SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Syarat Akhir
Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S-1)
Disusun oleh :
Nama
Aquino Noval
NIM
2001-50-192
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
JAKARTA
2006
Author
Name
Aquino Noval
NIM
2001-50-192
FACULTY OF LAW
INDONESIAN CATHOLIC UNIVERSITY OF ATMA JAYA
JAKARTA
2006
( Yanti Friskikawati,SH.,M.Hum.,Dr. )
Penguji 1
( A. Mashyur Effendi,SH.,MS.,Prof )
Penguji 2
Mengetahui,
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KATOLIK ATMA JAYA
JAKARTA
:
:
Aquino Noval
2001-50-192
JUDUL SKRIPSI
ABSTRAKSI
II
KATA PENGANTAR
bahwa
dalam
penyusunan
dan
III
memberikan
pengarahan
kepada
penulis
selama
penyusunan skripsi.
7. Seluruh Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya yang telah memberikan pengarahan, ilmu,
dan bimbingan kepada penulis selama masa studi.
8. Kepada Bapak Daniel Raweyai dan Ibu Betty Arianingsih sebagai
orang tua serta kakak ku Ladyana dan adikku Stephani yang
tercinta yang telah memberikan kasih sayang dan dukungan, baik
dukungan materi maupun moral sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik.
9. Kepada semua sahabat- sahabat saya (Anggorokasih, Rio, Etha,
Respati,Kevin, Asri) yang telah mendukung dan memberikan
dorongan kepada penulis, baik selama masa studi maupun dalam
penyusunan skripsi ini.
10. Kepada rekan- rekan seperjuangan dalam pendidikan Menwa sejayakarta dan rekan- rekan seperjuangan dalam masa tugas di
Aceh dan Pendidikan kejuruan di Yogyakarta.
11. Kepada Seluruh jajaran staf dan adik- adik yang tergabung dalam
Sat Menwa Atma Jaya
IV
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI
..
KATA PENGANTAR
..
DAFTAR ISI
..
BAB I . PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Pokok Permasalahan
C. Tujuan Penulisan
D. Metode Penelitian
E. Sistematika Penulisan
...
...
11
16
...
27
..
27
29
35
35
35
36
37
..
37
41
42
B.1 Inggr is
43
47
50
54
54
54
..
...
57
68
68
...
73
...
78
A. Kesimpulan
...
78
B. Saran
...
80
...
81
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
L. Oppenheim, international Law , a Treatise, Volume One, Peace 8th Edition, 1960
hal 696
2
Istilah ini dikemukakan oleh I Wayan Parthiana, dalam bukunya yang berjudul
Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Madar Maju, Bandung, 1990
3
I.G Starke, An Introduction to International Law, Fourth Edition, Butterworths & Co
(publisher) Ltd, London, 1958, hal 261
aspek-
diterima
pengecualian
oleh
bagi
masyarakat
subyek
internasional
ekstardisi.
Dalam
sebagai
salah
satu
perjanjian-perjanjian
dengan
perubahan
dan
perkembangan
masyarakat
internasional,
B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, maka penulis
membatasi perumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan ekstradisi?
pengaturan
kejahatan
politik
dalam
konvensi
internasional.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan khusus dari skripsi ini bagi penulis adalah dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk meraih ge lar kesarjanaan pada tingkat
perguruan tinggi, Strata 1 dalam Hukum Program Kekhususan Hukum
tentang Hubungan Transnasional pada Fakultas Hukum Unversitas Katolik
Atma Jaya ( FH Unika Atma Jaya).
Disamping itu, secara umum penulisan skipsi ini juga bertujuan
agar para pembaca dapat memperoleh :
1. Pemahaman yang komprehensif mengenai ekstradisi dan kejahatan
politik;
2. Mengetahui sejauh mana sebuah kejahatan dapat dikategorikan sebagai
suatu kejahatan politik serta permasalahan yang dihadapi;
3. Mengetahui sejauh mana kejahatan politik mendapat keistimewaan
dalam perjanjian ekstradisi dalam hubungannya dengan hak asasi
manusia.
Manfaat lainnya berupa manfaat teoritis dan praktis. Maksud dari
manfaat teoritis yaitu bahwa dari segi pengembangan ilmu hukum
D. Metode Penulisan
Penulisan ini menggunakan metode penulisan kepustakaan, yaitu
suatu metode atau cara mengumpulkan data dengan jalan membaca,
mempelajari, serta meneliti buku-buku ilmiah dan dokumen-dokumen
yang berhubungan dengan obyek yang sedang diteliti.
Bila dilihat dari sifatnya, penulisan ini cenderung bersifat deskritif,
yang artinya penulisan ini dimaksudkan untuk memberi gambaran sejelas
dan selengkap mungkin mengenai ekatradisi dalam konsep hukum
internasional dan kejahatan politik sebagai pengecualian dari praktek
ekstradisi dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi yang dibuat oleh negaranegara.
Mengenai bentuknya, penulisan ini berbentuk preskritif, yang
artinya penulisan ini ditujukan untuk mendapatkan saran-saran dan
masukan- masukan yang positif, terutama dari masyarakat hukum
internasional dalam menyikapi masalah- masalah yang terungkap melalui
penulisan ini.
E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan hukum ini akan dibagi dalam lima
bab, dimana masing- masing bab akan membahas antara lain :
Dalam BAB I yang merupakan bab pendahuluan akan dijelaskan
mengenai latar belakang permasalahan,
pengaturan
BAB II
PENGERTIAN EKSTARDISI SERTA KEJAHATAN POLITIK
10
11
12
yang berada dalam wilayahnya sendiri. Oleh karena itu, suatu negara tidak
boleh melakukan tindakan yang bersifat kedaulatan (act souvereignty) di
dalam wilayah negara lain, kecuali adanya persetujuan dengan negara itu
sendiri. Hal ini disebabkan karena tindakan semacam ini dapat dipandang
sebagai intervensi atau campurtangan atas masalah- masalah dalam negeri
negara lain. Dalam hubungannya dengan pelaku kejahatan yang melarikan
diri atau berada dalam wilayah negara lain, negara tempat ia melakukan
kejahatan tidak dapat melakukan penangkapan dan penahanan secara
langsung di dalam wilayah negara tempat si pelaku kejahatan berada atau
bersembunyi. Seakanakan pelaku kejahatan yang demikian mendapat
perlindungan hukum.
Akan tetapi orang-orang semacam ini tidak dapat dibiarkan bebas
dan dapat berkeliaran secara aman, agar mereka tidak terlepas dari
tanggung jawab atas kejahatan yang ia lakukan, maka diperlukan sebuah
bentuk kerjasama untuk mencegah dan memberantasnya. Negara yang
dirugikan dapat meminta kepada negara dimana si pelaku berlindung
untuk menyerahkan pelaku kejahatan tersebut. Sedangkan negara tempat si
pelaku kejahatan berada dapat menyerakan si pelaku kejahatan kepada
negara yang mengajukan permintaan penyerahan. Cara atau prosedur
seperti inilah yang telah diakui dan merupakan prosedur yang telah umum
dianut baik dalam hukum nasional maupun hukum internasional yang
lebih dikenal dengan nama ekstradisi.
13
L. Oppenheim, International Law, a Treatise, Volume One, Peace 8th Edition, 1960
hal. 696.
5
14
10
10
15
16
dalam
pengaturan
mengenai
pelbagai
pokok
17
18
sistem hukum negara diminta. Hal ini sudah sepantasnya, karena tidak
seorangpun dapat ditindak atau dihukum terhadap perbuatannya yang
tidak melanggar hukum negara tempatnya berada.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimanakah asas kejahatan ganda
itu dirumuskan dalam perjanjian ekstradisi. Dalam setiap perjanjian
ekstradisi, kejahatan yang dapat dijadikan dasar untuk meminta
penyerahan dirumuskan secara jelas dan tegas. Hanya kejahatan yang
ditentukan di dalam perjanjian ekstradisi atau yang memenuhi kriteria
yang ditetapkan didalamnya sajalah yang dapat dijadikan dasar untuk
meminta penyerahan. Jadi, tidak setiap kejahatan dapat dijadkan dasar
untuk meminta penyerahan walaupun sudah memenuhi asas kejahatan
19
ganda. Dengan kata lain, ada jenis kejahatan yang termasuk dalam
ruang lingkup perjanjian ekstradisi dan ada juga jenis kejahatan yang
terletak diluar lingkup perjanjian ekstradisi13 . Hanyalah orang yang
diduga telah melakukan kejahatan yang termasuk dalam ruang lingkup
perjanjian ekstradisi saja yang dapat dimintakan penyerahannya. Hal
ini sudah diterima secara umum, baik di dalam perjanjian-perjanjian
ekstradisi maupun di dalam perundang-undangan ekstradisi.
2. Asas kekhususan atau asas spesialitas, yaitu bahwa seseorang yang
diserahkan tidak akan dituntut, dipidana, atau ditahan untuk kejahatan
yang lain selain daripada kejahatan yang dijadikan sebagai dasar
penyerahan atas dirinya, walaupun kejahatan tersebut tergolong
sebagai kejahatan yang dapat dijadikan dasar untuk meminta
penyerahan.
Pada kasus ekstradisi, negara peminta dalam mengajukan
permintaan penyerahannya, harus menegaskan atas kejahatan apa
sajakah orang yang diminta itu dimintakan penyerahannya. Apabila
oleh negara diminta diputuskan untuk mengabulkan permintaan
penyerahan, negara diminta harus juga menegaskan atas dasar
kejahatan apa sajakah orang yang diminta itu diserahkan.
13
Contoh, Perjanjian Ekstradisi Indonesia dengan Philipina 1976, Pasal II. Perjanjian
Ekstradisi Indonesia dengan Thailand 1978, Pasal 2.Walaupun tindakan atau perbuatan orang yang
diminta itu merupakan kejahatan menurut sistem hukum kedua pihak, tetapi jikalau tidak
memenuhi kriteria tentang kejahatan yang tercantum dalam perjanjian ekstradisi, maka permintaan
penyerahan harus tidak dilakukan
20
Oleh karena salah satu tujuan dari ekstradisi ini adalah menjamin
kepastian hukum bagi semua pihak, khususnya bagi orang yang
diminta, maka hak negara peminta untuk mengadili dan menghukum si
pelaku kejahatan hanya terbatas pada kejahatan-kejahatan untuk mana
dia diserahkan oleh negara diminta. Tegasnya, orang yang diminta
tidak boleh diadili dan dihukum atas kejahatannya selain daripada
kejahatan yang dijadikan sebagai dasar penyerahan atas dirinya. Dia
hanya boleh diadili dan dihukum khusus kejahatan itu saja. Inilah ya ng
dalam ekstradisi dikenal dengan asas kekhususan atau asas spesialitas.
Dengan demik ian sampai tahap ini terjaminlah suatu kepastian
hukum baik bagi negara peminta, negara diminta, maupun bagi orang
yang diminta itu sendiri.
Pengecualian terhadap asas kekhususan ini dapat berlaku dalam
hal- hal sebagai berikut 14 :
a. Apabila negara diminta menyatakan persetujuannya atas maksud
negara peminta.
b. Apabila orang atau si pelaku kejahatan itu sendiri menyatakan
persetujuannya.
c. Negara peminta dapat mengadili dan menghukum kembali orang
yang diminta apabila orang tersebut, setelah habis masa
hukumannya
14
diberi
waktu
oleh
negara
peminta
yang
21
15
bahwa
negara
berkewajiban
untuk
memberikan
yang
mengatur
tentang
of
nationals).
Pada
penyerahan
umumnya
warga
negara
negara
diminta,
15
22
Oppenheim, Op. Cit., hal.699. Pada tahun 1879, Inggris menyerahkan warga negaranya
kepada Austria,. Orang tersebut didakwa melakukan pembunuhan terhadap isterinya di Tyrol, dan
kemudian melarikan diri kembali ke Inggris.
17
Ibid., Permintaan ekstradisi Switzerlad terhadap Alfred Thomas Wilson wargan negara
Inggris yang melakukan pencurian di Zurich harus ditolak. Hal ini dimungkinkan oleh Perjanjian
Anglo-Swiss yang mengadopsi prinsip tidak menyerahkan warga negara dalam klausulnya.
23
melalui
kerjasama
internasional,
tetapi
harus
tetap
18
Undang-undang No. 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi pasal 10 dan pasal 11. Konvensi
Ekstradisi Eropa, pasal 9 Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Malaysia pasal 7. Perjanjian Ekstradisi
Indonesia-Philipina pasal VII.
24
19
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, oleh R. Soesilo, (Bogor: Politeia, 1994), ps .78
dan 84. Ps.78. 1e. sesudah lewat satu tahun bagi segala pelanggaran dan bagi kejahatan yang
dilakukan dengan mempergunakan percetakan ;
2e. sesudah lewat 12 tahun, bagi segala kejahatan yang terancam hukuman denda, kurungan atau
penjara yang tidak lebih dari tiga tahun;
3e. sesudah lewat 12 tahun, bagi segala kejahatan yang terancam hukuman penjara sementara yang
lebih dari tiga tahun.
4e. sesudah lewat 18 tahun bagi semua kejahatan yang terancam dihukum mati atau penjara
seumur hidup. Ayat (2) Bagi orang yang sebelum melakukan perbuatan itu umurnya belum cukup
18 tahun, maka tempo gugur waktu tersebut di atas dikurangi sepertiganya.
Ps. 84, ayat (2). Tempo gugurnya itu, untuk pelanggaran sesudah dua tahun, untuk kejahatan yang
mempergunakan percetakan sesudah lima tahun, dan untuk kejahatan lain sesudah sepertiganya
lebih dari tempo gugurnya penuntutan hak menuntut hukuman.
Ayat (4). Hak menjadikan hukuman mati tidak dapat gugur karena lewatnya waktu.
25
20
20
26
dibedakan
dengan
kejahatan
biasa.
Namun
dalam
21
27
22
28
XVI dan XVII yang dahulu melarikan diri, mulai pulang kembali ke
Perancis.
Pada abad ke-16 dan 17, sebelum terjadinya revolusi Perancis, hak
politik warga negara sama sekali tidak diperhitungkan. Beberapa penulis
pada masa itu, seperti Hobbes bahkan menyarankan hukuman yang lebih
berat bagi para pelaku kejahatan politik daripada pelaku kejahatan biasa 23 .
Hobbes percaya bahwa setiap individu sudah menyerahkan semua haknya,
termasuk hak untuk memberontak kepada negara. Sementara Grotius
berpendapat, bahaya pemberontakan internal seperti revolusi adalah
penyakit sosial yang paling buruk dan harus dicegah dengan segala cara.
Pendapat umum yang menentang penyerahan para pelarian politik
kemudian mulai populer di beberapa negara di Eropa, terutama di negaranegara dimana hak-hak dan kebebasan asasi manusia mulai dihormati.
Salah satu negara pelopor konsep tidak menyerahkan pelaku kejahatan
politik ini adalah Inggris. Seorang tokoh bernama Sir James Mackintosh
pada tahun 1815, mencetuskan konsep yang tidak membenarkan negara
menyerahkan pelaku kejahatan politik dan mereka harus diberikan suaka 24 .
Pandangan serupa juga mulai berkembang di negara- negara Eropa lainnya
seperti Perancis, Belgia, Belanda dan lain- lainnya.
Perancis dan Belgia boleh dikatakan sebagai negara yang
mempelopori langkah tidak menyerahkan pelaku kejahatan poltik dengan
mencantumkan larangan menyerahkan pelaku kejahatan politik di dalam
23
24
29
dalam
bidang
perundang- undangan
ekstradisi,
25
Ibid.
Ibid.
27
S. Prakash Sinha, Op. Cit., hal. 172
28
S. Prakash Sinha, Op. Cit., hal.1973
29
Ibid.
26
30
31
biasa, tetapi dibalik itu terselubung motif, latar belakang, maksud dan
tujuan politik dari si pelaku. Sebagai akibatnya, maka sangat sukar
memberikan perumusan yang jelas tentang isi dan ruang lingkup kejahatan
politik itu.
Pada prinsipnya ada tiga persamaan utama yang diberikan oleh
para sarjana maupun praktek negara-negara dalam menafsirkan atau
memberikan definisi terhadap apakah kejahatan politik itu30 . Suatu
kejahatan dapat dikatakan sebagai kejahatan politik apabila;
1) Berupa tindakan atau perbuatan yang merupakan bagian dari aktivitas
politik yang terorganisasi, atau
2) Tindakan atau perbuatan tersebut didominasi oleh unsur politik, atau
3) Tindakan atau perbuatan tersebut membenarkan pengecualian terhadap
ekstradisi untuk menghindari penghukuman politik.
Namun tiadanya perumusan yang berlaku secara umum untuk
kejahatan politik yang dapat diterima oleh negara- negara mengakibatkan
timbulnya ketidakpastian hukum. Usaha maksimal yang sudah ditempuh
adalah dengan menyerahkan kepada masing- masing negara apakah suatu
kejahatan itu termasuk kejahatan politik atau tidak. Biasanya negara yang
dimintakan penyerahan yang melakukan pertimbangan dan memutuskan
apakah suatu kejahatan itu bermotif, berlatar belakang, bermaksud atau
bertujuan politis.
30
32
31
33
34
35
BAB III
KEJAHATAN POLITIK
DALAM PERJANJIAN EKSTRADISI
yang
disyaratkan
dalam
perjanjian
ekstradisi
mengenai
36
Balancing Test , karena Swiss merupakan negara pertama yang
me mperkena lkan test ini dan diatur dalam undang- undang tentang
ekstradisi tahun 1892.
dikabulkannya
permintaan
penyerahan
terhadap
negara
yang
bertujuan
untuk
memindahkan
kekuasaan
37
otomatis dapat dikatakan sebagai pelaku kejahatan politik walaupun
memiliki motif politik. Ada tiga kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu
kejahatan untuk membuktikan bahwa kejahatan itu memiliki karakter
politik, yaitu; pertama harus ada kekacauan dan penggunaan kekerasan
yang berarti didalam suatu negara seperti, perang, revolusi, atau
pemberontakan. Kedua, kejahatan yang dimaksud dilakukan oleh
mereka yang berhubungan langsung dengan kekerasan tersebut, yang
bertujuan mencapai suatu kepentingan politik tertentu. Dan yang
terakhir, kejahatan yang dimaksud harus dilakukan dengan tujuan
menciptakan kekacauan politik.
38
kadang- kadang diperluas fungsinya dan berlaku juga bagi pejabat
pemerintahan yang lain 2 . Klausula attentat ini juga biasa dikenal dengan
sebutan klausula Belgia (Belgian Clause), hal ini dikarenakan pertama
kali di perkenalkan dalam undang- undang ekstradisi Belgia tahun 1856.
Hal ini berawal mula dari peristiwa percobaan pembunuhan Kaisar
Napoleon III pada tahun 1854. oleh dua orang warga negara Perancis
bernama Jules Jaquin dan Celestin Jaquin yang be rdomisili di Belgia.
Dalam usahanya untuk me mbunuh Kaisar Napoleon III mereka
memasang bom pada lintasan kereta api antara Lilied dan Calasis.
Ketika kereta api yang membawa Napoleon beserta keluarganya
melintasi jalan kereta tersebut, bom tersebut meledak namun tidak
berhasil
menewaskan
Napoleon
maupun
keluarganya.
Kemudian
39
tidak termasuk Inggris 3 dimana klausula attentat ini selalu dicantumkan
baik dalam perundang- undangan maupun perjanjian ekstradisi.
Dengan menghapuskan sifat politik dalam kejahatan semacam ini,
maka dapat dikatakan bahwa klausula attentat ini secara tegas telah
memperse mpit
isi
dan
ruang
lingkup
kejahatan
politik.
Dalam
3
4
40
pula bersamaan dengan peristiwa kudeta itu sendiri. Usaha- usaha untuk
membunuh sang tirani ini mempunyai tujuan yaitu mengakhiri
kekuasaannya untuk digantikan dengan pemerintahan yang baru. Dalam
hal inilah, jika si pelaku berhasil melarikan diri ke negara lain, sudah
sepatutnya ia diberikan perlindungan. Sebab, jika si pelaku diserahkan
kepada penguasa tirani itu, dapat dipastikan ia akan mengalami nasib
yang fatal di tengah sang penguasa yang tirani. Padahal berakhirnya
kekuasaan sang tirani tersebut dikemudian hari hanyalah soal waktu
saja.
Akan tetapi dalam hal ini, Shearer kurang memperhatikan aspek
psikologis dari masalah ini. Diperluasnya klausula attentat sampai pada
anggota keluarga dari kepala negara atau kepala pemerintahan dapat
dimengerti, oleh karena hilangnya salah satu anggota keluarga dari
kepala negara atau kepala pemerintahan dapat mempengaruhi mereka di
dalam menjalankan roda pemerintahan.
Namun kecaman Sheare seperti telah dikemukakan diatas, penting
untuk diperhatikan oleh negara- negara dalam membuat perundangundangan dan perjanjian- perjanjian tentang ekstradisi atau di dalam
menghadapi kasus-kasus tentang ekstradisi, khususnya kasus yang
berhubungan
dengan
pembunuhan
kepala
negara
atau
kepala
attentat
ini.
diharapkan
Negara
berhati- hati
diminta,
dalam
sebaiknya
menerapkan
melihat
dan
41
selama ia berkuasa. Apakah ia bertindak sebagai kepala negara atau
kepala pemerintahan yang demokratis dan menjunjung tinggi hak- hak
asasi manusia selama ia memerintah. Ataukah ia benar- benar seorang
tirani yang sudah tidak dikehendaki lagi oleh rakyatnya.
Disamping itu yang lebih penting lagi adalah, klausula attentat itu
merupakan hak negara diminta dalam mengambil keputusannya dengan
mempertimbangkan beberapa hal di atas. Jadi bukan merupakan
ketentuan imperatif yang mau tidak mau harus dituruti atau ditaati oleh
negara diminta 5 .
5
6
42
tersebut dipandang sebagai bukan kejahatan politik. Pada umumnya
kejahatan semacam ini dipandang sebagai kejahatan yang merupakan
musuh umat manusia (hotis humanis generic) dan oleh karena itu menjadi
kewajiban dari umat manusia untuk memberantasnya. Kejahatan ini
sendiri bisa ditujukan kepada negara, individu atau kelompok individu,
dan kadang-kadang sasarannya tidak terbatas hanya pada satu negara
saja atau kelompok individu. Dia memperlihatkan cir i-cirinya yang
transnasional, oleh karena itu kejahatan semacam ini sering disebut
transnasiona l 7 .
Didalam perjanjian ekstardisi kejahatan semacam ini secara tegas
dinyatakan sebagai bukan kejahatan politik atau dengan kata lain, sifat
politiknya dihapuskan sehingga si pelaku tidak dapat berlindung di balik
kejahatan
politik.
Namun
tidak
semua
perjanjian
ekstradisi
I. Wayan, Op. Cit., hal 80. Seperti kejahatan Genocide, Perbudakan, Pembajakan, Penjualan
obat terlarang, sudah diakui sebagai kejahatan internasional (international crime)
43
Tidak adanya perumusan yang diterima secara umum mengenai
kejahatan politik ini menimbulkan ketidak pastian hukum. Sebab dalam
prakteknya,
diserahkan
kepada
masing- masing
negara
untuk
sarjana
hukumnya
yang
terkemuka,
keputusan- keputusan
B.1 Inggris
Di negara Inggris masalah motif yang mendorong dilakukannya
suatu kejahatan misalnya suatu kejahatan biasa yang didorong oleh motif
politik, dipandang sebagai hal yang tidak relevan. Adapun motif yang
mendorong dilakukannya suatu kejahatan politik tidaklah merupakan
masalah. Semula kejahatan politik dipandang dalam isi dan ruang
lingkupnya yang sempit, yaitu hanyalah kejahatan-kejahatan yang
44
dilakukan dalam hubungannya dengan perang saudara didalam satu
negara atau hal- hal yang berhubungan dengan huru- hara politik dalam
suatu negara.
Seorang sarjana hukum Inggris bernama J.S. Mill, pernah
mendefinisikan kejahatan politik sebagai kejahatan yang dilakukan
dalam hub ungannya dengan atau sebagai bagian dari huru- hara politik.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Hakim Stephen. Kedua
pendapat ini jika hubungkan dengan situasi dan kondisi saat ini, jelas
sudah banyak ketinggalan, sebab ruang lingkupnya tampak sangat
sempit.
Namun
demikian,
pendapat
kedua
sarjana
ini
sempat
mempengaruhi putusan- putusan pengadilan di Inggris dalam perkaraperkara yang berkaitan dengan ekstradisi. Demikianlah dapat ditujukan
pada kasus Castioni (Castioni Case) antara Inggris dan Swiss pada tahun
1891. Castioni adalah seorang warga negara Swiss yang berasal dari
Canton Ticino, telah menembak mati seorang anggota parlemen Canton
itu dalam suatu peristiwa huru- hara yang timbul karena perasaan tidak
puas dari sebagian besar warga Canto Ticino terhadap pemerintahnya.
Castioni sebagai seorang pemimpin dalam peristiwa huru- hara tersebut
setelah menembak mati anggota parlemen lalu melarikan diri ke Inggris.
Swiss meminta penyerahannya kepada Inggris.
Dalam menilai kejahatan yang dijadikan dasar unt uk meminta
penyerahan oleh Swiss, pengadilan Inggris mengutip pendapat yang
dikemukakan oleh J.S Mill yang berpendapat bahwa kejahatan yang
45
dilakukan oleh Castioni itu adalah merupakan kejahatan politik.
Akhirnya Inggris menolak permintaan ekstradisi Swiss.
Akan tetapi dalam kasus lain, yaitu kasus Meunir, pengadilan
Inggris menolak pendapat yang menganggap kejahatan yang dilakukan
oleh
Meunir
dan
yang
dapat
dijadikan
dasar
untuk
meminta
timbulnya banyak
mempertimbangkan
permintaan
ekstradisi
Perancis
kehendaknya
kepada
pemerintahan
yang
sah,
atau
46
Cave J, hanya membatasi kejahatan politik kedalam keadaan suatu
negara dimana ada dua pihak yang sedang berselisih khususnya dalam
pemberontakan atau makar. Pada kasus ini, Meunir dalam melakukan
kejahatannya itu hanyalah seorang diri ditambah lagi adalah penganut
paham anarkhisme yang dipandang sebagai musuh umat manusia.
Akhirnya Meunir diserahkan oleh Inggris kepada Perancis.
Pengadilan Inggris kemudian dihadapkan dengan kasus yang
cukup sulit akibat dipersempitnya isi dan ruang lingkup kejahata n politik
itu sendiri. Dalam kasus Governor Brixton Prison V. Kolozynsky atau
yang lebih dikenal dengan kasus Pelaut Polandia (Polish Seamen Case)
pada tahun 1955. Pengadilan Inggris diminta untuk memberikan
pendapatnya terhadap 7 (tujuh) orang pelaut Polandia yang telah
memaksa kapten kapal Polandia beserta awaknya dilaut lepas, supaya
berlayar ke Inggris untuk mencari suaka karena tidak senang kepada
pemerintah Poladia yang baru. Apakah kejahatan yang dilakukan ke
tujuh pelaut tersebut merupakan kejahatan politik atau bukan ?
Permintaan ekstradisi Polandia kepada Inggris didasarkan atas
tuduhan
melakukan
kejahatan
pembajakan
di
laut
lepas
dan
47
saling berselisih dimana ketujuh pelaut Polandia itu memihak pada kaum
pemberontak yang melawan pemerintah yang sah. Jikalau demikian,
maka dapat dipastikan bahwa kejahatan yang dilakukan sebagai dasar
untuk meminta penyerahan oleh Polandia adalah kejahatan politik.
Namun setelah diselidiki pada saat itu di Polandia tidak terdapat dua
pihak yang saling berselisih. Tegasnya tidak ada kaum oposisi yang
terorganisir menentang pemerintah Polandia yang sah.
Tetapi dalam kasus pelaut Polandia ini pengadilan Inggris
menginterprestasikan kejahatan politik secara lebih luas. Penggolongan
suatu kejahatan sebagai kejahatan politik harus dihubungkan dengan
perubahan- perubahan situasi dan kondisi politik dunia atau suatu
negara. Memang saat itu di Polandia sudah terjadi perubahan politik,
dimana Polandia sudah menjadi anggota blok timur atau komunis.
Demikian pula situasi politik dunia juga telah berubah terutama setelah
perang dunia ke II, dengan munculnya dua blok raksasa yaitu blok barat
dan blok timur. Disamping itu juga ada kekuatan ke tiga yang disebut
dengan kelompok negara- negara non- blok.
Dalam hal ini pengadila n Inggris memandang kasus ketujuh
pelaut Polandia dalam hubungannya dengan situasi dan kondisi pada
saat itu. Atas dasar itulah pengadilan Inggris membuat konstruksi bahwa
ketujuh pelaut Polandia itu harus di pandang sebagai satu kelompok
politik (a political unit) yang sedang memberontak terhadap kesatuan
politik yang lain, yaitu Pemerintah Polandia yang sah. Dengan konstruksi
ini pengadilan Inggris juga tidak menyimpang dari asas preseden.
48
Dari tiga kasus yang telah diputuskan oleh pengadilan Inggris,
ternyata Inggris tidak bisa konsisten memegang satu rumusan kejahatan
politik. Dari pandangan luas (kasus Castioni) kemudian di persempit
(kasus Meunir) dan akhirnya diperluas lagi (kasus Pelaut Polandia) yang
semuanya itu tidak bisa dilepaskan dari situasi dan kondisi pada
masanya serta sistem politik negara- negara yang dihadapinya.
49
Dalam sejarah ekstradisi, Amerika Serikat pernah menolak
permintaan Kuba atas dua orang penjahat pelarian yang menjadi
anggota kelompok revolusioner yang oleh Kuba dituduh melakukan
pembunuhan terhadap para tahanan selama terjadinya ker usuhan pada
masa berkuasanya rezim Baptisa dengan alasan kejahatan yang
dijadikan dasar untuk meminta penyerahan oleh Kuba adalah kejahatan
politik, yang bertalian dengan peristiwa huru- hara di Kuba.
Demikian pula penolakan atas permintaan Pemerintah Yugoslavia
terhadap dua orang bekas pejabatnya yang mencari perlindungan di
Amerika Serikat, juga dengan alasan bahwa permintaan penyerahan
Yugoslavia didasarkan atas kejahatan politik yaitu mengobarkan rasa
kebencian dan permusuhan terhadap pemerintah Yugoslavia yang sah.
Akan tetapi, tindakan Amerika Serikat yang mengabulkan
permintaan penyerahan Venezuela pada tahun 1963 atas diri Jimenez,
bekas kepala negara Venezuela yang digulingkan, memang menimbulkan
tanda tanya besar. Setelah Jimenez digulingkan oleh rezim baru
Venezuela, dia melarikan diri ke Amerika Serikat. Oleh penguasa baru
Venezuela, diajukan permintaan penyerahan kepada Amerika Serikat
dengan tuduhan bahwa Jimenez selama memerintah, telah menerima
komisi secara tidak sah dari perusahaan- perusahaan yang pernah
menandatangani kontrak dagang dengan pemerintah Jimenez untuk
kepentingan pribadinya. Tetapi permintaan penyerahan itu disertai
dengan jaminan bahwa Jimenez akan diadili semata- mata karena
kejahatan korupsi dan menerima suap, sama sekali bukan karena
50
kejahatan politik atau kejahatan yang tidak ada hubungannya dengan
kejahatan politik.
Akan tetapi, dalam hubungannya dengan seorang penjahat
pelarian yang sebelumnya pernah menduduki jabatan sebagai kepala
negara, tampakanya amat sulit untuk memisahkan antara kejahatan
biasa dan kejahatan politik yang pernah dilakukannya selama ia
berkuasa. Namun dalam kasus Jimenez pemerintah Amerika Serikat
sangat begitu yakin akan jaminan yang diberikan oleh pemerintah
Venezuela,
sehingga
diputuskan
untuk
mengabulkan
permintaan
kasus
lain
yang
juga
perlu
diperhatikan
dalam
akan
51
Panama. Namun sehari sebelum permintaan eksradisi secara resmi
disampaikan
oleh
Iran
kepada
Panama,
Sah
Iran
sudah
pergi
memperlihatkan
praktek
yang
sudah
cukup
mapan.
52
(1) Kejahatan politik murni atau puely political offence
(2) Kejahatan politik yang kompleks (de delit complexe)
(3) Kejahatan politik yang bertautan (den delit connexe)
Menurut Ivan Anthony Shearer 10 , pasal ini mencerminkan
penggolongan kejahatan politik yang umum dianut oleh para penulis
Amerika Latin. Jelasnya, yang merupakan kejahatan politik murni
adalah kejahatan yang semata- mata ditujukan pada ketertiban politik (an
act solely directed against political order) suatu negara. Kejahatan politik
yang kompleks adalah kejahatan yang disamping ditujukan kepada
ketertiban politik, juga terhadap hak- hak pribadi dari warga negara.
Sedangkan kejahatan politik yang bertautan adalah kejahatan itu sendiri
tidak ditujukan kepada ketertiban politik akan tetapi mempunyai
hubungan erat dengan tindakan atau kejahatan lain yang ditujukan
kepada ketertiban politik
11
preponderance
yang
pada
prinsipnya
melihat
dan
53
merupakan faktor yang menentukan untuk diterima atau ditolaknya
permintaan ekstradisi.
Meskipun teori preponderance ini telah memberikan jalan keluar
dari
kemelut
sukarnya
mengklasifikasikan
kejahatan
politik
dan
54
Jakarta, dituduh telah melakukan penggelapan uang nasabah bank
tersebut, dan kemudian mearikan diri ke Austria.
Indonesia meminta penyerahannya kepada Austria berdasarkan
asas resiprositas (timbal balik) oleh karena antara kedua negara belum
terikat dalam perjanjian ekstradisi. Semula Austria telah menyatakan
kesediaannya menyerahkan Tan Tjong Hoa kepada Indonesia, tetapi
kemudian Austria menolak permintaan Indonesia. Sebagai alasan
penolakan tersebut adalah bahwa kejahatan yang dituduhkan atau yang
dijadikan dasar untuk meminta penyerahan Tan Tjong Hoa oleh
Indonesia adalah kejahata n politik, yaitu ada hubungannya dengan
masalah ras dimana Tan Tjong Hoa sebagai warga negara Indonesia
keturunan Cina. Hal ini oleh Austria dipandang sebagai diskriminasi
rasial. Keputusan Austria ini, tampaknya dipengaruhi oleh ketentuan
pasal 3 ayat 1 dan 2 Konvensi Ekstradisi Eropa.
54
BAB IV
KEJAHATAN POLITIK DALAM PERJANJIAN-PERJANJIAN
EKSTRADISI MENURUT KONVENSI INTERNASIONAL
55
2. Alasan- alasan politis tertentu dalam mencapai cita-citanya dengan
mengurangi hak asasi warga negaranya,
3. Pemerintahan dalam keadaan darurat,
4. Mekanisme/jaringan pemerintahan antara pusat dengan bawahnya
apakah terlepas karena berbagai faktor (krisis kewibawaan,
korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan lain- lain),
5. Sebagian besar rakyat masih dalam keadaan kurang,
6. Belum/tidak
adanya
hukum/peraturan
positif
aplikatif
dalam
kehidupan bernegara.
Setiap negara yang mengklaim dirinya sebagai negara hukum, harus
memberikan jaminan perlindungan terhadap hak- hak asasi manusia 3 .
Selain itu, kenyataan bahwa manusia adalah mahluk sosial dan
politik (zoon politicon / man is an social and political being) yang hidup
dalam suatu masyarakat dan negara yang membawa konsekuensi lebih
lanjut tentang adanya suatu golongan yang disebut pemimpin atau
penguasa dan golongan lain yang disebut rakyat. Dari sini timbul
persoalan tentang hak asasi manusia, lebih lagi dari pihak penguasa
dengan legalitas hukum yang dimiliki, menafsirkan hak asasi manusia
secara subyektif.
Demikian
pula
dalam
hubungannya
dengan
pelaksanaan
Pemerintah
atau
penguasa
negara
diminta,
dalam
M. Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Atas Hak Asasi Manusia,
(Jakarta : Ghalia Indonesia, 1980), hal. 14
56
memastikan bahwa apabila orang yang diminta dikembalikan ke
negaranya, ia tidak akan menerima penghukuman yang bertentangan
dengan derajatnya sebagai manusia.
Dalam kasus kejahatan politik, tidak ada cara lain selain menolak
permintaan
penyerahan.
Karena
pelaku
kejahatan
politik
yang
diminta
(negara
tempat
pelaku
melarikan
diri)
adalah
4
5
57
diselewengkan oleh oknum-oknum tertentu yang ingin menyelundupkan
kejahatan yang dilakukannya ke dalam perlindungan kejahatan politik.
Di bawah
dengan
tujuan
dari
konvensi
itu
sendiri
secara
Edwin Short & Claire de Than, Civil Liberties : Legal Principle of Individual Freedom, 1th
ed., (London: Sweet&Maxwel,1998), hal. 455.
Misalnya, Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 3 no one shall be subjected to torture or
to inhuman or degrading treatment or punishment. Pasal ini mempunyai kewajiban untuk melarang
pelaksanaan ekstradisi apabila ada kemungkinan dilaksanakannya penghukuman yang kejam, atau
tidak manusiawi atau hukuman yang menurunkan derajat manusia.
7
Ibid. , hal. 456
58
Terdapat sejumlah ketentuan tentang hak asasi manusia di dalam
piagam PBB8 . Antara lain, Pasal 1 mengenai tujuan, yang di dalamnya
termasuk tuj uan dari organisasi ini memajukan dan mendorong
penghormaan terhadap hak- hak asasi manusia dan kebebasan- kebebasan
dasar bagi semua umat manusia tanpa membedakan ras, jenis kelamin,
bahasa atau agama. Kemudian, Pasal 13 mencatat bahwa Majelis Umum
membuat prakarsa untuk mengadakan penyelidikan dan mengajukan
rekomendasi- rekomendasi yang berhubungan dengan pelaksanaan hakhak asasi manusia tersebut. Sedangkan Pasal 55 menyatakan bahwa PBB
memajukan penghormatan terhadap hak- hak asasi manusia diseluruh
dunia, demikian pula pengejawatannnya. Dan ketentuan yang paling
penting, Pasal 56 menyatakan bahwa semua anggota bersumpah akan
mengambil tindakan bersama maupun secara sendiri-sendiri dalam
kerjasamanya dengan organisasi ini demi tercapainya ketentuanketentuan dalam pasal 55.
Dapat dilihat bahwa ketentuan- ketentuan tentang hak asasi
manusia di dalam piagam ini masih sangat umum dan kurang jelas 9 . Juga
tidak terdapat satu ketentuan yang memaksa pelaksanaan dari pasalpasal ini10 . Beberapa pendapat mengatakan bahwa, kata bersumpah
(pledge) pada pasal 56 memberi pengaruh terhadap pasal 55 dan
Sebagian besar adalah hasil perundingan anta organisasi non-pemerintah di konfrensi San
Fransisco
9
hal. 194
10
59
merubahnya menjadi suatu kewajiban hukum. Tetapi inipun masih
menjadi perdebatan 11 .
Dalam hubungannya dengan ekstradisi, tentu saja praktek
ekstradisi di negara- negara anggota PBB harus menghormati dan tidak
boleh bertentangan dengan pasal- pasal tentang hak- hak asasi ini.
b. Deklarasi hak- hak asasi manusia sedunia (The Universal Declaration of
Human Rights)
Deklarasi ini di adopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10
Desember 1948 dengan persetujuan dari semua negara anggota
(Chechoslovakia, Polandia, Ukrania, Yugoslavia, USSR, Saudi Arabia
Abstain) 12 .
Deklarasi ini tidak diartikan sebagai suatu dokumen yang
memiliki kekuatan hukum mengikat, tetapi sebagaimana dinyatakan
didalam pembukaannya, diterima sebagai standar umum oleh semua
orang dan bangsa13 . Ketiga puluh pasalnya memuat kumpulan hak- hak
yang cukup luas. Dari hak atas kebebasan dan rasa aman seseorang
(pasal 3), persamaan dihadapan hukum (pasal 7), hak atas ganti rugi
yang efektif (pasal 8), sampai hak ekonomi dan sosial seperti hak untuk
pekerjaan dan penghasilan yang layak (pasal 23), hak atas keamanan
sosial (pasal 25) dan hak untuk mendapatkan pendidikan (pasal 26).
Deklarasi hak- hak asasi manusia sedunia ini telah memberikan
pengaruhnya
11
Ibid
Ibid, hal. 196
13
Ibid
12
yang
cukup
besar
kepada
negara- negara
dalam
60
merumuskan
perundang- undangannya
dan
terhadap
perjanjian-
kini
sedang
diberikan
terhadap
usaha
untuk
membentuk suatu konvensi hak- hak asasi manusia sedunia yang memiliki
kekuatan hukum yang mengikat. Tetapi tampaknya akan memerlukan
waktu yang sangat panjang, mengingat hal ini sangat sensitif menyangkut
semua bidang kehidupan. Sementara itu beberapa perjanjia n tentang hak
asasi manusia yang lebih khusus telah dibentuk, yang membawa kepada
dibentuknya beberapa konvensi internasional yang sangat penting dan
dapat sangat berhubungan dengan permasalahan kejahatan politik
dalam perjanjian ekstradisi. Beberapa konvensi tersebut yang perlu
dicatat disini adalah ;
c. Konvensi Internasional Tentang Hak- Hak Sipil dan Politik (The
International Covenant on Civil and Political Rights)
Konvensi penting ini diadopsi pada tahun 1966 dan mulai
berkekuatan hukum pada tahun 1976. Pasal 2 dari konvensi ini
menyatakan,
semua
negara
peserta
wajib
berpartisipasi
dalam
sebagai
suatu
kewajiban
yang
mengikat
(binding
61
perlakuan tidak layak dan perbudakan (pasal 7 dan 8), hak atas
kebebasan dan rasa aman (pasal 9), kebebasan berpikir, berkeyakinan
dan beragama (pasal 18), kebebasan berkelompok (pasal 22), dan hak
dari golongan minoritas untuk hidup sesuai dengan kebudayaan mereka
(pasal 27).
Dalam
permasalahan
kejahatan
politik
pada
perjanjian-
62
discrimination of any kind, when such pain or suffering is inflicted by or
at instigation of or with the consent or the acquiescence of a public official
or other person acting in official capacity. It does not include pain or
suffering arising only from, inherent in or incidental to lawful sactions
(pasal 1 (a)).
Negara anggota konvensi ini berkewajiban untuk mengambil
tindakan untuk mencegah terjadinya tindakan seperti tersebut pada
pasal 1 di dalam wilayah hukum mereka (pasal 2). Dan tidak
mengembalikan seseorang ke negara dimana ia dapat dijadikan subyek
penyiksaan seperti yang dimaksud pasal 1 (pasal 3). Konvensi ini juga
menetapkan penyiksaan sebagai suatu kejahatan dan menetapkan hukum
atas permasalahan ini (pasal 4 dan 5), menghukum atau mengesktradisi
orang yang dituntut atas kejahatan penyiksaan (pasal 7), serta
memberikan perlindungan dan pengobatan terhadap orang-orang yang
menjadi obyek penyiksaan (pasal 14).
Perlindungan yang dimaksud dalam pasal 14 dapat dilakukan
dengan memberikan larangan ekstradisi bagi mereka yang terancam
hukuman semacam itu seperti dimaksud pada pasal 1. Salah satunya
berlaku bagi pelaku kejahatan politik.
e. Konvensi yang berhubungan dengan status orang yang dalam pelarian
(Convention Relating to the Status of Refugees)
Konvensi ini mengartikan pelarian atau refugee sebagai ;
A person owing to a well founded fear of being persecuted for reason of
race , religion, nationality, membership of a particular social group or
political opinion, is outside the country of his nationality and is unable or,
owing to such fear, is un willing to avail himself of that protection of that
country, or who, not having a nationality and being outside the country of
his former habitual residence as a result of such events, is unable or,
owing to such fear, is unwilling to return to it (pasal 1A).
63
Konvensi ini secara jelas memberikan perlindungan kepada
pelarian yang melarikan diri dari negaranya karena alasan- alasan ras,
agama, kebangsaan, keanggotaan dari suatu kelompok politik atau sosial
seperti yang dimaksud pasal 1. Dalam hubungannya dengan ekstradisi,
akan menimbulkan pertanyaan seperti ini; dapatkah terhadap seorang
pelarian (refugee) dilakukan penyerahan (ekstradisi)? Tidak ada
kewajiban
suatu
negara
untuk
melakukan
penyerahan
terhadap
tentang
ekstradisi
memberikan
pengecualian
64
terdapat batasan- batasan terhadap siapa perlindungan bagi pelarian
politik ini diberikan. Perlindungan ini tidak berlaku bagi mereka yang
masuk dalam kategori pasal 1F, yaitu :
(a) Telah melakukan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang,
atau kejahatan kemanusiaan,
(b) Ia telah melakukan kejahatan non- politik yang serius sebelum ia
masuk ke negara di mana ia meminta status refugee,
(c) Ia telah divonis bersalah atas tindakan- tindakan yang bertentangan
denga n tujuan dari Perserikatan Bangsa- Bangsa.
Pembatasan ini dimaksudkan agar tidak terjadi penyalahgunaan dan
tujuan memberikan perlindungan terhadap pelaku kejahatan politik
tepat mengenai sasaran.
f. Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Terhadap
Orang yang Dilindungi Secara Internasional, Termasuk Utusan-Utusan
Diplomatik (Convention on the Prevention and Punishment of Crimes
Against Internationally Protected Person Including Diplomatic Agents).
Konvensi ini diadopsi oleh Majelis Umum pada tanggal 14
Desember 1973, dan mulai berlaku pada tanggal 20 Februari 1977.
Dalam Konvensi ini diatur aspek-aspek yang menyangkut
pencegahan dan penghukuman kejahatan yang dilakukan terhadap
orang-orang yang dilindungi secara internasional. Wala upun konvensi ini
tidak secara langsung berkaitan dengan hak- hak asasi manusia, namun
terdapat beberapa ketentuan yang sangat menarik dan berkaitan erat
dengan ekstradisi.
65
Pasal 1 konvensi ini berisi tentang pribadi- pribadi yang dilindungi
secara internasional, dimana termasuk pejabat diplomatik, Kepala
Negara, Kepala Pemerintahan, Menteri Luar Negeri yang sedang berada
di negara lain, juga pejabat negara maupun pejabat atau agen suatu
organisasi internasional. Sedangkan pasal 2 menjelaskan tentang bentukbentuk kejahatan apa saja yang dapat dihukum oleh negara peserta
berdasarkan hukum nasionalnya, yang antara lain mencakup ; (a)
pembunuhan, penculikan, atau serangan lain terhadap diri, atau
kebebasan dari orang-orang yang dilindungi secara internasional; (b)
Serangan hebat terhadap gedung perkantoran, tempat tinggal pribadi
atau alat- alat transportasi yang digunakan oleh orang yang dilindungi
secara internasional; (c) ancaman untuk melakukan kejahata n tersebut;
(d) percobaan unt uk melakukan kejahatan tersebut; (e) ikut serta dalam
melakukan kejahatan tersebut.
Hal penting mengenai ekstradisi diatur dalam pasal 7 dan pasal 8
konvensi ini. Dalam pasal 7 ditentukan bahwa negara peserta apabila
tidak melakukan ekstradisi, harus melakukan proses hukum yang sesuai
denga n hukum nasionalnya. Pasal 8 menyatakan; (1) apabila bentuk
kejahatan dalam pasal 2 tidak termasuk dalam perjanjian ekstradisi
antar negara- negara peserta, maka kejahatan demikian haruslah
dianggap termasuk di dalamnya; (2) bagi negara peserta yang
mensyaratkan
adanya
suatu
perjanjian
untuk
memungkinkan
66
kejahatan yang termasuk dalam pasal 2 sebagai kejahatan- kejahatan
yang dapat diekstradisikan diantara mereka, berdasarkan ketentuan
prosedural dari hukum negara diminta; (4) setiap kejahatan tersebut,
untuk tujuan ekstradisi, harus dianggap seperti terjadi tidak hanya di
negara dimana kejahatan tersebut dilakukan tetapi juga diwilayah
negara di minta.
Yang sangat menarik untuk di cermati dalam kovensi ini adalah,
bahwa terhadap orang-orang yang disebut dalam pasal 1 diberikan suatu
perlindungan khusus. Perlindungan yang diberikan ini berbeda dengan
kekebalan yang mereka miliki, baik karena jabatan atau status mereka
(Immunity ratione personae) maupun karena tindakan mereka dalam
kapasitasnya
sebagai
pejabat
negara
yang
secara
internasional
dilindungi
(Internationally
67
ekstradisi (pasal 8 ayat (1), (2)). Tentu ketentuan ini hanya berlaku bagi
negara- negara peserta konvensi ini saja.
Nilai- nilai yang digunakan dalam konvensi ini adalah penerapan
dari prinsip klausula attentat yang menyatakan bahwa kejahatan
terhadap kepala negara serta keluarganya tidak dapat digolongkan
sebagai kejahatan politik, seperti yang telah kita bahas dalam bab
sebelumnya. Klausula attentat ini memberikan batasan terhadap
terminologi kejahatan politik itu sendiri, dan sudah umum diterima oleh
masyarakat internasional.
g. Statuta Roma Pengadilan Pidana Internasional (Rome statute of the
Internaional Criminal Court)
Dalam statuta ini terdapat satu pasal yang yang menarik, yang
bertolak belakang dengan perlindungan dan kekebalan yang diberikan
kepada orang-orang yang secara internasional dilindungi (Internationally
protected persons) seperti yang dijelaskan oleh konvensi diatas.
Pasal 27 dari statuta ini mengatakan bahwa, statuta ini berlaku
sama bagi semua orang, tanpa pengecualian yang didasarkan pada
kapasitas jabatan seperti, kepala negara atau kepala pemerintahan,
anggota pemerintahan atau parlemen, wakil terpilih atau pejabat negara
tidak
akan
menjadi
suatu
pengecualian
bagi
seseorang
untuk
68
inilah yang kemudian memberikan batasan terhadap hak- hak istimewa
yang diberikan kepada orang-orang yang dilindungi secara internasional.
Dari kedua pasal diatas, jelas terlihat bahwa kekebalan yang
diberikan kepada pejabat negara seperti kepala negara, wakil negara,
anggota
pemerintahan,
baik
karena
jabatannya
maupun
karena
serta
69
Demikianlah beberapa instrument internasional tentang hak asasi
manusia yang dapat kita bahas dalam penulisan ini, sehubungan dengan
pelaksanaan ekstradisi bagi pelaku kejahatan politik. Perjanjianperjanjian ekstradisi yang dibuat oleh negara peserta, haruslah
menyerap nilai- nilai yang terkandung dalam konvensi- konvensi ini, dan
tidak bertentangan dengannya.
atau
menghilangkan
orang,
penahanan
secara
ilegal,
70
Belgia, Perancis, Itali, Luxemburg, Swedia dan Chili atas tuntutan yang
sama.
Pengadilan Inggris dalam menilai apakah terhadap kasus ini
dapat dilakukan penyerahan, membuat dua pertimbangan yang cukup
luas. Yang pertama, apakah kejahatan yang dijadikan dasar untuk
meminta penyerahan, oleh hukum Inggris juga merupakan kejahatan
yang terhadapnya dapat dilakukan penyerahan. Kedua, jika jawabannya
dapat, apakah penyerahan Pinochet tidak bertentangan dengan hukum
(illegal), karena ia memiliki kekebalan sebagai bekas kepala nega ra (exhead of state immunity).
Dalam hukum Inggris, kejahatan yang dapat dimintakan penyerahannya,
harus merupakan kejahatan yang oleh kedua negara (negara diminta dan
negara yang meminta) dianggap sebagai tindakan pidana. Hal ini dikenal
dengan asas kejahatan ganda (double criminality). Sejak Spanyol
menyatakan bahwa tindakan tersebut dalam hukum Spanyol adalah
tindakan pidana, maka tidak ada masalah mengenai asas kejahatan
ganda ini.
Kemudian berlanjut kepada pertimbangan yang kedua, yaitu
apakah
dalam
hubungannya
dengan
kejahatan
yang
dapat
71
Pinochet mengatakan bahwa semua tindakan yang dijadikan dasar untuk
menuntutnya, berhubungan dengan tugasnya sebagai kepala negara pada
saat itu. Kalaupun tindakan itu dianggap sebagai kejahatan, maka sudah
seharusnya kejahatan itu digolongkan sebagai kejahatan politik.
Terhadap argumen ini, pengadilan Inggris berpendapat bahwa;
perta ma, ada beberapa norma hukum internasional yang sangat
mendasar dan begitu penting, sehingga tidak ada satu hukum nasional
atau perjanjian manapun yang dapat mengesampingkannya. Pelaku
kejahatan terhadap norma ini adalah musuh semua orang dan
kejahatannya dikenal dengan kejahatan internasional (international
crime) yang semua negara memiliki yurisdiksi atasnya. Kedua, Konvensi
yang menentang penyiksaan dan perlakuan kasar lainnya (The Convention
Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or
Punishment) secara tegas tidak memberikan kemungkinan immunity
ratione personae terhadap kejahatan- kejahatan yang dimaksud dalam
konvensi ini. Sebagai negara anggota dari konvensi ini (Spanyol, Chili,
Inggris), sudah seharusnya tidak memberikan jaminan kekebalan
tersebut. Dalam permasalahan kejahatan politik sudah diterima oleh
umum untuk kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)
tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan politik.
Dalam kasus ini 6 hakim setuju Pinochet diekstradisikan. Mereka
semua setuju kejahatan internasional tidak dapat disentuh oleh
kekebalan jenis apapun. Perlu dicatat disini, pendapat dari hakim Lord
Hutton yang mengatakan, Pinochet tidak dapat mengklaim bahwa
tindakannya tersebut adalah untuk menjalankan fungsinya atau tugasnya
72
sebagai kepala negara. Tindakan itu dilakukan oleh Pinochet dibawah
naungan statusnya sebagai kepala negara, tetapi tidak dapat dikatakan
sebagai salah satu tugasnya untuk menjalankan fungsinya sebagai kepala
negara, sementara hukum inte rnasional melarang tindakan tersebut
dalam situasi apapun. Karena itu para hakim sependapat Pinochet
dapat di ekstradisikan.
Analisa Kasus :
Pengadilan di Inggris telah beberapa kali menangani kasus
kejahatan politik. Pada setiap kasus, dalam mengambil keputusan selalu
mempertimbangkan situasi dan kondisi pada masanya dan sistem politik
negara yang sedang dihadapi 18 .
yang
totaliter,
Pengadilan
Inggris
memberikan
Contoh, dari pandangan luas pada kasus Castioni, kemudian dipersempit ketika menangani
kasus Meunir dan terhadap kasus Pelaut Polandia, mereka memperluas lagi definisi kejahatan politik.
19
73
ini dikuatkan dengan ketentuan dalam Statuta Roma Pengadilan Pidana
Internasonal pasal 27, yang menyatakan bahwa kapasitas jabatan sebagai
kepala negara atau kepala pemerintahan, anggota pemerintahan atau
parlemen, wakil terpilih atau pejabat negara tidak akan menjadi suatu
pengecualian
bagi
seseorang
untuk
mempertanggung
jawabkan
dijadikan
dasar
tuntutan
adalah
tindakan
dalam
rangka
hakim
Inggris
dalam
mengambil
kesimpulan
74
Spanyol dan Inggris menjadi anggotanya. Pasal 4 konvensi ini
menyerukan kepada anggotanya untuk menjadikan penyiksaan sebagai
kejahatan kriminal dan menjalankan proses hukum atas kejahatan
tersebut. Dan itulah yang dilakukan oleh Inggris terhadap kejahatan
yang dilakukan Pinochet. Hingga mereka sampai kepada keputusan
untuk mengabulkan permintaan ekstradisi terhadap diri Pinochet, dalam
hal ini kepada Chili, dimana Chili dipercayai sebagai negara yang paling
berkompeten untuk melangsungkan proses hukum atas Pinochet.
Mengingat Chili adalah negara yang memiliki keterkaitan paling dekat
dengan kasus ini, seperti ; Pinochet adalah warga negara Chili dan
kejahatan dilakukan di dalam wilayah teritorial Chili, maka keputusan
Inggris dirasa cukup tepat.
75
politik (political offender) oleh Kedutaan Besar Kolumbia. Untuk itu
Kolumbia meminta jaminan keamanan kepada pemerintah Peru bagi
Haya de la Torre untuk dapat meninggalkan negaranya dengan selamat.
Permintaan ini ditolak oleh Peru, dengan pendapat bahwa kejahatan
yang dilakukan oleh Haya de la Torre adalah kejahatan biasa (common
crimes), bukan kejahatan politik (political crime), dan perwakilan
diplomatik Kolumbia di Lima, berkewajiban untuk menyerahkan Haya
de la Torre kepada Pemerintah Peru untuk dapat diadili berdasarkan
dengan hukum Peru.
Karena tidak berhasil mencapai kesepakatan, kedua negara
menyerahkan kasus ini kepada International Court of Justice (ICJ).
Dalam keputusannya ICJ menyatakan ;
-
76
Dalam hal ini ICJ berharap para pihak menemukan suatu
pemecahan yang memuaskan dalam mempertimbangan keputusankeputusan di atas berdasarkan pada itikad baik dan hubungan baik
antara negara tetangga.
Analisa kasus :
Kasus Haya de la Torre ini menjadi rumit karena si pelaku masih
berada di wilayah negara dimana kejahatan tersebut dilakukan.
Walaupun sebenarnya, kedutaan besar Kolumbia di Peru adalah wilayah
ekstra- teritorial Kolumbia. Yang berarti di sana berlaku hukum
Kolumbia.
Sebelum kita menganalisa lebih jauh, ada baiknya kita membahas
sedikit tentang macam- macam suaka. Pada umumnya terdapat dua
macam suaka 20 ; suaka yang bersifat territorial (intern), yaitu yang
diberikan oleh suatu negara di dalam wilayah teritorialnya, dan suaka
yang bersifat ekstra- teritorial, yaitu yang diberikan oleh suatu negara
dalam wilayah ekstra- teritorialnya (berkenaan dengan kedutaan, wilayah
konsuler, markas besar internasional).
Dalam kasus ini, pemerintah Kolumbia melalui perwakilan
diplomatiknya di Lima, memberikan suaka kepada Haya de la Torre
berdasarkan kedaulatan atas wilayah ekstra- teritorialnya (jelas di sini,
Kolumbia memberikan suaka yang bersifat ekstra- teritorial). Suaka ini
diberikan atas pertimbangan Kolumbia, bahwa Haya de la Torre adalah
pelaku kejahatan politik (Political Offender), sehingga terhadapnya tidak
20
77
dapat dilakukan penyerahan (ekstradisi) dan ia patut diberikan
perlindungan (suaka) seperti yang tercantum dalam salah satu pasal
Perjanjian Bolivarian tentang ekstradisi dimana kedua pihak menjadi
anggotanya 21 . Tampaknya keputusan Kolumbia ini juga dipengaruhi oleh
definisi tentang kejahatan politik yang sedang berkembang saat itu.
Dimana kejahatan politik didefinisikan sebagai semua kejahatan yang
dilakukan
dengan
tujuan
untuk
menciptakan
perang
sipil,
21
22
78
keamanan untuk meninggalkan negaranya, apabila ia tertangkap. Dirasa
lebih adil baginya untuk mendapatkan status pelarian politik (political
refugee), mengingat semua kriteria kejahatan politik telah terpenuhi.
Dengan menetapkan bahwa Peru tidak berkewajiban untuk
menjamin keamanan pemindahan pelaku ke luar negeri dan Kolumbia
tidak berkewajiban untuk menyerahkan pelaku kepada Peru, ICJ secara
tidak langsung telah menempatkan pelaku dalam situasi yang tidak
menentu. Nasibnya menjadi tidak jelas, karena ia masih berada dalam
wilayah Peru (pemerintah Peru akan terus mencarinya). Pemindahan
dapat saja dilakukan oleh Kolumbia, namun keselamatannya terancam
karena tidak ada jaminan keamanan dari pemerintah setempat.
Walaupun Kolumbia tidak menyerahkan kepada Peru, resiko tertangkap
pemerintah
Terhadap
Peru keputusan
sangat b esar.
ICJ yang menetapkan bahwa kejahatan yang
dilakukan oleh Haya de la Torre adalah kejahatan militer, penulis
merasa kurang sependapat. Bukankah lebih tepat bila kejahatan ini
digolongkan sebagai kejahatan politik. Walaupun demikian, perlu diingat
bahwa perjanjian ekstradisi juga mengeluarkan kejahatan militer dari
daftar kejahatan yang dapat diekstradisikan23 . Terhadap kejahatan jenis
ini (kejahatan militer) diperlukan pengaturan tersendiri, terpisah dengan
perjanjian
Karena
ekstradisi.
masing- masing pihak berkeras kepada pendiriannya, ICJ
menyerahkan pelaksanaan keputusan tersebut berdasarkan itikat baik
dan hubungan baik antara negara bertetangga.
23
I Wayan, Op. Cit., hal.83
Hampir semua perjanjian ekstradisi secara tegas mengesampingkan kejahatan militer dari jenis atau
daftar kejahatan yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan permintaan ekstradisi. Contoh,
pasal 5 Perjanjian Ekastradisi Australia- Israel, Pasal 4 Konvensi Ekatradisi Eropa. Namun, banyak
juga terdapat perjanjian ekstradisi yang sama sekali tidak mengatur atau mencantumkan tentang
kejahatan militer. Contoh, Perjanjian Ekastradisi Indonesia-Malaysia.
78
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan sebelumnya penulis mendapatkan kesimpulan sebagai
berikut :
1. Hingga saat ini tidak ada suatu kesatuan pendapat dari negara-negara terhadap
definisi kejahatan politik, maka diperlukan suatu pembatasanpembatasan
terhadap terminologi ini, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan. Pembatasan
tersebut terdapat pada attentat clause dan international crime.
2. Perjanjian ekstradisi sendiri adalah perjanjian internasional yang dapat
diadakan baik secara bilateral maupun multilateral. Dibentuk untuk menjamin
kerjasama internasional antar negara-negara yang memiliki kepentingan
dalam usaha pemberantasan kejahatan yang berdimensi internasional.
3. Sebuah kejahatan dapat dikategorikan sebagai kejahatan politik apabila
terdapat hal- hal sebagai berikut :
-
Memiliki unsur politik yang lebih dominan dari unsur kejahatan biasa;
79
4. Permasalahan yang terkandung dalam kejaha tan politik adalah mengenai
kejahatan campuran dimana sebuah kejahatan baru dapat dikatakan sebagai
kejahatan politik apabila meme nuhi unsur-unsur yang ditentukan
5. Hingga saat ini belum terdapat sebuah konvensi yang secara penuh mengatur
tentang perlidungan terhadap pelaku kejahatan politik, namun terdapat
beberapa instrumen Hukum Internasional mengenai Hak Asasi Manusia, yang
dapat dijadikan dasar bagi pelaksanaan asas tidak meyerahkan pelaku
kejahatan politik antara lain adalah :
-
6. Dari analisa beberapa kasus pada penulisan skripsi ini dapat disimpulkan
bahwa, praktek negara-negara dalam menerapkan asas tidak menyerahkan
pelaku kejahatan politik, dalam hubungan dengan pelaksanaan ekstradisi
adalah berbeda -beda tergantung pada pertimbanga n hukum masing-masing
negara, yang juga dipengaruhi oleh kondisi dan situasi pada masa itu serta
sistem politik negara-negara yang dihadapinya.
80
B. Saran
Penulis mencoba memberi saran sebagai berikut :
1. Belum adanya definisi kejahatan politik yang dianut secara universal maka
perlu dibuat sebuah definisi yang bisa diterima dan disepakati oleh negaranegara didunia.
2. Perlu dibentuk sebuah lembaga internasional yang mengatur dan menangani
semua permasalahan yang berkaitan dengan ekstradisi khususnya masalah
kejahatan politik.
3. Perlu dibuatnya sebuah konvensi internasional mengenai kejahatan politik
yang telah memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi para peserta
maupun tidak dan di akui secara internasional
81
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Budiarto, M. Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan atas Hak Asasi Manusia.
Jakarta : Ghalia Indonesia, 1980.
Effendi A.Masyhur. Tempat Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasiona l /
Nasional. Bandung : Alumni, 1980.
Nussbaum, Arthur. A Concise History of The Law of Nations. Diterjemahkan oleh Sam
Suhaedi Admawirya : Sejarah Hukum Internasional. Jilid 1. Bandung : Binacipta,
1969.
Oppenheim, L. International Law, A treatise, Volume One Peace. 8th Edition. S.i. :
1960.
Parthiana , I Wayan. Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Indonesia. Bandung : Madar Maju, 1990.
Shaw, Malcom N. International Law. 3rd Edition. New York : Cambridge University
Press, 1991.
Short, Edwin; Claire de than. Civil Liberties; Legal Principles of Individual Freedom.
1th Edition. London : Sweet & Maxwel, 1998.
Sinha, S Prakash. Asylum and International Law. The Hague : Martinus Nijhof, 1997.
Starke, J.G. An Introduction to International Law. 4rd Edition. London : Butterworths &
Co (publisher), 1958.
Pengantar Hukum Internasional (An Introduction to International Law). 9th Edition.
Diterjemahkan oleh Sumitro L.S Danuredjo dan Lukas Ginting. S.i. : Aksara
Persada Indonesia, s.a.
KONVENSI
Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or
Punishment, 1984.
The International Covenant on Civil and Political Right, 1976.
Convention Relating to the Status of Refugees, 1954.
82
Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally
Protected Person, Including Diplomatic Agents, 1973.
Charter of the United Nation 1945.
The Universal Declaration of Human Rights 1948.
STATUTA
Rome Statute of the International Crime Court.
KAMUS HUKUM
Black, Henry Campbell. Blacks Law Dictionary. 4th Edition. Minnesota : West
Publishing Co, 1968.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Undang-Undang Tentang Ekstradisi. UU No.1 Tahun 1979.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Diterjemahkan oleh R. Soesilo. Bogor : Politea,
1994.