Anda di halaman 1dari 80

PELANGGARAN HAK KONSUMEN TERHADAP PANGAN IMPOR

LEGAL DI DKI JAKARTA STUDI KASUS JAVA CURRY IMPORTIR PT


MUSTIKA BOGA FOODNINDO

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu


Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

Abdul Muadz Kurniawan


11140480000067

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
PELANGGARAN HAK KONSUMEN TERHADAP PANGAN IMPOR
LEGAL DI DKI JAKARTA STUDI KASUS JAVA CURRY IMPORTIR PT
MUSTIKA BOGA FOODNINDO

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:
Abdul Muadz Kurniawan
NIM. 11140480000067

Pembimbing

H. Syafrudin Makmur, S.H., M.H.


NUPN. 9920112680

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M

ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “PELANGGARAN HAK KONSUMEN TERHADAP


PANGAN IMPOR LEGAL DI DKI JAKARTA STUDI KASUS JAVA CURRY
IMPORTIR PT MUSTIKA BOGA FOODNINDO” telah diajukan dalam sidang
Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 18 Mei 2018. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata
Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, Mei 2018


Mengesahkan
Dekan,

Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A


NIP. 196912161996031001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. ( )


NIP. 196912161996031001

2. Sekretaris : Nur Rohim Yunus, LLM. ( )


NIP. 197904162011011004

3. Pembimbing : H. Syafrudin Makmur, S.H., M.H. ( )


NUPN. 9920112680

4. Penguji I : Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H. ( )


NIP. 19591231198601003

5. Penguji II : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. ( )

iii
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:


1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatulah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini plagiat maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Mei 2018

Abdul Muadz Kurniawan

iv
ABSTRAK

Abdul Muadz Kurniawan. NIM 11140480000067. PELANGGARAN HAK


KONSUMEN TERHADAP PANGAN IMPOR LEGAL DI DKI JAKARTA
STUDI KASUS JAVA CURRY IMPORTIR PT MUSTIKA BOGA FOODNINDO.
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/ 2018 M. ix
+ 63 halaman.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana bentuk perlindungan
hukum bagi konsumen atas dilanggar haknya terhadap produk pangan impor yang
tidak memiliki izin edar dari pihak yang berwenang seperti yang dilakukan oleh
importir PT Mustika Boga Foodnindo pada produk Java Curry. Pada produk Java
Curry tidak memiliki izin edar dari pihak yang berwenang ketika dilakukan
penyidikan oleh BPOM. Jelas bahwa pelaku usaha telah melakukan pelanggaran
yang sangat membahayakan konsumen. Penelitian ini pun bertujuan untuk
mengetahui peran pemerintah dalam peredaran produk pangan, dan siapa yang
dapat dimintai pertanggung jawaban atas produk pangan impor tersebut serta
tanggung jawab apa yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha ketika mengabaikan
hak konsumen.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum
normatif dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute
approach), dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-
undangan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Pendekatan kasus adalah pendekatan yang dilakukan
dengan cara menelaah produk impor Java Curry importir PT Mustika Boga
Foodnindo.
Dari hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan bahwa produk pangan impor
harus memiliki izin edar dari BPOM untuk diperdagangkan diwilayah Indonesia
agar hak konsumen dapat terpenuhi seperti yang diatur dalam beberapa peraturan
seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999
tentang Label dan Iklan Pangan, serta Peraturan Kepala BPOM. Selanjutnya kepada
setiap importir yang mengedarkan produk impor tidak memenuhi persyaratan yang
telah berlaku selalu diawasi oleh pihak yang terkait yakni Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia melalui pengawasan Pre Market dan Post
Market, serta tanggung jawab importir sebagai pelaku usaha.
Kata Kunci: Pelanggaran Hak Konsumen, Perlindungan Konsumen, Produk
Pangan, Pangan Impor.
Pembimbing : H. Syafrudin Mahmur, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1987 sampai 2016
v
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Allhamdulilahirabbil’aalamin, penulis menyampaikan segala puji dan syukur


kehadirat Allah SWT, yang senantiasa memberikan rahmat, taufiq, dan hidayah-
Nya kepada kita semua. Penulis menghaturkan shalawat serta salam senantiasa kita
curahkan kepada Nabi dan Rasul kita Muhammad SAW, kepada segenap
keluarganya, sahabat serta umatnya sepanjang zaman, yang Insya Allah kita ada di
dalamnya.

Dengan rahmat dan petunjuk penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT. Atas
segala karunia sehingga peneliti beryukur, dengan limpahan dan kasih sayang-Nya,
mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “PELANGGARAN
HAK KONSUMEN TERHADAP PANGAN IMPOR LEGAL DI DKI JAKARTA
STUDI KASUS JAVA CURRY IMPORTIR PT MUSTIKA BOGA
FOODNINDO”, sebagai salah satu persyaratan yang diwajibkan untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.

Proses perjalanan yang panjang untuk menyelesaikan skripsi ini tidaklah


mudah terdapat banyak hambatan dan rintangan yang peneliti temui dan alami.
Berkat ridha-Nya dan doa, kesungguhan hari dan kerja keras, akhirny penulis
sampai titik proses akhir penulisan skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa sangat sederhana karya tulis ini dan jauh dari kata
sempurna. Namun juga peneliti tidak menutup mata akan peran berbagai pihak yang
telah banyak memberikan bantuan, arahan dan bimbingan, sehingga dalam
kesempatan ini peneliti mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada yang
terhormat:

vi
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan arahan berupa saran
dan masukan terhadap kelancaran proses penyusunan skripsi ini.
3. Syafrudin Makmur, S.H., M.H., dosen pembimbing yang telah bersedia
menyediakan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk memberikan saran, arahan,
masukan, serta bimbingan terhadap proses penyusunan skripsi ini.
4. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, yang telah
memberikan banyak informasi kepada penulis melalui website resminya
sehingga membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Kedua Orang Tua tercinta yaitu Bapak Enjum HM dan Ibu Komariah yang
selalu memberikan doa dan motovasi kepada penulis, serta telah memberikan
dukungan moril maupun materil kepada penulis tanpa lelah.
6. Kakak kandung penulis, Indah Nurbaiti karena telah memberikan dukungan
moril ataupun materil kepada penulis hingga dapat terselesaikannya skripsi ini.
7. Pihak perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah dan perpustakaan Universitas
Indonesia (UI), terima kasih karena telah menyediakan buku-buku yang cukup
lengkap sehingga penulis tidak kebingungan mencari referensi.
8. Penulis artikel, jurnal, opini dan lain-lainnya yang membantu penulis dalam
proses penulisan.
9. Teman-teman dekat yang jadi tempat pelampiasan keluh kesah penulis, teman-
teman seperjuangan proposal skripsi, dan teman-teman satu bimbingan yang
telah banyak memberikan motivasi dan masukan kepada penulis.
10. Kawan-kawan seangkatan Ilmu Hukum 2014, kawan-kawan hukum bisnis
yang selalu memberikan semangat dan membantu dalam penyusunan skripsi
ini.
11. Tirana Putri Ishlah, yang telah memberikan semangat dan motivasi serta
dukungan moral maupun material dengan meluangkan waktunya selama
pengerjaan skripsi ini.
vii
12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,
yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, semoga Allah SWT
memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka semua.

Akhir kata penulis berharap kepada semua pihak untuk memberikan masukan
yang bermanfaat untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Wassalamualaikum Wr.Wb

Jakarta, 21 Mei 2018

Peneliti

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv

ABSTRAK ..............................................................................................................v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ..........................................................................1


B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .................................7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................8
D. Metode Penelitian ....................................................................................9
E. Sistematika Penulisan ............................................................................12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN


A. Tinjauan Kajian Umum .........................................................................14
1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen ..................................14
2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ......................................16
3. Hak dan Kewajiban Konsumen .......................................................20
4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha...................................................24
5. Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha ...................................27
6. Sanksi-sanksi ...................................................................................29
7. Tanggung Jawab Produk (Product Liability) ..................................30
8. Pengertian Produk Pangan dan Impor .............................................32
B. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu.........................................................35

ix
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PANGAN
IMPOR ILEGAL DI DKI JAKARTA
A. Profil PT Mustika Boga Foodnindo.......................................................37
B. Tinjauan Umum Mengenai Badan Pengawas Obat dan Makanan ........38
C. Perlindungan Hukum Konsumen terhadap Pangan yang Tidak
Mencantumkan Izin Edar.......................................................................46

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PRODUK PANGAN IMPOR


JAVA CURRY
A. Penemuan Produk Java Curry Importir PT Mustika Boga
Foodnindo ..............................................................................................50
B. Peran Pemerintah Terkait Peredaran Pangan yang Tidak Terdapat
Izin Edar ................................................................................................52
C. Tanggung Jawab Pelaku Usaha .............................................................59

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................64
B. Rekomendasi .........................................................................................65

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................67

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pada dasarnya manusia hidup membutuhkan pangan, sandang, dan
papan. Ketiga unsur itu merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk
keberlangsungan hidupnya. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2012 Tentang Pangan mendefinisikan pangan adalah segala sesuatu
yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan,
perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak
diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan
lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau
pembuatan makanan dan minuman.
Pangan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam
kehidupan manusia disamping dua kebutuhan dasar lainnya yaitu sandang
dan papan.1 Dalam menjalankan aktifitas sehari-hari serta menjaga kesehatan
tentunya harus ditopang dengan pangan yang cukup dan sesuai, oleh karena
itu ketersediaan pangan merupakan hal penting dan harus diperhatikan dalam
kebutuhan masyarakat.
Pembangunan serta pertumbuhan perekonomian di Indonesia khususnya
dalam bidang perindustrian dan perdagangan membantu kegiatan usaha yang
dapat menghasilkan berbagai jenis barang dan atau jasa yang dapat
dikonsumsi. Tingkat konsumtif masyarakat Indonesia khususnya dalam
bidang pangan sangat tinggi dan beraneka ragam. Kebutuhan pangan di suatu
negara dapat dipenuhi oleh produk dalam negeri ataupun produk luar negeri
yang biasa disebut impor. Pada era globalisasi, aktivitas perdagangan
internasional berupa kegiatan ekspor atau impor barang dan atau jasa sudah

1
Irna Nurhayati, “Efektivitas Pengawasan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Terhadap
Peredaran Produk Pangan Olahan Impor Dalam Mewujudkan Perlindungan Konsumen”. Dalam
Jurnal Mimbar Hukum. Vol. 21, No. 2, Juni 2009.

1
2

tidak dapat dihindari lagi. Indonesia merupakan salah satu negara yang sudah
terlibat dalam aktivitas ekspor maupun impor dengan negara lain. Untuk
kegiatan impor Indonesia sudah mulai sejak tahun 1990an. Kebutuhan impor
barang dan jasa di Indonesia dirasakan meningkat setelah terjadinya krisis
ekonomi. Hal ini dikarenakan banyak kebutuhan akan produk barang dan jasa
masyarakat konsumen di Indonesia yang tidak dapat dipenuhi oleh produsen
dalam negeri, di samping juga kualitas produk barang dan jasa impor
dipandang mempunyai kualitas tinggi.2
Kondisi demikian pada satu satu pihak mempunyai manfaat bagi
konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan atau jasa yang
diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk
memilih aneka jenis dan kualitas barang atau jasa sesuai dengan keinginan
dan kemampuan konsumen. Akan tetapi, keinginan masyarakat untuk
mengkonsumsi produk luar negeri/ impor banyak dimanfaatkan oleh pelaku
usaha yang tidak bertanggung jawab dengan memproduksi atau
memperdagangkan produk pangan impor yang tidak memenuhi persyaratan
untuk diedarkan kepada masyarakat atau ilegal.
Banyak masyarakat sangat tertarik terhadap produk luar negeri/impor
dengan harga murah dan sebagai ajang gengsian terhadap lingkungan
sekitarnya. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang membeli produk pangan
impor walaupun produk pangan yang dibelinya merupakan produk ilegal atau
bisa dikatakan tidak terdaftar dalam pihak yang berwenang yakni Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI. Pangan tersebut mudah
didapatkan dengan harga yang terjangkau karena ilegal, tidak adanya ijin edar
dari Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, tidak adanya
label bahan baku, dan tidak adanya keterangan yang jelas mengenai produk
pangan tersebut. Karena produk impor dapat dibeli dan diperdagangkan
dengan mudah, banyak para pelaku usaha memanfaatkan untuk kepentingan

2
Irna Nurhayati, “Efektivitas Pengawasan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Terhadap
Peredaran Produk Pangan Olahan Impor Dalam Mewujudkan Perlindungan Konsumen”. Dalam
Jurnal Mimbar Hukum. Vol. 21, No. 2, Juni 2009.
3

bisnisnya. Konsumen biasanya tidak meneliti suatu produk sebelum membeli,


ini bisa menjadi salah satu faktor kenapa produk pangan impor yang ilegal
masih diminati oleh masyarakat.
Pangan impor yang diedarkan di Indonesia harus mempunyai izin edar
berupa Surat Keterangan Impor (SKI) yang dikeluarkan oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia atau pangan
tersebut dikatakan ilegal, atau bahkan ketika sudah mendapat izin edar akan
tetapi masa berlaku izin edarnya sudah habis dapat juga digolongkan pangan
impor ilegal. Surat Keterangan Impor (SKI) sangat dibutuhkan karena dengan
adanya Surat Keterangan Impor (SKI) menandakan sudah adanya persetujuan
pemasukan obat dan makanan ke dalam wilayah Indonesia atau legal dalam
rangka memperlancar arus barang untuk kepentingan perdagangan.
Beredarnya produk impor ilegal telah melanggar Pasal 3 Keputusan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2015 Tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan
ke dalam Wilayah Indonesia yaitu: pertama, Obat dan Makanan yang dapat
dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan adalah Obat dan
Makanan yang telah memiliki izin edar. Kedua, selain harus memiliki izin
edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga harus memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang impor.
Pada pasal 3 keputusan Kepala BPOM Tentang Pengawasan Pemasukan
Obat dan Makanan Ke Dalam Wilayah Indonesia disini sangat jelas bahwa
semua produk impor yang beredar di Indonesia harus mendapat ijin edar dari
BPOM. Selain melanggar pasal 3, peredaran produk impor tanpa izin ini juga
melanggar pasal 4 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan Ke Dalam Wilayah
Indonesia, dimana dijelaskan bahwa produk impor juga harus mendapat
persetujuan dari Kepala Badan, persetujuan yang dimaksud adalah Surat
Keterangan Impor (SKI).
Produk impor selain mempunyai manfaat bagi konsumen. Disisi lain,
kondisi demikian dapat mengakibatkan pelaku usaha dan konsumen menjadi
4

tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen
menjadi objek aktivitas bisnis untuk mendapat keuntungan yang sebesar-
besarnya, terkadang bahkan menghiraukan hak konsumen. Disini konsumen
memiliki resiko yang lebih rentan dibanding dengan pelaku usaha.
Faktor utama yang menjadikan konsumen lemah adalah tingkat
kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Posisi konsumen sebagai
pihak yang lemah juga diakui secara internasional sebagaimana tercermin
dalam Resolusi Majelis Umum PBB, No. A/RES/39/248 Tahun 1985 tentang
Guidelines for Consumer Protection (Pedoman untuk Perlindungan
Konsumen), yang menghendaki agar konsumen mempunyai hak-hak dasar
tertentu yakni hak mendapatkan informasi yang jelas, benar, dan jujur, hak
untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan, hak untuk memilih, hak
untuk didengar, hak untuk mendapatkan ganti rugi, hak untuk mendapatkan
kebutuhan dasar manusia, hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik, dan
hak untuk mendapatkan pendidikan dasar.3
Di Indonesia pada tahun 1999 telah lahir sebuah peraturan perundang-
undangan yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah
berlaku sejak tanggal 20 April 2000, Undang-Undang ini lahir dengan tujuan
memberikan kepastian hukum kepada konsumen. Dalam Undang-Undang ini
juga diatur mengenai tanggung jawab para pelaku usaha yang tentunya untuk
memberikan kepastian hukum dan melindungi hak para konsumen.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf a salah
satu hak konsumen adalah mendapatkan “hak atas kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”. Terlihat disini
bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen
merupakan hal yang sangat diutamakan. Selain point tersebut, hak konsumen
diantaranya hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapat barang

3
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 2-3.
5

dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan, mendapat informasi yang jujur dan jelas tentang kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa tersebut, hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya, mendapat advokasi atau perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa, mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen, hak untuk
diperlakukan dan dilayani dengan benar dan jujur tanpa adanya diskriminatif,
mendapat kompensasi apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
sebagaimana mestinya dan hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam transaksi jual beli, pelaku usaha sering tidak
memperhatikan kondisi produk yang dijual, kondisi merupakan hal yang
sangat penting atau utama dalam transaksi, dimana jika tidak diperhatikan
pelaku usaha akan sangat merugikan konsumen.4 Janus Sidabalok
mengemukakan ada 4 (empat) alasan kenapa konsumen perlu dilindungi,
yaitu sebagai berikut5 :
1. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa
sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut
Undang-Undang Dasar 1945;
2. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari
dampak negatif penggunaan teknologi;
3. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang
sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang
berarti juga menjaga kesinambungan pembangunan nasional;
4. Melindungin konsumen untuk menjamin sumber dana pembangunan
yang bersumber dari masyarakat konsumen.

Walaupun sebenarnya hak-hak konsumen sudah terdapat dalam Undang-


Undang Perlindungan Konsumen, akan tetapi pada kenyataanya masih
banyak para pelaku usaha yang memanfaatkan kelemahan konsumen untuk

4
Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Konsumen, (Bandung: Nusa Media, 2010), h. 10.
5
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2006), h. 6.
6

mendapat keuntungan pribadinya. Karna semestinya suatu produk impor


yang masuk ke dalam wilayah Indonesia harus memenuhi persyaratan-
persyaratan standar yang telah ditetapkan, akan tetapi pelaku usaha begitu
dengan mudahnya mengabaikan atau melanggar ketentuan yang ada dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, seperti mengabaikan kewajiban-
kewajiban pelaku usaha dan hak-hak konsumen. Salah satu hak yang
dilanggar oleh pelaku usaha adalah kecurangan dalam memperdagangkan
produk pangan impor yang tidak terdaftar dalam sertifikasi Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM) sehingga dapat membahayakan keselamatan dan
kesehatan konsumen. Seperti yang terjadi didaerah Penjaringan Jakarta Utara,
yakni yang dilakukan oleh importir PT Mustika Boga Foodnindo yang
memperdagangkan produk pangan olahan Java Curry6, produk pangan impor
tersebut disinyalir tidak terdapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan
Makanan, yang berarti bahwa keamanan dan kesehatan produk tersebut tidak
dapat dijamin.

Perlindungan konsumen seharusnya menjadi jaminan bagi para


konsumen atas produk pangan yang dibeli dari pelaku usaha dan mendapat
perhatian yang lebih, mengingat produk pangan impor yang beredar sudah
sedemikian meningkat dan perkembangan zaman yang semakin mengglobal.
Masyarakat harus dilindungi keselamatan dan kesehatan dari pangan impor
yang tidak memenuhi syarat serta kerugian akibat perilaku pelaku usaha yang
tidak jujur. Dengan kata lain pangan harus aman dan layak konsumsi.
Konsumen berhak mendapat keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi pangan impor.

Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan, peneliti tertarik untuk


mengangkatnya dalam sebuah penelitian dengan judul: “Pelanggaran Hak

6
“Badan POM RI Temukan Gudang Pangan Impor Ilegal di Jakarta Utara”,
http://www.pom.go.id/new/view/more/pers/392/SIARAN-PERS--BADAN-POM-RI-TEMUKAN-
GUDANG-PANGAN-IMPOR-ILEGAL-DI-JAKARTA-UTARA.html
7

Konsumen Terhadap Pangan Impor Legal di DKI Jakarta Studi Kasus


Java Curry Importir PT Mustika Boga Foodnindo”.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang disampaikan, terdapat beberapa
persoalan yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi konsumen
terhadap produk impor ilegal.

Dari latar belakang tersebut terdapat berbagai masalah yang muncul


yaitu:
a. Dalam hukum perlindngan konsumen terkait penjualan produk impor
pangan ilegal, menimbulkan kerugian apabila pihak pelaku usaha
tidak beritikad baik untuk mengganti kerugian tersebut.
b. Bagaimana bentuk perlindungan konsumen dari pelaku usaha
terhadap kerugian pangan impor tanpa adanya izin edar dari pihak
yang berwenang.
c. Bagaimana tanggung jawab yang dilakukan oleh pelaku usaha jika
melakukan peredaran produk pangan impor ilegal.
d. Siapa saja pihak-pihak yang terkait dalam hal pertanggungjawaban
terhadap produk pangan impor yang ilegal.
e. Bagaimana peran pemerintah dalam kaitannya mengawasi peredaran
produk pangan impor.
f. Apa upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen terhadap
peredaran pangan impor ilegal.

2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan masalah pelanggaran terhadap hak-hak
konsumen, maka ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini
peneliti batasi hanya bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen
pangan impor yang tidak terdapat izin edar dari pihak yang berwenang.
8

3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah
dijabarkan sebelumnya yakni adanya pelanggaran yang dilakukan oleh
pelaku usaha terhadap hak-hak konsumen pangan impor ilegal, maka
dapat dirumuskan permasalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
a. Bagaimana bentuk perlindungan hukum dalam melindungi hak-hak
konsumen atas peredaran pangan impor ilegal ?
b. Bagaimana peran pemerintah dalam mengawasi produk pangan impor
yang beredar ?
c. Bagaimana tanggung jawab yang harus dilakukan oleh importir
selaku pelaku usaha ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian pasti mempunyai tujuan tertentu dari penelitian
yang dilakukannya, penelitian ini bertujuan :
a. Untuk menjelaskan mekanisme perlindungan hukum terhadap
konsumen impor ilegal atau tidak adanya izin edar dari pihak yang
berwenang.
b. Untuk mengetahui peran pemerintah dalam mengawasi produk
pangan impor yang beredar.
c. Untuk mengetahui bentuk tanggung jawab yang harus dilakukan
oleh pelaku usaha ketika melakukan pelanggaran terhadap hak
konsumen.

2. Manfaat Penelitian
Secara garis besar manfaat dari penelitian dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu :
a. Manfaat Teoritis
9

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah


wawasan mengenai perlindungan konsumen produk pangan impor
dengan baik.
b. Manfaat Praktis
1) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan terhadap
Pemerintah dalam meningkatkan pengawasan terhadap produk
impor yang masuk ke wilayah Indonesia tanpa izin edar dari
pihak yang berwenang.
2) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan terhadap para
pelaku usaha atau produsen dalam memproduksi atau
memperjual belikan produk pangan impor harus mendapatkan
izin edar dari pihak yang berwenang dan harus sesuai dengan
standar yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

D. Metode Penelitian
Dalam metode penelitian ini peneliti akan memaparkan tentang beberapa
metode yang akan digunakan, diantaranya adalah:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian hukum
normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum
kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder.7 Soerjono Soekanto
dan Sri Mamudji pun berpendapat penelitian hukum normative adalah
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
kepustakaan (data sekunder).8 Dalam penelitian ini penulis mencari fakta-
fakta yang akurat mengenai sebuah peristiwa yang menjadi objek
penelitian. Penelitian ini juga dilakukan dan ditujukan pada peraturan-
peraturan tertulis dan bahan-bahan lain, serta menelaah peraturan-
peraturan yang terkait dengan penelitian ini. Sedangkan sifat dari

7
Widya Nukilan, Metode Penelitian Hukum, cet.1 (Jakarta: Tim Pengajar, 2005), h. 9.
8
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, cet.1 (Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 31.
10

penelitian yang digunakan peneliti adalah jenis penelitian yang bersifat


deskriptif, yaitu penelitian yang merupakan prosedur pemecahan masalah
yang diselidiki dengan menggambarkan dan melukiskan keadaan subyek
atau obyek pada saat sekarang berdasarkan fakta yang nampak.

2. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapat informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang sedang dicari jawabannya. Pendakatan yang
dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach)
dimana guna memahami kedudukan hukum dalam kaitannya pada pangan
impor ilegal, serta pendekatan konseptual dan pendekatan kasus (case
approach). Pendekatan kasus diterapkan dalam mengamati kasus yang
telah terjadi yang berhubungan dengan permasalahan yang diangkat.

3. Sumber Data
Sumber pada penelitian skripsi ini antara lain mencakup bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum (tersier).
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer
terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.9
Bahan hukum primer merupakan bahan utama. Bahan hukum yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

9
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Cetakan ke- 9 (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2014), h. 181.
11

3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yakni bahan yang erat kaitannya dengan
bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder merupakan bahan
hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum
primer, yang berupa rancangan peraturan perundang-undnagan, hasil
penelitian, buku-buku teks, jurnal, media cetak, dan media
elektronik.10
c. Bahan non hukum (tersier)
Bahan non hukum merupakan bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder.
Seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.

4. Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data dalam penulisan penelitian hukum normatif
menggunakan prosedur pengumpulan bahan hukum dengan cara studi
kepustakaan (library research) terhadap bahan-bahan hukum maupun
non hukum yang berkaitan dengan topik penelitian. Teknik kepustakaan
(library research) yakni upaya untuk memperoleh data atau upaya
mencari dari penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-
undangan, artikel, dan serta jurnal hukum yang tentunya relevan dengan
penelitian agar dapat dipakai untuk menjawab suatu pertanyaan atau
dalam memecah suatu masalah.11

5. Teknik Pengolahan Data


Teknik pengolahan data yang digunakan adalah menglola data
sedemikian rupa sehingga data dan bahan hukum tersebut tersusun secara

10
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 157-158.
11
Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Bumi Intitama Sejahtera, 2009),
h.56.
12

sistematis. Sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan analisis dan


menarik kesimpulan dari pembahasan masalah yang ada.

6. Analisis Bahan Hukum


Adapun analisis bahan hukum yang diperoleh bersifat perspektif
memberi petunjuk atau bergantung pada ketentuan yang berlaku,
dihubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang
lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
Cara pengolahan bahan hukum dianalisis untuk melihat kecurangan
dalam pelanggaran para pelaku usaha yang dilakukan tersebut guna
menangani masalah perlindungan terhadap konsumen impor ilegal yang
dirugikan oleh pelaku usaha.

7. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan penulis dalam
skripsi ini berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang terdapat
dalam Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.

E. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini dibagi menjadi lima (5) bab, dimana pada setiap
bab akan dibahas secara rinci sebagai bagian dari keseluruhan penelitian ini.
Sistematika uraian penelitian ini sebagai berikut:
BAB I: Didalam bab ini menguraikan mengenai alasan dalam
pemilihan judul, diuraikan juga mengenai Latar Belakang
Masalah, Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah,
Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Sitematika
Penelitian.
BAB II: Dalam bab ini akan menguraikan tentang teori-teori yang
mendukung permasalahan skripsi ini dan tinjauan (review)
kajian terdahulu. Peneliti akan membahas Tinjauan Umum
13

Tentang Perlindungan Konsumen yang menguraikan


mengenai pengertian perlindungan konsumen, asas dan tujuan
perlindungan konsumen. Diuraikan juga mengenai kewajiban
dan tanggungjawab konsumen serta kewajiban dan
tanggungjawab pelaku usaha.
BAB III: Dalam bab ini berisi profil perusahaan dan akan membahas
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
pangan impor yang mengharuskan adanya izin edar.
BAB IV: Dalam bab ini merupakan inti dari penulisan skripsi yaitu
berisi analisis hasil penelitian mengenai produk pangan olahan
impor.
BAB V: Dalam bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan
skripsi, berisi tentang kesimpulan dan rekomendasi peneliti
yang didapatkan berdasarkan pemaparan pada bab-bab
sebelumnya.
BAB II

TINJAUAN KAJIAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Tinjauan Kajian Umum


1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua
bidang hukum yang sulit untuk dipisahkan. Pada dasarnya, baik hukum
konsumen dan hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang
sama, yakni kepentingan hak-hak (hukum) konsumen. Bagaimana hak-hak
konsumen itu diakui dan diatur didalam hukum, serta bagaimana di
implementasikan dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Az. Nasution hukum konsumen adalah sebagai keseluruhan
asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah
penyediaan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia
dan penggunaannya dalam kehidupan masyarakat.1 Sedangkan hukum
perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungannya dengan
masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara
penyedia dan penggunaannya dalam kehidupan masyarakat.2 Tegasnya,
hukum perlindungan konsumen merupakan keseluruhan peraturan
perundang-undangan, baik undang-undang maupun peraturan perundang-
undangan lainnya serta putusan-putusan hakim yang substansinya
mengatur mengenai kepentingan konsumen.3
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka 1
menyatakan bahwa, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

1
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media,
2007) h. 22.
2
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar... h. 22.
3
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2013) h. 21-24.

14
15

konsumen. Menurut Az. Nasution kepastian hukum itu meliputi segala


upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan
pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan
atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha
penyedia kebutuhan konsumen tersebut.4
Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas, meliputi
perlindungan konsumen terhadap barang dan jasa, yang berawal dari tahap
kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga sampai akibat-akibat
dari pemakaian barang dan/atau jasa tersebut.5
Cakupan perlindungan konsumen itu dapat dibedakan dalam dua
aspek, yaitu:6
a. Perlindungan terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada
konsumen tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati.
b. Perlindungan terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil
kepada konsumen.

Prinsip-prinsip mengenai kedudukan konsumen dalam hubungan


dengan pelaku usaha berdasarkan doktrin atau teori yang dikenal dalam
perkembangan sejarah hukum perlindungan konsumen, antara lain:

a. Let The Buyer Beware


Prinsip ini beranggapan bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah
dua pihak yang sangat seimbang sehingga konsumen tidak
memerlukan perlindungan.
b. The Due Care Theory
Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban
untuk berhati-hati dalam memasarkan produk. Selama pelaku usaha

4
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, Cet. 3, (Jakarta: Predana Media Group, 2015) h. 4.
5
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen... h. 21-22.
6
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen... h. 22.
16

berhati-hati dengan produknya, maka ia tidak dapat dipersalahkan.


Prinsip ini berlaku pembuktian siapa yang mendalilkan maka dialah
yang harus membuktikan.
c. The Privity Of Contract
Prinsip ini beranggapan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban
untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika
diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku
usaha tidak dapat dipersalahkan diluar hal-hal yang terdapat dalam
perjanjian. Dengan demikian konsumen dapat menggugat
berdasarkan wanprestasi.
d. Kontrak Bukan Syarat
Pada prinsip ini kontrak bukan lagi syarat untuk menetapkan
eksistensi suatu hubungan hukum. Pada saat terjadi transaksi maka
sudah ada perikatan antara konsumen dan pelaku usaha.

2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen


Sistem hukum adalah keseluruhan tertib hukum yang didukung oleh
sejumlah asas. Asas-asas ini satu sama lain berfungsi sebagai pendukung
angunan hukum, menciptakan harmonisasi, keseimbangan, dan mencegah
adanya tumpang tindih, serta menciptakan kepastian hukum didalam
keseluruhan tata tertib hukum tersebut.7
Hubungan antara konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah yang
seimbang menjadi harapan bagi terwujudnya perlindungan konsumen di
Indonesia. Perlindungan Konsumen diselenggarakan sebagai usaha
bersama seluruh pihak yang terkait, masyarakat, pelaku usaha, dan
pemerintah berdasarkan lima asas, yaitu menurut Pasal 2, Undang-Undang
Perlindungan Konsumen adalah:8

7
Siwi Purwandari, Pengantar Teori Hukum, (Bandung: Nusa Media, 2010) h.94.
8
Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004) h. 25-26.
17

a. Asas Manfaat
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku
usaha secara keseluruhan;
Asas ini mempunyai makna bahwa dalam menerapkan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen harus memberikan manfaat kepada pihak-
pihak yang bersangkutan yaitu konsumen dan pelaku usaha sehingga
tidak ada satu pihak yang merasa kedudukannya lebih tinggi diantara
yang lainnya.
b. Asas Keadilan
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil;
Asas keadilan mempunyai makna agar antara pelaku usaha dan
konsumen masing-masing memperoleh keadilan dam melakukan
kewajiban dan keadilan dalam menerima hak-haknya, karena itu
Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur hak dan kewajiban
konsumen dan pelaku usaha.
c. Asas Keseimbangan
Asa keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah;
Dengan adanya asas ini diharapkan antara kepentingan konsumen,
pelaku usaha, dan pemerintah agar dapat terwujud secara seimbang.
Tidak ada pihak yang merasa dirinyan lebih dilindungi dari pihak lain.
d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberi jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan;
18

Asas ini mempunyai makna adanya suatu jaminan atas keamanan dan
keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang akan dimanfaatkan atau
digunakan. Bahwa produk yang akan dimanfaatkan atau digunakan
tidak akan mengancam ketentraman, keselamatan jiwa, dan harta
bendanya.
e. Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen, negara dalam
hal ini turut menjamin adanya kepastian hukum tersebut;
Asas ini dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati
hukum yang berlaku dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-
hari agar memperoleh keadilan. Oleh karena itu negara menjamin akan
adanya kepastian hukum tersebut.

Memperhatikan substansi pada Pasal 2 Undang Undang Perlindungan


Konsumen demikian, tampak bahwa perumusannya mengacu pada
filosofis pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya yang berlandaskan kepada falsafah Republik Indonesia.9
Kelima asas yang disebutkan pada Pasal tersebut, jika diperhatikan
substansinya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas, yaitu:
a. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan
keselamatan konsumen,
b. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan
c. Asas kepastian hukum.

Asas kepastian dan keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam asas


keadilan, mengingat bahwa hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah

9
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2010), h. 26.
19

juga keadilan bagi kepentingan masing-masing para pihak, yakni


konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Sedangkan menyangkut asas
keamanan dan keselamatan konsumen yang dikelompokkan ke dalam asas
manfaat, karena keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri
merupakan bagian dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang
diberikan kepada konsumen disamping kepentingan pelaku usaha secara
keseluruhan.10

Selain kelima asas tersebut, Undang-Undang Perlindungan


Konsumen juga merumuskan tujuan perlindungan konsumen, yang diatur
dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta ekses untuk
mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

10
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen... h. 26.
20

3. Hak dan Kewajiban Konsumen


Istilah konsumen berasal dan ahli bahasa dari kata consumer, secara
harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang
menggunakan barang.11 Pengertian konsumen dalam arti umum adalah
pemakai, pengguna, dan atau pemanfaat barang dan atau jasa untuk tujuan
tertentu.12 Sedangkan pengertian konsumen menurut Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 2 adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga orang lain maupun makhluk hidup lain,
dan tidak untuk diperdagangkan. Dengan demikian, konsumen bisa orang-
perorangan atau sekelompok masyarakat maupun makhluk hidup lain yang
membutuhkan barang dan/atau jasa untuk dikonsumsi oleh yang
bersangkutan, atau dengan kata lain barang/jasa tersebut tidak untuk
diperdagangkan.13
Untuk menghindari kerancuan pemakaian istilah “konsumen” yang
mengaburkan dari maksud yang sesungguhnya, pengertian konsumen
dapat terdiri dari 3 (tiga) pengertian, yaitu:14
a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau
jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu.
b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang
dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan/komersial.
Melihat pada sifat penggunaan barang dan/atau jasa tersebut,
konsumen antara ini sesungguhnya adalah pengusaha yang berbentuk
badan usaha perorangan maupun pengusaha yang berbentuk badan

11
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen... h. 15.
12
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung: Nusa Media, 2010) h. 30.
13
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya Di Indonesia, Edisi Revisi
Cet. 9, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016) h. 194.
14
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, Cet. 3, (Jakarta: Prenada Media Group, 2015) h.62.
21

hukum atau tidak, baik pengusaha swasta maupun pengusaha publik


(perusahaan milih negara), dan dapat terdiri dari penyedia dana
(investor), pembuat produk akhir yang digunakan oleh konsumen
akhir atau produsen, atau penyedia atau penjual produk akhir seperti
supplier, atau pedagang (distributor).
c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami (natuurlijke persoon) yang
mendapatkan barang dan/atau jasa, yang digunakan untuk tujuan
memenuhi kebutuhan hidup pribadinya, keluarga dan/atau rumah
tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

Setiap individu diberikan hak dan kewajibannya masing-masing tidak


terkecuali hak dan kewajiban sebagai pemakai barang dan/atau jasa.
Pemahaman tentang hak-hak konsumen sangat penting agar penyedia
barang dan/atau jasa tidak berbuat semena-mena, serta orang bisa
bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri.
Presiden Jhon F.Kennedy mengemukakan 4 (empat) hak konsumen
yang harus dilindungi, yaitu:15
a. Hak memperoleh keamanan (the right to safety)
b. Hak memilih (the right to choose)
c. Hak mendapat informasi (the right to be informed)
d. Hak untuk didengar (the right to be heard)

Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 Tahun 1985


tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection),
juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi,
meliputi:16

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan


keamanan;

15
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen... h. 47.
16
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung: Nusa Media, 2010) h. 32.
22

b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;


c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk
memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai
kehendak dan kebutuhan pribadi;
d. Pendidikan konsumen;
e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efekktif;
f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi
lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi
tersebut untuk menyeruakan pendapatnya dalam proses pengambilan
keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.

Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of


Consumers Union-IOCO) menambahkan 4 (empat) hak dasar konsumen
yang harus dilindungi, yaitu:17

a. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup.


b. Hak untuk memperoleh ganti rugi.
c. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen.
d. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang


Perlindungan Konsumen pada pasal 4, menetapkan hak-hak konsumen
sebagai berikut:

a. Hak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam


mengonsumsi barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapat barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur dan mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa.

17
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen... h. 49.
23

d. Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang dan/atau


jasa yang digunakan.
e. Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur secara
tidak diskriminatif.
h. Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

Selain memperoleh hak-hak tersebut, sebagai balance konsumen juga


mempunyai beberapa kewajiban. Kewajiban-kewajiban tersebut diatur
dalam Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian


atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan.
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa.
c. Membayar sesuai engan nilai tukar yang disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.

Hal tersebut dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh


hasil yang optimum atas perlindungan dan/atau kepastian hukum bagi
dirinya. Serta memberikan konsekuensi terhadap pelaku usaha tidak akan
bertanggungjawab jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian
akibat mengabaikan kewajiban tersebut.
24

4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha


Pihak yang terkait dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
selain konsumen adalah pelaku usaha. Pada Pasal 1 angka 3 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
memberikan pengertian Pelaku Usaha adalah “setiap perseorangan atau
badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-
sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi”.
Definisi pelaku usaha yang diberikan oleh Pasal 1 angka 3 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen tersebut, pelaku usaha tidak harus suatu
badan hukum, tetapi dapat pula orang perseorangan. Menurut definisi
tersebut, Undang-Undang Perlindungan Konsumen berlaku baik bagi
pelaku usaha ekonomi kuat, maupun bagi pelaku usaha ekonomi lemah
(UKM). Pelaku usaha menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen
juga tidak terbatas pada pelaku usaha perorangan yang
berkewarganegaraan Indonesia atau badan hukum Indonesia, tetapi juga
pelaku usaha perorangan yang bukan berkewarganegaraan Indonesia atau
pelaku usaha badan hukum asing, sepanjang mereka itu melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia.18
Pengertian pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen ini, mempunyai cakupan yang luas
karena meliputi penjual grosir, leveransi sampai pada pengecer. Namun
dalam pengertian pelaku usaha tersebut, tidaklah mencakup eksportir atau
pelaku usaha di luar negeri, karena Undang-Undang Perlindungan
Konsumen membatasi orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

18
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, Cet. 3, (Jakarta: Prenada Media Group, 2015) h. 67.
25

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara


Republik Indonesia.19
Dalam Undang-Undangn Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga
memuat definisi tentang pelaku usaha pangan, yakni dalam Pasal 1 angka
(39). Menyebutkan pelaku usaha pangan adalah setiap orang yang
bergerak pada satu atau lebih subsistem agribisnis Pangan, yaitu penyedia
masukan produksi, proses produksi, pengolahan, pemasaran, perdagangan,
dan penunjang.
Hak-hak yang diberikan kepada konsumen untuk menciptakan
kenyamanan dalam menggunakan suatu barang dan/atau jasa. Sebagai
keseimbangan, makan kepada para pelaku usaha diberikan hak.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Pasal 6, yaitu:
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik.
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen.
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan.
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.

Sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah disebutkan, maka


kepada pelaku usaha dibebankan kewajiban-kewajiban sebagaimana

19
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen... h. 9.
26

diatur dalam Pasal 7, Undang-Undang Perlindungan Konsumen.


Kewajiban pelaku usaha antara lain:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;


Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pelaku usaha
diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya,
sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam
melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Kewajiban
pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang
dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan.
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam
memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan
mutu pelayanan kepada konsumen.
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
Yang dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah barang
yang dapat diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau
kerugian.
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
27

g. Memberik kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang


dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.

5. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha


Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan
larangan-larangan bagi pelaku usaha yang berujung kerugian konsumen.
Pelanggaran terhadap larangan-larangan tersebut merupakan tindak
pidana.20 Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
diatur dalam Pasal 8-17 Uundang-Undang Perlindungan Konsumen.
Ketentuan tersebut kemudian dapat digolongkan kedalam 3 (tiga)
kelompok, yaitu:
a. Larangan pelaku usaha dalam kegiatan memproduksi (Pasal 8).
b. Larangan pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16).
c. Larangan pelaku usaha dalam periklanan (Pasal 17).

Pasal 8, Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur larangan


bagi pelaku usaha meliputi kegiatan:

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan


barang dan/atau jasa yang:
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.;
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket
barang tersebut;
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

20
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen... h. 53.
28

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran


sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,
gaya mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam
label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan, atau promosi penjualan yang paling baik atas
barang tersebut;
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut;
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan
pakai, tanggal pembuatan, akibat samping, nama dan alat pelaku
usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut
ketentuan harus dipasang/dibuat;
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat
atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap
dan benar atau barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan
yang rusak, cacat, atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)
dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.
29

Secara garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 ayat (1)
Undang-Undang tersebut dapat dibagi ke dalam 2 (dua) larangan pokok,
yaitu (1) Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi
syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau
dimanfaatkan oleh konsumen dan (2) Larangan mengenai ketersediaan
informasi yang tiak benar, dan tidak akurat, yang menyesatkan
konsumen.21

6. Sanksi-sanksi
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan
kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik
dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.22 Jika ada
konsumen yang merasa dirugikan oleh perbuatan pelaku usaha maka dia
memiliki hak untuk meminta pertanggung jawaban dari pelaku usaha
tersebut.
Sanksi –sanksi yang bisa dikenakan atas pelanggaran yang dilakukan
oleh pelaku usaha dalam suatu produk di atur dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen di dalam bab XIII, dari Pasal 60 sampai dengan
Pasal 63. Undang-Undang Perlindungan Konsumen membedakan menjadi
sanksi administratif dan sanks pidana, yaitu sebagai berikut:
a. Sanksi Administratif
Sanksi administratif di atur dalam Pasal 60 yang menyatakan terhadap
pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20,
Pasal 25 dan Pasal 26 berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp
200.000.000,00.
b. Sanksi Pidana Pokok

21
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung: Nusa Media, 2010) h. 43.
22
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika,
2011) h. 44.
30

Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dikenakan dan dijatuhkan


oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Ketentuan mengenai
sanksi pidana pokok dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
diatur pada Pasal 62.
c. Sanksi Pidana Tambahan
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dimungkinkannya
diberikan sanksi pidana tambahan diluar sanksi pidana pokok. Sanksi
ini tercantum dalam Pasal 63 yaitu berupa: perampasan barang
tertentu, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti rugi,
perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran atau
pencabutan izin usaha.

7. Tanggung Jawab Produk (Product Liability)


Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat
dilihat dan dipegang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak.
Tanggung jawab produk atau tanggung gugat produk merupakan istilah
yang diterjemahkan dari product liability. Tanggung jawab produk
mengacu juga kepada tanggung jawab produsen, yang dalam istilah bahasa
Jerman disebut produzenten haftung. Menurut Az Nasution Product
Liability sering diistilahkan dengan tanggung jawab produk cacat atau
tidak sempurna.23 Dalam hal tanggung jawab produk ini Undang-Undang
Perlindungan Konsumen menggunakan istilah tanggung jawab pelaku
usaha.
Product Liability merupakan sebuah tanggungjawab perdata secara
langsung dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami oleh konsumen
akibat dari mengkonsumsi barang atau produk yang dihasilkan, inti sari
dari Product Liability adalah tanggungjawab berdasarkan perbuatan

Tami Rusli, “Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen”. Dalam
23

Jurnal Pranata Hukum. Vol. 7, No. 1, Januari 2012.


31

melawan hukum (teritious liability) yang telah diratifikasi menjadi strict


liability (tanggung jawab mutlak).24
Pengertian lain dari tanggungjawab produk adalah suatu
tanggungjawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan
suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang
menjual atau mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut, juga
terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang
bengkel dan pergudangan, demikian juga para agen dan pekerja dari
badan-badan usaha tersebut.25
Product Liability akan digunakan oleh konsumen untuk mendapatkan
ganti kerugian secara langsung dari pelaku usaha sekalipun konsumen
tersebut tidak memiliki kontaktual dengan pelaku usaha tersebut.26
Tanggungjawab ini diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, yang menjelaskan bahwa pelaku usaha
bertanggungjawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan,
pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
atau produk yang dihasilkan atau yang diperdagangkan oleh pelaku usaha.
Kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau diperdagangkan dapat terjadi
karena pelaku usaha melanggar larangan atau ketentuan sebagaimana
dalam Pasal 8 sampai Pasal 17 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Product Liability dapat diklasifikasikan kedalam beberapa hal yang
berkaitan dengan berikut ini:27
a. Proses Produksi

24
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Perlindungan Konsumen, (Bogor: Ghalia
Indoensia, 2008), h.64.
25
Tami Rusli, “Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen”. Dalam
Jurnal Pranata Hukum. Vol. 7, No. 1, Januari 2012.
26
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Perlindungan Konsumen... h.64.
27
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Perlindungan Konsumen... h.64.
32

Menyengkut tanggung jawab produsen atas produk yang dihasilkan


bila menimbulkan kerugian terhadap konsumen. seperti menyangkut
produk yang cacat, baik cacat design atau cacat produk.
b. Promosi Niaga/Iklan
Menyangkut tanggung jawab produsen atas promosi niaga atau iklan
tentang perihal produk yang dipasarkan bila menimbulkan kerugian
terhadap konsumen.
c. Praktik Perdagangan yang tidak jujur
Praktik ini seperti persaingan yang curang, pemalsuan, penipuan, dan
periklanan yang menyesatkan sehingga menimbulkan kerugian bagi
konsumen.

8. Pengertian Produk Pangan dan Impor


Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang paling mendasar.
Tanpa makanan dan minuman yang memadai, manusia tidak akan
produktif dalam melakukan kegiatan sehari-hari, serta tidak dapat bertahan
hidup karena pasokan energi bagi manusia bersumber dari makanan dan
minuman. Pengertian makanan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah segala apa yang boleh dimakan (seperti panganan, lauk pauk, kue)
dan segala bahan yang kita makan/masuk ke dalam tubuh yang
membentuk atau mengganti jaringan tubuh, memberikan tenaga, atau
mengatur semua proses didalam tubuh.
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012
tentang Pangan menyebutkan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang
berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan,
perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak
diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumen manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku
Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
33

Berdasarkan cara perolehannya, pangan dapat dibedakan menjadi 3


(tiga), yaitu:28
1. Pangan Segar
Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan.
Pangan segar dapat dikonsumsi langsung atau tidak langsung, yakni
dijadikan bahan baku pengolahan pangan. Seperti beras, gandum,
buah-buahan, ikan, air segar, dan sebagainya.
2. Pangan Olahan
Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses
pengolahan dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa
bahan tambahan. Seperti kopi, nasi, ubi goreng dan sebagainya.
Pangan olahan pun dibedakan lagi menjadi pangan olahan siap saji
dan tidak saji.

a. Pangan olahan siap saji adalah makanan dan minuman yang sudah
diolah dan siap disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha
atau dasar pesenan.

b. Pangan olahan tidak siap saji adalah makanan atau minuman yang
sudah mengalami proses pengolahan, akan tetapi masih
memerlukan tahapan pengolahan lanjutan untuk dapat dimakan
atau diminum.

3. Pangan Olahan Tertentu


Pangan olahan tertentu adalah pangan olahan yang diperuntukkan
bagi kelompok tertentu upaya memelihara dan meningkatkan kualitas
kesehatan. Seperti ekstrak tanaman mahkota dewa untuk diabetes
melitus, susu rendah lemak untuk orang yang menjalankan diet, dan
sebagainya.

28
Cahyo Saparinto, Diana Hidayati, Bahan Tambahan Pangan, (Jogjakarta: Kanisius,
2006).
34

Kebutuhan konsumen akan suatu barang khususnya pangan sangat


tidak terbatas sehingga mereka bingung untuk memenuhinya. Hal itu dapat
terjadi ketika suatu barang dikonsumsi, maka lama kelamaan akan habis
dan ketika produksi tidak dapat memenuhinya lagi jalan satu-satunya
adalah melakukan kegiatan impor untuk mencukupi kebutuhan konsumen.

Impor adalah arus masuk dari sejumlah barang dan jasa ke dalam
pasar sebuah negara baik untuk keperluan konsumsi ataupun sebagai
barang modal atau bahan baku produksi dalam negeri. Semakin besar
impor, disatu sisi baik karena menyediakan kebutuhan rakyat negara itu
akan produk atau jasa tersebut, namun disisi lain bisa mematikan produk
dan jasa sejenis dalam negeri, dan yang paling mendasar menguras devisa
negara yang bersangkutan.29

Sedangkan pengertian Impor Pangan dapat dilihat pada Pasal 1 angka


(25) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang
menyebutkan bahwa Impor Pangan adalah kegiatan memasukkan Pangan
ke dalam daerah pabean negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah
darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona
Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen.

Kegiatan impor pangan dapat dilakukan suatu negara apabila kegiatan


produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi/memenuhi dan/atau tidak
dapat diproduksi di dalam negeri tersebut. Bahkan impor pangan pokok
pun dapat dilakukan apabila cadangan pangan nasional tidak memenuhi
dan produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi. Dalam melakukan
kegiatan impor pangan tentunya konsumen berhak mendapat informasi
yang jelas mengenai produk tersebut dan tentunya harus benar-benar
memenuhi kandungan gizi dan standar mutu keamanan bagi kesehatan
setiap konsumen. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

29
Edward Christianto, “Faktor yang Mempengaruhi Volume Impor Beras di Indonesia”,
Jurnal Jibeka. Vol. 7, No. 2, Agustus 2013.
35

tentang Kesehatan menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk


mendapat informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan
bertanggung jawab. Oleh karena itu, konsumen perlu dilindungi dari
produk pangan impor yang dapat merugikan atau bahkan membahayakan
kesehatan konsumen.

B. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu


Penelitian skripsi ini peneliti merujuk kepada beberapa penelitian
terdahulu, diantaranya:
1. Skripsi disusun oleh Syahirah Banun, Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah pada tahun
2015. Berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Produk Saus
Sambal Indosari”. Penelitian ini lebih menjelaskan perlindungan terhadap
pangan olahan produk dalam negeri yakni saus sambal Indosari. Perbedaan
skripsi tersebut dengan skripsi yang diangkat oleh peneliti adalah lebih
memfokuskan terhadap peredaran pangan impor yang tidak terdapat izin
edar dari pihak yang berwenang.
2. Skripsi disusun Ayu Eza Tiara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2016. Berjudul
“Perlindungan Konsumen dalam Peredaran Kosmetik Berbahaya Cream
Syahrini”. Skripsi ini membahas mengenai perlindungan hukum terhadap
peredaran kosmetik berbahaya yang dilakukkan BPOM, sedangkan
peneliti mengenai peredaran pangan impor yang tidak terdapat izin edar
dari pihak yang berwenang dimana dapat merugikan hak konsumen.
3. Buku yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen yang ditulis oleh Eli
Wuria Dewi. Buku ini membahas mengenai hukum perlindungan
konsumen secara garis besar, tanggung jawab pelaku usaha, perlindungan
konsumen dalam hukum positif Indonesia, serta lembaga yang berperan
dalam upaya perlindungan konsumen. Sedangkan peneliti membahas
36

mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen pangan impor yang


merugikan hak-hak konsumen.
4. Jurnal Mimbar Hukum Vol. 21 No. 2 Juni 2009 yang ditulis oleh Irna
Nurhayati mengenai “Efektifitas Pengawasan Badan Pengawas Obat dan
Makanan Terhadap Peredaran Produk Pangan Olahan Impor Dalam
Mewujudkan Perlindungan Konsumen”. Jurnal ini terfokus terhadap
pengawasan yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
sudah efektif atau tidak untuk memberikan perlindungan terhadap
konsumen. sedangkan skripsi yang disusun oleh peneliti, lebih terfokus
mengenai perlindungan hak-hak konsumen terhadap peredaran pangan
impor ilegal.
BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PANGAN IMPOR


ILEGAL DI DKI JAKARTA

A. Profil PT Mustika Boga Foodnindo


1. Data Perseroan
Nama Perseroan : Mustika Boga Foodnindo
Nama Singkatan :
Nomor SK Pengesahan : AHU-12045.AH.01.01.Tahun 2014
Tanggal SK : 21 Maret 2014
Jenis Perseroan : PMDN NON FASILITAS
Jangka Waktu Perseroan : Tidak Terbatas
Status Perseroan : Tertutup
2. Data Notaris
Nama Notaris : Udin Nasrudin, SH.
Kedudukan Notaris : Kabupaten Tangerang
Nomor Akta : 57
Tanggal Akta : 23 Januari 2014
3. Kedudukan Perseroan
Perseroan ini beralamat di komplek Duta Harapan Indah (DHI) Blok JJ
Nomor 78-A, RT.008, RW.002, Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan
Penjaringan, Kota Jakarta Utara.
4. Maksud dan Tujuan
Perusahaan PT Mustika Boga Foodnindo merupakan perusahaan yang
bergerak dibidang industri makanan dan minuman, yakni berupa makanan-
minuman (snack), bahan makanan-minuman, dan makanan kesehatan.
Perusahaan ini memperdagangkan seperti makanan dan minuman (botol,
kaleng) termasuk roti, kue, snack, bumbu-bumbu makanan serta kegiatan
usaha terkait. Pada perusahaan ini pun menyediakan jasa konsultan bidang
makanan dan minuman kesehatan dan analisa laboratorium.
5. Pengurus Perseroan

37
38

a. Nama : Lima
NIK : 3671032403780004
Tempat, tanggal lahir : Bagan Siapi Api, 24 Maret 1978
Jabatan : Komisaris
b. Nama : Stephens
NIK : 3172012305780009
Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 23 Mei 1978
Jabatan : Direktur

B. Tinjauan Umum Mengenai Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)


1. Pengertian dan Latar Belakang BPOM
Kemajuan teknologi telah membawa perubahan-perubahan yang
cepat dan signifikan pada industri farmasi, obat asli Indonesia, makanan,
kosmetika dan alat kesehatan. Dengan menggunakan teknologi modern,
industri-industri tersebut kini mampu memproduksi dalam skala yang
besar. Dengan dukungan kemajuan teknologi tersebut, maka produk-
produk lokal ataupun impor dalam jangka waktu yang singkat dapat
menyebar secara luas dan mampu menjangkau seluruh strata masyarakat.
Perubahan teknologi produksi, sistem perdagangan, dan gaya hidup
konsumen yang cenderung terus meningkat, pada realitasnya dapat
keningkatkan resiko dengan implikasi yang luas kepada konsumen
terhadap kesehatan dan keselamatannya. Terlebih jika terdapat produk
yang rusak atau terkontaminasi bahan berbahaya maka risiko yang terjadi
akan berskala besar dan luas serta berlangsung secara cepat.
Untuk itu Indonesia harus memiliki Sistem Pengawasan Obat dan
Makanan (SisPOM) yang efektif dan efisien yang mampu mendeteksi,
mencegah dan mengawasi produk-produk termaksud untuk melindungi
keamanan, keselamatan, dan kesehatan konsumennya baik didalam
maupun di luar negeri. Untuk itu telah dibentuk BPOM yang memiliki
39

jaringan nasional dan internasional serta kewenangan penegakan hukum


dan memiliki kredibiltas profesional yang tinggi.1
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2017
tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan pada Pasal 1 menyebutkan
bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan yang selanjutnya disingkat
BPOM adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pengawasan obat dan
makanan. Serta BPOM berada di bawah dan tanggungjawab kepada
Presiden melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.
Dalam Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor 02001/SK/KBPOM tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pengawas Obat dan Makanan pun pada Pasal 1 menyebutkan bahwa
Badan Pengawas Obat dan Makanan yang selanjutnya di sebut BPOM,
adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang dibentuk untuk
melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari Presiden.

2. Tugas, Fungsi, dan Kewenangan BPOM


Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah lembaga
pemerintah yang bertugas melakukan regulasi, standarisasi, dan sertifikasi
produk makanan dan obat yang mengcakup keseluruhan aspek pembuatan,
penjualan, penggunaan, dan keamanan makanan, obat-obatam, kosmetik,
dan produk lainnya.2 BPOM RI dikepalai oleh pejabat setingkat menteri.
Sesuai yang terdapat pada Pasal 2 Keputusan Kepala BPOM Nomor
02001/SK/KBPOM, BPOM mempunyai tugas melaksanakan tugas
pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Peraturan
Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan

1
http://www.pom.go.id/new/view/direct/background. Diakses pada 1 Maret 2018.

Rosaria, ”Fungsi Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Dalam Produk Kosmetika Di
2

Kota Samarinda”, eJournal Administrasi Negara, Vol. 4, No.2, 2016.


40

Makanan pada Pasal 2 menjelaskan bahwa obat dan makanan yang


dimaksudkan terdiri atas obat, bahan obat, narkotika, psikotropika,
prekursor, zat adiktif, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan
pangan olahan.
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017
tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, BPOM mempunyai fungsi:
(1) Dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan Makanan, BPOM
menyelenggarakan fungsi:
a. Penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan
Makanan;
b. Pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan
Makanan;
c. Penyusunan dan penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria
di bidang Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama
Beredar;
d. Pelaksanaan Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan
Selama Beredar;
e. Koordinasi pelaksanaan pengawasan obat dan makanan dengan
instansi pemerintah pusat dan daerah;
f. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengawasan
obat dan makanan;
g. Pelaksanaan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pengawasan obat dan makanan;
h. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian
dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di
lingkungan BPOM;
i. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawab BPOM;
j. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkup BPOM; dan
k. Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh
unsur organisasi di lingkungan BPOM.
41

(2) Pengawasan Sebelum Beredar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


adalah pengawasan Obat dan Makanan sebelum beredar sebagai
tindakan pencegahan untuk menjamin Obat dan Makanan yang
beredar memenuhi standar dan persyaratan keamanan,
khasiat/manfaat, dan mutu produk yang ditetapkan.
(3) Pengawasan Selama Beredar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah pengawasan Obat dan Makanan selama beredar untuk
memastikan Obat dan Makanan yang beredar memenuhi standar dan
persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu produk yang
ditetapkan serta tindakan penegakan hukum.

Dalam melaksanakan tugas pengawasan obat dan makanan, dalam


Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017, BPOM memiliki
kewenangan sebagai berikut :

a. Menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan standar dan
persyaratan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu, serta pengujian obat
dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan obat dan
makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c. Pemberian sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

3. Prinsip Dasar dan Kerangka Konsep Sistem Pengawasan Obat dan


Makanan (SisPOM)
Dalam upaya meningakatkan perlindungan masyarakat dari resiko
produk obat dan makanan yang tidak memenuhi persyaratan keamanan,
khasiat/manfaat, dan mutu, BPOM berupaya memperkuat Sistem
Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM) yang komprehensif dan
menyeluruh. SISPOM memiliki prinsip dasar, yaitu:3

3
http://www.pom.go.id/new/view/direct/pdsispom. Di akses pada 4 Maret 2018.
42

a. Tindakan pengamanan cepat, tepat, akurat dan prefesional.


b. Tindakan dilakukan berdasarkan atas tingkat risiko dan berbasis
bukti-bukti.
c. Lingkup pengawasan bersifat menyeluruh, mencakup seluruh siklus
proses.
d. Berskala nasional/lintas propinsi, dengan jaringan kerja internasional.
e. Otoritas yang menunjang penegakan supremasi hukum.
f. Memiliki jaringan laboratorium nasional yang kohesif dan kuat yang
berkolaborasi dengan jaringan global.
g. Memiliki jaringan sistem informasi keamanan dan mutu produk.

Untuk menekan sekecil resiko yang bisa terjadi dikarenakan


pengawasan obat dan makanan memiliki permasalahan yang berdimensi
luas dan kompleks. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengawasan yang
komprehensip dari sejak awal proses suatu produk sampai produk tersebut
beredar. Dilakukan SisPOM tiga lapis, yakni:4

a. Sub-sistem pengawasan Produsen


Sistem pengawasan internal oleh produsen melalui pelaksanaan cara-
cara produksi yang baik atau good manufacting practices agar setiap
bentuk penyimpangan dari standar mutu dapat dideteksi sejak awal.
Secara hukum produsen bertanggungjawab atas mutu dan keamanan
produk yang dihasilkannya. Apabila terjadi penyimpangan dan
pelanggaran terhadap standar yang telah ditetapkan maka produsen
dikenakan sanksi, baik administratif maupun pidana.
b. Sub-sistem pengawasan Konsumen
Sistem pengawasan oleh masyarakat konsumen sendiri melalui
peningkatan kesadaran dan peningkatan pengetahuan mengenai
kualitas produk yang digunakan dan cara-cara penggunaan produk
yang rasional. Pengawasan ini sangat penting karena pada akhirnya

4
http://www.pom.go.id/new/view/direct/kksispom. Di akses pada 4 Maret 2018.
43

masyarakatlah yang mengambil keputusan untuk membeli dan


menggunakan suatu produk. Dalam hal ini pelayanan komunikasi,
informasi, edukasi mempunyai arti penting untuk pemberdayaan
masyarakat/konsumen.5
c. Sus-sistem pengawasan pemerintah/BPOM
Sistem pengawasan oleh pemerintah melalui pengaturan dan
standardisasi, penilaian keamanan, khasiat dan mutu produk sebelum
diijinkan beredar di Indonesia; inspeksi, pengambilan sampel dan
pengujian laboratorium produk yang beredar serta peringatan kepada
publik yang di dukung penegakan hukum.

4. Struktur Organisasi BPOM


Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2017
mengatur susunan organisasi Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia yang terdapat pada BAB II. yaitu sebagai berikut:
a. Kepala
Organisasi BPOM dipimpin oleh seorang kepala yang mempunyai
tugas memimpin dan bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas,
fungsi, dan kewenangan BPOM.
b. Sekretariat Utama
Sekretariat Utama yang dipimpin oleh Sekretaris Utama mempunyai
tugas menyelenggarakan koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan,
dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unit organisasi
di lingkungan BPOM.
c. Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor,
dan Zat Adiktif
Di pimpin oleh seorang Deputi, yang mempunyai tugas
menyelenggarakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang

5
http://ulpk.pom.go.id/ulpk/?page=profil&id=9. Di akses pada 4 Maret 2018.
44

pengawasan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, dan


zat adiktif.
d. Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan,
dan Kosmetik
Di pimpin oleh seorang Deputi yang salah satu fungsinya adalah
melakukan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang
Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar
meliputi standardisasi, registrasi, pengawasan produksi dan
pengawasan distribusi obat tradisional, suplemen kesehatan, dan
kosmetik.
e. Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan
Di pimpin oleh seorang Deputi yang mempunyai tugas
menyelenggarakan penyusunan pelaksanaan kebijakan di bidang
pengawasan pangan olahan. Deputi ini menyelenggarakan salah satu
fungsinya yakni penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di
bidang pengawasan olahan pangan. Serta pemberian bimbingan teknis
dan supervisi dalam rangka Pengawasan Sebelum dan Selama Beredar.
f. Deputi Bidang Penindakan
Deputi Bidang Penindakan di pimpin oleh Deputi yang mempunyai
tugas menyelenggarakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan
penindakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang pengawasan Obat dan Makanan.
g. Inspektorat Utama
Di pimpin oleh seorang Inspektur Utama, mempunyai tugas
menyelenggarakan pengawasan intern di lingkungan BPOM. Deputi di
bidang ini menyelenggarakan fungsi, salah satunya yaitu pelaksanaan
pengawasan intern terhadap kinerja dan keuangan melalui audit, reviu,
evaluasi, pemantauan dan kegiatan pengawasan lainnya.
45

5. Kode Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)


Definisi kode dalam kamus besar Bahasa Indonesia yaitu tanda
(kata-kata, tulisan) yang telah disepakati untuk maksud tertentu,
sedangkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sendiri sesuai
Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 adalah lembaga pemerintah
nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang
pengawasan Obat dan Makanan yang beredar diwilayah Indonesia.
Produk pangan yang sudah terdaftar di Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) dapat dilihat pada kode registrasi yang terdapat pada
kemasan luar yang terdiri dari kode POM kode huruf 2 (dua) digit yakni
MD dan ML.
a. MD merupakan singkatan dari “makanan dalam” adalah nomor izin
yang dikeluarkan Badan Pengawasa Obat dan Makanan (BPOM)
untuk industri makanan besar dan berasal dari dalam negeri. Dalam
satu brand makanan, kode MD-nya bisa berbeda, tergantung dengan
lokasi pabrik yang memproduksi produk makanan tersebut.
b. ML merupakan singkatan dari “makanan luar” adalah nomor izin yang
dikeluarkan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk
industri makanan besar dan berasal dari luar negeri atau impor. Selain
jaminan keamanan makanan yang akan dikonsumsi, kode ML juga
menandakan bahwa makanan tersebut telah secara legal dan resmi
masuk ke wilayah Indonesia.

C. Perlindungan Hukum Konsumen terhadap Pangan yang Tidak


Mencantumkan Izin Edar
Perlindungan hukum tersendiri merupakan memberi pengayoman
kepada hak asasi manusia yang telah dirugikan oleh orang lain dan
perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Hukum dibutuhkan
46

untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik
untuk memperoleh keadilan sosial.6
Menurut Philipus M. Hadjon, teori perlindungan hukum dalam
kepustakaan hukum berbahasa Belanda dikenal dengan sebutan
“rechtbescherming van de budgers”.7 Dari pendapat tersebut dapat ditarik
bahwa perlindungan hukum berasal dari kata rechtbescherming dalam bahasa
Belanda.
Adanya hubungan yang terjadi antara produsen/pelaku usaha dan
pembeli/konsumen menciptakan adanya perlindungan hukum bagi keduanya
dengan saling tidak mengurangi perlindungan hukum dari tiap pihak.
Sedangkan perlindungan konsumen dalam Pasal 1 angka 1 merupakan
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen. Az Nasution berpendapat bawah kepastian itu
meliputi segala upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau
menentukan pilihannya atas barang kebutuhannya serta mempertahankan atau
membela hak-haknya apabila dirugikan oleh pelaku usaha.8
Produk makanan yang berasal dari luar negeri harus melewati
pendaftaran yang dilakukan di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
Republik Indonesia untuk mendapatakan izin edar agar dapat di perjualbelikan
di wilayah Indonesia. Peredaran makanan sendiri merupakan setiap kegiatan
dalam rangka penyaluran makanan kepada masyarakat, baik untuk
diperdagangkan maupun untuk dikonsumsi. Hal ini tentu harus dilakukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Secara umum perlindungan konsumen atas makanan impor yang harus
memiliki izin edar melalui perundang-undangan dapat dikatakan telah diatur
sedemikian rupa, hal ini terlihat dengan terdapatnya berbagai peraturan

6
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), h. 54.
7
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1987), h. 1.
8
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, cet. 3, (Jakarta: Prenada Media Group, 2015), h. 4.
47

perundang-undangan yang mengatur tentang produk makanan dengan izin


edar, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen diatur mengenai perbuatan yang dilarang oleh
pelaku usaha. Selanjutnya dalam Pasal 19 dan Pasal 21 mengatur
mengenai tanggung jawab pelaku usaha dalam memperdagangkan
makanan impor tanpa izin edar.
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Mengenai impor pangan dalam undang-undang ini diatur dalam bagian
kelima, pada Pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa impor pangan yang
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri wajib
memenuhi persyaratan keamanan, mutu, gizi, dan tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat. Dilanjutkan pada Pasal
40 menyebutkan bahwa impor pangan dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dalam undang-undang ini pun pada Pasal 91 ayat (1) berisi tentang
pengawasan keamanan, mutu, dan gizi. Setiap produk pangan olahan yang
dibuat didalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam
kemasan eceran, pelaku usaha pangan wajib memiliki izin edar. Oleh
karena itu, secara tidak langsung makanan impor tersebut harus memiliki
izin edar sebelum dipasarkan kepada masyarakat. Terkecuali pangan
olahan tertentu yang diproduksi oleh industri rumah tangga. Ditambahkan
pada Pasal 93 menyebutkan bahwa setiap orang yang mengimpor pangan
untuk diperdagangkan wajib memenuhi standar keamanan pangan dan
mutu pangan.
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Dalam Pasal 111 ayat (1) menyebutkan bahwa makanan dan minuman
yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar
dan/atau persyaratan kesehatan, ayat (2) makanan dan minuman hanya
dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai dengan ketentuan
48

peraturan perundang-undangan; selanjutnya ayat (6) mengatakan bahwa


makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar,
persyaratan kesehatan, dan/atau membahayakan kesehatan dilarang untuk
peredaran, dicabut izin edar dan untuk dimusnahkan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
Dalam pasal 32 ayat (1) disebutkan bahwasannya seorang produsen atau
importir yang akan memperdagangkan barang terkait dengan keamanan,
keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup wajib mendaftarkan barang
yang akan diperdagangkan dan harus mencantumkan nomor tanda
pendaftaran pada kemasan barang tersebut. Dilanjutkan pada ayat (2)
bahwa kewajiban mendaftarkan barang dilakukan sebelum barang tersebut
beredar dipasaran.
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 tentang
Label dan Iklan Pangan.
Pada Pasal 30 disebutkan bahwa semua produk pangan yang akan dijual
di Indonesia, baik yang di produksi dalam negeri atau impor, harus
didaftarkan terlebih dahulu dan mendapat nomor pendaftaran dari Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Selain nomor
pendaftaran, pada Pasal 31 menyebutkan bahwa kode produksi pangan
olahan pun wajib dicantumkan pada label, wadah atau kemasan pangan
yang tentu letaknya terdapat pada bagian yang mudah untuk dilihat dan
dibaca. Kode produksi tersebut sekurang-kurangnya dapat memberikan
penjelasan mengenai riwayat pangan yang bersangkutan. Para pelaku
usaha yang melanggar untuk mengedarkan makanan impor tanpa adanya
izin edar akan mendapatkan sanksi berupa tindakan administratif, yakni
berupa peringatan tertulis, pelarangan untuk mengedarkan makanan impor
sementara waktu, pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan
kesehatan, dan bahkan pencabutan izin usaha.
49

6. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 12 Tahun


2016 tentang Pendaftaran Pangan Olahan.
Setiap pangan olahan baik yang diproduksi dalam negeri atau yang di
impor untuk diperdagangkan dalam kemasan wajib memiliki izin edar.
Pendaftaran pangan yang diimpor ke dalam wilayah Indonesia diajukan
oleh Importir atau Distributor yang mendapat penunjukan dari perusahaan
di negara asal produk. Dalam Pasal 14 dijelaskan bahwa sebelum
melakukan pendaftaran pangan olahan, pendaftar wajib mengajukan
permohonan audit sarana produksi dan sarana distribusi pada Kepala Balai
yakni selaku kepala unit pelaksana teknis di lingkungan Badan Pengawas
Obat dan Makanan. Dimana dalam sarana produksi dan distribusi
dilakukan dengan cara produksi pangan dan distribusi yang baik.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dilihat bahwa perlu adanya
pendaftaran pangan olahan pada produk makanan dan larangan untuk
mengedarkan pangan tanpa persetujuan pendaftaran.
Dari beberapa ketentuan yang telah disebutkan, secara normatif sudah
menunjukan bahwa ada aspek perlindungan hukum terhadap konsumen, karena
setiap produk makanan olahan impor yang akan diedarkan di seluruh wilayah
Indonesia harus memperoleh izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) Republik Indonesia sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan agar adanya jaminan terhadap produk pangan yang
beredar tersebut dari pihak yang berwenang.
BAB IV

ANALISIS HUKUM MENGENAI PRODUK PANGAN IMPOR JAVA


CURRY

A. Penemuan Produk Java Curry Importir PT Mustika Boga Foodnindo


Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia mendapat
laporan dari masyaratkat bahwa terdapat salah satu gudang milik suatu
perusahaan yakni PT Mustika Boga Foodnindo yang menyimpan dan
memperjualbelikan pangan impor yang dicurigai masyarakat merupakan suatu
praktik usaha ilegal, gudang penyimpanan pangan tersebut berada di komplek
Pergudangan Duta Harapan Indah (DHI) Blok JJ No. 78-A, Kapuk Muara,
Penjaringan, daerah Jakarta Utara. Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) RI bersama petugas dari Polda Metro Jaya melakukan penindakan
terhadap gudang milik PT Mustika Boga Foodnindo tersebut1, petugas
melakukan investigasi terhadap pemilik dan legalitas barang yang diedarkan.
Hasilnya ditemukan produk pangan impor Java Curry dan beberapa produk
impor lainnya yang total berjumlah 45 macam produk pangan impor, yang
terdiri dari pangan olahan dan pangan segar beku yang tersimpan tanpa adanya
izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Java Curry merupakan produk bumbu kari instan yang bisa digunakan
untuk membuat kuah ramen, nasi kari, kari ayam atau daging, dan lain
sebagainya untuk bahan makanan. Java Curry merupakan produk impor yang
berasal dari perusahaan House Foods di Jepang.
Importir dan distributor yakni PT Mustika Boga Foodnindo sudah berdiri
sejak tahun 2014. Sejak pertengahan 2017 perusahaan ini diduga jika produk-
produk yang disalurkan atau diperdagangkan ternyata produk TIE (tanpa izin
edar) dan masuk ke Indonesia melalui jalur ilegal. Pelaku melakukannya

1
“Siaran Pers Badan POM RI Temukan Gudang Pangan Impor Ilegal di Jakarta Utara”,
http://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/pers/392/SIARAN-PERS--BADAN-POM-RI-
TEMUKAN-GUDANG-PANGAN-IMPOR-ILEGAL-DI-JAKARTA-UTARA.html. Diakses pada
1 Maret 2018.

50
51

dengan cara membawa produk berupa bulk yang dikemas menggunakan koper
pakaian ukuran besar yang bagian dalamnya dilapisi dengan sterofoam. Produk
pangan tersebut berasal dari Jepang, Thailand, dan Tiongkok yang dibeli dari
Singapura, selanjutnya dibawa ke Indonesia melalui jalur udara dan jalur laut.
Di lokasi gudang selain menjadi tempat penyimpanan juga tempat
pengemasan ulang porduk (repacking) tanpa tahu bagaimana kualitasnya,
dijamin keamanannya, manfaat, dan mutunya karena belum melalui penilaian
dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia.
Hasilnya kemudian disalurkan atau diperdagangkan ke restoran-restoran
didaerah Sumatera dan Jakarta, hotel-hotel, dan kepada masyarakat tanpa
adanya izin edar dari BPOM. Tentu saja hal tersebut sudah melanggar hak
konsumen yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, pada Pasal 4 huruf a menyebutkan bahwa konsumen
mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang, aspek ini tentu sangat penting karna menyangkut
langsung dengan kesehatan konsumen. Selain itu, hak konsumen lainnya yang
dilanggar yakni hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang sesuai yang terdapat pada Pasal 4 huruf c. PT
Mustika Boga Foodnindo sebagai pelaku usaha juga telah mengabaikan
kewajibannya beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya dan juga
mengabaikan kewajibannya mencantumkan nomor izin edar pada kemasan
pangan impor yang diedarkan.
Untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen yang
dilakukan oleh pelaku usaha tentu harus adanya bentuk perlindungan hukum
yang diberikan guna menghindari hilangnya hak-hak yang semestinya
didapatkan oleh konsumen. Bentuk perlindungan konsumen yang diberikan
adalah dengan mengeluarkan undang-undang, peraturan-peraturan pemerintah,
penerbitan Standar Mutu Barang.2 Disamping yang tidak kalah pentingnya
adalah melakukan pengawasan pada penerapan peraturan, ataupun standar-

2
Ahmad Miru, dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Kedua,
(Jakarta: Raja Grafinfo Persada, 2004), h. 110.
52

standar yang telah ada agar menciptakan suasana yang kondusif dan tidak
menimbulkan kerugian diantara para pihak.

B. Peran Pemerintah Terkait Peredaran Pangan yang Tidak Terdapat Izin


Edar
Pemerintah didalam upaya perlindungan konsumen memiliki peran yang
cukup penting sebagai penengah diantara kepentingan konsumen dan
kepentingan pelaku usaha, agar masing-masing pihak dapat berjalan seiring
tanpa saling merugikan. Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen, untuk menjamin
didapatkannya hak konsumen dan hak pelaku usaha serta dilaksanakannya
kewajiban konsumen dan kewajiban pelaku usaha, sebagaimana diatur dalam
Pasal 29 dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Pasal 29
(1) Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan
pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku
usaha.
(2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen
sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakannya oleh Menteri dan/atau
menteri teknis terkait.
(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas
penyelenggaraan perlindungan konsumen.
(4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk:
a. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara
pelaku usaha dan konsumen;
b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat;
53

c. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia serta meningkatkan


kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan
konsumen.

Pasal 30 ayat (1)

(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta


penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan
oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat.

Selanjutnya berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 58


Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen, pada Pasal 2 disebutkan bahwa pemerintah
bertanggung jawab atas pembinaan perlindungan konsumen yang menjamin
diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya
kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Selanjutnya dalam hal pengawasan
pemerintah, diatur lebih lanjut pada Pasal 7 yang menyebutkan bahwa
pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen dan penerapan
ketentuan peraturan perundang-undangannya dilakukan oleh pemerintah,
masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
Dengan demikian, jelas bahwa pemerintah memiliki bagian dalam hal
tanggung jawab untuk melindungi masyarakat sebagai konsumen.
Pengawasan dilakukan guna menghindari terjadinya kemungkinan
penyimpangan atas tujuan yang ingin dicapai. Melalui pengawasan diharapkan
dapat membantu pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai
tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien.

Peran pemerintah sebagai pengawas merupakan fungsi penting untuk


melindungi masyarakat sebagai konsumen dari peredaran produk makanan
impor yang tidak memiliki izin edar yang dapat membahayakan konsumen
dikarenakan tidak adanya jaminan atas produk impor tersebut. Importir PT
Mustika Boga Foodnindo yang melakukan kegiatan menyimpan dan
54

mengedarkan produk Java Curry yang tidak memiliki izin edar tentu sangat
berbahaya. Oleh karena itu, tanpa adanya pengawasan yang baik dikhawatirkan
konsumen tidak akan terlindungi dari peredaran produk pangan impor ilegal
yang dapat membahayakan kesehatan konsumen.

Pemerintah melalui lembaga pemerintahan Non-Departemen yaitu


Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang memiliki peranan penting
dalam mengatur dan mengawasi peredaran pangan impor yang tidak memiliki
izin edar tentunya mempunyai pengawasan yang efektif dan efisien agar
mampu mencegah dan mengawasi terhadap peredaran produk-produk tersebut.
Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagai lembaga yang mengawasi
peredaran produk pangan, salah satu misinya yaitu mendorong kemandirian
pelaku usaha dalam memberikan jaminan keamanan obat dan makanan.3

Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan


(BPOM) terdiri dari 2 (dua) bentuk, yakni: Pre Market dan Post Market.4
Pengawasan pangan secara Pre Market adalah pengawasan yang dilakukan
sebelum pangan olahan diedarkan, antara lain standardisasi, pembinaan dan
pemeriksaan sarana produksi dan distribusi serta penilaian dan atas mutu
keamanan pangan olahan.5 Pre Market di antaranya dilakukan saat pelaku
usaha/importir mengurus pendaftaran di Badan Pengawas Obat dan Makanan
dan saat pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan dokumen dan barang di

3
Rosemrry Fatmawati, “Pengawasan Produk Pangan Olahan Impor di Era Mea”,
http://registrasipangan.pom.go.id/subsite/subsitebackup/index.php/informasi/view/45/pengawasan-
produk-pangan-olahan-impor-di-era-mea, diakses pada 4 Maret 2018.
4
Irna Nurhayati, “Efektivitas Pengawasan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Terhadap
Peredaran Produk Pangan Olahan Impor Dalam Mewujudkan Perlindungan Konsumen”, Mimbar
Hukum, Vol. 21, No. 2, Juni 2009.
5
Rosemrry Fatmawati, “Pengawasan Produk Pangan Olahan Impor di Era Mea”,
http://registrasipangan.pom.go.id/subsite/subsitebackup/index.php/informasi/view/45/pengawasan-
produk-pangan-olahan-impor-di-era-mea, diakses pada 4 Maret 2018.
55

pintu gerbang pelabuhan /bandara yang dilakukan oleh Petugas Bea dan
Cukai.6

Setiap pangan olahan baik yang diproduksi di dalam negeri atau yang
dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dalam
kemasan eceran wajib memiliki Surat Persetujuan Pendaftaran. Sebelum
beredar di Indonesia, importir pangan olahan wajib mendaftarkan produknya
ke BPOM RI untuk mendapatkan Surat Persetujuan Pendaftaran. 7 Sesuai
dengan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia No. 30 Tahun 2017 tentang Pengawasan
Pemasukan Obat dan Makanan Ke Dalam Wilayah Indonesia, yang didalam
Pasal 2 dan 3 diatur hal berikut:

Pasal 2:

(1) Obat dan Makanan yang dapat dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia
untuk diedarkan merupakan Obat dan Makanan yang telah memiliki Izin
Edar.
(2) Selain harus memiliki Izin Edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga
harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
impor.
Pasal 3
(1) Selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pemasukan Obat dan Makanan juga harus mendapat persetujuan dari
Kepala Badan.
(2) Persetujuam dari Kepala Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa :

6
Irna Nurhayati, “Efektivitas Pengawasan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Terhadap
Peredaran Produk Pangan Olahan Impor Dalam Mewujudkan Perlindungan Konsumen”, Mimbar
Hukum, Vol. 21, No. 2, Juni 2009.
7
Rosemrry Fatmawati, “Pengawasan Produk Pangan Olahan Impor di Era Mea”,
http://registrasipangan.pom.go.id/subsite/subsitebackup/index.php/informasi/view/45/pengawasan-
produk-pangan-olahan-impor-di-era-mea, diakses pada 4 Maret 2018.
56

a. SKI Border, dan


b. SKI Post Border.
(3) SKI Border atau SKI Post Border sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
hanya berlaku untuk 1 (satu) kali pemasukan.
(4) SKI Border atau SKI Post Border sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari Peraturan Kepala Badan ini.

Pengajuan permohonan Surat Keterangan Impor (SKI) sudah diatur


dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 30 Tahun
2017. Perngajuan permohonan dilakukan secara online, tetapi sebelumnya
pemohon SKI harus melakukan pendaftaran untuk mendapatkan nama
pengguna (username) dengan mekanisme single sign on guna untuk
memperoleh akses login di inhouse Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM), pendaftaran tersebut dilakukan melalui website Badan Pengawas
Obat dan Makanan http://www.pom.go.id. Akan tetapi, untuk Balai Besar/Balai
Pengawas Obat dan Makanan seluruh wilayah Indonesia yang belum
terkoneksi dengan sistem Indonesia National Single Window, permohonan SKI
dapat dilakukan secara manual. Dalam Pasal 15 Pereturan Kepala Badan POM
Nomor 30 Tahun 2017 disebutkan bahwa Permohonan SKI harus dilengkapi
dengan dokumen elektronik berupa : persetujuan izin edar; sertifikasi analisis;
faktur (invoice). Sertifikasi analisis paling sedikit harus memuat nama produk,
parameter uji sesuai ketentuan, hasil uji, metode analisa, nomor batch/ nomor
lot/ kode produksi, tanggal produksi dan tanggal kadaluwarsa.

Sedangkan pengawasan Post Market adalah pengawasan yang dilakukan


setelah pangan olahan diedarkan di masyarakat. Teknis pengawasan peredaran
produk pangan olahan impor sama saja dengan produk makanan dalam negeri.8
Pengawasan dilakukan dengan cara antara lain inspeksi sarana produksi dan

8
Irna Nurhayati, “Efektivitas Pengawasan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Terhadap
Peredaran Produk Pangan Olahan Impor Dalam Mewujudkan Perlindungan Konsumen”, Mimbar
Hukum, Vol. 21, No. 2, Juni 2009.
57

distribusi, dilakukan sampling dan uji laboratorium untuk pangan olahan yang
telah beredar, penilaian dan pengawasan iklan atau promosi, serta penyebaran
informasi melalui edukasi masyarakat dan puclic warning/ peringatan publik.9
Bisa dikatakan Post Market yakni terkait masa setelah produk memiliki izin
edar ML (Makanan Luar) dan diedarkan di masyarakat. 10 Dalam Post Market
ini dilakukan secara rutin oleh BPOM dengan wujud nyata melakukan
sampling ke pasar-pasar, toko-toko, warung, dan supermarket. Petugas BPOM
memeriksa labelnya, apakah baik atau tidak, ada izin edar atau tidak, ada kode
produksi atau tidak, dan untuk impor pangan labelnya harus bertuliskan bahasa
Indonesia.

Tujuan melakukan Post Market merupakan untuk pengawasan langsung


atas kegiatan produksi dan distribusi dan untuk menentukan apakah pelaku
usaha konsisten dalam menerapkan cara-cara produksi atau distribusi. Hal ini
tentu sangat penting sebagai sistem pengawasan internal yang menjamin mutu
pada seluruh proses produksi dan distribusi yang dilakukan.

Peranan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di dalam


pelaksanaan fungsinya bila dikaitkan dengan aturan-aturan hukum yang di atur
dalam aturan Hukum Administrasi Negara adalah saling menunjang dan
berkaitan, karena sebagai suatu organisasi, Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) melakukan pembentukan peraturan-peraturan yang sifatnya
penetapan (beschiking).11 Dimana dalam mengeluarkan seritifikasi obat dan
makanan yang di daftarkan ke BPOM tentunya melalui proses yang sesuai

9
Rosemrry Fatmawati, “Pengawasan Produk Pangan Olahan Impor di Era Mea”,
http://registrasipangan.pom.go.id/subsite/subsitebackup/index.php/informasi/view/45/pengawasan-
produk-pangan-olahan-impor-di-era-mea, diakses pada 4 Maret 2018.
10
Irna Nurhayati, “Efektivitas Pengawasan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Terhadap
Peredaran Produk Pangan Olahan Impor Dalam Mewujudkan Perlindungan Konsumen”, Mimbar
Hukum, Vol. 21, No. 2, Juni 2009.

11
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/130212-T26751-Peranan%20BPOM-Literatur.pdf. Di
akses pada 4 Maret 2018.
58

dengan mekanisme dan sistem yang berlaku. Oleh karena itu, Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM) wajib melindungi masyarakat dari peredaran obat
dan makanan yang tidak memiliki izin edar atau tidak memenuhi persyaratan
yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.

Dalam hal pengawasan apabila Badan Pengawas Obat dan Makanan


(BPOM) menemukan atau mendapatkan produk-produk makanan impor yang
tidak memiliki izin edar, sesuai yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1) Peraturan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 30 Tahun 2017 tentang
Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan Ke Dalam Wilayah Indonesia,
diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan administratif, berupa:

1. Memberikan peringatan secara tertulis


2. Penghentian sementara kegiatan pemasukan dan/atau peredaran. Tindakan
ini dapat diambil apabila terdapat dugaan bahwa pangan impor yang akan
diperdagangkan belum memenuhi persyaratan atau belum memiliki izin
edar, sehingga perlu diurus terlebih dahulu persyaratan yang dibutuhkan
agar dapat dilaksanakan kembali peredarannya.
3. Memerintahkan Pemusnahan atau pengiriman kembali ke negara asal (re-
ekspor). Pemusnahan ini dapat dilakukan apabila pangan impor telah
terbukti tidak memiliki izin edar dan terbukti bahan-bahan produk pangan
tersebut membahayakan kesehatan dan jiwa manusia.
4. Pembekuan Izin Edar. Tindakan ini dapat diambil apabila produk pangan
impor sudah mendapatkan izin edar akan tetapi ada dugaan bahwa produk
tersebut terdapat suatu pelanggaran yang perlu untuk diperiksa lebih lanjut.
5. Pencabutan Izin Edar. Tindakan ini dapat diambil apabila produk impor
tersebut sudah mendapatkan izin edar akan tetapi produk impor tersebut
setelah diperiksa kembali ternyata tidak memenuhi persyaratan yang telah
ditetapkan.

Tindakan yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)


dengan merespon laporan masyarakat yang menduga adanya praktek bisnis
ilegal dengan langsung melakukan penyidikan terhadap gudang milik PT
59

Mustika Boga Foodnindo sudah sangat tepat, karena sesuai dengan tugasnya
yakni melakukan tugas pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan.
Dikarenakan tindakan penyidikan seperti ini perlu dilakukan apabila
ditemukan pelanggaran terhadap pangan yang beredar dimasyarakat, baik
pangan impor atau pangan dalam negeri yang tidak terdapar izin edar atau
ilegal, pangan yang mengandung bahan berbahaya, pangan kadaluwarsa
ataupun yang lainnya.

Dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terhadap
importir PT Mustika Boga Foodnindo melakukan penyitaan terhadap produk
pangan impor tersebut dan penghentian kegiatan peredaran pangan impor
tersebut. Tindakan yang dilakukan pihak Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) sesuai dengan salah satu kewenangannya yang diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan
Pasal 4, yaitu pemberian tindakan administratif kepada pelaku usaha sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

C. Tanggung Jawab Pelaku Usaha


Apabila produk yang diperdagangkan telah menimbulkan kerugian
terhadap konsumen maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen Pasal 21 ayat (1) disebutkan bahwa Importir
barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila
importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen
luar negeri. Selanjutnya berdasarkan Pasal 19 ayat (1) pada undang-undang
yang sama, disebutkan bahwasannya pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian
konsumen akibat mengkonsumsi barang dan jasa yang diperdagangkan.
Kasus yang terjadi didaerah Jakarta Utara yakni yang dilakukan oleh
importir PT Mustika Boga Foodnindo yang bukan sebagai agen atau importir
resmi dari produsen negara asal, telah mengedarkan produk Java Curry yang
tidak memiliki izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
60

Republik Indonesia. Pangan impor asal Jepang ini telah beredar sejak 6 bulan,
pelaku usaha mendapatkan barang-barang tersebut dengan dikirim dari
Singapura yang dilakukan melalui jalur udara dan laut. Lalu pelaku usaha
mendistribusikan kepada restauran-restauran atau konsumen yang ingin
membelinya.
Tentu saja tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha ini sangat tidak
patut untuk dicontoh, dikarenakan setiap pelaku usaha harus memiliki etika
yang baik ketika melakukan kegiatan usahanya sesuai yang terdapat pada Pasal
7 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, dan dalam islam pun di ajarkan bahwa sebagai pelaku usaha harus
bersikap jujur dalam melakukan jual-beli atau ketika menawarkan barang
kepada konsumen. Segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama
suka atau kerelaan antara masing-masing pihak, tidak diperbolehkan adanya
ancaman dan penipuan. Jika hal ini tidak dipenuhi, maka transaksi tersebut
dilakukan dengan cara yang Bathil.12 Pada surah An-Nisa ayat 29 disebutkan :

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta


kamu diantara kamu dengan jalan yang bathil kecuali dengan jalan
perniagaan yang berdasarkan kerelaan di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh diri kamu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang Kepadamu”.

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata :

ْ َ‫ط َع ٍام فَأ َ ْد َخ َل َيدَهُ هفي َها فَنَال‬


‫ت‬ َ ‫صب َْرةه‬ُ ‫علَى‬ َ ‫سلَّ َم َم َّر‬
َ ‫علَ ْي هه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫اَلل‬ ‫سو َل َّ ه‬
َ ‫اَلل‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬
‫اَلله قَا َل‬
َّ ‫سو َل‬ ُ ‫س َما ُء يَا َر‬ َ َ‫الطعَ هام قَا َل أ‬
َّ ‫صابَتْهُ ال‬ َّ ‫ب‬ َ ‫اح‬ ‫ص ه‬َ ‫صابهعُهُ بَلَ اًل فَقَا َل َما َهذَا يَا‬َ َ‫أ‬
‫ْس هم هني‬ َ ‫َش فَ َلي‬
َّ ‫اس َم ْن غ‬ َّ َ‫أَفَ ًَل َجعَ ْلتَهُ َف ْوق‬
ُ َّ‫الطعَ هام َك ْي َي َراهُ الن‬

12
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana, 2012), h. 97.
61

Artinya: “Rasulullah shallahu alaihi wasallam pernah melewati setumpuk


makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan
beliau menyentuh sesuatu yang basah. Maka beliaupun bertanya: “Apa ini
wahai pemilik makanan?.” Dia menjawab “makanan tersebut terkena air
hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak
meletakkannya dibagian atas agar manusia dapat melihatnya?! Barangsiapa
yang menipu maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Muslim No. 102)

Selanjutnya berdasarkan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan


Konsumen, maka pelaku usaha yang merupakan badan hukum harus
bertanggung jawab atas segala kerugian yang ditimbulkan walaupun hanya
sebagai importir bukan sebagai produsen barang tersebut. Pelaku usaha
tersebut bertanggung jawab selayaknya seperti pembuat barang yang diimpor
tersebut, karena yang melakukan impor barang tersebut bukanlah agen ataupun
perwakilan (importir) resmi dari produsen di Jepang. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa pelaku usaha dalam hal ini importir PT Mustika Boga
Foodnindo yang menjual pangan impor tanpa memiliki izin edar dari Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mengedarkan di dalam Indonesia
dapat dimintai dan harus bertanggung jawab. Seperti yang dikemukakan oleh
Hans Kelsen bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum terhadap suatu
perbuatan tertentu atau karena ia memikul tanggung jawab hukum tersebut
yang berarti ia bertanggung jawab apabila ia melakukan suatu perbuatan yang
bertentangan dengan hukum.13
Importir PT Mustika Boga Foodnindo sebagai pelaku usaha telah
melakukan pelanggaran yang dirumuskan dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dikarenakan kegiatan pemasaran pangan impor yang
tidak memiliki izin edar atau ilegal, jadi dapat digolongkan sebagai praktek
niaga negatif. Oleh sebab itu, terhadap kerugian yang diderita konsumen,

13
Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara,
Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, Penerjemah Somardi
(Jakarta: BEE Media Indonesia, 2013), h.95
62

pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberikan penggantian ganti rugi


sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Selanjutnya pada Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa ganti rugi yang diberikan oleh
pelaku usaha dapat berupa: pengembalian uang atau penggantian barang
dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan
dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan.
Apabila pelaku usaha tidak memberikan ganti rugi yang diminta
konsumen sesuai jangka waktu yang sudah ditetapkan, sebagaimana yang
diatur pada Pasal 23 Undang-Undang Perlindungan Konsumen maka
konsumen dapat mengajukan gugatan melalui badan penyelesaian sengketa
konsumen (BPSK) atau kepada badan peradilan ditempat kedudukan
konsumen.
Pelaku usaha harus menerima konsekuensi akibat dari perbuatannya,
dalam hal ini tanggung jawab dan sanksi administratif yang diberikan kepada
pelaku usaha PT Mustika Boga Foodnindo dalam pengedaran produk pangan
impor yaitu berupa penarikan produk pangan impor serta penyitaan terhadap
produk-produk pangan impor tersebut, dikarenakan produk pangan impor
tersebut tidak memiliki izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) sehingga tidak ada jaminan bahwa produk pangan impor tersebut
aman untuk di konsumsi, selain itu tindakan yang dilakukan juga penghentian
sementara kegiatan perusahaan. Menurut penulis konsekuensi tersebut sudah
tepat dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Seperti yang tercantum dalam
surah Al-Muddhatsir ayat 38 :

Artinya: “tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya”


(Q.S 74:38).
Akan tetapi selain sanksi yang disebutkan diatas, pelaku usaha juga dapat
diberikan berupa sanksi pidana terhadap pelanggaran dalam melakukan
praktek niaga, khususnya terkait dengan ketentuan yang terdapat dalam
63

Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pada Pasal 19 ayat (4) Undang-


Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa tanggung jawab pelaku
usaha untuk pemberian ganti kerugian tersebut tidak menghilangkan tanggung
jawab pidana berdasarkan pembuktian terhadap unsur kesalahan. Dalam Pasal
45 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga menyebutkan
bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan
tanggung jawab pidana, oleh karena itu walaupun telah tercapai kesepakatan
antara para pihak yang bersengketa, tapi tidak menghilangkan tanggung jawab
pidana dari pihak pelaku usaha.
Dalam hal ini importir PT Mustika Boga Foodnindo dapat dikenakan
sanksi pidana sesuai Pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
terkait pelanggaran yang dilakukan pada Pasal 8 ayat (1) huruf a. Maka dapat
dikenakan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik
kesimpulan dari permasalahan yang telah dikemukakan dalam skkripsi ini,
yaitu sebagai berikut:
1. Bentuk perlindungan konsumen atas pangan olahan impor yang tidak
memiliki izin edar melalui peraturan perundang-undangan:
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
c. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999
tentang Label dan Iklan Pangan.
f. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 12
Tahun 2016 tentang Pendaftaran Pangan Olahan.

Pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha sangat merugikan bagi


konsumen, karena telah menghiraukan hak konsumen dalam hal
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi produk
pangan, serta hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan produk pangan tersebut. Selain itu,
perbuatan pelaku usaha juga merugikan konsumen dari segi kesehatan,
dalam hal ini kesehatan konsumen terancam karena produk pangan impor
tersebut tidak memiliki izin edar dari pihak yang berwenang yakni Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia. Oleh karna itu
produk pangan impor tersebut tidak dapat dijamin mutu dan keamanannya.

2. Peran pemerintah dalam melindungi konsumen terhadap produk pangan


impor adalah mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia serta

64
65

melaksanakan penegakan hukum (law enforcement) atas peraturan


perundang-undangan yang berlaku. Bentuk perlindungan konsumen yang
diberikan pemerintah sebagai pengayom konsumen dan juga sebagai
pembina pelaku usaha adalah dengan mengeluarkan undang-undang,
peraturan-peraturan pemerintah, atau peraturan lain serta melakukan
pengawasan melalui instansi yang berwenang terkait peredaran pangan
impor. Penanganan atas laporan-laporan masyarakat selaku konsumen
diberikan respon yang baik dengan segara melakukan penggerebekan dan
penyelidikan terhadap importir PT Mustika Boga Foodnindo yang
menyimpan dan memperdagangkan produk pangan impor ilegal.
3. Setiap pelaku usaha yang mengedarkan atau memperdagangkan produk
impor yang tidak memenuhi persyaratan wajib mempertanggungjawabkan
perbuatannya, walaupun pelaku usaha tersebut bukanlah agen ataupun
perwakilan (importir) resmi dari produsen dinegara asal. Terhadap produk
impor yang tidak memiliki izin edar atau tidak memenuhi persyaratan yang
telah ditetapkan oleh peraturan yang berlaku maka produk impor tersebut
harus ditarik dari peredaran. Sedangkan terhadap pelaku usaha dapat
dibebankan tanggung jawab atas sanksi pidana berkenaan dengan
pelanggaran dalam melakukan praktek niaga, khususnya terkait dengan
ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
pada Pasal 19 ayat (4) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menyebutkan bahwa tanggung jawab pelaku usaha untuk pemberian ganti
rugi tersebut tidak menghilangkan tanggung jawab pidana berdasarkan
adanya bukti terhadap unsur kesalahan, selain tanggung jawab pidana
pelaku usaha juga harus bertanggung jawab melakukan penarikan barang
yang telah diedarkan dan penyitaan terhadap produk impor.

B. Rekomendasi
Adapun rekomendasi dari penulis sebagai berikut:
1. Perlu adanya pembinaan berupa pendidikan atau penyuluhan terhadap
konsumen agar konsumen lebih berhati-hati serta lebih bijaksana dalam
66

memilih produk pangan, terlebih produk pangan impor yang ingin


dikonsumsinya.
2. Instansi yang berwenang yaitu pemerintah dan Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) hendaknya lebih meningkatkan sosialisasi dan
pengawasan terhadap pelaku usaha dan pada daerah-daerah perbatasan
yang sering kali dilalui oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab
untuk menyelundupkan barang impor.
3. Selain itu perlu adanya penegakan hukum (law inforcement) yang lebih
baik dalam rangka perlindungan konsumen di bidang pangan, terlebih
terhadap pangan impor. Pemerintah dan pelaku usaha harus memberikan
informasi yang seluas-luasnya kepada semua pihak, terutama yang berada
didaerah perbatasan. Dan diharapkan kepada pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran diberikan sanksi yang tegas sehingga dapat
memberikan efek jera bagi pelaku usaha yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Kitab Suci

Al-Qur’anul Karim

Bahan Buku:

Ahmad, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, cet.1,
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Asyhadie, Zaeni, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia Edisi


Revisi cet.9, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016.

Barkatullah, Abdul Halim, Hak-hak Konsumen, Bandung: Nusa Media, 2010.

Dewata, Mukti Fajar Nur dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum
Normatif dan Empiris, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Hadjon, Philipus M., Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: PT


Bina Ilmu, 1987.

Kelsen, Hans, General Theory Of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara,
Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif
Empirik, Penerjemah Somardi, Jakarta: BEE Media Indonesia, 2013.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar


Grafika, 2011.

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana, 2012.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2014.

Miru, Ahmad dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada, 2010.

67
68

Nasution, Az., Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diatit


Media, 2007.

Nugroho, Susanti Adi, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari


Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta: Prenada Media
Group, 2015.

Nukilan, Widya, Metode Penelitian Hukum, cet.1, Jakarta: Tim Pengajar, 2005.

Purwandari, Siwi, Pengantar Teori Hukum, Bandung: Nusa Media, 2010.

Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000.

Saparinto, Cahyo dan Diana Hidayati, Bahan Tambahan Pangan, Jogjakarta:


Kanisius, 2006.

Sidabalok, Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: PT Citra


Aditya Bakti, 2006.

Sinamo, Nomensen, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Bumi Intitama Sejahtera,


2009.

Sutedi, Adrian, Tanggung Jawab Produk dalam Perlindungan Konsumen, Bogor:


Ghalia Indonesia, 2008.

Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,


2013.

Bahan Jurnal:

Christianto, Edward. “Faktor yang Mempengaruhi Volume Impor Beras di


Indonesia.” Jurnal Jibeka. Vol. 7, No.2, (2013).

Nurhayati, Irna. “Efektivitas Pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan


Terhadap Peredaran Produk Pangan Olahan Impor Dalam Mewujudkan
Perlindungan Konsumen.” Jurnal Mimbar Hukum. Vol. 21, No. 2, (2009).
Hal 203-408.
69

Rusli, Tami. “Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen”.


Dalam Jurnal Pranata Hukum. Vol. 7, No. 1, Januari 2012.

Rosaria. “Fungsi Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Dalam Produk
Kosmetik di Kota Samarinda.” eJournal Administrasi Negara. Vol. 4, No.2,
(2016).

Website:

Rosemrry Fatmawati “Pengawasan Produk Pangan Olahan Impor di Era Mea”,


http://registrasipangan.pom.go.id/subsite/subsitebackup/index.php/informa
si/view/45/pengawasan-produk-pangan-olahan-impor-di-era-mea.

Badan POM RI Temukan Gudang Pangan Impor Ilegal di Jakarta Utara,


http://www.pom.go.id/new/view/more/pers/392/SIARAN-PERS--BADAN-
POM-RI-TEMUKAN-GUDANG-PANGAN-IMPOR-ILEGAL-DI-
JAKARTA-UTARA.html.
http://www.pom.go.id/new/view/direct/background.
http://www.pom.go.id/new/view/direct/pdsispom.
http://www.pom.go.id/new/view/direct/kksispom.
http://ulpk.pom.go.id/ulpk/?page=profil&id=9.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/130212-T26751-Peranan%20BPOM-
Literatur.pdf.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
70

Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan
Makanan.

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 12 Tahun 2016
tentang Pendaftaran Pangan Olahan.

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 30 Tahun 2017
tenatng Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan Ke Dalam Wilayah
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai