Anda di halaman 1dari 134

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN DI RUMAH SAKIT

UMUM DAERAH HAJI ABDUL MANAN SIMATUPANG KISARAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarja Hukum

Oleh :

PATY SASMITA

160200178

Departemen Hukum Keperdataan

Program Kekhususan Hukum Perdata BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2021

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : PATY SASMITA

Nim : 160200178

Departemen : HUKUM KEPERDATAAN BW

Judul skripsi : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN

DI RUMAH SAKIT UMUM HAJI ABDUL MANAN

SIMATUPANG KISARAN

Dengan ini menyatakan :

1. Skripsi yang saya tulis ini benar tidak merupakan jiplakan dari skripsi atau

karya ilmiah lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi ini adalah jiplakan, maka segala

akibat hukum yang timbul mennnjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyatan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau

tekanan dari pihak manapun.

Medan, 2021

PATY SASMITA

160200178

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah penulis mengucapkan puji syukur penulis ucapkan atas

kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang dengan rahmat dan

hidayah-Nya, memberikan kesehatan, kesabaran, dan kelapangan berpikir

sehingga telah memberikan penulis kekuatan dan inspirasi yang ada untuk

mampu menyelesaikan tugas menyusun skripsi ini. Sudah merupakan

kewajiban bagi setiap mahasiswa bahwa dalam menyelesaikan studi untuk

mencapai gelar kesarjaan USU untuk menyusun skripsi dalam hal ini penulis

memilih judul “Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Di Rumah Sakit

Umum Daerah Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran”. Penulis skirpsi

ini membahas tentang perlindungan hukum terhadap pasien yang terjadi di

rumah sakit yang ditinjau dari berbagai perundang-undangan di Indonesia.

Untuk memproleh informasi dan data-data dalam penulisan skripsi ini penulis

melakukan penelitian pada Rumah Sakit Umum Daerah Haji Abdul Manan

Simatupang Kisaran sebagai objek dalam penelitian ini.

Penulisan skripsi ini juga merupakan salah satu syarat bagi setiap

mahasiswa untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat untuk

mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, Departemen Hukum Keperdataan. Dalam perjalanan hidup

ini, penulis juga bersyukur atas berkah yang dikaruniakan Allah SWT, Tuhan

Yang Maha Esa dalam memberikan jalan kehidupan bagi setiap umat manusia,

yaitu dari jalan hidup yang berat menuju jalan hidup yang ringan melalui

Universitas Sumatera Utara


kebenaran dan ilmu yang bermanfaat yang didasari oleh iman. Penulis

menyadari bahwa hasil penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempuraan dan

masih banyak kekurangan, baik itu disebabkan litratur maupun pengetahuan

penulis sehingga pembuatan skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Dengan

lapang hati penulis selalu menerima kritikan, saran maupun masukan yang

bersifat mendidik dan membangun dari berbagai pihak. Kelak dengan adanya

saran dan kritikan tersebut, maka penulis akan dapat menghasilkan karya tulis

yang lebih baik dan berkualitas, baik dari segi substansi maupun dari segi cara

penulisanya.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimaksih yang

sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang secara langsung maupun tidak

langsung telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini maupun selama

penulis menempuh perkuliahan, khususnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Rektor Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas

Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan II dan

Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

yang telah banyak meluangkan waktunya memberikan arahan,

bimbingan, serta motivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

ii

Universitas Sumatera Utara


5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum selaku Ketua

Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

7. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen

Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I

yang telah banyak meluangkan waktunya memberikan arahan,

bimbingan, serta motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi

ini.

9. Bapak Mohammad Siddik, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing

Akademik Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Kepada kedua Orang Tua yang penulis sayangi, dan tercinta,

terimakasih yang tak terhingga atas doanya, terimakasih telah

memberikan banyak dukungan, kasih sayang, semangat, nasihat,

pengorbanan dan ketulusannya dalam mendapingi penulis. Semoga

Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan ridho-Nya kepada

keduanya.

11. Kepada kakak saya Nanin Purwita Sari dan abang saya Radinal Sufi

Manurung tercinta yang memberikan doa, dukungan, dan semangat

kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

iii

Universitas Sumatera Utara


12. Kepada Saudara-saudara penulis yang telah memberikan arahan,

motivasi, dukungan serta doa, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini.

13. Kepada Muhammad Muslim beserta sahabat tersayang Citra

Anggraini, Masliani Butar-Butar, Julia Riska Amanda.

14. Kepada teman-teman seperjuangan dari awal masuk kuliah sampai

sekarang Josedin Olanita Lumban Gaol, Ega Lyana Koes, Intan

Anggina Putri Harahap, Cut Mutia Dwi Utari, Irfah Anissya, Eva

Ratna Sari dan lain-lain.

15. Kepada seluruh teman-teman Grup A 2016.

16. Kepada seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

17. Kepada seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang telah memberikan pelayanan administrasi yang baik selama

proses akademik penulis.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, penulis berharap semoga apa

yang telah kita lakukan dapat berkah dari Allah SWT, dan skripsi ini dapat

bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis sendiri pada khususnya.

Semoga amal baik pihak-pihak yang telah memberikan bantuan terhadap

penulis, menerima balasan yang setimpal oleh Allah SWT Aamiin.

Medan, 2021

Paty Sasmita

iv

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Paty Sasmita *
Muhammad Husni **
Puspa Melati Hasibuan ***
Pada dasarnya mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu,
berkualitas dan aman adalah hak asasi bagi setiap individu. Pelayanan
dimaksud dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan kompetensi dan
keahliannya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan. Pelayanan awal berupa pemberian informasi medis,
jenis dan prosedur pelayanan yang ditujukan kepada pasien pada saat ia ingin
melakukan tindakan medis dalam hal ini, yang dengan rumusan masalah yaitu
bagaimana hubungan hukum antara pasien dengan dokter pada Rumah Sakit
Umum Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran, perlindungan hukum terhadap
pasien, dan bentuk penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan oleh para pihak
apabila terjadi wanprestasi dan perbuatan melawan hukum yang
mengakibatkan kerugian pada pasien.
Adapun metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif, merupakan
penelitian yang mengelola data-data sekunder yang meliputi buku-buku serta
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan,
hukum, kaidah-kaidah hukum, dan sistematika hukum serta mengkaji
ketentuan perundang-undangan, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya.
Sedangkan yang bersifat deskriptif dalam penelitian ini merupakan suatu
penelitian yang dilakukan dengan melakukan survei ke lapangan untuk
mendapatkan informasi melalui pengumpulan data dan wawancara yang dapat
mendukung teori yang telah ada.
Hasil penelitian yang diperoleh bahwa perlindungan hukum terhadap
pasien pada hubungan yang terjadi antara pasien dengan dokter dalam transaksi
terapeutik, yaitu perlindungan hukum preventif yakni pihak rumah sakit
memberikan edukasi terhadap pasien mengenai informasi jika melakukan
tindakan medis dalam hal pasien merasa dirugikan, pasien berhak menuntut
ganti rugi terhadap pihak rumah sakit. Ganti rugi akan dibicarakan melalui
proses mediasi terlebih dahulu sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal
1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kata kunci: Pasien, Rumah Sakit, Perlindungan Hukum.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


** Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
*** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... i

ABSTRAK ............................................................................................. iv

DAFTAR ISI .......................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................... 1

B. Permasalahan ............................................................ 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................ 8

D. Keaslian Penulisan ................................................... 10

E. Tinjauan Pustaka ...................................................... 13

F. Metode Penelitian ..................................................... 15

G. Sistematika Penulisan ............................................... 19

BAB II HUBUNGAN HUKUM ANTARA PASIEN DENGAN

DOKTER PADA RUMAH SAKIT UMUM HAJI ABDUL

MANAN SIMATUPANG

A. Pengertian Pasien ..................................................... 21

B. Perjanjian Terapeutik ............................................... 23

C. Hak-Hak dan Kewajiban .......................................... 29

D. Kedudukan Hukum Pasien dalam Pelayanan Kesehatan

................................................................................... 38

E. Hubungan Antara Pasien dengan Dokter ................. 41

vi

Universitas Sumatera Utara


BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN DI

RUMAH SAKIT UMUM HAJI ABDUL MANAN

SIMATUPANG KISARAN

A. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Pasien dalam

Berbagai Peraturan perUndang-Undangan di Indonesia ................ 52

B. Informed Consent (Persetujuan Tindakan Medis)

................................................................................... 85

BAB IV BENTUK PENYESELESAIAN SENGKETA YANG DAPAT

DIILAKUKAN OLEH PARA PIHAK APABILA TERJADI

WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM

YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN PADA PASIEN .

A. Pertanggungjawaban Apabila Terjadi Wanprestasi dan

Perbuatan Melawan Hukum yang Mengakibatkan Kerugian

Pada Pasien ............................................................... 95

B. Penyelesaian Sengketa yang Dapat Dilakukan Oleh Para

Pihak.......................................................................... 109

C. Kekuatan Hukum Terhadap Putusan BPSK (Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen) Bagi Para Pihak

................................................................................... 114

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................. 117

B. Saran.......................................................................... 118

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 119

vii

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN

A. Surat Riset

B. Surat Inforned Consent Rimah Sakit Umum Haji Abdul

Manan Simatupang Kisaran

viii

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah Negara hukum. Negara hukum yang tersemat

untuk Indonesia bukanlah sekedar sebutan saja, Indonesia telah mengakui

bahwa Negara ini adalah Negara hukum yang tertuang di dalam Undang-

Undang Dasar 1945. Pernyataan Indonesia adalah Negara hukum tercantum di

dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pada Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi:

“Negara Indonesia adalah Negara hukum” bahwa hal ini semakin

mempertegas kepada seluruh masyarakat bahwa Indonesia adalah Negara

hukum, sehingga rakyat wajib untuk mentaati aturan yang berlaku. Di

Indonesia istilah Negara hukum secara konstitusional telah disebutkan pada

UUD 1945. Penggunaan istilah Negara hukum mempunyai perbedaan antara

sesudah dilakukan amandemen dan sebelum dilakukan amandemen. Konsep

Negara hukum bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan Negara harus

dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik. Hubungan antara yang

diperintah (governed) dan memerintah (governor) dijalankan berdasarkan

suatu norma objektif, bukan pada suatu kekuasaan absolut semata-mata, norma

objektif tersebut harus memenuhi syarat formal dan dapat dipertahankan oleh

ide hukum. Negara Indonesia yang didirikan di atas landasan hukum

Universitas Sumatera Utara


2

bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan

UUD 1945.1

Tujuan nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945

adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.2

Cardozo, seorang Hakim Agung terkemuka dari Amerika Serikat

pernah mengatakan bahwa apabika seseorang mempelajari hukum, maka:

“… you will study the life of makind … you will study the precepts of justice,

for these are the truths that though you shall come to their hour of thriumph.

Here is the high emprise, the fine endeavor, the splendid possibility of

achievement”. Pernyataan tersebut menyangkut suatu bidang yang sangat luas,

yang lazimnya dinamakan disiplin hukum. Disiplin hukum tersebut merupakan

suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau realita hukum. Semua renungan

tentang tujuan hukum didasarkan pada konsepsi manusia, baik sebagai

individu yang berpikir maupun yang berpolitik atau berorganisasi. Oleh sebab

itu disiplin hukum harus mengandung unsur-unsur filsafat dan memperoleh

warna dan isi yang khas dari ajaran politik.3

Berhubungan dengan disiplin hukum dan kedokteran dikenal pula ilmu

kedokteran kehakiman atau ilmu kedokteran forensik (medical forensic

science) sebagai ilmu pengetahuan di bidang kedokteran yang diperbantukan


1
https://www.padamu.net/pengertian-negara-indonesia-adalah-negara-hukum
2
Ns. Ta‟adi, Hukum Kesehatan, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2010, hal 6.
3
Dhany Wiradharma, Hukum Kedokteran, Binarupa Aksara, Jakarta, 1996, hal 1.

Universitas Sumatera Utara


3

untuk menemukan kebenaran materil yang berhubungan dengan alat bukti

berupa tubuh manusia atau bagian dari tubuh manusia dalam rangka

penegakan hukum. Dengan demikian, dalam ilmu kedokteran kehakiman, ilmu

kedokteran digunakan dalam penegakan hukum (medicine for law); sedangkan

hukum kesehatan atau hukum kedokteran merupakan hukum yang mengatur

segala pelayanan di bidang kesehatan (law for medicine).4

Hubungan hukum dokter dengan pasien pada hakikatnya adalah

hubungan yang saling membutuhkan dan didasari dengan kepercayan, namun

dalam perjalannya tidak mustahil berujung pada sebuah sengketa dan

berhadapan dalam sebuah persidangan, hal ini tentu menjadi sebuah potret

yang tidak dikehendaki oleh para pihak. Hubungan hukum merupakan suatu

hubungan antara lembaga dan mahasiswa yang untuk menyeimbangkan hak

dan kewajiban. Tujuan hukum adalah untuk ketertiban, setiap orang harus

bertingkah laku sebaik mungkin agar perilaku masyarakat yang lain juga akan

baik. Hukum merupakan aturan yang beraneka ragam untuk mengatur

hubungan orang-orang dalam masyarakat.

Perkembangan hukum tidak dapat dilepaskan dari sistem hukum yang

dianut oleh suatu Negara atau masyarakat. Dalam hubungan perkembangan

hukum tersebut tidak terlepas dari perkembanan ilmu-ilmu lain seperti

kesehatan (kedokteran), maka dengan sendirinya hukum kesehatan

berkembang seiring dengan perkembangannya manusia. Hukum kedokteran

(Public Health Law) lebih banyak mengatur hubungan hukum dalam

4
Y.A. Truana Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Malang, Bayumedia
Publishing, 2007, hal 5.

Universitas Sumatera Utara


4

pelayanan kesehatan atau hukum kesehatan dapat dibatasi pada hukum yang

mengatur antara pelayanan kesehatan dokter, rumah sakit, puskesmas dan

tenaga-tenaga kesehatan lain dengan pasien.5

Pada dasarnya mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu,

berkualitas dan aman adalah hak asasi bagi setiap individu. Pelayanan

dimaksud dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan kompetensi dan

keahliannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 24

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Memberikan

pelayanan kesehatan baik dalam bentuk upaya pencegahan/preventif,

penyuluhan/promotif, pengobatan/ kuratif maupun perbaikan kondisi atau

pemulihan kondisi/ rehabilitatif, hendaknya memperhatikan hak-hak asasi

pasien, terlebih diera berlakunya persaingan masyarakat Ekonomi Asean ini,

masyarakat kita semakin kritis karena mereka menyadari hak-hak sebagai

seorang pasien. Pentingnya hal ini karena bahwa pelayanan kesehatan erat

berkaitan dengan tindakan-tindakan yang menyangkut tubuh manusia secara

langsung, dalam kondisi tertentu berkaitan erat dengan penentuan

keberlangsungan hidup dan mati seseorang.6

Masyarakat sebagai pemakai jasa pelayanan kesehatan dan tenaga

kesehatan sebagai pelaku usaha jasa di bidang pelayanan kesehatan

menghendaki adanya perlindungan hukum. Munculnya berbagai peraturan

perundangan, khususnya di bidang kesehatan memberikan harapan baru bagi

tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas mulia berupa pelayanan kesehatan


5
Bahder Johan, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta, Rineka Cipta,
2005, hal v.
6
Machli Riyadi, Teori Iknemook Dalam Mediasi Malapraktik Medik, hal 1.

Universitas Sumatera Utara


5

pada masyarakat. Adanya perlindungan hukum terhadap para tenaga

kesehatan, khususnya dokter sebagai tenaga medis merupakan payung tempat

berlindung yang sangat didambakan.7 Kesadaran akan hak-hak asasi manusia

khususnya dibidang kesehatan dan semakin tingginya pengetahuan pasien

akan berbagai masalah kesehatan menyebabakan berubahnya pola hubungan

paternal ke arah hubungan sebagai partner antara dokter dengan pasien.8

Sorotan masyarakat yang cukup tajam atas jasa pelayanan kesehatan

oleh tenaga kesehatan, khususnya dengan terjadinya berbagai kasus yang

menyebabkan ketidakpuasan masyarakat memunculkan isu adanya dugaan

malpraktik medis yang secara tidak langsung memojokkan posisi tenaga

kesehatan. Hal ini sangat menarik untuk dikaji dari aspek hukum dalam

pelayanan kesehatan karena penyebab dugaan malpraktik belum tentu

disebabkan oleh adanya kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga

kesehatan, khususnya dokter.9

Banyak suara-suara yang menuntut agar hukum memainkan perannya

guna melindungi pasien dari tindakan malapraktek terdengar semakin banyak,

banyak kasus-kasus yang diangkat ke pengadilan dengan gugatan perdata atau

tuntutan pidana akibat terjadinya malapraktek atau kurang memadainya

pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien. Munculnya sengketa yang

terjadi antara dokter dengan pasien lebih sering disebabkan karena adanya

kelemahan dalam membangun komunikasi yang efektif yang berakibat

menimbulkan kerugian bagi pasien dan juga bagi profesi dokter, kelalaian
7
Y.A. Triana Ohoiwutun, op.cit, hal v.
8
Dhanny Wiradharma, op.cit, hal 2.
9
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


6

(culpa) dalam hukum tertentu dianggap sebagai suatu kesalahan, sehingga bagi

profesi dokter termasuk profesi kesehatan lainnya dituntut untuk bekerja

secara hati-hati dan berupaya semaksimal mungkin dengan standar yang telah

ditetapkan.

Seringkali terjadi gugat menggugat antara pasien dan dokter, karena

para pihak kurang memahami hak dan kewajibannya masing-masing. Gugat-

menggugat bukanlah penyelesaian yang diharapkan, kalau para pihak sadar

akan hak dan kewajibannya maka akan timbul saling pengertian antara para

pihak dan gugat menggugat tidak akan terjadi.

Selain itu, para penegak hukum, baik polisi, jaksa, hakim, maupun

pengacara perlu juga tahu akan keunikan hubungan dokter dan pasien,

sehingga dalam menegakkan keadilan bertindak tidak saling merugikan dan

keadilan dapat ditegakkan. Jika para dokter merasa terancam oleh gugatan atau

tuntutan hukum maka para professional di bidang kedokteran akan melindungi

dirinya dengan mengalihkan tanggungjawab ke pihak ketiga dalam hal ini

asuransi, maka dalam hal ini yang dirugikan adalah juga pasien, karena selain

biaya menjadi tinggi dan dokter pun akan bekerja ekstra hati-hati, dan tidak

berani mengambil resiko dan akan mengalihkan tanggungjawab ke pihaklain,

karena takut digugat atau dituntut.10

Untuk mengantisipasi agar jangan sampai terjadi tindakan malapraktek

yang dapat merugikan pasien dan pelaku profesi kesehatan itu sendiri,

kemampuan memahami perangkat hukum yang berisikan kaidah-kaidah

10
Wila Chandrawila, Hukum Kedokteran, Bandung, Penerbit Mandar Maju, 2001, hal vi

Universitas Sumatera Utara


7

ataupun prosedur yang berlaku di bidang kesehatan sangat diperlukan,

sehingga tidak menimbulkan kerugian baik bagi pasien maupun bagi kalangan

profesi kesehatan itu sendiri.11

Kelalaian juga merupakan masalah moral yang berkaitan dengan

hubungan tanggung jawab dan dalam beberapa kasus manakala kelalaian

tersebut terjadi berulang-ulang dan tidak diikuti dengan rasa penyesalan.

Ketika pasien merasa dirugikan dari kelalaian yang ditimbulkan oleh tenaga

kesehatan, rumusan dalam pasal 29 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan, menyebutkan “Dalam hal tenaga kesehatan diduga

melakukan kesalahan dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus

didselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”.

Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik membahas

permasalahan tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul “Perlindungan

Hukum Terhadap Pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Haji Abdul Manan

Simatupang Kisaran”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah di kemukakan terlebih dahulu,

permasalahan perlindungan hukum terhadap pasien meliputi hal-hal berikut:

1. Bagaimana hubungan hukum antara pasien dengan dokter pada rumah

sakit umum haji abdul manan simatupang kisaran?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pasien di rumah sakit umum

daerah haji abdul manan simatupang kisaran?

11
Bahder Johan, op.cit, hal v.

Universitas Sumatera Utara


8

3. Apakah bentuk penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan oleh para

pihak apabila terjadi wanprestasi dan perbuatan melawan hukum yang

mengakibatkan kerugian pada pasien?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”,

namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan, dengan

kemungkinan-kemungkinan. Bahwa Prof. Soerjono Soekanto dalam bukunya

yang berjudul “Pengantar penelitian hukum” mengatakan bahwa langkah-

langkah selanjutnya setelah merumuskan masalah adalah merumuskan tujuan

penelitian. Tujuan penelitian dirumuskan secara deklaratif dan merupakan

pernyataan-pernyataan tentang hal apa yang ingin dicapai dalam penelitian

terebut.12

Berdasarkan rumusan masalah diatas yang menjadi tujuan penelitian

skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui hubungan hukum antara pasien dengan dokter pada

rumah sakit umum haji abdul manan simatupang kisaran.

2. Untuk memberikan pengetahuan mengenai perlindungan hukum terhadap

pasien di rumah sakit umum haji abdul manan simatupang kisaran.

3. Untuk mengetahui substansi materi dan konsep aturan yuridis tentang

bentuk penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan oleh para pihak

apabila terjadi wanprestasi dan perbuatan melawan hukum yang

mengakibatkan kerugian pada pasien.

12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penellitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia,
2005, hal 9.

Universitas Sumatera Utara


9

Bahwa salah satu faktor pemilihan masalah dalam penlitian ini bahwa

penelitian ini dapat bermanfaat karena nilai dari sebuah penelitian ditentukan

oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari adanya penelitian tersebut.

Berikut manfaat yang diharapkan dari rencana penulisan ini antara lain:

1. Manfaat Teoritis

Penulisan skripsi ini dapat dijadikan bahan kajian untuk memberikan

informasi-informasi pengetahuan mengenai hukum pada umumnya dan hukum

perdata, hukum konsumen dan hukum kesehatan pada umumnya. Bahwa

dikhususkan unuk lebih menambah ilmu pengetahuan mengenai perlindungan

hukum yang diberikan kepada pasien yang dalam hal ini disoroti dari tindakan

medis yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien dari rumah sakit, menurut

peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.

Adapun yang menjadi manfaat teoritis dari rencana penulisan ini

sebagai berikut:

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas khasanah kajian

keilmuan tentang menganalisa perlindungan huuukum terhadap pasien

ditinjau dari berbagai undang- undang yang berlaku di Indonesia.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan

ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum umumnya.

c. Untuk memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan

tentang perlindungan hukum terhadap pasien di rumah sakit umum haji

abdul manan simatupang kisaran

2. Manfaat praktis

Universitas Sumatera Utara


10

Manfaat praktis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang berkaitan

dengan pemecahan masalah. Manfaat praktis dari rencana penulisan ini

sebagai berikut:

a. Menjadi wadah bagi peneliti untuk mengembangkan penalaran dan

membentuk pola pikir sekaligus untuk mengetahui kemampuan peneliti

dalam menerapkan ilmu yang telah didapatkan.

b. Bahwa dengan hasil penelitian ini diharapkan agar dapat membantu

dalam memberikan masukan kepada semua pihak yang membutuhkan

ilmu pengetahuan terkait dengan permasalahan yang diteliti dan dapat

dipakai sebagai sarana yang efektif dan memadai dalam upaya

mempelajari dan memahami ilmu hukum, Hukum Perdata dalam hal

perlindungan pasien.

D. Keaslian Penulisan

Penulis mengajukan judul skripsi setelah lebih dahulu membaca

beberapa buku dan sumber informasi lain untuk menemukan masalah-masalah

hukum yang akan dibahas. Sesuai prosedur yang dibuat oleh pihak kampus,

maka penulis terlerbih dahulu mengajukan judul ini kepada Ketua Departemen

Hukum Perdata untuk mendapatkan persetujuan yang kemudian akan

melakukan pengecekan judul ke perpustakaan fakultas untuk menghindari

adanya kesamaan pembahasan yang sama berulang-ulang. Berdasarkan

penelusuran pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara khususnya

Fakultas Hukum, maka judul Perlindungan Hukum Terhadap Pasien di Rumah

Sakit Umum Daerah Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran, dinyatakan tidak

Universitas Sumatera Utara


11

ada judul yang sudah pernah ada sebelumnya yang yang persis sama dengan

judul yang diajukan. Namun ada beberapa judul skripsi yang terkait dengan

perlindungan hukum terhadap pasien antara lain:

Siti Nur Suflah (2013), dengan judul penelitian Tanggungjawab Antara

Dokter Dengan Pasien Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata (Studi Pada

Rumah Sakit Permata Bunda Medan). Adapun permasalahan dalam penulisan

skripsi ini adalah hak mendapatkan pelayanan kesehatan bagi pasien di rumah

sakit permata bunda medan, tanggungjawab perdata dokter dalam transaksi

terapeutik antara dokter dengan pasien, dan perlindungan hukum terhadap

dokter dalam memberikan pelayanan medis.

Monica Hendrika H.B (2013), dengan judul penelitian Perlindungan

Hukum Bagi Pasien Terhadap Tindakan Medis yang Dilakukan Oleh Calon

Tenaga Kesehatan Profesional. Adapun permasalahan dalam skripsi ini adalah

putusan di Badan Penyelesaiaan Sengketa Konsumen (BPSK) kota Medan

sudah memenuhi unsur-unsur perlindungan konsumen, kendala-kendala

penyelesaiaan sengketa di Badan Penyelesaiaan Sengketa Konsumen (BPSK)

kota Medan, kekuatan hukum terhadap putusan BPSK terhadap para pihak.

Abdul Hadi Putra (2014), dengan judul penelitian Tanggung Jawab

Dokter Akibat Terjadinya Kesalahan Medis Dari Sudut Hukum Perdata (Studi

Pada Idi Cabang Asahan). Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah

bentuk kesalahan medis, akibat hukum dari kesalan medis, proses pertanggung

jawaban dokter terhadap kesalahan medis.

Universitas Sumatera Utara


12

Penelitian ini dilakukan dengan mempelajari dan mengkaji buku-buku,

peraturan perundang-undangan dan literatur-literatur yang sesuai dengan

kajian permasalahan dalam penulisan skripsi ini, sehingga hasil kajian dalam

skripsi ini dapat dikatakan aktual dan asli dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah.

Apabila di luar pengetahuan penulis ternyata telah ada penulisan yang

serupa, maka diharapkan penulisan hukum ini dapat saling melengkapi serta

menambah literatur dan khasanah ilmu hukum khususnya di bidang hukum

perdata. Apabila sudah pernah ada, penulis yakin bahwa substansi

penulisannya berbeda.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Pasien

Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran. Pasien adalah setiap orang yang melakukan

konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan

yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter

atau dokter gigi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang

Rumah Sakit, Pasal 1 ayat (4), Pasien adalah setiap orang yang melakukan

konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan

yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit.

Dr. Amri Amir mengatakan bahwa pasien adalah orang yang sedang

menderita penyakit atau ganguan badaniah/rohaniah yang perlu ditolong agar

Universitas Sumatera Utara


13

lekas sembuh dan berfungsi kembali melakukan kegiatannya sebagai salah

satu anggota masyarakat, pasien adalah titik sentral dalam usaha-usaha

penyembuhan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.13

Sedangkan menurut penulis bahwa pasien merupakan orang yang

memiliki kelemahan fisik atau bahkan mentalnya menyerahkan pengawasan

dan perawatannya, menerima dan mengikuti pengobatan yang ditetapkan oleh

tenaga kesehatan atau para medis yang di obati di rumah sakit.

2. Pengertian Dokter

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang

Praktik kedokteran, Pasal 1 angka (2) menyatakan dokter dan dokter gigi

adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan

pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik didalam maupun di luar

negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

3. Pengertian Rumah sakit

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang

Rumah Sakit Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa Rumah Sakit adalah institusi

pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan

secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan

gawat darurat.

Titik Triwulan Tutik, dan Shita Febriana mengatakan bahwa rumah

sakit merupakan sebuah institusi pelayanan kesehatan yang terorganisasi serta

13
Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta, Widya Medika, 1997, hal 17.

Universitas Sumatera Utara


14

sangat dinamis. Sementara menurut departemen kesehatan RI, rumah sakit

diartikan sebagai sarana kesehatan yang berfungsi melaksanakan pelayanan

kesehatan rujukan, fungsi medik spesialistik dan subspesialistik yang

mempunyai fungsi utama menyediakan dan menyelenggarakan upaya

kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan pasien.14

Sedangkan menurut penulis rumah sakit merupakan sebuah sarana

pelayanan kesehatan, dan sebuah intitusi perawatan Kesehatan profesional

yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan

lainnya.

4. Pengertian Wanprestasi

Wanprestasi adalah suatu keadaan menurut hukum perjanjian, dimana

seseorang tidak melaksanakan prestasi sebagaimana yang terlah

diperjanjikan.15 Wanprestasi terdapat dalam Pasal 1243 KUHPerdata, yang

menyatakan bahwa Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak

dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang,

setelah dinyatakan ingkar memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau

jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau

dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah

dilampaukannya.

Subekti mengatakan wanprestasi adalah kelalaian atau kealpaan

seseorang debitur dapat berupa empat jenis yaitu tidak melakukan apa yang

14
Titik Triwulan Tutik, dan Shita Febriana, Perlindungan Hukum Bagi Pasien, Jakarta,
Prestasi Pustaka Publisher, 2010, hal 18.
15
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan,
2009, hal 339-340.

Universitas Sumatera Utara


15

disanggupi, melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana

dijanjikan, melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat, dan melakukan

sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Pengertian wanprestasi menurut penulis adalah pelaksanaan kewajiban

yang tidak dipenuhi atau ingkar janji atau kelalaian yang dilakukan oleh

debitur baik karena tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan maupun

malah melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

F. Metode Penelitian

Metode diartikan sebagai proses atau prosedur atau tata cara guna

mengetahui suatu hal dengan langkah-langkah yang sistematis. Penelitian

adalah sebuah proses kegiatan mencari kebenarana terhadap suatu fenomena

ataupun fakta-fakta yang terjadi dengan cara yang terstruktur dan sistematis.

Dalam hal menjawab permasalahan-permasalahan dan mencapai tujuan

serta guna melengkapi penulisasn ksripsi penulis ini dengan tujuan agar

mendapatkan lebih terarahnya dan dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah, metode penulisan yang digunakan yaitu :

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menyusun skripsi dengan menggunakan

metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Bahwa penelitian

hukum normatif merupakan penelitian yang dengan hanya mengelola data-data

sekunder yang meliputi buku-buku serta norma-norma hukum yang terdapat

dalam peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, kaidah-kaidah

hukum, dan sistematika hukum serta mengkaji ketentuan perundang-

Universitas Sumatera Utara


16

undangan, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya. Sedangkan yang

bersifat deskriptif dalam penelitian ini merupakan suatu penelitian yang

dilakukan dengan melakukan survei ke lapangan untuk mendapatkan informasi

yang dapat mendukung teori yang telah ada.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan

menggunakan pendekatan hukum doctrinal yang bersifat normatif, penelitian

hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan yang lebih mementingkan

terhadap data sekunder dan data primer hanya dipakai sebagai data pelengkap,

dalam penelitian ini hukum dikonsepkan sebagai norma-norma yang tertulis

yang dibuat dan di undangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang.

1. Sumber Data

Dalam penyusunan skripsi ini, data yang digunakan yaitu data primer

dan data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka.

a. Data primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari Rumah

Sakit Umum Daerah Haji Abdul Manan Simatupang, sumber data

berupa keterangan-keterangan yang berasal dari pihak-pihak atau

instansi-instansi yang terkait dengan objek penlitian secara langsung

yaitu melalui wawancara dengan responden pada rumah sakit tersebut.

b. Data sekunder

Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh

peneliti melalui penelusuran bahan-bahan kepustakaan secara tidak

Universitas Sumatera Utara


17

langsung melaui media perantara atau diperoleh dan dicatat oleh

pihaklain. Data sekunder pada umumnya berupa bukti, catatan atau

laporan historis yang telah tersusun dalam arsip yang dipublikasikan

dan yang tidak dipublikasikan. Data sekunder terdiri dari:

1) Bahan-bahan hukum primer, meliputi bahan-bahan hukum yang

mengikat mulai dari KUHPerdata, KUHP, Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945, Undang-Undang Nomor 44 tahun

2009 tentang Rumah Sakit, Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran, dan Undang-Undang Nomor 8 tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2) Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu meliputi yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer dengan menganalisa

serta memahami bahan hukum primer.

3) Bahan-bahan hukum tertier, yaitu meliputi yang memberikan

petunjuk yang dapat mendukung bahan hukum primer, mulai dari

kamus hukum, kamus Inggris-Indonesia, kamus besar Bahasa

Indonesia serta ensiklopedia dan internet.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penyusunan skripsi ini, Teknik pengumpulan data merupakan

suatu hal yang sangat erat dengan hubungan sumber data, dengan adanya

sumber data tersebut melalui pengumpulan data ini akan memperoleh data

yang diperlukan kemudian dianalisa sesuai yang diharapkan yang berkaitan

Universitas Sumatera Utara


18

dengan hal-hal tersebut, dalam penelitian ini menggunakan pengumpulan data

sebagai berikut:

a. Library Research (studi kepustakaan)

Yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematika peraturan

perundang-undangan, buku-buku, maupun sumber-sumber lainnya

yang memiliki hubungan dengan penyusunan isi skripsi ini.

b. Fiel Research (studi lapangan)

Yaitu penelitian yang dilakukan dengan langsung ke lapangan melalui

wawancara dengan Dr. Lobiana Nadeak, selaku Kepala Bidang

Pelayanan sebagai pihak dari Rumah Sakit Umum Daerah Haji Abdul

Manan Simatupang Kisaran.

4. Teknik Analisa Data

Analisa data dalam skripsi ini merupakan data yang diperoleh baik dari

studi lapangan maupun studi dokumen merupakan data yang dianalisa secara

kualitatif, yaitu suatu analisa data yang secara jelas setelah data terkumpul

kemudian dituangkan dalam bentuk kalimat atau uraian logis dan sistematis,

selanjutnya dianalisis untuk memperoleh dan menyimpulkan kejelasan

penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu dari

hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus. Data dalam skripsi

ini merupakan hasil wawancara dari pihak Rumah Sakit Umum Daerah Haji

Abdul Manan Simatupang Kisaran.

G. Sistematika Penulisan

Universitas Sumatera Utara


19

Dalam penulisan skripsi ini, pembahasan secara sistematis sangat

diperlukan untuk memudahkan dalam membaca dan memahami serta

memperoleh manfaat dari penulisan skripsi tersebut. Untuk memudahkan hal

tersebut, maka penulisan skripsi ini dibuat secara menyeluruh mengikat secara

dasar yang terbagi dalam bab per bab yang saling berhubungan satu sama lain.

Penulisan skripsi ini dibagi dalam 5 (lima) bab yang disusun sistematis

untuk membahas tenang masalah yang diangkat, adapun sistematika penulisan

skripsi ini dengan urutannya sebagai berikut:

Bab I, Pendahuluan, ini merupakan awal dari penulisan sebuah skripsi

yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian,tinjauan pustaka, keaslian penulisan serta sistematika penulisan.

Bab II, Hubungan hukum antara pasien dengan dokter, ini berisikan

tentang pengertian pasien, perjanjian terapeutik, hak-hak dan kewajiban

pasien, kedudukan pasien dalam pelayanan kesehatan, hubungan antara pasien

dengan dokter.

Bab III, Perlindungan hukum terhadap pasien, ini berisikan tentang

pengaturan perlindungan hukum terhadap pasien dalam berbagai peraturan

perundang-undangan di Indonesia, serta informed consent (persetujuan

tindakan medis).

Bab IV, Bentuk penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan para pijak

apabila terjadi wanprestasi dan perbuatan melawan hukum yang mengakibatan

kerugian pada pasien di Rumah Sakit Daerah Haji Abdul Manan Simatupang

Kisaran, ini berisikan pertanggungjawaban apabila terjadi wanprestai dan

Universitas Sumatera Utara


20

perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada pasien,

penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan oleh para pihak, kekuatan hukum

terhadap putusan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) bagi para

pihak.

Pada bab V, Kesimpulan dan saran, ini akan membahas mengenai

kesimpulan dan saran terhadap hasil analisis yang dilakukan. Bab ini berisikan

tentang hal yang merupakan bab akhir dari skripsi ini, dan merupakan penutup

dari rangkaian bab-bab sebelumnya dimana dalam bab ini penulis membuat

suatu kesimpulan atas pembahasan skripsi ini, kesimpulan merupakan intisari

dari pembahasan terhadap permasahalahan yang diajukan di skripsi ini.

Kemudian dilanjutkan dengan memberi saran-saran atas masalah-masalah

yang tidak terpecahkan yang diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi

yang membacanya, dan akan berguna dalam kehidupan masyarakat dan

praktik perkembangan ilmu pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara


BAB II

HUBUNGAN ANTARA PASIEN DENGAN DOKTER PADA RUMAH

SAKIT UMUM HAJI ABDUL MANAN SIMATUPANG KISARAN

A. Pengertian Pasien

Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran. Pasien adalah setiap orang yang melakukan

konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan

yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter

atau dokter gigi. Menurut peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien,

Pasal 1 angka 2, pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi

masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang

diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di rumah sakit.

Pasien atau pesakit adalah seseorang yang menerima perawatan medis, sering

kali, pasien menderita penyakit atau cedera dan memerlukan bantuan dokter

untuk memulihkannya. Kata pasien dari Bahasa Indonesia analog dengan kata

patient dari Bahasa inggris yang artinya sabar. Patient diturunkan dari Bahasa

latin yaitu patiens yang memiliki kesamaan arti dengan kata kerja pati yang

artinya “menderita” orang sakit (yang dirawat dokter), penderita (sakit).16

Dari beberapa pengertian tersebut diambil kesimpulan bahwa pasien

adalah sebagai berikut:

1. Setiap orang

16
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pasien, diakses tanggal 15 Maret 2020.

21

Universitas Sumatera Utara


22

2. Memperoleh pelayanan kesehatan

3. Secara langsung maupun tidak langsung

4. Dari tenaga kesehatan.

Dahulu, hubungan dokter dengan pasiennya lebih bersifat paternalistik.

Pasien umumnya hanya dapat menerima saja segala sesuatu yang dikatakan

oleh dokter tanpa dapat bertanya apapun. Dengan kata lain, semua keputusan

sepenuhnya berada di tangan dokter. Dengan semakin meningkatnya

kesadaran masyarakat terhadap hak-haknya, maka pola hubungan demikian ini

juga mengalami perubahan yang sangat berarti. Pada saat ini secara hukum

dokter adalah partner dari pasien yang sama atau sederajad kedudukannya,

pasien mempunyai hak dan kewajiban tertentu, seperti halnya dokter.

Walaupun seseorang dalam keadaan sakit, tetapi kedudukan hukumnya tetap

sama dengan yang sehat. Sama sekali keliru jika menganggap orang yang sakit

selalu tidak dapat mengambil keputusan, karena secara umum sebenarnya

pasien adalah subyek hukum yang mandiri dan dapat mengambil keputusan

untuk kepentingannya sendiri. Semua pihak yang terlibat dalam hubungan

profesional ini seyogianya benar-benar menyadari perkembangan tersebut.

Pemahaman terhadap hak dan kewajiban tersebut menjadi semakin

penting karena pada kenyataannya perselisihan yang timbul sebenarnya

disebabkan kurangnya pemahaman mengenai masalah tersebut oleh pihak-

pihak yang berselisih. Sering kali terlihat pihak “pasien” seperti mencari-cari

Universitas Sumatera Utara


23

kesalahan atau kelemahan dokter, untuk kemudian digunakan sebagai dasar

menuntut.17

B. Perjanjian Terapeutik

Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien,

berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah

pihak. Berbeda dengan transaksi yang biasa dilakukan oleh masyarakat,

transaksi terapeutik memiliki sifat atau ciri yang khususnya yang berbeda

dengan perjanjian pada umumnya, kekhususannya terletak pada atau mengenai

objek yang diperjanjikan. Objek dari perjanjian ini adalah berupa upaya atau

terapi untuk penyembuhan pasien. Jadi perjanjian atau transaksi terapeutik,

adalah suatu transaksi untuk menentukan atau upaya mencari terapi yang

paling tepat bagi pasien yang dilakukan oleh dokter. Jadi menurut hukum,

objek perjanjian dalam trasnsaksi terapeutik bukan kesembuhan pasien,

melainkan mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien.18

Perjanjian terapeutik sebagai bagian dari hukum privat tunduk pada

peraturan-peraturan yang ditentukan dalam KUHPerdata sebagai dasar adanya

perikatan. Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan bahwa “Tiap-tiap perikatan

dapat dilahirkan dari suatu perjanjian maupun karena Undang-Undang”. Pada

perjanjian terapeutik di samping terikat pada perjanjian yang diatur dalam

KUHPerdata, para pihak juga terikat oleh Undang-Undang. Kedua dasar

hukum transaksi terapeutik bersifat saling melengkapi.19

17
Crisdiono M.Achdiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan
Zaman, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007, hal 1.
18
Loc.cit.
19
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


24

Pada saat seseorang penderita memasuki ruangan praktek dokter atau

rumah sakit untuk berobat dan dokter itu telah mulai melakukan anamnesa dan

rentetan pemeriksaan, maka ketika itu sesungguhnya telah terjadi suatu

persetujuan atau transaksi terapeutik antara dokter dengan pasien. Hal ini sama

dengan Pengacara menerima kliennya. Atau Biro bangunan menerima

permintaan untuk sebuah bangunan, jembatan dan lain-lain.

Masalah persetujuan ini diatur dalam KUHPerdata Pasal 1313 yang

berbunyi sebagai berikut: “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau

lebih”.

Akibat perjanjian ini akan terjadi “perikatan” antara kedua pihak

dokter dan pasien. Dalam Undang-Undang dijelaskan yang dimaksud dengan

perikatan adalah hubungan antara dua orang atau lebih, dimana pihak yang

satu berhak menuntut sesuatu dari pihaklain, sedangkan pihak lain itu

berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Dalam kaitan dokter dengan pasien,

prestasi yang utama disini adalah “melakukan sesuatu perbuatan”, baik dalam

rangka preventif, curatif, rehabilitatif maupun promotif.20

Bahwa di depan hukum semua profesi adalah sama karena yang dilihat

adalah “isi” dari perbuatannya, bukan siapa yang melakukannya. Inilah prinsip

Equality before the law. Di Negara kita, segala perjanjian atau kontrak

merupakan suatu perbuatan hukum dan itu diatur dalam Pasal-pasal Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dalam hukum sendiri

20
Amri Amir, op.cit, hal 13.

Universitas Sumatera Utara


25

terdapat 2 kategori perjanjian, yakni berdasarkan hasil (resultaatsverbintenis)

dan perjanjian berdasarkan usaha yang sebaik-baiknya

(inspanningsverbintenis).

Sejauh Hukum Kedokteran (Medical Law) belum dapat dirumuskan

secara khusus, maka profesi kedokteran (termasuk diantaranya mengenai

kontrak terapeutik) diatur menurut Undang-Undang yang berlaku umum,

seperti KUHP, KUHPerdata dan berbagai peraturan perundang-undangan

lainnya. Pasal-pasal KUHP yang berkaitan misalnya, dapat diberlakukan

terhadap profesi kedokteran. Seperti diketahui, hukum pidana dan perdata

menganut prinsip yang berbeda. Hukum pidana disusun demi ketertiban dan

ketentraman masyarakat dan termasuk hukum yang berlaku umum, sedangkan

hukum perdata menganut prinsip “Barangsiapa merugikan orang lain, harus

memberikan ganti rugi”. Dalam hukum perdata, pihak-pihak yang bersengketa

berkedudukan sama dan hal yang diperkarakan tidak berkaitan langsung

dengan kepentingan umum (Civil Law).

Menurut hukum perdata, hubungan profesional dokter dengan pasien

dapat terjadi karena 2 hal, yaitu :

1. Berdasarkan perjanjian (ius contractu), yang berbentuk kontrak

teraputik secara sukarela antara dokter dengan pasien berdasarkan

kehendak bebas. Tuntutan dapat dilakukan bila terjadi apa yang disebut

sebagai “wanprestasi”, pengingkaran terhadap hal yang diperjanjikan.

Dasar tuntutan adalah tidak melakukan, terlambat melakukan, salah

Universitas Sumatera Utara


26

melakukan ataupun melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan

menurut perjanjian itu.

2. Berdasarkan hukum (ius delicto), berlaku prinsip siapa merugikan

orang lain harus memberikan ganti rugi.

Agar suatu perjanjian mempunyai kekuatan hukum, maka KUHPerdata

menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi (Pasal 1320), yakni :

1. Adanya kesepakatan atau persetujuan dari pihak-pihak yang membuat

perjanjian. Dalam hal ini kesepakatan tersebut disyaratkan berdasarkan

kemauan bebas, artinya tidak ada unsur paksaan atau tipuan.

Selanjutnya Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan bahwa persetujuan

tidak mempunyai nilai jika diberikan karena salah pengertian atau

dipaksakan atau diperoleh melalui tipuan.

2. Kemampuan pihak-pihak untuk untuk membuat perjanjian. Menurut

hukum pihak itu harus mampu dan layak/pantas melakukan tindakan-

tindakan hukum.

3. Adanya obyek tertentu yang diperjanjikan. Pihak-pihak yang membuat

perjanjian haruslah mengetahui secara pasti dan jelas hal yang

diperjanjikan dan tujuan perjanjian itu. Dalam hubungan dengan

kontrak terapeutik, obyek perjanjiannya adalah usaha penyembuhan

oleh dokter atas pasiennya.

4. Perjanjian tersebut mengenai suatu sebab yang diperbolehkan (halal).

Yang dibenarkan dan tidak dilarang oleh peraturan perundang-

Universitas Sumatera Utara


27

undangan, serta mengenai suatu sebab yang masuk akal untuk dipenuhi

oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian.

Disebutkan dalam Pasal 1335 KUHPerdata bahwa suatu perjanjian

tanpa sebab atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau sebab yang tidak

diizinkan, tidak mempunyai kekuatan hukum. Kemudian Pasal 1373

KUHPerdata menyatakan bahwa suatu sebab tidak diizinkan, apabila dilarang

oleh Undang-Undang, atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban

umum.

Perselisihan antara dokter dengan pasien acapkali menjadi semakin

“panas” dengan terlibatnya pihak-pihak lain seperti pengacara, wartawan atau

organisasi advokasi publik seperti YLKI. Celakanya, pihak-pihak yang ikut

berbicara itu sering kali juga kurang memahami aturan-aturan hukum yang

berlaku untuk masalah kontrak terapeutik. Pihak-pihak lain yang yang akan

turut “berbicara” dalam perselisihan antara dokter dan pasien, seyogianya juga

dapat memahami secara benar asas-asas hukum yang berlaku. Dengan

demikian, tidak terjadi lagi tulisan-tulisan di koran menjatuhkan “vonis”

malpraktik sebelum pengadilan memutuskannya.21

Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan : “Semua persetujuan yang dibuat

secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang memuatnya.

Persetujuan itu tidak bisa ditarik kemballi selain dengan kesepakatan kedua

belah pihak atau alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup

itu. Persetujuan harus dilakukan dengan iktikad baik.” Masalah ini jangan

21
Crisdiono M.Achdiat, op.cit, hal 72.

Universitas Sumatera Utara


28

dilihat dalam hubungan pasien rawat jalan, tetapi akan sangat penting

diperhatikan bila berhadapandengan pasien rawat inap (opname) yang

meminta pulang paksa.

Terhapusnya Perjanjian Terapeutik

Terhapusnya perjanjian terapeutik maksudnya adalah hal-hal yang dapat

menghapuskan atau terhentinya perjanjian yang dibuat antara dokter atau

rumah sakit dengan pasien. Karena perjanjian terapeutik merupakan salah satu

perjanjian (umum) maka dapat dikemukakan bahwa beberapa cara te

rhapusnya perjanjian atau perikatan bisa berlaku dalam perjanjian terapeutik.

Menurut Pasal 1381 KUHPerdata, terhapusnya suatu perikatan disebabkan

oleh beberapa faktor antara lain:

a. Pembayaran

Berakhirnya perjanjian karena pembayaran diatur dalam Pasal 1382

KUHPerdata. Pembayaran merupakan pelunasan utang oleh debitur

kepada kreditor dan yang dapat dilakukan dalam bentuk uang atau barang.

Namun secara yuridis pembayaran tidak hanya dilakukan dalam bentuk

uang atau barang, tetapi juga dalam bentuk jasa, seperti jasa dokter,

pengacara, tukang cukur, dan lain-lain.

b. Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan konsignasi

Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1412 KUHPerdata. Cara terhapusnya

perjanjian dengan penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan

atau penitipan ini untuk perjanjian terapeutik sulit bisa ditetapkan.

Universitas Sumatera Utara


29

c. Pembaharuan utang (novasi)

Novasi adalah suatu perjanijan antara debitur dan kreditor, dimana

perjanian yang lama subjek dan objeknya diganti dengan perjanian yang

baru. Novasi diatur dalam Pasal 1413 sampai dengan Pasal 1424

KUHPerdata. Cara pembaharuan utang ini pun tidak bisa diterapkan

dalam perjanjian terapeutik.

Di samping itu, yang dapat menghapuskan atau menghentikan

perjanjian terapeutik adalah:

1. Pasien telah dinyatakan sembuh.

2. Pasien meminta sendiri atau keluarganya untuk menghentikan tindakan

medis.

3. Pasien meninggal dunia di rumah sakit.22

C. Hak-Hak dan Kewajiban Pasien

“Hak Pasien”, merupakan dua buah kata bagi sebagian Negara adalah

kata-kata yang mewah, sebab masih banyak Negara yang tidak atau belum

mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hak pasien itu. Berbicara tentang “hak

pasien” yang dihubungkan dengan pemeliharaan kesehatan, maka hak utama

dari pasien adalah tentunya hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan

(the right to health care). Hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan

yang memenuhi kriteria tertentu, yaitu agar pasien mendapatkan upaya

kesehatan, sarana kesehatan dan bantuan dari tenaga kesehatan, yang

memenuhi standar pelayanan kesehatan yang optimal. Pada umunya dikenal

22
Zaeni Asyhadie, Aspek-Aspek Hukum Kesehatan di Indonesia, Depok,
PT.GrafindoPersada, 2017, hal 83.

Universitas Sumatera Utara


30

dua jenis hak asasi atau hak dasar manusia yaitu hak dasar sosial dan hak dasar

individual. Dua asas hukum yang melandasi hukum kesehatan yaitu the right

to health care atau hak atas pelayanan kesehatan (bukan hak atas kesehatan)

dan the right of self determination atau hak untuk menentukan nasib sendiri

merupakan hak dasar atau hak primer di dalam bidang kesehatan.23

The right to health care akan menimbulkan hak individual lain yaitu

the right to medical care (hak atas pelayanan medis). Dalam setiap Negara hak

atas pelayanan kesehatan akan terwujud secara baik atau tidak, tergantung

terutama dari 4 faktor yaitu:

1. Sarana

Misalnya rumah sakit, puskesmas atau posyandu yang harus berfungsi

baik dan berkesinambungan.

2. Geografis

Misalnya dimana sarana pelayanan kesehatan tersebut harus dapat

dicapai dengan mudah dan cepat.

3. Keuangan

Yaitu apabila memerlukan biaya tinggi, akan menghambat

terpenuhinya kebutuhan masyarakat atas pelayanan kesehatan, perlu

dipikirkan adanya suatu asuransi kesehatan.

4. Kualitas

Baik kualitas sarana seperti berbagai klasifikasi Rumah Sakit, maupun

kualitas tenaga kesehatan, apakah tenaga medis atau para medis.

23
Wila chandrawila, op.cit, hal 12.

Universitas Sumatera Utara


31

Jadi the right of self determination (TROS) sebagai hak dasar atau hak

primer individual merupakan sumber dari hak-hak individual, yaitu:

1. Hak atas privacy.

2. Hak atas tubuhnya sendiri.

„Hak atas privacy‟ sebagai hak sekunder dalam bidang kesehatan, akan

melahirkan hak pasien yang menyangkut segala sesuatu mengenai keadaan diri

atau badannya sendiri yang tidak diketahui orang lain, kecuali dokter yang

memeriksanya. Hak ini yang dikenal sebagai hak (pasien) atas rahasia

kedokteran.

„Hak atas tubuhnya sendiri‟ akan melahirkan hak-hak pasien yang lain,

misalnya mengenai tindakan-tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga

kesehatan terhadap tubuhnya.24

Pembahasan tentang hak dan kewajiban merupakan hal yang sangat

penting karena pada kenyataan menunjukkan, bahwa akibat adanya ketidak

pahaman mengenai hak dan kewajiban, menyebabkan adanya kecenderungan

untuk mengabaikan hak-hak pasien sehingga perlindungan terhadap pasien

semakin pudar. Dalam hubungannya dengan hak asasi manusia, persoalan

mengenai kesehatan ini di negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 23

Tahun 1992 tentang Kesehatan yang telah dicabut dan diganti dengan Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dimana dalam Pasal 1 ayat

(1) menyebutkan : “Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental,

24
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


32

spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup

produktif secara sosial ekonomis.”25

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran Pasal 52 dan 53, menyatakan bahwa pasien dalam

menerima pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai hak yaitu:

a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis

sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3);

b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;

d. Menolak tindakan medis dan;

e. Mendapatkan isi rekam medis.

Undang-Undang Praktik Kedokteran dalam Pasal 53, menyatakan

bahwa pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai

kewajiban yaitu :

a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah

kesehatannya;

b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter dan dokter gigi;

c. Memetuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan

d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang di terima.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009

tentang Rumah Sakit. Pasal 31, menyatakan bahwa setiap pasien mempunyai

kewajiban yaitu :

25
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


33

1. Setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap Rumah Sakit atas pelayanan

yang diterimanya.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pasien diatur dengan

Peraturan Menteri.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009

tentang Rumah Sakit. Pasal 32, menyatakan bahwa setiap pasien mempunyai

hak yaitu:

1. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di

Rumah Sakit;

2. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;

3. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;

4. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar

profesi dan standar prosedur operasional;

5. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar

dari kerugian fisik dan materi;

6. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;

7. Memilih dokter dan kelas perawatan yang sesuai denagn keinginannya

dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;

8. Meminta konsultasi tentang peanyakit yang dideritanya kepada dokter lain

yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik didalam maupun di luar

Rumah Sakit;

9. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk

data-data medisnya;

Universitas Sumatera Utara


34

10. Mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan

medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi

yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan

serta perkiraan biaya pengobatan;

11. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan

oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;

12. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;

13. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya

selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;

14. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan

di Rumah Sakit;

15. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap

dirinya;

16. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak seseuai dengan agama

dan kepercayaan yang dianutnya;

17. Menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga

memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara

perdata ataupun pidana; dan

18. Mengeluh pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar

pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Hak dan Kewajiban Pasien Sebagai Konsumen Jasa Pelayanan di

Bidang Medis menurut Sudikmono Martukusumo dalam bukunya mengenai

Universitas Sumatera Utara


35

hukum suatu pengantar menyatakan bahwa dalam pengertian hukum, hak

adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan sendiri

berarti tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Sehingga dapat dikatakan

bahwa hak adalah suatu tuntutan yang pemenuhannya dilindungi oleh

hukum.26

Ada tiga macam hak berdasarkan sumber pemenuhannya yakni :

1. Hak manusia karena kodratnya, yakni hak yang kita peroleh sejak kita

lahir, seperti hak untuk hidup dan hak untuk bernafas. Hak ini tidak boleh

diganggu gugat oleh Negara, dan bahkan Negara wajib menjamin

pemenuhannya.

2. Hak yang lahir dari hukum, yaitu hak yang diberikan oleh Negara kepada

warga Negaranya. Hak ini juga disebut sebagai hak hukum. Contohnya

hak untuk memberi suara dalam pemilu.

3. Hak yang lahir dari hubungan kontraktual, hak ini didasarkan pada

perjanjian/kontrak antara orang yang satu dengan yang lain. Contohnya

pada peristiwa jual beli. Hak pembeli adalah menerima barang. Sedangkan

hak penjual adalah menerima uang.27

Mantan presiden amerika serikat, John F.Kennedy, pernah mengemukakan

empat dasar hak konsumen yaitu :

a. the right to safe products;

b. the right to be informed about products;

26
Sudikmono Martokusumo, Mengenai Hukum: suatu pengantar, Yogyakarta, Liberty,
1999, hal 24.
27
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Pertanggungjawaban
Menurut Hukum Perdata, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2006, hal 18.

Universitas Sumatera Utara


36

c. the right to definite choices in selecting products;

d. the right to be heard regarding consumer products;

Sementara secara khusus mengenai hak-hak konsumen diatur dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(Undang-Undang Perlindungan Konsumen). Menurut Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pasal 4, konsumen memiliki hak diantaranya:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan

yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advolasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantiannya,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak seseuai dengan perjanjian

atau tidak sebagimana semestinya;

Universitas Sumatera Utara


37

h. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha sebagai Bentuk Perlindungan

Hukum Bagi Konsumen, seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga

memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam

Pasal 6 UUPK adalah:

1. Hak untuk menerima pembayaran yang seseuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang berikhtikad tidak baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen;

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang/atau jasa yang

diperdagangkan;

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:

1. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan;

Universitas Sumatera Utara


38

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa

yang berlaku;

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu secara memberi jaminan dan/atau garansi

atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6. Memberi kompensai, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak seseuai dengan

perjanjian.28

D. Kedudukan Pasien dalam Pelayanan Kesehatan

Dahulu hubungan tenaga kesehatan di rumah sakit dengan pasien

bersifat komando, dimana pasien selalu menuruti apa yang dikatakan petugas

tanpa mempertanyakan alasannya. Sekarang kedudukan tenaga kesehatan

dengan pasien adalah sejajar dan sama secara hukum.

Rumah sakit merupakan sebuah institusi pelayanan kesehatan yang

terorganisasi serta sangat dinamis. Sementara menurut departemen kesehatan

RI, rumah sakit diartikan sebagai sarana kesehatan yang berfungsi

28
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


39

melaksanakan pelayanan kesehatan rujukan, fungsi medik spesialistik dan

subspesialistik yang mempunyai fungsi utama menyediakan dan

menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan

pemulihan pasien.29 Institusi tersebut dapat berubah sesuai dengan

perkembangan yang terjadi setiap waktu baik dari segi teknologi, managemen,

fasilitas maupun sumber daya manusia yang terlibat dalam kegiatan

pengelolaan rumah sakit.

Berdasarkan definisi tersebut, maka setidaknya terdapat tiga batasan

utama dari makna rumah sakit, yaitu: (1) organisasi yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan pasien; (2) pusat pelayanan kesehatan masyarakat; dan

(3) tempat orang sakit (pasien) mencari dan menerima pelayanan kesehatan.

Sementara tenaga kesehatan menurut Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 1 ayat (1)

adalah “Setiap orang yang mengabadikan diri dalam bidang kesehatan serta

memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang

kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan untuk melakukan upaya

kesehatan”. Menurut Undang-Undang nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan, Pasal 1 ayat (6) yang dimaksud tenaga kesehatan adalah “setiap

orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki

pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan

yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya

kesehatan”.

29
Titik Triwulan Tutik, dan Shita Febriana, op.cit, hal 18.

Universitas Sumatera Utara


40

Dari pengertian tenaga kesehatan tersebut perlu untuk diketahui

kategori dari tenaga kesehatan itu sendiri. Menurut peraturan Menteri

Kesehatan RI nomor 262/men,kes/PE/VII/1979 tentang ketenagaan rumah

sakit pemerintahan, ada empat kategori yang dikenal diantaranya: (1) tenaga

medis, yakni lulusan kedokteran atau kedokteran gigi dan pasca sarjana yang

memberikan pelayanan medis dan pelayanan penunjang medis; (2) tenaga

paramedik perawatan, yaitu lulusan sekolah akademi perawat kesehatan yang

memberikan pelayanan perawatan paripurna; (3) tenaga paramedik non

perawatan, yaitu lulusan sekolah atau akademi bidang kesehatan lainnya yang

memberikan pelayanan penunjang; (4) tenaga nonmedis, yakni seseorang yang

mendapat pendidikan ilmu pengetahuan yang tidak termasuk pendidikan pada

tenaga medis, tenaga paramedik perawatan, tenaga para medis non

perawatan.30

Penjelasan Undang-Undang Perlindungan Konsumen bahwa

pengertian konsumen adalah konsumen akhir. Jika dihubungkan dengan Pasal

1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, distributor maupun retailer mempunyai kedudukan yang sama.

Hak dan kewajiban mereka seperti tercantum dalam Pasal 6 dan Pasal 7

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang

mengatur hak dan kewajiban pelaku usaha terhadap konsumen. Sedangkan bila

dihubungkan dengan Pasal l1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, maka distributor maupun trailer tidak

30
Ns. Ta‟adi, op.cit, hal 11.

Universitas Sumatera Utara


41

termasuk dalam pengertian konsumen, karena tujuan mereka memperoleh

barang tidak bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun

makhluk hidup lain dan bermaksud untuk diperdagangkan. Hak dan kewajiban

mereka tidak sama seperti yang tercantum dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-

Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kedua Pasal

tersebut hanya berlaku bagi konsumen akhir.31

Dalam pelayanan medis yang dimaksud konsumen dalam hal ini adalah

pasien. Menurut Wila Chandarwila Supriadi, dalam bukunya, “hukum

kedokteran” bahwa pasien adalah orang sakit yang membutuhkan bantuan

dokter untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya, dan pasien diartikan

juga adalah orang sakit yang awam mengenai penyakitnya. Mempertegas

makna pasien, Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Republik Indonesia nomor

29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, menyatakan: “pasien adalah setiap

orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh

pelayanan kesehatan yang diperluikan baik secara langsung maupun tidak

langsung kepada dokter atau dokter gigi”.32

Di samping dokter, maka pasien juga memerlukan perlindungan

hukum yang proporsional yang diatur dalam perundang-undangan.

Perlindungan tersebut terutama diarahkan kepada kemungkinana-

kemungkinan bahwa dokter melakukan kekeliruan karena kelalaian.33

E. Hubungan Antara Pasien Dengan Dokter

31
Loc.cit.
32
Loc.cit.
33
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


42

Dokter, pasien dan rumah sakit adalah tiga subyek hukum yang terkait

dalam bidang pemelihahraan kesehatan. Ketiganya membentuk baik hubungan

medik maupun hubungan hukum. Hubungan medik dan hubungan hukum

antar dokter, pasien dan rumah sakit, adalah hubungan yang obyeknya adalah

pemeliharaan kesehatan pada umumnya dan pelayanan kesehatan pada

khususnya. Dokter dan rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan

dan pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan. Pelaksanaan hubungan

antara ketiganya selalu diatur dengan peraturan-peraturan tertentu agar terjadi

keharmonisan dalam melaksanakan hubungan. Seperti diketahui hubungan

tanpa peraturan akan menyebabkan kesemerawutan dan kesimpangsiuran. 34

Hubungan pasien dengan dokter terbentuk karena kesepakatan, hal ini

tertuang dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004. Dinyatakan

dalam Pasal 39 Undang-Undang Tahun 2004, bahwa “Praktik Kedokteran

diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi

dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan

penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan

kesehatan”. Kesepakatan dalam upaya penyembuhan suatu penyakit yang

melahirkan suatu perjanjian terapeutik yang bersumber dari Undang-Undang

sebagaimana yang termuat dalam rumusan Pasal 1233 BW. Hubungan hukum

pasien dengan dokter juga terlahir dari kewajiban Undang-Undang

(konstitusi), sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2, Pasal 17 Undang-

34
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


43

Undang Nomor 29 Tahun 2004 juncto Pasal 29 ayat (1) huruf c dan huruf f

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 juncto Pasal 304 KUHP.35

Hubungan antara dokter dan pasien dalam ilmu kedokteran umumnya

berlangsung sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Dalam hubungan tersebut

rupanya terlihat suporioritas dokter terhadap pasien dalam bidang ilmu

biomedis, hanya ada kegiatan pihak dokter sedangkan pasien tetap pasif.

Hubungan ini berat sebelah dan tidak sempurna, karena merupakan suatu

pelaksanaan wewenang oleh yang satu terhadap lainnya. Oleh karena

hubungan dokter dan pasien merupakan hubungan antar manusia, lebih

dikehendaki hubungan yang mendekati persamaan hak antar manusia. Jadi

hubungan dokter yang semula bersifat paternalistik akan bergeser menjadi

hubungan yang dilaksanakan dengan saling mengisi dan saling ketergantungan

antara kedua belah pihak yang ditandai dengan suatu kegiatan aktif yang

saling mempengaruhi, dokter dan pasien akan berhubungan lebih sempurna

sebagai “partner”.36

Munir fuady, dalam tulisannya yang berjudul “Sumpah Hipocrates”

menggambarkan hubungan dokter dengan pasien terjalin didasarkan pada

adanya kepercayaan (trust) seorang pasien kepada seorang dokter yang

mewajibkan dokter tersebut untuk mengobatinya dengan sungguh-sungguh

atau beriktikad baik serta menyimpan segala rahasia asien (secret trust) yang

diketahuinya. Lebih lanjut dikatakannya bahwa dalam hubungan ini karena

ada kewajiban menjaga kerahasiaan pasien, maka hubungan dokter dengan

35
Machli Riyadi, op.cit, hal 24.
36
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


44

pasien disebutnya juga sebagai suatu hubungan fiduciary.37 Hermien Hadiati

Koeswadji, mengemukakan bahwa pada asasnya hubungan dokter dengan

pasien adalah merupakan pemenuhan hak-hak dasar manusia sebagai hak asasi

yang melekat sejak manusia itu dilahirkan yang bertumpu pada hak atas

pemeliharaan kesehatan (the right to health care) dan hak untuk menentukan

nasibnya sendiri (the right to self determination atau zelfbeschkkingsreht).38

Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan pasien terhadap

dokter, sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medik

(informed consent), yaitu suatu persetujuan pasien mendapat untuk menerima

upaya medis yang akan dilakukan terhadapnya. 39 Misalnya pasien

berkepentingan untuk penyembuhan penyakit yang dideritanya, akan tetapi

mengingat resiko yang akan timbul berdasarkan infomasi yang diperolehnya

dari dokter, pasien atau keluarganya menolak memberi persetujuan, sedangkan

pada sisi lain dokter yang akan melakukan perawatan membutuhkan

persetujuan tersebut.40

Hubungan dokter dan pasien dilihat dari aspek hukum adalah

hubungan antara subyek hukum dengan subyek hukum. Hubungan antara

subyek hukum dan subyek hukum diatur oleh kaidah-kaidah hukum perdata.

Kaidah hukum perdata berisi pedoman/ukuran bagaimana para pihak yang

melakukan hubungan melaksanakan hak dan kewajibannya. Berbicara

37
Munir Fuady, Sumpah Hippocrates, Aspek Hukum Malpraktek Dokter, Bandung, Citra
Aditya Bakti, 2005, hal 29.
38
Hermien Hadiati Koeseadji, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga University Press,
1984, hal 13.
39
Loc.cit.
40
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


45

mengenai hukum maka terdapat hak dan kewajiban yang timbal balik, dimana

hak dokter menjadi kewajiban pasien dan hak pasien menjadi kewajiban

dokter. Dasar dari perikatan antara dokter dan pasien biasanya adalah yang

dikenal dengan perjanjian/kontrak, sehingga dikenal pula istilah

perjanjian/kontrak terapeutik. Tetapi terdapat pula perikatan antara dokter dan

pasien terbentuk atas dasar Undang-undang, yakni terdapatnya kewajiban

hukum dokter untuk menolong orang yang memerlukan pertolongan medik.41

Alasan lain yang menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien

dengan dokter adalah karena keadaan pasien yang sangat mendesak untuk

segera mendapatkan pertolongan dari dokter, misalnya karena terjadi

kecelakaan lalu lintas, terjadi bencana alam, maupun karena ada situasi lain

yang menyebabkan keadaan pasien sudah gawat, sehingga sangat sulit bagi

dokter yang menangani untuk mengetahui dengan pasti kehendak pasien.

Dalam keadaan seperti ini dokter langsung melakukan apa yang disebut

dengan zaakwaarneming sebagaimana diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata,

yaitu suatu bentuk hubungan hukum yang timbul bukan karena adanya

“persetujuan tindakan medik” terlebih dahulu, melainkan karena ada keadaan

yang memaksa atau keadaan darurat.42

Sebenarnya pola dasar hubungan dokter dan pasien, terutama

berdasarkan keadaan sosisal budaya dan penyakit pasien dapat dibedakan

dalam tiga pola hubungan, yaitu :

1. Activity - Passivity.

41
Loc.cit..
42
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


46

Pola hubungan orang tua-anak seperti ini merupakan pola klasik sejak

profesi kedokteran mulai mengenal kode etik, abad ke 5 S.M. di sini

dokter seolah-olah dapat sepenuhnya melaksanakan ilmu nya tanpa

campur tangan pasien, dengan suatu motivasi altruistis. Biasanya

hubungan ini berlaku pada pasien yang keselamatan jiwanya terancam,

atau sedang tidak sadar, atau menderita gangguan mental berat.

2. Guidance - Coorperation.

Hubungan membimbing-kerjasama, seperti halnya orang tua dengan

remaja. Pola ini ditemukan bila keadaan pasien tidak terlalu berat

misalnya penyakit infeksi baru atau penyakit akut lainnya. Meskipun

sakit, pasien tetap sadar dan memiliki perasaan kemauan sendiri. Ia

berusaha mencari pertolongan pengobatan dan bersedia bekerjasama.

Walaupun dokter mengetahui lebih banyak, ia tidak semata-mata

menjalankan kekuasaan, namun mengaharapkan kerjasama pasien yang

diwujudkan dengan menuruti nasihat atau anjuran dokter.

3. Mutual participation.

Filosofi pola ini berdasarkan pemikiran bahwa setiap manusia memiliki

martabat dan hak yang sama. Pola ini terjadi pada mereka yang ingin

memelihara kesehatannya seperti medical check-up atau pada pasien

penyakit kronis. Pasien secara sadar dan aktif berperan dalam pengobatan

terhadap dirinya. Hal ini tidak dapat diterapkan pada pasien dengan latar

Universitas Sumatera Utara


47

belakang pendidikan dan sosial yang rendah, juga pada anak atau pasien

dengan gangguan mental tertentu.43

Perkembangan hubungan dokter dengan pasien yang semula lebih

berorientasi pada bantuan sosial, dibayar atau tidak dibayar dokter tetap

memberikan pelyanan kepada pasien dengan ketulusan hati, keluhuran budi

dan kehormatan nilai-nilai profesi. Akan tetapi seiring dengan perkembangan

jaman dan regulasi, hubungan pelayanan kesehatan mengalami perubahan

yang signifikan dengan masuknya unsur bisnis dalam hubungan ini, yang

diawali dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 dan

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009, maka pola hubungan dokter dengan

pasien juga mengalami perubahan yang menuju kearah hubungan komersial

atau hubungan bisnis, sebagai sebuah hubungan kontrak yang didalamnya

terkandung unsur bisnis.44

Agus Yudha Hernoko mengemukakan bahwa kontrak pada dasarnya

berawal dari suatu perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan di antara para

pihak. Lebih jauh beliau mengemukakan bahwa pengertian kontrak atau

perjanjian adalah perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau

lebih. Dalam perspektif perlindungan konsumen terdapat ketidak

keseimbangan posisi tawar para pihak. Hubungan konsumen produsen

43
Danny Wiradharna, Hukum Kedokteran, Jakarta, Binarupa Aksara, 1996, hal 43.
44
Munir Fuady, op.cit, hal 5.

Universitas Sumatera Utara


48

diasumsikan hubungan yang subordinat, sehingga konsumen berada pada

posisi yang lemah dalam pembentukan kehendak kontraktualnya. 45

Dalam hubungan tersebut tidak selalu berjalan dengan harmonis,

manakala ada hak pasien yang tidak terpenuhi sehingga mengakibatkan

munculnya kerugian bagi pasien, maka terjadilah sengketa medik. Malapraktik

medik lebih ban yak disebabkan karena tidak terpenuhinya hak dasar pasien

sebagaimana yang dikemukakan oleh sabir alwi diatas 80% disebabkan karena

kurang komunikasi atau informasi yang sebenarnya adalah hak pasien untuk

mendapatkannya. Dokter yang melakukan praktik kedokteran pada pasien

adalah dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban dalam suatu hubungan

dokter-pasien.46 Hubungan hukum ada tiga kategori, yaitu :

1. Hubungan hukum antara dua subyek hukum orang dengan subyek hukum

orang, misalnya hubungan dokter-pasien;

2. Hubungan hukum antara subyek hukum orang dengan subyek hukum

badan, misalnya antara pasien dengan rumah sakit;

3. Hubungan hukum antara subyek hukum orang maupun badan dengan

objek hukum benda berupa hak kebendaaan.47

Dalam kamus hukum Fockema Andrea dijelaskan bahwa “goede trow”

adalahmaksud, semangat yang menjiwai para peserta dalam suatu perbuatan

hukum atau tersangkut dalam suatu hubungan hukum. Wirjoyo Projodikoro

45
Agus Yudha Hernoko, Azas Proporsionslitas Dalam Kontrak Komersial, Jakarta,
Kencana Prenada Media Group, 2007, hal 1.
46
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Indonesia, Ghia, 1986, hal 244.
47
Adami Chazawi, Malapraktik Kedokteran, Malang, Cetakan Pertama, Bayumedia
Publishing, 2007, hal 15.

Universitas Sumatera Utara


49

memberikan batasan iktikad baik dengan istilah “dengan jujur” atau “secara

jujur”.48

Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) adalah suatu lembaga independent

yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004, KKI

berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 dibentuk dengan

tujuan utama adalah melakukan pembinaan terhadap profesi dokter bersama-

sama dengan organisasi profesi, selain itu KKI pembentukannya dengan

bersama-sama pemerintah dan organisasi profesi diarahkan untuk :

1. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan dokter dan

dokter gigi;

2. Melindungi masyarakat atas tindakan yang dilakukan dokter dan dokter

gigi;

3. Memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, dokter, dan dokter

gigi.

Berkaitan dengan dampak buruk dari hubungan hukum dokter dengan

pasien sebagai akibat dari tidak terpenuhinya suatu prestasi dari dokter yang

dalam hal ini selaku debitur, penulis setuju dengan apa yang dikemukakan

oleh Agus Yudha Hernoko, bahwa terkait dengan wanprestasi (lalainya

debitur) Pasal 6:58 NBW, menyatakan : “debitur adalah lalai memenuhi

perikatannya apabila tidak melakukan upaya seperlunya atau terhalangnya

48
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


50

prestasi yang disebabkan olehnya, kecuali terhalangnya pelaksanaan prestasi

itu tidak dapat dibebankan kepada dirinya”.49

Dalam hal ini, kesepakatan adalah sumber perikatan hukum

sebagaimana tertuang pada Pasal 1233 BW. Hubungan dokter dengan pasien

dibagi dalam tiga bagian :

a. Hubungan Medik

Dokter adalah pihak yang mempunyai keahlian di bidang kedokteran,

sedangkan pasien adalah orang sakit yang membutuhkan bantuan dokter untuk

menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Dalam hubungan medik ini

kedudukan dokter dan pasien adalah kedudukan yang tidak seimbang. Pasien

karena keawamannya akan menyerahkan kepada dokter tentang penyembuhan

penyakitnya, dan pasien diharapkan patuh menjalankan semua nasihat dari

dokter dan memberikan persetujuan atas tindakan yang dilakukan oleh dokter.

Terdapat pola hubungan yang paternalistik antara dokter dan pasien,

dianggap bahwa dokter akan berupaya semaksimal mungkin menyembuhkan

pasien, seperti seorang bapak yang baik yang akan membuat untuk

kepentingan anaknya. Pasien diharapkan akan bertindak sebagai anak yang

patuh dan percaya bahwa dokter akan bertindak sebagai bapak yang baik. Pola

hubungan diatas yaitu antara orang sehat dan orang sakit, pakar awam,

kepercayaan dan paternalistik, menempatkan kedudukan yang tidak seimbang

antara dokter dan pasien.

b. Hubungan Moral

49
Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal 238.

Universitas Sumatera Utara


51

Pada setiap hubungan antara dokter dan pasien, terjadi interaksi yaitu

hubungan timbal balik dan dalam interaksi sosial itu terjadi kontak dan

komunikasi antara pasien dan dokter. Dokter berperan sebagai penyembuhan

dan pasien berperan sebagai orang yang membutuhkan bantuan penyembuhan.

Seperti diketahui ciri dari kaidah-kaidah moral, adalah tekanan pada kewajiban

dari pihak yang satu kepada pihak yang lain, tanpa membicarakan tentang hak

seseorang terhadap pihak lainnya. Maka dalam hubungan sosial ini, hanya

terapat kewajiban dokter kewajiban pasien.

c. Hubungan Hukum

Hubungan hukum selalu menimbulkan hak dan kewajiban yang timbal

balik. Hak dokter menjadi kewajiban pasien dan hak pasien menjadi kewajiban

dokter, keadaan itu menempatkan kedudukan dokter pasien pada kedudukan

yang sama dan sederajat.

Hubungan dokter pasien adalah hubungan dalam jasa pemberian

pelayanan kesehatan. Dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan dan pasien

sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan. Terdapat hubungan antara dua

subyek hukum yang ada di dalam lingkungan hukum perdata. Hubungan

hukum dokter pasien adalah apa yang dikenal sebagai perikatan (verbintenis).

Dasar dari perikatan yang berbentuk antara dokter pasien biasanya adalah

perjanjian, tetapi dapat saja berbentuk perikatan berdasarkan Undang-undang.

Doktrin hukum kesehatan menentukan ada dua bentuk perikatan dilihat dari

prestasi yang harus diberikan, yaitu perikatan ikhtisar (inspanning verbintenis)

dan perikatan hasil (resultaat verbintenis). Sehubungan dengan tidak dapat

Universitas Sumatera Utara


52

diukurnya prestasi yang harus diberikan oleh dokter, maka untuk menggugat

dokter wanprestasi hampir tidak mungkin. Dokter hanya dapat digugat, dalam

hal dokter berbuat kesalahan/kelalaian.50

50
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, Bandung, Penerbit Bandar Maju,
2001, hal 27.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN DI RUMAH SAKIT

UMUM HAJI ABDUL MANAN SIMATUPANG KISARAN

A. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Dalam Berbagai

Peraturan perUndang-Undangan di Indonesia

Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Negara berdasarkan

atas hukum” dan itu berarti segenap warga dalam yuridiksi Republik Indonesia

taat dan tunduk kepada hukum yang berlaku. Dengan demikian semua pihak

yang terkait dalam hubungan dokter, pasien juga harus memenuhi ketentuan

ini tanpa terkecuali. Pasien, dokter, dan hukum kedokteran kita tidak

merupakan suatu kesatuan, melainkan tersebar dalam berbagai ketentuan dan

Undang-Undang, yaitu KUHP, KUHPerdata, Undang-Undang Kesehatan, dan

sebagainya. Dengan demikian, sepanjang hukum kedokteran secara mandiri

belum lagi dapat diwujudkan, segala ketentuan yang berlaku umum (pidana

maupun perdata) tetap dapat diberlakukan sebagai hukum kedokteran.

Suatu prinsip dasar yang sering kali dilupakan oleh dokter dan pasien

ialah kenyataan bahwa hukum kedokteran termasuk dalam lingkup ilmu

hukum, dengan demikian selalu menganut asas dan kaidah ilmu hukum. Bila

diperlukan untuk menafsirkan hal-hal yang sifatnya teknis-medis, barulah ilmu

kedokteran digunakan. Tidak lebih dari itu. Dalam melakukan profesi medik,

seorang dokter harus memenuhi 2 tanggung jawab utama, yaitu :

1. Informed Consent atau persetujuan/izin tindak medik (Pertindik).

2. Standar Profesi Medik atau SPM

53

Universitas Sumatera Utara


54

Pentingkah kedua unsur tanggung jawab itu? Seorang pakar hukum

kedokteran Indonesia menyebutkan, “... dan bila terbukti bahwa dokter tidak

menyimpang dari SPM dan sudah memenuhi informed consent baru ia tidak

dipidana atau diputuskan bebas membayar kerugian”.51

Sebagian orang berpendapat bahwa pasien dapat digolongkan sebagai

konsumen dan digolongkan sebagai pelaku usaha dalam bidang jasa, sehingga

seluruh aturan-aturan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 itu berlaku bagi hubungan dokter dengan pasien. Sebagian lagi

berpendapat bahwa hubungan antara pelaku usaha dan konsumen khusus di

bidang ekonomi, harus dibedakan dengan hubungan antara dokter dan pasien

di bidang kesehatan (hubungan pelayanan kesehatan). Sehingga kaidah-kaidah

hukum yang ada dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen tidak dapat begitu saja diberlakukan dalam hubungan

dokter dengan pasien.52

Dalam pelayanan kesehatan, masalah etika profesi telah lama

diusahakan agar benar-benar dapat berkembang dan melekat pada setiap sikap

dan tindakan seorang dokter. Ukuran yang digunakan hakim untuk menerima

surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa terdakwa sakit atau “visum

dokter” yang menerangkan tentang keadaan korban, penilaiannya oleh hakim

hanya disandarkan pada anggapan, bahwa dokter akan mengeluarkan surat

keterangan atau visum tersebut, adalah berdasarkan pada kode etiknya. 53

51
Loc.cit.
52
Wila Chandrawila Supriadi, op.cit, hal 35.
53
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


55

Perlindungan diartikan sebagai perbuatan memberi jaminan atau

keamanan, ketentraman, kesejahteraan, dan kedamaian dari pelindung kepada

yang dilindungi atas segala bahaya atau risiko yang mengancamnya.

Perlindungan hukum merupakan gambaran fungsi hukum yaitu konsep dimana

hukum dapat memberikan keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan

kedamaian. Perlindungan hukum bagi pasien menyangkut berbagai hal yaitu

masalah hubungan hukum pasien dengan tenaga kesehatan, hak dan kewajiban

para pihak dan pertanggungjawaban dan aspek penegakan hukumnya. 54

Pengaturan perlindungan hukum pasien diatur dalam berbagai

peraturan perundang undangan yaitu sebagai berikut:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Prinsip yang dianut dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata

sebagai hukum privat adalah barang siapa menimbulkan kerugian pada orang

lain harus memberikan ganti rugi. Hal ini berbeda dengan aturan dalam hukum

pidana sebagai hukum publik, karena dalam hukum pidana yang diatur atau di

tuju adalah ketertiban hidup bersama dalam masyarakat; sedangkan dalam

hukum perdata mengatur hubungan antarwarga masyarakat yang bersifat

individual atau perorangan.

Dalam perjanjian terapeutik timbulnya hubungan hukum antara dokter

dengan pasien menurut J.Gunawandi adalah sebagai berikut :

1. Berdasarkan perjanjian (ius contractu)

54
Loc.cit, hal 29.

Universitas Sumatera Utara


56

Perjanjian terapeutik dilakukan secara sukarela berdasarkan kehendak

bebas antara dokter dengan pasien.

2. Berdasarkan hukum (ius delicto)

Prinsip yang dianut adalah barang siapa menimbulkan kerugian pada

orang lain harus memberikan ganti kerugian yang ditimbulkan tersebut.

Menurut Van der Mijn ada tiga unsur dalam pertanggungjawaban

secara perdata:

1. Adanya kelalaian yang dapat dipersalahkan (culpability).

2. Adanya kerugian (damages).

3. Adanya hubungan kausal (causal relationship).55

Gugatan untuk meminta pertanggungjawaban dokter bersumber pada

dua dasar hukum, yaitu: pertama, berdasarkan pada wanprestasi (contractual

liability) sebagaimana diatur dalam Pasal 1239 KUHPerdata. Kedua,

berdasarkan perbuatan melanggar hukum (onrechmatigedaad) sesuai dengan

ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata.

Ketentuan tentang wanprestasi dalam Pasal 1239 KUHPerdata

selengkapnya dinyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu

atau tidak berbuat sesuatu, apabila siberutang tidak memenuhi kewajibannya,

mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian

biaya, rugi, dan bunga, bila debitur tidak memenuhi janjinya”.

Wanprestasi dalam pelayanan kesehatan baru terjadi bila telah

terpenuhi unsur-unsur berikut ini:

55
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


57

1. Hubungan antara dokter dengan pasien terjadi berdasarkan kontrak

terapeutik.

2. Dokter telah memberikan pelayanan kesehatan yang tidak patut yang

menyalahi tujuan kontrak terapeutik.

3. Pasien menderita kerugian akibat tindakan dokter yang bersangkutan.

Dalam gugatan atas dasar wanprestasi, ketiga unsur tersebut harus

dibuktikan terlebih dahulu adanya kontrak terapeutik antara pasien dengan

dokter. Pembuktian tentang adanya kontrak terapeutik dapat dilakukan pasien

dengan mengajukan rekam medik atau dengan “persetujuan tindakan medik”

yang diberikan oleh pasien.

Guna sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat sebagaimana

diatur dalam Pasal 1320 KUHPedata yang unsur-unsurnya sebagai berikut:

a. Adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikatkan dirinya;

b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. Sesuatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

Di Jerman ketentuan yang berlaku adalah dokter harus membuktikan

bahwa ia telah mendapatkan persetujuan untuk tindakan medis tersebut. Di

Prancis berlaku pemikiran yang sebaliknya, yaitu pasienlah yang harus

membuktikan bahwa ia tidak memberikan persetujuan, akan tetapi walau

persetujuan tidak diberikannya, dokter yang bersangkutan akan tetap

melakukan tindakan medis tertentu. Di Belanda penetapan beban pembuktian

mengenai hal ini dibedakan menjadi dua bagian :

Universitas Sumatera Utara


58

Pertama, apabila pasien berpendapat bahwa ia sama sekali tidak

pernah memberikan persetujuan pada suatu tindakan medis, bahkan suatu

tindakan yang global pun tidak pernah diberikan, maka dokter harus

membuktikan bahwa pasien telah memberikan persetujuan global tersebut.

Misalnya ada persetujuan pasien untuk amputasi kaki atau operasi lambung.

Pembagian beban pembuktian yang demikian itu dibenarkan, karena dalam

suautu tindakan medis tanpa ada persetujuan global dari pasien berarti telah

terjadi suatu pelanggaran integritas diri pasien. Sedangkan bagi seorang

dokter, bukti adanya persetujuan global dari pasien, merupakan hal yang

sangat penting sebagai dasar baginya untuk melakukan tindakan medis.

Pembuktian itu dapat dilalakukan dengan mengemukakan fakta-fakta bahwa

pasien telah menjalani opname karena keluhan lambung, digabungkan dengan

fakta bahwa pasien mengetahui dirinya telah dibawa ke kamar operasi, hal ini

merupakan bukti yang cukup bahwa ia telah menyetujui dilakukannya operasi

lambung tersebut.

Kedua, apabila sebaliknya pasien mengajukan bukti bahwa ia secara

global telah menyetujuinya, tetapi persetujuan tersebut tidak mencukupi syarat

untuk pengambilan tindakan-tindakan khusus yang relevan (misalnya: tempat

yang tepat dibagian mana kaki itiu akan diamputasi, apakah diatas atau di

bawah lutut). Apakah telah diberikan informasi yang cukup tentang untung

dan ruginya (dengan diambilnya sebagian besar lambung), menyebabkan

kasus itu menjadi berbeda. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa penjelasan

pasien tidak secara serius mengenai integritas dirinya, tetapi ternyata bahwa

Universitas Sumatera Utara


59

dokter telah memberikan tindakan medis yang layak menurut ukuran atau

norma yang berlaku.56

Dasar gugatan/tuntutan tambahan lain yang memungkinkan untuk

meminta pertanggungjawaban menurut hukum perdata didasarkan pada Pasal

1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melanggar Hukum. Selengkapnya Pasal

tersebut dinyatakan bahwa : “Tiap perbuatan melanggar hukum yang

membawa kerugian kepada orang lain diwajbkan mengganti kerugian

tersebut.”

Jika dihubungkan dengan pelaksanaan perjanjian terapeutik antara

dokter dengan pasien maka sesuai Pasal 1365 KUHPerdata, unsur-unsur

melawan hukum dari perbuatan melawan hukum menurut Soerjono Soekanto

sebagai berikut :

1. Apakah perawatan yang diberikan oleh dokter cukup layak (a duty of due

care). Dalam hal perawatan yang diberikan oleh pelaksana kesehatan

dinilai apakah sesuai dengan yang diharapkan (persyaratan).

2. Apakah terdapat pelanggaran kewajiban (the breach of thr duty). Untuk

membuktikan telah terjadi pelanggaran terhadap standar perawatan yang

telah diberikan kepada seorang pasien, diperlukan kesaksian ahli dari

seorang dokter yang mengerti. Kesaksian ini sulit diperoleh karena adanya

kecenderungan dokter untuk melindungi teman sejawarnya.

3. Apakah kelalaian itu benar merupakan penyebab cedera (causation).

4. Adanya kerugian (damages).

56
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


60

Bila dapat dibuktikan bahwa kelalaian merupakan penyebab cedera, maka

pasien berhak mendapatkan ganti rugi. Antara kesalahan dokter dan kerugian

yang diderita penggugat (pasien) harus ada hubungan kausal.

Jika tindakan dokter telah memenuhi keempat unsur tersebut, maka

tidak dapat dibuktikan adanya malpraktik medis berupa civil malpractice.

Apabila dokter telah menyebabkan pasiennya menderita luka atau mati tetapi

tidak dapat di tuntut secara pidana maka dokter dapat digugat menurut hukum

perdata oleh pasien atau keluarganya. Dalam ilmu hukum, pemecahan

problem kausalitas antara kesalahan dan kerugian dikenal dua ajaran pokok :

1. Teori conditio sine qua non

Penerapan teori ini menyebabkan pertanggungjawaban menurut Pasal

1365 KUHPerdata, menjadi sangat diperluas, karena perbuatan yang jauh

hubungannya dengan akibat yang timbul, harus dianggap juga sebagai

sebab.

2. Adequate theorie

Teori ini dikembangkan oleh Von Kries, dan mempunyai pengertian

sebagai berikut :

a. Suatu kerugian hanya merupakan akibat dari perbuatan melanggar

hukum, kalau kerugian tersebut menurut akal manusia yang sehat

dapat diharapkan merupakan suatu akibat dari perbuatan melanggar

hukum tersebut.

b. Kerugian tersebut merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum

yang dapat diduga semula.

Universitas Sumatera Utara


61

c. Kerugian tersebut menurut pengalaman dapat diharapkan merupakan

akibat perbuatan melanggar hukum.57

Persoalan yang timbul, bagaimana membuktikan adanya hubungan kausal antara perbuatan at

1. Teori pembuktian yang bersifat menguatkan saja (de blood affirmatief

theorie).

2. Teori hukum subjektif (de subjectiefrechtelijke theorie).

3. Teori hukum public (de publieckrecht theorie).

4. Teori hukum objektif (de objectiefrechtelijke theorie).

5. Teori keadilan (de billijkheid theorie) atau teori hukum acara

(procesrechtelijke theorie).

Secara perdata kesalahan yang dilakukan oleh dokter dalam pelaksanaan perjanjian terapeu

bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan oleh

perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena lalai atau

kurang hati-hati.”

Dokter dapat digugat atas perbuatannya dalam pelaksanaan perjanjian

terapeutik berdasarkan Pasal 1366 KUHPerdata apabila memenuhi syarat-

syarat berikut:

1. Suatu tingkah laku yang menimbulkan kerugian tidak sesuai dengan sikap

hati hati yang normal.

2. Yang harus dibuktikan adalah tergugat lalai dalam kewajiban berhati-

hatinya terhadap penggugat.

57
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


62

3. Kelakuan itu merupakan penyebab yang nyata atau proximate cause dari

kerugian yang timbul.

Dalam hukum perdata, dokter juga dapat mempertanggungjawabkan atas

perbuatan yang dilakukan oleh orang lain yang posisinya sebagai bawahannya.

Hal ini diatur dalam Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa:

“Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang lain untuk mewakili

urusan-urusan mereka bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh

pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan di

mana orang-orang ini dipakainya.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata maka seseorang

harus bertanggung, baik atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakannya sendiri,

maupun atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakan orang lain yang berada di

bawah pengawasannya. Oleh karena itu, atas kesalahan yang dilakukan oleh

bawahannya, rumah sakit dan dokter dapat turut mempertanggungjawabkan

kesalahan tersebut berdasarkan Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata.

Untuk dapat meminta pertanggungjawaban dokter atas kesalahan yang

dilakukan oleh bawahannya, penugasan tindakan medis tersebut harus berada

dalam keadaan berikut:

1. Dokter hanya boleh melakukan diagnosis, terapi dan petujuk medis.

2. Penugasan tindakan medis hanya boleh dilakukan jika dokter telah yakin

bahwa orang yang diberi tugas akan melaksanakan tindakan itu dengan baik

(mampu). Penugasan ini harus dilakukan secara tertulis, termasuk instruksi

Universitas Sumatera Utara


63

yang jelas tentang cara melaksankannya serta segala kemungkinan terjadinya

komplikasi.

3. Perawatan medis (tindakan perawatan) dan pengawasan harus diberikan

sesuai keadaan yang terjadi, yaitu apakah dokter harus hadir pada waktu itu

ataukah baru hadir pada waktu sangat diperlukan.

4. Pasien menjalani tindakan medis tersebut mempunyai hak untuk menerima

atau menolak.

Menurut hukum perdata, ada perbedaan antara perbuatan melannggar

hukum dengan wanprestasi yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan

oleh dokter dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik. Menurut arrest hoge raad

(tanggal 13 Januari 1919) sementara itu, pengertian wanprestasi adalah suatu

keadaan dimana seseorang tidak memenuhi kewajiban yang didasarkan pada

perjanjian/kontrak. Tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan perbuatan

melanggar hukum, Undang-undang sendiri tidak memberikan perumusannya,

namun sesuai dengan yurisprudensi yang dianut di negeri Belanda sejak perkara

lindenbaum cohen arrest hoge raad 31 Januari 1919 diterapkan adanya empat

kriteria perbuatan melanggar hukum :

1. Perbuatan itu bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.

2. Perbuatan itu melanggar hak orang lain.

3. Perbuatan itu melanggar kaidah tata susila.

4. Perbuatan itu bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap

hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan

sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.

Universitas Sumatera Utara


64

Berdasarkan KUHPerdata dugaan terjadinya civil malpractice

berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian terapeutik yang diduga dilakukan

oleh dokter. Dengan demikian, dapat dilakukan gugatan dalam hal berikut:

1. Wanprestasi berdasarkan Pasal 1239.

2. Perbuatan melanggar hukum berdasarkan Pasal 1365.

3. Kelalaian yang menimbulkan kerugian berdasarkan Pasal 1366.

4. Melalaikan kewajiban berdasarkan Pasal 1367 ayat (3).

Masalah pembuktian dalam hukum perdata untuk pengajuan suatu

gugatan/tuntutan ditentukan dalam Pasal 1865 yang menyatakan: “Setiap orang

yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, atau guna meneguhkan haknya

sendiri maupun membantah hak orang lain menunjukkan pada suatu peristiwa

diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.” Berdasarkan

ketentuan Pasal 1865 KUHPerdata, setiap orang yang mendalilkan tentang adanya

perbuatan melanggar hukum harus dibuktikan. Alat bukti yang dapat diajukan

sehubungan dengan tuntutan hukum atas pelayanan kesehatan menurut hukum

perdata berdasarkan Pasal 1866 KUHPerdata terdiri atas bukti tulisan, bukti

disertai saksi-saksi, persangkaan-persangkaan pengakuan, dan sumpah.58

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Bahwa hukum pidana merupakan suatu aturan yang mengatur tentang

tingkah laku seseorang dan bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi sesuai

dengan perbuatannya. Dalam hukum pidana, hanya perbuatan yang

membahayakan serta meresahkan masyarakat dibuatkan aturan berikut sanksinya

58
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


65

yang bersifat refresif. Suatu perbuatan dikatakan tindak pidana paling sedikit

memenuhi 3 unsur yaitu :

1. Melanggar norma hukum tertulis.

2. Bertentangan dengan hukum (melanggar hukum).

3. Berdasarkan suatu kesalahan/kelalaian besar (culpa lata).

Hukum Pidana termasuk dalam hukum yang berlaku umum, artinya

setiap orang wajib tunduk dan taat serta pelaksanaan sanksinya dapat

dipaksakan, juga terhadap seseorang dokter misalnya. Yang penting diingat

bahwa hukum kedokteran harus memenuhi semua asas dan kaidah ilmu

hukum, termasuk Azaz Praduga Tak Bersalah. Maka “stempel malpraktik”

tidak dapat dikenakan kepada seorang tersangka/terdakwa, sebelum terbukti

dengan keputusan pengadilan.

Beberapa perbuatan dokter yang dapat dikategorikan sebagai tindak

pidana medis menurut KUHP, antara lain:

a. Menipu pasien (Pasal 378 KUHP)

b. Tindak pelanggaran kesopanan/kesusilaan (Pasal 285, 286, 290, dan 294

KUHP)

c. Pengguguran kandungan tanpa indikasi medik (Pasal 299, 348-350

KUHP) dan Pasal 15 UU Kesehatan),

d. Sengaja membiarkan pasien tidak tertolong (Pasal 304 KUHP),

e. Membocorkan rahasia medik (Pasal 322 KUHP)

f. Penganiyaan (Pasal 351 KUHP)

g. Membuat surat keterangan palsu (Pasal 263 dan 267 KUHP)

Universitas Sumatera Utara


66

h. Melakukan Euthanasia (Pasal 344 KUHP).59

Salah satu kejahatannya adalah masalah malpraktik di bidang kesehatan. Maraknya dugaan k

karena takut berhadapan dengan hukum. Agar hubungan tenaga medis dengan

pasien baik maka dibutuhkan yang disebut dengan istilah “Informed Consent”.

Informed Consent adalah sebuah istilah yang sering dipakai untuk terjemahan

dari persetujuan tindakan medik. Informed diartikan telah di beritahukan, telah

disampaikan atau telah di informasikan dan Consent yang berarti persetujuan

yang diberikan oleh seseorang untuk berbuat sesuatu. Lebih lanjut diatur

dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Praktek

kedokteran yang menegaskan sebagai berikut:

1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh

dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien

diberikan penjelasan lengkap.

3. Penjelasan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-

kurangnya mencakup:

a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis.

b. Tujuan tindakan medis dilakukan.

c. Alternative tindakan lain dan resikonya.

d. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan

e. Prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan.

Kalau kita lihat dalam beberapa kasus ada kecenderungan pasien yang merasa dirugikan mem

59
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


67

Pasal 340 menyatakan: “Barang siapa dengan sengaja dan dengan

direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena

pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup

atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.”

Pasal 344 menyatakan: “Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas

permintaan sungguh-sungguh dari orang itu sendiri, diancam dengan pidana

penjara paling lama dua belas tahun.”

Pasal 345 menyatakan: “Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain

untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana

kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun

kalua orang itu jadi bunuh diri.”

Pasal 359 menyatakan: “Barangsiapa karena keasalahannya (kealpaannya)

menyebabkan orang lain meninggal, diancam dengan pidana penjara paling

lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”

Pasal 361 menyatakan “Bila kejahatan yang diterangkan dalam bab ini

dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pekerjaan, maka pidana

ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak yang bersalah untuk

menjalankan pekerjaandalam dilakukan kejahatan itu dan hakim dapat

memerintahkan supaya putusannya diumumkan.” (KUHP 10, 35, 43, 92).60

3. Perlindungan Hukum Administrasi

Jika terjadi kesalahan dokter dalam melakukan perawatan, dimana

tindakan itu mengakibatkan timbulnya kerugian bagi pasien, tindakan tersebut

60
Joni Afriko, Hukum Kesehatan, Bogor, Penerbit In Media, 2014, hal 46.

Universitas Sumatera Utara


68

mengandung aspek pertanggungjawaban di bidang hukum administrasi. Aspek

hukum adminis-trasinya di sini dinilai dari sudut kewenangan. Berdasarkan

pada hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk melakukan pekerjaan

sebagai dokter dikeluarkan berbagai persyaratan, salah satu persyaratan yang

paling penting adalah adanya izin dari Menteri Kesehatan RI.

Pada dasarnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai dokter dikenal

tiga jenis surat izin. Hal ini diatur dalam Permenkes RI nomor 560 dan

561/Menkes/Per/1981, yaitu sebagai berikut :

a. Surat Izin Dokter (SID) yang merupakan izin yang dikeluarkan bagi

dokter yang menjalankan pekerjaannya sesuai dengan bidang profesinya

di wilayah Negara RI.

b. Surat Izin Praktik (SIP), yaitu izin yang dikeluarkan bagi dokter yang

menjalankan pekerjaan sesuai dengan bidang profesinya sebagai swasta

perseorangan disamping tugas/fungsi lain pada pemerintahan atau unit

pelayanan kesehatan swasta.

c. Surat Izin Praktik (SIP) semata-mata, izin yang dikeluarkan bagi dokter

yang menjalankan pekerjaan sesuai dengan profesinya sebagai swasta

perseorangan semata-mata, tanpa tugas pada pemerintahan atau unit

pelayanan kesehatan swasta.

Ditinjau dari status kepegawaiannya, profesi kesehatan dapat dibagi

dalam dua golongan, yaitu: golongan pertama adalah mereka yang bekerja

pada pemerintah yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan anggota TNI/Polri,

golongan kedua adalah mereka yang bestatus sebagai tenaga swasta yang

Universitas Sumatera Utara


69

terdiri dari: Pensiunan PNS/TNI-Polri, dokter yang telah menyelesaikan wajib

kerja sarjana dan para pegawai tidak dapat tetap pada Departemen Kesehatan.

Kesalahan seorang dokter dalam perawatan yang menimbulkan

kerugian bagi pasien atau keluarganya, selain menanggung tanggung gugat

perdata dan pertanggungjawaban pidana, juga mengandung

pertanggungjawaban dibidang hukum administrasi. Hal ini dapat dilihat

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang nomor 23

tahun 1992 tentang Kesehatan yang berbunyi: “Terhadap tenaga kesehatan

yang melakukan kesalahan dan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya

dapat dikenakan tindakan disiplin.”

Oleh karena itu sesuai dengan peraturan Menteri Kesehatan RI nomor

415a/Menkes/Per.IV/1987 tentang Peningkatan Efisiensi Kerja Tenaga Medik

di Rumah Sakit Pemerintah, dalam Pasal 5 diatur ketentuan tindakan

administratif, di mana tenaga kesehetan yang melakukan kesalahan dana atau

kelalaian, di samping dikenakan hukuman sesuai dengan ketentuan Peraturan

Pemerintah nomor 30 tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, dapat

juga dikenakan tindakan administratif sebagai sanksi oleh pimpinan yang

diberikan kewenangan untuk menindak. Jenis tindakan administratif yang

dapat diambil meliputi :

a. Teguran lisan.

b. Teguran tertulis.

c. Pencabutan rekomendasi/izin untuk melaksanakan praktik dalam suatu

jangka waktu tertentu, selama-selamanya satu tahun.

Universitas Sumatera Utara


70

Tujuan hukuman disiplin yang dijatuhkan terhadap tenaga kesehatan

yang melakukan kesalahan, adalah untuk memperbaiki dan mendidik tenaga

kesehatan yang bersangkutan. Oleh karena itu jika hukuman disiplin dalam

bidang pelayanan kesehatan diterapkan bagi tenaga kesehatan, maka dengan

sendirinya rasa tanggung jawab yang mendalam akan mendorong mereka

untuk melakukan kewajiban profesi dan memenuhi ketentuan-ketentuan

hukuman yang telah digariskan.61

4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seorang ahli yang terkenal dalam bidang kesehatan dari Negeri

Belanda, yaitu Prof. Dr. Rang. Beliau dalam tulisannya mengatakan: hukum

kesehatan adalah seluruh aturan-aturan hukum dan hubungan-hubungan

kedudukan hukum yang langsung berkembang dengan atau yang menentukan

situasi kesehatan di dalam mana manusia berada.62 Kesehatan adalah bagian

dari hak asasi manusia dan menjadi tanggungjawab semua oihak. Undang-

Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dipandang sudah diubah

menjadi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Selain

memiliki kelemahan sehingga sulit dibuat peraturan pelaksanaannya, juga

tidak bisa berfungsi karena dipandang kurang antisipatif dalam menghadapi

perubahan sosial dan teknologi. Oleh karena itu Undang-Undang ini mendesak

untuk direvisi secara menyeluruh.

Dalam hubungannya dengan hak asasi manusia, persoalan mengenai

kesehatan ini di negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992

61
Loc.cit.
62
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


71

tentang Kesehatan yang telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dimana dalam Pasal 1 ayat (1)

menyebutkan : “Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental,

spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup

produktif secara sosial ekonomis.”63 Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 tentang Kesehatan, perwujudan hak asasi tersebut kemudian diatur lebih

lanjut dalam hak dan kewajiban setiap orang dalam memperoleh kesehatan,

hak setiap orang dalam kesehatan :

Pasal 4 menyatakan “Setiap orang berhak atas kesehatan”.

Pasal 5 menyatakan “(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam

memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan. (2) Setiap orang

mempunyai hak dalam memperoleh pelayaan kesehatan yang aman, bermutu,

dan terjangkau. (3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab

menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan baginya”.

Pasal 6 menyatakan “Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan

edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab”.

Pasal 7 menyatakan “Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan

edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab”.

Pasal 8 menyatakan “Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data

kesehatan dirinya termasuk tindakan dan yang telah maupun yang akan

diterimanya dari tenaga kesehatan”.

Sedangkan kewajiban seseorang dalam hal kesehatan yaitu :

63
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


72

Pasal 9 menyatakan “(1) Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan,

mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-

tingginya. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan

meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan

pembangunan berwawasan kesehatan”.

Pasal 10 menyatkan “Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain

dalam upaya memeproleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun

sosial”.

Pasal 11 menyatakan “Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat

untuk mewujudkan, mempertahankan, dan mewujudkan kesehatan yang

setinggi-tingginya”.

Pasal 12 menyatakan “Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan

derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya”.

Pasal 13 menyatkan “(1) Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program

jaminan kesehatan sosial. (2) Program jaminan kesehatan sosial sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

5. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun

2004 tentang Praktik Kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.

Dalam pelaksanaan praktik kedokteran memiliki pengaturan dan praktik

kedokteran ini memiliki beberapa tujuan yang terdapat pada Pasal 3 Undang-

Universitas Sumatera Utara


73

undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

yaitu:

a. Memberikan perlindungan kepada pasien;

b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang

diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan

c. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.

Bahwa dalam Pasal 52 dan 53 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran seorang pasien dalam

menerima pelaksanaan pelayanan kesehatan mempunyai hak dan kewajiban:

a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis

sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3);

b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

c. Mendapat pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

d. Menolak tindakan medis;

e. Mendapatkan isi rekaman medis.

Sedangkan kewajiban pasien yaitu :

a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentag masalah

kesehatannya;

b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter dan dokter gigi;

c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana kesehatan; dan

d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Pasal 88 Undang-Undang Praktik Kedokteran yang disahkan pada

tanggal 6 Oktober 2004 menyatakan mulai berlaku satu tahun setelah

Universitas Sumatera Utara


74

diundangkan. Sementara itu, Pasal 85 Undang-Undang Praktik Kedokteran

mencabut berlakunya Pasal 54 Undang-Undang kesehatan sebagai berikut:

1. Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian

dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.

2. Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.

3. Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, dan tata kerja Majelis Disiplin

Tenaga Kesehatan ditetapkan dengan keputusan presiden.

Keangotaan Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan, menurut Pasal 6

Keputusan Presiden tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan terdiri atas

unsur sarjana hukum, ahli kesehatan yang mewakili organisasi profesi di

bidang kesehatan, ahli agama, ahli prikologi, dan ahli sosiologi. 64

Pasal 63 Undang-Undang Praktik Kedokteran menentukan bahwa

pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia di pilih dan

ditetapkan oleh rapat pleno anggota. Tugas Majelis Kehormatan Disiplin

Kedokteran Indonesia ditentukan dalam Pasal 64 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran sebagai berikut:

1. Menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran

disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan.

2. Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin

dokter dan dokter gigi.

64
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


75

Selama belum terbentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran

Indonesia, Undang-Undang Praktik Kedokteran menentukan dalam Bab XI

tentang ketentuan Peralihan dibawah Pasal 83 sebagai berikut :

1. Ayat (1) pengaduan atas adanya dugaan pelanggaran disiplin pada saat

sebelum terbentuknya Majelis Kehormatan Disiplin kedokteran Indonesia

ditangani oleh Kepala Dinas Provinsi di Tingkat Pertama dan Menteri

pada Tingkat Banding.

2. Ayat (2) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Menteri dalam menangani

pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membentuk tim yang

terdiri atas unsur-unsur profesi untuk memberikan pertimbangan.

3. Ayat (3) Putusan berdasarkan pertimbangan tim dilakukan oleh Kepala

Dinas Kesehatan Provinsi dan Menteri seseuai dengan fungsi dan

tugasnya.65

6. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009

tentang Rumah Sakit pada Pasal 1 menyatakan bahwa : “Rumah Sakit adalah

institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna yang meyediakan pelayanan rawat inap, rawat

jalan, dan gawat darurat.”

Sebuah rumah sakit memiliki tujuan atas didirikannya rumah sakit

tersebut menurut Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44

Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, sebagai suatu sarana yang sangat

65
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


76

dibutuhkan oleh masyarakat. Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit

bertujuan:

a. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatakan pelayanan

kesehatan;

b. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,

lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit;

c. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit;

dan

d. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, msayarakat, sumber daya

manusia rumah sakit, dan rumah sakit.

Rumah sakit yang merupakan selaku penyelenggara pelayanan

kesehatan, merupakan hal wajib dalam memberikan perlindungan kepada

seluruh pengguna jasa kesehatan (pasien). Perlindungan tersebut diberikan

melalui hak-hak pasien yang harus di berikan oleh pihak rumah sakit

sebagaimana tertuang dalam Pasal 32 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit :

Setiap pasien mempunyai hak:

a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di

Rumah Sakit;

b. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;

c. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;

d. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar

profesi dan standar prosedur operasional;

Universitas Sumatera Utara


77

e. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar

dari kerugian fisik dan materil;

f. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;

g. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan

peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;

h. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain

yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun diluar

Rumah Sakit;

i. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang di derita termasuk

data-data medisnya;

j. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis,

tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang

mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta

perkiraan biaya pengobatan;

k. Memberi persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan

oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;

l. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;

m. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya

selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;

n. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan

di Rumah Sakit;

o. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap

dirinya;

Universitas Sumatera Utara


78

p. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama

dan kepercayaan yang dianutnya;

q. Menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah sakit diduga

memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara

perdata maupun pidana; dan

r. Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar

pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Menurut Pasal 31 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun

2009 tentang Rumah Sakit, setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap rumah

sakit atau pelayanan yang diterimanya:

(1) Setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap Rumah Sakit atas

pelayanan yang di terimanya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pasien diatur dengan

peraturan Menteri.

Kewajiban pasien secara timbal balik merupakan hak bagi rumah sakit,

selain hak-hak yang diatur dalam kewajiban pasien, hak rumah sakit terdapat

dalam Pasal 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009

tentang Rumah Sakit :

(1) Setiap Rumah Sakit mempunyai hak :

a. Menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya

manusia sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit;

Universitas Sumatera Utara


79

b. Menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan

remunerasi, insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan;

c. Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka

mengembangkan pelayanan;

d. Menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan;

e. Menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian;

f. Mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan

pelayanan kesehatan;

g. Mempromosikan layanan kesehatan yang ada di Rumah Sakit

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

h. Mendapatkan insentif pajak bagi Rumah Sakit publik dan

Rumah Sakit yang ditetapkan sebagai Rumah Sakit Pendidikan.

Bahwa rumah sakit juga mempunyai kewajiban yang terdapat pada

Pasal 29 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang

Rumah Sakit:

(1) Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban :

a. Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit

kepada masyarakat:

b. Memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu,

antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan

pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit;

Universitas Sumatera Utara


80

c. Memberikan pelayanan gawat darudat kepada pasien sesuai dengan

kemampuan pelayanannya;

d. Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana,

sesuai dengan kemampuan pelayanannya;

e. Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau

miskin;

f. Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas

pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa

uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian

luar biasa, atau bukti sosial bagi misi kemanusiaan;

g. Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan

kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien;

h. Menyelenggarakan rekam medis;

i. Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain

sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita

menyusui, anak-anak, lanjut usia;

j. Melaksanakan sistem rujukan;

k. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi

dan etika serta peraturan perundang-undangan;

l. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan

kewajiban pasien;

m. Menghormati dan melindungi hak-hak pasien;

n. Melaksanakan etika Rumah Sakit;

Universitas Sumatera Utara


81

o. Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana;

p. Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara

regional maupun nasional;

q. Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau

dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya;

r. Menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (hospital

by laws);

s. Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas

Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas; dan

t. Memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan

tanpa rokok.

(2) Pelannggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dikenakan sanksi administratif berupa :

a. Teguran;

b. Teguran tertulis; dan

c. Denda dan pencabutan izin Rumah Sakit.

7. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Telah diundangkan Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen dan tujuan diundangkannya Undang-Undang nomor

8 tahun 1999 diatur pada bagian menimbang butir d dan e, menentukan

sebagai berikut:

d. “Bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu

meningkatkan kesadaran, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian

Universitas Sumatera Utara


82

konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh kembangkan

setiap pelaku usaha yang bertanggungjawab”;

e. “Bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di

Indonesia belum memadai”;

Jadi tujuan dari diundangkannya Undang-undang nomor 8 tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen utamanya adalah untuk melindungi

konsumen dan menumbuh kembangkan setiap pelaku usaha yang

bertanggungjawab, tetapi selain itu butir selanjutnya yaitu butir f dari hal yang

“Menimbang”, juga disebutkan hal yang menyangkut kepentingan pelaki

usaha, menentukan sebagai berikut :

f. “Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas diperlukan

perangkat peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan

keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha

sehingga tercipta perekonomian yang kuat.”66

Kemudian Pasal 1 ayat (2), ayat (3), dan (5) Undang-Undang

Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa :

(2) Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,

maupun makhluk hidup yang lain dan tidak untuk diperdagangkan.

(3) Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik yang

berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik

66
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


83

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi;

(5) Jasa adalah seetiap layanan yang dibentuk pekerjaan atau prestasi yang

disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

Jika dihubungkan dengan proses produksi di dunia usaha maka

hubungan antara dokter dengan pasien merupakan hubungan antara konsumen

dengan produsen. Mengingat sifat khas dalam perjanjian terapeutik yaitu

bergerak dalam bidang pemberian jasa pelayanan dalam bidang kesehatan

yang tidak pasti hasilnya maka sebagai konsumen penerima jasa pelayanan

kesehatan, pasien berhak untuk menuntut dokter atas kerugian yang

ditimbulkan akibat kesalahan yang dilakukan oleh dokter berdasarkan

Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa :

(1) Pelaku usaha bertangung jawab untuk memberikan ganti rugi atas

kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat

mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau

diperdagangkan.

Berdasarkan Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

kerugian yang diderita pasien akibat tindakan medis yang dilakukan oleh

seorang dokter dapat dituntut berupa sejumlah ganti rugi. Ganti kerugian yang

dapat diminta oleh pasien menurut Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang

Pemberian sejumlah ganti rugi akibat kesalahan dalam pelayanan

kesehatan seperti ditentukan dalam Pasal 19 ayat 4 Undang-Undang

Universitas Sumatera Utara


84

Perlindungan Konsumen, tidak secara langsung dapat menghilangkan sifat

dapat dituntutnya menurut hukum pidana terhadap dokter sebagai pelaku

usaha. Dengan demikian, meskipun sejumlah ganti rugi yang dituntut pasien

telah dipenuhi oleh dokter, tetapi dokter tetap dapat dituntut secara pidana.

Selengkapnya Pasal 19 ayat 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

menyatakan bahwa :

(2) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)

tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan

pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

Sebagai pelaku usaha jasa, dokter dibebani pembuktian tentang ada

atau tidaknya unsur kesalahan jika dituntut menurut hukum pidana. Disamping

itu, jaksa penuntut umum juga berpeluang untuk membuktikan adanya

kesalahan yang dilakukan oleh dokter. Hal ini ditentukan dalam pasal 22

Undang-undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa:

“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana

sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (4), pasal 20, pasal 21 merupakan

beben dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinana bagi

jaksa untuk melakukan pembuktian.”

Hal ini diatur dalam Pasal 19 ayat (5) Undang-Undang Perlindungan

Konsumen yang menyatakan bahwa :

Universitas Sumatera Utara


85

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud di dalam ayat (1) dan (2) tidak

berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan

tersebut merupakan kesalahan konsumen.67

B. Informed Consent (Persetujuan Tindakan Medis)

Consent berasal dari bahasa Latin consentio yang artinya persetujuan,

izin, menyetujui, memberi izin/ wewenang kepada seseorang untuk melakukan

sesuatu. Persetujuan tindakan medik (Pertindik) / informed consent adalah

suatu izin atau pernyataan setuju dari pasien yang diberikan secara bebas,

sadar, dan rasional setelah memperoleh informasi yang lengkap, valid, dan

akurat yang dipahami dari dokter tentang keadaan penyakitnya serta tindakan

medis yang akan diperolehnya. Perlu ditekankan bahwa informasi yang

dipahami oleh pasien artinya informasi itu disampaikan dalam bahasa pasien,

bukan dengan bahasa atau istilah-istilah medis. Teori The Idea of Informed

Consent yang dikemukakan oleh Jay Katz, bahwa pada hakekatnya, Informed

Consent adalah suatu pemikiran tentang keputusan pemberian pengobatan atas

pasien harus terjadi secara kerjasama/kolaborasi antara dokter dan pasien.68

Persetujuan Tindakan Medik (PTM) bisa dibicarakan dari dua sudut,

pertama membicarakan PTM dari pengertian umum, dan kedua membicarakan

PTM dari pengertian khusus.

Dalam pelayanan kesehatan sering pengertian kedua lebih dikenal yaitu

PTM yang dikaitkan dengan persetujuan atau izin yang didapat dari pasien

atau lebih sering dari keluarga pasien untuk melakukan tindakan operatif atau

67
Ibid.
68
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


86

tindakan invasive yang biasanya mempunyai resiko. Dari pandangan dokter/

rumah sakit tujuan surat ini adalah agar pasien atau keluarga pasien

mengetahui bahwa operasi dan tindakan medis ini harus di tempuh dan dokter

telah diberi izin untuk melakukan tindakan tersebut. Persetujuan Tindakan

Medis ini sesungguhnya berasal dari 2 hal dasar dari hak pasien, yaitu hak

menentukan nasib sendiri dan hak atas informasi medis. 69

Informed consent terdiri atas informed artinya telah mendapatkan

informasi dan consent berarti persetujuan (izin). Dalam pendahuluan

permenkes tentang pertindik dinyatakan bahwa informed consent dalam

profesi dokter adalah pernayataan setuju (consent) atau izin dari seseorang

(pasien) yang diberikan dengan bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary)

tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien sesudah

mendapatkan informasi cukup tentang tindakan yang di maksud. 70

Informed consent dalam pelayanan kesehatan menurut Culver and

Gert, ada empat komponen yang harus dipahami pada suatu consent atau

persetujuan:

1. Sukarela (voluntariness)

Sukarela mengandung makna bahwa pilihan yang dibuat atas dasar

sukarela tanpa ada unsur paksaan didasari informasi dan kompetensi.

Sehingga pelaksanaan sukarela harus memennuhi unsur informasi yang

diberikan sejelas-jelasnya.

2. Informasi (information)

69
Loc.cit.
70
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


87

Jika pasien tidak tahu, sulit untuk dapat mendeskripsikan keputusan.

Dalam berbagai kode etik pelayanan kesehatan bahwa informasi yang

lengkap dibutuhkan agar mampu membuat keputusan yang tepat.

Kurangnya informasi atau diskusi tentang resiko, efek samping tindakan,

akan membuat pasien sulit mengambil keputusan, bahkan ada rasa cemas

dan bingung.

3. Kompetensi (Competence)

Dalam konteks consent kompetensi bermakna suatu pemahaman bahwa

seseorang membutuhkan suatu hal untuk mampu membuat keputusan

dengan tepat, juga membutuhkan banyak informasi.

4. Keputusan (Decision)

Pengambilan keputusan merupakan suatu proses, dimana merupakan

persetujuan tanpa refleksi. Pembuatan keputusan merupakan tahap

terakhir proses pemberian persetujuan.

Salah satu faktor yang mendorong perlunya informed consent adalah

karena pasien mempunyai kesadaran akan hak mutlak atas tubuhnya dan hak

untuk menentukan atas diri sendiri, dalam arti menerima atau menolak

tindakan medik yang akan dilaksanakan atas dirinya. Selain itu pasien juga

mempunyai hak untuk menentukan diri sendiri (The Right of Self

Determination) adalah hak yang melekat dalam diri manusia, dalam arti

seseorang berhak menentukan apa yang akan dilakukan atas dirinya. 71

71
Heni Puji Wahyuningsih, Etika Profesi Kebidanan, Yogyakarta, Penerbit Fitramaya,
2008, hal 62.

Universitas Sumatera Utara


88

Doktrin “The right of self determination” oleh para ahli dijadikan

landasan bagi petugas kesehatan untuk tidak sekehendak hatinya melakukan

tindakan kepada pasien. Oleh karena pasien memiliki hak dasar yang bersifat

hakiki untuk menentukan segala sesuatu pada tubuhnya, sehingga setiap

tindakan (baik berupa diagnostic maupun terapeutik) harus selalu atas

persetujuan petugas kesehatan dianggap melakukan pelanggaran hukum dan

harus bertanggung jawab atas semua kerugian yang terjadi.72

Pada dasarnya persetujuan tindakan medik berasal dari hak asasi pasien

dalam hubungan dokter pasien yaitu:

1. Hak untuk menentukan nasibnya sendiri

2. Hak untuk mendapatkan informasi.

A. Dasar Hukum Informed Consent

1. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 8 dan

pasal 56

Pasal 8 menyatakan “Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang

data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah

muapun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.”

Pasal 58 menyatakan “Setiap orang berhak menerima atau menolak

sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan

kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan

tersebut secara lengkap.”

2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

72
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


89

Hak pasien yang diatur dalam pasal 32 dan pasal 37.

Pasal 32 menyatakan:

a. Mendapat informasi yang meliputi diagnose dan catatan cara

tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko

dan komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosis terhadap

tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.

b. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan

dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang

dideritanya.

Pasal 37 menyatakan sebagai berikut:

a. Setiap tindakan dokter yang dilakukan di Rumah Sakit harus

mendapat persetujuan pasien dan keluarga.

b. Ketentuan mengenai persetujuan Tindakan kedokteran

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Peraturan menteri Kesehatan RI Permenkes NO.290/Menkes/Per/III/2008

Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Penjelasan tentang tindakan persetujuan tindakan kedokteran mencakup:

a. Diagnose dan tata cara tindakan kedokteran.

b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan.

c. Alternatif tindakan lain dan risikonya.

d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan.

e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Universitas Sumatera Utara


90

f. Perkiraan pembiayaan.

4. Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Pasal

45:

a. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan

oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat

persetujuan.

b. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi setelah pasien

mendapat penjelasan yang lengkap.

c. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya

mencakup :

a. Diagnosa dan tata cara tindakan medis;

b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;

c. Alternatif tindakan lain dan resikonya;

d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan

e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

d. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik

secara tertulis maupun lisan.

e. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung

resko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang

ditndatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

f. Ketentuan mengenai tata cara persetujujan tindakan kedokteran dan

kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),(2),(3),(4) dan

ayat (5) diatur dengan peraturan Menteri.

Universitas Sumatera Utara


91

5. Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor.Hk.00.06.3.5.1866

tanggal 21 April 1999 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medis

(informed consent). Yang berhak menerima informasi :

a. Pasien dewasa, dibawah pengampuan (curatelle) /Wali.

b. Pasien dewasa yang telah menikah, orang tua (lanjut usia).

6. Surat Edaran Direktur Jendral Pelayanan Medik Nomor:

YH.02.04.3.5.2504 tanggal 10 Juli 1997 tentang Pedoman Hak dan

Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit.

7. KODERSI tentang Kewajiban Rumah Sakit terhadap Pasien Pasal 10 dan

11:

c. Pasal 10 sebagai berikut; Rumah sakit harus memberi

penjelasan apa yang di derita pasien dan tindakan apa yang

harus dilakukan.

d. Pasal 11 sebagai berikut: Rumah sakit meminta persetujuan

pasien (informed consent) sebelum melakukan tindakan medis.

8. Undang-undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

BAB II, Pasal 14 menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk

memperoleh informasi.

9. Hukum Perdata; Pasal 1320 KUH Perdata (Kitab Undang-undang Hukum

Perdata), yang mengatur syarat-syarat sah perjanjian yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikat dirinya,

b. Kecakapan untuk membatal suatu perikatan,

c. Suatu hal tertentu,

Universitas Sumatera Utara


92

d. Suatu sebab yang halal.

10. Hukum Pidana, Pasal 351 KUHP, tanpa informed consent disebut

penganiayaan.73

B. Fungsi Informed Consent

1. Promosi dari hak otonomi perorangan.

2. Proteksi dari pasien dan subyek.

3. Mencegah penipuan dan pemaksaan.

4. Rangsangan kepada profesi medis intospeksi terhadap ciri sendiri.

5. Promosi dari keputusan-keputusan yang rasional.

6. Keterlibatan masyarakat sebagai: nilai sosial dan pengawasan.

C. Tujuan persetujuan tindakan medik

1. Perlindungan pasien untuk segala tindakan medik, perlakuan medik

tidak diketahui/disadari pasien/keluarga, yang seharusnya tidak

dilakukan ataupun yang merugikan/membahayakan diri pasien.

2. Perlindungan tenaga kesehatan terhadap terjadinya akibat yang tidak

terduga serta dianggap merugikan pihaklain.

3. Persetujuan tindakan medik yang harus dimintakan untuk dapat

dilakukan tindakan medik adalah dari dan untuk kepetingan pasien.

4. Tindakan perbedahan atau invasiv.

5. Tindakan lain yang mengandung risiko tinggi; pemeriksaan radiology

dengan kontras, pemberian x ray, lateterisasi, jantung, aortografi dan,

lain-lain.
73
Dede Nasrullah, Etika dan Hukum Keperawatan Untuk Mahasiswa dan Praktisi
Keperawatan, Jakarta Timur, CV.TransInfo Media, 2014, hal 39-43.

Universitas Sumatera Utara


93

6. Tindakan medik atau pemeriksaan yang bukan pembedahan, tidak

invasive, tidak mengandung resiko tinggi implied consent atau izin

sudah diberikan pasien yang tidak sadar dalam keadaan darurat untuk

menyelamatkan jiwa pasien.

D. Jenis-jenis persetujuan medik

1. Implied consent, yaitu persetujuan yang dianggap telah diberikan

walaupun tanpa pernyataan resmi, yaitu pada keadaan biasa dari pada

keadaan darurat atau emergency. Pada keadaan gawat darurat yang

mengancam jiwa pasien, tindakan menyelamatkan kehidupan (life

saving) tidak memerlukan persetujuan tindakan medik.

2. Expressed consent, yaitu persetujuan tindakan medik yang diberikan

secara ekplisit, baik secara lisan (oral) maupun tertulis (written).

E. Yang berhak menerima informed consent

1. Pasien usia > 21 tahun atau telah menikah dan kompeten.

2. Pasien usia < 21 tahun ayah, ibu dan saudara kandung.

3. Pasien usia < 21 tahun tak punya orang tua ayah, ibu adopsi dan

saudara kandung.

4. Pasien dewasa gangguan mental, ayah, ibu kandung, wali yang sah dan

saudara kandung.

F. Formulir informed consent

1. Formulir informed consent merupakan suatu perjanjian pelaksaan

tindakan medik antara dokter dengan/pasien atau keluarganya. Oleh

Universitas Sumatera Utara


94

karena itu, isi dari formulir infomed consent harus memenuhi syarat

sahnya perjanjian.

2. Dan formulir informed consent dapat dijadikan alat bukti yang sah

apabila terjadi perselisihan antara pihak rumah sakit (dokter dengan

pihak pasien atau keluarganya atas tindakan operasi medik). Karena

formulir informed consent merupakan suatu perjanjian pelayanan

medik yang dibuat antara dokter dengan pasien atau keluarganya.

3. Formulir informed consent sudah sesuai dengan syarat-syarat sahnya

perjanjian karena dalam isi formulir, informed consent sudah tercantum

pihak-pihak yang melakukan perjanian, tentang kecakapan pihak

pasien, sedangkan suatu hal tertentu/objeknya adalah yaitu sudah pasti

suatu pelayanan medik dan sebab yang halal bahwa yang diperjanjikan

merupakan suatu tindakan operasi yang tidak bertentangan dengan

Undang-undang.

4. Formulir informed consent dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam

menyelesaikan perselisihan yang timbul dari tindakan medik yang

dilakukan dokter terhadap pasien, apabila ada tuntutan dari pihak

pasien atau keluarganya karena merasa tidak puas atas tindakan medik

tersebut.74

74
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA YANG DAPAT DILAKUKAN

PARA PIHAK APABILA TERJADI WANPRESTASI DAN

PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG MENGAKIBATKAN

KERUGIAN PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

HAJI ABDUL MANAN SIMATUPANG KISARAN

A. Pertanggungjawaban Apabila Terjadi Wanprestai Dan Perbuatan

Melawan Hukum yang Mengakibatkan Kerugian Pada Pasien di

RSUD HAMS Kisaran

Rumah Sakit Umum Daerah Haji Abdul Manan Simatupang adalah

rumah sakit kelas C satu-satunya milik Pemerintah Daerah Kabupaten Asahan

yang merupakan pusat rujukan untuk Kabupaten Asahan, pusat rujukan bagi

kabupaten kota sekitarnya seperti Kabupaten Batu Bara, Kabupaten labuhan

Batu Utara dan Kota Tanjungbalai.

Berdasarkan struktur pemerintahan masa lalu (15 Maret 1945) bahwa

Ibukota Kabupaten Asahan berada di Tanjung dan Kisaran merupakan salah

satu kecamatan yang berada di daerah Kabupaten Asahan. Pada saat itu

Rumah Sakit Umum Pemerintah hanya ada 2 sesuai dengan Surat Keputusan

DPRGR Tingkat II Kabupaten Asahan Nomor 3.DPRD/GR/1963 tanggal 16

Februari 1963 diusulkan perpindahan ibu kota Kabupaten Asahan dari

Tanjung Balai ke Kisaran, dan baru terealisasi tanggal 20 Mei 1968, yang

dengan hal tersebut terjadi perpindahan Pusat Pemerintahan Kepala Daerah

95

Universitas Sumatera Utara


96

beserta seluruh Dinas/Jawatan ke Kisaran yang pada saat itu Bupati Kepala

Daerah dijabat oleh Haji Abdul Manan Simatupang. 75

Sejalan dengan perpindahan Ibukota Kabupaten Asahan dan atas

inisiatif Bapak Haji Abdul Manan Simatupang selaku Bupati Asahan untuk

membangun sarana pelayanan kesehatan untuk kebutuhan masyarakat Asahan

yang memerlukan pelayanan kesehatan. Maka pada tahun 1968/1969 oleh

Bupati Kepala Daerah dibangunlah Rumah Sakit Umum Kisaran yang berada

diatas areal tanah seluas 2,82 Ha, dengan tahap awal dibangun gedung induk

yang berfungsi untuk pelayanan pasien rawat jalan dan P3K beserta 2 (dua)

unit bangunan rawat inap pasien umum untuk laki-laki dan perempuan.

Beroperasi secara definitif pada tahun 1972 dipimpin oleh dr. TM. Panjaitan.

Sesuai dengan fungsi rumah sakit pada umumnya, Rumah Sakit Umum

Daerah Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran mempunyai tujuan, visi dan

misi serta mutu pelayanan Kesehatan yang meliputi: pembinaan/promotif,

pencegahan/preventif, Pengobatan/kurstif, dan pemulihan/rehabilitative.

Rumah Sakit Umum Daerah Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran terletak

di jalan Sisingamangaraja Nomor 310 Kisaran yang mudah dijangkau oleh

masyarakat. Rumah Sakit Umum Daerah Haji Abdul Manan Simatupang

Kisaran memberikan pelayanan rawat jalan dan juga pelayanan rawat inap.

Didukung oleh dokter spesialis serta dilengkapi fasilitas pelayanan lainnya

relative cukup baik. Sebagai salah satu intitusi pemerintah di bidang

kesehatan, Rumah Sakit Umum Daerah Haji Abdul Manan Simatupang

75
Profil Pelayanan Rumah Sakit Umum Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran.

Universitas Sumatera Utara


97

Kisaran terus proaktif dalam mengelola dan menjabarkan tugas pokok dan

fungsinya dengan berbagai upaya meningkatkan kualitas pelayanannya

terutama dalam mendukung visi, misi dan kebijakan pemerintah Kabupaten

Asahan.

Letak dan Kondisi

Rumah Sakit Umum Daerah Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran

terletak di Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara. Secara astronomi

Kabupaten Asahan berada pada 203‟-326‟ lintang utara, 991‟-1000‟ bujur

timur dengan ketinggian 0-1000 meter diatas permukaan laut. Mempunyai

wilayah seluas 3.732,97 Km2, 0- 1.000 m dpl.

Rumah Sakit Umum Daerah Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran

terletak di kota Kisaran yang merupakan Ibukota Kabupaten Asahan  1 km

dari Kantor Bupati Asahan tepatnya di Jl. Sisingamangaraja No. 314,

kelurahan Kisaran Barat Kecamatan Kota Kisaran Barat, Nomor Telepon :

(0623)-41785, Faxmail : (0623)-44815, email : rsuhams@pemkab-

asahan.go.id, rsud_hams@yahoo.com.

Rumah Sakit Umum Daerah Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran

ditetapkan sebagai rumah sakit type C pada tahun 1982. Saat ini luas bangunan

rumah sakit  8.586 m2 m2. Luas keseluruhan sekitar 30.802 m2.

1. Sebelah UTARA berbatasan dengan jalan Sisingamangaraja.

2. Sebelah SELATAN berbatasan dengan Sungai Silau.

3. Sebelah TIMUR berbatasan dengan jalan Sei Suka.

Universitas Sumatera Utara


98

4. Sebelah BARAT berbatasan dengan Kampung Tahu. 76

Visi, Misi dan Motto Rumah Sakit Umum Daerah Haji Abdul Manan

Simatupang Kisaran

Visi

Terselenggaranya pelayanan kesehatan yang berkualitas, cepat, tepat,

professional dan memuaskan.

Misi

1. Menyelengarakan pelayanan kesehatan yang bermutu secara profesional

dengan dilandasi kebutuhan manusiawi serta terajangkau dan menjangkau

masyarakat Kabupaten Asahan.

2. Menyelenggarakan pelayanan dokter jaga 24 jam.

3. Menyelenggarakan pelayanan prima dan cepat tanggap kepada pasien

gawat darurat dengan tersedianya obat-obatan emergency.

4. Menyelenggarakan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi SDM

sesuai bidang masing-masing secara berkelanjutan.

5. Meningkatkan kesejahteraan SDM rumah sakit.

Motto

Cepat, Tepat, Memuaskan, Profesional, dan Terjangkau.

Perkembangan Rumah Sakit Umum Daerah Haji Abdul Manan

Simatupang Kisaran dari jumlah ketenagaan dapat dilihat perkekmbangannya

sebagai berikut:

1. Tahun 2015 sampai tahun 2016 = 453 pegawai

76
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


99

2. Tahun 2016 sampai tahun 2017 = 551 pegawai

3. Tahun 2017 sampai tahun 2018 = 539 pegawai

4. Tahun 2018 sampai tahun 2019 = 561 pegawai

5. Tahun 2019 sampai tahun 2020 = 605 pegawai

Jumlah pegawai Rumah Sakit Umum Daerah Haji Abdul Manan

Simatupang Kisaran tahun 2019 sebagai berikut:

1. Tenaga Medis = 48 orang

2. Tenaga Kesehatan/Paramedis = 281 orang

3. Tenaga Kefarmasian = 20 orang

4. Tenaga Kesehatan Masyarakat = 4 orang

5. Tenaga Gizi = 8 orang

6. Tenaga Keterapian Fisik = 6 orang

7. Tenaga Keteknisan Medis = 36 orang

8. Tenaga Non Kesehatan/Manajemen = 202 orang

Jumlah tempat tidur Rumah Sakit Umum Daerah Haji Abdul Manan

Simatupang Kisaran tahun 2019 sebagai berikut:

1. Ruang mawar = 19 tempat tidur

2. Ruang anggrek = 17 tempat tidur

3. Ruang melati = 18 tempat tidur

4. Ruang asoka = 21 tempat tidur

5. Ruang anyelir = 10 tempat tidur

6. Ruang kecubung = 19 tempat tidur

7. Ruang flamboyan = 14 tempat tidur

Universitas Sumatera Utara


100

8. Ruang kelas kebidanan = 10 tempat tidur

9. Ruang VIP berlian = 9 tempat tidur

10. Ruang bougenvile = 12 tempat tidur

11. Ruang VIP zamrud atas = 8 tempat tidur

12. Ruang VIP zamrud bawah = 14 tempat tidur

13. ICU = 6 tempat tidur

14. Incubator = 10

jumlah tempat tidur Rumah Sakit Umum Daerah Haji Abdul Manan

Simatupang Kisaran tahun 2019 berjumlah 187 tempat tidur.

Universitas Sumatera Utara


101

STRUKTUR ORGANISASI DAN PETA JABATAN

RSUD HAJI ABDUL MANAN SIMATUPANG KISARAN


DIREKTUR

dr. HARI SAPNA


NIP. 198401282009031009

KABAG TU

MARIANI, SH

NIP. 196903112002122001
INSTALASI

KSB UMUM & KSB REKAN MEDIS KSB


KEPEGAWAIAN & HUKUM KEUANGAN
& PROGRAM
YASHANARA PARLINDUNGAN A,
NIP. ST NIP. ANDY
19690625198803 197210172010011006 BUDIANSYAH
1002
, SE
NIP.
1979080720050
21001

KABID PERAWATAN KABID PELAYANAN KABID DALWAS

AHMAD YANI, S.Kep, NS dr. LOBIANNA NADEAK ZAILANI, SH NIP.


NIP. 196606141989031002 NIP. 196210301989031001 196204121982031007

Kasubbid Pelayanan Waktu


Kasubbid Pelayanan Keperawatan
SRI ARTARIA Z, S.Kep, NS Kasubbid Dalwas Pasien
ROSMAIDA PANJAITAN S.Kep NIP. 197907232005022003
NIP. 197302201997032002 FLORA SUMBAYAK, SKM
NIP. 198505112009032007

Kasubbid Pembinaan Etika


Mutu Kep & Diklat Kasubbid Penunjang Medis Kasubbid Penyuluhan
Kesehatan
YUSNIZAR, SE NIP.
DELFITA MEGAWATI, S.Kep
197005202008012004 SITI RUBANIAH, S.Kep NIP.
NIP. 197209111997032001
197912122006042007

Komite Medis Staf Medis


Fungsional

Universitas Sumatera Utara


102

Rawat Jalan Rawat Inap IGD Hemodialisa Farmasi Radiologi GIZI

Hubungan dokter dengan pasien pada dasarnya merupakan hubungan


laboraturium PSRS Rehab Media Hygiene Sanitasi KBU PBK Kamar Jenazah
hukum keperdataan, dimana pasien datang kepada dokter dan dokter berjanji

akan berusaha mengobati atau menyembuhkan penyakit pasien tersebut.

Hubungan hukum keperdataan adalah hubungan hukum yang dilakukan oleh

pihak-pihak yang berada dalam kedudukan yang sederajat, hal ini terjadi pada

saat para pihak akan memasuki hubungan hukum tertentu.77 Hubungan hukum

antara dokter dan pasien terhubung melalui perjanjian terapeutik, kemudian

dengan menulis informed concent, hubungan sudah terjalin, tindakan apa yang

akan dilakukan, resiko yang akan terjadi, itu harus ditanda tangani oleh pasien

atau keluarga pasien.78

Konsep tentang liatibility atau pertanggungjawaban menurut seseorang

filsafat besar dalam bidang hukum abad ke-20 yaitu Roscou Pound dalam

bukunya yang berjudul “An introduction to the Philosophy of Law”.

Berdasarkan konsep di buku Roscou Pound mengartikan liability sebagai suatu

kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari

seseorang yang telah dirugikan. Istilah tangung jawab menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia memiliki arti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya

77
Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang
Diduga Melakukan Medikal Malpraktik, Bandung, Karya Putra Darmawati, 2012, hal 60.
78
Hasil Wawancara dengan Dr. Lobiana Nadeak, selaku Kepala Bidang Pelayanan Rumah
Sakit Umum Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran, tanggal 10 Agustus 2020.

Universitas Sumatera Utara


103

(kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan

sebagainya).

Berdasarkan dua definisi di atas maka tanggung jawab mengandung

unsur-unsur sebagai berikut yaitu kecakapan, beban kewajiban dan perbuatan.

Seseorang dikatakan cakap jika sudah dewasa dan sehat pikirannya, untuk

badan hukum dikatakan cakap jika dinyatakan tidak dalam keadaan pailit oleh

putusan pengadilan. Unsur kewajiban mengandung makna seseuatu yang harus

dilakukan, tidak boleh tidak dilaksanakan, jadi sifatnya keharusan, unsur

perbuatan mengandung arti segala sesuatu yang dilakukan.79

Perbuatan melawan hukum secara umum diatur dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata. Dasar dari ganti rugi karena perbuatan melawan

hukum secara umum ada di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan sebagai berikut: “Tiap

perbuatan melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,

mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk

mengganti kerugian tersebut”.

Tanggung jawab dokter secara khusus untuk di gugat secara perdata

atas dasar perbuatan melawan hukum terdapat di Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 58 ayat (1) yang berbunyi sebagai

berikut: “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga

Kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian

79
Setya Wahyudi, Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Kerugian Akibat Kelalaian
Tenaga Kesehatan dan Implikasinya, Jurnal Dinamika Hukum Vol.11 No.3, hal 511.

Universitas Sumatera Utara


104

akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan Kesehatan yang

diterimanya”.

Ketentuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Pasal 58 ayat (1) dalam merupakan aturan khusus (lex specialis) dari ketentuan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365 yang merupakan aturan

umum (lex generalis).80 Jika diatara pasien ada hak-haknya yang dilanggar

yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan

kesehatan maka pasien dapat mengajukan gugatan kepada rumah sakit,

diserahkan kepada bagian humas mengenai apa yang terjadi atau permasalahan

apa yang sedang terjadi pada pasien tersebut, jika pasien merasa keberatan

mengenai hal yang terjadi rumah sakit tetap menampung masalahnya tersebut,

tidak lepas akan tanggung jawab yang telah terjadi, membuat daftar

permasalahan dan melakukan mediasi terhadap pasien. Daftar

permasalahahnnya yaitu: pelayanan dari pihak rumah sakit yang kurang

memadai seperti dokternya terlambat datang, biaya dari rumah sakit yang

terlalu mahal, sarana prasarana yang kurang memadai untuk penyakit yang

diderita pasien serius, pasien yang ingin berobat sesuka hati mengenai tidak

membawa nya rujukan dari puskesmas.81

Proses penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum

Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran diselenggarakan berdasarkan

80
Syahrul Machmud, op.cit, hal 36. Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi
Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktik, Bandung, Karya Putra Darmawati, 2012, hal
36.
81
Hasil Wawancara dengan Dr. Lobiana Nadeak, selaku Kepala Bidang Pelayanan
Rumah Sakit Umum Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran, tanggal 10 Agustus 2020.

Universitas Sumatera Utara


105

Peraturan Menteri Kesehatan beserta perundang-undangan, karena semua

sudah dilakukan secara online, maka pasien mendaftar jika ingin melakukan

rawat jalan untuk melakukan rujukan, 95% sudah pasien BPJS, ada rujukan

dari tingkat 1 setelah itu di rumah sakit akan dilihat akan kemana pasien

dirujukkan.82

Jabatan atau profesi apapun pada hakekatnya akan selalu melekat

wewenang dan kekuasaan, oleh karena itu setiap kekuasaan dalam mengemban

tugas pada suatu jabatan juga terdapat tanggung jawab. Dokter sebagai

pengemban tugas profesi kesehatan dalam berbagai segi yang secara khusus

berhubungan dengan tuntutan pemenuhan tanggung jawab, baik secara hukum

maupun yang berkaitan dengan profesi medik yaitu disiplin dan kode etik

kedokteran.83 Komalasari memberi kesimpulan bahwa hakekat profesi adalah

panggilan hidup untuk mengabdikan diri pada kemanusiaan yang didasarkan

pada pendidikan yang harus dilakukan dengan sepenuh hati, niat yang tulus

dan penuh tanggung jawab. Tanggung jawab selalu berhubungan dengan

pelaksanaan kewajiban dari tugas dan wewenang yang diberikan atau

dibebankan kepada seseorang.84

Tanggung jawab dokter sangat tergantung pada tindakan dokter yang

dilakukan apakah telah sesuai dengan prosedur, baik secara etik, disiplin

maupun secara hukum. Apabila terjadi penyimpangan dalam melakukan

82
Hasil wawancara dengan Dr. Lobiana Nadeak, selaku Kepala Bidang Pelayanan
Rumah Sakit Umum Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran, tanggal 10 Agustus 2020.
83
Muntaha, Hukum Pidana Malpraktik Pertanggungjawaban dan Penghapus Pidana,
Jakarta, Sinar Grafika, 2017, hal 73.
84
Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab dan Sanksi bagi Dokter Buku Ke I, Jakarta,
Prestasi Pustaka Publisher, 2000, hal 23.

Universitas Sumatera Utara


106

tindakan medik, tentu secara hukum akan dilihat dari segi hukum mana yang

dilanggar oleh dokter tersebut, apabila tindakannya berkaitan dengan

pelanggaran di bidang hukum perdata maka pasien yang merasa di rugikan

dapat mengajukan gugatan secara perdata.85

Dalam hukum perdata ada tiga kategori tanggung jawab yang berkaitan

dengan penyelesaian pembayaran ganti kerugian. Ketiga kategori tanggung

jawab tersebut yaitu:

1. Teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian (based on fault liability

theory)

2. Teori tanggung jawab berdasarkan praduga (presumption of liability

theory)

3. Teori tanggung jawab mutlak (strict liability theory). 86

Dalam proses gugatan perdata dapat dipastikan pertanggungjawaban

dokter terhadap pasien hampir semuanya menyangkut tuntutan ganti rugi.

Untuk gugatan yang berdasar atas wanprestasi lebih disebabkan dari adanya

suatu perjanjian (tanggung jawab kontraktual) antara para pihak.

Adapun hakekatnya tanggung jawab dokter dalam pelayanan medis

secara umum ialah:

a. Pertanggungjawaban karena kesalahan. Dalam pengertian perbuatan

melawan hukum, perbuatan itu dapat dipersalahkan dan perbuatannya

yang tidak hati-hati itu seyogyanya dapat dihindari oleh pelaku.

85
Muntaha, op.cit, hal 73.
86
Hasuri Khoirul Anam, Pertanggungjawaban Dokter Terhadap Kerugian Pasien Akibat
Perbuatan Melawan Hukum, Nurani Hukum, Vol. 2 No. 1 Juni 2019, hal 4.

Universitas Sumatera Utara


107

Pertanggungjawaban karena kesalahan adalah suatu bentuk klasik

pertanggungjawaban yang didasarkan atas 3 (tiga) masalah dasar, yaitu:

1. Setiap tindakan yang mengakibatkan kerugian atas diri orang lain

menyebabkan orang yang melakukan harus membayar kompensasi

sebagai pertanggungjawaban kerugian (Pasal 1365 BW)

2. Seseorang harus bertanggung jawab tidak hanya kerugian yang

dilakukan sengaja tetapi juga karena kelalaian atau kurang hati-hati

(Pasal 1366 BW)

3. Seseorang harus bertanggung jawab tidak hanya atas kerugian yang

dilakukannya sendiri, tetapi juga karena tindakan orang lain yang

berada di bawah pengawasannya (Pasal 1367 BW).

b. Pertanggugjawaban akan risiko.

Merupakan kebalikan dari pertanggugnjawaban karena kesalahan. Dalam

pertanggungjawaban karena risiko, pasien hanya perlu menunjukkan

hubungan natar orang yang mengakibatkan kerugian dan kerugian yang

dideritanya. Kebanyakan berkaitan dengan produk tententu seperti obat,

alat-alat medik, dan sejenisnya. Dalam menentukan hal ini terdapat 2

(dua) ajaran, yaitu:

1. Teori condition sine qua non oleh Von Buri.

Dalam teori ini mengajarkan bahwa pada setiap masalah, tanpa

mana peristiwa tidak akan terjadi, untuk menentukan suatu hal

sebagai suatu akibat adalah apabila seandainya hal itu tidak ada,

Universitas Sumatera Utara


108

maka kerugian tidak akan timbul. Dari teori ini maka

pertanggungjawaban menurut Pasal 1365 BW.

2. Teori Adequate veroorzaking

Sebab musabab yang bersifat adequate dikembangkan oleh Von

Kris yang mempunyai pengertian sebagai berikut:

a. Suatu kerugian hanya merupakan akibat dari perbuatan

melawan hukum kalua kerugian tersebuat menurut akal sehat

manusia dapat diharapkan merupakan suatu akikbat dari

perbuatan melanggar hukum tersebut.

b. Kerugian tersebut merupakan akibat dari perbuatan melanggar

hukum yang diduga semula

c. Kerugian tersebut menurut pengalaman dapat diharapkan

merupakan akibat perbuatan melawan hukum.87

Istilah perbuatan pidana/tindak pidana/delik, hanya menunjuk kepada

dilarang, dan diancamnya pelaku/pembuat yang melakukan perbuatan tertentu

dengan suatu pidana. Dalam pertanggung jawaban pidana dikenal dengan asas

tindak pidana jika ada kesalahan. Seseorang dapat dikatakan

mempunyaikesalahn jika melakukan perbuatan tercela, yaitu perbuatan yang

merugikan meskipun mampu mengetahui makna perbuatan tersebut. Menurut

Prodjodikoro definisi tindak pidana adalah perbuatan yang pelakunya dapat

dikenakan pidana.

87
I Gusti Ayu Apsari Hadi, Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pertanggungjawaban
Dokter Terhadap Tindakan Malpraktik Medis, Jurnal Yuridis, Vol 5 No. 1, Juni 2018, hal 106.

Universitas Sumatera Utara


109

Dengan demikian kesalahan dapat dikenai pertanggung jawaban

hukum pidana, harus memenuhi 3 (tiga) unsur sebagai berikut:

a. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada petindak, artinya keadaan

jiwa petindak harus normal

b. Adanya hubungan batin antara petindak dengan perbuatan yang dapat

berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa)

c. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau pemaaf.

Menurut Memorie Van Toeliching, sengaja berarti berarti melakukan

perbuatan yang dilarang dengan kehendak dan diketahui, sedangkan kealpaan

adalah bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga

bukan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Ada beberapa tingkatan terkait

dengan culpa, yaitu:

a. Culva lata: sangat tidak berhati-hati, sembrono, kesalahan serius

b. Culva levis; kesalahan biasa

c. Culva levissima: kesalahan ringan.88

B. Penyelesaian Sengketa yang Dapat Dilakukan Oleh Para Pihak

Dalam pelaksanaan profesi kedokteran sering kali dijumpai konflik

antara dokter dengan pasien, yang tidak dapat dipecahkan oleh kaidah-kaidah

etika. Dalam keadaaan seperti ini maka kaidah hukum dapat diberlakukan,

sehingga pembicaraan tidak akan dapat dilepaskan dari masalah hak dan

kewajiban dari pihak-pihak yang terlibat dalam perselisihan atau perkara

tersebut. Hal ini disebabkan karena pada akhirnya penyelesaiannya harus

88
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


110

“dikembalikan” pada segi-segi hak dan kewenangan yang sebanding dengan

kewajiban dan tanggung jawab. Masalahnya adalah seberapa jauh pihak yang

terlibat itu (yakni dokter dan pasien) mengetahui hak dan kewajibannya

masing-masing. Lebih penting lagi, seberapa jauh telah melaksanakannya. 89

Faktor penyebab terjadinya sengketa medik antara dokter dengan

pasien, dikarenakan adanya ketidakpuasan baik dari pengobatan yang tidak

sesuai harapan, pasien ingin dilayani cepat, sedangkan untuk operasi hanya

yang emargency sedangkan yang terencana itu ditunda untuk masa covid 19,

untuk mencegah penularan covid 19.90

Jika terjadi sengketa medik antara pasien dan dokter, penyelesaiaan

yang dapat dilakukan dengan cara musyawarah atau penyelesaian sengketa

yaitu dilakukan mediasi langsung di rumah sakit, dapat dilakukan melalui dua

jalur jalur hukum dan jalur non hukum.91

Perlindungan hukum yang diberikan kepada dokter jika terjadi

sengketa medik yaitu di rumah sakit ini ada yang namanya Hospital By Law

ada hukum didalam rumah sakit ini, jika sesama dokter dilakukan oleh komite

medis, jika tidak bisa diselesaikan maka dilakukan sampai keluar, tetapi

sampai sejauh ini tidak pernah terjadi.92

Konflik dan sengketa dapat terjadi jika kepentingan pasien dirugikan

oleh tindakan-tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik

89
Loc.cit.
90
Hasil wawancara dengan Dr. Lobiana Nadeak, selaku Kepala Bidang Pelayanan Rumah
Sakit Umum Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran, tanggal 10 Agustus 2020.
91
Hasil wawancara dengan Dr. Lobiana Nadeak, selaku Kepala Bidang Pelayanan Rumah
Sakit Umum Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran, tanggal 10 Agustus 2020.
92
Hasil wawancara dengan Dr. Lobiana Nadeak, selaku Kepala Bidang Pelayanan Rumah Sakit
Umum Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran, tanggal 10 Agustus 2020.

Universitas Sumatera Utara


111

kedokteran. Bahwa pasien sebagai pengguna pelayanan kesehatan dengan

dokter atau dokter gigi sebagai penyedia jaga pelayanan kesehatan masuk

dalam kondisi dimana terjadi perselisihan atau persengketaan dalam praktik

kedokteran, sengketa antara dokter dan pasien timbul karena ketidakpuasan

pasien terhadap dokter melaksanakan profesi kedokteran, penyelesaian ini

hanya dapat dilakukan dengan cara ganti kerugian menurut Pasal 1320

KUHPerdata, menyatakan bahwa di situ adanya suatu persetujuan atau

perjanjian dalam hal dokter telah melakukan suatu kelalaian atau kesalahan

dalam hal tindakan medis maupun dala menjalankan profesinya. Tuntutan

tanggung gugat hukum perdata dapat diajukan seseorang terhadap siapa saja

yang telah menyebabkan pasien menderita kerugian sebagai akibat tindakan-

tindakan tersebut. Dengan kata lain ganti rugi ini hanya dapat diurus melalui

hukum perdata.

Tanggungjawab perdata dokter dalam transaksi terapeutik antara

dokter dengan pasien, selama ini di rumah sakit ini tidak pernah ada dokter

yang ingkar janji dalam melaksanakan pekerjaan dia, tetapi banyak pasien

yang merasa diingkari janji oleh dokter, contohnya, ada pasien yang ingin

melaksanakan operasi tetapi pemeriksaan lab pasien tidak memungkinkan

untuk operasi, disitulah disebut sebagai ingkar janji, tetapi itu dapat dijelaskan

oleh dokter.93

Pengaturan sanksi pidana secara umum diatur dalam beberapa pasal

pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan pengaturan khusus

93
Hasil wawancara dengan Dr. Lobiana Nadeak, selaku Kepala Bidang Pelayanan Rumah
Sakit Umum Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran, tanggal 10 Agustus 2020.

Universitas Sumatera Utara


112

dapat dijumpai pada Pasal Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009.

Oleh sebab itu Undang-Undang Kesehatan memungkinkan diajukannya

tuntutan kepada tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian

Ketika menjalankan tugas pelayanan kesehatan. Tuntutan itu dapat berupa

gugatan untuk membayar gantirugi pada korban atau keluarganya.

Berkenaaan dengan tuntutan dalam perkara pidana ini, selain dasar

peraturan yang ditegaskan oleh Undang-Undang Kesehatan, juga ada beberapa

pasal tertentu dalam KUHP yang dapat diterapkan. Dengan demikian tindakan

malpraktik dapat dikenakan sanksi administratif, sanksi perdata dan sanksi

pidana.94 Bentuk ganti rugi jika terjadi kesalahan dalam pelayanan medis,

Dilakukan penyelesaian dalam jalur hukum yaitu bentuk ganti rugi yang di

derita oleh pasien, akibat dokter melakukan kesalahan dalam hubungan

kontrak, melakukan wanprestasi 1239 KUHPerdata. 95 Konflik sengketa dapat

terjadi bila kepentingan pasien dirugikan oleh tindakan dokter atau dokter gigi

dengan melakukan, tuntutan tanggung gugat hukum perdata dapat diajukan

seorang terhadap siapa saja yang telah menyebabkan pasien menderita

kerugian sebagai akibat tindakan-tindakan tersebut terakhir. Perbuatan yang

tak layak ini semata-mata membuahkan ganti rugi.96

Kelalaian juga merupakan masalah moral yang berkaitan dengan

hubungan tanggung jawab dan dalam beberapa kasus manakala kelalaian

94
Loc.cit.
95
Hasil wawancara dengan Dr. Lobiana Nadeak, selaku Kepala Bidang Pelayanan Rumah
Sakit Umum Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran, tanggal 10 Agustus 2020.
96
Hasil wawancara dengan Dr. Lobiana Nadeak, selaku Kepala Bidang Pelayanan Rumah
Sakit Umum Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran, tanggal 10 Agustus 2020.

Universitas Sumatera Utara


113

tersebut terjadi berulang-ulang dan tidak diikuti dengan rasa penyesalan.

Ketika pasien merasa dirugikan dari kelalaian yang ditimbulkan oleh tenaga

kesehatan, rumusan dalam pasal 29 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan, menyebutkan “Dalam hal tenaga kesehatan diduga

melakukan kesalahan dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus

didselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”.

Agar tidak terjebak dalam istilah yang berupa “vonis” seperti

malpraktik atau kelalaian, tetapi seyogianya menggunakan isilah perkara

tindak medik apabila pengadilan belum menetapkan kasus tersebut.

Malpraktik mencakup pengetian yang jauh lebih luas dari kelalaian karena

intinya adalah tindakan-tindakan yang sengaja (intentional atau dolus) dan

melanggar hukum yang berlaku.

Jadi, bagaimana dengan pasien-pasien yang ditangani dokter tetapi

malah bertambah parah, atau mungkin meningkat?

Harus dipahami bahwa secara yuridis penilaian atas tindakan dokter

bukanlah berdasarkan hasil (resultaatverbintenis), melainkan berdasarkan

pada usaha atau upaya yang sebaik-baiknya (inspanningverbintenis). Jadi, jika

dokter telah bekerja dengan sebaik-baiknya berdasarkan standar profesinya

dan mendapatkan izin dari pasien (informed consent), maka secara umum

tidak ada tindak pelanggaran hukum maupun hak asasi manusia. Dengan kata

lain, dokter tersebut bebas dari hukuman baik pidana maupun perdata, tetapi

semuanya itu tentu saja harus melalui suatu proses peradilan terlebih dahulu.

Universitas Sumatera Utara


114

Rumah Sakit Umum Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran ini

memiliki prosedur perlindungan hukum terhadap dokter yang diduga

melakukan tidakan malpraktek dengan melakukan Prosedur perlindungan

hukum dapat dilakukan melalui komite medis, segala sesuatu masalah yang

terjadi pada dokter itulah diserahkan kepada komite medis mengenai sengketa

yang terjadi, tetapi sampai sejauh ini belum pernah terjadi, apa lagi sampai

kepada direktur rumah sakit.97

Dengan demikian, terjadinya suatu kasus perkara tindak medik tidak

dapat serta merta disebut sebagai malpraktik namun sebaliknya juga dari pihak

dokter pun tidak dapat serta merta “membebaskan” diri dari proses hukum.

Maksudnya, sering kali dokter telah menambah kalimat “akan membebaskan

dokter dari tuntutan” dalam surat izin operasi, yang ternyata sama sekali tidak

mempunyai kekuatan hukum. Kalimat tambahan seperti itu justru cenderung

“berbau” penipuan atas pasien, yang dalam khasanah hukum dikenal sebagai

blanket consent.98

C. Kekuatan Hukum Terhadap Putusan BPSK (Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen) Bagi Para Pihak

Pasien merupakan salah satu pihak awam yang tidak mengerti tentang

penyakit yang dideritanya sehingga membutuhkan jasa pelayanan kesehatan

seperti dokter untuk mendapatkan informasi yang jelas tentang penyakitnya.

Namun dalam beberapa kasus sering terjadi kesalahan informasi yang

97
Hasil wawancara dengan Dr. Lobiana Nadeak, selaku Kepala Bidang Pelayanan Rumah
Sakit Umum Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran, tanggal 10 Agustus 2020.

98
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


115

diberikan oleh dokter sehingga menimbulkan kerugian terhadap pasien.

Masalah yang ditemukan dalam penelitian ini adalah bagaimana

perlingdungan hukum terhadap pasien atas kesalahan informasi yang

diberikkan dokter dan bagaimana upaya BPSK dalam menangani sengketa

antara dokter dengan pasien. Dan BPSK telah melakukan upaya sesuai dengan

tugas dan wewenang BPSK yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu melaksanakan penanganan

dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi.99

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

kesejahteraan yang harus di wujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa

Indonesia. Produk hukum BPSK sudah memberikan perlindungan hukum yang

pasti kepada konsumen dan memberikan sanksi administratif serta sanksi

moril

Kendalanya pada pihak rumah sakit tidak dapat menghadirkan saksi-

saksi yang seharusnya dapat memperlihatkan titik terang dari apa sebenarnya

persoalan yang dialami pihak rumah sakit, mengapa mereka sampai salah

mendiaknosa pasien tersebut. Kekuatan hukum putusan BPSK bagi pasien

rumah sakit, diluar putusan seluruh pasien diharapkan memahami dan

mengerti tentang perjanjian sebelum melakukan operasi agar nanti tidak

timbul persengketaan konsumen ini di kemudian hari. Hal yang dapat

membebaskan dokter dan dokter gigi dari tuntutan hukum jika diduga

melakukan tindakan malpraktek, Dokter dan dokter gigi telah melakukan

99
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view/31474?articlesBySameAutho
rPage=3

Universitas Sumatera Utara


116

pelayanan medis sesuai standar profesi, Standar pelayanan medis, Standart

Operational Prosedure,Informed consent, Respondent superioratau vicarious

hability, Res ipsa loquitur.100

100
Hasil wawancara dengan Dr. Lobiana Nadeak, selaku Kepala Bidang Pelayanan
Rumah Sakit Umum Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran, tanggal 10 Agustus 2020.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Dokter, pasien dan rumah sakit adalah tiga subyek hukum yang terkait

dalam bidang pemeliharaan kesehatan. Ketiganya membentuk baik

hubungan medik maupun hubungan hukum. Hubungan medik dan

hubungan hukum antar dokter, pasien dan rumah sakit, adalah hubungan

yang obyeknya adalah pemeliharaan kesehatan pada umumnya dan

pelayanan kesehatan pada khususnya, hal ini tertuang dalam Pasal 39

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004. Dasar dari perikatan antara

dokter dan pasien biasanya adalah yang dikenal dengan

perjanjian/kontrak, sehingga dikenal pula istilah perjanjian/kontrak

terapeutik.

2. Perlindungan hukum bagi pasien menyangkut berbagai hal yaitu masalah

hubungan hukum pasien dengan tenaga kesehatan, hak dan kewajiban

para pihak, pertanggungjawaban dan aspek penegakan hukumnya.

Sebagaimana perlindungan tersebut diatur dalam KUHPerdata, KUHP,

Perlindungan Hukum Administrasi, Undang-Undang Nomor 29 Tahun

2004 tentang Praktik Kedokteran. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang

Rumah Sakit.

117

Universitas Sumatera Utara


118

3. Terjadi sengketa medik antara pasien dan dokter, penyelesaiaan yang

dapat dilakukan dengan cara musyawarah atau penyelesaian sengketa

yaitu dilakukan mediasi langsung di rumah sakit, dapat dilakukan melalui

dua jalur jalur hukum dan jalur non hukum. Perbuatan melawan hukum

secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal

1365. Tanggung jawab dokter secara khusus untuk di gugat secara perdata

atas dasar perbuatan melawan hukum terdapat di Undang-Undang Nomor

36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 58 ayat (1).

C. Saran

1. Hubungan dokter dan pasien diharapkan akan berhubungan lebih

sempurna sebagai “partner”, untuk Rumah Sakit Umum Haji Abdul

Manan Simatupang Kisaran, alangkah lebih baiknya jika kenyamanan

pasien diutamakan, bagaimanapun reponden dan komentar pasien

merupakan tolak ukur keberhasilan rumah sakit dalam memberikan

pelayanan terbaiknya.

2. Dokter dan tenaga Kesehatan lainnya sebaiknya melakukan pelayanan

medis disesuaikan dengan wewenang yang dimilikinya pada umumnya

guna menjamin perlindungan terhadap pasien dan terselenggaranya

jaminan kesehatan nasional yang bermutu dan bermanfaat.

3. Serta masyarakat dapat meningkatkan pengetahuannya mengenai hak-hak

privasi terhadap informasi rekam medis, sehingga masyarakat lebih kritis

dan berhati-hati dalam pemberian akses informasi rekam medis guna

Universitas Sumatera Utara


119

menghindari terjadinya kelalaian dan perbuatan melawan hukum yang

mengakibatkan kerugian bagi pasien.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Afriko, Joni, 2014, Hukum Kesehatan, Bogor, Penerbit In Media, Bogor.

Anam, Hasuri, 2019, Khoirul, Pertanggungjawaban Dokter Terhadap


Kerugian PasienAkibatPerbuatan Melawan Hukum, Nurani Hukum, Vol.
2 No. 1 Juni 2019, hal 4.

Amir Amri, 1997, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika, Jakarta.

Asyhadie, Zaeni, 2017, Aspek-Aspek Hukum Kesehatan di Indonesia,


PT.GrafindoPersada,Depok.

Chandrawila Wila, 2001 Hukum Kedokteran, Penerbit Mandar Maju,


Bandung.

Chazawi, Adami, 2007, Malapraktik Kedokteran, Cetakan Pertama,


BayumediaPublishing, Malang.

Fuady, Munir, 2005, Sumpah Hippocrates, Aspek Hukum Malpraktek Dokter,


Citra AdityaBakti, Bandung.

Hadi, I, Gusti, Ayu, Apsari, 2018, Perbuatan Melawan Hukum Dalam


PertanggungjawabanDokter Terhadap Tindakan Malpraktik Medis, Jurnal
Yuridis, Vol 5 No. 1, Juni 2018, hal 106.

Hamzah, Andi, 1986, Kamus Hukum, Ghia, Indonesia.

Hernoko, Agus, Yudha, 2007, Azas Proporsionslitas Dalam Kontrak Komersial,


KencanaPrenada Media Group, Jakarta.

120

Universitas Sumatera Utara


121

Isfandyarie, Anny, 2000, Tanggung Jawab dan Sanksi bagi Dokter Buku Ke I,
PrestasiPustaka Publisher, Jakarta.

Nasution, Johan,Bahder, 2005, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban


Dokter, Rineka Cipta, Jakarta.

Koeseadji, Hermien, Hadiati, 1984, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga


University Press, Jakarta.

M.Achdiat, Crisdiono, 2007, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam


TantanganZaman, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Machmud, Syahrul, 2012, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi


Dokter yangDidugaMelakukan Medikal Malpraktik, Karya Putra
Darmawati, Bandung.

Martokusumo, Sudikmono, 1999, Mengenai Hukum: suatu pengantar,


Liberty, Yogyakarta.

Muntaha, 2017, Hukum Pidana Malpraktik Pertanggungjawaban dan Penghapus


Pidana,Sinar Grafika, Jakarta.

Nasution Bahder Johan, 2005, Hukum Kesehatan Pertnggungjawaban Dokter,


Jakarta, PT.Rineka Cipta, Jakarta.

Nasrullah, Dede, 2014, Etika dan Hukum Keperawatan Untuk Mahasiswa dan
PraktisiKeperawatan, CV.Trans Info Media, Jakarta Timur.

Ohoiwutun Y.A. Truana, 2007, Bunga Rampai Hukum Kedokteran,


Bayumedia Publishing, Malang.

Universitas Sumatera Utara


122

Riyadi, Machli, 2018, Teori Iknemook Dalam Mediasi Malapraktik Medik,


Prenadamedia Group, Jakarta.

Sidabalok Janus, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di


IndonesiaPertanggungjawaban Menurut Hukum Perdata,
RajaGrafindo Persada,Jakarta.

Simanjuntak, P.N.H, 2009, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta,


Djambatan.

Supriadi, Wila, Chandrawila, 2001, Hukum Kedokteran, Penerbit Bandar


Maju,Bandung.

Soekanto Soerjono, 2005 Pengantar Penellitian Hukum, Jakarta, Universitas


Indonesia.

Ta‟adi Ns, 2010, Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

, 2010, Hukum Kesehatan Pengantar Menuju Perawat Profesional,


BukuKedokteran,Jakarta.

Tutik, Titik, Triwulan, dan Shita Febriana, 2010, Perlindungan Hukum Bagi
Pasien, Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.

Wahyudi, Setya, Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Kerugian Akibat


KelalaianTenaga Kesehatan dan Implikasinya, Jurnal Dinamika Hukum
Vol.11 No.3, hal 511.

Wahyuningsih, Heni, Puji, 2008, Etika Profesi Kebidanan, Penerbit


Fitramaya,Yogyakarta.

Universitas Sumatera Utara


123

Wiradharma Dhany, 1996, Hukum Kedokteran, Binarupa Aksara, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Terjemahan R. Subekti.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah

Sakit.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

C. Internet

https://www.padamu.net/pengertian-negara-indonesia-adalah-negara-hukum, diakses

tanggal 9 Maret 2020.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pasien, diakses tanggal 15 Maret 2020.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view/31474?articlesBySa

meAuthorPage=3, diakses tanggal 10 Oktober 2010.

D. Wawancara

Hasil wawancara dengan Dr. Lobiana Nadeak, selaku Kepala Bidang

Pelayanan Rumah Sakit Umum Haji Abdul Manan Simatupang Kisaran,

tanggal 10 Agustus 2020.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai