Anda di halaman 1dari 124

PENGATURAN KEAMANAN MARITIM (MARITIME SECURITY) DALAM

PENANGANAN KASUS PENYELUNDUPAN MANUSIA (PEOPLE SMUGGLING) DI


KAWASAN ASIA TENGGARA

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

Oleh :

AVISSA NOVALI NOOR

NIM. 140200424

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

1
Universitas Sumatera Utara
2
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Allah SWT. atas segala limpahan rahmat dan

karuniaNya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir dalam rangka

untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan geelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatra Utara. Shalawat dan Salam senantiasa Penulis sampaikan kepada Rasulullah

Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia menuju jalan keselamatan dan

keberkahan.

Adapun skripsi ini berjudul :

“PENGATURAN KEAMANAN MARITIM (MARITIME SECURITY) DALAM

PENANGANAN KASUS PENYELUNDUPAN MANUSIA (PEOPLE SMUGGLING) DI

KAWASAN ASIA TENGGARA”

Secara khusus Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua

orangtua Penulis, Ayahanda Ardan Noor Hasibuan dan Ibunda Lusi Yanthi Poll yang telah

membesarkan, membimbing, mendidik, serta memberikan cinta, kesabaran, perhatian, dukungan,

bantuan dan pengorbanan yang tak ternilai dan mengiringi setiap langkah Penulis dengan doa

restunya yang tulus, untuk merekalah skripsi ini Penulis persembahkan. Penulis juga

menghaturkan terima kasih kepada saudara penulis, Almira Wilonna dan Adrian Navasa Noor

yang telah memberi semanagat bagi Penulis dalam pengerjaan Skripsi ini.

Dalam proses penyusunan skripsi ini saya juga mendapat banyak dukungan dan bantuan

dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sebagai penghargaan dan ucapan terima kasih terhadap

semua dukungan dan bantuan yang telah diberikan, saya menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu S.H.,M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

i
Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Dr. OK Saidin, S.H.,M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Abdul Rahman, S.H., M.H. selaku Ketua Departemen Hukum Internasional

Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara;

7. Bapak Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum Internasional

Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara dan Dosen Pembimbing I yang telah banyak

membantu dan sabar dalam memberikan masukan, arahan-arahan serta bimbingan kepada

Penulis baik di dalam Penulisan skripsi dan dalam memajukan ILSA;

8. Bapak Arif S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu dan

sabar dalam memberikan masukan, arahan-arahan serta bimbingan kepada Penulis baik di

dalam Penulisan skripsi dan dalam memajukan ILSA;

9. Bapak Hamdan, Bapak Mahmud, Bapak Imanuddin, Ibu Tengku Keizeirina Devi, Ibu

Mariati, Ibu Khalida, Ibu Ismaini, Ibu tati, dan Kak Puji selaku Dosen dan peserta yang

ikut ikut berpartisipasi dan memeriahkan dalam Comparative Study ILSA Goes to

JAPAN. Terima Kasih, semoga berkesan bagi Bapak dan Ibu sekalian.

ii
Universitas Sumatera Utara
10. Seluruh Dosen di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan

memberikan ilmu yang terbaik, serta membimbing penulis selama menjalani studi di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11. Seluruh staf pegawai dan tata usaha di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

telah membantu dalam urusan administrasi;

12. My half lifetime partner, Desy Putri Dira, the everyone comfort zone, and Esy Dwi

Rahma, the full of sense one. The one that knows me without the word explanation, fully

blessed to know both of you, I know the word “thankyou” is not enough for everything

that have you done in this almost 4 years, but my campus life isn‟t complete without you.

Hope that our friendship will be last forever till Jannah.

13. My strongest and biggest one, Chyntia Delvita Sari Hasibuan dan Anggi Ramadhani

Lubis (2015), my campus life is tasteless without you guys, thankyou for everything.

14. My first till forever geng Pasukan ARMADA (the last line group name), Indira Halida,

Teuku Aris, Muhammad Rachwi, Reza Adha Lubis, Arimansyah that I have known since

my first year till forever, thankyou for everything, thankyou the colour. And especially for

Dt. Ananda Farkie, Sayid Harris Firza, Fajar Tanjung, I think that I never gonna have the

the perfect heartfelt friends like you guys anymore, deeply thankyou for everything.

15. My Best Team EVER! PJ Comparative Study Goes to JAPAN, Hans Melvin, Mahmuddin,

Akbar Hamdani Rambe, Roro Try Ayu, Afifah Mutiara, Cindy V, thank you for making

the one of the best time on my life. You‟re awesome guys!;

16. My Presidium ILSA 2017, yang telah membantu sedikit banyak penulis dalam

menjalankan progja-progja ILSA 2017;

iii
Universitas Sumatera Utara
17. My ILSA 2017 big family, Tasya, Miranda, Cia, Steven dan yang lainya yang telah

mempercayai Penulis dalam menjalankan amanah sebagai Ketua ILSA 2017, serta setia

dalam mengikuti setiap progja-progja dalam setaun perjalanan ILSA. Terima Kasih, atas

pengalaman dan kesempatanya tampa kalian Penulis bukanlah apa-apa;

18. Keluarga Besar BTM Aladdinsyah, S.H., yang telah memberikan kesempatan bagi

Penulis, untuk berada di dalam lingkaran yang Insha Allah di ridho Allah. Terutama

Keluarga BTM Aladdinsyah 2014, Alfatih Nabawiyah Yulita Ariska, Ajeng Hanifa, Iin

Septi, Nelli Ayunda, Khairin Ulyani, Ika Khairani, Amiroh, Afifah S, Ashri Azhari,

Wahyu Agustina, Widya Sujud, Fachri Husaini, Ardian Harahap, Guivara Sahri, Faisal

Mahyan, Memo Bahari, Rivaldo Ar, Rizky, dan adik-adik BTM

19. Para Senioren, Abangda Almadudy, Kakanda Maulida Sa‟adillah, Kakanda Syaravina

Lubis, Abangda Saufie Fitra Arrijal, Abangda Faisal Anshari Dwana, Kakanda Desita

Muzdalifah, Kakanda Endah Sundari, Kakanda Bella Gantika, Kakanda Silvie Yoelanda,

Kakanda Raudatussyifa, Kakanda Nurliza Chan, dan senioren lain yang tidak di sebutkan

namanya. Terima Kasih atas bantuan dan inspirasi kepada Penulis baik secara langsung

maupun tidak, semoga kelak Penulis dapat menjadi inspirasi seperti kalian;

20. Gadis Manzha sedari SMK TELKOM, Yuliza , Nurmaini, Icha Handyanti, Cicha, Mimi,

Amira Rizka, Sandia, Terima Kasih. telah memberikan dukungan yang angap saja

berfaedah bagi penulis, dan juga kepada pria-pria terbaik seantero SMK TELKOM, Riko

Rizqullah Putra dan Yuslan Abubakar, Terima Kasih telah menjadi bagian dalam

pencapaian Penulis.

iv
Universitas Sumatera Utara
Penulis menyadari skripsi ini ibarat sebutir pasir di pantai ilmu nan luas, jauh dari kata

sempurna karena hanya Sang Khalik yang memiliki kesempurnaan itu, penulis berusaha

memberi kontribusi pemikiran sederhana sebagai upaya latihan dan belajar guna menjadi

ilmuwan yang lebih baik nantinya. Penulis berharap pada semua pihak agar dapat memberikan

kritik dan saran yang membangun untuk kedepannya, semoga karya ini dapat bermanfaat bagi

setiap orang yang membacanya. Aamiin.

Medan, Februari 2018

Avissa Novali Noor


NIM. 140200424

v
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i


LEMBAR PERNYERTAAN ........................................................................ ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xi
ABSTRAKSI .................................................................................................. xiii

BAB I : PENDAHULUAN. ........................................................................... 1


A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 8
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................................ 8
D. Keaslian Penulisan .............................................................................. 10
E. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 11
F. Metode Penelitian ................................................................................ 14
G. Sistematika Penulisan ......................................................................... 17
BAB II : PERKEMBANGAN TERHADAP LAUT DAN KEAMANAN MARITIM
(MARITIME SECURITY) DALAM HUKUM INTERNASIONAL 21
A. Tinjauan Umum Mengenai Hukum Laut Internasional ....................... 21
B. Sejarah dan Perkembangan Hukum Laut Internasional ...................... 23
C. Tinjauan Umum Mengenai Keamanan Maritim (Maritime Security) 34
1. Penggunaan Istilah Kelautan dan Maritim ............................. 36
2. Defenisi Keamanan Maritim .................................................. 38
3. Konsep Keamanan Maritim .................................................... 44
D. Maritime Security dan Maritime Safety ............................................. 46
BAB III : TINJAUAN UMUM TERHADAP PENYELUNDUPAN MANUSIA (PEOPLE
SMUGGLING) DI ASIA TENGGARA ....................................... 50
A. Tinjauan Umum Mengenai Penyelundupan Manusia .......................... 50
1. Pengertian Mengenai Penyelundupan Manusia ....................... 50
2. Perbedaan Penyelundupan Manusia (People Smugling) dengan Trafficking in
Person ...................................................................................... 54
3. Latar Belakang Terjadinya Penyelundupan Manusia .............. 59
B. Penyelundupan Manusia di Asia Tenggara.......................................... 62
1. Penyelundupan Manusia dari Asia Timur dan Asia Tenggara ke Amerika Serikat
dan Uni Eropa ......................................................................... 63
2. Penyelundupan Manusia dari Asia Tenggara ke Australia ..... 65
3. Penyelundupan Manusia dari Asia Tenggara ke Kanada ........ 66

vi
Universitas Sumatera Utara
4. Kasus Penyelundupan Manusia (Timur Tengah – Indonesia – Australia)
............................................................................................. 67
BAB IV : PENGATURAN KEAMANAN MARITIM (MARITIM SECURITY) DALAM
PENANGANAN KASUS PENYELUNDUPAN MANUSIA (PEOPLE
SMUGGLING) DI KAWASAN ASIA TENGGARA ................. 69
A. Pengaturan Internasional Terhadap Kasus Penyelundupan Manusia
.................................................................................................... 69
1. United Nation Convention On Transnational Organized Crime (UNCTOC)
............................................................................................. 69
a. Protocol Against the Smuggling of Immigrant by Land, Sea and Air
................................................................................ 72
b. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons
................................................................................ 75
c. Protocol against the Illicit Manufacturing and Trafficking in Firearms
................................................................................ 77
2. Declaration of Ministerial Conferece of Khartoum Process .. 79
B. Pengaturan RegionalTerhadap Kasus Penyelundupan Manusia .... 82
1. Bali Process……………………………………………………….. 82
2. ASEAN Measure……………………………………………. 92
BAB V : PENUTUP ....................................................................................... 99
A. Kesimpulan ................................................................................... 99
B. Saran .............................................................................................. 102

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 104

vii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kesulitan Perumusan Konsep Keamanan Maritim

Gambar 2. Dimensi Keamanan Maritim

Gambar 3. Unsur-unsur defenisi Hukum Internasional tentang penyelundupan manusia

Gambar 4. Persamaan dan Perbedaan penyelundupan manusia dengan

perdagangan manusia

Gambar 5. Faktor-faktor terjadinya Penyelundupan Manusia

viii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR SINGKATAN

Bali Process Bali Process on People Smuggling, Trafficking in Persons and

Related to Transnational Crime

Bakamla Badan Keamanan Laut

IOM International Organization for Migration

ICP Informal Consultative Process

IMO International Maritime Organization

Konvensi SOLAS International Convention for the Safety of Life at Sea

LTTE Liberation Tigers of Tamil Eelam

PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa

RCF Regional Coorperation Framework

Smuggling Protocol Protocol Against the Smuggling of Immigrant by Land, Sea and

Air, Supplementing the United Nations Convention Against

Transnational Organized Crime - Protokol yang menentang

penyelundupan manusia melalui Darat, Laut, dan Udara,

melengkapi kovensi perserikatan bangsa-bangsa menentang tindak

pidana transnasional yang terorganisasi;

Trafficking Protocol Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons,

especially Women and Children, Supplementing the United

Nations Convention Against Transnational Organized Crime –

Protokol mencegah, menindak dan menghukum perdangan

manusia, terutama perempuan dan anak-anak melengkapi konvensi

ix
Universitas Sumatera Utara
perserikatan bangsa-bangsa menentang tidak pidana transnational

yang terorganisasi

UNHCR United Nations High Commissioner for Refugees

UNDOC United Nations Office of Drugs and Crime

UNCLOS United Nations Convention on the Law of the sea

x
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAKSI

PENGATURAN KEAMANAN MARITIM (MARITIME SECURITY) DALAM


PENANGANAN KASUS PENYELUNDUPAN MANUSIA (PEOPLE SMUGGLING) DI
KAWASAN ASIA TENGGARA

Avissa Novali Noor*


Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum.**
Arif, S.H., M.H.***

Kejahatan Terorganisasi Internasional Penyelundupan Manusia (People Smuggling)


merupakan kejahatan manusia yang telah menjadi ancaman bagi seluruh negara di dunia
terutama pada kawasan Asia Tenggara, dalam prosesnya pun penyelundupan migran biasa di
lakukan oleh orang-orang yang menyelundupan lewat jaringan internasional demi mengambil
keuntungan pribadi baik dalam hal materil maupun finnansial, maka dari itu diperlukanya
pengaturan dalam memberantas ancaman ini baik dalam internasional maupun dalam regional
Asia Tenggara. Berdasarkan hal tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
Bagaimana perkembangan terhadap laut dan keamanan maritim (maritime security) dalam
hukum internasional?, Bagaimana tinjauan umum terhadap penyelundupan manusia (people
smuggling) di Asia Tenggara? Dan Bagaimana pengaturan keamanan maritim (maritime
security) dalam penanganan kasus penyelundupan manusia (people smuggling) di kawasan Asia
Tenggara?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis melakukan penelitian dengan metode yuridis
normatif, dengan pengumpulan bahan hukum berupa studi kepustakaan (library research)
Berdasarkan penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa : dalam pengaturan
internasional maupun regional Asia Tenggara telah mengatur dengan baik mengenai
penyelundupan manusia/migran, sebagaimana terlihat dalam munculnya United Nation
Convention on Transnational Organized Crime (UNCTOC) yang menjadi pengaturan hukum
induk internasional yang membahas mengenai kejahatan terorganisasi dan kemudian di adopsi
dalam Smuggling Protocol, yang lebih khusus membahas mengenai penyelundupan migran dan
dibantu oleh Trafficking Protocol, Protocol against the Illicit Manufacturing and Trafficking in
Firearms dan Declaration of Ministerial Conferece of Khartoum Process. Pengaturan Regional
kawasan Asia Tenggara yang membahas mengenai ancaman penyelundupan manusia
diantaranya terdapat Bali Process dan ASEAN Measure.

Kata Kunci : Penyelundupan Manusia, Kejahatan Transnational, Pengaturan Internasional

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


**Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
*** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

xi
Universitas Sumatera Utara
BAB I

PEDAHULUAN

A. Latar Belakang

Laut mempunyai sifat istimewa bagi kehidupan manusia. Laut yang

merupakan keluasan air yang meluas di antara berbagai benua dan pulau-pulau di

dunia. Tidak dapat dikatakan dengan pengertian biasa bahwa di atas atau di dalam

air yang amat meluas itu ada orang atau manusia yang menetap 1 adakalanya laut

juga merupakan batas suatu negara dengan negara lain dengan titik batas yang

ditentukan melalui ekstradisi bilateral atau multilateral yang berarti pula

merupakan batas kekuasaan suatu negara, sejauh garis terluar batas wilayahnya 2.

Banyaknya pengertian laut menurut pakar-pakar lain yang sejalan dengan

perkembangan zaman dari defenisi-defenisi tersebut, fungsi laut dapat dibagi atas;

(i) sebagai sumber makanan bagi umat manusia, (ii) sebagai jalan raya

perdagangan, (iii) sebagai sarana untuk penaklukan, (iv) sebagai tempat

pertempuran - pertempuran, (v) sebagai tempat bersenang-senang dan rekreasi dan

(vi) sebagai alat pemisah dan pemersatu bangsa 3. Termasuk juga memberikan

kontribusi yang besar untuk dunia, seperti halnya dalam bidang ekonomi.

Perdagangan seaborne dunia berkembang sebesar 2,6 persen naik dari 1,8 persen

pada tahun 2015, yang berada di bawah rata-rata historis 3 persen yang tercatat

1
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Laut Bagi Indonesia (Bandung: Vorkonnk Van Hoeve,
1982), hal. 8.
2
Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, (Jakarta: Ribeja Cipta), hal. 1
3
Hasjim Djalal, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut (Bandung: Binacipta,
1979), hal. 1

1
Universitas Sumatera Utara
2

selama empat dekade terakhir dan permintaan impor yang kuat pada tahun 2016

yang mendukung perdagangan laut maritim dunia berasal dari Asia4.

Asia Tenggara yang lautnya menyebabkan hubungan antar bangsa, antar

masyarakat dan antar individu semakin dekat, saling tergantung dan saling

mempengaruhi sehingga tercipta suatu dunia tanpa batas (borderless world) telah

memainkan peran yang penting baik dalam bidang ekonomi maupun politik.

Namun di era globalisasi yang bebas dan terus berkembang seperti sekarang ini,

laut bukan hanya sekedar memberikan kontribusi yang positif atau yang

menguntungkan bagi negara-negaranya, namun laut juga semakin sulit untuk

dikendalikan terkait dengan ancaman-ancaman dalam tindak kenjahatan. Asia

Tenggara yang merupakan kawasan yang di dominasi oleh laut mencakup 80

persen wilayahnya yang memiliki kepentingan maritim yang luas adalah salah

satunya.

Keamanan maritim (maritime security) memengang peran penting dalam

mengatasi ancaman-ancaman di wilayah maritim, walaupun keamanan maritim

(maritime security) merupakan istilah yang cukup baru dalam hubungan

internasional yang tidak memiliki makna khusus 5. Sebagaimana dalam United

Nation Convention on the Law of The Sea (UNCLOS) yang diadopsi dan di

tandatangani pada tahun 1982 dan mulai berlaku pada tahun 19946. UNCLOS

tidak memberikan defenisi yang pasti untuk keamanan maritim sendiri. Keamanan

maritim, selalu berkaitan yang menunjukkan “ancaman” pada daerah maritim


4
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), “Review of
Maritime Transport 2017”, United Nations, 2017, hal. 5.
5
Christian Bueger, “What is Maritime Security”. Department of Politics and
International Relations, School of Law and Politics, Cardiff University. Marime Policy, 2015, hal.
1.
6
United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS), ditandatangani 10 Desember
1982, mulai berlaku 16 November 1994). (di akses pada tanggal 17 November 2017, pukul 17:10)

Universitas Sumatera Utara


3

yang mengacu pada ancaman seperti perselisihan lintas negara, terorisme maritim,

pembajakan, perdagangan narkotika, manusia dan barang haram, proliferasi

senjata, penangkapan ikan secara ilegal, kejahatan lingkungan, atau kecelakaan

dan bencana maritim7. Sehingga secara garis besar pengertian keamanan maritim

(maritime security) yang dilihat dari sudut dimensi keamanan nasional Indonesia

(national security), merupakan upaya melindungi keberlangsungan negara

sehingga kekuatan laut (sea power) yang diwakili oleh kekuatan angkatan laut

(naval forces) sebagai kekuatan yang dominan terkait maritim atau wilayah laut. 8

Diharapkan dapat menjadi penangkal pertama dalam menghadapi ancaman-

ancaman maritim.

Disisi lain, ancaman-ancaman kejahatan lintas negara yang semakin bebas

dan berkembang itu menjadi salah satu bisnis yang paling menguntungkan, pada

hakikatnya ancaman-ancaman tersebut memang bukan hanya lewat laut saja, bisa

lewat darat ataupun udara, namun terkhusus kepada laut, keamanan maritim

(maritime security) hanya memegang perannya. Dalam identifikasi PBB dari

banyaknya ancaman-ancaman, salah satu ancaman yang sampai sekarang masih

terus berkembang adalah ancaman penyelundupan manusia (people smuggling)9

atau penyelundupan migran (migran smuggling) yang tidak jarang sering di

kaitkan dengan kejahatan tehadap manusia (trafficking in person). Dalam

7
Christian Bueger, Op.Cit, hal. 6.
8
Ibid.
9
Gerhard O. W. Mueller, Transnational Crime, Definitions and Concepts:, dalam P.
Williams dan D. Valassis (eds), Combating Transnational Crime, a Special Issue of Transnational
Organized Crime, 1998, hal. 14.

Universitas Sumatera Utara


4

beberapa kasusnya pun sangat sulit mengolongkanya karena di antara keduanya

saling tumpang tindih10.

Asia Tenggara terus menjadi daerah transit penting untuk penyelundupan

manusia atau migran dengan rute yang menjangkau negara-negara sejauh Australia

dan Kanada. Sebagaimana Asia Tenggara merupakan kawasan Benua Asia di

bagian tenggara yang secara geografis terletak di antara dua benua (Benua Asia

dan Benua Australia) dan dua samudra (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik).

Luas wilayah Asia Tenggara mencapai + 2.256.781 km2 atau sekitar 5%

dari luas wilayah Benua Asia, dengan wilayah maritim yang khas, sebagaimana

karakter wilayah maritim ini telah di gambarkan sebagai “pemersatu pertama dan

utama di Asia Tenggara”11, yang mencakup 11 negara, diantaranya Brunei

Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Philippines,

Singapore, Thailand, Vietnam and Timor Leste. Terkecuali Timor Leste, Negara-

negara yang termasuk Asia Tenggara yang di lihat dari segi geografis merupakan

bagian dari organisasi ASEAN (Association of Southeast Asian Nations)12 dan

seluruh anggota ASEAN kecuali Cambodia, telah meratifikasi UNCLOS (United

Nation Convention on The Law of The Sea)13. Sembilan dari sepuluh negara Asia

Tenggara (Brunei, Kamboja, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand,

Vietnam dan Singapura) adalah negara pantai, dan dua dari negara-negara ini

10
United Nation Office on Drugs and Crime (UNDOC), A Short Introduction to Migrant
Smuggling, Issue Paper, 2010, hal. 5.
11
Tara Davenport, AsianSIL Working Paper 2012/ 7, Southeast Asian Approaches To
Maritime Delimitation, Paper presented at the 3rd NUS-AsianSIL Young Schaolars Workshop,
NUS Law School, 23-24 Februari 2012.
12
Association of Southeast Asia Nations (ASEAN), (http://asean.org/asean/asean-
member-states/ (di akses pada tanggal 17 November 2017 pukul 17:15).
13
United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS),
(https://www.un.org/Depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratifications.htm di akses
pada tanggal 17 November 2017 pukul 17:15)

Universitas Sumatera Utara


5

(Filipina dan Indonesia) adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Membuat

kawasan Asia Tenggara menjadi kawasan strategis untuk melakukan kegiatan

penyelundupan dan lebih sulit diidentifikasi di antara semakin banyaknya migran

reguler yang menyertai integrasi regional.

Menyadari akan acaman terhadap penyelunduan manusia tersebut,

dibutuhkan adanya langkah-langkah kerjasama hingga terbentuk pengaturan yang

sifatnya regional untuk sekedar kawasan Asia Tenggara ataupun pengaturan

Internasional. Upaya Dunia Internasional terhadap kasus penyelundupan manusia

atau migran seperti Smuggling Protocol, atau Protocol against the Smuggling of

Migrants by Land, Sea and Air14, yang kemudian dilampirkan PBB kedalam

United Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNCTOC),

yang biasa dikenal degan Palermo Convention. Diadopsi pada tanggal 15

Desember 2000, dengan lebih dari 120 negara partisipan mengikuti protokol ini.

dengan tujuan untuk “mencegah dan memerangi penyelundupan migran, serta

untuk mempromosikan kerja sama di antara negara-negara pihak untuk tujuan

tersebut, sekaligus melindungi hak-hak migran yang diselundupkan”.

Protokol lainya adalah Protocol to Prevent, Suppress and Punish

Trafficking in Persons, especially Women and Children, sebaik dengan the

Protocol against the Illicit Manufacturing and Trafficking in Firearms, Their

Parts and Components and Ammunition. Di dalam instrumen ini bukan hanya

menangani masalah hak asasi manusia, namun juga membuat dasar hukum untuk

14
United Nation Office on Drugs and Crime (UNDOC), dalam Protocol against the
Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air, supplementing the United Nations Convention
Against Transnational Organized Crime,
http://www.uncjin.org/Documents/Conventions/dcatoc/final_documents_2/convention_smug_eng.
pdf (di akses pada tanggal 17 November 2017 pukul 19:14)

Universitas Sumatera Utara


6

menuntut orang-orang yang terlibat dalam kejahatan terorganisir transnasional.

Peraturan internasional lainnya ada Declaration of the ministerial conference of

the Khartoum Proces, merupakan proses politik tingkat tinggi antar benua yang

selaras yang terdiri dari komisaris Uni Eropa dan Uni Afrika (AU) yang

bertanggung jawab atas migrasi dan pembangunan

Dengan adanya peraturan internasional membuat peraturan regional di

kawasan Asia Tenggara juga bermunculan, langkah-langkah bersama dalam

mengatasi penyelundupan manusia mendesak pemerintah Australia dan Indonesia

untuk menjadi tuan rumah pertama Bali Regional Ministerial Conference On

“People Smuggling, Trafficking In Persons And Related Transnational Crime atau

biasa disebut dengan Bali Process, pada 26-28 februari 2002, yang dihadiri 37

negara dari wilayah Asia dan Pasifik dan 28 pengamat yang terdiri dari negara-

negara Eropa dan Amerika dan 13 badan organisasi internasional15.

Pertemuan pertamanya, Bali Process mengemukakan tiga point utama16,

(i) masalah migrasi tidak teratur di Indonesia wilayah Asia Pasifik (dan terutama

transportasi laut yang digunakan untuk memasuki Negara tujuan), menciptakan

tantangan politik, ekonomi, sosial dan keamanan di wilayah ini; 17 (ii)

penyelundupan migran dan perdagangan orang adalah kegiatan yang

membahayakan nyawa manusia. Memang, tindakan semacam itu patut dicela

15
Directorate of Non-UN Inter-Govermental dan Non-Govermental International
Organization, Directorate General of Multilateral Political, Social and Security Affairs,
Department of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia, 2005, Bali Process: Towards a Better
Management of migration on Asia Pasific Region, hal. 1.
16
Australia and Indonesia, „Co-Chairs‟ Statement: Bali Ministerial Conference on People
Smuggling, Trafficking in Persons and Related Transnational Crime‟ (26-28 February 2002) (
http://www.mofa.go.jp/policy/i_crime/people/conf0202.html, di akses pada tanggal 17 November
2017 pukul 18:20), hal. 3.
17
Ibid, 3-4

Universitas Sumatera Utara


7

karena melanggar hak asasi manusia dan kebebasan sipil;18 dan (iii) negara

berkomitmen untuk berperang dalam penyelundupan manusia dan perdagangan

orang sebagai kewajiban internasional mereka dan di tingkat domestik19. Selain

point-point tersebut para Menteri juga mengakui komitmennya melawan tindakan

ilegal ini, serta para menteri juga menyoroti bahwa kerja sama regional harus

dilakukan berikan hak kepada masing-masing negara untuk membuat dan

menerapkan hukum domestik mereka sendiri untuk menangani masalah ini.

Peraturan Regional lainya ada ASEAN Meansures, dikarenakan sebagian

besar negara di kawasan Asia Tenggara merupakan anggota dari ASEAN

(Association of Southeast Asian Nations), maka ASEAN sendiri membentuk

ASEAN Declaration against Transnational Crime, di tanda tangani di Manila,

pada tanggal 20 Desember 1997, untuk memberantas kejahatan transnasional

termasuk penyulundupan manusia.

Peraturan-peraturan yang telah ada dan berlaku dalam penanganan kasus

penyelundupan manusia (people smuggling) baik secara internasional maupun

regional membuat penulis lebih tertarik lagi untuk membahasnya serta melihat

bagaimana pengaturan ini terimplementasi dalam kasus penyelundupan manusia

terkhusus pada kawasan Asia Tenggara, sehingga dapat diperoleh kesimpulan atas

bagaimana keefektifan peraturan tersebut. maka dari itu penulis menulis skripsi

dengan judul Pengaturan Keamanan Maritim (Maritme Security) Dalam

Penanganan Kasus Penyelundupan Manusia (People Smuggling) Di Kawasan

Asia Tenggara.

18
Ibid, 7
19
Ibid, 8-19

Universitas Sumatera Utara


8

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan sebelumnya maka yang

menjadi rumusan masalah dalam penilisan skripsi ini adalah :

1. Bagaimana perkembangan terhadap laut dan keamanan maritim (maritime

security) dalam hukum internasional?

2. Bagaimana tinjauan umum terhadap penyelundupan manusia (people

smuggling) di Asia Tenggara?

3. Bagaimana pengaturan keamanan maritim (maritime security) dalam

penanganan kasus penyelundupan manusia (people smuggling) di kawasan

Asia Tenggara?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, memiliki tujuan dan manfaat yang

ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini, sebagaimana tujuan penulisan skripsi

melalui judul ini antara lain :

a. Untuk mengetahui perkembangan terhadap laut dan keamanan

maritim (maritime security) dalam hukum internasional.

b. Untuk mengetahui tinjauan umum terhadap penyelundupan

manusia (people smuggling) di Asia Tenggara.

c. Untuk mengetahui pengaturan keamanan maritim (maritime

security) yang berlaku dalam penanganan kasus penyelundupan

manusia (people smuggling) di kawasan Asia Tenggara.

Universitas Sumatera Utara


9

Selain tujuan dari penulisan skripsi ini, perlu diketahui pula manfaat yang

diarapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini, adapun manfaat dalam

penulisan skripsi ini antara lain :

a. Manfaat Teoritis

Dalam penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah referensi

literatur serta memperkayakhasanah intelektual di dunia, umumnya dalam

bidang hukum. Selain itu, juga agar dapat menambah wawasan para

akademisi maupun praktisi hukum khususnya pada kajian yang berkaitan

memberantas ancaman-ancaman pada kasus penyelundupan manusia

(people smuggling) serta pembahasan peraturan keamanan maritim

(maritime security) di kawasan Asia Tenggara, dan implikasinya di

negara-negara.

b. Manfaat Praktis

Dalam penulisan skripsi ini kiranya dapat memberi gambaran

pengaturan hukum bagi perlindungan terhadap ancaman-ancaman

penyelundupan manusia (people smuggling) serta bagaimana peran dunia

internasional dan peran regional Asia Tenggara, yang menuangkanya

dalam bentuk peraturan. Bagi pemerintah dapat memanfaatkan skripsi ini

untuk menganalisis dan mengevaluasi peraturan dan kebijakan untuk

mewujudkan peraturan yang baik untuk di terapkan dalam negaranya. Bagi

masyarakat dapat memanfaatkan peraturan ini untuk mendapatkan

informasi tentang peraturan apa yang mengatasi ancaman-ancaman

Universitas Sumatera Utara


10

penyelundupan manusia baik secara internasional maupun regional Asia

Tenggara.

D. Keaslian Penulisan

Sebagaimana dengan judul skripsi ini Peraturan Keamanan Maritim

(Maritme Security) Dalam Penanganan Kasus Penyelundupan Manusia

(People Smuggling) Di Kawasan Asia Tenggara. Penelitian ini difokuskan pada

bagaimana instrument hukum yang tepat serta yang berlaku dalam mengatur

permasalahan penyelundupan manusia sebagai bentuk kejahatan yang terorganisir,

dan masuk dalam kejahatan transnasional yang kerap menjadi ancaman bagi

negara-negara di dunia, khususnya pada kawasan asia tenggara yang memiliki

lintas negara yang strategis. Skripsi ini ditulis berdasarkan ide, gagasan serta

pemikiran penulis dengan menggunakan berbagai referensi, sehingga bukan

pengadaan karya tulis orang lain, sebagaimana dalam proses penulisan skripsi ini

penulis juga memperoleh bahan dari perundang-undangan, buku-buku, jurnal-

jurnal ilmiah, media cetak dan media elektronik. sehingga penulisan skripsi ini

dapat di pertangungjawabkan. Untuk mendukung orisinalitas penulisan, penulisan

juga telah di uji bersih dalam dokumentasi dan informasi hukum di Perpustakaan

Universitas cabang Fakultas Hukum yang menyatakan bahwa “judul besih dan

tidak ada judul yang sama”. Jika ada kesamaan pendapat dan kutipan, hal itu

semata-mata digunakan sebagai referensi dan penunjang yang penulis perlukan

demi penyempurnaan penulisan skripsi ini serta memenuhi tugas akhir dan syarat

untuk memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatra

Utara

Universitas Sumatera Utara


11

E. Tinjauan Pustaka

Penulisan skripsi ini bekisar tentang pengaturan-pengaturan tentang

keamanan maritim (maritime security) dalam penanganan kasus penyelundupan

manusia (people smuggling) di kawasan Asia Tenggara, adapun tinjauan

kepustakaan sebagai berikut:

1. Tinjauan umum mengenai keamanan maritim

Keamanan maritim (maritime security) merupakan istilah yang cukup baru

dalam hubungan internasional, yang tidak memiliki makna khusus. Di dalam

United Nation Convention on the Law of The Sea (UNCLOS) tidak memberikan

defenisi yang pasti untuk keamanan maritim sendiri begitu pula dengan

International Maritime Organization (IMO) memahami keamanan maritim dari

perspektif keselamatan maritim, yang pada dasarnya berbeda. “keselamatan

maritim” mengacu pada pencegahan atau meminimalkan terjadinya kecelakaan di

laut yang mungkin disebabkan oleh gangguan pada kapal, awak kapal yang tidak

berkualifikasi atau kesalahan operator, sedangkan “keamanan maritim” terkait

dengan perlindungan terhadap tindakan yang melanggar hukum dan disengaja.

Penggunaan keamanan maritim juga digunakan pada organisasi-organisasi

internasiona lainya, seperti pada tahun 2014 United Kingdom, European Union

dan juga African Union memperkenalkan ambisi strategi keamanan maritim.

Sedangkan North Atlantic Treaty Organization (NATO) keamanan maritim

termasuk sebagai objek di tahun 2011 dalam persekutuan strategi laut20

Di sisi lain, tedapat pengertian terpisah, seperti halnya keamanan (security)

pada dasarnya merupakan upaya mengelola elemen ancaman (threat elements)

20
Christian Bueger, Op.Cit

Universitas Sumatera Utara


12

dengan suatu tujuan akhir terciptanya lingkungan kehidupan pada negara maupun

tataran individu yang terbebas dari segala bentuk ancaman21, ancaman yang

terkait ditinjau dari berbagai sudut pandang. Menurut sadurska ancaman

merupakan sebuah tindakan yang dirancang untuk menciptakan kondisi psikologis

yang menjadi target ketakutan, kegelisahan dan akhirnya ketakutan, yang akan

mengikis perlawanan target untuk berubah atau akan menekannya, dalam hal

keamanan maritim. Bandoro, menyebut ancaman sebagai segala jenis hal baik

yang bersifat masih dalam potensi maupun bentuk aktifitas yang mengancam

kedaulatan, keutuhaan, dan termasuk upaya mengubah hakikat suatu negara

berdaulat baik yang datang dari luar maupun dalam wilayah negara. 22 Sehingga

secara garis besar dilihat dari sudut dimensi keamanan nasional Indonesia

(national security), keamanan laut merupakan upaya melindungi keberlangsungan

negara sehingga kekuatan laut (sea power) yang diwakili oleh kekuatan angkatan

laut (naval forces) sebagai kekuatan yang dominan terkait maritime atau wilayah

laut.23 Sedangkan Amerika Serikat menggambarkan keamanan maritim sebagai

operasi penegakkan maritim terutama sehubungan dengan usaha dalam

memerangi terrorisme prolifirasi senjata pemusnah massal.24 dan banyak lagi

negara-negara yang menggunakan pengertian berbeda dengan keamanan maritim

namun memiliki dasar yang sama.

21
I Nengah Putra A - Abdul Hakim, ”Analisa Peluang Dan Ancaman Keamanan Maritim
Indonesia Sebagai Dampak Perkembangan Lingkungan Strategi”, 2016. Hal 6.
22
Ibid.
23
Ibid.
24
US Navy and US Marine Corps, “Naval Operations Concept 2006”, 2006. hal 14; dan
The U.S. Coast Guard Strategy for Maritime Safety, Security, and Stewardship, 2007. hal 11-12.

Universitas Sumatera Utara


13

2. Penyelundupan manusia (People smuggling)

Pengertian People Smuggling, sebagaimana terdapat di dalam article 3

Protocol Against the Smuggling of Migrants by Land, Sea, and Air (selanjutnya

disebut di dalam peotokol penyelundupan manusia) :

“smuggling of migrants” shall mean ..the procurement, in order to obtain,

directly or indirectly, a financial or other material benefit, of the illegal entry

of a person into a state party of which the person is not a national or

permanent resident”

”illegal entry” shall mean crossing borders without complying with the

necessary requirements for legal entry into receiving state.

Dimana terjemahan secara bebas dalam bahas Indonesia adalah :

“penyulundupan manusia” berarti pengadaan, untuk mendapatkan secara

langsung atau tidak langsung, keuntungan finansial atau materi, dari

masuknya seseorang secara illegal ke dalam suatu negara pihak dari mana

orang tersebut bukan warga atau penduduk tetap.

“masuk secara ilegal” berarti melintasi perbatasan tanpa memenuhi

persyaratan yang diperlukan untuk masuk hukum ke dalam negara penerima.

Penyelundupan manusia yang merupakan bentuk kejahatan sering di kaitkan

dengan kejahatan transnasional, yang dimaksud dengan unsur transnasional

Universitas Sumatera Utara


14

sebagaimana teah di rumuskan di dalam United Nation Convention on Transnational

Organized Crime (UNDOC) adalah :25

1. Lebih dari satu wilayah negara;

2. Di satu negara tetapi persiapan, perencanaan, pengarahan atau pengendalian

atas kejahatan tersebut dilakukan di wilayah negara lain;

3. Di suatu wilayah negara, tetapi melibatkan suatu kelompok pelaku tindak

pidana yang terorganisasi yang melakukan tindak pidana lebih dari satu

wilayah negara;

4. Disuatu wilayah negara, tetapi akibatyang ditimbulkan atas tindak pidana

tersebut di rasakan oleh negara lain.

F. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penelitian ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat

di pertangung jawabkan secara ilmiah, maka metode penelitian di dalam penulisan

penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif yang akan

dijabarkan sebagai berikut :

a. Tipe Penelitian

Penelitian yang dilakukan di dalam membahasan rumusan masalah dalam

skripsi ini adalah melalui tipe pendekatan yuridis normatif, pendekatan yuridis

normatif adalah pendekatan yang melakukan analisa hukum atas norma-norma

hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-

25
Di lihat pada Pasal 3 ayat 1 (a) UNTOC

Universitas Sumatera Utara


15

putusan hakim dalam proses persidangan26 serta norma-norma dalam masyarakat,

juga sinkronisasi suatu aturan dengan aturan lainya secara hirearki.

b. Sumber dan Jenis Bahan Hukum

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif maka sumber data

yang diperoleh di dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu, bahan-bahan hukum yang mengikat

yang merupakan landasan utama yang digunakan dalam penelitian ini.

terdiri dari catetan resmi atau risalah dalam membuatan perundang-

undangan dan putusan hakim sebagaimana yang berlaku. bahan hukum

primer yang digunakan antara lain :

1. United Nation Convention On Transnasional Organized Crime

(UNCTOC) – konvensi perserikatan bangsa-bangsa menentang

tindak pisana transnational terorganisasi

2. Protocol Against the Smuggling of Immigrant by Land, Sea and

Air, Supplementing the United Nations Convention Against

Transnational Organized Crime - Protokol yang menentang

penyelundupan manusia melalui Darat, Laut, dan Udara,

melengkapi kovensi perserikatan bangsa-bangsa menentang tindak

pidana transnasional yang terorganisasi;

3. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons,

especially Women and Children, Supplementing the United Nations

26
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2004) hal. 14.

Universitas Sumatera Utara


16

Convention Against Transnational Organized Crime – Protokol

mencegah, menindak dan menghukum perdangan manusia,

terutama perempuan dan anak-anak melengkapi konvensi

perserikatan bangsa-bangsa menentang tidak pidana transnational

yang terorganisasi;

4. Protocol against the Illicit Manufacturing and Trafficking in

Firearms, Their Parts and Components and Ammunition

5. Declaration of Ministerial Conferece of Khartoum Process, 2014

6. Bali Declaration on People Smuggling, Trafficking in Persons and

Related Transnational Crime;

7. ASEAN Declaration Against Transnational Crime

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu, bahan hukum yang berupa bahan

publikasi dengan tujuan menunjang dan memberi penjelasan mengenai

bahan hukum primer seperti buku-buku, tulisan-tulisan ilmiah dan para

pendapat dari para ahli hukum internasional yang terkait objek penelitian.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu, bahan hukum yang memberikan

petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan

sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, jurnal, majalah, surat

kabar, dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara


17

4. Metode pengumpulan data


Teknik yang digunakan di dalam pengumpulan data adalah library

research atau studi kepustakaan. Hal ini dilakukan untuk menapatkan

landasan dalam menganalisa data-data yang diperoleh dari sumber yang

dapat dipercaya langsung (buku-buku, artikel-artikel, dokumen pemerintah

termasuk kepada perundang-undangan dan konvensi internasional)

maupun tidak langsung (media elektronik). Dengan penelusuran bahan

hukum di Perpustakaan Pusat Universitas Sumatra Utara maupun di

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, dan Internet

sehingga akan diperoleh suatu kesimpulan yang lebih terarah dari pokok

bahasan

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan upaya atau cara untuk mempermudah

dalam melihat dan memahami isi dari tulisan ini secara menyeluruh. Dalam

sistematika penulisan ini dibagi ke dalam 5 (lima) bab. Setiap bab menguraikan

pembahasan-pembahasan tersendiri secara sistematis dan saling terkait antara bab

satu dengan bab yang lainya. Setiap bab terdir dari subbab sebagai penjabaran

lebih lanjut dari bab yang ada yang akan mendukung keutuhan pembahasan setiap

bab dengan tujuan agar lebih memudahkan dalam hal pemahaman dan terarahnya

penulisan skripsi ini. Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini yaitu :

a. BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penjelasan secara jelas sistematika dan

komponen awal ataupun dasar-dasar dalam penulisan skripsi

ini, membahas mengenai latar belakang yang menjelaskan

Universitas Sumatera Utara


18

alasan pemilihan juul penelitian yang kemusian akan di

lanjutkan dengan perumusan masalah dan diikuti dengan tujuan

penelitian serta manfaat dari penelitian, tinjauan

keperpustakaan, metode penulisan apakah yang digunakan di

dalam penulisan skripsi ini serta diakhiri dengan sistematika

penulisan.

b. BAB II : PERKEMBANGAN TERHADAP LAUT DAN

KEAMANAN MARITIM (MARITIME SECURITY) DALAM HUKUM

INTERNASIONAL

Dalam bab ini, membahas tentang bagaimana perkembangan

terhadap laut mulai dari tinjauan umum, sejarahnya hingga

perkembanganya serta membahas bagaimana perkembangan

keamanan maritim serta letak perbedaannya antara keamanan

maritim dengan keselamatan maritim yang kerap disamakan.

c. BAB III : TINJAUAN UMUM TERHADAP PENYELUNDUPAN

MANUSIA (PEOPLE SMUGGLING) DI ASIA TENGGARA

Dalam bab ini, terbagi atas beberapa focus pembahasan, yang

pertama membahas tentang tinjauan umum mulai dari

pengertian, perbedaan antara penyelundupan manusia dengan

trafficking in person, latar belakang terjadinya penyelundupan

manusia. Kedua contoh kasus penyelundupan manusia yang

terjadi di Asia Tenggara, seperti contoh penyelundupan manusia

Universitas Sumatera Utara


19

dari Asia Timur dan Tenggara ke Amerika Serikat dan Uni

Eropa, Penyelundupan Manusia dari Asia Tenggara ke

Australia, Penyelundupan Manusia dari Asia Tenggara ke

Kanada Penyelundupan Manusia Timur Tengah – Indonesia –

Australia.

d. BAB IV : PENGATURAN KEAMANAN MARITIM (MARITIM

SECURITY) DALAM PENANGANAN KASUS PENYELUNDUPAN

MANUSIA (PEOPLE SMUGGLING) DI KAWASAN ASIA

TENGGARA

Dalam bab ini, terbagi atas beberapa fokus pembahasan,

berkaitan dengan pengaturan dalam penanganan kasus

penyelundupan manusia, pertama pengaturan hukum

internasional dalam penanganan kasus tersebut dan kedua

pengaturan regional Asia Tenggara dalam penanganan kasus

yang sama sebagai bentuk pedoman negara-negara yang

mengakuinya.

e. BAB V : PENUTUP

Dalam bab ini terdapat kesimpulan dan saran sebagai bagian

akhir dari penulisan skripsi ini, memberikan rangkuman dari

kesimpulan jawaban atas semua rumusan masalah serta saran

berupa masukan-masukan dalam penyelesaian masalah yang

ada di dalam penulisan skripsi ini sebagai rekomendasi

Universitas Sumatera Utara


20

kedepanya agar dapat mencegah permasalahan yang serupa

timbul kembali.

Universitas Sumatera Utara


21

BAB II

PERKEMBANGAN TERHADAP HUKUM LAUT DAN KEAMANAN

MARITIM (MARITIME SECURITY) DALAM HUKUM

INTERNASIONAL

A. Tinjauan Umum Mengenai Hukum Laut Internasional

Secara bebas laut di artikan sebagai kumpulan air asin yang sangat banyak

dan luas di permukaan bumi dan berhubungan dengan samudra, memisahkan

dan/atau menghubungkan suatu benua dengan benua lainnya dan/atau pulau

dengan pulau lainnya 27. Laut yang merupakan keluasan air yang meluas di antara

berbagai benua dan pulau-pulau di dunia. Tidak dapat dikatakan dengan

pengertian biasa bahwa di atas atau di dalam air yang amat meluas itu ada orang

atau manusia yang menetap28 adakalanya laut juga merupakan batas suatu negara

dengan negara lain dengan titik batas yang ditentukan melalui ekstradisi bilateral

atau multilateral yang berarti pula merupakan batas kekuasaan suatu negara,

sejauh garis terluar batas wilayahnya 29.

Para ahli hukum menyadari pentingnya hukum laut bagi kehidupan,

dalam sejarah laut terbukti telah mempunyai berbagai fungsi, antara lain sebagai :

1) sumber makanan bagi umat manusia; 2) jalan raya perdagangan; 3) sarana

penaklukan; 4) tempat pertempuran; 5) tempat bersenang-senang; 6) alat pemisah

atau pemersatu bangsa; 6) tempat galian berharga di dasar laut, dan usaha-usaha

27
Abdul Muthalib Tahar, Hukum Laut Internasional menurut KHL PBB 1982 dan
perkembangan Hukum Laut di Indonesia, Fakultas Hukum Internasional Bagian Hukum
Internasional, 2007, hal.1.
28
Wirjono Prodjodikoro, Hukum laut bagi Indonesia (Bandung: Vorkonnk Van Hoeve,
1982), hal. 8.
29
Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, (Jakarta: Ribeja Cipta), hal.1.

Universitas Sumatera Utara


22

mengambil sumber daya alam30 fungsi lain bagi penghidupanya, sebagai jalur

pelayaran seperti halnya lalu lintas kapal dan transportasi sebagaimana diatur oleh

hukum laut internasional, yaitu di dalam Konvensi Jenewa I tahun 1958 tentang

laut teritorial dan zona tambahan biasa di sebut dengan hak lintas damai diatur

dalam konvensi ada tiga macam, yaitu : (a). hak lintas damai; (b). hak lintas

transit; dan (c). hak lintas alur kepulauan31, kepentingan pertahanan, dan

keamanan dan berbagai kepentingan lainya. Fungsi-fungsi laut yang disebutkan di

atas telah dirasakan oleh umat manusia, dan telah memberikan dorongan terhadap

penguasaan dan pemanfaatan laut oleh masing-masing negara.

Pentingnya laut, begitu pula pentingnya hukum laut. Kiranya tidak

berlebihan apabila dikatakan bahwa dibandingkan dengan bidang-bidang hukum

lainnya, perkembangan hukum laut (publik) jauh lebih pesat. Walaupun demikian

hukum laut internasional baru yang sedang dalam proses pembentukannya dewasa

ini tidak dapat sama sekali dilepaskan daripada hukum laut internasional yang

dasar-dasarnya diletakkan dalam abad XVI di Eropa Barat. Hal ini disebabkan

karena bagaimanapun juga perkembangan-perkembangan yang kini sedang terjadi

dalam bidang hukum laut internasional publik tidak bisa sama sekali dipisahkan

dari apa yang ada dan terjadi sebelumnya.

Ada tiga sebab yang mendorong tata hukum laut internasional, yang dasar-

dasarnya diletakkan oleh Hugo Grotius dan ahli-ahli hukum masa dulu. Pertama,

makin tambah bergantungnya penduduk dunia yang makin bertambah jumlahnya

pada laut dan samudera sebagai sumber kekayaan alam baik ayati maupun mineral

30
Hasyim Djalal, Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut, Badan Pembinaan Huku
Nasional Departemen Kehakiman, Penerbit Binacipta, 1979, hal.1.
31
Khaidir Anwar, Hukum Laut Internasional Dalam Perkembanganya, Seri Monograf
Volume 3, 2015, hal. 3.

Universitas Sumatera Utara


23

termasuk minyak dan gas bumi. Kedua, kemajuan teknologi yang memungkinkan

penggalian sumber kekayaan alam di laut yang tadinya tidak terjangkau manusia.

Ketiga, perubahan peta bumi politik sebagai akibat bangunnya bangsa-bangsa

merdeka yang menginginkan perubahan dalam tata hukum laut internasional yang

dianggapnya terlalu menguntungkan negara-negara maritim maju.32

B. Sejarah dan Perkembangan Hukum Laut Internasioanal

Dari segi sejarah Hukum Laut Internasional sendiri mengalami perjalanan

sejarah cukup panjang. Fungsi-fungsi laut yang disebutkan di atas didasarkan atas

suatu konsepsi hukum. Sebagaimana lahirnya konsepsi hukum laut internasional

tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah pertumbuhan hukum laut internasional

yang mengenal pertarungan anatara dua konsepsi yaitu :

a. Res Communis yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik

bersama masyarakat dunia, dank arena itu tidak dapat diambil atau

dimiliki oleh masing-masing negara

b. Res Nullius, yangmenyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memiliki

dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing

negara.

Pertumbuhan dan perkembangan kedua konsepsi tersebut diawali dengan

sejarah panjang dan seiringan dengan lahirnya hukum laut internasional, yang

mula-mula timbul dan tumbuh di Benua Eropa33. Imperium Roma, sebelum

berada dalam masa puncak kejayaannya menguasai seluruh tepi Lautan Tengah,

32
Sejarah Lahirnya Hukum Laut Internasional, (http://karyatulisilmiah.com/sejarah-
lahirnya-hukum-laut-internasional/ diakses pada tanggal 15 januari 2018, pukul 17:00)
33
Mochtar Kusumaatmadja, 1983, Hukum Laut Internasional, Angkasa Offset, Bandung,
hal. 1.

Universitas Sumatera Utara


24

kerajaan-kerajaan Yunani, Phoenicia dan Rhodes mengaitkan kekuasaan atas laut

dengan pemilikan kerajaan atas laut. Pada zamannya pengaruh pemikiran atas

pertumbuhan hukum laut publik tidak terlalu besar dan tenggelam dalam

perkembangan hukum laut yang didasarkan atas hukum Romawi dalam abad

pertengahan. Begitu pula seterusnya perkembangan pemikiran hukum tentang laut

pada zaman Romawi, masa abad pertengahan, zaman Portugal dan Spanyol, serta

zaman Inggris.

A. Zaman Romawi

Pada masa jayanya Imperium Roma keberadaan Lautan Tengah

(Mediterania) berada di bawah kekuasaannya. Suatu imperium (kekaisaran) yang

menguasai seluruh tepi Lautan Tengah, keberadaan persoalan penguasaan laut

tidak menimbulkan persoalan hukum, karena tidak ada pihak lain yang menentang

atau menggugat kekuasaan mutlak Roma atas Laut Tengah. Laut Tengah pada

masa itu tidak lain dari suatu “danau” dalam wilayah kekaisaran Roma. Keadaan

berlainan pada waktu itu karena ada kerajaan-kerajaan lain di tepi Lautan Tengah

yang dapat mengimbangi kekuasaan Roma. Hal yang menjadi tujuan dari

penguasaan Romawi atas laut ini adalah untuk membebaskannya dari bahaya

ancaman bajak-bajak laut yang menganggu keamanan pelayaran di laut yang

sangat penting bagi perkembangan perdagangan dan kesejahteraan hidup orang-

orang yang hidup di daerah yang berada di bawah kekuasaan Roma.

Kenyataan bahwa Imperium Roma menguasai tepi Laut Tengah dan

karenanya menguasai seluruh Laut Tengah secara mutlak, dan terhindar dari

bajak-bajak laut. Pemikiran hukum yang melandasi sikap bangsa Romawi

terhadap laut adalah bahwa laut merupakan suatu “res communis omnium” (hak

Universitas Sumatera Utara


25

bersama seluruh umat). Dalam rangka pemikiran ini, Roma melihat dirinya

sebagai pihak yang menjamin kepentingan umum dalam laut dan penggunaannya

sehingga tidak ada pertentangan antara kekuasaan atas laut dan kebebasan dalam

penggunaannya34. Untuk dapat memahami perkembangan ini terlebih dahulu perlu

dijelaskan adanya pemikiran lain tentang laut yang menganggapnya sebagai suatu

“res nullius”. Menurut pandangan ini laut bisa dimiliki apabila yang berhasrat

memilikinya bisa menguasai dan mendudukinya, merupakan suatu paham yang

didasarkan atas konsepsi “occupatio” dalam hukum perdata Romawi.

Keadaan yang dilukiskan di atas berakhir dengan runtuhnya Imperium

Roma dan munculnya berbagai kerajaan dan negara di sekitar tepi Laut Tengah

yang masing-masing merdeka dan berdiri sendiri yang satu lepas daripada yang

lain. Berakhirnya penguasaan mutlak Laut Tengah oleh suatu negara

menimbulkan persoalan mengenai siapa yang memiliki dan menguasai lautan

diantara banyak negara dan kerajaan-kerajaan yang saling bersaing35.

B. Masa Abad Pertengahan

Negara-negara yang muncul setelah runtuhnya kekuasaan Imperium Roma

disekitar tepi Laut Tengah masing-masing negara-negara tersebut menuntut

sebagian laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan yang

bermacam-macam. Venetia mengklaim sebagian besar dari Laut Adriatik, suatu

tuntutan yang diakui oleh Paus Alexander III dalam tahun 1177. Berdasarkan

kekuasaanya atas Laut Adriatik, Venetia memungut bea terhadap setiap kapal

yang berlayar di wilayah laut tersebut. Genoa mengklaim kekuasaan atas laut

Liguria dan sekitarnya dan melakukan tindakantindakan untuk melaksanakannya.


34
Ibid, hal. 2-3.
35
Ibid, hal. 4.

Universitas Sumatera Utara


26

Hal yang sama dilakukan oleh Pisa yang mengklaim dan melakukan tindakan-

tindakan penguasaan atas Laut Thyrrhenia. Adanya 3 (tiga) negara kecil yang

mucul setelah runtuhnya Imperium Roma hanya merupakan sebagian kecil dari

negara-negara di tepi Laut Tengah yang berusaha melaksanakan kekuasaanya atas

Laut Tengah setelah kekuasaan tunggal Roma lenyap dengan runtuhnya Imperium

Roma. Kekuasaan yang dilaksanakan oleh negara-negara tersebut dengan laut

yang berbatasan dengan pantainya dilakukan dengan tujuan yang bermacam-

macam36.

Klaim-klaim negara-negara pantai untuk suatu keperluan yang

menimbulkan suatu keadaan dimana laut tidak lagi merupakan suatu daerah milik

bersama. Tindakan-tindakan sepihak negara-negara pantai di Laut Tengah yang

menyatakan bagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya, secara eksklusif

menjadi haknya paling sedikit untuk mengaturnya, menimbulkan kebutuhan untuk

mencari kejelasan kedudukan hak-hak demikian serta batas-batasnya dalam

hokum Kebutuhan untuk menyusun suatu teori hukum tentang status antar negara

yang berbatasan dengan laut menyebabkan ahli-ahli hukum Romawi yang lazim

disebut Post-Glossator atau Komentator mencari penyelesaian hukumnya

didasarkan atas azas-azas dan konsepsikonsepsi hukum Romawi.

Kebutuhan untuk memberikan dasar teoritis bagi klaim kedaulatan atas

laut oleh negara-negara ini antara lain menimbulkan beberapa teori yang

dikemukakan oleh Bartolus dan Baldus, dua ahli hukum terkemuka di abad

pertengahan. Bartolus meletakkan dasar atas dua pembagian laut, yakni bagian

laut yang berada di bawah kekuasaan kedaulatan negara pantai dan di luar itu

36
Ibid, hal. 4-5.

Universitas Sumatera Utara


27

berupa bagian laut yang bebas dari kekuasaan dan kedaulatan siapapun. Teori ini

kelak merupakan dasar bagi pembagian laut yang klasik dalam Laut Teritorial

(wilayah) dan Laut Lepas. Konsepsi Baldus berlainan dan bersifat lebih maju.

Konsepsi bertalian dengan penguasaan atas laut yaitu pemilikan laut, pemakaian

laut, yurisdiksi atas laut dan wewenang untuk melakukan perlindungan terhadap

kepentingan-kepentingan di laut37.

C. Zaman Portugal dan Spanyol

Jatuhnya Constantinopel ke tangan Turki pada tahun 1443, menyebabkan

bangsa Portugis mencari jalan laut lain ke arah timur menuju Indonesia melewati

Samudera Hindia. Selain itu, Portugal juga menuntut Laut Atlantik di sebelah

selatan Maroko sebagai wilayah mereka. Bersamaan dengan itu, Spanyol telah

tiba di Maluku melalui Samudera Pasifik, dan menuntut Samudera Pasifik

bersama dengan bagian barat Samudera Atlantik dan Teluk Meksiko sebagai

kepunyaan milik negara tersebut.

Tuntutan kedua negara ini diakui oleh Paus Alexander VI, yang membagi

dua wilayah laut di dunia menjadi dua bagian dengan batas meridian 100 leagues

(lk. 400 mil laut) sebelah barat Azores. Batas sebelah barat meridian tersebut,

yaitu Samudera Atlantik, Teluk Meksiko, dan Samudera Pasifik menjadi milik

Spanyol, dan batas sebelah timur yaitu Samudera Atlantik yang berbatasan dengan

sebelah selatan Maroko dan Samudera Hindia menjadi milik Portugal. Pembagian

ini kemudian diperkuat dengan Perjanjian Tordissilas antara Spanyol dan Portugis

pada tahun 1494 dengan memindahkan garis perbatasannya menjadi 370 leagues

sebelah barat pulau-pulau Cape Verde di pantai barat Afrika. Sementara itu,

37
Ibid, hal. 6-7.

Universitas Sumatera Utara


28

Swedia dan Denmark menuntut kedaulatan atas laut Baltik, dan Inggris atas

Narrow Seas, dan Samudera Atlantik dari Cape Utara sampai ke Cape Finnistere

atau laut di sekitar Kepulauan Inggris (mare anglicanum) dan untuk

melaksanakan kedaulatannya atas lautlaut tersebut, pada abad ke-17, Inggris

memaksa orang-orang asing untuk mendapat lisensi Inggris untuk melakukan

penangkapan ikan di Laut Utara, dan ketika pada tahun 1636, Belanda mencoba

menangkap ikan, mereka diserang dan dipaksa membayar 30.000 pound sebagai

harga kegemaran (the price of indulgence).

D. Zaman Inggris

Usaha-usaha kerajaan-kerajaan Portugal, Spanyol, Denmark, dan Inggris

untuk menyatakan laut sebagai miliknya (dominio maris) baik berdasarkan

kepentingan perlindungan perikanan maupun monopoli pelayaran mendapat

tantangan dari pihak lain. Keberadaan suatu kerajaan dalam bidang perikanan

bertujuan melindungi sumber daya ikan dekat pantai negara lain. Kerajaan Inggris

menutup lautnya terhadap nelayan-nelayan negeri Belanda, tetapi sebaliknya

nelayannelayan Inggris menangkap ikan dekat pantai Kerajaan Denmark.

Tantangan yang paling gigih dan ulet terhadap konsepsi laut tertutup (mare

clausum) berdasarkan doktrin “domino maris” daripada negara-negara kerajaan

yang memberikan klaim dan negara pihak yang memperjuangkan azas kebebasan

berlayar (freedom of navigation) yang didasarkan atas pendirian bahwa lautan itu

bebas untuk dilayari oleh siapapun juga38.

Dalam hal ini Hugo Grotius yang berkebangsaan Belanda

memperjuangkan azas kebebasan laut dengan cara yang paling gigih, walaupun

38
Ibid, hal. 11.

Universitas Sumatera Utara


29

kemudian Kerajaan Inggris, yang dipimpin Ratu Elizabeth lebih dikenal sebagai

perintis atas kebebasan laut ini. Perjuangan armada-armada Belanda dan Inggris

melawan armada-armada Portugal dan Spanyol di lautan melahirkan azas

kebebasan laut dalam pengertiannya sebagai kebebasan pelayaran, pada akhirnya

menjadi suatu kenyataan39.

Sejak berakhirnya perang dunia I dan perang dunia ke II negara-negara di

seluruh belahan dunia menjadi sadar akan potensi positif dan negatif dari laut, dan

menyadari pula bahwa laut harus diatur sedemikian rupa supaya berbagai

kepentingan negara-negara atas laut dapat terjaga.40

Disisi lain menurut konsep res nullius, laut bida dimiliki apabila berharsat

memilikinya bias menguasai dengan mendudukinya. Pendudukan ini dalam

hukum perdata romawi dikenal sebagai konsepsi okupasi (occupation). Keadaan

yang di lukiskan di atas berakhir dengan runtuhnya imperium romawi dan

munculnya berbagai kerajaan dan negara di sekitar lautan tengah yang masing-

masing merdeka dan berdiri sendiri yang satu lepas dari yang lain. Walaupun

penguasaan mutlak lautan tengah oleh imperium romawi sendri telah berkhir,

akan tetapi pemilikan lautan oleh negara-negara dan kerajaan tetep menggunakan

asas-asas hukum romawi41

Di dalam decade-dekade dari abad ke-20 telah empat kali diadakan usaha-

usaha untuk memperoleh sutu himpunan hukum laut yang menyeluruh, yaitu :

1. The Hangue Codification Conference in 1930 (konvensi kodifikasi den

hag 1930 di bawah naungan liga bangsa-bangsa)

39
Ibid, hal. 13.
40
Buana, Mirza Satria, Hukum Internasiona Teori dan Praktek, Bandung : Nusamedia ,
2009.
41
Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit. hal. 4.

Universitas Sumatera Utara


30

Konvensi ini adalah konvensi pertama yang membahas tentang hak-

hak dan kewajiban-kewajiban negara pantai atas laut. Tetapi konvensiini

gagal menghasilkan ketetapan-ketetapan internasional dikarenakan tidak

terdapatnya penyesuaian paham tentang lebar laut territorial dan

pengertian mengenai zona tambahan.42

2. The UN Conference on The Law of the Sea in 1958 (konvensi pbb tentang

hukum laut)

Konvensi kedua atau konvensi pertama yang diselengarakan di bawah

naungan PBB adalah konvensi hhukum laut 1958 di jenewa, yang mana

konvensi ini merupakan tahap yang penting dan bersejarah bagi

perkembangan hukum laut kontemporer, karena berhasil menghasilkan 4

(empat) kesepakatan internasional, seperti :

a. Convention on The Territorial Sea and Contigious Zone

(konvensi tentang laut territorial dan zona tambahan)

b. Convention on The High Sea (konvensi tentang laut lepas)

c. Convention on Fishing and Conservation of The Living Resources

of The High Sea ( konvensi tentang perikanan dan kekayaan alam

hayati di laut lepas)

d. Convention on Continental Shelf (konvensi tentang landas dan

kontinen).43

42
Subagyo, P. Joko, Hukum Laut Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 2005, hal. 3.
43
Hauna, Boer, Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung
: Penerbit Alumni, 2000.

Universitas Sumatera Utara


31

Walaupun kovensi ini dinilai sukses, namun hal tersebut tidak lepas

dari kegagalan menentukan lebar laut territorial negara-negara pantai

sehingga belum ada keseragaman pendapat tentang itu.

3. The UN Conference on The Law of the Sea in 1960 (konfensi PBB tentang

hukum laut 1960)

Konvensi PBB pada tahun 1960 secara singka dilakukan untuk

membahas permasalahan yang belum selesai dalam konvensi yang

terdahulu (konvensi 1958) tentang lebar laut territorial.namun karena

kurang 1 suara dalam proses pemunguttan suara yang mengakibatkan

konvensi ini gagal menghasilkan konvensi tentang laut territorial.

4. The UN Conference on The Law of The Sea in 1982 (konvensi hukum laut

1982)

Konvensi hukum laut 1982 adalah puncak karya PBB tentang hukum

laut, yang di setujui di Montego Bay, Jamaika, pada 10 desember 1982

pada sidangnya yang ke -11. Kovensi hukum laut dengan hasil gemilang

ini ditanda tangani oleh 119 negara. Konvensi hukum laut 1982 terdiri dari

17 bagian dan 9 Annex. Konvensi ini di anggap sebagai karya hukum

masyarakat internasional yang terbesar di abad ke-20. Selain terbesar,

konvensi ini dianggap sebgai konvensi yang terpanjang, dan juga

terpenting dalam sejarah hukum internasonal.

Dianggap sebagai yang terbesar karena konvensi ini diikuti oleh lebih

dari 160 negara, dengan sekitar 4500 anggota delegasi dengan beragam

disiplin dan kompetensi keilmuan,seperti \iplomat, ahli hukum, ahli

pertambangan, ahli perikanan, perkapalan aktivis lingkungan hidup dan

Universitas Sumatera Utara


32

berbagai profesi lain. Terpanjang karena konvensi ini berlangsung lebih

dari 9 (Sembilan) tahun dari desember 1973 sampai dengan

penandatanganan persetujuan konvensi September 1982, yang secara

keseluruhana melaksanakan 12 kali sidang. Terpenting, karena konvensi

ini adalah hasil dari kemauan bersama negara-negara di dunia untuk

;berhasil meskipun banyak dan rumitnya masalah-masalah yang

dihadapin.44

Sasaran utama Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS III)

sebagaimana yang dikemukakan oleh Ketua UNCLOS, yaitu Mr. T.T.B.

Koh dalam sidang terakhir pada tanggal 10 Desember 1982 yaitu sebagai

berikut:

1. Konvensi akan mendorong pemeliharaan perdamaian dan keamanan

internasional meski banyak klaim yang bertentangan negara-negara

pantai, namun secara universal telah disepakati batas-batas mengenai

Laut Teritorial, Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif, dan

Landas Kontinen.

2. Kepentingan masyarakat internasional dalam hal kebebasan

pelayaran di perairan maritim akan diperlancar oleh adanya

kompromi-kompromi mengenai status Zona Ekonomi Eksklusif,

rezim hukum lintas damai melalui Laut Teritorial, rezim hukum

lintas transit melalui selat-selat yang digunakan untuk pelayaran

internasional, dan rezim hukum lintas alur laut kepulauan.

44
Ibid, hal. 89.

Universitas Sumatera Utara


33

3. Kepentingan masyarakat internasional dalam hal pelestarian dan

pemanfaatan kekayaan hayati laut akan ditingkatkan melalui

pelaksanaan secara sungguh-sungguh mengenai ketentuan-ketentuan

konvensi yang berkaitan dengan Zona Ekonomi Eksklusif.

4. Ketentuan-ketentuan baru yang penting telah dibuat guna melindungi

dan melestarikan lingkungan laut dari pencemaran.

5. Konvensi memuat ketentuan-ketentuan baru mengenai penelitian

ilmiah kelautan yang mengupayakan keseimbangan yang layak

antara kepentingan negara-negara yang melakukan penelitian dan

kepentingan negara-negara pantai di Zona Ekonomi Eksklusif serta

di Landas Kontinen.

6. Kepentingan masyarakat internasional dalam hal penyelesaian secara

damai terhadap sengketa-sengketa dan pencegahan penggunaan

kekerasan dalam penyelesaian sengketa-sengketa internasional akan

dilakukan dengan sistem penyelesaian sengketa wajib sebagaimana

diatur dalam konvensi.

7. Prinsip bahwa kekayaan dasar laut dalam merupakan warisan

bersama umat manusia telah dijabarkan dalam lembaga-lembaga dan

persetujuan-persetujuan yang adil dan dapat dilaksanakan.

8. Unsur-unsur kesederajatan internasional dapat dijumpai dalam

UNCLOS III seperti pembagian hasil di Landas Kontinen di luar

batas 200 mil, yang memberikan akses kepada negara-negara tidak

berpantai dan negara-negara yang keadaan geografisnya tidak

menguntungkan untuk menuju sumber-sumber kekayaan hayati di

Universitas Sumatera Utara


34

Zona Ekonomi Eksklusif negara-negara tetangganya,

hubunganhubungan antara nelayan-nelayan pantai dan nelayan-

nelayan jarak jauh, dan pembagian keuntungan dari eksploitasi

sumber kekayaan alam di dasar laut.

Sebagaimana yang di atur di dalanm zona laut internasional yang

di atur di dalam UN adalah 1. Laut territorial, 2. Zona tambahhan, 3.

Selat, 4. Perairan kepulauan, 5. Zona ekonomiekslusif dan landas

kontinen.

C. Tinjauan Umum Mengenai Keamanan Maritim (Maritime Security)

Mencegah perperangan sama pentingnya dengan memenangkan

perperangan, merupakan sebuah kalimat yang dipercaya oleh The Navy, Marine

Corps, and Coast Guard, dalam Maritime Strategy United State, yang juga berarti

meskipun terlibat antara persyaratan untuk masa damai yang berkelanjutan,

namun mempertahankan kemampuan dalam keterampilan kritis yang juga

diperlukan untuk melawan dan memenangkan perperangan. 45

Dengan fakta bahwa 90% dari dunia perdagangan bergerak melalui laut,

sebagian besar dari populasi dunia tinggal di dalam beberapa ratus mil dari lautan

dan hampir tiga perempat dari planet ini ditutupi oleh air,46 mendorong United

State untuk menciptakan keamanan laut, yang identik dengan adanya “ancaman” 47

untuk melanjutkan hidup.48 Dimana keamanan maritim US mengambarkan

45
US Navy, US Marine Corps and US Coast Guard, A Cooperative Strategy for 21st
Century Seapower, Oktober 2007, hal. 2.
46
Ibid.
47
Christian Bueger, hal. 1.
48
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


35

operasi penegakan maritim terutama dalam kaitannya dengan usaha mereka dalam

memerangi terorisme dan proliferasi senjata pemusnah massal.49 Seperti saat

konsep keamanan maritim mengemuka pasca serangan teroris tanggal 11

September 2001 di New York Amerika Serikat (AS). Pemerintah AS menyusun

Maritime Security Policy di tahun 2004 saat menyebarnya ketakutan global akan

terorisme maritim (New York merupakan kota di tepi laut). Pentingnya peran

keamanan maritime bagi AS, sebagaimana diakuinya oleh AS ;

The creation and maintenance of security at sea is essential to mitigating

threats short of war, including piracy, terrorism, weapons proliferation,

drug trafficking, and other illicit activities. Countering these irregular and

transnational threats protects our homeland, enhances global stability,

and secures freedom of navigation for the benefit of all nations.50

Dimana terjemahan secara bebas dalam bahas Indonesia adalah :

Penciptaan dan pemeliharaan keamanan di laut sangat penting untuk

mengurangi ancaman dari perang, termasuk pembajakan, terorisme,

proliferasi senjata, perdagangan narkoba, dan kegiatan terlarang lainnya.

Melawan ancaman tidak beraturan dan transnasional ini melindungi tanah air

kita, meningkatkan stabilitas global, dan menjamin kebebasan navigasi demi

keuntungan semua bangsa.

49
US Navy and US Marine Corps, „Naval Operations Concept 2006‟ (2006) , hal. 14. ;
and The U.S. Coast Guard Strategy for Maritime Safety, Security, and Stewardship, 2007, hal. 11-
12.
50
US Navy, US Marine Corps and US Coast Guard, Op.Cit, hal. 3.

Universitas Sumatera Utara


36

1. Penggunaan Istilah Kelautan dan Maritim

Muncul perdebatan di antara pengamat dan pakar maritim mengenai istilah

mana yang tepat kita pakai, kelautan atau maritim untuk menggambarkan sebuah

penguasaan laut atau kemampuan untuk memanfaatkan laut bagi pembangunan,

serta perlindungan yang cakupanya cukup luas antara kelautan dengan kata “laut”

dan kemaritiman dengan kata “maritim”, mengartikan kelautan sebagai penguasaan

laut atau kemampuan untuk memanfaatkan laut bagi pembangunan nasional. Tetapi,

ada juga yang mengatakan bahwa kata maritimlah yang mewakili geopolitik dan

geostrategi kelautan. Masalahnya menjadi bertambah kompleks karena sering kali

kita menggunakan konsep yang tidak tepat untuk hal yang dimaksud. Malah, ada

kalanya kita menggunakan konsep yang berbeda untuk menjelaskan hal yang sama.

Seperti yang telah di bahas sebelumnya, secara umum sebagai kumpulan air

asin yang sangat banyak dan luas di permukaan bumi dan berhubungan dengan

samudra, memisahkan dan/atau menghubungkan suatu benua dengan benua

lainnya dan/atau pulau dengan pulau lainnya 51, sedangkan kelautan hanya

dijelaskan sebagai “perihal yang berhubungan dengan laut”. Berhubungan di sini

dapat saja diartikan sebagai dekat, menyentuh, bersinggungan. Atau, apabila kita

merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, berhubungan berarti bersangkutan

(dengan); ada sangkut pautnya (dengan); bertalian (dengan); berkaitan (dengan): atau

bertemu (dengan); mengadakan hubungan (dengan): atau bersambung dengan52.

Dari uraian pengertian ini jelas bahwa istilah kelautan lebih cenderung melihat

51
Abdul Muthalib Tahar, Hukum Laut Internasional menurut KHL PBB 1982 dan
perkembangan Hukum Laut di Indonesia, Fakultas Hukum Internasional Bagian Hukum
Internasional, 2007, hal. 1.
52
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (https://kbbi.kemdikbud.go.id/ di akses pada
tanggal 15 desember 2017, pukul 14.00)

Universitas Sumatera Utara


37

kelautan dan laut sebagai bentuk fisiknya, sebagai physical entity atau physical

property. Maritim, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai

berkenaan dengan laut; berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut.

Seapower adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan sifat atau kualitas

yang menyatakan penguasaan terhadap laut. Geoffrey Till dalam bukunya,

Seapower, manyatakan bahwa maritim ada kalanya dimaksudkan hanya

berhubungan dengan angkatan laut, kadang-kadang diartikan juga sebagai

angkatan laut dalam hubungannya dengan kekuatan darat dan udara, kadang-

kadang diartikan pula sebagai angkatan laut dalam konteks yang lebih luas yaitu

dalam kaitannya dengan semua kegiatan yang berhubungan dengan komersial dan

penggunaan non-militer terhadap laut. Bahkan, kadang-kadang istilah maritim

diartikan sebagai meliputi ketiga aspek di atas. Istilah seapower, kembali menurut

Geoffrey Till, dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek input dan output. Dari

aspek input, seapower adalah angkatan laut, coastguard, industri maritim

nonmiliter secara luas dan sepanjang ada relevansinya, meliputi pula kekuatan

darat dan laut.

Lebih jauh Geoffrey Till mengatakan bahwa seapower bukan hanya

tentang apa yang diperlukan untuk dapat mengendalikan dan memanfaatkan laut,

tetapi juga merupakan kapasitas untuk memengaruhi tingkah laku pihak lain atau

sesuatu yang dikerjakan orang di laut atau dari laut. Pengertian ini mendefinisikan

seapower dalam terminologi hasil, sebagai keluaran atau output, bukan sebagai

faktor yang dibutuhkan atau input, atau lebih jelasnya, tujuan, bukan cara.

Dikatakan oleh Sir Julian Corbett, makna sesungguhnya seapower bukanlah apa

yang terjadi di laut, tetapi bagaimana ia memengaruhi jalannya peristiwa di

Universitas Sumatera Utara


38

darat.53 Penggunaan istilah maritim sesungguhnya lebih komprehensif, membuat

penggunaan istilah ini lebih cocok untuk penggambaran penguasaan laut atau

kemampuan untuk memanfaatkan laut bagi pembangunan, serta perlindungan yang

cakupanya cukup luas

2. Defenisi Keamanan Maritim (Maritime Security)

Keamanan Maritim (Maritime Security) ialah suatu konsep yang menjadi

populer dalam dekade terakhir ini, juga merupakan suatu frasa baru. Istilah itu

menjadi sesuatu yang fashionable akhir-akhir ini karena adanya pandangan

aspirasi terhadap maritim54 yang sebenarnya tidak memiliki makna secara

khusus55 United Nation Convention on the Law of The Sea (UNCLOS) yang

diadopsi dan di tandatangani pada tahun 1982 dan mulai berlaku pada tahun

199456 tidak memberikan defenisi yang pasti untuk keamanan maritim sendiri,

Keamanan maritim biasa dianalisis dengan cara yang sama dengan mengenali

hubungan dengan istilah lain.57 Sebagaimana tidak banyak teoritis-teoritis

memberikan defenisi keamanan maritim lebih kepada pengertian terpisah antara

keamanan dan laut unsur yang berkaitan dengan maritim.

Ketidakmampuan untuk menghasilkan pendefenisian tentang keamanan

maritim itu disebabkan oleh tiga hal, diantaranya :

53
Penggunaan Kata Kelautan atau Maritim (http://www.emaritim.com/2015/02/rosihan-
arsyad-kelautan-atau-maritim.html/ di akses pada tanggal 17 desember 2017, pukul 17.00).
54
Keamanan Maritim dan Implikasi Kebijakannya Bagi Indonesia
(https://media.neliti.com/media/publications/37552-ID-keamanan-maritim-dan-implikasi-
kebijakannya-bagi-indonesia.pdf di akses pada tanggal 17 desember 2017, pukul 17.00).
55
Christian Bueger, “What is Maritime Security”. Department of Politics and
International Relations, School of Law and Politics, Cardiff University. Marime Policy, 2015, hal.
1.
56
United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS), ditandatangani 10
Desember 1982, (mulai berlaku 16 November 1994). (di akses pada tanggal 17 Desember 2017,
pukul 17:10)
57
Christian Bueger,Op.cit.

Universitas Sumatera Utara


39

Pertama, diskusi tentang keamanan dan keselamatan maritim yang ada di

PBB dipandang bukan satu-satunya. Jika Informal Consultative Process (ICP)

PBB melakukan pendefenisian yang kaku dapat diartikan mem-pre-empt diskusi

yang telah dan tengah dilaksanakan di forum-forum lainnya.58

Kedua, adanya penolakan untuk menyatukan konsep keamanan maritim

(maritime security) dengan keselamatan maritim (maritime safety). Walau masih

berkaitan, terdapat pandangan bahwa rejim keamanan maritim harus dibedakan

dengan rejim keselamatan maritim. Konsep keselamatan maritim tampaknya lebih

memuat kepentingan organisasi pelayaran kapal seperti yang mengatasi

permasalahan keselamatan kapal, instalasi, personil / aktor profesional di bidang

kemaritiman dan lingkungan laut. Organisasi internasional yang mempunyai tugas

dan fungsi di bidang ini ialah International Maritime Organization (IMO) di

bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).59

Ketiga, adanya kecemasan bahwa defenisi keamanan maritim yang kaku

akan mengakibatkan pada otoritajhs nasional dalam pengelolaan laut menjadi

sangat berkurang.60

Gambar 1 : Kesulitan Perumusan Konsep Keamanan Maritim

58
Keamanan Maritim dan Implikasi Kebijakannya Bagi Indonesia, Op.Cit, hal. 6.
59
Ibid.
60
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


40

Sumber : Makmur Keliat, Keamanan Maritim dan Implikasi


Kebijakanya bagi Indonesia, Jurnal Ilmu Sosial dan
Politik, Volume 13 No 1, Juli 2009

Ketidakmampuan memberi defenisi atas keamanan maritim, membuat

para teoritis-teoritis menyimpulkan defenisi secara bebas. Seperti halnya

perdebatan teoritis kontemporer mengenai pertanyaan "keamanan" dalam politik

internasional dan pengembangan sub-bidang studi keamanan dapat dilacak

setidaknya sampai awal 1980-an, tepatnya pada akhir perang dingin mempercepat

kecenderungan untuk menyusun kembali agenda analisis keamanan internasional

terhadap penekanan baru dan berkembang atas tantangan terhadap kesejahteraan

bukan hanya negara, tetapi juga individu dan masyarakat di tingkat sub-negara

bagian dan, di luar tingkat negara, keamanan di tingkat regional dan bahkan

global.61

Barry Buzan telah mengusulkan bahwa konsep keamanan hanya dapat

dipahami sepenuhnya dengan mengintegrasikan "tingkat analisis" yang saling

tergantung dan "sektor isu" atau "dimensi" keamanan. Tingkat analisis Buzan

adalah keamanan individu, nasional dan internasional (keduanya regional dan

sistem), sementara sektor terbitannya terdiri dari keamanan militer, politik, sosial,

ekonomi dan lingkungan. Analis lain di bidang studi keamanan mengikuti pola

konseptual yang serupa. Meskipun berbagai kategori kandidat telah digunakan

dalam berbagai penelitian, seperti keamanan energi dan makanan, kejahatan

transnasional dan migrasi, semua ini dapat dimasukkan dalam satu atau lebih

dimensi keamanan Buzan.

61
Christopher Rahman, Concepts of Maritime Security: A Strategic Perspective on
Alternative Visions for Good Order and Security at Sea, with Policy Implications for New
Zealand, Papers University of Wollongong, 2009.

Universitas Sumatera Utara


41

Hampir sama dengan pemahaman konsepsi ”keamanan”, dalam keamanan

maritim juga dapat dianalisis dengan cara yang sama dengan mengenali hubungan

dengan istilah lain. Keamanan maritim mengatur jaringan hubungan,

menggantikan atau memasukkan lebih tua, konsep yang mapan, dan juga

berhubungan dengan yang baru dikembangkan. Setidaknya empat dari ini

memerlukan pertimbangan: seapower, marine safety, blue economy, dan human

resilience. Masing-masing konsep ini mengarahkan kita pada dimensi keamanan

maritim yang berbeda.62

Konsep seapower bertujuan untuk meletakkan peran angkatan laut dan

menguraikan strategi untuk penggunaannya 63 terutama terlihat dalam melindungi

jalur komunikasi laut inti guna memfasilitasi kemakmuran perdagangan dan

ekonomi dengan cara pencegahan serta pengawasan dan pertarungan 64 konsep dari

„seapower‟ yang terkait dengan keamanan maritim diantaranya, pertama

menyangkut fakta bahwa angkatan laut adalah salah satu aktor utama dalam

keamanan maritim. Selain itu, seapower membahas diskusi tentang sejauh mana

kekuatan negara dalam bertindak di luar perairan teritorial mereka, sebagaimana

yang terlibat di wilayah lain daripada wilayah mereka sendiri dan keberadaannya

di perairan internasional.

Konsep maritime safety “keselamatan laut” membahas keamanan atau

keselamatan kapal dan instalasi maritim dengan tujuan utama melindungi

profesional maritim dan lingkungan laut. Keselamatan laut adalah yang pertama

menyiratkan peraturan pembangunan kapal dan instalasi maritim, pengendalian


62
Christian Bueger, Op.Cit, hal. 6.
63
Till Geoffrey, Seapower. A Guide For The Twenty-First Century. London, Routledge,
2004.
64
Robert C. Rubel, Navies and Economic Prosperity – the New Logic of Sea Power,
Corbett Paper, No 11, hal. 16.

Universitas Sumatera Utara


42

reguler atas prosedur keselamatan sama baiknya dengan pendidikan profesional

maritim dalam mematuhi peraturan.

Konsep blue economy “ekonomi biru” diusulkan pada KTT dunia Rio+20

2012 dan didukung secara luas, misalnya dalam European Union‟s Blue Growth

Strategy (Strategi Pertumbuhan Biru Uni Eropa) yang bertujuan untuk

menghubungkan dan mengintegrasikan dimensi-dimensi berbeda dari

perkembangan ekonomi lautan dan membangun strategi pengelolaan

berkelanjutan untuk ini. Konsep blue economy terkait dengan keamanan maritim

karena strategi pengelolaan yang berkelanjutan tidak hanya memerlukan

penegakan dan pemantauan undang-undang dan peraturan, namun lingkungan laut

yang aman memberikan prasyarat untuk mengelola sumber daya kelautan

Konsep human resilience “ketahanan manusia” adalah proposal utama

untuk alternatif untuk memahami keamanan dalam hal keamanan nasional yang

diciptakan pada tahun 1990an. Usulan awalnya oleh Program Pembangunan

Perserikatan Bangsa-Bangsa, konsep tersebut bermaksud untuk memusatkan

pertimbangan keamanan pada kebutuhan masyarakat dan bukan negara bagian

(misalnya Gasper 2005, Martin and Owen 2010, Paris 2001). Dimensi inti

keamanan manusia menyangkut makanan, tempat tinggal, penghidupan yang

berkelanjutan dan lapangan kerja yang aman. Mengingat bahwa perikanan

merupakan sumber makanan dan lapangan kerja yang vital, terutama di negara-

negara terbelakang, Perikanan Ilegal, yang Tidak Dilaporkan dan Tidak Teratur

(IUU) merupakan masalah besar yang berdampak pada keamanan manusia.

Namun, ketahanan manusia memiliki beberapa dimensi maritim, yang terbentang

dari keamanan. pelaut terhadap kerentanan populasi pesisir terhadap ancaman

Universitas Sumatera Utara


43

maritim secara lebih luas. Terutama ketahanan populasi pesisir telah diidentifikasi

sebagai faktor kunci dalam munculnya ancaman maritim dan karenanya penting

dalam pencegahannya65.

Gambar 2 : Dimensi Keamanan Maritim

Sumber : Makmur Keliat, Keamanan Maritim dan Implikasi


Kebijakanya bagi Indonesia, Jurnal Ilmu Sosial dan
Politik, Volume 13 No 1, Juli 2009.

Menurut McNicholas, keamanan maritim adalah langkah-langkah yang

diambil oleh pemilik, operator, administrator kapal, fasilitas pelabuhan, instalasi

lepas pantai, serta organisasi kelautan untuk melindungi wilayah laut 66 lebih

mentitik beratkan kepada “ancaman” pada daerah maritim yang mengacu pada

ancaman seperti perselisihan lintas negara, terorisme maritim, pembajakan,

perdagangan narkotika, manusia dan barang haram, proliferasi senjata,

penangkapan ikan secara ilegal, kejahatan lingkungan, atau kecelakaan dan

bencana maritim67.

65
Christian Bueger, Op.Cit.
66
McNicholas Michael, “Maritime Security an Introduction”, Oxford, Elsevier, 2008.
67
Ibid, hal. 6.

Universitas Sumatera Utara


44

3. Konsep Keamanan Maritim

Studi keamanan dan dengan meminjam kerangka analisis Barry Buzan

dkk, konsep keamanan maritim tampaknya berada di antara dua interaksi

pemikiran yang berbeda yaitu antara kelompok yang menggunakan kerangka

tradisional tentang keamanan dan kelompok yang menggunakan kerangka non-

tradisional. Seperti yang diketahui, kelompok tradisional cenderung untuk

membatasi konsep keamanan (de-securitization) sedangkan kelompok non-

tradisional memiliki kecenderungan untuk memperluasnya (securitization). Jika

fokus dari kelompok tradisional tentang referent object (tentang apa yang

terancam) adalah pada kedaulatan dan identitas negara (kedaulatan negara dan

bangsa), maka kelompok non-tradisional cenderung untuk memperluasnya. Jika

kelompok non-tradisional cenderung memiliki bentangan keamanan (security

landscape) yang sangat luas tentang apa yang dimaksud dengan masalah-masalah

keamanan (security problems), maka kelompok tradisional cenderung untuk

membatasinya pada konflik kekerasan.

Timothy D. Hoy menyatakan secara sangat baik telah menggambarkan

perbedaan tentang dua mazhab keamanan ini. Mazhab pertama, tradisional

mendefinisikan masalah-masalah keamanan sebagai kegiatan pencarian keamanan

oleh negara dan kompetisi antar negara untuk keamanan. Pencarian dan kompetisi

itu diwujudkan misalnya melalui konfrontasi, perlombaan senjata (arms race) dan

perang. Karena itu bentangan keamanan (security landscape) menurut mazhab ini

pada dasarnya adalah masalah antarnegara (interstate problem). Mazhab yang

kedua, yang non-tradisional, menyatakan bahwa bentangan keamanan semacam

itu tidak mencukupi. Tetapi bentangan keamanan itu harus memasukkan masalah

Universitas Sumatera Utara


45

keamanan intra-negara (intrastate security problem) dan masalah keamanan

lintas-nasional (transnational security problem). Yang dimaksud dengan masalah

keamanan intra-negara misalnya dapat muncul dari kekacauan (disorder) dalam

negara dan masyarakat karena etnik, rasial, agama, linguistik atau strata ekonomi.

Sedangkan yang dimaksud dengan masalah keamanan lintas-nasional

misalnya adalah ancaman-ancaman keamanan yang berasal dari isu-isu

kependudukan seperti migrasi, lingkungan hidup dan sumber daya yang ruangnya

tidak dapat dibatasi pada skala nasional. Bahkan ada yang menyatakan bahwa

fokus kepedulian harus dialihkan dari unit analisis negara ke arah unit analisis

kelompok dan individu dengan berbagai isu yang sifatnya non-militer, misalnya

keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan

lingkungan dan keamanan politik. Hal ini misalnya tampak dari akademisi yang

menganjurkan konsep keamanan manusia (human security).

Dua mazhab ini, menurut Timothy, hanya menyampaikan setengah

kebenaran (half correct). Kelemahan dari mazhab tradisional adalah bahwa

pandangan keamanannya terlalu menekankan pada faktor militer. Sementara

kelemahan kelompok non-tradisional terletak pada konsep yang terlalu luas

sehingga sangat sukar untuk membedakan antara apa yang disebut dengan

masalah-masalah keamanan dengan masalah-masalah kebijakan publik (public

policy problems).

Dengan kata lain jika mengikuti pemikiran mazhab non-tradisional studi

tentang keamanan kehilangan fokusnya. Karena kelemahan-kelemahan semacam

ini, Timothy menyatakan perlu disepakati apa yang menjadi isu sentral dalam

keamanan. Ia menyarankan, isu sentral tersebut adalah masalah konflik kekerasan

Universitas Sumatera Utara


46

(the problem of violent conflict). Dengan meletakkan fokusnya pada konflik

kekerasan, yang kemudian perlu dilakukan adalah memahami faktor-faktor militer

dan non-militer yang dapat melahirkan konflik kekerasan. Selain kebutuhan untuk

mengidentifikasikan faktor-faktor militer dan non-militer ini, yang juga perlu

diidentifikasikan adalah arenanya, apakah terletak pada arena antarnegara,

intranegara, dan lintas batas negara (transnational).68

D. Maritime Security dan Maritime Safety

IMO atau International Maritime Organization memandang keamanan

maritim (maritime security) dengan perspektif keselamatan maritim (mariitime

safety) dengan maksud yang sama namun sebenarnya memiliki arti yang berbeda

sebagaimana IMO yang menjelaskan dan menguraikan konsep yang membedakan

antara keamanan maritim dan keamanan maritim, meskipun membedakan kedua

istilah tersebut, IMO hanya memiliki ungkapan yang berbeda untuk 'keamanan'

dan 'keselamatan' di internasional lainnya bahasa seperti Perancis (proteccion

maritime) dan Spanyol (surete maritime), sejak di amandemenkan di dalam

International Convention for the Safety of Life at Sea (Konvensi SOLAS).69

Keamanan Maritim (maritime security) memiliki arti yang lebih kepada

prihatin dengan pencegahan kerusakan yang disengaja melalui sabotase, subversi,

atau terorisme dan dari perspektif yang luas, berkaitan dengan masalah yang

melibatkan kepentingan lingkungan dan budaya 70 seperti:

68
Keamanan Maritim dan Implikasi Kebijakannya Bagi Indonesia, Op.cit. hal. 8.
69
International Convention for the Safety of Life at Sea, opened for signature 1
November 1974, (masuk kedalam peraturan pada tanggal 25 May 1985). Biasa dikenal SOLAS
Convention.
70
Christian Bueger, Op.Cit, hal. 7.

Universitas Sumatera Utara


47

1. Perdamaian dan keamanan internasional

2. Kedaulatan / integritas teritorial / independensi politik

3. Keamanan dari kejahatan di laut (Pembajakan atau pembajakan

bersenjata)

4. Keamanan sumber

5. Keamanan lingkungan

6. Keamanan pelaut dan perikanan

Sebagaimana, Ancaman utama keamanan maritim (maritime security) adalah:

1. Ancaman atau penggunaan kekuatan melawan kedaulatan, integritas

teritorial atau independensi politik negara;

2. Terroris bertindak melawan pengiriman, lepas pantai instalasi dan

kepentingan maritim lainnya, illegal pengangkutan WMD, serta

tindakan melanggar hukum;

3. Pembajakan dan perampokan bersenjata di laut;

4. Kejahatan terorganisir transnasional yang berkolaborasi dengan actor

kekerasan, misalnya: Penyelundupan migran, obat-obatan narkotika,

senjata;

5. Ancaman terhadap keamanan sumber daya, misalnya: Ilegal,

penangkapan ikan yang tidak diatur dan tidak dilaporkan (IUU);

6. Ancaman lingkungan, misalnya : Polusi utama insiden, dumping

illegal.

Keselamatan Maritim (maritim safety) memiliki unsur-unsur rezim, seperti

konstruksi dan peralatan kapal, konstruksi dan kondisi perburuhan, pelatihan

Universitas Sumatera Utara


48

mengenai kondisi kru dan perburuhan, transportasi barang dan penumpang, rute

dan grafik diagram rute dan bahari, bantuan dalam situasi tertekan dan dalam

situasi bahaya 71 atau keselamatan maritim memiliki arti yang lebih kepada

prihatin dengan pencegahan kerusakan atau insiden yang tidak disengaja

pencemaran lingkungan laut atau hilangnya kehidupan di laut melalui

pengembangan sistem dukungan teknis, audit terhadap masyarakat klasifikasi

yang diakui, pengembangan metodologi umum untuk penyelidikan kecelakaan

maritim dan, pembentukan sistem pemantauan lalu lintas kapal dan sistem

informasi. Keselamatan Maritim juga mencakup pengembangan Search and

Rescue, Ports of Refugee dan pengembangan perencanaan darurat dan

kontijensi.72

Konsep “keselamatan maritim” terkait erat dengan kerja International

Maritime Organization dan Maritime Safety Committee yang bertindak sebagai

badan internasional utama untuk mengembangkan peraturan dan perundangan.

Jika masalah utama keamanan laut, setelah kecelakaan kapal Titanic pada tahun

1912 adalah dalam pencarian dan penyelamatan dan perlindungan kehidupan

pelaut dan penumpang, ini secara bertahap beralih ke masalah lingkungan dan

pencegahan tabrakan, kecelakaan dan bencana lingkungan yang mungkin terjadi.

sebab. Khususnya tumpahan minyak yang tercatat dari tahun 1970an telah

mengangkat profil dimensi lingkungan keselamatan laut, sementara kejadian

71
Michele Ameri and Michael Shewchuk, Maritime Security and Safety, UNITAR /
DOALOS Briefing, 17 October 2007.
72
African Maritime Safety & Security Agency (http://www.amssa.net/intelligence/risk-
prevention-and-maritime-security.aspx di akses pada tanggal 20 desember 2017, pada pukul 17.00)

Universitas Sumatera Utara


49

seperti tumpahan minyak Teluk 1991 mengungkapkan hubungan antara keamanan

tradisional dan masalah lingkungan73.

Salah satu bentuk kerjasama antara keamanan laut dengan IOM terjadi di

Indonesia. Badan Keamanan Laut (Bakamla) pada tanggal 15 April 2015 menjalin

hubungan dengan IOM dalam peningkatan kapasitas pegawai Bakamla, dengan

mengingat posisi strategis instansi ini dalam rangka pemberantasan kejahatan

transnasional terorganisir di atas laut seperti penyelundupan manusia dan

perdagangan orang74.

73
Christian Bueger, Op.Cit.
74
Keamanan Maritim, Perdagangan Orang Dalam Sektor Perikanan: Kasus Benjina
(https://indonesia.iom.int/sites/default/files/Web-IND--Newsletter%20IOM-Jun%202015.pdf di
akses pada tanggal 20 desember 2017, pada pukul 17.00)

Universitas Sumatera Utara


50

BAB III

TINJAUAN UMUM TERHADAP PENYELUNDUPAN MANUSIA

(PEOPLE SMUGGLING) DI KAWASAN ASIA TENGGARA

A. Tinjauan Umum Mengenai Penyelundupan Manusia

1. Pengertian Penyelundupan Manusia

Pengertian People Smuggling atau penyelundupan manusia, sebagaimana

terdapat di dalam pasal 3 Protocol Against the Smuggling of Migrants by Land, Sea,

and Air (selanjutnya disebut di dalam protokol penyelundupan manusia) :

“smuggling of migrants” shall mean ..the procurement, in order to


obtain, directly or indirectly, a financial or other material benefit, of the
illegal entry of a person into a state party of which the person is not a
national or permanent resident”
”illegal entry” shall mean crossing borders without complying with the
necessary requirements for legal entry into receiving state.75
Dimana terjemahan secara bebas dalam bahas Indonesia adalah :

“penyulundupan manusia” berarti pengadaan, untuk mendapatkan secara

langsung atau tidak langsung, keuntungan finansial atau materi, dari

masuknya seseorang secara illegal ke dalam suatu negara pihak dari

mana orang tersebut bukan warga atau penduduk tetap.

“masuk secara ilegal” berarti melintasi perbatasan tanpa memenuhi

persyaratan yang diperlukan untuk masuk hukum ke dalam negara

penerima.

75
Lihat Pasal 3, Smuggling Protocol

Universitas Sumatera Utara


51

Gambar 3 : Unsur-unsur defenisi Hukum Internasional tentang


penyelundupan manusia

Sumber : Bali Process Policy, Guide Drafting Committee, 2014, Policy


Guide on Criminalizing Migrant Smuggling, The Regional
Support Office to Bali Process, Agustus 2014.

Gambar 3 menjelaskan bahwa yang dikategorikan sebagai penyelundupan

manusia memiliki kombinasi dari tiga unsur, diantaranya : 1. Melalui prosedur

yang ilegal untuk masuk atau tempat tinggal ilegal seseorang 76, misalnya,

masuknya seseorang ke negara tujuan dengan tidak memiliki visa yang valid

untuk negara-negara yang memerlukan visa atau dokumen lain yang sah

sebagaimana telah di tetapkan oleh negara tersebut77; 2. Ke atau di negara dimana

orang tersebut bukan penduduk nasional atau tetap; 3. Untuk kepentingan dalam

bentuk uang atau manfaat material lainnya 78, misalnya sebuah keuntungan dapat

mencakup non-keuangan (misalnya keuntungan, hak istimewa, layanan seksual

atau lainnya) yang timbul dari penyelundupan manusia79.

76
United Nation Office on Drugs and Crime (UNDOC), A Short Introduction to Migrant
Smuggling, Issue Paper. 2010, hal. 5
77
Bali Process Policy, Guide Drafting Committee, 2014, Policy Guide on
Criminalizing Migrant Smuggling, The Regional Support Office to Bali Process,
Agustus 2014, hal 9
78
United Nation Office on Drugs and Crime (UNDOC), Op.Cit.
79
Bali Process Policy, Op.Cit.

Universitas Sumatera Utara


52

Kombinasi dari tiga unsur pada Gambar 3 merupakan tindak pidana

kejahatan penyelundupan manusia. Seseorang yang sengaja terlibat, secara

langsung atau tidak langsung, dalam penyelundupan manusia disebut sebagai

penyelundup. Seseorang yang sedang dibantu oleh penyelundup untuk masuk ke

sebuah negara secara ilegal disebut sebagai manusia yang diselundupkan.

Meskipun penyelundup dan manusia yang diselundupkan melakukan perjanjian

untuk berlangsungnya penyelunduppan. Namun tujuan protokol ini bukan untuk

menargetkan migrasi ireguler, tetapi untuk memerangi kejahatan terorganisir

penyelundupan manusia80, sehingga tindakkan penyelundupan manusia masuk

kedalam tindakkan kriminal yang mengancam negara-negara serta mewajibkan

negara bagian untuk menetapkan sebagai pelanggaran terhadap tindakkan

tersebut, sebagaimana tertera di dalam pasal 6 Protocol Against the Smuggling of

Migrants by Land, Sea, and Air, yang mewajibkan negara-negara mengkriminalisasi

perilaku baik memproduksi, pengadaan, penyediaan atau memiliki dokumen

perjalanan atau identitas palsu yang dilakukan untuk tujuan penyelundupan manusia,

sebagaimana tertulis :

Enabling a person to remain in a country where the person is not a


legal resident or citizen without complying with requirements for
legally remaining by illegal means” in order to obtain a financial or
other material benefit81.

Dimana terjemahan secara bebas dalam bahas Indonesia adalah :

”Membiarkan seseorang untuk tinggal di negara di mana orang

tersebut bukan penduduk atau warga negara yang sah tanpa mematuhi

80
Ibid.
81
Lihat Pasal 6, Smuggling Protocol.

Universitas Sumatera Utara


53

persyaratan yang secara legal dan dianggap ilegal" untuk memperoleh

keuntungan finansial atau materi lainnya.”

Kriminalisasi yang di maksut dalam protocol ini hanya mencakup mereka

yang mendapat keuntungan dari penyelundupan manusia dan tindakkan tersebut

terkait dengan maksut memperoleh keuntungan finansial atau materi lainnya.

Protokol ini tidak bermaksud mengkriminalkan orang-orang seperti anggota

keluarga atau kelompok non-pemerintah atau agama yang memfasilitasi

masuknya migran ilegal karena alasan kemanusiaan atau nirlaba. Dalam hal ini,

pasal 5 menyatakan bahwa para migran itu sendiri tidak boleh dianggap

bertanggung jawab atas kejahatan penyelundupan karena telah diselundupkan,

sebagaimana tertulis :

“Migrants shall not become liable to criminal prosecution under this


Protocol for the fact of having been the object of conduct set forth in
article 6 of this Protocol”82

Dimana terjemahan secara bebas dalam bahas Indonesia adalah :

"Migran tidak bertanggung jawab atas tuntutan pidana berdasarkan

Protokol ini karena telah menjadi objek perilaku yang diatur dalam

pasal 6 Protokol ini."

Di dalam protokol ini menjelaskan bahwa tidak seorang pun harus

dihukum, karena telah diselundupkan, dan para korban penyelunduppan seringkali

harus bergantung pada penyelundup untuk melarikan diri dari penganiayaan,

pelanggaran hak asasi manusia atau konflik serius. Mereka seharusnya tidak

82
Lihat Pasal 5, Smuggling Protocol.

Universitas Sumatera Utara


54

dikriminalisasi karena telah di manfaatkan serta di ambilnya keuntungan oleh para

sebagaimana tertera di dalam pasal 31 dari Refugees Convention 1951 dan Pasal

19 dari Migrant Smuggling Protocol83.

2. Perbedaan Penyelundupan Manusia dengan Trafficking in Person

Konsep antara penyelundupan manusia atau migran (people smuggling)

dengan kejahatan terhadap manusia (trafficking in person) relatif dekat dan sering

saling berhubungan namun penyelundupan manusia tidak identik dengan

perdagangan manusia walau tetap masuk kedalam kategori kejahatan terhadap

manusia. Sebagaimana bermula dalam proses memasuki suatu negara yang dapat

berlangsung dengan atau tanpa dokumen yang lengkap. Masuknya manusia yang

tidak memiliki dokumen yang lengkap ke suatu negara bagian (selain negara

asalnya) yang telah dipersyaratkan oleh negara tujuan atau yang dikunjungi

membuat tindakan ini bisa dianggap sebagai orang menyelundupkan –

penyeluduppan dan/atau dapat dianggap juga melakukan perdagangan orang. 84

Perbedaan antara kedua pelanggaran tersebut secara jelas di artiakan di

dalam penjelasan Trafficking and Smuggling Protocols, yang mendefinisikan

"penyelundupan" dalam Pasal 3 (a) sebagai:

The procurement in order to obtain, directly or indirectly, a


financial or other material benefit, of the illegal entry of a person
into a state party of which the person is not a national or a
permanent resident.

Dimana terjemahan secara bebas dalam bahas Indonesia adalah :

83
United Nation Office on Drugs and Crime (UNDOC).
84
Ahmad Almaududy Amri , Maritime Security Challenges in Southeast Asia: Analysis
of International and Regional Legal Framework, Universityof Wollongong Thesis Collection,
2016, hal. 161

Universitas Sumatera Utara


55

Pengadaan barang untuk memperoleh, secara langsung atau tidak

langsung, keuntungan finansial atau materi lainnya, dari masuknya

orang secara ilegal ke dalam suatu negara pihak yang orang

tersebut bukan penduduk nasional atau penduduk tetap85.

Di sisi lain, perdagangan manusia adalah kejahatan yang lebih kompleks.

Ini melibatkan tidak hanya migrasi ilegal, tapi juga tindakan lain seperti

penggunaan kekerasan, pemaksaan, tindakan curang dan eksploitasi orang.

Sebagaimana Trafficking Protocol mendefenisisikan “perdagangan manusia”

dalam pasal 3 (a) sebagai :

The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of


persons, by means of the threat or use of force or other forms of
coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of
power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving
of payments or benefits to achieve the consent of a person having
control over another person, for the purpose of exploitation.
Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the
prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced
labour or service, slavery or practices similar to slavery, servitude
or the removal of organs.

Dimana terjemahan secara bebas dalam bahas Indonesia adalah :

Perekrutan, pengangkutan, pengalihan, penyimpanan atau

penerimaan orang, melalui ancaman atau penggunaan kekerasan

atau bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, penipuan, penipuan,

penyalahgunaan kekuasaan atau posisi kerentanan atau pemberian

atau penerimaan pembayaran atau tunjangan untuk mencapai

85
Dilihat Pasal 3, Smuggling Protocol.

Universitas Sumatera Utara


56

persetujuan orang yang memiliki kendali atas orang lain, untuk

tujuan eksploitasi. Eksploitasi harus mencakup, minimal,

eksploitasi pelacuran orang lain atau bentuk eksploitasi seksual,

kerja paksa atau layanan, perbudakan atau praktik serupa dengan

perbudakan, perbudakan atau penghilangan organ86.

Dari pengertian di atas, jelas bahwa perdagangan manusia berbeda dari

penyelundupan manusia dalam beberapa hal. Pertama, penyelundupan manusia

bersifat sukarela alam - yaitu, tindakan tersebut dilakukan dengan persetujuan dari

orang-orang yang diselundupkan walau kerap dilakukan dalam kondisi berbahaya

atau merendahkan martabat . Di sisi lain, perdagangan manusia tidak bersifat

sukarela dan melibatkan pemaksaan dan kecurangan 87 jika mereka pada awalnya

menyetujui, persetujuan tersebut telah menjadi tidak berarti oleh tindakan pelaku

perdagangan manusia yang memaksa, menipu atau kasar88. Kedua, tindakan

penyelundupan manusia berakhir saat para migran mencapai tujuannya tujuan,

sedangkan perdagangan manusia terus menerus mengeksploitasi orang bahkan

setelah mereka sampai di tempat tujuan mereka. Ketiga, penyelundupan manusia

memerlukan gerakan internasional, sementara perdagangan manusia dapat

dilakukan baik di dalam satu negara atau di antara negara-negara yang berbeda.

Keempat, dalam hal memasuki suatu Negara Bagian, orang-orang penyelundupan

selalu ilegal, dan dengan demikian yang diselundupkan dikategorikan sebagai

86
Lihat Pasal 3 (a), Trafficking Protocol.
87
Patrick Twomey, Europe‟s Other Market: Trafficking in People, dalam European
Journal of Migration and Law, 2000, hal. 7.
88
Is people smuggling the same as human trafficking ?
(http://www.blueblindfold.gov.ie/website/bbf/bbfweb.nsf/page/humantrafficking-
traffickingsmuggling-en/ di akses pada tanggal 19 januari 2018, pukul 13.00)

Universitas Sumatera Utara


57

ilegal migran Sebaliknya, dalam skenario perdagangan manusia, orang-orang

yang diperdagangkan dapat memasuki suatu Negara secara sah atau tidak sah89.

Terdapat pula hal lain yang lebih umum yang memberikan alasan serta

perbedaan antara penyelundupan manusia dengan perdagangan manusia,

diantaranya :

1. Beberapa orang yang diperdagangkan mungkin memulai perjalanan

mereka dengan menyetujui diselundupkan ke sebuah negara secara ilegal90

dan elemen crossborder91, namun mendapati dirinya tertipu, dipaksa atau

dipaksa melakukan eksploitasi kemudian dalam prosesnya (misalnya,

dipaksa bekerja dengan upah rendah yang luar biasa untuk membayar

transportasi) .

2. Pelaku perdagangan mungkin menyajikan 'kesempatan' yang terdengar

lebih mirip dengan penyelundupan korban potensial. Mereka bisa diminta

membayar biaya yang sama dengan orang lain yang diselundupkan.

Namun, niat para pedagang sejak awal adalah eksploitasi korban. 'Biaya'

itu adalah bagian dari penipuan dan penipuan dan cara menghasilkan

sedikit uang.

3. Penyelundupan mungkin bukan niat yang direncanakan pada awalnya tapi

kesempatan yang 'terlalu bagus untuk dilewatkan' kepada orang-orang

yang lalu lintas hadir pada penyelundup / pelaku perdagangan pada suatu

saat dalam prosesnya.


89
Obokata, Tom, Smuggling of Human beings from a Human Rights Perspective:
Obligations of Non-State and State Actors under International Human Rights Law, 17(2) dalam
International Journal of Refugee Law, 2005
90
Penyelundupan harus melibatkan persetujuan, setidaknya pada tahap awal, dari migran
yang diselundupkan.
91
Sementara perdagangan manusia tidak memerlukan elemen lintas batas, yaitu
seseorang juga dapat diperdagangkan secara internal di satu negara, penyelundupan migran
memerlukan penyeberangan perbatasan internasional yang tidak beraturan (ilegal).

Universitas Sumatera Utara


58

4. Penjahat dapat menyelundupkan dan lalu lintas orang, menggunakan rute

dan metode pengangkutan yang sama.92

Gambar 4 : Persamaan dan Perbedaan penyelundupan manusia

dengan perdagangan manusia

Sumber : Is people smuggling the same as human trafficking?

(http://www.blueblindfold.gov.ie/website/bbf/bbfweb.nsf/page/humant

rafficking-traffickingsmuggling-en/)

Singkatnya, apa yang dimulai sebagai situasi penyelundupan bisa

berkembang menjadi situasi perdagangan manusia. Namun, penting untuk

membedakan antara perdagangan manusia dan penyelundupan manusia dan

perilaku terkait karena tiga alasan:

1. Unsur penyusun dari masing-masing pelanggaran berbeda;

2. Respon yang dibutuhkan dan bantuan yang dibutuhkan akan bervariasi,

tergantung pada pelanggarannya; dan

3. Diakui sebagai migran yang diselundupkan atau korban perdagangan

manusia memiliki implikasi serius bagi orang yang bersangkutan 93.


92
United Nation Office on Drugs and Crime (UNDOC)

Universitas Sumatera Utara


59

Perbedaan yang ada di antara kedua pelanggaran tersebut tidak

menghalangi mereka untuk saling tumpang tindih. Memang ada kasus dimana

keduanya melakukan penyelundupan dan perdagangan telah terjadi Ini muncul

dimana orang-orang berniat untuk diselundupkan ke dalam negara lain akhirnya

diperdagangkan. Intinya, para manusia atau migran ditipu dalam perjalanan

mereka ke negara tujuan dan diperlakukan dengan tidak manusiawi. Selain itu,

para migran membebankan sejumlah besar uang agar bisa diangkut secara ilegal

ke yang lain Negara. Akibatnya, mereka terkena eksploitasi, sehingga

menjadikannya korban perdagangan manusia. Tumpang tindih antara

penyelundupan manusia dan perdagangan manusia orang menciptakan masalah

bagi pihak berwenang sehubungan dengan penegakan hukum dan menuntut

pelanggar94.

3. Latar Belakang Terjadinya Penyelundupan Manusia

Ada beberapa penyebab penyelundupan manusia, diantaranya; Pertama,

alasan untuk berpindah tempat adalah untuk meninggalkan situasi politik yang

bergejolak di negara asalnya seperti dalam keadaan perang, dan kurangnya

kesempatan untuk menjadi imigran legal. Kedua, hanya mencari tempat tinggal

yang lebih bai dengan factor kemiskinan selalu menjadi salah satu Alasan utama

orang memilih untuk 'bermigrasi' ke negara lain. Tujuan mereka adalah

menemukan kehidupan yang lebih baik untuk diri mereka sendiri dengan mencari

93
Ibid.
94
Ahmad Almaududy Amri, Op.Cit. hal.163.

Universitas Sumatera Utara


60

kesempatan kerja di negara tujuan mereka 95. Ketiga, Faktor penyebab lain yang

mendorong banyak orang untuk bermigrasi adalah diskriminasi. Di Beberapa

bagian dunia, orang menghadapi diskriminasi berdasarkan ras mereka atau jenis

kelamin atau keanggotaan kelompok identitas lainnya, dan oleh karena itu tidak

diberi kesempatan kerja atau hak lain yang sama seperti populasi umum. Lebih

jauh lagi, ada negara-negara di mana ketidaksetaraan ada sehubungan dengan

perlakuan perempuan. Di tempat-tempat ini, perempuan terpinggirkan dalam

ekonomi, sosial dan politik lingkaran dan tidak menerima hak yang sama

dinikmati pria. Krisis kemanusiaan juga berperan dalam bangkitnya

penyelundupan manusia. Di beberapa negara, orang menghadapi pelecehan atas

dasar ras, agama dan / atau keanggotaan politik mereka, sehingga menyebabkan

mereka secara sukarela 'bermigrasi' ke negara lain.

95
UNHR, Report of the Special Rapporteur on Sales of Children, Child Prostitution and
Child Pornography: Mission to Morocco,
(http://www.ohchr.org/en/issues/children/pages/childrenindex.aspx diakses pada tanggal 12
Desember 2017 pada pukul 12.00), hal..21.

Universitas Sumatera Utara


61

Gambar 5 : Faktor-faktor terjadinya Penyelundupan Manusia

Sumber : Rizkan Zulyadi, Geetha Subramanian dan Tan Kamello,


People Smuggling In Indonesia, International Journal
of Asian Social Science, 2014.

Tiga faktor yang memicu penyelundupan manusia: (1) faktor pendukung

(perang, konflik sosial, kemiskinan, dan kurangnya kesempatan untuk menjadi

imigran legal); (2) faktor penarik (lingkungan aman, peluang ekonomi yang lebih

baik, dan hubungan keluarga dan budaya); dan juga (3) faktor kombinasi

(melanggar batas internasional, akses terhadap sindikat penyelundupan manusia,

kemudahan komunikasi dan perjalanan, dan kerentanan terhadap eksploitasi oleh

sindikat kriminal yang diorganisir)96

96
Rizkan Zulyadi, Geetha Subramanian dan Tan Kamello, People Smuggling In
Indonesia, dalam International Journal of Asian Social Science, 2014, hal. 1094

Universitas Sumatera Utara


62

B. Penyelundupan Manusia di kawasan Asia Tenggara

Dengan begitu banyak alasan mengapa orang memilih untuk

diselundupkan, di kawasan Asia Tenggara, sebagian besar alasanya adalah pencari

suaka atau pengungsi97. yang melarikan diri dari konflik internal dan dalam

kondisi miskin perekonomian. Sebagian besar orang yang transit melalui Asia

Tenggara berasal dari Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia timur yang berminat

bermukim di Australia dan Kanada98.

Salah satu masalah yang dihadapi pihak berwenang Australia dan Kanada

dalam menangani imigran yang datang melalui Asia Tenggara adalah bagaimana

membedakan antara yang benar-benar pengungsi dan migran yang membutuhkan

serta mengunakan perlindungan hukum yang diberikan ke suaka pencari dan

pengungsi agar bisa masuk ke negara mereka dengan para penyeludup yang

meminta bantuan untuk masuk ke negara lain secara ilegal.99.

Indonesia yang merupakan bagian dari Asia Tenggara, merupakan salah

satu tempat yang strategis dan “nyaman” untuk keluar dan menyiapkan sarana

transportasi dengan memanfaatkan kondisi ekonomi masyarakat sekitar pesisir100

dan keamanan yang masih minim. Untuk sekedar transit sampai ke negara tujuan,

ataupun untuk tinggal. Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk

Indonesia Pengungsi (UNHCR) mencatat bahwa negara dengan jumlah penduduk

97
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Transnational Organized Crime
in East Asia and the Pacific: A Threat Assessment
98
Ahmad Almaududy Amri, Op.Cit. hal.166.
99
Ibid.
100
Rizkan Zulyadi, Suhaidi, Syafruddin Kalo dan Hamdan, Handling People Smuggling
in Indonesian Sea Territory, dalam IOSR Journal Of Humanities And Social Science (IOSR-
JHSS), Agustus 2015, hal. 50.

Universitas Sumatera Utara


63

tertinggi mencari suaka di Asia termasuk Afghanistan (68.719), Irak (59.472),

Pakistan (26.332), Iran (20.241), dan Sri Lanka (6,792)101.

1. Penyelundupan Manusia dari Asia Timur dan Tenggara ke Amerika Serikat

dan Uni Eropa

Cina dan vietnam memiliki aliran migrasi tampaknya telah meningkat

sejak tahun 1980-an sebagian besar migrasi ini legal tetapi orang-orang yang

memilih untuk bermigrasi secara ilegal dengan menggunakan jasa penyeludup

juga tinggi, karena jarak dan kesulitan bahasa. Tujuan utama untuk mereka yang

berasal dari Cina, yang sebagian besar dari daerah makmur, provinsi Timor Cina,

adalah negara Amerika, Perancis, Jerman, Italia, Spanyol dan Inggris. Sedangkan

mayoritas dari mereka yang berasal dari Vietnam yang diselundupkan berasal dari

provinsi-provinsi utara dan cenderung memilih Amerika, Inggris, Perancis dan

Jerman sebagai negara tujuan.

Walaupun rute laut masih digunakan, saat ini sebagian besar yang berasal

dari Cina dan Vietnam yang diselundupkan terbang dari wilayah yang sedekat

mungkin untuk tujuan mereka, mendarat di negara negara yang tanpa persyaratan

visa atau tempat di mana kontrol masuknya lemah dan kemudian bergerak secara

sembunyi-sembunyi melalui jalur darat. Banyak rute yang digunakan melalui

Amerika tengah untuk mencapai perbatasan Amerika Serikat-Meksiko. Otoritas

Eropa melaporkan bahwa mayoritas warga negara Cina masuk diselundupkan

melalui udara dan melalui Eropa Timur sebagai wilayah transit pilihan, dengan

kombinasi dokumentasi asli dan palsu. Pentransitan melalui Afrika juga sedang

101
UNHCR, Asylum Trends 2014;Levels and Trends Industrialized Countries, hal. 23.

Universitas Sumatera Utara


64

berkembang. Pengguna visa dan pernikahan palsu juga populer digunakan oleh

penyelundup Cina.

Jaringan penyelundupan China dan Vietnam diketahui menawarkan

perjalanan melalui negara transit, serta masukan negara tujuan, untuk jaringan

berbasis lokal dan terkadang terdapat persengkokolan antara jaringan

penyelundupan manusia Cina dan vietnam. Jaringan Cina didominasi oleh laki-

laki tetapi wanita juga terlibat. Sedikit yang diketahui tentang jaringan

penyelundupan Vietnam, meski mereka telah berdiri dengan baik di seluruh

Eropa.

Meskipun ada orang orang dari China dan Vietnam yang tidak

diselundupkan, tetapi sebagian besar memilih hal tersebut. Diperkirakan sekitar

12.000 orang Cina masuk ke Amerika Serikat setiap tahun, masing masing

membayar sekitar US $ 50.000 untuk layanan penyelundupan. Ia akan

menghasilkan sampai dengan US $ 600 juta per tahun untuk para penyelundup.

Jumlah yang berasal dari Vietnam diselundupkan ke Amerika Serikat jauh lebih

rendah, kemungkinan kurang dari 1000 individu. Jika mereka membayar biaya

yang sama seperti Cina, hal ini akan mengakibatkan pembayaran kepada

penyelundup menjadi senilai US $ 50 juta setahun. Biaya penyelundupan untuk

orang Cina yang ingin memasuki Uni Eropa lebih rendah, rata-rata sekitar US $

17.000. UNDOC Memperkirakan orang Cina menggunakan jasa penyelundupan

mencapai 36.000 untuk mencapai Uni Eropa setiap tahunny kira-kira akan

menghasilkan sampai dengan US $ 600 jt setahun, kira-kira setengah dari

banyaknya orang Vietnam terdekteksi sebagai orang Cina di Uni Eropa,

menunjukkan aliran berkisar 18.000 jiwa per tahun. Sekali lagi, jika membayar

Universitas Sumatera Utara


65

harga yang sama dengan China untuk layanan penyelundupan, Hal ini akan

memberikan pendapatan US $ 300 juta untuk penyelunduppan setiap tahunnya 102

2. Penyelundupan Manusia dari Asia Tenggara ke Australia

Pada tahun 1970-an sebagian besar kapal yang tiba di Australia berasal dari

Vietnam. Namun, ini telah berubah sejak akhir tahun 1990an. Sejak saat itu orang-

orang dari Afghanistan, Iran, Irak, Sri Lanka dan Myanmar telah menggunakan

strategi baru untuk mencapai negara tujuan mereka. Asia Tenggara telah menjadi

kawasan penting bagi penyelundup manusia, karena Indonesia adalah negara

transit utama bagi mereka yang ingin bermukim di Australia. Orang yang

menyelundupkan menggunakan beberapa jalur dan metode untuk membawa

pelanggan mereka ke Indonesia. Orang-orang dari Afghanistan diangkut dengan

bus atau berjalan kaki ke Pakistan atau Iran melalui perbatasan darat resmi dan

tidak resmi. Dari negara-negara ini, rakyat kemudian diangkut ke Malaysia

melalui udara. Untuk sampai ke Indonesia dari Malaysia, diselundupkan Warga

Afghanistan diangkut dengan bus, kereta api atau feri. Begitu sampai di Indonesia,

mereka ditempatkan di kapal untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Australia.

setelah sampai di Indonesia mereka di tempatkan di sebuah lokasi dan di biarkan

untuk menunggu paling tidak dua minggu atau sampai berbulan-bulan tampa

kepastian, sampai mereka menerima pemberitahuan lanjut tentang waktu dan

lokasi mereka akan di berangkatkan. Guna memaksimalkan keuntungan, orang

yang menyelundupkan cenderung menggunakan hal yang tidak pantas seperti

penggunaan kapal untuk pengangkutan migran, kerap menggunakan kapal nelayan

102
Endah Sundari, Analisis Yuridis Terhadap Bali Declaration on People Smuggling,
Traffiking in Person and Related Transnational Crime Sebagai Salah Satu Bentuk Perjanjian
Internasional, Fakultas Hukum USU Medan, 2017, hal. 75-77.

Universitas Sumatera Utara


66

yang biasa di gunakan menangkap ikan, karena itu, perjalanan jadi sangat

berbahaya dan dalam banyak kasus penumpang telah meninggal pada waktu

perjalanan. Misalnya, pada tahun 2001 sebuah kapal nelayan, Siev X, tenggelam

dalam perjalanannya ke Kepulauan Christmas karena kelebihan beban dengan

orang-orang. Insiden tersebut menyebabkan kematian 353 penumpang dari empat

negara. Pada tahun 2012, dilaporkan bahwa sebuah kapal berisi hampir 200

migran dari Afghanistan berusaha memasuki wilayah Australia. Namun, saat

perahu dalam keadaan kelebihan muattan, kapal tersebut tidak bisa melanjutkan

perjalanan. Oleh karena itu, pihak berwenang Australia harus menyelamatkan

kapal dan penumpangnya di pantai barat laut Australia. Sayangnya, hanya 108

orang yang selamat dari kejadian tersebut.

Terdapat rata rata 6000 orang yang diselundupkan yang mencoba untuk

mencapai Australia melalui laut setiap tahun, sebagian besar dari mereka

membayar sekitar US 14000 untuk jasa penyelundupan. Kegiatan ini

menghasilkan pendapatan bagi penyelundup sekitar US 85jt per tahun.

3. Penyelundupan Manusia dari Asia Tenggara ke Kanada

Penyelundupan orang ke Kanada telah didominasi oleh orang-orang Sri

Lanka sejak 1985. Perlu dicatat, bagaimanapun, bahwa Kanada bukanlah tempat

yang paling populer untuk migran Timur Tengah dan Asia Tengah, seperti yang

berasal dari Afghanistan dan Iran. Setelah mengrekonsiliasi antara Pemerintah Sri

Lanka dan Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE) pada bulan Mei 2009,

banyak pencari suaka Tamil bermigrasi ke India dan kemudian ke Asia Tenggara.

Setelahnya mereka berlayar hingga membawa mereka ke tempat tujuan akhir, baik

Kanada atau Australia. Lebih dari 50 pria Tamil dibawa oleh Ocean Lady pada

Universitas Sumatera Utara


67

tahun 2009, yang berlayar dari Mumbai dan kemudian melewati beberapa negara

Asia Tenggara untuk menjemput kelompok Tamil lainnya.

Perjalanan ini didukung oleh komunitas diasporika Tamil di Kanada, yang

mendorong orang Tamil untuk bermigrasi. Melihat gerakan ini oleh orang Tamil,

pihak berwenang Kanada berhasil mencegat kapal lain yang membawa hampir

500 orang Tamil pada bulan Agustus 2010. Kapal yang dipermasalahkan, MV

Sun sea, telah berlayar dari Songkhla, Thailand, dan dicegat di lepas pantai British

Columbia. Dalam kasus MV Sun Sea, dilaporkan ada sekitar 45 orang yang

bekerja sebagai penyelundup manusia dari berbagai negara (Sri Lanka, Thailand,

Singapura dan Malaysia).

Orang yang menyelundupkan menyediakan para migran tiket dan

dokumen untuk memudahkan kedatangan mereka di Bangkok. Para migran

kemudian diminta untuk tinggal sampai tanggal keberangkatan mereka, dan

dokumen Thailand mereka disita oleh orang yang menyelundupkan tersebut. Pada

tahun 2011, pihak berwenang Indonesia mencegat sebuah kapal yang membawa

lebih dari 80 pencari suaka Sri Lanka ke Kanada. Kapal itu mungkin menuju ke

Selandia Baru, dan ada beberapa bukti bahwa kru di kapal yang berlayar ke

Kanada103.

4. Kasus Penyelundupan Manusia (Timur Tengah – Indonesia –


Australia)
Diadili di Pengadilan Tinggi Semarang Putusan Nomor 35/Pid.Sus/2014/PT.Smg,

Terdakwa, Satria, dijanjikan Rp 400.000 sebagai imbalan untuk mengangkut

migran, dalam usaha penyelundupan ini, 110 orang migran yang diselundupkan

dari latar belakang Timur Tengah membawa sebuah kapal yang menuju Australia

103
Ahmad Almaududy Amri, Op.Cit. hal.178.

Universitas Sumatera Utara


68

di sebuah desa pesisir di Kedumen, Jawa Tengah pada tanggal 5 Juni 2013. Angin

kencang, hujan, dan gelombang ekstrim memaksa mereka untuk kembali ke garis

pantai Indonesia. Beberapa orang yang terlibat dalam usaha ini kemudian dikenai

tuduhan dan dihukum. Dua terdakwa lainnya, Russi bersaudara, ditawarkan Rp

30.000.000 untuk mereka berdua untuk membawa migran ke Pulau

Christmas.Terdakwa Bapak Sudarsono nampaknya telah ditawarkan Rp 7.000.000

untuk perannya dalam mengorganisir usaha tersebut.

Universitas Sumatera Utara


69

BAB IV

PENGATURAN KEAMANAN MARITIM (MARITIME SECURITY)

DALAM PENANGANAN KASUS PENYELUNDUPAN MANUSIA

(PEOPLE SMUGGLING) DI KAWASAN ASIA TENGGARA

A. Peraturan Internasional Terhadap Kasus Penyeludupan Manusia (People

Smuggling).

Seperti halnya ancaman kejahatan lain, dalam hukum internasional yang

telah menempatkan kasus penyelundupan manusia sebagai kejahatan transnasional

yang yang mengancam kehidupan sosial, ekonomi, politik, keamanan, dan

perdamaian dunia, maka dari itu hukum internasional mengeluarkan protokol

maupun deklarasi sebagai bentuk praktek pembuatan perjanjian internasional104

yang telah disepakati oleh negara-negara terkait serta menjadi sumber ratifikasi

peraturan yang akan di berlakukan dalam negara-negara. Adapun peraturan

internasional yang relevan dalam kasus penyelundupan manusia, yaitu sebagai

berikut :

1. United Nation Convention Against Transnational Organized Crime

(UNTOC) - Konvensi perserikatan bangsa-bangsa menentang tindak pidana

transnational terorganisasi.

Dalam rangka meningkatkan kerjasama internasional pada upaya

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana transnasional yang

terorganisasi, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah membentuk United

Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi

104
Dr. Kholis Roisah, Hukum Perjanjian Internasional Teori Dan Praktik, Setara Press,
Malang 2015, hal. 8.

Universitas Sumatera Utara


70

Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang

Terorganisasi) melalui Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 55/25

sebagai instrumen hukum dalam menanggulangi tindak pidana transnasional

yang terorganisasi secara lebih efektif.

Transnational crime atau kejahatan terorganisasi, secara konseptual di

perkenalkan pertama kali secara internasional di tahun 1975 dalam The Eight

United Nation Congress on the Prevention Of Crime and the Treatment Of

Offenders, yang diartikan sebagai tindak pidana atau kejahatan yang melintasi

batas negara105. merupakan bentuk kontemporer dari perkembangan keadaan

yang baru dari organized crime. Sebelumnya istilah yang berkembang

organized crime berdasarkan defenisi yang diberikan oleh PBB terhadap

organized crime adalah the large scale and complex criminal activity carried

on by groups of persons, however loosely or tightly organized, for the

enrichment of those participating and at the expense of the community and its

members106 sedangkan menurut konvensi ini sendiri kejahatan dapat

dikatakan bersifat transnational jika terdiri dari107 :

1. Lebih dari satu wilayah negara;

2. Di satu negara tetapi persiapan, perencanaan, pengarahan atau

pengendalian atas kejahatan tersebut dilakukan di wilayah

negara lain;

105
John R. Wagley, Transnational Organized Crime: Principal Threats and U.S.
Responses, dalam congressional Reasearch Service, The Library of Congress, 2006.
106
United Nation,Changes in Forms and Dimentions of Criminality – Transnational and
National, Working Paper prepared by the Secretariat for the Fifth United Nation Congress on the
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders (Toronto, Canada, 1-12 September 1975).
107
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, edisi
I, (Jakarta: The Habibie Centre, 2002).

Universitas Sumatera Utara


71

3. Di suatu wilayah negara, tetapi melibatkan suatu kelompok

pelaku tindak pidana yang terorganisasi yang melakukan

tindak pidana lebih dari satu wilayah negara;

4. Disuatu wilayah negara, tetapi akibatyang ditimbulkan atas

tindak pidana tersebut di rasakan oleh negara lain.

UNTOC menyebutkan sejumlah kejahatan yang termasuk dalam kategori

kejahatan lintas batas terorganisir, yaitu pencucian uang, (money laundrering),

terorisme (terrorism), pencurian seni dan objek budaya (theft of art and cultural

object), pencurian kekayaan intlektual (theft of intellectual property), perdagangan

senjata gelap (illicit traffic in arms), pembajakan pesawat terbang (aircraft

hijacking), pembajakan di laut (sea piracy), penipuan asuransi (insurance fraud),

kejahatan computer (computer crime), kejahatan lingkungan (environmental crime),

pedagangan manusia (trafficking in person) / perdagangan manusia (people

smuggling), perdagangan obat bius (illicit drug trafficking), kebangkruttan bank

(fraudulent bankruptcy), bisnis ilegal (infiltration of illegal bussines), korupsi dan

penyogokan pejabat pemerintah (corruption and bribery of public officials)

Dalam pasal-pasalnya dalam upaya pencegahan, penyidikan dan penuntutan

atas tindak pidana yang tercantumdi dalam pasalnya, pasal 5, pasal 6, pasal 7, dan

pasal 23 Konvensi, yakni tindak pidana pencucian hasil kejahatan, korupsi, dan

tindak pidana terhadap proses peradilan serta tindak pidana yang serius sebagaimana

yang di tetapkan di dalam pasal 2 huruf b Konvensi, yang bersifat transnasional dan

melibatkan suatu kelompok pelaku tindak pidana yang terorganisasi.

Konvensi ini menyatakan bahwa negara pihak waji melakukan segala upaya

termasuk membentuk peraturan perundang-undangan nasional yang dengan

Universitas Sumatera Utara


72

mengkriminal perbuatan yang di tetapkan di dalm pasal 5, pasal 6, pasal 8, dan pasal

23 Konvensi ini juga membentuk kerangka kerja sama hukum antar negara, seperti

ekstradiksi, bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana, kerja sama antar

apparat penegak hukum dan kerja sama bantuan teknis serta pelatihan.

Konvensi ini memmbuka kemungkinan bagi negara pihak untukmelakukan

pembentukan peraturan perundang-undangan nasional untuk mengkriminalkan

perbuatan sebagaimana yang ditetapkan di dalam pasal 2 huruf b pasal 15 ayat (2),

dan surah terrealisir seperti di Indonesia telah meratfikasi UNDOC sebagaimana

tertuang di dalam Undang-undang nomor 5 tahun 2009.

a. Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air atau

Smuggling Protocol atau Palermo108 Convention, supplementing the

United Nation Convention Against Transnational Organized Crime109. -

Protokol yang menentang penyelundupan manusia melalui darat, laut,

dan udara, melengkapi kovensi perserikatan bangsa-bangsa menentang

tindak pidana transnasional yang terorganisasi

Protokol ini merupakan protokol global utama dalam menangani

penyelundupan manusia. Protokol ini menjabarkan definisi

penyelundupan manusia dan selanjutnya, menjelasan tentang

kategorisasi penyelundupan manusia sebagai tindak pidana di bawah

hukum internasional. Tindakkan kriminalisasi berdasarkan Protocol

against the Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air sebagai

pembahasan khusus yang dikeluarkan oleh United Nations Convention

108
Di beri istilah Palermo karena pada saat penandatanganan protokol ini di Palermo,
Italia.
109
Protokol ini berkaitan dengan isu-isu spesifik untuk penyelundupan manusia sebagian
dari kerangka yang lebih luas yang ditetapkan oleh United Nation Convention Against
Transnational Organized Crime.

Universitas Sumatera Utara


73

Against Transnational Organized Crime atau yang biasa di kenal

dengan Palermo Convention yang di adopsi oleh PBB pada tanggal 15

Desember 2000, dan kemudian mulai berlaku pada tanggal 28 Januari

2001 dengan 138 negara yang termasuk ke dalam protokol ini110.

Diskusi yang di lakukan UN mengenai protokol ini dimulai

setelah Italia mendesak masyarakat internasional untuk menghasilkan

instrumen hukum yang akan mengkriminalkan penyelundupan manusia

(dan terutama operasi yang dilakukan melalui laut). Permohonan ini

dibuat untuk menanggapi jumlah manusia yang tak terduga tiba di Italia

dengan kapal dari Turki dan timbul juga kecurigaan bahwa sindikat

penyelundupan manusia berkembang memfasilitasi perpindahan ilegal

migran ke luar negeri. Oleh karena itu, Negara lain (dan terutama

negara maju), semakin sadar bahwa masalah yang sama mungkin

muncul di yurisdiksi mereka sendiri, dan sesegera mungkin

mengharapkan penanganan serta tanggapan dari internasional. Italia

yang mengambil langkah awal dalam merancang instrumen

pemberantasan pernyelundupan manusia. Kemudian diadopsi guna

mengatasi masalah kejahatan terorganisir pada tahun 1992 ketika

komisi kejahatan pencegahan dan peradilan pidana dibentuk oleh dewan

ekonomi PBB.

Sebagaimana diatur pada Pasal 2 Smuggling Protocol, memiliki

tujuan untuk "mencegah dan memerangi penyelundupan manusia,

sebaik mempromosikan kerjasama di antara negara-negara pihak

110
Daftar Terbaru dari Penandatanganan dan Pihak,
(http://www.unodc.org/unodc/treaties/CTOC/ di akses pada tanggal 25 januari 2018, pukul 12.00)

Universitas Sumatera Utara


74

sampai pada negara tujuan tersebut, sekaligus melindungi hak-hak para

migran yang diselundupkan."111 Intinya, protokol tersebut bertujuan

untuk melindungi migran yang diselundupkan dan untuk mendorong

kerja sama antara negara-negara sehingga jaringan penyelundupan

dapat terganggu.

Sesuai dengan ketentuan protokol ini setiap negara pihak pada

protokol memiliki kewajiban sebagai berikut :

1. Menjadikan tindak pidana yang telah di tetapkan dalam

protokol sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-

undangan nasional (kewajiban kriminalisasi) – Pasal 6.

2. Dalam hal penyelundupan manusia melalui laut, setiap

negara wajib mempererat kerja sama untuk mencegah dan

menekan penyelundupan manusia melalui laut, sesuai

dengan hukum laut internasional dan berupaya mengambil

seluruh tindakkan sebagaimana diatur di dalam protokol

terhadap kasus penyelundupan manusia di laut dengan

memperhatikan rambu-rambu yang telah disediakan oleh

protokol – Pasal 7-9.

3. Dalam upaya pencegahan, kerjasama dan upaya lain yang

diperlukan dalam memberantas penyelundupan manusia,

setiap negara pihak pada protokol juga berkewajiban untuk

saling berbagi informasi, berkerja sama dalam memperkuat

pengawasan di kawasan perbatasan, menjaga keamanan dan

111
Di Lihat pada Pasal 2, Smuggling Protocol

Universitas Sumatera Utara


75

pengawasan dokumen, mengadakan pelatihan dan kerjasama

teknis, perlindungan dan langkah perbantuan serta rindakan

pemulangan manusia yang diselundupkan – Pasal 10-18.

b. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons,

especially Women and Children, supplementing the United Nation

Convention Against Transnational Organized Crime - Protokol

mencegah, menindak dan menghukum perdangan manusia, terutama

perempuan dan anak-anak melengkapi konvensi perserikatan bangsa-

bangsa menentang tidak pidana transnational yang terorganisasi.

Protokol ini melengkapi konvensi perserikatan bangsa-bangsa

menentang tindak pidana transnasional terorganisasi. Protokol ini wajib

ditafsirkan sejalan dengan Konvensi PBB, meskipun keberadaaan

berbagai instrumen internasional yang memuat aturan-aturan dan

tindakan-tindakan praktis untuk menindak eksploitasi orang, terutama

perempuan dan anak-anak112, tidak ada satu pun instrumen universal

yang mengatur semua aspek-aspek perdagangan orang, maka muncullah

protokol ini yang membahas lebih khusus mengenai perdagangan

orang.

Menyatakan bahwa tindakan yang efektif untuk mencegah dan

menindak perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak,

membutuhkan pendekatan internasional yang komprehensif di negara-

negara asal, transit dan tujuan yang mencakup tindakan-tindakan untuk

112
“Anak” yang dimaksud adalah setiap orang yang umurnya di bawah 18 tahun.

Universitas Sumatera Utara


76

mencegah perdagangan tersebul, untuk menghukum para pedagang dan

untuk melindungi korban-korban perdagangan tersebut, termasuk

dengan melindungi hak-hak asasi mereka yang diakui secara

internasional.

Pada pasal 2, Tujuan dari Protokol ini adalah113;

a. Untuk mencegah dan memberantas perdagangan orang

dengan memberikan perhatian khusus kepada perempuan

dan anak-anak;

b. Untuk melindungi dan membantu korban-korban

perdagangan tersebut, dengan menghormati sepenuhnya

hak-hak asasi mereka;

c. Untuk mendorong kerja sama antar Negara-Negara Pihak

untuk memenuhi tujuan-tujuan tersebut.

Sesuai dengan ketentuan protokol, setiap negara pada protokol

memiliki kewajiban sebagai berikut :

1. Menjadikan tindak pidana yang telah ditetapkan dalam protokol

sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan – Pasal

2. Memberikan bantuan dan perlindungan bagi korban perdagangan

manusia mempertimbangkan untuk mengesahkan tindakan-tindakan

legislative atau tindakan-tindakan tepat lainya yang mengizinan

korban-korban perdagangan manusia untuk tetap berada di

113
Di lihat pada pasal 2 (a), Protocol To Prevent, Suppress And Punish Trafficking In
Persons, Especially Women And Children, Supplementing The United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime

Universitas Sumatera Utara


77

wilayahnya untuk sementara waktu atau secara tetap, membantu

pemulangan korban perdagangan manusia – Pasal 6-9.

3. Dalam upaya pencegahan, kerjasama dan upaya lain yang diperlukan

dalam memberantas perdagangan manusia, setiap negara pihak pada

protokol juga berkewajiban untuk saling berbagi informasi, berkerja

sama dalam memperkuat pengawasan dikawasan perbatasan,

menjaga keamanan dan pengawasan dokumen, pengadaan pelatihan

dan kerjasama teknis – Pasal 10-13.

c. Protocol against the Illicit Manufacturing and Trafficking in Firearms,

Their Parts and Components and Ammunition - Protokol terhadap

Manufaktur dan Perdagangan Terlarang dalam Senjata Api, bagian,

komponen dan amunisi114.

Firearms protocol adalah satu-satunya instrumen yang mengikat

secara hukum untuk melawan pembuatan ilegal dan perdagangan

senjata api, bagian, komponen dan amunisi mereka di tingkat global.

Menyediakan kerangka kerja bagi negara-negara untuk mengendalikan

dan mengatur arus senjata dan persenjataan yang tidak sah, mencegah

penyimpangan mereka ke dalam rangkaian ilegal, memfasilitasi

penyelidikan dan penuntutan pelanggaran terkait tanpa menghambat

transfer yang sah.

Protokol ini bertujuan untuk mempromosikan dan memperkuat

kerja sama internasional dan mengembangkan mekanisme kohesif

114
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, “Amunisi” yang memiliki makna : bahan
pengisi senjata api (seperti mesiu, peluru)

Universitas Sumatera Utara


78

untuk mencegah, memberantas dan memberantas pembuatan dan

perdagangan ilegal senjata api, komponen dan komponen serta amunisi

mereka. Dengan meratifikasi atau mengakses Firearms protocol,

Negara membuat komitmen untuk mengadopsi dan menerapkan

serangkaian tindakan pengendalian kejahatan yang bertujuan untuk115:

a. Menetapkan sebagai tindak pidana pembuatan dan perdagangan

gelap senjata api sesuai dengan persyaratan dan definisi Protokol;

b. Mengadopsi tindakan pengendalian dan keamanan yang efektif,

termasuk pembuangan senjata api, untuk mencegah pencurian dan

pengalihan mereka ke dalam rangkaian terlarang;

c. Membangun sistem otorisasi pemerintah atau perizinan yang

bermaksud untuk menjamin pembuatan dan perdagangan yang sah,

senjata api;

d. Memastikan penandaan, pencatatan dan penelusuran senjata api

yang memadai dan kerja sama internasional yang efektif untuk

tujuan ini.

Walaupun protokol ini lebih mentitik beratkan kepada perbuatan

ilegal dan perdagangan senjata api, pada dasarnya di dasari oleh

perlindungan hak asasi manusia juga membuat dasar hukum untuk

menuntutorang-orang yang terlibat dalam kejahatan terorganisir

transnasional.

115
Di Lihat pada Pasal 3, Protocol Against The Illicit Manufacturing Of And Trafficking
In Firearms, Their Parts And Components And Ammunition, Supplementing The United Nations
Convention Against Transnational Organized Crime

Universitas Sumatera Utara


79

5. Declaration of the ministerial conference of the Khartoum Process

Deklarasi yang berasal dari kolaborasi regional antar negara-negara asal,

transit dan tujuan mengenal rute, merupakan proses politik tingkat tinggi antar

benua yang selaras yang terdiri dari komisaris Uni Eropa dan Uni Afrika (AU)

yang bertanggung jawab atas migrasi dan pembangunan. Aksi yang direncanakan

yaitutentang migrasi dan mobilitas 2014-2017, Mempromosikan pendekatan

victim-centred, mendukung korban perdagangan dan melindungi hak asasi

manusia migran yang diselundupkan dan kebutuhan yang paling rentan, termasuk

melalui, dimana tempatnya, keterlibatan masyarakat sipil sesuai dengan hukum

nasional, serta lebih memperhatikan kepada dampak yang serius di dalam

kehidupan sosial akibat arus migrasi campuran, dan juga tentang meningkatnya

jumlah kehidupan yang terancam oleh perjalanan yang berbahaya melintasi

padang pasir dan laut dalam pemenuhan penuh hak asasi manusia dan martabat

manusia;

Khartoum Process, memiliki tujuan di bidang-bidang utama berikut ini116:

a. Mengembangkan kerjasama di tingkat bilateral dan regional antara negara-

negara asal, transit dan tujuan untuk mengatasi migrasi yang tidak teratur

dan jaringan kejahatan, melalui tindakan yang langsung atas dasar sukarela

seperti inisiatif dalam bidang di berbagai informasi, pelatihan dan

pengembangan kapasitas yang terfokus, bantuan teknis dan pertukaran

praktik terbaik;

116
Declaration of the Ministerial Conference of the Khartoum Process (EU-Horn of
Africa Migration Route Initiative) Rome, 28 November 2014.

Universitas Sumatera Utara


80

b. Membantu memperbaiki pembangunan kapasitas nasional di bidang

pengelolaan migrasi di semua komponennya atas permintaan individu

negara-negara di wilayah ini;

c. Membantu otoritas nasional dalam meningkatkan langkah-langkah

pencegahan, seperti kampanye informasi untuk meningkatkan kesadaran

akan risiko migrasi tidak teratur, dengan perhatian khusus untuk

perdagangan manusia dan penyelundupan migran;

d. Menetapkan strategi nasional untuk memperkuat koordinasi horizontal di

antara semua layanan yang terlibat untuk secara efektif dan konsisten

menangani perdagangan manusia dan penyelundupan migran, termasuk

memastikan perlindungan bagi pengungsi dan pencari suaka dan bantuan

untuk migran dalam situasi rentan;

e. Membantu memperbaiki identifikasi dan penuntutan jaringan kriminal

dengan meningkatkan badan penegak hukum nasional, dan tanggapan

sistem peradilan, peningkatan, dan bila sesuai, menyiapkan sistem

investigasi dan tindakan keuangan yang tepat untuk mencegah pencucian

hasil kejahatan, serta penanganan korupsi lebih efektif;

f. Memperbaiki atau, jika sesuai, membangun kerangka kerja hukum pidana

dan pembinaan - jika ada - ratifikasi dan implementasi Protokol yang tepat

untuk Penyelundupan Migran dan Perdagangan Manusia, melengkapi

Konvensi PBB Menentang Kejahatan Terorganisir Transnasional

(Konvensi Palermo);

g. Mempromosikan pendekatan yang berpusat pada korban, mendukung

korban perdagangan manusia dan melindungi hak asasi manusia dari

Universitas Sumatera Utara


81

migran yang diselundupkan dan kebutuhan orang-orang yang paling

rentan, termasuk melalui, jika sesuai, keterlibatan masyarakat sipil sesuai

dengan hukum nasional;

h. Mempromosikan pembangunan berkelanjutan di negara asal dan transit

untuk mengatasi akar penyebab migrasi tidak teratur;

i. Mengembangkan kerangka kerja regional untuk kembali, termasuk

sukarela, dan reintegrasi, sesuai dengan hak asasi manusia, sekaligus

memperkuat kapasitas nasional di bidang ini;

j. Apabila sesuai, atas dasar sukarela dan atas permintaan individu dari suatu

negara di wilayah tersebut, membantu negara-negara yang berpartisipasi

dalam mendirikan dan mengelola pusat penerimaan, memberikan akses ke

proses suaka sesuai dengan hukum internasional, jika diperlukan,

memperbaiki layanan menyaring arus migrasi dan pendamping migran

yang beragam117.

Pada dasarnya, Penyelundupan manusia di bawah Protokol Penyelundupan

juga harus dibaca bersamaan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

tentang Hukum Laut (LOSC). Di bawah protokol, sebuah negara pihak berwenang

untuk menaiki dan mencari kapal diduga terlibat dalam penyelundupan manusia di

mana kapal tersebut tanpa kewarganegaraan atau berasimilasi ke kapal tanpa

kewarganegaraan. Sebagai tambahan, sebuah negara dapat mengambil tindakan

yang dianggap perlu sesuai dengan hukum nasionalnya dan juga peraturan yang

berlaku hukum internasional jika bukti yang mengkonfirmasikan tindakan

penyelundupan manusia ditemukan, demikian juga, LOSC memberi wewenang

117
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


82

kepada Negara untuk melakukan penyelidikan sehubungan dengankapal dicurigai

terlibat dalam penyelundupan manusia.

B. Peraturan Regional Terhadap Kasus Penyeludupan Manusia (People

Smuggling)

Dengan adanya peraturan internasional, peraturan regional mengenai

penyelundupan manusia yang berkaitan di kawasan Asia tenggara juga

bermunculan sebagaimana sebagai bentuk dari kerjasama regional yang bersifat

komprehensif merupakan tujuan UNDOC, yaitu untuk meningkatkan kerjasama

internasional yang lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana

transnational terorganisasi, pengarturan-pengaturan regional Asia Tenggara yang

timbul diantaranya adalah :

1. Bali Process

Pada tahun 2002, Indonesia dan Australia turut memimpin sebuah

konferensi tingkat regional di Bali untuk menangani masalah migrasi tidak teratur.

Pertemuan ini merupakan fondasi dari Bali Process. Bali Process berfungsi

sebagai salah satu proses konsultatif terbesar di dunia,dengan lebih dari 45

anggota, termasuk negara bagian dan organisasi internasional seperti UNHCR,

International Organization for Migration (IOM), the United Nations Office of

Drugs and Crime (UNDOC) serta pengamat lainya, dengan isu utama

penyelundupan manusia.

Tujuan dari Bali Prosess meningkatkan kesadaran akan, mendorong

tindakan kooperatif dan mengembangkan tindakan regional praktis untuk

mencegah, mencegat dan mengganggu penyelundupan manusia, perdagangan

Universitas Sumatera Utara


83

manusia dan kejahatan transnasional.118 Sebagaimana tertulis di dalam paragraph

ke-3 deklarasi bali :

“…. We underline that the transnational nature of irregular


migration requires a comprehensive regional approach, based on
the principles of burden sharing119 and collective responsibility.
We reaffirm our commitment to our respective international legal
obligations and encourage members to identify and provide safety
and protection to migrants, victims of human trafficking,
smuggled persons, asylum seekers and refugees, whilst
addressing the needs of vulnerable groups including women and
children, and taking into account prevailing national laws and
circumstances.”

Dimana terjermahanya secara bebas dalam Bahasa Indonesia adalah :

“…. Kami menggaris bawahi bawa sifat transnational dari migrasi

ireguler membutuhkan pendekatan regional yang komprehensif,

berdasarkan prinsip-prinsip pembagian beban dan tangung jawab

kolektif, kami menegaskan kembali komitmen kami terhadap

kewajiban hukum internasional kami masing-masing dan

mendorong para anggota untuk mengindentifikasi dan

memberikan keamanan dan perlindungan bagi para migran,

korban perdagangan manusia, manusia yang diselundupkan,

pencari suaka dan pengungsi, sementara menangani kebutuhan

kelompok rentan termasuk perempuan dan anak-anak dan

mempertimbangkan hukum nasional yang berlaku dan

kondisinya.”

118
Tentang Bali Process, Bali Process Website (http://www.baliprocess.net/about-the-
bali-process di akses pada tanggal 20 januari 2018, pukul 17.00 )
119
”burden sharing” memiliki arti lebih kepada kebutuhan untuk berbagi tangung jawab
berbagi beban kerjasama internasional untuk perlindungan pengungsi dalam situasi masuknya
massa

Universitas Sumatera Utara


84

Paragraf 3 tersebut menegaskan secara eksplisit menegenai ketentuan

pasal 27 UNDOC tentang kerjasama penegakkan hukum, yang menyatakan bahwa

negara-negara pihak wajib berkerjasama erat satu dengan yang lainya, sesuai

dengan sistem hukum dan pemerintahan nasional masing-masing. Dan juga

terdapat tujuan lain dalam perlindungan bagi para korban penyelundupann,

pencari suaka dan pengungsi sebagaimana yang terdapat di dalam pasal 6 protokol

perdagangan manusia, dan pasal 16 protokol penyelundupan manusia.

Dalam prosesnya, Bali Process telah melakukan 6 kali pertemuan, (2002,

2003, 2009, 2011, 2013 dan 2016), Struktur forum Bali Process sebagai forum

yang bersifat sukarela, inkusif dan tidak mengikat. Ia yang dipimpin oleh

Indonesia dan Australia yang berkedudukan di co-chair dari steering group

tersebut. Dalam pertemuan-pertemuanya dengan maksut inti yang sama, namun

terdapat perkembangan-perkembangan dalam Bali Process tersebut.

Selama pertemuan pertama, peserta konferensi (termasuk beberapa negara

bagian dan organisasi internasional), menetapkan dengan tiga point utama 120:

1. Masalah migrasi tidak teratur di wilayah Asia Pasifik (dan terutama

transportasi laut yang digunakan untuk memasuki Negara tujuan),

menciptakan tantangan politik, ekonomi, sosial dan keamanan di wilayah

ini;

2. Penyelundupan migran dan perdagangan orang adalah kegiatan yang

membahayakan nyawa manusia. Memang, tindakan semacam itu patut

dicela karena melanggar hak asasi manusia dan kebebasan sipil;

120
Australia and Indonesia, „Co-Chairs‟ Statement: Bali Ministerial Conference on
People Smuggling, Trafficking in Persons and Related Transnational Crime

Universitas Sumatera Utara


85

3. negara berkomitmen untuk berperang penyelundupan manusia dan

perdagangan orang dalam hal kewajiban internasional mereka dan di

tingkat domestik.

Dengan menyepakati lima tujuan utama, diantaranya ;

1. Mengembangkan pengaturan informasi dan pembagian intelijen yang lebih

efektif di wilayah ini untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap

tentang kegiatan penyelundupan dan perdagangan manusia dan bentuk-

bentuk migrasi ilegal lainnya;

2. Meningkatkan kerjasama penegakan hukum untuk meningkatkan

pencegahan dan pemberantasan jaringan imigrasi ilegal;

3. Meningkatkan kerjasama sistem perbatasan dan visa untuk memperbaiki

pendeteksian dan pencegahan gerakan ilegal;

4. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan fakta-fakta penyelundupan dan

operasi perdagangan untuk mencegah mereka yang mempertimbangkan

gerakan ilegal dan untuk memperingatkan mereka yang rentan terhadap

perdagangan manusia, termasuk perempuan dan anak-anak -

meningkatkan efektivitas pengembalian sebagai strategi untuk mencegah

migrasi ilegal melalui kesimpulan pengaturan yang tepat;

5. Bekerja sama dalam memverifikasi identitas dan kewarganegaraan migran

ilegal, pada waktu yang tepat.121

Sejalan dengan diadakanya the Third Bali Process Regional Ministerial

Conference (konvensi Bali Process ketiga), tujuan adanya konvensi ini pun

berkembang, Tujuan ini digunakan sebagai patokan untuk memantau

121
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


86

perkemnbangan konferensi, sekaligus untuk mengukur pemenuhan mandat Bali

Process, sebagaimana berguna untuk mengakomodasi perkembangan

penyelundupan manusia dan perdagangan manusia pada masyarakat, dengan

tujuan diantaranya sebagai berikut122 :

a. Pengembangan informasi dan pembagian intelijen yang lebih efektif;

b. Peningkatan kerja sama antara aparat penegakan hukum daerah untuk

mencegah dan memberantas penyelundupan manusia dan jaringan

perdagangan manusia;

c. Kerjasama yang disempurnakan pada sistem perbatasan dan visa untuk

mendeteksi dan mencegah pergerakan ilegal;

d. Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mencegah aktivitas ini dan

memperingatkan mereka yang rentan;

e. Peningkatan efektivitas pengembalian sebagai strategi untuk mencegah

penyelundupan manusia dan perdagangan melalui kesimpulan pengaturan

yang tepat;

f. Kerjasama dalam memverifikasi identitas dan kewarganegaraan para

migran ilegal dan korban trafiking;

g. Pemberlakuan undang-undang nasional untuk mengkriminalkan

penyelundupan manusia dan perdagangan manusia;

h. Pemberian perlindungan dan bantuan yang tepat kepada korban

perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak-anak;

i. Fokus yang ditingkatkan untuk mengatasi akar penyebab migrasi ilegal,

termasuk dengan meningkatkan peluang untuk migrasi legal antar negara;

122
Diplomacy: An Examination of the Bali Process (Migrant Smuggling Working Group:
The University of Queensland, 2012), hal.5.

Universitas Sumatera Utara


87

j. Membantu negara-negara untuk menerapkan praktik terbaik dalam

pengelolaan suaka, sesuai dengan prinsip-prinsip Konvensi Pengungsi.

Upaya penanaganan penyelundupan manusia dan perdagangan manusia

dalam kerangka Bali Process salah satunya adalah membentuk kerangka

kerjasama regional atau Regional Coorperation Framework (RCF) dengan sangat

memperhitungkan berbagai saran diformulasikan dan diajukan oleh United Nation

High Commissioner for Refugee (UNHCR). Steering committee RCF, selanjutnya

mengartikulasikan lima prinsip, diantaranya :

i. Pergerakan ireguler yang difasilitasi oleh sindikat penyelundupan

manusia harus dihilangkan dan negara-negara harus mempromosikan

dan mendukung peluang untuk migrasi tersebut.

ii. Apabila diperlukan dan dimungkinkan, pencari suaka harus memiliki

akses ke proses penialian yang konsisten, apakah melalui serangkaian

pengaturan diselaraskan atau melalui pembentukan peraturan penilaian

regional yang dimungkinkan, yang mencakup sebuah pusat atau

beberapa pusat dengan mempertimbangkan pada peraturan-peraturan

sub-regional.

iii. Orang-orang yang di temukan sebagai pengungsi di bawah proses-

proses penilaian harus disediakan solusi berjangka lama, termasuk

repartiasi sukarela, pemukiman kembali di dalam dan luar wilayah dan

apabila memungkinkan solusi ”di dalam negara”.

iv. Orang-orang yang ditemukan tidak membutuhkan perlindungan harus

dikembalikan, sebaiknya atas dasar sukarela, ke asal negara mereka

dengan maan dan bermartabat. Pengembalian harus berkelanjutan dan

Universitas Sumatera Utara


88

negara-negara harus memaksimalkan peluang kerjasama yang lebih

besar.

v. Pengusaha penyelundupan manusia harus di targetkan melalui

pengaturan keamanan perbatasan, kegiatan penegakkan hukum dan

disinsentif untuk perdagangan manusia.

Dalam perwujutanya, RCF kemudian mengatur pedoman kebijakna

kriminalisasi penyelundupan manusia. Pedoman tersebut merujuk kepada

pembentukan peraturan perundang-undnagan yang efektif dalam

mengkriminalisasikan penyelundupan manusia berdasarkan perjanjian-perjanjian

internasional, sebagaimana yang memiliki relevansi langsung dengan

penyelundupan manusia123 :

1. Menetapkan peraturan penyelundupan manusia yang komprehensif

sebagai kewajiban internasional yang membutuhkan lebih dari undang-

undang migrasi standar yang fokusnya hanya pada illegal entry (masuk

secara ilegal).

Hukum migrasi standar tidaklah cukup untuk menargetkan operasi

penyelundupan manusia makin berkembang, negara membutuhkan

peraturan yang komprehensif tentang penyelundupan manusia untuk

mengatasi skenario penyelundupan yang mukin akan terus

berkembang.

2. Memastikan bahwa manusia yang diselundupkan tidak di kriminalisasi

karena telah diselundupkan. Perlu didasari bahwa protokol

penyelundupan manusia menyediakan perlindungan hak-hak manusia

123
Diambil dari Bali Policy Guide Drafting Committee, 2014, Policy Guide on
Criminalizing Migrant Smugling, Theregional support Office to the Bali Process, Agusts 2014.

Universitas Sumatera Utara


89

yang diselundupkan konsisten dengan kewajiban negara pihak

berdasarkan hukum internasional (sebaliknya protokol menyediakan

aturan untuk menghukum pengusaha penyelundupan manusia). Negara

pihak harus memperhitungkan kenutuhan khusus perempuan dan anak-

anak.

Sesuai dengan pasal 5 dan pasal 19 pada protokol

penyelundupan manusia, “tidak mengkriminalisasi migrasi” dengan

maksud tidak mencegah negara mengambil langkah-langkah terhadap

orang-orag yang melakukan perbuatan yang merupakan kejahatan

menurut hukum nasional124. Langkah-langkah ini harus sesuai dengan

hak-hak, kewajiban dan tangung jawab negara-negara dan individu-

individu berdasarkan hukum internasional, termasuk hukum humaniter

internasional dan hukum hak asasi manusi internasional. Perlindungan

terhadap saksi atas kesaksianya dalam proses pidana juga sesuai

dengan pasal 24 UNDOC.

3. Memastikan bahwa penyelundupan manusia melibatkan keadaan yang

memberatkan diadili dengan hukuman yang lebih tinggi.

Memastikanya dengan melakukan pendekatan dalam

pelaksanaan penyelundupan manusia yang terlibat keadaan yang

memberatkan, perbuatan yang lebih serius akan menarik hukuman

yang lebih tinggi.

124
Lihat pasal 6 ayat (4) Smuggling Protocol

Universitas Sumatera Utara


90

4. Membangun ketentuan kejahatan yang terpisah untuk penyelundupan

manusia dan perdangangan manusia sebagai unsur tindak pidana yang

berbeda.

Penting bagi negara-negara untuk mebuat peraturan terpisah

dalam kejahatan manusia dengan perdagangan manusia, walaupun

identik tetapi memiliki elemen yang berbeda yang perlu

dipertimbangkan ketika menyelidiki kejahatan, mengidentifikasi

korban perdagangan manusia atau pelanggaran hak asasi manusia

lainya dan ketika menghukum para pelanggar. Sebagaimana dalam

Mutual Legal Assistance (MLA) mengatakan peraturan terpisah

sangatla penting ketika berkaitan dengan kerjasama internasional.

5. Membangun yuridiksi ektarteritorial sehingga penyelengara usaha

penyelundupan manusia tidak bisa memmanfaatkn celah dalam hukum

negara yang berbeda.

Penting untuk memastikan bahwa hukum yang mengatur

tentang penyelundupan manusia menyediakan yuridiksi

ekstrateritorial. Ini adalah kunci karena penyelengara operasi

penyelundupan dapan ditemukan di banyak negara yaitu, origin

countries (negara asal), transit countries (negara transit), destination

countries (negara tujuan), atau negara lain.

6. Menyadari bahwa protokol penyelundupan manusia menyediakan

standar minimum, yang dapat di perkuat dalam hukum nasioanl.

Standar minimum yang di keluarkan dalam protokol manusia

mempermudah untuk masuknya pengaturan tersebut ke dalam

Universitas Sumatera Utara


91

pengaturan di dalam negaranya, dan dapat memperkuat standar

tersebut untuk meningkatkan kapasitas negara untuk memcegah dan

memberantas penyelundupan manusia.

7. Termasuk ketentuan yang ekplisit dalam peraturan perundang-

undangan anti pencucian uang bahwa keyakinan adanya tindak pidana

asal (misanya kejahatan penyelundupan manusia) tidak diperlukan

untuk mengambil tindakkan terhadap kejahatan pencucian uang.

Penting bahwa apparat penegak hukum memiliki kemampuan

untuk menargertkan pelangaran pencucian uang secara terpisah untuk

menentukan kejahatan (penyelundupan manusia) guna mencegah

adanya keyakinan ketidak berhasilan adanya pembuktian tindak pidana

asal.

8. Memastikan bahwa undang-undang ekstradiksi berlaku untuk

pelangaran penyelundupan manusia.

UNTOC Pasal 6 ayat (1) dan protokol penyelundupan manusia

pasal 3, yang membuat kejahatan penyelundupan tunduk padda

konvensi adalah contoh perjanjian multilateral yang dilengkapi dengan

peraturan ekstradiksi. Dalam undang-undang nasional, Negara Harus

memastikan bahwa kejahatan berdasarkan UNTOC dan Protokol

Penyelundupan Manusia merupakan kejahatan yang dapat di

eksradiksi.

9. Memastikan bahwa undang-undang tentang Mutual Legal Assitence

(MLA) mendukung penanganan kejahatan penyelundupan manusia.

Universitas Sumatera Utara


92

2. ASEAN Measure

Ancaman atas penyelundupan manusia tidak memandang negara manapun

atas kejahatanya, begitu pula dengan negara-negara ASEAN (Association of

Southeast Asian Nations), yang mencakup 11 negara, diantaranya Brunei

Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Philippines,

Singapore, Thailand, Vietnam and Timor Leste. Terkecuali Timor Leste, Negara-

negara yang termasuk Asia Tenggara yang di lihat dari segi geografis merupakan

bagian dari organisasi ASEAN 125 yang telah meletakkan perhatian kepada

ancaman penyelundupan manusia. Serta mengakui perlunya kerjasama baik di

tingkat internasional dan tingkat regional agar berhasil memerangi penyelundupan

manusia.

Penyelundupan manusia bukanlah isu baru untuk ASEAN. Pada tahun

1997, KTT ASEAN126 mengungkapkan kekhawatiran mereka atas masalah ini.

Sejak saat itu, penyelundupan manusia telah diterima perhatian lebih besar,

dengan kekhawatiran tersebut rezim ASEAN telah menghasilkan beberapa

instrumen untuk memfasilitasi kerjasama di antara para anggota-anggotanya

dalam masalah ini dengan membuat membuat sebuah deklarasi formal dalam

memberantas kejahatan transnasional yang juga mencakup penyelundupan

manusia.

125
Association of Southeast Asia Nations (ASEAN), (http://asean.org/asean/asean-
member-states/ (di akses pada tanggal 17 November 2017 pukul 17:15).
126
KTT ASEAN merupakan pertemuan puncak antara pemimpin-pemimpin negara
anggota ASEAN dalam hubungannya terhadap pengembangan ekonomi dan budaya antar negara-
negara Asia Tenggara

Universitas Sumatera Utara


93

1. ASEAN Declaration against Transnational Crime atau Deklarasi

ASEAN melawan Kejahatan Transnasional, yang ditandatangani di

Manila, pada tanggal 20 Desember 1997.127

Deklarasi ini lebih memperhatikan dampak buruk kejahatan

transnasional, seperti terorisme, perdagangan obat terlarang,

penyelundupan senjata, pencucian uang, kejahatan pada manusia,

pembajakan pada stabilitas dan pembangunan regional, pemeliharaan

peraturan undang-undang dan kesejahteraan masyarakat daerah

kawasan regional. Dalam keputusan Pertemuan Tingkat Menteri

ASEAN ke-29 (AMM) di Jakarta pada bulan Juli 1996 memutuskan

tentang perlunya memusatkan perhatian pada isu-isu seperti narkotika,

kejahatan ekonomi, termasuk pencucian uang, lingkungan dan migrasi

ilegal yang melampaui batas-batas dan mempengaruhi kehidupan

masyarakat di wilayah ini, dan kebutuhan mendesak untuk mengelola

masalah transnasional semacam itu sehingga tidak mempengaruhi

kelayakan jangka panjang ASEAN dan negara anggotanya masing-

masing128.

Tindakkan – tondakkan yang dilakukan ASEAN sebagaimana

yang tertulis di dalam deklarasi ini, antara lain129;

a. mempromosikan tindakan nasional dan regional terhadap kejahatan

transnasional dan korupsi;


127
ASEAN Declaration on Transnational Crime,
(http://www.asean.org/communities/aseanpolitical-security-community/item/asean-declaration-on-
transnational-crime-manila-20-december/ , 1997, di Akses pada tanggal 20 Januari 2018, pukul
12.00).
128
ASEAN Documents on Combating Transnational Crime and Terrorism, A
Compilation of ASEAN Deckaration, and Statement Combatiing Transnational Crime and
Terrorism, Security Cooperation Division Asean Political-Security Departement, 2012, hal. 9.
129
Ibid, hal. 12.

Universitas Sumatera Utara


94

b. mengembangkan strategi efektif yang bertujuan untuk

mengalahkan kekuatan ekonomi organisasi criminal, membongkar

aliansi dan jaringan pendukung mereka dan mengembangkan

mekanisme efektif yang mampu membawa anggota dan pemimpin

kelompok pidana ke pengadilan.

c. memperbaiki fungsi institusi kami, khususnya sistem peradilan

pidana, meninjau, memodernisasi dan menyelaraskan, jika sesuai,

undang-undang dan peraturan yang ada untuk memastikan

relevansi, efisiensi, dan adaptasi lanjutan mereka terhadap

manifestasi modern kejahatan terorganisir;

d. memberlakukan undang-undang dan peraturan baru, menanggapi

kompleksitas dan kecanggihan berbagai bentuk kejahatan

transnasional, sehingga dapat menjembatani kesenjangan dalam

sistem hukum yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok kriminal

terorganisir;

e. memperkuat kapasitas aparat penegak hukum dan petugas

peradilan pidana, dan meningkatkan keterampilan mereka melalui

pelatihan khusus di bidang kejahatan transnasional, pencucian uang

dan pelanggaran ekonomi lainnya, termasuk korupsi, dan

penjabaran materi pelatihan yang dibutuhkan;

f. menerapkan program regional baru yang ada dan berkembang yang

bertujuan untuk menerapkan berbagai rekomendasi Deklarasi

Politik Naples dan Rencana Aksi Global terhadap Kejahatan

Transnasional yang Terorganisir,

Universitas Sumatera Utara


95

g. mengintensifkan kerja sama dan koordinasi di tingkat nasional di

antara instansi terkait untuk menangani berbagai bentuk kejahatan

transnasional;

h. mendorong hubungan kolaboratif yang erat dengan organisasi

internasional, khususnya Interpol dan organisasi nonpemerintah

yang relevan.

Dengan adanya deklarasi tersebut mendesak negara-negara

anggota untuk memperkuat komitmen mereka dalam memerangi

kejahatan transnational melalui tindakan daerah. Selanjutnya, juga

mendorong negara anggota untuk melakukan diskusi dan pertemuan

untuk membahas isu-isu yang berkaitan dengan transnasional

kejahatan.

2. Mutual Legal Assistance (MLA) dalam bidang kriminalisasi

Instrumen yang memfasilitasi ikatan regional dalam memerangi

orang penyelundupan adalah Perjanjian pada tahun 2006 tentang

Mutual Legal Assistance (MLA) dalam bidang kriminalisasi, dalam

istrumen ini menghendaki untuk meningkatkan efektifitas aparat para

pihak penegak hukum dalam pencegahan, penyidikan dan penuntutan

tindak criminal melalui kerjasama dan bantuan hukum timbal balik

dalam masalah pidana, timbal balik untuk para pihak, yang diberikan

sesuai dengan perjanjian, sebagaima yang di maksud adalah130 :

a. mengambil bukti atau mendapatkan pernyataan sukarela dari

orang;

130
Di lihat pada Treaty on Mutual Legal Assistence in Criminal Matters, pasal 1 ayat 2

Universitas Sumatera Utara


96

b. membuat pengaturan bagi orang untuk memberikan bukti atau

untuk membantu dalam masalah pidana;

c. mempengaruhi pelayanan dokumen peradilan;

d. melakukan pencarian dan kejang;

e. memeriksa objek dan lokasi;

f. menyediakan salinan asli dokumen atau dokumen yang relevan,

catatan dan barang bukti;

g. mengidentifikasi atau menelusuri properti yang berasal dari komisi

pelanggaran dan alat-alat kejahatan;

h. penahanan hubungan dalam properti atau pembekuan properti yang

berasal dari eksekusi suatu pelanggaran yang dapat dipulihkan,

hangus atau disita;

i. pemulihan, penyitaan atau penyitaan properti yang berasal dari

tindak pidana;

j. menemukan dan mengidentifikasi saksi dan tersangka; dan

k. penyediaan bantuan lain yang mungkin disetujui dan sesuai dengan

tujuan Perjanjian ini dan hukum Pihak Diminta.

Hal-hal yang menentukan persyaratan dasar kerja sama untuk

memerangi kejahatan transnasional Perjanjian MLA bertujuan untuk

meningkatkan kerja sama dan saling hukum bantuan dalam

pencegahan, melakukan investigasi serta penuntutan pidana

pelanggaran. Perjanjian ini juga disebut sebagai “alat-alat kejahatan”

yang memiliki arti properti yang digunakan sehubungan dengan

Universitas Sumatera Utara


97

pelaksanaan suatu pelanggaran atau nilai ekuivalen dari properti

tersebut.

3. The ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crime – ASEAN

dalam rencana aksi dalam memerangi Kejahatan Transnasional

Instrumen yang digunakan oleh negara-negara ASEAN untuk

melakukan kerja sama regional dalam menangani masalah kejahatan

transnasional, termasuk penyelundupan manusia yang memfokuskan

pada beberapa program aksi seperti pertukaran informasi, masalah

hukum, penegakan hukum, pelatihan, pengembangan kapasitas

kelembagaan dan kerjasama regional ekstra.

Program-program ini dilakukan untuk mencapai tujuan umum

dan tujuan spesifik dari Plan Action. Tujuan umum dari kerangka kerja

adalah untuk meningkatkan kerjasama dalam memerangi kejahatan

transnasional di tingkat yang berbeda seperti tingkat nasional, bilateral

dan regional. Selanjutnya, itu juga menyatakan bahwa anggota Negara

harus fokus pada penguatan komitmen regional dan kapasitas untuk

memerangi hkejahatan transnasional seperti terorisme, penyelundupan

senjata, perdagangan orang dan sebagainya pembajakan. Tujuan

spesifik dari Plan Action adalah untuk131:

1. Mengembangkan strategi regional yang lebih kohesif untuk mencegah,

mengendalikan dan menetralisir kejahatan transnasional;

2. Membina kerja sama regional di tingkat investigasi, kejaksaan, dan

peradilan serta rehabilitasi pelaku;

131
Ahmad Almaududy Amri, Op.Cit, hal. 203-205

Universitas Sumatera Utara


98

3. Meningkatkan koordinasi antar badan ASEAN yang menangani

kejahatan transnasional;

4. Memperkuat kapasitas dan kemampuan regional untuk menangani

kejahatan transnasional yang canggih; dan

Universitas Sumatera Utara


99

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan skripsu yang telah penulis uraikan sebelumnya,

maka didapatlah beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Laut yang memiliki peran penting di dalam kehidupan manusia, bahkan

tampa adanya laut tidaklah mungkin terjadi pengabungan atau

pemisahhan negara-negara sebagaimana pengertian dari laut menurut para

ahli. Namun laut tidaklah selalu dimanfaatkan untuk hal-hal positif,

namun bagi pelaku-pelaku kejahatan tersendiri memanfaatkan laut

sebagai peluang untuk mendapatkan keuntungan baik dalam bentuk

finanssial maupun materil lainya. Munculnya hukum laut berfungsi

sebagai mengatur arus penggunaan laut dari segala aspek, agar

pemanfaatnya dapat di lakukan dengan baik bagi negara-negara di dunia,

seperti dalam bidang keamanan laut yang kerap disamakan dengan

keamanan maritim, yang pada dasarnya berbeda dalam penggunaan

katanya. “laut” yang lebih memberikan pengertian dalam bentuk fisik,

sedangkan “maritime” lebih kepada tindakkan dalam kawasan laut. Dan

penggunaan kata dalam penanganan penyelundupan manusia keamanan

maritimlah yang lebih pas dan berperan.

2. Penyelundupan Manusida (People Smuggling) adalah kejahatan

terorganisir yang menjadi ancaman bagi seluruh negara-negara di dunia

termasuk di kawasan Asia Tenggara, dan yang dikatakan sebagai

Universitas Sumatera Utara


100

penyelundupan manusia adalah orang-orang yang masuk ke negara tujuan

dengan prosedur ilegal ataupun tidak ilegal, bukan merupakan penduduk

nasional ataupun tetap, seseorang yang memegang peran atas

penyelundupan memanfaatkanya untuk mendapatkan keuntungan

finansial dalam bentuk uang atau manfaat materil lainya. Penyelundupan

manusia dan perdagangan manusia (Trafficking in Person) merupakan

tindak kejahatan yang kerap disamakan dari segala aspek, walaupun

diantara keduanya memiliki perbedaaan yang cukup signifikan, seperti

penyelundupan dilakukan atas sukarela manusia itu sendiri, sedangkan

kalo perdagangan manusia bersifat paksaan dan merendahkan martabat,

para korban penyelundupan tidak memiliki tujuan begitu sampai pada

negara tujuan, sedangkan pada perdagangan manusia mereka memiliki

tujuan tersendiri begitu sampe negara tujuan. Selanjutnya, penyelundupan

manusia selalu melakukan gerakan internasional dalam pergerakanya dan

di lakukan secara ilegal, sedangkan pada perdagangan manusia, dapat di

lakukan dengan gerakan internasional dan internasional, dam dilakukan

secara ilegal ataupun tidak ilegal.

3. Maraknya ancaman kasus Penyelundupan Manusia, membuat dunia

mengeluarkan pengaturan Pengaturan Keamanan Maritim (Maritime

Security) daalam Penanganan Kasus Penyelundupan Manusia (People

Smuggling) Di Kawasan Asia Tenggara baik dari segi hukum

internasional maupun regional. Pengaturan internasional yang berkaitan

dengan penyelundupan manusia antara lain, ada United Nation

Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) -

Universitas Sumatera Utara


101

Konvensi perserikatan bangsa-bangsa menentang tindak pidana

transnational terorganisasi, Protocol against the Smuggling of Migrants

hby Land, Sea and Air atau Smuggling Protocol atau Palermo

Convention, supplementing the United Nation Convention Against

Transnational Organized Crime. - Protokol yang menentang

penyelundupan manusia melalui darat, laut, dan udara, melengkapi

kovensi perserikatan bangsa-bangsa menentang tindak pidana

transnasional yang terorganisasi, Protocol to Prevent, Suppress and

Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children,

supplementing the United Nation Convention Against Transnational

Organized Crime - Protokol mencegah, menindak dan menghukum

perdangan manusia, terutama perempuan dan anak-anak melengkapi

konvensi perserikatan bangsa-bangsa menentang tidak pidana

transnational yang terorganisasi, Protocol against the Illicit

Manufacturing and Trafficking in Firearms, Their Parts and Components

and Ammunition - Protokol terhadap Manufaktur dan Perdagangan

Terlarang dalam Senjata Api, bagian, komponen dan amunisi, dan

Declaration of the ministerial conference of the Khartoum Process –

deklarasi yang dilakukan komisaris Uni Eropa dan Uni Afrika dalam

pengaturan mengenai penyelundupan manusia untuk daerah kawasan

anggota-anggota. Adapula pengaturan regionaL kawasan Asia Tenggara,

yang mengatur atau berkaitan dengan penyelundupan manusia, antara lain

ada Bali Process, yang di lakukan oleh Indonesia dan Australia yang

merupakan negara yang kerap menjadi negara transit ataupun negara

Universitas Sumatera Utara


102

tujuan dalam penyelundupan manusia, dan dikarenakan negara-negara

Asia Tenggara meruppakan anggota dari organisasi ASEAN, dan ASEAN

sendiri telah mengeluarkan pengaturan untuk mengatasi ancaman tentang

kejahatan terorganisasi, ASEAN Measure, yang mengeluarkan ASEAN

Declaration against Transnational Crime atau Deklarasi ASEAN

melawan Kejahatan Transnasional, Mutual Legal Assistance (MLA)

dealam bidang kriminalisasi, dan The ASEAN Plan of Action to Combat

Transnational Crime melakukan kerja sama regional dalam menangani

masalah kejahatan transnasional, termasuk penyelundupan manusiayang

memfokuskan pada beberapa program aksi seperti pertukaran informasi,

masalah hukum, penegakan hukum, pelatihan, pengembangan kapasitas

kelembagaan dan kerjasama regional ekstra

B. Saran

Berdasarkan uraian yang telah di bahas dalam skripsi ini

sebelumnya, maka di dapatlah saran sebagai berikut :

1. Hukum laut yang telah berlaku baik secara internasional

maupun regional, seharusnya lebih fleksibel untuk berkembang

sejalan dengan pemanfaatannya yang semakin maju mengikuti

perkembangan zaman, sehingga dapat mencegah pemanfaatan

laut dari segi negatif yang di jadikan peluang bagi manusia

yang memiliki maksud dan niat yang buruk dan hanya

mementingkan kepentingan pribadi. Kerjasama antara negara-

negara dalam Keamanan laut yang telah diciptakan seharusnya

Universitas Sumatera Utara


103

semakin di perketat dan dijalankan sesuai dengan kebutuhan

hukum nasional yang ada di wilayahnya, tampa adanya

kelalaian dalam pengoperasiannya sehingga meminimalisir

kasus penyelundupan manusia tersebut.

2. Perbedaan dan alasan terjadinya bentuk kejahatan terorganisir

penyelundupan manusia yang telah di jelaskan pada

pembahasan dalam bab sebelumnya, antara penyelundupan

manusia dengan perdagangan manusia seharusnya membuat

hukum baik internasional dan regional lebih membuat

peraturan khusus untuk mengatasinya

3. Pengaturan keamanan maritim dalam mengatasi kasus

penyelundupan manusia yang telah adabaik secara

internasional maupun regional seharusnya benar-bnear di

jalankan oleh setiap negara sebagaimana dengan mereka

berkomitmen untuk mengikuti perjanjian tersebut. Dengan

menguatkan bentuk kerjasama khusus antara negara-negara

kawasan Asia Tenggara dapat meminimalkan tingkat kejahatan

terorganisasi terutama kasus penyelndupan manusia.

Universitas Sumatera Utara


104

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Buana, Mirza Satria, Hukum Internasiona Teori dan Praktek, (Bandung :

Nusamedia , 2009)

Dr. Kholis Roisah, Hukum Perjanjian Internasional Teori Dan Praktik, (Malang :

Setara Press, 2015)

Hasjim Djalal, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut (Bandung :

Binacipta, 1979)

Hauna, Boer, Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,

(Bandung : Penerbit Alumni, 2000).

Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, (Jakarta: Ribeja Cipta, 2000)

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional (Bandung : Angkasa Offset,

1983)

Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia,

edisi I, (Jakarta: The Habibie Centre, 2002).

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja

Grafindo Persada, 2004)

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Laut Bagi Indonesia (Bandung: Vorkonnk Van

Hoeve, 1982)

B. Instrumen Hukum

United Nation Convention Law Of The Sea (UNCLOS)

United Nation Convention On Transnational Organized Crime (UNCTOC)

United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC)

Universitas Sumatera Utara


105

Protocol Against the Smuggling of Immigrant by Land, Sea and Air,

Supplementing the United Nations Convention Against Transnational

Organized Crime

Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, especially

Women and Children, Supplementing the United Nations Convention

Against Transnational Organized Crime

Protocol against the Illicit Manufacturing and Trafficking in Firearms, Their

Parts and Components and Ammunition

Declaration of Ministerial Conferece of Khartoum Process, 2014

Bali Declaration on People Smuggling, Trafficking in Persons and Related

Transnational Crime;

ASEAN Declaration Against Transnational Crime

C. Makalah/Artikel Ilmiah/Jurnal/Disertasi

Abdul Muthalib Tahar, Hukum Laut Internasional menurut KHL PBB 1982 dan

perkembangan Hukum Laut di Indonesia, Fakultas Hukum Internasional

Bagian Hukum Internasional, 2007.

Ahmad Almaududy Amri , Maritime Security Challenges in Southeast Asia:

Analysis of International and Regional Legal Framework, University of

Wollongong Thesis Collection, 2016.

ASEAN Documents on Combating Transnational Crime and Terrorism, A

Compilation of ASEAN Deckaration, and Statement Combatiing

Transnational Crime and Terrorism, Security Cooperation Division Asean

Political-Security Departement, 2012.

Universitas Sumatera Utara


106

Bali Process Policy, Guide Drafting Committee, 2014, Policy Guide on

Criminalizing Migrant Smuggling, The Regional Support Office to Bali

Process, Agustus 2014.

Christian Bueger, “What is Maritime Security”. Department of Politics and

International Relations, School of Law and Politics, Cardiff University.

Marime Policy, 2015.

Christopher Rahman, Concepts of Maritime Security: A Strategic Perspective on

Alternative Visions for Good Order and Security at Sea, with Policy

Implications for New Zealand, Papers University of Wollongong, 2009.

Directorate of Non-UN Inter-Govermental dan Non-Govermental International

Organization, Directorate General of Multilateral Political, Social and

Security Affairs, Department of Foreign Affairs of the Republic of

Indonesia, 2005, Bali Process: Towards a Better Management of

migration on Asia Pasific Region.

Endah Sundari, Analisis Yuridis Terhadap Bali Declaration on People Smuggling,

Traffiking in Person and Related Transnational Crime Sebagai Salah

Satu Bentuk Perjanjian Internasional, Fakultas Hukum USU Medan,

2017.

Diplomacy: An Examination of the Bali Process (Migrant Smuggling Working

Group: The University of Queensland, 2012).

Gerhard O. W. Mueller, Transnational Crime, Definitions and Concepts:, dalam

P. Williams dan D. Valassis (eds), Combating Transnational Crime, a

Special Issue of Transnational Organized Crime, 1998.

Universitas Sumatera Utara


107

I Nengah Putra A - Abdul Hakim, ”Analisa Peluang Dan Ancaman Keamanan

Maritim Indonesia Sebagai Dampak Perkembangan Lingkungan

Strategi”, 2016.

Khaidir Anwar, Hukum Laut Internasional Dalam Perkembanganya, Seri

Monograf Volume 3, 2015.

McNicholas Michael, “Maritime Security an Introduction”, Oxford, Elsevier,

2008

Michele Ameri and Michael Shewchuk, Maritime Security and Safety, UNITAR /

DOALOS Briefing, 2007.

Obokata, Tom, Smuggling of Human beings from a Human Rights Perspective:

Obligations of Non-State and State Actors under International Human

Rights Law, 17(2) dalam International Journal of Refugee Law, 2005.

Patrick Twomey, Europe‟s Other Market: Trafficking in People, dalam European

Journal of Migration and Law, 2000.

Rizkan Zulyadi, Geetha Subramanian dan Tan Kamello, People Smuggling In

Indonesia, dalam International Journal of Asian Social Science, 2014.

Rizkan Zulyadi, Suhaidi, Syafruddin Kalo dan Hamdan, Handling People

Smuggling in Indonesian Sea Territory, dalam IOSR Journal Of

Humanities And Social Science (IOSR-JHSS), Agustus 2015.

Robert C. Rubel, Navies and Economic Prosperity – the New Logic of Sea Power

Corbett Paper, No 11.

Tara Davenport, AsianSIL Working Paper 2012/ 7, Southeast Asian Approaches

To Maritime Delimitation, Paper presented at the 3rd NUS-AsianSIL

Young Schaolars Workshop, NUS Law School, 23-24 Februari 2012.

Universitas Sumatera Utara


108

Till Geoffrey, Seapower. A Guide For The Twenty-First Century. London,

Routledge, 2004.

United Nation Office on Drugs and Crime (UNDOC), A Short Introduction to

Migrant Smuggling, Issue Paper, 2010.

United Nation, Changes in Forms and Dimentions of Criminality – Transnational

and National, Working Paper prepared by the Secretariat for the Fifth

United Nation Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of

Offenders (Toronto, Canada, 1-12 September 1975).

United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), “Review of

Maritime Transport 2017”, United Nations, 2017.

UNHCR, Asylum Trends 2014;Levels and Trends Industrialized Countries, hal.

23.

U.S. Coast Guard Strategy for Maritime Safety, Security, and Stewardship, 2007.

John R. Wagley, Transnational Organized Crime: Principal Threats and U.S.

Responses, dalam congressional Reasearch Service, The Library of

Congress, 2006.

D. Koran/Majalah/Internet

Australia and Indonesia, „Co-Chairs‟ Statement: Bali Ministerial Conference on

People Smuggling, Trafficking in Persons and Related Transnational

Crime‟ (26-28 February 2002) (

http://www.mofa.go.jp/policy/i_crime/people/conf0202.html, di akses

pada tanggal 17 November 2017 pukul 18:20).

Universitas Sumatera Utara


109

United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS), ditandatangani 10

Desember 1982, mulai berlaku 16 November 1994). (di akses pada tanggal

17 November 2017, pukul 17:10)

Association of Southeast Asia Nations (ASEAN), (http://asean.org/asean/asean

-member-states/ (di akses pada tanggal 17 November 2017 pukul 17:15).

United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS),

(https://www.un.org/Depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratifications

.htm di akses pada tanggal 17 November 2017 pukul 17:15)

United Nation Office on Drugs and Crime (UNDOC), dalam Protocol against the

Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air, supplementing the United

Nations Convention Against Transnational Organized Crime,

http://www.uncjin.org/Documents/Conventions/dcatoc/final_documents_2/conven

tion_smug_eng.pdf (di akses pada tanggal 17 November 2017 pukul 19:14)

Sejarah Lahirnya Hukum Laut Internasional, (http://karyatulisilmiah.com/sejarah

-lahirnya-hukum-laut-internasional/ diakses pada tanggal 15 januari 2018,

pukul 17:00).

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (https://kbbi.kemdikbud.go.id/ di akses

pada tanggal 15 desember 2017, pukul 14.00)

Penggunaan Kata Kelautan atau Maritim

(http://www.emaritim.com/2015/02/rosihan-arsyad-kelautan-atau

-maritim.html/ di akses pada tanggal 17 desember 2017, pukul 17.00).

Keamanan Maritim dan Implikasi Kebijakannya Bagi Indonesia

(https://media.neliti.com/media/publications/37552-ID-keamanan-maritim-dan-

Universitas Sumatera Utara


110

implikasi-kebijakannya-bagi-indonesia.pdf di akses pada tanggal 17 desember

2017, pukul 17.00).

African Maritime Safety & Security Agency

(http://www.amssa.net/intelligence/risk-prevention-and-maritime

-security.aspx di akses pada tanggal 20 desember 2017, pada pukul 17.00)

Keamanan Maritim, Perdagangan Orang Dalam Sektor Perikanan: Kasus Benjina

(https://indonesia.iom.int/sites/default/files/Web-IND-

-Newsletter%20IOM-Jun%202015.pdf di akses pada tanggal 20 desember

2017, pada pukul 17.00)

Is people smuggling the same as human trafficking ?

(http://www.blueblindfold.gov.ie/website/bbf/bbfweb.nsf/page/humantrafficking-

traffickingsmuggling-en/ di akses pada tanggal 19 januari 2018, pukul 13.00)

UNHR, Report of the Special Rapporteur on Sales of Children, Child Prostitution

and Child Pornography: Mission to Morocco,

(http://www.ohchr.org/en/issues/children/pages/childrenindex.aspx

diakses pada tanggal 12 Desember 2017 pada pukul 12.00).

Daftar Terbaru dari Penandatanganan dan Pihak,

(http://www.unodc.org/unodc/treaties/CTOC/ di akses pada tanggal 25

januari 2018, pukul 12.00)

Tentang Bali Process, Bali Process Website (http://www.baliprocess.net/about

-the-bali-process di akses pada tanggal 20 januari 2018, pukul 17.00 ).

Association of Southeast Asia Nations (ASEAN), (http://asean.org/asean/asean

-member-states/ (di akses pada tanggal 17 November 2017 pukul 17:15).

Universitas Sumatera Utara


111

ASEAN Declaration on Transnational Crime,

(http://www.asean.org/communities/aseanpolitical-security

-community/item/asean-declaration-on-transnational-crime-manila-20

-december/ , 1997, di Akses pada tanggal 20 Januari 2018, pukul 12.00).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai