Anda di halaman 1dari 88

PENYIDIKAN TERHADAP PEMUFAKATAN JAHAT MELAKUKAN

TINDAK PIDANA PREKURSOR NARKOTIKA


(Suatu Penelitian di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Kota Medan)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Syarat Melaksanakan/Melakukan Penelitian


Guna Penyelesaian Tugas Akhir Kuliah (Penyusunan Skripi)
Pada Fakultas Hukum Universitas Darma Agung

Oleh:

Nama : Muhammad Ridho Simatupang


NPM : 18021111101
Konsentrasi : Hukum Pidana
ProgramStudi : IlmuHukum

UNIVERSITAS DARMA AGUNG


FAKULTAS HUKUM
MEDAN
2022
PENYIDIKAN TERHADAP PEMUFAKATAN JAHAT MELAKUKAN
TINDAK PIDANA PREKURSOR NARKOTIKA
(Suatu Penelitian di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk UjianMeja Hijau Skripsi


Pada Fakultas Hukum Universitas Darma Agung

Oleh:

Nama : Muhammad Ridho Simatupang


NPM : 18021111101
Konsentrasi : Hukum Pidana
ProgramStudi : IlmuHukum

Pembimbing I

Dr. Novi JuliRosaniZulkarnain, S.H, M.H


Pembimbing II.

Dr. Ria Sintha Devi, S.H M.H


Mengetahui,
Ketua Program Ilmu Hukum
Dr. Muhammad Yasid, S.H., M.H
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan sebagai berikut:

1. Skripsi saya, adalah asli dan sepengetahuan penulis belum pernah dibuat untuk

mendapatkan gelar akademik Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas

Darma Agung atau di Perguruan Tinggi lain.

2. Skripsi saya, didalamnya tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis

atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan

sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan

dicantumkan dalam daftar pustaka.

3. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari

terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran pernyataan ini, maka saya bersedia

menerima sanksi akademik, dan sanksi lainnya sesuai dengan norma yang

berlaku di perguruan tinggi ini.

Medan, April 2022

Yang MembuatPernyataan

Muhammad RidhaSimatupang
ABSTRAK

JudulPenelitianskripsiiniadalahPenyidikanterhadappemufakatanjahatmelaku
kantindakpidanaprekursornarkotika. Adapun yang
menjaditujuandaripenelitianyakniuntukmengetahui prosedur penetapan tersangka
DPO dalam penyidikan terhadap pemufakatan jahat melakukan tindak pidana
prekursor narkotika, mengetahui hambatan penyidik Satuan Reserse Narkoba
Polresta Medan dalam penyidikan terhadap pemufakatan jahat melakukan tindak
pidana prekursor narkotika dan mengetahui upaya penyidik Satuan Reserse
Narkoba Polresta Medan dalam penyidikan terhadap pemufakatan jahat
melakukan tindak pidana prekursor narkotika.
Hasil penelitianinimenunjukkanProsedurpenetapantersangka DPO
dalampenyidikanterhadappemufakatanjahatmelakukantindakpidanaprekursornark
otikadimulaidaripenetapandasarhukumpenyidikan dan
melakukantahappenyidikan, yang meliputimelakukanperencanaan,
menetapkantujuan dan sasaran, melakukan proses
penyidikansampaidenganpenggeledahanbarangbukti.
HambatanpenyidikSatuanReserseNarkobaPolresta Medan
dalampenyidikanterhadappemufakatanjahatmelakukantindakpidanaprekursornark
otikaadalahkurangnyapartisipasiaktifdarimasyarakatuntukmaubekerjasamadengan
aparatpenegakhukumterkaitadanyatemuanindikasipenyalahgunaanprekursornarkot
ika, kendalasaatmelakukaninterogasi pada
tersangkaketikasakausertaketerbatasansarana dan
fasilitaspenyidikan.UpayapenyidikSatuanReserseNarkobaPolresta Banda Aceh
dalampenyidikanterhadappemufakatanjahatmelakukantindakpidanaprekursornark
otikameliputimelakukanpelacakantersangkasecaratuntas,
menjalinkerjasamadenganinstansiterkait, melakukanraziasecaraintens dan
mempublikasikankepadamasyarakatmelalui humas yang ada.
Adapun saran daripenelitianiniadalahDisarankan kepada masyarakat untuk
ikut berpartisipasi dalam menemukan tersangka yang ditetapkan dalam DPO dan
disarankan kepada kepolisian untuk menyediakan Laboratorium Forensik di
Medan guna memudahkan proses penyidikan. Disarankan Kepada kepolisian
untuk mengeluarkan peraturan kepolisian yang baru terkait tenggang waktu dalam
pemanggilan tersangka DPO agar tiada celah bagi DPO untuk melarikan diri.
Perlu dipikirkan peningkatan secara terus menerus tentang cara-cara yang
diperlukan dalam membantu proses penyelidikan dan penyidikan guna
memberikan titik terang suatu kejahatan narkoba melalui barang bukti seperti
dibuatkan suatu buku tentang jenis-jenis obat Psikotropika dan buku ini
disebarkan kepada masyarakat luas dan diharapkan masyarakat dapat
menginformasikan kepada pihak yang berwenang tentang adanya peredaran obat-
obatan tertentu setelah mengetahui jenis obat itu dilarang untuk diedarkan

Kata Kunci: TindakPidana, Penegakan Hukum, PrekursorNarkotika


KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, pada

saat ini masih diberikannya kesempatan yang tak terhingga untuk menyelesaikan

skripsi ini yang berjudul

“Penyidikanterhadappemufakatanjahatmelakukantindakpidanaprekursornarkotika

” sebagai tugas akhir untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas

Hukum Universitas Darma Agung Medan.

Penulis memahami berbagai kelemahan dan kekurangan di dalam

penulisan skripsi ini, untuk itu saran dan kritikan yang membangun hendaknya

disampaikan secara sehat dari setiap kalangan pembaca untuk menambah ilmu

dan pengetahuan serta wawasan penulis ke depan nantinya. Banyak telah

memberikan bantuannya baik berupa saran maupun kritkitan serta bimbingan

kepada Penulis, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Alusianto Hamonangan, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Darma Agung.

2. Lestari Victoria Sinaga, selaku Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas

Hukum Universitas Darma Agung.

3. Rudolf Silaban, S.Kom, SH, MH, selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan

Fakultas Hukum Universitas Darma Agung.

4. Dr. Muhammad Yasid, S.H., M.H, selaku Ketua Program Studi Fakultas

Hukum Universitas Darma Agung.

5. Dr. Novi ZuliRosaniZulkarnain, S.H, M.H, selaku Pembimbing I yang telah

menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam

penyusunan skripsi ini.


6. Dr. Ria Sintha Devi, S.H M.H, selaku Pembimbing II yang telah menyediakan

waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan

skripsi ini.

7. Dr. Mhd. Ansori Lubis, S.H., M.M, M.Hum, Dosen Fakultas Hukum

Universitas Darma Agung

8. Dr. Syawal Amry Siregar, S.H., C.N., MM, Dosen Fakultas Hukum

Universitas Darma Agung.

9. Dr. Ria Sintha Devi, S.H, M.H, selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas

Darma Agung.

10. Seluruh Dosen yang selama ini telah memberikan ilmu pengetahuan kepada

penulis, yang tidak dapat penulis sebut satu persatu yang telah memberikan

banyak wawasan keilmuan di bidang hukum kepada penulis, dan seluruh

Tenaga Kependidikan Fakultas Hukum Universitas Darma Agung.

11. Seluruh sahabat seperjuanganku mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

Darma Agung.

Demikian sebagai kata pengantar, mudah-mudahan dapat bermanfaat

sehingga memperkaya wawasan, Ilmu dan Pengetahuan bagi pembaca khususnya

penulis dalam mengintegrasikan pemikiran dan sikap. Mohon maaf atas

kekurangan Ilmu dan Pengetahuan penulis yang terbatas dan untuk lebih giat lagi

menambahnya di masa-masa yang akan datang.

Medan, April 2022


Penulis,

Dicky Ramadhan ArdiansyahDamanik


DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ……………................................... i


PERNYATAAN…………………………………………………………….. ii
ABSTRAK…………………………………………………………………... iii
KATA PENGANTAR……………………………………………………… iv

DAFTAR ISI................................................................................................... vi

BAB IPENDAHULUAN........................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 7

C. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 7

D. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 7

E. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 8

F. Metode Penelitian ...................................................................................... 19

1. Jenis Penelitian..................................................................................... 19

2. Sifat Penelitian ..................................................................................... 19

3. Jenis Data dan Sumber Data ................................................................ 19

4. Pengolahan dan Analisis Data.............................................................. 20


G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 21

BAB IIPENETAPAN TERSANGKA DPO DALAM PENYIDIKAN 22


TERHADAP PEMUFAKATAN JAHAT MELAKUKAN TINDAK
PIDANA PREKURSOR NARKOTIKA……………………………....….
A. TindakPidana dan UnsurTindakPidana …............................................ 22

B. TeoriPenegakan Hukum............................................................................ 30
.C.TindakPidanaNarkotika……..………………………….…...................... 45

.D.PenetapanTersangka DPO 49
DalamPenyidikanTerhadapPemufakatanJahatMelakukanTindakPidanaP
rekursorNarkotika……......................

BAB IIIHAMBATAN PENYIDIK SATUAN RESERSE NARKOBA 58


POLRESTA MEDAN DALAM PENYIDIKAN TERHADAP
PEMUFAKATAN JAHAT MELAKUKAN TINDAK PIDANA
PREKURSOR NARKOTIKA...................………….…….........................
A. Ketentuan Hukum TerkaitDenganPrekursorNarkotika........................... 58
B.HambatanPenyidikSatuanReserseNarkobaPolresta Medan 68
DalamPenyidikanTerhadapPemufakatanJahatMelakukanTindakPidanaP
rekursor Narkotika...................................................................................
BAB IVUPAYA PENYIDIK SATUAN RESERSE NARKOBA 70
POLRESTA MEDAN DALAM PENYIDIKAN TERHADAP
PEMUFAKATAN JAHAT MELAKUKAN TINDAK PIDANA
PREKURSOR NARKOTIKA…………………………….……………….
A. DampakPenyebaranNarkotika dan PrekursorNarkotika...……………… 70
B. UpayaPenyidikSatuanReserseNarkobaPolresta Medan 73
DalamPenyidikanTerhadapPemufakatanJahatMelakukanTindakPidanaP
rekursorNarkotika........……………………………………………………

BAB VKESIMPULAN DAN SARAN……............................................. 75


A. Kesimpulan.................................................................................................... 75
B. Saran……………….. .……………………………………………………........... 76

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 77
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LatarBelakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang berdasarkan

atas hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan (machtstaat).1

Hukum berfungsi untuk mengatur hubungan antara manusia yang satu dengan

manusia lainnya dan hubungan antara manusia dan negara agar segala

sesuatunya berjalan dengan tertib. Oleh karena itu, tujuan hukum adalah untuk

mencapai kedamaian dengan mewujudkan kepastian hukum dan keadilan di

dalam masyarakat. Kepastian hukum menghendaki adanya perumusan kaedah-

kaedah dalam peraturan perundang- undangan itu harus di laksanakan dengan

tegas. Oleh sebab itu semua masyarakat Indonesia sangat mengharapkan

hukum ditegakkan dan tidak boleh memihak kepada siapapun.

Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, yang

mengandung makna bahwa segala tindakan serta pola tingkah laku setiap

warga negaranya harus sesuai dengan norma-norma dan ketentuan- ketentuan

yang diatur oleh negara. Apabila berbicara masalah hukum, maka akan

dihadapkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pergaulan hidup

manusia di masyarakat yang diwujudkan sebagai proses interaksi dan

interrelasi antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya didalam

kehidupan bermasyarakat.

1
A. Rasyid Rahman, Pendidikan Kewarganegaraan, Makassar, UPT MKU
Universitas Hasanuddin Makassar, 2006, hlm. 74
2

Tindakan pidana adalah suatu perbuatan yang melawan/melanggar

hukum yang telah ditentukan. Dimana hukum yang telah ditentukan terdapat

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penghancuran dan

pengrusakan barang merupakan salah satu perbuatan pidana yang termuat

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindakan ini terdapat

beberapa unsur, macam-macam, dan sanksinya, perbuatan melawan hukum ini

mempunyai nilai resiko yang tinggi, disamping masa hukum penjaranya

(sanksi) juga mempunyai akibat yang fatal dikarenakan penghancuran dan

perusakan dapat merugikan orang lain yang telah menjadi korbannya. Pada

dasarnya, perusakan barang milik orang lain sangat merugikan pemilik barang,

baik barang yang dirusak tersebut hanya sebagian saja atau seluruhnya,

sehingga pemilik barang tersebut tidak dapat menggunakan lagi barang

miliknya.Selainitubarangyangtelahdirusakmerupakansesuatuyang bernilai bagi

pemiliknya, dengan terjadinya pengrusakan barang ini sangat mengganggu

ketenangan pemilik barang. Perbuatan merusak barang milik orang lain

merupakan suatu kejahatan. Setiap kejahatan atau pelanggaran yang terjadi

tidak hanya dilihat dari sudut orang yang melakukan kejahatan, akan tetapi

dalam kasus-kasus tertentu juga dapat dilihat dari sudut korban sebagai orang

yang dirugikan dalam tindak pidanatersebut.

Tindak pidana kejahatan yang dilakukan perseorangan atau gerombolan

membuat kekhawatiran dalam masyarakat. Pemerintah sebagai pemimpin

bangsa sangat diharapkan perannya untuk menjaga keamanan dan ketertiban

dalam kehidupan bermasyarakat. Segala tindak kejahatan perlu diadili dalam

persidangan demi terciptanya kepastian hukum dalam masyarakat. Setiap


3

kejahatan atau pelanggaran yang terjadi tidak hanya dilihat dari sudut orang

yang melakukan kejahatan, akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu juga dapat

dilihat dari sudut korban sebagai orang yang dirugikan dalam tindak

pidanatersebut.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Permufakatan

jahat diatur dalam Pasal 88 menyebutkan : “Permufakatan jahat

(samenspanning) dianggap ada bila saja dua orang atau lebih bermufakat

untuk melakukan kejahatan itu”. “Sedangakan apa yang masuk dalam

pengertian Permufakatan jahat ialah permufakatan untuk berbuat kejahatan.2

Segala pembicaraan atau rundingan untuk mengadakan permufakatan itu

belum masuk dalam pengertian Permufakatan jahat.Permufakatan jahat

merupakan suatu perencanaan disertai kesepakatan untuk melakukan suatu

kejahatan, dapat dikatakan tindak pidana yang disepakati, dipersiapkan atau

direncanakan tersebut belum terjadinya tindak pidana. Unsur penting dalam

Permufakatan jahat adalah adanya dua orang, adanya kesepakatan dan niat,

maksud atau tujuan melakukan tindak pidana narkotika, jika salah satu unsur

tidak terpenuhi dari pasal pokok yang didakwakan, maka penerapan pasal

mengarah kepada keikutsertaan (deelneming) pasal 55 KUHP atau pasal 56

KUHP.

Pengertian Permufakatan jahat dalam Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, diatur dalam Pasal 1

angka 18 yang menyebutkan: “Permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang

atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan,

2
Soesilo R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar- Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Cetakan Ke 9,Politea, Bogor, 1986, hlm.97
4

melaksanakan, membantu, serta melakukan, menyuruh, menganjurkan,

organisasi kejahatan Narkotika, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana

Narkotika”.

Jika ditinjau dari perundang-undangan Indonesia dalam Kitab

UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni dalam Pasal 1 butir 1

mengatakan bahwa penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia

atau pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-

undang untuk melakukan penyidikan, sedangkan dalam Pasal 1 butir 4 kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatakan bahwa

penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi

wewenang oleh undang- undang ini untuk melakukan penyelidikan. Dari

penjelasan kedua Pasal tersebut dapat dikatakan bahwa intitusi kepolisian

merupakan suatu lembaga yang diberi wewenang oleh negara yang diharapkan

mampu membantu proses penyelesaian terhadap kasus kejahatan dan

pelanggaran tindak pidana.

Pelaksanaan tugas kepolisian juga telah disusun dalam Undang-Undang

Nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia. Adapun

yang menjadi tugas kepolisian yaitu :

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

2. Menegakan hukum; dan

3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.

Masyarakat pun banyak sekali menaruh harapan pada polisi agar polisi

dapat menyelesaikan atau menanggulangi masalah yang di hadapi tanpa


5

memperhitungkan apakah polisi tersebut adalah polisi yang berpengalaman

atau tidak. Begitu banyak jenis kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat,

perilaku yang menyimpang atau tidak sesuai dengan dengan norma atau yang

di sebut sebagai penyimpangan terhadap norma-norma yang telah disepakati

yang mengakibatkan terganggunya keamanan, ketertiban dan ketentraman

kehidupan bermasyarakat. Kejahatan yang ada dalam kehidupan manusia

merupakan gejala sosial yang akan selalu di hadapi oleh setiap manusia,

masyarakat, dan bahkan Negara . Kejahatan pada masa sekarang ini sudah

tidak mengenal usia, baik muda, tua, dewasa dan kenyataan membuktikan

bahwa kejahatan hanya dapat di cegah dan dikurangi tapi sangat sulit untuk di

berantas sampai tuntas. Jenis kejahatan tersebut dapat berupa pembunuhan,

pemerkosaan, penculikan, penyalahgunaan narkotika dan lain sebagainya.

Narkotika adalah zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan

untuk mengobatan penyakit tertentu.Namun jika disalahgunakan atau

digunakan tidak sesuai dengan standart pengobatan dapat menimbulkan akibat

yang sangat merugikan masyarakat dan kesehatan. Hal ini akan lebih

merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika

yang dapat mengakibatkan bahaya bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya

bangsa dan akhirnya dapat melemahnya ketahanan nasional. Penyalahgunaan

narkotika sangat berpengaruh terhadap kehidupan masa depan bangsa, karena

penyalahgunaan narkotika adalah suatu kejahatan dan pelangaran yang

mengancam keselamatan anak bangsa, baik secara fisik maupun jiwa si

penguna narkotika. Pemerintah yang dalam hal ini Presiden Republik

Indonesia selaku kepala negara dana kepala pemerintahan, untuk


6

mengefektifkan pencegahan dan pemberatasan penyalahgunaan dan perederan

gelap narkotika negara telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 tahun

2007 tentang Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Narkotika Provinsi

dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota, disingkat dengan Badan Narkotika

Nasional (BNN). Berdasarkan asas hukum “Lex Specialis Derogat Legi

Generale”, sebagai acuan atau dasar aparat penegak hukum untuk melakukan

penangkapan, penyidikan, penuntutan dan penjatuhan hukuman bagi

penyalahgunaan narkotika, maka diberlakukan undang-undang khusus yaitu

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Demikian pula dalam hal penyidikan kasus tindak pidana Narkotika di

daerah hukum Kepolisian Kota Besar Medan (Poltabes Kota Medan) sering

mendapatkan kasus mengenai narkotika, baik yang tertangkap tangan, adanya

razia sarang peredaran narkotika seperti di tempat hiburan malam, razia

gabungan di jalan raya bahkan di dalam Rumah Tahanan ( RUTAN). Karena

maraknya kasus Tindak Pidana Narkotika yang ditangani oleh pihak

Kepolisian maka tidak menutup kemungkinan juga adanya resiko kehilangan

barang bukti pada saat terjadinya penyidikan, yang menyebabkan proses

penyidikan tertunda, serta tidak menutup kemungkinan terjadinya

penyalahgunaan barang bukti tindak pidana Narkotika tersebut oleh oknum-

oknum yang tidak bertanggung jawab. Betapa pentingnya hal ini untuk di

sadari oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat karena itu pentingnya

masalah ini untuk dikaji lebih jauh. Maka dari itu penulis tertarik untuk

meneliti lebih lanjut dibuat dalam bentuk skripsi yang berjudul “Penyidikan

Terhadap Pemufakatan Jahat Melakukan Tindak


7

PidanaPrekursorNarkotika”

B. RumusanMasalah

Rumusan masalah adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana prosedur penetapan tersangka DPO dalam penyidikan


terhadap pemufakatan jahat melakukan tindak pidana prekursor
narkotika?
2. Apa hambatan penyidik Satuan Reserse Narkoba Polresta Medan dalam
penyidikan terhadap pemufakatan jahat melakukan tindak pidana
prekursor narkotika?
3. Apa upaya penyidik Satuan Reserse Narkoba Polresta Medan dalam
penyidikan terhadap pemufakatan jahat melakukan tindak pidana
prekursor narkotika?

C. TujuanPenelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai

berikut:

1. Untuk mengetahui prosedur penetapan tersangka DPO dalam

penyidikan terhadap pemufakatan jahat melakukan tindak pidana

prekursor narkotika.

2. Untuk mengetahui hambatan penyidik Satuan Reserse Narkoba Polresta

Medan dalam penyidikan terhadap pemufakatan jahat melakukan tindak

pidana prekursor narkotika

3. Untuk mengetahui upaya penyidik Satuan Reserse Narkoba Polresta

Medan dalam penyidikan terhadap pemufakatan jahat melakukan tindak

pidana prekursor narkotika

D. ManfaatPenelitian

Manfaat penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :


8

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan untuk

menambah ilmu pengetahuan dan kajian lebih lanjut bagi teoritis yang

ingin mengetahui dan memperdalam tentang masalah penyidikan

terhadap pemufakatan jahat melakukan tindak pidana prekursor

narkotika

2. Secara Praktis:

a. Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat

khususnya memberikan informasi ilmiah mengenai penyidikan

terhadap pemufakatan jahat melakukan tindak pidana prekursor

narkotika

b. Diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi penegak

hukum dalam penyidikan terhadap pemufakatan jahat melakukan

tindak pidana prekursor narkotika.

E. TinjauanPustaka

1. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan istilah dalam ilmu hukum yang mempunyai

pengertian yang abstrak. Dalam hukum pidana Belanda dikenal dengan

“strafbaar feit” yang didalam bahasa Indonesia memiliki terjemahan dengan

berbagai istilah, karena tidak ada penetapan penerjemahan istilah yang

diberikan oleh pemerintah untuk istilah tersebut yang menimbulkan berbagai

pandangan untuk menyamakan istilah “strafbaar feit”, seperti “peristiwa

pidana”, “perbuatan pidana”, dan berbagai istilahlain. Strafbaar feit adalah

kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan


9

hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang

yang mampu bertanggung jawab.3 Van Hamel merumuskan strafbaar feit

sebagai kelakuanorang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet,

yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan

dilakukan dengan kesalahan.4

Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa

yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah

diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat

memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan

masyarakat.5Tindak pidana merupakan suatu dasar yang pokok dalam

menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas

dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya,

tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu

mengenai perbuatan pidanya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas

(principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang

dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu

dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin

sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak

ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), ucapan ini berasal dari von feurbach,

sarjana hukum pidana Jerman.

Dalam hal ini maka terhadap setiap orang yang melanggar aturan-aturan

hukum yang berlaku, dengan demikian dapat dikatakan terhadap orang

3
I Made Widnyana, Hukum PIdana, Penerbit Fikahati Aneska, Jakarta,2010, hlm. 34
4
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 96
5
Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Penerbit Balai Lekture Mahasiswa, Jakarta, 2005, hlm. 62.
10

tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana. Akan

tetapi haruslah diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai

hubungan yang erat, oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang

menimbulkan kejadian juga mempunyai hubungan yang erat pula.

Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini Bambang Poernomo,

berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih

lengkap apabila tersusun sebagai berikut bahwa perbuatan pidana adalah

suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam

dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 6

Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang

dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk

adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang

menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kealpaan. Dikatakan bahwa

kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan

sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat menyebabkan

terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah melakukan

suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga atas`perbuatannya

tersebut maka dia harus bertanggung jawabkan segala bentuk tindak pidana yang

telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa

telah terjadinya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang maka

dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan Pasal yang

mengaturnya.7

Tindak pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau

6
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta 2001, hlm. 30.
7
Kartonegara, Op Cit, hlm. 156
11

tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau

melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan

hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut

ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya

ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan

kejadian tersebut.

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Dalam kita menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsur-

unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkan

sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan

sesuatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang. Setiap tindak pidana

yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada

umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur

subjektif dan unsur objektif.

Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri pelaku atau

yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala

sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah

unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam

keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari pelaku itu harus di lakukan.8

Unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah:

a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);


b. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti
yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya
di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan,
pemalsuan dan lain-lain;
8
Lamintang, P.A.F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti. Jakarta, 2010,
hlm. 193.
12

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang


terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
e. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak
pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah :

1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid;


2. Kualitas dari pelaku,
3. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

2. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Narkotika

a. TindakPidanaNarkotika

Tindak pidana narkotika digolongkan ke dalam tindak pidana khusus

karena tidak disebutkan di dalam KUHP. Di dalam peraturan perundang-

undangan yang berlaku di Indonesia, tindak pidana narkotika,pengaturannya

pun bersifat khusus. Istilah narkotika bukan lagi istilah asing bagi masyarakat

mengingat begitu banyaknya berita baik dari media cetak maupun elektronik

yang memberitakan tentang kasus-kasus mengenai narkotika. Narkotika atau

nama lazim yang diketahui oleh orang awam berupa narkoba tidak selalu

diartikan negatif, di dalam ilmu kedokteran, narkotika dengan dosis yang tepat

digunakan sebagai obat bagi pasien. Selain narkoba, istilah lain yang

diperkenalkan khususnya oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika, dan Zat

Adiktif.

Sudarto mengatakan bahwa kata narkotika berasal dari perkataan Yunani

“narke”, yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa.32 Smith Kline

dan Frech Clinical Staff mendefinisikan bahwa narkotika adalah zat-zat atau

obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan


13

zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan saraf sentral. Dalam defenisi

Narkotika ini sudah termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine,

codein, dan methadone).9 Di dalam bukunya, Ridha Ma’roef mengatakan

bahwa narkotika ialah candu, ganja, cocaine, dan zat-zat yang bahan

mentahnya diambil dari benda-benda termasuk yakni morphine, heroin, codein

hashisch, cocaine. Juga termasuk juga narkotika sintetis yang menghasilkan

zat-zat, obat yangtergolong dalam Hallucinogen dan Stimulan. 10 Sementara

menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika), pengertian narkotika adalah zat

atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun

semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat

menimbulkan ketergantungan. Narkotika mengacu pada sekelompok senyawa

kimia yang berbahaya apabila digunakan tidak pada dosis yang tepat.

Bahaya itu berupa candu dan ketagihan yang tidak bisa berhenti. Hal ini

dikarenakan di dalam narkotika terkandung senyawa adiktif yang bersifat

adiksi bagi pemakainya. Penggunaan narkotika dapat menyebabkan hilangnya

kesadaran dan si pengguna dapat dengan mudah melupakan segala

permasalahan yang dihadapi. Pemakai dibuat seperti berada diatas awan dan

selalu merasa bahagia. Inilah yang kemudian mendorong banyak orang yang

sedang diliputi masalah beralih mencari kesenangan dengan mengonsumsi

obat-obatan terlarang ini.

Zat narkotika pada awalnya memang diperuntukkan penggunaannya untuk


9
Taufik Makarao, dkk..Tindak Pidana Narkotika. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2003. Hal.
17.
10
Ridha Ma’roef. Narkotika, Masalah, dan Bahayanya. PT Bina Aksara. Jakarta. 1987. Hlm. 15.
14

kepentingan umat manusia, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan

pengobatan. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi,

obat-obatan semacam narkotika juga semakin berkembang pula cara

pengolahan dan peredarannya.

b. Unsur-UnsurTindakPidanaNarkotika

Tindak pidana narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan

Pasal 148 UU Narkotika yang merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak

disebutkan dengan tegas dalam Undang-Undang Narkotika bahwa tindak

pidana yang diatur didalamnya adalah kejahatan, akan tetapi tidak perlu

disangsikan lagi bahwa semua tindak pidana didalam undang- undang tersebut

merupakan kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan

kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan di luar

kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat

besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah

sangat membahayakan bagi jiwa manusia.11

Menurut Soedjono Dirjosisworo, penggunaan narkotika secara legal hanya

bagi kepentingan-kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan.

Menteri Kesehatan dapat memberi izin lembaga ilmu pengetahuan dan atau

lembaga pendidikan untuk membeli atau menanam, menyimpan untuk

memiliki atau untuk persediaan ataupun menguasai tanaman papaver, koka dan

ganja.12

3. Pegawai pejabat penyelidik dan penyidik

Nama resmi untuk penyidik disebut dengan sandi reserse tetapi dalam

11
Supramono.Hukum Narkotika Indonesia.Djambatan. Jakarta. 2001. Hlm.5
12
Soedjono Dirjosisworo. Hukum Narkotika di Indonesia. PT CitraAditya Bakti.Bandung, Hlm. 7
15

praktiknya, yang diketahui masyarakat umum tentang reserse berarti polisi

bagian kriminal atau kejahatan berat. Bila dirujuk secara normatif dalam

ketentuan pasal 1 butir 4 menyatakan : penyelidik adalah pejabat kepolisian

negara RI yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan

penyelidikan. Sedangkan menurut pasal 1 butir 1 mentukan : penyidik adalah

pejabat kepolisian RI atau pejabat nageri sipil tertentu yang diberi wewenang

khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Sekalian juga perlu aturan dalam pasal 1 butir 3 penyidik pembantu adalah

pejabat kepolisian negara RI yang karena diberi wewenag tertentu dapat

melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang-undang ini. Dari

ketentuan itu dapat disimak profil mereka, antara lain semua polisi yang orang

terlembaga ke dan didalam Kepolisian RI (Polri) adalah boleh dan bisa menjadi

penyelidik, bahkan mumkin boleh dikatakan bahwa fungsi utama menjadi

seorang polisi adalah untuk menyelidik. Didalam ketentuan yang berlaku

sekaran ini pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dinyatakan

bahwa tujuan Polri adalah untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang

meliputi terpeliharanya keamana dan ketertiban masyarakat, tertib dan

tegaknya hukum, terselengaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan

kepada masyarkat,serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan

menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Penyidik harus dan wajib hanya polisi tertentu saja atau boleh juga PPNS

(pejabat egawai negeri sipil ) yang telah terlatih dan ditugaskan khusus untuk

itu. Ini berarti tidak semua polisi boleh dan bisa menjadi penyidik. Oleh sebab

itu, ada imperatif hukum berupa wewenag yang didasarkan kepada hanya
16

Undang-undang mengenai hukum acara. Sekurang-kuranya ada 2 hal didalam

makna itu, yakni (1) wewenang penyidik bisa jadi bukan hanya dari KUHAP

tetapi ada juga yang diluar KUHAP. Ini artinya, harus dibaca dan didalami

undang-undang apa saja yang diberi wewenang penyidikan. (2) tidak ada

penyidik yang dasar wewenagnya selain ditentukan didalam hanya undang-

undang.

Itu berarti, bentuk hukum lain ( PP, Perpers, keputusan setinkat menteri

dan sebagainya) yang tidak diturunkan didalam undang-undang secara

derivatif, tidak boleh menjadi landasan wewenag penyidikan. Peraturan daerah

boleh memberikan wewenang kepada penyidik, seperti polisi pamonpraja, hany

saja sejauh ini UU tentang pemerintah daerah telah ada yang mengatur secara

ekspelisit untuk memberikan wewenang penyidikan terhadap pelanggaran

pidana perda.

4. Proses Penyelidikan dan penyidikan Tindak Pidana Narkotika

Penyelidikan adalah serankaian tindakan tindakan penyidik untuk mencari

dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan

kejahatan atau pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan

tindak pidanan. Pencarian dan usaha menemukan peristiwa yang diduga

sebagai tindak pidana, bermaksud untuk menentukan sikap pejabat penyelidik,

apakahperistiwa yang ditemukan dapat dilakukan penyidikan atau tidak sesuai

denagan cara yang diatur oleh KUHAP (pasal 1 butir 5).

Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan.

Akan tetapi harus di ingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri

terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tak


17

terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan salah satu metode

atau cara atau sub daripada fungsi penyidikanyang mendahului tindakan lain,

yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan,

penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan

penyerahan berkas kepada penuntut umum.13Jadi, sebelum dilakukan tindakan

penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik. Dengan

maksud dan tujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar

dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan.14

Sebelum dimulai penyidikan terlebih dahulu dilakukan penyelidikan agar

penyidik tidak salah tankap. Awal Dimulainya PenyidikanTahap pertama

dalam suatu penyidikan adalah membuat rencana penyidikan. Rencana

penyidikan ini dibuat agar dari awal dapat ditentukan arah dari suatu

penyidikan, cara yang akan digunakan, personil yang akan digunakan, dan

jangka waktu yang dibutuhkan dalam suatu penyidikan.

5. Teori Teori Penyebab Terjadinya Kejahatan

Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala

kejahatan seluas-luasnya. Ilmu kriminologi dibagi menjadi dua bagian yaitu

kriminologi sebagai perbuatan yang disebut sebagai kejahatan dan etiologi

kriminal adalah ilmu yang menyelidiki atau yang membahas tentang penyebab

terjadinya kejahatan.15

Menurut Bonger, dikutip oleh Wahju Muljono, kriminologi adalah ilmu

pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-


13
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik, dan Permasalahanya (Bandung.
PT alumni, 2007), hal.55.
14
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP penyidikan dan penuntutan,
Edisi kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal 101.
15
Wahju Muljono, Pengantar Teori Kriminologi, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012. hlm. 35.
18

luasnya(kriminologi teoretis atau murni). Wolfgang, dikutip oleh Wahju

Muljono,16 membagi kriminologi sebagai perbuatan yang disebut sebagai

kejahatan, pelaku kejahatan, dan reaksi yang ditunjukkan baik terhadap

perbuatan maupun terhadap pelakunya. Sedangkan etiologi kriminal (criminal

aetiology) adalah ilmu yang menyelidiki atau yang membahas asal-usul atau

sebab-musabab kejahatan (kausa kejahatan).

Kriminologi atau kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan

orang untuk menilai perbuatan- perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat.

Dengan demikian maka pelaku disebut sebagai penjahat. Kejahatan merupakan

suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan,

yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. Suatu pelanggaran

terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan pelanggar dan diancam

dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan

kesejahteraan umum dapat disebut sebagai kejahatan.17

Lilik Mulyadi mengemukakan bahwa kriminologi berorientasi pada hal-

hal sebagai berikut: 18

a. Pembuatanhukum yang dapatmeliputitelaahkonsepkejahatan,

siapapembuathukumdenganfaktor-faktor yang

harusdiperhatikandalampembuatanhukum.

b. Pelanggaranhukum yang dapatmeliputisiapapelakunya,

mengapasampaiterjadipelanggaranhukumtersebut, dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya.

16
Ibid.
17
Franciscus Theojunior Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia, Jakarta Timur,2014,
hlm. 179
18
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus, Penerbit Alumni : Bandung,
19

c. Reaksiterhadappelanggaranhukummelalui proses peradilanpidana dan

reaksimasyarakat.

F. Metode Penelitian

1. Jenispenelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dipergunakan

untuk menganalisa peraturan perundang-undang15 yang berkaitan

penyidikan terhadap pemufakatan jahat melakukan tindak pidana prekursor

narkotika.

2. SifatPenelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian yang hanya

semata-mata melukiskan keadaan objek atau peristiwanya tanpa suatu

maksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara

umum.19

3. Jenis Data dan Sumber data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kepustakaan (library research).Data diperoleh melalui beberapa literatur

berupa buku-buku ilmiah, peraturan perundang-undangan dan dokumentasi

lainnya yang berhubungan dengan penyidikan terhadap pemufakatan jahat

melakukan tindak pidana prekursor narkotika

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan

bahan hukum tersier yang diperoleh melalui:

19
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2018,hlm.184.
20

a. Bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan, dalam

penelitian ini dipergunakan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana.

b. Bahan hukum sekunder yaitu berupa buku bacaan yang relevan

dengan penelitianini.

c. Bahan hukum tersier misalnya ensiklopedia, bahan dari internet,

bibliografi dansebagainya.

4. Pengolahan dan AnalisisData

Data yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan dianalisis

dengan analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah analisa yang

didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep

dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari

teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan dan

berhubungan dengan penerapan sanksi pidana terhadap pemiliki kendaraan

roda empat yang memarkirkan kendaraan bukan pada sarana parkir.

G. SistematikaPenulisan

Adapun sistematika penulisan tersebut secara keseluruhan, yaitu :

1. BAB I: Pendahuluan, yang menjadi sub bab terdiri dari, yaitu

Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat

Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

2. BAB II : Bagaimana prosedur penetapan tersangka DPO dalam


21

penyidikan terhadap pemufakatan jahat melakukan tindak pidana prekursor

narkotika yang terdiri dari sub bab : Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-

unsur Tindak Pidana, Tindak Pidana Narkotika, Pegawai Pejabat

Penyelidik dan Penyidik, Teori Terjadinya Sebab dan Akibat, Teori

Penegakan Hukum

3. BAB III : Hambatan penyidik Satuan Reserse Narkoba Polresta

Medan dalam penyidikan terhadap pemufakatan jahat melakukan tindak

pidana prekursor narkotika

4. BAB IV : Upaya penyidik Satuan Reserse Narkoba Polresta

Banda Aceh dalam penyidikan terhadap pemufakatan jahat melakukan

tindak pidana prekursor narkotika.

5. BAB V : Penutup sebagai layaknya dalam penulisan skripsi,

maka dalam penulisan ini terdiri dari Kesimpulan danSaran.


22

BAB II

PENETAPAN TERSANGKA DPO DALAM PENYIDIKAN TERHADAP

PEMUFAKATAN JAHAT MELAKUKAN TINDAK PIDANA

PREKURSOR NARKOTIKA

A. TindakPidana dan UnsurTindakPidana

Istilah strafbaar feit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan

yang dapat dipidana. Sedangkan menurut beberapa ahli hukum tindak pidana

(strafbaar feit) adalah:

a. Menurut Pompe, “strafbaar feit” secara teoritis dapat merumuskan sebagai

suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan

sengaja ataupun dengan tidak disengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,

di mana penjatuhan terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya

tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum20.

b. Menurut Van Hamel bahwa strafbaar feit itu adalah kekuatan orang yang

dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana

dan dilakukan dengan kesalahan.

c. Menurut Indiyanto Seno Adji tindak pidana adalah perbuatan seseorang yang

diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu

kesalahan yang bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatannya21.

20
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Refika Aditama,
2014), hlm.97.
21
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, (Jakarta: Kantor Pengacara dan Konsultasi
Hukum “Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, 2002), hlm.155.
23

d. Menurut E. Utrecht “strafbaar feit” dengan istilah peristiwa pidana yang

sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatanhandelen atau

doen positif atau suatu melalaikan natalen-negatif, maupun akibatnya

(keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melakukan itu)22.

e. Menurut Moeljatno tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar hukum23.

f. Menurut Vos adalah salah satu diantara para ahli yang merumuskan tindak

pidana secara singkat, yaitu suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan

perundang-undangan pidana diberi pidana24.

Berdasarkanbeberapapengertian yang diuraikandiatas,

dapatdisimpulkanbahwatindakpidanamerupakansuatuperbuatanmanusia yang

bertentangandenganhukum, diancamdenganpidana oleh Undang-

undangperbuatan mana dilakukan oleh orang yang dapatdipertanggungjawabkan

dan dapatdipersalahkan pada sipembuattindakpidana.

Sesuaidenganbeberapadefinisidiatasterdapatbeberapasyarat yang

dapatditentukansebagaitindakpidana, yaitu:

a. Harus ada perbuatan manusia;

b. Perbuatan manusia itu betentangan dengan hukum;

c. Perbuatan itu dilarang oleh Undang-undang dan diancam dengan pidana;

d. Perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan; dan

e. Perbuatan itu harus dapat dipertanggung jawabkan kepada si pembuat.


22
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, hlm. 98.
23
S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya di Indonesia Cetakan Ke-2, Alumni
AHAEM PTHAEM, Jakarta, 1998, hlm.208.
24
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 97.
24

Suatu perbuatan yang melawan hukum dan merugikan masyarakat belum

tentu ia merupakan tindak pidana, bila perbuatan itu dilarang oleh undang-

undang dan pelakunya tidak dianca pidana. Misalnya pelacuran sebagai

perbuatan yang merugikan masyarakat, tetapi tidak dijadikan larangan pidana.

Hal ini sukarnya untuk mengadakan rumusan yang tepat tentang tepat untuk

pelacuran dan menjadikan hal ini sebagai pencarian dan kebiasaan. Untuk

menentukan perbuatan mana yang dianggap sebagai perbuatan pidana dalam

Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana dikenal “Azas Legalitas” atau yang dikenal dengan

adagiumnya berbunyisebagai berikut: “Nullum delictum nulla poena lege previa

poenali” yaitu azas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus

ditentukan terlebih dahulu oleh undang-undang.

Dalam kehidupan sehari-hari juga kita sering jumpai istilah kejahatan.

Pernyataan kejahatan ini menunjukkan kepada perbuatan yang bertentangan

dengan kaedah akan tetapi tidak semua perbuatan yang melanggar kaedah

merupakan kejahatan. Contoh seseorang yang melempar Koran bekas kekebun

belakang tetangga, seharusnya ia memberikan kepada tukang sampah atau

meleakkan di tempat sampah, hal ini tidak sopan mengganggu tetangga

(melanggar kaedah) dan ini bukan kejahatan, tetapi dapat dikatakan sebagai

kenakalan yang termuat dalam Pasal 489 KUHP.

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidak-tidaknya dari dua sudut

pandang, yaitu (1) dari sudut pandang teoritis dan (2) dari sudut pandang

Undang-undang. Maksud teoritis adalah berdasarkan pendapat ahli hukum, yang


25

tercermin dari pada rumusannya. Sedangkan sudut Undang-undang adalah

kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tinda pidana tertentu dalam

Pasal-pasal perundang-undangan yang ada25.

a. Unsur-unsurtindakpidanasecarateoritis

Berdasarkan rumusan tindak pidana menurut Moeljatno, maka unsur

tindak pidana adalah perbuatan, yang dilarang (oleh aturan hukum), ancaman

pidana (bagi yang melanggar larangan). Dari batasan yang dibuat Jonkers

dapat dirincikan unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan, melawan hukum

(yang berhubungan dengan), kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang

dapat), dipertangungjawabkan. E.Y.Kanter dan SR. Sianturi menyusun

unsurunsur tindak pidana yaitu26:

1) Subjek

2) Kesalahan

3) Bersifat melawan hukum (dari tindakan)

4) Suatu tindakan yang dilarang dan diharuskan oleh UU/PerUU-an dan

terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana Terhadap pelanggarannya

diancam dengan pidana

5) Waktu, tempat, keadaan (unsure bjektif lainnya).

Sementara K. Wantjik Saleh menyimpulkan bahwa suatu perbuatan

akan menjadi tindak pidana apabila perbuatan itu:

1) Melawan hukum

25
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, hlm. 78.
26
E.Y. Kanter, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHMPTHM,
Jakarta, 1992, hlm. 211.
26

2) Merugikan masyarakat

3) Dilarang oleh aturan pidana

4) Pelakunya diancam dengan pidana.

b. Unsur-unsurtidakpidanadarisudutpandangUndang-undang

Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu

yang masuk dalam kelompok kejahatan dan Buku III adalah pelanggaran.

Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan ialah

tingkahlaku/perbuatan, walaupun ada perkecualian seperti Pasal 335 KUHP.

Unsur kesalahan dan melawan hukum terkadang dicantumkan dan seringkali

juga tidak dicantumkan. Sama sekali tidak dicantumkan ialah mengenai

unsure kemampuan bertanggngjawab. Disamping itu banyak mencantumkan

unsureunsur lain baik sekitar/mengenai objek kejahatan maupun perbuatan

secara khusus untuk rumusan tertentu.

Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP, maka dapat

diketahui adanya delapan unsur tindak pidana, yaitu:

1) Unsur tingkah laku

2) Unsur melawan hukum

3) Unsur kesalahan

4) Unsur akibat konsttutif

5) Unsur keadaan yang menyertai

6) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana

7) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana


27

8) Unsur syarat tambahan untuk dapat diidana.

Dalam membahas hukum pidana, nantinya akan ditemukan beragam tindak

pidana yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam KUHP telah

mengklasifikasikan tindak pidana atau delik ke dalam dua kelompok besar yaitu,

dalam Buku Kedua dan Ketiga yang masing-masing menjadi kelompok

kejahatan dan pelanggaran. Tindak pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar

tertentu, yaitu sebagai berikut:

a. Kejahatan(Misdrijft) dan Pelanggaran (Overtreding) Alasan pembedaan

antara kejahatan dan pelanggaran adalah jenis pelanggaran lebih ringan dari

pada kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran

tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupapidana kurungan

dan denda, sedangkan kejahatan lebih didominasi dengan ancaman pidana

penjara.Dalam Wetboek van Srafrecht (W.v.S) Belanda, terdapat pembagian

tindak pidana antara kejahatan dan pelanggaran. Untuk yang pertama biasa

disebut dengan rechtdelicten dan untuk yang kedua disebut dengan

wetsdelicten.Disebut dengan rechtdelicten atau tindak pidana hukum yang

artinya yaitu sifat tercelanya itu tidak semata-mata pada dimuatnya dalam

undang-undang melainkan dasarnya telah melekat sifat terlarang sebelum

memuatnya dalam rumusan tindak pidana dalam undang-undang. Walaupun

sebelum dimuat dalam undang-undang ada kejahatan mengandung sifat

tercela (melawan hukum), yakni pada masyarakat, jadi melawan hukum

materiil, sebaliknya wetsdelicten sifat tercelanya itu suatu perbuatan itu


28

terletak pada setelah dimuatnya sebagai demikian dalam undang-undang.

Sumber tercelanya wetsdelicten adalah undang-undang.

b. Delik formil dan Delik materiil. Pada umumnya rumusan delik didalam

KUHP merupakan rumusan yang selesai, yaitu perbuatan yang dilakukan

olehpelakunya. Delik formil adalah tindak pidana yang dirumuskan

sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang

dirumuskan adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak

pidana formil tidak membutuhkan dan memperhatikan timbulnya suatu akibat

tertentu dari perbuatan yang sebagai syarat penyelesaian tindak pidana,

melainkan semata-mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian (Pasal

362 KUHP) untuk selesainya pencurian bergantung pada selesainya

perbuatan. Sebaliknya, tindak pidana materiil inti larangan adalah pada

timbulnya akibat yang dilarang. Oleh karena itu, siapa yang menimbulkan

akibat yang dilarang itulah yang di pertanggung jawabkan dan dipidana.

c. Delik Kesengajaan (Dolus) dan delik Kelalaian (Culpa). Tindak pidana

Kesengajaan adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan

kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan. Di samping tindak pidana

yang tegas unsur kesengajaan itu dicantumkan dalam Pasal, misalnya Pasal

362 KUHP (maksud), Pasal 338 KUHP (sengaja), Pasal 480 KUHP (yang

diketahui). Sedangkantindak pidana kelalaian adalah tindak pidana yang

dalam rumusannya mengandung unsur culpa (lalai), kurang hati-hati dan

bukan karena kesengajaan. Tindak pidana yang mengandung unsur culpa ini,
29

misalnya; Pasal 114, Pasal 359, Pasal 360 KUHP.

d. Tindak Pidana Aktif (delik commisionis) dan Tindak Pidana Pasif. Tindak

pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif

(positif). Perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya

disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat.

e. Tindak Pidana Terjadi Seketika (Aflopende Delicten) dan Tindak Pidana

Berlangsung Terus (Voortdurende Delicten) Tindak pidana yang dirumuskan

sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu

seketika atau waktu singkat saja disebut juga aflopende delicten. Misalnya

jika perbuatan itu selesai tindak pidana itu menjadi selesai secara sempurna.

Sebaliknya tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga

terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan itu

dilakukan,tindak pidana itu berlangsung terus yang disebut juga dengan

voordurende delicten.

f. Tindak Pidana Khusus dan Tindak Pidana Umum.

g. Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP

sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (Buku II dan III KUHP). Sementara

tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar

kodifikasi tersebut.

h. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya/peringannya

(EnvoudigedanGequalificeerde/Geprevisilierde Delicten)27.

27
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2005, hlm.122.
30

B. Penegakan Hukum

Penegakan hukum dalam bahasa Belanda disebut rechtstoepassing atau

rechtshandhaving dan dalam bahasa Inggris disebut dengan law enforcement,

meliputi pengertian yang bersifat makro dan mikro. Makna bersifat makro

mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara,

sedangkan dalam pengertian mikro terbatas pada proses pemeriksaan di

pengadilan termasuk proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga

pelaksanaan putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap28.

Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa “penegakan hukum dapat

dirumuskan sebagai usaha melaksanakan hukum sebagaimana mestinya,

mengawasi pelaksanaanya agar tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi

pelanggaran memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya ditegakkan

kembali”29.Jimly Asshidiqie membagi dua pengertian penegakan hukum yaitu

dalam arti sempit merupakan “kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran

atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan melalui proses

peradilanpidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat

atau pengacara dan badan-badan peradilan.Sementara dalam arti luas merupakan

kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan

hukum terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh subjek hukum

baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan

mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative disputes or conflict

resolution)”30.
28
Chaerudin dan Syaiful Ahmad Dinar, Strategi Pencegahan Dan Penegakan HukumTindak
Pidana Korupsi,Bandung: Refika Editama, 2008, hlm.87.
29
Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006. Hal.
115.
30
Jimly Asshidiqie, Hukum Tata Negara dan PilarPilar Demokrasi, Serpihan Pemikiran Hukum,
31

Machmud mengatakan bahwa “penegakan hukum berkaitan erat dengan

ketaatan bagi pemakai dan pelaksana peraturan perundangundangan, dalam hal

ini baik masyarakat maupun penyelenggara negara yaitu penegak hukum.

Sementara Muladi mengatakan bahwa “penegakan hukum diperlukan pula

adanya unsur moral, adanya hubungan moral dengan penegakan hukum ini yang

menentukan suatu keberhasilan atau ketidakberhasilan dalam penegakan hukum

sebagaimana yang diharapkan oleh tujuan hukum.29 Lebih lanjut dalam “aspek

moral dan etika dalam penegakan hukum pidana merupakan suatu hal yang

berkaitan dengan penegakan hukumvpidana seharusnya merupakan proses

penemuan akta, yang tidak memihak (impartial) dan penuh dengan resolusi atau

pemecahan masalah yang harus dilakukan secara adil dan patut31.

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar

kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan

hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena

pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus

ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan.

Secara konsepsional arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan

hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidahkaiadah yang mantap dan

mengejawantah serta sikap tindak sebagai rangkaian pejabaran nilai tahap akhir,

untuk menciptakan, memelihara, dan memepertahankan kedamaian pergaulan

hidup32.

Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu:

Media dan HAM ,Jakarta: Konstitusi Press dan PT. Syaamil Cipta Media, 2006,. Hlm. 386.
31
Muladi, Hak Asasi Manusia (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009).Hlm. 4.
32
Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, PT.Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 5.
32

kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Kepastian hukum merupakan

perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti

bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam

keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena

dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas

menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat33.

Penegakan hukum merupakan suatu bentuk layanan yang diberikana

pemerintah dalam bidang hukum yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga

negara penegak hukum, yang terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan,

pengadilan,lembaga permasyarakatan, termasuk ditambahkan dengan unsur

penasehat hukum. Kemudian dalam kaitannya dengan hukum pidana, pada

dasarnya hukum merupakan hukum yang memiliki sifat publik, dimana dalam

hukum pidana terkandung aturan-aturan yang menentukan perbuatan-perbuatan

yang tidak boleh dilakukan disertai dengan ancaman pidana dan menentukan

syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan dan penggunaan hukum pidana dalam

mengatur masyarakat pada hakekatnya merupakan bagidan dari langkah

penegakan hukum, sehingga dapat dipahami bahwa penegakan hukum pidana

merupakan upaya dalam tegaknya norma-norma hukum secara jelas dan nuata

sebagai pedoman perilaku dalam bermasyarakat dan bernegara34.

Marzuki berpendapat bahwa penegakan hukum pidana merupakan suatu

usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan dalam hukum pidana dalam

kepastian hukum dan kemanfaatan sosial, dan menjadi kenyataan hukum dalam

kepastian hukum dan kemanfaatan sosial dalam setiap hubungan hukum.


33
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm.
160.
34
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana,Bandung: Alumni, 1996. Hlm. 111.
33

Sehingga dapat dikatakan bahwa fungsi penegakan hukum pidana merupakan

proses untuk mengaktualisasi aturan-aturan hukum agar selaras dengan cita-cita

dari diciptakan suatu hukum itu sendiri, yakni terwujudnya sikap atau tingkah

laku manusia sesuai dengan yang sudah ditetapkan oleh undang-undang atau

hukum35.

Penegakan hukum pidana saat ini menjadi suatu kebutuhan mendesak

untuk adanya perubahan yang mendasar dalam rangka mencapai tujuan dari

pidana yang lebih baik dan manusiawi. Kebutuhan tersebut sejalan dengan

keinginan kuat untukdapat mewujudkan suatu penegakan hukum atau law

enforcement yang lebih adil terhadap setiap bentuk pelanggaran hukum pidana di

era reformasi. Selanjutnya, dalam era tersebut sangat membutuhkan adanya

keterbukaan, demokrasi, perlindungan HAM, penegakan hukum dan

keadilan/kebenaran pada segenap aspek dari kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara. Selain itu pola interaksi dan perkembangan kehidupan

di masyarakat saat ini berkembang atau berubah dengan cepat yang diikuti

dengan teknologi yang juga berkembang dengan cepat sehingga hukum positif

yang ada diharapkan juga dapat mengikuti perkembangan yang ada dan dapat

memberikan kepastian hukum bagi semua masyarakat. Dapat dipahami juga

bahwa tingkat perkembangan masyarakat tempat hukum diberlakukan nyatanya

mempengaruhi pola penegakan hukum, karena dalam masyarakat modern yang

bersifat rasional dan mempunyai tingkat spesialisasi dan diferensasi yang tinggi

sehingga dalam pengaplikasian terhadap penegak hukumnya dituntut untuk dapat

mengakomodir permasalahan yang ada36.

35
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum,Jakarta: Kencana Persada, 2012. Hlm. 15.
36
Muladi, Hak Asasi Manusia, Op.Cit....., Hlm. 6.
34

Fenomena yang terjadi pada masa kini menjadikan hukum dianggap belum

mampu sepenuhnya memberi rasa aman, adil, dan menciptakan kepatian hukum

perlu dicermati dengan hati-hati. Dari fenomena inilah kemudian menimbulkan

ekspektasi agar hukum dapat ditegaskan secara tegak dan konsisten, karena

ketidakpastian hukum dan kemerosotan wibawa hukum akan melahirkan adanya

krisis hukum.37

Selanjutnya, menurut Mastra Liba ada 12 (empat belas) faktor yang

mempengaruhi kinerja penegakan hukum, yaitu38:

1. Sistem ketatanegaraan yang menempatkan jaksa agung sejajar dengan

menteri.

2. Sistem dalam perundangan belum memadai.

3. Faktor sumber daya manusia.

4. Adanya faktor kepentingan yang melekat pada aparat:

a. Kepentingan pribadi

b. Kepentingan golongan

c. Kepentingan politik kenegaraan

5. Corspgeits dalam institusi

6. Tekanan yang terdapat kuat pada aparat penegak hukum

7. Faktor budaya, agama, dan kepemimpinan

8. Legislatif sebagai lembaga legislasi perlu secara maksimal mendoron dan

memberi contoh teladan yang baik dalam penegakan hukum di Indonesia

9. Kemauan politik pemerintah

10. Adanya jaringan kerja pelaku kejahatan yang kuat (organize crime)
37
Chaerudin dan Syaiful Ahmad Dinar, Op.Cit., hlm. 55
38
Rena Yulia, Viktimologi (Pelindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan), Yogyakarta:Graha
Ilmu, 2010, hlm.85.
35

11. Pengaruh kolusi dalam jiwa aparat penegak hukum

12. Pemanfaatan kelemahan peraturan perundang-undangan.

Terhadap tujuan penegakan hukum haruslah sejalan dengan tujuan hukum

itu sendiri, yakni dengan tujuan mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan

dan tujuan hukum merupakan upaya dalam mewujudkan tercapainya ketertiban

dan keadilan. Ketertiban mustahil akan terwujud apabila hukum sendiri

diabaikan. Kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum, tidak hanya

berpengaruh terhadap ketertiban dan keadilan, melaikan ikut berperan dalam

membentuk kultur atau budaya hukum dalam suatu kehidupan bermasyarakat.

Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan

hukum. Hukum adalah untuk ketertiban manusia, maka pelaksanaan hukum atau

penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi

masyarakat.Unsur yang ketiga adalah keadilan. Masyarakat sangat

berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum keadilan

diperhatikan. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, dan bersifat

menyamaratakan.

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide

keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi

penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide. Penegakan

hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya

normanorma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu lintas atau

hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara.Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan

konsep-konsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan


36

hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal39.

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum tidak semata-mata

merupakan fungsi dari pelaksanaan perundang-undangan saja, terdapat fakto-

fakto lain yang mempengaruhi, yaitu40:

a. Faktor hukum

Dalam hal praktek penyelenggaraan penegakan hukum di lapangan sering

terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum. Kedua hal itu

dikarenakan konsensi dari keadilan yang merupakan rumusan yang bersifat

abstrak. Sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah

ditentukan secara normatif. Hal ini yang kemudian menjadikan suatu

kebijakan atau tindakan tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupkan suatu

yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan yang dilakukan

tidak bertangan dengan hukum. Maka dari itu, hakekat dalam pelaksanaan

hukum tidak hanya mencakup “law enforcemnt” saja, melainkan adanya

“peace maintance”. Dengan demikian pengelenggaraan hukum sesungguhnya

merupakan suatu proses penyelelarasan antara nilainilai, kaidah-kaidah dan

pola tingkah laku nyata yang bertujuan mencapai kedamaian.

b. Kepribadian atau Mentalitas Penegak Hukum

Kunci keberhasilan dalam penegakan hukum salah satunya adalah mentalitas

atau kepribadian dari penegak hukum. Mengutip pendapat J.E Sahetapy,

menyatakan bahwa dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi

penegakan hukum, apabila penegakan keadilan tanpa didasari kebenaran

adalah suatu kebejatan. Selanjutnya, penegakan kebenaran tanpa adanya

39
Dellyana Shant, Konsep Penegakan Hukum, Liberty, 1988, Jakarta, Hlm. 32
40
Op. Cit., Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, hlm 5.
37

kejujuran adalah suatu kemunafikan. Kerangka penegakan hukum oleh setiap

lembaga penegakan hukum keadilan dan kebenaran harusdinyatakan. Harus

terasa, terlihat, dan diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

c. Fasilitas Pendukung

Fasilitas pendukung dalam hal ini mencakup perangkat lunak dan keras.

Perangkat lunak yang dimaksud yaitu pendidikan, pendidikan yang diterima

oleh polisi dewasa ini cenderung pada hal praktis konvensional, sehingga

dalam banyak hal polisi mengalami hambatan dalam tugasnya, antara lain

pengetahuan tentang kejahatan korupsi, yang merupakan tindak pidana khusus

yang selama ini masih menjadi wewenangnya kepada Jaksa Penuntut Umum.

Hal ini dikarenakan secara teknis-yuridis kepolisian dianggap masih belum

mampu dan belum siap. Hal ini jg didasari bahwa tugas yang diemban

kepolisian begitu luas dan banyak.

d. Taraf Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum Masyarakat

Setiap pribadi warga negara masyarakat maupun kelompok, mempunyai

kesadaran hukum. Masalah kemudian timbul adalah taraf kepatuhan hukum,

yakni kepatuhan hukum yang tinggi, sedang atau rendah. Sebagaimana dapat

diketahui mengenai kesadaran hukum sebenarnya merupakan proses yang

mencakup pengetahuan hukum, sikap hukum, dan mengenai perilaku hukum.

e. Faktor Budaya dan Masyarakat

Secara konsepsional terdapat beberaoa jenis kebudayaan, apabila terhadap

jenis kebudayaan dilihat dari perkembangannya dan ruang lingkupnya di

Indonesia, dapat dilihat adanya super-culture, culture, subculture, dan counter-

culture. Jika dilihat adanya variasi kebudayaan yang sedemikian banyak,


38

dapat menimbulkan persepsi-persepsi tertentu terhadap penegakan hukum.

Oleh karena itu penegakan hukum harus disesuaikan dengan kondisi setempat,

contohnya cara penegakan hukum di daerah Papua akan sangat berbeda jika

dibandingkan penegakan hukum di Jakarta.

Pengertian penegakan hukum pidana dapat diartikan sebagai

penyelenggaraan hukum oleh petugas penegak hukum dan oleh setiap orang

yang mempunyai kepentingan sesuai dengan kewenangannya masing-masing

menurut aturan aturan hukum yang berlaku. Bila dikaitkan dengan penegakan

hukum penistaan terhadap agama, maka saat ini seharusnya hukum bisa

diteggakan Penegakan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan maupun

pelanggaran terhadap penistaan agama tersebut jika dihubungan dengan pendapat

Hoefnagels, maka dapat diterapkan dengan beberapa cara yaitu41:

1. Penerapan hukum pidana (Criminal law apllication)

2. Pencegahan tanpa pidana (Pervention without punishment), dan

3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan

lewat media massa. Penegakan hukum pidana dengan nilai humanistik

menuntut pula diperhatikannya ide “Individualisasi Pidana” dalam kebijakan

hukum pidana.

Ide individualisasi pidana ini antara lain mengandung beberapa

karakteristik sebagai berikut:

f. Pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi atau perorangan (asas Personal).

g. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas “tiada

pidana tanpa kesalahan”).

41
Arief, Nawawi Barda. Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
Semarang: Makalah Seminar Kriminologi UI. 1991, Hukum Undip, Hlm. 42.
39

h. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku, ada

fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat

ringannya saksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan

atau penyesuaian) dalam pelaksanaannya.

Penegakan hukum pidana merupakan suatusstem yang menyangkut

penyerasian antara nilai dengan kaidah-kaidah serta perilaku nyata masyarakat.

Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi prilaku

atau tindakan yang dianggap pantas atau seharusnya. Perilaku atau sikap itu

bertujuan untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian.

Penegakan hukum menurut Jimmly Asshadique juga adalah proses

dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum

secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-

hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kata lain dari

penegakan hukum adalah fungsionalisasi hukum pidana yang dimaksudkan

sebagai suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan melalui penegakan hukum

pidana yang rasional untuk memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Menegakkan

hukum pidana harus melalui beberapa tahap yang dilihat sebagai usaha atau

proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai suatu tertentu yang

merupakan suatu jalinan mata rantai aktifitas yang tidak termasuk bersumber dari

nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan42.

Penegakan hukum pidana melalui beberapa tujuan tertentu. beberapa tahap

sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai

suatu tujuan tertentu. Tahap-tahap tersebut adalah:

42
http://jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf.
40

a. Tahap Formulasi

Tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-

undang yang melakukan kegiatan memilih yang sesuai dengan keadaan dan

situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam

bentuk peraturan perundangundangan yang paling baik dalam arti memenuhi

syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan

legislatif.

b. Tahap Aplikasi

Tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat

penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Dengan

demikian aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan

peraturan-peraturan perundangundangan pidana yang telah dibuat oleh

pembuat undangundang, dalam melaksanakan tugas ini aparat penegak hukum

harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan guna. Tahap ini disebut

sebagai tahap yudikatif.

c. Tahap Eksekusi

Tahap penegakan pelaksanaan hukum serta secara konkret oleh aparat-aparat

pelaksana pidana. Pada tahap ini aparataparat pelaksana pidana bertugas

menegakkan peraturan perundangundangan yang telah dibuat oleh pembuat

undang-undang melalui penerapan pidana yang telah diterapkan dalam

putusan pengadilan. Dengan demikian proses pelaksanaan pemidanaan yang

telah ditetapkan dalam pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam

pelaksanaan tugasnya harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan

pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang dan undang-undang


41

daya guna43.

Penegakan hukum dapat diartikan pada penyelenggaraan hukum oleh

petugas penegakan hukum dan setiap orang yang mempunyai kepentingan dan

sesuai kewenangannya masing-masing menurut aturan hukum yang berlaku.

Dengan demikian penegakan hukum merupakan suatu sistem yang menyangkut

suatu penyerasian antara lain dan kaidah serta perilaku nyata manusia.

Kaidahkaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku

atau tindakan yang dianggap pantas atau seharusnya, perilaku atau sikap tindak

itu bertujuan untuk menciptakan, memelihara, mempertahankan kedamaian.

Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian

hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan

ketiga ide inilah yang merupakan hakekat dari penegakan hukum44.

Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada

ketidakserasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola perilaku.

Ganguantersebut timbul apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang

berpasangan, yang menjelma dalam kaidah-kaidah yang simpangsiur dan pola

perilaku yang tidak terarah yang menggangu kedamaian pergaulan

hidup.Didalam penegakan hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan hukum,

terdapat banyak faktor yang memperngaruhi. Faktor tersebut mempunyai arti

penting mulai dari pelaksanaan penyidikan samai pada tahap pelaksanaan

putusan pengadilan. Faktor-faktor tersebut antara lain meliputi:

a. Faktor hukumnya atau perundang-undangan

Adanya beberapa asas dalam Undang-Undang yang tujuannya agar


43
Muladi dan Arif Barda Nawawi, Penegakan Hukum Pidana, Rineka Cipta, 1984, Jakarta, Hlm.
157.
44
Satipto Rahardjo.tt, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, hlm. 15.
42

Undang-Undang tersebut mempunyai dampak positif. Artinya, agar Undang-

Undang tersebut mencapai tujuannya secara efektif dalam kehidupan

masyarakat.Faktor hukum yang mempengaruhi penyelesaian perkara pidana,

perlu lebih dahulu diperhatikan ketentuan mengenai hukum acara pidana yang

berlaku (KUHAP). KUHAP tidak mengatur secara pasti dan secara jelas berapa

kali suatu berkas perkara dapat dikirim oleh penyidik kepada penuntut umum

untuk dilakukan penelitian berkas perkara. KUHAP juga tidak mengatur berapa

kali penuntut umum dapat mengembalikan berkas yang telah diteliti oleh

penuntut umum ternyata masih belum memenuhi persyaratan kelengkapan

berkas perkara. Dengan tidak adanya ketentuan yang pasti, dimungkinkan berkas

perkara tersebut menjadi bolak-balik antara penyidik dan penuntut umum.

Keadaan semacam ini akan membuat berlarut-larutnya penyelesaian

perkara. Ini tentu saja akan menimbulkan dampak negatif. Selain itu, tidak ada

sanksi bagi penyidik bila penyidik tidak mengirimkan berkas perkara kembali

kepada penuntut setelah berkas tersebut, dikembalikankepada penyidik untuk

dilakukan penyidikan tambahan. Dengan kata lain, tidak adanya sanksi bagi

penyidik bila penyidikan tidak dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 138 ayat (3)

KUHAP yang berbunyi: “Dalam hal penyidikan ternyata belum lengkap,

penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai

petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu

empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas itu kepada penuntut umum.”

Kekaburan dan ketidaktegasan dari perundang-undangan itu sendiri yang

menyebabkan terjadinya kendala dalam proses penuntutan. Namun demikian

sebagai aparat penegak hukum yang baik, berusaha untuk menekan sedikit
43

mungkin timbulnya kendala dalam proses penuntutan perkara pidana.

b. Faktor aparat penegak hukum

Penegak hukum mempunyai kedudukan dan peranan. Penegak hukum

merupakan salah satu pilar terpenting dalam proses penegakkan hukum, sering

melakukan berbagai tindakan yang bertentangan dengan ketentuan hukum

sehingga menimbulkan berbagai masalah.Dalam melakukan penegakan hukum,

faktor manusia (aparat) menjadi posisi penting. Berhasil tidaknya proses

penyelesaian perkara sangat bergantung pada manusianya. Aparat penegak

hukum yang melaksanakan tugas dengan dedikasi yang tinggi, rasa pengabdian

yang tinggi, dan adanya kemampuan profesional yang memadai akan lebih

mendukung keberhasilan pelaksanaan tugas.

Prof. Dr. Baharudin Lopa (alm.) berpendapat bahwa jelas akan menjadi

penghambat apabila aparatur penegak hukum kurang menguasai ketentuan-

ketentuan yang mengatur batas tugas dan wewenang dan kurang mampu

menafsirkan dan menerapkan peraturan hukum menjadi tugas pokok. Dengan

demikian, penegakan hukum akan mengalami kegagalan. Kekurangcermatan

penelitian berkas perkara pada tahap pertama (prapenuntutan), kekurangcermatan

dalam membuat surat dakwaan, perbedaan persepsi hukum antara hakim dan

penuntut uum serta kekurangcermatan penyidik dalam melakukan penyidikan

akan membawa dampak yang tidak kehendaki.

c. Faktor Sarana dan Prasarana yang Mendukung

Penegakkan hukum tidak mungkin berjalan dengan lancar tanpa adanya

faktor sarana atau fasilitas. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain tenaga

manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang
44

memadai dan keuangan yang cukup. Dengan sarana dan prasarana yang

mendukung dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum, khususnya penuntutan,

tentunya semakin lebih berhasil. Sebaliknya, kurangnya prasarana dan sarana

yang mendukung pelaksanaan tugas, hasilnya tentu tidak seperti yang

diharapkan. Kurangnya prasarana dan sarana yang dapat mendukung

pelaksanaan tugas, seprti alat-alat tulis kantor yang sangat kurang, alat-alat

transportasi, komunikasi, kesejahteraan petugas yang minim, dan sebagainya

akan memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan tugas.

d. Faktor masyarakat

Bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat, oleh karena itu

dipandang dari sudut tertentu masyarakat dapat mempengaruhipenegakkan

hukum. Kesadaran hukum masyarakat yang rendah tentunya akan membawa

pengaruh negatif terhadap pelaksanaan penegakan hukum, yaitu memperngaruhi

proses penuntutan perkara45.

e. Faktorkebudayaan

Faktor kebudayaan Kebudayaan hukum masyarakat merupakan suatu proses

internalisasi nilai-nilai dalam rangka memahami hukum dan berupaya untuk

menerapkannya secara baik demi kepentingan bersama. Kebudayaan pada

dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai

yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang

dianggap buruk46.

45
Alfitra, 2012, Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana, Raih Asa Sukses, Depok, hlm.
25- 28.
46
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 1983, Rajawali
Press, Jakarta, Hlm.47.
45

C. TindakPidanaNarkotika

Tindak Pidana Narkotika dapat diartikan suatu perbuatan yang melanggar

ketentuan sebagaimana diatur Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 UU No. 35

Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal tersebut dapat diketahui dari pendapat

Supramono bahwa apabila narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan

ilmu pengetahuan, maka perbuatan diluar kepentingan-kepentingan tersebut

merupakan kejahatan (tindak pidana)47.

Perkataan narkotika berasal dari perkataan yunani yaitu “narke” yang berarti

terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Namun ada juga yang mengatakan

bahwa Narkotika berasal dari kata “Narcissus”, sejenis tumbuh-tumbuhan yang

mempunyai bunga yang dapat membuat orang menjadi tak sadar. Pengertian

narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik

sintetis yang dapat mengakibatkan penurunan dan perubahan kesadaran, hilangnya

rasa, mengurangi sampai menghilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan, oleh karena itu jika kelompok zat ini dikonsumsi oleh manusia

baik dengan cara dihiup, dihisap, ditelan, atau disuntikkan maka ia akan

mempengaruhi susunan syaraf pusat (otak) dan akan menyebabkan

ketergantungan, akibatnya sistem kerja otak dan fungsi vital organ tubuh lain

seperti jantung, pernafasan, peredaran darah dan lain-lain akan berubah meningkat

pada saat dikonsumsi dan akan menurun pada saat tidak dikonsumsi48.

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dalam

Pasal 127 menyebutkan bahwa:

1. Setiap Penyalah Guna a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana

Supramono, G. , 2001. Hukum Narkotika Indonesia. Djambatan, Jakarta. hlm. 12.


47

Adami Chazawi , Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), halaman 71.
48
46

dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.

b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling

lama 2(dua) tahun.

c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana dengan pidana

penjara paling lama 1 (satu) tahun. 2. Dalam hal memutus perkara sebagaimana

dimaksud pada ayat 1, hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat 1, hakim wajib memperhatikan ketentuan Pasal 54, 55, dan

103. 3. Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat

dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalah guna

tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Berdasar UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, jenis-jenis dari

Narkotika dgolongkan sebagai berikut:

a. Narkotika golongan I: Golongan ini: “hanya dapat digunakan untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakandalam terapi, serta

mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan, antara lain:

tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan

jeraminya, kecuali bijinya; opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri,

diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami

pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan

kadar morfinnya; tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari

keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya”.

b. Narkotika golongan II: Golongan ini: “dapat dipakai dalam pengobatan, namun

berpotensi adiksi tinggi. Pemakaian untuk pengobatan sebagai pilihan terakhir.

Antara lain seperti: Alfasetilmetadol dan Alfameprodina”.


47

c. Narkotika golongan III: Golongan ini: “berkhasiat obat dan potensi

ketergantungannya rendah. Golongan ini antara lain seperti: Asetildihidrokodeina

dan Dekstropropoksifena: α-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-2-butanol

propionat”49.

Selain dari segi perbuatan, penjatuhan pidana juga harus dilihat dari segi

orang yang melakukan perbuatan tersebut. Subyek dari suatu tindak pidananya

pada dasarnya adalah manusia, namun tidak menutup kemungkinan subyek

tersebut adalah perkumpulan atau korporasi, jika hal tersebut secara khusus diatur

dalam undang-undang tertentu.

Pelaku Tindak Pidana Narkotika dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Sebagai pengguna

“Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika, dimana pengguna wajib menjalani rehabilitasi

medis dan rehabilitasi sosial, meskipun terdapat pula ancaman pidana penjara”.

b. Sebagai pengedar

“Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan Pasal 114 Undang-undang No. 35

Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan ancaman pidana penjara minimal 5 (lima)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun/seumur hidup/mati + denda”.

c. Sebagai produsen

“Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan Pasal 113 Undang-undang No. 35

Tahun 2009, dengan ancaman pidana penjara minimal 5 (lima) tahun dan paling

lama 20 (dua puluh) tahun/seumur hidup/mati + denda”.

Mengenai pengertian tindak pidana narkotika, UndangUndang Nomor 35

Pasal 6 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.


49
48

Tahun 2009 tentang Narkotika tidak memberikan definisi secara khusus mengenai

apa yang dimaksud dengan tindak pidana narkotika itu sendiri, namun hanya

merumuskan perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana narkotika.

Maka secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana

narkotika adalah suatu perbuatan yang melanggar ketentuanketentuan hukum

narkotika, dalam hal ini adalah UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dalam ketentuan Undang-

Undang tersebut.

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, “perkembangan kekinian salah

satunya ditandai adanya perkembangan kriminalitas yang di satu pihak masih

terbatasnya jumlah sanksi pidana yang tersedia bagi Hakim dan Jaksa, namun di

pihak lain, merupakan salah satu masalah di bidang kebijakan pemidanaan

(centencing polity) yang cukup sulit. Hal ini karena kebijakan pemidanaan

tersebut yang salah satunya adalah penetapan jenis pidana olehpembuat undang-

undang antara lain dimaksudkan untuk menyediakan seperangkat sarana bagi para

penegak hukum dalam rangka menanggulangi kejahatan. Oleh karena itu adalah

wajar apabila penanggulangan perkembangan kriminalitas “agak terganggu”

sehingga diperlukan kebijakan pemidanaan yang baru yang sesuai kondisi

kekinian”50.

D. PenetapanTersangka DPO

DalamPenyidikanTerhadapPemufakatanJahatMelakukanTindakPidan

aPrekursorNarkotika

50
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni,
Bandung. hlm. 98-99.
49

Proses penyidikan perkara pemufakatanjahattindak pidana precursor

narkotika adalah suatu sistem atau cara penyidikan yang dilakukan untuk mencari,

serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak

pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya sesuai dengan cara yang

di atur dalam KUHAP51.

Negara melalui alat-alat pemerintah berhak menjatuhkan pidana atau

memidana. Hal ini sesuai dengan pendapat Polak bahwa Pemerintah

yangmengendalikan hukum itu, karena itu Pemerintah berhak memidana melalui

alatalat hukum pemerintah. Hak memidana itu merupakan atribut Pemerintah,

hanya yang mempunyai hak memerintah yang dapat memaksakan dan

memberlakukan kehendaknya yang mempunyai hak memidana52.

Pidana mengandung tata nilai (value) dalam suatu masyarakat, mengenai

apa yang baik dan tidak baik, apa yang bermoral dan apa yang amoral serta apa

yang diperbolehkan dan apa yang dilarang. Meskipun tata nilai itu sendiri ada

yang bersifat universal dan abadi, tetapi dari zaman ke zaman ia juga dapat berifat

dinamis. Sifat kedinamisan tata nilai berlaku pula pada sistem pemidanaan dan

sistem sanksi dalam hukum pidana.

Hakikat dan tujuan pemidanaan seiring dengan pidana itu merupakan

hukum sanksi istimewa dan menurut Sudarto bahwa “hukum pidana merupakan

sistem sanksi yang negatif, diterapkan jika sarana atau upaya lain sudah tidak

memadai,maka hukum pidana mempunyai fungsi yang subsidair”. Selanjutnya

Sudarto menyatakan bahwa “sejarah hukum pidana hakikatnya adalah sejarah dari

51
Andi Tentri Wali Putri Takdir Patarai. Proses Penyidikan Tindak Pidana Penyalahgunaan
Narkotika.2013, No.1. Artikel dalam Jurnal Hukum Acara Pidana.
52
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana (Bandung: Alumni, 2005),
halaman 57.
50

pidana dan pemidanaan”. Pidana juga termasuk tindakan (matreegel

maszhnahme), bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu yang

dirasakan tidak enak oleh yang dikenai. Oleh karena itu, orang tidak henti-

hentinya untuk mencari dasar, hakikat, dan tujuan pidana dan pemidanaan untuk

memberikan alasan pembenar pidana itu. Tujuan utama pemidanaan itu sendiri

yaitu preventif, preventif dalam pemidanaan adalah alat untuk melindungi

masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat dan

menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan53.

Berdasarkan penjelasan tentang teori-teori pemidanaan, bahwa pemidanaan

yang diatur dalam KUHP dimulai dari Pasal 10 KUHP sebagai dasar hukum

dalam menjatuhkan pemidanaan oleh hakim.33 Dua jenis pidana dalam sistem

pemidanaan Indonesia terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan,

sebagaimana sesuai dengan ketentuan Pasal 10 KUHP yang mengatur bahwa

Pidana terdiri atas:

a. Pidana Pokok

1. Pidana mati.

2. Pidana penjara.

3. Pidana kurungan.

4. Pidana denda.

b. Pidana Tambahan

1. Pencabutan hak-hak tertentu.

2. Perampasan barang-barang tertentu.

3. Pengumuman putusan hakim.

53
Siswanto, op.cit., halaman 231.
51

Para pelaku penyalahgunaan narkotika, hakekatnya mereka lebih tepat

dikategorikan sebagai korban pergaulan bebas. Psikiater (ahli kejiwaan)

menganggap bahwa tidak tepat apabila pecandu narkotika diberikan sanksi pidana

yang berupa penjatuhan pidana penjara, karena apabila memang itu yang

diterapkan, maka yang terjadi adalah pecandu narkotika dapat mengalami depresi

berat yang berpotensi tinggi mengganggu mental karena tidak mendapatkan

bantuan dalam bentuk perawatan oleh para ahli dalam bidang psikologis

(Rehabilitasi).

Sanksi dalam hukum pidana terdiri atas pidana dan tindakan. Sering

dikatakan berbeda dengan pidana, tindakan bertujuan untuk melindungi

masyarakat sedangkan pidana bertitik berat pada pengertian sanksi kepada pelaku

suatu perbuatan. Akan tetapi secara teori sukar dibedakan dengan cara demikian

karena pidana pun sering disebut bertujuan untuk mengamankan dan memperbaiki

terpidana. Pengakuan tentang kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan

inilah merupakan hakikat asasi atau ide dasar dari konsep double track system54.

Double track system merupakan sistem dua jalur mengenai sanksi dalam

hukum pidana, yakni jenis sanksi pidana di satu pihak dan jenis sanksi tindakan

dipihak lain. Walaupun di tingkat praktek, perbedaan antara sanksi pidana dan

sanksi tindakan sering agak samar, namun di tingkat ide dasar keduanya memiliki

perbedaan mendasar. Keduanya bersumber dari ide dasar yang berbeda. Sanksi

pidana bersumber pada ide dasar mengapa diadakan pemidanaan sedangkan

sanksi tindakan bertolak dari ide dasar untuk apa diadakan pemidanaan itu.

Dengan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu

54
Siswo Wiratmo, Pengantar Ilmu Hukum, (Yogykarta: FH. UII), halaman 9.
52

perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku

perbuatan tersebut55.

Penerapan sanksi pidana yang berat kepada para pelaku kejahatan, akan

memberikan deterrent effect dan akan sekaligus berdampak pada “ law of effect”

serta dampak sosialnya ialah sebagai wahana pembelajaran publik, sehingga

masyarakat akan sadar betul tentang pentingnya menjauhi penyalahgunaan

psikotropika. Pembelajaran publik berdasarkan pengamatan terhadap konsistensi

penegakan hukum dan penerapan sanksi pidana berat, maka akan tercipta

normanorma sosial yang di junjung tinggi, sehingga norma-norma sosial tersebut

sebagai sarana pengendalian sosial, yang dilembagakan kembali kepada

normanorma hukum, untuk dipatuhi dan ditaati.

Penetapan sanksi tersebut bertujuan untuk memberikan efektifitas dari peran

serta masyarakat. Peran serta ini mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya

dimana masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab untuk membantu

pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika

dan prekusor narkotika. Peran serta masyarakat sangat tergantung pada tingkat

kepercayaan publik kepada penegak hukum , untuk hal tersebut maka diperlukan

transparansi penegak hukum, peningkatan peran serta masyarakat dalam

pengawasan dan kewajibanpelaporan masyarakat serta peningkatan bobot

akuntabilitas kinerja aparat penegak hukum yang dapat dipertanggungjawabkan di

depan publik.

Tindakan penyidikan merupakan suatu tindakan kedua dari proses sistem

peradilan pidana setelah tindakan penyelidikan:

Ibid, halaman 17.


55
53

1. Dasar Hukum Penyidikan

Seperti halnya di Sat Res Narkoba Polresta Medan bergerak dengan

menggunakan aturan-aturan yang telah ditetapkan undang-undang sebagai acuan.

Tak terkecuali dalam hal proses penyidikan, Sat Res Narkoba Polresta Surakarta

berdasarkan pada :

a. Pasal 8 ayat (3) dan pasal 10 ayat (1) KUHAP.

b. Undang-undang No.2 Tahun 2002, tentang Kepolisian Republik Indonesia.

c. Peraturan Pemerintah RI No.27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP.

2. Tahap Penyidikan

a. Awal Dimulainya Penyidikan Tahap pertama dalam suatu penyidika adalah

membantu rencana penyidikan. Rencana penyidikan ini dibuat agar dari awal

dapat ditentukan arahdari suatu penyelidikan, cara yang akan digunakan, personil

yang akan digunakan, dan jangka waktu yang dibutuhkan dalam suatu penyidikan.

Pembuatan rencana penyidikan adalah suatu keharusan dalam penyidikan

terhadap suatu perkara yang akan dilaksanakn oleh penyidik. Ada beberapa

kegunaan dari membuat rencan penyidikan yaitu :

1) Memberikan gambaran mengenai penyidikan yang akan dilakukan

pembetulan apabila tindakan yang akan dilakukan sehingga dapat dilakukan

pembetulan apabila tindakan yang akan dilakukan oleh penyidik tidak sesuai

dengan takti dan dan teknik dalam penyidikan. 2) Merupakan proses control

oleh atasan penyidik terhadap penyidikan terhadap penyidikan yang akan

dilakukan oleh penyidik.

3) Mencegah terjadinya bias dan penyalahgunaan wewenag oleh penyidik


54

dalam penyelidikan56.

b. Tujuan Penyidikan Adapun tujuan daripada penyidikan adalah untuk

mendapatkan atau mengumpulkan keterangan , bukti atau data-data yang akan

digunakan untuk :

1) Membuat terang tindak pidana yang terjadi.

2) Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan (secara pidana) terhadap tindak

pidana tersebut.

c. Sasaran Penyidikan Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditentukan sasaran

penyidikan yang dilakukan oleh Sat Res Narkoba Polresta Surakarta, yaitu :

1) Membuat terang tindak pidana yang terjadi.

2) Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan (secara pidana terhadap tindak

pidana tersebut).

3) Tempat daerah dimana suatu kejahatan telah dilakukan.

d. Proses penyidikan Untuk melakukan penyidikan, proses yang dilakukan Sat

Res Narkoba Polresta Medan yaitu:

a) Sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP).

b) Setelah di lidik petugas menemukan tersangka dan barang buktinya lalu

petugas menindak lanjuti dengan proses penyelidikan dan setelah dilakukan

penyelidikan petugas melakukan penyidikan dan di dalam penyidikan di situ ada

penahan, pemeriksaan BAP dan sebagainya setelah lengkap semua di lanjutkan ke

Jaksa Penuntut Umum (JPU) jika JPU di anggap perlu atau bolak – balik dalam

arti ada petunjuk-petunjuk dari jaksa maka petugas melengkapi petunjuk tersebut

dan setelah cukup atau lengkap di serahkan ke JPU kembali jika sudah lengkap

Ibid. Hlm. 67.


56
55

akan muncul surat P21 atau tahap 2(dua) nanti petugas atau penyidik sudah lepas

daripenyidikan dan hasil langsung di sidangkan oleh jaksa maupun hakim yang

menghakimi tersangka.

e. Penyidikan

Narkotika secara umum disebut sebagai drugs yaitu sejenis zat yang dapat

menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan

dengan cara memasukan ke dalam tubuh manusia. Pengaruh tersebut berupa

pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau

khayalan-khayalan. Secara etimologi, kata narkotika berasal dari bahasa Yunani

yaitu narke yang artinya terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Orang

Amerika menyebutnya dengan nama narcotic, di Malaysia dikenal dengan istilah

dadah sedangkan di Indonesia disebut Narkotika. (Andi Hamzah, 1986 : 224).

Sebagian orang berpendapat bahwa narkotika berasal dari kata Narcissus yang

berarti sejenis tumbuh-tumbuhan yang mempunyai bunga yang dapat

menyebabkan orang menjadi tidak sadarkan diri.

Pada uraian diatas sudah diuraikan bahwa tujuan penyidikan adalah untuk

membuat terang suatu tindak pidana dan pelakunya kemudian dilakukan

penindakan. Berdasarkan hasil penelitian mengenai proses penyidikan perkara

tindak pidana narkotika yang tersangkanya sdr Deden Darusman Alias Deden.

Adapun tindakan penyidikan perkara tindak pidana narkotika adalah sebagai

berikut :

1) Menerima Laporan Sesuai dengan tugas dan kewajibannya,

2) Melakukan Tindakan Pertama

3) Penangkapan: Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa


56

pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila

terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau

peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini

4) Penggeledahan Penggeledahan dilakukan setelah diterbitkan Surat Perintah

Penggeledahan yang di tandatangani pejabat yang berwenang

5) Penyitaan: Alat-alat atau barang-barang yang di temukan pada saat

penggeledahan diamankan atau diadakan penyitaan. Adapun maksud diadakan

penyitaan diperlukan untuk memberikan keyakinan bahwa tersangka yang telah

melakukan tindak pidana itu.

Pada waktu penyidik akan mengadakan penyitaan suatu barang bukti, maka

penyidik terlebih dahulu harus memperlihatkan surat bukti diri, surat tugas dan

sebagainya kepada pemilik barang57

6) Pemeriksaan Tersangka dan Saksi Pemeriksaan tersangka dan saksi

merupakan bagian atau tahap yang paling penting dalam proses penyidikan.

Dari tersangka dan saksi akan diperoleh keterangan-keterangan yang akan

dapat mengungkap akan segala sesuatu tentang tindak pidana yang terjadi.

7) Penahanan Penahanan bertujuan untuk kepentimgan penyidikan dan untuk

kepentingan pemeriksaan hakim di persidangan. Dalam Pasal 20 KUHAP

memberikan kewenagan kepada penyidik, penuntut umum atau hakim untuk

melakukan penahanan atau penahanan lanjut dimana setiap kali melakukan

penahanan tersebut harus memakai surat perintah penahanan.

8) Selesainya Penyidikan Berita Acara Pemeriksaan adalah suatu rangkaian

pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik dalam mengusut suatu tindak


57
Yudo Saputra. Pengertian Penahanan dan
Penangkapan.http://yudosaputra91.blogspot.co.id/2013/04/pengertian-penahanan-
danpenangkapan.html?m=1.
57

pidana. Setelah penyidik menganggap bahwa pemeriksaan terhadap suatu

tindak pidana telah cukup, maka penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya ini

sekaligus pila dilampirkan semua berita acara yang dibuat sehubungan dengan

tindakan-tindakan yang diperlukan dalam rangkaian penyidikan.


58

BAB III

HAMBATAN PENYIDIK SATUAN RESERSE NARKOBA POLRESTA

MEDAN DALAM PENYIDIKAN TERHADAP PEMUFAKATAN JAHAT

MELAKUKAN TINDAK PIDANA PREKURSOR NARKOTIKA

A. Ketentuan Hukum TerkaitDenganPrekursorNarkotika

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, sebagai bagian

dari hukum positif (hukum yang berlaku di suatu wilayah dalam waktu tertentu)

telah dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 12 Oktober 2009 dan diundangkan

dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009:

a. Bahwa kebijakan pemerintah terhadap narkotika dan merupakan pertimbangan

yang menjadi dasar pembenaran perbuatan (act of choice), yang juga sebagai

latar belakang pertimbangannya, ialah Negara Republik Indonesia adalah

Negara hukum.

b. Bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan

makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kualitas sumber daya

manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu

dipelihara dan ditingkatkan secara terusmenerus, termasuk derajat

kesehatannya;

c. Bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia

dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya

peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan

mengusahakan ketersediaan Narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan


59

sebagai obat serta melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

d. Bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di

bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu

pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang

sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian

dan pengawasan yang ketat dan saksama;

e. Bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan,

mengedarkan, dan/atau menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan

pengawasan yang ketat dan saksama serta bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika karena sangat

merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia,

masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia;

f. Bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan

dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih,

didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan

korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat

membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang-

undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi

dengan perkembangan situasidan kondisi yang berkembang untuk

menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut58.

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika (Undang-Undang Narkotika), yang dimaksud dengan

58
Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-undang Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009),
Rineka Cipta, Jakarta, 2012, Hlm. 20-21.
60

prekursor narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat

digunakan dalam pembuatan narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagai

berikut:

Tabel1.DaftarPrekursorNarkotika

Prekursor narkotika sebagai bahan baku dalam pembuatan narkotika,

biasanya didatangkan ke tangan sindikat pembuat narkotika yang berada di

Indonesia dari berbagai negara. Hal ini diduga karena lemahnya pengawasan dan

pemberantasan oleh aparat penegak hukum. Maka dari itu, salah satu upaya yang

bisa dilakukan untuk memberantasi prekursor narkotika adalah upaya

penanggulangan kejahatan tersebut. Salah satu penanggulangan kejahatan yaitu

secara penal yaitu penegakan hukum secara pidana dilakukan melalui proses
61

peradilan pidana, diataranya penyidikan.

Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ini, diatur

beberapa ketentuan, yang membahas pengertian dan istilah-istilah yang diatur

dalam Undang-undang narkotika tersebut. Ketentuan tentang dasar, asas dan

tujuan pengaturan Narkotika, yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-undang ini, diselegarakan berasaskan

keadilan, pengayoman, kemanusiaan, ketertiban, perlindungan, keamanan,

nilainilai ilmiah dan kepastian hukum.Sedangkan tujuan Undang-undang

narkotika ini adalah:

a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan

dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari

penyalahgunaan Narkotika;

c. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan

d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan social bagi Penyalah Guna

dan pecandu Narkotika59.

Ruang lingkup Undang-undang Narkotika mencakup pengaturan Narkotika

meliputi segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan

Narkotika dan Prekursor Narkotika. Serta narkotika dalam Undangundang ini

digolongkan ke dalam Narkotika Golongan I, Narkotika Golongan II; dan

Narkotika Golongan III. Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan

pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi.Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan

59
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pasal 4
62

kesehatan.

Kebijakan pemerintah dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009

meliputi beberapa kegiatan, yakni:

a. Kebijakan tentang pengadaan narkotika, yang meliputi kegiatan berupa:

rencana kebutuhan tahunan, produksi narkotika untuk ilmu pengetahuan dan

teknologi, penyimpanan dan pelaporan.

b. Kebijakan tentang Impor dan Ekspor, yang meliputi kegiatan: izin khusu dan

surat persetujuan impor, izin khusus dan surat persetujuan Ekspor,

pengangkutan, transit dan pemeriksaan.

c. Kebijakan tentang peredaran narkotika yang meliputi kegiatan: ketentuan

umum, penyaluran dan penyerahan.

d. Kebijakan tentang label dan publikasi diman Industri Farmasi wajib

mencantumkan label pada kemasan narkotika baik dalam bentuk obat jadi

maupun bahan baku narkotika. Narkotika hanya dapat dipublikasikan pada

media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.

e. Kebijakan tentang prekursor, meliputiupaya kegiatan berupa: Tujuan

Pengaturan, Penggolongan dan Jenis Prekursor Narkotika, Rencana Kebutuhan

Tahunan dan Pengadaan.

f. Kebijakan tentang pengobatan dan rehabilitasi, meliputi kegiatan: mengatur

ketentuan tentang pembinaan dan pengawasan Narkotika dan prekursor

narkotika.

g. Kebijakan tentang pencegahan/pemberantasan Narkotika, meliputi: kedudukan

dan tempat kedudukan, di mana dalam rangka pencegahan dan pemberantasan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika dengan


63

Undang-undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya

disingkat BNN60.

Melihat tata hukum secara skematis, maka dapat dibedakan adanya tiga

sistem penegakan hukum, ialah sistem sistem penegakan hukum perdata, sistem

penegakan hukum pidana dan sistem penegakan hukum administrasi.

Berturutturut sistem sanksi hukum perdata, sistem sanksi hukum pidana dan

sistemsanksi hukum administrasi (tata usaha negara). Ketiga sistem penegakan

hukum tersebut masing-masing didukung dan dilaksanakan oleh alat perlengkapan

negara atau biasa disebut aparatur (alat) penegak hukum, yang mempunyai

aturannya sendiri-sendiri pula. Jenis-jenis Tindak Pidana Narkotika yang diatur

dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika61:

a. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,

memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I

dalam bentuk tanaman , Pasal 111; Setiap orang yang tanpa hak atau melawan

hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau

menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, Pasal 112

b. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,

mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, Pasal 113;

c. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,

menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau

menyerahkan Narkotika Golongan I, Pasal 114

d. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,

mengakut, atau mentransito Narkotika Golongan I, Pasal 115

60
Ibid, Hlm. 23.
61
Gatot Supramono, Hukum Narkotika Indonesia, Djambatan, Jakarta. 2009,. hlm. 90.
64

e. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika

Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk

digunakan orang lain, Pasal 116

f. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,

menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II, Pasal 117

g. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,

mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, Pasal 118

h. Setiap orang yang tanpa hak atau melawah hukum menawarkan untuk dijual,

menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau

menyerahkan Narkotika Golongan II, Pasal 119

i. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,

mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, Pasal 20

j. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika

Golongan II terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk

digunakan orang lain, Pasal 121

k. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,

memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan III,

Pasal 122

l. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,

mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III, Pasal 123

m. Setiap orang yang tanpa hak atau melawah hukum menawarkan untuk dijual,

menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau

menyerahkan Narkotika Golongan III, Pasal 124

n. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,
65

mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III, Pasal 125

o. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika

Golongan III terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III

untuk digunakan orang lain, Pasal 126

p. Setiap Penyalah Guna Narkotika Golongan I, II, dan III bagi diri sendiri Pasal

127; Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor,Pasal 128

q. Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika

untuk perbuatan Narkotika; Memproduksi, menimpor, mengekspor, atau

menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; Menawarkan

untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,

menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;

Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika

untuk pembuatan Narkotika Pasal 129

r. Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana

Narkotika Pasal 130

s. Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika

dan Prekursor Narkotika Pasal 131

t. Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan

kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan

ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipumuslihat, atau

membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana

Narkotika; Untuk menggunakan Narkotika Pasal 133

u. Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak
66

melaporkan diri; Keluarga dari Pecandu Narkotika yang dengan sengaja tidak

melaporkan Pecandu Narkotika tersebut Pasal 134

Uraian diatas adalah mengenai Ketentuan Pidana yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Apabila seperangkat

sanksi pidana yang telah ditetapkan merupakan hasil pilihan yang kurang tepat

atau sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kriminalitas, maka adalah

wajar apabila penanggulangan perkembangan kriminalitas agak “agak terganggu”.

Hubungan antara gejala masa kini, yaitu adanya peningkatan dan perkembangan

kriminalitas di satu pihak dengan keterbatasan jumlah sanksi pidana yang tersedia

bagi Hakim dan Jaksa di lain pihak, merupakan salah satu masalah di bidang

kebijakan pemidanaan yang cukup sulit.

Undang-undang Narkotika mengatur sanksi pidana maupun tindakan seperti

rehabilitasi tetapi jika melihat sebenarnya Undang-undang Narkotika mempunyai

perbedaan dengan KUHP , berikut adalah perbedaan Undang-undang Narkotika

dibandingkan dengan KUHP62:

a. Dalam undang-undang narkotika terdapat hukuman mati, hukum penjara,

hukuman denda. Selain itu terdapat sanksi adminisratif seperti teguran,

peringatan, denda adminisratif, penghentian sementara kegiatan

danpecambutan izin serta hukuman tambahan yang diatur dalam pasal 130 ayat

(2) UU Narkotika, berupa:

1) pencabutan izin usaha; dan/atau

2) pencabutan status badan hukum.

Sedangkan dalam KUHP hukumannya berupa:

Ibid.hlm.97
62
67

1) Hukuman Pokok

a) Hukuman mati

b) Hukuman penjara

c) Hukuman kurungan

d) Hukuman denda.

e) Hukuman Pidana Tutupan

2) Hukuman Tambahan

a) Pencabutan beberapa hak yang tertentu.

b) Perampasan barang yang tertentu.

c) Pengumuman keputusan hakim.

b. Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika

dan Prekursor Narkotika sebagaimana diatur dalam undangundang narkotika

tersebut dengan pidana penjara yang sama dengan orang melakukan kejahatan

atau pelanggaran terhadap ketentuan dalam undangundang narkotika ini,

misalnya percobaan untuk menyediakan narkotika golongan 1,dipidana dengan

pidana penjara paling singkat4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)

tahun danpidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta

rupiah) dan paling banyakRp8.000.000.000,00(delapan miliar rupiah).

Sedangkan dalam KUHP, hukuman terhadap orang yang melakukan percobaan

adalah maksimum hukuman utama yang diadakan bagi kejahatan dikurangkan

dengan sepertiganya, dalam hal percobaan.

c. Undang-Undang Narkotika bersifat elastis, seperti perubahan dari

UndangUndang Narkotika Tahun 1997 berubah menjadi Undang-Undang

No.35 Tahun 2009, sedangkan KUHP tidak bersifat elastis karena didalamnya
68

mengatur banyak hal.

d. Perluasan Berlakunya Asas Teritorial, dalam hal ini Undang-Undang Narkotika

beserta pemerintah mengupayakan hubungan kerjasama secara bilateral

ataupun multilateral guna untuk pembinaan dan pengawasan Narkotika,

sedangkan KUHP hanya berlaku di Indonesia.

e. Penggunaan pidana minimal dalam undang-undang narkotika memberikan

asumsi bahwa undang-undang tersebut diberlakukan untuk menjerat pihak-

pihak yang melakukan kejahatan dan pelanggaran terhadap narkotika.

Misalnya pidana minimal yang terdapat dalam pasal 113 ayat (1) UU No.35

tahun 2009, sedangkan dalam KUHP tidak mengenal pidana minimal, yang ada

hanya pidana maksimal, seperti dalam pasal 362 KUHP tentang pencurian.

B. HambatanPenyidikSatuanReserseNarkobaPolresta Medan

DalamPenyidikanTerhadapPemufakatanJahatMelakukanTindakPidan

aPrekursorNarkotika

Proses penyidikan tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Sat Res

Narkoba Polresta Medan sudah sesuai dengan prosedur yang ada mulai dari tahap

penyelidikan sampai ke tahap penyidikan. Tetapi pada saat melakukan penyidikan

SatRes Narkoba Polresta Medan ada beberapa kendala yaitu:

a. Jarang masyarakat mau menginformasikan tentang pengguna narkotika kepada

polisi, biasanya petugas mencari informasi sendiri dengan jalan surveillence

penyidikan yaitu dengan cara penyamaran, dengan mencari informasi yaitu

dengan orang umum atau awam dengan menjadikan orang tersebut informan

untuk mendapatkan informasi.


69

b. Tersangka saat di Berita Acara Periksaan (BAP) atau saat di wawancarai

ternyata tersangka mengalami sakau yaitu dengan menjedor-jedorkan

kepalanya ke pintu jadi tersangka harus di damping oleh ahli kejiwaan atau

psikolog.

c. Keterbatasansarana dan fasilitas yang belummerata di seluruh unit

sehinggadapatmengganguefektivitasjalannya proses penyelidikan.


70

BAB IV

UPAYA PENYIDIK SATUAN RESERSE NARKOBA POLRESTA

MEDAN DALAM PENYIDIKAN TERHADAP PEMUFAKATAN

JAHAT MELAKUKAN TINDAK PIDANA PREKURSOR NARKOTIKA

A. DampakPenyebaranNarkotika dan PrekursorNarkotika

Kondisi penyalahgunaan Narkotika saat ini telah mengalami perkembangan

yang cukup memprihatinkan baik dari segi modus maupun karakteristik kejahatan

yang dilakukan oleh pelaku, karakteristik peredaran gelap Narkotika terkadang

dilakukan oleh pelaku kejahatan dengan cara terorganisir sangat rapi namun

terputusputus tidak terstruktur, hal ini dimaksudkan untuk menghilangkah jejak

sehingga berdasarkan karakteristik ini maka kejahatan peredaran gelap Narkotika

merupakan white collar crime (konsep white collar crime adalah suatu “crime

committed by a person respectability and high school status in the course of his

occupation”. Kejahatan kerah putih ini sudah pada taraf trnasnasional, tidak lagi

mengenal batasbatas wilayah negara sehingga mengharuskan bagi negara

berkembang untuk menggunakan perangkat hukum yang tersedia untuk

memberantas pelaku kejahatan63.

Oleh karena itu peningkatan penanggulangan dan pemberantasan sebagai

upaya represif dalam memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika sangat diperlukan karena kejahatan Narkotika pada umumnya tidak

dilakukan oleh orang perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan


63
Suherland dalam Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering Untuk Memberantas
Kejahatan Di Bidang Kehutanan, Disampaikan Pada Seminar, Pemberantasan Kejahatan Hutan
Melalui Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diselenggarakan atas
kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan Pusat
Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Medan, tanggal 6 Mei 2004).
71

secara bersama-sama bahkandilakukan oleh sindikat yang terorganisir secara rapi

dan sangat rahasia dengan tujuan kejahatan yang dilakukan terus berkembang.

Peredaran Narkotika membawa suatu kerugian serta dampaknya sangat besar,

bahkan tidak mengenal usia maupun status sosial para korban yang ditimbulkan,

sehingga Narkotika menjadi kejahatan antar negara (Transnational Crime), bentuk

kejahatannya adalah kejahatan terorganisasi (Organize Crime), dan korbannya

tidak pilih kasih (Indiskriminatif), serta jaringan pelakunya dilaksanakan dengan

sistem sel (Pyramidal and cel System).

Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa Negara sangat sadar betul

menyangkut masalah kejahatan Narkotika adalah merupakan masalah global

karena mengingat sifat kejahatan ini adalah transnasional dan berdimensi

internasional. Oleh karena itu dalam menanggulangi masalah ini Negara memiliki

kebijakan dalam penyelesaiannya yang memerlukan keterlibatan dunia

internasional. Masalah Narkotika bukanlah masalah baru sebab masalah ini

sesungguhnya sudah ada sejak lama dan dilakukan umat manusia di seluruh

belahan dunia bahkan telah menjadi budaya misalnya di Eropa dan Amerika Utara

Penggunaan Narkotika pada setiap acara pesta sudah merupakan hal yang biasa.

Penggunaan morfin dan kokain merupakan gambaran sehari-hari di Eropa

maupun di Amerika utara pada akhir abad kesembilan belas64.

Bahaya Narkotika telah menjadi salah satu wujud ancaman global terhadap

kehidupan manusia. Berbagai forum kerja sama penegakkan hukum internasional

menyimpulkan bahwa trend kejahatan Narkotika menunjukkan peningkatan baik

regional maupun internasional. Kejahatan Narkotika bersifat transnasional karena

64
http://www.google.com, menutup Sekat keluar masuknya narkoba ke wilayah hukum Indonesia,
diakses tanggal 27 Maret 2022.
72

memiliki karakteristik melibatkan tempat kejadian di dua negara atau lebih yang

dilakukan oleh sindikat kejahatan secara terorganisir sehingga dalam

pemberantasanya diperlukan kerjasama penegak hukum internasional melalui

perumusan bersama tentang strategi penanggulangan dari berbagai sisi pendekatan

pemecahan masalah.

Berdasarkan uraian di atas dapat di kontruksikan bahwa penyalahgunaan

Narkoba merupakan masalah kronis yang perlu mendapat perhatian serius, karena

selain merupakan jenis transnational crime, penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkoba merupakan masalah kompleks bukan hanya dari faktor-faktor

penyebabnya, tetapi juga dari akibat-akibat multidimensional yang

ditimbulkannya (extra ordinary crime). Penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkoba merupakan masalah yang kompleks dan multidimensional, baik dari segi

kualitas maupunkuantitas. Perkembangannya pada saat ini sudah sampai pada

tingkat yang sangat memprihatinkan. Berdasarkan data yang ada pada BNN,

tercatat bahwa masalah penyalahgunaan narkoba di tanah air telah merambah

pada sebagian besar kelompok usia produktif yakni yang masih berstatus pelajar

maupun mahasiswa. Hasil survei BNN dan Universitas Indonesia menyebutkan

bahwa setiap hari 40 orang Indonesia meninggal karena narkoba, 3,2 juta orang

atau 1,5% penduduk Indonesia menjadi pengguna dan penyalahguna Narkoba.94

Hal ini tentunya berpengaruh terhadap stabilitas keamanan nasional.


73

B. UpayaPenyidikSatuanReserseNarkobaPolresta Medan

DalamPenyidikanTerhadapPemufakatanJahatMelakukanTindakPidan

aPrekursorNarkotika

Penyidik sebagai aparat penegak hukum pada penyelesaian perkara

narkotika atau tindakan represif menunjukkan lebih cenderung untuk mencapai

target yang telah ditentukan berdasarkan pengungkapan dan penyelesaian jumlah

tindak pidana (Crime Clear), dari pada melakukan pemberian perlindungan

hukum terhadapindividu atau warga masyarakat atau korban kejahatan pada

umumnya. Apalagi dalam kejahatan narkotika, korban kejahatan kurang

diperhatikan pada saat pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik. Hal ini

disebakan karena penyidik kurang memahami siapa korban dalam kejahatan

narkotika, akibat dari pengaturan didalam peraturan perundang-undangan

narkotika tidak menyebutkan korban secara tegas, akan tetapi justru korban sama

dengan pelaku kejahatan, pada hal dalam hukum pidana korban dan pelaku

kejahatan sangatlah berbeda.

Pemberian perlindungan hukum terhadap korban, khususnya kejahatan

narkotika pada tingak penyidikan tidak terlihat, bahkan korban dalam kejahatan

narkotika diarahkan kepada kedudukan pelaku kejahatan. Di samping itu lembaga

kejaksaan sebagai sub sitem dari sistem peradilan pidana juga tindak

memperhatikan aspek perlindungan bagi korban kejahatan Narkotika yakni

korban dan pecandu penyalahgunaan Narkotika sebagaimana dimaksud pada

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika khusunya Pasal 54 dan

Pasal 55. Pada proses penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa selaku penuntut

umum dalam penyelesaian perkara narkotika, lebih cenderung untuk mencapai


74

tujuan atau target yang telah ditentukan oleh organsisasi dari pada melakukan

pemberian perlindungan hukum terhadap individu atau warga masyarakat atau

korban kejahatan Narkotika. Hal inilah sebagai indikator penyebab terjadinya over

kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan.

Beberapalangkah yang dapatdilakukanSatuanReserseNarkobaPolresta

Medan

dalampenyidikanterhadappemufakatanjahatmelakukantindakpidanaprekursornark

otikayaitu:

1. Melakukanpelacakantersangka DPO secaratuntas

2. Menjalin Kerjasama denganberbagaipihaksepertiBNN,

perbankanterkaimaupunpihaklainnya.

3. Mempublikasikantersangkakepadainstansiterkaittermasukpolda lain

4. Melakukan Razia secaraintens

5. Mempublikasikan Kepada Masyarakat Melalui Fungsi Humas di Wilayahnya.


75

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Beberapakesimpulan yang dapatdiambildaripembahasandiatasadalah:

1. Prosedurpenetapantersangka DPO

dalampenyidikanterhadappemufakatanjahatmelakukantindakpidanaprekursorna

rkotikadimulaidaripenetapandasarhukumpenyidikan dan

melakukantahappenyidikan, yang meliputimelakukanperencanaan,

menetapkantujuan dan sasaran, melakukan proses

penyidikansampaidenganpenggeledahanbarangbukti.

2. HambatanpenyidikSatuanReserseNarkobaPolresta Medan

dalampenyidikanterhadappemufakatanjahatmelakukantindakpidanaprekursorna

rkotikaadalahkurangnyapartisipasiaktifdarimasyarakatuntukmaubekerjasamade

nganaparatpenegakhukumterkaitadanyatemuanindikasipenyalahgunaanprekurs

ornarkotika, kendalasaatmelakukaninterogasi pada

tersangkaketikasakausertaketerbatasansarana dan fasilitaspenyidikan.

3. UpayapenyidikSatuanReserseNarkobaPolresta Banda Aceh

dalampenyidikanterhadappemufakatanjahatmelakukantindakpidanaprekursorna

rkotikameliputimelakukanpelacakantersangkasecaratuntas,

menjalinkerjasamadenganinstansiterkait, melakukanraziasecaraintens dan

mempublikasikankepadamasyarakatmelalui humas yang ada.


76

B. Saran

Saran yang dapatdiberikanberdasarkanuraianpembahasan dan

kesimpulandiatasadalah:

1. Disarankan kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam menemukan

tersangka yang ditetapkan dalam DPO dan disarankan kepada kepolisian untuk

menyediakan Laboratorium Forensik di Medan guna memudahkan proses

penyidikan.

2. Disarankan Kepada kepolisian untuk mengeluarkan peraturan kepolisian yang

baru terkait tenggang waktu dalam pemanggilan tersangka DPO agar tiada

celah bagi DPO untuk melarikan diri.

3. Perlu dipikirkan peningkatan secara terus menerus tentang cara-cara yang

diperlukan dalam membantu proses penyelidikan dan penyidikan guna

memberikan titik terang suatu kejahatan narkoba melalui barang bukti seperti

dibuatkan suatu buku tentang jenis-jenis obat Psikotropika dan buku ini

disebarkan kepada masyarakat luas dan diharapkan masyarakat dapat

menginformasikan kepada pihak yang berwenang tentang adanya peredaran

obat- obatan tertentu setelah mengetahui jenis obat itu dilarang untuk

diedarkan.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A. Rasyid Rahman, Pendidikan Kewarganegaraan, Makassar, UPT MKU Universitas


Hasanuddin Makassar, 2006, hlm. 74
Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006. Hal.
115.
Adam Ramadhan, Model Zonanisasi Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung
( UNNES Law Journal ), 2015,
Adami Chazawi , Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), halaman 71.
Alfitra, 2012, Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana, Raih Asa Sukses, Depok,
hlm. 25- 28.
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm.
97.
Andi Hamzah, Asas-Asas Penting Dalam Hukum Acara Pidana, Surabaya, FH Universitas,
2005
Andi Tentri Wali Putri Takdir Patarai. Proses Penyidikan Tindak Pidana Penyalahgunaan
Narkotika.2013, No.1. Artikel dalam Jurnal Hukum Acara Pidana.
Arief, Nawawi Barda. Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
Semarang: Makalah Seminar Kriminologi UI. 1991, Hukum Undip, Hlm. 42.
Aris Ananta, Ekonomi Sumber Daya Manusia, LPFE UI, Jakarta, 2000,
Audrey Breman dan Shirlee J. Snyder, Fundamental of Nursing: Concepts, Process, and
Partice (9th ed) Person, New Jersey,2012.
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta 2001, hlm. 30.
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2018,hlm.184.
Chaerudin dan Syaiful Ahmad Dinar, Strategi Pencegahan Dan Penegakan HukumTindak
Pidana Korupsi,Bandung: Refika Editama, 2008, hlm.87.
Dellyana Shant, Konsep Penegakan Hukum, Liberty, 1988, Jakarta, Hlm. 32
Djoko Asmoro, Petunjuk Perencanaan Trotoar no.007/T/BNKT/1990Direktorat Jendral
Bina Marga, Direktorat Pembinaan Jalan Kota, Januari, Jakarta, 1990,
E.Y. Kanter, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHMPTHM,
Jakarta, 1992,hlm. 211.
Ende Hasbi Nassaruddin, Kriminologi, Pustaka Setia : Bandung,2015,
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Refika Aditama,
2014), hlm.97.
Franciscus Theojunior Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia, Jakarta
Timur,2014, hlm. 179
Gatot Supramono, Hukum Narkotika Indonesia, Djambatan, Jakarta. 2009,. hlm. 90.
Gilang Permadi, S.S, PKL Riwayatmu Dulu, Nasibmu Kini!, Yudhistira : Jakarta, Cetakan
Pertama, 2007,
I Made Widnyana, Hukum PIdana, Penerbit Fikahati Aneska, Jakarta,2010, hlm. 34
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, (Jakarta: Kantor Pengacara dan
Konsultasi Hukum “Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, 2002), hlm.155.
Jimly Asshidiqie, Hukum Tata Negara dan PilarPilar Demokrasi, Serpihan Pemikiran
Hukum, Media dan HAM ,Jakarta: Konstitusi Press dan PT. Syaamil Cipta Media,
2006,. Hlm. 386.
Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Penerbit Balai Lekture Mahasiswa, Jakarta, 2005,
hlm. 62.
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus, Penerbit Alumni :
Bandung,
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus, Penerbit Alumni :
Bandung, 2012
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik, dan Permasalahanya
(Bandung. PT alumni, 2007), hal.55.
Muladi dan Arif Barda Nawawi, Penegakan Hukum Pidana, Rineka Cipta, 1984, Jakarta,
Hlm. 157.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni,
Bandung. hlm. 98-99.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana (Bandung: Alumni,
2005), halaman 57.
Muladi, Hak Asasi Manusia (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009).Hlm. 4.
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum,Jakarta: Kencana Persada, 2012. Hlm. 15.
Rena Yulia, Viktimologi (Pelindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan),
Yogyakarta:Graha Ilmu, 2010, hlm.85.
Ridha Ma’roef. Narkotika, Masalah, dan Bahayanya. PT Bina Aksara. Jakarta. 1987. Hlm.
15.
S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya di Indonesia Cetakan Ke-2,
Alumni AHAEM PTHAEM, Jakarta, 1998, hlm.208.
Satipto Rahardjo.tt, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, hlm. 15.
Sidharta, Fenomena Pedagang Kaki Lima Dalam Sudut Pandang Kajian Filsafat Hukum dan
Perlindungan Konsumen, Humaniora, Vol. 5 No, 2014
Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-undang Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009),
Rineka Cipta, Jakarta, 2012, Hlm. 20-21.
Siswantoro Sumarso, Penegakan Hukum Psikotropika, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta :
2004,
Siswo Wiratmo, Pengantar Ilmu Hukum, (Yogykarta: FH. UII), halaman 9.
Soedjono Dirjosisworo. Hukum Narkotika di Indonesia. PT CitraAditya Bakti.Bandung, Hlm.
7
Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, PT.Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 5.
Soesilo R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar- Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Cetakan Ke 9,Politea, Bogor, 1986, hlm.97
Solehuddin, SistemSanksiDalamHukum Pidana, Raja GrafindoPersada, Jakarta, 2003,
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana,Bandung: Alumni, 1996. Hlm. 111.
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm.
160.
Suherland dalam Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering Untuk Memberantas
Kejahatan Di Bidang Kehutanan, Disampaikan Pada Seminar, Pemberantasan
Kejahatan Hutan Melalui Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang,
yang diselenggarakan atas kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara dengan Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK), Medan, tanggal 6 Mei 2004).
Supramono, G. , 2001. Hukum Narkotika Indonesia. Djambatan, Jakarta. hlm. 12.
Supramono.Hukum Narkotika Indonesia.Djambatan. Jakarta. 2001. Hlm.5
Taufik Makarao, dkk..Tindak Pidana Narkotika. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2003. Hal. 17.
Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Penintesier Indonesia, Alfabeta, 2010,
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pasal 4
Wahju Muljono, Pengantar Teori Kriminologi, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012. hlm. 35.
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP penyidikan dan
penuntutan, Edisi kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal 101.

B. PeraturanPerundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Anda mungkin juga menyukai