Anda di halaman 1dari 94

KAJIAN UMUM TERHADAP KEJAHATAN

POLITIK DALAM PERJANJIAN-PERJANJIAN


EKSTRADISI

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Syarat Akhir
Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S-1)

Disusun oleh :

Nama

Aquino Noval

NIM

2001-50-192

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
JAKARTA
2006

THE STUDY OF THE PUBLIC TOWARDS THE


CRIME OF POLITICS IN EXTRADITION
AGREEMENTS
THESES

Proposed In Order To Fulfill The Final Term


To Achieves Sarjana Hukum (S-1) Title

Author

Name

Aquino Noval

NIM

2001-50-192

FACULTY OF LAW
INDONESIAN CATHOLIC UNIVERSITY OF ATMA JAYA
JAKARTA
2006

KETERANGAN PENILAIAN TIM PENGUJI

Menurut penilaian kami melalui Sidang Ujian Komprehensif yang telah


diadakan pada tanggal 8 februari 2006 dikampus Fakultas Hukum Unika
Atma Jaya Jakarta, bahwa skripsi ini telah memenuhi persyaratan materi
dan kualitas yang ditentukan. Oleh karena itu, bagi penyusunannya dapat
diberikan gelar Sarjana Hukum.
TIM PENGUJI

( Stephanus Desi Prastianto, SH.,M.Hum )


Ketua Tim Penguji

( Yanti Friskikawati,SH.,M.Hum.,Dr. )
Penguji 1

( A. Mashyur Effendi,SH.,MS.,Prof )
Penguji 2

Mengetahui,

( Antonius P. S. Wibowo, SH., M Hum. )


Dekan Fakultas Hukum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KATOLIK ATMA JAYA
JAKARTA

TANDA PERSETUJUAN SKRIPSI


NAMA
NOMOR MAHASISWA

:
:

Aquino Noval
2001-50-192

JUDUL SKRIPSI

Kajian Umum Terhadap Kejahatan


Politik Dalam Perjanjian-Perjanjian
Ekstradisi

DITERIMA DAN DISETUJUI UNTUK DIPERTAHANKAN


Dosen Pembimbing Skripsi Materi dan Teknis

(Prof. A. Masyhur Effendi, SH., MS)

(Natalia Yeti Puspita, S.H.,M.Hum)

ABSTRAKSI

(A). Aquino Noval (200150192)


(B). Kajian Umum Terhadap Kejahatan Politik Dalam Perjanjian-Perjanjian
Ekstradisi
(C). VI + 82+ Lampiran + 2006
(D). Kajian Umum Terhadap Kejahatan Politik Dalam Perjanjian-Perjanjian
Ekstradisi
(E). Hukum Intemasional tidak merintangi negara-negara untuk membuat
perjanjianperjanjian tentang ekstradisi. Karena pada dasarnya hukum
intemasional mengakui bahwa pemberian dan prosedur ekstradisi paling
tepat diserahkan kepada hukum nasional masing- masing negara. Namun,
terdapat ketentuanketentuan yang secara Intemasional telah diakui, yang
harus diperhatikan oleh negara-negara dalam membuat perjanjian tentang
ekstradisi. Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik adalah salah
satu asas yang telah diterima oleh masyarakat internasional, dan sekarang
sudah dipandang sebagai hukum kebiasaan internasional. Hal ini seiring
dengan semakin tingginya penghormatan terhadap hak asasi manusia yang
dapat dilihat dan dibentuknya beberapa instrumen internasional tentang hak
asasi manusia. Mengingat masih bervariasinya definisi kejahatan politik
yang diterima oleh negara-negara, terhadapnya diberikan pembatasanpembatasan. sehingga tidak terjadi penyalahgunaan terhadap asas tidak
menyerahkan pelaku kejahatan politik. Pembatasan-pembatasan tersebut
anatara lain terhadap aittentat clause dan terhadap international crime.
Beberapa fakior tersebut dapat dij adikan acuan dalam menyelesaikan
masalah kejahatan politik, berhubungan dengan pelaksanaan ekstradisi.
(F). Daftar Acuan: 10 (1958-1998)

II

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan puji syukur


kepada Tuhan Yang Maha Pengasih atas segala berkat dan karunia-Nya.
Sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini untuk
memenuhi salah satu syarat dalam mencapai Gelar Sarjana Hukum
Peminatan Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Katolik
Indonesia
Penulis
Atmamenyadari
Jaya, Jakarta.
sepenuhnya

bahwa

dalam

penyusunan

dan

penulisan skripsi ini, masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan


baik dari segi materi, tata bahasa maupun dalam memberikan analisa. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran dari pembaca, penulis terima dengan
lapang
Pada
hati.kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar- besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan
kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini dan semoga kebaikannya
dibalas oleh Tuhan, terutama kepada :
1. Bapak Anton P.S. Wibowo, SH., M Hum., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
2. Bapak Johanes Sardadi, SH., M Hum. selaku Pembantu Dekan I.
3. Ibu Valerie Paskalia Silvie, SH., LLM selaku Pembantu Dekan II
Serta Sebagai Penasihat Akademik yang selalu membantu penulis
4. Laurentius B. Wahjana selaku Pembantu Dekan III.
5. Bapak Prof. A. Masyhur Effendi, SH., MS, selaku Pembimbing
Utama Skripsi ini yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan

III

pikiran untuk memberikan pengarahan kepada penulis selama


penyusunan skripsi.
6. Ibu Natalia Yeti Puspita, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing
Asisten Skripsi ini yang telah meluangkan waktu dan pikiran
untuk

memberikan

pengarahan

kepada

penulis

selama

penyusunan skripsi.
7. Seluruh Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya yang telah memberikan pengarahan, ilmu,
dan bimbingan kepada penulis selama masa studi.
8. Kepada Bapak Daniel Raweyai dan Ibu Betty Arianingsih sebagai
orang tua serta kakak ku Ladyana dan adikku Stephani yang
tercinta yang telah memberikan kasih sayang dan dukungan, baik
dukungan materi maupun moral sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik.
9. Kepada semua sahabat- sahabat saya (Anggorokasih, Rio, Etha,
Respati,Kevin, Asri) yang telah mendukung dan memberikan
dorongan kepada penulis, baik selama masa studi maupun dalam
penyusunan skripsi ini.
10. Kepada rekan- rekan seperjuangan dalam pendidikan Menwa sejayakarta dan rekan- rekan seperjuangan dalam masa tugas di
Aceh dan Pendidikan kejuruan di Yogyakarta.
11. Kepada Seluruh jajaran staf dan adik- adik yang tergabung dalam
Sat Menwa Atma Jaya

IV

12. Kepada rekan- rekan di Motor Antik Club Jakarta


13. Kepada rekan- rekan di SAR Satya Buana
14. Kepada rekan- rekan yang tercinta yang tidak dapat penulis
ucapakan satu persatu.....
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan masukan yang
berguna bagi pihak- pihak yang membutuhkan.

Jakarta, 17 Januari 2006

Penulis

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI

..

KATA PENGANTAR

..

DAFTAR ISI

..

BAB I . PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Pokok Permasalahan

C. Tujuan Penulisan

D. Metode Penelitian

E. Sistematika Penulisan

BAB II. PENGERTIAN EKSTRADISI SERTA KEJAHATAN POLITIK

A. Pengertian Dan Ruang Lingkup Ekstradisi

...

A.1 Sejarah dan Perkembangan Ekstradisi

...

A.2 Pengertian Dan Ruang Lingkup Ekstradisi ...

11

A.3 Asas-Asas Umum Dalam Ekstradisi

16

...

B. Perkembangan Kejahatan Politik ..


B.1 Sejarah dan Lahirnya Konsep Kejahatan Politik

27

..

27

B.2 Penegertian da n Ruang Lingkup Kejahatan Politik ..

29

BAB III. KEJAHATAN POLITIK DALAM PERJANJIAN EKSTRADISI


A. Permasalahan Kejahatan Campuran

35

35

A.1 Prinsip Unsur yang Lebih Dominan .

35

A.2 Anglo American Incidence Test .

36

A.3 French Objective test

37

A.4 Prinsip Klausa Attentat

..

37

A.5 Kejahatan yang secara Tegas tidak Digolongkan sebagai


Kejahatan Politik

B. Praktek Negara-Negara Tentang Kejahatan Politik

41

42

B.1 Inggr is

43

B.2 Amerika Serikat

47

B.3 Eropa Kontinental

50

BAB IV. KEJAHATAN POLITIK DALAM PERJANJIAN-PERJANJIAN


EKSTRADISI MENURUT KONVENSI INTERNASIONAL

54

A. Ekstradisi Bagi Pelaku Kejahatn Politik Adalah Pelanggaran


Hak Asasi Manusia

A.1 Perlindungan Internasional Terhadap Hak Asasi Manusia

54
54

A.2 Beberapa Konvensi Internasional Tentang Hak Asasi Manusia


Dalam Hubungannya Dengan Pelaksanaan Ekstradisi Terhadap
Pelaku Kejahatan Politik

..

B. Beberapa Kasus Kejahatan Politik Dalam Kasus Ekstradisi


B.1 Kasus Aguste Pinochet (Inggris V Chili)

...

B.2 Kasus Haya De La Torre (Kolumbia V Peru)

57

68
68

...

73

...

78

A. Kesimpulan

...

78

B. Saran

...

80

...

81

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan


Dewasa ini masalah ekstradisi semakin tampak di permukaan.
Berita-berita mengenai masalah ekstradisi di surat kabar dan media massa
lainnya cukup sering muncul. Terutama apabila jika ada seorang atau
beberapa orang yang diduga melakukan Kejahatan atau tindak pidana
melarikan diri dari suatu negara ke negara lain.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang transportasi
dan informatika, mengakibatkan wilayah negara yang satu dengan negara
lainnya hampir tanpa batas. Mobilitas warga negara dari satu negara ke
negara lainnya untuk keperluan tertentu sangat tinggi seiring dengan
kemudahan-kemudahan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah suatu
negara. Perkembangan yang demikian ini disamping bermanfaat juga
memiliki segi negatif. Pelaku tindak pidana dapat dengan mudah
melarikan diri dari negara dimana ia melakukan kejahatan kenegara
lainnya untuk menghindarkan diri dari

penuntutan atau pemidanaan

karena sering kali suatu negara yang wilayahnya dijadikan tempat


berlindung seorang yang melakukan tindak pidana tidak dapat menuntut
atau menjatuhkan pidana kepadanya, semata-mata dikarenakan oleh
beberapa aturan teknis hukum atau karena tidak adanya yurisdiksi negara
terhadap pelaku kejahatan tersebut. Padahal menur ut prinsip aut dedere

aut judicare mengharuskan seorang pelaku tindak kejahatan dipidana oleh


tempat ia berlindung atau diserahkan kepada negara yang dapat atau mau
memidananya 1. Prinsip ini sejalan dengan doktrin Grotius tentang
penghukuman penjahat yang terkenal dengan sebutan aut dedere aut
punure yang artinya, setiap orang yang melakukan kejahatan dimana pun
juga harus diserahkan dan dijatuhi hukuman.
Masalah lain yang timbul dari aktivitas-aktivitas kriminal yang
memiliki karakter internasional (kejahatan transnasional) 2 ini adalah
doktrin kedaulatan negara. Dalam praktek seringkali timbul pertentangan
antar negara-negara locus dellicti, yang menganggap dengan asas teritorial
memiliki wewenang untuk memeriksa dan mengadili pelakunya karena di
tempat tersebut mempunyai kepentingan terbesar dalam memidana pelaku
kejahatan serta mempunyai fasilitas terbesar untuk mencapai kebenaran3 .
Dilain pihak negara dimana si pelaku kejahatan berkewaganegaraan juga
merasa memiliki wewenang memeriksa dan mengadili dengan landasan
nasional aktif. Berbagai permasalahan diatas mengantarkan kepada
kesimpulan bahwa keberadaan perjanjian ekstradisi sebagai sarana
penegakan hukum bagi perkara pidana merupakan sesuatu yang penting
dan mendesak untuk dirumuskan didasarkan atas kesadaran bersama
terhadap kepentingan pemberantasan kejahatan.
1

L. Oppenheim, international Law , a Treatise, Volume One, Peace 8th Edition, 1960
hal 696
2
Istilah ini dikemukakan oleh I Wayan Parthiana, dalam bukunya yang berjudul
Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Madar Maju, Bandung, 1990
3
I.G Starke, An Introduction to International Law, Fourth Edition, Butterworths & Co
(publisher) Ltd, London, 1958, hal 261

Kemajuan-kemajuan dan berkembangnya pemikiran-pemikiran


baru dibidang politik, ketatanegaraan, dan kemanusiaan mendorong
semakin diakuinya dan kukuhnya kedudukan individu sebagai subjek
hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Hal ini turut pula memberi
warna tersendiri pada ekstradisi. Negara- negara didalam membuat dan
merumuskan perjanjian-perjanjian ekstradisi disamping memperhatikan
aspek-aspek pemberantasan kejahatannya juga memperhatikan

aspek-

aspek kemanusiaan dimana individu pelaku kejahatan tetap diberikan atau


diakui hak dan kewajibannya.
Sejalan dengan perkembangan penghargaan terhadap hak asasi
manusia, prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik telah diakui
dan

diterima

pengecualian

oleh
bagi

masyarakat
subyek

internasional

ekstardisi.

Dalam

sebagai

salah

satu

perjanjian-perjanjian

ekstardisi yang dibuat oleh negara- negara, biasanya terdapat klausula


tentang syarat-syarat penyerahan, dimana salah satu syarat kejahatan yang
diminta untuk diserahkan bukanlah merupakan kejahatan politik.
Ekstradisi tidak akan dilakukan jika kejahatan yang dimintakan
penyerahan itu dianggap oleh pihak yang diminta sebagai kejahatan
politik. Hal ini adalah konsekuensi dari pengakuan hak-hak asasi untuk
menganut keyakinan politik atau hak politik seseorang.
Pada awal perkembangannya, wujud dan sifat kejahatan politik itu
kelihatannya memang sangat sederhana dan secara jelas dapat dibedakan
dengan kejahatan biasa. Namun dengan perkembangan selanjutnya sejalan

dengan

perubahan

dan

perkembangan

masyarakat

internasional,

pengetahuan dan teknologi yang kian kompleks, pengertian kejahatan


politik itupun semakin menjadi rumit. Isi dan ruang lingkupnya semakin
bertambah luas, sehingga sukar dibedakan antara kejahatan politik dengan
kejahatan biasa. Tidak adanya perumusan yang diterima secara umum oleh
negara-negara mengenai kejahatan politik menimbulkan ketidakpastian
hukum. Usaha yang telah ditempuh dengan menyerahkan kepada masingmasing negara apakah kejahatan politik tersebut kejahatan politik atau
bukan belum membuahkan hasil yang maksimal. Namun di dalam banyak
hal praktek negara- negara mengenai kejahatan politik menunjukan
persamaan walaupun banyak juga perbedaan-perbedaan yang cukup
prinsip. Untuk itulah perlunya ditinjau praktek negara-negara mengenai
kejahatan politik ini khususnya dalam hubungannya dengan ekstradisi.
Sehingga pengecualian kejahatan politik sebagai subjek kejahatan yang
tidak dapat diekstradisi tepat mengenai sasaran dan tidak dimanfaatkan
oleh pihak-pihak tertentu yang ingin menghindari penghukuman dengan
menyelundupkan kejahatan yang dilakukannya kedalam kriteria kejahatan
politik untuk kemudian terbebas dari ancaman hukuman.

B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, maka penulis
membatasi perumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan ekstradisi?

2. Apakah yang dimaksud dengan kejahatan politik?


3. Unsur-unsur apa saja yang termasuk kejahatan politik?
4. Permasalahan apakah yang terkandung dalam kejahatan politik?
5. Bagaimana

pengaturan

kejahatan

politik

dalam

konvensi

internasional.

C. Tujuan Penulisan
Tujuan khusus dari skripsi ini bagi penulis adalah dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk meraih ge lar kesarjanaan pada tingkat
perguruan tinggi, Strata 1 dalam Hukum Program Kekhususan Hukum
tentang Hubungan Transnasional pada Fakultas Hukum Unversitas Katolik
Atma Jaya ( FH Unika Atma Jaya).
Disamping itu, secara umum penulisan skipsi ini juga bertujuan
agar para pembaca dapat memperoleh :
1. Pemahaman yang komprehensif mengenai ekstradisi dan kejahatan
politik;
2. Mengetahui sejauh mana sebuah kejahatan dapat dikategorikan sebagai
suatu kejahatan politik serta permasalahan yang dihadapi;
3. Mengetahui sejauh mana kejahatan politik mendapat keistimewaan
dalam perjanjian ekstradisi dalam hubungannya dengan hak asasi
manusia.
Manfaat lainnya berupa manfaat teoritis dan praktis. Maksud dari
manfaat teoritis yaitu bahwa dari segi pengembangan ilmu hukum

khususnya hukum internasional, maka penelitian ini akan memberikan


kontribusi walaupun tingkatannya minim. Sedangkan manfaat praktis
maksudnya adalah dengan adanya penelitian ini akan memberikan
gambaran maupun pemahaman mengenai hukum internasional kepada
mahasiswa yang berminat pada bidang hukum internasiona l.

D. Metode Penulisan
Penulisan ini menggunakan metode penulisan kepustakaan, yaitu
suatu metode atau cara mengumpulkan data dengan jalan membaca,
mempelajari, serta meneliti buku-buku ilmiah dan dokumen-dokumen
yang berhubungan dengan obyek yang sedang diteliti.
Bila dilihat dari sifatnya, penulisan ini cenderung bersifat deskritif,
yang artinya penulisan ini dimaksudkan untuk memberi gambaran sejelas
dan selengkap mungkin mengenai ekatradisi dalam konsep hukum
internasional dan kejahatan politik sebagai pengecualian dari praktek
ekstradisi dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi yang dibuat oleh negaranegara.
Mengenai bentuknya, penulisan ini berbentuk preskritif, yang
artinya penulisan ini ditujukan untuk mendapatkan saran-saran dan
masukan- masukan yang positif, terutama dari masyarakat hukum
internasional dalam menyikapi masalah- masalah yang terungkap melalui
penulisan ini.

Sedangkan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data


sekunder, berupa bahan pustaka yang mencakup bahan hukum primer
yaitu perjanjian-perjanjian ekstradisi beberapa negara, Undang-undang
tentang ekstradisi dan beberapa konvensi tentang ekstradisi. Bahan hukum
sekunder yaitu buku-buku dan skripsi, maupun bahan hukum tertier yaitu
kamus hukum.
Sebagai penulisan hukum normatif yang menelaah data sekunder,
maka metode pendekatan yang dilakukan dalam menganalisa data
kejahatan politik dalam perjanjian ekstradisi adalah metode kualitatif yang
bertujuan menggambarkan keberadaan dan perkembangan praktek
ekstradisi dalam konsep hukum internasional serta permasalahan kejahatan
politik dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi, juga keberadaannya dalam
hukum positif negara-negara.

E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan hukum ini akan dibagi dalam lima
bab, dimana masing- masing bab akan membahas antara lain :
Dalam BAB I yang merupakan bab pendahuluan akan dijelaskan
mengenai latar belakang permasalahan,

pokok permasalahan, tujuan

penulisan, metode penulisan serta sistematika penulisan.


Dalam BAB II akan di jabarkan mengenai sejarah dari perjanjian
ekstradisi, pengertian serta ruang lingkup perjanjian ekstradisi dan asasasas umum dalam perjanjian ekstradisi. Selain itu dalam bab ini juga akan

di bahas mengenai sejarah lahirnya konsep kejahatan politik serta


pengertian dan rua ng lingkup dari kejahatan politik.
Dalam BAB III akan dijelaskan mengenai permasalahan kejahatan
campuran dalam kejahatan politik serta praktek-praktek negara- negara
tentang kejahatan politik.
Dalam BAB IV akan di jelaskan mengenai

pengaturan

perlindungan kejahatan politik pada perjanjian Ekstradisi dalam Konvensi


Internasional dimana dalam bab ini terdapat pengecualian subyek
ekstradisi dalam konvensi internasional dan analisa terhadap beberapa
kasus kejahatan politik yang dimintakan ekstradisi.
Dalam BAB V terdiri atas kesimpulan dan saran dari penulisan
yang telah penulis buat.

BAB II
PENGERTIAN EKSTARDISI SERTA KEJAHATAN POLITIK

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Ekstradisi


A. 1 Sejarah dan Perkembangan Ekstradisi
Para penulis hukum internasional mengemukakan bahwa sebuah
perjanjian tertua yang isinya juga mengenai masalah penyeraha n penjahat
pelarian adalah perjanjian perdamaian antara Raja Ramses II dari Mesir
dengan Hattusili II dari Kheta yang dibuat pada tahun 1279 S.M. Kedua
pihak menyatakan saling berjanji untuk menyerahkan pelaku kejahatan
yang melarikan diri atau yang diketemukan di dalam wilayah pihak lain 1 .
Tetapi perjanjian semacam ini bukanlah merupakan perjanjian
ekstradisi yang berdiri sendiri seperti yang kita kenal saat ini, melainkan
persoalan ekstradisi ini hanyalah salah satu bagian kecil saja dari seluruh
isi materi perjanjian. Biasanya perjanjian ini merupakan perjanjian
perdamaian untuk menjalin hubungan persahabatan antara para pihak atau
perjanjian perdamaian untuk mengakhiri peperangan.
Namun demikian, praktek negara-negara dalam melakukan
penyerahan penjahat pelarian, tidaklah semata-mata bergantung pada
adanya perjanjian tersebut. Kemungkinan besar jauh sebelumnya terdapat

Arthur Nussbaum, A concise History of the Law of Nation, diterjemahkan ke dalam


bahasa Indonesia oleh Sam Suhaedi Admawira : Sejarah Hukum Internasional, Jilid I, Cetakan I,
(Bandung Bina Cipta, 1969), Hal. 3.

10

negara-negara yang saling menyerahkan penjahat pelarian meskipun kedua


belah pihak belum membuat perjanjiannya.
Sebelum abad ke 19, ekstradisi terhadap pelaku kejahatan sangat
jarang terjadi. Didalam hukum internasional sendiri tidak ada kewajiban
untuk menyerahkan, juga tidak ada kewajiban untuk tidak menyerahkan.
Dengan alasan ini beberapa penulis menyebut ekstradisi sebagai masalah
kewajiban tidak sempurna2 . Walaupun pada prakteknya negara-negara
saling menyerahkan pelaku kejahatan berdasarkan asas resiprositas
(reciprocity) atau kebaikan (courtesy).
Setelah kehidupan bernegara ini mulai tampak lebih maju,
hubungan dan pergaulan internasional pun mulai mencari dan menemukan
bentuknya yang baru. Negara-negara dalam membuat perjanjianperjanjian, sudah mulai mengadakan pengkhususan mengenai bidang
tertentu. Demikian juga bidang ekstradisi yang telah lama dikenal dalam
praktek, turut pula me ncari bentuknya yaitu bentuk perjanjian ekstradisi
yang berdiri sendiri. Jadi tidak lagi berkaitan dengan atau menjadi bagian
dari masalah- masalah lain yang lebih luas ruang lingkupnya.
Demikianlah pada akhirnya, perjanjian-perjanjian ekstradisi dalam
ini dan bentuknya yang moderen dewasa ini. Abad ke 19 dan 20
merupakan masa stabil dan kokohnya ekstradisi ini, yang dapat dibuktikan

J.G. Starke, Introduction to International Law , Ninth Edition, di terjemahkan kedalam


bahasa Indonesia oleh Sumitro L.S Danuedjo dan Lukas Ginting, Pengantar Hukum Internasional
2 , Edisi kesembilan, ( S.I. : Aksara Persada Indonesia ), Hal. 61.

11

dengan banyaknya terdapat perjanjian ekstradisi dan perundang-undangan


nasional negara-negara mengenai ekstradisi dengan asas-asas yang sama.

A.2 Pengertian dan Ruang Lingkup Ekstradisi


Esktradisi berasal dari bahasa latin extradere. Ex berarti keluar,
sedangkan tradere berarti memberikan. Jadi ekstradisi berarti memberikan
keluar, yang maksudnya adalah menyerahkan. Sedang kata bendanya
adalah ekstraditio3 .
Setiap negara didunia memiliki tata hukum atau hukum positif
untuk memelihara dan mempertahankan keamanan, ketertiban dan
ketentraman bagi setiap negaranya atau orang yang berada dalam
wilayahnya dan setiap pelanggaran atas sebuah tata hukum harus
dikenakan sanksi yang berlaku agar hukum dapat ditegakan. Namun tidak
semua orang mampu atau mau dengan sukarela untuk mempertanggung
jawabkan perbuatanya. Ia akan melarikan diri atau menghindarkan diri
dari tuntutan dan ancaman hukuman. Salah satu cara yang paling efektif
untuk menghindari diri dari hukuman adalah dengan melarikan diri
kewilayah negara lain dengan maksud untuk menghindari diri dari
tuntutan dan ancaman hukuman dari negara tempat ia melakukan
pelanggaran tersebut.
Berdasarkan asas umum dalam hukum internasional, setiap negara
mempunyai kekuasaan tertinggi atau kedaulatan atas orang dan benda
3

I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional


Indonesia, (Bandung : Madar Maju, 1990 ), Hal. 12.

12

yang berada dalam wilayahnya sendiri. Oleh karena itu, suatu negara tidak
boleh melakukan tindakan yang bersifat kedaulatan (act souvereignty) di
dalam wilayah negara lain, kecuali adanya persetujuan dengan negara itu
sendiri. Hal ini disebabkan karena tindakan semacam ini dapat dipandang
sebagai intervensi atau campurtangan atas masalah- masalah dalam negeri
negara lain. Dalam hubungannya dengan pelaku kejahatan yang melarikan
diri atau berada dalam wilayah negara lain, negara tempat ia melakukan
kejahatan tidak dapat melakukan penangkapan dan penahanan secara
langsung di dalam wilayah negara tempat si pelaku kejahatan berada atau
bersembunyi. Seakanakan pelaku kejahatan yang demikian mendapat
perlindungan hukum.
Akan tetapi orang-orang semacam ini tidak dapat dibiarkan bebas
dan dapat berkeliaran secara aman, agar mereka tidak terlepas dari
tanggung jawab atas kejahatan yang ia lakukan, maka diperlukan sebuah
bentuk kerjasama untuk mencegah dan memberantasnya. Negara yang
dirugikan dapat meminta kepada negara dimana si pelaku berlindung
untuk menyerahkan pelaku kejahatan tersebut. Sedangkan negara tempat si
pelaku kejahatan berada dapat menyerakan si pelaku kejahatan kepada
negara yang mengajukan permintaan penyerahan. Cara atau prosedur
seperti inilah yang telah diakui dan merupakan prosedur yang telah umum
dianut baik dalam hukum nasional maupun hukum internasional yang
lebih dikenal dengan nama ekstradisi.

13

Dari uraian diatas sudah mulai tampak apa yang dinamakan


ekstradisi. Akan tetapi mari kita melihat beberapa definisi ekstradisi yang
diberikan oleh beberapa ahli hukum;
L. Oppenheim mengatakan4 :
Extradition is the delivery of an accused or convicted individual to the
state on whose territory he is alleged to have committed, or to have been
convicted of a crime by he state on whose territory the alleged criminal
happens for the time to be.
J . G . Starke mengatakan5 :
The terms extradition denotes the process whereby under treaty or upon a
basis of reciprocity one state surrenders to another states at its request a
person accused or convicted of a criminal offence committed against the
laws of the requesting state competent to try that alleged offender .

Harvard Research Draft Convention on Extradition menyatakan sebagai


berikut 6 :
Extradition is the formal surrender of a person by a state to another state
for prosecution or punishment.
I Wayan Parthiana, dengan menggabungkan ketiga definisi diatas,
menyimpulkan yang dimaksud dengan ekstradisi adalah 7 :
Penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian
ekstradisi yang diadakan sebelum atau berdasarkan prinsip timbal balik,
atas seorang yang ditud uh melakukan tindak pidana kejahatan (tersangka,
tertuduh, terdakwa) atau atas seorang yang telah dijatuhi hukuman atas
4

L. Oppenheim, International Law, a Treatise, Volume One, Peace 8th Edition, 1960

hal. 696.
5

J. G. Starke, An Introduction to International Law, 7 th edition , (London :


Buttherwordhs, 1971).
6
Harvard Reaserch Draff Convention on Extradition, pasal 1 (a).
7
I Wayan, op. Cit., Hal. 12.

14

kejahatan yang telah dilakukannya (terhukum, terpidana), oleh negara


tempatnya melarikan diri atau berada atau bersembunyi, kepada negara
yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya, atas
permintaan dari negara tersebut dengan tujuan untuk mengadili atau
melaksanakan hukumannya.

Sedangkan, Undang- undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1979 tentang


Ekstradisi memberikan definisi 8 :
Penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan
seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan
di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah
negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk
mengadili dan memidananya.

Terakhir, Blacks Law Dictionary memberikan definisi ekstradisi sebagai


berikut 9 :
The surrender by one state to another of an individual accused or
convicted of an offense outside its own territory and within the territorial
jurisdiction of the other, which being competent to try and punish him,
demand the surrender.
Dari beberapa definisi diatas dapatlah disimpulkan unsur dari
ekstradisi itu adalah

10

1. Unsur subyek yang terdiri atas :


8

Undang-undang No.1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, pasal 1.


Henry Campbell Black, Blacks Law Dictionary, Fourth edition, ( ST. paul, Minn :
West Publising Co, 1998).
9

10

I Wayan, op. Cit. , hal.13.

15

a. Negara atau negara-negara yang memilki yurisdiksi untuk


mengadili atau menghukumnya. Seperti telah dikemukakan diatas,
jumlah negara yang memiliki yurisdiksi itu bisa lebih dari satu
negara. Untuk mendapatkan kembali orang yang bersangkutan,
negara atau negara-negara tersebut harus mengajukan permintaan
penyerahan kepada negara tempat orang itu berada atau
bersembunyi. Negara atau negara-negara ini berkedudukan sebagai
pihak yang meminta atau dengan singkat disebut negara peminta
(the requesting state).
b. Negara tempat si pelaku kejahatan bersembunyi, atau si terhukum
itu berada. Negara ini dengan singkat disebut negara diminta
(the requested state).
2. Unsur obyek, yaitu si pelaku kejahatan itu sendiri. Dia inilah yang
dengan singkat disebut sebagai orang yang diminta. Perlu
diperhatikan bahwa ia menjadi obyek hanya pada pokok permasalahan
antara kedua pihak. Tetapi sebagai manusia dia harus tetap
diperlakukan sebagai subyek hukum dengan segala hak dan
kewajibannya yang asasi, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun
juga. Dalam perkembangan ekstradisi dewasa ini, individu si pelaku
kejahatan, diakui memiliki hak-hak tertentu misalnya hak untuk
mengajukan pembelaan, hak untuk mengemukakan bahwa kejahatan
yang dijadikan dasar untuk meminta penyerahan adalah kejahatan
politik dan lain- lain. Justru karena hak-hak inilah, individu si pelaku

16

kejahatan lebih tepat dipandang sebagai subjek yang kedudukannya


sederajat dan sejajar dengan negara peminta dan negara di minta.
3. Unsur tata cara prosedur. Unsur ini meliputi tata cara untuk
mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara menyerahkan
atau menolak penyerahan itu sendiri dengan segala hal yang ada
hubungannya dengan itu. Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila
diajukan permintaan untuk menyerahkan yang didasarkan pada
perjanjian ekstradisi yang ada sebelumnya antara para pihak.
4. Unsur tujuan, yaitu tujuan dari dimintakannya penyerahan tersebut
yang adalah untuk mengadili atau menghukum si pelaku kejahatan,
sebagai realisasi dari kerjasama antar negara-negara tersebut dalam
menanggulangi dan memberantas kejahatan.

A.3 Asas-asas Umum Dalam Ekstradisi


Meskipun ekstardisi telah dikenal dan telah banyak dipraktekkan,
namun belum terdapat sebuah konvensi tentang ekstradisi yang baku dan
berlaku secara universal. Sehingga terkesan perjanjian ekstradisi yang
dibuat oleh negara-negara di dunia berbeda-beda. Pendapat ini secara
umum memang dapat dibenarkan namun tidak seluruhnya benar.
Disamping perbedaan-perbedaan yang ada, di antara sekian banyak
perjanjian ekstradisi yang dib uat oleh negara-negara, juga banyak terdapat
kesamaan-kesamaan

dalam

pengaturan

mengenai

pelbagai

pokok

permasalahan dasar. Kesamaan-kasamaan dasar ini terus diikuti oleh

17

negara-negara dalam merumuskan perjanjian ekstradisi, bahkan dalam


perundang-undangan tentang ekstradisi11 . Kesamaan-kesamaan dasar ini
kemudian diterima sebagai prinsip yang diakui bersama, dimana prinsip
ini selalu dijadikan pedoman dalam setiap perjanjian ekstradisi sebagai
kebiasaan yang melembaga.
Prinsip atau asas-asas umum tersebut terdiri dari12 :
1. Asas kejahatan ganda atau Double Criminality, yaitu bahwa perbuatan
yang dilakukan, oleh negara peminta maupun oleh negara yang
diminta dianggap sebagai kejahatan.
Suatu perbuatan mungkin merupakan peristiwa pidana atau
kejahatan menurut sis tem hukum negara tertentu, sedangkan menurut
sistem hukum negara lain tidak dipandang sebagai peristiwa pidana.
Disini terdapat perbedaan dalam penilaian atas suatu perbuatan.
Negara yang memandang perbuatan tersebut sebagai peristiwa pidana
akan memandang perbuatan si pelaku sebagai pelaku peristiwa pidana.
Sebaliknya negara yang memandang perbuatan tersebut sebagai bukan
sebagai peristiwa pidana, si pelakupun tidak dipandang sebagai pelaku
peristiwa pidana.
Setiap negara yang berhadapan dengan kasus yang menyangkut
ekstradisi, apapun posisinya (sebagai negara peminta maupun sebagai
11

Contoh Indonesia, dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi.


Pasal (4), (5), (7), (8), (9), (10), (15) memuat kesamaan-kesamaan dasar tersebut, yang kemudian
dikenal sebagai asas -asas ekstradisi.
12

I Wayan ,op. Cit., Hal. 27.

18

negara diminta) pertama-tama harus mempertimbangkan apakah


kejahatan yang dijadikan dasar untuk meminta penyerahan atau
diminta menyerahkan itu merupakan kejahatan menurut sistem hukum
negara peminta atau negara diminta. Jika tidak menurut negara
diminta, maka negara peminta harus menolak permintaan penyerahan
dari negara diminta. Demikian pula negara peminta didalam
mempertimbangkan apakah permohonannya akan diterima atau
ditolak, terlebih dahulu harus mempertimbangkan perbuatan tersebut
merupakan peristiwa pidana menurut sistem hukum negara diminta.
Sebab ekstradisi secara tegas mensyaratkan bahwa kejahatan yang
dijadikan sebagai dasar untuk meminta penyerahan atas diri si pelaku
oleh negara peminta, haruslah

juga merupakan kejahatan menurut

sistem hukum negara diminta. Hal ini sudah sepantasnya, karena tidak
seorangpun dapat ditindak atau dihukum terhadap perbuatannya yang
tidak melanggar hukum negara tempatnya berada.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimanakah asas kejahatan ganda
itu dirumuskan dalam perjanjian ekstradisi. Dalam setiap perjanjian
ekstradisi, kejahatan yang dapat dijadikan dasar untuk meminta
penyerahan dirumuskan secara jelas dan tegas. Hanya kejahatan yang
ditentukan di dalam perjanjian ekstradisi atau yang memenuhi kriteria
yang ditetapkan didalamnya sajalah yang dapat dijadikan dasar untuk
meminta penyerahan. Jadi, tidak setiap kejahatan dapat dijadkan dasar
untuk meminta penyerahan walaupun sudah memenuhi asas kejahatan

19

ganda. Dengan kata lain, ada jenis kejahatan yang termasuk dalam
ruang lingkup perjanjian ekstradisi dan ada juga jenis kejahatan yang
terletak diluar lingkup perjanjian ekstradisi13 . Hanyalah orang yang
diduga telah melakukan kejahatan yang termasuk dalam ruang lingkup
perjanjian ekstradisi saja yang dapat dimintakan penyerahannya. Hal
ini sudah diterima secara umum, baik di dalam perjanjian-perjanjian
ekstradisi maupun di dalam perundang-undangan ekstradisi.
2. Asas kekhususan atau asas spesialitas, yaitu bahwa seseorang yang
diserahkan tidak akan dituntut, dipidana, atau ditahan untuk kejahatan
yang lain selain daripada kejahatan yang dijadikan sebagai dasar
penyerahan atas dirinya, walaupun kejahatan tersebut tergolong
sebagai kejahatan yang dapat dijadikan dasar untuk meminta
penyerahan.
Pada kasus ekstradisi, negara peminta dalam mengajukan
permintaan penyerahannya, harus menegaskan atas kejahatan apa
sajakah orang yang diminta itu dimintakan penyerahannya. Apabila
oleh negara diminta diputuskan untuk mengabulkan permintaan
penyerahan, negara diminta harus juga menegaskan atas dasar
kejahatan apa sajakah orang yang diminta itu diserahkan.

13

Contoh, Perjanjian Ekstradisi Indonesia dengan Philipina 1976, Pasal II. Perjanjian
Ekstradisi Indonesia dengan Thailand 1978, Pasal 2.Walaupun tindakan atau perbuatan orang yang
diminta itu merupakan kejahatan menurut sistem hukum kedua pihak, tetapi jikalau tidak
memenuhi kriteria tentang kejahatan yang tercantum dalam perjanjian ekstradisi, maka permintaan
penyerahan harus tidak dilakukan

20

Oleh karena salah satu tujuan dari ekstradisi ini adalah menjamin
kepastian hukum bagi semua pihak, khususnya bagi orang yang
diminta, maka hak negara peminta untuk mengadili dan menghukum si
pelaku kejahatan hanya terbatas pada kejahatan-kejahatan untuk mana
dia diserahkan oleh negara diminta. Tegasnya, orang yang diminta
tidak boleh diadili dan dihukum atas kejahatannya selain daripada
kejahatan yang dijadikan sebagai dasar penyerahan atas dirinya. Dia
hanya boleh diadili dan dihukum khusus kejahatan itu saja. Inilah ya ng
dalam ekstradisi dikenal dengan asas kekhususan atau asas spesialitas.
Dengan demik ian sampai tahap ini terjaminlah suatu kepastian
hukum baik bagi negara peminta, negara diminta, maupun bagi orang
yang diminta itu sendiri.
Pengecualian terhadap asas kekhususan ini dapat berlaku dalam
hal- hal sebagai berikut 14 :
a. Apabila negara diminta menyatakan persetujuannya atas maksud
negara peminta.
b. Apabila orang atau si pelaku kejahatan itu sendiri menyatakan
persetujuannya.
c. Negara peminta dapat mengadili dan menghukum kembali orang
yang diminta apabila orang tersebut, setelah habis masa
hukumannya

14

I wayan , op. Cit., hal.45

diberi

waktu

oleh

negara

peminta

yang

21

menghukumya untuk meninggalkan negara tersebut, tetapi ia tidak


melakukannya

15

3. Asas tidak menyerahkan warga negara, yaitu bahwa negara yang


diminta mempunyai hak untuk tidak menyerahkan warga negaranya
sendiri.
Asas ini dirumuskan dalam perjanjian dan perundang-undangan
tentang ekstradisi, karena kewarganegaraan seseorang sangat penting
yaitu menyangkut status dari orang yang bersangkutan. Dan dengan
demikian hukum yang berlaku atas dirinya terutama yang menyangkut
status personalnya tergantung dari kewarganegaraan orang tersebut.
Dalam hubungannya dengan ekstradisi, apabila negara peminta
meminta penyerahan terhadap seorang warga negara dari negara
diminta, maka negara diminta mempunyai kekuasaan untuk tidak
menyerahkan warga negaranya. Hal ini didasarkan atas suatu
pertimbangan

bahwa

negara

berkewajiban

untuk

memberikan

perlindungan kepada setiap warga negaranya.


Dewasa ini, hampir dalam setiap perjanjian ekstradisi terdapat
ketentuan
(extradition

yang

mengatur

tentang

of

nationals).

Pada

penyerahan
umumnya

warga
negara

negara
diminta,

diperkenankan untuk menolak permintaan ekstradisi, apabila si pelaku


kejahatan atau orang yang diminta ternyata adalah warga negara dari

15

Contoh,Perjanjian Ekstradisi Indonesia dengan Philipina 1976. Pasal IX B, meberikan


kesempatan untuk meninggalkan wilayah negara tempat ia diadili atau menjalani hukumannya
selama 45 hari terhintung mulai saat pembebasannya. Ketentuan yang sama juga dapat dijumpai
dalam perjanjian ekstradisi Indonesia Malaysia 1974, pasal 8 (b).

22

negara yang diminta. Hampir semua negara, seperti Perancis, Jerman


dan Amerika Serikat telah menganut prinsip atau asas ini. Tetapi ada
juga negara seperti Inggris 16 yang belum mengadopsi prinsip ini.
Inggris tidak membuat perbedaan terhadap warga negaranya sendiri
yang dituntut telah melakukan kejahatan diwilayah negara lain dan
dimintakan penyerahannya. Namun pemerintah Inggris mencegah
sejauh mungkin melakukan hal ini dengan mencantumkan klausul
tentang tidak menyerahkan warga negaranya dalam perjanjianperjanjian ekstradisinya dengan negara lain17 .
4. Asas Ne Bis in idem, yaitu apabila terhadap suatu kejahatan tertentu
sudah dijatuhi putusan pengadilan dan putusan tersebut sudah
berkekuatan hukum tetap, maka permintaan ekstradisi harus ditolak.
Dalam hukum pidana nasional dikenal asas ne bis in idem yang
artinya, seseorang tidak boleh diadili dan dihukum lebih dari satu kali
untuk satu kejahatan yang sama. Asas ini mempunyai arti penting
dalam memberikan jaminan kepastian hukum, khususnya bagi si
tertuduh atau terhukum. Bahwa sekali ia diadili dan dijatuhi hukuman
oleh pengadilan yang berwenang, keputusan yang sudah mempunyai
kekuatan hukum dan mengikat pasti itu berlaku untuk seterusnya.
16

Oppenheim, Op. Cit., hal.699. Pada tahun 1879, Inggris menyerahkan warga negaranya
kepada Austria,. Orang tersebut didakwa melakukan pembunuhan terhadap isterinya di Tyrol, dan
kemudian melarikan diri kembali ke Inggris.
17

Ibid., Permintaan ekstradisi Switzerlad terhadap Alfred Thomas Wilson wargan negara
Inggris yang melakukan pencurian di Zurich harus ditolak. Hal ini dimungkinkan oleh Perjanjian
Anglo-Swiss yang mengadopsi prinsip tidak menyerahkan warga negara dalam klausulnya.

23

Dewasa ini asas ne bis in idem telah diterima dan selalu


dicantumkan dalam setiap perjanjian dan perundang-undangan
ekstradisi18 . Misalnya pasal 7 perjanjian ekstradisi Indonesia-Malaysia
1974 yang menyatakan sebagai berikut :
Penyerahan tidak akan dilakukan, jika putusan terakhir pengadilan
sudah dijatuhkan oleh pejabat berwenang dari pihak yang diminta
terhadap orang yang diminta bertalian dengan kejahatan atau
kejahatan-kejahatan yang dimintakan penyerahannya
Menurut pasal ini, jika orang yang diminta telah dijatuhi keputusan
akhir (final judgement) atas kejahatan yang dimintakan penyerahan
oleh badan yang berwenang dari negara diminta, maka peyerahan
tersebut harus tidak dilakukan. Apabila orang yang telah dihukum
setimpal dengan kejahatannya itu diserahkan kepada negara peminta
untuk diadili kedua kalinya, berarti ia diadili dua kali untuk kejahatan
yang sama. Akibatnya tidak ada jaminan kepastian hukum bagi orang
itu sendiri. Hal ini jelas merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi
manusia.
Sesuai dengan tujuan ekstradisi itu sendiri yaitu memberantas
kejahatan

melalui

kerjasama

internasional,

tetapi

harus

tetap

menghormati hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi manusia, maka


dengan menolak menyerahkan orang yang diminta dengan alasan

18

Undang-undang No. 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi pasal 10 dan pasal 11. Konvensi
Ekstradisi Eropa, pasal 9 Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Malaysia pasal 7. Perjanjian Ekstradisi
Indonesia-Philipina pasal VII.

24

bahwa kejahatan yang dijadikan dasar untuk meminta penyerahan


sudah ne bis in idem berarti telah memberikan kepastian hukum dan
sudah menjamin hak- hak si pelaku kejahatan.
5. Asas Kadaluwarsa, yaitu asas bahwa seseorang yang diserahkan tidak
akan dituntut, dipidana atau ditahan sebelum yang bersangkutan
diekstradisi selain daripada untuk kejahatan dimana ia diserahkan.
Arti dari daluwarsa ini adalah terhadap suatu peristiwa hukum
yang sudah terjadi sekian tahun yang lampau dan selama itu tetap
dibiarkan saja oleh semua pihak, sehingga sudah dilupakan orang
seolah-olah tidak pernah terjadi, maka setelah sampai atau melewati
jangka waktu tertentu tidak bisa diapa-apakan lagi. Mengenai berapa
lama suatu peristiwa hukum sudah dianggap daluwarsa berbeda-beda
dalam setiap sistem hukum. Sebagai contoh, dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana Indonesia, mengenai kadaluarsa ini diatur
dalam pasal 78 (untuk kasus yang belum ada keputusan pengadilan)
dan pasal 84 (sesudah ada keputusan pengadilan) 19 .

19

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, oleh R. Soesilo, (Bogor: Politeia, 1994), ps .78
dan 84. Ps.78. 1e. sesudah lewat satu tahun bagi segala pelanggaran dan bagi kejahatan yang
dilakukan dengan mempergunakan percetakan ;
2e. sesudah lewat 12 tahun, bagi segala kejahatan yang terancam hukuman denda, kurungan atau
penjara yang tidak lebih dari tiga tahun;
3e. sesudah lewat 12 tahun, bagi segala kejahatan yang terancam hukuman penjara sementara yang
lebih dari tiga tahun.
4e. sesudah lewat 18 tahun bagi semua kejahatan yang terancam dihukum mati atau penjara
seumur hidup. Ayat (2) Bagi orang yang sebelum melakukan perbuatan itu umurnya belum cukup
18 tahun, maka tempo gugur waktu tersebut di atas dikurangi sepertiganya.
Ps. 84, ayat (2). Tempo gugurnya itu, untuk pelanggaran sesudah dua tahun, untuk kejahatan yang
mempergunakan percetakan sesudah lima tahun, dan untuk kejahatan lain sesudah sepertiganya
lebih dari tempo gugurnya penuntutan hak menuntut hukuman.
Ayat (4). Hak menjadikan hukuman mati tidak dapat gugur karena lewatnya waktu.

25

Demikian pula dalam ekstradisi, asas kadaluwarsa ini juga dikenal.


Perjanjian-perjanjian dan perundang- undangan nasional negara- negara
tentang ekstradisi hampir selalu mencantumkan satu pasal ataupun ayat
mengenai kadaluwarsa. Dalam pasal atau ayat ini ditentukan bahwa
permintaan ekstradisi akan ditolak apabila menurut pertimbangan
negara diminta hak untuk melakukan penuntutan atau pelaksanaan
hukuman atas diri orang yang diminta sudah gugur karena lewat
waktu. Misalnya pasal VII (2) Perjanjian Ekstradisi IndonesiaPhilipina, pasal 5 Perjanjian Ekstradisi Inggris-Amerika Serikat, pasal
8 (3) Perjanjian Ekstradisi Australia-Israel 1961, dan pasal 10
Konvensi Ekstradisi Eropa 1957

20

Dapat dikemukakan disini, bahwa berlakunya daluwarsa menurut


hukum negara, diminta terhadap orang yang telah diminta adalah
berdasarkan asas teritorialisasi. Hal ini disebabkan karena orang
tersebut berada dalam wilayah negara diminta, meskipun kejahatannya
dilakukan diluar negara diminta.
6. Asas tidak menyerahkan pelaku kejahat an politik, yaitu asas yang
menyatakan jika kejahatan yang dijadikan dasar untuk meminta
penyerahan tertentu oleh negara yang diminta dianggap sebagai
kejahatan politik maka permintaan ekstradisi harus ditolak.

20

Pasal 7 ayat (2) Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Philipina, hukuman untuk kejahatan


telah gugur karena kadaluwarsa menurut salah satu dari pihak yang mengadakan perjanjian.
Biasanya, jangka waktu kadaluwarsa ditentukan menurut hukum negara diminta, berdasarkan asas
teritorialisasi. Contoh, jangka waktu kadaluwarsa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
RI, terdapat dalam pasal 74 dan pasal 78.

26

Kejahatan politik ini dikecualikan dari jenis kejahatan lain, dan


memiliki tempat pengaturan tersendiri di dalam perjanjian-perjanjian
dan perundang- undangan tentang ekstradisi. Perancis dan Belgia dapat
disebut sebagai negara yang mempelopori asas tidak menyerahkan
pelaku kejahatan politik dengan mencantumkan klausa pelarangan
menyerahkan pelaku kejahatan politik di dalam perjanjian ekstradisi
antara kedua negara tersebut yang diadakan pada tahun 1834 21 .
Pada awal perkembangannya, yang dimaksud sebagai kejahatan
politik hanyalah kejahatan yang menentang suatu pemerintahan yang
sah. Kejahatan politik disini sifatnya masih sederhana dan secara jelas
dapat

dibedakan

dengan

kejahatan

biasa.

Namun

dalam

perkembangannya, sejalan dengan perubahan dan perkembangan


masyarakat internasional, ilmu pengetahuan, dan teknologi, pengertian
dari kejahatan politik itupun menjadi semakin kompleks. Isi dan ruang
lingkupnya semakin bertambah luas, bakan seringkali samar-samar
sehingga sulit dibedakan dengan kejahatan biasa.
Prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik dalam praktek
ekstradisi sangat berhubungan erat dengan hak asasi manusia, dimana
setiap orang memiliki kemerdekaan untuk memilih dan menganut
suatu keyakinan politik, walaupun hal ini bertentangan dengan
keyakinan politik yang dianut oleh penguasa.

21

L.Oppenheim, op. Cit.,hal 705

27

B. Perkembangan Kejahatan Politik


B.1 Sejarah dan Lahirnya Konsep Kejahatan Politik
Pada umumnya para sarjana hukum internasional sependapat
bahwa, lahirnya kosep kejahatan politik berawal mula dari revolusi
Perancis yang telah menumbangkan kekuasaan monarkhi absolut dibawah
Raja Louis XVI dan XVII. Pada masa itu monarki absolut di Perancis
sama sekali tidak menjamin perlindungan terhadap hak- hak dan kebebasan
asasi warga negaranya. Sebagai akibatnya banyak warga Perancis yang
menentang pemerintahan melarikan diri dan mencari perlindungan di
negara-negara lain diwilayah Eropa. Dari tempat perlindungan tersebutlah
mereka melakukan perlawanan terhadap kelaliman pemerintahan Louis
XVI dan XVII hingga sampai pada puncaknya, yaitu dengan meletusnya
revolusi rakyat Perancis yang berhasil merubah Perancis menjadi Negara
Republik, dimana hak-hak dan kewajiban asasi manusia dijunjung tinggi.
Perubahan struktur politik dan ketatanegaraan di Perancis,
kemudian membuat Perancis menjadi tempat untuk mencari perlindungan
bagi para pelarian-pelarian politik dari negara- negara tetangganya di
wilayah Eropa. Undang-undang Perancis tahun 1793 pasal 120,
menyediakan suaka bagi orang asing yang melarikan diri dari negara
asalnya karena alasan kebebasan atau kemerdekaannya yang terancam22 .
Demikian pula para pelarian politik yang pada masa pemerintahan Louis

22

L. Oppenheim,Op. Cit., hal. 705

28

XVI dan XVII yang dahulu melarikan diri, mulai pulang kembali ke
Perancis.
Pada abad ke-16 dan 17, sebelum terjadinya revolusi Perancis, hak
politik warga negara sama sekali tidak diperhitungkan. Beberapa penulis
pada masa itu, seperti Hobbes bahkan menyarankan hukuman yang lebih
berat bagi para pelaku kejahatan politik daripada pelaku kejahatan biasa 23 .
Hobbes percaya bahwa setiap individu sudah menyerahkan semua haknya,
termasuk hak untuk memberontak kepada negara. Sementara Grotius
berpendapat, bahaya pemberontakan internal seperti revolusi adalah
penyakit sosial yang paling buruk dan harus dicegah dengan segala cara.
Pendapat umum yang menentang penyerahan para pelarian politik
kemudian mulai populer di beberapa negara di Eropa, terutama di negaranegara dimana hak-hak dan kebebasan asasi manusia mulai dihormati.
Salah satu negara pelopor konsep tidak menyerahkan pelaku kejahatan
politik ini adalah Inggris. Seorang tokoh bernama Sir James Mackintosh
pada tahun 1815, mencetuskan konsep yang tidak membenarkan negara
menyerahkan pelaku kejahatan politik dan mereka harus diberikan suaka 24 .
Pandangan serupa juga mulai berkembang di negara- negara Eropa lainnya
seperti Perancis, Belgia, Belanda dan lain- lainnya.
Perancis dan Belgia boleh dikatakan sebagai negara yang
mempelopori langkah tidak menyerahkan pelaku kejahatan poltik dengan
mencantumkan larangan menyerahkan pelaku kejahatan politik di dalam
23
24

S. Prakash Sinha, Op. Cit., hal. 171


L. Oppenheim, Op. Cit., hal.705

29

perjanjian ekstradisi antara kedua negara tersebut yang diadakan pada


tahun 1834 25 .
Sedangkan

dalam

bidang

perundang- undangan

ekstradisi,

Belgialah yang pertama kali mencantumkan prinsip tidak menyerahkan


pelaku kejahatan politik dalam undang-undang ekstradisinya pada tanggal
1 0ktobre 1833 26 . Salah satu pasalnya menyebutkan, bahwa tidak seorang
asingpun yang dapat dihukum karena kejahatan politik berhubungan
dengan ekstadisi atau untuk tindakanan apapun ya ng berhubungan dengan
kejahatan politik tersebut 27 . Kemudian menyusul Perancis yang secara
konsisten mencantumkan prinsip ini di dalam perjanjian-perjanjian
ekstradisi yang diadakan dengan negara lain. Demikianlah pada akhirnya
prinsip ini juga diikuti oleh negara- negara lainnya, kemudian berkembang
melalui perjanjian-perjanjian bilateral tentang ekstradisi yang dibuat oleh
negara-negara dan saat ini sudah dapat dipandang sebagai hukum
kebiasaan internasional.

B.2 Pengertian dan Ruang Lingkup Kejahatan Politik


Hukum internasional tidak memberikan definisi tertentu terhadap
istilah kejahatan politik 28 . Bahkan perjanjian-perjanjian tentang ekstradisi
tidak selalu memberikan definisi tertentu terhadap istilah ini 29 . Walaupun

25

Ibid.
Ibid.
27
S. Prakash Sinha, Op. Cit., hal. 172
28
S. Prakash Sinha, Op. Cit., hal.1973
29
Ibid.
26

30

mereka selalu memberikan pengecualian terhadap kejahatan politik, dari


kejahatan politik, dari kejahatan yang dapat diekstradisikan.
Apa yang dimaksudkan dengan kejahatan politik pada awal mula
perkembangannya hanyalah kejahatan menentang pemerintahan yang sah
atau yang sedang berkuasa. Si pelakunya memang mempunyai keyakinan
politik yang berbeda dengan pemerintahan yang berkuasa. Prinsip tidak
menyerahkan pelaku kejahatan politik ini, didasarkan atas penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia untuk menganut suatu keyakinan politik,
walaupun berbeda dengan politik penguasa yang sah.
Pada awalnya, wujud dan sifat kejahatan politik itu kelihatan
sangat sederhana dan secara jelas dapat dibedakan denga n kejahatan biasa.
Namun didalam perkembangan selanjutnya, sejalan dengan perubahan dan
perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi, pengertian kejahatan
politik itupun menjadi bertambah komplek dan rumit. Isi dan ruang
lingkupnya menjadi bertambah luas, bahkan seringkali samar-samar
sehingga sukar dibedakan antara kejahatan biasa dengan kejahatan politik.
Seringkali suatu kejahatan disamping mengandung unsur kejahatan
biasa juga terdapat unsur kejahatan politik, sehingga sangat sukar ditarik
garis pembedanya. Contohnya kejahatan pembunuhan kepala negara,
karena tidak suka dengan cara pemerintahan kepala negara tersebut.
Pembunuhan merupakan tindakan pidana, tetapi motif pelaku yang tidak
suka dengan gaya pemerintahannya dapat digolongkan sebagai kejahatan
politik. Atau kejahatan yang dipandang sepintas tampak sebagai kejahatan

31

biasa, tetapi dibalik itu terselubung motif, latar belakang, maksud dan
tujuan politik dari si pelaku. Sebagai akibatnya, maka sangat sukar
memberikan perumusan yang jelas tentang isi dan ruang lingkup kejahatan
politik itu.
Pada prinsipnya ada tiga persamaan utama yang diberikan oleh
para sarjana maupun praktek negara-negara dalam menafsirkan atau
memberikan definisi terhadap apakah kejahatan politik itu30 . Suatu
kejahatan dapat dikatakan sebagai kejahatan politik apabila;
1) Berupa tindakan atau perbuatan yang merupakan bagian dari aktivitas
politik yang terorganisasi, atau
2) Tindakan atau perbuatan tersebut didominasi oleh unsur politik, atau
3) Tindakan atau perbuatan tersebut membenarkan pengecualian terhadap
ekstradisi untuk menghindari penghukuman politik.
Namun tiadanya perumusan yang berlaku secara umum untuk
kejahatan politik yang dapat diterima oleh negara- negara mengakibatkan
timbulnya ketidakpastian hukum. Usaha maksimal yang sudah ditempuh
adalah dengan menyerahkan kepada masing- masing negara apakah suatu
kejahatan itu termasuk kejahatan politik atau tidak. Biasanya negara yang
dimintakan penyerahan yang melakukan pertimbangan dan memutuskan
apakah suatu kejahatan itu bermotif, berlatar belakang, bermaksud atau
bertujuan politis.

30

S. Prakash Sinha, Op. Cit

32

Walaupun demikian, tidak ada salahnya bagi kita untuk melihat


beberapa definisi yang diberikan terhadap kejahatan politik itu;
J.S. Mill, memberikan definisi kejahatan politik itu sebagai31 :
a crime which was conducted with the relation on the civil war and other
political commotion

Di dalam Blacks Law Dictionary, kejahatan politik didefinisikan


sebagai32 :
As a designation of a class of crime usally execepted from extradition
treaties, this term denotes crimes which are incidental to and form a part of
political disturbances, but it might also be understood to include offenses
consisting.
Pendapat lain tentang kejahatan politik dihasilkan oleh pengadilan Inggris
dibawah Hakim Cave J., sebagai berikut 33 :
Suatu kejahatan dianggap sebagai kejahatan politik apabila dalam suatu
negara terdapat dua pihak atau lebih dimana pihak yang satu berusaha
memaksakan kehendaknya

kepada pihak lain, misalnya sekelompok

pemberontak yang berusaha memaksa kehendaknya kepada pemerintahan


yang sah, atau sebaliknya. Kejahatan yang dilakukan oleh kaum
pemberontak itu adalah kejahatan politik. Atau sebaliknya jika kaum
pemberontak menang dan penguasa yang sah itu digulingkan dan
melarikan diri ke negara lain, maka kejahatan penguasa yang digulingkan
itupun merupakan kejahatan politik.

31

I.Wayan, Op. Cit., hal. 64


Henry Campbell Black, Op., Cit
33
I Wayan, Op. Cit., hal. 65
32

33

Beberapa definisi kejahatan politik tersebut diatas dirasakan masih


terlalu sempit cakupannya. Suatu kejahatan baru dapat dikatakan sebagai
kejahatan politik apabila tindakan tersebut dilakukan selama perlawanan
politik terhadap suatu pemerintahan, atau selama kerusuhan politik.
Berbeda dengan J.G. Starke, yang me ngemukakan beberapa
kriteria yang berbeda untuk menentukan apakah suatu kejahatan dapat
dikatakan sebagai kejahatan politik atau tidak. Kriteria tersebut adalah34 ;
(a) Motif kejahatan;
(b) Bagaimana keadaan sekitar waktu terjadi tindak kejahatan;
(C) Bahwa kejahatan itu hanya mencakup pelanggaran khusus;
(d) Bahwa tindakan tersebut ditujukan kepada organisasi politik
(e) Harus ada dua pihak atau dua kelompok politik yang terorganisasi
yang melakukan pengawasan politik di negara dimana pelanggaran
tersebut dilakukan.
Terakhir, definisi kejahatan politik menurut pasal 5 (b) Harvard Research
Draft Convention on extradition35 :
The term political offence includes reason, sedition, and espionage,
whether commited by one or more persons; it includes any offence
connected with the activities of an organized group directed against the
security or governmental system of the requesting state; and it does not
exclude other offences having political objective.
Definisi-definisi dan beberapa kriteria yang di jabarkan di atas
adalah

keyakinan beberapa negara tentang apa yang dapat dianggap

sebagai kejahatan politik. Dapat kita bayangkan betapa banyaknya definisi


34

J.G Starke, OP. Cit., hal 39


Harvarad Research Draft Convention on Extradition, American Journal of
International Law,Supplement 21 (1935).
35

34

kejahatan poltik karena setiap negara memiliki keyakinan sendiri terhadap


apa yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan politik.

35

BAB III
KEJAHATAN POLITIK
DALAM PERJANJIAN EKSTRADISI

A. Permasalahan Kejahatan Campuran.


Permasalahan kejahatan politik yang murni (pure political offence)
sangat jarang kita temukan saat ini. Contoh-contoh dari sebuah
kejahatan politik biasanya adalah pencampuran atau gabungan dari
kejahatan politik dan kejahatan biasa. Hal ini kemudian lebih dikenal
dengan sebutan kejahatan politik relative atau delit complexes, atau
kejahatan campuran 1 . Dalam kasus-kasus seperti ini kesulitan akan
muncul ketika harus memutuskan apakah suatu kejaatan memenuhi
kriteria

yang

disyaratkan

dalam

perjanjian

ekstradisi

mengenai

kejahatan politik. Beberapa pendekatan yang telah dilakukan untuk


mempermudah penentuan kejahatan apa yang tidak dapat dikatakan
sebagai kejahatan politik, dalam hubungannya dengan dapat atau
tidaknya
Untuk
tujuan
sebuah
ini perjanjian
ada beberapa
ekstradisi
tes yang
dilakukan.
biasa dilakukan seperti dibawah
ini.
A.1 Prinsip Unsur Yang Lebih Dominan (The Principle of Predominant
Element)
Menurut Prisip ini, suatu kejahatan campuran tidak dapat
dikatakan sebagai kejahatan politik yang terhadapnya tidak dapat
dilakukan penyerahan, apabila unsur kejahatan biasanyalah yang lebih
mendominasi komposisi dari kejahatan campuran tersebut. Prinsip ini
dikenal dengan nama Swiss Teory atau The Swiss Political motivation
1

S. Prakash Sinha, Op. Cit., hal.177

36
Balancing Test , karena Swiss merupakan negara pertama yang
me mperkena lkan test ini dan diatur dalam undang- undang tentang
ekstradisi tahun 1892.

Pasal 10 undang- undang ini selain menganut

prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik, juga memberikan


kemungkinan

dikabulkannya

permintaan

penyerahan

terhadap

kejahatan campuran yang memiliki unsur kejahatan biasa yang lebih


dominan dibandingkan dari unsur kejahatan politiknya.
Kejahatan yang dianggap sebagai kejahatan biasa dapat masuk
kategori kejahatan yang terhadapnya tidak dilakukan penyerahan,
apabila; pertama, terdapat hubungan langsung (direct connection) antara
kejahatan biasa tersebut dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu
merubah organisasi politik negara. Kejahatan biasa tersebut dilakukan
untuk membantu atau menjamin terlaksananya suatu kejahatan politik
murni, seperti pengk hianatan terhadap negara atau mata- mata. Kedua,
harus memiliki unsur politik yang lebih dominan dari unsur kejahatan
biasa. Motif politik memang diperhitungkan tetapi tidak menjamin suatu
kejahatan dapat langsung dikecualikan dari ekstradisi. Kejahatan yang
dilakukan juga harus berkarakter politik.
A.2 Anglo American Incidence Test
Menurut pengertian ini, suatu kejahatan masuk dalam kategori
kejahatan politik apabila dapat memperlihatan bahwa tindakan tersebut
dilakukan dengan tujuan untuk membantu kelompok politik tertentu
dalam suatu ketegangan politik, atau pertentangan antara dua partai
dalam

negara

yang

bertujuan

untuk

memindahkan

kekuasaan

pemerintahan ke dalam tangannya. Dalam tes ini, seseorang tidak secara

37
otomatis dapat dikatakan sebagai pelaku kejahatan politik walaupun
memiliki motif politik. Ada tiga kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu
kejahatan untuk membuktikan bahwa kejahatan itu memiliki karakter
politik, yaitu; pertama harus ada kekacauan dan penggunaan kekerasan
yang berarti didalam suatu negara seperti, perang, revolusi, atau
pemberontakan. Kedua, kejahatan yang dimaksud dilakukan oleh
mereka yang berhubungan langsung dengan kekerasan tersebut, yang
bertujuan mencapai suatu kepentingan politik tertentu. Dan yang
terakhir, kejahatan yang dimaksud harus dilakukan dengan tujuan
menciptakan kekacauan politik.

A.3 French Objective Test


Dalam French Objective Test ini, motif dari pelaku tidak
diperhitungkan dalam memutuskan apakah kejahatan tersebut masuk
dalam kategori kejahatan politik. Tes ini lebih memfokuskan diri kepada
analisa objektif untuk mengidentifikasikan sifat dari hak- hak yang
dilanggar. Perlindungan terhadap kejahatan politik adalah satu-satunya
hak yang melanggar hak- hak negara. Apabila yang dilanggar adalah hakhak pribadi dari warga negara, maka kejahatan tersebut adalah
kejahatan biasa yang harus dicegah untuk dapat dikategorikan sebagai
kejahatan politik walaupun pelakunya mungkin memiliki motif politik .

A.4 Prinsip Klausula Attentat


Dalam klausula attentat ini, kejahatan menghilangkan atau
percobaan menghilangkan nyawa kepala negara dan/atau anggota
keluarganya tidak digolongkan sebagai kejahatan politik. Klausula ini

38
kadang- kadang diperluas fungsinya dan berlaku juga bagi pejabat
pemerintahan yang lain 2 . Klausula attentat ini juga biasa dikenal dengan
sebutan klausula Belgia (Belgian Clause), hal ini dikarenakan pertama
kali di perkenalkan dalam undang- undang ekstradisi Belgia tahun 1856.
Hal ini berawal mula dari peristiwa percobaan pembunuhan Kaisar
Napoleon III pada tahun 1854. oleh dua orang warga negara Perancis
bernama Jules Jaquin dan Celestin Jaquin yang be rdomisili di Belgia.
Dalam usahanya untuk me mbunuh Kaisar Napoleon III mereka
memasang bom pada lintasan kereta api antara Lilied dan Calasis.
Ketika kereta api yang membawa Napoleon beserta keluarganya
melintasi jalan kereta tersebut, bom tersebut meledak namun tidak
berhasil

menewaskan

Napoleon

maupun

keluarganya.

Kemudian

pemerintah Perancis meminta penyerahan kedua orang tersebut kepada


Belgia, namun Belgia menolak untuk menyerahkan karena kejahatan
tersebut termasuk dalam golongan kedalam kejahatan politik. Dan
berdasarkan perjanjian ekstradisi kedua negara, pelaku kejahatan politik
tidak boleh diserahkan. Demikan pula dengan undang- undang ekstradisi
Belgia yang melarang menyerahkan pelaku kejahatan politik.
Dengan maksud agar peristiwa semacam ini tidak terulang lagi,
maka pada tahun 1856 Belgia meninjau kembali undang- undang
ekstradisinya dengan menambahkan kla usula attentat ini. Tindakan yang
dilakukan Belgia ini kemudian di ikuti oleh negara- negara lain di Eropa,

S. Prakash Sinha, Op. Cit., hal 178

39
tidak termasuk Inggris 3 dimana klausula attentat ini selalu dicantumkan
baik dalam perundang- undangan maupun perjanjian ekstradisi.
Dengan menghapuskan sifat politik dalam kejahatan semacam ini,
maka dapat dikatakan bahwa klausula attentat ini secara tegas telah
memperse mpit

isi

dan

ruang

lingkup

kejahatan

politik.

Dalam

hubungannya dengan hal ini, Ivan Anthony Shearer mengemukakan


pendapatnya terhadap kla usula attentat. Dengan nada sanksi dan
mengecam ia mengemukakan pertanyaannya sebagai berikut 4 , apakah
dalam sejarah tidak mungkin pernah terjadi bahwa pembunuhan
terhadap seorang kepala negara hanyalah suatu cara untuk mengakhiri
dan menghapuskan kekuasaan tirani yang bertindak sewenang-wenang
terhadap rakyatnya? Seandainya pembunuhan tersebut ditujukan
kepada serorang kepala negara yang tirani dan diktator, apakah tidak
selayaknya tindakan pembunuhan itu digolongkan kedalam kejahatan
politik, agar sipembunuh tidak bisa diserahkan atau dengan perkataan
lain dia patut diberikan perlindungan.
Kecaman Shearer terhadap klausula attentat ini cukup logis dan
beralasan, namun perlu diberikan penjelasan tentang beberapa hal.
Terhadap kejahatan pembunuhan atau percobaan pembunuhan kepala
negara yang tirani atau otoriter, pendapat Shearer tersebut memang
dapat dibenarkan. Pada umumnya kepala negara yang memerintah
secara otoriter atau tirani, kekuasaannya hampir selalu berakhir dengan
cara kudeta, dan dapat terjadi nyawa sang penguasa tirani itu berakhir

3
4

L. Oppenheim, Op. Cit., hal.709


I. Wayan, Op,.Cit., hal. 75

40
pula bersamaan dengan peristiwa kudeta itu sendiri. Usaha- usaha untuk
membunuh sang tirani ini mempunyai tujuan yaitu mengakhiri
kekuasaannya untuk digantikan dengan pemerintahan yang baru. Dalam
hal inilah, jika si pelaku berhasil melarikan diri ke negara lain, sudah
sepatutnya ia diberikan perlindungan. Sebab, jika si pelaku diserahkan
kepada penguasa tirani itu, dapat dipastikan ia akan mengalami nasib
yang fatal di tengah sang penguasa yang tirani. Padahal berakhirnya
kekuasaan sang tirani tersebut dikemudian hari hanyalah soal waktu
saja.
Akan tetapi dalam hal ini, Shearer kurang memperhatikan aspek
psikologis dari masalah ini. Diperluasnya klausula attentat sampai pada
anggota keluarga dari kepala negara atau kepala pemerintahan dapat
dimengerti, oleh karena hilangnya salah satu anggota keluarga dari
kepala negara atau kepala pemerintahan dapat mempengaruhi mereka di
dalam menjalankan roda pemerintahan.
Namun kecaman Sheare seperti telah dikemukakan diatas, penting
untuk diperhatikan oleh negara- negara dalam membuat perundangundangan dan perjanjian- perjanjian tentang ekstradisi atau di dalam
menghadapi kasus-kasus tentang ekstradisi, khususnya kasus yang
berhubungan

dengan

pembunuhan

kepala

negara

atau

kepala

pemerintahan dan keluarganya.


Negara- negara
klausula

attentat

ini.

diharapkan
Negara

berhati- hati
diminta,

dalam

sebaiknya

menerapkan
melihat

dan

mempertimbangkan siapa kepala negara atau kepala pemerintahan yang


dibunuh atau dicoba untuk dibunuh serta bagaimana pemerintahannya

41
selama ia berkuasa. Apakah ia bertindak sebagai kepala negara atau
kepala pemerintahan yang demokratis dan menjunjung tinggi hak- hak
asasi manusia selama ia memerintah. Ataukah ia benar- benar seorang
tirani yang sudah tidak dikehendaki lagi oleh rakyatnya.
Disamping itu yang lebih penting lagi adalah, klausula attentat itu
merupakan hak negara diminta dalam mengambil keputusannya dengan
mempertimbangkan beberapa hal di atas. Jadi bukan merupakan
ketentuan imperatif yang mau tidak mau harus dituruti atau ditaati oleh
negara diminta 5 .

A.5 Kejahatan Yang Secara Tegas Tidak Digolongkan Sebagai Kejahatan


Politik
Oleh karena suka rnya menentukan kriteria kejahatan politik,
terdapat kecendrungan dari masyarakat internasional untuk lebih
membatasi ruang lingkup kejahatan politik. Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan prinsip tidak menyera hkan pelaku
kejahatan politik (non-extradition of political criminals) 6 . Selain dari
kejahatan pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap kepala
negara atau kepala pemerintahan dan anggota keluarganya yang secara
umum telah diterima sebagai bukan kejahatan politik yang lebih dikenal
dengan klausula attentat, ada jenis- jenis kejahatan tertentu yang secara
tegas dinyatakan sebagai bukan kejahatan politik. Apa dan bagaimana
motif, maksud dan tujuan politik yang melatar belakanginya, kejahatan

5
6

I.Wayan, OP. Cit., hal.79


L. Oppenheim, Op. Cit., hal 708

42
tersebut dipandang sebagai bukan kejahatan politik. Pada umumnya
kejahatan semacam ini dipandang sebagai kejahatan yang merupakan
musuh umat manusia (hotis humanis generic) dan oleh karena itu menjadi
kewajiban dari umat manusia untuk memberantasnya. Kejahatan ini
sendiri bisa ditujukan kepada negara, individu atau kelompok individu,
dan kadang-kadang sasarannya tidak terbatas hanya pada satu negara
saja atau kelompok individu. Dia memperlihatkan cir i-cirinya yang
transnasional, oleh karena itu kejahatan semacam ini sering disebut
transnasiona l 7 .
Didalam perjanjian ekstardisi kejahatan semacam ini secara tegas
dinyatakan sebagai bukan kejahatan politik atau dengan kata lain, sifat
politiknya dihapuskan sehingga si pelaku tidak dapat berlindung di balik
kejahatan

politik.

Namun

tidak

semua

perjanjian

ekstradisi

mencantumkan hal ini dan sepenuhnya bergantung kepada pihak yang


mengadakan perjanjian itu sendiri.
Sejauh ini, selain kejahatan genosida dan klausula attentat, belum
ada kejahatan lain yang secara tegas dihilangkan sifat politiknya. Namun,
dengan semakin bertambahnya jumlah perjanjian ekstrad isi yang
mencantumkan ketentuan diatas, menunjukan kecendrungan negaranegara untuk mempersempit ruang lingkup kejahatan politik. Mengenai
hal ini, negara- negara diharapkan bertindak dan bersikap bijaksana.

B. Praktek Negara-Negara Tentang Kejahatan Politik

I. Wayan, Op. Cit., hal 80. Seperti kejahatan Genocide, Perbudakan, Pembajakan, Penjualan
obat terlarang, sudah diakui sebagai kejahatan internasional (international crime)

43
Tidak adanya perumusan yang diterima secara umum mengenai
kejahatan politik ini menimbulkan ketidak pastian hukum. Sebab dalam
prakteknya,

diserahkan

kepada

masing- masing

negara

untuk

menentukan apakah suatu kejahatan merupakan kejahatan politik atau


tidak. Namun terdapat satu segi yang positif yaitu, melalui praktek
negara- negara itulah dapat diusahakan saling pendekatan akan isi dan
ruang lingkup kejahatan politik itu sendiri. Sebab di dalam banyak hal,
praktek negara- negara tersebut menunjukan kesamaan- kesamaan yang
cukup prinsip. Untuk itulah perlunya ditinjau praktek negara- negara
mengenai kejahatan politik. Hal ini dapat dilihat dari pendapat- pendapat
para

sarjana

hukumnya

yang

terkemuka,

keputusan- keputusan

pegadilannya, maupun keputusan badan- badan eksekutifnya. Dibawah


ini akan dikemukakan praktek Inggris, Amerika Serikat dan Eropa
Kontinental yang dikenal sebagai negara- negara yang telah maju di
bidang ekstradisi 8 . Adapun perkembangannya dipengaruhi oleh semakin
tingginya penghargaan terhadap hak- hak asasi manusia.

B.1 Inggris
Di negara Inggris masalah motif yang mendorong dilakukannya
suatu kejahatan misalnya suatu kejahatan biasa yang didorong oleh motif
politik, dipandang sebagai hal yang tidak relevan. Adapun motif yang
mendorong dilakukannya suatu kejahatan politik tidaklah merupakan
masalah. Semula kejahatan politik dipandang dalam isi dan ruang
lingkupnya yang sempit, yaitu hanyalah kejahatan-kejahatan yang

I.Wayan Parthiana, Op.Cit.

44
dilakukan dalam hubungannya dengan perang saudara didalam satu
negara atau hal- hal yang berhubungan dengan huru- hara politik dalam
suatu negara.
Seorang sarjana hukum Inggris bernama J.S. Mill, pernah
mendefinisikan kejahatan politik sebagai kejahatan yang dilakukan
dalam hub ungannya dengan atau sebagai bagian dari huru- hara politik.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Hakim Stephen. Kedua
pendapat ini jika hubungkan dengan situasi dan kondisi saat ini, jelas
sudah banyak ketinggalan, sebab ruang lingkupnya tampak sangat
sempit.
Namun

demikian,

pendapat

kedua

sarjana

ini

sempat

mempengaruhi putusan- putusan pengadilan di Inggris dalam perkaraperkara yang berkaitan dengan ekstradisi. Demikianlah dapat ditujukan
pada kasus Castioni (Castioni Case) antara Inggris dan Swiss pada tahun
1891. Castioni adalah seorang warga negara Swiss yang berasal dari
Canton Ticino, telah menembak mati seorang anggota parlemen Canton
itu dalam suatu peristiwa huru- hara yang timbul karena perasaan tidak
puas dari sebagian besar warga Canto Ticino terhadap pemerintahnya.
Castioni sebagai seorang pemimpin dalam peristiwa huru- hara tersebut
setelah menembak mati anggota parlemen lalu melarikan diri ke Inggris.
Swiss meminta penyerahannya kepada Inggris.
Dalam menilai kejahatan yang dijadikan dasar unt uk meminta
penyerahan oleh Swiss, pengadilan Inggris mengutip pendapat yang
dikemukakan oleh J.S Mill yang berpendapat bahwa kejahatan yang

45
dilakukan oleh Castioni itu adalah merupakan kejahatan politik.
Akhirnya Inggris menolak permintaan ekstradisi Swiss.
Akan tetapi dalam kasus lain, yaitu kasus Meunir, pengadilan
Inggris menolak pendapat yang menganggap kejahatan yang dilakukan
oleh

Meunir

dan

yang

dapat

dijadikan

dasar

untuk

meminta

penyerahannya oleh Perancis kepada Inggris sebagai kejahatan politik.


Meunir adalah seorang warga negara Perancis penganut anarkhisme,
telah meledakan bom masing- masing pada sebuah barak militer dan
tempat keramaian umum yang mengakibatkan

timbulnya banyak

kerugian dan korban jiwa, kemudian melarikan diri ke Inggris.


Dalam

mempertimbangkan

permintaan

ekstradisi

Perancis

pengadilan Inggris di bawah Hakim Cave J. membuat sebuah konstruksi


baru tentang kejahatan politik, dimana suatu kejahatan dapat dikatakan
kejahatan politik, apabila dalam satu negara ada dua pihak atau le bih
dimana pihak yang satu berusaha memaksakan kehendaknya kepada
pihak yang lain, misalnya sekelompok pemberontak yang berusaha
memaksakan
sebaliknya.

kehendaknya

kepada

pemerintahan

yang

sah,

atau

Kejahatan yang dilakukan oleh kaum pemberontak itu

adalah kejahatan politik. Atau sebailknya jika kaum pemberontak


menang dan penguasa yang sah itu digulingkan serta melarikan diri ke
negara lain, kejahatan penguasa yang digulingkan itupun merupakan
kejahatan politik.
Bila kita bandingkan konstruksi baru dengan pendapat yang
dikemukakan oleh J.S. Mill dan Hakim J. Stephen, maka akan tampak isi
dan ruang lingkup kejahatan politik itu semakin sempit. Sebab Hakim

46
Cave J, hanya membatasi kejahatan politik kedalam keadaan suatu
negara dimana ada dua pihak yang sedang berselisih khususnya dalam
pemberontakan atau makar. Pada kasus ini, Meunir dalam melakukan
kejahatannya itu hanyalah seorang diri ditambah lagi adalah penganut
paham anarkhisme yang dipandang sebagai musuh umat manusia.
Akhirnya Meunir diserahkan oleh Inggris kepada Perancis.
Pengadilan Inggris kemudian dihadapkan dengan kasus yang
cukup sulit akibat dipersempitnya isi dan ruang lingkup kejahata n politik
itu sendiri. Dalam kasus Governor Brixton Prison V. Kolozynsky atau
yang lebih dikenal dengan kasus Pelaut Polandia (Polish Seamen Case)
pada tahun 1955. Pengadilan Inggris diminta untuk memberikan
pendapatnya terhadap 7 (tujuh) orang pelaut Polandia yang telah
memaksa kapten kapal Polandia beserta awaknya dilaut lepas, supaya
berlayar ke Inggris untuk mencari suaka karena tidak senang kepada
pemerintah Poladia yang baru. Apakah kejahatan yang dilakukan ke
tujuh pelaut tersebut merupakan kejahatan politik atau bukan ?
Permintaan ekstradisi Polandia kepada Inggris didasarkan atas
tuduhan

melakukan

kejahatan

pembajakan

di

laut

lepas

dan

pemberotakan di atas kapal terhadap penguasa yang sah. Karena


pengadilan Inggris terikat pada asas presede, maka ia terikat pada
putusan pengadilan terdahulu dalam kasus Castioni dan Meunir. Dimana
dalam kasus Meunir, istilah kejahatan politik itu dipersempit isi dan
ruang lingkupnya.
Masalahnya adalah, apakah di Polandia pada waktu terjadinya
pembajakan dan pemberontakan diatas kapal terdapat dua pihak yang

47
saling berselisih dimana ketujuh pelaut Polandia itu memihak pada kaum
pemberontak yang melawan pemerintah yang sah. Jikalau demikian,
maka dapat dipastikan bahwa kejahatan yang dilakukan sebagai dasar
untuk meminta penyerahan oleh Polandia adalah kejahatan politik.
Namun setelah diselidiki pada saat itu di Polandia tidak terdapat dua
pihak yang saling berselisih. Tegasnya tidak ada kaum oposisi yang
terorganisir menentang pemerintah Polandia yang sah.
Tetapi dalam kasus pelaut Polandia ini pengadilan Inggris
menginterprestasikan kejahatan politik secara lebih luas. Penggolongan
suatu kejahatan sebagai kejahatan politik harus dihubungkan dengan
perubahan- perubahan situasi dan kondisi politik dunia atau suatu
negara. Memang saat itu di Polandia sudah terjadi perubahan politik,
dimana Polandia sudah menjadi anggota blok timur atau komunis.
Demikian pula situasi politik dunia juga telah berubah terutama setelah
perang dunia ke II, dengan munculnya dua blok raksasa yaitu blok barat
dan blok timur. Disamping itu juga ada kekuatan ke tiga yang disebut
dengan kelompok negara- negara non- blok.
Dalam hal ini pengadila n Inggris memandang kasus ketujuh
pelaut Polandia dalam hubungannya dengan situasi dan kondisi pada
saat itu. Atas dasar itulah pengadilan Inggris membuat konstruksi bahwa
ketujuh pelaut Polandia itu harus di pandang sebagai satu kelompok
politik (a political unit) yang sedang memberontak terhadap kesatuan
politik yang lain, yaitu Pemerintah Polandia yang sah. Dengan konstruksi
ini pengadilan Inggris juga tidak menyimpang dari asas preseden.

48
Dari tiga kasus yang telah diputuskan oleh pengadilan Inggris,
ternyata Inggris tidak bisa konsisten memegang satu rumusan kejahatan
politik. Dari pandangan luas (kasus Castioni) kemudian di persempit
(kasus Meunir) dan akhirnya diperluas lagi (kasus Pelaut Polandia) yang
semuanya itu tidak bisa dilepaskan dari situasi dan kondisi pada
masanya serta sistem politik negara- negara yang dihadapinya.

B.2 Amerika Serikat


Secara garis besar, konsep politik menurut hukum Amerika
Serikat sebagaimana diterapkan oleh pengadilan- pengadilannya, adalah
hampir serupa dengan hukum yang berlaku di Inggris. Oleh pengadilan
Amerika Serikat, kejahatan politik didefinisikan sebagai any offence
committed in the course of or furthering of civil war, insurrection or political
commotion9 . Rumusan ini secara konsisten diikuti oleh pengadilan
Amerika Serikat, meskipun belakangan ini terdapat suara-suara yang
menginginkan agar supaya isi dan ruang lingkup kejahatan politik itu
diperluas seperti yang telah diputuskan oleh pengadilan Inggris dalam
kasus pelaut Polandia.
Keinginan ini tampaknya tidak terlepas dari pengaruh situasi dan
kondisi politik di Amerika Serikat sendiri serta sikap dan pandangan
orang Amerika yang menjunjung tinggi hak- hak asasi manusia.
Perluasan ruang lingkup kejahatan politik ini dimaksudkan untuk
melindungi individu pelarian berdasarkan alasan politik, agar tidak jatuh
ke tangan penguasa totaliter yang kebetulan berkuasa.

I. Wayan, Op. Cit., hal. 67

49
Dalam sejarah ekstradisi, Amerika Serikat pernah menolak
permintaan Kuba atas dua orang penjahat pelarian yang menjadi
anggota kelompok revolusioner yang oleh Kuba dituduh melakukan
pembunuhan terhadap para tahanan selama terjadinya ker usuhan pada
masa berkuasanya rezim Baptisa dengan alasan kejahatan yang
dijadikan dasar untuk meminta penyerahan oleh Kuba adalah kejahatan
politik, yang bertalian dengan peristiwa huru- hara di Kuba.
Demikian pula penolakan atas permintaan Pemerintah Yugoslavia
terhadap dua orang bekas pejabatnya yang mencari perlindungan di
Amerika Serikat, juga dengan alasan bahwa permintaan penyerahan
Yugoslavia didasarkan atas kejahatan politik yaitu mengobarkan rasa
kebencian dan permusuhan terhadap pemerintah Yugoslavia yang sah.
Akan tetapi, tindakan Amerika Serikat yang mengabulkan
permintaan penyerahan Venezuela pada tahun 1963 atas diri Jimenez,
bekas kepala negara Venezuela yang digulingkan, memang menimbulkan
tanda tanya besar. Setelah Jimenez digulingkan oleh rezim baru
Venezuela, dia melarikan diri ke Amerika Serikat. Oleh penguasa baru
Venezuela, diajukan permintaan penyerahan kepada Amerika Serikat
dengan tuduhan bahwa Jimenez selama memerintah, telah menerima
komisi secara tidak sah dari perusahaan- perusahaan yang pernah
menandatangani kontrak dagang dengan pemerintah Jimenez untuk
kepentingan pribadinya. Tetapi permintaan penyerahan itu disertai
dengan jaminan bahwa Jimenez akan diadili semata- mata karena
kejahatan korupsi dan menerima suap, sama sekali bukan karena

50
kejahatan politik atau kejahatan yang tidak ada hubungannya dengan
kejahatan politik.
Akan tetapi, dalam hubungannya dengan seorang penjahat
pelarian yang sebelumnya pernah menduduki jabatan sebagai kepala
negara, tampakanya amat sulit untuk memisahkan antara kejahatan
biasa dan kejahatan politik yang pernah dilakukannya selama ia
berkuasa. Namun dalam kasus Jimenez pemerintah Amerika Serikat
sangat begitu yakin akan jaminan yang diberikan oleh pemerintah
Venezuela,

sehingga

diputuskan

untuk

mengabulkan

permintaan

ekstradisi dan menyerahkan Jimenez pada Venezuela.


Sebuah

kasus

lain

yang

juga

perlu

diperhatikan

dalam

hubungannya dengan kejahata n politik sebagai salah satu permasalahan


dalam praktek ekstradisi, adalah kasus Sah Iran antara Iran dan
Amerika Serikat. Sah Iran bekas raja di Iran, malarikan diri dan
mencari perlindungan ke Amerika Serikat pada tahun 1978 setelah
digulingkan oleh kaum revolusioner di bawah pimpinan Ayatulah
Khomeini. Kasus ini memang tidak sempat muncul kepermukaan, oleh
karena hubungan Iran dan Amerika Serikat sudah sedemikian tegangnya
sejak berkuasanya Khomeini. Pemerintah baru Iran tidak perna h
mengajukan permintaan penyerahan Sah Iran kepada Amerika Serikat.
Hal ini disebabkan mereka yakin pemerintah Amerika Serikat

akan

menolaknya dengan alasan bahwa kejahatan yang dijadikan dasar untuk


meminta penyerahan oleh Iran adalah kejahatan politik. Setelah Sah Iran
meninggalkan Amerika Serikat dan menetap di Panama, barulah
pemerintah Iran yang baru mengajukan permintaan penyerahan kepada

51
Panama. Namun sehari sebelum permintaan eksradisi secara resmi
disampaikan

oleh

Iran

kepada

Panama,

Sah

Iran

sudah

pergi

meninggalkan Panama menuju ke Mesir, negara yang memang jauh hari


sebelumnya menawarkan tempat menetap kepada Sah Iran.

B.3 Eropa Kontinental


Eropa Kontinental yang merupakan daerah asal kelahiran
ekstradisi,

memperlihatkan

praktek

yang

sudah

cukup

mapan.

Keberhasilan negara- negara yang tergabung dalam Dewan Eropa


(Council of Europe) menyusun sebuah kovensi tentang ekstradisi pada
tahun 1957, merupakan bukti nyata akan hal ini. Pengertian, isi dan
ruang lingkup kejahatan politik di tuangkan dalam pasal 3 ayat 1 dan 2
konvensi Ekastradisi Eropa (The European Convention on Extradition),
yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut :
1. Extradition shall not be granted if the offence in respect of which it is
requested is regarded by the requested Party as a political offence or
as an offence connected with political offence.
2. The same rule shall apply if the requested Part has substantial
ground for believing that a request for extradition for an ordinary
criminal offence has been made for the purpose of prosecuting or
punishing a person on a account of his race, religion, nationality or
political opinion, or that persons position may be prejudiced for any
of these reasons.
Pasal 3 ayat 1 dan 2 ini membedakan atau mengklasifikasikan
kejahatan politik ke dalam tiga golongan yaitu,

52
(1) Kejahatan politik murni atau puely political offence
(2) Kejahatan politik yang kompleks (de delit complexe)
(3) Kejahatan politik yang bertautan (den delit connexe)
Menurut Ivan Anthony Shearer 10 , pasal ini mencerminkan
penggolongan kejahatan politik yang umum dianut oleh para penulis
Amerika Latin. Jelasnya, yang merupakan kejahatan politik murni
adalah kejahatan yang semata- mata ditujukan pada ketertiban politik (an
act solely directed against political order) suatu negara. Kejahatan politik
yang kompleks adalah kejahatan yang disamping ditujukan kepada
ketertiban politik, juga terhadap hak- hak pribadi dari warga negara.
Sedangkan kejahatan politik yang bertautan adalah kejahatan itu sendiri
tidak ditujukan kepada ketertiban politik akan tetapi mempunyai
hubungan erat dengan tindakan atau kejahatan lain yang ditujukan
kepada ketertiban politik

11

Mengenai kejahatan politik kompleks dan kejahatan politik yang


bertautan, di dalam prakteknya memang agak sukar untuk dibedakan.
Untuk mengatasi kesukaran ini, Pengadilan Swiss telah memperkenalkan
teori

preponderance

yang

pada

prinsipnya

melihat

dan

mempertimbangkan kadar kejahatan politik dari kejahatan yang


dijadikan dasar untuk meminta penyerahannya. Misalnya, jika dalam
suatu kejahatan, unsur kejahatan biasa lebih besar dan lebih menonjol
jika dibandingkan dengan unsur kejahatan politiknya atau sebaliknya,
10

I. Wayan, Op. Cit., hal 71


Ibid
I.A. Shearer, memberikan contoh sebuah kejahatan politik yang kompleks misalnya, kejahatan
pembajakan udara komersil untuk tujuan politik. Sedangkan untuk kejahatan politik yang bertautan,
misalnya penipuan untuk memperoleh surat-surat atau dokumen-dokumen yang kemudian dicetak
untuk tujuan subversif
11

53
merupakan faktor yang menentukan untuk diterima atau ditolaknya
permintaan ekstradisi.
Meskipun teori preponderance ini telah memberikan jalan keluar
dari

kemelut

sukarnya

mengklasifikasikan

kejahatan

politik

dan

kejahatan biasa, tetapi dalam praktek masih tetap menghadapi kesulitan.


Misalnya, jika dalam satu kejahatan unsur kejahatan biasa dan
kejahatan biasa politik secara kuantitatif dapat dibedakan, maka tiada
kesulitan yang timbul. Namun kesulitan akan timbul apabila suatu
kejahatan dimana unsur kejahatan politiknya secara kuatitatif memang
kecil tetapi secara kualitatif sangat besar dan dominan, sedangkan unsur
kejahatan biasa secara kuantitatif besar tetapi secara kualitatif kecil. Di
sini akan timbul kesulitan untuk menggolongkan apakah kejahatan itu
tergolong kejahatan politik ataukah tidak. Usaha terakhir untuk
memperlengkap dan memperjelas teori preponderance ini dilakukan
dengan mengkaitkan kejahatan tersebut dengan cara-cara melakukan
kejahatan
Atauserta
dengan
tujuan
kata
yang
lain,hendak
teori preponderance
dicapainya. ini dilengkapi dengan
teori hubungan antara cara dan tujuan (relation of means and purpose).
Jika misalnya cara- cara yang dilakukannya sangat tidak seimbang
dengan tujuan politik yang hendak dicapainya, maka kejahatan itu harus
dipandang sebagai bukan kejahatan politik. Demikianlah sebaliknya.
Sebuah kasus ekstradisi yang berkaitan dengan kejahatan politik
menurut model Eropa Kontinental yang perlu dikemukakan disini, yaitu
kasus yang dihadapi Indonesia dan Austria. Tan Tjong Hoa adalah
seorang warga negara Indonesia yang pada tahun 1968 dalam jabatannya
sebagai Kepala Bagian Kredit pada Bank Ekonomi Nasional Indonesia di

54
Jakarta, dituduh telah melakukan penggelapan uang nasabah bank
tersebut, dan kemudian mearikan diri ke Austria.
Indonesia meminta penyerahannya kepada Austria berdasarkan
asas resiprositas (timbal balik) oleh karena antara kedua negara belum
terikat dalam perjanjian ekstradisi. Semula Austria telah menyatakan
kesediaannya menyerahkan Tan Tjong Hoa kepada Indonesia, tetapi
kemudian Austria menolak permintaan Indonesia. Sebagai alasan
penolakan tersebut adalah bahwa kejahatan yang dituduhkan atau yang
dijadikan dasar untuk meminta penyerahan Tan Tjong Hoa oleh
Indonesia adalah kejahata n politik, yaitu ada hubungannya dengan
masalah ras dimana Tan Tjong Hoa sebagai warga negara Indonesia
keturunan Cina. Hal ini oleh Austria dipandang sebagai diskriminasi
rasial. Keputusan Austria ini, tampaknya dipengaruhi oleh ketentuan
pasal 3 ayat 1 dan 2 Konvensi Ekstradisi Eropa.

54

BAB IV
KEJAHATAN POLITIK DALAM PERJANJIAN-PERJANJIAN
EKSTRADISI MENURUT KONVENSI INTERNASIONAL

A. Praktek Ekstradisi bagi Pelaku Kejahatan Politik adalah Pelanggaran


terhadap Hak Asasi Manusia.
A.I Perlindungan Internasional TerhadapHak Asasi Manusia.
Dengan semakin tingginya penghormatan terhadap hak asasi
manusia, mengakibatkan permasalahan hak asasi ini menjadi sebuah
pokok bahasan yang tidak pernah ada habisnya, karena begitu kompleks
dan sensitifnya permasalahan ini dan persinggungannya dengan semua
aspek kehidupan.
Definisi apakah yang dimaksud dengan hak asasi manusia
sangatlah banyak, antara lain menurut Prof. Darji Darmodiharjo, S.H. 1
Mengatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak- hak dasar atau hak
pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugrah Tuhan Yang
Maha Esa. Pada dasarnya hak asasi manusia bukanlah persoalan
politik, namun dalam praktek bernegara terlaksananya hak asasi
manusia selain tergantung kepada kemauan politik (Political Will) dari
pimpinan negara sebagai satu kesatuan, juga tergantung beberapa hal2 .
1. Bagaimana bentuk/sistem pemerintahan yang berlaku (bersifat
otoriter atau tidak),

A. Masyhur Effendi, Tempat Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional/


Nasional, (Bandung: Alumni, 1980), hal. 20
2
Ibid. , hal. 19

55
2. Alasan- alasan politis tertentu dalam mencapai cita-citanya dengan
mengurangi hak asasi warga negaranya,
3. Pemerintahan dalam keadaan darurat,
4. Mekanisme/jaringan pemerintahan antara pusat dengan bawahnya
apakah terlepas karena berbagai faktor (krisis kewibawaan,
korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan lain- lain),
5. Sebagian besar rakyat masih dalam keadaan kurang,
6. Belum/tidak

adanya

hukum/peraturan

positif

aplikatif

dalam

kehidupan bernegara.
Setiap negara yang mengklaim dirinya sebagai negara hukum, harus
memberikan jaminan perlindungan terhadap hak- hak asasi manusia 3 .
Selain itu, kenyataan bahwa manusia adalah mahluk sosial dan
politik (zoon politicon / man is an social and political being) yang hidup
dalam suatu masyarakat dan negara yang membawa konsekuensi lebih
lanjut tentang adanya suatu golongan yang disebut pemimpin atau
penguasa dan golongan lain yang disebut rakyat. Dari sini timbul
persoalan tentang hak asasi manusia, lebih lagi dari pihak penguasa
dengan legalitas hukum yang dimiliki, menafsirkan hak asasi manusia
secara subyektif.
Demikian

pula

dalam

hubungannya

dengan

pelaksanaan

ekstradisi, penyerahan juga tidak boleh bertentangan dengan hak asasi


manusia.

Pemerintah

atau

penguasa

negara

diminta,

dalam

mempertimbangkan permintaan penyerahan negara peminta harus

M. Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Atas Hak Asasi Manusia,
(Jakarta : Ghalia Indonesia, 1980), hal. 14

56
memastikan bahwa apabila orang yang diminta dikembalikan ke
negaranya, ia tidak akan menerima penghukuman yang bertentangan
dengan derajatnya sebagai manusia.
Dalam kasus kejahatan politik, tidak ada cara lain selain menolak
permintaan

penyerahan.

Karena

pelaku

kejahatan

politik

yang

dikembalikan ke negaranya untuk diadili dinegaranya, mustahil untuk


mendapatkan keadilan4 . Terlebih lagi apabila negara peminta dikenal
sebagai negara yang totaliter, dimana perbedaan pemikiran politik
dengan pemerintah adalah suatu hal yang dilarang. Maka tidak ada jalan
lain bagi mereka yang memiliki opini politik yang berbeda, selain
melarikan diri darinya 5 . Dengan mengabulkan permintaan penyerahan
negara peminta, berarti negara diminta telah memberikan kemungkinan
terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Hal ini tentu
bertentangan dengan perspektif masyarakat internasional saat ini yang
sangat menghargai hak asasi manusia. Apa yang dapat dilakukan oleh
negara

diminta

(negara

tempat

pelaku

melarikan

diri)

adalah

memberikan perlindungan berupa suaka politik terhadap pelaku yang


dapat membuktikan dirinya melakukan kejahatan politik. Untuk dapat
me mbuk tikan suatu kejahatan adalah kejahatan politik, tentunya harus
dilakukan secara hati- hati dengan memperhatikan situasi, kondisi, latar
belakang dan semua aspek yang berhubungan dengannya termasuk
konvensi- konvensi Internasional sehingga arti kejahatan politik ini dapat
dipergunakan dengan sebenar- benarnya dan tidak dimanfaatkan atau

4
5

S. Prakash Sinha,OP.Cit., hal. 176


Ibid.

57
diselewengkan oleh oknum-oknum tertentu yang ingin menyelundupkan
kejahatan yang dilakukannya ke dalam perlindungan kejahatan politik.
Di bawah

akan kita simak beberapa ketentuan internasional

tentang hak asasi manusia dan ketentuan internasional lainnya yang


berhubungan dengan pelaksanaan ekstradisi terhadap pelaku kejahatan
politik.

A.II Beberapa Konvensi Internasional Tentang Hak Asasi Manusia


Dalam Hubungannya Dengan Pelaksanaan Ekstradisi Terhadap Pelaku
Kejahatan Politik
Walaupun tidak ada konvensi internasional yang secara eksplisit
menyatakan larangan ekstradisi bagi pelaku kejahatan politik, namun
ada pasal- pasal tertentu dalam konvensi tersebut yang memiliki
kewajiban untuk mencegah atau melarang pelaksanaan ekstardisi ke
negara lain dalam atau situasi tertentu6 . Jika tidak, maka hal ini akan
bertentangan

dengan

tujuan

dari

konvensi

itu

sendiri

secara

keseluruhan7 . Beberapa konvensi internasional tersebut yang akan


dibahas dalam penulisan ini, antara lain;
a. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (Charter of the United Nations)

Edwin Short & Claire de Than, Civil Liberties : Legal Principle of Individual Freedom, 1th
ed., (London: Sweet&Maxwel,1998), hal. 455.
Misalnya, Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 3 no one shall be subjected to torture or
to inhuman or degrading treatment or punishment. Pasal ini mempunyai kewajiban untuk melarang
pelaksanaan ekstradisi apabila ada kemungkinan dilaksanakannya penghukuman yang kejam, atau
tidak manusiawi atau hukuman yang menurunkan derajat manusia.
7
Ibid. , hal. 456

58
Terdapat sejumlah ketentuan tentang hak asasi manusia di dalam
piagam PBB8 . Antara lain, Pasal 1 mengenai tujuan, yang di dalamnya
termasuk tuj uan dari organisasi ini memajukan dan mendorong
penghormaan terhadap hak- hak asasi manusia dan kebebasan- kebebasan
dasar bagi semua umat manusia tanpa membedakan ras, jenis kelamin,
bahasa atau agama. Kemudian, Pasal 13 mencatat bahwa Majelis Umum
membuat prakarsa untuk mengadakan penyelidikan dan mengajukan
rekomendasi- rekomendasi yang berhubungan dengan pelaksanaan hakhak asasi manusia tersebut. Sedangkan Pasal 55 menyatakan bahwa PBB
memajukan penghormatan terhadap hak- hak asasi manusia diseluruh
dunia, demikian pula pengejawatannnya. Dan ketentuan yang paling
penting, Pasal 56 menyatakan bahwa semua anggota bersumpah akan
mengambil tindakan bersama maupun secara sendiri-sendiri dalam
kerjasamanya dengan organisasi ini demi tercapainya ketentuanketentuan dalam pasal 55.
Dapat dilihat bahwa ketentuan- ketentuan tentang hak asasi
manusia di dalam piagam ini masih sangat umum dan kurang jelas 9 . Juga
tidak terdapat satu ketentuan yang memaksa pelaksanaan dari pasalpasal ini10 . Beberapa pendapat mengatakan bahwa, kata bersumpah
(pledge) pada pasal 56 memberi pengaruh terhadap pasal 55 dan

Sebagian besar adalah hasil perundingan anta organisasi non-pemerintah di konfrensi San

Fransisco
9

Malcom N. Shaw,International law, 3rded.,(New York: Cambridge University Press, 1991),

hal. 194
10

Ibid, hal. 195

59
merubahnya menjadi suatu kewajiban hukum. Tetapi inipun masih
menjadi perdebatan 11 .
Dalam hubungannya dengan ekstradisi, tentu saja praktek
ekstradisi di negara- negara anggota PBB harus menghormati dan tidak
boleh bertentangan dengan pasal- pasal tentang hak- hak asasi ini.
b. Deklarasi hak- hak asasi manusia sedunia (The Universal Declaration of
Human Rights)
Deklarasi ini di adopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10
Desember 1948 dengan persetujuan dari semua negara anggota
(Chechoslovakia, Polandia, Ukrania, Yugoslavia, USSR, Saudi Arabia
Abstain) 12 .
Deklarasi ini tidak diartikan sebagai suatu dokumen yang
memiliki kekuatan hukum mengikat, tetapi sebagaimana dinyatakan
didalam pembukaannya, diterima sebagai standar umum oleh semua
orang dan bangsa13 . Ketiga puluh pasalnya memuat kumpulan hak- hak
yang cukup luas. Dari hak atas kebebasan dan rasa aman seseorang
(pasal 3), persamaan dihadapan hukum (pasal 7), hak atas ganti rugi
yang efektif (pasal 8), sampai hak ekonomi dan sosial seperti hak untuk
pekerjaan dan penghasilan yang layak (pasal 23), hak atas keamanan
sosial (pasal 25) dan hak untuk mendapatkan pendidikan (pasal 26).
Deklarasi hak- hak asasi manusia sedunia ini telah memberikan
pengaruhnya

11

Ibid
Ibid, hal. 196
13
Ibid
12

yang

cukup

besar

kepada

negara- negara

dalam

60
merumuskan

perundang- undangannya

dan

terhadap

perjanjian-

perjanjian serta resolusi- resolusi tentang hak- hak asasi manusia.


Perhatian

kini

sedang

diberikan

terhadap

usaha

untuk

membentuk suatu konvensi hak- hak asasi manusia sedunia yang memiliki
kekuatan hukum yang mengikat. Tetapi tampaknya akan memerlukan
waktu yang sangat panjang, mengingat hal ini sangat sensitif menyangkut
semua bidang kehidupan. Sementara itu beberapa perjanjia n tentang hak
asasi manusia yang lebih khusus telah dibentuk, yang membawa kepada
dibentuknya beberapa konvensi internasional yang sangat penting dan
dapat sangat berhubungan dengan permasalahan kejahatan politik
dalam perjanjian ekstradisi. Beberapa konvensi tersebut yang perlu
dicatat disini adalah ;
c. Konvensi Internasional Tentang Hak- Hak Sipil dan Politik (The
International Covenant on Civil and Political Rights)
Konvensi penting ini diadopsi pada tahun 1966 dan mulai
berkekuatan hukum pada tahun 1976. Pasal 2 dari konvensi ini
menyatakan,

semua

negara

peserta

wajib

berpartisipasi

dalam

menghormati dan menjamin terlaksananya semua hak yang dikenal


dalam konvensi ini, terhadap setiap individu yang berada dalam wilayah
negaranya dan yang merupakan subyek dari yurisdiksinya. Dari pasal 2
tersebut jelas terlihat, hak- hak yang dikenal dalam konvensi ini
dimaksudkan

sebagai

suatu

kewajiban

yang

mengikat

(binding

obligations) 14 . Termasuk didalam konvensi ini, hak untuk menentukan


nasib sendiri (pasal 1), hak untuk hidup (pasal 6), larangan terhadap
14

I Wayan Parthiana, Op. Cit., hal.199

61
perlakuan tidak layak dan perbudakan (pasal 7 dan 8), hak atas
kebebasan dan rasa aman (pasal 9), kebebasan berpikir, berkeyakinan
dan beragama (pasal 18), kebebasan berkelompok (pasal 22), dan hak
dari golongan minoritas untuk hidup sesuai dengan kebudayaan mereka
(pasal 27).
Dalam

permasalahan

kejahatan

politik

pada

perjanjian-

perjanjian tentang ekstradisi, konvensi ini memberikan suatu jaminan


kebebasan bagi setiap orang untuk memiliki opini politiknya sendiri dan
bergabung dalam suatu organisasi politik. Setiap negara peserta
berkewajiban untuk menjamin hak ini tidak terganggu diantaranya
dengan memberi perlindungan bagi pelaku kejahatan politik, yang
menjadi incaran penghukuman politik dari negara asalnya.

d. Konvensi menentang penyiksaan dan tindakan lainnya yang tidak


manusiawi atau perlakuan atau penghukuman yang menurunkan
derajat
manusia (The Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or
Degrading Treatment or Punishment)
Konvensi ini ditandatangani pada tanggal 10 Desember 1984 dan
mulai berlaku (entered into force) pada tahun 1987. Konvensi ini
menegaskan penyiksaan (torture) sebagai ;
Any act by which severe pain or suffering, whether physical or mental, is
internationally inflicted on a person for such purpose as obtaining from
him or a third person information or confession, punishing him for an act
or a third person has commited or is suspected of having committed, or
intimidating or coercing him or third person, or for any reason based on

62
discrimination of any kind, when such pain or suffering is inflicted by or
at instigation of or with the consent or the acquiescence of a public official
or other person acting in official capacity. It does not include pain or
suffering arising only from, inherent in or incidental to lawful sactions
(pasal 1 (a)).
Negara anggota konvensi ini berkewajiban untuk mengambil
tindakan untuk mencegah terjadinya tindakan seperti tersebut pada
pasal 1 di dalam wilayah hukum mereka (pasal 2). Dan tidak
mengembalikan seseorang ke negara dimana ia dapat dijadikan subyek
penyiksaan seperti yang dimaksud pasal 1 (pasal 3). Konvensi ini juga
menetapkan penyiksaan sebagai suatu kejahatan dan menetapkan hukum
atas permasalahan ini (pasal 4 dan 5), menghukum atau mengesktradisi
orang yang dituntut atas kejahatan penyiksaan (pasal 7), serta
memberikan perlindungan dan pengobatan terhadap orang-orang yang
menjadi obyek penyiksaan (pasal 14).
Perlindungan yang dimaksud dalam pasal 14 dapat dilakukan
dengan memberikan larangan ekstradisi bagi mereka yang terancam
hukuman semacam itu seperti dimaksud pada pasal 1. Salah satunya
berlaku bagi pelaku kejahatan politik.
e. Konvensi yang berhubungan dengan status orang yang dalam pelarian
(Convention Relating to the Status of Refugees)
Konvensi ini mengartikan pelarian atau refugee sebagai ;
A person owing to a well founded fear of being persecuted for reason of
race , religion, nationality, membership of a particular social group or
political opinion, is outside the country of his nationality and is unable or,
owing to such fear, is un willing to avail himself of that protection of that
country, or who, not having a nationality and being outside the country of
his former habitual residence as a result of such events, is unable or,
owing to such fear, is unwilling to return to it (pasal 1A).

63
Konvensi ini secara jelas memberikan perlindungan kepada
pelarian yang melarikan diri dari negaranya karena alasan- alasan ras,
agama, kebangsaan, keanggotaan dari suatu kelompok politik atau sosial
seperti yang dimaksud pasal 1. Dalam hubungannya dengan ekstradisi,
akan menimbulkan pertanyaan seperti ini; dapatkah terhadap seorang
pelarian (refugee) dilakukan penyerahan (ekstradisi)? Tidak ada
kewajiban

suatu

negara

untuk

melakukan

penyerahan

terhadap

seseorang, dalam hal ini tidak terdapatnya suatu perjanjian ekstradisi


diantara negara tersebut. Sebaliknya, sudah diterima oleh umum bahwa
perjanjian- perjanjian

tentang

ekstradisi

memberikan

pengecualian

terhadap pelaku kejahatan polit ik.


Sebagai konsekuensinya, pelarian yang memenuhi kriteria yang
ditetapkan oleh perjanjian sebagai pelaku kejahatan politik, mendapat
perlindungan terhadap ekstradisi 15 . Pelarian karena alasan ini sering
disebut dengan pelarian politik atau political refugee 16 . Terhadap para
pelarian ini tidak dapat dilakukan pengusiran atau pengembalian
kembali ke negara asalnya, kecuali karena alasan keamanan nasional dan
ketertiban umum (national security or public order (pasal 32)). Kemudian
pada pasal 33 dikemukakan asas non refoulement, yaitu asas yang
melarang pengusiran atau pengembalian para pelarian, ke wilayah
dimana hak hidup atau kebebasan mereka terancam. Beberapa penulis
yang memberi jaminan terhadap prinsip non- extradition of political
offenders, dalam kasus ini pelarian politik (political refugee) 17 . Tentu saja
15

Ibid., hal. 199


S. Prakash Sinha, Op. Cit., hal. 125
17
Ibid
16

64
terdapat batasan- batasan terhadap siapa perlindungan bagi pelarian
politik ini diberikan. Perlindungan ini tidak berlaku bagi mereka yang
masuk dalam kategori pasal 1F, yaitu :
(a) Telah melakukan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang,
atau kejahatan kemanusiaan,
(b) Ia telah melakukan kejahatan non- politik yang serius sebelum ia
masuk ke negara di mana ia meminta status refugee,
(c) Ia telah divonis bersalah atas tindakan- tindakan yang bertentangan
denga n tujuan dari Perserikatan Bangsa- Bangsa.
Pembatasan ini dimaksudkan agar tidak terjadi penyalahgunaan dan
tujuan memberikan perlindungan terhadap pelaku kejahatan politik
tepat mengenai sasaran.
f. Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Terhadap
Orang yang Dilindungi Secara Internasional, Termasuk Utusan-Utusan
Diplomatik (Convention on the Prevention and Punishment of Crimes
Against Internationally Protected Person Including Diplomatic Agents).
Konvensi ini diadopsi oleh Majelis Umum pada tanggal 14
Desember 1973, dan mulai berlaku pada tanggal 20 Februari 1977.
Dalam Konvensi ini diatur aspek-aspek yang menyangkut
pencegahan dan penghukuman kejahatan yang dilakukan terhadap
orang-orang yang dilindungi secara internasional. Wala upun konvensi ini
tidak secara langsung berkaitan dengan hak- hak asasi manusia, namun
terdapat beberapa ketentuan yang sangat menarik dan berkaitan erat
dengan ekstradisi.

65
Pasal 1 konvensi ini berisi tentang pribadi- pribadi yang dilindungi
secara internasional, dimana termasuk pejabat diplomatik, Kepala
Negara, Kepala Pemerintahan, Menteri Luar Negeri yang sedang berada
di negara lain, juga pejabat negara maupun pejabat atau agen suatu
organisasi internasional. Sedangkan pasal 2 menjelaskan tentang bentukbentuk kejahatan apa saja yang dapat dihukum oleh negara peserta
berdasarkan hukum nasionalnya, yang antara lain mencakup ; (a)
pembunuhan, penculikan, atau serangan lain terhadap diri, atau
kebebasan dari orang-orang yang dilindungi secara internasional; (b)
Serangan hebat terhadap gedung perkantoran, tempat tinggal pribadi
atau alat- alat transportasi yang digunakan oleh orang yang dilindungi
secara internasional; (c) ancaman untuk melakukan kejahata n tersebut;
(d) percobaan unt uk melakukan kejahatan tersebut; (e) ikut serta dalam
melakukan kejahatan tersebut.
Hal penting mengenai ekstradisi diatur dalam pasal 7 dan pasal 8
konvensi ini. Dalam pasal 7 ditentukan bahwa negara peserta apabila
tidak melakukan ekstradisi, harus melakukan proses hukum yang sesuai
denga n hukum nasionalnya. Pasal 8 menyatakan; (1) apabila bentuk
kejahatan dalam pasal 2 tidak termasuk dalam perjanjian ekstradisi
antar negara- negara peserta, maka kejahatan demikian haruslah
dianggap termasuk di dalamnya; (2) bagi negara peserta yang
mensyaratkan

adanya

suatu

perjanjian

untuk

memungkinkan

dilaksanakannya ekstradisi, dapat mempertimbangkan konvensi ini


sebagai dasar hukum untuk ekstradisi; (3) sedangkan negara yang tidak
mensyaratkan perjanjian sebagai dasar ekstradisi, haruslah mengakui

66
kejahatan yang termasuk dalam pasal 2 sebagai kejahatan- kejahatan
yang dapat diekstradisikan diantara mereka, berdasarkan ketentuan
prosedural dari hukum negara diminta; (4) setiap kejahatan tersebut,
untuk tujuan ekstradisi, harus dianggap seperti terjadi tidak hanya di
negara dimana kejahatan tersebut dilakukan tetapi juga diwilayah
negara di minta.
Yang sangat menarik untuk di cermati dalam kovensi ini adalah,
bahwa terhadap orang-orang yang disebut dalam pasal 1 diberikan suatu
perlindungan khusus. Perlindungan yang diberikan ini berbeda dengan
kekebalan yang mereka miliki, baik karena jabatan atau status mereka
(Immunity ratione personae) maupun karena tindakan mereka dalam
kapasitasnya

sebagai

pejabat

negara

(immunity ratione materiae).

Terhadap mereka diberikan perlindungan terhadap kejahatan- kajahatan


seperti yang dimaksud dalam pasal 2, berupa pencegahan dan
penghukuman terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan. Langkah aktif
memberi perlindungan ini dilakukan oleh setiap negara peserta.
Istimewanya, para pelaku kejahatan dalam pasal 2 tidak kebal terhadap
ekstradisi (pasal 8) walaupun mungkin mereka memiliki motif , latar
belakang, serta maksud dan tujuan politik. Unsur politik tidak
diperhitungkan terhadap kejahatan- kajahatan yang ditujukan bagi
orang-orang

yang

secara

internasional

dilindungi

(Internationally

protected persons). Sehingga untuk kejahatan- kejahatan tesebut tidak


dapat dikategorikan sebagai kejahatan politik dan terhadapnya selalu
dapat dilakukan proses ekstradisi, walau tanpa adanya perjanjian

67
ekstradisi (pasal 8 ayat (1), (2)). Tentu ketentuan ini hanya berlaku bagi
negara- negara peserta konvensi ini saja.
Nilai- nilai yang digunakan dalam konvensi ini adalah penerapan
dari prinsip klausula attentat yang menyatakan bahwa kejahatan
terhadap kepala negara serta keluarganya tidak dapat digolongkan
sebagai kejahatan politik, seperti yang telah kita bahas dalam bab
sebelumnya. Klausula attentat ini memberikan batasan terhadap
terminologi kejahatan politik itu sendiri, dan sudah umum diterima oleh
masyarakat internasional.
g. Statuta Roma Pengadilan Pidana Internasional (Rome statute of the
Internaional Criminal Court)
Dalam statuta ini terdapat satu pasal yang yang menarik, yang
bertolak belakang dengan perlindungan dan kekebalan yang diberikan
kepada orang-orang yang secara internasional dilindungi (Internationally
protected persons) seperti yang dijelaskan oleh konvensi diatas.
Pasal 27 dari statuta ini mengatakan bahwa, statuta ini berlaku
sama bagi semua orang, tanpa pengecualian yang didasarkan pada
kapasitas jabatan seperti, kepala negara atau kepala pemerintahan,
anggota pemerintahan atau parlemen, wakil terpilih atau pejabat negara
tidak

akan

menjadi

suatu

pengecualian

bagi

seseorang

untuk

mempertanggung jawabkan kejahatannya berdasarkan statuta tersebut,


dan juga tidak akan menjadi alasan untuk mengurangi hukumannya.
Sedang yang dimaksud dengan kejahatan dalam statuta ini, dijelaskan
dalam pasal 2, yaitu; (a) kejahatan genocide; (b) kejahatan terhadap
kemanusiaan; (c) kejahatan perang, dan; (d) kejahata n agresi. Pasal 2

68
inilah yang kemudian memberikan batasan terhadap hak- hak istimewa
yang diberikan kepada orang-orang yang dilindungi secara internasional.
Dari kedua pasal diatas, jelas terlihat bahwa kekebalan yang
diberikan kepada pejabat negara seperti kepala negara, wakil negara,
anggota

pemerintahan,

baik

karena

jabatannya

maupun

karena

tindakan- tindakannya dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara


(immunity ratione personae dan immunity ratione materiae),

serta

keistimewaan yang diberikan kepadanya, bukan tidak ada batasannya.


Apabila orang-orang ini terbukti melakukan kejahatan seperti yang
dimaksud dalam pasal 2, maka terhadap mereka dapat diajukan tuntutan
ke Pengadilan Pidana Internasional. Kekebalan dan keistimewaan yang
mereka miliki tidak diperhitungkan dalam kasus ini. Apapun motif, latar
belakang, serta maksud dan tujuan mereka melakukan kejahatan
tersebut tidak dapat dijadikan dasar pertimbangan, sehingga tidak
mungkin timbul permasalahan kejahatan politik. Bahkan terbuka
kemungkinan dilakukannya ekstradisi apabila memang diperlukan (pasal
90). Hal ini dikarenakan kejahatan- kejahatan yang dimaksud dalam
pasal 2 adalah kejahatan- kejahatan yang sangat bertentangan dengan
perikemanusiaan dan sangat menusuk rasa kemanusiaan.
Satu lagi pembatasan terhadap terminologi kejahatan politik kita
temui dalam statuta ini. Terhadap kejahatan- kejahatan yang sangat
bertentangan dengan kemanusiaan, walaupun itu dilakukan oleh pejabat
negara yang memiliki keistimewaan dan kekebalan, terhadapnya tidak
dapat dikategorikan sebagai pelaku kejahatan politik.

69
Demikianlah beberapa instrument internasional tentang hak asasi
manusia yang dapat kita bahas dalam penulisan ini, sehubungan dengan
pelaksanaan ekstradisi bagi pelaku kejahatan politik. Perjanjianperjanjian ekstradisi yang dibuat oleh negara peserta, haruslah
menyerap nilai- nilai yang terkandung dalam konvensi- konvensi ini, dan
tidak bertentangan dengannya.

B. Beberapa Kasus Kejahatan Politik dalam Praktek Ekstradisi


B.I Kasus Aguste Pinochet (Inggris V Chili)
Senator Pinochet mulai memerintah di Chili sejak tanggal 11
September 1973 hingga saat pengunduran dirinya tanggal 11 Maret 1990
setelah masa pemerintahannya yang kontroversial. Pada tanggal 16
Oktober 1998, ketika Senator Pinochet sedang berkunjung ke Inggris
dengan maksud untuk berobat, ia ditahan berdasarkan permintaan
Spanyol yang menuntut penyerahan atas dirinya kepada Inggris atas
sejumlah tuntutan, antara lain; pembunuhan warga Spanyol di Chili
pada saat ia menjabat sebagai presiden negara itu, penyiksaan,
penculikan

atau

menghilangkan

orang,

penahanan

secara

ilegal,

pembunuhan di Itali dan beberapa negara lainnya. Beberapa dari


tuntutan tersebut berhubungan dengan masa sebelum Pinochet menjadi
penguasa di Chili, tetapi sebagian besar berhubungan dengan masa pada
saat ia memerintah. Permintaan penyerahan Pinochet juga kemudian
dilakukan oleh Swiss kepada pemerintah Inggris, atas kasus pembunuhan
warga Swiss di Chili pada saat ia memerintah. Kemudian diikuti oleh

70
Belgia, Perancis, Itali, Luxemburg, Swedia dan Chili atas tuntutan yang
sama.
Pengadilan Inggris dalam menilai apakah terhadap kasus ini
dapat dilakukan penyerahan, membuat dua pertimbangan yang cukup
luas. Yang pertama, apakah kejahatan yang dijadikan dasar untuk
meminta penyerahan, oleh hukum Inggris juga merupakan kejahatan
yang terhadapnya dapat dilakukan penyerahan. Kedua, jika jawabannya
dapat, apakah penyerahan Pinochet tidak bertentangan dengan hukum
(illegal), karena ia memiliki kekebalan sebagai bekas kepala nega ra (exhead of state immunity).
Dalam hukum Inggris, kejahatan yang dapat dimintakan penyerahannya,
harus merupakan kejahatan yang oleh kedua negara (negara diminta dan
negara yang meminta) dianggap sebagai tindakan pidana. Hal ini dikenal
dengan asas kejahatan ganda (double criminality). Sejak Spanyol
menyatakan bahwa tindakan tersebut dalam hukum Spanyol adalah
tindakan pidana, maka tidak ada masalah mengenai asas kejahatan
ganda ini.
Kemudian berlanjut kepada pertimbangan yang kedua, yaitu
apakah

dalam

hubungannya

dengan

kejahatan

yang

dapat

diekstradisikan, Pinochet memiliki kekebalan terhadap ekstradisi. Seperti


yang diklaim oleh Pinochet, bahwa ia memiliki kekebalan immunity
ratione materiae. Yaitu kekebalan yang dimaksudkan untuk memberi
perlindungan kepada tindakan- tindakan yang diambil oleh pejabat
negara atau pemerintahan dalam rangka menjalankan tugasnya,
terhadap tuntutan- tuntutan yang dapat menyeretnya ke pengadilan.

71
Pinochet mengatakan bahwa semua tindakan yang dijadikan dasar untuk
menuntutnya, berhubungan dengan tugasnya sebagai kepala negara pada
saat itu. Kalaupun tindakan itu dianggap sebagai kejahatan, maka sudah
seharusnya kejahatan itu digolongkan sebagai kejahatan politik.
Terhadap argumen ini, pengadilan Inggris berpendapat bahwa;
perta ma, ada beberapa norma hukum internasional yang sangat
mendasar dan begitu penting, sehingga tidak ada satu hukum nasional
atau perjanjian manapun yang dapat mengesampingkannya. Pelaku
kejahatan terhadap norma ini adalah musuh semua orang dan
kejahatannya dikenal dengan kejahatan internasional (international
crime) yang semua negara memiliki yurisdiksi atasnya. Kedua, Konvensi
yang menentang penyiksaan dan perlakuan kasar lainnya (The Convention
Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or
Punishment) secara tegas tidak memberikan kemungkinan immunity
ratione personae terhadap kejahatan- kejahatan yang dimaksud dalam
konvensi ini. Sebagai negara anggota dari konvensi ini (Spanyol, Chili,
Inggris), sudah seharusnya tidak memberikan jaminan kekebalan
tersebut. Dalam permasalahan kejahatan politik sudah diterima oleh
umum untuk kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)
tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan politik.
Dalam kasus ini 6 hakim setuju Pinochet diekstradisikan. Mereka
semua setuju kejahatan internasional tidak dapat disentuh oleh
kekebalan jenis apapun. Perlu dicatat disini, pendapat dari hakim Lord
Hutton yang mengatakan, Pinochet tidak dapat mengklaim bahwa
tindakannya tersebut adalah untuk menjalankan fungsinya atau tugasnya

72
sebagai kepala negara. Tindakan itu dilakukan oleh Pinochet dibawah
naungan statusnya sebagai kepala negara, tetapi tidak dapat dikatakan
sebagai salah satu tugasnya untuk menjalankan fungsinya sebagai kepala
negara, sementara hukum inte rnasional melarang tindakan tersebut
dalam situasi apapun. Karena itu para hakim sependapat Pinochet
dapat di ekstradisikan.

Analisa Kasus :
Pengadilan di Inggris telah beberapa kali menangani kasus
kejahatan politik. Pada setiap kasus, dalam mengambil keputusan selalu
mempertimbangkan situasi dan kondisi pada masanya dan sistem politik
negara yang sedang dihadapi 18 .

Tetapi, unsur motif yang mendorong

dilakukannya suatu kejahatan, oleh pengadilan Inggris dipandang tidak


memiliki relevansi terhadap jenis kejahatan itu sendiri 19 .
Dalam kasus Pinochet, bekas penguasa Chili yang dikenal dengan
pemerintahannya

yang

totaliter,

Pengadilan

Inggris

memberikan

pendapat; walaupun Pinochet adalah bekas kepala negara Chili, ia tidak


dapat dikatakan sebagai pelaku kejahatan politik dan mendapat
kekebalan (immunity ratione materiae). Pendapat ini dirasa sangat tepat,
karena seperti yang telah kita bahas pada bab sebelumnya, terhadap
kejahatan yang merupakan musuh umat manusia atau kejahatan
internasional, kejahatan politik tidak berlaku. Dan oleh karena itu
pelakunya tidak layak untuk diberi perlindungan, apalagi kekebalan. Hal
18

Contoh, dari pandangan luas pada kasus Castioni, kemudian dipersempit ketika menangani
kasus Meunir dan terhadap kasus Pelaut Polandia, mereka memperluas lagi definisi kejahatan politik.
19

I Wayan, Op. Cit., hal 65.

73
ini dikuatkan dengan ketentuan dalam Statuta Roma Pengadilan Pidana
Internasonal pasal 27, yang menyatakan bahwa kapasitas jabatan sebagai
kepala negara atau kepala pemerintahan, anggota pemerintahan atau
parlemen, wakil terpilih atau pejabat negara tidak akan menjadi suatu
pengecualian

bagi

seseorang

untuk

mempertanggung

jawabkan

kejahatannya berdasarkan statuta tersebut, dan juga tidak akan menjadi


alasan untuk mengurangi hukumannya.
Mengenai kekebalan ini, seperti telah dijelaskan diatas, dikenal 2
jenis kekebalan negara. Immunity ratione personae dan immunity ratione
materiae. Kekebalan yang pertama dimiliki oleh, sebagai contoh, Duta
Besar atau kepala negara karena jabatan mereka. Pada saat permintaan
ekstradisi diajukan, Pinochet sudah tidak lagi menjabat sebagai kepala
negara, sehingga immunity ratione personae tidak relevan. Immunity
ratione materiae adalah kekebalan yang tindakannya diambil oleh pejabat
negara atau pemerintahan dalam rangka menjalankan dimaksudkan
untuk me mberi perlindungan kepada tindakan- tugasnya, terhadap
tuntutan- tuntutan yang dapat menyeretnya ke pengadilan. Kekebalan
inilah yang digunakan oleh Pinochet untuk mempertahankan dirinya dari
kemungkina n ekstradisi. Karena menurutnya, tindakan- tindakannya
yang

dijadikan

dasar

tuntutan

adalah

tindakan

dalam

rangka

menjalankan tugasnya sebagai kepala negara waktu itu.


Tampaknya,

hakim

Inggris

dalam

mengambil

kesimpulan

terhadap kasus Pinochet dipengaruhi oleh konvensi yang berhabungan


dengan hak asasi manusia, seperti The Convention against Torture and
Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment. Dimana

74
Spanyol dan Inggris menjadi anggotanya. Pasal 4 konvensi ini
menyerukan kepada anggotanya untuk menjadikan penyiksaan sebagai
kejahatan kriminal dan menjalankan proses hukum atas kejahatan
tersebut. Dan itulah yang dilakukan oleh Inggris terhadap kejahatan
yang dilakukan Pinochet. Hingga mereka sampai kepada keputusan
untuk mengabulkan permintaan ekstradisi terhadap diri Pinochet, dalam
hal ini kepada Chili, dimana Chili dipercayai sebagai negara yang paling
berkompeten untuk melangsungkan proses hukum atas Pinochet.
Mengingat Chili adalah negara yang memiliki keterkaitan paling dekat
dengan kasus ini, seperti ; Pinochet adalah warga negara Chili dan
kejahatan dilakukan di dalam wilayah teritorial Chili, maka keputusan
Inggris dirasa cukup tepat.

B.2 Kasus Haya De La Torre (Kolumbia V Peru)


M. Viktor Raul Haya de la Torre adalah pemimpin dari partai
politik Aliansi Revolusioner Rakyat Amerika (The American Peoples
Revolutionary Alliance) di Peru. Pada tanggal 3 Oktober 1948 pecah
pemberontakan di Peru, dan Haya de la Torre dituduh sebagai oknum
yang harus bertanggung jawab atas pemberontakan tersebut. Pemerintah
Peru melakukan pencarian terhadapnya tetapi tidak berhasil.
Haya de la Torre kemudian meminta perlindungan kepada
Kedutaan Besar Kolumbia di Lima, pada tanggal 3 Januari 1948 ia
mendapatkan suaka karena dikualifikasikan sebagai pelaku kejahatan

75
politik (political offender) oleh Kedutaan Besar Kolumbia. Untuk itu
Kolumbia meminta jaminan keamanan kepada pemerintah Peru bagi
Haya de la Torre untuk dapat meninggalkan negaranya dengan selamat.
Permintaan ini ditolak oleh Peru, dengan pendapat bahwa kejahatan
yang dilakukan oleh Haya de la Torre adalah kejahatan biasa (common
crimes), bukan kejahatan politik (political crime), dan perwakilan
diplomatik Kolumbia di Lima, berkewajiban untuk menyerahkan Haya
de la Torre kepada Pemerintah Peru untuk dapat diadili berdasarkan
dengan hukum Peru.
Karena tidak berhasil mencapai kesepakatan, kedua negara
menyerahkan kasus ini kepada International Court of Justice (ICJ).
Dalam keputusannya ICJ menyatakan ;
-

Bahwa Kolumbia tidak berwenang untuk secara sepihak menentukan


jenis kejahatan tersebut.

Pemerintah Peru tidak berkewajiban untuk menjamin keamanan


pemindahan pelaku ke luar negeri.

Kolumbia tidak berkewajiban untuk menyerahkan Haya de la Torre


kepada pemerintah Peru.

Menolak kejahatan yang dilakukan oleh Haya de la Torre adalah


kejahatan biasa (common crimes). Melainkan sebagai pemberontakan
militer yang memang tidak digolongkan sebagai kejahatan biasa.

Terakhir, tanpa bermaksud untuk tidak mengindahkan maksud baik


dari kedutaan besar di Lima, menyatakan bahwa jaminan suaka yang
diberikan kepada Haya de la Torre tidak memenuhi kriteria yang
ditentukan dalam perjanjian yang relevan dengan kasus ini.

76
Dalam hal ini ICJ berharap para pihak menemukan suatu
pemecahan yang memuaskan dalam mempertimbangan keputusankeputusan di atas berdasarkan pada itikad baik dan hubungan baik
antara negara tetangga.

Analisa kasus :
Kasus Haya de la Torre ini menjadi rumit karena si pelaku masih
berada di wilayah negara dimana kejahatan tersebut dilakukan.
Walaupun sebenarnya, kedutaan besar Kolumbia di Peru adalah wilayah
ekstra- teritorial Kolumbia. Yang berarti di sana berlaku hukum
Kolumbia.
Sebelum kita menganalisa lebih jauh, ada baiknya kita membahas
sedikit tentang macam- macam suaka. Pada umumnya terdapat dua
macam suaka 20 ; suaka yang bersifat territorial (intern), yaitu yang
diberikan oleh suatu negara di dalam wilayah teritorialnya, dan suaka
yang bersifat ekstra- teritorial, yaitu yang diberikan oleh suatu negara
dalam wilayah ekstra- teritorialnya (berkenaan dengan kedutaan, wilayah
konsuler, markas besar internasional).
Dalam kasus ini, pemerintah Kolumbia melalui perwakilan
diplomatiknya di Lima, memberikan suaka kepada Haya de la Torre
berdasarkan kedaulatan atas wilayah ekstra- teritorialnya (jelas di sini,
Kolumbia memberikan suaka yang bersifat ekstra- teritorial). Suaka ini
diberikan atas pertimbangan Kolumbia, bahwa Haya de la Torre adalah
pelaku kejahatan politik (Political Offender), sehingga terhadapnya tidak
20

J.G. Starke, Op. Cit., hal 42

77
dapat dilakukan penyerahan (ekstradisi) dan ia patut diberikan
perlindungan (suaka) seperti yang tercantum dalam salah satu pasal
Perjanjian Bolivarian tentang ekstradisi dimana kedua pihak menjadi
anggotanya 21 . Tampaknya keputusan Kolumbia ini juga dipengaruhi oleh
definisi tentang kejahatan politik yang sedang berkembang saat itu.
Dimana kejahatan politik didefinisikan sebagai semua kejahatan yang
dilakukan

dengan

tujuan

untuk

menciptakan

perang

sipil,

pemberontakan atau kerusuhan politik (any offence commited in the


course of or furthering of civil war, insurrection or political commotion).
Dan juga tidak terlepas dari pengaruh situasi dan kondisi politik, serta
sikap dan pandangan masyarakat internasional yang menjunjung tinggi
hak asasi manusia, khususnya individu pelarian dengan alasan politik
agar tidak jatuh ketangan penguasa totaliter.
Masalahnya adalah, suaka tersebut diberikan kepada Haya de la
Torre di dalam wilayah Peru. Tentu saja Peru tidak akan membiarkan
Haya de la Torre dapat meninggalkan Peru bebas begitu saja, terlebih
lagi pemberian suaka ekstra- teritorial merupakan penghinaan terhadap
kedaulatan Peru atas wilayah teritorialnya 22 . Dan tindakan kedaulatan
(act of sovereignty) yang diambil oleh Kolumbia dianggap sebagai
intervensi atau campur tangan atas masalah dalam negeri Peru.
Mengenai keputusan ICJ terhadap kasus ini, alangkah baiknya
jika para hakim mempertimbangkan hukuman apa yang akan diterima
oleh Haya de la Torre jika terhadapnya tidak diberikan jaminan

21
22

International Court of Justice, Asylum Judgement - 20 November 1950


J.G. Satrke, Op.Cit.

78
keamanan untuk meninggalkan negaranya, apabila ia tertangkap. Dirasa
lebih adil baginya untuk mendapatkan status pelarian politik (political
refugee), mengingat semua kriteria kejahatan politik telah terpenuhi.
Dengan menetapkan bahwa Peru tidak berkewajiban untuk
menjamin keamanan pemindahan pelaku ke luar negeri dan Kolumbia
tidak berkewajiban untuk menyerahkan pelaku kepada Peru, ICJ secara
tidak langsung telah menempatkan pelaku dalam situasi yang tidak
menentu. Nasibnya menjadi tidak jelas, karena ia masih berada dalam
wilayah Peru (pemerintah Peru akan terus mencarinya). Pemindahan
dapat saja dilakukan oleh Kolumbia, namun keselamatannya terancam
karena tidak ada jaminan keamanan dari pemerintah setempat.
Walaupun Kolumbia tidak menyerahkan kepada Peru, resiko tertangkap
pemerintah
Terhadap
Peru keputusan
sangat b esar.
ICJ yang menetapkan bahwa kejahatan yang
dilakukan oleh Haya de la Torre adalah kejahatan militer, penulis
merasa kurang sependapat. Bukankah lebih tepat bila kejahatan ini
digolongkan sebagai kejahatan politik. Walaupun demikian, perlu diingat
bahwa perjanjian ekstradisi juga mengeluarkan kejahatan militer dari
daftar kejahatan yang dapat diekstradisikan23 . Terhadap kejahatan jenis
ini (kejahatan militer) diperlukan pengaturan tersendiri, terpisah dengan
perjanjian
Karena
ekstradisi.
masing- masing pihak berkeras kepada pendiriannya, ICJ
menyerahkan pelaksanaan keputusan tersebut berdasarkan itikat baik
dan hubungan baik antara negara bertetangga.
23
I Wayan, Op. Cit., hal.83
Hampir semua perjanjian ekstradisi secara tegas mengesampingkan kejahatan militer dari jenis atau
daftar kejahatan yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan permintaan ekstradisi. Contoh,
pasal 5 Perjanjian Ekastradisi Australia- Israel, Pasal 4 Konvensi Ekatradisi Eropa. Namun, banyak
juga terdapat perjanjian ekstradisi yang sama sekali tidak mengatur atau mencantumkan tentang
kejahatan militer. Contoh, Perjanjian Ekastradisi Indonesia-Malaysia.

78

BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan sebelumnya penulis mendapatkan kesimpulan sebagai
berikut :
1. Hingga saat ini tidak ada suatu kesatuan pendapat dari negara-negara terhadap
definisi kejahatan politik, maka diperlukan suatu pembatasanpembatasan
terhadap terminologi ini, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan. Pembatasan
tersebut terdapat pada attentat clause dan international crime.
2. Perjanjian ekstradisi sendiri adalah perjanjian internasional yang dapat
diadakan baik secara bilateral maupun multilateral. Dibentuk untuk menjamin
kerjasama internasional antar negara-negara yang memiliki kepentingan
dalam usaha pemberantasan kejahatan yang berdimensi internasional.
3. Sebuah kejahatan dapat dikategorikan sebagai kejahatan politik apabila
terdapat hal- hal sebagai berikut :
-

Terdapat hubungan langsung antara kejahatan biasa tersebut dengan tujuan


yang hendak dicapai yaitu merubah organisasi politik negara;

Memiliki unsur politik yang lebih dominan dari unsur kejahatan biasa;

Ada kekacauan dan penggunaan kekerasan yang berarti dalam suatu


negara seperti, perang, revolusi, atau pemberontakan.

79
4. Permasalahan yang terkandung dalam kejaha tan politik adalah mengenai
kejahatan campuran dimana sebuah kejahatan baru dapat dikatakan sebagai
kejahatan politik apabila meme nuhi unsur-unsur yang ditentukan
5. Hingga saat ini belum terdapat sebuah konvensi yang secara penuh mengatur
tentang perlidungan terhadap pelaku kejahatan politik, namun terdapat
beberapa instrumen Hukum Internasional mengenai Hak Asasi Manusia, yang
dapat dijadikan dasar bagi pelaksanaan asas tidak meyerahkan pelaku
kejahatan politik antara lain adalah :
-

The International Covenant on Civil and Political Right

Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading


Treatment or Punishment

Convention Relating to The Status of Refugees

Convention on The Prevention and Punishment of Crime Against


Internationally Protected Person, Including Diplomatic Agents

Charter Of The United Nation

The Universal Declaration of Human Rights

6. Dari analisa beberapa kasus pada penulisan skripsi ini dapat disimpulkan
bahwa, praktek negara-negara dalam menerapkan asas tidak menyerahkan
pelaku kejahatan politik, dalam hubungan dengan pelaksanaan ekstradisi
adalah berbeda -beda tergantung pada pertimbanga n hukum masing-masing
negara, yang juga dipengaruhi oleh kondisi dan situasi pada masa itu serta
sistem politik negara-negara yang dihadapinya.

80
B. Saran
Penulis mencoba memberi saran sebagai berikut :
1. Belum adanya definisi kejahatan politik yang dianut secara universal maka
perlu dibuat sebuah definisi yang bisa diterima dan disepakati oleh negaranegara didunia.
2. Perlu dibentuk sebuah lembaga internasional yang mengatur dan menangani
semua permasalahan yang berkaitan dengan ekstradisi khususnya masalah
kejahatan politik.
3. Perlu dibuatnya sebuah konvensi internasional mengenai kejahatan politik
yang telah memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi para peserta
maupun tidak dan di akui secara internasional

81

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Budiarto, M. Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan atas Hak Asasi Manusia.
Jakarta : Ghalia Indonesia, 1980.
Effendi A.Masyhur. Tempat Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasiona l /
Nasional. Bandung : Alumni, 1980.
Nussbaum, Arthur. A Concise History of The Law of Nations. Diterjemahkan oleh Sam
Suhaedi Admawirya : Sejarah Hukum Internasional. Jilid 1. Bandung : Binacipta,
1969.
Oppenheim, L. International Law, A treatise, Volume One Peace. 8th Edition. S.i. :
1960.
Parthiana , I Wayan. Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Indonesia. Bandung : Madar Maju, 1990.
Shaw, Malcom N. International Law. 3rd Edition. New York : Cambridge University
Press, 1991.
Short, Edwin; Claire de than. Civil Liberties; Legal Principles of Individual Freedom.
1th Edition. London : Sweet & Maxwel, 1998.
Sinha, S Prakash. Asylum and International Law. The Hague : Martinus Nijhof, 1997.
Starke, J.G. An Introduction to International Law. 4rd Edition. London : Butterworths &
Co (publisher), 1958.
Pengantar Hukum Internasional (An Introduction to International Law). 9th Edition.
Diterjemahkan oleh Sumitro L.S Danuredjo dan Lukas Ginting. S.i. : Aksara
Persada Indonesia, s.a.

KONVENSI
Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or
Punishment, 1984.
The International Covenant on Civil and Political Right, 1976.
Convention Relating to the Status of Refugees, 1954.

82
Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally
Protected Person, Including Diplomatic Agents, 1973.
Charter of the United Nation 1945.
The Universal Declaration of Human Rights 1948.

STATUTA
Rome Statute of the International Crime Court.

KAMUS HUKUM
Black, Henry Campbell. Blacks Law Dictionary. 4th Edition. Minnesota : West
Publishing Co, 1968.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Undang-Undang Tentang Ekstradisi. UU No.1 Tahun 1979.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Diterjemahkan oleh R. Soesilo. Bogor : Politea,
1994.

Anda mungkin juga menyukai