Anda di halaman 1dari 131

ANALISIS KONTRAK PEMBUKAAN REKENING EFEK

SYARIAH DITINJAU DARI FATWA DSN MUI


(Studi Kasus: PT. Indo Premier Sekuritas)

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

SRIHANDAYANI MANGESTI RAHAYU

NIM: 11170490000027

Program Studi Hukum Ekonomi Syariah


Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
2021 M/1442 H
ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “ANALISIS KONTRAK PEMBUKAAN REKENING


EFEK SYARIAH DITINJAU DARI FATWA DSN MUI (Studi Kasus: PT. INDO
PREMIER SEKURITAS)” yang diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 28 Mei 2021. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada
Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 28 Mei 2021


Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Ahmad Tholabi Karlie, S.H., M.A., M.H.


NIP. 19760807 200312 1 001
Panitia Sidang
1. Ketua : A.M. Hasan Ali, M.A.
NIP. 19751201 200501 1 005 (........................)

2. Sekretaris : Dr. Abdurrauf, Lc., M.A.


NIP. 19731215 200501 1 002 (........................)

3. Pembimbing : Ir. Muh. Nadratuzzaman, MS., M.Sc., Ph.D.


NIP. 19610624 198512 1 001 (........................)

4. Penguji I : Dr. Abdurrauf, Lc., M.A.


NIP. 19731215 200501 1 002 (........................)

5. Penguji II : Moch. Bukhori Muslim, M.A.


NIP. 19760626 200901 1 013 (........................)

iii
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama Lengkap : Srhandayani Mangesti Rahayu
NIM 11170490000027
Fakultas : Syariah dan Hukum
Program Studi : Hukum Ekonomi Syariah

Dengan ini saya menyatakan bahwa:


1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata 1 di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan yang telah saya
cantumkan telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 28 Mei 2021

Srihandayani Mangesti Rahayu

iv
ABSTRAK

Srihandayani Mangesti Rahayu. NIM 11170490000027. ANALISIS KONTRAK


PEMBUKAAN REKENING EFEK SYARIAH DITINJAU DARI FATWA DSN
MUI (Studi Kasus: PT. INDO PREMIER SEKURITAS). Program Studi Hukum
Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2021 M.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesesuaian kontrak


pembukaan rekening efek syariah yang ditinjau dari Fatwa DSN MUI serta
peraturan perundang-undangan lainnya. Kemudian menganalisis bagaimana
perlindungan hukum bagi nasabah akibat adanya ketidakjelasan informasi dalam
kontrak. Dalam isi kontrak pembukaan rekening efek syariah milik PT. Indo
Premier Sekuritas tidak mencantumkan secara jelas besaran fee/ujrah yang wajib
dibayarkan oleh nasabah kepada perusahaan. Sehingga tidak relevan dengan
substansi Fatwa DSN MUI tentang Wakalah bil Ujrah yang menentukan bahwa
besaran kuantitas ujrah harus jelas dituliskan dalam kontrak.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan


metode penelitian hukum normatif-empiris. Menggunakan pendekatan peraturan
yang berlaku dan pendekatan studi kasus yang mana menggunakan teknik
pengumpulan data dengan melakukan kajian dengan cara studi pustaka dan studi
lapangan melalui wawancara yang dilakukan di PT. INDO PREMIER
SEKURITAS. Kemudian dipelajari dan dianalisis tentang mekanisme
perdagangan efek syariah pada proses pembukaan rekening efek syariah.

Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa masih ditemukan


pencantuman klausula-klausula yang belum sesuai dengan Fatwa DSN MUI serta
peraturan perundang-undangan lainnya. Adanya ketidak sempurnaan isi kontrak
dapat disebabakan karena belum adanya kebijakan mengenai pengawasan suatu
perusahaan sekuritas oleh pihak Dewan Pengawas Syariah (DPS).

Kata Kunci : Kontrak, Perusahaan Sekuritas, Fatwa DSN MUI, Ujrah


Dosen Pembimbing : Ir. Muh. Nadratuzzaman, MS., M.Sc., Ph.D.
Daftar Pustaka : Tahun 1976 s.d. Tahun 2020

v
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbilalamin, dengan menyebut nama Allah yang Maha


Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam.
Pertama-tama penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan dan melimpahkan segala karunia Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan dengan seizin Nya. Shalawat
serta Salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW beserta
sahabat dan keluarganya dan semoga dapat menjadi suri tauladan bagi kita semua
umat manusia dan semoga kita dapat mendapatkan syafa’atnya.

Skripsi yang berjudul “ANALISIS KONTRAK PEMBUKAAN


REKENING EFEK SYARIAH DITINJAU DARI FATWA DSN MUI
(STUDI KASUS PT. INDO PREMIER SEKURITAS)” merupakan hasil
coretan karya penulis yang diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mendapatkan gelar
Sarjana Hukum (S.H.).

Tak lepas dari proses penulisan skripsi ini, banyak peran dari berbagai
macam pihak yang turut serta membantu meringankan beban penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini. Rasa terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A, selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. A. M. Hasan Ali, M.A, selaku Ketua Program studi Hukum Ekonomi
Syariah dan Dr. Abdurrauf, M.A selaku Sekretaris Progam Studi Hukum
Ekonomi Syariah.
3. Dr. Hasanudin, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu
meluangkan waktunya untuk memberikan motivasi dan pengarahan selama
masa perkuliahan. Semoga Allah selalu memberikan kesehatan dan
keberkahan kepada bapak. Amiin
4. Ir. Muh Nadratuzzaman MS., M.Sc., Ph.D. selaku Dosen Pembimbing
Skripsi yang telah meluangkan waktu, fikiran dan tenaganya untuk sekedar

vi
memberikan pengarahan ketika penulis merasa kesulitan dalam penulisan
skripsi. Semoga Allah selalu memberikan kesehatan dan keberkahan
kepada bapak. Amiin
5. Indah Nurhabibah selaku Brand Manager IPOTSyariah, yang bersedia
untuk diwawancarai oleh penulis dan dan membantu memberikan data
yang diperlukan untuk keperluan penyelesaian skripsi.
6. Keluarga tersayang dan tercinta, Ayahanda Suparmin dan Ibunda Siti
Maryam, Maharani Wijayanti, Akbar Bagus Mukhlis Maulana, Bayu
Restu Saputra, yang tanpa lelah memberikan semangat dan motivasi, tanpa
pamrih mengasihi, tabah dalam menasehati dan selalu memberikan doa
yang tulus di setiap sujudnya tanpa mengharap suatu apapun kecuali
kesuksesan anak-anaknya. Semoga Allah SWT memberikan kesehatan dan
kesejahteraan di dunia dan Jannatul firdaus di akhirat kelak. Amin ya
mujibassaa’ilin
7. Senior Muhammad Zakiy, yang telah membantu dan memberikan
masukan serta doa dan dukungannya. Semoga Allah SWT senantiasa
memberikan kesehatan dan rezekinya. Amiin.
8. Kepada teman baik penulis Eka, Diana, Pradita, Dhia, Cindy, Aeni yang
senantiasa memberikan doa dan dukungan penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Serta teman-teman UNCH, teman-teman kosan
Doni, Rizki Fachrudin yang senantiasa memberikan motivasi dan
dukungan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi.
9. Kepada kakak-kakak baik penulis, Ocit, Hayyu, Bio, Abdal, Bangkems,
yang selalu memberikan bantuan, motivasi, dan doa kepada penulis dalam
penyusunan skripsi, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi dengan
baik.
10. Keluarga besar prodi Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2017 yang telah
memberikan banyak kenangan dan pembelajaran selama masa perkuliahan.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kemudahan dan menjadikan
keluarga besar Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2017 menjadi orang-
orang yang sukses. Amiin.

vii
11. Keluarga Besar Muamalat (KBM) PMII, Keluarga Besar PMII
Komfaksyahum Cabang Ciputat, Kopri Komfaksyahum, Galeri Investasi
Bursa Efek Indonesia, Sharia Business Intelligence, C.O.I.N.S, yang telah
memberikan banyak ilmu dalam diskusi-diskusi, dan kematangan dalam
berorganisasi.
12. Seluruh pihak terkait lainnya yang telah berperan membantu selama
penyelesaian skripsi ini.

Terima kasih atas semua dukungan yang telah diberikan oleh orang-orang
yang telah hadir di dalam kehidupan penulis, yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu. Semoga semua dukungan dan kebaikan yang telah kalian berikan
mendapat balasan yang mulia dari Allah SWT dan kita semua selalu berada
dalam lindungan-Nya serta dipermudah segala urusan di dunia maupun di
akhirat. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan
masih jauh dari kata sempurna, namun semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Semoga
kita semua selalu berada dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Ya Rabbal
Aalamiin.

Jakarta, 28 Mei 2021

Srihandayani Mangesti Rahayu

viii
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv

ABSTRAK.......................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi

DAFTAR ISI ...................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 3

A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 3

B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 7

C. Batasan Masalah .................................................................................. 7

D. Rumusan Masalah ............................................................................... 8

E. Tujuan Penelitian ................................................................................ 8

F. Manfaat Penelitian............................................................................... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA .......................................................................... 10

A. Kajian Teori ....................................................................................... 10

B. Manfaat Penelitian............................................................................. 62

BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 70

A. Jenis Penelitian .................................................................................. 70

B. Pendekatan Penelitian ....................................................................... 70

C. Sumber Data ...................................................................................... 71

D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 72

ix
E. Metode Analisis Data ......................................................................... 73

F. Sistematika Penulisan ........................................................................ 73

G. Kerangka Konseptual ........................................................................ 75

BAB IV ANALISIS KESESUAIAN KONTRAK TERHADAP FATWA DSN


MUI DAN UNDANG-UNDANG ..................................................................... 76

A. Analisis Kontrak Menurut Fatwa DSN MUI.................................... 76

B. Analisis Kontrak Menurut UUPK dan POJK .................................. 90

C. Perlindungan Hukum Nasabah terhadap Ketidakjelasan dalam


Kontrak Perjanjian .............................................................................. 97

BAB V PENUTUP ......................................................................................... 101

A. Kesimpulan ...................................................................................... 101

B. Saran ................................................................................................ 102

Daftar Pustaka ............................................................................................... 103

Lampiran........................................................................................................ 109

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini perkembangan pasar modal syariah di Indonesia sangat besar,


banyak investor yang memilih untuk menginvestasikan uangnya di pasar modal
syariah, sehubungan dengan data sampai tahun 2019, investor syariah tumbuh
54%, dan terdapat penambahan 24.063 investor baru di tahun yang sama. 1 Hal ini
menunjukkan bahwa eksistensi pasar modal syariah di Indonesia sangat begitu
baik.

Sejalan dengan perkembangan jumlah seluruh investor Pasar Modal di


Indonesia yang tercatat dalam data Kustodian Sentral Efek Indonesia mengalami
peningkatan yang signifikan, yang mana data berikut terhitung per Juli tahun 2020
yang mengalami kenaikan 21.66%, akhirnya menghasilkan jumlah data sebesar
23,022,366 investor.

Kembali pada konteks Pasar Modal Syariah, pada prinsipnya haruslah bebas
dari transaksi riba, gharar, maisir, dan transaksi dilarang lainnya. Maka dari itu
dibuatlah regulasi terkait pasar modal syariah dalam bentuk Fatwa dan juga
peraturan perundang-undangan lainnya.

1
Irwan Abdalloh, “The Best Islamic Market 2019” Makalah Seminar Sharia Capital Outlook
2020, 22 Februari 2020

1
Prinsipnya pasar modal syariah haruslah bebas dari transaksi riba, gharar,
maisir, dan transaksi dilarang lainnya. Maka dari itu dibuatlah regulasi terkait
pasar modal syariah dalam bentuk Fatwa DSN-MUI No: 40/DSN-MUI/X/2003
tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang
Pasar Modal dan Fatwa DSN-MUI No. 80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan
Prinsip Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar
Reguler Bursa Efek.

Aturan lainnya mengenai efek pasar modal juga tercatat pada aturan umum
pasar modal syariah yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995
tentang Pasar Modal (UU 8/1995). Semangat yang terkandung dalam UU 8/1995
adalah perlindungan investor dan masyarakat melalui penyelenggaraan
perdagangan efek yang teratur, wajar dan efisien. Perlindungan terhadap investor
dan masyarakat antara lain dilakukan melalui kepastian hukum dan penegakan
hukum, pengawasan pasar, keterbukaan informasi, sistem dan biaya perdagangan
yang efisien, kejelasan mekanisme dan produk perdagangan, dan yang tidak kalah
pentingnya adalah penyempurnaan kelembagaan dari regulator, pelaku dan
penunjang pasar modal.

Pada praktik dalam berinvestasi, untuk menjamin kepastian dan


perlindungan hukum, maka perlu adanya suatu perjanjian Menurut pasal 1313
KUH perdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dalam
menunjang efektivitas operasional dan melindungi kepentingan pihak bank,
yang dalam hal ini menjalankan fungsinya sebagai penyalur dana bagi
masyarakat, bank syariah menggunakan perjanjian baku dalam menjalankan
kegiatannya dalam menyalurkan dana tersebut.

Sebelum melakukan investasi, langkah awal yang harus ditempuh oleh


calon investor adalah pembukaan rekening efek syariah yang dilaksanakan
melalui suatu perusahaan efek. Perusahaan efek yang berperan sebagai perantara
juga wakil investor dalam tujuan melaksanakan investasi, memberikan pelayanan
langkah awal berupa pembukaan rekening efek syariah bagi calon investor.

2
Dalam pelaksanaan pembukaan rekening efek syariah tersebut, nasabah
diwajibkan untuk mengisi formulir pembukaan rekening efek syariah dalam
bentuk kontrak perjanjian yang telah disediakan oleh perusahaan efek tersebut.
Kontrak perjanjian adalah salah satu proses yang sederhana apalagi jika kontrak
tersebut telah berbentuk formulir, maka nasabah atau dalam hal ini disebut calon
investor tidak perlu berunding menetukan apa yang harus dituangkan dalam
kontrak perjanjian tersebut. Selain itu tidak perlu menghubungi notaris atau hal
rumit lainnya mengenai kontrak perjanjian. Pada umumnya, calon investor hanya
perlu mengisi data dan tandatangan diatas materai, kemudian perjanjian telah
selesai dilaksanakan.

Bentuk kontrak perjanjian yang saat ini marak dilakukan oleh perusahaan
penyedia layanan jasa dalam hal ini adalah perusahaan efek adalah kontrak
perjanjian yang didalamnya berupa klausul baku atau yang biasa disebut dengan
kontrak baku. Hal ini dikarenakan dengan semakin banyaknya pilihan jenis efek
serta jumlah masyarakat yang ingin menjadi investor semakin meningkat, maka
kontrak perjanjian dalam penerapannya dibuat dalam bentuk yang memudahkan
para pihak. Meskipun produk yang beraneka ragam, jumlah investor yang banyak
dapat membuat kesepakatan yang lengkap dalam waktu yang singkat.2

Dalam perjanjian baku dianggap tidak ada keadilan karena


perjanjian baku hanya memihak salah satu pihak saja. Draft perjanjian telah
disiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak karena ingin melindungi
kemungkinan terjadinya kerugian pada pihaknya. Sementara, pihak lainnya
hanya dihadapkan pada pilihan untuk menerima atau menolak perjanjian
tersebut atau “take it or leave it contract”.3 Perjanjian ini tidak
mengandung unsur kesepakatan karena pihak lainnya, yaitu nasabah mau tidak
mau harus menerima setiap klausul yang terdapat pada draft perjanjian. Disini lah
letak ketidak adilan dari perjanjian baku.

2
Novita Ratna Deviani, Analisi Yuridis Kontrak Baku Pembukaan Rekening PT. Danareksa
Sekuritas Berdasarkan Asan-Asas Hukum Perjanjian dan Pasal 18 ayat (1) UUPK, Artikel Ilmiah,
Universitas Brawijaya:2012
3
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Bandung: Intermasa, 1987), hal 19-20.

3
Seiring maraknya kontrak baku yang dipergunakan dalam transaksi bsinis
tentu menimbulkan pro dan kontra antara pakar hukum. Bagi yang kontra,
beberapa pakar hukum menolak kehadiran kontrak baku karena hal tersebut
dianggap sebagai paksaan dan Negara-negara common law system menerapkan
doktrin unconscionability dimana memebrikan wewenang kepada perjanjain demi
menghindari hal-hal yang dirasa bertentangan dengan haati nurani. Perjanjian
baku dianggap meniadakan keadilan, karena dalam perjanjian aku hanya salah
satu pihak yang membuat isi perjanjian, sedangkan pihak lain hanya dapat
menerima atau menolak isi perjanjian.4

Kontrak baku menjadi pilihan utama para pengusaha demi efisiensi


dan efektifitas dalam menjalankan usahanya. Walaupun demikian kontrak baku
tetap menjadi perdebatan kebolehannya. Sluijter mengatakan bahwa perjanjian
baku bukan merupakan perjanjian akan tetapi hanya sebatas undang-undang
swasta (legio particuliere wetgever). Pittlo menggolongkan perjanjian baku
sebagai perjanjian paksa (dwang contract).5

Bentuk kontrak perjanjian yang saat ini umum dilakukan oleh perusahaan
penyedia layanan jasa dalam hal ini adalah perusahaan efek adalah kontrak
perjanjian yang didalamnya berupa klausul baku atau yang biasa disebut dengan
kontrak baku. Dikaitkan dengan kontrak baku yang sangat praktis kedalam dunia
pasar modal yang serba canggih, terutama saat masyarakat mencoba memasuki
dunia pasar modal mealui kontrak pembukaan rekening di sekuritas adalah hal
yang menarik untuk diulas. Peneliti akan melakukan penelitian pada kontrak baku
pembukaan rekening efek reguler syariah PT. Indo Premier Sekuritas. Kontrak
tersebut telah disediakan oleh sekuritas untuk diisi dan ditandatangin oleh
nasabah/calon investor. Peneliti akan meneliti isi kontrak baku tersebut dengan
menganalisis menggunakan Fatwa DSN MUI.

4
Abdul Karim Munthe, Skripsi: Kontrak Baku Asuransi Syariah dalam Prespektif
Hukum,(Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2014) hal 4
5
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2004), hal 117

4
Dalam kontrak baku tersebut, nasabah/calon investor memberikan kuasa
kepada perseroan dalam hal ini adalah sekuritas untuk melaksanakan segala
kepentingan yang mestinya dilakukan oleh nasabah. Contoh hal dikuasakan oleh
sekuritas adalah mengenai transaksi efek, penyimpanan efek, dan
pengadministrasian efek dalam penitipan kolektif pada Lembaga Penyimpan dan
Penyelesaian (LPP). Jika dikomparasikan dengan Fatwa DSN-MUI, akad
memberikan kuasa kepada pihak lain adalah akad Wakalah bil Ujrah. Jika dilihat
dari tugas perusahaan efek sebagai perantara antara investor dengan BEI, dapat
pula dikategorikan berdasarkan seusai fatwa DSN-MUI No. 93/DSN-
MUI/IV/2014 tentang Keperantaraan (wasathah) dalam bisnis properti. Namun
dalam hal ini penulis lebih terfokus pada Fatwa Akad Wakalah bil Ujrah.

Baik dalam ketentuan akad Wakalah bil Ujrah pada Fatwa DSN MUI No
113/DSN-MUI/IX/2017 maupun ketentuan dalam akad Wasathah (Keperantaraan)
pada fatwa DSN-MUI No. 93/DSN-MUI/IV/2014, ketentuan terkait ujrah (fee)
yang harus dibayar oleh nasabah, kuantitas dan/atau kualitas ujrah harus jelas,
baik berupa angka nominal, prosentase tertentu, atau rumus yang disepakati dan
diketahui oleh para pihak yang melakukan akad.6

Selain kontrak pembukaan rekening efek reguler syariah PT. Indo Premier
Sekuritas tersebut telah dibakukan, terdapat pula klausul yang kurang sesuai
dengan ketentuan akad yang ada di Fatwa DSN-MUI tersebut. Peneliti melihat
tidak ada kejelasan informasi terkait berapa besar nominal dan/atau berapa besar
prosentase ujrah yang harus dibayarkan oleh nasabah kepada sekuritas selaku
wakil nasabah.

Adanya ketidakjelasan informasi, akan menimbulkan risiko kerugian bagi


nasabah, karena sejak awal perjanjian tidak dicantumkan berapa besar ujrah yang
diwajibkan kepada nasabah/calon investor. Hal ini dikarenakan, besar nilai
fee/ujrah ini akan mempengaruhi nilai transaksi efek syariah baik berupa transaksi
pembelian atau penjualan efek syariah.

6
Lihat Fatwa DSN MUI No 113/DSN-MUI/IX/ 2017 tentang Wakalah bil Ujrah

5
Selain adanya ketidakjelasan infromasi mengenai ujrah/fee, dalam kontrak
tersebut perusahaan tidak menyatakan secara jelas tentang kewajibannya
mengenai tanggung jawab atas segala kerugian atau wanprestasi yang dilakukan
oleh perusahaan akibat kelalaian pihak perusahaan. Hal ini merupakan hal yang
penting bagi nasabah guna perlindungan dalam perjanjian kontrak tertulis.

Kemudian ada bentuk tulisan dalam klausul kontrak yang sulit dipahami
baik menurut nasabah ataupun dalam susunan tata bahasa. Penggunaan kata dan
pengulangan kata yang mengakibatkan memiliki makna ganda dan sulit
dimengerti bagi pihak yang memiliki posisi lemah yakni pihak yang tidak secara
langsung menulis klausul kontrak. Dalam ketentuan UUPK ataupun POJK secara
jelas melarang adanya penyantuman klausul yang sulit dipahami.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Pasal 5


huruf c kewajiban nasabah adalah membayar sesuai dengan nilai tukar yang
disepakati. Kemudian pada Pasal 7 huruf b kewajiban pelaku usaha adalah
memberikan informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan.7 Dapat disimpulkan bahwa menyangkut kontrak baku juga harus
adanya kejelasan informasi sebagaimana yang telah tercantum dalam udang-
undang tersebut.

Sebelum melakukan penelitian ini, ada penelitian sejenis yang membahas


penelitian serupa diantaranya penelitian Abdul Karim Munthe (2014), dalam
penelitian tersebut dijelaskan menurut hukum Islam penggunaan kontrak baku
tidak dilarang sebagaimana halnya juga dalam peraturan perundang-undangan
tidak melarang menggunakan kontrak baku. Menurut peraturan perundang-
undangan kontrak baku dapat digunakan selama tidak melanggar UUPK dan
dalam persfektif hukum Islam kontrak baku harus mencantumkan hal-hal
yang telah difatwakan oleh DSN-MUI.8

7
Lihat UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
8
Abdul Karim Munthe, Skripsi: Kontrak Baku Asuransi Syariah dalam Prespektif
Hukum,(Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2014)

6
Selanjutnya penelitian Trisadini Prasastinah Usanti (2013), menjelaskan
dalam hukum kontrak syariah sangat menekankaan adanya prinsip kejujuran yang
hakiki, karena hanya dengan prinsip kejujuran itulah keridhan dari para pihak
yang membuat perjanjian dapat terwujud.9 Lalu, penelitian yang dilakukan oleh
Dwi Fidayanti (2014) menunjukkan perjanjian baku yang dapat memenuhi prinsip
syariah, maka perjanjian tersebut dapat berlaku mengikat bagi para pihak dan
perjanjian tersebut dapat dijadikan bukti untuk para pihak memenuhi prestasi.
Artinya perjanjian tersebut sah di mata hukum karena di dalamnya tidak
mengandung sesuatu yang dilarang10.

Berdasarkan data dan keterangan diatas, penulis terdorong untuk melalukan


penelitian mengenai “Analisis Kontrak Pembukaan Rekening Efek Syariah
ditinjau dari Fatwa DSN-MUI (Studi Kasus PT. Indo Premier Sekuritas)”. Pada
penelitian ini penulis akan melakukan penelitian yang berbeda dengan penelitian-
penlitian sebelumnya, dimana penulis menggunakan objek penelitian berupa
kontrak baku pembukaann rekening efek syariah, yang dimana penelitian
sebelumnya lebih banyak menggunakan objek formulir akad pembiayaan pada
perbankan syariah dan pembukaan rekening efek secara konvensional.

B. Indentifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang


ditimbulkan adalah sebagai berikut:

1. Tidak ada kejelasan informasi kewajiban nasabah terkait ujrah (fee)


yang harus dibayarkan atau ditanggung oleh nasabah di dalam kontrak
baku pembukaan rekening efek syariah.
2. Adanya risiko kerugian yang timbul bagi nasabah dikarenakan
informasi yang tidak jelas di dalam kontrak .

9
T. Usanti, “Akad Baku Pada Pembiayaan Murabahah di Bank Syariah”, Vol XVIII No. 1 Tahun
2012
10
D. Fidhayanti, “Perjanjian Baku Menurut Prinsip Syariah”, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol 6
No. 2, Desember 2014

7
3. Perlu adanya penyempurnaan kembali dalam naskah kontrak baku
demi terpenuhinya asas-asas kontrak perjanjian serta kesesuaian pada
ketentuan akad perjanjian berdasarkan Fatwa DSN MUI.

C. Batasan Masalah

Untuk menghindari meluasnya permasaslah yang akan dibahas pada


penelitian ini maka penulis membatasi masalah yang diteliti hanya terfokus pada
kontrak baku pembukaan rekening efek syariah dalam tinjauan Fatwa DSN MUI,
UU PK, dan peraturan perundang-undangan lainnya.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas penulis merumuskan masalah yang akan


diteliti. Bahwa, penerapan kontrak baku pembukaan rekening efek syariah masih
ada yang tidak sesuai dengan ketentuan fatwa DSN-MUI dan UUPK. Untuk
mempermudah menjawab rumusan masalah tersebut, penulis merumuskan
masalah sebagai berikut;

a. Apakah kontrak baku pembukaan rekening efek syariah PT. Indo


Premier Sekuritas telah sesuai dengan fatwa DSN-MUI, dan peraturan
perundang-undangan lainnya?
b. Bagaimana perlindungan nasabah terkait ketidakjelasan informasi pada
kontrak perjanjian menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen?

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis kesesuaian kontrak baku pembukaan rekening efek


syariah ditinjau dari Fatwa DSN MUI, dan Peraturan perundang-undangan
lainnya.
2. Untuk menganalisis bagaimana perlindungan nasabah terkait
ketidakjelasan informasi pada kontrak perjanjian menurut Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

8
F. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber rujukan
ilmiah yang memberikan informasi kepada masyarakat meupun akademisi
terkait pelaksanaan kontrak baku pembukaan rekening efek syariah.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan rekomendasi
kepada pengambil kebijakan di PT.Indo Premier Sekuritas untuk dapat
menyempurnakan kembali atau memperbaharui kontrak baku pembukaan
rekening efek syariah.

9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Kontrak (Perjanjian)
a. Definisi Kontrak (Perjanjian)
Definisi kontrak tidak dapat ditemukan dalam kitab
perundang-undangan. Namun, dalam kitab KHUPerdata Pasal
1313 menjelaskan terkait definisi perjanjian. Yang mana berbunyi:
Suatu perbuatan dengan mana suatu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Pada dasarnya, perngaturan mengenai perjanjian dalam
Buku III KUHPerdata mencakup:
1) Ketentuan umum (Pasal 1313-1319)
2) Syarat sah perjanjian (pasal 1320-1337)
3) Akibat Perjanjian (Pasal 1338-1341)
4) Penafsiran perjanjian (Pasal 1342-1351)
Definisi perjanjian dalam kitab KUHPerdata tersebut
mengalami beberapa kritikan dari para ahli. Diantaranya adalah
kritikan oleh Subekti. Menurut Subekti, definisi tersebut seolah-
olah mendefinisikan perjanjian sebagai perbuatan sepihak padahal
secara umum perjanjian merupakan perbuatan timbale balik dari
para pihakn yang mengikatkan diri didalamnya.
Selanjutnya menurut Abdulkadir Muhammad dalam
Ilhamdi juga berpendapat definisi tersebut sangat umum sehingga
tidak bisa menggambarkan esensi yang sebenarnya. Kelemahan
yang ada pada definisi tersebut adalah sifatnya yang sepihak, tidak
menyebut tujuan, tetapi juga tidak memberi batasan pada kata
“perbuatan” yang tentunya sangat luas pemahamannya. (Ilhamdi,
2014).

10
Beberapa doktrin dapat diajukan sebagai acuan untuk
mengisi kekurangan dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut.
Black’s Law Dictionary mendefinisikan kontrak sebagai:
An agreement between two or more persons which creates
an obligation to do or not do a particular thing.
Dalam buku milik Setiawan Rahmat, kontrak yang dimaksud dalam
hal ini adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih yang
menciptakan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Dengan demikian secara jelas dapat dikatakan bahwa
persetujuan adalah bagian dari kontrak, karena selain persetujuan
masih ada unsur-unsur lain untuk sahnya suatu kontrak.11
M. Natsir Asnawi dalam artikelnya menyebutkan istilah
kontrak atau perikatan (overenkomst) sering dipadankan dengan
perjanjian (verbintenissen). Sekalipun memiliki perbedaan dalam
sisi makna etimologis, namun dalam tataran operasional, ketika
menyebut perjanjian maka konotasinya adalah kontrak atau
perikatan.12
Kemudian dalam artikel Natzir Asnawi menyebutkan
perjanjian menurut Riduan Syahrani adalah hubungan hukum
antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan dimana salah
satu pihak bertindak sebagai kreditur yang berhak atas prestasi
(kewajiban) tertentu dan pihak lain sebagai debitur berkewajiban
memenuhi prestasi tersebut.
Selanjutnya Natzir Asnawi menyebutkan dalam artikelnya
perjanjian menurut M. Yahya Harahap mendefinisikan perjanjian
sebagai suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara
dua orang (pihak) atau lebih yang memberi kekuatan hak pada
suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan
pihak lain untuk menunaikan prestasi tersebut. Definisi tersebut
11
Rahmat, Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Jakarta: Bina Cipta, 1987), hal 49
M. Natsir Asnawi, “Perlindungan Hukum Kontrak Dalam Prespektif Kontrak Kontemporer”,
12

Masalah-Masalah Hukum, Jilid 46, 1 (Januari 2017), hal 56

11
menggambarkan bahwa dalam suatu perjanjian ada beberapa
unsure membangunnya, yaitu hubungan hukum, hak, dan
kewajiban (prestasi).
M. Natsir menyebutkan menurut Yahya Harahap hubungan
hukum yang lahir dari suaru perjanjian adalah hubungan hukum
yang dikehendaki. Adanya hubungan hukum tersebut didahului
dengan suatu tindakan hukum (rechtschandeling). Hubungan
hukum dalam perjanjian adalah hubungan timbale balik antara hak
dan kewajiban pada masing-masing pihak. M. Natsir menyebut
sebagai hubungan resiprokal dalam perjanjian, hak pada salah satu
pihak menjadi kewajiban pada pihak lainnya, vice versa.13
Berdasarkan pengertian/definisi di atas pada umumnya
kontrak (perjanjian) tidak diisyaratkan adanya suatu bentuk
tertentu, melainkan dapat dibuat secara lisan maupun tulisan.
b. Asas-Asas Kontrak (Perjanjian)
Dalam suatu kontrak (perjanjian) memiliki beberapa asas
yang dapat dijadikan sebagai landasan suatu perjanjian. Asas-asas
ini dapat menjadi perdoman bagi seluruh pihak yang berkontrak
dan memiliki kekuatan yang mengikat bagi seluruh pihak yang
membuat perjanjian. Berikut asas-asas perjanjian menurut yang
telah ditetapkan dalam KUHPerdata. Asas-asas perjanjian tersebut
yaitu:
1) Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)
Asas kebebasan berkontrak terletak pada periode pra
kontraktual, sehingga lahir kontrak yang disepakati dengan
adanya janji kemauan yang timbul bagi para pihak untuk
saling berprestasi dan ada kemuan untuk saling mengikatkan
diri.14

13
M. Natsir Asnawi, hal 57
14
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Prespektif Perbandingan (FH UII Press
2018), hal 87

12
Kebebasaan berkontrak dapat dimaknai positif sebagai
kebebasan untuk membuat kontrak yang mengikat dan
mencerminkan kehendak bebas para pihak. Sedangkan
kebebasan berkontrak dalam arti negative bermakna bahwa
para pihak bebas dari suatu kewajiban sepanjang kontrak
tersebut tidak mengaturnya.
Asas kebebasan berkontrak ini mengatur ketentuan bahwa
pada dasarnya para pihak dapat membuat perjanjian atau
kesepakatan yang melahirkan kewajiban apa saja sepanjang
prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang
terlarang.
Ketentuan pada Pasal 1337 menyebutkan “Suatu sebab
adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau
apabila belawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban
umum”. Ketentuan tersebut memberikan gambaran bahwa
pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan
diselenggarakan oleh setiap orang. Perjanjian yang dilarang
adalah perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban
pada salah satu pihak yang melanggar undang-undang atau
kesusilaan.
2) Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Pacta sunt servanda berasal dari bahasa latin yang berarti
“janji harus ditepati”. Pacta sunt servanda merupakan asas
atau prinsip dasar dalam sistem hukum civil law, yang dalam
perkembangannya diadopsi ke dalam hukum internasional.
Pada dasarnya asas ini berkaitan dengan kontrak yang
dilakukan diantara para individu.15
Aziz T. Saliba menyatakan bahwa asas Pacta Sunt
Servanda merupakan sakralisasi atau suatu perjanjian

15
Harry Purwanto, “Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Internasional”,
Mimbar Hukum, Vol. 21, No. 1, (Februari 2009), hal 162

13
(sancity of contract). Titik fokus dari hukum perjanjian
adalah kebebasan berkontrak atau yang dikenal dengan
prinsip otonomi, yang berarti bahwa dengan memperhatikan
batas hukum yang tepat orang dapat mengadakan perjanjian
apa saja sesuai dengan kehendaknya, dan apabila mereka
telah memutuskan untuk membuat perjanajian, mereka terikat
dengan perjanjian tersebut.16
Asas ini diatur dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang
menyatakan bahwa, “Semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Berdasakan ketentuan tersebut, maka dapat
dipahami bahwa perjanjian yang telah dibuat secara sadar
berdasar atas kesepakatan masing-masing pihak merupakan
undang-undang (peraturan) yang mengikat masing-masing
pihak yang membuat perjanjian tersebut.17
3) Asas Konsensualisme
Konsensualisme atau konsensualitas merupakan salah satu
asas penting dalam hukum perjanjian. Asas konsensualitas
menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat antara dua
atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah
orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau konsensus,
meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan
semata-mata.18
Substansi asas konsensualitas ini pada dasarnya suatu
perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua pihak atau
lebih telah mengikat dank arena itu melahirkan kewajiban
bagi salah satu pihak atau lebih dalam perjanjian tersebut

16
Harry Purwanto, “Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Internasional” hal
162
17
M. Natsir Asnawi, hal 58
18
Dhira Utari Umar, “Penerapan Asas Konsensualisme Dalam Perjanjian Jual Beli menurut
Perspektif Hukum Perdata”, Lex Privatum, Vol. VIII, 1, (Maret 2020), hal 39

14
setelah para pihak mencapai kesepakatan. Berdasar asas ini,
perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi
para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas.
4) Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian ini tercantum dalam Pasal 1340
KUHPerdata yang berbunyi: Suatu perjanjain hanya berlaku
antara pihak-pihak yang membuatnya. Syatu perjanjian
dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tak dapat
pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya selain
dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317”19
Asas kepribadian ini juga dapat ditemukan dalam ketentuan
pasal 1315 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: Pada
umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama
sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk
dirinya sendiri.
Berdasarkan rumusan tersebut, dapat diketahui bahwa pada
dasarnya perjanjian yang idbuat oleh seseorang sebagai
subjek hukum hanya berlaku untuk dirinya sendiri. Secara
spesifik, ketentuan tersebut menunjuk pada kewenangan
bertindak sebagai individu pribadi untuk bertindak atas
namanya sendiri.
c. Syarat Sah Kontrak Perjanjian
Dalam suatu perjanjian harus memiliki ketentuan berupa
syarat sah-nya dalam suatu kontrak perjanjian, agar tidak timbul
permasalahan dikemudian hari setelah perjanjian telah disepakati.
Dalam pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya 4
(empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yakni: pertama, adanya
kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri; kedua, kecakapan

19
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: Burgerlijk Wetboek,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), Pasal 1340 Ayat (1)

15
para pihak untuk membuat suatu perikatan; ketiga, suatu hal
tertentu; dan keempat, sutu sebab (causa) yang halal.
Mengenai syarat kata sepakat dan kecakapan tertentu
dinamakan sebagai syarat-syarat subjektif, karena kedua syarat
tertentu mengenai subjeknya yang mengadakan kontrak
(perjanjian). Sedangkan syarat mengenai suatu hal tertentu dan
suatu sebab yang halal dinamakan sebagai syarat-srayat objektif,
dikarenakan kedua syarat tersebut isinya mengenai objek perjanjian
dari perbuatan hukum yang dilakukan.
Kata sepakat dalam sebuah perjanjian papda dasarnya
adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak
dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memtikan persetujuannya
atau kesepakatannya (Toestemming) jika ia memang menghendaki
apa yang disepakati.
Pada akhrinya kata sepakat adalah pertemuan atau
persesuaian kehendak baik antara para pihak di dalam perjanjian
berupa Niat baik (itikad baik) para pihak dan harus bertujuan untuk
menciptakan adanya akibat hukum.20 J. Satrio dalam bukunya
Hukum Perikatan merumuskan itikad baik secara tersirat dalam
perjanjian sebaga “Seseorang dikatakan memberikan
persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki
apa yang disepakati.”21
Terkait syarat sah kontrak yang harus dipenuhi bahwa yang
mengadakan haruslah cakap hukum. Dimana, setiap orang yang
sudah dewasa atau akil aliq dan memiliki pikiran yang sehat. Dan
mampu melaksanakan kontrak tersebut dengan baik.
Berdasarkan kitab KUHPerdata, seseorang dapat dikatakan
sudah dewasa adalah saat berusia 21 tahun bagi laki-laki dan 19

20
Siti Nurwullan, dkk, “Aspek Normatif Asas Konsensualisme dalam Penambahan Klausula
Kontrak tanpa Persetujuan Para Pihak”, Rechtregel, Vol. 2, 1, (Agustus,2019), hal 498
21
J. Satrio, Hukum Perikatan:Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Aditya Bhakti: Bandung,
1995), hal 76

16
tahun bagi wanita. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 16
Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, kematangan dan kedewasaan seseorang
adalah pada usia 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Dalam pasal 1330 KUHPerdata mengelompokkan orang
yang tergolong tidak cakap hukum atau dapat dikatakan tidak
masuk syarat sah dalam berkontrak. Orang-orang yang masuk
dalam kelompok ini menurut pasal 1330 KUHPerdata yaitu:
1) Anak yang belum dewasa;
2) Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan; dan
3) Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang
ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua
orang yang oleh undang-undang dilarang untuk
membuat persetujuan tertentu. Namun, dengan dasar
SEMA No. 3/1963 jo. Pasal 31 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan, maka perempuan
yang masih terikat dalam perkawinan sudah cakap
melakukan perbuatan hukum sendiri dikarenakan sudah
tidak ada perbedaan lagi antara perempuan dan laki-laki
dalam melakukan perbuatan hukum perdata;
4) Orang-orang yang dilarang oleh undang-undang untuk
melakukan perbuatan tertentu.
Mengenai syarat sah kontrak atas suatu hal tertentu, artinya
apa yang telah diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah suatu
hal yang jelas. Syarat ini perlu untuk dapat menetapkan kewajiban
pada salah satu pihak jika terjadi sebuah perselisihan/sengketa.
Kemudian terkait syarat yang mengharuskan adanya suatu
sebab yang halal, menurut pasal 1335 KUHPerdata, suatu
perjanjian todak memakai suatu sebab (causa) yang halal atau
idbuat dengan causa yang palsu atau terlarang, tidak mempunya
kekuatan hukum. Adapun causa yang tidak diperbolehkan ialah

17
causa yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan
ketertiban umum.
Apabila, ada suatu hal tidak dipenuhinya syarat sah kontrak
yang bersifat objektif, maka kontrak perjanjian itu batal demi
hukum. Artinya perjanjian yang sudah disusun sedemikian rupa
menjadi gagal dan dianggap tidak pernah dibuat.
Sedangkan dalam hal tidak dipenuhinya syarat sah kontrak
yang bersifat subjekti, maka kontrak perjanjian itu dapat
dibatalkan. Artinya, salah satu pihak dapat mengajukan upaya
untuk pembatalan kontrak perjanjian.
Kemudian dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata menegaskan bahwa “Semua persetujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Jadi pada dasarnya suatu kontrak berlaku bagi
mereka yang menyusun kontrak tersebut, namun tetap harus sesuai
dengan norma hukum yang berlaku.
Kemudian apabila dilihat dari syarat yang wajib terpenuhi
dalam asas kebebasan berkontrak yang diatur pada pasal 1338 ayat
(3) KUHPerdata adalah itikad baik dalam para pihak tersebut.
Itikad baik ini harus didasari oeh kepatutan yang tunduk sesuai
pada perjanjian, serta juga menjalankan semua pelaksanaan yang
sudah dibuat oleh para pihak. Asas ini mengandung pengertian
bahwa kebebasan dengan itikad baik memberikan batasan untuk
melakukan sehendak dan semaunya oleh para pihak sehingga para
pihak perlu mengutamakan itikat baik tersbut.22
Mengenai hal-hal yang penting dicantumkan dalam
perjanjian, menurut Advokat Brigitta Imam Rahayoe, poin-poin
yang pada umumnya ada dalam suatu perjanjian antara lain
meliputi (namun tidak terbatas pada): 1) Para pihak, 2)

22
I Gst Agung Rio Diputra, “Pelaksanaan Perancangan Kontrak dalam Pembuatan Struktur
Kontrak Bisnis”, Acta Comitas, Vol. 3, 3, (Desember 2018), hal 552

18
Pendahuluan, 3) Definisi, 4) Pernyataan dan Jaminan, 5) Isi
Kontrak, 6) Harga, 7) Ketentuan Pembayaran, 8) Metode
Pembayaran, 9) Kewajiban pembayaran, 10) Waktu, 11)
Penyerahan, 12) Hak/title, 13) Tanggung Jawab, 14) Ganti Rugi,
15) Perpajakan, 16) Keadaan Memaksa/kahar/force majeur, 17)
Jangka Waktu Berlakunya Perjanjian.23

d. Perselisihan (Dispute) dalam Kontrak Perjanjian


1) Wanprestasi
Wanprestasi adalah kelalaian pihak atau salah satu pihak
untuk menjalankan kewajiban-kewajibannya (prestasi) seperti
yang tertuang dalam butir-butir perjanjian yang telah
disepakati. Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana pihak-
pihak atau salah satu pihak tidak memenuhi prestasi
sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian.
Kelalaian atau tidak dipenuhinya suatu kewajiban dimaksud
merupakan condition sine qua non bagi diskualifikasinya satu
pihak melakukan wanprestasi. Sebagaimana pasal 1234
KUHPerdata menyatakan: Perikatan ditujukan untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak
berbuat sesuatu.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa
dalam suatu perikatan (yang lahir dari perjanjian maupun
karena ditetapkan undang-undang) melahirkan prestasi-prestasi
atau kewajiban-kewajiban yang mewujud. Sebagai berikut:
a) Kewajiban untuk memberikan sesuatu oleh pihak
kepada pihak lain.

23
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4d256710748f2/poin-poin-dalam-
perjanjian/ (diakses pada 6 Maret 2021)

19
b) Kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan
(hukum) wujud dan kualitasnya telah disepakati
bersama.
c) Kewajiban untuk tidak melakukan suatu perbuatan,
termasuk di dalamnya untuk menghentikan suatu
perbuatan.
Dengan demikian, apabila suatu kontrak perjanjian tidak
memenuhi salah satu dari kualifikafi kewajiban tersebut, maka
dapat dinyatakan bahwa telah terjadinya wanprestasi atau
cidera janji yang menyebabkan adanya hak yang tidak
terpenuhi pada pihak lain.
Dalam keadaan tertentu, kualifikasi terhadap suatu keadaan
yang tidak termasuk dalam kategori wanprestasi, antara lain:
a) Overmacht
Overmacht sering disebut sebagai Force Majeure,
yaitu keadaan memaksa.
Keadaan memaksa dapat dimaknai secara lebih luas
sebagai suatu keadaan yang memaksa salah satu
atau beberapa pihak untuk tidak dapat memenuhi
kewajiban-kewajiban yang telah disepakati dalam
perikatan yang terlah dibuat, dan keadaan tersebut
diluar predikisi dan kendali pihak yang wanprestasi.
b) Rechtsverwerking
Yaitu lepasnya satu atau beberapa pihak dari
kewajiban tertentu, karena pihak dari kewajiban
tertentu, karena pihak lain, baik secara diam, lisan,
maupun tertulis membebaskan yang bersangkutan
dari kewajiban dimaksud .
c) Non adimpleti contracts, yaitu tidak dipenuhinya
janji atau kewajiban oleh salah satu atau beberapa
pihak karen apihak lain yang terikat dalam

20
perjanj`ian dimaksud juga tidak melaksanakan
kewajiban-kewajiban atau janji-janjinya. Dalam
pemeriksaan perkara perdata sering dijadikan
sebagai alas an untuk mengajukan keberatan atau
eksepsi terhadap gugatan wanprestasi yang
diajukan.
Kemudian, ada 4 (empat) akibat wanprestasi, yaitu:
Pertama, perikata tetap ada. Kedua, debitur harus membayar
ganti rugi kepada kreditur. Ketiga, beban risiko beralih untuk
kerugian debitur, jika halangan tersebut timbul setelah debitur
wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar
dari pihak kreditur. Keempat, jika perikatan lahir dari
perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari
kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan
menggunakan pasal 1266 KUHPerdata.
Terjadinya wanprestasi atau cidera janji (breanch of
contract) dalam suatu perjanjian perikatan dapat berupa:
a) Sama sekali tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi
(kewajiban)
b) Tidak melaksanakan prestasi secara menyeluruh; tidak
menyelesaikan semua kewajiban yang telah disepakati;
c) Terlamba memenuhi atau melaksanakan prestasi;
d) Salah dalam melaksanakan prestasi
2) Somasi
Somasi atau dikenal dengan istilah lalai merupakan
terjemahan dari kata ingebrekerstelling. Yang merupakan
upaya hukum (rechmiddel) dengan mana pihak kreditur
menegur, memperingatkatkan pihak debitu saat selambat-
lambatnya ia wajib memenuhi prestasi dan apabila saat itu
dilampauin, maka pihak debitur telah lalai.

21
Somasi diatur dalam pasal 1238 KUHPerdata dan pasal
1243 KUHPerdata. Somasi adalah teguran dari berpiutang
(kreditur) kepada si berutang (debitur) agar dapat memenuhi
prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati
keduanya. Somasi timbul disebabkan debitur tidak memenuhi
prestasinya, sesuai dengan yang diperjanjikan.
Ada 3 (tiga) hal terjadinya somasi, yaitu: Pertama, debitur
melaksanakan prestasi keliru. Kedua, debitur tidah memenuhi
prestasi pada hari yang teah dijanjikan baik terlambat maupun
tidak sama sekali memberikan prestasi. Penyebab tidak
melaksanakan prestasi sama sekali karena prestasi tidak
mungkin dilaksanakan atau karena debitur menolak
melaksanakan prestasi. Ketiga, prestasi yang dilaksnakan oleh
dbitur tidak lagi berguna bagi kreditur setelah lewat waktu
yang diperjanjikan.
3) Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) dalam
bahasa Belanda mempunyai arti yang dipakai dalam Pasal
1365 Burgerlijk Wetboek (BW) KUHPerdata. Pasal ini
diartikan berbeda-beda oleh para ahli hukum, ada yang
mengartikan sebagai Perbuatan Melanggar Hukum. Kemudian
ada pula yang mengartikan Melanggar Hukum dan ada pula
yang mengartikannya sebagai Perbuatan Melawan Hukum.
Sebagaimana Pasal 1365 yang berbunyi: bahwa setiap
perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian
kepada orang lain mneyebabkan orang karena salahnya
menerbitkan kerugian mengganti kerugian tersebut.
Perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak
berbuat yang:
a) Melanggar hak subjektif orang lain (hak yang
ditentukan undang-undang)

22
b) Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
(kewajiban yang ditentukan udang-undang); atau
c) Bertentangan dengan tata susila atau bertentangan
dengan kepatutan, ketelutian, dan kehati-hatian yang
seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan
sesama warga masyarakat atau terhadp harta benda
orang lain.

4) Risiko
Dalam teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut dengan
resicoleer (ajaran tentang risiko). Resicoleer adalah suatu
ajaran, yaitu seseorang berkewajiban untuk memikul kerugian,
jika ada sesuatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak
yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Ajaran
ini diterapkan pada perjanjian dimana salah satu pihak aktif
melakukan prestasi sedangkan pihak lainnya pasif. Perjanjian
timbale balik adalah suatu perjanjian yang kedua belah pihak
diwajibkan untuk melakukan prestasi, sesuai dengan
kesepakatan yang dibuat keduanya.

e. Penyelesaian Sengketa
Hukum positif kita telah memberikan beberapa pilihan
penyelesaian sengketa, dalam sistem Hukum Indonesia ada
beberapa penyelesaian sengketa yaitu:
1) Non Litigasi
Dalam penyelesaian sengketa melalui non-litigasi, kita
telah mengenai adanya penyelesaian sengketa Alternatif
Alternative Dispute Resolution (ADR), yang dijelaskan dalam
Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang arbitrase dan ADR, yang menyatakan sebagai berikut:

23
“Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur
yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian sengketa diluar
pengadilan dengan cara konsultasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian”.
Penyelesaian sengketa melalui non-litigasi jauh lebih
efektif dan efisien sebabnya pada masa belakang ini,
berkembangnya berbagai cara penyelesaian sengketa
(settlement method) di luar pengadilan, yang dikenal dengan
Alternatif Dispute Resolution disingkat menjadi (ADR) dalam
bebergai bentuk, seperti:24
a) Arbitrase
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
menjelaskan bahwa. “Arbitrase adalah cara penyelsaian
suatu sengketa perdata diluar pengadilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tetulis oleh para pihak yang bersengketa”. Arbitrase
digunakan untuk mengantidipasi perselisihan mungkin
terjadi maupun yang sedang mengalami perselisihan
yang tidak dapat diselesaikan secara
negosiasi/konsultasi maupun melalui pihak ketiga serta
untuk menghindari penyelesaian sengketa melalui
peradilan. Dalam perkembangannya penyelesaian
sengketa melalui Arbitrase terkenalnya didalamnya
Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang disingkat
(BANI) yang telah mempunyai mekanisme dalam
penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang telah
diakui oleh Mahkamah Agung (MA)
b) Negosiasi

24
Kelompok Kerja Alternatif Penyelesaian Sengketa Mahkamah Agung RI,
123/KMA/SK/VII/2013, hal 43

24
Negosiasi menurut Ficher dan Ury, negosiasi
merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk
mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak
memiliki berbagai kepentingan yang sama meupun
yang berbeda. Hal ini selaras dengan apa yang
diungkapkan oleh Susanti Adi Nugroho bahwa,
negosasi ialah proses tawar-menawar untuk mencapai
kesepakatan dengan pihak lain melalui proses interaksi,
komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk
mendapatkan penyelesaian untuk jalan keluar dari
permasalahan yang sedang dihadapi oleh kedua belah
pihak.
c) Mediasi
Mediasi menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 1
Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak
dengan dibantu mediator. Media (mediation) melalui
sistem kompromi (compromise) diantara para pihak,
sedang pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator
hanya sebagai penolong (helper) dan fasilitator.
d) Konsiliasi
Merupakan lanjutan dari media. Mediator berubah
fungsi menjadi fasilitator. Dalam hal ini fasilitator
menjalankan fungsi yang lebih aktif dalam mencari
bentu-bentuk penyelsaian sengketa dan
menawarkannya kepada para pihak. Jika para pihak
dapat menyetujui, soluis yang dibuat konsiliator akan
menjadi reolutor.
e) Penilaian Ahli

25
Merupakan cara penyelsaian sengketa oleh para pihak
dengan meminta pendapat atau penilaian ahli terhadap
perselisihan yang sedang terjadi. Selain dari cara
penyelesaian sengketa sebagaimana disebutkan diatas
yang didasarkan kepada Undang-Undang No. 30 Tahun
1999, dalam sistem Hukum Indonesia tentang hal
tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 58 dan Pasal 60,
yang ada pokoknya menentukan tentang penyelesaian
sengketa yang dilakukan melalui mediasi. Hasil akhir
dari rangkaian proses penyelesaian sengketa diluar
pengadilan, dengan mengacu kepada ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 7 Undang
- Undang No 30 Tahun 1999 yang berhasil maka
akan menghasilkan kesepakatan atau perdamaian
diantara para pihak.
2) Litigasi
Litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa di
pengadilan, dimana semua pihak yang bersengketa saling
berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya
di muka pengadilan. Hasil akhir dari penyelesaian sengketa
melalui litigasi adalah putusan yang menyatan win-los
solution. Prosedur dalam jalur litigasi ini sifatnya lebih formal
(very formalistic) dan sangat teknis (technical).
Sebagaimana yang dikemukakan oleh J. David Reitzel
“there is a long wait for litigants to get trial”, jangkan untuk
mendapat putusan yang bekekuatan hukum tetap, untuk

26
menyelsaikan pada satu instansi peradilan saja, harus antri
menunggu.25
Suyud Margono berpendapat bahwa, litigasi adalah gugatan
ata suatu konflik diritualisasikan untuk menggantikan konflik
sesungguhnya, dimana para pihak memberikan kepada seorang
pengambilan keputusan dua pilihan yang bertentangan”26
Dalam Undang-Undang 1945 Pasal 24 menyatakan bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan Badan peradilan yang berada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
Negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa penyelesian sengketa
melalui jalur pengadilan (litigas) dengan menggunakan
pendekatan hukum, yang dilakukan melalui pengadilan dalam
penyelesaian sengketa di pengadilan dilakukan dengan cara
gmengajukan gugatan. Gugatan adalah suatu tuntutan hak,
yang didalamnya terdapat suatu sengketa, diantara para pihak
yang berperkara dan kemudia penyelesaiannya diajukan ke
pengadilan agar diperiksa, diadili, dan diputuskan oleh hakim
yang berwenang.
2. Perjanjian Baku/Kontrak Baku
a. Pengertian Perjanjian Baku / Kontrak Baku
Istilah Kontrak sudah sangat umum dikenal oleh masyarakat.
Menurut Rahman, sebagaimana yang dikutip oleh Madani, bahwa
istilah hukum kontrak adalah perjanjian tertulis, sehingga dapat
digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang
berkepentingan.

25
Syantica S Sulengkampung, “Akibat Hukum Bagi yang Melanggar Suatu Perjanjian yang Telah
Disepakati (Wanprestasi)”, Lex Privatum, VIII, 1, (Januari-Maret, 2020), hal 36
26
Suyud Margono, ADR dan Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2004), hal 23

27
Istilah kontrak dalam Bahasa Indonesia sama pengertiannya
dengan perjanjian. Kedua istilah tersebut merupakan terjemahan
dari “contract”, “agreement” (bahasa Inggris), “ovennkomst”
(bahasa Belanda). Kontrak atau perjanjian dalam bahasa Arab
disebut dengan akad. Kata “akad” berasal dari bahasa Arab al-
aqdu yang berarti ikatan atau simpul tali. 27
Sebagaimana pada umumnya kontrak baku atau perjanjian
baku sama halnya dengan perjanjian pada umumnya. Perikatan
sebagai ikatan yang menghubungkan antara dua pihak.28
Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa
Inggris, yaitu standard contract. Standar kontrak yang merupakan
perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam
bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh
salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi
lemah.29
Sebagaimana dijelaskan dalam KUH Perdata pasal 1313
perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan
mana seorang atau lebih mengikatkan dririnya terhadap satu
orang lain atau lebih. Kontrak baku, kontrak standard atau
kontrak adhesi adalah beberapa istilah yang digunakan
terhadap perjanjian yang seluruh klausul-klausulnya sudah
dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada
dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau
minta perubahan.30
Penggunaan kontrak/perjanjian baku dalam kontrak-kontrak
yang biasanya dilakukan oleh pihak yang benyak melakukan
kontrak yang sama terhadap pihak lain, didasarkan pada Pasal

27
Mardani, Hukum Perikatan Syariah Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2013) hal 7
28
Subekti, Hukum Perjanjian, cet. Ke-19. (Jakarta: Intermasa, 2002), hal 1
29
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, (Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2006) hal 145
30
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal 66

28
1338 (1) BW bahwa semua perjanjian dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.31
Di dalam bisnis tertentu, misalnya perdagangan dan
perbankan, terdapat kecenderungan untuk menggunakan apa yang
dinamakan kontrak baku, berupa kontrak yang sebelumnya oleh
pihak tertentu (perusahaan) telah menentukan secara sepihak
sebagai isinya dengan maksud untuk digunakan secara berulang-
ulang dengan berbagai pihak atau konsumen perusahaan tersebut.
Dalam kontrak baku tersebut, sebagian besar isinya telah
ditetapkan oleh pihak perusahaan yang tidak membuka
kemungkinan untuk dinegosiasikan lagi, dan sebagian lagi
sengaja dikosongkan untuk memberikan kesempatan negosiasi
dengan pihak konsumen, yang baru diisi setelah diperoleh
kesepakatan.32
Kontrak baku muncul dengan latar belakang social, ekonomi,
dan praktis.33 Perjanjian/kontrak baku pada umumnya telah
tercetak (boilerplate) sehingga pihak lain tidak memiliki
kesempatan untuk menegosiasi, pilihan yang ada adalah
mengambil kontrak tersebut atau meninggalkannya.34 Yang
belum dibakukan hanya terkait beberapa hal yaitu seputar
objek yang ditransaksikan dan besaran biaya yang harus
ditanggung.35
Inti dari perjanjian baku menurut Hondius adalah bahwa isi
perjanjian itu tanpa dibicarakan dengan ppihak lainnya,
sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau

31
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, (Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada,
2007), hal 39
32
Madani, Op.cit, hal 79
33
Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian di Indonesia,
(Jakarta:Kencana,2006) hal 204
34
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku Kedua, (Jakarta: PT.
Citra Aditya Bakti, 2003), hal 76
35
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, hal 66.

29
menolak isinya, Mariam Badzulzaman mengemukakan bahwa
standard contract merupakan perjanjian yang telah dibakukan.36
b. Ciri-ciri Kontrak Baku
Ada pun ciri kontrak baku menurut Mariam Badrulzaman, yaitu: 37
1) Isi ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi
(ekonominya) kuat;
2) Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut
bersama-sama menentukan isi perjanjian;
3) Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa
menerima perjanjian itu;
4) Bentuknya tertulis;
5) Dipersiapkan secara massal dan kolektif.
Selain itu menurut Todd Rakoff yang mana dikutip oleh Wayne R.
Barnes, cirri-ciri kontrak baku antara lain:
1) Bentuknya formulir berisikan beberapa syarat yang tertuang
dalam formulir;
2) Formulir dibuat oleh salah satu pihak yang terlibat dalam
kontrak yang biasanya adalah perusahaan bisnis;
3) Kegiatan bisnisnya melibatkan transaksi jenis yang sama
sebagai kegiatan rutin;
4) Perusahaan selalu menghadirkan form kepada pihak lainnya
dengan pola dasar “Take it or Leave it”;
5) Pihak lainnya tidak sering terlibat dengan transaksi jenis
tersebut dibandingkan dengan volume jenis transaksi tersebut
yang dilakukan oleh pihak perusahaan;
6) Biasanya kewajiban utama dari konsumen atau pihak lainnya
adalah membayar sejumlah uang.38

36
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, Op.cit, hal 146
37
Salim HS, dkk., Perancangan Kontrak dan Momerandum of Understanding (MoU),
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal 70-71
38
Wayne R. Barnes, 2007 Toward a Fairer Model of Consumer Assent to Standart Form
Contract: In Defense of Restatement Subsection, Artikel, Washington Law Review Association,
Awashington, hal 234-235

30
c. Dasar Hukum Kontrak Baku
Belum ada peraturan perundang-undangan yang secara
spesifik mengatur terkait kontrak baku namun juga tidak dilarang
dalam undang-undang mana pun. Kontrak baku telah banyak
dikenal oleh kalangan luas sejak dahulu dan telah eksis sejak
ribuan tahun yang lalu dalam dunia bisnis.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
kontrak baku dapat dilihat sebagai berikut:39
1) Pasal 6.5.1.2 dan pasal 6.5.1.3 NBW Belanda
Isi ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:
a) Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku
diperlukan, ditentukan dengan peraturan
b) Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika
disetujui oleh Menteri Kehakiman, melalui sebuah
panitis yang ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan
cara bekerja panitia diatur dengan Undang-Undang
c) Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku
hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan
Raja dan keputusan Raja mengenai hal itu dalam Berita
Negara
d) Seorang yang menandatangani atau dengan cara lain
mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan
terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu.
e) Janji baku dapat dibatalkanm jika pihak kreditor
mengetahui atau seharusnya mengetahui pihak debitur
tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia
mengetahui isinya (dalam Mariam Darus Badrulzaman,
1980:23-24)
2) Pasal 2.19 sampai dengan Pasal 2.22 Prinsip UNIDROIT
(Principles of International Comercial Contract)40

39
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, hal 149

31
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsup hukum yang
mengatur hak dan kewajiban para pihak pada mereka
menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip
kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan
pihak yang lemah.
Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut.
a) Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak
menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-
aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan
tunduk pada Pasal 2.20-Pasal 2.22
b) Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah
dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara
umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan
secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak
lainnya (dalam Tarnyana Soenandar, 2001:189).
Ketentuan ini mengatur tentang:
(1) Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku; dan
(2) Pengertian kontrak baku
Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut
a) Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar
yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu
pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut
secara tegas menerimanya;
b) Untuk menetukan apakah suatu persyaratan memenuhi
ciri seperti tersebut di atas akan bergantung pada isi,
bahas , dan penyajiannya
Ketentuan ini mengatur tentang persyaratan dan ciri
perjanjian baku. Cirinya tergantung ada isi, bahasa dan
penyajiannya

40
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, hal 150

32
Pasal 2.21 berbunyi: dalam hal timbul suatu pertentangan
antara persyaratan-persyaratan standard an tidk standar,
persyaratan yang disebut terakhir yang dinyatakan berlaku.
Ketentuan ini mengatur tentang konflik antara persyaratan
standard an tidak standar. Apabila terjadi hal itu, yang
digunakan dalam penyelesaiannya didasarkan pada
perjanjian tidak standar.
Pasal 2.22 berbunyi: jika kedua belah pihak menggunakan
persyaratan-persyaratan standard an mencapai kesepakatan
kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak
disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah
disepakati dan persyaratan-persyaratan standar yang
memiliki kesamaan substansi, kecuali suatu pihak
sebelumnya telah menyatakan secara jelas atau kemudia dan
tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada pihak
lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat
dengan kontrak tersebut.
Ketentian ini mengatur kesepakatan para pihak dalam
menggunakan kontrak baku.
3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
4) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
Ketentuang perjanjian baku telah ditentukan di dalam Pasal 1
angka 10 dan pasal 18 UPK. Pasal 1 angka 10 mengatur
pengertian klausul baku, sedangkan pasal 18 mengatur
tentang ketentuan pencantuman dalam klausul baku.
5) Rancnagan Undang-Undang tentang Kontrak
Dalam rancangan ini ada empat pasal yang mengatur tentang
perjanjian baku, yaitu pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 .
Ketentuan dalam rancangan undang-undang tentang kontrak

33
ini merupakan salinan dari Pasal 2.19 sampai dengan 2.22
UNIDROIT.41
6) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1 tahun 2013
tentang Perjanjian Baku.
d. Jenis-jenis Perjanjian Baku
Secara kuantitatif, jumlah perjanjian baku yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat sangat banyak karena masing-
masing perusahaan atau lembaga, baik yang bergerak di bidang
perbankan dan nonbank maupun lainnya, selalu menyiapkan
sstandar balu dalam mengelola usahaanya. Ini disebabkan untuk
mempermudah dan mempercepat lalu lintas hukum. Hondius
mengemukakan bahwa dewasa ini terdapat syarat-syarat baku di
hamper semua bidang di mana dibuat kontrak baku. Beberapa
aktivitas penting dan cabang-cabang perusahaan, di mana banyak
perjanjian-perjanjian dibuat atas dasar syarat-syarat baku, seperti:42
1) Perjanjian kerja (perjanjian kerja kolektif);
2) Perbankan (syarat-syarat uum perbankan);
3) Pembangunan (syarat-syarat seragam administratif untuk
pelaksanaan pekerjaan);
4) Pedangan eceran;
5) Sektor pemberian jasa-jasa;
6) Hak sewa;
7) Dagang dan perniagaan;
8) Perusahaan pelabuhan;
9) Sewa-menyewa;
10) Beli sewa;
11) Hipotek;
12) Pemberian kredit;
13) Pertanian;

41
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, hal 152
42
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata 154-155

34
14) Urusan makelar;
15) Praktik notaries dan hukum lainnya;
16) Perusahaan-perusahaan umum;
17) Penyewaan urusan pers;
18) Perusahaan angkutan (syarat-syarat umum angkutan, syarat-
syarat umum eksppedisi Belanda);
19) Penerbitan;
20) Urusan asuransi (Hondius, 1978:141).
Selanjutnya Hondius mengemukakan bahwa kiranya tidak tepat
kalau ada kesan seakan-akan hampir semua transaksi dibuat atas
dasar syarat-syarat baku. Selalu masih banyak perjanjian, yang
dibuat sama sekali atau semata-mata dalam bentuk syarat-syarat
kontrak individual. Tidak semua transaksi cocok untuk dibakukan.
Mariam43 Darus Badrulzaman membagi jenis perjanjian baku
menjadi empat jenis, yaitu sebagai berikut:
1) Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya
ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam
perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini ialah pihak kreditor
yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat
dibandingkan pihak debitur.
2) Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang
isinya ditentukan oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian
baku yang pihak-pihaknya terdiri dari piha majikan (kreditor)
dan pihak lainnya buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya
terikat dalam organisasi, misalknya pada perjanjian buruh
kolektif.
3) Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah ialah
perjanjian baku yang isinya ditentukan peemrintah terhadap
perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-
perjanjian yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam

43
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, hal 156

35
bidang agama misalnya, dalam formulir-formulir perjanjian
sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri
tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Aja/1977 berupa antara lain
akta jual beli.
4) Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaries atau
advokat adalah perrjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak
semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari
anggota masyarakat yang minta bantuan notaris atau advokat
yang bersangkutan. Di dalam perpustakaan Belanda, jenis
keempat ini disebut contract model.
Mariam Darus Badrulzaman tidak menyebutkan secara jelas
perjanjian baku yang berlaku di kalangan perbankan, namun
ia hanya menyebutkan bahwa perjanjian baku dibuat oleh
pihak ekonomi kuat terhadap debitur yang kedudukan
ekonominya lemah. Pihak ekonomi kuat ini, dapat ditafsirkan
sebagai pihak pemberi kredit atau lembaga perbankan yang
memberikan kredit pada debitur.

e. Keabsahan Kontrak Baku


Keabsahan kontrak baku memunculkan banyak perdebatan
diantara para sarjana hukum. Beberapa pendapat sarjan hukum
Belanda, diantaranya:44
1) Sultijer mengatakan perjanjian baku bukan perjanjian,
sebab kedudukan pengusaha itu (yang berhadapan
dengan konsumen) adalah seperti pembentuk undang-
undang swasta (legio particuliere wetgever).
2) Plato mengatakan bahwa perjanjian baku sebagai
perjanjian paksa (dwagcontract)

44
Meriam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standart) Perkembangannya di Indonesia
(Kumpulan Pidato Pengukuhan), (Bandung : Penerbit Alumni, 1981) , hal 95

36
Pendapat lain dikemukakan oleh Stein yang
berpendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai
perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan
kepercayaan (fictie van willen vetrowen) yang
membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak
mengikatkan diri pada perjanjian itu, jika debitur menerima
dokumen perjanjian itu, berarti dia secara sukarela setuju
pada isi dari perjanjian itu.
Kemudian Asser-Rutten mengatakan bahwa setiap
orang yang menandatangani perjanjian bertanggungjawab
pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang
yang bertanda tangan atas sebuah formulir, tanda tangan itu
membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertandatangan
mengetahui isi formulir tersebut.
Keabsahan perjanjian baku menurut para ahli hukum di
Amerika Serikat mungkin sedikit berbeda mengingat di
Negara tersebut hukum perjanjiannya yang berlaku adalah
Common Law, dimana pertikaian hukum yang menyangkun
perjanjian diputuskan oleh hakim berdasarkan putusan-
putusan hakim atau pengadilan sebelumnya, maka yang
perlu dikeetahui adalah sikap atau pendirian para hakim
atau pengadilan tersebut.
Terkait keabsahan perjanjian baku tersebut hanya
mengenai penggunaannya dalam dunia usaha/bisnis. Jika
dilihat eksistensinya dalam penggunaannya banyak pelaku
usaha cenderung melakukan atau membuat perjanjian
dengan menggunakan perjanjian baku mengingat dilihat
dari sejarahnya perjanjian baku sudah digunakan lebih dari
80 tahun sejak abad ke 29.
Perjanjian baku tersebut ada karena perkembangan
dalam dunia usaha/bisnis yang membuat penggunaannya

37
terbentuk karena lahir dari kebutuhan yang ada dalam
masyarakat yang sudah semakin modern saat ini. Perjanjian
baku ada oleh karena kebutuhan dan perkembembangan
dari masyarakat, selagi perjanjian baku tersebut masih
dapat diterima.45
Sekalipun keabsahan dari berlakunya perjanjian baku
memang tidak perlu dipersoalkan, ettapi masih perlu
dipersoalkan apakah perjanjian itu tidak bersifat sangat
“berat sebelah” dan tidak mengandung “klausul yang secara
tidak wajar memberatkan bagi pihak lainnya”, sehingga
perjanjian itu merupakan perjanjian yang menindas dan
tidak adil.46

3. Perjanjiank/Kontrak Menurut Hukum Islam (Syariah)


Dewasa ini, perkembangan dunia bisnis syariah sangat pesat di
tengah-tengah kehidupan kita. Munculnya bisnis syariah ini, baik
dalam bentuk lembaga keuangan atau lembaga non keuangan,
bedampak langsung terhadap mekanisme transaksinya. Terdapat
perbedaan mekanisme transaksi pada lembaga bisnis konvensional
dengan bisnis syariah, perbedaan yang paling nyata adalah jika pada
transaksi bisnis syariah terdapat underlying transaction yang jelas.
Selain itu perbedaan transaksi tersebbut dapat dilihat dari aspek: 1)
Akad atau transaksi; 2) transaksi harus memenuhi rukun dann syarat,
dan 3) kepatuhan syariah menjadi aspek penting dalam bisnis syariah.

45
Yanti Malohing, “Kedudukan Perjanjian Baku Kaitannya dengan Asas Kebebasan Berkontrak”,
Lex Privatum, V, 4 (Juni 2017), hal 9
46
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993) hal
58

38
a. Pengertian Akad atau Transaksi dalam Islam
Akad dalam bahasa Arab disebut Al-Aqd yang artinya perikatan,
perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq).47 Pertalian ijab (pernyataan
melakukan ikatan) dan Kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai
dengan kehendak syarat yang berpengaruh pada objek perikatan. Yang
dimaksud dengan “yang sesuai dengan kehendak syariat” adalah bahwa
seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak boleh
apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’, misalnya kesepakatan
untuk melakukan transaksi riba, menipu, merampok. Sedangkan
pencantuman kalimat “berpengaruh pada objek perikatan” maksudnya
adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang
melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan Kabul).48
Secara etimologi, akad memiliki beberapa arti, antara lain:49
1) Mengikat (Ar-Aabthu), artinya mengumpulkan dua ujung tali
dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga
bersambung dikemudian menjadi sebagai sepotong benda.
2) Sambungan (Aqdatun), artinya sambungan yang menjadi
memegang kedua ujung itu dengan mengikatnya.
3) Janji (Al-Ahdu), sebagaimana dijelaskan didalamm Al-Qur’an
pada Surat Ali-Imran ayat 76 yang artinya, “Sebenarnya siapa
yang menepati janji dan bertaqwa, maka Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaqwa”. (Q.S. Ali Imran 3:76)
Menurut Sohari dalam bukunya mejelaskan, istilah Al-ahdu
dalam Al-Qur’an mengacu pada pernyataan seseorang
mengerjakan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan orang
lain, perjanjian yang dibuat seseorang tidak memerlukan
persetujuan pihak lain, baik setuju maupun tidak setuju, tidak

47
Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, (Jakarta :PT. Gaya Media Pratama, 2007), hal 97
48
Muhammad, Bisnis Syariah Transaksi dan Pola Pengikatannya, (Depok : Rajawali Pers, 2018)
hal 121
49
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003) , hal 13

39
berpengaruh kepada perjanjian yang dibuat oleh orang tersebu,
seperti yang dijelaskan dalam Surat Ali-Imrah:76, bahwa janji
tetap mengikat orang yang membuatnya.50
Dalam buku milik Subekti menurut Mursyid al-Hairan,
mendefinisikan akad yaitu merupakan pertemuan ijab yang
diajukan oleh salah satu pihak dengan qabul dari pihak lain yang
menimbukkan akibat hukum pada objek akad.51
Kemudian Muhammad dalam bukunya menjelaskan
pernyataan dari Mustafa Ahmad az-Zarqa (tokoh fikih Yordania
asal Suriah) yang menyatakan bahwa tindakan hukum yang
dilakukan manusia terdiri atas dua bentuk, yaitu (1) tindakan
berupa perbuatan dan (2) tindakan berupa perkataan. Tindakan
yang berupa perkataan pun terbagi dua, ayitu yang bersifat akad
dan yang tidak bersifat akad. Tindakan berupa perkataan yang
bersifat akad terjad bila dua atau beebrapa pihak mengikatkan diri
untuk melakukan suatu perjanjian.52
b. Rukun Perjanjian (Akad)
Terdapat perbedaan pendapat ulama fikih dalam
menentukan rukun akad. Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun
akad tersebut terdiri atas: (1) pernyataan untuk mengikat diri (sigah
al-‘aqd); (2) pihak-pihak yang berakad,; dan (2) objek akad. Ulama
Mazhab Hanafi bependirian bahwa rukun akad itu hanya satu, yaitu
sigah al-‘aqd, sedangkan pihak-pihak yang berakad dan objek
akad, menurut mereka, tidak termasuk rukun akad, tetapi termasuk
syarat akad, karena menurut mereka yang dikatakan rukun itu
adalah suatu esensi yang berada dalam akad itu sendiri, sedangkan
pihak-pihak yang berakad dan objek akad sudah berada diluar
esensi akad.53

50
Sohari, Fiqih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hal 42
51
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2002), hal 23
52
Muhammad, Bisnis Syariah Transaksi dan Pola Pengikatannya, hal 121
53
Muhammad, Bisnis Syariah Transaksi dan Pola Pengikatannya, hal 125

40
Setelah diketahui bahwa akad merupakan suatu perbuatan
yang disengaja dibuat okeh dua orang atau lebih berdasarkan
keridhaan masing-masing maka timbul bagi kedua belah pihak haq
dan iltizam yang diwujudkan oleh akad, menurut pendapat lain
rukun-rukun akad ialah sebagai berikut:
1) Aqid, yakni orang yang berakad, terkadang masing-masing
pihak terdiri dari satu orang terkadang terdiri dari beberapa
orang, seseorang berakad terhalang orang yang memiliki haq
(aqid ashli) dan terkadang merupakan wakil dari yang
memiliki hak. Ulama fiqih memberikan persyaratan atau
kriteria yang harus dipenuhi oleh Aqid,54 antara lain
a) Ahliyah, keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan
untuk melakukan transaksi. Mereka memiliki ahliyah
jika telah baligh atau mumayyiz dan berakal.
b) Wilayah, dapat diartikan sebagai hak dan kewenangan
seseorang yang mendapatkan legalisasi syar’i untuk
melakukan transaksi atas suatu objek tertentu. Artinya
orang tersebut memang merupakan pemilik asli, wali
atau wakil atas suatu objek transaksi, sehingga ia
memiliki hak dan otoritas dalam transaksi.
2) Mau’qud’alaih, artinya adalah benda-benda yang diakadkan.
3) Mauqu’al ‘aqd, artinya adalah tujuan atau maksud pokok
mengakadkan akad, berbeda akad maka berbeda pula tujuan
pokok akad.
4) Sighah al’aqd , artinya adalah ijab dan qabul. Ijab ialah
permulaan penjelasan yang keluar yang dari salah seorang
yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam
mengakadkan akad, sedangkan qabul perkataan yang keluar
dari pihak yang berakad pula, yang diucapkan setelah ijab.

54
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hal 54

41
Sighah al’aqd merupakan rukun akad terpenting, karena
melalui inilah diketahui maksud setiap pihak yang melakukan
akad. Ijab dan qabul dapat berbentuk perkataan, tulisan,
perbuatan, atau isyarat.55
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam sighah al-‘aqd56
adalah:
a) Sighah al-‘aqd harus jelas pengertiannya. Kata-kata
dalam ijab qabul harus jelas dan tidak memiliki
banyak pengertian.
b) Harus bersesuaian antara ijab dan qabul. Tidak boleh
antara yang berijab dan yang menerima berbeda
lafadz.
c) Menggambarkan kesungguhan, kemauan dari pihak-
pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa dan tidak
karena ancama atau ditakut-takut oleh orang lain
karena dalam tijarah harus saling ridha
Selain itu, dalam kaitannya dengan ijab dan qabul, terkait
sighah al- ‘aqd ulama fikih mesyaratkan: 57
a) Tujuan pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami
dari pernyataan itu jenis akad yang dikehendaki,
karena akad-akad itu sendiri berbeda dalam sasaran
dan hukumnya;
b) Antara ijab dan qabul terdapat kesesuaian; dan
c) Pernyataan ijab dan qabul itu mengacu kepada suatu
kehendak masing-masing pihak secara pasti, tidak
ragu-ragu.

55
Muhammad, Bisnis Syariah Transaksi dan Pola Pengikatannya, hal 123
56
Sohari, Fiqih Muamalat, hal 43
57
Muhammad, Bisnis Syariah Transaksi dan Pola Pengikatannya, hal 123

42
c. Syarat Akad
Setiap pembentuk akad yang ditentukan syara’ yang wajib
disempurnakan. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam
berbagai macam akad, yaitu:58
1) Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli).
Tidak sah akad orang gila, orang yang berada di bawah
pengampuan (mahjur) karena boros atau lainnya.
2) Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
3) Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang
mempunyai hak melakukannya walaupun dia bukan aqid
yang memiliki barang.
4) Akad tidak dilarang oleh syara’
5) Akad dapat memberikan faedah
6) Ijab tersebut berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi
kabul.
7) Ijab dan qabul bersambung jika berpisah sebelum adanya
qabul maka batal.
Selain itu, ulama fikih menetapkan beberapa syarat umum tag harus
dipenuhi oleh suatu akad. Di samping itu, setiap akad juga
memiliki syarat-syarat khusus. Akad jual beli memiliki syarat-
syarat tersendiri, sedangkan akad al-wadi’ah, hibah, dan ijarah
(sewa-menyewa) demikian juga. Syarat-syarat umum suatu akad
adalah sebagai berikut:59
1) Pihak-pihak yang melakukan akad telah cakap bertindak
hukum (mukalaf) atau jika objek akad itu merupakan milik
orang yang tidak atau belum cakap bertindak hukum, maka
harus dilakukan oleh walinya. Oleh sebab itu, suatu akad
dilakukan orang gila dan anak kecil yang belum mumayyiz
secara langsung, hukumnya tidak sah. Tetapi dilakukan oleh

58
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Hal 44
59
Muhammad, Bisnis Syariah Transaksi dan Pola Pengikatannya, hal 125-128

43
wali mereka, dan sifat akad yang dilakukan wali ini memberi
manfaat bagi orang yang dia punya, maka akad itu hukumnya
sah.
2) Objek akad itu diakui oleh syara’. Untuk objek akad ini
disyaratkan pula: (a) berbentuk harta, (b) dimiliki oleh
seseorang, dan (c) bernilai harta menurut syara’. Oleh sebab
itu, jika objek akad itu sesuatu yang tidak bernilai harta
dalam Islam maka akadnya tidak sah, seperti khamar. Di
samping itu, jumhur ulama fikih selain ulama Mazhab
Hanafi, menyatakan bahwa barang najis seperti anjing, babi,
bangkai, dan darah tidak dapat dijadikan objek akad, karena
barang najis tidak bernilai dalam syara’.
3) Akad itu tidak dilarang oleh nas syara’. Atas dasar syarat ini,
seprang wali (pengelola anak kecil) tidak boleh
menghibahkan harta anak kecil tersebut. Alasannya adalah
melakukan suatu akad yang sifatnya menolong semata (tanpa
imbalan) terhadap harta anak kecil tidak diperbolehkan
menurut syara’. Oleh sebab itu, apabila wali menghibahkan
harta anak kecil yang berada di bawah pengampuannya, maka
akad itu batal menurut syara’.
4) Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus
dengan akad yang bersangkutan. Artinya di samping
memenuhi syarat-syarat umum yang harus dipenuhi suatu
akad, akad tersebut juga harus memenuhi syarat-syarat
khususnya.
5) Akad itu bermanfaat. Oleh sebab itu, jika seseorang
melakukan suatu akad dan imbalan yang diambil merupakan
kewajiban baginya, maka akad itu batal. Misalnya, seseorang
yang melakukan kejahatan melakukan akad dengan orang
lain bahwa ia akan menghentikan kejahatannya jika ia diberi
sejumlah uang (ganti rugi). Dalam kasus seperti ini, sekalipun

44
kehendak kedua belah pihak itu bersifat akad, tetapi akad
seperti ini tidak mengandung manfaat sama sekali dan
dinyatakan batal oleh syara’.
6) Ijab tetap utuh dan shahih sampai terjadinya qabul. Apabila
ijab tidak utuh dan tidak sahih lagi ketika qabul diucapkan,
maka akad itu sah. Hal ini banyak dijumpai dalam suatu akad
yang dilangsungkan melalui tulisan.
Misalnya, dua orang pedangan dari daerah yang berbeda
melakukan suatu transaksi dagang melalui surat. Pembeli
barang dagangan menyampaikan ijabnya melalui surat, yang
memerlukann waktu beberapa hati. Sebelum surat yang
mengandung ija itu sampai kepada pihak penjual, pembeli
telah wafat atau gila. Dalam kasus seperti ini, jika surat
tersebut sampai ke tangan penjual lalu mengungkapkan
qabulnya, maka akad itu dinyatakan tidak sah, karena orang
yang melakukan ijab sudah tidak cakap lagi untuk bertindak
hukum.
7) Ijab dan qabul itu dilakukan dalam satu majelis, yaitu suatu
keadaan yang menggambarkan proses suatu transaksi.
Menurut az-Zarqa, majelis itu dapat berbentuk tempat
dilangsungkannya akad dan dapat juga berbentuk tempat
dilangsungkannya akad dan dapat juga berbentuk keadaan
selama proses berlangsungnya akad, sekalipun tidak pada
suatu tempat.
8) Tujuan akad itu jelas dan diakui syara’. Tujuan akad ini
terkait erat dengan berbagai bentuk akad yang dilakukan.
Misalnya dalam akad jual beli, tujuannya adalah untuk
memindahkan hak milik penjual kepada pembeli dengan
imbalan, dalam akad ijarah (sewa-menyewa), tujuannya
adalah pemilikan manfaat bagi orang yang menyewa dan
pihak yang menyewakan mendapat imbalan.

45
Muhammad mengutip para Ulama fikih yang menetapkan bahwa
akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya mempunyai kekuatan
mengikat terhadap pihak-pihak yang melakukan akad. Setiap manusia
memiliki kebebasan untuk mengikatkan diri pada suatu akad dan
wajib dipenuhi segala akibat hukum yang ditimbulkan akad tersebut.60

d. Dasar Hukum Perjanjian (Akad)


Perjanjian atau akad merupakan hal penting dalam kehidupan.
Disebabkan oleh akad, maka sesuatu yang berhukum hatam dapat
menjadi halal. Di dalam Islam dengan tegas memerintahkan umatnya
untuk memenuhi akad-akad yang dilakukan. Allah berfirman:

ْ ‫ءام ْن ˘و ْا أ´ ْ عقْوحل ْ كم بهيم‬


‫ ́ع ما ي ْتل´ى‬² ‫́ل ْن‬ ‫ها‬ ‫˘´يأ ´ ْْي‬
ْ‫ْم إ‬ ْ ْ ‫ْوفْو ْا ل ْد‬ ْ ْ ‫ٱل‬
‫ٱ أْ ت‬ ‫ْذين‬
‫ْْْْلة ٱ‬
ْ
‫حر ۗ ´ْ يحكم ما يري ْد‬ ‫محلْْ دْص وأ´ن‬ ‫عل´ ْي ْ غ‬
‫إْن ٱ ْلل‬ ْ
‫ت‬ ‫ى ٱل ْي‬ ‫م ْي‬
‫ْم‬ ‫ك ر‬
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu” (QS.
Al-Ma’idah [5]: (1). Dalam hal ini, kita seseorang dengan orang lain
melukan pengikatan atau perjanjian, maka mereka “mengikat dengan
kuat”, sebagaimana mengikat dengan tali. Orang Arab menggunakan
kata ini untuk menunjukkan “sangat oercaya” atau “bersungguh-
sungguh”. Sehingga kata akad membawa maksud pada “perjanjian”
dan “penetapan” terhadap janji tesebut.61
Sehubungan dengan perintah pengikatan transaksi dalam
perjanjian, Rasulullah SAW. juga mengingatkan, bahwa:
Dari ubadah Ibnu Shamit ra., bahwasanya Nabi Muhammad SAW.
bersabda: “Sesungguhnya pertama kali yang diciptakan oleh Allah
adalah al-Kalam atau pena. Allah memerintahkan kepada pena
“tulislah”. Pena itu bertanya: Ya Tuhan, apakah yang harus saya
tuliskan? Allah menjawab: “Tulislah segala sesuatu yang ada sampai
46
dating hari kiamat” (HR Al-Baihaqi, Tirmidzi, dan Abi Dawud).

60
Muhammad, Bisnis Syariah Transaksi dan Pola Pengikatannya, hal 129
61
Muhammad, Bisnis Syariah Transaksi dan Pola Pengikatannya, hal 258

47
Hadist lain menjelaskan: Dari Anas Ibn Malik meriwayatkan
bahwa Nabi bersabda:

‫ق ْْي ْدوا ا ْل ل‬
‫ْ ́مك ´تا ´بة‬
‫با ْلع‬
“Ikatlah ilmu itu dengan tulisan” (HR Tirmidzi, Ad-Darimi).62
Berdasarkan dua sumber hukum tertinggi di dalam Islam tersebut,
maka memiliki implikasi pada praktik perjanjian dalam bisnis syariah,
yaitu:
1) Ada anjuran untuk menulis setiap transaksi yang dilaukan tidak
tunai;
2) Tulisan tersebut dijadikan alat bukti pada suatu ketika jika
terjadi perselisihan yang diakibatkan karena kelupaan atau
kesengajaan;
3) Anjuran untuk mengangkat penulis yang adul (notaries yang
memiliki relevansi ddan urgensi dalam transaksi yang
didasarkan pada ajaran Islam);
4) Pemberian pembiayaan oleh bank kepada nasabah (umumnya
tidak dilakukan tunai), maka perjanjian atau akad dibuat secara
tertulis.
Secara hukum positif, pembuatan perjanjian dalam transaksi bisnis
juga diatur dalam Peraturan Perundangan, yaitu pada Pasal 1865 KUH
Perdata:63
Setiap orang yang mengendalikan bahwa ia mempunyai suatu
hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah
suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa tersebut.
Yang harus dibuktikan itu berupa perbuatan-perbuatan dan
kejadian-kejadian yang dipersengketakan oleh kedua belah pihak
yang berperkara atau yang tidak mendapat persetujuan kedua
pihak. Sedangkan perbuatan-perbuatan dan kejadian-kejadan

62
Ibid
63
Muhammad, Bisnis Syariah Transaksi dan Pola Pengikatannya, hal 260
47
yang telah diakui atau yang tidak disangkal oleh pihak lawan,
tidak usaha dibuktikan lagi, sebab “membuktikan” itu berarti
“memberikan kepastian kepada hakim” tentang adanya kejadian-
kejadian dan keadaan-keadaan itu.

Juga Pasal 1866 KUH Perdata,


Alat-alat bukti terdiri dari, bukti tulisan (surat), bukti dengan
saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah.

e. Asas-asas Perjanjian Akad


Dalam hukum kontrak syariah, paling tidak terdapat asas-asas
perjanjian yang dapat digunakan sebagai landasar berpikir dan
bertransaksi dalam penegakan hukum kontrak syariah tersebut. Salah
satu asas dalam asas perjanjian ada yang dinakan asas kebebasan
berkontrak.
Dengan asas kebebasan berkontrak tersebut, kaum muslimin
mempunyai kebebasan untuk membentuk akad-akad baru selama tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip dan tujuan hukum Islam. Dengan
demikian, fikih muamalah dapat dikembangkan secara dinamis dalam
rangka menjawab persoalan-persoalan baru ekonomi kontemporer.
Dalam hukum kontrak syariah terdapat asas-asas perjanjian yang
melandasi penegakan dan pelaksanaannya. Berikur asas-asas
perjanjian tersebut:64
1) Asas Ilahiyah atau Asas Tauhid
Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput
dari ketentuan Allah SWT. Seperti yang disebutkan dalam Q.S
Al-Hadid [57]: 4 yang artinya “Dia bersama kamu di mana
saja kamu berada. Dan Allah maha melihat apa yang kamu
kerjakan”. Kegiatan muamalah termasuk perbuatan perjanjian,
tidak pernah akan lepas dari nilai-nilai ketauhidan. Akibat dari
penerapan asas ini, manusia tidak akan berbuat sekehendak

64
Muhammad, Bisnis Syariah Transaksi dan Pola Pengikatannya, hal 264-268

48
hatinya karena segala perbuatannya akan mendapat balasan
dari Allah SWT.
2) Asas Kebolehan (Mabda al-Ibahah)
Terdapat kaidah fiqihiyah yang artinya, “Pada asasnya segala
sesuatu itu dibolehkan sampai terdpat dalil yang melarang”.
Kaidah tersebut menunjukkan bahwa segala sesuatunya adalah
boleh atau mubah dilakukan. Kebolehan ini dibatasi sampai
ada dasar hukum yang melarangnya. Hal ini berarti bahwa
Islam member kesempatan luas kepada yang berkepentingan
untuk mengembangkan bentuk dan macam transaksi baru
sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan
masyarakat.
3) Asas Keadilan (Al-‘Adalah)
Dalam Q.S Al-Hadid [57]: 25 disebutkan bahwa Allah
berfirman “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul
Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami
turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. Dalam asas
ini para pihak yang melakukan kontrak dituntu untuk berlaku
benar dalam mengungkapkan kehendak dan keadaan,
memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi
semua kewajibannya.
4) Asas Persamaan atau Kesetaraan
Hubungan muamalah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia. Sering kali terjadi bahwa seseorang memiliki
kelebihan dari yang lainnya. Oleh karena itu, sesama manusia
masing-masing memiliki kelebihan dan kekurang dan harus
saling melengkapi. Dalam melakukan kontrak para pihak
menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan
pada asas persamaan dan kesetaraan. Tidak diperbolehkan
terdapat kezaliman yang dilakukan dalam kontrak tersebut.

49
Dalam Q.S Al-Hujurat [49] : 13 disebutkan yang artinya “Hai
manusia sesungguhkan kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal.”
5) Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash Shidiq)
Jika kejujuran tidak diterapkan dalam kontrak, maka akan
merusak legalitas kontrak dan menimbulkan perselisihan di
antara para pihak. Suatu perjanjian dapat dikatakan benar
apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang melakukan
perjanjian dan bagi masyarakat dan lingkungannya, sedangkan
perjanjian yang mendatangkan mudharat dilarang. Q.S Al-
Ahzab [33]: 70 disebutkan yang artinya, “Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar”.
6) Asas Tetulis (Al-Kitabah)
Dalam Q.S Al-Baqarah [2]: 282-283 dapat dipahami bahwa
Allah SWT menganjurkan kepada manusia agar suatu
perjanjian dilakukan secara tertulis, dihadiri para saksi dan
diberikan tanggung jawab individu yang melakukan perjanjian
dan yang menjadi saksi tersebut. Selain itu, dianjurkan pula
jika suatu perjanjian dilaksanakan tidak secara tunai maka
dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya.
7) Asas Iktikad Baik (Asas Kepercayaan)
Asas ini mengandung pengertian bahwa para pihak dalam
suatu perjanjian harus melaksanakan substansi kontrak atau
prestasi berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh
serta kemauan baik dari para pihak agar tercapai tujuan
perjanjian. Setiap akan wajib dilaksanakan oleh para pihak
sesuai dengan kesepakatam yang diterapkan oleh yang
bersangkutan dan pada sama terhindar dari cedera janji. Dasar

50
hukumnya yakni pada Q.S Al-Baqarah [2]: 283, yaitu “akan
tetapi jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(utangnya) dan hendakah ia bertakwalah kepada Allah
Tuhannya.”
8) Asas Kemanfaatan dan Kemaslahatan
Asas ini mengandung pengertian bahwa semua bentuk
perjanjian yang dilakukan harus mendatang kan kemanfaatan
dan kemaslahatan baik bagi para pihak yang mengikatkan diri
dalam perjanjian maupun bagi masyarakat sekitar meskipun
tidak terdapat ketentuannya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Asas kemandaatan dan kemaslahatan ini sangat relevan dengan
tujuan hukum Islam secara universal.
9) Asas Konsesualisme atau Asas Kerelaan (mabda’ ar-
rada’iyyah)
Dalam Q.S An-Nisa [4]: 29 yang artinya: “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara
kamu”, dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa segala
transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau
kerelaan antara masing-masing pihak tidak diperbolehkan ada
tekanan, paksaan, penipuan, dan miss-statement.
10) Asas Kebebasan Berkontrak (mabda’ hurriyah at-ta’aqud)
Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk
melaukan suatu perikatan. Bentuk dan isi perikatan ditentuka
oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan isinya,
maka perikatan tersebut mengikat para pihak yang
menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan
kewajibannya. Namun kebebasan ini tidak absolute. Sepanjang
tidak bertentangan dengan ajaran Islam, amka perikatan

51
tersebut boleh dilaksanakan. Menurut Faturrahman Djamin
bahwa, “Syariah Islam memberikan kebebasan kepada setiap
orang yang melakukan akad sesuai dengan yang diinginkan,
tetapi yang menetukan syarat sahnya adalah ajaran agama”.
11) Asas Perjanjian itu Mengikat
Hadist Nabi Muhammad SAW. yang artinya: “Orang-orang
Muslim itu terikat kepada perjanjian-perjanjian (klausul-
klausul) mereka, kecuali perjanjian (klausul) yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”.
Dari hadist ini dapat dipahami bahwa setiap orang yang
melakukan perjanjian terikat kepada isi perjanjian yang telah
disepakati bersama pihak lain dalam perjanjian. Sehingga
seluruh isi perjanjian adalah sebagai peraturan yang wajib
dilakukan oleh para pihak yang mengikatkan diri dalam
perjanjian.
12) Asas Keseimbangan Prestasi
Asas ini adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak
memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Dalam hal ini dapat
diberikan ilustrasi, kreditor mempunyai kekuatan untuk
menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut
perlunasan prestasi melalui harta debitur, namun debitur
memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu
dengan iktikad baik.
13) Asas Kepastian Hukum (Asas Pacta Sunt Servanda)
Asas kepastian hukum ini disebut secara umum dalam kalimat
terakhir Q.S Bani Israil [17]: 15 yang artinya, “…dan tidaklah
Kami menjatuhkan hukuman kecuali setelah Kami mengutus
seorang rasul untuk menjelaskan (aturan dan ancaman)
hukuman itu…”. Selanjutnya dalam Q.S Al-Maidah [5]: 95
dapat dipahami Allah mengampuni apa yang terjadi di masa
lalu. Dari kedua ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa asas

52
kepastian hukum adalah tidak ada suatu perbuatan pun dapat
dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan tersebut.

4. Akad Wakalah bil Ujrah


a. Pengertian Wakalah
Wakalah dapat diartikan sebagai perlindungan (al-hifzh),
pencukupan (al-kifayah), tanggungan (al-dhaman), atau
pendelegasian (al-tafwidh), yang diartikan juga dengan
memberikan kuasa atau mewakilkan.65
Secara etimologis (bahasa), wakalah diartikan sebagai
penjagaan, jaminan, tanggungan, pemberian kuasa. Kemudian juga
dapat diartikan sebagai pelimpahan kekuasaan oleh seseorang
sebagai pihak pertama kepada orang laim sebagai pihak kedua
dalam hal-hal yang diwakilkan (dalam hal ini pihak kedua) hanya
melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau wewenang yang
diberikan oleh pihak pertama, namun apabila kuasa itu telah
dilaksanakan sesuai yang disyaratkan, maka semua risiko dan
tanggung jawab atau dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya
menjadi pihak pertama atau pemberi kuasa.66
Adapun pengertian wakalah menurut istilah, para ulama
merumuskannya denga redaksi yang amat bervariasi, diantaranya:67
1) Hashbi As Shiddieqy mengatakan bahwa wakalah adalah
“akad penyerahan kekuasaan, yang akad itu seseorang
menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam bertindak
(bertasharruf)”

65
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), hal 20
66
Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, Banking Cards Syariah Kartu Kredit dan Debit dalam
Perspektif Fiqh (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006) hal 164
67
Helmi Karim, Ibid

53
2) Sayyid Sabiq mengatakan bahwa wakalah adalah
pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain
dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.
3) Ulama Malikiah berpendapat bahwa wakalah adalah
tindakan seseorang mewakilkan dirinya kepada orang lain
untuk melakukan tindakan-tindakan yang merupakan
haknya yang tidakan itu tidak dikaitkan dengan pemberian
kuasa setelah mati, sebab bila dikaitkan dengan tindakan
setelah mati berarti sudah berbentuk wasiat.
4) Kelompok Hanafiah merumuskan bahwa wakalah itu
berarti seseorang mempercayakan orang lain menjadi ganti
dirinya untuk bertasharruf pada bidang-bidang tertentu
yang boleh diwakilkan.
5) Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa wakalah adalah suatu
ungkapan yang mengandung maksud pendelegasian sesuatu
oleh seseorang kepada orang lain supaya orang lain itu
melaksanakan apa yang dikuasakan atas nama pemberi
kuasa.
Berdasarkan beberapa rumusan diatas, dapat disimpulkan
bahwa dalam wakalah adanya perjanjian antara satu orang dengan
orang lain, isi perjanjian itu berupa pendelegasian tugas oleh
pemberi kuasa melakukan suatu tindakan tertentu, dan objek yang
dikuasakan mestilah berupa sesuatu yang boleh dikuasakan atau
diwakilkan.

b. Ujrah / Upah
Menurut Fatwa DSN MUI No 113 Tahun 2017 Ujrah adalah
imbalan yang wajib dibayar atas suatu jasa yang dilakukan oleh
wakil.68 Menurut Hanafiah Ujrah adalah akad yang

68
Fatwa DSN MUI No 113 Tahun 2017 tentang Wakalah bil Ujrah

54
memperbolehkan pemilikan manfaat yang diketaui dan disengaja
dari suatu zat yang disewa dengan suatu imbalan.69
Helmi Karim mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia, upah
adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalasan
jasa taau sebagai pembayaran tenaga yang telah dilakukan untuk
mengerjakan sesuatu.70 Menurut Terminologi adalah suaru imbalan
atau upah yang didapatkan dari akad pemindahan hak guna atau
manfaat baik berupa benda atau jasa tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan.71
Afzalurrahman dalam bukunya mengutip Nurimansyah
Hasibuan, bahwasannya upah adalah segala macam bentuk
pernghasilan yang diterima buruh (tenaga kerja) baik berupa uang
ataupun barang dalam jangka waktu tertentu pada suatu kegiatan
ekonomi. Menurut Benham, upah dapat didefinisikan dengan
sejumlah uang yang dibayarkan oleh orang yang memberikan
pekerjaan kepada seorang pekerja atas suatu jasa sesuai
perjanjian.72
Kemudian Hendi Suhendi mengutip dari Idris Ahmad bahwa
upah adalah mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan
member ganti menurut syarat-syarat tertentu.73 Sedangkan
berdasarkan pernyataan Prof. Benham, upah dapat didefinisikan
dengan sejumlah uang dibayar oleh orang yang memberikan
pekerjaan kepada seorang pekerja atas jasanya sesuai dengan
perjanjian.74
Dalam Islam, upah ditentukan melalui proses negosiasi antara
pihak yang bersangkutan berdasarkan prinsip persamaan dan

69
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal 114
70
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, 29
71
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani Pers,
2001) hal 117
72
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam,(Yogjayakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995) hal 361
73
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal 115
74
G. Kartasaputra, Hukum Perburuhan di Indonesia Berlandaskan Pamcasila, (Jakarta ; Sinar
Grafia, 1994), hal 94

55
keadilan, yang bertujuan untuk menjamin upah yang layak atas apa
yang telah ia berikan atau kerjakan. Perintah terkait adil dapat
dilihat dalam Surah An-Nahl Ayat 90, yang artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, member kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkinan dan permusuhan. Dia
member pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran.”

c. Pengertian Wakalah bil Ujrah


Akad Wakalah bil Ujrah adalah akad wakalah yang disertai
dengan imbalan berupa ujrah (fee)75
Wakalah bil ujrah adalah pelimpahan kekuasaan dari
seseorang sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak
kedua dalam hak yang diwakilkan (dalam hal ini pihak kedua)
hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau wewenang yang
diberikan oleh pihak pertama, dan atas jasanya melakukan tugas
tersebut pihak kedua berhak mendapatkan ujrah.76
Menurut Wahbah al-Zuhaili, wakalah sah dilakukan baik
dengan imbalan maupun tanpa imbalan, hal itu karena Nabi
shallallahu ‘alaihi waalihi wasallam pernah mengutus para
pegawainya untuk memungut sedekah (zakat) dan beliau
memberikan imbalan kepada mereka… Apabila wakalah dilakukan
dengan memberikan imbalan makan hukumnya sama dengan
hukum ijarah. (Fath Qadhir, juz 6’ h.2; Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuh. [Dimasyq: Dar al-Fikr, 2002], juz 5, h.
4058.

75
Fatwa DSN MUI No. 113 tahun 2017 Tentang Wakalah bil Ujrah
76
Fatwa DSN MUI No. 52 tahun 2006 Tentang Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi Syariah
dan Reasuransi Syariah

56
5. Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum diartikan sebagai pengakuan dan jaminan
yang diberikan oleh hukum dalam hubungannya dengan hak-hak
manusia. Perlindungan hukum merupakan “condition sine quanon”
penegakan hukum, sedangkan penegakan hukum merupakan wujud
dari fungsi hukum.77
Perlindungan hukum berfungsi untuk memenuhi hak-hak (asasi)
pekerja wanita secara adil serta bagi pemerintah dan pengusaha akan
terhindar dari sikap melanggar hukum dan sewenang-wenang.78
Selain itu, dalam konteks pembahasan hukum itu sendiri, Rahardjo
mengutip Philip Selznick dalam bukunya Law, Society and Industrial
Justice, mengemukakan bahwa hukum itu erat sekali berkaitan dengan
usaha untuk mewujudkan nillai-nilai tertentu. Selznick mengaitkan
hukum itu pada suatu latar belakang susunan masyarakat dan nilai-
79
nilai tertentu, yaitu demokrasi.
Kemudian beberapa ahli mengemukakan pendapatnya terkait
perlindungan hukum sebagaimana dikutip oleh Satjipto Raharjo
diantaranya:
Rahardjo juga mengutip dari Fitzgerald yang mengatakan bahwaa,
awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum bersumber dari
teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh
Plato, Aristoteles, dan Zeo (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran
hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan
yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak
boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum
dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal
dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.80

77
Winahyu Erwiningsih, “Pelindungan Hukum Tenaga Kerja Wanita”, Jurnal Hukum, I, No. 3,
1995, hal 23
78
Ibid
79
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa Bandung, 1981), hal 81
80
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal 53

57
Kemudian Fitzgerald juga mengutip istilah teori perlindungan
hukum dari Salmond, bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan
mengkoordinasikan bebagai kepentingan dalam masyarakat karena
dalam suatu lalulintas kepentingan, perlindungan terhadap
kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai
kepentingan di lain pihak. Perlindungan hukum harus melihat tahapan
yakni perlindungan hukum lahir sari suatu ketentuan hukum dan
segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada
dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur
hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara
perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili
kepentingan masyarakat.81
Selanjutnya dalam buku Satjipto Rahardjo mengutip Phipilus M.
Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan
pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan hukum
yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang
mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam
pengambilan keputusan berdasarkan diskresi dan perdlindungan yang
represif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, termasuk
penanganannya di lembaga pengadilan.82
Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah
memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang
dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada
masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh
hukum.83

81
Ibid
82
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, hal 54
83
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, hal 69

58
Kemudian menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, hukum dapat
difungsikan untuk menghujudkan perlindungan yang sifatnya tidak
sekadar adaptif dan fleksibel, namun juga predektif dan antipatif.84

6. Perlindungan Konsumen
a. Pengertian Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
konsumen, yang berbunyi: Perlindungan konsumen adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberik
perlindungan kepada konsumen. 85
Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya
kepastian”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan
sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk
kepentingan perlindungan konsumen.86
Kemudian arti dari konsumen didefinisikan pada Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi: Konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.87
Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal kosumen akhir dan
konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat
akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen
yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi
suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini
adalah konsumen akhir.

84
Lili Radjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Suatu Sistem, (Bandung : Remaja Rusdakarya, 1999),
hal 118
85
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 Angka 1
86
Ahmadi Miru, dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Raja Wali Pers, 2017) hal 1
87
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 Angka 2

59
Hal yang perlu dikritisi disini bahwa cakupan konsumen dalam
UUPK adalah sempit. Bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai
konsumen sesungguhnya tidak hanya terbatas pada subjek hukum yang
disebut “orang”, akan tetapi masih ada objek hukum lain yang juga
sebagai konsumen akhir yaitu “badan hukum” yang mengonsumsi
barang dan/atau jasa serta tidak untuk dieprdagangkan. Oleh karena
itu, lebih tepat bila dalam pasal ini menentukan “setiap pihak yang
memberoleh barang/atau jasa” yang dengan sendirinya tercakup orang
lain dan badan hukum, atau paling tidak di tentukan dalam Penjelas
Pasal 1 angka 2 tersebut.88
Dengan demikian, dapat diketahui Undang-Undang Perlindungan
Konsumen dapat memberikan perlindungan kepada konsumen yang
bukan hanya pada manusia (hewan, maupun tumbuh-tumbuhan).
Pengertian konsumen yang luas itu, sangat tepat dalam rangka
memberikan perlindungan seluas-luasnya kepada konsumen.
Walaupun masih perlu disempurnakan sehubungan dengan
penggunaan istilan”pemakai”, demikian pula dengan eksistensi “badan
hukum” yang tampaknya belum masuk dalam pengertian tersebut.
b. Asas Perlindungan Konsumen
Sebagaimana terkait asas perlindungan konsumen tertuang
dalam Pasal 2 UUPK yang berbunyi: Perlindungan konsumen
berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan
keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”
Dalam hal ini Ahmad Miru dan Sutarman Yodo
memberikan penjelasan terkait kelima asas ini. Ahmad dan
Sutarman menjelaskan perlindugan konsumen diselenggarakan
sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas relevan dalam
pembangunan nasonal, yaitu:
1) Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan
bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan

88
Ahmadi Miru, dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, hal 5

60
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan
pelaku usaha secara keseluruhan.
2) Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh
rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan
memberikan kesempatam kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil.
3) Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku
usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.
4) Asas kesamaan dan keselamatan konsumen,
dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemafaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5) Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha
maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh
keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan
konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.

c. Hak dan Kewajiban Konsumen


Presiden Amerika Serikat Jhon F. Kennedy mengemukakan
terkait hak-hak konsumen di depan kongres pada tanggal 15
Maret 1962. Jhon mengemukakan ada 4 hak konsumen,
diantaranya:
1) Hak memperoleh keamanan
2) Hak memilih
3) Hak mendapat informasi
4) Hak untuk didengar

61
Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi
Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal
10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3,8,19,21, dan
Pasal 26, yang telah Organisasi Konsumen Sedunia
(International Organization of Consumen Union-iocu)
ditambahkan empat ahhk dasar konsumen lainnya, yaitu:
1) Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
2) Hak untuk memperoleh ganti rugi;
3) Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
4) Hak untuk memperoleh lingkungan hidup dan bersih
dan sehat
Disamping itu, Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische
Gemeenschap atau EEG) juga telah menyepakati lima hak
dasar konsumen sebagai berikut:
1) Hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op
bercherming van zijn gezenheid en veilifhed) ;
2) Hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op
bescherming van zijn economische belangen)’
3) Hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding);
4) Hak atas penerangan (recht op voorlichting en
vorming)
5) Hak untuk didengar (recht om te worden gehord)

B. Review Penelitian Terdahulu

1. Aspek Kontrak Perjanjian Perspektif Hukum Islam

Berkaitan dengan tema ini, dalam penelitian skripsi yang dilakukan


oleh Abdul Karim Munthe (2014) yang berjudul “Kontrak Baku
Pada Asuransi Syariah dalam Perspektif Hukum Perlindungan

62
Konsumen”89, dalam penelitian tersebut menyatakan menurut hukum
Islam penggunaan kontrak baku tidak dilarang sebagaimana
halnya juga dalam peraturan perundang-undangan tidak melarang
menggunakan kontrak baku. Menurut peraturan perundang-
undangan kontrak baku dapat digunakan selama tidak melanggar
UUPK dan dalam persfektif hukum Islam kontrak baku harus
mencantumkan hal-hal yang telah difatwakan oleh DSN-MUI.

Sedangkan dalam penelitian jurnal oleh Trisadini Prasastinah


Usanti (2013) yang berjudul “Akad Baku Pada Pembiayaan
Murabahah di Bank Syariah”90, menjelaskan dalam hukum kontrak
syariah sangat menekankaan adanya prinsip kejujuran yang hakiki,
karena hanya dengan prinsip kejujuran itulah keridhan dari para pihak
yang membuat perjanjian dapat terwujud. Kejujuran merupakan hal
yang prinsip bagi manusia dalam segala aspek bidang kehidupan,
termasuk di dalam penyusunan kontrak muamalah. Jika kejujuran
tidak diamalkan dalam penyusunan kontrak, maka akan merusak
keridhaannya (uyub al-ridha).

Kemudian alam penelitian jurnal oleh Dwi Fidayanti (2014) yang


berjudul “Perjanjian Baku Menurut Prinsip Syariah (Tinjauan
Yuridis Praktik Pembiayaan di Perbankan Syariah) menunjukkan
perjanjian baku yang dapat memenuhi prinsip syariah, maka
perjanjian tersebut dapat berlaku mengikat bagi para pihak dan
perjanjian tersebut dapat dijadikan bukti untuk para pihak memenuhi
prestasi. Artinya perjanjian tersebut sah di mata hukum karena di
dalamnya tidak mengandung sesuatu yang dilarang. am peraturan
Bank Indonesia. Prinsip syariah yang digunakan bekaitan dengan
perjanjian yang terdapat pada fatwa diatur secara tersendiri pada

89
Abdul Karim Munthe, Skripsi: Kontrak Baku Asuransi Syariah dalam Prespektif
Hukum,(Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2014) hal 71
90
T. Usanti, “Akad Baku Pada Pembiayaan Murabahah di Bank Syariah”, Vol XVIII No. 1 Tahun
2012, hal 83

63
tiap produk dan jasa yang terdapat pada perbankan syariah. Saat ini,
kebanyakan perjanjian yang terdapat pada perbankan syariah
dibuat secara baku dimana beberapa klausula yang terdapat pada
perjanjianperjanjian tersebut dapat memberatkan salah satu pihak saja.

Kemudian dalam penelitian oleh Dewi Yunita (2017) yang berjudul


“Tinjauan Hukum Kontrak Prinsip Syari’ah Dibandingkan
dengan Sistem Hukum Perdata” menyimpulkan bahwa dalam
merespon perkembangan bentuk-bentuk baru dalam bertransaksi
sudah seharusnya ahli fiqh mu’amalah disamping menguasai prinsip-
prinsip dan asas-asas hukum Islam itu sendiri, juga mengetahui
praktik-praktik mu’amalah kontemporer yang banyak dikuasai oleh
ahli ekonomi konvensional pada umumnya.

Selanjutnya penelitian berupa jurnal yang dilakukan oleh Ni’matul


Khoiriyah & Lukman Santoso (2017) yang berjudul91 “Batasan
Kebebasan Berkontrak dalam Kontrak Konvensional dan
Kontrak Syariah”, menyebutkan kontrak perjanjian syariah yang
digunakan paradigma dasar yang menjadi tegaknya asas kebebasan
berkontrak perspektif syariah (hukum islam) yaitu bertumpu pada
kewahyuan. Karakteristik yang menonjok dari asa kebebasan
berkontrak perspektif hukum Islam yaitu bersifat kewahyuan yang
telah diatur secara khas dalam Al-Qur’an dan Hadist. Kemudian
penempasan asas kebebasan berkontrak menurut perspektif syariah ini
memiliki fungsi untuk menjamin keterikatan dari para pihak guna
mematuhi isi perjanjian.

Selanjutnya penelitian dalam artikel ilmiah oleh Novita Ratna


Deviani (2012) yang berjudul “Analisis Yuridis Kontrak Baku
Pembukaan Rekening PT. Danareksa Berdasarkan Asas-Asas
Hukum Perjanjian dan Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor

91
Ni’matul Khoiriyah, dkk, “Batasan Kebebasan Berkontrak dalam Kontrak Konvensional dan
Kontrak Syariah”, Ahkam, Vol. 5, 1, (Juli, 2017) hal 56

64
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”92 menyatakan
latar belakang timbulnya kontrak baku disebabkan karena keadaan
sosial ekonomi. Perusahaan besar dan perusahaan pemerintah
mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan
mereka, ditentukan syarat-syarat secara sepihak. Pihak lawannya pada
umumnya mempunyai kedudukan lemah baik karena posisinya
maupun karena ketidaktahuannya, dan hanya menerima apa yang
disodorkan.

2. Sengketa (Dispute) pada suatu Kontrak Perjanjian

Terkait aspek ini dalam penelitian Retna Dumanti (2012) yang


berjudul “Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari KUHPerdata”
menyimpulkan bahwa suatu prestasi dalam perjanjian apabila tidak
dilaksanakan oleh salah satu pihak maka pihak lainnya dapat membuat
somasi, apabila 3 kali somasi tidak diindahkan maka pihak yang tidak
melaksanakan prestasi dapat dikatakan wanprestasi atau putusan
pengadilan.

Kemudian dalam penelitian Moch. Lukman Hamim dan Mde


Suksman Prijandhini Devi Salain (2019) yang berjudul “Penyelesaian
Sengketa Dalam Kontrak Kerjasama Internasional antara Hotel
dengan Agen Perjalanan Online“, terkait aspek ini menyatakan
upaya hukum yang dilakukan para pihak yang bersengketa dalam hal
ini adalah sengketa wanprestasi dalam kontrak kerjasama, yaitu
dengan mengajukan upaya hukum litigasi atau non-litigasi. Upaya
hukum gugatan ganti rugi secara litigasi, sebagaimana tertuang dalam
dokumen kontrak yang telah diperjanjikan.

92
Novita Ratna Deviani, Artikerl Ilmiah, “Analisis Yuridis Kontrak Baku Pembukaan Rekening
PT. Danareksa Sekuritas Berdasarkan Asa-Asas Hukum Perjanjian dan Pasal 18 Ayat (1) UUPK
(Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2012) hal 90

65
Kemudian berdasarkan penelitian oleh Nur Islamiyah
Puspasari,dkk (2020)93 yang berjudul “Penyelesaian Sengketa
Pembiayaan Dengan Objek Jaminan Hak Tanggungan pada Bank
Syariah di Kota Malang”, menerangkan bahwa setiap sengketa
terjadi antara debitur dengan pihak bank terlebih dahulu dapat
diselesaikan melalui proses penyelesaian sengketa secara non-litigasi.
Latar belakang ketentuan ini merupakan bagian dari rangkaian
perlindungan kepada konsumen, dalam hal ini debitur yang
merupakan nasabah bank. Ketentuan ini tertuang dalam konsideran
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan.

Selanjutnya dalam penelitian oleh Sulasi Rongiyati (2017) 94 yang


berjudul, “Perjanjian-Perjanjian Kredit antara UMKM dan
Lembaga Penjamin berdasarkan UU No. 1 Tahun 2016 tentang
Perjaminan”, menyatakan bahwa untuk mengantisipasi timbulnya
suatu sengketa dalam pelaksanaan perjanjian maka pada bagian akhir
dari perjanjian pada umumnya memuat klausula penyelesaian
sengketa yang dipilih oleh para pihak apabila diantara para pihak
terdapat perselisihan. Proses penyelesaian sengketa tersebut dapat
ditempuh melalui prosedur formal dan informal.

3. Aspek Hubungan dan/atau Akibat Hukum dalam Perjanjian


Kontrak Baku

Berkaitan dengan aspek ini, dalam penelitian Zulfi Diane Zaini


yang berjudul “Analisis Yuridis Penerapan Klausula Eksemsi
Dalam Perjanjian Pembiayaan Syariah Pada Lembaga

93
Nur Islamiyah Puspasari,dkk, “Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Dengan Objek Jaminan Hak
Tanggungan pada Bank Syariah di Kota Malang”, Delega Lata, Vol. 5, 1, hal 26
94
Sulasi Rongiyati, “Perjanjian Perjanjian-Perjanjian Kredit antara UMKM dan Lembaga
Penjamin berdasarkan UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perjaminan”, Negara Hukum, Vol. 7, 1,
(Juni,2016), hal 101

66
Perbankan Syariah”, menjelaskan akibat hukum dalam perjanjian
baku pada klausul eksemsi jika kontrak atau perjanjian yang tidak sah
subjektif dapat dibatalkan oleh pihak yang berkontrak. Sebaliknya jika
tidak sah objektif, perjanjian dapat batal demi hukum. Akibat hukum
dari kontrak baku syariah yang mengandung klausula ekesmsi
didalamnya, yaitu batal demi hukum, konsekuensi yuridisnya
perjanjian dianggap tidak pernah ada. Kebatalan tersebut dimohonkan
kepada dan melalui penetapan pengadilan yang berwenang.

Sedangkan pada penelitian Trisandini Prasastinah Usanti (2013) 95,


yang berjudul “Akad Baku Pada Pembiayaan Murabahah di Bank
Syariah”, menjelaskan hubungan hukum Lembaga Keuangan Syariah
dengan nasabah tidak hanya sebatas hubungan kreditor dengan
debitor, akan tetapi didasarkan pada berbagai macam hubungan
hukum antara lembaga keuangan dengan nasabah. Yang melandasi
hubungan hukum tersebut adalah dalam bentuk Akad Perjanjian. Pada
dasarnya ko, yang berjudul ntrak atau perjanjian dibuat berlandaskan
hukum pada asas kebebasan berkontrak di antara dua pihak yang
memiliki kedudukan seimbang dan berusaha mencapat kata sepakat.

Selanjutnya dalam penelitian I komang S.M.C. Subagia96, yang


berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Nasabah dalam Perjanjian
Kredit Bank di Indonesia sesuai UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan”, menyatakan bahwa dalam hal kontrak perjanjian telah
memiliki konsekuensi hukum terhitung sejak disepakati para pihak
yang membuatnya. Apabila tidak dipenuhi, maka dapat digunakan
perantaraan pengadilan/Negara untuk menyelesaikannya. Untuk itu
setiap kontrak harus dibuat berdasarkan asas keseimbangan, artinya
hak dan kewajiban antara bank dan nasabah harus sama.

95
Trisandini Prasastinah Usanti, “Akad Baku Pada Pembiayaan Murabahah di Bank Syariah”,
Prespektif, Vol. XVIII, 1, (Januari, 2013), hal 47
96
I Komang S.M.C. Subagia, “Perlindungan Hukum Bagi Nasabah dalam Perjanjian Kredit Bank
di Indonesia sesuai UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan”, Lex Privatum, Vol. VI, 4, (Juni,
2008), hal 23

67
Kemudian penelitian selanjutnya oleh Dewi Yunita yang berjudul
“Tinjauan Hukum Kontrak Prinsip Syariah Dibandingkan
Dengan Sistem Hukum Perdata”, menjelaskan bahwa pola
hubungan yang didasarkan pada keinginan untuk menegakkan sistem
syariah diyakini sebagai pola hubungan yang kokoh antara LKS
dengan nasabah. Pola hubungan antara kedua belah pihak yang terlibat
dalam Lembaga Keuangan Syariah tersebut ditentungan dengan
hubungan akad. Hubungan akad yang melandasi segenap transaksi
inilah yang membedakannya dengan Lembaga Keuangan
Konvensional, karena akad yang diterapkan pada LKS atau LKS-Non
Bank memiliki konsekuensi hukum duniawi dan ukhrawi karena akad
yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.

Dan selanjutnya penelitian oleh I Gusti Ayu Ratih Pradnyani


(2016) yang berjudul “Perjanjian Baku Dalam Hukum
Perlindungan Konsumen” menyimpulkan bahwa perjanjian baku
yang mengandung klausula eksonerasi menimbulkan akibat hukum
bagi konsumen yaitu tanggung jawab konsumen. Upaya huukum yang
dapat dilakukan konsumen atas pencantuman klausula eksonerasi oleh
pelaku usaha meliputi litigasi dan non litigasi.

4. Aspek Perlindungan Hukum Konsumen dalam Kontrak

Pada penelitian yang ditulis oleh Sri Lestari Poernomo (2020) 97,
yang berjudul “Standar Kontrak dalam Perspektif Hukum
Perlindungan Konsumen”, menjelaskan terkait perlindungan
terhadap konsumen yang perlu mendapat perhatian utama dalam
standar kontrak yakni terkait klausula eksonerasi yang merupakan
klausula yang berisi pembebasan kewajiban dan pertanggungjawaban
pelaku usaha tetapi dibebankan kepada konsumen.

97
Sri Lestari Poernomo, “Standar Kontrak dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen”, De
Jure, Vol. 19, 1, (Maret,2019), hal 117

68
Kemudian penelitian oleh I Gusti Ayu Ratih Pradnyani (2016)
yang berjudul “Perjanjian Baku Dalam Hukum Perlindungan
Konsumen”, menyimpulkan bahwa perlindungan hukum terhadap
hak-hak konsumen atas dibuatnya perjanjian baku oleh pelaku usaha
ialah pihak konsumen mendapatkan perlindungan hukum oleh UU
Berdasarkan pasal 45 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.

Kemudian berdasarnya penelitian oleh I Komang S. M. C. Subagia


(2008)98 yang berjudul, “Perlindungan Hukum Bagi Nasabah
dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia Sesuai UU No. 10
tahun 1998 tentang Perbankan” menyatakan bahwa perlindungan
hukum bagi nasabah dalam perjanjian dalam perbankan menurut UU
No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, hanya bisa terakomodir apabila
para pihak (khususnya piahk bank/kreditur) memahami dan
menjalankan prinsip kebebasan berkontrak dengan baik.

Sedangkan menurut penelitian oleh Agust Satory (2015) 99, yang


berjudul “Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen dalam
Transaksi Bisnis Sektor Jasa Keuangan: Penerapan dan
Implementasinya di Indonesia” menjelaskan terkait peraturan
perlindungan konsumen di Sektor Jasa Keuangan termuat dalam
regulasi POJK No. 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan. Spirit dari peraturan tersebut tidak diragukan
lagi memperkuat sisi perlindungan konsumen. Dalam regulasi tersebut
memuat 3 hal pokok tentang hak konsumen, yaitu, hak konsumen atas
informasi, perlindungan hak atas fair agreement, dan kompensasi dan
kerugian konsumen.

98
I Komang S.M.C. Subagia, hal 23
99
Agust Satory, “Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Bisnis Sektor
Jasa Keuangan: Penerapan dan Implementasinya di Indonesia”, Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum,
Vol 2, 2, (2015) hal 277

69
Berdasarkan penelitian-penelitian diatas, penulis menemukan gap atau
celah suatu masalah yang belum dibahas oleh peneliti-peneliti sebelumnya
yakni terkait perlindungan hukum nasabah terkait ketidakjelasan informasi
pada kontrak baku pembukaan rekening efek syariah. Oleh sebab itu
penulis akan meneliti tentang Analisis Kontrak Pembukaan Rekening
Efek Syariah Ditinjau dari Fatwa DSN MUI (Studi Kasus: PT. Indo
Premier Sekuritas), dimana penelitian ini berbeda dari penelitian-
penelitian sebelumnya.

70
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yakni metode
penyajian data dengan deskriotif, yang akan menguraikan serta
menafsirkan data-data yang ada dengan tertuju pada pemecahan masalah.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang analisis datanya bersifat
induktif dan hasil penelitiannya lebih menkankan pada makna. Metode
kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam pada suatu
data, dimana data tersebut bersifat deskriptif yang mengandung makna
yang sering bertujuan menghasilkan hipotesis dari penelitian lapangan.100
Penelitian yang berkaitan dengan analisis penerapan kontrak baku
yang kemudian dikaitkan dengan suatu regulasi atau ketentuan peraturan
perundang-undangan, jenis penelitian yang cocok bersifat normatif. Suatu
penelitian yang menganalisis hukum posisitif maupun asas-asas hukum,
dengan menjelaskan secara sistematis ketentuan-ketentuan hukum dalam
sebuah kategori hukum tertentu, kemudian menganalisis hubungan antara
ketentuan hukum dan pengembangan kedepan.

B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah dengan menganalisa
kontrak baku pembukaan rekening efek syariah yang dikaitkan dengan
beberapa ketentuan dalam suatu regulasi adalah isu utama yang diteliti
dalam skripsi ini. Dengan demikian metode pendekatan penelitian yang
cocok untuk tema ini adalah metode penelitian normatif-empiris. Metode
penelitian normatif yaitu penelitian mengenai pemberlakuan ketentuan
hukum normative (undang-undang atau peraturan lainnya) pada peristiwa

100
Deddy M, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial
Lainnya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), hal 145

71
hukum tertentu yang terjadi di masyarakat.101 Sedangkan penelitian
empiris adalah penelitian yang dilakukan menggunakan data empirik
seperti wawancara pihak terkait.
Penelitian ini juga suatu penelitian yang menganalisis hukum islam
(syariah) dalam hal ini menggunakan kajian Fatwa DSN MUI serta kajian
hukum positif maupun asas-asas hukum, dengan melakukan penjelasan
secara sistematis ketentuan-ketentuan hukum dalam sebuah kategori
hukum tertentu, menganalisis hubungan antara ketentuan hukum
menjelaskan dan memprediksi pengembangan kedepan.

C. Sumber Data
Mengenai tema utama dalam skripsi ini, adapun sumber data yang
digunakan yaitu;
a. Data Primer
Pertama, penulis menggunaka data primer berupa data kontrak baku
berupa form pembukaan rekening efek syariah PT. Indo Premier
Sekuritas yang akan dikaji dan diteliti oleh penulis. Kedua, data primer
berupa hasil wawancara pihak PT. Indo Premier Sekuritas dan Nasabah.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari berbagai sumber
literatur yang terkait dengan penelitian baik berupa buku, jurnal,
internet, dan bahan pendukung lainnya.

Data sekunder terdiri dari:


1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang berasal dari sumber
yang mengikat seperti peraturan perundang-undangan, yang
berhubungan dengan penelitian yaitu;
a. KUHPerdata
b. Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen

101
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004),
hal 134.

72
c. POJK No. 01/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan
d. POJK No. 31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha
Pembiayaan Syariah
e. SEOJK No. 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku
f. Fatwa DSN MUI No. 113/DSN-MUI/IX/2017 tentang Wakalah bil
Ujrah
2) Bahan hukum sekunder yaitu merupakan bahan pustaka yang meliputi
buku-buku hasil karya para sarjana, hasil penelitian dan penemuan
ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang berfungsi memberikan
penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder berupa bahan pustaka seperti kamus hukum dan kamus
lainnya yang menyangkut penelitian ini.

D. Teknik Pengumpulan Data

1) Observasi (Pengamatan)

Data yang didapat oleh penulis adalah informasi mengenai mekanisme


perjanjian disaat seorang investor akan melakukan investasi efek
syariah melalui PT. Indo Premier Sekuritas dan mengamati isi kontrak
tersebut terkait kejelasan informasi mengenai kewajiban nasabah
berupa pembayaran ujrah.

2) Wawancara

Setelah melakukan observasi pada isi kontrak, penulis menggunakan


teknik wawancara untuk mendapatkan data empirik. Dimana penulis
melakukan wawancara kepada salah satu pihak PT. Indo Premier
Sekuritas serta kepada Nasabah yang melakukan investasi melalui PT.
Indo Premier Sekuritas.

73
3) Dokumentasi

Adapun dokumen-dokumen berupa arsip-arsip mengenai kontrak baku


pembukaan rekening efek syariah di PT. Indo Premier Sekuritas. Selain
dokumen-dokumen tersebut, penulis juga mengambil referensi dari
peraturan-peraturan terkait, brosur, browsing pada website Bursa Efek
Indonesia dan lain sebagainya. Semua sumber tersebut sebagai
tambahan referensi dalam menyusun penelitian ini.

4) Teknik Kepustakaan
Menyandingkan penelitian terhadap literatur-literatur yang berkaitan
dengan topik penelitian.

E. Metode Analisis Data


Data yang didapatkan dalam penelitian ini diolah menggunakan
metode secara kualitatif dengan pendekatan deskriptif-analitis, dimana
analisa data dilakukan lebih mementingkan pada kesesuaian isi suatu
dokumen kontrak atas suatu teori dan regulasi, bukan mementingkan
kuantitas pada data.
Setelah data-data didapat, kemudian akan dianalisis dan dikaitkan ke
dalam rumusan masalah, kemudian ditafsirkan sebagai salah satu upaya
dalam mencari solusi atas permasalahan yang ada. Kemudian data diolah
sampai menemukan kesimpulan kebenaran yang dapat digunakan untuk
menjawab permasalahan yang ada.

F. Sistematika Penulisan
Untuk mendeskripsikan penelitian dengan jelas dan mudah dipahami,
maka penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab pendahuluan ini dikemukakan hal-hal mengenai latar


belakang, permasalahan penulisan skripsi ini yang kemudian dirumuskan

74
dalam perumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, dan dijabarkan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi mengenai teori yang berupa pengertian dan definisi yang
diambil dari kutipan buku dan jurnal serta beberapa review
terdahulu yang berhubungan dengan penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini menjelaskan metode penelitian, yang berisi mengenai subjek dan
objek yang diambil oleh peneliti dalam penelitian. Kemudian penjelasan
bagaimana teknik pengumpulan data, termasuk jenis penelitian dan
pendekatan penelitian, sumber data apa yang dipakai dalam proses
penelitian, serta bagaimana analisis data yang telah dikumpulkan.

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini peneliti akan memaparkan dat hasil penelitian dan
pembahasan penelitian dengan menjawab masalah-masalah yang telah
dirumuskan dengan metode-metode yang telah disebutkan.

BAB V PENUTUP

Bab ini berisi tentang kesimpulan hasil penelitian dan saran yang
dapat diberikan penulis yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.

75
G. Kerangka Konseptual

Kontrak Pembukaan Rekening Efek Syariah PT. Indo Premier Sekuritas

Analisis Fatwa DSN MUI No. 93/DSN- a) KUHPerdata


MUI/IV/2014 tentang Keperantaraan (Wasathath) b) Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang
dalam Bisnis Properti dan Fatwa DSN MUI No. Perlindungan Konsumen
113/DSN-MUI/IX/2017 tentang Wakalah bil c) POJK No.1/POJK.07/2013 tentang
Ujrah
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan
d) POJK No. 31/POJK.05/2014 tentang
Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah
e) SEOJK No. 13/SEOJK.07/2014 tentang
Adanya ketidak Jelasan Informasi tentang
Perjanjian Baku
kewajiban nasabah terkait ujrah (fee)
f) Fatwa DSN MUI No. 113/DSN-MUI/IX/2017
tentang Wakalah bil Ujrah

Analisis Perlindungan Nasabah terkait dampak


ketidakjelasan informasi pada perjanjian menurut Wawancara Pihak terkait
hukum perlindungan konsumen

Sesuai / tidak sesuai

76
BAB IV
ANALISIS KESESUAIAN KONTRAK BAKU TERHADAP
FATWA DSN MUI DAN UU

A. Analisis Isi Kontrak Menurut Fatwa DSN MUI


Prinsip syariah yang digunakan berkaitan dengan sebuah perjanjian yang
terdapat pada fatwa diatur secara tersendiri pada setiap produk di lembaga
keuangan syariah. Saat ini, sudah banyak kegiatan yang menggunakan
perjanjian berupa klausula-klausula yang sudah disusun dan ditentukan oleh
salah satu pihak. Hal ini lah yang disebut perjanjian dalam bentuk klausula
baku/kontrak baku.
Sistem perjanjian dalam lembaga keuangan yang menggunakan kontrak
baku dalam prespektif Islam tidak dilarang, begitupun dengan kajian
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, kontrak baku tersebut
haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Dimana tidak
mengandung unsur gharar, maisir, riba, zalim, mengandung objek yang
dilarang, serta memenuhi rukun dan syarat sesuai dengan akad yang
digunakan.
Jika dikembalikan kepada asas-asas dari perjanjian menurut Hukum
Islam, maka dapat diketahui bahwa apabila tidak adanya kebebasan dalam
akad termasuk melanggar asas kebebasan berakad atau dalam istilah bahasa
arab disebut mabda’ huriyyah at-ta’aqud. Dalam asas kebebasan berakad,
para pihak yang melakukan akad harus memiliki dasar suka sama suka atau
kerelaan antara masing-masing pihak, tidak boleh ada tekanan paksaan, unsur
penipuan, dan miss-statement.
Berdasarkan firman Allah pada QS. An-Nisa’: 29 yang berisi bahwa:
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan sua sama suka diantara kamu.”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa dalam hal perdagangan termasuk
dengan perjanjian harus berdasarkan suka sama suka atau adanya kerelaan

77
dari seluruh pihak yang bersangkutan. Sedangkan, dalam perjanjian berupa
klausula baku/perjanjian baku cenderung memiliki unsur keterpaksaan dari
salah satu pihak untuk menerima setiap klausula baku yang telah disusun dan
ditentukam oleh pihak lainnya sehingga meninmulkan adanya posisi salah
satu pihak yang lebih kuat dan menimbulkan pihak lain menjadi lemah.
Kemudian mau tidak mau harus menerima dan menyetujui setiap syarat yang
disebutkan dalam klausula perjanjian tersbebut.
Perjanjian baku yang telah memenuhi prinsip syariah, maka perjanjian
tersebut dapat berlaku bagi para pihak yang bersangkutan dan perjanjian
tersebut dapat menjadi bukti pengikat diantara mereka. Kemudian apabila
salah satu diantara mereka melakukan wanprestasi, perjanjian tersebut dapat
menjadi bukti otentik dalam pengajuan penuntutan oleh salah satu pihak. Dan
perjanjian tersebut sah di mata hukum karena di dalamnya tidak mengandung
unsur yang dilarang. Sebagaimana kaidah ushul fiqh dalam hukum Islam
yang menyatakan bahwa:
“Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil
yang melarangnya”
Segala kegiatan bermuamalah itu sah dilakukan apabila tidak ada
larangan yang secara tegas (dalil) yang melarang atau tidak membolehkan
kegiatan tersebut.
Sebagai peserta investasi atau biasa disebut nasabah, memberikan
kerelaan dirinya untuk menandatangani formulir pembukaan rekening efek
atau kontrak pengikat antara nasabah dengan perusahaan efek sebagai tanda
persetujuannya untuk mengikatkan diri kepada perusahaan. Kerelaan tersebut
dianggap sah apabila diiringi dengan tanpa unsur paksaan, tipuan, dan segala
kecurangan yang membuat perjanjian ini menjadi batal akibatnya dan
merugikan salah satu pihak.

1. Penggunaan Akad Wakalah bil Ujrah


Dalam penerapan kontrak perjanjian antara nasabah dengan perusahaan
efek, dimana dalam hal ini nasabah memberikan kuasanya kepada perusahaan

78
efek untuk menjadi wakil daripada nasabah melakukan segala kepentingan
yang tidak bisa dilakukan oleh nasbah. Dalam hal ini, perusahaan efek yang
menjadi wakil investor mendapatkan hak berupa upah atau ujrah pada proses
pelaksanaan atas kuasa yang diberikan oleh investor tersebut.
Dalam ketentuan Wakalah bil Ujrah pada Fatwa DSN MUI Nomor 113
tahun 2017 tentang akad Wakalah bil Ujrah menyatakan bahwa, akad
wakalah bil ujrah adalah akad pemberian kuasa dari muwkkil kepada wakil
untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, disertai dengan imbalan jasa
(ujrah).
Setidaknya, ada beberapa ketentuan yang diatur dalam Fatwa DSN MUI
Nomor 113 tahun 2017 tentang akad Wakalah bil Ujrah, diantaranya;
a. Ketentuan tentang sighat akad Wakalah bil Ujrah. Segala hal yang
berkaitan dengan akad Wakalah bil Ujrah harus dinyatakan secara
tegas dan jelas baik lisan maupun tulisan serta mudah dimengerti
oleh wakil dan muwakkil.
b. Ketentuan tentang wakil dan muwakkil. Boleh berupa orang atau
badan hukum yang cakap hukum sesuai syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, memiliki kewenangan untuk
memberikan kuasa kepada pihak lain, pihak muwakkil mampu
memberikan ujrah, dan pihak wakil memiliki kemampuan
mewujudkan perbuatan hukum yang dikuasakan kepadanya.
c. Ketentuan objek wakalah. Harus berupa perbuatan atau pekerjaan
tertantu dan wajib diketahui oleh wakil dan muwakkil.
d. Ketentuan Ujrah. Boleh berupa uang atau barang yang dapat
dimanfaatkan menurut syariah dan peraturan perundang-undangan,
kualitas dan atau kuantitas ujrah harus jelas disampaikan berupa
angka nominal, prosentase tertentu, atau rumus yang disepakati dan
diketahui oleh para pihak yang melakukan akad.

Dalam substansi fatwa tersebut telah secara rinci dijelaskan ketentuan-


ketentuan berakad dalam konteks akad Wakalah bil Ujrah. Dalam hal ini

79
berlaku pula bagi semua jenis produk pembiayaan baik pada sebuah
perjanjian biasa atau perjanjian menggunakan klausula baku/perjanjian baku.
Perjanjian baku yang sah dengan standar atau prinsip hukum islam, tidak
terlepas dari ketentuan akad dalam fatwa DSN MUI.

Sebagaimana yang dicantumkan pada kontrak baku pembukaan rekening


efek Indo Premier Sekuritas, terkait apa saja yang diwakilkan nasabah kepada
perusahaan, ada 28 poin diantaranya tercantum dalam bagian Pasal VIII
tentang Kuasa Nasabah Kepada PT Indo Premier Sekuritas (“Perseroan”)
yang berbunyi;

“Sehubungan dengan pembukaan rekening efek saya pada perseroan,


dengan ini saya (investor) memberikan kuasa kepada Perseroan dalam rangka
transaksi efek untuk efek yang disimpan dan diadministrasikan dalam
penitipan kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (LPP) dan
diperdagangkan secara tanpa warkat (Scripless) dan/atau dititipkan secara
kolektif pada LPP, untuk melakukan tindakan-tindakan:

1. Melaksanakan instruksi jual/beli dari saya (investor) atau


wakil/kuasa dari saya dari waktu ke waktu, baik oleh Perseroan
sendiri ataupun melalui perusahaan efek lain, bilamana dianggap
perlu oleh Perseroan;
2. Membuka dan memelihara rekening efek di Perseroan atas nama
saya (investor) dan membuka sub rekening efek atas nama saya pada
LPP sesuai peraturan yang berlaku di bidiang pasar modal, yang
dimiliki manfaat oleh saya, (atau secara kolektif dengan pemegang
rekening efek lainnya selaku pemegang rekening efek, untuk
menampung efek secara kolektif), dalam rangka
penjualan/pembelian efek dan/atau efek hasil aksi korporasi, serta
memberikan laporan kepada saya jika sewaktu-waktu diminta
(ataupun tanpa diminta) untuk menguji kesesuaian antara saldo
rekening efek saya (investor) dalam pembukuan Perseroan dengan
saldo efek saya dalam sub rekening efek. Sehubungan dengan hal
tersebut saya (investor) berhak untuk sewaktu-waktu meminta
laporan dari Perseroan dan/atau menguji kesesuian antara saldo
rekening efek dalam pembukuan Perseroan dengan saldo efek dalam
sub rekening efek;

80
3. Membuka dan emmelihara rekening dana pada bank yang telah
ditentukan/bekerjasama dengan Perseroan untuk menampung
dana/atau dana hasil penjualan/pembelian efek dan/atau dana hasil
aksi korporasi, atas nama dan/atau untuk kepentingan saya(investor)
(“Rekening Dana”). Sehubungan dengan hal tersebut, saya (investor)
memberikan kuasa kepada Perseroan untuk melakukan dan
menjalankan atau melaksanakan semua atau setiap tindakan-
tindakan:
a. Mengurus Pembukan Rekening Dana
b. Melakukan pendebetan / pemindahbukuan / transfer,
memblokir / membuka blokir, dan mengaktifkan Rekening
Dana untuk keperluan transaksi efek ; dan
c. Memberikan data termasuk mutasi dan/atau saldo dana yang
ada dalam rekening Dana kepada LPP.
4. Mengirim konfirmasi pembelian dan/atau penjualan efek pada hari
transaksi pembelian dan/atau penjualan efek tersebut dilaksanakan;
5. Mengkredit setiap hasil penjualan, penukaran atau penyerahan efek
milik saya (investor) ke dalam rekening efek, dan mendebit setiap
pembayaran komisi, biaya, bea, ganti rugi, denda, dan pelunasan
kewajiban saya (investor) lainnya ke dalam rekening efek;
6. Mengkredit setuap penerimaan dividen, saham bonus, HMETD, dan
hak lainnya yang melekat atas efek milik investor ke dalam rekening
efek;
7. Mengirim konfirmasi selambat-lambatnya 2 (dua) hari bursa atas
penerimaan dividden, saham bonus, dan hak-hak lain yang melekat
atas efek dalam rekening efek Penitipan Kolektif;
8. Menerbitkan dan menyampaikan laporan rekening efek bulanan atas
debit dan kredit pada rekening efek;
9. Menerbitkan dan menyampaikan data kepemilikan efek investor
kepada LPP dalam rangka aksi korporasi atau perluan lainnya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di bidang pasar modal;
10. Menagih, menerima, mengumpulkan, untuk kepentingan investor,
efek/dana hasil aksi korporasi ke dalam rekening Perseroan pasa LPP
untuk kepentingan investor;
11. Mencatat efek dalam buku daftar pemegang efek emiten atas nama
LPP untuk kepentingan investor, baik atas efek yang diserahkan oleh
imvestor kepada Perseroan maupun efek yang diterima Perseroan
dari pihak lain atas intruksi investor;
12. Menunjukkan bukti kepemilikan efek dalam penitipan kolektif
berupa tanda penerimaan penyetoran efek, konfirmasi pencatatan

81
efek dalam rekening efek pada LPP, laporan rekening efek, atau
bukti kepemilikan lain yang ditetapkan oleh LPP tempat efek
tersebut disimpan secara kolektif sewaktu-waktu apabila kami
meminta laporan dan/atau menguji kesesuaian antara saldo rekening
efek dalam pembukuan Perseroan dengan saldo efek dalam Sub
Rekening Efek;
13. Membuat nomor tunggal identitas investor (single Investor
Identification) pada LPP jika saya belum memiliki nomor tunggal
identitas tersebut;
14. Menerima dan menahan untuk pengamanan bagi rekening saya,
surat-surat efek dan/atau uang tunai;
15. Mengambil bagian, memperoleh, membeli, menjual, membagi,
melepas, mentransfer, dan/atau menerima transfer dari setiap efek
dan/atau uang tunai;
16. Menyelesaikan dan menandatangani atas nama saya setiap dan
semua mandata dividen, menerima dividen, bunga, hasil penjualan
dari setiap efek dan lain-lain pembayaran, dan mengambil segala
tindkan yang diperlukan termasuk menandatanagin semua surat
permohonan dan dokumen
17. Mengajukan permohonan dan mengambil tindakan yang diperlukan
untuk mendapatkan atau menerima pembebasan pajak, manfaat,
pembayaran kembali dan /atau pemotongan yang menyangkut efek
dan atau uang tunai menurut ketentuan-ketentuan dari setiap undang-
undang, perintah, peraturan atau perjanjian pajak;
18. Menyelesaikan dan menandatanagi dalam nama investor sebagai
penerima transfer semua akte transfer, dokumen, perjanjian atau
bahan-bahan lain, dan mengambil semua tindakan serta
menyelesaikan semua formalitas yang diperlukan ntuk transfer
dan/atau registrasi dan/atau konversi ke saham scripless dari efek
dan nama saya atau nama lain sebagaimana mungkin ditentukan oleh
surat kuasa terkait;
19. Menyelesaikan dan menandatangani dalam nama investor sebagai
pentransfer setiap dan semua akte transfer, dokumen, perjanjian atau
bahan-bahan lain yang mengambil segala tindakan serta
menyelesaikan semua formalitas yang diperlukan bagi pernjalan
dan/atau transfer dari setiap efek;
20. Menunjuk kuasa-kuasa untuk mengahdiri rapat-rapat pemegang
saham, para pemegang unit, para pemegang wesel atau rapat-rapat
lain yang sejenis dan menyelesaikan serta menandatangani formulir-
formulir surat kuasa dan lain-lain formulitas untuk maksud ini;

82
21. Menangani setiap daftar (ex: daftar-daftar saham) sehubungan
dengan setiap hal mengenai efek;
22. Menerima uang atas nama saya sehubungan dengan efek dan/atau
uang tunai serta menerbitkan tanda terima untuk itu;
23. Menghadap di hadapan instansi-instansi yang terkait; mengajukan
keterangan dan menyelesaikan, menandatangani serta mengajukan
setiap surat permohonan atau dokumen atau setiap surat persetujuan
yang mungkin diperlukan atau dikehendaki guna melaksanakan
setiap dari tindakan-tindakan tersebut di dalam surat kuasa ini;
24. Dalam hal investor melakukan pemesanan pembelian efek melalui e-
IPO, investor memberika kuasa kepada Perseroan untuk melakukan
dan menjalankan atau melaksanakan semua atau setiap dari
tindakan-tindakan:
a. Mengisi Formulir Pemesanan Pebelian Sahama (FPPS) dalam
rangka Penawaran Umum (IPO) suatu Perserosn Terbatas
berdasarkan atas data-data isian FPPS secara elektronik yang
telah dilakukan oleh investor dan/atau melakukan alokasi
pemesanan pembelian efek tersebut melalui sistem E-IPO,
suatu sistem yang telah terintergrasi dengan sistem program
Indo Premier Online Technology (IPOT) milik Perseroan;
b. Melaporkan pelaksanaan pemesanan dan/atau alokasi
pemesanan pembelian efek Penawaran Umum tersebut kepada
investor;
c. Mengembalikan uang pemesanan pembelian efek tersebut
seluruhnya atau sebagian kepada saya dalam hal pemesanan
pembelian effek tersebut ditolak seluruhnya atau sebagian atau
dalam hal terjadinya oembatalan Penawaran Umum tersebut;
d. Mengambil segala tindakan yang penting, perlu dan berguna
sehubungan dengan pemesanan dan/atau alokasi pemesanan
pembelian efek atau mengembalikan uang pemesanan
pembelian efek tersebut sepanjang tindakan tersebut sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam prospectus
dalam rangka Penawaran Umum tersebut, FPPS dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
25. Perseroan dapat menunjuk dan melepas atas kebijakannya sebagian
atau seluruh kuasa yang diterimanya kepada pihak lain, agen atau
substitusi untuk atau atas nama Perseroan sehubungan dengan semua
taua setia dari hal-hal yang terkandung di dalam sutay kuasa ini
dengan syarat dan ketentuan sebagaimana dianggap laya oleh
Perseroan;

83
26. Untuk semua atau setiap maksud yang diberi kewenangan, dengan
ini untuk mengakui dalam nama dan sebagai tindakan serta
perbuatan dari saya ini, serta mendaftarkan dan mencatatkan hal ini
di kantor dan/atau instansi pencatat yang berwenang dan
mengupayakan dilakukannya setiap dan semua tindakan serta hal apa
pun juga yang meungkin disyaratkan harus dilakukan atau pantas
untuk memberikan hasil yang penuh kepada surat kuasa ini
selengkap dan seefektif sebagaimana dapat dilakukan oleh investor;
27. Perseroan berhak untuk sewaktu-watu melakukan penutupan
rekening efek investor tanpa adanya persetujuan dari investor,
termasuk namun tidak terbatas apabila saldo di dalam rekening
tersebut adalah nihil selama jangka waktu 6 bulan berturut-turut
28. Perseroan berhak untuk melakukan perubahan atau penambahan
klausula baru dimana setiap perubahakan tersebut akan
diberitahukan kepada investor. Perubahan klausul tersbeut berlaku
efektif dan dianggap disetujui oleh investor selama investor tidak
mengajukan keberatan atas perubahan klausul tersebut.

Dalam hal 28 poin kegiatan yang diwakilkan nasabah kepada perusahaan


menjadi kepastian kepada pihak yang memiliki kedudukan yang lemah dalam
konteks perjanjian/akad tersebut. Kemudian juga menjadi salah syarat
perjanjian bahwa setiap pihak yang bersangkutan mengetahui secara jelas
kegiatan apa aja yang diwakilkan kepada seorang wakil yang dalam hal ini
adalah Perusahaan Efek.

Jika ditinjau pada empirisnya, memang belum ada satuan regulasi yang
secara detail mengatur tentang ketentuan operasional perjanjian kontrak bagi
perusahaan efek. Termasuk dalam ketentuan akad Wakalah bil Ujrah yang
dalam hal ini masih diadopsi dari peraturan menteri tentang Penerapan
Prinsip Dasar Penyelenggaran Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan
Prinsip Syariah.

Ketentuan Akad Wakalah bil Ujrah dalam Peraturan Menteri Keuangan


tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaran Usaha Asuransi dan Usaha
Reasuransi Dengan Prinsip Syariah, hal-hal yang harus dipaparkan secara
jelas sekurang-kurangnya meliputi:

84
a. Objek yang dikuasakan pengelolaannya;
b. Hak dan kewajiban Peserta secara kolektif dan/atau Peserta secara
individu sebagai muwakkil (Pemberi kuasa);
c. Hak dan kewajiban Perusahaan sebagai wakil (penerima kuasa)
termasuk kewajiban Perusahaan untuk menanggung seluruh kerugian
yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan risiko dan/atau kegiatan
pengeloaan investasi yang diakibatkan oleh kesalahan yang
disengaja, kelalaian, atau wanprestasi yang dilakukan Perusahaan;
d. Batasan kuasa atau wewenang yang diberikan Peserta kepada
Perusahaan;
e. Besaran, cara, dan waktu pemotongan ujrah (fee);102

Terkait objek apa saja yang dikuasakan kepada perusahaan sebagaimana


yang telah disebutkan diatas, telah tercantum dalam kontrak perjanjian baku
pembukaan rekening milik Indo Premier Sekuritas. Pada dasarnya hal inilah
yang menjadi poin penting dalam akad pemberian kuasa antara wakil dan
muwakkil.

2. Hak dan Kewajiban Para Pihak

Terkait hak dan kewajiban Peserta atau dalam hal ini adalah pemberi
kuasa serta hak dan kewajiban Perseroan dalam hal ini adalam penerima
kuasa. Sebagaimana dalam ketentuan akad Wakalah bil Ujrah kewajiban atas
perusahaan wajib menanggung segala kerugian atas kelalaian dari
Perusahaan.

Kontrak baku pembukaan rekening efek syariah PT. Indo Premier


Sekuritas tidak mencantumkan secara jelas dan detail terkait kewajiban atas
segala kerugian yang disebabkan kesalahan yang disengaja, kelalaian, atau
wanprestasi oleh pihak perusahaan. Padahal hal ini telah jelas menjadi

102
Lihat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 pasal 10 ayat (1)

85
ketentuan yang sama pentingnya dalam prinsip perjanjian akad Wakalah bil
Ujrah yang tercantum pada Fatwa DSN MUI.

Dalam kontrak baku pembukaan rekening efek syariah milik PT. Indo
Premier Sekuritas terkait kewajjiban perseroan salah satunya hanya
menyebutkan:
“Melaksanakan lingkup layanan kepada Nasabah berdasarkan
Perjanjian ini dengan sebaik-baiknya berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di bidang pasar modal sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah atas Rekening efek Reguler Syariah Nasabah”.

Hal ini menunjukkan tidak dinyatakan secara jelas oleh perusahaan


mengenai kewajiban atas segala kerugian yang disebabkan kesalahan yang
disengaja, kelalaian, atau wanprestasi oleh pihak perusahaan di dalam kontrak
baku tersebut.
Telah ditetapkan aturan dalam Burgerlijk Wetboek von Indonesie (BW)
atau KUHPerdata, penerima kuasa diwajibkan selama ia menanggung segala
biaya, kerugian dan bunga yang sekiranya timbul karena tidak
dilaksanakannya kuasa tersebut. Begitu pula ia diwajibkan menyelesaikan
urusan yang sudah mulai dikerjakannya pada waktu si pemberi kuasa
meninggal jika tidak segera menyelesaikannya dapat timbul kerugian (Pasal
1800). Tugas yang telah disanggupi harus dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya dan dalam waktu yang setepatnya, jika tidak, penerima kuasa dapat
dianggap melalaikan kewajibannya, untuk mana ia dapat dituntut mengganti
kerugian yang ditimbulkan karena kelalaian itu.
Selanjutnya, penerima kuasa tidak saja bertanggung jawab tentang
perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, tetapi juga tentang
kelalaian-kelalaian yang dilakukan didalam menjalankan kuasanya. Namun,
tanggung jawab tentang kelalaian-kelalaian bagi seorang yang dengan cuma-
cuma menerima kuasa adalah tidak sebegitu berat seperti yang dapat diminta
dari seorang yang untuk pekerjaannya itu menerima upah (Pasal 1801). Jika
seorang penerima kuasa diwajibkan melaksanakan tugasnya sebaik-baiknya,

86
maka dengan sendirinya ia tidak saja dapat dipertanggungjawabkan atas
akibat-akibat dari perbuatan yang dilakukannya dengan sengaja.

Kemudian apabila disandingkan dengan salah satu kewajiban yang


ditegaskan oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang menyatakan bahwa
penerima kuasa (wakil) tidak menanggung risiko terhadap apa yang
diwakilkan, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi dari penerima
kuasa.103 Menjadi kurang sesuai jika hal ini tidak tercantum jelas dalam isi
perjanjian kontrak antara wakil dengan muwakkil.

Selanjutnya jika ditarik pembahasan serupa dalam aspek asuransi syariah


mengenai risiko, dalam fatwa tentang asuransi syariah juga ditegaskan bahwa
akad wakalah adalah akad yang bersifat amanah (yad amanah) dan bukan
tanggungan (yad dhaman) sehingga wakil tidak menanggung risiko terhadap
kerugian investasi dengan mengurangi fee (ujrah) yang diterimanya, kecuali
karena kecerobohan, kelalaian, atau wanprestasi.

3. Implementasi Ujrah dalam Kontrak Perjanjian


Dalam sebuah perusahaan pembiayaan dengan melaksanakan dengan
prinsip syariah, harus dengan bijak memenuhi prinsip-prinsip hukum Islam,
termasuk didalamnya adalah fatwa-fatwa yang telah ditetapkan oleh DSN
MUI. Di ketentuan lainnya mengenai akad Wakalah bil Ujrah juga telah
ditetapkan peraturan mengenai skema operasional pada Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
Ujrah adalah imbalan yang wajib dibayar atas suatu jasa yang dilakukan
oleh wakil.104 Ujrah sendiri dalam bahasa Arab memiliki arti yakni upah atau
upah dalam suatu transaksi sewa menyewa. Sehingga, dapat diartika bahwa
ujrah termasuk dalam pembahasan akad Ijarah.
Dalam skema perbankan syariah, makna ujrah juga dapat disebut juga
sebagai upah. Upah dalam kamus besar bahasa Indonesia bermakna uang

103
POJK Nomor 31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah
104
Fatwa No. 113 tahun 2017 tentang Wakalah bil Ujrah

87
yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang
sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu.
Terkait ujrah pada skema akad Wakalah bil Ujrah, terdapat ketentuannya
sebagaimana yang telah dijelaskan tersebut diatas, baik dalam fatwa DSN
MUI atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, pengenaan ujrah/upah (fee) atas
sebuah akad perjanjian Wakalah bil Ujrah, ditetapkan bahwa kuantitas
dan/atau kualitas ujrah uang harus memiliki nilai yang jelas, baik berupa
angka nominal, prosentase tersentu, atau rumus yang disepakati dan diketahui
oleh para pihak yang melakukan akad. Dalam ketentuan lain di Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan, hal-hal yang harus dipaparkan secara jelas dalam
akad salahsatunya adalah besaran, cara, waktu pemotongan ujrah (fee).
Demikian pula dalam prinsip kontrak perjanjian syariah yakni prinsip
kejujuran dan kebenaran. Apabila hal ini tidak tertuang dalam dokumen
perjanjian akan menimbulkan kesalahpahaman dan perselisihan antara kedua
pihak yang berkontrak dikarenakan informasi yang kurang informasikan
dengan baik.
Ketentuan kewajiban pemberi kuasa, didalam Burgerlijk Wetboek vonn
Indonesie (BW) atau KUHPerdata dijelaskan bahwa, pemberi kuasa
diwajibkan mengembalikan kepada si penerima kuasa atas semua persekot-
persekot dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa untuk
melaksanakan kuasanya begitu pula untuk membayra upahnya, jika ini telah
diperjanjikan.105 Jika penerima kuasa tidak melakukan suatu kelalaian, maka
si pemberi kuasa tidak dapat meluputkan diri dari kewajiban mengembalikan
persekot-persekot dan biaya-biaya serta membayar upah tersebut, sekalipun
urusannya tidak berhasil (Pasal 1808).
Dalam hal ini dapat dikatakan, mengembalikan jaminan, biaya-biaya
termasuk upah bagi pemberi kuasa kepada penerima kuasa adalah suatu hal
yang waji dilaksanakan apabila telah diperjanjikan. Baik segala urusan itu
berhasil atau tidak berhasil, tidak dapat dipersalahkan kepada si penerima

105
R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hal 149

88
kuasa, jika ia telah mengerjakannya dengan sebaik-baiknya dan bertindak
dalam batas wewenangnya.
Dalam kontrak pembukaan rekening efek syariah PT. Indo Premier
Sekuritas tidak mencantumkan secara jelas dan detail terkait besaran ujrah
atau fee yang menjadi kewajiban nasabah dalam mewakilkan kuasanya
kepada perusahaan efek. Baik besaran nominal, prosentase, kualitas serta
kuantitas ujrah tersebut tidak disebutkan secara jelas dalam dokumen kontrak.
Dalam kontrak, perusahaan hanya menyebutkan dalam hal kewajiban-
kewajiban nasabah “membayar biaya layanan jasa (ujrah), sebagaimana
tersebut dalam perjanjian ini” . Namun dalam klausul yang lain, tidak ada
satu pun klausul yang menyebutkan besaran nominal, prosentasi, kualitas, dan
kuantitas ujrah (fee) yang wajib dibayarkan oleh nasabah.
Maka dari itu, seharusnya pihak perseroan dapat mewujudkan asas
kebebasan berkontrak yang dilandasi sikap jujur (beritikad baik).
Sebagaimana dalam penelitian Siti Nurwulan yang menyebutkan bahwa
berkontrak sebagai awal kerjasama yang harus berlandaskan kejujuran dan
itikad baik. Harus ada kesepakatan bersama dan dimana kata sepakat yang
bekesesuaian kehendak para pihak dalam perjanjian untuk menciptakan
adanya akibat hukum yang akan dijalani bersama.106
Dalam keterangannya Indah Nurhabibah menyatakan bahwa penyampaian
besaran fee/ujrah diinformasikan dari pihak perusahaan kepada nasabah
secara langsung. Karena hal ini juga menyangkut dana nasabah maka
pengedukasian informasi harus dilakukan secara langsung. Apabila tidak
dapat dilakukan secara langsung dapat diinformasikan dalam sebuah
perjanjian yang dikirimkan melalui email nasabah. 107

4. Penyelesaian Sengketa
Sistem penyelesaian sengketa adalah salah satu hal yang harus tercantum
suatu dalam kontrak perjanjian. Sebagaimana hal ini termaktub dalam Pasal

106
Siti Nurwulan, dkk, hal 507
107
Wawancara dengan Pihak IPOT (5 April 2021)

89
45 sampai dengan Pasal 48 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan Pasal 45 ayat (2) yang berbunyi:
Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadi;an atau
di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa.

Kemudian berdasarkan ketentuan dalam Fatwa DSN MUI, seluruh


kegiatan yang berkaitan dengan ekonomi syariah dinyatakan bahwa proses
penyelesaian sengketanya selalu melalui Badan Arbitrase Nasional
Syariah. Namun, terkait ketentuan ini tidak dijadikan panduan bagi
perseroan.

Dalam kontrak baku formulir pembukaan rekening efek reguler syariah


PT. Indo Premier Sekuritas tidak memilih Badan Arbitrase Nasional
Syariah (BASYARNAS) sebagai lembaga dalam penyelesaian suatu
perselisihan atau sengketa. PT. Indo Premier Sekuritas lebih memilih jalur
musyawarah untuk mufakat dan melalui Badan Arbitrasi Pasar Modal
Indonesia (BAPMI). Kemudian apabila penyelesaian secara mufakat tidak
tercapai, maka penyelesaian melalui jalur litigasi yakni Pengadilan Negeri.

Kendati demikian, hal ini sejalan dengan ketentuan dalam UUPK Pasal
45 ayat (1) bahwa Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat
pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di
lingkungan peradilan umum.

Meskipun ketentuan dalam UUPK Pasal ayat (1) ini menimbulkan


persoalan bahwa adanya ketidak jelasan lembaga penyelesaian sengketa
mana yang dimaksud dalam pasal tersebut, pemilihan pengadilan negeri
oleh perseroan sudah mencakup dan sesuai dengan ketentuan dalam pasal
tersebut.

90
Namun demikian, jika kita kembali dalam pembahasan kegiatan
ekonomi syariah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh DSN MUI,
seluruh fatwa yang dikeluarkan pada penutupannya mengatur penyelesaian
sengketa melalui Badan Arbistrase Nasional (BASYARNAS). Hal ini
harus menjadi perhatian lebih baik pelaku usaha berbasis prinsip syariah.

Kurang sesuainya substansi kontrak, baik dalam hal penyelesaian


sengketa ataupun dalam poin-poin lain dapat dikatakan terjadi karena tidak
adanya pihak Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang mengawasi
mekanisme operasional perusahaan sekuritas. Menurut keterangan Indah
Nurhabibah, dalam operasional mekanisme efek syariah tidak ada DPS
yang langsung mengawasi, melainkan hanya ada sebuah unit syariah yang
membantu proses operasional. Pengawasan lembaga keuangan syariah
oleh DPS hanya bagi lembaga keuangan syariah yang secara langsung
melakukan pengelolaan dana nasabah. Sedangkan sekuritas hanya sebagai
perantara nasabah. 108

B. Analisis Isi Kontrak Menurut POJK dan UU Perlindungan Konsumen


1. Ketidakjelasan Informasi dalam Klausul
Merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen suatu
perusahaan atau pelaku usaha dijelaskan memiliki hak menerima
pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan. Demikian pula halnya
dengan kewajiban konsumen yang tertera dalam UU bahwa konsumen
wajib membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
Dalam UUPK Pasal 4 huruf (c) berbunyi:
hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Dengan demikian, posisi nasabah selaku konsumen memiliki hak
untuk memperoleh informasi. Hak atas informasi merupakan salah satu hal
yang penting, karena apabila tidak memadainya informasi yang
108
Wawancara dengan Pihak IPOT (5 April 2021)

91
disampaikan kepada konsumen baik secara langsung atau dalam dokumen
kontrak, akan menimbulkan suatu kecacatan produk layanan/jasa, bahkan
dapat dikatakan juga sebagai cacat produk. Selain itu, informasi dapat
memberikan dampak yang dignifikan untuk meningkatkan efisiensi dari
konsumen terhadap produk tertentu.
Kemudian berdasarkan ketentuan perjanjian dalam peraturan
perlindungan konsumen, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1
Tahun 2013 pasal 4 ayat (1) menjelaskan bahwa Pelaku Usaha Jasa
Keuangan wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi
mengenai produk dan/atau layanan yang akurat, jujur, jelas, dan tidak
menyesatkan.
Kemudian pada ayat (2) dilanjutkan dengan penjelasan, informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam dokumen atau
sarana lain yang dapat digunakan sebagai alat bukti.
Diperjelas kembali terkait kejelasan informasi dalam perjanjian, pada
Pasal 10 ayat (1) bahwa, Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan
informasi mengenai biaya yang harus ditanggung Konsumen untuk setiap
produk dan/atau layanan yang disediakan oleh Pelaku Uasa Jasa
Keuangan.
Dalam hal kontrak baku formulir pembukaan rekening efek syariah
PT. Indo Premier Sekuritas yang tidak mencantumkan secara jelas dan
detail terkait besaran ujrah atau fee akan menjadi suatu masalah yang
mengakibatkan adanya ketidaksempurnaan isi kontrak serta ketidakjelasan
informasi bagi nasabah yang posisinya sebagai pihak yang lemah.
Dalam teori perjanjian bahwa perjanjian akan menjadi sah apabila
kedua belah pihak yang berkontrak mencapai kesepakatan. Namun jika
dalam konteks kontrak baku dimana salah satu pihak memiliki posisinya
dominan dan yang lainnya memiliki posisi yang lemah,
ketidaksempurnaan kontrak serta ketidakjelasan informasi menjadikan
suatu perjanjian memiliki nilai yang tidak kuat. Bahkan dapat dianggap

92
bahwa dokumen perjanjian tidak sah atau kurang memenuhi persyaratan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam salah satu ciri kontrak baku menurut Abdul Kadir Muhammad
yaitu konsumen hanya menerima atau menolak. Jika konsumen bersedia
menerima syarat-syarat kontrak yang diberikan kepadanya, maka
konsumen dapat menandatangani kontrak tersebut, dengan konsekuwensi
bersedia menerima tanggung jawab kontrak. Namun jika tidak setuju maka
konsumen tidak dapat menawar, sehingga kontrak tidak ditandatangani. 109
Apabila informasi dalam kontrak tidak sepenuhnya tertera dengan jelas,
akan mengakibatkan konsumen harus menanggung konsekuwensi yang
sebetulnya memang tidak ada kejelasan sejak awal perjanjian.
Kemudian dalam ketentuan tentang transaksi efek sebagaimana
tercantum dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22 Tahun 2019
tentang Transaksi Efek, menjelaskan bahwa terkait informasi transaksi
efek terkait biaya setidaknya memuat 3 informasi, yaitu:
a) Biaya komisi yang dikenakan;
b) Biaya Kliring dan penyelesaian; dan/ atau
c) Informasi perpajakan.

Meskipun yang dimaksud dalam hal ini adalah informasi yang


terdapat pada laporan konfirmasi atas transaksi efek, bukan pada
perjanjian awal dalam formulir pembukaan rekening efek, pernyataan
informasi terkait biaya-biaya yang masih berkaitan dengan nasabah harus
di informasikan dalam dokumen apapun.

Sebagaimana dengan hal ini juga diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 1 tahun 2013 tentang Perjanjian Baku dalam Pasal 4
ayat (1) dijelaskan bahwa, Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib
menyediakan dan/atau menyampaikan informasi produk dan/atau layanan
yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan. Kemudian diperjelas

109
Abdul Kadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktek Perdagangan, (Bandung:Citra
Aditya Bakti,1992) hal 92

93
kembali pada ayat (2) yang berbunyi: Informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dituangkan dalam dokumen atau sarana lain yang dapat
digunakan sebagai alat bukti.

Dengan demikian, mengenai segala informasi yang berkaitan dengan


perjanjian dua belah pihak harus dituliskan dalam dokumen dengan secara
jelas dan rinci serta mudah dipahami oleh seluruh pihak yang mengadakan
kontrak perjanjian tersebut.

2. Pengaruh terhadap Nilai Transaksi Efek Syariah


Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa adanya ketidakjelasan
informasi terka ujrah (fee) dalam dokumen formulir pembukaan rekening
efek reguler syariah PT. Indo Premier Sekuritas, menjadi pengaruh yang
signifikan terhadap transaksi efek nasabah.
Dalam praktiknya, transaksi efek yang dilakukan di luar Bursa Efek
Indonesia yakni melalu perantaran pedagang efek atau dalam hal ini adalah
perusahaan efek, dipastikan adanya pengenaan fee pada setiap transaksi efek
yang dilakukan oleh nasabah.
Ujrah atau fee ini, merupakan upah atas segala kepentingan yang telah
diwakilkan kepada perusahaan efek tersebut. Setelah perusahaan efek
melakukan segala kewajiban yang telah dikuasakan oleh nasabah, perusahaan
efek (perseroan) wajib atas upah tersebut.
Berdasarkan pengenaan ujrah/fee ini yang wajib dibayarkan oleh nasabah
ketika adanya transaksi efek, mempengaruhi nilai atas transaksi yang
dilakukan oleh nasabah. Baik transaksi penjualan efek ataupun pembelian
efek, nilai transaksi tersebut akan secara otomatis diakumulasi dengan nilai
fee/ujrah yang dikenakan kepada nasabah.
Apabila transaksi efek berupa penjualan efek, nilai hasil dari penjualan
efek tersebut dikurangi oleh besar nilai ujrah/fee yang dikenakan. Sama
halnya dengan transaksi pembelian efek, nilan dari transaksi pembelian efek
akan ditambah dengan jumlah fee/ujrah yang dikenakan kepada nasabah.

94
Sebagaimana tercantum dalam klausul kontrak baku formulir pembukaan
rekening efek reguler syariah PT. Indo Premier Sekuritas, yang mana dalam
klausul tersebut berbunyi:
Dalam hal Nasabah melakukan transaksi beli jual Efek Syariah, maka
Nasabah telah menyediakan dana net pembelian Efek Syariah termasuk
perhitungan biaya layanan jasa (ujrah) transaksi efektif di Rekening Dana
Nasabah, selanjutnya dana tersebut akan dilakukan pemindahbukuan oleh
Perseroan berdasarkan ketentuan Perjanjian ini, sebaliknya dalam hal
terjadi transaksi net jual Perseroan akan menyetorkan dana net penjualan
Efek Syariah Nasabah setelah dipotong perhitungan biaya layanan jasa
(ujrah) pada T+2 (dua hari bursa sejak tanggal transaksi net jual) ke
Rekening Dana Nasabah.
Dalam hal ini, perseroan hanya menyebutkan nasabah harus menyiapkan
dana untuk pembayaran layanan jasa (ujrah) pada saat proses pembelian efek
syariah dan menyatakan bahwa hasil dari transaksi jual efek syariah akan
dipotong untuk biaya layanan jasa (ujrah). Namun tidak menyebutkan berapa
jumlah pasti yang harus dibayarkan oleh nasabah.
Dengan demikian, urgensi atas informasi terkait besar nilai fee/ujrah yang
wajib dibayarkan kepada nasabah sangatlah penting, dikarenakan sangat
berpengaruh pada setiap transaksi efek yang dilakukan oleh nasabah. Selain
itu, apabila nasabah tidak mengetahui tentang hal pengenaan ujrah/fee
sebagaimana yang diatas, akan terjadinya risiko kerugian bagi nasabah itu
sendiri. Sebab, pengenaan ujrah/fee otomatis berkaitan dengan nilai hasil
investasi milik nasabah.

3. Pemberian Kuasa dari Konsumen kepada Perseroan


Pemberian kuasa secara sepihak dari konsumen kepada Pelaku Usaha Jasa
Keuangan memang dilarang, baik berdasarkan UUPK dan POJK. Pada UUPK
Pasal 18 huruf (d) tentang ketentuan pencantuman klausula baku berbunyi:
Menyatakan dilarang pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku
usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan

95
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli
oleh konsumen secara langsung.

Kemudian, dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 1 tahun


2013 tentang Perjanjian Baku pasal 22 huruf (d) juga menyatakan atas
larangan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha jasa
keuangan secara sepihak. Sebagaimana dengan hal ini juga tertuang dalam
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SE-OJK) No. 13 tahun 2014 tentang
Perjanjian Baku, yang berbunyi:

Menyatakan dilarang pemberian kuasa dari Kosnumen kapda Pelaku


Usaha Jasa Keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung,
untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan
kepada konsumen, kecuali tindakan tersebut dilakukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.

Terkait pemberian kuasa yang dimaksud dalam ketentuan di atas adalah


pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha jasa keuangan untuk
melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang
dibeli secara agunan/angsuran. Karna hal ini dianggap tidak adil dan
mengurangi hak konsumen.

Namun, jika dalam pelayanan jasa seperti perusahaan efek, seperti


pemberian kuasa yang dimaksud dalam kontrak formulir pembukaan
rekening efek reguler syariah dari nasabah kepada PT. Indo Premier
Sekuritas, merupakan pemberian kuasa atau kegiatan mewakilkan atas
tindakan-tindakan yang tidak dapat dilaksanakan oleh nasabah secara
langsung.

Dengan demikian, klausula yang dicantumkan dalam kontrak baku


pembukaan rekening efek reguler syariah PT. Indo Premier Sekuritas tidak
menyalahi aturan sebagaimana di atas.

96
4. Penulisan Kalimat dalam Klausul yang Sulit Dipahami
Adanya kalimat-kalimat dalam klausul yang sulit dipahami sudah menjadi
hal yang sering terjadi dalam dokumen kontrak perjanjian. Bahasa yang
berbelit-belit, memiliki makna multitafsir adalah pemicu sulit dipahaminya
maksud dari isi klausul.
Seperti yang tercantum dalam kontrak pembukaan rekening efek syariah
PT. Indo Premier Sekuritas dalam bagian VIII tentang kuasa nasabah kepada
PT. Indo Premier Sekuritas no. 3 tertulis:
Membuka dan memelihara rekening dana pada bank yang telah
ditentukan/bekerjasama dengan Perseroan untuk menampung dana
dan/atau dana hasil penjualan/pembelian efek dan/atau dana hasil aksi
korporasi, atas nama dan/atau untuk kepentingan saya (“Rekening
Dana”).
Penggunaan kata penghubung dan/atau yang terlalu banyak digunakan dalam
satu kalimat dapat mengakibatkan sulit dipahaminya klausul tersebut, karena
dapat menimbulkan penafsiran ganda, atau bahkan antara satu kata dengan
kata yang lainnya dapat diartikan berbeda.
Kemudian, selain adanya kalimat yang atau penggunaan bahasa yang sulit
dipahami, juga seringkali dilakukan oleh perusahaan adalah mencantumkan
klausul kontrak dengan huruf yang sangat kecil dan sulit untuk dibaca, serta
susunan klausul yang cenderung tidak beraturan. Pada kontrak baku
pembukaan rekening efek syariah PT. Indo Premier Sekuritas mencantumkan
huruf yang sangat kecil sehingga sebagai nasabah hanya terfokus pada kolom
paraf yang tersedia di posisi paling bawah lembaran kontrak dan tidak tertarik
untuk membaca isi klausul yang tertulis sangat kecil.
Sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Pasal 18 ayat (2) menyatakan bahwa dilarang pencantuman klausul yang sulit
dipahami:
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.

97
C. Perlindungan Hukum Nasabah terhadap Ketidakjelasan Informasi
dalam Kontrak Perjanjian
Dengan adanya hubungan yang kompleks antara pihak yang bersangkutan
dalam suatu perjanjian, maka dibutuhkan berbagai aspek hukum untuk
melindungi nasabah sebagai pihak pemakai akhir suatu jasa secara adil.
Dalam hal ini, hukum perdata yang lebih dominan dalam rangka melindungi
kepentingan masing-masing pihak.
Suatu sengketa dalam sebuah perjanjian perdata dapat dipahami sebagai
suatu keadaan yang muncul akibat adanya ketimpangan antara hak dan
kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian. Hal ini juga
disebabkan karena salah satu pihak tidak sungguh-sungguh beritikad baik
dalam melaksanakan segala hak dan kewajibannya dalam isi perjanjian yang
telah disepakati, sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
Salah satu contoh ketimpangan yang dimaksud di atas adalah dalam
penulisan segala informasi yang berkaitan dengan perikatan dalam dokumen
perjanjian. Salah satu pihak dapat dikatakan tidak terbuka dalam
mencantumkan klausul yang semestinya diketahui oleh seluruh pihak yang
terlibat. Hal tersebut menimbulkan ketidakjelasan informasi bagi salah satu
pihak, apalagi dalam hal ini adalah dalam bentuk kontrak perjanjian yang
telah dibakukan dan tidak dapat mengalami proses filterisasi atau
penyeleksian klausul bagi nasabah yang memiliki posisi lemah.
Kemudian munculnya sengketa dari suatu perjanjian juga pada dasarnya
disebabkan oleh beberapa keadaan, seperti cidera janji (wanprestasi),
perbuatan melawan hukum, adanya kecacatan (baik nyata atau tersembunyi)
dalam perjanjian. Jenis sengketa-sengketa tersebut timbul akibat adanya salah
satu pihak yang tidak mematuhi klausul dalam perjanjian. Karena pada
dasarnya perikatan lahir, baik dari perjanjian maupun karena ditetapkan oleh
Undang-Undang melahirkan hak dan kewajiban diantara pihak yang terlibat.
Perlindungan hukum kontrak pada karakter civil law mengedepankan
aspek kepastian hukum. Hukum Civil Law adalah hukum memperoleh
kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan

98
yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam
kodifikasi. Karakteristik dasar ini dianut mengingat bahwa nilai utama
yang merupakan tujuan hukum adalah kepastian hukum. Kepastian
hukum hanya dapat diwujudkan kalau tindakan-tindakan hukum manusia
dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan-peraturan hukum
tertulis.110 Sebagaimana dalam doktrin konrak modern, para pihak yang akan
melakukan suatu perjanjian, terlebih dahhulu melakukan negosiasi pra
kontrak atau kontrak pendahuluan. Hal ini bertujuan untuk meninjau segala
sesuatu yang mungkin terjadi dalam proses perjanjian.111
Dalam tahap ini disampaikan berbagai janji satu pihak dengan pihak lain
dengan harapan pihak lain setuju untuk mengadakan perjanjian. Hal-hal yang
disampaikan termasuk segala informasi yang berkaitan dengan perjanjian.
segala hal yang berkaitan ini, harus disepakati dan/atau disetujui oleh seluruh
pihak agar tidak adanya unsur ketidakjelasan, ketidakadilan, ketidakjujuran
salah satu pihak kepada pihak lain.
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, perlindungan
hukum bagi nasabah dapat dikategorikan berupa hak-hak konsumen yang
tertuang dalam pasal 4 UUPK, yang salah satunya adalah menyebutkan hak
atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang/jasa.
Disamping hak-hak yang tercantum dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak
konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur kewajiban pelaku
usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomy dalam hukum, sehingga
kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen.112
Adanya kebijakan yang tertuang dalam UUPK ini dimaksudkan sebagai
upaya menyeimbangkan daya tawar konsumen terhadap pelaku usaha dan
mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab dalam

110
Fajar Nurhardianto, “Sistem Hukum dan Posisi Hukum Indonesia”, Jurnal TAPIs, Vol. 11, 1,
(Januari-Juni, 2015), hal 37
111
M. Natsir Asnawi, hal 67
112
Luthfi Syaifuddin, dkk, “Perlindungan Hukum Nasabah Perbankan dalam Transaksi
Elektronik”, Notarius, Vol.12, 1, (2019), hal 5

99
melaksanakan kegiatannya (A.Z Nasution, 2003). Dengan adanya posisi
konsumen sebagai pihak yang lemah pun juga diakui secara internasional
sebagaimana tercermin dalam Resolusi Majelis Umum Persatuan Bangsa
Bangsa No. A/RES/39/248 tahun 1985, tentang Guidelines for Customer
Protection, yang menhendaki agar konsumen dimanapun mereka berada, dari
segala bangsa, mempunyai hak-hak dasar tertentu, terlepas dari sattus
sosialnya. (Gunawan Widjaja, dkk, 2003)
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa, kontak pembukaan
rekening efek syariah PT. Indo Premier Sekuritas tidak mencantumkan
informasi mengenai besaran kuantitas atau presentasi Ujrah yang mesti
dibayarkan oleh nasabah kepada perseroan. Apabila hal ini memang tidak
tertuang dalam dokumen kontrak, dapat disampaikan dalam proses negosiasi
pra kontrak sebagai upaya preventif (pencegahan) terjadinya suatu sengketa.
Selain itu juga hal ini sebagai perwujudan asas kebebasan berkontrak yang
berlandaskan kejujuran dan itikad baik dalam mengadakan perjanjian.
Namun, alangkah lebih baiknya agar segala yang berkaitan dengan informasi
yang harus diketahui oleh seluruh pihak yang mengadakan perjanjian, ditulis
dengan jelas di dalam dokumen autentik berupa dokumen perjanjian antara
para pihak.
Indah Nurhabibah menyatakan bahwa, mitigasi atas risiko yang mungkin
dapat terjadi bagi nasabah yakni dengan pemberian edukasi kepada nasabah
yang akan melakukan investasi, khususnya edukasi bagi nasabah (investor)
pemula. Hal ini merupakan salah satu program dari perusahaan yang
dilakukan secara rutin untuk kepentingan nasabah. Kemudian dari sisi pihak
nasabah, diberi kesempatan membaca dan mempelajari isi kontrak tanpa
diberi batas waktu pengembalian kontrak kepada perusahaan. 113 Adanya hal
ini selain menjadi perlindungan bagi nasabah (calon investor), juga menjadi
perlindungan hukum tersendiri bagi pihak perusahaan dengan metode KYC
(Know Your Customer). Proses mengetahui dan mengenal nasabah adalah hal

113
Wawancara dengan Pihak IPOT (5 April 2021)

100
yang harus dilakukan bagi perusahaan sebagai usaha mitigasi atas segala
risiko yang mungkin dapat terjadi.
Kemudian perlindungan hukum bersifat represif yang juga dapat dilakukan
berdasarkan kepastian hukum yang tertera dalam kontrak pembukaan
rekening efek syariah PT. Indo Premier Sekuritas. Dimana dalam kontrak
disebutkan segala penyelesaian sengketa dilalui terlebih dahulu menggunakan
sistem negosiasi. Apabila hal tersebut tidak mencapat mufakat dilakukan
melalui proses litigasi atau non-litigasi.
Hal ini telah dapat dijadikan sebagai sebuah kepastian hukum bagi
nasabah atas segala kemungkinan yang dapat terjadi dalam proses perjanjian
dengan PT. Indo Premier Sekuritas.

101
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat
mengambil kesimpulan dan sekaligus sebagai jawaban atas beberapa tujuan
masalah yang telah penulis susun.
Pertama, kontrak pembukaan rekening efek syariah milik PT. Indo
Premier Sekuritas masih ditemukan pencantuman klausula-klausula yang
belum sesuai dengan Fatwa DSN MUI. Dalam kontrak tidak dicantumkan
secara jelas besaran dan/atau kuantitas fee atau ujrah yang wajib dibayarkan
oleh nasabah. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu pihak PT. Indo
Premier Sekuritas, pemberian informasi terkait fee yang harus dibayarkan
nasabah kepada perusahaan sekuritas dilakukan secara langsung. Kemudian,
kontrak tersebut masih memiliki beberapa klausul yang belum sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Diantaranya, ketidakjelasan informasi dalam
isi kontrak dan penulisan kalimat dalam klausul yang sulit dipahami
berdasarkan Undang-Undang dan berdasarkan tata bahasa.
Kedua, perlindungan hukum nasabah atas ketidakjelasan informasi dalam
kontrak dilakukan secara preventif yakni nasabah diberi kesempatan untuk
membaca dan mempelajari isi kontrak tanpa diberi batas waktu pengembalian
kontrak kepada perusahaan. Kemudian nasabah juga diberi edukasi oleh
pihak perusahaan sebagai pengenalan dasar investasi sebelum melakukan
investasi. Perlindungan hukum yang ditawarkan oleh pihak perusahaan yakni
apabila adanya suatu sengketa, kepastian hukum yang tertera dalam kontrak
adalah penyelesaian sengketa jalur negosiasi sebelum lanjut ke proses litigasi.
Menurut analisa penulis, adanya ketidak sempurnaan isi kontrak dapat
disebabakan karena belum adanya kebijakan mengenai pengawasa suatu
perusahaan sekuritas oleh pihak Dewan Pengawas Syariah (DPS).

102
B. Saran-Saran
1. Agar badan legislatif segera menyelesaikan Rancangan Undang-
undang tentang Kontrak dan segera mengesahkannya, agar
penggunaan kontrak ditertibkan sehingga tidak mengurangi hal yang
seharusnya diterima nasabah dan/atau konsumen.
2. Agar Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI mengeluarkan fatwa
mengenai pengawasan oleh Dewan Pengawas Syariah bagi
perusahaan sekuritas sebagai perantara perdagangan efek syariah.
3. Agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meningkatkan pengawasan
mengenai mekanisme dan penerapan kontrak di suatu Perusahaan
Sekuritas agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4. Agar PT. Indo Premier Sekuritas melakukan perbaikan isi kontrak
agar lebih sesuai dengan Fatwa DSN MUI dan peraturan perundang-
undangan lain yang berkaitan dengan kontrak tersebut.
5. Penelitian ini masih memerlukan penelitian lanjutan, khususnya aspek
kesyariahan pada mekanisme perdagangan efek syariah di perusahaan
sekuritas yang belum ada kebijakan tentang Dewan Pengawas Syariah
di perusahaan sekuritas.

103
DAFTAR PUSTAKA

Abdalloh, Irwan. 2020. “The Best Islamic Market 2019” Makalah Seminar Sharia
Capital Outlook 2020.
Afzalurrahman. 1995. Doktrin Ekonomi Islam, Yogjayakarta: Dana Bhakti Wakaf
Antonio, Muhammad Syafii. 2018. Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta :
Gema Insani Pers, Muhammad, Bisnis Syariah Transaksi dan Pola
Pengikatannya, Depok : Rajawali Pers
Asnawi, M. Natsir x. 2017. “Perlindungan Hukum Kontrak Dalam Prespektif
Kontrak Kontemporer”, Masalah-Masalah Hukum, Jilid 46, Nomor 1.
Badrulzaman, Meriam Darus. 1981. Perjanjian Baku (Standart)
Perkembangannya di Indonesia (Kumpulan Pidato Pengukuhan), Bandung
: Penerbit Alumni
Barnes, Wayne R. 2007. Toward a Fairer Model of Consumer Assent to Standart
Form Contract: In Defense of Restatement Subsection, Artikel,
Washington Law Review Association, Awashington,
D, Fidhayanti. 2014. Perjanjian Baku Menurut Prinsip Syariah, Jurnal Syariah
dan Hukum, Vol 6 No. 2.
Deviani, Novita Ratna. 2012. “Analisis Yuridis Kontrak Baku Pembukaan
Rekening PT. Danareksa Sekuritas Berdasarkan Asa-Asas Hukum
Perjanjian dan Pasal 18 Ayat (1) UUPK, Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Diputra , I Gusti Agung Rio. 2018. Pelaksanaan Perancangan Kontrak dalam
Pembuatan Struktur Kontrak Bisnis, Acta Comitas, Vol. 3, No. 3
Erwiningsih, Winahyu. 1995. Pelindungan Hukum Tenaga Kerja Wanita, Jurnal
Hukum, Vol. I, No. 3.
Fuady, Munir. 2003. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku
Kedua, Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti,
G. Kartasaputra, Hukum Perburuhan di Indonesia Berlandaskan Pamcasila,
(Jakarta ; Sinar Grafia, 1994), hal 94

104
Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian di
Indonesia, (Jakarta:Kencana,2006) hal 204
Hasan, M Ali. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada,
J. Satrio. 1995. Hukum Perikatan:Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Aditya
Bhakti: Bandung
Karim , Helmi. 1997. Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers,
Kelompok Kerja Alternatif Penyelesaian Sengketa Mahkamah Agung RI,
123/KMA/SK/VII/2013
Khairandy, Ridwan. 2018. Hukum Kontrak Indonesia dalam Prespektif
Perbandingan, FH UII Press 2018
Khoiriyah, Ni’matul, dkk. 2017. “Batasan Kebebasan Berkontrak dalam Kontrak
Konvensional dan Kontrak Syariah”, Ahkam, Vol. 5, No. 1
M, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Malohing, Yanti. 2017. Kedudukan Perjanjian Baku Kaitannya dengan Asas
Kebebasan Berkontrak, Lex Privatum,Vol. V, No. 4.
Mardani. 2013. Hukum Perikatan Syariah Indonesia, Jakarta:Sinar Grafika
Margono, Suyud. 2004. ADR dan Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek
Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia
Miru, Ahmadi. 2007. Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Jakarta, PT.Raja
Grafindo Persada
Muhammad, Abdul Kadir. 1992. Perjanjian Baku dalam Praktek Perdagangan,
Bandung:Citra Aditya Bakti.
Muhammad, Abdulkadir .2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Munthe, Abdul Karim. 2014. Skripsi: Kontrak Baku Asuransi Syariah dalam
Prespektif Hukum, Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Nasrun Harun. 2007. Fiqh Muamalah, Jakarta :PT. Gaya Media Pratama
Nurhardianto, Fajar. 2015. Sistem Hukum dan Posisi Hukum Indonesia, Jurnal
TAPIs, Vol. 11, No. 1.

105
Nurwullan, Siti, dkk. 2019. Aspek Normatif Asas Konsensualisme dalam
Penambahan Klausula Kontrak tanpa Persetujuan Para Pihak,
Rechtregel, Vol. 2, No. 1
Poernomo, Sri Lestari. 2019. Standar Kontrak dalam Perspektif Hukum
Perlindungan Konsumen, De Jure, Vol. 19, No. 1
Purwanto , 2009. Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian
Internasional, Mimbar Hukum, Vol. 21, No. 1.
Puspasari, Nur Islamiyah, dkk. 2020. “Penyelesaian Sengketa Pembiayaan
Dengan Objek Jaminan Hak Tanggungan pada Bank Syariah di Kota
Malang”, Delega Lata, Vol. 5, No.1
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. 1976. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
Burgerlijk Wetboek, Jakarta: Pradnya Paramita
R. Subekti. 1987. Hukum Perjanjian, Bandung: Intermasa
R. Subekti. 1995. Aneka Perjanjian, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
Radjidi, Lili, dkk. 1999. Hukum Suatu Sistem, Bandung : Remaja Rusdakarya
Rahardjo, Satjipto. 1981 Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa Bandung.
Raharjdo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Rongiyati, Sulasi. 2016. Perjanjian-Perjanjian Kredit antara UMKM dan
Lembaga Penjamin berdasarkan UU No. 1 Tahun 2016 tentang
Perjaminan, Negara Hukum, Vol. 7, No. 1
Salim HS, dkk. 2007. Perancangan Kontrak dan Momerandum of
Understanding (MoU), Jakarta: Sinar Grafika.
Salim HS. 2006. Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, Jakarta,
Raja Grafindo Persada.
Satory, Agust. 2015. Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen dalam
Transaksi Bisnis Sektor Jasa Keuangan: Penerapan dan Implementasinya
di Indonesia, Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol 2, No. 2
Setiawan, Rahmat. 1987. Pokok-pokok Hukum Perikatan, Jakarta: Bina Cipta
Sjahdeini, Sutan Remy. 1996. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang
Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,
Jakarta : Institut Bankir Indonesia

106
Sohari. 2011. Fiqih Muamalah, Bogor: Ghalia Indonesia
Subagia, I Komang S.M.C. 2008. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah dalam
Perjanjian Kredit Bank di Indonesia sesuai UU No. 10 tahun 1998 tentang
Perbankan, Lex Privatum, Vol. VI, No. 4
Suhendi, Hendi 2005. Fiqh Muamalah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Sulaiman, Abdul Wahab Ibrahim Abu . 2006. Banking Cards Syariah Kartu
Kredit dan Debit dalam Perspektif Fiqh Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Sulengkampung, Syantica. 2020. Akibat Hukum Bagi yang Melanggar Suatu
Perjanjian yang Telah Disepakati (Wanprestasi), Lex Privatum, Vol. VIII,
No. 1.
Syaifuddin, Luthfi, dkk. 2019 . “Perlindungan Hukum Nasabah Perbankan dalam
Transaksi Elektronik”, Notarius, Vol.12, Nomor 1.
Umar, Dhira Utari. 2020. Penerapan Asas Konsensualisme Dalam Perjanjian Jual
Beli menurut Perspektif Hukum Perdata, Lex Privatum, Vol. VIII, No. 1
Usanti, Trisandini Prasastinah. 2013. Akad Baku Pada Pembiayaan Murabahah di
Bank Syariah, Prespektif, Vol. XVIII, No. 1

Peraturan Perundang-undangan & Peraturan Otoritas Jasa Keuangan


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip
Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan
Prinaip Syariah
POJK Nomor 31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan
Syariah
POJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan
SEOJK No. 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku

107
Fatwa-Fatwa
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 113/DSN-MUI/IX/ 2017 tentang
Wakalah bil Ujrah.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad
Wakalah bil Ujrah pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah

Internet
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4d256710748f2/poin-poin-
dalam-perjanjian/ (diakses pada 6 Maret 2021)

108
LAMPIRAN

SURAT KETERANGAN WAWANCARA

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Indah Nurhabibah
Jabatan : Brand Manager IPOTSyariah
Institusi : PT Indo Premier Sekuritas

Menerangkan bahwa :
Nama Srihandayani Mangesti Rahayu
NIM : 11170490000027

Prodi Hukum Ekonomi Syariah

Benar telah melakukan wawancara dengan saya pada tanggal 5 April 2021, sehubungan

dengan penulisan skripsi yang bersangkutan dengan judul.

“Analisis Kontrak Pembukaan Rekening Efek Syariah Ditinjau dari Fatwa DSN MUI (Studi

kasus: PT. lndo Premier Sekuritas)”

Demikian surat keterangan ini dibuat untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, S April 202\

Interviewer Interviewed

(Tndah Nurhabibah) (Srihandayani Mangesti Rahayu)

I NDO’REMIER PT Indo Premier Sekuritas


P +62 21 5088 7168, 5088 7188, 5086 0668
Pacific Century Place 16/F SCBD Lot 10
JI. Jend. Sudirman Kav. 52-53, F. +62 21 5088 7167
Jakarta 12190, Indonesia.

109

Anda mungkin juga menyukai