Anda di halaman 1dari 117

PERGESERAN PEMAHAMAN KONSTITUSIONALISME

DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA

SKRIPSI

Oleh:
Achmad Mufid Murtadho
NIM : S20173084

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ (UIN KHAS) JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
2022
PERGESERAN PEMAHAMAN KONSTITUSIONALISME
DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H)
Fakultas Syariah
Program Studi Hukum Tata Negara

Oleh :
Achmad Mufid Murtadho
NIM : S20173084

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ (UIN KHAS) JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
2022
PERGESERAN PEMAHAMAN KONSTITUSIONALISME
DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H)
Fakultas Syariah
Program Studi Hukum Tata Negara

Oleh :

Achmad Mufid Murtadho


NIM : S20173084

Disetujui Pembimbing

Dr. Hj. Qurrotul Uyun, S.H., M.H.


NIP. 19930219 202203 2 001

ii
PERGESERAN PEMAHAMAN KONSTITUSIONALISME
DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA

SKRIPSI

Telah diuji dan diterima untuk memenuhi salah satu


persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H)
Fakultas Syariah
Program Studi Hukum Tata Negara

Hari :
Tanggal :

Tim Penguji

Ketua Sekretaris

NIP. NIP.

Anggota:

1. ( )

2. ( )

Menyetujui
Dekan Fakultas Syariah

Prof. Dr. Muhammad Noor Harisudin, M.Fil.I.


NIP. 19780925 200501 1 002

iii
MOTTO

‫نك َعلَى َش ِريْ ِع ٍة ِم َن ْاْلَ ْم ِر فَا تَّبِ ْع َها َوَْل تَتَّبِ ْع اَ ْه َوا َء الَّ ِذ يْ َن َْل يَ ْعلَ ُم ْو َن‬
ََ ‫ثُ َّم َج َع ْل‬
Kemudian kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat
(peraturan) dari agama itu, maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah
engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui. (QS. Al-
Jaziyah : 18)

ِ ‫اَْْلَ ح َك ِام م ْشرو َع ٍة لِمصا لِ ِح ال ِْعب‬


.‫اد‬َ َ َ ُْ َ ْ
Hukum-hukum diundangkan untuk kemaslahatan hambanya. (Asy-
Syatibi)

“Salus Populi Supreme Lex Esto : Keselematan Rakyat adalah


Hukum Tertinggi” (Adagium Hukum).

iv
PERSEMBAHAN

BISMILLAHIRROHMANIRRHIM

Segala puji bagi Allah SWT dan atas dukungan dan do‟a dari orang- orang

terkasih, yang telah membantu saya melalu perjalanan panjang yang dimulai

dengan banyak kesulitan, keikhlasan, serta keyakinan dan ucapan rasa syukur

yang begitu besar akhirnya kupersembahkan karya sederhana ini sebagai tanda

bakti, hormat dan rasa terima kasih yang tiada terhingga kepada:

1. Kedua Orang Tua saya yaitu Bapak (Subandi) dan Ibu (Nur Latifa) terkasih

yang memberi do‟a, daya, waktu, dana serta cintanya yang mulia kepada

putranya untuk menyelesaiakan skripsi saya ini.

2. Adik (Nadia Maulida Hasana) tercinta selalu memberikan semangat

v
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الر حيم‬

Alhamdulillah penulis ucapkan untuk Allah SWT sebab rahmah serta

inayah-Nya, segala sesuatu yang sudah direncanakan, dan sudah di dilaksakan

dapat berjalan lancer sebagimana mestinya, sholawat beserta salam semoga tetap

tercurahkan kepada junjungan kita sang nabi agung nabi Muhammad SAW.

Perjuangan dan kerja keras yang sudah penulis lakukan, mengantarkan

pada sebuah kesuksesan sehingga skripsi yang berjudul “Pergeseran

Pemahaman Konstitusionalisme Dalam Ketatanegaraan Indonesia”. Adapun

tugas akhir ini diajukan kepada Fakultas Syariah UIN KHAS Jember untuk

memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Starata Satu dalam

Ilmu Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Tata Negara.

Keberhasilan dan kesuksesan ini penulis menyadari bahwa didapat karena

dukungan banyak pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan

terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. H. Babun Soeharto, S.E., M. M., selaku Rektor UIN KHAS Jember.

2. Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil.I., selaku Dekan Fakultas Syariah UIN

KHAS Jember.

3. Bapak Sholikul Hadi, S.H., M.H., selaku Koordinator Prodi Hukum Tata

Negara (HTN) Fakultas Syariah UIN KHAS Jember.

4. Ibu Dr. Hj. Qurrotul Uyun, S.H., M.H., selaku Pembimbing Skripsi yang

telah banyak membantu menyelesaikan dan juga menyempurnakan.

vi
5. Para Staff TU Fakultas Syariah UIN KHAS Jember yang telah memberikan

kemudahan dan kelancaran administrasi dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah UIN KHAS Jember yang telah

mengajar saya dari Semester awal sampai bisa menyelesaikan tugas akhir ini

dengan penuh bangga.

7. Semua Pengarang Buku-buku/Refrensi yang telah saya gunakan dalam

penyusunan penulisan Skripsi ini.

8. Teman-teman dan sahabat-sahabat saya di HTN 2 angkatan 2017 yang

banyak sekali membantu saya tanpa terhitung oleh apapun.

Penulis tidak bisa menyebutkan satu persatu orang-orang yang

berperan dalam peneyusunan skripsi ini, dan mohon maaf penulis tidak bisa

membalas kebaikan sebagaimana yang beliau dan teman-teman berikan.

Namun penulis selalu berharap semoga Allah memberikan kesehatan serta

memberikan kemudahan dalam setiap langkah yang menuju kebaikan. Amien

allahumma amien….

Penyusunan Skrispi penulis tidaklah sempurna, karenanya, kritik serta

saran begitu diperlukan demi perbaikan-perbaikan penulisan-penulisan

selanjutnya.

Akhirnya, harapan terakhir penulis adalah semoga skripsi ini sangat

bermanfaat dan barakah. Amien allahumma amien….

Jember, 01 Maret 2022

Penulis

vii
ABSTRAK
Achmad Mufid Murtadho, 2022 : “Pergeseran Pemahaman
Konstitusionalisme Dalam Ketatanegaraan Indonesia”.
Kata Kunci : Konstitusionalisme, dan Tata Negara Indonesia.
Indonesia ialah sebuah negara yang menjujung tinggi hak asasi manusia,
sehingga dalam kedaulatan legitimasinya konstitusi terpaku kepada titik
kesejahteraan rakyat. Dalam penerapan konstitusi maka dibutuhkan adanya
konstitusionalisme sebagai dukungan dari kekuasaan sang penguasa agar
jaminan kedaulatan hak asasi manusia dapat terealisasikan dengan baik dan tidak
disalah gunakan oleh aparat negara, hal tersebut menjadi menarik
Fokus masalah yang diteliti ialah: 1) Apa yang melatar belakangi pergeseran
konstitusionalisme di Indonesia? 2) Bagaimana Doktrin konstitusionalisme
dalam ketatanegaraan Indonesia? 3) Bagaimana implikasi konstitusionalisme
dan hukum tata negara dari era Gusdur hingga Jokowi?
Tujuan penelitian ialah 1) Mengetahui latar belakang pergeseran
konstitusionalisme di Indonesia. 2) Mengetahui Doktrin konstitusionalisme
dalam ketatanegaraan Indonesia 3) Mengetahui Bagaimana implikasi
konstitusionalisme dan hukum tata negara dari era Gusdur hingga Jokowi.
Jenis penelitian yang dipakai ialah library research (kepustakaan) yang
penelitiannya terpusat dalam perpustakaan guna mendapatkan data dengan tidak
melaksanakan penelitian lapang. Sehingga sumber data didapatkan memakai
literatur-literatur ataupun peraturan-peraturan serta norma-norma yang berkaitan
akan permasalahan yang hendak diteliti yekni berupa buku-buku yang menelaah
tentang Konstitusionalisme Indonesia, Tata Negara Indoensia.
Hasil penelitian ialah 1) Bahwa yang melatar belakangi Pergeseran
Konstitusionalisme di Indonesia adalah seiring perkembangan hukum yang
semakin dinamis yang harus disesuaikan dengan latar belakang negara kita,
ditambah seringnya pergantian pucuk pimpinan tertinggi yaitu presiden yang
menyebabkan hal tersebut berdampak pada kebijakan-kebijakan yang diambil. 2)
Doktrin Konstitusionalisme dalam Ketatanegaraan Indonesia adalah
konstitusionalisme mencakup esensi pembatasan kekuasaan juga kekuasaan
tersebut terbatasi konstitusi sebagai norma hukum paling tinggi. Permasalahan
yang dirasa paling penting pada pemahaman konstitusional ialah peraturan
tentang pengawasan ataupun pembatasan akan kekuasaan pemerintahan. 3)
Implikasi Konstitusionalisme dan Hukum Tata Negara dari Era Gusdur hingga
Jokowi adalah terletak pada visi-misi masing-masing presiden yang berbeda-
beda sehingga menyebabkan implikasi konstitualisme di Indonesia sering
mengalami perubahan, dan juga perkembangan hukum yang semakin hari
semakin pelik untuk dipecahkan.

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .......................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................... iii

MOTTO .................................................................................................. iv

PERSEMBAHAN .................................................................................. v

KATA PENGANTAR ........................................................................... vi

ABSTRAK .............................................................................................. viii

DAFTAR ISI .......................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Fokus Kajian ............................................................................ 7

C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 7

D. Manfaat Penelitian ................................................................... 7

E. Definisi Istilah .......................................................................... 8

F. Sistematika Pembahasan .......................................................... 9

BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN ..................................................... 11

A. Penelitian Terdahulu ................................................................ 11

B. Kajian Teori ............................................................................. 13

1. Konstitusionalisme ............................................................. 13

2. Teori Konstitusi ................................................................. 23

ix
BAB III METODE PENELETIAN ..................................................... 31

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian .............................................. 31

B. Sumber Data ............................................................................ 31

C. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 32

D. Analisis Data ............................................................................ 32

E. Keabsahan Data ........................................................................ 32

F. Tahap-Tahap Penelitian ........................................................... 32

BAB IV PEMBAHASAN ...................................................................... 34

A. Pergeseran Konstitusionalisme di Indonesia............................. 34

B. Doktrin Konstitusionalisme dalam Ketatanegaraan Indonesia . 52

C. Implikasi Konstitusionalisme dab Hukum Tata Negara dari

Era Gusdur Hingga Jokowi ....................................................... 63

BAB V PENUTUP ................................................................................. 100

A. Kesimpulan .............................................................................. 100

B. Saran ........................................................................................ 100

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 102

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Pernyataan Surat Keaslian Tulisan

2. Biodata Penulis

x
1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dalam literatur kepustakaan hukum tata negara atau lebih dikenal dengan

istilah constitutional law dalam peradaban kahazanah keilmuan barat

konstitusionalisme diletakkan sebagai dasar konstitusi, jika diibaratkan

dengan retorasi rumah, konstitusi adalah pondasi dasar, sedangkan

konstitusionalisme adalah maniatur yang menegakkan dari beberapa unsur

pondasi tersebut.1

Kemunculan konstitusionalisme sendiri pada dasarnya, lebih dipahami

sebagai istilah yang muncul tidak berbarengan dengan konstitusi, karena pada

dasarnya konstitusionalisme adalah sebuah refleksi dari dasar hukum yang di

bangun dari sebuah konstitusi. Secara garis besar perwujudan kedaulatan

rakyat dalam kehidupan bernegara dapat di klasifikasikan menjadi dua

macam, yaitu dalam lembaga perwakilan rakyat atau parlemen dan bentuk

konstitusi sebagai wujud perjanjian sosial tinggi. 2

Negara-negara yang menganut perwujudan kedaulatan rakyat dalam

parlemen, mengakibatkan dianutnya prinsip supermasi parlemen. Konstitusi

dalam sebuah negara dapat diubah dengan produk hukum parlemen.

Sedangkan negara yang menganut konstitusi sebagai hukum tertinggi, maka

hukum yang dibuat oleh parlemen tidak boleh bertentangan dengan

konstitusi.

1
Faisal Islam, Islam Konstitusionalisme dan Pluralisme, ( Yogyakarta: IRCSoD: 2019) 19
2
I Dewe Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, (Malang: Setara Press, 2012), 13

1
2

Sebuah negara pada umumnya memiliki naskah konstitusi sebagai dasar

negara, bila melihat konstitusi yang ada di Indonesia Undang-Undang Dasar

sebagai naskah konstitusi dasar yang tidak boleh dilanggar oleh parlemen,

sehingga dalam menentukan sebuah hukum negara tetap beracuan pada UUD

1945.

Berlakunya konstitusi sebagai dasar hukum akan mengikat didasarkan

atas kekuasaan tertinggi dalam suatu negara, jika sebuah negara menganut

paham kedaulatan rakyat, maka yang mempunyai legitimasi konstitusi penuh

adalah rakyat, apabila dalam sebuah negara berlaku paham kedaulatan raja,

maka rajalah yang mempunyai legitimasi atas konstitusi tersebut.

Indonesia adalah sebuah negara yang menjujung tinggi hak asasi

manusia, sehingga dalam kedaulatan legitimasi konstitusi terpaku kepada titik

kesejahteraan rakyat. Dalam penerapan konstitusi maka dibutuhkan adanya

konstitusionalisme sebagai pentasan dari kekuasaan sang penguasa agar

jaminan kedaulatan hak asasi manusia dapat terealisasikan dengan baik dan

tidak disalah gunakan oleh aparat negara.3

Elemen-elemen konstitusionalisme harus sesuai dengan tujuan semua,

kesepakatan mengenai “the rule of law” serta ke sepakatan dari institusi.

Maka dengan begitu tujuan konstitusi bersama dapat dilihat dari teks

Pancasila dan bentuk kesepakatan institusi terkandung dalam UUD 1945.

Sejak Indonesia berdiri dan merdeka, sampai saat ini Indonesia sudah

mengalami pergantian presiden sebanyak 7 kali, namun dalam setiap

3
Satya Rinanto, Hak Asasi Manusia Transisi Indonesia, (Yogyakarta: IRCSoD: 2017) 26
3

pergantian kepemimpinan selalu ada perubahan, sehingga terjadi pergeseran

dalam konstitusionalismenya, yang paling menarik perhatian dalam konteks

konstitulisme, saat kepemimpinan era modernism yakni KH Abdur Rahman

Wahid yang lebih akrab disapa Gusdur.

Gusdur pada saat itu menjabat presiden selama 2 tahun, sejak 1999

sampai 2001. Sebelum masa jabatannya selesai, Gusdur diturunkan dari

jabatan dengan beberapa alasan diantaranya dekrit pembekuan DPR dan

MPR, Gusdur juga pernah mengunjungi Soeharto setelah presiden pada masa

orde baru itu lengser, sedangkan pada saat itu Soeharto menjadi sorotan

public, Gusdur juga pernah mengusulkan pencabutan tap MPRS No 25 tahun

1966 tentang pelarangan PKI dan pengajaran komunis dan marsismedi

Indonesia, usul itu langsung menua kontroversial hingga kandas diterapkan

yang sangat membuat kontroversi dalam pemimpinan Gusdur, beliau pernah

membubarkan departemen sosial dan departeman penerangan hal itu ia

lakukan ketika saat ia menjabat presiden dalam jangka waktu satu bulan.

Gusdur juga memecat Yusuf Kallah dan Laksmana Sukardi yang pada saat itu

menjabat mentri perindustian dan mentri BUMN, mengubah ke angkeran

Istana dengan menerima tamu sembarangan dari masyarakat biasa.

Setelah Gusdur dilengserkan lalu di ganti oleh Megawati yang di bantu

oleh Hamzahas, lima bentuk konsep yang di usung oleh megawati,

diantaranya menghapus KKN, menyelamatkan rakyat dari krisis yang

berkepanjangan, meneruskan pembangunan politik, dan mempertahankan

supermasi hukum dan menciptakan sosial kultural yang kondusif dari


4

beberapa komponen diatas kebijakan megawati mengamandemen UUD 1945,

merubah kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan independen, membentuk

KPK dan mahkamah konstitusi dan banyak undang-undang baru yang

dilakukannya, yang menjadi kontroversi dalam kebijakannya saat megawati

memprivatisasi BUMN Indosat yang di jual kepada STT singapura. Pada

masa jabatan Megawati Aceh dan papua merasa terdeskriminasi karena

memperoleh keuntungan yang sedikit dari hasil sumber daya alam, saat itu

lemahnya diplomasi luar negeri. Kepercayaan masyarakat mulai menurun

sejak tahun 2003 sampai Megawati selesai menjabat

Presiden Megawati dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

pada tahun 2004, sejak pemerintahan baru SBY banyak menentukan

kebijakan salah satunya menciptakan bantuan opeasional sekolah, dan untuk

menuntaskan kemiskinan SBY memberikan BLT bantuan langsung tunai

kepada masyarakat, selain itu SBY mendapatkan penghargaan dari

penghargaan negarawan dunia 2013 namun laporan kebebasan beragama

internasional 2012 yang dirilis departemen agama saat itu berkata lain, karena

sepanjang tahun 2012 kekerasan dalam atau luar negeri antar umat beragama

di Indonesia telah mengakibatkan setidaknya 20 orang tewas dan

memporakporandakan rumah masyarakat.

Pada era modernisme banyak sekali permasalahan yang timbul, baik dari

internal ketatanegaraan atau eksternalnya, itu semua disebabkan populernya

sebuah komunikasi yang semakin hari semakin canggih, sehingga dalam

pendoktrinan aparatur negara dalam menjalankan konstitusionalisme selalu


5

dipertanyakan diruang publik, kejujuran dari sebuah refleksi dan penerapan

undang-undang selalu diteliti oleh masyarakat Indonesia.4

Sejumlah kebijakan presiden kita sat ini Jokowi dan Ma‟ruf Amin juga

menjadi kontroversi salah satunya UU Cipta kerja, pihak DPR, termasuk

wakil Presiden mwnyarankan penolakan UU Cipta kerja mengajukan gugatan

ke mahkamah konstitusi, sedangkan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden

Dany Amrul Ichdan menekankan bahwa UU Cipta Kerja penting, misalnya

untuk mempermudah aturan yang rumit, seharusnya apabila ada masalah

yang rumit harus perbaiki birokrasinya

Adanya doktrin konstitusi sebenarnya sudah ada sejak zaman sebelum

Indonesia mengalami transisi modern, doktrin konstitusionalisme modern

berlandaskan filosofi kebangsaan dan kebebasan atau persamaan yang

memicu revolusi Amerika serta Prancis yang pada intinya dalam

konstitusionalisme ingin membatasi kekuasaan pemerintah agar tidak

sewenang-wenang dalam menentukan sebuah kebijakan. Terdapat 2 sumber

ide mengenai pembatasan kekuasaan pemerintah (1) teori hukum alam

“sekuler” kekuasaan yang “immoral” ialah perbuatan pemerintahan yang

jauh dari kata adil serta kesewenangan (2) akar budaya barat yang

memunculkan peradaban moderen, hal ini sangat mempengaruhi terhadap

sistem kebijakan pemerintah. Konstitusionalisme adalah sistem kelembagaan

4
Thomas Tokan Pureklolon, Komunikasi Politik (mempertahankan Integritas Akademis Politikus, dan
Negarawan), (Jakarta: gramedia, 2016) 17
6

yang efektif mengatur pembatasan pemerintah dan hal ini menjadi sebuah

doktrin agar semua kebijakan disesuaikan dengan konstitusi.5

Paham doktrin konstitusionalisme pada dasarnya berada pada

kesepakatan umum, jika kesepakatan itu runtuh maka runtuhlah sebuah

legitimasi kekuasaan negara dan pada gilirannya perang saudara akan terjadi.

Bagi negara Indonesia yang paling menentukan adalah pembukaan UUD

1945 yakni berupa konsensus kemerdekaan Indonesia, yang menunjukkan

eksistensi Negara Republik Indonesia dengan dasar negara Pancasila

mencakup lima sila yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang

adil dan beradab, Persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia.6

Dari 4 pemimpin sejak Gusdur sampai saat ini banyak pergeseran

konstitusi dan konstitusionalisme yang membuat peneliti selalu bertanya

dengan adanya pijakan dasar yang dijadikan acuan oleh setiap pemerintah

baik dari visi-misi dan tujuan dan komparasinya dengan Pancasila dan UUD

1945

Dari pemaparan penjelasan diatas sangat jelas bahwa Negara Indonesia

mempunyai landasan negara. UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalisnya

dan pancasila sebagai landasan idiologisnya, maka dari itu dalam penelitian

ini peneliti ingin meneliti tentang “Pergeseran Pemahaman

Konstitusionalisme Dalam Ketatanegaraan Indonesia”.

5
Jumadi, Memahami konstitusionalisme Indonesia, Jurnal UIN Alaluddin Makasar, Jurisprudentie, Vol: 3
No. 2, 2016
6
Isharyanto, Konstitusi Rule Of Law dan Demokrasi, (Yogyakarta: CV, Absolute Media, 2018) 34
7

B. Fokus Penelitian

1. Apa yang melatar belakangi Pergeseran Konstitusionalisme di Indonesia?

2. Bagaimana Doktrin Konstitusionalisme dalam Ketatanegaraan Indonesia?

3. Bagaimana Implikasi Konstitusionalisme dan Hukum Tata Negara dari Era

Gusdur Hingga Jokowi?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk Mengetahui hal yang melatar belakangi Pergeseran

Konstitusionalisme di Indonesia.

2. Untuk Mengetahui Doktrin Konstitusionalisme dalam Ketatanegaraan

Indonesia.

3. Untuk Mengetahui Implikasi Konstitusionalisme dan Hukum Tata Negara

dari Era Gusdur Hingga Jokowi.

D. Manfaat Penelitian

Dalam penulisan proposal ini peneliti berharap agar dapat bisa

bermanfaat pada beberapa faktor terkait diantaranya:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan wawasan akademik bagi

seluruh pemikir ke intelektualan dunia akademik tentang konsep Doktrin

Konstitusionalisme dan menyadarkan masyarakat tentang pentinganya diri

mereka dana melindungi dari kekuasaan dan kebijakan yang tidak jelas

dari aparatur negara, sehingga dapat dijadikan sebuah pijakan untuk

menentukan sikap yang lebih relevan dengan tuntutan zaman yang tidak
8

lagi mendiskreditkan masyarakat dalam bertindak dan mengekploitasi

hukum yang semena-mena.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Penulis

Agar dalam penelitian ini dapat menambah wawasan dan

pengalaman dalam segi penelitian kualitatif serta menambah wawasan

kajian hukum tata negara khususnya dalam pembahasan konstitusi dan

konstitusionalisme.

b. Bagi UIN KHAS Jember

Peneliti berharap agar dalam penelitian ini bisa memberikan sebuah

refrensi dalam penulisan karya ilmiyah terlebih khususnya pada tingkat

Sarjana prodi Hukum Tata Negara

E. Definisi Istilah

Definisi istilah berisi tentang pengertian istilah-istilah penting yang

menjadi titik perhatian peneliti di dalam judul penelitian. Tujuannya agar

tidak terjadi kesalahpahaman terhadap makna istilah sebagaimana dimaksud

oleh peneliti.7

1. Konstitusionalisme

Konstitusionalisme merupakan konsep gagasan yang berpendapat

bahwa kekuasaan pemerintah perlu dibatasi agar penyelenggara kebijakan

negara tidak sewenang-wenang atau otoriter, namun dalam judul ini

7
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, 101
9

peneliti akan mendeskripsikan doktrin dari Konstitusionalisme dan

perkembangannya dalam Hukum Tata Negara.

2. Hukum Tata Negara

Hukum tata Negara adalah sebuah bentuk hukum yang mendefinisikan

hubungan antar berbagai lembaga di dalam suatu Negara yaitu eksekutif,

legislatif, dan yudikatif. Dalam penelitian ini peneliti ingin

merelevansikan hubungan konstitusionalisme dengan Hukum Tata Negara

di Indonesia.

F. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan ialah:

Bab I mebahasas mengenai latar belakang yang berisi alasan peneliti

dalam melakukan penelitian ini dan dilanjutkan dengan fokus penelitian,

tujuan penelitian, manfaat penelitian terbagi dalam pembahasan manfaat

penelitian teoritis dan praktis, lalu di lanjutkan dengan definisi istilah yang

menerangkan tentang variabel dari judul penelitian dan dilanjutkan dengan

metologi penelitian serta sistematika pembahasan

Bab II menjelasakan tentang kajian kepustakaan membahas 2 komponen

penting, yakni penelitian terdahulu dan kajian teori, didalam kajian teori ada

beberapa pembahsan materi yan di gunakan untuk mengkonstruk dalam

penyajian isi penelitian

Bab III berisi tentang isi penelitian yang memuat data data, dari data

primer dan skunder, yang mana dalam penelitkian ini mencari relevansi teori

yang telah disajikan dengan subjek penelitian


10

Bab IV membahas penutup yang berisi pelnarikan kesimpulan dari

penelitian dan di relasikan untuk menyimpulkan dari fokus yang telah

dijadikan pijakan.

Bab V, berupa kesimpulan juga saran, Dalam bagian tersebut berisikan

akhir dari keseluruhan penelitian, yang disebut sebagai kesimpulan pada sub

bab sebelumnya yang sudah dipaparkan.


11

BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

A. Penelitian Terdahulu

Peneliti menuliskan penelitian terdahulu yang mempunyai keterkaitan

pada penelitian penulis guna melihat keorisinilitasan karya penulis.8

Terdapat penelitian yang memiliki kesamaan tema dengan penelitian yang

peneliti lakukan yaitu:

1. Arif Hidayat, 2006, Tesis, Internalisasi Konstitusionalisme dan

Demokrasi Perwakilan dalam Sistem ke tatanegaraan Indonesia, dalam

metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan,

hasil dari penelitian Arif hidayat ia membatasi penelitiannya dalam

tingkat divisi perwakilan rakyat. Persamaan dengan penelitian ini sama

sama menggunakan subjek penelitian konstitusionalisme. Perbedaannya,

Arif memfokuskan penelitiannya kepada UUD 1945 dan realisasinya

terhadap masyarakat setempat, sedangkan dalam penelitian ini fokus

kepada doktrin konstitusionalisme dalam bidang ketatanegaraan.

2. M Yasin Al Arif, 2017, Aktualisasi Paham Konstitusionalisme dalam

Konstitusi Pasca Amandemen Undang Undang 1945, Jurnal Pandecta

Vol, 12, No, 02, 2017, dalam penelitian ini M. Yasin Menggunakan

penelitian normatif dengan pendekatan historis dan pendekatan

perundang-undangan. Persamaannya, dalam penelitian ini Yasin sama

menggunakan subjek penelitian Konstitusionalisme dengan menjelaskan

8
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember, penulisan karya ilmiah (Jember: IAIN Jember Press, 2018), 45.

11
12

aktualisasi dari Konstitusionalisme pasca amandemen Undang Undang

Dasar 1945 sedangkan peneliti membahas tentang doktrin dari

Konstitusionalisme dengan melihat aktualisasi dari peran pemerintah

dengan menggunakan pendekatan historis. Perbedaannya dengan

penelitian ini sama sama memakai pendekatak kualitatif.

3. Ahmad Ahsin Thohari, 2009, Mahkamah Konstitusi dan Pengokohan

dan Pengokohan Demokrasi Konstitusional di Indonesia, Jurnal

Legislasi, Vol 06 No. 03. 2009 dalam jurnal ini Ahsin menjelaskan

tentang terbentuknya MK dan realisasinya dalam penerapan konstitusi

negara, dalam tulisan ini Ahsin menjelaskan tanpa mengaitkan sebuah

metode yang mejadi pendekatannya. Dan dalam penelitian ini sama sama

membahas tentang Konstitusionalisme.

4. Jumadi, 2016, Memahami Konsep Konstitusionalisme Indonesia,

Jurisprudentie, Vol 3 No. 2. 2016 dalam jurnal ini Jumadi tidak

menggunakan metode penelitian. Namun, dalam penelitian ini peneliti

lebih memfokuskan kepada doktrin konstitusionalisme dalam

perkembangan hukum tata negara. Meskipun subjek dalam penelitian ini

sama tapi ada pembeda dalam orientasi nya.

5. Isharyanto, 2018, Konstitusi Rule of Law dan Demokrasi, Buku terbitan

CV. ABSOLUTE MEDIA, Yogyakarta. Dalam buku ini Isharyanto

menjelaskan konstitusi namun tidak terpaku pada satu negara melainkan

dari beberapa negara seperti India, Singapur, Bangladesh, Myanmar

sangat beda dengan penelitian ini yang fokus kepada satu subjek yakni
13

negara Indonesia dan membahas tentang doktrin konstitusionalisme

dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia.

B. Kajian Teori

1. Konstitusionalisme

Walton H. Hamilton dengan karyanya “Constitutionalism” salah satu

Encyclopedia of Social Sciences 1930 yakni: “Constitutionalism is the

name given to the trust which men repose in the power of words

engrossed on parchment to keep a government in order”. Berfungsi

sebagai “to keep a government in orde”‟ hal demikian dibutuhkan

peraturan yang sistematis, karenanya dinamika kekuasaan pada prosesi

pemerintah bisa terbatasi serta digunakan dengan seharusnya. Gagasan

diatur serta dibatasinya kekuasaan tersebut timbul sebab terdapat rasa

butuh guna merespon perkembangan peranan relatif kekuasaan umum di

masyarakat.9

Saat negara-negara (nation states) memperoleh bentuk yang begitu

kuat, sentral, serta begitu mempunyai kekuasaan ketika abad ke-16

sampai ke-17, teori-teori politik semakin banyak guna memberikan

penjelasan tentang berkembangnya sistem kekuasaan yang kuat. Di

Inggris saat abad ke-18, berkembangnya sentralisme tersebut diambil

pada doktrin “king-in-parliamen”‟, yakni memberi cerminan kekuasaan

raja yang tiada batas. Karenanya, sebagaimana ungkapan Richard S. Kay:

“By 1776 Blackstone was able to write that what Parliament does
„no authority upon earth can undo‟. It was partly in response to the
9
Jimly As Siddiqy, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana Permedia Grup,
2005) 76
14

positing of a leviathan-state that the idea of a government of


limited purpose, and therefore of limited power, was reformulated
and explicated.”

Artinya : Pada 1776 Blackstone mampu menulis bahwa apa yang


dilakukan Parlemen 'tidak ada otoritas di bumi yang dapat
membatalkannya'. Itu sebagian sebagai tanggapan terhadap
pendirian negara leviathan bahwa gagasan tentang pemerintahan
dengan tujuan terbatas, dan karena itu dengan kekuasaan terbatas,
dirumuskan ulang dan dijelaskan.

Dengan demikian, konstitusionalisme saat ini dirasa sebagai konsep

yang tidak mungkin untuk negara moderen. Sebagaimana ungkapan C.J.

Friedrich, “constitutionalism is an institutionalized system of effective,

regularized restraints upon governmental action”. Intinya ialah

kesepakatan umum ataupun kesepakatan (consensus) diantara masyarakat

umum tentang bangunan yang dirasa ideal berkaitan akan negara negara.

Organisasi negara dibutuhkan masyarakat politik supaya kepentingan

bisa terlindungi ataupun terpromosikan melewati terbentuknya serta

digunakannya mekanisme yakni “Negara” yakni “general agreemen”.

Apabila kesepakatan tersebut rusak, nantinya rusak juga legitimasi

kekuasaan negara yang berkaitan, sehingga civil war ataupun revolusi

bisa bergemuruh. Contohnya pada revolusi penting yang ada di Prancis

1789, di Amerika 1776, di Rusia 1917, dan juga di Indonesia 1945, 1965

serta 1998.10

Konsensus memberi jaminan penegakan konstitusionalisme di era

moderen secara umum berlandaskan dalam 3 elemen kesepakatan

(consensus), yakni:

10
Saldi Isra, Pengujian Konstitusionalitas Perda, (Jakarta: PT. Gramedia, 2020), 78
15

1. Kesepakatan mengenai cita-cita bersama “the general goals of society

or general acceptance of the same philosophy of government”.

2. Kesepakatan mengenai”the rule of law” berupa dasar pemerintah

ataupun penyelenggara negara “the basis of government”.

3. Kesepakatan mengenai bentuk institusiserta prosedural tatanegara

“the form of institutions and procedures”.11

Consensus pertama, yakni berkaitan akan cita-cita bersama begitu

mempengaruhi penegalan konstitusi serta konstitusionalisme pada

negara. Karenanya memberi cerminan sama dalam kepentingan diantara

masyarakat yang secara kenyataan perlu berada dalam pluralisme

ataupun masyarakat majemuk. Dengan demikian, guna memberi jaminan

hidup bersama, dibutuhkan rumusan mengenai cita-cita bersama yang

dinamakan falsafah kenegaraan ataupun “staatsidee” mempunyai fungsi

“Philosoische grondslag” serta “common platforms” ataupun “kalimatun

sawa” diantara masyarakat.12

Landasan pilosopi yang disebutkan itu yang umumnya dinamakan

Pancasila yang artinya 5 sila ataupun 5 prinsip dasar guna meraih 4

tujuan negara. kelima sila tersebut mencakup (1) Ketuhanan Yang Maha

Esa, (2) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, (3) Persatuan Indonesia,

(4) Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam

Permusyawaratan/Perwakilan, dan (5) Keadilan Sosial bagi Seluruh

Rakyat Indonesia. Lima sila itu digunkana dasar folosois-ideologis guna

11
Jimly As Siddiqy, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Kencana Permedia Grup, 2010), 32
12
Zainal Arifin Hoesein, Kekuasaan Kehakiman Indonesia, ( Malang: Setara Press, 2006) 45
16

meraih 4 cita-cita ideal suatu negara, yakni: (1) melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) meningkatkan

kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, serta (4) ikut

melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

yang abadi, dan keadilan sosial.13

Kesepakatan ke-2 ialah kesepakatan yakni basis pemerintahan

didasari peraturan hukum juga konstitusi. Consensus ke-2 begitu

prinsipal, sebab pada tiap negara perlu terdapat kepercayaan bersama

yakni apa pun yang akan dilaksanakan pada hal penyelenggaraan negara

wajib didasari “rule of the game”. Disebut juga “the rule of law” yang

dibawa A.V. Dicey, sarjana Inggris terkenal. Istilah tersebut di Amerika

berkembang berupa “The Rule of Law, and not of Man” guna memberi

gambaran definisi yakni hukum yang sebenarnya memberi perintah pada

negara, bukanlah manusia.14

Istilah “The Rule of Law” tidak sama dengan “The Rule by Law”.

Yakni kedudukan hukum “law” sifatnya “instrumentalis” ataupun “alat”,

namun perintah dipegang manusia, yakni “The Rule of Man by Law”.15

Dari definisi tersebut hukum bisa dilihat berupa kesatuan sistem yang

mempunyai puncak hukum yakni konstitusi, tertulis maupun tidak

tertulis. Dengan demikian muncul “constitutional state” yakni ciri utama

negara demokrasi moderen. Karenanya, kesepakatan mengenai sistem

13
Sirajuddin, Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia, ( Malang: Setara Press, 2006)31
14
Mas Marwan, Hukum Konstitusi dan Kelembagaan Negara, (Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2018), 88
15
Jimly As Siddiqy, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana Permedia Grup,
2005)80
17

peraturan begitu penting yang pada akhirnya konstitusional bisa sebagai

pedoman paling tinggi guna menuntaskan seluruh suatu berlandaskan

hukum.

Tidak adanya consensus semisal hal tersebut, konstitusi tidak ada

fungsinya, sebab hanyalah mempunyai fungsi data yang “mati”, hanyalah

nilai semantik serta tidak memiliki fungsi apapun. Kesepakatan ke-3

ialah berkaitan akan:

a. Bangunan organ negara serta prosedural yang berupa peraturan

kekuasaan,

b. Hubungan antara organ negara

c. Hubungan antara organ negara dengan masyarakat.16

Berlandaskan hal tersebut isi konstitusi bisa terumuskan sebab

memberi cerminan tujuan bersama berkaitan akan institusi Negara serta

tatacara ketatanegaraan yang akan diperkembangkan di hidup bernegara

konstitusi “constitutional state”. Kesepakatan tersebut harapannya

sebagai pedoman utama dalam waktu lama. Orang-orang yang

merancang serta merumuskan konstitusi tanpa membayangkan, naskah

konstitusi tersebut nantinya dirubah di waktu dekat. Konstitusional

berbeda akan UU yang bsia mudah dirubah. Karenanya tatacara

perubahan UUD tidak dirubah semisal UU. Tentunya, sulitnya tatacara

perubahan UUD tidak membuat UUD tersebut kaku serta tidak bisa

16
As Siddiqy, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, 81
18

dirubah. Konstitusional pun tidak bisa menjadi sakral yang tidak bisa

dirubah semisal pada Orde Baru.

Secara inti mencakup prinsip peraturan serta pembatasan kekuasaan.

Yakni prinsip konstitusional moderen sesungguhnya mencakup prinsip

adanya batasan kekuasaan ataupun umumnya dikatakan prinsip “limited

government”. Karenanya, William G. Andrews menjabarkan, “Under

constitutionalism, two types of limitations impinge on government.

„Power proscribe and procedures prescribed”. Yakni “Kekuasaan

melarang dan prosedur ditentukan”. Konstitusional melakukan aturan 2

hubungan yang berhubungan dengan lainnya, yakni: 1) hubungan antar

pemerintah dan masyarakat; 2) hubungan antar lembaga pemerintah yang

dengan lainnya. Karenanya, umumnya isi konstitusi bertujuan pada 3 hal

yakni:

1) Adanya batasan kekuasaan organ negara,

2) Memberi aturan hubungan antar lembaga negara

3) Memberi aturan hubungan kekuasaan antar lembaga negara dengan

masyarakat.17

Bisa juga konstitusi berfungsi penting yakni akademis ataupun

praktik. Sepertihalnya dikemukakan William G. Andrews:

“The constitution imposes restraints on government as a function of


constitutionalism; but it also legitimizes the power of the
government. It is the documentary instrument for the transfer of
authority from the residual holders-the people under democracy, the
king under monarchy-to the organs of State power”.

17
I Dewe Gede, Hukum Konstitusi. 64
19

Artinya : Konstitusi memberlakukan pembatasan pada pemerintah


sebagai fungsi konstitusionalisme; tetapi juga melegitimasi
kekuasaan pemerintah. Ini adalah instrumen dokumenter untuk
transfer otoritas dari pemegang sisa-rakyat di bawah demokrasi, raja
di bawah monarki-ke organ kekuasaan negara.

Konstitusional disatu sisi (1) memberi batasan pada kekuasaan yang

merupakan fungsi konstitusiona, namun pada sisi lainnya (2) memberi

legitimasi pada kekuasaan pemerintah. Konstitusi pula (3) mempunyai

fungsi instrumen guna memberi pengalihan kewenangan pengampu

kekuasaan asal yani masyarakat di sistem demokrasi ataupun Raja di

sistem Monarki kepada organ kekuasaan negara. Thomas Paine dalam

karya “Common Sense” disebutkan yakni konstitusional berfungsi “a

national symbol”:

“It may serve instead of the king in that ceremonial function of


exemplifying the unity and majesty of the nation. Or it may exist
alongside the monarch, embodying capacity that Constitutions are
trundled about the country in shiny aluminium railroad trains under
armed guard and exhibited to all comers”.

Artinya : Ini mungkin berfungsi sebagai pengganti raja dalam fungsi


seremonial yang menunjukkan kesatuan dan keagungan bangsa.
Atau mungkin ada di samping raja, mewujudkan kapasitas bahwa
Konstitusi diatur tentang negara di kereta api aluminium mengkilap
di bawah penjagaan bersenjata dan dipamerkan ke semua pendatang.

Konstitusi dapat berfungsi sebagai pengganti raja dalam kaitannya

sifatnya “seremonial” serta berfungsi menyatukan negara semisal fungsi

kepaa negara. Karenanya, fungsi lainnya yakni (4) “kepala negara

simbolik” serta (5) “kitab suci simbolik” pada “agama civil” ataupun

“syari‟at Negara”. Berfungsi “kepala negara simbolik”, konstitusional

mempunyai fungsi: 1) simbol persatuan, 2) lambang identitas serta


20

keagungan nasional, 3) pusat kehidmatan upacara. Tetapi, dalam

fungsinya dokumen kitab suci simbolik, Konstitusional mempunyai

fungsi (1) dokumen yang mengendalikan, (2) dokumen merekayasa serta

merancang masa yang akan datang.18

Kata “kepala negara simbolik” digunakan selaras akan “The Rule of

Law” yakni yang sebenarnya pemimpin negara bukan orang, namun

hukum tersebut. Oleh karena itu, kepala negara yang sebenarnya ialah

konstitusi, bukanlah personal yang menjadi kepala negara. Lagipula,

berbedanya istilah “kepala Negara” serta “kepala pemerintahan” tersebut

dilihat sebagai suatu yang ada pada sistem pemerintah parlementer

berlatarbelakang sejarah kerajaan “monarki”. Pada monarki konstitusi

yang memberlakukan sistem parlementer, nyatanya dipisah antar Raja

ataupun Ratu sebagai “kepala Negara” juga “Perdana Menteri” sebagai

kepala pemerintah. Pada republik semisal di Amerika, kedudukan Raja

tersebut yang diganti konstitusi. Demikian pemerintah presidensiil

semisal Indonesia, tidak buth diperkembangkan definisi tentang

kedudukan “kepala Negara”, sebab fungsi kepala negara tesebut simbolik

berlandaskan UUD berupa naskah konstitusional yang sifatnya tertulis.19

Karenanya konstitusi kepala negara simbolik berfungsi yakni simbol

persatuan, perkataan identitas, keagungan bangsa serta pusat upacara

kenegaraan. Karenanya, konstitusional bisa mempunyai fungsi

mengungkapkan identitas semua bangsa. Apabila konstitusi dikatakan,

18
Dewe Gede, Hukum Konstitusi. 90
19
Dewe Gede, Hukum Konstitusi. 98
21

ialah identitas kolektif, sepertihalnya bendera negara. Berkaitan akan

pusat upacara, konstitusi pun memiliki makna penting pada kegiatan

upacara.

Berfungsi “civil religion”, konstitusi bisa berfungsi mengendalikan

merekayasa serta membuat hal baru. Pada praktiknya, bisa menjadi 2

bagian tentang konstitusi, yakni bagian 1 berfungsi dokumen yang

mencakup norma kehidupan. Umumnya konstitusional bermaksud

menggambarkan kenyataan norma “to describe present reality”. Lainnya

juga yang sifatnya “prospective” memberi artian cita-cita ideal

masyarakat. Terdapat negara moderen yang melakukan rumusan sosial

serta ekonomi, tidak bisa terwujudkan ataupun diraih pada warga.

Konstitusi pada negara yang berpaham sosialis ataupun terpengaruhi

sosialisme, biasanya mencakup ketentuan tentang ini. Itu dijuluki

“economic constitution” serta “social constitution” di buku “Gagasan

Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di

Indonesia”.20

Tidak sama dengan konstitusi yang tertulis berlandaskan demokrasi

liberal semisal konstitusi Amerika tidaklah mencakup ketentuan tentang

cita-cita ekonomi atau tentang sistem ekonomi serta kegiatan ekonomi.

Sebab permasalahan berkaitan akan perekonomian bukan terkait urusan

negara, namu berada pada urusan pasar yang memiliki mekanismenya

sendiri berlandaskan “free market liberalism” berupa pilar kapitalisme.

20
Dewe Gede, Hukum Konstitusi. 111
22

Begitu juga kaya dan miskin bukan urusan Negara karenanya tidak

tercakup pada UUD. Pemikiran tersebut tidak sama dengan sistem sosial

yang berlandaskan “welfare state”. Pada “welfare state”, negara

bertanggung jawab mengatasi kemiskinan. Karenanya, UUD 1945

mengadopsi rumusan Pasal 34 yang sebenarnya: “fakir miskin dan anak

terlantar dipelihara oleh negara.”

Berlandaskan hal tersebut konstitusi berfungsi kontrol politik, sosial

ataupun ekonomi saat ini, merekayasa politik, sosial serta ekonomi untuk

yang akan datang. Demikian, penulis menyimpulkan fungsi konstitusi

bisa terinci:

a. Menentukan serta membatasi kekuasaan organ negara.

b. Mengatur hubungan kekuasaan antara organ negara.

c. Mengatur hubungan kekuasaan antara organ negara dengan

masyarakat

d. Memberi ataupun sumber legitimasi pada kekuasaan negara ataupun

kegiatan penyelenggara kekuasaan negara.

e. Menyalurkan serta mengalihkan kewenangan

f. Simbolik persatuan.

g. Simbolik rujukan identitas dan keagungan kebangsaan.

h. Simbolik pusat upacara

i. Mengendalikan warga.

j. Merekayasa serta pembaruan masyarakat.21

21
Dewe Gede, Hukum Konstitusi. 189
23

2. Teori Konstitusi

Adanya organisasi negara dibutuhkan supaya kepentingan

masyarakat bisa terpenuhi serta terlindungi. Tetapi, kekuasaan negara

yang ada dalam seseorang bisa memunculkan penyelewengan kekuasaan

“abuse of power”, karenanya perlu terbatasi. Membatasi kekuasaan

dilaksanakan supaya rakyat merasa adil serta sejahtera. Guna meraih itu

semua diperlukan adanya konstitusi.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, konstitusi ialah “segala ketentuan

tentang ketatanegaraan atau undang-undang dasar suatu negara”.

a. Konstitusi ialah hukum dasar yang menjadi pedoman

menyelenggarakan negara.

b. Konstitusi memiliki fungsi khusus yakni melakukan penentuan serta

pembatasan kekuasaan negara, juga memberi jaminan serta

perlindungan hak warga negara serta hak asasi manusia.

c. Mengatur hubungan antar lembaga negara, serta hubungan antar

negara dengan warga negara.

Carl J. Friedrich, konstitusionalisme ialah gagasan yakni pemerintah

ialah kegiatan-kegiatan yang terselenggara atas nama rakyat, namun

terdapat pembatasan yang diharap memberi jaminan kekuasaan yang

dibutuhkan untuk pemerintah tersebut tidak diselewengkan. Konstitusi

mempunyai bentuk tertulis serta tidak tertulis. Konstitusi Amerika serta


24

Indonesia ialah konstitusi tertulis. Konstitusi tidak tertulis ialah konstitusi

Kerajaan Inggris.22

Saat Belanda belum datang, kerajaan-kerajaan bergantian

menguasai Nusantara. Belanda datang ke Nusantara tertanggal 13

Nopember 1596, tanggal 20 Maret 1602 berdiri “Vereenigne Oost-

Indische Compagnie” atau VOC. Tanggal 31 Desember 1799 VOC

mengalami kepailitan, sehingga bubar tertanggal 1 Januari 1800. Sesudah

VOC bubar maka semua wilayah VOC dialihkan ke pemerintah Belanda.

Dimulai pemerintah Kolonial Belanda di Nusantara selanjutnya

dinamakan “Hindia Belanda”.

Saat 1854 Ratu Belanda menyatakan “Regerings Reglement” (RR)

serta digunakan di semua daerah Hindia Belanda, serta tertanggal 23 Juni

1925, RR 1854 digantikan “Indische Staatsregeling” (IS). RR juga IS

memiliki fungsi semisal konstitusi Hindia Belanda. Djokosutono, RR

sesungguhnya ialah “Grondwet van Nederlands-Indie” tetapi sebab

Hindia Belanda ialah “koloniale staat” tidak dinamakan “grondwet”

tetapi “beginselenwet” yakni aturan yang mencakup aturan pokok

tentang cara memerintahkan koloni. “Beginselenwet” sesungguhnya RR

bersifat semisal grondwet.9 tertanggal 8 Desember 1941, sesudah

melaksanakan bom Pearl Harbour, Jepang sukses mendapat kemenangan

22
C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk
Konstitusi Dunia, terjemahan SPA Teamwork, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004), Hlm. 15.
25

Perang Asia Timur Raya. 5 jam sesudahnya Gubernur Jenderal Hindia

Belanda melakukan ultimatum perang pada Jepang.23

Saat mendarat di Tarakan yang dilaksanakan tertanggal 11 Januari

1942, tentara Jepang masuk Hindia Belanda. Tertanggal 8 Maret 1942,

Panglima Angkatan Perang Belanda yang dipimpin Jenderal Ter Poorten

memberi kekuasaan ke Panglima Angkatan Perang Jepang yang dipimpin

Letjen Hitoshi Imamura. Hindia Belanda ada pada Pemerintah Bala

Tentara Jepang. Guna menebus janji memberi merdeka untuk Indonesia,

tertanggal 29 April 1945 Pemerintah Bala Tentara Jepang membuat

“Dokuritsu Zyumbi Tyoozakai” yakni Badan Penyelidik Usaha-usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia disingkat BPUPKI beranggotakan 60

orang. Ketuanya ialah Dr. KRMT Radjiman Wedyodiningrat, wakilnya

ialah RP Suroso. BPUPKI selanjutnya melakukan sidang mencakup

Sidang Pleno I tertanggal 28 Mei-1 Juni 1945, serta Sidang Pleno II

tertanggal 10 Juli-17 Juli 1945. pada Sidang Pleno I, Mr. Moh. Yamin

serta Ir. Soekarno berpidato tentang dasar Indonesia merdeka.

Selanjutnya rapat Panitia Hukum Dasar mempunyai anggota 19 orang.

Panitia Hukum Dasar selanjutnya membuat Panitia Kecil dengan ketua

Mr. Soepomo untuk pembahasan rancangan UUD.

Sesudah siding dilaksanakan, BPUPKI setuju akan Panitia Hukum

Dasar sebagai Rancangan UUD. Berakhirnya BPUPKI, pemerintah Bala

Tentara Jepang membuat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

23
Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk
Konstitusi Dunia, terjemahan SPA Teamwork, 17-18
26

PPKI, 21 anggota, Ketuanya Ir. Soekarno serta Wakilnya Drs.

Mohammad Hatta. rencananya PPKI memulai tertanggal 9 Agustus 1945,

serta hasil sah tertanggal 24 Agustus 1945. Saat bom di Hiroshima

tertanggal 6 Agustus 1945 serta Nagasaki tertanggal 9 Agustus 1945

Tentara Sekutu, Kaisar Jepang menyerah pada Sekutu. Hal tersebut

Indonesia memanfaatkannya guna mengumumkan kemerdekaan

tertanggal 17 Agustus 1945,tertanggal 18 Agustus 1945, PPKI me

ngesahkan Rancangan UUD menjadikan konstitusi Indonesia, yang

dinamakan UUD 1945.24 Pada awalnya Indonesia berupa kesatuan

berubah menjadi negara serikat “federal” namun selanjutnya kembali ke

negara kesatuan sampai sekarang.

Pada UUD 1945 IV menjelaskan “... Undang-Undang Dasar hanya

memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai

instruksi kepada pemerintah pusat untuk menyelenggarakan kehidupan

negara dan kesejahteraan sosial”. UUD 1945 diharap sifatnya padat agar

sistem UUD tidak tergerus masa. Berlandaskan UUD 1945 IV yakni,

“...Memang sifat aturan yang tertulis itu mengikat. Dengan demikian,

semakin “supel” (elastis) semakin bagus. Sehingga perlu adanya

penjagaan sistem UUD supaya tidak tergerus masa”. UUD 1945 berlaku

tertanggal 18 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949. Belanda

mengingkan kekuasaan sehingga melaksanakan “politik devide et

impera” yakni membuat negara boneka Belanda diantaranya Negara

24
Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk
Konstitusi Dunia, terjemahan SPA Teamwork, 19-20
27

Sumatra Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan dll,

selanjutnya tahun 1947 melaksanakan Agresi I yang kemudian Agresi II

tahun 1948. Guna menuntaskan hak tersebut diadakan Konferensi Meja

Bundar 23 Agustus 1949 sampai 2 November 1949 di Den Haag

Belanda, dengan perwakilan NKRI, “Bijeen-komst voor Federal

Overleg” (BFO), serta Komisi PBB untuk Indonesia. Persetujuannya

yakni:25

a. mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat;

b. Menyerahkan kedaulatan ke Republik Indonesia Serikat; serta

c. Mendirikan Uni antar Republik Indonesia Serikat serta Kerajaan

Belanda.

Pada KMB, semuanya setuju akan UUD RIS 1949 sebagai

konstitusi. Adanya Negara RIS, RI merupakan Negara RIS. Tertanggal

27 Desember 1949, UUD 1945 diberlakukan pada Negara Bagian RI.

Berlandaskan Pasal 2 Konstitusi RIS 1949, wilayah RI ialah wilayah

yang ada pada Perjanjian Renville yakni Jawa Tengah, Daerah Istimewa

Yogyakarta, serta Sumatera. Negara RIS hanya sebentar. Sesduah

permasalahan dengan Belanda usai, digabungngkan, sampai RIS

hanyalah 3 negara bagian, yakni Negara RI, Negara Indonesia Timur

(NIT), serta Negara Sumatra Timur (NST). Tertanggal 19 Mei 1950 antar

Pemerintahan RIS yakni NIT serta NST dengan Pemerintahan RI dicapai

25
Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk
Konstitusi Dunia, terjemahan SPA Teamwork, 23-24
28

sepakat guna membuat ulang NKRI sebagai keberlanjutan NKRI yang

diproklamirkan tertanggal 17 Agustus 1945.

Karenanya dibentuklah panitia bersama yang mempunyai tugas

mempersiapkan rancangan UUD. Rancangan UUD itu tertanggal 12

Agustus 1950 disepakati Badan Pekerja Komite Nasional Pusat.

Tertanggal 14 Agustus 1950 rancangan UUD itu disepakati DPR serta

Senat Negara RIS. Tertanggal 27 Agustus 1950, UUD S 1950 berlaku

dengan UU No 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara

Republik Indonesia Serikat menjadi UUDS RI. Berlandaskan UU No 7

Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum Anggota Konstituante dan

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, saat UUDS 1950 berlaku

Pemerintahan NKRI sukses melaksanakan pemilu 1955 yang

terselenggara pada 2 tahapan, yakni pemilu DPR yang terselenggara

tanggal 29 September 1955, serta pemilu anggota Konstituante, yang

terselenggara tanggal 15 Desember 1955.26

Selama 2 stengah tahun Konstituante hasil pemilu 1955 tidak sukses

menjadikan UUD dengan sifat tetap, karenanya pada Sidang Pleno

Konstituante yang terselenggara tertanggal 22 April 1959, Presiden

Soekarno memberi anjuran supaya Konstituante UUD 1945 menjadi

UUD yang sifatnya tetap sebagai NKRI. Sesudah sidang Konstituante

terselenggara serta melakukan pengambilan suara sebanyak 3 kali, tetapi

tidak sampai kuorum berlandaskan Pasal 137 ayat (2) UUDS 1950.

26
Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk
Konstitusi Dunia, terjemahan SPA Teamwork, 27-28
29

Tertanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno membuat “Dekrit Presiden

Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tentang

Kembali Kepada UUD 1945” menyatakan:

1. Pembubaran Konstituante;

2. UUD 1945 berlaku lagi; dan

3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)

yang terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-

utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan; dan pembentukan

Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) akan

diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Berdasarkan

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut, sejak 5 Juli 1959 UUD 1945

berlaku kembali di NKRI. Setelah peristiwa G30S/PKI yang terjadi

pada 30 September 1965, keadaan negara menjadi tidak menentu.

Presiden Soekarno membuat Surat Perintah 11 Maret 1966 yang

berisikan amanah pada Letnan Jenderal TNI Soeharto ataupun Menteri

Panglima AD guna bertindak pada hal yang dirasa buth guna

menyelesaikan situasi keamanan yang tidak baik. Supersemar tersebut di

terima, serta di perkuat MPRS, serta berubah berupa Tap MPRS.

terlaksana melewati Tap MPRS RI Nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat

Perintah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS RI. Dengan

Ketetapan MPRS RI Nomor XXXIII/MPRS/1967, Soeharto ditugaskan

sebagai Pejabat Presiden Indonesia. Berikutnya dilantik sebagai Presiden


30

Indonesia dengan Tap MPRS Nomor XLIV/MPRS/1968 tanggal 27

Maret 1968 tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan Nomor

IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik Indonesia. Dengan demikian

sejak 27 Maret 1968 kekuasaan pemerintahan Indonesia sepenuhnya

sudah berada di tangan Soeharto, maka pemerintah Orde Lama telah

berganti dengan pemerintah Orde Baru yang bertekad melaksanakan

UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Presiden Soeharto berkuasa

selama lebih kurang 32 tahun, dan pada tanggal 21 Mei 1998 menyatakan

berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia. Setelah pernyataan

mundur Soeharto sebagai Presiden RI pada tanggal 21 Mei 1998,

Indonesia memasuki Era Reformasi. Pada era ini UUD 1945 mengalami

perubahan sebanyak empat tahap, yang dilakukan sepanjang 1999-2002.

UUD hasil perubahan UUD 1945 dinamakan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945).27

27
Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk
Konstitusi Dunia, terjemahan SPA Teamwork, 29-30
31

BAB III
METODE PENELITIAN

Metode diambil dari “Method”, bahasa latin: “methodus”, yunani:

“methodos, meta” yakni setelah. Van Peursen mengartikan metode

epistimologi ialah jalan yang perlu dilewati saat penelitian dilakukan

berdasarkan perencanaan.28

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Guna melakukan sebuah penelitian pasti ada jenis yang digunakan.

dari dalam penelitian ini adalah jenis penelitian normatif melalui

pendekatan historis, menggunakan pendekatan library research. Dalam

penelitian ini, subjek lebih ditonjolkan agar fokus penelitian sesuia dengan

teori yang di relasikan oleh peneliti.29

B. Sumber Data

Sumber data adalah sumber yang berkenaan dengan subjek penelitian,

dalam menggali data peneliti memilih pendekatan bersifat naratif atau

kepustakaan30, dengan memilih objek penelitian yang sesuai dengan kajian

yang akan di pakai diantaranya.

1. Sumber data primer

Sumber data primer adalah salah satu yang dijadikan subjek oleh

peneliti. dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer adalah

konstitusionalisme yang ada di negara indonesia

28
Johnny Ibrahim, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Bayumedia, 2007), 25
29
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, (Bandung: Alfa Beta, CV, 2012),205.
30
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif…………. h. 288.

31
32

2. Sumber data skunder

Selain data primer peneliti juga membutuhkan data skunder sebagai

penunjang dalam penelitian ini yakni, hal-hal yang berkaitan dengan

judul penelitian seperti buku, koran, majalah, dll.

C. Teknik Pengumpulan Data

Seperti yang di ketahui bahwa dalam penelitian ini menggunakan

penelitian kepustakaan (library research) sehingga data yang dibutuhkan

adalah data yang diperoleh dari hasil telaah terhadap literatur yang

mempunyai relevansi terhadap tema pembahasan, maka instrumen

terhadap pengumpulan data-data itu ialah dengan memakai dokumentasi31

Guna mengumpulkan akan data-data yang dibutuhkan sebelumnya

melaksanakan identifikasi sumber data yang bisa menjadi obyek menelaah

pada penelitian, selanjutnya usaha mengumpulkan data sumber-sumber

yang sudah direncanakan yakni data primer ataupun sekunder.

D. Analisis Data

Analisis data merupakan pengukuran dari ke akurasian data yang

didapat dari sampel. Analisi data yang digunakan oleh peneliti adalah

analisis naratif deskrptif, analisis ini berfokus pada cara bagaimana sebuah

cerita dan ide dikomunikasikan keseluruh bagian terkait32.

E. Keabsahan Data

Keabsahan data bisa diujikan memakai tehknik triangulasi data, yakni

memeriksa keabsahan data yang memakai suatu hal di luar data, guna

31
Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h,274.
32
Morissan, Metode Penelitian Survei,(Jakarta: Prenada Media Grup, 2018),45.
33

menecek ataupun membandingkan. Dalam pengecekan data. Dalam

peneliti menggunakan dua triangulasi

1. Triangulasi Sumber Data adalah menggali kebenaran informasi melalui

berbagai metode dan sumber yang telah di jadikan sampel oleh peneliti,

seperti melalui wawancara, lobservasi dan dokumentasi.

2. Triangulasi teori adalah perbandingan antara rumusan informasi atau

tesist statement dan dengan perspektif teori yang digunakan yakni

peneliti membandingkan teori yang telah peneliti sajikan dengan

konteks yang ada dan telah disesuaikan dengan tempat penelitian.33

F. Tahap-Tahap Penelitian

Dalam tahapan penelitian yang pertama peneliti mencari sumber

masalah dengan menetukan sampel terlebih dahulu dan setelah itu peneliti

membuat rancangan penelitian dan disesuaikan dengan konteks

permasalahan yang ada. Dan dilanjutkan melakukan penelitian yang sesuai

prosedur dan etika penelitian yang sudah dirumuskan setelah itu peneliti

menyajikan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan menyimpulkan

penelitian yang ada serta menyertakan dokumentasi.

33
Morissan, Metode Penelitian………… h. 58.
34

BAB IV
PEMBAHASAN

A. Pergeseran Konstitusionalisme di Indonesia

Reformasi 1998 sudah memberikan cita-cita guna mengantarkan

Indonesia melaksanakan pembaruan pada menyelenggarakan negara,

sebagai negara demokratis berlandaskan hukum serta konstitusionalisme.

Yang menjadikan tanggungan tersebut ialah dilaksanakannya pengubahan

pada UUD 1945. Tuntutan pada melaksanakan pengubahan UUD 1945 ialah

tuntutan yang mempunyai landasan paham teori konseptual serta

berlandaskan mempertimbangkan empiris, yakni praktek melaksanakan

ketatanegaraan Indonesia selama stengah abad (1945-1949, 1959-2002).34

Lemahnya UUD 1945 berupa konsep sudah memberikan peluang untuk

munculnya pemerintah otoritas, yakni menyelenggarakan negara berbeda

tujuan dengan azaz kedaulatan rakyat, azaz negara berlandasan hukum juga

sosial, politik serta ekonomi yang berbeda tujuan dengan UUD.35

Pendiri negara sesungguhnya dengan eksplisit telah menjelaskan yakni

UUD 1945 ialah konstitusi yang sifatnya sementara. Soekarno

menamakannya UUD “revolutie grond wet”. Karenanya, selama

kemungkinan stengah abad (1945-1949 dan 1959-2002), tatanegara

Indonesia bersifat sementara UUD 1945.

34
I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD
1945, (Malang: Setara Press, 2012),Hlm. 27.
35
Saldi Isra : “Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi : Memastikan Arah Reformasi Konstitusi”, dalam
Jurnal Analisis CSIS, ttahun XXXI/ 2002 Nomor 2, hlm 233.

34
35

Penyebab UUD 1945 bertahan sebab substansi tersebut memberi

keuntungan orang yang berkuasa. Substansinya yang memberi keuntungan

penguasa tersebut, tampak pada peraturan di UUD 1945 yang sifatnya multi

tafsir. Namun, tafsir yang wajib diamini ialah tafsir yang dikatakan

Presiden, konsekuensinya Presiden sebagai sentral dua kekuasaan “executive

heavy”. Adanya “executive heavy” pada UUD 1945 ialah suatu hal nyata

berdasarkan pembentukan lembaga negara. Pembentukan lembaga negara

terkecuali lembaga presiden, dilaksanakan dengan UU.

Dampak pembentukan lembaga negara dengan UU, yakni Presiden

memiliki kekuasaan yang mendominasi daripada lembaga negara lain.

Sebab dengan kekuasaan pembentukan UU, membuat isi rancangan UU

memberi keuntungan kepada Presiden. Peran DPR, hanyalah memberi

persetujuan ataupun penolakan RUU. Hak DPR membuat RUU sulit dengan

syarat-syarat tertentu pada tata tertib. Karenanya, bisa diketahui jia terdapat

UU yang muncul sebab keinginan politik Presiden yakni eksekutif. Hal

tersebut berdampak pada cara bernegara yang otoritas.

UUD 1945 mengatur tentang organisasi negara, memberi landasan

legitimasi pada adanya lembaga negara. Jika melihat substansinya, maka

tidak seluruhnya menerapkan tujuan dari UU itu sendiri. Konsep serta

landasan prinsip negara yang ada pada Pembukaan UUD 1945 tidak

terumuskan dengan gamblang pada pasal UUD, karenanya pada praktek ada

lahan guna memberi tafsiran pada pasal itu berdasarkan keinginan

pembuatnya.
36

Perubahan pada UUD 45 yakni pertama 1999 hingga ke-4 2002 itu satu

ke satuan. Perubahan dilaksanakan melalui muatan MPR yang materinya

mengenai pengubahan, rumusan pasal ataupun ayat pengubahan dengan

tidak mengambil bunyi pasal ataupun ayat yang diubah. Melalui

penyebukan serta perumusan pasal juga ayat yang baru, pasal ataupun ayat

yang asli diganti bunyi tersebut. Metode perubahan tersebut dengan maksud

guna menjaga struktur asli UUD 45. Apabila pada pengubahan ditambahkan

ayat pada pasal yang lama ataupun pasal yang sudah dirubah, maka ayat itu

nantinya disambung ke ayat yang sudah ada. Karenanya, memberi nomor

ayat dilanjutkan dengan memberi nomor ayat yang sudah ada sebelum itu.

Hal yang begitu penting setelah dirubahnya UUD 1945 ialah banyaknya

lembaga negara mandiri pada sistem tatanegara Indonesia. Lembaga itu

dibuat berdasarkan hukum yang beda-beda, yakni memakai konstitusi

ataupun UU, landasan hukum yang beda-beda tersebut menampakkan yakni

lembaga negara mandiri tersebut dibuat berlandaskan isu parsial, insidintal,

serta menjawab permasalahan yang terjadi. Landasan pembentukan lembaga

negara mandiri terbentuk sebab lembaga negara yang ada tidak bisa

memberi solusi serta menuntaskan permasalahan yang ada. Lainnya,

lahirnya lembaga negara mandiri tersebut membentuk ketidak percayaan

masyarakat pada lembaga yang ada.36

Pengubahan konfigurasi politik dari otoritas hingga demokratis yang

dipraktekkan pada negara, memberi tuntutan menggeser kekuasaan personal

36
Moh, Mahfud MD, 2000, Demokrasi Dan Konstitusi di Indonesia, Studi Tentang Interaksi Politik dan
Kehidupan Keta-tanegaraan, Jakarta , Rineka Cipta, hlm 149-151
37

menjadikan sifat impersonal. Di waktu yang sama, itu memberi dampak

membagi kekuasaan negara yang dirasa doktrinal bagus menjadi dikoreksi

serta dirasa kurang bagus dalam pembagian kekuasaan pemerintah,

kekuasaan membuat undang-undang, serta kekuasaan kehakiman.37

Prinsip memisahkan Kekuasaan “separation of power” Lembaga

Negara.

a. Pemisahan Kekuasaan Sebelum Amandemen

Guna memberi penilaian UUD 1945 berpaham pemisahan kekuasaan

ataupun pembagian kekuasaan, bisa memakai ciri yang dikemukakan

Ivor Jenning. Ia menjelaskan yakni pemisahan kekuasaan “separation of

powers” bisa ditinjau dari materiil serta formiil. Pemisahan kekuasaan

secara materiil ialah pembagian kekuasaan mempertahankan tugas negara

yang karakternya menampakkan pemisahan kekuasaan tersebut pada 3

bagian yakni legislatif, eksekutif serta yudikatif. Kebalikannya yakni jika

pembagian kekuasaan tidak mempertahankannya dengan tegas, maka

dinamakan pemisahan kekuasaan secara formiil.

Moh. Kusnardi juga Harmaily Ibrahim, pemisahan kekuasaan secara

materiil bisa dinamakan pemisahan kekuasaan. Sedangkan pemisahan

kekuasaan secara formiil dinamakan pembagian kekuasaan. Jimly

Asshiddiqie mengemukakan yakni pemisahan kekuasaan bisa sifatnya

horizontal serta vertikal.

37
Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta , LP3ES, hlm 309.
38

Secara horizontal yakni kekuasaan terpisahkan pada fungsi yang ada

pada lembaga negara yang derajatnya sama yakni check and balances.

Sedangkan pemisahan kekuasaan sifatnya vertikal mewujudkan

kekuasaan terbagi dengan vertikal ke bawah ke lembaga tinggi negara

dibawah lembaga yang memegang kedaulatan rakyat.

Berlandaskan ciri Jenning, Kusnardi serta Harmaily memberi

kesimpulan yakni UUD 1945 sebelum amandemen bukan menerapkan

sistem pemisahan kekuasaan “Trias Politica” sepertihalnya Montesqieu,

namun menerapkan sistem pembagian kekuasaan sebab:

1. UUD 45 tidak ada pembatasan tegas, yakni tiap kekuasaan wajib

dilaksanakan satu badan khusus

2. UUD 45 tidak ada pembatasan hanya pada 3 badan saja

3. UUD 45 tidak ada pembagian kekuasaan rakyat yang dilaksanakan

MPR Pasal 1 ayat (2), pada lembaga negara lain.38

Jimly menjelaskan yakni sebelum diamandemen, UUD 45 berpaham

pembagian kekuasaan dengan sifat vertikal, tidak pemisahan kekuasaan

dengan sifat horizontal. Kedaulatan rakyat bisa diwujudkan di MPR yang

bisa ditafsiri lembaga paling tinggi. Dengan demikian, fungsi khusus

dibagi untuk tugas serta wewenang lembaga tinggi negara yang berada di

bawahnya, yakni Presiden, DPR, MA, serta lainnya.

Pada ranah pembagian kekuasaan dengan sifat vertikal, prinsip

sederajat serta seimbangnya kekuasaan tersebut bukan dengan sifat

38
Mahfud MD, Politik Hukum…………..hlm 312.
39

primer. Karenanya, pada UUD 45 yang asli yakni UUD 1945 sebelum

diamandemen tidak ada aturan pemisahan secara tegas dari fungsi

legislatif juga eksekutif. Pada peraturan lama, fungsi enting DPR ialah

lembaga yang mengawasi dari pada lembaga legislatif.39

Bisa ditinjau pada UUD 1945 sebelum diamandemen. Presiden di

samping berkuasa pada pemerintahan “kepala eksekutif, Pasal 4 ayat 1”,

berkuasa pula pada pembentukan UU serta PP “kekuasaan legislatif,

Pasal 5”, tugas DPR pada pembentukan UU sifatnya pasif yakni hanya

memberi persetujuan “Pasal 20”. Presiden berhak memberikan grasi,

amnesti, abolisi serta rehabilitasi “kekuasaan yudikatif, Pasal 14”.

Presiden juga memperoleh jatah mengatur yang besar pada UUD

1945, daripada lembaga negara tinggi yang lain. Presiden yang berkuasa,

membuat tidak seimbang dengan kekuasaan lembaga negara tinggi yang

lain, sebab bagian besarnya kekuasaan tidak terpengaruhi kekuasaan

yang lain yakni Presiden dirasa memiliki hak prerogatif ataupun hak

istimewa. MPR yakni lembaga legislatif melakukan pemilihan Presiden

“Pasal 6” serta bisa melakukan pemberhentian Presiden saat ia menjabat

“Pasal 8”, jika DPR saat mengawasi dirasa sudah melakukan pelanggaran

pada UUD serta GBHN “penjelasan UUD 1945”.

GBHN yakni pada TAP MPR ialah proker diperuntukkan pada

Presiden. UUD 45 menjelaskan yakni “Presiden yang diangkat oleh

Majelis, bertunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Ia ialah

39
Mahfud MD, Politik Hukum…………, hlm 314-315
40

„mandataris‟ dari Majelis. Ia berwajib menjalankan putusan-putusan

Majelis”.40

b. Pemisahan Kekuasaan Pasca Amandemen tahun 1999 UUD 1945

Bagian paling penting pada negara hukum ialah terdapat pembagian

kekuasaan ataupun pemisahan kekuasaan. Paham pemisahan kekuasaan

“separation of power” sudah memberi kesan yang berbeda-beda pada

tiap negara. Fakta menampakkan yakni sistem pemerintahan yang beda

sudah memberi pengembangan doktrinal melalui berbeda-beda cara,

bergantung praktek politiknya, budaya serta landasan hukum pada tiap

negara. Marshall menjelaskan yaknia “The phrase „separation of power‟

is, however, one of the most confusing in the vocabulary of political and

constitutional thought It has been used with variying implications by

historians and political scientists”. “Istilah pemisahan kekuasaan ialah

hal yang membuat bingung pada kosa kata pemikiran politik serta

konstitusional serta pemisahan kekuasaan itu sudah dipakai pada

beberapa dampak bagi sejarawan serta ahli politik”.

Pemisahan kekuasaan, karenanya bisa diketahui berupa doktrinal

konstitusi ataupun doktrinal pemerintah yang memiliki batas yang

membagikan kekuasaan pemerintah pada cabang kekuasaun legislatif,

eksekutif serta yudikatif. Fungsi kekuasaan legislatif ialah pembuat

hukum, kekuasaan eksekutif befungsi melaksanakan hukum serta

kekuasaan yudikatif berfungsi penafsir hukurn.

40
Mahfud MD, Politik Hukum………., hlm 316.
41

Mempunyai kaitan yang erat serta tidak bisa terpisahkan ialah

definisi “checks and balances”, menjelaskan yakni tiap-tiap cabang

pemerintahan membagikan kegiatannya. Hal tersebut menunjukkan yakni

kekuasaan serta fungsi tiap-tiap cabang ialah dipisahkan serta

dilaksanakan seorang yang lain, bukan berupa personal yang bisa

melakukan otoritas keseluruhan sebab tiap-tiap saling berkaitan.

Pembagian kekuasaan tersebut yang melakukan pembatasan

kekuasaan absolut semisal monarki ataupun otoriter, ataupun melakukan

pencegahan korupsi kekuasaan yang muncul sebab memungkinkan

kekuasaan dengan tidak terawasi. Bagaimana mengetahui rasionalitas

serta doktrinal pemisahan kekuasaan yang secara esensi ialah doktrinal

konstitusi ataupun doktrinal pemerintah yang dibatasi “limited

government” tersebut? Pengontrolan ataupun gerakan masyarakat tidak

memungkinkan apabila kekuasaan negara ada dalam personal ataupun

sebagian kecil kelompok.41

c. Lembaga Negara di Indonesia.

Hans Kelsen menjelaskan yakni organ negara seharusnya

melaksanakan dua fungsi, yaitu fungsi membuat hukum “law-creating

function” ataupun fungsi yang mempraktekkan hukum “law-applying

function”. Memakai analisa Kelsen itu, Jimly Asshiddiqieu memberikan

kesimpulan paska perubahan UUD 45, bisa dibilang ada tiga puluh empat

lembaga negara. Dari keseluruhannya terdapat 28 lembaga yang

41
Mahfud MD, Politik Hukum……… hlm 317
42

wewenangnya tertentukan pada UUD 45. 28 lembaga negara tersebut

yang bisa dikatakan lembaga negara yang mempunyai wewenang

konstitusi ataupun yang wewenangannya diberi dengan eksplisit bagi

UUD 45.

Tiga puluh empat organ itu bisa beda pada dua arah, yakni dari

fungsi serta hierarki. Hierarki antara lembaga negara tersebut utama guna

menentukan sebab perlu terdapat peraturan tentang perilaku hukum pada

seorang yang berada pada lembaga negara. Dimana yang tertinggi juga

terrendah harus ditentukan guna mengetahui posisi pada upacara serta

gaji pejabat tersebut. Karenanya, terdapat 2 ciri yang bisa digunakan,

yakni (1) ciri hierarki sumber norma yang melaksanakan

wewenangannya (2) kwalitas fungsi yang sifatnya primer ataupun

sekunder pada sistem kekuasaan negara. Dengan demikian, bisa

diketahui dari fungsi. Pada hierarkinya, 34 lembaga tersebut bisa

terbedakan pada 3 lapis.

Organ lapis utama bisa dinamakan lembaga tinggi negara. Organ

lapis ke dua dinamakan Lembaga negara, namun organ lapis ke tiga ialah

lembaga daerah. Lembaga itu bisa dikasifikasi organ utama ataupun

primer “primary constitutional organs”, serta terdapat organ pendukung

ataupun sekunder “auxiliary state organs”. ciri organisasi negara

Indonesia terdapat perkembangan pesat.42

42
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Hukum Tata Negara Indonesia,Jakarta, Pusat Studi Hukum
Tata Negara FH UI, hlm. 143-150
43

Sesudah reformasi 1998, bermunculan lembaga serta komisi

independen. Jimly Asshiddiqie menjelaskan yakni organisasi tersebut

bisa diklasifikasi sebagaimana di bawah:

1. Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dan bersifat independen,

yakni:

a. Presiden dan Wakil Presiden;

b. DPR;

c. DPD;

d. MPR;

e. MK;

f. MA;

g. BPK.

2. Lembaga Negara dan Komisi-Komisi Negara yang sifatnya

independen berlandaskan konstitusi ataupun yang mempunyai

“constitutional importance” lain, semisal:

a. Komisi Yudisial (KY);

b. Bank Indonesia (BI) berupa Bank sentral;

c. TNI;

d. POLRI;

e. KPU;

f. Kejaksaan Agung kendatipun wewenangnya tidak ada pada UUD

45 me-lainkan pada UU, namun tetap mempunyai “constitutional

importance”;
44

g. KPK terbentuk berlandaskan undang-undang namun bersifat

“constitutional importance” berlandaskan Pasal 24 ayat (3) UUD

45;

h. KOMNAS HAM terbentuk berlandaskan undang-undang namun

bersifat “constitutional importance”.

3. Lembaga-Lembaga Independen lainnya yang terbentuk berlandaskan

UU semisal:

a. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);

b. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU);

c. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI);

4. Lembaga serta komisi pada lingkungan eksekutif lain, semisal

Lembaga, Badan, Pusat, Komisi, ataupun Dewan yang sifatnya khusus

pada lingkungan peme-rintahan, semisal:

a. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI);

b. Komisi Pendidikan Nasional;

c. Dewan Pertahanan Nasional;

d. Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas);

e. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);

f. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT);

g. Badan Pertanahan Nasional (BPN);

h. Badan Kepegawaian Nasional (BKN);

i. Lembaga Administrasi Negara (LAN);

j. Lembaga Informasi Nasional (LIN).


45

5. Lembaga serta komisi pada lingkungan eksekutif lain, semisal:

a. Menteri serta Kementerian Negara;

b. Dewan Pertimbangan Presiden;

c. Komisi Hukum Nasional (KHN);

d. Komisi Ombudsman Nasional (KON);

e. Komisi Kepolisian;

f. Komisi Kejaksaan.

6. Lembaga, Korporasi, serta Badan Hukum Milik Negara ataupun

Badan Hukum yang terbentuk guna kepentingan negara ataupun

kepentingan umum lain, semisal:

a. Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA;

b. Kamar Dagang dan Industri (KADIN);

c. Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI);

d. BHMN Perguruan Tinggi;

e. BHMN Rumah Sakit;

f. Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI);

g. Ikatan Notaris Indonesia (INI);

h. Persatuan Advokat Indonesia (Peradi).

Pergeseran Kekuasaan Lembaga Negara sebelum Perubahan UUD 1945

sebagai berikut :

UUD ialah hukum paling tinggi, selanjutnya kedaulatan rakyat diberi

semuanya pada MPR (Lembaga paling tinggi). MPR melakukan distribusi


46

kekuasaan “distribution of power” ke lima Lembaga Tinggi yang sederajat,

yakni MA, Presiden, DPR, DPA serta BPK.

1. MPR

a. Lembaga paling tinggi Negara diserahkan kekuasaan tanpa batas

“super power” sebab “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan

sepenuhnya oleh MPR” serta MPR ialah “penjelmaan dari seluruh

rakyat Indonesia” yang mempunyai wewenang melakukan penetapan

UUD, GBHN, melakukan pengangkatan presiden juga wakil presiden.

b. Susunan keanggotaan yakni mencakup DPR serta utusan daerah juga

utusan golongan yang diajukan.

Pada praktik tatanegara, MPR pernah menetapkan yakni:

1. Presiden seumur hidup.

2. Presiden yang terpilih hingga tujuh kali berturut-turut.

3. Melakukan pemberhentian presiden.

4. Memberi perintah presiden guna mundur dari jabatan.

5. Tidak melakukan perpanjangan masa jabatan presiden.

6. Lembaga Negara yang memungkinkan melakukan tandingan MPR

ialah Presiden, yakni memakai partai politik yang terbanyak berada

dalam MPR.

2. Presiden

a. Presiden berada pada kedudukan sentral serta mendominasi sebagai

mandataris MPR, kendatipun kedudukan tersebut tidak “neben”

namun “untergeordnet”.
47

b. Presiden melaksanakan kekuasaan pemerintahan negara paling tinggi

“consentration of power and responsiblity upon the president”.

c. Presiden selain “executive power”, berupa “legislative power” pula

serta kekuasaan yudikatif “judicative power”.

d. Presiden memiliki hak prerogatif yang begitu besar.

e. Tidak terdapat peraturan tentang batasan masa seorang bisa sebagai

presiden juga tatacara memberhentikan presiden pada masa jabatan.

3. DPR

a. Mensetujui RUU yang presiden usulkan.

b. Mensetujui PERPU.

c. Mensetujui Anggaran.

d. Meminta MPR melakukan pengadaan sidang istimewa untuk meminta

pertanggung jawaban presiden.

4. DPA serta BPK disisi lain, UUD 45 tidak begitu melakukan introdusir

lembaga negara lainnya semisal DPA juga BPK dengan memberi

wewenang yang begitu sedikit.43

Lembaga Negara serta Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Negara

Setelah Perubahan UUD 45. Deskripsi struktur tatanegara Negara Indonesia

setelah diamandemen UUD 45 yakni:

UUD ialah hukum paling tinggi di mana kedaulatan ada pada rakyat

serta dilaksanakan seluruhnya berlandaskan UUD. Peraturan tersebut

memberi pembagian kekuasaan “separation of power” pada enam Lembaga

43
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945,
Yogyakarta , FH UII PRESS, 2005, hlm.35.
48

Negara pada kedudukan yang sederajat, yakni Presiden, MPR, DPR, DPD,

BPK, MA, serta MK.

Dari sisi kualitatif, perubahan UUD 45 sifatnya begitu dasar sebab

merubah prinsip kedaulatan rakyat yang mulanya dilakukan seluruhnya bagi

MPR menjadi dilakukan berlandaskan UUD. Amandemen UUD 45 bisa

diketahui dalam hal:

a. Melakukan penegasan prinsip bernegara berlandaskan hukum Pasal 1

ayat (3) melalui penempatan kekuasaan kehakiman berupa kekuasaan

merdeka, mengbormati hak asasi manusia juga kekuasaan yang

dilaksanakan berdasar prinsip “due process of law”.

b. Membuat aturan tatacara mengangkat serta memberhentikan pejabat

negara, semisal Hakim.

c. Sistem konstitusi berlandasrkan pertimbangan kekuasaan “check and

balances” yakni tiap kekuasaan terbatasi UU berlandaskan fungsinya.

d. Tiap lembaga negara sederajat di bawah UUD 45.

e. Melakukan penataan lembaga negara juga melakukan pembentukan

lembaga negara baru supaya selaras pada sistem konstitusi serta prinsip

negara berlandasrkan hukum.

f. Menyempurnakan bagian kedudukan serta wewenang tiap-tiap lembaga

negara disesuaikan dengan berkembangnya negara demokrasi moderen.

1. MPR

a. Lembaga tinggi negara sederajat kedudukan pada lembaga tinggi

negara lain semisal Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.


49

b. Menghapus supremasi wewenangnya.

c. Menghapus wewenang penetapan GBHN.

d. Menghapus wewenang pengangkatan Presiden

e. Mempunyai wewenang penetapan serta perubahan UUD.

f. Susunan keanggotaaa dirubah, yakni mencakup anggota DPR serta

angota DPD yang terpilih dengan langsung dengan pemilu.

2. DPR

a. Posisi serta wewenangnya dikuatkan.

b. Memiliki kuasa melakukan pembentukan UU sebelumnya terdapat

pada presiden, namun DPR hanyalah mensetujui tetapi pemerintah

mempunyai hak melakukan pengajuan RUU.

c. Prosesi serta tatacara pembentukan UU antar DPR serta Pemerintah.

d. Melakukan penegasan fungsi DPR, yakni: legislasi, anggaran, serta

pengawasan berupa tatacara kontrol antara lembaga negara.

3. DPD

a. Lembaga negara baru yakni mengakomodasi eakil kepentingan daerah

pada badan perwakilan tingkat nasional sesudah dihapusnya utusan

daerah juga utusan golongan.

b. Adanya difungsikan guna memperkuat Negara Republik Indonesia.

c. Dipilihnya dengan langsung oleh masyarakat di daerah melewati

pemilu.

d. Memiliki wewenang melakukan pengajuan serta keikutsertaan

pembahasan RUU yang berkenaan pada otonomi daerah, hubungan


50

pusat serta daerah, RUU lainnya yang berkaitan pada kepentingan

daerah.

4. BPK

a. Anggota BPK diangkat DPR dengan adanya pertimbangan DPD.

b. Mempunyai wewenang melakukan pengawasan serta pemeriksaan

pengelolaan keuangan negara (APBN) juga daerah (APBD) serta

memberitahukan hasil pemeriksaan ke DPR, DPD serta ditindak

lanjuti penegak hukum.

c. Berada di ibu kota negara serta mempunyai perwakilan pada tiap

provinsi.

d. Melakukan integrasi peranan BPKP sebagai instansi pengawas

internal departmen yang berkaitan di BPK.

5. Presiden

a. Melakukan pembatasan kekuasaan presiden melalui perbaikan

memilih serta memberhentikan presiden pada masa jabatan juga

memperkuatkan sistem pemerintahan presidential.

b. Kekuasaan legislatif seluruhnya diberikan pada DPR.

c. Melakukan pembatasan masa jabatan presiden maksimal 2 periode.

d. Wewenang mengangkat duta juga penerimaan duta perlu adanya

pertimbangan DPR.

e. Wewenang memberi grasi, amnesti serta abolisi perlu adanya

pertimbangan DPR.
51

f. Melakukan perbaikan syarat serta tatacara mengangkat calon presiden

serta wakil presiden dengan pemilihan langsung oleh rakyat melalui

pemilu, serta tentang memberhentikan jabatan presiden pada masa

jabatan.

6. Mahkamah Agung

a. “Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu

kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan

hukum dan keadilan” Pasal 24 ayat (1).

b. Mempunyai wewenang mengadili di kasasi, melkukan pengujian

peraturan perundang-undangan dibawah Undang-undang serta

kewenangan lainnya berdasarkan UU.

c. Dibawahnya ada badan peradilan pada lingkup Peradilan Umum,

Peradilan Agama, Peradilan militer serta Peradilan Tata Usaha

Negara.

d. Badan lainnya yang mempunyai fungsi berkenaan akan kekuasaan

kehakiman berdasarkan UU semisal: Kejaksaan, Kepolisian, Advokat.

7. Mahkamah Konstitusi

a. Adanya diperuntukkan menjaga murninya konstitusi “the guardian of

the constitution”.

b. Memiliki wewenang: melakukan pengujian UU pada UUD,

Memutuskan permasalahan wewenang antara lembaga negara,

memutuskan membubarkan parpol, memutuskan permasalahan hasil


52

pemilu serta memberi putusan atas pendapat DPR tentang praduga

pelanggaran presiden serta wakil presiden berdasarkan UUD.

c. Hakim Konstitusi ada sembilan yang ditunjuk MA, DPR serta

pemerintah juga ditetapkan Presiden, dengan demikian memberi

cerminan wakil tiga cabang kekuasaan negara yakni yudikatif,

legislatif, serta eksekutif.44

B. Doktrin Konstitusionalisme Dalam Ketatanegaraan Indonesia

Untuk negara moderen, rasa ingin guna melakukan penjaminan hak

politik warga negara dengan efektif serta melakukan peraturan

menyelenggarakan kekuasaan negara dengan tertib sudah memberi

dorongan tiap negara guna berpaham konstitusionalisme. Cara paling baik

ialah melalui konstitusi, hingga konstitusionalisme untuk negara moderen

sangat niscaya.

Niscaya berpaham konstitusionalisme didasari konstitusi dirasa berupa

hukum paling tinggi yang wajib diamini negara serta pejabat pemerintah,

berdasarkan adagium John Adams “government by law, not by men”.

Konstitusi tersebut memberi jaminan hak politik serta penyelenggaraan

pembagian kekuasaan negara hingga kekuasaan eksekutif bisa imbang oleh

kekuasaan parlemen serta lembaga hukum.

Sebenarnya konstitusionalisme ialah pemahaman yang telah begitu

lama, yang ada sebelum gagasan mengenai konstitusi. Faktanya

konstitusionalisme telah sebagai pedoman sejak pemerintah polis negara

44
Jimly Assiddiqie, , 2006 Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta , Konstitusi Press, hlm. 166-
171.
53

kota zaman Yunani Kuno, Romawi Kuno, serta khalifah Islam, demikian

pada Piagam Madinah. Mudahnya, konstitusionalisme hadir bertujuan

melakukan penjagaan jalannya pemerintah dengan tertib.

Dalam ketetatanegaraan Indonesia, konstitusi memiliki beberapa

perbedaan pendapat, terutama pada kalangan tokoh-tokoh terkemuka

indonesia, berikut peneliti jabarkan tentang hal tersebut :

C.F. Strong, konstitusi ialah “kumpulan prinsip-prinsip yang mengatur

kekuasaan pemerintahan, hak-hak pihak yang diperintah (rakyat), dan

hubungan di antara keduanya”.

Konstitusi berisi prinsip hubungan serta batasan kekuasaan antar

pemerintah dengan hak masyarakat. James Bryce menjelaskan yakni:

“A constitution as a frame work of political society, organised through


and by law“
Artinya : konstitusi sebagai satu kerangka masyarakat politik yang
pengorganisasiannya melalui dan oleh hukum.

Lebih lanjut Jimly mengemukakan bahwa, “semua konstitusi selalu

menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan itu sendiri

pada intinya memang perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya”.

Dikatakannya pula bahwa “konstitusi membatasi dan mengatur bagaimana

kedaulatan rakyat itu disalurkan, dijalankan dan diselenggarakan dalam

kegiatan kenegaraan dan kegiatan berpemerintahan sehari-hari”. Bahkan

“konstitusi juga menyediakan mekanisme kontrol agar setiap penyimpangan

penggunaan kewenangan dapat dikembalikan pada posisi normatifnya atau

sesuai dengan konstitusi”.


54

Eksistensi konstitusi untuk negara pada pemahaman Ellydar Chaidir

serta Sudi Fahmi yakni “tidak hanya dimaksudkan untuk membatasi

wewenang penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur pemerintahan,

tetapi konstitusi juga menjadi alat rakyat mengkonsolidasikan kedudukan

politik dan hukum dengan mengatur kehidupan bersama untuk mencapai

cita-cita”.45

Dalam tatanan tersbut eksistensi konstitusi pada negara secara hakikat

ialah dasar pemaham konstitusi yakni bukan maksud guna melakukan

pembatasan kewenangan penguasa, memberi jaminan hak rakyat serta

memberi aturan pemerintah, namun konstitusi berupa alat rakyat melakukan

konsolidasi politik.

Karenanya, sekarang konstitusi bukan mencakup peraturan hukum

namun memberi rumusan serta rumusan prinsip hukum, garis besar negara,

serta pedoman kebijaksanaan “policy”. Lain sisi, konstitusi menurut Jimly,

adanya kehendak negara berdasarkan hukum dasar “basic norm” yang

demokrat, yakni naluri rakyat di negara, hingga konstitusi yang terbentuk

ialah konstitusi demokratis berlandaskan “the rule of law”.

Penegasan pembatasan konstitusi yakni peraturan dasar bernegara,

diharap pemimpin tidah dengan mudahnya melakukan manipulasi konstitusi

demi keinginannya. Konstitusi diharap juga bisa memberi jaminan serta

melindungi hak masyarakat.

45
Assiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, 180-190.
55

Menjadi jelas yakni pemakaian kekuasaan negara hakikatnya telah tegas

serta terbatasi dengan beberapa sifat. Konstitusi sudah memberi pedoman

serta pembatasan mengenai bagaimana kekuasaan negara dilaksanakan.

Dengan demikian yang menjadi pelaksana konstitusi ialah seluruh lembaga

negara erta seluruh warga negara berdasarkan pada konstitusi.46

Berlandaskan Miriam Budiardjo menyatakan yakni “konstitusi

mempunyai fungsi yang khusus dan merupakan perwujudan atau

manifestasi dari hukum yang tertinggi yang mengikat dan harus ditaati oleh

semua warga negara dan lembaga negara tanpa kecuali”.

Dari definisi tersebut bisa disebut yakni mengingkari putusan MA yang

berdasar konstitusi berupa pengawal serta penafsir konstitusi ialah hal yang

mengingkari konstitusi. Karenanya, mengimplementasikan putusan

Mahkamah Konstitusi ialah kewajiban guna memahkotakan nilai konstitusi.

Kendatipun pemahaman konstitusionalisme turun “derive” dari

konstitusi, serta berkembangnya memberi dorongan adanya “constitutional

state” tetapi esensinya memberi gagasan pembatasan kekuasaan di negara.

Jimly Asshiddiqie berpendapat, “jika kesepakatan umum itu runtuh,

maka runtuhlah pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan

pada gilirannya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi”.

Sebagaimana hal besar yang telah terjadi, yakni revolusi Perancis 1789,

Amerika 1776, Rusia 1917, atau Indonesia 1998, juga revolusi Irak 2008

46
Agus Wahyudi, “Doktrin Pemisahan Kekuasaan Akar Filsafat dan Praktek”, dalam Jurnal Hukum Lentera,
“Nega-ra & Kekuasaan”, Edisi 8 Tahun III, Maret 2005, hlm. 7-9.
56

serta Mesir 2013. Seluruhnya disebabkan warga negara tidak mencapai

konsensus berkenaan bangunan negara yang diidamkan.

Selanjutnya dikatakan pula oleh Jimly bahwa :

“Dengan adanya kesepakatan itu, maka konstitusi dapat dengan mudah


dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama
berkenaan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan
yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan negara
berkonstitusi. Kesepakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam
dokumen konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk
kurun waktu yang cukup lama”.

Dengan kerangka yang demikian, maka konstitusi dalam paham

konstitusionalisme nantinya menjadi pemahaman hukum paling tinggi sebab

hal tersebut ialah perwujudan perjanjian sosial paling tinggi dari semua

masyarakat melewati musyawarah “deliberasi” publik.47

Pemahaman konstitusionalisme ialah bagian integral dari pemerintah

yang demokrat. Dengan tidak adanya konstitusionalisme di pemerintah,

pemerintah yang demokrat tidak akan tercapai. Dengan demikian, negara

yang demokrat harus mengaplikasikan serta melaksanakan

konstitusionalisme pada jiwa negaranya hingga pemerintah yang demorat

bisa tercapai.

Argumentasi tersebut didasari dengan prinsip yakni pemerintah yang

demokrat bisa diwujudkan apabila konsep demokrasi yang terbangun ialah

konsep demokrasi yang berdasarkan hukum ataupun demokrasi

konstitusional.

47
Jimly Assiddiqie, , 2006 Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta , Konstitusi Press, hlm. 188-
192
57

Miriam Budiarjo, “ciri khas dari demokrasi konstitusional ialah gagasan

bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas

kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap

warga negaranya. Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintah

tercantum dalam konstitusi, sehingga sering disebut pemerintah berdasarkan

konstitusi”.

Menurut Ridwan HR.,

“...dalam perspektif hukum publik, adanya kewenangan inilah yang


memunculkan adanya pertanggungjawaban, sejalan dengan prinsip
umum „tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban”.

Konstitusi melakukan peletakan fungsi untuk organ pemerintah negara,

semisal pendapat Edward Samuel Corwin

“...the constitution itself lays many duties, both positive and negative, upon
the different organs of state government...”.

Sejalan dengan Bagir Manan yakni:

“Keberadaan lembaga-lembaga negara sebagai pelaksana kekuasaan


serta seluruh elemen kekuasaan, legitimasinya bertumpu pada konstitusi
sebagai sumber sekaligus pengatur kekuasaan. Kekuasaan yang ada
dalam organisasi negara merupakan jabatan yang dijalankan oleh
pejabat yang diberi wewenang untuk itu. Pertanggungjawaban
terhadapnya merupakan suatu keharusan konstitusional sebagaimana
kekuasaan itu diperoleh serta lingkup kekuasaan itu digunakan”.

Sehingga konstitusi ialah lingkup pertanggung jawaban yang adanya

pengikatan penguasa pada seluruh hal dalam menggunakan kekuasaan.

Karenanya menggunakan kekuasaan pada lembaga negara perlu adanya

tanggungjawab berlandaskan konstitusi.

Karenanya, pemahaman konstitusionalisme mempunyai kehendak

untuk melaksanakan kekuasaan dengan pertanggungjawaban, hingga pada


58

sistem pembagian kekuasaan terdapat prinsip yakni tiap kekuasaan perlu

adanya pertanggungjawaban.48

Sebagaimana Walton H. Hamilton menyatakan, yakni:

“Constitutionalism is the name given to the trust which men respose in


the power of words engrossed on parchment to keep a government in
order”.

Artinya : “Konstitusionalisme ialah nama yang diberikan kepada


kepercayaan yang dipegang oleh laki-laki dalam kekuatan kata-kata yang
asyik dengan perkamen untuk menjaga pemerintahan tetap teratur”.

Kendatipun pemahaman lama, konstitusionalisme ialah pemahaman

terefektif guna pengelolaan kekuasaan di moderen ini. Sebagaimana

Gabriel A. Almond menjelaskan yakni

“bentuk pemerintahan terbaik yang bisa diwujudkan adalah


pemerintahan campuran atau pemerintahan konstitusional, yang
membatasi kebebasan dengan aturan hukum dan juga membatasi
kedaulatan rakyat dengan institusi-institusi negara yang menghasilkan
ketertiban dan stabilitas”
.
Demikian pula menurut Richard S. Kay,

“constitusionalism implements the rule of law; It brings about


predictability and security in the relations of individuals and the
government by defining in advance the powers and limits of that
government”.

Artinya konstitusionalisme memunculkan situasi yang bisa memberi

keamanan, sebab terdapat pembatasan pada kewenangan pemerintahan yang

sudah tertentu.

Konstitusi secara hakikat berupa hukum paling tinggi sebab ia

perwujudan perjanjian sosial paling tinggi semua rakyat yang berdaulat di

negara. Pada konstitusi ada beberapa dokumen hukum, politik serta

48
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 219-221.
59

ekonomi yang fungsinya yakni “mercusuar” yang menjadi pedoman,

arahan, serta petunjuk negara guna melakukan penataan diri. Konstitusi

berisikan peraturan antara pusat kekuasaan hingga ada kepastian untuk

terselenggarakannya pemerintahan yang demokrat.

Penyebabnya ialah “konstitusi merupakan hukum dasar yang mengatur

pokok-pokok dalam menjalankan negara”. Negara yang berlandaskan

konstitusi mengaplikasikan konstitusi "the higher law" juga "fundamental

law". K.C. Wheare menjabarkan :

“The short explanation of this phenomenon is that in many countries a


Constitution is thought of as an instrument by which government can be
controlled. Constitution spring from a belief in limited government”.49

“Secara singkat aratinya dapat dijelaskan bahwa di banyak negara


Konstitusi adalah salah satu sarana yang digunakan untuk mengawasi
pemerintahan. Konstitusi mendasari pemerintahan yang terbatas”.

Berlandaskan hal di atas bisa disimpulkan yakni konstitusi mempunyai

fungsi melakukan penetapan organisasi negara serta memberi aturan

hubungan antar pemerintah dengan masyarakat, juga melakukan pengawan

pada pemerintah. Mac Iver menyebutnya dengan “hukum yang mengatur

kekuasaan negara”.

Sebagaimana Michael Allen juga Brian Thompson menjelaskan, yakni:

“...the principle of constitutionalism rest on this idea of restraining the


government in its exercise of power; Constitutionalism therefore, is to
be set in contradiction to arbitrary power”.50
Artinya : “Prinsip konstitusionalisme bertumpu pada gagasan untuk
menahan pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya; Oleh karena
itu, konstitusionalisme harus diatur dalam kontradiksi dengan
kekuasaan yang sewenang-wenang”.

49
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 1.
50
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 2
60

Serupa dengan Carl J. Frederich yakni:

“constitutionalism is an institutionalized system of effective,


regularized restraints upon governmental action”.51
“Konstitusionalisme adalah sistem pengekangan yang efektif dan
teratur yang dilembagakan atas tindakan pemerintah”.

Serupa juga dengan Charles Howard McIlwain yakni:

“...constitutionalism has one essential quality: it is a legal limitation on


government; it is the antithesis of arbitrary rule; its opposite is despotic
government, the government of will instead of law”.52
“Konstitusionalisme memiliki satu kualitas esensial: ia adalah
pembatasan hukum terhadap pemerintah; itu adalah antitesis dari aturan
yang sewenang-wenang; kebalikannya adalah pemerintahan despotik,
pemerintahan kehendak bukan hukum”.

Penjelasan tersebut sesungguhnya bermuara pada prinsip dasar yakni

konstitusionalisme secara umum ialah

“...a complex of ideas, attitudes, and patterns of behavior elaborating


the principle that the authority of government derives from and is
limited by a body of fundamental law” (Don E. Fehrenbacher).53
“Suatu kompleks gagasan, sikap, dan pola perilaku yang menguraikan
prinsip bahwa otoritas pemerintah berasal dari dan dibatasi oleh suatu
badan hukum dasar”.

Pemahaman konstitusionalisme mencakup esensi pembatasan

kekuasaan juga kekuasaan tersebut terbatasi oleh konstitusi berupa norma

hukum paling tinggi. Permasalahan yang dirasa paling penting pada

pemahaman konstitusional ialah peraturan tentang mengawasi ataupun

membatasi kekuasaan pemerintah.

Pemahaman Konstitusionalisme berdasarkan “the limited state”, supaya

penyelenggarakan negara serta pemerintahan tidak ada penyelewengan juga

51
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 2
52
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 3
53
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 3
61

di atur dengan tegas pada pasal konstitusi. Andrew Vincent mempertegas

yakni:

“constitutionalists have placed their primary emphasis on limitating


and diversifying authority and power”.54
“Konstitusionalis telah menempatkan penekanan utama mereka pada
pembatasan dan diversifikasi otoritas dan kekuasaan”.

Karenanya, pemahaman konstitusionalisme moderen sesungguhnya

berupa prinsip pembatasan kekuasaan ataupun umumnya “limited

government”.55

Paham konstitusionalisme secara hakikat dengan adanya “consensus”

diantara masyarakat tentang bangunan yang diidamkan berkaitan akan

negara. Hal tersebut didasari sebab fakta yakni organisasi negara dibutuhkan

warga negara supaya kepentingan bisa terlindungi. Selaras dengan

penjelasanWilliam George Andrews yakni:

“The members of a political community have, definition, common


interests which they seek to promote or protect through the creation
and use of the compulsory political mechanisms we call the State”.56
“Anggota komunitas politik memiliki, definisi, kepentingan bersama
yang mereka coba promosikan atau lindungi melalui penciptaan dan
penggunaan mekanisme politik wajib yang kita sebut Negara”.

Kata kunci ialah “consensus” atau “general agreement”. Yakni

mencakup :

a. “the general goals of society or general acceptance of the same

philosophy of government”;

b. “the rule of law the basis of government”; and

54
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 3
55
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi Jakarta,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, hlm. viii-ix.
56
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 4
62

c. “the reform of institutiions and procedures”57.

Semuanya menjadi penentu penegakan pemahaman konstitusionalisme

pada negara.

Ciri pemerintah yang demokrat ialah tindakan pemerintah wajib selalu

didasari konstitusi yakni esensi pemahaman konstitusionalisme.

Demokrasi yang diidamkan perlu ada pada hukum. Tanpanya

demokrasi bisa berada di jalan yang salah sebab hukum bisa ditafsiri oleh

pemerintah dengan nama demokrasi.

Pemahaman konstitusionalisme memberi posisi konstitusi yakni

komponen integral pemerintah yang demokrat. Dalam pemahaman

konstitusionalisme, pertanggungjawaban melaksanakan kekuasan ialah

suatu kewajiban konstitusional.

C.F. Strong, “...a system of government in which the majority of the


grown members of political community participate through a method of
representation which secures that the government is ultimately
responsible for its actions to that majority”.58

“Jadi dalam sistem pemerintahan yang dibentuk berdasarkan kehendak


mayoritas masyarakat politik menghendaki bahwa pemerintah
bertanggung jawab atas tindakan kepada mayoritas itu”.

A.D. Belinfante menjabarkan “no one can exercise authority without


responsibility or assume liability without supervision”.59

“Jadi tidak seorangpun dapat melaksanakan kewenangan tanpa


memikul kewajiban tanggung jawab atau tanpa ada pelaksanaan
pengawasan”

57
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 4
58
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 4
59
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 6
63

C. Implikasi Konstitusionalisme Dan Hukum Tata Negara Dari Era

Gusdur Hingga Jokowi

Dalam perkembangan konstitualisme maupun ketatanegaraan di

Indonesia sering kali terjadinya pucuk pimpinan, baik karena alasan

reformasi ataupun lainnnya, tapi yang akan peneliti bicarakan lebih lanjut

adalah mengenai Implikasi Konstitusionalisme Dan Hukum Tata Negara

Dari Era Gusdur Hingga Jokowi.

1. Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur)

Abdurrahman Wahid yakni Gus dur terpilih pada tahun 1999 dengan

dipilih MPR kendatipun yang memenangkan partai ialah Megawati

Soekarno Putri yaitu PDIP. Mendapat 35% suara tetapi terdapat politik

poros tengah bagi Amien Rais yang menjadikan Gus Dur menang serta

ketika itu megawati dipilih Gus Dur menjadi wakil presiden. Pemilu

MPR, DPR, serta DPRD terjadi 7 Juni 1999. PDI Perjuangan

memenangkan pemilu parlemen memperoleh 34% suara; Golkar

memperoleh 22%; PPP 12%; PKB 10%. Oktober 1999, MPR

melaksanakan pelantikan Gus Dur menjadi presiden erta Megawati wakil

presiden masa bakti 5 tahun. Melakukan pembentukan kabinet yakni

Persatuan Nasional diawal November 1999 serta melaksanakan

“reshuffle” kabinet saat Agustus 2000.60

Menurut Abdurahman Wahid Tuhan itu gak perlu dibela, tapi manusia

sebagai makhluknya lah yang harus di bela. Sehingga apabila setiap

60
Wahdjosumidjo, Kiat Kepemimpinan Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta : PT. Harapan Masa PGRI,
1994), h, 20.
64

golongan merasa saya yang paling benar itu suatu kesalahan, karena agama

Islam mewajibkan kita itu untuk menyebarkan nafas nafas Islam dalam

kehidupan budaya Indonesia, bukan lah mendirikan Negara Islam.

Sehingga kata-kata yang sering keluar dari mulutnya yaitu “Pribumisasi”

bukan lah “Arabisasi”.

Abdurahman Wahid tidak sedikitpun memberikan gambaran

dirinya sebagai penganut Pluralisme dengan pengertian pembenaran

seluruh agama atau aliran kepercayaan lainnya dinilai sama derajat

keimanannya. Abdurahman Wahid memberikan rasa hormatnya kepada

setipa ajaran agama atau kepercayaan yang diimani oleh penganutnya.

Sikap Abdurahman Wahid menghormati keyakinan yang berbeda

tidaklah berarti Abdurahman Wahid adalah penganut Pluralisme yang

membenarkan dan mensejajarkan ajaran agama sama dengan aliran

sekularisme.Sebagai Guru Bangsa, Abdurahman Wahid berpartisipasi

aktif melindungi pelaksanaan ajaran agama dan kepercayaannya

berlandaskan UUD 1945 XI Pasal 29 butir kedua.61

Presiden Gus Dur seringkali berpendapat yang kontroversi. saat

menjabat Presiden RI ke-4, beliau tidak ada rasa takut mengatakan hal

yang beliau yakin benar kendatipun banyak orang tidak paham ataupun

melawannya. Namun, pendapat tersebut seringkali mengemudikan arah

sosial, politik serta budaya.62

61
Ridjaluddin, Demokrasi Pemikiran Gus Dur… h. 3
62
Ridjaluddin, Demokrasi Pemikiran Gus Dur… h. 3-4
65

Kendatipun pendapat beliau tak selamanya benar namun sukar

dibantahkan yakni pendapat beliau yang menunjukkan arah bangsa di

jalan yang benar berdasarkan tujuan bangsa pada Pembukaan UUD 1945.

Pemikiran Gus Dur menurut beberapa orang memikirkan pendapat beliau

sudah melewati zaman. Saat beliau berbincang tentanf pluralisme di awal

reformasi, masyarakat mulai tersadarkan akan urgensi pluralisme di

negara yang bermacam-macam ras.

Gus Dur sebagai maestro perdamaian Aceh. Saat pemerintahannya

perbincangan perdamaian antar Gerakan Aceh Merdeka “GAM” juga

Indonesia terlaksana. Meskipun perbincangan dengan GAM hal tabu,

hingga tidak adanya peluang berdamai. Ketika beberapa tokoh nasional

melakukan kecaman perihal Aceh, Gus Dur menyelesaikan dengan cara

simpatik semisal duduk bersama guna mendamaikan Aceh. Hingga

dengan rahasia mengirimkan Bondan Gunawan, Pjs pejabat sementara

Menteri Sekretaris Negara, melakukan pertemuan dengan Panglima

GAM Abdullah Syafii di Pidie.

Di masa Abdurahman Wahid. pula, untuk pertama kalinya tercipta

Jeda Kemanusiaan. Selain usaha perdamaian dalam wadah NKRI,

Abdurahman Wahid. disebut sebagai pionir dalam mereformasi militer

agar keluar dari ruang politik.63

63
Ridjaluddin, Demokrasi Pemikiran Gus Dur… h. 4-5
66

Berikut peneliti juga menyebutkan kebijakan-kebijakan yang

dikeluarkan oleh Gusdur baik di bidang politik, ekonomi, militer, hukum,

dan sosial budaya.

1. Bidang Politik

Kebijakannya yang pertama ialah melakukan pembubaran

Departemen Penerangan. Di masa Orde Baru Departemen tersebut

ialah alat Presiden Soeharto guna melakukan pengekangan bebasnya

pers, bubarnya departmen itu, kebebasan pers menjadi aman.

Departemen Koperasi serta Pengusaha Kecil Menengah (PKM), yang

ketika itu Habibi menjadi kreator ekonomi rakyat menjadi

kementerian non portfolio yakni mentri negara. Dampaknya

Departemen tersebut tidak mempunyai kedudukan serta memberi

tanda tersisihkanya sistem ekonomi pada masyarakat.64

Kemudian Panglima TNI, yang senantiasa pada Angkatan

Darat, diberikanlah ke Laksamana Widodo HS yakni Angkatan

Laut. Selanjutnya terdapat kebijakan pencabutan TAP MPR-RI

mengenai larangan akan Partai Komunis, paham Marxisme,

Leninisme, serta Komunisme. Oposisi merasa kebijakannya hanyalah

keinginan Gus Dur guna memperoleh simpatisan keluarga PKI.

Gus Dur memulai melakukakan hubungan Israel juga tidak

mudah dijalani. Kecaman serta penolakan pada kebijakan beliau

selaku pendiri Yayasan Shimon Perez di Tel Aviv, menjadikannya

64
Andrew Kamal, Spirit 5 Presiden RI (Yogyakarta Syura Media Utama, 2012), h 105
67

tertuduh sebagai Yahudi. Dengan demikian banyak orang meminta

adar ditunda, pemerintahan juga melakukan penundaan, namun Gus

Dur merasa melakukan hubungan dagang bersama Israel boleh- boleh

saja. Menurutnya, melakukan kerjasama perdagangan dengan Israel

justru lebih baik karena masih mempercayai Tuhan dan sama-sama

agama samawi daripada dengan negara lainnya yang secara jelas

merupakan ateis.65

Kebijakan lainnya ialah PP No.6 tahun 2000 mencabut Inpres

No.14 1967. Peraturan tersebut berupa larangan mengekspresikan

agama serta adat Tiong hoa pada ranah umum. Melalui tercabutnya

peraturan itu, terbukalah kesempatan melakukan adat tersebut,

penetapan libur nasional tahun baru imlek yang pada umumnya

menghilangkan deskriminasi pada orde baru.66

2. Bidang Ekonomi

Dibentuknya Dewan Ekonomi Nasional (DEN) guna mengatasi

krisis ekonomi yang berkelanjutan. Dengan ketua Prof. Dr. Emil

Salim, wakil Subiyakto Tjakrawerdaya serta sekretaris Dr. Sri

Mulyani Indraswari.

Presiden Abdurrahman Wahid mewarisi ekonomi Indonesia yang

relatif lebih stabil dari pemerintahan Habibie, nilai tukar Rupiah

berada dikisaran Rp 6.700/US$. indeks harga saham gabungan

(IHSG) berada di level 700. Dengan bekal ini di tambah legitimasi

65
Kamal, Spirit 5 Presiden RI….h. 106
66
Kamal, Spirit 5 Presiden RI… 106
68

yang dimilikinya sebagai presiden bersama wapres yang dipilih secara

demokratis, Indonesia mestinya sudah bisa melaju kencang. Namun

Presiden Abdurrahman Wahid bersama kabinetnya menolak

melanjutkan semua hasil kerja keras kabinet pemerintahan Habibie

misalnya Departemen Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah

(PKM), yang selama pemerintahan Habibie menjadi lokomotif

ekonomi kerakyatan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dijadikan

kementerian nonportofolio atau menteri negara non Departemen.67

Meskipun begitu ditengah anggaran negara yang minus sekitar Rp

42 triliun, sepanjang tahun 2000 ekonomi Indonesia menggeliat pasti.

Bila tahun 1999 ekonomi Indonesia cuma membukukan

pertumbuhan 0,13%. maka di tahun 2000-an ketika Presiden

Abdurrahman Wahid berkuasa pertumbuhan ekonomi Indonesia

mencapai 3-4%. Sementara inflasi bertengger pada angka

terkendali, sekitar 7%. Hal ini disebabkan oleh konsumsi yang

Tertunda, dulu orang menunda konsumsinya karena krisis dan

menyimpan uangnya dibank sekarang mereka mengonsumsikannya.

Selanjutnya kenaikan ekspor pertanian juga elektronik, dengan

keuntungan turunnya nilai rupiah akan dolar.

67
Abdul Munir Mulkhan, Perjalanan Politik Gus Dur, (Jakarta: PT. Kompas, 2010), h. 90
69

IMF tidak melakukan pencairan pinjaman, Bagaimananya Gus

Dur sudah memberi bukti yakni Indonesia dapat terurus dengan tidak

dibantu IMF.68

3. Bidang Militer

Gus Dur melakukan reformasi militer membuat supremasi sipil

melalui dipilihnya Mentri Pertahanan dari kalangan sipil yakni

Juwono Sudarsono yang selanjutnya Prof. Dr. Mahfud M.D. Selain

hal tersebut Gus Dur melakukan reformasi militer yakni:

1. Pengurangan jumlah perwira yang menjabat di ranah publik.

2. Melakukan pemisahan dengan tegas Polisi dari struktur militer.

3. Melakukan pembentukan Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak

Asasi Manusia (KPP-HAM)

4. Menyelesaikan permasalahan GAM.

5. Mengganti Menko Polsoskam Jendral Purn Yudhoyono ke Jendral

Purn Agum Gumelar sebab Yudhoyono dirasa membuat bahaya

pada simbol supremasi sipil.69

4. Bidang Hukum

Tap MPR/VI/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri. Pasal 1

“Tentara Nasional Indonesia dan kepolisian Negara Republik

Indonesia secara kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan

fungsi masingmasing.” Ayat (1) “TNI adalah alat yang berperan

dalam pertahanan Negara.” Ayat (2) “ Kepolisian Negara Republik

68
Mulkhan, Perjalanan Politik……, h.91
69
Mulkhan, Perjalanan Politik…….., h. 92-93
70

Indonesia adalah alat Negara yang berpera dalam memelihara

keamanan.”

Cara jitu Gus Dur ialah merealisasikan memisahkan TNI-Polri

juga menempatkannya di bawah lembaga ke Presidenan. Hal tersebut

ialah cara jitu mempertegas tugas serta kewenangan TNI juga Polri.

Gus Dur sudah bisa menindak lanjuti tujuan reformasi melalui

gagasan beliau sejak BJ. Habibie dengan Inpres No. 2 1999. Inpres

tersebut selanjutnya menjadi kongkrit dengan adanya Keppres No 89

2000 tentang kedudukan kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pada pasal 2 ayat 1: “Kepolisian Negara Republik Indonesia

berkedudukan langsung dibawah Presiden”.ada juga PP No.19/2000

tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan

PP No.71/2000 tentang peran-serta masyarakat dalam pemberantasan

korupsi. Team itu tidak efektif sebab kurang adanya dukungan

politik.70

Berkaitan Presiden Soeharto yang terduga KKN di masa

jabatannya. Gus Dur melakukan penyidikan Soeharto untuk kasus 3

Yayasan yakni: Dharmais, Supersemar serta Dakab. Semua Yayasan

tersebut terduga mendapat dana BUMN dengan penyelewengan

melewati PP No.15 tahun 1976 dan Kepmenkeu No.33 tahun 1978.

Penyaluran tersbut hanyalah ke sejumlah kolega saja. Karenanya

terdapat penyelewengan uang negara bukan pada semua masyarakat,

70
Ishak Rafick, Catatan Hitam Presiden Indonesia (Jakarta : PT. Cahaya Insan Suci, 2008), h, 201
71

namun pada orang-orang tertentu, berupa pelanggaran pada UUD 45

yakni Pasal 33.

Sesduah melewati prosesi panjang namun Jaksa tidak dapat

mendatangkan Soeharto di Pengadilan. Hingga pada kurun ketiga

sidang pengadilan ditetapkan tidak dapat di adili sebab 3 kali Jaksa

tidak dapat mendatangkan tersangka.

Gus Dur juga dicurigai KKN yakni masalah penyalahgunaan uang

yayasan Kesejahteraan Karyawan Bulog “bullogate”, penyalahgunaan

uang Sultan Brunei “Bruneigate”. DPR memberi usulan

melaksanakan penyidikan masalah “Bullogate dan Bruneigate”,

dibentuklah Panitia Khusus “Pansus” masalah Yanatera Bulog dan

bantuan Sultan Brunei Darussalam tertanggal 5 September 2000.71

Sesudah sekitar 5 bulan, Pansus menyelesaikan penyidikan

tertanggal 5 Januari 2001. Laporan itu, memberi kesimpulan yakni

Gus Dur terduga mempunyai peranan pada pencairan juga

pemakaian uang Yanatera Bulog, serta adanya ketidak konsistensian

presiden mengenai permasalahan Sultan Brunei Darussalam, hingga

menampakkan presiden sudah memberi pernyataan salah.

Simpulan Pansus itu DPR mensetujuinya, t e r k e c u a l i FKB

serta DPR memberi putusan melanjutkan hasil Pansus dengan adanya

Memorandum, melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah

71
Rafick, Catatan Hitam………..,h. 201-202
72

Jabatan, serta TAP MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Perihal yang berkenaan pada praduga melanggar hukum, DPR

memberikan permasalahan tersebut guna ditindaklanjuti berlandaskan

hukum yang ada. Semua prosesi serta hasil Rapat dikirimkan ke

presiden. 3 bulan sesudah Memorandum I, DPR menerbitkan

Memorandum II, selanjutnya permintaan DPR pada MPR 1 bulan

berikutnya guna melaksanakan Sidang Istimewa sebab Gus Dur

dianggap mengabaikan Memorandum.72

MPR melewati Badan Pekerja MPR menentukan Sidang Istimewa

tertanggal 1-7 Agustus 2001, tertanggal 19 Juli 2001 presiden

memohon persetujuan DPR guna memberi dukungan rencana

menetapkan Komisaris Jendral Chaeruddin Ismail Kapolri,

mengganti Jendral S. Bimantoro. Permohonan itu DPR menolaknya,

tetapi Gus Dur masih melakukan pelantikan Komisaris Jendral

Chaeruddin Ismail yakni Pejabat Sementara. Dampaknya MPR

melakukan percepatan Sidang Istimewa menjadi 23 Juli 2001 sebab

prlantikan yang dilakukan Gus Dur. Malam hari ketika Sidang

Istimewa dimulai, Gus Dur memaklumat pembekuan MPR serta DPR

yang tertolak MPR.

Ketua DPR yakni Akbar Tanjung menjelaskan DPR menolak

maklumatitu sebab mengingkari UUD. Sedangkan membubarkan

72
Rafick, Catatan Hitam…………..,h. 202
73

MPR, secara logika hukum telah mengingkari konstitusi sebab

lembaga paling tinggi, presiden hanyalah lembaga tinggi. MPR me

ngesahkan berhentinya Gus Dur sebagai Presiden selanjutnya diganti

Megawati Soekarnoputri melewati Sidang Istimewa tertanggal 23 Juli

2001.73

5. Bidang Sosial dan Budaya

Untuk mengatasi masalah disintegrasi dan konflik antarumat

beragama, Abdurahman Wahid memberikan kebebasan dalam

kehidupan bermasyarakat dan beragama. Hak itu dibuktikan dengan

adanya beberapa keputusan presiden yang dikeluarkan, yaitu :

a. Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 mengenai Pemulihan Hak

Sipil Penganut Agama Konghucu. Etnis Cina yang selama Orde

Baru dibatasi, maka dengan adanya Keppres No. 6 dapat memiliki

kebebasan dalam menganut agama maupun menggelar budayanya

secara terbuka seperti misalnya pertunjukan Barongsai.

b. Menetapkan Tahun Baru Cina (IMLEK) sebagai hari besar

agama, sehingga menjadi hari libur nasional.

Disamping pembaharuan- pembaharuan di atas, Abdurahman

Wahid juga mengeluarkan berbagai kebijakan yang dinilai

Kontroversial dengan MPR dan DPR, yang dianggap berjalan

sendiri, tanpa mau menaati aturan ketatanegaraan, namun

terselesaikan berlandaskan pendapat kerabat dekatnya, tidak

73
Rafick, Catatan Hitam…………,h. 204
74

berlandaskan peraturan konstitusi. Kebijakan yang memunculkan

kontroversi ialah :

1. Mencopot Kapolri Jendral Polisi Roesmanhadi

2. Mencopot Kapuspen Hankam Mayjen TNI Sudradjat, dengan

latarbelakang yakni Presiden bukanlah Panglima Tinggi.

3. Mencopot Wiranto sebagai Menkopolkam, dengan latar belakang

hubungan tidak baik dengan Gus Dur.

4. Mengumumkan mengenai mentri Kabinet Pembangunan Nasional

terkait KKN hingga berdampak pada pemerosotan kinerja cabinet.

5. Gus Dur mensetujui Irian Jaya menjadi Papua serta mengijinkan

mengibarkan bendera Bintang Kejora.

Kejatuhan Gus Dur dari presiden ialah Skandal “Brunei Gate

serta Bulog Gate” berdampak pada korupsi, dengan penekanan kuat,

Gus Dur memberi pengumuman memindah kuasa ke wakil presiden

Megawati Soekarno putri.74

2. Presiden Mega Wati Soekarno Putri

Melalui Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001, Megawati secara

resmi diumumkan menjadi Presiden Indonesia ke-5.Meski ekonomi

Indonesia mengalami banyak perbaikan, seperti nilai mata tukar rupiah

yang lebih stabil, namun Indonesia pada masa pemerintahannya tetap

tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lain.

Megawati yang merupakan anak dari Presiden terdahulu yakni Soeharto

74
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Ed.Revisi, Cetakan 6, Rajawali Perss, Jakarta, 2014, hlm.
10
75

pada awalnya diharapkan dapat memberikan perubahan namun seirng

sikapnya yang dingin dan jarang memberikan suatu paparan tentang

politiknya dianggap lembek oleh masyarakat. Dan serangan teroris

semakin sering terjadi pada masa pemerintahan ini.

Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden

Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari

2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar

mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi.

Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan

koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan

presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil

presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama

kemudian. Kabinet pada masa pemerintahan Megawati dinamakan

Kabinet Gotong Royong. 2002, Masa pemerintah tersebut mendapat

tekanan kuat saat Pulau Sipadan juga Ligitan terlepas dari Indonesia

berlandaskan keputusan Mahkamah Internasional.75

Selanjutnya proses konstitusionalisme yang terjadi pada masanya

Presiden Mega Wati yaitu terjadi beberapa amandemen yaitu sebagai

berikut:

75
Suparman Marzuki, Politik Hukum Hak Asasi Manusia, Penerbit Erlangga, Yogyakarta, 2014, hlm..31.
76

a. Proses Perubahan Konstitusi Dalam Masa Amandemen

1) Amandemen Pertama (1999)

Lemahnya serta tidak sempurnanya konstitusi ialah esuatu

tentu. Bahkan sudah dikatakan Soekarno pada pidato ketika rapat

PPKI. Butuhnya pengubahan pada UUD 45 sesungguhnya ialah

gagasan yang sudah dikatakan saat Orde Baru. UUD dianggap

terlalu summier, kaya persoalan yang diberikan ke pembuat aturan.

Juga tidak ada jaminan penegasan mengenai HAM.

Karenanya, wajar apabila terdapat pengubahan pada

konstitusi. Dimandemennya konstitusi bermaksud supaya negara

menjadi pemerintah yang konstitusional “constitutional

government”. Pemerintahan bukan hanya berlandaskan konstitusi,

namun konstitusi negara tersebut perlu berisikan batasan kekuasaan

serta menjamin hak masyarakat.

Pengubahan UUD selanjutnya dilaksanakan beberapa tahapan

pada agenda Sidang Tahunan MPR dimulai 1999 sampai keempat

di Sidang Tahunan MPR 2002 bersama terbentuknya Komisi

Konstitusi yang mempunyai tugas melaksanakan mengkaji

mengenai pengubahan UUD 1945 berlandaskan Tap MPR No.

I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.

Pengubahan ke-1 dilaksanakan pada Sidang Tahunan MPR

1999 mencakup Pasal 5 Ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 Ayat

(2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 Ayat (2) dan (3), Pasal 20 dan
77

Pasal 22 UUD. Keseluruhan ialah 9 Pasal UUD 1945. Tujuannya

ialah adanya pembatasan kekuasaan Presiden serta menguatkan

kedudukan DPR yakni lembaga legislatif.

Pada pengubahan tersebut terdapat gesernya kekuasaan

Presiden sebagai pembentuk UU, berdasarkan Pasal 5: “Presiden

memegang kekuasaan membentuk undang-undang” menjadi

“Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang”. Kuasa

pembentuk UU teralihkan ke DPR, berdasarkan Pasal 20 yakni:

“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk

undang-undang”, berubahnya pasal tersebut memindah kekuasaan

legislatif yang mulanya Prresiden, menjadi hak DPR.76

2) Amandemen Kedua (2000)

Pengubahan ke-2 dilaksanakan pada sidang Tahunan MPR

2000 mencakup Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20

Ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, BAB IXA, Pasal 28A,

Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G,

Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, BAB XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal

36A, Pasal 36B dan Pasal 36C UUD 1945.

Pengubahan tersebut ada 5 BAB serta 25 Pasal. 38 pengubahan

mencakup permasalahan wilayah negara serta pembagian

pemerintah daerah, penyempurnaan pengubahan ke-1 pada

penguatan kedudukan DPR serta HAM.

76
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 50
78

Khususnya tentang HAM, bisa terlihat dengan adanya

permasalahan HAM dengan tegas pada BAB sendiri, yaitu BAB

XA (Hak Asasi Manusia) dimulai Pasal 28A hingga 28J. bisa

disebut yakni konsep HAM di Indonesia sudah melewati prosesi

dialektika panjang yang mengambarkan komitmen atas upaya

penegakan hkum dan HAM.77

3) Amandemen Ketiga (2001)

Pengubahan ke-3 terdapat 3 BAB dan 22 Pasal, saat Sidang

Tahunan MPR Tahun 2001 merubah ataupun menambahkan

ketentuan Pasal 1 Ayat (2) dan (3), Pasal 3 Ayat (1), (3) dan (4),

Pasal 6 Ayat (1) dan (2), Pasal 6A Ayat (1), (2), (3) dan (5), Pasal

7A, Pasal 7B Ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6) dan (7), Pasal 7C, Pasal

8 Ayat (1) dan (2), Pasal 11 Ayat (2) dan (3), Pasal 17 Ayat (4),

BAB VIIIA, Pasal 22C Ayat (1), (2), (3) dan (4), Pasal 22D Ayat

(1), (2), (3) dan (4), BAB VIIB, Pasal 22E Ayat (1), (2), (3), (4),

(5) dan (6), Pasal 23 Ayat (1), (2) dan (3), Pasal 23A, Pasal 23C,

BAB VIIIA, Pasal 22E Ayat (1), (2) dan (3), Pasal 23F Ayat (1)

dan (2), Pasal 23G Ayat (1) dan (2), Pasal 24 Ayat (1) dan (2),

Pasal 24A Ayat (1), (2), (3), (4) dan (5), Pasal 24B Ayat (1), (2),

(3) dan (4), Pasal 24C Ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6) UUD 1945.

Inti pengubahan yang dilaksanakan ialah Bentuk serta

Kedaulatan Negara, wewenang MPR, Kepresidenan, Impechment,

77
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 51
79

Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman dam ketentuan-

ketentuan tentang pemilu.78

4) Amandemen Keempat (2002)

Pengubahan ke-4 dilaksanakan pada Sidang Tahunan MPR

2002. Pengubahan ataupun menambahkan itu mencakup Pasal 2

Ayat (1), Pasal 6A Ayat (4), Pasal 8 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (1),

Pasal 16, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24 Ayat (3), BAB XIII, Pasal

31 Ayat (1), (2), (3),(4) dan (5), Pasal 32 Ayat (1), (2), (3) dan (4),

BAB IV, Pasal 33 Ayat (4) dan (5), Pasal 34 Ayat (1), (2), (3) dan

(4), Pasal 37 Ayat (1), (2), (3), (4) dan (5), Aturan Peralihan Pasal

I, II dan III, Aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945.

Materinya ialah ketentuan mengenai lembaga negara serta

hubungan antara negara, menghapus DPA, ketentuan tentang

pendidikan serta kebudayaan, ketentuan mengenai ekonomi serta

sejahteranya sosial serta peraturan peralihan juga peraturan

tambahan.79

3. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

a. Memperjelas Sistem Pemerintahan

Pada hal tersebut dibutuhkan beberapa strategi politik hukum

guna bisa meraih negara yang sejahtera di Indonesia berlandaskan

UUD 45 paska amendemen. Sebab tulisan konstitusi hanyalah bisa

mempunyai fungsi nyata bila diaplikasikan pada kebijakan nyata

78
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 52-53
79
Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, 30-35
80

melewati gambaran lembaga politik yang bisa memopong berjalannya

konstitusi. Sebabnya bisa diukur bila bisa diaplikasikan pada

kebijakan negara yang konkrit.

Tidak dapat dielakkan, desain lembaga negara yang harus dirubah

supaya selaras pada mandat konstitusi melewatii desain lembaga supra

struktur politik, yaitu membuat lebih jelas sistem pemerintah

Indonesia. Sebab sistem pemerintah ialah hubungan antar sistem

partai, dan lainnya.

Apabila sistem pemerintahan memposisikan Presiden berupa

institusi tertinggi pada mengambil putusan serta kebijakan negara

maka sistem tersebut ialah sistem presidential. Namun apabila sistem

pemerintah memposisikan parlemen berupa institusi ter “supreme”,

maka itu parlementer. Kebalikannya apabila diantara Presiden serta

parlemen membagi kekuasaan pada pelaksanaan keputusan juga

kebijakan negara itu “Cohabitation” ataupun “quasi”.80

b. Desain Sistem Suprastruktur Indonesia

1. Presidensialisme Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Melakukan penguatan lembaga supra struktur, yaitu lembaga

presiden melewati menegaskan sistem yang dipakai apa sistem

presidential murni, parlementer, ataupun pseudopresidensial.

Karena meskipun Presiden serta Wapres sudah terpilih dengan

80
Mishra, Satish Candra. Pemerintah dan Pemerintahan: Memahami Ekonomi Politik Reformasi Institusi‖
Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol 1 (2), 2005, hlm 42-45.
81

langsung saat 2004 melewati pemilu 2004, pilpres 2009, serta

2014, namun pada praktekknya masih tidak jelas.

Dengan ketidakefektifannya sistem presidential sebab

beberapa persyaratan sistem presidential tidak dipenuhi.

Dampaknya Indonesia adanya macet pada politik “political

gridlock” antar eksekutif yakni Presiden dengan legislatif yakni

DPR serta antar Presiden dan Wapres.

Guna membuat kejelasan permasalahan praktek sistem

presidensia pada masa SBY sampai JK tersebut nantinya

ditampakkan pada 2 permasalahan. (1) permasalahan usaha

memakzulkan Presiden SBY pada masalah “Bailout Bank

Century”. (2) kualitas produk legislasi yang rendah pada masa SBY

sebab waktu teralihkan pada kegiatan kompromian politik guna

menguatkan koalisasi parlemen.81 Yakni:

a. Usaha Pemakzulan SBY

Politik menjadi panas bersamaan akan Pansus DPR RI pada

pendanaan mentalangi “bail out” Bank Century sejumlah Rp6,7

triliun semakin tidak bisa diketahui. Hingga pada hari-hari akhir

terdapat sinyal yang menunjukkan memakzulkan atau

impeachmen SBY.

Langkah sigap presiden yakni membuat undangan Ketua

MA, MK, BPK, DPA, KY, DPR, serta DPD di Istana Bogor

81
Muhammad Rosyidin, “The Indonesian Quarterly: Reflection on ASEAN at its 50th Anniversary,” Centre
for Strategic and International Studies (CSIS), Third Quarter, Vol. 45 No. 3 (2017): 225.
82

pada pembahasan sinergi hubungan antara lembaga tinggi

negara guna mengatasi politik nasional yang semakin panas.

Setelah itu, SBY menghimbau supaya masalah Century bukan

mengarah pada pencopotan presiden.

Gampang terduga SBY tidak menyukai kata

“impeachment”, kata yang tabu dikatakan pada negri utamanya

saat adanya introduksi UUD 1945 sesduah amendemen.

“Impeachment” ialah prosesi parlemen memberhentikan

presiden. Dengan harfiah yakni dakwaan ataupun tuntutan yang

sudah dipraktekkan pada Mesir Kuno dengan kata “iesangelia”,

diabad ke-17 digunakan pemerintahan Inggris serta masuk ke

konstitusi Amerika diabad ke-18. Sampai 2000 diidentifikasikan

93 bangsa menggunakan kata tersebut. Pada akhir 2002

ditemukan 12 bangsa melakukan percobaan pemakzulan

presiden.82

SBY tidak suka mendengarkan kata “impeachment” sebab

di histori politik Indonesia, kendatipun penggunaan cara tersebut

dipakai pada Gus Dur 2001. Keseluruhan penguasa tidak suka

pada pembahasan “impechment”.

Cara Presiden yang melodramatis serta iba itu bentuk

kesalahan politik pada kekuasaan. Sesungguhnya dia maju

dengan sikap tangguh dan memberikan Pansus DPR guna

82
Situmorang, “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan SBY”, 69.
83

pengumpulan data-data pada permasalahan yang terjadi. Tidak

kebalikannya yang kesannya melakukan pembersihan diri

memakai pendapat politisasi.83

Kendatipun Pansus menghasilkan data yang mengarah pada

“impeachment” sebenarnya dia tidak harus membencinya sebab

pada konstitusi ada aturan model serta sistem kontrolisasi DPR

terhadap Presiden nantinya mengarah ke prosesi

“impeachment”. Karenanya “impeachment” bukanlah prosesi

politik tetapi prosesi hukum. Apabila seperti itu pasti prosesi

hukum didahulukan mengikuti hukum acara pada penetapan

“impeachment”.

Sepertihalnya pada Pasal 7A UUD 45 Pasca amendemen

menyebutkan yakni:

“Presiden/Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa


jabatannya oleh MPR atas usul DPR dengan alasan: (1)
apabila terbukti melanggar hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lain, atau perbuatan tercela; (2) apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden”.

Hukum acara begitu rumit, berdasarkan Pasal 7B Ayat (3),

DPR harus melakukan dakwaan, MK memeriksa, jika MK

mengatakan dakwaannya sah serta meyakinkan secara hukum

prosesi tersebut masih tidak rampung. Putusan MK nantinya

masih menjadi perdebatan politik, yakni DPR seusai paripurna

baru diajukan kepada MPR yang perlu hadir minimal 2/3

83
Situmorang, “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan SBY”,70-72
84

anggota DPR serta 2/3 diantaranya perlu mensetujui usulan

tersebut. Sehingga presiden bisa termakzulkan.84

Cara tersebut memanglah tidak bagus sebab MK tidak sama

pendapatnya pada DPR sehingga prosesi “impeachment”

dihentikan, serta Presiden tidak bisa dimakzulkan.

Kebalikannya, apabila MK pendapatnya sama pada DPR, maka

prosesi dilanjutkan ke MPR.

Sesungguhnya terdapat potensi putusan MK dengan yuridis

sudah ada pernyataan Presiden bisa dimakzulkan itu

termentahkan. MPR yang berupa lembaga politik mempunyai

pengaruh potensi tidak mengindahkan putusan yuridis MK.

Sehingga harus terbangun konvensi yakni MPR hanyalah

prosesi konfirmasi pada putusan MK yang sifatnya yuridis

daripada politisasi.

Menimbang hukum acara yang sulit itu gampang terduga

sesungguhnya se diktator apa saja, sangat tidak mudah

memakzulkan Presiden. Semampang kompo sisi dorongan

politisasi di DPR yakni koalisi antar partai yang kuat, serta

solid. Komposisi dorongan SBY pada DPR sebenarnya begitu

kokoh.85

Jika SBY bersama koalisinya melakukan penolakan Pansus

untuk “impeachment”, nampak yakni Pansus hanyalah

84
Situmorang, “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan SBY”, 73-75
85
Situmorang, “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan SBY”, 76-77
85

mengarah ke penyelidikan pembantu polisi ataupun KPK guna

mentelusuri persoalan korupsi, serta persoalan Century

menunjukkan tidak diubahnya persoalan kriminal. Kalaupun itu

kejadian, maka SBY bersama partainya, serta Pansus DPR

nantinya menghadapi parlemen dijalanan demo mahasiswa serta

kelompok yang berkepentingan yang mempunyai potensi

sebagai tunggangan instabilitasi politisasi nasional.86

b. Rendahnya Kualitas dan Kuantitas Legislasi Era SBY

Praktek sistem presidensial masa SBY itu bisa tercatat ialah

masa tersebut sudah memberi hasil paradok di rendah

banyaknya serta kualitas produksi legislaslatif yang terhasilkan

bagi DPR 2009, 2014 hasilnya pemilu 2009.

Sejumlah sembilan fraksi pada DPR sudah menyulitkan

mengambil keputusan pada prosesi legislastif, disitu

pengungkapan Giovani Sertori bisa dibuktikan, yakni

sebenarnya permasalahan sistem presidential tidak bertempat

pada bagian eksekutif namun pada bagian legislasi, ketika

melakukan perwujudan produk legislaslatif serta non

legislaslatif.

86
Situmorang, “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan SBY”,77-788.
86

Perubahan UUD 45 sudah berfungsi serta menduduki pada

hal yang sama pada Presiden serta DPR pada prosesi membahas

serta mensetujui RUU.87

Cara tersebut serupa pada sistem parlemen sebab DPR

membagikan kekuasaan yang berfungsi legislaslatif bersama

Presiden. Cara tersebut sudah masuk pada sistem parlement

berdasarkan memurnikan konsep presidential.66

Itu sebab prinsip presidential serta parlement dengan teori

sebenarnya memberi penegasan serta pemisahan fungsi pembuat

serta pelaksana legislaslatif. Saat semua lembaga tersebut

membagi perannya pada mengusulkan RUU serta yang

mengesahkan RUU menjadi UU, sebenarnya sistem pemerintah

presidensial Indonesia mengalami sindrom anomali pada sistem

yang ada.

Sulitnya mengkonsolidasi pada multi partai di DPR sudah

berdampak pada 2 hal: (1) Pada kuantitasnya produk legislaslatif

DPR serta Presiden 2009-2014 itu begitu rendah. (2) Pada

kualitatifnya, produktifitas legislaslatif DPR serta Presiden masa

2009-2014 itu begitu tidak baik. Itu bisa terbuktikan dengan

rendah kualitasnya UU pada ranah politik yang kuantitasnya

memberi cerminan kepentingan politik partai politik di DPR

daripada kepentingan masyarakat.

87
Ratna Shofi Inayati, “Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Politik Luar Negeri Indonesia,” E-
Journal Politik LIPI, 2016, diakses 27 Februari 2022, http://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/
article/viewFile/390/227
87

Realitasnya sama dengan ketika masa Jilid II SBY-

Boediono masa 2009-2014 dimulai sejak 20 Oktober 2009 paska

terpilihnya dengan mutlak pada pilpres 2009 persentasenya

diatas 60%. Coba lihat bagaimana ramainya politik nasional

ketika SBY akan perekrutan mentrinya pada pemerintahan. SBY

tidak berkuasa guna melakukan penolakan seluruh partai politik

yang tembus parlementer treshold (PT) ataupun ambang batas

hitungan suara di DPR guna masuk pada kabinet.67

Fenomenanya sama dengan di masa pemerintah Jokowi-JK

(2014-2019).88

Seharusnya pada kapasitasnya Presiden yang terpilih

dengan langsung berdasarkan mandate konstitusi dia tidak harus

memperdulikan mentrinya diambil partai ataupun yang paling

penting ialah profesional “zaken cabinet”. Itu ialah cerminan

lemah daya tawarmenawar Presiden pada parpol. Cara tersebut

sesungguhnya menggambarkan ketidak jelasan sistem-sistem

presidential.

Apabila realitasnya terjadi pengulangan serta terbiarkan

pada ranah tidak sama, maka bisa memberi gangguan

stabilitasnya pemerintahan, sebab eksekutif Presiden senantiasa

tersibukkan guna menangkis serta mencarikan strategi supaya

saat kepemimpinan tidak terganggu partai yang mayoritas di

88
Ratna Shofi Inayati, “Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Politik Luar Negeri Indonesia,” 337-
338
88

parlemen (DPR), daripada mengenai pengimplementasian

proker pemerintahan.

Karenanya, sekarang memberi gagasan sistem presidential

yang efektif ataupun semisal puryfikasi sistem presidential

melalui pemenuhan syarat yang mencukupi, yaitu melakukan

penyederhanaan sistem partai. SBY dipilih sebagai presiden

melewati pilpres 2004 serta 2009 dengan demokratisasi,

maksudnya SBY memiliki haklegitimasi. Namun sebab SBY

saat 2004 hanyalah disokong sedikit partai yakni Demokrat,

PKPI, serta PKS pada parlemen (DPR), dampaknya SBY

hanyalah mempunyai haklegitimasi dimata masyarakat bukan

DPR. Saat 2009 pada pemilu legislatif menang sebanyak 20%,

SBY legitimasi pada 2 arah, yaitu: masyarakat juga DPR.89

4. Presiden Jokowidodo

Sama halnya saat Jokowi-JK (2014-2019). Terdapat dua

permasalahan. (1) permasalahan merebut pimpinan DPR RI antar bagian

koalisi propemerintahan Jokowi serta bagian kontrapemerintahan Jokowi.

(2) menggunakan hak interplasi guna memakzulkan Jokwi. Lebih

lengkapnya:

a. Perebutan Kursi Pimpinan DPR di Era Jokowi

Penyimpangan penguasa politik di DPR pada perebutan kursi

pemimpin serta pelengkap DPR. Seakan sudah tertutup “deadlock”,

89
Ratna Shofi Inayati, “Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Politik Luar Negeri Indonesia,” 339-
340
89

dampaknya tidak ada kompromian serta kerja sama antara 2 bagian

yang bertolakbelakang antar bagian Koalisi Merah Putih (KMP)

dengan bagian Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pada pengelolaan

kekuasaan.

Bagian KMP menginginkan seluruh pemimpin serta pelengkap

DPR dengan tidak menyisai satupun pada KIH. Kebalikannya, bagian

KIH tidak terelakkan serta membentuk pemimpin serta pelengkap

DPR. Sekarang DPR sudah terpisah 2 bagian yang bertolakbelakang.

Praktek politik pada pengelolaan kekuasaan di DPR semisal ini berupa

penyelewengan nilai demokratisasi Pancasila.90

Metode demokrasi DPR sesungguhnya sudah disebutkan pada sila

ke-4: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan”. Yudi Latief menjabarkan sila ke-4 itu

bisa diperinci pada 4: “pertama, keputusan politik berdasarkan

kepentingan bersama, Kedua, keputusan dibuat tidak dengan logika

mayoritas-minoritas, tetapi menyertakan semua kepentingan dan

kelompok, bahkan dari mereka yang paling kecil, Ketiga, politik

diorientasikan untuk jangka panjang, bukan kepentingan sesaat,

Keempat, yang dikembangkan adalah toleransi positif dibangun

berdasarkan hikmat kebijaksanaan, sedangkan toleransi negatif

dibentuk oleh politik transaksional”.

90
Fetra Tumanggor, “Melihat Politik Luar Negeri Jokowi,” Tagar News, 25 Februari 2022, diakses 25
Februari 2022, https://www.tagar.id/melihat-politik_luar-negeri-jokowi
90

Perjalanannya secara historis saat Orde Lama (1945-1967)

melewati pemilu 1955, Orde Baru (1967-1997) melewati pemilu

1971-1997, masa Transisi Demokrasi (1999) melewati pemilu 1999,

serta masa Reformasi Sistemik (2003-2013) melewati pemilu 2004

serta 2009 memberi bukti budaya demokrasi Pancasila sudah bisa

terjalani penguasa politik pada pengelolaan kekuasaan DPR utamanya

pada kekuasaan pemimpin serta pelengkap DPR. Tetapi pada masa

mematangkan serta mengkonsolidasi Reformasi (2014-2019)

melewati pemilu 2014 dengan pemilu multi partai pada metode suara

paling banyak yang sebenarnya semakinmatang pada pengelolaan

kekuasaan DPR utamanya pada membagi kekuasaan pemimpin serta

pelengkapnya, hal tersebut menampakkan merosotnya konstitusi.91

Melihat fakta pada Orde Lama ialah masa emasnya demokrasi

Pancasila. Pengelolaan negara yang besar ini tidak memungkinkan

bisa dilaksanakan sekelompok, segolongan, seras, seagama, serta

separtai, namu n perlu dilaksanakan dengan gotongroyong, sebab

pendiri negara mempunyai keyakinan bisa terjamin politiknya dengan

pembagian kekuasaan.

Itu pada notulensi BPUPKI saat pembahasan dasar negara saat 28

Mei sampai 1 Juli serta 10 sampai 17 Juli 45, serta PPKI saat

18sampai 22 Agustus 45 bisa terbaca jernihnya 3 tokoh negara, yakni

Prof. Soepomo, Bung Karno, serta Bung Hatta di pembentukan asas

91
Fetra Tumanggor, “Melihat Politik Luar Negeri Jokowi,” 233-234
91

negara demokrasi Pancasila yang bercita-cita mendirikan Indonesia

dengan prinsip dasar kolektifisme, bukanlah liberalisme. Kolektivisme

ialah utamanya pada: “rapat atau syura (musyawarah) untuk mencapai

kesepakatan tanpa meninggalkan minoritas”.92

Itu juga hadirnya MPR yakni membersamai DPR lembaga

“tertinggi” negara yang mengejawantahkan prinsip dasar

“kebersamaan” pada pengelolaan negara melewati parlemen. Sebab

pada Majlis tersebut seluruh permasalahan negara didiskusikan,

dimusyawarahdengan baik dengan tidak melihat kebenarannya dari

kelompok terkecil. Tidak disangkal apabila pada masa tersebut

seluruh pemimpin DPR ialah “representasi dari semua golongan dan

kelompok serta partai politik yang ada pada saat pemilu pertama tahun

1955 berlangsung”. Ia bisa bekerja sama pada pengelolaan

parlementer.

Pada masa Ode Baru, meskipun Jendral Soeharto ialah bapak

pembangunan. Masa tersebut tidak terdapat multi partai ekstrimisme,

karena penguasa mempunyai keyakinan yakni multi partai hanyalah

menghilangkan daya serta terduga membuat permasalahan antara

parpol. Terkenal dengan masa “deparpolisasi”, terdapat pula “fusi”

“penggabungan” parpol, yakni hanyalah PPP serta PDI, dan 1

golongan, yakni Golongan Karya “Golkar”. Itu dirasa metode bagus

92
Fetra Tumanggor, “Melihat Politik Luar Negeri Jokowi,” 235-236
92

penguasa guna pengendalian stabilitasi politik serta mengganti dengan

menguatkan peranan ABRI, Birokrasi, serta Golkar ataupun ABG.93

Hingga Golkar senantiasa memenangi pemilu 1971-1997 juga

bisa menduduki DPR ataupun parlemen lokal yakni DPRD Provinsi

serta DPRD Kabupaten, namun pada pengelolaan kekuasaan DPR

utamanya membagi kekuasaan pemimpin serta pelengkap DPR, bukan

kekuasaan yang diktator.

Pada masa transisi demokrasi 1999 saat terselenggaranya pemilu

ke-1 paska hancurnya Orde Baru 1999 yang disertai 48 partai

memakai “stambus accord” yakni penggabungan sisa suara.

Dinamakan masa transisi demokrasi sebab pada masa tersebut sistem

serta kelembagaan demokrasi juga politik tidak dibentuk semuanya,

sebab tidak bisa menegaskan antar budaya Orba juga bidaya baru

Reformasi. Tetapi mempunyai keunikan pada pengelolaan kekuasaan

DPR pada masa tersebut penguasa politik bisa mempraktekkan nilai

demokrasi Pancasila yakni membagi kursi pemimpin serta

pelengkapnya pada seluruh parpol yang mepunyai kursi DPR yang

memberi cerminan ideologi.94

Hal itu juga pada masa “Reformasi Sistemik” 2003-2013,

dinamakan “sistemik” sebab pada masa tersebut terdapat pengubahan

sistem politik serta hukum yang begitu tampak jugan beda dengan

masa sebelum-nya. Pada masa tersebut ada 2 pemilu, yaitu pemilu

93
Fetra Tumanggor, “Melihat Politik Luar Negeri Jokowi,” 237-238
94
Fetra Tumanggor, “Melihat Politik Luar Negeri Jokowi,” 239-240
93

2004 serta 2009. Berlandaskan pemilu 2004 yang dikuti 24 parpol

denganpemilu langsung berupa pencalonan terbuka, menentukan

pemenangnya berlandaskan dapatan persntase suara BPP “Bilangan

Pembagi Pemilih”, juga pemilu 2009 44 parpol membuat sembilan

Fraksi, kendatipun kerapkali bertentangan namun pada 2 masa

tersebut penguasa politik bisa meredamkan keinginan kelompok serta

kepentingannya.

Parpol yang memenangkan pemilu 2004 yakni Golkar. Begitupula

yang memenangkan pemilu 2009 partai itu Demokrat, dengan SBY

Presiden RI, Demokrat bisa menempatkan post ketua DPR, juga sedia

membagi kekuasaan pada wakil pemimpin DPR serta berbagai komisi

pada parpol lain.95

Pada keseluruhan masa peralihan pada DPR yakni Orde Lama,

Orde Baru, masa Transisi Demokrasi, serta masa Reformasi Sistemik

nampak yakni penguasa politik bisa melakukan musyawarah hingga

mufakat pada pembagian kekuasaan di DPR menampakkan cerminan

adanya nilai demokrasi Pancasila. Tetapi pada masa peralihan

kekuasaan di masa Reformasi Sistemik 2009-2014, hasil pemilu 2009

ke masa mematangkan serta mengkonsolidasi Demokrasi 2014-2019

pemilu 2014 itu menjadi “anomali politik”, yakni hilangnya nilai

demokrasi Pancasila meliputi: “tradisi musyawarah-mufakat untuk

mencapai keseimbangan politik dalam mengelola kekuasaan di DPR”.

95
Fetra Tumanggor, “Melihat Politik Luar Negeri Jokowi,” 240-241
94

Pada masa tersebut itu kelokan akhir dengan mengkonsolidasikan

kekuasaan politik serta kelembagaan demokrasi menjadikannya

dorongan moral sendiri untuk penguasa politik DPR guna

mematangkan nilai demokrasi Pancasila yang berdasarkan konsepsi

pembangunan negara semakin kuat. Sungguh ironi dengan hilangnya

nilai tersebut dengan keserakahan penguasa politik.96

Permasalahan berbedanya pilihan suara Jokowi serta Prabowo

berkelanjutan sehingga tidak sedia membagikan kekuasaan pemimpin

serta pelengkap DPR, sebab adanya keinginan menguasai keseluruhan

suara di DPR. Kendatipun pertentangan pilpres pada masyarakat

sudah usai semenjak KPU menetapkan siapa yang menjadi presiden.

Sekarang masyarakat sudah melakukan rekonsiliasi usai pilpres

tersebut.

Karenanya seharusnya penguasa politik DPR melakukannya juga

sebagaimana masyarakat merekonsiliasi seusai pilpres guna

mengemban nilai demokrasi Pancasila serta sedia melakukan

rekonsiliasi guna mencapai musyawarah mufakat. Tidak tercapat cara

terkecuali penguasa politik DPR menyelesai perebutan kekuasaan

DPR. Melalui cara tersebut demokrasi Pancasila bisa terhidupkan

pada DPR.97

b. Penggunaan Interplasi DPR di Era Jokowi

96
Fetra Tumanggor, “Melihat Politik Luar Negeri Jokowi,” 241-242
97
Fetra Tumanggor, “Melihat Politik Luar Negeri Jokowi,” 242-243
95

Politik DPR RI sedang melaksanakan wacana pemakaian hak

interplasi, yakni hak DPR memohon keterangan pada pemerintahan

tentang kebijakan pemerintah juga berakibat meluas kepada

kelangsungan masyarakat. Presiden Jokowi sudah melakukan

kenaikan BBM dengan tidak adanya kata setuju dari DPR. Ini terduga

penyelewengan hukum yang mempunyai potensi pelanggaran akan

UUD 45 serta bisa menjadikannya dimakzulkannya “impeachment”

Jokowi dari kepresidenan.

Apa kenaikan BBM subsidi yang dilaksanakan Jokowi itu

pelanggaran akan UUD 45 serta bisakah DPR mengarahkannya guna

memakzulkan “impeachment”?

Sesungguhnya, adanya “impeachment” pada Presiden saat adanya

kenaikan BBM subsidi bukanlah budaya baru pada perpolitikan.

Kerapkali kejadiannya di tahun 2004 juga 2005. SBY melakukan

kenaikan BBM yang dirasa itu pelanggaran akan UU No. 36 tahun

2004 tentang APBN 2004. Menaikkan harga BBM subsidi 2005 yang

terduga pelanggaran UU No. 46 tentang APBN 2005 dengan

dikuatkan surat teguran MK sebab aturan menaikkan harga BBM

subsidi tidak benar pada konsideran Perpres 55/2005 tentang

Kenaikan Harga BBM. Tetapi, pada kenyataannya “impeachment”

pada SBY tidak terlaksana.98

98
Mangadar Situmorang, “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan
Jokowi_JK,” 76.
96

Apabila dilihat dengan teiliti sebenarnya tidak terdapat aturan

hukum yang Jokowi melanggarnya pada pembuatan kebijakan

kenaikkan harga BBM subsidi saat 18 Nopember. Kenaikan harga

tersebut tidak memerlukan persetujuandari DPR. Karena berlandaskan

UU No. 12/2014 tentang APBN Perubahan 2014 menyatakan yakni

pemerintah mempunyai hak melakukan kenaikan harga BBM subsidi

dengan tidak adanya persetujuan DPR.

Apabila beberapa politikus KMP meyakini yakni kebijakan

Jokowi melkukan kenaikan harga BBM subsidi itu berupa

pelanggaran Pasal 14 Ayat (13) UU No. 12 Tahun 2014 Tentang

APBN yakni “anggaran untuk subsidi energi merupakan bagian dari

program pengelolaan subsidi, dapat disesuaikan dengan kebutuhan

realisasi harga minyak mentah (ICP) dan nilai tukar rupiah”, itu

dugaan yang salah karena realitanya, kendatipun harga minyak mentah

dunia mengalami penurunan, namun nilai tukar rupiah pada dolar

terdapat kenaikan. Sehingga dua parameter itu tidak bisa menjadi

pedoman turunnya serta naiknya BBM. Sehingga pemerintahan bisa

memilah parameter tersebut, yakni harga minyak mentah (ICP)

ataupun nilai tukar rupiah.99

Apabila DPR mempunyai tekad melaksanakan interplasi pada

Presiden supaya sedia menjabarkan argumentasinya tentang kenaikan

BBM, bisa diterima dengan batasan wajar berdasarkan UU 17 Tahun

99
Mangadar Situmorang, “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan
Jokowi_JK,” 78
97

2014 tentang MPR, DPD, DPR, dan DPRD. Namun, syaratnya bukan

berupa politisasi bersamaan halterselubung serta pembelokan yang

mengarah memakzulkan “impeachment” Presiden. Disinilah

relevansia supaya Presiden memberi jawaaban solid, tegas, serta

berargumentasi yang baik. Masyarakatlah yang nantinya memberi

penilaian siapakah yang memikirkan negara, DPR ataukah presiden?

Berlandaskan pemahaman konstitusi, pasca amendemen UUD

1945 yang rampung dengan 4 kali diamendemen di 2002. Presiden

hanyalah bisa terproses “impeachment”, jikalau dibuktikan

melanggarn hukum murni, bukanlah melanggar dari kacamata politik.

Lihatlah, Pasal 7A UUD 1945 tentang Syarat Pemberhentian atau

“impeachment” Presiden atau Wakil Presiden yaitu:

“Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam


masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, maupun apabila tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden”.

Lembaga yang bisa memakzulkan Presiden berlandaskan Pasal

7B dan 24C Ayat (2) UUD 1945 adalah MPR lengkapnya “Sebelum

itu MPR haruslah melihat pendapat DPR pada rapat pari purna yang

dihadiri minimal dua per tiga dari jumlah anggota DPR atas dugaan

pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden dan penilaian MK”.

Kenaikan BBM subsidi yang dilaksanakan Presiden ialah

kebijakan pemerintahan pada tat usaha negara tidak bisa disalahkan

serta tidak bisa terpidanakan dengan dugaan pelanggaran UUD 45.


98

Dengan teoritis, kebijakan kenaikan BBM subsidibisa terbaca

melewati 2 metode, yakni (1) merupakan penyelenggaraan wilayah

umum berkaitan akan “bestuur naar good oordelen” atau pemerintahan

berlandaskan mempertimbangkan yang bagus. Crince Le Roy

menjelaskan terdapat landasan pemerintahan bisa disebut baik yakni

“bertindak cermat atau saksama”, kenaikan BBM sudah dilaksanakan

penelitian seksama oleh presiden.100 (2) menerapkan “freies Ermessen

atau pouvoir discretionnaire”, yakni bebasnya membuat kebijakan

dengan landasan kepentingan masyarakat sifatnya pemaksaan guna

mewujudkan sejahteranya masyarakat. Geraint Parry pada “Welfare

and State Welfare Society” mejabarkan teori kesejahteraan yaitu

“upaya mewujudkan kebutuhan rakyat utama dengan mudah dan

murah”, menaikkan BBM dengan maksud pilihan terbaik guna

mencapai kesejahteraan masyarakat, yakni mensubsidi kesehatan,

memberi beasiswa, perbaikan jalan, irigasi, bibit, serta mensubsidi

pupuk melewati pensubsidian BBM.

Menaikkan BBM merupakan cerminan adanya negara melakukan

pengaturan pendistribusian subsidi melewati APBN dengan baik. Pada

kalangan menengah keatas, yakni mensubsidi BBM konsumtif ke

orientasi pendistribusian subsidi. Difokuskan ke kalangan menengah

kebawah, yakni mensubsidi ekonomi produktif. Hal tersebut

merupakan metode pemerintahan guna membuat pola hubungan yang

100
Mangadar Situmorang, “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan
Jokowi_JK,” 79
99

non diskriminasi pada pendistribusian subsidi pada kalangan

masyarakat yang benar, yaitu kalangan menengah kebawah dari pada

kalangan menengah keatas.

Secara singkat, kebijakan kenaikan BBM subsidi dari Presiden

bisa terbenarkan dengan paham kebijakan, yakni berupa hukum tata

negara ataupun paham hukum administrasi negara. Karenanya, tidak

terdapat alasan yuridis yang bisa membenarkan pembelokan hak

interplasi DPR kearah memakzulkan Presiden sebab terduga

melakukan pelanggaran UUD 45 pasca amendemen.101

101
Mangadar Situmorang, “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan
Jokowi_JK,” 80.
100

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Bahwa yang melatar belakangi pergeseran konstitusionalisme di Indonesia

adalah seiring perkembangan hukum yang semakin dinamis yang harus

disesuaikan dengan latar belakang negara kita, ditambah seringnya

pergantian pucuk pimpinan tertinggi yaitu presiden yang menyebabkan hal

tersebut berdampak pada kebijakan-kebijakan yang diambil.

2. Bahwa doktrin konstitusionalisme dalam ketatanegaraan indonesia adalah

konstitusionalisme memuat esensi pembatasan kekuasaan dan kekuasaan

itu sendiri dibatasi oleh konstitusi sebagai norma hukum tertinggi.

Persoalan yang dianggap terpenting dalam paham konstitusional adalah

pengaturan mengenai pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan

pemerintahan.

3. Bahwa implikasi konstitusionalisme dan hukum tata negara dari era

gusdur hingga jokowi adalah terletak pada karakter masing-masing

presiden yang berbeda-beda sehingga menyebabkan implikasi

konstitualisme di Indonesia sering mengalami perubahan, dan juga

perkembangan hukum yang semakin hari semakin pelik untuk dipecahkan.

B. Saran-Saran

1. Bagi lembaga eksekutif sebagai lembaga penjalan Undang-Undang

hendaknya masalah pergeseran konstitualisme di Indonesia harus lebih

100
101

diperbaiki lagi pelaksanaannya, supaya tidak terjadi hal-hal yang

bertentangan dengan UU ataupun lainnya.

2. Bagi lembaga legislatif, doktrin-doktrin konstitualisme di Indonesia

harusnya bisa dijadikan patokan dalam membuat suatu Undang-Undang

yang bagus untuk di terbitkan.

3. Bagi Masyarakat permasalahan-permasalahan tentang konstitualisme di

Indonesia harus bisa diserap untuk menambah suatu pengetahuan.


102

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

As Siddiqy, Jimly. 2005. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran


Kekuasaan Dalam UUD 1945, (Yogyakarta , FH UII PRESS).

As Siddiqy, Jimly. 2006 Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,


(Jakarta , Konstitusi Press).

As Siddiqy, Jimly. 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara


Pasca Reformasi, (Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI).

As Siddiqy. Jimly, 2005. Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia,


(Jakarta: Kencana Permedia Grup 2010.

As Siddiqy. Jimly, 2010. Konstitusi Ekonomi, Jakarta: Kencana Permedia


Grup.

Atmadja. I Dewe Gede, 2012. Hukum Konstitusi, Malang: Setara Press

Hoesein, Zainal Arifin. 2006. Kekuasaan Kehakiman Indonesia, (Malang:


Setara Press).

Hoesein. Zainal Arifin, 2006.Kekuasaan Kehakiman Indonesia, Malang:


Setara Press,

Ibrahim, Johnny. 2007. Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang :


Bayumedia).

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember, Pedoman Penulisan Karya


Ilmiah. Jember.

Isharyanto, 2018. Konstitusi Rule Of Law dan Demokrasi, Yogyakarta: CV,


Absolute Media,

Islam. Faisal, 2019. Islam Konstitusionalisme dan Pluralisme Yogyakarta:


IRCSoD.

Isra. Saldi, 2020. Pengujian Konstitusionalitas Perda, Jakarta: PT. Gramedia.

Kamal, Andrew. 2012. Spirit 5 Presiden RI (Yogyakarta Syura Media


Utama).

Mahfud MD, Moh. 1998, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta, LP3ES).


103

Mahfud MD, Moh. 2000, Demokrasi Dan Konstitusi di Indonesia, Studi


Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Keta-tanegaraan, (Jakarta,
Rineka Cipta).

Mahfud MD, Moh. 2014. Politik Hukum di Indonesia, Ed.Revisi, Cetakan 6,


(Jakarta Rajawali Perss).

Marwan, Mas. 2018. Hukum Konstitusi dan Kelembagaan Negara, (Depok:


PT. Raja Grafindo Persada

Marzuki, Suparman. 2014. Politik Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta:


Penerbit Erlangga).

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Hukum Tata Negara Indonesia,
(Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI).

Morissan, 2018. Metode Penelitian Survei, Jakarta: Prenada Media Grup.

Mulkhan, Abdul Munir. 2010. Perjalanan Politik Gus Dur, (Jakarta: PT.
Kompas).

Pureklolon. Thomas Tokan, 2016. Komunikasi Politik mempertahankan


Integritas Akademis Politikus, dan Negarawan. Jakarta: gramedia.

Rafick, Ishak. 2008. Catatan Hitam Presiden Indonesia (Jakarta : PT.


Cahaya Insan Suci).

Ridjaluddin, 2002. Demokrasi Pemikiran Gus Dur dan Keterpaduannya


Dengan Demokrasi Amien Rais dan Syafi‟ Ma‟arif, (Jakarta:
LKis).

Rinanto. Satya, 2017. Hak Asasi Manusia Transisi Indonesia, Yogyakarta:


IRCSoD:

Semiawan, Conny R. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bogor :


Grasido)

Sirajuddin, 2006. Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia, Malang: Setara


Press,

Soemantri, Sri. 2007. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung,


Penerbit Alumni).

Strong, C.F. 2004. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan


tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, terjemahan
SPA Teamwork, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia).
104

Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D,


(Bandung: CV Alfa Beta).

Suharsimi, 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta:


Rineka Cipta).

Wahdjosumidjo, 1994. Kiat Kepemimpinan Dalam Teori Dan Praktek,


(Jakarta : PT. Harapan Masa PGRI).
B. Jurnal

Jumadi, Memahami konstitusionalisme Indonesia, Jurnal UIN Alaluddin


Makasar, Jurisprudentie, Vol: 3 No. 2, 2016.

Mishra, Satish Candra. Pemerintah dan Pemerintahan: Memahami Ekonomi


Politik Reformasi Institusi‖ Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol 1 (2),
2005.

Ratna Shofi Inayati, “Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Politik


Luar Negeri Indonesia,” E-Journal Politik LIPI, 2016, diakses 27
Februari 2022, http://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/
article/viewFile/390/227.

Rosyidin, Muhammad. “The Indonesian Quarterly: Reflection on ASEAN at


its 50th Anniversary,” Centre for Strategic and International
Studies (CSIS), Third Quarter, Vol. 45 No. 3 (2017): 225.

Wahyudi, Agus. “Doktrin Pemisahan Kekuasaan Akar Filsafat dan Praktek”,


dalam Jurnal Hukum Lentera, “Nega-ra & Kekuasaan”, Edisi 8
Tahun III, Maret 2005.
105

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Achmad Mufid Murtadho

NIM : S20173084

Jurusan/Prodi : Hukum Islam/Hukum Tata Negara

Fakultas : Syariah

Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Pergeseran


Pemahaman Konstitusionalisme Dalam Ketatanegaraan Indonesia” adalah
hasil penelitian/karya sendiri, kecuali pada kutipan-kutipan yang dirujuk.

Jember, 01 Maret 2022


Saya yang menyatakan

Achmad Mufid Murtadho


NIM. S20173084
106

BIODATA PENELITI

A. BiodataDiri
1. Nama : Achmad Mufid Murtadho
2. NIM : S20173084
3. Tetala : Probolinggo,11 Januari 1999
4. Alamat : Dsn. Gerdu, RT.003 RW.003, Ds.
Karangren, Kec. Krejengan
5. Prodi : Hukum Tata Negara
6. Fakultas : Syariah
7.NomorHP 081333893064
B. Riwayat Pendidikan
1. SD Al-Irsyad
(2005-2011)
2. SMPN 1 KRAKSAAN (2011-2014)
3. SMAN 1 KRAKSAAN (2014-2017)
4. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember (2017-Sekarang)

C. Pengalaman Organisasi
1. Wakil Bidang Berbangsa dan Bernegara OSIS (2011-2012)
SMPN 1 KRAKSAAN
2. Ketua Bidang Bela Negara OSIS SMPN 1 KRAKSAAN (2013-
2014)
3. Anggota Bidang Keilmuan PMII Rayon Syariah
IAIN Jember (2019/2020)

D. Prestasi
1. Juara 1 PORKAB FUTSALL 2013
2. Juara 2 Futsall Feshara
3. Juara 2 Badminton Feshara

Anda mungkin juga menyukai