yang
konsekuensinya menjadikan keseluruhan didalam ketentuan suatu
Peraturan Perundang-undangan menjadi tidak memiliki kekuatan hukum
tetap. Oleh sebab itu putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019
yang dalam pengujiannya termasuk pengujian materiil maka hanya pada
pasal-pasal yang disebut diatas yang tidak memilik kekuatan hukum tetap.
Teori Hierarki Peraturan Perundang-undangan oleh Hans Kelsen
menyatakan bahwa sistem hukum disusun secara berjenjang dan
bertingkat-tingkat seperti anak tangga. Hubungan antara norma yang yang
mengatur perbuatan norma lain dan norma lain tersebut disebut sebagai
hubungan super dan subordinasi dalam konteks spasial.16 Peneliti
sependapat dengan keputusan Mahkamah Agung yang mengabulkan
keseluruhan pasal-pasal yang diuji didalam pengujian hak uji materiil.
Karena memang didalam ketentuan ketentuan didalam Pasal 54 ayat (5)
huruf k dan l juncto Pasal 55 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam
Pemilihan Umum, dan Pasal 92 huruf a Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum bertentangan dan
saling bertolak belakang dengan Peraturan Perundang-undangan diatasnya
yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
oleh sebab itu berdasarkan teori hierarki Peraturan Perundang-undangan
peneliti sependapat dengan Mahkamah Agung bahwa memang pasal-pasal
tersebut bertentangan dan tidak memilki kekuatan hukum tetap.
Kedua, Implikasi terhadap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
mendapati haknya untuk melakukan penggantian antar waktu. Secara

15
Kewenangan Hak Uji Materiil Pada Mahkamah Agung, jurnal hukum dan peradilan
Vol. 2 No. 3, Edisi November 2013, hal. 347.
16
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 110.
57

konstitusional hak Pergantian Antar Waktu diatur didalam Pasal 22B UUD
1945 yang menyatakan bahwa anggota DPR dapat diberhentikan dari
jabatannya, dengan syarat-syarat dan tata cara yang diatur dalam Undang
Undang. Landasan konstitusional ini termaktub dalam amandemen kedua
UUD 1945. Dari dasar tersebut dapat dikatakan bahwa Penggantian Antar
Waktu dapat diterapkan kepada anggota Dewan Perwakilan rakyat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penggantian Antar Waktu diatur didalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD
Provinsi dan DRPD yang hak tersebut diberikan kepada Partai Politik.
Sesuai dengan isi putusan yang mengabulkan Pasal 54 ayat (5)
huruf k dan l juncto Pasal 55 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan
Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum dan Pasal 92 huruf a
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2019 tentang
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil
Pemilihan Umum, menjadikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Dapat melakukan penggantian antar waktu bagi calon anggota legislatif
terpilih yang meninggal dunia, yakni nazaruddien kiemas.
Menurut peneliti mengembalikan suara rakyat, yang mana dalam
hal ini Nazaruddien Kiemas merupakan calon dari partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan, tentunya antara Nazaruddien Kiemas dengan Partai
tersebut secara umum memiliki visi misi yang sama perihal tugas legislasi
dan lain sebagainya. Oleh sebab itu penggantian Nazaruddien Kiemas
harus dilakukan dikarenakan suara-suara yang telah memilih nazaruddien
kiemas merupakan amanat yang telah dibebankan kepadanya. Oleh sebab
itu partai politik sebagai pengusung sekaligus yang secara umum memiliki
visi misi yang sama harus melakukan penggantian antar waktu, Yang
dalam hal ini Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memiliki hak serta
kewajiban untuk mengarahkan amanat melalui perolehan suara
Nazaruddien Kiemas agar tidak sia-sia. Dan diharapkan pengganti
nazaruddien kiemas tersebut tidak hanya mengganti secara raga saja tapi
58

mengganti secara keseluruhan, yakni terkait program-program kerja yang


telah direncanakan oleh nazaruddien kiemas, karena Nazaruddien Kiemas
dipilih berdasarkan program-program kerja yang diutarakannya pada saat
kampanye.
Menurut teori J.J Rousseau kedaulatan rakyat merupakan suatu
kedaulatan yang mutlak. Teori kedaulatan rakyat adalah ajaran yang
memberi kekuasaan tertinggi kepada rakyat, atau dapat disebut sebagai
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. J.J Rousseau
memberi ajaran bahwa ada dua macam kehendak didalam kedaulatan
rakyat, yang salah satuny adalah kehendak sebagian17. Yakni kehendak
rakyat untuk memilih wakilnya dipemerintahan dengan menjalankan apa
yang menjadi kehendaknya. Oleh sebab itu jika kehendak sebagian itu
dalam hal ini suara yang telah memilih Nazaruddien Kiemas tidak
dialihkan kepada yang memilik kesamaan visi dan misi maka itu bukan
cerminan dari menjalankan konsep kedaulatan rakyat. Pendapat Peneliti
sejalan dengan teori atau pun konsep kedaulatan rakyat. Rakyat
merupakan kekuasaan tertinggi dalam Negara Demokrasi dan menjadi
atribut bagi Negara sebagai organisasi masyarakat paling besar. 18 Karena
pada dasarnya hukum yang berlaku berasal dari aspirasi rakyat, dan
diharapkan adanya keterikatan antara Pemilih dalam hal ini rakyat dengan
yang dipilih dalam hal ini pengganti nazaruddien kiemas.
Ketiga, Implikasi terhadap penjelasan kedudukan Partai Politik
didalam lembaga perwakilan rakyat. Dalam putusan ini majelis mahkamah
menyatakan bahwa kedudukan Partai Politik merupakan Peserta Pemilihan
Umum yang sebelumnya telah menyeleksi para calon anggota legislatif
untuk dapat mengikuti pemilihan legislatif dengan maksud memperoleh
kursi di lembaga perwakilan rakyat. Didalam pertimbangan mahkamah
agung seakan mendewakan partai politik sebagai tuan dari anggotanya dan

17
Muh. Kusnardi dan Bintan R.Saragih, Ilmu Negara, Edisi Revisi, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 2000), h. 124.
18
Khairul Fahmi, Pemilihan Umum dan Kedaulatan rakyat, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011), h. 19.
59

memiliki kendali penuh. Bahwa partai politik merupakan yang berhak


untuk menentukan kemana arah terkait suara calon legislatif meninggal
yakni, nazaruddien kiemas. Menurut Peneliti ini tidak sepenuhnya benar,
dan dapat disalah artikan oleh sebagian golongan atau mungkin dapat
dijadikan sandaran untuk hakim dalam memutus perkara dikemudian hari.
Benar jika memaknai partai politik merupakan kendaraan bagi calon
anggota legislatif, dan tentu memiliki timbal balik. Namun jika diartikan
partai politik merupakan pemegang kendali anggota legislatif. maka hal ini
tidak mencerminkan kedaulatan rakyat, melainkan kedaulatan partai. Dan
tidak menjalankan konsep demokrasi itu sendiri yang menekankan rakyat
sebagai kendali penuh didalam pemerintahan melalui wakil-wakilnya yang
telah dipilih sebelumnya, dalam hal ini yang dipilih adalah anggota dewan
perwakilan rakyat bukan partai poltik.
Konsep Demokrasi merupakan suatu sistem dalam bernegara
dimana rakyat mempunyai kendali terhadap pemerintahan. Demokrasi
diartikan sebagai suatu pemerintahan dimana rakyat ikut serta memerintah,
baik secara langsung yang terdapat didalam masyarkat-masyarakat
sederhana maupun tidak langsung karena rakyat diwakilkan yang terdapat
didalam masyarakat modern.19 Dengan kata lain demokrasi merupakan
pemerintahan yang dijalankan secara tidak langsung oleh rakyat melalui
wakil-wakilnya di pemerintahan. Perwujudan dari demokrasi salah satunya
adalah memalui perwakilan rakyat.
Kedudukan Partai Politik didalam lembaga legislatif didalam
memaknai pertimbangan Mahkamah Agung terkait kewenangan Partai
Politik dalam menentukan pengganti antar waktu dapat dipahami sebagai
kedudukan partai politik didalam lembaga legislatif sebagai anggota, dan
anggota legislatif merupakan perantara dari partai politik. Berdasarkan
konsep demokrasi diatas peneliti berpendapat tentu hal ini tidak

19
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
2010), h. 69.
60

mencerminkan demokrasi, yaitu rakyat sebagai pemegang kendali didalam


pemerintahan.
Keempat, Implikasi terhadap kedudukan independensi Mahkamah
Agung terkait proses penggantian antar waktu. Salah satu ketentuan yang
diatur dalam Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar tahun 1945 adalah
mengenai kekuasaan kehakiman. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka
salah satu prinsip penting dari negara hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari
pengaruh kekuasaan lainya untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakan hukum dan keadilan.20 Oleh sebab itu Mahkamah Agung
seharusnya dan diharapkan merdeka dari unsur politik.
Dalam proses Penggantian Antar Waktu yang dilakukan oleh
Komisi Pemilihan Umum seakan Mahkamah Agung ikut didalam proses
Pemilihan pengganti nazaruddien kiemas, hal ini dibuktikan dengan
dikeluarkannya pendapat hukum terkait proses tersebut melalui Surat
Mahkamah Agung Nomor: 37/Tuaka.TUN/IX/2019 dengan instruksi agar
Komisi Pemilihan Umum melaksanakan atau menjalankan putusan
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada didalam Putusan Nomor
57/P/HUM/2019. Walaupun kewenangan Mahkamah Agung memberikan
pendapat hukum dibenarkan oleh pasal 37 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, Namun menurut peneliti tidak
tepat pelaksanaannya. Seharusnya Mahkamah Agung sebelum memberi
Pertimbangan hukum, Mahkamah Agung meneliti dahulu apa yang
menjadi dasar Komisi Pemilihan Umum dalam menentukan Pengganti
Antar Waktu Nazaruddien Kiemas dengan menolak rekomendasi Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan. Tentu dalam hal ini yang menjadi dasar
Komisi Pemilihan Umum adalah Pasal 242 ayat 2 Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 Tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD yang penentuannya
berdasarkan urutan perolehan suara terbanyak setelahnya. Sedangkan

20
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, ( Jakarta : PT. Bhuana Ilmu
Populer, 2007), h. 512.
61

rekomendasi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan merupakan


calon yang mendapat perolehan suara terbanyak urutan kelima.
Seharusnya hal tersebut yang perlu ditinjau lebih jauh oleh Mahkamah
Agung sebelum mengeluarkan pendapat hukum melalui surat Mahkamah
Agung Nomor: 37/Tuaka.TUN/IX/2019 tersebut. Maka Mahkamah Agung
dapat mengurangi kepercayaan publik sebagai cabang kekuasaan yudikatif
yang merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang merdeka ataupun
berdiri sendiri tanpa terpengaruhi unsur-unsur politik didalamnya.
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian,
Pertama, Adanya aturan yang bersifat umum membuat Individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan
Kedua, Berupa keamanan hukum bagi Individu dari kesewenangan
Pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu Individu
dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh
Negara terhadap Individu. 21 Berdasarkan pendapat ahli tersebut peneliti
berpendapat Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi yang
seharusnya menjadi role model dalam menjalankan suatu kepastian
hukum, belum menjalankan sebagai mana mestinya, Karena Mahkamah
Agung ceroboh dalam memberikan pendapat hukum melalui surat
Mahkamah Agung Nomor: 37/Tuaka.TUN/IX/2019 dan tidak melihat atau
meneliti kembali terkait mekanisme Penggantian Antar Waktu yang
ketentuannya diatur didalam Pasal 242 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2014 Tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD. Padahal adanya suatu
peraturan ataupun Undang-Undang dibuat untuk terciptanya suatu
kepastian hukum.
Kelima, Implikasi terhadap Implementasi Putusan oleh Komisi
Pemilihan Umum terkait Penggantian Antar Waktu Nazaruddien kiemas.
Penggantian Antar Waktu atau Recall merupakan suatu istilah yang
ditemukan dalam kamus Ilmu Politik yang digunakan untuk menerangkan
suatu peristiwa penarikan seseorang atau beberapa orang wakil yang

21
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h. 24.
62

duduk dalam lembaga perwakilan ( melalui proses pemilu ), oleh rakyat


sebagai pemilihnya.22
Pembahasan mengenai Penggantian Antar Waktu Calon Anggota
Legislatif terpilih yang dalam hal ini meninggal dunia, Komisi Pemilihan
Umum dalam menjalankannya harus berdasarkan peraturan Perundang-
undangan yang berlaku agar teciptanya kepastian hukum, yakni Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan
yang bersifat umum menjadi semacam acuan serta batasan berprilaku
dalam bermasyarakat. Adanya aturan dan dilaksanakannya aturan tersebut
menimbulkan kepastian hukum.23 Menjadi menarik jika dilihat didalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM Majelis Hakim,
menyatakan Calon Anggota legislatif Terpilih yang mendapatkan
perolehan suara terbanyak yang meninggal dunia untuk pemilihan
Anggota DPR seharusnya menjadi kewenangan diskresi dari Partai Politik
untuk menentukan kader terbaik sebagai anggota legislatif yang akan
menggantikan Calon Anggota Legislatif terpilih yang meninggal dunia
tersebut dengan catatan tetap memerhatikan peraturan Perundang-
undangan yang berlaku. Mahkamah Agung didalam poin tersebut,
berpendapat bahwa kewenangan untuk mengusulkan dan menentukan
calon pengganti bagi calon anggota legislatif terpilih adalah Partai Politik.
Sebagai gambaran umum mengenai pelaksanaan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019 Komisi Pemilihan Umum
menetapkan pengganti yang memperoleh suara terbanyak kedua yakni,
Rezky Aprilia yang merupakan calon anggota legislatif daerah pemilihan
Sumatera Selatan 1 sebagai pengganti dari Calon terpilih Nzaruddien
Kiemas, sebelum itu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Mengusulkan
dan merekomendasikan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk
22
Ni’matul Huda, Recall Anggota DPR dan DPRD dalam Dinamika Ketatanegaraan
Indonesia, Mimbar Hukum Vol.23 (Oktober 2011), h. 461.
23
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum.,(Jakarta: Kencana, 2009), h. 47.
63

menetapkan Harun Masiku yang merupakan Calon Anggota Legislatif


Daerah pemilihan Sumatera Selatan 1 yang memperoleh suara terbanyak
urutan kelima menjadi penganti bagi Nazaruddien kiemas. Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan beranggapan Bahwa hal itu merupakan
Kewenangan dari Partai Politik yang memang sesuai dengan pendapat
Majelis Hakim didalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
57/P/HUM/2019. Namun rekomendasi dari Partai tersebut ditolak oleh
Komisi Pemilihan Umum, yang juga berkeyakinan bahwa penetapan calon
pengganti nazaruddien kiemas berdasarkan ketetapan Komisi Pemilihan
Umum sudah dijalankan sesuai dengan apa yg telah diamanatkan dalam
pasal 242 ayat 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR,
DPR, DPD Dan DPRD yang pada intinya pengganti antar waktu untuk
Anggota DPR yang meninggal dunia adalah didasarkan pada urutan
perolehan suara terbanyak berikutnya dari Partai Politik yang sama dan
Daerah pemilihan yang sama. Maka apa yang menjadi pertimbangan
Mahkamah Agung dapat dikesampingkan, karena bertentangan atau tidak
sejalan dengan kehendak Undang-Undang.
Teori hak yang menganggap hak sebagai kehendak yang
diperlengkapi dengan kekuatan atau disebut dengan wilsmacht theorie oleh
Bernhard windscheid.24 Menurut teori tersebut hak ialah suatu kehendak
yang berdasarkan kekuatan yang diberikan oleh suatu norma hukum
kepada yang bersangkutan. Pihak yang bersangkutan disini ialah subyek
hukum, sehingga subyek hukum disebut sebagi pendukung hak dan
kewajiban. Oleh karena itu hak yang diberikan kepada subyek hukum
tidak dapat dirampas kecuali suatu norma hukum itu sendiri yang
menghendaki hilangnya hak yang dimiliki oleh subyek hukum tersebut.
Hak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang benar, kekuasaan, kewenangan
untuk berbuat sesuatu, atau juga kekuasaan untuk tidak berbuat sesuatu

24
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h. 275.
64

dan lain sebagainya.25 Komisi Pemilihan Umum dalam menjalankan dan


melaksanakan daripada isi Putusan Mahkamah Agung Nomor
57/P/HUM/2019 terhadap Penggantian Antar Waktu Calon Anggota
legislatif terpilih nazaruddien kiemas menetapkan Rezky Aprilia sebagai
Pengganti Antar Waktu. Peneliti beranggapan apa yang menjadi ketetapan
Komisi Pemilihan Umum telah benar adanya jika menilik dari mekanisme
Penggantian Antar Waktu yang dalam hal ini diatur didalam Pasal 242
ayat 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Oleh sebab itu
berdasarkan teori hak tersebut sejatinya Pemilihan Penggantian Antar
Waktu pada sepenuhnya milik Partai politik terkait pencalonan pengganti
Anggota Legislatif , namun hak tersebut dapat dikesampingkan jika ada
peraturan Perundang-undangan yang mengaturnya, dalam hal ini Pasal 242
ayat 2 Undang-Undang nomor 17 tahun 2014. Maka dapat dikatakan hak
untuk mecalonkan pengganti antar waktu tetap milik partai politik apabila
calon tersebut sesuai dengan apa yang menjadi ketentuan didalam
Undang-Undang. Dan jika menilik lewat Putusan Mahkamah Agung
Nomor 57/P/HUM/2019, Komisi Pemilihan Umum sudah Menjalankan
Putusan tersebut, dengan Alasan didalam putusan, Mahkamah Agung
Menolak Permohonan Partai Demokrasi Perjuangan yang meminta agar
Mahkamah Agung memerintahkan atau menginstruksikan Komisi
Pemilhan Umum untuk menetapkan Calon Pengganti berdasarkan usulan
atau rekomendasi dari Partai Politik. Yang menjadi polemik disini adalah
terdapat frasa “Penetapan Suara Calon Legislatif yang meninggal dunia
kewenanangannya diserahkan kepada Pimpinan Partai politik untuk
diberikan kepada Calon Legislatif yang dinilai terbaik”26 didalam
pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung didalam putusannya.
Dengan alasan tersebut maka Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
berkeyakinan bahwa partailah yang berwenang menentukan Pengganti
Antar Waktu tersebut.
25
Titik Triwulan Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 281.
26
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 66.
65

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan terkait dengan Pelaksanaan


Putusan Mahkamah Agung yang dijalankan oleh Komisi Pemilihan Umum
menganggap bahwa Komisi Pemilihan Umum tidak menjalankan apa yang
menjadi ketentuan didalam Putusan Mahkamah Agung. Berdasarkan
kutipan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung sebagaimana
dijelaskan diatas. Peneliti berpendapat bahwa apa yang menjadi keputusan
Komisi Pemilihan Umum sudah sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung
Tersebut, dengan alasan didalam pertimbagan Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi Terdapat pula frasa “Dengan tetap memperhatikan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku dan asas- asas umum pemerintahan
yang baik”.27 Dengan alasan tersebutlah peneliti menganggap bahwa
Komisi Pemilihan Umum telah mempertimbangkan kenapa pengganti
antar waktu nazaruddien kiemas adalah rezky aprilia, karena pada
Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2019 Rezky Aprilia menempati posisi
kedua terbanyak perolehan suara setelah Nazaruddien Kiemas. Sedangkan
rekomendasi ataupun usulan pengganti antar waktu dari Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan yakni Harun Masiku Berada pada urutan kelima
terbanyak perolehan suara dalam Pemilihan Umum Legislatif. Hal itu
tentu Komisi Pemilihan Umum menetapkan berdasarkan aturan yang
mengatur mengenai mekanisme Penggantian Antar Waktu Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat yang terdapat dalam Pasal 242 ayat 2 Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD Dan DPRD
yang ketentuannya berdasarkan Perolehan suara terbanyak berikutnya
dalam Pemilihan Umum Legislatif.
Pendapat peneliti mengenai apa yang menjadi ketetapan Komisi
Pemilihan Umum untuk memilih Rezky aprillia sebagai Pengganti Antar
Waktu Nazaruddien Kiemas dengan berdasarkan ketentuan Pasal 242 ayat
2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD Dan
DPRD dengan mengesampingkan Surat Pendapat Mahkamah Aagung
tersebut benar adanya dengan alasan Komisi Pemilihan Umum hanya

27
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 67.
66

menjalankan Fungsinya sebagai lembaga pemerintahan untuk menciptakan


suatu kepastian hukum. Hukum dibuat atau dibentuk bertujuan untuk
memenuhi rasa keadilan, kepastian, dan ketertiban. Menurut Hans Kelsen,
hukum adalah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan
pada aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa
peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Undang-Undang yang berisi
aturan-aturan yang bersifat umum menjadi semacam acuan serta batasan
berprilaku dalam bermasyarakat. Adanya aturan dan dilaksanakannya
aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.28
Peneliti berpendapat bahwa apa yang menjadi keberatan Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan yang rekomendasi pengganti antar
waktunya ditolak tidak sepenuhnya salah. Terdapat frasa didalam
pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung secara tersirat
menerangkan bahwa kewenangan untuk menetapkan pengganti antar
waktu berdasarkan usulan partai politik memang merupakan hak Partai
Politik. Alasan tersebut menjadi kuat dengan dikeluarkannya pendapat
Mahkamah Agung terkait polemik Penggantian Antar Waktu Nazaruddien
kiemas melalui surat Mahkamah Agung Nomor: 37/Tuaka.TUN/IX/2019
dengan pokoknya sebagai berikut:
a. Dalam memutus ataupun memberikan pendapat hukum, Mahkamah
Agung tidak boleh berada dalam kursi pemerintahan. Mahkamah
Agung hanya memutus dari segi hukumnya.
b. Dalam melaksanakan putusan Mahkamah Agung tersebut
pemerintah in casu Komisi Pemilihan Umum wajib konsisten
menyimak pertimbangan hukum dalam putusan tersebut in casu
putusan Mahkamah Agung nomor 57/P/HUM/2019, yakni
“penetapan suara calon legislatif yang meninggal dunia
kewenangannya diserahkan kepada pimpinan partai politik untuk
diberikan kepada calon legislatif yang dinilai terbaik”.

28
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum.,(Jakarta: Kencana, 2009), h. 47.
67

Berdasarkan pendapat Mahkamah Agung melalui surat Mahkamah


Agung tersebut, peneliti menyayangkan dari apa yang terdapat dalam
putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019 yang menolak
permohonan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengenai
permohonannya agar Mahkamah Agung menginstruksikan Komisi
Pemilihan Umum untuk menetapkan penngganti calon anggota legislatif
terpilih berdasarkan rekomendasi atau usulan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan. Karena dengan adanya pendapat hukum Mahkamah Agung
melalui suratnya tersebut, dengan jelas Mahkamah Agung beranggapan
Komisi Pemilihan Umum harus menetapkan pengganti antar waktu
berdasarkan rekomendasi Partai Politik, karena itu merupakan Hak Partai
Politik dan dengan itu pula Mahkamah Agung seakan menyalahkan
ketetapan Komisi Pemilihan Umum yang memilih Rezky Aprilia sebagai
pengganti Nazaruddien Kiemas bukan berdasarkan rekomendasi atau
usulan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang memilih Harun
Masiku. Yang menjadi persoalan disini adalah Mahkamah Agung
menyangsikan pertimbangan hukum yang terdapat didalam putusannya
sendiri yang terdapat didalam frasa “Dengan tetap memperhatikan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan asas- asas umum
pemerintahan yang baik”.29 Karena jika melihat berdasarkan frasa tersebut
Komisi Pemilihan Umum telah sesuai dengan mempertimbangkan untuk
Pengganti Antar Waktu Nazaruddien Kiemas sesuai dengan mekanisme
Penggantian Antar Waktu yang diatur didalam Pasal 242 ayat 2 Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD Dan DPRD.
Hal ini menandakan Mahkamah Agung kurang teliti didalam Putusannya
yang menyebabkan multi tafsir bagi Pihak Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan dan Komisi Pemilihan Umum. Maka dari uraian diatas bisa
dikatakan Putusan Mahkamah Agung tersebut tidak mencerminkan
daripada tujuan hukum itu sendiri yakni kepastian Hukum. Untuk

29
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019, h. 67.
68

menjamin kelangsungan dan keseimbangan antara anggota masyarakat,


diperlukan aturan-aturan hukum.30
Mahkamah Agung sesuai dari isi surat tersebut memandang
Komisi Pemilihan Umum tidak konsisten dengan apa yang menjadi
ketentuan didalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019.
Oleh karena itu sebelumnya peneliti mengatakan sebenarnya Mahkamah
Agung mengabulkan semua tuntutan dari Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan didalam uji materiil. Hanya karena pada poin tuntutan yang
meminta agar Mahkamah Agung menginstruksikan Komisi Pemilihan
Umum untuk menetapkan pengganti berdasarkan rekomendasi partai
politik yang ditolak, hal tersebut dikarenakan bukan menjadi poin didalam
Hak uji materiil. Berdasarkan hal tersebut, peneliti berpendapat jika hanya
bersandar pada Putusan Mahkamah Agung tersebut, maka benar adanya
Komisi Pemilihan Umum tidak konsisten terhadap Putusan Mahkamah
Agung. Akan tetapi didalam menjalankan pemerintahan, Lembaga Negara
harus berdasarkan dengan Peraturan PerUndang-Undang yang berlaku.
Didalam Negara Hukum harus menjalankan Asas Legalitas, Asas legalitas
merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam
setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan disetiap Negara
Hukum.31 Dalam hal ini mengenai mekanisme Penggantian Antar Waktu
diatur dalamUndang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MPR,DPR,DPD dan DPRD.
Komisi Pemilihan Umum mengenai proses Penggantian Antar
Waktu sebagai pelaksanaan dari Putusan Mahkamah Agung Nomor
57/P/HUM/2019 telah menjalankan fungsinya sebagai lembaga negara,
dengan menjalankan apa yang telah diamanatkan Undang-Undang untuk
selalu berdasarkan Undang-Undang dalam memutus atau menetapkan Hal
tersebut. Menurut peneliti, Penggantian Antar Waktu Nazaruddien Kiemas
oleh Rezky Aprilia telah dijalankan sesuai dengan amanat Pasal 242 Ayat
30
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), h. 40.
31
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 90.
69

(2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD. Hal ini menurut peneliti sebagai bentuk Negara Hukum yang mana
dalam menjalankan roda pemerintahan harus berdasarkan dengan
ketentuan Perundang-undangan yang berlaku untuk adanya suatu
kepastian hukum.
Pendapat peneliti mengenai apa yang menjadi ketetapan Komisi
Pemilihan Umum untuk memilih Rezky aprillia sebagai Pengganti Antar
Waktu Nazaruddien Kiemas dengan berdasarkan ketentuan Pasal 242 ayat
2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD Dan
DPRD dengan mengesampingkan Surat Pendapat Mahkamah Aagung
tersebut benar adanya dengan alasan Komisi Pemilihan Umum hanya
menjalankan Fungsinya sebagai lembaga pemerintahan untuk menciptakan
suatu kepastian hukum. Hukum dibuat atau dibentuk bertujuan untuk
memenuhi rasa keadilan, kepastian, dan ketertiban. Menurut Hans Kelsen,
hukum adalah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan
pada aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa
peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Undang-Undang yang berisi
aturan-aturan yang bersifat umum menjadi semacam acuan serta batasan
berprilaku dalam bermasyarakat. Adanya aturan dan dilaksanakannya
aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.32
Konklusi dari upaya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk
mengembalikkan Haknya dengan Pengganti Antar Waktu terwujud dengan
adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019 yang
sebelumnya hak tersebut dianulir berdasarkan Pasal 54 ayat (5) huruf k
dan l juncto Pasal 55 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan
Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum, dan Pasal 92 huruf a
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2019 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan
Penetapan Hasil Pemilihan Umum. Walau dalam pelaksanaan dari putusan

32
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum.,(Jakarta: Kencana, 2009), h. 47.
70

tersebut menimbulkan polemik yang disebabkan Putusan Mahkamah


Agung tersebut dianggap multi tafsir. Mengenai hal ini Peneliti
berpendapat bahwa amanat dari kedaulatan rakyat yang bersumber dari
suara-suara masyarakat yang memilih Nazaruddien Kiemas tetap berjalan
dengan adanya Pengganti Antar Waktu yang seharusnya membawa
kepentingan-kepentingan rakyat melalui apa yang telah dicanangkan
bersama dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah memperhatikan, menelaah serta menganalisa Putusan
Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019 tentang Uji materiil penjelasan
makna Pasal 54 Ayat (5) huruf K dan I juncto Pasal 55 Ayat (3) Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia nomor 3 tahun 2019 tentang
pemungutan dan perhitungan suara dalam Pemilihan Umum dan Pasal 92
huruf A Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2019 Tentang Rekapitulasi hasil Penghitungan Perolehan Suara dan
Penetapan hasil Pemilihan Umum, serta berdasarkan penjelasan Bab-bab
terdahulu dan untuk mengakhiri pembahasan dalam skripsi ini peneliti
memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019
pertimbangan Hakim yang paling utama terkait Penggantian Antar Waktu.
Pertama, pertimbangan Mahkamah terkait Pemohon sebagai peserta
Pemilu Anggota Legislatif, sebagai sarana rekrutmen politik (political
recruitment) Partai Politik diberikan otoritas penuh untuk menyeleksi dan
menentukan Calon Anggota Legislatif yang akan mengikuti kontestasi
Pemilu. Kedua, hubungan antara Calon Anggota Legislatif dengan Partai
Politik yang mengusung dan mengusulkannya adalah hubungan yang
bersifat subordinatif, karena seorang caleg tidak mungkin dapat mengikuti
kontestasi Pemilu tanpa dicalonkan oleh partai politiknya. Ketiga,
perolehan suara calon anggota legislatif yang meninggal dunia untuk
Pemilihan Anggota DPR dan DPRD dengan perolehan suara terbanyak
memang menjadi kewenangan diskresi dari pimpinan partai politik untuk
menentukan kader terbaik sebagai anggota legislatif yang akan
menggantikan calon anggota legislatif yang meninggal dunia tersebut
namun tetap memperhatikan peraturan Perundang-undangan yang berlaku
dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Diskresi pimpinan partai

71
72

politik tersebut harus diterapkan secara ketat, terukur dan dapat


dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum, agar tercapainya tujuan
untuk meningkatkan kualitas keberadaan suatu partai politik dan
penguatan kaderisasi partai.
2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019 ini memiliki
beberapa implikasi bagi Komisi Pemilihan Umum dan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan khususnya terkait Penggantian Antar Waktu Calon
Anggota Legislatif terpilih yang meninggal dunia. Pertama, Implikasi
terhadap makna beberapa pasal yang diuji menjdi tidak memiliki kekuatan
hukum tetap. Maka dalam hal ini Pasal 54 ayat (5) huruf K dan I juncto
Pasal 55 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia
nomor 3 tahun 2019 tentang pemungutan dan perhitungan suara dalam
Pemilihan Umum dan Pasal 92 huruf A Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rekapitulasi
hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan hasil Pemilihan
Umum tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Kedua, Implikasi terhadap
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mendapati haknya untuk
melakukan penggantian antar waktu yang sebelumnya hak tersebut sempat
hilang dengan adanya Pasal 54 ayat (5) huruf K dan I juncto Pasal 55 ayat
(3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia nomor 3 tahun
2019 tentang pemungutan dan perhitungan suara dalam Pemilihan Umum
dan Pasal 92 huruf A Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rekapitulasi hasil Penghitungan
Perolehan Suara dan Penetapan hasil Pemilihan Umum. Ketiga, Implikasi
terhadap Independensi Mahkamah Agung terkait proses penggantian antar
waktu yang dalam hal ini Mahkamah Agung ceroboh dalam mengeluarkan
pendapat hukum dalam Surat Mahkamah Agung yang menurut penulis
tidak tepat pelaksanaannya dan dapat menimbulkan hilangnya kepercayaan
publik Mahkamah Agung sebagai salah satu kekuasan kehakiman yang
merdeka bebas dari pengaruh politik. Keempat, Implikasi terhadap
penjelasan kedudukan Partai Politik didalam lembaga perwakilan rakyat,
73

yang mana didalam pertimbangan Mahkamah Agung terlalu mendewakan


status Partai Politik didalam Pemilihan Umum. hal tersebut tentu secara
tersirat yang menjadi anggota didalam lembaga perwakilan rakyat adalah
Partai Politik bukan Anggota yang terpilih oleh suara rakyat dalam
Pemilihan Umum. Kelima, Implikasi terhadap Implementasi Putusan
Mahkamah Agung oleh Komisi Pemilihan Umum, yang dalam prosesnya
Komisi Pemilihan Umum menolak usulan atau rekomendasi dari Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan yang memilih Harun Masiku yang
didalam Pemilihan Umum Legislatif memperoleh suara terbanyak urutan
kelima. Penolakan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum didasari
oleh ketentuan didalam Pasal 242 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang penetapan
penggantinya berdasarkan urutan perolehan suara terbanyak dalam
Pemilihan Umum Legislatif berikutnya. Maka Komisi Pemilihan Umum
menetapkan Rezky Aprillia sebagai Pengganti antar waktu Nazaruddien
Kiemas yang meninggal dunia.

B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, melalui penelitian
ini, peneliti mengajukan saran konstruktif dalam penelitian ini sebagai
berikut:
1. Bagi Mahkamah Agung sebagai Lembaga tinggi Negara agar lebih
memperhatikan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku terkait
dengan apa yang menjadi batu uji didalam sidang Hak uji materill.
Agar tidak menimbulkan multi tafsir bagi pihak pemohon dan
termohon.
2. Bagi Partai Politik, pada dasarnya Hak penggantian antar waktu
memang menjadi Hak Partai Politik, dan mekanismenya dijelaskan
didalam Pasal 242 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Namun bukan berarti
74

menjadikan Partai Politik dapat memilih Pengganti berdasarkan


keinginannya tanpa mempertimbangkan aspek yang lain.
3. Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga negara, dalam membuat
peraturan terkait Pemilihan Umum agar lebih memperhatikan aspek-
aspek yang memang menjadi Hak dari Peserta Pemilihan Umum. Dan
agar lebih mengkaji dari Peraturan-peraturan yang telah ada
sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. Filsafat Hukum. (Jakarta : Sinar Grafika. 2009).

Arrasjid, Chainur. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. (Jakarta : Sinar Grafika. 2008).

Asshiddiqie, Dan M. Ali Safa’at. Theory Hans Kelsen Tentang Hukum. (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006).

__________, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca


Reformasi. (Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi. 2005).

__________, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara. (Jakarta : PT. Bhuana


Ilmu Populer. 2007).

Aziz, Machmud. Pengujian Peraturan Perundang-undangan Dalam Sistem


Perundang-undangan Di Indonesia. Jurnal Mahkamah Konstitusi Vol. 7
No. 6. Edisi Desember 2010.

Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.


2010).

Busroh, Abu Daud. Ilmu Negara. (Jakarta : PT Bumi Aksara. 2008).

Fadjar, Mukhtie. Tipe Negara Hukum. (Malang: Bayu Media Publishing. 2005).

Fahmi, Khairul. Pemilihan Umum dan Kedaulatan rakyat. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2011).

Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan (Jakarta: Kanisius. 1998).

______, Maria. Ilmu Perundang-undangan. jenis. fungsi. dan materi muatan.


(Yogyakarta: kanisius. 2007).

Hoessein, Zainal Arifin. Judicial Review Di Mahkamah Agung RI. Tiga Dekade
Pengujian Peraturan Perundang-undangan. (Jakarta : Raja Grafindo.
2009).

HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: Rajawali Pers. 2013).

https://www.pengertianmenurutparaahli.com/pengertian-implikasi/. diakses pada


18 Agustus 2020.

Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. (Jakarta : PT RajaGrafindo


Persada. 2010).

75
76

____, Ni’matul. Ilmu Negara. (Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2010).

____, Ni’matul. Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi. (Yogyakarta


: UII press. 2007).

____, Ni’matul. Penataan Demokrasi & Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi.


(Jakarta: Kencana. 2017).

____, Ni’matul. Recall Anggota DPR dan DPRD dalam Dinamika Ketatanegaraan
Indonesia. Mimbar Hukum Vol.23 (Oktober 2011).

Jurdi, Fajrulrahman. Pengantar Hukum Partai Politik. (Jakarta : Kencana. 2005).

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Departemen Pendidikan


Nasional.

Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Balai
Pustaka. 1989).

Kusnardi, Muh dan Bintan R. Saragih. Ilmu Negara. Edisi Revisi. (Jakarta : Gaya
Media Pratama. 2000).

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana. 2010).

Marzuki, Suparman. Peran Komisi Pemilihan Umum dan Pengawas Pemilu Yang
Demokratis. Ius Iustum law Journal Of Islamic University Of Indonesia.
Vol. 15 No. 3 Juli 2008.

MD, Mahfud. Demokrasi Konstitusi di Indonesia. (Yogyakarta: Liberty. 1993).

___, Mahfud. Politik Hukum di Indonesia. (Jakarta : Rajawali Press. 2014).

Nurtjahjo, Hendra. Filsafat Demokrasi. (Jakarta : Bumi Aksara. 2006).

Prihatmoko, Joko J. pemilihan kepala daerah langsung: filosofi dan problema


dalam penerapan di Indonesia. (Semarang: Pustaka Pelajar. 2007).

Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2019.

Santoso, Kholid O. Mencari Demokrasi Gagasan dan Pemikiran. (Bandung :


Sega Arsy. 2009).

Saraswati, Retno. Problematika Hukum Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011


Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jurnal Yustitia
Vol.2 No.3 (September-Desember. 2013).
77

Simanjuntak, Enrico. Kewenangan Hak Uji Materiil Pada Mahkamah Agung.


jurnal hukum dan peradilan Vol. 2 No. 3. Edisi November 2013.

Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka. Perihal Kaidah Hukum. bandung:


PT. Citra Aditya Bakti. 1993.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mahmudji. Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di


Dalam Penelitian Hukum. (Jakarta: Pusat Dokumen Universitas Indonesia.
1979).

Soeroso, R. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika. 1992).

Subagyo, Firman. Menata Partai Politik Dalam Arus Demokratisasi Indonesia.


(Jakarta : Wahana Semesta Intermedia. 2009) .

Subhan, M. Hadi. recall: Antara hak Partai Politik Dan Hak Berpolitik Anggota
Partai Politik. Jurnal Konstitusi III. No. 4 (Desember 2006).

Sulastri, dewi Dan Neni Nuraeni. Interpretasi kewenangan Recall Partai Politik
Dalam Tatanan Pemerintahan Perspektif Siyasah Syar’iyah. Jurnal Varia
Hukum. Vol. 1 No. 1. Edisi Januari 2019.

Surbakti, Ramlan. Demokrasi Menurut Pendekatan Kelembagaan Baru. Jurnal


Ilmu Pemerintahan. Edisi 19 Tahun 2003.

Syahputra, Muhammad Yusrizal Adi. Kajian Yuridis Terhadap Penegasan


Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dalam perspektif
stufen theorie. Jurnal Mercatoria Vol. 9 No. 2 (Desember. 2016).

Syahrani, Riduan. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. (Bandung: Citra Aditya.


1999).

Thamrin, Abu Dan Nurhabibi Ihya. Hukum Tata Negara. (Ciputat : Lembaga
Penelitian UIN Syarief Hidayatullah Jakarta. 2010).

Tutik, Titik Triwulan. Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca


Amandemen UUD 1945. (Jakarta : Kencana. 2010).

Wahidin, Samsul. distribusi Kekuasaan Negara Indonesia. (Yogyakarta : Pustaka


Pelajar. 2014).

Anda mungkin juga menyukai