Anda di halaman 1dari 74

PEMBATALAN SITA EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA OLEH

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)


(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 869 K/Pdt.Sus-BPSK/2019)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

DIVA RAMAHANI
NIM: 11170480000067

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1443 H/2022 M
PEMBATALAN SITA EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA OLEH
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 869 K/Pdt.Sus-BPSK/2019)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

DIVA RAMADHANI
NIM: 11170480000067

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1443 H/2022 M

i
PEMBATALAN SITA EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA OLEH
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 869 K/Pdt.Sus-BPSK/2019)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Diva Ramadhani
NIM: 11170480000067

Dibawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Mustolih, S.H.I., M.H. M. Yasir, S.H., M.H.


NUPN. 2009088001 NUPN. 9920112799

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443 H/2022 M

ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA
UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “PEMBATALAN SITA EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA


OLEH BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)
ANALISIS PUTUSAN NOMOR 869 K/PDT.SUS-BPSK/2019)” Oleh Diva
Ramadhani NIM 11170480000067 telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas
Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam NegeriSyarif
Hidayatullah Jakarta Pada 26 Januari 2022. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana program Strata Satu (S-1) pada Program Studi
Ilmu Hukum.

Jakarta, 20 April 2022


Mengesahkan
Dekan,

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.


NIP. 19760807 200312 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Ketua : Dr. M Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.


NIP. 19670203 201411 1 001

Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum.


NIP. 19650908 199503 1 001

Pembimbing I : Mustolih, S.H.I., M.H.


NUPN. 2009088001

Pembimbing II : M. Yasir, S.H., M.H.


NUPN. 9920112799

Penguji I : Dr. Raditya Permana, S.H., M.Hum.


NIP. 197607152002121002

Penguji II : Nisrina Mutiara Dewi, SE. Sy., M.H.


NUPN. 9920112862

iii
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Diva Ramadhani

NIM : 11170480000067

Program Studi : Ilmu Hukum

Alamat : Jl. Condet Raya No. 63B, Balekambang, Kramat Jati

Kontak : 089661155337

Email : ramadhanidiv@gmail.com

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti hasil karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 18 Januari 2022

Diva Ramadhani

iv
ABSTRAK
DIVA RAMADHANI, NIM 11170480000067, “Pembatalan Sita
Eksekusi Jaminan Fidusia Oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 869 K/PDT.SUS-
BPSK/2019)”. Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442
H/2022 M.
Permasalahan utama dalam skripsi ini adalah maraknnya kasus eksekusi
jaminan fidusia yang dilakukan oleh kreditur dikarenakan terjadinya wanprestasi
oleh debitur seperti yang terjadi pada perkara dalam Putusan Nomor 869
K/Pdt.Sus-BPSK/2019 yang dapat merugikan posisi kreditor dari Perjanjian
Pembiayaan Konsumen tersebut. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui
menganalisis pertimbangan hukum putusan Nomor 869 K/Pdt.Sus-BPSK/2019
terkait kreditur yang ingin membatalkan kemenangan debitur di tingkat
pengadilan negeri menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan Yuridis Normatif. Yuridis
Normatif dalam penelitian ini memiliki dua sumber hukum, yakni sumber hukum
primer dan sekunder. Adapun sumber hukum primer merujuk pada Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Teori Keadilan dan Teori Perlindungan Hukum.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa pihak debitur (Aidil tri Yanda)
telah terbukti sah melakukan wanprestasi yang melanggar perjanjian pembiayaan
konsumen dengan menunggak pembayaran secara angsuran kepada pihak kreditur
(PT. Toyota Astra Financial Services). Putusan Hakim Mahkamah Agung Nomor
869 K/Pdt.Sus-BPSK/2019, membatalkan putusan BPSK dan mengabulkan
permohonan keberatan untuk menyatakan perjanjian pembiayaan konsuumen ini
bukan kewenangan dari BPSK.
Kata Kunci : BPSK, Perjanjian Pembiayaan, Jaminan Fidusia.

Pembimbing Skripsi :1. Mustolih, S.H.I., M.H.


2. M. Yasir, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : 1985 sampai 2021

v
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Segala puji bagi Allah Subhanallah wa Ta’ala yang telah memberikan
nikmat dan karunia yang tidak terhingga. Shalawat serta salam semoga tercurahkan
kepada Baginda Nabi Muhammad Shollahu ‘alaihi Wassallam, beserta seluruh
keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau sampai akhir zaman nanti. Dengan
mengucap Alhamdulillahi Robbil ‘alamin, akhirnya penulis dapat menyelesaikan
tugas akhir pada perkuliahan dalam bentuk skripsi dengan judul “PEMBATALAN
SITA EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA OLEH BADAN PENYELESAIAN
SENGKETA KONSUMEN (BPSK) (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG NOMOR 869 K/PDT.SUS-BPSK/2019)”.
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis
menyadari sepenuhnya dalam pembuatan dan penyusunan skripsi ini masih banyak
kekurangan. penyusunan skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai
pihak,yang pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Khalie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta beserta jajarannya.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program

Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris

Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan arahan untuk

menyelesaikan skripsi ini.

3. Mustolih, S.H.I., M.H. dan M. Yasir, S.H., M.H. Pembimbing

Skripsi, yang telah memberikan waktu, arahan, bimbingan, dan

vi
kesabaran dalam membimbing penulis agar dapat menyelesaikan

skripsi ini.

4. Pimpinan Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam menyediakan

fasilitas yang memadai untuk peneliti mengadakan studi

kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

5. Kedua orang tua, yang selalu memberikan doa, dukungan moral,

fasilitas dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan baik.

6. Semua pihak yang telah terlibat secara langsung maupun tidak

langsung dalam proses penulisan skripsi ini, yang tidak dapat

penulis sebutkan satupersatu. Hanya doa serta ucapan terimakasih

yang dapat penulis sampaikan, semoga Allah SWT membalas

semua kebaikan-kebaikan kalian.

Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat memberikan manfaat yang

berarti bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang hukum

bisnis. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan dari para

pembaca sehingga dapat menyempurnakan penulisan ini.

Wasalamualaikum Wr. Wb

Jakarta, 18 Januari 2022

Penulis

vii
DAFTAR ISI

COVER ............................................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................ iii

LEMBAR PENYATAAN ................................................................................. iv

ABSTRAK.......................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi

DAFTAR ISI ................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN I

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1


B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 6
D. Metode Penelitian ................................................................... 7
E. Sistematika Pembahasan....................................................... 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SITA EKSEKUSI


JAMINAN FIDUSIA

A. Kerangka Konseptual ........................................................... 11


B. Kerangka Teori .................................................................... 22
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .................................... 25

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA EKSEKUSI JAMINAN


FIDUSIA

A. Deskripsi Perkara dalam Putusan Nomor 869 K/Pdt.Sus-


BPSK/2019 .......................................................................... 28
1. Duduk Perkara ................................................................. 28
2. Petitum Pemohon Keberatan ............................................ 34

viii
B. Eksekusi Jaminan Fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 .......................................................................... 35

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA PERKARA DALAM


PUTUSAN NOMOR 869 K/PDT.SUS-BPSK/2019

A. Analisis Putusan Hakim dan Pertimbangan Hakim pada Putusan


Nomor 869 K/Pdt.Sus-BPSK/2019 ....................................... 38
B. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur dalam Perjanjian
Jaminan Fidusia .................................................................... 51

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................... 58
B. Rekomendasi ........................................................................ 59

DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 60

ix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pada dasarnya hubungan yang saling membutuhkan antara pelaku
usaha dengan konsumen ada di dalam kegiatan berbisnis, baik berbentuk
barang ataupun jasa. Disini yang menjadi kepentingan utama dalam
berbisnis adalah agar dapat memperoleh keuntungan semaksimal mungkin
yang berasal dari hubungan bertransaksi dengan konsumen. Di sisi lain,
konsumen juga memiliki kepentingan, yaitu dapat diperolehnya kepuasan
atas terpenuhinya kebutuhan terhadap barang atau jasa tertentu.
Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan
khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah
menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi.
Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen
karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan
dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka
jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan
konsumen.1
Konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan kualitas yang
diinginkan. Dalam hubungan yang demikian, seringkali terdapat
ketidaksetaraan antara keduanya dimana secara umum konsumen berada
pada posisi tawar – menawar yang lemah. Akibatnya menjadi sasaran
eksploitasi dari pelaku usaha atau produsen yang secara sosial dan ekonomi
memiliki posisi yang kuat. Untuk melindungi atau memberdayakan
konsumen sangat diperlukan adanya campur tangan pemerintah dan/atau
negara melalui penetapan sistem perlindungan hukum terhadap konsumen. 2

1
Weny Almoravid Dungga, Tugas dan Wewenang BPSK dalam Menyelesaikan Sengketa
Konsumen Ditinjau Dari Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999, Jurnal Hukum Legalitas, ISSN
:1979-5955, Vol 9 No1. 2, 2016. h. 118.
2
Rosmawati, Pokok- Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, (Depok: Prenadamedia Group,
2018), h. 108.

1
2

Perlindungan konsumen haruslah mendapat perhatian lebih dikarenakan


investasi asing yang telah menjadi bagian dari pembangunan ekonomi
Indonesia yang mana berkaitan juga dengan ekonomi dunia. Tidak jarang
dalam persaingan internasional juga membawa dampak negatif pada
konsumen. Bentuk dari perlindungan konsumen bukan hanya terhadap
kualitas barang – barang saja tetapi juga terhadap barang yang kemungkinan
dapat membahayakan kehidupan masyarakat.
Perkembangan masyarakat secara dinamis di bidang bisnis dan
ekonomi ternyata telah membawa implikasi yang cukup mendasar terhadap
pranata dan lembaga hukum di Indonesia. Implikasi terhadap pranata
hukum disebabkan kurang memadainya perangkat norma untuk mendukung
kegiatan bisnis dan ekonomi yang sedemikian pesatnya, kondisi tersebut
kemudian diupayakan dengan melakukan reformasi hukum. Adapun
implikasi dari kegiatan bisnis terhadap lembaga hukum, juga berakibat
terhadap lembaga pengadilan yang dianggap tidak professional dalam
menangani sengketa bisnis, bahkan tidak independen. Akibatnya, lembaga
pengadilan dianggap tidak efektif dan efisien dalam memeriksa, mengadili,
serta menyelesaikan sengketa bisnis yang diajukan.3
Penyelesaian sengketa secara patut merupakan harapan setiap orang
yang sedang menghadapi persengketaan dengan pihak lain, termasuk antara
konsumen dan pelaku usaha. Penyelesaian sengketa yang ditempuh oleh
para pihak dapat melalui pengadilan ataupun di luar pengadilan, namun
penyelesaiannya kadang dirasa tidak patut, terlebih jika para pihak yang
menghadapi sengketa tersebut memiliki kedudukan yang tidak seimbang.
Ketidakseimbangan tersebut juga banyak terjadi dalam hubungan antara
konsumen dan produsen.4 Untuk melindungi hak – hak dari konsumen maka
lahirlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

3
Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan
Keadilan, (Jakarta:Tatanusa, 2004), h. 3.
4
Ahmadi Miru, Prinsip – prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia,
(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011), h. 210.
3

Perlindungan Konsumen Pasal 45 angka (1) dijelaskan bahwa setiap


konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga
yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha
atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum, (2)
penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau
di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa.
Penyelesaian sengketa yang terjadi antara pelaku usaha dan konsumen
ditetapkan berdasarkan Pasal 49 UUPK yang dapat diselesaikan melaui
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Jika konsumen memilih
BPSK sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa konsumen, maka
alternatif penyelesaian sengketa sebagai dasar proses penyelesaiannya. 5
BPSK adalah lembaga yang menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha
dan konsumen yang mana sifat dari penyelesaiannya tersebut adalah win –
win solutions. Pada awalnya pembentukan BPSK ini diperuntukkan kepada
masyarakat yang cenderung segan untuk beracara di pengadilan
dikarenakan adanya ketidak seimbangan antara pelaku usaha dan
konsumen. Cara ini dinilai sebagai jalan keluar terbaik yang bisa dicapai
oleh para pihak yang sedang bersengketa yang dalam prosesnya
menggunakan pihak ketiga yang mempunyai kapasitas sesuai bidangnya
yang nantinya ditunjuk sebagai penengah antara para pihak yang
bersengketa. Pihak ketiga disini haruslah memiliki sifat yang netral dan
tidak memiliki keberpihakan kepada salah satu pihak yang sedang
bersengketa.
Proses penyelesaian sengketa di BPSK dapat ditempuh melalui tiga
cara yakni dengan cara Konsiliasi, Mediasi atau Arbitrase. Setelah para
pihak menyetujui cara apa yang akan digunakan, maka para pihak wajib
mengikutinya. Setelah konsumen dan pelaku usaha mencapai kesepakatan
untuk memilih salah satu cara penyelesaian sengketa konsumen dari 3 (tiga)

5
Dony Adria Novri, Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Jurnal Jendela
Informasi Hukum Bidang Perdagangan Kemendag RI, Edisi Ketiga, 2011 h. 9.
4

pilihan tersebut, maka pada saat itu penyeleselaian sengketa konsumen yang
menjadi pilihan harus dilaksanakan.
Jika para pihak telah memilih cara konsiliasi atau cara mediasi dan
dalam proses penyelesaiannya gagal atau tidak tercapai kesepakatan
mengenai bentuk atau besarnya jumlah ganti rugi, maka para pihak maupun
majelis BPSK dilarang melanjutkan penyelesainnya dengan cara konsiliasi
atau arbitrase. Penyelesaiannya selanjutnya dapat dilakukan melalui
peradilan umum. BPSK adalah lembaga penyelesaian sengketa konsumen
di luar pengadilan, sehingga BPSK menutur peraturan perundang-undangan
telah dipisahkan dari lingkup peradilan, namun nyatanya pada pasal-pasal
tertentu dalam UUPK, tetap memberikan penghubung dengan badan
peradilan, sehingga tidak dapat dilepaskan begitu saja dari sistem peradilan
umum, baik perdata maupun pidana.6
Pada saat berperan sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa
konsumen adakalanya BPSK dinilai belum mampu memberikan hasil yang
maksimal/memuaskan kepada para pihak yang sedang bersengketa, hal ini
bisa terjadi karena kemungkinan adanya hambatan atau kendala – kendala
dalam BPSK ketika melaksanakan perannya sebagai lembaga alternatif
penyelesaian sengketa konsumen. Salah satu kendala dalam hal ini bisa
berkaitan dengan masalah terkait jaminan kebendaan khususnya jaminan
fidusia. Dewasa ini umunya jaminan fidusia biasa digunakan untuk
menjamin pembayaran kembali dari pihak debitur yang menggunakan jasa
perusahaan pembiayaan yang digunakan untuk membeli kendaraan.
Kemungkinan masalah yang dapat terjadi adalah di pertengahan kontrak
pembiayaan adakalanya pihak debitur mengalami masalah keuangan yang
bisa diakibatkan dari berbagai masalah terkait perekonomian, hal inilah
yang menyebabkan terjadinya keterlambatan atau tunggakkan pembayaran
oleh pihak debitur kepada pihak kreditur.

6
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: Prenada Kencana, 2008), h. 155.
5

Dalam kondisi seperti ini biasanya pihak kreditur akan berasumsi


bahwa pihak debitur telah melakukan wanprestasi dan sesegera mungkin
melakukan tindakan eksekusi atas jaminan fidusia yang berdasar pada
sertifikat jaminan fidusia yang telah diberikan kepada pihak kreditur dimana
sebagai pihak yang menerima jaminan fidusia. Jika kondisi ini terjadi,
tentunya akan sangat menyulitkan untuk pihak debitur karena
ketidakmampuan untuk melakukan pembayaran kepada pihak kreditur
padahal sebenarnya pihak debitur memiliki itikad baik untuk membayar,
hanya saja keadaan ekonomi dari pihak debitur yang tidak dapat
dikendalikan yang terjadi di luar kekuasaanya. Akibatnya pihak kreditur
melakukan pengeksekusian terhadap jaminan fidusia tersebut.
Seperti pada perkara yang terjadi antara PT. Toyota Astra Financial
Services (Pemohon Kasasi) dengan Aidil Tri Yanda (Termohon Kasasi)
yang telah diputus dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap pada
putusan Mahkamah Agung Nomor 869 K/Pdt.Sus-BPSK/2019. Perkara ini
adalah lanjutan dari penyelesaian sengketa konsumen lewat arbitrase yang
diputus oleh BPSK Kota Medan Nomor 070/Pen/2018/BPSK-Mdn pada
tanggal 26 Juli 2018 yang telah diperkuat dengan putusan Pengadilan
Negeri Nomor 506/Pdt.Sus-BPSK/2018 PN Mdn pada tanggal 22
November 2018.
Sebagaimana uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan
membahas penulisan dalam bentuk skripsi yang berjudul:
“PEMBATALAN SITA EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA OLEH
BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN OLEH (BPSK)
(Analisis Putusan Makamah Agung Nomor 869 K/Pdt.Sus-
BPSK/2019)”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada penjabaran yang telah diuraikan dalam latar
belakang maka identifikasi masalahnya adalah :
6

a. Pengajuan Keberatan terhadap putusan BPSK ke tingkat pengadilan


Negeri
b. Faktor-faktor yang mendasari terkait dengan debitur cidera janji
c. Kendala BPSK dalam melaksanakan peran sebagai lembaga
alternatif penyelesaian sengketa
d. Pembatalan sita eksekusi jaminan fidusia oleh Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen
e. Perilaku konsumen yang segan untuk beracara di pengadilan
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang telah ditulis
di atas maka pembahasan kali ini berfokus pada satu titik permasalahan,
dalam hal ini penulis ingin membahas mengenai pembatalan sita
eksekusi jaminan fidusia oleh BPSK.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan
pembatasan masalah yang sudah dipaparkan, penulis hanya berfokus
pada pembatalan sita eksekusi jaminan fidusia oleh BPSK. Penulis
mempertegas dalam bentuk pertanyaan, sebagai berikut:
a. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 869
K/Pdt.Sus-BPSK/2019 terkait kreditur yang ingin membatalkan
kemenangan debitur di tingkat Pengadilan Negeri menurut peraturan
perundang-undangan yang ada ?
b. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap kreditur dalam
perjanjian jaminan fidusia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan
dari penelitian ini adalah:
a. Untuk menganalisis pertimbangan hukum putusan Nomor 869
K/Pdt.Sus-BPSK/2019 terkait kreditur yang ingin membatalkan
7

kemenangan debitur di tingkat pengadilan negeri menurut hukum yang


ada.
b. Untuk menjelaskan bentuk perlindungan hukum terhadap kreditur
dalam perjanjian jaminan fidusia.
2. Manfaat Penelitan
Penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik
dari segi teoritis dan segi praktis.
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai pengembangan dari
segi ilmu pengetahuan pada umumnya yang berkenaan dengan
kedudukan BPSK dalam menyelesaikan kasus sita eksekusi jaminan
fidusia serta dapat menganalilis pertimbangan hukum terhadap putusan
Nomor 869 K/Pdt.Sus-BPSK/2019.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini sekiranya dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam
hal perlindungan hukum terhadap kreditur dalam perjanjian jaminan
fidusia dan diharapkan dapat dijadikan referensi untuk penulisan hukum
yang lebih lanjut.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif (normative legal research)
adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji undang-undang
yang berlaku dan diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum
tertentu.7
Metode penelitian selanjutnya yang digunakan adalah Library
Research (Studi Kepustakaan) yang mengkaji mengenai informasi
tertulis tentang hukum dari berbagai sumber dan memperoleh data

7
Soejono dan H. Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003),
h. 56.
8

sekunder dengan cara membaca data – data tersebut yang berhubungan


dengan permasalahan yang dibahas.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach) yang
merujuk kepada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia dan pendekatan konseptual yang merujuk pada doktrin
– doktrin hukum yag ada.8
Pendekatan penelitian ini juga menggunakan pendekatan kasus
(case approach) yang memberikan penerapan-penerapan dari norma
atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum dalam Putusan
Nomor 869 K/Pdt.Sus-BPSK/2019.
3. Sumber Data
Dalam penelitian ini terdapat beberapa data yang digunakan
diantaranya adalah
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer dalam penelitian ini ialah perundang –
undangan dan berupa catatan – catatan resmi yang berkaitan dengan
permasalahan yang dibahas antara lain Putusan BPSK
070/PEN/2018/BPSK-Mdn, Putusan Pengadilan Negeri Nomor
506/Pdt.Sus-BPSK/2018 PN Mdn dan Putusan Nomor 869
K/Pdt.Sus-BPSK/2019. Selanjutnya Undang – Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang – Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Buku III terkait dengan perikatan,
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS.

8
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Ed.Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada
Media,2005), h. 178.
9

b. Bahan Hukum Sekunder


Bahan hukum sekunder ialah publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi yang meliputi buku-
buku teks, kamus hukum, dan jurnal hukum. Bahan hukum sekunder
ini diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara mengkaji informasi
mengenai hukum dari berbagai macam sumber.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier ini digunakan sebagai pelengkap dari bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ensiklopedi dan juga sumber yang
diakses melalui internet.
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi kepustakaan dimana dalam prosesnya yaitu mencari dan
membaca data – data yang nantinya diperlukan sebagai referensi dalam
penelitian ini yang diperoleh dari berbagai literatur seperti buku, skripsi,
artikel, jurnal dan peraturan perundang undangan yang di dapat dari
perpustakaan.
5. Teknik Pengolahan Data
Cara pengolahan data yang diperoleh dari bahan-bahan hukum
dilakukan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang sifatnya umum terhadap permasalahan konkret yang
dihadapi.
6. Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis kualitatif, yaitu suatu metode yang sifatnya mendeskripsikan
data yang sudah diperoleh berbentuk uraian kalimat yang logis dan
selanjutnya di beri penafsiran dan kesimpulan.
7. Pedoman Penulisan
10

Pedoman yang digunakan dalam penulisan ini yaitu mengacu


pada Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.
E. Sistematika Penulisan
Penulisan terbagi dalam lima bab. Masing – masing bab terdiri dari sub
bab yang sesuai dengan pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun
perinciannya sebagai berikut:
Bab Kesatu, Bab ini memuat pendahuluan yang menguraikan latar
belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, sistematika
penulisan.
Bab Kedua, Bab ini menguraikan kajian pustaka yang diawali dengan
kerangka konseptual yang berisi tinjauan umum yang relevan dengan
permasalahan penelitian dan dilanjutkan dengan kerangka teori dan tinjauan
(review) studi terdahulu.
Bab ketiga, Bab ini menyajikan data penelitian yang lebih berkenaan
dengan variabel yang diteliti secara objektif. Menjelaskan penyelesaian
sengketa konsumen menurut undang-undang.
Bab Keempat, Bab ini merupakan analisis dan interpretasi temuan.
Analisis data yaitu posisi kasus, menganalisa putusan Mahkamah Agung
Nomor 869 K/Pdt.Sus-BPSK/2019 dan kedudukan BPSK dalam
menyelesaikan sengketa jaminan fidusia.
Bab Kelima, Bab ini merupakan penutup yang berisikan kesimpulan
dan rekomendasi untuk menjawab masalah berdasarkan data yang diperoleh
dari bab sebelumnya.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG SITA EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA

A. Kerangka Konseptual
1. Konsumen
Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer, secara
harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang
yang menggunakan barang. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-
Indonesia yang memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau
konsumen. Kamus Umum Bahasa Indonesia mendefinisikan konsumen
adalah pemakai barang – barang hasil industri, bahan makanan, dan
sebagainya. Business English Dictionary menyebutkan consumer
adalah person or company which buys and uses goods and service.1
Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan konsumen sebagai
“Semua individu yang menggunakan barang dan jasa secara konkret dan
riil”. Kendatipun demikian Anderson dan Krumpt menyatakan
kesulitannya terhadap perumusan definisi konsumen, namun para ahli
hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah pemakai
terakhir dari benda dan/atau jasa yang diserahkan kepada mereka oleh
pengusaha. 2
Pasal 1 ayat (1) Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyebutkan “Konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Para ahli hukum Islam terdahulu tidak mendefinisikan mengenai
konsumen dan menjadikannya objek kajian khusus. Dalam pembahasan
ini, konsumen dalam jual beli yaitu pembeli (mustari‟). Di dalam akad,
pembeli merupakan salah satu pihak yang melakukan akad. Bila dilihat

1
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2013), h. 15.
2
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Edisi Pertama, ... , h. 16.

11
12

dari pengertian jual beli, “pembeli adalah orang, kelompok/badan


hukum yang mempertukarkan hartanya dengan harta penjual, dengan
tujuan kepemilikan.” Harta tersebut bisa untuk dikonsumsi atau bisa
juga untuk dijual kembali. Harta dalam Islam mencakup barang dan
jasa. Bila dilihat dari konsep Islam mengenai harta, hak, dan transaksi
kepemilikan, konsumen adalah: “setiap orang, kelompok, atau badan
hukum pemakai suatu harta benda atau jasa, karena adanya hak yang
sah, baik ia dipakai untuk pemakaian akhir ataupun untuk proses
produksi selanjutnya. 3
2. Sita Jaminan
Penyitaan dalam bahasa Belanda berasal dari kata “sita” atau
“beslag”. Sita adalah suatu tindakan hukum pengadilan atas benda
bergerak ataupun tidak bergerak milik tergugat atas permohonan
penggugat untuk diawasi atau diambil untuk menjamin agar tuntutan
penggugat/kewenangan penggugat tidak menjadi hampa. 4 Dalam
pengertian lain dijelaskan, bahwa sita adalah mengambil atau menahan
barang- barang (harta kekayaan dari kekuasaan orang lain) dilakukan
berdasarkan atas penetapan dan perintah Ketua Pengadilan atau Ketua
Majelis. 5
Sesuai dengan ketentuan Pasal 227 HIR maupun Pasal 270 Rv,
penggugat dapat meminta agar diletakkan sita terhadap harta kekayaan
tergugat. Atas permintaan itu, hakim diberi wewenang mengabulkan
pada tahap awal, sebelum dimulai proses pemeriksaan pokok perkara.
Dalam hal demikian, sebelum pengadilan sendiri mengetahui secara
jelas dan komplit dasar-dasar alasan gugatan, pengadilan telah bertindak
menempatkan harta kekayaan tergugat di bawah penjagaannya, seolah-

3
Deska Nur Finnisa, M Roji Iskandar, Titin Suprihatin, Perlindungan Konsumen dalam
Perspektif Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Hukum Islam
dalam Jual Beli, Spesia Seminar Penelitian Sivitas Akademika Unisba, Vol. I, No. 2, 2015. h. 3.
4
Wildan Suyuthi, Sita dan Eksekusi: Praktek Kejurusitaan Pengadilan, (Jakarta: PT.
Tatanusa, 2004), h. 20.
5
Izaac S. Leihitu dan Fatimah Achmad, Inti dari Hukum Acara Perdata Cet 2, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1985), h. 39.
13

olah harta tersebut diasingkan dari penguasaan tergugat sebagai


pemilik.6
Tujuan dari adanya Penyitaan antara lain:
1) Agar gugatan tidak illusior
Tujuan utama dari penyitaan, agar barang harta kekayaan
tergugat tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual-beli atau
penghibahan, dan agar tidak dibebani sewa-menyewa atau
diagunkan kepada pihak ketiga. Hal ini dimaksudkan untuk
menjaga keutuhan dan keberadaan harta kekayaan tergugat tetap
utuh seperti semula, selama proses pennyelesaian perkara
berlangsung, agar pada saat putusan memperoleh kekuatan hukum
yang tetap, barang yang disengketakan dapat diserahkan dengan
sempurna kepada penggugat.7
2) Objek eksekusi sudah pasti
Saat pengajuan permohonan sita diajukan, penggugat harus
menjelaskan identitas barang yang hendak disita seperti jenis,
ukuran, letak, dan batas-batasnya. Hal ini dilakukan agar sejak
awal sudah diketahui pasti objek barang yang disita untuk memberi
kepastian atas objek eksekusi apabila putusan berkekuatan hukum
tetap. Kemenangan penggugat secara langsung dijamin dengan
pasti oleh barang sitaan. Tidak membutuhkan waktu lagi untuk
mencari dan mengetahui dimana harta kekayaan tergugat berada.8

Pada dasarnya, dalam mengajukan gugatan agar gugatannya


mempunyai nilai eksekutorial, maka dimungkinkan untuk mengajukan
sita jaminan dalam pengajuan gugatannya hal ini sebagaimana diatur
dalam Pasal 227 HIR/Pasal 261 RBg yang menentukan:”Sita jaminan

6
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), h. 283.
7
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, … , h. 285.
8
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, … , h. 286-287.
14

adalah sita yang dapat dilakukan oleh pengadilan atas permohonan


penggugat untuk mengamankan barang yang sedang disengketakan
agar tidak rusak, hilang, atau dipindahtangankan sebelum perkara itu
berakhir”9

Penetapan sita jaminan pada dasarnya hanya sebatas pada sengketa


perkara utang-piutang yang ditimbulkan oleh wanprestasi. Dengan
diletakkannya sita pada barang milik tergugat, barang itu tidak dapat
dialihkan tergugat kepada pihak ketiga, sehingga tetap utuh sampai
putusan berkekuatan hukum tetap. Apabila tergugat tidak memenuhi
pembayaran secara sukarela, pelunasan utang atau ganti rugi itu,
diambil secara paksa dari barang sitaan melalui penjualan lelang.
Dengan demikian, tindakan penyitaan barang milik tergugat sebagai
debitur bukan untuk diserahkan dan dimiliki penggugat, tetapi
diperuntukkan melunasi pembayaran utang tergugat kepada
penggugat.10

Pada dasarnya penyitaan dalam perjanjian kredit dengan agunan


barang tertentu hanya meliputi barang itu saja, tanpa mempersoalkan
apakah nilainya cukup memenuhi jumlah tuntutan. Sekiranya setelah
dieksekusi ternyata nilainya tidak cukup membayar jumlah tuntutan,
penggugat dapat meminta penyempurnaannya dengan jalan menyita
eksekusi (executoir beslag) harta tergugat yang lain sesuai dengan asas
yang digariskan Pasal 1131 KUHPerdata.11

3. Jaminan Fidusia
Istilah dari “jaminan” adalah terjemahan dari Bahasa Belanda
yaitu: zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditor

9
Endang Hardian dan Lukman Hakim, Hukum Acara Perdata di Indonesia: Permasalahan
Eksekusi dan Mediasi, (Yogyakarta: CV. Budi Utama,2020), h. 16-17.
10
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), h. 339.
11
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, …, h. 342.
15

menjamin dipenuhinya tagihannya, disamping pertanggungan jawab


umum debitor terhadap barang-barangnya Selanjutnya Mariam Darus
Badrul Zaman, menyatakan bahwa: “Jaminan adalah suatu tanggungan
yang diberikan seorang debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur
untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan”. 12
Menurut Soebekti, Jaminan berfungsi sebagai berikut:13
1) Mempermudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang
memerlukannya.
2) Tidak melemahkan potensi (kekuatan) penerima kredit untuk
melakukan (meneruskan) usahanya.
3) Memberikan kepastian kepada kreditur dalam arti mudah
diuangkan untuk melunasi hutangnya debitur.
Jaminan dibagi 2 yaitu Jaminan Perorangan dan Jaminan Kebendaan.
1) Jaminan Perorangan
Jaminan perorangan (borgtocht/personal guarantee) adalah
jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh
seorang pihak ketiga guna menjamin pemenuhan kewajiban-
kewajiban debitur yang bersangkutan kepada kreditur, apabila
debitur cidera janji.
2) Jaminan Kebendaan
Jaminan kebendaan merupakan hak mutlak (absolut) atas suatu
benda tertentu yang menjadi objek jaminan suatu utang, yang suatu
waktu dapat diuangkan bagi pelunasan utang debitur apabila
debitur ingkar janji. 14
Menurut objek atau bendanya jaminan dibagi menjadi dua, yaitu:15

12
Dwi Tatak Subagiyo, Hukum Jaminan dalam Perspektif Undang – Undang Jaminan
Fidusia, (Surabaya: UWKS Press, 2018), h. 26.
13
Soebekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Jakarta:
Alumni, 1986), h. 29.
14
Rodrico A. R., Roosje L., Christine S. Tooy, Hipotek Sebagai Jaminan Hak Kebendaan
Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, Lex Et
Societatis, Vol. IX, No. 1, 2021. h. 149.
15
Dwi Tatak Subagiyo, Hukum Jaminan dalam Perspektif Undang – Undang Jaminan
Fidusia, …, h. 147.
16

1) Yang berobjek benda bergerak yakni Gadai dan Fidusia


2) Yang berobjek benda tidak bergerak/benda tetap yakni jika
rumah/bangunan yang berada diatas tanah orang lain
tetapi bisa diikat dengan jaminan fidusia.
3) Yang berobjek benda berupa tanah yakni diikat dengan hak
tanggungan.
Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia menyatakan bahwa Fidusia adalah pengalihan hak
kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan
bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam
penguasaan pemilik benda. Pada dasarnya, fidusia menjadi salah satu
lembaga yang jaminan khususnya adalah benda bergerak seperti
kendaraan bermotor berupa mobil dan motor.
Berdasarkan pasal tersebut fidusia dirumuskan secara umum, yang
belum dihubungkan atau dikaitkan dengan suatu perjanjian pokok jadi
belum dikaitkan dengan hutang. Adapun unsur-unsur perumusan
fidusia sebagai berikut :16
1) Unsur secara kepercayaan dari sudut pemberi fidusia
2) Unsur kepercayaan dari sudut penerima fidusia;
3) Unsur tetap dalam penguasaan pemilik benda;
4) Kesan ke luar tetap beradanya benda jaminan di tangan pemberi
fidusia;
5) Hak mendahului (preferen);
6) Sifat accessoir.
Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang – Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia, jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda
bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda
tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang - Undang Nomor 4

16
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, (Bandung: Citra Aditya Bakti
2002), h.160-175.
17

Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam


penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
Konsep pemberian jaminan fidusia adalah penyerahan hak milik
secara kepercayaan atas hak-hak kebendaan. Adapun yang dimaksud
dengan hak – hak kebendaan disini berupa hak atas suatu benda yang
bisa dimiliki dan dialihkan. Ciri-ciri atau sifat hak kebendaan yang
dapat dialihkan tersebut terdapat dalam surat dari Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia Rupublik Indonesia tertanggal 27 September
2006 Nomor C.HT.-1.10-74 menjelaskan bahwa: 17
1) Hak kebendaan bersifat mutlak, yaitu dapat dipertahankan terhadap
siapapun juga. Artinya, hak kebendaan punya kepemilikan mutlak
sehingga bisa dipertahankan terhadap siapa pun.
2) Hak kebendaan punya zaakgevolg atau droit de suite. Artinya, hak
tersebut mengikuti bendanya di mana pun atau di tangan siapa pun
benda tersebut berada.
3) Hak kebendaan memiliki droit de preference (hak mendahului).
Artinya, pemegang jaminan kebendaan berhak untuk mendapatkan
piutang terlebih dahulu daripada kreditur lainnya (jika ada) dari
hasil penjualan barang yang dijaminkan.

Droite de suite jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang


menjadi objek jaminan dalam tangan siapapun benda tersebut berada,
kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek jaminan
fidusia. Ketentuan ini merupakan pengakuan atas prinsip droite de suite
yang telah merupakan bagian peraturan perundang-undangan Indonesia
dalam kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan (in rem).18

17
Irma Devita Purnamasari,Hukum Jaminan Perbankan, (Jakarta : Mizan Pustaka, 2011) h.
83-84.
18
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000), h.125.
18

Pada dasarnya fidusia merupakan suatu perjanjian accesoir antara


kreditur dengan debitur yang isinya menyatakan penyerahan hak milik
secara kepercayaan atas benda-benda bergerak milik debitur kepada
kreditur namun, benda-benda ini masih dalam kekuasaan debitur
sebagai peminjam pakai dan tujuannya hanya untuk jaminan atas
pembayaran kembali uang pinjaman.

3. Penyelesaian Sengketa Konsumen


Penyelesaian sengketa konsumen ini dapat ditempuh melalui dua
jalur, yaitu jalur litigasi dan non-litigasi. Jika seorang konsumen merasa
dirugikan dan terlibat dalam suatu sengketa maka dapat diselesaikan
lewat lembaga peradilan umum. Dalam proses penyelesaian sengketa di
peradilan umum ini mengacu pada ketentuan yang berlaku dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 45 Undang – Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan “setiap
konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketta antara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan
peradilan umum”. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak lain
didasari oleh adanya ketidakpuasaan terhadap proses dalam
menyelesaikan sengketa di pengadilan karena dianggap lamban,
memakan waktunya yang lama, biaya yang tidak sedikit, juga adanya
ketidakpuasan dikarenakan lembaga peradilan yang sampai saat ini para
hakimnya masih rentan terhadap penyuapan.
Penyelesaian sengketa yang dilakukan secara non-litigasi atau yang
lebih dikenal istilah Alternative Dispute resolution (ADR) yaitu lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan
cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Badan penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yakni badan yang
bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha
dan konsumen. BPSK dibentuk oleh pemerintah di daerah tingkat II
19

(kabupaten/kota) untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar


pengadilan. Putusan BPSK bersifat final dan mengikat, tanpa upaya
banding dan kasasi. Kendatipun demikian antara BPSK dengan arbitrase
dan ADR tidak serta-merta sama secara keseluruhan, karena BPSK
diatur secara khusus dalam Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang perlindungan Konsumen, sedangkan arbitrase dan ADR diatur
dalam Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.19
Pasal 52 Undang – Undang Perlindungan Konsumen jo. SK.
Menperindag Nomor 25/MPP/Kep/12/2001 Tanggal 10 Desember 2001
tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen, yaitu:
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen
dengan cara konsiliasi, mediasi, dan arbitrase.
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen.
c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.
d. Melaporkan kepada penyidik umum jika terjadi pelanggaran
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).
e. Menerima pengaduan tertulis meupun tidak tertulis dari konsumen
tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.
f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan
konsumen.
g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen.
h. Memanggil dan meghadiri saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang
yang diduga mengetahui pelanggaran Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK).
i. Meminta bantuan kepada penyidik untuk menghadirkan saksi, saksi
ahli, atau setiap orang pada butir g dan butir h yang tidak bersedia

19
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Edisi Pertama, … , h. 142.
20

memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen


(BPSK).
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, dan atau
alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.
k. Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian di pihak
konsumen.
l. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen
(UUPK).

Seperti sudah disampaikan diatas, bahwa fungsi utama


BPSK adalah sebagai instrumen hukum penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan, dengan cara:

a. Mediasi
Berbeda halnya dengan negoisasi, dalam Pasal 1 Ayat 1 PERMA
RI Nomor 1 Tahun 2016 mediasi adalah cara penyelesaian sengketa
melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para
pihak dengan dibantu oleh pihak ketiga (mediator). Adanya pihak
ketiga (mediator) ini diharapkan dapat memberikan saran seperti
alternatif – alternatif dalam menyelesaikan sengketa yang nanti
selanjutnya dapat dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa.
b. Konsiliasi
Gunawan Widjaja dalam bukunya mengartikan konsiliasi sebagai
suatu proses penyelesaian sengketa alternatif yang melibatkan
seorang pihak ketiga atau lebih, dimana pihak ketiga yang diikut
sertakan untuk menyelesaikan sengketa seseorang secara
professional sudah dapat dibuktikan kehandalannya. Konsiliator
berkewajiban menyampaikan pendapatnya mengenai duduk
persoalan dari masalah atau sengketa yang dihadapi, alternatif cara
penyelesaian sengketa yang dihadapi, bagaimana cara penyelesaian
yang terbaik, apa keuntungan dan kerugian bagi para pihak, serta
21

akibat hukumnya. 20 Dalam hal konsiliasi jika sudah menemukan


hasil akhir untuk menyelesaikan sengketa, konsiliator tidak
mempunyai hak untuk membuat putusan terhadap sengketa yang
terjadi semua keputusan akan dikembalikan sepenuhnya kepada
pihak yang bersengketa sesuai dengan kesepakatan.
c. Arbitrase
Menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 yang dimaksud
arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sementara
Subekti dalam bukunya mengatakan bahwa arbitrase dalah
penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para
hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada
atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka
pilih. 21
Dalam menyelesaikan perkara konsumen, BPSK harus memegang
tiga prinsip utama. Hal ini senada dengan pendapat S.Sothi Rachagan—
Vice the Chancellor of Nilai University—yang mengatakan bahwa,
mengelola lembaga penyelesaian sengketa konsumen tidak boleh lepas
dari prinsip berikut:22
a. Prinsip aksebilitas. Prinsip aksesibilitas merupakan upaya untuk
menyebarluaskan lembaga yang berfungsi menuntaskan perkara
sengketa konsumen. Prinsip ini memastikan lembaga tersebut dapat
diakses masyarakat umum. Adapun cakupan prinsip aksebilitas,
yaitu
prosedur mudah dan sederhana, biaya terjangkau, pembuktian

20
Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), h.3.
21
Subekti, Arbitrase Perdagangan (Bandung: Bina Cipta, 1992), hal.1
22
Maryanto, Prosedur Penyelesaian Sengketa Konsumen di BPSK, (Semarang: Unissula
Press, 2019), h. 31-32.
22

fleksibel, komprehensif, dapat diakses langsung, serta tersedia di


tempat manapun.
b. Prinsip fairness. Maksud prinsip ini, yakni mengupayakan
penyelesaian sengketa bersifat mandiri dengan keadilan yang lebih
diutamakan. Dalam menerapkan prinsip fairness, kepastian hukum
diabaikan. Meski begitu, penyelesaian perkara konsumen harus
memenuhi syarat public accountability.
c. Prinsip efektif. Prinsip efektif mengharuskan sebuah lembaga
penyelesaian sengketa dibatasi cakupan masalahnya termasuk
kompleksitas dan nilai klaim. Jadi, semua berkas perkara yang
masuk ke BPSK wajib dituntaskan dengan cepat tanpa mengabaikan
kualitas
penyelesaian.
Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, BPSK
membentuk majelis yang berjumlah harus ganjil dan paling sedikit tiga
orang yang mewakili semua unsur (pemerintah, konsumen, pelaku
usaha) dibantu oleh seorang pemerintah. Untuk menghindari proses
penyelesaian sengketa konsumen yang berlarut-larut, UUPK
memberikan batasan dimana setelah gugatan diterima, BPSK wajib
mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 hari kerja. 23
B. Kerangka Teori
1. Teori Keadilan
Teori keadilan dalam bahasa Belanda disebut theorie van
rechtvaardigheid terdiri dari 2 (dua) kata, yaitu teori dan keadilan. Adil
memiliki arti dapat diterima secara objektif, keadilan mempunyai
makna (perbuatan, perlakuan) yang adil. Ada 3 (tiga) pengertian adil,
yaitu:
a. Adil adalah tidak berat sebelah dan tidak memihak;
b. Adil adalah berpihak kepada kebenaran; dan

23
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Edisi Pertama, … , h. 145.
23

c. Adil adalah sepatutnya dan tidak sewenang-wenang.

Sehingga teori keadilan adalah teori yang mengkaji dan


menganalisis tentang ketidakberpihakan, kebenaran, atau
ketidaksewenang-wenangan dari institusi atau individu terhadap
masyarakat atau individu yang lainnya. Keadilan dapat diartikan
sebagai kebaikan, kebajikan dan kebenaran, yaitu suatu kewajiban
moral yang mengikat antara anggota masyarakat yang satu dengan
lainnya. Keadilan pada dasarnya adalah suatu konsep yang relatif,
setiap orang tidak sama, adil menurut yang satu belum tentu adil bagi
yang lainnya, ketika seseorang menegaskan bahwa ia melakukan suatu
keadilan, hal itu tentunya harus relevan dengan ketertiban umum
dimana suatu skala keadilan diakui. Skala keadilan sangat bervariasi
dari satu tempat ke tempat lain, setiap skala didefinisikan dan
sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan ketertiban
umum dari masyarakat tersebut.24

Menurut Thomas Hobbes keadilan ialah suatu perbuatan dapat


dikatan adil apabila telah didasarkan pada perjanjian yang telah
disepakati. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa keadilan
atau rasa keadilan baru dapat tercapai saat adanya kesepakatan antara
pihak yang berjanji. Perjanjian disini diartikan dalam wujud yang luas
tidak hanya sebatas perjanjian dua pihak yang sedang mengadakan
kontrak bisnis, sewa-menyewa, dan lain-lain. Melainkan perjanjian
disini juga perjanjian jatuhan putusan antara hakim dan terdakwa,
peraturan perundang-undangan yang tidak memihak pada satu pihak
saja tetapi saling mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan
publik.25

2. Teori Perlindungan Hukum

24
M. Agus Santoso, Hukum, Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Ctk. Kedua,
(Jakarta: Kencana, 2014), h. 85.
25
M. Syukri Albani Nasution, Hukum dalam Pendekatan Filsafat. Ctk. Kedua, (Jakarta:
Kencana, 2017), h. 217-218.
24

Teori perlindungan hukum umumnya digunakan dalam rangka


melindungi masyarakat dari tindakan kesewenangan-wenangan baik
orang-perorangan, badan hukum ataupun penguasa, dari perbuatan yang
tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, yang tidak lain dalam rangka
mewujudkan ketenteraman dan ketertiban umum. 26
Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah upaya untuk
mengorganisasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat supaya
tidak terjadi tubrukan antar-kepentingan dan dapat menikmati semua
hak-hak yang diberikan oleh hukum. Pengorganisasian dilakukan
dengan cara membatasi suatu kepentingan tertentu dan memberikan
kekuasaan pada yang lain secara terukur. Teori perlindungan hukum
dari Satjipto Raharjo ini terinspirasi oleh pendapat Fitzgerald tentang
tujuan hukum, yaitu untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan
berbagai kepentingan dalam masyarakat dengan cara mengatur
perlindungan dan pembatasan terhadap berbagai kepentingan
tersebut.27Sedangkan menurut M. Isnaeni, Perlindungan Hukum itu
ditinjau dari sumbernya dapat dibedakan menjadi (2) macam yakni
perlindungan hukum “internal” dan perlindungan hukum “eksternal”.
Hakikat perlindungan hukum internal, pada dasarnya perlindungan
hukum yang dimaksud dikemas sendiri oleh para pihak pada saat
membuat perjanjian, dimana pada waktu mengemas klausa-klausa
kontrak, kedua belah pihak menginginkan agar kepentingannya
terakomodasi atas dasar kata sepakat, demikian juga segala jenis risiko
diusahakan dapat ditangkal lewat klausa-klausa yang dikemas atas dasar
kata sepakat itu pula, sehingga dengan klausa itu para pihak akan
memperoleh perlindungan hukum berimbang atas persetujuan mereka
bersama. Perihal perlindungan hukum internal seperti itu baru dapat
diwujudkan oleh para pihak, manakala kedudukan hukum mereka relatif

26
Lalu Sultan Alifin, Zainal Asikin, Kurniawan, Kedudukan Hukum Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) dalam Sistem Peradilan di Indonesia, Media Bina Ilmiah, Vol. 13 No.
10, Mei 2019, h. 1707.
27
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal.53-69.
25

sama, artinya para pihak mempunyai bargaining power yang relatif


berimbang, sehingga atas dasar asas kebebasan berkontrak masing-
masing rekan seperjanjian itu mempunyai keleluasaan untuk
menyatakan kehendak sesuai kepentingannya. Pola ini dijadikan
landasan pada waktu para pihak merakit klausa-klausa perjanjian yang
sedang digarapnya, sehingga perlindungan hukum dari masing-masing
pihak dapat terwujud secara lugas atas inisiatif mereka. Sedangkan
perlindungan hukum eksternal ialah yang dibuat oleh penguasa lewat
regulasi bagi kepentingan pihak yang lemah, sesuai hakikat aturan
perundang-undangan yang tidak boleh berat sebelah dan bersifat
memihak, secara proporsional juga wajib diberikan perlindungan
hukum yang seimbang sedini mungkin kepada pihak lainnya. 28

C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu

1. Skripsi ditulis oleh Azhari Sulistyo Putri29


Skripsi ini membahas mengenai eksekusi objek jaminan fidusia yang
tidak didaftarkan oleh PT. Sinar Mitra Sepadan Finance dengan
menganailisis Putusan Nomor 2467 K/Pdt/2015. Persamaan dengan
penelitian ini yaitu membahas pengeksekusian objek jaminan fidusia.
Perbedaannya penelitian ini lebih berfokus kepada pengeksekusian
objek jaminan fidusia apabila tidak didaftarkan pada kantor pendaftaran
fidusia. Sedangkan penelitian kali ini berfokus pada pengeksekusian
jaminan fidusia jika pihak kreditur melakukan wanprestasi.
2. Skripsi yang ditulis oleh Adnan Hakim Lubis30
Skripsi ini membahas mengenai bentuk perlindungan terhadap
konsumen atas pelelangan eksekusi jaminan fidusia. Persamaannya

28
M. Isnaeni, Pengantar Hukum jaminan Kebendaan, (Surabaya: PT. Revka Petra Media,
2016), h. 159-163.
29
Azhari Sulistyo Putri, Eksekusi Objek Jaminan Fidusia yang Tidak Didaftarkan Oleh PT.
Sinar Mitra Sepadan Finance (Studi Putusan Nomor 2467 K/Pdt/2015), (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah), 2018.
30
Adnan Hakim Lubis, Perlindungan Terhadap Konsumen Pemilik Benda Jaminan Fidusia
Dalam Lelang Atas Eksekusi Jaminan Perjanjian Kredit (Studi Putusan Nomor 441/K/PDT.SUS-
BPSK/2019), (Medan: Universitas Sumatera Utara), 2020.
26

dengan penelitian ini adalah sama –sama membahas pengeksekusian


jaminan fidusia oleh kegiatan usaha yang bergerak pada sektor
keuangan. Perbedaannya dalam skripsi ini lebih menekankan pada
bagaimana perlindungan yang diberikan kepada konsumen ketika
layanan pemberian kredit melakukan pelelangan terhadap jaminan
fidusia tanpa ada persetujuan dari konsumen.
3. Artikel Jurnal yang ditulis oleh Nur Adi Kumaladewi31
Artikel ini membahas mengenai eksekusi kendaraan bermotor yang
dijadikan sebagai jaminan fidusia yang berada pada pihak ketiga.
Persamaannya dengan penelitian ini yaitu membahas tentang objek
eksekusi dari jaminan fidusia. Perbedaannya dalam artikel ini berfokus
pada pengeksekusian kendaraan bermotor sebagai jaminan fidusia pada
pihak ketiga tanpa sepengetahuan dari pemegang fidusia.
4. Artikel Jurnal yang ditulis oleh Iskandar Muda Sipayung, Tan
Kamello, Marlina32
Artikel ini membahas mengenai perjanjian jaminan fidusia yang
berkaitan dengan penyidikan tindak pidana perlindungan konsumen.
Persamannya dengan penelitian ini yaitu membahas tentang jaminan
fidusia yang bersifat tambahan dari suatu perjanjian pokok yang
perjanjiannya wajib dibuat dala bentuk akta. Perbedaannya dalam
artikel ini berfokus pada ketentuan hukum pidana terhadap jaminan
fidusia.
5. Artikel Jurnal yang ditulis oleh Vicka Prama Wulandari 33

31
Nur Adi Kumaladewi, Eksekusi kendaraan Bermotor Sebagai Jaminan Fidusia yang
Berada Pada Pihak Ketiga, Jurnal Repertorium, Vol. II No. 2, 2015.
32
I. M. Sipayung, T Kamello., & Marlina. Perjanjian Jaminan Fidusia Kaitan dengan
Penyidikan Tindak Pidana Perlindungan Konsumen. ARBITER: Jurnal Ilmiah Magister Hukum,
ISSN: 2272-1865, 2019.
33
Vicka Prama Wulandari, Tinjauan Yuridis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota
Palangka Raya dalam Rangka Menyelesaikan Sengketa Konsumen Melalui Jalur Mediasi (Studi
Kasus Dian Purnamawati Melawan PT. Sinar Mas Multifinance Cabang Palangka Raya), Jurnal
Morality, Vol. 4 No. 2, Desember 2018.
27

Artikel ini membahas mengenai pihak debitur yang telah melakukan


cidera janji terhadap pihak kreditur dalam proses perjanjian
pembiayaan konsumen. Dimana pihak debitur tidak memenuhi
prestasinya yang berakhir dengan pihak kreditur melakukan penarikan
terhadap sebuah kendaraan bermotor. Persamaannya dengan penelitian
ini yaitu membahas mengenai keterlambatan pihak debitur dalam
memenuhi prestasinya dalam perjanjian pembiayaan konsumen.
Perbedaannya terletak pada bentuk penyelesaiannya yaitu dalam artikel
ini diselesaikan di muka Majelis Badan penyelesaian Sengketa
Konsumen Kota Palangka Raya dengan cara Mediasi.
BAB III
PENYELESAIAN SENGKETA EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA
A. Deskripsi Perkara dalam Putusan Nomor 869 K/Pdt.Sus-BPSK/2019.
1. Duduk Perkara
Majelis BPSK dalam putusannya menyatakan bahwa PT. Toyota Astra
Financial Services telah melanggar hak konsumen karena telah mengambil
secara sepihak kendaraan yang merupakan Objek Fidusia berupa 1 (satu) unit
mobil yang mana hal ini bertentangan dengan Pasal 33 Undang – Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Objek perkara pembelian
benda bergerak dalam hal ini terhadap kendaraan beroda 4 (empat) yaitu mobil
Toyota Calya Model B 40 G M/T 00, Nomor Polisi BK 1178 EM, Tahun 2017,
Bewarna Putih, Nomor Rangka MHKA6GJ6JHJ045747, Nomor Mesin 3NR
H124658 diambil secara paksa yang telah dilakukan oleh pihak PT. Toyota
Astra Financial Services. Yang selanjutnya Majelis BPSK menganggap hal
tersebut adalah perbuatan yang tidak memiliki dasar hukum dan harus
dinyatakan batal demi hukum.
Pada tanggal 24 Juli 2017 telah terjadi sebuah kesepakatan antar para pihak
yang tercatat dalam bentuk Perjanjian tertulis antara Aidil Tri Yanda (Debitor)
dengan PT. Toyota Astra Financial Services (Kreditor) dalam Perjanjian
Pembiayaan Nomor: 1715942412 dimana para pihak terlebih dahulu telah
sama - sama mengikatkan dirinya ke dalam suatu perjanjian yang mana sejak
setelah perjanjian tersebut disepakati, maka saat itulah perjanjian tersebut
berlaku sebagai Undang – Undang bagi mereka yang telah membuatnya sesuai
dengan sebagaimana Pasal 1338 KUHPerdata. Para pihak yang telah sepakat
haruslah melaksanakan kewajiban dan haknya sesuai dengan isi perjanjian
pembiayaan yang telah dibuat tersebut. Dalam hal ini adalah terhadap
pembelian sebuah mobil dengan cara kredit dengan ketentuan biaya Hutang
Pokok sebesar Rp. 129.651.335,- (seratus dua puluh sembilan juta enam ratus
lima puluh satu ribu tiga ratus tiga puluh lima rupiah) dengan bunga Rp.
35.588.665,- (tiga puluh lima juta lima ratus delapan puluh delapan ribu enam
ratus enam puluh lima rupiah) yang menjadikan jumlah hutang sebesar Rp.

28
29

168.240.000,- (seratus enam puluh delapan juta dua ratus empat puluh ribu
rupiah) dengan tenor angsuran 60 (enam puluh) bulan atas pembiayaan 1 (satu)
unit mobil merk Toyota Calya Model B 40 G M/T 00, Nomor Polisi BK 1178
EM, Tahun 2017, Bewarna Putih, Nomor Rangka MHKA6GJ6JHJ045747,
Nomor Mesin 3NR H124658 (untuk selanjutnya disebut objek perkara) dengan
nominal angsuran perbulan sebesar Rp. 2.804.000,- (dua juta delapan ratus
empat ribu rupiah) yang mana atas perjanjian pembiayaan tersebut sudah
mengikuti dan sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 jo Pasal 1338 KUHPerdata,
yang berkaitan dengan syarat sahnya suatu perjanjian dan adanya akibat dari
suatu perjanjian.
Pada tanggal 24 Maret 2018 pada angsuran ke-9 ternyata debitor tidak
membayarkan angsuran yang telah disepakati bersama–sama dalam Perjanjian
pembiayaan tersebut dan pada saat itulah debitor dinyatakan telah melakukan
cidera janji atau wanprestasi kepada kreditor karena sudah jatuh tempo
terhadap pembayaran angsuran tersebut yang sudah disepakati dalam
Perjanjian Pebiayaan untuk dibayarkan paling lambat pada tanggal 24 setiap
bulannya. Hal ini berdasarkan dari Installment Schedule yang tercatat bahwa
sisa seluruh hutang debitor yaitu sebesar Rp. 145.792.672,- (seratus empat
puluh lima juta tujuh ratus sembilan puluh dua ribu enam ratus tujuh puluh dua
rupiah) dan ditambah dengan denda dan biaya lainnya per tanggal 6 Agustus
2018, yang totalnya sebesar Rp. 14.004.672,- (empat belas juta empat ribu
enam ratus tujuh puluh dua rupiah) sehingga total hutang debitor adalah senilai
Rp. 159.797.344,- (seratus lima puluh sembilan juta tujuh ratus sembilan puluh
tujuh ribu tiga ratus empat puluh empat rupiah). Pihak Debitor menyatakan
bahwa sudah memiliki niat baik untuk membayar tagihan atas pembelian objek
perkara tersebut yang sudah berjalan selama 8 bulan, tetapi dikarenakan satu
hal dan lainnya pembayaran tersebut menjadi tertunggak selama 4 bulan. Pihak
Debitor bersedia untuk membayar tunggakan tagihan tersebut akan tetapi Pihak
Kreditor beserta dengan timnya menolak niat baik dari Pihak Debitor bahkan
Pihak Kreditor meminta untuk menambah pembayaran sehingga Pihak Debitor
tidak dapat menyanggupinya yang pada akhirnya Pihak Kreditor mengambil
30

tindakan untuk mendapat haknya dimana diamankannya objek perkara yang


telah menjadi jaminan hutang.
Diamankannya objek perkara tersebut oleh PT. Toyota Astra Financial
Services tidak lain adalah untuk menutupi seluruh hutang saudara Aidil Tri
Yanda yang tagihannya semakin membengkak dikarenakan adanya denda–
denda tambahan dari keterlambatan pembayaran angsuran, tetapi saudara Aidil
Tri Yanda menganggap seolah–olah menjadi pihak yang paling dirugikan
terhadap tindakan yang dilakukan oleh pihak PT. Toyota Astra Financial
Services, dikarenakan hal inilah saudara Aidil Tri Yanda mengajukan
pengaduan sengketa konsumen pada tanggal 26 Juli 2018 melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Medan yang dalam
putusannya menyatakan bahwa PT. Toyota Astra Financial Services untuk
mengembalikan mobil yang menjadi objek perkara tersebut dan menormalkan
kembali pembayaran angsuran sesuai dengan kontrak perjanjian pembiayaan
yang telah disepakati. Oleh sebab itu, PT. Toyota Astra Financial Services
menyatakan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota
Medan yang memeriksa dan mengadili perkara pengaduan tidak objektif dalam
menjatuhkan putusan dan tidak memenuhi rasa keadilan. Padahal jika dilihat
dari bukti – bukti dan fakta – fakta hukum sudah jelas bahwa pihak PT. Toyota
Astra Financial Services lah yang telah dirugikan. PT. Toyota Astra Financial
Services merasa berhak dan mempunyai wewenang untuk mengamankan dan
juga menjual objek perkara untuk menutupi hutang saudara Aidil Tri Yanda
karena saudara Aidil Tri Yanda telah melakukan wanprestasi maka layak dan
berdasar untuk Pengadilan Negeri Medan untuk memeriksa dan mengadili
perkara dan menyatakan sah terhadap pengamanan 1 (satu) unit mobil Toyota
Calya.
Selanjutnya untuk menjamin agar permohonan keberatannya tidak sia –
sia dan supaya menghindari saudara Aidil Tri Yanda menghindar dari
pembayaran atas perkara keberatan, PT. Toyota Astra Financial Services
memohon kepada Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili
perkara ini untuk menerima dan mengabulkan Permohonan Keberatan yang
31

diajukan oleh PT. Toyota Astra Financial Services untuk seluruhnya, termasuk
untuk membatalkan putusan BPSK Nomor 070/Pen/2018/BPSK-MDN tanggal
26 Juli 2018 dan menyatakan sah dan mengikat Perjanjian Pembiayaan Nomor
1715942412 tanggal 24 Juli 2017, antara PT. Toyota Astra Financial Services
(Kreditor) dengan Aidil Tri Yanda (Debitor).
Selanjutnya Aidil Tri Yanda selaku Termohon Keberatan memberikan
tanggapan terhadap materi keberatan yang diajukan oleh PT. Toyota Astra
Financial Services yang menyatakan bahwa Permohonan Keberatan atas
Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Medan yang
diajukan oleh Pemohon Keberatan kurang pihak (Plurium Litis Consortium)
dikarenakan ini adalah Permohonan Keberatan atas Putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Medan yang dipermasalahkan
oleh Pemohon Keberatan, maka seharusnya Pemohon Keberatan tidak menarik
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai pihak dalam perkara
a quo maka beralasan menurut hukum permohonan keberatan dinyatakan tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaad) dan dalam eksepsinya saudara Aidil
Tri Yanda menyatakan bahwa eksepsi Permohonan Keberatan kabur bahwa
dalam Putusan BPSK Nomor 070/Pen/2018/BPSK-MDN tanggal 26 Juli 2018
dalam posita dan petitumnya dinilai campur aduk antara dalil – dalil
permintaan danti rugi dan akibat wanprestasi.
Selanjutnya saudara Aidil Tri Yanda menyatakan bahwa penyelesaian
melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sangatlah beralasan
dan mempunyai dasar hukum sesuai dengan ketentuan mengenai pelaksanaan
tugas dan wewenang BPSK pasal 53 dan pasal 54 Undang – Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta diatur lebih lanjut
berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
350/MPP/Kep/12/2001. Pemohon Keberatan diduga juga telah melakukan
berbagai tipu muslihat yang bertujuan untuk mengambil dan atau merampas 1
(satu) unit mobil Toyota Calya dengan nomor polisi BK 1178 EM dari
penguasaan Termohon keberatan dengan cara meminta untuk bertemu, namun
pada saat pertemuan pihak Pemohon Keberatan beserta timnya meminta
32

mengecek nomor dan kondisi mesin mobil yang pada akhirnya diizinkan oleh
Termohon Keberatan untuk diperiksa, lalu pihak Pemohon Keberatan
mengatakan ada kejanggaan di bagian nomor mesin dan meminta Termohon
Keberatan keluar dari mobil untuk melihat, namun disaat yang sama, salah
seorang dari tim Pemohon Keberatan masuk ke dalam mobil langsung
mengunci pintu dan pergi membawa mobil tersebut. Diketahui bahwa adanya
kejanggalan di nomor mesin hanya akal – akalan dari Pemohon Keberatan saja.
Termohon keberatan merasa bahwa Pemohon Keberatan tidak menghargai
adanya hak – hak konsumen berdasarkan Pasal 4 ayat (7) Undang – Undang
Nomor 8 Tahun 1999 yakni “Hak untuk diperakukan atau dilayani secara benar
dan jujur serta tidak diskriminatif”.
Berdasarkan uraian ini, Aidil Tri Yanda selaku Termohon Keberatan
menyatakan bahwa PT. Toyota Astra Financial Services melanggar Pasal 4
ayat (7) Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang sudah beralasan hukum
untuk selanjutnya majelis hakim Pengadilan Negeri Kota Medan menolak
seluruh keberatan pihak PT. Toyota Astra Financial Services terhadap putusan
BPSK yang tercatat dalam register Nomor 070/Pen/2018/BPSK-MDN.
Saudara Aidil Tri Yanda selaku Termohon Keberatan juga meminta Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Kota Medan untuk menolak seluruh permohonan
keberatan yang diajukan oleh PT. Toyota Astra Financial Services dan
meminta untuk menguatkan Putusan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Kota Medan Nomor 070/Pen/2018/BPSK-MDN tanggal 26 Juli
2018 dan menghukum Pemohon Keberatan untuk membayar seluruh biaya
perkara.
Selanjutnya dalam pemutusan perkara terdapat beberapa pertimbangan
hakim yang sampai pada akhirnya Hakim Pengadilan Negeri Kota Medan yang
dalam putusannya menyatakan bahwa menolak permohonan keberatan dari
pemohon tersebut menguatan putusan BPSK dengan register perkara Nomor
070/Pen/2018/BPSK-MDN dan menghukum Pemohon Keberatan untuk
membayar seluruh biaya perkara. Hal ini didasarkan pada Pasal 6 ayat (3)
Perma Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap
33

Putusan BPSK jo. Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang


Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jika terjadi keberatan terhadap
putusan BPSK dapat diajukan oleh Konsumen dan/atau Pelaku usaha dengan
alasan-alasan sebagai berikut:
1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah dijatuhkan
putusan atau diakui palsu atau dinyatakan palsu;
2. Setelah putusan arbitrase BPSK diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan yang disembunyikan oleh pihka lawan, atau;
3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa;

Selanjutnya PT. Toyota Astra Financial Services mengajukan permohonan


kasasi ke Mahkamah Agung melawan saudara Aidil Tri Yanda setelah
keberatannya ditolak oleh Pengadilan Negeri Kota Medan. PT. Toyota Astra
Financial Services pada tanggal 6 Desember 2018 mengajukan Akta
Permohonan Kasasi Nomor 116/Pdt/Kasasi/2018/PN.Mdn yang dibuat oleh
Panitera Pengadilan Negeri Medan dan diikuti dengan memori kasasi yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 7 Desember
2018.

Berdasaran dari memori kasasi tersebut yang merupakan bagian tidak


terpisahkan dari putusan ini, pihak PT. Toyota Astra Financial Services
meminta agar menerima permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi,
membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Medan Reg. Nomor 506/Pdt.Sus-
BPSK/2018/PN Mdn. Tanggal 22 November 2018 dan menyatakan bahwa
Badan Penyelesaian Sengeta Konsumen (BPSK) Kota Medan tidak berwenang
mengadili perkara a quo.

Terhadap memori kasasi yang telah diajukan oleh Pemohon Kasasi hakim
Mahkamah Agung memutuskan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari
pemohon kasasi, membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor
506/Pdt.Sus-BPSK/2018/PN Mdn. Tanggal 22 November 2018. Menurut
hakim Mahkamah Agung hal ini didasarkan pada hubungan hukum antara
34

Penggugat (Pemohon Keberatan) dengan Tergugat (Termohon Keberatan)


adalah berdasarkan perjanjian pembiayaan konsumen dengan jaminan fidusia,
yang mana penggugat sebagai kreditor dan tergugat sebagai debitor, yang di
dalam hal ini pihak debitor telah melakukan cidera janji atau wanprestasi
kepada kreditor karena tidak memenuhi kewajibannya untuk pembayaran
cicilan kredit sesuai dengan waktu yang telah disepakati sehingga kredit
tergugat tersebut menjadi kredit macet dan untuk itu sengketa ini secara absolut
merupakan kewenangan dari peradilan umum (Pengadilan Negeri) dan bukan
merupakan kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

2. Petitum Pemohon Keberatan


Berdasarkan duduk perkara yang telah diuraikan, pemohon keberatan yang
dalam petitumnya meminta hakim Mahkamah Agung untuk menyatakan sah
dan berharga atas Perjanjian Pembiayaan No. 1715942412 pada tanggal 24 Juli
2017 terkait dengan perjanjian pembiayaan kendaraan 1 (satu) unit Toyota
Calya. Selain itu pemohon keberatan menuntut termohon keberatan sudah
melakukan wanprestasi atau cidera janji karena tidak membayar angsuran tepat
waktu sesuai dengan Surat Perjanjian Pembiayaan yang telah disepakati
bersama. Selanjutnya pemohon keberatan meminta hakim Mahkamah Agung
untuk menyatakan pemohon keberatan memiliki hak untuk menjual 1 (satu)
unit kendaraan Toyota Calya Model B 40 G M/T 00, Nomor Polisi BK 1178
EM, Tahun 2017, Bewarna Putih, Nomor Rangka MHKA6GJ6JHJ045747,
Nomor Mesin 3NR H124658 untuk membayar kerugian yang dialami oleh
pemohon keberatan dikarenakan penuggakkan angsuran yang telah dilakukan
oleh termohon keberatan dan juga menuntut termohon keberatan untuk
melunasi sisa hutangnya kepada pemohon keberatan jika hasil dari penjualan 1
(satu) unit kendaraan tersebut tidak cukup untuk melunasi sisa hutang dari
termohon keberatan.
Pemohon keberatan juga menuntut untuk membatalkan Putusan
Pengadilan Negeri Medan Nomor 506/Pdt.Sus-BPSK/2018/PN Mdn. yang
menyatakan bahwa di dalam surat permohonan keberatan tidak terdapat alasan
35

– alasan yang sesuai dengan ketentuan dari Pasal 6 ayat (3) Perma Nomor 1
Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.
Selanjutnya pemohon keberatan juga menuntut hakim Mahkamah Agung
untuk menyatakan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota
Medan tidak berwenang dalam mengadili perkara a quo, karena sengketa ini
adalah terkait dengan masalah wanprestasi atau cidera janji yang mana
harusnya di selesaikan melalui Pengadilan Negeri.
B. Eksekusi Jaminan Fidusia menurut Undang – Undang Nomor 42 Tahun
1999
Eksekusi Jaminan Fidusia diatur dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 34
Undang – Undang Jaminan Fidusia.yang diamksud dengan eksekusi jaminan
fidusia adalah penyitaan dan penjualan benda yang menjadi objek Jaminan
Fidusia. Yang menjadi penyebab timbulnya eksekusi Jaminan Fidusia ini
adalah karena debitor atau Pemberi Fidusia cedera janji atau tidak memenuhi
prestasinya tepat pada waktunya kepada penerima fidusia, walaupun mereka
telah memberikan somasi. Eksekusi terhadap benda yang menjadi onjek
Jaminan Fidusia dijalankan dengan cara:1
1) Pelaksanaan Titel Eksekutorial
Pada sertifikat jaminan fidusia yang dikeluarkan oleh Kantor
Pendaftaran Fidusia dituliskan berdasarkan irah-irah “Demi Keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang sudah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap seperti hal nya putusan pengadilan. Maksud
dari kekuatan eksekutorial disini adalah dapat bisa langsung dilakukannya
eksekusi tanpa adanya pengadilan dan memiliki sifat final dan mengikat
bagi para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.
2) Penjualan objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan penerima Fidusia
Pada saat debitur melakukan cidera janji, kreditur sebagai Penerima
Fidusia mempunyai hak untuk menjual objek Jaminan Fidusia tersebut.
Dalam hal ini dapat dilakukan dengan cara pelelangan. Jika ingin

1
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Seri Hukum Bisnis Jaminan Fidusia. (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2007), h. 160.
36

melakukan proses pelelangan ini harus dibuktikan dengan sertifikat


jaminan fidusia.
3) Penjualan di bawah tangan
Pada penjualan di bawah tangan terdapat 3 tiga persyaratan untuk bisa
dilaksanakan yaitu:
a) Adanya kesepakatan antara pemberi fidusia dengan penerima fidusia.
Syarat ini diduga untuk menetapkan harga dan biaya yang
menguntungkan antar para pihak.
b) Pelaksanaan penjualan bisa dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu)
bulan sejak diberitakan secra tertulsi oleh pemberi dan penerima
fidusia kepada pihak – pihak yang berkepentingan.
c) Dapat diumumkan sekurang kurangnya ke 2 (dua) surat kabar yang
beredar di daerah yang bersangkutan.
Dalam hal dilaksanakan pengeksekusian terhadap objek jaminan
fidusia, pemberi fidusia harus memberikan objek jaminan fidusia kepada
penerima fidusia. Jika benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut
adalah benda perdagangan atau efek maka dapat dijual di pasar dan juga
di bursa, penjualan terhadap benda tersebut bisa dilaksanakan di tempat –
tempat yang sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Untuk pencegahan agar tidak terjadinya penyimpangan dalam
pengeksekusian objek jaminan fidusia sebagaimana telah ditetapkan dalam
Pasal 29 ayat (1) Undang – Undang Jaminan Fidusia, sudah diatur larangan
tegas di dalam Pasal 32, yaitu setiap janji untuk melaksanakan eksekusi
terhadap objek Jaminan Fidusia dengan cara yang bertentangan dengan
ketentuan UUJF maka akan batal demi hukum.
Dalam Pasal 33 menyebutkan bahwa Setiap janji yang memberikan
kewenangan kepada Penerima Fidusia untuk memiliki Benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia apabila debitor cidera janji, batal demi
hukum. Hal ini pada dasarnya bertujuan untuk melindungi Pemberi
Fidusia dan juga nilai dari objek jaminan fidusia itu sendiri besarannya
melebihi utang yang dijaminkan. Pada Pasal 34 menyebutkan, jika hasil
37

eksekusi belum mencukupi untuk pelunasan hutang maka sisanya masih


menjadi tanggung jawab debitur, dan dalam hal hasil eksekusi terdapat
kelebihan maka penerima fidusia berkewajiban mengembalikan kepada
debitur.
BAB IV
PENYELESAIAN SENGKETA PERKARA DALAM PUTUSAN NOMOR
869 K/PDT.SUS-BPSK/2019
A. Analisis Putusan Hakim dan Pertimbangan Hakim Pada Putusan Nomor
869 K/PDT.SUS-BPSK/2019
Sejatinya eksistensi dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) itu sendiri sudah sangat dipercaya oleh banyak pihak dalam hal untuk
menyelesaikan sengketa konsumen. Terlihat dari banyaknya putusan yang
telah diselesaikan oleh Majelis BPSK dan juga telah diterima dengan sukarela
oleh para pihak dengan tidak mengajukan keberatan ke pengadilan negeri.
Tetapi, tak jarang juga para pihak tidak terima dengan putusan Majelis BPSK
tersebut yang pada akhirnya mengajukan keberatan ke pengadilan negeri dan
bahkan sampai tingkat kasasi ke Mahkamah Agung. Pada pembahasan kali ini
menguraikan putusan dari Pengadilan Negeri yang telah menguatkan putusan
BPSK namun selanjutnya dibatalkan di tingkat banding/kasasi oleh Mahkamah
Agung. Sengketa konsumen yang terkait dengan pengeksekusian objek
Jaminan Fidusia seringkali terjadi di kalangan masyarakat dan kadang kala
diselesaikan lewat putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
yang pada putusan tersebut memiliki ketidakpastian hukum dan adanya
inkonsistensi hukum atas putusan BPSK tersebut.
Kasus ini berawal dari sebuah kontrak perjanjian pembiayaan yang telah
dilakukan dan disepakati bersama antara PT. Toyota Astra Financial Services
dengan saudara Aidil Tri Yanda atas 1 (satu) unit kendaraan Toyota Calya
Model B 40 G M/T 00, Nomor Polisi BK 1178 EM, Tahun 2017, Bewarna
Putih, Nomor Rangka MHKA6GJ6JHJ045747, Nomor Mesin 3NR H124658
dengan cara diangsur selama 60 bulan yang telah dituangkan ke dalam
Perjanjian Pembiayaan Nomor 1715942412 pada tanggal 24 Juli 2017.
Hal ini menjadikannya mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
sebagaimana dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat yakni:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

38
39

2. Kecakapan dalam membuat suatu perikatan.


3. Adanya hal tertentu;dan
4. Karena sebab yang halal.
Syarat pertama “Sepakat mereka yang mengikatkan diri” memiliki arti
persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang
dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang
menghendaki apa yang disepakati. Suatu perjanjian dapat mengandung cacat
hukum atau kata sepakat dianggap tidak ada jika terjadi paksaan, penipuan,
kekeliruan, dan penyalahgunaan keadaan.1 Dalam hal perjanjian pembiayaan
pada kasus ini dapat diketahui bahwa unsur nomor 1 dalam Pasal 1320
KUHPerdata (Sepakat mereka mengikatkan diri) sudah terpenuhi, sehubungan
dengan kedua belah pihak telah saling mengikatkan dirinya ke dalam sebuah
perjanjian yang tertuang pada Perjanjian Pembiayaan Nomor 1715942412.
Syarat kedua “kecakapan dalam membuat suatu perikatan” sesuai dengan
Pasal 1330 KUHPerdata menyatakan bahwa ada beberapa orang yang tidak
cakap untuk membuat perjanjian, yakni: Pertama, orang yang belum dewasa,
Kedua, mereka yang ditaruh dibawah pengampunan (seperti gila, dungu, lemah
akal, atau pemboros), dan Ketiga: perempuan dalam pernikahan, (setelah
diundangkannya Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 31 ayat (2) maka
perempuan dalam perkawinan dianggap cakap hukum). Dengan kata lain,
seseorang di katakan belum dewasa jika belum mencapai umur 21 Tahun (Pasal
330 KUHPerdata).2 Unsur nomor 2 Pasal 1320 KUHPerdata pun sudah
terpenuhi, mengingat kedua belah pihak baik PT. Toyota Astra Financial
Services (Kreditor) maupun saudara Aidil Tri Yanda (Debitor) merupakan
subjek hukum yang telah memenuhi persyaratan kecakapan hukum
sebagaimana dimaksud pada saat membuat Perjanjian Pembiayaan Nomor
1715942412.

1
Retna Gumanti, Syarat Sahnya perjanjian (Ditinjau dari KUHPerdata), Jurnal Pelangi Ilmu,
Vol. 05, No. 1, 2012), h. 4-5.
2
Retna Gumanti, Syarat Sahnya perjanjian (Ditinjau dari KUHPerdata), Jurnal Pelangi Ilmu,
Vol. 05, No. 1, 2012), h. 7-8.
40

Syarat ketiga “Adanya hal tertentu” dalam Pasal 1333 KUHPerdata


menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda yang
paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Syarat keempat “sebab yang halal”
kata “sebab” disini bukan berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang
membuat perjanjian, tetapi mengacu kepada isi dan tujuan perjanjian tersebut.
Menurut Pasal 1335 jo. 1337 KUHPerdata bahwa suatu kausa dinyatakan
terlarang jika bertentangan dengan undang – undang, kesusilaan, dan ketertiban
umum. 3 Jika dilihat dari Perjanjian Pembiayaan Nomor 1715942412 syarat –
syarat nomor 3 dan 4 juga sudah terpenuhi. Hal ini dikarenakan pokok
perjanjian yaitu 1 (satu) unit kendaraan Toyota Calya Model B 40 G M/T 00,
Nomor Polisi BK 1178 EM, Tahun 2017, Bewarna Putih, Nomor Rangka
MHKA6GJ6JHJ045747, Nomor Mesin 3NR H124658 dan tujuan serta isi
perjanjian yang jelas mengandung sebab yang halal. Oleh karena itu, Perjanjian
Pembiayaan Nomor 1715942412 merupakan perjanjian yang sah dan mengikat
secara hukum bagi para pihak yang terlibat di dalamnya.
Persyaratan di atas berkenaan baik mengenai subjek maupun objek
perjanjian. Persyaratan yang pertama dan yang kedua berkenaan dengan subjek
perjanjian atau syarat subjektif. Persyaratan yang ketiga dan keempat
berkenaan dengan objek perjanjian atau syarat objektif. Perbedaan kedua
persayaratan tersebut dikaitkan pula dengan masalah dapat dibatalkannya dan
masalah batal demi hukum suatu perjanjian. Apabila syarat objektif dalam
perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum atau
perjanjian yang sejak semula sudah batal, hukum menganggap perjanjian
tersebut tidak pernah ada. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka
perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau sepanjang perjanjian tersebut belum
atau tidak dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih
terus berlaku.4

3
Retna Gumanti, Syarat Sahnya perjanjian (Ditinjau dari KUHPerdata), Jurnal Pelangi Ilmu,
Vol. 05, No. 1, 2012), h. 8.
4
Gunawan Widjaja & Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2003), h. 68.
41

Dengan sahnya perjanjian pembiayaan antara PT. Toyota Astra Financial


Services dengan Aidil Tri Yanda, dapat disimpulkan bahwa segala isi dari
perjanjian pembiayaan yang telah disepakati bersama tersebut telah mengikat
sebagai undang-undang bagi para pihak yang telah membuatnya yang berdasar
pada asas Kebebasan Berkontrak dan asas Pacta Sunt Servanda sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa
“semua perjanjian yang dibuat secara sah dan berlaku sebagai undang – undang
bagi yang membuatnya.” Dengan adanya hubungan hukum antara PT. Toyota
Astra Financial Services dengan Aidil Tri Yanda terkait dengan perjanjian
pembiayaan atas sebuah mobil, telah disepakati apabila terjadi suatu sengketa
dalam proses pelaksanaan pembayaran 1 (satu) unit kendaraan Toyota Calya
Model B 40 G M/T 00, Nomor Polisi BK 1178 EM, Tahun 2017, Bewarna
Putih, Nomor Rangka MHKA6GJ6JHJ045747, Nomor Mesin 3NR H124658
dengan cara diangsur selama 60 bulan tersebut maka dalam hal ini merupakan
sengketa atas dasar perbuatan cidera janji (wanprestasi) sehingga haruslah
diselesaikan di pengadilan negeri.
Berdasarkan Installment Schedule pada tanggal 6 Agustus 2018 dari surat
perjanjian yang telah ditandatangani oleh PT. Toyota Astra Financial Services
dengan Aidil Tri Yanda menyatakan bahwa Aidil Tri Yanda belum membayar
angsuran yang telah jatuh tempo. Angsuran tersebut sudah berjalan selama 11
bulan dan dimana dari 11 bulan tersebut tertunggak selama 4 bulan. Dengan
demikian Aidil Tri Yanda telah melakukan wanprestasi terhadap pelaksanaan
Perjanjian Pembiayaan terhadap PT. Toyota Astra Financial Services.
Sebagaimana menurut Pasal 1763 KUHPerdata menyatakan bahwa “siapa
yang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan mengembalikannya dalam
jumlah dan keadaan yang sama, dan pada waktu yang ditentukan”. Terlihat
jelas di dalam kasus ini telah terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh Aidil Tri
Yanda selaku debitor telah lalai dalam melaksanakan kewajibannya kepada
kreditor yaitu PT. Toyota Astra Financial Services dalam batas tenggang waktu
yang telah disepakati di dalam perjanjian pembiayaan. Sebagaimana yang telah
dijabarkan diatas bahwa terdapat syarat subjektif dan syarat objektif dalam
42

perjanjian. Jika syarat subjektif tidak tercapai maka sebuah perjanjian dapat
dibatalkan sedangkan jika syarat objektif yang tidak tercapai maka sebuah
perjanjian akan batal demi hukum. Jika dihubungkan dalam kasus ini maka
perbuatan wanprestasi atau cidera janji yang dilakukan oleh saudara Aidil Tri
Yanda (Debitor) masuk ke dalam cacatnya syarat subjektif dari perjanjian,
sehingga terhadap perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Dalam hal ini berarti PT. Toyota Astra Financial Services sebagai
perusahaan pembiayaan mempunyai hak untuk mengambil kendaraan yang
merupakan jaminan atas hutangnya dikarenakan saudara Aidil Tri Yanda
selaku pihak debitor telah melakukan perbuatan wanprestasi dalam hal yaitu
terlambat melakukan pembayaran angsuran yang telah disepakati dalam
perjanjian pembiayaan tersebut. Hal ini juga telah sesuai dengan Pasal 8.2.1
Syarat dan Ketentuan Umum dari Perjanjian Pembiayaan (SKUPP).
Berdasarkan hal ini pihak kreditor melakukan sita eksekusi terhadap objek
jaminan fidusia yaitu berupa 1 (satu) unit kendaraan Toyota Calya Model B 40
G M/T 00, Nomor Polisi BK 1178 EM, Tahun 2017, Berwarna Putih, Nomor
Rangka MHKA6GJ6JHJ045747, Nomor Mesin 3NR H124658 yang kemudian
pihak debitor merasa keberatan atas hal tersebut. Sampai pada akhirnya pihak
debitor mengajukan perkara sebagaimana dimaksud kepada lembaga Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan.
Pada tanggal 26 Juli 2018 Majelis Hakim Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Kota Medan Nomor: 07/PEN/2018/BPSK-Mdn telah
menyampaikan putusan BPSK Kota Medan yang dihadiri oleh Pemohon
Keberatan (Kreditor) dan juga Termohon Keberatan (Debitor) yang pada
intinya menyatakan bahwa pelaku usaha harus mengembalikan 1 (satu) unit
kendaraan Toyota Calya, Nomor Polisi BK 1178 EM kepada konsumen dan
menormalkan kembali kewajiban pembayaran angsuran sesuai dengan kontrak
perjanjian yang disepakati. Saat penerimaan putusan, Pemohon Keberatan
merasa keberatan terhadap putusan BPSK tersebut karena dalam Syarat dan
Ketentuan Umum dari Perjanjian Pembiayaan (SKUPP) yang telah disepakati
bersama antara Pemohon Keberatan dan juga Termohon Keberatan bila terjadi
43

perbedaan pendapat/sengketa/perselisihan kedua belah pihak telah sepakat


untuk menyelesaikannya di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tempat kreditor
berdomisili. Oleh karena itu Pemohon Keberatan berpendapat bahwa Majelis
Hakim BPSK Kota Medan telah menerima, dan memutuskan sesuatu yang
bukan menjadi wewenangnya sehingga haruslah Putusan a quo batal demi
hukum karena seharusnya yang berhak dalam menyelesaikan perbedaan
pendapat/sengketa/perselisihan adalah Pengadilan Negeri Medan. Hal ini
menjadi dasar bagi Pemohon Keberatan mengajukan gugatan/keberatan
kepada Pengadilan Negeri Kota Medan terhadap putusan BPSK tersebut.
Dalam hal dikeluarkannya putusan BPSK terhadap perkara antara PT.
Toyota Astra Financial Services dengan Aidil Tri Yanda yang pada
kenyataannya, permohonan keberatan yang disampaikan oleh pemohon
keberatan ditolak oleh Pengadilan Negeri Kota Medan. Padahal pada
hakikatnya dalam pemilihan proses menyelesaiakan sengketa konsumen yang
dilakukan diluar pengadilan haruslah dilakukan sesuai dengan kesepakatan
antara kedua belah pihak yang sedang bersengketa. Namun, berdasarkan fakta
dilapangan diketahui bahwa pihak Termohon Keberatan memutuskan untuk
mengajukan sengketa ini ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
secara sepihak.
Sidang musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Medan pada
hari Kamis tanggal 22 November 2018 oleh Fahren, SH. M.Hum selaku Hakim
Ketua Majelis, Saidin Bagariang, SH. dan Morgan Simanjuntak, SH.M.Hum
masing – masing sebagai Hakim Anggota memutuskan bahwa majelis hakim
menolak permohonan keberatan yang diajukan oleh Pemohon Keberatan
(Kreditor) untuk membatalkan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) Nomor 070/PEN/2018/BPSK-Mdn.
Hakim diartian sebagai sesorang yang bijaksana dan juga arif, karenanya
hakim pasti selalu bertingkah laku sesuai dengan norma – norma yang
mengatur terkait dengan profesi hakim, dan sepatutnya disetiap tindakan hakim
tetap untuk selalu konsisten dalam berperilaku arif dan tidak lupa disertai
dengan adanya tenggang rasa, dapat bersikap sabra dan juga santun dalam
44

berperilaku. Sehingga dalam setiap pertimbangannya dapat memberikan


keputusan seadil-adilnya tanpa berat sebelah. Pertimbangan hakim yang baik
adalah pertimbangan yang disitu terdapat tata hukum dan memperhatikan nilai
keadilan. Keadilan adalah nilai hakiki yang harus dimiliki pada tata hukum
peradilan.5 Pertimbangan hakim yang menciptakan putusan yang berkeadilan
hakikatnya seperti hukum yang dibuat oleh hakim. Oleh karena itu, hakim
dalam bekerja di lembaga peradilan menjadi sosok yang sentral. Tujuan hakim
memberikan pertimbangan dalam suatu putusan tidak lain karena disitu harus
terdapat pertimbangan yang bernilai. Pertimbangan yang penuh nilai dari
hakim jika pertimbangan itu memenuhi unsur keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian. Bahkan jika terjadi benturan dalam pilihan rasa keadilan,
kemafaatan, dan kepatian hakim harus dapat memprioritaskan pilihan pada
nilai keadilan.
Pada petitum Pemohon Keberatan yang ditolak oleh majelis hakim
selanjutnya adalah terkait dengan hak untuk menjual 1 (satu) unit kendaraan
Toyota Calya Model B 40 G M/T 00, Nomor Polisi BK 1178 EM, Tahun 2017,
Bewarna Putih, Nomor Rangka MHKA6GJ6JHJ045747, Nomor Mesin 3NR
H124658 dalam hal untuk pembayaran kerugian yang diderita oleh pemohon
keberatan sebesar Rp 145.792.672,- (seratus empat puluh lima juta tujuh ratus
sembilan puluh dua ribu enam ratus tujuh dua rupiah) ditambah dengan denda
dan biaya-biaya lainnya, yang totalnya sebesar Rp. 14.004.672,- (empat belas
juta empat ribu enam ratus tujuh puluh dua rupiah) sehingga total hutang dari
Termohon Keberatan senilai Rp. 159.797.344,- ( Seratus Lima Puluh Sembilan
Juta Tujuh Ratus Sembilan Puluh Tujuh Tiga Ratus Empat Puluh Empat
Rupiah).
Putusan tersebut diucapkan pada hari Kamis, tanggal 22 November 2018,
diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum oleh Fahren, SH. M.Hum
selaku Hakim Ketua Majelis, Saidin Bagariang, SH. dan Morgan Simanjuntak,
SH.M.Hum masing – masing sebagai Hakim Anggota, dibantu Sigalingging,

5
H. M Agus Santoso, Hukum, Moral, & Keadilan, Sebuah Kajian Filsafat Hukum, (Jakarta:
Kencana, 2014), h. 91.
45

SH., MH sebagai Panitera Pengganti dan dihadiri oleh Kuasa Pemohon


Keberatan dan Kuasa Termohon Keberatan.
Pokok gugatan dari Pemohon Keberatan dalam duduk perkara yang telah
diuraikan sebelumnya, pada dasarnya adalah mengenai Wanprestasi atau cidera
janji yang dilakukan oleh Termohon Keberatan dalam hal perjanjian
pembiayaan atas 1 (satu) unit kendaraan Toyota Calya Model B 40 G M/T 00,
Nomor Polisi BK 1178 EM, Tahun 2017, Bewarna Putih, Nomor Rangka
MHKA6GJ6JHJ045747, Nomor Mesin 3NR H124658 yang mana perbuatan
ini mengakibatkan kerugian yang diderita oleh Pemohon Keberatan.
Pada pertimbangan hakim di Pengadilan Negeri Medan, majelis hakim
mempertimbangkan dan berpendapat bahwa Putusan Arbitrase BPSK Nomor
070/PEN/2018/BPSK-Mdn tanggal 28 Juli 2018 pada tanggal 13 Agustus 2018
sudahlah tepat dan benar, karena majelis hakim berpendapat bahwa alasan-
alasan pemohon keberatan tidak terdapat di dalam Pasal 6 ayat (3) PERMA
Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap
Putusan BPSK jo. Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang oleh karenanya majelis
hakim berwenang untuk mengadili perkara yang bersangkutan. Dalam pasal
tersebut menyatakan bahwa keberatan atas putusan BPSK dapat diajukan oleh
Pelaku Usaha dan/atau Konsumen dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah dijatuhkan
putusan diakui palsu atau dinyatakan palsu;
2) Setelah putusan arbitrase BPSK diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau;
3) Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa;
Dikarenakan tidak terdapatnya alasan- alasan yang sesuai sebagaimana
telah ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (3) PERMA Nomor 1 Tahun 2006 maka
majelis hakim berhak mengadili sengketa konsumen tersebut. Hal ini sejalan
dengan Pasal 6 ayat (5) PERMA Nomor 1 Tahun 2006 yang menyatakan
bahwa “Dalam hal keberatan diajukan atas dasar alasan lain di luar ketentuan
46

sebagaimana dimaksud ayat (3), Majelis Hakim dapat mengadili sendiri


sengketa konsumen yang bersangkutan.”
Selain itu Majelis Hakim juga berpendapat mengenai pengambilan
kembali 1 (satu) unit kendaraan Toyota Calya Model B 40 G M/T 00, Nomor
Polisi BK 1178 EM, Tahun 2017, Bewarna Putih, Nomor Rangka
MHKA6GJ6JHJ045747, Nomor Mesin 3NR H124658 oleh pemohon
keberatan. Pengambilan kembali kendaraan tersebut tidak lain dilakukan oleh
pemohon keberatan karena termohon keberatan sudah menunggak pembayaran
angsuran selama 4 (empat) bulan lamanya yang nantinya pemohon keberatan
akan menjual kembali kendaraan tersebut untuk melunasi hutang dari termohon
keberatan. Tetapi menurut Majelis Hakim tindakan pengambilan kendaraan
tersebut tidak dibenarkan oleh Undang – Undang khususnya Pasal 33 Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Padahal pengambilan kembali kendaraan ini didasarkan pada perjanjian
pembiayaan Pasal 5 yang menyatakan bahwa “untuk menjamin seluruh
kewajiban Debitor kepada Kreditor baik yang timbul dari Perjanjian ini
dan/atau perjanjian lainnya yang terkait dengan pembiayaan yang dibuat
Debitor dan Kreditor, maka Debitor dengan ini menyerahkan hak miliknya
termasuk secara fidusia jika disyaratkan oleh Kreditor atas barang kepada
Debitor sebagaimana Kreditor menerima pula barang tersebut sebagai jaminan
dan/atau dengan cara penyerahan lainnya seperti dijelaskan lebih lanjut dalam
syarat dan ketentuan Perjanjian.” Dalam kasus ini kreditor sebenarnya
mengambil objek yang dijadikan jaminan untuk selanjutnya dijual dengan
tujuan untuk menutupi kerugian yang diderita oleh kreditor karena debitor telah
melakukan wanprestasi. Hal ini membuat debitor merasa keberatan atas
pengambilan objek jaminan tersebut oleh kreditor, padahal jika dilihat dari
pengertian jaminan itu sendiri yaitu menjamin terpenuhinya suatu kewajiban
yang bisa diukur dengan uang yang lahir dari suatu perikatan hukum.
Jaminan adalah suatu tanggungan yang diberikan seorang debitor dan
atau pihak ketiga kepada kreditor untuk menjamin kewajibannya dalam suatu
47

perikatan.6 Sebagai halnya diketahui bahwa Jaminan Fidusia adalah hak


agunan/jaminan atas benda bergerak yang berwujud ataupun tidak berwujud,
atau yang tidak dapat dibebankan hak tanggungan sebagaimana dalam Undang
– Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap dikuasai
Penerima Fidusia yag telah didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia, yang
digunakan sebagai agunan untuk melunasi utang tertentu yang mempunyai hak
untuk diutamakan daripada kreditor lainnya.
Dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai penyalur dana kepada
masyarakat,industri perbankan menjalankan usahanya memberikan kredit
kepada nasabah (debitor). Pemberian kredit pada dasarnya harus dilandasi
keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi
hutangnya, dan wajib dilakukan atas dasar asas pemberian kredit yang tidak
merugikan kepentingan kreditor. Hal tersebut wajib dilaksanakan, mengingat
kredit yang diberikan kreditor mengandung resiko. Untuk itu diperlukan
adanya jaminan (agunan) yang menyangkut harta benda milik debitor atau
dapat juga milik pihak ketiga yang merupakan jaminan tambahan untuk
mengamankan penyelesaian kredit.7
Prinsip utama dari jaminan fidusia sebagai jaminan utang adalah:
pertama, bahwa secara rill pemegang fidusia hanya berfungsi sebagai
pemegang jaminan saja, bukan untuk menguasai dan bukan sebagai pemilik
yang sebenarnya. Kedua, Hak pemegang fidusia untuk mengeksekusi barang
yang menjadi objek jaminan fidusia jika debitor wanprestasi. Ketiga, Apabila
debitor telah melunasi utangnya, maka objek yang menjadai jaminan fidusia
harus dikembalikan kepada pihak pemberi fidusia. Keempat, Jika hasil dari
penjualan objek jaminan fidusisa melebihi dari jumlah utang debitor, maka sisa
dari penjualan harus dikembalikan kepada pemberi fidusia. 8

6
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Alumni, 2005), h. 12.
7
Marulak Pardede, Implementasi Jaminan Fidusia dalam Pemberian Kredit di Indonesia,
(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM-RI, 2006), h. 6.
8
M. Yadi Harahap, Pengaturan Lembaga Jaminan Fidusia di Indonesia Perspektif Undang –
undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Al-Usrah: Jurnal Al Ahwal As Syakhsiyah,
Vol 5, No. 1, 2017. h. 109-110.
48

Sebenarnya perjanjian yang dilakukan antara kreditor dengan debitor


yang menyertakan jaminan fidusia adalah bahwa pengalihan kepemilikan oleh
debitor atas suatu benda untuk kreditor yang digunakan sebagai jaminan utang
yang mempunyai kesepakatan penguasaan secara fisik benda tersebut tetap
pada debitor dan mengalihkan kembali hak kepemilikan itu kepada debitor jika
seluruh utangnya telah dibayar.
Pengalihan hak kepemilikan atas benda yang menjadi objek jaminan
fidusia dilakukan dengan cara Constitutum Possessorium (penyerahan
kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik benda sama sekali) yaitu
pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda dengan melanjutkan penguasaan
atas benda tersebut yang berakibat bahwa pemberi fidusia seterusnya akan
menguasai benda yang dimaksud untuk kepentingan penerima jaminan fidusia.
Selain itu Undang-undang jaminan fidusia menegaskan bahwa jaminan fidusia
merupakan perjanjian tambahan atau perjanjian ikutan (accesoir) dari suatu
perjanjian pokok. Akibat dari perjanjian yang sifatnya sebagai perjanjian
tambahan dari perjanjian pokok, maka jaminan fidusia hapus demi hukum
apabila utang yang dijamin dengan jaminan fidusia hapus. 9
Sebagaimana juga hal ini terdapat dalam Pasal 4 Undang – Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menjelaskan bahwa
jaminan fidusia adalah “perjanjian ikutan” dari suatu perjanjian pokok yang
menimbulkan kewajiban untuk para pihak agar terpenuhi suatu prestasi.
Prestasi yang dimaksud dalam hal ini adalah terkait dengan memberikan
sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu, atau melaksanakan
ketentuan – ketentuan sesuai dengan isi dari perjanjian tersebut.
Selanjutnya majelis hakim juga berpendapat mengenai pencantuman
klausula baku dalam perjanjian pembiayaan antara PT. Toyota Astra Financial
Services dengan Aidil Tri Yanda yang dirasa merugikan pihak debitor. Majelis
hakim menilai bahwa adanya ketidakseimbangan kedudukan antara kreditor

9
M. Yadi Harahap, Pengaturan Lembaga Jaminan Fidusia di Indonesia Perspektif Undang –
undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Al-Usrah: Jurnal Al Ahwal As Syakhsiyah,
Vol 5, No. 1, 2017. h. 110.
49

dengan debitor. Hal ini terlihat dari bukti-bukti yang telah dilampirkan ke
pengadilan yaitu berupa Surat Perjanjian Pembiayaan, Info Pokok Bagi
Konsumen, dan Akta Jaminan Fidusia. Dalam perjanjian pembiayaan ini
majelis hakim menilai kedudukan kreditor lebih tinggi (superior) dibanding
kedudukan debitor terkait dengan hak dan kewajibannya yang dimana
menyebabkan debitor harus tunduk dan patuh terhadap perjanjian yang
diberikan pihak kreditor. Padahal seharusnya dalam perjanjian haruslah
menganut asas keseimbangan.
Menurut penulis dengan adanya perjanjian pembiayaan yang telah
disepakati oleh pemohon keberatan dan juga termohon keberatan pada Surat
Perjanjian Pembiayaan Nomor: 1715942412 pada tanggal 24 Juli 2017 yang
sudah diakui serta ditandatangani bersama oleh pemohon keberatan dan
termohon keberatan tanpa adanya paksaan sama sekali, dimana kedua belah
pihak telah saling mengikatkan dirinya ke dalam suatu perikatan maka hal ini
sudah jelas bahwa perjanjian pembiayaan tersebut berlaku sebagai undang-
undang bagi para pembuatnya. Karena perjanjian ini telah mengikat
berdasarkan hukum antara pemohon keberatan dan juga termohon keberatan
maka para pihak wajib melaksanakan isi dari perjanjian yang telah disepakati
bersama, sehingga jika terjadi perbedaan pendapat/perselisihan/sengketa harus
di selesaikan sesuai dengan isi dari perjanjian pembiayaan tersebut yang dalam
perjanjian pembiayaan ini telah disepakati harus diselesaikan lewat Pengadilan
Negeri. Hal ini tercantum pada Pasal 15 dari Syarat dan Ketentuan Umum dari
Perjanjian Pembiayaan yang telah ditandatangani oleh pemohon keberatan dan
termohon keberatan. Hal ini juga telah sesuai dengan Pasal 1338 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa “Semua persetujuan
yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Maka dari itu persetujuan itu tidak dapat
ditarik kembali kecuali dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena
alasan -alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik.”
50

Dalam pertimbangan Putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung, Hakim


Mahkamah Agung meninjau terlebih dahulu mengenai kewenangan BPSK
dalam memeriksa dan memutus perkara Nomor 506/Pdt.Sus-
BPSK/2018/PN.Mdn. tanggal 14 Agustus 2018 yang dimana Majelis Hakim
dalam putusannya menyatakan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) Kota Medan tidak berwenang untuk memeriksa dan
mengadili perkara tersebut. Hal ini dikarenakan menurut Majelis Hakim
Mahkamah Agung bahwa perjanjian pembiayaan konsumen ini adalah
mengenai perkara cidera janji (wanprestasi) yang mana hal ini adalah secara
absolut merupakan kewenangan dari peradilan umum (Pengadilan Negeri) dan
bukan merupakan kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Dalam pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung ini, penulis
berpendapat bahwa pertimbangan yang dilakukan oleh Majelis Hakim
Mahkamah Agung didasarkan pada timbulnya hubungan hukum diantara
pemohon keberatan dengan termohon keberatan yang mana dalam hal ini
adalah berdasarkan perjanjian pembiayaan antara para pihak, sehingga dapat
diklasifikasikan sebagai perkara perdata yang mana perjanjian yang timbul
sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Sehingga jika salah satu
pihak tidak melaksanakan perjanjian sesuai dengan isinya, maka pihak yang
melanggar tersebut dapat digugat dengan gugatan wanprestasi.
Semua hal yang telah diatur oleh hukum dan juga peraturan perundang
undangan adalah aturan yang harus ditaati oleh para pihak dalam perjanjian
pembiayaan, jika para pihak dalam perjanjian pembiayaan telah mematuhi
semua peraturan tersebut, maka tidak akan timbul masalah terkait dengan
pelaksanaan perjanjian pembiayaan tersebut, wanprestasi atau cidera janji
dapat terjadi pada saat salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya
sebagaimana yang tercantum pada perjanjian pembiayaan. Akibat terjadinya
wanprestasi maka akan menimbulkan kerugian terhadap salah satu pihak,
kerugian yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan ini berlaku
perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan. Pihak yang merasa dirugikan
51

mempunyai hak untuk menuntut ganti rugi terhadap pihak yang menyebabkan
kerugian.
Perselisihan yang terjadi antara PT. Toyota Astra Financial dengan
saudara Aidil Tri Yanda menimbulkan ketidakadilan karena pasalnya debitur
sendiri telah tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang tertulis di
dalam perjanjian antara kedua belah pihak tersebut. Sehingga jika dikaitkan
dengan teori keadilan distributif yang dipelopori oleh Thomas Hobbes bahwa
“keadilan merupakan suatu perbuatan yang dapat dikatakan adil apabila telah
didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati”, yang mana dalam hal ini
debitur telah lalai melaksanakan kewajibannya sehingga kreditur mengalami
kerugian. Keadilan ini barulah dapat tercapai jika sudah terdapat kata sepakat
antara para pihak dan telah melakukan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan
apa yang diperjanjikan.
B. Pelindungan Hukum Bagi Kreditur dalam Perjanjian Jaminan Fidusia
Perikatan yang timbul dari suatu perjanjian yang dilangsungkan antara
kreditur dengan debitur akan memuat isi mengenai sesuatu yang diperjanjikan
antara para pihak tersebut. Dalam suatu perjanjian penjaminan tersebut,
biasanya disepakati mengenai janji-janji tertentu yang diperjanjikan atau
sesuatu yang wajib terpenuhi di dalam sebuah perikatan atau biasa disebut
dengan prestasi. Perjanjian yang dilakukan antara kreditur dan debitur pastinya
memiliki berbagai risiko salah satunya adalah terjadinya wanprestasi yang
dilakukan oleh salah satu pihak ditengah perjanjian tersebut yang dalam hal ini
debitur sebagai pihak yang memiliki kewajiban untuk memenuhi prestasinya.
Perlindungan hukum untuk pihak kreditur dalam perjanjian kredit yang
menggunakan jaminan fidusia sangat diperlukan, mengingat objek yang
menjadi jaminannya berada dalam kekuasaan pihak debitur, sehingga jika
terjadi wanprestasi terhadap perjanjian kredit tersebut, maka kepentingan
kreditur tetap terjamin dalam pengembalian piutangnya dengan adanya hak
untuk menguasai benda jaminan dan menetapkan benda tersebut sebagai
jaminan pelunasan atas hutang debitur. Undang-Undang Jaminan Fidusia
dalam pelaksanaannya bertujuan untuk memberikan suatu aturan yang lengkap
52

termasuk mengenai pemberian perlindungan khususnya untuk para pihak yang


berkepentingan.
Jaminan kebendaan yang salah satunya adalah jaminan fidusia,
dilahirkan dengan didahului dengan perjanjian kredit yang menjadi perjanjian
pokoknya. Hal ini menunjukkan bahwa berarti jaminan fidusia adalah
perjanjian accessoir (tambahan) yang sesuai dengan
Pasal 4
Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok
yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.

Dapat dilihat bahwa proses pembuatan jaminan fidusia wajib dimulai


dengan perjanjian kredit (pokok) yang akta jaminan fidusia tersebut dibuat oleh
notaris dan selanjutnya didaftarkan di pendaftaran kantor jaminan fidusia pada
kantor pendaftaran jaminan fidusia. Tahapan-tahapan ini haruslah dilakukan
mengingat hal ini memiliki arti penting khususnya dalam hal pelindungan
untuk penerima fidusia, sehingga jika tidak terpenuhinya tahapan ini maka
dapat membawa konsekuensi yuridis dengan segala akibat hukumnya bagi
penerima fidusia (kreditur).
Akta merupakan sebuah syarat formil untuk adanya suatu perbuatan
hukum tertentu. Menurut bentuknya, akta dapat dibagi menjadi akta otentik dan
akta dibawah tangan. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang
diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan,
yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang
berkepentingan, yang dimuat didalamnya oleh yang berkepentingan.
Sedangkan akta dibawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk
pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Akta bawah
tangan semata-mata dibuat untuk kepentingan para pihak. Keberadaan suatu
akta berfungsi secara formil (formatitas causa) untuk sempurnanya suatu
53

perbuatan hukum dan sebagai alat bukti (probationis causa). 10 Perjanjian


pembebanan benda dengan jaminan fidusia ditentukan dengan bentuk akta
otentik sebagaimana dalam:
Pasal 5

(1) Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta


notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia.

Dari pasal ini terlihat jelas bahwa pembebanan jaminan fidusia harus
memenuhi syarat:

1. Bentuk akta harus akta notaris


2. Menggunakan bahasa Indonesia
3. Judul akta “AKTA JAMINAN FIDUSIA”
Akta notaris menurut Undang-Undang Nomr 3 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris adalah
Pasal 1
(7) Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan
Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang.

Dari sini dapat dipahami bahwa bentuk dari akta jaminan fidusia adalah
akta otentik yang dibuat dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang
ditentukan dalam undang-undang, dan bukan merupakan legalisasi akta oleh
notaris.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga mengatur terkait dengan
akta otentik
Pasal 1868
Suatu akta otentik ialah suatu akta yang (dibuat) dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai
umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta atau perjanjian dibuat.

10
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1985),
h. 124-127.
54

Penegasan terhadap pembebanan jaminan fidusia dalam bentuk akta


notaris yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan tersebut haruslah
dipahami sebagai norma yang sidatnya memaksa, yang berarti jika jika
pembebanan terjahadap jaminan fidusia tidak dilakukan dalam bentuk akta
notaris maka perjanjian jaminan fidusia tersebut dianggap tidak pernah ada.
Dengan demikian, posisi akta notaris memiliki kekuatan dan kepastian hukum
yang lebih tinggi dibandingkan dengan akta dibawah tangan. Bagi penerima
fidusia (kreditur) pembebanan benda dengan jaminan fidusia menggunakan
akta notaris tentu sangat menguntungkan dikarenakan akta notaris memiliki
kekuatan dan kepastian hukum yang lebih besar dalam hal terjaminnya
pengembalian kredit jika sewaktu-waktu pemberi fidusia (debitur) melakukan
wanprestasi.
Selanjutnya bentuk dari perlindungan hukum terhadap kreditur di dalam
UUJF yaitu mengenai pendaftaran jaminan fidusia. Pendaftaran terhadap
jaminan fidusia diharapkan dapat memberikan kepastian hukum khususnya
terhadap penerima fidusia. Hak jaminan fidusia belum lahir pada saat akta
jaminan fidusia dibuat oleh notaris, melainkan lahir ketika dicatatkannya
jaminan fidusia tersebut dalam Buku Daftar Fidusia pada saat yang sama
dengan jaminan fidusia tersebut didaftarkan pada kantor pendaftara fidusia.
Pendaftaran jaminan fidusia harus dilakukan, sejalan dengan pasal 11 ayat (1)
yang menyatakan bahwa benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib
didaftarkan. Timbulnya kewajiban untuk mendaftarkan jaminan fidusia
merupakan pemenuhan dari segi asas publisitas yang merupakan bagian dari
asas utama dalam hukum jaminan kebendaan, yang mana dibuatnya ketentuan
tersebut mempunyai tujuan bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia
tersebut benar-benar adalah barang kepunyaan dari pemberi fidusia atau
debitur sehingga jika terdapat pihak lain yang hendak menuntut objek jaminan
fidusia tersebut, ia dapat mengetahuinya lewat dari pendaftaran tersebut.
Upaya untuk dapat melaksanakan atau merealisasikan suatu hak secara
paksa diperlukan suatu putusan pengadilan atau akta otentik yang menetapkan
hak itu. Suatu putusan dimaksudkan tidak hanya untuk menyelesaikan suatu
55

persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya saja, melainkan
juga pelaksanaan hak tersebut secara paksa (eksekusi). Kekuatan mengikat dari
putusan saja belum cukup dan tidak berarti apabila putusan tersebut tidak dapat
dilaksanakan. Oleh karena putusan itu telah menetapkan dengan tegas
mengenai hak dan hukumnya, maka putusan hakim mempunyai kekuatan
eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam
putusan itu secara paksa oleh alat-alat Negara.11
Pasal 15
(1) Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”,
(2) Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
(1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Maksud dari kekuatan eksekutorial disini adalah dapat langsung
dilaksanakan tanpa melaui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para
pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.
Pengaturan mengenai pendaftaran jaminan fidusia yang diatur dalam
Pasal 11 sampai dengan Pasal 18 UUJF dimaksudkan untuk memberi
perlindungan hukum untuk penerima fidusia yang oleh karenanya, Undang-
Undang Jaminan Fidusia menempatkan kewajiban untuk mendaftarkan
jaminan fidusia kepada pihak penerima fidusia. Selanjutnya perlindungan yang
senada juga terlihat pada Pasal 23 UUJF:

Pasal 23

(2) Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau


menyewakan kepada pihak lain Benda yang menjadi objek jaminan fidusia
yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis
terlebih dahulu dan Penerima Fidusia.

11
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1985),
h. 181-182.
56

Sanksi yang berkenaan dengan ketentuan di atas berupa pidana


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 UUJF:

Pasal 36

Setiap orang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan


atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang
jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian
jaminan fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp. 10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Jika terjadi kelalaian yang diakibatkan oleh pemberi fidusia, atas
tindakan kelalaiannya tersebut penerima fidusia tidak bertanggung jawab
sebagaimana dalam Pasal 24 UUJF:
Pasal 24
Penerima Fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau
kelalaian Pemberi Fidusia baik yang timbul dari hubungan kontraktual atau
yang timbul dari perbuatan melanggar hukum sehubungan dengan penggunaan
dan pengalihan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
Sejatinya, maksud atau tujuan dari perjanjian jaminan fidusia dari segi
perlindungan hukum untuk pihak penerima fidusia adalah memberikan hak
istimewa atau didahulukan baginya untuk pelunasan hutang-hutang debitur
kepada kreditur.
Dapat disimpulkan, beberapa hal yang menerangkan terkait dengan
perlindungan hukum terhadap Penerima Fidusia (Kreditur) pada Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah sebagai
berikut:
1. Terdapat lembaga jaminan fidusia yang tidak lain keberadaannya
adalah guna menjamin kepentingan pihak yang menerima fidusia.
2. Terdapat ketentuan jika Pemberi Fidusia tidak diperkenankan untuk
mengalihkan, menggadaikan, ataupun menyewakan objek jaminan
fidusia tersebut.
57

3. Terdapat ketentuan yang dimana Pemberi Fidusia wajib untuk


menyerahkan benda jaminan fidusia jika kreditur hendak
melaksanakan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia tersebut.
4. Terdapat ketentuan pidana di dalam Undang-Undang Jaminan
Fidusia.
Perlindungan hukum internal yang memiliki arti sebagai dinding
pengaman kepentingan bagi para pihak yang dibangun dengan dasar
kesepakatan yang selanjutnya dituangkan ke dalam bentuk klausula-klausula
kontrak yang nantinya dibangun bersama. Hal ini berarti mengindikasikan
bahwa para pihak dapat membuat perjanjian atas dasar kebebasan berkontrak
yang nantinya disepakati bersama dan guna untuk melindungi kepentingan-
kepentingan yang menyangkut para pihak. Perlindungan hukum internal ini
dapat berjalan dengan baik jika para pihaknya memiliki posisi yang seimbang.
Jika terciptanya posisi yang saling berimbang antar para pihak maka bisa
dipastikan akan lahirnya suatu kontrak yang sehat. Para pihak dapat
mempertukarkan kehendaknya untuk kemudiaan dapat dituangkan ke dalam
klausula suatu kontrak secara sepadan. Dengan perlindungan hukum internal
ini diharapkan dapat untuk membentengi kepentingan masing-masing pihak
secara proposional.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah peneliti paparkan sebelumnya, maka peneliti
dapat emngambil kesimpulan dan sekaligus jawaban atas perumusan masala
hang peneliti bahas:
1. Hakim arbiter dan majelis hakim Pengadilan Negeri dalam
pertimbangannya berpendapat bahwa pihak kreditur telah secara sah secara
hukum melanggar peraturan Undang-Undang Perlindungan konsumen
terkait dengan pengambilan kembali 1 unit kendaraan berupa mobil yang
menjadi objek jaminan sengketa antara PT. Toyota Financial Services
dengan saudara Aidil Tri Yanda yang mana pada intinya pengambilan
kembali kendaraan tersebut dimaksudkan oleh kreditur untuk nantinya
dijual kembali kendaraan tersebut guna melunasi hutang dari termohon
keberatan. Kemudian menurut majelis hakim Mahkamah Agung
menyatakan bahwa BPSK Kota Medan tidak berwenang untuk memeriksa
dan mengadili perkara dikarenakan menurut Majelis Hakim Mahkamah
Agung perjanjian pembiayaan konsumen ini adalah mengenai perkara
cidera janji (wanprestasi) yang mana hal ini adalah secara absolut
merupakan kewenangan dari peradilan umum (Pengadilan Negeri) dan
bukan merupakan kewenangan BPSK.
2. beberapa hal yang menerangkan terkait dengan perlindungan hukum
terhadap Penerima Fidusia (Kreditur) pada Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah sebagai berikut: adanya
lembaga jaminan fidusia yang tidak lain keberadaannya adalah guna
menjamin kepentingan pihak yang menerima fidusia, ketentuan jika
Pemberi Fidusia tidak diperkenankan untuk mengalihkan, menggadaikan,
ataupun menyewakan objek jaminan fidusia tersebut, ketentuan yang
dimana Pemberi Fidusia wajib untuk menyerahkan benda jaminan fidusia
jika kreditur hendak melaksanakan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia
tersebut, dan ketentuan pidana di dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia.

58
59

B. Rekomendasi
Sebagai penutup dari kesimoulan yang telah peneliti uraikan di atas, peneliti
akan mencoba memaparkan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
1. Kedepannya diharapkan untuk semua pihak yang berkepentingan terutama
kreditur dan debitur harus lebih teliti lagi melihat ke dalam klausul-klausul
yang terdapat di dalam suatu perjanjian. Karena masih seringkali ditemukan
klausula-klausula yang timpang dikarenakan perjanjian kredit dengan
mencantumkan klausula baku yang isinnya lebih banyak mengatur
mengenai kewajiban-kewajiban debitur daripada secara seimbang mengatur
juga kewajiban-kewajiban kreditur. Selanjutnnya terkait dengan isi dari
kontrak itu sendiri, biasanya di dalam kontrak terdapat kata-kata “jika
terjadi kendala dalam proses pelaksanaan perjanjian maka terlebih dahulu
diselesaikan secara musyawarah dan mufakat”. Hal ini mengindikasikan
bahwa jika terjadi suatu perselisihan antara para pihak maka masih
terbukanya jalur alternatif penyelesaian untuk menyelesaikan sengketa yang
dinilai lebih efisien untuk menyelesaikan sengketa daripada dibawa ke
pengadilan yang kurang efisien karena waktu penyelesaiannya yang lama
dan ditambah biaya yang tidak murah. Untuk itu harusnya diupayakan jika
terjadi sengketa antar para pihak lebih dahulu bisa diselesaikan lewat
alternatif penyelesaian sengketa ketimbang lewat Pengadilan Negeri.
2. Dalam kewenangannya saat melakukan eksekusi atas objek jaminan fidusia
masih belum sepenuhnya bisa terlaksana, karena perjanjian kredit berlaku
sebagi undang-undang bagi para pembuatnya yang ternyata masih belum
cukup untuk melindungi kreditur dari berbagai macam perlawanan yang
diberikan oleh debitur. Oleh karena itu, perlu penambahan baru terkait
dengan penegasan pasal mengenai cara eksekusi yang sekiranya efektif dan
efisien guna mempermudah proses eksekusi dari objek jaminan fidusia
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Badrulzaman, M. D.,2005, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Aumni.

Fuady, M., 1995, Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung: PT. Citra


Aditya Bakti.

Harahap, M. Y., 2018, Hukum Acara Perdata: tentang Gugatan, Persidangan,


Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika.

Hardian, Endang & Hakim, Lukman, 2020, Hukum Acara Perdata di


Indonesia: Permasalahan Eksekusi dan Mediasi, Yogyakarta: CV. Budi
Utama.

Isnaeni, M, 2016, Pengantar Hukum jaminan Kebendaan, Surabaya: PT. Revka


Petra Media.

Leihitu, Izaac S., & Achmad, Fatimah, 1985, Inti dari Hukum Acara Perdata Cet
2, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Mahmud, M. P., 2005, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media.

Maryanto, 2019, Prosedur Penyelesaian Sengketa Konsumen di BPSK, Semarang:


Unissula Press.

Miru, A, 2011, Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi konsumen di


Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Muljadi, K., & Widjaja, G., 2003, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Nasution, Syukri Albani, 2017, Hukum dalam Pendekatan Filsafat, Ctk. Kedua,
Jakarta: Kencana.

Nugroho, S. A.,2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen, Jakarta:


Prenada Kencana.

60
61

Pardede, M. (2006). Implementasi Jaminan Fidusia dalam Pemberian Kredit


di Indonesia. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Hukum Dan HAM-RI, Jakarta.

Purnamasari, I. D., 2011, Hukum Jaminan Perbankan, Jakarta: Mizan


Pustaka.

Rosmawati, 2018, Pokok-Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Depok:


Prenada media Group.

Raharjo, S., 2000, Ilmu hukum [Legal studies], Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.

Santoso, A., 2012, Hukum, Moral, dan Keadilan. Sebuah Kajian Filsafat
Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Satrio, J.,2002, Hukum jaminan hak jaminan kebendaan Fidusia, Bandung:


Citra Aditya Bakti.

Soebekti, 1986, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum


Indonesia, Jakarta: Alumni.

Subagiyo, D. T.,2018, Hukum Jaminan dalam perspektif undang-undangan


jaminan fidusia (Suatu pengantar), Surabaya: UWKS Press.

Subekti, 1992, Arbitrase Perdagangan, Bandung: Bina Cipta.

Soejono, & Abdurrahman, H.,2003, Metode Penelitian Hukum Jakarta:


Rineka Cipta.

Suparman, Eman, 2004, Pilihan Forum Arbitrase dalam sengketa komersial


untuk penegakan keadilan, Jakarta: PT. Tatanusa.

Suyuthi, Wildan, 2004, Sita dan Eksekusi: Praktek Kejurusitaan


Pengadilan, Jakarta: PT. Tatanusa.

Widjaja, G., & Yani, A., 2002, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
62

____________________, 2000, Jaminan Fidusia, Jakarta: PT. Raja


Grafindo Persada.

____________________, 2007, Seri Hukum Bisnis Jaminan Fidusia.


(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Zulham, 2017, Hukum perlindungan konsumen. Jakarta: Kencana Prenada


Media.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 1009 tentang Lembaga Pembiayaan

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara

Pengajuan Keberatan atas Putusan Badan Penyelesaian Snegketa

Konsumen.

ARTIKEL JURNAL
Alifin, L. S., Asikin, Z., & Kurniawan, K., Kedudukan Hukum Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (Bpsk) Dalam Sistem Peradilan
Di Indonesia, Jurnal Media Bina Ilmiah, Volume 13, Nomor 10,
2019.
Dungga, Weny Almoravid, Tugas dan Wewenang BPSK dalam
Menyelesaikan Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Undang –
Undang Nomor 8 Tahun 1999, Jurnal Hukum Legalitas, Volume 9
Nomor 2, 2016.
Finnisa, D. N., Iskandar, M. R., & Suprihatin, T. (2015). Perlindungan
Konsumen Dalam Perspektif Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen Dan Hukum Islam Dalam Jual
63

Beli, Spesia Seminar Penelitian Sivitas Akademika Unisba, Volume


1, Nomor 2, 2015.
Gumanti, R., Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari KUHPerdata). Jurnal
Pelangi Ilmu, Volume 5, Nomor 1, 2012.
Harahap, M. Y., Pengaturan Lembaga Jaminan Fidusia Di Indonesia
Perspektif Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
Fidusia. AL-USRAH, Volume 5, Nomor 1, 2017.
Kurniawan, Kedudukan dan Kekuatan Putusan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) dalam Menjamin Perlindungan
Hukum Bagi Konsumen, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2010.
Novri, Dony A, Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Jurnal
Jendela Informasi Hukum Bidang Perdagangan Kemendag RI, Edisi
Ketiga, 2011.
Renee, R. A., Hipotek Sebagai Jaminan Hak Kebendaan Setelah Berlakunya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.
Lex Et Societatis, Volume 9, Nomor 1, 2021.
Surinda, Y., Perlindungan Hukum Bagi Pihak Kreditur Dalam Perjanjian
Kredit Dengan Jaminan Fidusia. Jurnal Hukum Media Bhakti, 2018.

PENELITIAN ILMIAH

Kumaladewi, N. A. Eksekusi Kendaraan Bermotor Sebagai Jaminan


Fidusia Yang Berada Pada Pihak Ketiga (Doctoral dissertation,
Sebelas Maret University), 2015.
Lubis, A. H., Perlindungan Terhadap Konsumen Pemilik Benda Jaminan
dalam Lelang Atas Eksekusi Jaminan Perjanjian Kredit: Studi
Putusan Nomor 441/K/PDT. SUS-BPSK/2019, 2020.
I. M. Sipayung, T Kamello., & Marlina. Perjanjian Jaminan Fidusia Kaitan
dengan Penyidikan Tindak Pidana Perlindungan Konsumen. 2019.
64

Putri, A. S. Eksekusi objek jaminan fidusia yang tidak didaftarkan oleh PT.
Sinar Mitra Sepadan Finance (studi Putusan Nomor 2467
K/Pdt/2015) (Bachelor's thesis, Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta).
Setyorini, A., Akibat Hukum Perjanjian Pembiayaan Konsumen dengan
Pembebanan Jaminan Fidusia yang Tidak Didaftarkan (Doctoral
dissertation, Untag Surabaya), 2017.
Wulandari, V. P., Tinjauan Yuridis Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Kota Palangka Raya dalam Rangka Menyelesaikan
Sengketa Konsumen melalui Jalur Mediasi (Studi Kasus Dian
Purnamawati Melawan PT. Sinar Mas Multifinance Cabang
Palangka Raya), 2018.

Anda mungkin juga menyukai