Anda di halaman 1dari 90

URGENSI INFORMED CONSENT TERKAIT

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KELALAIAN MEDIS

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat – Syarat


Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

OLEH :

PUTERI CHAIRINA AZHARI


NIM : 150200301

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


MEDAN
2019

Universitas Sumatera Utara


2

Universitas Sumatera Utara


3

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Puteri Chairina Azhari

Nim : 150200301

Departemen : Hukum Pidana

Judul Skripsi : Urgensi Informed Consent Terkait Pertanggungjawaban

Pidana Dalam Kelalaian Medis

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar tidak

merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka

segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau

tekanan dari pihak manapun.

Medan, Januari 2019

Puteri Chairina Azhari

NIM : 150200301

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK
Puteri Chairina Azhari*
M. Hamdan**
Syafruddin Sulung***

Cara berfikir masyarakat Indonesia yang semakin kritis terhadap hak-hak


mereka, khususnya dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pihak rumah
sakit melalui seorang dokter, yang dapat dilihat dengan tingginya frekuensi
pengaduan kasus yang terjadi mengenai tuntutan pasien terhadap pihak dokter
karena merasa dirugikan, maka diperlukan suatu persetujuan dalam tindakan
pelayanan medis atau disebut dengan Informed Consent antara pihak rumah sakit
atau dokter dengan pasien atau keluarga terdekat. Tindakan ini dilakukan untuk
menghadapi kemungkinan apabila terjadi suatu kesalahan dari pihak-pihak yang
bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, terdapat beberapa permasalahan yang
perlu dibahas, yakni : Bagaimana pengaturan perundang-undangan Informed
Consent dalam tindakan medis di Indonesia?, Mengapa Informed Consent penting
terkait pertanggungjawaban pidana dalam kelalaian medis?.
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaturan Informed
Consent di Indonesia dan mengetahui pentingnya Informed Consent terkait
pertanggungjawaban pidana dalam kelalaian medis. Metode penelitian yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif dengan
menggunakan data-data sekunder yang diperoleh dengan cara penelitian pustaka.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak akan dimintai
pertanggungjawaban pidana jika tidak melakukan perbuatan pidana, maka
kaitannya dengan tindakan kedokteran adalah dokter memiliki kewajiban untuk
melaksanakan Informed Consent terhadap pasien atau keluarga terdekat sebelum
terjadinya tindakan medis. Apabila Informed Consent tidak dilaksanakan maka
dokter dianggap melakukan kelalaian medis. Namun dalam hal gawat darurat
Informed Consent tidak diperlukan.

Kata Kunci : Informed Consent, pertanggungjawaban pidana, kelalaian medis.

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan

rahmad-Nya sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir penulis untuk memperoleh gelar

Sarjana Hukum (SH).

Adapun skripsi yang penulis angkat berjudul “Urgensi Informed Consent

Terkait Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kelalaian Medis”. Penulis

mengangkat judul skripsi ini sebagai tugas akhir dikarenakan banyaknya timbul

permasalahan dalam dunia kedokteran di Indonesia akibat kelalaian. Oleh karena

itu penulis tertarik untuk membahas mengenai hal ini. Semoga skripsi ini dapat

menambah wawasan pembaca.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih mempunyai

banyak kekurangan, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran

yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.

Selama kurang lebih 7 (tujuh) semester penulis kuliah di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, banyak kendala yang penulis alami. Namun berkat

bimbingan dan motivasi serta doa dari pihak - pihak disekitar penulis, segala

kendala dapat penulis hadapi. Termasuk dalam menyelesaikan tugas akhir ini, ada

waktu penulis merasa bingung, merasa malas, merasa jenuh bahkan merasa putus

asa. Disaat-saat itu penulis bersyukur karena selalu ada tangan-tangan yang

bersedia membantu, selalu ada kata-kata yang memotivasi, selalu ada senyum

yang menghibur dan selalu ada doa-doa dari orang tua penulis yang berada di

ii

Universitas Sumatera Utara


tempat yang berbeda dengan penulis. Semoga dengan gelar yang kelak penulis

dapatkan, penulis dapat memberikan manfaat bagi sesama.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada pihak-pihak

yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi. Untuk itu

penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Dr. Saidin, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Hemat Tarigan, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing

Akademik Penulis selama perkuliahan;

8. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang

telah banyak meluangkan waktu dan memberikan bimbingan serta nasihat

dengan penuh kesabaran mulai dari awal penulisan skripsi ini sampai

dengan selesainya penulisan ini;

iii

Universitas Sumatera Utara


9. Bapak Syafruddin Sulung, S.H., M.H., DFM., selaku Dosen Pembimbing

II. Terima kasih atas semua waktu dan bimbingan yang telah diberikan

kepada penulis selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini;

10. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah

memberikan banyak sekali ilmu yang sangat berharga kepada penulis

selama menjadi mahasiswa;

11. Teristimewa kepada orang tua, Ayahanda Mawardi Azhar dan Ibunda

Yani Apriani yang sangat penulis sayangi, yang selalu mendoakan,

membimbing dan menasehati penulis agar dapat menghadapi tantangan

dan permasalahan dalam perkuliahan serta selalu mengingatkan penulis

agar selalu mengandalkan Allah SWT dalam setiap langkah penulis, dan

kepada Adik-adik tersayang Aulia Akmal Azhari, Maulana Hasan Azhari,

Ahmad Rafiq Al-Azhari yang senantiasa turut serta dalam membantu

penulis dan memberi semangat kepada penulis;

12. Yang selalu meriah Xoxo (Syffa Nurislami, Syarfanda Roini, Dede

Prayudha, Rexy Alfiandri, Imam Kurnia Sandi, Andre Fariz Anuar,

Muhammad Yasri, Dio Alif Putra) yang menjadi sahabat sejak SMP

hingga sekarang. Terima kasih atas segala motivasi dan senantiasa

megingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi, semoga apa

yang kita cita-cita kan tercapai, Aamiin;

13. Yang tersayang Pejuang IP (Putri Zhafirah Lubis, Farah Hilda Fuad Lubis,

Hetti Sundari, Tara Humayrah Siregar) yang menjadi teman sekaligus

keluarga pertama penulis di Fakultas Hukum USU. Terima kasih atas

kesetiaan menjalani persahabatan dalam kondisi susah maupun senang

iv

Universitas Sumatera Utara


14. serta dukungan yang tiada henti selama masa perkuliahan, semoga apa

yang kita cita-cita kan tercapai, Aamiin;

15. Yang selalu menghibur (Gabriella Chatrin Simanjuntak, Indriwati Titania

Hutauruk, Joseph Armando Tambunan, Rahmad Riski Putra). Terima

kasih atas tingkah laku yang selalu saja dapat mengibur penulis, senantiasa

dapat membawa suasana gembira;

16. Kepada Riko Handoyo yang selalu menemani penulis selama masa

perkuliahan dan tidak pernah bosan membantu serta mengingatkan penulis

untuk dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik demi mencapai cita-

cita, juga kepada Dandy Alfayed Ginting yang menjadi teman

seperjuangan dalam departemen hukum pidana. Semoga apa yang kita

cita-cita kan tercapai, Aamiin;

17. Kepada Geng Kodok (Dimas Fatih Asqory, Yudika Dwi Erwanda, Zairin

Nur Aulia, Irham Afriansyah, Riko Handoyo, Dandy Alfayed Ginting,

Putri Zhafirah Lubis, Hetti Sundari) terima kasih telah menemani dan

mengajak penulis hangout di sela-sela kesibukan selama masa skripsi;

18. Abangda Fachri Husaini dan Abangda Rayyanda Fitra Surbakti selaku

senioren yang membimbing penulis untuk menyesuaikan kata – kata,

memberikan kritik dan saran dalam penulisan;

19. Para pejuang klinis (Farah Hilda Fuad Lubis, Putri Zhafirah Lubis, Hetti

Sundari, Tara Humayrah Siregar, Riko Handoyo, Dandy Alfayed Ginting,

Arnan Furqon Hasibuan, Citra Perdana Kesuma, Adriansyah Hasibuan,

Irham Afriansyah) terima kasih atas kerja sama dalam menjalani masa

Universitas Sumatera Utara


20. praktik peradilan semu sehingga kita mampu menghasilkan nilai terbaik

seperti yang diharapkan;

21. Seluruh rekan-rekan stambuk 2015 grup A, terkhusus (pArnan Furqon

Hasibuan, Achmad Monang Lubis, Dwimas Ardhin Nasution, Muhammad

Zhafran, Dasma Purba, Ezra Pieter, Putri Ayutia Damanik, Wulan Irwanty,

Riska Rianti Nasution) senang rasanya bisa bergabung dan mengenal

kalian, semoga kita semua akan menjadi orang sukses, Aamiin;

22. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini

baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak bisa di sebutkan

satu per satu.

Akhir kata saya mohon maaf apabila ada kesalahan ataupun kesilapan

dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi saya dan

pihak – pihak yang memerlukannya,atas perhatiannya saya ucapkan terimakasih.

Medan, Januari 2019

Hormat Penulis,

Puteri Chairina Azhari

Nim : 150200301

vi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Abstrak ................................................................................................................ i

Kata Pengantar.................................................................................................... ii

Daftar Isi .............................................................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................... 1

B. Permasalahan ................................................................................. 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 7

D. Keaslian Penelitian ........................................................................ 9

E. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 9

F. Metode Penelitian .......................................................................... 17

G. Sistematika Penelitian ................................................................... 21

BAB II PENGATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INFORMED

CONSENT DALAM TINDAKAN MEDIS DI INDONESIA

A. Pengaturan Perundang-undangan Informed Consent di –

Indonesia........................................................................................ 23

B. Fungsi dan Tujuan Informed Consent ........................................... 26

C. Bentuk Informed Consent .............................................................. 28

D. Prosedur Pelaksanaan Informed Consent ...................................... 32

vii

Universitas Sumatera Utara


BAB III PENTINGNYA INFORMED CONSENT TERKAIT

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM

KELALAIAN MEDIS

A. Pentingnya Informed Consent terkait Pertanggungjawaban Pidana

dalam Kelalaian Medis

1. Hubungan Informed Consent dengan Kelalaian Medis ........... 41

2. Informed Consent terkait Pertanggungjawaban Pidana…....…50

B. Pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam Kelalaian Medis ...... 53

C. Beberapa Contoh Kasus Kelalaian Medis......................................65

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan .................................................................................... 74

B. Saran .............................................................................................. 75

Daftar Pustaka ..................................................................................................... 76

Lampiran

viii

Universitas Sumatera Utara


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Profesi kedokteran dalam pelaksanaannya sering kali dijumpai konflik

antara dokter dengan pasien, yang tidak dapat dipecahkan oleh kaidah-kaidah

etika. Dalam keadaan seperti ini maka kaidah hukum dapat diberlakukan,

sehingga pembicaraan tidak akan dapat dilepaskan dari masalah hak dan

kewajiban dari pihak-pihak yang terlibat dalam perselisihan atau perkara tersebut.

Hal ini disebabkan karena pada akhirnya penyelesaiannya harus dikembalikan

pada segi-segi hak dan kewenangan yang sebanding dengan kewajiban dan

tanggung jawab para pihak.1

Dahulu, hubungan antara dokter dengan pasien bersifat paternalistik,

dimana pasien selalu mengikuti apa yang dikatakan dokter tanpa bertanya apapun

karena ketidaktahuan atas hak-haknya.2 Dengan kata lain, semua keputusan

sepenuhnya berada di tangan dokter dan menganggap bahwa tindakan yang

dilakukan dokter selalu benar.

Secara umum pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi dan

perawatan yang bermutu. Namun demikian dalam hubungan dokter dengan pasien

seringkali pasien menurunkan derajat dirinya sebagai objek bagi sesuatu yang

seharusnya diputuskan berdasarkan alasan-alasan yang kuat tanpa menyadari apa

1
Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika & Hukum Kedokteran dalam Tantangan
Zaman, EGC, Jakarta, 2006, hlm. 1.
2
Ibid., hlm. 2

Universitas Sumatera Utara


2

motif dan konsekuensi dari keputusan itu, atau bahkan tanpa ada kesempatan

baginya untuk memikirkan alternatif dan risiko yang akan dihadapinya. 3

Kesadaran masyarakat pun semakin meningkat terutama terhadap hak-

haknya dan cara berpikir pun menjadi semakin kritis terhadap pelbagai segi

kehidupan khususnya di bidang kesehatan, maka hubungan antara dokter dengan

pasien mengalami perubahan yang sangat berarti. Pada saat ini secara hukum

dokter adalah partner dari pasien yang sama atau sederajat kedudukannya, pasien

mempunyai hak dan kewajiban tertentu, seperti halnya dokter. 4 Walaupun

seseorang dalam keadaan sakit, tetapi kedudukan hukumnya tetap sama dengan

yang sehat. Sangat keliru jika menganggap seorang yang sakit tidak dapat

mengambil keputusan, karena secara umum sebenarnya pasien adalah subjek

hukum yang mandiri dan dapat mengambil keputusan untuk kepentingannya

sendiri.

Sesuai dengan perkembangan cara berfikir masyarakat Indonesia yang

semakin kritis terhadap hak-hak mereka, khususnya dalam pelayanan kesehatan

yang diberikan oleh pihak rumah sakit melalui seorang dokter, yang dapat dilihat

dengan adanya masalah yang terjadi di Indonesia mengenai tuntutan pasien

terhadap pihak rumah sakit atau dokter karena pasien merasa dirugikan, maka

diperlukan suatu perjanjian pelayanan kesehatan antara pihak rumah sakit atau

dokter dengan pihak pasien.5

3
Ari Yunanto dan Helmi, Hukum Pidana Malpraktik Medik, C.V Andi Offset,
Yogyakarta, 2010, hlm. 19.
4
Chrisdiono M. Achadiat, Op.Cit., hlm. 2.
5
Irma Permata Asri, Pelaksanaan Perjanjian Tindakan Kedokteran (Informed Consent)
Antara Pihak Rumah Sakit dengan Pasien Melahirkan di Bagian Kamar Bersalin RSUD Dr.
Moewardi Surakarta, Skripsi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2009, hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara


3

Hubungan antara dokter dengan pasien termasuk dalam perjanjian untuk

melakukan beberapa jasa dan karena sifat hubungan hukum yang khusus yaitu

“perjanjian tentang upaya”, sehingga dokter dalam hal ini berkewajiban untuk

melakukan upaya maksimal. Dilihat dari hubungan antara dokter dengan pasien

tersebut, maka dokter sebagai tenaga yang professional, diharapkan dapat

menggunakan ilmunya secara hati-hati dan bertanggung jawab sehingga ia tidak

sampai lalai.6

Anggota masyarakat sebagai pasien sudah seharusnya mendapat informasi

yang cukup untuk dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dan kemudian

memutuskan sesuatu yang menyangkut kepentingan dan keselamatannya. Oleh

karena itu, pada saat ini di kalangan profesi hukum dan kedokteran telah terdapat

aturan yang memberikan perlindungan terhadap masyarakat sebagai pasien yang

menerima pelayanan kesehatan yang didasarkan atas informasi yang diberikan

oleh pihak rumah sakit melalui dokter. Dalam hal ini, berbagai upaya

penyembuhan kesehatan harus memiliki persetujuan dari pasien atas dasar

informasi dari dokter di rumah sakit tersebut, atau disebut dengan Informed

Consent.7

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 290/MENKES/PER/III/2008

tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 1 menyebutkan bahwa

persetujuan tindakan kedokteran atau Informed Consent adalah persetujuan yang

diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara

lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan

terhadap pasien. Kemudian, di dalam Pasal 2 peraturan tersebut dinyatakan,

6
Ibid., hlm. 3.
7
Ibid., hlm. 3.

Universitas Sumatera Utara


4

bahwa semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus

mendapat persetujuan. Persetujuan termaksud diberikan setelah pasien mendapat

informasi yang kuat tentang perlunya tindakan kedokteran yang bersangkutan

serta risiko yang dapat ditimbulkannya.

Dalam hubungan dokter dengan pasien umumnya tidak setara. Ada

kesenjangan diantara keduanya dalam berbagai aspek. Biasanya pasien berada di

pihak yang lemah, yang oleh karena itu ia perlu mendapat perlindungan. Karena

posisinya sebagai pihak yang lebih kuat dalam berbagai hal, dokter perlu diberi

rambu-rambu agar ia tidak tergoda untuk melakukan tindakan yang merugikan

pasien dan menguntungkan diri sendiri.8

Perlindungan bagi pasien dan rambu-rambu untuk dokter dibina antara lain

oleh:9

1. Hati nurani dan moral;

2. Etika medis;

3. Disiplin profesi;

4. Hukum.

Dalam pemberian pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan juga tidak

terlepas dari suatu fakta bahwa sebagai manusia mereka takkan luput berbuat

kesalahan. Kesalahan terjadi pada setiap pekerjaan, tentu dengan berbagai

konsekuensi. Kesalahan tersebut bisa berupa ketidakberhasilan (error) ataupun

adanya suatu kelalaian (negligence) dalam menjalankan tugas yang dijalankan.10

8
Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik, P.T.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 104.
9
Ari Yunanto dan Helmi, Op.Cit., hlm. 14-15.
10
Cecep Triwibowo, Etika & Hukum Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta, 2014, hlm.
278.

Universitas Sumatera Utara


5

Dari segi hukum, kesalahan/kelalaian akan selalu berkait dengan sifat

melawan hukumnya suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mampu

bertanggung jawab. Oleh karena itu perbuatan orang yang mampu bertanggung

jawab itu dalam hukum dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dipidana atau

“strafbaar feit”, atau diterjemahkan dengan tindak pidana. Strafbaar feit ini

merupakan istilah dalam hukum pidana yang menunjuk kepada kelakuan orang

(“menselijke gedraging”) yang dirumuskan dalam undang-undang (“wet”) dan

sifatnya melawan hukum, sehingga oleh karena itu patut dipidana

(“strafwaardig”) bagi pelakunya dan yang dilakukannya dengan kesalahan.11

Dalam suatu negara yang berlandaskan hukum seperti Indonesia, maka

prinsip dan asas negara hukum tersebut haruslah dipegang teguh, tidak dapat

dikalahkan oleh kebutuhan, keadaan atau pikiran sesaat. Status negara hukum ini

telah ditetapkan dalam konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945.12 Hal itu

berarti bahwa setiap warga negara tanpa terkecuali harus tunduk dan taat kepada

hukum yang berlaku di wilayah yurisdiksi Republik Indonesia.

Dalam negara hukum berlaku asas utama Rule of Law, yang diterjemahkan

sebagai Aturan Hukum, yang salah satu unsurnya adalah Asas Praduga Tak

Bersalah (Presumption of Innocence), yakni seorang terdakwa/tersangka harus

dianggap tidak bersalah sampai dapat dibuktikan kesalahannya. Pasal 66 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan “Tersangka atau

terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Dalam penjelasan pasal tersebut

dikatakan bahwa ketentuan pasal ini adalah penjelmaan dari Asas Praduga Tak
11
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum
Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm.
131.
12
Chrisdiono M. Achadiat, Op.Cit., hlm. 63.

Universitas Sumatera Utara


6

Bersalah.13 Jika dilihat dari isi Pasal 66 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) tersebut maka yang dibebani kewajiban pembuktian adalah

aparat penegak hukum itu sendiri, bukan terdakwa.

Secara umum dapat dikatakan bahwa profesi kedokteran tidak merupakan

perkecualian terhadap hukum, sehingga dokter pun harus tunduk dan taat kepada

hukum beserta asas-asasnya tersebut. Dengan demikian, jika ada dugaan terjadi

suatu pelanggaran hukum oleh seorang dokter, harus dibuktikan di depan

pengadilan dan sebelum pelanggaran itu terbukti, dokter tidak boleh dikatakan

melanggar hukum.14 Karena dalam setiap perkara hukum memerlukan bukti,

demikian pula halnya dengan perkara-perkara hukum dalam kaitannya dengan

profesi kedokteran.

Khususnya dalam hal ini, Informed Consent memiliki konsekuensi secara

hukum. Konsekuensi yang dimaksud ialah mengenai pembebanan tanggung jawab

terhadap pihak-pihak yang terkait. Konsekuensi yuridis mengenai Informed

Consent sangat diperlukan terkait suatu kelalaian medis dalam ranah hukum

pidana, yaitu berhubungan dengan tanggung jawab pidana.

Yang tidak boleh dilupakan adalah dalam memberikan informasi tidak

boleh bersifat memperdaya, menekan, atau menciptakan ketakutan sebab ketiga

hal itu akan membuat persetujuan yang diberikan menjadi cacat hukum. Sudah

seharusnya informasi diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan medis

tertentu, sebab hanya ia sendiri yang tahu persis mengenai kondisi pasien dan

segala seluk beluk dari tindakan medis yang akan dilakukan. Memang dapat

13
Ibid., hlm. 64
14
Ibid., hlm. 64

Universitas Sumatera Utara


7

dilimpahkan kepada dokter lain atau perawat, namun jika terjadi kesalahan dalam

memberikan informasi maka yang harus bertanggung jawab atas kesalahan itu

adalah dokter yang melakukan tindakan medis.

Berdasarkan uraian di atas, maka menarik perhatian penulis untuk

mengkaji lebih lanjut dalam skripsi yang berjudul “URGENSI INFORMED

CONSENT TERKAIT PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM

KELALAIAN MEDIS”.

B. Rumusan Masalah

Disadari bahwa kompleksitas dari kasus yang ada maka menurut penulis

menjadi penting untuk membatasi kajian ini. Pokok permasalahan dalam skripsi

ini di batasi pada:

1. Bagaimana pengaturan perundang-undangan Informed Consent

dalam tindakan medis di Indonesia?

2. Mengapa Informed Consent penting terkait pertanggungjawaban

pidana dalam kelalaian medis?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang ada, maka tujuan

yang ingin dicapai dalam penelitian hukum ini adalah:

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui pengaturan hukum serta fungsi Informed

Consent dalam tindakan kedokteran.

Universitas Sumatera Utara


8

b. Untuk mengetahui pihak-pihak yang bertanggung jawab jika

terjadi suatu kelalaian dalam tindakan kedokteran.

c. Untuk mengetahui seberapa pentingnya Informed Consent

terkait pertanggungjawaban hukum pidana dalam kelalaian

medis yang dilakukan pihak dokter.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis dalam hal

pentingnya Informed Consent terkait pertanggungjawaban

hukum pidana dalam kelalaian medis.

b. Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan dalam penulisan

hukum berbentuk skripsi.

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara Teoritis

Diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan

ilmu pengetahuan, dalam hukum kedokteran, hukum kesehatan,

maupun hukum pidana umumnya.

2. Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan praktisi dan

agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang pengaturan

hukum Informed Consent dalam kaitannya dengan

pertanggungjawaban hukum pidana terhadap dokter yang

melakukan kelalaian medis. Penelitian ini juga sedapat mungkin

dilakukan agar dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.

Suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja

Universitas Sumatera Utara


9

memenuhi persyaratan-persyaratan formal sebagai suatu peraturan,

tetapi menimbulkan rasa keadilan dan kepatutan dan

dilaksanakan/ditegakkan dalam kenyataannya.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian

mengenai “URGENSI INFORMED CONSENT TERKAIT

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KELALAIAN MEDIS”

belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat

atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari

proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi

yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Informed Consent

Informed Consent atau yang disebut juga dengan Persetujuan Tindakan

Medis, berasal dari kata Informed artinya telah diberitahukan, telah disampaikan,

atau telah diinformasikan. Consent artinya persetujuan yang diberikan kepada

Universitas Sumatera Utara


10

seseorang untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian, Informed Consent adalah

persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah diberi penjelasan.15

Appelbaum menyatakan bahwa Informed Consent bukan sekadar formulir

persetujuan yang didapat dari pasien, melainkan merupakan proses komunikasi.

Tercapainya kesepakatan antara dokter-pasien merupakan dasar dari seluruh

proses tentang Informed Consent. Formulir itu hanya merupakan pengukuhan atau

pendokumentasian dari apa yang telah disepakati (informed consent is a process,

not an event).16

Jika dilihat dari aspek yuridis, Informed Consent menunjukkan kepada

peraturan hukum yang menentukan kewajiban para tenaga medis dalam interaksi

dengan pasien. Selain itu memberikan sanksi (dalam keadaan tertentu) apabila

terjadi penyimpangan terhadap apa yang sudah ditentukan. Jika dilihat dari sudut

etika, maka Informed Consent adalah pencetusan dan berakar dalam nilai-nilai

otonomi didalam masyarakat yang diyakini sebagai hak-hak mereka dalam

menentukan nasibnya sendiri apabila akan dilakukan tindakan medis. 17

Informed Consent dirumuskan sebagai suatu kesepakatan atau persetujuan

pasien atas upaya medis yang akan dilakukan tenaga medis terhadap dirinya

setelah memperoleh informasi dari tenaga medis mengenai upaya medis yang

dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala risiko

yang mungkin terjadi. Informasi yang harus diberikan adalah informasi yang

15
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, EGC,
Jakarta, 2009, hlm. 73.
16
Appelbaum dalam Guwandi (1993) seperti dikutip oleh M. Jusuf Hanafiah dan Amri
Amir, Ibid., hlm. 74.
17
Cecep Tribowo, Op.Cit., hlm. 70.

Universitas Sumatera Utara


11

selengkap-lengkapnya yaitu informasi yang kuat tentang perlunya tindakan medis

yang bersangkutan dan risiko yang ditimbulkannya.

Informed Consent merupakan suatu pendekatan terhadap kebenaran, dan

keterlibatan pasien dalam keputusan mengenai pengobatannya. Seringkali suatu

pendekatan terbaik untuk mendapatkan Informed Consent adalah jika dokter yang

akan mengusulkan atau melakukan prosedur memberi penjelasan secara detail di

samping meminta pasien membaca formulir tersebut. Para pasien serta

keluarganya sebaiknya diajak untuk mengajukan pertanyaan menurut

kehendaknya, dan harus dijawab secara jujur dan jelas. Maksud dari penjelasan

lisan ini adalah untuk menjamin bahwa jika pasien menandatangani formulir itu,

benar-benar telah mendapat informasi yang lengkap. 18

2. Pengertian Kelalaian Medis

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, kelalaian dari asal

kata lalai yang berarti “tindakan yang kurang hati-hati, tidak mengindahkan

(kewajiban, pekerjaan, dsb.), lengah”. Dalam An Indonesian-English Dictionary

3th Edition, kelalaian diartikan dari kata neglect, carelessness. Dalam Kamus

Hukum Edisi Lengkap, terjemahan dari: culpa (Latin) atau schuld (Belanda), atau

debt, guilt, fault (Inggris), artinya adalah “kekhilafan atau kelalaian yang

menimbulkan akibat hukum, dianggap melakukan tindakan pidana yang dapat

ditindak atau dituntut”.

Dalam undang-undang tidak diartikan sebagai kealpaan (culpa), namun

dari penjelasan pembuat undang-undang (KUHP) atau Memorie van Toelichting

18
Thiroux (1980:269) seperti dikutip oleh Veronica Komalawati, Op.Cit., hlm. 105-106.

Universitas Sumatera Utara


12

(MvT) dapat diketahui bahwa schuld atau culpa (lalai) merupakan kebalikan

murni dari dolus (sengaja) maupun kebetulan (caous). Yang dituntut adalah

bahwa orang kurang berpikir cermat, kurang pengetahuan, atau bertindak kurang

terarah dibanding dengan orang lain pada umumnya. Dari Memorie van Antwoord

(memori jawaban) yang disampaikan oleh parlemen diketahui bahwa siapa yang

sengaja berbuat salah adalah mereka yang menggunakan kemampuannya secara

keliru. Sebaliknya, siapa yang berbuat salah karena kelalaiannya, tidak

menggunakan kemampuan yang dimilikinya ketika kemampuan tersebut

seharusnya ia gunakan.19

Treub, seorang pakar hukum pidana dari Belanda, menyebutkan bahwa

yang penting adalah ketelitian dan kehati-hatian yang wajar yang dapat

diharapkan dari seorang dokter. Treub mengatakan bahwa: “Baru dapat dikatakan

ada culpa apabila ia tidak tahu, tidak memeriksa, melakukan atau tidak melakukan

yang dokter-dokter lain yang baik bahkan pada umumnya dan di dalam keadaan

yang sama, akan mengetahui, memeriksa, melakukan, atau tidak melakukan.” 20

Jonkers, menyebut adanya unsur-unsur kesalahan (kelalaian) sebagai tolak

ukur di dalam hukum pidana:21

1. Bertentangan dengan hukum (wederrechtelijkeheid);

2. Akibatnya dapat dibayangkan (voorzienbaarheid);

3. Akibatnya dapat dihindarkan (vermijdbaarheid);

4. Perbuatannya dapat dipersalahkan kepadanya (verwijtbaarheid).

19
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 176-
177.
20
Treub seperti dikutip oleh J. Guwandi, Kelalaian Medik (Medical Negligence), Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 20.
21
Ibid, hlm. 19.

Universitas Sumatera Utara


13

Seseorang dikatakan lalai apabila ia bertindak acuh, tak peduli, tidak

memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana lazimnya di dalam tata

pergaulan hidup di masyarakat. Selama akibat dari kelalaian itu tidak sampai

membawa kerugian atau cedera kepada orang lain, atau karena menyangkut hal-

hal sepele, maka tidak ada akibat hukum apa-apa. Prinsip ini berdasarkan adagium

De minimis not curat lex. Hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele.

Namun apabila kelalaian itu sudah mencapai tingkat tertentu dan tidak

mempedulikan benda atau keselamatan jiwa orang lain, maka sifat kelalaian itu

bisa berubah menjadi delik.22

Kealpaan atau kelalaian hakikatnya mengandung tiga unsur yaitu pelaku

berbuat (atau tidak berbuat, het doen of het niet doen), lain daripada apa yang

seharusnya ia perbuat (atau tidak berbuat) sehingga dengan berbuat demikian

(atau tidak berbuat) telah melakukan perbuatan melawan hukum. Unsur kedua,

pelaku telah berbuat lalai, lengah, atau kurang berpikir panjang. Unsur ketiga,

perbuatan pelaku tersebut dapat dicela dan oleh karena itu, pelaku harus

mempertanggungjawabkan akibat yang terjadi karena perbuatannya itu. 23

3. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas

culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas

kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan

dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun konsep

berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun

22
Dalmy Iskandar, Rumah Sakit, Tenaga Kesehatan, dan Pasien, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 1998, hlm. 86.
23
Cecep Triwibowo, Op.Cit., hlm. 288-289.

Universitas Sumatera Utara


14

dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban

pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict

liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error

facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep merupakan

salah satu alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu

patut dipersalahkan kepadanya. 24

Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu

mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka

dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk

dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya

itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang.

Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang

melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan

sesuai kesalahannya.25 Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana

akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia

mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu

melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukkan pandangan

normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.

Perbuatan agar dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, harus

mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu

kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).

24
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 23.
25
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 41.

Universitas Sumatera Utara


15

1. Kesengajaan (opzet)

Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga

macam, yaitu sebagai berikut:26

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat

dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak

ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si

pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya

kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar

menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan

diadakannya ancaman hukuman ini.

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak

bertujuan untuk mencapa akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi

ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu

kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya

dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya

mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang

menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan

seseorang yang dilakukannya.

2. Kelalaian (culpa)

26
Ibid, hlm. 46.

Universitas Sumatera Utara


16

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun

juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh

karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet)

sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua

macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak

menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah

delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan

kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.27

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dinyatakan bahwa

pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang

melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan

sesuai dengan kesalahannya. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan

mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia

mempunyai kesalahan.

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran

secara sistematis, metodologis dan konsisten. Oleh karena penelitian merupakan

sarana ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan, maka metode penelitian

yang diharapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang

27
Ibid, hlm. 48.

Universitas Sumatera Utara


17

menjadi induknya. 28 Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, penulisan

skripsi ini menggunakan metodologi penulisan sebagai berikut:

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum dapat dibagi dalam:

a. Penelitian hukum normatif

b. Penelitian hukum sosiologis atau empiris

Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian

normatif disebut juga sebagai penelitian doctrinal (doctrinal research) yaitu suatu

penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is

written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses

pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process).29 Penelitian

hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan

pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.30

Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari

penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data

dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan,

buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, serta sumber

data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Selain itu data yang diperoleh oleh

penulis juga berdasarkan wawancara dengan beberapa narasumber yang ahli pada

28
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 2013, hlm. 1.
29
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, 2006,
hlm. 118.
30
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta, 2003, hlm.3.

Universitas Sumatera Utara


18

bidangnya masing-masing sebagai data pendukung dari hasil penelitian yang telah

dilakukan. Digunakannya pendekatan yuridis normatif karena masalah yang

diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya.

2. Sumber Data

Materi dalam skripsi ini diambil dari data sekunder. Adapun data sekunder

yang dimaksud ialah:

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang

berwenang.31 Dalam tulisan ini di antaranya Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Republik Indonesia No. 29

Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Republik Indonesia No.

36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan

Kedokteran, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang

berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini, seperti:

jurnal-jurnal hukum, karya tulis ilmiah, berita-berita, dan beberapa sumber dari

internet yang berkaitan.

31
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,
1988, hlm. 19.

Universitas Sumatera Utara


19

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang

mendukung bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan

lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

(library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Selain itu juga dengan

melakukan wawancara dengan beberapa narasumber sebagai tambahan dari data

yang diperlukan. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi

ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari

perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media

elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-

undangan.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai

berikut:32

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum


lainnya yang relevan dengan objek penelitian;
b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel-artikel media
cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan
peraturan perundang-undangan;
c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan;
d. Menganalisis data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan
masalah yang menjadi objek penelitian.

4. Alat Pengumpulan Data

32
Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 63.

Universitas Sumatera Utara


20

Agar dapat diperoleh hasil yang baik dan bersifat objektif ilmiah maka

dibutuhkan data-data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan

kebenaran akan hasilnya, maka dalam hal ini peneliti memperoleh data dalam

penelitian ini dengan menggunakan alat pengumpul data melalui studi

dokumen, yaitu berupa penelitian yang mempelajari dan memahami bahan-

bahan kepustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian ini. Studi

dokumen dari literatur yang berasal dari kepustakaan ataupun yang diperoleh

dari lapangan yang berkaitan dengan masalah urgensi informed consent

terkait pertanggungjawaban hukum pidana dalam kelalaian medis.

5. Analisa Data

Data primer dan sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian

dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode

deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan,

sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai

sumber yang berhubungan dengan topik dengan skripsi ini, sehingga

diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang dirumuskan.

G. Sistematika Penelitian

Sistematika penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Perumusan Masalah

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

D. Keaslian Penelitian

Universitas Sumatera Utara


21

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Informed Consent

2. Pengertian Kelalaian Medis

3. Pertanggungjawaban Pidana

F. Metode Penelitian

G. Sistematika Penelitian

BAB II PENGATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INFORMED

CONSENT DALAM TINDAKAN MEDIS DI INDONESIA

A. Pengaturan Perundang-undangan Informed Consent di

Indonesia

B. Fungsi dan Tujuan Informed Consent

C. Bentuk Informed Consent

D. Prosedur Pelaksanaan Informed Consent

BAB III PENTINGNYA INFORMED CONSENT TERKAIT

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM

KELALAIAN MEDIS

A. Pentingnya Informed Consent terkait Pertanggungjawaban

Pidana dalam Kelalaian Medis

1. Hubungan Informed Consent dengan Kelalaian Medis

2. Informed Consent terkait Pertanggungjawaban Pidana

B. Pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam Kelalaian Medis

C. Beberapa Contoh Kasus Kelalaian Medis

Universitas Sumatera Utara


22

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

B. Saran

Universitas Sumatera Utara


BAB II
PENGATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INFORMED CONSENT
DALAM TINDAKAN MEDIS DI INDONESIA

A. Pengaturan Perundang-undangan Informed Consent di Indonesia


33
Etika biomedis merupakan salah satu etika terapan yang berlaku sebagai

petunjuk moral di dalam bidang kedokteran. Terdapat empat prinsip di dalam etika

biomedis, salah satu di antara empat prinsip tersebut adalah prinsip menghormati

otonomi (respect for autonomy).34 Kata otonomi diartikan sebagai suatu kebebasan

untuk mengatur hidupnya sendiri dan mengambil keputusan mengenai dirinya

sendiri. Dengan demikian, manusia yang otonom adalah manusia yang secara

moral memiliki hak untuk bertindak dan memilih berdasarkan keputusannya

sendiri apabila dalam suatu situasi tertentu terdapat berbagai pilihan yang dari

setiap pilihan tersebut akan menimbulkan konsekuensi tertentu.35

Informed Consent dibuat untuk menghormati martabat manusia yang

bebas dan otonom dimana setiap manusia secara bebas untuk menentukan sendiri

apa yang akan dibuat ataupun yang tidak akan dibuat.36 Penghormatan terhadap

martabat manusia yang tertuang di dalam prinsip menghormati otonomi (respect

for autonomy) memegang peranan penting di dalam bidang kedokteran. Hal

33
K. Bertens, Etika, Edisi Revisi, Kanisius, Yogyakarta, 2013, hlm. 14-16.
34
Tom Beauchamp dan James Childress di dalam bukunya yang berjudul Principles of
Biomedical Ethics, dikutip oleh Bertens, mengemukakan empat prinsip di dalam etika biomedis
yang memiliki peranan dominan dalam bidang kedokteran dan pelayanan kesehatan. Empat prinsip
tersebut di antaranya adalah prinsip menghormati otonomi (respect for autonomy), tidak
merugikan (non-maleficence), berbuat baik (benefince), dan keadlian (justice). Lihat K. Bertens,
Etika Biomedis, Kanisius, Yogyakarta, 2011, hlm. 56.
35
Emily Jackson, Medical Law (Text, Cases, and Materials), Second Edition, Oxford
University, United Kingdom, 2019, hlm. 216.
36
Desriza Ratman, Aspek Hukum Informed Consent Dan Rekam Medis Dalam Transaksi
Terapeutik, Keni Media, Bandung, 2013, hlm. 40.

23

Universitas Sumatera Utara


24

tersebut terwujud dalam bentuk penerapan paham Informed Consent di dalam

pelayanan medis.37

Petunjuk moral bagi profesi dokter untuk menghormati otonomi pasien

termuat di dalam Pasal 5 Kode Etik Kedokteran Indonesia yang berbunyi, “Tiap

perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan psikis

maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/keluarganya dan hanya

diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut.” Sementara itu, bagi

profesi dokter gigi terdapat di dalam Pasal 10 Kode Etik Kedokteran Gigi

Indonesia yang berbunyi, “Dokter gigi di Indonesia wajib menghormati hak

pasien untuk menentukan pilihan perawatan dan rahasianya.”

Mengenai Informed Consent ini dalam hukum positif di Indonesia diatur

dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Dalam

Undang-Undang Praktik Kedokteran dinyatakan bahwa setiap tindakan

kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter/dokter gigi

terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan dari pasien setelah mendapatkan

penjelasan secara lengkap.38 Selain diatur dalam Undang-Undang Praktik

Kedokteran pengaturan mengenai Informed Consent juga diatur dalam Undang-

Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

37
A.Y. Ramadianto, Informed Consent Sebagai Persetujuan Dalam Kontrak Terapeutik
Antara Dokter Dan Pasien, Jurnal Hukum, Palembang: Unsri, 2017, hlm. 5.
38
Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Praktik Kedokteran.

Universitas Sumatera Utara


25

Pengaturan yang lebih teknis sebagai pedoman pelaksanaan Informed

Consent dalam pelayan medis diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 290

Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.39

Persetujuan dalam Informed Consent sebagaimana dimaksud diberikan

setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap sebagaimana yang dinyatakan

dalam Pasal 7 ayat (3) Permenkes 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan

Kedokteran, diantaranya:

a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;

b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;

c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;

d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan;

f. Perkiraan pembiayaan.

Peraturan mengenai Informed Consent apabila dijalankan dengan baik

antara dokter dan pasien akan sama-sama terlindungi secara hukum. Tetapi

apabila terdapat perbuatan diluar peraturan yang sudah dibuat tentu dianggap

melanggar hukum. Dalam pelanggaran Informed Consent telah diatur dalam Pasal

19 Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Dari sudut hukum pidana, Informed Consent harus dipenuhi dengan

adanya Pasal 351 KUHP, yaitu tentang penganiayaan. Suatu pembedahan yang

dilakukan tanpa izin pasien dapat disebut sebagai penganiayaan dan merupakan

pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP. Leenen memberikan contoh, apabila A

menusuk/menyayatkan pisau pada B sehingga timbul luka, maka tindakan tersebut


39
A.Y. Ramadianto, Op.Cit., hlm. 6-7.

Universitas Sumatera Utara


26

dapat disebut sebagai penganiayaan. Apabila A adalah seorang dokter, tindakan

itu tetap merupakan penganiayaan, kecuali:40

1. Pasien itu setuju dengan tindakan terhadap dirinya tersebut.

2. Tindak medis berupa pembedahan yang pada hakekatnya juga menyayat,

menusuk dan memotong tubuh pasien berdasarkan suatu indikasi medik dan

ditujukan untuk suatu tujuan yang nyata.

3. Tindak medis tersebut dilakukan sesuai dengan kaidah ilmu kedokteran yang

diakui dalam dunia kedokteran.

Ketiga syarat diatas harus dipenuhi semuanya (kumulatif) untuk

menghilangkan sifat bertentangan dengan hukum karena adanya Pasal 351 KUHP.

Ketiga syarat tersebut saling melengkapi dan berkaitan, sehingga Pasal 351

KUHP dapat dikenakan bila salah satu diantaranya tidak dipenuhi, terlupakan

ataupun terabaikan.41

B. Fungsi dan Tujuan Informed Consent

Fungsi dari Informed Consent adalah:42

1. Promosi dari hak otonomi perorangan;

2. Proteksi dari pasien dan subjek;

3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan;

4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan

introspeksi terhadap diri sendiri;

40
Chrisdiono M. Achadiat, Op.Cit., hlm. 39.
41
Ibid., hlm. 39.
42
J. Guwandi, Informed Consent dan Informed Refusal, Penerbit Fakultas Kedokteran UI,
2003, hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara


27

5. Promosi dari keputusan-keputusan rasional;

6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi

sebagai suatu nilai sosial dan mengadakan pengawasan dalam

penyelidikan biomedik.

Informed Consent menurut jenis tindakan/tujuannya dibagi tiga, yaitu:43

a. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi

subjek penelitian).

b. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis.

c. Yang bertujuan untuk terapi.

Tujuan dari Informed Consent menurut J. Guwandi adalah:44

a. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan

tanpa sepengetahuan pasien;

b. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat

yang tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of

treatment yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah

mengusahakan semaksimal mungkin dan bertindak dengan sangat

hati-hati dan teliti.

Dalam keadaan gawat darurat Informed Consent tetap merupakan hal yang

paling penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling

utama adalah tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun

Informed Consent tidak boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi

pelaksanaan emergency care sebab dalam keadaan kritis dimana dokter berpacu

43
Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirodihardjo, Jakarta, 2001, hlm. 45.
44
J. Guwandi, Rahasia Medis, Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 2005, hlm. 32.

Universitas Sumatera Utara


28

dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk menjelaskan sampai pasien

benar-benar menyadari kondisi dan kebutuhannya serta memberikan

keputusannya. Dokter juga tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu

kedatangan keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian

tidak menyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter

tetap harus melakukan tindakan medik. Hal ini dijabarkan dalam Permenkes No.

290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa dalam

keadaan emergency tidak diperlukan Informed Consent.45

Ketiadaan Informed Consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek

dokter, khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya.

Hukum yang umum diberbagai Negara menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan

Informed Consent setara dengan kelalaian. Akan tetapi, dalam beberapa hal,

ketiadaan Informed Consent tersebut setara dengan perbuatan kesengajaan,

sehingga derajat kesalahan dokter pelaku tindakan tersebut lebih tinggi. 46

C. Bentuk Informed Consent

Informed Consent merupakan persetujuan yang diberikan oleh pasien atau

walinya yang berhak kepada tenaga medis untuk melakukan suatu tindakan medis

terhadap pasien sesudah pasien atau wali itu memperoleh informasi lengkap dan

memahami tindakan itu. Dengan kata lain, Informed Consent disebut juga

45
Ratih Kusuma Wardhani, Tinjauan Yuridis Persetujuan Tindakan Medis (Informed
Consent) di RSUP DR. Kariadi, Tesis, 2009, hlm. 70.
46
Ibid., hlm. 70.

Universitas Sumatera Utara


29

persetujuan tindakan medis. Persetujuan (consent) dapat dibagi menjadi dua,

yaitu:47

1. Informed Consent yang dinyatakan secara tegas (Expressed)

a. Informed Consent yang dinyatakan secara lisan

Informed Consent dilakukan secara lisan apabila tindakan medis itu tidak

beresiko, misalnya, pada pemberian terapi obat dan pemeriksaan

penunjang medis. Sedangkan untuk tindakan medis yang mengandung

risiko, misalnya, pembedahan, Informed Consent dilakukan secara

tertulis dan ditandatangani oleh pasien.

b. Informed Consent yang dinyatakan secara tertulis

Informed Consent secara tertulis adalah bentuk yang paling tidak

diragukan. Namun, jika dilakukan secara lisan juga sah, kecuali ada

syarat hukum tertentu yang menuntut Informed Consent tertulis untuk

prosedur tertentu seperti diharuskan dengan adanya dua orang saksi.

Informed Consent dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam

tindakan medis yang bersifat invasive dan mengandung risiko, dokter diharuskan

mendapatkan persetujuan secara tertulis.48

2. Informed Consent yang dinyatakan secara diam-diam/tersirat (Implied)

Informed Consent juga dianggap ada, hal ini dapat tersirat pada gerakan

pasien yang diyakini oleh tenaga medis. Dengan anggukan kepala, maka tenaga

medis dapat menangkap isyarat tersebut sebagai tanda setuju. Atau pasien

membiarkan tenaga medis untuk memeriksa bagian tubuhnya, dengan pasien

47
Cecep Tribowo, Op.Cit., hlm. 78-79.
48
Amril Amri, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika, Jakarta, 1997, hlm. 31.

Universitas Sumatera Utara


30

menerima atau membiarkan/tidak menolak, maka tenaga medis menganggap hal

ini sebagai suatu persetujuan untuk dilakukan suatu pemeriksaan guna

mendapatkan terapi dari penyakitnya. Demikian pula, dalam hal persetujuan

tindakan medis yang dilakukan oleh pasien jika pasien telah menyetujui ataupun

tidak bertanya lebih lanjut tentang informasi dari tenaga medis, dianggap telah

mengerti penjelasan dari tenaga medis.49 Umumnya, implied consent diberikan

dalam keadaan normal, artinya dokter dapat menangkap persetujuan tindakan

medis tersebut dari isyarat yang diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula pada

kasus emergency sedangkan dokter memerlukan tindakan segera sementara pasien

dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada

ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan medis terbaik menurut dokter.50

Pendapat Mertokusumo, menyebutkan bahwa Informed Consent dari

pasien dapat dilakukan dengan cara antara lain:51 (1) dengan bahasa yang

sempurna dan tertulis; (2) dengan bahasa sempurna secara lisan; (3) dengan

bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan; (4) dengan

bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan; (5) dengan diam atau

membisu tetapi asal dipahami atau diterima oleh pihak lawan.

Pernyataan IDI tentang Informed Consent yang tertuang dalam Surat

Keputusan PB IDI No. 319/PB/A4/88 adalah:

1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya


menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter
tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan
kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
49
Cecep Tribowo, Op.Cit., hlm. 79.
50
Amril Amri, Op.Cit., hlm. 31.
51
Anny Isfandyarie, Malpraktek dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana, Prestasi
Pustaka Publisher, Jakarta, 2005, hlm. 58.

Universitas Sumatera Utara


31

2. Semua tindakan medis (diagnostik, terapeutik maupun palialif)


memerlukan Informed Consent secara lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar,
mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien,
setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang
perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan
persetujuan lisan atau sikap diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik
diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak
boleh, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat
merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat
memberi informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran
seorang perawat/paramedik lain sebagai saksi adalah penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang
direncanakan, baik diagnostik, terapeutik maupun paliatif. Informasi
biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis
(berkaitan dengan Informed Consent).

D. Prosedur Pelaksanaan Informed Consent

Hubungan antara dokter dan pasien seharusnya dipandang sebagai

hubungan antar manusia yang memiliki persamaan hak. Komalawati menyatakan

bahwa pada asasnya hubungan antara dokter dan pasien bertumpu pada dua

macam hak asasi yang merupakan hak dasar manusia, yaitu: Hak untuk

menentukan nasibnya sendiri (the right to self determination) dan Hak atas

informasi (the right to information).52 Hak-hak tersebut dalam pelayanan medis

terwujud dalam bentuk Informed Consent. Informed Consent terjadi setelah hak

atas informasi dan kemudian hak untuk memberikan persetujuan dari pasien atas

52
Veronica Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktek Kedokteran, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1989, hlm. 85.

Universitas Sumatera Utara


32

upaya dokter dan dokter gigi dalam memberikan pelayanan kesehatan telah

diberikan secara cukup.53

Informed Consent pada dasarnya merupakan suatu pemikiran bahwa

keputusan pemberian pengobatan terhadap pasien harus terjadi berdasarkan kerja

sama antara dokter dan pasien. Untuk dapat dilakukan tindakan medis tertentu,

baik berupa diagnostik maupun terapeutik, maka diperlukan Informed Consent

yang merupakan konstruksi dari persesuaian kehendak yang harus dinyatakan,

baik oleh dokter maupun pasien setelah masing-masing menyatakan kehendaknya

sehingga masing-masing telah menyatakan informasi secara timbal balik. Oleh

karena itu, Informed Consent diartikan sebagai persetujuan setelah informasi.54

Hakikat Informed Consent adalah juga untuk melindungi pasien dari segala

kemungkinan tindakan medis yang tidak disetujui atau tidak diijinkan oleh pasien

tersebut, sekaligus melindungi dokter (secara hukum) terhadap kemungkinan

akibat yang tak terduga dan bersifat negatif.55

Tindakan mendapatkan Informed Consent dari pasien dalam pelayanan

medis bukan merupakan suatu peristiwa tetapi merupakan suatu proses untuk

mencapai suatu tujuan akhir yaitu persetujuan dan pemberian otorisasi dari

pasien.56 Di dalam proses tersebut terdapat unsur-unsur yang perlu diperhatikan

dan harus dipenuhi agar pelaksanaan Informed Consent tersebut dapat diterima

53
Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter Yang
Diduga Melakukan Medikal Malpraktik, CV. Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm. 64.
54
Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik dalam Upaya Pelayanan Medis Di
Rumah Sakit, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 129.
55
Ibid., hlm. 141.
56
J. Guwandi, Informed Consent, FKUI, Jakarta, 2004, hlm. 4.

Universitas Sumatera Utara


33

baik secara moral dan hukum. Adapun unsur-unsur yang dimaksud pelaksanaan

Informed Consent adalah sebagai berikut:57

Kompetensi merupakan unsur pertama yang perlu diperhatikan dalam

pelaksanaan Informed Consent. Seorang pasien dikatakan kompeten apabila ia

dapat mengambil keputusannya atas dasar pertimbangan yang rasional. Ia sanggup

memahami prosedur, mempertimbangkan risiko dan manfaat, dan mengambil

keputusan sesuai dengan pemahamannya dan nilai-nilai serta tujuan-tujuan

pribadinya.58 Anak di bawah umur, pasien sakit jiwa, pasien yang tidak sadar,

pasien dengan kemampuan psikis yang terganggu dipandang sebagai orang yang

tidak kompeten dapat pula ditemukan pada pasien yang mengalami ketakutan atau

berada dalam kondisi emosional sehingga bisa saja dalam prakteknya pasien

dalam kondisi tersebut menolak menyetujui rencana tindakan medis yang telah

dijelaskan oleh dokter. Meski demikian, dokter tidak boleh terlalu cepat

menganggap pasien tidak kompeten semata karena pasien menolak pertimbangan

medis dokter. Dokter setuju atau tidak setuju dengan keputusan pasien tidak

menjadi kriteria untuk menilai kompetensi pasien. Bisa jadi penolakan timbul

karena nilai-nilai pribadi yang dianut oleh pasien dianggap lebih penting daripada

pertimbangan medis yang dikemukakan oleh dokter.59

Pada poin kedua dalam penjelasan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang

Praktek Kedokteran dinyatakan bahwa persetujuan tindakan medis dapat

dilakukan oleh bukan pasien apabila pasien berada di bawah pengampuan, pasien

anak-anak (belum dewasa), dan pasien tidak sadar. Berdasarkan ketentuan

57
A. Y. Ramadianto, Op.Cit., hlm. 9.
58
C.B. Kusmaryanto, Bioetika, Kompas, Jakarta, 2015, hlm. 35.
59
K. Bertens, Op.Cit., hlm. 134.

Universitas Sumatera Utara


34

tersebut maka dapat dipahami apabila terdapat suatu kondisi dimana pasien tidak

kompeten untuk memberikan persetujuan tindakan medis maka persetujuan harus

diberikan oleh wali yang menggantikan pasien (proxy consent). Pada poin ketiga

dalam penjelasan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Praktek Kedokteran

dijelaskan bahwa yang berhak mewakili pasien dalam hal pasien tidak kompeten

untuk memberikan Informed Consent adalah orang tua atau keluarga terdekat,

yaitu: orang tua sebagai wali anaknya di bawah umur, anak dewasa sebagai wali

suami. Apabila orang tua atau keluarga terdekat tidak hadir maka yang menjadi

wali adalah yang mengantar pasien.

Proxy consent dalam pelaksanaannya berlaku syarat yang sama, yaitu: wali

harus komopeten, memperoleh informasi secukupnya, memahami informasi

tersebut, dan secara bebas membuat keputusan berdasarkan penjelasan yang telah

diberikan. Namun, Bertens menyatakan bahwa perlu ditambahkan satu syarat

khusus dalam pelaksanaan proxy consent yaitu persetujuan yang diberikan oleh

wali harus semata demi kepentingan pasien, bukan demi kepentingan wali atau

pihak lain.60

Kebebasan sebagai unsur kedua dalam pelaksanaan Informed Consent

merupakan pra-syarat agar persetujuan tindakan medis dinilai sah. Pasien/walinya

dalam memberikan Informed Consent tidak boleh mendapatkan pemaksaan baik

langsung maupun tidak langsung. Kesediaan untuk memberikan persetujuan atas

pertimbangan medis dan tindakan medis yang akan dilakukan harus merupakan

kehendak dari pasien yang dinyatakan secara bebas. Namun, perlu dipahami pula

bahwa pasien/wali sebagai bagian dari masyarakat memiliki dan menjalani

60
Ibid., hlm. 141.

Universitas Sumatera Utara


35

kehidupan sosialnya. Maka dari itu tidak dipungkiri bahwa keputusan bebas yang

murni berasal dari diri sendiri hampir jarang ditemukan karena tidak menutup

kemungkinan pasien membuat keputusan karena dipengaruhi oleh nilai, nasihat,

anjuran, peringatan, dan bahkan prasangka yang ia temukan dalam kehidupannya

di masyarakat.61 Meskipun terdapat kenyataan tersebut dokter/dokter gigi tetap

harus mengedepankan kebebasan pasien untuk menentukan sendiri keputusannya.

Unsur ketiga dalam pelaksanaan Informed Consent ini adalah

penjelasan/informasi. Dokter/dokter gigi wajib memberikan penjelasan/informasi

mengenai hal-hal yang menyangkut masalah kesehatan yang dialami pasien

dengan benar dan jujur. Dinyatakan dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang

Praktek Kedokteran bahwa setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang

akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapatkan

persetujuan. lalu, pada Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Praktek Kedokteran

dinyatakan pula bahwa persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap. Adapun menurut

Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Praktek Kedokteran penjelasan yang diberikan

oleh dokter atau dokter gigi kepada pasien minimal mencakup tentang: Diagnosa

dan tata cara tindakan medis, Tujuan tindakan medis yang dilakukan, dan

Prognosis terhadap tindakan yang mungkin dilakukan. Mengenai

penjelasan/informasi ini juga diatur dalam Pasal 7 ayat (3) Permenkes No. 290

Tahun 2008 tentang Informed Consent. Dalam ketentuan tersebut

penjelasan/informasi apa saja yang harus disampaikan kepasa pasien/wali

61
Ibid., hlm. 135.

Universitas Sumatera Utara


36

sebagian besar sama dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Praktek

Kedokteran hanya saja terdapat satu poin tambahan yaitu perkiraan pembiayaan.62

Terdapat hal penting pula yang perlu diperhatikan dalam unsur informasi,

yaitu pemahaman informasi oleh pasien/walinya. Pemahaman informasi oleh

pasien/walinya merupakan hal yang penting karena Informed Consent menjadi

tidak sah apabila pasien/walinya memberikan persetujuan tanpa memahami

informasi yang diberikan oleh dokter.63 Pada Pasal 9 Permenkes No. 290 Tahun

2008 tentang Informed Consent dinyatakan bahwa penjelasan yang disampaikan

kepasa pasien harus diberikan secara lengkap dengan bahasa yang mudah

dimengerti atau dengan cara lain yang bertujuan untuk mempermudah

pemahaman. Berdasarkan pedoman tersebut maka merupakan kewajiban dokter

untuk menyampaikan informasi dengan bahasa sederhana, tidak terlalu banyak

menggunakan istilah dalam ilmu kedokteran, dan tidak berbelit-belit.

Endang Kusuma Astuti menyatakan bahwa apabila dalam pelaksanaan

Informed Consent tersebut pasien tidak mengajukan pertanyaan lebih lanjut

mengenai informasi yang telah diberikan oleh dokter maka dianggap pasien telah

memahami penjelasan tersebut.64 Namun, perlu dipahami bahwa pasien yang

datang untuk mendapatkan pelayanan dokter/dokter gigi memiliki karakteristik

yang beragam, termasuk itu tingkat pendidikan pasien. Dengan demikian,

merupakan hal yang sulit untuk menentukan apakah pasien benar-benar

memahami penjelasan/informasi yang telah disampaikan. Sikap diam pasien

setelah mendapatkan penjelasan bisa berarti bahwa pasien memahami atau tidak

62
A. Y. Ramadianto, Op.Cit., hlm. 12.
63
K. Bertens, Op.Cit., hlm 138.
64
Endang Kusuma Astuti, Op.Cit., hlm. 141.

Universitas Sumatera Utara


37

memahami penjelasan dari dokter tersebut.65 Oleh karena itu, apabila

dokter/dokter gigi telah mengetahui apabila pasien yang sedang dihadapinya

memiliki pendidikan yang rendah maka ada baiknya pemberian

penjelasan/informasi diulangi kembali dan dengan penjelasan yang tidak berbelit-

belit serta mudah dipahami apabila pemahaman pasien dianggap meragukan.

Unsur keempat adalah keputusan dan otorisasi yang diwujudkan dalam

tindakan pemberian pernyataan oleh pasien kepada dokter untuk melakukan

tindakan medis yang telah direkomendasikan oleh dokter. Keputusan yang

diberikan oleh pasien/wali setelah mendapatkan informasi dan rekomendasi dari

dokter. Dalam tahap ini dokter harus menghargai apapun keputusan pasien,

termasuk keputusan yang tidak sesuai dengan harapan dokter. Secara konkret,

khususnya di Indonesia, keputusan yang dibuat oleh pasien/wali merupakan

keputusan yang diambil bersama dengan keluarga dan kerabatnya serta bahkan

melibatkan dokternya (shared decision making). Bertens mengatakan bahwa

paham “pengambilan keputusan bersama” lebih realistik daripada keputusan yang

dibuat secara individual. Pengambilan keputusan secara bersama ini menunjukkan

pula adanya relasi kepercayaan antara pasien/walinya dengan dokter. 66

Pada Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Praktek Kedokteran menyatakan

bahwa persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik

secara tertulis maupun lisan. Informed Consent dinyatakan secara lisan apabila

tindakan medis itu memiliki risiko yang kecil, misalkan pada pemberian terapi

obat dan pemeriksaan penunjang medis. Selanjutnya, menurut Pasal 45 ayat (5)

65
A. Y. Ramadianto, Op.Cit., hlm. 13.
66
C. B. Kusmaryanto, Op.Cit., hlm. 130

Universitas Sumatera Utara


38

Undang-Undang Praktik Kedokteran setiap tindakan kedokteran atau kedokteran

gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis

yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Dengan

demikian, berdasarkan ketentuan tersebut maka setiap tindakan medis yang

mengandung risiko, seperti tindakan operasi/pembedahan, dibutuhkan persetujuan

secara tertulis. Dalam pernyataan otorisasi secara tertulis ini, tanda tangan dari

pihak yang berhak memberikan keputusan, pasien/wali, dilakukan pada formulir

Informed Consent. Formulir Informed Consent ini berisi pernyataan bahwa pasien

telah mendapatkan penjelasan/informasi dari dokter/dokter gigi dan pasien

memberikan persetujuannya secara sadar tanpa paksaan dari pihak manapun

terkait tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya. 67

Informed Consent ini kemudian akan didokumentasikan dalam rekam

medik. Rekam medik merupakan berkas berisi catatan dan dokumen tentang

pasien yang berisi identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, riwayat penyakit,

dan persetujuan pasien terhadap tindakan medik yang dilakukan atau yang disebut

Informed Consent.68 Rekam medik bertujuan menunjang tercapainya tertib

administrasi dalam rangka upaya peningkatan pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Berkas rekam medik memiliki nilai administrasi, karena isinya menyangkut

tindakan berdasarkan wewenang dan tanggung jawab sebagai tenaga medis dalam

mencapai tujuan pelayanan kesehatan. Selain itu, berkas rekam medik juga

memiliki nilai hukum, karena isinya menyangkut masalah adanya suatu

persetujuan terhadap tindakan selama dalam perawatan medik dan jaminan

67
Desriza Ratman, Op.Cit., hlm. 41.
68
Inna Noorinayati, http://innanoorinayati.blogspot.com/2011/12/tinjauan-aspek-hukum-
rekam-medis-dan.html?m=1, diakses pada tanggal 20 Oktober 2018, 14:30.

Universitas Sumatera Utara


39

kepastian hukum atas dasar keadilan, dalam rangka usaha untuk menegakkan

hukum serta penyediaan bahan bukti untuk menegakkan keadilan apabila pada

masa yang akan datang terjadi hal yang tidak diinginkan.69

Rekam medik harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter,

dokter gigi maupun pimpinan sarana kesehatan atau rumah sakit. Setiap dokter

atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan

kerahasiaan yang menyangkut riwayat penyakit pasien yang tertuang dalam rekam

medik. Rahasia kedokteran tersebut dapat dibuka hanya untuk kepentingan pasien

dalam permintaan aparat penegak hukum atau permintaan pasien sendiri.70

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, rahasia kedokteran

dalam hal ini isi rekam medik baru dapat dibuka bila diminta oleh hakim majelis

jika terjadi suatu tuntutan kasus mengenai kelalaian maupun malpraktik medik.

69
Kasenda Jeniffer, http://kasendajeniffer.blogspot.com/2017/09/rekam-medis-dan-
informed-consent.html?m=1, diakses pada tanggal 20 Oktober 2018, 14:50.
70
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

PENTINGNYA INFORMED CONSENT TERKAIT


PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KELALAIAN MEDIS

A. Pentingnya Informed Consent terkait Pertanggungjawaban Pidana

dalam Kelalaian Medis

1. Hubungan Informed Consent dengan Kelalaian Medis

Untuk dapat memahami hubungan Informed Consent dengan kelalaian

medis maka perlu dipahami dahulu pengertian Kelalaian Medis. Menurut teori

hukum pidana, kealpaan yang diartikan sebagai suatu macam kesalahan sebagai

akibat kurang hati-hati sehingga secara tidak sengaja mengakibatkan terjadinya

sesuatu tersebut dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu:71

1. Kealpaan ringan (culpa levissima)

2. Kealpaan berat (culpa lata)

Dalam hukum pidana, untuk menilai seseorang bertindak hati-hati atau

sebaliknya, adalah dengan memperbandingkan tindakan seseorang tersebut

dengan tindakan orang lain. Terdapat dua kategori orang lain yang dimaksud,

yaitu: (1) orang yang sekategori dengan seseorang yang dinilai tindakannya, dan

(2) orang yang memiliki kategori lebih. Apabila dalam situasi dan kondisi yang

sama, tindakan orang yang sekategori dengan seseorang yang dinilai tindakannya

tersebut sama dengan tindak seseorang yang dinilai, maka seseorang yang dinilai

tindakannya tersebut dinyatakan berhati-hati. Sebaliknya apabila tindakannya

berbeda, maka tindakan orang yang dinilai itu dinyatakan tidak berhati-hati.

71
Ari Yunanto dan Helmi, Op.Cit., hlm. 34.

40

Universitas Sumatera Utara


41

Tindakan seseorang yang dinilai tersebut termasuk kategori kealpaan besar (culpa

lata/grove schuld).72

Apabila dalam situasi dan kondisi yang sama, tindakan orang yang

memiliki kategori lebih dari seseorang yang dinilai tindakannya tersebut sama

dengan tindakan seseorang yang dinilai, maka seseorang yang dinilai tindakannya

tersebut dinyatakan berhati-hati. Sebaliknya apabila tindakan orang itu berbeda,

maka tindakan orang yang dinilai itu dinyatakan tidak berhati-hati. Tindakan

seseorang itu termasuk kategori kealpaan kecil (levisima culpa).73

Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan jika kelalaian

itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu

dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “De minimis noncurat lex,”

yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele. Akan tetapi,

jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan

merenggut nyawa orang lain, diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata),

serius dan kriminil.74 Dalam arti pidana (kriminil), kelalaian menunjukkan kepada

adanya suatu sikap yang sifatnya lebih serius, yaitu sikap yang sangat

sembarangan atau sikap sangat tidak hati-hati terhadap kemungkinan timbulnya

risiko yang bisa menyebabkan orang lain terluka atau mati sehingga harus

bertanggung jawab terhadap tuntutan kriminal oleh negara.75

Selanjutnya D. Veronica Komalawati memberikan pengertian akan

kesalahan profesional di bidang medis (medical malpractice), sebagai berikut :

72
Ibid., hlm. 34.
73
Ibid.
74
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Op.Cit., hlm. 98.
75
Ibid., hlm. 99.

Universitas Sumatera Utara


42

“…kesalahan dalam menjalankan profesi medis sesuai dengan standar profesi

medis, atau tidak melakukan tindakan medis menurut ukuran tertentu yang

didasarkan pada ilmu pengetahuan medis dan pengalaman yang rata-rata dimiliki

seorang dokter menurut situasi dan kondisi dimana tindakan medis itu

dilakukan.”76

Untuk memahami hakekat kesalahan dalam menjalankan profesi maka

harus dihadapkannya kepada kewajiban dalam menjalankan profesi. Sebab

kesalahan itu timbul karena adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan

oleh dokter.77 Oleh karena itu dokter sangat diharapkan untuk menjalankan

profesinya sesuai dengan standar profesi medis.

Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, ditegaskan bahwa seorang dokter

harus senantiasa mengingat kewajibannya melindungi hidup makhluk insani,

mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita.

Jika ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, ia wajib

merujuk penderita kepada dokter lain yang mempunyai keahlian dalam

menangani penyakit tersebut. Seorang dokter tidak dapat dianggap bertanggung

jawab atas suatu kegagalan untuk menyembuhkan pasien, cacat atau meninggal,

bilamana dokter telah melakukan segala upaya sesuai dengan keahlian dan

kemampuan profesionalnya. 78

76
D. Veronica K, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Sinar Harapan, Jakarta, 1989,
hlm. 120.
77
Mahardiyanto, Aspek Perdata Dalam Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Kedokteran
(Informed Consent) Di Sebuah Rumah Sakit, Skripsi, Depok: FH UI, 2010, hlm. 85.
78
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan (Pertanggungjawaban Dokter), PT. Rineka
Cipta, Jakarta, 2005, hlm. 42.

Universitas Sumatera Utara


43

Bertolak dari hal tersebut di atas, dapat dibedakan antara apa yang

dimaksud sebagai upaya yang baik dengan tindakan yang tidak bertanggung

jawab, lalai atau ceroboh. Artinya apabila seorang dokter telah melakukan segala

upaya, kemampuan, keahlian, dan pengalamannya untuk merawat pasien atau

penderita, dokter tersebut dianggap telah berbuat upaya yang baik dan telah

melakukan tugasnya sesuai dengan etika kedokteran. Sebaliknya, jika seorang

dokter tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau tidak meninggalkan hal-

hal yang seharusnya ditinggalkan oleh sesama dokter lain, pada umumnya di

dalam situasi yang sama, dokter yang bersangkutan dapat dikatakan telah

melanggar standar profesi medis.79

Menurut Koeswadji, standar profesi adalah niat atau iktikad baik dokter

yang didasari oleh etika profesinya, bertolak dari suatu tolak ukur yang disepakati

bersama oleh kalangan pendukung profesi. Wewenang untuk menentukan hal-hal

yang dapat dilakukan dan yang tidak dapat dilakukan dalam suatu kegiatan

profesi, merupakan tanggung jawab profesi itu sendiri.80 Ditinjau dari sudut

hukum kesehatan, standar pelayanan medis ini mempunyai tujuan ganda. Di satu

pihak bertujuan untuk melindungi masyarakat dari praktik-praktik yang tidak

sesuai dengan standar profesi medis, sedang di lain pihak bertujuan melindungi

anggota profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar. Di samping itu juga

berfungsi sebagai pedoman dalam pengawasan praktik dokter, pembinaan serta

peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien.81

79
Ibid.
80
Hermien Hadiati Koeswadji, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 104.
81
Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hlm. 43.

Universitas Sumatera Utara


44

Standar pelayanan medis ini merupakan hukum yang mengikat para pihak

yang berprofesi di bidang kesehatan, yaitu untuk mengatur pelayanan kesehatan

dan mencegah terjadinya kelalaian dalam melakukan tindakan medis.

Dilihat dari sudut hukum pidana, persoalan pokok yang menjadi titik taut

antara hukum kesehatan dengan hukum pidana ialah adanya kesalahan. Untuk

menentukan ada tidaknya kesalahan tersebut, terlebih dahulu harus dibuktikan

melalui pendekatan medik. Hal ini disebabkan karena pertanggungjawaban

seorang dokter dalam hukum pidana sangat erat kaitannya dengan usaha yang

dilakukan oleh seorang dokter, yaitu berupa langkah-langkah atau tindakan

terapeutik dan diagnostik yang diikat oleh lafal sumpah jabatan dan kode etik

profesi.82

Seorang dokter dapat dikatakan melakukan suatu kesalahan atau kelalaian

dalam menjalankan profesinya, apabila dia tidak memenuhi kewajibannya dengan

baik. Dalam praktiknya, seorang dokter yang berhadapan dengan pasien dalam

upayanya melakukan diagnosa dan terapi untuk penyembuhan, didasarkan pada

kemampuan tertinggi yang dimilikinya.

Dalam pandangan hukum, pasien adalah subjek hukum mandiri yang

dianggap dapat mengambil keputusan untuk kepentingan dirinya. 83 Dalam

hubungan pasien dan dokter diantaranya memiliki hak dan kewajiban masing-

masing yang diatur dalam Pasal 52 dan 53 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran.

82
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga University Press,
Surabaya, 1984, hlm, 3.
83
Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hlm. 31.

Universitas Sumatera Utara


45

Pada Pasal 52, tentang hak pasien disebutkan bahwa dalam menerima

pelayanan pada praktik kedokteran, pasien mempunyai hak:

1. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medik

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);

2. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medik;

4. Menolak tindakan medik;

5. Mendapatkan isi rekam medik.

Dalmy Iskandar menyebutkan rincian hak dan kewajiban pasien, yang

antara lain adalah sebagai berikut:84

Hak-hak pasien, yaitu:

1. Hak memperoleh pelayanan kesehatan yang manusiawi sesuai standar

profesi.

2. Hak memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter

yang bertanggung jawab terhadap perawatannya.

3. Menolak keikutsertaan dalam penelitian kedokteran.

4. Kerahasiaan atas catatan medisnya.

5. Hak untuk dirujuk kalau diperlukan.

6. Hak memperoleh penjelasan tentang penelitian kliniknya.

7. Hak memperoleh perawatan lanjutan dengan informasi tentang

nama/alamat dokter selanjutnya.

8. Hak berhubungan dengan keluarga, rohaniwan, dan sebagainya.

84
Dalmy Iskandar, Op.Cit., hlm. 66.

Universitas Sumatera Utara


46

9. Hak mendapatkan penjelasan tentang perincian rekening (perawatan,

obat, pemeriksaan laboratorium, rontgen, USG, biaya kamar bedah,

imbalan jasa, dan sebagainya).

10. Hak memperoleh penjelasan tentang peraturan-peraturan rumah sakit.

11. Hak menarik diri dari kontrak terapeutik.

Mengenai kewajiban pasien, Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran Pasal 53 menyebutkan bahwa pasien, dalam menerima

pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai kewajiban sebagai berikut:

1. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah

kesehatannya;

2. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;

3. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan

4. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterimanya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pasien, dikatakan bahwa Informed

Consent sangat perlu dilaksanakan karena pasien maupun keluarga terdekat harus

mengetahui secara detail mengenai tindakan medik yang akan dilakukan oleh

dokter dan demi melindungi pihak pasien jika terjadi sesuatu yang tidak

diinginkan.85

Dalam melakukan praktik kedokteran, dokter juga memiliki hak dan

kewajiban dalam hubungannya dengan pasien. Hak dan kewajiban yang esensial

diatur dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Selain itu masih ada hak dan kewajiban umum lain yang juga mengikat dokter.

85
Hasil wawancara dengan pasien Farah Hilda Fuad Lubis di Komplek Puri Tj. Sari No.
28 pada hari Kamis, 8 November 2018.

Universitas Sumatera Utara


47

Suatu tindakan yang dilakukan dokter secara material tidak bersifat melawan

hukum apabila memenuhi syarat-syarat berikut secara kumulatif: tindakan itu

mempunyai indikasi medik dengan tujuan perawatan yang sifatnya kongkret;

dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran;

serta diizinkan oleh pasien. Dua norma yang pertama timbul karena sifat tindakan

tersebut sebagai tindakan medik. Adanya izin pasien merupakan hak dari pasien.

Hak tersebut menyebabkan timbulnya kelompok norma-norma yang lain, yaitu

norma untuk menghormati hak-hak pasien sebagai individu dan norma yang

mengatur agar pelayanan kesehatan dapat berfungsi di dalam masyarakat untuk

kepentingan orang banyak, yang dalam hal ini adalah pasien sebagai anggota

masyarakat.86

Pasal 50 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

menyebutkan hak dokter dalam menjalankan tugas profesinya. Dokter atau dokter

gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak:

1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai


dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
2. Melakukan praktik kedokteran sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional;
3. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya;
4. Menerima imbalan jasa.

Sedangkan Pasal 51 tentang kewajiban dokter dalam Undang-Undang

yang sama menyebutkan bahwa dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan

praktik kedokteran mempunyai kewajiban untuk:

86
Ari Yunanto dan Helmi, Op.Cit., hlm. 22-23.

Universitas Sumatera Utara


48

1. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar


operasional;
2. Merujuk ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan;
3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan
juga setelah pasien itu meninggal dunia;
4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila
ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.
Dalam Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan

Tindakan Kedokteran juga terdapat kewajiban dokter terhadap pasien bahwa

semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat

persetujuan.87 Dihubungkan dengan masalah Informed Consent maka mengenai

kewajiban memberikan informasi kepada pasien serta kewajiban meminta

persetujuan pasien untuk suatu tindakan kedokteran tertentu merupakan kewajiban

yang harus dilakukan oleh dokter.

Kewajiban untuk melaksanakan Informed Consent oleh dokter ini akan

menimbulkan sanksi apabila kewajiban ini dilalaikan. Sanksi ini diberikan kepada

dokter karena ia telah melakukan kesalahan dalam menjalankan profesi

kedokterannya. Pada banyak kasus malpraktek kedokteran maupun kelalaian

medis di Indonesia maka sebagian besar disebabkan oleh karena ketiadaan

informasi yang cukup dari dokter kepada pasiennya tentang tindakan kedokteran

yang akan dilakukan dokter. Sehingga pasien tidak mempnyai keterangan atau

informasi yang cukup dan dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan

memberi persetujuan atau tidak memberi persetujuan kepada dokter.

87
Pasal 2 ayat (1) Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran.

Universitas Sumatera Utara


49

2. Informed Consent terkait Pertanggungjawaban Pidana

Pada Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan

Tindakan Kedokteran Pasal 17 ayat (1), yaitu pelaksanaan tindakan kedokteran

yang telah mendapatkan persetujuan menjadi tanggung jawab dokter ataupun

dokter gigi yang melakukan tindakan medik. Apabila pasien merasa tidak puas

dengan hasil tindakan yang dilakukan oleh dokter, maka pasien dapat meminta

pertanggungjawaban kepada dokter yang diduga memberikan surat keterangan

palsu berdasarkan KUHP Pasal 267 ayat (1).

Di Indonesia dikenal tiga pertanggungjawaban pidana yaitu Strict

Liability, Vicarious Liability, dan Direct Liability Doctrine. Strict Liability adalah

pertanggungjawaban pidana yang didasarkan pada undang-undang atau diartikan

sebagai pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan. Vicarious Liability adalah

pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan

orang lain. Sedangkan, Direct Liability Doctrine adalah hanya perbuatan pejabat

senior yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi.88

Selain tiga teori tersebut juga terdapat pengaturan pertanggungjawaban

pidana dalam KUHP Pasal 359 menyatakan bahwa barangsiapa karena

kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan

pidana penjara paling lama lima tahun, dan Pasal 360 ayat (1) Barangsiapa karena

kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka berat, diancam

dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan selama satu

tahun, ayat (2) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan

88
Appendycta Lucky Pratama, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaksanaan
Presume Consent Oleh Dokter Kepada Pasien Kegawatdaruratan, Skipsi, Malang: FH UB, 2013,
hlm. 16.

Universitas Sumatera Utara


50

orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan

menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam

dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling

lama enam bulan.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa seseorang tidak mungkin akan

dimintai pertanggungjawaban pidana jika tidak melakukan perbuatan pidana.

Kaitannya dengan tindakan kedokteran adalah dokter memiliki kewajiban untuk

melaksanakan Informed Consent terhadap pasien sebelum terjadinya suatu

tindakan medis dan pasien memiliki hak untuk mengetahui informasi tentang

dirinya dan memberi keputusan terhadap dirinya sendiri. Apabila dokter tidak

melaksanakan Informed Consent sebelum mengambil tindakan, maka dianggap

melakukan kelalaian. Soedjatmiko menyatakan bahwa, melakukan tindakan tanpa

disertai persetujuan tindakan medis merupakan salah satu keadaan yang dapat

menyebabkan terjadinya tuntutan malpraktek pidana karena kelalaian atau

kecerobohan.89

Oleh karena itu, Informed Consent sangat penting untuk dilakukan agar

menghindari kesalahpahaman antara kedua belah pihak dokter dan pasien.

Dengan telah diinformasikannya tindakan medik yang akan dilakukan oleh

dokter, maka selanjutnya pasien dapat mempergunakan haknya untuk memilih,

menyetujui atau menolak tindakan medis yang dimaksud.90 Dalam hal pasien

telah memilih salah satu terapi dalam mengupayakan kesembuhannya dan

menyetujui terapi yang berupa tindakan medis tertentu, yang dipilihnya

89
Anny Isfandyarie, Op.Cit., hlm. 57.
90
Ibid., hlm. 60.

Universitas Sumatera Utara


51

berdasarkan informasi yang lengkap dan akurat, maka pasien tidak dapat lagi

menyalahkan dokter. Karena tindakan medis tertentu yang akan diambil itu telah

mendapatkan persetujuan sesuai dengan kemandiriannya tanpa adanya pengaruh

dari luar dirinya.91

Informed Consent memang sangat perlu dilaksanakan, pasien harus

mengetahui tindakan apa saja yang akan dilakukan oleh dokter, risiko yang akan

dihadapi, dan segala kemungkinan yang akan terjadi. Oleh karena apabila pihak

pasien sudah menerima persetujuan dan sepakat, maka apabila terjadi suatu risiko

apapun pihak pasien dan keluarga sudah harus terima dan tidak bisa melakukan

tuntutan selama dokter melaksanakan tindakannya sesuai dengan standar

operasionalnya, Informed Consent tersebut dapat menjadi pegangan untuk bukti

bahwa pasien dan dokter sudah melakukan kesepakatan.92

Namun dinyatakan dalam Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008

tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 6 bahwa, pemberian persetujuan

tindakan kedokteran tidak menghapuskan tanggung gugat hukum dalam hal

terbukti adanya kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang

mengakibatkan kerugian pada pasien. Oleh karena itu pihak pasien yang merasa

dirugikan memiliki hak untuk menuntut dokter yang melakukan kesalahan atau

kelalaian meskipun sudah terlaksananya Informed Consent terlebih dahulu

apabila memang dokter tidak melakukan tindakannya sesuai dengan standar

profesi medis dan atau standar operasionalnya.

91
Ibid., hlm. 61.
92
Hasil wawancara dengan drg. Abdul Agustiar di Klinik Pratama Kimia Farma, Tebing
Tinggi pada hari Selasa, 6 November 2018.

Universitas Sumatera Utara


52

B. Pihak-Pihak Yang Bertanggung jawab Dalam Kelalaian Medis

Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 2 KUHP, disebutkan bahwa

“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap

orang yang melakukan suatu delik di Indonesia.” Perumusan pasal ini menentukan

bahwa setiap orang yang berada dalam wilayah hukum Indonesia, dapat

dimintakan pertanggungjawaban pidana atas kesalahan yang dibuatnya.

Berdasarkan pada ketentuan itu, profesi dokter tidak terlepas dari ketentuan pasal

tersebut.

Meskipun hukum pidana mengenal adanya penghapusan pidana dalam

pelayanan kesehatan, yaitu: alasan pembenar dan alasan pemaaf sebagaimana

halnya yang terdapat di dalam yurisprudensi, namun tidak serta merta alasan

pembenar dan pemaaf tersebut menghapus suatu tindak pidana bagi profesi

dokter.93 Dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan hukum pidana maupun

yurisprudensi telah mengakui adanya alasan penghapusan pidana yang tidak

tertulis. Hal ini merupakan perkembangan baru yang diajarkan oleh ilmu hukum

dan yurisprudensi. Perkembangan ini merupakan ketentuan hukum yang hidup,

oleh karenanya dapat dikualifikasi sebagai suatu alasan penghapusan pidana yang

tidak tertulis.94

Moeljanto, membagi alasan penghapusan pidana menjadi alasan pembenar

dan alasan pemaaf. Pada alasan pembenar, yang dihapus adalah sifat “melanggar

hukum” dari suatu perbuatan, sehingga yang dilakukan oleh terdakwa menjadi

suatu perbuatan yang patut dan benar. Pada alasan pemaaf yang dihapus adalah

93
Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hlm. 74.
94
Oemar Senoadji, Peradilan Bebas: Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1985, hlm. 82.

Universitas Sumatera Utara


53

kesalahan terdakwa, perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap dipandang

sebagai perbuatan yang melanggar hukum, akan tetapi tidak dipidana karena tidak

ada kesalahan.95 Dengan demikian bagi seorang dokter yang melakukan

perawatan, jika terjadi penyimpangan terhadap suatu kaidah pidana, sepanjang

dokter yang bersangkutan melakukannya dengan memenuhi standar profesi dan

standar kehati-hatian, dokter tersebut masih tetap dianggap telah melakukan

peristiwa pidana, hanya saja tidak dikenakan suatu pidana, jika memang terdapat

alasan yang khusus untuk itu, yaitu alasan penghapusan pidana.96

Pada dasarnya seorang dokter baru dihadapkan ke pengadilan jika sudah

timbul kerugian bagi pihak pasien. Kerugian itu timbul akibat adanya pelanggaran

kewajiban di mana sebelumnya telah dibuat suatu persetujuan. meskipun

kewajiban dokter tidak secara rinci dimuat dalam kontrak terapeutik, namun

kewajiban seorang dokter sudah tercakup dalam standar pelayanan medis.

Sedangkan standar pelayanan medis itu dibuat berdasarkan hak dan kewajiban

dokter, baik yang diatur dalam kode etik maupun dalam perundang-undangan.97

Pada Pasal 52 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran, disebutkan bahwa salah satu hak pasien adalah memperoleh

informasi tentang tindakan medik. Hak informasi di sini dapat diartikan sebagai

hak untuk memperroleh informasi mengenai semua tindakan medis serta

akibatnya, baik informasi itu diberikan secara lisan maupun tertulis. Secara luas

informasi medis dapat diartikan sebagai hal ikhwal yang menyangkut tindakan

medis yang akan diambil atas diri pasien.


95
Moeljanto R, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bina
Aksara,Jakarta, 1983, hlm. 137.
96
Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hlm. 75-76.
97
Ibid., hlm. 79.

Universitas Sumatera Utara


54

Dalam kaitannya dengan ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 58

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, persetujuan/rekam medik

sangat penting. Hal ini disebabkan gugatan ganti rugi langsung tanpa melalui

prosedur pidana menghadapi banyak kendala, seperti kesulitan memperoleh bukti-

bukti baik oleh pasien maupun keluarganya. Sedangkan melalui perkara pidana

untuk membuktikan adanya culpa lata bukan merupakan pekerjaan yang mudah

bagi penuntut umum. Dalam kondisi seperti ini, sesuai dengan hukum pembuktian

dalam perkara pidana Pasal 184 KUHAP tentang Alat Bukti, maka persetujuan

tindakan kedokteran atau Informed Consent sangat menentukan, karena dari

Informed Consent yang diajukan sebagai alat bukti dapat diketahui terapi apa

yang dilakukan terhadap pasien, sudah sesuai dengan standar profesi medis atau

tidak sesuai. Dari Informed Consent dapat pula diketahui apakah dalam

melakukan diagnosa atau terapi medis, dokter sudah bekerja sesuai dengan apa

yang disetujui pasien. Sehingga dengan demikian hakim dapat menentukan

apakah dokter dapat dipersalahkan atau tidak.98

Sejalan dengan itu, Koeswadji menyebutkan bahwa salah satu jalan

reliabel untuk meyakinkan bahwa setiap orang memperhatikan apa yang

diinformasikan secara lengkap dan akurat mengenai pelayanan kesehatan ini ialah

dengan cara membuat rekaman tertulis. Suatu rekam medik kesehatan yang baik

membantu perawatan pasien secara profesional, di samping memberikan refleksi

mengenai kualitas, mutu, derajat perawatan atau pelayanan kesehatan, rekam

98
Ibid., hlm. 81.

Universitas Sumatera Utara


55

medik yang tertulis itu merupakan kunci dalam suatu proses peradilan baik

perdata maupun pidana.99

Dalam hal keadaan gawat darurat, tindakan Life Saving adalah hal yang

sangat vital bagi seorang pasien yang dalam keadaan gawat darurat. Pada saat

memberikan tindakan medik kepada pasien kegawatdaruratan dokter memiliki

kewenangan penuh atas upaya pertolongan, tetapi dokter juga harus mematuhi dan

dapat mempertanggungjawabkan kewenangan tersebut dengan cara

mengoptimalkan tindakan dan lebih terbuka terhadap segala tindakan yang telah

dilakukan dokter terhadap pasien. Agar hubungan antara dokter dengan pasien

dapat terjalin secara harmonis untuk mendapatkan hasil yang maksimal. 100

Sedangkan menurut Permenkes No. 29 Tahun 2008 tentang Persetujuan

Tindakan Kedokteran, yaitu dengan membuat rekam medik yang nantinya akan

diberikan kepada pasien ketika pasien sudah dalam keadaan sadar. Dan sebagai

bukti bahwa hak pasien dalam mendapatkan rekam medik terpenuhi. Dalam hal

ini dokter dapat dimintai pertanggungjawaban. Tujuan dari sebuah profesi adalah

memenuhi tanggung jawabnya dengan standar profesionalisme tinggi sesuai

dengan bidangnya, mencapai tingkat yang tinggi dengan orientasi kepada

kepentingan masyarakat. Di dalam Anggaran Dasar IDI Pasal 8 dikatakan bahwa

IDI merupakan organisasi profesi kedokteran nasional. IDI merupakan himpunan

dokter-dokter di Indonesia, yang tujuannya adalah mengembangkan pengetahuan

dan teknologi kedokteran, serta meningkatkan derajat. IDI merupakan satu-

99
Hermien Hadiati Koeswadji, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1992, hlm. 146.
100
Appendycta Lucky Pratama, Op.Cit., hlm. 13-14.

Universitas Sumatera Utara


56

satunya organisasi profesi yang diakui oleh Undang-Undang No. 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran.

Pengajuan keberatan terhadap tindakan medik selalu diawali dengan

mengajukan kepada Rumah Sakit . Setelah itu semua keberatan dianalisis melalui

Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Karena semua dokter ada dalam naungan IDI, oleh

sebab itu semua keberatan tersebut harus melalui IDI guna mengetahui seberapa

besar kesalahan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien. Apabila dokter

tersebut memang melakukan kesalahan saat dalam tindakan medik, maka dokter

pihak IDI akan mencabut surat ijin praktik dokternya. Setelah itu dokter dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum.101

Dokter tidak boleh menjanjikan kepada pasien akan kesembuhan penyakit

yang dialami oleh pasien, dokter hanya mengupayakan penyembuhan secepatnya,

karena setiap tindakan medik pasti ada risiko yang terjadi. Mengenai

pertanggungjawaban semua harus sesuai dengan yang sudah disepakati yaitu

menggunakan jalur kepada IDI dahulu, untuk mendapatkan solusi yang terjadi

pada suatu kasus yang dihadapi oleh dokter terhadap kesalahan yang telah

dilakukan oleh dokter. Apabila terbukti telah melakukan kesalahan maka IDI akan

mencabut surat ijin praktik dan selanjutnya di selesaikan secara hukum. 102

Seorang dokter yang terbukti melakukan kesalahan maka dapat dikenakan

Pasal 351, 359, dan 360 KUHP, bila kesalahan dilakukan dengan sangat tidak

berhati-hati (culpa lata).

101
Hasil wawancara dengan drg. Abdul Agustiar di Klinik Pratama Kimia Farma, Tebing
Tinggi pada hari Selasa, 6 November 2018.
102
Appendycta Lucky Pratama, Op.Cit., hlm. 15.

Universitas Sumatera Utara


57

Pasal 359 KUHP menyatakan bahwa:

“Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati,

diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan

paling lama satu tahun.”

Selanjutnya, Pasal 360 KUHP menyatakan bahwa:

(1) “Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain

mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima

tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”

(2) “Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain

luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan

menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu,

diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana

kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu

lima ratus rupiah.”

Penyelesaian selanjutnya secara hukum melalui persidangan pidana yaitu

pasien ataupun keluarganya dapat melaporkan dokter ke polisi apabila dalam

pelaksanaan praktiknya dokter tersebut telah melakukan tindakan malpraktik

kedokteran yang dapat dikualifikasikan merupakan suatu perbuatan yang

melanggar ketentuan dalam KUHP antara lain: kelalaian menyebabkan kematian

(Pasal 359), kelalaian menyebabkan luka berat (Pasal 360), dan lain-lain.

Semakin maraknya pengaduan masyarakat terhadap tindakan malpraktik

kedokteran yang sering diberitakan media masa apabila dicermati umumnya

merupakan tindakan kelalaian oleh dokter pada saat melakukan praktik

Universitas Sumatera Utara


58

kedokteran yang menyebabkan orang lain menderita luka-luka (cacat) dan

meninggal dunia sebagaimana diatur dalam Pasal 359 dan 360 KUHP.

Atas dasar pengaduan tersebut nantinya Polisi akan melakukan

penyelidikan guna menentukan pengaduan tersebut merupakan suatu tindak

pidana. Setelah penyidikan sudah dilakukan dan ditemukan bahwa itu merupakan

suatu tindak pidana barulah Polisi melakukan tindakan penyidikan dengan tujuan

untuk mengumpulkan bukti-bukti, saksi-saksi yang berkaitan dengan tindak

pidana tersebut dan untuk menemukan tersangka yang melakukan tindak pidana

tersebut. Setelah bukti-bukti terkumpul maka penyidik (Polisi) akan menuangkan

kedalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kemudian menyerahkannya kepada

Penuntut Umum (Jaksa) untuk dipelajari dan diteliti kelengkapannya. BAP

tersebut nantinya akan menjadi dasar bagi Penuntut Umum untuk membuat surat

dakwaan oleh karena itu apabila Penuntut Umum merasa BAP belum lengkap

dapat dikembalikan lagi ke penyidik untuk dilengkapi. Apabila Penuntut Umum

menilai bahwa BAP tersebut telah lengkap maka Penuntut Umum akan membuat

surat dakwaan dan dilanjutkan ke tahap penuntutan yang merupakan penyerahan

perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya pada Hakim dengan

permohonan agar Hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana

terdakwa tersebut.103

Berdasarkan proses dari penyidikan sampai dengan pelimpahan perkara

oleh Penuntut Umum terhadap tindakan malpraktik kedokteran peran serta pasien

tidaklah banyak karena yang aktif untuk mencari fakta-fakta dan bukti-bukti

103
Benny L H Hutahaean, Pertanggungjawaban Dokter Yang Melakukan Tindakan
Malpraktik, Skripsi, FH USU, Medan, 2009, hlm. 90.

Universitas Sumatera Utara


59

adanya tindakan malpraktik adalah pihak penyidik (Polisi) dan Penuntut Umum

(Jaksa) oleh karenanya dibutuhkan aparat hukum yang betul-betul memahami

tentang hukum kesehatan dan hukum pidana, karena jangan sampai terjadi dokter

yang diduga telah melakukan tindakan malpraktik kedokteran tidak sampai

diperiksa karena penyidik menganggap itu bukan merupakan tindak pidana, tidak

cukup bukti, Penuntut Umum mendakwakan pasal yang salah terhadap

terdakwa.104

Pemeriksaan perkara di Pengadilan Pidana selalu mengarah kepada upaya

untuk mencari kebenaran materil, artinya kebenaran yang sesungguhnya. Oleh

karena itu Hakim dalam persidangan pidana lebih aktif dalam mencari dan

menggali fakta-fakta yang ditemukan selama proses persidangan jika

dibandingkan Hakim perdata yang hanya bertindak pasif dalam arti hanya

berdasarkan fakta-fakta yang diberikan oleh pihak yang bersengketa. Pembuktian

tindakan malpraktik di Pengadilan Pidana merupakan upaya untuk mencari

kepastian yang layak melalui pemeriksaan dan penalaran hukum tentang benar

tidaknya peristiwa itu terjadi dan mengapa peristiwa itu terjadi. Jadi tujuan

pembuktian ini adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran materil, bukan

mencari kesalahan terdakwa.

Bentuk tindakan malpraktik kedokteran yang sering diberitakan media

masa mayoritas merupakan tindakan kelalaian yang menyebabkan orang lain

menderita luka-luka (cacat) ataupun meninggal dunia sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 359 dan 360 KUHP. Dalam pemeriksaan pengadilan pidana agar

104
Ibid., hlm. 91.

Universitas Sumatera Utara


60

dokter dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 359 dan 360 maka Penuntut

Umum harus dapat membuktikan adanya unsur-unsur sebagai berikut:

1. Adanya unsur kesalahan dan kelalaian dokter dalam menjalankan

praktek kedokteran;

2. Adanya wujud perbuatan tertentu (tindakan-tindakan medik yang

dilakukan oleh dokter);

3. Adanya akibat terhadap pasiennya seperti luka berat ataupun matinya

pasien;

4. Adanya hubungan kausal bahwa luka berat atau kematian tersebut

merupakan akibat dari perbuatan dokter yang mengobati pasien yang

tidak sesuai dengan standar profesi kedokteran.

Berdasarkan Pasal 183 KUHAP hakim dapat menjatuhkan pidana dengan

syarat ada dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim yang diperoleh dari dua

alat bukti tersebut atau sistem pembuktian menurut teori “negative wetelijk”,

karena menggabungkan antara unsur keyakinan hakim dan unsur alat-alat bukti

yang sah menurut Undang-Undang. Berdasarkan Pasal 184 KUHAP yang dapat

digunakan sebagai alat bukti yang sah adalah:

a. Keterangan saksi

Berdasarkan Pasal 1 butir 26 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat

memberikan keterangan tentang suatu perkara pidana yang ia langgar

sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan saksi ini

menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP merupakan salah satu dari alat bukti

dalam perkara. Untuk menggunakan keterangan saksi sebagai alat bukti

diperlukan paling sedikit 2 orang saksi, karena satu saksi bukanlah

Universitas Sumatera Utara


61

saksi. Dalam kasus ini, beberapa saksi yang dapat diajukan di dalam

persidangan pidana antara lain saksi korban, dokter anestesi dan

perawat yang turut dalam tindakan operasi. Keluarga penderita tidak

dapat dijadikan saksi karena mereka termasuk memiliki hubungan

keluarga/semenda sampai derajat ketiga dengan terdakwa yang dilarang

menjadi saksi berdasarkan Pasal 168 KUHAP dengan pengecualian

Pasal 169 KUHAP.

b. Keterangan Ahli

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang

berkeahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang

suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Seorang dokter

yang sederajat keahliannya dapat diajadikan pemberi keterangan ahli

dan dalam penunjukannya akan lebih baik apabila berkonsultasi dengan

IDI. Mereka termasuk dalam kelompok yang memiliki keahlian khusus

dalam bidang tertentu seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 1 butir 28,

Pasal 120, dan Pasal 179 ayat (1) KUHAP. Keterangan ahli pada kasus

ini diperlukan untuk membuat suatu perkara pidana malpraktik tersebut

menjadi lebih terang dan jelas.

c. Alat Bukti Surat

Dalam hal ini Informed Consent dan atau rekam medik penderita

selama menjalani perawatan di sarana kesehatan dapat dijadikan alat

bukti surat, karena dibuat berdasarkan Undang-undang Praktik

Kedokteran yaitu Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran. Dari Informed Consent dan atau rekam medik ini akan

Universitas Sumatera Utara


62

dapat dilihat apa saja yang dilakukan dokter selama operasi berlangsung

dari laporan operasi yang dibuat oleh dokter.

d. Alat Bukti Petunjuk

Alat bukti petunjuk merupakan alat bukti berupa perbuatan, kejadian

atau keadaan, yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan

yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan telah

terjadi suatu tindak pidna dan siapa pelakunya.

e. Keterangan Terdakwa

Keterangan terdakwa merupakan pernyataan terdakwa tentang

perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia

alami sendiri. Keterangan dokter yang melakukan tindakan medik dapat

diajdikan alat bukti yang kebenarannya dapat dicocokkan dengan rekam

medik termasuk di dalamnya Informed Consent.

Tujuan dari upaya hukum dengan cara mengadukan dokter kepada polisi

hingga akhirnya diperiksa pengadilan pidana yang dilakukan oleh pasien selain

untuk menuntut agar dokter yang melakukan kesalahan di berikan pidana sebagai

bentuk pertanggungjawaban pidana, pasien juga dapat menuntut ganti rugi dengan

cara penggabungan perkara gugatan ganti kerugian yang diatur dalam Pasal 98-

101 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.

Beberapa hal yang harus diperhatikan apabila pasien juga ingin melakukan

penggabungan perkara ganti kerugian dalam pengadilan pidana antara lain:

1. Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu

pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan

kerugian bagi orang lain, maka Hakim Ketua siding atas permintaan

Universitas Sumatera Utara


63

orang itu dapat mentapkan untuk menggabungkan perkara gugatan

ganti kerugian kepada perkara pidana itu (Pasal 98 ayat (1) KUHAP);

2. Yang dimaksud dengan “kerugian bagi orang lain” termasuk kerugian

pihak korban, yang bila perkara gugatan ini digabungkan dengan

perkara pidana, maka penggabungan perkara ini dapat diperiksa dalam

waktu yang sama oleh Hakim dan diputus sekaligus bersama dengan

perkara pidana yang bersangkutan;

3. Permintaan ganti kerugian tersebut hanya dapat diajukan selambat-

lambatnya sebelum Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana. Bila

Penuntut Umum tidak hadir permintaan diajukan selambat-lambatnya

sebelum Hakim menjatuhkan putusan (Pasal 98 ayat (2) KUHAP);

4. Dalam hal penggabungan perkara gugatan dari pihak yang dirugikan

dengan perkara pidana tersebut diajukan ke pengadilan negeri, maka

pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili

gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang

hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang

dirugikan tersebut;

5. Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan

hukum tetp, apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum

tetap (Pasal 99 ayat (3) KUHAP).

Secara yuridis semua kasus terkait tindakan kedokteran dapat diajukan ke

pengadilan pidana maupun perdata sebagai malpraktik untuk dilakukan

pembuktian berdasarkan standar profesi kedokteran dan Informed Consent. Bila

dokter terbukti tidak menyimpang dari standar profesi kedokteran dan sudah

Universitas Sumatera Utara


64

memenuhi Informed Consent, maka ia tidak dapat dipidana atau diputuskan bebas

membayar ganti kerugian.105

C. Beberapa Contoh Kasus Kelalaian Medis

Hubungan yang terjadi antara pasien dan dokter dalam suatu praktik

kedokteran merupakan hubungan yang berdasarkan kepercayaan. Pasien menaruh

kepercayaan kepada dokter karena mempunyai ilmu pengetahuan, keahlian dan

keterampilan untuk menyembuhkan penyakit pasien atau setidak-tidaknya

meringankan beban penderitaan pasien. Dokter juga dipercaya akan bertindak

dengan teliti dan sesuai dengan standar profesi kedokteran.

Akan tetapi kepercayaan masyarakat tersebut semakin tidak dipertahankan

oleh kalangan dokter, hal ini dapat dilihat dari maraknya berita tentang malpraktik

kedokteran khususnya kelalaian medis. Beberapa contoh kasus kelalaian medis

antara lain:

1. Kasus dr. Soedirman Soekin, seorang dokter spesialis Telinga Hidung

dan Tenggorokan (THT) yang melakukan kesalahan dalam tindakan

operasi terhadap Novares, seorang pasien anak laki-laki berumur 6

(enam) tahun di RS Mitra Kemayoran, Jakarta. Novares menderita

penyakit kaku tulang pendengaran bagian kiri yang dapat disembuhkan

dengan cara dioperasi. Akan tetapi, dokter mengoperasi telinga bagian

kanan. Kesalahan operasi yang dijalankan oleh dokter di RS Mitra

Kemayoran itu baru diketahui setelah dokter bertemu dengan keluarga

pasien. Pihak keluarga pasien kemudian melaporkan tindakan dokter


105
Indra Bastian Suryono, Op.Cit., hlm. 87-88.

Universitas Sumatera Utara


65

tersebut ke Polisi dan bergulir hingga ke Pengadilan. Dokter spesialis

THT tersebut oleh Jaksa Penuntut Umum didakwa melanggar Pasal

360 jo 361 KUHP. Jerat pertama mengancam seseorang yang karena

kesalahannya menyebabkan orang lain menderita luka berat maksimal

lima tahun penjara. Jerat kedua adalah pemberatan hukuman jika

perbuatan pertama tadi dilakukan dalam suatu jabatan atau mata

pencaharian.106

Dalam pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, seorang

perawat bernama Eva mengatakan bahwa dr. Soedirman Soekin sempat

memeriksa kembali rekam medis sebelum melakukan operasi namun

tidak melakukan ricek dan juga tidak menanyakan perihal telinga pasien

lebih jelas. Oleh karenanya, Jaksa Penuntut Umum menegaskan, karena

salah operasi dokter spesialis THT tersebut dianggap menyebabkan

orang lain terluka karena kelalaiannya.107

2. Kasus dugaan malpraktik dr. Dewa Ayu Sasiary Prawarni, Sp. OG dan

kawan-kawannya di RSUP Kandou Malalayang, Manado terhadap

pasien bernama Siska Makatey. Dalam putusan, majelis hakim tingkat

kasasi menemukan kesalahan yang dilakukan dr. Dewa Ayu dan dua

rekannya yaitu tidak mempertimbangkan hasil rekam medis dari

Puskesmas yang merujuk Siska Makatey. Rekam medis itu menyatakan

saat pasien masuk RSUP Kandou keadaan pasien lemah dan status

penyakitnya adalah berat. Kesalahan kedua, sebelum menjalankan

operasi darurat kelahiran atau cito secsio sesaria, ketiga dokter tersebut
106
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18167/salah-operasi-dokter-tht-jadi-
terdakwa, diakses pada tanggal 20 November 2018, 17:21.
107
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


66

tidak pernah menyampaikan kepada keluarga pasien setiap risiko dan

kemungkinan yang akan terjadi, termasuk kematian. Kesalahan ketiga,

para dokter melakukan kelalaian yang menyebabkan udara masuk ke

dalam bilik kanan jantung pasien atau disebut emboli. Hal itu

menghambat aliran darah yang masuk ke paru-paru hingga terjadi

kegagalan fungsi jantung pada pasien. Dalam dakwaannya Jaksa

menjabarkan sebelum melaukan operasi, dokter tidak melakukan

pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan jantung dan foto rontgen

dada. Padahal sebelum pasien dibius, tekanan darah pasien cukup

tinggi. Pemeriksaan jantung baru dilakukan pasca-operasi dilaksanakan.

Dari pemeriksaan itu disimpulkan, Siska mengalami kelainan irama

jantung. Pasca-operasi, denyut nadi Siska mencapai 180 kali per-menit.

Hal itu pertanda bahwa pada jantung pasien terjadi kegagalan akut

karena terjadi emboli, yaitu penyumbatan pembuluh darah oleh suatu

bahan, seperti darah, air, ketuban, udara, lemah, atau trombus.

Kemudian Jaksa juga menjelaskan dalam dakwaan bahwa tanda tangan

pasien yang tertera dalam Informed Consent berbeda dengan tanda

tangan pasien dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kartu askesnya.

Salah satu dari ketiga dokter telah melakukan pemalsuan tanda tangan

pasien. Majelis kasasi menilai bahwa dengan diabaikannya aspek

Informed Consent termasuk dalam kelalaian seorang dokter dalam

melakukan tindakan medis dan kesalahan lainnya juga memiliki

hubungan sebab dan akibat atas meninggalnya pasien bernama Siska

Makatey. dr. Dewa Ayu dan dua rekannya terbukti melakukan

Universitas Sumatera Utara


67

kesalahan seperti diatur dalam Pasal 359 KUHP dan dijatuhi hukuman

10 bulan penjara.108

3. Kasus dugaan malpraktik dr. Heryani Parewasi, Sp. OG, salah satu

dokter di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Anutapura Palu,

dianggap lalai dalam melaksanakan tugasnya dan mengakibatkan pasien

Nur Indah Restuwati yang meninggal akibat pendarahan setelah

menjalani operasi. Dalam dakwaan terdakwa, pasien Nur Indah

Restuwati masuk rumah sakit dalam keadaan hamil dan ditangani oleh

dr. Heryani Parewasi tersebut. Sejak pasien masuk di RSUD Anutapura,

tidak pernah dilakukan pemeriksaan awal terhadap pasien sebelum

dilakukan operasi. Kemudian dalam melakukan operasi kepada pasien

diajukan surat persetujuan tindakan medis atau yang disebut Informed

Consent yang didalamnya hanya akan dilakukan dua tindakan medis

yaitu sesar dan ikat kandungan. Namun pada saat operasi, juga

dilakukan tindakan medis lainnya, yaitu kuretase tanpa adanya

persetujuan dari pihak pasien dan keluarga. Akibat tindakan tersebut,

menyebabkan pendarahan aktif hingga pasien Nur Indah Restuwati

meninggal dunia.109 Diketahui Jaksa Penuntut Umum, menuntut pidana

penjara 1 tahun kepada dr. Heryani Parewasi terdakwa malpraktik di

RSUD Anutapura tersebut yang menyebabkan pasien meninggal dunia.

Atas dasar terdakwa bersalah melanggar Pasal 359 KUHP jo 361

108
Melkifo Rafles Unso, http://melkifounso.blogspot.com/2017/11/analisis-tindakan-
tidak-berintegritas.html, diakses pada tanggal 21 November 2018, 20:45.
109
Redaksi Harian Mercusuar, https://mercusuar.web.id/pekan-depan-terdakwa-jalani-
sidang-putusan/, diakses pada tanggal 22 November 2018, 13:48.

Universitas Sumatera Utara


68

KUHP.110 Namun pada akhir putusan, Majelis Hakim Pengadilan

Negeri Palu membebaskan terdakwa dugaan malpraktik dari tuntutan

Jaksa Penuntut Umum. Berdasarkan fakta-fakta persidangan, guna

menyelamatkan pasien dan bayinya, terdakwa selaku Dokter

Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) sudah melakukan pemeriksaan

hingga tindakan medis berisiko berupa operasi sesar dan ikat kandung

yang telah disetujui suami pasien. Saat operasi sesar dan ikat

kandungan dilakukan, bayi pasien berhasil dikeluarkan dalam keadaan

selamat. Namun setelah itu ditemukan gangguan berupa pendarahan

hebat pada plasenta yang melekat di dinding rahim pasien, kemudian

dilakukan tindakan kuretasi karena keadaan yang urgensi. Oleh karena

tindakan tersebut dilakukan dalam keadaan urgensi maka Majelis

Hakim PN Palu menyatakan terdakwa tidak terbukti bersalah

sebagaimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa

dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum.111

Berdasarkan beberapa contoh kasus kelalaian medis diatas dapat

memberikan gambaran bahwa sekecil apapun kesalahan yang dilakukan oleh

seorang dokter dalam melakukan tindakan medis dapat menyebabkan akibat yang

sangat fatal terhadap pasiennya. Dalam setiap tindakan medis yang dilakukan oleh

dokter memang melekat risiko yang dapat membahayakan pasiennya akan tetapi

dalam hal terjadi kesalahan sehingga membawa akibat yang buruk terhadap

pasiennya dan dokter tidak bisa bersembunyi dibalik risiko medis tersebut.

110
http://radarsultengonline.com/2018/05/31/dugaan-malpraktik-dr-heriyani-menangis-
bacakan-pembelaan-pribadinya/, diakses pada tanggal 22 November 2018, 14:07.
111
https://media.alkhairaat.id/dr-heryani-bebas-dari-tuntutan-malpraktik/, diakses pada
tanggal 22 November 2018, 14:18.

Universitas Sumatera Utara


69

Aspek yang sangat penting yaitu bahwa dalam setiap tindakan medis yang

dilakukan oleh seorang dokter, harus didasarkan kepada Informed Consent dan

harus adanya transaksi terapeutik terlebih dahulu. Dengan adanya peraturan

Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, maka

peraturan tersebut menjadi aturan pelaksanaan dalam setiap tindakan medis yang

berhubungan dengan persetujuan dan pemberian informasi terhadap setiap

tindakan medis.112 Peraturan tersebut menyebutkan bahwa setiap tindakan medis

harus ada persetujuan dari pasien yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Permenkes

No. 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran yang berbunyi,

“Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus

mendapat persetujuan.”

Adanya pengaturan mengenai Informed Consent yang terdapat dalam

Permenkes No. 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran tersebut

juga diperkuat dengan adanya Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran yang terdapat pada Pasal 45 ayat (1) sampai (6), yang berbunyi:

Pasal 45 ayat (1): Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan

dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus

mendapat persetujuan.

(2): Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan

setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.

(3): Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang

kurangnya mencakup:

112
Melkifo Rafles Unso, Op.Cit., diakses pada tanggal 22 November 2018, 21:00.

Universitas Sumatera Utara


70

a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;

b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;

c. alternatif tindakan lain dan risikonya;

d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

(4): Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat

diberikan baik secara tertulis maupun lisan.

(5): Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang

mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan

tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan

persetujuan.

(6): Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran

atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat

(2), ayat (30), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan

Menteri.

Dari pembuktian tersebut, aspek Informed Consent dan adanya transaksi

terapeutik merupakan dasar seorang dokter untuk melakukan suatu tindakan

medis. Dengan diabaikannya aspek Informed Consent dan transaksi terapeutik

maka dalam ajaran ilmu hukum pidana, hal tersebut termasuk dalam kelalaian

seorang dokter dalam menjalankan suatu tindakan medis. Untuk dapat

dipidananya seorang dokter yang melakukan suatu tindakan medis tanpa didahului

oleh aspek Informed Consent maka pihak yang berwenang harus dapat

membuktikannya. Tanpa adanya aspek Informed Consent dalam suatu tindakan

Universitas Sumatera Utara


71

medis, maka hal tersebut dapat masuk dalam elemen kesalahan yang dimaksudkan

didalam KUHP sebagai suatu tindak pidana.113

Namun dalam hal gawat darurat, tindakan penyelamatan terhadap pasien

lebih diutamakan tanpa harus mendapat persetujuan dari pihak pasien maupun

keluarga terlebih dahulu. Berdasarkan hasil wawancara dengan pasien, pihak

pasien maupun keluarga terdekat menyatakan setuju jika dalam keadaan darurat

lebih baik melakukan tindakan medik terlebih dahulu karena pihak pasien maupun

keluarga terdekat memiliki keyakinan bahwa dokter akan melakukan tindakan

yang terbaik, kemudian setelah selesai dilakukannya tindakan medik barulah

dilaksanakan Informed Consent.114

Dinyatakan dalam Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan

Tindakan Kedokteran Pasal 4 ayat (1) “Dalam keadaan gawat darurat, untuk

menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan

persetujuan tindakan kedokteran; (2) Keputusan untuk melakukan tindakan

kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan oleh dokter atau

dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik; (3) Dalam hal dilakukannya

tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi

wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien

sadar atau kepada keluarga terdekat.

Informed Consent dalam setiap tindakan kedokteran harus dilaksanakan

atau diupayakan untuk dilaksanakan karena Informed Consent merupakan

legalitas dari suatu tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien.

113
Melkifo Rafles Unso, Op.Cit., diakses pada tanggal 22 November 2018, 21:04.
114
Hasil wawancara dengan pasien Muhammad Garin Geliga di Jl. Enggang 1 No.27
Perumnas Mandala pada hari Kamis , 8 November 2018.

Universitas Sumatera Utara


72

Namun dalam keadaan darurat (urgent), demi penyelamatan nyawa pasien, dokter

berhak mengambil tindakan tanpa persetujuan pihak keluarga pasien. Dokter

memiliki kewenangan melakukan tindakan tanpa izin pihak keluarga pasien dalam

hal keadaan darurat.115 Pada saat memberikan tindakan medis kepada pasien

kegawatdaruratan dokter memiliki kewenangan penuh atas upaya pertolongan,

tetapi dokter juga harus mematuhi dan dapat mempertanggungjawabkan

kewenangan tersebut dengan cara mengoptimalkan tindakan dan lebih terbuka

terhadap segala tindakan yang telah dilakukan dokter terhadap pasien pada saat

pasien telah sadar maupun terhadap keluarga terdekat pasien.

115
Hasil wawancara dengan dr. Muhammad Fakhrur Rozi di Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara pada hari Selasa, 6 November 2018.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian hasil pembahasan terhadap materi yang terkandung

dalam skripsi ini, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengaturan Informed Consent dalam tindakan medis di Indonesia.

a. Diatur dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran.

b. Diatur dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan.

c. Pengaturan yang lebih teknis diatur dalam Peraturan Menteri

Kesehatan No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan

Kedokteran.

d. Dari sudut hukum pidana, Informed Consent harus dipenuhi

dengan adanya Pasal 351 KUHP, yaitu tentang penganiayaan.

Suatu pembedahan yang dilakukan tanpa izin dapat disebut sebagai

penganiayaan dan akibat kelalaian yang tercantum dalam Pasal 359

dan 360 KUHP.

2. Informed Consent sangat penting dilaksanakan sebelum terjadinya

suatu tindakan medis. Bagi pihak pasien Informed Consent dapat

melindungi pasien dari segala kemungkinan tindakan medis yang tidak

disetujui atau tidak diijinkan oleh pasien, sedangkan bagi pihak dokter

Informed Consent dapat melindungi dokter secara hukum terhadap

73

Universitas Sumatera Utara


74

kemungkinan akibat yang tak terduga dikemudian hari. Apabila

Informed Consent tidak dilaksanakan maka dokter dianggap

melakukan kelalaian medis dan dapat menyebabkan terjadinya

tuntutan malpraktik pidana karena kelalaian. Namun dalam hal gawat

darurat Informed Consent tidak diperlukan, seperti yang dinyatakan

dalam Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan

Kedokteran.

B. SARAN

1. Menurut penulis dengan telah adanya aturan-aturan baku yang telah

dibuat yang mana aturan tersebut dibuat adalah bertujuan untuk

menjamin keselamatan, keamanan dan kesejahteraan dunia medis,

maka menurut penulis alangkah baiknya kepada pihak-pihak yang

berkecimpung di dunia medis kiranya untuk dapat mematuhi dan

melaksanakan aturan-aturan yang berlaku tersebut sehingga dapat

terciptalah keteraturan dan ketertiban di dalam dunia medis di

Indonesia.

2. Bagi pihak dokter dan pasien diharapkan untuk menjalankan Informed

Consent sesuai dengan prosedur pelaksanaannya demi untuk

melindungi pihak dokter maupun pasien apabila terjadi hal-hal yang

tidak diinginkan dan agar menghindari para pihak dari kemungkinan

adanya kerugian.

Universitas Sumatera Utara


Daftar Pustaka

A. Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum,


Jakarta.
Amri, Amril, 1997, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika,
Jakarta.
Arief, Barda Nawawi, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Astuti, Endang Kusuma, Transaksi Terapeutik dalam Upaya Pelayanan
Medis Di Rumah Sakit, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Bertens, K., 2013, Etika Edisi Revisi, Kanisius, Yogyakarta.
Chrisdiono M. Achadiat, 2006, Dinamika Etika & Hukum Kedokteran
dalam Tantangan Zaman, EGC, Jakarta.
Desriza Ratman, 2013, Aspek Hukum Informed Consent Dan Rekam Medis
Dalam Transaksi Terapeutik, Keni Media, Bandung.
Emily Jackson, 2018, Medical Law (Text, Cases, and Materials), Second
Edition, Oxford University, United Kingdom.
Guwandi, J., 1994, Kelalaian Medik(Medical Negligence), Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
, 2005, Rahasia Medis, Penerbit Fakultas Kedokteran UI,
Jakarta.
Hanafiah, M. Jusuf dan Amri Amir, 2009, Etika Kedokteran & Hukum
Kesehatan, EGC, Jakarta.
Hermien Hadiati Koeswadji, 1998, Hukum Kedokteran (Studi Tentang
Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu
Pihak), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Isfandyarie, Anny, 2005, Malpraktek dan Resiko Medik dalam Kajian
Hukum Pidana, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.
Iskandar, Dalmy, 1998, Rumah Sakit, Tenaga Kesehatan, dan Pasien,
Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Koeswadji, Hermien Hadiati, 1992, Beberapa Permasalahan Hukum dan
Medik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
, 1984, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga
University Press, Surabaya.
Komalawati, Veronica, 1999, Peranan Informed Consent Dalam
Transaksi Terapeutik, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung.

75

Universitas Sumatera Utara


76

, 1989, Hukum dan Etika dalam Praktek


Kedokteran, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Machmud, Syahrul, 2008, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum
Bagi Dokter Yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktik, CV.
Mandar Maju, Bandung.
Mertokusumo, Soedikno, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),
Liberty, Yogyakarta.
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Nasution, Bahder Johan, 2005, Hukum Kesehatan (Pertanggungjawaban
Dokter), PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
R, Moeljanto, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam
Hukum Pidana, Bina Aksara,Jakarta.
Senoadji, Oemar, 1985, Peradilan Bebas: Negara Hukum, Erlangga,
Jakarta.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, 2013, Penelitian Hukum Normatif-
Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta.
Soemitro, Ronitijo Hanitijo, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan
Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Supranto, J., 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta.
Suryono, Indra Bastian, 2011, Penyelesaian Sengketa Kesehatan, Salemba
Medika, Jakarta.
Veronica Komalawati, 1999, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi
Terapeutik, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Veronica K, D., 1989, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Sinar
Harapan, Jakarta.
Yunanto, Ari dan Helmi, 2010, Hukum Pidana Malpraktik Medik, C.V
Andi Offset, Yogyakarta.

B. Karya Ilmiah

Irma Permata Asri, 2009, Pelaksanaan Perjanjian Tindakan Kedokteran


(Informed Consent) Antara Pihak Rumah Sakit dengan Pasien
Melahirkan di Bagian Kamar Bersalin RSUD Dr. Moewardi
Surakarta, Skripsi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Universitas Sumatera Utara


77

Haryani Octaria dan Wen Via Trisna, 2016, Pelaksanaan Pemberian


Informasi dan Kelengkapan Informed Consent di RSUD
Bangkinang, Jurnal Kesehatan Komunitas.
Mahardiyanto, 2010, Aspek Perdata Dalam Pelaksanaan Persetujuan
Tindakan Kedokteran (Informed Consent) Di Sebuah Rumah
Sakit, Skripsi, Depok: FH UI.
Pratama, Appendycta Lucky, 2013, Pertanggungjawaban Pidana
Terhadap Pelaksanaan Presume Consent Oleh Dokter Kepada
Pasien Kegawatdaruratan, Skipsi, Malang: FH UB.
Ramadianto, A.Y., 2017, Informed Consent Sebagai Persetujuan Dalam
Kontrak Terapeutik Antara Dokter Dan Pasien, Jurnal Hukum,
Palembang: Unsri.
Wardhani, Ratih Kusuma, 2009, Tinjauan Yuridis Persetujuan Tindakan
Medis (Informed Consent) di RSUP DR. Kariadi, Tesis.

C. Perundang – Undangan

Undang – Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.


Undang – Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

D. Internet

Inna Noorinayati, http://innanoorinayati.blogspot.com/2011/12/tinjauan-


aspek-hukum-rekam-medis-dan.html?m=1, diakses pada tanggal
20 Oktober 2018, 14:30
Kasenda Jeniffer, http://kasendajeniffer.blogspot.com/2017/09/rekam-
medis-dan-informed-consent.html?m=1, diakses pada tanggal 20
Oktober 2018, 14:50.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18167/salah-operasi-
dokter-tht-jadi-terdakwa, diakses pada tanggal 20 November
2018, 17:21.
http://radarsultengonline.com/2018/05/31/dugaan-malpraktik-dr-heriyani-
menangis-bacakan-pembelaan-pribadinya/, diakses pada tanggal
22 November 2018, 14:07
https://media.alkhairaat.id/dr-heryani-bebas-dari-tuntutan-malpraktik/,
diakses pada tanggal 22 November 2018, 14:18.

Universitas Sumatera Utara


78

Melkifo Rafles Unso, http://melkifounso.blogspot.com/2017/11/analisis-


tindakan-tidak-berintegritas.html, diakses pada tanggal 21
November 2018, 20:45.
Redaksi Harian Mercusuar, https://mercusuar.web.id/pekan-depan-
terdakwa-jalani-sidang-putusan/, diakses pada tanggal 22
November 2018, 13:48.
E. Wawancara

Agustiar, Abdul interview, 2018, “Interview of Informed Consent and


Medical Negligence”, Jl. Sutomo 10, Tebing Tinggi.
Fakhrur Rozi, Muhammad interview, 2018, “Interview of Informed
Consent and Medical Negligence”, FK USU, Medan.
Garin Geliga, Muhammad interview, 2018, “Interview of Informed
Consent and Medical Negligence”, Medan.
Hilda Lubis, Farah interview, 2018, “Interview of Informed Consent and
Medical Negligence”, Medan.

Universitas Sumatera Utara


79

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai