Anda di halaman 1dari 112

KEDUDUKAN DALIHAN NA TOLU DALAM PERKAWINAN ADAT

BATAK TOBA (STUDI DI KECAMATAN SIANTAR TIMUR, KOTA


PEMATANG SIANTAR)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar


Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

CHRISTINA ADE CITRA SITORUS


NIM :140200373

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN


PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

NAMA : CHRISTINA ADE CITRA SITORUS


NIM : 140200373
DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN (BW)
JUDUL SKRIPSI : KEDUDUKAN DALIHAN NA TOLU DALAM
PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA (STUDI DI
KECAMATAN SIANTAR TIMUR, KOTA PEMATANG
SIANTAR)

Dengan ini menyatakan:


1. Skripsi yang saya tulis ini adalah benar tidak merupakan jiplakan dari skripsi
atau karya ilmiah orang lain.
2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah jiplakan, maka segala
akibat hukum maupun sanksi dari Universitas akan menjadi tanggung jawab
saya.

Demikian pernyataan ini saya perbuat dengan sebenar-benarnya tanpa ada paksaan
atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, Agustus 2018

CHRISTINA ADE CITRA S


NIM :140200373

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas perkenanan dan kasih-Nya

yang telah menolong penulis menyelesaikan perkuliahan selama ini terkhusus

dalam pengerjaan penelitian skripsi yang berjudul “KEDUDUKAN DALIHAN

NA TOLU DALAM PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA (STUDI DI

KECAMATAN SIANTAR TIMUR, KOTA PEMATANG SIANTAR)”.

Adapun salah satu tujuan dari disusunnya skripsi ini adalah untuk

melengkapi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Universitas

Sumatera Utara. Skripsi ini cakupannya terfokus pada Hukum Perkawinan yang

berlaku di Indonesia, khususnya mengenai perkawinan yang dilaksanakan

menurut hukum adat Batak Toba.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada :

1. Prof.Dr.Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara ;

2. Prof.Dr.OK.Saidin, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara ;

3. Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara ;

4. Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara ;

5. Dr. Rosnidar Sembiring,SH, M.Hum selaku Ketua Departemen

Hukum Keperdataan sekaligus Pembimbing I yang telah sabar

Universitas Sumatera Utara


memberikan bimbingan selama proses penyusunan skripsi ini, terima

kasih untuk segala nasehat dan saran-saran yang diberikan untuk

penulis ;

6. Maria Kaban, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah

sabar memberikan bimbingan selama proses penyusunan skripsi ini,

terima kasih untuk segala nasehat dan saran-saran yang diberikan

untuk penulis ;

7. Terima kasih kepada para Dosen, serta Staff Administrasi di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini ;

8. Seluruh staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara, terkhusus Kak Fitri dan Ibu Juhaida yang bertugas di

Departemen Keperdataan BW yang telah banyak membantu penulis

dalam mengurus berkas perkuliahan selama ini;

9. Yang terkasih Sihar Jovich Situmorang yang telah memberikan

semangat yang luar biasa dalam menyusun skripsi ini ;

10. Sahabat-sahabatku terkasih yang sama-sama berjuang dari semester 1

hingga saat ini yang tergabung dalam “The Lawak’s Club”, yaitu

Chris Agave Valentin Berutu, Yunita Octavia Siagian, Nadya Putri

Karoza Ginting, Yahya Ziqra, Nanda Lucya Gultom, Luthfiya Nazla

Marpaung, Yana Armaretha Pinayungan, dan Johan Silalahi.

Terimakasih banyak kusampaikan kepada kalian yang telah setia

mendampingi dan membantuku selama perkuliahan ini terkhusus

dalam penulisan skripsi ini, semoga kita semua bisa tetap solid yaaa!!!

ii

Universitas Sumatera Utara


11. Teman-temanku terkasih, yaitu : Edgar Hozea Saragi, Boy Sandro

Hutasoit, Santo Johannes Siregar, Elisabeth Aurora Silalahi, Franto

Bitmen Pardede, Fernando Gultom, Fransisca Laura Monica Sinaga,

Angreyni Pratiwi Putri, Winnie Kesuma Negara Hasibuan, Listya

Arafah dan teman-temanku yang lain yang tidak bisa disebutkan satu-

persatu. Terimakasih karena selalu memberi semangat selama

pembuatan skripsi ini.

12. Kelompok Kecilku terkasih, SHION terkhusus kepada Kakak PKK

ku, yaitu : Sylvia Sinuhaji, SH, yang telah mengajariku dan

mendekatkanku kepada Dia, Sang Juruslamat . Dan juga saudara-

saudariku terkasih yang sama-sama bertumbuh di dalam-Nya, yaitu :

Chris Agave Valentin Berutu, Irene Manik, Rame Liza Hutasoit, dan

Riris. Semoga kita tetap bertumbuh di dalam Kristus dan maafkan

ketidak-hadiranku selama kita kelompok.

13. Keluarga Besar Unit Kegiatan Mahasiswa Kebaktian Mahasiswa

Kristen Unit Pelayanan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(UKM KMK UP FH USU) ;

14. Seluruh teman-teman yang tergabung dalam Grup D stambuk 2014

semangat buat skripsinya dan sukses ke depannya ;

15. Seluruh teman-teman yang tergabung dalam Departemen Perdata BW

Fakultas Hukum USU 2014 yang juga sedang berjuang dalam

penyusunan skripsi ;

16. Rekan-rekan mahasiswa/i, Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara;

17. Rekan-rekan diluar kampus yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

iii

Universitas Sumatera Utara


Terkhusus kepada kedua orang tua penulis, yaitu alm. Bapak Drs. Belman

Sitorus yang baru saja dipanggil Yang Maha Kuasa, akan tetapi turut andil dalam

pencarian judul skripsi penulis dan Ibu terkasih Julita Rostaria Sinurat,S.Pd. Serta

saudara kandung penulis, yaitu adik Christian Imanuel Sitorus yang selalu

menemani dan mendukungku serta memotivasiku dan saudari sepupu saya yang

berada di Jakarta tetapi tetap mendukung dan tidak lupa selalu menyemangati

penulis yaitu kakak Rafika Febrina Sitorus. Keluarga yang senantiasa ada dalam

suka dan duka penulis, sekaligus sebagai semangat dan motivasi terbesar penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, hanya Tuhan yang

dapat membalas kebaikan kalian.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua.

Medan, Agustus 2018

Penulis

iv

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK
Christina Ade Citra Sitorus*
Rosnidar Sembiring**
Maria Kaban***

Masalah perkawinan adalah masalah yang penting bagi semua manusia,


karena perkawinan merupakan satu-satunya cara sampai saat ini untuk
melanjutkan keturunan yang sah dihadapan hukum adat maupun hukum nasional.
Masyarakat adat Batak, tepatnya yang menganut suku Batak Toba dalam
melaksanakan perkawinan mengenal dua cara yaitu meminang dan tanpa
meminang, akan tetapi perkawinan yang sah menurut hukum adat Batak Toba
apabila dilakukan dengan peminangan terlebih dahulu. Dalihan Na Tolu memiliki
peran dalam upacara perkawinan adat masyarakat Batak Toba yang dilaksanakan
setelah adanya proses peminangan sebelumnya. Salah satu daerah terbesar di
Sumatera Utara yang masih melaksanakan perkawinan menggunakan adat Batak
Toba dan menjadikannya suatu keharusan adalah kecamatan Siantar Timur, Kota
Pematang Siantar. Adapun permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini
pertama, Tata cara perkawinan adat Batak Toba di Kecamatan Siantar Timur,
Kota Pematang Siantar, kedua, peranan atau kedudukan Dalihan Na Tolu dalam
upacara perkawinan adat Batak Toba di Kecamatan Siantar Timur, Kota Pematang
Siantar, ketiga, akibat hukum yang timbul dari perkawinan adat Batak Toba di
Kecamatan Siantar Timur, Kota Pematang Siantar.
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
metode pendekatan yuridis empiris, yaitu metode penelitian yang dilakukan
dengan dengan melakukan penelitian secara langsung untuk memperoleh data
pada kenyataan yang sebenarnya yaitu yang terdapat di kota Pematang Siantar,
Sumatera Utara, untuk selanjutnya dihubungkan dengan ketentuan hukum yang
berlaku atau dengan kata lain mengkaji hukum secara sosiologis.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa bagi masyarakat
adat Batak Toba, bahwa perkawinan yang dianggap sah dan dapat diterima oleh
masyarakat adat Batak Toba adalah perkawinan yang dilaksanakan dengan
peminangan terlebih dahulu kemudian barulah dapat dilanjutkan dengan proses
atau tata cara yang sudah diatur dalam hukum adat Batak Toba. Perkawinan yang
dilaksanakan dengan peminangan terlebih dahulu berarti mengikut-sertakan
perangkat Dalihan Na Tolu dalam pelaksanaannya. Peran dari unsur Dalihan Na
Tolu yaitu Hula-hula, Boru dan Dongan Tubu ini sangat penting karena selain
membantu tenaga, juga berperan membantu dalam hal materi untuk pelaksanaan
pesta perkawinan adat. Dengan telah melaksanakan perkawinan yang sempurna
menurut hukum adat Batak Toba maka timbul jugalah hak dan kewajiban yang
akan diterima oleh suami, istri, anak serta harta yang dimiliki.
Kata Kunci: Dalihan Na Tolu, Perkawinan Batak Toba, Perkawinan Batak
Toba di Pematang Siantar.

*Mahasiswa Fakultas Hukum USU Stambuk 2014


**Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU
***Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
ABSTRAK ........................................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vi
GLOSARIUM ...................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah............................................................................ 12
C. Tujuan Penulisan ................................................................................ 12
D. Manfaat Penulisan .............................................................................. 13
E. Metode Penelitian............................................................................... 13
F. Keaslian Penulisan ............................................................................. 15
G. Sistematika Penulisan......................................................................... 16

BAB II TATA CARA PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA ................. 18


A. Sebelum upacara perkawinan ............................................................. 19
B. Upacara adat perkawinan .................................................................. 31
C. Setelah upacara perkawinan ............................................................... 38

BAB III PERANAN ATAU KEDUDUKAN DALIHAN NA TOLU DALAM


PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA .......................................... 41
A. Pengertian dan Unsur Dalihan Na Tolu .................................................... 41
1. Pengertian Dalihan Na Tolu......................................................... 41
2. Unsur-unsur Dalihan Na Tolu ...................................................... 55
B. Kedudukan Dalihan Na Tolu di dalam masyarakat adat Batak Toba ....... 61
1. Dalihan Na Tolu sebagai falsafah hidup ...................................... 61
2. Dalihan Na Tolu sebagai sistem kekerabatan .............................. 63
3. Dalihan Na Tolu sebagai sistem hukum ...................................... 64
C. Peranan atau kedudukan Dalihan Na Tolu dalam upacara adat Batak Toba 65
1. Hula-Hula ..................................................................................... 65

vi

Universitas Sumatera Utara


2. Boru ............................................................................................... 66
3. Dongan Tubu ................................................................................. 67

BAB IV AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI PERKAWINAN ADAT


BATAK TOBA DI KECAMATAN SIANTAR TIMUR, KOTA
PEMATANG SIANTAR .................................................................... 68
A. Akibat hukum terhadap suami .................................................................. 69
B. Akibat hukum terhadap istri ...................................................................... 78
C. Akibat hukum terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan adat Batak
Toba .......................................................................................................... . 83
D. Akibat hukum terhadap harta-harta dalam perkawinan adat Batak Toba.. 88

BAB V PENUTUP ........................................................................................... 91


A. Kesimpulan................................................................................................ 91
B. Saran .......................................................................................................... 95

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 97


Lampiran

vii

Universitas Sumatera Utara


GLOSARIUM

Ale-ale Sahabat (dalam bahasa Batak)


Ampang Bakul/keranjang bersegi empat terbuat dari
rotan(dalam bahasa Batak)
Amplop pasituak na tonggi Uang yang diberikan agar tulang menghadiri
pesta perkawinannya (dalam bahasa Batak)
Boru Suami dari saudara perempuan ayah (dalam
Bahasa Batak)
Bongbong Larangan menikah dengan semarga (dalam
bahasa Batak)
Dalihan Na Tolu Tungku tempat memasak yang terdiri dari
tiga batu (dalam bahasa Batak)
Debata na ni ida Tuhan yang bisa dilihat (dalam bahasa
Batak)
Dengke Ikan (dalam bahasa Batak)
Dengke siuk Ikan mas (dalam bahasa Batak)
Dengke simudur-udur Istilah masakan ikan mas yang diberikan
pihak hula-hula (dalam bahasa Batak)
Dialap jual Pesta itu dilakukan di wilayah tempat tinggal
orangtua si perempuan (dalam Bahasa Batak)
Dongan sada punguan Satu kumpulan contohnya seperti
marga(dalam Bahasa Batak)
Dongan sahuta Satu wilayah tempat tinggal (dalam Bahasa
Batak)
Dongan tubu Semarga dengan yang menyelenggarakan
acara (dalam Bahasa Batak)
Gondang Musik yang biasa dimainkan dalam acara
adat Batak (dalam bahasa Batak)
Habatahon Adat (dalam Bahasa Batak)

viii

Universitas Sumatera Utara


Hasuhuton Keluarga yang menyelenggarakan acara, kata
lain dari suhut(dalam Bahasa Batak)
Huta Wilayah tempat tinggal (dalam bahasa Batak)
Hula-hula Pihak laki-laki dari keluarga perempuan
Batak yang dihormati (dalam Bahasa Batak)
Incest hubungan saling mencintai yang bersifat
seksual yang dilakukan oleh pasangan yang
memiliki ikatan keluarga (kekerabatan) yang
dekat (dalam Bahasa Inggris)
Kahanggi Keluarga satu marga (dalam Bahasa Batak)
Lampet Makanan khas Batak (dalam Bahasa Batak)
Manortor Menari (dalam bahasa Batak)
Mangolop-olop Ucapan terima kasih dari keluarga yang
beracara kepada setiap undangan yang hadir
dan berperan (dalam bahasa Batak)
Manulangi tulang Menyuapi tulang dalam rangka meminta
restu (dalam Bahasa Batak)
Marga Bagian yang lebih kecil dari suku (dalam
Bahasa Batak)
Namboru Kakak atau adik perempuan dari ayah (dalam
Bahasa Batak)
Pagori Daging yang biasanya ada di acara adat
Batak (dalam Bahasa Batak)
Pamarai Abang atau adik dari kedua calon mempelai
(dalam Bahasa Batak)
Panandaiaon Proses pengenalan kedua keluarga calon
mempelai (dalam Bahasa Batak))
Paranak Pihak keluarga laki-laki (dalam Bahasa
Batak)
Parboru Pihak keluaga perempuan (dalam Bahasa
Batak)

ix

Universitas Sumatera Utara


Pariban Anak perempuan dari saudara laki-laki
ibunya (dalam Bahasa Batak)
Pasu-pasu Berkat/restu (dalam Bahasa Batak)
Pauseang Pemberian tanah kepada anak perempuan
dari ayah kandungnya atau hula-hulanya
sebagai bentuk hadiah perkawinan (dalam
Bahasa Batak)
Suhut Keluarga yang melaksanakan acara adat
(dalam Bahasa Batak)
Tulang Sapaan hormat kepda saudara laki laki-ibu
(dalam Bahasa Batak)
Tumpak Sumbangan berupa sejumlah uang (dalam
Bahasa Batak)
Tungku nan tiga Merupakan lambang jika dilihat dengan
sistem sosial Batak yang juga memiliki tiga
tiang penopang (dalam Bahasa Batak)
Ulos Kain tenunan khas Batak (dalam Bahasa
Batak)
Ulos tuhonan Sejumlah ulos yang sudah disepakati
sebelumnya oleh kedua belah pihak keluarga
yang akandiberikan oleh orangtua pihak
mempelai perempuan kepada keluarga pihak
mempelai laki-laki (dalam Bahasa Batak)
Umpansa Karya sastra dalam bentuk syair/puisi yang
berisi pernyataan restu, nasehat dan doa bagi
orang yang mendengarnya (dalam Bahasa
Batak)

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan suatu kesatuan wilayah yang terdiri dari

berbagai pulau dari Sabang sampai dengan Merauke serta didiami oleh berbagai

suku bangsa. Oleh karena itu Negara Indonesia dikenal sebagai negara dengan

keanekaragaman budaya, adat istiadat, tradisi bahkan bahasa yang berbeda-beda.

Itulah yang menjadi salah satu ciri khas atau keistimewaan dari Negara Indonesia.

Walaupun memiliki banyak perbedaan dari budaya, adat istiadat bahkan bahasa

tetapi bangsa Indonesia tetap satu kesatuan dengan menjunjung tinggi prinsip

Bhineka Tunggal Ika, yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua, yang

maksudnya walaupun memiliki keberagaman yang saling berbeda tetapi tetap satu

yaitu sama sama bangsa Indonesia tanpa pembedaan suku, ras dan agama. Salah

satu suku bangsa yang terdapat di Indonesia adalah suku Batak, yang mendiami

sebagian pulau di Indonesia dan terdapat di pulau Sumatera, tepatnya berada di

Provinsi Sumatera Utara dan disebutlah sebagai suku Batak atau masyarakat adat

Batak.1

Suku Batak atau masyarakat adat Batak ini bukan hanya satu jenis, tetapi

terbagi lagi menjadi lima sub suku dan masing-masing sub suku tersebut memiliki

wilayah utamanya masing-masing. Sub suku yang dimaksud adalah : 1) Batak

Karo, yang mendiami wilayah dataran tinggi Karo, Deli, Hulu, Langkat Hulu, dan

1
Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat dahulu, kini dan akan datang, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014), hlm.64.

Universitas Sumatera Utara


2

sebagian tanah Dairi. 2) Batak Simalungun, yang mendiami wilayah induk

Simalungun. 3) Batak Pak-Pak, yang mendiami wilayah induk Dairi, sebagian

tanah alas, dan Gayo. 4) Batak Toba, yang mendiami wilayah meliputi daerah tepi

danau Toba, Pulau Samosir, dataran tinggi Toba dan Silindung, daerah

pengunungan Pahae, Sibolga, dan Habincaran. 5) Batak Angkola Mandailing,

yang mendiami wilayah induk Angkola dan Sipirok, Batang Toru, Sibolga,

Padang Lawas, Baruwa, Mandailing Pakantan, dan Batang Natal. 2 Seluruh suku

atau masyarakat hukum adat ini dinamakan dengan suku Batak atau biasa orang

mengenalnya dengan sebutan orang Batak.

Masyarakat terdiri dari manusia, baik sebagai perorangan (individu) atau

kelompok-kelompok manusia yang telah berhimpun untuk berbagai keperluan dan

tujuan. Unsur-unsur dari masyarakat tersebut dalam menjalankan kehidupannya

selalu berinteraksi satu dengan yang lainnya, antara kelompok satu dengan

individu lainnya, atau kelompok lainnya.3

Masyarakat Hukum adat disebut juga dengan istilah “masyarakat tradisional”

atau the indigenous people, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari lebih sering

dan populer disebut dengan istilah “ masyarakat adat”.4 Masyarakat adat adalah

komunitas manusia yang saling berhubungan satu dengan lainnya serta patuh pada

peraturan atau hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungannya

satu sama lain berupa keseluruhan dari kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar

hidup karena diyakini dan dianut, dan jika dilanggar pelakunya mendapatkan

2
Ibid
3
Sony Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan,( Bandung: Refika Aditama,2015),
hlm.1.
4
Djarat Samosir, Hukum Adat Indonesia,(Medan: CV Nuansa Aulia, 2013), hlm.69.

Universitas Sumatera Utara


3

sanksi sosial dan bala dari Yang Maha Kuasa. 5 Salah satu bentuk hubungan

antara individu dalam masyarakat adalah hubungan antara seorang perempuan dan

seorang laki-laki yang melakukan perkawinan.6

Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang penting dalam kehidupan

masyarakat Indonesia karena perkawinan itu tidak hanya menyangkut pribadi

kedua calon suami-istri saja tetapi menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. 7

Masalah perkawinan adalah masalah yang penting bagi semua manusia,

karena perkawinan merupakan satu-satunya cara sampai saat ini untuk

melanjutkan keturunan yang sah selain dengan cara adopsi. Manusia tidak akan

berkembang tanpa adanya perkawinan, karena perkawinan menyebabkan adanya

keturunan, dan keturunan menimbulkan keluarga yang berkembang menjadi

kerabat dan masyarakat.8

Di Indonesia perkawinan memiliki pengaturan yang tegas oleh negara melalui

hukum positif yang berlaku. Pengertian perkawinan diatur dalam Undang-Undang

tentang perkawinan yaitu Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 dalam pasal 1

dimana dalam pasal ini yang dimaksud dengan perkawinan ialah ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.9

5
Laksanto Utomo, Hukum Adat, (Depok: Rajawali Pers, 2017), hlm.3.
6
Sony Dewi Judiasih, op.cit. , hlm.1.
7
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan
No.1 tahun 1974, Cetakan Pertama, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986), hlm.11.
8
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Alumni, 1983), hlm.22.
9
Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga Harta-Harta Benda dalam Perkawinan, (Jakarta:
Rajawali Pers,2016), hlm.43.

Universitas Sumatera Utara


4

Dalam ketentuan Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 terlihat bahwa

perkawinan tidak hanya dipandang berdasarkan persoalan materi, melainkan

merujuk paham religius. Tujuan perkawinan bukan hanya bersifat sementara,

melainkan untuk kekal dan abadi, hidup bahagia kecuali putus hubungan karena

kematian.10

Maka berdasarkan rumusan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 dikatakan bahwa ikatan suami-istri berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa, maka perkawinan merupakan perikatan yang suci. Perikatan tidak

dapat dilepaskan dari agama yang dianut suami-istri. Hidup bersama suami-istri

dalam perkawinan tidak semata-mata untuk tertibnya hubungan seksual tetap pada

pasangan suami-istri tetapi dapat membentuk rumah tangga yang bahagia, rumah

tangga yang rukun, aman dan harmonis antara suami-istri. Perkawinan salah satu

perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk

membentuk keluarga bahagia.11

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

belum berarti bahwa di dalam pelaksanaan perkawinan di kalangan masyarakat

sudah terlepas dari pengaruh Hukum Adat, perkawinan masih diliput Hukum Adat

sebagai hukum asli rakyat Indonesia yang hidup dan tidak tertulis dalam bentuk

peraturan perundang-undangan negara.12 Selain itu juga telah diatur didalam

penjelasan angka 1 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan yang mengatur mengenai Hukum adat yakni : “Bagi orang-orang

10
Tan Kamello, Hukum Perdata : Hukum Orang dan Keluarga, Edisi 2, (Medan : USU
Press, 2015), hlm.42.
11
Rosnidar Sembiring, op.cit. hlm.43.
12
Hilman Hadikusuma, op.cit., hlm.13.

Universitas Sumatera Utara


5

Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum Agama yang telah diresipiir

dalam Hukum Adat, dan bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku Hukum

Adat”. Maka, dapat diartikan bahwa hukum adat mempunyai pengaruh penting

dalam kelangsungan perkawinan yang ada di Indonesia. 13

Setiap suku bangsa tentunya memiliki kebiasaan, adat ataupun tradisi yang

sudah ada sejak dahulu kala. Kebiasaan tersebut dapat diartikan sebagai suatu

hukum yang berlaku dan dihormati di dalam masyarakat. 14 Perbedaan-perbedaan

Hukum Adat yang berlaku, seringkali menimbulkan perselisihan antara pihak

yang bersangkutan. Jika terjadi perselisihan maka dalam mencari jalan

penyelesaian bukanlah ditangani oleh pengadilan agama atau pengadilan negeri,

tetapi ditangani oleh peradilan keluarga atau kerabat yang berdasarkan kerukunan,

keselarasan, dan kedamaian. Oleh karenanya di samping perlu memahami

perkawinan menurut perundang-undangan, diperlukan pula memahami Hukum

Perkawinan Adat.15

Hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis yang hidup dan

berkembang sejak dahulu serta sudah berakar di dalam masyarakat. Walaupun

tidak tertulis namun hukum adat mempunyai akibat hukum bagi siapa saja yang

melanggarnya. Norma-norma dan nilai-nilai yang ada di dalam hukum adat sangat

dipatuhi dan dipegang teguh oleh masyarakat adat.16

13
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Perkawinan Indonesia & Belanda, (Bandung:
Mandar Maju, 2002), hlm.74.
14
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty
Yogyakarta,2005), hlm.40.
15
Wila Chandrawila Supriadi, op.cit., hlm.74.
16
A.Suriyaman Mustari Pide, op.cit. hlm.87.

Universitas Sumatera Utara


6

Ini berarti bahwa hukum adat dengan sejumlah aturannya yang tidak tertulis,

pada hakikatnya didalamnya sudah diatur dan disepakati bagaimana seseorang

bertindak, berperilaku baik dalam lingkungan sosial masyarakatnya. Di dalam

hukum adat apabila masyarakat akan memutuskan sesuatu pasti melalui

musyawarah dan mufakat yang dijadikan jalannya. Prinsipnya, setiap keputusan

yang menyangkut kepentingan orang banyak dapat diuji kebenarannya dan bebas

menuntut hukuman yang mencerminkan asas keadilan dan kepatutan. Agar

pemimpin adatnya tidak kehilangan kepercayaan dari masyarakat, maka seorang

pemimpin/penguasa yang adil dan patut atau yang memang benar benar pantaslah

yang dapat memutuskan sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku. 17

Perkawinan bagi hukum adat bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi

mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan juga dianggap suatu peristiwa

yang sangat penting bahkan diyakini bahwa arwah-arwah para leluhur dari kedua

belah pihak yang melangsungkan perkawinan juga memberikan perhatian

terhadap suatu peristiwa perkawinan.18

Berdasarkan hukum adat pada umumnya di Indonesia, perkawinan itu bukan

hanya sebagai “perikatan secara perdata saja, akan tetapi juga perikatan secara

adat dan sekaligus juga merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan”.

Dengan demikian, perkawinan menurut hukum adat adalah suatu hubungan

kelamin antara laki-laki dan perempuan, yang membawa hubungan lebih luas,

yaitu antara kelompok kerabat laki-laki dan kerabat perempuan, bahkan antara

masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Hubungan yang terdiri ini

17
Ibid., hlm.89.
18
Hilman Hadikusuma, op.cit., hlm.8.

Universitas Sumatera Utara


7

ditentukan dan diawasi oleh sistem norma-norma yang berlaku di dalam

masyarakat itu.19

Hukum bertujuan untuk mengatur tata kehidupan dari suatu masyarakat

dimana hukum itu berlaku. Demikian juga hukum adat Batak yang memiliki

tujuan untuk mengatur masyarakat batak dalam bertingkah laku, serta mengatur

segenap segi kehidupannya agar sesuai dan selaras dengan kaidah- kaidah yang

terdapat dalam hukum adat.20

Menurut hukum adat, perkawinan bukan saja merupakan soal mengenai orang

orang yang bersangkutan (sebagai suami-istri), melainkan juga merupakan

kepentingan seluruh keluarga dan bahkan masyarakat adat pun ikut

berkepentingan dalam soal perkawinan tersebut, karena bagi hukum adat

perkawinan itu adalah perbuatan-perbuatan yang tidak hanya bersifat

keduniaan,melainkan juga bersifat kebatinan atau keagamaan.21

Dalam masyarakat patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik dari garis

bapak salah satunya suku Batak menyatakan bahwa perkawinan bertujuan untuk

mempertahankan garis keturunan bapak, sehingga anak lelaki (tertua) harus

melaksanakan bentuk perkawinan ambil istri (dengan pembayaran uang jujur),

dimana setelah terjadinya perkawinan, istri ikut (masuk) dalam kekerabatan suami

dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan bapaknya. 22

Selaras dengan hal itu maka didalam melakukan suatu perkawinan haruslah

terlebih dahulu melalui proses-proses tertentu, yang telah ditentukan dalam

19
Laksanto Utomo, op.cit., hlm.89.
20
Edwar B.Hutauruk, Adat Batak, (Tarutung : Kotapos, 2001), hlm.23.
21
Taufiqurrohman Syahuri, Legistimasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Fajar
Interpratama Mandiri,2013), hlm.64.
22
Hilman Hadikusuma, op.cit., hlm.23.

Universitas Sumatera Utara


8

hukum adat. Proses-proses ini harus dilalui apabila seorang yang menganut suku

batak ingin melakukan perkawinan. Dikarenakan hukum adat Batak yang ditaati

oleh semua orang Batak telah menetapkan bagaimana proses yang harus

dilakukan bila ingin melakukan upacara perkawinan serta tindakan-tindakan apa

yang harus dilaksanakan,dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, apabila

seorang orang Batak ingin melaksanakan perkawinan.23

Masyarakat adat Batak, tepatnya yang menganut suku Batak Toba mengenal

Dalihan Natolu yang memiliki peran dalam upacara kelahiran, perkawinan

bahkan kematian adat masyarakat Batak Toba. Dalihan Natolu itu sendiri

memiliki arti yaitu; Dalihan yang berarti tungku yang dibuat dari batu, sedangkan

Dalihan Natolu adalah tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu. Ketiga

batu ini ditanam berdekatan agar dapat berfungsi sebagai tungku tempat untuk

memasak. Dalihan harus dibuat sama besar dan ditanam sedemikian rupa sehingga

jaraknya simetris satu sama lain serta memiliki tinggi yang sama dan harmonis. 24

Dalihan Na Tolu itu dapat diuraikan sebagai berikut : somba marhula-hula,

elek marboru, manat mardongan tubu. Yang artinya hormatlah kepada pihak

keluarga istri, mengayomi serta menyanyangi anak perempuan dan bersikap

hormat terhadap teman semarga. Ketiga hal yang tercantum dalam Dalihan

Natolu itulah yang menjadi Falsafah hukum adat Batak yang menjadi pedoman

dalam kehidupan sosial yang hidup dalam tatanan masyarakat adat Batak dari

sejak lahir sampai dengan meninggal dunia.25

23
Saragih Djaren, Hukum Perkawinan Adat Batak , (Bandung : Tarsito, 1980), hlm.26.
24
Sulistyowati Irianto, Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum, (Jakarta :
Yayasan Pustaka Obor Indonesia,2012), hlm.111.
25
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


9

Dalihan Na Tolu berfungsi sebagai tata kelakuan untuk mengatur,

mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan orang Batak.

Dalihan Na Tolu ini juga merupakan sebuah sistem yang memberi pedoman bagi

orientasi persepsi dan definisi dalam realitas masyarakat Batak Toba sehingga

dijunjung dan dilestarikannya nilai-nilai budaya tersebut.26

Pada hakikatnya, perkawinan bersifat patrilineal. Tujuannya ialah

melestarikan galur ( suatu generasi keturunan dari suatu individu ) suami di dalam

garis lelaki. Menurut peraturan hukum kekeluargaan ia tetap masuk ke dalam

kelompok kerabat (seketurunan darah). Hak tanah, milik, nama, dan jabatan,

hanya dapat diwarisi oleh garis lelaki. Di Batak Toba tidak ada pengecualian

dalam peraturan ini.27

Pesta perkawinan yang dilaksanakan dengan upacara adat Batak dihadiri oleh

kerabat pengantin laki-laki, pengantin wanita dan oleh penghuni huta dimana

pesta tersebut diadakan dan pada waktu itu mas kawin dan harta lain diserahkan

kepada mereka yang menurut adat berhak menerimanya. Jadi adapun pernikahan

yang dilangsungkan secara adat antara sepasang pengantin menjadi penghubung

yang mempertemukan Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin laki-laki dengan

Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin perempuan. Jadi dapat dikatakanlah

dengan adanya pertemuan kedua belah pihak tersebut maka terbentuklah ikatan

kekerabatan baik itu dari kedua keluarga pengantin dan juga dongan sahuta

26
Nalom Siahaan, Dalihan Natolu Prinsip dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Tulus Jaya,
1982), hlm.18.
27
JC.Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (Yogyakarta : PT.Lkis
Pelangi Aksara,2004), hal.197.

Universitas Sumatera Utara


10

(kawan sekampung) dari masing-masing pengantin.28 Perkawinan yang

dilaksanakan menggunakan adat Batak Toba merupakan perkawinan yang diawali

dengan cara meminang.

Didalam masyarakat adat Batak Toba dikenal 2 bentuk perkawinan, yaitu :

1. Meminang

Meminang sinonimnya adalah melamar sesuai dengan aturan hukum adat

yang berlaku. Pada masyarakat adat Batak Toba proses meminang ini merupakan

salah satu syarat utama yang dilakukan apabila ingin melaksanakan perkawinan

menggunakan upacara adat Batak Toba. Setelah proses meminang dilaksanakan,

barulah dapat melaksanakan proses lainnya sesuai dengan aturan hukum adat

Batak Toba yang berlaku.

2. Tanpa meminang

Tanpa proses meminang berarti tidak melakukan proses pelamaran atau

dalam masyarakat Adat Batak Toba disebut juga sebagai mangalua yang berarti

kawin lari. Mangalua ini adalah perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai

dengan prosedur yang berlaku dalam hukum adat Batak Toba. Hal ini dilakukan

untuk menghindarkan diri dari berbagai keharusan sebagai akibat ingin

melaksanakan perkawinan yaitu pelamaran atau peminangan, dan untuk

menghindarkan diri dari pembayaran jujur ataupun mahar yang biasa disebut

sinamot oleh masyarakat adat Batak Toba. Mangalua ini biasanya didasarkan

oleh faktor ekonomi, dimana keluarga si pemuda atau pemuda itu sendiri tidak

mampu memenuhi persyaratan apabila ingin melaksanakan suatu upacara adat

28
P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2016),
hlm.113.

Universitas Sumatera Utara


11

perkawinan.29

Kedua hal ini merupakan bentuk perkawinan yang sudah dilaksanakan

dengan proses perkawinan menurut agama dan dicatatakan di catatan sipil, akan

tetapi perbedaannya adalah perkawinan yang dilaksanakan dengan proses

peminangan sebelumnya merupakan perkawinan yang dianggap sah dan diakui

oleh masyarakat adat Batak Toba beserta hukum adat, karena pada prinsipnya

perkawinan yang dilaksanakan menggunakan adat adalah perkawinan yang

sempurna karena dihadiri dan terlihat peranan dari perangkat dalihan na tolu

dalam perkawinan tersebut. Sedangkan perkawinan tanpa meminang atau

mangalua dianggap sebagai perkawinan yang tidak sempurna atau tidak sah

menurut hukum adat Batak Toba walaupun sudah melalui proses perkawinan

secara agama dan dicatatkan di catatan sipil. Karena pada hakikatnya perkawinan

yang sempurna dalam adat Batak Toba adalah perkawinan yang dihadiri dan

terlihat peranan dari dalihan na tolu didalamnya serta telah dilakukannya

pembagian jambar dan pemberian ulos serta telah dibayarkannya sinamot kepada

pihak orangtua wanita akan tetapi perkawinan mangalua tidaklah memenuhi

syarat-syarat tersebut.

Maka perkawinan yang dilaksanakan secara upacara agama dan catatan sipil

dianggap hanya sebagai unsur atau pelengkap semata. Apabila perkawinan hanya

dilakukan secara agama dan dicatatkan ke catatan sipil maka dikatakan sebagai

perkawinan gelap oleh masyarakat adat Batak dilihat dari sudut pandang dalihan

na tolu, karena dianggap tidak terlihatnya peranan dalihan na tolu dalam upacara

29
Ibid., hlm.110.

Universitas Sumatera Utara


12

perkawinan adat batak berarti apabila terjadi keretakan atau perselisihan di dalam

suatu rumah tangga maka sudah pasti marga dari masing masing pihak yang

melangsungkan pernikahan dengan tidak menggunakan upacara adat merasa tidak

memiliki hak dan kewajiban untuk mencampurinya 30.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas tersebut, maka dibuatlah judul

skripsi “ Kedudukan Dalihan Na Tolu Dalam Perkawinan Adat Batak Toba (Studi

di Kecamatan Siantar Timur, Kota Pematang Siantar) .’’

B. Perumusan Masalah

Adapun permasalahan yang ditemukan dalam skripsi ini adalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana tata cara perkawinan adat Batak Toba di Kecamatan Siantar

Timur, Kota Pematang Siantar ?

2. Bagaimana peranan atau kedudukan Dalihan Na Tolu dalam upacara

perkawinan adat Batak Toba di Kecamatan Siantar Timur, Kota Pematang

Siantar ?

3. Bagaimana akibat hukum yang timbul dari perkawinan adat Batak Toba di

Kecamatan Siantar Timur, Kota Pematang Siantar ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari perumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan

penelitian penulis di dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tata cara perkawinan adat Batak Toba di kecamatan

Siantar Timur, Kota Pematang Siantar.

30
Nalom Siahaan, op.cit., hlm.18.

Universitas Sumatera Utara


13

2. Untuk mengetahui peranan atau pun kedudukan Dalihan Na Tolu dalam

upacara adat Batak Toba di Kecamatan Siantar Timur, Kota Pematang

Siantar.

3. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari perkawinan adat Batak

Toba di Kecamatan Siantar Timur, Kota Pematang Siantar.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat teoritis dan praktis yang diharapkan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

Penelitian ini mempunyai manfaat teoritis dan praktis. Kegunaan dari kedua

teori ini sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Penulisan ini dijadikan bahan kajian untuk menambah pengetahuan guna

menambah wawasan ilmiah bagi perkembangan hukum di Indonesia dalam

masalah perkawinan.

2. Secara Praktis

Memberikan sumbangan pemikiran dan pemahaman kepada para

mahasiswa, akademisi dan masyarakat umum yang berminat untuk

mengetahui lebih dalam tentang peranan Dalihan Na Tolu dalam perkawinan

adat Batak Toba di Pematang Siantar.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian hukum normatif-empiris ini pada dasarnya ialah

penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan

Universitas Sumatera Utara


14

dari berbagai unsur-unsur empiris. Dalam metode penelitian normatif-empiris ini

juga mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam

aksinya di setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat.

Metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah metode

pendekatan Yuridis empiris yakni dengan melihat kenyataan yang ada dalam

praktek dilapangan. Pendekatan ini dikenal juga dengan pendekatan secara

sosiologi yaitu dengan melakukan penelitian secara langsung untuk memperoleh

data pada kenyataan yang sebenarnya untuk selanjutnya dihubungkan dengan

ketentuan hukum yang berlaku atau dengan kata lain mengkaji hukum secara

sosiologis.

2. Lokasi Penelitian

Untuk tulisan ini penulis melakukan penelitian di Kecamatan Siantar Timur,

Kota Pematang Siantar. Penelitian ini dilakukan di lokasi tersebut dengan alasan

pertimbangan bahwa Kepala Adat dan Tokoh Masyarakat Adat serta Perangkat

Adat di lokasi tersebut dapat memenuhi informasi yang berkaitan dengan

penulisan ini, sesuai dengan surat permohononan yang diajukan oleh penulis

sebelumnya.

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang penulis gunakan pada tulisan ini terdiri atas 2 macam yaitu:

a. Data Primer, Yakni data yang penulis peroleh langsung dari wawancara

terhadap Kepala Adat Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Siantar

Timur, Kota Pematang Siantar.

b. Data Sekunder, Yakni data yang penulis peroleh dari berbagai sumber

Universitas Sumatera Utara


15

literatur yang berhubungan dengan topik/permasalahanyang diangkat. Baik

buku, media cetak, jurnal, makalah, serta berbagai pendapat para pakar

hukum.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal pengumpulan data, penulis melakukan cara sebagai

berikut:

a. Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu dengan wawancara secara

langsung terhadap Kepala Adat Masyarakat Adat Batak Toba di

Kecamatan Siantar Timur, Kota Pematang Siantar.

b. Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu dengan membaca dan

memahami bahan tertulis yang penulis dapatkan dari berbagai sumber

berupa undang-undang terkait, buku-buku, jurnal hukum, serta bahan

kepustakaan lainnya yang menunjang tercapainya penulisan skripsi ini.

5. Analisis Data

Untuk tahapan pengolahan data yang telah penulis peroleh seperti yang telah

disebutkan diatas agar menjadi sebuah karya ilmiah/skripsi yang terpadu dan

sistematis, maka data yang diperoleh tersebut diolah secara kualitatif sehingga

hasilnya akan disajikan secara deskriptif dan dapat dipahami pembaca dengan

mudah.

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan di Perpustakaan Universitas

Sumatera Utara diketahui bahwa skripsi dengan judul “Kedudukan Dalihan Na

Tolu dalam Perkawinan Adat Batak Toba (Studi di Kecamatan Siantar Timur,

Universitas Sumatera Utara


16

Kota Pematang Siantar)” belum pernah ditulis dan belum pernah ada pembahasan

sebelumnya. Skripsi ini adalah hasil dari ide gagasan, pemikiran dan usaha penulis

tanpa ada unsur penjiplakan yang dapat merugikan orang lain. Untuk itu penulis

dapat bertanggung jawab atas keaslian penulisan ini.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini dibuat dalam Lima Bab yang secara keseluruhan merupakan suatu

kesatuan yang utuh. Setiap Bab berturut-turut saling mempunyai keterkaitan

antara satu dengan yang lain. Pada setiap Bab juga dibagi atas beberapa sub-sub

bab dalam rangka memperjelas keterangan yang ada pada setiap bab tersebut.

Adapun rincian sistematika yang dimaksud adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Merupakan pendahuluan yang menguraikan apa yang menjadi alasan

pemilihan skripsi ini, sekaligus merumuskan masalah, serta merupakan cara untuk

mencapai tujuan pembahasan skripsi ini dan juga membatasi ruang lingkup

pembahasan.

BAB II : Tinjauan Umum Tentang Tata Cara Perkawinan Adat Batak Toba

Bab ini menguraikan mengenai teori secara umum mengenai perihal tata cara

perkawinan yang dilaksanakan menggunakan upacara adat Batak Toba.

BAB III : Tinjauan Umum Tentang Peranan Atau Kedudukan Dalihan Na

Tolu Dalam Perkawinan Adat Batak Toba

Pada bab ini diuraikan secara umum mengenai bagaimana kedudukan

Dalihan Na Tolu dalam perkawinan masyarakat adat Batak Toba. Diuraikan pula

Universitas Sumatera Utara


17

mengenai pengertian dan unsur-unsur Dalihan Na Tolu di dalam upacara

perkawinan adat Batak Toba.

BAB IV : Akibat Hukum Yang Timbul Dari Perkawinan Adat Batak Toba

(Studi Di Kecamatan Siantar Timur, Kota Pematang Siantar)

Bab ini akan mengkaji dan menguraikan mengenai bagaimana akibat hukum

yang timbul dari adanya perkawinan adat Batak Toba, akibat hukum yang timbul

terhadap suami, terhadap istri, terhadap anak serta terhadap harta.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Berisi kesimpulan dan saran yang ditarik berdasarkan apa yang telah di

jabarkan secara jelas didalam bab pembahasan.

Berdasarkan kesimpulan ini barulah kemudian diberikan saran yang dianggap

dapat memberikan masukan-masukan, minimal untuk memperluas wawasan

pengetahuan dan pemikiran.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

TATA CARA PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA

Tata cara perkawinan adat Batak Toba memiliki proses yang cukup panjang

dan waktu yang dapat terbilang cukup lama, karna dalam proses persiapan segala

sesuatunya membutuhkan banyak kesepakatan dan keputusan yang harus sama

sama diketahui serta disepakati oleh kedua belah pihak yang akan melangsungkan

acara perkawinan dengan menggunakan adat Batak Toba. Bukan hanya dari pihak

Dalihan Na Tolu masing-masing pihak saja yang turut berperan tetapi juga

mengikut sertakan para dongan sahuta (satu kampung) dan juga penatua adat

(orang yang dituakan) serta parsinabung/raja parhata (protokol dalam acara

perkawinan). Persiapan yang dilakukan pun bukan hanya satu dua hal tetapi

banyak hal dimulai dari praperkawinan sampai dengan hari perkawinan.

Pada hakikatnya perkawinan adat Batak Toba dimulai dari adanya atau

terjadinya proses peminangan. Peminangan berasal dari kata pinang dengan kata

kerja meminang, yang sinonimnya melamar. Peminangan adalah pernyataan atau

permintaan dari seorang laki-laki kepada pihak perempuan untuk menikahinya,

baik dilakukan oleh laki-laki itu secara langsung atau dengan perantara pihak lain

yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan agamanya. Tradisi peminangan

tersebut biasa disebut dengan lamaran.31

Pada masyarakat adat Batak Toba saat sebelum upacara dan saat sesudah

upacara perkawinan dilangsungkan ini merupakan suatu peristiwa yang sangat

31
Djaren Saragih, op.cit., hlm.64

18

Universitas Sumatera Utara


19

penting karena akan dapat dinilai apakah suatu perkawinan itu sudah berjalan

sesuai dengan aturan hukum adat atau tidak. Adapun proses-proses atau tata cara

perkawinan adat Batak Toba yaitu:

a. Sebelum Upacara Perkawinan

1) Martandang

Kata martandang artinya berkunjung kerumah orang lain. Ketika martandang

ini si pemuda keluar dari rumahnya dan berkunjung kerumah si gadis untuk

berkenalan. Pada saat martandang inilah sering dilakukan mangaririt boru oleh si

pemuda.32

Kata mangaririt berasal dari kata ririt yang berarti pilih. Jadi mangaririt

berarti memilih calon pasangan hidup. Mangaririt boru berarti memilih wanita

yang diinginkan oleh si pemuda. Jadi tujuan dari martandang ini bukan hanya

sebatas untuk berkenalan, tetapi si pemuda memiliki tujuan untuk memilih gadis

yang akan menjadi bakal istrinya. 33

Acara martandang ini Bagi orang Batak Toba akan lebih dihargai ketimbang

menemui si gadis di bioskop, mal, dan tempat di luar rumah lainnya. Orangtua si

gadis akan lebih menghormati cara seperti ini. Apalagi jika martandang berakhir

pada waktu yang belum begitu malam. Karena begitu menghormati pria yang

martandang, keluarga si gadis bahkan akan marah kalau anaknya menutup diri.

Katakanlah, si gadis tidak mau keluar kamar ketika si pemuda berkunjung ke

rumah. Oleh keluarganya sendiri, si gadis yang menutup diri dianggap tidak

32
Ibid.
33
Richard Sinaga, Perkawinan Adat Dalihan Na Tolu, (Jakarta: Dian Utama, 2012),
hlm.66.

Universitas Sumatera Utara


20

sopan. Terlebih kalau si pemuda tidak ada tanda-tanda ingin melakukan niat

buruk.34

Dalam proses pertemuan atau perkenalan inilah banyak hal yang menjadi

pertimbangan yang membuat si pemuda dan si gadis tertarik. Salah satu

pertimbangannya adalah bagaimana silsilah keluarga dan pendidikan si pemuda

dan si gadis atau faktor pendukung lainnya. Pada saat martandang seorang

pemuda belum tentu mendapatkan gadis idamannya, maka para pemuda Batak

sering berpedoman dengan suatu istilah dalam bahasa Batak yakni “Sai

Marrokhap Ma” yang artinya semogalah berjodoh.35

Martandang ini wajib dilakukan oleh pemuda dan bukan gadis karena ada

satu prinsip adat yang tertuang dalam peribahasa orang Batak: “Na so jadi bogot

tumandangi sige” yang memiliki arti pantanglah bila si gadis yang mendatangi si

pemuda, yang lazim dan beradat menurut adat adalah si pemuda yang mendatangi

si gadis.36

2) Patua Hata

Patua Hata yaitu sebuah proses dimana sepasang muda-mudi sudah sepakat

hendak membentuk satu rumah tangga, maka langkah berikutnya yang ditempuh

ialah melaporkan ke orangtua masing-masing. Hubungan yang masih muda-mudi

itu dibawalah ke tingkat orangtua. Membawa ke tingkat orangtua inilah yang

disebut sebagai patua hata, yaitu membawa kesepakatan muda-mudi menjadi

34
Blogspot, “ Budaya Batak” diakses dari
https://ndoromoe.wordpress.com/2016/07/10/5-hal-yang-wajib-kalian-ketahui-sebelum-dekati-
gadis-batak/ pada tanggal 18 Agustus 2018, pukul 06.00 WIB.
35
Richard Sinaga, op.cit., hlm.67.
36
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


21

kesepakatan orangtua masing-masing pihak.37

Ketika sudah ada kesepakatan maka kedua belah pihak mangalehon tanda

yaitu memberikan tanda. Pemberian tanda ini dilakukan ketika sudah adanya

kesepakatan bahwa muda-mudi tersebut saling menyetujui satu dengan lainnya.

Kedua belah pihak yaitu pemuda dan si gadis saling memberikan tanda. Dari

pihak pemuda biasanya menyerahkan sejumlah uang kepada si gadis sebagai

tanda, sedangkan pihak si gadis menyerahkan kain sarung, ataupun ulos

sitoluntuho kepada si pemuda sebagai tanda. Setelah pemberian tanda dilakukan

maka si pemuda dan si gadis sudah mempunyai ikatan.38

3) Marhusip

Marhusip artinya berbisik. Pada acara ini sebelum utusan resmi dari orangtua

si pemuda berangkat menemui orangtua si gadis, adalah lazim diadakan

pembicaraan tak resmi antara boru dari pihak orangtua si pemuda dengan boru

dari pihak orangtua si gadis. Para perantara ini biasanya melakukan pertemuan

secara diam-diam dalam rangka menanyakan kepada pihak si gadis berapa kira-

kira jumlah uang sinamot yang harus disediakan oleh pihak keluarga si pemuda,

dan juga memberitahukan kepada pihak si gadis kira-kira bagaimana kesanggupan

atau kemampuan pihak si pemuda. Hal ini dilakukan agar kedua belah pihak

mengetahui dan mengerti bagaimana keadaan masing-masing pihak.39

Setelah dilakukan pembicaraan tak resmi antara perantara kedua belah

pihak maka selanjutnya dilakukanlah pembicaraan yang lebih resmi, perantara

dari orangtua kedua belah pihak bertambah yaitu dongan tubu dan boru dari
37
Ibid, hlm.68
38
Djaren Saragih, op.cit., hlm.68.
39
Richard Sinaga, op.cit., hlm 69.

Universitas Sumatera Utara


22

masing-masing pihak. Pertemuan dilakukan dirumah orangtua si gadis yang sudah

terlebih dahulu menyampaikan niatannya untuk datang, sehingga orangtua si gadis

beserta dongan tubu dan borunya sudah siap untuk menyambut utusan resmi dari

pihak orangtua si pemuda. Untuk pertemuan ini utusan orangtua si pemuda

membawa makanan ringan dan keluarga si gadis cukup menyediakan teh atau

kopi.40

Pembicaraan yang dilakukan saat marhusip ini antara lain menyepakati

mengenai :

a. Kapan dilaksanakannya acara martupol atau pertunangan yang biasanya

dilaksanakan di gereja, tetapi hanya berlaku bagi orang Batak yang menganut

agama Kristen Protestan, orang Batak yang menganut agama Khatolik tidak

mengenal adanya proses martupol.

b. Kapan hari perkawinan akan dilaksanakan

c. Di gereja mana akan diadakan pemberkatan pernikahan.

d. Di gedung atau wisma mana pesta adat akan diadakan.

e. Berapa jumlah undangan paranak (pihak keluarga dari si pemuda) dan

parboru (pihak keluarga dari si gadis) untuk pesta pernikahan.

f. Pukul berapa dilaksanakan marsibuha-buhai (acara makan pagi yang

dilaksanakan sebelum berangkat ke gereja untuk menerima pemberkatan

pernikahan).

g. Melaksanakan ulaon sadari ( yaitu apakah acara maningkir tangga dan

paulak une dilaksanakan seusai pesta adat atau dilaksanakan pada hari-hari

40
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


23

berikutnya).41

Setelah semua disepakati, maka utusan dari pihak pemuda akan pulang untuk

melaporkan hasil kesepakatan yang sudah dibicarakan oleh pihak keluarga si

gadis. Dalam acara marhusip ini orangtua kedua belah pihak belum ikut campur.

Dalam waktu marhusip ini jugalah ditentukan kapan orangtua si pemuda datang

kerumah orangtua si gadis untuk membicarakan keinginan orangtua si pemuda itu

kepada orangtua si gadis secara resmi yang disebut sebagi Marhata sinamot.42

4) Manulangi Tulang

Seorang pemuda yang sedang merencanakan untuk berumah tangga

sebaiknya terlebih dahulu pergi manulangi tulangnya. Tujuan manulangi tulang

disini adalah untuk meminta doa restu agar dia dan calon istrinya memang

berjodoh dan menjadi pasangan yang harmonis. Adat manulangi tulang ini juga

dilakukan karena orang Batak pada umumnya mengganggap perkawinan yang

ideal adalah perkawinan antara orang-orang rumpal (marpariban), yaitu seorang

pemuda dan anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya atau tulangnya.43

Jadi apabila seorang pemuda Batak tidak menikahi paribanya maka dia harus

manulanggi tulangnya sebagai bentuk penghormatan kepada tulangnya dan

berharap agar calon istrinya akan diterima dan diperlakukan sebagaimana anak

tulangnya sendiri. Tetapi apabila seorang pemuda memang menikahi paribannya,

tidak perlu lagi melaksanakan acara ini, akan tetapi langsung kepada acara

marhata sinamot.44

41
Ibid., hlm.73.
42
Djaren Saragih, op.cit., hlm. 69.
43
P.N.H. Simanjuntak, op.cit., hlm.112.
44
Richard Sinaga, op.cit., hlm.75.

Universitas Sumatera Utara


24

Waktu yang tepat untuk manulangi tulang adalah sesudah dilaksanakannya

acara patua hata dan marhusip. Biasanya acara manulanggi tulang ini diadakan

dirumah tulang tertua si pemuda atau abang yang paling besar dikeluarga ibunya.

Si pemuda biasanya disertai orangtuanya dalam menjalankan acara ini. Akan

tetapi apabila hal tersebut tidak dapat dilakukan karena beberapa hal, maka boleh

juga ditemani oleh saudara kandung ayahnya yang ditemani oleh boru.45

Bawaan untuk manulangi itu biasanya adalah pagori yang dimasak secara

khusus. Selain itu si pemuda yang tidak menikahi paribannya itu harus juga

menyiapkan amplop berisi uang yang disebut batu ni sulang dan pasituak na

tonggi. Amplop berisi batu ni sulang itu adalah amplop yang akan diberikan

kepada tulang yang disulangi. Nilainya harus melebihi dengke (ikan), ulos (kain

khas orang Batak), dan makanan yang dipersiapkan tulang untuk acara manulangi

tulang ini. Sedangkan amplop pasituak na tonggi diberikan kepada tulang dengan

tujuan agar tulangnya datang menghadiri pesta adat perkawinannya 46

5) Marhata Sinamot

Sinamot ialah sejumlah uang yang telah disiapkan keluarga laki-laki untuk

disampaikan kepada keluarga perempuan. Sejumlah uang ini biasanya digunakan

oleh keluarga si gadis untuk pesta kawin. Kalau ada orang menyebut sinamot itu

sebagai uang untuk membeli si gadis agar dapat dijadikan istri, itu tidaklah benar.

Sebab uang sinamot yang diterima orangtua si gadis, bila cukup untuk keperluan

pesta kawin atau unjuk sudah cukup bagus. Karena kenyataannya orangtua si

45
Ibid.
46
Ibid

Universitas Sumatera Utara


25

gadis selalu menambah uang yang diterima agar cukup untuk keperluan pesta.47

Pada saat marhata sinamot ini orangtua kedua belah pihak laki-laki dan si

gadis sudah dapat ikut campur secara langsung, berbeda dengan pada saat acara

marhusip. Dan pada acara marhusip juga sudah dibicarakan kapan keluarga si

laki-laki akan resmi datang ke keluarga wanita dengan tujuan untuk

membicarakan keinginan dari anaknya sekaligus membicarakan mengenai berapa

jujur (sinamot) yang harus diserahkan. Pihak orangtua laki-laki pada saat datang

kerumah si gadis pada umumnya membawa makanan untuk dimakan bersama.

Kebiasaan dan tradisi pada masyarakat adat Batak Toba pembicaraan mengenai

sinamot baru akan dilaksanakan apabila kedua pihak keluarga sudah mengadakan

acara makan bersama makanan yang telah dibawa oleh pihak keluarga si laki-

laki.48

Setelah makan barulah diadakan acara marhata sinamot yaitu membicarakan

jumlah uang yang akan diserahkan keluarga laki-laki kepada keluarga si gadis

untuk biaya pesta perkawinan. Apabila pesta tersebut dilakukan di tempat

orangtua si gadis yang istilah adat disebut dialap jual, maka jumlah sinamot akan

lebih besar dibandingkan dengan apabila pesta adat itu dilakukan di tempat si laki-

laki yang istilah adat disebut taruhon jual. Sebab orangtua si perempuan tidak lagi

menyewa gedung dan menyediakan makanan untuk tamu. Hanya cukup

menyediakan perangkat simbol adat yaitu ulos, dan dengke.49

Biasanya dalam pembicaraan sinamot terjadi tawar-menawar yang

dilaksanakan secara cepat antara pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga
47
Ibid., hlm.82.
48
Djaren Saragih, op.cit., hlm.68.
49
Richard Sinaga, op.cit., hlm.82.

Universitas Sumatera Utara


26

perempuan. Dan jumlah sinamot tersebut itu pun tidak akan jatuh jauh dari

perkiraan pada saat acara marhusip terdahulu. Walaupun tidak sama, namun

jumlahnya tidak akan berbeda jauh dari kesepakatan sebelumnya yang dilakukan

oleh para perantara kedua belah pihak yang sebelumnya sudah melakukan

pertemuan dalam acara marhusip. Dan pembicaraan ini lebih formal dibandingkan

pada saat acara marhusip. Karena telah dihadiri oleh unsur dalihan na tolu yang

lengkap dari pihak paranak dan parboru.50

Menurut adat, uang sinamot yang diterima orangtua si perempuan harus

dibagi kepada :

1. Pamarai, yaitu abang atau adik orangtua si perempuan

2. Tulang, yaitu saudara laki-laki ibu si gadis

3. Pariban, yaitu kakak si perempuan yang sudah bersuami, kalau belum ada

maka digantikan dengan namboru, yaitu saudari perempuan ayah si

perempuan yang sudah berkeluarga.

4. Suhut, yaitu keluarga yang menyelenggarakan pesta.

Selain yang disebut diatas, uang sinamot yang diterima orangtua si

perempuan sebagian disisihkan untuk tulang calon menantunya, yang istilah

adatnya tintin marangkup. Sejumlah uang tersebut disatukan dengan uang dari

orangtua si pengantin laki-laki dan secara bersama-sama menyerahkan kepada

tulang si pengantin laki-laki. Pemberian uang ini bertujuan untuk mengajak tulang

50
Djaren Saragih, op.cit., hlm.68.

Universitas Sumatera Utara


27

dari pihak pengantin laki-laki agar memperlakukan mempelai pengantin

perempuan sebagai anaknya sendiri dalam kehidupan sehari-hari.51

6) Martumpol

Martumpol bukanlah acara adat, tetapi acara gereja. Orang Batak yang

melaksanakan proses martumpol pada umumnya adalah orang Batak yang

beragama Kristen Protestan. Acara martumpol ini disebut juga marpadan

(berjanji). Ada juga yang mengartikan martumpol ini sebagai mangido tingting

yaitu meminta pihak gereja menginformasikan atau memberitakan rencana

pemberkatan pernikahan ini di gereja dua kali berturut-turut. 52

Martumpol ini biasanya dilakukan di gereja dan diberkati oleh pemuka

agama. Selain pendeta, guru huria atau sintua boleh juga memimpin acara

partumpolan ini. Khotbah atau renungan yang dibawakan biasanya yang

berhubungan dengan cinta kasih. Dalam acara ini tidak ada kepentingan dari

perangkat dalihan na tolu, cukup para undangan pihak parboru dan pihak

paranak saja. Karena martumpol sebenarnya adalah untuk mendengarkan

kebulatan hati kedua calon mempelai menjadi suami istri dengan dasar saling

mengasihi. Kebulatan hati calon pasangan suami-istri ini dituangkan di berita

acara gereja, ditandatangani mereka berdua, dan ditandatangani saksi dari pihak

gereja, keluarga calon pengantin masing masing pihak.53

7) Martonggo Raja dan Marria Raja

Dalam rangka menghadapi pesta adat atau pesta unjuk perlu juga diadakan

acara martonggo raja di pihak paranak dan marria raja di pihak parboru. Kedua
51
Richard Sinaga, op.cit., hlm.83.
52
Ibid, hlm.106.
53
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


28

acara ini perlu dilakukan dengan tujuan untuk menyerahkan pelaksanaan pesta

kepada dongan tubu dan boru agar pesta tersebut dapat dirasakan atau dianggap

sebagai pestanya sendiri. Di acara inilah dilakukan pembagian tugas agar masing-

masing bertanggung-jawab dan mempunyai kesiapan melakukannya. Dengan

demikian acara pesta berjalan lancar dan baik.54

Martonggo raja adalah sebutan nama acara di pihak parboru (pihak keluarga

calon mempelai perempuan) untuk mempersiapkan segala sesuatu menjelang

pesta perkawinan. Biasanya acara ini dilakukan kurang lebih dua minggu

menjelang pesta perkawinan atau sepulang dari acara martupol.

Acara martonggo raja ini dihadiri perangkat dalihan na tolu yaitu boru,

dongan sahuta, dan dongan tubu. Hula-hula (keluarga laki-laki dari pihak yang

semarga dengan istri atau ibu) tidak perlu hadir pada acara ini. Acara ini dibuat

hanya semata mata untuk membicarakan kebutuhan pesta yang mungkin belum

terpenuhi dan berbicara mengenai bagaimana kesiapan untuk hari H

perkawinannya.55

Hal hal yang perlu disepakati di acara martonggo raja adalah sebagai berikut:

a) Menentukan si penerima tamu

b) Mengingatkan agar bersama-sama memasuki tempat acara setelah

dipersilahkan paranak.

c) Menentukan protokol dan pemandu tamu dan hula-hula ke tempatnya.

d) Menentukan pendamping suhut menyampaikan dengke.

e) Menentukan boru penerima bawaan hula-hula.

54
Djaren Saragih, op.cit., hlm.218.
55
Richard Sinaga,op.cit., hlm.109.

Universitas Sumatera Utara


29

f) Menentukan pembagian jambar dan yang membagikannya di pesta.

g) Menentukan raja parhata.

h) Menentukan wakil dongan tubu dan boru yang akan berbicara di acara

marhata sigabe-gabe.

i) Menentukan agar setiap keluarga parboru yang akan menyampaikan ulos

na marhadohoan agar berpakaian rapi dan datang bersama istri.

j) Mengingatkan suhut parboru untuk menyiapkan antara lain : daftar hula-

hula, amplop sesuai dengan jumlah undangan, daftar penerima amplop

panandaiaon, amplop untuk tintin marakhup, uang receh untuk acara

olop-olop.

k) Menentukan seorang dongan tubu yang menutup acara setelah selesai

dengan doa. 56

Acara marria raja ini pun tidak berbeda dengan martonggo raja, pembedanya

hanya marria raja dilakukan di rumah pihak paranak (keluarga pihak calon

mempelai laki-laki) yang dibicarakan pun sama seputar persiapan pesta dan hal-

hal yang diperlukan dalam acara adatnya, seperti gedung, makanan, dengke, ulos

dan lain sebagainya.57

Perlu diketahui bahwa umumnya pesta mangadati atau pesta adat dilakukan

di tempat paranak. Berarti paranaklah yang menyediakan dan menyiapkan pesta,

karena paranaklah yang menjadi tuan rumah. Sebagai tuan rumah haruslah

terlebih dahulu hadir di tempat pesta, jangan sampai parboru sudah datang,

paranak belum lengkap kehadirannya.

56
Djaren Saragih, op.cit., hlm.218.
57
Richard Sinaga, op.cit., hlm.109.

Universitas Sumatera Utara


30

Acara yang perlu disepakati dalam acara marria raja ini adalah sebagai

berikut:

a) Masalah gedung dan konsumsi.

b) Penentuan pendamping yang duduk di pelaminan.

c) Penerima tamu di pesta unjuk atau pesta adat.

d) Protokol dan pemandu tamu.

e) Boru yang bertugas menerima bawaan hula-hula.

f) Menentukan siapa yang menyampaikan tudu-tudu sipanganon.

g) Menentukan siapa yang akan memimpin doa makan serta mempersilahkan

para undangan untuk makan.

h) Menentukan siapa yang membagi dan menyampaikan sulang-sulang ke

hula-hula.

i) Menentukan siapa yang membagikan jambar

j) Menentukan boru yang akan menyebarkan atau membagikan dengke.

k) Menentukan salah seorang dongan tubu yang akan menyerahkan acara ke

raja parhata.

l) Menentukan siapa saja yang akan menerima ulos na marhadoahon, sesuai

dengan jumlah ulos yang telah disepakati dan agar datang lengkap dengan

istri dan berpakaian rapi.

m) Menentukan dongan tubu yang bertugas membagikan olop-olop.58

Itulah kurang lebih acara martonggo raja dan marria raja, tidaklah jauh

berbeda inti dari kedua acara ini dilaksanakan. Makna yang tesirat dari

58
Djaren Saragih, op.cit., hlm. 220.

Universitas Sumatera Utara


31

diadakannya kedua acara ini adalah untuk mengambil hati (manubut roha ni)

dongan tubu, boru dan dongan sahuta agar masing-masing berusaha membuat

acara adat itu lancar dan membuahkan suka cita (Las ni roha).59

B. Upacara Adat Perkawinan

1) Marsibuha-buhai

Kata marsibuha-buhai terbentuk dari kata buha yang artinya buka. Jadi

marsibuha-buhai dapat diartikan sebagai acara pembukaan pesta pernikahan.

Acara ini dilakukan di kediaman parboru (pihak keluarga calon mempelai

perempuan) pada pagi hari sebelum menerima pemberkatan di gereja. Di acara ini

pihak parboru menyediakan makanan dengan lauk dengke, tetapi bukan dengke

yang dipersiapkan khusus untuk pihak paranak (keluarga calon mempelai laki-

laki).

Pihak paranak datang kerumah pihak parboru dengan membawa pagori

(daging) yang dibawa dengan ampang (keranjang) yang ditutup dengan ulos ragi

hotang. Urutan masuknya juga diawali saudara perempuan yang sudah

berkeluarga dari pihak pengantin laki-laki yang memikul ampang (keranjang

berisi daging) didampingi suaminya. Atau apabila saudara perempuan dari pihak

laki-laki belum menikah maka boleh digantikan oleh namborunya (saudari

perempuan bapaknya). Lalu dibelakangnya pengantin laki-laki, kemudian

orangtua dari pengantin laki-laki. Lalu si pembawa ampang memberikannya

kepada pihak parboru. Lalu acara makan bersama diikuti dengan pemberian bunga

oleh pengantin laki laki ke pengantin perempuan, dan penyematan bunga kantong

59
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


32

oleh pengantin perempuan ke pengantin laki-laki. Seusai itu berangkat ke gereja

untuk menerima pemberkatan.60

2) Pesta Unjuk atau marunjuk

Pesta unjuk adalah pesta perkawinan adat batak, setelah melalui tahap sibuha-

buhai kemudian acara pemberkatan di gereja, seusai acara pemberkatan salah

seorang wakil suhut (keluarga yang menyelenggarakan pesta) dari paranak dan

parboru untuk berbicara mengundang para undangan yang hadir di gereja untuk

melanjutkan pesta ke gedung pertemuan (wisma) untuk menggelar pesta adat

perkawinan.61

3) Menerima Tamu

Tamu-tamu yang diundang setelah adanya pemberitahuan yg diberikan pada

saat digereja datang ke wisma untuk ikut menyelenggarakan upacara adat. Tamu

yang bukan merupakan pihak hula-hula dari parboru maupun paranak (keluarga

laki-laki dari pihak yang semarga dengan istri atau ibudari pihak pengantin laki-

laki dan pengantin perempuan) boleh masuk terlebih dahulu kedalam wisma untuk

bersiap-siap menikmati jamuan makan yang telah disediakan dan biasanya

dipandu oleh raja parhata masing-masing pihak. Hula-hula parboru dan paranak

baru dapat masuk apabila telah dipersilahkan.

Rombongan hula-hula ini membawa dengke siuk (ikan mas) dan boras sipir

ni tondi (beras yang dibawa diatas kepala dengan tandok) yang diserahkan

langsung kepada suhut (keluarga yang menyelenggarakan pesta) yang

mengundang para rombongan hula-hula.


60
R. Tambun, Hukum Adat Dalihan Na Tolu, (Medan: Mitra Medan,2006), hlm.78.
61
Richard Sinaga, op.cit., hlm.139.

Universitas Sumatera Utara


33

Bila pengantin yang diiringi para kerabat dekat masuk, maka raja parhata

akan meminta para tamu untuk berdiri menyambut pengantin duduk di pelaminan

sambil diiringi oleh irama gondang. Setiba di pelaminan, boru dari suhut parboru

menerima bawaan dari hula-hula berupa dengke dan boras sipir ni tondi. Setelah

bersalaman hula-hula tersebut dipandu ke tempat duduk mereka yang telah

disediakan menurut tugas masing-masing.62

4) Acara Makan

Sebelum acara makan dimulai terlebih dahulu pihak paranak menyerahkan

tudu-tudu sipanganon yang sudah dipersiapkan boru. Lalu suhut paranak

(keluarga dari pengantin laki-laki), pamarai (saudara laki-laki ayah pengantin

pria), simandokhon (saudara laki-laki dari ayah pengantin laki-laki yang sudah

menikah) datang untuk menerima tudu-tudu sipanganon yang diserahkan oleh

paranak untuk sama sama memegang pinggiran dari piring tudu-tudu sipanganon

sebagai tanda penjalinan kekeluargaan dan rasa syukur telah berlangsungnya acara

perkawinan.63

5) Menerima Tumpak

Sehabis makan para undangan, diadakanlah acara membagi jambar juhut

(daging). Biasanya jambar ini diberikan kepada pihak suhut (keluarga yang

menyelenggarakan pesta) dari parboru dan paranak, dongan tubu, boru, dongan

sahuta dan hula-hula. Pada saaat pembagian jambar tersebut jugalahparanak

meminta waktu untuk menerima tumpak (amplop berisi uang yang diberikan oleh

62
Ibid.
63
Ibid, hlm. 140

Universitas Sumatera Utara


34

para undangan) yang diletakkan kedalam ampang (keranjang) yang berada di

hadapan suhut sambil menyalami pengantin.64

6) Pembicaraan mengenai sisa sinamot dan pemberian titin marakhup.

Mengenai pembicaraan sisa sinamot ini sudah dibicarakan sewaktu marhata

sinamot, namun pada saat pesta adat dibicarakan lagi karena pada umumnya orang

Batak membayarkan sinamot tidak selalu sepenuhnya pada saat kesepakatan

mengenai sinamot dilakukan sebelumnya. Akan tetapi sengaja membayarkan

sekitar setengah atau lebih agar pada saat pesta adat dapat melakukan

pembicaraan adat yang salah satunya membahas mengenai sisa sinamot yang

belum terbayarkan.65

Serta setelah itu dilakukan juga proses panandaiaon (pengenalan) yaitu

merupakan proses dimana kedua keluarga besar mempelai memberikan dan

menerima amplop berisi uang kepada masing-masing pihak. Panandaiaon ini

dilakukan dengan cara bersalaman sambil memberikan amplop berisi uang,

biasanya proses panandaiaon ini disertai dengan musik gondang yang bertanda

sebagai sukacita kedua keluarga.

Setelah selesai kedua acara tersebut masuklah ke proses memberikan titin

marakhup yaitu memberikan sejumlah uang kepada pihak tulang sebagai bentuk

permintaan maaf karena tidak mengambil atau menikahi anak perempuan tulang.

Permintaan maaf ini dilakukan bukan tanpa alasan, karena laki-laki batak

diharuskan untuk menikahi paribannya (anak perempuan dari tulangnya) apabila

tidak dilakukan harus dilakukan somba tulang sebagai tanda meminta restu dari
64
Ibid.
65
R. Tambun, op.cit., hlm.79.

Universitas Sumatera Utara


35

tulang karena tidak menikahi anak perempuannya, dan memberikan titin

marakhup yaitu sejumlah uang sebagai tanda permintaan maaf yang diberikan

pada waktu pelaksanaan upacara adat.66

Titin marakhup ini dibuat di sebuah piring yang diberikan pihak paranak

kepada pihak tulang (hula-hula). Pemberian ini disertai dengan sebuah kalimat

dari pihak paranak yaitu untuk meminta pihak hula-hula untuk menerima

mempelai perempuan sebagai berenya dan dianggap atau diperlakukan seperti

anak perempuannya sendiri. Jadi apabila memiliki masalah dengan suaminya

dapat dimusyawarahkan atau dibicarakan terlebih dahulu tentang penyelesaiannya

kepada hula-hulanya, jangan langsung mengadu kepada orangtuanya. 67

7) Mangulosi atau na manjalo ulos marhadoan (ulos tuhonan).

Mangulosi ini merupakan suatu upacara yang dilakukan sebagai tanda ucapan

bahagia ataupun ucapan syukur karena telah terbentuk suatu rumah tangga yang

baru dan termasuk juga pemberian ulos ini sebagai tanda restu masing masing

keluarga kepada kedua mempelai.

Pada saat mangulosi yang pertama kali diberikan ulos tuhonan adalah mertua

dari pengantin wanita yang disebut sebagai ulos pansamot dan yang memberikan

ulos ini adalah orangtua dari pengantin wanita sebagai tanda memohon atau

meminta agar anak perempuannya diperlakukan dan dianggap seperti anaknya

sendiri.

Kemudian yang selanjutnya diberikan ulos tuhonan adalah pengantin yang

disebut sebagai ulos hela. Ulos ini diberikan oleh orangtua pengantin wanita

66
Ibid
67
Richard Sinaga, op.cit., hlm.156.

Universitas Sumatera Utara


36

sebagai tanda restu dan doa dari orangtua untuk keluarga baru anaknya. Selain itu

ulos tuhonan juga diberikan kepada abang atau adik dari pihak keluarga ayah

mempelai laki-laki yang diberikan oleh orangtua mempelai wanita disebut sebagai

ulos pamarai dan setelah itu orangtua mempelai wanita juga memberikan ulos

tuhonan kepada adik laki-laki kandung dari mempelai laki laki yang disebut

sebagai ulos simolohon.68

Ulos tuhonan merupakan sejumlah ulos yang sudah disepakati sebelumnya

oleh kedua belah pihak keluarga yang akan diberikan oleh orangtua pihak

mempelai perempuan kepada keluarga pihak mempelai laki-laki.

Selain ulos tuhonan terdapat juga beberapa macam ulos lain yaitu:

1. Ulos holong

Diatas sudah dijelaskan mengenai ulos tuhonan yang merupakan

pemberian dari orangtua mempelai wanita kepada keluarga mempelai laki-

laki maka setelah itu dilakukanlah balasan dari keluarga pihak laki-laki

(paranak) kepada pihak perempuan (parboru) yang urutan pemberiannya

juga sama seperti ulos tuhonan perbedaannya hanya pada pemberian ulos

holong ini keluarga pihak mempelai laki-laki juga ikut mengulosi atau

memberikan ulos kepada pihak hula-hula atau tulangnya pengantin laki-

laki.

2. Ulos manogu

Ulos ini merupakan ulos terakhir atau penutup yang diterima oleh

pengantin. Ulos ini diberikan oleh pihak tulang dari pengantin laki-laki

68
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


37

yang diberikan sebagai tanda bahwa tulang dari pengantin laki-laki

memberikan restu dan ijin kepada kedua mempelai untuk membangun

rumah tangga yang baru dan menerima pengantin wanita sebagai berenya

atau sama seperti anak perempuannya sendiri.69

8) Mangolop-olop dan ulaon sadari.

Mangolop-olop ini merupakan acara penutup yaitu pihak keluarga

mengucapkan terimakasih kepada natua-tua ni huta (orang yang dituakan) dan

diikuti dengan salah seorang boru (suami dari saudara perempuan bapak) dari

pihak paranak (keluarga mempelai laki-laki) mengantar sejumlah uang ke parhata

(protokol) pihak parboru (keluarga mempelai perempuan) dan boru (suami dari

saudara perempuan bapak) dari keluarga mempelai perempuan. Setelah uang

tersebut terkumpul, maka raja parhata parboru akan berkata :

“Hadirin berdiri dan marilah dengan serentak mengucapkan: olop-olop tiga

kali.” Setelah mengucapkan kata olop-olop pihak boru dari masing-masing suhut

(keluarga yang mengadakan pesta) membagikan uang tersebut kepada para

undangan yang ada, tanda sudah selesailah upacara adat perkawinan tersebut.

Kemudian setelah penutupan mangolop-olop dilanjutkan dengan ulahon

sadari. Sebenarnya ulahon sadari ini dilakukan setelah pesta adat perkawinan.

Akan tetapi sudah dimodernisasi dengan dilakukan secara formalitas pada saat

pesta adat perkawinan sudah selesai dilaksanakan. Ulaon sadari ini merupakan

acara paulak une dan maningkir tangga yang dilakukan di akhir pesta yang

dilakukan di wisma atau gedung pernikahan.

69
Ibid., hlm.158

Universitas Sumatera Utara


38

Paulak une adalah acara dimana pihak keluarga laki-laki datang ketempat

pihak keluarga perempuan membawa pagori (daging) untuk mempererat tali

silaturahmi yang sudah terbentuk karena pernikahan. Supaya tidak terjadi

kekakuan diantara dua keluarga ini. Paulak une maksudnya supaya kembali

kebaikan itu seperti pada pesta pernikahaan berlaku. Jika dahulu hal ini

dilaksanakan seminggu setelah acara adat pernikahan selesai.

Datang juga pihak perempuan membawa makanan ketempat pihak paranak

(laki-laki) dengan membawa dekke sinudur-udur dan itulah yang disebut dengan

tikkir tangga. Kedua acara ini dilakukan secara formalitas sebelum doa penutup

pesta dilakukan. Dalam suasana masih berdiri, seusai olop-olop dibagikan.

Pihak parboru datang dengan mengangkat keranjang (ampang) berisi beras

(boras sipir ni tondi) , ikan (dengke) dan lampet (makanan khas batak) dan

meletakkannya di hadapan pihak keluarga mempelai laki-laki. Lalu sebaliknya

pihak keluarga mempelai laki-laki mendatangi tempat duduk dari pihak keluarga

mempelai wanita dengan membawa hal yang sama lalu meletakkannya dihadapan

keluarga mempelai wanita.70

C. Setelah Upacara Perkawinan

Upacara setelah perkawinan ini bukanlah sesuatu yang diharuskan dilakukan

setelah upacara perkawinan selesai dan kemudian dilaksanakan beberapa hari

kemudian. Akan tetapi dapat dilakukan sesaat setelah upacara perkawinan adat

dilaksanakan. Dengan kata lain pada hari yang sama dengan pesta perkawinan

tersebut dilaksanakan.

70
R. Tambun, op.cit., hlm.150.

Universitas Sumatera Utara


39

Beberapa orang lebih memilih untuk melaksanakan upacara setelah

perkawinan ini dihari lain setelah pesta adat perkawinan dilaksanakan, dengan

alasan waktu yang sudah terlalu lama, kelelahan para anggota keluarga, serta

biasanya wisma atau gedung perkawinan memiliki batasan waktu pakai.

Upacara yang dilakukan setelah upacara adat perkawinan yaitu :

a. Mebat (Paukak Une)

Artinya bahwa setelah kira-kira satu minggu, maka kedua pengantin dengan

beberapa orang keluarganya datang ke rumah orangtua dari perempuan. Sebelum

Mebat ini maka si wanita dengan suaminya belum boleh untuk berkunjung ke

rumah orangtua si wanita tersebut. Pada acara ini biasanya adalah untuk

kesempatan bagi kedua orangtua untuk memberikan nasehat-nasehat kepada

kedua suami istri yang baru itu.

b. Maningkir Tangga

Maningkir artinya melihat, berarti dalam hal ini kedua orangtua si wanita beserta

beberapa orang keluarganya datang ke rumah orangtua si laki-laki untuk

melihat rumah tangga anaknya. Kedatangan mereka ini selalu membawa

makanan adat.

c. Manjae

Setelah semua upacara selesai maka orangtua si laki-laki menyuruh anaknya

dengan istri untuk hidup tidak serumah dengan orangtuanya. Orangtua dari si laki-

laki akan memberikan peralatan dan makanan secukupnya sambil menunggu

panen dari sawah mereka. Dengan demikian suami istri yang baru itu akan berdiri

Universitas Sumatera Utara


40

sendiri sebagai rumah tangga yang mempunyai hak dan kewajiban penuh menurut

adat.71

71
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

PERANAN ATAU KEDUDUKAN DALIHAN NA TOLU DALAM

PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA

A. Pengertian dan unsur Dalihan Na Tolu

a. Pengertian Dalihan Na Tolu

Makna kata budaya ialah pikiran atau akal budi. Berbudaya berarti

mempunyai pikiran atau mempunyai akal budi. Pikiran atau akal budi itu

bekerja dan menghasilkan sesuatu yang dianggap berguna dan dianggap baik

untuk kehidupan lingkungannya. Keseluruhan hasil kerja akal budi itu

diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya,

itulah yang disebut kebudayaan dan secara umum itulah definisi

kebudayaan.72

Definisi adat budaya menurut para leluhur orang Batak ialah sebagai

berikut: “Adat do ugari sinihathon ni Mulajadi, siradotan manipat ari siulaon

di siulubalangsari”. Bila diterjemahkan secara harfiah: adat adalah budaya

yang diilhamkan Tuhan Pencipta, yang harus dipelihara setiap saat, dan

dilaksanakan atau dilakukan dalam kehidupan. Adat budaya adalah hukum

atau aturan yang harus dipelihara sepanjang hari dan dilaksanakan sepanjang

hidup. Adat budaya tersebut diterima sebagai suatu kewajiban agar perjalanan

hidup pribadi, keluarga, serta masyarakat berjalan tentram, tertib, dan

sejahtera.73

72
H.P.Panggabean, Hukum Adat Dalihan Na Tolu tentang Hak Waris, (Jakarta: Dian
Utama,2007), hlm.90.
73
Ibid.

41

Universitas Sumatera Utara


42

Apabila orang Batak selalu terus-menerus berada dalam kehidupan beradat

berbudaya, dalam bahasa Batak disebut maradat. Maka ketentraman dan

kesejahteraan itu akan terpelihara. Maradat yang dimaksud ialah tertib

berkerabat dan tertib bermasyarakat. Tertib berkerabat dan bermasyarakat di

adat budaya Batak itu diatur dalam struktur Dalihan Na Tolu.74

Dalihan Na Tolu merupakan salah satu bentuk hukum adat yang masih

berlaku dan dihormati oleh masyarakat adat Batak, salah satunya masyarakat

adat Batak Toba. Sebagaimana diketahui bahwa hukum adat merupakan

hukum yang tidak tertulis yang hidup dan berkembang sejak dulu di dalam

masyarakat. Walaupun tidak tertulis namun hukum adat memiliki akibat

hukum terhadap siapa saja yang melanggarnya. Norma-norma dan nilai nilai

yang ada di dalam hukum adat sangat dipatuhi dan dipegang teguh oleh

masyarakat adat. Hukum adat bagi masyarakat berfungsi sebagai neraca yang

dapat menimbang kadar baik atau buruk, salah atau benar, patut atau tidak

patut, pantas atau tidak pantas atas suatu tindakan atau peristiwa dalam

masyarakat.75

Dalihan Na Tolu ini merupakan salah satu pelaksana atau perpanjangan

tangan dari fungsi hukum adat di dalam masyarakat, dimana Dalihan Na Tolu

bukan hanya memiliki peran dalam upacara adat perkawinan saja, tetapi juga

dalam upacara adat kelahiran bahkan kematian. Adapun pengertian dari

Dalihan Na Tolu ini secara harfiah ialah “ tungku nan tiga” yang merupakan

lambang jika dilihat dengan sistem sosial Batak yang juga memiliki tiga tiang
74
Ibid.
75
Suriyaman Masturi Pide, Hukum adat dahulu, kini, dan akan datang, (Jakarta :
Prenadamedia Goup, 2014), hlm.87.

Universitas Sumatera Utara


43

penopang yaitu : Dongan Sahuta, Hula-Hula dan Boru. Dalihan Na Tolu

merupakan tatanan sosial kemasyarakatan orang Batak yang diibaratkan

dengan tungku masak berkaki tiga. Pengertian dari Dalihan yaitu tungku yang

dibuat dari batu, sedangkan Dalihan Na Tolu adalah tungku tempat memasak.

Dalihan ini haruslah dibuat sama besar, ditanam dengan jarak yang simetris

dan tingginya harus sama serta harmomis agar dapat menjadi tempat masak

yang sempurna untuk digunakan.76

Pada zaman dahulu masyarakat Batak memiliki kebiasaan memasak diatas

tiga tumpukan batu yang disusun sedemikian rupa untuk bisa menjadi tempat

memasak dengan menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakarnya. Tiga

tumpukan batu atau disebut juga tiga tungku itu dalam bahasa Batak disebut

dengan Dalihan. Penempatan ketiga tungku batu tersebut secara sama dan

simetris serta harmonis sesuai dengan suatu falsafah yang ada dalam

masyarakat Batak yaitu Dalihan Na Tolu Paropat Sihal-Sihal yang

dimaknakan sebagai kebersamaan yang cukup dan adil dalam kehidupan

masyarakat Batak.77

Tungku merupakan salah satu peralatan rumah yang sangat penting

keberadaannya karena menyangkut kebutuhan hidup anggota keluarga,

tungku berfungsi untuk memasak makanan dan minuman yang merupakan

salah satu kebutuhan pokok manusia dalam kehidupannya. Maka dengan

pemikiran mengenai kegunaan tiga tungku yang sangat membantu dalam

76
P.L.Situmeang Doangsa, Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba,
(Jakarta : Kerabat, 2007), hlm.205.
77
Netral News, “Falsafah orang Batak Toba”, diakses dari
http://www.netralnews.com/news/rsn/read/35703/ini-falsafah-orang-batak-toba-dalam-dalihan-
natolu, pada tanggal 18 Juli 2018, pukul 10.00

Universitas Sumatera Utara


44

kehidupan masyarakat, maka para penatua adat atau para tua-tua adat

terdahulu membuat suatu produk hukum atau suatu rekayasa sosial dengan

menciptakan keteraturan dan ketertiban bermasyarakat bagi keturunannya. 78

Terhadap seorang kerabat tertentu pasti terdapat hubungan sungkan,

tetapi dengan anggota anggota lainnya ada hubungan bebas. Dalihan na tolu

adalah nilai budaya dari pencipta yang menjadi sumber atau orientasi dari

sikap dan tingkah laku suku Batak didalam kehidupannya pada hubungan

bersosial budaya. Dalam hubungan sosial budaya tersebut dalihan na tolu itu

disebut sebagai sistim kemasyarakatan suku Batak atau dalam hubungan yang

lebih khusus kita sebut sebagai sistim kekerabatan.79

Berdasarkan konsep tiga tungku yang menggambarkan sistim

kemasyarakatan suku batak maka disusun tiga kelompok yaitu Dongan tubu,

Hula-Hula serta Boru. Nama setiap kelompok juga mengisyarakan fungsi

sosial setiap kelompok. Dengan demikian, satu dari kaki tungku

menggambarkan kelompok dan fungsi dari dongan tubu yaitu orang-orang

yang memiliki marga yang sama. Kaki kedua menggambarkan kelompok dan

fungsi dari hula-hula, yaitu kumpulan dari beragam marga asal para istri dan

orang semarga. Kaki ketiga menggambarkan kelompok dan fungsi Boru yaitu

kumpulan beragam marga asal suami dan perempuan semarga.80

Ketiga kelompok tersebut adalah dasar berpijak dan tonggak penopang

(pilar) dalam pergaulan hidup masyarakat Batak atau dengan kata lain sebagai

78
P.L.Situmeang Doangsa, op.cit., hlm.205.
79
Raja Marpondang, Dalihan na tolu nilai budaya suku batak, (Medan : CV.
Armanda,1992), hlm.60.
80
P.L.Situmeang Doangsa, op.cit., hlm.206.

Universitas Sumatera Utara


45

suatu tatanan sosial masyarakat. Tadi telah dikatakan masing-masing dalihan

berdiri sendiri ditanam sedemikian rupa pada satu tempat dan ditata agar

ketiga tungku itu tetap harmonis dan diantara ketiga tungku yang ditanam

sejajar dan harmonis terdapat batu batu kecil sebagai penopang dalihan agar

tetap kokoh saat dipakai untuk memasak.81

Dalam sistem sosial masyarakat Batak dikenal istilah sihal-sihal. Dalam

ungkapan sehari-hari disebutkan dengan Dalihan Na Tolu Paopat Sihal-Sihal

yang artinya Tungku Nan Tiga ditambah batu keempat selaku batu sisipan.

Diakui batu keempat ini penting dan berguna menjadikan ataupun

menyempurnakan kestabilan terhadap Dalihan Na Tolu yang berada dalam

kondisi timpang. Sihal-sihal sebagai pembawa stabilitas terhadap

ketimpangan dalihan na tolu tetapi kehadirannya tidak diharapkan atau

diperlukan dalam kondisi dalihan na tolu yang berada dalam keadaan stabil.82

Fungsi sihal sihal tidak terlalu diperlukan dalam suatu persoalan tertentu,

tetapi tetap ada dalam acara adat. Tidak ada orang Batak yang ingin

persoalannya dicampuri pihak lain kalau masih dapat diselesaikan dalam

lingkungan dalihan na tolu. Jadi dapat dikatakan bahwa sihal-sihal tersebut

dapat digambarkan sebagai penolong atau orang dekat dari struktur dalihan

na tolu tetapi bukan termasuk dalam keluarga. Sihal- sihal ini biasanya

diperankan oleh dongan sahuta. Pengurus perkumpulan parsahutaon (satu

kampung) itulah yang berperan sebagai sihal-sihal di sebuah acara adat.83

81
Ibid.
82
Richard Sinaga, Perkawinan adat dalihan natolu, (Jakarta : Dian Utama, 2012),
hlm.20.
83
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


46

Demikianlah keadaan kekerabatan suku batak dan pandangan hidupnya,

bahwa suhut (keluarga yang menyelenggarakan pesta), hula-hula, dan boru

masing-masing mempunyai pribadi dan harga diri, tahu akan hak dan

kewajiban sebagai pelaksana tanggung jawab pada kedudukannya satu saat.

Pada satu saat kejadian seseorang dikatakan boru tetapi pada saat kejadian

lain ia dapat menjadi suhut atau hula-hula. Hal tersebut bergantung pada

kejadian yang terjadi saat itu, yang penting diingat adalah siapa yang menjadi

pusat kejadian begitu juga dengan posisi dari sihal-sihal yang biasanya

merupakan dongan sahuta atau dapat juga disebut ale-ale atau sahabat.84

Adat dalihan na tolu akan berjalan dengan baik bila didukung oleh

pelaku adat yang lengkap. Unsur pelaku adat di sebuah acara itu ialah dongan

tubu, boru, hula-hula serta dongan sahuta atau ale-ale. Tanpa peran salah

satu unsur tersebut dapat dikatakan acara adat yang digelar itu bercela.

Karena itu kehadiran unsur pelaku adat tersebut sangat diharapkan di sebuah

acara adat.85

Jika hal itu sudah disadari maka ketiga kelompok tersebut dapat

mengatur dirinya sendiri dalam wujud Dalihan Na Tolu. Disinilah peran

marga untuk menentukan kedudukan. Pertalian apa yang ada diantara

seseorang dengan pusat kejadian. Masyarakat Batak menjunjung tinggi

hubungan kekerabatannya,dalam hal ini disebut marga atau klan, terdapat

suatu hukum marga dalam masyarakat Batak, yaitu menetapkan papangan so

jadi pisung, artinya tidak boleh makan sendiri atau harus mengutamakan

84
Raja Marpondang, op.cit., hlm.53.
85
Richard Sinaga, op.cit., hlm.13.

Universitas Sumatera Utara


47

kebersamaan dan kepentingan bersama, keperdulian antara sesama anggota

marga atau clan, dan hidup bergotong royong. 86

Hukum marga ini juga menetapkan bongbong yaitu larangan menikah

dengan kawan semarga. Dalam adat Batak, kawan semarga merupakan

anggota keluarga walaupun tidak memiliki hubungan darah, karna dipercayai

bahwa apabila memiliki marga yang sama maka asal muasalnya sama atau

dengan kata lain memiliki garis keturunan yang sama (satu nenek moyang).

Sehingga sangat tabu (pantang) sesama kawan semarga untuk menikah.

Pernikahan antar marga tersebut telah menciptakan eksistensi Hula-hula dan

boru. Dengan kata lain, terciptanya Dalihan Na Tolu merupakan konsekuensi

logis dari hukum Bongbong.87

Diantara para anggota suatu perkumpulan marga terdapat larangan untuk

tidak saling kawin. Selain karena alasan semarga ada juga alasan lain yaitu

karena adanya ikatan persahabatan yang terjadi antara suatu marga tertentu

seperti marga Sitorus dan Nababan. Karena bersahabat, nenek moyang

mereka mengucapkan ikrar supaya keturunan mereka tidak saling kawin,

biasa disebut sebagai padan. Na marpadan tidak bisa melaksanakan

perkawinan karena ada perjanjian terdahulu dengan nenek moyangnya

masing-masing.88

Bukan karena dongeng, karangan-karangan tanpa dasar, leluhur

membuktikan dirinya memiliki kemampuan yang prima sebagai suatu

komunitas yang baik, teratur dan tertib. Oleh sebab itu, setiap pribadi orang
86
Ibid.
87
Raja Marpondang, op.cit., hlm.53.
88
Sulistyowati Irianto, op.cit., hlm.96.

Universitas Sumatera Utara


48

Batak dapat berkedudukan atau berfungsi sebagai Dongan tubu, hula-hula

atau boru. Maka setiap pribadi Batak memiliki tiga fungsi. Fakta atau

kenyataan membuktikan bahwa tatanan Dalihan Na Tolu telah dipergunakan

atau difungsikan oleh mayoritas masyarakat batak hingga saat ini.89

Falsafah Dalihan Na Tolu menunjukkan solidaritas persatuan dan sikap

saling menghormati diantara sesama manusia. Hal ini disebabkan karena

sistem etika yang mengayomi para pihak didalam Dalihan Na Tolu, adapun

etika itu digariskan sebagai berikut :

1. Somba Marhula-hula

2. Manat Mardongan Tubu

3. Elek Marboru90

Apabila sikap etika ini diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia akan

berarti sebagai berikut : “Berlakulah dengan sikap sujud dan hormat (somba)

terhadap Hula-hula (kelompok keluarga isteri kita, kelompok keluarga ibu

kita, kelompok keluarga isteri putra kita serta terhadap marga yang sejenis

dengan kelompok itu), berlakulah dengan sikap hati-hati (manat) terhadap

saudara dan semarga kita, dan berlakulah dengan sikap membujuk dan

mengasihi (elek) terhadap pihak keluarga suami anak dara kita”.91

1. Somba Marhula-Hula

Sikap somba marhula-hula mencakup arti antara lain :

a. Sujud atau menyembah

b. Hormat
89
Ibid.
90
R.Tambun, op.cit, hlm.37.
91
Richard Sinaga, op.cit., hlm.21.

Universitas Sumatera Utara


49

c. Patuh dan tunduk

d. Berterimakasih

e. dan lain-lain.

Sikap ini ditampilkan oleh pihak “boru” terhadap “hula-hula” karena

kesadaran bahwa hula-hula merupakan sumber untuk mendapatkan pahala

dan berkah bagi dirinya (boru) dan juga merupakan sumber matahari terbit,

yakni tempat darimana keturunan datang atau berlangsung. Somba ataupun

sujud terhadap hula-hula adalah berarti sujud terhadap Tuhan, karena melalui

perantaraan hula-hula, Tuhan menyalurkan berkatNya. Bagi orang-orang

batak, hula-hula dianggap sebagai “Debata na ni ida” (Tuhan yang dapat

dilihat) di dunia ini. Oleh karenanya haruslah disembah, dihormati, berlaku

sopan dan dipatuhi serta harus selalu berterimakasih melalui perbuatan dan

sikap, hati yang tulus dan ikhlas mengingat perlakuan dan kasih sayang yang

senantiasa diterima oleh boru tersebut yang didapat dari hula-hulanya.92

Memberi sikap hormat terhadap hula-hula adalah sebagai penghargaan

terhadap ibu sendiri atau terhadap istri sendiri. Umpansaatau perumpamaan

Batak terdapat:

“Obuk do jambulan nidandan bahen samara.

Pasu-pasu ni hula-hula/tulang pitu sundut soada mara.”.

Artinya doa restu hula-hula tujuh generasi terhindar dari marabahaya. Orang

Batak meyakini berkat atau doa restu dari hula-hula dapat membuat hidup

selalu terhindar dari berbagai kemelut dan sangat berpengaruh dalam

92
R.Tambun, op.cit, hlm.37.

Universitas Sumatera Utara


50

perjalanan hidup borunya.93

Menurut kepercayaan orang-orang Batak, manakala seseorang boru tidak

beradat terhadap hula-hulanya, maka si boru tersebut tidak akan memperoleh

pahala dan berkat dari Tuhan dan si boru tersebut akan selalu mengalami

berbagai kesulitan dalam perjalanan hidupnya, dan sekiranya pun dia kaya

serta memiliki banyak keturunan, maka kekayaan dan keturunannya itu

bukannya mendatangkan kebahagiaan padanya akan tetapi malah

mendatangkan malapetaka dan kesialan, percecokan, serta perpecahan

terhadap sesamanya. Sikap tidak beradat tersebut juga juga akan

menimbulkan ketidak harmonisan didalam hidupnya secara terus-menerus,

bukan hanya pihak boru tersebut tetapi juga berimbas kepada keturunanya. 94

Untuk menghindari sikap tidak beradat tersebut maka orang Batak sudah

memiliki umpansa atau pengumpamaan yang harus selalu diajarkan oleh

orang batak kepada keturunanya yaitu :

“Baris-baris ni gaja,

Di rura pangalaon;

Molo marsuru raja,

Sitongka so oloan.”

Yang memiliki arti :

“Iring-iringan gajah,

Di lembah Pagaloan

Kalau raja memberi perintah,

93
H.P.Panggabean, op.cit., hlm.93.
94
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


51

Pantang untuk menolaknya”.95

Pribahasa diatas menggambarkan betapa tingginya wibawa dari seorang

hula-hula yang disebut sebagai raja oleh borunya. Dan sudah seharusnya bila

seseorang boru mau berterimakasih dan selalu mengharapkan hal-hal yang

baik dari pihak hula-hulanya, maka wibawa dari hula-hula tersebut haruslah

dijunjung tinggi kapan dan dimanapun. Karena satu-satunya kehormatan yang

tidak ternilai harganya bagi seorang boru adalah bila dalam kehidupan sehari-

hari, ia selalu bersedia untuk bersikap hormat dan menjunjung tinggi wibawa

dari hula-hulanya. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa “somba marhula-

hula” diartikan sebagai sikap sujud, tunduk dan loyal terhadap hula-hula

sebagai imbalan perlakuan sayang yang senantiasa ditunjukkannya. 96

2. Manat Mardongan Tubu

Hubungan manat mardongan tubu itu diibaratkan seperti air bila ditebas

akan selalu cepat menyatu. Karena itu disebut : “songon tampulon aek do na

mardongan tubu. Sisada lulu anak sisada lulu boru.” Artinya yang semarga

laki-laki atau perempuan sama-sama mengayomi dan sama-sama memberi

tanggung jawab.97

Manat mardongan tubu ini mencakup arti antara lain :

a. Keseriusan atau kesungguhan

b. Kejujuran

c. Bermusyawarah

d. Saling menghormati
95
R.Tambun, op.cit., hlm.39.
96
Ibid.
97
H.P.Panggabean, op.cit., hlm.92.

Universitas Sumatera Utara


52

e. Saling pengertian

f. Keterbukaan

g. Kebersamaan

h. dan lain-lain.98

Sikap ini ditampilkan oleh pihak semarga (mardongan tubu) terhadap

sesamanya, karena kesadaran bahwa struktur masyarakat Dalihan na tolu

pada dasarnya harus berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dalam artian

sama-sama menjunjung satu sama lainnya. Oleh sebab itu orang-orang yang

mardongan tubu atau semarga berarti saling terikat oleh hak-hak dan

kewajiban-kewajiban tertentu karena setanah dan seadat, baik dalam suka

maupun duka. Kesatuan dan persatuan dipelihara para pihak yang semarga

dengan baik disertai dengan solidaritas yang tinggi diantara sesamanya.

Barang siapa melanggar disiplin kesatuan dan persatuan yang dibina bersama,

maka yang bersangkutan akan mengalami kerugian besar baik moril maupun

materil, dikarenakan yang bersangkutan sudah pasti tersingkir dari sesama

kerabatnya sendiri, dan kalaupun tidak tersingkir, maka hak dan

kewajibannya secara adat jadi hilang dan yang bersangkutan akan dianggap

sebagai “sihal-sihal”(orang lain).99

Berdasarkan tradisi disiplin yang sangat kuat diantara orang perorangan

yang semarga dalam hal menjaga solidaritas bersama ataupun kepentingan-

kepentingan bersama, maka tidak heran apabila dalam masyarakat adat

Dalihan na tolu harus berhati-hati terhadap dongan tubu. Hal ini adalah

98
R.Tambun, op.cit., hlm.41.
99
Ibid,hlm.41.

Universitas Sumatera Utara


53

konsekuensi kesamaan hak dan kewajiban diantara mereka. Oleh karenanya

sikap otoritas tidak cocok diantara orang-orang yang “mardongan tubu” atau

semarga. Itu sebabnya bagi setiap orang Batak yang memiliki kedudukan

yang sama dalam suatu kelompok dalihan na tolu selalu diingatkan dengan

peribahasa :

“Masiamin-aminan songon lampak ni gaol,

Masitungkol-tungkolan songon suhat dirobean,

Mangangkat rap tu ginjang, manimbung rap tu toru,

Asa marsinondang songon bulan.”

Yang artinya adalah :

Saling merangkul seperti pelepah pisang,

Saling menopang seperti talas di ladang,

Melompat sama keatas, terjun sama kebawah,

Agar bersinar seperti bulan”.100

Pribahasa diatas menggambarkan betapa perlunya kesetiaan di segala

bidang bagi orang-orang yang bersaudara, semarga yang sudah tentu harus

dipelihara dan dipertahankan oleh yang bersangkutan secara bersama-sama.

Kebahagiaan dan sukacita yang paling berharga dan mahal bagi sesama orang

yang mardongan tubu adalah apabila pihak dongan tubunya (saudara) bisa

bekerjasama dengannya dalam segala bentuk suku maupun duka yang

mungkin terjadi dalam kehidupannya. Ungkapan yang sangat cocok untuk

manat mardongan tubu ini adalah “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”

100
Ibid, hlm.42.

Universitas Sumatera Utara


54

harus dipraktekkan sesama yang mardongan tubu dalam kehidupan sehari-

hari.101

3. Elek Marboru

Elek marboru ini mencakup arti antara lain :

Terhadap boru haruslah di elek atau dibujuk dan dikasihi. Karena apabila

boru tidak bersikap baik, maka saudara laki-lakinya yang akan terbeban.102

a. Pendekatan yang membujuk

b. Menyayagi

c. Menghibur

d. Memuji perbuatan baiknya

e. Memahami isi hatinya

f. Mengayomi

g. Menepati janji

h. Sikap lain yang sepadan.103

Sikap seperti ini ditampilkan pihak “hula-hula” terhadap pihak “boru”

nya dengan kesadaran bahwa pihak boru itulah yang terutama sebagai sumber

kelestarian wibawa atau kehormatan dari pihak hula-hula. Boru ialah

kelompok orang dari saudara perempuan kita, dan pihak marga suaminya atau

keluarga perempuan dari marga kita. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita

dengar istilah elek marboru yang artinya agar saling mengasihi supaya

mendapat berkat (pasu-pasu). Istilah boru dalam adat batak tidak memandang

status, jabatan, kekayaan oleh sebab itu mungkin saja seorang pejabat harus
101
H.P.Panggabean, op.cit., hlm.93.
102
Richard Sinaga, op.cit., hlm.28.
103
R.Tambun, op.cit., hlm.43.

Universitas Sumatera Utara


55

sibuk dalam suatu pesta adat batak karena posisinya saat itu sebagai boru.104

Sehubungan dengan sikap ini maka orang Batak diingatkan dengan sebuah

peribahasa yang dianggap berkenaan dengan sikap dan kedudukan dari hula-

hula kepada borunya yaitu :

“ Ingkon holong do roha di boru, jala sipatiur-tiuron do sanggul ni boru,

asa uli rohana, ringgas suruon. Pasu-pasuon gabe naniulana, sinur

pinahanna, asa boi ibana pasangap iba, songon iba pasangap hula-

hulaniba”. Artinya : “Kita harus menyayangi boru, dan kita harus selalu

berusaha memperindah penampilan boru, hal ini menggambarkan

kesudian kita memberi semangat dan menerangi hati dan fikirannya bila

sedang kalut supaya hatinya tetap baik, rajin apabila kita meminta tolong

melakukan sesuatu”. Ungkapan ini menggambarkan betapa pentingnya

membujuk hati boru mengingat peranannya yang sangat dibutuhkan

dalam setiap upacara adat.105

Pada hakikatnya setiap laki-laki dalam adat batak mempunyai 3 status

yang berbeda pada tempat atau adat yang diselenggarakan misalnya: waktu

anak dari saudara perempuannya menikah maka posisinya sebagai Hula-hula,

dan sebaliknya jika marga dari istrinya mengadakan pesta adat, maka

posisinya sebagai boru dan sebagai dongan tubu saat teman semarganya

melakukan pesta.106

b. Unsur-Unsur Dalihan Na Tolu

Adat dalihan natolu akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh
104
H.P.Panggabean, op.cit., hlm.93.
105
R.Tambun, op.cit., hlm.44.
106
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


56

pelaku adat yang lengkap. Unsur pelaku adat di sebuah acara itu ialah dongan

tubu, boru/bere, hula-hula, dan dongan sahuta. Karena setiap kegiatan atau

acara adat Batak ketiga unsur tersebut harus hadir dan berperan agar sesuai

dengan falsafah dan kebiasaan dari suku Batak yaitu adat budaya dalihan na

tolu.107

a. Dongan Tubu

Dongan tubu adalah saudara semarga. Setiap orang Batak pasti punya

marga. Marga adalah identitas keluarga dalam suku Batak. Karena bersifat

patrilineal, maka marga hanya dapat diturunkan atau diwariskan oleh kaum

lelaki saja. Dongan tubu atau disebut juga dongan sabutuha adalah keluarga-

keluarga satu marga. Contohnya seorang wanita batak yang menikahi seorang

lelaki bermarga sitorus berarti dongan tubu atau dongan sabutuhanya adalah

semua keluarga yang suaminya juga bermarga sitorus. Di dalam realita

kehidupan sehari-harinya, Dongan tubu (semarga) memiliki tugas yang

sangat penting dan sangat banyak. Baik suka maupun duka, Dongan tubu

akan tetap berkewajiban membantu. Dalam upacara perkawinan, Dongan

tubu lah yang harus pertama kali diberitahu rencana untuk melamar seorang

gadis. Cakupan semarga ini bisa sampai puluhan generasi keturunan seorang

moyang sepanjang semua keluarga itu masih tetap memelihara garis

keturunan atau silsilahnya dan masih tetap setia untuk tidak saling

mengawinkan keturunan masing-masing.108

Dongan Tubu juga adalah yang semarga dengan suhut. Suhut adalah

107
H.P.Panggabean, op.cit., hlm.94.
108
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


57

seorang atau sekeluarga yang berhajat menggelar acara adat. Acara adat yang

diharapkan suhut tidak akan terlaksana dengan baik bila tidak didukung oleh

unsur-unsur dalihan natolu atau para pelaku adat. Betapa pun si suhut itu

kaya, pejabat tinggi, atau semacamnya, bila suhut itu tidak berjalan pada

aturan adat maka adat yang digelar tersebut tidak akan terlaksana dengan

baik.109

Unsur-unsur Dalihan na tolu hanya mau dengan sepenuh hati membantu

dan mendukung serta menghadiri acara adat yang dilaksanakan oleh suhut

apabila si suhut tersebut pada waktu sebelumnya aktif sebagai pelaku adat

sesuai dengan posisinya disetiap acara adat. Hal ini dalam bahasa Batak Toba

tertuang dalam peribahasa : “Sisoli-soli do uhum siadapari do gogo”. artinya

: “Hadirilah dan laksanakanlah kewajibanmu pada acara adat sesuai dengan

posisimu, agar orang lain hadir dan melaksanakan kewajibannya pada acara

adat yang anda laksanakan”. Peribahasa ini sangat penting untuk diamalkan

dalam kehidupan sehari-hari, karena setiap adanya suatu upacara adat yang

dilaksanakan, seorang suhut (keluarga yang menyelenggarakan pesta)

umumnya bersifat pasif, perannya hanya sebatas mengurus kebutuhan

pengantin, yang berperan dalam mengurus segala hal dalam upacara adat

adalah saudara semarga (dongan tubu) serta perangkat dalihan na tolu dari si

suhut tersebut.110

b. Hula-hula

Hula-hula secara singkat dapat digambarkan sebagai keluarga dari pihak

109
Richard Sinaga, op.cit., hlm.13.
110
Ibid, hlm.14.

Universitas Sumatera Utara


58

wanita. Hula-hula adalah sapaan terhadap saudara laki-laki istri kita, saudara

laki-laki ibu yang melahirkan kita, saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan

ayah kita, saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan ayah kakek kita. Selain

yang disebut diatas, saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan istri kita,

saudara laki-laki dari istri saudara kita laki-laki, dan orang tua dari istri anak

kita adalah juga sebagai hula-hula. Sebagai contohnya yaitu misalkan seorang

gadis boru Sitorus (anak dari keluarga marga Sitorus) dan ibunya boru sinurat

menikah dengan seorang laki-laki bermarga Situmorang. Maka hula-hula dari

pemuda bermarga Situmorang tersebut adalah semua yang memiliki marga

Sinurat (marga dari ibu keluarga gadis yang dinikahinya). Setelah terikat oleh

pernikahan, si gadis akan masuk keluarga Situmorang, dan secara adat sudah

menjadi tanggungan pihak keluarga Situmorang (pihak laki-laki).111

Hula-hula ini dapat dikelompokkan sbb:

1. Hula-hula tangkas

2. Tulang.

3. Boaniari

4. Bonatulang.

5. Tulang Rorobot.

1. Hula-hula tangkas yaitu keluarga marga asal seorang isteri, Misalnya,

kalau isteri dalam satu keluarga Simbolon adalah boru (putri) dari keluarga

Napitupulu maka keluarga Napitupulu khususnya kerabat dekat orangtua

111
R.Tambun, op.cit .hlm.33.

Universitas Sumatera Utara


59

boru Napitupulu tersebut adalah hula-hula tangkas keluarga Simbolon

tersebut.

2. Keluarga marga asal ibu. Kalau seorang suami adalah putra seorang wanita

berboru Simanjuntak, maka keluarga Simanjuntak darimana ibunya

berasal adalah hula-hula keluarga suami tersebut, yang disebut juga

"tulang".

3. Keluarga marga asal nenek. Misalnya nenek satu keluarga dari pihak pria

adalah boru Tambunan, maka keluarga Tambunan darimana sang nenek

berasal adalah hula-hula keluarga keturunan nenek tersebut, yang

selanjutnya disebut "bona ni ari".

4. Keluarga marga asal nenek buyut. Kalau nenek buyut dari pihak laki-laki

satu keluarga adalah marga Siregar, maka keluarga marga Siregar

darimana sang nenek buyut berada adalah hula-hula dan dikelompokkan

"bona tulang".

5. Keluarga marga asal ibu dari istri, contohnya kalau ibu yang melahirkan

istri adalah boru Simatupang, maka semua kerabat dekat yang semarga

dengan keluarga Simatupang tersebut adalah hula-hula keluarga si istri

tersebut, yang disebut "tulang rorobot".112

Dalam suatu upacara adat, hula-hula ini adalah sebagai pelaku adat yang

memberikan pasu-pasu atau restu. Itu sebabnya jika manortor, hula-hula akan

memposisikan tangannya dengan telapak menghadap ke bawah dan sedikit

lebih tinggi dari bahu, atau sejajar dengan kepala. Gerakan ini di simbolkan

112
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


60

sebagai pemberian restu atau berkat. Dalam kehidupan sehari-hari, hula-hula

juga ditempatkan sebagai pemberi nasehat tertinggi di dalam adat.113

c. Boru

Dalam pelaksanaan perkawinan, boru dapat digolongkan menjadi dua:

1. Keluarga yang isterinya semarga dengan pengantin pria merupakan

kelompok boru yang berperan membantu suhut keluarga pengantin laki-laki.

Bantuan boru ini dapat berupa tenaga dalam merencanakan dan

melaksanakan jalanya upacara adat dan ada juga berupa materi yang disebut

tumpak. Disamping kewajiban adat tersebut, boru juga mendapat hak adat

dari hual-hula baru (keluarga pengantin perempuan) berupa restu, doa,

maupun simpul-simpul budaya.

2. Kedua: Kelompok kedua adalah boru dari keluarga pengantin perempuan.

Mereka juga mempunyai kewajiban dan hak adat.

Fungsi boru di dalam acara adat adalah sebagai pelayan atau dalam bahasa

Batak Toba disebut Parhobas. Boru harus selalu siapa didekat hula-hula,

agar gampang apabila dimintai pertolongan. Tetapi harus diingat juga bahwa

boru ini kedudukannya dalam suatu acara adat tidak duduk bersama-sama

dengan hula hula tetapi berada didekatnya, dengan kata lain duduknya tidak

sebaris dengan tempat duduk para hula-hula.114

Dalam adat Batak Toba terutama menurut unsur dalihan natolu dikatakan

bahwa boru haruslah somba marhula-hula (somba terhadap hula-hula). Kalau

orang Batak sekarang terutama yang berada dikota menyamakan rasa hormat

113
Richard Sinaga, op.cit., hlm.34.
114
DJ.Gultom Rajamarpodang, op.cit.,hlm. 50.

Universitas Sumatera Utara


61

tersebut dengan rasa hormat seorang karyawan terhadap bosnya. Hal tersebut

tidaklah benar dikarenakan perilaku hormat karyawan terhadap bosnya adalah

karena alasan materi, sedang perilaku hormat boru terhadap hula-hula

bukanlah karna materi. Adanya rasa hormat tersebut didorong karena adanya

perasaan saling menghargai dan perasaan saling membutuhkan satu sama lain

antara pihak boru dan hula-hula.115

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa masyarakat adat batak toba

dengan segala peraturan dalam setiap acara adatnya sangat membutuhkan

peranan dari dalihan natolu dalam pelaksanaan setiap acara adat. Karena

setiap unsur dalihan natolu tersebut telah memiliki kewajiban bahkan hak

tersendiri dalam suatu acara adat yang dilaksanakan. Dari uraian tersebut juga

dapat kita simpulkan bahwa unsur-unsur dalihan natolu terfokus pada

hubungan kekerabatan suhut atau keluarga inti dan anak-anaknya.116

B. Kedudukan Dalihan Na Tolu di dalam Masyarakat Adat Batak Toba

1. Dalihan Na Tolu sebagai Falsafah Hidup

Falsafah hidup suatu bangsa atau suatu suku adalah suatu pencerminan

kepribadian, keluhuran budi, serta pandangan hidup bangsa atau suku itu

sendiri yang telah berurat dan berakar dari dalam sejarah kehidupan bangsa

atau suku yang bersangkutan. Dengan falsafah atau pengangan hidup tersebut,

sesuatu bangsa atau suku tertentu dapat kuat, stabil dan tidak terombang-

ambing dalam perjalanan hidupnya.Dalihan Na tolu yang dimiliki khususnya

masyarakat Batak adalah falsafah yang kemudian menjadi landasan hukum

115
Ibid.
116
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


62

adat dikalangan masyarakat Batak dan diakui keunggulan nilai-nilai yang

terkandung didalamnya sebagai alat penganyoman yang khas dikalangan

masyarakat batak dari dahulu hingga dewasa.117

Falsafah Dalihan Na Tolu yang berlaku khusus terhadap masyarakat

Batak, yaitu suku yang diatur menurut sistem kekerabatan berdasarkan marga

dan menurut garis keturunan bapak (patrilineal). Oleh sistem ini, hubungan

diantara setiap anggota masyaakat Batak didasarkan atas jalinan persaudaraan

yang erat. Bila seseorang orang Batak saling berjumpa, tindakan yang

pertama dilakukan adalah saling menanyakan marga diantara mereka, dengan

maksud agar mereka saling mengetahui tatakrama dan sopan santun dalam

bertutur kata. Bila orang Batak sudah saling mengenal berdasarkan marga

yang dimilikinya, barulah mereka dapat bergaul sesuai dengan kekeluargaan

berdasarkan Dalihan Na Tolu.118

Dalihan Na Tolu adalah simbol dari sistem sosial masyarakat Batak yang

sampai saat ini peranannya masih kuat dalam hal membina

kehidupankhususnya masyarakat Batak yang menyangkut pergaulan hidup,

kepemimpinan, hukum dan lain sebagainya. Falsafah Dalihan Na Tolu ini

menunjukkan solidaritas persatuan dan sikap saling hormat menghormati

diantara sesama manusia.119

117
R.Tambun, op.cit., hlm.35
118
Ibid.
119
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


63

2. Dalihan Na Tolu sebagai Sistem Kekerabatan

Pada dasarnya hukum kekerabatan adat adalah hukum mengenai anggota

masyarakat yang bertalian darah ataupun bertalian adat. Dalam hubungan ini,

dikenal 3 (tiga) macam dasar sistem kekerabatan, yaitu :

a. Pertalian darah menurut garis Bapak (Patrilineal), seperti pada suku

Batak,Nias,Sumba, dan lain sebagainya.

b. Pertalian darah menurut garis Ibu (Matrilineal), seperti pada suku

Minangkabau.

c. Pertalian darah menurut garis Ibu dan Bapak (Parental) seperti pada suku

Jawa, Sunda, Aceh dan lain sebagainya. Disini untuk menentukan hak-hak

dan kewajiban seseorang, maka famili dari pihak Bapak adalah sama

artinya dengan famili dari pihak ibu.120

Sistem kekerabatan pada masyarakat Batak, ditentukan oleh pertalian

darah ataupun turunan menurut garis Bapak (Patrilineal). Suatu kelompok

kekerabatan itu dihitung dengan dasar satu ayah, satu kakek, satu nenek

moyang. Suatu kelompok kekerabatan yang besar disebut dengan “marga”

atau “sub marga”. Dengan menyebut marga, maka masing- masing akan

mengetahui kedudukam dan letaknya dalam lingkungan Dalihan Na Tolu,

apakah ia sebagai Hula-hula, apakah sebagai Boru dan apakah sebagai

Dongan Tubu, sehingga baik tutur kata maupun sikap serta sapaan dapat

dilakukan dengan semestinya.121

120
P.L.Situmeang Doangsa,op.cit, hlm.210
121
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


64

Perkawinan pada masyarakat Batak Toba bukanlah sebatas masalah

perseorangan, tetapi masalah keluarga. Bila seseorang kawin dengan orang

lain, bukan saja dia yang mengikat tali kekerabatan dengan keluarga isteri

atau suaminya, tetapi terbentuklah jaringan-jaringan kekerabatan diantara

kedua golongan kerabat mempelai. Kalau ikatan kekerabatan itu sudah ada

sebelumnya dengan kata lain apabila seseorang lelaki menikah dengan

paribannya (anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya), maka perkawinan

itu berarti memperkuat ikatan yang sudah ada, tetapi andaikata diantara

mempelai itu tidak terdapat hubungan kekeluargaan atau kekerabatan

sebelumnya, maka perkawinan mereka akan membentuk suatu jaringan

kekerabatan atau jaringan kekeluargaan yang baru.122

Sistem kekerabatan yang terbentuk sedemikian rupa, mengakibatkan

kesatuan dan persatuan yang harmonis dan intim dikalangan masyarakat

Batak dan oleh karenanya setiap orang menjadi terikat dengan orang yang

lain. Itulah sebabnya orang-orang Batak selalu bersatu dan bekerjasama

dalam aktivitas dan gerak sosial. Dengan sistem kekerabatan seperti ini, maka

setiap orang Batak dikatakan kerabat atau keluarga terhadap sesamanya dan

senantiasa merasakan satu dalam jamuan, satu dalam sukacita serta satu juga

dalam penderitaan.123

3. Dalihan Na Tolu Sebagai Sistem Hukum

Mengingat Dalihan Na Tolu sebagai sistem kekerabatan yang mengatur

sedemikian rupa pertalian hubungan kekerabatan satu dengan yang lain

122
Ibid.
123
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


65

diantara seluruh masyarakat Batak Toba, dengan sendirinya membuat

sendirinya membuat setiap orang Batak Toba menjadi keluarga terhadap

sesamanya. Dengan demikian, seandainya pun terjadi sesuatu sengketa

tertentu dilingkungan orang-orang Batak, maka sengketa itu pada dasarnya

dirasakan dan dianggap sebagai sengketa keluarga, yang wajib diusahakan

penyelesaiannya secara kekeluargaan yaitu dengan media Dalihan Na Tolu.

Dikalangan masyarakat Batak sampai sekarang ini masih diakui keunggulan

sistem Dalihan Na Tolu dalam memelihara keutuhan ikatan keluarga dan juga

menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam lingkungan masyarakat

tersebut.124

C. Peranan atau Kedudukan Dalihan Na Tolu dalam Upacara

Perkawinan Adat Batak Toba

Perangkat Dalihan Na Tolu memiliki peran dan kedudukan yang berbeda.

Masing-masing perangkat mempunyai tugasnya masing-masing dalam

mendukung atau membuat suatu pesta perkawinan tersebut berlangsung baik

dan tidak mengalami kendala apapun.

a. Hula-hula

Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak yang

semarga dengan istri atau ibu. Dalam upacara adat hula-hula memiliki peran

yang sangat tinggi. Karena hula-hula itu posisinya sangat tinggi, maka

dianggap sebagai pemberi berkat bagi orang batak dan juga dianggap sebagai

perantara dengan Tuhan untuk memberi berkat kepada kedua mempelai.

124
R.Tambun, op.cit., hlm.33.

Universitas Sumatera Utara


66

Hula-hula ini juga wajib mendapat mahar atau beberapa bagian dari

sinamot yang sudah disepakati yang disebut upah tulang berupa uang. Itu

diberikan pihak dari perempuan kepada hula-hulanya sebagai upah tulang

dan tulang juga harus mangulosi berenya. Kalau di bagian pengantin pria

hula-hula (tulang) menerima tintin marangkup. Itulah kedudukan dari hula-

hula dan peranannya dalam upacara perkawinan adat Batak Toba.

b. Boru
Boru kalau didalam adat batak misalnya dari pihak laki-laki mempunyai

saudara perempuan adik/kakak yang sudah menikah dan disebut juga sebagai

sihuti ampang. Kalau misalnya kakak dari mempelai pria tidak ada atau

belum ada yang menikah maka akan dinaikkan ke atas yaitu saudara

perempuan dari ayahnya. Dan tetap juga dinamakan sihuti ampang.

Sihuti ampang artinya dialah yang menjunjung pagori (daging) ke tempat

hula-hula. Dan arti dari boru itu harus menanggung. Boru harus memberikan

bantuan uang juga kepada yang berpesta dan imbalannya pun pihak boru

harus mendapatkan ulos.

Istilahnya dalam pesta perkawinan adat Batak Toba para boru ini biasanya

menjadi parhobas (pekerja) suami dari boru juga biasanya sudah memakai

mandar (sarung) dan parang atau pisau tajam untuk membelah jambar (

daging) yang Perangkat Dalihan Na Tolu memiliki peran dan kedudukan

yang berbeda. Masing-masing perangkat mempunyai tugasnya masing-

masing dalam mendukung atau membuat suatu pesta perkawinan tersebut

berlangsung baik dan tidak mengalami kendala apapun.

Universitas Sumatera Utara


67

c. Dongan tubu

Dongan Tubu dalam adat batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan

adat bagi tuan rumah yang mengadakan pesta atau yang disebut Suhut.

Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik yang semarga .Kalau

terjadi acara adat batak namardongan tubu fungsinya adalah misalnya ketika

menikahkan anak (laki-laki) dia (semua yang marga semarga) memberikan

tumpak (bantuan berupa uang) tetapi dengan imbalan harus mendapat ulos.

Begitu juga sebaliknya ketika menikahkan boru atau perempuan

memberikan berkat juga dengan memberi ulos kepada pengantin dan

mendapat tuhor ni boru dari hasuhuton. Jadi seperti itulah kedudukan serta

peranan dari perangkat dalihan na tolu dalam upacara perkawinan adat Batak

Toba.125

125
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI PERKAWINAN ADAT BATAK

TOBA DI KECAMATAN SIANTAR TIMUR, KOTA PEMATANG

SIANTAR

Menurut hukum adat pada umumnya yang berlaku dalam masyarakat bangsa

Indonesia, baik dalam masyarakat kekerabatan patrilineal, matrilineal dan

bilateral. Kewajiban untuk menegakkan keluarga/rumah tangga (suami-isteri)

bukan semata-mata menjadi kewajiban moral orangtua dan kerabat, walaupun

sifatnya immaterial dan tidak langsung berupa perhatian dan pengawasan. Apalagi

jika yang ditegakkan itu keluarga/rumah tangga yang masih baru dengan suami-

istri yang berumur muda.126

Perkawinan menciptakan hubungan hukum suami dan istri antara seorang pria

dan seorang wanita, yang menimbulkan hak dan kewajiban masing masing

maupun bersama dalam keluarga. Dengan kata lain, perkawinan menimbulkan

peranan dan tanggung jawab suami dan istri dalam keluarga, baik masing-masing

maupun sendiri-sendiri.127

Ketentuan dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menentukan, bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan

hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup

bersama dalam masyarakat dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan

perbuatan hukum serta suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah

126
Hilman Hadikusuma, op.cit., hlm.103.
127
Rosnidar Sembiring, op.cit., hlm.58.

68

Universitas Sumatera Utara


69

tangga. Namun walaupun hak dan kedudukan suami-istri seimbang tetapi

mereka mempunyai peranan dan tanggung-jawab yang berbeda dalam keluarga.128

A. Akibat hukum terhadap suami

Perkawinan yang dilaksanakan menggunakan upacara adat Batak

Toba sebelumnya juga sudah melaksanakan perkawinan dengan upacara

keagamaan dan dicatatkan di catatan sipil. Jadi akibat hukumnya pun tidak

jauh berbeda dengan akibat hukum yang timbul dengan adanya

perkawinan secara umum. Perkawinan sebagai perbuatan hukum antara

suami dan istri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada

Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi sekaligus menimbulkan akibat hukum

keperdataan diantara keduanya. Namun demikian, karena tujuan

perkawinan yang begitu luhur, yakni untuk membina keluarga yang

bahagia, kekal, abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perlu

diatur hak dan kewajiban antara suami istri. 129

Suami yang telah menikah akan memiliki hak dan kewajiban. Yang

dimaksud dengan hak disini adalah sesuatu hal yang diterima oleh

seseorang dari orang lain, baik berupa materi ataupun non materi.

Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah segala sesuatu yang

mesti dilakukan seseorang terhadap orang lain.130

Ketentuan dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan

menentukan bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan

segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan


128
Ibid.
129
P.N.H. Simanjuntak, op.cit., hlm.120.
130
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


70

kemampuannya. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa suami berkewajiban

menanggung biaya keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan

penghasilannya. Seandainya istri juga bekerja maka ia tidak berkewajiban

untuk menanggung biaya keperluan hidup berumah tangga tersebut,

kecuali istri rela atau ikhlas untuk itu.131

Dalam adat dan istiadat masyarakat adat Batak Toba, setiap suami

dan istri yang sudah berumah tangga memiliki hak dan kewajiban yang

harus dilaksanakan yang berguna untuk menjaga keseimbangan dan

kerukunan suami dan istri serta anak yang akan lahir di keluarganya.

Orang Batak menganggap laki-laki adalah penerus garis keturunan

keluarga atau biasa disebut sebagai marga. Karena itu jugalah laki-laki

harus dapat memenuhi setiap kebutuhan dalam rumah tangganya.

Menafkahi istri dan anak anaknya. Apabila seorang istri dalam keluarga

tersebut juga bekerja dan memiliki penghasilan, maka tetap saja kewajiban

untuk memenuhi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan keluarga

dipenuhi oleh suami. Karena orang Batak memegang teguh kehormatan

dan harga diri. Agar tidak malu kepada mertuanya maka seorang suami

tidak akan mau meminta istrinya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Akan tetapi ada pengecualian, apabila memang terbukti si suami tidak lagi

bisa memenuhi kebutuhan keluarganya karena sesuatu hal seperti lumpuh,

sakit keras sampai hanya bisa terbaring di tempat tidur barulah si istri

dapat berkawajiban untuk memenuhi kebutuhan keluarganya

131
Rosnidar Sembiring, op.cit., hlm.61.

Universitas Sumatera Utara


71

menggantikan kewajiban suaminya. Tetapi dalam keadaan lain seperti si

istri dari awal sebelum menikah sudah menyatakan ingin tetap bekerja

maka apabila si suami menyetujuinya haruslah memberikan hak kepada

istrinya untuk tetap bekerja dengan ketentuan bahwa si istri tidak boleh

meninggalkan kewajibannya dalam menjaga dan mengurus keluarganya. 132

Memberikan kesetian dan juga kasih sayang kepada istri dan juga

anak adalah salah satu kewajiban suami. Orang Batak Toba sangat

menjunjung tinggi kesetiaan. Pada umumnya orang Batak Toba menganut

agama Kristen yang dimana mengajarkan serta menekankan agar orang

Batak hanya menikah satu kali. Orang Batak Toba yang beragama Kristen

memegang teguh firman Tuhan yang mengatakan “ apa yang telah

dipersatukan oleh Allah tidak boleh dipisahkan oleh manusia, kecuali

karena kematian”. Maka dari itu konsep kesetiaan ini sangatlah dijunjung

tinggi, apabila seorang suami mendua atau menikahi wanita lain disaat

istrinya masih hidup maka dia akan menerima sanksi sosial berupa cacian

dan dikucilkan dari kehidupan sosial. Dan biasanya perangkat dalihan na

tolunya akan menegur dan mempertanyakan mengenai komitmen

hidupnya.133

Agar dapat hidup dengan tenang, suami berkewajiban untuk

menyediakan kediaman yang tetap yang ditentukan oleh suami-istri

132
E.Manalu, Sintua dan raja parhata Kecamatan Siantar Timur Kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Sabtu, 19 Agustus 2018 di Gereja HKBP Tomuan pada pukul
11.00.
133
Natalindo Sitorus, Sintua dan tokoh masyarakat adat Batak Toba di Jalan Ercis,
Siantar Timur, wawancara dilaksanakan pada hari Sabtu, 19 Agustus 2018 di Gereja HKBP
Tomuan pada pukul 18.00 WIB.

Universitas Sumatera Utara


72

bersama. Hal ini ditentukan di dalam Pasal 32 Undang-Undang

Perkawinan. Tempat kediaman yang tetap dalam artian tidak dalam waktu

yang singkat berpindah-pindah, sehingga alamat tempat kediaman menjadi

tidak menentu dan tidak dapat diketahui domisilinya, akibatnya akan

menyulitkan dalam perhubungan hukum.134

Tempat kediaman keluarga yang dimaksud adalah tempat tinggal

layak huni bagi istri dan anak-anaknya, sehingga mereka merasa

terlindungi dari gangguan pihak lain, aman dan tentram. Selain itu, tempat

kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan,

sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. Penyediaan

tempat kediaman ini menjadi kewajiban suami yang didasarkan pada

kesanggupannya dengan memerhatikan kepentingan dan pendapat

istrinya.135

Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada nilai-nilai

kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan)

dan hasangapon (kehormatan). Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-

usaha untuk mewujudkan gagasan-gagasan harajaon dan hamoraon.

menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia adalah berdiri sendiri secara

merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya. Setiap orang

Batak (laki-laki), selalu mempunyai keinginan menjadi seorang raja.

Pengertian menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur hidupnya

sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu dianggap penting untuk

134
Rosnidar Sembiring, op.cit., hlm.62.
135
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


73

membentuk rumah tangga sendiri, karena rumah tangganya adalah awal

dari usaha-usaha untuk mendirikan ke”raja”annya sendiri.136

Ketiga konsep tersebut dipegang teguh oleh masyarakat adat Batak

Toba. Khususnya di kota Pematang Siantar. Para laki-laki Batak Toba

yang sudah melangsungkan perkawinan biasanya memang mengajak

istrinya untuk berada di kediaman orangtuanya untuk beberapa saat.

Setelah itu mereka akan pindah kerumah mereka sendiri. Hal ini

dikarenakan adanya konsep Hasangapon yaitu kehormatan. Apabila

seorang laki-laki Batak setelah menikah pun masih menumpang di rumah

orangtuanya akan dianggap tidak tahu malu atau tidak bertanggung jawab

terhadap keluarga kecilnya. Karena sudah mengambil anak orang dengan

kata lain menikahi seorang wanita tapi tidak menjamin kehidupannya.

Tentunya hal ini akan membuat laki-laki tersebut merasa terkucilkan dan

tidak dihormati. Maka dari itulah banyak orang Batak Toba pada

umumnya menikah ketika merasa sudah mampu dan dapat bertanggung

jawab agar tidak membuat malu nama baik keluarga dan marganya.137

Biasanya pada saat suami-istri yang sudah menikah dengan

upacara agama, dicatatkan oleh negara dan melaksanakan upacara

perkawinan adat, ketika memiliki rumah akan melaksanakan suatu upacara

yaitu upacara adat memasuki rumah baru. Dilaksanakannya upacara ini

136
Adel Siregar, Ketua Punguan (Kumpulan) Marga Siregar Kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Minggu, 20 Agustus 2018, di Jl.Ercis Pematang Siantar pada
pukul 11.00 WIB.
137
Adel Siregar, Ketua Punguan (Kumpulan) Marga Siregar Kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Minggu, 20 Agustus 2018, di Jl.Ercis Pematang Siantar pada
pukul 11.00 WIB.

Universitas Sumatera Utara


74

sebagai maksud untuk menunjukkan kebanggaan dan kepercayaan diri si

laki-laki karena bisa membangun rumahnya sendiri dan dapat memberikan

tempat tinggal untuk istri serta anak-anaknya.138

Telah berhasil membangun sebuah rumah juga berkaitan erat

dengan konsep harajaon (kuasa) dimana seorang laki-laki Batak yang

sudah memberikan tempat kediaman yang layak bagi keluarganya juga

berarti memiliki kuasa dirumahnya. Dimana penghuni rumah merupakan

orang-orang yang berada dalam kekuasaannya, sehingga diharapkan untuk

menghormatinya dan saling menghargai antar sesama anggota keluarga.

Lalu kewajiban selanjutnya wajib dan disarankan untuk bergabung

dalam STM (serikat tolong-menolong) di tempat dia tinggal. Karna dengan

bergabung maka dia akan dianggap sebagai dongan sahuta dari seseorang

yang melaksanakan pesta dari kampung atau tempat dia bertempat tinggal.

Kewajibannya lainnya dan juga termasuk suatu hal yang sangat penting

adalah, orang yang sudah menikah menggunakan adat dan dianggap

sebagai orang Batak yang sudah maradat haruslah hadir dalam setiap pesta

adat dukacita maupun sukacita. Karna prinsip dari orang Batak Toba

adalah saling menghormati satu sama lain, saling membantu satu sama

lain, tunjukkan keperdulian antar sesama saudara satu suku agar

138
E.Manalu, Sintua dan raja parhata Kecamatan Siantar Timur Kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Sabtu, 19 Agustus 2018 di Gereja HKBP Tomuan pada pukul
11.00.

Universitas Sumatera Utara


75

memperoleh hal yang sebaliknya.139

Kewajiban yang timbul dengan sudah menikah berarti sudah

masuk kedalam ranah perangkat dalihan na tolu bisa menjadi hula-hula,

boru ataupun dongan tubu tergantung dari siapa (marga) apa yang

melaksanakan suatu upacara adat. Apabila tidak melaksanakan

kewajibannya sebagai perangkat dalihan na tolu maka akan menerima

sanksi sosial berupa dikucilkan atau menjadi bahan pembicaraan di huta

(kampung) atau dimanapun dia bertempat tinggal. Karna adat Batak itu

mengenal memberi dan menerima. Setiap hal yang dilakukan pasti akan

menerima balasan setimpal karna ikatan silahturahmi antar sesama

anggota masyarakat Batak terbilang sangat erat dan saling membutuhkan

satu dengan lainnya.140

Selain kewajiban, suami juga memiliki hak yang timbul akibat

adanya perkawinan, yaitu : Suami berhak untuk dihormati serta disayangi

oleh istri juga anaknya. Karena seorang suami juga membutuhkan kasih

sayang serta rasa hormat dari istri serta anaknya. Hak lainnya yang

didapatkan oleh seorang laki laki Batak Toba yang sudah menikah dengan

upacara adat yaitu berhak untuk bergabung dengan kumpulan marga atau

punguan marga. Punguan marga ini terdiri dari orang-orang yang

memiliki marga yang sama serta berfungsi sama seperti dongan tubunya.

139
Natalindo Sitorus, Sintua dan tokoh masyarakat adat Batak Toba di Jalan Ercis,
Siantar Timur, wawancara dilaksanakan pada hari Sabtu, 19 Agustus 2018 di Gereja HKBP
Tomuan pada pukul 18.00 WIB
140
E.Manalu, Sintua dan raja parhata Kecamatan Siantar Timur kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Senin, 19 Agustus 2018 di Gereja HKBP Tomuan pada pukul
11.00 WIB.

Universitas Sumatera Utara


76

Jadi apabila ingin melaksanakan upacara adat lainnya, punguan marga ini

berkewajiban untuk memberikan tumpak.141

Melaksanakan suatu upacara perkawinan adat ini juga berkenaan

dengan konsep hamoraon (kekayaan) dimana apabila perkawinan tersebut

dilaksanakan dengan megah dengan sinamot (mahar) yang diberikan untuk

pihak mempelai wanita berjumlah diatas rata-rata maka akan biasanya

akan dipandang oleh masyarakat adat serta akan menjadi pembicaraan oleh

para undangan yang hadir, selain pesta yang megah tentunya pekerjaan

dari kedua mempelai juga akan menjadi perhatian dari para undangan serta

biasanya dengan jumlah sinamot yang diberikan diatas rata-rata juga akan

membuat pihak keluarga mempelai wanita merasa kagum dan dari kagum

tersebut juga akan muncul rasa hormat (hamoraon) serta menghargai

keluarga mempelai laki-laki yang membuat bukan saja keluarganya sendiri

nama baiknnya terjaga tetapi juga akan menaikkan nama baik keluarga si

mempelai perempuan.142

Hak lainnya yang dimilliki seorang suami yang sudah menikah

dengan adat adalah memiliki hak untuk berbicara didalam setiap acara adat

dia sudah memilikinya atau dia sudah berhak melakukannya, bisa

memberikan nasehat, bisa berbicara di hadapan umum. Dapat berbicara di

depan umum ini memiliki kebanggaan tersendiri bagi orang Batak, dimana

141
Natalindo Sitorus, Sintua dan tokoh masyarakat adat Batak Toba di Jalan Ercis,
Siantar Timur, wawancara dilaksanakan pada hari Sabtu, 19 Agustus 2018 di Gereja HKBP
Tomuan pada pukul 18.00 WIB
142
E.Manalu, Sintua dan raja parhata Kecamatan Siantar Timur kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Senin, 19 Agustus 2018 di Gereja HKBP Tomuan pada pukul
11.00 WIB.

Universitas Sumatera Utara


77

dia sudah dianggap sebagai bagian dari Dalihan na tolu dan pendapatnya

masih diperlukan dalam masalah ataupun perayaan adat seperti memberi

kata sambutan, memberi kata kata penghiburan dan lain sebagainya. 143

Kemudian hak lainnya yaitu bila ada acara adat, dia berhak

menyandang mandar hela yang disampaikan mertuanya pada saat

perkawinannya. Mandar tesebut merupakan lambang bahwa dia sudah

beradat dalam artiannya perkawinannya bukan hanya sah secara agama

dan negara tetapi juga sudah melalui upacara perkawinan dengan

menggunakan adat. Hak mendapat warisan baik dari orangtuanya, juga

dari pihak mertuanya yang disebut dengan pauseang.144

Hak lainnya yang didapatkan seorang suami apabila sudah

melakukan perkawinan dengan upacara adat yaitu:

a. Berhak menerima harta warisan (paiseang) baik dari

orangtuanya sendiri dan juga pihak mertuanya (orangtua dari

istrinya).

b. Bisa menikahkan anak-anaknya secara adat Batak dan dihadiri

oleh perangkat dalihan na tolunya.

c. Bisa mendapatkan jambar pada saat pesta kerabat atau pun

dalihan na tolunya.

143
Adel Siregar, Ketua Punguan (Kumpulan) Marga Siregar Kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Minggu, 20 Agustus 2018, di Jl.Ercis Pematang Siantar pada
pukul 11.00 WIB.
144
Adel Siregar, Ketua Punguan (Kumpulan) Marga Siregar Kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Minggu, 20 Agustus 2018, di Jl.Ercis Pematang Siantar pada
pukul 11.00 WIB

Universitas Sumatera Utara


78

d. Berhak menerima pauseang (warisan) dari hula-hulanya.145

B. Akibat Hukum Terhadap Istri

Dalam ketentuan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan

menentukan bahwa, “Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-

baiknya”. Dengan demikian selaku ibu rumah tangga, seorang istri

berkewajiban untuk menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah

tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Soal pembelanjaan rumah

tangga sehari-hari menjadi kewajiban istri untuk mengatur dan

menyelenggarakannya.146

Istri juga memiliki kewajiban untuk menjaga nama baik suami

serta keluarganya. Karena ketika seorang wanita Batak menikah maka dia

akan meninggalkan keluarga kandungnya dan ditarik masuk kedalam

keluarga suaminya. Selain itu seorang istri juga menjadi tolak ukur

penilaian masyarakat mengenai bagaimana seorang laki-laki Batak itu.

apabila istrinya sopan dan memiliki martabat maka masyarakat akan

menganggap bahwa suaminya adalah orang yang berhasil dalam mengatur

keluarganya. Dan tentu saja hal tersebut akan menambah kehormatan

untuk suaminya.147

Seorang istri juga berkewajiban untuk menjaga, mengurus dan

melindungi keluarganya. Memberikan kasih sayang serta perhatian kepada

145
E.Manalu, Sintua dan raja parhata Kecamatan Siantar Timur kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Senin, 19 Agustus 2018 di Gereja HKBP Tomuan pada pukul
11.00 WIB.
146
Rosnidar Sembiring, op.cit., hlm.64.
147
E.Manalu, Sintua dan raja parhata Kecamatan Siantar Timur kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Senin, 19 Agustus 2018 di Gereja HKBP Tomuan pada pukul
11.00 WIB.

Universitas Sumatera Utara


79

suami dan anak-anaknya. Seorang istri boleh saja bekerja seperti suami,

tetapi tidak boleh meninggalkan kewajibannya ini. Karena ketika istri

memperhatikan keluarganya maka suaminya akan merasa dihormati dan

dengan itu akan timbul keharmonisan antar anggota keluarga.148

Selain kewajiban, seorang istri juga tentu memiliki hak yang

dimilikinya setelah melakukan perkawinan. Salah satu hak dari istri adalah

memperoleh pemenuhan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi oleh

suaminya. Konteks pemenuhan kebutuhan hidup ini disebut juga sebagai

nafkah. Seorang suami, yaitu seorang laki-laki yang sudah mengambil

seorang wanita sebagai istrinya haruslah siap dan bertanggung-jawab

dalam hal pemenuhan kebutuhan keluarganya. Pemenuhan kebutuhan ini

bukan berarti harus dapat memenuhi segalanya, termasuk kebutuhan

istrinya yang sangat beragam. Akan tetapi secukupnya yang berguna untuk

kelangsungan suatu rumah tangga. Namun apabila suami memang

memiliki penghasilan yang lebih maka dia dapat memenuhi kebutuhan lain

selain dari kebutuhan pokok dari keluarganya dengan maksud untuk

membahagiakan si istri. Selain hak-hak tersebut hak lainnya yang berhak

dimiliki seorang istri adalah pemenuhan kebutuhan biologis dari si

suami.149

148
E.Manalu, Sintua dan raja parhata Kecamatan Siantar Timur kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Senin, 19 Agustus 2018 di Gereja HKBP Tomuan pada pukul
11.00 WIB.
149
E.Manalu, Sintua dan raja parhata Kecamatan Siantar Timur kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Senin, 19 Agustus 2018 di Gereja HKBP Tomuan pada pukul
11.00 WIB.

Universitas Sumatera Utara


80

Dalam masyarakat adat Batak Toba konsep seperti ini juga berlaku

bagi suami istri yang sudah menikah menggunakan upacara adat. Karna

dalam hukum adat seorang istri berhak mendapat kebutuhan hidup dari

suaminya, tetapi dalam konteks masih sewajarnya dan berguna untuk

keperluan keluarganya. Diluar dari itu dapat dipenuhi berdua atau apabila

suaminya berpenghasilan lebih atau diatas rata-rata. Contoh kebutuhan lain

istri diluar konteks kebutuhan hidup keluarga seperti: membeli peralatan

make up, perawatan ke salon, jalan-jalan keluar negeri serta membeli

barang-barang mewah seperti tas branded, emas dan berlian dan lain lain

diluar kebutuhan pokok suatu rumah tangga. 150

Hak lainnya yang dimiliki seorang istri yaitu dihargai, dihormati

serta disanyangi oleh suami juga anak-anaknya. Konteks hormat disini

bukan seperti konsep hasangapon (kehormatan) yang dimiliki oleh laki-

laki batak. Melainkan kehormatan yang diberikan suami berupa

menghargai hak-hak istrinya serta menyanyangi dan dihargai sudah

termasuk kedalam konsep kehormatan bagi seorang istri. Diperlakukan

secara baik juga sudah merupakan kehormatan tersendiri bagi seorang istri

yang diberikan oleh suaminya. Apabila tidak ada perasaan saling

mengasihi serta menghargai satu sama lain maka istri tentu akan merasa

dikecewakan serta merasa tidak dihargai sama sekali. Dan hal ini tentu

berbanding lurus dengan ketidak harmonisan suatu rumah tangga. Maka

150
Adel Siregar, Ketua Punguan (Kumpulan) Marga Siregar Kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Minggu, 20 Agustus 2018, di Jl.Ercis Pematang Siantar pada
pukul 11.00 WIB

Universitas Sumatera Utara


81

hak untuk dihormati¸ dihargai, dikasihi serta diperlakukan dengan baik

haruslah dipenuhi agar tecipta hubungan yang baik antar anggota keluarga

dalam sebuah rumah tangga.151

Menjaga nama baik istri merupakan salah satu hak yang dimiliki

seorang istri dalam keluarganya. Seorang istri merupakan seorang wanita

yang diambil oleh seorang laki-laki untuk dijadikan istri. Jadi seorang istri

sebelum menikah tentu memiliki keluarga. Dan tentu saja seorang istri

sebelum menikah masih mengemban marga atau identitas keluarganya.

Setelah menikah pun nama baik marga keluarga si istri harus dijaga dan

dihormati oleh suami serta keluarga dari suaminya. Agar tercipta rasa

saling menghormati antar dua keluarga. Setiap perlakuan atau perkataan

istri apabila ada yang tidak benar, maka suami haruslah memberikan

pengertian-pengertian kepada istrinya, membimbing serta mengajari

istrinya. Seorang suami tidak boleh membeberkan kesalahan istrinya

kepada oranglain apalagi menjelek-jelekkan istrinya. Harga diri serta nama

baik istri harus dijaga dan dihormati oleh suami serta anak-anaknya.152

Selain hak-hak tersebut hak lainnya yang berhak dimiliki seorang

istri adalah memperoleh hak untuk bergabung dalam perangkat dalihan na

tolu dari keluarga suaminya. Sebelum menikah seorang wanita hanya

tergabung dalam perangkat dalihan na tolu dari ayahnya saja. Tetapi

151
Adel Siregar, Ketua Punguan (Kumpulan) Marga Siregar Kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Minggu, 20 Agustus 2018, di Jl.Ercis Pematang Siantar pada
pukul 11.00 WIB
152
E.Manalu, Sintua dan raja parhata Kecamatan Siantar Timur kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Senin, 19 Agustus 2018 di Gereja HKBP Tomuan pada pukul
11.00 WIB.

Universitas Sumatera Utara


82

setelah menikah dia berhak bergabung dan memiliki peran dalam dalihan

na tolu suaminya.153

Dalam hal hak dan kewajiban antara suami dan istri dalam

pemenuhannya apabila terjadi ketimpangan atau ketidak-perdulian antara

salah satu pihak atau malah keduanya untuk memenuhinya maka dapat

mengadukannya kepada perangkat dalihan na tolunya. Dalam hal ini

masyarakat adat Batak Toba biasanya mengadukan perselisihan dan

sengketa yang terjadi antara suami dan istri kepada perkumpulan

marganya masing-masing. Dimana akan diadakan mediasi antara kedua

wakil dari perkumpulan marganya. Setelah itu barulah dibicarakan secara

baik dan tidak memihak dalam rangka agar kesalahpahaman antara suami

dan istri dapat diselesaikan. Bagi orang Batak Toba, sangat tidak

diperbolehkan mengadukan atau menyertakan orangtua dalam hal

penyelesaian permasalahan. Karena orangtua masing-masing tentunya

akan memihak anaknya. Sehingga akan sulit mendapatkan sebuah

penyelesaian yang baik tanpa adanya unsur memihak satu sama lainnya. 154

Dalam Undang-Undang juga diatur mengenai apabila antara suami

dan istri dalam menjalankan kewajibannya tidak memenuhinya atau

melalaikannya maka dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Hal

tersebut diatur dalam Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

153
E.Manalu, Sintua dan raja parhata Kecamatan Siantar Timur kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Senin, 19 Agustus 2018 di Gereja HKBP Tomuan pada pukul
11.00 WIB.
154
Adel Siregar, Ketua Punguan (Kumpulan) Marga Siregar Kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Minggu, 20 Agustus 2018, di Jl.Ercis Pematang Siantar pada
pukul 11.00 WIB

Universitas Sumatera Utara


83

1974 Nomor 1 Tahun 1974. Bagi yang beragama Islam dapat mengajukan

gugatan ke Pengadilan Agama, sedangkan bagi Non Islam ke Pengadilan

Negeri.155

C. Akibat Hukum Terhadap Anak.

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, hubungan hukum antara

orangtua dengan anak terlihat secara jelas dalam “alimentatieplicht” yaitu

suatu kewajiban orang tua terhadap anak untuk memberikan

penghidupannya sampai si anak memiliki kemampuan untuk mencari

nafkah sendiri, misalnya sudah bekerja bahkan adaklanya anak dibiayai

oleh orangtua walaupun sudah berumah tangga misalnya untuk

melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Hal ini tergantung

pada kondisi orang tua masing-masing anak. Sebaliknya, adakalanya si

anak sudah dibebani kewajiban untuk mencari nafkah hidupnya sejak

tamat Sekolah Dasar dan bahkan membantu orang tuanya untuk

mengurangi beban kehidupan mereka.156

Dalam masyarakat adat Batak Toba mengenai hak-hak yang

diterima oleh anak yang diterima dari orangtuanya yaitu salah satunya

adalah anak berhak menerima kasih sayang dari kedua orangtuanya. Kasih

sayang sangat dibutuhkan oleh anak dalam keluarga agar tumbuh dan

berkembang dengan baik. Dengan mendapatkan hak kasih sayang yang

cukup dari kedua orang tuanya maka akan menyebabkan si anak akan

155
Tan Kamello, op.cit., hlm.65.
156
Ibid., hlm.66.

Universitas Sumatera Utara


84

memiliki sifat simpati dan empati bukan hanya untuk keluarganya tetapi

juga untuk oranglain.157

Anak dalam sebuah keluarga juga berhak mendapatkan pendidikan

setinggi-tingginya serta perlakuan baik dari kedua orangtuanya.

Pendidikan setinggi-tingginya ini dalam konteks kemampuan kedua

orangtuanya untuk menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang yang

memang dapat dipenuhinya. Selain itu anak-anak juga berhak

mendapatkan perlakuan baik dari orangtuanya, baik dari kata maupun

perlakuan. Orangtua dalam hal mendidik haruslah berpikiran logis dan

tidak mengandalkan emosi semata. Orang Batak pada umumnya memiliki

tempramen yang keras sehingga nada suaranya keras serta wajah yang

tegas terkadang tidak ragu untuk membentak dan memukul anaknya

dengan maksud untuk mendidik. Namun seharusnya hal ini tidak

dilakukan, dengan memberikan pemahaman serta contoh yang baik kepada

anaknya, tentu saja orangtua dapat mendidik anaknya dengan cara yang

benar agar timbul ikatan saling mengasihi dan menghargai dalam suatu

rumah tangga.158

Anak dalam suatu keluarga juga berhak mendapatkan nafkah dari

orangtuanya. Pemenuhan kebutuhan sekolah dan sehari-harinya. Dalam

menempuh pendidikan tentu saja anak membutuhkan kebutuhan seperti

157
E.Manalu, Sintua dan raja parhata Kecamatan Siantar Timur kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Senin, 19 Agustus 2018 di Gereja HKBP Tomuan pada pukul
11.00 WIB.
158
E.Manalu, Sintua dan raja parhata Kecamatan Siantar Timur kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Senin, 19 Agustus 2018 di Gereja HKBP Tomuan pada pukul
11.00 WIB.

Universitas Sumatera Utara


85

alat tulis, pakaian, sepatu dan tas. Maka orangtua haruslah bisa memenuhi

kebutuhan dari anaknya. Dan kebutuhan sehari-harinya seperti uang saku,

mendapatkan makanan serta minuman juga merupakan kebutuhan pokok

dari anak dan pemenuhannya wajib dilakukan oleh orangtuanya. 159

Hak lainnya yang harus diterima oleh anak dari orangtuanya adalah

berhak berhak mendapatkan tempat tinggal yang nyaman serta dapat

melindunginya. Tempat tinggal bukan berarti harus mewah dan besar,

akan tetapi cukup dapat menjadi tempat berteduh dari panas dan hujan

serta dapat melindungi si anak serta memberikan kenyamanan.

Kenyamanan disini memiliki arti yang berbeda-beda. Ada orang yang

merasa nyaman apabila tingal dirumah besar dan mewah. Ada yang

merasa nyaman ditempat yang sederhana. Tetapi rumah akan dirasa

nyaman apabila dipenuhi kasih sayang orangtua dan sikap saling

menghargai antar anggota keluarga dalam suatu rumah tangga. 160

Hak seorang anak dalam konteks adat juga ada, yaitu seorang anak

berhak Bisa menikah secara adat Batak dan dihadiri oleh perangkat

dalihan na tolunya. Hak lainnya seorang anak juga berhak mendapatkan

159
Adel Siregar, Ketua Punguan (Kumpulan) Marga Siregar Kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Minggu, 20 Agustus 2018, di Jl.Ercis Pematang Siantar pada
pukul 11.00 WIB
160
Adel Siregar, Ketua Punguan (Kumpulan) Marga Siregar Kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Minggu, 20 Agustus 2018, di Jl.Ercis Pematang Siantar pada
pukul 11.00 WIB

Universitas Sumatera Utara


86

warisan dari kedua orangtuanya. Orang Batak biasanya menyebutkan

warisan sebagai pauseang.161

Selain hak, anak juga memiliki kewajiban yang harus dipenuhinya

kepada kedua orangtuanya. Salah satu kewajibannya adalah anak wajib

menghormati orangtuanya. Orang Batak khususnya memiliki kebanggan

tersendiri ketika anaknya menghormatinya serta mendengar dan mengikuti

arahannya. Apalagi seorang bapak yang dihormati oleh anak dan istrinya

akan merasa sangat terhormat dan bangga serta biasanya akan

menunjukkannya melalui perlakuannya. Akan tetapi sebaliknya apabila

anak tidak menghormati orangtuanya, inilah cikal bakal perselisihan dan

ketidak harmonisan suatu keluarga.162

Anak juga berkewajiban untuk menaati kehendak orangtuanya.

Tentunya setiap orangtua memiliki harapan dan kehendak tersendiri

kepada anaknya. Biasanya harapan dan kehendak tersebut adalah untuk

kebaikan serta masa depan yang cerah untuk anaknya. Akan tetapi seorang

anak tentu dapat memilih masa depannya sendiri asalkan dapat

memberikan pengertian serta pemahaman yang masuk akal serta

melakukan hal-hal yang dapat dinilai baik oleh orangtuanya. Orang Batak

yang berkarakter tegas biasanya akan sangat marah dan menolak kemauan

anaknya apabila berbeda dari kehendak dan kemauannya. Akan tetapi

161
E.Manalu, Sintua dan raja parhata Kecamatan Siantar Timur kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Senin, 19 Agustus 2018 di Gereja HKBP Tomuan pada pukul
11.00 WIB.
162
E.Manalu, Sintua dan raja parhata Kecamatan Siantar Timur kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Senin, 19 Agustus 2018 di Gereja HKBP Tomuan pada pukul
11.00 WIB.

Universitas Sumatera Utara


87

kepercayaan orangtua dapat timbul apabila si anak melakukan hal-hal yang

baik dan benar sehingga perlahan orangtua akan timbul kepercayaannya

dan akan mulai menerima kemauan si anak. Karakter orangtua yang keras

memang dapat diandaikan seperti batu, akan tetapi batu pun bisa hancur

apabila terus menerus terkena air. Begitu juga karakter orangtua Batak

yang keras akan melunak perlahan-lahan dengan adanya kepercayaan yang

dibangun si anak.163

Yang paling utama bagi orang Batak adalah nama baik. Maka anak

sangat diwajibkan untuk menjaga nama baik bahkan menjunjung tinggi

nama baik keluarga dan orangtuanya. Bagi orang Batak dengan nama baik

yang terjaga tentu masyarakat adat akan memberikan penilaian bahwa

suami dalam keluarga tersebut berhasil dan mampu untuk mengatur dan

membina keluarganya. Tentu saja seorang anak dalam masa pubertasnya

memiliki sifat bahkan keinginan mencoba sesuatu hal yang baru, akan

tetapi tetap harus memperhatikan apakah hal tersebut baik dan benar, dan

apabila dilakukan akankan merusak nama baik keluarga dan orangtuanya.

Karna inilah bagi orang Batak di kecamatan Siantar Timur Kota Pematang

Siantar ini, kewajiban utama anak adalah untuk menjaga kehormatan dan

nama baik keluarganya.164

163
Natalindo Sitorus, Sintua dan tokoh masyarakat adat Batak Toba di Jalan Ercis,
Siantar Timur, wawancara dilaksanakan pada hari Sabtu, 19 Agustus 2018 di Gereja HKBP
Tomuan pada pukul 18.00 WIB
164
Natalindo Sitorus, Sintua dan tokoh masyarakat adat Batak Toba di Jalan Ercis,
Siantar Timur, wawancara dilaksanakan pada hari Sabtu, 19 Agustus 2018 di Gereja HKBP
Tomuan pada pukul 18.00 WIB

Universitas Sumatera Utara


88

D. Akibat Hukum Terhadap Harta.

Perkawinan yang dilangsungkan antara suami dan istri memiliki

akibat terhadap harta benda perkawinan. Persoalan harta benda dalam

perkawinan sangat penting karena salah satu faktor yang cukup signifikan

tentang bahagia dan sejahtera atau tidaknya kehidupan rumah tangga

terletak kepada harta benda. Walaupun kenyataan sosialnya menunjukkan

masih adanya keretakan hidup berumah tangga bukan disebabkan harta

benda melainkan faktor lain. Harta benda hanya merupakan penopang dari

kesejahteraan.165

Menurut hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan

ialah semua harta yang dikuasai suami dan istri selama mereka terikat

dalam ikatan perkawinan, baik harta perseorangan yang berasal dari harta

warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil

bersama suami-istri dan barang-barang hadiah. Dalam kedudukannya

sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan rumah tangga

suami-istri, maka harta perkawinan itu dapat digolongkan dalam beberapa

macam, yaitu:

1. Harta yang diperoleh suami atau istri sebelum perkawinan yaitu

harta bawaan.

2. Harta yang diperoleh suami atau istri secara perorangan

sebelum atau sesudah perkawinan yaitu harta penghasilan.

165
Tan Kamello, op.cit.,hlm.66.

Universitas Sumatera Utara


89

3. Harta yang diperoleh suami dan istri bersama-sama selama

perkawinan yaitu harta pencaharian.

4. Harta yang diperoleh suami-istri bersama ketika upacara

perkawinan sebagai hadiah yang kita sebut hadiah

perkawinan.166

Adapun harta masing-masing yang diperoleh sebelum perkawinan

atau harta warisan yang diperoleh selama masa perkawinan tetap

merupakan harta kekayaan masing-masing. Dengan demikian, semua

memandang bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh selama

masa perkawinan. Dalam masyarakat adat Batak Toba menyatakan bahwa

harta bersama tidak terbentuk dalam perkawinan.

Masyarakat adat Batak Toba pada umumnya tidak mengenal

adanya pemisahan harta bersama dan harta bawaan (hadiah/warisan).

Semua harta yang didapat dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama

atau harta persatuan yang dikuasai oleh suami sebagai kepala keluarga.

Semua perbuatan hukum yang menyangkut harta perkawinan harus

diketahui dan disetujui oleh suami.167

Seberapa pun pauseang yang dibawa si istri dari bapaknya, tetap

itu menambah harta suaminya. Begitu juga anak-anak yang dilahirkan,

walaupun si istri yang sudah mengandung dan melahirkan, marga si istri

tidak akan dipergunakan oleh anaknya, tetapi akan memakai marga dari

166
Rosnidar Sembiring, op.cit., hlm.86.
167
E.Manalu, Sintua dan raja parhata Kecamatan Siantar Timur kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Senin, 19 Agustus 2018 di Gereja HKBP Tomuan pada pukul
11.00 WIB.

Universitas Sumatera Utara


90

suaminya. Hal tersebut dikarekan posisi dan kedudukan suami dalam

hukum adat Batak Toba lebih tinggi dibanding istrinya, dimana suami

sebagai kepala keluarga yang memiliki tanggung jawab dalam menjaga

dan memelihara keluarganya. Istri sebagai penopang keluarga memiliki

peran dalam mengurus suami serta anaknya.168

Di adat Batak Toba laki-laki itu disebut “tumpuk ni pasu-pasu, ihot

ni ate-ate, tumtum ni siubeon”. Yang memiliki arti bahwa laki-laki itu

adalah segalanya. Karena laki-lakilah yang menjadi penyambung silsilah,

ahli waris pusaka dan pengurus dan pelaksana hukum adat. Maka setelah

menikah pun seorang laki-laki Batak memiliki posisi sebagai kepala

keluarga dan berkedudukan lebih tinggi dari istrinya. Sehingga harus

dihormati dan setiap nasehat dan kehendaknya haruslah menjadi

kewajiban bagi si istri untuk memenuhinya.169

Begitulah akibat hukum yang timbul dari perkawinan adat Batak

Toba di Kecamatan Siantar Timur, Kota Pematang Siantar.

168
E.Manalu, Sintua dan raja parhata Kecamatan Siantar Timur kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Senin, 19 Agustus 2018 di Gereja HKBP Tomuan pada pukul
11.00 WIB.
169
E.Manalu, Sintua dan raja parhata Kecamatan Siantar Timur kota Pematang Siantar,
wawancara dilaksanakan pada hari Senin, 19 Agustus 2018 di Gereja HKBP Tomuan pada pukul
11.00 WIB.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Perkawinan pada masyarakat adat Batak Toba di Kecamatan Siantar

Timur, Kota Pematang Siantar dilaksanakan dengan cara meminang

terlebih dahulu. Meminang sinonimnya adalah melamar sesuai dengan

aturan hukum adat yang berlaku. Pada masyarakat adat Batak Toba proses

meminang ini merupakan salah satu syarat utama yang dilakukan apabila

ingin melaksanakan perkawinan menggunakan upacara adat Batak Toba.

Setelah proses meminang dilaksanakan, barulah dapat melaksanakan

proses lainnya sesuai dengan aturan hukum adat Batak Toba yang berlaku.

Proses atau tata cara perkawinan tersebut antara lain :.

Sebelum pesta perkawinan yaitu:

a. Martandang

b. Patua Hata

c. Marhusip

d. Manulangi Tulang

e. Marhata Sinamot

f. Martumpol

g. Martonggo Raja dan Marria Raja

Pada saat pesta perkawinan:

a. Marsibuha-buhai

b. Pesta Unjuk atau Marunjuk

91

Universitas Sumatera Utara


92

c. Menerima tamu

d. Acara makan

e. Menerima Tumpak

f. Pembicaraan mengenai sisa Sinamot dan pemberian tintin

marakhup

g. Mangulosi

h. Mangolop-olop

Sesudah pesta perkawinan

a. Mebat (Paulak Une)

b. Maningkir Tangga

c. Manjae

2. Setiap perkawinan yang dilaksanakan melalui proses meminang berarti

sudah mengikut-sertakan keberadaan perangkat Dalihan Na Tolu dalam

setiap prosesnya. Perangkat Dalihan Na Tolu yaitu:

a. Hula-Hula

Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak yang

semarga dengan istri atau ibu. Dalam upacara adat hula-hula

memiliki peran yang sangat tinggi. Karena hula-hula itu posisinya

sangat tinggi, maka dianggap sebagai pemberi berkat bagi orang

batak dan juga dianggap sebagai perantara dengan Tuhan untuk

memberi berkat kepada kedua mempelai.

Hula-hula ini juga wajib mendapat mahar atau beberapa bagian dari

sinamot yang sudah disepakati yang disebut upah tulang berupa

Universitas Sumatera Utara


93

uang. Itu diberikan pihak dari perempuan kepada hula-hulanya

sebagai upah tulang dan tulang juga harus mangulosi berenya. Kalau

di bagian pengantin pria hula-hula (tulang) menerima tintin

marangkup. Itulah kedudukan dari hula-hula dan peranannya dalam

upacara perkawinan adat Batak Toba.

b. Boru

Boru ini biasanya menjadi parhobas (pekerja) suami dari boru juga

biasanya sudah memakai mandar (sarung) dan parang atau pisau

tajam untuk membelah jambar ( daging) yang Perangkat Dalihan Na

Tolu memiliki peran dan kedudukan yang berbeda, tapi biasanya

borulah yang paling disibukkan dalam setiap upacara adat. Selain

memberikan tenaga, boru juga wajib membantu dalam hal dana

dalam melakukan suatu upacara adat.

c. Dongan Tubu

Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik yang semarga.

Kalau terjadi acara adat batak namardongan tubu fungsinya adalah

misalnya ketika menikahkan anak (laki-laki) dia (semua yang marga

semarga) memberikan tumpak (bantuan berupa uang) tetapi dengan

imbalan harus mendapat ulos.

3. Akibat Hukum yang timbul dari perkawinan adat Batak Toba di

Kecamatan Siantar Timur Kota Pematang Siantar yaitu:

a. Akibat Hukum yang timbul terhadap suami, suami sebagai seorang

kepala keluarga memiliki kewajiban dalam menjaga, melindungi,

Universitas Sumatera Utara


94

menafkahi serta memberikan tempat kediaman untuk keluarganya,

dan juga memberikan kasih sayang pada istri dan anak-anaknya.

Selain kewajiban, suami memiliki hak yakni: berhak dihormati oleh

anak dan istrinya, disayangi serta didengar nasehatnya.

b. Akibat hukum yang timbul terhadap istri yaitu: seorang istri

berkewajiban sebagai ibu rumah tangga, yakni mengurus serta

menjaga keluarganya, melayani suaminya, mengasihi anak serta

suaminya serta menuruti dan hormat kepada suami. Selain

kewajiban istri juga berhak mendapatkan kasih sayang dari anak

serta suami, dihormati keberadaannya, dihargai setiap hal yang ia

lakukan dan juga disayangi oleh suami serta anaknya.

c. Akibat hukum yang timbul terhadap anak yaitu kewajiban dari anak

adalah hormat dan patuh terhadap kedua orangtuanya, menjaga

nama baik keluarganya. Hak dari anak yaitu menerima kasih sayang

kedua orang tua, menerima pendidikan setinggi-tingginya sesuai

dengan kemampuan orangtuanya, serta diperlakukan dengan baik.

d. Akibat hukum yang timbul terhadap harta yaitu harta dari suami dan

istri ada yang berupa harta asal dan juga harta bersama. Akan tetapi

setelah melakukan perkawinan maka harta asal masing-masing

pihak akan menjadi harta bersama dimana suami sebagai kepala

keluarga yang memiliki kuasa atas harta tersebut. Karena dalam

adat Batak Toba, laki laki lah yang menjadi pusat dari kekuasaan

dan kehormatan keluarga.

Universitas Sumatera Utara


95

B. SARAN

1. Pada zaman sekarang, sering ditemui masyarakat adat Batak Toba

yang tidak bersedia untuk melaksanakan upacara perkawinan adat

Batak Toba karena mahalnya biaya dan panjangnya proses dalam

pelaksanaannya. Pada kenyataannya, prosedur perkawinan adat Batak

Toba menghasilkan hubungan silahturahmi khususnya dalam tahap

panandaiaon. Sebaiknya calon pengantin lebih mementingkan dan

melaksanakan proses upacara adatnya daripada hal-hal lain di luar inti

acara perkawinan adat Batak Toba tersebut.

2. Dalam pelaksanaan adat Batak Toba masih terdapat kesalahan dari

pihak-pihak yang terdapat dalam Dalihan Na Tolu, khususnya pada

ketidak-pahaman akan peran dan kedudukan dari pihak boru, yakni

yang berperan sebagai parhobas dalam suatu upacara perkawinan adat

Batak Toba. Untuk meminimalisir hal tersebut, sebaiknya para pihak

Dalihan na tolu lebih sering mengikuti upacara adat Batak Toba

sehingga lebih memahami peran dan kedudukannya dalam perkawinan

adat Batak Toba.

3. Dengan perkembangan zaman yang sangat pesat mengakibatkan

dampak buruk terhadap kedudukan hukum dari suami dan istri, seperti

pergeseran kewajiban istri sebagai ibu rumah tangga yang sekaligus

berperan juga seperti seorang suami dalam hal mencari nafkah. Hal ini

menyebabkan perseteruan dalam suatu rumah tangga, seperti adanya

kesamaan kedudukan suami dan istri, padahal dalam hukum adat posisi

Universitas Sumatera Utara


96

suami memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada istri. Dalam hal

pembagian harta juga terdapat pergeseran kedudukan dari harta yang

seharusnya merupakan harta bersama yang dikuasai suami menjadi

harta terpisah yang dimiliki suami dan istri masing-masing. Sebaiknya,

kedua belah pihak suami dan istri tetap mempertahankan nilai dan

norma adat yang sudah diatur dalam hukum adat sehingga mencapai

kesejahteraan dalam rumah-tangganya.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

1. BUKU

Asmin. Status Perkawinan Antar Agama ditinjau dari Undang-Undang


Perkawinan No.1 tahun 1974, Jakarta: PT.Dian Rakyat, 1986.

Gultom, Rajamarpodang, Dalihan na tolu nilai budaya suku batak, Medan:


CV.Armanda,1992.

Hadikusuma, Hilman,Hukum perkawinan Indonesia menurut perundangan,hukum


adat,hukum agama, Bandung : Mandar Maju, 2007.

Hutauruk, Edwar, Adat Batak, Tarutung : Kotapos, 2001.

Irianto, Sulistyowati. Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum(Studi


Mengenai Strategi Perempuan Batak Toba untuk Mendapatkan Akses
kepada Harta Waris melalui Proses Penyelesaian Sengketa).Jakarta :
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012.

Judiasih Sony, Dewi, Harta Benda Perkawinan, Bandung: Refika Aditama, 2015.

Kamello, Tan, Syarifah Lisa Andrianti. Hukum Perdata : Hukum Orang dan
Keluarga. Edisi 2, Medan : Usu Press, 2015.

Samosir, Djarat, Hukum Adat Indonesia, Medan: CV. Nuansa Aulia, 2013

Siahaan, Nalom, Adat dalihan na tolu: prinsip dan pelaksanaannya, Jakarta :


Grafina, 1982

Mertokusumo,Sudikno,mengenal Hukum suatu pengantar, Yogyakarta : Liberty


Yogyakarta,2005.

Oemarsalim. Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia. Jakarta:PT.Rineka Cipta,


2000.
Panggabean, H.P, Hukum Adat Dalihan Na Tolu tentang Hak Waris, Jakarta: Dian
Utama,2007.

Pide, Suriyaman, Mustari, Hukum Adat dahulu, kini dan akan datang, Jakarta :
Prenadamedia Group, 2014.

Saleh, Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976.

Samosir, Djarat, Hukum Adat Indonesia, Medan: CV Nuansa Aulia, 2013.

Sembiring, Rosnidar. Hukum Keluarga:Harta-Harta Benda dalam Perkawinan.


Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2016.

97

Universitas Sumatera Utara


98

Simanjuntak, P.N.H., Hukum perdata Indonesia, Jakarta : Prenadamedia Group,


2016.

Sinaga, Richard. Perkawinan Adat Dalihan Na Tolu. Jakarta : Dian Utama, 2012.

Situmeang, Doangsa, Dalihan natolu sistem sosial kemasyarakatan batak toba,


Jakarta : Kerabat, 2007.

Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.


Supriadi, Wila Chandrawila, Hukum Perkawinan Indonesia & Belanda, Bandung:
Mandar Maju, 2002.

Syahuri ,Taufiqurrohman, legistimasi hukum perkawinan di Indonesia, Jakarta :


Fajar Interpratama Mandiri,2013.

Tambun, R, Hukum Adat Dalihan Na Tolu, Medan : Mitra Medan.


Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di
Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,2006.
Utomo, Laksanto, Hukum Adat, Depok: Rajawali Pers, 2017.

Vergouwen, JC,Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Yogyakarta : PT.Lkis


Pelangi Aksara,2004.
Wignjodipuro, Surojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Bandung: Alumni,
1971.

2. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974


Kitab Undang-undang Hukum Perdata

3. INTERNET
Blogspot, “Dalihan na tolu dan nilai-nilai kekerabatannya” diakses dari
http://mynewtpsl.blogspot.com/2016/07/v-behaviorurldefaultvmlo.html pada
tanggal 18 Juli 2018.

Blogspot, “Hukum Adat Sebagai Hukum Tidak Tertulis Yang Ditaati


Masyarakat” diakses dari https://fatahilla.blogspot.com/2008/06/hukum-adat-
sebagai-hukum-yang-tidak.html pada tanggal 18 Juli 2018.

Netral News, “Falsafah orang Batak Toba”, diakses dari


http://www.netralnews.com/news/rsn/read/35703/ini-falsafah-orang-batak-
toba-dalam-dalihan-natolu, pada tanggal 18 Juli 2018, pukul 10.00.

Universitas Sumatera Utara


99

Wikipedia, “kamus suku batak”, diakses


darihttps://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak, pada tanggal 08 Agustus
2018, pukul 15.00.

4. WAWANCARA

Adel Siregar, Ketua Punguan (Kumpulan) Marga Siregar Kota Pematang


Siantar, wawancara dilaksanakan pada hari Sabtu, 20 Agustus 2018, pukul
11.00 WIB, di Jl.Ercis No.44 Pematang Siantar

E.Manalu, Sintua dan raja parhata Kecamatan Siantar Timur kota Pematang
Siantar, wawancara dilaksanakan pada hari Sabtu, 19 Agustus 2018 di Gereja
HKBP Tomuan pada pukul 11.00 WIB

Natalindo Sitorus, Sintua dan tokoh masyarakat adat Batak Toba di Jalan
Ercis, Siantar Timur, wawancara dilaksanakan pada hari Minggu, 19 Agustus
2018 di Sopo Sejahtera Tomuan, Siantar Timur pada pukul 18.00 WIB

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai