Anda di halaman 1dari 93

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH

DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

SKRIPSI

Murad Fadirah
NIM. 618110138

Program Studi Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM

MATARAM

2022
i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH


DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

Oleh:

Murad Fadirah
NIM.618110138

Menyetujui,
Pembimbing Pertama, Pembimbing Kedua

Dr. Siti Hasanah, S.H.,M.H Ady Supryadi, S.H.,M.H


NIDN. 0830096701 NIDN. 0803128501
ii

HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI

SKRIPSI INI TELAH DISEMINARKAN DAN DIUJI OLEH TIM PENGUJI


PADA : SENIN, 14 NOVEMBER 2022

Oleh:

DEWAN PENGUJI

Ketua,
Fitriani Amalia, S.H.,M.H :..........................................
NIDN. 0826058302

Anggota I,
Dr. Siti Hasanah, S.H.,M.H : ..........................................
NIDN. 0830096701

Anggota II,
Ady Supryadi, S.H.,M.H : ..........................................
NIDN. 0803128501

Mengetahui,

Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Mataram

Dekan,

Dr. Hilman Syahrial Haq, S.H.,L.LM


NIDN. 0822098301
iii

PERNYATAN KEASLIAN PENELITIAN

Dengan ini saya menyatakan:


1. Skripsi yang berjudul:

“Kedudukan Dan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Dalam

Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, merupakan hasil karya

tulis asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh

gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Mataram.

2. Semua sumber yang diperoleh dalam penulisan skripsi tersebut telah

dicantumkan sesuai ketentuan yang berlaku.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya tulis asli

atau jiplakan dari orang lain, maka Penulis menyatakan bersedia menerima

sanksi yang berlaku.

Mataram, Senin 19 September 2022


Yang bertanda tangan

Murad Fadirah
NIM. 618110138
iv

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,


Segala puji bagi Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan kasih
sayangNya kepada seluruh makhluk, lebih khusus kepada Penulis untuk
selesainya penyusunan Skripsi yang berjudul, “Kedudukan dan Kewenangan
Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”.
Sholawat beserta salam tercurahkan kepada baginda Nabi seluruh Umat,
Muhammad SAW, yang istqomah mengorbankan jiwa dan raga dalam membela
Agama Allah SWT.
Penulisan Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan
studi Strata 1 (S1) guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram. Melalui kesempatan ini, Penulis
menyampaikan terimakasih sebesarnya kepada:
1. Bapak Dr. Hilman Syahrial Haq, S.H.,L.LM selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Mataram yang telah banyak membantu dan
mempermudah akses mahasiswa dalam perkuliahan.
2. Ibu Dr. Siti Hasanah, S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing I (satu),
sekaligus Dewan Penguji I yang berkesempatan membimbing Penulis dalam
rangka menyempurnakan penyusunan Skripsi.
3. Bapak Ady Supryadi, S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing II (dua)
sekaligus Dewan Penguji II yang telah meluangkan waktu untuk
membimbing dan memberikan saran serta arahan yang konstruktif dari
Penulis dalam rangka menyempurnakan penyusunan Skripsi ini.
4. Ibu Fitriani Amalia, S.H.,M.H selaku Ketua Dewan Penguji yang telah
memberikan masukan, arahan dan kritikan yang konstruktif sehingga
Skripsi ini terselesaikan dengan sempurna.
5. Bapak Ibu Dosen di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram
yang telah mengajar dan mendidik Penulis sehingga membantu memperoleh
ilmu pengetahuan untuk menyempurnakan Skripsi ini.
v

6. Kedua orang tua tersayang (Bapak Afrah, Ibu Dewi Sartika) yang telah
mendidik Penulis dengan penuh cinta dan penuh pengorbanan sejak dalam
kandungan hingga menyekolahkan, sehingga Penulis bisa berjuang sampai
pada penyelesaian Skripsi ini. Beserta adik semata wayang (Ayu Wandira).
7. Kanda Taufan Abadi, S.H.,M.H, Kanda Satria Madisa, S.H, Muamar Adfal,
S.H, Muhamad Arif, S.H, Muhammad Nor, S.H dan Erwinsyah, M.pd
selaku senior yang selalu memotivasi Penulis dalam menyusun Skripsi.
8. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Muhammad
Darwis Cabang Mataram, Himpunan Mahasiswa Donggo Mataram
(HMDM), Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) Cabang Mataram yang
membantu Penulis dalam doa sehingga bisa menuntaskan Skripsi ini.
9. Anandi Riski, Fauzi Maha Adiyatma, Ashabul Sahid, Haryanto terimaksih
karena membersamai Penulis hingga menyelesaikan Skripsi ini.
10. Semua pihak yang telah memberikan dukungan, arahan dan saran dalam
menyelesaikan penyusunan Skripsi ini, Penulis mengucapkan banyak-
banyak terimakasih.

Mataram, 19 September

2022

Penyusun
vi

ABSTRAK

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH


DALAM SISTEM KETATANEGARAN REPUBLIK INDONESIA

Murad Fadirah
618110138

Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menganalisis kedudukan dan


kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif-empiris. Jenis dan sumber bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Analisis bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan metode analisis
deskripif. Pengaturan norma terkait kedudukan dan kewenangan DPD RI diatur
dalam ketentuan Pasal 22C dan 22D ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Pewakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kedudukan dan
kewenangan DPD RI secara fungsional masih terbatas, tidak sesuai dengan
gagasan awal pembentukannya sebagai kamar kedua dalam sistem perwakilan
Indonesia. Penguatan lembaga DPD RI dapat dilakukan melalui amandemen
kelima UUD Tahun 1945 dan revisi pasal-pasal terkait dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014.

Kata Kunci: Kedudukan DPD, Kewenangan DPD, Sistem Ketatanegaraan


vii

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING........................................................i


HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI DAN KETUA BAGIAN.......ii
PERNYATAN KEASLIAN PENELITIAN...........................................................iii
KATA PENGANTAR............................................................................................iv
ABSTRAK..............................................................................................................vi
DAFTAR ISI..........................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.....................................................................6
D. Ruang Lingkup Penelitian.............................................................................7
E. Orisinalitas Penelitian...................................................................................8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................10
A. Tinjauan Umum Tentang Kewenangan......................................................10
B. Tinjauan Umum Tentang Dewan Perwakilan Daerah................................12
C. Tinjauan Umum Sistem Ketatanegaraan.....................................................16
D. Tinjauan Umum Negara Hukum.................................................................31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN...........................................................37
A. Jenis Penelitian............................................................................................37
B. Pendekatan Penelitian.................................................................................37
C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum/Data........................................................38
D. Lokasi Penelitian.........................................................................................39
E. Teknik dan Alat Pengumpulan Bahan Hukum/Data...................................39
F. Analisis Bahan Hukum/Data.......................................................................40
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN....................................41
A. Kedudukan dan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia...............................41
1. Pembentukan dan Perkembangan Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia..................................................................................41
2. Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia..................................................................................45
3. Kedudukan dan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan.........................47
viii

B. Implementasi Hukum Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah


dalam Sistem Ketatanegaraan.................................................................59
1. Gambaran Umum Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia..................................................................................59
2. Pelaksanaan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia..................................................................................62
3. Pelaksanaan Fungsi Pengawasan (Controling) .......................................69
4. Pelaksanaan Fungsi Anggaran (Budgeting).............................................74
BAB V PENUTUP................................................................................................78
A. Kesimpulan.................................................................................................78
B. Saran............................................................................................................79
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................80
DAFTAR TABEL
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara kesatuan adalah bentuk negara merdeka dan berdaulat yang

wewenang tertingginya terletak pada badan pemerintahan pusat. Dengan kata

lain, penyelenggaraan kenegaraan pemerintah pusat tersebut memegang

kedaulatan penuh dalam bentuk kesatuan. Pada dasarnya pemerintah pusat

juga berwenang untuk memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah

berdasarkan hak otonomi untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah

secara mandiri. Namun, dalam penyelenggaraannya pemerintah daerah tetap

tunduk pada pemerintahan pusat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam

negara. Bentuk negara kesatuan ini banyak diterapkan diberbagai negara

belahan dunia diantaranya, Prancis, Jepang, Thailand, Belanda dan sebagainya

termasuk negara Indonesia.

Secara normatif, bentuk negara Indonesia telah diatur dalam ketentuan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

Pasal 1 ayat (1) yang menegaskan bahwa, “Negara Indonesia ialah Negara

Kesatuan yang berbentuk Republik”.1 Ketentuan ini mengandung arti bahwa

penyelenggaraan sistem pemerintahan di Indonesia dipimpin oleh seorang

Presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus merangkap sebagai kepala

negara.

1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2

Selain itu, Indonesia juga merupakan negara yang menganut sistem

demokrasi dengan kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat. Sebagaimana

dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) berbunyi; “Kedaulatan berada di

tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.2 Ketentuan

ini menggambarkan bahwa negara Indonesia menganut sistem pemerintahan

yang demokrasi. Sistem demokrasi di Indonesia dilaksanakan berdasarkan

asas trias politica (pembagian kekuasaan). Dalam hal ini pembagian

kekuasaan yang terbagi atas kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif guna

untuk tercapainya mekanisme chek and balances dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia. Dengan demikian masing-masing dari lembaga negara tersebut

menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya berdasarkan peraraturan

perundang-undangan.

Tuntutan reformasi telah memberi banyak dampak perubahan dalam

sistem ketatanegaraan Indonesia. Termasuk penyerahan sebagian kewenangan

terhadap daerah untuk lebih otonom dalam hal mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan di daerah masing-masing. Kewenangan otonom tersebut

diatur melalui Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B amandemen kedua UUD

1945.3 Perubahan undang-undang tersebut juga berimplikasi pada

kelembagaan negara dengan bertambahnya lembaga negara melalui

amandemen ketiga UUD 1945 yang diselenggarakan pada tahun 2001 sidang

tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Secara yuridis ketetapan

tersebut ditetapkan sebagai dasar terbentuknya lembaga baru dalam sistem

2
Ibid
3
Lihat, Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B UUD NRI 1945
3

perwakilan Indonesia yaitu Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

(DPD RI) sebagaimana tertuang dalam Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945

yang berbunyi:4

Pasal 22C: 1). “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap
provinsi melalui pemilihan umum.”
2.) Anggota Dewan Perwkilan Daerah dari setiap provinsi
jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan
Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
3.) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali
dalam setahun.
4.) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah
diatur dengan undang-undang.
Pasal 22D: “Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.”

Pembentukan lembaga baru ini merupakan hasil refleksi kritis terhadap

eksistensi utusan daerah dan utusan golongan yang mengisi formasi

keanggotaan pada lembaga MPR sebagai sistem keterwakilan daerah sebelum

reformasi. Hal demikian dilakukan dikarenakan mekanisme pengangkatan

utusan daerah dan utusan golongan dinilai tidak demokratis dan juga

mengaburkan sistem perwakilan yang semestinya diwujudkan dalam

kehidupan negara modern yang demokratis.5 Oleh karena itu kehadiran DPD

RI sebagai bagian yang mewakili daerah secara teritorial diupayakan untuk

memperjuangkan kepentingan wilayahnya secara utuh di tingkat nasional.

4
Andryan, “Dinamika Ketatanegaraan Rezim Reformasi”, Pustaka Prima, Medan, 2017, hlm
95.
5
Miki Pirmansyah, “Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Bikameral Di
Indonesia”, Jurnal Cita Hukum, Volume II No.1. Juni 2014, hlm 177-178.
4

Implementasi dari Pasal 22D UUD 1945 berkaitan dengan kedudukan

dan kewenangan DPD diatur lebih lanjut dalam ketentuan Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2014 sebagaimana telah dengan Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2019 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pelaksanaan kerangka fungsi representasi sebagai wakil daerah, DPD RI

mempunyai tiga (3) fungsi utama yakni fungsi legislasi, pengawasan dan

fungsi anggaran.6 Namun, dalam praktek kenegaraan DPD RI memiliki

kedudukan dan kewenangan yang sangat terbatas. Peran DPD RI dalam

menjalankan fungsi representasinya tidak dijamin oleh konstitusi dengan

pemberian kekuasaan dan kewenangan yang kuat. Jika ditelaah Pasal 22D

UUD 1945, DPD RI hanya dapat mengajukan usul Rancangan Undang-

Undang (RUU), ikut membahas dan memberikan pertimbangan kepada

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan batas-batas tertentu. Terlihat jelas

bahwa DPD sama sekali tidak memiliki wewenang pada tingkat pengambilan

keputusan terhadap RUU, karena secara tegas UUD 1945 hanya memberikan

kewenangan bagi DPR dan Presiden sebagai lembaga yang berhak

memutuskan RUU menjadi undang-undang.7

Keikutsertaan DPD RI pada pembahasan RUU yang diusulkannya

terbatas hanya pada pembicaraan tingkat I sebagaimana diatur dalam Pasal 65

ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

6
Pasal 4 ayat (1), Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2022 tentang Tata Tertib.
7
Salmon E.M. Nirahua, ”Kedudukan dan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Hukum, No.4 Vol. 18 Oktober 2011, hlm 588.
5

Peraturan Perundang-undangan. Walaupun demikian, kewenangan dalam

memberikan pertimbangan pada pembicaraan tingkat I hanya diperbolehkan

sepanjang RUU yang dibahas berkaitan dengan kewenangannya. Untuk

menyampaikan pandangan pada pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah

(DIM) berdasarkan Pasal 68 ayat (1) huruf b; dijelaskan bahwa DPD hanya

dapat memberikan usul jika RUU yang dibahas dalam DIM berkorelasi

dengan kewenangannya. Kelemahan lainnya juga nampak ketika DPD RI

tidak ikut serta menyampaikan pendapat mini dipembicaraan tingkat I, maka

rapat akan tetap dilaksanakan.8 Selain itu, yang lebih menunjukan kelemahan

pada bidang fungsi legislasi DPD RI adalah tidak mempunyai kewenangan

untuk terlibat dalam tahap pengambilan keputusan.9 Padahal seharusnya jika

ditinjau dari kedudukanya pada badan legislasi antara DPD dan DPR memiliki

kedudukan yang sederajat sebagai state main organ (lembaga utama negara).10

Namun menjadi timpang karena kedudukan dan fungsi DPD seakan-akan

subordinat terhadap DPR, apalagi dalam beberapa ketentuan undang-undang,

DPD memiliki fungsi yang sangat terbatas dalam hal membuat undang-undang

(rule making).11 Akibatnya, berpengaruh pada kehilangan aspirasi-aspirasi

daerah dalam mendapatkan kesempatan untuk terlibat pada proses penting

yang menentukan hajat hidup orang banyak, khususnya di daerah.

8
Lihat Pasal 68 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (UU P3)
9
Adrian Fiski Oday, “Tinjauan Yuridis Kedudukan dan Kewenangan Dewan Perwakilan
Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, Lex Administratum, Vol. I. No. 2
April-Juni 2013.
10
Hezron Sabar Rotua Tinambunan dan Dicky Eko Prasetio, “Rekonstruksi Konstitusi dalam
Regional Representative Dewan Perwakilan Daerah terhadap Fungsi Legislatif”, Masalah-
Masalah Hukum, Jilid 48 No.3, Juli 2019, hlm 266-274.
11
Ibid.
6

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, Penulis bermaksud untuk

melakukan penelitian melalui Skripsi berjudul, “Kedudukan dan Kewenangan

Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik

Indonesia.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat disusun rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Kedudukan dan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah

dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia?

2. Bagaimana Implementasi Hukum Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah

dalam Sistem Ketatanegaraan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai melalui Penulisan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan dan kewenangan

Dewan Perwakilan Daerah dalam sistem ketatanegaraan Republik

Indonesia

b. Untuk mengetahui dan menganalisis Implementasi Hukum

kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dalam

sistem ketatanegaraan.

2. Manfaat Penelitian
7

Adapun manfaat dari penelitian penulisan hukum ini adalah sebagai

berikut:

a. Manfaat Akademis

Manfaat secara akademis dari hasil penelitian ini untuk melengkapi

persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana (S1) Ilmu Hukum di

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram.

b. Manfaat Teoritis

Hasil Penulisan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran yang berfaedah bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan

ilmu Hukum Tata Negara pada khususnya.

c. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari hasil Penulisan penelitian ini diharapkan

memperluas wawasan mengenai kedudukan dan kewenangan lembaga

negara dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian dalam Skripsi ini adalah mengkaji dan

menganalisis kedudukan dan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam

sistem ketatanegaraan Republik Indonesia serta menganalisis implementasi

hukum kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam sistem ketatanegaraan.

Dalam penelitian ini, Penulis akan meneliti kewenangan Dewan Perwakilan

Daerah dari beberapa aspek, yakni fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan

fungsi anggaran.
8

E. Orisinalitas Penelitian

Adapun penelitan sebelumnya yang dijadikan landasan, yaitu hasil

penelitan yang dilakukan oleh:

NO NAMA JUDUL PERSAMAAN PERBEDAAN

1. Arfandy Ranriady, Implikasi Hukum Persamaan Perbedaan


2014, Skripsi, Terhadap penelitian ini penelitian ini
Fakultas Hukum Kewenangan dan dengan Penulis dengan Penulis
Universitas Kedudukan Dewan adalah sama-sama terdapat pada
Hasanuddin Perwakilan Daerah meneliti terkait rumusan masalah
Makassar. Republik Indonesia kedudukan dan yang menganalisis
Pasca Putusan kewenangan Dewan hubungan Dewan
Mahkamah Perwakilan Daerah. Perwakilan Daerah
Konstitusi Nomor dengan Dewan
92/PUU/X/2012) Perwakilan Rakyat,
dan metodologi
penelitian yang
digunakan dalam
penelitian ini
adalah pendekatan
yuridis normatif.
2. Azuan Helmi, 2018, Kewenangan Dewan Sama-sama Penelitian ini
Skripsi, Fakultas Perwakilan Daerah mengkaji dan menganalisis
Hukum Universitas Republik Indonesia menganalisis kewenangan DPD
Muhammadiyah dalam Fungsi kewenangan Dewan sebelum
Sumatera Utara. Legislasi (Analisis Perwakilan Daerah dikeluarkan
Putusan Mahkamah Republik Indonesia Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor: dalam fungsi Konstitusi Nomor:
79/PUU-XII/2014) legislasi. 79/PUU-XII/2014)
dan kewenangan
DPD pasca putusan
Mahakmah
Konstitusi Nomor:
79/PUU-XII/2014)
3. Salmon E. M. Kedudukan dan Penelitian ini Penelitian ini hanya
Nirahua, 2011, Kewenangan Dewan menganalisis menggunakan
Jurnal, Fakultas Perwakilan Daerah kewenangan metode penelitian
Hukum Universitas dalam Sistem konstitusional DPD hukum normatif
Pattimura Ketatanegaraan dalam sistem yang mengkaji
Indonesia ketatanegaraan. ketentuan-
ketentuan hukum
positif dengan
menggunakan
9

pendekatan
peraturan
perundang-
undangan dan
pendekatan
konseptual terkait
kedudukan dan
kewenangan
konstitusional DPD
RI dalam sistem
ketatanegaraan.
10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Kewenangan

1. Pengertian Kewenangan

Kewenangan adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah

orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapainya

tujuan tertentu. Istilah kewenangan sering dikaitkan dengan kekuasaan,

tetapi dalam perspektif Hukum Tata Negara, para ahli Hukum Tata Negara

biasa menggunakan istilah wewenang. Wewenang dalam bahasa Inggris

disebut authority atau dalam bahasa Belanda bovedegheid. Wewenang juga

mengandung arti kekuasaan yang sah atau legitimasi.

Menurut H.D. Stout, wewenang dapat dijelaskan sebagai

keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan

penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam

hubungan publik. Sementara Nicolai berpandangan bahwa kewenangan

berarti kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu. Tindakan

hukum yang dimaksud adalah upaya menimbulkan akibat hukum, mencakup

timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu. 12 Beberapa pendapat yang

dikemukakan diatas pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang prinsip

pada wilayah pengertian “kekuasaan” dan “kewenangan”. Kekuasaan hanya

menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat. Sementara dalam

istilah hukum, kewenangan memiliki arti sebagai hak sekaligus wewenang.

12
Lukman Hakim, “Kewenangan Organ Negara dalam Penyelenggaraan Pemerintahan”,
Jurnal Konstitusi, Vol. IV, No.1, Juni 2011, hlm 117.
11

Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian

kekuasaan untuk mengatur dan mengelola sendiri urusan pemerintahan di

daerah. Sedangkan kewajiban secara horizontal, berarti kekuasaan untuk

menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinnya dan secara

vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan satu tertib

ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.13

2. Sumber Kewenangan

Setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus

memiliki legitimasi atau kewenangan yang diberikan melalui peraturan

perundang-undangan. Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari

peraturan perundang-undangan diperoleh melalui tiga cara, yaitu atribusi,

delegasi dan mandat. Menurut Indroharto, bahwa kewenangan atribusi

terjadi atas pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu

ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau

diciptakan suatu wewenang baru. Lebih lanjut disebutkan bahwa legislator

yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintah

dibedakan antara:14

1) Yang berkedudukan sebagai original legislator; dalam negara


kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi
dan DPR bersama-sama dengan pemerintah sebagai yang
melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat daerah adalah
DPRD dan Pemda yang melahirkan Peraturan Daerah (Perda).
2) Yang bertindak sebagai delegated legislator; seperti presiden
yang berdasarkan pada suatu ketentuan undang-undang
mengeluarkan peraturan pemerintah kepada badan atau jabatan
tata usaha negara tertentu.

13
Ridwan HR, “Hukum Administrasi Negara”, Raja Grafindo Persada, 2006, hlm 102.
14
Ibid, hlm 104.
12

Pada delegasi terjadi pelimpahan kewenangan yang telah ada oleh

badan atau jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh wewenang

pemerintah secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha negara

lainnya.

B. Tinjauan Umum Tentang Dewan Perwakilan Daerah

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) adalah lembaga

perwakilan daerah yang mewakili kepentingan daerah provinsi asal pemilihan

anggotanya. Namun pada hakikatnya, yang dimaksud dengan daerah itu

bukanlah pemerintah daerah, tetapi rakyat pemilih dari daerah provinsi yang

bersangkutan. Artinya, DPD RI dan DPR pada dasarnya sama-sama lembaga

perwakilan rakyat yang dipilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Namun

terdapat perbedaan antara kedua lembaga tersebut yakni, anggota DPR dipilih

melalui pemilu dengan melibatkan peranan partai politik, sementara anggota

DPD dipilih secara perorangan tanpa peranan partai politik.15

Pada dasarnya pembentukan DPD RI bertujuan untuk mereformasi

sistem parlemen di Indonesia menjadi dua kamar (bicameral) yakni DPR dan

DPD. Melalui sistem bicameral ini dikehendaki agar proses legislasi dapat

dilaksanakan berdasarkan sistem double-check yang memungkinkan

keterwakilan aspirasi rakyat secara relatif disalurkan dengan basis sosial yang

lebih luas.16 Dengan demikian, dibentuknya DPD dimaksudkan sebagai

15
Jimly Asshiddiqie, “Pokok-pokok Hukum Tata Negara”, Buana Ilmu Populer, Jakarta
2007, hlm 189.
16
Ibid.
13

regional representation yang berbeda dengan DPR sebagai political

representation.

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi pembentukan lembaga DPD

RI, antara lain:17

a) Memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan


Republik Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh
daerah;
b) Meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi serta kepentingan
daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan
negara dan daerah;
c) Mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan
daerah secara serasi dan seimbang,

Menurut pendapat Bagir Manan,18 ada beberapa gagasan dibalik

pembentukan lembaga DPD RI yaitu:

a) Mengubah sistem perwakilan menjadi dua kamar (bicameral). DPR


dan DPD digambarkan serupa dengan sistem perwakilan di Amerika
Serikat yang terdiri dari senate sebagai perwakilan dari Negara bagian
(DPD), dan House of Representative sebagai perwakilan seluruh
rakyat (DPR).
b) Untuk meningkatkan keterlibatan daerah terhadap perumusan
kebijakan dan pengelolaan negara. Karena DPD merupakan badan
sehari-hari yang ikut serta menentukan dan mengawasi jalannya
politik dan pengelolaan negara. Dengan demikian, DPD dapat
dipandang sebagai koreksi atau penyempurnaan atas sistem utusan
daerah sebelum amandemen UUD 1945.

Kedudukan dan kewenangan DPD RI telah diatur dalam ketentuan UUD

1945 Pasal 22C dan secara khusus termuat dalam Pasal 22D. Ketentuan lebih

lanjut diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2019 perubahan ketiga

atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan

17
Hernadi Affandi, “Problematika Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah dalam
Hegemoni Dewan Perwakilan Rakyat”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 No.1 Tahun
2014, hlm 138.
18
Ibid
14

Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu, diatur pula secara spesifik dalam

ketentuan Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Nomor 1 Tahun 2022 tentang

Tata Tertib.

Dilihat dari kedudukan dan kewenangan DPD RI sebagaimana termuat

dalam beberapa aturan tersebut, eksistensinya masih sangat terbatas karena

hanya menyangkut masalah-masalah kedaerahan, sehingga peranannya sebagai

badan perwakilan negara nampak seolah-olah subordinat dari DPR RI. Bahkan

dalam ketentuan UUD 1945 dewasa ini tidak memuat secara jelas terkait

kewenangan DPD RI dalam membentuk undan-undang.

Menurut Jimly Asshiddiqie,19 kedudukan DPD RI hampir sama dengan

Dewan Pertimbangan Agung (DPA) di masa lalu. Hanya bedanya, DPA

memberikan pertimbangan kepada presiden, sedangkan DPD memberikan

pertimbangan kepada DPR. Dari segi kewenangannya yang lemah tersebut

dapat pahami bahwa DPD hanya bersifat penunjang atau auxiliary terhadap

fungsi DPR, sehingga paling jauh hanya dapat disebut sebagai “co-legislator”

daripada “legislator” yang sepenuhnya. Jadi istilah co-legislator itu sendiri

menunjukan kedudukannya yang lemah dalam fungsi legislasi, karena sifatnya

hanya penunjang.

Kewenangan DPD RI telah dijelaskan dalam ketentuan Pasal 22D UUD

1945. Beberapa kewenanganya adalah sebagai berikut:

1) DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang


berkaitan dengan;
a) Ototnomi daerah,
b) Hubungan pusat dan daerah,
c) Pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
19
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hlm 190.
15

d) Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,


e) Yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

2) DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan;


a) Otonomi daerah
b) Hubungan pusat dan daerah
c) Pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah
d) Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya
e) Perimbangan keuangan pusat dan daerah
f) Memberikan pertimbangan kepada DPR atas;
g) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara
h) Rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak
i) Rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pendidikan
j) Rancangan undang-undang yang berkaitan dengan agama

3) DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang


mengenai;
a) Otonomi daerah
b) Pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah
c) Hubungan pusat dan daerah
d) Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya
e) Pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara;
f) Pajak,
g) Pendidikan,
h) Agama,

Jika dilihat ketentuan norma diatas, nampaknya kewenangan DPD RI

tidaklah sama dengan kewenangan yang dimiliki DPR. Secara normatif,

kewenangan DPR untuk membentuk undang-undang telah dijamin oleh

konstitusi. Menurut Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dijelaskan bahwa “Dewan

Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.

Ketentuan ini menunjukan kewenangan penuh DPR dalam membentuk suatu

rancangan undang-undang dengan kekuasaan yang utuh dan jelas. Namun

berbeda dengan lembaga DPD yang tidak memiliki kewenangan secara utuh

dijamin oleh konstitusi dalam melaksanakan fungsi legislasi.


16

Oleh karenanya, dalam kasus yang terjadi pada lembaga DPD RI ini

dapat dikatakan adanya kegagalan pada amandemen konstitusi khususnya

perubahan ketiga UUD 1945 pada Pasal 22, karena pada akhirnya pengaturan

mengenai kelembagaan DPD RI tidak jelas terutama pengaturan terhadap hak

dan kewenangan DPD itu sendiri.20

C. Tinjauan Umum Sistem Ketatanegaraan

1. Pembagian Kekuasaan Negara

Teori pembagian kekuasaan nagara merupakan sebuah konsep

dimana kekuasaan dalam negara sebaiknya tidak diserahkan hanya kepada

satu orang atau badan saja.21 Konsep mengenai pembatasan kekuasaan ini

sangat berkaitan erat dengan ide pemisahan kekuasaan. Pada umumnya

konsep awal mengenai pemisahan kekuasaan dikemukakan oleh Jhon Locke

dalam tulisannya, Second of Civil Government (1690) yang berpendapat

bahwa “kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang

sendiri oleh mereka yang menerapkannya”.22 Lahirnya gagasan tersebut

merupakan reaksi atas kondisi-kondisi yang sangat buruk pada saat

kekuasaan absolut raja mencengkram masyarakat Eropa pada abad

pertengahan, terutama pada 2 (dua) negara besar di Eropa, yakni Prancis dan

Inggris, yang merupakan tanah air dari pemikir-pemikir besar dengan

merumuskan gagasan pemisahan kekuasaan.23


20
Putri Noor Ilham dan Deny Prihatmadja, “Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Lex Jurnalica Vol.5 No.2 April 2008, hlm 73.
21
https://nasional.kompas.com, “Pembagian Kekuasaan Menurut Jhon Locke dan
Montesquieu”, diakses pada 24 Maret 2022, pukul 18.15.
22
Jimly Asshiddiqie, “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara”, Rajawali Pers, cet.6. Jakarta,
Februari 2014, hlm 284-285.
23
Mexsasai Indra, “Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia”, Refika Aditama, Cet.1, Juni
2011, hlm 35.
17

Konsep pemikiran ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh

Baron de Montesquieu melalui karyanya dalam buku L’ esprit Des Loi (The

Spirit of Laws). Menurut Montesquieu kekuasaan pemerintahan dibagi

dalam tiga cabang, yakni kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dari

ketiga cabang kekuasaan tersebut haruslah terpisah baik tugas, fungsi

maupun organ yang menyelenggarakannya. Karena dikemukakan olehnya

bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin jika ketiga fungsi tersebut tidak

dipegang oleh satu orang atau badan.24 Dan melalui gagasan pemisahan

kekuasaan masyarakat dapat memperoleh kemerdekaan individu terhadap

tindakan sewenang-wenang dari penguasa.

Sementara itu Miriam Budiardjo,25 berpendapat bahwa pembagian

kekuasaan dilakukan dengan dua cara: Pertama, secara vertikal yaitu

pembagian kekuasaan menurut tingkatannya dan dalam hal ini yang

dimaksud adalah pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat

pemerintahan. Kedua, secara horizontal yaitu pembagian kekuasaan

menurut fungsinya. Pembagian ini menunjukan pembedaan antara fungsi-

fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif yang

lebih dikenal sebagai trias politica.

Ajaran pembagian kekuasaan yang dikemukakan diatas juga dianut

oleh Indonesia. Berdasarkan ketentuan UUD 1945, pembagian kekuasaan

negara secara horizontal dilakukan pada tingkatan pemerintahan pusat dan

pemerintahan daerah. Pembagian kekuasaan pada tingkatan pemerintahan


24
Ibid, hlm 38-39.
25
Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
2002, hlm 138.
18

pusat berlangsung antara lembaga-lembaga negara sederajat, yaitu

kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif.

Sementara pembagian kekuasaan menurut tingkatannya merupakan

pembagian kekuasaan negara berdasarkan beberapa tingkatan pemerintahan.

Sebagaimana dijelaskan dalam rumusan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945

menyatakan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas

daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kebupaten dan

kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai daerah,

yang diatur dengan undang-undang.” Sehingga pembagian kekuasaan secara

vertikal di negara Indonesia berlangsung antara pemerintahan pusat dan

pemerintahan daerah.26

Dari pengaturan dan pembatasan kekuasaan ini kemudian menjadi

dasar pemikiran konstitusionalisme sekaligus tugas utama konstitusi.

Melalui pembatasan kekuasaan demikian memungkinkan tindakan

kesewenangan kekuasaan dapat dikendalikan dan diminimalisir. Karena

otorisasi kekuasaan yang tidak dikendalikan menurut hukum dapat saja

menjadi malapetaka bagi suatu negara. Dan moralitas kekuasaan tidak hanya

diberikan pada niat tetapi juga mesti diatur dan dibatasi dengan konstitusi

negara. Oleh karena demikian independensi dari masing-masing cabang

kekuasaan negara dapat terjamin sebaik-baiknya.

2. Konsep Negara Demokrasi

26
https://edukasi.okezone.com, “Bagaimana Mekanisme Pembagian Kekuasaan yang
Dilaksanakan di Indonesia”, diakses pada 9 Juni 2022 pukul 21.49 Wita.
19

Secara etimologis, demokrasi berarti pemerintahan yang dijalankan

oleh rakyat (demos berati rakyat, kratos berarti pemerintahan). Demokrasi

merupakan bentuk dimana hak-hak untuk membuat keputusan-keputusan

politik dijalankan langsung oleh warga negara yang diimplementasikan

melalui prosedur pemerintahan mayoritas, yang biasa dikenal dengan istilah

demokrasi langsung. Menurut C.F. Strong, demokrasi merupakan sistem

pemerintahan dimana mayoritas rakyat berusia dewasa turut serta dalam

politik berdasar pada sistem perwakilan, yang kemudian menjamin

pemerintahan yang bertanggungjawab setiap tindakan dan keputusannya.27

Kemudian Montesquie menerjemahkan konsep negara demokrasi melalui

kekuasaan yang terbagi dan dilaksanakan oleh lembaga yang terpisah satu

sama lainnya, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dan masing-masing

organ negara tersebut berdiri sendiri secara independen tanpa harus

mengintervensi institusi yang lainnya.28

Konsep demokrasi tersebut, dijelaskan sebagai bentuk pemerintahan

dimana warga negara menggunakan hak yang sama melalui lembaga

perwakilan, atau sering dikenal dengan istilah demokrasi parlementer. 29

Sistem demokrasi mencakupi kondisi sosial, ekonomi dan budaya yang

menjamin praktek kebebasan politik rakyat yang bebas dan sederajat.

Sistem demokrasi mengandung arti penghargaan atas derajat dan martabat

27
https://www.gramedia.com, “Pengertian Demokrasi: Sejarah, Ciri, Tujuan, Macam, dan
Prinsip”, diakses pada 3 April 2022, pukul 14.19.
28
Ibid
29
Ellya Rosana, “Negara Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”, Jurnal TAPIs. Vol.12. No.1
Januari-Juni 2016, hlm 45.
20

manusia.30 Uraian mengenai konsep demokrasi tersebut menunjukan bahwa

keputusan dan kebijakan tertinggi dalam penyelenggaraan kenegaraan

berada ditangan rakyat. Artinya, rakyat menyandang kekuasaan sebagai

penentu arah kebijakan dalam penyelenggaraan negara.

Perkembangan konsep demokrasi pada hakikatnya memuat beberapa

asas dan nilai yang telah diwariskan, yaitu gagasan mengenai demokrasi

dari kebudayaan Yunani Kuno dan gagasan mengenai kebebasan beragama

yang diperoleh aliran reformasi serta perang-perang agama. Pada abad ke-6

M, sistem demokrasi mulai diterapkan oleh negara-negara (city-state)

Yunani Kuno dengan sistem demokrasi langsung (direct democracy).

Sistem demokrasi langsung merupakan suatu bentuk pemerintahan negara

dimana hak untuk merumuskan kebijakan-kebijakan politik yang laksanakan

secara langsung oleh seluruh warga negara dengan berlandaskan prosedur

mayoritas. Sifat sistem demokrasi langsung dari Yunani dijalankan secara

efektif karena keadaan kehidupan masyarakat yang sederhana dengan

wilayah yang terbatas, serta kuantitas penduduk yang kecil.31

Sistem demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang baik dan

banyak diterapkan sepanjang sejarahh. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh UNESCO pada tahun 1949 menyatakan bahwa, “demokrasi

dinyatakan sebagai nama dan sistem paling baik untuk semua sistem

organisasi politik dan sosial yang ada”. 32 Demokrasi menghendaki

30
Gunawan Sumodiningrat dan Ary Ginanjar Agustian, “Mencintai Bangsa dan Negara
Pegangan Dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara di Indonesia”, PT. Sarana Komunikasi Utama,
Bogor 2008, hlm 44.
31
Miriam Budiardjo, Op. Ci, hlm 54.
32
Ibid, hlm 50.
21

keharusan adanya kebebasan berfikir dan berkeyakinan, kebebasan ilmiah,

kebebasan mengeluarkan pendapat, rule of law, serta persamaan di muka

hukum (equality before the law). Dengan demikian, demokrasi menjadi

sistem yang banyak dianut oleh negara-negara di dunia karena dianggap

sebagai salah satu sistem paling baik.

Praktik pelaksanaan sistem demokrasi dibedakan menjadi tiga

bagian yaitu:33

1) Demokrasi langsung, merupakan sistem politik yang memberikan


hak kepada rakyat secara langsung (tanpa melalui wakil-wakilnya).
Demokrasi langsung dilaksanakan melalui pemilu, pemilihan
presiden dan pelaksanaan referendum. Kedaulatan rakyat dijamin
setiap waktu melalui pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat,
kebebasan pers dan kebebasan informasi.
2) Demokrasi perwakilan (parlementer) atau demokrasi tidak
langsung, merupakan sistem politik yang menjamin hak kepada
rakyat melalui wakil-wakilnya yang tergabung dalam anggota
lembaga perwakilan rakyat.
3) Demokrasi perwakilan dengan sistem referendum, yakni gabungan
antara demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Sistem ini
menjamin hak rakyat untuk memilih wakil rakyat yang tergabung
dalam lembaga perwakilan, namun perwakilan tersebut tetap
dibawah kontrol rakyat dengan sistem referendum.

3. Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan merupakan gabungan dari dua istilah, sistem

dan pemerintahan. Sistem adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa

bagian yang memiliki hubungan fungsional, baik antara bagian-bagian

maupun hubungan terhadap keseluruhan fungsionalnya, sehingga hubungan

itu saling terintegrasi dengan bagian-bagian lainnya, akibatnya jika salah

satu dari bagian tidak bekerja secara optimal akan mempengaruhi

33
Sulardi, ”Menuju Sistem Pemerintahan Presidensil Murni”, Setara Press, Malang 2012,
hlm 30.
22

keseluruhan organ. Sementara pemerintahan dalam arti luas adalah segala

urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan

rakyatnya dan kepentingan negara sendiri.34 Menurut Bagir Manan,

pemerintahan dimaknai sebagai keseluruhan lingkungan jabatan dalam suatu

organisasi. Dalam organisasi negara, pemerintahan sebagai lingkungan

jabatan adalah alat-alat kelengkapan negara dan jabatan suprastruktur

lainnya.35 Dengan demikian, sistem pemerintahan menjadi hal yang

mendasar dalam sebuah negara dan dapat dikatakan instrumen yang akan

menentukan bagaimana arah sebuah negara berjalan.

Sistem pemerintahan juga diartikan juga sebagai suatu struktur yang

terdiri dari fungsi-fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif yang saling

berhubungan, bekerjasama dan mempengaruhi satu sama lain. Menurut

Bintan R. Saragih, bahwa sistem pemerintahan merupakan keseluruhan dari

tatanan lembaga-lembaga negara yang saling berkaitan satu dengan lainnya

baik secara langsung maupun tidak langsung berdasarkan rencana atau pola

tertentu untuk mencapai tujuan negara.36 Jimly Ashiddiqqie mengemukakan

sistem pemerintahan berkaitan dengan peristilahan regeringsdaad, yaitu

penyelenggaraan pemerintahan eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi

legislatif.37 Dengan demikian, sistem pemerintahan mensyaratkan adanya

34
Rahman Mulyawan, “Sistem Pemerintahan Indonesia”, Unpad Press, Cet.I, Bandung,
April 2015, hlm 59.
35
Mexsasai Indra, Op. Cit, hlm 121.
36
Bintan R. Saragih, “Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia”, Perintis
Pres, Cet.I. Jakarta 1985, hlm 77.
37
Jimly Asshiddiqie, “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia”, Buana Ilmu Populer,
Jakarta 2007, hlm 311.
23

interaksi antara organ kenegaraan, yakni fungsi legislatif, eksekutif dan

lembaga lainnya dalam mencapai tujuan negara.

Dari berbagai literatur hukum tata negara dan ilmu politik, berkaitan

dengan sistem pemerintahan yang secara garis besar terdapat beberapa

varian sistem pemerintahan, yakni sistem presidensial dan sistem

parlementer. Selain itu Sri Soemantri, menyebutkan sistem ketiga yakni

pemerintahan quasi. Sistem pemerintahan quasi diartikan sebagai sistem

yang memuat unsur-unsur dalam sistem presidensiil maupun yang terdapat

dalam sistem parlementer.38

a. Sistem Presidensiil

Sistem presidensiil merupakan sistem pemerintahan yang terpusat

pada kekuasaan presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala

Negara.39 Kedudukan presiden dalam negara yang menganut sistem

pemerintahan presidensiil tidak mempunyai jabatan eksekutif diluar

presiden.40 Oleh karena itu, dalam sistem republik yang demokratis,

kedudukan presiden selalu dibatasi oleh konstitusi, dan pengisian jabatan

presiden itu biasa dilakukan melalui prosedur pemilihan. Namun dalam

praktik, banyak juga Negara yang dikenal tidak demokratis, melainkan

dipimpin oleh para diktator yang berkuasa mutlak dan sulit untuk

diganti.41 Agar terhindar dari kekuasaan diktatorianisme, maka

diperlukan mekanisme check and balances antar lembaga tinggi negara.

38
Cora Elly Novianti, “Demokrasi dan Sistem Pemerintahan”, Jurnal Konstitusi, Volume 10,
No.2 Juni 2013, hlm 341.
39
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hlm 311.
40
Ibid
41
Ibid
24

Perkembangan sistem presidensiil memiliki sejarah yang cukup

panjang. Berawal dari lahirnya negara baru Amerika Serikat yang

menjadi buah dari perjuangan rakyat koloni Inggris di benua Amerika

untuk lepas dari pusat kekuasaan kerajaan Inggris dan memilih

membentuk pemerintahan sendiri. Kehendak untuk memisahkan diri dari

negara induk tersebut memicu terjadinya peperangan panjang dan

melelahkan dengan Inggris (1775-1783). Rakyat koloni yang

memenangkan peperangan menyatakan dirinya merdeka sebagai bangsa

Amerika.

Pada dasarnya sistem pemerintahan presidensiil sangat

mencirikan pemisahan kekuasaan menurut teori Montesquieu, yaitu

memisahkan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif yang tidak

ditemukan dalam sistem pemerintahan parlementer, setidaknya dalam

fungsi legislasi antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. 42 Pemisahaan

kekuasaan yang dimaksud memiliki arti bahwa, pemerintahan eksekutif

oleh suatu lembaga atau badan tertentu tidak bertanggungjawab kepada

lembaga perwakilan rakyat. Karena berdasarkan gagasan trias politica

Montesquieu lembaga parlemen memegang kekuasaan legislatif bertugas

membentuk aturan hukum.

Sistem pemerintahan presidensiil tercatat memiliki beberapa ciri-

ciri yang menjadi kekhasan dalam implementasinya, diantaranya

pertama, kepala negara juga sekaligus menjadi kepala pemerintahan,

42
Www.hukumonline.com, “Ciri-ciri Sistem Pemerintahan Presidensial dan Parlementer”,
diakses pada Selasa 10 Mei 2022 Pukul 01.17 Wita.
25

kedua, pemerintah tidak bertanggung jawap kepada parlemen, ketiga,

menteri-menteri diangkat dan bertanggung jawab terhadap presiden,

keempat, posisi eksekutif dan legislatif sama-sama kuat. Menurut Bagir

Manan, sistem presidensiil dapat diartikan sebagai subsistem dari

pemerintahan republik. Hal tersebut dikarenakan sistem presidensi hanya

dapat dijalankan pada negara yang berbentuk republik.43 Ada beberapa

prinsip pokok dalam sistem pemerintahan presidensiil, yaitu:

a) Terdapat pemisahan yang jelas antara kekuasaan eksekutif dan


legislatif, presiden merupakan eksekutif tunggal dan eksekutif
tidak terbagi.
b) Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara,
c) Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu yang
bertanggungjawab kepada presiden,
d) Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif
dan sebaliknya,
e) Presiden tidak dapat membubarkan parlemen dan,
f) Pemerintah bertanggungjawab kepada rakyat.

Menurut Mahfud MD,44 sistem pemerintahan presidensiil dapat

dicatat dengan adanya prinsip-prinsip pokok, yaitu:

a) Kepala negara menjadi kepala pemerintahan (eksekutif).


b) Pemerintah tidak bertanggungjawab kepada parlemen
(legislatif). pemerintah dan parlemen memiliki kedudukan
yang sejajar.
c) Menteri-menteri bertanggungjawab kepada presiden.
d) Eksekutif dan legislatif sama-sama kuat.

Saldi Isra,45 dalam bukunya pernah menulis terkait pendapat dari

Paul Christoper Manuel dan Anne M Camissa yang menyebutkan salah

satu karakter mendasar dari sistem presidensial adalah adanya pemisahan

43
Cora Elly Novianti, Op. Cit, hlm 342.
44
Mexsasai, Op. Cit, hlm 128.
45
Yuliandri dan Ari Wirya Dinata, “Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam
Sistem Presidensial Di Indonesia”, Jurnal Majelis, Edisi 01, Januari 2019, hlm 41.
26

legislatif dan kekuasaan eksekutif dalam fungsi legislasi. Dengan

pemisahan demikian dalam sistem presidensial badan legislatif

menentukan kewenangannya sendiri, membahas dan menyetujui

rancangan undang-undang pun sendiri tanpa intervensi lembaga lainnya.

b. Sistem Parlementer

Sistem pemerintahan parlementer merupakan sistem yang banyak

diterapkan oleh negara-negara di belahan dunia. Penerapan sistem ini,

parlemen memiliki kekuasaan yang besar dan memiliki kewenangan

mengangkat perdana menteri sekaligus dapat menjatuhkan pemerintahan

dengan mengeluarkan mosi tidak percaya. Berbeda dengan sistem

presidensiil, jabatan kepala pemerintahan dan kepala negara dalam sistem

parlementer dipisahkan. Oleh C.F. Strong,46 kepala negara disebut

sebagai nominal executive, dan kepala pemerintahan disebut real

executive. Jabatan kepala pemerintahan diduduki oleh perdana menteri

(prime minister, kanselir) sementara kepala negara diduduki oleh raja,

ratu, kaisar atau presiden. Beberapa negara yang menerapkan sistem

pemerintahan parlementer diantaranya yakni, Republik Federasi Jerman,

Republik India, Republik Singapura, dan Kerajaan Thailand.

Pada prinsipnya sistem parlementer lebih manitikberatkan pada

hubungan antara organ negara pemegang kekuasaan eksekutif dan

legislatif. Secara historis, sistem ini merupakan sisa-sisa peninggalan

sistem Monarki, karena kepala negara mempunyai kedudukan yang tidak

46
Tundjung Herning Sitabuana, “Hukum Tata Negara Indonesia”, Konpress Cet.I, Jakarta,
Maret 2020, hlm 98.
27

dapat diganggu gugat. Namun, pada sistem parlementer baik pemerintah

maupun parlemen dapat saling membubarkan. Pemerintah dapat

dibubarkan oleh parlemen apabila tidak mendapat dukungan mayoritas

dari anggota parlemen, sebaliknya parlemen dapat dibubarkan oleh

pemerintah melalui kepala negara apabila dianggap tidak lagi

mencerminkan aspirasi rakyat.47

Sistem pemerintahan parlementer memiliki beberapa karakteristik

diantaranya, pertama, peran kepala negara hanya bersifat simbolis dan

seremonial serat memiliki pengaruh politik yang terbatas, sekalipun

kepala negara itu seorang presiden, kedua, cabang kekuasaan eksekutif

dipimpin seorang perdana menteri atau kanselir yang dibantu oleh

kabinet yang dapat dipilih dan diberhentikan oleh parlemen, ketiga,

parlemen dipilih melalui pemilu yang waktunya bervariasi, dimana

ditentukan oleh kepala negara berdasarkan masukan dari perdana menteri

atau kanselir.48 Untuk mendalami karakteristik sistem parlementer, tidak

cukup jika hanya memperhatikan parlemen sebagai obyek utama yang

diperebutkan. Menurut Djokosoetomo, sistem parlementer merupakan

sistem dimana menteri bertanggungjawab kepada parlemen, ditambah

dengan overwich (kekuasaan lebih) kepada parlemen.49

47
Halimah Nur Izzati, “Karakteristik Sistem Parlementer Dalam Sistem Pemerintahan Di
Indonesia Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”,
JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober 2016.
48
Cora Elly Novianti, Op. Cit, hlm 342.
49
Lihat,Modul Pendidikan, “Sistem Pemrintahan Negara; Pendidikan dan Pelatihan
Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara”, Mahkamah Konstitusi, hlm 10.
28

Jimly Asshiddiqie,50 dalam bukunya menulis sejumlah prinsip

pokok mengenai sistem pemerintahan parlementer yang dianut suatu

negara, yakni:

a) Keterkaitan lembaga parlemen dengan pemerintah tidak murni


terpisahkan;
b) Fungsi kekuasaan eksekutif negara terbagi ke dalam dua
bagian, yakni, “the real executive” untuk kepala pemerintahan
dan “the nominal executive” untuk kepala negara, seperti yang
diistilahkan oleh C.F Strong.
c) Kepala pemerintahan dipilih oleh kepala negara,
d) Kepala pemerintahan memilih menteri-menteri sebagai
pembantu pelaksanaan kewenangan institusi yang bersifat
kolektif,
e) Menteri biasanya dipilih dari anggota parlemen,
f) Pemerintah bertanggungjawab kepada parlemen bukan kepada
rakyat, karena pemerintah tidak dipilih oleh rakyat, tetapi
melalui parlemen,
g) Kepala pemerintahan dapat memberikan pendapat kepada
kepala negara untuk membuarkan parlemen,
h) Dianutnya prinsip supremasi parlemen sehingga kedudukan
parlemen dianggap lebih tinggi daripada bagian-bagian
pemerintahan,
i) Sistem kekuasaan negara terpusat pada parlemen.

c. Sistem Pemerintahan Campuran (Quasi)

Sistem pemerintahan campuran atau quasi pada hakikatnya

merupakan bentuk variasi dari sistem parlementer dan sistem

presidensiil. Sistem ini berupaya mencari titik temu antara sistem

parlementer dan sistem presidensiil. Hal ini disebabkan oleh situasi dan

kondisi negara yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masing-

masing negara, sehingga dalam prakteknya melahirkan sistem

pemerintahan yang berbeda pula. Apabila dilihat dari kedua sistem

diatas, sistem pemerintahan campuran bukan merupakan sistem yang

50
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hlm 315-316.
29

sebenarnya. Dalam sistem ini dikenal bentuk quasi parlementer dan

quasi presidensiil.51 Bahkan dalam beberapa literatur sistem ini disebut

juga sebagai hybrid system.

Pada sistem pemerintahan campuran, selain memiliki presiden

sebagai Kepala Negara, juga memiliki Perdana Menteri sebagai kepala

pemerintahan untuk memimpin kabinet yang bertanggunjawab kepada

parlemen. Dalam praktik kenegaraan, terdapat dua model sistem

pemerintahan campuran, yaitu sentralisasi dan desentralisasi, seperti yang

dipraktekan di Negara Prancis. Negara Prancis dikenal dengan istilah

Republik Kelima yang merupakan sebuah negara Republik dan

berbentuk negara kesatuan. Pemerintahan nasional Prancis menganut

sistem pemerintahan semi presidensial yang biasa dikenal oleh para

sarjana dengan sebutan hybrid system. Disebut semi presidensial karena

dalam menjalankan roda pemerintahan, presiden sebagai kepala negara

dan kepala pemerintahan dibantu oleh seorang Perdana Menteri. Hal ini

tentu berbeda dengan sistem perintahan presidensial secara murni yang

hanya menjalankan pemerintahan seorang diri dengan dibantu kabinet.52

Kecenderungan dalam praktik sistem pemerintahan campuran

berangkat dari orientasi politik yang selalu saja ditemukan adanya

kelemahan-kelemahan terlepas kelebihan bawaan dari sistem presidensiil

dan sistem parlementer. Oleh karena demikian, sistem pemerintahan

51
Titik Tri Wulan Tutik, “Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen”,
Kencana, Jakarta 2010, hlm 153.
52
Elva Imeldatur Rohmah, “Perbandingan Sistem Pemerintahan Indonesia, Iran, dan
Prancis”, Jurnal Ummul Qura, Vol.XIII, No.1, Maret 2019, hlm 128.
30

campuran dianggap sebagai jalan tengah diantara kedua sistem tersebut.

Sistem pemerintahan campuran memiliki ciri-ciri tersendiri yang berbeda

dengan sistem pemerintah presidensial murni dan sistem parlementer

murni, diantaranya adalah:53

a) Jabatan menteri dipilih oleh parlemen,


b) Presiden sebagai kepala negara dan perdana menteri sebagai
kepala pemerintahan,
c) Masa jabatan presiden ditentukan pasti dalam konstitusi,
d) Kepala negara tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen, tetapi
parlemen dapat dijatuhkan oleh kepala negara,
e) Menteri tidak mempunyai tanggungjawab langsung terhadap
presiden maupun parlemen, tetapi bertanggungjawab
sepenuhnya kepada rakyat.

Dengan demikian, variasi dari sistem pemerintahan campuran ini

diterapkan berbeda-beda antara negara yang satu dengan lainnya.

Konstitusi beberapa negara mengembangkan “responsible government”

yang berbeda-beda sesuai dengan sejarah, lingkungan, problem-problem

yang dihadapi serta keserasian antara sistem yang akan diterapkan

dengan kebutuhan masyarakat.54

D. Tinjauan Umum Negara Hukum

1. Pengertian Negara Hukum

Negara hukum merupakan terminologi baru jika dibandingkan

dengan sebutan demokrasi, konstitusi maupun kedaulatan rakyat. Dalam hal

ini R. Soepomo mengartikan negara hukum adalah negara yang tunduk pada

hukum dan peraturan-peraturan yang berlaku bagi badan dan instrumen

53
Www.nasional.kompas.com, “Ciri-ciri Sistem Pemerintahan Campuran”, diakses pada
Senin 16 Mei 2022, pada pukul 01.00 wita
54
Lihat artikel Suhardi Saming mengenai “Sistem Pemerintahan” yang dipublish dari
https://academia.edu, diakses pada Senin 16 Mei 2022, pada pukul 02.13 wita.
31

negara.55 Meski memiliki konsep universal, pada tataran penerapan

mempunyai karakteristik yang beragam karena pengaruh-pengaruh

kesejarahan, politik, sosial dan budaya. Karena itu, secara historis maupun

praktis konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara

hukum menurut Alquran dan Sunnah atau nomokrasi Islam, menurut konsep

Eropa Kontinental dinamakan rechtsstaat dan menurut konsep Anglo Saxon

rule of law, termasuk konsep sosialist Legaality dan konsep hukum negara

pancasila.56

Menurut Hilaire Barnet, esensi negara hukum yaitu, pertama, negara

hukum mengandung makna kedaulatan atau supremasi hukum diatas

manusia, hukum mengatasi orang, kedua, setiap orang tanpa memandang

status dan kedudukan harus tanduk pada hukum, ketiga, terhadap warga

negara, konsep negara hukum sekaligus bersifat prospektif dan protektif,

keempat, pemerintah harus bertindak sesuai hukum dan berada dibawah

hukum.57

2. Teori Negara Hukum

Sistem hukum yang dianut negara-negara di dunia tidaklah sama,

sehingga dalam konsep negara hukum, dari istilah maupun praktek terdapat

berbedaan dimasing-masing negara. Namun, terdapat dua konsep negara

hukum yang berpengaruh di dunia, yaitu konsep negara hukum staatsrecht

dari negara-negara penganut sistem hukum Eropa Kontinental dan konsep


55
Sirajuddin dan Winardi, “Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia”, Setara Press,
Cet.I, Malang 2015, hlm 23.
56
Ridwan HR, Op. Cit, hlm 1-2.
57
Bagir Manan, “Nilai Dasar Keindonesiaan dan Negara Hukum”, Dalam Bunga Rampai
Memperkuat Peradaban Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Sekretariat Jenderal Komisi
Yudisial Republik Indonesia, Cetakan Pertama 2019.
32

negara hukum rule of law yang dianut di negara-negara Anglo Saxon.

Menurut Philipus M. Hadjon, istilah rechstaat yang berdasar pada sistem

hukum kontinental disebut civil law, yang memiliki arti administratif.

Sementara karakteristik common law dalam Anglo Saxon adalah judicial.

Menurut Frederich Julius Stahl sebagai penggagas konsep rechstaat,

bahwa unsur-unsur negara hukum rechstaat adalah:58

a) Adanya perlindungan hak asasi manusia

b) Pemisahan atau pembagian kekuasaan

c) Pemerintah berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan

d) Peradilan administrasi dalam perselisihan.

Sedangkan menurut konsep negara hukum rule of law, menurut A.V.

Dicey unsur-unsur konsep negara hukum rule of law Anglo Saxon adalah:59

a) Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law) yaitu

tidak adanya kekuasaan yang sewenang-wenang, dalam arti

seseorang hanya bisa dihukum karena melanggar.

b) Kedudukan yang sama dimata hukum (equality before the law).

c) Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang.

Secara historis, perkembangan maupun implementasi negara hukum

diberbagai negara sangat dipengaruhi dan tidak dapat dipisahkan dari asas

kedaulatan rakyat, asas demokrasi dan asas konstitusional. Hukum yang

hendaknya ditegakkan pada negara hukum yang benar dan adil, yaitu hukum

58
Ridwan HR, Op. Cit, hlm 3.
59
Ridwan HR, Op. Cit, hlm 3-4.
33

yang bersumber dari aspirasi rakyat, untuk rakyat dan dibuat oleh rakyat

melalui wakil-wakil rakyat.

3. Prinsip Negara Hukum

Tiap-tiap bangsa pada saat mendirikan sebuah Negara, entah itu atas

kesepakatan damai atau melalui jalan revolusi, tentu mempunyai

“Staatfundamentalnormnya” masing-masing, apakah itu disebut filsafat,

filsafat hidup, Weltanscaung, ideologi, cita Negara, dasar Negara, cita

hukum dll. Hans Naviasky (murid Hans Kelsen) sebagaimana dikutip Dardji

Darmodihardjo mengatakan bahwa Staatsfundamentalnorm mempunyai dua

fungsi, yaitu fungsi konstitutif dan fungsi regulatif (sebagai dasar menyusun

konstitusi dan untuk mengatur tolak ukur peraturan perundang-undangan di

bawah konstitusi atau UUD). Berdasarkan teori Hans Naviasky tersebut,

Staatsfundamentalnorm tidak dapat dirubah, diganti atau dihapuskan oleh

lembaga lain, kecuali oleh badan yang sama yaitu badan yang menetapkan

staatfundamentalnorm semula yang pertama.60

Menurut Jimly Assidiqie,61 ada beberapa prinsip-prinsip negara

hukum yang dapat dielaborasi menjadi 12 unsur, yaitu:

a) Supremasi hukum
b) Persamaan dalam hukum
c) Asas legalitas
d) Pembatasan kekuasaan
e) Instrumen pemerintahan yang independen
f) Peradilan yang bebas dan tidak memihak
g) Peradilan Tata Usaha Negara
h) Peradilan Tata Negara

60
Aloysius R. Entah, “Indonesia: Negara Hukum yang Berdasarkan Pancasila” dalam
Seminar Nasional Revitalisasi Ideologi Pancasila dalam Aras Global Perspektif Negara Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, November 2016, hlm 551.
61
Ibid
34

i) Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)


j) Bersifat demokratis
k) Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara

Hal senada juga disampaikan J.B.J.M ten Berge, bahwa terdapat

beberapa prinsip-prinsip mengenai negara hukum, yaitu:

a) Asas Legalitas
Pembatasan kebebasan warga negara (oleh pemerintah) harus
ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan
peraturan umum. Undang-undang secara umum harus
memberikan jaminan (terhadap warga negara) dari tindakan
(pemerintah) yang sewenang-wenang, kolusi dan berbagai
tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Pelaksanaan wewenang
oleh organ pemerintahan harus ditemukan dasarnya pada undang-
undang tertulis (hukum positif).
b) Perlindungan hak-hak asasi
c) Pemerintah terikat pada hukum
d) Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan
hukum.
Hukum harus dapat ditegakkan ketika hukum itu dilanggar.
Pemerintah harus menjamin bahwa dalam kehidupan masyarakat
terdapat instrumen yuridis penegakan hukum. Pemerintah dapat
memaksa seseorang yang melanggar hukum melalui sistem
peradilan negara. Memaksakan hukum publik secara prinsip
merupakan tugas pemerintah.
e) Pengawasan hakim yang merdeka
Superioritas hukum tidak dapat ditampilkan sepanjang aturan-
aturan hukum hanya dilaksanakan organ pemerintahan. Oleh
karenanya, dalam setiap negara hukum diperlukan pengawasan
oleh hakim yang merdeka.

Menurut Jimly Asshiddiqie,62 negara hukum yang bertopang pada

sistem demokrasi pada dasarnya mencerminkan mekanisme bahwa negara

hukum harus demokratis, dan negara demokrasi haruslah didasarkan atas

hukum. Oleh karena itu, penyelenggaraan sistem pemerintahan negara yang

berlandaskan hukum harus didukung dengan sistem demokrasi. Karena

62
Muntoha, “Demokrasi dan Negara Hukum”, Jurnal Hukum No.3 Vol.16 Juli 2009, hlm
388-389.
35

korelasi yang memikat antara negara hukum yang berpijak pada konstitusi

dengan kedaulatan rakyat yang laksanakan melalui sistem demokrasi.

4. Tindakan Hukum Pemerintah

Pemerintah negara merupakan subjek hukum yang bertugas

melakukan tindakan-tindakan nyata (feitelijkhandelingen) maupun tindakan

hukum (rechtshandelingen). Tindakan nyata merupakan tindakan yang tidak

ada relevansinya dengan hukum, dan tidak menimbulkan akibat-akibat

hukum, sedangkan tindakan hukum berdasarkan sifatnya menimbulkan

hukum tertentu atau “Een rechtshandeling is gericht op het scheppen van

rechten of plicten” (Tindakan hukum adalah tindakan yang dimaksudkan

untuk menciptakan hak dan kewajiban).63

Menurut Muchsan, terdapat unsur-unsur tindakan hukum

pemerintah, sebagai berikut:64

1) Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam


kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat
perlengkapan pemerintahan (bestuursorganen) dengan prakarsa
dan tanggung jawab sendiri.
2) Perbuatan itu dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi
pemerintahan.
3) Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan
fungsi pemerintah.
4) Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka
pemeliharaan kepentingan rakyat.

Menurut Ridwan HR, unsur-unsur yang dikemukakan oleh Muchsan

perlu ditambah terhadap kaitannya dengan negara hukum, yakni perbuatan

pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang_undangan yang berlaku.

63
Ridwan HR, Op. Cit, hlm 122-123.
64
Muchsan, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan
Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta 1981, hlm 18-19.
36

Karena kedudukan pemerintah atau administrasi negara mewakili dua

institusi dikenal dua macam tindakan hukum, yaitu tindakan hukum publik

dan tindakan hukum pemerintah.65 Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa segala kebijakan pemerintah baik sebagai penguasa maupun alat

perlengkapan pemerintah harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku

atau setidak-tidaknya tidak bertentangan dengan hukum positif.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif-empiris. Penelitian

hukum normatif-empiris merupakan penelitian hukum yang mengkaji

pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif (perundang-undangan)

65
Ridwan HR, Op. Cit, hlm 117.
37

dan dokumen tertulis secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang

terjadi di masyarakat.66

B. Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:67

1. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-

undangan dan regulasi yang terkait dengan isu hukum yang sedang diteliti.

2. Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-

doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum, untuk menemukan pengertian

hukum, konsep hukum dan asas hukum yang relevan dengan penelitian

terkait.

3. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan ini digunakan untuk mengkaji tentang bagaimana hukum

bekerja di masyarakat guna mengetahui penerapan hukum terhadap subjek

hukum yang akan diteliti dan fakta-fakta di lapangan.

C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum/Data

1. Sumber Bahan Hukum

66
Muhaimin, ”Metode Penelitian Hukum”, Mataram University Press, Cetakan Pertama, Juni
2020, hlm 115.
67
Ibid, hlm 122.
38

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari norma dasar

atau kaidah dasar yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, peraturan dasar yang meliputi batang tubuh

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

peraturan perundang-undangan terkait dengan penelitian ini.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti Rancangan Undang-Undang,

literatur hukum, jurnal hukum atau pendapat para pakar hukum.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan

ensiklopedia hukum.

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain:

a. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dan studi

dokumen. Studi kepustakaan meliputi buku, jurnal, kamus literatur

hukum atau bahan hukum tertulis lainnya. Studi dokumen meliputi


39

dokumen hukum, peraturan perundang-undangan secara hierarkis,

yurisprudensi, keputusan-keputusan atau dokumen hukum lainnya.68

b. Sumber data primer

Sumber data primer diperoleh dari subyek yang diteliti pada lembaga

terkait yang dapat memberikan Peneliti informasi dan keperluan data

penelitian.

D. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat dilakukan penelitian. Lokasi

penelitian pada penelitian ini dilakukan di Kantor Dewan Perwakilan Daerah

Republik Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Jln. Airlangga No.

91, Punie Kecamatan Mataram, Kota Mataram Nusa Tenggara Barat.

E. Teknik dan Alat Pengumpulan Bahan Hukum/Data

Teknik dan alat pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam

penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum

primer dan dan bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan penelitian

tentang “Kedudukan dan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam

Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”. Pengumpulan data sekunder

(kepustakaan dan dokumen tertulis) melalui studi pustaka dan studi dokumen.

Sedangkan pengumpulan data primer (data pada objek penelitian) diperoleh

melalui informan di lokasi penelitian untuk memperjelas substansi penelitian

terkait.

68
Ibid, hlm 124
40

F. Analisis Bahan Hukum/Data

Analisis bahan hukum/data dalam penelitian ini menggunakan metode

analisis deskriptif dengan memberikan interpretasi yang dapat berarti

menentang, mengkritik, mendukung, menambah atau memberikan komentar

dengan membuat suatu kesimpulan terhadap penelitian terkait.


41

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kedudukan dan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem

Ketatanegaraan Republik Indonesia

1. Pembentukan dan Perkembangan Dewan Perwakilan Daerah Republik

Indonesia

Reformasi telah membawa perubahan besar terhadap sistem

ketatanegaraan di Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD 1945). Perubahan tersebut tidak hanya terjadi pada tataran norma,

tetapi juga membawa dampak pada sistem ketatanegaraan Indonesia dengan

bertambahnya lembaga negara yaitu Dewan Perwakilan Daerah Republik

Indonesia (DPD RI). DPD RI adalah lembaga perwakilan yang mewakili

aspirasi daerah secara teritorial dalam setiap pengambilan keputusan

ditingkat nasional. Pembentukan DPD RI pada mulanya dilakukan melalui

amandemen ketiga UUD 1945 yang diselenggarakan pada rapat paripurna

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) ke-7 dan

sidang tahunan MPR RI pada 9 November 2001. Keputusan tersebut

kemudian di sahkan pada tanggal 10 November tahun 2001. Keputusan

tersebut ditetapkan sebagai dasar terbentuknya DPD RI sebagai lembaga

perwakilan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.


42

Pengaturan mengenai kedudukan dan kewenangan DPD RI telah

diatur dalam Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945. Rumusan Pasal 22C ayat

(1) menyebutkan bahwa “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari

setiap provinsi melalui pemilihan umum”. Ditinjau dari Pasal tersebut,

bahwa keanggotaan DPD dipilih melalui pemilihan umum dan juga

pengisian keanggotaannya merupakan hak perseorangan yang menjadi

perwakilan daerah. Atas dasar itu anggota DPD dapat berasal dari anggota

pemerintah daerah atau masyarakat biasa di daerah. Dipilihnya anggota

DPD melalui pemilihan umum menjadi refleksi kritis terhadap utusan

daerah dan utusan golongan yang mengisi formasi keanggotaan di lembaga

MPR sebelum diamandemennya UUD 1945.

Jika berkaca pada masa lalu selama kekuasaan sentralistik Orde lama

dan Orde baru berlangsung, eksistensi pemerintah pusat sangat berpengaruh

besar dan menentukan bagi daerah. Berbagai urusan pemerintahan dan

kepentingan daerah ditentukan oleh pemerintah pusat tanpa mendengar dan

mengakomodasi kepentingan daerah. Sementara utusan daerah yang

mewakili kepentingan daerah pun tidak begitu optimal memainkan peranan

dalam menyalurkan aspirasi. Hal tersebut dikarenakan dalam mekanisme

penentuan anggota utusan daerah tidak dipilih secara demokratis melainkan

ditunjuk, sehingga dalam menyampaikan aspirasi daerah cenderung

didominasi oleh kepentingan politik para pejabat.


43

Faktor lainnya yang dijadikan dasar pertimbangan dihapusnya

utusan daerah dan utusan golongan adalah transisi demokrasi dan reformasi

yang menjamin keleluasan bagi daerah untuk lebih otonom dalam

mengelola dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di daerah. Bahkan

kebijakan tersebut dibakukan dalam undang-undang dengan dikeluarkannya

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

Ketentuan norma tersebut mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan

daerah untuk lebih mengedepankan pelaksanaan asas desentralalisasi. 69

Pemberlakuan norma tersebut dapat dipahami sebagai berakhirnya era

pemerintahan sentralistik orde lama dan orde baru.

Berdasarkan hasil penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan

(PSHK) Indonesia, menyebutkan dua alasan utama lahirnya DPD, yakni:70

a. Adanya kebutuhan mengartikulasikan kepentingan masyarakat di


daerah secara struktural. Karenanya, diperlukanlah suatu lembaga
khusus yang mewakili wilayah-wilayah agar mampu
mengakomadasi kepentingan masyarakat di daerah melalui
institusi formal di tingkat nasional.
b. Memperbaiki kehidupan dan sistem ketatanegaraan serta
demokratisasi melalui mekanisme check and balances antara dua
kamar perwakilan.

Perubahan terhadap UUD 1945 juga merupakan kesepakatan

bersama MPR dalam upaya merubah struktur parlemen Indonesia menjadi

sistem dua kamar (bicameral) yang terdiri dari anggota DPR dan anggota

DPD. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa “Majelis
69
Lihat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
70
Ahmad Rosidi, “Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”, Jurnal IUS, Vol. III Nomor 8, Agustus 2015, hlm 293.
44

Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat

dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan

umum, dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Rumusan Pasal 2

ayat (1) tersebut dengan memasukan anggota DPD dalam struktur

keanggotaan lembaga MPR dimaksudkan untuk menguatkan sistem check

and balances pada tubuh parlemen Indonesia.

Menurut Adam Bachtiar,71 secara teoritis urgensi pembentukan DPD

adalah membangun mekanisme kontrol dan keseimbangan dalam lembaga

legislatif, terlepas antar cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif,

yudikatif). Selain itu juga, negara menjamin dan menampung perwakilan

daerah-daerah yang memadai untuk memperjuangkan aspirasi dan

kepentingan daerah dalam lembaga legislatif. Oleh karena itu, untuk

mengakomodasi aspirasi dan kepentingan daerah secara efektif dan adil

dalam rangka mengambil keputusan secara nasional serta memberdayakan

potensi daerah, maka diperlukan suatu lembaga perwakilan daerah selain

DPR yang dapat menyalurkan aspirasi daerah.

Berdasarkan pandangan-pandangan diatas, bahwa sesungguhnya

DPD dibentuk dalam rangka menampung aspirasi dan menyalurkan

kepentingan daerah secara teritorial terhadap segala potensi yang

dimilikinya untuk kemudian disampaikan pada tingkat pusat.

71
Miki Pirmansyah, Op. Cit, hlm. 178
45

2. Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik

Indonesia

Mengacu pada teori organ negara, kedudukan lembaga negara dibagi

menjadi 2 (dua) golongan, yaitu sebagai lembaga negara utama (state mein

organ) dan lembaga negara bantu (state auxiliary organ). Lembaga negara

utama adalah lembaga negara yang kewenangannya diamanahkan langsung

oleh konstitusi (UUD), sementara lembaga negara bantu adalah lembaga

negara yang dibentuk dan diberi kewenangan oleh undang-undang. Dilihat

dari penjabaran teori diatas, maka kedudukan DPD RI dapat dikatakan

sebagai lembaga negara yang secara konstitusional kewenangannya dijamin

oleh konstitusi untuk mewakili aspirasi daerah terutama dalam pengambilan

keputusan ditingkat nasional.

Konstitusi telah menempatkan DPD sebagai badan yang

menyelenggarakan fungsi legislatif terlepas dari adanya lembaga DPR.

Karena mengingat dalam struktur kelembagaan dalam sistem ketatanegaraan

republik Indonesia memposisikan MPR sebagai badan perwakilan yang

terdiri dari angota DPR dan anggota DPD. Pengaturan tersebut dapat dilihat

pada rumusan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Majelis

Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat

dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan

umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Selain itu, ketentuan

lain yang mengatur terkait kedudukan DPD sebagai lembaga perwakilan

yang ikut mengisi formasi keanggotaan di tubuh MPR diatur dalam Pasal 2
46

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014.72 Dilihat dari penjelasan rumusan

pasal-pasal diatas dapat dipahami bahwa struktur kelembagaan pada tubuh

parlemen Indonesia antara DPR dan DPD sama-sama memiliki kedudukan

yang setara dan sederajat. Namun yang membedakan antara keduanya

adalah terkait kepentingan yang diwakili oleh masing-masing lembaga

tersebut.

Untuk mengetahui kedudukan sebuah lembaga negara dapat

ditentukan oleh kewenangan yang dimilikinya. Karenanya, diantara kedua

lembaga tersebut, terdapat perbedaan yang mencolok terkait

kewenangannya terutama dalam bidang legislasi dan pengawasan terhadap

pelakasanaan undang-undang. Meskipun idealnya, DPR dan DPD sama-

sama berkedudukan sebagai badan yang bekerja pada cabang kekuasaan

legislatif. Akan tetapi berbeda ketika pasca amandemen UUD 1945,

kewenangan dalam membentuk undang-undang menjadi tidak seimbang.

Hal demikian dapat dilihat dari besarnya peran DPR dalam membuat suatu

rancangan undang-undang. Sebagaimana telah dijelaskan secara tegas dan

terang dalam ketentuan UUD 1945 Pasal 20 ayat (1) bahwa: “Dewan

Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”,

kemudian dipertegas melalui ayat (2) yaitu, “Setiap rancangan undang-

undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk

mendapat persetujuan bersama”.

72
Lihat Rumusan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
47

Dari ketentuan tersebut diatas tidak ditemukan adanya peran DPD

untuk membentuk undang-undang. Walaupun DPD dapat mengajukan usul

rancangan undang-undang kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi

daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta

penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya

ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat

dan daerah. Akan tetapi dalam rumusan ini tidak ada ketentuan yang

mengatur kewenangan DPD untuk ikut terlibat menetapkan rancangan

undang-undang menjadi undang-undang termasuk menyangkut kepentingan

daerah yang menjadi kewenangan DPD.

3. Kedudukan dan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik

Indonesia Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan.

Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga perwakilan yang

dibentuk dengan tujuan mengakomodasi kepentingan daerah yang tidak

dapat diakomodir oleh DPR terutama setelah ditiadakannya utusan daerah

dan utusan golongan dalam formasi keanggotaan MPR. Dari segi

kewenangan terdapat perbedaan diantara kedua lembaga tersebut dimana

DPD merupakan representasi wilayah secara teritorial sementara DPR

merupakan representasi rakyat melalui partai politik. Pengaturan mengenai

kedudukan DPD telah ditentukan secara tegas melalui ketentuan Pasal 22C

UUD 1945 yaitu:

1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi


melalui pemilihan umum.
2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi
jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan
48

Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan


Perwakilan Rakyat.
3) Dewan Perwakilan Daerah Bersidang sedikitnya sekali dalam
setahun.
4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan
undang-undang.

Kewenangan DPD sebagai lembaga legislatif juga telah diatur dalam

ketentuan Pasal 22D UUD 1945 yaitu:

1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan


Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber ekonomi lainnya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan, pemekaran, dang penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta
memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas
rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja
negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama.
3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan
pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta
menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk
ditindaklanjuti.
4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari
jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam
undang-undang.

Apabila dicermati rumusan Pasal 22C dan Pasal 22D diatas,

memberikan perubahan terhadap sistem perwakilan Indonesia yang


49

sebelumnya tidak menunjukan bentuk perwakilan yang sebenarnya. Dengan

demikian kehadiran DPD sekiranya dapat mendukung eksistensi DPR

sebagai wakil rakyat dalam tubuh parlemen di Indonesia serta mampu

mengakomodir aspirasi daerah yang tidak dapat diakomodir oleh DPR.

Terkait susunan dan kedudukan DPD sebagaimana Pasal 22C ayat

(4) telah diatur lebih lanjut dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Kedudukan DPD telah ditegaskan dalam rumusan Pasal 247 yang

menyebutkan bahwa “DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang

berkedudukan sebagai lembaga negara.”73 Secara konstitusional ketentuan

Pasal 247 tersebut menunjukan adanya hubungan erat secara kelembagaan

antara DPD dengan lembaga perwakilan lainnya.

Kedudukan DPD RI sebagai lembaga utama negara sangat berkaitan

dengan makna kedudukan dari suatu lembaga negara. Seperti pandangan

yang diutarakan Philipus M. Hadjon,74 bahwa yang dimaksud dengan

kedudukan disini adalah lembaga negara dalam dua arti; pertama

kedudukan diartikan sebagai posisi suatu lembaga negara dibandingkan

dengan lembaga negara lain. Kedua, kedudukan lembaga negara sebagai

posisi suatu lembaga negara yang didasarkan pada fungsi utamanya.

73
Lihat Pasal 247 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
74
Salmon E.M. Nirahua, Op. Cit, hlm 593
50

Untuk memahami kedudukan DPD sebagai lembaga perwakilan

yang bersifat bicameral atau tidak, maka dapat dilihat dari hubungan

konstitusional kedudukannya dengan MPR termasuk pula hubungannya

dengan DPR. Hubungan konstitusional antara kedudukan DPD dengan MPR

dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 dan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3)

UUD 1945. Hubungan antara DPD dan MPR berdasarkan Pasal 2 ayat (1)

merupakan hubungan struktural dimana pengaturannya berkaitan dengan

kedudukan anggota DPD sebagai anggota MPR. Pengaturan ini memiliki

makna konstitusional bahwa DPD memiliki peran yang sama dengan DPR

dalam melaksanakan wewenang MPR. Berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 8 ayat

(2) dan ayat (3), serta Pasal 37 nampak adanya sinkronisasi antara DPD dan

DPR dalam menjalankan wewenang MPR.

Secara konstitusional kedudukan DPD sebagaimana Pasal 22C dan

22D UUD 1945 dan Pasal 246, Pasal 247, Pasal 248 ayat (1) dan Pasal 249

ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, tidak menunjukan adanya

sinkronisasi DPD sebagai lembaga perwakilan yang berkedudukan sebagai

lembaga negara dalam sistem bicameral. Alasan keberadaan DPD yang

dimaksudkan untuk meningkatkan akomodasi kepentingan daerah dalam

konteks perumusan kebijakan nasional bagi kepentingan negara dan daerah

sekaligus merupakan upaya untuk meningkatkan pemberdayaan daerah dan

masyarakat yang ada di seluruh wilayah di Indonesia.

Pada konsepsi demokrasi, DPD sebagai badan perwakilan daerah

memiliki karakter keterwakilan yang lebih luas dari DPR. Hal ini dapat
51

dilihat dari dimensi keterwakilannya berdasarkan seluruh rakyat yang

terdapat pada daerah-daerah diwakilinya. Untuk itu, pengaturan kedudukan

DPD yang merupakan lembaga perwakilan daerah dan berkedudukan

sebagai lembaga negara, sebagai perwujudan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945,

hendaknya merupakan dasar perumusan kedudukan DPD.

Mengenai kewenangan konstitusional DPD telah diatur dalam Pasal

22D ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) amandemen ketiga UUD 1945, yang

menegaskan bahwa:

1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan


Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat
dan daerah.
2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta
memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas
rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja
negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan dan agama.
3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang mengenai; otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan
pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja negara, pajak, pendidikan dan agama serta menyampaikan
hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Memperhatikan dasar pengaturan kewenangan konstitusional DPD

pada rumusan Pasal 22D ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatas, tampak DPD

memiliki beberapa fungsi, yaitu fungsi legislasi, pertimbangan dan


52

pengawasan. Beberapa fungsi tersebut juga termuat dalam ketentuan Pasal 4

ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 2022 Tentang Tata Tertib.75 Namun pada prakteknya beberapa fungsi

tersebut sangat terbatas karena implementasi fungsi-fungsi yang

menyangkut masalah kedaerahan pada bidang-bidang tertentu.

Pasal 248 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 menyebutkan

bahwa DPD mempunyai fungsi:

a. Pengajuan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan


otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR;
b. Ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
c. Pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-
undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama, serta;
d. Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi
daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak,
pendidikan dan agama.

Selain itu, pengaturan norma tersebut juga mengatur wewenang dan

tugas DPD sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 249 yang

menegaskan bahwa DPD memiliki wewenang dan tugas:

a. Mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan


otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
75
Lihat Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 Pasal
4 ayat (1), yang menyebutkan bahwa DPD mempunyai fungsi; legislasi, pengawasan dan
anggaran.
53

alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan


dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR;
b. Ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. Menyusun dan menyampaikan daftar inventaris masalah
rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden
yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
d. Memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-
undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama;
e. Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama;
f. Menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-
undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan dan agama
kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;
g. Menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK
sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN;
h. Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota
BPK; dan
i. Menyusun program legislasi nasional yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Dilihat dari fungsi DPD sebagaimana rumusan Pasal 248

menunjukan bahwa kewenangan konstitusional DPD telah dijamin oleh

UUD 1945. Pelaksanaan kewenangan DPD diatur lebih lanjut melalui

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Namun yang menjadi persoalan

adalah berkaitan dengan zelfstandigheid, yaitu wewenang mandiri atau

fungsi sepenuhnya yang menentukan dari lembaga perwakilan (DPD), baik

dari segi perencanaan, penyusunan, pembahasan sampai pengambilan


54

keputusan. Karena hal tersebut berkaitan langsung dengan kewenangan

DPD dalam menjalankan fungsi legislasi, pertimbangan dan pengawasan. 76

Pada tataran fungsional, DPD memiliki kesamaan dengan DPR di bidang

fungsi legislasi (legislation), pengawasan (controling), dan anggaran

(budgeting). Namun dalam prakteknya masih sangat terbatas jika

dibandingakan dengan kewenangan yang dimiliki DPR. Secara normatif

rumusan Pasal 248 memberikan hak kepada DPD dalam bidang perundang-

undangan meskipun berbeda dengan DPR yang memiliki kewenangan

sebagai pembentuk undang-undang. Fungsi Legislasi DPD yang dimaksud

meliputi 3 (tiga) bidang tugas, yakni:77

1) Mengajukan usul rancangan undang-undang;


2) Ikut membahas rancangan undang-undang; dan
3) Memberi pertimbangan atas rancangan undang-undang terhadap
fungsi pengawasan berkaitan dengan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang, sedangkan terhadap fungsi anggaran
berkaitan dengan pemberian pertimbangan terhadap rancangan
APBN, rancangan undang-undang yang berakaitan dengan pajak,
pendidikan dan agama.

Fungsi legislasi DPD sebagaimana diuraikan diatas apabila dikaitkan

dengan pengaturan norma yang sama pada penjelasan Pasal 41 huruf (a)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, menunjukan kewenangan legislasi

DPD hanya pada bidang tertentu. Hal demikian dapat dilihat dari penjelasan

Pasal 41 huruf (a) yang menegaskan bahwa:78

“Yang dimaksud dengan legislasi tertentu dalam hal fungsi


pengajuan usul dan ikut membahas rancangan undang-undang adalah
76
Salmon E.M. Nirahua, Op. Cit, hlm 597
77
Ibid hlm 598
78
Ibid
55

menyangkut rancangan undang-undang yang berkaitan dengan


otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah. Sedangkan dalam hal fungsi pemberian
pertimbangan atas rancangan undang-undang adalah menyangkut
rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara,
dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan dan agama.”

Dengan demikian, bila dicermati tugas DPD dalam mengajukan usul

dan ikut serta membahas rancangan undang-undang sebagaimana dijabarkan

diatas, mencakup kewenangan DPD dalam perancangan undang-undang

yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,

pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan

keuangan pusat dan daerah. Sementara ruang lingkup bidang tugas pada

bagian ketiga adalah terbatas hanya memberikan pertimbangan atas

rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan

agama.79 Semua bidang tugas DPD tersebut diajukan kepada DPR sebagai

pengambil keputusan terakhir.

Kewenangan tersebut juga tertuang dalam ketentuan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang mengatur kewenangan legislasi DPD

dalam mengajukan rancangan undang-undang. Kewenangan tersebut

tertuang pada Pasal 45 ayat (2) yang menyebutkan bahwa: “Rancangan

Undang-Undang yang diajukan DPD sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah

Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan:

a. otonomi daerah;
79
Ibid
56

b. hubungan pusat dan daerah;


c. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah;
d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya; dan
e. perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Berdasarkan pengaturan fungsi legislasi DPD sebagaimana telah

Penulis uraikan diatas bila dicermati lebih mendalam akan bertentangan

dengan status dan kondisi yang dikehendaki dari pembentukan DPD

tersebut. Jika diidentifikasi ketentuan-ketentuan terkait kewenangan DPD

bahwa fungsi legislasi yang dimilikinya dikategorikan sebagai fungsi

legislasi yang lemah. Karena tidak diberikannya kewenangan kepada DPD

untuk ikut dalam memutuskan setiap rancangan undang-undang untuk

dijadikan sebagai undang-undang.

Selain itu, DPD juga memiliki wewenang untuk melakukan

pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang. Pengaturan tersebut

telah dijamin oleh konstitusi negara untuk menjalankan fungsi legislatifnya

sebagai lembaga parlemen seperti halnya DPR. Wewenang itu diatur dalam

UUD 1945 Pasal 22D ayat (3) dan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014

Pasal 249 ayat (1) huruf (e), (f) dan (g). Ketentuan tersebut adalah sebagai

berikut:

Pasal 22D ayat (3) UUD 1945 yakni:

“Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas


pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan
pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja
negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil
pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti.”
57

Pasal 249 ayat (1) huruf (e), (f) dan (g) Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2014 menyebutkan bahwa:

DPD mempunyai wewenang dan tugas:

Huruf (e):
“Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
APBN, pajak, pendidikan dan agama.”

Huruf (f):
“Menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
undang-undang APBN, pajak, pendidikan dan agama kepada DPR
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.”

Huruf (g):
“Menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK
sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rencana
undang-undang yang berkaitan dengan APBN”

Rumusan Pasal 249 ayat (1) huruf (e) dan huruf (f) sebagaimana

disebutkan sebelumnya menjamin DPD melakukan tugas berdasarkan fungsi

pengawasan sebagai badan legislatif atas pelaksanaan undang-undang untuk

disampaikan kepada DPR sebagai pertimbangan yang akan ditindaklanjuti.

Sementara pada rumusan Pasal 249 huruf (g) DPD memiliki hak untuk

menerima hasil pemeriksaan keuangan Negara yang diaudit oleh Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai bahan pertimbangan kepada DPR

tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN. Namun,

dalam menjalankan haknya tersebut DPD hanya berhak melakukan

pengawasan hanya dibidang terkait yang menjadi kewenangannya.


58

Kemudian wewenang lain yang dimiliki DPD sebagai badan

legislatif adalah dibidang anggaran (budgeting). Kewenangan tersebut diatur

dalam ketentuan Pasal 4 ayat 1 huruf (c) Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun

2022 Tentang Tata Tertib. Hak budget ini merupakan hak untuk terlibat

dalam penentuan serta menetapkan anggaran keuangan negara, baik

pemasukan maupun pengeluaran mengenai Rencana Pendapatan dan

Belanja Negara (RAPBN).

Bila dicermati lebih teliti, frasa “dapat mengajukan” dalam rumusan

Pasal 22D UUD 1945 ayat (1), adalah pilihan subjektif bagi DPD “untuk

mengajukan” atau “tidak mengajukan” rancangan undang-undang

berdasarkan kewenangannya. Kata “dapat” tersebut juga bisa bermaknakan

hak atau wewenang. Sehingga jika mengacu pada kedudukan DPD RI

sebagai lembaga legsilatif, rumusan norma tersebut hanya memposisikan

DPD sebagai badan yang membantu tugas DPR dalam melaksanakan fungsi

legislasinya.

Kemudian dalam hal DPD ikut membahas rancangan undang-undang

yang berasal dari DPR atau Presiden yang berkaitan dengan wewenang dan

tugas DPD sebagaimana disebutkan dalam uraian Pasal 22D ayat (2) tidak

sepenuhnya melibatkan DPD dalam proses pengambilan keputusan.

Menurut Penulis, kata “ikut membahas” yang terkandung dalam ayat (2)

menggambarkan posisi DPD yang tidak sepenuhnya melaksanakan fungsi

pembahasan pada rancangan undang-undang. Sementara penafsiran kata

“dapat melakukan pengawasan” pada ayat (3) telah memposisikan DPD


59

sebagai lembaga yang lemah dalam menjalankan mekanisme check and

balances.

B. Implementasi Hukum Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam

Sistem Ketatanegaraan

1. Gambaran Umum Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

a. Profil Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) adalah

lembaga negara dalam sistem perwakilan di Indonesia yang mewakili

kepentingan masyarakat daerah setiap penentuan kebijakan ditingkat pusat.

Anggota DPD RI dipilih dari setiap provinsi melalui mekanisme pemilu

sebagaimana telah diatur dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Anggota

DPD RI berjumlah 136 disetiap 34 daerah pemilihan sesuai jumlah

provinsi yang ada.

Struktur pimpinan DPD RI terdiri atas 1 orang Ketua dan 3 Wakil

Ketua. Penentuan pimpinan DPD RI dilakukan melalui mekanisme

musyawarah mufakat. Namun, jika mekanisme musyawarah dan mufakat

tidak mencapai kesepakatan, maka dilakukan pemungutan suara sesuai

peraturan tata tertib yang disepakati. Struktur pimpinan DPD RI dapat

dilihat melalui daftar tabel sebagai berikut:80

Tabel 1. Struktur Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah


Republik Indonesia

80
Www.dpd.go.id, diakses pada Rabu 19 Oktober 2022, Pukul 19.30 Wita.
60

No Nama Provinsi Jabatan

1. H. AA La Nyalla Mahmud Mattalitti Jawa Timur Ketua

2. Nono Sampono Maluku Wakil Ketua I

3. H. Mahyudin Kalimantan Wakil Ketua II


Timur
4. Sultan Baktiar Najamudin Bengkulu Wakil Ketua III

Sumber: Portal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)

b. Alat Kelengkapan

Alat kelengkapan DPD RI terdiri dari beberapa bidang yang

bertugas menyusun rencana kerja dan rencana anggaran untuk

menjalankan tugas dan wewenangnya. Berikut adalah daftar tabel terkait

susunan Alat Kelengkapan DPD RI:81

Tabel 2. Daftar Alat Kelengkapan Dewan Perwakilan Daerah


Republik Indonesia

No Alat Pimpinan Alat Kelengkapan Jumlah


Kelengkapan Anggota
Ketua Wakil Ketua I/II/II

1. Komite I H. Fachrul Razi 1)H. Djafar Alkatiri 26


2)Abdul Kholik
3)Fernando Sinaga
2. Komite II Yorris Raweyai 1) Abdullah Puteh 28
2) Bustami Zainudin
3) Hasan Basri
3. Komite III Hj. Sylviana 1) Evi Apita Maya. 28
Murni 2) H. Muhammad
Rakhman.
3) H. M. Fadhil Rahmi.
4. Komite IV H. Sukiryanto 1) Hj. Elviana. 25
2) Novita Anakotta.
3) Casytha A.

81
Ibid,
61

Kathmandu.
5. Panitia Badikenita BR 1) Hj. Eni Sumarni. 28
Perancang Sitepu 2) Ajbar.
Undang-Undang 3) Shri I.G.N. Arya
Wedakarna.
6. Panitia Urusan H. Ahmad 1) Andi Muh. Ihsan. 29
Rumah Tangga Nawardi 2) Stefanus B.A.N.
Liow.
3) Arniza Nilawati.
7. Badan H.Leonardy 1) Hj. Yustina Ismiati. 15
Kehormatan Harmainy DT. 2) H. Asep Hidayat.
Bandaro Basa 3) Mirati Dewaningsih.

8. Badan Kerja H. Gusti Farid 1) Richard Hamonangan 30


Sama Parlemen Hasan Aman Pasaribu.
2) H. TB. M. Ali Ridho
Azhari.
3) WA Ode Rabia AL
Adawia Ridwan.
9. Badan H. Bambang 1) Asyera Respati A. 28
Akuntabilitas Sutrisno Wundalero.
Publik 2) Edwin Pratama Putra.
3) Zainal Arifin.
10 Badan Urusan H. Ahmad 1) H. Abdullah Puteh. 26
Legislasi Kanedi 2) Made Mangku
. Daerah Pastika.
3) H. TB. M. Ali Ridho
Azhari.
11 Kelompok DPD Hj. Intsiawati 1) Abraham Liyanto
RI Di MPR Ayus 2) Fahira Idris
.

12 Panitia H. AA Lanyalla 1) Nono Sampono 30


Musyawarah Mahmud 2) H. Mahyudin
. Mattalitti 3) Sultan Baktiar
Najamudin
Sumber: Portal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)

2. Pelaksanaan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Republik

Indonesia

Pada uraian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa kewenangan

konstitusional DPD pada bidang legislasi dijamin oleh UUD 1945.


62

Kewenangan legislasi tersebut berkaitan dengan tugas dan wewenang DPD

dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya

fungsi tersebut memberikan hak kepada DPD dalam bidang perundang-

undangan. Pasal 22D ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945 telah merangkum

semua ketentuan berkaitan tugas, wewenang dan fungsi DPD dalam wujud

rumusan yang lebih umum. Berdasarkan rumusan pasal-pasal tersebut,

dapat dilihat kewenangan DPD setiap pelaksanaan wewenang, tugas dan

fungsi DPD, khususnya di bidang legislasi.

Pengaturan lebih lanjut mengenai kewenangan DPD tersebut diatur

dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dalam ketentuan norma ini menjabarkan

lebih lanjut terkait wewenang, tugas dan fungsi DPD.

Dari beberapa ketentuan norma diatas mempertegas kewenangan

DPD menjalankan fungsi legislasi dalam proses pengajuan rancangan

undang-undang. Dalam proses pembentukan rancangan undang-undang

DPD memiliki 3 (tiga) peranan yakni:

1) Dapat mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan


dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;
pembentukan dan pemekran serta penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya; serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah.
2) Ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;
pembentukan dan pemekran serta penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya; serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah.
63

3) Memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-


undang yang berkaitan dengan APBN, serta yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan dan agama.

Pada dasarnya kewenangan DPD dalam mengajukan rancangan

undang-undang tidak sama dengan DPR yang memegang fungsi legislasi

secara utuh. Hal ini dapat dilihat dari rumusan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945

yang menjamin secara utuh kewenangan DPR terkait proses legislasi.

Sementara DPD hanya berwenang mengajukan rancangan undang-undang

kepada DPR dan ikut membahas hanya sampai pada pembahasan tingkat I

dalam penyampaian pendapat umum atas RUU.

Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana

dimaksudkan diatas mencakup beberapa tahapan diantaranya: tahap

perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan. 82

Pada tahap penyusunan, DPD dapat mengajukan rancangan undang-

undang kepada DPR sesuai dengan lingkup kewenangannya. Pada tahap

pembahasan, DPD diikutsertakan dalam pembahasan rancangan undang-

undang yang menjadi lingkup kewenangannya. Ketika pembahasan,

kedudukan DPD hanya diikutsertakan dalam pembahasan RUU oleh DPR

dan Presiden.83 Bentuk keikutsertaannya dalam pembahasan adalah

menyampaikan pendapat dan pandangannya pada pembicaraan Tingkat I.

Namun pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor: 92/PUU-X/2012, sistem pembentukan peraturan perundang-

82
Lihat, Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
83
Muh. Risnain, “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/12 Terhadap
Kewenangan Legislasi DPD RI Dikaitkan Dengan Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang”,
Jurnal Unizar Law Review, Vol. 4(1), Juni 2021, hlm 80.
64

undangan mengalami banyak perubahan. Putusan MK tersebut telah

berdampak pada kewenangan dan fungsi legislasi DPD RI dengan

menguatnya konstitusionalitas fungsi, tugas dan wewenangnya. Dalam

putusannya MK menyatakan bahwa kedudukan DPD RI di bidang legislasi

setara dengan DPR dan Presiden. Sehingga atas dasar itu DPD RI

berwenang mengusulkan rancangan undang-undang tertentu, yakni

menyusun prolegnas dan ikut membahas rancangan undang-undang

tertentu sejak awal hingga akhir tahapan. Namun DPD tidak berwenang

memberikan persetujuan atau pengesahan terhadap rancangan undang-

undang menjadi undang-undang. Berkaitan dengan proses pengajuan usul

rancangan undang-undang, MK memutuskan beberapa hal yaitu:84

a) Kedudukan DPD RI sama dengan DPR dan Presiden dalam hal

mengajukan rancangan undang-undang.

b) DPD mengajukan RUU yang berkaitan dengan bidang tugasnya

c) DPD dapat mengajukan RUU diluar prolegnas.

d) Usul RUU DPD tidak menjadi usul RUU DPR.

Dari beberapa penjelasan diatas, menurut Penulis bahwa

kewenangan DPD bidang legislasi pasca dikeluarkanya Putusan MK

sedikit memberi ruang bagi DPD untuk ikut terlibat setiap proses

pembentukan peraturan perundang-undangan. Meskipun putusan tersebut

tidak menjamin sepenuhnya kewenangan DPD untuk ikut memberikan

persetujuan terhadap rancangan undang-undang menjadi undang-undang.

84
Fahrul Reza, “DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang dan Peranannya dalam Fungsi
Legislasi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”, Media Syari’ah, Vol.21, No.1, 2019, hlm 48.
65

Pada proses pelaksanaannya di bidang legislasi untuk periode sekarang

DPD telah mengajukan beberapa usul rancangan undang-undang yang

berkaitan dengan kewenangannya.

Berdasarkan hasil penelitian yang dihimpun Penulis, bahwa

pelaksanaan kewenangan DPD RI pada bidang fungsi legislasi terdapat

sejumlah usul rancangan undang-undang yang telah diajukan. Rancangan

undang-undang tersebut diuraikan melalui Keputusan Dewan Perwakilan

Daerah Republik Indonesia Nomor: 7/DPD RI/I/2021-2022 Tentang Usul

Program Legislasi Nasional Dewan Perwakilan Daerah Republik

Indonesia Prioritas Tahun 2022.85 Rancangan undang-undang yang

dimaksudkan adalah tentang Daerah Kepulauan dan RUU tentang Badan

Usaha Milik Desa (BUMDes). Kedua RUU tersebut merupakan transfer

lanjutan (carry overn) RUU pada Prolegnas tahun berikutnya jika

pembahasan tidak dapat dituntaskan oleh DPD.

Selain 2 (dua) RUU tersebut, DPD juga telah melakukan

pembahasan terhadap kebutuhan daerah dan nasional terhadap undang-

undang yang berkaitan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 dan pengarusutamaannya. Untuk

mempercepat pencapaian target rencana pembangunan nasional

berdasarkan RPJM Nasional 2020-2024, pemerintah melalui Kementrian

Perencanaan Pembangunan Nasional menetapkan 6 (enam)

85
Www.jdih.dpd.go.id, diakses pada Kamis 8 September 2022, Pukul 19.35 Wita.
66

pengarusutamaan (mainstreaming) RPJM Nasional. Pengarusutamaan

yang dimaksud yakni:86

a) Kesetaraan gender,
b) Tata kelola pemerintahan yang baik,
c) Pembangunan berkelanjutan,
d) Kerentanan bencana dan perubahan iklim,
e) Modal sosial dan budaya,
f) Transformasi digital.

Jika hendak dikelompokan usulan DPD terhadap Prolegnas dengan

memperhatikan RPJM Nasional dan pengarusutamaannya, maka dapat

dilihat melalui tabel berikut:87

Tabel 3. Daftar Rancangan Undang-Undang Usulan DPD RI


Berdasarkan Pengarusutamaan RPJM Nasional

No. Pengarusutamaan RPJM RUU Usul DPD


Nasional
1. Tata kelola pemerintahan a. RUU tentang Daerah Kepulauan
yang baik. b. RUU tentang Badan Usaha Milik
Desa;
c. RUU tentang Pelayanan Publik;
d. RUU tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 Tentang Desa;
e. RUU tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional;
f. RUU tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.

2. Pembangunan Berkelanjutan a. RUU tentang Daerah Kepulauan;


b. RUU tentang Badan Usaha Milik
Desa;
c. RUU tentang Daya Saing Daerah;
d. RUU tentang Kedaulatan Pangan
86
Keputusan DPD RI Nomor 7/DPD RI/I/2021-2022 Tentang Usul Program Legislasi
Nasional Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Prioritas Tahun 2022.
87
Ibid
67

RUU tentang Perubahan atas UU


Nomor 29 Tahun 2000 tentang
Perlindungan Varietas Tanaman;
e. RUU tentang Peningkatan
Pendapatan Asli Daerah.

3. Kerentanan bencana dan a. RUU tentang Kegeologian;


perubahan iklim b. RUU tentang Pelestarian dan
Pemanfaatan Sumber Daya Genetik;
4. Modal sosial dan budaya a. RUU tentang Keolahragaan;
b. RUU tentang Bahasa Daerah;
c. RUU tentang Pelestarian dan
Pemanfaatan Sumber Daya Genetik

5. Tranformasi digital a. RUU tentang Badan Usaha Milik


Desa;
b. RUU tentang Pelayanan Publik;
c. RUU tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan;

Sumber: Jaringan Dokumentasi Informasi Hukum (JDIH) DPD RI

Setiap proses pembentukan rancangan undang-undang yang

dilakukan DPD harus melibatkan partisipasi publik dalam upaya

menampung kebutuhan hukum daerah. Pada Prolegnas tahun 2021,

berdasarkan masukan dari masyarakat, kepentingan daerah dan pendapat

akademisi, DPD telah mengajukan 5 (lima) RUU yang disertai Naskah

Akademik (NA) dan draft RUU-nya. Namun dalam pelaksanaan rapat

tripartit antara DPD, DPR dan Pemerintah hanya 1 (satu) RUU usul DPD

yang diakomodir, yakni RUU Badan Usaha Milik Desa. Selain RUU

BUMDes tersebut, RUU Daerah Kepulauan yang diusulkan pada

Prolegnas sebelumnya juga termasuk sebagai RUU luncuran tahun 2020.

Kedua RUU usul dari DPD tersebut melengkapi jumlah 22 (dua puluh
68

dua) RUU diusulkan DPR dan 9 (sembilan) RUU usulan dari Presiden

sebagai Prolegnas 2021. Sejauh ini capaian pembentukan undang-undang

masih sangat rendah. Hingga saat ini hanya ada 1 (satu) RUU yang

berhasil dijadikan undang-undang, yaitu Undang-Undang tentang Otonomi

Khusus Papua (Otsus Papua).88 Sejauh ini capaian pembentukan undang-

undang masih sangat rendah. Hingga saat ini hanya ada 1 (satu) RUU yang

berhasil dijadikan undang-undang, yaitu UU Otsus Papua. Karenannya

dibutuhkan kerjasama yang maksimal agar tercapainya target legislasi tiap

tahunnya oleh parlemen dan Presiden.

3. Pelaksanaan Fungsi Pengawasan

Selain fungsi legislasi DPD RI juga memiliki kewenangan di

bidang pengawasan. Kewenangannya dalam bidang pengawasan secara

tegas diamanatkan oleh konstitusi negara melalui Pasal 22D ayat (3) UUD

1945. Rumusan Pasal 22D ayat (3) menegaskan bahwa:

“Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dapat melakukan


pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai; otonomi
daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan
dan belanja negara, pajak, pendidikan, agama serta menyampaikan
hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.”

Kewenangan tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam ketentuan

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Pasal 248 ayat (1) huruf (d) yang

menyebutkan bahwa DPD mempunyai fungsi: “pengawasan atas

pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan,

88
Ibid
69

pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,

pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama.”

Selain melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-

undang sebagaimana diuraikan diatas, DPD juga melakukan pengawasan

terhadap hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan oleh BPK.

Dalam rumusan Pasal 249 ayat (1) huruf (g) dijelaskan bahwa DPD:

“menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai

bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-

undang yang berkaitan dengan APBN.” Hasil pengawasan yang dilakukan

disampaikan kepada DPR dan Presiden sebagai bahan pertimbangan untuk

ditindaklanjuti.

Pada objek kegiatan pelaksanaan fungsi pengawasan, DPD RI

diarahkan pengawasannya mengenai peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan lingkup kewenangannya sebagaimana termaktub dalam

Pasal 22D. Objek pengawasan yang dimaksud mencakup:89

a) Penyusunan peraturan pelaksanaan undang-undang, misalnya


peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah dan
peraturan turunannya.
b) Sosialisasi peraturan perundang-undangan hingga peraturan
pelaksanaannya.
c) Implementasi materi atau substansi peraturan perundang-
undangan hingga peraturan pelaksanaannya baik yang bersifat
internal di lembaga pemerintah maupun bersifat eksternal dalam
pelayanan publik.
d) Pengawasan terhadap pelaksanaan materi atau substansi norma
sampai dengan peraturan pelaksanaannya.
89
Samyo, Muhammad Fauzan dan Riris Ardhanariswari, “Implementasi Fungsi Pengawasan
Dewan Perwakilan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”, Jurnal Soedirman Law Review, Vol.3, No.2 Tahun 2021.
70

Pelaksanaan fungsi pengawasan DPD juga dibagi menjadi 2 (dua)

jenis yaitu pengawasan kelembagaan dan pengawasan perorangan.90

Pengawasan tersebut dijalankan dengan Alat Kelengkapan DPD. Secara

kelembagaan pelaksanaan fungsi pengawasan DPD dilakukan oleh Komite

dan Panitia Akuntabilitas Publik sesuai tugas dan wewenangnya.

Pengawasan kelembagaan juga dilakukan oleh anggota secara

perseorangan berdasarkan penugasan Alat Kelengkapan DPD. Sementara

pengawasan perorangan dilakukan oleh anggota perorangan atau

kelompok anggota berupa pengelompokan berdasarkan anggota provinsi

maupun pengelompokan lain berdasarkan kepentingan tertentu yang

dilakukan berdasarkan tugas dan wewenang kelembagaan atau

berdasarkan hak dan kewajiban perorangan anggota.

Berdasarkan ketentuan Pasal 176 ayat (1) Tata Tertib DPD,

pelaksanaan fungsi pengawasan dikelompokkan dalam beberapa bagian.

Pelaksanaan fungsi yang dimaksud adalah dalam hal:91

a) Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang,


b) Pengawasan akuntabilitas keuangan negara, pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang oleh pemerintah daerah,
c) Pemantauan dan evaluasi Raperda dan Perda, dan
d) Pemantauan dan peninjauan undang-undang.

Terkait pengawasan atas pelaksanaan undang-undang sebagaimana

dijabarkan diatas dapat dilihat melalui Peraturan Tata Tertib DPD RI.

Dalam rumusan Pasal 176 ayat (2) menjelaskan bahwa pengawasan atas

pelaksanaan undang-undang sebagaimana dimaksud dilakukan oleh


90
Ibid
91
Lihat, Pasal 176 ayat (1) Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2022
71

Komite. Kewenangan DPD hanya menyampaikan hasil pengawasan atas

pelaksanaan undang-undang disampaikan kepada DPR dan Presiden

dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Pasal 176 ayat (3) dijelaskan bahwa pengawasan atas akuntabilitas

keuangan negara terhadap hasil pemeriksaan BPK dilakukan oleh Komite

IV. Secara khusus, Komite IV bertugas melakukan pengawasan sebagai

tindaklanjut dari hasil pemeriksaan BPK dalam rangka melakukan evaluasi

kebijakan sebagai bahan pemberian pertimbangan Penulisan Rancangan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Laporan hasil

pemeriksaan keuangan negara yang diterima oleh DPD dari BPK meliputi

beberapa kategori yaitu:92

a) Hasil pemeriksaaan laporan keuangan;

b) Hasil pemeriksaan kinerja;

c) Hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu; dan

d) Ikhtisar pemeriksaan semester.

Kemudian dalam rumusan Pasal 176 ayat (4) menjelaskan bahwa

pengawasan atas pelaksanaan undang-undang oleh pemerintah daerah

dilakukan oleh Anggota atau kelompok Anggota provinsi di provinsi

masing-masing. Sementara pengawasan terhadap Raperda dan Perda

dilakukan Anggota atau kelompok Anggota DPD di masing-masing

provinsi dan pengawasan secara kelembagaan dilakukan oleh Badan

Urusan Legislasi Daerah. Selain itu pemantauan dan evaluasi yang

92
Samyo, Muhammad Fauzan dan Riris Ardhanariswari, Op. Cit. hlm 265.
72

dilakukan DPD bertujuan untuk mengharmonisasi peraturan perundang-

undangan dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia.

Sejauh ini, sejak dibentuknya lembaga DPD RI hingga periode

sekarang telah banyak melaksanakan kewenangannya dan menyampaikan

hasil-hasil kerja yang dilaksanakannya dalam bentuk Keputusan DPD.

Pelaksanaan tersebut berkaitan dengan pandangan dan pendapat,

pertimbangan serta hasil pengawasan. Selain itu pada proses

pembahasannya, DPD telah banyak melakukan tahapan-tahapan

penyerapan aspirasi masyarakat di daerah dengan melakukan kunjungan

kerja untuk memperoleh masukan-masukan dari masyarakat dan daerah

terkait apa yang diperlukan atau apa yang menjadi prioritas di daerah yang

diperjuangkan ditingkat nasional. Keputusan dari hasil-hasil pengawasan

DPD RI yang dimaksud disampaikan secara periodik kepada DPR RI.

Namun yang menjadi kendala adalah DPD RI masih mengalami kesulitan

untuk dapat memantau sejauh mana keputusan tersebut disampaikan ke

pemerintah.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Penulis, pelaksanaan

fungsi pengawasan DPD RI sejak tahun 2013 sampai tahun 2022, terdapat

111 Keputusan DPD RI hasil pengawasan terhadap kewenangannya.

Berikut rekapitulasi hasil pengawasan DPD RI:93

Tabel 4. Rekapitulasi Data Hasil Pengawasan DPD RI Tahun


2013-2022.
93
https://jdih.dpd.go.id/site/piechart?jenis_dokumen=Pengawasan, diakses pada Rabu 14
September 2022, Pukul 9.57 Wita
73

No. Tahun Keputusan DPD RI


1. 2013 18
2. 2014 8
3. 2015 24
4. 2016 20
5. 2019 22
6. 2020 9
7. 2021 7
8. 2022 3
Total 111
Sumber: Jaringan Dokumentasi Informasi Hukum (JDIH) DPD RI

Menurut Penulis, untuk memaksimalkan fungsi pengawasan DPD

RI dapat bersinergi dengan kelompok-kelompok masyarakat di daerah.

Lebih-lebih persoalan yang ditangani oleh DPD mengacu kepada aspirasi

yang sifatnya kebijakan yang memerlukan pendampingan DPD. Oleh

karena itu, perlu untuk melakukan komunikasi politik dan membuka akses

jaringan serta kerja sama dengan berbagai institusi baik pemerintah

maupun non pemerintah. Selain itu, DPD juga mesti mampu memahami

mendalam mengenai situasi daerah dan apa yang menjadi kebutuhan

daerah.

4. Pelaksanaan Fungsi Anggaran (Budgeting)

Berdasarkan hasil penelitian Penulis bahwa peran DPD RI terkait

fungsi anggaran (budgeting) mencakup beberapa poin, yakni: mengajukan

RUU tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, memberikan

pertimbangan terhadap RUU APBN dan melakukan pengawasan terhadap

pelaksanaan APBN. Pengaturan mengenai kewenangan DPD dalam

konteks hak budgeting sebagaimana dimaksud diatas telah diamanatkan

oleh UUD 1945 Pasal 22D ayat (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (2).
74

Pada rumusan Pasal 22D ayat (2) dijelaskan bahwa DPD

mempunyai peran untuk terlibat dalam proses pembahasan rancangan

undang-undang yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan

daerah. Dalam kesempatan tersebut DPD juga diberikan wewenang untuk

memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tentang APBN yang

diajukan oleh pemerintah. Kemudian pada penjelasan Pasal 22D ayat (3)

menegaskan bahwa DPD berwenang melakukan pengawasan atas

pelaksanaan APBN dan menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR

sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Sementara dalam

rumusan Pasal 23 ayat (2) dijelaskan secara eksplisit bahwa rancangan

undang-undang yang berkaitan dengan RUU APBN sebagaimana

dimaksud diatas diajukan oleh pemerintah untuk dibahas bersama DPR

dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

Namun kewenangan yang dberikan kepada DPD dinilai timpang

karena hak budgeting DPD dianggap tidak seimbang dengan kewenangan

yang dimiliki DPR. Secara yuridis dan praktisnya, DPR memiliki

kewenangan yang utuh dalam menentukan kebijakan anggaran negara

yang diajukan pemerintah. Hal tersebut dapat dilihat dalam rumusan Pasal

23 ayat (3) UUD 1945ditegaskan bahwa DPR berwenang untuk tidak

menyetujui atas RUU APBN yang diajukan pemerintah. Kewenangan

yang terbatas ini menggambarkan tujuan dari DPD pada proses pemberian

pertimbangan dan ikut serta dalam pembahasan atas RUU APBN tidak

hanya sebatas mengenai kepentingan daerah yang diwakilinya khususnya


75

yang berkaitan dengan penyusunan APBN, tetapi DPD juga harus

diberikan wewenang untuk mengajukan maupun membahas dan ikut

mengambil keputusan dalam proses yang utuh secara keseluruhan dalam

menentukan terkait RUU APBN.94

Jika dicermati dari penjelasan pasal-pasal tersebut, sebenarnya

DPD tidak memiliki kewenangan penuh dalam menentukan kebijakan

anggaran. Karena yang berwenang menentukan terkait RUU APBN yang

diajukan tersebut hanya berada ditangan DPR. Sementara DPD sebagai

kamar kedua dalam sistem bicameral lembaga perwakilan hanya memiliki

wewenang yang terbatas yakni memberikan pertimbangan.

Secara teoritis, uraian mengenai mekanisme check and balances

dalam teori pembagian kekuasaan negara mesti dipahami dalam kerangka

sistem perwakilan yang utuh antara lembaga yang satu dengan lembaga

lainnya. Dalam memahami hak budgeting pada lembaga legislatif adalah

digunakan dalam melaksanakan fungsi pengawasan, pemeriksaan dan

penyeimbangan terhadap kewenangan antara lembaga legislatif dan

eksekutif yang menyoal anggaran negara. Sehingga konsep bicameral (dua

kamar) sebagaimana diuraikan sebelumnya dapat diwujudkan melalui

penerapan mekanisme check and balances yakni adanya double check

supaya penentuan anggaran negara dapat lebih baik tepatnya untuk

kemakmuran rakyat.

94
Fazky Muhammad Hasa, Efik Yusdiansyah, Fabian Fadhly Jambak, “Fungsi Dewan
Perwakilan Daerah dalam Perencanaan dan Pengawasan terhadap Pengelolaan Keuangan
Negara (APBN), Bandung Conference Series Law Studies, Vol.2 No.1 Tahun 2021, hlm 600-606.
76

Menurut Penulis, wewenang DPD dalam memberikan

pertimbangan tidak jauh berbeda dengan Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM) atau Dewan Pertimbangan Agung (DPA) di masa lalu. Hanya

bedanya, DPA memberikan pertimbangan kepada Presiden sementara

DPD memberikan pertimbangan kepada DPR. Jika ditinjau pada

praktiknya dimasa sekarang, sepanjang tahun 2013 sampai 2022

diakumulasikan terdapat 34 Keputusan DPD RI yang memuat

pertimbangan terhadap RUU APBN dan yang berkaitan dengan pajak,

pendidikan dan agama serta laporan dan rekomendasi DPD RI hasil

pemeriksaan keuangan oleh BPK. Keputusan tersebut dapat dilihat dari

penjelasan tabel berikut.95

Tabel 5. Rekapitulasi Hasil Pertimbangan DPD RI Tahun


2013-2022

No. Tahun Jumlah Keputusan


1. 2013 3
2. 2014 6
3. 2015 6
4. 2016 8
5. 2019 9
6. 2020 1
7. 2022 1
Total 34
Sumber: Jaringan Dokumentasi Informasi Hukum (JDIH) DPD RI

Pertimbangan DPD RI sebagaimana dijabarkan diatas disusun

berdasarkan aspirasi berbagai pihak di daerah yang diperoleh melalui

Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan pemerintah, pandangan para ahli,

dan pelaku pembangunan serta melalui kunjungan kerja ke daerah.

Pertimbangan ini bertujuan untuk memberikan pandangan terkait dengan


95
Www.jdih.dpd.go.id, diakses pada Selasa, 1 November 2022, pukul 20.14 Wita.
77

beberapa kebijakan yang diajukan oleh pemerintah. Melalui pertimbangan

tersebut, diharapkan penyusunan RAPBN dapat memperhatikan dan

mengakomodasi kepentingan pembangunan daerah di Indonesia.


78

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kedudukan dan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam

sistem ketatanegaraan Indonesia yang diatur dalam Pasal 22C dan Pasal

22D ayat (1), (2) dan (3) tidak sesuai dengan gagasan pembentukan

DPD dalam menciptakan mekanisme check and balances pada cabang

kekuasaan negara. Keberadaan DPD RI secara fungsional masih

terbatas pada persoalan yang menyangkut kedaerahan. Kewenangan

DPD RI sebagai badan legislatif hanya berperan sebagai “pengusul”

dan memberi “pertimbangan” pada cabang kekuasaan yang lainnya.

Sehingga kedudukan dan kewenangan DPD RI dalam sistem

ketatanegaraan republik Indonesia masih nampak “subordinat”

terhadap kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

2. Implementasi hukum kewenangan DPD RI pada bidang fungsi legislasi,

pengawasan dan anggaran masih belum maksimal dilaksanakan oleh

DPD RI karena disebabkan kewenangannya yang masih sangat terbatas.

Kewenangan DPD RI sebatas untuk “mengajukan usul”, “ikut

membahas” dan “memberi pertimbangan”. Sejauh ini capaian

pelaksanaan kewenangan DPD RI dalam menjalankan fungsi

representasi masih sangat rendah jika dibandingan dengan DPR RI baik

di bidang fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran.


79

B. Saran

1. Bahwa Pemerintah dan DPR RI perlu mengamandemen Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta merevisi

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk

memperkuat kedudukan dan kewenangan DPD RI sehingga mampu

mengakomodir kepentingan-kepentingan daerah melalui fungsi

representasi yang kuat dan utuh.

2. Bahwa DPD RI dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah perlu

melaksanakan kewenangan secara maksimal dalam menjalankan tugas

dan fungsinya serta memperhatikan serius segala kebutuhan hukum

masyarakat di daerah.
80

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Aloysius R. Entah, 2016, “Indonesia: Negara Hukum yang Berdasarkan


Pancasila” dalam Seminar Nasional Revitalisasi Ideologi
Pancasila dalam Aras Global Perspektif Negara Hukum, Fakultas
Hukum Universitas Negeri Semarang, November.

Bagir Manan, 2019, “Nilai Dasar Keindonesiaan dan Negara Hukum”,


Dalam Bunga Rampai Memperkuat Peradaban Hukum dan
Ketatanegaraan Indonesia, Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial
Republik Indonesia, Cetakan Pertama.

Bintan R. Saragih, 1985,“Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan


di Indonesia”, Perintis Pres, Cet.I. Jakarta.

Gunawan Sumodiningrat dan Ary Ginanjar Agustian, 2008, “Mencintai


Bangsa dan Negara Pegangan Dalam Hidup Berbangsa dan
Bernegara di Indonesia”, Bogor PT. Sarana Komunikasi Utama.

Jimly Asshiddiqie, 2007, “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia”,


Buana Ilmu Populer, Jakarta.

Jimly Asshiddiqie, 2014, “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara”,


Rajawali Pers, cet.6. Jakarta, Februari.

Mexsasai Indra, 2011, “Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia”, Refika


Aditama, Cet.1, Juni.

Miriam Budiardjo, 2002, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, PT. Gramedia


Pustaka Utama, Jakarta.

Modul Pendidikan, “Sistem Pemrintahan Negara; Pendidikan dan


Pelatihan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara”,
Mahkamah Konstitusi.

Muchsan, 1981, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara


dan Peradilan Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta.
81

Muhaimin, 2020, ”Metode Penelitian Hukum”, Mataram University Press,


Cetakan Pertama, Juni.

Rahman Mulyawan, 2015, “Sistem Pemerintahan Indonesia”, Unpad


Press, Cet.I, Bandung, April.

Ridwan HR, 2006, “Hukum Administrasi Negara”, Raja Grafindo Persada.

Sirajuddin dan Winardi, 2015, “Dasar-dasar Hukum Tata Negara


Indonesia”, Setara Press, Cet.I, Malang.

Sulardi, 2012, ”Menuju Sistem Pemerintahan Presidensil Murni”, Setara


Press, Malang.

Titik Tri Wulan Tutik, 2010, “Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Amandemen”, Kencana, Jakarta.

Tundjung Herning Sitabuana, 2020, “Hukum Tata Negara Indonesia”,


Konpress Cet.I, Jakarta, Maret.

2. Jurnal

Adrian Fiski Oday, 2013, “Tinjauan Yuridis Kedudukan dan Kewenangan


Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia”, Lex Administratum, Vol. I. No. 2 April-Juni.

Andryan, 2017, “Dinamika Ketatanegaraan Rezim Reformasi”, Pustaka


Prima, Medan.

Ahmad Rosidi, 2015 “Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam


Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Jurnal
IUS, Vol. III Nomor 8, Agustus.

Ahmad Yani, 2018, “Sistem Pemerintahan Indonesia: Pendekatan Teori


dan Praktek Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945”, Jurnal
Legislasi Indonesia Vol 15. No.2 Juli.

Cora Elly Novianti, 2013, “Demokrasi dan Sistem Pemerintahan”, Jurnal


Konstitusi, Volume 10, No.2 Juni.
82

Ellya Rosana, 2016, “Negara Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”, Jurnal
TAPIs Vol.12. No.1 Januari-Juni.

Elva Imeldatur Rohmah, 2019, “Perbandingan Sistem Pemerintahan


Indonesia, Iran, dan Prancis”, Jurnal Ummul Qura, Vol.XIII, No.1,
Maret.

Fahrul Reza, 2019, “DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang dan


Peranannya dalam Fungsi Legislasi Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi”, Media Syari’ah, Vol.21, No.1.
Fazky Muhammad Hasa, Efik Yusdiansyah, Fabian Fadhly Jambak, 2021,
“Fungsi Dewan Perwakilan Daerah dalam Perencanaan dan
Pengawasan terhadap Pengelolaan Keuangan Negara (APBN),
Bandung Conference Series Law Studies, Vol.2 No.1.

Halimah Nur Izzati, 2016, “Karakteristik Sistem Parlementer Dalam


Sistem Pemerintahan Di Indonesia Pasca Amandemen Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, JOM
Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober.

Hernadi Affandi, 2014, “Problematika Fungsi Legislasi Dewan


Perwakilan Daerah dalam Hegemoni Dewan Perwakilan Rakyat”,
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 No.1 Tahun.

Hezron Sabar Rotua Tinambunan dan Dicky Eko Prasetio, 2019,


“Rekonstruksi Konstitusi dalam Regional Representative Dewan
Perwakilan Daerah terhadap Fungsi Legislatif”, Masalah-Masalah
Hukum, Jilid 48 No.3, Juli.

Miki Pirmansyah, 2014, “Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah Dalam


Sistem Bikameral Di Indonesia”, Jurnal Cita Hukum, Volume II
No 1 Juni.

Muh. Risnain, 2021,“Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


92/PUU-X/12 Terhadap Kewenangan Legislasi DPD RI Dikaitkan
Dengan Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang”, Jurnal
Unizar Law Review, Vol. 4(1), Juni.

Muntoha, 2009, “Demokrasi dan Negara Hukum”, Jurnal Hukum No.3


Vol.16 Juli.
83

Putri Noor Ilham dan Deny Prihatmadja, 2008, “Kedudukan Dewan


Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Lex
Jurnalica Vol.5 No.2 April.

Salmon E.M. Nirahua, 2011, ”Kedudukan dan Kewenangan Dewan


Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”,
Jurnal Hukum, No.4 Vol. 18 Oktober.

Samyo, Muhammad Fauzan dan Riris Ardhanariswari, 2021,


“Implementasi Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”, Jurnal Soedirman Law Review, Vol.3, No.2.

Yuliandri dan Ari Wirya Dinata, 2019, “Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan dalam Sistem Presidensial Di Indonesia”,
Jurnal Majelis, Edisi 01, Januari.

3. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 Tentang Perubahan Ketiga Atas


Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6396

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan, LN RI Tahun 2011 Nomor 82.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun


2019 Tentang Tata Tertib.

Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 7/DPD


RI/I/2021-2022 Tentang Usul Program Legislasi Nasional Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia Prioritas Tahun 2022.
84

4. Internet

https://nasional.kompas.com, “Pembagian Kekuasaan Menurut Jhon


Locke dan Montesquieu”, diakses pada 24 Maret 2022, pukul
18.15.

https://www.gramedia.com, “Pengertian Demokrasi: Sejarah, Ciri,


Tujuan, Macam, dan Prinsip”, diakses pada 3 April 2022, pukul
14.19.

Www.hukumonline.com, “Ciri-ciri Sistem Pemerintahan Presidensial


dan Parlementer”, diakses pada Selasa 10 Mei 2022 Pukul 01.17
Wita.

Www.nasional.kompas.com, “Ciri-ciri Sistem Pemerintahan Campuran”,


diakses pada Senin 16 Mei 2022, pada pukul 01.00 wita

Suhardi Saming mengenai “Sistem Pemerintahan”, dipublish dari


https://academia.edu, diakses pada Senin 16 Mei 2022, pada pukul
02.13 wita.

https://edukasi.okezone.com, “Bagaimana Mekanisme Pembagian


Kekuasaan yang Dilaksanakan di Indonesia”, diakses pada 9 Juni
2022 pukul 21.49 Wita.

https://jdih.dpd.go.id/site/piechart?jenis_dokumen=Pengawasan, diakses
pada Rabu 14 September 2022, Pukul 09.57 Wita

Anda mungkin juga menyukai