Anda di halaman 1dari 82

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN PRODUK PANGAN DALAM

KEMASAN TANPA LABEL HALAL PADA USAHA KECIL


Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Inayatul Aini
NIM: 109048000075

KONSENTRASI HUKUM BISNIS


PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H / 2014 M
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN PRODUK
PANGAN DALAM KEMASAN TANPA LABEL HALAL PADA
USAHA KECIL

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

InayatulAini
NIM: 109048000075

KONSENTRASI HUKUMBISNIS

PROGRAM STUDI I L M U HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1434H/2013M

i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN PRODUK


PANGAN DALAM KEMASAN TANPA LABEL HALAL PADA USAHA
KECIL telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal, November
2013. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Hukum (S.H.) pada Program Studi Ilmu Hukum dengan Konsentrasi Hukum Bisnis.

ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu syarat memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang

berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 9 Januari 2014

Inayatul Aini

iii
ABSTRAK

INAYATUL AINI. NIM 109048000075. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen


Produk Pangan Dalam Kemasan Tanpa Label Halal Pada Usaha Kecil. Program Studi
Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H/2013 M. ix + 68 halaman + 3
halaman daftar pustaka.

Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana perlindungan hukum bagi
konsumen produk pangan dalam kemasan tanpa label halal pada usaha kecil.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan produk pangan
berlabel halal dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen, dan upaya hukum
apa yang dapat dilakukan konsumen dalam memperoleh perlindungan terhadap
haknya.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah hukum normatif dengan
pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan konsep. Informasi didapatkan dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. Adapun bahan
hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan non hukum
diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan
yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
Dari hasil penelitian tersebut diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa kewajiban
yang harus dilakukan dan dilaksanakan oleh pelaku usaha khususnya usaha kecil.
untuk mencantumkan label halal pada kemasan pada setiap produk yang diproduksi
sesuai dengan Pasal 8 Ayat (1) huruf h UUPK, dan upaya hukum yang dapat
dilakukan konsumen sesuai dengan UUPK yaitu, dapat menyelesaikan sengketa
secara langsung kepada pelaku usaha, pengaduan melalui YLKI, Penyelesaian
melalui BPOM, melapor ke BPSK dan penyelesaian melalui Peradilan Umum.
Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Produk Pangan, Label Halal, Kemasan,Usaha
Kecil, dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Pembimbing : 1. Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum
2. Dra. Hj. Hafni Muchtar, SH, MH,MM
Daftar Pustaka : Tahun 1994 sampai Tahun 2011

iv
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt yang senantiasa

memberikan bimbingan dan petunjuk sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat

serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.

Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

(SH) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik material dan immaterial,

oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.H., M.M beseta seluruh jajaran dekanat

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta;

2. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., MA dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum Ketua dan

Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum;

3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum dan Dra. Hj. Hafni Muchtar, S.H., MH, MM

pembimbing skripsi penulis. Terima kasih atas semua kritik dan saran yang membangun

untuk penulis;

4. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Bapak Drs. H. Hasan Bisri selaku

ketua MUI Depok, yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mendapatkan ilmu

serta pengetahuan yang sebelumnya penulis belum dapatkan. Terima kasih atas

bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

v
5. Ayah dan Umi tersayang, Drs. H. Anwar Sanusi dan Yayan Hayati Terima kasih telah

memberi kasih sayang yang tak terhingga untuk penulis serta bantuan dalam bentuk

materiil, doa, dukungan, dan semuanya terus menerus tanpa lelah;

6. Keluarga di rumah yang telah menemani dan membantu penulis ketika diperlukan

khususnya suami ku tersayang M. Danial Zeny, aa-aa ku, kakak-kakak ku dan adik-adik

ku;

7. Teman-teman dekat yang jadi tempat pelampiasan keluh kesah penulis, teman-teman

seperjuangan kloter 3 proposal skripsi, teman-teman hukum bisnis, teman-teman ilmu

hukum B, teman-teman UIN Jakarta, semuanya.

8. Pihak perpustakaan UI, UIN dan UMJ Jakarta, terima kasih karena telah menyediakan

buku-buku yang lumayan lengkap sehingga penulis tidak kebingungan mencari referensi;

9. Penulis artikel, skripsi, opini dan lain-lainnya yang membantu penulis dalam proses

penulisan;

10. Seluruh pihak yang secara langsung dan tidak langsung sudah membantu, menyemangati,

dan mendo’kan penulis.

Atas seluruh bantuan dari semua pihak baik material maupun immaterial, penulis berdoa

semoga Allah memberi balasan yang berlipat. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Jakarta, 9 Januari 2014

Inayatul Aini

vi
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iii

ABSTRAK ............................................................................................................. iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................... v

DAFTAR ISI .......................................................................................................... vii

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah .............................................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 6
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu .............................................. 7
E. Kerangka Konseptual .................................................................... 8
F. Metode Penelitian.......................................................................... 10
G. Sistematika Penulisan ................................................................... 13
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengertian Perlindungan Konsumen ............................................. 15
B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ................................... 17
C. Hak dan Kewajiban Konsumen ..................................................... 20
D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ................................................ 26
BAB III : PENGATURAN PRODUK PANGAN BERLABEL HALAL DALAM
KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengertian Produk Pangan dan Label Halal .................................. 32
B. Peraturan Yang Mengatur Tentang Pencantuman Produk Pangan
Berlabel Halal Menurut Peraturan Perundang-UndanganYang
Berlaku .......................................................................................... 37

vii
BAB IV : UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH
KONSUMEN DALAM MEMPEROLEH PERLINDUNGAN
TERHADAP HAKNYA
A. Penyelesaian Langsung Kepada Produsen .................................... 52
B. Melapor Ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) ..... 52
C. Penyelesaian Melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
....................................................................................................... 55
D. Melapor Ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ... 58
E. Penyelesaian Melalui Peradilan Umum.......................................... 63
BAB V : Penutup
A. Kesimpulan ................................................................................... 66
B. Saran .............................................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 69

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konsumen memiliki resiko yang lebih besar daripada pelaku usaha,

dengan kata lain hak-hak konsumen sangat rentan. Disebabkan posisi tawar

konsumen yang lemah, maka hak-hak konsumen sangat sering dan mudah

untuk dilanggar.

Terhadap posisi konsumen tersebut, ia harus dilindungi oleh hukum

karena salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan

perlindungan kepada masyarakat. Perlindungan terhadap masyarakat tersebut

harus diwujudkan dalam bentuk kepastian hukum yang menjadi hak

konsumen.1

Pada tahun 1999 telah lahir Undang-Undang perlindungan konsumen,

yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

yang selanjutnya disebut UUPK bertujuan untuk memberikan kepastian hukum

kepada konsumen. Dalam undang-undang ini juga dijelaskan mengenai

tanggung jawab pelaku usaha yang tentunya hal ini diatur untuk memberikan

kepastian hukum serta melindungi hak para konsumen tersebut. Hal demikian

memang perlu diatur karena untuk menghindari sikap negatif pelaku usaha

terhadap konsumen.

Perlindungan konsumen ini adalah jaminan yang seharusnya didapatkan

oleh para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli dari

1
Abdul Halim Barkatullah, Hak-HakKonsumen (Bandung: Nusa Media, 2010) cetakanke
1, h.1

1
2

produsen atau pelaku usaha. Namun dalam kenyataannya saat ini konsumen

seakan-akan dianak tirikan oleh para produsen atau pelaku usaha tersebut.

Undang undang tentang perlindungan konsumen ini memang telah di terbitkan

namun dalam proses pelaksanaan atau aplikasi dari undang undang itu sendiri

belum maksimal atau dengan kata lain peraturan yang ada dalam undang

undang tidak sesuai dengan kenyataan.

Dalam beberapa kasus banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran

yang merugikan para konsumen yang tentunya berkaitan dengan tanggung

jawab produsen (pelaku usaha) dalam tingkatan yang dianggap membahayakan

kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen. Beberapa contohnya adalah:

a. Makanan kadaluarsa yang kini banyak beredar berupa parcel dan produk-

produk kadaluarsa pada dasarnya sangat berbahaya karena berpotensi

ditumbuhi jamur dan bakteri yang akhirnya bisa menyebabkan keracunan.

b. Ikan yang mengandung formalin dan boraks, seperti kita ketahui bahwa

kedua jenis cairan kimia ini sangat berbahaya jika dikontaminasikan dengan

bahan makanan, ditambah lagi jika bahan makanan yang sudah

terkontaminasi dengan formalin dan boraks tersebut dikonsumsi secara

terus- menerus akibat ketidaktahuan konsumen maka kemungkinan besar

yang terjadi adalah timbulnya sel-sel kanker yang pada akhirnya dapat

memperpendek usia hidup atau menyebabkan kematian.

c. Produk susu China dengan nama produk Shijiangzhuang Sanlu Co yang

mengandung melamin. Kandungan melamin yang ada pada susu ini

menimbulkan efek samping yang sangat berbahaya. Faktanya banyak bayi


3

yang mengalami penyakit-penyaktit tidak lazim seperti, gagal ginjal,

bahkan tidak sedikit dari mereka yang meninggal dunia.

d. Produk tidak halal yang ditemukan di pasaran yaitu kasus ajinomoto pada

tahun 2001 bahan baku pembuatannya dicampur dengan lemak babi.

Kasus ini sangat menghebohkan masyarakat muslim, dengan adanya kasus

ini pihak ajinomoto menarik secara serentak seluruh produk ajinomoto.

PT. Ajinomoto harus menanggung kerugian dengan memberi ganti rugi.

e. Di temukan beberapa merek dendeng/abon di jawa barat, yang

berdasarkan pengujian laboratorium ditemukan kandungan daging babi

ada juga yang mencantumkan label halal pada kemasannya. Produk ini

diedarkan oleh penjual di pasar tradisional hasil produksi usaha kecil.

Perkembangan ekonomi yang kian pesat telah menghasilkan berbagai

jenis produk khususnya produk pangan yang dapat dikonsumsi oleh

masyarakat. Terlebih lagi di zaman perdagangan bebas ini, semakin banyaknya

ruang gerak bagi para pelaku usaha untuk memproduksi dan memasarkan

produknya dan mengakibatkan produk luar menjadi semakin lebih mudah

masuk ke Indonesia.

Usaha kecil khususnya home industri sebagai penyedia barang atau

produsen pada saat ini produk yang dihasilkan pun sudah banyak beredar.

Dengan berbagai macam produknya seperti abon, bakso, sosis dan lain-

lain.Produk-produk tersebut belum pasti kehalalannya, karena dalam kemasan

tersebut tidak tercantum adanya label halal yang menunjukkan kurangnya

pengawasan aparat terhadap produk makanan olahan. Karenanya, pengawasan


4

perlu dilakukan terhadap semua industri, baik kecil, menengah maupun besar.

Sebab, tak lain dan tak bukan, yang merugi jelas-jelas konsumen, khususnya

konsumen muslim. Sudah harus mengeluarkan biaya mahal untuk membeli

makanan enak dan terjamin, malah mendapat makanan haram.

Dengan banyaknya variasi produk pangan yang semakin banyak

membuat konsumen memilih bermacam-macam jenis dan kualitas produk

tersebut sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Di sisi lain, tidak adanya

jaminan yang pasti terhadap produk-produk tersebut, maka muncullah

persoalan tersendiri bagi konsumen muslim yang merupakan mayoritas dari

penduduk Indonesia.

Sebagai salah satu negara yang berpenduduk mayoritas muslim, rakyat

Indonesia menuntut tanggung jawab yang besar dari pemerintah dalam

menjaga produk pangan yang beredar. Baik dalam hal cita rasa, sanitasi

hygiene, kandungan gizi yang baik dan tidak membahayakan tubuh serta dapat

dipastikan kehalalannya.

Dalam UUPK No. 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa hak konsumen

adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang atau jasa. Undang-undang ini menunjukkan bahwa setiap konsumen,

termasuk konsumen muslim berhak untuk mendapatkan barang dan jasa yang

nyaman dikonsumsi olehnya, maksud dari nyaman ini bagi konsumen muslim

adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan kaidah agamanya,

yaitu halal.
5

Berkenaan dengan hal ini Indonesia telah mempunyai Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dimana setiap orang yang memproduksi

atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk

diperdagangkan wajib mencantumkan label halal pada, didalam dan atau di

kemasan pangan,2 namun Undang-Undang ini dan UUPK No. 8 Tahun1999

sepertinya tidak berjalan dengan baik, sehingga belum memberikan kepastian

hukum untuk mengenal pangan dan produk lainnya yang halal.

Dengan adanya masalah tersebut di atas, penulis ingin mengetahui lebih

dalam mengenai pengaturan UUPK mengenai label halal bagi usaha kecil serta

upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen dalam memperoleh

perlindungan terhadap haknya, khususnya dalam produk pangan tanpa label

halal yang didasari oleh UUPK No. 8 Tahun 1999 Penulis menuangkan dalam

bentuk skripsi atau sebuah karya ilmiah dengan mengambil judul

“Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Produk Pangan DalamKemasanTanpa

Label HalalPada Usaha Kecil”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan masalah pelanggaran terhadap hak-hak

konsumen, maka ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini dibatasi,

yakni yang dilihat hanya perlindungan terhadap konsumen mengenai produk

pangan tanpa label halal yang diproduksi oleh usaha kecil.

2
Ahmadi MirudanSutaman, HukumPerlindunganKonsumen(Jakarta: PT. Raja
GrafindoPersada, 2004), h.80.
6

2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan perumusan

masalah yang akan dibahas pada skripsi ini yaitu:

a. Bagaimanakah pengaturanproduk pangan berlabel halal dalam kaitannya

dengan perlindungan konsumen?

b. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan

konsumendalammemperolehperlindunganterhadaphaknya yang dilanggar

oleh pelaku usaha akibat mengkonsumsi pangan tanpa label halal dalam

kemasan pada usaha kecil?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan yang ada, maka adapun tujuan dari

penulisan penelitian ini antara lain:

a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan UUPKdan peraturan lain yang

mengatur mengenai label halal untuk produk usaha kecil.

b. Untuk mengetahui upaya hukum apa yang dapat dilakukan konsumen

dalammemperolehperlindungan terhadap haknya yang dilanggar oleh

pelaku usaha akibat mengkonsumsi pangan tanpa label halal dalam

kemasan pada usaha kecil.

2. Manfaat Penelitian

Adapun penulisan dari penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :

a. Manfaat Teoritis
7

Penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk memberi masukan

sekaligus menambah khazanah ilmu pengetahuan mengenai Pengaturan

UU perlindungan konsumen mengenai label halal dan upaya hukum yang

dapat dilakukan oleh konsumen dalam memperoleh perlindungan terhadap

haknya yang dilanggar oleh pelaku usaha akibat mengkonsumsi pangan

tanpa label halal dalam kemasan pada usaha kecil..

b. Manfaat Praktis

Penulis berharap hasil penelitian ini dapat menjadi masukan terhadap

1). Para pelaku usaha (produsen) usaha kecil dalam memproduksi suatu

produk makanan harus sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan

oleh UUPK.

2). Disamping itu hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai

bahan masukan bagi Pemerintah dalam membentuk peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen yang lebih

baik.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Pernahadapenelitian yang dilakukanterhadap label halal.DenganTesis

yang berjudul “PerlindunganHukumKonsumenDalamPelabelanProdukPangan”

yang disusunolehAyuDiah, FakultasHukumUniversitasUdayana

2011.Tesistersebutmembahastentangketentuan label

produkpangansebagaimanadiaturdalam PP No. 69 Tahun 1999

telahmemenuhiasas-
8

asasperlindungankonsumensertatanggungjawabpelakuusahaterhadappelanggara

n label tersebut.

Terdapatjugadalamsebuahbuku yang berjudul“ Hak-

hakkonsumenjikadirugikan”.

Dalambukutersebutdijelaskanbagaimanacaraberproduksisecara halal,

sebagaimanapernyataan “halal” yang dicantumkandalam label.3

Buku yang berjudul“ SolusiBilaTerjeratKasusBisnis”,

dalambukuiniterdapatkasus-kasusmengenaiproduk-produktanpa label halal.

Karenasertifikat halal adalah fatwa tertulis MUI yang

menyatakansuatuproduksudahsesuaidengansyari’atislam.4

Sementara yang penulis akan bahas dalam penelitian ini adalah

perlindungan hukum bagi konsumen produk pangan dalamkemasantanpa label

halalpada produk usaha kecil.

Sepanjang penulusuran penulis, khususnya setelah mengadakan

inventarisasi judul skripsi di Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, maka skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum

Bagi Konsumen Produk Pangan Dalam Kemasan Tanpa LabelHalal Pada

Usaha Kecil” belum pernah diangkat sebelumnya sebagai suatu judul skripsi.

E. Kerangka Konseptual

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

3
Susanto, Happy, Hak-HakKonsumenJikaDirugikan (Jakarta: Visi Media, 2008), h.45.
4
Agung, MaryadanEka, SolusiBilaTerjeratKasusBisnis (Jakarta: RaihAsaSukses, 2010), h.
35.
9

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang

lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik

yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air,

baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan

atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan,

bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,

pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.

Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang

berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang

disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau

merupakan bagian kemasan pangan.

Usaha keciladalah usaha dengan kekayaan bersih paling banyak Rp.

200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) dengan hasil

penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000.

Label halal adalahpencantuman tulisan atau pernyataan halalpada

kemasan produk untuk menunjukkan bahwa produk yang dimaksud

berstatussebagai produk halal.


10

F. Metode penelitian

1. Tipe Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian Normatif. Tipe Penelitian ini adalah penelitian hukum Normatif

dengan pendekatan Yuridis Normatif, dikatakan demikian karena dalam

penelitian ini digunakan cara-cara pendekatan terhadap masalah yang diteliti

dengan cara meninjau dari segi peraturan perundang-undangan yang

berlakuataumenelitibahanpustaka yang ada.5

2. Pendekatan Masalah

Mengingat tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif,

yakni suatu penelitian yang meneliti suatu masalah dengan cara meninjau dari

segi peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam studi hukum, pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian

ini adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan

konseptual (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan

untuk meneliti aturan-aturan yang berkaitan dengan pengaturan perlindungan

bagi konsumen, yakni Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen. Sedangkan pendekatan konseptual digunakan karena

isu hukumnya menggunakan isu hukum pada level teori hukum (konsep).

5
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Cetakan ke – 11. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), h.13–14.
11

Dalam hal ini, konsep yang digunakan adalah tentang konsep dasar

perlindungan konsumen, hak serta kewajiban atas konsumen dan pelaku usaha,

sanksi-sanksi yang diberikan kepada para pelaku usaha yang melanggar hak-

hak konsumen dan lain-lain.

3. Sumber Bahan Hukum

Sumber penelitian pada skripsi ini antara lain mencakup bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum (tersier).

a. Bahan hukum primer

yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa

peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini digunakan

peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, perjanjian internasional,

dan perjanjian lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini, antara lain

yaitu:

1. Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

3. Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan

Pangan.

4. Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang

perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada

Label Makanan.

5. Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil.

b. Bahan hukum sekunder


12

yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan

dapat membantu menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum

primer, antara lain: teori atau pendapat para sarjana, hasil karya dari

kalangan hukum, penelusuran internet, artikel ilmiah, jurnal, majalah, surat

kabar, makalah, dan sebagainya.

c. Bahan non-hukum (tertier)

yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas

bahan hukum primer dan sekunder, misalnya ensiklopedi, kamus, dan lain-

lain.

4. Prosedur Pengumpulan Bahan

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan ini, maka

penulis menggunakan prosedur pengumpulan bahan hukum dengan cara studi

kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan menganalisa secara

sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, peraturan perundang-

undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas

dalam skripsi ini.

5. Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum

Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi

kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel dimaksud penulis

uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan

lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa

cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik

kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap


13

permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya bahan hukum yang ada

dianalisis untuk melihat pola-pola kecurangan dalam pelanggaran para pelaku

usaha tersebut sehingga dapat membantu sebagai dasar acuan dan

pertimbangan hukum yang berguna dalam menangani masalah perlindungan

terhadap para konsumen yang dirugikan oleh para pelaku usaha.

G. Sistematika Penelitian

Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi

Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012”

dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri

atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun

perinciannya sebagai berikut:

Bab I : Dalam pendahuluan penulis menguraikan mengenai alasan dalam

pemilihan judul atau latar belakang masalah. Selain itu, diuraikan

juga mengenai Latar Belakang Masalah, dilanjutkan dengan

Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,

Tinjauan (Review) kajian Terdahulu, Kerangka Konseptual,

Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab II : Dalam bab ini penulis akan membahas Tinjauan Umum Tentang

Perlindungan Konsumen yangmenguraikan mengenai pengertian

perlindungan konsumen, asas dan tujuan perlindungan konsumen,

hak dan kewajiban konsumen serta hak dan kewajiban pelaku

usaha.
14

Bab III : Dalam bab ini penulis akan menjelaskan mengenai pengertian

produk pangan dan label halal, dan peraturan yang mengatur

tentang pencantuman produk pangan berlabel halal menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bab IV : Dalam bab ini penulis akan menjelaskan upaya hukum yang dapat

dilakukan oleh konsumen

dalammemperolehperlindunganterhadaphaknya.

Bab V : Dalam Penutup, penulis menguraikan mengenai kesimpulan yang

diambil dari penelitian yang merupakan jawaban dari rumusan

masalah yang telah disusun, dan juga mengenai saran-saran yang

dibagi penulis dengan pembaca.


15

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari

kegiatan bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat

keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen.Tidak

adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen berada pada

posisi yang lemah.

Menurut Troelstrup, konsumen pada dasarnya memiliki posisi tawar

yang lemah dan terus melemah, hal ini disebabkan1:

a. Terdapat lebih banyak produk, merek, dan cara penjualannya;

b. Daya beli konsumen makin meningkat;

c. Lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum

banyak diketahui semua orang;

d. Model-model produk lebih cepat berubah;

e. Kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang

lebih besar kepada bermacam-macam pelaku usaha;

f. Iklan yang menyesatkan; dan

g. Wanprestasi oleh pelaku usaha.

1
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung: Nusa Media, 2010) cetakanke
1, h. 9
16

Posisi konsumen sangat lemahmaka ia harus dilindungi oleh

hukum.Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan

perlindungan(pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum

konsumen dan hukumperlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang

sulit dipisahkan dan ditarikbatasnya.


15
Menurut Az Nasution berpendapat bahwa hukum perlindungan

konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas

atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang

melindungi kepentingan konsumen. Sedangkan hukum konsumen diartikan

sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur

hubungan dan masalah antara berbagai pihak atau satu sama lain berkaitan

dengan barang dan/atau jasa di dalam kehidupan bermasyarakat.2

Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan

konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum (hak-hak)

konsumen. Bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam

hukum serta bagaimana ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat.

Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen

dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak

dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam

usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.

Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

memberi pengertian perlindungan konsumen sebagai segala upaya yang

2
AZ Nasution, Hukum perlindungan konsumen suatu pengantar, (Jakarta: Diadit
Media,2006) cetakan ke 2, h. 37
17

menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada

konsumen.Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai

segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen

sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan

konsumen tiada lain adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk

menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.

B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

“Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir,

berpendapat dan bertindak”.3Asas-asas pembentuk peraturan perundang-

undangan berati dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun

peraturan perundang-undangan. Asas-asas hukum merupakan fondasi suatu

undang-undang dan peraturan pelaksanannya.4

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama

seluruh pihak yang terkait, masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah

berdasarkan lima asas, yaitu menurut Pasal 2 UUPK adalah:5

1. Asas Manfaat

Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen harus

memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku

usaha secara keseluruhan;

3
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai
Pustaka, 2002) Edisi III, h.7
5
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004) h. 25-26
18

Asas ini mempunyai makna bahwa dalam menerapkan UUPK harus

memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang bersangkutan yaitu

konsumen dan pelaku usaha sehingga, tidak ada satu pihak yang merasa

kedudukannya lebih tinggi diantara yang lainnya.

2. Asas Keadilan

Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan

kewajibannya secara adil;

Asas keadilan mempunyai makna agar antara pelaku usaha dan konsumen

masing-masing memperoleh keadilan dalam melakukan kewajiban dan

keadilan dalam menerima hak-haknya, karena itu UUPK mengatur hak dan

kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

3. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah;

Dengan adanya asas ini diharapkan antara kepentingan konsumen, pelaku

usaha, dan pemerintah dapat terwujud secara seimbang. Tidak ada pihak

yang merasa dirinya lebih dilindungi dari pihak lain.

4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen

Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberi

jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam


19

penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

dikonsumsi atau digunakan;

Asas ini mempunyai makna adanya suatu jaminan atas keamanan dan

keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan

barang dan/atau jasa yang akan dimanfaatkan atau digunakan. Bahwa

produk yang akan dimanfaatkan atau digunakan tidak akan mengancam

ketentraman, keselamatan jiwa, dan harta bendanya.

5. Asas Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun

konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen, negara dalam hal ini

turut menjamin adanya kepastian hukum tersebut.

Asas ini dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati

hukum yang berlaku dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari

agar memperoleh keadilan. Oleh karena itu negara menjamin akan adanya

kepastian hukum tersebut.

Tujuan Perlindungan Konsumen, sebagaimana termaksud dalam

ketentuan pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen bertujuan :

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;


20

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk

mendapatkan informasi;

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan hukum bagi konsumen, sehingga tumbuh sikap yang jujur

dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,

dan keselamatan konsumen.

C. Hak dan Kewajiban Konsumen

Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan

hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum.

Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik,

melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain,

perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang

diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen.6

Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen, yaitu:

1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);

2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);

3. Hak untuk memilih (the right to choose);

6
ibid, h. 19
21

4. Hak untuk didengar (the right to he heard).

Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam

perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang bergabung dalam The

Internasional Organization of Consumers Union (IOCU) menambahkan lagi

beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak

mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang

baik dan sehat.

Sedangkan hak konsumen di Indonesia sebagaimana tercantum dalam

Pasal 4 UUPK No. 8 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

Hak ini mengandung arti bahwa konsumen berhak mendapatkan

keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk

barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga

konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani.Dalam barang

dan/atau jasa yang dihasilkan dan dipasarkan oleh pelaku usaha beresiko

sangat tinggi terhadap keamanan konsumen, maka pemerintah seharusnya

mengadakan pengawasan secara ketat.

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan;

Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan

pilihannya. Ia tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga ia


22

tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya ia jadi

pembeli, ia juga bebas menentukan produk mana yang akan dibeli.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai

informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak

sampai mempunyai gambaran yang salah atas produk barang dan jasa.

Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti secara lisan

kepada konsumen, melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan

dalam kemasan produk (barang).

Menurut Troelstrup, konsumen pada saat ini membutuhkan banyak


informasi yang lebih relevan dibandingkan dengan saat sekitar 50 tahun
lalu. Karena alasannya, saat ini: (1) terdapat lebih banyak produk,
merek, dan tentu saja penjualannya, (2) daya beli konsumen makin
meningkat, (3) lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran,
sehingga belum banyak diketahui semua orang, (4) model-model
produk lebih cepat berubah, (5) kemudahan transportasi dan
komunikasi sehingga membuka akses yang lebih besar kepada
bermacam-macam prodesen atau penjual.6

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau

jasa yang digunakan;

Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi

adalah hak untuk didengar. Hal ini disebabkan informasi yang diberikan

pihak yang berkepentingan seiring tidak cukup memuaskan konsumen.

6
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, ( Jakarta: PT. Grasindo, 2006), h.
24
23

Untuk itu konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih

lanjut, pemerintah memberikan hak ini kepada konsumen, sehingga

konsumen dapat turut berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan

perdagangan.

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

Hak ini merupakan salah satu hak konsumen untuk mendapatkan

keadilan. Sebab dengan adanya hak ini, konsumen akan mendapatkan

perlindungan hukum yang efektif dalam rangka mengamankan

implementasi ketentuan perlindungan konsumen dan menjamin keadilan

sosial. Untuk mendapatkan hak ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu

:7

1. Melalui konsultasi hukum, baik yang dilakukan oleh organisasi

konsumen atau instansi pemerintah yang mengurus perlindungan

konsumen.

2. Melalui mekanisme tuntutan hukum secara kolektif (class action).

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

Banyaknya konsumen yang dirugikan karena kurangnya kesadaran akan

hak-haknya, Kesadaran akan hak tidak dapat dipungkiri sejalan dengan

hukum. Makin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, makin tinggi

penghormatannya pada hak-hak dirinya dan orang lain. Upaya pendidikan

7
Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999),
h. 23-24.
24

konsumen tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan formaltetapi

dapat melalui media massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat.

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

Penjelasan Pasal 4 huruf g UU Perlindungan Konsumen disebutkan hak

untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya

miskin dan status sosialnya.

Dalam kehidupan sehari-hari banyak pelaku usaha yang membeda-

bedakan konsumen dengan melihat status sosialnya.

h. Hak untuk mendapatkan dispensasi, ganti rugi dan/atau penggantian

jika barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

Apabila konsumen merasa kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa

yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia

berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Jenis dan jumlah ganti

kerugian itu tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau

atas kesepakatan masing-masing pihak.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan yang lain.


25

Dengan adanya hak ini semakin jelas bahwa UU Perlindungan

Konsumen adalah undang-undang payung, maksudnya cakupan materi

yang diatur sangat luas, sehingga diharapkan undang-undang lain yang

berkaitan tidak bertentangan dengan UU Perlindungan Konsumen

walaupun kedudukannya sederajat. Hak-hak konsumen yang diatur dalam

peraturan lainnya, yaitu:

a. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat

Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak

yang diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai

organisasi konsumen di dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat

berarti sangat luas, dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas

lingkungan hidupnya. Lingkungan hidupmeliputi lingkungan hidup dalam

arti fisik dan lingkungan non fisik.

Dalam pasal 6 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

dan pasal l5 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

PengelolaanLingkungan Hidup, hak untuk mendapatkan lingkungan yang

baik dan sehat inidinyatakan secara tegas. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang

Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan,” setiap orang mempunyai

hak yang sama atas lingkungan hidup yang sehat”.

b. Hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang

Persaingan curang atau dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

disebut dengan “ persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang

pengusaha berusaha menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk


26

memajukan usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya

dengan menggunakan alat atau sarana yang bertentangan dengan itikad

baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian.

Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun dampak dari

persaingan itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan antara

pelaku usaha sehat, konsumen memperoleh keuntungan. Sebaliknya jika

persaingan antara pelaku usaha tidak sehat konsumen pula yang

dirugikan.Kerugian itu boleh jadi tidak dirasakan dalam jangka pendek

tetapi cepat atau lambat pasti terjadi.

Kewajiban konsumen sebagaimana tercantum dalam pasal 5 UUPK No.

8 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Untuk memberikan kepastian hukum dan kejelasan akan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban para pihak, UUPK telah memberikan batasan mengenai

hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari

pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK menjelaskan mengenai

hak pelaku usaha adalah sebagai berikut:


27

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum

bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa

yang diperdagangkan.

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Kewajiban pelaku usaha sebagaimana tercantum dalam pasal 7 UUPK

No. 8 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

Dalam UUPKpelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam

melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen, diwajibkan

beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa. Dalam UUPK tampak beritikad baik lebih ditekankan pada pelaku

usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan

usahanya. Dari adanya itikad baik pelaku usaha, maka pelaku usaha

akan melakukan kewajiban-kewajiban yang lainnya, seperti

memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur, melayani konsumen


28

dengan benar, menjamin mutu barang/atau jasa yang diproduksi, dan

lain sebagainya.

2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan

penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta

tidak diskriminatif;

Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan

pelayanan. Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan

kepada konsumen.

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau

jasa yang berlaku;

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau

garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;

Yang dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah barang

yang dapat diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau

kerugian.

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau jasa penggantian barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.
29

Dengan adanya hak dan kewajiban pelaku usaha, maka didalam

UUPKjuga diatur larangan bagi pelaku usaha. Ketentuan mengenai perbuatan

yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UUPK. Ketentuan-

ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:

1. Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8).

2. Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16).

3. Larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17).

Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8

ayat (1) UUPK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan

ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam

hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang

tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam

hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran

sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang

dan/atau jasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya,

mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau

keterangan barang dan/atau jasa tersebut;


30

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,

iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana

pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat

nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai,

tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta

keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di

pasang/dibuat;

j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang

dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

yang berlaku.

Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan

usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996

tentang Pangan.Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga

wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan

kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.

Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:

(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau

bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar

atas barang dimaksud.


31

(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang

rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan

informasi secara lengkap dan benar.

Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar.

Jadi, rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat

berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah

berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan

utuh, namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu

sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.

Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:

(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)

dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib

menariknya dari peredaran.

Mengenai label halal Ajaran tegas Syariat Islam untuk menghindari hal-

hal yang dilarang oleh Allah SWT dan melaksanakan apa saja yang

diperintahkan membuat konsumen Muslim bukanlah konsumen

yang sembarangan dalam pola konsumsinya. Maka para pelaku usaha harus

melaksanakan kewajiban yang telah ditentukan agar memenuhi hak-hak

konsumen dengan memberikan label halal pada produknya.


32

BAB III

PENGATURAN PRODUK PANGAN BERLABEL HALAL DALAM

KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Produk Pangan dan Label Halal

Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat

ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa makanan dan minuman yang

cukup jumlah dan mutunya, manusia tidak akan produktif dalam melakukan

aktivitasnya. Masalah pangan menyangkut pula keamanan, keselamatan dan

kesehatan baik jasmani maupun rohani.Masyarakat memerlukan perlindungan

dari pemerintah bagi semua barang yang dimakan dan diminum terutama hasil

produksi makanan dan minuman yang selama ini dilakukan, halal menurut

ajaran islam.

Kasus-kasus makanan halal yang dapat meragukan masyarakat akan

mempunyai dampak negatif tidak hanya berpengaruh bagi perusahaan itu

sendiri, tetapi juga bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Yang lebih penting

lagi bagi seorang muslim dalam hal makanan dan minuman adalah suatu hal

yang erat sekali kaitannya dengan ibadah. Ketika seorang muslim memakan

dan meminum sesuatu yang haram atau najis, maka do’a dan ibadahnya sia-sia

dan tidak diterima Allah. Oleh karena itu, agama Islam memerintahkan agar

dalam mengkonsumsi makanan haruslah halal dan thayyib.1

1
Musthafa al-Bugha & Muhyiddin Misto, Pokok-Pokok Ajaran Islam, (Jakarta: Robbani
Press, 2005) h.107

32
33

Hal ini sesuai dengan Firman Allah QS. Al-Maidah (5): 88 yang

berbunyi :

Artinya: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah
telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepada-Nya”.

“Halal adalah segala sesuatu yang boleh dikerjakan atau dimakan

dengan pengertian bahwa orang yang melakukan tidak mendapat sanksi dari

Allah SWT. Istilah halal biasanya berhubungan dengan makanan dan

minuman”.2

“Produk halal adalah produk pangan, obat, kosmetika, dan produk lain

yang tidak mengandung unsur atau barang haram atau dilarang untuk

dikonsumsi, digunakan, atau dipakai umat Islam baik yang menyangkut bahan

baku, bahan tambahan, bahan bantu, dan bahan penolong lainnya termasuk

bahan produksi yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan iradiasi yang

pengolahannya dilakukan sesuai dengan syariat Islam”.3

Komunitas muslim diseluruh dunia telah membentuk segmen pasar

yang potensial dikarenakan pola konsumsi khusus mereka dalam

mengkonsumsi suatu produk. Pola konsumsi ini diatur dalam ajaran Islam yang

disebut dengan syari’at. Dalam ajaran syari’at tidak diperkenankan bagi kaum

muslim untuk mengkonsumsi produk-produk tertentu karena substansi yang

2
Abdul Mujib, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994) h. 97
3
Departemen Agama RI, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2003) h.131
34

dikandungnya atau proses yang menyertainya tidak sesuai dengan ajaran

syari’at Islam.

Kini konsumen dapat memilih berbagai macam pilihan produk. Salah

satunya adalah produk pangan yang sering kita konsumsi setiap hari. Sejumlah

langkah bisa ditempuh konsumen untuk mempertimbangkan produk yang akan

dikonsumsi. Salah satu langkah tersebut dengan memperhatikan label halal

pada produk kemasan. Ini untuk memastian kelayakan produk dan kelayakan

status kehalalannya.

Label halal yang ada pada kemasan produk yang beredar di Indonesia

adalah sebuah logo yang tersusun dari huruf-huruf Arab yang membentuk kata

halal pada sebuah lingkaran.4

Label halal masuk dalam klasifikasi descriptive label yaitu label yang

menginformasikan tentang:5

1. Konstruksi atau pembuatan produk yang sesuai dengan standar halal.

2. Ingredient atau bahan baku produk yang sesuai dengan standar halal.

3. Efek yang ditimbulkan (other characteristic) produk yang sesuai dengan

standar halal.

Produk pangan tanpa label halal pun masih banyak ditemukan di pasar-

pasar. Khususnya produk pangan hasil produksi usaha kecil pada home

industri.

4
ibid, h. 277
5
Retno Sulistyowati “Labelisasi Halal” artikel ini diakses pada tanggal 31 juli 2013, pukul
13.00, dari http://www.esq.magazine.com
35

Usaha Kecil dan Menengah disingkat UKM adalah sebuah istilah yang

mengacu ke jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp

200.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Usaha kecil

termasuk usaha yang berdiri sendiri. Menurut Keputusan Presiden RI no. 99

tahun 1998 pengertian Usaha Kecil adalah: “Kegiatan ekonomi rakyat yang

berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan

usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang

tidak sehat.”

Kriteria usaha kecil menurut UU No. 9 tahun 1995 adalah sebagai

berikut:6

1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus

Juta Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (Satu

Miliar Rupiah).

3. Milik Warga Negara Indonesia.

4. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan

yang tidak dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak

langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar.

5. Berbentuk usaha orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan

hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.

6
Artikel ini diakses pada tanggal 15 juli 2013, pukul 10.00, dari
http://id.wikipedia.org/wiki/usaha_kecil_dan_menengah
36

Di daerah Jakarta tepatnya di Kramat jati ada jenis bakso dengan merk

bakso daging sapi asli hasil produksi home industri tidak memiliki label halal

pada kemasannya. Padahal bakso tersebut diminati oleh banyak konsumen dari

konsumen menengah keatas. Ketika ditanya kenapa pada kemasan bakso

tersebut tidak ditemukan label halal, pelaku usaha tersebut menjawab karena

sulitnya proses untuk mendapatkan sertifikat halal dan tidak ada pengawasan

dari instansi yang terkait.

Hal ini jelas sangat merugikan konsumen, karena konsumen tidak

mengetahui informasi tentang kehalalan produk tersebut. Pengawasan dari

aparat pun harus dilakukan terhadap semua industri, khususnya usaha kecil

menengah pada home industri.

Dengan adanya pengawasan dari aparat yang terkait, konsumen pun

akan mengetahui produk apa saja yang halal dan tidak halal. Karena produk

yang sudah berlabel halal saja belum tentu produk tersebut halal. Dengan

ditemukannya banyak kasus produk berlabel halal khususnya bakso, setelah di

uji oleh aparat yang berwenang baru diketahui bahwa produk bakso tersebut

mengandung daging babi. Sudah jelas bahwa daging babi itu harum hukumnya

untuk dimakan oleh umat Islam. Sesuai Firman Allah QS. Al-An’aam (6): 119

sebagai berikut :

Artinya: “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal)


yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah
telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali
37

apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari


manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu
mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang melampaui batas”.

Adapun manfaat yang bisa diperoleh dengan pencantuman dan

sertifikasi label Halal adalah sebagai berikut :

1. Memenuhi kebutuhan masyarakat (terutama Muslim) akan rasa aman dan

keyakinan mengkonsumsi produk yang Halal.

2. Dapat menjalin kerjasama yang lebih baik dengan stakeholder

(pemerintah) seperti LP POM-MUI, MUI, Badan POM, Depag, dan YLKI.

3. Memperkuat Brand Equity product dari segi Brand Association

Halal/Atribut Halal, sehingga memperkuat posisi produk di masyarakat.

4. Melengkapi momen penjualan yang hilang akibat tidak adanya atribut

Halal, sehingga dapat meningkatkan penetrasi produk di masyarakat.

5. Membantu meningkatkan sistem produksi dan quality control yang lebih

baik.

B.Peraturan Yang Mengatur Tentang Pencantuman Produk Pangan

Berlabel Halal Menurut Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku.

Penentuan halal tidaknya suatu produk makanan dan minuman pada era

global ini tidaklah mudah bahkan mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi.

Banyak penyebabnya antara lain karena banyaknya bahan baku dan bahan

tambahan yang menggunakan bahan-bahan dari non muslim atau negara barat.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menjamin hak mendapatkan

makanan dan minuman yang halal, pertama adanya jaminan undang-undang

yang melindungi. Masalah kedua, mengetahui komposisi dan asal-usul serta


38

cara memproduksi makanan dan minuman. Ketiga yaitu pihak yang berwenang

bekerja keras menyusun daftar bahan baku dan bahan tambahan yang sudah

diperiksa kehalalannya.7

Makanan yang kita makan tidak selamanya baik dan halal, Mungkin

saja ada terdapat sesuatu yang haram di dalamnya atau disaat pembuatannya

menggunakan unsur-unsur yang haram. Banyaknya produk di pasaran yang

tidak mencantumkan label halal bisa menjadi kekhawatiran bagi kita.

Produk pangan yang kita konsumsi sebaiknya kita pastikan dahulu, kita

perhatikan tanggal kadaluarsanya yang terdapat dalam kemasan. Melihat label

halal dan membaca isi kandungan dalam produk yang akan kita konsumsi itu.

Untuk menghindari kecurigaan terhadap makanan yang dianggap halal

atau telah diberi label halal sebaiknya kita perhatikan juga hal-hal berikut :8

1. Bahan-bahan yang digunakan adalah halal,

2. Komponen ramuan dan bahan tambahan adalah halal,

3. Proses produksi berdasarkan syari’at Islam.

Saat ini era pasar bebas sudah semakin dekat. Kita banyak

mengkonsumsi makanan yang berasal dari impor. Masalah kehalalannya

sebagian besar dipertanyakan dan masih perlu pengawasan serius baik dari

pemerintah maupun dari masyarakat, khususnya konsumen yang beragama

Islam. Secara langsung atau tidak, masyarakat Indonesia yang mayoritas

muslim itu menghadapi berbagai macam produk yang masih harus

7
Diana Candra Dewi, M.Si,Rahasia Dibalik Makanan Haram,(UIN-Press, 2007) h.121
8
Departemen Agama RI, Islam dan Produk Halal, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2007)
h. 95
39

dipertanyakan kehalalannya. Untuk itu kita harus berhati-hati dan tidak

sembarangan dalam mengkonsumsi produk-produk tersebut.

Produk halal kini bukan lagi semata-mata isu agama, tetapi sudah

menjadi isu di bidang bisnis perdagangan. Saat ini, jaminan sebuah produk

sudah menjadi simbol global bahwa produk yang bersangkutan terjamin

kualitasnya. Selain itu, masyarakat dunia sekarang cenderung memilih produk-

produk yang berlabelkan halal. Sebab, kualitas produk halal akan lebih terjaga

dari segala macam penyakit yang ada di dalamnya.

Sosialisasi makanan akan pentingnya makanan halal belum sampai

pada tingkat kesadaran masyarakat, khususnya bagi produsen untuk

mendapatkan sertifikasi halal dan mencantumkan label halal. Informasi tentang

makanan yang halal pun belum terlalu sering dilakukan, sehingga masyarakat

masih harus tetap berhati-hati untuk memastikan kalau makanan yang

dikonsumsi itu halal atau haram.

Dalam hal ini, perlindungan konsumen terhadap produk-produk di

pasaran menjadi tugas pemerintah dan masyarakat agar terhindar dari

mengkonsumsi pangan yang tidak halal. Oleh karena itu, peraturan-peraturan

yang mengatur tentang pencantuman produk pangan berlabel halal harus benar-

benar diterapkan agar tidak ada lagi konsumen yang merasa dirugkan.

Adapun peraturan-peraturan yang terkait tentang pencantuman produk

pangan berlabel halal yaitu :


40

1. UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Di dalam UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terdapat

pasal yang berkaitan dengan Label halal pada Bab IV mengenai perbuatan

yang dilarang bagi pelaku usaha pada Pasal 8 Ayat (1) huruf h.

Bunyi Pasal 8 Ayat (1) huruf h adalah sebagai berikut:

Pasal 8

(1). Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan

barang dan/atau jasa yang :

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana

pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam Label.

2. UU No.7 Tahun 1996 Tentang Pangan.

Di dalam UU No.7 Tahun 1996 terdapat beberapa pasal yang berkaitan

dengan kehalalan produk pangan, yaitu dalam Bab IV mengenai Label dan

Iklan Pangan pada pasal 30 dan 34.

Bunyi dan penjelasan pasal 30 dan 34 adalah sebagai berikut:

(1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah

Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib

mencantumkan Label pada, di dalam, dan atau dikemasan pangan.

(2). Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-

kurangnya keterangan mengenai :

a. nama produk;

b. daftar bahan yang digunakan;

c. berat bersih atau isi bersih;


41

d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan

ke dalam wilayah Indonesia;

e. keterangan tentang halal; dan

f. tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa.

Penjelasan pasal 30 ayat 2 (e): keterangan halal untuk suatu produk pangan

sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama

Islam. Namun, pencantumannya pada label pangan baru merupakan

kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan dan atau

memasukkan pangan ke wilayah Indonesia untuk diperdagangkan

menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam.

Pasal 34

(1). Setiap orang yang menyatakan dalam Label atau iklan bahwa pangan

yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau

kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan

berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut.

Penjelasan: dalam ketentuan ini, benar tidaknya suatu pernyataan halal

dalam label atau iklan pangan tidak hanya dapat dibuktikan dari segi bahan

baku pangan, tetapi mencakup pula proses pembuatannya.

3. PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan.

Di dalam PP No.69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan pasal yang

berkaitan dengan kehalalan produk pangan yaitu :

Pasal 3 Ayat 2

Label berisikan keterangan sekurang-kurangnya:


42

a.Nama produk;

b.Daftar bahan yang digunakan;

c.Nama dan alamt pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke

wilayah Indonesia;

d.Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa;

Pasal 10

(1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang

dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan

menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam,

bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib

mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label.

(2). Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Label.

Pencantuman keterangan halal atau tulisan “halal” pada label pangan

merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau

memasukkan pangan kedalam wilayah Indonesia menyatakan bahwa

produknya halal bagi umat Islam. Penggunaan bahasa atau huruf selain

bahasa Indonesia dan huruf Latin harus digunakan bersamaan dengan

padanannya dalam bahasa Indonesia dan huruf Latin.

Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut mempunyai arti yang

sangat penting dan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat yang

beragama islam dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal. Kebenaran

suatu pernyataan halal pada label pangan tidak hanya dibuktikan dari segi
43

bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu yang digunakan,

tetapi harus pula dibuktikan dalam proses produksinya.

Pasal 11

(1).Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana dimaksud

dalam pasal 10 ayat 1, setiap orang yang memproduksi atau

memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk

diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan

tersebutpada lembaga pemeriksa yang telah terakreditasi sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2).Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan

berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan olen Menteri

Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga

keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.

Pencantuman tulisan halal pada dasarnya bersifat sukarela. Namun

setiap orang yang memproduksi dan atau memasukkan pangan kedalam

wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan produk yang halal,

sesuai ketentuan ia wajib mencantumkan tulisan halal pada label produknya

untuk menghindarkan timbulnya keraguan di kalangan umat Islam terhadap

kebenaran pernyataan halal.

Dengan demikian untuk kelangsungan usahanya, pangan yang

dinyatakan halal tersebut diperiksa terlebih dahulu oleh lembaga yang telah

diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Pemeriksaan tersebut

dimaksudkan untuk memberikan ketenteraman dan keyakinan umat islam


44

bahwa pangan yang akan dikonsumsi memang aman dari segi agama.

Lembaga keamanan yang dimaksud adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pedoman ini bersifat umum, dan antara lain meliputi persyaratan bahan,

proses atau produknya.

4. Kepmenkes No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang perubahan atas

Kepmenkes No. 82/Menkes/SK/I.1996 tentang pencantuman tulisan

“Halal” pada label makanan.

Pasal 8

Produsen atau importir yang akan mengajukan permohonan pencatuman

tulisan halal wajib siap diperiksa oleh petugas tim gabungan dari Majelis

Ulama Indonesia dan Direktoran Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan

yang ditunjuk oleh Direktur Jendral.

Pasal 9

Bahan baku, bahan tambahan makanan, dan bahan penolong dan/atau

produk jadi wajib diuji di laboratorium yang ditetapkan oleh Direktur

Jenderal

Pasal 10

(1).Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pasal 8 dan hasil pengujian

laboratorium sebagaimana dimaksud pasal 9 dilakuan evaluasi oleh tim

ahli MUI.

(2).Hasil evaluasi sebagaiman dimaksud ayat (1) disampaikan kepada

komisi fatwa MUI untuk memperoleh fatwa.


45

(3).Fatwa MUI sebagaiamana dimaksud ayat (2) berupa pemberian sertifikat

halal bagi yang memenuhi syarat atau berupa penolakan.

Pasal 11

Persetujuan pencantuman tulisan “halal” diberikan berdasarkan fatwa dari

komisi fatwa MUI.

Pasal 12

(1).Berdasrakan fatwa MUI, Direktur Jenderal memberikan:

a. Persetujuan bagi yang memperoleh sertifikat halal

b. Penolakan bagi yang tudak memperoleh sertifikat halal

(2).Penolakan sebagimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b diberikan secara

tertulis kepada pemohon disertai alasan.

Selain peraturan-peraturan di atas Majelis Ulama Indonesia juga

mengeluarkan fatwa No. 01 Tahun 2011 Tentang Penetapan Produk Halal.

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam rapat Komisi dengan LP-POM

MUI, pada hari Rabu tanggal 30 Muharam 1432 H/ 05 Januari 2011 M,

Setelah:8

MENIMBANG: 1. Bahwa makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika, dan

lain-lain yang akan dikonsumsi atau dipergunakan oleh

umat Islam wajib diperhatikan dan diyakini kehalalan dan

kesuciannya;

8
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2011)
h.669
46

2. Bahwa produk makanan, minuman, obat-obatan,

kosmetika dan lain-lain yang merupakan hasil olahan

sering diragukan kehalalan atau kesuciannya;

3. Bahwa oleh karena itu, produk-produk olahan sebagaimana

terlampir yang terhadapnya telah dilakukan pemeriksaan,

penelitian, pembahasan, dan penilaian dalam rapat Komisi

Fatwa bersama LP POM MUI, Komisi Fatwa memandang

perlu untuk menetapkan kehalalan dan kesuciannya untuk

dijadikan pedoman oleh umat.

MEMUTUSKAN: 1. Produk-produk sebagaimana tersebut dalam lampiran

keputusan fatwa ini ditetapkan kehalalan dan

kesuciannya.

2. Keputusan ini berlaku sejak ditetapkan, dengan

ketentuan jika dikemudian hari ternyata terdapat

kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan

sebagaimana mestinya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) selama ini mengambil peran

melakukan sertifikasi produk halal. Apa yang dilakukan MUI tidak lain adalah

demi memberikan jaminan dan perlindungan terhadap umat islam agar

mengkonsumsi produk yang diyakini kehalalannya.

MUI juga mendirikan sebuah lembaga yaitu Lembaga Pengkajian

Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia atau yang

disingkat LPPOM MUI yaitu lembaga yang bertugas untuk meneliti, mengkaji,
47

menganalisa dan memutuskan apakah produk-produk baik pangan dan

turunannya, obat-obatan dan kosmetika apakah aman dikonsumsi baik dari sisi

kesehatan dan dari sisi agama Islamyakni halal atau boleh dan baik untuk

dikonsumsi bagi umat Muslim khususnya di wilayah Indonesia, selain itu

memberikan rekomendasi, merumuskan ketentuan dan bimbingan kepada

masyarakat.Lembaga ini didirikan atas keputusan Majelis Ulama Indonesia

(MUI)berdasarkan surat keputusan nomor 018/MUI/1989, pada tanggal 26

Jumadil Awal 1409 Hijriah atau 6 Januari1989.

Sebagai lembaga otonom bentukan MUI, LPPOM MUI tidak berjalan

sendiri. Keduanya memiliki kaitan erat dalam mengeluarkan keputusan.

Sertifikat Halal merupakan langkah yang berhasil dijalankan sampai sekarang.

Di dalamnya tertulis fatwaMUI yang menyatakan kehalalan suatu produk

sesuai dengan syariat Islam dan menjadi syarat pencantuman label halal dalam

setiap produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika.

Untuk berhak menggunakan label “Halal” pada kemasan produk yang

diproduksi ataupun pada tempat usaha, produsen harus mengajukan sertifikasi

halal ke LPPOM. Adapun proses dalam permohonan tersebut dapat

digambarkan sebagai berikut:9

1. Produsen mengajukan permohonan ke LPPOM dengan cara mengisi

Borang (formulir) yang mencakup nama perusahaan, detail produk

termasuk komposisi bahan yang digunakan, tempat produksi, dan juga

proses pembuatannya.

9
Artikel ini diakses pada tanggal 20 Januari 2014, Pukul 10.30, dari
http://id.wikipedia.org/wiki/LPPOM_MUI
48

2. Kemudian bagian sekretariat LPPOM akan melakukan pengecekan untuk

kelengkapan dokumen yang diperlukan. Jika belum komplit, maka diminta

untuk segera melengkapinya. Dan bila telah sesuai maka akan dilanjutkan

dengan pemberitahuan jadwal audit ke tempat produksi. Audit tersebut

dilakukan oleh Tim Auditor LPPOM, dan ketika audit/pemeriksaan

berlangsung, tempat usaha harus sedang melakukan kegiatan produksi.

3. Selanjutnya, setelah Tim Auditor melakukan analisis dan evaluasi

termasuk juga memperhatikan hasil lab (bila diperlukan), maka akan

dilanjutkan pada tahap simpulan, yaitu melanjutkan laporannya ke Sidang

Komisi Fatwa MUI (jika dinyatakan memenuhi syarat) atau

ditolak/dikembalikan karena belum memenuhi standard yang syaratkan.

4. Setelah lulus tim audit, Komisi Fatwa MUI melakukan sidang guna

memutuskan layak tidaknya suatu produk mendapatkan sertifikasi Halal.

Keputusan diambil berdasrkan berbagai pertimbangan, salah satunya dari

laporan yang disampaikan tim auditor. Jika sidang Komisi Fatwa

menyatakan telah memenuhi standard sesuai dengan kaidah Islam, maka

proses berikutnya pencetakan surat sertifikat Halal.

Sertifikat Halal suatu produk memiliki masa penggunaan selama dua

tahun. Tiga bulan sebelum masa sertifikat tersebut lewat, produsen wajib

melakukan perpanjangan dengan proses yang serupa. Tidak ada daftar tarif

tetap yang dikeluarkan oleh MUI dalam permohonan sertifikat halal tersebut,

semua tergantung kesepakatan antara LPPOM MUI dan Produsen (Pemohon).


49

Masih banyaknya pelanggaran mengenai label halal yang dilakukan

pelaku usaha khususnya usaha kecil maka pemerintah membuat Rancangan

Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal (JPH) yang akan disahkan

menjadi Undang-Undang harus menjadi momentum untuk lebih memperkuat

jaminan Negara atas berbagai produk yang dikonsumsi masyarakat.

Jaminan ini khususnya ditujukan kepada umat Islam yang menjadi

mayoritas di negeri ini, sehingga merasa tenang, aman dan nyaman dalam

mengkonsumsi produk-produk yang beredar di pasar, sesuai dengan keyakinan

agama yang dipeluknya.Dengan demikian, adanya sistem JPH pada makanan,

minuman, obat dan kosmetik, produk kimia, produk biologi dan produk

rekayasa genetika, masyarakat dan produsen akan terlindungi oleh suatu

Undang-Undang yang mengatur persoalan JPH.

Ada tiga prinsip yang harus menjadi dasar dalam penyelenggaraan JPH,

antara lain:10

1. Sistem JPH harus mampu memberikan jaminan dan perlindungan kepada

Umat Islam untuk memperoleh dan mengonsumsi produk halal.

2. JPH harus menjamin bahwa proses dan prosedur audit dan sertifikasi yang

terkait dengan proses halal harus dilakukan secara sederhana dan mudah

untuk memberikan kemudahan bagi produsen dan dunia usaha.

3. JPH harus memberikan jaminan bahwa biaya audit dan sertifikasi harus

murah dan proporsional.

10
Artikel ini diakses pada tanggal 20 Januari 2014, pada pukul 10.45, dari
http://www.nuranifkmui.com/index.php/artikel/144-jaminan-produk-halal
50

Beberapa substansi pokok yang menjadi ruang lingkup pembahasan

RUU JPH meliputi :

1. Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH secara

terencana, terpadu, dan menyeluruh. Dengan demikian negara menjadi

aktor utama dalam menjamin kehalalan makanan, minuman, obat dan

kosmetik, produk kimia, produk biologi, dan produk rekayasa genetika

yang beredar di Indonesia.

2. Diperlukan suatu lembaga yang berfungsi untuk melakukan pemeriksaan

dan standardisasi kehalalan produk.

3. Posisi RUU ini bisa menjadi undang-undang yang bersifat lex spesialis

dalam mengatur dan menghimpun regulasi soal produk halal.

4. RUU JPH ini memperhatikan dan membedakan ranah pemerintah dan

ranah syariah sehingga terjadi pemisahan antara regulator dan operator,

serta komponen yang dilibatkan mendapatkan posisi sesuai dengan

kompetensi dan kapasitas kelembagaannya masing-masing.

5. RUU ini akan mempertegas fungsi MUI dalam persoalan jaminan suatu

produk dimana MUI difungsikan untuk menetapkan standar halal dan

sistem jaminan halal, serta menetapkan fatwa halal dalam bentuk putusan

fatwa.

6. Untuk kepastian pelaksanaan RUU ini, dimuat pula ketentuan sanksi

pidana bagi yang melanggarnya.

Selain substansi pokok RUU JPH, terdapat pula empat substansi

penting dalam RUU JPH, antara lain :


51

1. Sertifikasi Halal: Sertifikasi halal seyogyanya tetap menjadi kewenangan

MUI yang didalamnya meliputi penetapan standar produk halal,

pemeriksaan produk halal, penetapan fatwa kehalalan produk, dan

penerbitan sertifikat halal.

2. Pemberian Logo Produk: Pelaksanaan mengenai pencantuman logo

produk halal dilakukan oleh Badan POM. Pencantuman logo pada produk

halal maupun produk non halal merupakan hak konsumen.

3. Pengawasan: Pengawasan dalam penjaminan produk halal, diantaranya

meliputi pengawasan terhadap pelaku usaha (produsen), distribusi, dan

peredaran produk halal.

4. Penindaka: Penindakan merupakan wilayah hukum sebagai kelanjutan dari

pengawasan. Penindakan dapat dilakukan pada setiap warga negara dan

objek hukum yang berdasarkan bukti hukum telah melakukan perbuatan

melawan hukumdalam kaitan jaminan produk halal sebagaimana diatur

dalam RUU JPH ini.

Oleh karena itu, kedudukan RUU JPH ini menjadi sangat penting bagi

masyarakat umum dan pelaku usaha. Untuk itu kita berharap semoga proses

pembahasannya bisa berjalan lancar dan cepat demi kebaikan bersama.Dari

peraturan-peraturan di atas, Indonesia telah memiliki sederet peraturan yang

menekankan dan mewajibkan perlunya label halal. Dengan adanya peraturan

yang mengatur mengenai label halaldiharapkan para pelaku usaha atau

produsen mentaati segala peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah agar

konsumen muslim tidak di rugikan.


52

BAB IV

UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH KONSUMEN

DALAM MEMPEROLEH PERLINDUNGAN TERHADAP HAKNYA

Dalama usaha meraih calon konsumen, sering kali pelaku usaha kurang

memperdulikan akan hak-hak konsumen, yaitu hak atas informasi, keamanan

dan keselamatan, sehingga dapat merugikan konsumen/masyarakat pengguna

produk makanan dan minuman tersebut. Upaya-upaya yang dapat dilakukan

konsumen dalam memperoleh perlindungan terhadap haknya adalah sebagai

berikut:

A. Penyelesaian Langsung Kepada Produsen.

Yang dimaksud penyelesaian sengketa secara langsung kepada

produsen yaitu konsumen dapat mengajukan komplain kepada pelaku usaha

(produsen) untuk menyelesaikan masalah produk pangan dalam kemasan tanpa

label halal, dengan menunjukkan bukti-bukti yang kuat berupa barang/produk,

kwitansi pembelian, dan keterangan saksi-saksi. Dengan mencoba

menyelesaikan masalahnya sendiri berarti konsumen telah menerapkan hak dan

kewajibannya. Disamping itu juga menunjukkan sikap kritis konsumen

terhadap pelaku usaha.

B. Melapor keYayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Perlindungan terhadap konsumen pada hakikatnya berarti pula bahwa

dorongan terhadap produsen untuk menghasilkan barang yang terjamin

mutunya. Dengan demikian konsumen tidak akan mengalihkan perhatiannya

pada produk luar negeri. Kepercayaan konsumen yang diterima oleh produsen

52
53

dengan sendirinya membuat produsen memperbesar volume produksinya. Ini

berarti bahwa produsen akan menambah jumlah tenaga kerjanya yang akan

mengurangi jumlah pengangguran di masyarakat. YLKI sebagai lembaga sosial

dapat berperan aktif sebagai lembaga mediasi dalam melindungi konsumen,

menumbuhkan kesadaran konsumen atas haknya, memberikan masukan kepada

produsen atas kewajibannya, serta berbagai masukan kepada pemerintah dalam

mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban bagi

produsen dan perlindungan konsumen. Cara pengaduan konsumen melalui

YLKI adalah sebagai berikut :

a. Langsung lisan dan tulisan, yaitu konsumen datang langsung ke YLKI

dengan mengisi formulir pengaduan dengan menyertakan bukti-bukti yang

diperlukan;

b. Melalui surat, yaitu konsumen dapat mengirimkan surat keluhan kepada

YLKI dengan disertai barang bukti;

Adapun isi surat pengaduan secara tertulis itu berisi:

1. Kronologis kejadian yang dialami sehingga merugikan konsumen.

2. Wajib mencantumkan identitas dan alamat lengkap konsumen.

3. Menyertakan barang bukti atau fotocopy dokumen pelengkap lainnya

(kwitansi pembelian, kartu garansi, surat perjanjian, dll).

4. Apakah konsumen sudah pernah melakukan komplain ke pelaku usaha.

Jika belum pernah, maka konsumen dianjurkan untuk melakukan

komplain secara tertulis ke pelaku usaha terlebih dahulu.

5. Cantumkan tuntutan dari pengaduan konsumen tersebut.


54

c. Melalui telepon, e-mail, fax;

Pengaduan melalui telepon dikategorikan menjadi dua yaitu:

1. Hanya minta informasi atau saran (advice), maka telepon itu cukup

dijawab secara lisan pula dan diberikan advica pada saat itu dan selesai.

2. Pengaduannya untuk di tindak lanjuti. Jika konsumen meminta

pengaduannya ditindak lanjuti, maka si penelepon diharuskan mengirim

surat pengaduan secara tertulis ke YLKI.

d. Melalui media cetak dan elektronik dimana sarana ini efektif karena

diketahui oleh masyarakat dan pelaku usaha yang bersangkutan, dan YLKI

juga akan membantu menyelesaikan pengaduan tersebut. Salah satu media

cetak yang rutin menampung pengaduan dari konsumen yang merasa

dirugikan yaitu Warta Konsumen terbitan YLKI.

Atas aduan yang diterima oleh YLKI, maka YLKI akan meneliti

kebenarannya terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan sebagai bukti bahwa

pembelaan YLKI terhadap konsumen bukan dilandasi oleh keinginan untuk

menjatuhkan pelaku usaha, tetapi untuk menegakkan kebenaran dan membela

konsumen yang dirugikan.

Setelah pengaduan konsumen tersebut diyakini kebenarannya, maka

atas pengaduan tersebut akan dibuatkan surat kuasa dan Berita Acara

Pengaduan yang berisi biodata konsumen dan pelaku usaha, barang-barang

bukti dan materi pengaduan. Selanjutnya pengaduan tersebut siap untuk

diselesaikan. Banyak cara yang ditempuh, dan cara mana yang digunakan
55

tergantung pada jenis dan sifat pengaduannya. Beberapa cara yang ditempuh

YLKI yaitu:

1. Melalui mediasi.

Pada forum ini YLKI menghadirkan konsumen dan pelaku usaha,

kemudian YLKI sebagai mediator memberikan kesempatan kepada

masing-masing pihak untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya

dan mengajukan tuntutan yang diinginkan, kemudian para pihak

melakukan negosiasi atas tuntutan yang tersebut untuk mencapai

kesepakatan. Jika telah dicapai kata sepakat, maka YLKI akan

menuangkannya dalam Berita Acara Kesepakatan. Tahap akhir dari proses

mediasi yaitu pelaksanaan hasil kesepakatan.

2. Penyelesaian dengan cara ke lembaga atau instansi tertentu, baik lembaga

peradilan maupun diluar pengadilan.

C. Penyelesaian Melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

BPOM adalah singkatan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.

BPOM ini dibentuk oleh pemerintah untuk turut berperan aktif dalam

mewujudkan perlindungan konsumen. Sama halnya dengan lembaga atau

instansi lainnya BPOM ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:

1. Memberikan pelayanan informasi.

2. Menerima pengaduan.

3. Mengolah dan meneruskan informasi.

4. Memantau proses pemecahan masalah dan menyampaikan hasilnya.


56

BPOM telah menyediakan ULPK, yaitu Unit Layanan Pengaduan

Konsumen. Yang mana tugasnya melayani pengaduan konsumen atau

masyarakat tentang obat, makanan dan minuman, obat tradisional, kosmetik,

alat kesehatan, dan bahan-bahan yang berbahaya. Unit Layanan Pengaduan

Konsumen (ULPK) ini dikoordinatori oleh sekertaris utama BPOM.1

BPOM merupakan badan yang independen yang artinya tidak memihak

kepada produsen sebagai pihak pemberi barang dan jasa, pihak pemerintah dan

juga pihak masyarakat sebagai konsumen yang menggunakan barang dan jasa.

Adapun sarana pengaduan yang disediakan oleh BPOM sama dengan sarana

yang disediakan oleh YLKI.

Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa konsumen di atas termasuk ke

dalam bentuk penyelesaian sengketa konsumen secara damai. UUPerlindungan

Konsumen mengaturnya dalam Pasal 45 ayat (2) jo. Pasal 47 UUPerlindungan

Konsumen. Inti dari Pasal 45 ayat (2) UUPerlindungan Konsumen yaitu,

UUPerlindungan Konsumen tidak menutup kemungkinan dilakukannya

penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa, dan sebaiknya

dilakukan sebagai upaya pertama sebelum diselesaikan melalui pengadilan.

Kemudian Pasal 47 UUPerlindungan Konsumen menegaskan bahwa

penyelesaian sengketa konsumen secara damai tersebut dilakukan untuk

mencapai kesepakatan antara konsumen dan pelaku usaha.

Atas pengaduan yang disampaikan dan upaya penyelesaian kepada

pihak-pihak di atas, Jika tidak mendapat tanggapan dari para pelaku usaha

1
Astih “Sistem Pengawasan BPOM Dalam Mengawasi Makanan yang Beredar” Artikel
ini diakses pada tanggal 18 Agustus 2013, Pukul 14.30, dari http://www.opini.blogspot.com
57

maka UUPerlindungan Konsumen mengatur bahwa konsumen yang merasa

dirugikan dapat mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha. Pasal 23

UUPerlindungan Konsumen merupakan Pasal yang khusus mengatur hak

konsumen untuk menggugat pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak

memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 19 UUPerlindungan Konsumen, baik melalui BPSK maupun dengan

mengajukannya ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Pasal 4 UUPerlindungan Konsumen tentang hak-hak konsumen

menguatkan gugatan konsumen bahwa terdapat hak-haknya yang dilanggar

oleh pelaku usaha, yaitu hak atas kenyamanan, keamanan, keselamatan, serta

mendapat informasi yang benar atas penggunaan produk pangan berlabel halal

yang dihasilkan oleh produsen selaku pelaku usaha.

Kemudian Pasal 4 huruf e UUPerlindungan Konsumen menyatakan

bahwa konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan,

dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Artinya

pasal ini menegaskan bahwa pelaku usaha dan konsumen mempunyai

kedudukan yang sama di mata hukum dan peradilan. Hak mendapatkan ganti

rugi yang diajukan oleh konsumen ditegaskan bahwa konsumen berhak

mendapatkan ganti rugi dan penggantian bila produk pangan yang dikonsumsi

tidak sesuai dengan ketentuan berproduksi secara halal. Hak konsumen untuk

mendapatkan ganti rugi merupakan kewajiban pelaku usaha yang harus

dipenuhi.
58

Berdasarkan ketentuan Pasal 46 UUPerlindungan Konsumen gugatan

sengketa konsumen tersebut dapat diajukan kepada pengadilan umum oleh

beberapa pihak yaitu konsumen sebagai individu atau kuasa/ahli warisnya.

Kelompok konsumen dengan kelompok sama melalui gugatan class action.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), atau pemerintah dan/atau instansi

terkait bila produk pangan tanpa label halal tersebut mengakibatkan kerugian

materi yang besar.

Dalam hal ini, gugatan sengketa konsumen yang dapat diajukan oleh

konsumen adalah gugatan oleh LSM dengan Class Action. Kelebihan kedua

instrumen ini terletak pada dapat diwakilinya banyak konsumen yang

menderita kerugian, memiliki kepentingan, serta menuntut pemulihan yang

sama. Kerugian yang sama yaitu tidak memenuhi syarat keamanan produk

pangan tersebut tidak berlabel halal. Kepentingan dan tuntutan pemulihan yang

sama yaitu adanya tuntutan ganti rugi atas kerugian yang konsumen derita dan

pemulihan baik terhadap jiwa maupun pemulihan kesehatan dan harta benda.

Jika konsumen merasa berat menyelesaikan sengketa konsumen melalui

pengadilan, maka upaya penyelesaian sengketa konsumen yang dapat

dilakukan yaitu dengan mengajukan kepada BPSK.

D. Melapor Ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen tidak

selamanya baik, pasti akan timbul perselisihan atau sengketa konsumen.

Selama ini sengketa konsumen diselesaikan melalui gugatan di pengadilan,

namun pada kenyataannya yang tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga


59

pengadilan pun tidak akomodatif untuk menampung sengketa konsumen

karena proses perkara yang terlalu lama. Berdasarkan Pasal 45 UUPK setiap

konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga

yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau

melalui pengadilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

Di luar peradilan umum, UUPerlindungan Konsumen membuat

terobosan dengan memfasilitasi para konsumen yang merasa dirugikan dengan

mengajukan gugatan ke pelaku usaha di luar pengadilan, yaitu Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Mekanisme gugatan dilakukan

secara sukarela dari kedua belah pihak yang bersengketa. Hal ini berlaku untuk

gugatan secara perorangan, sedangkan gugatan secara kelompok (class action)

dilakukan melalui peradilan umum.2

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah badan yang

bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan

konsumen.Tugas-tugas lain dan wewenang BPSK sesuai Pasal 25 UUPK yaitu:

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan

cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen.

c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.

d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan

dalam undang-undang.

2
Marianus Gaharpung, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Korban Atas Tindakan
Pelaku Usaha, (Jakarta: Jurnal Yustika, 2000) h. 43
60

e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen

tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen.

g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran

terhadap undang-undang ini.

h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang

dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini.

i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi

ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf (g) dan huruf (h),

yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen.

j. Mendapatkan, meneliti, dan/atau meneliti surat, dokumen, atau alat bukti

lain guna penyelidikan, dan/atau pemeriksaan.

k. Memutuskan dan menetapkan atau tidak adanya kerugian pihak

konsumen.

l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan

pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

m. Menjatuhkan saksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar

ketentuan undang-undang.

BPSK adalah pengadilan khusus konsumen (small claim court) yang

sangat diharapkan dapat menjawab tuntutan masyarakat agar proses berperkara

berjalan cepat, mudah, dan murah. Cepat karena penyelesaian sengketa melalui

BPSK harus sudah diputus dalam tenggang waktu 21 hari kerja, dan tidak
61

dimungkinkan banding yang dapat memperlama proses penyelesaian perkara.3

Mudah karena prosedur administratif dan proses pengambilan putusan yang

sangat sederhana, dan dapat dilakukan sendiri oleh para pihak tanpa diperlukan

kuasa hukum. Murah karena biaya persidangan yang dibebankan sangat ringan

dan dapat terjangkau oleh konsumen.4

Dengan demikian, BPSK hanya menerima perkara yang nilai

kerugiannya kecil. Pemeriksaan dilakukan oleh hakim tunggal dan kehadiran

penuh pihak ketiga (pengacara) sebagai wakil pihak yang bersengketa tidak

diperkenankan. Putusan dari BPSK tidak dapat dibanding kecuali bertentangan

dengan hukum yang berlaku.5

Adapun Tiga macam bentuk upaya penyelesaian sengketa yang

dilakukan oleh BPSK yaitu :

a. Konsiliasi, yaitu merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang

juga bisa ditempuh di luar pengadilan. Konsiliasi ini juga dimungkinkan

sebagai alternatif penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UUPK.

Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan melalui BPSK ini

mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan proses penyelesaiannya

diserahkan kepada para pihak yang bersengketa, sedangkan Majelis BPSK

bersifat pasif (sebagai pengarah).

3
Nugroho, Susanti Adi, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: Media Grafika, 2008) cet. Ke-1., h. 75
4
Yusuf Sofie dan Somi Awan, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai
Persoalan Mendasar Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), (Jakarta: Piramedia, 2004)
h. 17
5
Kristiyanti, Celina Tri Siwi, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika,
2008) cet. Ke-1., h. 126
62

b. Mediasi, yaitu proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan

dengan perantara BPSK, untuk mempertemukan para pihak yang

bersengketa dan proses penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak,

namun Majelis BPSK bertindak sebagai mediator atau penasehat agar proses

persidangan berjalan sesuai ketentuan.

c. Arbitrase, yaitu proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan

dengan perantara BPSK, untuk mempertemukan para pihak bersengketa,

namun proses penyelesaiannya secara penuh diserahkan kepada Majelis

BPSK melalui penunjukan arbiter masing-masing.

Kemudian BPSK akan memberikan kebebasan kepada para pihak yang

bersangkutan untuk memilih salah satu dari ketiga cara tersebut.

Keberadaan BPSK dapat menjadi bagian dari pemerataan keadilan,

terutama bagi konsumen yang merasa diragukan oleh pelaku usaha, karena

sengketa diantara konsumen dan pelaku usaha, biasanya nominalnya kecil

sehingga tidak bisa mengajukan sengketanya di pengadilan karena tidak

sebanding antara biaya perkara dengan besarnya kerugian yang akan dituntut.

Jika putusan BPSK dapat diterima oleh kedua belah pihak, maka

putusan BPSK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak perlu diajukan ke

pengadilan. Keberadaan BPSK juga diharapkan akan mengurangi beban

tumpukan perkara di pengadilan.


63

E. Penyelesaian Melalui Peradilan Umum.

Walaupun putusan yang dijatuhkan majelis BPSK bersifat final dan

mengikat,pihak-pihak yang tidak setuju atas putusan tersebut dapat

mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri untuk diputuskan dalam

waktu 21 hari dengan waktu 14 hari untuk mengajukan keberatan ke

pengadilan negeri. Terhadap putusan pengadilan negeri ini dapat diajukan

upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung RI yang akan diputuskan dalam

waktu 30 hari,dengan waktu 14 hari untuk mengajukan kasasi.6

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan dijelaskan dalam pasal 48

UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dijelaskan bahwa

penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan

tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperlihatkan ketentuan yang

terdapat dalam pasal 45 UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan, dalam dunia bisnis

merupakan suatu masalah tersendiri, dikarenakan dalam penyelesaian sengketa

di dalam pengadilan sangat membutuhkan biaya banyak, sedangkan kita tahu

bahwa dunia bisnis sangat menghendaki penyelesaian sengketa dengan harga

murah dan cepat. Disamping itu penyelesaian sengketa di dalam pengadilan

dapat merusak hubungan pelaku bisnis dengan siapa dia pernah terlibat

6
Heys Hanata “Perlindugan Konsumen” artikel ini diakses pada tanggal 21 Agustus 2013,
Pukul 07.00, dari http://heyshanata.blogspot.com/2012/11/perlindungan-konsumen.html
64

sengketa, dikarenakan penyelesaian sengketa dalam pengadilan akan berakhir

dengan kekalahan salah satu pihak.

Secara umum, ada beberapa kritikan yang dapat dikemukakan terhadap

penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yaitu:

1). Penyelesaian sengketa yang sangat lambat

Penyelesaian sengeketa melalui pengadilan umumnya sangat lambat

dikarenakan proses pemeriksaan yang sangat formalitas dan sangat teknis.

2). Biaya perkara yang mahal

Biaya perkara yang mahal dalam proses penyelesaian sengketa dalam

pengadilan, lebih-lebih jika dikaitkan dengan waktu yang sangat lama,

karena semakin lama proses penyelesaian sengketa semakin banyak pula

biaya yang harus dikeluarkan, belum lagi biaya pengacara yang sangat tidak

sedikit.

3) . Pengadilan pada umumnya tidak responsif

Tidak responsif atau tidak tanggapnya pengadilan dapat dilihat dari

kurang tanggapnya pengadilan dalam membela dan melindungi kepentingan

umum. Belum lagi kritikan yang mengangap pengadilan hanya memberi

pelayanan orang kaya saja atau lembaga yang besar, yang mengakibatkan

munculnya statement “hukum menindas orang miskin, tetapi orang berduit

yang mengatur hukum”.

4). Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah


Putusan pengadilan dianggap tidak menyelesaikan masalah, bahkan

dianggap semakin memperumit masalah karena secara objektif putusan


65

pengadilan tidak mampu memuaskan, dan tidak mampu memberikan

kedamaian dan ketenteraman kepada para pihak.

Upaya-upaya hukum yang telah disebutkan di atas dapat ditempuh oleh

konsumen yang merasa dirugikan akibat mengkonsumsi produk pangan yang

tidak berlabel halal yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Walaupun terdapat

upaya hukum yang dijamin oleh UUPerlindungan Konsumen, ternyata dalam

prakteknya konsumen sering mengalami kesulitan dalam mengajukan gugatan,

antara lain karena pelaku usaha yang akan digugat oleh konsumen tidak jelas,

baik nama atau alamatnya maka, gugatan pun tidak dapat ditentukan karena

tidak ada pihak yang dimintai pertanggung jawaban.

Berdasarkan hal di atas, dapat dilihat bahwa peran label halal dalam

kemasan sangat penting yaitu dalam hal pemberian informasi produk tersebut

dan dalam hal penuntutan bila terjadi kerugian pada pihak konsumen ( terdapat

nama dan alamat yang jelas dari pelaku usaha pada label kemasan produk

pangan).
66

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan dan pembahasan di atas maka kesimpulan yang

dapat penulis paparkan adalah sebagai berikut:

1. Pengaturan produk pangan berlabel halal dalam kaitannya dengan

perlindungan konsumen bahwa para pelaku usaha harus mencantumkan

label halal pada setiap produk pangan yang diproduksi dan

diperdagangkan. Hal ini sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang

perlindungan konsumen yang terdapat pada Pasal 8 Ayat (1) huruf h

adalah sebagai berikut:

Pasal 8

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan

barang dan/atau jasa yang:

h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana

pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam Label.

Dengan adanya pengaturan tersebut para pelaku usaha tidak boleh

melanggar peraturan yang telah ada, agar para konsumen khususnya

konsumen muslim tidak dirugikan oleh pelaku susaha dan dapat memilih

produk pangan yang diinginkan dengan jelas dan nyaman karena adanya

pencantuman label halal pada kemasan, maka tidak ada keraguan lagi

mengenai kehalalannya.

66
67

2. Upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen dalam memperoleh

perlindungan terhadap haknya yang dilanggar oleh pelaku usaha akibat

mengkonsumsi pangan tanpa label halal dalam kemasan pada usaha

keciltelah mendapat pengaturan dalam UUPK. UUPK memberikan

kesempatan bagi konsumen dan pelaku usaha untuk menyelesaikan

sengketa konsumen tersebut melalui 2 cara, yaitu dengan cara damai atau

melalui gugatan ke pengadilan atau BPSK. Cara-cara penyelesaiannya

yaitu sebagai berikut :

a. Penyelesaian secara langsung kepada pelaku usaha.

b. Pengaduan melalui YLKI, yang dapat dilakukan secara langsung baik

secara lisan maupun tertulis, melalui surat, telepon, e-mail, fax, media

cetak dan elektronik. Selanjutnya YLKI dapat menempuh penyelesaian

pengaduan konsumen melalui beberapa cara, yaitu mediasi, atau

penyelesaian dengan cara ke pengadilan yang dikenal dengan gugatan

lembaga konsumen.

c. Penyelesaian melalui BPOM.

d. BPSK juga menerima pengaduan dan pengajuan penyelesaian sengketa

dari konsumen, tetapi disyaratkan bahwa konsumen telah melakukan

upaya penyelesaian secara langsung kepada pelaku usaha tetapi tidak

mendapat tanggapan dari pelaku usaha. Dengan demikian atas

pengaduan konsumen ke BPSK tersebut dapat diselesaikan melalui

BPSK juga.
68

e. Penyelesaian melalui lembaga peradilan umum, yaitu dengan

mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN).


69

B. SARAN

Dari kesimpulan di atas maka penulis mempunyai beberapa saran yaitu:

1. Untuk lebih memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen dalam

masalah pencantuman label halal pada kemasan, maka pertanggung jawaban

pelaku usaha khusunya usaha kecil terhadap konsumen harus ditingkatkan

dengan memberikan informasi produk terkait label halal dengan benar, jelas

dan jujur. Kepada konsumen harus teliti terlebih dahulu dalam membeli

produk khususnya produk halal yang tertera pada kemasan demi keamanan

dan keselamatan konsumen.

2. Memberdayakan BPSK yang lebih profesional dan lebih netral tidak

memihak kepihak manapun, baik pelaku usaha maupun konsumen. Agar

para pelaku usaha dan konsumen yang bersengketa puas dengan hasil

keputusan BPSK sehingga tidak perlu menyelesaikan sengketa tersebut

lewat Peradilan Umum.


Daftar Pustaka

Sumber Utama

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT. Pantja


Cemerlang, 2010

Barkatullah, Abdul. Hak-Hak Konsumen. Bandung: Nusa Media, 2010.

Miru, Ahmadi dan Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004.

Nasution, AZ., Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit


Media, 2006.

Djamali, Abdoel, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo,
2006.

Al-bugha Musthafa dan Muhyiddin Misto, Pokok-Pokok Ajaran Islam. Jakarta:


Robbani Press, 2005.

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grasindo,


2006.

Susanto, Happy, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. Jakarta: Visimedia, 2008.

Agung, Marya dan Eka, Solusi Bila Terjerat Kasus Bisnis. Jakarta: Raih Asa
Sukses, 2010.

Mujib, Abdul. Kamus Istilah Fiqih. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994.

Soekanto, Soejorno dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu


Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.

Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1999.

Gaharpung Marianus, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Korban Atas


Tindakan Pelaku Usaha. Jakarta: Jurnal Yustika, 2000.

Nugroho, Susanti Adi, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari


Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya. Jakarta: Media Grafika,
2008.

69
70

Sofie Yusuf dan Somi Awan, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai
Persoalan Mendasar Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Jakarta: Piramedia, 2004.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi, Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar


Grafika, 2008.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai


Pustaka, 2002.

Departemen Agama RI. Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal.


Jakarta: Departemen Agama RI, 2003.

CandraDewi, Diana, Rahasia Dibalik Makanan Haram. UIN-Press, 2007.

Departemen Agama RI, Islam dan Produk Halal. Jakarta: Departemen Agama RI,
2007.

Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975. Jakarta: Erlangga,
2011.

Retno Sulistyowati “Labelisasi Halal” artikel ini diakses pada tanggal 31 juli
2013, pukul 13.00, dari http://www.esq.magazine.com

Artikel ini diakses pada tanggal 15 juli 2013, pukul 10.00, dari
http://id.wikipedia.org/wiki/usaha_kecil_dan_menengah

Astih “Sistem Pengawasan BPOM Dalam Mengawasi Makanan yang Beredar”


Artikel ini diakses pada tanggal 18 Agustus 2013, Pukul 14.30, dari
http://www.opini.blogspot.com

Heys Hanata“ Perlindungan Konsumen” artikel ini diakses pada tanggal 21


Agustus 2013, Pukul 07.00, dari
http://heyshanata.blogspot.com/2012/11/perlindungan-konsumen.html

Artikel ini diakses pada tanggal 20 Januari 2014, Pukul 10.30, dari
http://id.wikipedia.org/wiki/LPPOM_MUI

Artikel ini diakses pada tanggal 20 Januari 2014, pada pukul 10.45, dari
http://www.nuranifkmui.com/index.php/artikel/144-jaminan-produk-halal

Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


Konsumen.
71

Indonesia, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil

Indonesia, Undang-Undang Nomor7 Tahun 1996 tentang Pangan

Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan IklanPangan

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang


perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada
Label Makanan.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 01 Tahun 2011 Tentang Penetapan


Produk Halal.

Anda mungkin juga menyukai