Anda di halaman 1dari 89

PERAN PENYIDIK DALAM MENGAMANKAN BARANG BUKTI

PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA


(STUDI KASUS DI KEPOLISIAN KOTA BESAR MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Dan Memenuhi Syarat-Syarat


Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:
RACHEL AGATHA CRISTY HUTABARAT
NIM : 120200082

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2016

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Rachel Hutabarat
Syafrudin Kalo**
Nurmalawaty***

Tindak Pidana Narkotika merupakan salah satu kejahatan yang paling


meresahkan di kalangan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu pemerintah
mengeluarkan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika agar
semua kejahatan yang berkaitan Narkotika dapat ditanggulangi dan juga proses
pemeriksaan nya di kepolisian dapat berjalan dengan baik. Di dalam proses
pemeriksaan Kasus Narkotika di kepolisian, penyidikan merupakan suatu proses
yang sangat beperan vital, karena di dalam proses inilah kita dapat mengetahui
bagaimana Tindak Pidana Narkotika itu dilakukan dan apa saja yang menjadi
barang buktinya. Adapun permasalahan yang sering dihadapi adalah bagaimana
pengaturan hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam penyidikan, serta
bagaimana kendala-kendala yang di hadapi kepolisian dalam pengamanan barang
bukti. Salah satu kendala yang paling menonjol adalah tentang pengamanan
barang bukti dari Tindak Pidana Narkotika tersebut karena fasilitas untuk tempat
mengamankan barang bukti belum terlalu memadai, dan disinilah perlu adanya
pertanggungjawaban dari kepolisian selaku penyidik dalam hal mengamankan
barang bukti tersebut.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan
penelitian yang bersifat yuridis normatif dan bersifat yuridis empiris (studi
lapangan). Penelitian yang bersifat Yuridis Normatif adalah penelitian yang
dilakukan berdasarkan peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang berkaitan.
Penelitian yang bersifat Yuridis Empiris adalah penelitian yang melakukan
pengumpulan data yang diperoleh dengan cara wawancara dari narasumber
(informan) secara langsung yang dilakukan kepada pihak yang terkait dalam hal
ini, pihak yang dimaksud adalah Satuan Kepolisian Kota Besar Medan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Polisi yang bertugas sebagai
penyidik dalam proses penyidikan memiliki peran dan tanggung jawab yang
sangat vital, serta dalam menjalankan tugas-tugasnya penyidik memiliki beberapa
kendala yang dapat menghambat proses penyidikan. Salah satunya adalah tentang
pengamanan barang bukti Narkotika yang dimana fasilitas yang terdapat di Polsek
ataupun Polres belum begitu memadai.


Mahasiswa Fakultas Hukum Sumatera Utara.
**
Staf Pengajar Hukum Pidana, Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
***
Staf Pengajar Hukum Pidana, Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Segala Puji Syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

limpahan Rahmat dan BerkatNya, sehingga penulis mampu menyusun skripsi ini

dengan baik. Penulisan skripsi ini merupakan tugas wajib mahasiswa dalam

rangka melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini diberi judul “Peran Penyidik dalam Mengamankan Barang

Bukti Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi di Kepolisian Kota Besar

Medan)”

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari

berbagai pihak, baik berupa dorongan semangat maupun sumbangan pemikiran.

Oleh sebab itu, penulis dalam kesempatan ini ingin menyampaikan rasa terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang memberikan bantuan,

yaitu kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, dan Sebagai Rektor Universitas Sumatera

Utara.

2. Bapak Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Puspa Melati, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara


4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH., M.H selaku ketua Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selalu memberikan

inspirasi beserta dorongan kepada saya dalam penyusunan skripsi ini.

6. Ibu Liza Erwina, S.H.,M.Hum selaku sekretaris Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selalu memberikan

inspirasi beserta dorongan kepada saya dalam penyusunan skripsi ini.

7. Bapak Prof. Syafrudin Kalo, SH.,M.Hum selaku Staf Pengajar Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sebagai Dosen Pembimbing

I penulis, yang telah sabar dan ikhlas memberikan bimbingan dan arahan

kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.

8. Ibu Nurmalawaty S.H.,M.Hum selaku Staf Pengajar Hukum Pidana Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara dan sebagai Dosen Pembimbing II

penulis, yang telah sabar dan ikhlas memberikan arahan dan bimbingan

kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.

9. Bapak Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum sebagai Penasehat Akademik yang

telah banyak membantu Penulis selama ini dalam menyelesaikan studi di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Seluruh Staf Dosen dan Staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan pembelajaran dan membimbing

Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara


11. Kepada Ayahanda Jonner Hutabarat S.H dan Ibunda Ratna Simangunsong,

yang selalu memberikan motivasi, bimbingan moril, serta inspirasi kepada

penulis, dan yang telah sabar dan ikhlas membesarkan penulis, sehingga

penulis dapat menjadi seperti sekarang ini, dan orang yang selalu menjadi

penyemangat bagi penulis.

12. Kepada abang dan adikku tercinta Joe Van Rajs Hutabarat S.H dan Grace

Vone Pricillia Natali Hutabarat yang menjadi penyemangat penulis.

13. Kepada adik saya Jefri Eduardo yang juga menjadi pendukung dan

penyemangat penulis.

14. Kepada tante saya Rosma Adelina Simangunsong S.Par yang juga menjadi

penyemangat penulis.

15. Kepada seseorang yang sangat special buat saya, Ryan Ganesha, orang yang

selalu menjadi penyemangat, dan orang yang selalu mendorong dan

memberikan motivasi kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan baik.

16. Kepada Sahabat-sahabat terbaik saya dari grup Bertujuh Monica Ria

Hutabarat S.H, Margaretha Aldila Fitri Sitohang S.H, Ruth Depari S.H,

Jessica Lydia S.H, Julian Leonardo S.H, dan Marrisa Meinita S.H yang selalu

memberikan dorongan kepada penulis.

17. Kepada Sahabat-sahabat terbaik saya dari grup Lordosis Sonya Evelin S.H,

Chelsya Stepanie S.H, Gloria Tobing S.H, Gracia Tri Ignasia S.H, Yulia Resa

S.H, Putri Hayati Berlian dan Stevani Sembiring yang selalu memberikan

dorongan kepada penulis.

Universitas Sumatera Utara


18. Kepada Sahabat-sahabat terbaik saya dari grup Elecastro Ander Meilani

Kaban S.Ked, dan Stefany Alaya. S.Tr. yang selalu memberikan dorongan

kepada penulis.

19. Kepada Sahabat-sahabat terbaik saya Faheera Imaniza, dan William Hutabarat

S.H yang membantu dan memberikan dorongan kepada penulis.

20. Kepada Sahabat-sahabat terbaik saya Grup Tenda Fakultas Hukum USU yang

juga membantu saya dan memberikan dorongan dalam menyelesaikan skripsi

saya.

21. Kepada sahabat penulis di Grup A Stambuk 2012, yang sebagai teman

seperjuangan dan grup terhebat sepanjang masa.

22. Kepada Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Hukum Pidana (IMADANA).

23. Kepada Keluarga Besar Pemuda Pancasila Fakultas Hukum USU.

24. Kepada seluruh teman-teman stambuk 2012 dan teman-teman Jurusan Hukum

Pidana 2012.

Akhir kata Penulis mengharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak terutama bagi kemajuan ilmu pengetahuan ilmu hukum.

Medan, Oktober 2016

Hormat Penulis

Rachel Agatha Cristy Hutabarat

NIM : 120200082

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………..………………...…………………

DAFTAR ISI………………..……………………………………………………..

DAFTAR TABEL…………………..…………………………………………….

ABSTRAK……………………..…………………………………………………..

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang…………………………………………..…....1

B. Rumusan Masalah……………………………………….……6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan……………………………..…6

D. Keaslian Penulisan………………………………………….....8

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Narkotika……………………………………....9

2. Pengertian Penyidik……………………………………....12

3. Pengertian Barang Bukti……………………………….....14

F. Metode Penelitian…………………………………………....18

G. Sistematika Penulisan…………………………………..........21

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PENYIDIKAN


DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA.

A. Latar belakang lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana

Narkotika………………………………...……..……………23

B. Berlakunya Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang

Narkotika dalam hal penyidikan……………………………..30

Universitas Sumatera Utara


BAB III PERAN PENYIDIK DALAM MENGAMANKAN BARANG
BUKTI TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI
HUKUM POSITIF INDONESIA.
A. Peran penyidik dalam mengamankan barang bukti tindak pidana

Narkotika ditinjau dari Hukum Acara Pidana.

1. Peran Kepolisian sebagai penyidik………………….……….....37

2. Peran Kepolisian sebagai penyidik dalam mengamankan barang

bukti ditinjau dari Hukum Acara Pidana…………………….…42

B. Peran penyidik dalam mengamankan barang bukti Tindak Pidana

Narkotika ditinjau dari Undang-Undang No 35 Tahun 2009……….46

BAB IV PENGAMANAN BARANG BUKTI DALAM PENYIDIKAN


YANG DILAKUKAN KEPOLISIAN SELAKU PENYIDIK
DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA KHUSUSNYA DI
WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN KOTA BESAR MEDAN.

A. Pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam hal mengamankan barang

bukti tindak pidana Narkotika khususnya di wilayah hukum

Kepolisian Kota Besar Medan………………………………………56

B. Proses penyidikan yang dilakukan kepolisian selaku penyidik dalam

mengamankan barang bukti tindak pidana Narkotika khususnya di

wilayah hukum Kepolisian Kota Besar Medan……………………...60

C. Kendala – kendala yang dihadapi Kepolisian selaku penyidik dalam

mengamankan barang bukti tindak pidana narkotika khususnya di

wilayah hukum Kepolisian Kota Besar Medan………………….......65

Universitas Sumatera Utara


BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN…………………………………………………72

B. SARAN………………………………………………………....73

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………......75

LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

1. TABEL 1

Daftar Nama Penyidik Kepolisian Kota Besar Medan 2016……………59

2. TABEL 2

Waktu dalam proses penyidikan…………………………………………65

3. TABEL 3

Data kasus narkotika Poltabes Medan 2016…………………………..…67

4. TABEL 4

Data transportasi dinas Poltabes Medan…………………………………68

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan

makmur yang merata materil dan spiritual berdasarkan pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945 maka kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah

satu modal pembangunan nasional perlu ditingkatkan secara terus menerus

termasuk dalam hal kesehatan manusianya, peningkatan derajat kesehatan sumber

daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesehjateraan rakyat perlu

dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan,

antara lain pada satu sisi dengan mengusahakan ketersediaan narkotika dan obat-

obatan jenis tertentu yang dibutuhkan sebagai obat-obatan juga untuk kesehatan.

Narkotika dan obat-obatan jenis tertentu digunakan untuk percobaan dan

penelitian yang diselenggarakan pemerintah dalam rangka kepentingan ilmu

pengetahuan dan mendapat ijin menteri kesehatan.

Penegakan hukum di Negara Indonesia sendiri dalam masyarakat selalu di

bebankan kepada aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum yang

mempunyai peran penting menjalankan penegakan hukum acara pidana salah

satunya adalah Kepolisian. Institusi Kepolisian merupakan suatu intitusi yang di

bentuk negara guna menciptakan ketertiban, ketentraman, dan keamanan di tengah

Universitas Sumatera Utara


masyarakat baik dalam hal pencegahan, pemberantasan, dan penindakan tindak

pidana1.

Jika ditinjau dari perundang-undangan Indonesia dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni dalam Pasal 1 butir 1 mengatakan

bahwa penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pegawai

negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk

melakukan penyidikan, sedangkan dalam Pasal 1 butir 4 kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatakan bahwa penyelidik adalah pejabat

polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang- undang ini

untuk melakukan penyelidikan. Dari penjelasan kedua Pasal tersebut dapat

dikatakan bahwa intitusi kepolisian merupakan suatu lembaga yang diberi

wewenang oleh negara yang diharapkan mampu membantu proses penyelesaian

terhadap kasus kejahatan dan pelanggaran tindak pidana.

Pelaksanaan tugas kepolisian juga telah disusun dalam Undang-Undang

Nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia. Adapun yang

menjadi tugas kepolisian yaitu :2

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

2. Menegakan hukum; dan

3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam tindakan Kepolisian selaku pengatur keamanan terhadap

masyarakat maka kepolisian mempunyai kewenangan yang diatur di dalam Pasal

1
Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh
Anak, (Malang : UMM PRES, 2009), hlm 112.
2
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tugas dan Kewenangan Aparat
Kepolisian, Pasal 13.

Universitas Sumatera Utara


15 ayat (1) huruf (a) sampai dengan (j), serta Pasal 16 ayat (1) huruf (a) sampai

dengan (1) dan ayat (2).

Masyarakat pun banyak sekali menaruh harapan pada polisi agar polisi

dapat menyelesaikan atau menanggulangi masalah yang di hadapi tanpa

memperhitungkan apakah polisi tersebut adalah polisi yang berpengalaman atau

tidak. Begitu banyak jenis kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat, perilaku

yang menyimpang atau tidak sesuai dengan dengan norma atau yang di sebut

sebagai penyimpangan terhadap norma-norma yang telah disepakati yang

mengakibatkan terganggunya keamanan, ketertiban dan ketentraman kehidupan

bermasyarakat.

Kejahatan yang ada dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial

yang akan selalu di hadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan Negara .

Kejahatan pada masa sekarang ini sudah tidak mengenal usia, baik muda, tua,

dewasa dan kenyataan membuktikan bahwa kejahatan hanya dapat di cegah dan

dikurangi tapi sangat sulit untuk di berantas sampai tuntas. Jenis kejahatan

tersebut dapat berupa pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, penyalahgunaan

narkotika dan lain sebagainya.

Khusus untuk penggunaan narkotika, meskipun narkotika dianggap

berbahaya oleh banyak orang namun pada dasarnya sangat bermanfaat bagi

kehidupan manusia khususnya dalam bidang medis (kesehatan). Dalam Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU

Narkotika) disebutkan bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan

yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan

Universitas Sumatera Utara


pemgembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan

ketergantungan yang sangat merugikan apabila di salah gunakan atau

dipergunakan tanpa pengendalian dan dosis yang sesuai serta pengawasan yang

ketat dan seksama. Apabila pemakaian narkotika tersebut sudah melampaui batas

atau disalahgunakan maka narkotika akan berbahaya bagi si pengguna, karena

narkotika mempunyai sifat yang membuat si pemakai merasa kecanduan dan

ketergantungan sehingga si pengguna bisa menjadi tidak terkendali dan akhirnya

bisa melakukan tindak-tindak pidana yang lain yang dapat merugikan siapa saja.

Saat ini tindak pidana narkotika dipandang sebagai tindak pidana yang

menjadi musuh semua umat manusia dan karena itu negara-negara di dunia

termasuk Indonesia berjuang keras untuk memberantas tindak pidana ini, Tindak

Pidana Narkotika ini sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup suatu bangsa dan

negara karena banyak menimbulkan kerugian dan juga melibatkan kaum putra-

putri Indonesia sebagai korban dan pelakunya.

Maka dari itu, untuk menangulanggi penyalahgunaan narkotika maka

pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika yang telah dicabut karena Tindak Pidana Narkotika sudah bersifat

transnasional3 dengan modus dan teknologi serta adanya perluasan si pelaku dan

korban penyalahgunaan narkotika ini yakni kalangan anak-anak, remaja dan

generasi muda pada umumnya. Saat ini pengaturan mengenai Tindak Pidana

3
Tindak Pidana Narkotika bersifat Transnasional karena kejahatan narkotika merupakan
kejahatan terorganisasi yang terjadi lintas perbatasan negara dan melibatkan kelompok atau
jaringan yang bekerja di lebih dari satu negara untuk merencanakan dan melaksanakan bisnis
ilegal

Universitas Sumatera Utara


Narkotika telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika.

Demikian pula dalam hal penyidikan kasus tindak pidana Narkotika di

daerah hukum Kepolisian Kota Besar Medan (Poltabes Kota Medan) sering

mendapatkan kasus mengenai narkotika, baik yang tertangkap tangan, adanya

razia sarang peredaran narkotika seperti di tempat hiburan malam, razia gabungan

di jalan raya bahkan di dalam Rumah Tahanan ( RUTAN).

Karena maraknya kasus Tindak Pidana Narkotika yang ditangani oleh pihak

Kepolisian maka tidak menutup kemungkinan juga adanya resiko kehilangan

barang bukti pada saat terjadinya penyidikan, yang menyebabkan proses

penyidikan tertunda, serta tidak menutup kemungkinan terjadinya penyalahgunaan

barang bukti tindak pidana Narkotika tersebut oleh oknum-oknum yang tidak

bertanggung jawab. Betapa pentingnya hal ini untuk di sadari oleh aparat penegak

hukum maupun masyarakat karena itu pentingnya masalah ini untuk dikaji lebih

jauh. Untuk itu penulis membuat penulisan skripsi yang berjudul “Peran

Penyidik Dalam Mengamankan Barang Bukti Pelaku Tindak Pidana

Narkotika Khususnya Di Wilayah Kepolisian Kota Besar Medan”

Universitas Sumatera Utara


B. Rumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang permasalahan diatas maka penulis membuat

rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan hukum tentang penyidikan dalam tindak pidana

narkotika?

2. Bagaimana peran penyidik dalam mengamankan barang bukti pelaku Tindak

Pidana Narkotika?

3. Bagaimana pertanggung jawaban serta kendala kepolisian selaku penyidik

dalam hal mengamankan barang bukti Tindak Pidana Narkotika di wilayah

hukum Kepolisian Kota Besar Medan (POLTABES MEDAN)?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan penulisan

Tujuan penulisan hakekatnya mencari jawab atas masalah yang diteliti dan

memberikan pedoman agar penelitian dapat berlangsung sesuai apa yang

dikehendaki. Karena itu dalam penyusunan skripsi, tujuan penelitian ini

adalah:

a. Tujuan objektif :

1) Untuk mengetahui tentang perkembangan penyalahgunaan narkotika

pada masa sekarang ini dan mengetahui hukum yang mengatur

tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika.

Universitas Sumatera Utara


2) Untuk mengetahui kebijakan upaya yang dilakukan oleh aparat

penegak hukum dalam hal ini pihak kepolisian yang bertugas sebagai

penyidik dalam mengamankan barang bukti narkotika.

3) Untuk mengetahui kendala yang di hadapi oleh aparat penegak hukum

dalam hal ini pihak kepolisian selaku penyidik dalam mengamankan

barang bukti narkotika di wilayah Kepolisian Kota Besar Medan

(Poltabes Medan).

b. Tujuan subjektif :

1) Untuk memperoleh data bahan penyusunan skripsi guna memenuhi

salah satu syarat akademis untuk mencapai gelar sarjana dalam ilmu

hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2) Untuk meningkatkan dan menambah pengetahuan penulis dalam ilmu

hukum khususnya dalam hukum dan kebijakan publik dalam kaitan

nya dengan tugas dan wewenang polisi dalam mengamankan barang

bukti Narkotika di wilayah hukum Kepolisiaan Kota Besar Medan

(POLTABES MEDAN)

2. Manfaat penulisan

Selain tujuan yang akan dicapai sebagaimana yang dikemukakan diatas,

maka penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk :

a. Manfaat teoritis :

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan khususnya

hukum pidana , mengenai pengamananan barang bukti Narkotika serta

Universitas Sumatera Utara


kinerja aparat hukum yaitu aparat kepolisian selaku penyidik dalam hal

penyidikan kasus Tindak Pidana Narkotika dan hambatan yang dihadapi

kepolisian dalam mengamankan barang bukti Tindak Pidana Narkotika.

b. Manfaat Praktis :

1) Bagi Penulis : penelitian ini dapat memperluas pengetahuan tentang

penerapan ilmu yang didapat selama perkuliahan dilapangan, serta

menambah wacana ilmu hukum pidana tentang peran penyidik dalam

hal ini kepolisian terkait pengamanan barang bukti Tindak Pidana

Narkotika.

2) Bagi aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian : penelitian ini

dapat diharapkan membantu para aparat penegak hukum dalam

mengoptimalisasi kinerja aparat Kepolisian dalam menanggulangi

Tindak Pidana Narkotika di masyarakat.

3) Bagi Masyarakat : penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan

masyarakat agar dapat berperan serta dan membantu kepolisian dalam

menangulangi penyalahgunaan narkotika.

D. Keaslian Penulisan

Setelah ditelusuri daftar skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Pidana

belum ditemukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan dengan judul dan

permasalahan yang akan di angkat yaitu tentang “Peran Penyidik Dalam

Mengamankan Barang Bukti Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Di

Universitas Sumatera Utara


Kepolisian Kota Besar Medan)” penulisan skripsi ini adalah asli dari ide,

pemikiran, gagasan dan usaha penulis sendiri tanpa adanya penjiplakan dari hasil

karya orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu, namun apabila

terdapat kesamaan maka penulis siap bertanggung jawab atas keaslian penulisan

skripsi ini.

E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

1. Pengertian Narkotika

Di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, tindak

pidana Narkotika digolongkan kedalam tindak pidana khusus karena tidak

disebutkan di dalam KUHP, pengaturannya pun bersifat khusus. Istilah Narkotika

bukan lagi istilah asing bagi masyarakat mengingat begitu banyaknya berita baik

dari media cetak maupun elektronik yang memberitakan tentang kasus-kasus

mengenai Narkotika.

Narkotika atau nama lazim yang diketahui oleh orang awam berupa

narkoba tidak selalu diartikan negatif, didalam ilmu kedokteran Narkotika dengan

dosis yang tepat digunakan sebagai obat bagi pasien. Selain narkoba, istilah lain

yang diperkenalkan khususnya oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika, dan Zat

Adiktif.

Jika kita mengambil dari sudut bahasa, maka kata Narkotika berasal dari

bahasa Yunani yaitu “Narkan” atau “Narke” yang berarti menjadi kaku, lumpuh,

dan dungu. Di dalam dunia kedokteran dikenal dengan Narcose atau Narcosis

Universitas Sumatera Utara


yang berarti dibiuskan terutama dalam peristiwa pembedahan (Narcoticum/obat

bius dalam bahasa latin).4

Secara umum,yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang

dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang

menggunakan nya, yaitu dengan cara memasukan kedalam tubuh. Istilah

narkotika yang digunakan disini bukanlah “Narcotics” pada farmacologie

(Farmasi), melainkan sama artinya dengan “drug” yaitu sejenisnya yang apabila

di pergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu dalam tubuh

si pemakai, yaitu :

a. Mempengaruhi kesadaran;

b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh dalam perilaku manusia;

c. Pengaruh-pengaruh tersebut berupa:

1) penenang;

2) perangsang (bukan rangsangan sex);

3) menimbulkan halusinasi (pemakai tidak mampu membedakan

membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangn kesadaran

akan waktu dan tempat).

Smith Kline dan Frech Clinical Staff mendefinisikan bahwa:5

“Narkotika adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan

ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja

mempengaruhi susunan saraf sentral. Dalam defenisi Narkotika ini sudah

4
Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika (Jakarta: Erlangga,2005) , hal. 17.
5
Ibid.,hal.18.

Universitas Sumatera Utara


termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine, codein, dan

methadone).”

Didalam bukunya, Ridha Ma‟roef mengatakan bahwa Narkotika ialah Candu,

Ganja, Cocaine, dan Zat-Zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda

termasuk yakni Morphine, Heroin, Codein Hashisch, Cocaine. Dan termasuk juga

Narkotika sintetis yang menghasilkan zat-zat, obat yang tergolong dalam

Hallucinogen dan Stimulan6. Sedangkan menurut farmacologie (farmasi) medis,

yaitu “Narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan (terutama) rasa nyeri
7
yang berasal dari daerah Visceral dan dapat menimbulkan efek stupor serta

adiksi.”8

Menurut Undang – undang Nomor. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika

menyebutkan yaitu narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman

sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan

kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan

dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan –

golongan sebagaimana terlampir dalam Undang – undang ini atau yang kemudian

ditetapkan dengan keputusan Menteri Kesehatan.9 Sedangkan menurut Bunyi UU

Narkotika Pasal 1 ayat 1 dapat dipahami bahwa narkotika merupakan zat atau obat

6
Ridha Ma’roef, Narkotika, Masalah dan Bahayanya (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal.
15.
7
Lihat : Efek Stupor adalah bengong masih sadar namun masi harus digertak.
8
Wijaya A.W, Masalah Kenakan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, (Bandung :
Armico, 1985), hal. 145.
9
Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh
Anak,(Malang : UMM PRES, 2009), hal. 12.

Universitas Sumatera Utara


yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis,

yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa

sakit, mengurangi sampai menghilangkan rasa ngeri dan dapat menimbulkan

ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana

terlampir dalam undang-undang ini. Prekursor Narkotika merupakan zat atau

bahan pemula atau kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika.10

Narkotika mengacu pada sekelompok senyawa kimia yang berbahaya

apabila digunakan tidak pada dosis yang tepat. Bahaya itu berupa candu dan

ketagihan yang tidak bisa berhenti. Hal ini dikarenakan di dalam Narkotika

terkandung senyawa adiktif yang bersifat adiksi11 bagi pemakainya. Penggunaan

Narkotika dapat menyebabkan hilangnya kesadaran dan si pengguna dapat dengan

mudah melupakan segala permasalahan yang dihadapi. Pemakai dibuat seperti

berada diatas awan dan selalu merasa bahagia. Inilah yang kemudian mendorong

banyak orang yang sedang diliputi masalah beralih mencari kesenangan dengan

mengonsumsi obat-obatan terlarang ini.

2. Pengertian penyidik

Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat

Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk

melakukan penyidikan oleh karena kewajibannnya tersebut. 12 Adapun yang

menjadi wewenang dari penyidik adalah :13

10
F Asya, Narkotika dan Psikotropika, (Jakarta : Asa Mandiri, 2009), hal. 3.
11
Lihat : Adiksi adalah ketergantungan terhadap narkoba merupakan suatu kondisi dimana
seseorang mengalami ketergantungan secara fisik dan psikologis terhadap suatu zat adiktif.
12
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 butir (1).
13
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Pasal 7 ayat (1).

Universitas Sumatera Utara


a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak

pidana;

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka serta memeriksa tanda pengenal

diri tersangka;

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang yang diduga melakukan

suatu tindak pidana;

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi;

h. Mendatangkan seorang ahli yang di perlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

i. Mendatangkan seorang ahli yang di perlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

j. Mengadakan penghentian penyidikan.

Selanjutnya menurut Pasal 1 butir 2 KUHAP, penyidikan adalah

serangkaian tindakan penyidik dalam haldan menurut cara-cara yang di

atur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti

dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan

guna menemukan tersangka.

Penyidik yaitu pejabat Polisi Negarai Republik Indonesia dan

Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang di beri wewenang khusus oleh

Universitas Sumatera Utara


Undang-Undang, maka seseorang yang ditunjuk sebagai penyidik

haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan yang mendukung tugas

tersebut, seperti misalnya mempunyai pengetahuan dan keahlian

disamping syarat kepangkatan. Namun demikian KUHAP tidak mengatur

masalah tersebut secara khusus. Menurut Pasal 6 ayat (2) KUHP, syarat

kepangkatan pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) yang

berwenang menyidik akan diatur lebih lanjut dengan peraturan

pemerintah.

3. Pengertian barang bukti

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan

secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal

39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:

a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian

diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak

pidana;

b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak

pidana atau untuk mempersiapkannya;

c. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak

pidana;

d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana

yang dilakukan.

Universitas Sumatera Utara


Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan

dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti.14

Selain itu di dalam Hetterziene in Landcsh Regerment (”HIR”) juga terdapat

perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai,

pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan

pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang

dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan

dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang

perlu di-beslag di antaranya:

a. Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana (corpora delicti).

b. Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora

delicti).

c. Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana

(instrumenta delicti).

d. Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk

memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti).

Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan oleh kitab undang-

undang di atas, pengertian mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan

doktrin oleh beberapa Sarjana Hukum Prof. Andi Hamzah mengatakan, barang

bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut

dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang
14
.Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana (Jakarta: Sinar Grafika,1989),
hal. 13-14

Universitas Sumatera Utara


dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari

suatu delik.15 Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti :

a. Merupakan objek materiil.

b. Berbicara untuk diri sendiri.

c. Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana

pembuktian lainnya.

d. Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa.

Terdapat beberapa definisi mengenai barang bukti sebagai berikut :

a. Barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan Penyidik dalam

penyitaan dan atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk

mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda

bergerak atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam

penyidikan, penuntutan dan peradilan.16

b. Barang bukti adalah apa-apa yang menjadi tanda sesuatu perbuatan

(kejahatan dan sebagainya). 17

c. Barang bukti adalah benda atau barang yang digunakan untuk

meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana

yang dituntutkan kepadanya.18

Jadi, dari pendapat beberapa sarjana hukum di atas dapat disimpulkan

bahwa yang disebut dengan barang bukti adalah :

a. Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana.

15
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana (Jakarta: Sinar Grafika,2004),hal. 254.
16
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana: Untuk
Mahasiswa dan praktisi (Bandung:Mandar Maju,2003), hal. 99-100.
17
Koesparmono Irsan, Hukum Acara Pidana, (Jakarta:Erlangga,2007), hal. 90.
18
Sudarsono, Kamus Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal. 47.

Universitas Sumatera Utara


b. Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan suatu tindak

pidana.

c. Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana.

d. Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana.

e. Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi penyelidikan

tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman

suara.

f. Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai

kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana. Tetapi

kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana,

karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya

tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara

lisan.

Sedangkan Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli,

surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara

pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah

menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian. Hal ini

berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat

bukti yang sah.

Universitas Sumatera Utara


Jadi, dapat kita simpulkan bahwa fungsi barang bukti dalam sidang

pengadilan adalah sebagai berikut:19

a. Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat 1 KUHAP).

b. Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang

ditangani.

c. Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang

bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang

didakwakan JPU.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas :

1. Jenis Penelitian

Dalam tulisan skripsi ini penelitian yang dipergunakan adalah penelitian

yang bersifat yuridis normatif dan bersifat yuridis empiris (studi lapangan).

Penelitian yang bersifat Yuridis Normatif adalah penelitian yang dilakukan

berdasarkan peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang berkaitan. Penelitian

yang bersifat Yuridis Empiris adalah penelitian yang melakukan pengumpulan

data yang diperoleh dengan cara wawancara dari narasumber (informan) secara

langsung yang dilakukan kepada pihak yang terkait dalam hal ini, pihak yang

dimaksud adalah Satuan Kepolisian Kota Besar Medan.

2. Sumber data dan bahan hukum


19
Apa perbedaan Alat Bukti dengan Barang Bukti?, http://www.hukumonline.com/k
linik/detail/lt4e8ec99e4 d2ae/apa-perbedaan-alat-bukti-dengan-barang-bukti(diakses pada tanggal
29 agustus 2016).

Universitas Sumatera Utara


Adapun juga jenis data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah

bersumber dari data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah data yang

didapat peneliti dari hasil wawancara serta seluruh peraturan perundang-undangan

yang terkait dalam permasalahan di dalam skripsi ini. 20 Sumber data sekunder

adalah data yang diperoleh peneliti melalui penelitian kepustakaan guna

mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat-pendapat, tulisan para ahli atau

pihak-pihak lain yang berwenang dan juga untuk memperoleh informasi baik

dalam bentuk ketentuan formal maupun data melalui naskah resmi yang ada.

berupa bacaan yang relevan dengan materi yang sedang diteliti.

Adapun sumber data sekunder dapat dikelompokkan sebagai berikut :

a. Bahan Hukum Primer, dalam Penelitian ini dipakai :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

4. Undang – Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

b. Bahan Hukum Sekunder berupa buku-buku yang berupa tulisan-tulisan

atau karya-karya akademisi, ilmuwan atau praktisi hukum dan disiplin

hukum lain yang relevan serta berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Selain itu juga dapat berupa artikel hukum yang telah diseminarkan dan

berkaitan dalam penulisan.

20
Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta, Rineka Cipta, 2010 ), hal.123.

Universitas Sumatera Utara


c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Yaitu dengan

menggunakan kamus hukum dan kamus umum dalam hal ini yang

dipergunakan adalah KBBI, ensiklopedi,21 dan ditambahi dari website.

3. Teknik pengumpulan data atau bahan hukum

Dalam penulisan skripsi ini data yang dipakai adalah data yang didapatkan

melalui langkah wawancara dengan pihak Satuan Kepolisian Kota Besar Medan.

Langkah tersebut diatas dilakukan untuk mendapat data yang akurat dan

mendukung untuk pemecahan masalah dalam penyelesaian penelitian ini. Selain

itu, teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini juga dilakukan dengan

studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier. Penelusuran bahan-bahan hukum

tersebut dapat dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun

sekarang banyak dilakukan penelusuran hukum tersebut dengan melalui media

internet.

4. Analisis data

Dalam pengolahan data yang didapat dari pencarian data kepustakaan,

maka dapat dikatakan hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif yang

artinya penelitian ini dilakukan dengan menggunakan nalar si peneliti, dimana di

dalam menganalisis masalah hukum. Hal ini dapat dikatakan menggunakan

analisa kualitatif karena pada tulisan ini dilakukan pemaparan tentang teori-teori

yang dikemukakan, yang mengakibatkan dari teori-teori tersebut dapat ditarik

21
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, ( Jakarta : UI Press, 1986), hal 52.

Universitas Sumatera Utara


beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan akhir untuk kepentingan

pembahasan tulisan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika pennulisan ini dibagi dalam beberapa bab, dalam bab tersebut

terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam

bentuk uraian :

Bab I adalah pendahuluan. Dalam bab ini akan diuraikan tentang

penjelasan umum, seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar belakang

masalah, Perumusan masalah, Tujuan dan Manfaat penulisan, keaslian penulisan,

tinjauan keputakaan, Metode Penulisan serta sistematika Penulisan.

Bab II adalah mengenai pengaturan hukum tentang tindak pidana

narkotika dalam penyidikan. Dalam bab ini, akan dijelaskan mengenai latar

belakang lahirnya Undang-Undang Hukum Tindak Pidana Narkotika, Berlakunya

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dalam hal penyidikan.

Bab III adalah peran penyidik dalam mengamankan barang bukti tindak

pidana Narkotika ditinjau dari Hukum Positif Indonesia. Dalam bab ini akan di

jelaskan menegenai peran penyidik dalam mengamankan barang bukti Tindak

Pidana Narkotika ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, peran

penyidik dalam mengamankan barang bukti Tindak Pidana Narkotika ditinjau dari

Hukum Acara Pidana, serta peran penyidik dalam mengamankan barang bukti

Tindak Pidana Narkotika ditinjau dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

Universitas Sumatera Utara


Bab IV adalah pengamanan barang bukti dalam penyidikan yang

dilakukan kepolisian selaku penyidik dalam tindak pidana narkotika khususnya di

wilayah hukum Kepolisian Kota Besar Medan. Dalam bab ini akan dibahas

mengenai pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam hal mengamankan barang

bukti Tindak Pidana Narkotika khususnya di wilayah hukum Kepolisian Kota

Besar Medan, proses penyidikan yang dilakukan kepolisian selaku penyidik dalam

mengamankan barang bukti Tindak Pidana Narkotika khususnya di wilayah

hukum Kepolisian Kota Besar Medan, serta mengenai kendala-kendala yang

dihadapi kepolisian selaku penyidik dalam mengamankan barang bukti tindak

pidana Narkotika khususnya di wilayah hukum Kepolisian Kota Besar Medan.

Bab V adalah Kesimpulan dan Saran. Bab ini adalah penutup, yang

merupakan bab terakhir dimana akan disajikan kesimpulan dari seluruh hasil

penelitian dan sertai saran atas permasalahan yang menjadi pokok pembahasan.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG PENYIDIKAN DALAM TINDAK


PIDANA NARKOTIKA

A. Latar belakang lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Narkotika .

Kurang lebih tahun 2000 SM di Samaria dikenal sari bunga opion atau

kemudian dikenal opium (candu = papavor somniferitum). Bunga ini tumbuh

subur di daerah dataran tinggi di atas ketinggian 500 meter di atas permukaan laut.

Penyebaran selanjutnya adalah ke arah India, Cina dan wilayah-wilayah Asia

lainnya.

Cina kemudian menjadi tempat yang sangat subur dalam penyebaran

candu ini (dimungkinkan karena iklim dan keadaan negeri). Memasuki abad ke

XVII masalah candu ini bagi Cina telah menjadi masalah nasional, bahkan di abad

XIX terjadi perang candu dimana akhirnya Cina ditaklukan Inggris dengan harus

merelakan Hong Kong. Pada zaman ini, narkotika bernama Gil artinya bahan

yang menggembirakan. Gil digunakan sebagai obat sakit perut. Gil menyebar di

dunia Barat sampai Asia dan Amerika.22

Di Tiongkok Gil dikenal dengan nama Candu yang dikenal sejak tahun

2735 sebelum Masehi. Candu pernah menghancurkan Tiongkok pada tahun 1840-

an yaitu dipergunakan sebagai alat subversif 23 oleh Inggris dan menimbulkan

perang yang dikenal dengan perang Candu (The Opium War) pada tahun 1839-

22
Zakky A.S, Menanggulangi Bahaya Narkotika (Jakarta: Redaksi Badan Penerbit
Alda,2003), hal. 31.
23
Lihat: subversif adalah Subversif merujuk kepada salah satu upaya pemberontakan
dalam merobohkan struktur kekuasaan termasuk negara. Dalam bahasa Latin berarti, asal, awalnya
tersebut berlaku untuk beragam aktivitas sebagai kemenangan secara militer dalam perebutan
kekuasaan negara.

Universitas Sumatera Utara


1842.24 Terdapat bahan lain yang menyerupai Candu yang berkembang di dunia

Arab bernama Jadam. Jadam bukan tergolong obat bius seperti candu yang

termasuk dalam V.M.O (Verdoovende Middelen Ordonantie), tetapi merupakan

obat keras yang termasuk dalam SWGO (Strek Werkende Geneesmiddelen

Ordonantie) 1949.25

Candu maupun Jadam berkembang penggunaannya oleh masyarakat dunia

sampai sekarang. Berbagai macam bentuk Narkotika telah bermunculan baik yang

tergolong alami maupun sintetis (buatan). Perkembangan peredaran narkotika

yang cepat sehingga menimbulkan kasus-kasus kejahatan narkotika muncul di

masyarakat.

Peredaran dan penggunaan narkoba di Indonesia dimulai sejak penjajahan

Belanda. Pada masa penjajahan Belanda, narkoba banyak digunakan

oleh masyarakat golongan menengah (khususnya keturunan Cina) sejak tahun

1617. Demikian membahayakan penggunaan narkoba sehingga pemerintah Hindia

Belanda mengeluarkan VMO Staatblad 1927 Nomor 278 jo Nomor 536 yaitu

peraturan yang mengatur tentang obat bius dan candu.26

Pemerintah Hindia Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu

untuk menghisap candu dan pengadaan (supply) secara legal dibenarkan

berdasarkan undang-undang. Orang-orang Cina pada waktu itu menggunakan

candu dengan cara tradisional, yaitu dengan jalan menghisapnya melalui pipa

panjang. Hal ini berlaku sampai tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia.

24
Zakky A.S, Op.Cit., hal. 30.
25
Moh. Taufik Makarao, dkk, Tindak Pidana Narkotika (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003),
hal. 10.
26
Ibid, hal. 10.

Universitas Sumatera Utara


Pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan undang-undang itu dan melarang

pemakaian candu (Brisbane Ordinance).

PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) melalui dominasi negara-negara

sekutu yang ada didalamnya, membuat suatu kesepakatan Internasional untuk


27
mengawasi dan menegendalikan perdagangan opium. Pengembangan

kesepakatan tersebut menjadikan Amerika dan negara-negara Eropa merupakan

pasar potensial obat-obatan berbahan dasar tumbuhan.

Pada tahun 1961 dibuat Kesepakatan Tunggal Obat-obatan Narkotika

dengan memasukan Candu, Ganja dan Koka, meskipun secara ilmu farmasi Ganja

dan Koka bukan merupakan narkotika. Pada tahun 1971 PBB membuat

kesepakatan Internasional untuk obat-obatan Psikotropika, bahan-bahan yang

bukan berasal dari tumbuhan namun berpotensi menjadi obat yang dikonsumsi

secara meluas di Amerika dan Eropa.

Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai puncaknya pada tahun

1970-an, maka hampir di semua negeri, terutama di Amerika Serikat

penyalahgunaan narkotika sangat meningkat dan sebagian besar korbannya adalah

anak-anak muda. Nampaknya gejala tersebut berpengaruh di Indonesia dalam

waktu yang hampir bersamaan.

Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia pada awal

tahun 1970 sudah meluas di masyarakat dan jenis-jenis narkotika yang beredar

sudah semakin banyak. Masyarakat dan pemerintah serta DPR memandang perlu

27
Lihat : Opium adalah getah bahan baku narkotika yang diperoleh dari buah candu
(Papaver somniferum L. atau P. paeoniflorum) yang belum matang.

Universitas Sumatera Utara


segera dibentuk suatu undang-undang yang dapat menjangkau setiap bentuk

penyalahgunaan narkotika.

Lebih lanjut Soedjono Dirdjosisworo berpendapat bahwa kecenderungan

kecanduan dan ketagihan narkotika yang membutuhkan terapi dan perbedaannya

dengan mereka yang mengadakan serta mengedarkan secara gelap tidak diatur

secara tegas. Dari segi ketentuan-ketentuan pidana dan acara peradilan pidana

telah pula mencerminkan kenyataan bahwa V.M.O telah tidak memenuhi syarat

lagi sebagai undang-undang narkotika disamping tidak cocok lagi dengan

kenyataan administrasi peradilan pidana pada saat ini.28

Selain penyalahgunaan narkotika terdapat jenis kejahatan yang muncul

pada tahun 1970 dan menggangu stabilitas politik serta keamanan dalam rangka

menjamin suksesnya pembangunan nasional. Pada tanggal 8 September 1971

Presiden mengeluarkan Intruksi Nomor 6 tahun 1971 kepada Kepala Bakin untuk

memberantas masalah-masalah yang mengahambat pelaksanaan pembangunan

nasional.

Terdapat 6 (enam) permasalahan pokok yang harus diberantas berdasarkan

Inpres Nomor 6 tahun 1971, yaitu:

1. Kenakalan remaja.

2. Penyalahgunaan narkotika.

3. Penyelundupan.

4. Uang palsu.

5. Subversif.

28
Soedjono Dirdjosiswor, Segi Hukum tentang Narkotika di Indonesia (Jakarta: Penerbit
Alda,2003), hal. 14.

Universitas Sumatera Utara


6. Pengawasan orang asing.

Inpres Nomor 6 tahun 1971 belum mampu menjangkau masalah

penyalahgunaan narkotika. Ketentuan-ketentuan yang bersumber dari ketentuan

lama yang memiliki kelemahan dinilai sebagai penyebabnya. Kelemahan tersebut

adalah:

1. Tidak adanya keseragaman didalam pengertian narkotika.

2. Sanksi terlalu ringan bila dibanding dengan akibat penyalahgunaan

narkotika.

3. Ketidaktegasan pembatasan pertanggung jawaban terhadap penjual,

pemilik, pemakai, pengedar dan penyimpan narkotika.

4. Ketidakserasian antara ketentuan hukum pidana mengenai narkotika.

5. Belum ada badan bertingkat nasional yang khusus menangani masalah

penyalahgunaan narkotika.

6. Belum adanya ketentuan khusus wajib lapor terhadap penyalahgunaan

narkotika oleh masyarakat.

7. Belum adanya hal-hal yang khusus bagi yang berjasa dalam penyelidikan-

penyelidikan perkara penyalahgunaan narkotika.

Adanya partisipasi masyarakat dalam pemberantasan narkotika setelah

badan koordinasi Inpres Nomor 6 tahun 1971 mulai bekerja. Kesadaran sosial

yang timbul didalam masyarakat didukung oleh media komunikasi massa

terutama dari kalangan pers. Partisipasi juga timbul dari kalangan ilmuwan

termasuk ahli medis dan ahli hukum. Melalui partisipasi sosial ini terungkap

bahwa salah satu kesukaran dalam memberantas para pengedar narkotika adalah

Universitas Sumatera Utara


kesenjangan undang-undang yang berlaku saat itu. Undang-undang obat bius

(V.M.O) sudah tidak cocok dan tidak mampu mengakomodasi pengaturan

penggunaan maupun penindakan terhadap penyalahgunaan narkotika. 29

Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat,

menyebabkan Undang-Undang Narkotika warisan Belanda (tahun 1927) sudah

tidak memadai lagi. Maka pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang

Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut antara lain

mengatur berbagai hal khususnya tentang peredaran gelap (illicit traffic).

Disamping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotik (Pasal

32), dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan rumah sakit

terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan.

Dengan semakin merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia,

maka Undang-Undang Anti Narkotika mulai direvisi. Sehingga disusunlah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang baru. Dalam

undang-undang tersebut mulai diatur pasal-pasal ketentuan pidana terhadap

pelaku kejahatan narkotika, dengan pemberian sanksi terberat berupa hukuman

mati.

Untuk memberikan kepastian hukum dalam upaya penanggulangan

terhadap penyalahgunaan narkotika, maka sebagai dasar hukum undang-undang

narkotika adalah sebagai berikut:

1. Undang-undang Dasar 1945.

2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan.


29
Sejarah Hukum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika,
https://cahwaras.wordpress.com/2010/04/25/sejarah-hukum-uu-no-22-tahun-1997-tentang-
narkotika/ (diakses pada tanggal 3 September 2016).

Universitas Sumatera Utara


3. Intruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1971.

4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kepolisian.

5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kesehatan.

6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi.

7. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa.

8. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman.

9. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1976 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kesejahteraan Sosial.

10. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi

Tunggal Narkotika 1961, beserta protokol yang mengubahnya.

11. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi

PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.

Dengan mengingat dasar-dasar ketentuan undang-undang tersebut diatas,

maka pemerintah memutuskan:

1. Mencabut V.M.O (Verdoovende Middelen Ordonantie) tahun 1927 Nomor

278 jo. Nomor 536 sebagaimana telah diubah dan ditambah.

2. Memperbaharui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika

(Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3086).

Universitas Sumatera Utara


3. Menetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika

(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3698).

Saat ini Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor: 143), tanggal 12

Oktober 2009, yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007

tentang Narkotika (lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67), karena sebagaimana

pada bagian menimbang dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 huruf e

dikemukakan:

“Bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang


dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi
canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak
menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang
sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara”.

Alasan inilah yang menyebabkan sehingga Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan

situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas

tindak pidana tersebut.

Oleh sebab itu, berdasarkan ketentuan 153 Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009, bahwa dengan berlakunya Undang-UndangNomor 35 Tahun 2009,

maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dicabut dan dinyatakan tidak

berlaku. Undang-Undang No 35 Tahun 2009 disahkan pada 14 September 2009

merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Pemerintah menilai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 ini tidak dapat

mencegah tindak pidana narkotika yang semakin meningkat secara kuantitatif

Universitas Sumatera Utara


maupun kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Namun secara

substansial, Undang-Undang Narkotika yang baru tidak mengalami perubahan


30
yang signifikan dibandingkan dengan undang-undang terdahulu, kecuali

penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang

berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat besar.

B. Berlakunya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika

dalam hal Penyidikan

Lambat laun penyalahgunaan narkotika menjadi masalah yang serius,

maka dari itu pada zaman Orde Baru pemerintah mengeluarkan regulasi berupa

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah menjadi

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Bahwa di dalam

penanganan Tindak Pidana Narkotika sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika banyak mengalami perubahan dan perubahan yang paling

menonjol adalah terbentuknya Badan Narkotika Nasional (BNN) dibanding

dengan undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1997.

Menghadapi permasalahan narkoba yang berkecenderungan terus

miningkat, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-

RI) mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan

kedua undang-undang tersebut, Pemerintah membentuk Badan Koordinasi

30
http://ilmuhukum.umsb.ac.id/?id=177 (diakses pada 3 September 2016).

Universitas Sumatera Utara


Narkotika Nasional (selanjutnya disebut BKNN), 31 dengan Keputusan Presiden

Nomor 116 Tahun 1999.

BKNN diketuai oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri)

secara ex-officio. Sampai tahun 2002 BKNN tidak mempunyai personil dan

menggunakan anggaran sendiri. Anggaran BKNN diperoleh dan dialokasikan dari

Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri), sehingga

tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal karena

keterbatasan biaya dan fasilitas.

BKNN sebagai badan koordinasi dirasakan tidak memadai lagi untuk

menghadapi ancaman bahaya narkoba yang makin serius. Oleh karenanya

berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika

Nasional, BKNN diganti dengan Badan Narkotika Nasional ( selanjutnya disebut

BNN). BNN, sebagai sebuah lembaga forum dengan tugas mengkoordinasikan 25

instansi pemerintah terkait dan ditambah dengan kewenangan operasional,

mempunyai tugas dan fungsi:

1. Mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan

pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba;

2. Mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba.

Mulai tahun 2003 BNN baru mendapatkan alokasi dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (selanjutnya disebut APBN) . Dengan alokasi

anggaran APBN tersebut, BNN terus berupaya meningkatkan kinerjanya bersama-

sama dengan Badan Narkotika Provinsi (selanjutnya disebut BNP) dan Badan

31
Lihat : BKNN adalah suatu Badan Koordinasi penanggulangan Narkoba yang
beranggotakan 25 Instansi Pemerintah terkait.

Universitas Sumatera Utara


Narkotika Kabupaten/Kota (selanjutnya disebut BNK). Namun karena tanpa

struktur kelembagaan yang memilki jalur komando yang tegas dan hanya bersifat

koordinatif (kesamaan fungsional semata), maka BNN dinilai tidak dapat bekerja

optimal dan tidak akan mampu menghadapi permasalahan narkoba yang terus

meningkat dan makin serius. Oleh karena itu pemegang otoritas dalam hal ini

segera menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan

Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi dan Badan Narkotika

Kabupaten/Kota, yang memiliki kewenangan operasional melalui kewenangan

Anggota BNN terkait dalam satuan tugas, yang mana BNN-BNP-BNKab/Kota

merupakan mitra kerja pada tingkat nasional, Provinsi dan kabupaten/kota yang

masing-masing bertanggung jawab kepada Presiden, Gubernur dan

Bupati/Walikota, dan yang masing-masing (BNP dan BN Kab/Kota) tidak

mempunyai hubungan struktural-vertikal dengan BNN.

Merespon perkembangan permasalahan narkoba yang terus meningkat dan

makin serius, maka Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 melalui Sidang

Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Tahun

2002 telah merekomendasikan kepada DPR-RI dan Presiden RI untuk melakukan

perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Oleh

karena itu, Pemerintah dan DPR-RI mengesahkan dan mengundangkan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai perubahan atas

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tersebut, BNN diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan

Universitas Sumatera Utara


Tindak Pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika. Bahwa di dalam pencegahan

dan pemberantasan narkotika dalam Pasal 64 UU Nomor 35 Tahun 2009, yaitu :

1. Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan


peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, dengan undang-
undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya
disingkat BNN;
2. BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga
pemerintah non-kementerian yang berkedudukan di bawah presiden
dan bertanggungjawab kepada presiden;

Berdasarkan undang-undang tersebut, status kelembagaan BNN menjadi

Lembaga Pemerintah Non-Kementrian (LPNK) dengan struktur vertikal ke

Provinsi dan kabupaten/kota. Di Provinsi dibentuk BNN Provinsi, dan di

Kabupaten/Kota dibentuk BNN Kabupaten/Kota. BNN dipimpin oleh seorang

Kepala BNN yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

BNN berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden.32 Maka

dari itu tugas serta kewenangan BNN sesuai dengan bunyi Pasal 71 Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu dalam melaksanakan

tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan

prekursor narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

Penyidik BNN sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 75 juga

berwenang:

1. Mengajukan langsung berkas perkara, tersangka dan barang bukti, termasuk

harta kekayaan yang disita kepada Jaksa Penuntut Umum.

32
Sejarah BNN, http://www.bnn.go.id/read/page/8005/sejarah-bnn (diakses pada tanggal
4 september 2016).

Universitas Sumatera Utara


2. Memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk

memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika dan prekursor narkotika milik tersangka atau pihak lain yang

terkait.

3. Untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya

tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa.

Kemudian tata cara penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang

pengadilan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika maupun

prekursor narkotika tetap mengacu pada Hukum Acara Pidana yang berlaku,

namun apabila ditentukan lain maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut yang diberlakukan sesuai dengan

Pasal 73 yang menyiratkan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di

sidang pengadilan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan

prekursor narkotika dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Undang-undang tersebut juga mengatur mengenai beberapa penyidik

terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika:

1. Badan Narkotika Nasional;

2. Penyidik Kepolisian Negara RI;

3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil;

Adapun khususnya penyidik pegawai negeri sipil diatur dalam Pasal 82

yang berbunyi:

Universitas Sumatera Utara


1. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam UU

tentang hukum acara pidana berwenang melakukan penyidikan terhadap

tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika;

2. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di

lingkungan kementerian atau lembaga pemerintah non-kementerian yang

lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang narkotika dan prekursor

narkotika berwenang:

a. Memeriksa kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya dugaan

penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika.

b. Memeriksa orang yang diduga melakukan penyalahgunaan narkotika dan

prekursor narkotika.

c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum

sehubungan dengan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika.

d. Memeriksa bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan

narkotika dan prekursor narkotika.

e. Menyita bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan narkotika

dan prekursor narkotika.

f. Memeriksa surat dan atau dokumen lain tentang adanya dugaan

penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika.

g. Meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan penyalahgunaan

narkotika dan prekursor narkotika.

h. Menangkap orang yang diduga melakukan penyalahgunaan narkotika dan

prekursor narkotika.

Universitas Sumatera Utara


Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan narkotika dan

prekusor narkotika, penyidik Kepolisian Negara RI memberitahukan secara

tertulis dimulainya penyelidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya.33

Yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan ialah tiga institusi

terkait yaitu penyidik kepolisian negara RI, BNN, dan penyidik pegawai negeri

sipil tertentu namun dalam kewenangannya terjadi dualisme tata cara maupun

kewenangan dalam melakukan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika dan prekursor narkotika, sebagaimana diatur dalam Pasal 81 UU

Nomor 35 Tahun 2009 bahwa penyidik kepolisian negara RI dan penyidik BNN

berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika dan prekursor narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 ini.

Sedangkan bagi penyidik pegawai negeri sipil melakukan penyidikan

mendasarkan sebagaimana Pasal 85 yang Berbunyi:

“Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan narkotika,


penyidik pegawai negeri sipil tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN
atau penyidik Kepolisian Negara RI sesuai dengan UU tentang hukum
acara pidana”.
Selain penyidik yang mempunyai wewenang sesuai dengan amanat dalam

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tersebut, peran serta masyarakat juga

sangat dibutuhkan. Bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-

luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.34

33
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,Pasal 84.
34
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 104.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

PERAN KEPOLISIAN SEBAGAI PENYIDIK DALAM MENGAMANKAN


BARANG BUKTI TINDAK PIDANA NARKOTIKA

A. Peran Penyidik dalam Mengamankan Barang Bukti Tindak Pidana

Narkotika Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

1. Peran kepolisian sebagai penyidik

Penyidikan merupakan tindak lanjut dari penyelidikan, sehingga

pengertian penyidikan erat kaitannya dengan penyelidikan. Pada saat penyidik

akan memulai suatu penyidikan, sebagai penyidik dia telah dapat memastikan

bahwa peristiwa yang akan di sidik itu benar-benar merupakan suatu tindak

pidana dan terdapat cukup data dan fakta guna melakukan penyidikan terhadap

tindak pidana tersebut.

Menurut pasal 1 butir (1) KUHAP penyidik adalah pejabat polisi negara

Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang

khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan, dan karena

kewajibannya mempunyai wewenang :35

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak

pidana;

b. melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;

35
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 ayat 1.

Universitas Sumatera Utara


c. menyuruh berhenti seorang tersangka serta memeriksa tanda pengenal

diri tersangka;

d. melakukan penangkapan,penahanan,penggeledahan dan penyitaan;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang yang diduga melakukan

suatu tindak pidana;

g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi;

h. mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

i. mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

j. mengadakan penghentian penyidikan;

Menurut Undang-Undang Kepolisian Indonesia Nomor 28 tahun 1997,

yang dimaksud dengan kepolisian adalah segala hal ikwal yang berkaitandengan

fungsi dan tugas lembaga kepolisian seseuai dengan peraturan Perundang-

undangan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 tahun 1997. Pejabat Kepolisian

Negara Republik Indonesia yang masih aktif (butir 2 dari Pasal 1 UU Nomor 28

tahun 1997) Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk menjamin

ketertiban dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat guna

mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka terpeliharanya

keamanan negara dan tercapainya tujuan nasional dengan menjunjung tinggi hak

asasi manusia (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1997). Fungsi Kepolisian

Universitas Sumatera Utara


adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang penegakan hukum, serta

perlindungan dan pelayanan masyarakat serta pembimbingan masyarakat dalam

rangka terjaminnya tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman

masyarakat, guna terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat (Pasal 3

Undang-Undang Nomor 28 tahun 1997). Menurut Pasal 15 Undang-Undang

Nomor 28 tahun 1997 tugas dari Kepolisian Negara Republik Indonesia secara

umum berwenang:36

a. Menerima laporan dan pengaduan.

b. Melakukan Tindakan pertama ditempat kejadian.

c. Menganbil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang.

d. Mencari keterangan dan barang bukti.

e. Menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional.

f. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat

mengganggu ketertiban umum.

g. Mencegah dan menanggulangi timbulnya penyakit masyarakat.

h. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan

putusan pengadilan, kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat.

Sedangkan pada pasal 6 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa:37

“penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf (b)


mempunyai wewenang sesuai dengan Undang-Undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing dan dalam Pelaksanaan tugasnya berada
dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat
(1) huruf (a) KUHAP.”

36
Undang-Undang Kepolisian RI nomor 28 tahun 1997, Pasal 15.
37
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 6 ayat 2.

Universitas Sumatera Utara


Sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal

dan menurut cara-cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana

yang terjadi dan guna menemukan tersangka.

Menurut Gerson Bawengan bahwa, tujuan penyidikan adalah untuk :38

“Menunjuk siapa yang telah melakukan kejahatan dan memberikan bukti-


bukti mengenai kesalahan yang telah dilakukan. Untuk mencapai maksud
tersebut,maka penyidik akan menghimpun keterangan-keterangan dengan
fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa tertentu”.
Selanjutnya yang dimaksud dengan menghimpun keterangan menurut

Gerson Bawengan adalah :39

a. fakta tentang terjadinya suatu kejahatan;

b. identitas daripada sikorban;

c. tempat yang pasti dimana kejahatan dilakukan;

d. waktu terjadinya kejahatan;

e. motif, tujuan serta niat;

f. identitas pelaku kejahatan

Sasaran penyidikan adalah pengumpulan bukti-bukti guna membuat terang

suatu tindak pidana dan menentukan tersangka pelakunya. Dalam melakukan

penyidikan terhadap suatu tindak pidana, ada beberapa ketentuan yang dilakukan

pada saat dilakukannya penyidikan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor

14 Tahun 2012 tentang Menejemen Penyidikan. Adapun beberapa ketentuan

mengenai dasar dilakukannya penyidikan :

a. laporan polisi/pengaduan;

38
Gerson Bawengan,Penyidikan Perkara Pidana (Jakarta: Pradnya Paramita,l977), hal 11
39
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


b. surat perintah tugas;

c. laporan hasil penyelidikan;

d. surat perintah penyidikan.

e. SPDP.

Tingkat kesulitan penyidikan perkara dalam melakukan penyidikan

ditentukan berdasarkan kriteria perkara mudah, perkara sedang, perkara sulit, dan

perkara sangat sulit. Pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2012,

penanganan perkara sesuai kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat

(4), ditentukan sebagai berikut :40

a. Tingkat Mabes Polri dan Polda menangani perkara sulit dan sangat sulit.

b. Tingkat Polres menangani perkara mudah, sedang, dan sulit.

c. Tingkat Polsek menangani perkara mudah dan sedang.

Penyidik dituntut pula agar menguasai segi teknik hukum dan ilmu bantu

lainnya dalam Hukum Acara Pidana untuk memperbaiki teknik pemeriksaan

dengan tujuan meningkatkan keterampilan dan disiplin hukumdemi penerapan

Hak Asasi Manusia. Menurut Andi Hamzah, bahwa :

“Dalam melaksanakan tugasnya, penyidik harus memiliki pengetahuan


yang mendukung karena Pelaksanaan penyidikan bertujuan memperoleh
kebenaran yang lengkap. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu
penguasaan beberapa pengetahuan tambahan disamping pengetahuan
tentang hukum pidana dan hukum acara pidana. Ilmu-ilmu yang dapat
membantu dalam menemukan kebenaran material,antara lain : logika
psikologi, kriminalistik, psikiatri,dan kriminologi.”41

40
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajement Penyidikan Tindak
Pidana
41
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1983), hal 35.

Universitas Sumatera Utara


Lebih lanjut dijelaskan oleh Andi Hamzah, bahwa :42

a. Dengan pengetahuan logika dimaksudkan agar diperoleh pembuktian yang


logis berdasarkan penemuan fakta yang sudah ada sehingga dapat
membentuk kontruksi yang logis. Penguasaan pengetahuan psikologi
sangat penting dalam melakukan penyidikan terutama dalam interogasi
terhadap tersangka. Dimana penyidik harus menempatkan diri bukan
sebagai pemeriksa yang akan menggiring tersangka menuju penjara, tetapi
sebagai kawan yang berbicara dari hati ke hati;
b. Dengan berbekal pengetahuan kriminalistik, yaitu pengumpulan dan
pengolahan data secara sistematis yang dapat berguna bagi penyidik untuk
mengenal, mengidentifikasi, mengindividualisasi, dan mengevaluasi bukti
fisik.

Apabila diperhatikan secara seksama, kegagalan suatu penyidikan

disebabkan karena faktor kualitas pribadi penyidiknya karena berhasilnya suatu

penyidikan, selain memperhatikan kepangkatan perlu juga dilatar belakangi

pendidikan yang memadai mengingat kemajuan teknologi dan metode kejahatan

yang terus berkembang mengikuti arus modernisasi sehingga jangan sampai

tingkat pengetahuan penyidik jauh ketinggalan dari pelaku kejahatan.

2. Peran kepolisian sebagai penyidik dalam mengamankan barang bukti ditinjau

dari Hukum Acara Pidana

Peran Kepolisian sebagai penyidik dalam setiap melaksanakan tugasnya

harus selalu bertindak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

sehingga tidak boleh melakukan sesuatu hanya dengan sewenang-wenang saja dan

tidak boleh melanggar hak asasi manusia, sebagaimana yang tercantum didalam

pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan “tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum,

kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada

terlebih dahulu daripada perbuatannya itu sendiri”. Oleh karena itu dalam

42
Ibid., hal.36.

Universitas Sumatera Utara


melakukan pengamanan barang bukti perkara guna mencari dan mengumpulkan

bukti-bukti yang ada sesuai dengan perkara, penyidik juga harus berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti pasal 7 dan 111 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yakni Pasal 7 ayat (1) KUHAP. 43

Lalu di dalam Pasal 111 KUHAP menyatakan bahwa :

1. Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang

mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan

umum wajib menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang

bukti kepada penyelidik atau penyidik.

2. Setelah menerima penyerahan tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

penyelidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam

rangka penyidikan.

3. Penyelidik dan penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang

ketempat kejadian dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu

selama pemeriksaan diatas belum selesai.

4. Pelanggar larangan tersebut dapat dipaksa tinggal di tempat itu sampai

pemeriksaan dimaksud diatas selesai.

Alat bukti ataupun barang bukti merupakan sesuatu yang penting dalam

pembuktian. Terbuktinya terdakwa atau tersangka bersalah atau tidak tergantung

dari alat bukti yang telah digunakan dalam melakukan tindak pidana atau

kejahatan. Untuk melindungi dan menjamin keutuhan suatu alat bukti dan barang

bukti, undang-undang telah mengatur hal ini, seperti dalam hal tindak pidana

43
Op.Cit, Pasal 1 ayat 1

Universitas Sumatera Utara


narkotika. Sebagai indikasi awal bersalahnya pelaku dalam menyalahgunakan

narkotika itu sendiri atau barang bukti. Ini akan dijadikan bahan untuk

membuktikan bersalah atau tidak bersalah dalam melakukan tindak pidana.

Pengertian Barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam

penyitaan dan atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk mengambil

alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak

berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan

peradilan.44 Tanggung jawab atas barang bukti menurut peraturan yang berlaku

tergantung pada tahap mana pemeriksaan sidang berlangsung, hal itu sesuai

dengan Pasal 44 ayat (2) KUHAP yang berbunyi :

“Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan


tanggung jawab atasnya ada para pejabat yang berwenang sesuai dengan
tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang
untuk dipergunakan oleh siapapun juga”.

Banyaknya benda, atau barang bukti disita dari terdakwa kasus-kasus

pidana oleh aparat penegak hukum masih belum dikelola dengan baik, artinya

benda atau barang bukti tersebut telah disita atau diambil namun tidak dikelola

dengan sebagaimana mestinya. Salah satu kemungkinan bentuk penyalahgunaan

barang bukti yang dilakukan oleh penyidik adalah tidak mencatat secara

keseluruhan jumlah barang bukti yang disita, karena tidak mudah dan hamper

tidak mungkin mengecek kebenaran data yang diumumkan penyidik,

penyalahgunaan barang bukti sudah dapat terjadi dalam rentang waktu beberapa

saat setelah penyitaan artinya semua barang bukti sudah yang tidak dicatat dalam

44
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana (untuk
mahasiwa dan praktisi) (Bandung : Mandar Maju, 2003), hal 99-100.

Universitas Sumatera Utara


berita acara penyitaan dapat dimanfaatkan setelah usai penyitaan.

Berdasarkan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP dijelaskan bahwa

benda sitaan disimpan di dalam Rupbasan (Rumah Penyimpanan Benda Sitaan

Negara), sementara pelaksanaannya menjadi tanggung jawab pejabat yang

berwenang sesuai dengan tingkat proses peradilan serta benda sitaan tersebut

dilarang dipergunakan oleh siapapun juga.

Maka yang di maksud dengan Alat bukti di dalam Pasal 184 ayat (1)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat

bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan

keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang

menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut

undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian. 45 Hal ini berarti

bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti

yang sah.

Dengan demikian karena sudah adanya undang-undang khusus yang

mengatur Tentang Wewenang Penyidik Di Dalam Peraturan Kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara

Pengelolaan Barang Bukti Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia,

maka di dalam KUHAP tidak diatur secara khusus tentang sanksi ataupun hak-hak

yang memadai dari kepolisian untuk mengamankan barang bukti Tindak Pidana

Narkotika Pasal 7-8 yang berbunyi

45
Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti (Jakarta:Ghalia
Indonesia,1983) hal. 19.

Universitas Sumatera Utara


“7. Pengelolaan Barang Bukti adalah tata cara atau proses penerimaan,
penyimpanan, pengamanan, perawatan, pengeluaran dan pemusnahan
benda sitaan dari ruang atau tempat khusus penyimpanan barang
bukti.
8. Pejabat Pengelola Barang Bukti yang selanjutnya disingkat PPBB
adalah anggota Polri yang mempunyai tugas dan wewenang untuk
menerima, menyimpan, mengamankan, merawat, mengeluarkan dan
memusnahkan benda sitaan dari ruang atau tempat khusus
penyimpanan barang bukti.
9. Tempat Penyimpanan Barang Bukti adalah ruangan atau tempat
khusus yang disiapkan dan ditetapkan berdasarkan surat ketetapan
oleh Kepala Satuan Kerja (Kasatker) untuk menyimpan benda-benda
sitaan penyidik berdasarkan sifat dan jenisnya yang dikelola oleh
PPBB.”
Yang dimana pasal ini mempunyai tujuan sebagai pedoman bagi penyidik

dan PPBB untuk mengelola barang bukti dengan tertib di lingkungan Polri dan

terwujudnya tertib administrasi pengelolaan barang bukti dalam proses penyidikan

di lingkungan Polri.46

B. Peran Penyidik dalam Mengamankan Barang Bukti Tindak Pidana

Narkotika Ditinjau dari Undang-Undang No 35 tahun 2009

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika mengamanatkan

dibentuknya Badan Narkotika Nasional(selanjutnya disebut BNN) yang lebih

operasional dan memiliki kewenangan penyidikan penyalahgunaan narkotika dan

prekursor narkotika. Kewenangan penyidikan tersebut selama ini menjadi

kewenangan Polri. Adanya kewenangan ini selain memperkuat kelembagaan

BNN, sekaligus memunculkan kekhawatiran akan adanya kompetisi yang tidak

sehat antara penyidik BNN dengan penyidik Polri, paling tidak pada tahap awal

46
Pasal 2 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010
Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik
Indonesia

Universitas Sumatera Utara


pengimplementasiannya. Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Badan

Narkotika Nasional (selanjutnya disebut BNN) juga di tunjuk pemerintah sebagai

penyidik yang sah, dalam melakukan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika dan prekursor narkotika. Didalam Tindak Pidana Narkotika

sebagaimana tercantum dalam undang-undang No 35 Tahun 2009 pasal 75 BNN

selaku penyidik berwenang untuk:47

1. Melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang

adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

2. Memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

3. Memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi.

4. Menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka.

5. Memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

6. Memeriksa surat dan atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

7. Menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

8. Melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap narkotika dan prekursor

narkotika di seluruh wilayah juridiksi nasional.

47
Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,Pasal 75

Universitas Sumatera Utara


9. Melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika dan prekursor narkotika setelah terdapat bukti awal yang

cukup.

10. Melakukan teknik pembelian terselubung dan penyerahan dibawah

pengawasan.

11. Memusnahkan narkotika dan prekursor narkotika.

12. Melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat

(DNA), dan tes bagian tubuh lainnya.

13. Mengambil sidik jari dan memotret tersangka.

14. Melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman.

15. Membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat

penghubung lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

16. Melakukan penyegelan terhadap narkotika dan prekursor narkotika.

17. Melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti narkotika dan

prekursor narkotika.

18. Meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan

prekursor narkotika.

19. Menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

Kekhawatiran terhadap maraknya kasus narkotika juga dan ada nya

terlintas tentang persaingan antara kedua institusi Negara ini juga masuk akal

Universitas Sumatera Utara


mengingat Selain sebagaimana disebutkan dalam pasal 75, Penyidik BNN juga

berwenang:

a. Mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti,

termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum.

b. Memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk

memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika dan prekursor narkotika milik tersangka atau pihak lain

yang terkait.

c. Untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan

lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa.

d. Untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika dan prekursor narkotika.

e. Meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang

seseorang bepergian ke luar negeri, meminta data kekayaan dan data

perpajakan tersangka kepada instansi terkait.

f. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan,

dan perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi

yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti

awal yang cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika dan prekursor narkotika yang sedang diperiksa.

Universitas Sumatera Utara


g. Meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara

lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti

diluar negeri.48

Lalu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tugas pokok

Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan

hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat (pasal 13).49 Penyelidikan and penyidikan merupakan salah satu dari

12 tugas Polri (Pasal 14). Butir g menyebutkan bahwa Polri memiliki tugas

melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai

dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam

rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam dua pasal ini di

bidang proses pidana, Polri berwenang untuk :

1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.

2) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian

perkara untuk kepentingan penyidikan.

3) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka

penyidikan.

4) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta

memeriksa tanda pengenal diri.

5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

6) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi;
48
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika,Pasal 80
49
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia,pasal 16-17

Universitas Sumatera Utara


7) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara.

8) Mengadakan penghentian penyidikan.

9) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

10) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang

berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak

atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka

melakukan tindak pidana.

11) Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai

negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri

sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum.

12) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Jika dibandingkan, poin-poin tugas dan wewenang penyidikan antara BNN

dan Polri hampir sama. Bedanya, BNN hanya menyidik kejahatan narkotika dan

prekursor narkotika. Sementara itu, Polri menyidik semua jenis kejahatan

termasuk narkotika dan prekursor narkotika. Untuk melakukan tugas dan

wewenang ini, Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim) membentuk direktorat

khusus yang menangani narkotika dan prekursor narkotika. Dengan demikian

kedua lembaga ini memiliki wewenang yang sama dalam melakukan penyidikan

terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika,

sebagaimana diatur dalam pasal 81 Undang-Undang nomor 35 tahun 2009.50

50
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,Pasal 81

Universitas Sumatera Utara


Konsekuensi dari tugas dan wewenang penyidikan BNN adalah bagaimana

menyiapkan sumber daya manusia penyidik BNN, sarana dan prasarana

penyidikan, dan mekanisme kerjasama antara penyidik BNN dan penyidik Polri

atau dengan penyidik lainnya. Sebagai lembaga yang semula hanya sebagai

lembaga non-struktural yang bersifat koordinatif, maka secara organik tidak

memiliki tenaga penyidik yang khusus. BNN hanya membentuk dan memfasilitasi

satuan tugas yang sebenarnya dapat dikatakan sebagai perpanjangan tangan

Direktorat IV Narkoba Bareskrim Polri. Tidak mengherankan jika laporan

keberhasilan pencegahan dan penanggulangan kejahatan narkotika dan prekursor

narkotika diklaim oleh Polri. Oleh karena itu, BNN harus segera membentuk

pasukan khusus (strike force) pencegahan dan penanggulangan kejahatan

narkotika dan prekursor narkotika.

Perekrutan BNN dari awal mungkin tidak efektif karena harus melakukan

pendidikan dan pelatihan yang memakan waktu cukup lama. Padahal kejahatan

narkotika dan prekursor narkotika cenderung semakin meluas dan prevalensi

penyalahgunaan narkotika cenderung meningkat. Akan lebih efektif jika satuan

tugas BNN yang sudah ada dipertahankan, selanjutnya secara bertahap direkrut

sarana dan prasarana penyidik BNN juga harus segera disediakan untuk

menunjang proses penyidikan.51

Berbeda dengan Polri, secara prinsip lembaga Polri sudah siap dan

dilengkapi berbagai fasilitas penyidikan mulai dari laboratorium forensik, alat

penyadap, sarana investigasi, sampai dengan kamar tahanan.

51
http://gunarta-goen-goen.blogspot.co.id/2010/05/tugas-dan-wewenang-penyidikan-
tindak.html (diakses pada Tanggal 6 september 2016)

Universitas Sumatera Utara


Selanjutnya terkait dengan mekanisme kerjasama antara penyidik BNN

dan penyidik Polri atau dengan penyidik lainnya, sudah diatur dalam Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini.

Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran

gelap Narkotika dan prekursor narkotika, penyidik Kepolisian Negara Republik

Indonesia memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik

BNN begitu pula sebaliknya. Sementara itu, dalam melakukan penyidikan

terhadap penyalahgunaan Narkotika dan prekursor narkotika, penyidik pegawai

negeri sipil tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik Kepolisian

Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang tentang Hukum Acara

Pidana. Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa langkah kerjasama untuk

menghindarkan penyalahgunaan wewenang atau penyerobotan wewenang oleh

salah satu pihak ke pihak yang lain, khususnya antara penyidik Polri dengan

penyidik BNN. Sedangkan untuk penyidik pegawai negeri sipil, segala upaya

penyidikan diarahkan untuk membantu dan menyerahkan hasilnya kepada

penyidik Polri maupun penyidik BNN.

Untuk wewenang BNN sendiri sebagai penyidik diatur di dalam Peraturan

Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan

Barang Bukti Di Lingkungan Badan Narkotika Nasional Pasal 6 yang berbunyi

“Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih


dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak
bergerak untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan
dan peradilan.”

Universitas Sumatera Utara


Pasal 7 yang berbunyi :

“Barang Sitaan atau juga disebut barang bukti adalah Narkotika dan
Prekursor Narkotika, atau yang diduga Narkotika dan Prekursor Narkotika,
atau yang mengandung Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk alat
atau barang yang digunakan untuk memproduksi dan mendistribusikan
Narkotika dan Prekursor Narkotika serta harta kekayaan atau harta benda
yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika
dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana”52
Pasal 12 yang berbunyi :
“Pengamanan adalah serangkaian tindakan untuk menjaga Barang Sitaan
selama proses pemeriksaan perkara berlangsung mulai sejak dinyatakan
sebagai Barang Sitaan sampai dengan Pemusnahannya.”

di dalam pasal 12 ini menunjukan bahwa Pengamanan barang bukti adalah

tugas dari BNN sendiri yang menunjukan tugas dan kewenangan nya lalu

melanjutkan tugas-tugas nya sesuai dengan pasal 13 yang berbunyi :

“Penyerahan adalah serangkaian tindakan Penyidik untuk menyerahkan


Barang Sitaan kepada penuntut umum, Menteri Kesehatan, Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional,
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, atau pejabat setempat yang
menjalankan urusan pemerintahan yang bersangkutan, untuk kepentingan
penuntutan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan
dan pelatihan, berdasarkan penetapan kepala kejaksaan negeri setempat
mengenai status Barang Sitaan.”

Anggota Polri yang mempunyai tugas dan wewenang untuk menerima,

menyimpan, mengamankan, merawat, mengeluarkan dan memusnahkan benda

sitaan dari ruang atau tempat khusus penyimpanan barang bukti adalah Pejabat

Pengelola Barang Bukti (“PPBB”) sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 8

Perkapolri 10/2010.

52
Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 8 Tahun 2013 Tentang
Pengelolaan Barang Bukti Di Lingkungan Badan Narkotika Nasional,

Universitas Sumatera Utara


PPBB mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:53

a. menerima penyerahan barang bukti yang telah disita oleh penyidik;

b. mencatat ke dalam buku register daftar barang bukti;

c. menyimpan barang bukti berdasarkan sifat dan jenisnya;

d. mengamankan barang bukti agar tetap terjamin kuantitas dan/atau

kualitasnya;

e. mengontrol barang bukti secara berkala/periodik dan dicatat ke dalam

buku kontrol barang bukti;

f. mengeluarkan barang bukti atas perintah atasan penyidik untuk dipinjam

pakaikan kepada pemilik yang berhak; dan

g. memusnahkan barang bukti.

53
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010,Pasal
11

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

PENGAMANAN BARANG BUKTI DALAM PENYIDIKAN YANG


DILAKUKAN KEPOLISISAN SELAKU PENYIDIK DALAM TINDAK
PIDANA NARKOTIKA KHUSUSNYA DI WILAYAH HUKUM
KEPOLISIAN KOTA BESAR MEDAN

A. Pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam hal mengamankan barang


bukti Tindak Pidana Narkotika khususnya di wilayah hukum Kepolisian
Kota Besar Medan

Indonesia sebagai negara hukum, merupakan suatu konsekuensi logis

diperlukannya suatu institusi yang mampu mengawal penegakan hukum. Tidak

hanya mampu dalam pelaksanaan tugas kepolisian, juga sangat diharapkan dalam

tiap penanganan kasus tindak pidana agar dapat terselesaikan secara optimal.

Penyidik menurut KUHAP adalah pejabat Polisi Negara Republik

Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang

khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan. Penyidik berwenang

untuk menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak

pidana, melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian, menyuruh

berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka,

melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat untuk didengar dan diperiksa sebagai

tersangka atau saksi, mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam

hubungannya dengan pemeriksaan perkara, mengadakan penghentian mengadakan

tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.54

Dalam hal penyidikan melakukan tindakan pemeriksaan, penangkapan,

penahanan, penggeledahan, pemasukan rumah, penyitaan benda, pemeriksaan

54
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Pasal 7

Universitas Sumatera Utara


surat, pemeriksaan saksi, pemeriksaan ditempat kejadian, pelaksanaan penetapan

dan putusan pengadilan atau tindakan lain menurut ketentuan KUHAP. Penyidik

membuat berita acara yang dikuatkan dengan sumpah jabatan dan ditanda tangani

oleh penyidik serta semua orang yang terlibat.55

Menurut Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia No. 2 tahun

2002, yang dimaksud dengan Kepolisian adalah segala hal ikhwal yang berkaitan

dengan fungsi dan tugas lembaga Kepolisian sesuai dengan Peraturan Perundang-

undangan Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk menjamin

ketertiban dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat guna

mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka terpeliharanya

keamanan negara dan tercapainya tujuan nasional dengan menjunjung tinggi Hak

Asasi Manusia.56

Fungsi Kepolisan adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang

penegakan hukum, serta perlindungan dan pelayanan masyarakat, serta

pembimbingan masyarakat dalam rangka terjadinya tertib dan tegaknya hukum

serta terbinanya ketentraman masyarakat, guna terwujudnya keamanan dan

ketertiban masyarakat.

Menurut Pasal 15 Undang-undang No. 2 tahun 2002 tugas dari Kepolisian

Negara Republik Indonesia secara umum berwenang :

a. Menerima laporan dan pengaduan.

b. Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian.

c. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang.

55
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 8 jo 75
56
Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Pasal 2

Universitas Sumatera Utara


d. Mencari keterangan dan barang bukti.

e. Menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional.

f. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat

menganggu ketertiban umum.

g. Mencegah dan menanggulangi timbulnya penyakit masyarakat.

h. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan

putusan pengadilan, kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat.

Dalam hasil wawancara di Kepolisian Besar Kota Medan bahwa yang

berhak dan bertanggung jawab melakukan penyidikan ataupun yang dapat

melaksanakan penyidikan adalah penyidik pembantu tingkat polres dan polsek

dan seluruh urusan penyidikan merupakan tanggung jawab dari seluruh satuan

kepolisian dimana tempat seseorang tersebut mendapatkan penyidikan.57

Daftar nama Penyidik yang bertugas dan berperan aktif dalam

menjalankan tugas nya di dalam wilayah Hukum Kepolisian Kota besar Medan

(POLTABES MEDAN) selaku penanggung jawab dalam hal penyidikan segala

macam tindak pidana. Di dalam tugas nya penyidik di Kepolisian Kota Besar

Medan terbagi menjadi dua unit, yang dimana Penyidik unit 1 bertugas untuk

melaksanakan penyidikan Tindak Pidana Khusus, yang berkaitan dengan

kejahatan tentang Narkotika dan sebagainya. Sedangkan untuk penyidik unit 2

bertugas untuk melaksanakan penyidikan Tindak Pidana Umum seperti kejahatan

di bidang kesopanan, penghinaan, penistaan, membuka rahasia, pencurian,

penganiayaan, perampokan, pemerasan dan lain- lain.

57
Hasil wawancara dengan Penyidik Kepolisian Kota Besar Medan Bapak Aiptu Bostang
Andi Simanjuntak ,Pada Tanggal 3 Oktober 2016

Universitas Sumatera Utara


Tabel 1: DAFTAR NAMA PENYIDIK KEPOLISIAN KOTA BESAR
MEDAN 2016
NO NAMA ANGGOTA PANGKAT/NRP STATUS

1 J.SIHOMBING AIPTU / 68040450 PENYIDIK UNIT 1


2 MATHIAS MANJORANG AIPDA / 77100273 PENYIDIK UNIT 1
3 JOPITER SEMBIRING AIPTU / 66090009 PENYIDIK UNIT 1
4 RAJA KAYA HALOHO BRIPKA / 84100637 PENYIDIK UNIT 1
5 BOSTANG ANDI S. AIPTU / 75080472 PENYIDIK UNIT 1
6 POLMAN N.HS. PURBA BRIPKA / 79081318 PENYIDIK UNIT 1
7 DEKORA SIREGAR AIPTU / 69090044 PENYIDIK UNIT 1
8 CHANDRA PERMANA BRIGPOL / 87110068 PENYIDIK UNIT 1
9 RAMLAN PURBA AIPTU / 64040420 PENYIDIK UNIT 1
10 ERVAN LIAN SIAHAAN BRIPKA / 80050698 PENYIDIK UNIT 1
11 S.TOGATOROP AIPTU / 64100290 PENYIDIK UNIT 2
12 NANI MULYANI BRIPKA / 80020568 PENYIDIK UNIT 2
13 PUJI TARIGAN AIPTU / 59080097 PENYIDIK UNIT 2
14 BERMAN SITANGGANG BRIPKA / 83010866 PENYIDIK UNIT 2
15 BS.MELIALA AIPTU/ 64050352 PENYIDIK UNIT 2
16 EVIE DAMAYANTI AIPDA / 78010027 PENYIDIK UNIT 2
17 SUHENDRI AIPDA / 74080190 PENYIDIK UNIT 2
18 AIDIL HADI BRIPKA / 80090521 PENYIDIK UNIT 2
19 YOPI FATHANAH BRIGPOL / 80090521 PENYIDIK UNIT 2
20 R.SIANIPAR BRIPKA / 84080685 PENYIDIK UNIT 2

Ketika dilakukan penyitaan maka barang bukti serta alat bukti akan

menjadi tanggung jawab dari seluruh kesatuan Kepolisian dimana tempat perkara,

jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan maka sudah menjadi tanggung jawab

seluruh kesatuan Kepolisian untuk mempertanggung jawabkannya. Untuk

mengenai kehilangan serta pelepasan tanggung jawab dari barang bukti serta alat

bukti sudah menjadi tanggung jawab di dalam interen kepolisian Poltabes Medan

sendiri, lalu dengan ditambahnya dan semakin meningkatnya jumlah Kasus

Tindak Pidana Narkotika maka semakin banyak juga proses penyitaan barang

bukti yang perlu di laksanakan, yang berarti juga membutuhkan dana yang juga

minim untuk melaksanakan proses tersebut. Untuk pengaturan dari tanggung

Universitas Sumatera Utara


jawab pemegang barang bukti sendiri tidak ada di atur di dalam peraturan khusus

Kepolisian.

B. Proses Penyidikan yang dilakukan kepolisian selaku penyidik dalam


mengamankan barang bukti Tindak Pidana Narkotika khususnya di
wilayah hukum Kepolisian Kota Besar Medan

Menurut Gerson Bawengan bahwa: Untuk dapat mencapai tujuan

penyidikan, penyidik dapat menggunakan metode yang lazim digunakan dalam

melakukan penyidikan yaitu :58

1. Identifikasi.

2. Sidik jari.

3. Modus operandi.

4. Files.

5. Informan.

6. Interogasi.

7. Bantuan ilmiah.

1. Indentifikasi

Dalam identifikasi, perhatian utama diarahkan pada pelaku-pelaku

kejahatan yang sudah tergolong profesional maupun tergolong residivis. Nama-

nama pelaku tersebut sudah harus ada dalam catatan penegak hukum. Disamping

nama-nama juga harus ada diperlukan identitas yang lain. Misalnya tatto, bentuk

tubuh, maupun ciri-ciri khusus yang lain. Menurut Andi Hamzah dengan

melakukan identifikasi tersebut maka mempengaruhi penyidik atau setidak-

tidaknya dapat membantu pihak penyidik dalam melakukan penyidikan karena

58
Gerson Bawengan, Penyidikan perkara pidana (Jakarta: Pranindya Paramita, 1977) hal
24

Universitas Sumatera Utara


bila terdapat pelaku kejahatan yang termasuk jenis kambuhan, maka penyidik

tinggal mencocokkan ciri-ciri dengan identitas yang telah direkam dala data-data

kepolisian.59

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kepolisian Besar Kota Medan

seseorang berhak mendapat penyidikan jika seseorang tersebut dinyatakan

bersalah berdasarkan bukti permulaan yang cukup, misalnya seseorang tersebut

tertangkap tangan saat di laksanakan penangkapan sedang menyimpan barang

bukti narkotika.60

2. Sidik Jari

Sidik jari merupakan terjemahan dari bahasa Yunani, “daktiloskopi”.

Menurut Andi Hamzah: Daktiloskopi terdiri dari kata “Daktulos” yang berati jari

sedangkan “Skopioo” berarti mengamati. Dari terjemahan tersebut, daktiloskopi

berarti mengamati jari, kemudian disamaartikan dengan sidik jari. Dengan sidik

jari ditemukan identitas tersangka secara pasti oleh karena sifat kekhususannya

yaitu pada setiap orang berbeda. Cara ini baru dapat dimanfaatkan, jika si

tersangka sebelumnya telah diambil sidik jarinya. Andi Hamzah menguraikan

pula beberapa golongan sidik jari, yaitu:61

a. Golongan loops yang berarti sangkutan;

b. Golongan Whoris yang berarti putaran;

c. Golongan Arches yang berarti lingkungan.

59
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia (Jakarta: Sinar Grafik Offset,
2006) Hal 17
60
Hasil wawancara dengan Penyidik Kepolisian Kota Besar Medan Bapak Aiptu Bostang
Andi Simanjuntak ,Pada Tanggal 3 Oktober 2016
61
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sinar Grafik Offset,
2008) Hal 120.

Universitas Sumatera Utara


3. Modus Operandi

Modus operandi merupakan istilah dari bahasa latin yang berarti “cara

kerja”. Penelitian berdasarkan modus operandi adalah penelitian-penelitian yang

diarahkan pada cara kerjanya seseorang melakukan kejahatan. Menurut Gerson

Bawengan “Seseorang terutama residivis yang telah berhasil melakukan suatu

kejahatan dengan menggunakan cara tertentu, maka ada tendensi bahwa cara

demikian itu akan diulanginya bila ia hendak melakukan suatu kejahatan lagi pada

peristiwa lain”.62 Dalam kasus pembunuhan dimana korban terikat dengan tali,

maka cara-cara yang digunakan untuk membuka simpul tali pengikat dapat

dibedakan antara yang ahli dengan yang tidak ahli. Dapat juga dibedakan antara

cara yang digunakan oleh pelaut dengan cara yang digunakan oleh pramuka.

Walau modus operandi ini tidak selalu menolong untuk menyingkap pelaku

kejahatan, namun banyak penegak hukum tetap menyelenggarakan file modus

operandi. Penyelenggaraan file modus operandi tersebut dipandang perlu untuk

mengetahui pola tingkah laku penjahat tertentu. Menghimpun keterangan-

keterangan mereka didalam satu kesatuan dan bahkan merupakan bahan analisa

mengenai kemungkinan akan terjadi satu kejahatan.

4. Files Menurut Gerson Bawengan,63

Bahwa yang dimaksud files adalah Himpunan secara sistematis dari

identifikasi, sidik jari dan modus operandi. Dari kesemuanya itu hanya merupakan

peralatan yang berguna bagi penyidik. Apabila disusun secara sistematis dalam

62
Gerson Bawengan, Penyidikan perkara pidana (Jakarta: Pranindya Paramita, 1977) hal
14
63
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


bentuk files yang menyajikan keterangan-keterangan serta petunjuk-petunjuk

bahkan barang bukti untuk digunakan dalam penyidikan sampai peradilan.

5. Informan

Informan ialah seseorang yang pekerjaannya memberikan keterangan

kepada penegak hukum yang mana keterangan itu bermanfaat untuk membongkar

terjadinya atau kemungkinan terjadinya tindak pidana.

6. Interogasi

Menurut Gerson Bawengan yang dimaksud dengan Interogasi adalah:

suatu pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik dengan jalan mengajukan

pertanyaan-pertanyaan guna memperoleh keterangan-keterangan yang bermanfaat

bagi penyidik.64

7. Bantuan Ilmiah

Bantuan ilmiah ialah sarana lain selain sarana hukum yang dapat

dipergunakan untuk membantu proses penyidikan dan bersifat ilmiah. Metode-

metode itu merupakan rangkaian usaha penyidik agar dapat mencari dan

mengumpulkan barang bukti sehingga dengan bukti itu membuat terang suatu

tindak pidana yang terjadi. Tentunya demi ditemumukan pelaku kejahatan.

Terlepas dari pemanfaatan metode-metode tersebut, penyidik oleh undang-undang

diberi kewenangan karena kewajibannya untuk:65

a. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;

b. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal

diri tersangka;

64
Ibid.
65
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Pasal 7 ayat 1

Universitas Sumatera Utara


c. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

d. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

e. Mengambil sidik jari;

f. Memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka,

saksi;

g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara.

Berkas-berkas administrasi yang dibutuhkan oleh penyidik ketika

melaksanakan penyidikan adalah:

a. Laporan Polisi

b. Surat Perintah Penyidikan

c. Surat Perintah dimulai nya Penyidikan

d. Surat Perintah Tangkap

e. Surat Perintah penyitaan

f. Surat Perintah Pengeledahan

g. Surat Perintah Penahanan

h. Dll

Berdasarkan informasi yang saya peroleh selama melaksanakan proses

penyidikan, penyidik diberikan waktu selama 120 hari untuk melaksanakan proses

penyidikan. Dan rincian nya adalah :

Universitas Sumatera Utara


TABEL 2: WAKTU DALAM PROSES PENYIDIKAN

NO TINDAKAN WAKTU
1. Penangkapan 6 Hari
2. Penahanan dari kepolisian 20 Hari
3. Perpanjangan ke kejaksaan 40 Hari
4. Perpanjangan ke pengadilan 30 Hari
5. Perpanjangan ke pengadilan II 30 Hari
TOTAL 120 Hari

Didalam proses penyidikan itu sendiri terdapat jenis atau tipe pendekatan

yang dilakukan pihak penyidik terhadap terdakwa upaya untuk menggali beberapa

informasi lebih dalam. Pendekatan yang dilakukan merupakan pendekatan biasa,

seperti membuat si terdakwa senyaman mungkin saat melaksanakan penyidikan

sehingga proses penyidikan tersebut dapat di laksanakan dengan sebaik mungkin

tanpa adanya halangan. Jenis-Jenis Pertanyaan yang biasanya ditanyakan ke pada

si terdakwa biasanya :

a. Kapan serta dimana ditangkap?

b. Barang bukti apa saja yang disita dari si terdakwa?

c. Untuk apakah barang bukti di kuasai?

d. Bagaimanakah cara mendapatkan barang bukti?

C. Kendala-kendala yang dihadapi Kepolisian selaku Penyidik dalam


mengamankan barang bukti tindak pidana Narkotika khususnya di
wilayah hukum Kepolisian Kota Besar Medan.

Dalam proses penyidikan perkara pidana terdapat beberapa permasalahan-

permasalahan yang menjadi kendala penyidik baik tentang pengamananan,

maupun hal-hal lain berkaitan dengan penyidikan. Dalam mewujudkan penegakan

hukum diperlukan satu mata rantai proses yang baik dan sistematis. Demi

Universitas Sumatera Utara


terwujudnya penegakan hukum yang baik diperlukan juga hubungan koordinasi

yang baik antar aparat penegak hukum dengan berpedoman pada ketentuan

perundang-undangan yang berlaku.

Terdapat beberapa kendala yang dihadapi penyidik Polri dalam proses

penyidikan perkara pidana antara lain:66

1. Terbatasnya jumlah personil Penyidik

Untuk menghadapi tingginya tingkat kejahatan di Kota Medan maka tentu

di butuhkan jumlah personil yang memadai. Karena dengan kurangnya jumlah

personil penyidik akan menghambat proses penyidikan, prosesnya akan berjalan

lambat. Kepolisian Kota Besar Medan masih sangat kekurangan anggota dan

untuk melakukan penyidikan dengan jumlah lapor yang ada tidak relevan dengan

20 tenaga penyidik, terlebih hanya 10 penyidik yang bertugas untuk Tindak

Pidana Kasus Narkotika yang di miliki saat ini sehingga proses penyidikan

berjalan lama.67

Dari hasil wawancara terlihat bahwa, keterbatasan jumlah penyidik sangat

berpengaruh terhadap efektifnya kinerja penyidik dalam melakukan penyidikan.

Dengan jumlah penyidik yang ada saat ini jelas merasa kesulitan dalam

menangani tingkat kejahatan yang semakin tinggi. Dengan jumlah anggota

penyidik yang ada, sangat tidak sebanding dengan jumlah laporan yang harus

diselesaikan. Sehingga kinerja Sat Reskrim tidak efektif. Dari data tabel dapat

dilihat bahwa jumlah penyidik hanya 20 orang sedangkan kasus yang masuk

66
Hasil wawancara dengan Penyidik Kepolisian Kota Besar Medan Bapak Aiptu Bostang
Andi Simanjuntak ,Pada Tanggal 3 Oktober 2016
67
Lihat Tabel 1 : daftar nama penyidik kepolisian kota besar Medan 2016.

Universitas Sumatera Utara


selama tahun 2016 di Kepolisian Kota Besar berjumlah 114 kasus dan yang

terselesaikan hanya 98 kasus, pada tabel menunjukkan bahwa masih banyak kasus

yang tidak terselesaikan.

TABEL 3 : DATA KASUS NARKOTIKA POLTABES MEDAN 2016

BULAN TAHUN 2016 KETERANGAN


JANUARI 10 Kasus Selesai 9 kasus
FEBRUARI 13 Kasus Selesai 10 kasus
MARET 9 Kasus Selesai
APRIL 14 Kasus Selesai 13 kasus
MEI 18 Kasus Selesai 14 kasus
JUNI 13 Kasus Selesai
JULI 9 Kasus Selesai 8 kasus
AGUSTUS 14 Kasus Selesai 10 kasus
SEPTEMBER 14 Kasus Selesai 12 kasus

Hal ini disebabkan karena kurangnya personil penyidik yang ada di

Kepolisian Kota Besar Medan, sehingga mengakibatkan terhambatnya proses

penyidikan dan bahkan sampai tidak terselesaikan.

2. Terbatasnya dana operasional

Kepolisian merupakan aparat penegak hukum sehingga dalam melakukan

tugasnya mendapat dana dari negara yang tentunya jumlahnya terbatas dan tidak

sebanding dengan tugasnya. Sehingga menjadi hambatan tersendiri bagi

kepolisian untuk melaksanakan tugasnya sebagai penyidik khususnya untuk

Tindak Pidana Narkotika. Misalnya untuk dana transport mengingat wilayah

cakupan Kota Medan yang cukup luas maka membutuhkan biaya yang cukup

besar pula.

Universitas Sumatera Utara


3. Kurangnya Fasilitas Penunjang Operasional

Dalam melakukan penyidikan, salah satu hambatan yang dihadapi

penyidik adalah masalah sarana dan prasarana yang dimiliki Sat Reskrim.

Ketersediaan sarana dan prasarana sangat dibutuhkan penyidik untuk menunjang

optimalnya tugas penyidik dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai

penyidik. Ketersediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan penyidik dalam

melakukan penyidikan belum memadai, penyidik kadang menggunakan fasilitas

milik pribadi untuk menunjang kinerja penyidik. Kendala dari segi sarana dan

prasarana sangat besar pengaruhnya, ini disebabkan ketersediaan sarana dan

prasarana pendukung yang belum memadai.

TABEL 4 : DATA TRANSPORTASI DINAS POLTABES MEDAN

JENIS KENDARAAN KONDISI JUMLAH


Minibus ( Roda 4 ) Bagus 4 Buah
Minibus (roda 4) Perbaikan 6 Buah
Sepeda Motor Bagus 8 Buah
Sepeda Motor Perbaikan 7 Buah

Berdasarkan data yang dihimpun, terlihat jelas ketersediaan sarana dan

prasarana Sat Reskrim Poltabes Medan sangat kurang. Sebagai contoh,

ketersediaan kendaran operasional yang sangat kurang. Terkadang penyidik

menggunakan kendaraan pribadi dalam melaksanakan proses penyidikan.

4. Minimnya anggaran penyidikan

Untuk memproses suatu perkara pidana tentu dibutuhkan anggaran

operasional untuk menunjang kinerja penyidik POLRI. Dengan minimnya

anggara penyidikan, ini akan menghambat dari kinerja pihak penegak hukum

dalam hal ini penyidik polri. Minimnya anggaran operasional penyidikan

Universitas Sumatera Utara


merupakan salah satu kendala dalam proses penyidikan karena sejauh ini

anggaran operasional penyidikan masih dirasa kurang, ini yang membuat proses

penyidikan berjalan lamban.

Kurangnya biaya operasional penyidikan sangat menghambat proses

penyidikan, tidak sedikit dari anggota penyidik mengeluarkan uang pribadinya

demi tugas dinas yang diemban. Namun, tidak semua penyidik mau mengeluarkan

uang pribadinya untuk melaksanakan proses penyidikan sehingga perkara yang

ditangani tidak selesai. Permasalahan ini yang kemudian menjadi penghambat

dalam pelaksanaan proses penyidikan.

5. Minimnya waktu dalam Proses Penyidikan

Selama melaksanakan proses penyidikan, penyidik diberikan waktu

selama 120 hari untuk melaksanakan proses penyidikan. 68 Untuk kendala yang

mendasar sendiri mungkin tidak ada di dalam proses penyidikan. Tetapi terdapat

kendala di dalam proses penyidikan yang terdakwa nya merupakan anak di bawah

umur. Namun mungkin hanya seperti kurangnya waktu saat melaksanakan

penyidikan terhadap anak yang sangat minim sehingga membutuhkan perhatian

khusus dalam melaksanakan penyidikan tersebut, ditambah semakin banyak juga

proses yang dibutuhkan dalam melaksanakan penyidikan terhadap anak karena

membutuhkan dampingan dari KPAI (Komisi Perlindungan Ibu dan Anak) serta

BAPAS (Balai Permasyarakatan). Adapun penyidikan terhadap anak yang harus

sangat hati-hati karena melaksanakan penyidikan terhadap anak tidak seperti

68
Lihat Tabel 1 : Daftar Nama Penyidik Kepolisian Kota Besar Medan 2016

Universitas Sumatera Utara


melakukan penyidikan terhadap terdakwa dewasa. Anak-anak yang cenderung

tidak boleh dalam keadaan tertekan dan sebagainya.

6. Faktor penghasilan atau gaji penyidik yang masih belum memadai

Masalah kesejahteraan para penyidik Polri yang belum memadai adalah

salah satu faktor kurang maksimalnya kinerja penyidik, terdapat prinsip dasar

yang tentunya sama-sama kita ketahui bahwa setiap orang yang bekerja baik di

instansi pemerintah, swasta, maupun institusi penegak hukum tentu

mengharapkan imbalan dari apa yang dikerjanya. Faktor gaji merupakan faktor

penghargaan atas pekerjaan yang diemban. Bagaimana mungkin, seorang

penyidik mampu bekerja secara profesional jika masih harus memikirkan masalah

biaya-biaya yang menjadi kebutuhan sehari-hari. Menurut Aiptu Bostang Andi

Simanjuntak :

“Minimnya penghasilan atau gaji adalah salah satu faktor yang membuat
anggota penyidik kurang termotivasi dalam bekerja, penyidik juga
memerlukan suntikan motivasi dalam bekerja. Motivasi yang dimaksud
dalam hal ini adalah peningkatan kesejahteraan para penyidik Polri”.

Tuntutan terhadap penyesuaian peningkatan kesejahteraan aparat penegak

hukum inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan sehingga pemerintah dan

legislatif harus meningkatkan kesejahteraan penegak hukum unutk mewujudkan

lembaga hukum yang bersih dari praktek mafia hukum. Salah satunya melalui

kebijakan pemberian tunjangan kineja atau remunirasi 69 dengan jumlah yang

sepadan dengan tanggung jawab yang diemban oleh penyidik kepolisian, sehingga

dapat meningkatkan profesionalisme dalam bekerja.

69
Lihat: Remunirasi adalah total kompensasi yang diterima oleh pegawai sebagai imbalan
dari jasa yang telah dikerjakannya.

Universitas Sumatera Utara


7. Kurangnya tempat yang memadai untuk menyimpan barang serta alat

bukti

Banyaknya benda atau barang bukti disita dari terdakwa kasus-kasus

pidana oleh aparat penegak hukum masih belum dikelola dengan baik, artinya

benda atau barang bukti tersebut telah disita atau diambil namun tidak dikelola

dengan sebagaimana mestinya. Salah satu kemungkinan bentuk penyalahgunaan

barang bukti yang dilakukan oleh penyidik adalah tidak mencatat secara

keseluruhan jumlah barang bukti yang disita, karena tidak mudah dan hampir

tidak mungkin mengecek kebenaran data yang diumumkan penyidik,

penyalahgunaan barang bukti sudah dapat terjadi dalam rentang waktu beberapa

saat setelah penyitaan artinya semua barang bukti sudah yang tidak dicatat dalam

berita acara penyitaan dapat dimanfaatkan setelah usai penyitaan.

Kendala yang paling sering dihadapi dalam hal pengamanan barang bukti

ialah tempat penyimananan alat bukti pendukung kejahatan dan barang bukti,

dimana dengan meningkat nya tingkat Kejahatan khusus nya di bidang Tindak

Pidana Narkotika membuat semakin tinggi juga jumlah barang bukti serta alat

bukti yang disita, tempat penyimpanan alat bukti dan barang bukti mencapai batas

maksimal penyimpanan sehingga alat-alat bukti yang disimpan pun akhirnya

menjadi barang yang tak berguna, misalnya seperti mobil yang menjadi alat bukti

pendukung Tindak Pidana Narkotika, karena sudah terlalu lama akhirnya

mengalami korosi dan menjadi barang rongsokan. Dengan demikian Pemerintah

seharusnya lebih memerhatikan kondisi ini.

Universitas Sumatera Utara


Dengan demikian beberapa hal diatas adalah kendala yang paling

mungkin terjadi hasil dari wawancara yang saya sudah lakukan di wilayah Hukum

Kepolisian Kota Besar Medan yang di hadapi penyidik dalam hal-hal

mengamankan serta melaksanakan proses penyidikan.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan diatas maka kesimpulan penulis dalam

skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Tindak Pidana Narkotika merupakan suatu kejahatan yang sangat

meresahkan di kalangan masyarakat Indonesia, karena kejahatan ini dapat

mewabah di semua kalangan usia bukan hanya orang dewasa saja. Oleh

karena itu pemerintah mengeluarkan Undang-undang yang mengatur

tentang Narkotika yakni yang paling terbaru adalah Undang-undang

Nomor 35 Tahun 2009 yang dimana Undang-undang tersebut mengatur

semua tentang kejahatan Narkotika serta peran Polisi dalam proses

Penyidikan Kasus Tindak Pidana Narkotika, dan Pemerintah membentuk

sebuah Lembaga Negara khusus untuk menanggulangi Tindak Pidana

Narkotika yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN).

2. Tugas Penyidikan dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia. Yang

dimana tugas, peran dan tanggung jawab penyidik yang dilakukan oleh

Polisi sudah tertera dan diatur dalam Hukum Positif Indonesia antara lain

di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Hukum Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Universitas Sumatera Utara


3. Penyidik dalam melakukan tugasnya memiliki beberapa kendala di dalam

proses penyidikan seperti :

1. Terbatasnya jumlah personil penyidik.

2. Terbatasnya dana operasional.

3. Kurangnya fasilitas penunjang operasional.

4. Minimnya anggaran penyidikan.

5. Minimnya waktu dalam proses penyidikan.

6. Faktor penghasilan atau gaji penyidik yamg masih belum

memadai.

7. Kurangnya tempat yang memadai untuk menyimpan alat bukti.

B. Saran

Berdasarkan uraian pembahasan diatas maka saran penulis dalam skripsi

ini adalah sebagai berikut :

1. Agar Penerapan Undang-undang yang mengatur semua tentang Tindak

Pidana Narkotika agar lebih dimaksimalkan lagi terutama dalam proses

Penyidikan Tindak Pidana Narkotika supaya kejahatan yang berkaitan

tentang Narkotika menghasilkan data yang akurat dari proses penyidikan

tersebut dan dapat dikenakan atau dijatuhi hukuman yang seseuia dengan

apa yang telah dilakukan oleh terdakwa.

2. Agar Kepolisian Republik Indonesia yang bertugas melakukan penyidikan

sebaiknya memiliki peran yang lebih vital lagi, karena di proses

penyidikan inilah kita dapat mengetahui bagaimana tindak pidana

narkotika yang terjadi. Dalam proses penyidikan inilah peran kepolisian

Universitas Sumatera Utara


sebagai penyidik sangat penting agar data hasil penyidikan ini dapat

diproses oleh Kejaksaan dengan baik dan dapat menjatuhkan hukuman

yang sesuai.

3. Agar Pemerintah Indonesia lebih memperhatikan peran Penyidik, karena

penyidik dalam melaksanakan tugasnya memiliki kendala-kendala yang

dapat menjadi faktor penghambat atau memperlambat proses penyidikan

dan mengakibatkan hasil dari penyidikan tersebut kurang maksimal dan

agar pemerintah membuat suatu tempat di kepolisian untuk tempat

menyimpan atau mengamankan barang bukti karena barang bukti

merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam mempelancar

proses penyidikan.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Adi, Kusno, Diversi Sebagai Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika


Oleh Anak, UMM PRES, Malang : 2009
Afiah, Ratna Nurul, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, Sinar Grafika, Jakarta:
1989

Asya, F, Narkotika dan Psikotropika, Asa Mandiri, Jakarta: 2009

Ashofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta : 2010

A.S, Zakky, Menanggulangi Bahaya Narkotika, Redaksi Badan Penerbit Alda,


Jakarta, 2003

A.W, Wijaya, Masalah Kenakan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika,


Armico, Bandung : 1985
Bawengan, Gerson, Penyidikan Perkara Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta : l977

Dirdjosiswor, Soedjono Segi Hukum tentang Narkotika di Indonesia, Penerbit


Alda, Jakarta : 2003

Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta : 2004

Hamzah, Andi, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia,


Jakarta: 1983

Irsan, Koesparmono Hukum Acara Pidana, Erlangga, Jakarta : 2007

Makarao, Moh. Taufik, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta:


2003

Ma’roef,Ridha Narkotika, Masalah dan Bahayanya, Bina Aksara,Jakarta : 1987

Prodjohamidjojo, Martiman, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti Ghalia


Indonesia, Jakarta : 1983
Santoso, Topo dan Eva Achjani, Kriminolog, Raja Grafindo Persada, Jakarta :
2012

Universitas Sumatera Utara


Sasangka, RS hari, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana: Untuk
Mahasiswa dan praktisi, Mandar Maju, Bandung : 2003

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta : 1986

Sudarsono, Kamus Hukum Rineka Cipta, Jakarta : 2007

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 13 Tahun 2014 tentang Perubahan
Penggolongan Narkotika.

WEBSITE
www.depkes.go.id
www.medanbisnisdaily.com
http://humas.polri.go.id
http://hukumonlinesibiro.blogspot.com
http://beritasumut.com
http://www.hukumonline.com
https://cahwaras.wordpress.com
http://ilmuhukum.umsb.ac.id

Universitas Sumatera Utara


TULISAN ILMIAH DAN SUMBER LAIN

Hasil wawancara dengan Penyidik Satuan reserse Narkoba Kepolisian Kota Besar
Medan Bapak AIPTU Bostang Andi Simanjuntak.

Debora Ketaren, Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang


Narkotika Tentang tindak pidana Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika
(Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan putusan
No 1.366/Pid.b/2011/PN.Mdn), Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, Skripsi, 2013

Arya Putri, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Peredaran Narkotika Studi
Kasus Putusan No.61/ Pid.Sus/ 2013/ PN.Jo, Makassar: Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, 2014

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai